PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) DALAM MENERBITKAN SERTIFIKAT TANAH YANG MEMENUHI AZAZ KEPASTIAN HUKUM Oleh: ADIATMA POMALINGO ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menerbitkan Sertifikat Tanah yang Memenuhi Azas Kepastian Hukum, Untuk mengetahui dan mencari jawaban yang tepat terhadap hambatan yang di hadapi oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam menerbitkan Sertifikat Tanah yang memenuhi Azas Kepastian Hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan lokasi penelitian di Kota Gorontalo, khususnya di Badan Pertanahan Kota Gorontalo. Dari hasil penelitian di peroleh bahwa Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sebagai peraturan dasar hukum tanah nasional, telah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah. hambatan yang dihadapi oleh Badan Pertanahan Nasional dan solusinya adalah hambatan eksternal dan hambatan internal, solusi yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yaitu dengan cara mediasi sebagai penyelesaian sengketa dan konflik yang terjadi. Kata Kunci : Badan Pertanahan Nasional, Sertifikat Tanah, Kepastian Hukum PENDAHULUAN Kebutuhan atas tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah badan usaha, dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah tidak saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani, tetapi juga dapat dipakai sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari Bank untuk keperluan jual beli dan sewa menyewa.1 Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, oleh karena sebagian besar dari pada kehidupan manusia salah satunya bergantung pada keberadaan dan kepemilikan pada tanah. Tanah dapat dinilai sebagai suatu harta yang mempunyai sifat tetap dan dapat dicadangkan untuk kehidupan pada masa mendatang. Bahkan ada pendapat yang menyatakan tanah merupakan investasi besar buat bekal harta di waktu yang akan datang. Penataan ulang struktur dan kebijakan pertanahan dalam hal penguasaan, kepemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria perlu dilakukan dengan komitmen politik pemerintah yang sungguh-sungguh untuk memberikan arah dan dasar yang jelas dalam suatu kerangka pembaruan agraria yang berkeadilan, demokratis dan berkelanjutan. Hal ini
1
Sangsun SP Florianus, 2008, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Jakarta. Hal. 45
mengingat begitu banyak dan kompleks permasalahan yang muncul di bidang pertanahan, apabila tidak dikelola secara baik dan benar.2 Salah satu lembaga yang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional atau disingkat BPN yang diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) No 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Secara garis besar Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 1 ayat (1) PP No 10 tahun 2006). Selanjutnya dalam Pasal 2 PP No 10 tahun 2006 dinyatakan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dengan adanya ketentuan peraturan pemerintah ini, maka secara jelas Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang pertanahan baik secara nasional maupun daerah. Rintangan dan hambatan seperti diuraikan di atas tentunya merupakan tanggung jawab yang diemban oleh lembaga Badan Pertanahan Nasional untuk dapat memecahkan persoalan tersebut, atau paling tidak dapat meminimalisir setiap sengketa yang muncul di bidang pertanahan. Demikian juga halnya dengan Badan Pertanahan Nasional yang ada di daerah Kota Gorontalo. Berbagai persoalan di bidang pertanahan yang terjadi di wilayah hukum Kota Gorontalo tentunya membutuhkan peran yang cukup besar dari lembaga ini untuk mengatasi setiap persoalan yang muncul setiap saat. Penelitian ini memfokuskan pada Bagaimana Peran Badan Pentanahan Nasional (BPN) dalam Menerbitkan Sertifikat Tanah yang Memenuhi Azas Kepastian Hukum, Apa hambatan yang di hadapi oleh Badan Pentanahan Nasional (BPN) dalam Menerbitkan Sertifikat Tanah yang Memenuhi Azas Kepastian Hukum. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dengan lokasi penelitian di Kota Gorontalo khususnya Badan Pertanahan Kota Gorontalo. Sumber data dalam penelitian menggunakan data primer dengan menggunakan analisis kualitatif deskriptif. Peran Badan Pertanahan Nasional di bidang Pertanahan Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan profesinya maka dia menjalankan suatu peranan (role). Setiap orang dalam pola pergaulan hidup mempunyai peranan. Dalam peranan adalah bagian yang dimainkan seorang pemain. Peranan mempunyai arti perbuatan seseorang bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat kepadanya. Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial atau kedudukan berarti juga tempat seseorang dalam suatu pola tertentu.3 2
Maria Sumardjono, S.W 2006, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta. Cetakan Pertama, Kompas. Halm. 45. 3
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional 2002 hal. 854
Pada dasarnya hak dan segala kewenangan yang melekat yang dimiliki oleh Badan Pertanahan Nasional atau BPN merupakan amanah dari Peraturan yakni Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam perkembangan selanjutnya sebagai wakil pemerintah non departemen yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Badan Pertanahan Nasional atau BPN telah menetapkan visi dan misinya ke depan. Adapun yang menjadi visi BPN adalah Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. Hak Milik Atas Tanah menurut UUPA Negara Indonesia adalah negara hukum, dimana Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sumber hukum. Dalam kaitan dengan hak milik ditetapkan pasal 28 huruf h ayat (4), bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh orang lain”. Hak milik merupakan yang hak yang bersifat asasi bagi setiap orang. Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara yaitu seorang warga negara juga memiliki kewajiban asasi untuk menghormati hakhak asasi warga lainya. Hak asasi manusia Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang sebebas-bebasnya.4 Berkenaan dengan hal itu, Sifat khas dari hak milik ialah hak yang turun temurun, terkuat dan terpenuhi. Bahwa hak milik merupakan hak yang kuat, berarti hak itu tidak mudah dihapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain. Oleh karena itu hak tersebut wajib didaftar.5 Ciri-ciri hak milik adalah sebagai berikut: (1) Hak milik adalah hak yang terkuat (Pasal 20 UUPA) sehingga harus didaftarkan. (2) Dapat beralih, artinya dapat diwariskan kepada ahli warisnya (Pasal 20 UUPA). (3) Dapat dialihkan kepada pihak yang memenuhi syarat (Pasal 20 jo Pasal 26 UUPA). (4) Dapat menjadi induk dari hak-hak atas tanah yang lain, artinya dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lain, yaitu hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, dan hak menumpang. Hak milik sebaliknya tidak dapat berinduk pada hak atas tanah lainnya. (5) Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan (Pasal 25 UUPA). (6) Dapat dilepaskan oleh mempunyai hak atas tanah (Pasal 27 UUPA). (7) Dapat diwakafkan (Pasal 49 ayat (3) UUPA.6 Sifat-sifat dari hak milik atas tanah adalah sebagai berikut: (1) Dapat beralih karena pewarisan, sebab bersifat turun temurun. (2) Penggunaannya
4
Sri Edi Swasono kompas,14-8-2006 Budi Harsono,Hukum Agraria Indonesia,Sejarah Pembentukan UUPA,Isi dan Pelaksanaanya.Jakarta, 2003.halm.55. 5
6
Ibid
tidak terbatas dan tidak dibatasi sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (3) Dapat diberikan sesuatu hak atas tanah lainnya di atas hak milik oleh pemiliknya kepada pihak lain.7 Pendaftaran Tanah Secara yuridis pengertian tanah dijelaskan dalam pasal 1 ayat (4) UUPA, yang berbunyi sebagai berikut : “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta berada di bawah air”. Dalam penjelasan Pasal 1 ayat (4) UUPA tersebut diatas, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan tanah adalah permukaan tanah adalah permukaan bumi. Jadi disini dibedakan mengenai pengertian bumi dan tanah. Pengertian tanah menurut geografis adalah lapisan permukaan bumi yang bisa digunakan manusia untuk dipakai sebagai usaha. Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang berbatas, karenanya hak atas tanah bukan saja memberikan wewenang untuk mempergunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang disebut tanah, tetapi juga sebagian tubuh bumi yang dibawahnya dan air serta ruang yang ada diatasnya dengan pembatasan. Tetapi tubuh bumi dibawah tanah dan ruang angkasa yang ada di atasnya sendiri, bukan merupakan obyek hak atas tanah, bukan termasuk obyek yang dipunyai pemegang hak atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan salah satu hal yang diatur dalam Hukum Agraria dan didasarkan pada keberadaan hukum adat. Bahwa tanah merupakan asset yang sangat berharga dan penting pada sekarang ini serta banyak permasalahan yang timbul dan bersumber dari hak atas tanah. Untuk mengantisipasinya dan mencegah permasalahan yang mungkin timbul maka pemilik hak perlu mendaftarakan tanah yang menjadi haknya supaya tidak terjadi sengketa yang merugikan di kemudian hari. Hak atas tanah suatu bidang tanah harus didaftarkan karena dengan mendaftarkan hak atas tanah yang kita miliki maka kepemilikan kita atas bidang tanah tersebut berkekuatan hukum. Menurut ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dikenal beberapa macam hak atas tanah, yaitu: (1) Hak Milik. (2) Hak Guna Usaha (3) Hak Guna Bangunan. (4) Hak Pakai. (5) Hak Sewa. (6) Hak Membuka Hutan. (7) Hak Memungut Hasil Hutan. (8) Hak-hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Asas-Asas Dan Tujuan Pendaftaran Tanah
7
Mochtar Wahid,Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah.Jakarta.2008.halm.22.
Asas sederhana : Asas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah. Asas aman : Asas aman dimaksudkan untuk menunjukan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara cermat dan teliti sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah itu sendiri. Asas terjangkau : Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa dijangkau oleh para pihak yang memerlukan. Asas mutakhir : Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaanya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya, data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang baru (mutakhir), sehingga perlu diikuti kewajiban mendaftar dan mencatat perubahan-perubahan yang terjadi. Asas terbuka : Asas terbuka adalah menuntut dipeliharanya pendaftaran tanah secara terus menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dengan demikian masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat. Kepastian Hukum Menurut Suseno kepastian diartikan sebagai kejelasan norma, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang dikenakan peraturan itu. Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam masyarakat. Hal ini untuk tidak menimbulkan banyak salah tafsir. Kepastian dapat pula mengandung arti yakni: Pertama, adanya kejelasan; Kedua, tidak menimbulkan multi tafsir atau keraguan; Ketiga, tidak menimbulkan kontradiktif; Keempat, dapat dilaksanakan. Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman perilaku bagi semua orang. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Adanya keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian, karena dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupannya bermasyarakat. Untuk sampai pada kepastian, maka hukum harus mengandung keterbukaan, sehingga siapapun dapat memahami makna atas sesuatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan hukum yang lain tidak boleh kontradiktif, karena bila demikian justru menjadi sumber keraguan. Apabila sampai terjadi
kontradiktif, maka pertentangan demikian harus secepatnya diakhiri melalui perangkat sistem hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan salah satu hal yang paling sering dipersoalkan. Kepastian hukum dapat diartikan berlakunya hukum secara tegas dalam masyarakat. Karenanya untuk dapat memahami secara jelas tentang kepastian hukum, maka perlu diuraikan juga pengertian kepastian hukum oleh para ahli di bawah ini. 8 Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian hukum. Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti, artinya didasarkan pada kenyataan dan hakim tidak menggunakan penilaiannya sendiri, seperti melalui klausula umum “kesopanan” dan “kemauan baik”. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah. Apa yang dikatakan oleh Radbruch di atas didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum, maka datanglah kepastian. Selanjutnya
Radbruch
menyatakan
unsur
kepastian
hukum
harus
dijaga
demi
keteraturan/ketertiban suatu negara, oleh karenanya hukum positif yang mengatur kepentingankepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati, meskipun hukum positif itu kurang adil atau kurang mencapai tujuan hukum. Proses Pendaftaran Hak Atas Tanah (sertifikat) Untuk Memperoleh Jaminan Kepastian Hukum Proses pendaftaran tanah dimulai dengan proses administrasi penelitian bukti-bukti pemilikan dan dokumen-dokumen pendukung yang di lampirkan dalam permohonan hak milik atas tanah. Selanjutnya Kantor Pertanahan secara operasional melakukan pengukuran dan pemetaan untuk mengidentifikasi data fisik tanah yang meliputi letak, batas-batas dari para pemilik yang bersebelahan serta kebenaran data yuridis yang disertakan dalam proses permohonan hak atas tanahnya. Proses administrasi berikutnya penerbitan surat penetapan hak, dan selanjutnya pembukuan hak atas tanah dalam Buku Tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan, kemudian di terbitkan salinan yang disebut Sertifikat Hak Atas Tanah. Proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah merupakan hasil berfungsinya struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Dalam hal ini struktur hukum mencakup keadaan institusi pelaksana dan aparat pelaksana kegiatan
8
Fence M. Wantu, 2011, Idee Des Recht (Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan). Pustaka Pelajar. Jogyakarta. Hal. 89
pendaftaran tanah. Sedangkan substansi hukum meliputi peraturan perundangan yang menjadi dasar pelaksanaan kebijakan, sistem, tujuan pendaftaran tanah dan ketatalaksanaannya. Adapun kultur hukum dalam masyarakat dan realitas sosial berpengaruh dalam proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah dan proses pengujian kepastian hukum di lembaga pengadilan. Dalam proses penerbitan sertifikat hak milik atas tanah, kultur hukum masyarakat berperan dalam memberikan keterangan kebenaran data fisik dan data yuridis tanah. Kultur hukum masyarakat juga berperan dalam proses peradilan yang merupakan lembaga tempat mencari keadilan. Penyelenggaraan pendaftaran hak atas tanah merupakan rangkaian kegiatan, dari pengajuan permohonan hak oleh pemohon hak yang di lengkapi data pemilikan tanah, kemudian kegiatan administrasi ketatausahaan yang meliputi penelitian kelengkapan berkas, pencatatan dalam daftar-daftar isian, penetapan pertugas dan waktu kegiatan lapang. Di lanjutkan kegiatan operasional di lapang mulai dari penetapan batas, pelaksanaan pengukuran dan penandatangan berita acara penetapan batas. Penetapan letak tepat bidang tanah, merupakan salah satu aspek yang sangat menentukan nilai kepstian hukum hak atas tanah yang terdaftar. Terkait dengan kepentingan itu terutama untuk memastikan letak tempat sebidang tanah yang sudah dilekati sesuatu hak, serta keberadaan bidang-bidang tanah lainnya, baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar. Untuk memenuhi prinsip kehati-hatian, maka pengukuran dan penetapan batas tanah harus disertai persetujuan oleh tetangga berbatasan (contradictoire delimitatie). Upaya untuk membuktikan kebenaran hak yang dimohonkan, dilakukan dengan menelaah riwayat penguasaan/ penilikan tanah sejak awal sampai dikuasai/ dimiliki pemohon hak, termasuk proses perolehan hak (penguasaan langsung atau peraliahan atau pemindahan hak). Dari kgiatan itu diharapkan nampak adanya itikad baik atau sebaliknya sebagai salah satu aspek yang menentukan kadar kepastian huum pemilikan tanah. Untuk keperluan pendaftaran konversi bekas hak-hak lama, dengan mengingat system pemilikan tanah menurut adat yang tidak menganut bukti tertulis, maka ketelitian penulusuran riwayat pemilikan tanah sangat membutuhkan keterampilan dan kehati-hatian aparat pertanahan. Sedangkan mengenai pendaftaran hak baru, selain penelitian proses penguasaan, juga diperlukan perimbangan terpenuhinya syarat untuk pemberian hak terutama mengenai status tanah, peruntukan/ penggunaan, subyek hak dan kepentingan yang lebih tinggi temasuk kepentingan umum. Hak atas tanah yang yelah di tetapkan, baik melalui penegasan konversi, pengakuan hak maupun pemberian hak milik, selanjutnya dicatat dan dibukukan dalam buku tanah yang memuat data fisik dan yuridis serta subyek hak. Kadar kepastian hukum sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat, tidak hanya ditentukan oleh terpenuhinya aturan hukum secara formil, tetpi lebih penting adalah sejauh mana penerapan aturan-aturan secara benar sehingga substansi hukum terpenuhi.
Hambatan Dan Solusi BPN Dalam Menerbitkan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah
Di Kota
Gorontalo. Dalam pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atas tanah ada kalanya tidak berjalan dengan lancar, dikarenakan masih adanya beberapa faktor yang menghambat pendaftaran tanah dimana faktor penghambat pendaftaran tersebut dimungkinkan datang dari : 1. PPAT : Faktor penghambat yang biasanya datang dari pihak PPAT adalah : Pada awal tahun sering terjadi Kantor Pajak Bumi Dan Bangunan belum menerbitkan SPPT untuk tahun berjalan, padahal saat itu datang pemohon untuk mengalihkan hak atas tanah, saat itu data NJOP yang diperlukan belum ada, maka dapat terjadi PPAT menunda proses tersebut menunggu sampai terbitnya SPPT dari Kantor PPB itu. 2. BPN :
Masih adanya didalam memberikan keterangan atau penjelasan kepada masyarakat
petugas BPN berbelit-belit,
Berkas yang sudah lama sampai di Pertanahan tetapi sampai
waktunya yang ditetapkan belum selesai, baru setelah pemohon menanyakan kepada petugas, diperoleh jawaban bahwa masih ada kekurangan yang harus dipenuhi pemohon; 3. Masyarakat : masih adanya masyarakat yang belum mengerti atau mengetahui tentang pendaftaran tanah. masih adanya masyarakat yang menganggap bahwa pendaftaran tanah memerlukan biaya tinggi dan urusan yang bertele-tele. Terhadap permasalahan yang menghambat pelaksanaan pendaftaran tanah tersebut dapat dicari upaya untuk mengatasi hambatan yang timbul tersebut. Untuk PPAT, dalam hal kesulitan pada awal tahun belum diterbitkan SPPT oleh Kantor PBB, maka PPAT dapat menempuh jalan meminta Surat Keterangan NJOP kepada Kantor PBB, karena persoalan NJOP adalah penting dalam hal untuk menghitung besarnya pembayaran pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan yang harus dibayar oleh pemohon, dimana hal tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk mendaftarkan peralihan tanah miliknya. Untuk BPN, harus melihat kembali mengenai pengertian pendaftaran tanah itu sendiri serta asas-asas dan tujuan penyelenggaraannya. Adapun asas-asasnya adalah sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka. Dengan adanya asas-asas tersebut maka dapat memberi pengertian, maksud kepada masyarakat supaya masyarakat tidak lagi mudah ditipu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang akan merugikan masyarakat sendiri. Sebab dengan mengerti dan mengetahui masyarakat dapat mengurus pendaftaran tanahnya dengan lancar, benar dan memberi keuntungan bagi masyarakat sendiri. Untuk masyarakat, terhadap soal bahwa masih dianggap bahwa pendaftaran memerlukan biaya tinggi dan urusan yang bertele-tele, dapat diterangkan bahwa biaya akan lebih tinggi lagi jika
tanah yang bersangkutan terjadi masalah/sengketa, jika terjadi seperti itu diperlukan biaya yang tinggi dan waktu yang lebih lama. Selain hambatan diatas hambatan yang di hadapi Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Gorontalo dalam hal ini pejabat atau aparat pelaksana dalam melaksanakan tugasnya yakni mewujudkan kepastian hukum hak milik atas tanah (serftifikat) adalah sebagai berikut: (1) Sengketa Batas. Proses penetapan bidang tanah terlebih dahulu dipastikan letaknya dengan memasang tandatanda batas disetiap sudut bidang tanah bersangkutan, kemudian ditetapkan batas-batasnya bersama pemilik yang berbatasan. Selanjutnya dilakukan pengukuran dan pemetaan serta diterbitkan surat ukur yang memuat luas, bentuk, batas-batas kedudukannnya untuk keperluan pendaftaran haknya. Meliputi letak dan batas-batas tanah tesebut sering menjadi salah satu pemicu timbulnya sengketa atau konflik diantara pemohon hak si (A) dengan pemilik tanah si (B) yang disebelahnya. Dimana si (B) mengklaim bahwa batas tanah dari pemohon hak (A) sudah melewati batas tanah yang ada. Hal ini yang menjadi hambatan dalam rangka pemberian hak milik atas tanah (Sertifikat). (2) Batas Tanah tidak Jelas. Ketidak jelasan letak dan batas tanah seringkali tejadi karena sipemohon hak tidak mengetahui secara pasti batas tanahnya yang benar, sehingga menimbulkan kesulitan bagi pihak pemerintah (BPN) dalam pengukuran bidang tanah dan pelaksanaan penetapan batas serta penandatanganan tidak dapat dilakukan sebagaimana mestinya. (3) Tidak ada Informasi dari pemilik tanah yang berbatasan. Sulitnya menghadirkan para pemilik tanah yang berbatasan pada saat pengukuran bisa
menjadi hambatan yang ditemui dalam pengukuran bidang tanah didalam
menetapkan batas-batas guna untuk keperluan pendaftaran hak milik atas tanah (Sertifikat). Bila dilihat dari keberadaan pegawai yang ada di badan pertanahan Kota Gorontalo khususnya bidang pengukuran, maka dari hasil penelitian diperoleh keterangan bahwa personil yang menjalankan tugas sebagai teknisi di lapangan (pengukuran) masih terlalu minim hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan Bapak Kusno Katili9 jumlah personilnya hanya berjumlah 3 orang yang melayani 6 kecamatan (49 kelurahan) yang ada di Kota Gorontalo. Maka tidak akan mungkin dengan jumlah personil yang hanya berjumlah 3 orang dapat melaksanakan tugas dengan baik. Solusi atau upaya BPN Kota Gorontalo dalam mengatasi hambatan diatas dalam hal terjadi sengketa dan konflik pertanahan adalah berupaya sebagai mediasi dalam penyelesaiannya; dengan kata lain berupaya menerapkan sengketa atau konflik pertanahan melalui alternative penyelesaian sengketa atau Alternative dispute resolution (ADR). Seperti dalam hal permohonan hak milik (pensertifikatan). Jika terjadi sengketa dimana ada orang lain yang dating mengklaim bahwa tanah
99
Hasil wawancara dengan Kepala Seksi Bagian Survey dan Pengukuran yakni Bapak Kusno Katili. Tangal 28 Juni 2013
itu miliknya dan meminta kepada BPN untuk tidak dilanjutkan proses permohonan hak milik atas tanah tersebut. Tetapi karena hal sudah masuk dalam koridor BPN maka sudah menjadi tanggung jawab BPN untuk dapat mengatasi sengketa tersebut, dengan cara memanggil kedua pihak untuk memediasi dan langkah ini bias ditempuh sampai beberapa kali yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat membuktikan dipengadilan siapa pemilik tanah yang sebenarnya. Sehingga dengan waktu tertentu BPN akan menunda permohonan pensertifikatan tehadap tanah tersebut sampai ada pembuktian dari pengadilan yang menyatakan siapa pemilik tanah sebenarrnya. Dasar hukum penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur diluar pengadilan bepedoman pada UU No. 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 34 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan, dan melalui mediasi berdasarkan Petunjuk Teknis No. 05/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Penutup Undang-undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960 sebagai peraturan dasar hukum tanah nasional, telah meletakkan dasar-dasar untuk memberikan jaminan kepastian hukum hak-hak atas tanah. Untuk mewujudkan hal itu dilakukan pendaftaran tanah yang bersifat rechts-kadaster, yaitu bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Namun, bahwa pendaftaran yang pada realitasnya menghasilkan produk hukum berupa sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak pemilikan yang kuat, masih tetap terbuka kemungkinan dibatalkan jika ada pihak lain membuktikan sebaliknya dipengadilan. Timbulnya konflik dan perkara dalam pertanahan bukan karena semata-mata Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak berperan dalam memberikian kepastian hukum terhadap hak milik atas tanah (sertifikat) atau tidak sesuai dengan amanah peraturan perundang-undangan, tetapi karena BPN tidak memiliki kewenangan uji materiil. Adapun hambatan yang dihadapi oleh Badan Pertanahan Nasional dan solusinya adalah hambatan eksternal dan hambatan internal yakni dari masyarakat itu sendiri yang meliputi sengketa batas, batas tanah tidak jelas dan tidak ada informasi dari pemilik tanah yang berbatasan. Dalam menghadapi hambatan yang ada solusi yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yaitu dengan cara mediasi sebagai penyelesaian sengketa dan konflik yang terjadi. Secara yuridis penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur di luar pengadilan berpedoman pada : (1) UU No. 30 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. (2) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI No. 34 Tahun 2007 Tentang Pertunjukan Tekhnis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan. (3) Petunjuk Teknis No.05/JUKNIS/D.V/2007 Tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1991, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung. Citra Aditya Bakti. AP. Parlindungan, 1994. Konversi Hak-hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung. Bachtiar Effendi, 1983. Pendaftaran Tanah Di Indonesia Beserta Pelaksanaanya, Alumni, Bandung. Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, 1989. Eksistensi Prona Sebagai Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, Ghalia, Jakarta,. Fajar, Mukti, ND 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Harsono. Boedi 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta. Djambatan. Istanto, F. Sugeng, 2007, Penelitian Hukum, Yogyakarta. Penerbit CV Ganda. Sangsun SP Florianus, 2008, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Jakarta. Transmedia Pustaka. Setiawan Yudhi, 2010, Hukum Pertanahan, Teori dan Praktik, Malang. Bayumedia Publishing. Soekanto, Soerjono, 1990: Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah Di Indonesia. Surabaya. Cetakan Pertama, Penerbit Arkola. Sumardjono, Maria S.W 2006, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi Dan Implementasi. Jakarta. Cetakan Pertama, Kompas.
Sutedi, Adrian, 2007, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Jakarta. Cetakan Pertama. Sinar Grafika. Wahid Mochtar, 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. Penerbit Republika. Jakarta. Wantu Fence, 2011, Idee Des Recht (Kepastian Hukum, Keadilan, dan Kemanfaatan). Pustaka Pelajar. Jogyakarta. Wiranata, I Gede A.B, Hukum Adat Indonesia, Citra Aditiya Bandung. 2005 UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PP No 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN). http://wiki.aswajanu.com/Kota_Gorontalo www.gorontaloprov.go.id