Peran Perpustakaan Umum dalam Membangun Masyarakat Informasi : Sebuah Telaah Ruang Publik Jürgen Habermas Muhammad Rosyihan Hendrawan, SIP., M.Hum. Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 163 Malang, Jawa Timur 65145
[email protected]
Abstrak Pemikiran Habermas tentang ruang publik (public sphere) dapat menjadi sebuah titian untuk memahami fenomena masyarakat informasi bila dikaitkan dengan peran perpustakaan sebagai lembaga informasi. Wacana global pun bermunculan dan mempertanyakan tentang peran perpustakaan umum tersebut. Konsep masyarakat informasi sendiri merupakan suatu wadah perdebatan yang dipahami pada tingkat sosial, politik, ekonomi, maupun teknologi dari berbagai teori. Secara khusus, apa yang sedang dibangun dan untuk siapa perpustakaan umum diperuntukkan, tetap sebagai pertanyaan penting. Selain itu, ruang publik itu sendiri terkait langsung dengan isu-isu tentang demokrasi, keanekaragaman, multikulturalisme, dan keadilan sosial. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa babak baru dalam masyarakat informasi yang juga memberi pengaruh terhadap dimensi sosial masyarakat informasi. Konsep library 2.0 juga cukup mampu menjadi alat bagi perpustakaan umum untuk mengembangkan perannya sebagai ruang publik yang lebih netral Dengan demikian peran perpustakaan umum dalam membangun masyarakat informasi perlu diuji secara kritis. Kata kunci: perpustakaan umum, masyarakat informasi, Jürgen Habermas, ruang publik, library 2.0.
Pendahuluan Era Posmodern menarik minat dan perhatian para filsuf untuk berpikir lebih jauh tentang ragam makna yang terkandung dengan munculnya babak baru pemikiran manusia. Salah satu diantaranya adalah Jürgen Habermas. Beberapa kontribusi pemikiran telah dikemukakan oleh Habermas, termasuk pandangannya terkait dengan ruang publik pada era posmodern atau yang biasa disebut dengan public sphere. Ruang publik dalam bentuk yang paling sederhana dan ideal adalah dunia di mana pendapat utama berfokus pada kebutuhan masyarakat yang bebas dan terbuka dipertukarkan antara orang-orang, tidak dibatasi oleh tekanan eksternal (Habermas, 1991). Ruang publik menjadi wacana yang semakin hangat ditelaah, terlebih pada era masyarakat informasi, dimana masyarakat telah meninggalkan industri manufaktur sebagai sentral kehidupan dan menjadikan informasi sebagai daya utama aktualisasi diri masyarakat. Dengan semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi, mengakibatkan munculnya ruang-ruang publik dalam dimensi baru yaitu dunia maya, sehingga teori kritis Habermas tentang ruang publik semakin menarik untuk dikaji lebih lanjut, terutama sehubungan dengan paradigma baru masyarakat informasi.
Pemikiran Jürgen Habermas Pemikiran seseorang sangat dipengaruhi oleh latar belakangnya, demikian pula halnya dengan Jürgen Habermas. Pemikiran-pemikirannya yang dituangkan dalam karya-karyanya sangat berkaitan dengan pengalaman hidup yang dialaminya, termasuk buah pikirannya tentang konsep ruang publik yang cukup signifikan yang dikenal dengan teori Public Sphere. Jürgen Habermas adalah salah satu filsuf pada abad 20. Ia adalah sseorang sosilog dan filsuf berkebangsaan Jerman. Karya-karya Habermas berfokus pada bidang dasar-dasar teori sosial dan epistemologi, analisis masyarakat kapitalistik dan demokrasi, aturan hukum dalam konteks sosialevolusioner kritis dan politik kontemporer, terutama politik Jerman. Pemikiran Habermas banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikran fisuf lain, seperti Weber, Durkheim, Mead, Marx, Dilthey, Parsons, Kant, Heidegger, Piaget, Horkheimer, Adorno, Marcuse, Arendt, Wittgenstein, Peirce, Austin, Scholem, dan Nietzsche. Latar belakang Habermas, yang mana kuat dipengaruhi oleh masa-masa kepemimpinan Nazi, membuatnya memaknai arti penting dari demokrasi, termasuk kebebasan berpendapat dan mengungkapkan gagasan yang bebas dari tekanan politik dan dominasi kapital (Lubis, 2011). Hal ini pulalah yang membuat Habermas berpikir tentang perlunya sebuah ruang publik yang dapat digunakan oleh semua orang dengan bebas untuk mendapatkan informasi publik dan menyampaikan gagasan-gagasan berkenaan dengan kepentingan-kepentingan publik. Konsep ini dituangkan dalam pemikiran kritisnya yaitu teori Public Sphere. Dalam era informasi ini, teori Public Sphere sering digunakan untuk mengkaji perubahan-perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan ruang-ruang publik baru dalam masyarakat informasi. Teori Public Sphere Habermas memiliki banyak karya pemikiran, terutama tentang hal-hal yang menyangkut tentang perubahan-perubahan sosial budaya dalam era posmodernisme. Salah satu karya besarnya adalah konsep teori ruang publik atau yang lebih lazim dikenal dengan Public Sphere. Pemikiran Habermas ini dituangkan dalam suatu karya berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere: an Inquiry into a Catagory of Bourgeois Society pada tahun 1962 yang kemudian diterjmahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1989. Inti dari karya tersebut adalah tentang analisis Habermas tentang asal mula ruang publik Borjuis serta pengaruhnya terhadap perubahan struktural ruang publik pada masa sekarang yang ditandai dengan dominasi kapitalisme, industri kebudayaan, serta organisasi-organisasi ekonomi dan kelompok bisnis besar dalam ranah kehidupan publik. Dengan bertolak pada pola kemasyarakatan zaman Yunani kuno, Habermas memandang publik sebagai spesifikasi masyarakat sipil yang mengukuhkan diri sebagai tempat pertukaran komoditas dan kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya sendiri. Sedangkan sphere dipandang sebagai ruang atau tempat terbuka dimana orang-orang (publik) di dalamnya memandang pada satu tujuan dan tindakan yang sama. Maka tempat-tempat seperti sidang pengadilan, ruang diskusi, dan ruang pertandingan dapat dikategorikan sebagai public sphere pada zaman Yunani kuno. Berdasarkan pemikiran Habermas, fungsi public sphere telah bergeser seiring perubahan zaman. Pada zaman feodal Habermas menengarai munculnya sebuah ruang publik yaitu raja dan kaum bangsawan (ruang publik borjuis), yang memegang kekuasaan dan mempertontonkannya pada khalayak untuk mempertahankan kekuasaan (Kellner, 2005). Pengertian publik disini mulai bergeser. Ruang publik borjuis dipahami sebagai ruang orangorang privat yang berkumpul sebagai publik. Ruang publik ada karena orang-orang privat berkumpul dan membicarakan kebutuhan umum masyarakat pada tataran negara.
Habermas mencoba mengkaji labih jauh tentang pembagian antara yang publik dan yang privat dalam bahasa dan filsafat. Ia menemukan bahwa ruang publik borjuis pada abad 18 berfungsi sebagai mediasi antara permasalahan privat individu di dalam kehidupan keluarga, ekonomi, dan sosial dengan permasalahan kehidupan sosial dan publik. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan mengatasi kepentingan dan opini privat untuk mencapai kepentingan bersama dan konsensus sosial. Konsep ruang publik yang dikemukakan Habermas adalah ruang bagi diskusi kritis dan terbuka bagi semua orang. Pada ruang publik ini, warga privat berkumpul untuk membentuk sebuah publik, yang kemudian ruang publik tersebut akan bekerja sebagai pengawas kekuasaan negara. Ruang publik disini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik, seperti surat kabar dan jurnal, serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub politik, majelis publik, balai pertemuan, dan ruang-ruang publik lainnya dimana diskusi sosiopolitik berlangsung. Prinsip-prinsip ruang publik yang diusung Habermas mengedepankan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, kebebasan pers, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan dan pengambilan keputusan. Melalui dialog, khususnya, diskusi kritis dan perdebatan, ruang publik menghasilkan pendapat dan sikap (Hardiman, 1993) serta merupakan fondasi (landasan) bagi pemikiran sosial emansipatoris (Holub dan Habermas, 1997). Hal ideal tersebut adalah sebagai mediator antara masyarakat dan negara, sumber dari opini publik yang diperlukan untuk menegaskan dan membimbing urusan negara (Calhoun, 1992).
Teori Public Sphere dalam Masyarakat Informasi Masyarakat informasi adalah masyarakat yang muncul sebagai akibat dari era informasi. Sebuah penanda berakhirnya era industri manufaktur, dan berpindahnya struktur dan pola masyarakat, yang semula bergantung pada industri manufaktur, kini berubah haluan menjadi masyarakat yang bergantung pada informasi sebagai daya penggerak utama masyarakat dalam mengaktualisasikan diri. Masyarakat informasi ditandai dengan adanya perilaku informasi yang merupakan keseluruhan perilaku manusia yang berhubungan dengan sumber dan saluran informasi, perilaku penemuan informasi yang merupakan upaya dalam menemukan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tertentu, perilaku mencari informasi yang ditujukan seseorang ketika berinteraksi dengan sistem informasi, dan perilaku penggunaan informasi yaitu perilaku yang dilakukan seseorang ketika menggabungkan informasi yang ditemukannya dengan pengetahuan dasar yang sudah dimiliki sebelumnya. Informasi adalah kunci utama masyarakat informasi. Dalam pemikiran Habermas tentang ruang publik, informasi juga menjadi sumber utama munculnya konsep ruang publik. Akses terhadap informasi menjadi sorotan dari teori public sphere itu sendiri, dimana Habermas mengajukan pemikiran tentang adanya suatu ruang yang dapat digunakan semua orang (publik) untuk membicarakan isu-isu yang menjadi kepentingan publik (berbagi informasi) dengan kebebasan akses terhadap informasi publik itu sendiri. Konsep public sphere tersebut selaras dengan tujuan awal masyarakat informasi, yaitu “information for all” (Webster, 1995). Namun seiring berjalannya waktu konsep awal masyarakat informasi juga tergerus komersialisme, sebagaimana halnya dengan degradasi public sphere. Terdapat pihak-pihak yang menjadi penguasa informasi (information rich), sementara di sisi lain terdapat pihak-pihak yang tidak mendapat akses terhadap informasi (information poor), termasuk dalam akses terhadap informasi publik. Kesenjangan ini menimbulkan kesenjangan informasi (information gap).
Disinilah nampak diperlukan adanya public sphere untuk mengatasi kesenjangan informasi tersebut. Hal inilah yang coba diterapkan oleh perpustakaan, terutama oleh perpustakaan umum, untuk menciptakan ruang publik yang dapat memberikan akses informasi pada semua lapisan masyarakat, serta mengurangi dampak politisasi dan dominasi kapitalisme. Perpustakaan umum mewakili kriteria yang cukup untuk berperan sebagai public sphere, yaitu dengan mengedepankan prinsip informasi bagi setiap orang serta kebebasan akses informasi dengan tanpa dipungut biaya. Penyelenggaraan perpustakaan dalam menyediakan informasi juga terlepas dari politik dan dominasi kapital, sehingga semua orang bebas memanfaatkan perpustakaan umum sebagai public sphere.
Peran Perpustakaan Umum sebagai Ruang Publik dalam Masyarakat Informasi Perpustakaan umum adalah contoh terbaik dari lingkup masyarakat informasi. Ini adalah ruang global yang memberikan orang kesempatan untuk mengekspresikan berbagi pendapat, berita, dan informasi. Orang tidak pernah sebelumnya memiliki kesempatan untuk mendapatkan informasi. Perpustakaan Umum Perpustakaan umum merupakan unit atau satuan kerja, badan atau lembaga yang membidangi pengembangan pengetahuan masyarakat yang berada dalam jangkauannya. Bertugas mengumpulkan, menyimpan, mengatur dan menyajikan bahan pustaka untuk masyarakat umum. Perpustakaan umum diselenggarakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa memandang latar belakang pendidikan, agama, adat istiadat, umur, jenis dan lain sebagainya, untuk itu koleksi perpustakaan umum terdiri dari beraneka ragam bidang dan pokok masalah sesuai dengan kebutuhan informasi dari penggunanya. Dalam Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (PNRI, 2000) dijelaskan bahwa Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan di pemukiman penduduk (kota atau desa) diperuntukkan bagi semua lapisan dan golongan masyarakat penduduk pemukiman tersebut untuk melayani kebutuhannya akan informasi dan bahan bacaan. Definisi lain tentang perpustakaan umum dikemukakan oleh Taslimah Yusuf (1996) bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang seluruh atau sebahagian dananya disediakan oleh masyarakat dan penggunaannya tidak terbatas pada kelompok orang tertentu. Beberapa pendapat di atas, mengemukakan bahwa perpustakaan umum adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat baik kabupaten atau kota, yang berada didaerah pemukiman penduduk, untuk melayani masyarakat dari berbagai golongan tanpa membedakan agama, ras, status sosial ekonomi, usia dan gender. Pengguna perpustakaan umum sangat beragam, hal ini sesuai dengan tugas dan fungsi perpustakaan umum yang melayani masyarakat mulai dari tingkat persiapan sekolah hingga perguruan tinggi, peneliti dan umum. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan dalam Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Umum (PNRI, 2000) bahwa mengingat fungsinya sebagai perpustakaan umum, maka penggunanya terdiri dari berjenis-jenis lapisan masyarakat yang memiliki kebutuhan dan minat yang berbeda terhadap bahan pustaka yang diinginkan. Dengan keberagaman pengguna pada perpustakaan umum, maka dibutuhkan perbandingan yang proporsional antara jumlah koleksi dan ruangan dengan jumlah pengguna dalam memenuhi kebutuhan informasi. Perpustakaan umum diunggulkan sebagai ruang yang netral terhadap tekanan kuasa pemerintah maupun kapitalisme. Perpustakaan dalam lingkup masyarakat informasi juga diharapkan mampu menjembatani kesenjangan informasi yang mana juga ditengarai
sebagai akibat dari dominasi pihah-pihak tertentu (kaum elit) yang ingin menguasai informasi yang merupakan daya penggerak aktualitas masyarakat informasi. Fungsi “agent of change” perpustakaan umum diharapkan mampu menjadi tonggak yang meniadakan dominasi informasi. Di tangan perpustakaan, diseminasi informasi diharapkan lebih merata dan dapat dinikmati oleh semua kalangan. Perpustakaan umum diharapkan dapat menjadi ruang publik yang identik dengan netralitas, dimana setiap orang bebas mengakses informasi, belajar, dan juga berdiskusi tentang hal apa pun. Pada kenyataannya, perpustakaan umum itu sendiri merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, sehingga dalam penyelenggaraannya tentu tidak dapat lepas dari visi dan misi pemerintah. Bahkan dalam praktiknya, sensor yang diberlakukan pemerintah juga berlaku di perpustakaan. Manajemen dan aliran informasi pun juga tidak terlepas dari pemerintah. Selain pengaruh pemerintah yang cukup kuat dalam penyelenggaraan perpustakaan umum, dominasi kaum kapitalis dalam perpustakaan umum pun tidak terelakkan. Terlebih setelah muncul pandangan informasi sebagai komoditi dalam masyarakat informasi. Tidak setiap orang dapat mengakses perpustakaan. Perlu adanya faktor-faktor ekonomi di dalamnya, seperti dalam bentuk keanggotaan misalnya. Dari sudut pandang ini, terlihat bahwa perpustakaan umum merupakan lembaga informasi yang mencoba menyalurkan “pengetahuan sah” kepada masyarakat luas. Pengaruh Konsep Library 2.0 Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi serta pemanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari merupakan salah satu ciri dari masyarakat informasi. Hal tersebut tidak terkecuali dalam konsep pemanfaatan perpustakaan umum sebagai ruang publik. Perkembangan lembaga informasi seperti perpustakaan umum telah mencapai tahapan apa yang dikenal dengan konsep library 2.0 dimana perkembangan tersebut memungkinkan orang-orang berinteraksi dua arah baik melalui teknologi informasi maupun secara konvensional. Library 2.0 merupakan model untuk perubahan yang terus menerus, untuk memberdayakan pengguna melalui keterlibatan mereka dan layanan yang berfokus pada pengguna, dan perubahan dan untuk menjangkau pihak lain yang berpotensi sebagai pengguna melalui layanan-layanannya. Perubahan yang dapat dilakukan dengan konsep library 2.0 adalah perubahan pelayanan, prosedur dan operasional lainnya. Perubahan ini bersifat terus menerus melalui evaluasi dan pembaharuan. Di tengah komersialisme informasi, library 2.0 menjadi solusi ruang publik yang menjanjikan netralitas bagi masyarakat informasi. Inovasi dalam komunikasi dua arah yang menjadi ciri library 2.0 telah melahirkankan realitas ruang publik bagi masyarakat informasi. Teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah mampu mendistribusikan informasi ke seluruh dunia dalam waktu bersamaan kepada sistem sosial dan politik yang ada. Terlihat bahwa konsep ruang publik Habermas yang dimaknai sebagai suatu wilayah bebas sensor dan dominasi serta terdapat interaksi sosial secara terbuka, nampaknya termanifestasi dalam library 2.0 ini. Meskipun demikian, jika kita cermati lebih jauh akan nampak usaha keras perpustakaan umum untuk menjadi ruang publik yang memiliki netralitas terhadap pemerintah dan kapitalisme. Dapat dibayangkan bahwa perpustakaan umum yang sudah menerapkan konsep library 2.0 akan memiliki tampilan dasar umum dan tampilan perorangan sesuai yang diinginkan pengguna. Namun pada dasarnya konsep library 2.0 tidak terbatas pada perwujudan tampilan saja. Pengguna juga berpartisipasi dalam tiga fungsi dasar suatu perpustakaan yaitu : akuisisi, pengolahan pustaka, dan pendayagunaan koleksi.
Semua jasa perpustakaan dikembangkan dengan meminta masukan dari pemakai. Semua usaha peningkatan ini selalu dievaluasi pelaksanaannya. Untuk inilah interaksi antara perpustakaan dan pengguna dilakukan secara intensif. Oleh karena itu ada yang beranggapan bahwa konsep library 2.0 tidak harus dilakukan dengan penerapan teknologi informasi dan komunikasi, selama interaksi dengan pengguna dapat dilakukan untuk meningkatan layanan. Dengan kata lain, konsep user oriented yang sudah lama dikenal oleh para pustakawan itu direvitalisasi kembali (Sudarsono, 2010). Namun jelas bahwa teknologi informasi dan komunikasi akan sangat membantu dan memudahkan interaksi tersebut. Dengan turut mengembangkan library 2.0 dan terus berusaha mengadopsi konsep virtual yang kini lebih menjanjikan netralitas lebih dari ruang-ruang publik secara harafiah. Semakin berkembangnya konsep perpustakaan digital yang lebih mampu memfasilitasi distribusi informasi, bahkan hingga skala dunia, perpustakaan akan lebih mampu dalam memenuhi kebutuhan informasi bagi seluruh lapisan masyarakat dan perlahan-lahan mengikis dominasi kaum elit yang terdapat dalam penyelenggaraan perpustakaan umum. Habermas yang menyatakan hal tersebut membutuhkan kebebasan dan kesetaraan tidak selalu ada di setiap masyarakat, karena hal tersebut adalah langkah menuju arah yang ideal. Akses informasi terus meningkat dan hal tersebut masih harus dilihat berapa banyak manusia akhirnya akan dimasukkan di bawah payung ruang publik ini. Sebagaimana Holub dan Habermas (1997) menyatakan teori Habermas menjelaskan bahwa ruang publik tidak diberikan untuk setiap jenis masyarakat dan juga tidak memiliki status yang tetap.
Penutup Public sphere merupakan konsep pemikiran kritis Jürgen Habermas akan pentingnya ruang publik yang dapat digunakan setiap lapisan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya dan mengakses informasi-informasi publik secara bebas. Dalam pemikirannya tentang ruang publik ini, Habermas menggunakan kajian pendekatan yang bertolak pada public sphere untuk menganalisa transformasi struktural ruang publik pada masa sekarang. Habermas mengemukakan bahwa public sphere pada masa kini telah mengalami degradasi yang disebabkan oleh politisasi penguasa dan dominasi kapitalisme modern. Media dan ruang publik menjadi kurang maksimal dalam menjalankan fungsinya sebagai ruang netral bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengakses informasiinformasi publik. Teori Public Sphere memiliki korelasi yang kuat dengan masyarakat informasi. Fungsi perpustakaan umum dalam masyarakat informasi merupakan manifestasi ruang publik yang netral terhadap politisasi dan dominasi kapitalisme modern. Perpustakaan umum memiliki kriteria konsep public sphere dalam memberikan layanan informasi bagi semua orang. Namun degradasi public sphere pun pada era informasi juga dialami oleh perpustakaan umum. Kekurangan dari teori Public Sphere adalah kurangnya perhatian terhadap faktor perkembangan teknologi yang memungkinkan percakapan global, sementara di sisi lain perkembangan teknologi informasi ini menjadi ciri masyarakat di era informasi. Bertolak dari hal tersebut diperlukan penyempurnaan-penyempurnaan teori Public Sphere dengan mempertimbangkan struktur dan pola hidup masyarakat di era informasi yang erat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah membawa babak baru dalam masyarakat informasi yang juga memberi pengaruh terhadap dimensi sosial masyarakat informasi. Konsep library 2.0 juga cukup mampu menjadi alat bagi perpustakaan umum untuk mengembangkan perannya sebagai ruang publik yang lebih netral dari politisasi dan
dominasi kapital. Dengan mengembangkan perpustakaan umum ke arah digital, akan memberi kekuatan baru bagi perpustakaan umum untuk menjalankan fungsinya sebagai “agent of change” dalam masyarakat informasi untuk mendistribusikan informasi secara labih merata bagi setiap lapisan masyarakat.
Daftar Pustaka Calhoun, Craig J. (1992). Habermas and the Public Sphere. Massachusetts: The MIT Press. Habermas, Jürgen. (1991). The Structural Transformation of Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Massachusetts: The MIT press. Habermas, Jürgen; Crossley, Nick; and Roberts, John Michael. (2004). After Habermas: New Perspective on The Public Sphere. Oxford: Blackwell Publishing. Hardiman, Fransisco Budi. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif. Yogyakarta: Kanisius. Holub, Robert C. dan Jürgen Habermas. 1997. The Johns Hopkins Guide to Literary Theory and Criticism. Diakses 7 November 2011, dari http://www.press.jhu.edu/books/hopkins_guide_to_literary_theory/jurgen_habermas.h tml Kellner, Douglas. (2005). Habermas, The Public Sphere and Democracy: A critical Intervention. Diakses 31 Oktober 2011 dari http://www.gseis.ucla.edu/ faculty/kellner/kellner.htm. Lubis, Akhyar Yusuf. (2011). Teori Kritis dan Posmodernisme: Pengaruhnya pada Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Makalah disampaikan pada kuliah Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian di Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Perpustakaan Nasional RI. (2000). Pedoman Umum Penyelenggaraan Perpustakaan Umum. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Sudarsono, Blasius. (2010). Menerapkan Konsep Perpustakaaan 2.0. Jurnal Baca 13 (1) Agustus 2010, 1-14. Jakarta: PDII-LIPI. Yusuf Taslimah. (1996). Manajemen Perpustakaan Umum. Jakarta: Universitas Terbuka. Webster, Frank. (1995). Theories of the Information Society. London: Routledge.
Biografi Penulis Muhammad Rosyihan Hendrawan is a lecturer on Library Science Study Program at the Faculty of Administrative Science University of Brawijaya Malang, Indonesia 65145. He holds a Master´s degree in Library Science from University of Indonesia, in 2013. He received a Bachelor´s degree in Library Science from State Islamic University of Sunan Kalijaga, in 2010. He also member of Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi Indonesia (ISIPII). His research interests currently focus on a number of areas including RDA, FRBR, metadata, online searching and their integration in knowledge organization and digital library applications.