TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA
TESIS
Oleh
AGUSTINING 087011001/MKn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Agustining : Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, 2010.
2
TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh
AGUSTINING 087011001/MKn
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
3
Judul Tesis
: TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA Nama Mahasiswa : Agustining Nomor Pokok : 087011001 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum) Ketua
(Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum) Anggota
(Syahril Sofyan, SH, Mkn) Anggota
Ketua Program Studi,
D e k a n,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
(Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)
Tanggal Lulus : 24 Nopember 2009
4
Telah diuji pada Tanggal : 24 Nopember 2009
PANITIA PENGUJI TESIS Ketua
:
Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
Anggota
:
1. Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 2. Notaris Syahril Sofyan, SH, Mkn 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
5
ABSTRAK Tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana terjadi apabila notaris yang kewenangannya dalam ranah hukum administrasi dan hukum perdata, kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris karena keberadaan akta otentik notaris yang diharapkan memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh ternyata menimbulkan permasalahan bagi para pihak maupun pihak lain yang dirugikan. Atas permasalahan tersebut apabila terdapat alasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan notaris diantaranya bahwa notaris telah membuat surat palsu, atau memalsukan surat berdasarkan pasal 263 jo 264 KUHP maka notaris harus mempertanggung jawabkan akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana. Akibat permasalahan tersebut sehingga mengharuskan notaris hadir dalam pemeriksaan atau penyidikan perkara pidana di tingkat Kepolisian. Namun demikian untuk menghadirkan notaris dalam pemeriksaan perkara pidana sesuai amanat pasal 66 UUJN harus terlebih dahulu mendapat ijin dari Majelis Pengawas Daerah. Jenis penelitian tesis ini adalah penelitian normatif, dengan metode pendekatan penelitian yuridis normatif, artinya penelitian ini cenderung menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis. Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data primer data sekunder. selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif untuk membahas permasalahan berdasarkan peraturan perundangan dengan metode deduktif. Uraian hasil analisis dideskripsikan secara kualitatif dengan menggunakan interpretasi dan logika hukum sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat. Faktor yang mengharuskan notaris menghadiri panggilan penyidik pada pemeriksaan pidana adalah untuk mendapatkan keterangan dari notaris baik secara formil maupun materiil berkaitan dengan akta yang dibuat dan menimbulkan kerugian bagi para pihak maupun pihak lain, berdasarkan bukti awal bahwa notaris patut diduga turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana yaitu membuat surat palsu berdasarkan pasal 263 KUHP atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris berdasarkan pasal 266 KUHP. Majelis Pengawas Daerah berfungsi dan berperan terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan perkara pidana dengan memanggil dan mengadakan sidang majelis untuk memeriksa notaris terhadap dugaan adanya pelanggaran UUJN atau Kode Etik serta memberikan nasehat hukum, sebelum memberikan ijin atau tidak terhadap pemeriksaan notaris pada perkara pidana. Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, notaris seharusnya tidak mengahalalkan segala cara untuk mencapai profesionalnya, dengan demikian notaris terhindar dari ancaman hukuman pidana. Majelis Pengawas Daerah hendaknya disamping sebagai pengawas terhadap perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris, juga mempunyai fungsi
6
perlindungan khususnya berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah pada posisi notaris sebagai pejabat umum yang sedang melaksanakan tugas negara.
Kata kunci : Tanggung jawab notaris, Akta otentik, Indikasi perbuatan pidana.
7
ABSTRACT The responsibility of a notary public for an authentic act that indicates a criminal act takes place when a notary public whose administrative and civil authority, are then disqualified or they are considered as a criminal act conducted by a notary public because the condition of an authentic act which is expected to give legal assurance to some parties and as a complete and strong proof apparently causes problem to certain parties and other parties who suffer loss. In relation to the problem if there is good reason for taking the notary public to a criminal case, among others, because of a false letter or forging a document based on the article of 263 jo 264 of (KUHP) Criminal Law the notary must be responsible for the authentic act he/she has made. As a consequence, the notary must be present to be examined and investigated by the police. However to take a notary to the procedures of criminal act according to the article 66 of UUJN a permit from Majelis Pengawas Daerah (Regional Control Council) must be obtained. This is a normative thesis research using normative judicial approach, it means that the research tends to use primary legal material and secondary legal material. The characteristic of the research is descriptive - analytic. The primary and the secondary data were collected and then they were analysed and evaluated qualitatively in order to discuss the problem based on the regulations using deductive method. The result of analysis is described qualitatively using interpretation and logic of law in order to obtain a new picture or to strengthen the past picture in order to give useful suggestions. The factor that forces the notary public to accept the investigator’s summon to a criminal investigation is to collect information from the notary both formally and materially due to the act made and inflicted a loss to certain parties and other parties based on the initial proof that the notary was guessed to have participated or helped to commit a criminal act, i.e to forger a letter based on the article 263 of KUHP or to give false explanation to the notary act based on the article of 266 of KUHP. The Regional Control Council functions and plays a role to call the notary to the investigation of a criminal case by holding a council court to examine the notary due to the violation of UUJN or the code of ethics and also to give him/her legal advice before giving permission or not on the investigation of the notary. As a public official who is given responsibility to do part of a state’s task, a notary should not legalize any act in order to achieve his/her professionalism, that way the notary spared from criminal thread punishment. The Regional Control Council, besides being a body which supervises the act and behavior of the notary in performing his/her task as a notary, it also has protective function especially about presumption of innocence on the notary’s position as a public official who is performing a state’s task.
Keywords : Responsibility of a notary, An authentic act, Indication of criminal act.
8
KATA PENGANTAR
Sebagai umat beragama, pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan ridlo-Nya sehingga Tesis ini dapat penulis selesaikan dengan baik, walaupun penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan dikarenakan faktor teknis yang sangat terbatas. Tesis ini berjudul TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan segala keterbatasan penulis berharap kiranya tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia. Penulis menyadari bahwa tesis ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak utamanya komisi pembimbing, baik yang bersifat moril maupun materiil. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis dengan segala kerendahan hati menghaturkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis sebagai mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
9
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, juga selaku Pembimbing Utama penulis. 3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, dan Bapak Syahril Syofyan, SH, Mkn masing-masing selaku Pembimbing. 4. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Chairani, SH, Spn, Mkn, masing-masing selaku Penguji. yang telah banyak membantu penulis dengan memberikan bimbingan, petunjuk dan dorongan semangat serta motivasi untuk kesempurnaan hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Atas segala bantuan tersebut penulis berdo’a kepada Allah SWT semoga bapak/ibu senantiasa mendapat lindungan, rahmat, hidayah dan kasih-Nya dalam menjalani kehidupan serta pengabdian tugasnya kepada Nusa dan Bangsa dan Agama. Ucapan terima kasih tiada terhingga penulis haturkan kepada : 1.
Kedua orang tua tercinta, ayahanda Mansur (Almarhum) dan ibunda Hj. Sinto Maimudah yang telah membesarkan dan mendidik dengan memberikan kasih sayang yang tulus dan semangat kepada penulis, sehingga penulis menjadi kuat dan tabah dalam menghadapi dan menjalani kehidupan yang penuh cobaan ini, juga kedua mertua yaitu ayahanda A. Rivai (alm) dan ibunda Hj Fatmah R (almh) yang telah memberikan semangat dan kasih sayang semasa hidupnya. Oleh karena itu penulis berdoa semoga Allah SWT senantiasa mengampuni dosadosanya dan menempatkan almarhum dan almarhumah di tempatkan yang sebaik-baiknya di sisi-Nya, dan ibunda Hj. Sinto Maimudah, senantiasa dalam lindungan Nya dan diberi kesehatan serta keselamatan, amin.
10
2.
Suami penulis Kombes. Pol. Drs. H. Yasdan Rivai, M.Hum, dan putra-putri tercinta yaitu Indra, Sella dan Dinda, yang senantiasa memanjatkan doa kepada Allah SWT dan memberikan semangat, dukungan dengan kasih sayang penuh pengorbanan serta mendorong penulis hingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
3.
Saudara-saudari penulis, Mas, Mbak, kakak serta adik-adik yang telah banyak memberi dukungan baik moril maupun materiil, semoga Allah SWT memberi kesehatan, keselamatan dan rezeki yang berlimpah.
4.
Bapak/ibu dosen dan rekan-rekan mahasiswa seperjuangan serta seluruh staf pada Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.
5.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan penelitian tesis ini, baik langsung maupun tidak langsung yang tidak mampu penulis sebut satu persatu. Penulis telah berusaha untuk menyelesaikan tesis ini dengan sebaik-baiknya
namun sebagai manusia, penulis menyadari adanya kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam tesis ini. Oleh karena itu penulis berharap kiranya para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang produktif.
Medan, 24 Nopember 2009 Penulis
Agustining
11
RIWAYAT HIDUP
Nama
: Agustining
Tempat /Tanggal Lahir : Sidoarjo / 20 Agustus 1966 Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Komplek Johor Indah Permai I Blok XI No.1 Medan
Nama Orang Tua
: Ayah : Mansur (Alm) Ibu : Hj. Sinto Maimudah
Nama Suami Nama Anak-anak
: Kombes. Pol. Drs. Yasdan Rivai, M.Hum : 1. Indra Putra Yastika Rivai 2. Salvilia Fitri Dyastini Putri 3. Dinda Amaliah Ifmayati Putri
Pendidikan
:
1. Sekolah Dasar Negeri Kalitengah I di Sidoarjo, Jatim (lulus tahun 1977) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri I di Sidoarjo, Jatim (lulus tahun 1981) 3. Sekolah Menengah Atas Negeri I di Sidoarjo, Jatim (lulus tahun 1984) 4. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Malang, Jatim (lulus tahun 1989) 5. Kelas Khusus Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di Medan, Sumut (lulus tahun 2009)
12
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK ................................................................................................................
i
ABSTRACT .............................................................................................................. iii KATA PENGANTAR............................................................................................... iv RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. viii DAFTAR ISI ............................................................................................................. ix DAFTAR TABEL ..................................................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN .......................................................................................... xii BAB I
: PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang ................................................................................. 1 B. Perumusan Masalah ........................................................................... 17 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 17 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 18 E. Keaslian Penelitian ........................................................................... 20 F. Kerangka Teori dan Konsepsi .......................................................... 20 1. Kerangka Teori ............................................................................ 20 2. Konsepsi ....................................................................................... 35 G. Metode Penelitian ............................................................................. 42 1. Jenis Penelitian .............................................................................. 42 2. Sifat Penelitian .............................................................................. 43
13
3. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 43 4. Alat Pengumpulan Data ................................................................ 44 5. Analisis Data ................................................................................. 45 BAB II : FAKTOR YANG MENYEBABKAN NOTARIS DIPERLUKAN KEHADIRANNYA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA.................................................................................................... 46 A. Hubungan Hukum Antara Notaris Dengan Para Penghadap
............ 46
B. Faktor yang Menyebabkan Notaris Diperlukan Kehadirannya Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana ............................................................... 66 BAB III: TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA .............................................. 77 A. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Yang Dibuat Notaris .................. 77 B. Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana .................. 89 BAB IV : FUNGSI DAN PERANAN MAJELIS PENGAWAS DAERAH TERHADAP PEMANGGILAN NOTARIS PADA PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA ............................................................................... 99 A. Ruang Lingkup Pengawasan Terhadap Notaris ................................... 99 B. Fungsi Dan Peranan Majelis Pengawas Daerah Terhadap Pemanggilan Notaris Pada Pemeriksaan Perkara Pidana ..........................................109 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................
113
A. Kesimpulan...................................................................................... 113 B. Saran................................................................................................. 116 DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................118 LAMPIRAN.............................................................................................................123
14
DAFTAR TABEL
Nomor 1.
2.
Judul
Halaman
Data Notaris - PPAT yang diperiksa di Wilayah Hukum Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya Tahun 2008 -2009 .................................................................................
60
Data Notaris - PPAT yang diperiksa di Wilayah Hukum Polda Sumut tahun 2008 -2009 ..................................................
61
15
DAFTAR SINGKATAN
INI
: Ikatan Notaris Indonesia
KUHAP
: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
KUHP
: Kitab Undang-undang Hukum Pidana
KUHPerdata : Kitab Undang-undang Hukum Perdata PJN
: Peraturan Jabatan Notaris
PPAT
: Pejabat Pembuat Akta Tanah
Stbl
: Staatblat.
UU
: Undang-undang
UUJN
: Undang-undang Jabatan Notaris
VOC
: Vereenigde Oost Ind. Compagnie
16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. 1 Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan, hukum adalah perlindungan kepentingan manusia. 2 Hukum mengatur segala hubungan antar individu atau perorangan dan individu dengan kelompok atau masyarakat maupun individu dengan pemerintah. 3 Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. 4 Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat. 5
1
Mochtar Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Bandung, Alumni, 2000, hal. 43. 2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003, hal.21, Apakah yang dimaksudkan dengan rule of law itu? Dari bunyi kata-katanya rule of law berarti pengaturan oleh hukum. Jadi yang mengatur adalah hukum, hukumlah yang memerintahkan atau berkuasa. Ini berarti supremasi hukum. Memang rule of law biasanya secara singkat diartikan sebagai "governance not by man but by law". Perlu diingat bahwa hukum adalah perlindungan kepentingan manusia, hukum adalah untuk manusia, sehingga "governance not by man but by law" tidak boleh diartikan bahwa manusianya pasif sama sekali dan menjadi budak hukum. 3 Mochtar Kusumaatmadja, B. Arief Sidharta, Op. Cit, hal. 17, untuk mengatur segala hubungan antar-manusia di atas, baik hubungan antar-individu atau antara perorangan, maupun antara perorangan dengan kelompok-kelompok maupun antara individu atau kelompok dengan pemerintah diperlukan hukum. 4 Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hal. 29. 5 Ibid.
17
Tuntutan terhadap perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat salah satunya tercermin dalam lalu lintas hukum pembuktian, yaitu perlunya akta otentik dapat dilihat dari sejarah perkembangan notaris di Indonesia. Sejarah perkembangan notaris diawali pada zaman Romawi. "Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, ialah nama yang ada pada zaman Romawi, diberikan kepada orang - orang yang menjalankan pekerjaan menulis" 6. Pada masa pemerintahan Gereja, Notariil
dikenal
dan mempunyai
kedudukan yang penting. Notariil gereja ini dapat dibagi menjadi dua golongan: 7 (1) Mereka yang bekerja di bawah gereja atau di bawah pejabat gereja yang lebih rendah dari Paus. (2) Mereka yang diangkat oleh gereja atau oleh pejabat gereja, dan ditugaskan untuk memberi bantuan kepada publik untuk urusan-urusan yang tidak semata-mata mengenai gereja. Mereka ini dinamakan "Clericus notarius publicus". Menurut GHS Lumban Tobing, dalam bukunya Peraturan Jabatan Notaris, lembaga notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. 8 Sejak kehadiran Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia lalu lintas hukum perdagangan dilakukan dengan akta notariil, hal ini berdasarkan pendapat Notodisoerjo menyatakan bahwa ”Lembaga Notariat telah dikenal di negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah
6
R.Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta, PT. Grafindo, 1993, hal.13. 7 Ibid, hal.15. 8 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (tafsir tematik terhadap UU No.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Bandung, Refika Aditama, 2008, hal. 3.
18
oleh Belanda, semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgelijk Wetboek”. 9 Berdasarkan hal tersebut, lembaga notariat yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi kalangan golongan Eropa dalam lapangan hukum perdata, namun dalam perkembangan selanjutnya masyarakat Indonesia secara umum dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan di hadapan Notaris. Hal ini menjadikan Lembaga Notariat sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Setelah Indonesia merdeka, sejak tanggal 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian peraturan tentang notaris pada jaman jajahan Belanda yaitu Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) tetap berlaku di Indonesia. Pada tanggal 13 Nopember 1954 telah diberlakukan UndangUndang nomor 33 tahun 1954, yang menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) sebagai Reglement tentang Jabatan Notaris di Indonesia (pasal 1 huruf a) untuk notaris Indonesia. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 Oktober 2004, pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi : 10
9
R.Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit, hal. 1. Habib Adjie, Op. Cit, hal. 6.
10
19
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara 1954 Nomor 101. 2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris. 3. Undang-undang nomor 33 tahun 1954 4. Pasal 54 Undang-undang nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum. 5. Peraturan pemerintah nomor 11 tahun 1949 tentang sumpah/janji Jabatan Notaris. Jika dibandingkan fungsi Notaris pada zaman sekarang sangat berbeda dengan Notarius pada zaman Romawi tersebut. Pada abad ke-13 Masehi akta yang dibuat oleh notaris memiliki sifat sebagai akta umum yang diakui, dan untuk selanjutnya pada abad ke-15 barulah akte notaris memiliki kekuatan pembuktian. Meskipun hal ini tidak pernah diakui secara umum, tetapi para ahli berpendapat mengenai akta notaris sebagai alat bukti di persidangan dan secara substansial merupakan alat bukti yang mutlak sehingga mempunyai konsekuensi tersendiri dari sifat mutlaknya tersebut. Hal senada diutarakan oleh R. Soegondo Notodisoerjo, 1993 bahwa: 11 Akta notaris dapat diterima dalam sidang di Pengadilan sebagai alat bukti yang mutlak mengenai isinya, walaupun terhadap akta itu masih dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh para saksi, apabila mereka yang membuktikan tersebut dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan dalam akte itu adalah tidak benar. Perkembangan
lalu
lintas
hukum
yang
komplek
dalam
kehidupan
bermasyarakat, semakin menuntut akan adanya kepastian hukum terhadap hubungan hukum individu maupun subyek hukum. Semenjak itulah akte notaris dibuat tidak hanya sekedar catatan atau bukti untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang
11
Ibid, hal.19.
20
telah terjadi, tetapi lebih ditujukan untuk kepentingan kekuatan pembuktiannya, sehingga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum di kemudian hari. Dengan pesatnya lalu lintas hukum dan tuntutan masyarakat akan pentingnya kekuatan pembuktian suatu akta, sehingga menuntut peranan Notaris sebagai pejabat umum harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum dalam memberikan jasanya kepada masyarakat yang memerlukan dan menjaga akta-akta yang di buatnya untuk selalu dapat memberikan kepastian hukum. Dengan demikian diharapkan bahwa keberadaan akta otentik notaris akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh. Seiring dengan semakin berkembangnya jaman, masyarakat semakin menyadari perlunya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak dibuat secara otentik untuk menjamin kepastian hukum dan sebagai alat bukti yang kuat dikemudian hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberadaan jabatan sebagai notaris sangat penting dan dibutuhkan masyarakat luas, mengingat fungsi notaris adalah sebagai Pejabat Umum yang membuat alat bukti tertulis berupa akte otentik. Akta Otentik yang dibuat oleh notaris ada 2 (dua) macam, yaitu : 1. Ambtelijk acten, procesverbaal acten dan 2. Party acten. Ambtelijk acten, procesverbaal acten dimaksudkan yaitu akta yang dibuat oleh (door enn) notaris atau yang dinamakan "akta relaas" atau "akta pejabat" (ambtelijke akten) sebagai akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan pengamatan
21
yang dilakukan oleh notaris tersebut. Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat umum pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian. 12 Sedangkan Party acten atau akta para pihak dimaksudkan sebagai akta yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris berdasarkan kehendak atau keinginan para pihak dalam kaitannya dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak tersebut, dinamakan "akta partij" (partij aktan). Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan sebagainya. 13 Uraian diatas menjelaskan bahwa ruang lingkup kewenangan notaris adalah dalam bidang hukum Perdata dalam rangka mencipkatan kepastian hukum melalui alat bukti akta otentik. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat pembuktian meliputi, bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, sedangkan bukti tertulis dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu berupa akta otentik dan akta dibawah tangan. 14 Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. 15 Sebagai alat bukti 12
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Jakarta, Erlangga, hal.
51-52. 13
Ibid. Pasal 1866 KUH Perdata “alat pembuktian meliputi : Bukti Tertulis, Bukti Saksi, Persangkaan, Pengakuan, Sumpah, semuanya tunduk pada aturan-aturan yang tercantum dalam babbab berikut” Pasal 1867 KUH Perdata “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan dibawah tangan”. Pasal 1868 KUH Perdata “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. 15 Supriadi, Op. Cit, hal. 29. 14
22
yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu lagi dengan alat bukti yang lain. Undangundang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah. 16 Fungsi akta otentik dalam hal pembuktian tentunya diharapkan dapat menjelaskan secara lengkap dalam proses pembuktian di persidangan, karena pada proses peradilan berdasarkan hukum acara pidana, di dalamnya terdapat proses pembuktian, yang menekankan pada alat - alat bukt i yang sah menurut pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain : 17 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Akta otentik sebagai produk notaris dalam pembuktian di persidangan dikategorikan sebagai alat bukti surat. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat dengan UUJN) bahwa “Notaris adalah pejabat umum, yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
16
http : // hukum.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=183&Itemid =180 diakses terakhir tanggal 21 Nopember 2008 jam 21.26 17 R Sunarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahakamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal 438.
23
sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. 18 Eksistensi notaris sebagai Pejabat Umum didasarkan atas UUJN yang menetapkan rambu-rambu bagi "gerak langkah" seorang notaris. Notaris sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat, banyak sektor kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari Notaris, bahkan beberapa ketentuan yang mengharuskan dibuat dengan Akta Notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan Akta Notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. 19 Dalam pasal 1 angka 7 UUJN menyebutkan bahwa “Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. 20 Pasal ini merupakan penegasan dari pasal 1868 KUH Perdata ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang di tentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. 21 Jelas bahwa salah satu akta otentik adalah akta yang dibuat oleh notaris. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui unsur-unsur dalam suatu akta, yang termaktub dalam Pasal 1868 KUH Perdata adalah : (1) Akte itu dibuat sesuai Undang-undang; (2) Akte itu dibuat dalam bentuk menurut Undang-undang; (3) Akte itu dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum; 18
Hadi Setia Tunggal, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi & AD, ART dan Kode Etik Notaris, Jakarta, Harvarindo, 2006, hal. 36 19 http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=5&katsus=16&id=439, diakses terakhir tanggal 21 Nopember 2008 jam 21.30 WIB. 20 Hadi Setia Tunggal, Op.Cit, hal 37. 21 R Subekti, R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2008 hal. 475.
24
(4) Akte itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di mana akte itu dibuat. Kewenangan membuat akta otentik ini merupakan permintaan para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUH Perdata yaitu : untuk sah nya persetujuan diperlukan 4 syarat : 22 a. Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri, b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, c. Obyek / hal yang tertentu, d. Suatu sebab yang halal. Atas dasar kewenangan tersebut, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya notaris dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan yang profesional. Dalam mewujudkan 2 (dua) sisi pekerjaan yang mengandung banyak resiko tersebut diperlukan pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab yang tinggi. Untuk itu dalam praktek sehari-hari notaris diwajibkan untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. Adanya kewajiban kepribadian yang baik dan tuntutan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan notaris, dengan demikian dalam pelaksanaan jabatannya notaris tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan jabatan notaris. 22
Ibid, hal. 339.
25
Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan tugas jabatannya mengemban amanat yang berasal dari 2 (dua) sumber, seperti yang dinyatakan oleh Rachmat Setiawan, yaitu: 23 (1) anggota masyarakat yang menjadi klien notaris, menghendaki agar notaris membuatkan akta otentik yang berkepentingan; (2) amanat berupa perintah dari undang - undang secara tidak langsung kepada notaris, agar untuk perbuatan hukum itu dituangkan dan dinyatakan dengan akta otentik, hal ini mengandung makna bahwa notaris terikat dan berkewajiban untuk mentaati peraturan yang mensyaratkan untuk sahnya sebagai akta otentik. Berkaitan dengan tugas dan kewenangan notaris tersebut, maka dapat dipahami bahwa keberadaan profesi notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat kewenangan dari notaris adalah sebagai pembuat alat bukti tertulis berupa akta-akta otentik. Sebagai pejabat umum publik notaris hendaknya dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat kepada hukum dan Peraturan Jabatan Notaris (UUJN), sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. Notaris dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan Nasional khususnya di bidang hukum. Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang dimaksud adalah bahwa notaris harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun dan agama yang berlaku juga harus jujur, tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri, serta tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang dalam arti ia harus bersifat sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan 23
Rahmat-Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Putra A Bardin, Cetakan Keenam, 1999, hal. 3.
26
membedakan antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, untuk itu ia harus memegang teguh etik profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi itulah ditentukan segala perilaku dimiliki oleh seorang notaris. 24 Dengan berperilaku profesional serta memahami pengetahuan tentang aturanaturan / ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan pekerjaan notaris yaitu dalam rangka pembuatan akta otentik, diharapkan dalam pelaksanaan tugasnya, notaris akan terhindar dari segala akibat hukum terhadap akta-akta yang telah dan atau akan dibuatnya. Dalam kehidupan sehari-hari, sering manusia selalu dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin sulit. Keadaan ini yang membuat beberapa orang berpikir singkat untuk dapat segera memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan jalan pintas, tidak terkecuali dengan profesi notaris. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Notaris sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa. Di satu sisi notaris diminta menjaga idialismenya sebagai pejabat umum, namun di sisi lain notaris dihimpit oleh kehidupan materialisme gemerlap yang merobohkan benteng nurani. 25 Profesi hukum khususnya notaris merupakan profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur, oleh karena itu notaris dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat. Franz Magnis Suseno mengemukakan 5
24
Penjelasan atas Kode Etik Notaris pasal 1 ayat (2) Keputusan Sidang Pleno Kongres INI ke XIII di Bandung tahun 1987. 25 Anke Dwi Saputro (penyadur), Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang, Jakarta, PT Gramedia, 2008, hal 93-94.
27
(lima) kriteria nilai moral yang kuat mendasari kepribadian profesional hukum. Ke 5 (lima) kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :26 a) Kejujuran, kejujuran adalah dasar utama. Tanpa kejujuran maka profesional hukum mengingkari misi profesinya, sehingga dia menjadi munafik, licik, penuh tipu diri. Dua sikap yang terdapat dalam kejujuran yaitu (1) sikap terbuka, ini berkenaan dengan pelayanan klien, kerelaan melayani secara bayaran atau secara Cuma-Cuma. (2) sikap wajar, ini berkenaan dengan perbuatan yang tidak berlebihan, tidak otoriter, tidak sok kuasa, tidak kasar, tidak menindas dan tidak memeras. b) Autentik. Autentik artinya menghayati dan menunjukkan diri sesuai dengan keasliannya, kepribadian yang sebenarnya. Autentik pribadi professional hukum antara lain : (1) Tidak menyalahgunakan wewenang; (2) Tidak melakukan perbuatan yang merendahkan martabat (perbuatan tercela); (3) Mendahulukan kepentingan klien; (4) Berani berinisiatif dan berbuat sendiri dengan kebijakan, tidak semata-mata menunggu perintah atasan; (5) Tidak mengisolasi diri dari pergaulan. c) Bertanggung Jawab. Dalam menjalankan tugasnya, profesional hukum wajib bertanggung jawab, artinya (1) kesediaan melakukan dengan sebaik mungkin apa saja yang termasuk lingkup profesinya; (2) bertindak secara proporsional, tanpa membedakan perkara bayaran dan perkara CumaCuma (prodeo). d) Kemandirian Moral. Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral yang terjadi di sekitarnya, melainkan membentuk penilaian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh oleh pertimbangan untung rugi (pamrih), menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan agama. e) Keberanian moral. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suatu hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain : (1) menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap dan pungli. (2) menolak tawaran damai di tempat atas tilang karena pelanggaran lalu lintas jalan raya. (3) menolak segala bentuk cara penyelesaian melalui jalan belakang yang tidak sah. Di sinilah kadar spiritual seseorang diukur, tidak hanya dengan kekerapan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa saja. 27 Seseorang harus dapat menjalani
26 27
Supriadi, Op. Cit, hal. 19-20. Anke Dwi Saputro (penyadur), Op. Cit, hal. 98.
28
hidup dengan konsisten sesuai pemahaman misi hidup manusia sesuai keyakinan agama yang dianjurkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Demikian juga dalam menjalankan profesi notaris, telah diatur dalam Kode Etik sebagai parameter kasat mata, detail dan jelas tentang larangan boleh dan tidak terhadap perilaku dan perbuatan notaris. Kode Etik dipamahi sebagai norma dan peraturan mengenai etika, baik yang tertulis maupun tidak tertulis dari suatu profesi yang dinyatakan oleh organisasi profesi, yang fungsinya sebagai pengingat berperilaku bagi para anggota organisasi profesi tersebut. Kode etik hanya sebagai pagar pengingat mana yang boleh dan tidak boleh yang dinamis mengikuti perkembangan lingkungan dan para pihak yang berkepentingan. 28 Organisasi profesi notaris yaitu INI (Ikatan Notaris Indonesia) telah membentuk Kode Etik Profesi yaitu Kode Etik INI. Kode Etik INI bagi para notaris hanya sampai pada tataran sanksi moral dan administratif. 29 Meskipun telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang Jabatan Notaris, dan Kode Etik Notaris yang merupakan keseluruhan kaedah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang wajib ditaati oleh semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, baik dalam pelaksanaan tugas jabatan maupun dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Tekanan faktor eksternal dari lingkungan serta pertahanan diri yang lemah merupakan sebab betapa sebagian oknum notaris dewasa ini mudah terjerumus ke
28 29
Ibid, hal. 99. Ibid.
29
praktek kenotariatan tidak ideal yang mengurangi esensi keluhuran dan martabat sebagai pejabat umum. 30 Data pelanggaran yang dilakukan oleh notaris sebagaimana disampaikan Kapolda Sumatera Utara pada pembukaan acara “Seminar pemeriksaan dan penyidikan oleh Polri terhadap notaris/PPAT sebagai Saksi/Tersangka atas perbuatan tindak pidana”. 31 Fungsi kode etik profesi memiliki 3 (tiga) makna yaitu : (1) sebagai sarana kontrol sosial; (2) sebagai pencegah campur tangan pihak lain; (3) sebagai pencegah kesalah pahaman dan konflik. 32 Banyaknya kasus pidana yang berkaitan dengan profesi jabatan notaris, sehingga notaris harus dapat mempertanggung jawabkan terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana,
mengharuskan notaris hadir dalam
pemeriksaan awal yaitu penyidikan di tingkat Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan sampai dengan proses persidangan di Pengadilan. Perlunya pemanggilan dan kehadiran notaris
dalam pemeriksaan perkara
pidana dapat dibedakan sebagai berikut :
30
Ibid, hal. 100 Hal ini terlihat dari gambaran data penanganan kasus yang melibatkan notaris sejak tahun 2005 sampai dengan 2007 di Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut yang disampaikan pada sambutan Kapolda Sumut pada pembukaan acara “Seminar pemeriksaan dan penyidikan oleh Polri terhadap notaris/PPAT sebagai Saksi/Tersangka atas perbuatan tindak pidana” pada tanggal 27 Oktober 2007 di Hotel Danau Toba yaitu sebanyak 153 kasus, terdiri dari Notaris sebagai tersangka 10 kasus dan sebagai saksi 143 kasus. Pada umumnya melanggar KUHP pasal 231 (membantu pelaku dalam melakukan kejahatan), 263 (membuat surat palsu), 266 (memberikan keterangan palsu dalam akta otentik), 372 (penggelapan), 378 (penipuan). 32 Supriadi, Op. Cit, hal. 24. 31
30
1. Sebagai ahli, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai ahli hukum yang berwenang membuat akta otentik sehingga diperlukan pertimbangan hukum yang khusus sesuai keahliannya berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab notaris serta halhal yang dapat memberikan penjelasan kepada penyidik di Kepolisian, Jaksa/penuntut umum, hakim, pengacara/penasehat hukum maupun pihak pencari keadilan. 2. Sebagai Saksi, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana, dalam kapasitas sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik, diperlukan kesaksiannya terhadap apa yang dilihat, didengar dan bukti-bukti pendukung dalam pembuatan akta otentik tersebut, yang ternyata terindikasi perkara pidana. Dalam kedudukan sebagai saksi ini apabila kuat dugaan notaris terlibat, maka dapat ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. 3. Sebagai tersangka, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai tersangka berdasarkan bukti awal sehingga patut diduga adanya tindak pidana yang dilakukan notaris sebagai pembuat akta otentik, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama, yang ditemukan oleh penyidik, sehingga notaris harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dalam persidangan. 33 33
Dalam kedudukan notaris sebagai tersangka yang ditetapkan sejak awal maupun karena peningkatan status setelah pemeriksaan perkara, dimana sebelumnya hanya sebagai saksi, sedapat mungkin dihindari oleh para notaris, karena hal ini membawa dampat buruk terhadap keprofesionalan notaris sebagai pejabat umum. Untuk menghindari hal tersebut notaris hendaknya dapat meningkatkan kemampuan ilmu, moral/agama dan etika profesi notaris.
31
Dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pasal 68 UUJN, Notaris secara hirarkhis/berjenjang diawasi oleh Majelis Pengawas, yaitu : 1. Majelis Pengawas Daerah untuk tingkat kabupaten atau kota 2. Majelis Pengawas Wilayah untuk tingkat Propinsi. 3. Majelis Pengawas Pusat, untuk tingkat pusat di Jakarta. Mengenai ruang lingkup pengawasan terhadap notaris adalah meliputi keseharian/perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris, yaitu terhadap aktaaktanya. Pengawasan ini semula dilakukan secara hirarkis/berjenjang mulai dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua Mahkamah Agung. Namun sejak bulan Januari 2004 dengan dikeluarkannya Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya juga mengatur kewenangan pengawasan terhadap notaris, maka sejak saat itu kewenangan pengawasan beralih yang semula dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang secara struktur berada dibawah Mahkamah Agung, kini beralih kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penelitian tesis ini akan difokuskan pada tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana berdasarkan bukti awal/patut diduga adanya keterlibatan notaris dalam melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan akte otentik yang dibuat, yang tersusun dalam suatu judul tesis : “TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP
32
AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA” yang nantinya diharapkan dapat memberikan saran dan masukan terhadap praktek notaris khususnya dan lembaga kenotariatan umumnya, serta lembaga yang terkait dalam penegakan hukum di Indonesia.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas dapat diidentifikasi permasalahan dalam penulisan tesis ini untuk selanjutnya dilakukan pengkajian dalam rangka memberikan pemecahan terhadap permasalahan yang telah dirumuskan sebagai berikut : 1. Faktor apakah yang menyebabkan notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana? 2. Bagaimana tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana? 3. Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan perkara pidana ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok-pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian / penulisan tesis ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
faktor-faktor
yang
menyebabkan
kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana.
notaris diperlukan
33
2.
Untuk mengetahui tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana.
3.
Untuk mengetahui fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan perkara pidana.
D. Manfaat Penelitian Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan. 34 Penelitian dapat diibaratkan sebagai “dukun beranak” bagi pengetahuan, teknologi dan seni. Secara operasional penelitian dapat berfungsi sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menunjang pembangunan, mengembangkan sistem dan mengembangkan kualitas manusia. 35 Proses penelitian dilakukan karena ditemukan kejanggalan, ketidakserasian, ketidakseimbangan, ketidakpuasan dan semacamnya. Itu semua terjadi karena terdapat keadaan empirik atau realita yang tidak sesuai dengan keadaan ideal atau dengan apa yang diharapkan. Dengan perkataan lain terjadi kesenjangan antara Das Sollen dan Das Sein. 36 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. 37 Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum 34
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Cetakan kesatu, 2008, hal.10. 35 Ibid, hal.77. 36 Ibid. 37 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, cetakan ke-3, 2007, hal. 41.
34
diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang diajukan. 38 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis di bidang hukum yaitu : 1.
Secara Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi suatu yang bermanfaat sebagai sumbangsih dalam bidang hukum Kenotariatan yang berlaku umumnya, dan khususnya Ilmu Kenotariatan sebagai lembaga pencetak notaris, agar dapat mencetak notaris yang handal dan profesional.
2.
Secara Praktis Memberikan masukan kepada notaris sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik agar akta tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara hukum dan mempunyai nilai pembuktian yang sempurna, sehingga tercapai tujuan terhadap dibuatnya akta otentik oleh notaris yaitu untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum serta perlindungan hukum bagi para pihak. Memberikan saran dan masukan kepada Majelis Pengawas Daerah selaku ujung tombak pengawasan notaris di daerah agar lebih pro aktif menjalankan tugas pengawasan sekaligus pembinaan dan perlindungan kepada notaris, sehingga benar-benar membantu notaris di daerah.
38
Ibid.
35
E. Keaslian Penelitian Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang Jabatan Notaris telah banyak dilakukan, namun demikian penelitian dengan judul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana” belum pernah di lakukan dalam pendekatan maupun terhadap permasalah yang sama. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan mengandung kadar keaslian karena telah memenuhi dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu mengandung beberapa aspek kejujuran, rasional objektif dan terbuka, sehingga penelitian ini dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, dan terbuka terhadap beberapa masukan serta saran-saran yang bersifat membangun.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam penelitian ini diperlukan suatu teori yang melandasi. Fungsi Teori dalam penelitian adalah untuk mensistimatiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 39
39
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal. 80.
36
Teori yaitu suatu hipotesis yang dipergunakan untuk argumen atau investigasi. 40 Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori dari Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan 41. Teori tanggung jawab hukum diperlukan untuk dapat menjelaskan antara tanggung jawab notaris yang berkaitan dengan kewenangan notaris berdasarkan UUJN yang berada dalam bidang hukum perdata. Kewenangan ini salah satunya adalah menciptakan alat bukti yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak, kemudian menjadi suatu delik atau perbuatan yang harus dipertanggung jawabkan secara pidana. Pertanggung jawaban secara pidana berarti berkaitan dengan delik. Dari sudut pandang ilmu hukum murni, delik dikarakterisasi sebagai kondisi dari sanksi. Menurut pengertian ilmu hukum delik adalah perbuatan seseorang terhadap siapa sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu diancamkan. 42 Definisi delik sebagai perbuatan seseorang individu terhadap siapa sanksi sebagai konsekuensi dari perbuatannya itu diancamkan, mensyaratkan bahwa sanksi itu diancamkan terhadap seseorang individu yang perbuatannya dianggap oleh 40
Komaruddin, Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2006, hal. 270. 41 Hans Kelsen (Alih Bahasa oleh Somardi), General Theory Of Law and State,Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81. 42 Ibid, hal. 66
37
pembuat undang-undang membahayakan masyarakat, oleh karena itu oleh pembuat undang-undang diberikan sanksi untuk mencegahnya. Menurut ketentuan hukum pidana sanksi biasanya ditetapka hanya untuk kasus-kasus dimana akibat yang tidak dikehendaki oleh masyarakat telah ditimbulkan baik secara sengaja maupun tidak. Menurut Hans Kelsen 43 Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut "kekhilapan" (negligence); dan kekhilapan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari "kesalahan" (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan. Adanya kewenangan notaris yang diberikan oleh undang-undang Jabatan Notaris, berkaitan dengan kebenaran materiil atas akta otentiknya, jika dilakukan tanpa kehati-hatian sehingga membahayakan masyarakat dan atau menimbulkan kerugian baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak dan perbuatan tersebut diancam dan atau memenuhi unsur-unsur tindak pidana, maka notaris harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut secara pidana. Konsep ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum yang bersifat tertulis sebagai suatu kebutuhan masyarakat hukum demi kepastian hukum dan living law sebagai wujud dari pembentukan dari pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan dan orientasi hukum. 44 Aktualisasi dari living law tersebut bahwa hukum tidak dilihat dalam wujud kaidah melainkan perkembangannya dalam masyarakat itu sendiri. 43
Ibid, hal. 83 Lili Rasjidi dan Putra, I. B. Wiyasa, Hukum Sebagai Suatu System, Bandung, Remaja Rosdakarya, hal. 79. 44
38
Lembaga notariat merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang diperlukan masyarakat untuk ikut serta menjaga tetap tegaknya hukum, sehingga notaris diharapkan dapat membantu dalam menciptakan ketertiban, keamanan dan menciptakan kepastian hukum dalam masyarakat. Profesi notaris merupakan suatu pekerjaan dengan keahlian khusus yang menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat meminta jasa notaris. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 45 1. Memiliki integritas moral yang mantap; 2. Harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri; 3. Sadar akan batas-batas kewenangannya; 4. Tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang. Notaris dalam menjalankan jabatannya harus memperhatikan dan tunduk pada Undang-Undang nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disingkat UUJN dan Kode Etik Notaris yang merupakan peraturan yang berlaku bagi pedoman moral profesi notaris.
45
93.
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang, Aneka Ilmu, 2003, hal.
39
Kewenangan Notaris sebagai penjabaran dari pasal 1 angka 1 UUJN terdapat dalam pasal 15 UUJN. 46 (1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang. (2) Notaris berwenang pula : a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. (3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa kewenangan Notaris selain untuk membuat akta otentik juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mengesahkan (wuarmerken dan legaliseren)
47
surat-surat/akta-akta yang dibuat
dibawah tangan serta memberikan nasehat/penyuluhan hukum dan penjelasan
46
Hadi Setia Tunggal, Op.Cit, hal 44-45. Waarmerking, yaitu membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, sedangkan Legalisasi adalah mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, (bedakan antara legalisasi dengan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya). 47
40
mengenai undang-undang terutama yang berkaitan dengan isi dari akta yang dibuat para pihak di hadapan Notaris. Dari definisi dan kewenangan notaris berdasarkan UUJN tersebut, selanjutnya Sutrisno dalam bukunya Komentar Atas UU Jabatan Notaris, berpendapat : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 48 Notaris sebagai pejabat umum karena notaris diangkat dan diberhentikan oleh kekuasaan pemerintah dan diberikan wewenang serta kewajiban untuk melayani publik (kepentingan umum) dalam hal-hal tertentu, oleh karena itu notaris ikut melaksanakan kewibawaan pemerintah. Untuk mengetahui sejauh mana tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum, dapat di kaji dari teori kekuasaan negara. Dengan teori kekuasaan negara sehingga dapat terlihat kedudukan notaris sebagai pejabat umum dalam struktur kekuasaan negara. Salah satu bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yaitu negara memberikan kesempatan kepada rakyatnya untuk memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang berkaitan dalam hukum perdata. Untuk keperluan tersebut diberikan kewenangan kepada Pejabat Umum yang dijabat oleh notaris. Dan minuta
48
hal. 117.
Sutrisno, Diktat Kuliah, Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Medan, 2007,
41
atas akta tersebut menjadi milik Negara yang harus disimpan dan dijaga oleh notaris sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Sebagai bentuk menjalankan kekuasaan negara maka yang diterima oleh notaris dalam kedudukan sebagai Jabatan (bukan profesi), karena menjalankan jabatan seperti itu, maka notaris memakai lambang negara, yaitu Burung Garuda. Dengan kedudukan seperti tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata, yaitu untuk melayani kepentingan rakyat yang memerlukan bukti atau dokumen hukum berbentuk akta otentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang sempurna. Sebagai pejabat umum notaris mempunyai tugas yang berat yaitu memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat sebagai kepanjangan tangan dari Pemerintah dalam bidang hukum perdata, yaitu pembuatan akta otentik guna tercapainya kepastian hukum. Dalam PJN dan KUHPerdata umumnya diatur ketentuan-ketentuan tentang pelaksanaan jabatan Notaris. Pelayanan jabatan Notaris maksudnya adalah untuk membebaskan anggota masyarakat dari penipuan dan kepada orangorang tertentu memberikan kepastian terhadap hilangnya hak-hak mereka, sehingga untuk kepentingan tersebut diperlukan tindakan-tindakan preventif yang khusus, antara lain juga mempertahankan kedudukan akta-akta otentik khususnya akta-akta Notaris. 49 Meskipun notaris sebagai pejabat umum, namun notaris bukan pegawai negeri sipil yang tunduk pada UU No.8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian karena antara Pemerintah dengan notaris tidak ada hubungan kedinasan, dan notaris
49
Muhammad Adam, Asal Usul Dan Sejarah Notaris, Bandung, Sinar Baru, 1985, hal. 45.
42
tidak digaji dari anggaran Pemerintah, namun demikian notaris juga bukan pegawai swasta biasa karena notaris harus tunduk pada UU Jabatan Notaris. Sebagai pejabat umum notaris dalam menjalankan tugasnya diwajibkan terlebih dahulu untuk melaksanakan sumpah jabatan, hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugasnya notaris senantiasa menjunjung tinggi martabat jabatan notaris. Hal ini lebih tegas diatur pada pasal 4 ayat (2) UUJN yaitu tentang Sumpah Jabatan Notaris bagian yang ke-3 (tiga) “Notaris akan menjaga sikap, tingkah laku dan akan menjalankan kewajiban sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawab sebagai notaris” 50 artinya notaris dalam menjalankan tugasnya notaris wajib menjunjung tinggi martabat jabatannya, yaitu notaris tidak boleh bertindak sebagai swasta, karena martabat yang dijunjungnya itu menyangkut kewibawaan pemerintah disamping juga martabat secara pribadi, yaitu moral notaris itu sendiri dalam kehidupan pribadinya. Dari batasan pengertian dan kewenangan notaris tersebut jelas bahwa produk akta yang dibuat oleh notaris adalah merupakan alat bukt i otentik yang kuat dan penuh. Agar akta tersebut berfungsi sesuai tujuannya yaitu sebagai alat bukti otentik hendaknya akta tersebut dapat dibuktikan keotentikannya, sehingga akta tersebut secara yuridis dapat menjamin adanya kepastian hukum. Untuk itu hendaknya dalam pembuatan akta tersebut harus memenuhi ketentuan pembuatan dan persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang baik secara formil maupun materiil bahwa isinya tidak bertentangan dengan undang-undang. 50
Hadi Setia Tunggal, Op.Cit, hal. 39.
43
Dari uraian tersebut diatas dapatlah disimpulkan beberapa hal tentang Notaris, yaitu: (1) Notaris adalah Pejabat Umum; (2) Notaris merupakan satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik; (3) Akta-akta yang berkaitan dengan perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan
oleh
suatu
peraturan umum
atau
dikehendaki
oleh
yang
berkepentingan supaya dinyatakan dalam suatu akta otentik; (4) Adanya kewajiban untuk menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipannya; (5) Terhadap pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualian oleh suatu Peraturan Umum kepada pejabat atau orang lain. R. Soegondo Notodisoerjo, dalam bukunya "Hukum Notariat di Indonesia" menyatakan : 51 Bahwa untuk membuat akte otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum, tidak berwenang untuk membuat akte otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang Pegawai Catatan Sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akte kelahiran atau akte kematian. Demikian itu karena ia oleh Undang undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta - akta itu.
51
R. Soegondo Notodisoerjo, Op.Cit, hal.43.
44
Pejabat lain, selain notaris hanya mempunyai wewenang tertentu sebagaimana telah ditugaskan oleh perundang-undangan. Pejabat lain yang ditunjuk untuk membuat akta otentik selain Notaris adalah Pegawai Catalan Sipil (Ambtenaar Van De Burgerlijke Stand). Pegawai Catatan sipil (sekarang, Dinas Kependudukan) walaupun bukan ahli hukum, berhak untuk membuat akta-akta otentik untuk hal-hal tertentu, yaitu akta kelahiran, perkawinan, dan kematian. Disamping sebagai pejabat umum, notaris juga merupakan pejabat profesi, yang mempunyai spesialisasi tersendiri, dia berperan sebagai penasehat hukum, penemu hukum, dan penyuluh hukum dalam hal-hal yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya. Sebagai penemu hukum, notaris terikat pada pasal 1338 KUHPerdata yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya”. Dengan demikian semua akta yang dibuat oleh para pihak dihadapan notaris berlaku sebagai undang-undang yang harus ditaati oleh para pihak. Profesi notaris bukan semata-mata merupakan profesi biasa, dalam arti kata walaupun notaris dijadikan sebagai pekerjaan yang menjadi mata pencaharian karena ada kompensasi, tetapi eksistensi notaris lebih merupakan suatu jabatan umum yang melaksanakan sebagian kewibawaan (gezag) pemerintah. Oleh karena itu, notaris sebagai suatu jabatan yang mempunyai kewibawaan layaknya pejabat negara, juga diperlukan pedoman etika dalam menjalankan jabatannya yang tertuang Kode Etik Notaris dari Ikatan Notaris Indonesia (INI). Oleh karena itu notaris dalam bertugas juga harus menjaga kepribadian dan martabatnya dengan bertata kehidupan yang baik dan menyesuaikan diri dengan
45
norma yang hidup dalam masyarakat serta kebiasaan yang baik di tempat dimana ia bertugas. Produk dari Notaris adalah berupa akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, "Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya" 52 Berdasarkan bunyi pasal di atas, bahwa kekuatan pembuktian akta otentik adalah sempurna, sedangkan akta-akta lainnya yang bukan otentik dinamakan dengan akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai bukti permulaan. Notaris dalam posisinya sebagai pejabat umum dan sekaligus sebagai profesi bertugas membuat akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian hukum yang kuat dan sempurna, sehingga keberadaannya sangat diperlukan oleh masyarakat. Dengan keberadaan tersebut sudah seharusnya kinerja profesi notaris tersebut diawasi dan dipantau oleh lembaga semi indepanden, agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Pengawasan kinerja profesi notaris berdasarkan pasal 67 UUJN dilakukan oleh Menteri dan dalam melaksanakan pengawasannya dibantu oleh Majelis Pengawas. Majelis Pengawas berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur : a. Pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang b. Organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang 52
R Subekti, R Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 475.
46
c. Ahli/akademis sebanyak 3 (tiga) orang Oleh karena itu apabila dalam suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, maka keanggotaan dalam Majelis Pengawas dapat diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri. Pengawasan yang dilakukan meliputi perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris. Pengawasan ini juga berlaku bagi Notaris pengganti, Notaris Pengganti Khusus dan Pejabat sementara notaris. Majelis Pengawas tersebut terdiri dari 3 (tiga) tingkatan atau jenjang, yaitu: a. Majelis Pengawas Daerah. b. Majelis Pengawas Wilayah. c. Majelis Pengawas Pusat. Berdasarkan pasal 69 undang-undang nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disingkat UUJN, Majelis Pengawas Daerah dibentuk di Kabupaten/Kota yang keanggotaannya terdiri dari unsur sebagaimana tersebut diatas (pasal 67 UUJN), masa jabatannya adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali. Sedangkan Majelis Pengawas Wilayah berdasarkan pasal 72 undang-undang nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disingkat UUJN, kedudukan dan wilayah kerja Majelis Pengawas Wilayah adalah berada di ibukota Propinsi yang meliputi seluruh Kabupaten/Kota, susunan keanggotaannya serta masa jabatannya. Pada prinsipnya sama dengan susunan keanggotaan yang ada pada Majelis Pengawas Daerah.
47
Majelis Pengawas Pusat diatur dalam pasal 76 undang-undang nomor : 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris disingkat UUJN, yaitu berkedudukan di Ibu Kota Negara / Jakarta sedangkan susunan keanggotaan dan masa jabatannya sama dengan Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah. Mekanisme pengawasan yang dilakukan terhadap pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris adalah bersifat preventif maupun represif. Pengawasan yang dilakukan secara preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum pelaksanaan jabatan, dalam arti pencegahan agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari. Pengawasan preventif disini juga dilakukan terhadap perilaku notaris sehari-hari. Sedangkan pengawasan yang dilakukan secara represif adalah pengawasan yang dilakukan berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris, yaitu pengawasan dalam praktek sehari-hari notaris termasuk terhadap akibat dari akta yang dibuatnya, dalam hal ini Majelis Pengawas secara berjenjang diberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi. Notaris selaku pejabat pembuat akta yang eksistensinya diakui oleh Negara mempunyai tanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun di muka pengadilan, apalagi kalau berkaitan dengan masalah Minuta Akta.53 Oleh karena itu dalam rangka pengawasan dan perlindungan terhadap notaris, dalam pasal 66 UUJN ditegaskan bahwa : 54 (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: 53 54
Supriadi, Op. Cit, hal. 45. Hadi Setia Tunggal, Op.Cit, hal.68-69.
48
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Atas dasar pasal 66 tersebut maka, setiap permintaan penyidik ataupun penuntut umum dan pengadilan kepada notaris untuk memberikan fotocopi Minuta Akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta untuk proses pembuktian di peradilan, harus mendapat persetujuan tertulis dari Majelis Pengawas Daerah. Dalam kewenangannya memberikan persetujuan terhadap pemeriksaan notaris, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu dapat memanggil dan memeriksa notaris tersebut dalam sidang Majelis, sebagai pemeriksaan awal berkaitan dengan substansi perlunya kehadiran notaris. 55 Apabila hasil pemeriksaan Majelis Pengawas Daerah ternyata berkesimpulan bahwa notaris tidak perlu hadir, maka Majelis Pengawas Daerah akan menjawab permohonan tersebut, beserta alasan-alasannya. 56 Dengan demikian notaris dapat menolak memberikan keterangan guna penyidikan perkara maupun memberikan fotocopi minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta untuk proses penyidikan maupun pembuktian di peradilan, apabila belum dan atau tidak ada persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah.
55
Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Medan pada hari Jum’at tanggal 6 Nopember 2009 di Kantor Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Medan. 56 Ibid.
49
Dalam kenyataannya untuk kepentingan proses penyidikan, penuntutan maupun peradilan berkaitan dengan akta yang telah dibuat oleh notaris, seringkali notaris disibukkan dengan menghadiri panggilan dalam rangka pemeriksaan ataupun penyidikan di tingkat kepolisian hingga pembuktian di tingkat peradilan. Disamping belum adanya ijin dari Majelis Pengawas Daerah, UUJN juga memberi perlindungan terhadap perlunya kehadiran notaris dalam pemeriksaan perkara pidana berdasarkan pasal 51 UUJN bahwa : 57 (1) Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani. (2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan. (3) Salinan akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak. Dengan demikian apabila ternyata dalam pembuatan akta tersebut terjadi kesalahan, notaris dapat membetulkan dengan cara membuat berita acara pembetulan, dan menyampaikan salinan berita acara kepada para pihak, sehingga notaris dapat terhindar dari tuntutan akibat kesalahan/kelalaiannya. Adanya kewenangan notaris dalam membuat berita acara pembetulan dalam UUJN menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan kewenangannya notaris, diberikan perlindungan oleh undang-undang, apabila terjadi kesalahan dalam menuangkan isi akta, dimana kesalahan tersebut akibat ketidak sengajaannya maka dapat dibuat berita acara pembetulan sesuai
57
Ibid, hal. 62.
50
perintah dan syarat yang ditentukan UUJN. Dengan demikian akta notaris secara formil maupun materiil dapat membuktikan kebenarannya. Berkaitan dengan pembuktian di persidangan berdasarkan pasal 1888 KUHPerdata “Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar hanyalah dapat dipercaya sekadar salinan-salinan serta ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan aslinya, yang mana senantiasa dapat diperintahkan mempertunjukkannya”. 58 Mempertunjukkannya, yang dimaksud dalam pasal tersebut, bahwa hakim dapat mencocokkan alat bukti permulaan dengan minuta akta yang disimpan notaris hanya untuk keperluan pembuktian di Persidangan.
2. Konsepsi Konsep merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realita. 59 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan definisi operasional. 60 Pentingnya operasional adalah
untuk
menghindari perbedaan
pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 61 Selain itu konsep diperlukan sebagai pegangan dalam penelitian.
58
Ibid, hal. 480. Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 1989, hal. 34. 60 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo, 1998, hal. 307. 61 Tan Kamelo, Hukum jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2004, hal. 31. 59
51
Hans Kelsen mengemukakan: "Satu konsep yang berhubungan dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum. Bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. Biasanya yakni dalam hal sanksi ditujukan kepada pelaku langsung, seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Dalam kasus ini subjek dari tanggung jawab hukum dan subjek dari kewajiban hukum tertentu"62 Konsep dapat dilihat dari segi subyektif dan obyektif. Dari segi subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi obyektif, konsep merupakan suatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut. Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep. 63 Konsep merupakan "alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis”. 64 Dalam kerangka konseptional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 65 Selanjutnya, konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalah dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejalagejala yang menjadi pokok perhatian dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsep merupakan
62
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni dengan Judul Buku asli General Theori of Law dan State, Alih Bahasa oleh Somardi, Jakarta, Rimdi Press, 1996, hal. 65. 63 Komaruddin, Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Op. Cit, hal. 122. 64 Satjipto Rahardjo, llmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hal. 70. 65 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 7.
52
defenisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris. 66 Beranjak dari judul tesis ini yaitu “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana” dan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini maka kerangka konsepsional tidak dapat dipisahkan dari 2 (dua) variabel yakni Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan akta tersebut Berindikasi Perbuatan Pidana. Selanjutnya dapatlah dijelaskan konsepsi ataupun pengertian dari kata demi kata dalam judul tersebut, sebagai berikut : 1. Tanggung Jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau ada sesuatu hal, boleh dituntut, diperkarakan dan sebagainya). 67 Notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya sehubungan dengan pekerjaannya dalam membuat akta tersebut. Ruang lingkup pertanggung jawaban notaris meliputi kebenaran materiil atas akta yang dibuatnya. 68 Mengenai tanggung jawab notaris selaku pejabat umum yang berhubungan dengan kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi 4 (empat) poin yakni: 69
66
Koentjoro Ningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21. 67 John Surjadi Hartanto, Kamus Bahasa Indonesia 1998, Surabaya, Indah, 1998, hal. 328. 68 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), Cetakan Pertama, Yogyakarta, UII Press, 2009, hal. 34. 69 Lihat Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta: Center for Documentation and Studies of Business Law, 2003, dikutib dari : Abdul Ghofur Anshori, Ibid, hal. 34.
53
1. Tanggung jawab notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuatnya; 2. Tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; 3. Tanggung jawab notaris berdasarkan Peraturan Jabatan Notaris terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya; 4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris. 2. Notaris adalah pejabat umum, yang berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tangggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta. 70 Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang tersirat yaitu ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa notaris adalah pejabat umum (openbaar ambtenaar), dikatakan demikian karena erat hubungannya dengan wewenangnya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik. 71 Selanjutnya R. Soegondo Notodisoerjo mengemukakan: "Bahwa untuk dapat membuat akta otentik, seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum. Di Indonesia, seorang advokat, meskipun ia seorang yang ahli dalam bidang hukum tidak berwenang untuk membuat akta otentik, karena ia tidak mempunyai kedudukan sebagai pejabat umum, sebaliknya seorang pegawai catatan sipil meskipun ia bukan ahli hukum, ia berhak membuat aktaakta otentik untuk hal-hal tertentu, umpamanya untuk membuat akta kelahiran atau akta kematian, Demikian itu karena ia oleh Undang-undang ditetapkan sebagai pejabat umum dan diberi wewenang untuk membuat akta-akta itu. 72
70
Lihat Pasal 1 huruf (I) Juncto Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. 71 R. Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit, hal. 41. 72 Ibid, hal. 43.
54
3. Akta Otentik, sesuai pasal 1868 KUHPerdata “suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”, dan pasal 1870 KUHPerdata adalah "Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya" 73 Pasal 1 angka 7 UUJN menguraikan definisi dari akta notaris sebagai akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Pengertian tersebut memberikan konsekuensi bahwa setiap notaris dalam pembuatan akta harus memperhatikan ketentuanketentuan dalam UUJN. Menurut R.Subekti: "Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. la merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna.” 74 Akta otentik, demikian juga akta notaris, merupakan alat pembuktian yang kuat, hal ini merupakan akibat langsung dari ketentuan perundang-undangan, atas tugas yang dibebankan kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu, karena tidak semua pejabat dapat membuat akta otentik. Dalam pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka. 73 74
R Subekti, R Tjitrosudibio, Op. Cit, hal. 475. R Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005, hal. 27.
55
4. Berindikasi berasal dari kata “Indikasi yang berarti tanda-tanda yang menarik perhatian, sedangkan berindikasi sama artinya dengan mempunyai indikasi; mempunyai petunjuk (tanda-tanda); Mengindikasikan berarti memberi tanda; memberi petunjuk; mengisyaratkan”. 75 Dalam tesis ini dipergunakan kata “Berindikasi” dengan maksud bahwa akta otentik yang dibuat oleh notaris mempunyai petunjuk, tanda-tanda yang mengisyaratkan adanya perbuatan pidana. 5. Perbuatan dapat diartikan “sesuatu yang diperbuat (dilakukan) atau tingkah laku”. 76 Kata “Perbuatan” dalam tesis ini, diartikan sebagai sesuatu yang diperbuat atau dilakukan notaris dalam kewenangannya membuat akta otentik, berkaitan dengan akibat yang akan ditimbulkan dari akta tersebut dikemudian hari. Perbuatan dalam hal ini merupakan suatu tindakan atau sesuatu yang diperbuat oleh notaris, baik secara sengaja (culpa) maupun khilaf (alpa) bersamasama penghadap atau pihak untuk membuat akta yang diniatkan sejak awal dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak/penghadap tertentu dan merugikan pihak/penghadap yang lain. 6. Pidana diartikan sebagai “hukum kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan sebagainya); kriminal.” 77 Dalam tesis ini pidana dimaksudkan adalah tindakan kriminal yaitu tindakan yang berkaitan dengan kejahatan
atau
pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut undang-undang hukum pidana.
75
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3, Jakarta, Balai Pustaka, 2001, hal. 430. 76 Ibid, hal. 168. 77 Ibid, hal. 871.
56
Perbuatan notaris yang semula dalam ranah hukum administrasi dan hukum perdata, kemudian dikriminalisasikan 78 ke dalam perbuatan pidana. Dalam hal ini perbuatan pidana yang berkaitan dengan tanggung jawab notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya. Mengenai ketentuan sanksi pidana terhadap notaris tidak diatur di dalam UUJN namun tanggung jawab notaris secara pidana dapat dikenakan apabila notaris dapat dibuktikan telah turut serta atau membantu melakukan perbuatan pidana pada proses pembuatan akta otentiknya. UUJN hanya mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan dalam UUJN. Sanksi akibat pelanggaran tersebut dapat berupa akta yang dibuat oleh notaris tidak memiliki kekuatan sebagai akta otentik atau hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap notarisnya sendiri dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian dengan tidak hormat. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum. Larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut. Tentunya pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan tidak dalam konteks individu sebagai warga Negara pada umumnya. 78
Kriminalisasi berarti proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. Baca pengertian yang di uraikan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Ibid, hal. 600.
57
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan metode pendekatan penelitian yuridis normatif. Penelitian dilakukan berdasarkan pendekatan yuridis normatif, "disebabkan penelitian ini merupakan penelitian hukum doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain". 79
Meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber-sumber hukum,
peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas. 80 Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder. 81 Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, sampai pada dokumendokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 82
79
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Semarang, PT. Ghalia Indonesia, 1996, hal.
13. 80
Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hal. 13. 81 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004, hal. l21. 82 Ibid, hal. 122.
58
2. Sifat Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif dan analitis 83, yaitu suatu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta hukum yang ada juga bertujuan untuk menjelaskan dengan melakukan analisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan yuridis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan "Tanggung Jawab Notaris atas Akta yang dibuat, dalam Pembuktian Perkara Pidana di Persidangan".
3. Metode Pengumpulan Data Bahan penelitian merupakan kajian terhadap obyek yang berupa data penelitian. Untuk mendapatkan data yang diperlukan penelitian ini menggunakan 2 (dua) metode yakni : a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Penelitian kepustakan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku,
majalah,
peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam penelitian ini dan selanjutnya menganalisa masalah-masalah
yang dihadapi
untuk menghimpun data sekunder. b. Penelitian Lapangan (Field Research), penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer sehubungan dengan permasalahan dalam penelitian 83
Kata deskriptif diarahkan pada bentuk penelitian deskriptif. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang telah dipaparkan oleh Bambang Sunggono, "bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian pada umumnya yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat, terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik, atau faktor-faktor tertentu"; dalam buku, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 35.
59
dengan mewawancarai beberapa aparat penegak hukum yang terkait dalam pembuktian perkara pidana di persidangan terhadap akta yang dibuat notaris.
4. Alat Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara yaitu: a. Studi Dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. 84 b. Pedoman wawancara dan permintaan data yang terarah dan sistematis dengan nara sumber yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu : 1). Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Kota Besar Medan Sekitar. 2). Direktorat Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatera Utara. 3). Majelis Pengawas Daerah Kota Medan. 4). Notaris Kota Medan, yaitu: a. Ernawaty Lubis, SH. b. Ferry Susanto Limbong, SH. c. Lila Meutia, SH. d. Hasan Basri, SH. 84
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas Indonesia Press, 1986, hal. 21.
60
5. Analisis Data Analisis data merupakan proses penelaahan yang diawali dengan melalui verifikasi
data
sekunder
dan
data
primer.
Untuk
selanjutnya,
dilakukan
pengelompokan sesuai dengan pembahasan permasalahan. Analisis data adalah sesuatu yang harus dikerjakan untuk memperoleh pengertian tentang situasi yang sesungguhnya, di samping itu juga harus dikerjakan untuk situasi yang nyata. 85 Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data primer melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan dan penelitian melalui website (situs internet), selanjutnya dilakukan pengumpulan data sekunder melalui penelitian lapangan dengan mengadakan wawancara/intervew dengan nara sumber dan mengumpulkan data berupa informasi yang berkaitan dengan permasalahan. Setelah data dan hasil wawancara diperoleh, selanjutnya dilakukan evaluasi dan analisis secara kualitatif yakni pemaparan kembali dengan kalimat yang sistematis untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga memperoleh gambaran baru ataupun menguatkan suatu gambaran yang sudah ada untuk menjawab permasalahan dan membuat kesimpulan serta saran yang bermanfaat.
85
1996.
Erickson dan Nosandhuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, Jakarta, LP3ES,
61
BAB II FAKTOR YANG MENYEBABKAN NOTARIS DIPERLUKAN KEHADIRANNYA DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
A. Hubungan Hukum antara Notaris dengan Para Penghadap Dalam pembuatan akta otentik yang dilakukan oleh notaris sebagai pejabat umum, terdapat 3 (tiga) golongan subyek hukum yaitu para penghadap atau para pihak yang berkepentingan, para saksi dan notaris. 86 Dalam hal ini notaris bukanlah sebagai pihak dalam pembuatan akta. Notaris hanyalah sebagai pejabat yang karena kewenangannya untuk membuat akta otentik sesuai keinginan para pihak/penghadap. Kedudukan para penghadap atau para pihak dalam suatu akta notaris dapat dibedakan dalam 3 (tiga) hal : 86
Perhatikan ketentuan dalam pasal 39 dan pasal 40 UUJN; Pasal 39 : (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta. Pasal 40 : (1) Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. (2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta; d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan. e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak. (3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap. (4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.
62
1. Para penghadap atau para pihak bertindak untuk dirinya sendiri. Apabila pihak yang berkepentingan hadir dan memberikan suatu keterangan dan atau kehendaknya untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang dituangkan oleh notaris dalam suatu akta notaris di hadapan notaris dan saksi-saksi. Kemudian dalam akta tersebut juga dinyatakan bahwa penghadap datang dan meminta kepada notaris untuk dibuatkan akta tersebut guna kepentingan para penghadap dan akta tersebut menjadi bukti telah terjadinya perbuatan hukum dan di harapkan akta tersebut dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi para penghadap yang berkepentingan, ahli warisnya maupun pihak lain. 2. Para penghadap atau para pihak bertindak untuk mewakili orang lain berdasarkan surat kuasa maupun ketentuan Undang-undang. Hal ini dimungkinkan apabila pihak yang berkepentingan tidak dapat hadir sendiri di hadapan notaris, namun demikian undang-undang memberikan syarat bahwa penghadap harus membawa surat kuasa dan bukti-bukti otentik yang menjadi dasar pelimpahan kewenangan pembuatan akta tersebut. 87 Dengan demikian bahwa Undang-undang memberikan keleluasaan bagi pihak yang berkepentingan dalam pembuatan akta di hadapan notaris, dapat diwakilkan atau dikuasakan kepada orang lain.
87
Perhatikan ketentuan dalam Pasal 47 UUJN. Pasal 47 (1) Surat kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib dilekatkan pada Minuta Akta. (2) Surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk Minuta Akta diuraikan dalam akta. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dilakukan apabila surat kuasa telah dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta.
63
3. Para penghadap atau para pihak bertindak dalam jabatannya dan atau kedudukannya berdasarkan ketentuan Undang-undang. Pihak yang hadir dan menandatangani akta di hadapan notaris dalam hal ini bertindak dalam jabatannya atau kedudukannya berdasarkan undang-undang, bukan atas dasar keinginannya ataupun kepentingannya sendiri tetapi untuk mewakili pihak lain. 88 Setiap akta yang di buat oleh notaris disamping harus dihadiri oleh penghadap, juga harus dihadiri dan ditandatangani oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali undang-undang menentukan lain. Saksi-saksi tersebut harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh UUJN. 89 Saksi adalah seseorang yang memberikan kesaksian, baik dengan lisan maupun secara tertulis (dalam hal yang disebut terakhir ini dengan menandatanganinya), yakni menerangkan apa yang ia saksikan sendiri (waarnemen), baik itu berupa perbuatan atau tindakan dari orang lain atau suatu keadaan ataupun suatu kejadian. Jadi saksi adalah orang ketiga (derde). Pengertian-pengertian "pihak" (partij) dan "saksi" (getuige) adalah pengertian-pengertian yang satu sama lain tidak dapat disatukan. 90 Saksi yang dimaksudkan dalam pembuatan akta notaris di sini adalah orang ke tiga yang memberikan kesaksian terhadap apa yang disaksikan sendiri (dilihat dan didengar) berkaitan dengan hal-hal ataupun perbuatan dalam rangka pembuatan dan penandatanganan akta notaris.
88
Perhatikan ketentuan dalam pasal 38 ayat (3) huruf b juncto penjelasannya. Pasal 38 ayat (3) huruf b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; Penjelasannya : Yang dimaksud dengan ”kedudukan bertindak penghadap” adalah dasar hukum bertindak. 89 Perhatikan ketentuan dalam Pasal 40 UUJN. 90 GHS Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 136.
64
Kedudukan para pihak sebagai penghadap maupun saksi dalam pembuatan akta notaris sangat penting. Hal ini akan berpengaruh pada legitimasi akta tersebut. Keabsahan akta notaris tidak hanya tergantung pada syarat dan prosedur pembuatannya saja oleh notaris, tetapi ditentukan oleh tindakan dan kewenangan dari para pihak yang berkepentingan terhadap akta tersebut. Dengan adanya para pihak yang datang menghadap notaris untuk menuangkan kehendaknya dalam suatu bentuk akta otentik, termasuk penandatanganan oleh saksi dan notaris dalam pembuatan akta tersebut, sehingga mengawali terjadinya hubungan hukum antara notaris dengan para pihak atau penghadap. Sejak kehadiran penghadap di hadapan notaris untuk menuangkan tindakan atau perbuatannya dalam bentuk akta otentik, kemudian notaris membuat akta otentik tersebut sesuai keinginan para penghadap dengan memperhatikan syarat dan ketentuan yang ditetapkan oleh UUJN, maka sejak penandatanganan akta tersebut oleh para pihak, saksi-saksi dan notaris, disinilah telah terjadi hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap. Hubungan hukum tersebut yaitu adanya kepercayaan para pihak atau penghadap kepada notaris dalam menuangkan keinginannya pada suatu akta otentik, karena para pihak ingin dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut akan menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan para pihak terlindungi dengan adanya akta tersebut. Dengan kata lain bahwa akta otentik menjamin adanya kepastian hukum. Dengan demikian dapat dihindari kerugian maupun sengketa yang akan terjadi dikemudian
65
hari. Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan hukum tersebut yang merupakan awal dari tanggunggugat Notaris. 91 Menurut Marthalena Pohan dalam bukunya Tanggunggugat Advocaat, Dokter dan Notaris “Untuk memberikan landasan kepada hubungan hukum seperti tersebut di atas, perlu ditentukan tanggunggugat Notaris apakah dapat berlandaskan kepada wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving), perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan. 92 Hubungan hukum antara para penghadap dengan notaris dapat dimasukkan atau dikualifikasikan dalam bentuk sebuah wanprestasi jika terjadi hubungan hukum secara kontraktual, misalnya para penghadap memberi kuasa untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu untuk dan atas nama pemberi kuasa. 93 Kedatangan para penghadap kepada notaris adalah atas keinginan sendiri tanpa terlebih dahulu membuat perjanjian pemberian kuasa kepada notaris untuk melakukan pekerjaan tertentu yaitu pembuatan akta otentik. Tanpa adanya perjanjian antara notaris dengan para pihak, baik lisan maupun tertulis untuk membuatkan akta yang diinginkannya, maka hubungan hukum antara notaris dengan para pihak bukanlah hubungan kontraktual, sehingga notaris tidak dapat dituntut dengan dasar 91
Habib Adjie, Op. Cit, hal.17. Istilah ”Tanggunggugat” dipergunakan terutama terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan jabatan-jabatan khusus tertentu (beroepsaansprakelijkheid), Marthalena Pohan, Tanggunggugat Advocaat, Dokter, Notaris, Surabaya, Bina Ilmu, 1985 hal.11. 92 Ibid, hal.17. Sampai saat ini di Indonesia, khususnya di kalangan Notaris masih dianut ajaran bahwa pertanggung-jawaban Notaris dalam hubungannya dengan para pihak yang menghadap di samping berdasarkan UUJN, juga berdasarkan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, Herlien Budiono, "Pertanggung jawaban Notaris Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 (Dilema Notaris di antara Negara, Masyarakat, dan Pasar)" Renvoi, No. 4.28.III, 3 September 2005, hal. 3337. Dikemukan juga oleh G.H.S. Lumban Tobing, bahwa tanggung jawab Notaris dikuasai oleh Pasal 1365 KUHPerdata. G.H.S. Lumban Tobing, Ibid, hlm. 325. 93 Ibid.
66
perbuatan wanprestasi apabila terjadi kesalahan terhadap akta yang dibuatnya sepanjang akta tersebut telah memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan dalam undangundang baik tentang bentuk maupun syarat akta otentik. Setiap notaris pada dasarnya terbuka untuk siapa saja yang berkepentingan mendapat pelayanan jasanya. Dengan demikian tidak tepat jika hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap dikualifikasikan sebagai hubungan kontraktual yang jika notaris wanprestasi dapat dituntut/digugat dengan dasar gugatan notaris telah wanprestasi. Demikian juga terhadap perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad), inti dari perbuatan melawan hukum yaitu tidak adanya hubungan kontraktual antara satu pihak dengan pihak lainnya. Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tetapi dapat menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. 94 Notaris melakukan pekerjaannya berdasarkan kewenangan dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaris berdasarkan undang-undang nomor : 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris (UUJN). Para penghadap datang untuk meminta jasa notaris menuangkan keinginannya dalam suatu bentuk akta otentik, sehingga tidak mungkin notaris membuat akta tanpa permintaan para penghadap. Notaris hanyalah melakukan pekerjaan atau membuat akta atas permintaan penghadap, sehingga notaris bukanlah sebagai pihak atau mewakili penghadap, oleh
94
Ibid.
67
karena itu notaris tidak dapat dituntut dalam bentuk mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) berdasarkan pasal 1354 KUHPerdata: “Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas”. Sepanjang notaris melaksanakan tugas jabatannya sesuai dengan ketentuan UUJN 95 dan telah memenuhi semua tatacara dan persyaratan dalam pembuatan akta dan isi akta telah sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap, maka tuntutan perbuatan melawan hukum berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut” tidak mungkin untuk dilakukan. Pada dasarnya hubungan hukum antara notaris dengan para pihak/para penghadap yang telah membuat akta otentik di hadapan notaris tidak dapat 95
Pendapat Habib Adjie, dalam bukunya : Hukum Notaris Indonesia (tafsir tematik terhadap UU no.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris) hal.17, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus sesuai dengan UUJN, artinya Notaris hanya melaksanakan segala sesuatu yang diperbolehkan oleh UUJN, misalnya kewenangan Notaris secara umum yang diatur dalam Pasal 15 UUJN dan menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN kewenangan Notaris yaitu membuat akta otentik untuk permintaan dan kepentingan para pihak yang menghadap Notaris. Ada kemungkinan Notaris melaksanakan tugas atau pekerjaan lain di luar kewenangan Notaris, misalnya Notaris mengurus perpajakan, berbagai izin atau surat-surat yang berkaitan dengan pendirian perseroan terbatas: Pengurusan izin seperti ini sudah di luar atau bukan kewenangan Notaris, atau mungkin untuk Notaris, hal seperti itu dilakukan merupakan salah satu pelayanan tambahan untuk para penghadap, bahwa Notaris menerima pengurusan seperti itu, karena hal seperti ini bukan kewenangan Notaris, sehingga jika menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu, maka Notaris dapat dituntut dengan perbuatan melawan hukum. Hal yang sama jika Notaris membuat perjanjian secara tertulis (kontrak) untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu untuk para penghadap, jika terjadi wanprestasi, maka Notaris dapat dituntut/digugat karena wanprestasi.
68
dikonstruksikan / ditentukan pada awal pertemuan atau hubungan antara notaris dengan para penghadap, karena pada saat pertemuan tersebut belum terjadi permasalahan. Untuk mengetahui hubungan hukum antara notaris dengan penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan pasal 1869 KUHPerdata yaitu “Suatu akta, yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya. tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak” Dengan demikian maka hubungan hukum itu timbul atau menjadi masalah sejak adanya permasalah hukum berkaitan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris. Sejak itulah dapat dikategorikan bahwa akta otentik terdegradasi 96 menjadi akta dibawah tangan dalam status dan kekuatan pembuktian sebagai alat bukti, dengan alasan bahwa : 1) Pejabat umum yang bersangkutan secara hukum tidak berwenang dalam pembuatan akta tersebut. 2) Pejabat umum yang bersangkutan tidak mampu. 3) Cacat dalam bentuknya, Dengan demikian apabila akta notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dengan dasar putusan tersebut notaris dapat digugat dengan perbuatan melawan hukum. Hubungan notaris 96
Degradasi dapat diartikan sebagai kemunduran, kemerosotan, penurunan; Baca: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit. hal. 245, dalam tesis ini diartikan sebagai penurunan derajat atau penurunan kedudukan.
69
dan para penghadap dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum karena: 97 1. Notaris tidak berwenang membuat akta yang bersangkutan. 2. Tidak mampunya notaris yang bersangkutan dalam membuat akta. 3. Akta notaris cacat dalam bentuknya. Untuk menghindari agar akta notaris tidak terdegradasi menjadi akta dibawah tangan atau akta notaris menjadi batal demi hukum dan perbuatan notaris dengan para penghadap tidak dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum, maka seorang notaris dalam menjalankan tugasnya harus mematuhi berbagai ketentuan yang terdapat dalam UUJN dan peraturan materiil substantif lainnya. Oleh karena itu diperlukan kecermatan, ketelitian, dan ketepatan dalam tehnik administrasi membuat akta maupun penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta berkaitan dengan para penghadap (subyeknya) maupun obyek yang akan dituangkan dalam akta. Selain pada dirinya sendiri notaris itu harus memiliki sikap dan perilaku yang jujur seksama, mandiri dan tidak memihak dalam melayani dan memperhatikan kepentingan para pihak. Notaris harus memahami dan menguasai ilmu bidang notaris secara khusus dan ilmu hukum secara umum. Dalam pasal 41 UUJN “Apabila ketentuan dalam pasal 39 dan 40 tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan”. Pasal 39 UUJN mengatur tentang persyaratan penghadap, yaitu: 97
Habib Adjie, Op. Cit, hal.19.
70
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah, dan, b. Cakap melakukan perbuatan hukum (2) Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) orang penghadap lainnya. (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta. Pasal 40 UUJN mengatur tentang perlunya saksi dalam akta notaris dan ketentuan tentang persyaratan saksi, yaitu : (1) Setiap akta yang dibacakan oleh notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain. (2) Saksi sebagaimana dimaksdud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah b. Cakap melakukan perbuatan hukum. c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta d. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf, dan e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ke tiga dengan notaris atau para pihak. (3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1(satu) harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada notaris dan penghadap. (4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta. Dengan tidak dipenuhinya salah satu maupun beberapa ketentuan dalam pasal 39 dan 40 UUJN tersebut, maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat eksternal.
71
Kedudukan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta notaris menjadi batal demi hukum tidak berdasarkan syarat subyektif dan syarat obyektif, tetapi dalam hal ini karena UUJN telah menentukan sendiri tentang persyaratan akta notaris sebagaimana tersebut diatas, yaitu karena tidak memenuhi syarat eksternal dan juga apabila notaris tidak cermat, tidak teliti dan tidak tepat dalam menerapkan aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris berdasarkan UUJN, dan juga dalam menerapkan aturan hukum yang berkaitan dengan akta. Apabila hal tersebut terjadi, maka tuntutan terhadap notaris terjadi dalam bentuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga sebagai akibat akta notaris terdegredasi menjadi akta dibawah tangan atau bahkan batal demi hukum, berdasarkan adanya : 1. Hubungan hukum yang khas antara notaris dengan para penghadap dengan bentuk sebagai perbuatan melawan hukum. 2. Ketidakcermatan, ketidak telitian dan ketidak tepatan dalam : a. Tehnik administratif membuat akta berdasarkan UUJN b. Penerapan berbagai aturan hukum yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, yang tidak di dasarkan pada kemampuan menguasai keilmuan bidang notaris secara khusus dan hukum pada umumnya. 98 Hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap merupakan hubungan hukum yang khas, karena dalam hubungan hukum tersebut terdapat ciri hubungan dengan karakter:
98
Ibid, hal.20.
72
a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu; b. Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik; c. Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keingian para pihak sendiri; d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. Oleh karena itu sebelum notaris dijatuhi sanksi perdata berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga, maka terlebih dahulu harus dapat dibuktikan bahwa: a. Adanya kerugian yang diderita akibat dibuatnya akta tersebut oleh notaris, b. Terdapat hubungan kausal antara kerugian yang diderita dengan pelanggaran atau kelalaian dari notaris, c. Pelanggaran (perbuatan) atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris yang bersangkutan. Dalam UUJN diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan notaris, dimana sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UUJN dan kode etik jabatan notaris sedangkan sanksi pidana terhadap notaris tidak diatur dalam UUJN maupun Kode Etik Notaris.
73
Dalam pasal 85 UUJN dinyatakan bahwa : 99 Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1). huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa: a. teguran lisan; b. teguran tertulis, c. pemberhentian sementara d. pemberhentian dengan hormat, atau e. pemberhentian dengan tidak hormat. Penerapan sanksi administrasi terhadap pelanggaran ketentuan pasal 85 UUJN tersebut, dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Sementara dalam praktek seharihari ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan oleh notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan notaris, namun kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris. Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan pelanggaran aspek-aspek seperti : a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul saat menghadap notaris. b. Para pihak (orang) yang menghadap notaris. c. Kebenaran tanda tangan penghadap. d. Salinan akta yang tidak sesuai dengan minuta akta e. Dibuat salinan akta tanpa adanya minuta.
99
Hadi Setia Tunggal, Op. Cit, hal. 77.
74
f. Minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap oleh penghadap dan saksi tetapi salinannya dikeluarkan. g. Renvoi tidak diparaf dengan benar dan sempurna. Apabila aspek tersebut dapat dibuktikan telah dilanggar oleh notaris, berdasarkan UUJN pasal 38 tentang bentuk akta dan pasal 16 tentang kewajiban notaris maka kepada notaris yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi administrasi berdasarkan UUJN pasal 84 yaitu kekuatan pembuktian akta notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau menjadi batal demi hukum, sehingga dapat dijadikan alasan bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris. Tuntutan ini dapat dilakukan dengan gugatan
perdata terhadap notaris berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kegurian itu, mengganti kerugian tersebut.” Disamping itu berdasarkan pasal 85 UUJN notaris tersebut dapat diberikan sanksi administrasi berupa : a. teguran lisan b. teguran tertulis. c. pemberhentian sementara d. pemberhentian dengan hormat e. pemberhentian tidak dengan hormat. Proses penjatuhan sanksi tersebut dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah maupun Majelis Pengawas Pusat. Di sisi lain ternyata
75
pelanggaran tersebut dapat diselesaikan secara pidana, apabila terdapat alasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan notaris diantaranya bahwa notaris telah membuat surat palsu, atau memalsukan surat berdasarkan pasal 263 jo 264 KUHP sebagaimana hasil penelitian di bawah ini. Batasan yang dijadikan dasar untuk mempidanakan notaris tersebut merupakan aspek formal dari akta notaris, dimana yang seharusnya berdasarkan UUJN apabila notaris terbukti melanggar aspek formal akta, maka notaris dapat dijatuhi sanksi perdata dan administrasi tergantung pada jenis pelanggarannya, atau sanksi kode etik jabatan notaris. Hasil penelitian di wilayah Kepolisian Kota besar Medan dan sekitarnya sejak tahun 2008 hingga 2009, notaris yang diperiksa penyidik berkaitan dengan akta notaris yang dilaporkan berindikasi perbuatan pidana adalah sebagai berikut : Tabel 1.
Data Notaris-PPAT yang diperiksa di Wilayah Hukum Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya Tahun 2008 -2009 . 100 PELANGGARAN PASAL DALAM KUHP
263
263 jo 266 Subs 385
263 ayat (2)
372
378
378 jo 372
266 Subs 385
385
266 jo 264
Saksi
6
2
1
3
3
2
1
2
-
Tersangka
-
-
-
-
1
-
-
-
1
NO
JML LAP POL
NOTARIS DIPERIKSA SEBAGAI
1.
20
2.
2
100
Sumber data dari satuan Reserse Kriminal Kepolisian Kota Besar MS yang dibuat pada tanggal 3 Oktober 2009.
76
Sedangkan untuk wilayah hukum Kepolisian Daerah Sumatera Utara, data akta notaris yang di laporkan berkaitan dengan akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana adalah sebagai berikut : Tabel 2. Data Notaris-PPAT yang diperiksa di Wilayah Hukum Polda Sumut tahun 2008-2009. 101 PELANGGARAN KUHP PASAL
KEDUDUKAN SBG
NO THN
KET 231
263
266
363
372
378
385
SAKSI
S. AHLI
TSK
1
2008
-
4
5
-
4
6
2
21
-
-
-
2
2009
-
4
2
-
-
2
-
8
-
-
-
JUMLAH
-
8
7
-
4
8
2
29
-
-
-
Sebagai bahan kajian maka isi dari pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana dalam tabel diatas: 102
101
Sumber data dari Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut yang dibuat pada tanggal 7 Oktober 2009. 102 Pasal 372 KUHP : Penggelapan. Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagaian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pasal 378 KUHP : Perbuatan curang / Penipuan Barang siapa dengan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Seorang tidak dapat secara hukum (rechtmatig) memakai nama orang lain. Pasal 385 : Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun : (1) Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband, sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat, sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa yang mempunyai atau turut mempunyai hak di atasnya adalah orang lain; (2) barangsiapa dengan maksud yang sama menjual, menukarkan atau membebani dengan credietverband, sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat yang telah dibebani credietverband, atau sesuatu gedung, bangunan, penanaman atau pembenihan di atas tanah yang juga telah dibebani demikian, tanpa memberitahukan tentang adanya beban itu kepada pihak yang lain;
77
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa pemanggilan terhadap notaris, berkaitan dengan akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana, umumnya menempatkan notaris sebagai saksi. Pemanggilan sebagai saksi dalam pemeriksaan perkara pidana dilakukan oleh penyidik dalam rangka memperoleh keterangan yang obyektif terhadap perkara yang sedang dalam proses penyidikan di Kepolisian karena fungsi penyidik adalah membuat terang suatu tindak pidana. Adapun perkara pidana berkaitan dengan akta notaris yang menonjol umumnya pelanggaran pasal 263 KUHP 103 yaitu pemalsuan surat. Dalam proses penyidikan notaris diminta memberikan keterangan sebagai saksi berkaitan dengan kewenangan notaris membuat akta otentik dan memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta sebagaimana diatur dalam
(3) barangsiapa dengan maksud yang sama mengadakan credietverband mengenai sesuatu hak tanah yang belum bersertifikat, dengan menyembunyikan kepada pihak lain bahwa tanah yang berhubungan dengan hak tadi sudah digadaikan. (4) barangsiapa dengan maksud yang sama, menggadaikan atau menyewakan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat, padahal diketahui bahwa orang lain yang mempunyai atau turut mempunyai hak atas tanah itu; (5) barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat yang telah digadaikan, padahal tidak diberitahukannya kepada pihak yang lain bahwa tanah itu telah digadaikan; (6) barangsiapa dengan maksud yang sama, menjual atau menukarkan tanah dengan hak tanah yang belum bersertifikat untuk suatu masa, padahal diketahui bahwa tanah itu telah disewakan kepada orang lain untuk masa itu juga. 103 Pasal 263 KUHP : Pemalsuan surat. (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Salah satu unsur dari kejahatan surat palsu ialah bahwa surat yang dipalsu karena sifatnya mempunyai kekuatan pembuktian. Salah satu anasir dari kejahatan “pemalsuan surat” yang termaksud dalam pasal 263 KUHP adalah suatu kenyataan kemungkinan merugikan, bukan merugikan suatu pihak.
78
pasal 15 UUJN dan kewajiban notaris untuk membacakan aktanya dihadapan para penghadap sesaat sebelum penandatanganan akta tersebut. Oleh karena itu wajar apabila terjadi pemeriksaan perkara pidana berkaitan dengan akta yang dibuat notaris, diduga berindikasikan perbuatan pidana, maka notaris turut dipanggil untuk memberikan keterangan ataupun kesaksian berkaitan dengan dugaan adanya pemalsuan surat ataupun menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik. Jikalau dalam pemeriksaan ternyata ada indikasi notaris turut serta maka, pada saat itulah notaris dapat ditetapkan sebagai tersangka, meskipun putusan tentang terbukti tidaknya masih menunggu persidangan di pengadilan. Pada dasarnya penyidik memeriksa notaris untuk mencari keterangan berkaitan dengan bukti-bukti yang mendukung dan dijadikan dasar dalam pembuatan akta notaris tersebut. Salah satu contoh dalam kasus pemeriksaan notaris oleh penyidik sebagai tersangka yaitu pada kasus pembuatan akta pelepasan hak dan ganti rugi dari sebagian bidang tanah, yang kemudian di pecah menjadi 18 (delatan belas) kapling yang terjadi pada Desember 2003 oleh salah satu notaris di Kota Medan. 104 Dalam kasus tersebut awalnya notaris hanya diminta hadir untuk diambil keterangannya sebagai saksi. Namun hasil penyidikan dan berdasarkan keterangan yang diberikan ternyata mengindikasikan bahwa notaris patut diduga melakukan perbuatan pidana sehingga notaris tersebut ditetapkan diperiksa sebagai tersangka
104
Wawancara dengan penyidik Kepolisian Kota Besar Medan Sekitarnya pada tanggal 2 Oktober 2009, kasus ini masih dalam proses penyidikan, kasus ini hanya sebagai contoh bahwa kepolisian melakukan penyidikan berdasarkan bukti awal dari masyarakat yang dirugikan atas terbitnya akta otentik notaris.
79
berdasarkan pasal 266 KUHP yaitu memberikan keterangan palsu dalam akta otentik jo 264 KUHP 105 berkaitan dengan laporan polisi tanggal 23 Mei 2006 no.pol: LP/1524/k.3/V/2006/Ops/Tabes. Dalam kasus ini pelapor bukanlah pihak dalam akta tersebut, namun demikian pelapor adalah orang atau pihak lain yang dirugikan atas terbitnya 18 (delapan belas) akta pelepasan hak dan ganti rugi yang dibuat oleh notaris tersebut. Berdasarkan bukti awal yang dimiliki pelapor, bahwa pelapor adalah pemilik sebagian tanah yang telah dibuat akta pelepasan hak dan ganti rugi oleh notaris tersebut, dan berdasarkan silang sengketa dari Kelurahan bahwa tanah tersebut masih dalam sengketa. Di sini diperlukan kehadiran notaris dalam pemeriksaan perkara pidana untuk memberikan keterangan berkaitan dengan akta atentik yang dibuat. Dalam rangka pelepasan hak dan ganti rugi tentunya terdapat bukti awal yang disampaikan pihak 105
Pasal 266 KUHP : Memberikan keterangan palsu dalam akta otentik. (1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akte itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; (2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai akte tersebut seolaholah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian. Pasal 264 KUHP : Ancaman hukuman pemalsuan surat. (1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap; 1. akte-akte otentik; 2. surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum; 3. surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu perkumpulan, yayasan perseroan atau maskapai; 4. talon, tanda bukti deviden atau bunga dari salah-satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu; 5. surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. (2) Diancam dengan pidana yang sarna barangsiapa dengan sengaja memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
80
yang akan melepaskan hak tersebut kepada notaris. Diantara bukti yang disampaikan tersebut perlu diperhatikan kebenarannya, apakah notaris mengetahui keabsahan bukt i pemegang hak terhadap tanah yang akan dilepaskan hak nya tersebut? Ternyata ada pihak lain yang dapat membuktikan bahwa keabsahan alas hak tanah yang telah dibuat akta pelepasan hak dan ganti rugi tersebut perlu dibuktikan kebenarannya. Kasus tersebut merupakan bukti bahwa hubungan hukum antara para pihak dengan notaris berakibat adanya tanggung jawab hukum notaris atas kerugian pihak lain ataupun masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang dengan pemberian sanksi sebagaimana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Hubungan hukum yang semula dalam ranah hukum perdata, harus dipertanggungjawabkan berdasarkan ketentuan hukum pidana karena memenuhi unsur-unsur pidana yang dipersangkakan. Hubungan hukum yang terjadi antara notaris dengan para pihak yang sebenarnya dalam ranah hukum perdata, dapat ditarik dalam ranah hukum pidana. Penarikan kasus pada ranah hukum pidana terjadi bila terdapat pelanggaran hak dari salah satu pihak dan pihak yang dirugikan melaporkan perkara tersebut kepada penyidik bahwa dari akta notaris tersebut berindikasi perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris, baik dalam kedudukannya sebagai turut serta maupun membantu salah satu pihak sehingga merugikan pihak lainnya. Dengan demikian fungsi notaris yang diamanatkan oleh UUJN pasal 16 ayat (1) huruf a. harus netral dan tidak boleh berpihak, telah dilanggar.
81
B. Faktor Yang Menyebabkan Notaris Diperlukan Kehadirannya Dalam Pemeriksaan Perkara Pidana. Ruang lingkup pelaksanaan tugas jabatan notaris yaitu dalam ruang lingkup hukum pembuktian, hal ini karena tugas dan kewenangan notaris yaitu membuat alat bukti yang diinginkan oleh para pihak dalam hal tindakan hukum tertentu. Keberadaan alat bukti tersebut dalam ruang lingkup atau tataran hukum perdata. Karena pekerjaan notaris membuat akta tersebut atas permintaan dari penghadap, tanpa adanya permintaan dari para penghadap, notaris tidak akan membuat suatu apapun. Notaris membuat akta berdasarkan alat bukti atau keterangan / pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan kepada atau di hadapan notaris, dan selanjutnya notaris membingkainya secara lahiriah, formil dan materil dalam bentuk akta notaris, dengan tetap berpijak pada aturan hukum atau tata cara atau prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum yang bersangkutan yang dituangkan dalam akta. Peran notaris dalam hal ini juga untuk memberikan nasehat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada sebagaimana yang diwajibkan oleh pasal 15 ayat (2) huruf e. UUJN. Apapun nasehat hukum yang diberikan kepada para pihak dan kemudian dituangkan ke dalam akta yang bersangkutan tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai keterangan atau pernyataan notaris.
82
Dalam praktik notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, maka sering pula notaris ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta notaris. Hal ini pun menimbulkan kerancuan, apakah mungkin notaris secara sengaja (culpa) atau khilaf (alpa) bersama-sama para penghadap/pihak untuk membuat akta yang diniatkan sejak awal untuk melakukan suatu tindak pidana? Dalam kaitan ini tidak berarti notaris steril atau bersih dari hukum atau tidak dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana jika dapat dibuktikan di pengadilan bahwa secara sengaja atau tidak disengaja notaris bersama-sama dengan para pihak/penghadap untuk membuat akta dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau merugikan penghadap yang lain. Jika hal ini terbukti dalam persidangan, maka notaris tersebut wajib dihukum. Oleh karena itu, hanya Notaris yang tidak waras dalam menjalankan tugas jabatannya, ketika membuat akta untuk kepentingan pihak tertentu dengan maksud untuk merugikan pihak tertentu atau untuk melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum. 106 Dalam rangka proses pembuktian terhadap indikasi perbuatan pidana dalam akta otentik tersebut di atas, maka diperlukan kehadiran notaris dalam pemeriksaan perkara pidana mulai dari tingkat penyidikan di Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan hingga proses pembuktian dalam sidang di Pengadilan. 106
Habib Adjie, Op. Cit, hal.24.
83
Perlunya kehadiran notaris dalam pemeriksaan perkara pidana berkaitan dengan akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana sangat ditentukan oleh aspek formal dan materiil akta notaris itu sendiri. Dalam kasus yang melibatkan notaris sebagai tersangka berdasarkan bukti awal pada laporan polisi yang dibuat pelapor pada tanggal 23 Mei 2006, di Kepolisian Kota Besar Medan, terhadap akta notaris yang dibuat pada bulan Desember 2003 107 dinilai berindikasi perbuatan pidana, sehingga notaris perlu dipanggil untuk menjelaskan proses terjadinya akta tersebut, dan alat bukti yang dijadikan dasar pembuatan akta tersebut. Untuk keperluan pemanggilan notaris berdasarkan pasal 66 ayat 1 huruf b. Kepolisian harus mendapatkan ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah Kota Medan. Atas dasar permohonan ijin dari Kepolisian tersebut maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) Kota Medan mengadakan sidang majelis untuk memeriksa notaris sehubungan dengan perlu atau tidaknya notaris memberikan keterangan pada pemeriksaan perkara pidana di Kepolisian sebagaimana surat permohonan ijin pemeriksaan notaris yang diterima oleh Majelis Pengawas Daerah. Berdasarkan hasil sidang majelis pengawas maka Majelis Pengawas Daerah Kota Medan memberikan ijin untuk melakukan penyidikan atau meminta keterangan terhadap notaris tersebut. Ketentuan Pasal 66 UUJN tersebut bersifat imperatif atau perintah artinya jika Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim menyepelekan ketentuan Pasal 66 UUJN, maka terhadap Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran
107
Wawancara dengan penyidik Kepolisian Kota Besar Medan Sekitarnya pada tanggal 2 Oktober 2009.
84
terhadap undang-undang, maka jika hal ini terjadi, kita dapat melaporkan Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim kepada atasannya masing-masing, dan di sisi yang lain, perkara yang disidik atau diperiksa tersebut dapat dikategorikan cacat hukum (dari segi Hukum Acara Pidana) yang tidak dapat dilanjutkan (ditunda untuk sementara) sampai ketentuan Pasal 66 UUJN dipenuhi. 108 Ada juga Notaris yang dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim langsung datang menghadap kepada intansi yang memanggilnya, tanpa diperiksa terlebih dahulu oleh Majelis Pengawas Daerah artinya notaris menganggap sepele terhadap Majelis Pengawas Daerah. Jika notaris melakukan hal seperti ini, maka pemanggilan tersebut menjadi tanggungjawab notaris itu sendiri, misalnya jika terjadi perubahan status dari Saksi menjadi Tersangka atau Terdakwa.109 Dalam praktik ditemukan bahwa seorang notaris di panggil tanpa dasar surat ijin dari Majelis Pengawas Daerah untuk datang memenuhi panggilan Kepolisian. Atas dasar surat panggilan tersebut notaris mengkonfirmasikan kepada pihak Kepolisian tentang kewajiban Kepolisian untuk meminta ijin terlebih dahulu kepada Majelis Pengawas Daerah. Pihak Kepolisian akhirnya membatalkan panggilan tersebut, sampai saat ini belum ada panggilan lagi kepada notaris tersebut.110 Demikianlah perlindungan hukum yang diberikan oleh UUJN kepada notaris sebagai pejabat umum, dalam kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUJN.
108
Baca, Habib Adjie, Op. Cit, hal.24-25. Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Medan pada tanggal 6 Nopember 2009 di Kantor Majelis Pengawas Daerah Kota Medan. 110 Wawancara dengan notaris, Ernawaty Lubis, SH, tanggal. 24 Oktober 2009. 109
85
Dari contoh kasus panggilan terhadap notaris dalam pembuatan akta tentang pelepasan hak dan ganti rugi tersebut,
patut diduga baik sengaja maupun tidak
notaris kurang teliti dan kurang hati-hati dalam memeriksa bukti yang disampaikan oleh pihak yang akan melepaskan hak atas tanah diantaranya : 1. Surat yang dijadikan dasar kepemilikan tanah yang akan dibuat Akta Pelepasan Hak dan Ganti Rugi hanya berupa foto copy yang di cap/stempel sesuai dengan aslinya oleh notaris lain. Alasan notaris bahwa kapasitas notaris hanya mencatat keinginan pihak dan apa yang tercantum dalam akta telah sesuai dengan apa yang diterangkan oleh para penghadap kepada notaris dan telah dicantumkan dalam akta sedangkan kebenaran dari keterangan yang disampaikan kepada notaris hanya antara para pihak yang bersangkutan. 111 2. Tanpa dilampirkan surat silang sengketa dari Kelurahan. Notaris beranganggapan bahwa syarat tersebut tidak mutlak harus ada dalam pelepasan hak dan ganti rugi, karena pihak yang akan melepaskan hak telah memasukkan klausula dalam salah satu pasalnya yaitu pemilik menjamin tanah tersebut tidak dalam sengketa dan bebas dari sitaan dan agunan. Kapasitas notaris hanya mencatat keinginan pihakpihak dan hubungan hukum notaris dengan para pihak berkaitan dengan pelepasan hak dan ganti rugi tersebut. 3. Surat dari Kepolisian tentang bukti kehilangan surat yang dibuat pada bulan Juni 2000 yang dijadikan dasar pembuatan akta pelepasan hak dan ganti rugi. Padahal
111
Wawancara dengan penyidik Kepolisian Kota Besar Medan Sekitarnya pada tanggal 2 Oktober 2009.
86
surat tersebut hanya berlaku 1 (satu) bulan sejak dikeluarkannya sedangkan pembuatan akta dilakukan pada bulan Desember 2003 dan penegasan dari Kepolisian pada surat bukti kehilangan tersebut bahwa surat keterangan kehilangan bukan merupakan jaminan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum juga bukan merupakan bukti kepemilikan atau alas hak. 4. Dalam pemeriksaan diketahui bahwa surat yang dijadikan dasar dalam pembuatan akta pelepasan hak dan ganti rugi, tidak dilekatkan dalam minit akta, semua suratsurat hanya diperlihatkan kepada notaris. 5. Berdasarkan pengakuan para pihak yaitu beberapa orang yang menandatangani akta pelepasan hak dan ganti rugi tersebut, bahwa penandatanganan dilakukan di rumah bukan di kantor notaris, bahkan ada yang ditandatangani oleh orang lain, bukan nama yang ada dalam komparisi akta pelepasan hak dan ganti rugi tersebut. Dari hasil pemeriksaan tersebut dapat disimpulkan bahwa : 1. Notaris sengaja menempatkan surat palsu sehingga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan pasal 263 KUHP diantaranya surat bukti kehilangan dari kepolisian yang sudah habis masa berlakunya dan penandatanganan akta yang seharusnya menurut pasal 16 ayat (1) huruf L UUJN dilaksanakan seketika setelah pembacaan akta oleh notaris dan ditandatangani dihadapan notaris oleh para pihak, tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. 2. Melanggar ketentuan pasal 15 ayat (2) huruf e. Undang-undang Jabatan Notaris tentang kewajiban memberikan penyuluhan hukum dan pasal 16 ayat (1) huruf L
87
membacakan akta sesaat sebelum penandatanganan akta oleh para pihak dan saksi di hadapan notaris. 3. Tanpa melampirkan silang sengketa terhadap tanah yang belum bersertifikat, sehingga tidak diketahui bahwa tanah tersebut masih dalam sengketa. Berdasarkan aspek-aspek tersebut di atas, notaris dapat dipidanakan apabila dapat dibuktikan secara mendalam dengan mencari unsur kesalahan atau kesengajaan dari notaris yang merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Untuk kepentingan pembuktian tersebut, maka diperlukan keterangan dari notaris oleh penyidik disamping itu untuk menghindari terjadinya kesalahan dakwaan tersebut, maka diperlukan kehadiran notaris dalam pemeriksaan pidana. Dengan kehadiran notaris dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan, sampai dengan persidangan, kiranya dapat membantu para penegak hukum untuk membuktikan apakah notaris terlibat dalam tindak pidana yang dipersangkakan ataukah hanya berakibat pada akta yang dibuat yaitu hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau menjadi batal demi hukum sebagaimana ketentuan pasal 84 UUJN. Faktor
yang
menyebabkan
notaris
diperlukan
kehadirannya
dalam
pemeriksaan perkara pidana adalah : 1. Apabila akta yang dibuat oleh notaris menimbulkan kerugian yang diderita para pihak maupun pihak lain dan berdasarkan bukti awal bahwa notaris patut diduga turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana, berkaitan
88
dengan kewenangan notaris berdasarkan pasal 15 UUJN yaitu membuat akta otentik dengan adanya unsur-unsur tindak pidana seperti : a. 55 KUHP yaitu turut serta melakukan tindak pidana b. 231 KUHP yaitu membantu pelaku dalam melakukan kejahatan. c. 263 KUHP yaitu membuat surat palsu d. 266 KUHP yaitu memberikan keterangan palsu dalam akta otentik e. 372 KUHP yaitu penggelapan f. 378 KUHP yaitu penipuan g. 385
KUHP
yaitu
menjual,
menukarkan
atau
membebani
dengan
credietverband (sekarang Hak Tanggungan) atas tanah yang belum bersertifikat. 2. Untuk mendapatkan keterangan dari notaris baik secara formil maupun materiil berkaitan dengan akta yang dibuatnya berdasarkan laporan para pihak atau pihak lain yang dirugikan atas akta tersebut (aktanya berindikasi adanya perbuatan pidana), sehingga perlu dilakukan pemeriksaan yang obyektif oleh penyidik, karena Kepolisian wajib menerima laporan ataupun pengaduan masyarakat dan menindak lanjuti dengan pemanggilan guna diminta keterangannya karena fungsi penyidik Kepolisian adalah membuat terang suatu tindak pidana. Terhadap kehadiran notaris dalam pemeriksaan perkara pidana khususnya penyidikan di
89
Kepolisian “sepanjang hal tersebut diperlukan kehadiran notaris untuk memperjelas kasus tersebut maka hal tersebut diperbolehkan” 112 3. Merupakan kewajiban setiap warga/anggota masyarakat untuk menghadiri pemeriksaan pidana sebagai saksi, saksi ahli atau juru bahasa berdasarkan pasal 224 KUHP yang menyatakan bahwa : 113 “barang siapa dipanggil sebagai saksi, saksi ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhinya, diancam : 1) Dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2). Dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Ketentuan ini berlaku juga bagi notaris sebagai pejabat umum namun demikian berdasarkan pasal 66 UUJN bahwa pemanggilan notaris dalam pemeriksaan perkara pidana harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah bagi Kota atau Kabupaten yang mempunyai Majelis Pengawas Daerah, atau Majelis Pengawas Wilayah bagi Kota/Kabupaten yang belum mempunyai Majelis Pengawas Daerah. Meskipun notaris mempunyai Immunitas hukum yang diberikan undangundang berupa kewajiban untuk menolak memberikan keterangan yang rnenyangkut rahasia jabatannya, dan Immunitas tersebut diwujudkan dengan adanya hak ingkar atau mengundurkan diri sebagai saksi sepanjang menyangkut keterangan-keterangan yang sifatnya rahasia jabatan. Sebagai pejabat umum yang
112
Wawancara tertulis dengan notaris Ferry Susanto Limbong, SH, M.Hum tanggal 4 Nopember 2009. 113 R. Soenarto Soerodibroto, Op.Cit, hal. 136.
90
menjalankan pelayanan publik dibidang pelayanan jasa hukum, maka terhadap kesalahan notaris perlu dibedakan antara kesalahan yang bersifat pribadi (faute personelle atau personal fault) dan kesalahan didalam menjalankan tugas (faute de serive atau in service fault).114 Seperti dalam perkara perdata maka dalam perkara pidanapun diatur mengenai adanya pengecualian-pengecualian bagi orang atau pejabat yang dapat menolak atau mengundurkan diri menjadi saksi yaitu sebagaimana yang tertera dan tercantum dalam Pasal 170 KUHAP yaitu : 115 (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. 4. Berdasarkan pasal 65 UUJN bahwa notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol notaris telah diserahkan kepada penyimpan protokol notaris. Artinya tanggung jawab notaris tidak berakhir meskipun notaris telah
pensiun/purna
tugas,
sehingga
setiap
saat
dapat
dimintai
pertanggungjawabannya atas akta yang dibuat. 5. Berdasarkan pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Dalam perkara pidana, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama disamping alat bukti yang lainnya seperti keterangan ahli, surat (bukti-bukti tertulis), petunjuk dan keterangan terdakwa. Tidak ada perkara 114
Paulus Efendi Lotulung, Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya, Media Notariat, Ikatan Notaris Indonesia, Edisi April, 2002, hal. 3. 115 R. Soenarto Soerodibroto, Op.Cit, hal. 432.
91
pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain seperti persangkaan atau bukti tertulis bahkan pengakuan dari terdakwa sekalipun, masih selalu diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. 116 Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang obyektif dan sempurna penyidik sangat memerlukan keterangan saksi, meskipun yang menjadi saksi seorang notaris.
116
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, edisi ke-dua, Sinar Grafika, 2002, hal. 265.
92
BAB III TANGGUNG JAWAB NOTARIS SEBAGAI PEJABAT UMUM TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUAT DAN BERINDIKASI PERBUATAN PIDANA
A. Kekuatan Pembuktian Akta Otentik Yang Dibuat Notaris. Pembuktian adalah proses, cara, perbuatan membuktikan atau usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa dalam sidang pengadilan. 117 Hal ini berkaitan dengan kekuatan pembuktian suatu akta otentik yang dibuat oleh notaris. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak karenanya. Dengan demikian akta otentik hanya dapat dikalahkan oleh bukti lawan. Hakim hanya dapat membatalkan akta notaris jika dimintakan pembatalan oleh para pihak yang bersengketa, dengan didasarkan pada bukti-bukti kuat dan sempurna yang disampaikan pemohon kepada hakim. Tanpa adanya permohonan pembatalan akta, hakim tidak serta merta dapat membatalkan akta otentik yang menjadi obyek sengketa di Pengadilan. Akta notaris adalah akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis dengan kekuatan pembuktian yang sempurna. ”Ini berarti bahwa masih dimungkinkan dapat dilumpuhkan hanya oleh alat bukti lawan sehingga hakim berwenang untuk membatalkannya”. 118
117
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit, hal. 172 Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit. hal. 19 dikutib dari : Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998, hal. 149. 118
93
Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia : “Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. 119 Akta otentik sebagai akta yang dibuat oleh notaris secara teoritis adalah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. 120 Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya akta tersebut tujuannya adalah untuk pembuktian jika terjadi sengketa di kemudian hari. Dikatakan dengan resmi karena tidak dibuat di bawah tangan. Pembuatan akta otentik dilakukan sesuai ketentuan undang-undang. Berdasarkan pasal 1868 KUHPerdata bahwa akta otentik harus dibuat dalam bentuk yaitu : (1) sesuai aturan hukum (2) dibuat dihadapan pejabat umum, (3) dibuat dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat. Otentik tidaknya suatu akta, tidak saja hanya cukup dibuat dihadapan notaris atau pejabat umum, namun akta tersebut harus dibuat menurut cara dan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. UUJN mengatur dalam pasal 38 sampai dengan 53 Bab VII bagian pertama, tentang bentuk dan sifat akta. Oleh karena itu hendaknya
119 120
Ibid, hal. 18-19. Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit, hal. 18.
94
notaris dalam membuat akta otentik tidak menyimpang dari persyaratan, bentuk dan sifat serta isi akta sebagaimana yang diatur dalam UUJN. Dalam praktek di lapangan ditemukan akta yang bentuk dan sifatnya sesuai dengan undang-undang namun isinya tidak sesuai dengan undang-undang, inilah yang sering dijadikan dasar pemeriksaan notaris oleh penyidik. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa Ada 2 (dua) jenis/golongan akta notaris, yaitu: (1) Akta yang dibuat oleh (door) notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Relaas atau Berita Acara, (2) Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Pihak atau Akta Partij. 121 Akta Relaas adalah akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak, agar notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta notaris. Dalam Akta Relaas ini notaris menulis atau mencatatkan semua hal yang dilihat atau didengar dan dialami sendiri secara langsung atau disaksikan oleh notaris terhadap apa yang dilakukan oleh para pihak. Sedang akta pihak adalah akta yang dibuat di hadapan notaris atas permintaan para pihak. Notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan 121
Habib Adjie, Op. Cit, hal. 45.
95
notaris, kemudian dituangkan ke dalam akta notaris. Dari hasil penelitian di Kepolisian, akta yang sering dipermasalahkan / berindikasi perbuatan pidana umumnya adalah akta partij atau akta pihak. Oleh karena itu untuk menghindari adanya indikasi perbuatan pidana dalam suatu akta otentik, dan notaris tidak disibukkan dengan adanya pemanggilan dari penyidik, maka dalam pembuatan akta notaris, harus diperhatikan ketentuan akta otentik yang disyaratkan oleh undang-undang, yaitu hendaknya diperhatikan 3 (tiga) aspek yaitu : a. Aspek Lahiriah (uitwendige bewijskracht). Yaitu kemampuan lahiriah akta notaris, yang merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica probant seseipsa). Suatu akta apabila dilihat dari luar (lahirnya), maka bentuk akta tersebut sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Kemampuan lahiriah akta notaris ditentukan dalam pasal 38, 42 dan 43 UUJN 122 bahwa : Pasal 38 : (1) Setiap akta Notaris terdiri atas : a. awal akta atau kepala akta; b. badan akta; dan c. akhir atau penutup akta. (2) Awal akta atau kepala akta memuat: 122
Hadi Setia Tunggal, Op. Cit, hal. 56.
96
a. judul akta; b. nomor akta; c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat: . a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup akta memuat: a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) hiiruf 1 atau Pasal 16 ayat (7); b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian. (5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti. Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. Pasal 42, (1) Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan ndak menggunakan singkatan. (2) Ruang dan sela kosong dalam afcta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan. (3) Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam fckta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat kuasa yang belum menyebutkan nama penerima kuasa. Pasal 43, (1) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia. (2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
97
(3) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskan-nya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi, (4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang Undang-undang tidak menentukan lain. (5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Penyangkalan terhadap aspek lahiriah dapat dilakukan dengan pembuktian negatif, artinya beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta notaris tersebut. Parameter untuk menentukan akta notaris sebagai akta otentik, yaitu tanda tangan dari notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan dan adanya, awal akta (mulai dari judul) sampai dengan akhir akta. 123 Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah akta tersebut harus dilihat sebagaimana adanya, bukan dilihat ada apanya terhadap akta tersebut. Secara lahiriah, jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik, berdasarkan ketentuan dan persyaratan bentuk ataupun lahiriah akta yang disyaratkan oleh UUJN. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
123
Habib Adjie, Op. Cit, hal.26.
98
b. Aspek Formal (formele bewijskracht). Bahwa akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta notaris. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap
(pada
akta
pihak),
sebagaimana
kewenangan
notaris
berdasarkan pasal 15 ayat (1) UUJN. Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran
pernyataan
atau
keterangan
para
pihak
yang
diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris.
99
Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapa pun. Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi, maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut dapat menggugat notaris, dan penguggat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut. c. Aspek Materiil (materiele bewijskracht) Bahwa suatu akta otentik harus memberikan kepastian tentang materi suatu akta, apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar terhadap apa yang dikatakan yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai
100
yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Dalam hal ini notaris terlepas dari tanggung jawab materiil akta. Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan Notaris) menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. Dengan terpenuhinya syarat lahiriah, formil dan materiil, suatu akta otentik mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah (mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna) di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Oleh karena itu akta otentik dapat dijadikan bukti yang kuat dalam perkara khususnya perkara pidana sepanjang tidak ada bukti lain yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik. Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan di pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
101
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat notaris adalah sebagai berikut : 1. Mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige bewijskracht) yaitu kemampuan akta itu sendiri untuk dapat membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini berdasarkan Pasal 1875 KUHPerdata yang tidak dapat diberikan kepada akta yang dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni apabila benar-benar berasal dari pihak, terhadap siapa akta tersebut dipergunakan, dan apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum telah diakui oleh yang bersangkutan. Sementara akta otentik yang dibuat notaris dapat membuktikan sendiri keabsahannya (acta publica probant sese ipsa). Artinya dari bentuk lahiriah akta dan dari isi kata-katanya menunjukkan bahwa akta itu berasal dari seorang pejabat umum, maka akta dianggap sebagai akta otentik sampai dapat dibuktikan bahwa akta tersebut bukanlah suatu akta otentik. 2. Mempunyai kekuatan pembuktian formal (Formale bewijskracht), bahwa akta tersebut memberikan kepastian tentang sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. Artinya bahwa pejabat yang bersangkutan telah menyatakan dalam tulisan sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain dari itu kebenaran dari apa yang diuraikan oleh pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya di dalam jabatannya itu. Dalam arti formal, sepanjang mengenai
102
akta pejabat (ambtelijike acte), akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga dilakukan sendiri oleh notaris sebagai pejabat umum di dalam menjalankan jabatannya. Pada akta di bawah tangan kekuatan pembuktian ini hanya meliputi kenyataan bahwa keterangan itu diberikan, apabila tanda tangan yang tercantum dalam akta di bawah tangan itu diakui oleh orang yang menandatanganinya atau dianggap sebagai telah diakui sedemikian menurut hukum.
Dalam arti formal, maka
terjamin kebenaran/kepastian tanggal dari akta otentik tersebut, kebenaran tandatangan yang terdapat dalam akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir (comparanten), demikian juga tempat akta itu dibuat. Sepanjang mengenai acte partij bahwa para pihak yang ada menerangkan seperti yang diuraikan dalam akta itu, sedang kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya pasti antara pihak-pihak sendiri. Pada akta otentik berlaku kekuatan pembuktian formal dan berlaku terhadap setiap orang yakni apa yang ada dan terdapat di atas tandatangan mereka. Namun terdapat pengecualian atau pengingkaran atas kekuatan pembukt ian formal ini,yaitu : 1). Pihak penyangkal dapat langsung tidak mengakui bahwa tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta tersebut adalah tanda tangannya. Pihak penyangkal dapat mengatakan bahwa tanda tangan yang kelihatannya sebagai yang dibubuhkan olehnya ternyata dibubuhkan oleh orang lain dan karenanya dalam hal ini terjadi apa yang dikenal sebagai pemalsuan tanda tangan.
103
2). Pihak penyangkal dapat menyatakan bahwa notaris dalam membuat akta melakukan suatu kesalahan atau kehilafan (ten onrechte) namun tidak menyangkal tanda tangan yang ada di dalam akta tersebut. Artinya pihak penyangkal tidak mempersoalkan formalitas akta namun mempersoalkan substansi akta. Dengan demikian yang dipersoalkan adalah keterangan dari notaris yang tidak benar (intelectuele valsheid). Pihak penyangkal tidak menuduh terdapat pemalsuan namun menuduhkan suatu kehilafan yang mungkin tidak disengaja sehingga tuduhan tersebut bukan pada kekuatan pembuktian formal melainkan kekuatan pembuktian material dari keterangan notaris tersebut. Dalam membuktikan hal ini menurut hukum dapat digunakan segala hal yang berada dalam koridor hukum formil pembuktian. 3. Mempunyai kekuatan pembuktian material (materiele bewijskracht), bahwa apa yang tersebut dalam akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihakpihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Artinya tidak hanya kenyataan yang dibuktikan oleh suatu akta otentik, namun isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang menyuruh adakan/buatkan akta itu sebagai tanda bukti terhadap dirinya (preuve preconstituee). Akta otentik dengan demikian mengenai isi yang dimuatnya berlaku sebagai yang benar, memiliki kepastian sebagai sebenarnya maka menjadi terbukti dengan sah di antara para pihak oleh karenanya apabila digunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa hakim tidak diperkenankan untuk
104
meminta tanda pembuktian lainnya di samping akta otentik tersebut. Hakim terikat dengan alat bukti otentik sebab jika tidak demikian maka dapat dipertanyakan apa gunanya undang-undang menunjuk para pejabat yang ditugaskan untuk membuat suatu akta otentik sebagai alat bukti bila hakim dapat begitu saja mengesampingkan akta yang dibuat oleh pejabat tersebut.
B. Tanggung Jawab Notaris Sebagai Pejabat Umum Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat dan Berindikasi Perbuatan Pidana. Otensitas akta notaris bukan hanya pada kertasnya ataupun bentuk fisiknya, akan tetapi akta yang dimaksud benar-benar dibuat di hadapan notaris sebagai Pejabat Umum dengan segala kewenangannya atau dengan perkataan lain akta yang dibuat notaris mempunyai sifat otentik, bukan karena undang-undang menetapkan sedemikian, akan tetapi oleh karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Sebagai Pejabat Umum, notaris dalam melaksanakan kewenangannya membuat akta otentik harus Independen. Dalam istilah sehari-hari istilah Independen ini sering disama-artikan dengan mandiri. Dalam konsep Manajemen bahwa penerapan istilah mandiri berarti institusi yang bersangkutan secara manajerial dapat berdiri sendiri tanpa tergantung kepada atasannya, tetapi secara institusional tetap tergantung kepada (dependen) atasannya. Sedangkan Independen baik secara manajerial maupun insitusional tidak tergantung kepada atasannya ataupun kepada pihak lainnya.
105
Independen ini mempersoalkan kemerdekaan Pejabat Umum dari intervensi atau pengaruh pihak lain ataupun diberi tugas oleh instansi lain. Oleh karena itu dalam konsep Independen ini harus diimbangi dengan konsep Akuntabilitas. Akuntabilitas ini mempersoalkan keterbukaan (transparancy) menerima kritik dengan pengawasan (controlled) dari luar serta bertanggung jawab kepada pihak luar atas hasil pekerjaannya atau pelaksanaan tugas jabatannya. Indepedensi notaris dalam hal ini dapat dilihat dalam 3 (tiga) bentuk yaitu: 124 1. Structural Independen, yaitu independen secara kelembagaan (institusional) yang dalam bagan struktur (organigram) terpisah dengan tegas dari institusi lain. Dalam hal ini meskipun Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman, secara kelembagaan tidak berarti menjadi bawahan Menteri Kehakiman atau berada dalam struktur Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 2. Functional Independen, yaitu independen dari fungsinya yang disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tugas, wewenang, dan jabatan Notaris. 3. Financial Independen, yaitu independen dalam bidang keuangan yang tidak pernah memperoleh anggaran dari pihak manapun juga. Sebagaimana diuraikan di atas, konsep Independen notaris sangatlah berkaitan dengan konsep Akuntabilitas (Accountability) atau Pertanggung jawaban, yaitu terdiri dari: 125 1. Akuntabilitas Spritual. Hal ini berkaitan dengan keyakinan secara langsung vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa dan bersifat pribadi. Akuntabilitas sepert, ini dapat dilihat dari kalimat yang tercantum dalam Sumpah/janji Jabatan Notaris, yaitu "Demi Allah, saya bersumpah". Oleh karena itu bagaimana implementasi Akuntabilitas Spiritual ini akan tergantung kepada diri sendiri notaris yang bersangkutan. Hanya Tuhan Yang Maha Esa dan dirinya yang tahu. Akuntabilitas Spiritual ini seharusnya mewarnai dalam setiap tindakan/perbuatan kita ketika 124 125
Ibid, hal. 32 Ibid, hal. 32-33
106
2.
3.
4.
5.
6.
menjalankan tugas jabatannya, artinya apa yang kita perbuat bukan hanya dipertanggungjawabkan kepada masyarakat saja, tapi juga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu sangat penting nilai-nilai "Ke-Tuhan-an" menyertai setiap perilaku, tindakan, dan perbuatan kita. Akuntabilitas moral kepada publik. Kehadiran notaris adalah untuk melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkan akta-akta otentik ataupun surat-surat yang lainnya yang menjadi kewenangan notaris. Oleh karena itu masyarakat berhak untuk mengontrol "hasil kerja" dari notaris. Salah satu konkretisasi dari akuntabilitas ini, misalnya masyarakat dapat menuntut notaris, jika ternyata hasil pekerjaannya merugikan anggota masyarakat. Ataupun ada tindakan-tindakan Notaris yang dapat "mencederai" masyarakat yang menimbulkan kerugian baik materi maupun immateriil kepada masyarakat. Akuntabilitas hukum. notaris bukan orang/jabatan yang "imun" (kebal) dari hukum. Jika ada perbuatan/tindakan Notaris yang menurut ketentuan hukum yang berlaku dapat dikategorikan melanggar hukum (pidana, perdata, administrasi), maka mau tidak mau kita harus bertanggungjawab. Akuntabilitas profesional. notaris dapat dikatakan profesional jika dilengkapi dengan berbagai keilmuan yang mumpuni (intelectual capital) yang dapat diterapkan dalam praktik, tapi bukan berarti "tukang" tapi dalam hal bagaimana mengolah nilai-nilai atau ketentuan-ketentuan yang abstrak menjadi suatu bentuk yang tertulis (akta) sesuai yang dikehendaki oleh para pihak. Oleh karena itu kita jangan lelah dan bosan untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas keilmuan kita, agar kita senantiasa profesional. Akuntabilitas administratif. Sebelum kita menjalankan jabatan/tugas sebagai notaris sudah tentu kita telah mempunyai surat pengangkatan kita sebagai notaris, sehingga legalitas kita tidak perlu dipertanyakan lagi, tapi yang sampai saat ini masih jadi pertanyaan bagi kita sebagai notaris secara administratif dalam pengangkatan dan penggajian karyawan. Banyak notaris yang mengangkat karyawan karenan ”pertemanan” ataupun ”persaudaraan” Padahal sebenarnya apapun latar belakangnya tetap harus ada pembenahan secara administratif. Kemudian juga yang lainnya yaitu mengenai "pengarsipan" akta-akta, terkadang kita menatanya "asal-asalan" padahal akta tersebut adalah arsip negara yang harus kita "administrasikan" secara seksama. Oleh karena itu sangat beralasan kita harus belajar "Manajemen kantor notaris" yang bahan dasarnya dari pengalamanpengalaman notaris terdahulu yang kemudian dibukukan. Akuntabilitas keuangan. Bentuk akuntabilitas dalam bidang keuangan ini yaitu kita melaksanakan kewajiban kita untuk membayar pajak. Ataupun membayar kewajiban lain kepada organisasi, seperti iuran bulanan misalnya. Kemudian juga membayar gaji para karyawan kita tidak senantiasa memacu (atau lebih dari) kepada Upah Minimum Regional (UMR). Suatu saat hal tersebut harus dapat dibenahi oleh kita semua.
107
Uraian tersebut diatas merupakan implementasi dari Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Kode Etik Notaris (KEN) yang secara lengkap mengatur tentang jabatan notaris. Dengan pemahaman independensi dan akuntabilitas seperti tersebut diatas diharapkan notaris dapat mengetahui dimana dan bagaimana tugas dan tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum dalam menjalankan tugas/jabatannya. Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, notaris harus dapat menjalankan tugas profesi sebaik mungkin sesuai dengan hukum agamanya dan hukum serta peraturan yang berlaku. Oleh karena itu jika notaris berbuat melanggar hukum, sanksinya tidak hanya berupa sanksi hukum positif saja, melainkan sanksi moral dari masyarakat dan sanksi spiritual menurut hukum agamanya. Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, notaris tidak bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai profesionalnya. 126 Sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) notaris berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya / pekerjaannya dalam membuat akta otentik. Tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta, diantaranya :
127
1. Tanggung jawab notaris secara perdata atas akta dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan 126
Anke Dwi Saputro (penyadur), Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang, dan Di Masa Datang, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hal. 182. 127 Baca Abdul Ghofur Anshori, Op. Cit , hal. 35-49.
108
melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya suatu perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu suatu perbuatan tidak saja melanggar undangundang, tetapi juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum apabila perbuatan tersebut: a. Melanggar hak orang lain. b. Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku c. Bertentangan dengan kesusilaan. d. Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari. Tanggung jawab notaris dalam ranah hukum perdata ini, termasuk didalamnya adalah tanggung jawab perpajakan yang merupakan kewenangan tambahan notaris yang diberikan oleh undang-undang perpajakan. 2. Tanggung jawab notaris secara pidana atas akta dibuatnya. Pidana dalam hal ini adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh notaris dalam kapasitasnya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta, bukan dalam konteks individu sebagai warga negara pada umumnya.
109
3. Tanggung jawab notaris berdasarkan peraturan jabatan notaris (UUJN) 4. Tanggung jawab notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan kode etik notaris. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 UUJN tentang sumpah jabatan notaris. Tanggung Jawab notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana sangat diperlukan meskipun ranah pekerjaan notaris
dalam
ranah
hukum
perdata
dan
hukum
administrasi
serta
pertanggungjawaban moral dan etika namun terhadap akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana maka notaris harus bertanggung jawab secara pidana, mulai pemeriksaan dalam proses penyidikan hingga proses pembuktian di persidangan dan melaksanakan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tuntutan tanggung jawab ini muncul sejak terjadinya sengketa berkaitan dengan akta yang telah dibuat dengan memenuhi unsur-unsur dalam perbuatan pidana meliputi : a. Perbuatan manusia. b. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam aturan undang-undang). c. Bersifat melawan hukum. Tanggung jawab notaris dalam pembuktian perkara pidana di persidangan dapat terjadi manakala akta tersebut menjadi permasalahan sehingga mewajibkan notaris
110
tersebut memberikan keterangan dan kesaksiannya berkaitan dengan aspek formil maupun materiil akta. Namun demikian sebagai pejabat umum notaris tidak begitu saja dapat diperiksa maupun dimintai keterangannya baik dalam proses penyidikan maupun dalam pemeriksaan / pembuktian perkara pidana di pengadilan. Sebagai pejabat umum, layaknya pejabat negara lainnya UUJN memberikan perlindungan hukum atas apa yang dibuat notaris berkaitan dengan tugas dan kewenangannya sesuai UUJN. Perlindungan hukum tersebut diantaranya dimuat dalam pasal 66 UUJN yaitu : (1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. (2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan. Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka untuk menghadirkan notaris dalam pemeriksaan perkara pidana mulai dari tingkat Kepolisian hingga di Pengadilan harus mendapat ijin terlebih dahulu dari lembaga tempat notaris bernaung, dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan secara berjenjang kepada Majelis Pengawas Daerah untuk tingkat kota / kabupaten dan Majelis Pengawas Wilayah untuk tingkat Propinsi serta Majelis Pengawas Pusat untuk seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
111
Terhadap akta yang dibuatnya notaris wajib bertanggung jawab atas keotentikannya, namun demikian dalam pemeriksaan perkara pidana notaris tidak serta merta dapat dihadirkan dalam pemeriksaan, karena pasal 66 UUJN memberikan perlindungan terhadap notaris sebagai pejabat umum. Tanpa adanya bukti awal yang kuat bahwa akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana atas dugaan notaris turut serta melakukan tindak pidana dan atau memberikan keterangan palsu ke dalam akta. Majelis Pengawas Daerah bisa saja menolak permintaan penyidik untuk memberikan ijin pemeriksaan terhadap notaris. Meskipun antara Kepolisian Republik Indonesia dalam hal ini Kapolri dengan Ikatan Notaris Indonesia dan PPAT telah mengadakan MoU (Memory of Understanding), No. Pol.: B / 1O56 / V / 2O06 dan Nomor: O1 / MoU / PP-INI / 2O06 tanggal 9 Mei 2OO6 maka setiap Penyidik akan melakukan pemeriksaan terhadap notaris baik sebagai saksi maupun sebagai tersangka diwajibkan meminta izin terlebih dahulu kepada Majelis Pengawas Daerah/W di wilayah kerja Notaris yang bersangkutan. Ada kalanya tanpa izin dapat juga dilakukan pemeriksaan (BAP) tergantung permintaan dari Notaris yang bersangkutan. 128 Apabila notaris menghadiri pemeriksaan perkara pidana tanpa ijin ataupun persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah sebagaimana yang disampaikan penyidik tersebut diatas, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya peningkatan status dari saksi menjadi tersangka adalah tanggung jawab notaris itu sendiri.
128
Wawancara dengan Kasat I Pidana Umum Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut pada tanggal 7 Oktober 2009.
112
Kenyataan di lapangan terkadang karena lamanya ijin yang diberikan oleh Majelis Pengawas Daerah ataupun Wilayah, sehingga untuk keperluan penyidikan akhirnya penyidik memanggil notaris untuk dapatnya memberikan keterangan pada pemeriksaan perkara tanpa menunggu ijin dari Majelis Pengawas Daerah ataupun Wilayah dengan alasan bahwa proses penyidikan berkaitan dengan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan yang dibutuhkan oleh Penuntut Umum maupun Hakim dalam suatu proses pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan dengan kehadiran notaris sebagai saksi sangat diperlukan, sedangkan akta notaris sifatnya adalah sebagai bukti/petunjuk ataupun menjadi Barang Bukti dalam suatu perkara. 129 Sebagai warga negara, meskipun notaris adalah pejabat umum dalam pemeriksaan perkara pidana notaris tidak dapat menghindar, karena penyidik sebagai pejabat negara juga mempunyai dasar untuk pemanggilan paksa sebagaimana yang diuraikan diatas, bahwa semua warga negara tanpa terkecuali wajib menjunjung hukum dan menjunjung pemerintahan. Tidak terkecuali aparat pemerintah, Polisi, Jaksa, Hakim maupun Notaris - PPAT. Demikian juga Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 3 ayat (2) yang berbunyi : "Setiap 129
Wawancara dengan Kasat I Pidana Umum Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumut pada tanggal 7 Oktober 2009, juga dijelaskan bahwa perlu diketahui bahwa sesuai dengan UU No. 8 / 1981 tentang Hukum Acara Pidana dipertimbangan pada huruf a tercantum "Bahwa negara Republik Indonesia ialah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersama kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya dengan tiada kecualinya". Disini yang perlu digaris bawahi adalah wajib "wajib menjunjung hukum dan pemerintahannya dengan tiada kecualinya". Dengan perkataan lain bahwa semua warga negara tanpa kecuali wajib menjunjung hukum dan menjunjung pemerintahan. Tidak terkecuali aparat pemerintah, Polisi, Jaksa, Hakim maupun Notaris - PPAT. Hal ini juga ditegaskan dalam UndangUndang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 3 ayat (2) yang berbunyi : "Setiap warga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum"
113
warga berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama didepan hukum”. Guna memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat maka pihak Kepolisian sebagai aparat penegak hukum pelindung dan pengayom masyarakat, manakala ijin yang diperlukan tidak segera diberikan oleh Majelis Pengawas Daerah maupun Wilayah, penyidik dapat bertindak demi perlindungan dan kepastian hukum para pencari keadilan.
114
BAB IV FUNGSI DAN PERANAN MAJELIS PENGAWAS DAERAH TERHADAP PEMANGGILAN NOTARIS PADA PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA
A. Ruang Lingkup Pengawasan Terhadap Notaris. Kedudukan notaris sangat penting dalam membantu menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat, karena kewenangan notaris membuat akta otentik berada dalam ranah pencegahan (tindakan preventif) terhadap terjadinya masalah hukum. Suatu perbuatan hukum dalam ranah hukum perdata yang dilakukan masyarakat di bingkainya dalam suatu akta otentik, sehingga akta tersebut dapat dijadikan bukti yang sempurna di Pengadilan. Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berhak membuat akta otentik sebagai alat pembuktian yang paling sempurna. Notaris adalah kepanjangan tangan negara di mana ia menjalankan sebagian tugas negara di bidang hukum perdata yaitu menjalankan tugas negara dalam rangka memberikan perlindungan hukum dalam bidang hukum privat kepada warga negara dalam bentuk kewenangan membuat akta otentik. Oleh karena itu, ketika menjalankan tugasnya, notaris wajib diposisikan sebagai pejabat umum yang mengemban tugas negara layaknya para Hakim, Jaksa, anggota Dewan, Duta Besar, Bupati, Walikota dan lain sebagainya. Namun bedanya notaris tidak mendapat gaji dari anggaran Pemerintah. Notaris hanya mendapatkan honorarium sebagai kontraprestasi atas pelayanannya kepada masyarakat yang memerlukan jasanya.
115
Besarnya honorariumpun ditentukan dalam pasal 36 dan pasal 37 UUJN yaitu : 130 (1) Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya. (2) Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya. (3) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek setiap akta sebagai berikut: a. sampai dengan Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen); b. di atas Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5 % (satu koma lima persen); atau c. di atas Rp.l.000.000,000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1 % (satu persen) dari objek yang dibuatkan aktanya. (4) Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal37 Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cumacuma kepada orang yang tidak mampu. Dari ketentuan tersebut diatas, jelaslah bahwa notaris tidak bisa seenaknya sendiri menentukan honorariumnya. Dengan demikian harus diakui bahwa notaris adalah jabatan profesional dan juga pengabdian kepada kepentingan negara dan masyarakat. Oleh karena itu, pengawasan khususnya pemeriksaan kepada notaris harus mengedepankan rasa menghargai dan menghormati sesama perangkat negara. Menurut Drs. Suparno, SH, MH, ”notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah, dengan demikian ia merupakan kepanjangan tangan Pemerintah dan
130
Hadi Setia Tunggal, Op.Cit, hal. 55.
116
otomatis dia orangnya Pemerintah. 131 Karena notaris diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, maka pengawasan terhadap notaris juga dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Majelis Pengawas secara berjenjang yaitu Majelis Pengawas Daerah / Wilayah / Pusat sesuai dengan ketentuan dalam UUJN. Majelis Pengawas sebagai kepanjangan tangan dari Menteri mempunyai tanggung jawab membina dan mengawasi notaris di Indonesia sesuai amanat UUJN pasal 1 angka 6. Fungsi Majelis Pengawas adalah mengawasi tingkah laku dan perilaku notaris, selain mengawasi perbuatan hukum para notaris. 132 Jadi kalau notaris melanggar perundang-undangan yang memiliki kewenangan untuk menindak notaris disamping aparat penegak hukum juga Majelis Pengawas Notaris. Oleh karena itu perlu dibuat batasan yang jelas, mana yang menjadi kewenangan penegak hukum, dan mana yang menjadi kewenangan Majelis Pengawas. Apabila dalam pelaksanaan tugas dan kewenangannya notaris melakukan pelanggaran hukum, maka notaris akan dihadapkan dengan ketentuan hukum perdata, hukum pidana, UUJN serta peraturan hukum materiil lainnya. Untuk pelanggaran pidana notaris dihadapkan dengan proses penyidikan, penuntutan sampai dengan pembuktian di Pengadilan. Demikian juga untuk pelanggaran perdata dan UUJN notaris dihadapkan kepada gugatan dengan ganti rugi dan bisa juga dijatuhi sanksi administrasi oleh Majelis Pengawas. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran norma
131 132
Renvoi, Nomor : 6.66.VI tanggal 3 Nopember 2008, hal. 15. Renvoi, Nomor : 6.42.IV tanggal 3 Nopember 2006, hal. 7.
117
yang berlaku dalam masyarakat, notaris dihadapkan dengan kode etik notaris yang merupakan pedoman moral bagi notaris yang prosesnya dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah, dan penjatuhan sanksinya berdasarkan pasal 73 ayat (1) huruf e dan f UUJN dilakukan oleh Majelis Pengawas Wilayah berupa teguran lisan dan tertulis,sedangkan untuk pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat oleh Majelis Pengawas Pusat. Dalam pasal 66 UUJN, dalam hal pemanggilan terhadap notaris baik sebagai saksi maupun tersangka dan pengambilan foto copy minuta akta dan surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta, penyidik, penuntut umum maupun hakim harus mendapat persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah yang berwenang. Fungsi pengawasan dalam hal ini haruslah disertai dengan pemahaman bahwa dalam setiap pengawasan, terdapat fungsi pembinaan dan perlindungan. Karena tanpa pembinaan dan perlindungan maka pengawasan akan tidak berarti bagi notaris. Fungsi pembinaan dalam pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah sesuai pasal 70 huruf a UUJN dalam bentuk menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris dan pasal 70 huruf b UUJN melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala dalam satu tahun atausetiap saat jika diperlukan. Dengan demikian diharapkan akan memperkecil bahkan menghilangkan kesalahan dalam perilaku dan pelaksanaan jabatan notaris. Pengawasan juga harus mengandung unsur perlindungan khususnya berkaitan dengan azas praduga tidak bersalah dan posisi notaris sebagai pejabat umum yang
118
sedang melaksanakan tugas negara. Apabila terjadi proses hukum kepada pejabat notaris seharusnya dilaksanakan sesuai tata cara dan prosedur yang etis sebagaimana amanat pasal 66 UUJN, dimana Majelis Pengawas Daerah tidak serta merta memberikan ijin pemeriksaan, namun harus mengedepankan asas praduga tak bersalah. Semua pihak yang diamanatkan undang-undang
mengemban fungsi
pengawasan harus memahami 3 (tiga) unsur dalam pengawasan, yaitu : pengawasan, pembinaan dan perlindungan. Dengan demikian fungsi pengawasan bisa bersinergi dengan fungsi pembinaan dan perlindungan guna menciptakan insan notaris yang semakin handal, profesional dan berbudi luhur. Notaris juga merupakan jabatan kepercayaan, karena notaris dipercaya memegang rahasia para pihak dan menjaga minuta akta yang merupakan dokumen negara. Sebagai pejabat yang dipercaya hendaknya notaris mempunyai perilaku yang bisa dipercaya dan dapat menjaga kepercayaan yang diberikan oleh para pihak penghadap. Oleh karena itu, para pejabat yang mengemban profesi kepercayaan wajib merahasiakan semua hal yang diberitahukan klien kepadanya dalam kapasitas jabatannya tersebut. Dengan demikian, dalam proses pengawasan dan pemeriksaan kepada notaris, para pihak harus memperhatikan etika profesi. Tanpa alasan yang kuat pengawas maupun pemeriksa tidak bisa mendesak notaris untuk mengatakan segala sesuatu yang menjadi bagian dari amanat yang dipercayakan klien dan masyarakat kepadanya.
119
Jika penyidik bersikeras sebaiknya bukan notaris yang "dikejar" namun para oknum yang terlibat dalam pembuatan akta tersebut. Karena dalam kapasitas pelayanan, notaris hanyalah pihak yang menuangkan keinginan para pihak yang menghadap kepadanya, bukan kehendak dirinya sendiri dan bersikap netral, tidak berpihak kepada salah satu penghadap. Meskipun, notaris diwajibkan bersikap hatihati (prudent) dan memeriksa keabsahan dokumen namun notaris hanya mampu menyentuh kebenaran formal saja. Kebenaran material berada pada para pihak dan produk hukum yang dibawa menghadap kepada notaris. Sehingga, jika terjadi masalah dalam aspek material seharusnya para pengawas dan penyidik mengejar dahulu para penghadap yang secara sengaja menyodorkan dokumen palsu kepada seorang notaris, bukan sebaliknya. Diharapkan dalam pemeriksaan maupun pengawasan notaris mendapatkan perlakuan yang semestinya sesuai kadar kewenangan dan tanggung jawab yang dilimpahkan negara kepadanya. Mekanisme pengawasan terhadap notaris berdasarkan UUJN dilimpahkan kepada pemerintah yang pelaksanaannya dilakukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan membentuk Majelis Pengawas. Pelaksana pengawasan tidak lagi menjadi monopoli pemerintah semata namun telah diserahkan kepada 3 (tiga) unsur yakni : (1) Pemerintah, (2) organisasi profesi dan (3) ahli/akademisi,
120
sehingga diharapkan lebih mewakili keberagaman pandangan dan meningkatkan akses pengawasan terhadap notaris oleh masyarakat. Dengan Majelis Pengawas Daerah di mana para anggotanya juga menjadi anggota masyarakat sehingga lebih mudah diakses. Masyarakat bisa mengadukan praktik kenotariatan yang menyimpang kepada Majelis Pengawas Daerah. Majelis Pengawas dibentuk dari mulai tingkat kabupaten/kota, disebut Majelis Pengawas Daerah (MPD), tingkat propinsi disebut dengan Majelis Pengawas Wilayah (MPW), dan tingkat nasional disebut Majelis Pengawas Pusat (MPP). Dalam pasal 67 (4) UUJN fungsi pengawasan lebih ditegaskan diantaranya adalah pengawasan terhadap : (1) perilaku notaris dan (2) pelaksanaan Jabatan Notaris. Aspek pertama, perilaku notaris, sebenarnya juga termasuk kehidupan pribadi. Mejelis Pengawas Daerah memiliki wewenang pada delapan bidang.
133
1. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan Jabatan notaris. 2. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu. 3. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan enam bulan. 4. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul notaris yang bersangkutan. 5. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 tahun atau lebih. 6. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 4.
133
Anke Dwi Saputro (penyadur), Op. Cit, hal. 234-235.
121
7. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran ketentuan undang-undang ini. 8. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud UUJN. Dengan adanya wewenang tersebut, maka Majelis Pengawas Daerah secara moral turut bertanggung jawab terhadap perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris. Oleh karena itu fungsi pengawasan tidak dapat dilepaskan dengan fungsi pembinaan dan perlindungan. Tanpa adanya pembinaan maka pengawasan tidak berarti, dalam artian bahwa pembinaan dilakukan supaya tidak terjadi pelanggaran baik
perhadap
perilaku
notaris,
maupun
pelaksanaan
jabatan.
Sedangkan
perlindungan diperlukan pada saat terjadi suatu permasalahan terhadap notaris, hendaknya Majelis Pengawas Daerah, memberikan perlindungan dengan pemeriksaan terhadap permasalahan yang dihadapi notaris, apakah merupakan pelanggaran kode etik yang termasuk dalam ranah hukum administrasi ataukah pelanggaran undangundang yang menjadi ranah hukum perdata maupun pidana. Majelis Pengawas Daerah tidak serta merta memberikan ijin pemeriksaan terhadap notaris sebelum dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu oleh Majelis Pengawas Daerah. Hal ini berkaitan dengan asas praduga tak bersalah dan posisi notaris sebagai pejabat umum yang melakukan tugas negara. Di samping itu, Majelis Pengawas Daerah juga mempunyai 6 (enam) kewajiban, yaitu : 134 1. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta, serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir. 134
Ibid, hal. 235-236
122
2. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Mejelis Pengawas Wilayah Setempat, dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, organisasi notaris, dan MPP. 3. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan. 4. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari notaris dan merahasiakannya. 5. Memeriksa laporan masyarakat terhadap notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada MPW dalam waktu tiga puluh hari dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan yakni Notaris yang bersangkutan, MPP dan organisasi notaris. 6. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti. Sedangkan wewenang Majelis Pengawas Wilayah ada 6 (enam) yaitu : 1. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Daerah. 2. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a. 3. Memberikan izin cuti lebih dari enam bulan sampai 1 tahun. 4. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor. 5. Memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis. 6. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap notaris kepada MPP berupa pemberhentian sementara selama 3 (tiga) sampai 6 (enam) bulan atau pemberhentian dengan tidak hormat. Di samping itu, Majelis Pengawas Wilayah berkewajiban menyampaikan keputusannya di atas kepada notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat dan organisasi notaris atau menyampaikan pengajuan banding dari notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. Sedangkan Majelis Pengawas Pusat mempunyai 4 (empat) wewenang, yaitu : 1. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengadili keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti. 2. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan, 3. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara.
123
4. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri. Sidang dalam tingkat Majelis Pengawas Pusat ini bersifat terbuka dan notaris diberi hak membela diri. Dalam pelaksanaan tugasnya MPP berkewajiban menyampaikan keputusannya kepada menteri dan notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan dan organisasi notaris. Dalam UUJN peran Majelis Pengawas Daerah sangat penting khususnya sebagai "benteng terakhir" yang memberikan atau menolak ijin pemanggilan dan pemeriksaan oleh penyidik atas diri seorang notaris. Majelis Pengawas Daerah menjadi soko guru bagi terlaksananya proses pengawasan yang berkualitas dan proporsional yang menjamin kepastian hukum, perlindungan hukum, dan ketertiban hukum bagi notaris maupun masyarakat pada umumnya. Majelis Pengawas Daerah juga menjadi saluran satu-satunya bagi masyarakat yang ingin mengadukan praktik tidak etis atau melanggar jabatan yang dilakukan notaris tertentu. Hal ini harus diakui menjadi faktor positif UUJN yang mendekatkan notaris dengan masyarakat yang pada undang-undang sebelumnya yaitu Peraturan Jabatan Notaris tidak mengatur.
124
B. Fungsi Dan Peranan Majelis Pengawas Daerah Terhadap Pemanggilan Notaris Pada Pemeriksaan Perkara Pidana Majelis Pengawas notaris secara umum mempunyai ruang lingkup kewenangan menyelenggarakan sidang majelis untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73ayat (1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b UUJN. Berdasarkan substansi pasal tersebut bahwa Majelis Pengawas notaris berwenang melakukan sidang untuk memeriksa: 1. Adanya dugaan pelanggaran Kode Etik; 2. Adanya dugaan pelanggaran pelaksanaan tugas jabatan notaris. 3. Perilaku para notaris yang di luar menjalankan tugas jabatannya sebagai notaris yang dapat mengganggu atau mempengaruhi pelaksanaan tugas jabatan notaris. Majelis Pengawas juga berwenang memeriksa fisik kantor notaris beserta perangkatnya juga memeriksa fisik minuta akta Notaris (Bab IV Tugas Tim Pemeriksa Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M. 39-PW.07.10. Tahun 2004). Tujuan dari pengawasan terhadap notaris agar para notaris ketika menjalankan tugas jabatannya memenuhi semua persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas jabatan notaris, demi untuk pengamanan dari kepentingan masyarakat, karena notaris diangkat oleh pemerintah, bukan untuk kepentingan diri notaris sendiri, tapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya.
125
Betapapun ketatnya pengawasan yang dilakukan Majelis Pengawas notaris, tidak mudah untuk melakukan pengawasan, hal ini terpulang kepada notaris sendiri dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab dalam tugas jabatannya mengikuti atau berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan tidak kalah pentingnya, yaitu peranan masyarakat untuk mengawasi dan senantiasa melaporkan tindakan notaris yang dalam melaksanakan tugas jabatannya tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku kepada Majelis Pengawas notaris setempat, dengan adanya laporan seperti ini dapat mengeliminasi tindakan notaris yang tidak sesuai dengan aturan hukum pelaksanaan tugas jabatan notaris. Pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yang di dalamnya ada unsur notaris, dengan demikian setidaknya notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang memahami dunia notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari notaris merupakan pengawasan internal artinya dilakukan oleh sesama notaris yang memahami dunia notaris luar dan dalam, sedangkan unsur lainnya merupakan unsur eksternal yang mewakili dunia akademik, pemerintah dan masyarakat. Perpaduan keanggotan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dari UUJN karena diawasi secara internal dan eksternal.
126
Fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan perkara pidana adalah : 1. Sebelum memberikan ijin pemeriksaan terhadap notaris, Majelis Pengawas Daerah terlebih dahulu memanggil dan memeriksa notaris yang bersangkutan dalam Sidang Majelis Pengawas untuk memeriksa dugaan adanya pelanggaran undang-undang atau Kode Etik. 135 Pelaksanaan tugas jabatan notaris, juga terhadap perilaku para notaris di luar tugas jabatannya sebagai notaris yang dapat mengganggu atau mempengaruhi pelaksanaan tugas jabatan notaris. Apabila dalam sidang Majelis Pengawas ternyata ada unsur yang memberatkan maka Majelis Pengawas Daerah akan memberikan surat ijin kepada notaris untuk menghadiri panggilan penyidik, dan jika tidak terbukti Majelis Pengawas Daerah akan memberikan surat jawaban kepada penyidik bahwa Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan ijin atas penyidikan terhadap notaris yang bersangkutan. Oleh karena itu Majelis Pengawas Daerah merupakan benteng terakhir bagi terlaksananya proses pengawasan yang berkualitas dan profesional, turut menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum serta ketertiban hukum bagi masyarakat dan notaris. 2. Terhadap hasil sidang majelis yang telah dilaksanakan, Majelis Pengawas Daerah dapat memberikan nasehat dan teguran lisan berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan notaris.
135
Wawancara dengan Ketua Majelis Pengawas Daerah Kota Medan pada tanggal 6 Nopember 2009 di Kantor Majelis Pengawas Daerah Kota Medan.
127
3. Majelis Pengawas Daerah secara moral turut bertanggung jawab terhadap perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris. Oleh karena itu fungsi pengawasan tidak dapat dilepaskan dengan fungsi pembinaan dan perlindungan. Pembinaan secara represif terhadap terjadinya pelanggaran hukum. Perlindungan khususnya berkaitan dengan azas praduga tidak bersalah dan posisi notaris sebagai pejabat umum yang sedang melaksanakan tugas negara, apabila terjadi proses hukum kepada pejabat notaris seharusnya dilaksanakan sesuai tata cara dan prosedur yang etis. 4. Majelis Pengawas Daerah merupakan saluran satu-satunya bagi masyarakat yang ingin mengadukan perilaku tidak etis atau pelanggaran jabatan yang dilakukan notaris dalam masyarakat, oleh karena itu keberadaan Majelis Pengawas Daerah sangat penting dalam praktek notaris.
128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan. Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Faktor yang menyebabkan notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana adalah : a. Apabila akta yang dibuatnya menimbulkan kerugian yang diderita para pihak maupun pihak lain berdasarkan bukti awal bahwa notaris patut diduga turut serta melakukan atau membantu melakukan suatu tindak pidana berkaitan dengan kewenangan notaris membuat akta otentik berdasarkan pasal 15 UUJN. b. Untuk mendapatkan keterangan dari notaris terhadap bukti materiil berkaitan dengan akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana, sehingga dapat dilakukan pemeriksaan yang obyektif dan sempurna oleh penyidik dan dapat memberi petunjuk awal sebagai dasar dalam Berita Acara penuntutan selanjutnya. c. Merupakan kewajiban setiap warga/anggota masyarakat untuk menghadiri pemeriksaan pidana sebagai saksi, saksi ahli atau juru bahasa berdasarkan pasal 224 KUHP, hal ini juga berlaku bagi notaris sebagai pejabat umum
129
dimana kehadirannya harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Majelis Pengawas Daerah berdasarkan pasal 66 UUJN. d. Berdasarkan pasal 65 UUJN bahwa notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun protokol notaris telah diserahkan kepada penyimpan protokol notaris. Artinya tanggung jawab notaris tidak berakhir meskipun notaris telah pensiun/purna tugas, sehingga setiap saat dapat dimintai pertanggungjawabannya atas akta yang dibuat, jika berindikasi perbuatan pidana e. Berdasarkan pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) Dalam perkara pidana, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama disamping alat bukti yang lainnya seperti keterangan ahli, surat (bukti-bukti tertulis), petunjuk dan keterangan terdakwa. Oleh karena itu pemanggilan notaris terhadap akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana dalam proses penyidikan sangat diperlukan. 2. Tanggung Jawab notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana sangat diperlukan meskipun ranah pekerjaan notaris
dalam
ranah
hukum
perdata
dan
hukum
administrasi
serta
pertanggungjawaban moral dan etika namun terhadap akta yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana maka notaris harus bertanggung jawab secara pidana, mulai pemeriksaan dalam proses penyidikan hingga proses pembuktian di persidangan dan melaksanakan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tuntutan tanggung jawab ini muncul sejak terjadinya sengketa atau
130
permasalahan berkaitan dengan akta yang telah dibuat karena memenuhi unsurunsur dalam perbuatan pidana meliputi : a. Perbuatan manusia. b. Memenuhi rumusan peraturan perundang-undangan, artinya berlaku asas legalitas, nulum delictum nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika hal tersebut tidak atau belum dinyatakan dalam aturan undang-undang). c. Bersifat melawan hukum. Dengan demikian mewajibkan notaris tersebut memberikan keterangan dan kesaksiannya berkaitan dengan aspek formil maupun materiil akta. 3. Fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan perkara pidana adalah : a. Memanggil notaris dan mengadakan sidang majelis untuk memeriksa notaris terhadap dugaan adanya pelanggaran undang-undang atau Kode Etik sebelum memberikan ijin pemeriksaan terhadap notaris. Apabila dalam sidang Majelis Pengawas ternyata ada unsur yang memberatkan maka Majelis Pengawas Daerah akan memberikan ijin pemeriksaan dan jika tidak terbukti, Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan ijin atas penyidikan terhadap notaris yang bersangkutan. b. Memberikan nasehat dan teguran lisan berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan notaris.
131
c. Secara moral turut bertanggung jawab terhadap perilaku notaris dalam pelaksanaan jabatan notaris. Oleh karena itu fungsi pengawasan tidak dapat dilepaskan dari fungsi pembinaan dan perlindungan. Pengawasan khususnya pemeriksaan kepada notaris harus mengedepankan rasa menghargai dan menghormati sesama perangkat negara, dengan mengedepankan asas praduga tak bersalah. d. Menjadi saluran satu-satunya bagi masyarakat yang ingin mengadukan perbuatan tidak etis atau pelanggaran jabatan yang dilakukan notaris.
B. Saran 1. Sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan untuk mengemban sebagian tugas negara, notaris seharusnya tidak mengahalalkan segala cara untuk mencapai profesionalnya. Notaris hendaknya benar-benar paham atas tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang dibebankan undang-undang kepadanya, oleh karena itu kualitas pelayanan dalam praktek kenotariatan hendaknya ditingkatkan dengan : a. peningkatan kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional. b. memberikan kepastian. c. meningkatkan daya tanggap dengan memberikan solusi atau nasehat hukum terhadap permasalahn yang dialami penghadap. d. meningkatkan penampilan diri dan fasilitas kantor serta empati.
132
2. Meskipun undang-undang memberikan perlindungan hukum kepada notaris dalam hal pemeriksaan perkara khususnya perkara pidana, hendaknya notaris tetap menjaga kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuatnya dengan memperhatikan aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materiil, sehingga aktanya mempunyai kekuatan hukum yang sempurna, dengan demikian notaris terhindar dari perbuatan pidana. 3. Adanya MoU antara organisasi notaris (INI) dengan Kepolisian Republik Indonesia, hendaknya Majelis Pengawas Daerah dapat proaktif dengan menjawab secepatnya atas ijin pemeriksaan terhadap notaris yang akan di periksa dalam tingkat penyidikan, sehingga tidak berlarut-larut menunggu ijin dari Majelis Pengawas Daerah. Majelis Pengawas Daerah hendaknya disamping sebagai pengawas terhadap perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris, juga mempunyai fungsi perlindungan khususnya berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah dan posisi notaris sebagai pejabat umum yang sedang melaksanakan tugas negara. Dalam prakteknya Majelis Pengawas Daerah tidak berwenang memberikan sanksi kecuali teguran lisan, hal ini menjadikan Majelis Pengawas Daerah kurang mempunyai wibawa, sehingga kurang dapat menekan angka pelanggaran yang dilakukan oleh notaris di daerah. Oleh karena itu hendaknya Majelis Pengawas Daerah diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi kepada notaris sehingga dapat menekan lebih efektif angka pelanggaran khususnya pelanggaran pidana.
133
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku : Abdurrahman, Muslan, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang, UMM Press, 2009. Adam, Muhammad, Asal Usul Dan Sejarah Notaris, Bandung, Sinar Baru, 1985. Adjie, Habib, Hukum Notaris Indonesia (tafsir tematik terhadap UU no.30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Bandung, Refika Aditama, 2008. , Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan Tentang Notaris dan PPAT, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2009. Anshori, Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia (Perspektif Hukum dan Etika), Cetakan Pertama, Yogyakarta, UII Press, 2009. Erickson dan Nosandhuk, Memahami Data Statistik Untuk Ilmu Sosial, Jakarta, LP3ES, 1996. Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-3, Malang, Bayumedia Publishing, 2007. Harahap, M Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, edisi ke-dua, Jakarta, Sinar Grafika, 2002. Kamelo, Tan, Hukum jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan yang Didambakan, Bandung, Alumni, 2004. Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni dengan Judul Buku asli General Theori of Law dan State, Alih Bahasa oleh Somardi, Jakarta, Rimdi Press, 1996. , (Alih Bahasa oleh Somardi), General Theory Of Law and State,Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Jakarta, BEE Media Indonesia, 2007. Komaruddin dan Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2006.
134
Kusumaatmadja, Mochtar dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum Buku I, Bandung, Alumni, 2000. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar maju, 1994. Lubis, Suhrawardi K, Etika Profesi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta, Sinar Grafika, 2006. Lumban Tobing, G.H.S. Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan ke-5, Jakarta, Erlangga Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, Cetakan ke-3, 2007. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty, 2003. Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta, PT karya Intan Maksima, 2006. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2004. Nasution, Bahder Johan Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Cetakan kesatu, 2008. Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center For Documentation And Studies Of Bussiness Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003. Ningrat, Koentjoro, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997. Notodisoerjo, R.Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia (Suatu Penjelasan), Jakarta, PT. Grafindo, 1993. Rahardjo, Satjipto, llmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1996. Rasjidi, Lili dan Putra, I. B. Wiyasa, Hukum Sebagai Suatu System, Bandung, Remaja Rosdakarya. Saputro, Anke Dwi (Penyadur), Jati Diri Notaris Indonesia, Dulu, Sekarang dan Di Masa Datang, Jakarta, PT Gramedia, 2008.
135
Setiawan, Rahmat, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung, Putra A Bardin, Cetakan Keenam, 1999 Singarimbun, Masri dkk, Metode Penelitian Survey, Jakarta, LP3ES, 1989. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986. dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995. Subagyo, P. Joko, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta, PT Rineka Cipta, 1997. Subekti, R, Hukum Pembuktian, Jakarta, Pradnya Paramita, 2005. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001. Supriadi, Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2008 Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo, 1998. Sutrisno, Diktat Kuliah Komentar Atas Undang-Undang Jabatan Notaris, Medan, 2007. Tedjosaputro, Liliana, Etika Profesi dan Profesi Hukum, Semarang, Aneka Ilmu, 2003. Tunggal, Hadi Setia, Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Jabatan Notaris dilengkapi Putusan Mahkamah Konstitusi & AD, ART dan Kode Etik Notaris, Jakarta, Harvarindo, 2006. Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Semarang, PT. Ghalia Indonesia, 1996.
Undang-Undang : R Subekti dan R Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2008.
136
Soerodibroto, R Sunarto, KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahakamah Agung dan Hoge Raad, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003, Undang-Undang Dasar tahun 1945. Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian. Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor : 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor : 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Jabatan Notaris, Undang-undang Republik Indonesia nomor : 30 tahun 2004 & Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor : 37 tahun 1998 tentang PPAT, dilengkapi : Peraturan Menteri, Peraturan Kepala Badan Pertanahan dan Surat Edaran Dirjen Pajak.
Lain – Lain : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke3, Balai Pustaka, Jakarta, 2001. Hartanto, John Surjadi, Kamus Bahasa Indonesia 1998, Indah, Surabaya, 1998. http://hukum.ugm.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=183&Itemid =180 diakses terakhir tanggal 21 Nopember 2008 jam 21.26 http://www.atmajaya.ac.id/content.asp?f=5&kastsus-16&id=439,diakses tanggal 21 nopember 2008
terakhir
Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, Pembekalan dan Penyegaran Pengetahuan, Hotel JW Marriott Surabaya, 28-31 Januari 2009. Lotulung, Paulus Efendi, Perlindungan Hukum Bagi Notaris Selaku Pejabat Umum Dalam Menjalankan Tugasnya, Media Notariat, Ikatan Notaris Indonesia, Edisi April, 2002.
137
Penjelasan atas Kode Etik Notaris pasal 1 ayat (2) Keputusan Sidang Pleno Kongres INI ke XIII di Bandung tahun 1987. Renvoi, Nomor : 4.28.III, 3 September 2005. _______ Nomor : 6.42.IV, 3 Nopember 2006. _______ Nomor : 6.66.VI, 3 Nopember 2008. Sambutan Kapolda Sumut pada pembukaan acara “Seminar pemeriksaan dan penyidikan oleh Polri terhadap notaris/PPAT sebagai Saksi/Tersangka atas perbuatan tindak pidana” pada tanggal 27 Oktober 2007.