PERANAN DAN TANGGUNG JAWAB HAKIM WASMAT TERHADAP HAK-HAK NARA PIDANA Oleh: SYARIF FADILLAH, SH., MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta Abstrak Proses penegakan hukum yang adil (due process of law) tidak hanya berupa penerapan hukum atau peraturan perundang-undangan secara formal, tetapi juga pemahaman dan sikap batin untuk menghormati hak-hak asasi yang dimiliki oleh warga masyarakat, termasuk hak-hak tersangka, terdakwa maupun terpidana. Terlebih lagi dalam rangka menuju proses peradilan pidana terpadu (an Integrated Criminal Justice System), hak-hak tersangka, terdakwa dan terpidana harus pula mendapat perhatian dan penekanan, baik pada tahap pra-ajudikasi, ajudikasi maupun pasca ajudikasi, yang pada tahap operasional dijabarkan di dalam KUHAP dengan memuat sepuluh asas. Salah satu asas yang paling relevan adalah pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana, yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri melalui Hakim Wasmat yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan agar putusan pidana dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya demi tegaknya wibawa hukum, perikeadilan dan perikemanusiaan. Juga melakukan pengamatan terhadap evektivitas penerapan pidana, dengan titik berat pada manfaat dan ketepatan pidana dalam menemukan "Kebijakan Pemidanaan" yang lebih baik. Tahap pra ajudikasi, ajudikasi dan pasca ajudikasi sama-sama memiliki peran penting dalam penegakan hukum. Hanya saja dalam praktek di lapangan muncul anggapan bahwa tugas hakim sebagai penegak hukum terbatas pada memeriksa, mengadili dan berakhir pada saat putusan dijatuhkan. Lebih ironis lagi pelaksanaan putusan Pengadilan dan pembinaan terpidana di Lembaga Pemasyarakatan berada di luar jangkauannya Pendahuluan Pendekar hak-hak asasi manusia John Locke mengatakan bahwa semenjak manusia dilahirkan telah memiliki hak-hak asasi asasi, yaitu hak akan hidup, hak akan kebebasan atau kemerdekaan dan hak akan milik atau hak akan memiliki sesuatu. Tetapi sewaktu dalam keadaan alam bebas, hak-hak asasi manusia tersebut, tidak dapat dilaksanakan serta dinikmati sebagaimana mestinya. Oleh karena manusia selalu diliputi oleh keinginan untuk membela kepentingannya masing-masing, sehingga dalam keadaan alam bebas itu tidak ada kepastian hukum, sebab memang belum ada tertib hukum.
50
Setelah manusia hidup bernegara, pelaksanaan hak-hak asasi manusia lebih terarah dan/atau teratur, dimana penguasa harus terbatas kekuasaannya, penguasa dalam menjalankan kekuasaannya tidak boleh melanggar hak-hak asasi manusia, begitu juga sebaliknya rakyat tidak boleh melakukan kehendak sesuka hatinya. Dalam rangka menjamin serta melindungi hak-hak asasi manusia, Montesquieu mengemukakan perlu adanya pemisahan kekuasaan, yang kemudian disebut dengan teori Trias Politika. Senada dengan ajaran Trias Politika, J.J. Rousseau, mengemukakan mengenai ajaran kedaulatan rakyat, yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dengan sistem demokratik, dimana penguasa dipilih oleh rakyat, dalam pelaksanaan kekuasaannya bertanggung jawab pada rakyat dan harus pula menghormati hak-hak asasi manusia.1) Kesepuluh asas-asas tersebut telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang ketentuan-ketentuan Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 Tahun 1970, yang telah diubah menjadi Undang-undang No.48 tahun 2009)), yang harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang No. 8 Tahun 1981 ini. Kesepuluh asas-asas dimaksud adalah : 1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. 2. Penangkapan,
penahanan,
pengeledahan,
dan
penyitaan
hanya
dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang. 3. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap. 4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
1
) Soehino, Hak-hak Asasi Manusia Ditinjau dari segi Undang-undang Dasar 1945, Mimbar Hukum No. 17, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1993, hal. 48.
51
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan/atau dikenakan hukuman administrasi. 5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan. 6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya. 7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan selalu wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum. 8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. 9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang. 10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan
Tinjauan Teori Dalam hukum pidana istilah “pidana” dapat diartikan sebagai “hukuman’ yang berasal dari kata “straf”. Pengertian lain sering juga digunakan dengan istilah penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana. Prof. Moelyatno misalnya mengemukakan istilah “hukuman” berasal dari kata “straf” dan istilah “hukum” berasal dari perkataan “wordt gestraf”. Istilah-istilah tersebut menurut Moelyatno merupakan istilah yang konvensional. Beliau sendiri tidak setuju dengan istilah-istilah itu, dan menggunakan istilah inkonvensional, yaitu “Pidana” untuk menggantikan kata “Straf” dan diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. Lebih lanjut Moelyatno mengatakan kalau “straf” diartikan dengan “hukuman”, maka “strafrecht” seharusnya diartikan dengan “hukuman-hukuman.
52
Menurut beliau “dihukum” berarti “diterapi hukum”, baik hukum pidana maupun hukum perdata. “Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebihluas daripada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.2) Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan kata “hukuman” sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana” di samping “hukum perdata” seperti misalnya ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang disusul dengan pelelangan. 3) Sedangkan Jimly Asshiddiqie, mengatakan “…mengikuti pendapat Sudarto, disini digunakan istilah “pidana”, bukan “hukuman” ataupun “hukuman pidana”.4) Disamping itu Muladi dan Barda Nawawi Arief, mengatakan bahwa istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya. Menurut beliau, oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan cirri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.5) Djoko Prakoso dan Nurwachid, mengemukakan istilah pemidanaan berasal dari kata “pidana” yang sering diartikan pula dengan hukuman. Jadi pemidanaan dapat pula diartikan dengan penghukuman. Kalau orang mendengar kata “hukuman”, biasanya yang dimaksud adalah penderitaan yang diberikan kepada orang yang melanggar hukum pidana.6)
2
) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni, 1992, hal. 1. 3 ) Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : PT. Eresco, 1989, hal. 1. 4 ) Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Angkasa, 1995, hal. 15. 5 ) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, Hal. 2. 6 ) Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995, hal. 13.
53
Metode Proses Peradilan Pidana atau yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), bertujuan untuk mencari dan/atau menemukan kebenaran materiil. Hal ini sesuai dengan pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut : Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. 7) Untuk mencari dan/atau menemukan kebenaran materiil dalam suatu perkara pidana, harus melalui tahapan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan dan pelaksanaan putusan di Lembaga Pemasyarakatan. Keempat tahapan di atas, terutama pada tahap penyidikan oleh polisi, tahap penuntutan oleh Jaksa dan tahap pemeriksaan di Pengadilan, harus berpedoman pada prinsif atau asas-asas yang telah ditentukan oleh KUHAP, agar tujuan mencari dan/atau menemukan kebenaran materiil secara jujur dan tepat dapat tercapai. Jika tidak, maka akan terjadi proses hukum pidana yang sewenangwenang. Prinsip-prinsip atau asas-asas dimaksud adalah : 1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun; 2. Praduga tak bersalah; 3. Hak untuk memperoleh konpensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi; 4. Hak untuk mendapat bantuan hukum; 5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan; 6. Peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; 7. Peradilan yang terbuka untuk umum; 8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan), harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis);
7
) Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Arikha Media, 1993,
hal. 9.
54
9. Hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; dan 10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusan.8) 11. Apabila kita mencoba menafsirkan Pasal 191 ayat (1) dan Pasal 197 ayat (1) KUHAP, bahwa tahap ajudikasi (siding pengadilan) yang harus dominan dalam seluruh proses peradilan pidana, karena baik dalam hal putusan bebas maupun putusan bersalah, hal ini harus berdasarkan pada fakta-fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan. Penjatuhan putusan oleh Pengadilan dengan segala akibatnya, harus dilaksanakan sebaik mungkin oleh Jaksa dengan menempatkan siterpidana di Lembaga Pemasyarakatan untuk selanjutnya diberikan pembinaan. 12. Hanya saja dalam praktek lapangan ada anggapan bahwa tugas hakim berakhir pada saat putusan dijatuhkan, anggapan ini membatasi tugas hakim sebagai penegak hukum dan keadilan pada tugas memeriksa dan mengadili. Sehingga dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan ataupun pembinaan Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan di luar jangkauannya. Hakim tidak perlu mengetahui bagaimana pelaksanaan eksekusi oleh jaksa ataupun nasib narapidana di Lembaga Pemasyarakatan. Tidak diikutinya putusan pengadilan oleh hakim menunjukkan seolah-olah tidak bertanggungjawab terhadap putusannya. 13. Gambaran di atas, sebenarnya terlalu jauh dari yang dikehendaki oleh aturan perundang-undangan yang berlaku, yang menghendaki hakim mengikuti putusannya sampai pada tahap purna ajudikasi. Hal tersesuai dengan Pasal 33 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970, yang telah diubah menjadi Undang-undang No. 48 tahun 2009, yang menekankan adanya pengawasan dari ketua pengadilan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa dengan tujuan untuk memperoleh jaminan bahwa putusan tersebut telah dilaksanakan sebagaimana mestinya, sekaligus bermanfaat bagi Napi. Disamping itu lebih jauh untuk melindungi hak-hak napi yang telah ditetapkan oleh undang-undang, agar
8
) Reksodiputro, Op. Cit., hal. 53.
55
berjalan dengan baik, tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak napi dimaksud oleh petugas Lembaga Pemasyarakatan atau oleh para Napi lain.
Oleh karena tugas Hakim Pengawasan dan Pengamat erat hubungannya dengan Kejaksaan sebagai pelaksana putusan Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai yang melaksanakan pembinaan terhadap napi, maka menurut Andi Hamzah sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahid, mengatakan : Dengan adanya ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap pelaksanaan putusan hakim dan kenyataan pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan dan di luar Lembaga Pemasyarakatan jika Napi dipekerjakan disitu dapat dijembatani. Hakim akan lebih didekatkan dengan Jaksa dan pejabat lembaga pemasyarakatan. Hakim akan dapat mengikuti perkembangan keadaan terpidana, sehingga dapat aktif memberikan pendapat dalam hal pembebasan bersyarat. Dengan demikian tujuan pemidanaan dapat tercapai. Hakim dapat mengikuti perkembangan terpidana sebagai napi dan juga perlakuan para petugas lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan.9) Hasil dan Pembahasan Seluruh responden adalah hakim wasmat dalam lingkungan Pengadilan Negeri di Wilayah DKI Jakarta dan Tangerang, yang masing-masing Pengadilan terdapat dua (2) orang hakim wasmat. Pengambilan sampel pada wilayah Pengadilan Negeri Tangerang didasarkan pada pertimbangan judul yang terkait dengan narapidana wanita, dan pengambilan sampel pada Pengadilan Negeri di wilayah DKI Jakarta dimaksudkan sebagai bahan perbandingan terhadap keberadaan dan tugas hakim wasmat. Dengan demikian jumlah hakim wasmat yang dijadikan responder seluruhnya berjumlah 12 orang. Dari data yang terhimpun akan dipaparkan antara lain masa kerja, baik sebagai hakim maupun sebagai hakim wasmat, kiat-kiat dalam upaya penegakan hukum (law enforcement) tanpa pengabaikan hak asasi narapidana dan hak-hak lain yang berkenaan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai hakim wasmat. (lihat tabel 1)
9
) Abdul Wahid, Menggugat Idealisme KUHAP, Bandung : Tarsito, hal.
28.
56
Tabel I Sebaran Responden Hakim Wasmat Tentang Masa Kerja sebagai Hakim
NO
MASA KERJA
JUMLAH
%
1
5 - 10 tahun
-
-
2
11 - 15 Tahun
3
25%
3
Diatas 15 Tahun
9
75%
Jumlah
12
100%
Dari data di atas nampak bahwa ada kecenderungan penetapan sebagai hakim wasmat di lihat dari senioritas. Jika didasarkan pada banyaknya pengalaman dan pertimbangan dalam memutus perkara, pertimbangan senioritas perlu mendapat prioritas. Akan tetapi jika didasarkan pada pertimbangan perlunya idealisme dalam penegakan hukum, kiranya hakim yunior lebih memiliki idealisme yang tinggi, yang diwujudkan ke dalam putusan yang adil dan pelaksanaan pengawasan/pengamatan yang lebih obyektif. Informasi lain yang dapat diangkat dari data yang terhimpun adalah opini hakim wasmat mengenai urgensi atau perlunya pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana yang sedang menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan. Urgensi di atas tentunya sangat terkait dengan langkah-langkah pembinaan dan pengentasan narapidana, sehingga dapat dirasakan manfaatnya. (lihat tabel 17)
57
. Tabel II Sebaran Responden Hakim Wasmat Mengenai Bermanfaat tidaknya Penetapan Hakim Wasmat
NO
PENDAPAT RESPONDEN
JUMLAH
%
1
Bermanfaat
4
35,4%
2
Kurang Bermanfaat
1
8,3%
3
Tidak Bermanfaat
7
58,3%
Jumlah
12
100%
Mengenai urgensi di atas harus dilihat pada pelaksanaan pengawasan dan pengamatan secara teknis di lapangan. Artinya sulit menemukan tolok ukur keberhasilan dari kedua tugas di atas. Dalarn hal pengawasan tentunya tidak cukup hanya dengan melakukan "Cheking on the Spot" ke lapangan secara rutin dan periodik, evaluasi terhadap keadaan dan kegiatan di Lembaga Pemasyarakatan maupun wawancara dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan mengenai perilaku, hasil pembinaan dan kendala-kendalanya. Begitu pula dalam hal pengamatan, tentunya tidak cukup hanya dengan mengidentifikasi pelaku dan mengevaluasi hubungan antara perilaku dengan pidana yang dijatuhkan Dari data yang terhimpun dapat diungkap beberapa hal yang berkenaan dengan usia, jenis pidana, tindak pidana, lamanya masa hukuman, pendidikan dan status (residivis atau non-residivis). Dari segi usia, narapidana yang berusia antara 18 -- 35 tahun relatif lebih banyak yaitu 40 orang atau 80 %, sedangkan narapidana yang berusia di atas 35 tahun hanya 10 orang atau 20 % dari jumlah responden. (lihat tabel III)
58
Tabel III Sebaran Responden Narapidana Mengenai Usia
NO
USIA
JUMLAH
%
I
18 -25 Tahun
9
18%
II
26- 30 Tahun
11
22%
III
31- 35 Tahun
20
40%
IV
Di atas 35 Tahun
10
20%
50
100%
Jumlah
Jenjang pendidikan responden rata-rata rendah yaitu 32 orang atau 64% berpendidikan Sekolah Dasar, 13 orang atau 26 % berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Selebihnya 5 orang atau 10 % tidak bersekolah. (Lihat tabel IV)
Tabel IV Sebaran Responder Narapidana Mengenai Tingkat Pendidikan NO
TINGKAT PENDIDIKAN
JUMLAH
%
1
Sekolah Dasar
32
2
SLIP
13
3
SLTA
4
Akademi/Perg.Tinggi
-
-
5
Tidak Bersekolah
5
10%
Jumlah
59
50
6% 26%
100%
Jenis tindak pidana yang dilakukan sangat bervariasi. Dari 14 jenis yang dapat diidentifikasi,. sembilan (9) jenis diantaranya berkaitan dengan masalah ekonorni. Adanya motiv kejahatan sebagaimana terlihat pada tabel 7 sangat signifikan dengan tindak pidana yang dilakukan. (lihat tabel V) Tabel V Sebaran Responden Narapidana Mengenai Jenis Tindak Pidana yang dilakukan NO 1 2
JENIS TINDAK PIDANA Pencurian Pencurian dg.kekerasan
3
Penipuan
4
Pembunuhan
5
Pembunuhan Berencana
6
Pembunuhan Bayi
7
Penggelapan
8
Penadahan
9
JUMLAH
%
16
32%
4 5 2
1 4 3
4
Pemalsuan Uang
1
8% 10% 4% 2% 8% 6% 8% 2%
10
Narkotika
4
11
Meninggalkan Anak
1
Pemalsuan Paspor
1
2%
3
6%
Penculikan
1
1%
JumIah
50
100%
12 13 14
Penganiayaan
8%
2%
Hukuman yang dijalani oleh responden di Lembaga Pemasyarakatan antara 1 sampai 6 tahun sebanyak 14 responden atau 28% menjalani hukuman 1 tahun, 10
60
responden atau 20% menjalani hukuman 2 tahun, 4 responden atau 8% menjalani hukuman 2 tahun 8 bulan, 7 responden atau 14% menjalani hukuman 3 tahun, 9 responden atau 18% menjalani hukuman 3 tahun 8 bulan, 4 responden atau 8% menjalani hukuman 4 tahun 6 bulan dan 2 responden atau 4% menjalani hukuman 5 tahun penjara. (lihat tabel VI) Tabel VI Sebaran Responden Narapidana Mengenai Lamanya Masa Hukuman NO
MASA HUKUMAN
JUMLAH
%
1
1 Tahun
14
28%
2
2 Tahun
10
20%
3
2 Tahun 10 bulan
4
8%
4
3 Tahun
7
14%
5
3 Tahun 8 bulan
9
18%
6
4 Tahun 6 bulan
4
8%
7
Di atas 5 Tahun
2
4%
Jumlah
50
100%
Mengenai latar belakang tindak pidana oleh responden cukup beragam dan umumnya dijumpai motiv ekonomi menempati porsi terbesar yaitu 39 responden atau 78%, 6 responden atau 12% karena dendam, dan 5 responden atau 10% karena rasa malu aibnya diketahui oleh masyarakat. (Lihat tabel VII)
61
Tabel VII Sebaran Responden Narapidana Mengenai Sebab Melakukan Tindak Pidana NO
MOTIV
JUMLAH
%
1
Ekonomi
39
78%
2
Dendam
6
12%
3
Rasa Malu
5
10%
4
Pengaruh Teman
-
-
Jumlah Dari
data
yang
50
terhimpun
melalui
100% bagian
registrasi
Lembaga
Pemasyarakatan Wanita Tangerang tercatat 7 orang atau 14% responden dengan status residivis. Meskipun angka di atas tidak signifikan, akan tetapi merupakan salah satu indikasi kurang berhasilnya langkah pembinaan di Lembaga ataupun kurang terencananya program-program pemasyarakatan yang diterapkan. Nampaknya terdapat korelasi antara status residivis atau pengulangan tindak pidana dengan motif tindak pidana pada tabel 7, dimana motif ekonomi sangat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi seseorang untuk melakukan ataupun mengulangi tindak pidana. lihat tabel VIII) Tabel VIII Sebaran Responden Mengenai Status Narapidana NO
STATUS
JUMLAH
1
Residivis
6
12%
2
Non-Residivis
44
88%
50
100%
Jumlah
62
%
Diskusi Di dalam KUHAP (Pengawasan dan Pengamatan yang merupakan tugas dari Hakim Wasmat, diatur dalam Bab XX mengenai Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang terdiri dari tujuh pasal (Pasal 277 s/d 283 KUHAP), yang ditempatkan setelah pengaturan mengenai Pelaksanaan Putusan Pengadilan dalam Bab XIX. Melihat Sistematika pengaturannya, memang ketentuan Pasal 277 s/d 283 KUHAP merupakan wujud dari tanggung jawab Hakim yang berkelanjutan. Artinya sejauhmana pelaksanaan Putusan Pengadilan (Pasal 270 KUHAP) dapat diawasi dan diamati, bukan hanya semata-mata pemindahan dari tempat tahanan ke Lembaga Pemasyarakatan dan perubahan status menjadi terpidana, akan tetapi pengawasan dan pengamatan sekaligus merupakan mekanisme kontrol terhadap Putusan hakim pada tahap aplikasi dan penerapan putusan pada tahap eksekusi. Adanya fakta narapidana yang melarikan diri dan mengelak dari sanksi hukum, baik terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (kasus Edi Tanzil), maupun terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap (kasus Tommy Soeharto) dan kasus-kasus lainnya yang terjadi dibeberapa Lembaga Pemasyarakatan, merupakan indikasi lemahnya wibawa putusan hakim dan tidak berfungsinya mekanisme pengawasan. Meskipun terdapat faktor lain terhadap dua kasus di atas, namun jika pelaksanaan putusan diawasi sesuai mekanisme yang telah diatur, disatu sisi akan tetap menjaga kewibawaan putusan dan pada sisi lain secara makro akan dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Dari sisi kepentingan untuk mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice System), tidak diragukan keberadaan Hakim Wasmat, karena sistem pemasyarakatan merupakan kesatuan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, sehingga pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan. Idenya adalah narapidana bukan saja sebagai obyek melainkan juga subyek yyang tidak berbeda dengan manusia lain yang sewaktu-waktu dapat saja melakukan kesalahan. Sehingga tidak seharusnya diberantas. Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang menyebabkan seseorang berbuat hal-hal yang
63
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama dan kewajiban-kewajiban sosial lainnya. Dengan demikian, pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana agar menyesali perbuatannya dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik dan upaya di atas lebih beralasan jika dilakukan oleh hakim yang telah menjatuhkan putusan bersalah kepada terdakwa. Terlepas dari berbagai kendala yang telah penulis kemukakan dalam pelaksanaan pengawasan dan pengamatan, akan
tetapi jika dilakukan secara konsisten dan terencana akan nampak manfaat dari kebijakan penetapan Hakim Wasmat dalam KUHAP. Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi sehubungan dengan tugas pengawasan dan pengamatan yaitu; Pertama, perlunya ditingkatkan koordinasi lembagalembaga terkait yang dapat memenuhi harapan terwujudnya sistem pemasyarakatan yang benar-benar mampu memasyarakatkan kembali narapidana. Meskipun terdapat faktor lain yaitu partisipasi masyarakat dalam turut membina mantan narapidana, akan tetapi keberadaan Lembaga Pemasyarakatan merupakan faktor yang cukup dominan. Kedua, pengaturannya di dalam KUHAP sangat tidak memadai baik secara teknis maupun substansinya. Pengaturan lebih lanjut hanya berupa juklak melalui Surat Edaran Mahkamah Agung, sedangkan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 sama sekali tidak mengatur secara teknis dan rinci mengenai tugas dan keberadaan Hakim Wasmat. Terlebih lagi di dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dalam bab IV Pasal 45 diatur mengenai Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim pengamat Pemasyarakatan yang terdiri dari pejabat-pejabat Bapas yang lingkup tugasnya identik atau setara dengan tugas-tugas Hakim Wasmat. Pasal 45 ayat (4) menentukan bahwa tugas Tim Pengamat Pemasyarakatan meliputi (a) memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan, (b) membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan dan pembimbingan, (c) menerima keluhan dan pengaduan dari warga binaan pemasyarakatan.
64
Dari ketentuan Pasal 45 di atas, secara tugas menyebutkan bahwa Tim Pengamat Pemasyarakatan terdiri dari pejabat Lapas dan Bapas, bukan Hakim Pengadilan Negeri. Ketentuan di atas nampaknya menyederhanakan mekanisme pengawasan, karena dapat secara langsung diawasi setiap saat oleh petugas lembaga. Hal ini akan lebih baik jika dibandingkan dengan mekanisme pengawasan menurut SEMA No. 7 Tahun 1985, yang menyebutkan bahwa dalam rangka pengawasan, Hakim mengadakan Checking on the spot paling sedikit tiga (3) bulan sekali ke Lembaga Pemasyarakatan. Dengan demikian keberadaan Pasal 277 s/d 283 KUHAP jo. SEMA No. 7 Tahun 1985 tidak efektif, karena akan terjadi tumpang tindih dalam lingkup tugas dengan ketentuan dalam Pasal 45 Undang-undang No.12 tahun 1995, dimana keduanya mempunyai kedudukan yang setara, yaitu setingkat undang-undang. Ketidakefektifan di atas terungkap pula dari hasil wawancara dengan pihak-pihak Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang bahwa tugas dan keberadaan hakim wasmat tidak berjalan lagi sejak tahun 1995.. Kesimpulan
1. Penegakkan hukum (law enforcement) sebagai salah satu sarana untuk mencapai ketertiban dan kesejahteraan masyarakat dalam penyelenggaraanya dilandasi pada pokok-pokok kebijakan yang meliputi (i) political crime, yang diarahkan pada kebijakan menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan, (ii) political justice yang diarahkan pada kebijakan penerapan putusan yang tepat dan bermanfaat dan (iii) political prisoners, yang diarahkan pada kebijakan pembinaan narapidana dalam mencapai tujuan pemidanaan itu sendiri.
2. Dalam hukum pidana positif, pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak dijatuhkan baik untuk tindak pidana yang diatur di dalam maupun di luar KUHP. Dari 587 tindak pidana yang diatur dalam Buku kedua dan ketiga KUHP, 575 tindak pidana diantaranya diancam dengan pidana penjara. Melihat tingginya frekuensi penjatuhan pidana penjara diperlukan berbagai perangkat sehingga lembaga pemasyarakatan harus ditunjang dengan berbagai perangkat agar secara proporsional dapat berperan sebagai lembaga pembinaan.
65
3. Dalam hal political justice dan political prisoners, Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana telah menentukan kebijakan dalam bentuk desain prosedur atau mekanisme sistem peradilan pidana di Indonesia ke dalam beberapa tahap, yaitu (i) tahap penyidikan dan penuntutan (pra ajudikasi) yang melibatkan pihak kepolisian dan kejaksaan, (ii) tahap persidangan (ajudikasi) yang melibatkan pihak pengadilan dan (iii) tahap eksekusi (pasca ajudikasi) yang melibatkan pihak lembaga pemasyarakatan.
4. Dari keseluruhan proses di atas dan lembaga-lembaga yang terkait dalam setiap tahap harus menuju satu tujuan yaitu proses hukum yang adil (due process of law). Adanya dominasi pada tahap pra ajudikasi akan berakibat merugikan, khususnya dalam hal perlindungan terhadap hak-hak tersangka/terdakwa. Pada tahap sidang pengadilan hakim hanya mendasarkan pada alat bukti yang dikumpulkan pada tahap penyidikan dan pada apa yang disampaikan oleh polisi dan jaksa, sehingga hakim bersikap a-priori terhadap, adanya bukti baru yang diperoleh dalam persidangan ataupun kesaksian yang dapat meringankan terdakwa. Oleh karenanya, untuk tercapainya sistem peradilan pidana yang terpadu (integrated criminal justice system) sangat dibutuhkan kerja sama yang kooperatif dari semua unsur yang terlibat dan berperan dalam sistem.
5. Kerja sama yang kooperatif akan sangat membantu bekerjanya sistem dalam mencapai tujuan. Usaha mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan bukan semata-mata tanggung jawab kepolisian sebagai aparat terdepan. Pihak kejaksaan dan pengadilanpun turut bertanggung jawab. Putusan yang tidak adil yang dijatuhkan oleh hakim akan menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Demikian pula terhadap setiap putusan pengadilan harus diawasi sebaik mungkin dalam pelaksanaannya di lembaga pemasyarakatan melalui pola pembinaan yang tidak terpadu, sehingga dapat menekan tingginya angka residivis.
6. Dalam pendekatan penegakkan hukum (law enfrocement), sistem peradilan pidana tidak berhenti pada saat terdakwa dijatuhi hukuman dan selanjutnya dimasukkan ke dalam lembaga. Tugas hakim belum selesai dengan divonnisnya terpidana, akan
66
tetapi masih harus dibuktikan apakah putusan yang dijatuhkan sudah tepat dan sejauhmana penerapan hak-hak narapidana di dalam lembaga yang tercakup dalam tugas pengawasan dan pengamatan yang merupakan tugas lanjutan dari hakim setelah memutuskan bahwa terpidana bersalah.
Daftar Acuan Asshiddiqie Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Angkasa, 1995. Bemmelen J.M.van,Mr., Hukum Pidana I, Hukum Pidana Materiil Bagian Umum, Bandung : Bina Cipta, 1984. Buyung Nasution Adnan "Perspektif HAM Dalam Pembinaan Narapidana”, Makalah Pemasyarakatan Terpidana II, Jakarta, Universitas Indonesia. Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini, Jakarta Ghalia Indonesia, 1985. Hamzah Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Retribusi ke Reformasi Jakarta : Pradya Paramita, 1988.
Indonesia,
dari
________,Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta : Akademi Presindo, 1983. Herbert L, Packer, The Limits of Criminal Sanction, California : Stanford University Press, 1968. Hutabarat, Ramly, Persamaan Dihadapan Hukum di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985. Masu R.Reny "Hakim Pengawas dan Pengamat Peran dan Tanggung Jawab Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana'. Tesis pada Program Pascasarjana Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1998. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1992. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1992. Mulyana, Slamet, Perundang-undangan Madjapahit, Jakarta : Bhatara, 1967. Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : PT. Eresco, 1989. Reksodiputro, Mardjono,, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum d/n Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997. ________,'Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, Jakarta : Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum d/n Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997. Seno Adji Oemar, Hukum Acara Pidana dalam Perspektif, Jakarta Erlangga, 1984. Soewardi, Wardono, Hukum Adat Laut di Teluk Yos Sudarso, Jakarta Pradya Paramita, 1979.
67
Soehino, Hak-hak Asasi Manusia Ditinjau dari Segi Undang-undang dasar 1945 Mimbar Hukum No.17, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1995. Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1983. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta : Penerbitan Universitas, 1958. Wahid, Abdul, Menggugat Idialisme KUHAP, Bandung : 1987. Jusrida Tara "Reformasi Hukum Sistem Peradilan Pidana di Indonesia", Makalah Seminar Sistem Peradilan Pidana di Masa Depan Dalam Era Polri Mandiri, tanggal 14 Juni
68