PERANAN BADAN PENASIHAT, PEMBINAAN DAN PELESTARIAN PERKAWINAN (BP4) DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERKAWINAN SECARA MEDIASI Oleh : Suhaibah (Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Jabal Ghafur Sigli) ABSTRACT The objective of this paper is to describe the implementation of mediation in the settlement of marital disputes in advisory, development and preservation of marriage (BP4) district, the obstacles encountered in the implementation of mediation in the settlement of marital disputes BP4 District and efforts made to overcome the obstacles in resolving marital disputes. Metodelogy used in this study is a descriptive analytical and normative juridical approach of empirical, which outlines the implementation of mediation in the settlement of marital disputes in Advisory, Development and Preservation of Marriage (BP4) subdistrict in Pidie. That the implementation of mediation in the settlement of marital disputes in Advisory, Development and Preservation of Marriage (BP4) District in practice carried out based on the provisions of Perma about mediation and also considering the function of BP4 that aims to become a marriage counselor institution that aims to realize and enhance the sacred value of marriage so as to realize the happy prosperous households according to Islamic guidance. In the event of a dispute at the mediation carried out by stages BP4 following steps: (1) Preparation Phase to appoint a mediator, (2) the implementation phase of information gathering and sharing, and (3) Phase Decision Making with making any peace agreement. However, in reality the method of mediation is not fully bring satisfactory results in accordance with applicable regulations. Obstacles encountered in the implementation of the mediation settlement of marital discord on BP4 District, as well as the implementation of mediation in general, the constraints of the law, the limited ability of BP4 in mediation, cultural barriers in terms of the legal presumption that the case presented to the court is the last resort to settle disputes, the resistance of the lack of availability of facilities and infrastructure and the operating budget and not optimal reporting and evaluation. Efforts made to overcome the obstacles in resolving marital disputes do with increased resources of the executive apparatus BP4 task, in terms of the implementation of mediation in resolving marriage, seek the provision of facilities, infrastructure and budget for implementation of mediation in resolving marital discord and seeking socialization regarding BP4 existence and legal provisions regarding penyelenggaaraan mediation in resolving marital disputes. Efforts are needed nationally among others by restructuring BP4. Keywords : Mediation, marriage disputes, BP4.
PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan naluriah hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan keluarga sesuai dengan ajaran Islam.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur bahwa perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsqan ghalidhan) untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk segera melaksanakannya. Perkawinan dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan maupun dalam bentuk perzinaan.
1
Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan oleh dua orang laki-laki. Dengan demikian dapat diperoleh pengertian bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah “suatu akad atau perikatan laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diikuti rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang dirdhai Allah”. Memaknai perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan rahmah, maka untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan kedua belah pihak, terutama lagi yang terkait dengan hak dan kewajiban. Dalam kehidupan rumah tangga sering dijumpai orang (suami isteri) mengeluh dan mengadu kepada orang lain/ keluarganya, akibat karena tidak terpenuhinya hak yang harus diperoleh atau tidak dilaksanakannya kewajiban dari salah satu pihak, atau karena alasan lain, yang dapat berakibat timbulnya suatu perselisihan di antara keduanya (suami isteri) tersebut. Perselisihan dapat pula berbuntut pada putusnya ikatan perkawinan (perceraian). Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan yang berwenang setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Happy Marpaung memberikan perumusan perceraian sebagai suatu bentuk “pembubaran perkawinan ketika pihak-pihak masih hidup, dengan alasan yang benar dan ditetapkan dengan suatu putusan pengadilan”. 1 Menurut H.A. Fuad Said seperti dikutip Abdul Manan yang dimaksud dengan perceraian adalah “putusnya
perkawinan antara suami isteri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya isteri atau suami”. 2 Sayyid Sabiq seperti dikutip Abdul Manan perceraian atau talak adalah : Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya perkawinan, dan ini dilarang kecuali karena alasan yang benar dan terjadi hal yang sangat darurat. Jika perceraian dilaksanakan tanpa ada alasan yang benar dan tidak keadaan darurat, maka perceraian itu berarti kufur terhadap nikmat Allah dan berlaku jahat kepada isteri. Oleh karena itu, dibenci dan dilarang. 3 Zainuddin Ali menegaskan perceraian dalam ikatan perkawinan adalah sesuatu yang dibolehkan oleh ajaran Islam. Apabila sudah ditempuh berbagai cara untuk mewujudkan kerukunan, kedamaian dan kebahagiaan, namun harapan dalam tujuan perkawinan tidak akan terwujud atau tercapai sehingga yang terjadi adalah perceraian. 4 Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa perceraian itu baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan kedua (suami isteri) untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan perceraian. Tata cara perceraian bila dilihat dari aspek subjek hukum atau pelaku yang mengawali terjadinya perceraian dapat dibagi menjadi dua aspek, yaitu sebagai berikut :5 1. Cerai talak (suami yang bermohon untuk bercerai), Apabila suami yang
1
5
Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Toni, Bandung, 1993, hal. 15.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
2
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Jakarta, 2005. hal. 443.
3
Ibid.
4
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal. 80. Zainuddin Ali, Op.Cit., hal. 80-81.
2
mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menceraikan isterinya, kemudian sang isteri menyetujuinya disebut cerai talak. 2. Cerai Gugat (Isteri yang bermohon untuk bercerai), Cerai gugat adalah ikatan perkawinan yang putus sebagai akibat permohonan yang diajukan oleh isteri ke Pengadilan Agama, yang kemudian termohon (suami) menyetujuinya, sehingga pengadilan agama mengabulkan permohonan dimaksud. Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Namun jauh sebelumnya dalam AlQur’an surah An-Nisaa ayat 35, Allah SWT., telah memerintahkan bahwa jika dikhawatirkan ada persengketaan antara keduanya (suami isteri), maka kirimlah seorang hakam (mediator) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (mediator) dari keluarga perempuan. Dari ayat tersebut, dapat dipahami bahwa salah satu cara menyelesaikan perselisihan/persengketaan antara suami isteri, yaitu dengan jalan mengirim seorang hakam selaku “mediator” dari kedua belah pihak untuk membantu menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia pesan Al-Qur’an Surat AnNisa, 35 yang dalam konteks Indonesia diwujudkan dengan adanya lembaga Badan Penasihat dan Penyelesaian Perselisihan Perkawinan (BP4). Dalam Pasal 30 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 dijelaskan: “Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat minta bantuan kepada Badan Penasihat dan Penyelesaian Perselisihan Perkawinan (BP4) setempat”. 6 Hal ini sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merevisi PERMA 6
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 303.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
Nomor 2 Tahun 2003. Dalam PERMA tersebut dituangkan beberapa hal di antaranya adalah Pertama, wajib melakukan proses mediasi yang terkait dengan proses berperkara di pengadilan (Pasal 2 ayat (1)); Kedua, setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam peraturan ini; Ketiga, tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum; Keempat, hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut upaya mediasi dalam penyelesaian sengketa perselisihan perkawinan. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan pokok permasalahan yang diteliti lebih mendalam pada penulisan ini, adalah bagaimanakah peranan dan fungsi Badan Penasihat Pembinaan Dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Dalam Penyelesaian Perselisihan Perkawinan Secara Mediasi? PEMBAHASAN Lawrence Meir Friedman, mengatakan bahwa “hukum memiliki tiga aspek agar dapat berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat, yakni: (1) Structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); (2) Substance (materi hukum); (3) Legal Culture (budaya hukum)”.7 Peran hukum dalam masyarakat memang sering menimbulkan banyak persoalan, hukum bahkan dianggap sebagai instrumen pengatur yang sah dalam negara hukum. Dengan 7
Lawrence Meir Friedmen, American Law: An Introduction (New York: W.W Norton and Company, 1984) yang dikutip dari ceramah pengukuhan guru besar Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 5.
3
kedudukan yang demikian, hukum mempunyai kekuatan untuk memaksa. Berkaitan dengan keberadaan hukum itu sendiri di tengah masyarakat, Mochtar Kusumaatmadja, menyatakan bahwa tujuan utama adanya hukum adalah jaminan ketertiban, keadilan, dan kepastian. 8 Jadi fungsi hukum itu pasif, yaitu mempertahankan status quo sebagai a tool of social control, sebaliknya hukum pun dapat berfungsi aktif sebagai a tool of social engineering. Oleh karena itu, penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial didominasi oleh kekuasaan negara. Dengan demikian, sesuai dengan pendapat Satjipto Raharjo bahwa Hukum tidak dapat dilepaskan dari perubahan sosial. 9 Hal ini juga dianut dalam hukum perkawinan Indonesia dimana dalam pelaksanaannya hukum perkawinan memiliki berbagai ketentuan yang didasarkan pada sistem hukum, seperti sistem hukum Islam, Hukum adat dan juga hukum Perdata. Sudarsono mengemukakan asas-asas atau prinsipprinsip yang tercantum dalam Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini adalah sebagai berikut : a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil. b. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
c.
d.
e.
f.
8
Mochtar Kusumaatmadja, KonsepKonsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, Alumni-Bandung, 2002, hal. 5-6. 9
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984, hal. 254.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
g.
agamanya dan kepercayaannya itu; dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Undang-undang ini menganut asas monogami . Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu di kehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus di cegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluaraga yang bahagia dan kekal, maka undangundang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan 4
dan diputuskan bersama oleh suami isteri.10 Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki. Dengan demikian dapat diperoleh pengertian bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah “suatu akad atau perikatan lakilaki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kabahagiaan hidup keluarga yang diikuti rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah”. 11 Sedangkan dalam literatur fiqh berbahasa Arab perkawinan atau pernikahan disebut dengan dua kata yaitu “nikah” dan “zawaj”. “Nikah” berarti bergabung, hubungan kelamin dan juga berarti akad. 12 Dalam perkawinan yang dibangun oleh pihak suami isteri dengan dasar suka rela dalam arti bebas dari paksaan pihak luar. Jika dalam kondisi tertentu kondisi itu tidak dapat dipertahankan lagi akibat seringnya terjadi perselisihan, maka Islam memperbolehkan untuk memutuskan ikatan tersebut dengan dasar pertimbangan kedua belah pihak. Namun, dalam upaya penyelesaian nya diperlukan adanya upaya mendamai kan para pihak dalam perkawinan tersebut. Salah satunya melalui upaya mediasi. Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. 13 Namun tidak selamanya proses penyelesaian sengketa 10
M. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. hal. 8-9. 11
A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2004, hal. 33. 12 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, hal. 35-36 13 Muliadi Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian http://makmum-anshory.blogspot.com/. html, Diakses Januari 2010
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
secara mediasi, murni ditempuh di luar jalur pengadilan. Salah satu contohnya, yaitu pada sengketa perceraian dengan alasan, atau atas dasar syiqaq, dimana cara mediasi dalam masalah ini tidak lagi dipandang sebagai cara penyelesai an sengketa di luar pengadilan, tetapi ia juga merupakan bagian dari proses penyelesaian sengketa di pengadilan. 14 Digunakannya konsep mediasi dengan cara mendamaikan suami isteri yang terlibat dalam perselisihan perkawinan juga dikemukakan oleh Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak dan dapat minta bantuan kepada Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4)”.15 Dalam hal ini BP4 juga berperan sebagai pihak yang mendamaikan sebelum dilakukan mediasi oleh hakam mediator. Menurut bahasa Arab kawin disebut dengan al-nikah. 16 Al-nikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul, terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam’u atau ibarat ‘an al-wath wa al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 17 Istilah nikah yang sering digunakan dalam bahasa Indonesia, sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti kata nikah mempunyai dua makna, yaitu perjanjian/ akad dan bersetubuh/berkumpul. Perkawinan merupakan perjanjian yang setia mensetiai, dan sama-sama bertanggung jawab dalam menunaikan tugasnya sebagai suami-isteri atas keselamatan dan kebahagiaan rumah 14
Ibid. Ahmad Rofiq, Op.Cit., hal 303. 16 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ pentafsiran Al-Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 468. 15
17
Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal. 38.
5
tangga. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Perselisihan dan Penyelesaian Sengketa Perkawinan Menurut Pasal 38 UU Perkawinan perkawinan dapat putus dikarenakan tiga hal, yaitu (1) Kematian, (2) Perceraian, dan (3) Atas Keputusan Pengadilan. Kematian merupakan penyebab putusnya perkawinan yang tidak dapat dihindari oleh pasangan suami isteri karena merupakan kehendak yang maha kuasa dan tidak dipengaruhi oleh kehendak manusia. Kematian suami/isteri tentunya akan mengakibatkan perkawinan putus sejak terjadinya kematian. Apabila perkawinan putus disebabkan meninggalnya salah satu pihak maka harta benda yang diperoleh selama perkawinan akan beralih kepada keluarga yang ditinggalkan dengan cara diwariskan. Demikian pula halnya dengan anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menjadi tanggung jawab dari pihak yang hidup lebih lama. Sedangkan putus perkawinan akibat perceraian dan atas keputusan pengadilan biasanya terjadi akibat adanya campur tangan manusia atau kehendak dari para pihak yang bersangkutan dengan perkawinan tersebut. Pada dasarnya dilakukannya suatu perkawinan adalah bertujuan untuk selama-lamanya. Tetapi ada sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Akan tetapi, dalam kenyataannya prinsip-prinsip berumah tangga kerapkali tidak dilaksanakan, sehingga suami dan isteri tidak lagi merasa tenang dan tenteram serta hilang rasa kasih sayang dan tidak lagi saling cinta mencintai satu sama lain, yang akibat lebih jauh adalah terjadinya perceraian. Kepada mereka yang mengakhiri perkawinannya akan diberikan akta perceraian sebagai bukti berakhirnya perkawinan mereka. Akta
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
perceraian ditandatangani oleh panitera kepala. Pasal 221 KUH Perdata yang menentukan setiap salinan putusan perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus didaftarkan pada instansi berwenang guna dicatatkan oleh Pejabat Pencatat pada buku register perceraian. Pentingnya pencatatan ini adalah untuk memenuhi Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menentukan bahwa perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibat hukumnya terhitung sejak pendaftaran, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan perceraian, yaitu: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun beturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat selama perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri; e. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain; f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga (Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Selanjutnya dalam Pasal 41 Undang-Undang Perkawinan disebutkan beberapa hal akibat hukum putusnya
6
perkawinan yang dikarenakan oleh perceraian : a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusan. b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul biaya tersebut. c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri. Penyelesian Sengketa dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Perkawinan Manusia, dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial harus mampu membangun interaksi dengan yang lain. Dalam konteks sosial apabila diamati secara seksama mempunyai potensi positif atau negatif dengan pengertian saling menguntungkan satu sama lainnya (simbiosis mutualisme), saling merugikan, atau yang satu untung dan lainnya rugi. Kondisi dan fenomena yang demikian seringkali dapat disaksikan dalam kenyataan hidup ini, baik dalam hubungan keluarga (antara suami-isteri) maupun hubungan hukum lainnya. Dari kedua potensi tersebut, potensi negatif yang berupa timbulnya perselisihan yang berujung pada sengketa yang memerlukan upaya penyelesaian secara baik. Perlunya upaya penyelesaian ini karena perselisihan yang berkepanjangan dapat memicu terjadinya konflik di antara para pihak yang melakukan interaksi sosial. Perlunya penyikapan tersebut menurut Siti Juariyah yang mengatakan bahwa “Perlunya upaya untuk menyingkapi atau menyelesaikan perselisihan adalah karena adanya sebuah kesadaran bahwa konflik yang ditimbulkan dari sebuah interaksi sosial
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
yang saling merugikan dapat mengakibatkan terjadinya disharmoni kehidupan masyarakat”. 18 Dalam konteks demikian, sesungguhnya penyelesaian sengketa atau konflik dapat dilakukan melalui beberapa cara penyelesaian baik melalui lembaga pengadilan (litigasi) maupun di luar lembaga pengadilan (non litigasi). Kedua lembaga penyelesaian sengketa tersebut tentunya merupakan upaya penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh para pihak. Namun pada awalnya alangkah baiknya mengupayakan adanya penyelesaian secara damai setiap permasalahan atau perselisihan yang terjadi. Mengingat perdamaian (ishlah), saling memaafkan dan saling menyadari akan kekurangan dan kelebihan masing-masing akan lebih baik dari pada menempuh jalur pengadilan yang tentu saja akan menyisakan beban moral dan psikologis bagi para pelakunya. Demikian pula dalam hal hubungan perkawinan yang merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undangundang, yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat, sedangkan ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak. Namun persoalannya, jika setiap unsur dalam keluarga terutama suami dan isteri tidak memahami dan melaksanakan semua itu dengan baik, maka jadilah keluarga mereka sebagai keluarga yang bermasalah, penuh fitnah, penuh prasangka, tidak harmonis, dan akhirnya keluarga itu tidak dapat dipertahankan kelangsungannya. Oleh karena itu faktor penasihatan atau penyelesaian secara damai menjadi sangat penting dalam rangka 18
Siti Juwariyah, Potret Mediasi Dalam Islam, www.badilag.net, Diakses Oktober 2010
7
mengembalikan keluarga kepada rel yang semestinya. Mediasi Sebagai Salah Satu Alternatif Penyelesaian Sengketa Perkawinan Dalam perkawinan yang dibangun oleh pihak suami isteri dengan dasar suka rela dalam arti bebas dari paksaan pihak luar. Jika dalam kondisi tertentu tidak dapat dipertahankan lagi akibat seringnya terjadi percekcokan atau perselisihan, maka Islam memperbolehkan untuk memutuskan ikatan tersebut dengan dasar pertimbangan kedua belah pihak. Namun dalam upaya penyelesaiannya diperlukan adanya upaya mendamaikan para pihak dalam perkawinan tersebut. Salah satunya melalui upaya mediasi. Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian sengketa “non litigasi”, yaitu penyelesaian yang dilakukan di luar jalur pengadilan. Huala Adolf mengatakan bahwa mediasi adalah proses melibatkan keikutsertaan pihak ketiga (mediator) yang netral dan independen dalam suatu sengketa. Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara, individu, organisasi internasional dan lain-lain. 19 Sedangkan di dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan bahwa Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator; Dengan berbagai pengertian mediasi tersebut, dapat dinyatakan bahwa mediasi sesungguhnya merupakan proses penyelesaian sengketa secara netral oleh pihak ketiga yang dilakukan dalam suasana dialog yang terbuka, tidak berpihak, jujur dan tukar pendapat untuk mencapai kata mufakat. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan ditentukan bahwa :
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri. (3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Para pihak atau suami isteri yang mengakhiri perkawinannya dengan perceraian itu baru dapat dilaksanakan apabila telah dilakukan berbagai cara untuk mendamaikan keduanya (suami isteri) untuk tetap mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka dan ternyata tidak ada jalan lain kecuali dengan jalan perceraian. Salah satu alasan atau sebab dimungkinkannya perceraian adalah syiqaq (terjadinya perselisihan/ persengketaan yang berlarut-larut antara suami isteri). Sesuai dengan ketentuan Hukum Islam dalam Al-Qur’an surah An-Nisaa ayat 35 dan hukum perkawinan, Pengadilan Agama dalam setiap kesempatan berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Di Indonesia upaya mendamaikan tersebut diwujudkan dengan adanya lembaga Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan kini sudah secara terbuka diberi kesempatan oleh PERMA untuk dapat ikut berkiprah dalam melakukan upaya perdamaian dalam sistem penyelesaian perkara di pengadilan melalui mediasi. Keikutsertaan tersebut dilakukan melalui halhal sebagai berikut: 20 1. Mempersiapkan tenaga-tenaga BP4 untuk ikut diklat mediator yang diselenggarakan oleh lembaga diklat yang sudah terakreditasi oleh MA. 2. Mendaftarkan nama-nama mediator, yang sudah mengikuti pendidikan
19
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Cet I, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. hal. 120.
20
Wahyu Widiana, Op.Cit., hal 12-
13.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
8
dan mendapatkan sertifikat, kepada Pengadilan Agama. 3. Sementara itu, secara simultan, mempersiapkan juga organisasi BP4 menjadi lembaga yang dapat menyelenggarakan diklat mediator tersendiri.21 Melalui cara tersebut BP4 akan mampu menyiapkan mediator-mediator handal melebihi mediator-mediator lainnya. BP4 juga akan mampu berfungsi sebagai lembaga penyelenggara diklat mediator dan diklat training of trainer di bidang mediator, yang terakreditasi dan berwenang mengeluarkan sertifikat. 22 Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa upaya penyelesaian perselisihan perkawinan, guna menghindari terjadinya perceraian yang dapat membawa akibat hukum terhadap anak dan harta benda perkawinan, maka diupayakan untuk mendamaikan pihak suami isteri yang berselisih. Upaya mendamaikan tersebut dapat dilakukan melalui (1) Badan Penasihat dan Penyelesaian Perselisihan Perkawinan yang sekarang dikenal dengan “Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan” (BP4) dan (2) Lembaga Mediasi dengan mengangkat seorang Mediator. Dalam hal para pihak dalam perkawinan berselisih dan yang mengajukan gugatan perkara ke Mahkamah Syar’iyah dan menerima saran untuk melakukan upaya damai yang disarankan, maka kemudian dilakukan penunjukan pihak ketiga yang membantu menyelesaikan sengketa disebut dengan mediator. Menurut Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang disebut dengan mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan/ mengupayakan sebuah penyelesaian secara mediasi.
Seperti dijelaskan sebelummnya bahwa ketentuan mediasi di pengadilan mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan. Selain itu institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif). Hukum acara yang berlaku baik Pasal 130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun Pasal 154 Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses ini. Penggabungan dua konsep penyelesaian sengketa ini diharapkan mampu saling menutupi kekurangan yang dimiliki masingmasing konsep dengan kelebihan masing-masing. Proses peradilan memiliki kelebihan dalam ketetapan hukumnya yang mengikat, akan tetapi berbelit-belitnya proses acara yang harus dilalui sehingga akan memakan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit yang harus ditanggung oleh para pihak dalam penentuan proses penyelesaian mediasi mempunyai kelebihan dalam keterlibatan para pihak dalam penentuan proses penyelesaian, sehingga prosesnya lebih sederhana, murah dan cepat dan sesuai dengan keinginan. Akan tetapi kesepakatan yang dicapai tidak memiliki ketetapan hukum yang kuat sehingga bila dikemudian hari salah satu dari pihak menyalahi kesepakatan yang telah dicapai maka pihak yang lainnya akan mengalami kesulitan bila ingin 23 mengambil tindakan hukum. Penggunaan mediasi pada lembaga damai ini bermula dengan 23
21 22
Ibid. Ibid.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbiterase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta , 2000, hal. 23-33
9
dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) tentang pemberdayaan pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai. SEMA tersebut dikeluarkan menyikapi salah satu problema yang dihadapi oleh lembaga peradilan di Indonesia dalam hal tunggakan perkara di tingkat kasasi (MA) dan rasa ketidakpuasan para pencari keadilan terhadap putusan lembaga peradilan yang dianggap tidak menyelesaikan masalah. SEMA ini merupakan langkah nyata dalam mengoptimalkan upaya perdamaian sehingga pelaksanaannya tidak hanya sekedar formalitas. Namun karena beberapa hal yang pokok belum secara eksplisit diatur dalam SEMA tersebut maka MA mengeluarkan Perma No. 2 tahun 2003 yang berisi tentang ketentuan umum, tahapan, tempat dan biaya mediasi di pengadilan dan kemudian terakhir disempurnakan dengan keluarnya Perma No. 1 tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pilihan penyelesaian sengketa dalam bentuk mediasi merupakan teknik atau mekanisme penyelesaian sengketa yang mendapat perhatian serta diminati dengan beberapa alasan yang melatarbelakanginya sebagai berikut: 1. Perlunya menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih fleksibel dan responsif bagi kebutuhan para pihak yang bersengketa. 2. Untuk memperkuat keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian sengketa. 3. Memperluas akses mencapai atau mewujudkan keadilan sehingga setiap sengketa yang memiliki ciriciri tersendiri terkadang tidak sesuai dengan bentuk penyelesaian yang satu akan cocok dengan bentuk penyelesaian yang lain dan para pihak dapat memilih mekanisme penyelesaian sengketa yang terbaik
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
dan sesuai dan sengketa yang dipersengketakan. 24 Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa penyelesaian sengketa alternatif melalui upaya mediasi telah diakui keberadaannya dan telah dipraktekkan Mahkamah Syar’iyah Sigli sesuai dengan ketentuan Perma No. 1 Tahun 2008. Pada dasarnya upaya penyelesaian secara mediasi ini apabila dilaksanakan secara benar dan tepat memiliki peran yang sangat penting dalam penyelesaian perselisihan dan sengketa perkawinan khususnya dalam mendamaikan para pihak berselisih sebelum dilakukan persidangan. Namun tingkat keberhasilan lembaga mediasi dalam mendamaikan perselisihan perkawinan sangat rendah, dimana walaupun telah diakui keberadaannya dan telah dipraktekkan Mahkamah Syar’iyah Sigli sesuai dengan ketentuan Perma No. 1 Tahun 2008. Dalam pelaksanaan proses penyelesaian perselisihan perkawinan melalui mediasi diangkat seorang mediator. Selain itu, Mahkamah Syar’iyah atau hakim harus terlebih dahulu mengetahui secara seksama apa dan bagaimana perselisihan serta persengketaan suami isteri, dan faktor yang melatar belakangi perselisihan sudah dapat diraba, barulah hakim memberi bekal kepada hakam (mediator) tentang segala sesuatu yang ditemukan di persidangan untuk dijadikan bahan menjajaki usaha penyelesaian perselisihan. Dan agar hakam dapat bekerja sebaik mungkin, segala sesuatu yang terjadi di persidangan haruslah disampaikan kepadanya. 25 Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Pengadilan Agama, bahwa yang berwenang mengangkat hakam adalah pengadilan/Mahkamah Syariyah, yang pengangkatannya dilakukan oleh Ketua 24
Busjaman Sufi dan Kamaruddin Abdullah, Hakim Mahkamah Syar’iyah Sigli, Wawancara 8 Nopember 2010. 25 Bustaman Sufi dan Kamaruddin Abdullah, Hakim Mahkamah Syar’iyah Sigli,Wawancara 8 dan 9 Nopember 2010
10
Majelis yang memeriksa perkara. Namun dari segi pendekatan hukum Islam maupun dari segi pendekatan hukum acara perdata, pengusulan hakam datang dari pihak-pihak yang berperkara. Para pihak bebas memutuskan siapa yang mereka inginkan menjadi hakam dari pihaknya. Akan tetapi apa yang mereka usulkan, tidak mengikat hakim. Oleh karena demikian, sebaiknya hakim menganjurkan kepada para pihak untuk mengusulkan beberapa orang, serta dalam pengusulan itu dilengkapi dengan biodata masing-masing calon. Beberapa syarat lain yang kaitannya bukan dengan kemampuan personal mediator adalah kepatutan seorang mediator dilihat dari ukuran-ukuran formalnya, yaitu: 26 1. Disetujui oleh kedua belah pihak; 2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa; 3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa; 4. Tidak memiliki kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak; 5. Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya. Syarat-syarat yang dikemukakan di atas mengenai syarat mediator tidak dinyatakan dalam Perma Nomor 1 tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan secara rinci. Oleh karena itu, aspek-aspek yang terkait dengan syaratsyarat di atas dapat dijadikan pertimbangan dalam memilih seorang mediator. Dalam Perma Nomor 1 tahun 2008 di antaranya adalah (a) mediator harus memiliki sertifikat mediator (b) hakim pengadilan dapat diangkat sebagai mediator jika tidak ada mediator yang bersertifikat, advokat, akademisi
hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator. 27 Jadi dalam hal penunjukan mediator yang dapat menjadi pihak yang paling berperan dalam penyelesaian perselisihan perkawinan dengan alasan syiqaq diperlukan adanya persyaratan yang ditentukan baik oleh ketentuan yang bersifat khusus maupun umum. Persyaratan dimaksud kan agar mediator tersebut benar-benar mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang diharapkan dalam Perma No. 1 Tahun 2008. Pihak ketiga yang ditunjuk sebagai mediator memiliki sejumlah kewenangan dan tugas dalam menjalankan proses mediasi, mediator memperoleh tugas dan kewenangan tersebut dari para pihak yang menunjuknya agar terlibat menyelesaikan sengketa. Kewenangan dan tugas mediator terfokus kepada mempertahankan proses mediasi. Menurut Cristoper W. Moore seperti dikutip Rachmadi Usman terdapat 12 faktor yang menyebabkan proses mediasi menjadi efektif: 28 1) Para pihak memiliki sejarah pernah bekerja sama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai beberapa hal.
27
Bandingkan syarat-syarat mediator ini dalam “Buku Panduan Mediator Desa” karya Taufiq Rinaldi, dkk., t.t. tidak diterbitan, antara lain dinnyatakan : Seorang mediator sebaikya memiliki kriteria sebagai berikut: a. Dapat diterima oleh keduabelah pihak yang bersengketa b. Tidak memihak c. Ramah, terbuka dan percaya diri d. Bersimpati dan memiliki toleransi terhadap pihak-pihak yang bersengketa e. Mampu merumuskan permasalahan dan alternatif penyelesaiannya f. Mampu mengatasi situasi yang kurang menguntungkan. 28
26
Ibid., 15-16
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. PT Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 102103.
11
2)
Para pihak yang bersengketa (terlibat dalam proses mediasi) tidak memiliki sejarah panjang saling menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi. 3) Jumlah pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak yang berada di luar masalah. 4) Pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas. 5) Para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah mereka. 6) Para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai hubungan lebih lanjut di masa yang akan datang. 7) Tingkat kemarahan dari para pihak masih dalam batas normal. 8) Para pihak bersedia menerima bantuan pihak ketiga 9) Terdapat alasan-alasan yang kuat untuk menyelesaikan sengketa. 10) Para pihak tidak memiliki persoalan psikologis yang benar-benar menggangu hubungan mereka. 11) Terdapat sumber daya untuk tercapainya sebuah kompromi. 12) Para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai. Alokasi yang terbesar dalam mediasi biasanya terjadi pada tahap negosiasi, karena dalam negosiasi ini membicarakan masalah krusial yang diperselisihkan. Pada tahap ini terbuka kemungkinan terjadi perdebatan bahkan dapat terjadi keributan antara para pihak yang bersengketa. Seorang mediator harus bisa menjalin kerja sama dengan para pihak secara bersama-sama dan terpisah untuk mengidentifikasi isu-isu, memberikan pengarahan para pihak tentang tawar menawar pemecahan masalah serta mengubah pendirian para pihak dari posisi masing-masing menjadi kepentingan bersama. 29
Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang dahulu bernama Badan Penasihatan Perkawinan Perselisihan dan Perceraian (BP4) merupakan badan semi resmi pemerintah yang bertugas membantu Departemen Agama dalam bidang pembangunan keluarga. Kelahirannya dilatarbelakangi tingginya angka perceraian. Semula bersifat sektoral, kemudian disatukan dengan nama “Badan Penasihatan Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian” melalui Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 85 Tahun 1961. kemudian disusul dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 1977. Dalam Keputusan Menteri Agama tersebut ditegaskan mengenai kedudukan dan tugas BP4, yaitu sebagai berikut, BP4 merupakan satu-satunya badan yang bertugas menunjang sebagian tugas Departemen Agama dalam hal ini Ditjen Bimas Islam dan Urusan Haji dalam bidang penasihatan perkawinan, perselisihan dan perceraian, namun bukan organisasi struktural Departemen Agama dan kedudukannya bersifat semi resmi yang mendapat subsidi dari pemerintah karena sifat keanggotaannya tidak mengikat. Dalam situasi dan kondisi semacam ini BP4 tetap melaksanakan tugas dan mengembangkan misi untuk meningkatkan mutu perkawinan dan mewujudkan keluarga bahagia sejahtera. 30
Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan tentunya tidak lahir tanpa sebab, tentu saja ada beberapa alasan yang mendorong dilahirkannya organisasi yang bergerak dalam “bengkel” rumah tangga tersebut. Beberapa faktor yang mendorong berdirinya BP4 menurut Zubaidah Muchtar adalah : “Tingginya angka perceraian, banyaknya perkawinan di bawah umur dan terjadinya praktek
Kewenangan Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kecamatan dalam Penyelesaian Perselisihan Perkawinan 30
29
Abdul Halim, Op.Cit, hal. 22.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
BP4 Pusat, Hasil-Hasil Musyawarah nasional BP4 VII dan PITNAS IV, BP4 Pusat, Jakarta, 1986, hal. 118
12
poligami yang tidak sehat serta sewenang-wenang.” 31 Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan selanjutnya mendidik dan menatar para suami dan isteri agar dapat mengatasi konflik dan menghindari terjadinya konflik, sehingga dapat mengurangi terjadinya konflik. Para suami dan isteri hendaknya juga diberi ilmu dan kebijaksanaan tentang bagaimana mengelola konflik (apabila ternyata konflik tidak dapat dihindarkan), dan manajemen menyelesaikan konflik dengan baik, agar tidak meninggalkan luka dan dapat memulihkan keharmonisan dan kasih sayang antara suami dan isteri. Pelaksanaan Mediasi dalam Penyelesaian Perselisihan Perkawinan pada Badan Penasihat, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan Kecamatan Mediasi di Tingkat Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), ini dilakukan sebelum perselisihan diajukan enyelesaiannya ke Mahkamah Syar’iyah. Selain itu, BP4 sebagai mitra Kementerian Agama bertugas membantu dalam meningkatkan mutu perkawinan dengan mengembang keluarga sakinah. Di era reformasi sekarang ini peran BP4 sangat diperlukan untuk menciptakan iklim yang kondusif dalam upaya keluarga sakinah mawaddah warahmah. Untuk melaksanakan misi tersebut BP4 berupaya memberikan pelayanan lansung kepada masyarakat berupa penasihatan, pembinaan, pelestarian, mediasi dan advokasi perkawinan serta memberikan dorongan kepada segenap tokoh masyarakat, ormas Islam, Konselor dan Pensehatan Perkawinan untuk lebih pro aktif memberikan bimbingan dan penyuluhan tentang pentingnya eksistensi keluarga yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan
31
BP4 Pusat, Tantangan Baru BP4 Setelah 37 Tahun Berkiprah, Perkawinan dan Keluarga XXV, (Jakarta: BP4 Pusat, 1997), hal. 8
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
Yang Maha Esa. 32 Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan secara terbuka diberi kesempatan oleh PERMA untuk dapat ikut berkiprah dalam melakukan upaya perdamaian dalam sistem penyelesaian perkara di pengadilan melalui mediasi. Keikutsertaan BP4 tersebut dilakukan dengan mempersiapkan tenaga-tenaga BP4 untuk ikut diklat mediator yang diselenggarakan oleh lembaga diklat yang sudah terakreditasi oleh MA. Mendaftarkan nama-nama mediator, yang sudah mengikuti pendidikan dan mendapatkan sertifikat, kepada Pengadilan Agama serta secara simultan, mempersiapkan juga organisasi BP4 menjadi lembaga yang dapat menyelenggarakan diklat mediator tersendiri. 33 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Kabupaten Pidie diketahui bahwa angka perceraian semakin meningkat dari waktu ke waktu. Tingginya angka perselisihan perkawinan antara pihak suami isteri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan selalu terjadi perselisihan dalam menjalani rumah tangga. Perselisihan yang terjadi tersebut juga dalam berbagai tingkatan masyarakat baik yang berprofesi sebagai pegawai negeri, wiraswasta, maupun dari kalangan petani. Dalam menyingkapi tingginya angka perselisihan perkawinan dan menghindari terjadinya perceraian atau bubarnya perkawinan yang dianggap sebagai perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT, pihak Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), juga menempuh upaya mendamaikan kedua pihak dengan menempuh upaya mediasi. Mediasi 32
Ihsan, Muhammad Asri dan Azhari, Kepala KUA dan Ketua BP4 Kecamatan Pidie, Delima dan Mutiara Timur Kabupaten Pidie, Wawancara 27 Oktober, 1 dan 2 Nopember 2010. 33 Ibnu Sya’dan dan Tgk Basyaruddin, Pejabat Departemen Agama dan Tokoh Masyarakat di Kabupaten Pidie, Wawancara 10 Nopember 2010
13
untuk memperoleh kedamaian ini dilakukan mengingat akibat dari bubarnya perkawinan tersebut, membuat anak yang dilahirkan dari perkawinan menanggung derita yang berkepanjangan. Mediasi di BP4 ini dilakukan sebelum perselisihan diajukan penyelesaiannya ke Mahkamah Syar’iyah. Dalam periode tahun 2009 sampai dengan Tahun 2010 terjadi 926 kasus perselisihan perkawinan. Dari keseluruhan kasus perselisihan perkawinan tersebut 173 kasus di antaranya dapat diselesaikan melalui mediasi pada BP4 tingkat Kecamatan dan selebihnya dilanjutkan dengan pengajuan perceraian ke Mahkamah Syar’iyah. Kondisi ini menunjukkan kasus perselisihan perkawinan tersebut hanya sebagian kecil yang dapat diselesaikan oleh BP4 tingkat Kecamatan melalui Mediasi. Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa secara umum pihak yang berselisih dalam hubungan perkawinan menggunakan jasa dari BP4 sebagai jalur mediasi sebagai upaya penyelesaian perselisihan guna menghindari terjadinya perceraian yang dapat merugikan para pihak maupun anak yang lahir dalam perkawinan tersebut. Pada dasarnya upaya penyelesaian secara mediasi ini apabila dilaksanakan secara benar dan tepat memiliki peran yang sangat penting dalam penyelesaian perselisihan dan sengketa perkawinan khususnya dalam mendamaikan para pihak berselisih sebelum dilakukan persidangan. Namun tingkat keberhasilan lembaga mediasi di tingkat BP4 Kecamatan dalam mendamaikan perselisihan perkawinan sangat rendah atau belum seperti yang diharapkan, hal ini terlihat jelas dari jumlah kasus sebagaimana diuraikan sebelumnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa sesuai dengan teori sosiological jurisprudence yaitu hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya dapat dilihat dari penerapan mediasi dalam penyelesaian perselisihan perkawinan di Kabupaten Pidie. Dalam
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
hal ini terlihat bahwa pada dasarnya penyelesaian sengketa secara damai melalui musyawarah yang berkembang dalam masyarakat kemudian mempengaruhi dan diadopsi oleh ketentuan hukum yang dipergunakan dalam penyelesaian perselisihan perkawinan seperti halnya Undangundang No 30 Tahun 1999 tentang Arbiyrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif dan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan. Dengan demikian konsep law as a tool of social engineering yang berati bahwa hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat atau hukum sebagai alat rekayasa sosial. Hal ini yang menjadikan dasar dilaksanakan ketentuan tentang mewajibkan para pihak yang bersengketa dalam hubungan masyarakat termasuk hubungan perkawinan mendahulukan penyelesaian sengketa secara damai di luar pengadilan. Dengan demikian, dalam upaya menggunakan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektivitas hukum dalam pergaulan masyarakat. Berdasarkan uraian dan pembahasan yang telah dikemukakan bahwa pelaksanaan mediasi dalam penyelesaian perselisihan perkawinan di Badan Penasihat, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kecamatan dalam praktik dilakukan di dasarkan pada ketentuan Perma tentang Mediasi dan juga mengingat fungsi dari BP4 yang bertujuan untuk menjadi lembaga penasehat perkawinan yang bertujuan sebagai mewujudkan dan mempertinggi nilai sakral sebuah perkawinan sehingga dapat mewujudkan rumah tangga sejahtera bahagia menurut tuntunan Islam. Apabila terjadi perselisihan pada tingkat BP4 mediasi dilaksanakan dengan tahapan tahapan sebagai berikut, (1) Tahap Persiapan dengan menunjuk seorang mediator dan pembentukan forum mediasi, (2) Tahap pelaksanaan pengumpulan dan pembagian informasi dan (3) Tahapan Pengambilan Keputusan dengan membuat kesepakatan pedamaian. Namun demikian dalam kenyataannya 14
metode mediasi tersebut belum sepenuhnya membawa hasil yang memuaskan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Jakarta, 2005. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. A.Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Pena, Banda Aceh, 2004. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media, Jakarta. Amir Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 Sampai KHI, Prenada Media, Jakarta. BP4
Pusat, Hasil-Hasil Musyawarah nasional BP4 VII dan PITNAS IV, BP4 Pusat, Jakarta, 1986. BP4 Pusat, Tantangan Baru BP4 Setelah 37 Tahun Berkiprah, Perkawinan dan Keluarga XXV, (Jakarta: BP4 Pusat, 1997). Happy Marpaung, Masalah Perceraian, Toni, Bandung, 1993. Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Cet I, Sinar Grafika, Jakarta.
Sains Riset Volume 3 - No. 1, 2013
Lawrence Meir Friedmen, American Law: An Introduction (New York: W.W Norton and Company, 1984) yang dikutip dari ceramah pengukuhan guru besar Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional Dalam Era Pasca Reformasi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsiran AlQur’an, Jakarta, 1973. Muliadi Nur, Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Perceraian http://makmumanshory.blogspot.com/. html, Diakses Januari 2010 Mochtar Kusumaatmadja, KonsepKonsep Pembangunan Hukum dalam Pembangunan, AlumniBandung, 2002. M. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. PT Aditya Bakti, Bandung, 2003. Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1984. Siti Juwariyah, Potret Mediasi Dalam Islam, www.badilag.net, Diakses Oktober 2010. Suyud Margono, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbiterase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta , 2000. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
15