31
SUBJEK PENELITIAN Sejarah Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin baru berusia 15 tahun. Namun pemimpin Pesantren, Kyai Wawang Munawar Halili (38 tahun) telah dikenal dikalangan masyarakat mau Kyai sepuh di Banten sebelum mendirikan pesantren. Beliau buyut KH. Thohir atau Abahyai Thohir (pimpinan Pesantren Salafiyah pelamunan, Serang, berdiri sejak zaman kolonial Belanda) putra dari tokoh ternama di zamannya, KH. Syayidi (berasal dari Kampung Bale Batu, Serang). KH. Thohir ya empat orang istri. Pertama, Hj. Khosiah dari Kampung Pengoreng (pulo ampel). Kedua, Hj. Hanjar berasal dari Kampung Katengahan (Kasemen). Ketiga, Hj Halimah. Keempat, Hj Hafiah. Dari istrinya yang pertama, Hj Khosiah, KH. Thohir ya empat orang anak (pertama, Abah Kuncung atau H Juweni, meninggal dunia tertembak ketika berperang melawan penjajahan di Lampung pada masa kemerdekaan, kedua H Zaeni Thohir, ketiga Hj. Mariam, keempat KH. Lujaeni Thohir pimpinan pesantren Madarijul Ulum yang juga terkenal saat ini di Serang). Anak Abahyai Thohir yang ketiga, yakni HJ. Mariam menikah dengan KH. Nasihun Amin bin KH. Umar (berasal dari Kampung Babakan, Gunung Sari, Serang). Pasangan ini mendapat enam orang anak. pertama H. Bahaudin, kedua M. Fuadudin, menjadi menantu KH. Muhaimin (pimpinan Pesantren Salafiyah ternama di Cibeber, Cilegon), ketiga Chifdhatul Hayat, Ibu dari KH. Wawang Munawar Halili yang kini memimpin Pesantren Salafiyah Al Munnawar Bani Amin, keempat KH. Hidayatudin Amien, sekarang memimpin pesantren “Bani Amien” di Kampung Pelamunan. Kelima KH. Afifudin Amin dan yang keenam Hj. Mafrohah Amin sekarang memimpin pesantren di Kecamatan Kronjo Kabupaten Tangerang. Kegiatan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin dilangsungkan di Kediaman Kyai Wawang. Bangunannya didirikan 10 tahun lalu oleh santri-santri pertamanya, dengan biaya dari hasil (honor) memberi ceramah yang dilakoninya secara rutin, sehari rata-rata di sepuluh tempat, namun kini karena menderita sakit diabetes, hanya dilakoni sehari dua sampai empat kali di tempat yang berbeda. Bangunan sebelah kiri rumah Pa Kyai digunakan sebagai asrama putri (bersebelahan dengan ruangan yang difungsikan untuk belajar seluruh santri) dengan satu pintu masuk, terdiri atas 6 ruang kamar (ukuran 2,75 x 2,75m). Satu kamar di isi oleh 3 santri perempuan. Sedangkan bangunan sebelah kanan digunakan sebagai asrama putra, berdekatan dengan masjid. Terdiri atas 7 Kamar (3x6m). Satu kamar di isi oleh 5 santri laki-laki. Kesemua fasilitas ini berdiri di atas tanah 650 meter persegi. Tertata rapih dan bersih. Jumlah santri yang mondok saat ini 70 orang. Namun jumlah ini bisa bertambah dan berkurang seiring dengan keluar masuknya santri dengan berbagai persoalan di dalamnya.
32
Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat di sekitar Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin Pesantren Al-Munawar Bani Amin, terletak di tengah kampung Pabuaran Jati, Desa Pematang, Kabupaten Serang. Sekitar 40 menit melalui jalan Tol Merak melalui pintu masuk Kragilan dari arah Tangerang atau Cilegon. 140 menit dari Pandeglang atau Lebak tanpa melalui jalan tol. Pesantren ini berdiri sejak tahun 1998 sebagai pesantren tradisional atau Salafiyah. Tidak ada plang papan nama yang menunjukkan nama pesantren tersebut. Santri yang mondok (belajar) tidak dipungut biaya, kecuali uang listrik sebesar lima ribu rupiah per anak per bulan. Biaya makan sehari-hari, kitab, buku dan alat tulis, tempat menginap sudah disiapkan. Termasuk biaya pengobatan ketika di antara mereka ada yang sakit. Tidak ada keinginan dari Kyai Wawang untuk mengubah Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin menjadi pesantren modern atau sekolah formal yang setara dengan Sekolah Dasar, Menengah Pertama maupun atas, kendati wajah kampung telah berubah. Masyarakat lebih memilih sekolah formal agar anak-anak mereka memiliki ijazah, sebagai bekal untuk melamar pekerjaan di pabrik selepas SMA atau melanjutkan pada jenjang pendidikan tinggi. Areal persawahan telah berubah fungsi menjadi pabrik, komplek perumahan, dan pertokoan. Mayoritas masyarakat yang tadinya petani banyak yang beralih profesi menjadi buruh. Budaya pedesaan yang tadinya religius dan hidup dalam kebersamaan kini menjadi masyarakat yang konsumeris, individualis dan pragmatis dalam bingkai kehidupan modern. Perubahan wajah kampung tidak membuat Pesantren Pabuaran Jati lantas berubah. Kyai menjadi sentral dinamika keseharian kehidupan pesantren. Tidak ada struktur formal. Bagi kehidupan Pesantren, struktur formal organisasi yang terjadi justru akan menciptakan perilaku organisasi yang formalistik pula, keberlakuan citra levelitas struktural dan pengambilan keputusan berdasarkan satu aspek saja, yakni hukum-hukum materalisme yang mengedepankan logika positivistik dan kepentingan formal organisasi. Dalam tradisionalisme kepengurusan Pesantren Salafiyah terkandung satu orientasi yang mendasar bahwa keteladanan pemimpin mesti terbebas dari aspek legalitas dan pencitraan dalam satu pola pikir yang tidak saja mengarah pada penggunaan logika tetapi juga aspek spiritual yang bertujuan membangun manfaat bagi seluruh masyarakat bukan hanya untuk Pesantren tersebut. Kepemimpinan non formal pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang menampilkan keteladanan dari ucapan, sikap serta perbuatan. Struktur tradisional Pesantren menciptakan rasa hormat dan patuh setiap santri secara sungguh-sungguh kepada Kyai dan istrinya sebagai orang tua sendiri dan menganggap anak-anak Kyai sebagai saudara sendiri. Kyai Wawang, begitu ia dipanggil, memiliki lima orang anak. Pertama, Muhamad Nur Fikri Ridho (16 tahun) mondok di Pesantren Salafiyah Sunan Pandan Aran, Yogyakarta. Kedua, Via Nurmustawfiyah (12 tahun), juga mesantren di yogya. Ketiga, Muhamad Farhan Ilham (kelas dua SD). Keempat, Fida Najia Amalia (kelas satu SD). Kelima, Fadhlah Izza Mamduha (4 tahun).
33
Menurut Kyai Wawang: “membiayai seluruh aktifitas lembaga pendidikan pesantren merupakan jalan Jihad. Allah SWT pasti mencukupi kaum Salafiyah sebagai ahli sunnah wal jama’ah. Bahkan kedepan, ada rencana untuk membeli tanah seluas 5.000 meter persegi di seberang jalan pesantren untuk menambah ruang asrama santri dan ruang belajar dalam rangka menambah jumlah santri yang mulai bertambah saat ini. Suatu saat pasti terwujud, begitu keyakinan Kyai Wawang. Kuncinya keikhlasan dan mengalir mengikuti jalan serta takdir Allah SWT, sebagai prinsip yang dipegang ditengah anggapan bahwa segala sesuatu yang berkualitas pasti mahal, termasuk pendidikan yang berkualitas mesti mahal. Selama ini sebagian besar kalangan masyarakat beranggapan bahwa sekolah yang berkualitas pasti mahal, karena “uang tidakkan bohong”. Ternyata anggapan itu salah. Pesantren Salafiyah tidak memungut biaya sepeser namun memberikan kualitas pelayanan pendidikan dengan kontrol yang seksama dari waktu ke waktu dan bukan paruh waktu. Dimana santri yang lulus dari pesantren ini memiliki kompetensi yang tinggi dibidangnya.” Kompetensi Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Di ruang belajar yang terbilang cukup luas di Pesantren Salafiyah AlMunawar Bani Amin, kelompok santri laki-laki duduk bersila di sebelah kanan. Sementara santri perempuan di sebelah kiri. Semuanya tekun mendengarkan Kyai menjelaskan Kitab yang dibacakan dalam dua bahasa. Arab dan Jawa Serang. Penjelasan Kyai terhadap makna-makna yang hadir di dalam Kitab berbaur dengan pemaknaan kehidupan saat ini dengan nilai-nilai kearifan lokal. Santri yang mendengarkan penjelasan Kitab yang dibacakan oleh Kyai menyimak dengan tekun. Tidak ada seorang santripun yang kelihatan sulit dengan huruf arab gundul dalam Kitab Kuning, karena hampir rata-rata santri telah menguasai ilmu alat (Amil, Jurumiyah, Alfiyah). Ilmu alat adalah ilmu yang digunakan untuk membaca kitab gundul, sekaligus menjadi ilmu yang memberikan indikator tahapan atas kemampuan dan jenjang keilmuan. Tidak ada batasan usia untuk mempelajari ilmu ini. Hanya kemauan, ketekunan dan keimanan saja yang dapat mengantarkan santri pada penguasaannya. Kemampuan menguasai ilmu alat atau ilmu yang digunakan untuk membaca bacaan arab tanpa tanda baca (gundul) menjadi kompetensi keilmuan Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin. Ilmu untuk membaca dan memahami Kitab Kuning serta Al-Quran langsung dari struktur bahasa dan gramatikanya, sebagai pintu masuk membuka cakrawala keilmuan Islam langsung dari sumbernya. Bukan dari terjemahan seperti yang diajarkan di sekolah – sekolah formal, termasuk sekolahsekolah yang berlabelkan Islam. Ada perbedaan mendasar tahu arti dan memahami makna Al-Quran dari terjemahan dan dari gramatika, asal usul kata dan struktur bahasa Al-Quran itu sendiri. Perbedaan ini pula yang menjadi dasar adanya sebagian kelompok masyarakat yang menjadikan ayat – ayat suci Al-Quran berdasarkan teks terjemahan menjadi pembenar atas kekerasan yang mengatasnamakan agama.
34
Memahami Al-Quran dari terjemahannya (letterlux) di sekolah formal berpotensi menjadi kekerasan atas nama agama. Penguasaan santri terhadap ilmu alat jelas suatu prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata karena menjadi bekal berharga memahami agama dan keagamaan yang ada dalam masyarakat dengan berbagai persoalan dan tantangannya tersendiri. Penguasaan terhadap ilmu alat bertujuan mencari ridho Allah SWT dan berkiprah nyata dalam masyarakat, bukan untuk mencari uang atau kerja. Namun dalam mata pemerintah, hal ini dianggap sebuah kelemahan karena tidak mengandung suatu keterampilan hidup yang berkaitan dengan ekonomi. Santri Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Usia santri di Pesantren Salafiyah Pabuaran Jati, nama lain dari Al-Munawar Bani Amin, terbilang belia. Antara 8 hingga 20 tahun. Pembawaan mereka tenang dan bersahaja, bersemangat serta riang mengikuti rutinitas belajar, seakan Pesantren adalah rumah mereka juga. Tidak ada kesan mewah. Setiap hari berkain sarung, kemeja tangan panjang dan berkopiah. Santri perempuan memakai baju tertutup dan berhijab. Kehidupan mereka mandiri, mencuci, menyetrika dan memasak sendiri. Terpancar wajah yang bersih dan bersinar karena senantiasa selalu bersyukur dan mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Setiap santri dibawah bimbingan Kyai selama 24 jam, hampir tidak pernah menonton televisi dan membaca koran maupun majalah. Hal ini bukan karena diharamkan tetapi karena memang tidak ada, dan menjadi barang mewah. Diluar jadwal rutin belajar, para santri turut ambil bagian dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, hadir dalam undangan-undangan masyarakat, mulai dari kerja bakti, pengajian, tahlilan, menyolatkan jenazah, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Banyak sekolah formal dengan label Islam yang menawarkan pendidikan dengan fasilitas mewah dan jam belajar yang padat, berbiaya jutaan rupiah, tentu saja hal ini tidak terjangkau oleh anak-anak dari keluarga ekonomi kelas bawah dengan semangat yang sama untuk belajar. Ada juga sekolah dasar gratis, dibiayai pemerintah, namun pilihan anak-anak kelas bawah untuk masuk ke Pesantren tradisional bukan karena kesulitan ekonomi atau karena tidak tahu ada sekolah gratis. Para santri yang mondok di Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, sadar untuk memilih lembaga pendidikan tradisional ini. Aktifitas mereka padat, selama 24 jam, melebihi boarding school, mengikuti rutinitas pembelajaran yang ada. Kehidupan para santri lebih mandiri, mereka mencuci pakaian sendiri, memasak dan mengurus dirinya sendiri. Jauh sebelum azan subuh, para santri sudah bangun. Melaksanakan sholat Tahajud dan mengaji. Usai sholat subuh, mengikuti Sorogan (mengaji Al-Quran dihadapan Ustadz secara bergantian). Setelah itu mandi pagi, sarapan dan membersihkan pondok, dan aktivitas lainnya. Tepat pukul 08.30 WIB mengikuti Bandungan (mendengarkan Kyai membaca dan menjelaskan makna Kitab yang dibacakan dan santri memeriksa kitab yang dibacakan oleh Kyai (nyoret) sampai pukul 11.00 WIB. Sementara bandungan berjalan, santri yang kebagian piket, memasak makan siang untuk seluruh santri. Beras telah disiapkan oleh Kyai.
35
Demikian pula uang belanja untuk membeli lauk pauk, sebesar tiga puluh ribu untuk dua kali masak, siang dan sore untuk satu grup santri laki-laki (25 orang) dan tiga puluh ribu untuk seluruh santri perempuan (15 orang). Selesai makan siang, para santri bersiap-siap sholat zuhur dan selanjutnya Sorogan Kitab, yakni latihan membaca kitab (disesuaikan dengan kemampuan santri), sampai pukul 13.30 WIB. Setelah itu istirahat sampai azan Ashar berkumandang. Dilanjutkan dengan ngaji bandungan (kitab tafsir Al-qur’an dan hadist) sampai pukul 17.30. Sementara bandungan berjalan, santri yang kebagian jadwal piket memasak mempersiapkan makan malam. Makan malam bersama dilakukan sebelum sholat magrib. Selepas Magrib, ngaji Sorogan, Al-Quran dan Kitab, sampai pukul 20.30. Kemudian dilanjutkan dengan Delailan atau sholawat Nabi. Baru kemudian sholat Isya. Selepas Isya kembali mengaji sampai jam 23.00 WIB saatnya istirahat (tidur). Ada jadwal rutin tiap malam sebelum sholat Isya biasanya malam senin setelah Delailan, Muhadhoroh (belajar ceramah). Sedangkan malam selasa, malam rabu, dan malam Sabtu belajar Kitab. Untuk malam Jumat yasinan, manaqiban, dan marhaban. Untuk malam minggu, belajar Qori (seni membaca Al-qur’an). Setiap empat atau lima bulan sekali, atau pada saat Idul Fitri, para santri pamit meninggalkan Pesantren, pulang menemui orang tua masing-masing. Biasanya kepulangan mereka sekaligus mengambil bekal untuk mondok selanjutnya. Pada beberapa kasus, ada juga santri yang pulang kemudian tidak kembali lagi. Beberapa alasan para santri yang tidak kembali lagi ke pesantren, di antaranya adalah karena tidak mempunyai ongkos untuk kembali lagi, atau terpaksa membantu orang tua mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarganya. Tabel 5.1 Aktifitas Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin WAKTU (WIB) KEGIATAN 03.30 – 05.00 Sholat Sunnah Tahajud, Mengaji dan Sholat Subuh 05.00 – 07.00 Mengaji Sorogan 07.00 – 08.30 Mandi Pagi, Membersihkan pondok, mencuci, dan aktivitas pribadi lainnya 08.30 – 11.00 Bandungan atau Nyoret Kitab 11.00 – 12.15 Makan siang dan Sholat Dzuhur 12.15 – 13.30 Sorogan Kitab 13.30 – 15.15 Istirahat 15.15 – 17.30 Ngaji Bandungan (Alquran dan Hadist) 17.30 – 18.00 Makan Malam 18.00 – 20.30 Sholat Magrib dilanjutkan Mengaji Alquran dan Kitab (Sorogan) 20.30 – 21.30 Delailan/muhadhoroh (belajar ceramah)/ yasinan/ manaqibaan/marhaban/ belajar Qori 21.30 – 21.50 Sholat Isya 21.50 – 23.00 Mengaji Al-Quran 23.00 – 03.30 Istirahat tidur
36
Santri Pesantren Salafiyah yakin berdiri di atas kepatuhan dan keikhlasan menjaga kaidah dan nilai-nilai Ahli Sunnah Waljamaah di atas segalanya. Termasuk keutamaan dan kemuliaan dalam mencari nafkah kelak setelah keluar dari pondok, tahapan paling rendah adalah bekerja, kedua berdagang dan paling tinggi adalah bertani. Dan tahapan paling mulia adalah kembali membuka Pesantren Salafiyah atau mengajarkan kembali ilmu yang sudah didapatkannya. Oleh karena itu, para santri tidak pernah khawatir dan berharap mendapat selembar ijazah seperti halnya sekolah formal. Santri yang sudah lulus dan berniat membuka Pesantren Salafiyah di daerah lain, mesti mendapat restu dan izin (izazah) dari Kyai atas pertimbangan kematangan dan kesempurnaan ilmu yang dimiliki santri. Selain restu dan izin Kyai, sang santri dibekali silsilah turun temurun ilmu yang akan diajarkannya di Pesantren Salafiyah barunya nanti, berupa silsilah gurunya guru Kyai hingga sampai kepada sumber utamanya yakni Nabi Besar Muhammad SAW, Malaikat Jibril dan Allah SAW (sannad yang jelas). Tabel 5.2 Urutan orientasi santri setelah lulus dari pondok No Aktifitas Setelah Mondok 1 Membuka salafiyah kembali dan mengajarkan ilmu yang sudah didapat atau menjalan syiar agama 2 Bertani/bercocok tanam 3 Berdagang 4 Sebagai pekerja Waktu yang diperlukan para santri untuk belajar di pesantren sangat bergantung pada penilaian Kyai berdasarkan ilmu yang sudah dikuasainya. Biasanya rekomendasi Kyai terhadap santri yang dianggap sudah mumpuni ilmunya adalah menyuruh pulang ke kampung halaman untuk mendirikan Pesantren Salafiyah dan mengajarkan serta mengembangkan ilmu yang sudah diperolehnya atau melanjutkan menimba ilmu lainnya di pesantren lain yang ditunjuk Kyai. Bagi santri yang sudah mumpuni ilmunya namun masih diminta mondok, biasanya menjadi wakil Kyai untuk mengajarkan ilmunya kepada santri yang lebih muda. Sebagian besar santri yang belajar di Pesantrean Al Munawar Bani Amin berasal dari keluarga tidak mampu. Semua orang tua santri yang menitipkan anaknya di tidak dipungut biaya. Motivasi orang tua menitipkan anaknya di pesantren adalah agar anaknya memiliki pondasi kehidupan yang kuat, menjadi anak-anak sholeh dan berguna bagi masyarakatnya kelak. Lebih jauh lagi, ada juga orang tua yang berharap anaknya menjadi penceramah atau tokoh agama yang terpandang. Keterpandangan ini biasanya dianggap linier dengan peningkatan ekonomi, karena santri lulusan Pesantren Pabuaran Jati (nama lain Pesantren Salafiyah Al Munaawar Bani Amin) yang hafal Al-Quran atau menjadi penceramah yang handal, biasanya akan mendapat “tempat khusus” di masyarakat. Sebuah tempat terhormat yang akan memperhatikan semua aspek kehidupannya, terutama aspek ekonominya.
37
Memiliki pengetahuan agama yang baik
Menjadi manusia yang sholeh
Menjadi Da'i atau tokoh agama
Gambar 5.2. Urutan Motivasi Orang Tua Memasukkan anak ke Pesantren Slafiyah
Santri juga memiliki peran signifikan sebagai penghubung antara pesantren, Kyai dan masyarakat. Dalam konteks ini, sang Kyai juga menjadi “guru” bagi masyarakat dimana santri tersebut tinggal, yang siap dipanggil untuk memberikan wejangan, nasehat mau arahan yang diperlukan masyarakat, baik pada acara-acara tertentu yang diselenggarakan masyarakat, seperti peringatan kehamilan tujuh bulan, pernikahan, sunatan, Rajaban, dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Metode Belajar Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Ngawuruk ngaji atau mengajar ngaji bagi oleh enam orang Ustadz di Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin merupakan kegiatan rutin yang mereka harus jalani setiap harinya mulai dari pagi hingga malam hari. Mereka tinggal tidak jauh dari lokasi pesantren. Rata-rata usia Ustadz yang mengajar ngaji di pesantren Pabuaran Jati ini baru beranjak 30 tahun. Mereka adalah santri senior yang telah mondok lebih dari tujuh tahun. Salah seorang di antaranya pernah mengenyam pendidikan formal hingga SMA. Hanya seorang Ustadz saja yang masih terbilang keluarga Kyai Wawang. Setiap hari mereka rutin mengajar ilmu Nahu (ilmu yang mempelajari tentang bahasa Arab, baik cara pengucapannya dan cara membacanya dan mengartikannya), ilmu Sorof (perubahan dari satu kata ke kata lain dalam bahasa Arab atau perubahan harkat). Nahu dan Sorof ini dikembangkan menjadi ilmu tafsir dan hadist. Ilmu lainnya yang diajarkan adalah Fikih yakni hukum Islam, seperti tentang sholat, wudhu, istinja, etika, adab makan minum, dsb. Tidak ada gaji mau honor mengajar bagi para Ustadz. Hanya doa Kyai yang mereka harapkan sebagai ganjaran, seperti yang dituturkan oleh Ustadz Nabhani: Doa Kyai lebih berarti dari gaji dan lebih diharapkan. “saya mengajar karena amanat guru: mengamalkan ilmu, tidak usah merisaukan bayaran karena Allah SWT yang nanti akan membayar dan menjaga para Ustadz.” Bahkan menjadi Ustadz di pesantren ini adalah cita-cita
38
yang terinspirasi dari kehidupan Kyai itu sendiri, “khusyu menjalankan ibadah, uang datang sendiri”. Ini terbukti, bahwa kehidupan kami saat ini berkecukupan – tanpa kekurangan apapun. Oleh karena itu, menjadi Ustadz di pesantren adalah pilihan hidup yang disadari. Tidak ada rekruitmen Ustadz secara formal dan terbuka di pesantren. Seorang Ustadz diminta mengajar karena pertimbangan substansi keilmuannya dan selebihnya pertimbangan praktis saja, misalnya, rumahnya dekat. Kegiatan Ustadz selain mengajar, mengisi ceramah di berbagai acara keagamaan masyarakat yang memintanya. Sebulan, rata-rata ada empat kali undangan untuk berceramah. Metode yang digunakan oleh Ustadz saat megajar, adalah komunikasi dan interaksi dengan sistem muzakaroh atau tukar pendapat. Dalam muzakaroh setiap permasalahan yang dibahas hakikatnya seperti air yang mengalir, Allah SWT yang menjadi tujuan. Di dalam setiap pembahasan, hampir tidak pernah Ustadz membahas masalah-masalah aktual, terutama yang bersumber dari media. Karena menurut Ustadz Nabhani: “media adalah lembaga yang melakukan usaha menjual berita jadi mesti dipertimbangkan aspek keterpercayaannya dan sisi kebenarannya.” Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin sebagai Identitas Budaya Pamor dan eksistensi Pesantren Salafiyah Pabuaran Jati tidak lagi seperti dulu, saat menjadi sentral dinamika kehidupan masyarakat yang pertimbangannya menjadi rujukan. Kini keberadaan Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin jarang dilirik. Masyarakat menilai keberadaannya tidak dapat mempersiapkan anakanak mereka masuk dalam dunia kerja, menjadi PNS, karyawan swasta atau buruh pabrik. Situasi ini bertambah sulit karena sikap diskriminatif pemerintah dalam memberikan perhatian mau kebijakan yang mengesankan bahwa lulusan pesantren tradisional ini tidak mempuyai masa depan. Namun masyarakat maupun pemerintah mengakui bahwa Pesantren Salafiyah Pabuaran Jati salah satu dari ribuan Salafiyah lainnya yang memberikan pendidikan berkarakter, tegas dan ikhlas. Suatu lembaga pendidikan yang mempelajari agama islam langsung dari sumbernya: Al-Quran dan Hadist. Pesantren Salafiyah Al munawar Bani Amin diakui berhasil membentuk santri menjadi manusia beriman yang beradab, beretika dan santun dalam pergaulan. Oleh karena itu, walau secara legalitas formal, eksistensi pesantren ini dipandang sebelah mata, namun secara budaya mendapat tempat yang utuh di hati segenap lingkungan masyarakat dan pemerintah. Posisinya secara budaya ini tidak bisa tergantikan oleh sekolah formal dan pesantren modern. Bahkan bisa dikatakan bahwa pada akhirnya dinamika dan persoalan manusia modern dilingkungan Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin tetap akan kembali ke Kyai. Tidak sedikit masyarakat yang datang ke pesantren meminta doa dan restu dari Kyai Pesantren Salafiyah. Santri lulusan Pesantren Salafiyah mendapat tempat tersendiri ditengah-tengah masyarakat. Masyarakat lebih akan mendengar dan menurut perkataan Kyai dari pada kepada pemerintah.
39
Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin, oleh sebagian kalangan dianggap bukan sebagai lembaga pendidikan tetapi lembaga budaya. Berbeda dengan pengertian budaya yang secara umum dipahami sebagai sebuah konsep abstrak, dimana sebuah kehidupan terus berubah dan tumbuh, akibat dari pertemuanpertemuan dengan budaya lain, menyebabkan perubahan kondisi lingkungan, dan sosiodemografis. Dengan kata lain, budaya dipahami sebagai produk yang dipedomani oleh individu-individu yang tersatukan dalam sebuah kelompok baik disadari mau tidak disadari. Budaya yang tumbuh di Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin tidak ada yang berubah kendati bertemu dengan budaya-budaya lain, dan hal ini berlangsung dalam suatu kesadaran yang lama. Kesadaran budaya Pesantren Salafiyah Al Munawar Bani Amin, terbentuk dan mempertahankan eksistensi kehidupan yang berpijak pada Al-Quran dan Hadist. Sebagai kekuatan budaya, Pesantren Salafiyah tentu saja memiliki pengaruh yang kuat. Suatu pengaruh yang menjadi magnet bagi masyarakat di bidang sosial keagamaan. Oleh karena itu pendekatan kepada Pesantren Salafiyah seringkali dijadikan legitimasi pendekatan oleh pemerintah untuk mensosialisasikan berbagai kebijakan pembangunan. Pesantren Salafiyah telah menjadi tempat bernaung masyarakat untuk setiap keperluan ritual dan prosesi upacara keagamaan, baik pernikahan, kematian, dan acara lainnya, Kewibawaan pemerintah sangat terbatas jika akan datang langsung kepada masyarakat dalam konteks permasalahan di atas. Masyarakat akan lebih mudah diarahkan oleh Kyai Pesantren Salafiyah daripada oleh pemerintah. Masyarakat merasa senang dan terhormat jika mereka dapat mengundang Kyai Salafiyah, biasanya penghormatan dan penghargaan yang diberikan tulus, apa adanya dalam sebuah kemeriahan. Berbeda dengan kedatangan pejabat pemerintah yang biasanya terkesan formil, dalam suatu kondisi yang seringkali penuh basa basi namun dibuat meriah. Oleh karena itu masyarakat tidak pernah melepaskan perhatian mereka untuk membantu menjaga keberadaan santri Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin ini agar tetap hidup. Masyarakat secara berkesinambungan menyumbang berbagai kebutuhan santri, mulai dari sarung, baju koko, dan kebutuhan lain yang dianggap perlu untuk suatu keberlangsungan kehidupan Pesantren Salafiyah. Pada bulan Ramadhan perhatian masyarakat kepada pesanten Pabuaran Jati ini lebih tampak lagi. Secara bergantian masyarakat membuatkan berbagai sajian buka puasa bersama khusus untuk para santri, menjelang lebaran, banyak pihak dari masyarakat memberikan zakat, infaq dan shodakoh mereka. Bahkan beberapa tokoh masyarakat beranggapan bahwa Pesantren Salafiyah tidak boleh hilang dari daerah ini. Keberadaan Pesantren Salafiyah dianggap membawa berkah tersendiri. Membawa ketenangan bagi daerah karena keseharian mereka yang terus melantunkan doa dan puji-pujian kepada Allah SWT. Bagi sebagian masyarakat yang menyadari pentingnya peranan Pesantren Salafiyah dalam mendidik dan mempersiapkan mentalitas anak-anak mereka, maka yang dilakukan adalah memasukkan anak-anak mereka ke Pesantren Salafiyah sambil menempuh pendidikan pada sekolah formal dan bukan ke Pesantren modern. Alasannya ada dua karakteristik pesantren yang hilang dari pesantren modern, dan
40
hanya ada di pesantren tradisional (Pesantren Salafiyah), yakni pendidikan kemandirian dan memiliki ilmu alat untuk membaca dan memahami kitab kuning dan Al-Quran langsung dari bahasa dan gramatikanya. Identitas Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin Dalam Pembangunan di Provinsi Banten Pesantren Salafiyah Al-Munawar Bani Amin memiliki keunggulan pendidikan karakter yang dibutuhkan dalam pembangunan di Banten, namun keunggulan nilai-nilai pembelajaran di dalamnya belum menjadi nilai-nilai yang diadopsi dalam pembangunan di Banten. Padahal Pesantren Salafiyah dapat dijadikan basis pendidikan karakter dalam pendidikan formal di Banten. Namun pemerintah provinsi Banten terlihat ragu membangun pondasi karakter dalam sistem pendidikannya yang berakar dari budayanya sendiri. Karakter pendidikan di Banten sekuler dan hanya berorientasi pada kemampuan bagaimana dapat diserap dunia kerja, namun kering secara budaya. Disisi lain, pemerintah seringkali hanya melihat Pesantren Salafiyah dari sisi teknis pelaksanaan pendidikan yang dianggap kurang atau lemah, seperti kelembagaan, administrasi, penjenjangan kurikulum. Padahal substansi pengajaran dan keilmuan di pesantren ini jauh melampaui aspek-aspek teknis tadi. Interaksi dan komunikasi dunia pendidikan di Banten dengan akar budayanya bisa dibilang sangat terbatas dan terkesan saling menghilangkan. Pemerintah nyaris tanpa peran dalam menjembatani adanya kutub tradisional pada Pesantren Salafiyah dan modern pada sekolah formal yang tidak bisa saling mengisi, padahal keduanya dapat berpadu padan. Keberadaan Pesantren Salafiyah memang diakui namun kerap kali tidak ditempatkan perannya secara utuh pada keunggulan dan kompetensinya secara baik dalam proses pembangunan. Kecuali pada event-event politik tertentu, seperti pemilihan kepala desa, walikota, bupati, calon legislatif sampai pemilihan Presiden, biasanya para calon atau tim sukses datang dalam kepentingan politis pragmatis. Permasalahan ini membuat Kyai Wawang tidak habis pikir, beliau menuturkan perasaannya: Mengapa bisa pemerintah bersikap seperti itu? “Pernah dalam suatu dialog dengan komisi lima DPRD Banten, saya mendengar penjelasan salah satu anggota Dewan dari Partai Demokrat yang mengatakan: jika kami menganggarkan APBD untuk pemberdayaan Pesantren Salafiyah, lalu apa yang Pesantren Salafiyah berikan untuk negara? Bukankah selama ini tidak ada?” Sontak, pernyataan ini mengagetkan dan membuat marah. Karena kedatangan mereka bukan mencari sumbangan atau bantuan dan merasa anggota dewan tadi tidak paham sejarah bangsanya sendiri, dimana tokoh-tokoh pergerakan dan kemerdekaan juga terdapat banyak tokoh Salafiyah.
41
Adanya tuntutan terhadap perapihan administrasi kelembagaan, Pesantren Al Munawar Bani Amin tidak berkeberatan, bahkan merasa bahwa hal itu menjadi sebuah kebutuhan. Setidaknya, selama penelitian ini berlangsung, Pesantren ini telah mengurus akte pendirian yayasan dan segala kelengkapannya. Tujuan dari pengurusan ini adalah menjadikan pesantren sendiri sebagai lembaga pendidikan yang diakui di mata hukum, sejalan dengan kebutuhan pengelolaan lembaga terhadap tuntutan legalitas formal. Namun pemenuhan aspek-aspek legalitas dan administrasi bukan menjadi jaminan bahwa pemerintah serius memperhatikan konteks pendidikan Pesantren Salafiyah dalam bingkai desentralisasi, dimana ada kewenangan untuk memperkuat muatan lokal pendidikan, di antaranya adalah pendidikan berbasis Pesantren Salafiyah sebagai pendidikan asli dari budaya Banten. Jika ada pemahaman bahwa justru pendidikan Salafiyah berasal dari Timur Tengah dan tidak memuat kearifan lokal, menurut Kyai Matin Syarkowi, Ketua Majelis Pesantren Salafiyah Banten, itu salah. Karena intisari dari kitab-kitab yang diajarkan di Pesantren Salafiyah justru dibahasakan secara lokal (bahasa jawa) dan dintrepretasikan dalam kebutuhan penguatan kebudayaan lokal. Dengan kata lain, Islam sebagai Rahmatan Lil’Alamin justru dalam sejarahnya mengantarkan Banten dan budayanya pada masa keemasannya. Bahkan Kitab tulisan Kyai Besar Banten, Syekh Nawawi Tanara, justru menjadi rujukan bagi pembelajaran agama di pesantren baik di nusantra mau dibelahan dunia Islam lainnya. Di Banten, ketidakberdayaan pemerintah mengidentifikasi pesanten Salafiyah pada aspek potensi, kompetensi dan pemberdayaannya menjadi kendala sendiri terhadap kebutuhan pembangunan nilai-nilai pembangunan. Bahkan sebaliknya, pembangunan yang berjalan justru melemahnya nilai-nilai sosial, dimana kepentingan pribadi menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial sebagian besar orang. Korupsi dan ketidakpastian pembangunan ekonomi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti. Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan kekuatan budaya. Pesantren Salafiyah Almunawar Bani Amin belum dimaknai secara positif dalam keseluruhan aspek pembangunan. Dalam aspek desentralisasi, dimana otonomi diberikan untuk memperkuat kemampuan daerahnya melalui pengelolaan orang-orang lokal, seharusnya menurut Kyai Wawang: Banten bisa lebih maju dan kuat dengan memanfaatkan segenap potensi budaya yang selama ini dijaga dengan baik di Pesantren Salafiyah. Setidaknya Banten, dapat lebih beretika dalam berpolitik, minim dalam perilaku korupsi, dan berorientasi pada kepentingan umat karena nilai-nilai kebaikan yang dibutuhkan dalam mengelola Negara diajarkan secara aplikatif di Pesantren Salafiyah. “Kami tiap malam selalu berlinang air mata dalam doa untuk meminta kebaikan bagi Negara. Jika saja ada satu doa yang sudah pasti diijabah langsung saat itu juga, maka saya akan berdoa untuk kebaikan Negara.