VOII]ME
Internet dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi atas Teori Ruang Publik Habermas Oleh : Rulli Nasrullah Korespondensi : Email: kanqarul(Ogmail.com, Web: www.kangarul.com Dosen Fakultas llmu Dakwah dan llmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, Jaka(a Pengamat Cyberculture dan New Media, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Studi dan lnformasi (LPSI).
Abstract Public sphere as popularized Habermas's a historicoL review of the criticol discussions in response to the political realities thot hoppen to people in the century -18. The emergence of the lnternet os a medium bari provide a broader transformation, both practicol and theoretical, of how public spoce took ploce in the virtual space. Charocteristics of the lnternet os o medium, users occess, to informotian thot is distributed in space (public) bosically becomes o virtual focal point to see how sesunggunyo character of public spoce in the virtuol world.
Keyword: public sphere, public spoce, new media, network, informotion
Abstrak
Ruang publik sebagaimana dipopulerkan Habermas merupakan peninjauan historis terhadap diskusi-diskusi kritis sebagai respon dari realitas
politik yang terjadi pada masyarakat di abad ke -1.8. Kemunculan internet sebagai media bari memberikan transformasi yang lebih luas, baik secara praktis maupun teoritis, terhadap bagaimana ruang publik itu terjadidi ruang virtual. Karakteristik internet sebagai medium, pengguna yang mengakses, hingga informasi yang didistribusikan dalam ruang (publik) virtual pada dasarnya menjadi titik perhatian untuk melihat bagaimana sesunggunya karakter dari ruang publik di dunia virtual tersebut.
Kata kunci : public sphere, ruang publik, media baru, jaringan, informasr.
Pendahuluan Di
era konvetgensi media dan kemunculan internet sebagai medium yang bisa
digunakan industri media dalam mendistribusikan informasi fterita), warga tidak lagi dipandang sebagai audiens dalam pengertian sekadar mengonsumsi informasi yang disajikan semata. Fasilitas internet memungkinkan karakter berita menjadi
lebih luas dan pelaku industri media bukan sekadat bethenti pada fungsi untuk menginformaslkan (to infonn) semata, melainkan juga melibatkan warga untuk samasama membangun wacana dalam kerang demokratisasi. I(onteks pembahasan soal keterlibatan warga ini akan semakin berkembang iauh ketika memasukkan bahasan mengenai
citiqen 1 o arnalis xt.
Salah satu karakter pembeda dari media ttadisional adalah media internet menyediakan kolom interaksi. Sebuah berita yang diproduksi oleh pelaku industri media pada saat bedta itu d.ipublikasikan di internet, maka warga selaku audiens bisa menanggapi, mengkritisi, bahkan membahkan data-data terhadap berita tersebut. Jelas ini merupakan langkah baru dari kehidupan media di Indonesia, dimana selama ini media hanya menjadi satu-satunya sumber media opini publik yang membatasi bahkan menghalangi keterlibatan pembaca (audientes). Jika melihat situs-situs media berjta dalam jaringan atau daring (onlin), beberapa kasus dengan sangat mlldah ditemui untuk menggambarkan bagaimana kolom komentar berita itu menjadi ruang untuk publik berdiskusi.
Jika dalam masyatakat di sekitar abad ke -18 menempatkan kafe, salon, atau tempat-tempat perkumpulan sebagai arcna dalam melakukan dtsktsi publ:'k (publik sphere), ktni internet merupakan arena virtual (uitual sphere) yang bisa digunakan untuk merespon rea[tas yang terjadi. Bukan bermaksud membuat perbandingan, dan tentu saja sangat tidak adil dan bias sekali membandingkan media baru dengan kafe sebagai ruang publik, namun ruang virtualpada dasarnya menghubungkan tidak hanya individu melainkan juga kelompok yang lebih global tanpa adanya batasan geografis. Uniknya, ketethubungan itu terwakrli sebagian besar dan didominasi oleh teks sebagai bentuk komunikasi termediasi komputer dengan teks sebagai bahan Lrtam^ y^ng mewakili petny^t^ n-Petfiyat^ n dalam diskusi.S elain adanya persoalan tentang keberadaan individu yang bersifat virtual dan berbentuk teks atau imei, juga yang menjadi fokus perhatian adalah kemungkinan informasi yang dibangun sebagai pendLrkung dalam diskusi pubhk adalah informasi yang tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Meski beragam persoalan di atas mengiringi keberadaan internet sebagai ruang publik di dunia siber, namun makalah ini mencoba untuk memformulasikan secara teoritis l:agaimana internet itu bisa menjelma sebagai arcna dalam diskusidiskusi kritis. Ditambah dengan pendekatan teodtis dalam perspektif budaya siber, iuga akan diungkap Ltagaimana kultur yang terjadi dalam ruang vittual itu sendiri, khususnya melihat realitas yang terjadi di Indonesia.
Pembahasan Ruang Publik Harbermas Telrn "public sphere" atau ruang publik lahir dari karya Jurgen Habermas pada tahun 1989 melalui buku yang betjudul The Strudural Transfornatian the Pab/ic Sphere: An Inquiry into a Categorlt of Courgeais,fodefl.Ruang publik tersebut pada dasarnya merupakan ruang yang tercipta dari kumpulan orang-orang tertentu @riuate peop/t)-dalam konteks sebagai kalangan borjuis*yangdiciptakan seolaholeh sebagai bentuk penyikapan terhadap otoritas publik Tbe bourgeois pablic Qhere rtal conceiued aboue a// as the sphere piuate people cone together as a pabhc; thel soon clainnd the public sphere regalated fron ahoue againts lbe public afuhoitiu themselues, t0 engage tem in a debale oyer the genera/ rules gouerning relations in the hasica@ piualiqed but publicl1 releuant sphere of connodi4t exchange and socia / labor. (Habermas, 19 62 / 1989 :27)
Hal ini muncul karena adanya perubahan kultur warga dalam
menanggai
regulasi maupun realitas politik di abad ke-18; seiring dengan semakin intelektualnya warga, melek medra, akses terhadap katya-karya bermutu, buku sastra yang mudah
didapatkan, dan juga konsumsi terhadap atah baru jurnalisme yang lebih kriris melalui berita yang dipublikasikan. Juga, merup akan upaya untuk menyediakan ruang-ruang publik sebagai arena diskusi yang krtis (Riisonnenent) berdasarkan argumen argumen dalam menanggapi realitas atau pemberitaan media.Ruang publik ini terpisah dari domain otoritas kekuasaan yang ada saat itu di Eropa dan bahkan dalam konteks ini ruang publik bisa diartikan sebagai kekuatan batu dalarn menyeimbangkan clan mengkirtisr kebijakan yang merupakan produk otoritas yang berkuasa.
Pada dasarnya ruang publik secara historis sudah muncul
di
tengah-tengah
masyarakat Eropa, akan terapi ruaflg pubJik baru dalam kupasan Habermas ini tidak hanya terjadi di warung kafe sebagaimana terjadi di Inggris atau di salonsalon di Perancis, melainkan juga terjadi di ruang-ruang baca maupun rempattempat pertemuan khusus dengan keterlibaran warga yang jauh lebih berbeda secara komposisi, debat yang tidak berhenti pada debat kusit, dan juga odentasi darl topik-
topik yang diangkat sebagai fokus debat.
Meski ruang publik di abad tersebut dikuasai oleh kalangan borjuis dari dalam banyak karya akademisi banyak pula yang mengkdtisinya, namun Habermas
memunculkan
y^ng disebutnya sebagai
"institut:ional criteria" (Habetmas, 1962 / 1,989:36). Sebuah karakter yang bisa mengantarkan kita memahami apa
^p^
yang dimaksud Habermas dengan ruang publik tersebut. I(riteria pertama adalah pengabaian terhadap stans (disregard oJ :tatus) atau lebih tepatnya meniauhi diskusi kritis tentang status. Ruang publik tidakiah mempefkafakan keinginan Pefsamaan status dengan otoritas yang berkuasa , tetapi adarly^ kesempatan yang sama dalam mengungkapkan/mengkritisi sebuah reaLitas. Bukan pula upaya uutuk menciptakan angg:ota PerkumPulan. Ruang publik yang setara di kafe, salon, atau di
^nt^n
pubhk lebih menekankan adanya ide-ide yang teflembagakan dan mendapatkan klaim secara obyektif sehingga bisa diterima oleh publik secara luas; yang iika tidak terealisasikan, minimal ide tersebut melekat secara sadar di benak publ-ik. I(riteria kedua adalah fokts pada domain cLmln\n c\ficern Bahwa realtas historis menempatkan adanya beberapa domain yanghanya dikuasai penafsirannya oleh otoritas yang berkuasa dan ztaa oleh kalangan geteia. Padahal domain tersebut bisa dibincangkan dan melibatkan publik secara lebih luas.Filsafat, seni, dan sastra yang diklaim hanya boleh diinterpretasikan dan meniadi kewenangan eksklusif dalam hal publisitas oleh kalangan gefejau/i, meniadi sesuatu yang bisa diakses oleh publik. Karya-karya tersebut bukan lagi betada dalam kebutuhan untuk bisa diakses, melainkan sudah menjadi komoditas yang diPefdagangkan oleh industri. Distribusi karya-karya tersebudah yang menjadi bahan dalam diskusi kritis yang terjadi di ruang publik. Interpretasi meniadi lebih beragam dan bisa berasal dari siapa saia dalam anggota ruang publik tersebut.
I
(inclusiuity).
Bahuz betapapun eksklusifnya
publik dalam kasus tertentu akan tetapi dalam tuang publik ia meniadi bagian dari kelompok kecil tersebut. Ide-ide yang muncul dalam perdebatan khusus mereka pada dasarnya bukan menjadi milik mutlak anggota ruang publik, melainkan ketlka disebarkan melalui media publik dapat pula mengaksesnya. Juga, isu-isu yang diangkat sebagai bahan diskusi menjadi lebih umum karena setrap orang bisa mengkakses sumber-sumber yang terkait dengan isu tersebut. Setiap orang pada dasarnya di ruang publik itu menemukan dirinya bukan sebagai publik itu sendiri, melainkan seolah-olah meniadi iuru bicara dan bagkan mungkin sebagai guru dati y^ng dikatakan sebagai publik itu sendiri yang menu.rut Habermas sebagai ^pa boriuis. perwakilan atau bentuk baru representasi
y^flg disebuatnya Ruang dalam pembahasan Habermas juga mengangk^t ^p^ sebagai "priuate spherd' dan "intinate sphere" (Habetmas,1962/1989:55). Piuate sphere adalah ruang yang berada daiam hubungan ekonomi atau Pasaf dan lebih disebut sebagai ruang kepemilikan. I(aum boriuis adalah orang-orang yang dalam konteks
ini disebut
sebagai piuate persons.Sementafa luang keluafga yang disebut sebagai
intimate sphere mentpakan
inti
dari priuate sphere
tersebtt
Sebagai priuate person.c
kalangan borjuis itr memiliki dua hal, yakni kepemilikan atas barang dan juga pekerja.
Inilah yang menjadi semacam ambiguitas dari ruang publik di mana keberadaan menjadi tak terelakkan tercampur. Ada suara, untuk tidak menyebutkan kepentingan, bahwa ruang publik yang ia sebagaipiua* persons terllbat dalam diksusi
piuate
sphere
kritis terhadap sebuah realitas politik pada dasarnya mewakrli starusnya
sebagai
kaum borjuis dan kekhawauran terhadaP regulasi yang mungkin akan mengganggu priuate sphere mereka.
Gambar 1. Skema Ruang Habermas t"0""
Reatm
lt[::.,l,f
lrivare Realm I'rivare
Civil socicLy (rcalnr of commotlitl txcharrgr arrd social labor)
Prrblic spher-e in thc
State (realm
political r calnr
"p<-rlice')
Pu
<.rf
rhe
blrc sphelc irr tlrc
wolld ctf lettcrs (clul)s, press)
(irnjugal farril,v's
(nrar
rntcr nal spacc (Lrotrrgcois r ntcllcct uiils)
pro(lucts)
tet crl crthure
Corrr r (courtlyrroL)e sociery)
Sumbcr:Jurgen Habermas, 1962/1989,Tbe StructtalTransfornation of the Prblic Sphere: An Inqairl inta a Category of a Boargeoh Sotiefl, Cambridge, MA: MIT Press, bal.30.
Namun, Habermas juga menekankan bahwa dalam ruang publik sebenarnya kalangan borjuis itu secara sadar maupun tidak mewakili dua identitas di dalam dirinya sebagai publik. Diri sebagai pemilik kapital atau pekeria yang dengannya ia harus mewakili suara ruang pdbadi tersebut dengan mengaikatnnya sebagai kepentingan publik dan juga diri sebagai warg yangmurni dan sederhana. TheJa@ dere/oped bomgeois pablic sphere was ba:ed on fctitioas identity the two rolet assaned lry the priualiryd indiuiduals uha came together toform a public: the role Pr0perA zwnen altd the hanan beings pare and rilnple. (Habermas, 1962/1989:56)
rzle
Jika ditarik sebuah kesimpulan sederhana, ruang publik Habermas merupakan ruang yang bekeria dengan memakai landasan wacana moral praktis yang melibatkan interaksi secara rasional maupun kritis dibangun dengan tuiuan untuk mencari pemecahan masalah-masalah politik. $7alau karya Habermas memfokuskan diri pada ruang publik dad masyarakat borjuis, namun melalui batu loncatan itulah tuang publik bisa dipahami sebagai ruang yarg menyediakan dan melibatkan publik secara lebih luas dalam mendiskusikan realitas yang ada.
Antara Pwblic Spbere dan Public Space y^ng disebut Jones Ruang siber atau clberspace pada dasarnya menyediakan ^Pa ,,new pablic spacd'. secara digital karakteilsik pilblic sPace, (1991:22) sebagai ^t^t yang umum sesuatu dimaknai sebagai bisa space, uirh.tal sebagai menyebutnya dengan atau yang sifatnya pdbadi, antarbudaya atau lintas bahasa, hingga pada publik yang terkontrol atau yang bebas. Ibatat alun-alun, di mana kita bisa menemukan beragam
karakteristik termasuk jaga latar belakang entitas yang betada di sana.Meski siapa saja bisa berada dalam alun-alun, namun tidak berarti otomatis kita menjadi bagian dari ruang tersebut; kita bisa menemukan efltitas yang berkelompok di salah satu sudut alun,alun, tetapi kita tidak bisa begitu saia masuk dalam kelompok mereka. Virtual space tidaklah sama dengan tipe media tradisional seperti radio, televisi atau penefbitan dan juga tidak pula sejenis dengan pengetljl^n Pablic spaces secar^ tradisional dalam kehidup an ny^t^. Ruang siber membefikan dan menyediakan fasilitas bagi pengguna untuk menemukan cata baru dalam berinteraksi baik dalam aspek ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya (Camp and Chien, 2000) Reattas di ruang siber inilah yang menjadikan internet sebagai ruang tefbuka bagi siapa saja untuk berinteraksi atau sekadaf mengkonstfuksi diri; meski dalam term Castelis (2001) dan van Dijk (2006) siapapun yang melakukan koneksi maka secara otom2tis ia sudah menjadi bagian dari atau anggota masyarakat ieiartng (nehttork sociefi). y^ng disebut seb^g^ Pilblic space lj.dalJah Namun, pedu ditegaskan bahwa ^P^ sefta mefra sama denganl ublic spheresebagaimana dimaksud oleh Habermas. Sebab, internet bisa dikatakan hanya sebagai medium yang bisa digunakan untuk diskusi atau debat politik, pertukaran ide maupun g gas^n, hingga membangun wacana sebagai jawaban terhadap realitas politik. Namun, fungsi ini sama juga dengan penggunaan internet sebagai sarana virital. semata; internet bisa menjadi medium s i^, tergantung dati pengguna yang yang dilekatkan pada realitas masyarakat ^P^ mengaksesnya. I(arena itu,Papachariss i (2002:11) menegaskan bahwa "A uirtual space enhances discussion; a uirttal sphuv enhancer democracl" '
I(onteks uirtual (pab/ic) space bisa dilihat dari bagairnana. Pengguna intetnet memanfaatkan fasilitas sepefti situs iejaring sosi^l Facebllk ata:u Twilter. I(eberadaan wall atau dinding sebagai temPat Pengguna untuk menyampaikan ide, mempublikasikan pendapatnya, atau rnenginfotmasikan suatu fealitas politik tidak serta-merta dikatakan sebagai upaya penggun a dalam debat kritis sebagaimana yang terjadi di ruang publik. Hal itu hanya sekadar refleksi pengguna saia atas sebuah realitas; meski dalam dinding telsebut tefsediz kolom untuk bisa dikomentatt atau bisa juga ditanggapi (rehtuloleh Pengguna lain, akan tetapi interaksi yang terjadi
l:
itl' : o=-,:Y''1"#
!h
merupakan t^ngg p^fi biasa sebagaimana ketika afltarpengguna berinteraksi dalam komunikasi tatap muka. Situs jejaring sosial juga bisa men jadi media dalam konstruksi identitas pengguna.
Publikasi status, foto, atau tautan yang ada pada dasarnyahanyalah bentuk dari upaya pengguna untuk menampilkan dirinya di wilayah pribadi, hanya saja dalam konteks ini wilayah pribadi itu secara virtual.Logika sederhananya seperti ini, apakah saat pengguna mempublikasikan foto diri dan di belakangnya terdapat gedung sebuah partai politik kita bisa langsung mengatakan bahwa si pengguna adalah anggota dari partai politik tersebut?Bahwa akses pengguna dalam situs jejaring sosial atau bahkan
ketika membuat situs merupakan Dp^y^ny^ untu merefleksikan diri sebagairnana Cheung (2000:44) menyebuttrya sebagai "a refexrue presentatian and narratiuiqation of the self'. Sehingga bisa dikatakan bahwa internet merupakan panggung depan yang belum tentu juga merepresentasikan diri yang sebenarnya di panggung belakang (Goffman, 1959). Sedangkan dari sisi keberadlan pengguna, internet telah mentransformasikan
perannya secara beragam. Bagi Habetmas (2006) sendiri keberadaan internet telah memperluas sekaligus mengfragmentasikan konteks komunikasi. Meshi dalam kasus tertentu ia memiliki pengaruh terhadap kehidupan intelektual, namun di sisi lain keberadaan internet membangun komunikasi yang nonformal, saluran komunikasi yang terhubung secara horisontal antar entitas, dan bahkan menjadi alternatif dalam memperoleh informasi selain media tradisional. Yang menjadi persoalan adalah informasi yane lalu lalang di dalam jaringan terkadang menjadi informasi yang kurang fokus, tanpa edit, dan dalam kondisi tertentu kita tidak brsa mengetahui mana informasi yang ash dan mana yang palsu flordan, 1999:117). Juga, kebetadaan intelektual dalam ruang publik virtual menjadi termar jinalisasikan.
Th
attenlian of an anonlruons and diEersedpublic on selecttopics andinformatton, alkwing citiTens to cznrcntrate on the same criticallJ fhered isrues andjournalistic piens at any giuen tirue. Tbe pice we pa1 r the growth in egalitaianisn olfered @ the Internet is the cases the
decentralised access ta anedited
pzwer t0 create
d
c/.ts.
stoiu. In tbis mediam, contibatians b1 inte/hctuals lose their
(Habermas, 2006)
Grup-gtup diskusi maupun forum perbincangan politik maupun aksi-aksi sebagai respon dari reaLitas politik di daring merupakan salah satu perwujudan ruang publ,rk di era.internet saat ini sebagai penggantiruang baca, perpustakaan, kafe, dan tempat-tempat sebagalmana disebutkan Habermas sebagai fasiiitas dalam diskusi intelektual telah menjelma mentadi apa y^flg disebut Poster (1995) sebagai uirtual sphere ata:u ruang virtual.Ruaflgvirtual yang memfasilitasi publik untuk melakukan
t*il"i$"gi!ii rr:ii;,r
interaksi melalui beragam jenis komunikasi internet, mulai dari satu kebanyak entitas atau dari banyak ke banyak hingga penggunaan fasilitas beragam interaksi (Trevor Barr, 2000:118).
Melalui pendekatan kultural, ruang publik internet atau uirhral
sphere
memberikan/ melal-rirkan budaya baru dalam ptoses demokratisasi. Tidak ada lagi batasan antara borjuis dan proletar, batasan gendet menjadi kabur, dan siapa saja bisa melibatkan dirinya dalam debat intelektual di ranah politik.Sebuah isu bahkan bisa menjadi informasi yang sangat cepat tersebar dan langsung bisa dijadikan topik perdebatan (Jordan, 1999:1 1 5). Juga, ini merupakan efek yang tidak bisa terelakkan, ruang virtual menyuburkan gerakan yang beragam, mulai dari gerakan akar rumput hingga aktivitas terorisme yang menggunakan internet sebagai ruang bebas untuk menyebarkan paham dan keyakinan tentang kekuasaan pemerintah saat .ini, termasuk
di Indonesia (Lim, 2002; Castells, 1.997, 2001. ; Hadon & Johnson,
201 1).
The uirtual sphere a/lous the expressian and deuelopnent oif sacb rzouertents that farther detnocratic expressions, b1 not necessail1 focusittg on traditional political isues, but lt1 s h fti ng t h e c z It u ra / gro a n Qapacharissi, 2007 :1 4).
i
Interner juga merupakan ruang yang bisa melibatkan siapa saja. Mengkritisi ruang publik Habermas, bahwa ruang virtual melahirkan beragam bentuk ruang publik yang tidak hanya diisi oleh kalangan borjuis semata, melainkan mehbatkan entitas yang lebih beragam. Ruang virtual juga beroperasi mulai dari level personal hingga global dan juga melibatkan publik yang tidak mesti setara dalam membincangkan tefltang kebijakan mauPun aktivitasnya (I(eane, 2000; Rycroft, 2007; I(ahn & I(ellnet, 2004). Mempertanyakan Peran Ruang (Publik) Virtual I(etika membincangkan ruang publik ala Habermas, pada dasarnya ada dua pertanyaan penung yang mesti diselesaikan tedebih dahulu sebelum membincangkan ruang (publik) vittual. Pertanyaan itu, atau lebih tepatnya kritik, dalam konteks ini meminjam kdtik yang diajukan oleh Fraser (2007:7 -30) yakni " the legitinacjt citiqad' dan"the fficac1 pablrc apinion".I(ritik pertama menekankan pada seberapa jarrh legitimasi itu betada dalam wacana yang dikonstruk dalam debatdebat kritis tersebut. Pasalnya, ruang pubiik yang terjadi adalah ruang publik yang sangat bias dari keterwaliilan apalagi dengan kond.isi struktur masyarakat saat itu yang sangat kental dengan pembagian kelas. Oleh karena itu, ruang pubJik yang ada pada dasarnya tidak mewakili mereka yang berstatus sebagai bukan pemilik modal, miskin, r.vanita, agama, dan sebagainya. IGitik selanjutnya terkait dengan apakah
wacana yang dihasilkan dari debat kritis itu dapat tersuarakan sehingga diperhatikan
oleh pemegang kekuasaan, dalam hal ini penyelenggata neg^t^ dan pemerintah. Sebab, selalu ada kepenringan jika terkait dengan pemerintah dan juga masyarakat kaprtalis saat itu. Ini bisa saja menyebabkan arus komunikasi dati wacana yang dibangun tidak pernah sampai kepada pengambil keputusan atau sebaliknya para pengambil keputusan itu yang tidak bisa menjangkaunya. Terhadap kritik pertama Fraser, perkembangan masyarakat jejartng saat ini telah membuka peluang bagi semua kalangan dari beragam latar belakang kelas untuk terlibat aktif dalam diskusi publik dan mengkontsruk wacana sebagai respon dari realitas politik atau proses demokratisasi. Meshi tetap saja ada kritik yang menyatakan bahwa ruang-ruang virtual untuk diskusi dan debat terlalu banyak (ouerbac), namun disinilah pengguna bisa menentukan pilihan ruang virtual mana yang bisa mereka ikuti. Sementata dalam kritik kedua pada dasarnya juga menjadi ktitik yang sama ketika membincangkan soal ruang virtual. Secara lebih spesi6k, Benkler (2006:10-1 6) memberikan
kritik tentang bagai-
mana ruang virtual-Benkler menyebutnya dengan " networked pablic sphere"--_'tw rentan terhadap persoalan.Internet memungkinkan siapa saja untuk berbicara atau mendistribusikan informasi dan ketika semua orang berbicara siapa yang akan mendengar, itulah yang disebut Benkler dengan "Babel Oltlection". ^pa Terlalu banyaknya informasi yang bedalu-lalang di ruang virtual juga membuka kemungkinan-kemungkinan informasi yang diunggah itu hanya sekadar rumor, palsu, atau hoax pada dasarnya akan membawa pada debat yang terfragmentasi dan tidak menutup kemungkinan komunitas politik virtual yang terbentuk akan lenyap begitu saja. I{eberadaan internet yang tidak selama betsifat desentralisasi juga menjadi kltik terhadap ruang virtual bagi Benkler. Jutaan bahkan milyaran situs yang berada di intetnet merupakan jumlah yang cukup banyak bagi pengguna untuk bisa memilah dan menentukan man ruang virtual yang sesuai dengan aspirasi dan tentu saja menjunjung tinggi proses demokrasi melalui debat kritis namun demokraris. Banyaknya ruang r,-irtual dan dilandasi dengan rujuan atau morif yang melandasinya pada titik tertentu bisa menempatkan hasil debar kritis yang drhasilkan di ruang
virtual tersebut tidak memiliki dukungan yang cukup kuat.
Di
bandingkan dengan media tradisional seperri koran, televisi, dan radio, keberadaan internet sebagai ruang virtual juga tidak bisa menggantrkan peran pengawasan (tuatchdo!. Media tradtsional dengan sejarah panjang kemunculannya serta keterbatasan pengguna d,alam mengakses internet, khususnya di negara
berkembang, menjadi dua sisi yang bisa saling bertentangan. Sifat media yang menjangkau pelosok desa dan iuga pola ffansmisi pesan broadcast tttedia (Holmes, 2005) memungkinkan opini yang dibangun berdasatkan satu suara' dilampin oleh alasan demi alasan, dan juga bisa rnembangun kepercaayaan dalam benak audiens. Meski bagi Benkler media tradisional ketika telah menguasai pasarmemberikan kesempatan kepada pemilik media untuk membangun opini serta informasi menurut versi mereka dan keberadaan internet sebagairuangvirtual bisa menyeimbangkannya, namun fokus audiens masih iauh lebih besar kepada media tradisional dibandinkan dengan internet.
terhadap ruang virtual juga bisa muncul dari apa yang dikatakan sebagai " digital diuidd'; dalam konteks ini penulis memandangnya dalam dua sudut berbeda, terkait akses dan perangkat. Sama halnya dengan ruang publim Habermas, bahwa di ruang virtual juga teriadi apa yang disebut pembatasan ketedibatan Pengguna terhadap sebuah komunitas diskusi politik. Petangkat sepetti grup di Facebook atau milis seperti Yahoo Groups memberikan peluang bagi pengelola grup untuk
Iftitik
membatasi siapa saja dalam mengakses informasi. Selain itu, akses terhadap internet dan ruang-ruang virtual juga terkendala oleh kemampuan warga dalam memiliki atau menggunakan perangkat teknologi. Data statistik dati http: / / wwwinternetwoddstats.com/asia/id.htm yang diakses penulis pada 11' Jub. 2012 meny^t^kan bahwa pengguna internet di Indonesia diperkirakan berjumlah 30 juta pengguna atau sekitat 1.2,3 persen dari iumlah penduduk. Jika dibandingkan dengan neg t^-neg t^ di Asia, maka Indonesia hanya berada di ututan ke empat setelah Cina, India, dan Jepang sebagaimana gambar berikut:
Gambar 2. Statistik Negara Pengguna Internet Terbesar di Asia pada Tahun 2011 Asia Top lnternet Countries December 31, 2011 Cr,-n 121 0
Jipan
101.?
9
g1jsll
s5.o
W ro.: viehan, E$ lfi :o'r PhilrpDnres X lff rs.z P S zv.r *- f, rt.: @=
E fi.t 0
50 100 150 200 250 100 150 {o0 450 500 5s0
000
,.ll"'lil,ll" "
r,i!uDE rirern.r w,rir:r st.lts - w\ri\ intr r"*.',,llon. : lLl7,l-:3 74: lnl!rnrt usirs in ilrE Wnrll pslinr3i!d far C rFyriqhl O
101 1O4
1001-:011, LIini"vills lllirktirnq Grrun
Jumlah 30 juta sebagaim^n y^ng dilansir tersebut tidaklah mewakili pengguna yang dipastikan akan tedibat dalam diskusi kritis di ruang virtual. Ada beragam alasan pengguna d^l^m mengakses internet dari sekadar untuk merespon realitas politik. Apalagi dengan maraknya situs jejaring sosial semacam Facebook atau
Twitter yang terkadang lebih digunakan pengguna hanya untuk memperbaru status di dinding atau menuhskan aktivitas keseharian.
Penutup Tetkoneksinya entitas secara global serta beragamnya media komunikasi dan atau interaksi melalui perangkat internet memberikan peluang bagu terciptanya ruang virtual bagi demokrasi. Namun, kenyataan juga tidak bisa dibantah bahwa koneksi entitas yang dalam segi kuantitas terbilang banyak tersebut tidak menutup kemungkinan ruang virtual tersebut menjadi tidak demokratis dan ekslusif dengan anggota yang rnemiLiki kepentingan pribadi dibandingkan pubLik.
Juga,kita tidak bisa dielakhan bahwa ruang virtual pada kenyataannya tidak betbeda dati ruang publik yang secara historis digiatkan oleh lialangan borjuis.
Pasalnya, tidak semua warga bisa mengakses internet dan hanya warga yang memiliki kepemilikan terhadap komputer dan koneksi internetlah-disebut sebagai " baurgeois computer
holderi' (Fraser, 1992)-yatg bisa tetlibat dalam ruang virtual tersebut.
setidaknya bisa diantisipasi dengan penyadaran diti terhadap entitas yang akan te rlibat clalam ruang virtual. Melalui medium komunikasi altetnatif seperti internet, setidaknya entitas diberi kesempatan lebih luas untuk bertukat pikiran terhadap kepentingan publik dan juga sebagai peniaga terhadap kebijakankebijakan pengemban arnanah poJitik yang merugikan publik. Proses penyadatan Persoalan
ini
did ini bagi Dean (2003) lebih mencerminkan apa yang disebut Levi Strauss sebagai "qero institttlion". Term ini digunakan Levi untuk menielaskan keberadaan institusi atau kelompok watga yang tidak berdasarkan fungsi atau tujuan dari anggota keiompoknya. Artinya, setiap entitas yang berada dalam tuang virtual menyadad bahwa mereka bertindak sebagai anggota dari ruang virtual itu. Latar belakang demografis atau ideologi poLitik yang dianut oleh entitas menjadi terabaikan ketika berada di ruang virtual; wacana yang dibangun pun berdasarkan diskusi kritis dan debat yang ilmiah demi kepentingan publik. Sebab, Dean melihat internet pada dasarnya merupakan tempat tumbuhnya konflik apablla pata aktivis (politik) dari beragam bendera betinteraksi di dalamnya.
Daftar Pustaka Benkler, Yochai. (2006). The lrealth of Nehvorks: How Social Prodaction Transforms Markeh and Freedotn. New Haden and London: Yale University Ptess. Castells, Manuel. (1997).The Infornation Age: Economl, Sociel b Caltare, Vo/.2: The Power af ldenti4t.Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Castells, Manuel. Q)rJ\.The Internet Galaxl. Oxford: Oxford University Press.
Cheung, Charles. (2000). A home on the lVeb: Presentations oJ Self on Personal Honepages, dalam D. Gaudet (ed.),1{/eb,Stadies: fuwiingMedia Stadiesfor the Digital Age. London: Arnold. Habermas, Jurgen. (1962/1989).The Stradural Transfornation of the Pah/ic Sphere: Inquiry into a Categorl of a Bourgeais Socie!. Caml:idge, MA: MIT Press.
An
Hine, Christine. (2000).Virtual Ethnograplry. London, Thousand Oaks, New Dehli: SAGE Publication. Ingram, Dai'rd. (2010) . Llabermas, Introduction and Anaisis. Ithaca and London: Cornell University Press. Pusey.
(1
987).
/zz
rgen Haberruas.
London and Ne'ri York: Roudedge'
Rycroft, Alan E. (.2007) YonngAdu/ts and Virhnl
Pab/tc .lpheres:
B
lding a Nay Politica/
Cu ltwre,
f /sunshinecon-rmunications.ca f adtcles f vutual_public_spheres. pdf> (diakses pada28Januari2012), Victoria, Canada: Ro1'al Roads Universiq'. Thompson, JohnB. (1.981).Citical Henneneutics, A StildJ, in the Thaugltt Par/Ricoeur and Jnrgen Habenuas. New York:Cambtidge University Press. Van Dijk, Jan. Q006). The Network
R.eferensi lain
.5ocieft.
London: SAGE PubLications.
:
Barlas, Mehnret Adnan dan Caliskan, Olgu. (2006).
"Vitzal
Space as a Pab/ic,fphere;
Rethinking the Politual and ProfessionalAgenda ,fpatial Planning and Desi,gn", dalam
Jutnal METUJFA. Vol.23. No.2. hal.1-20. Beers, David. (2006). The Pablic Sphere and Online, Independent Joarnalisru, dalam Canadian Jaarnal Education. Vol.9. No.1. hal.109-130. Camp, Jeand and Chien, YT. (2000). "The Internet as Pablic .fpace:Concepts, Isnes, and Inplicatians in Puhlic Po ", clalam jvnal AC\L|'IGCAJ' Conputers and ,\'ocie!,
Volume 30 Issue 3, September 2000, p.1.3 - 19
(diakses pada 9 Jah 2012).
Dahlberg, Lincoln. (2001). Exnnding the Pab/ic Sphere Thruryh Clber:face: The Case Minnesota E-Democrac),, dalam jurnal elektronik First MandE, Volume (r, No.3,
5 Maret
/ /u,'rwv fi rstmonday. org / htbin / cgiw r ap /bin / o j s /index. php / f m / article / vlew / 838 / 7 47 > (diakses p ada 7 J uli 201 2). 200
1
< h ttp
:
Ctang, M. (2010). "Cyberspac as tlLe New Pnb/ic Damain", dalam Urltan Diau t: .lpace, Cnlture and Inc/usirc Phlralrsm in Cilies lVorlduide.Balttmore. MD: John Hopkins Universitv Presss; \X/oodrow Wilson International for Scholars. ha|.99-122.
Dean,J. Q003).lVfui tlteNetisNotuPuh/icSpbere,dalamjurnalConstellations.Vol.l0. No.1. Ilal.95-112. Fraser,Nancy. (2007)."Transnationa rythePablitSphere,OntheL,egitinaclandElJicacl Public Opinion in a Po.n-W'estphalian IVor//', dalam jurnal Theory, Culture & Society. Vol.24. No.4. Hal.7-30 (diakses pada 11, Juli 2012).
Goldbetg, Greg (2010). Rethinking the Pablic/Virh.ta/ .lphere: The Probhn lYith Participation, dipublikasikan pada 6 Desember 201,0
om f co ntent f
13
/ 5/
7
39
>
(diak s es pada 28 J anoati 20 1 2).
Habetmas, Jurgen. (2006). (diakses Desember
4l'#ffi'umxnion
2012)
&
Johnson, Thomas J. Q011). "Overthrowing the Protest Paradigm", dzlam International Journal of Communication. Vol.5. hal.1359-1374.
Harlon, Summer
Lim,M. (2002)."C1ber+iuicSpaceinlndonesid',dalamlnternationalDeuelopmentPlanning Review,Yol.24, No.4, hal 383-400.
Lunat, Ztyaad (2008). "The Internet and the Pablic Sphere: Euidence fron Ciuil Soriej in Deuelopment Coanliu", dalam The Ekctronic Joarnal of Inforntation Sltstems in D
eu e lopi ng
C o u n tie s, Vol.
3
5. No. 3. hal.1. -1 2.
Papacharissi, ZizL (2002). "The Virtual Sphere, The Internet as a Public Spbere", dalam
Jnrnal New Mediadz Sociej, Vol 4. No.1. hal9-27. Ubayasiri, IGsun. (2007). "Internet and the Pablic Sphere" (diakses pada 28 Januzn 201.2).
White, David
S.,
& Le Cornu, Alison .
(201'1) . " Visitorc and Ruidents:
A
New T-ypology
for Online Engagement", dalam jurnal elektronik First Monday Volume 6, No.9, 5 September 2011, (diakses pada 7 J:ul:' 20 2). 1'
VOL.]I\E
Rycroft, Alan E. (.2007) YoungAdults and Vitual Ptblic Spberes: Bui/ding a Nen, Po/itical Cu/tare,
pdf>
(diakses pada28Jamar|2012),Victoria, Canada: Rolral 116^4, Universitr'.
Thompson, JohnB. (1981).Critual Herrueneutics, A Sturfi in the Thoug/tt Par/Rjcoear and Jurgen Haberrtas. Nerv Yotk:CamLrridge University Press. Van Dijk, Jan. (2006). Tbe Network
R.eferensi lain
S'ocie4l
London: SAGE Publications.
:
Barlas, Mehmet Adnan dan Caliskan, Olgu. (2006). "Virtual.lparc
a.r a
Pub/i
Sphere;
Rethinking the Po/itical and Professional Agenda Spatial Planning aad De:i.ry", dalam
Jurnal METUJFA. Vol.23. No.2. hal.1-20. Beers, David. (2006). The Paltlic ,lphere and Online, Independent Janrnalism, dalam Canadian Joarnal Edacation. Vol.9. No.1. hal.109-130. Camp, Jeand and Chien, YT (2000). "The Internet as Pablic .9pace:Concepts, Is.wes, and Irup/ications in Pnhlic Po/ic1", dalam jurnal ACM SIGCA.S' Compaters and ,5'ocie4t,
Volume 30 Issue 3, September 2000, p.13 - 19 (diakses pada 9 Juli 2012).
Dahlberg, Lincoin. (2001). Extending the Puhlic Spbere Thraugh Cyberspan: The Case Minnesota E-Democracli dalam jurnal elektronik Fir:t Monday Volume 6, No.3,
5 Maret
200 i
php / fm / arrtcle / vlew / 838 / 147
>
(diakses pada 7 Juil 2012). Crang, M. ('2010). "Cybenpac as tbe Neu Pub/n Dotnain", dalam Urban
Diuer. : .lpan,
Cu/kre and Inchsiue Phralrstn in Cities l.l!/orldpide.Baltimore. NID: John Hopkins University Presss; Woodrow Wilson Internauonal for Scholars. hal.99 -1,22. Dean, J. Q003). lVfu tbe Net h Na/ a Pahlic Sphere, dalam jurnal Constellations. Vol.1 0.
No.1. Ilal.95-112. Fraser, Nancy. Q007). "Trun:nationa/i{ng lhe Pab/ir Sphere, On the Legitittacl and Erticarl Pfulic Opinion in a Po.n-W'esQhalian llTorLl', dalam jurnal Theory, Culture &
Sociery: Vol.24. No.4. Ha1.7-30 (diakses pada 11,Jul:2012). Par/tcipation, dipublikasikan pada
com/content/
>
6 Desember 2010
(diakses pada 28 Januari 201 2). Habermas, Jurgen. (2006). (diakses Desember 1
3
/ 5 / 7 39
Pentingnya Karakter Komunikatif dalam Rumah Tangga Oleh : Suciati Korespondensi: email: [email protected], No Hp : 08156732855 Dosen llmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, aktif meneliti dalam bidang komunikasi antar pribadi dan komunikasi keagamaan.
Abstract marrioge lies in the extent to the ability of each portner to integrate of the two different personolities. ln order to reolize the integration of personality depend on the intense communication between husband ond wife. Love and biological satisfaction may be moke fun at storting of the wedding. But this may not last long if each portner is not oble to integrate with each other and adapt to mointain friendship. On the other hand, when the integrotion of the personoLity embodied, it will make the feeling of hoppiness of the household. The marrioge often becomes routine life for the husbond and wife. They think that their portner should know whot the wishes. This is not true. Couples need to estoblish smooth communication and improve to openess with each other, share stories, eoch expressed the desire publicly, correct each partner's fault, wiLling to accept mistokes without argutng or feeling hurt. The smooth communication will be eosier to solve problems and make the decisions. This poper will also offend an lslamic communication. This communication can become considering os o solution to achieve a harmonious househoLd. There are at Leost 5 items that could be a indicators of the intense communication towords the lslamic perspective: communicoting with truth, similarity of meaning between the communicoting porticipont, matching between word and gesture, there is congruence between the verbal expression of non-verbal expressions , effect on the ottitudes ond behavtor of personal, ond reLotionships are more intimate with a partner The essence of
Keywords: morrioge, personolity, similartty of meoning, lslamic commun
icat io n,
ve r bo
I ex pressio n.
Abstrak Hakikat suatu perkawinan terletak pada sampai berapajauh kemampuan masing-masing pasangan untuk saling berintegrasi dari 2 kepribadian yang berbeda. Dalam rangka mewujudkan integrasi kepribadian tidak akan pernah lepas dari komunikasi yang intens antara pasangan suami istri. Cinta dan kepuasan biologis mungkin menyenangkan pada awal pernikahan. Namun hal ini kemungkinan tidak berlangsung lama jika masing-masing pasangan tidak mampu saling berintegrasi dan beradaptasi menjaga hubungan silaturahmi. Di sisi lain ketika integrasi kepribadian terwujud maka perasaan