JURNALISME PERJALANAN DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP PUBLIK
MAKALAH NON-SEMINAR
Oleh :
Zulfadila Hira – 1206252625
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DESEMBER 2015
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah ini diajukan oleh Nama . ZULFADILA HIRA NPM : 1206252625 Program Studi : llmu Komunikasi Fakultas : llmu Sosial dan llmu Politik : Makalah Non Seminar Jenis Karya Nama Mata Kuliah : Judul Karya llmiah : JURNALISME PERJALANAN DAN TANGGUNG JAWAB TERHADAP PUBLIK
Telah disetujui oleh dosen pengajar mata kuliah untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya imiah sivitas akademika Universitas lndonesia
EE
Dosen Mata Kuliah
Ditetapkan di : Depok
Tanggal
: 14 Desember 2015
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
\
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas lndonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini
:
: ZULFADILA HIRA
Nama NPM Program Studi Departemen Fakultas Jenis Karya
.1206252625 : Jurnalisme : llmu Komunikasi : llmu Sosial dan llmu
Politik
r
,
r
:Skripsi/Te=lsloi,"rt"'ilffi'm.'...'N\qr.o\gh..'.hl.q'$...'!$'nar :-.: ----Z
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas lndonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Rightl atas karya ilmiah saya yang berjudul:
jr:)A:
rA)GGUI\'G:AWAB
sME PERIALANAN
?A)
IER:|ADA:
":":i:
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas lndonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. : Depok Dibuat di Pada tanggal : 14 Desember 2015
( zuL r.aD " Contoh Karya llmiah. makalah non seminar, laporan kerja praktek, laporan magang, dll
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS
Yang bertanda tangan di bawah ini: : Drs, AWANG RUSWANDI, M,Si Nama
NIP/NUP
: 196001 131989031003
adalah pembimbing dari mahasiswa S1/S2/S3/Profesi/Spesialis;: : ZULFADILA HIRA Nama
: 1206252625
NPM Fakultas
: llmu Sosial dan llmu Politik : llmu Komunikasi Program Studi Judut Naskah Ringkas : JURNALISME PERJALANAN DAN TANGGUNG JAWAB
TERHADAP PUBLIK
menyatakan bahwa naskah ringkas initelah diperiksa dan disetujui untuk (pilih salah satu dengan memberi tanda
silang): -
.//
/ ,
/-
'
!-
VDapatdiakses di UIANA (lib.ui.ac'id)^ sqa,
I Tidak dapat diakses di UIANA karena:
D
Data yang digunakan untuk penulisan berasal dari instansi tertentu yang bersifat konfidensial,
I !
Akan ditunda publikasinya mengingat akan atau sedang dalam proses pengajuan Hak Paten/Hak CiPta hingga tahun Akan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar Nasional yaitu: yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan
!
tahun
Akan ditulis dalam bahasa lnggris dan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar lnternasional Yaitu: yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan tahun
n
Akan diterbitkan pada Jurnal Program Studi/Departemen/Fakultas yang diprediksi akan dipublikasikan pada
n
bulan
,.. tahun
Akan ditulis dalam bahasa lnggris untuk dipersiapkan terbit pada Jurnal lnternasionalyaitu: yang diprediksi akan dipublikasikan pada
.pilih
... tahun
Akan diterbitkan pada Jurnal Nasionalyaitu: yang diprediksi akan dipublikasikan pada
n
bulan
di Ulyaitu:
bulan
... tahun
salah satu
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
Jurnalisme Perjalanan dan Tanggung Jawab terhadap Publik Zulfadila Hira Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Terlepas dari perkembangan pesat industri pariwisata yang menyebabkan berkembang pula kegiatan dan produk jurnalisme perjalanan, masih sedikit akademisi dan praktisi yang melakukan studi mengenai jurnalisme perjalanan. Salah satunya, Folker Hanusch (2010) yang melalui artikel akademiknya memaparkan signifikansi serta memformulasikan empat dimensi dari jurnalisme perjalanan, yakni mediasi kultural, standar etika, orientasi pasar, dan aspek motivasi. Penulis melakukan review terhadap artikel tersebut dengan melakukan komparasi dengan tesis Candeeda R. Hill-James (2006), di mana ia menekankan tanggung jawab jurnalis perjalaan untuk mengangkat hakikat wisata di ruang publik, agar dapat memperoleh kerangka kerja jurnalisme perjalanan yang lebih komprehensif. Meskipun pada konsep dasar jurnalisme perjalanan keduanya memiliki pandangan yang sama, tetapi pada analisis turunannya terdapat beberapa perbedaan yang menunjukkan kompleksitas jurnalisme perjalanan.
Travel Journalism and Responsibilites to the Public Abstract Apart from the boom of tourism industry and as the consequence is the parallel growth of travel journalism activites and products, this area is somewhat neglected and under-researched. One of the few studies was done by Folker Hanusch (2010) to examine the significance as well as to propose four dimensions of travel journalism, which are cultural mediation, ethical standards, market orientation, and motivational aspect. This article review aims to further elaborate his article by comparing to Candeeda R. Hill-James’s thesis (2006), in which she emphasizes the travel journalists’ responsibilites to bring private tourist activites into public realm, to achieve much more comprehensive framework of travel journalism. Despite some similiraties on the ground concept regarding travel journalism, some differences could be found later on each of their analysis showing the complexity of travel journalism. Keywords: Travel Journalism; Journalistic Responsibility; Journalistic Ethics; Investigative Journalism; Tourism
Pendahuluan “A well-informed consumer is an empowered holidaymaker who when given the correct facts is enabled to make a quality discerning decision.” (Holiday Travelwatch, 2005) Kemajuan teknologi informasi yang cepat mendorong perkembangan media massa, termasuk bidang jurnalistik. Beragam studi jurnalisme dalam lingkup nasional maupun antar-
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
negara dilakukan untuk melakukan studi terhadap fenomena sekaligus mengimbangi perkembangan ini. Munculnya jurnal-jurnal internasional seperti, Journalism Studies, Journalism Practice dan Journalism: Theory, Principles, Criticism menunjukkan kematangan jurnalisme sebagai cabang ilmu (Hanusch, 2010: 68). Namun, salah satu jenis jurnalisme yang masih disepelekan dan sedikit mendapat perhatian akademisi dan praktisi, meskipun memegang peranan penting yang sama dalam mengonstruksi realita dan persepsi masyarakat, adalah jurnalisme perjalanan (travel journalism) (Fürsich dan Kavoori, 2001: 149; Hanush, 2010: 68). Jurnalisme perjalanan masih dipandang sebelah mata karena dinilai bisa ditulis siapa pun yang berwisata dan berada pada ‘area abu-abu’ antara hiburan (entertainment) dan nilai berita (news) (Hanusch, 2010: 69). Padahal ketika melakukan perjalanan atau berwisata, masyarakat keluar dari ‘zona aman’ mereka dan masuk ke lingkungan asing penuh risiko kenyamanan dan keamanan, kesehatan, sosial-budaya, ekonomi, hingga politik (Hill-James, 2006: 23). Hill-James (2006: 108) dalam sebuah risetnya mengambil contoh liputan advertorial pariwisata Malaysia di surat kabar The Australian yang terbit selama Juli-Agutus 2004. Malaysia digambarkan sebagai destinasi wisata tandingan Singapura dengan tidak memunculkan identitas muslim yang sebetulnya sarat di negara tersebut. Salah satu informannya ketika berkunjung untuk pertama kali ke Malaysia merasa terkecoh dengan informasi tersebut. Ia terkejut dengan kultur Islam yang begitu kental, bahkan di beberapa tempat dia merasa tidak nyaman karena merasa salah berpakaian. Hal ini mengindikasikan bahwa sudah menjadi salah satu tugas dan tanggung jawab jurnalis perjalanan lah untuk mempersiapkan publik dengan informasi yang komprehensif dan berimbang, tidak hanya tentang keindahan dan kenikmatan daerah wisata, sebagaimana yang dilakukan penyedia jasa pariwisata (Hill-James, 2006). ‘Area abu-abu’ antara berita dan hiburan yang dipertentangkan banyak pihak justru dapat dipersandingkan dan pada saat yang sama dilihat sebagai ‘beauty’ dan ‘brain’ dari media (Hill-James, 2006: 3). ‘Beauty’ karena kedekatan, nilai hiburan, serta liputan kegiatan yang menyenangkan memicu khalayak untuk mengejar kebahagiaan. Namun, jurnalisme perjalanan juga membutuhkan ‘brain’ untuk menyediakan informasi dan memberikan konteks terhadap berita isu internasional, politik, dan ekonomi untuk mempersiapkan khalayak sebagai wisatawan sekaligus warga masyarakat (Hill-James, 2006: 3). Fürsich dan Kavoori (2001: 150-154) menjabarkan lima faktor yang menyebabkan perlunya kajian lebih mendalam mengenai jurnalisme perjalanan, yaitu
2
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
(1) “The boom of tourism industry” (2001: 150) Industri pariwisata di hampir seluruh belahan dunia terus mengalami pertumbuhan positif, bahkan beberapa negara khususnya negara berkembang menggantungkan pertumbuhan ekonominya pada sektor pariwisata. (2) “Tourism and its impact remain under-studied” (2001: 152) Studi tentang pariwisata beserta dampaknya mayoritas menggunakan perspektif industri untuk memaksimalkan keuntungan melalui strategi pemasaran, mengabaikan dampak sosial-kultural pariwisata terhadap masyarakat. (3) “Leisure as a significant social practice” (2001: 152) Rekreasi merupakan praktik sosial yang signifikan terutama di kehidupan masyarakat kontemporer yang sangat menghargai waktu bersantai setelah bekerja keras. (4)“Travel journalism as an important site for international communication research” (hal. 153) Bergerak paralel dengan pertumbuhan angka perjalanan wisata adalah pertumbuhan jumlah produk jurnalisme wisata, baik berupa rubrik khusus di surat kabar, majalah, portal media online, juga program televisi. Mereka berfungsi sebagaimana berita internasional dalam memberikan informasi dan kerangka kultural dalam representasi ‘others’ (peristiwa dan budaya berbeda). Hal ini menjadikan jurnalisme perjalanan sumber penting untuk riset komunikasi internasional. (5) “The special contingencies of travel journalism” (2001: 154) Kedekatan bidang pariwisata dengan bidang periklanan dan public relations membuat evaluasi terhadap produk jurnalisme perlu segera dilakukan karena dapat mengancam aspek objektivitas dan imparsialitas dari jurnalisme perjalanan. Hanusch pada tahun 2010 menulis artikel akademik berjudul “The Dimensions of Travel Journalism: Exploring New Fields for Journalism Research Beyond The News” untuk melengkapi kerangka kerja Fürsich dan Kavoori di atas (Hanusch, 2010: 69). Artikel yang dimuat pada jurnal Journalism Studies volume 11 nomor 1 tahun 2010 ini tidak sekadar menekankan pentingnya studi jurnalisme perjalanan yang lebih mendalam, tetapi juga memformulasikan empat dimensi jurnalisme perjalanan, yakni mediasi kultural, orientasi pasar, aspek motivasi, dan standar etik. Kemunculan dimensi ini memicu ketertarikan penulis untuk melakukan review terhadap artikel akademik tersebut melalui komparasi dengan tesis Candeeda Rennie Hill-James (2006) yang memaparkan tanggung jawab jurnalisme perjalanan terhadap khalayaknya sebagai individu (turis) dan pada saat yang sama kegiatan wisatanya berada pada ruang publik. Review ini diharapkan dapat memberikan kerangka berpikir yang
3
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
lebih komprehensif sekaligus praktis untuk menganalisis dan meniliti lebih jauh proses maupun produk jurnalisme perjalanan, khususnya di Indonesia. Definisi Jurnalisme Perjalanan Sebelum menjabarkan kerangka berpikir jurnalisme perjalanan di artikel jurnalnya, Hanusch terlebih dahulu menjabarkan pengertian jurnalisme perjalanan itu sendiri. Istilah ‘travel journalist’ dan ‘travel writer’ sering dipertukarkan dalam penggunaannya sehingga menyulitkan untuk membuat garis pemisah antara jurnalisme perjalanan sebagai bagian dari jurnalisme atau literatur (Hanusch, 2010: 69). Namun, Fürsich dan Kavoori dalam Hanusch (2010: 71) menekankan pencarian dan penyampaian kebenaran sebagai fondasi jurnalisme untuk membedakan para jurnalis perjalanan dengan ‘travel writer’ yang dapat memasukkan unsur fiksi ke dalam tulisan mereka. Pekerjaan yang lebih sulit adalah mendefinisikan siapa yang dapat dikategorikan sebagai jurnalis perjalanan. Mereka yang bekerja untuk jurnalisme perjalanan dapat berasal dari kategori yang lebih heterogen daripada jurnalis berita pada umumnya (Hanusch, 2010: 71), misalnya banyak dari mereka adalah freelancer (jurnalis yang tidak menetap di satu media tertentu) dan stringer (jurnalis suatu media tetapi dibayar per karya yang dipublikasikan). Hanusch pun menekankan perlunya studi lebih mendalam mengenai pengelompokkan jurnalisme perjalanan berdasarkan karakteristik, sistem dan persepsi kerja, serta standar dan etika yang dapat mempengaruhi proses dan produk dari jurnalisme perjalanan itu sendiri. Sementara itu, Hill-James (2006: 94) mendefinisikan jurnalisme perjalanan sebagai berikut, “As part of journalism, travel journalism should posses attributes such as truthfulness, balance, and informing the audience to ultimately perform as citizens, albeit within the sphere of the travelling audience. If journalists responsibility to the public, a travel journalist’s duty is to have responsibility to help the travel audience to become a public.” Namun, lebih jauh dapat ditemukan dalan tesis Hill-James bahwa para jurnalis perjalanan menghadapi pertimbangan pragmatis dalam pencarian kebenaran, yakni hambatan waktu dan biaya, hambatan akses dan bahasa asing, serta dibutuhkannya kemampuan beradaptasi dengan budaya yang berbeda (2006: 27). Jurnalis perjalanan dapat menggunakan keadilan dan keberimbangan (‘fairness’ dan ‘balance’) dalam usaha mencari kebenaran
4
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
melalui penggunaan multi-sumber dan proses verifikasi. Jurnalis perjalanan pun dapat melaporkan pengalaman negatif beserta alasan di balik itu. Idealnya liputan juga harus mencantumkan ‘suara’ dari penduduk lokal, tidak hanya orang-orang di balik industri pariwisata (Hill-James, 2006: 28). Liputan perjalanan sebagai produk dari jurnalisme perjalanan mengandung beragam aspek, antara lain kebudayaan, sejarah, ekologi, bisnis, rekreasi, dan petualangan (Thapaliya, 2013: 3). Dimensi Jurnalisme Perjalanan Dari sedikit sumber akademik mengenai jurnalisme perjalanan, Hanusch (2010) berhasil menyusun sebuah kerangka kerja teoritis yang berisikan empat dimensi sebagai landasan untuk studi jurnalisme perjalanan. Dimensi ini terdapat dalam artikel akademiknya yang berjudul, The Dimensions of Travel Journalism: Exploring New Fields for Journalism Research beyond the News. Empat dimensi jurnalisme perjalanan tersebut adalah, a. Representasi Budaya Asing (Cultural Mediation) Tujuan dari keberadaan jurnalisme perjalanan adalah untuk merepresentasikan ‘otherness’, sesuatu atau seseorang yang lain, berbeda, di luar kebiasaan (Hanusch, 2010: 71). Mayoritas hasil studi yang telah dianalisis oleh Hanusch menunjukkan adanya marginalisasi terhadap ‘the other’ yang merupakan masyarakat, adat, dan budaya lokal. Beberapa studi yang dijadikan contoh, di antaranya studi Hanefors dan Mossberg dalam Hanusch (2010: 72) mengenai liputan wisata di televisi Swedia yang fokus utamanya terletak pada presenter bukan orang lokal di destinasi wisata. Termasuk di dalamnya fokus liputan terhadap stereotip negatif, seperti risiko kesehatan dan keamanan saat berwisata di negara dunia ketiga, termasuk Indonesia (Hanusch, 2010: 72). Hanusch (2010: 72) juga menyadari akan argumentasi bahwa seorang jurnalis perjalanan harus dapat memproduksi cerita untuk memotivasi publik melakukan perjalanan atau berwisata. Menceritakan pengalaman wisata dari sudut pandang jurnalis perjalanan sebagai sesama orang asing merupakan taktik agar publik merasa dekat. Namun, dengan memarginalisasi destinasi wisata yang sebenarnya, jurnalis perjalanan justru menunjukkan sisi egois dari wisata alih-alih menekankan wisata sebagai kesempatan untuk berinteraksi dan belajar dari budaya lain. Jurnalisme perjalanan tidak dapat memenuhi tanggung jawabnya secara utuh kepada publik dan kehilangan kesempatan untuk memperdalam pemahaman interkultural (interculutral understanding) publik (Hanusch, 2011: 21). Hal ini menjadi krusial karena penggambaran destinasi wisata oleh media massa
5
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
memainkan peranan besar dalam membentuk ekspektasi publik ketika mereka mengunjungi tempat tersebut untuk pertama kali (Mercille dalam Hanusch, 2010: 72). b. Standar Etika (Ethical Standards) Liputan perjalanan wisata, apalagi ke negara yang berbeda, tidak dapat dipungkiri membutuhkan biaya yang banyak. Hal ini menyebabkan jurnalisme perjalanan sangat tergantung pada sponsorhip dari industri wisata yang tentu saja membawa banyak dampak etis (Hanusch, 2010: 73). Dilema etika terbesar dalam bidang jurnalisme perjalanan ialah bagaimana para jurnalis perjalanan atau pun media di mana mereka bernaung menyikapi tawaran meliput wisata gratis dari industri pariwisata dan jika benar apakah kemudian mereka wajib mengungkapkan fakta ini ke publik (Hanusch, 2010: 73). Alexander Elliot dalam Hanusch (2010: 73) menyatakan industri wisata tidak pernah secara terbuka meminta liputan positif terhadap suatu destinasi wisata. Terlepas dari permintaan secara terbuka maupun terselubung dari industri pariwisata, rasa ‘berhutang budi’ dapat mempengaruhi objektivitas jurnalis, dengan pertimbangan agar kembali ditawari kesempatan meliput perjalanan atau kekhawatiran mereka akan berhenti beriklan. Studi
empiris
dibutuhkan
untuk
melihat
bagaimana
jurnalis
perjalanan
mempersepsikan sponsor perjalanan gratis ini dan sejauh apa hal ini mempengaruhi hasil liputan mereka. Begitu pula studi mengenai persepsi khalayak terhadap konflik kepentingan ini, apakah mereka mengharapkan adanya transparansi mengenai sponsor liputan dan apakah fakta ini nantinya akan mempengaruhi penilaian mereka terhadap kredibilitas liputan (Hanusch, 2010: 74). c. Orientasi Pasar (Market Orientation) Dikotomi jurnalisme perjalanan: fungsi pemenuhan informasi publik sekaligus bagian dari gaya hidup (lifestyle), memunculkan dimensi orientasi pasar dalam jurnalisme perjalanan Hanitzsch dalam Hanusch (2010: 74). Jurnalis perjalanan yang lebih menekankan informasi praktis dan netral dalam liputan mereka, menempatkan diri sebagai pengamat yang kritis dan penyedia edukasi bagi publik, dapat digolongkan ke dalam jurnalisme perjalanan berorientasi pasar rendah. Sedangkan sebaliknya, jurnalis perjalanan yang menekankan liputan pada sisi menyenangkan (fun) dari destinasi wisata dan bertujuan untuk menghibur khalayaknya, dapat digolongkan ke dalam jurnalisme perjalanan berorientasi pasar tinggi Hanitzsch dalam Hanusch (2010: 75).
6
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
Namun, masih sedikit penelitian dilakukan untuk menganalisis dimensi orientasi pasar ini dari sudut pandang jurnalis perjalanan dan khalayak (Hanusch, 2006: 75). Penting untuk diketahui bagaimana para jurnalis perjalanan memposisikan diri mereka, apakah sebagai pemberi informasi ataukah cenderung kepada penyedia hiburan. Begitu pula khalayak, apakah mereka mengonsumsi produk jurnalisme perjalanan untuk mencari informasi terkait destinasi wisata yang ingin dikunjungi atau sekadar mencari hiburan untuk melepaskan diri dari kegiatan rutin sehari-hari (Hanusch, 2006: 76). Hal ini menjadi krusial, karena jika jurnalis perjalanan mengetahui ekspektasi dari khalayaknya, mereka dapat memenuhi kebutuhan tersebut meskipun dengan hambatan ekonomi (Hanusch, 2006: 76). d. Aspek Motivasi (Motivational Aspects) Motivasi jurnalisme perjalanan merupakan dimensi yang penting untuk dianalisis karena dapat menjadi penghubung antara apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab dari jurnalisme dan apa yang sebenarnya diinginkan oleh khalayak (Hanusch, 2010: 76). Hanusch juga menjabarkan motivasi dari jurnalis perjalanan yang didasarkan pada riset yang dilakukan Lischke (2006). Beberapa jurnalis perjalanan termotivasi dengan kesempatan berwisata sehingga ingin meneruskan motivasi ini kepada khalayaknya untuk juga pergi melakukan perjalaan yang sama. Jurnalis perjalanan seperti ini berfokus pada pengalaman menarik ketika berwisata. Ada pula jurnalis yang termotivasi untuk mengungkap sesuatu yang tidak kasat mata di destinasi wisata. Mereka berangkat dengan pendekatan kritis untuk menganalisis kehidupan masyarakat lokal dan industri pariwisata secara umum (Hanusch, 2010: 76). Tanggung Jawab terhadap Publik Tema jurnalisme perjalanan dibahas Hill-James dalam tesisnya yang berjudul Citizen Tourist: Newspaper Travel Journalism’s Responsibility to Its Audience. Dalam tesis ini HillJames melakukan tinjauan pustaka dari berbagai bidang ilmu, yakni jurnalisme, sosiologi, dan pemasaran (marketing). Tesis ini menekankan sifat publik dari kegiatan wisata beserta risikorisikonya dan kemudian menganalisis bagaimana jurnalisme perjalanan, sebagai sebuah praktik moral, bertanggung jawab terhadap publiknya. Hill-James juga melakukan analisis isi terhadap beberapa sampel surat kabar perjalanan di Australia untuk memberikan deskripsi liputan wisata internasional.
7
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
- Pentingnya Mengenali Khalayak dan Pariwisata sebagai Subjek Jurnalisme Perjalanan “It can be argued that travel journalists will be more responsible to their travelling audience if they know who tourists are, what they like and what motivates them, as marketers have gone to similar effort to entice the with commercial information” (Hill-James, 2006: 65) Dengan mempelajari studi-studi terdahulu, Hill-James membagi turis ke dalam tiga kategori umum beserta cara jurnalis perjalanan menyasar masing-masing kategori (2006: 5055), yaitu (1) Mass-tourist (2006: 51) Kelompok turis ini menghargai pengalaman wisatanya dari ketersediaan informasi, kualitas jasa, dan sumber daya finansial. Tanggung jawab jurnalis perjalanan untuk mereka adalah sebagai agen penyedia informasi. (2) Anti-tourist (2006: 52) Kelompok turis ini menjauh dari keramaian dan menyenangi pengalaman ‘otentik’ dengan berada sedekat mungkin dengan warga lokal. Urry dalam Hill-James (2010: 53) percaya bahwa hal apa pun berpotensi untuk menarik perhatian turis asalkan ada satu orang yang mengatakan demikian. Jurnalis perjalanan yang ingin menargetkan pesannya kepada antitourist haruslah menjadi satu orang tersebut. (3) Post-tourist (2006: 54) Kelompok turis ini sangat realistis, mereka sadar bahwa hakikat mereka sebagai turis akan selalu menjadi orang asing meskipun tinggal dekat warga lokal. Mereka sadar bahwa tidak ada pengalaman wisata yang sebenarnya (‘real’). Jurnalis perjalanan baiknya untuk tipe turis ini tidak menginformasikan pengelaman wisata yang dianggap ‘tepat’. Dari tipologi turis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa turis berwisata untuk mencari sesuatu yang berbeda dari tempat asal mereka (Hill-James, 2006: 65). Motivasi intrinsiknya bisa berupa pencarian otentisitas, nostalgia, romantisme, ekologi dan lingkungan, peningkatan kapasitas diri dan pendidikan, serta escapism. Hal-hal ini mengarahkan mereka untuk mencari atraksi eksternal lewat berwisata, seperti kebudayaan asing, keindahan alam, situs historis, petualangan, dan hedonisme. Pemahaman akan motivasi khalayak menjadi penting dalam jurnalisme perjalanan karena liputan yang mereka sajikan dapat pula dilihat sebagai sebuah ‘janji’, di mana apabila
8
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
tidak sesuai dengan keadaan sesungguhnya dapat mengecewakan bahkan membuat khalayak kehilangan kepercayaan terhadap jurnalisme perjalanan (Hill-James, 2006: 66). Kegiatan wisata yang berada di luar ruang sehari-hari khalayak membuat khalayak masuk ke wilayah penuh risiko, seperti terorisme, keselamatan transportasi, kesehatan, kriminalitas, dan konflik kultural (Hill-James, 2006: 93). Jurnalis perjalanan harus menyadari bahwa khalayak mendapatkan informasi dari beragam sumber yang saling berlomba satu sama lain, termasuk dari sumber dengan motivasi komersial, seperti iklan wisata (Hill-James, 2006: 33). Khalayak harus memeriksa ke banyak sumber untuk menyeimbangkan informasi yang dibutuhkan dengan pesan-pesan komersial, sehingga para jurnalis perjalanan harus menyesuaikan praktik jurnalistik agar lebih responsif terhadap kondisi ini (Hill-James, 2006: 40). Jurnalis perjalanan dituntut untuk dapat memberikan informasi yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya sebagai panduan khalayak di tempat dan situasi asing. - Juralisme Perjalanan: The Public Sphere of Travel Jurnalisme perjalanan mendapatkan banyak kritik dari dalam dunia jurnalisme sendiri karena dinilai memiliki standar penulisan yang lebih rendah dibandingkan dengan produk literatur perjalanan lainnya serta para jurnalis dinilai tidak bisa terbebas dari pengaruh komersial industri pariwisata dan periklanan (Hill-James, 2006: 94-95). Sebagian besar artikel perjalanan kekurangan aspek masyarakat dan dialog, bahkan untuk artikel mengenai kota padat penduduk (Hill-James, 2006: 99). Perbedaan bahasa dan keterbatasan menjadi alasan sebagian besar interaksi jurnalis perjalanan dilakukan dengan pemandu wisata sehingga masyarakat lokal hanya dijadikan bagian dari pemandangan alihalih sebagai sebuah kehidupan di destinasi wisata tersebut (Hill-James 2006: 100). The International Institute for Peace and Tourism dalam Hill-James (2006: 138) menyatakan bahwa paparan informasi antar-budaya (cross-culture exposure) akan mengurangi dampak globalisasi yang mempertemukan budaya yang berbeda, seperti meningkatnya risiko terorisme, perang, dan kesenjanga ekonomi. Hal ini dimungkinkan karena akan terbentuknya publik wisata yang peka terhadap perbedaan budaya dengan daerah asal mereka. Individu maupun kelompok yang melakukan perjalanan wisata (turis) memiliki kemampuan untuk mempromosikan pemahaman global (global understanding) dan solusisolusi untuk menciptakan perdamaian melalui kontak langsung dengan budaya lain (Weissman, 2002).
9
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
Hill-James (2006: 28) menambahkan bahwa ancaman etis tidak hanya datang dari perusahaan atau pengiklan yang mengirim para jurnalis untuk meliput di destinasi wisata tertentu, tetapi jurmalis perjalanan juga tidak bisa lepas dari pemerintah daerah tujuan. Pemerintah menyediakan visa, akses, serta informasi politik dan keamanan untuk para jurnalis perjalanan dengan pertimbangan menjadikan media perjalanan cara untuk meningkatkan turisme daerah. Di sisi lain, jurnalisme perjalanan dapat menjadi bisnis yang menjanjikan karena sangat berpotensi untuk menarik perhatian pengiklan (Hill-James, 2006: 107). Para jurnalis perjalanan terjebak dilema etis karena masuknya pengaruh komersial, tapi pada saat yang sama liputan perjalanan membutuhkan modal finansial yang umumnya tidak mampu disediakan oleh media di mana mereka bekerja (Hill-James, 2006: 110). Usaha yang dilakukan beberapa media dengan mengungkapkan secara terbuka mengenai penanggung biaya liputan perjalanan dapat menimbulkan dua interpretasi yang berbeda, yaitu bersikap etis karena terbuka terhadap publik atau justru dipandang sebagai cara untuk mempublikasikan kesempatan mensponsori liputan perjalanan (Hill-James, 2006: 163). Problematika ini dapat mencoreng kredibilitas jurnalisme sehingga jurnalisme kehilangan otoritas kulturalnya (cultural authority) untuk menentukan apa yang penting bagi publik (Hill-James, 2006: 113). Menurut Hintz dalam Hill-James (2006: 113), jurnalis perjalanan harus memiliki profesionalitas yang sama seperti jurnalis politik dan kriminal dengan tantangan ekstra, yakni bahaya fisik, ancaman kesehatan dan kriminal akibat meliput dari wilayah asing. Cara terbaik bagi jurnalis perjalanan untuk mengatasi tekanan marketing ini adalah dengan mengubah reputasi mereka dari menitik beratkan liputan pada sisi ‘harmless private fun’ ke ‘pleasurable but serious public issue’ (Hill-James, 2006: 110). Wisata dan jurnalisme perjalanan umumnya dianggap hanya berhubungan dengan ruang dan aktivitas privat sehingga kurang relevan bagi publik dan kehilangan makna sosial dan politiknya (Fürsich dan Kavoori, 2001: 152). Perlu disadari bahwa turis sebagai bagian dari warga masyarakat memiliki kekuasaan (power) dalam bertindak. Turis melalui aktivitas konsumsi nya saat berwisata dapat mempengaruhi pasar dan jasa pariwisata serta dapat melakukan aksi bersama untuk menjamin kepuasaan berwisata (travel satisfaction) sebagai bagian dari hak demokratis (Hill-James, 2006: 139). Jurnalis perjalanan haruslah menyadari hal ini sehingga melalui produk jurnalisme nya dapat menyadarkan turis akan perannya yang lebih besar, sebagai warga masyarakat yang bersama masyarakat lain berbagi ruang dan kepentingan publik.
10
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
Selain itu, jurnalisme perjalanan baiknya menyediakan informasi yang membentuk opini publik dan membangun komunitas (Hill-James, 2006: 143). Mendapatkan Respek Publik: Jurnalisme Perjalanan Investigatif Jurnalis perjalanan dapat belajar dari jurnalisme medis (‘medical journalism’) yang juga pernah dianggap korban promosi dan praktik public relations Cassels dalam Hanusch ( 2006: 115). Jurnalisme medis berhasil memanfaatkan ‘keseriusannya’ dan menekankan aktivitas medis sebagai bagian dari ruang publik (Hill-James, 2006: 115). Ia pun menegaskan bahwa, “If travel journalists could produce journalism that tourists considered important destination information and have travel recognised as a public activity, the influence of advertising pressure upon them may also be scrutinised and remedied.” Metode investigasi dapat diaplikasikan ke jurnalisme perjalanan untuk memenuhi kepentingan publik dan memenuhi tanggung jawab khalayak wisata (turis) sebagai warga masyarakat (Hill-James, 2006: 120). Cara yang dapat dilakukan adalah tidak sekadar menampilkan fakta dan nama terkait jasa pariwisata dan melupakan konteks untuk khalayak serta menggunakan lebih dari satu jurnalis untuk meliput destinasi wisata tertentu. Hal ini karena isu-isu kompleks pariwisata, seperti keamanan dan terorisme, meningkatnya jumlah wisatawan independen, kompetisi di antara penyedia jasa perjalanan seperti pesawat terbang, serta pertumbuhan pesat destinasi wisata baru yang tidak bisa dijelaskan dengan sekadar memaparkan fakta (service-oriented checklist journalism) (Hill-James, 2006: 123). Meskipun lebih sering digunakan dalam liputan politik, hukum, dan ekonomi (hard news), metode investigasi pada jurnalisme perjalanan dapat lebih fleksibel dengan fokus kepada tanggung jawab sosial para jurnalis perjalanan untuk mengungkapkan ‘kebenaran’ (truthfulness) yang signifikan terhadap komunitas masyarakat (Hill-James, 2006: 125). Dengan mempertajam kepekaan sosial dan terus bertanya ‘mengapa?’, dapat membuka mata jurnalis perjalanan untuk melihat permasalahaan sosial di destinasi wisata, misalnya dengan melihat perilaku para pekerja hotel dan membandingkan level pekerjaan mereka dengan pekerjaan lain (Hill-James, 2006: 124). Jurnalisme perjalanan investigatif harus bertujuan untuk menyadarkan turis bahwa mereka ‘penguasa’ di ruang publik komersial ini, bukan sekedar konsumen penawaran industri perjalanan (Hill-James, 2006: 126). Metode investigasi yang lebih fleksibel bisa dilakukan oleh jurnalis perjalanan untuk menghemat pengeluaran dan waktu, yakni dengan memanfaatkan materi riset yang sudah ada,
11
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
seperti berita lokal pada umumnya hingga berita internasional dengan memberikan konteks terhadap berita-berita tersebut (Hill-James, 2006: 126). Sentuhan kemanusiaan dan ‘human interest’ pada berita internasional, politik, dan bencana dapat meningkatkan kredibilitas dan respek publik terhadap jurnalisme perjalanan (Hill-James, 2006: 132). - Hasil Analisis Liputan Perjalanan di Surat Kabar Australia Untuk melengkapi studi literaturnya mengenai jurnalisme perjalanan, Hill-James melakukan analisis isi terhadap tiga surat kabar mainstream di Australia, yakni The Australian, The Courier-Mail, dan The Sunday Mail dalam jangka waktu enam bulan dari April 2004 dengan sampel berjumlah 318 artikel perjalanan internasional (Hill-James, 2006: 15). Hal ini dilakukan dengan tujuan mengidentifikasi karakteristik jurnalisme perjalanan pada media cetak untuk memberikan perbandingan antara praktik jurnalisme perjalanan saat ini dengan konsep-konsep yang ia jabarkan dari hasil studi literaturnya (2006: 16). Bagianbagian yang dianalisis, di antaranya format dan topik artikel, target khalayak, pemaparan risiko publik, jenis penulis artikel, isu periklanan, serta kedalaman investigasi. Hasilnya, 40% halaman dipergunakan untuk iklan dan sebagian besar artikel meliput destinasi wisata di luar Australia, khususnya Eropa Barat, dengan 70% artikel berupa layout bukan teks. Kelompok turis yang paling banyak disasar adalah kelompok mass-tourist. Risiko wisata di daerah destinasi seringkali diabaikan dalam artikel jurnalisme perjalanan (HillJames, 2006: 173-174). Satu per tiga dari jurnalis merupakan freelancer dengan pembagian kontribusi seimbang antara staf lokal dengan kontributor asing. Sebagian besar artikel menyediakan informasi fungsional, umumnya dengan pemberian tips dan deskripsi pengalama berwisata. Namun, jurnalis perjalanan belum memberikan pemahaman kultural terhadap pembacanya dengan mengabaikan masyarakat lokal dan menggambarkan aktivitas wisata sebagai seluruhnya positif dan menyenangkan (2006: 74). Artikel yang isinya telah menunjukkan tanggung jawab terhadap kepentingan publik berjumlah 20% dari total sampel. Antara Hanusch dan Hill-James Artikel jurnal Hanusch (2010) dan tesis Hill-James (2006) berangkat dari latar belakang permasalahan yang sama, yakni jurnalisme perjalanan yang dianggap tidak signifikan untuk dikaji jika dibandingkan dengan jenis jurnalisme lainnya, khususunya yang beraliran lebih ‘serius’. Keduanya pun memaparkan argumentasi yang senada, di mana industri pariwisata, termasuk di dalamnya kebutuhan akan informasi perjalanan, terus mengalami pertumbuhan positif. Selain itu, jurnalisme perjalanan juga memegang peranan
12
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
penting terutama sebagai media representasi dan pembentukan image budaya asing sehingga jurnalis perjalanan memiliki tanggung jawab moral dan sosial terhadap publik yang sama besar dengan jurnalis hard news lainnya. Begitu pula dalam peletakkan kebenaran (‘truthfulnes’) sebagai akar pembeda antara jurnalisme perjalanan dengan literatur perjalanan lainnya. Persamaan yang muncul akibat ketertarikan dua peneliti terhadap bidang lifestyle journalism ini berangkat dari latar pendidikan yang sama. Folker Hanusch merupakan fellow research di bidang jurnalisme, media, dan komunikasi di Fakultas Industri Kreatif, University of Queensland, begitu pula dengan Candeeda R. Hill-James yang menuliskan tesisnya untuk lulus dari fakultas dan universitas yang sama. Mereka pun merujuk kepada beberapa literatur yang sama untuk studi masing-masing, seperti artikel jurnal Fürsich dan Kavoori (2001). Namun, studi literatur yang dilakukan Hanusch berhasil membuahkan empat dimensi jurnalisme perjalanan yang tidak ditemukan dalam Hill-James untuk dipergunakan dalam analisis isinya. Hal ini dimungkinkan mengingat pengetahuan Hanusch di bidang jurnalisme gaya hidup secara umum, khususnya di bidang jurnalisme perjalanan, lebih mumpuni. Sejak tahun 2003, ia sudah melakukan studi di bidang peliputan internasional, antara lain Coverage of International and Pacific News in the Fiji Times and The Australian (2003), Mapping Australian Journalism Culture: Results from a Survey of Journalists’ Role Perceptions (2008), dan The New Mediators of Distant Cultures: Travel Journalists and Their Role in a Transforming Media Environment (2009) (http://folkerhanusch.com/about/publications/). Artikel jurnal Hanusch yang diterbitkan empat tahun setelah tesis Hill-James juga memungkinkan Hanusch untuk memiliki lebih banyak referensi untuk membangun dimensi jurnalisme perjalanan. Meskipun tidak berupa dimensi, beberapa konsep dalam dimensi Hanusch juga muncul dalam tesis Hill-James. Pertama, mengenai kebutuhan jurnalis perjalanan untuk memahami target khalayaknya yang sesuai dengan dimensi orientasi pasar dari jurnalisme perjalanan. Hill-James bahkan menambahkan motivasi intrinsik khalayak (push factor) dan atraksi eksternal destinasi wisata (pull factor) ke dalam konsep pemahaman khalayaknya yang tidak dapat ditemuakan di artikel jurnal Hanusch. Kedua, Hill-James juga menyoroti peran jurnalisme perjalanan dalam merepresentasikan ‘otherness’ seperti dalam dimensi mediasi kultural. Ketiga, isu penetrasi kepentingan komersial pada produksi jurnalisme perjalanan juga disinggung oleh Hill-James sebagaimana Hanusch dalam dimensi standar etikanya. Dalam tesisnya, Hill-James juga memasukkan isu penarikan hakikat turis dan kegiatan wisata privatnya menjadi bagian warga masyarakat yang beraktivitas di ruang publik sehingga
13
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
dapat menaikkan derajat kepentingan publik dari jurnalisme perjalanan. Selain itu, pada tesis Hill-James juga bisa ditemukan metode investigasi sebagai cara lain untuk meningkatkan kredibilitas jurnalisme perjalanan. Kedua isu ini tidak dapat ditemukan dalam artikel jurnal Hanusch. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pendekatan ilmu yang digunakan oleh dua peneliti ini. Hanusch setia pada bidang ahlinya, yakni journalism culture, comparative communication research,
indigenous
journalism,
lifestyle
and
travel
journalism
(http://staff.qut.edu.au/staff/hanusch/) dengan pendekatan studi kajian budaya, sedangkan Hill-James memasukkan pendekatan ilmu sosiologi dan pemasaran (marketing). Aspek aktivitas wisata di ruang publik dapat dilihat sebagai manifestasi ilmu sosiologi yang dipergunakan Hill-James dan tidak tampak dalam artikel jurnal Hanusch. Perbedaan lain yang cukup signifikan terletak pada bentuk penelitian yang didasarkan pada metode beserta tujuan. Bentuk penelitian Hanusch merupakan bagian dari penelitian pengembangan (development research) untuk memperkaya kerangka teoritis jurnalisme perjalanan. Secara kritis ia me-review konsep-konsep terdahulu dengan membandingkannya satu sama lain sehingga ia berhasil merumuskan dimensi sebagai kerangka teoritis untuk studi selanjutnya. Selain dimensi, ia juga banyak mengemukakan rekomendasi isu untuk memicu penelitian empiris selanjutnya, seperti bagaimana persepsi publik terhadap konflik kepentingan jurnalis dan industri terkait standar etika produksi jurnalisme perjalanan serta apa yang memotivasi khalayak ketika mengonsumsi produk jurnalisme perjalanan, apakah untuk pemenuhan informasi ataukah sekadar mencari hiburan. Meskipun Hill-James juga mengontraskan beberapa konsep yang ia temukan saat melakukan kajian literatur, bentuk penelitian tesisnya bersifat deskriptif untuk memberikan gambaran kondisi jurnalisme perjalanan saat ini, dengan melakukan analisis isi terhadap tiga surat kabar Australia. Kesimpulan Artikel jurnal Hanusch dan tesis Hill-James dapat dijadikan kerangka kerja yang cukup komprehensif untuk memulai penelitian lebih lanjut mengenai jurnalisme perjalanan (travel journalism) maupun acuan untuk mengevaluasi kinerjanya sejauh ini. Keduanya sepakat bahwa jurnalisme perjalanan masih kurang dikaji jika dibandingkan dengan jurnalisme lainnya. Padahal perkembangan pariwisata di berbagai belahan dunia relatif terus melaju berdampak pada berkembangya produk-produk jurnalisme perjalanan dalam berbagai medium. Hakikat jurnalisme perjalanan pun lebih dari sekadar menyampaikan informasi
14
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016
mengenai
sebuah
destinasi
wisata
dan
memberikan
rekomendasi
kegiatan
yang
menyenangkan untuk berwisata. Perbedaan mendasar dapat ditemukan pada karya Hanusch dan Hill-James, yaitu (1) penggunan dimensi pada penelitian Hanusch sedangkan Hill-James tidak, serta (2) munculnya pemikiran untuk mengangkat kegiatan wisata ke ruang dan bagian dari kepentingan publik serta metode investigasi jurnalisme pada Hill-James sedangkan pada Hanush tidak. Hal ini menunjukkan jurnalisme perjalanan sebagai bidang yang kompleks dan multi-disipliner sehingga perdebatan di antara sesama akademisi jurnalisme perjalanan maupun dengan akademisi jenis jurnalisme lainnya masih terjadi. Review artikel ini penulis harapkan dapat menjadi landasan untuk terus mengembangkan kerangka pemikiran akademis dari jurnalisme perjalanan maupun sebagai titik mula penelitian empiris jurnalisme perjalanan, khususnya di Indonesia yang sejauh pengetahuan penulis, belum pernah dilakukan. Riset empiris dibutuhkan untuk menguji asumsi dan temuan dari studi sebelumnya yang sebagian juga telah dipaparkan dalam review ini, sehingga ke depannya dapat mengembangkan teori dan konsep terkait jurnalisme perjalanan. Daftar Referensi Fürsich, Elfriede dan Kavoori, Anandam P.. (2001). Mapping a Critical Framework for the Study of Travel Journalism. International Journal of Cultural Studies, 4(2), 149-171. Hanusch, Folker. (2010). The Dimensions of Travel Journalism : Exploring New Fields for Journalism Research Beyond The News. Journalism Studies, 11(1), 68-82. Hanusch, Folker. (2011). Representations of Foreign Places Outside The News : An Analysis of Australian Newspaper Travel Sections. Media International Australia Incorporating Culture and Policy, 21-35. Hill-James, Candeeda Reenie. (2006). Citizen Tourist: Newspaper Travel Journalism’s Responsibility to Its Audience. Tesis Master. Queensland: Creative Industries Faculty of Queensland University of Technology. Holiday Travelwatch. The Goals of Holiday Travel Watch. http://www.holidaytravelwatch.com/ [Diakses pada 5 Desember 2015, 21.22 WIB] Swick, Thomas (2001). The Travel Section: Roads Not Taken. Columbia Journalism Review, Mei-Juni, 65-67. Waade, Anne Marit. (2009). Travel Series as TV Entertainment. Mediekultur: Journal of Media and Communication Research, 46, 100-116. Weissmann, Arnie. (2002). Fighting the Good Fight (from the Window Seat). Travel Weekly, 11 Februari 2002. http://www.travelweekly.com/Arnie-Weissmann/Fighting-the-good-fight [Diakses pada 5 Desember 2015, 20.29 WIB]
15
Jurnalisme perjalanan …, Zulfadila Hira Permana, FISIP UI, 2016