66
PERAN PESANTREN SALAFIYAH AL-MUNAWAR BANI AMIN DALAM PEMBANGUNAN DI PROVINSI BANTEN Pesantren Salafiyah tumbuh dengan varian tersendiri sejalan dengan kebutuhan, peran dan partisipasi masyarakat di lingkungan pesantren tersebut berada. Pesantren Salafiyah menjadi pusat pembelajaran, kebudayaan dan sosial keagamaan bagi masyarakat. Namun keberadaan Pesantren Salafiyah sendiri masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Ketimpangan dan sikap diskriminasi dari pemerintah ini mendapat respon dari para Kyai Salafiyah dari seluruh Indonesia dengan menggelar Halaqoh pada akhir Januari 2010 di Pesantren Al-Yasini, Pasuruan Jawa Timur, dihadiri Mentri Agama, Suryadharma Ali. Halaqah ini mendesak pemerintah, bahwa sudah waktunya memberikan pengakuan terhadap lembaga pendidikan Pesantren Salafiyah. Kemudian dilanjutkan oleh Halaqoh berikutnya di UIN Maliki Malang pada 8 Maret 2010 yang menghasilkan pemikiran seperti yang dirumuskan Imam Suprayogo berikut: Pesantren Salafiyah mendesak pemerintah agar mengakui eksistensinya sebagai lembaga penyelenggara pendidikan sebagaimana pendidikan lainnya; mengkategorikan pesantren ke dalam tiga tipologi: Pesantren Salafiyah, pesantren khalaf (modern) dan pesantren campuran atau kombinasi (komplementer). Dari ketiga tipologi ini, yang paling mendesak segera mendapat pengakuan adalah Pesantren Salafiyah, agar segera dibentuk Dewan Pertimbangan Pesantren Salafiyah secara nasional atau minimal regional, yang bertugas memberikan pertimbangan kepada Kementrian Agama dalam merumuskan kriteria status diakui sebuah Pesantren Salafiyah, diperlukan pedoman garis-garis besar kriteria dalam memberikan status diakui, pedoman pembentukan Dewan Pertimbangan Pesantren Salafiyah, dan draft Surat Keputusan Menteri Agama Kondisi diskriminatif ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Banten. Padahal Pesantren Salafiyah di Banten hampir seluruhnya menyerap santri dari anakanak keluarga miskin dengan tidak memungut bayaran sama sekali (keterangan KH. Matin Syarkowi, Ketua Majelis Pesantren Salafiyah Banten, 15 September 2011). Bahkan Pesantren Salafiyah atau tradisional di Banten merupakan yang terbesar jumlahnya, seperti ditunjukkan di bawah ini:
67
Tabel 7.1 Jumlah pesantren di Banten No Nama tempat Jumlah Jumlah Jumlah Pesantren Pesantren Salafyah Pesantren Modern Kombinasi 1 Kab Tangerang 522 71 72 2 Kab Serang 65 43 20 3 Kab Pandeglang 983 97 30 4 Kab Lebak 481 87 53 5 Kota Tangerang 615 43 71 6 Kota Cilegon 55 18 36 7 Kota Serang 40 3 15 Sumber: Kementrian Agama Provinsi Banten Diskriminasi terhadap Pesantren Salafiyah itu sendiri terjadi dalam kultur pembangunan islami dan mayoritas penduduknya adalah muslim 90% (9.608.439) dari 11.005.518 (BPS Provnsi Banten, 2011) dan kuatnya kepemimpinan tokoh-tokoh Pesantren Salafiyah. Dalam pandangan Pesantren Salafiyah di Banten (Kesimpulan Diskusi pondokPesantren Salafiyah dengan Tema Pesantren Salafiyah dan nilai-nilai pembangunan di Banten, 12 Februari 2011, di Pesantren Al-Fathoniyah, Serang Banten) dikemukakan bahwa: 1. Nilai – nilai dasar pembangunan di Banten telah terdistorsi, hampir seluruh spektrum dan instrumen pembangunan bersifat pragmatis, sekularis dan transaksionalis dalam sistem sosial dan politik yang korup. Bentuk dan jalannya demokratisasi membuat pola tersendiri yang sulit dipahami, yakni menguatnya dinasti politik secara luas, didukung kapitalisasi politik yang kuat. Desentralisasi yang berjalan sebagai amanat dari perundang-undangan serta buah dari reformasi lebih bersifat sentralistik, ditengah gempuran globalisasi yang terus mencerabut nilai-nilai dan kelembagaan tradisional. Pesantren Salafiyah adalah basis terakhir dari nilai-nilai dasar yang dianut dan diakui serta diharapkan menjadi perlawanan terakhir terhadap nilai-nilai yang merugikan. 2. Pemerintah provinsi Banten belum menerima Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan santrinya adalah pelajar. Citra lembaga pendidikan yang diciptakan oleh pemerintah adalah apa yang sekarang digambarkan sebagai pendidikan modern dan pelajar adalah peserta didik yang tergambar dalam pendidikan modern saat ini. Hal ini diperburuk dimana keberadaan Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Departemen Agama yag memiliki perbedaan signifikan dalam memotivasi, memberikan hak atas pendanaan pendidikan dan upaya mendorong kualitas pendidikan dengan Departemen Pendidikan Nasional 3. Diskriminasi ini semakin terasakan oleh para Kyai Salafiyah dalam suatu atmosfer pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan provinsi Banten secara substansial tidak menyentuh pondasi nilainya, yakni iman dan taqwa. Padahal Pesantren Salafiyah, sebagai lembaga pendidikan yang telah lahir sejak 300-400 tahun lalu (Mastuhu, 2004) merasa berkepentingan dan menjadi bagian dari pondasi religiusitas dan budaya di Banten. Pembangunan tidak hanya
68
4.
5.
menyangkut pertumbuhan dan perkembangan fisik saja, tetapi juga mesti menyentuh pada pengembangan pembangunan ahlak dan karakterisitik keaslian budayanya dalam kerangka menjaga keutuhan jiwa dalam pembangunan itu sendiri. Diskriminasi yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi persepsi masyarakat bahwa sesuatu yang tradisional itu tidak laku. Hal ini menjadi bagian sangat mendasar mengapa masyarakat terkesan meninggalkan lembaga pendidikan Pesantren Salafiyah dan memilih lembaga pendidikan modern. Dengan kata lain, sosialisasi pendidikan dan rujukan pemerintah yang deras pada kelembagaan pendidikan modern saat ini memberikan dampak serius terhadap keberadaan, citra dan substansi Pesantren Salafiyah sebagai basis budaya yang mestinya terus dijaga. Perasaan adanya diskriminasi ini dirasakan kuat oleh para Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah secara sistematis dalam kebijakan pembangunan pemerintah. Padahal menurut “kaum sarungan” diskriminasi tidak boleh terjadi jika merujuk pada visi, misi dan tujuan pendidikan nasional yang berdiri diatas kebhinekaan. Dimana modernisasi mesti dirujuk kembali pada definisi yang sesungguhnya sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa modernisasi meninggalkan akar sejarah dan budaya bangsanya. Apalagi berbeda dengan akar budayanya. Oleh karena itu, keberadaan Pesantren Salafiyah secara budaya, sebagai soko guru pendidikan berkarakter banyak ditinggalkan masyarakat karena lemahnya komunikasi dan partisipasi pemerintah dalam mendukung dan mendesain pesan pembangunan terhadap keberadaan Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari budaya yang tidak bisa dipisahkan.
Hasil diskusi pondok-Pesantren Salafiyah ini menjadi dasar disepakatinya pembentukan organisasi Majelis Pesantren Salafiyah oleh para pimpinan Pesantren Salafiyah pada tanggal 9 Mei 2011dengan akta notaris. Dideklarasikan pada tanggal 18 Mei 2011 di Alun-Alun Serang Banten dengan menggelar Istighozah yang dihadiri lebih dari empat ribu orang terdiri atas santri dan Kyai pengelola Pesantren Salafiyah. Dalam Deklarasi tersebut dituangkan isi dan maksud perjuangan MPS, sebagai berikut:
69
DEKLARASI MAJELIS PESANTREN SALAFIYAH BISMILLAHIRROHMAANIRROHIM ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARROSULULLAH DENGAN IZIN DAN PERTOLONGAN ALLAH SWT, HARI INI TANGGAL 18 MEI 2011 ATAU 15 JUMADIL AKHIR 1431, KAMI PIMPINAN DAN SANTRI PESANTREN SALAFIYAH DENGAN INI MENDEKLARASIKAN BERDIRINYA: MAJELIS PESANTREN SALAFIYAH SEBAGAI SARANA PERJUANGAN UNTUK MELESTARIKAN DAN MENGEMBANGKAN PESANTREN SALAFIYAH DI BANTEN. PARA DEKLARATOR 1.ABUYA KH.MUHTADI DIMYATI 2.KH. OBING SUROCHMAN 3.KH.TB. WARDI 4.KH. UMAIDI 5.KH.ARIMAN ANWAR 6.KH. HUDRI 7. KH. KURTUBI ASNAWI 8. KH. THOHIR THOHA 9.KH. MUHAMAD NASIR 10.KH.SHOBRI MAN’US 11. KH. AS’YARI AMRI 12. AHMAD 13. FIRMAN SYARIF 14. H. BUNTARA 15. KH. JAMALUDIN 16. DRS.KH. MATIN SYARKOWI 17. KH. WAWANG MUNAWAR HALILI KETUA UMUM MPS DRS.KH. MATIN SYARKOWI
SEKRETARIS MPS KH. WAWANG MUNAWAR HALILI
Tujuan dari deklarasi ini adalah memperjuangkan aspirasi Pesantren Salafiyah dan mengkomunikasikan semua permasalahan dan maksud dari keberadaan MPS kepada semua pihak yang terkait dengan keberadaan Pesantren Salafiyah. Kendati belum mendapatkan respon yang memadai. Langkah ini menjadi satu perjuangan panjang. Perjuangan lain yang dilakukan MPS juga aktif memberikan pandangan, masukan dan respon atas setiap permasalahan yang timbul di masyarakat yang berkaitan dengan persoalan ahlak dan keagamaan. MPS adalah wadah Pesantren Salafiyah untuk memperjuangkan Keberadaan Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, berakar pada nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan nasional. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang mengamanatkan pelaksanaan otonomi daerah pada tujuan memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara merata tanpa diskriminasi. Dilain pihak, keberadaan Pesantren Salafiyah di Banten juga berperan sebagai medium budaya dalam kehidupan masyarakat. Peranan Kyai dalam menentukan pembentukan pandangan hidup dan nilai-nilai dalam masyarakat dapat menjadi
70
manivestasi penentuan modernitas budaya dalam masyarakat yang dianggap boleh dipakai dan mesti dibuang.
Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang Budaya dan Keagamaan Berbagai forum silaturahmi dan gerakan budaya yang digelar Pesantren Salafiyah di Banten akhirnya membuahkan hasil, yakni lahirnya Perda No. 7 di tetapkan pada tanggal 18 Oktober Tahun 2012, berisi tentang aturan penyelenggaraan pendidikan di Banten dalam satu platform otonomi daerah. Bisa jadi ini adalah perda yang lahir sebagai jawaban pemerintah atas gejolak dan tuntutan Pesantren Salafiyah tiga tahun sebelum perda ini terbit. Dimana Pesantren Salafiyah se-Banten mendirikan Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) sebagai wadah berhimpun untuk menyikapi sikap pemerintah yang tidak memandang dan memperhatikan Pesantren Salafiyah sebagai asset budaya dan warga Negara yang turut pula memberikan kontribusi kepada pembangunan Banten terutama kontribusi turut membayar pajak dalam pembangunan Banten. Pendirian MPS menjadi sarana perlawanan kaum Salafiyah terhadap berbagai pertumbuhan dan ekses pembangunan yang tidak sesuai dengan budaya Banten dan nilai-nilai Islam di dalamnya, seperti mengawal perda hiburan agar tidak dimanfaatkan pihak-pihak pengusaha tertentu mendirikan berbagai tempat hiburan yang menjurus pada hiburan yang merusak moral generasi muda Banten. MPS juga aktif memperjuangkan kepentingannya, yakni menjadi lembaga pendidikan yang diakui tanpa diskriminasi, berdialog dengan semua pihak terkait, terutama anggota DPRD Banten dari semua fraksi dan pemerintah. Pesantren Pesantren Al-Munawar Bani Amin menjadi salah satu motor penggerak MPS, Kyai Wawang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal MPS Banten. Kendati perda ini tidak secara khusus mengatur tentang Pesantren Salafiyah namun perda no.7 tahun 2012 telah menempatkan Pesantren Salafiyah sebagai bagian dari salah satu subjek pendidikan di Banten. Setidaknya Pesantren Salafiyah termasuk di dalam suatu tujuan penyelenggaraan pendidikan yang bertujuan mewujudkan ketersedian, keterjangkauan, kebermutuan, kesetaraan, dan keberlanjutan dalam penyelenggaraan pendidikan melalui regulasi yang memberikan kepastian dalam koordinasi dan sinkronisasi sumber daya pendidikan, pembiayaan pendidikan infra dan supra struktur pendidikan. Ada yang menggembirakan bagi Majelis Pesantren Salafiyah (MPS) Banten dengan lahirnya Perda No.7 Tahun 2012 Tentang penyelenggaraan Pendidikan di Banten. Perda ini memiliki semangat untuk membantu Pesantren Salafiyah di Banten yang diklasifikan sebagai lembaga pendidikan non formal. Perda ini sendiri diyakini oleh MPS sebagai buah dari perjuangan MPS Banten menyikapi diskriminasi pemerintah yang tidak menempatkan Pesantren Salafiyah sebagai kekuatan budaya yang turut berkontribusi dalam pembangunan daerah secara nyata. Pada awalnya Perda yang diusulkan MPS adalah Perda Tahfidz melalui sejumlah kunjungan
71
audiensi kesejumlah fraksi DPRD Banten dan sejumlah dinas terkait, sebelum perda no.7 tahun 2012 lahir. Sayangnya, kelahiran Perda No.7 tahun 2012 memberi kesan bahwa pemuatan Pesantren Salafiyah dalam perda tersebut “asal ada” atau “yang penting ada”. Sehingga perda ini gagal mengidentifikasi secara optimal kekhasan dan kekuatan Pesantren Salafiyah sebagai karakter Banten yang tidak bisa dilepaskan dari nilainilai Islam di dalamnya – sebagaimana yang hendak juga dituju dalam visi pembangunan di Banten: Iman dan Taqwa. Kegagalan ini berakibat kepada ketidakmampuan pemerintah berpihak kepada semangat mendorong kemajuan Pesantren Salafiyah seperti yang ditunjukkan secara formal di dalam perda no.7/2012 ini. Ada dua pilihan yang tidak bisa disikapi pemerintah untuk diprioritaskan, yakni dari sisi dorongan untuk menjadikan Pesantren Salafiyah masuk pada taraf tertentu aspek teknis pendidikan, seperti kelembagaan, administrasi,dsb hingga pada tahapan akreditasi jadi mudah dimplementasikan namun akan sangat sulit karena ketiadaan standarisasi dalam perda. Apa, bagaimana dan akan kemana substansi aspek yang diangkat oleh pemerintah. Sisi lain, apa makna dari upaya pembenahan pada aspek teknis pendidikan tidak boleh mengubah substansi dan “kurikulum tradisonal” yang telah ada sejak masa keemasan Banten, bahkan seharusnya pemerintah turut menjaga khazanah budaya ini, seperti yang disebutkan dalam bab empat, bagian ke tiga, pasal 19, ayat satu dan dua dikatakan pendidikan non formal terintegrasi dengan pendidikan ahlak mulia, pendidikan karakter, pendidikan moral, kearifan lokal dan nilai-nilai budaya. Sementara dalam pendidikan formal, sekuleritas telah menjadi persoalan akut yang menggerogoti mentalitas anak didik di dalamnya. Santri juga adalah tunas-tunas Bangsa yang berhak mendapatkan perhatian atas pendidikan yang layak. Mungkin oleh karena itu, pasal 20 Perda No.7 Tahun 2012, menyebutkan Pemerintah Daerah berpartisipasi dalam pendidikan non formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dengan cara: memberikan bantuan pembangunan sarana dan prasarana, memberikan stimulant, memberikan bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan atau memberikan beasiswa dan fasilitasi kompetisi peserta didik. Pasal 31 kemudian mengatakan bantuan ini diperoleh dari APBN, APBD Provinsi, APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan bantuan lain yang tidak mengikat. Pembiayaan yang berasal dari APBD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit 20 (Dua Puluh) persen. Namun sama-sama diketahui, bahwa dalam anggaran 20% yang diamanatkan oleh Konstitusi negeri ini, tidak ada 1% untuk Pesantren Salafiyah, dan tidak ada dinas di pemerintahan provinsi ini yang memiliki konsep, model pemberdayaan serta program yang baku dan berkesinambungan untuk membantu, memberikan perhatian dan menjaga secara bersama Pesantren Salafiyah sebagai kekuatan sosial serta budaya yang khas di Banten. Kecuali bantuan yang bersifat reaktif dan politis, seperti rekomendasi dinas tertentu dengan memanfaatkan dana hibah. Perpu Gubernur untuk mengatur hal ini hingga kini belum ada. Jika fakta di lapangan tidak teridentifikasi, dan tidak ada standarisasi yang jelas dalam peda no.7 tahun 2012 terhadap Pesantren Salafiyah lalu bagaimana perda ini hendak mencapai kualitas tertentu seperti disebutkan dalam pasal 24 melalui upaya penilaian pada jalur pendidikan
72
formal dan pendidikan non formal untuk semua jenjang, satuan, dan jenis pendidikan. Ketiadaan identifikasi Pesantren Salafiyah menyebabkan sistematika pembahasan dan upaya pemberdayaan di dalamnya menjadi bias. Hal ini diakui oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten, yang mengatakan: “Identifikasi Pesantren Salafiyah belum dilakukan. Perda itu aspirasi DPRD, dan kita mencoba terlibat dalam bidang pendidikan yang menjadi fokus kami. Ketika dalam diskusi atau pembahasan Salafiyah itu harus seperti apa posisinya? Kesimpulannya satu sepakat bahwa itu pendidikan non formal. Dan untuk itu terkait dengan apa yang harus dikuatkan dalam penyelenggaraan pendidikan non formal kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagaimana dalam ayat satu itu terintegrasi kedalam pendidikan ahlak mulia, karakterk, kearifan lokal, budaya itu wilayahnya pendidikan non formal.” Setidaknya kajian strategis dalam perda yang meliputi ruang lingkup, prinsip dan kebijakan serta standarisasi peningkatan mutu yang hendak dilakukan masih mengacu kepada pendidikan formal yang tertentu saja berbeda dengan Pesantren Salafiyah. Ada kecenderungan bahwa setidaknya Pesantren Salafiyah ke depan mesti di modernisasi melalui standarisasi pendidikan formal, seperti memiliki badan hukum yang jelas dalam bentuk yayasan dan memiliki SK Departemen Hukum dan HAM. Standarisasi ini secara gamblang dikatakan oleh Kadindik Provinsi Banten: Saya kira standar yang dimaksud hanya ingin membangun suatu koridor yang jelas. Bahwa kelembagaan pendidikan Pesantren ini harus meliputi adanya manajemen, ada standar isi. Apa yang akan diajarkan, terdokumentasi dengan baik, harus ada standar proses bagaimana standar pembelajarannya, harus ada tenaga pendidik yang jelas dengan kompetensi yang jelas. Jadi kalau disetarakan SD misalnya berarti kan, pengelola pendidikannya termasuk gurunya mesti S1. Bagaimana sistem penilaiannya? Bagaimana sarana prasarananya? Stndarisasi yang formalistk seperti ini tentu saja akan berbenturan dengan kepentingan dan kekuatan budaya serta penguatan lembaga yang khas yang dimiliki oleh pesantren alafiyah, mengingat dorongan untuk penguatan lembaga pada dasarnya belum disandarkan pada kebijakan yang pemanen terhadap standarisasi pemberian support sarana dan prasarana yang ada. Depag Provinsi Banten mengakui bahwa tidak ada bantuan atau program yang permanen dan berkesinambungan untuk pesanten Salafiyah, termasuk dana anggaran 20% pendidikan yang tidak menganggarkan 1 rupiah untuk Pesantren Salafiyah. Termasuk Dindik Banten juga mengakui bahwa secara khusus tidak ada program atau bantuan terhadap Pesantren Salafiyah. Lalu bagimana dengan aturan perda yang mengatakan bahwa bantuan pemerintah akan diberikan kepada Pesantren Salafiyah, terutama pada bantuan sarana dan prasarana? Menurut Kadindik Banten, ini akan diatur dalam peraturan Gubernur, namun hingga kini belum terbit, kendati perdanya sudah jadi. Ketiadaan identifikasi yang jelas dalam perda ini membuat aturan yang
73
mengamanatkan dan mengkoordinasikan penyelenggaraan fasilitas penjaminan mutu pendidikan informal menjadi semakin tidak jelas pada tingkat akreditasi dan sertifikasinya, yakni pada standar penilaiannya. Badan yang berwenang terhadap ini, yakni Tim Adhok Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang dibentuk oleh Kepala Dinas Pendidikan tidak memiliki standar penilaian Pesantren Salafiyah. Pendidikan non formal yang ada dalam konsepsi ini pada kenyataannya baru pada pendidikan kecakapan hidup seperti menjahit dan kursus bahasa. Melihat kekhasan, keunikan dan kekuatan budaya yang dimiliki oleh Pesantren Salafiyah semestinya dibuatkan perda secara khusus, tersendiri, perda Salafiyah, agar kekuatan budaya ini dapat menjadi basis dari modal sosial yang terintegrasi dengan sistem pendidikan yang ada sehingga mampu menjadi karakter pembangunan yang dibanggakan. Semetara itu, standarisasi yang akan dilakukan melalui akreditasi dalam rangka mencapai suatu tingkatan mutu tertentu dalam pengelolaan pendidikan di Banten, pada wilayah pendidikan non formal, yakni Pesantren Salafiyah belum ada, yang ada baru akreditasi pendidikan non formal utuk kursus menjahit, kursus bahasa dan kecakapan lainnya. Ada kesan bahwa akreditasi inilah yang akan diterapkan pula kepada Pesantren Salafiyah dengan asumsi bahwa Pesantren Salafiyah dibiarkan tetap berjalan namun ditambah dengan kecakapan pendidikan lainnya serta berbagai tawaran pendidikan paket (a,b,c). Jika ini yang dimaksudkan tentu saja akan mengakibatkan kesalahkaprahan tersendiri karena adanya benturan nilai mendasar dalam Salafiyah yang fokus pada beribadah dan belajar dengan upaya memasukkan kurikulum kecakapan hidup yang akan membelah aktifitas Pesantren Salafiyah tersebut. Menjadi pusat pengajian dan kajian ilmu agama
Masyarakat
Menjadi inspirator, jembatan, kreator dan pemberi legitimasi (fatwa) thd persoalan tertentu
Pesantren Salafiyah Kyai
Sbg pemimpin informal. Panutan dan tempat bertanya thd semua aspek hidup
Pemerintah Pemimpin ritual keagamaan terpenting (pernikahan, kelahiran, kematian)
Gambar 7.1 Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan
74
Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang budaya dan keagamaan dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 7.2. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Budaya dan Keagamaan Teori Kajian Scene Kyai sebagai pemimpin Pesantren Salafiyah adalah juga pemimpin informal di wilayah sekitarannya, termasuk pemimpin keagamaan, dimana pesantren menjadi dan dijadikan tempat pengajian dan pusat kajian keagamaan, sekaligus menjadi panutan, tempat bertanya (dari mulai masalah keluarga dan politik) serta contoh masyarakat. Dalam konteks pembangunan, kyai dan Pesantren Salafiyah seringkali menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat, dan menjadi sumber penetapan syar’i dalam kehidupan bermasyarakat Agent Kyai dan Pesantren Salafiyah menjadi satu paket simbol dari keberadaan agama dan budaya yang mengedepankan Islam sebagai identitasnya Act Karakter dan pemikiran dari Kyai dalam bidang budaya dan keagamaan terdorong dari sejarah panjang Salafiyah untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang islami berdasarkan ahlusunnahwaljamaah Agency Instrumen yang digunakan adalah Pesantren Salafiyah sebagai lembaga pendidikan dan lembaga budaya Purpose Terbentuknya tatanan masyarakat yang islami berdasarkan ajaran ajaran sunnah Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Pendidikan Pesantren Salafiyah di Banten sebagai lembaga pendidikan telah terbukti selama ratusan tahun mampu menciptakan lulusannya menjadi manusia-manusia yang mandiri, ikhlas, beriman serta bertaqwa kepada Allah SWT, bermasyarakat dalam praksis sosial dan budaya sepanjang masa. Bersih dari sogok menyogok (korupsi) di dalamnya. Terbebas dari pencitraan yang mengakar pada upaya sistemik menjadikan nilai peserta didik pada target tertentu agar dapat lulus dan terkesan baik sehingga sulit dibedakan mana anak yang mampu menyerap pelajaran dan mana yang tidak karena semua nilai sama bagusnya. Kyai Pesantren Salafiyah memiliki konsistensi yang tinggi dalam mengajarkan, membina dan mengawasi santri selama 24 jam dalam rangka mengontrol keilmuan, sikap perilaku dan mentalitasnya tanpa dibayar satu rupiah oleh santri. Bahkan masih banyak Pesantren Salafiyah yang justru memfasilitasi santri dalam kesehariannya, makan, penginapan, buku hingga biaya berobat ketika santri sakit. Kompetensi dari Pesantren Salafiyah adalah menguasai ilmu alat untuk dapat membaca dan memahami berbagai Kitab dan Al-Quran langsung dari gramatika dan susunan kalimatnya sebagai pintu membuka cakrawala ilmu dalam Islam yang begitu
75
luasnya. Bukan dari terjemahan, seperti sekolah formal lainnya. Ada perbedaan mendasar memahami Al-Quran dari sumbernya langsung dan dari terjemahan, di antaranya meminimalisir penafsiran tekstual yang seringkali menjadi pembenaran kekerasan atas nama agama. Kekerasan atas nama agama justru banyak dijumpai di sekolah formal hingga ke perguruan tinggi. Jika saja memahami Al-quran dianggap cukup hanya melalui terjemahan maka niscaya tidak perlu ada pesantren, Sayangnya keberadaan intelektual secara formal bukan juga jaminan menjadikan dunia menjadi lebih baik, setidaknya secara internal di dalam dunia intelektual itu sendiri. Keberadaan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin memberikan kontribusi besar dalam bidang pendidikan keagamaan di Banten. Terutama bagi kalangan usia anak sekolah dari strata ekonomi kelas bawah. Pendidikan keagamaan seperti yang sudah diulas pada pembahasan terdahulu meliputi kemampuan santri pada ilmu-ilmu agama pada tingkat tinggi. Pilihan atas keberadaan pendidikan Pesantren Salafiyah pada sisi ini jelas bukan alternatif, tetapi merupakan pilihan keseimbangan atas kebutuhan penataan nilai-nilai pembangunan. Melalui peran pendidikan yang diperankan oleh Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, prioritas pembangunan mentalitas masyarakat menjadi paradigma community driven, melalui penguatan nilai dan budaya dalam masyarakat sehingga menjadi jembatan pada proses menggerakkan keberdayaan masyarakat. Hal ini sesuai dengan penetapan prioritas pembangunan Banten yang tidak bisa dilepaskan dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam otonomi. Tahun 2001 (menggunakan UU No.22/ 1999 tentang Pemerintah Daerah) dan pada tahun 2004 (menggunakan UU No.32/ 2004 sebagai revisi Undang-undang sebelumnya) sampai sekarang. Dalam dua Undang-undang tentang Pemerintah Daerah tersebut telah diberlakukan sistem desentralisasi sebagai antitesa terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lalu yaitu sistem kebijakan sentralistik. Dengan adanya perubahan sistem kebijakan ini, Pemerintah Provinsi Banten mempunyai kewenangan besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Sistem desentralisasi, melekat kewenangan sekaligus tanggung jawab untuk secara proaktif mengupayakan kebijakan penanggulangan kemiskinan demi kesejahteraan rakyat, baik secara langsung mau tidak langsung. Tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari salah satu tujuan diberlakukannya otonomi daerah, yakni menciptakan sistem pelayanan publik yang lebih baik, efektif dan efisien yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Dalam konteks ini peranan Pesantren Salafiyah berada paling depan secara aktif memberdayakan ketidakmampuan anak-anak miskin untuk berada dalam satu sistem penyelenggaraan pendidikan mandiri tanpa merepotkan pemerintah.
76
Menyerap santri dari kalangan miskin desa dan kota
Membiayai pendidikan santri selama di pesantren
Menjadi tempat kajian ilmu agama bagi masyarakat
Pesantren Salafiyah
Kyai
Menelurkan intelektual Islam, kompetensi KItab kuningmanusia Gambar 7.2sholeh Peran Pesantren
Lembaga pendidikan gratis dan berkualitas
Menciptakan dan membangun nilai sosial kemasyarakatan
Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Pendidikan
Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di bidang pendidikan dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 7.3. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang pendidikan Teori Kajian Scene Pesantren Salafiyah dan Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah adalah salah satu pihak yang concern terhadap dunia pendidikan keagamaan dan pembentukan karakteristik ahlak anak didiknya, peran ini telah dimulai sejak ratusan tahun lalu melalui lembaga pendidikan tradisional tanpa memungut biaya para santri. Kemampuan Pesantren Salafiyah yang mandiri dalam membiayai dirinya dan kelembagaan pesantren telah menyerap banyak santri terutama dari kalangan miskin desa dan perkotaan menjadi intelektual muslim yang mengisi sesemakin banyak ruang sosial, budaya dan keagamaan di masyarakat. Baik sebagai pemimpin agama, pengusaha, syiar agama dan sebagainya. Banyaknya lulusan pesantren juga memberikan warna yang signifikan kepada masyarakat terhadap kualitas kehidupan sosial keagamaannya. Agent Pesantren Salafiyah, Kyai pimpinan Pesantren, Ustadz dan santri Act Karakter dan motivasi utama yang mendorong komunikasi serta interaksinya adalah nilai-nilai keikhlasan. Agency Instrumen yang menonjol dalam hal ini adalah pesantren sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan keagamaan, Ustadz, santri. Purpose Terselenggaranya pendidikan keagamaan beedasarkan paham Salafiyah secara utuh kepada masyarakat tanpa ada kendala biaya dan aspek teknis lainnya.
77
Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Saat ini perubahan sosial sebagai dampak kemajuan teknologi informasi telah meletakkan otonomi daerah ke dalam pusaran mega persoalan yang sangat kompleks. Secara kasat mata, hal ini dapat ditelusuri dari degradasi moral yang berkecambah di mana-mana, semisal korupsi, memudarnya solidaritas sosial hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta terlibat menyelesaikannya. Sebab pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia lambat atau cepat pada akhir sejarahnya. Pesantren Salafiyah dalam konteks perubahan sosial telah menjadi lingkaran paling dekat dalam perkembangan dan perubahan sosial masyarakat di sekitarnya. Peran tersebut sebenarnya telah dimainkan oleh para Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah dalam bidang transformasi sosial. Terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, para Kyai selalu berupaya berada di garis depan untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan mengembangkan kehidupan berbasis keagamaan di lingkungan sekitar pesantren dan, di lokasi pada saat Kyai berada. Pesantren sampai batas tertentu mampu mengantarkan masyarakat Muslim sebagai khalifah Allah yang bekomitmen untuk mengembangkan kehidupan sebaik mungkin di mana dan kapan saja mereka hidup. Pandangan semacam “di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung” menjadi anutan kuat santri, masyarakat muslim hasil pendidikan Pesantren Salafiyah. Pada saat terjadi perubahan sosial di tengah masyarakat, terutama di pedesaan, Pesantren Salafiyah sampai derajat tertentu menjadi garda terdepan menjaga nilainilai budaya dasar masyarakat dan melakukan terobosan solusi kreatif untuk masa depan masyarakat yang jauh lebih baik. Ada beberapa alasan dasar yang menjadikan pesantren dituntut untuk berperan demikian. Selain pesantren (dan elemen-lemennya) sebagai bagian intrinsik umat Islam yang mayoritas di Indonesia, aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah posisi pesantren merupakan representasi Islam Indonesia. Persoalan yang kemudian mencuat ke permukaan, kondisi pesantren saat ini untuk berada di depan dalam memberikan solusi tampaknya masih jauh panggang dari api. Banyak aspek internal dan eksternal yang menjadi kendala untuk meraih peran tersebut secara optimal. Berdasarkan nilai anutan pesantren, dan sejarah yang dilaluinya, peran yang diperankan Pesantren Salafiyah terdapat dalam dua aspek yang saling berkaitan, pendidikan-keilmuan dan sosial. Santri mau tidak mau dituntut menghadirkan diri sebagai intelektual muslim yang dekat dengan masyarakat, memberi contoh kepada masyarakat serta menjadi tauladan bagi masyarakat. Semua ini mengindikasikan Pesantren Salafiyah yang dilekatkan dengan kemiskinan, keterbelakangan dan kesenjangan yang cukup lebar dengan realitas pendidikan formal lainnya, namun secara sosial Pesantren Salafiyah justru menjadi motor dari upaya menjaga nilai-nilai luhur agama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang ada. Oleh karena itu, kemiskinan menjadi tampak lebih bersahaja dengan kemandirian Pesantren Salafiyah dan masyarakat sekitarnya, berubah menjadi kesederhanaan. Nilai-nilai keagamaan menjadi tonggak penting bagi pengentasan kemiskinan yang bukan sekadar persoalan
78
kemiskinan, persoalan keterbelakangan yang bukan sekadar persoalan keterbelakangan semata. Dua persoalan itu telah menjadi masalah rumit yang menempel pada degradasi moral. Kemiskinan dan keterbelakangan lalu menjadi barang komoditas yang diperdagangkan sebagaimana dalam ranah politik, oleh kelompok atau orang tertentu. Peran Pesantren Salafiyah di bidang sosial dapat digambarkan sebagai berikut: \ Sebagai tauladan dan motor penggerak upaya menjaga nilai agama dlm kehidupan sosial
Pesantren Salafiyah Kyai
Lingkaran terdepan dari perubahan dan perkembangan masyarakat
Berada di garis depan dalam melakukan pemberdayaan kepada masyarakat
garda depan menjaga nilai budaya dasar, menjadi solusi kreatif untuk masa depan masyarakat yang jauh lebih baik
Gambar 7.3 Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang sosial dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut:
79
Tabel 7.4. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Sosial Teori Kajian Scene Kyai dan Pesantren Salafiyah dakui dan hingga saat ini masih memegang peranan dalam upaya menjaga nilai-nilai keagamaan di masyarakat terutama dalam hal mencontohkan kualitas kehidupan dan perilaku yang ikhlas dan baik di mata Allah SWT. Dinamika keseharian Pesantren Salafiyah yang fokus dan terbiasa dengan kehidupan yang sederhana dan pembelajaran ibadah tiada lelah menjadikan pesantren dan Kyai menjadi tumpuan masyarakat terhadap arus perubahan dalam perkembangan pembangunan dan perubahan zaman, termasuk berada dalam garda terdepan dalam upaya pemberdayaan kehidupan sosial agar tegar dan selalu berusaha. Dengan kata lain menjadi alternatif solusi masa depan dari perspektif keagamaan. Agent Keseharian santri dalam perilaku sosial, dinamika ibadah pesantren Act Motivasi dan karakter dasarnya adalah mencari keridhoan Allah SWT dalam menjalani kehidupan sosial dengan cara menjadi manusia yang paling bertakwa Agency Santri dalam kehidupan sosial kemasyarakatan Purpose Mengenalkan tauladan Pesantren Salafiyah Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik Kuatnya kepemimpinan informal yang berlandaskan nafas agama seringkali dikaitkan dengan keberadaan ketokohan pemimpin Pesantren Salafiyah. Oleh karenanya, penempatan Pesantren Salafiyah sebagai entitas budaya dan keagamaan tidak bisa dielakkan sebagai tuntutan dan permintaan dari masyarakat diseputar pesantren tersebut. Ia menjadi panutan bagi masyarakat yang tunduk padanya. Peranan ini menunjukkan model yang akan diikuti oleh para pemilih pada setiap moment pemilu sebagai basis dan legitimasi moral. Kendati ada perbedaan aspirasi politik di antara pemimpin Pesantren Salafiyah dari yang sekedar menggunakan pengaruh mereka untuk mendekat kepada pejabat tertentu hingga peranan yang dimainkan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan masyarakat luas. Para politisi tidak menganggap remeh kepada Pesantren Salafiyah yang besar dan berumur puluhan tahun yang telah menelurkan ratusan ribu bahkan jutaan santri yang sudah menjadi tokoh masyarakat. Terutama karena peranan Kyai yang memegang monopoli interpretasi atas masyarakat dan monopoli suara kolektif pesantren ke dunia luar. Dengan berbasis keagamaan, masyarakat akan mendengar titah dan patuh kepada Kyai sebenar benarnya Kyai. Panggung politik saat ini begitu kagum dengan “blusukan” yang diartikan sebagai hadirnya seorang pejabat publik ketengah-tengah masyarakat untuk melihat kondisi dan suatu persoalan. Bandingkan dengan interaksi komunikasi massa yang dilakukan oleh seorang Kyai atau Ustadz Salafiyah yang memberikan syiar agama
80
dan menjadikan dirinya sebagai tempat berkonsultasi masyarakat, rata-rata di 2 – 4 kali dalam sehari di tempat yang berbeda. Jika saja minimal 2 kali sehari di tempat yang berbeda, maka dalam sebulan keberadaan Kyai atau Ustadz ditengah masyarakat ada di 60 tempat. Jika rata-rata dalam satu kesempatan pertemuan tersebut dihadiri oleh minimal 200 orang, maka ada 1.200 orang yang mendapat terpaan komunikasi di dalamnya. Pejabat mana dan program pemerintah yang mana yang bisa semasif itu? Biasanya dalam acara-acara yang diselenggarakan oleh masyarakat tersebut meriah dalam kesederhanaan. Bukan meriah dalam kemewahan dengan berbagai basa basi di dalamnya. Komunikasi ini tentu saja efektif dalam rangka membangun mentalitas dan karakteristik religiusitas masyarakat di dalammnya dalam berbagai aspek persoalan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik. Pesantren Salafiyah Kyai
Menjadi indikator dan legtimasi moral, bersih dan pro masyarakat
Praksis politik dalam masyarakat
Gambar 7.4 Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik
Peran Pesantren Salafiyah Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dibidang politik dapat dikaji Pentad Analysisnya sebagai berikut: Tabel 7.5. Kajian Pentad Analysis Peran Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin di Bidang Politik Teori Kajian Scene Wilayah politik praktis termasuk dalam wilayah dinamika kehidupan yang dhindari oleh Kyai dan Pesantren Salafiyah mengingat persepsi yang terbentuk terhadap politik itu sendiri yang korup, mementingkan kepentingan sendiri, dan tidak mencerminkan perilaku amanah karena perbedaan ucapan dan tingkah laku para politisi. Kendati , tidak sedikit elit politik yang datang kepada Kyai di Pesantren Salafiyah untuk meminta dukungan mau doa, setidaknya simbol kyai dan Pesantren Salafiyah menjadi legimatsi moralitas dan kepercayaan masyarakat yang dapat dimanfaatkan dunia politik untuk pencitraan. Agent Kyai pimpinan Pesantren Salafiyah Act Motivasi dan pemikiran yang terkandung adalah keinginan memberikan warna atas moralitas serta perilaku amanah Agency Instrumen yang kuat dalam persoalan politik adalah personalitas dan personifikasi kyai Purpose Menjadikan legitimasi moral