UNIVERSITAS INDONESIA
RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS DAN TINJAUAN ATAS PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA
TESIS
Y. Sumaryanto NPM 670505016X
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK DESEMBER 2008
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
UNIVERSITAS INDONESIA
RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS DAN TINJAUAN ATAS PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora Program Studi Ilmu Filsafat
Y. Sumaryanto NPM 670505016X
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK DESEMBER 2008
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME karena atas rahmat dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan atas Perpustakaan Umum Indonesia. Tesis ini disusun sebagai salah satu prasyarat untuk memperoleh gelar
Magister
Humaniora pada Program Studi Ilmu Filsafat, Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang berperan serta memberikan bimbingan, bantuan dan dukungannya sehingga tesis ini akhirnya dapat diselesaikan. 1. Bapak Dr. Yohanes Vincentius Yolasa, selaku pembimbing, yang telah memberikan bimbingan, arahan dan saran dalam penulisan tesis ini. 2. Bapak Dr. Donny Gahral Adian. yang memberi arahan dan pencerahan kepada penulis. 3. Bapak Dr. Akhyar Yusuf Lubis, Romo Prof. Dr Mudji Sutrisno dan Bapak Dr. A. Harsawibawa sebagai dewan penguji 4. Seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Filsafat Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang memberikan pengetahuan kepada penulis tentang filsafat. 5. Pimpinan dan rekan pengajar di Departemen Ilmu Perpustakaan atas izin
dan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
perkuliahan di Program Studi Ilmu Filsafat Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 6. Mas Akbar dan Pak Putu atas masukan yang sangat berharga dalam penulisan tesis ini kepada penulis 7. Dik Etiek, Lucy dan Pandu atas dukungan, pengertian, dan kesempatan yang diberikan sehingga penulis disamping tugas utamanya sebagai Koordinator Program D3 Manajemen Informasi dan Dokumen, Program Vokasi UI dan tugas mengajar yang sudah banyak menyita waktu, masih sempat dan asyik belajar filsafat. v Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, oleh karena itu, penulis sangat menghargai saran dan perbaikan dari para pembaca sekalian. Akhirulkalam semoga tesis ini dapat menambah khasanah tulisan yang membahas dialog antara filsafat dan ilmu perpustakaan.
Depok, 20 Desember 2008
Penulis
vi Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv KATA PENGANTAR ............................................................................................ v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................. vii ABSTRAK ........................................................................................................... viii ABSTRACT .......................................................................................................... ix DAFTAR ISI........................................................................................................... x BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang dan Masalah............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 6 1.3 Objek Penelitian ............................................................................................... 6 1.4 Thesis Statement .............................................................................................. 7 1.5 Metode Penelitian ............................................................................................ 7 1.6 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 9 1.7 Manfaat penelitian.......................................................................................... 10 1.8 Kerangka Teori .............................................................................................. 10 1.9 Sistematika Pembahasan ................................................................................ 11
BAB 2 KONSEPSI RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS..................... 13 2.1 Konsepsi Ruang Publik Borjuis ...................................................................... 15 2.2 Perubahan Struktural Ruang Publik ................................................................ 20
BAB 3 RUANG PUBLIK DAN PERPUSTAKAAN ........................................ 27 3.1 Transformasi dan Refeodalisasi Ruang Publik ............................................... 27 3.2 Komersialisasi Jasa Perpustakaan Umum....................................................... 32 3.3 Hubungan Antara Ruang Publik dan Perpustakaan ........................................ 39
BAB 4 PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF RUANG PUBLIK.................................................................................... 41 4.1 Perpustakaan Umum Indonesia sebagai Wahana Belajar ................ ...............41 4.2 Diskursus Dalam Perpustakaan................... ....................................................53 4.3 Transformasi Dalam Pendanaan di Perpustakaan ........................................... 56 4.4 Pendanaan dan Layanan Perpustakaan Umum Indonesia............................... 57 4.5 Penyensoran di Perpustakaan Umum Indonesia................ ........... ..................61 4.6 Pembusukan di Lingkungan Perpustakaan...................................................... 65
x Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 67 5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 67 5.2 Saran................................................................................................................ 70
DAFTAR REFERENSI ...................................................................................... 74
xi Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
ABSTRAK Nama : Yohanes Sumaryanto Program Studi : Ilmu Filsafat Judul : Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan atas Perpustakaan Umum Indonesia Tesis ini dilatarbelakangi dengan usaha menggali kegunaan praksis filsafat kepada ilmu perpustakaan, dan kedekatan antara ruang publik dan perpustakaan umum. Tesis ini membahas ciri publik dalam Perpustakaan Umum Indonesia dengan menggunakan perspektif ruang publik Jürgen Habermas yang mengedepankan independensi, kesetaraan, kebebasan, aksesibilitas dan diskursus. Tesis ini merupakan studi pustaka, dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Jürgen Habermas. Temuan dari studi ini adalah adanya potensi ciri kepublikan Perpustakaan Umum Indonesia yang perlu dieksplisitkan sebagai usaha untuk meningkatkan peran Perpustakaan Umum Indonesia didalam memberikan pencerahan kepada masyarakat dan menjadikan dirinya sebagai sarana belajar sepanjang hayat bagi masyarakat yang dilayaninya. Perpustakaan Umum Indonesia perlu dikelola dengan mengedepankan pengguna perpustakaan sebagai unsur sentral, pengadaan koleksi yang dibuat seimbang dan diusahakan tidak terjebak pada urusan teknis belaka, sekaligus lebih mendorong ciri emansipatoris. Kata kunci : Ruang publik, perpustakaan umum
viii Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name Study Program Title
: Yohanes Sumaryanto : Ilmu Filsafat : Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan atas Perpustakaan Umum Indonesia
In the dialog framework between philosophy and library science, and the closeness between public sphere and public library, this thesis puts forward the idea of Jürgen Habermas public sphere in the effort of using the perspective in examining Indonesian public libraries. This thesis is library study, using Jürgen Habermas hermeneutics. The result of the study is the potentiality of publicness in the Indonesian public libraries that needs to be practised explicitly to minimize the gap between the ideals and realities in library practices. The Indonesian public libraries need to be managed in such a way, putting forward library users as a central element. Public libraries management should be balanced and is to free from technical matter domination, and in the same time enhancing more on emancipatory nature. Key words : Public sphere, public library
ix Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah Akhir-akhir ini di Indonesia ada usaha untuk melakukan dialog antara filsafat dan ilmu-ilmu empiris sehingga filsafat dirasakan kegunaannya dalam dunia praksis1. Peran praksis filsafat dalam membantu perkembangan ilmu empiris seperti ilmu perpustakaan merupakan hal yang melatarbelakangi tesis yang berjudul “Ruang Publik Jürgen Habermas dan Tinjauan Atas Perpustakaan Umum Indonesia” ini. Filsafat memiliki objek dan tujuan yang agak lain dan lebih luas dari objek dan tujuan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris menggeluti sebagian kenyataan dan mencari sebab-sebab yang bekerja di dalam satu bidang terbatas dari kenyataan, filsafat merupakan ilmu universal dalam pengertian menyimak seluruh kenyataan dan menyelidiki sebab-sebab dasariah dari segala sesuatu. Penyelidikan dan refleksi filsafat terus bergulir lebih jauh dan melangkah semakin dalam agar bisa mencapai sebab terakhir dan mutlak dari segala yang ada. Titik berangkat pertama filsafat adalah kegiatan manusia, khususnya kegiatan pengetahuan dan kehendak, yang merupakan kenyataan yang pertama dialami secara langsung oleh manusia. Di dalam kegiatan ini manusia menjadi sadar akan eksistensinya sendiri dan eksistensi orang lain. Dari sudut pandangan ini seluruh filsafat adalah penjelasan tentang kegiatan manusia yang menyentuh akar-akarnya yang terdalam. Dalam arti lebih luas, titik berangkat filsafat adalah pengetahuan mana saja tentang kenyataan yang mendahului penelitian filosofis. Pengetahuan ini mencakup pengetahuan biasa sehari-hari yang dimiliki individu, warisan budaya masa lalu dan juga hasil-hasil ilmu-ilmu khusus lainnya. Pengetahuan-pengetahuan semacam ini membantu filsafat, tetapi filsafat juga membantu pengetahuan-pengetahuan ini sepanjang ia memantapkan dan menjelaskan prinsip-prinsip dasarnya.2
1
Ada beberapa tulisan dari Frans Magnis-Suseno mengenai kegunaan filsafat. Di Program Studi Filsafat Universitas Indonesia juga pernah diadakan seminar dengan maksud membuat titik temu antara ilmu filsafat dan ilmu empiris lainnya. 2 Lihat Lorens Bagus, Kamus filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002
1 Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
2 Ada empat pendekatan filsafat,3 yaitu pendekatan definisi, sistematika, tokoh atau aliran, dan sejarah. Melalui pendekatan definisi akan terlihat perbedaan antara filsafat, ilmu pengetahuan maupun teologi. Ilmu pengetahuan hanya mengkaji sebatas gejala-gejala yang tampak dan berusaha menjelaskannya secara kasualistik sedang teologi mengkaji semesta supra-inderawi, semesta ketuhanan namun dalam batas-batas keimanan. Filsafat dapat didefinisikan sebagai upaya mencari atau memperoleh jawaban atas berbagai pertanyaan lewat penalaran sistematis yang kritis, radikal, refleksif, dan integral. Kritis berarti dalam mengkaji objeknya tidak pernah berhenti pada penampakan, asumsi, dogmatisme melainkan terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan
demi
mencapai
hakikat.
Radikal
artinya
selalu
menggunakan daya kritisnya untuk mengkaji suatu objek sampai ke akar-akarnya. Dengan refleksif dimaksudkan dalam memahami objeknya, filsafat selalu berusaha mengedepankan apa yang ia tangkap (gejala-gejala) untuk diolah dan akhirnya menghasilkan pengetahuan yang jernih. Pendekatan filsafat memiliki sifat integral yakni tidak mengkaji semesta dari satu sisi saja namun secara menyeluruh. Sebuah disiplin memiliki objek forma dan objek materi. Objek forma merupakan sudut pandang yang diambil dalam menganalisis objek sedang objek materi merupakan objek yang dianalisis. Disiplin ilmu perpustakaan, misalnya mengambil pengetahuan terekam (recorded knowledge) sebagai objek materinya. Ilmu perpustakaan mengkaji temu kembali (retrieval) dari pengetahuan terekam tersebut demi kemaslahatan umat manusia dan alam semesta sebagai objek formanya. Filsafat memiliki objek forma dan materi yang berbeda dari disiplin lain. Oleh karena filsafat bertujuan mencari kebenaran yang menyeluruh dan hakiki maka objek formanya berupa penalaran sistematis yang kritis, radikal, refleksif dan integral sedang objek materinya berupa keseluruhan: manusia (subjek) yang didudukkan dalam konteks yang paling luas.
3
Tentang pendekatan filsafat ini, penulis mendasarkan pada tulisan Donny Gahral Adian, Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn, Jakarta : Teraju, 2002, hal 3-27 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
3
Lalu, menarik untuk ditanyakan, adakah yang bisa disumbangkan oleh filsafat kepada ilmu perpustakaan? Magnis-Suseno4 menyatakan, “Dapatlah dikatakan filsafat bukanlah ilmu demi dirinya sendiri. Manusia berfilsafat karena ia membutuhkannya. Ia mengharapkan sesuatu daripadanya. Filsafat merupakan sarana manusia untuk mencapai kejelasan terhadap tantangan-tantangan dalam segala dimensi kehidupannya dengan sesungguh-sungguhnya.” Menurut Magnis-Suseno, filsafat secara kritis harus menyertai ilmu-ilmu sosial dalam sikap mereka terhadap kompleks masalah hubungan antara individu, institusi dan ideologi. Pendapat tersebut sejalan dengan topik tesis ini yakni digunakannya konsepsi ruang publik untuk melihat ciri publik dari Perpustakaan Umum Indonesia. Topik tersebut diangkat karena adanya kedekatan dan kemiripan konsep di antara ruang publik yang digambarkan oleh Habermas dan perpustakaan a.
keduanya mengandaikan fungsinya sebagai wadah perjuangan. Ruang publik sebagai wadah perjuangan melawan himpitan kekuasaan, sedangkan
perpustakaan
sebagai
wadah
perjuangan
melawan
kebodohan dan ketertinggalan akan pengetahuan. b. keduanya
memiliki
unsur
khas:
aksesibilitas,
kesamarataan,
independensi, diskursus. c.
Keduanya mengalami transformasi. Dalam ruang publik borjuis terjadi distorsi,
refeodalisasi,
pembusukan
sedangkan
dalam
dunia
perpustakaan terjadi komersialisasi (distorsi dari fungsinya semula), pembusukan terhadap perannya yang ideal. Menurut penulis ketiga hal tersebut di atas memungkinkan perpustakaan umum dikaji dengan menggunakan perspektif ruang publik. Ruang publik dan kepublikan perpustakaan dapat dikenali dari ciri-cirinya sebagai berikut a.
Ruang publik merupakan wilayah sosial yang bebas dari adanya sensor dan dominasi. Semua warga masyarakat pada prinsipnya boleh memasuki ruang tersebut. Mereka sebetulnya adalah pribadi-pribadi, bukan orang dengan kepentingan bisnis atau profesional, bukan
4
Lihat, Frans Magnis-Suseno, Berfilsafat dari Konteks, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991, hal xi Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
4
pejabat atau politikus, tetapi percakapan mereka membentuk suatu publik, sebab bukan soal-soal pribadi mereka yang dipercakapkan, melainkan soal-soal kepentingan umum, yang dibicarakan tanpa paksaan. Dalam situasi ini individu-individu berlaku sebagai publik, sebab mereka memiliki jaminan untuk berkumpul dan berserikat dan menyatakan serta menyampaikan di depan umum pendapat-pendapat yang mereka miliki secara bebas dan tanpa tekanan b. ruang publik berfungsi sebagai tempat yang independen dari pemerintah (meskipun mungkin pendanaannya berasal darinya) dan yang otonom dari partisan kekuatan ekonomi tertentu, didedikasikan pada debat rasional (yang tidak diarahkan demi kepentingan tertentu, disamarkan atau dimanipulasi) dan terbuka bagi siapa saja serta terbuka untuk diinspeksi masyarakat. Dalam ranah publik inilah opini publik dibentuk.5 c.
ruang publik merupakan ruang penciptaan opini non-pemerintah (sphere of non-governmental opinion-making) - sebuah ruang abstrak maupun ruang fisik yang menjadi ajang pembentukan pendapat anggota-anggota masyarakat di luar kendali pemerintah. Konsep ruang publik ini menganggap bahwa pemerintah (baik dalam bentuk pelaksana negara moderen maupun dalam wujud raja atau kaisar) bukan satu-satunya pihak yang dapat memonopoli kebenaran atau pengambilan keputusan. Secara idealnya, sebuah masyarakat memiliki hak dan kemampuan untuk berdebat, bersepakat, dan berkeputusan tentang hal-hal penting yang menyangkut diri mereka. Pemerintah lalu tinggal melaksanakan saja keputusan masyarakat tersebut. Konsepsi perpustakaan semestinya sejalan dengan konsepsi ruang publik.6
d. Perpustakaan Umum Indonesia semestinya merupakan bentuk ideal dari ruang publik karena dalam suatu perpustakaan umum terdapat
5
Pendapat Holub ini dikutip dari Frank Webster, Theories of the Information Society, London : Routledge, 1995, p. 101-102 6
Putu Laxman Pendit, “Bisakah perpustakaan umum menjadi ruang publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
5
ruang fisik perpustakaan yang terbuka untuk umum, menjadi tempat bagi semua orang untuk membaca berdiskusi dan mengambil keputusan tentang berbagai hal. 7 e.
Ruang publik merupakan jembatan yang menghubungkan kepentingan pribadi dari individu-individu dalam kehidupan keluarga dengan tuntutan serta kepentingan kehidupan sosial dan publik yang muncul dalam konteks kekuasaan negara. Ruang publik terdiri dari organorgan penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal; termasuk ruang publik adalah juga lembaga-lembaga diskusi politis seperti parlemen, klub-klub sastra, perkumpulanperkumpulan publik, rumah minum dan warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik
f.
Informasi merupakan bagian paling utama dari ruang publik. Dalam ruang publik orang secara eksplisit menjelaskan posisinya melalui argumen dan pandangan mereka diumumkan ke publik secara luas sehingga publik dapat memiliki akses penuh. Perlu dicatat di sini peran media komunikasi dan institusi informasi seperti perpustakaan dan lembaga statistik.8
g. Ruang publik yang ideal adalah seperti ketika kita membayangkan para anggota dewan yang terbuka dan jujur sedang berdebat tentang kasus-kasus di masyarakat di ruang sidang didukung dengan informasi memadai yang disiapkan antara lain oleh pustakawan yang berdedikasi dan tidak berpihak kepada salah satu partisan; semuanya transparan bagi masyarakat karena dukungan publikasi yang bertanggungjawab dan infrastruktur pers yang disiapkan guna melaporkan secara tekun dan seksama apa-apa yang sedang terjadi.9
7
Putu Laxman Pendit, “Bisakah perpustakaan umum menjadi ruang publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html 8 Frank Webster, Theories of the Information Society, London : Routledge, 1995, p. 102 9 Ibid. Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
6
Komunikasi antara filsafat dan ilmu perpustakaan, seperti yang dicoba dilakukan dalam tesis ini didasari oleh semangat kesetaraan dan mengedepankan ko-konstruksi.
1.2 Rumusan Masalah Masalah yang mau ditelaah dalam tesis ini yakni bagaimana Perpustakaan Umum dapat dimunculkan perannya sebagai ruang publik sebagai koreksi terhadap perannya sebagai agen pemerintah dan fokus perhatiannya yang telah tereduksi ke hal-hal teknis. Dalam kaitan dengan latar belakang, tesis ini berupaya untuk menyoroti dan menganalisa bagaimana keadaan perpustakaan Umum Indonesia itu disoroti dari pemikiran Jürgen Habermas secara khusus menyangkut idenya tentang ruang publik dan peranan komunikasi intersubyektif. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan yang akan menuntun kita dalam tesis ini adalah antara lain sebagai berikut. 1. Bagaimanakah konsep ruang publik menurut Habermas? Apakah terjadi pergeseran fungsi historis dari konsep ruang publik Habermas? Manakah elemen-elemen utama dari ruang publik Habermas? 2. Bagaimana hubungan antara konsep ruang publik Habermas dengan konsep ideal perpustakaan umum? Menyangkut hubungan ini entah ada persamaan dan perbedaan yang perlu kita angkat dalam upaya pembenahan Perpustakaan Umum Indonesia dalam ruang publik? 3. Bagaimana dalam kenyataan relasi ideal ruang publik Habermas itu dengan realitas perpustakaan umum Indonesia? Bagaimana nuansa diskursus Habermas dalam kenyataannya
dan dalam ideal untuk
membenahi Perpustakaan Umum Indonesia. Apakah ada usulanusulan konkrit dalam proses menjadikan perpustakaan umum Indonesia menjadi ruang publik ideal dan efektif
1.3 Objek Penelitian Objek penelitian ini difokuskan pada Perpustakaan Umum Indonesia yang dikaji fungsinya sebagai ruang publik dengan menggunakan konsep ruang publik Jürgen Habermas sebagai pisau analisisnya. Perpustakaan Umum Indonesia ini Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
7
merupakan salah satu dari 5 jenis perpustakaan yang ada yaitu perpustakaan nasional, perpustakaan sekolah, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan khusus. Secara khusus undang-undang RI No43 Th 2007 Tentang Perpustakaan, mendeskripsikan perpustakaan umum sebagai perpustakaan yang secara khusus didanai negara melalui APBN atau APBD bertujuan melayani masyarakat umum dengan cirinya terbuka untuk umum dan dioperasikan secara cuma-cuma. Dalam hubungan dengan pemahaman yuridis tersebut beberapa masalah yang berkaitan dengan perpustakaan umum Indonesia perlu dikaji lebih lanjut.
1.4 Thesis Statement Mengamati dan mencermati keadaan perpustakaan umum, penulis berpendapat bahwa perpustakaan umum dalam nuansa pemahaman yuridis tadi mestinya merupakan juga ruang publik yang berperan serta dalam menyebarkan pengetahuan dan informasi yang bisa diakses bersama, menjadi tempat berdiskusi dan berdebat yang bebas dari bentuk penyensoran agar dia secara kondusif menjadi ruang publik yang bisa memperjuangkan kepentingan umum, pencerahan masyarakat, penyebaran keadilan, kebenaran, kejujuran ke arah masyarakat Indonesia yang emansipatoris, maju dan tercerahkan.
1.5 Metode Penelitian Tesis ini menggunakan metode kajian kepustakaan. Dalam konteks itu akan digunakan pendekatan fenomenologi dari Husserl dan hermeneutika Habermas. Fenomenologi diartikan sebagai cara pendekatan untuk memperoleh pengetahuan tentang suatu objek sebagaimana tampilnya dan menjadi pengalaman kesadaran kita. Objek tersebut disebut fenomen dan fenomen itulah realitas itu sendiri yang tampak. Husserl berpendapat bahwa kesadaran menurut kodratnya terarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan ‘sesuatu’. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional; intensional adalah struktur hakiki kesadaran yang terarah. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, maka fenomen harus dimengerti sebagai das Ding an sich yang menampakkan diri. Intensioanalitas dan fenomen adalah korelatif. Korelasi ini
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
8
berlaku bagi kesadaran dan realitas pada umumnya, tetapi juga bagi pelbagai aktus kesadaran dan pelbagai bentuk realitas. Pendekatan fenomenologi mengenal istilah konstitusi yakni proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Karena adanya korelasi antara kesadaran dan realitas maka dapat dikatakan bahwa konstitusi merupakan aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Menurut Husserl dunia real dikonstitusi oleh kesadaran. Karena kesadaran harus hadir pada dunia supaya penampakan dapat berlangsung dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional Untuk menjelaskan maksud Husserl dengan konstitusi perlu terlebih dahulu dipahami proses persepsi. Persepsi adalah sintesa dari semua perspektif. Dalam persepsi, objek telah dikonstitusi. Konstitusi dalam filsafat Husserl dimengerti sebagai konstitusi genetis yakni proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran; hal itu adalah suatu proses historis. Dalam pengertian kita tentang perpustakaan umum misalnya terdapat semacam ‘endapan historis’ artinya semua arti ‘perpustakaan umum’ sebelumnya terdapat didalamnya. Tidak mungkin menerangkan cara ’perpustakaan umum’ tampak bagi kita sekarang tanpa menyelidiki perkembangan-nya. Metode yang digunakan di dalam pendekatan ini terdiri atas tiga tahap yaitu intuisi, analisis, dan deskripsi fenomenologis. Tahap pertama berkaitan dengan tindakan intuisi yang timbul secara langsung (direct) dan tanpa-antara (immediate) dari pemusatan perhatian terhadap fenomena. Melalui intuisi juga terjadi reduksi gambaran mengenai esensi tentang sesuatu yang kita ketahui atau pelajari. Dilanjutkan dengan tindakan analisis terhadap unsur-unsur fenomena yang bersangkutan. Tahap terakhir berupa deskripsi ialah penjabaran dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Sebelum kita melakukan pendekatan terhadap objek yang ingin kita ketahui atau pelajari, kita perlu membebaskan diri dari segala praduga (prejudice, pre-judgement); maka objek yang bersangkutan harus seolah-olah dikurung (bracketing), sehingga segala praduga dan praanggapan mengenai objek itu tidak Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
9
mempengaruhi yang akan kita peroleh tentang objek itu. Proses ini oleh Husserl disebut epoche, yang artinya 'membisukan suara' yang mungkin pernah mempengaruhi pengetahuan kita terhadap objek yang kita teliti.10 Dalam tesis ini digunakan model hermeneutika Habermas. Habermas berfokus pada upaya penafsiran modernitas dengan segala problematikanya yang secara khusus menyangkut kritik terhadap dominasi ideologis dan dominasi rasio instrumental. Menurut
filsuf ini modernitas yang kita alami sekarang ini
terdistorsi. Artinya ada konsep ‘normatif’
yang terkandung dalam dunia
kehidupan (life world) dan tradisi yang karena tendensi historis dan ideologis tertentu diselewengkan. Dalam konteks itu, di satu pihak, Habermas menawarkan peranan penting Hermeneutika kritis termasuk kritik terhadap paradigma tunggal “rasionalitas tujuan”. Di pihak lain, Habermas ingin mempertahankan isi normatif modernitas, yaitu rasionalisasi kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian dengan rasio komunikatif sebagai motornya
1.6 Tujuan Penelitian Ruang publik yang dijelaskan Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere menurut hemat penulis memberikan gambaran perubahan yang memiliki kemiripan dengan perubahan yang terjadi di lingkungan perpustakaan. Penelitian ini bertujuan mendalami substansi ruang publik yang diangkat dari buku tersebut untuk lebih jauh dikembangkan dengan pemikiran-pemikiran baru serta ditempatkan dalam konteks kita mengevaluasi perpustakaan umum Indonesia yang akan direkontruksikan menjadi ruang publik. Pendalaman terhadap buku tersebut akan memberikan suatu perspektif kepada kita yang dapat kita gunakan untuk mengkaji perpustakaan umum. Data tentang perpustakaan umum dihimpun melalui internet dan studi pustaka yang dilengkapi dengan observasi ke berbagai perpustakaan umum di Jakarta. Tesis ini melakukan telaah terhadap perpustakaan umum dengan menggunakan perspektif ruang publik.
10
Uraian mengenai pendekatan fenomenologis ini didasarkan pada Kees Bertens, Filsafat Barat Abad xx : Inggris-Jerman, Jakarta : Gramedia, 1983, hal. 99-104 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
10
1.7 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah diperolehnya konstruksi konsep alternatif perpustakaan umum dari konsepsi yang selama ini ada, yang dianggap cenderung bersifat teknis, yang terbukti menimbulkan gap antara institusi perpustakaan umum dan masyarakat yang dilayaninya. Tesis ini menunjukkan manfaat filsafat dalam praksis yakni membantu pengembangan ilmu perpustakaan dengan melihat ke hal yang substantif bukan teknis. Di sini filsafat bisa membantu usaha ilmu perpustakaan untuk mengembangkan dimensi-dimensi substantif dan dapat menyiasati jalan keluar atau alternatif terhadap tantangan-tantangan yang ada. Akhirnya, tesis ini menambah khazanah tulisan tentang bagaimana memaksimalisasikan layanan perpustakaan sebagai ruang publik.
1.8 Kerangka Teori Sebagai kerangka teori dalam tesis ini dapat dikemukakan sebagai berikut. a.
Ruang publik dipahami sebagai wahana perjuangan kaum borjuis melawan otoritas penguasa. Ini identik dengan perpustakaan sebagai wahana perjuangan melawan kebodohan dan perannya dalam pencerahan masyarakat, penyebaran keadilan dan kebenaran.
b. Ruang publik mengedepankan diskursus sebagai prosedur mencapai opini publik. Prinsip diskursus dapat pula dijadikan landasan operasionalisasi layanan perpustakaan. Diskursus di perpustakaan terjadi antara pengguna dan pustakawan (mis. dalam menentukan bahan perpustakaan yang harus dibeli); antara pengguna dan penyensor dalam upaya menemukan konsensus mengenai bahanbahan yang disensor; antara sesama pengguna (mis. dalam acara diskusi, bedah buku dsb.); dan juga diskursus antara pengguna dan penulis yang sekaligus membuat pendapat atau opini yang dituliskan dalam suatu buku yang sifatnya masih subjektif menjadi lebih publik dan ditanggapi oleh pembacanya. Tindakan pustakawan menyusun
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
11 katalog dan bibliografi11 mendorong proses penyebaran informasi (pemublikan) dalam skala yang lebih luas karena di dalamnya terkelompok karya-karya oleh pengarang tertentu dan karya-karya dalam subjek yang sama sehingga pembaca menjadi lebih tahu tentang karya apa saja selain yang sedang ia baca oleh pengarang tertentu dan karya-karya yang tersedia dari subjek tertentu selain yang ia temukan saat itu. c.
Transformasi yang terjadi di ruang publik borjuis (depolitisasi, refeodalisasi, pembusukan) analog dengan perubahan layanan perpustakaan (yang menunjukkan kecenderungan ke komersialisasi, otorisasi penuh pustakawan/ pemerintah di dalam menentukan arah layanan, dan pembusukan layanan)
d. Pembusukan terhadap ruang publik ideal terjadi melalui lobi-lobi dan kerja humas yang merupakan lonceng kematian bagi ruang publik ideal analog dengan pembusukan layanan perpustakaan yang juga dilakukan melalui lobi-lobi dan kerja humas yang meluluhlantakkan layanan perpustakaan dalam pengertian yang ideal.
1.9 Sistematika Pembahasan Tesis ini diuraikan dalam lima bagian, dimana
bab 1 merupakan
pendahuluan yang berisi latar belakang dan masalah, rumusan masalah, objek penelitian, thesis statement,
metode penelitian,
tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kerangka teori, dan sistematika pembahasan. Bab 2 menjelaskan tentang konsepsi Ruang Publik Jürgen Habermas. Dibahas di sini ruang publik borjuis, ciri khas dari ruang publik bo8rjuis, transformasi yang terjadi dan bagaimana Jürgen Habermas menyikapi kebuntuan dari pencerahan dengan konsepsi rasionalitas komunikatif. Bab 3 membahas hubungan ruang publik dan perpustakaan; menjelaskan tentang transformasi dan refeodalisasi ruang publik, 11
Katalog diartikan sebagai daftar koleksi perpustakaan yang menggambarkan koleksi di perpustakaan tersebut yang dimaksudkan untuk digunakan pengguna di dalam menemukan kembali item yang dicarinya, namun katalog juga memiliki ciri mengumpulkan (kolokasi) sehingga membantu pengguna untuk mengetahui tulisan apa saja oleh pengarang tertentu dan terkumpulnya bahan perpustakaan dalam subjek tertentu. Ini sangat membantu pemublikan dalam skala yang lebih luas. Bibliografi juga berupa daftar terbitan yang tidak terbatas pada koleksi tertentu. Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
12
komersialisasi jasa perpustakaan umum, dan hubungan antara ruang publik dan perpustakaan. Bab 4 membahas perpustakaan umum Indonesia sebagai wahana belajar sepanjang hayat, diskursus di lingkup perpustakaan, transformasi di perpustakaan dan ciri ruang publik dalam perpustakaan umum Indonesia. Bab 5 merupakan catatan penutup yang mencakup kesimpulan dan saran sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian dalam tesis ini.
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 2 KONSEPSI RUANG PUBLIK JÜRGEN HABERMAS
Jürgen Habermas mengemukakan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai tulisan, salah satunya yang muncul di masa awal berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Ia menggeluti wilayah ilmiah yang amat luas dan mempratikkan filsafat dan sosiologi tanpa membedakannya secara tajam antara keduanya karena itu penulis menganggap perlu menyinggung juga pemikirannya selain konsepsinya mengenai ruang publik tersebut. Jürgen Habermas adalah salah satu anggota ‘Mazhab Frankfurt’, kumpulan sarjana dari berbagai bidang sosial yang bekerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga untuk Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main. Lembaga ini didirikan oleh Felix Weil pada tahun 1923 dengan tujuan menjadikannya sebagai pusat penelitian sosial yang independen dan mempunyai dasar finansial sendiri guna menyelidiki persoalan-persoalan sosial pada waktu itu. Dalam perjalanan sejarahnya, lembaga penelitian tersebut pernah ditutup, atas perintah pemerintah nasionalis-sosialis saat Hitler berkuasa, karena banyak mengeritik pemerintah dan barangkali juga karena kebanyakan anggotanya adalah keturunan Yahudi. Kemudian kegiatan lembaga penelitian itu dipindahkan ke Paris dan selanjutnya ke Amerika Serikat sebelum kembali lagi ke Frankfurt Jerman. Ketika lembaga tersebut kembali lagi ke Jerman dan beroperasi di negara tersebut, Jürgen Habermas mulai bergabung di dalamnya. Sejumlah tema penting yang dikemukakan Jürgen Habermas antara lain a. Pemikirannya
mengenai
pengetahuan
dan
kepentingan.1
Menurut
Habermas ada tiga macam ilmu yang didorong seakan-akan oleh tiga kepentingan dasar manusia: ilmu-ilmu empiris analitis didorong oleh kepentingan teknis, kepentingan untuk memanfaatkan apa yang diketahui; ilmu–ilmu historis-hermeneutis diarahkan oleh kepentingan praktis, kepentingan
untuk
memahami
1
makna;
ilmu-ilmu
kritis
(filsafat,
Lihat lebih lanjut Jürgen Habermas, Knowledge and Human Interest, translated by Jeremy J. Shapiro. Boston: Beacon Press, 1971
13 Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
14
psikoanalisa) didorong oleh kepentingan emansipatoris, kepentingan untuk membebaskan. Habermas menyebut rasionalitas tujuan sebagai hal yang dominan dalam modernitas dan mengangkat rasionalitas komunikatif sebagai salah satu cara untuk mengatasi dampak buruk dari modernitas tersebut. b. Habermas melakukan perubahan fokus perhatian dari perhatian pada pikiran ke perhatian pada bahasa yang lazim disebut the linguistic turn .2 Ia mencoba menghubungkan rasionalitas dan bahasa dengan mengatakan bahwa rasionalitas sudah tertanam dalam struktur bahasa itu sendiri. Begitu seseorang masuk dalam suatu pembicaraan, orang tersebut, dengan sendirinya mengajukan empat tuntutan: tuntutan kejelasan yakni ia dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang ia maksud; tuntutan kebenaran (truth claim), kejujuran pembicara (claim to veracity) dan ketepatan atau kepantasannya (claim to rightness). Ia juga menyinggung mengenai bagaimana seseorang memperoleh kompetensi komunikatif, Habermas menjelaskannya sebagai berikut. Orang belajar berkomunikasi secara rasional dengan terus menerus mengambil sikap verbal terhadap empat wilayah pengalaman hidupnya: tentang alam luar, ia belajar mengatakan apa yang sesuai dengannya, artinya yang benar; terhadap masyarakat ia belajar mengatakan apa yang seharusnya dan wajar. Alam batinnya sendiri diungkapkan dengan jujur dan itu semua dilakukannya melalui sarana bahasa yang harus jelas. Tentang bagaimana rasionalitas berkembang, Habermas berpendapat bahwa proses perkembangan sebuah masyarakat terjadi melalui proses-proses belajar dalam dua dimensi, dalam dimensi kognitif-teknis dan moral-komunikatif. Suatu tambahan pengetahuan kognitif dan teknis hanya bisa menghasilkan perkembangan dalam hubungan antara manusia dan dalam kerangka institusional masyarakat sesudah terjadi proses dalam dimensi moral-komunikatif.
2
Emilia Steuerman, “Habermas’s Linguistic Turn” dalam The Bounds of Reason (London: Routledge, 2000) hal 22-36
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
15 c. Pemikirannya tentang teori tindakan komunikatif.3 Hal ini akan mudah dipahami melalui pemahaman kita tentang dunia kehidupan dan sistem. Dunia kehidupan adalah cakrawala kepercayaan-kepercayaan, latar belakang intersubyektif, di dalamnya setiap proses komunikasi selalu sudah tertanam. Setiap orang berkomunikasi dan bertindak dalam sebuah dunia kehidupan, artinya ia hidup dalam sebuah alam bermakna yang dimiliki bersama dengan komunitasnya, yang terdiri atas pandangan dunia, keyakinan-keyakinan moral dan nilai-nilai bersama. Segenap komunikasi mengacu pada dunia kehidupan itu. Rasionalitas dunia kehidupan adalah rasionalitas komunikatif. Setiap orang menjadi dewasa dengan semakin terintegrasi ke dalam dunia kehidupan masyarakatnya. Di sisi lain masyarakat juga merupakan sistem. Sistem adalah segala macam institusi dan peraturan yang menata kehidupan masyarakat. Tujuan sistemisasi adalah untuk meringankan beban komunikasi. Agar masyarakat menerima sistem yang semakin kompleks, dunia kehidupannya harus menjadi semakin rasional. Rasionalisasi dunia kehidupan berarti bahwa semakin banyak bidang tidak lagi dihayati dan ditata menurut adat, tradisi atau otoritas
tradisional
melainkan
menurut
kriteria
yang
dapat
dipertanggungjawabkan dalam diskursus. Uraian di atas merupakan sekilas pemikirannya disamping konsepsinya mengenai ruang publik. Konsepsi ruang publik merupakan pokok perhatian di dalam tesis ini yang dipakai sebagai pijakan perspektif dalam melihat kinerja perpustakaan umum.
2.1 Konsepsi Ruang Publik Borjuis Pemikiran Habermas mengenai ruang publik tertuang dalam karyanya yang berjudul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society (1989), yang merupakan karya terjemahan dari yang terbit dalam bahasa Jerman tahun 1962. Secara ringkas dapat dikatakan ada dua tema pokok yang dikemukakan Habermas dalam buku tersebut yakni pertama, analisisnya mengenai asal mula ruang publik borjuis; kedua, perubahan 3
Tentang tema ini bisa didalami lebih lanjut dalam Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action…Boston : Beacon Press, 1989 vol 1 & vol 2. Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
16
struktural ruang publik di zaman modern yang ditandai oleh bangkitnya kapitalisme, industri kebudayaan, dan makin kuatnya posisi organisasi-organisasi yang bergerak dalam ekonomi serta kelompok bisnis besar dalam kehidupan publik. Pada analisis yang ke dua tersebut organisasi ekonomi besar dan institusi pemerintah mengambil alih ruang publik, sementara warga negara cukup senang menjadi konsumen barang, jasa, administrasi politik dan tontonan publik4 Asal usul istilah publik dan ruang publik berakar dari berbagai fase historis sebelumnya. Istilah tersebut ketika diaplikasikan secara sinkronis ke dalam kondisi-kondisi masyarakat borjuis yang maju di bidang industrinya dan yang didirikan sebagai sebuah negara kesejahteraan sosial, maknanya lebur menjadi suatu paduan yang tidak jelas. Publik dipahami sebagai yang terbuka bagi semua pihak sebagaimana dalam istilah public places (tempat-tempat umum), public houses (kedai-kedai minum). Namun, bangunan publik tidak bisa diartikan sebagai bangunan di mana siapa saja bisa memasukinya. Negara dapat juga disebut public authority karena mengemban tugas memajukan kesejahteraan umum bagi para warganya. Ruang publik muncul sebagai suatu wilayah yang spesifik - wilayah publik yang dihadirkan untuk beroposisi dengan wilayah privat. Istilah publik terkadang juga dimunculkan sebagai salah satu sektor dari opini publik yang sengaja dibentuk untuk melawan otoritas. Selanjutnya, opini publik juga sering disebut organ-organ publik karena opini publik bergantung pada organ negara atau media, seperti pers yang menyediakan wadah komunikasi di antara anggota-anggota publik itu sendiri. Dalam bahasa Jerman proses pembentukan kata benda offentlichkeit adalah berasal dari kata sifat yang lebih tua, offentlich berlangsung selama abad ke 18 yang maknanya analog dengan ‘publicity’. Ruang publik lahir sebagai bagian spesifik dari masyarakat sipil yang pada waktu itu mengukuhkan diri sebagai tempat terjadinya pertukaran komoditas dan kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya sendiri. Dalam pelacakan lebih jauh untuk mengetahui mana yang publik dan mana yang bukan publik, Habermas melihat ke zaman sebelumnya yakni zaman Yunani. Kategori-kategori dari akar4
Lihat Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, bdk. Douglas Kellner, Habermas, The Public Sphere, and Democracy: a Critical Intervention, Hal 3 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
17
akar kata di dalam bahasa Yunani sampai kepada kita melalui warisan orang Romawi kuno. Di dalam negara–kota Yunani kuno yang sudah maju, sphere (ruang) dalam pengertian koine (polis yang terbuka) bagi setiap warga negara yang merdeka, jauh berbeda dari ruang dalam pengertian oikos, karena di dalam oikos setiap individu berada di dunianya sendiri-sendiri (idia). Kehidupan publik, berlangsung di tempat-tempat semacam pasar. Tetapi ruang publik juga terdapat dalam kegiatan diskusi, sidang pengadilan dan tindakan bersama entah dalam perang maupun kompetisi pertandingan.5 Sejak awal dan di seluruh abad pertengahan, kategori-kategori mengenai yang-publik dan yang-privat dan ruang publik yang dipahami sebagai res publica berasal dari definisi hukum Roma kuno. Kategori-kategori tersebut berfungsi sebagai interpretasi diri sekaligus institusionalisasi legal atas ruang publik yang dalam pengertian spesifik bersifat borjuis. Meskipun begitu, hampir selama satu abad kemudian fondasi-fondasi sosial bagi ruang ini nyaris terjebak di dalam proses pembusukan. Kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada ambruknya ruang publik sedemikian pastinya, sehingga ketika jangkauannya semakin meluas maka fungsinya menjadi semakin tidak lagi jelas. Walaupun begitu, publisitas masih terus bertahan sebagai prinsip pengorganisasian bagi tatanan politik Jerman. Tampaknya bukan hanya pembongkaran terhadap ideologi liberal semata yang akan sanggup dilakukan oleh demokrasi sosial dengan baik. Karena apabila orang sampai berhasil mencapai sebuah pemahaman historis mengenai struktur-struktur dari kompleksitas ini yang dewasa ini secara serampangan disisipkan ke bawah topik ruang publik, maka ia boleh berharap untuk dapat memperoleh darinya bukan hanya sebuah pengklarifikasian sosiologis tentang konsep ini saja, namun juga sebuah pemahaman sistematis mengenai masyarakat Jerman berdasarkan perspektif salah satu kategorinya yang utama. Sebelum munculnya ruang publik borjuis, telah ada suatu bentuk ruang publik yang terjadi di negara–negara feodal dari abad pertengahan dan Eropa modern awal.
Ruang publik yang dimaksud adalah raja maupun keluarga
bangsawan yang memainkan peran kekuasaan politik mereka di hadapan rakyat. 5
Jürgen Habermas, ibid. bdk. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat (terjemahan), Plato dan Negara Utopia Hal 146-161 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
18
Para raja maupun keluarga bangsawan tersebut tidak lebih dari menunjukkan kekuasaan mereka; tidak ada diskusi politik, maka publik yang dimaksudkan bukanlah publik dalam pengertian modern. Agar kekuasaan politik ada diperlukan penonton. Penelitian Habermas mulai dengan usaha menentukan batas-batas yang oleh Habermas disebut ruang publik borjuis. Ruang publik borjuis dipahami sebagai ruang orang-orang privat yang berkumpul sebagai publik. ( ”…the sphere of private people come together as a public; …”.6) Ruang publik terjadi karena orang-orang privat berkumpul sebagai sebuah publik dan mengartikulasikan kebutuhan masyarakat kepada negara (“ … made up of private people gathered together as a public and articulating the needs of society with the state …".7) Habermas menelusuri sejarah pembagian antara yang publik dan yang privat dalam bahasa dan filsafat. Sejarah munculnya ruang publik menandai bangkitnya suatu masa dalam sejarah ketika individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat dapat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik politik. Ruang publik melawan bentuk-bentuk hirarkis dan tradisional dari otoritas feodal yang selama berabad-abad menguasai praktik politik di Eropa. Diskusidiskusi publik, menurut Habermas, muncul dari suatu tahap tertentu perkembangan masyarakat borjuis. Lahirnya ekonomi pasar telah memperluas dunia-kehidupan banyak orang melebihi batas-batas wilayah domestik. Mereka adalah para pedagang dan pengusaha yang terus bertambah jumlahnya dan meluas pengaruhnya, sementara lembaga-lembaga politik mapan saat itu tidak memungkinkan partisipasi kalangan swasta seperti mereka. Di ruang publik, mereka mendiskusikan dan menantang pemahaman mengenai hakikat kekuasaan yang berlaku hingga saat itu Ruang publik borjuis yang muncul di awal abad ke-18 menurut Habermas berfungsi sebagai mediasi antara urusan privat individu di dalam kehidupan keluarga, ekonomi, dan kehidupan sosial dilawankan dengan tuntutan dan urusan 6
Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere : an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge : MIT Press, 1991. p. 27 7 Ibid. p. 176 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
19
kehidupan sosial dan publik. Ini juga mencakup mediasi kontradiksi antara kepentingan borjuis di satu pihak dan kepentingan warga negara lainnya di lain pihak. Tujuannya adalah mengatasi
kepentingan dan opini privat guna
menemukan kepentingan bersama dan mencapai konsensus sosial. Ruang publik terdiri atas organ informasi dan debat politik seperti surat kabar, jurnal, dan institusi-institusi diskusi politik seperti parlemen, klub politik, salon-salon kesusastraan, pertemuan-pertemuan umum, rumah minum dan kedai kopi, ruang-ruang pertemuan, dan ruang publik lainnya di mana terjadi diskusi sosial–politik. Di tempat-tempat tersebut, kebebasan berbicara, berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politik dijunjung tinggi. Kepublikan yang terjadi dalam ruang publik dengan sendirinya mengandung daya kritis terhadap proses-proses pengambilan keputusan yang tidak bersifat publik. Untuk pertama kali dalam sejarah, individu-individu dan kelompok dapat membentuk opini publik, mengekspresikan secara langsung kebutuhan dan kepentingan mereka sementara itu juga mempengaruhi praktik politik. Ruang publik borjuis menjadikan mungkin untuk membentuk ranah opini publik yang beroposisi dengan kekuasaan negara dan kepentingan pihak penguasa yang kemudian nantinya membentuk masyarakat borjuis. Ruang publik memupuk oposisi terhadap bentuk-bentuk hierarkis dan tradisional dari otoritas feodal yang selama berabad-abad menguasai praktik politik di Eropa. Diskusi-diskusi publik muncul dari suatu tahap tertentu perkembangan masyarakat borjuis. Lahirnya ekonomi pasar telah memperluas ruang hidup banyak orang melebihi batas-batas wilayah domestik. Mereka adalah para pedagang dan pengusaha yang terus bertambah jumlahnya dan meluas pengaruhnya, sementara lembaga-lembaga politik mapan saat itu tidak memungkinkan partisipasi kalangan swasta seperti mereka. Di ruang publik, mereka mendiskusikan dan menantang pemahaman mengenai hakikat kekuasaan yang berlaku hingga saat itu. Para pedagang dan pengusaha, kalangan terpandang karena harta dan pengetahuan mereka, merupakan pihak-pihak yang aktif bersuara di ruang publik, meskipun mereka bukan keturunan bangsawan. Mereka inilah yang disebut “publik” dan dengan klaim pengetahuan mengenai kepentingan umum, mereka Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
20
berusaha mengubah masyarakat menjadi suatu ruang otonomi privat yang bebas dari campur tangan politik dan merombak negara menjadi otoritas yang terbatas pada beberapa fungsi saja serta diawasi oleh “publik”. Di sinilah terletak rasionalitas perjuangan menegakkan ruang publik. Di antara dua ruang tersebut, yaitu ruang otonomi privat di satu pihak dan ruang politik negara di lain pihak, ruang publik berfungsi sebagai penerus kepentingan masyarakat borjuis kepada negara. Idealnya, ruang publik mengubah otoritas politis negara menjadi otoritas “rasional” dalam ruang publik. Rasionalitas borjuis demikian ini diukur oleh sejauh mana kepentingan umum terwakili, dan ruang publik berfungsi untuk menjamin tercapainya rasionalitas tersebut.
2.2 Perubahan Struktural Ruang Publik Ruang publik, yang ideal itu, kemudian mengalami depolitisasi. Seiring dengan perkembangan kapitalisme, organ-organ publik yang semula menjadi tempat diskusi publik, lama kelamaan mulai berubah fungsi. Pers tidak lagi menyuarakan opini publik dan perjuangan politik, melainkan menjadi ruang iklan. Komersialisasi, munculnya perusahaan besar, intervensi negara, dan pengaruh sains serta rasio instrumental dalam kehidupan sosial memperparah proses depolitisasi ini. Ini merupakan perubahan struktural yang dimaksudkan Habermas. Ruang publik berubah dari ruang diskusi rasional, debat, dan konsensus menjadi wilayah konsumsi massa dan dijajah oleh korporasi-korporasi serta kaum elite dominan. Analisis Habermas ini melanjutkan tradisi sekolah Frankfurt yang melihat transisi dari kapitalisme pasar dan demokrasi liberal pada abad ke-19 menuju tahap kapitalisme negara dan monopoli yang tampil dalam rupa fasisme Eropa dan liberalisme welfare state di Amerika Serikat 1930-an. Bagi Sekolah Frankfurt, masa-masa itu menandai babak baru dalam sejarah yang ditandai oleh percampuran antara otoritas politik dan ekonomi, industri budaya yang manipulatif, dan masyarakat terpimpin yang makin tidak demokratis dan bebas. Dalam istilah Habermas, proses ini disebut refeodalisasi ruang publik. Refeodalisasi ruang publik menghasilkan opini publik yang tidak lagi terbentuk lewat perdebatan dan konsensus, melainkan opini publik yang dibentuk oleh kelompok elite media, politik, dan ekonomi. Di tangan mereka, opini publik Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
21
kehilangan karakter publiknya. Menurut Habermas, opini publik yang semula merupakan ekspresi keprihatinan untuk mencari kepentingan umum, sejak akhir abad ke-19 telah menjadi ekspresi kepentingan pribadi para elite tersebut. Pentas politik yang semula dimaksudkan untuk memperoleh konsensus rasional telah menjadi ajang perebutan kekuasaan di antara berbagai kelompok kepentingan. Perubahan mendasar dalam ruang publik borjuis tidak menyurutkan Habermas untuk menghidupkan kembali ruang publik yaitu dengan cara memulai proses komunikasi publik yang kritis melalui organisasi-organisasi yang menjalankan fungsi komunikasi publik itu. Menghidupkan kembali ruang publik berarti membangkitkan kembali kepublikan atau sifat publik yang kritis dalam organisasi-organisasi yang beroperasi di ruang publik. Dampak positif dari ruang publik, di luar kecenderungan refeodalisasi, bisa disebut antara lain perluasan hak-hak asasi dalam sistem pengamanan sosial yang dijalankan negara, tuntutan akan keterbukaan informasi bagi publik kepada lembaga-lembaga negara, dan semua organisasi yang berurusan dengan negara. Setidak-tidaknya, di tengah suasana komersialisasi dan intervensi negara, beberapa aspek ruang publik masih dapat ditegakkan. Menggagas ruang publik borjuis sebagai tempat berlangsungnya diskusi dan konsensus rasional seperti yang digagas Jürgen Habermas, di mana masalahmasalah yang bersifat publik dibicarakan disebut idealisasi ruang publik borjuis. Gagasan ini tidak luput dari kritik karena agak diragukan bahwa politik pada masa itu digerakkan oleh norma rasionalitas dan opini publik yang dibentuk melalui debat rasional dan konsensus seperti digambarkan oleh Habermas. Politik modern selalu tunduk pada rangkaian permainan kepentingan dan perebutan kekuasaan, sekaligus juga
diskusi dan debat. Mungkin ada saja satu dua kelompok
masyarakat yang berhasil mencapai tahap itu, namun memuja-muja dan membuat generalisasi dari pengecualian itu tampaknya terlalu berlebihan.8 Gagasan Habermas mengenai ruang publik harus ditempatkan dalam kerangka besar teori kritis yang merupakan penentu identitas Sekolah Frankfurt. Pada periode 1930-an, Sekolah Frankfurt menerapkan metode kritik imanen; suatu cara melancarkan kritik terhadap masyarakat totaliter dan fasis di Eropa 8
Douglas Kellner, Habermas, the Public Sphere, and Democracy: a Critical Intervention dalam http: //www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/papers/habermas.htm diakses 10 Nov 2008 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
22
menggunakan perspektif ide-ide pencerahan seperti demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan individu dan sosial, serta rasionalitas. Kualitas-kualitas yang imanen pada masyarakat borjuis dipakai untuk mengkritik penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat sesudahnya. Habermas dianggap masih terpengaruh oleh metode ini, setidaknya ketika ia mengidealkan rasionalitas ruang publik borjuis abad ke-18 dan mengeluhkan perkembangan masyarakat kapitalis sejak akhir abad ke-19 Habermas larut dalam perkembangan gagasan Sekolah Frankfurt terutama sejak terbitnya Dialetics of Enlightenment (1947). Adorno dan Horkheimer dalam buku itu terlihat pesimis dengan prospek pencerahan sebagai dasar suatu teori kritis. Menurut kedua tokoh Sekolah Frankfurt tersebut, di bawah bayang-bayang hantu Perang Dunia II di Eropa dan kapitalisme tanpa kendali di Amerika, Pencerahan berakhir dalam situasi yang serba berkebalikan. Demokrasi menjadi fasisme, akal budi hanya menghasilkan irasionalitas, dan kebudayaan berkembang menjadi alat manipulasi. Dalam situasi tersebut, prosedur memakai idealisme borjuis sebagai norma kritik, telah dibungkam oleh barbarisme peradaban abad ke -20 Nada pesimis Dialetics of Enlightenment kelihatan pada bagian akhir The Structural Transformation of the public sphere : an inquiry into a category of bourgeois society. Idealisasi ruang publik borjuis untuk mengkritik penyimpangan di zaman kini, seperti yang digagasnya di bagian depan, hanya akan terdengar seperti nostalgia. Nyatanya, sejak Pencerahan menjadi mitos dan ruang publik borjuis telah menjadi arena iklan, tidak ada lagi dasar normatif dan empiris untuk membangun teori kritis. Semua jalan sepertinya berujung buntu. Habermas hanya dapat menyerukan pembaruan proses demokratisasi lembaga-lembaga dan ruang publik, namun tidak dapat menawarkan dasar institusional dan menggambarkan gerakan sosial untuk mewujudkannya. Kegamangan Habermas kelihatan pada cara pandangnya terhadap welfare state dalam The Structural Transformation. of the public sphere : an inquiry
into a category of bourgeois society. Di satu
pihak, pada welfare state ia melihat satu-satunya peluang imanen untuk menegakkan kembali ruang publik dalam masyarakat modern. Namun di lain pihak, welfare state juga berpotensi menggerus ruang publik karena membuka Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
23
peluang bagi negara untuk memasuki wilayah yang semestinya di bawah otonomi privat itu. Habermas berpaling pada bahasa untuk mencari dasar filosofis bagi suatu teori kritis baru. Pencarian ini memuncak pada karya terpenting Habermas, The Theory of Communicative Actions (1989). Menurut Habermas, dalam fenomena bahasa dan komunikasi antarmanusia terkandung norma-norma untuk mengkritik segala
bentuk
dominasi
dan
penindasan
serta
untuk
memperjuangkan
demokratisasi. Menurut Habermas, ketika dua orang atau lebih berwicara dalam suatu diskursus, mereka hendaknya saling memahami terlebih dahulu sebelum sampai pada hal-hal lain. Kehendak untuk memahami dan dipahami itu imanen pada tindakan berwicara, dan hal ini berlaku bagi siapapun dan dimanapun. Inilah rasionalitas yang dapat dipakai sebagai dasar suatu teori kritis. Prinsip rasional ini merupakan hakikat “transendental” dari tindakan berkomunikasi. Habermas kemudian merumuskan norma-norma kritis yang disebutnya sebagai syarat-syarat wicara ideal (ideal speech situations). Teori kritis baru ini dipakai oleh Habermas untuk menyoroti terjadinya kolonisasi dunia-kehidupan (lifeworld) oleh sistem. Dunia-kehidupan, menurut Habermas, merupakan arena berlangsungnya peristiwa sehari-hari dan tindakan komunikatif menduduki tempat yang sentral. Sementara itu, sistem merupakan mekanisme untuk mengatur tindakan individu-individu, memberi makna fungsional terhadap tindakan, dan memastikan bahwa sistem tetap bekerja seperti dimaksud. Sistem dalam dikotomi ini mewakili proses rasionalisasi modernitas yang
berupa birokratisasi dan instrumentalisasi seperti digagas oleh Weber.
Sebenarnya dunia-kehidupan juga mengalami rasionalisasi sendiri namun rasionalitas instrumental dalam sistem berkembang lebih kuat dan akhirnya menjajah dunia-kehidupan. Akibatnya rasionalitas komunikasi seperti yang terdapat pada syarat-syarat wicara ideal di zaman modern telah dikuasai oleh rasionalitas instrumental. Habermas menyebut kondisi ini sebagai komunikasi yang mengalami distorsi. Ukuran normatif seperti dalam syarat-syarat wicara ideal dapat dipakai untuk membangun gagasan baru mengenai ruang publik ideal. Idealisasi ruang publik borjuis mengandaikan secara keliru tiadanya atau minimnya perbedaan Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
24
kepentingan individu. Begitu mengatasi ruang lingkup privatnya individu-individu digambarkan berkumpul di ruang publik sebagai suatu suara dihadapan intervensi politik negara. Teori kritis tindakan komunikatif memungkinkan Habermas untuk menghilangkan asumsi uniformitas kehendak tersebut. Biarpun ada perbedaan kepentingan dan latar belakang budaya, keniscayaan dalam tindakan komunikatif akan memaksa individu-individu di ruang publik untuk sampai pada pemahaman terhadap satu sama lain. Rasionalitas ruang publik tidak lagi bersandar pada asumsi mengenai kepentingan umum yang otomatis diwakili oleh ruang publik borjuis, melainkan pada etika diskursus universal. Konsensus tercapai bila terjadi pemahaman bersama yang bersifat intersubjektif mengenai sesuatu yang secara argumentatif memang lebih baik. Kondisi ideal suatu diskursus menuntut bahwa kesamaan hak setiap orang untuk terlibat dalam diskusi dijamin dan bebas dari segala bentuk dominasi baik yang sifatnya internal menyangkut perilaku individual maupun eksternal dalam rupa komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Hanya bila kondisi ini terpenuhi, konsensus yang tercapai dapat disebut rasional. Between Facts and Norms (1996) memperlihatkan bagaimana Habermas menyusun argumentasi untuk suatu ruang publik berhadapan dengan struktur politik dan hukum. Ruang publik merupakan sarana peringatan dini dengan sensor yang sensitif menangkap persoalan-persoalan dalam masyarakat. Selanjutnya ruang publik tidak hanya mendeteksi persoalan tetapi juga harus memperkuat tingkat kemendesakkan dari persoalan-persoalan itu dengan cara merumuskannya, menyodorkannya,
beberapa
kemungkinan
solusi,
bahkan
mendramatisasi
persoalan supaya ditangkap oleh otoritas politik. Menurut Habermas, “ruang publik paling tepat digambarkan sebagai jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan beberapa cara pandang ... ; arus-arus informasi, dalam prosesnya disaring dan dipadatkan sedemikian sehingga menggumpal menjadi simpulsimpul opini publik yang spesifik menurut topiknya.”9 Habermas berharap opini publik akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan dalam struktur politik dan hukum yang mapan. Kapasitas ruang publik untuk memberi solusi sendiri memang terbatas namun kapasitas tersebut dapat digunakan untuk mengawasi 9
Lihat Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge: MIT Press, 1996 hal 360 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
25
bagaimana sistem politik menangani persoalan-persoalan yang muncul di tengah masyarakat. 10 Dalam benturannya dengan praktik-praktik rahasia dan birokratis negara absolut, kemunculan borjuasi perlahan-lahan menggantikan sebuah ruang publik di mana kekuatan penguasa hanya direpresentasikan di hadapan masyarakat oleh sebuah ruang yang didalamnya otoritas negara diawasi secara publik lewat diskursus informatif dan kritis oleh masyarakat. Habermas meneliti perkembangan kesadaran diri sastra dan politis kaum borjuasi, juga sekaligus kelahiran novel dan jurnalisme sastra dan politis dan penyebaran komunitas-komunitas baca, salon-salon, dan kedai-kedai kopi. “Two years after Pamela appeared on the literary scene the first public library was founded, book clubs, reading circles and subscription libraries shot up”11 Habermas mengemukakan kontradiksi antara katalog konstitutif “hak-hak dasar manusia” dari ruang publik liberal dengan pembatasan de facto-nya terhadap manusia dari kelas-kelas tertentu. Dia mencatat tegangan-tegangan yang seiring dengan perkembangan lebih jauh dari kapitalisme sebagai tubuh publik yang mengembang melampaui borjuasi sehingga juga mencakup kelompok-kelompok yang secara sistematis tidak diuntungkan oleh cara kerja pasar bebas dan yang mengupayakan memperoleh regulasi dan kompensasi negara. Munculnya jalinan antara negara dan masyarakat sejak akhir abad ke-19 sampai abad ke-20 berakibat pada matinya ruang publik liberal. Ruang publik demokrasi negara kesejahteraan sosial lebih merupakan lapangan kompetisi di antara kepentingan-kepentingan yang saling berlawanan, di mana organisasiorganisasi yang mewakili beraneka ragam konstituen melakukan negosiasi dan kompromi di antara mereka sendiri dan dengan pejabat-pejabat pemerintahan, sembari menghilangkan publik dari gerak langkah mereka. Sejak saat itu opini publik mulai mengemuka, tapi bukan dalam bentuk diskusi publik yang tak
10
Lihat Jürgen Habermas, Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy, Cambridge: MIT Press, 1996 hal 359
11
Jürgen Habermas. The Structural Transformation of the Public Sphere : an Inquiry into a Category of Bourgeois Society, Cambridge : MIT Press. 1991 p. 51 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
26
terkekang. Karakter dan fungsinya lebih ditandai oleh cara-cara dia disampaikan dan dilontarkan: riset opini publik, publisitas, kerja humas dan sebagainya. Pers dan media penyiaran tidak begitu berfungsi sebagai organ-organ informasi dan perdebatan publik, melainkan sebagai teknologi untuk mengelola konsensus dan mempromosikan budaya konsumen Apabila struktur-struktur historis ruang publik liberal mencerminkan konstelasi khusus kepentingan-kepentingan yang melahirkannya, maka gagasan yang diklaimnya mewujud yakni merasionalkan otoritas publik di bawah pengaruh diskusi yang informatif dan kesepakatan rasional yang terlembaga masih tetap penting bagi teori demokrasi. Di era pasca liberal, ketika model klasik ruang publik tidak lagi memungkinkan secara sosio politik, maka pertanyaannya berubah menjadi : dapatkah ruang publik dibangun kembali secara efektif di bawah kondisi-kondisi sosio ekonomi, politik dan kultural yang sudah berubah se radikal ini? Atau dengan kata lain mungkinkah demokrasi diwujudkan? Habermas menjawab pertanyaan ini dengan Teori tindakan komunikatif Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ruang publik dipahami sebagai suatu bentuk reaksi dari keadaan di zaman feodal, di mana individu maupun kelompok dalam masyarakat membentuk opini publik, memberikan tanggapan langsung terhadap apapun yang menyangkut kepentingan mereka sambil berusaha mempengaruhi praktik-praktik politik. Ruang publik kemudian mengalami depolitisasi dan refeodalisasi sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme, komersialisasi, tumbuhnya perusahaanperusahaan besar, meningkatnya intervensi negara demi stabilitas ekonomi, dan meluasnya pengaruh sains serta akal budi instrumental dalam kehidupan sosial. Dengan tidak memadainya pencerahan sebagai dasar filosofis perjuangan, Jürgen Habermas mengemukakan teori tindakan komunikatif sebagai landasan filosofis guna menghidupkan kembali ruang publik.
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 3 RUANG PUBLIK DAN PERPUSTAKAAN
Berbagai komentar tentang informasi dari sejumlah pakar yang sempat dicatat Frank Webster antara lain berisi bahwa informasi pada zaman sekarang ini cenderung ternodai, tidak lepas dari campur tangan pihak yang menyajikannya atau yang mengemasnya sedemikian rupa untuk mendukung suatu posisi, atau memanipulasinya untuk tujuan tertentu, atau membuatnya menjadi komoditas yang laku dijual, yang sifatnya menghibur. Dalam versinya yang paling ekstrim, keadaan di atas dapat dianggap sebagai rusaknya proses demokratisasi akibat tidak memadainya informasi yang disuguhkan kepada publik karena apabila masyarakat tidak memperoleh informasi yang handal lalu akan sulit tercapai masyarakat yang ideal, cerdas, arif dan berpengetahuan luas – demokrasi dalam pengertian yang sejatinya.1 Cara pandang di atas sejalan dengan konsepsi Habermas tentang ruang publik yang ditulisnya dalam The Structural Transformation of the Public Sphere : an inquiry into a category of Bourgeois Society. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa khususnya di Inggris pada abad ke 18 dan 19, berkembangnya kapitalisme menyebabkan munculnya ruang publik yang kemudian mengalami kemunduran pada pertengahan dan akhir abad ke dua puluh. Informasi berada pada inti dari ruang publik ini, di dalamnya para peserta diskursus mengungkapkan posisinya dalam argumen yang diungkapkan secara eksplisit dan bahwa pandangan mereka dapat diakses oleh kalangan publik yang luas. Kontributor utama demi tercapainya tujuan tersebut adalah media komunikasi dan lembaga-lembaga informasi lainnya seperti perpustakaan dan lembaga statistik.
3.1 Transformasi dan Refeodalisasi Ruang Publik Mencermati tulisan Habermas tentang ruang publik akan membawa kita ke pemahaman lebih jelas mengenai dinamika dan arahnya. Menurut Habermas ruang publik borjuis muncul sebagai akibat dari ciri utama masyarakat kapitalis pada abad ke-18. Dengan menggunakan kekayaan dan pendidikan yang mereka 1
Lihat Webster, Frank. Theories of the Information Society. London : Routledge, 1995 hal 101
27 Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
28
miliki,
para
pengusaha
kapitalis
mampu
berjuang
dan
melepaskan
ketergantungannya dari gereja dan negara. Pada awalnya kehidupan publik didominasi para biarawan dan pihak kerajaan di mana tata krama yang menggambarkan relasi feodal dipertontonkan dan menjadi topik perhatian seharihari, tetapi para kapitalis-baru berhasil meruntuhkan keadaan tersebut. Ini terjadi antara lain karena para kapitalis memberikan dukungan ekstra kepada dunia sastra - teater, kesenian, kedai-kedai kopi, novel dan kritik - dan melalui cara itu ketergantungan kepada pihak pembimbing (patron) menjadi berkurang dan memunculkan ruang yang dengan sepenuh hati melakukan kritik yang terpisah dari kekuasaan tradisional. Menurut pengamatan Habermas, di sini percakapan berubah menjadi kritik dan kata-kata indah berubah menjadi adu argumen. Dari arah lain, muncul dukungan yang semakin kuat kepada kebebasan berbicara dan reformasi parlemen sebagai konsekuensi dari perkembangan pasar. Karena kapitalisme berkembang dan terkonsolidasi dan juga memperoleh kebebasan yang lebih besar dari negara, kapitalisme semakin meningkatkan tuntutan terhadap perubahan negara, paling tidak memperluas perwakilan guna mendapatkan kebijakan yang secara lebih efektif mendukung ekspansi ekonomi pasar. Perjuangan mereformasi parlemen, tentunya mencakup juga kebebasan pers, karena pers merupakan poros roda perjuangan reformasi, supaya kehidupan politik bisa diawasi oleh publik yang lebih luas. Sebagai contoh adalah didirikannya Hansard di abad pertengahan 18 untuk memberikan rekaman prosiding yang akurat di parlemen. Perjuangan guna membangun surat kabar yang independen mendapat banyak rintangan dari pihak pemerintah, meskipun demikian usaha tersebut terbantu oleh biaya produksi yang relatif murah. Melalui cara-cara yang menggugah pikiran, pers pada abad ke 18 dan 19, tidak saja menyampaikan secara luas opini, tetapi dengan sepenuh hati memberitakan secara penuh kegiatan parlemen.
Ini
merupakan
indikasi
bahwa
terjadi
pihak-pihak
yang
mengkapanyekan kerjasama antara pers dan pihak-pihak yang mengkampanyekan reformasi parlemen. Yang paling penting dari gabungan kekuatan ini, tentunya, adalah matangnya oposisi politis, yang mendorong adu argumen dan debat yang
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
29
dibentuk melalui desakan perkembangan baru, yaitu suatu kebijakan yang bisa diterima-secara-rasional. Hasil dari perkembangan tersebut adalah terbentuknya ruang publik borjuis pada pertengahan abad ke 19. Ciri khas dari ruang publik tersebut adalah adanya debat terbuka, kupasan kritis, reportase penuh, aksesibilitas yang semakin meningkat dan kebebasan para peserta di ruang publik dari kepentingan ekonomi dan kebebasan dari kendali negara. Habermas menekankan bahwa perjuangan untuk independen dari negara merupakan unsur pokok dari ruang publik borjuis. Ini berarti kapitalisme awal harus berhadapan dengan negara karena alasan tersebut, pokok perjuangannya adalah
pers bebas, reformasi politis, dan
perwakilan yang lebih besar. Dalam analisis historisnya lebih lanjut, Habermas menunjukkan ciri-ciri paradoks ruang publik borjuis yang pada akhirnya mengarah ke refeodalisasi di sejumlah bidang. Yang pertama memusat di seputar perluasan kapitalisme lanjut. Habermas mencatat bahwa telah lama terjadi saling penyusupan antara kepemilikan privat dan ruang publik, dan ia berpendapat bahwa penyusupan condong ke arah kepemilikan privat selama dekade akhir dari abad ke 19. Seiring dengan perkembangan kekuatan dan pengaruh kapitalisme, para pendukungnya bergerak dari tuntutan reformasi menuju pengambilalihan kekuasaan negara dan menggunakan pengambilalihan kekuasaan itu untuk melanjutkan tujuan mereka. Habermas tidak bermaksud mengatakan bahwa
arah gejala ini
menggambarkan secara langsung kembalinya ke epos sebelumnya. Menurut pandangannya humas dan budaya lobi-melobi merupakan bukti mencolok dari unsur-unsur penting ruang publik namun hal tersebut tidak lagi ditujukan pada usaha
memperoleh pengakuan terhadap bidang di mana debat politik harus
dilakukan untuk mendapatkan legitimasi. Apa yang dilakukan humas, ketika memasuki debat publik adalah menyembunyikan kepentingan yang diwakilinya (misalnya dengan menyatakan demi ‘kesejahteraan masyarakat’ atau demi ‘kepentingan nasional’), sehingga debat kontemporer tidak lain dari suatu versi palsu ruang publik. Dalam pengertian itulah Habermas mengadopsi istilah refeodalisasi, yang artinya ada indikasi tentang cara dimana masalah-masalah publik menjadi sesuatu yang ditampilkan dari kekuasaan (menggunakan cara yang Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
30
analog dengan yang digunakan kerajaan pada abad pertengahan) bukannya ruang kompetisi kebijakan–kebijakan dan aneka macam pandangan. Yang kedua istilah refeodalisasi muncul dari perubahan-perubahan dalam sistem komunikasi massa. Perlu diingat bahwa komunikasi massa diperlukan demi efektifitas ruang publik karena media terjadinya memungkinkan penelitian dan akses luas terhadap masalah-masalah publik. Namun, selama abad ini media massa telah berkembang menjadi organisasi-organisasi monopoli kapitalis dan ketika hal itu terjadi, kontribusi utamanya sebagai penyebar informasi handal dari ruang publik menjadi hilang. Media berubah menjadi alat kepentingan kapitalis, tidak lagi sebagai penyedia informasi. Sementara kedua ciri tersebut di atas menggambarkan penyebaran dan penguatan kekuasaan kapitalisme atas hubungan-hubungan sosial, terdapatlah sesuatu kelompok yang berusaha menggunakan negara guna mendukung ruang publik. Kelompok yang melakukan kontribusi penting pada penciptaan dan penyebaran etos jasa publik di dalam masyarakat modern. Habermas melihat bahwa sejak masa–masa awalnya ruang publik borjuis telah menyediakan ruang bagi orang-orang yang menempati suatu posisi di antara pasar dan pemerintah; yakni, antara ekonomi dan politik; khususnya para profesional seperti para akademisi, ahli-ahli hukum, para dokter dan sejumlah pegawai negeri. Masih dapat
diperdebatkan
bahwa
ketika
kapitalisme
mengkonsolidasikan
cengkeramannya di masyarakat yang lebih luas dan di negara itu sendiri, pada saat yang sama unsur-unsur signifikan profesi-profesi menggerakkan dukungan negara untuk menjamin agar ruang publik tidak dirusakkan oleh dominasi kapital. Habermas menyatakan hal itu khususnya dengan penyiaran di benaknya, sambil memperlihatkan bahwa industri penyiaran publik didirikan karena kalau tidak fungsi wartawannya tidak bisa dilindungi secara memuaskan dari pelanggaran batas fungsi kapitalistiknya. Tetapi argumen bahwa yang demikian itu merupakan tendensi menuju pengambilalihan oleh kepentingan kapitalis sehingga
memunculkan
perlunya
keterlibatan
negara
untuk
menjamin
infrastruktur informasi bagi ruang publik yang bergairah dapat diperluas untuk menjelaskan ciri dari sejumlah institusi penting, seperti perpustakaan-perpustakan umum, jasa statistik pemerintah, museum-museum dan galeri – galeri seni. Tentu Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
31
saja, etos layanan publik, yang dipahami sebagai harapan yang, dalam ranah informasi paling sedikit menyajikan informasi dan pengetahuan tanpa memihak dan netral kepada publik seluas mungkin, terlepas dari kemampuan orang untuk membayar, dapat dianggap sangat sesuai dengan orientasi yang sangat esensial pada pemfungsian efektif ruang publik. Ketika kita membaca sejarah ruang publik Jürgen Habermas, mau tidak mau kita akan menyimpulkan bahwa masa depannya akan sulit. Tulisan mengenai perkembangan
akhir
ruang
publik
terasa
suram:
kapitalisme
menjadi
pemenangnya, kapasitas pemikiran kritis menjadi minimal, tidak ada ruang riil untuk ruang publik di zaman konglomerat media trans nasional dan budaya iklan yang merembes. Sejauh yang berhubungan dengan informasi, perhatian terhadap pasar yang dijadikan prioritas oleh perusahaan-perusahaan informasi berarti mendedikasikan produk mereka kepada tujuan membuat penghasilan iklan maksimum dan mendukung perusahaan kapitalis. Akibatnya, isinya antara lain: petualangan tindakan, hal-hal yang sepele, sensasionalisme, personalisasi masalah, perayaan gaya hidup kontemporer. Ini semua, dipromosikan secara intensif dan berlebihan, menarik dan menjual, tetapi kualitas informasinya tak berarti. Yang dilakukan tidak lebih (dan tidak kurang) mewajibkan subjek para pirsawannya secara halus keterarahan terhadap konsumsi secara terus menerus. Habermas melangkah lebih jauh lagi: sementara ruang publik diperlemah oleh invansi etika iklan, ia juga dilukai secara mendalam oleh penetrasi humas. Bagi
Habermas,
penyusupan
humas
menandai
ditinggalkannya
kriteria
rasionalitas yang dulu pernah membentuk argumen publik, kriteria rasionalitas tersebut sangat kurang di dalam konsensus yang diciptakan oleh cetakan opini yang canggih yang mereduksi kehidupan politis ke kemegahan yang gemerlapan sebelum pengikutnya yang tertipu itu siap untuk mengikuti. Ketika merenungkan keadaannya sekarang, Habermas tak henti-hentinya nampak muram. Hak pilih bersama barangkali telah membawa masing-masing kita ke dalam ranah politik, tetapi hak pilih juga mengangkat bidang keunggulan opini melebihi kualitas argumen nalar. Lebih buruk lagi membobot hak suara tanpa menilai kevalidan isu, perluasan pada setiap orang akan hak pilih bertepatan
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
32
dengan munculnya propaganda modern, dari sinilah, kemampuan mengelola opini dalam ruang publik yang dimanufaktur2.
3.2 Komersialisasi Jasa Perpustakaan Umum Ciri “ruang publik” dari suatu perpustakaan umum dapat diamati dari ciriciri sebagai berikut 1. Ruang publik terbuka bagi siapa saja. Mereka berkumpul dan berbicara demi kepentingan umum. Perpustakaan umum juga memiliki ciri tersebut yakni terbuka bagi siapa saja, menyediakan informasi dan mengusahakan akses. Pengguna perpustakaan bebas berdiskusi demi kepentingan sendiri maupun kepentingan umum. Selain itu, perpustakaan umum juga menyediakan buku-buku atau informasi dalam berbagai format untuk dipinjamkan, dan menyediakan akses terhadap koleksi rujukan, serta membuka jam buka perpustakaan yang cukup memadai dalam rangka kualitas layanannya. 2. Kegiatan perpustakaan didanai publik dari hasil pajak daerah maupun pusat, kendati demikian kegiatannya tidak tergantung ke pada kepentingan politik. Di Indonesia dana perpustakaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan sistem pendanaan tersebut perpustakaan umum dapat menyediakan layanannya secara cuma-cuma. Undang-undang Republik Indonesia nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan memberikan pedoman didalam penyelenggaraan perpustakaan umum guna tersedianya jasa perpustakaan yang komprehensif dan efisien bagi semua orang yang ingin memanfaatkannya. 3. Agar tercapai akses terhadap informasi seluas-luasnya dan jasa peminjaman yang memuaskan, seandainya suatu perpustakaan setempat tidak memiliki informasi yang dicari pengguna, sistem nasional peminjaman antar perpustakaan akan memenuhi kebutuhan tersebut. Bahkan untuk jenis buku terlarang, Perpustakaan Nasional RI dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah 2
Lihat Webster, Frank. Theories of the Information Society. London : Routledge, 1995, hal 167 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
33
Simpan Karya Cetak dan karya Rekam serta Peraturan Pemerintah nomor 70 Tahun 1991 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 masih tetap dapat mengendalikan dan menyimpan koleksi karya terlarang. Kalangan tertentu yang sangat membutuhkan, misalnya peneliti, dosen dimungkinkan meminjam koleksi terlarang tersebut. 4. Jaringan perpustakaan diawaki oleh pustakawan profesional yang bisa menyediakan layanan profesional kepada pengguna, tanpa prasangka dan motif-motif tersembunyi. Sejumlah kalangan ikut serta mendukung jasa perpustakaan, mereka adalah para dermawan, simpatisan, kalangan yang khawatir akan massa yang kurang terdidik dan berkeinginan meningkatkan angka melek huruf serta memberikan kesempatan pendidikan melalui penyediaan sumber belajar kepada mereka-mereka yang kurang beruntung. Betapapun disertai dengan aneka ragam motif dan aspirasinya, hal yang berada dibalik itu semua adalah konsepsi pentingnya informasi. Maksudnya adalah perpustakaan umum dibentuk dan dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa informasi adalah sumberdaya yang menjadi milik dari setiap orang bukannya komoditas yang mungkin saja merupakan kepemilikan dan karena itu dapat dimiliki secara pribadi. Karena informasi dan tentu saja pengetahuan tidak boleh dimiliki secara eksklusif, ia harus tersedia secara bebas bagi mereka yang ingin mengaksesnya. Konsepsi ini merupakan konsep inti dari pendirian dan kegiatan sistem perpustakaan. Ini menjadi pedoman dasar suatu jaringan perpustakaan umum yakni apabila orang menginginkan informasi mereka selayaknya dibantu untuk memperolehnya bukannya dipersulit. Di Indonesia perpustakaan umum belum populer namun telah diminati sebagian masyarakat. Mereka memiliki anggota yang lumayan banyak. Secara global dapat dikatakan sistem perpustakaan umum mendapatkan tantangan di segi filosofis maupun kegiatan rutinnya. Serangan serius dilayangkan atas premis, informasi harus tetap diperoleh secara cuma-cuma bagi pengguna perpustakaan, dan kebijakan sejumlah negara misalnya Inggris menekankan agar perpustakaan menarik bayaran atas jasa mereka. Sejak akhir tahun 1970-an pemerintah negara tersebut melakukan usaha-usaha untuk mengurangi belanja publik dan Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
34
mempromosikan penerapan mekanisme pasar sebagai sarana penyediaan jasa. Sebagai konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah dilakukannya pengurangan dana yang cukup signifikan di lingkungan perpustakaan. Jasa perpustakaan sangat dibatasi, pembatalan langganan suratkabar, pengurangan langganan jurnal, jam buka perpustakaan dipersingkat dan secara umum, pengurangan buku di rak (khususnya buku-buku baru).
Pengurangan dana telah mendesak pihak
perpustakaan untuk mencari sumber pendapatan lain. Pustakawan disarankan agar mencari sumber dana di luar sumberdana rutinnya dan mempertimbangkan apakah ada kemungkinan mendapatkan dana dari pengguna, sponsor swasta atau bahkan investasi swasta dalam jasa baru. Sejak itulah muncul kegiatan pemasokan informasi melalui sponsor swasta dan atas dasar daya tarik pasarnya. Di Inggris, ketentuan tentang jasa perpustakaan secara cuma-cuma telah membuat “commercial lending libraries” tidak memiliki kegiatan lagi karena itu ada desakan untuk mengajukan kembali kriteria komersial dalam pemasokan informasi. Rekomendasinya yang paling penting adalah pembebanan biaya bagi pengguna dan pengalihan menuju privatisasi dunia perpustakaan. Menurut pendapat suatu kalangan masyarakat, (kasus di Inggris), layanan cuma-cuma perpustakaan dianggap memberi manfaat yang tidak proporsional kepada mereka yang sebenarnya mampu membeli sendiri bukunya. Sementara mayoritas publik adalah anggota perpustakaan, dapat diperkirakan bahwa separuh darinya masuk dalam 20% penduduk yang berlabel kelas menengah. Perpustakaan juga dituduh tidak hanya melayani kelompok yang berkecukupan, tetapi juga menjadi kelompok elit, mengangkat perilaku kelompok menengah yang menilai rendah budaya dari, katakanlah kelas pekerja atau sektor regional. Prasangka ini terbukti tidak hanya dalam pemilihan rutin literatur yang merupakan literatur kelas menengah, tetapi juga kadang-kadang tindakan penyensoran bahan perpustakaan oleh pustakawan contohnya adalah sejumlah perpustakaan mengeluarkan buku-buku seperti Enid Blyton’s Noddy stories karena buku-buku tersebut dianggap rasis dan berbau sex. Selain itu, muncul argumen bahwa di balik retorika jasa publik terbentang kenyataan yang tidak mengenakkan bahwa pustakawan mengurusi dirinya dengan lebih baik, dengan hanya membelanjakan 16 persen dari anggaran belanjanya untuk buku dan tiga kalinya untuk gaji. Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
35
Betapapun semakin baiknya penalaran yang ada, bahwa profesi yang mengurusi dirinya sendiri dan elit itu dapat dipertanggungjawabkan, tanggungjawab tersebut tidak kepada publik yang ada sebagai suatu abstraksi, tetapi kepada pengguna perpustakaan yang, ketika membayar sendiri informasinya, akan menilainya dan menuntut akuntabilitas kepada yang digaji untuk melaksanakannya. Frank Webster mencatat kritik masyarakat dalam hubungannya dengan koleksi cerita fiksi dan biografi yang diminati pengguna yang isinya adalah mempertanyakan mengapa keinginan pengguna perpustakaan untuk bersantai mesti disubsidi melalui pengumpulan pajak. apalagi kedua jenis koleksi tersebut sudah banyak diterbitkan dalam sampul tipis dan sangat murah harganya. Kritik lainnya berkenaan dengan kebijakan yang kontradiktif yakni ketika perpustakaan-perpustakaan umum memberi jasa cuma-cuma kepada organisasi komersial yang memerlukannya. Misalnya ketika suatu perusahaan ingin mencari bahan-bahan hukum atau keuangan atau mencari literatur kimia sebagai langkah awal untuk inovasi teknis, hal ini memiliki konsekuensi arti ekonomi untuk bisnis namun
perusahaan-perusahaan
tersebut
tidak
dikenakan
biaya
ketika
menggunakan sumber daya perpustakaan (dan hal ini bisa cukup luas, menuntut bantuan profesional untuk menemukan informasi dan juga rujukan kepada bahanbahan yang mahal). Para pengritik berpendapat, cukup masuk akal,
bahwa
terdapat ketidaktaatasasan dan bahwa biaya seharusnya dikenakan pada lingkungan tersebut. Bidang jasa rujukan merupakan bidang yang paling mendekati jasa publik dan bentuk ideal suatu ruang publik. Gambarannya adalah salah satu perpustakaan dijadikan gudang besar pengetahuan, akses ke perpustakaan tersebut difasilitasi oleh pustakawan profesional, dan dibuat atas desakan rasa ingin tahu pengguna, siswa sekolah yang tekun, kaum otodidak, orang yang ingin maju, atau orang biasa yang ingin tahu. Tetapi berlawanan dengan gambaran yang menarik ini, diperoleh fakta bahwa bukan saja jasa rujukan perpustakaan tidak dimanfaatkan oleh mereka yang berhak (masyarakat yang lebih beruntung mendominasi), tetapi juga bahwa bahan rujukan hanya menempati 12 sampai 15 persen stok perpustakaan dan hanya menempati 5 persen pembelian buku tahunan. Karena sebagian besar pengguna memiliki cukup uang untuk membayar sendiri, dan Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
36
karena jasa rujukan merupakan bagian kecil dari koleksi perpustakaan, maka masuk akal mengusulkan biaya masuk ke perpustakaan secara harian, dengan fasilitas kartu abunemen bagi pengguna untuk masa yang lebih panjang. Tinjauan-tinjauan kritis mengenai perpustakaan umum sejalan dengan entusiasme akan kemungkinan komersialisasi informasi. The Information Technology Advisory Panel (ITAP) menulis laporan dengan judul Making a Business Information. Dalam laporan tersebut dihimbau agar sektor swasta maupun publik mulai memandang informasi sebagai suatu komoditas komersial, dan menganjurkan agar usahawan diijinkan merambah ke bidang perpustakaan dan agar mereka yang sudah ada di dalam hendaknya membuat dirinya menjadi usahawan. Perpustakaan umum berada di barisan depan yang menerima advis ini. Pada pokoknya, ITAP memberikan suara mendukung pada trend yang telah terbentuk, khususnya meluasnya jasa informasi terpasang. Ini sejak semula bersifat komersial dalam orientasinya, diarahkan secara sengaja untuk
pasar
bisnis yang menguntungkan. Pangkalan data terpasang berkembang secara cepat selama tahun 1980-an, khususnya di luar sistem perpustakaan umum. Bagaimanapun juga, yang kemudian tentunya menjadi bagian
dari revolusi
informasi dan dapat dipahami sangat tertarik untuk memadukan bentuk-bentuk baru pengiriman informasi kedalam katalog mereka. Masalahnya adalah bahwa informasi terpasang adalah mahal dan dianggap bukan layanan utama di antara jasa perpustakaan. Akibatnya, sebagian besar jasa informasi terpasang di perpustakaan umum dianggap sebagai jasa tambahan di mana pengguna dikenakan biaya. Ketika revolusi teknologi informasi meningkat, begitu pula permintaan terhadap jasa informasi berbasis komputer di perpustakaan- dan dengan ini berarti terjadi penyerapan cepat atas suatu prinsip (pembayaran untuk informasi) yang bertentangan dengan prinsip utama jasa perpustakaan umum yang cuma-cuma. Jelaslah bahwa, meningkatnya tuntutan akan layanan tambahan oleh masyarakat, pengurangan nyata sumberdaya, inovasi teknologi, dan tinjauan filosofis yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendasari perpustakaan umum, suatu konsepsi informasi dan akses terhadap informasi yang berbeda telah muncul. Dulu informasi dipahami sebagai sumberdaya publik yang harus samaUniversitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
37
sama digunakan dan secara cuma-cuma, sekarang mulai dipandang sebagai komoditas yang layak diperdagangkan, yang bisa dibeli dan dijual untuk konsumsi privat, yang aksesnya tergantung pada biaya. Debat “fee or free” dimenangkan oleh mereka yang mendukung pengenaan biaya. Beranggapan bahwa telah terjadi perubahan besar dalam kegiatan perpustakaan umum tidak seluruhnya benar. Praktik-praktik baru muncul dan ideologi baru sedang diartikulasikan tetapi pemerintah tetap meniadakan biaya peminjaman buku, jurnal dan penggunaan bahan-bahan rujukan. Meskipun begitu pengenaan biaya lambat laun semakin diterima secara luas, yakni dengan dikenakannya biaya untuk peminjaman antar perpustakaan, untuk peminjaman bahan-bahan non buku, jasa pemesanan, pengguna perpustakaan dari luar daerah, jasa fotocopi dan juga informasi berbasis komputer. Kekhawatiran mendalam dari perkembangan ini adalah bahwa biaya akan menghalangi mereka-mereka yang kurang mampu dan menyokong orang-orang yang lebih kaya dan pengguna perpustakaan bisnis. Pengenaan biaya untuk jasa tak bisa dihindari akan berakibat pada pemberian prioritas lebih kepada pengguna korporasi daripada warga negara secara perseorangan karena pengguna korporasi jelas-jelas adalah pasar yang sangat menjanjikan. Evaluasi negatif apapun terhadap arah gejala baru ini namun yang nampak adalah biaya riil semakin menurun, pengguna perseorangan sebenarnya dalam posisi yang menguntungkan untuk memenuhi biaya kebutuhan informasinya secara langsung. Tentunya, pada 1990-an cara yang paling populer untuk memperoleh suatu buku adalah melalui pembelian daripada meminjam nya dari suatu perpustakaan. Di Toko buku hampir menyamai jumlah perpustakaan umum, semakin banyak judul diterbitkan setiap tahunnya (pada 1986 ada 52,500 judul baru muncul, pada 1991 ada 68,000), dan paperback telah membuat buku siap diakses mayoritas luas penduduk. Yang mendukung pada bukti ini adalah kenaikan lebih dari 30 persen belanja buku selama tahun 1980-an. Dilihat dari segi ini, perpustakaan umum dapat dianggap sebagai ketinggalan zaman, dulunya ditujukan untuk menyediakan informasi kepada publik tetapi sekarang dibuat berlebihan karena adanya perkembangan cara alternatif dalam mendapatkan informasi. Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
38
Ada masalah dengan penalaran ini. Salah satunya adalah pembeli buku terkonsentrasi berat, dengan lebih dari delapan dari sepuluh pembelian berasal dari 25% populasi yang terutama di temukan dalam kelas sosial yang lebih tinggi dengan pendidikan tinggi. Masalah kedua adalah bahwa pembelian buku dan penggunaan perpustakaan tidak saling eksklusif sangat berlawanan : pengguna berat perpustakaan adalah juga yang terbanyak yang suka membeli buku. Masalah ketiga berkaitan dengan jenis buku yang dibeli oleh orang-orang dibandingkan dengan apa yang ditawarkan di perpustakaan. Sebagian besar dari apa yang dibeli orang adalah fiksi paperback terutama novel-novel ringan, cerita-cerita horor, fantasi dan cerita-cerita detektif sementara penjualan non fiksi terutama bukubuku teka-teki, olahraga dan manual, dan buku-buku DIY (Do IT Yourself) seperti buku masak dan buku untuk mereparasi. Tidak kelirulah kalau perpustakaan umum dikritik karena menawarkan terlalu banyak fiksi picisan secara cuma-cuma tetapi mereka menawarkan jauh lebih dari ini, khususnya dalam ranah karya-karya rujukan. Penggunaan dari buku-buku ini sangat sulit untuk dihitung karena mereka tidak bisa dipinjam tetapi kita tahu benar bahwa karya-karya rujukan standar dari ensiklopedia sampai gazetteers, sumber-sumber statistik sebagai pedoman bisnis umumnya terlalu mahal dan terlalu sering muncul dalam edisinya yang baru untuk dibeli oleh pengguna perseorangan. Tanpa perpustakaan umum sulit membayangkan orang mendapatkan akses pada sumber-sumber seperti who’s who, buku tahunan mengenai subjek-subjek yang beraneka ragam seperti lembaga pendidikan,
organisasi
dermawan
dan
masalah-masalah
politis.
Tanpa
perpustakaan umum lingkungan informasi warga negara akan menjadi sangat miskin. Laporan yang baru menunjukan bahwa perpustakaan umum di Inggris ada dalam masa penurunan dengan lebih sedikit buku yang dipinjam sementara penjualan buku oleh individu berlangsung terus meskipun terjadi resesi. Cultural Trends menyimpulkan bahwa ini merupakan hasil yang tak terduga dari masalahmasalah aksesibilitas, waktu tunggu, dan periode peminjaman secara terbatas bersama dengan stok buku yang statis dan menurun dan pengurangan dalam jam buka. Dari segi pilihan hanya ada beberapa buku di rak yang ingin dipinjam pengguna dari perpustakaan umum. Ini merupakan bukti meyakinkan bahwa Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
39
jaringan perpustakaan umum, dipandang sebagai unsur dasar ruang publik, sudah mulai hilang. Prinsip-prinsip dasar, yang sangat penting akses cuma-cuma dan jasa komprehensif, sedang ditantang, terancam oleh batasan baru informasi sebagai sesuatu yang hanya tersedia melalui pasar. Ketika konsepsi ini meningkat pengaruhnya, akan terlihat kemunduran lebih jauh dari etos jasa publik beroperasi di perpustakaan dan dengan ini fungsi ruang publiknya dalam bentuk jangkauan penuh kebutuhan informasi tanpa biaya per satuan-nya.
3.3 Hubungan Antara Ruang Publik dan Perpustakaan Dari uraian di atas kiranya dapat dilihat hubungan konsep antara ruang publik
dan
perpustakaan
umum.
Hubungan
ini
sekaligus
juga
akan
memperlihatkan perbedaan maupun persamaannya. Ditinjau dari dasar pendirian, ruang publik borjuis bertujuan melakukan kritik tersendiri yang terpisah dari kekuasaan tradisional. Perpustakaan bertujuan mempermudah orang memperoleh informasi sehingga memungkinkan orang untuk belajar seumur hidup. Sebagai sarana pendukung untuk mencapai tujuan tersebut, para kapitalis baru memberikan dukungan lebih kepada dunia sastra; yang mencakup teater, kesenian, kedai-kedai kopi, novel dan kritik. Dengan dukungan tersebut kegiatankegiatan di bidang sastra tidak lagi bersifat eksklusif di lingkungan istana. Bentuk pendukung lainnya adalah kebebasan berbicara dan reformasi parlemen sebagai konsekuensi dari perkembangan pasar. Usaha-usaha lain dapat disebut memperluas perwakilan guna mendapatkan yang secara lebih efektif mendukung ekspansi ekonomi pasar. Di dunia perpustakaan umum, sarana pendukung untuk melayani pengguna secara maksimal adalah melalui jaringan perpustakaan, dan komitmen untuk melakukan layanan secara cuma-cuma kepada pengguna dengan menggantungkan dana dari APBN/APBD. Hubungan antara Ruang Publik dan Perpustakaan akan lebih jelas digambarkan sebagai berikut
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
40
Ruang Publik
Perpustakaan Umum
Dasar
Melakukan kritik tersendiri Mendukung, mempermudah orang
Pendirian
terpisah
dari
kekuasaan memperoleh informasi, memungkinkan
tradisional
orang untuk belajar seumur hidup
Sarana
Dukungan kepada dunia Jaringan perpustakaan; Komitmen untuk
Pendukung
sastra
melakukan layanan secara cuma-cuma
Kebebasan berbicara
kepada
Reformasi parlemen
menggantungkan dana dari APBN/APBD
Pengusaha kapitalis
Negara/pemerintah, masyarakat
Pemrakarsa
pengguna
dengan
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 4 PERPUSTAKAAN UMUM INDONESIA DARI PERSPEKTIF RUANG PUBLIK
4.1 Perpustakaan Umum Indonesia sebagai Wahana Belajar Ruang publik borjuis seperti digambarkan dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry into a Category of Bourgeois Society merupakan suatu arena yang independen dan otonom, yang mengangkat debat rasional sebagai prosedur untuk menghasilkan opini publik, suatu ruang yang terbuka yang dapat diakses dan diamati masyarakat luas. Ruang publik seperti itu dilatarbelakangi oleh perjuangan para pengusaha kapitalis guna melepaskan ketergantungannya dari gereja dan negara. Sejalan dengan perjuangan seperti yang tergambar di ruang publik tersebut, Perpustakaan Umum Indonesia didirikan sebagai wahana belajar seumur hidup bagi pengguna, suatu usaha membebaskan diri dari ketidaktahuan dan segala dampak yang muncul sebagai akibatnya. Pertanyaan yang muncul di benak penulis adalah apakah Perpustakaan Umum Indonesia telah siap menjadi wahana belajar tersebut? Dalam kegiatan belajar kita mengandaikan adanya orang yang belajar, bahan yang dipelajari dan tempat belajar. Kegiatan belajar di perpustakaan melibatkan
pengguna, bahan untuk dipelajari, termasuk di dalamnya koleksi
perpustakaan (yang memadai, yang mudah ditemukan kembali ketika dicari atau diperlukan), dan tempat yang memadai untuk membaca dan berdiskusi. Menurut hemat penulis, untuk dapat menjadi wahana belajar yang memadai, segala potensi perpustakaan harus diarahkan demi kemudahan pengguna untuk melaksanakan kegiatan belajar. Apa sajakah potensi-potensi tersebut? Dengan menggunakan perspektif ruang publik, potensi pertama yang harus dimiliki perpustakaan adalah sifatnya yang independen, baik terhadap pemerintah maupun kekuatan-kekuatan lainnya. Independensi memungkinkan perpustakaan menyusun program-programnya yang murni untuk kepentingan perpustakaan tanpa terlalu banyak mendapatkan campur tangan pihak lain termasuk pihak pemberi dana. Dalam kenyataannya Perpustakaan Umum Indonesia belum menunjukkan independensi yang seharusnya merupakan ciri suatu perpustakaan, misalnya kebebasan dalam melakukan rancangan dan pembangunan gedung 41 Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
42
perpustakaan, alokasi dana untuk pengembangan koleksi, mebeler, dan sumber daya manusia, tidak jarang perpustakaan terpaksa menerima saja apapun yang diberikan badan induknya tanpa ikut serta menentukan kebijakannya. Belum terlihat keberanian dari para pustakawan untuk menyatakan secara tegas dan lugas perlunya
independensi
perpustakaan
sejalan
dengan
prinsip-prinsip
kepustakawanan yang ada1. Potensi
kedua
adalah
menjadikan
perpustakaan
sebagai
wahana
pemublikkan pemikiran maupun pandangan yang sebelumnya masih bersifat subjektif yaitu melalui diskursus di perpustakaan. Perpustakaan menempatkan bahan perpustakaan di rak untuk dibaca, ditanggapi, dijadikan bahan diskusi dan sebagai pendorong kegiatan mengonstruksi pengetahuan baru. Di perpustakaan diskursus dapat terjadi dalam dua bentuk yakni diskursus langsung antar para pengguna perpustakaan misalnya dalam bentuk diskusi, acara bedah buku dan diskursus tidak langsung misalnya ketika pengguna membaca buku di perpustakaan dan kemudian menanggapinya dengan tulisan yang berkaitan dengan bahan yang dibacanya. Patut disayangkan bahwa Perpustakaan Umum Indonesia jarang sekali dijadikan tempat berdiskursus yang intens guna menyelesaikan permasalahan di masyarakat misalnya yang menyangkut rasa ketidakadilan. Sebagai contoh ketika sejumlah karya disensor, perpustakaan tidak melakukan
apapun
selain
mematuhinya,
tanpa
ada
usaha
mengkritisi,
mempermasalahkan antara lain dengan mengangkatnya di forum-forum diskusi yang diadakan di perpustakaan. Di ruang publik kebijakan pemerintah diubah menjadi ruang rasional dimana kepentingan publik diutamakan, selayaknya demikian juga keadaannya di perpustakaan. Potensi ketiga adalah kesiapan pengguna perpustakaan dan pustakawan untuk merasionalkan kebijakan-kebijakan, praktik-praktik layanan yang ada selama ini dan menjadikan kepentingan pengguna sebagai hal utama. Perpustakaan perlu menyerap, mempertimbangkan dan memenuhi masukan, kritikan dari masyarakat dan memenuhi tuntutan akuntabilitas publik. Menanggapi secara positif masukan dan kritikan dari pengguna merupakan salah satu cara Perpustakaan Umum Indonesia lebih mendekatkan dirinya dengan keinginan 1
Tentang prinsip-prinsip kepustakawanan ini, lihat Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
43
pengguna. Sebagai contoh usaha perpustakaan untuk melakukan pengadaan buku yang diusulkan pengguna atau menggalang pelibatan mereka dalam pemilihan buku, kegiatan yang merupakan salah satu item dari SOP (standard operation procedure) perpustakaan, khususnya Perpustakaan Perguruan Tinggi. Adalah ironis bahwa masyarakat menghadapi kenyataan yang berupa celah yang besar antara dana yang diperoleh dan koleksi ataupun layanan yang begitu memprihatinkan. Mengenai hal tersebut, pustakawan hendaknya melakukan introspeksi diri dan meningkatkan kinerjanya. Ditilik dari kenyataan belum dipenuhinya potensi-potensi perpustakaan sebagai ruang publik sebagaimana disebutkan di atas Perpustakaan Umum Indonesia rasanya belum benar-benar siap mengemban misinya sebagai wahana belajar seumur hidup yang menjadi dasar pemikiran didirikannya perpustakaan umum. Pada setiap perpustakaan terdapat sejumlah fungsi yang paling mendasar yakni pengadaan, pengolahan dan penyebarluasan informasi yang terkemas didalam berbagai format seperti buku, audio-visual, elektronik, mikro. Cara yang umum ditempuh dalam pengadaan yaitu melalui pembelian, hadiah atau bantuan dari instansi atau perorangan dan tukar menukar koleksi. Diantara ketiga cara tersebut yang paling dominan adalah pengadaan koleksi melalui jalur kormesial yakni pembelian. Pengolahan bahan perpustakaan merupakan langkah selanjutnya, yang bertujuan memudahkan menemukan kembali dan melestarikannya. Melestarikan bukan saja fisik melainkan juga keberadaannya. Pustakawan melakukan hal tersebut
dengan
cara
mencatatnya.
Item
yang
dicatat,
teridentifikasi
keberadaannya kendati wujudnya tidak sedang berada di hadapan kita. Ini lazim disebut pengawasan bibliografi (bibliograpy control). Temu kembali merupakan bidang yang paling sentral. Perpustakaan sejak jaman kuno menaruh perhatian besar pada temu kembali ini dan menciptakan suatu sarana untuk memudahkan menemukan kembali informasi yang dicari yang disebut katalog. Katalog mengalami perkembangan baik dari segi format maupun metoda. Kita mengenal katalog yang tertulis di tablet-tablet tanah liat, lontar dan bahan lainnya. Kita yang hidup di zaman ini tidak pelak lagi pernah mengenal salah satu dari format katalog Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
44
berikut yakni katalog buku, katalog kartu, COM (computer output on microforms) maupun katalog terpasang (OPAC = online public accsess catalog). Katalog tersebut memudahkan kita didalam menemukan kembali informasi, bukan saja karena katalog menawarkan berbagai titik akses yang membantu kita untuk menemukan bahan perpustakaan yang kita cari, dan menggambarkan keseluruhan koleksi yang ada di perpustakaan tersebut, tetapi juga memiliki ciri kolokasi yakni mengumpulkan bahan perpustakaan dalam subjek yang sama atau berdekatan, juga mengumpulkan karya yang ditulis oleh pengarang tertentu, yang diterbitkan penerbit tertentu dan sebagainya. Apabila penempatan bahan perpustakaan dilakukan secara benar, disertai dengan sarana temu kembali yang handal maka proses distribusi dan penyebaran informasi bisa berjalan dengan lancar. Perangkat yang membantu pengguna perpustakaan didalam menemukan kembali bahan perpustakaan disebut katalog. Hanya sekarang ini ada kecenderungan pustakawan memberikan perhatian yang terlalu tinggi pada presentasi, misalnya otomasi perpustakaan dan segala turunannya seperti peralihan ke e-book, e-journal, juga e-library nampaknya menjadi hal yang lebih penting dari koleksi perpustakaan, lebih jauh lagi menjadi hal yang lebih penting dari pengguna perpustakaan itu sendiri. Mengenai hal tersebut penulis masih condong melihat informasi sebagai suatu entitas yang terdiri atas isi (hakikat) dan kemasan (tampakan). Dari cara melihat seperti ini, penulis berpendapat bahwa koleksi elektronik ataupun konvensional perpustakaan, dan juga terotomasi ataupun manual layanan perpustakaan, keduanya tidak lain dari presentasi (penyajian) belaka. Tidak krusial mempersoalkan mana yang lebih baik namun ada manfaatnya menentukan mana yang lebih cocok untuk masyarakat yang dijadikan target layanan perpustakaan umum, yakni dengan mempertimbangkan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda dengan budayanya yang khas. Menggunakan pijakan berpikir ini, layanan perpustakaan umum tidak mudah tereduksi ke urusan teknis. Pustakawan dapat melakukan pilihan yang ada termasuk teknologi yang akan digunakan yang sesuai
dengan kebutuhan riil
pengguna. Pustakawan seharusnya tidak perlu merasa malu apabila sarana temu kembalinya masih menggunakan katalog kartu dan
disebut perpustakaan Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
45
konvensional karena hanya mengelola koleksi buku dan jurnal yang semuanya berupa terbitan cetak asalkan kemasan informasi tersebut adalah yang lebih cocok untuk masyarakat pengguna yang dilayaninya dan sarana temu kembalinya cukup efektif. Justru ada kalanya bentuk presentasi layanan tertentu dapat menghambat aksesibilitas, misalnya OPAC (online public access catalog) di daerah yang belum memiliki jaringan komputer, keadaan seperti ini membuat fungsi perpustakaan sebagai ruang publik menjadi berkurang karena terhambatnya aksesibilitas tersebut. Untuk lebih memperjelas yang dibahas di awal bab ini yaitu tentang fungsi perpustakaan umum sebagai wahana belajar, “UU RI No.43 Th. 2007 Tentang Perpustakaan” dapat kita jadikan acuan. Undang-undang tersebut menegaskan fungsi dan pengertian perpustakaan sebagai berikut. Perpustakaan adalah wahana belajar sepanjang hayat yang bertujuan mengembangkan potensi masyarakat. Perpustakaan merupakan suatu institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan,
penelitian,
pelestarian,
informasi
dan
rekreasi
para
pemustaka.2 Kalimat kedua dari batasan di atas menurut hemat penulis, lebih menekankan unsur teknis daripada kepentingan manusia yang dilayaninya. Perpustakaan nampak lebih berfungsi sebagai suatu entitas teknis bukan wahana pencerahan
manusia
keterbelakangan perpustakaan
di
pengetahuannya.
adalah
mengembangkan
Indonesia
wahana
potensi
dalam
Batasan
belajar
masyarakat.
membebaskan tersebut
sepanjang Perpustakaan
dirinya
seharusnya hayat
yang
bertujuan
dari
berbunyi, bertujuan memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi para pemustaka dan hal tersebut ditempuh dengan menjadikannya sebagai suatu institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku. British library memberikan batasan perpustakaan dengan menyertakan pertimbangan demokratisasi pengetahuan dan pertimbangan bagi kepentingan 2
Indonesia. 2007 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan. Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
46
generasi mendatang. Perpustakaan merupakan tempat mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi; tempat menciptakan akses agar pengetahuan jadi lebih demokratis; dan menyimpan ide-ide yang terekam untuk generasi mendatang. Batasan versi barunya berbunyi, perpustakaan berfungsi sebagai pemangku ingatan bangsa (national memory).3 Batasan di atas merupakan bentukbentuk yang diidealkan secara yuridis. Ketika kita membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan, kita menjadi paham betul bagaimana founding fathers kita tekun membaca, bahkan juga ketika mereka dalam masa pembuangan. Dari buku-buku yang mereka tekuni dan kumpulkan tentunya ada yang didapat melalui pembelian, hadiah, ada juga yang dipinjam dari perpustakaan. Ketekunan membaca menjadikan mereka matang khususnya di bidang politik, menumbuhkan kesadaran diri tentang keberadaannya sebagai orang yang terjajah dan mendorong kemampuan mengkonstruksi cita-cita kemerdekaan. Dalam konteks sekarang ini kita mendengar sendiri dari para cerdik pandai, pengalaman mereka belajar dan membaca berjam-jam di perpustakaan. Orang-orang yang berkualitas tersebut, mampu menghimpun pengetahuan yang ada, menginternalisasikan bahkan mengkonstruksi pengetahuan baru, dan menggunakannya untuk mencandrakan keruwetan atau permasalahan yang aktual dan mencoba menemukan solusinya. Tulisan mereka juga berkaitan dengan kemajuan teknologi maupun budaya. Mereka mengasah dan mematangkan kemampuan di perpustakaan. Perpustakaan lantas dipahami sebagai tempat pengembangan potensi masyarakat. Di lingkungan universitas, perpustakaan diharapkan4 [a] tidak hanya menjadi fasilitas pelengkap. … [b] menjadi pendorong bagi civitas akademika untuk melakukan penelitian
3
Disalin dari Hikmat Darmawan, “Perpustakaan sebagai ruang publik”, Ruang Baca Ed 54, Sept Okt 2008 4 Arief Muttaqien, “Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional” http://www.lib.ui.ac.id/files/Arip_Muttaqien.pdf 5 juli 2008 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
47
[c] adalah media untuk melakukan ‘transfer informasi’ kepada civitas akademika. Dengan demikian, civitas akademika makin terasah kemampuan dan pengetahuannya untuk melakukan penelitian. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa perpustakaan dapat dipandang sebagai wahana perjuangan, yaitu khususnya perjuangan melawan ketidaktahuan dan “penjajahan” dalam bentuknya yang khusus yang tidak khasat mata. Hal ini, menurut hemat penulis, dapat dijadikan dasar filosofis pendirian dan layanan perpustakaan umum. Untuk mencapai kinerja yang baik, unsur-unsur sistem perpustakaan umum harus diber-ada-kan, digerakkan dan berproses menggunakan dasar filosofis tersebut. Unsur yang dimaksud adalah pengguna perpustakaan, sumberdaya manusia perpustakawan dan koleksi perpustakaan,. Dengan mengadopsi bagan the information framework dari Doyle5, kita bisa menggambarkan kerangka kerja perpustakaan, yang meliputi bagaimana bahan perpustakaan diproses melalui tahap analisis sebelum dapat dikendalikan, yaitu bagaimana bahan perpustakaan dapat ditempatkan secara benar dan dilengkapi dengan sarana untuk menemukannya kembali ketika jumlah koleksi sudah cukup banyak; hal itu dilakukan agar bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh pengguna. Pengguna merupakan unsur yang paling utama dari sistem perpustakaan tersebut. Dengan mendasarkan pada dasar filosofis wahana belajar sepanjang hayat dan wahana perjuangan, pengguna perpustakaan jelas-jelas dijadikan aktor sentral. Mendasarkan pada tiga ciri ruang publik yang disebut Stephen Carr6 yaitu responsif, demokratis, dan bermakna, perpustakaan sebagai ruang publik sewajarnya juga responsif, demokratis dan bermakna. Salah satu sikap responsif yang seharusnya dimiliki perpustakaan adalah sikapnya terhadap sensor. Mengenai hal ini akan dibahas di sub bagian tersendiri. Cerminan sikap kurang responsif juga terlihat dari perilaku pustakawan yang membiarkan buku-buku baru menumpuk di suatu ruangan, tidak segera diolah karena menunggu dana proyek. Pengolahan buku
(yang sebenarnya masuk kategori kegiatan rutin) ditunda
dilakukan hanya karena mengharapkan remunerasi tambahan dari proyek, 5
Lihat Lauren B. Doyle, Information Retrieaval and Processing, 1975, Los Angeles: Melville Carr, Stephen. (1992) Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York …. Universitas Indonesia
6
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
48
meskipun pengguna sangat memerlukan dan telah beberapa kali menanyakan keberadaan buku yang dibutuhkannya. Ditolaknya orang yang bukan anggota masuk ke perpustakaan (ini sering terjadi
khususnya
pada
perpustakaan
perguran
tinggi),
yang
acapkali
menyebabkan terjadinya adu mulut antara pengguna dan pustakawan, dan juga perlakuan berbeda kepada mahasiswa strata 1 dan strata 0 mengenai jumlah buku yang boleh dipinjam (juga khas pada perpustakaan perguruan tinggi) menunjukkan perilaku tidak demokratisnya pustakawan didalam melayani anggotanya. Kurang bermaknanya perpustakaan juga menjadi salah satu alasan mengapa perpustakaan sebagai ruang publik tidak perlu dan tidak banyak dikunjungi publik. Sering kita dengar perguruan tinggi tertentu mencetak lulusannya baik pada strata S0 maupun S1 tanpa ketersediaan perpustakaan yang memadai.7 Ini berarti ada kemungkinan mahasiswa hanya mendasarkan pada catatan dari dosen atau mereka memanfaatkan jasa perpustakaan dari Perpustakaan Umum setempat atau perpustakaan universitas lainnya. Seandainya hal yang disebut ke dua ini yang terjadi tentu hanya kepada mahasiswa tertentu saja yakni mereka yang ingin mengejar prestasi akademis atau yang mencintai pengetahuan lebih daripada nilai akademis, jadi tentu tidak kepada semuanya. Kalau mereka bisa lulus tanpa perpustakaan maka perpustakaan menjadi tidak bermakna. Sistem pendidikan yang menjejali para mahasiswa dengan pengetahuan dan menuntut mahasiswa mereproduksi pengetahuan yang ditelannya tentunya kurang mengangkat peran perpustakaan dalam proses belajar di perguruan tinggi. Karena itu jelas, sistem pendidikan berperan besar dalam mengangkat menurunkan peran perpustakaan. Sistem pendidikan yang mengajak para mahasiswa melakukan riset, mengkritisi dan mengkonstruksi pengetahuan akan menempatkan perpustakaan dalam perannya yang sangat sentral. Bahkan dapat dikatakan bahwa perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi.
7
Koleksi untuk bidang filsafat baik di perpustakaan tingkat fakultas (FIB UI) maupun tingkat universitas (UI) sangat memprihatinkan dibandingkan dengan koleksi di STF Driyarkara. Keadaan ini diatasi dengan cara para dosen maupun mahasiswa mengumpulkan sendiri buku-buku yang diperlukan di perpustakaan pribadinya. Suatu cara yang boros dan tidak efektif untuk pendidikan filsafat di mana membaca buku merupakan kegiatan sentral. Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
49
Coba kita lihat perpustakaan DPR RI yang sepi pengunjung itu, ini menunjukkan kepada kita bahwa perdebatan-perdebatan yang ada di ruang parlemen termasuk yang dilakukan oleh pansus (panitia khusus), besar kemungkinan tidak didahului dengan studi di perpustakaan. Padahal perpustakaan diharapkan akan memasok informasi yang memadai yang membuat setiap peserta diskusi cerdas dan memahami permasalahan yang diperdebatkan dan memahami juga latar belakang yang menjadi argumen pihak lawan. Frank Webster menyatakan, “Information is at the core of this public sphere, the presumption being that within it actors make clear their positions in explisit argument and that their views are also made available to the wider public that it may have full access to the procedure.”8 Dalam hal ini perpustakaan DPR berfungsi sebagai tempat disimpannya dokumentasi hasil-hasil diskusi dan sekaligus bahan mentah diskusi yang seharusnya diakses oleh baik anggota DPR itu sendiri maupun masyarakat luas. Adanya sumber informasi lain seperti internet, media massa dan sebagainya mungkin menjadi andalan bagi mereka didalam memperoleh informasi yang diperlukan.
Maka sudah saatnya perpustakaan melakukan penyesuaian
layanan kepada siapa layanan tersebut ditujukan. Barangkali kepada anggota dewan diperlukan presentasi layanan yang cocok untuk mereka maka otomasi menjadi hal penting di sini tetapi tentu saja tidak untuk setiap perpustakaan. Sekarang ini di Indonesia sudah menggejala orang awam (bukan pustakawan profesional) membentuk perpustakaan (pribadi); tidak jarang orang tersebut menjajakan keliling serta meminjamkannya secara cuma-cuma karena didorong oleh keprihatinan melihat keadaan masyarakat di sekitarnya yang tidak mengenal buku. Orang tersebut hidup dan menghidupi “perpustakaannya” tidak secara langsung melalui jasa perpustakaan, tetapi dari kegiatan lain misalnya jasa sewa komputer atau dari donasi pihak yang bersimpati. Semangat mengangkat pengguna perpustakaan sebagai sesuatu yang sentral ini, yang ditunjukkan oleh orang-orang tersebut selayaknya dijadikan inspirasi bagi pustakawan (profesional) Indonesia dalam bekerja.
8
Frank Webster, 1995, Theories of the Information Society, London : Routledge, p 102 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
50
Keberadaan perpustakaan memang sangat diperlukan, namun muncul pertanyaan mengapa perpustakaan sepi pengunjung? Tentang hal tersebut tulisan berikut ini kami kutip9 [a] Secara internal, ... sebagian besar perpustakaan hanya berisi tumpukan buku-buku tua, lusuh dan berdebu. [b] pelayanan perpustakaan ... dianggap kurang cepat dan kooperatif. [c] Faktor eksternal, ...jika dulu orang harus berkutat di perpustakaan mencari buku, jurnal dan koran. Namun sekarang terjadi transformasi yang sangat signifikan, yaitu ... adanya internet. [d] Faktor tersebut harus disadari oleh pustakawan. Pustakawan dituntut untuk dapat menciptakan sistem perpustakaan yang memudahkan pengunjung. Bila dulu perpustakaan lebih berkonsentrasi pada penyediaan informasi secara fisik dalam bentuk dokumen cetak. Namun sekarang, fungsi tersebut berubah. Perpustakaan dituntut untuk dapat memberikan informasi dalam waktu singkat dan akurat. [e] Paradigma yang seharusnya dimiliki pustakawan sekarang adalah kepuasan terhadap konsumen. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa alasan tidak populernya perpustakaan adalah segi kelemahan dari perpustakaan itu sendiri seperti koleksi yang tidak memadai, lambatnya layanan dan sikap tidak kooperatif dari pustakawan atau dengan kata lain layanan yang tidak berorientasi kepada pengguna. Sekarang ini kerap ditemui kegiatan mempromosikan perpustakaan melalui kampanye peningkatan gemar membaca. Menurut hemat penulis, kampanye promosi perpustakaan untuk mengajak masyarakat gemar membaca umumnya hanya mengedepankan suatu bentuk retorika. Tentunya bentuk promosi akan lebih efektif kalau dananya digunakan untuk penambahan koleksi karena membaca merupakan kebutuhan dasar manusia dalam usaha membebaskan dirinya dari kungkungan ketidaktahuan, maka ketersediaan bahan bacaan yang lengkap sudah cukup menjadi salah satu bentuk pendorong kepada pengguna mengunjungi perpustakaan dan sebagai promosi layanan perpustakaan. Sebagai 9
Arief Muttaqien, “Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional” http://www.lib.ui.ac.id/files/Arip_Muttaqien.pdf 5 juli 2008 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
51
contoh perpustakaan Kolsani di Yogyakarta tidak pernah melakukan promosi secara khusus tetapi tidak pernah sepi pengunjung karena terkenal memiliki koleksi bidang filsafat yang cukup lengkap. Perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat artinya tidak mengenal batasan usia; tiadanya prasyarat untuk mengakses wahana tersebut. Untuk bisa berfungsi sebagai wahana belajar seperti itu, perpustakaan tidak boleh membatasi penggunanya dari segi usia. Kendala teknis pengelolaan perpustakaan umum Indonesia tidak begitu signifikan kecuali di daerah-daerah yang sangat terpencil di mana tidak terdapat tenaga pengelola yang mengenyam pendidikan perpustakaan. Kendala teknis baru dianggap signifikan apabila digunakan tolok ukur
sistem
kepustakawanan
negara
Barat;
kendala
diartikan
sebagai
ketidaktaatazasan terhadap konvensi-konvensi yang dibangun bertahun-tahun di negara Barat (misalnya kepiawaian menggunakan Dewey Decimal Classification; dan kepatuhan terhadap aturan standar Anglo American Cataloging Rules, aneka Lists of Subject Headings dan standar-standar lainnya). Kendala tersebut seharusnya tidak usah terjadi, namun hal tersebut muncul justru sebagai akibat model belajar di lingkungan pendidikan perpustakaan yang tidak mengembangkan peserta didik untuk berkembang mandiri, sehingga bisa mengkonstruksi pengetahuan baru termasuk sistem perpustakaan yang paling sesuai dengan budaya setempat. Menurut Vygotsky, “ontogeny does not recapitulate phylogeny,” perkembangan individu tidak sekedar menjiplak atau mengikuti jejak perkembangan
kebudayaan.
Pembelajar
dengan
seluruh
kekayaan
intramental (dan intermental) yang dimilikinya mampu secara kreatif mengonstruksi pengetahuan baru, menciptakan budaya-budaya baru, termasuk metode-metode baru dalam mengonstruksi pengetahuan.10 Dampak dari model belajar yang tidak mengarah ke ko-konstruksi alias menjiplak ini menampak pada fenomena penerjemahan mentah-mentah pedomanpedoman hasil konvensi pustakawan-pustakawan negara Barat yang kemudian
10
Dikutip dari : A. Supratiknya, Tantangan psikologi (di Indonesia): bukan unifikasi, melainkan kontekstualisasi. Pidato pengukuhan Jabatan Guru besar pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Hal 32 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
52
dipaksakan digunakan oleh masyarakat Indonesia. Termasuk di dalamnya kode etik pustakawan Indonesia yang isi dan semangatnya seakan hasil copy paste dari code of ethics of American Library Association. Padahal kode etik mestinya cerminan dari budaya setempat. Tidak mengherankan bahwa layanan perpustakan menjadi tidak menyentuh dan asing bagi penggunanya (masyarakat Indonesia). Putu11 dalam tulisannya mempertanyakan kenapa Perpustakaan Umum Indonesia yang memiliki ciri-ciri ruang publik tidak populer bagi publik bahkan menjadi institusi elit. Dia mencari jawabnya dengan melihat bagaimana kebudayaan melihat pengetahuan; ternyata ada dualisme dalam sistem pengetahuan masyarakat Indonesia. Menurut Putu, walau bagaimana pun selalu ada pola yang sama, yaitu: kaum elit berupaya memompakan pengetahuan ke desa-desa. Di jaman kolonial, pola ini sangat sistematis dijalankan oleh penguasa Belanda. Penyebaran pengetahuan ala kolonial ini tidaklah merata, dan justru menimbulkan kesenjangan, sehingga muncullah fenomena cendekiawan kota, cendekiawan daerah dan cendekiawan pedesaan. Dalam kondisi budaya seperti di atas-lah perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia ditumbuh-kembangkan. Putu menambahkan, intervensi pemerintah pada perpustakaan umum tidak hanya dalam pembangunan fisik gedung perpustakaan (yang memang tidak bisa dilakukan pihak lain), tetapi juga berkembang menjadi intervensi dalam segala pola pengembangan perpustakaan. Tidak ada bukti bahwa perpustakaan umum merupakan "ruang publik" yang dapat mencermati dan mengritik kerja pemerintah. Sebaliknya, terdapat banyak bukti bahwa rekayasa sosial untuk memperkenalkan perpustakaan di Indonesia memakai model rekayasa modernisasi model kolonial. Uraian di atas menggambarkan kepada kita betapa besar celah antara citacita perpustakaan umum dan kenyataan yang ada; perpustakaan umum sebagai wahana belajar sepanjang hayat dan wahana perjuangan melawan kebodohan belum terwujud dan dimanfaatkan maksimal karena kekurangan dari pihak perpustakaan itu sendiri.
11
Pendit, Putu Laxman. “Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
53
4.2 Diskursus Dalam Perpustakaan Kesadaran saja tidak dapat menjadi kriteria keberlakuan universal sebuah norma moral. Menurut Habermas, apakah sebuah norma dapat diperlakukan secara universal hanya dapat dipastikan melalui diskursus di mana semua yang bersangkutan terlibat. Itulah inti diskursus. Diskursus adalah, perbincangan bersama di mana semua yang bersangkutan boleh ikut, tanpa ada tekanan apapun. Etika diskursus adalah metode untuk memastikan kembali arti norma-norma moral yang dipertanyakan. Etika diskursus mau menjawab pertanyaan “apa yang adil?” Habermas juga memperlihatkan bahwa orang yang betul-betul mau menemukan apa yang adil dan bersikap terbuka, artinya yang masih bersedia belajar, dan bukannya datang dengan pandangan yang sudah harga mati, dengan sendirinya akan menyetujui aturan diskursus12 Etika diskursus perlu diangkat di ranah perpustakaan dalam mencapai kesepakatan di lingkungan perpustakaan. Pustakawan tidak selayaknya menjadi anak manis yang patuh begitu saja kepada kemauan pihak penguasa/pemberi dana tanpa menggunakan dasar rasionalitas. Mestinya pustakawan mengedepankan kepentingan pengguna. Pustakawan akan mempersoalkan tindakan penyensoran di lingkungannya dengan mendasarkan pada kebebasan intelektual atau dengan mengedepankan rasa keadilan; tidak begitu saja menyerahkan bahan perpustakaan yang disensor ke pada pihak penyensor. Diskursus antara pustakawan dan pengguna perpustakaan maupun masyarakat luas harus tercermin dalam antara lain pedoman-pedoman yang dihasilkan oleh pustakawan dipublikasikan secara luas. Misalnya pengelompokan bidang-bidang ilmu di dalam Dewey Decimal Classification, penggunaan DaftarDaftar Tajuk Subjek, Anglo American Cataloguing Rules dan pedoman-pedoman lain hendaknya tidak hanya terbatas pada pustakawan tetapi juga dibuka kepada masyarakat untuk memberikan komentar sehingga penggunaan dari pedomanpedoman tersebut dapat dilakukan semaksimal mungkin. Perpustakaan umum mengedepankan diskursus sebagai sarana mencari apa yang adil; perpustakaan umum juga berfungsi sebagai tempat diskursus bukan hanya antar pengguna tetapi juga antara pengguna dengan opini / informasi yang 12
Frans Magnis-Suseno, “75 Tahun Jürgen Habermas” dalam Basis no 11-12, tahun ke 53, NovDes 2004 hal 10, 11 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
54
terkemas di dalam buku atau media lainnya. Kesadaran akan fungsinya sebagai tempat yang dapat memfasilitasi terjadinya diskursus antar berbagai pihak, perpustakaan bisa membantu memecahkan masalah-masalah publik, misalnya dengan menyediakan ruang diskusi, menyelenggarakan kegiatan diskusi, menyediakan sarana untuk mengakses informasi misalnya katalog & bibliografi. Dalam katalog dan bibliografi ada fungsi kolokasi artinya fungsi mengumpulkan karya dalam subjek sejenis, mengumpulkan karya-karya oleh pengarang tertentu, atau yang diterbitkan oleh suatu penerbit atau yang diterbitkan dalam tahun tertentu. Ini membantu pengguna didalam mengakses informasi secara komprehensif. Diskursus tidak langsung dapat dilakukan antara pengguna dengan buku yang nantinya akan menghasilkan tulisan baru yang kemungkinan akan ditanggapi lagi oleh si penulis buku pertama atau oleh orang lain. Para pustakawan perpustakaan umum tidak jarang karena menginginkan ketenangan di ruang perpustakaan melarang pengguna berisik di ruang perpustakaan tanpa menyadari adanya kebutuhan bagi pengguna untuk melakukan diskusi di ruang tersebut. Pustakawan seharusnya memikirkan perlunya suatu ruang diskusi yang tidak menggangu pengguna lainnya. Perpustakaan
menyediakan
dan
menyebarluaskan
informasi
yang
diperlukan untuk dialog publik, menyediakan akses pada informasi ke pemerintahan dan menjadi tempat berkumpulnya komunitas untuk berbagi kepentingan dan perhatian. Dalam buku Libraries & Democracy: The Cornerstones of Liberty ditegaskan pentingnya perpustakaan di dalam mendukung demokrasi sebagai berikut Democracies need libraries. An informed public constitutes the very foundation of a democracy; after all, democracies are about discourse— discourse among the people. If a free society is to survive, it must ensure the preservation of its records and provide free and open access to this information to all its citizens. It must ensure that citizens have the resources to develop the information literacy skills necessary to participate in the democratic process. It must allow unfettered dialogue and guarantee freedom of expression. Libraries deepen the foundation of democracy in our communities. Libraries are for everyone, everywhere. They provide Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
55
safe spaces for public dialogue. They disseminate information so the public can participate in the processes of governance. They provide access to government information so that the public can monitor the work of its elected officials and benefit from the data collected and distributed by public policy makers. They serve as gathering places for the community to share interests and concerns. They provide opportunities for citizens to develop the skills needed to gain access to information of all kinds and to put information to effective use. Ultimately, discourse among informed citizens assures civil society…13 Sebagai pendukung dialog publik yakni lembaga penyedia dan penyebarluasan informasi, perpustakaan melakukannya melalui 4 proses [a] Sosialisasi yakni proses transfer informasi di antara pengguna perpustakaan melalui percakapan, diskusi; transfer dari tacit knowledge ke tacit knowledge14. [b] Eksternalisasi, yaitu transfer dari tacit ke explicit knowledge15. Ini terjadi ketika pengguna perpustakaan datang ke sana untuk menulis artikel, skripsi atau buku. [c] Kombinasi merupakan transfer dari explicit knowledge ke explicit knowledge misalnya ketika pustakawan menyusun bibliografi atau ketika pengguna menyiapkan diri membuat tinjauan buku. [d] Internalisasi adalah transfer dari explicit ke tacit knowledge. Misalnya, ketika pengguna perpustakaan membaca buku, jurnal atau bahan perpustakaan lainnya. Kegiatan transfer pengetahuan tersebut difasilitasi perpustakaan dengan adanya kegiatan penyusunan katalog, bibliografi dan indeks. Kegiatan tersebut masuk di dalam kategori bibliographic control yakni kegiatan mengendalikan terbitan atau bahan terekam agar bisa diketahui keberadaannya baik entitasnya maupun lokasinya. Di tingkat nasional, kegiatan bibliographic control sebenarnya 13
Libraries & Democracy: The Cornerstones of Liberty, hal v Tacit knowledge adalah pengetahuan yang ada dalam kepala manusia. Ia bersifat personal, prosedural, kacau, soft (lunak), tersimpan di otak, informal dan biasanya tentang kecakapan atau ketrampilan 15 Explicit knowledge adalah pengetahuan manusia yang berada di luar kepalanya. Bentuknya bisa berupa dokumen, buku, jurnal dan lain-lain. Sifat dari explicit knowledge adalah tercetak dalam kode-kode, deklaratif, formal dan hard Universitas Indonesia 14
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
56
merupakan salah satu fungsi utama bagi Perpustakaan Nasional RI namun sayangnya justru fungsi yang penting ini tidak populer atau tidak dijadikan prioritas utama oleh institusi tersebut.
4.3 Transformasi Dalam Pendanaan di Perpustakaan Layanan berbasis biaya merupakan gejala yang signifikan pada perpustakaan umum yang dideskripsikan oleh Frank Webster dengan mengambil kasus di Inggris;16 ada dua kubu yang bertentangan, kelompok anti komersialisasi dengan argumennya komersialisasi merintangi kelompok miskin di masyarakat untuk memperoleh akses dan dengan demikian mengurangi ciri kepublikan layanan perpustakaan umum, sedang kelompok pendukung komersialisasi mempertanyakan pengguna-organisasi yang memperoleh layanan secara cumacuma; sepantasnya organisasi tersebut membayar karena informasi yang diperoleh secara gratis di perpustakaan umum bisa memiliki nilai ekonomi tinggi. Kelompok yang disebut kemudian juga menganggap perpustakaan umum sebagai institusi yang bertindak berlebihan ketika menyediakan bahan perpustakaan yang sebenarnya penggunanya dapat memperolehnya secara murah di toko-toko buku yang tersedia di mana-mana; terbitan paperback yang murah harganya tersedia juga di toko buku. Keadaan seperti digambarkan di atas kurang relevan dengan keadaan di Indonesia, di mana sebagian besar masyarakat masih harus bergulat dengan kebutuhan primer (sandang pangan) dan belum memiliki dana cukup untuk pembelian buku. Meskipun demikian ada kecenderungan perpustakaan di Indonesia bertindak ke arah komersialisasi layanan; menghimpun dana dari masyarakat penggunanya tanpa dasar hukum yang kuat (mis. menarik dari pengguna biaya foto copy yang sering kali lebih mahal dari biaya foto copy di luar perpustakaan; menarik biaya penelusuran informasi, dsb.). Di sinilah diperlukan perhatian pemerintah untuk tetap berpihak kepada pengguna perpustakaan dengan tetap mengusahakan dana bagi berlangsungnya kegiatan perpustakaan.
16
Lihat Frank Webster, 1995, Theories of the Information Society, London : Routledge, p 111 116 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
57
Di Indonesia sangat jarang terjadi komunikasi antara pengguna dan pihak pengelola perpustakaan (pustakawan ; pejabat dari badan induk yang berhubungan dengan keberadaan perpustakaan). Pengguna sepantasnya dikondisikan sebagai pihak yang ikut serta menentukan koleksi apa saja yang harus diadakan di perpustakaan; besarnya dana yang harus dikucurkan ke perpustakaan dan mengaudit penggunaannya. Yang terjadi adalah pengguna dianggap sebagai pihak yang harus menerima keadaan apapun bahkan tidak jarang dijadikan objek, alat untuk mencapai tujuan tertentu; dan umumnya bukan tujuan yang mengarah ke kepentingan pengguna.17 Suatu yang mirip pada proses refeodalisasi pada ruang publik.
4.4 Pendanaan dan Layanan Perpustakaan Umum Indonesia Perpustakaan Umum Indonesia memang didanai oleh pemerintah namun tidak berarti bahwa pemerintah mesti harus melakukan kontrol ketat kepada perpustakaan. Di Indonesia dana perpustakaan umum diperoleh dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) maupun APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) tetapi di dalam kegiatannya perpustakaan idealnya tetap independen terhadap pemerintah maupun kekuatan-kekuatan lainnya. Cerminan dari sikap ini bisa kita lihat dari tidak adanya perlakuan deskriminatif terhadap pengguna perpustakaan. Siapa saja bisa menggunakan perpustakaan umum. Selain dari hal tersebut, di perpustakaan terdapat kebebasan di dalam kegiatan pengadaan bahan perpustakaan dan kepada siapa bahan perpustakaan dapat dipinjamkan. Perpustakaan idealnya menjadi tempat yang memadai untuk semua pihak setiap orang bebas menyampaikan pendapatnya dalam suatu diskusi atau diskursus, tempat untuk mencapai konsensus untuk sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang melampaui kebaikan dari persepsi masing-masing peserta diskursus. Seperti diskusi yang terjadi di kedai-kedai minum yang dijelaskan Habermas, di perpustakaan hendaknya diusahakan agar kebebasan bicara, berkumpul dan
17
Ada yang menggunakan dana perpustakaan untuk keperluan di luar kegiatan perpustakaan misalnya perjalanan dinas; ada yang memanfaatkan diskon pembelian buku; menekankan pencitraan secara berlebihan dan melupakan pembelian buku; mengalihkan ke e-book dengan biaya yang sangat tinggi yang sebenarnya hanya dimanfaatkan oleh segelintir pengguna. Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
58
berpartisipasi dalam debat politik atau debat lainnya dijunjung tinggi. Perpustakaan juga berfungsi menyediakan bahan informasi sehingga masingmasing peserta diskusi benar-benar paham mengenai permasalahan yang sedang menjadi perhatian mereka. Dalam pengertian ini perpustakaan berfungsi meningkatkan kualitas pemahaman peserta diskursus dan sekaligus memperjelas bahan yang didiskursuskan. Hikmat Darmawan18, dalam tulisannya tentang perpustakaan sebagai ruang publik menyatakan,
“…
perpustakaan
menjadi
sebuah
wahana
membangun kesadaran publik- sesuatu yang secara gawat sedang hilang di kehidupan bermasyarakat kita… Berpikir dalam sudut pandang publik berarti berpikir melampaui batas-batas kepentingan individu- (sebisa mungkin) tanpa mengorbankan individualitas. Pendapat Hikmat Darmawan ini perlu diberikan catatan. Dari perspektif Habermas, RUU yang adalah produk kebijakan untuk publik tidak serta merta bersifat publik sejauh itu bukan hasil suatu diskursus yang melampaui kepentingan dari masing-masing pihak. Jaringan perpustakaan dapat dianggap mencerminkan suatu ruang publik karena cirinya yang mirip dengan unsur-unsur ruang publik. Informasi disediakan bagi siapa saja, akses dijamin tanpa adanya biaya yang dibebankan kepada pengguna dan dilakukan kapan saja. Jaringan perpustakaan ditangani oleh pustakawan profesional yang menyediakan jasa pakar kepada pengguna sebagai jasa publik, tanpa prasangka terhadap orang-orang dan tanpa motif tersembunyi. Masyarakat yang dilayani perpustakaan umum mempunyai hak yang sama untuk [a]memperoleh layanan serta memanfaatkan dan mendayagunakan fasilitas perpustakaan [b]mengusulkan keanggotaan Dewan Perpustakaan [c]mendirikan dan/atau menyelenggarakan perpustakaan [d]berperan serta dalam pengawasan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perpustakaan. Masyarakat di daerah terpencil, terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan perpustakaan yang disesuaikan dengan kemampuan dan keterbatasan masing-masing
18
Hikmat Darmawan, “Perpustakaan sebagai Ruang Publik”, Ruang Baca Ed 54, Sept Okt 2008 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
59
Koleksi perpustakaan diseleksi, diolah, disimpan, dilayankan, dan dikembangkan sesuai dengan kepentingan pengguna. Pengembangan koleksi perpustakaan dilakukan sesuai dengan standar nasional perpustakaan. Koleksi nasional diinventarisasi, diterbitkan dalam bentuk katalog induk nasional dan didistribusikan oleh Perpustakaan nasional. Koleksi nasional yang berada di daerah diinventarisasikan, diterbitkan dalam bentuk katalog induk daerah (KID) dan didistribusikan oleh perpustakaan umum provinsi dengan memperhatikan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi Ciri di atas paling tidak merupakan sebagian dari ciri ruang publik sebagaimana telah diungkapkan oleh Fank Webster, “The upshot of such developments was the formation of the bourgeois public sphere by the mid nineteenth century with its characteristic features of open debate, critical scrutiny, full reportage, increased accessibility, and independence of actors from crude economic interest as well as from state control. “19 Ciri kepublikan dari ruang publik seperti dijelaskan di atas pantas untuk dijadikan sebagai dasar filosofis bagi kegiatan suatu perpustakaan umum. Ruang publik terdiri atas organ-organ penyedia informasi dan perdebatan politis seperti surat kabar dan jurnal; lembaga-lembaga diskusi politis seperti parlemen, klub-klub politik, klub-klub sastra, perkumpulan-perkumpulan publik, rumah minum dan warung kopi, balaikota, dan tempat-tempat publik lainnya yang menjadi ruang terjadinya diskusi sosial politik. Perpustakaan umum seyogyanya menyediakan satu ruang khusus yang digunakan untuk berdiskusi. Fenomena yang sering terjadi di ruang baca adalah adanya meja baca dalam bentuk study carrell yang dimaksudkan untuk kebutuhan baca individual dan meja panjang yang disediakan agar para pengguna perpustakaan dapat berdiskusi. Meskipun begitu pustakawan seringkali tidak menyadari ini seperti halnya kasus di perpustakaan Perpumda DKI (Perpustakaan Umum Daerah DKI) yang selalu mengingatkan agar pengunjung tidak berisik. Tindakan yang kontradiktif dengan fungsi dari penyediaan mebeler perpustakaan tersebut.
19
Webster, Frank. Theories of The Information Society. London : Routledge, 1995 hal 103 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
60
Perpustakaan umum sebagai ruang publik dapat dipahami sebagai tempat di mana informasi dapat digali termasuk didalamnya informasi hasil perdebatan publik di DPR dan forum lainnya yang tersimpan sebagai prosiding, laporan diskusi maupun buku. Jadi di perpustakaan informasi disediakan atau disebarluaskan kepada publik pengguna perpustakaan. Atau dengan kata lain di perpustakaanlah Publik memperoleh akses terhadap informasi …Habermas points to paradoxical features of the bourgois public sphere which led ultimately to what he calls its refeudalisation in some areas. The first centres around the continuing aggrandisement of capitalism… A second, related, expression of refeudalisation comes from changes within the system of mass communications. …The media’s function changes as they increasingly become arms of capitalist interest, shifting towards a role of public opinion former and away from that of information provider.20 Refeudalisation yang menampak pada sejarah ruang publik gejalanya dapat dirasakan juga di dunia perpustakaan. Contoh yang paling mudah dilihat adalah eksistensi dari perpustakaan British Council, American Cultural Center yang pernah beroperasi di Indonesia yang menyediakan koleksi karya-karya hasil budaya negara masing-masing (termasuk didalamnya politik dan kebijakan negaranya), dan tidak menyajikan informasi yang berimbang bagi masyarakat pemakainya. Keadaan di atas membuat sifat kepublikan menjadi hilang karena membatasi akses pengguna dari informasi dengan cara membatasi koleksi perpustakaan hanya pada publikasi mengenai negaranya dan publikasi dari negaranya. Perpustakaan umum yang mengedepankan kepentingan pemerintah dan instansi perpustakaan sendiri melebihi kepentingan kliennya juga dapat kita kategorikan sebagai ruang iklan. Perpustakaan umum memiliki ruang fisik yang berupa gedung perpustakaan yang kadang kala cukup megah. Di tempat tersebut segenap lapisan masyarakat baik dewasa maupun anak-anak dengan tanpa membeda-bedakan tingkat pendidikan, gender, ras bisa memanfaatkannya. Mereka bisa mengakses informasi, mendiskusikan dan berdebat tentang hal-hal yang penting dalam hidup
20
Frank Webster, 1995, Theories of the Information Society, London : Routledge, p 103 Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
61
mereka. Mereka selain dapat memperoleh informasi, dapat mengembangkan pendidikannya dalam konsep pendidikan seumur hidup. Namun dalam kenyataannya Perpustakaan umum Indonesia bukanlah gambaran ideal seperti di atas. Menurut Putu Laksman Pendit Perpustakaan Umum Indonesia adalah "lembaga pemerintah", dan sama sekali bukan tempat populer bagi anggota masyarakat untuk mendiskusikan hal-hal penting dalam hidup mereka. Selain itu, Perpustakaan Umum Indonesia sama sekali tidak berkaitan dengan "opini non-pemerintah". Sulit membayangkan pegawai-pegawai negeri yang mengelola perpustakaan umum itu memiliki visi dan misi nonpemerintah. Apalagi kemudian mereka juga tidak sepenuhnya melaksanakan fungsi-fungsi pustakawan, melainkan lebih sebagai administrator atau birokrat. Selanjutnya oleh Putu dipertanyakan kalau memang Perpustakaan Umum Indonesia bukan ruang publik, ruang apakah sebenarnya ia? Mengapa kata "umum" yang melekat di nama institusi ini tidak sertamerta dapat diartikan sebagai "publik" dalam pemikiran Habermas?21 Perpustakaan umum menyediakan pengetahuan-pengetahuan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa pun juga yang hendak berkunjung, namun dalam kenyatannya kebanyakan perpustakaan umum Indonesia tidak populer untuk semua lapisan, lebih mirip institusi elit atau institusi untuk anggota kelas tertentu di masyarakat.22
4.5 Penyensoran di Perpustakaan Umum Indonesia Dengan mendasarkan pada intellectual freedom, sikap pustakawan Amerika terhadap penyensoran tercermin dalam salah satu pernyataannya dalam American Library Association’s code of ethics : “We uphold the principles of intellectual freedom and resist all efforts to censor library resources.” Dalam sejumlah tulisan pernah didiskripsikan bagaimana pustakawan berjuang melawan
Putu Laksman Pendit, “Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadi-ruang.html 21
22
Tentang hal tersebut lihat Putu Laksman Pendit, “Bisakah Perpustakaan Umum Menjadi Ruang Publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaan-umum-menjadiruang.html Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
62
dan berargumentasi dengan pihak penyensor. Hal seperti ini belum pernah terdengar di Perpustakaan Umum Indonesia, meskipun pernyataan sikap yang sama ada juga di kode etik pustakawan Indonesia.23 Habermas melihat bahwa ruang publik ialah wilayah sosial yang bebas dari adanya sensor dan dominasi. Di Indonesia khususnya di era pemerintahan Soeharto praktik pelarangan buku sangat marak. Yang dimaksud dengan pelarangan buku
adalah pelarangan untuk tidak beredarnya sesuatu buku di
seluruh wilayah hukum negara Republik Indonesia. Konsekuensi dari pelarangan ini adalah bahwa buku tertentu yang dilarang beredar tidak boleh disimpan, dimiliki, diperedarkan, maupun diperdagangkan oleh siapapun dan oleh lembaga apapun di Indonesia, terkecuali pihak-pihak yang diberi wewenang oleh pemerintah. Keadaan di atas menyebabkan potensi bagi perpustakaan untuk melakukan pengawasan bibliografi dan melengkapi koleksinya menjadi tidak maksimal sedangkan bagi perpustakaan yang sudah mengoleksi bahan perpustakaan terlarang menjadi berkurang koleksinya karena perpustakaan dilarang menyimpan bahan-bahan tersebut. Hal ini terjadi karena bahan-bahan tersebut harus dikumpulkan sesuai surat pelarangan untuk kemudian dimusnahkan. Pihak-pihak yang pernah melakukan pelarangan di Indonesia adalah Raja, Militer, Kejaksaan Agung, Depertemen Agama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pengadilan Agama, Departemen Dalam Negeri dan Kelompok Pendesak. 24 Pustakawan tidak berdaya menghadapi fenomena penyensoran tersebut sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak pustakawan tidak memahami dasar filosofis yang memadai untuk menentang hal tersebut. Pengetahuan handal yang mereka miliki pada umumnya adalah pengetahuan teknis pengelolaan perpustakaan. Pengetahuan teknis pengelolan perpustakaan yang dimaksudkan di sini antara lain kemampuan pengadaan bahan perpustakaan misalnya pemilihan 23
Dalam kuliah profesi informasi, penulis pernah mencoba menjajarkan kedua kode etik yakni American Library Association’s code of ethics dan kode etik pustakawan Indonesia dengan temuan bahwa kode etik pustakawan sepertinya hanya alih bahasa dari ALA’s code of ethics tidak ada sesuatu yang lain yang seharusnya muncul seiring dengan perbedaan kedua lingkungan budaya. 24 Lihat Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991 hal. 118 Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
63
dan pemesanan bahan perpustakaan, kemampuan pengolahan yang meliputi pengaturan bahan perpustakaan di rak dan penyusunan sarana temu kembali serta administrasi peminjaman. Sebenarnya kalau kita menengok kode etik pustakawan ada satu pernyataan yang dapat dijadikan dasar bagi pustakawan untuk bertindak yakni “Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi”. Agaknya kode etik pustakawan tidak dihayati secara mendalam bahkan menurut hemat penulis penyusunan kode etik tersebut tidak didasarkan pada pengalaman hidup pustakawan Indonesia melainkan mengadopsi kode etik dari American Library Association. Seorang pengurus Ikatan pustakawan Indonesia bahkan mengatakan bahwa kegiatan pembahasan mengenai kode etik menjadi agenda yang dianggap kurang penting dan kurang dilakukan secara serius. Pertanyaannya adalah apakah memang pokok-pokok yang dimunculkan di dalam kode etik tersebut sifatnya universal ataukah ketiadaan usaha dari pustakawan Indonesia untuk menggali pengalaman hidup manusia Indonesia dan memilih menyusun kode etik dengan cara mudah yakni melakukan adopsi dari kode etik pustakawan negara lain. Dakwaan di atas bukan hanya diarahkan kepada kode etik pustakawan Indonesia melainkan juga kepada hampir seluruh praktik kepustakawanan di Indonesia. Apakah pustakawan Indonesia melakukan praktik kepustakawanan atas dasar pengalaman hidup manusia Indonesia ataukah hanya adopsi praktik kepustakawanan negara maju. Menurut hemat penulis permasalahan mendasar seperti ini tidak pernah diteliti dan digali. Fenomena maraknya penyensoran menyebabkan perpustakaan umum Indonesia didalam memberikan informasi kepada pengguna atau masyarakat tidak bisa maksimal. Dampaknya adalah bahwa masyarakat menjadi sulit mencapai tingkatan masyarakat yang ideal, paham, dan cerdas. Sikap perpustakaan umum Indonesia terhadap penyensoran tentunya sejalan dengan sikap Ikatan Pustakawan Indonesia. Istilah Ikatan Pustakawan Indonesia inipun tidak lazim; di negara lain digunakan Library Association (Inggris), American Library Association (Amerika Serikat), Nihon Toshokan Kyokai (Asosiasi Perpustakaan) (Jepang). Mengapa ikatan pustakawan dan bukan Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
64
ikatan perpustakaan kiranya menarik untuk dikaji. Sikap IPI terhadap sensor dapat tercermin dari pernyataannya di dalam kode etik pustakawan Indonesia sebagaimana telah disinggung di atas. Di Indonesia bahan-bahan perpustakaan yang masuk kategori dilarang tidak boleh dikoleksi atau disimpan di perpustakaan. Salah satu pengecualian adalah Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.
Dengan dasar sebagai
perpustakaan deposit, Perpustakaan Nasional RI memiliki dasar hukum untuk tetap bisa menyimpan bahan perpustakaan sekalipun tergolong kategori bahan perpustakaan terlarang. Di dalam konsideran pada Undang-undang No4 Tahun 1990 Tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan karya Rekam dinyatakan sebagai berikut a. bahwa Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan
nasional b. bahwa
karya cetak dan karya rekam merupakan salah satu hasil
budaya bangsa yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional pada umumnya, khususnya pembangunan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, penelitian dan penyebaran informasi serta pelestarian kekayaan budaya bangsa yang berdasarkan Pancasila c. bahwa dalam rangka pemanfaatan hasil budaya bangsa tersebut, karya cetak dan karya rekam perlu dihimpun, disimpan, dipelihara, dan dilestarikan di suatu tempat tertentu sebagai koleksi nasional d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Undang-undang tentang Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Jadi tugas penyimpanan dan pelestarian bagi Perpustakaan Nasional RI dapat membebaskan Perpustakaan Nasional dari aturan sensor. Tugas dan fungsi perpustakaan nasional antara lain mengendalikan segala terbitan yang diterbitkan di Indonesia dan mengenai Indonesia. Karena tugas dan fungsi ini Perpustakaan Nasional RI terbebaskan dari praktik penyensoran. Badan tersebut tetap bisa
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
65
menyimpan atau mengoleksi bahan-bahan perpustakaan yang dilarang atau disensor karena tugas dan fungsinya.
4.6 Pembusukan di Lingkungan Perpustakaan Umum Indonesia Usaha-usaha mulia yang diperjuangkan pustakawan Indonesia seperti misalnya menempatkan posisi perpustakaan ke eselon yang lebih tinggi telah membuahkan hasil. Hasil dari peningkatan eselon tersebut adalah pengucuran dana ke perpustakaan yang semakin besar seiring dengan program-program yang diusulkan. Hasil lainnya adalah peningkatan kesejahteraan pustakawan melalui tunjangan jabatan fungsional pustakawan. Sangat
disayangkan
peningkatan
eselonisasi
yang
antara
lain
membuahkan tambahan dana untuk kegiatan perpustakaan dan fungsional pustakawan tidak serta merta mengangkat kualitas layanan perpustakaan sebagai ruang publik. Perpustakaan belum merupakan tempat favorit bagi publik untuk berkumpul, berdiskusi dan menambah pengetahuannya. Dari informasi yang berhasil penulis kumpulkan masih ada distorsi terhadap pengelolaan perpustakaan yang barangkali merupakan penyebab dari ketidakpopuleran perpustakaan, yakni a.
Pungutan liar yakni tanpa memiliki dasar hukum, mis. menarik biaya penelusuran padahal perpustakaan telah memberikan dana untuk hal tersebut dari badan induknya, biaya foto copy jauh melebihi biaya foto copy yang umum misalnya untuk koleksi disertasi dan tesis dengan alasan mengurangi tingkat penjiplakan, biaya keanggotaan.
b. Penempatan prioritas yang tidak berpihak ke pada pengguna, mis. menggunakan
dana
yang
sangat
besar
untuk
mempercantik
perpustakaan, untuk otomasi sementara menunda/ melupakan sama sekali
penambahan
koleksi,
mengalihkan
ke
e-book
tanpa
memperhatikan kondisi pengguna sehingga berakibat pada sangat rendahnya penggunaannya c.
Menggunakan dana perpustakaan untuk keperluan di luar kegiatan perpustakaan, misalnya untuk perjalanan dinas; menyelenggarakan program pelatihan-pelatihan tanpa menyesuaikan dengan perencanaan sumber daya manusia sehingga pada akhirnya orang yang sudah Universitas Indonesia
Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
66
dilatih pengelolaan perpustakaan ditempatkan di unit kerja lain, suatu pemborosan dana yang luar biasa besarnya d. Penyelewengan dana perpustakaan dengan membuat koleksi fiktif, koleksi dipinjam dari perpustakaan lain hanya untuk keperluan peresmian perpustakaan kemudian nantinya dikembalikan lagi ke perpustakaan kepadanya koleksi dipinjam.
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Setelah kita mendalami ruang publik Habermas yang mengidealkan suatu ruang partisipatif emansipatoris dan intersubjektif, maka semestinya konsepkonsep dan nilai-nilai penting yang sudah diangkat Habermas itu dapat pula diadopsi dan diterapkan dalam konsep dan pelayanan perpustakaan umum. Dalam kaitan dengan itu ingin penulis garis bawahi beberapa elemen berikut. Pertama, ruang publik borjuis merupakan arena dimana di dalamnya kaum borjuis berjuang membebaskan diri mereka dari ketergantungan gereja dan negara. Semangat yang senada mestinya juga ada dan menjadi jiwa setiap pengguna perpustakaan, yakni suatu bentuk perjuangan untuk membebaskan diri dari kebodohan, minimnya pengetahuan agar mereka terbebas dari semua dampak negatifnya. Kedua, ruang publik merupakan lahan pelatihan bagi sebuah refleksi kritis publik, demikian juga halnya perpustakaan. Konkritnya adalah ketika pengguna mengikuti diskusi misalnya diskusi mengenai bedah buku di perpustakaan atau membaca bahan-bahan yang tersedia di koleksi, termasuk juga ketika melakukan diskursus mengenai masalah-masalah yang ada, mereka melaksanakan refleksi juga. Meskipun menurut sejumlah pakar, cara berdiskursus semacam ini sangat bersifat subjektif; sama halnya dengan melakukan sololiqui, penulis berpendapat bahwa sifat subjektif itu dapat dikurangi, ketika pengguna perpustakaan menuliskan hasil dari diskursus tersebut atau berdiskusi secara kritis terhadap apa yang mereka baca itu. Namun, dalam kenyataannya sering kita temui orang membaca untuk ngangsu kawruh (dalam pengertian mencari pengetahuan yang bersifat searah dari sumber data ke pada penerima, feeding), dengan kata lain pendekatan satu arah, bersifat pasif, dan memperlakukan diri sendiri sebagai pihak yang menerima. Kalau seperti itu yang terjadi maka perpustakaan tentu gagal menjadi tempat refleksi kritis publik.
67 Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
68
Sejumlah pengguna perpustakaan membaca guna memperoleh informasi atau bahan yang diperlukan untuk tulisannya. Tentunya ada prosedur yang harus diikuti ketika mereka mengambil ide atau menggunakan hasil penelitian orang lain. Melawan prosedur tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta. Pelanggaran hak cipta berdampak negatif pada perpustakaan. Ketika hak cipta dilanggar muncullah kerugian di pihak pencipta, yang mengakibatkan menurunnya gairah menulis, yang selanjutnya dapat mengurangi produk tulisan; Keadaan ini berdampak negatif pada ketersediaan pilihan aneka ragam tulisan untuk disimpan di perpustakaan. Idealnya pengetahuan dari hasil jerih payah orang lain yang ditimba melalui perpustakaan tidak dijiplak, melainkan diolah kembali atau didayagunakan bahkan dikembangkan lebih lanjut dan diungkapkan baik secara lisan maupun tulisan. Bila demikian yang terjadi bahan perpustakaan akan semakin beragam. Informasi berada pada inti dari ruang publik. Ketika peserta melakukan diskursus di ruang publik, ia mengungkapkan posisinya dalam argumen eksplisit dan bahwa pandangan mereka dapat diakses oleh publik yang luas. Hal tersebut terjadi tentunya tidak lepas dari peran media komunikasi dan lembaga-lembaga informasi lainnya seperti perpustakaan dan lembaga statistik. Namun persebaran dan akses informasi terganggu ketika munculnya sensor.
Penghapusan
perkembangan
ruang
lembaga
sensor,
publik.
Tindakan
menandai
tahapan
penghapusan
baru
dalam
lembaga
sensor
memungkinkan arus argumentasi rasional kritis masuk ke dalam pers dan dengan mengizinkan pers berkembang menjadi suatu instrumen otonom memungkinkan keputusan-keputusan politis dapat dibawa ke hadapan forum publik yang baru. Dengan kata lain pers berfungsi sebagai pengolah informasi argumentasi rasional kritis yang kemudian menyebarluaskannya kepada publik. Dalam ruang publik peran pers yang mandiri membuat spektrum ruang publik menjadi lebih luas. Fungsi pengadaan, dan penyebaran informasi pada suatu perpustakaan idealnya tidak diganggu oleh adanya sensor. Di Indonesia khususnya di zaman orde baru penyensoran sangat marak sehingga pantas mendapat perlawanan. Bentuk perlawanan terhadap sensor itu ironisnya tidak nampak di perpustakaan, yang ada adalah sikap kepatuhan yang ditunjukkan perpustakaan-perpustakaan Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
69
termasuk Perpustakaan Umum Indonesia. Satu hal yang menyelamatkan bahan yang disensor adalah fungsi deposit dari Perpustakaan Nasional RI yang membebaskan perpustakaan tersebut dari jeratan sensor. Namun sangat disayangkan bahwa prosedur yang diterapkan dalam mekanisme penggunaan bahan perpustakaan yang tersensor tersebut begitu ketat sehingga membuat tingkat pemanfaatannya menjadi sangat rendah. Berbicara mengenai organ informasi lain yakni pers, transformasi di bidang tersebut menunjukkan fenomena baru. Dari institusi yang semata-mata mempublikasikan berita, pers mulai menjadi pembawa dan pemimpin opini publik, sekaligus instrumen bagi arena pertempuran partai politik. Keadaan seperti ini analog dengan otomasi perpustakaan yang dulunya sebagai sarana guna meningkatkan layanan perpustakaan kemudian berubah menjadi pemegang otoritas utama di perpustakaan. Sebagai ilustrasi lihat keputusan tentang penggunaan e-book, e-journal yang sangat dipengaruhi oleh roh otomasi yang mengalahkan pertimbangan latar belakang budaya, pendidikan dan ekonomi dari pengguna perpustakaan yang dilayaninya. Di pihak lain, hal yang menguntungkan adalah konsep e-library memiliki ciri aksesibilitas penuh yang mengatasi kendala waktu dan tempat. Namun dalam kenyataannya hal itu masih memiliki aspek negatif yakni ada aturan yang membatasi pengguna dalam mengaksesnya misalnya melalui keharusan menggunakan password, dan lain-lain. Selain itu tidak jarang layanannya menuntut biaya ekstra dari penggunanya. Penonjolan pengguna sebagai elemen utama dalam sistem perpustakaan merupakan hal penting dalam rangka usaha emansipatoris yang akan membebaskan perpustakaan dari kungkungan hal-hal teknis dan perpustakaan sebagai alat penguasa. Kompetensi komunikatif Pustakawan Indonesia sangat mendesak untuk ditingkatkan. Untuk hal tersebut teori komunikasi Habermas kiranya dapat membantu kita. Habermas mencoba menghubungan rasionalitas dan bahasa dengan mengatakan bahwa rasionalitas sudah tertanam dalam struktur bahasa sendiri. Begitu seseorang masuk dalam suatu pembicaraan, ia, dengan sendirinya mengajukan empat tuntutan: tuntutan kejelasan yakni ia dapat mengungkapkan Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
70
dengan tepat apa yang ia maksud; tuntutan kebenaran (truth claim), kejujuran pembicara (claim to veracity) dan ketepatan atau kepantasannya (claim to rightness). Rasionalitas seperti tersebut di atas selayaknya menjadi pedoman bagi pustakawan untuk berkomunikasi. Habermas berpendapat bahwa proses perkembangan sebuah masyarakat terjadi melalui proses-proses belajar dalam dua dimensi, yakni dimensi kognitifteknis dan moral-komunikatif. Suatu tambahan pengetahuan kognitif dan teknis hanya bisa menghasilkan perkembangan dalam hubungan antara manusia dan dalam kerangka institusional masyarakat sesudah terjadi proses dalam dimensi moral-komunikatif.
5.2 Saran Kinerja perpustakaan sebagai wahana belajar seumur hidup dapat ditingkatkan melalui penyediaan sarana tambahan, misalnya ruang diskusi yang disertai dengan jadwal kegiatannya. Fasilitas tersebut pantas disediakan apabila kita tidak ingin memberi kesan perpustakaan sekedar gudang buku. Peningkatan kinerja juga bisa dilakukan dengan menentukan urutan prioritas dengan menyertakan pertimbangan, membedakan inti dari pendukung. Dalam lingkup perpustakaan, menurut hemat penulis, koleksi bahan perpustakaan hendaknya tetap dijadikan prioritas utama disamping sarana pendukung dan asesoris lainnya. Pertimbangan nilai guna dan manfaat dapat dijadikan dasar guna pemilihan bahan perpustakaan yang harus diadakan di perpustakaan dengan mengangkat tinggitinggi bentuk partisipatif dari pengguna. Salah satu bentuk partisipatif dari pengguna perpustakaan misalnya mengajak mereka untuk ikut serta menentukan bahan perpustakaan yang akan dibeli. Secara normatif hal tersebut sudah menjadi bagian dari sistem perpustakaan, namun aplikasinya di lapangan masih penulis ragukan. Rendahnya kualitas layanan perpustakaan akibat sistem sensor harus ditanggulangi dengan mengadakan perlawanan terhadap sensor. Argumen kebebasan berekspresi dan fungsi perpustakaan sebagai pelestari budaya sebaiknya digunakan. Pada masa lalu yakni pada zaman orde baru praktik penyensoran mengalami intensitas tinggi. Pada saat itu pustakawan Indonesia Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
71
tidak melakukan perlawanan sama sekali. Seharusnya dengan melakukan perlawanan terhadap sensor, akibat negatif dari sensor dapat dikurangi, dengan kata lain hanya bahan perpustakaan yang betul-betul layak disensor yang akan dikeluarkan dari jajaran koleksi. Berhubungan dengan bahan perpustakaan yang disensor ini, bahan tersebut tetap tersimpan di Perpustakaan Nasional RI karena perpustakaan tersebut memiliki fungsi deposit, penulis mengusulkan agar prosedur penggunaan bahan-bahan perpustakaan yang tersensor dibuat lebih sederhana supaya lebih banyak kalangan tidak terkendala lagi ketika harus menggunakannya. Dari uraian yang dijelaskan pada bab sebelumnya, terlihat bahwa tidak populernya perpustakaan adalah disebabkan oleh kekurangan atau kelemahan yang ada pada perpustakaan itu sendiri. Misalnya terbatasnya koleksi sehingga pengguna tidak terpuaskan ketika mengunjunginya. Faktor lain yang bisa dikemukakan adalah sejarah yang menjadi latar belakang dari pendiriannya. Perpustakaan Umum Indonesia tidak tumbuh karena kemauan masyarakat tetapi berasal dari otoritas penguasa. Dunia perpustakaan idealnya tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari kesadaran diri para pendidik, pustakawan, dan masyarakat yang peduli kepada tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia. Tumbuh dan berkembangnya perpustakaan bukan disebabkan atau didasarkan atas tindakan peniruan kebiasaan budaya yang ada di negara barat. Negara dan kekuatan-kekuatan lainnya diharapkan mendukung pendanaan yang diperlukan perpustakaan umum, namun dengan tetap menjaga independensi perpustakaan. Di lingkungan pendidikan misalnya, perpustakaan dijadikan salah satu prasyarat pendirian suatu perguruan tinggi namun apabila segenap civitas akademika perguruan tinggi tersebut tidak menghiraukannya dan tidak menggunakannya secara maksimal, maka keberadaan perpustakaan perguruan tinggi lalu hanya merupakan asesoris belaka. Penggunaan perpustakaan secara tidak maksimal seperti di atas terjadi juga di perpustakaan khusus, perpustakaan umum dan perpustakaan lainnya. Anggapan perpustakaan sebagai sesuatu yang tidak sentral ini sudah berlangsung terus menerus sehingga perkembangan perpustakaan tidak pesat dan ironisnya keadaan seperti ini tidak dipandang
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
72
sebagai masalah krusial di masyarakat kita yang perlu segera ditindaklanjuti. Perpustakaan didirikan hanya sebagai pelengkap. Sudah menjadi suatu fenomena yang kita lihat sehari-hari bahwa sumber daya manusia (sdm) perpustakaan bukan dipilihkan dari sdm yang terbaik, malahan sejumlah instansi masih menganggapnya sebagai tempat penampungan kelebihan atau pemutasian pegawai dari unit kerja lainnya. Bisa ditambahkan sebagai faktor yang menjadi kelemahan perpustakaan yaitu lingkungan pendidikan perpustakaan yang masih menerapkan cara belajar yang lebih mengedepankan reproduksi bahan yang dipelajarinya dari pada menyiapkan para peserta didik untuk memiliki kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru. Pendidikan yang semacam itu tidak membuat peserta didiknya cerdas tetapi hanya membuat mereka memiliki kemampun mengulang kembali praktik, kebiasaan yang telah dilakukan bertahun-tahun dan juga mempertahankan bentuk-bentuk konvensi
perpustakaan
negara
barat
tanpa
adanya
kemampuan
untuk
mengkritisinya. Titik kelemahan lain lagi dari institusi perpustakaan adalah belum dijadikannya pengguna sebagai unsur sentral dari perpustakaan-sebagai-sisteminformasi, bahkan tidak jarang mereka diperlakukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya untuk mendapatkan dana yang kadangkala tidak ada kepentingannya sama sekali dengan pengguna. Melihat kelemahankelamahan perpustakaan seperti dijelaskan di atas, perpustakaan umum perlu menggarisbawahi fungsinya sebagai wadah perjuangan melawan segala macam bentuk penjajahan, termasuk di dalamnya kebodohan. Fungsi tersebut hendaknya diangkat sebagai dasar filosofis suatu layanan perpustakaan umum. Akhir-akhir ini gencar diadakan kampanye minat baca dengan menghubung-hubungkan sepinya perpustakaan dengan rendahnya tingkat minat baca masyarakat. Dan selanjutnya para pustakawan beranggapan
minat baca
sebagai sesuatu yang sifatnya ekstrinsik dari luar diri pengguna perpustakaan yang mudah untuk diubah atau ditingkatkan antara lain melalui iklan, padahal menurut hemat penulis tidak demikian. Oleh karena itu usaha menjelaskan persoalan kurang maksimalnya penggunaan perpustakaan dengan menuduh rendahnya minat baca pengguna sebagai penyebabnya tidaklah tepat. Yang perlu Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
73
dilakukan perpustakaan di dalam mengatasi citra buruknya adalah introspeksi diri guna mencandrakan kelemahan-kelemahan yang ada dan berusaha menemukan solusinya. Dengan menjadikan pengguna sebagai unsur sentral dari sistem perpustakaan, langkah penting yang perlu dilakukan adalah mengarahkan segala potensi untuk sebesar-besarnya manfaat bagi pengguna. Keinginan orang untuk berkembang dan maju, serta lepas dari segala yang mengungkungnya sudah instrinsik pada manusia itu sendiri. Perpustakaan tinggal memfasilitasi keinginan tersebut dan melibatkan mereka. Perpustakaan selayaknya menyiapkan diri sedemikian rupa agar layak menjadi wahana perjuangan bagi penggunanya untuk melawan kebodohan dan melepaskan diri dari segala bentuk penjajahan. Akhirulkalam, sebagai saran disampaikan agar pemerintah tetap konsisten menyediakan anggaran yang cukup untuk terselenggaranya kegiatan perpustakaan umum sehingga fenomena komersialisasi layanannya dapat dicegah. Dengan demikian pemerintah ikut serta mendukung ciri kepublikan perpustakaan. Perpustakaan perlu dibuat mandiri dan diharapkan bertindak mengedepankan kepentingan masyarakat pengguna di atas kepentingan lainnya. Pustakawan juga perlu didorong untuk menjadi cerdas melalui pendidikan yang mengedepankan ko-konstruksi sehingga mampu melakukan terobosan, mengkritisi praktik perpustakaan yang selama ini ada dan meningkatkan fungsi perpustakaan sebagai wahana diskursus dan wahana perjuangan melawan kebodohan bagi masyarakat Indonesia. Melalui cara itulah menurut hemat penulis
fungsi perpustakaan
sebagai ruang publik akan dapat dipertahankan.
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
DAFTAR REFERENSI
Buku
Adian, Donny Gahral. (2002). Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan : dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Jakarta : Teraju. Baert, Patrick. (2001). Jürgen Habermas in “Profiles in contemporary social theory” edited by Anthony Eliot and Bryan S. Turner. London : Sage, p. 84 - 93. Bakker, Anton (1984). Metode penelitian filsafat. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Bertens, K. (1999). Sejarah filsafat Yunani. (Ed. Rev.) Yogyakarta: Kanisius.
_________. (1983). Filsafat Barat abad XX : Inggris – Jerman. Yogyakarta : Kanisius. Seri Filsafat Atma Jaya ; 1. Bungin, M. Burham, H. (2007) Penelitian kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebi-Jakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta : Kencana Frenada Media Group. Carr, Stephen. (1992) Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York Foucault, Michel. (1997). Sejarah seksualitas : seks dan kekuasaan. ( Rahayu S Hidayat, alih bahasa; Jean Couteau, penyunting). Jakarta : Gramedia. ________(1974). The archaelogy of knowledge. (AM Sheridan-Smith, penerjemah). London: Tavistock. ________ (1973). The order of things: an archaelogy of the human sciences. (Terjemahan dari Bahasa Perancis). New York : Vintage Books. ________(1990). The use of pleasure vol 2: the history of sexuality. (Translated from the French by Robert Hurley). New York : Vintage Books,
74 Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
75
Habermas, Jürgen. (1990). Ilmu dan teknologi sebagai ideologi (diterjemahkan oleh Hassan Basari). Jakarta : LP3ES. ________. (1971). Knowledge and human interests (translated by Jeremy J. Shapiro). Boston: Beacon Press. ________. (1996) On the logic of the social science. (translated by Shierry Weber Nicholsen and Jerry A Stark). Cambridge : The MI Press. ________. ( 2007) Ruang publik : sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. (Yudi Santoso, penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana. ________. (2006) Teori tindakan komunikatif 1 : rasio dan rasionalisasi masyarakat . (Nurhadi, penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana. ________. (c1984). The theory of communication : reason and the rationalization of society : volume 1 / translated by Thomas Mc Carth. Boston : Beacon Press. ________.(1989) The theory of communication : lifeworld and system : a critique of functionalist reason: volume 2 / translated by Thomas Mc Carth. Boston : Beacon Press. ________. (2001) The structural transformation of the public sphere : an inquiry into a category of bourgeois society. Cambridge : MIT Press. Hardiman, F. Budi. (1990) Kritik ideologi : pertautan pengetahuan dan kepentingan. Yogyakarta : Kanisius. ________. (2004) Filsafat modern : dari Machiavelli sampai Nietzsche. Satu Pengantar Dengan Teks dan Gambar. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hariatmoko. (2003) Etika politik dan kekuasaan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hayden, Patrick. (2001) The philosophy of human rights. St. Paul: Paragon House. Indonesia. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1990 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
76
Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan Indonesia. Peraturan Pemerintah No 70 Tahun 1991 Tentang pelaksanaan Undang-undang No 4 Tahun 1990 Tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam Laksmi. (2007) Tinjauan Kultural Terhadap Kepustakawanan : Inspirasi dari Sebuah Karya Umberto Eco Jakarta : Sagung Seto. Lechte, John (2004) 50 Filsuf Kontemporer : Dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas. Diterjemahkan oleh A Gunawan Admiranto. Yogyakarta : Kanisius. Bagus, Lorens. (2002) Kamus filsafat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, Akhyar Yusuf. (2004) Filsafat ilmu: metodologis posmodernis. Bogor: Akademi. ________. (2004) Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan Masih Adakah Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Bogor : Akademia, Bab 4 Politik Pengetahuan. Magnis-Suseno, Franz. (2006) Etika Abad Kedua Puluh : 12 Teks Kunci. Yogyakarta : Kanisius. ________. (2006) Berfilsafat Dari Konteks. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
________. (1992) Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta : Kanisius.
Malley, Ian. (1990) Censorship and Libraries. London: Library Association.
McCarthy, Thomas. (2006) Teori Kritis Jurgen Habermas / penerjemah Nurhadi. Yogyakarta : Kreasi Wacana. McMenemy, David. (2009) The Public Libary. London : Facet Publishing.
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
77
Minanuddin. (1992) Pelarangan Buku di Indonesia. Skripsi Sarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI, Pembimbing Gregory Churchill, JD, Pembaca Y. Sumaryanto, DipLib Pendit, Putu Laxman (2003). Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi : sebuah Pengantar Diskusi, Jakarta : JIP-FSUI Rasuanto, Bur. (2005) Keadilan Soaial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas. Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Ritzer, George. (1996) Modern Sociological Theory, 4th ed., New York : McGraw-Hill. Sarup, Madan. (2003) Poststrukturalisme dan Posmodernisme (1993): Sebuah Pengantar Kritis. Yogyakarta : Jendela, . Bab 3 Foucault dan Ilmu Sosial Spiller, David. (1986) Book Selection: An Introduction To Principles And Practice. 4th ed. London : Clive Bingley. Steuerman, Emilia. (2000) “Habermas’s Linguistic Turn” dalam The Bounds of Reason, London: Routledge. hal 22-36 Sulistyo-Basuki. (1991) Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Supratiknya, A . (2008) Tantangan Psikologi (di Indonesia): Bukan Unifikasi Melainkan Kontekstualisasi. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas
Psikologi
Universitas
Sanata
Dharma.
Sidang
Terbuka
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta, 29 Nopember 2008
Thompson, Anthony Hugh. (1975) Censorship In Public Libraries In The United Kingdom During The Twentieth Century. Essex : Bowker. Turabian, Kate L. (1982) A Manual for Writers of Term Papers, Theses, and Dissertations. 5th ed. Chicago : The University of Chicago Press. Webster, Frank, (1995), Theories of the Information Society, London : Routledge. Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010
78
Majalah & Surat Kabar
BASIS (2004) no 11-12 Th ke 53 November-Desember. Edisi 75 tahun Jurgen Habermas Darmawan, Hikmat. “Perpustakaan sebagai ruang publik”, Ruang Baca Ed 54, Sept Okt 2008 “Sumanto Pustakawan dari Bantul”. Kompas, Kamis 4 Desember 2008
Sumber internet Abels, Eileen …[et al.], “Competencies for Information Professionals of the 21st Century”, Rev. ed., June 2003, www.sla.org/competenciesportal, diakses 10 Nov. 2008 Kellner, Douglas ”Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention” dalam http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html. diakses 10 Nov. 2008 Muttaqien, Arip. “Membangun Perpustakaan Berbasis Konsep Knowledge Management : Transformasi Menuju Research College dan Perguruan Tinggi Berkualitas Internasional” http://www.lib.ui.ac.id/files/Arip_Muttaqien.pdf 5 juli 2008 Pendit, Putu Laxman, “Bisakah perpustakaan umum menjadi ruang publik?” http://kepustakawanan.blogspot.com/2007/02/bisakah-perpustakaanumum-menjadi-ruang.html. diakses 6 nov 2008 Siregar, A Ridwan, “Kerjasama dan Sistem jaringan Perpustaksan Umum”. USU Repository ©2006. diakses 6 nov 2008
Universitas Indonesia Ruang publik..., Y. Sumaryanto, FIB UI, 2010