PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
PELAYANAN PEMBUATAN SERTIFIKAT TANAH DI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL BANJARMASIN Oleh Afrida Royati Dosen Program Studi Administrasi Negara FISIP UNLAM
Abstract Target which wish reached this research is to know the service given by Office of Body of Land of National of Town Banjarmasin to society which wish to make the land certificate. Method used in this research is research method qualitative. Data collected use the observation technique and interview the data and beraga information found in field analysed descriptively is so that obtained by a systematic picture to latter ; then can be taken by a conclusion From inferential research result, service of making of land certificate given by a Land Body not yet maximal so in course of certificate making, that is in the case of time duration, circumlocutary procedure and ill defined conditions, with the correctness anda realize by giving information and also clarification to society of about the procedure by the problem Land Body can be overcome, basically from society by self less pay attention to arrange the order so that they of opinion circumlocutary procedure and ill defined condition. Recistance faced by the klurangnya skill and also facility of medium prasarana supporting in course of making of land certificate to that can pursue the its solution process. Keyword : Service Landa Certificate A. Latar Belakang ndang-Undang Pokok Agraria yang disingkat UUPA, merupakan peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia sejak empat puluh tahun yang silam. Tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan Umumnya adalah : 1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagian dan keadilan bagi Negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur. 2. Meletakkan dasar - dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. 3. Meletakkan dasar - dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
U
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Berdasarkan tujuan pokok UUPA tersebut diatas, diatur macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lain sebagainya. Berdasarkan pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Tahun 1945, yaitu Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sebagai kelanjutannya maka telah disusun Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berarti bahwa telah diletakkan dasar 150
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 yang kokoh bagi pelaksanaan pembangunan pertanahan guna terwujudnya tujuan pembinaan hukum pertanahan nasional dan menyelenggarakan administrasi pertanahan guna terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu tugas pokok Badan Pertanahan Nasional sekaligus merupakan salah satu fungsi kantor pertanahan kabupaten / kota adalah melaksanakan pelayanan pertanahan kepada masyarakat, oleh sebab itu kiranya wajar apabila pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional akan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan perhatian terhadap upaya - upaya untuk lebih meningkatkan pelayanan pertanahan tersebut. Upaya peningkatan pelayanan pertanahan kepada masyarakat mempunyai aspek yang sangat luas, dari tingkat kebijakan termasuk penertiban ketentuan peraturan yang diperlukan sampai tingkat pelaksanaannya. Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah telah menetapkan kebijakan pelayanan kepada masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan pembangunan dalam hal pembuatan sertifikat tanah. Untuk itu telah dikeluarkan Instruksi Menteri Agraria kepada Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1998 Tentang Peningkatan Efisiensi dan Kualitas Pelayanan Masyarakat di bidang pertanahan. Instruksi tersebut ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota di seluruh Indonesia utnuk meningkatkan efisiensi serta produktivitas dan kualitas pelayanan kepada masyarakat dibidang pertanahan. Dengan adanya tugas tersebut diatas yang ditujukan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota , diharapkan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan kualitasnya, mengingat Badan Pertanahan Nasional merupakan instansi pelayanan. Guna meningkatkan pelayanan yang lebih baik kegiatan pengurusan hak-hak atas tanah, pendaftaran
tanah serta penertiban dan pemberian sertifikat tanah akan diusahakan atau di sederhanakan dan ditingkatkan pelayanannya, dengan tidak meninggalkan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga dapat menjamin kepastian hukum terhadap setiap penguasaan tanah. Untuk menentukan kualitas pelayanan, menurut Garvin (dalam Tjiptano, 2004) ada lima macam perspektif kualitas yang berkembang. Kelima macam perspektif kualitas tersebut meliputi : (1) Transcendental approach, (2) Product-based approach, (3) User-based approach, (4) Manufacturing-based approach, (5) Valuebased approach. Kelima macam perspektif inilah yang bisa menjelaskan mengapa kualitas bisa diartikan secara beraneka ragam oleh orang yang berbeda dalam situasi yang berlainan. Pemerintah sekarang terus mengadakan pembangunan di berbagai bidang. Peningkatan pembangunan tidak saja dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang dari hari ke hari jumlahnya makin bertambah, tetapi juga untuk mewujudkan mutu kehidupan yang lebih baik demi keberhasilan pembangunan. Akan tetapi, pembangunan yang terus meningkat menyebabkan luas tanah semakin terbatas. Ini menimbulkan berbagai permasalahan di dalam masyarakat seperti kenaikan harga tanah yang tidak terkendali dan munculnya sengketa tanah yang berkepanjangan. Karena itulah pemerintah mengeluarkan suatu peraturan yang mengatur tentang pertanahan. Untuk mengatasi hambatan tersebut maka dikeluarkan peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997, tentang pendaftaran tanah yang nantinya akan dijadikan sertifikat tanah, tujuannya adalah memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan untuk mengadakan pembuatan hukum mengenai bidang tanah dan satuan rumah yang telah terdaftar, serta agar 151
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Dalam konteks pelayanan publik di daerah, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintah daerah berdasarkan keputusan MENPAN Nomor 63 Tahun 2004 menyatakan harus memiliki prinsipprinsip, standar serta asas-asas pelayanan publik meliputi kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi keamanan, tanggung jawab, kelengkapan sarana prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan, keramahan serta kenyamanan. Standar pelayanan yang sekurang-kurangnya meliputi : Prosedur pelayanan, Waktu pelayanan, Produk pelayanan, Sarana dan prasarana serta kompetensi tugas pemberi pelayanan. Sedangkan asas-asas pelayanan meliputi : Transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, kesamaan hak, keseimbangan hak dan kewajiban. Apabila dikaitkan dengan penelitian ini maka pihak Kantor Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin sebagai pihak penyelenggara pelayanan hendaknya dapat memenuhi prinsip - prinsip, standar pelayanan serta asas-asas penyelenggaraan pelayanannya kepada masyarakat atau pemohon sertifikat tanah yang ingin membuat sertifikat tanah. Data warga yang membuat sertifikat tanah di Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin pada tahun 2006 sebanyak 708 orang terjadi penurunan pada tahun 2007 dalam hal pembuatan sertifikat tanah yaitu sebanyak 550 orang saja, sedangkan pada tahun 2008 terjadi penurunan lagi sebanyak 468 orang saja. Dapat disimpulkan bahwa masyarakat atau warga yang membuat sertifikat tanah mengalami penurunan artinya sebagian masyarakat belum memiliki kesadaran dan minat untuk memiliki sertifikat tanah sebagai alat bukti bahwa mereka memiliki tanah. Dari hasil pengamatan penulis di Kantor Pertanahan Kota Banjarmasin bahwa sebagian warga masyarakat Banjarmasin masih kurang memiliki kesadaran dalam membuat sertifikat tanah, dan aparat dalam memberikan pelayanan kurang memuaskan masyarakat. Seperti keluhan masyarakat
betapa lambatnya pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Kota Banjarmasin. Berdasarkan uraian tersebut dalam tulisan ini peneliti tertarik meneliti dengan judul Pelayanan Pembuatan sertifikat Tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dibuat suatu perumusan masalah dalam penelitian ini “ Bagaimana Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah dan apa saja yang menghambat Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah di Kantor Badan pertanahan Nasional Banjarmasin ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelayanan yang diberikan oleh Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin kepada masyarakat yang ingin membuat sertifikat tanah dan mengidentifikasi kendala-kendala apa saja yang menghambat pelayanan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori Dalam Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah.
Moenir (2006), Pelayanan adalah sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang / sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam rangka memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Menurut Simamora (Pasalong, 2007) Pelayanan juga bisa diartikan sebagai kegiatan / manfaat yang ditawarkan suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak terwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produk layanan bisa berhubungan / tidak berhubungan dengan produk fisik. Menurut Garvin dan Davis dalam Nasution (2004) menyatakan, bahwa kualitas adalah kondisi dinamis lingkungan yang memenuhi atau melebih-lebihi harapan 152
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pelanggan. Badan Kepegawaian Negara (BKN) Pusat (2005), menyebutkan ada delapan unsur dalam pelayanan yakni : (1) Kesederhanaan, (2). Kejelasan dan Kepastian, (3). Keamanan, (4) Keterbukaan, (5) Efisiensi, (6) Ekonomis (7). Keadilan (8) Ketepatan waktu. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pelayanan adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dan dalam memberikan pelayanan, pemerintah harus mempunyai rasa keadilan yang merata kepada semua masyarakat, terutama dalam hal memberikan pelayanan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional. Menurut Moenir (2006) Layanan umum yang dilakukan oleh siapapun, bentuknya tidak terlepas dari tiga macam yaitu : (1) Layanan dengan lisan (2) Layanan melalui tulisan (3) Layanan dengan perbuatan. Menurut Moenir (2006) dalam pelayanan umum terdapat beberapa faktor pendukung, yaitu : (1) Faktor Kesadaran, (2) Faktor Aturan, (3) Faktor Organisasi, (4) Faktor Pendapatan, (5) Faktor Kemampuan dan Keterampilan, (6) Faktor Sarana pelayanan. Definsi dari Nasution (2004), Kualitas Pelayanan adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Menurut Grobroos dalam Tjiptono (2004) ada tiga kriteria pokok untuk pelayanan Yaitu : Outcome-related, prosessrelated dan Image-related criteria. Dan ketiga unsur tersebut masih dapat dijabarkan lagi dalam enam dimensi, yaitu : (a) Technical Guality, (b). Functional Guality, (c) Corporate Image. Menurut Crosby dalam Nasution (2004) kualitas adalah Conformance to requirement, yaitu : sesuai dengan yang diisyaratkan atau di standarkan, bila suatu produk memiliki kualitas apabila sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan dengan meliputi bahan baku, proses produksi, dan produk jadi. Penyempurnaan definisi pelayanan publik menurut KEP/25M.PAN/2/2004 yaitu kegiatan pelayanan yang dilaksanakan publik
sehingga upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundangundangan Menurut Helien (2004) Pelayanan pelanggan adalah kegiatan yang berorientasi kepada pelanggan yang terdiri dari elemenelemen nyata berupa faktor yang bisa di raba, di dengar dan dirasakan seperti ukuran, berat , warna dan sebagainya. Kemudian adanya elemen-elemen tidak nyata yaitu lebih sulit diukur dan seringkali subyektif karena tergantung pada sikap-sikap yang bisa dipengaruhi namun tidak di ajarkan, sebagai contoh rasa nyaman, rileks, percaya dan lain sebagainya. Dari beberapa pendapat para ahli tentang dimensi kualitas pelayanan, dapat di simpulkan beberapa dimensi yang kredibel yaitu dengan memenuhi syarat agar sebuah pelayanan memungkinkan untuk menimbulkan kepuasan pelanggan. Adapun dimensi-dimensi tersebut yaitu Tangibles atau bukti fisik, Reliability atau keandalan, Responsiveness atau ketanggapan, Assurance atau jaminan, kepastian Empathy, serviceability dan Recovery. Undang-undang yang tidak memberikan pengertian yang tegas mengenai sertifikat hak atas tanah, Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf C UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah di bukukan dalam buku tanah yang bersangkutan . Kalau dilihat Pasal 19 ayat (2) Huruf C UUPA, maka sertifikat itu merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. Selanjutnya pasal 32 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. 153
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Selain pengertian sertifikat yang diberikan oleh Undang- Undang secara otentik, ada juga pengertian sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah di jilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh menteri. METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian Penelitian ini mengenai Pelayanan Pembuatan Sertifikat Tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin ini menggunakan pendekatan etnometodelogi adalah penelitian yang berupaya mendeskripsikan dan memahami masyarakat berdasarkan kehidupan sehari-harinya. Pendekatan ini lebih merujuk pada bidang masalah yang diteliti dimana fokus penelitiannya adalah realitas sosial dari kehidupan manusia sehari-hari. Jadi yang dipentingkan hal-hal yang nyata dan apa adanya menurut yang dilihat dan diketahui, karena itu pendekatan ini cenderung memfokuskan pada masalah-masalah mikro. (Bagong dan Sutinah, 2007). Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif menggunakan metode-metode kualitatif untuk mengeksplorasikan makna-makna, beragam variasi dan pemahaman perseptual, yang kemudian di analisis secara kualitatif (Sarman : 2004).
B. Subyek Penelitian Berdasarkan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini maka yang menjadi subjek penelitian adalah para pegawai Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin dan masyarakat yang pernah mendapatkan pelayanan pembuatan sertifikat tanah. Dalam penelitian ini peneliti mencoba memperoleh informasi dari orang-orang yang berkompeten dibidangnya. Dalam hal ini wawancara kepada : 1). Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin. 2). Pegawai Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin yakni Sub
bagian tatausaha dan seksi survey, seksi pengukuran dan pemetaan, seksi hak tanah dan pendaftaran tanah, seksi penetapan hak, seksi pengaturan dan penataan pertanahan. 3). Masyarakat yang membuat sertifikat tanah.
C. Lokasi Penelitian Lokasi dalam penelitian ini adalah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Banjarmasin yang beralamat di Jalan Ahmad Yani Km. 4 No 141 Banjarmasin. Alasan penelitian di kantor ini karena memiliki kemudahan dalam mendapatkan data-data serta memiliki akses informasi yang dapat mendukung dalam penelitian dan juga kantor ini pusat pembuatan sertifikat tanah yang sangat penting bagi pemilik tanah dan pengguna tanah. D. Sumber Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data yang diperoleh dari sumber pertama, hal ini dapat diperoleh melalui observasi dilapangan dan wawancara dengan pegawai yang terkait dalam pelayanan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin dan warga masyarakat yang membuat sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin. Dan juga data yang diperoleh dari sumber kedua atau telah di olah dari sumber pertama. Data semacam ini bisa diperoleh melalui sumber data tertulis seperti pengumpulan dokumen, arsip terbitan pemerintah resmi atau dari pemerintah, kebijakan pemerintah atau berita atau berupa keputusan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pelaksanaan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional.
E. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a). Observasi partisipasi pasif adalah peneliti datang ke tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Dalam hal ini peneliti melibatkan masyarakat yang mengurus sertifikat, 154
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 peneliti hanya sebagai orang yang mengobservasi terhadap pelaksanaan penelitian ini. b). Wawancara adalah dilakukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan dan pegawai sub bagian tata usaha dan seksi hak tanah dan pendaftaran tanah, seksi survei, seksi pengukuran dan pemetaan, seksi penetapan hak. seksi pengaturan dan penataan pertanahan serta warga masyarakat yang membuat sertifikat tanah pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin.
F). Analisa Data Data hasil penelitian dilapangan yang telah dikumpulkan seluruhnya di analisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data dilapangan secara berkesinambungan. Di awali dengan proses klasifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksiabstraksi teoritis terhadap informasi dilapangan dan menginter-pretasikan datadata yang didapat dilapangan dengan mempertimbangkan pernyataan - pernyataan yang sangat memungkinkan di anggap mendasar dan universal Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas objek yang dikaji tetap dipertimbangkan dengan peristiwa faktual dan realistik dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi sehingga dapat diperoleh suatu analisis data yang terus menerus secara simultan sepanjang proses penelitian. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pelayanan Pembuatan sertifikat Tanah di Kantor Badan Pertanahan Nasional Banjarmasin.
Untuk sistem pelayanan perlu diperhatikan apakah ada pedoman pelayanan, syarat pelayanan yang jelas, batas waktu, biaya atau tarif, prosedur, buku panduan, media informasi terpadu, saling menghargai dari masing-masing unit terkait atau unit terkait
dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan itu sendiri. Dengan demikian sistem pelayanan adalah kesatuan yang utuh dari suatu pelayanan terkait, bagian atau awal cabang dari suatu sistem pelayanan terganggu maka akan mengganggu pula keseluruhan pelayanan itu sendiri. Dalam hal ini apabila salah satu unsur pelayanan seperti mahalnya biaya, kualitasnya rendah atau lamanya waktu pengurusan maka akan merusak citra pelayanan disuatu tempat. Melalui hasil penelitian ini, peneliti dapat mengetahui gambaran dan penjelasan mengenai pelaksanaan pelayanan pembuatan sertifikat tanah pada unit pelayanan Badan Pertanahan Kota Banjarmasin, sehingga melalui hal ini dapat diketahui pula apakah tujuan peningkatan pelayanan kepada masyarakat tersebut sudah berhasil dilaksanakan sebagaimana mestinya atau belum. Berkaitan dengan hal ini, peneliti telah melakukan wawancara dengan informan peneliti yang terdiri dari Kepala Kantor Badan Pertanahan Banjarmasin, aparat atau pegawai yang bertugas memberikan pelayanan pembuatan sertfikat tanah serta masyarakat yang membuat sertifikat tanah di Kantor Pertanahan Kota Banjarmasin. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Banjarmasin yaitu prosedur yang berlaku pada Badan Pertanahan Kota Banjarmasin selama ini mengacu pada instruksi Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1998, tentang peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan masyarakat selama ini kurang maksimal karena masih terdapat kekurangan dalam tatacara pelayanan pertanahan, dengan berbagai pertimbangan sebagai upaya memberikan pelayanan yang lebih baik maka prosedur yang lama direvisi dalam rangka penyempurnaan beberapa prosedur tatacara pelayanan sebelumnya dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang standar prosedur operasi dan pelayanan (SPOPP), sebagai upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mencerminkan adanya efisiensi, keterbukaan, akuntabilitas, 155
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kesederhanaan, keadilan, kenyamanan dan kepastian dalam memperoleh jenis-jenis pelayanan pertanahan dengan mencantumkan hal-hal yang berkaitan dengan biaya, persyaratan dan jangka waktu penyelesaian pelayanan, artinya dengan di berlakukannya prosedur yang baru tersebut dapat memudahkan masyarakat dalam melakukan pendaftran serta dapat mengetahui persyaratan apa saja yang mereka penuhi, berapa besar biaya yang harus mereka bayar dan berapa lama waktu penyelesaiannya dalam hal pembuatan sertifikat tanah tersebut sudah tercantum semuanya. Hasil wawancara dengan Sub bagian Tata Usaha Badan Pertanahan Kota Banjarmasin Ibu ST mengatakan : prosedur yang baik berupaya memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat yang mencerminkan adanya efisiensi, keterbukaan, kesederhanaan, keadilan dan kenyamanan, artinya dalam upaya memberikan pelayanan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan serta memiliki kejujuran dalam memberikan informasi serta persyaratan serta kelengkapan administrasi dan tidak bertele-tele atau apa adanya yang sesuai standar yang berlaku tanpa pilih kasih dalam memberikan pelayanan dalam hal pembuatan sertifikat sehingga mereka merasa puas terhadap pelayanan yang di berikan Badan Pertanahan Kota Banjarmasin. Dari wawancara dengan Pegawai seksi survei, pengukuran dan pemetaaan yaitu Bapak M .Husni mengatakan prosedur pelayanan pembuatan sertifikat yang diberikan kepada masyarakat sudah berjalan dengan baik dengan berlakunya standar Prosedur Operasi Prosedur dan Pelayanan (SPOPP) Nomor 1 Tahun 2005 sudah sangat membantu serta memudahkan masyarakat dalam hal pengurusan tanah karena prosedur tersebut sudah memiliki aturan yang mengatur semua prosedur tentang persyaratan serta biaya dan jangka waktu penyelesaian dalam pembuatan sertifikat dengan persyaratan (fotocopy, KTP, fotocopy segel, Surat Keterangan Keukuran Tanah (SKKT), PBB, Kwitansi juala beli, kartu keluarga). Sedangkan prosedur proses melakukan permohonan sertifikat tanah dimulai dari loket 1 (satu)
informasi menyerahkan formulir permohonan, kemudian dibuat SPS, diteruskan dengan penerimaan berkas, kemudian masuk ke loket 2A untuk melakukan pendaftaran pengukuran serta permohonan hak, selanjutnya dilakukan pengukuran penggabungan / pemisahan, pengukuran pengembalian batas, pengukuran konversi, dilanjutkan ke loket 2B untuk mendaftarkan SK (surat keterangan), pendaftaran sertifikat pengganti dan SKPT (Surat Keterangan Pengukuran Tanah) kemudian masuk menuju loket 2 C, mengurus peralihan hak, hak tanggungan, raga dan pengecekan sertifikat, setelah lengkap persyaratan tersebut kemudian pemohom membayar biaya administrasi ke loket 3 seperti biaya pengukuran, Panitia A dan BPHTP. Setelah semua proses persyaratan dan prosedurnya lengkap maka pemohon menuju ke loket 4 untuk menyerahkan SK serta penyerahan sertifikat. Hasil wawancara dengan masyarakat yang membuat sertifikat tanah pada Badan Pertanahan Kota Banjarmasin dengan Bapak HS mengatakan Prosedur atau tatacara yang berlaku kurang sesuai atau berbelit-belit dalam pengurusan berkas-berkas pembuatan sertifikat tanah. Menurut Badan Kepegawaian Negara Pusat (2005) menyebutkan dalam pelayanan adalah dengan kesederhanaan, artinya prosedur tatacara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. Dalam wawancara, pelayanan yang diberikan berdasarkan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat namun menurut orang awam informasi pemberlakuan prosedur tersebut menganggap bahwa yang diberikan berbelit-belit, karena memang pada saat itu mereka tidak menanyakan dulu kebagian informasi tentang tatacaranya. Untuk itu disarankan kepada Badan Pertanahan untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat dengan cara bersosialisasi langsung dengan masyarakat yang saat itu sedang mengurus permohonan sertifikat tanahnya sehingga merasa puas pelayanan yang diberikan Badan Pertanahan Kota Banjarmasin. 156
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Hasil wawancara dengan masyarakat dengan Bapak HS mengatakan sebelumnya beliau pernah komplain ke loket pelayanan mengenai kenapa berkas pengurusan sertifikat tanah saya dikembalikan, karena saya pikir semua yang saya ajukan sudah lengkap dan memenuhi semua persyaratan. Dapat disimpulkan bahwa dikembalikan berkas mereka karena kurang lengkapnya persyaratan sehingga menimbulkan anggapan, Badan Pertanahan membebaninya banyak persyaratan serta tidak ada kejelasan yang di informasikan, pada dasarnya karena mereka kurang mengerti terhadap persyaratan dan kurang memperhatikan serta malas bertanya pada petugas pelayanan dan juga kelalaian mereka tidak menyadari apakah sudah lengkap berkas yang diajukan. Untuk itu Badan Pertanahan harus punya inisiatif untuk memberikan penjelasan pada masyarakat yang datang ke loket untuk membimbing mereka dalam mengajukan permohonan pembuatan sertifikat tanah agar kejadian tersebut tidak terulang lagi serta mereka merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan. Lama waktu pembuatan sertifikat tanah di Badan Pertanahan pada standarnya dapat diselesaikan dalam waktu 90 hari. Hasil wawancara pada masyarakat dengan Bapak AR, mengatakan proses pembuatan sertifikat tanah saya, lama sekali waktunya padahal semua berkas yang saya ajukan sudah lengkap tetapi masih saja lambat proses penyelesaiannya. Menurut Badan Kepegawaian Negara (2005) mengatakan dalam pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu yang ditentukan yaitu memperhatikan ketepatan waktu. Hasil wawancara diatas dapat dijelaskan mereka beranggapan proses penyelesaian pembuatan sertifikat tanah terlampau lama namun mereka tidak menyadari sepenuhnya proses tersebut memerlukan waktu yang lama dari tahap permohonan pembuatan sertifikat tanah sampai menjadi buku sertifikat tanah. Untuk memastikan apakah ada kendala dalam melakukan proses pelaksanaan dilapangan dan apakah pemilik tanah sudah memenuhi syarat dari ketentuan yang diberlakukan, untuk
kesemuanya ini di cek dengan benar, tentu memerlukan waktu yang cukup. Dari hasil pengamatan peneliti di lapangan, kendala yang di hadapi aparat badan pertanahan dalam memberikan pelayanan pembuatan sertifikat tanah adalah mengenai prilaku kurang di siplinnya masyarakat dalam memperhatikan persyaratan serta prosedur pembuatan sertifikat tanah, kelalaian yang dilakukan oleh para pegawai karena keterbatasan kemampuan dalam menguasai komputer serta keterbatasan fasilitas pendukung yang kurang memadai. Menurut Grobros dalam Tjiptono (2004) ada 3 (tiga) kriteria pokok untuk kualitas pelayanan yaitu : outcome-related, process-related,dan imagerelated criteria. Dari wawancara dengan Kepala Kantor Badan Pertanahan Kota Banjarmasin mengatakan :” Penghambat Pelayanan pembuatan sertifikat tanah di kantor Badan Pertanahan Kota Banjarmasin, sebagian kesalahan dari masyarakat sendiri kurang memperhatikan persyaratan sehingga waktu pembuatannya menjadi kurang lancar, tetapi ada kelalaian dari pegawai pertanahan sendiri kurang terampil dalam mempergunakan computer, selain itu juga fasilitas pendukung dalam pelayanan seperti mesin genset, apabila lampu mati, maka semua kegiatan pelayanan akan lumpuh. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut biar tidak terjadi anggapan masyarakat bahwa pelayanan yang diberikan oleh Badan Pertanahan Kota Banjarmasin terlalu berbelit-belit atau mempersulit mereka, maka perlu diinformasikan kepada masyarakat melalui program Larasita, sehingga anggapan diatas dapat diselesaikan dengan baik serta mereka merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan, terhadap pegawai yang kurang terampil perlu pembinaan, pendidikan serta pelatihan melalui dukungan pendanaan oleh pemerintah pusat sehingga permasalahan dapat diatasi. Selain itu kurang maksimalnya fasilitas serta sarana yang dimiliki seperti alat pengganti listrik (genset), ini perlu mendapat perhatian Kepala Kantor Badan pertanahan Kota Banjarmasin, melalui dukungan sumber daya manusia oleh pemerintah pusat demi 157
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kenyamanan dan kelancaran kegiatan pembuatan sertifikat tanah tidak menjadi lumpuh total sehingga pelayanan yang diberikan menjadi kepuasan tersendiri bagi masyarakat serta bagi Kantor Badan Pertanahan menjadi pelajaran untuk kegiatan pelayanan selanjutnya. Dari wawancara dengan masyarakat mengatakan : Penghambat pelayanan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Kota Banjarmasin, sebagian kesalahan dari kesadaran masyarakatnya sendiri untuk memiliki sertifikat kurang memperhatikan persyaratan sehingga waktu pembuatannya menjadi kurang lancar, serta kelalaian dari pegawai kurangnya skill serta kurangnya fasilitas pendukung dalam proses pelayanan. Kesimpulan dan Saran
Dengan memperhatikan tujuan penelitian yang ada serta didasarkan pada hasil analisis data dilapangan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Pelayanan pembuatan Sertifikat Tanah di Kantor Badan Pertanahan Kota Banjarmasin kurang maksimal dari segi pelayanan yang dilaksanakan setiap seksi dalam meningkatkan mutu pelayanan, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yaitu : dari prosedur, persyaratan dan lamanya proses pembuatan sertifikat tanah. Demikian juga dalam hal pembuatan sertifikat tanah, kesadaran masyarakat belum memadai dalam memperhatikan hal-hal mengenai kelengkapan persyaratan, serta petugas pelayanan pada Kantor Badan Pertanahan yang kurang mampu menguasai komputer diloket pelayanan sehingga pelayanan belum begitu lancar. Sarana dan Prasarana yang diberikan dalam pembuatan sertifikat tanah juga belum begitu baik yang dapat dilihat dari kelengkapan listrik seperti genset serta kelengkapan komputer yang diperlukan sehingga pelayanan berjalan tidak begitu lancar. Dalam hal pelayanan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan Kota Banjarmasin berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian Kantor Badan
Pertanahan khususnya dalam hal - hal pelayanan adalah sebagai berikut : a. Dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, khusus-nya dalam pelayanan pembuatan sertifikat tanah di Kantor Badan Pertanahan pada dasarnya memang merupakan kesadaran masyarakat perlunya memperhatikan aturan serta prosedur dan persyaratan kelengkapan dalam pembuatan sertifikat tanah. Selain itu para jajaran kepala kantor hendaknya dapat memperhatikan fasilitas mesin genset agar dalam proses kegiatan pelayanan pembuatan sertifikat tanah kepada masyarakat tidak terganggu, sehingga masyarakat dapat terlayani dengan lebih baik. b. Untuk meningkatkan kualitas serta melakukan pembinaan dan melakukan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan para pegawai dalam penguasaan komputer, untuk memberikan pelayanan sertifikat tanah kepada masyarakat akan lebih baik. Daftar Pustaka Basinggi, 2005, Materi Pokok Pelayanan Umum. Jakarta : Universita Terbuka Moenir, H A S, 2006 Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara Nasution, M.Nur, 2004. Manajemen Jasa Terpadu. Bogor : Ghalia Indonesia. Tjiptono, Fandy. 2004 Manajemen Jasa, Audi. Yogyakarta. Suyanto, Bagong dan Sutinah, 2007. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. BKN Pusat, 2005. Delapan Unsur Pelayanan (Online), (http:/www.bkn.go.id) Diakses tangga 22 Nopember 2009 Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Kep / 25 /M.PAN/2/2004. Tentang 158
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Pedo-man Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat unit Pelayanan Instalasi Pemerintah. http //www.Menpan go.id / Direktori % 20 Menpan / default. Asp Diakses tanggal 8 Juni 2006 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Pelaksanaanya. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 32 ayat (1) Tentang Sertifikat Tanah.
159
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
MENINGKATKAN FUNGSI DAN KAPASITAS PEMERINTAH KABUPATEN DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KEMISKINAN Oleh: Ruslie Mar ‘ie
Dosen Prodi Administrasi Negara FISIP UNLAM Abstraks
The increase of poverty level and unemployed youths, the spread of criminal offense, malnutrition of babies, children dropped out of schools, the uncontrolled price of basic need foods, villages experiencing food crisis and starvation, are not problems that stand alone. Those are political symptoms where the government/state as the most important institution in society has failed to execute its function. Has the government/state as a social political institution been sufficient to bring the society out of thousands of complex problems? One thing for sure is that the government/state has been succeeded in bringing the society into a deep hole of economic crisis. District Government has been an institution that blackmails its people and is ambitious to enforce money collecting, retribution and tax to alleviate the local income (Pendapatan Asli Daerah) in the name of local autonomy. Therefore, District Government should end its serious mistake in this case. District Government with its bigger authority should be able to increase the wealth of its people. Key words: function and capacity, government work performance, to eradicate poverty, the management of government, local autonomy
PENDAHULUAN eterbelakangan masyarakat sebagiannya disebabkan oleh terisolasinya kehidupan masyarakat. Hampir dipastikan mereka jauh dari jangkauan pembangunan yang sedang berlangsung. Kondisi infrastrukutr yang sangat buruk menyebabkan tingkat mobilitas penduduk dalam kehidupan masyarakat sangat rendah. Pada gilirannya mereka mereka tidak bisa mengakses sentra-sentra ekonomi dan fasilitas publik lainnya. Mereka menjalani hari-harinya seperti nenek moyang manusia zaman lampau, yaitu hidup dengan ekonomi subsistance. Berburu dan meramu,
K
bercocok tanam dan mengembala ternak. Tingkat kesejahteraan mereka berada di bawah batas kehidupan minimal. Untuk mengadaptasi kepentingan banyak pihak dan wilayah suatu ukuran absolut pembangunan dikembangkan serendah mungkin. Ukuran kemiskinan misalnya diarahkan hanya sekedar untuk mampu hidup berdasarkan kebutuhan fisik minimum [Sajogyo; 2006] bukan untuk mengukur kemampuan mengembangkan kehidupan. Garis kemiskinan di Indonesia hanya menunjukkan daya beli minimum dari orang miskin. Orang-orang yang hidup diatas garis kemiskinan tersebut tetap sulit mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan secara layak. 160
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Fakta-fakta menguatkan pernyataan bahwa perdesaan identik dengan kemiskinan. Dari data kemiskinan yang ada, sebanyak 63,4% penduduk miskin berada di perdesaan. Dari sekitar 65.554 desa di Indonesia, lebih kurang 51 ribu desa merupakan desa perdesaan, dan sekitar 20.633 desa diantaranya tergolong miskin. Berbagai upaya mengenai pengentasan kemiskinan ini sudah lama diusahakan bahkan sejak adanya kemiskinan itu sendiri. Namun persoalan-persoalan yang menjangkit perdesaan saling berkaitan satu sarna lain sehingga perdesaan sulit untuk keluar dari permasalahan. Kemiskinan menjadi suatu identitas yang melekat dengan perdesaan seperti warisan yang diterima turuntemurun. Beberapa persoalan yang turut menyumbang adanya kemiskinan perdesaan perlu kita uraikan dan pelajari agar dapat memahami permasalahan perdesaan secara lebih mendalam [Khairunnisa dkk; 2009]. Konflik desa dan kota adalah salah satu pemicu tingginya angka kemiskinan di pedesaan. Lihat saja bagaimana pemerintah kota menghabiskan uang [anggaran pemerintah] sampai ratusan milyar rupiah untuk membangun, pembatas kota, pintu gerbang, taman kota dan bundaran. Dan tahun depan akan dibongkar lagi agar supaya lebih cantik, menarik dan mempesona setiap orang yang melihatnya. Tetapi pemerintah sama sekali tidak ambil pusing dengan kelaparan di daerah pedesaan, kelangkaan pupuk, gagal panen, penceklik, pengangguran, dsb. Pembangunan Indonesia semakin bias ke kota sejak mulai tahun 1984 kebijakan pembangunan ekonomi meninggalkan sektor pertanian, dengan memacu pertumbuhan industri pengolahan, yang penuh ketergantungan pada impor. Di sektor pertanian diversifikasi dilaksanakan dengan mendorong pertumbuhan komoditi ekspor (terutama kelapa sawit, kakao, udang, tuna dan cakalang) dan ayam ras (konsumsi domestik). Kebijakan baru ini ditopang pula oleh kebijakan pembangunan yang bias perkotaan (urban bias development), termasuk kebijakan perdagangan dan nilai tukar yang
sangat melindungi sektor industri. Alokasi anggaran untuk sektor pertanian menurun drastis. Pembangunan infrastruktur pedesaan dan di luar Jawa diabaikan demi memacu pembangunan infrastruktur perkotaan dan di Jawa. Pembangunan pertanian sendiri mulai dilepas untuk didominasi oleh perusahaan besar [Sajogyo; 2002]. Keadaan sudah cukup untuk membuat kawasan pedesaan semakin marjinal. Sudah 64 tahun merdeka jumlah penduduk miskin yang menurut BPS[2009] hidup dibawah garis kemiskinan dimana tingkat konsumsi mereka kurang dari Rp 152.847 per kapita per bulan, masih banyak, walau tiap tahun diperangi dan dikepung dari berbagai jurusan berupa program – program yang bernafaskan pengentasan kemiskinan seperti PNPM Mandiri termasuk proyek Pisew di dalamnya, Raskin, BLT, dll. Secara nominal relatif biaya program tersebut tidak sedikit, namun demikian pengurangan jumlah penduduk miskin setiap tahun sangat tipis, bahkan secara kasap mata seperti tidak ada perubahan. Bila kita simak, UU Nomor 42 tahun 2008 Tentang APBN 2009, sasaran tingkat kemiskinan pada tahun 2009 ditetapkan antara 12-14% yang berarti lebih rendah dari capaian 2008 sebesar 15,42%. Dengan asumsi tingkat inflasi 6% dan angka pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5%, Bappenas memperkirakan tahun 2009 jumlah penduduk miskin mencapai 29,99 juta jiwa (13,23%); angka tersebut memang menurun bila dibandingkan dengan kondisi 10 tahun yang lalu dimana tingkat kemiskinan berkisar sekitar 19,14 % pada tahun 2000, kemudian tercatat menjadi 15,97 % pada tahun 2005, pada mana angka-angka tersebut merupakan catatan tentang keberhasilan program pembangunan yang dilakukan pemerintah, tetapi tetap saja angka tingkat kemiskinan tersebut relatif masih tinggi. Data UNDP tahun 2008 sempat mencatat Indonesia berada di posisi ke 109 dalam Indeks Pembangunan Manusia sebagai akibat ledakan kemiskinan, jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Singapura (25), Malaysia (63) dan Thailand (78) bahkan Vietnam yang berada di posisi 161
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 107. ( Nurdjaman dan.Subandi; PNPM -PISEW; 2009 ) Kemiskinan merupakan fenomena jangka panjang sehingga memberdayakan masyarakat miskin tidak bisa dilakukan secara instan..Program menekan angka kemiskinan di Indonesia masih terpaku pada parameter angka. Bukan kualitas atau multiplier effect yang dihasllkan. Hal itu tecermin dari sejumlah program pengentasan kemiskinan yang malah membuat masyarakat di kelompok ini hanya 'disuapi. Oleh karena itu, pengamat ekonomi dan sosial mendesak agar pemerintah berani menciptakan program yang berkualitas sehingga masyarakat bisa berdiri tegak di atas' kakinya sendiri.[
[email protected]]. Di daerah khususnya khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten di mana otonomi daerah dilaksanakan, sayogianya memiliki programprogram yang sangat efektif untuk menanggulangi kemiskinan dalam masyarakat. Tidak hanya sekedar memfasilitasi program-program pemerintah pusat. Bahkan pada suatu hari pernah terjadi pemerintah pusat sangat marah, karena dibeberapa daerah tidak mau berpartisipasi dalam program PNPM Mandiri. Para elite di daerah berlomba-lomba membantu masyarakat miskin hanya pada saat menjelang pemilihan kepala daerah saja. Terlepas dari perdebatan itu, yang jelas daerah yang bersangkutan kurang responsif terhadap penanggulangan kemiskinan di daerahnya masing-masing. Disebagian pemerintah daerah nampak kurang berselera menghadapi masalah ini, sebaliknya pemerintah daerah lebih bersemangat pada proyek-proyek mercusuar. Akibatnya grafik kemiskinan bukanya menurun tetapi naik. Mengapa grafik kemiskinan sepertinya sukar untuk diturunkan,? Salah satu sebabnya adalah program-program pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah banyak mengalami kegagalan, karena pelaksanaannya tidak serius dan asal-asalan dan kebanyakan dari program-program itu bersifat jangka pendek. Program pengentasan kemiskinan oleh pemerintah membuat masyarakat semakinan ketergantungan dan
berjiwa kerdil. Sebagai contoh, Hulu Sungai Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yang beribukota di Kandangan berjarak 135 km dari Banjarmasin. Secara geografis terletak antara 02o29 58 - 02o56 10 LS dan antara 114o51 19 -115o36 19 BT. Dengan luas wilayah 1,805 km2. Di Kabupaten Hulu Sungai Selatan terdapat 10 desa tertinggal, jumlah itu memang tidak banyak jika dibanding dengan daerah lain di Kalimantan Selatan. Jumlah ini sama dengan data yang dikekukakan oleh BPS pada tahun 2009. Dari sejumlah desa tertinggal tersebut tentu saja merupakan kantong-kantong kemiskinan di daerah yang bersangkutan. Eksistensi penduduk miskin di daerah ini pada tahun 2008 berjumlah 19.171 jiwa. Dibandingkan dengan daerah lain di Kalimantan Selatan jumlah cukup besar seperti Hulu Sungai Utara yang berstatus daerah tertinggal penduduk miskinnya berada di bawah angka tersebut yaitu, 18.192 jiwa. Di samping itu dalam kurun waktu 4 – 5 tahun tidak terjadi penurunan yang signifiqan seperti pada tahun 2004 jumlah penduduk mikin 21.200 jiwa bandingkan dengan angka tahun 2008. Selama ini pemerintah Kabupaten/Kota hanya memfasilitasi program penanggulangan kemiskinan dari pemerintah pusat, baik fasilitas dana, kelembagaan, aparatur, keamanan dsb. Program-program penanggulangan kemiskinan yang berasal dari pemerintah pusat tingkat keberhasilannya sangat kecil dan berjiwa kerdil serta membuat masyarakat Indonesia bertambah miskin. Sudah waktunya Pemerintah Kabupaten sangat konsen pada masalah kemiskinan ini. Mengapa pemerintah kabupaten harus perduli dan punya agenda khusus serta punya kemauan untuk meningkatkan fungsi dan kapasitasnya sebagai lembaga pemerintah yang bertanggungjawab pada kondisi masyarakat yang ada di wilayahnya. 162
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Ada tiga tipe kebijakan yang saat ini mempengaruhi perhatian Pemerintah Daerah terhadap kemiskinan. [1]. UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang mengharuskan pemerintah kabupaten mengemban fungsi-fungsi wajib, termasuk menyediakan layanan umum bagi masyarakat yang diatur dalam Undang Undang Dasar; [2]. Gerakan nasional untuk mengembangkan dan melaksanakan Strategi Penanggulangan Kemiskinan [SPK] membutuhkan komitmen yang kuat dari Kemerintah Kabupaten; [3]. Programprogram bantuan nasional yang ditujukan untuk meningkatkan keamanan pangan dan mengurangi kerentanan ekonomi yang disalurkan kepada Pemerintah Kabupaten; [4]. Kemauan Pemerintah Kabupaten sendiri untuk menciptakan desa-desa mandiri yang sejahtera untuk menjaga kelangsungan finansial mereka [Governance Brief; Juni 2006].
Beberapa pemerintah daerah Kabupaten/kota dan kelompok masyarakat menyadari bahwa perbaikan dalam pelayanan publik tidak harus berarti pengalokasian dana yang besar, tetapi lebih pada orientasi kuat terhadap penerima pelayanan daerah dan keberpihakan pada orang miskin. Bila dilaksanakan dengan benar, perbaikanperbaikan tersebut akan membawa hasil signifikan terhadap kepuasan masyarakat, serta bertambah meningkatnya popularitas para pimpinan daerah. Dari sisi lain, pemerintah daerah harus membuka lebih banyak partisipasi, sekaligus terkandung didalamnya peningkatan dalam hal transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah daerah tidak dapat menyembunyikan diri lagi dengan alasan bahwa “tidak ada dana untuk peningkatan pelayanan publik.” [Government Community Citizini; Governance Brief; Juli 2009]. Gagasan-gagasan tersebut semakin dibuat lebih jelas dalam kebijakan pemerintahan, sudah menjadi pokok bahasan biasa dalam program ‘talk show’ terkait dengan akuntabilitas pemerintahan, serta membuat para pimpinan daerah yang tidak mendukung gagasan tersebut seperti
ketinggalan zaman. Saat ini, meskipun para pimpinan sering hanya memberikan janji manis terhadap tuntutan masyarakat, mereka tidak mungkin lagi ingin dalam keadaan tertangkap tidak melakukan apa-apa bagi peningkatan pelayanan publik, dan hal ini semakin mendorong lembaga-lembaga swadaya masyarakat memberikan advokasi mengenai reformasi. Kemiskinan masih menjadi permasalahan besar di Indonesia. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang diluncurkan pemerintah tahun 2005 menyatakan perlunya kontribusi semua pemangku kepentingan, termasuk pemda, dalam upaya bersama untuk mengurangi kemiskinan. Peranan pemda dalam penanggulangan kemiskinan menjadi makin penting setelah dimulainya pelaksanaan kebijakan otonomi darah sejak 2001 karena kebanyakan pelayanan publik dan berbagai kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat berada di tangan pemerintah kabupaten [SMERU, Desember 2006].
Berdasarkan pengalaman penyelenggaraan pemerintahan di banyak negara, salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan otonomi daerah adalah kapasitas atau kemampuan daerah dalam berbagai bidang yang relevan. Dengan demikian, dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat dan peningkatan daya saing daerah diperlukan kemampuan atau kapasitas Pemerintah Daerah yang memadai[Kausar AS; Dirjen Otonomi Daerah; 2007]. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di kabupaten studi dan interaksi dengan pemda dan para pemangku kepentingan lainnya selama pelaksanaan kajian ini, terlihat adanya kapasitas yang rendah di kabupaten studi dalam penanggulangan kemiskinan. Dalam konteks ini, yang dimaksudkan dengan kapasitas daerah bukanlah kapasitas keuangan pemda, melainkan kapasitas kelembagaan yang mencakup struktur kelembagaan, pemahaman dan perhatian terhadap masalah kemiskinan, dan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan yang telah 163
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 disusun dan dilaksanakan di masing-masing wilayah [Smeru; 2006].
Apakah pemerintah daerah berhasil atau sebaliknya, hal itu sangat ditentukan oleh keberhasilan dari upaya yang dilakukan pemda dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Keberhasilan itu harus dilihat apakah tujuan otonomi itu telah tercapai. Setidaknya otonomi diharapkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang paling minimal adalah terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat (sandang pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan) serta tingkat harapan hidup dan lingkungan hidup yang baik[ Badan Pemeriksa Keuangan- R I; 2008]. Oleh karenanya, marilah kita instropeksi diri, apakah setelah hampir satu dekade penyelenggaraan otonomi daerah, semua itu telah kita rasakan.
Jadi tantangannya adalah pada era otonomi daerah dimana dengan kekuasaan dan kewenangan cukup besar yang ada di tangan Pemerintah Kabupaten, sementara persoalan dihadapi di tengah masyarakat semakin menumpuk. Terutama yang sangat mendesak adalah masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Kebijakan apa saja yang dibuat oleh pemerintah kabupaten untuk mengatasi masalah ini?.Apakah pemerintah daerah menjadikan masalah ini sebagai prioritas dalam program pembangunannya? Apakah telah terjadi peningkatan fungsi pemerintah daerah? Apakah pemerintah daerah telah mengembangkan kapasitasnya untuk menghadapi persoalan ini?Apakah pemerintah kabupaten sudah melakukan reformasi birokrasi pemerintahannya? Sejauhmana kontribusi pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan program penanggulangan dari pemerintah pusat? Apa saja kendala yang dihadapi dalam program penanggulangan kemiskinan?
KINERJA DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN Hampir sebagian besar pemerintahan daerah di Indonesia berkinerja rendah dan tidak efektif. Mereka hanya sibuk mempercantik ibu kota, dari provinsi sampai kecamatan, agar kelihatannya indah, megah sehingga bagi masyarakat awam yang melihatnya akan berkesimpulan bahwa pembangunan daerahnya maju pesat. Tetapi sesungguhnya kalau kita dihadapkan pada persoalan berapa pendapatan perkapita, jumlah komunitas miskin bertambah, pengangguran dalam masyarakat, kesulitan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan, sektor informal dan pedagang kaki lima diobrak-abrik dan dipukuli oleh polisi pamong praja karena mengganggu keindahan kota. Padahal mereka hanya mencari sesuap nasi, bagaimana agar besok bisa makan. Dan hal itu tidak pernah terlintas dalam benak para pejabat daerah. Sebaliknya yang banyak dipikirkan oleh pejabat daerah adalah bagaimana membuat perencanaan untuk membengkakkan anggaran, sehingga posisinya secara pribadi bisa diuntungkan, yang ujung-ujungnya adalah menyuburkan korupsi dan koneksi. Oleh karena itu presiden baru-baru ini membentuk Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional yang bertugas mengevaluasi kinerja setiap departemen dan lembaga negara. Lebih jauh dalam pelaksanaannya akan ada pula tim jaminan kualitas yang tugasnya menilai dan mengevaluasi kinerja masing-masing kementerian dan lemabaga. Selanjutnya akan dapat ditetapkan indikator keberhasilan reformasi birokrasi di tingkat daerah.
Presiden SBY mengemukakan bahwa, dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, Pemerintah Daerah memiliki peran yang sangat penting dan strategis. Pemerintah Daerah tidak hanya berfungsi sebagai penyelenggara pemerintahan, tetapi juga sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah, 164
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Pemerintah Daerah berperan menata kehidupan masyarakat dalam kerangka regulasi. Sedangkan sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah, Pemerintah Daerah berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama atas keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, utamanya dalam kerangka investasi, penyediaan barang dan pelayanan publik. Semua itu harus dilakukan secara benar dan akuntabel, sehingga tujuan utama desentralisasi, yakni meningkatnya kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan dan akuntabilitas pemerintahan, dapat dicapai secara terukur. Kita juga perlu melakukan langkah-langkah konsolidasi terhadap cara berpikir seperti ini agar kita tidak salah kaprah dalam melaksanakan otonomi daerah untuk memperkuat ekonomi daerah dan mewujudkan visi pembangunan [Buku Pengangan Penyelenggaraan Pemerntahan dan Pembangunan Daerah; Bappenas; 2009]. Reformasi birokrasi menurut saya merupakan salah satu agenda pokok yang tak terpisahkan dari otonomi daerah. Apalagi reformasi di tubuh birokrasi. ini merupakan yang paling ketinggalan dibandingkan reformasi di bidang politik maupun ekonomi. Otonomi daerah sebagai hak daerah untuk memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis, baik di bidang politik, ekonomi, maupun budaya, memerlukan suatu birokrasi yang reformis, efisien, kreatif, inovatif, dan mampu menjawab tantangan dalam menghadapi ketidakpastian (uncertainties) di masa kini dan akan datang. Yang dimaksud dengan reformasi birokrasi (sebagai alat) adalah 'a means to make the administrative system a more effective instrument for social change, a better instrument to bring about political equality, social justice and economic growth '. Sebagai proses, reformasi birokrasi juga dapat dilihat sebagai berubahnya praktek-praktek, tingkah laku, dan struktur birokrasi yang telah mapan"[ Tri Ratnawati ; Asosiasi IImu Politik Indonesia (AIPI) ; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], 28 Februari 2002] . Sejalan dengan Dr. Tri Ratnawati dari
LIPI yang menyimpulkan bahwa bahwa birokrasi di Indonesia masih under qualified. Untuk perbaikannya kita mesti memperjuangkan pemerintahan yang efektif (termasuk dengan mengantisipasi eksesekses negatif yang mungkin akan timbul), memodernisasi birokrasi (ramping tetapi profesional), mendorong semakin berkualitasnya civil society (LSM/Pers/Asosiasi-asosiasi masyarakat), dan mendorong/memfasilitasi terbentuknya lembaga lembaga independen yang menampung keluhan-keluhan masyarakat atas pelayananlperlakuan yang diberikan oleh negara/state kepada masyarakat.
Kalau kinerja dilihat dari laporan masing-masing pemerintah daerah, maka akan terlihat gambaran yang sangat baik. Padahal sebenarnya kalau diadakan penelitian dan evaluasi lebih mendalam akan memperlihatkan keadaan yang sebaliknya. Mengapa demikian? Paling tidak ada dua hal yang menyebabkannya. [a]. Sebagian aparat dan pejabat kita masih bermental asal bapak senang. Oleh karena itu setiap laporan yang dibuat harus bisa menyenangkan atasan. Laporan yang membuat atasan senang adalah laporan yang bagus, tetapi belum tentu laporan itu mengandung kebenaran dan fakta yang akurat. Bisa jadi fakta-fakta yang menunjukkan kelemahan dan kekurang harus dikeluarkan dari laporan. [b]. Mereka sangat takut akan audit dari BPKP; diperiksa oleh KPK yang bisa berujung tersangka korupsi. Seorang anggota BPK – RI dalam sambutannya pada acara loka karya kinerja pemerintah daerah berbasis hasil di Surabaya mengatakan bahwa: “kita bahkan tidak tahu, berapa jumlah kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas serta kematian ibu melahirkan berkurang, jumlah anak melek huruf, harapan hidup, dan pendapatan perkapita masyarakat terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah masih disibukkan oleh maslah pertanggungjawaban”[Badan Pemeriksa Keuangan – R I; 2008]. Fakta ini mengisyaratkan kepada kita bahwa kinerja pemerintah daerah sangat rendah. Banyak hasil penelitian menunjukkan 165
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kearah itu.
Buruknya birokrasi pemerintahan tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Asia. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999. Di tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor 8,0 atau jauh di bawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat [Jurnal Transparansi, Website Masyarakat Transparansi Indonesia, Edisi 18 Maret 2000]. Bisa dibayangkan dan hampir tidak masuk akal bahwa sejak tahun 2000 sampai tahun 2010 praktis tidak ada perbaikan pada birokrasi pemerintahan Indonesia. Akan sangat memprihatinkan apabila skor itu bergerak dari 8,0 menjadi 8,25 atau 8,50 artinya keadaan birokrasi pemerintahan Indonesia semakin memburuk. Kemiskinan masih menjadi permasalahan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang diluncurkan pemerintah tahun 2005 menyatakan perlunya kontribusi semua pemangku kepentingan, termasuk pemda, dalam upaya bersama untuk mengurangi kemiskinan. Peranan pemda dalam penanggulangan kemiskinan menjadi makin penting setelah dimulainya pelaksanaan kebijakan otonomi darah sejak 2001 karena kebanyakan pelayanan publik dan berbagai kebijakan yang secara langsung memengaruhi kehidupan masyarakat berada di tangan pemerintah kabupaten. Karena pentingnya peranan pemerintah daerah ini, berbagai inisiatif telah diluncurkan dalam rangka meningkatkan kapasitas pemerintah daerah
dalam menangani masalah kemiskinan di daerahnya masing-masing [SMERU, 2006]. . Maka, sebagai bangsa yang berupaya untuk cerdas, kita harus berani mengubah pola hubungan pusat-daerah yang paternalistik dan sentralistik itu menjadi pola hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik. ltulah yang kemudian tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Dengan dua Undang-undang ini, kita meninggalkan paradigma pembangunan sebagai acuan kerja pemerintahan. Sakralisasi pembangunan yang dilakukan oleh pemerintahan sebelumnya telah melahirkan banyak korban pembangunan. Karena itu, demi mengembalikan harga diri rakyat dan demi membangun kembali citra pemerintahan sebagai pelayan yang adil, maka kita kembali menggunakan paradigma pelayanan dan pemberdayaan sebagai landasan kerja pemerintah. lni tidak berarti bahwa pemerintah sudah tidak lagi memiliki komitmen pembangunan, tetapi mendudukkan tugas pembangunan itu di atas landasan nilai pelayanan dan pemberdayaan. Artinya, tidak akan ada lagi kebijakan pembangunan yang mengandung nilai ketidak-adilan dan yang bersifat mematikan kreativitas masyarakat. Perubahan paradigma ini bisa dianggap sebagai suatu gerakan kembali ke karakter pemerintahan yang hakiki. Perubahan ini juga menjadi alasan utama mengapa prinsip otonomi penuh diletakkan di daerah kabupaten dan kota, bukan di propinsi, yaitu karena faktor kedekatan kepada rakyat sebagai pihak yang harus dilayani dan diberdayakan. Asumsinya, semakin dekat jarak antara pelayan dan yang dilayani, semakin efektif dan efisien pelayanan itu [Riyaas Rasyid; 2004]. Tetapi sejak dilaksanakannya undangundang tersebut, banyak persoalan yang nampaknya sangat sulit untuk dicairkan. Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah; belum terbentuknya kelembagaan pemerintah daerah yang efektif dan efisien; masih terbatas dan rendahnya kapasitas aparatur pemerintah daerah. Berbagai permasalahan tersebut 166
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 diperbaiki melalui revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, yang telah dimulai dengan mengganti kedua undangundang tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Terdapat beberapa petunjuk praktis bagi derajat desentralisasi yang tepat yang serupa dengan suatu teori formal. Sebagai contoh, wilayah pertanggungjawaban yang diberikan kepada suatu tingkatan tertentu dalam sebuah hirarki harus sesuai dengan persoalan-persoalan yang khas terdapat dalam suatu rentang kendalinya. Dalam politik hal ini dikenal dengan subsidiaritas, di mana keputusan-keputusan harus dibuat oleh tingkat-tingkat pemerintah yang tidak lebih tinggi dari yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Terdapat beberapa alasan untuk berpikir bahwa derajat pendelegasian secara fungsional tepat bergantung pada teknologi dan oleh karena itu berubah dari waktu ke waktu. Munculnya teknologi informasi yang tidak mahal, biaya transaksi akan menurun secara keseluruhan dan hirarki akan semakin terdesak oleh pasar atau oleh bentuk-bentuk organisasi yang lebih terdesentralisasi di mana unit-unit yang bekerjasama tidak berada dalam hubungan hirarkis satu sama lain. Ia melihat bahwa mayoritas besar informasi yang digunakan dalam sebuah ekonomi yang bersifat lokal, dan mempunyai kaitan dengan keadaan-keadaan tertentu yang biasanya hanya diketahui oleh para pelaku lokal[Fukuyama; 2005].
Osborne dan Gaebler (1992) melalui pemikirannya yang fenomental menyaran kan agar pemerintah menerapkan sepuluh prinsip pemerintahan wira usaha. Selanjutnya osborne dal Platstrik (1996) lima strategi sebagai implementasi lebih lanjut dari prinsip Reinventing Government. Secara luas, governance mengacu pada persamaan hubungan antara pemerintah dan warga masyarakat yanag dilayani dan dipertahankan.
Good Governance menunjuk pada proses pengelolaan yang luas dalam bidang ekonomi, sosial dan politik suatu negara dan pendayagunaan sumber – sumber alam, keuangan, manusia menurut kepentingan semua pihak dan dalam cara yang sesuai dengan prinsip - prinsip , keadilan, kejujuran, persamaan, efisiensi, transfaransi dan akuntabilitas (Bhenyamin Hoessein; 2000)
Sudah saatnya Indonesia untuk mengubah paradigma birokrasi modern Weber yang hirarkis,disarankan untuk berubah menjadi birokrasi yang memperhatikan partisipasi, kerja tim dan kontrol rekan kerja (peer group), bukan lagi dominasi atau kontrol atasan. Catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir daripada mendayung. Pemerintah dan birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Community-owned government: empowering rather than serving. Pemerintah adalah milik masyarakat: lebih baik memberdayakan daripada melayani. Pemerintah dipilih oleh wakil masyarakat, karenanya menjadi milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, daripada menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah. Competitive government: injecting competition into service delivery. Pemerintahan yang kompetitif adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi di dalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik [Osborne and Ted Gaebler; 1992]. Sejak 1 Januari 2001 serentak kebijakan otonorni daerah berdasarkan UU No. 22/1999 diimplementasikan seeara nasional. Daerah menyambut implementasi kebijakan otonomi daerah dengan sangat 167
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 antusias. Antusiasme masyarakat dan daerah ini timbul karena sangat besarnya harapan terhadap otonorni daerah untuk menjawab berbagai permasalahan hubungan pusat dan daerah serta menuntaskan permasalahan berbagai tuntutan daerah selama ini. Secara bertahap daerah mulai menyesuaikan kelembagaan, sturktur organisasi, kepegawaian, keuangan dan perwakilan di daerah dengan ketentuan yang diatur dalam UU No. 22/1999[Syaukani HR; 2005]. Disinilah letak urgensi peninjauan secara mendasar atas agenda penyelesaian yang dilakukan pemerintah, terutama berkaitan dengan paket kebijakan otonorni daerah yang berlaku selama ini. Kebutuhan akan suatu evaluasi mendasar atas materi perundang-undangan otonomi daerah dan implementasi atasnya berhubungan dengan kebutuhan bangsa kita akan suatu format otonomi daerah yang bisa menjamin tetap berlangsungnya proses reformasi dan demokratisasi di satu pihak, dan tercapainya keadilan serta kesejahteraan bagi mayoritas masyarakat kita di tingkat lokal di pihak lain. Selain itu, urgensi evaluasi berkaitan dengan tingkat kemampuan paket kebijakan otonomi daerah yang ada saat ini meminimalisasi konflik dan ketegangan relasi Pusat-Daerah. Ketiga tolok ukur ini dipakai untuk melihat dan meninjau kembali apakah paket kebijakan otonomi daerah yang berlaku sejak tanggal l Januari 2001 yang lalu itu dapat memenuhi kebutuhan kolektif kita sebagai bangsa akan suatu format ideal otonomi daerah. apakah kebijakan otonomi daerah telah dinikmati oleh mayoritas rakyat kita di tingkat lokal. Salah satu perangkap besar kebijakan otonomi daerah yang berlaku dewasa ini adalah kecenderungannya untuk melestarikan otonomi daerah dalam arti sempit, yaitu sekadar otonomi bagi pemerintah daerah (Pemda), lebih khusus lagi, otonomi bagi segelintir elite politik lokal, baik eksekutif maupun legislatif (DPRD). Perangkap demikian berpeluang menjadi besar apabila tidak cukup tersedia mekanisme bagi masyarakat untuk ikut menikmati implementasi otonomi daerah
melalui kesempatan dan akses bagi mereka, baik dalam proses pembuatan kebijakan publik maupun produk akhir dari kebijakan itu sendiri [Syamsuddin Haris; 2005].
Dengan ditetapkannya undang – undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, setelah terjadi berbagai perubahan mendasar dalam pengaturan pemerintahan daerah di Indonesia. Sebagai konsekuensinya adalah perlu dilakukan pemerataan terhadap berbagai aspek yang berkaitan dengan Pemerintah Daerah sebagai manifestasi dan otorisasi daerah. Berdasarkan analisis terhadap undang – undang nomer 22 tahun 1999 tujuan utama dari pemerataan itu adalah untuk memberdayakan Pemerintah Daerah agar mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara ekonomis, efektif, efisien dan akauntabel. Ekonomis yaitu memilih dari berbagai alternatif yang terbaik dari sudut total pembiayaan. Tujuan ekonomis untuk menghilangkan kesan pemborosan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah lalu, baik perubahan politik, ekonomi, dan lingkungan sosial, kebijakan otonomi daerah mendesak untuk segera diimplementasikan. Tujuan yang paling penting dari kebijakan otonomi daerah ini adalah untuk memberi wewenang yang lebih luas kepada pemerintah daerah terutama dalam mengatur pembangunan daerahnya sendiri. Otonomi memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah sampai tingkat tertentu, walaupun hal itu juga banyak menimbulkan kesalahpahaman dalam pelaksanaannya.[ BULLETIN KAWASAN ; NOMOR 19 TAHUN 2007]. Sesuai dengan Pasal 11 ayat 2, UU No. 22 Tahun 1999 (otonomi daerah), bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten/Kota meliputi: pekerjaan umum (PU), kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja. DPRD memegang peran dalam perencanaan pembiayaan lanjutan dari Daerah bersama-sama dengan eksekutif. 168
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Dalam mendorong upaya-upaya penanggulangan kemiskinan di Daerah, dari manapun sumber-sumber pembiayaannya, jajaran Pemerintahan Daerah (eksekutif maupun legislatifnya), harus dapat memainkan peranannya secara proporsional sesuai dengan kewenangannya. Kemiskinan sebagai problem lintas sektoral, apabila kita analisis secara mendalam, ujung-ujungnya akan terkait dengan beberapa kewenangan wajib Daerah Otonom Kabupaten/Kota.
Satu hal yang harus dilalukan pemerintah daerah adalah Peningkatan Kapasitas yang Berkesinambungan untuk Desentralisasi (Sustainability Capacity Building for Decentralization/SCBD) bertujuan untuk mendukung pemerintah daerah untuk meningkatkan kapasitas institusi pemda dengan membantu mereka mengembangkan strategi yang efektif untuk peningkatan kapasitas (melalui Rencana Tindak Peningkatan Kapasitas atau Capacity Building Action Plan) dan menyediakan sumber daya yang memadai untuk implementasi rencana tersebut. Perbaikan pada peningkatan kapasitas diharapkan dapat meningkatkan kapabilitas operasional pemda berkenaan dengan: (a) penyediaan jasa publik secara efisien yang sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal, (b) pemeliharaan fasilitas umum yang esensial, (c) promosi pembangunan ekonomi yang berkeadilan, dan (d) manajemen penanggulangan kemiskinan [DEPARTEMEN DALAM NEGERI - REPUBLIK INDONESIA; JAKARTA, 1 NOVEMBER 2004] . Mengingat kegiatan pembangunan lebih banyak dilakukan di tingkat daerah Kabupaten/Kota, maka peran Pemerintah Daerah tersebut perlu terus semakin ditingkatkan. Sejalan dengan itu, maka kegiatan pembangunan akan lebih berdayaguna dan berhasilguna melalui pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah termasuk pendesentralisasian pelayanan-pelayanan kementerian/lembaga yang sebenarnya sudah dapat dan layak dikelola oleh daerah, guna lebih mendekatkan pelayanan dan hasil-hasil pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
Dalam PP No. NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL [SPM] dikatakan bahwa, berdasar-kan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, desentralisasi diselenggarakan dengan pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi yang luas-seluasnya kepada daerah antara lain dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peranserta masyarakat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, dengan pengertian bahwa penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah dalam rangka memberdayakan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. SPM adalah ketentuan mengenai jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal.
Selanjutkan dijelaskan dalam peraturan tersebut bahwa, Pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk: [1]. terjaminnya hak masyarakat untuk menerima suatu pelayanan dasar dari Pemerintahan Daerah dengan mutu tertentu. [2]. menjadi alat untuk menentukan jumlah anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan dasar, sehingga SPM dapat menjadi dasar penentuan kebutuhan pembiayaan daerah. [3]. menjadi landasan dalam menentukan perimbangan keuangan dan/atau bantuan lain yang lebih adil dan transparan. [4]. menjadi dasar dalam menentukan anggaran kinerja berbasis manajemen kinerja. SPM dapat dijadikan dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan yang lebih terukur. SPM dapat menjadi alat untuk meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah terhadap masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dapat mengukur sejauhmana Pemerintahan Daerah dapat 169
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 memenuhi kewajibannya dalam menyediakan pelayanan publik. [5]. memperjelas tugas pokok Pemerintahan Daerah dan mendorong terwujudnya checks and balances yang efektif. [6]. mendorong transparansi dan partisipasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Paradigma Penyelenggaraan Pemerintahan Dalam Perspektif New Public Service Peran Pemerintah ; [1].Menetapkan dan menerapkan aturan politik dan hukum, Peran terpenting yang harus dilakukan adalah menerapkan kaidah-kaidah good governance. Mengatur alokasi distribusi resources. [2].Tugas utama yang harus dilaksanakan adalah melindungi hak-hak ekonomi masyarakat melalui balancing, negosiasi, dan fasilitasi hubungan antar sektor yang berbeda agar tidak terjadi dominasi. [3]. Memonitor interplay antar jejaring masyarakat untuk menjamin ditegakkanya prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial. Tujuannya agar semua kepentingan publik dapat dilayani dengan baik. Tujuan Meningkatkan kualitas public service delivery Dampak yang diharapkan Peningkatan kualitas kehidupan warganegara yang terukur Denhardt & Denhardt [2008]. Alternatif terpenting dalam hal ini juga adalah dimungkinkan bisa dilaksanakannya Perencanaan, Penganggaran dan Pemantauan-Evaluasi yang Berpihak pada Masyarakat Miskin (P3BM) P3BM dimulai pada Juli 2008 dengan tujuan untuk meningkatkan proses perencanaan dan penganggaran di tingkat kabupaten dalam rangka memasukkan prioritas masyarakat miskin. Saat ini, P3BM sedang diimplementasikan sebagai sebuah program percontohan di 18 kabupaten di tiga propinsi, di Indonesia. Dalam konteks Indonesia, beberapa metodologi yang digunakan untuk memungkinkan penggunaan pendekatan pembangunan manusia meliputi Perencanaan, Penganggaran, dan Pemantauan-Evaluasi yang Berpihak pada Masyarakat Miskin (P3BM), Analisa Situasi Ibu dan Anak (ASIA) Kabupaten/Kota, Pendekatan Berbasis Hak
dalam Menyusuan Program Pembangunan (HRBAP), dan Proses Penilaian dan Perencanaan yang Dipimpin oleh Masyarakat - Inklusif Gender dan Kemiskinan. Tujuan khusus P3BM adalah untuk meningkatkan kapasitas daerah (pemerintah daerah, parlemen, dan LSM) dalam menganalisa dan mengelola data kemiskinan dan MDG dan untuk memperkuat kapasitas pemerintah lokal guna mengidentifi kasi kebutuhan, persoalan, dan prioritas masyarakat miskin dalam pembangunan daerah. P3BM juga bertujuan untuk memperkuat perencanaan, penganggaran, dan pemantauan dengan memfasilitasi pengarusutamaan MDG ke dalam kebijakan dan rencana pembangunan daerah dan untuk memfasilitasi pengembangan kebijakan dan anggaran yang berpihak pada masyarakat miskin. Akhirnya, P3BM mendukung berbagai kegiatan koordinasi yang diperlukan untuk menangani penanggulangan kemis-kinan[UNDP;2008]. Selanjutnya dijelaskan lebih jauh tentang langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengkaji tingkat-tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan Mengidentifi kasi indicator/aspek yang berpengaruh terhadap kesejahteraan penduduk yaitu indikator seperti: 1 Kondisi rumah; 2 Pekerjaan; 3 Kepemilikan lahan, kendaraan; dan ternak ; 4 Pendidikan; 5 Kesehatan (kemampuan untuk berobat); 6 Penerangan (listrik, lampu minyak); 7 Pola Makan (berapa kali sehari, jenis makanan); 8 Sarana Air Bersih; 9 Bahan bakar (gas, minyak keluar;kayu bakar); 10 Sarana Rumah Tangga; 1 Pakaian; 12 Jamban Keluarga. Indikator-indikator lain yang dapat digunakan untuk menilai kondisi sebuah rumah diantaranya: 1 Luas Lantai Bangunan: ≥ 8 m2 per orang; < 8 m2 ;orang; 2 Jenis Lantai Bangunan [Tanah; Bambu; Kayu murahan]; Jenis Dinding Rumah [Bambu; Rumbia; Kayu kualitas rendah; Batu merah tidak di plester]. Kemudian berdasarkan pengkajian yang dilakukan Lembaga Penelitian SMERU, pada bulan Desember 2006 telah dirumuskan beberapa rekomendasi seperti diantaranya: [1].Pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten 170
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 memerlukan bimbingan teknis dan pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai kompleksitas dan sifat multidimensi kemiskinan. AKP[Analisis Kemiskinan Partisipatoris] dapat menjadi sarana untuk peningkatan pemahaman itu. [2].Pendampingan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat karena harus, secara berturut-turut, meningkatkan pemahaman mengenai kemiskinan, memberikan keterampilan yang diperlukan untuk mampu melibatkan masyarakat miskin dalam analisis kemiskinan, dan kemampuan analisis untuk mengarusutamakan kemiskinan. Peningkatan kemampuan analisis tampaknya membutuhkan upaya khusus, meskipun diskusi intensif dengan dinas-dinas dan lembaga nonpemerintah terkait yang telah dilakukan dalam kajian ini tampaknya cukup efektif dalam menstimulasi kemampuan analisis. Untuk memberikan pengaruh yang nyata, dibutuhkan pendampingan dalam waktu yang lebih lama. [3].Pengembangan proses partisipatoris penting bagi proses AKP [Analisis Kemiskinan Partisipatoris]. Namun proses yang partisipatoris tidak selalu menjamin adanya ruang bagi partisipasi masyarakat miskin dan juga tidak menjamin bahwa perhatian akan diarahkan pada kemiskinan. Dengan demikian, penting untuk menjamin bahwa proses partisipatoris yang dibangun memang dirancang untuk menjamin keterlibatan masyarakat miskin. [4].Bentuk bantuan harus berbeda-beda tergantung kemajuan kabupaten (pemda dan para pemangku kepentingan lainnya) dalam berbagai aspek, termasuk: perkembangan masyarakat sipil, perkembangan proses perencanaan partisipatoris, dan tingkat keterarahan dan perhatian terhadap kemiskinan. Untuk daerahdaerah yang telah mengembangkan proses perencanaan yang inklusif, bantuan dapat diarahkan pada pengarusutamaan kemiskinan melalui proses AKP. Untuk daerah yang belum mengembangkan proses yang partisipatoris, pengarusutamaan kemiskinan melalui proses AKP perlu didukung dengan pengembangan proses yang partisipatoris dan inklusif. [5]. Bentuk dan cara memberikan penguatan
kapasitas kepada pemerintah kabupaten juga harus mempertimbangkan kondisi politik di kabupaten yang bersangkutan, termasuk netralitas pegawai pemda, ketegangan politik, tingkat intervensi politik terhadap jalannya pemerintahan, dan proses politik yang mungkin memengaruhi upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun demikian, bukan berarti bahwa bantuan tidak boleh diberikan ke daerah yang kondisi politiknya tidak mendukung. AKP di daerah seperti ini berpotensi untuk meningkatkan perhatian para pemangku kepentingan terhadap kemiskinan, walaupun upaya akan lebih sulit dan memakan waktu lebih lama [Lembaga Penelitian SMERU; 2006]. Dengan alternatif pemikiran tersebut diatas ditambah lagi dengan kewenanga yang luas dari otonomi daerah sangat diharapkan Pemerintah Kabupaten dapat mengemban tugas dan kewajibannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejak diterapkannya otonomi daerah pemerintah Kabupaten sebenarnya punya banyak waktu untuk mengembangkan fungsi dan kapasitasnya, sehingga pemerintah daerah sebagai pemangku kepentingan lebih berdaya. Pemerintah yang berdaya akan memiliki semua data dan informasi yang rinci tentang semua bidang dan sektor pemerintahan dan pembangunan. Tidak ada lagi pemerintah Kabupaten yang tidak mengetahui berapa pendapatan perkapita; jumlah penduduk miskin; tingkat pengangguran; tingkat kematian bayi; tingkat buta huruf; tingkat putus sekolah; desa tertinggal dst. Jangan ada lagi unit organisasi pemerintah tidak bergerak karena alasan tidak ada anggaran. Hal itu disebabkan karena birokrasi pemerintah diisi oleh orangorang yang tidak profesional. Untuk itu prinsip pemerintahan yang baik wajib dipegang teguh, seperti Profesionalisme dan Kompetensi (Profesionalism and Competency);daya Tanggap (Responsiveness); Keterbukaan dan Transparansi(Openness and Transparency); Partisipasi Masyarakat (Participation); Tanggung Gugat (Accountability); Komitmen pada 171
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Pengurangan Kesenjangan(Commitment to Reduce Inequality) dan Demokrasi (Democracy). KESIMPULAN
Semua pihak harus bekerja keras untuk mengatasi persoalan ini. Sebagaimana telah dikemukakan diatas bahwa birokrasi pemerintah secara umum sedang mengalami fase yang sangat buruk seperti oleh survei lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC), birokrasi pemerintahan yang terkorup di Asia, kemudian sumber dari Kementrian Dalam Negeri menyebutkan kenerja sebagian terbesar birokrasi pemerintah daerah sangat rendah. Sedangkan hasil survei lembaga penelitian Smeru menunjukkan bahwa beberapa LSM yang ada lebih banyak bergerak di bidang advokasi politik dan masih sangat sedikit atau hampir tidak ada yang secara khusus bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat di tingkat akar rumput. Meskipun berbagai ormas yang ada juga mempunyai kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung membantu masyarakat yang kurang mampu, dapat dikatakan bahwa peranan lembaga-lembaga nonpemerintah tersebut dalam penanggulangan kemiskinan masih sangat terbatas. Dengan kondisi kelembagaan penanggulangan kemiskinan yang belum bersifat partisipatoris dan memang belum mengakomodasi kan peranan unsur nonpemerintah dalam proses perencanaan pembangunan, maka peranan lembaga nonpemerintah dalam advokasi kebijakan penanggulangan kemiskinan masih sangat lemah. Disamping itu terdapat keengganan dari Birokrasi Pemerintah Daerah untuk melibatkan pihak Non Pemerintah dalam hal perencanaan pembangunan dan pengambilan kebijakan lainnya. Akhirnya Birokrasi Pmerintah Daerah tidak mampu melaksanakan prinsif-prinsif pemerintahan yang baik sebagaimana dikemukakan diatas.
Daftar Kepustakaan BAPPENAS - Sekretariat Tim Pengembangan Kebijakan Nasional Tata Kepemerintahan yang Baik, MODUL :PENERAPAN TATA KEPEMERINTAH AN YANG BAIK, Jakarta, Maret 2007.
Fukuyama, Francis, “Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia abad 21,” Terjemahan A. Zaim Rofiqi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. Fukuyama, Francis, The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial, Terjemahan Ruslani, Qalam, Yogyakarta, 2002. Haris, Syamsudin, “Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah,” LIPI Press, Jakarta, 2005. Karim,
Abdul Gafar[ed], Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Gajah Mada University – Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Osborne, David and Peter Plastrik, (1997), Banishing Bureaucracy : The Five Strategies for Reinventing Government, Hodson-Wesley Publishing Company Inc, New York.
Osborne ,David and Ted Gaebler, (1992). Reinventing Government : How the EntepreuneurialSpirit is Transforming the Public Sector, Hodson-Wesley Publishing Company, Inc, New York SMERU [Lembaga Penelitian], Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Penanggulangan Kemiskinan melalui Analisis Kemiskinan Partisipatoris, Jakarta, Januari 2006. 172
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 SMERU[Lembaga Penelitian], Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah:Kasus Tiga Kabupaten di Sulawesi Utara dan Gorontalo, Jakarta Juli 2001 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PELAPORAN KEUANGAN DAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 6 TAHUN 2008, TENTANG PEDOMAN EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 65 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN DAN PENERAPAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL. THE ASIA FOUNDATION - INDONESIA RAPID DECENTRALIZATION APPRAISAL (IRDA), Laporan Kedua, Jakarta, Juni - November 2002 United Nation Development Programme Indonesia, Laporan Tahunan, Jakarta, 2008.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
173
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Implementasi Kebijakan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banjarmasin Oleh : Avela Dewi Dosen Prodi. Administrasi Negara FISIP UNLAM Abstraksi
The government of Banjarmasin city has endeavored of realize the vision of health, but the exercise still find various obstacles which one of them is unresolved handling dengue fever eradication especially in the Banjarmasin city. This research aims to identify the handling of dengue fever and several factors constraints. This study used qualitative approach with data collecting techniques of observation and interviews. Efforts to tackle dengue fever carried by activity of promotive and preventive. The advice given to promotional activities can be further improved and implemented continously.Preventive activities by the public is being further enhanced awareness in handling as early as possible. Keywords : Policy Implementation, The handling of Dengue Fever
BAB I : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin telah bersepakat berupaya untuk mewujudkan visi kesehatannya berupa “Banjarmasin Sehat 2010” yang merupakan gambaran masyarakat masa depan yang ingin dicapai melalui pembangunan kesehatan. Akan tetapi dalam upaya pencapaian visi tersebut masih menemukan beberapa kendala seperti semakin beragamnya wabah Penyakit terjadi di Kalimantan Selatan serta masih belum tuntasnya penanganan pemberantasan penyakit terutama penyakit menular, khususnya di Banjarmasin salah-satunya penyakit dimaksud adalah Demam Berdarah Dengue (untuk selanjutnya disingkat menjadi DBD), yang merupakan wabah penyakit masyarakat secara nasional. Demam Berdarah Dengue masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang terjadi cenderung meningkat dan daerah penyebaran penyakit bertambah luas sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Juga sebagai akibat sejalan dengan lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya. Kasus DBD di wilayah Kota Banjarmasin masih berada dalam peringkat kasus tertinggi dan bahkan cenderung mengarah ke kejadian luar biasa (KLB), dimana untuk Tahun 2010 berjumlah 347 kasus. Jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah penyebaran yang tertular bertambah luas. Sebagaimana data Tahun 2005 sampai dengan 2010 (s/d Juni 2010) kasus DBD di Kota Banjarmasin tercatat : (lihat Grafik 1 dan 2). Kejadian luar biasa DBD masih sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia, dan untuk Tahun 2010 Kota 174
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Banjarmasin masih termasuk dalam kategori KLB DBD. Maksud dari Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah dimana jumlah penderita dan jumlah yang meninggal masih menempati angka yang sama dan pada bulan yang sama meskipun berada pada tahun yang berbeda.
di kota Banjarmasin masih belum maksimal sehingga penyakit ini masih sering kali berulang terjadi dan bahkan seolah-olah tidak ada kecenderungan mengalami perubahan untuk menjadi lebih baik. Meskipun Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Banjarmasin telah berupaya menjalankan misinya melakukan pemberantasan penyakit serta penyehatan lingkungan untuk kawasan Banjarmasin, menjalankan beberapa penanggulangan dan penanganan, yaitu secara promotif dan secara preventif yang bekerja sama dengan sektor terkait lainnya yaitu Pemerintah Kota, Kecamatan, Kelurahan, media cetak dan elektronik untuk memberantas DBD. Namun yang masih menjadi permasalahan utama adalah masih belum maksimalnya penggerakan peran serta masyarakat dalam melaksanakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) – DBD melalui gerakan “3M-Plus”.
Grafik 1
KASUS DBD YANG MENINGGAL DI KOTA BANJARMASIN TH.2005 S.D 2010 (S.D JUNI) 200
7 6
150
5 4
100
3 2
50
1 0
TH.2005
TH.2006
TH.2007
TH.2008
TH.2009
TH.2010
DBD
64
111
173
147
77
45
MENINGGAL
2
2
2
6
3
5
0
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
Grafik 2 SITUASI KASUS DBD PER BULAN DI KOTA BANJARMASIN TH.2005 S.D 2010 (S.D 18 JULI) TH. 2007KLB KRN PENINGK. KASUS
80 70 60 50 40 30 20 10 0 TH.2005
JAN FEB MRT APR MEI JUN JUL AGT SEPT OKT NOP DES 6
7
4
0
3
6
2
4
4
9
11
8
TH.2006 14
17
14
16
12
13
9
2
3
3
5
3
TH.2007 27 TH.2008 20
75
20
10
0
6
5
1
6
5
10
8
16
14
13
14
8
9
9
5
10
12
17
TH.2009 16 TH.2010 20
13
15
9
7
1
1
3
0
1
4
7
13
7
3
2
1
1
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, 2009.
Dari tinjauan data tersebut menunjukkan bahwa penanggulangan DBD
1. Sejauhmana penanganan penyakit DBD di kota Banjarmasin? 2. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penanganan penyakit DBD di Kota Banjarmasin?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi penanganan penyakit demam DBD di Kota Banjarmasin 2. Mengidentifikasi faktor-faktor menjadi kenda-kendala penanganan penyakit DBD di Kota Banjarmasin 175
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Menambah dan memperluas khasanah ilmu pengetahuan khususnya wawasan keilmuan kebijakan publik.
2. Manfaat Praktis a. Kontribusi pemikiran bagi instansi terkait khususnya dalam upaya penanggulangan dan penanganan penyakit DBD di Kota Banjarmasin b. Bahan referensi dan informasi bagi peneliti berikutnya c. Bagi masyarakat dapat dijadikan bahan informasi agar terus turut serta dalam mensukseskan setiap program pemerintah khususnya dalam penanganan penyakit DBD.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Kebijakan Publik Dalam memahami berbagai definisi kebijakan publik maka harus membahas beberapa konsep kunci yang termuat dalam kebijakan publik, seperti yang dikemukakan Young dan Quin dalam (Suharto, 2005:44), yaitu :
1. Tindakan pemerintah yang berwenang. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh badan pemerintah yang memiliki kewenangan hukum, politik dan finansial untuk melakukanny 2. Sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyat Kebijakan publik berupaya merespon masalah atau kebutuhan konkrit yang berkembang di masyarakat. 3. Seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah keputusan tunggal melainkan terdiri dari beberapa pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu demi kepentingan orang banyak. 4. Sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Kebijakan publik pada umumnya merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka kebijakan yang sudah ada karenanya tidak memerlukan tindakan tertentu. 5. Sebuah justifikasi yang dibuat oleh seorang atau beberapa orang aktor. Kebijakan publik berisi sebuah pertanyaan atau justifikasi terhadap langkah-langkah atau rencana tindakan yang telah dirumuskan, bukan sebuah maksud atau janji yang belum dirumuskan. Keputusan yang telah dirumuskan dalam kebijakan publik bisa dibuat oleh sebuah badan pemerintah, maupun oleh beberapa perwakilan lembaga pemerintah. Dari paparan di atas maka untuk penelitian ini yang dimaksud kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintah, seperti pertahanan dan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kriminalitas, perkotaan dan lain-lain.
2.2 Konsep Evaluasi Bagian akhir dari sebuah kebijakan yang dipandang sebagai pola aktivitas berurutan adalah evaluasi kebijakan atau evaluasi program kerja, Menurut Lester dan Stewart (dalam Agustin, 2006;126) evaluasi kebijakan ditujukan untuk sebagian-sebagian kegagalan suatu kebijakan atau dan untuk mengetahui apakah kebijakan yang telah dirumuskan dan dilaksanakan mendapat dampak yang diiinginkan. Pada dasarnya, ketika seseorang hendak melakukan evaluasi ada tiga hal yang perlu diperhatikan : 1. Evaluasi berusaha memberi informasi yang valid tentang kinerja kebijakan, evaluasi dalam hal ini berfungsi untuk menilai aspek instrument (cara pelaksanaan) kebijakan dan menilai
176
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 hasil dari penggunaan instrument tersebut. 2. Evaluasi berusaha untuk menilai kepastian tujuan atau target dengan masalah yang dihadapi. Pada fungsi ini evaluasi memfokuskan diri pada subtansi dari kebijakan publik yang ada, rekomendasi dari penilaianpenilaian itu dijadikan bahan belajar bagi para pelaku kebijakan yang lain. 3. Evaluasi juga berusaha untuk memberikan sumbangan pada kebijakan terutama dari segi metodologi artinya evaluasi ini diupayakan untuk menghasilkan rekomendasi dari penilaian-penilaian itu dijadikan bahan belajar bagi para pelaku kebijakan yang lain. Sehingga dalam penelitian ini, dimaksud evaluasi adalah proses pengukuran, perbandingan, dan penilaian hasil-hasil pekerjaan yang dicapai dalam pelaksanaan program penanggulangan DBD yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin dengan hasil yang seharusnya dicapai. Dalam menghasilkan informasi mengenai kinerja kebijakan, analisis menggunakan tipe kriteria yang berbeda untuk mengevaluasi hasil kebijakan. Tipetipe kriteria ini dalam hubungannya dengan rekomendasi kebijakan, perbedaan utama antara kriteria untuk evaluasi dan kriteria untuk rekomendasi adalah pada waktu ketika kriteria ditetapkan atau diaplikasikan. Untuk lebih jelasnya berikut kriteria evaluasi menurut Dunn (2000;601):Efektivitas, Efisiensi, perataan, kecukupan, responsivitas, dan ketepatan.
BAB III : METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan pendekatan kualitatif yang bermaksud untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang sejauhmana penanganan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin dan faktor
apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung penanganan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) oleh pihak Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin.
3.2 Tipe Penelitian Tipe penelitian deskriptif kualitatif, untuk memberikan gambaran atas suatu fenomena penanganan Demam Berdarah Dengue (DBD) oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin. 3.3 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian Pemerintah Kota Banjarmasin melalui Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin selaku instansi yang berwenang dalam program penanggulangan DBD di kawasan kota Banjarmasin yang mewilayahi 5 kecamatan : Banjarmasin Utara, Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Barat, Banjarmasin Timur dan Banjarmasin Tengah. 3.4 Sumber Data 1. Kepala Sub Dinas Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P2PL) Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Banjarmasin satu orang 2. Pelaksana lapangan P2PL dan petugas Puskesmas yang menangani DBD diwilayah endemis 3. Masyarakat di wilayah endemis Data sekunder diperoleh dari arsip-arsip, rekapitulasi data yang telah diolah oleh Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin, dan instansi terkait lainnya. 3.5 Teknik Analisa Data Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan sepenuhnya dianalisis secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini berlangsung bersamaan dengan proses pengumpulan data, atau melalui tiga tahapan model alir dari Miles dan Huberman dalam (Usman dan Akbar, 2008;85-88)
177
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 BAB IV : GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kota Banjarmasin Luas wilayah Kota Banjarmasin 72.00 Km persegi atau 0,19% dari luas wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, terdiri dari lima Kecamatan dan 50 Kelurahan. Untuk keadaan jumlah penduduk dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan hal ini dialami hampir disemua Kecamatan di Kota Banjarmasin.Banyaknya jumlah penduduk sangat berpengaruh pada jumlah penderita DBD karena dari informasi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin diprediksi bahwa dari setiap 100.000 orang jumlah penduduk terdapat penderita DBD sebanyak 20 orang yang mana jumlah penduduk ± 600.000 jiwa diperkirakan jumlah penderita DBD sebesar 120 orang. Tinggi rendahnya curah hujan yang terjadi di Kota Banjarmasin sangat berpengaruh terhadap mewabahnya DBD karena populasi nyamuk Aedes aegypti nyamuk yang menjadi perantara berpindahnya virus dengue yaitu virus yang menyebabkan DBD pada bulan tertentu akan mengalami peningkatan, hal ini sehubungan intensitas terjadinya hujan dengan ini kewaspadaan harus ditingkatkan. Kota Banjarmasin mengalami curah hujan yang cenderung meningkat pada bulan-bulan tertentu yaitu pada bulan Nopember sampai dengan Maret dan mengalami penurunan pada bulan April sampai dengan bulan Oktober. BAB V : HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banjarmasin. Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan yang harus senantiasa mendapat perhatian dan pemerintah karena sampai saat ini penderita DBD tidak pernah habis, justru
ditahun 2007 sampai 2010 terjadi peningkatan dan terjadi Kejadian Luar Biasa. Penyebab tingginya angka kematian DBD di Indonesia adalah (1) masyarakat terlambat mengenali DBD; (2) terlambat diagnosis dan pertolongan medis; (3) terlambat masuk rumah sakit.(Nadesul,2007-13). Akibat keterlambatan tersebut angka kematian cenderung menjadi lebih tinggi. Hal serupa terjadi di Kota Banjarmasin terutama dalam hal keterbatasan masyarakat mengenal DBD dan kurangnya partisipasi masyarakat dalam upaya penanggulangan. Menyikapi masalah ini maka Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin dan bagian yang terkait lainnya mengklasifikasi wilayah yang ada di Kota Banjarmasin kedalam tiga kriteria, pertama, kriteria untuk wilayah endemis jika dalam tiga tahun terakhir berturut-turut ditemukan penderita DBD. Kedua adalah sporadis jika dalam tiga tahun terakhir tidak berturutturut ditemukan penderita DBD, ketiga, jika dalam 3 tahun terakhir tidak ditemukan adanya penderita DBD. Berikut dapat dilihat pada Tabel 5.1 Hakekatnya kebijakan adalah semacam jawaban terhadap suatu masalah, yang merupakan upaya untuk memecahkan, mengurangi dan mencegah suatu masalah dengan cara tertentu, yaitu dengan tindakan yang terarah . Program ini berupaya untuk memecahkan, mengurangi, mencegah penyakit DBD di Kota Banjarmasin. Penanggulangan penyakit DBD meliputi berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh Sub Dinas Pencegahan dari Pemberantasan Penyakit dan Kesehatan Lingkungan yang pada struktur organisasi pelaksanaan program penanggulangan DBD berperan sebagai koordinator dan juga pelaksana dilapangan. Evaluasi program pelaksanaan penanggulangan DBD yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Banjarmasin, dalam pelaksanaannya terdapat aspek yang sangat penting yaitu aspek penyesuaian 178
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
33
2 2 2
2 2
2 2
2
2
2 1,5
1 1 1 1
1
1
1 1
1 0,5
K e la y a n B a ra t K e la y a n T e n g a h Pem uru s B aru M uru ng R a ya
14
- M an tu il - K e la y a n D a la m - T a nju n g - P agar 3
struktur organisasi. Dengan begini akan Dinkes Kabupaten / Kota terbentuk operasi standar yang akan menjadi pedoman bagi setiap oknum dalam bertindak, Puskesmas stuktur yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan Petugas Lapangan P2 dan dan menimbulkan red-tape Monitoring Kinerja PL (SUPERVISOR) yakni prosedur birokrasi yang rumit dan komplek yang pada gilirannya akan menyebabkan aktivitas Juru Pemantau Jentik yang tidak fleksibel. Dengan ini maka dibuatlah suatu stuktur organisasi pelaksanaan program penanggulangan DBD yang dapat Gambar 5.1 Bagan Stuktur Pelaksanaan Program dilihat pada bagan ini: Penanggulang DBD Sumber: Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin 2008
179
TanjungPagar
-
0 MurungRaya
Benua A nyar S e i L u lu t
Kel ayanDalam
-
PemurusDal am
P e k au m a n K e la ya n T im u r P e m u r u s D a la m P e m u r u s B a ru K a la ya n D a la m B e r un tu n g R a ya J u m la h
2,5
Mantuil
. . . . . .
3
3
Kelayan Timur
B a n j a r m a s i n1 S e la ta n 2 3 4 5 6
4
Sei. Lulut
5
4 4
Karang Mekar
C e m p a ka P u tih 9 N opem ber S e i B i lu P e k ap u ra n R a y a K a ra n g M e k a r T e r m in a l
3,5
4
Banua Anyar
. . . . . .
4,5 4 4
Pekapuran Raya
B a n j a r m a s i n1 T im u r 2 3 4 5 6
K e la y a n L u a r S e b e ra n g M e s j id Pek ap uran L aut
Kuripan
4
-
Pangambangan
K e rta k B a ru U lu K e rta k B a ru Ilir M aw ar T e l u k D a la m M e la yu G edan g S e i B ar u A nta sa n B e sa r Pasar Lam a K ur ipa n K ebu n B u n g a Pengam bangan S e i B il u P e k a p u ra n R a y a K a ra n g M e k a r P e m u ru s L u a r K e la y a n S e l a t a n Pekaum an K e la y a n T i m u r P e m u ru s D a la m
C em p aka T e lu k D a la m S ei M esa G adang H anyar S . Parm an
Gedang
-
. . . . .
Antasan Besar
B a n j a r m a s i n1 T eng ah 2 3 4 5
Jumlah Kasus DBD Per Kelurahan di Kota Banjarmasin Bulan Januari s.d Agustus 2010
Telaga Biru
T e la w a ng T e lu k T ira m P e la m bu a n B e l it u n g S e l a t a n T e la g a B iru K u i n S e l a ta n B e l it u n g U ta r a K uin C e r u c uk B a s irih
KuinCerucuk
-
Pelambuan
3
B a n j a r m a s i n1 . T e l u k T i r a m B arat 2 . P e lam b u a n 3 . B a n ja rm a s in Ind ah 4 . K u in R a ya 5 . B a s i r ih B a r u
-
Bel itungSelatan
2
-
. . . .
P o t e n s ia l 6
Pangeran
1
3 K ayu Tangi I S e i Jin ga h A l a la k T e n g a h A l a la k s e l a ta n
K e lu r a h a n S p o ra d is 5 A n t K e c il T im u r S u rg i M u fti A la la k T e n g a h A la la k S ela ta n K u in U tar a
kuinUtara
2 B a n j a r m a s i n1 U ta ra 2 3 4
E n d e m is 4 S e i M ia i S e i Jing a h A la l a k U t a r a P a n g e ra n
Surgi Mufti
1
P u sk esm as
S.Miai
K e c a m ata n
S.Jingah
N o
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Upaya penanggulangan DBD di Kota Banjarmasin Dinas Kesehatan melalui rumah sakit mendata jumlah penderita DBD sebanyak seminggu tiga kali kerumah sakit, akan tetapi jika kasus yang terjadi banyak maka Dinas Kesehatan datang mendata setiap hari, petugas P2PL sebagai koordinator yang mengkoordinir segala kegiatan yang dilakukan oleh semua bagian yang terlibat dalam penanggulangan DBD (Puskesmas dan kelompok yang dibentuk oleh Puskesmas POKJA/Jumantik. Secara garis besar program ini telah dilaksanakan dengan baik sesuai dengan mekanisme kerja yang berlaku akan tetapi dalam pelaksanaannya masih menemui beberapa kendala-kendala yang tentunya dapat memberikan pengaruh terhadap keberhasilan program. Walaupun dihadapkan dengan berbagai kendala, Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin sebagai pelaksana program telah melakukan upaya yang maksimal dalam mengorganisir jalannya berbagai pelaksanaan program, dalam melaksanakan program pemberantasan DBD ini Dinas Kesehatan melakukan beberapa upaya yaitu melalui kegiatan promotif dan preventif. Upaya penanggulangan DBD di Kota Banjarmasin yang dilakukan secara terus menerus setiap tahunnya, salah satunya melalui kegiatan promotif, secara promotif terdiri dari beberapa kegiatan yaitu sebagai berikut: Penyuluhan Demam Berdarah Dengue (DBD) Kegiatan ini dilakukan secara lintas sektoral dengan Dinas Pendidikan Nasional dalam hal ini sekolah-sekolah, kegiatan PKK baik ditingkat Kecamatan maupun Kelurahan. Kegiatan promotif lainnya melalui Press Realease dilakukan melalui media cetak dan elektronik yang ada di Banjarmasin seperti Banjarmasin Post, Radar, Metro, Radio Republik Indonesia, dan Radio Swasta. Tujuan dari kegiatan penyuluhan itu sendiri adalah memberikan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan pada masyarakat agar ikut berpartisipasi dalam kegiatan PSN minimal dirumahnya sendiri.
Kegiatan promotif lainnya yang telah dilaksanakan adalah dengan Kerjasama Lintas Program / Lintas Sektoral terkait dari tingkat kota sampai tingkat operasional dan kelurahan untuk pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan jentik nyamuk Aedes Aegypty, untuk itu Pemerintah kota Banjarmasin melalui dinas kesehatan setiap tahunnya di Bulan November mencanangkan“grebek DBD” dengan memberantas PSN dan Fogging / pengasapan agar dapat menekan jumlah kasus yang cenderung meningkat sekaligus mengajak masyarakat untuk melakukan “3M” plus. Upaya penanggulangan DBD di kota Banjarmasin yang dilakukan secara preventif terdiri dari beberapa kegiatan yaitu : 1. PJB-PSN oleh Petugas Kesehatan Sampai saat ini cara yang tepat dilakukan adalah memberantas nyamuk penular (vektor) dengan menggunakan insektisida lewat fogging/pengasapan rumah ke rumah dan untuk membunuh jentik dengan memberikan bubuk abate ke dalam penampungan air. untuk itu Pemerintah kota Banjarmasin melalui dinas kesehatan setiap tahunnya di Bulan November mencanangkan“grebek DBD” dengan memberantas PSN dan Fogging / pengasapan agar dapat menekan jumlah kasus yang cenderung meningkat sekaligus mengajak masyarakat untuk melakukan “3M” plus. Grebek DBD dilaksanakan pada 23 November 2010 dengan melakukan penyemprotan sebelum masa penularan (SMP) di 33 kelurahan terutama dan kelurahan endemis DBD dan PSN-DBD di 50 Kelurahan yang masing-masing kelurahan meliputi 3 RT. Sedangkan setiap 3 bulan dilaksanakan pada semua kelurahan oleh jumantik sekaligus penyuluhan pada masyarakat untuk melaksanakan PSN-DBD. 2. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) Oleh Kelompok Masyarakat Pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi DBD berarti membangun kesadaran dan perubahan sikap terhadap penanggulangan DBD. Oleh karena itu membasmi merupakan cara paling mudah, murah, sederhana dan tepat guna, maka upaya pemberdayaan masyarakat ditujukan pada 180
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 upaya-upaya pembasmian nyamuk Aedes Aegypti. Ada tiga kegiatan pokok yang dapat dilakukan untuk menggerakkan peran serta kelompok masyarakat dalam PSN-DBD : 1. Kunjungan rumah secara berkala untuk memberikan penyuluhan secara langsung kepada keluarga dan melakukan pemeriksaan jentik. 2. Pertemuan-pertemuan kelompok masyarakat, seperti arisan, pertemuan PKK, pengajian / pertemuan kelompok agama, penyuluhan di posyandu dan lain-lain. 3. Kerja bakti secara berkala untuk membersihkan lingkungan dan melaksanakan PSN-DBD. 4. Kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat kota Banjarmasin dalam pelaksanaan PSN-DBD antara lain dengan membersihkan dari rumah kemudian sekitarnya dan juga menaburkan bubuk abate yang diberikan oleh Puskesmas. kegiatan Pemberantasan PSN oleh kelompok masyarakat belum terlaksana dengan optimal karena kurangnya kesadaran masyarakat dan hal ini bisa dimaklumi karena kesibukan masyarakat itu sendiri yang terdiri dari berbagai profesi, sehingga menggerakkannya dalam satu kegiatan mendapat kendala, sehingga setelah terjadi kasus barulah kesadaran itu muncul. Untuk mengatasi permasalahan DBD yang ditemukan di wilayah kerjanya masingmasing, maka pihak Puskesmas sebagai pelaksana DBD berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin dengan melibatkan masyarakat dalam melakukan kegiatan Pemberian bubuk abate secara gratis. 5.2 Kendala-Kendala Dalam Pelaksanaan Program Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banjarmasin
5.2.1 Peran Serta Masyarakat Dalam PSN-DBD Belum Optimal Membunuh nyamuk Aedes memang dapat dilakukan dengan fogging atau pengasapan, hal inilah yang banyak dipilih untuk dilakukan oleh masyarakat pada umumnya karena
kegiatan ini terhitung cepat membunuh nyamuk dewasa. Akan tetapi kegiatan ini tidak dibarengi dengan kegiatan PSN oleh masyarakat seperti melakukan bersih-bersih pada lingkungan, sehingga setelah kasus DBD terjadi masyarakat terlambat menyadarinya. 5.2.2 Angka Bebas Jentik Masih Belum Mencapai Target Target Angka bebas jentik di Kota Banjarmasin terbagi atas dua yaitu untuk kawasan yang endemis dari 100.000 orang diperkirakan 20 orang diantaranya terserang DBD dan untuk kawasan non endemis ditargetkan mampu mencapai Angka Bebas Jentik (ABJ) ≥ 95%. Hal ini belum sepenuhnya mampu dicapai, tetapi Dinas Kesehatan yang bekerja sama dengan instansi terkait dan juga masyarakat tetap melakukan usaha yang maksimal dengan menggerakkan kader-kader / tokoh masyarakat serta tenaga pemeriksa jentik (Pokja / Jumantik). Kegiatan ini dilakukan dengan mengunjungi rumah-rumah dan tempat-tempat umum secara teratur sekurang-kurangnya tiga bulan sekali.
5.2.3 Terbatasnya Tenaga Teknis Di Puskesmas Dalam keterbatasan tenaga tekhnis yang rata-rata hanya satu orang saja setiap wilayah endemis tidak akan mampu menangani kegiatan tersebut.Selain itu pula mengakibatkan hasil program yang diinginkan tidak tercapai secara maksimal. Kedepannya diharapkan adanya penambahan petugas pelaksana di Puskesmas agar hasil program penanggulangan DBD selanjutnya lebih baik lagi. 5.3 Indikator Penilaian Pelaksanaan Kebijakan Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Banjarmasin 5.3.1 Efektifitas Keefektifan merupakan tingkat dimana suatu program mencapai tujuannya atau memproduksi efek-efek tertentu. Dalam program penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Banjarmasin tujuan yang 181
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 ingin dicapai adalah menurunkan populasi nyamuk penular Demam Berdarah Dengue (Aedes Aegypti) serta jentiknya dengan meningkatkan peran serta masyarakat dalam PSN melalui juru pemantau jentik dengan kegiatan promotif dan preventif. Pada program penanggulangan penyakit DBD di Kota Banjarmasin targetnya telah terlaksana 100%, yang dijalankan melalui kegiatan promotif dan preventif, namun pada perkembangannya kasus DBD di tahun tahun selanjutnya yang terjadi kasus yang muncul masih terbilang tinggi, dan bahkan pada tahun 2010 dinilai masih belum maksimal karena kasus yang ada masih melebihi angka rata-rata nasional, dan pada Tahun 2010 KLB DBD kembali terulang dan ini menunjukan program belum terlaksana maksimal. 5.3.2 Kecukupan Kecukupan disini diartikan sampai seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat memecahkan masalah penyakit DBD di Kota Banjarmasin. Selama pelaksanaan program penanggulangan penyakit DBD di Kota Banjarmasin, apakah pihak Puskesmas sebagai pelaksana program telah mencapai hasil yang diinginkan yaitu menurunkan populasi nyamuk Aedes Aegypti dan jentik dengan meningkatkan peran masyarakat dalam PSN. Pencapaian target dalam kegiatan Promotif melalui penyuluhan, pemasangan spanduk, Pers Realease dan kegiatan preventif melalui PSN, PJB PSN, Fogging focus, dalam program penanggulangan DBD di Kota Banjarmasin telah terealisasi 100%, namun hasil yang dicapai masih belum mencapai titik kepuasan yang diharapkan yakni semua wilayah Banjarmasin terbebas dari penyakit DBD. Dengan kata lain hasilnya tidak memenuhi kecukupan untuk menjawab permasalahan yang ada. Permasalahan yang timbul yaitu kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan PSN dan jika ada kasus masyarakat lebih mengutamakan kegiatan fogging. 5.3.3 Pemerataan Maksud pemerataan disini adalah apakah biaya dan manfaat yang didistribusikan melalui kegiatan promotif dan preventif
merata diberikan pada masyarakat yang wilayahnya terserang DBD. Kegiatan promotif yang dilakukan melalui kegiatan penyuluhan, pemasangan spanduk pada seluruh wilayah, terutama kawasan yang menjadi langganan DBD. Walaupun kegiatan promotif hanya berperan sebatas pemberian pengetahuan pada masyarakat akan tetapi hal ini setidaknya membuat masyarakat tahu apa yang harus dilakukan jika di kawasannya terdapat kasus DBD. Pemberantasan nyamuk Aedes Aegypti melalui kegiatan preventif dengan tindakan fogging memang belumlah efektif akan tetapi hal ini mampu membunuh nyamuk dewasa yang artinya masyarakat terbebas dari DBD pada jangka waktu tertentu. 5.3.4 Responsivitas Meskipun telah mencapai target dalam kegiatan promotif namun Kota Banjarmasin masih dalam keadaan yang harus waspada terutama pada musim penghujan.Telah banyak dilakukan upaya perbaikan dan upayaupaya tersebut diharapkan pada program tahun mendatang dapat lebih baik dari tahun sebelumnya dan dapat menanggulangi DBD di Kota Banjarmasin.
5.3.5 Ketepatan Ketepatan untuk pencapaian hasil manfaat penanggulangan penyakit DBD yang dirasakan oleh masyarakat kota Banjarmasin masih belum sepenuhnya bisa menanggulangi permasalahan penyakit DBD karena dibeberapa wilayah masih menjadi langganan DBD terutama dimusim penghujan, meskipun hasilnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan namun setidaknya petugas pelaksana penanggulangan DBD telah bekerja semaksimal mungkin. Meskipun jumlah penderita DBD berkurang ditahun 2008 namun status kota Banjarmasin masih tergolong ke dalam kategori waspada. Sebenarnya cara penanggulangan DBD sudah tersedia (1) kepedulian untuk membasmi jentik, (2) menghindar dari gigitan nyamuk dewasa selama DBD berjangkit; (3) meniadakan tempat persembunyian nyamuk dan bersarangnya (perindukan nyamuk) serta, (4) tidak terlambat mengenali, serta tepat 182
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 waktu membawa pasien ke rumah sakit. Nadesul (2007;16-17) BAB VI : PENUTUP
6.1 Kesimpulan 1. Implementasi Kebijakan pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD di Kota Banjarmasin dilakukan melalui kegiatan promotif dan preventif. Kegiatan promotif meliputi: kerjasama dengan sektor terkait yakni Dinas Pendidikan Nasional dalam hal ini sekolah-sekolah, Tim Penggerak PKK yang ada di tingkat Kecamatan dan Kelurahan, media cetak dan elektronik dan penyuluhan keliling oleh petugas Dinas Kesehatan dan Puskesmas di Kota Banjarmasin. Kegiatan Promotif ini berupa penyuluhan terutama didaerah-daerah endemis DBD .Sedangkan kegiatan preventif yang telah dilakukan meliputi : (a) PJB-PSN oleh petugas kesehatan, (b) Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh kelompok masyarakat. Kegiatan promotif dan preventif yang dilakukan dalam penanggulangan penyakit DBD ini belum sepenuhnya berjalan dengan optimal terutama dalam kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena kesadaran dan peran serta masyarakat akan kebersihan, terutama kebersihan lingkungan sekitar masih kurang, dan penanganan PSN-DBD melalui gerakan 3 M Plus. 2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program penanggulangan DBD di Kota Banjarmasin : a. Peran masyarakat dalam PSN DBD belum optimal. b. Angka bebas jentik masih belum mencapai target. c. Terbatasnya tenaga teknis Lapangan. 6.2 Saran 1. Kegiatan promotif yang dilakukan terutama kegiatan penyuluhan lebih ditingkatkan dan harus dilaksanakan secara kontinyu. Kegiatan preventif terutama dalam kegiatan PSN oleh masyarakat lebih
digalakkan, dimana untuk kegiatan ini Dinas Kesehatan sebaiknya menambah petugas pada Puskesmas terutama petugas teknis yang menangani DBD pada daerahdaerah endemis. 2. Keterlibatan masyarakat lebih ditingkatkan lagi dalam penanggulangan DBD di wilayahnya terutama dalam kegiatan PSN di lingkungannya sendiri yakni dimulai dari rumah sendiri, untuk menciptakan lingkungan bersih dan sehat serta tetap waspada terhadap DBD dan tanggap jika ada kasus yang akan muncul. DAFTAR PUSTAKA
Dunn, William, 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. GajahMada University press.Yogyakarta.
Jones, Charles, 1991. Pengantar Kebijakan Publik. CV Rajawali.Jakarta Nadesul,
Hendrawan, 2007. Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah. PT Kompas Media Nusantara. Jakarta
Nugroho, D.Riant, 2006. Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang. PT Gramedia.Jakarta Soeprapto, Riyadi. 2000. Perencanaan evaluasi Kebijakan Publik. UM Press Malang Suharsono, AG. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. CV Alfabeta. Bandung Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan RKD. CV Alfabeta. Bandung.
Usman, Husaini & Purnomo, Setiadi Akbar. 2008 Metode Penelitian Sosial. PT Bumi Aksara. Jakarta Winarno Budi. 2007. Kebijakan Publik, Teori dan Proses Media. Pressindo. Yogyakarta.
183
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
PENGENDALIAN PERSEDIAAN BARANG DAGANG KATEGORI BUSANA BERDASARKAN ANALISIS ABC PADA USAHA DAGANG AL BAYAN AGENCY BANJARMASIN Oleh : M. Zainal Abidin dan Tri Cahyani Pramita Dosen Tetap Prodi Manajemen FE UNLAM Banjarmasin Abstraksi
This reseach is aimed to determine the clasification of trade supply in the category of fashion at Al Bayan Agency by implementing the ABC Analysis in order to control its supply. Sampling technic used is non probability using the purposive sampling methode. The data analysis technic is ABC analysis. The result of this research shows that out of 741 items of supply in fashion category at Al Bayan Agency there are 148 items class A (20%), 222 items class B (30%) and the rest is 371 items (50%) in the category of class C. Policy implemented in order to control supply based on the ABC result analysis is that class A is tightly controlled so that its record accuracy should often be diversified by the accumulation of supply within 1-3 months, the accuracy of forecast should be high, and also the relationship with the suppliers should be well maintained. Class B is controlled normally by monitoring the accuracy of security stock, limitation of order’s values and accumulation of supply which is done within 3-6 months and the focus of attention of its supply is used the management by exception. Class C is controlled sufficiently (loose) by a simple system (propulsion system) the accumulation of supply is done within 6-12 months, orders in big parties and a sufficient security stock and unscheduled orders. Key words: supply control, ABC analysis
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ersediaan merupakan bagian yang terbesar dalam penggunaan modal kerja suatu perusahaan dan merupakan aktiva yang selalu mengalami perubahan. Dengan demikian sudah selayaknya hal ini dikelola dengan baik. Perusahaan harus berusaha untuk mencapai keseimbangan antara investasi persediaan dan tingkat pelayanan konsumen karena tujuan akhir dari sistem manajemen persediaan adalah mengoptimalkan persediaan (Fien Zulfikarijah, 2005). Persediaan dikatakan optimal ketika keuntungan yang diperoleh dari persediaan yang ada adalah maksimum dengan biaya yang minimum.
P
Manajemen persediaan merupakan bagian terpenting dari fungsi manajemen operasional. Pengelolaan terhadap persediaan memerlukan modal besar. Selain itu, persediaan juga berfungsi sebagai jaminan untuk terjadinya proses produksi yang efisien dan fleksibel serta berdampak pada semua fungsi bisnis. Baik keuangan, sumber daya manusia serta pemasaran. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yolanda Masnita Siagian (2005), persediaan menjadi salah satu faktor produksi yang harus dikelola dengan benar karena merupakan aset yang sangat berpengaruh terhadap proses produksi di banyak perusahaan. Tiga pertanyaan mendasar yang terkait dengan manajemen persediaan yaitu apa yang harus disediakan, kapan melakukan persediaan dan berapa banyak yang harus disediakan. Salah satu teknik yang dapat 184
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 dilakukan adalah dengan melakukan pengklasifikasian atau pengkelasan terhadap persediaan yang ada. Metode seperti ini sering disebut metode klasifikasi ABC. Analisis ABC dilakukan untuk mengatur semua jenis barang dengan prioritas tertentu agar tercapai efektivitas. Banyak organisasi besar harus mengelola berbagai macam dan jenis barang, dengan nilai satuan dan jumlah yang berbeda. Dari jenis barang yang nilainya rendah tetapi tingkat kebutuhannya tinggi sampai dengan barang dengan nilai yang sangat tinggi tetapi tingkat kebutuhannya rendah. Agar perusahaan mampu mengendalikan persediaan pada biaya terendah, ia harus mampu mengidentifikasikan barang-barang secara individual. Ini berarti perusahaaan harus mengetahui posisi suatu barang, yakni apakah berada pada kelompok barang nilai rendah keperluan banyak, atau nilai tinggi keperluan sedikit. Hal ini sangat penting dalam pengambilan keputusan manajemen yang menyangkut persediaan. U.D. (Usaha Dagang) Usaha Dagang Al Bayan Agency merupakan salah satu Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang bergerak sebagai distibutor dan retail produkproduk Islami di Banjarmasin. Manajemen persediaan barang dagang yang dilakukan pada Usaha Dagang Al Bayan Agency masih bersifat sederhana. Pimpinan Usaha Dagang Al Bayan Agency menyampaikan bahwa tidak pernah dilakukan adanya pengklasifikasian terhadap persediaan barang dagang dengan menggunakan analisis ABC untuk melakukan suatu pengendalian dalam persediaan. Dengan demikian, pengendalian yang dilakukan atas persediaan tersebut tidak ada urutan prioritasnya. Tidak ada dibedakan mana jenis barang dagangan yang memang mendapatkan fokus tinggi, fokus sedang dan fokus rendah. Jenis produk yang dijual pada Usaha Dagang Usaha Dagang Al Bayan Agency terdiri dari beberapa kategori. Buku-buku serta majalah keislaman, obat-obatan herbal, busana dan aksesoris islami, serta kaset dan vcd Islami. Banyaknya item produk (±98.099 item) yang dijual menjadi suatu hal yang cukup rumit untuk dikendalikan oleh pihak
manajemen Usaha Dagang Al Bayan Agency. Item persediaan sebanyak itu perlu diklasifikasikan terlebih dahulu dengan analisis ABC. Hal ini guna memudahkan pengendalian terhadapnya. Barang dagang kategori busana memberikan kontribusi yang besar bagi pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency. Beberapa jenis barang yang termasuk dalam kategori ini yaitu kerudung, jubah, T- Shirt, kemeja, baju kaos, pakaian ihram, dan batik. Tidak adanya urutan prioritas pada pengendalian persediaan dapat mengakibatkan terjadinya penumpukan persediaan maupun kehabisan persediaan (stock out). Tabel 1 Sisa Stok Beberapa Item Kategori Busana Tahun 2007 Sisa Stok No Nama Item (Unit) 1. Baju Al Jamali 15 2. Celana Zaskiya 10 3. Daleman 10 4. Kerudung Kaos Rani 100 (All Size) 5. Kerudung SPK 200 6. Kerudung Zainab 50 Babat (All Size) Sumber: Usaha Dagang Al Bayan Agency, 2008. Data pada tabel diatas menunjukkan terjadinya kelebihan stok pada beberapa item persediaan barang dagang kategori busana di akhir tahun 2007. Dapat dikatakan bahwa efektivitas dalam manajemen persediaannya masih belum tercapai. Oleh karena itu, analisis ABC khususnya pada persediaan kategori busana menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency dapat menentukan fokus pengendalian persediaan barang dagang khususnya untuk kategori busana yang menjadi persediaan mereka. Oleh karena itulah penulis memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul ”Pengendalian Persediaan Barang Dagang Kategori Busana berdasarkan
185
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Analisis ABC Pada Usaha Dagang Al Bayan Agency Banjarmasin”. 1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah dan hasil pengamatan penulis, permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimanakah klasifikasi dan kebijakan persediaan barang dagang kategori busana pada Usaha Dagang Al Bayan Agency berdasarkan analisis ABC dalam rangka pengendalian persediaan ? 1.3.
Batasan Penelitian Penelitian pengendalian persedian pada Usaha Dagang Al Bayan Agency berdasarkan analisis ABC dibatasi pada persediaan barang dagangan kategori busana. 1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu: 1. Menentukan klasifikasi persediaan barang dagang kategori busana pada Usaha Dagang Al Bayan Agency (tahun 2008) dengan menggunakan analisis ABC dalam rangka pengendalian persediaan khususnya untuk kategori busana. 2. Menentukan kebijakan yang dapat dijalankan pihak manajemen Usaha Dagang Al Bayan Agency dalam pengendalian persediaan barang dagang kategori busana berdasarkan analisis ABC untuk tahun 2009. 3. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan bahan pertimbangan pihak manajemen khususnya manajemen Usaha Dagang Al Bayan Agency Banjarmasin dalam melakukan pengendalian terhadap persediaan barang dagang pada kategori busana. B. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi, Fungsi dan Tujuan Persediaan Menurut Yolanda Masnita Siagian (2005), persediaan merupakan bahan atau barang yang disimpan untuk tujuan tertentu antara lain untuk proses produksi, jika berupa
bahan mentah maka akan di proses lebih lanjut, jika berupa komponen (spare part) maka akan di jual kembali menjadi barang dagangan. Sedangkan menurut Fien Zulfikarijah (2005) persediaan secara umum didefinisikan sebagai stock bahan baku yang digunakan untuk memfasilitasi produksi atau untuk memuaskan permintaan konsumen. Selain itu, Lalu Sumayang (2003) menyatakan bahwa inventori atau persediaan adalah sebuah persediaan dari material yang digunakan untuk menunjang produksi atau memenuhi permintaan pelanggan. Dari tiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa persediaan merupakan sumber daya yang siap untuk proses lebih lanjut maupun dijual guna memenuhi permintaan konsumen. Bentuk persediaan di setiap perusahaan berbeda-beda. Semua tergantung pada jenis perusahaan (manufaktur/ jasa) dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sebagaimana menurut Fien Zulfikarijah (2005), dalam industri jasa tidak terdapat persediaan karena dikonsumsi dan diproduksi secara bersamaan. Sedangkan dalam industri manufaktur terdapat persediaan yang merupakan stok item yang dijaga oleh perusahaan agar memenuhi permintaan baik pelanggan internal maupun eksternal. Persediaan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis sebagai berikut: (Fien Zulfikarijah, 2005) 1. Persediaan bahan baku, yaitu persediaan barang yang akan digunakan dalam proses transformasi. 2. Persediaan barang setengah jadi atau barang persediaan barang dalam proses yang merupakan persediaan yang telah mengalami proses produksi akan tetapi masih diperlukan proses lagi untuk mencapai produk jadi. 3. Persediaan barang jadi, yakni persediaan barang yang telah melalui proses akhir dan siap dijual kepada konsumen. Selain itu, menurut Freddy Rangkuti (2002) setiap jenis persediaan memiliki karakteristik tersendiri dan cara pengelolaan yang berbeda. Persediaan dapat dibedakan menjadi: 186
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 1. Persediaan bahan mentah (raw material 2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased parts/components), 3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies), 4. Persediaan barang dalam proses (work in process), 5. Persediaan barang jadi (finished goods). Persediaan disimpan oleh perusahaan karena ada 3 (tiga) fungsi dari persediaan menurut Yolanda Masnita Siagian (2005) yaitu: 1. Fungsi Pemisahan Wilayah, merupakan spesialisasi ekonomis antara unit pembuatan dan unit distribusi dibagikan dalam wilayah-wilayah yang ditangani 2. Fungsi Decoupling, merupakan fungsi suatu produk yang diproses dan didistribusikan dalam ukuran yang ekonomis 3. Fungsi Penyeimbang dengan permintaan sehingga kebutuhan konsumsi dapat dipenuhi dengan lancar dari proses produksi yang dilakukan. Keberadaan persediaan dapat membantu fungsi-fungsi penting yang akan menambah fleksibilitas operasi perusahaan. Fien Zulfikarijah (2005) menyatakan ada 7 (tujuh) tujuan penting dari persediaan, yakni: 1. Fungsi ganda Fungsi utama persediaan adalah memisahkan proses produksi dan distribusi. Pada saat penawaran ataupun permintaan terhadap barang tidak teratur maka mengamankan persediaan merupakan keputusan yang terbaik. Hal ini mampu menghindarkan dari biaya jangka pendek serta menghindari stock out (kehabisan barang). Perusahaan akan berusaha memproduksi barang sesuai dengan permintaan dan perusahaan akan berusaha memproduksi barang tersebut pada saat permintaan rendah. 2. Mengantisipasi adanya inflasi Persediaan dapat mengantisipasi perubahan harga dan inflasi. Fluktuasi persediaan yang dibutuhkan menjadikan persediaan sebagai investasi terbaik namun dengan tidak melupakan untuk
3.
4.
5.
6.
7.
mempertimbangkan biaya dan risiko penyimpangan yang akan dihadapi. Memperoleh diskon terhadap persediaan yang dibeli Satu fungsi persediaan yang lain adalah memanfaatkan keuntungan dari diskon terhadap jumlah persediaan yang dibeli. Banyak pemasok yang menawarkan diskon untuk pembelian dalam jumlah besar sehingga hal ini dapat mengurangi biaya produksi perusahaan. Namun, dengan pembelian dalam jumlah besar kurang menguntungkan dalam hal biaya penyimpanan yang lebih tinggi, terjadinya kerusakan, kemungkinan terjadinya penurunan dan biaya asuransi. Menjaga adanya ketidakpastian Didalam sistem persediaan terdapat ketidakpastian dalam hal permintaan, penawaran dan waktu tunggu. Persediaan pengaman perlu dijaga dalam persediaan untuk mengantisipasi terjadinya perubahan penjadwalan yang cepat maupun ketidakpastian pengiriman oleh penjual. Menjaga produksi dan pembelian yang ekonomis Hasil persediaan dari pembelian/produksi bahan baku dalam lot diharapkan dapat mengurangi waktu persiapan dan biaya yang demikian drastis yang menjadi alternatif produk/proses hingga akhirnya mampu menghasilkan ukuran lot yang lebih kecil dan persediaan yang lebih rendah. Mengantisipasi perubahan permintaan dan penawaran Pada saat harga ataupun kemampuan bahan baku yang diharapkan mengalami perubahan maka dapat diantisipasi dengan rencana promosi pemasaran yaitu distok nya barang jadi dalam jumlah besar untuk dijual. Memenuhi kebutuhan terus menerus Secara teknis, persediaan bergerak diantara tahapan-tahapan produksi dan didalam pabrik dapat diklasifikasikan dalam persediaan transit yang terdiri dari bahan baku yang bergerak dari satu titik ke titik lainnya. 187
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 2.2.
Pengendalian Persediaan ”Pengendalian persediaan merupakan keputusan yang terkait dengan kapan dan berapa banyak melakukan pemesanan persediaan” (Fien Zulfikarijah, 2005). Pengendalian persediaan identik dengan sistem persediaan. Sebagaimana menurut Chase et al (2005) yang menyatakan bahwa ”An inventory system is the set of policies and controls that monitor levels of inventory and determine what levels should be maintained, when stock should be replenished and how large orders should be.” Berdasarkan dua definisi tersebut maka sebenarnya bukanlah suatu hal yang sangat berbeda antara pengendalian persediaan dan sistem persediaan. Suatu sistem persediaan digunakan untuk mengendalikan persediaan, sebagaimana pula yang dinyatakan oleh Fien Zulfikarijah (2005), ”Sistem persediaan dapat digunakan untuk menentukan kapan dan berapa banyak memesan persediaan.” Selain itu, Yolanda Masnita Siagian menjelaskan bahwa metode pengendalian persediaan menjadi sangat bervariasi akibat beraneka ragamnya situasi. Keanekaragaman situasi tersebut antara lain disebabkan karena: 1. Permintaan hanya terjadi pada satu waktu dan satu musim 2. Pemesanan terutama dipicu oleh tingkat persediaan atau dari pengulangan proses tingkat persediaan 3. Derajat ketidakpastian permintaan dan waktu tunggu. Dengan demikian, untuk mengantisipasi hal tersebut persediaan secara umum dapat dikendalikan berdasarkan single order quantity dan repetitive order quantities. 1. Single Order Quantity Digunakan untuk produk yang hanya hidup dalam satu waktu atau masa jualnya hanya pada saat periode tanggalnya saja. Seperti buah, sayur, koran, majalah. 2. Repetitive Order Quantities Permintaan yang terjadi bersifat terus menerus, tidak hanya pada satu waktu. Jenis permintaan akan mempengaruhi jenis persediaan. Dengan demikian diperlukan model pengendalian persediaan yang secara
garis besar dibedakan atas jenis permintaan terhadap komponen yaitu permintaan dependent dan independent. Permintaan dependent yaitu permintaan yang komponenkomponennya bergantung pada item lainnya. Sedangkan permintaan independent merupakan permintaan terhadap suatu komponen yang berdiri sendiri , tidak bergantung pada item lainnya. Menurut Heizer Render (2005) dalam manajemen persediaan ada beberapa hal yang sering diperhatikan yaitu : 1. Analisis ABC (ABC Analysis) untuk mengklasifisikan jenis barang berdasarkan kelompok barang kelas A, kelas B, dan kelas C. 2. Keakuratan pencatatan (record accuracy) yang berkaitan dengan perhitungan fisik persediaan sesuai dengan pencatatan 3. Perhitungan siklus persediaan (cycle counting) yang berkaitan dengan Penentuan Jumlah dan Waktu Pemesanan dalam Persediaan Menurut Lalu Sumayang (2003), beberapa metode penentuan jumlah dan kapan pemesanan dilakukan yaitu: 1. Economic Order Quantity/ Lot Size Method/ Jumlah Pemesanan Ekonomis Metode ini digunakan untuk pengelolaan independent demand inventori yang didasarkan pada asumsi kecepatan permintaan tetap dan terus-menerus, lead time (waktu antara pemesanan sampai dengan pemesanan datang harus tepat, tidak pernah terjadi stock out, material dipesan dalam paket atau lit dan pesanan datang pada waktu yang bersamaan dan tetap dalam bentuk paket, harga per unit tetap dan tidak ada pengurangan harga walaupun pembelian dalam jumlah volume yang besar, besarnya biaya pengelolaan tergantung secara garis lurus dengan ratarata jumlah inventori, besar biaya pemesanan maupun pemasangan untuk setiap lot yang dipesan dan tidak tergantung pada jumlah item di setiap lot (produk satu macam dan tidak ada hubungan dengan produk lain). Persamaan Wilson Economic Order Quantity 188
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Q = √2SD/iC Q = Ukuran paket pesanan atau lot size (unit) S = Biaya setiap kali pemesanan (ordering cost) D = Besarnya laju permintaan per tahun (demand rate) I = Biaya pengelolaan (carrying cost) C = Biaya per unit 2. Metode Sistem Pemeriksaan Terus menerus (Continuous Review System) Metode ini disebut juga sistem atau jumlah pemesanan tetap (fixed order quantity). Metode ini mengutamakan pengawasan yang terus menerus pada tingkat persediaan. Tingkat persediaan adalah total persediaan yang tersedia ditambah dengan jumlah material yang sedang dalam pemesanan. Apabila posisi stok/ persediaan berkurang sampai ke tingkat persediaan yang telah ditentukan maka sejumlah tetap material akan dipesan. Jumlah pemesanan yang tetap maka material akan dipesan tergantung pada laju perubahan permintaan. 3. Metode Sistem Pemeriksaan Periodik Target persediaan ditetapkan berdasarkan laju perubahan permintaan selama tenggang waktu pemesanan ditambah dengan laju perubahan permintaan atau laju pemakaian permintaan. Pada metode ini tidak ada reorder point sebagai batas waktu untuk melakukan pemesanan tetapi dilakukan pada periode waktu yang tetap. 4. Metode Sistem Hybrid Metode ini merupakan metode campuran sistem pemeriksaan periodik dan EOQ. Sistem hybrid memiliki reorder point untuk tingkat persediaan minimum dan target inventori untuk tingkat persediaan maksimum. Pada saat pemeriksaan periodik dilakukan tidak akan ada pemesanan apabila posisi persediaan masih diatas tingkat minimum. Tetapi, jika posisi stok dibawah tingkat minimum atau reorder point maka pemesanan dilakukan untuk menaikkan tingkat persediaan sampai tingkat maksimum atau target inventori.
5. Metode Persediaan dengan Analisis ABC Beberapa item dalam sebuah kelompok persediaan akan mewakili secara sebanding dan jelas. Pengawasan pada beberapa item saja dalam suatu kelompok persediaan maka inventori secara keseluruhan akan dapat dikelola. Ini dilakukan dengan menghitung nilai penggunaannya (jumlah permintaan x biaya). Pada metode ini inventori akan dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu kelas A sebanyak ±20% item dengan nilai penggunaan dolar sebesar 80%, kelas B sebanyak ±30% item dengan nilai penggunaan dolar sebesar 15%, kelas C ±50% item dengan nilai penggunaan dolar sebesar 5%. 2.3. Analisis ABC Manajemen persediaan pada suatu organisasi terdiri dari dua komponen yaitu bagaimana persediaan dapat diklasifikasikan dan seberapa akurat catatan persediaan dapat dipertahankan. Salah satu teknik yang membentuk dasar bagi pemikiran pengendalian persediaan adalah analisis pareto. Analisis pareto menjadi konsep penting yang dapat diterapkan untuk meminimalkan usaha dan memperoleh hasil terbaik. Konsep ini dapat diterapkan pada manajemen waktu, kontrol kredit dan area kontrol lainnya. Guna meraih kontrol yang terbaik, usaha yang dilakukan akan diarahkan pada area yang paling penting. ”Analisis ABC merupakan dasar bagi pengendalian total persediaan” (Oliver Wright, 1997). Selain itu analisis ABC juga merupakan dasar untuk proses manajemen material dan membantu bagaimana stok akan ditangani. Analisis ABC yang juga dikenal dengan klasifikasi ABC merupakan metode pembuatan grup atau penggolongan berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah, dan dibagi menjadi tiga kelompok besar yang disebut kelompok A, B dan C. (www.wikipedia.go.id). Menurut Fien Zulfikarijah (2005), analisis ini membagi persediaan kedalam tiga klasifikasi yang sering disebut dengan hukum 80–20 yaitu A, B 189
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 dan C yang didasarkan pada volume dolar tahunan. Analisis ini digunakan untuk menentukan persediaan apa yang akan dikendalikan dengan membagi persediaan yang ada ditangan dalam tiga kelompok besar berdasarkan volume tahunan dan unit harga. Adapun tujuan dari analisis ABC menurut Chase et al (2005) adalah “... to separate the important from the unimportant. Where the lines actually break depends on the particular inventory under question and on how much personnel time is available. The purpose of classifying items into groups is to establish the appropriate degree of control each item.” Prinsip ini akan membantu seseorang untuk bekerja lebih fokus pada elemen-elemen yang bernilai tinggi (kelas A) dan memberikan kontrol yang secukupnya untuk elemenelemen yang bernilai rendah (kelas C). Hal ini dikarenakan prinsip yang mendasari analisis ABC adalah bagaimana memfokuskan sumberdaya pada bagian persediaan yang penting meskipun sedikit dan bukan pada bagian persediaan yang banyak tapi tidak penting. Analisis ABC membantu menghasilkan peramalan yang tepat, pengendalian fisik, kehandalan pemasok dan pemberitahuan terhadap berkurangnya persediaan Biaya/Unit pengaman. Cara Item Unit/Tahun (Rp) pengukurannya 1 4.400 181.18 dilakukan 2 3.000 3200 dengan 3 3.800 2842 mengalikan 4 5.200 480.8 setiap item persediaan 5 3.420 965 dengan biaya per 6 5.000 900 unit. Akan tetapi, 7 2.280 2860 menurut Vincent 8 8.300 217 Gasperz (2008) 9 6.000 150 analisis ABC juga dapat ditetapkan 10 4.000 175 menggunakan ∑ 45.400 kriteria lain, bukan semata-mata kriteria biaya, tergantung pada faktor-faktor penting yang menentukan suatu item. Periode waktu yang umum digunakan adalah satu tahun, namun dapat
juga dalam waktu bulanan, triwulan atau semester.
Beberapa faktor yang menentukan kepentingan suatu item menurut Vincent Gasperz (2008) yaitu: 1. Nilai total uang item 2. Biaya per unit item 3. Kelangkaan/ kesulitan memperoleh item 4. Ketersediaan sumber daya, tenaga kerja dan fasilitas yang dibutuhkan untuk membuat item 5. Panjang dan variasi waktu tunggu item sejak pemesanan pertama kali sampai kedatangannya 6. Ruang yang dibutuhkan untuk menyimpan item 7. Resiko pencurian item 8. Biaya kehabisan stok (stock out) Persediaan tipe A berisi 20% dari total persediaan, tipe B berisi 30% dari total persediaan dan tipe C berisi 50% dari total item. Cara pengelompokkannya adalah sebagai berikut: 1. persediaan kelompok A adalah persediaan yang jumlah nilai uang per tahun tinggi, namun biasanya volumenya kecil. 2. persediaan kelompok B adalah persediaan yang jumlah nilai uang per tahunnya sedang dan volumenya juga sedang. 3. persediaan kelompok C adalah persediaan yang jumlah nilai uang per tahun rendah tetapi biasanya volumenya besar. Item kelompok A adalah kritis. Item kelompok B adalah penting dan item kelompok C adalah tidak penting/kurang penting.
Tabel2:Contoh Perhitungan Klasifikasi ABC
Total Biaya (Rp) 797.192 9.600.000 10.799.600 2.500.160 3.300.300 4.500.000 6.520.800 1.801.100 900.000 700.000 41.419.152
Prosentase Biaya Total 1.924694161 23.1776836 26.07392831 6.036241399 7.96805304 10.86453919 15.74344158 4.348471451 2.172907837 1.690039429 100
Klasifikasi C A A B B B A C C C
Sumber: Manajemen Persediaan, Fien Zulfikarijah: 2005
190
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Tabel 3 Klasifikasi Model ABC No Klasifikasi No Item 1 A 2,3,7 2 B 4,5,6 3 C 1,8,9,10
Total Item 9.080 13.620 22.700 45.400 Sumber: Manajemen Persediaan, Fien Zulfikarijah: 2005
Gambar 1 Grafik Persediaan Model ABC
Pemakaian
Tabel 4 : Kebijakan Manajemen Inventori Berdasarkan Klasifikasi ABC Kelas Kelas B Kelas C %Deskripsi Total Item % Total Rp A 20 66,81 Fokus Utama Normal Cukup 30 23,57 Perhatian 50 9,67 Manajemen 100 Pengendalian Ketat Normal Longgar (kontrol) Stok Sedikit Normal Cukup Pengaman Akurasi Tinggi Normal Cukup Peramalan Kebutuhan Penghitungan 1-3 3-6 6-12 Inventori bulan bulan bulan Sumber: Continuous Cost Reduction Through Lean Sigma Approach Vincent Gasperz: 2008
Selain itu, menurut Heizer Render (2005) A kebijakan yang 20% dapat didasarkan pada analisis ABC Item B mencakup hal-hal 30% sebagai berikut: Item C 50% 1. Perkembangan 0 100 20 50 sumber daya pembelian yang Persentase dari keseluruhan pemakaian dibayarkan kepada pemasok harus lebih tinggi untuk 2.4. Kebijakan Manajemen Persediaan butir persediaan A dibandingkan butir Berdasarkan Analisis ABC persediaan C. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, 2. Butir persediaan A harus dikendalikan kebijakan merupakan rangkaian konsep-konsep yang secara lebih ketat menjadi garis besar dan dasar rencana dalam 3. Meramalkan butir persediaan A mungkin pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi dan harus lebih hati-hati daripada meramalkan sebagainya). Setelah item-item persediaan dengan butir (kelas) persediaan yang lain. persediaaan
Item
menggunakan analisis ABC maka persediaan dikelompokkan ke dalam kelas A, B, dan C. Analisis ABC dapat menjadi dasar untuk bermacam aktivitas termasuk perencanaan oleh pimpinan organisasi bagi alternatif pengaturan stok, kalkulasi pemesanan ulang, dan membantu untuk menentukan tingkat pengecekan persediaan. Pihak manajemen persediaan suatu organisasi perlu memfokuskan perhatian pada kelompok A dengan merumuskan kebijaksanaan perencanaan dan pengendalian item-item kelas A.
1.5.
Manfaat Analisis ABC Menurut Vincent Gasperz (2007), analisis ABC dalam konteks pengurangan biaya yang terus menerus dapat digunakan untuk menetapkan: 1. Frekuensi Perhitungan Persediaan, itemitem kelas A harus lebih sering diuji dalam 191
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
2. 3. 4.
5.
6.
hal akurasi catatan dibandingkan persediaan kelas B dan C. Prioritas Rekayasa, item-item kelas A dan B memberikan petunjuk pada bagian rekayasa dalam peningkatan program reduksi biaya ketika mencari-cari item tertentu yang perlu difokuskan. Prioritas Pembelian, aktivitas pembelian difokuskan pada bahan-bahan baku bernilai tinggi dan penggunaan dalam jumlah tinggi. Fokus pada item-item A untuk pemasokan dan negosiasi. Keamanan, analisis ABC dapat digunakan sebagai indikator item-item mana (kelas A dan B) yang seharusnya lebih aman disimpan dalam ruangan terkunci guna mencegah kehilangan, kerusakan dan pencurian. Sistem pengisian kembali, analisis ABC akan membantu mengidentifikasi metode pengendalian yang digunakan. Mengendalikan item-item kelas C akan lebih ekonomis dengan simple bin-two system of replenisment dan metode-metode yang lebih canggih untuk item-item kelas A dan B. Keputusan investasi, item-item kelas A menggambarkan investasi yang lebih besar dalam aktivitas industri sehingga memerlukan perhatian yang lebih.
2.6. Penelitian Terdahulu Nama Peneliti : Suci Suciati dan Wiku B.B Adisasmito Judul Penelitian : Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC Indeks Kritis Di Instalasi Farmasi Objek Penelitian : Rumah Sakit Karya Husada, Cikampek, Jawa Barat Hasil Penelitian : Aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan obat di Rumah Sakit yaitu standarisasi obat atau formularium, anggaran, pemakaian periode sebelumnya, stok akhir, dan kapasitas gudang, lead time dan stok pengaman, jumlah kunjungan dan pola penyakit, standar terapi, penetapan kebutuhan obat dengan menggunakan ABC indeks kritis. Penggunaan ABC indeks kritis secara efektif dapat membantu Rumah Sakit dalam
membuat perencanaan obat dengan mempertimbangkan aspek pemakaian, nilai investasi, kekritisan obat dalam hal penggolongan obat vital, esensial dan non esensial. Standar terapi merupakan aspek penting lain dalam perencanan obat karena akan menjadi acuan dokter dalam memberikan terapinya. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu sama-sama menggunakan analisis ABC sebagai alat analisis data guna pengklasifikasian persediaan. Sedangkan perbedaaannya dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu teknik pengumpulan data beserta objek penelitiannya. Penelitian oleh Suci Suciati dan kawan kawan merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan kuisioner dengan melibatkan sepuluh informan serta dilakukan bagi persediaan obat-obatan disuatu instalasi farmasi pada rumah sakit. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis tidak menggunakan kuisioner melainkan cukup melakukan observasi serta wawancara dengan beberapa pihak terkait dan lebih fokus pada data-data kuantitatif untuk melakukan analisis ABC atau klasifikasi ABC. Objek penelitiannya pun berbeda yaitu persediaan barang dagang pada suatu usaha retail (Usaha Dagang Al Bayan Agency ).
C. METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian 3.1.1 Jenis Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini termasuk penelitian terapan. Penelitian terapan diarahkan untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sedangkan jika berdasarkan tingkat eksplanasi, jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Soegiyono (2000) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. 3.1.2 Objek Penelitian
192
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Objek penelitian ini adalah Al Bayan Agency yang berlokasi di Jalan Cemara Raya No.41C Kayu Tangi Banjarmasin. 3.2 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini meliputi semua persediaan barang dagang kategori busana pada Al Bayan Agency Banjarmasin. Proses penarikan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2005). Pertimbangan tertentu ini pada umumnya disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian yaitu pengamatan untuk seluruh item persediaan barang dagang kategori busana di tahun 2008. 3.3 Definisi Operasional Variabel Variabel dependen dalam penelitian ini adalah nilai total penjualan item persediaan barang dagang kategori busana pada Al Bayan Agency Banjarmasin tahun 2008. Nilai total penjualan dari suatu item merupakan total dari perkalian harga per unit dengan jumlah unit item yang terjual. Dengan demikian, variabel independen dalam penelitian ini yaitu volumr penjualan dan harga item per unit. Menurut Christopher Pass and Bryan Lowes dalam kamus Lengkap Bisnis, Price (harga) merupakan nilai moneter dari suatu unit barang atau jasa. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), harga merupakan nilai barang yang ditentukan dengan uang. Selain itu, menurut Winardi (1990) dalam Arkanti (2008) mengatakan bahwa volume penjualan merupakan hasil penjualan yang dinyatakan dalam bentuk kualitatif, fiskal atau volume. 3.4 Teknik Pengumpulan Data Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara: 1. Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan secara langsung pada objek penelitian. 2. Wawancara tidak terstruktur atau terbuka, yaitu wawancara yang bebas dimana peneliti menggunakan pedoman wawancara yang hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. 3.5 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian di lapangan akan dianalisis dengan menggunakan dasar-dasar teoritis yang relevan yang bersumber dari hasil penelitian kepustakaan untuk menarik suatu kesimpulan ataupun memberikan jalan keluar berupa saran-saran terhadap permasalahan yang diteliti. Data akan dianalisis dengan menggunakan pendekatan klasifikasi ABC atau analisis ABC. Persediaan akan dinilai kemudian diklasifikasikan kedalam tiga kelompok besar. Menurut Vincent Gasperz (2007) beberapa prosedur dalam pengelompokkan item-item ke dalam kelas A, B, dan C: 1. Menentukan volume penggunaan persediaan (volume penjualan) per periode waktu dari item-item yang akan diklasifikasikan. 2. Mengalikan volume penjualan per periode waktu dari setiap item persediaan dengan harga per unit untuk memperoleh nilai total penjualan per periode waktu (satu tahun). 3. Menjumlahkan nilai total penjualan semua item untuk memperoleh nilai total penjualan aggregat. 4. Membagi nilai total penjualan per item dengan nilai total penjualan agregat untuk menentukan persentase nilai total penjualan dengan urutan menurun dari yang terbesar sampai terkecil. 5. Mendaftarkan item-item ke dalam ranking persentase nilai total penjualan dengan urutan menurun dari yang terbesar sampai terkecil. 6. Mengklasifikasikan item-item inventori ke dalam kelas A, B, dan C dengan kriteria yang ditetapkan ( 20% dari jenis item diklasifikasikan kedalam kelas A, 30% dari jenis item diklasifikasikan kedalam kelas B, 50% dari jenis item diklasifikasikan kedalam kelas C). 7. Setelah diklasifikasikan, langkah selanjutnya adalah menggunakan informasi hasil analisis ABC guna pengambilan keputusan selanjutnya yang berkaitan dengan pengendalian persediaan. Antara lain kebijakan dalam menentukan fokus perhatian manajemen, 193
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 investasi persediaan, peramalan serta penentuan stok pengaman persediaan.
Tabel 5 Klasifikasi Persediaan Barang AlBayan Agency Berdasarkan Analisis ABC
D. HASIL DAN Volume Jumlah Total Penjualan PEMBAHASAN No Klasifikasi Penjualan Item (Rp.) 1.1.1 Klasifikasi (unit) Persediaan 1 A 148 5961 245.532.075 Berdasarkan 2 B 222 1564 73.593.421,67 Analisis ABC 3 C 371 356 15.594.800. Berdasarkan perhitungan Jumlah 741 7881 334720296,666667 menggunakan analisis ABC diketahui bahwa: 1. Terdapat 148 item (20% dari 741) kelas A dengan total penerimaan penjualan Rp. 245.532.075 , 222 item (30% dari 741) kelas Tabel 6 Nilai Total Penjualan Item Kelas A B dengan total penerimaan penjualan sebesar Berdasarkan Jenis Produk Rp. 73.593.421,67 dan sisanya sebesar 371 item terkategori Total Volume Penjualan Total Penjualan kedalam kelas C No Jenis Produk Item (unit) (Rp.) dengan total 1. Kerudung : penerimaan sebesar Rp. 15.594.800. Ukuran XL 2 54 1.466.500 Ukuran L
2. Nilai Ukuran M penjualan yang Ukuran S tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada Anak item Kaos Kepanduan Lainnya Partai X dengan nilai 2. Gamis/jubah total penjualan 3. Baju anak sebesar Rp.784.000 atau 4. T-Shirt 2,34225413817899% 5. Baju kelengkapan partai dari total penjualan 6. Baju kaos item kategori busana 7. Rok pada Usaha Dagang Al Bayan Agency . Item 8. Batik ini terjual sebanyak Total 196 unit selama tahun 2008. Hal ini mengindikasikan bahwa penjualan kaos kepanduan partai X selama tahun 2008 memberikan kontribusi terbesar daripada item kategori busana lainnya sehingga fokus tinggi bagi item ini sangat penting untuk dilakukan. 3. Berdasarkan jenisnya, item di kelas A yang paling banyak terjual adalah kerudung.
29
1.128
48.243.266,67
20
1.049
34.163.991,67
31 1
1.725
59.286.566,67
59
826.000
18
819
24.464.750
4
113
3.426.000
23 2
305
32.736.000
45
4.424.500
11
544
28.330.500
2
24
1.716.000
4 1
148
84
5.668.000
12
780.000
5.961
245.532.075
Sumber: Laporan Penjualan Harian Usaha Dagang Al Bayan Agency (diolah, 2009).
Sedangkan jika berdasarkan pemasok (Tabel 7), yang mengalami penjualan terbesar di tahun 2008 adalah item-item dari Rabbani. Di kelas A terdapat 40 item produk dari rabbani, 57 item di kelas B dan 110 item di kelas C.
194
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Tabel 7 Nilai Total Penjualan Masing-masing Pemasok Item Kelas A
Jenis Jumlah No Item Item 1 Baju kaos 16 2 Gamis 20 3 Batik 1 4 Celana 5 5 Baju anak 2 6 Kerudung 81 Pakaian 7 ihram 1 8 T-Shirt 1 Total 127 Sumber: Laporan Penjualan Harian Usaha Dagang Al Bayan Agency (Diolah, 2009) 4. Mayoritas item di masing-masing kelas adalah produk dari rabbani. Di kelas A terdapat 40 item, di kelas B 57 item dan pada kelas C sebanyak 110 item produk Rabbani. 5. Pada kelas C, terdapat 127 item yang tidak mengalami penjualan selama tahun 2008. Kerudung sebagai item yang mendominasi persediaan barang dagang kategori busana pada Usaha Dagang Al Bayan Agency ternyata juga menjadi item terbanyak yang tidak terjual di tahun 2008.
Tabel : 8 Jenis Item yang Tidak Terjual Selama Tahun 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 28
Pemasok
Amatullah BNY Dannis Delima ELFN Hasanah HMD Humaira Ibun Inas kamila KP Mardha Nd Nun Pasmira Prada Rabbani Raihan Rani Salwa titania Siklothing SLS Swarna Yamani Yasmin Zahra Zainab Zn Zoya Total
Jumlah jenis item per kelas
Kelas A 8 0 0 0 8 2 0 0 1 18 8 8 1 1 5 0 40 1 1 0 2 8 29 0 0 2 2 2 1 148
Kelas B 15 0 1 0 3 0 5 1 7 15 2 18 2 24 2 0 57 1 0 4 5 13 11 1 2 5 13 0 15 222
195
Kelas C 12 18 1 30 7 3 7 0 12 18 15 23 1 42 4 15 110 0 0 1 10 13 15 0 0 0 0 4 10 371
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Sumber: Laporan Penjualan Harian Usaha Dagang Al Bayan Agency (diolah, 2009) 1.2. Kebijakan Manajemen Persediaan Berdasarkan Analisis ABC Menurut Tony Wild (1997) dalam melakukan pengendalian persediaan berdasarkan Analisis ABC, maka kebijakan dan metode yang bisa dilakukan dapat dilihat pada tabel 9.
Berdasarkan teori dan pendapat para ahli tersebut maka kebijakan dalam manajemen persediaan barang dagang kategori busana yang dapat dijalankan oleh pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency dari hasil klasifikasi persediaan menggunakan analisis ABC di tahun 2008 adalah sebagai berikut: 1. Kelas A Item di kelas A adalah item terpenting bagi perusahaan. Pimpinan Usaha Dagang Al Bayan Agency harus menjadikan item-item dalam kelas A sebagai perhatian utama. Kebijakan yang dapat dilakukan untuk item-item di kelas ini antara lain yaitu: a) Barang-barang di kelas A karena tingkat penjualannya sangat tinggi maka mengambil perhatian khusus/ ekstra dalam distribusinya. Permintaan yang tinggi (fast moving) memerlukan distribusi barang lebih cepat (fast distribution). Pihak manajemen harus memastikan tidak terjadinya keterlambatan dalam pemesanan hingga proses pendistribusian barang dari pemasok. Beberapa item yang dipasok dari dalam provinsi seperti zahra, nun dan rabbani dapat langsung diambil oleh pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency terutama jika ternyata pihak pemasok yang bersangkutan sering terlambat dalam pengiriman barang. Sedangkan item kelas A yang distok dari luar provinsi seperti produk swarna, maka penanganan cepat dalam pendistribusiannya dapat dilakukan dengan menggunakan jasa pengiriman
barang dengan tarif ekstra (titipan kilat). Inilah salah satu bentuk dari pendistribusian barang yang cepat dalam rangka memenuhi perputaran barang yang cepat pula. Selain itu, hal ini terkait pula dengan kontrol persediaan dengan ketat, bagaimana pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency dapat menggunakan pendekatan JIT dengan jumlah persediaan yang sedikit namun tidak terjadi stock out. Pihak manajemen perlu melakukan perbaikan terus menerus dalam ketersediaan item kelas A, kualitas dan pelayanannya serta mengurangi waktu tunggu dalam proses pembelian persediaan. Penting menjaga agar stok tidak habis namun juga tidak menumpuk untuk item-item di kelas ini terutama lagi bagi kaos kepanduan partai X yang memiliki nilai total penjualan terbesar di tahun 2008. Perputaran persediaan yang cepat memerlukan penghitungan persediaan bagi item kelas A ini dalam jangka pendek yaitu 1- 3 bulan. b) Item di kelas A tidak distok dalam jumlah besar karena biaya untuk menyediakannya juga besar. Diperlukan metode peramalan yang tepat dengan tingkat akurasi tinggi sehingga jumlah kebutuhan persediaan yang diramalkan tidak jauh menyimpang dari jumlah permintaan. Hal ini agar penggunaan modal dalam penyediaan persediaanpun dapat optimal. Peramalan kebutuhan persediaan pada Usaha Dagang Al Bayan Agency cenderung menggunakan peramalan naif serta mengandalkan insting.
196
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Tabel 9: Kontrol Persediaan ABC Kelas A
Karakteristik 1. Jumlahnya sedikit 2. Perputarannya paling cepat 1. Jumlah item sedang 2. Perputarannya sedang
B
C
1. Jumlah item banyak 2. Nilai perputaran rendah (pergerakan sedikit atau nilai item yang rendah)
Sumber: Tony Wild (1997:33)
kerusakan
barang
serta
mengurangi
Kebijakan 1. Kontrol yang ketat 2. Komunikasi antar personal pengawas 3. Pendekatan JIT (keseimbangan stok pengaman) 1. Kebijakan stok yang ramping (lean stock) 2. Menggunakan kontrol persediaan klasik 3. Metode penilaian/penaksiran yang cepat 4. Manajemen dengan pengecualian
Metode 1. Pengawasan frekuensi persediaan 2. Pencatatan yang akurat 3. Peramalan yang berpengalaman 4. Kebijakan tingkat layanan 2. Mempercayakan pada sistem yang telah berpengalaman 3. Kalkulasi stok pengaman 4. Pembatasan nilai pemesanan 5. Manajemen dan pelaporan pengecualian
1. Pengawasan minimum 2. Pemesanan dalam jumlah besar 3. Menawarkan untuk pemesanan yang memungkinkan 4. Kebijakan stok pengaman yang tinggi
2. Sistem yang sederhana 3. Menghindari kehabisan stok dan kelebihan stok 4. Pemesanan yang tidak terjadwal 5. Sistem terotomatisasi
Akhirnya peramalan kebutuhan persediaan barang dagang kategori busana yang selama ini digunakan ternyata masih menyisakan banyak stok. Seperti kerudung humairo yang jumlahnya ±50 buah dengan harga @Rp.135.000. Item ini memang sempat menjadi trend di tahun 2008 namun ternyata penentuan jumlah yang distok masih kurang tepat karena saat ini sangat sedikit konsumen yang mencari item tersebut. Modal yang tertahan di produk ini adalah ±Rp.6.750.000. Jumlah yang cukup besar namun tidak dapat digunakan untuk meningkatkan profit. Selain modal yang tertahan, hal ini juga menimbulkan resiko
keefektifan ruang (space) toko. Peramalan dengan tingkat akurasi yang tinggi tidak hanya dengan peramalan kuantitatif melainkan juga dikombinasikan dengan peramalan kualitatif. Data penjualan masa lalu dapat digunakan untuk memproyeksi tingkat penjualan masa depan. Memperhatikan pola bagaimana pola data yang terbentuk untuk menentukan teknik peramalannya apakah dengan trend linear, musiman atau siklis. Setelah menentukan teknik yang dinilai paling tepat (standart deviasi terkecil) kemudian ditambah dengan insting maupun analisis kualitatif (seperti kondisi pasar) maka pihak manajemen (pimpinan) akan dapat meningkatkan tingkat akurasi peramalannya. c) Satu hal pula yang penting diperhatikan yaitu mengenai pencatatan 197
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 yang akurat. Transaksi-transaksi yang terjadi penting untuk dicatat dengan akurat termasuk pula keakuratan dalam pencatatan kode barang dari item yang dijual. Pengkodean barang dagang pada Usaha Dagang Al Bayan Agency masih sedikit terkendala karena terlalu banyak item yang diberi kode dan dilakukan secara manual. Kesalahan pencatatan kode dapat mengakibatkan kesalahan transaksi, baik transaksi pembelian maupun penjualan. Penggunaan barcode dan sistem komputerisasi akan dapat membantu mengurangi kesalahan dalam pencatatan transaksi. d) Guna melakukan kontrol yang ketat maka diperlukan karyawan yang khusus bertanggung jawab terhadap item ini. Pengontrolan persediaan ini sebaiknya tidak dilakukan secara fisik seperti biasa dengan waktu yang tak terjadwal. Wujud perhatian ekstra yang diberikan antara lain dengan melakukan peramalan serta pengontrolan dengan menggunakan sistem yang terkomputerisasi. Sistem komputerisasi yang selama ini digunakan perlu ditingkatkan penggunaannya, tidak sekedar untuk mencatat transaksi guna mengetahui laba tetapi dapat lebih dimanfaatkan untuk mengontrol item persediaan kelas A. e) Kontrol yang ketat dalam persediaan ini juga memerlukan kelancaran komunikasi antar personil pengawas. Karyawan yang bertanggungjawab terhadap persediaan barang dagang kategori busana terutama bagi item kelas A harus segera melaporkan kekurangan stok maupun pemesanan dari pelanggan yang terjadi terhadap item kelas A kepada pimpinan. Pihak pengawas melakukan komunikasi yang rutin dengan pihak manajemen untuk melaporkan segala hal yang terkait dengan item di kelas ini. Ditambah lagi dengan ketersediaan alat komunikasi yang menunjang proses komunikasi juga sangat diperlukan. Ini semua guna menghindari kerugian besar akibat hilangnya permintaan yang bernilai tinggi dari pelanggan. f) Investasi terbesar yang dapat dilakukan oleh pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency
berdasarkan klasifikasi persediaan yang dilakukan adalah untuk item di kelas A. Terlebih lagi untuk produk dari Rabbani. Dari 20 merk produk yang terdapat di kelas A, produk-produk Rabbani mengalami penjualan terbesar selama tahun 2008 dimana dari 40 item produk Rabbani di kelas A terjual 1614 unit dengan nilai total penjualan sebesar Rp.67.506.566,67. Sedangkan jika berdasarkan jenis produk (Tabel 6) maka prioritas investasi di kelas A diutamakan bagi item kerudung baru kemudian gamis/jubah, baju kelengkapan partai, baju kaos, T-Shirt, baju anak, rok dan batik. Bagi item kerudung, pihak manajemen sebaiknya memperbanyak persediaan untuk ukuran M karena ukuran ini yang paling banyak dicari konsumen. Selain itu, dalam keputusan pemilihan produk yang akan dijual pihak manajemen juga perlu memperhatikan musim, fashion, dan pembenaran atas produk. Pembenaran atas produk merupakan jaminan atas produk itu sendiri baik berupa kualitas maupun jaminan kepuasan yang akan dapat dicapai dari produk tersebut. Pembenaran atas produk ini juga terkait dengan promosi. Sebagaimana produk Rabbani dan pasmira yang menggunakan artis ternama sebagai model untuk promosi produknya guna memberikan jaminan brand atas produknya. g) Menjalin hubungan baik dengan pemasok item kelas A menjadi prioritas yang harus dilakukan oleh pihak manajemen. Penjualan dari produk-produk Rabbani adalah yang paling besar daripada barang merk lainnya. Dengan demikian, hubungan dengan pihak Rabbani sangat perlu dijaga dengan baik. Bahkan meningkatkan hubungan dengan menjadi agen resmi dinilai akan dapat lebih menguntungkan. Posisi sebagai agen resmi dapat membuat peluang terpenuhinya semua kriteria pesanan produk berupa warna, tipe maupun kualifikasi produk yang sesuai dengan permintaan pelanggan maupun jumlah item dari produk yang dipesan menjadi lebih besar. Usaha Dagang Al Bayan Agency selama ini telah menjadi agen resmi dari Swarna. 198
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Produk-produk dari swarna memberikan total nilai penjualan yang terbesar kedua setelah Rabbani di kelas A. Adapun kendala yang menyebabkan Usaha Dagang Al Bayan Agency tidak dapat menjadi agen resmi produk Rabbani yaitu karena sudah adanya agen resmi di Banjarmasin dan dibatasinya jumlah agen produk tersebut disuatu kota. Akan tetapi semua ini dapat ditindak lanjuti dengan menjalin hubungan baik dengan agen resmi Rabbani untuk kota Banjarmasin maupun sekitarnya (Banjarbaru, Martapura) agar Usaha Dagang Al Bayan Agency menjadi pelanggan yang diutamakan untuk dipenuhi pesanannya daripada pelanggan lainnya. Evaluasi juga perlu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kontribusi kerjasama dengan pemasok tersebut memberikan keuntungan bagi pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency . Sejauh ini kinerja pemasok kurang dievaluasi baik dari terpenuhinya spesifikasi item yang dipesan, kecepatan distribusi maupun harga beserta diskon yang diperoleh dan hal lainnya. Maka penting kiranya bagi pihak manajemen untuk melakukannya untuk menentukan rekan kerja dengan kinerja terbaik. Kontrol kinerja pemasok meliputi dua ukuran kualitatif yaitu informasi penjualan dan indikator kinerja pemasok serta ukuran kualitatif berupa penelitian pelanggan dan upan balik melalui personil penjualan. 2.Kelas B Kelas B merupakan kelas dengan perputaran persediaan yang sifatnya intermediate moving. Fokus perhatian, kontrol, stok pengaman, akurasi peramalan terhadap persediaan ini tidak menjadi hal yang paling diutamakan. Kebijakan yang dapat dilakukan untuk item-item di kelas ini antara lain yaitu: a) Distribusi persediaan oleh pihak pemasok di kelas B dapat dilakukan dengan kecepatan sedang. Pengiriman oleh pemasok dari luar provinsi dapat menggunakan jasa pengantaran dengan tarif normal. Penanganan stok item kelas B ini dapat dilakukan dengan menggunakan lean stock. Prinsip stok yang ramping berupaya untuk menciptakan nilai dengan usaha yang minimal. Menyediakan stok dalam jumlah
secukupnya namun memberikan hasil yang besar bagi usaha yang dijalankan. Pihak Al Bayan berupaya untuk memungkinkan persediaan dapat diperoleh dengan biaya administrasi yang minimum. b) Penghitungan persediaan item kelas ini dapat dilakukan per 3-6 bulan sekali. Peramalan kebutuhan persediaan juga diperlukan bagi item di kelas ini. Pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency tetap perlu melakukan pembatasan nilai pemesanan dan mengkalkulasikan stok pengaman dengan cepat dalam melakukan pengendalian persediaan. Keakuratan pencatatan atas transaksi pemesanan persediaan maupun penjualan yang terjadi terhadap item kelas B akan diperlukan sebagai data untuk mengkalkulasikan persediaan. Pengawas dapat menggunakan sistem yang terkomputerisasi sebagaimana pada kelas A untuk memudahkan pelaksanaannya. c) Sumber daya manusia yang diperlukan untuk menangani item di kelas B sebenarnya tidak perlu dalam jumlah besar. Satu orang karyawan Usaha Dagang Al Bayan Agency cukup untuk mengontrol ketersediaan item kelas B. d) Manajemen yang diterapkan untuk kelas ini adalah management by exception. Konsep dari manajemen ini yaitu pihak manajemen mencurahkan waktunya untuk memeriksa hanya pada situasi dimana terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil yang diperoleh dengan rencana yang telah ditetapkan. Perhatiannya hanya diberikan uuntuk memeriksa penyimpangan persediaan yang terjadi. Alat yang dapat digunakan untuk konsep ini antara lain yaitu DSS (Decision Support System). Konsep manajemen dengan pengecualian ini memerlukan adanya laporan bagi item-item yangdikecualikan yaitu item-item yang terjadi perbedaan antara catatan dengan kondisi fisik yang sebenarnya. Dari laporan inilah pihak manajemen akan mencoba untuk memeriksa apa yang menjadi penyebab serta bagaimana mengatasinya. e) Komunikasi antar personil juga perlu diperhatikan. Pelaporan kondisi stok kelas B 199
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kepada pimpinan maupun pemesanan oleh pelanggan dilakukan cukup rutin guna memastikan ketersediaannya. f) Investasi persediaan di kelas B juga memberikan kontribusi cukup besar bagi pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency. Investasi pada item kerudung masih menjadi pilihan investasi utama bagi kelas ini. g) Hubungan dengan pemasok persediaan kelas B juga perlu dijalin dengan baik. Antara lain hubungan dengan pihak Rabbani, nun, mardha, zoya, inas kamila, amatullah, SLS, zainab, swarna, ibun, zahra, siklothing, salwa titania, ELFN, pasmira, KP, yasmin, yamani, dannis, humairo, dan raihan. Pihak manajemen tidak perlu sampai melakukan integrasi dengan para pemasok, cukup menjalin hubungan baik agar Usaha Dagang Al Bayan Agency dijadikan pelanggan utama. 3.Kelas C Kelas C merupakan kelas dengan perputaran persediaan yang sifatnya slow moving. Nilai perputarannya paling rendah dibandingkan perputaran kelas A dan B. Fokus perhatian, kontrol, stok pengaman, akurasi peramalan dilakukan secukupnya. Kebijakan yang dapat dilakukan untuk item-item di kelas ini antara lain yaitu: a) Jika pendistribusian item kelas A perlu dilakukan dengan cepat, maka tidak bagi item kelas C. Pendistribusian item dari pemasok dapat dilakukan dengan kecepatan rendah mengikuti perputaran persediaan yang juga rendah. Antara lain yaitu menggunakan jasa ekspedisi dengan tarif normal untuk pengiriman persediaan dari pemasok. b) Menggunakan sistem sederhana yang biasa digunakan yaitu sistem dorong. Sistem dorong ada usaha manufaktur, pesanan ditumpuk di departemen pemrosesan agar dapat dikerjakan pada saat ada kesempatan bahan baku didorong ke stasiun-stasiun kerja hulu tanpa memandang ketersediaan sumber daya. Sedangkan pada retail, sistem dorong yang dimaksud yaitu menumpuk persediaan tanpa memperhatikan kemungkinan penjualan yang dapat dicapai dari persediaan tersebut.
c) Penghitungan persediaan dilakukan per 6-12 bulan sekali. Pemesanan item dilakukan dalam jumlah besar namun tidak terjadwal guna menghindari kelebihan dan kekurangan stok. Jumlah stok pengaman berada pada tingkat yang cukup d) Tingkat pengendalian bagi item di kelas ini adalah pengendalian yang longgar. Pencatatan tanpa bantuan komputer oleh pengawas juga cukup untuk kontrol item kelas ini. e) Karyawan yang bertanggungjawab di bagian busana dan aksesoris dapat memberikan perhatian yang secukupnya atau bahkan dengan pengawasan yang minimum bagi item di kelas ini. Mereka tidak perlu memberikan perhatian khusus. Kontrol persediaan seperti jumlah stok yang tersisa dapat dilakukan secara fisik berbarengan ketika melayani konsumen. Begitu pula komunikasi antar pengawas item kelas ini tidak perlu dilakukan dengan intensitas tinggi. f) Investasi yang dikeluarkan untuk menyediakan item-item di kelas ini adalah investasi terkecil. Mengalokasikan sedikit dana namun untuk menyediakan item ini dalam jumlah besar. Di tahun selanjutnya (2009), pihak Al Bayan tidak perlu melakukan investasi lagi bagi item yang tidak terjual yang ada di kelas C ini. Penambahan investasi bagi itemitem tersebut menjadi kurang menguntungkan. Item-item tersebut justru memerlukan cara seperti obral maupun pemberian diskon agar mengurangi persediaan item tersebut. Berkurangnya persediaan item tersebut dapat mengurangi resiko dan dapat digunakan untuk melakukan investasi kembali. (Daftar nama item yang tidak terjual di tahun 2008 dapat dilihat pada lampiran1). g) Hubungan dengan pihak pemasok juga dilakukan dengan normal. Usaha Dagang Al Bayan Agency tidak perlu 200
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 berupaya agar menjadi pelanggan utama bagi item-item di kelas ini.
Selain kriteria ukuran sebenarnya ada hal yang perlu diperhatikan dalam analisis ABC yaitu adanya pengecualian bagi jenis barang tertentu. Meskipun komponen tersebut terdapat dalam kategori C, jenis barang tersebut perlu mendapatkan perhatian yang khusus sama seperti jenis barang yang terdapat dalam kelompok A, B, dan C. Contohnya yaitu penjualan dari komponen penting suatu produk. Walaupun nilai penjualan per unit dari komponen tersebut sangat rendah (termasuk dalam kelas C) akan tetapi apabila penjualan komponen yang penting ini tidak dipenuhi dapat mempengaruhi total penjualan mesin di masa yang akan datang. Oleh karena itu meskipun komponen tersebut terdapat dalam kategori C, pengendalian atasnya dilakukan seperti persediaan kelas A atau B. Persediaan barang dagang kategori busana pada Usaha Dagang Al Bayan Agency merupakan persediaan barang jadi (finished goods) dan bersifat independent. Oleh karena itu, tidak ada pengecualian analisis bagi item kelas C ini. Semua item persediaan di kelas C langsung dapat dikendalikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan tanpa ada pengecualian satu itempun terhadapnya. Selain kebijakan dalam pengendalian persediaan, dalam konteks pengurangan biaya yang terus menerus analisis ABC dapat digunakan untuk menetapkan: 1. Prioritas pembelian Aktivitas pembelian difokuskan pada persediaan yang bernilai tinggi (kelas A). Keterbatasan dana untuk membeli persediaan maka lebih diutamakan untuk membeli item-item persediaan di kelas A daripada item-item lainnya. Oleh karena itu, negosiasi dan menjalin hubungan baik dengan pemasok persediaan kelas A menjadi hal yang penting dilakukan. Menjalin hubungan baik dengan pemasok Usaha Dagang Al Bayan Agency tersebut dapat berdampak pada pemberian kemudahan dalam pembayaran (kredit) atau dengan pemberikan diskon yang
cukup besar guna memberikan nilai maksimal bagi pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency . 2. Keamanan Penyimpanan persediaan perlu memperhatikan faktor keamanan. Baik aman dari kehilangan maupun aman dari kerusakan. Pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency perlu memperhatikan sifat dari item-item di kategori busana untuk menentukan bagaimana dan dimana item tersebut harus disimpan. Gudang seluas 2,5 x 2 m harus digunakan secara optimal, tidak perlu semua item dipajang melainkan cukup sampelnya saja dan penyimpanannya pun perlu menggunakan bahan yang mencegah rusaknya persediaaan, terhindar dari bau apek serta bangunan dan kunci gudang yang terjamin aman. 3. Keputusan investasi Prioritas investasi yang dilakukan oleh Usaha Dagang Al Bayan Agency untuk persediaan barang dagang kategori busana sangat terbantu dengan adanya analisis ABC. Investasi terbesar yang dapat dilakukan yaitu bagi jenis item kerudung serta untuk item-item dari produk Rabbani. Keterbatasan dana yang dimiliki dapat digunakan untuk investasi yang tepat (item kelas A)
PENUTUP 5.1 Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil perhitungan dengan analisis ABC terhadap persediaan barang dagang kategori busana yang dijual UD Al Bayan Agency, maka diketahui terdapat 148 item (20% dari 741) kelas A, 222 (30%) item kelas B dan sisanya sebesar 371 item terkategori kedalam kelas 2. Nilai penjualan yang tertinggi pada tahun 2008 terjadi pada item Kaos Kepanduan Partai X dengan nilai total penjualan sebesar Rp.784.000 atau 2,342% dari total penjualan item kategori busana pada Usaha Dagang Al Bayan Agency . 3. Kebijakan yang dapat dilakukan dalam rangka pengendalian persediaan barang dagang kategori busana pada Usaha 201
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Dagang Al Bayan Agency di tahun selanjutnya (2009) berdasarkan analisis ABC yang telah dilakukan antara lain adalah sebagai berikut: a. Kelas A dikontrol ketat dengan sistem JIT, investasi terbesar di kelas ini dilakukan untuk produk rabbani serta jenis item kerudung, penghitungan persediaan dilakukan 1-3 bulan, komunikasi yang intensif, baik dan lancar antar pengawas, akurasi peramalan dan pencatatan yang tinggi, serta hubungan yang baik dengan pemasok. b. Kelas B dikontrol normal dengan sistem lean stock, investasi terbesar pada jenis item kerudung, penghitungan persediaan dilakukan 36 bulan, komunikasi yang lancar antar pengawas, menggunakan konsep management by exception, melakukan peramalan kebutuhan persediaan dengan cepat. c. Kelas C dikontrol secukupnya (longgar) dengan menggunakan sistem yang sederhana (sistem dorong), penghitungan persediaan dilakukan 612 bulan, pemesanan dalam jumlah besar dan stok pengaman yang tinggi, di tahun selanjutnya (2009) tidak perlu melakukan investasi bagi 127 item yang tidak mengalami penjualan di tahun 2008 5.2 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan antara lain yaitu hanya dilakukan bagi satu kategori persediaan barang dagang yang dimiliki oleh Usaha Dagang Al Bayan Agency. Selain itu, klasifikasi persediaan dengan menggunakan analisis ABC ini rentan mengalami perubahan karena adanya perubahan persediaan. Baik berupa penambahan maupun pengurangan jenis item dan pemasok serta perubahan volume penjualan yang terjadi. Penelitian ini masih perlu didukung dengan penelitian lain guna menyempurnakan pengendalian persediaan dalam suatu perusahaan. Analisis ABC lebih menekankan prioritas pengendalian namun belum mampu
merincikan semua hal. Antara lain mengenai evaluasi hubungan dengan pemasok maupun kinerja pemasok, teknik peramalan yang tepat dengan akurasi tinggi untuk mengontrol persediaan kelas A serta jumlah pemesanan yang ekonomis untuk persediaan. Selain itu, kebijakan berdasarkan analisis ABC menggunakan nilai penjualan di tahun 2008 ini tidak dapat digunakan dalam jangka panjang. Banyak perusahaan melakukan analisis ABC dalam jangka pendek per enam bulan sekali ataupun satu tahun sekali. 5.3 Saran Berdasarkan hasil analisis ABC yang dilakukan terhadap persediaan barang dagang kategori busana pada Usaha Dagang Al Bayan Agency di tahun 2008, saran yang dapat diberikan oleh peneliti antara lain yaitu: 1. Bagi pihak Usaha Dagang Al Bayan Agency , hendaknya: a. Memiliki urutan prioritas dalam fokus pengendalian persediaan dan menjadikan item di kelas A sebagai prioritas utama dalam pengendalian persediaan. Pada persediaan barang dagang kategori busana yang dimiliki Usaha Dagang Al Bayan Agency , yang perlu mendapatkan kontrol ketat adalah produk-produk dari rabbani, selain itu juga untuk kaos kepanduan partai X. b. Memberikan perhatian yang besar bagi produk dari Rabbani sebagai persediaan terbesar di kelas A, B dan C. c. Tidak melakukan investasi bagi 127 item kelas C yang tidak mengalami penjualan di tahun 2008. Mengutamakan investasi pada item-item di kelas A dan benar-benar menjaga hubungan baik dengan pemasok itemitem yang ada di kelas tersebut. d. Menetapkan jadwal untuk melakukan penghitungan persediaan per kelas persediaan. e. Mengoptimalkan penggunaan program kasir yang telah tersedia untuk mempermudah dalam pengendalian persediaan dengan sistem komputerisasi. 202
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 f.
Menggunakan sistem barcode guna memudahkan transaksi dalam kegiatan operasinya dan meningkatkan keakuratan pencatatan transaksi yang selama ini kurang diperhatian. g. Mengurangi persediaan yang telah lama disimpan dalam rangka meminimalkan biaya penyimpanan, resiko produk cacat serta resiko lainnya yang dapat timbul dari suatu persediaan. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan diskon bagi item-item yang sudah kurang diminati karena unfashionable antara lain bagi kerudung zainab yang sudah ±2 tahun masih menyisakan stok hingga saat ini. 2. Untuk ilmu pengetahuan, karena penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu masih sekedar mendeskripsikan kebijakan secara umum yang dapat diambil dalam manajemen persediaan berdasarkan analisis ABC, serta hanya dilakukan bagi satu kategori persediaan dan untuk satu tahun saja maka dirasa perlu adanya penelitian selanjutnya. Penelitian yang lebih fokus untuk kebijakan penangan persediaan di kelas A, baik mengenai peramalan kebutuhan persediaan maupun jumlah pemesanan yang ekonomis bagi item-item di kelas A atau juga memperluas objek penelitian yaitu untuk seluruh kategori dalam persediaan Usaha Dagang Al Bayan Agency.
DAFTAR PUSTAKA Aloysius Gunadi Brata. 2003. Distribusi Spasial UKM Di Masa Krisis Ekonomi. Diakses tanggal 2 Oktober 2008, dari http://www.ekonomirakyat.org. Anonim. 2006. Klasifikasi ABC. Diakses tanggal 22 Oktober 2008, dari http://www.id.wikipedia.org/wiki/klasi fikasi_ABC.
Anonim. Dictionary Of Accounting Terms. Diakses 26 Januari 2009, dari http://www.allbusiness.com/glossaries /management by exception/49443781.html. Arkanti. 2008. Pengaruh Biaya Promosi Terhadap Volume Penjualan Mobil Suzuki Escudo Pada PT Indomobil Suzuki Internasional Jakarta. Diakses Desember 2008, dari http://one.indoskripsi.com/judulskripsi/administrasibisnisniaga/“pengaruh-biaya-promositerhadap-volume-penjualan-mobilsuzuki-escudo-pada-pt-indomobi. Arman Hakin Nasution dan Yudha Prasetyawan. 2008. Perencanaan dan Pengendalian Produksi, Edisi Pertama. Graha Ilmu, Yogyakarta. Bowersox, Donald J. 2002. Manajemen Logistik. Edisi ke empat. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Chase, et al. 2005. Operation Management for Competitive Advantage 11th. The Mc. Graw-Hill Companies. New York. Fien Zulfikarijah. 2005. Manajemen Persediaan. UMM Press. Malang. Freddy Rangkuti. 2002. Manajemen Persediaan Aplikasi di Bidang Bisnis. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Gaspers, Vincent. 2007. Continuous Cost Reduction Through Lean-Sigma Approach. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Heizer, Jay and Barry Render. 2005. Manajemen Operasional. Edisi ke-7. Salemba Empat. Jakarta. I Gusti Bagus Rai Utama. 2008. Model Pengendalian Persediaan. Diakses 2 Oktober 2008, dari http://www.bahankuliah.wordpress.co m/2008/04/04/modelpengendalian.persediaan. Lalu Sumayang. 2003. Dasar-Dasar Manajemen Produksi dan Operasi. Salemba Empat. Jakarta. Nurhidayati Dwiningsih. 2008. Manajemen Persediaan. Diakses 20 Oktober 2008, dari http://www.stekpi.ac.id. 203
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Pass, Christopher et al. 1994. Collins Kamus Lengkap Bisnis. Edisi kedua. Erlangga. Jakarta. Schroeder. 2004. Operation Management Contemporary Concepts And Cases. Mc.Graw-Hill. Singapore. Suci Suciati dan Wiku B.B Adisasmito. 2006. Analisis Perencanaan Obat berdasarkan ABC indeks kritis di Instalasi Farmasi. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Diakses 12 September 2008, dari http://www.jpmk-online.net. Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Bisnis. Alfabeta. Bandung. Tim Penyusun Kamus Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Balai Pustaka. Jakarta. Varley, Rosemary. 2003. Retail Product Management Buying And Merchandising. Taylor & France Group. British. Wild, Tony. 1997. Best Practice In Inventory Management. John Wiley & sons. Canada. Yolanda Masnita Siagian. 2005. Aplikasi Supply Chain Management Dalam Dunia Bisnis. Cikal Sakti. Jakarta.
204
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Implementasi Kebijakan Pendidikan Sebagai Salah Satu Pilar Pembangunan Di Kabupaten Solok Di Era Otonomi Daerah (Ditinjau Dari Aspek Pembiayaan Pendidikan Dasar Dan Menengah) Oleh : Roni Ekha Putera Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas, Padang Email:
[email protected] HP: 081363253093
Abstrak Regional autonomy Implementation in education in Indonesia still facing a number of problems both technical and non technical issues, especially funding (budget). 1945 Constitution Act and the National Education System law No. 20 year 2003 provides a firm and clear support in at least 20% of education funding from the state and local budget. This research aims to determine the mechanisms of regulation and preparation of the education budget, education budget resources and the allocation of education funding. The research area is kabupaten Solok. The research approach is qualitative research. This study produced several findings. First, judging from the regulation and mechanism of budget preparing for education, the regulation still using general rule of public finance management and education budgeting based on pre-existing rules, so there is no separate mechanism created by the region in the form of region law. Second, large part of education budget sources is still dominated by the central fund of the DAU or BOS funds distributed directly to schools. Third, the allocation of education funding, including financing for development and routine also educational scholarships. This research also provides some suggestions. First, there must be a clear funding mechanism, which is standard form of primary and secondary education costs in Kabupaten Solok. Financing standard is important because future government will be able to estimate how much the costs should be budgeted by local governments to finance all levels of education available in the area. Secondly, more concrete cooperation with corporate in helping finance education in the form of scholarships to children who are less fortunate. Third, active participation of communities in fund raising related to education financing. Keywords: education Decentralization, Education Policy, Elementary and Secondary Education, Financing Education.
1. Pendahuluan 1.1.
Latar Belakang tonomi pendidikan membuka peluang yang cukup besar bagi daerah untuk membuat pendidikan di daerah menjadi lebih berkualitas. Jika meminjam terminologi school based management, kualitas pendidikan untuk masa yang akan datang lebih tergantung pada komitmen daerah untuk
O
merumuskan visi dan misi di daerahnya masing-masing. Jika daerah cukup visioner, pengembangan sektor pendidikan akan memiliki peluang yang besar untuk dapat memenuhi standar kualitas sesuai dengan harapan para stakeholders. Manakala pemerintah daerah memiliki political will yang kuat dan kemudian disertai dengan kebijakan yang mengedepankan arti penting pendidikan sebagai upaya human investment di daerah, dapat dipastikan pendidikan di daerah itu akan memiliki praksis yang baik, dan dengan demikian kualitas pendidikan akan dapat ditegakkan. 205
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Kabupaten Solok sebagai salah satu Kabupaten Di Propinsi Sumatera Barat untuk lebih memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan di daerahnya. Keseriusan Kabupaten Solok terlihat dengan dijadikan bidang pendidikan sebagai pilar pertama dari tiga pilar utama pembangunan di Kabupaten Solok yaitu bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi kerakyatan. Pemerintah Kabupaten Solok dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2006-2010 telah menetapkan bidang pendidikan sebagai salah satu sasaran utama (Pilar Utama) diantara dua sasaran (pilar) lainnya. Penetapan ini tentu telah melalui pertimbangan yang berdasarkan pada fakta dan data yang ada. Kondisi pendidikan masyarakat yang masih relatif rendah menjadi tantangan pemerintah daerah untuk meningkatkannya seoptimal mungkin. Penelitian ini berupaya menggali lebih mendalam lagi terhadap implementasi kebijakan pendidikan yang melingkup pembiayaan pendidikan dasar dan menengah berupa regulasi dan mekanisme penyusunan anggaran pendidikan, sumber anggaran pendidikan dan alokasi pembiayaan pendidikan.
1.2. Rumusan Masalah Dengan adanya amandemen UUD 1945 dan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD dan APBN. Dengan demikian, berdasarkan UUD dan UU tersebut maka pemerintah pusat dan daerah seyogyanya menaikkan anggaran pendidikan yang selama ini masih di bawah 20%. Kabupaten Solok mencoba mensikapi aturan tersebut dengan menjadikan pendidikan sebagai pilar utama dalam pembangunan. Melihat kondisi tersebut di Kabupaten Solok sangat menarik kiranya ditelaah lebih lanjut bagaimana kebijakan daerah di bidang pendidikan, yang dalam hal ini akan lebih difokuskan pada persoalan pembiayaan pendidikan dasar dan menengah negeri (sekolah-sekolah negeri) yang dinilai selama ini menjadi hal yang cukup krusial untuk dibahas mengingat pendidikan dasar dan
menegah sekarang ini menjadi tanggung jawab pemerintah Daerah (kabupaten sepenuhnya). Perumusan masalah ini dapat dirinci lebih lanjut ke dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana regulasi dan mekanisme penyusunan anggaran pendidikan ? 2. Sumber-sumber anggaran pendidikan ? 3. Bagaimana pengalokasian anggaran pendidikan ? 1.2.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang terlah disebutkan sebelumnya maka penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang 1. Regulasi dan mekanisme penyusunan anggaran pendidikan 2. Sumber-sumber anggaran pendidikan 3. Pengalokasian anggaran pendidikan 1.3.
Metode Penelitian
1.3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu variabel atau tema, gejala atau keadaan yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan1. Bogdan dan Taylor2 mengemukakan bahwa penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati. Penelitian kualitatif juga mempunyai desain penelitian sementara yang berkembang di lapangan dan menganalisis data dengan cara induksi. 1
Erna Widodo dan Muhktar, 2000, Konstruksi ke arah Penelitian Deskriptif, Yogyakarta: Auyrouz hal 15 2 Moleong, J lexy (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosdakya hal 3
206
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Dengan demikian, metode deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang berusaha mendeskripsikan faktafakta dengan melihat atau mengemukakan gejala-gejala secara lengkap sesuai dengan aspek yang di teliti sehingga dapat dihindari analisis yang kurang akurat.
1.5.2. Sumber Data Dalam penelitian ini ada dua sumber data yaitu (1) data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan responden dan dari hasil pengamatan yang dilakukan dilapangan terhadap fenomenafenomena empiris yang terjadi berkaitan dengan Kebijakan Pembiayaan Pendidikan Dasar dan Menengah Sekolah Negeri di Kabupaten Solok. (2) data sekunder yaitu data yang diperoleh sudah diolah seperti dokumendokumen tertulis dan studi kepustakaan.
1.5.3. Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang valid dan reliabel maka dipilihlah tehnik yang tepat dan benar. dalam penelitian ini digunakan tehnik wawancara bebas (interview) sebagai tehnik umum dengan maksud untuk menjaga data primer yang relevan terhadap setiap variabel penelitian maka wawancara yang akan dilakukan didasarkan pada pedoman wawancara yang berisikan pertanyaan terbuka (open ended question), dengan demikian diharapkan responden akan dapat menjawab dengan leluasa dan bebas dalam memberikan berbagai alternatif jawaban. Langkah-langkah mengumpulkan/memperoleh data di lapangan atau lokasi penelitian dilakukan dengan cara pertama wawancara (interview), tahapan wawancara dilakukan pada beberapa informan yang dinilai mampu memberikan informasi mengenai permasalahan yang akan diteliti yang dipilih secara purposive sampling yaitu sebagai berikut; Sekretaris Daerah Kabupaten Solok, Asisten II Sekretaris Daerah Kabupaten Solok, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Solok, Bendahara Dewan Pendidikan Kabupaten Solok, Kepala Sekolah di Lingkungan Kabupaten Solok, Komite Sekolah di lingkungan Kabupaten Solok, Ketua
DPRD Kabupaten Solok. Kedua, telaah dokumen dan studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan data yang diperoleh melalui bahan yang tertulis seperti dokumendokumen yang berupa aturan-aturan yang mengatur tentang kewenangan pemerintah Kabupaten di Bidang Pendidikan dan ataupun literatur berupa buku, jurnal dan makalahmakalah seminar yang membahas tentang hal itu.
1.6. Tehnik Analisis Data Analisis data adalah proses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterprestasikan3. Dalam penelitian ini data yang akan didapat berupa data kualitatif dan data kuantitatif yang didapat dari data-data dokumen. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan cara menginterpretasikan data, fakta dan informasi yang telah dikumpulkan melalui pemahaman intelektual dan empiris yang kemudian dikaji secara dalam sehingga menghasilkan gambaran dari data yang sesungguhnya. Analisis dilakukan dengan menghubungkan dan disesuaikan dengan teori yang digunakan sehingga dapat dihasilkan kesimpulan dan rekomendasi penelitian. Data yang di analisis tersebut terdiri dari data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara dan telah dokumen. Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan (emik) dan interpretasi peneliti (etic) terhadap data di lapangan. 2.
Kerangka Teori
2.1. Kebijakan Publik Kebijakan publik menurut kamus Administrasi Publik4 Public Policy adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya-sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau 3
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES,1995 hal 263 4 Chandler, R.C, Q. J.C Palano, 1988, The Public Administration Dictionary, Second Edition, Santa Barbara, CA, ABC-CLIO. INC, hal 107
207
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pemerintah. Lebih lanjut Chandler and Plano menjelaskan bahwa kebijakan publik merupakan suatu bentuk intervensi yang kontinum oleh pemerintah demi kepentingan oarang-orang yang tidak berdaya dalam masyarakat agar mereka dapat hidup dan ikut berpartisipasi dalam pemerintah5. Dengan demikian kebijakan publik dapat diartikan sebagai arah tindakan yang diambil oleh pemerintah (aktor-aktor yang terlibat) melalui serangkaian proses kegiatan yang sistematis, teratur dengan berorientasi pada tujuan dan sasaran yang jelas dalam rangka memecahkan masalah-masalah publik. Sehingga kebijakan publik merupakan sesuatu yang nyata dilakukan oleh pemerintah yang berguna demi kemaslahatan dan keberlangsungan pemerintahan di masa akan datang sehingga masyarakat dapat merasakan kehidupan yang aman dan tentram. Kebijakan publik disini dibatasi sebagai keputusankeputusan yang dibuat oleh institusi negara dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi. Berkenaan dengan daerah otonom (kabupaten/kota) maka kebijakan publik yang dibuat oleh legislatif/ataupun eksekutif di tingkat daerah otonom. Lebih lanjut Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik di bidang pendidikan. Ensiklopedia Wikepedia dalam Tilaar dan Nugroho6 menyebutkan kebijakan pendidikan berkenaan dengan kumpulan hukum atau aturan yang mengatur pelaksanaan sistem pendidikan, yang tercakup di dalamnya tujuan pendidikan dan bagaimana mencapai tujuan tersebut. Lebih lanjut dapat dikemukakan sebagai berikut ini: Education policy refers to the collection of laws and rules that govern the operation of education system. Its seeks to answer question about the purpose of education, the objectives (societal and personal) that it is designed to 5
Yeremias Keban,2008, Enam Dimensi Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Edisi ke 2, Yogyakarta: Gava Media hal 60 6 Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho, 2008, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
attain, the methods for attaining them and the tools for measuring their success of failure. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mark Olsen, John Codd dan Anne-Marie O’Neil dalam Nugroho7 menyatakan bahwa kebijakan pendidikan merupakan kunci bagi keunggulan, bahkan eksistensi bagi negara-negara dalam persaingan global, sehingga kebijakan pendidikan perlu mendapat prioritas dalam era globalisasi.
2.2.Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan Istilah desentralisasi pendidikan muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske8 dalam Wasitohadi 9(2008: 8-10) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite dalam Wasitohadi10 mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the devolution of authority from a higher level of government, such as a departement of education or local education authority, to a lower organizational level, such as individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar dalam Wasitohadi11 desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan 7
Ibid hal 36 Depdiknas, 2001, Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan hal 3 9 Wasitohadi, 2008, Implikasi Paradigma Baru Pendidikan Terhadap Model Perencanaan Pendidikan Dalam Rangka Implementasi Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah, disampaikan Symposium Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan 2008 di Jakarta, 11-14 Agustus 2008, hal 8-10 8
10 11
Ibid ibid
208
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun. Sehingga dalam prakteknya dengan adanya Undang-undang Otonomi Daerah kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari sistem sentralisasi ke desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di bidang pendidikan 12. Dalam prakteknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang administrasi, karena jikalau desentralisasi bidang administrasi berhenti pada level pemerintahan kabupaten/kota, sedangkan desentralisasi pendidikan justru sampai kepada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak daripada pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Dalam prakteknya desentralisasi pendidikan yang dikembangkan adalah manajemen berbasis sekolah (MBS) yang sebenarnya diadopsi dari beberapa negara yang telah menerapkan program ini, hal ini dimaksudkan guna memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia Indonesia yang belakangan dirisaukan oleh berbagai pihak. 2.3. Pembiayaan Pendidikan Dalam penyelengaraan otonomi pendidikan dewasa ini daerah dihadapkan pada problema anggaran/pembiayaan yang mahal dan cenderung tidak pro pada masyarakat, untuk itu daerah dituntut lebih kreatif dan efisien dalam menggunakan anggaran. Anggaran menjadi hal yang sangat penting bagi terselenggaranya aktivitas pemerintahan secara umum. Sehingga 12
Abdul Halim, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UUP AMP YKPN, hal 15
pemerintah pusat dan daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan kepada masyarakat. Pembiayaan pendidikan adalah kegiatan mendapatkan biaya serta mengelola anggaran pendapatan dan belanja pendidikan, kegiatan ini dimulai dengan perencanaan biaya, usaha untuk mendapatkan dana yang mendukung rencana itu, penggunaan serta pengawasan penggunaan angaran yang sudah ditetapkan. Dalam pembiayaan pendidikan paling tidak ada tiga persoalan yang harus diperhatikan yaitu (1) financing, menyangkut darimana sumber pembiayaan diperoleh; (2) budgeting, bagaimana biaya pendidikan dialokasikan, (3) accountability, bagaimana anggaran yang diperoleh digunakan dan dipertanggungjawabkan13. Berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional maupun daerah mengalami suatu transisi yang sangat signifikan dalam pengelolaan sumber-sumber daya yang ada dalam bidang pendidikan terutama dalam hal pendanaan/anggaran pendidikan (pembiayaan pendidikan). Dalam hal ini pelaksanaan pendidikan harus disertai dengan adanya peningkatan peran sumbersumber daya pendidikan (dana pendidikan) yang telah tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Ketentuan Umum pasal 1 ayat 23 yang menjelaskan bahwa Sumber daya pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan prasarana. 13
Hudayana, Dadang, 2007, Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pendidikan dalam Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (Studi Deskriptif Peningkatan Pelayanan Wajib Belajar Pendidikan Dasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan), Tesis S2 Program Studi Magister Administrasi Publik, Konsentrasi Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan, Yogyakarta, hal 34-35
209
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Lebih lanjut amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga menerangkan dalam hal pembiayaan pendidikan bahwa; ”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan pennyelenggaraan pendidikan nasional”
Sejalan dengan itu maka dalam penyelenggaraan kebijakan pendidikan di daerah akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh sumber daya pendidikan (pembiayaan pendidikan) yang memadai dan dapat diandalkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya di daerah. Dengan adanya perubahan kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan sekolah dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemda, sedangkan SLTP dan SLTA (dan juga perguruan tinggi) menjadi tanggung jawab Pusat, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 46; 1. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dengan konfigurasi kelembagaan yang seperti itu pula, pola pembiayaan pendidikan mengalami perubahan yang cukup mendasar. Pasal 48 Undang Undang-undang No. 20
Tahun 2003 menjelaskan bahwa; (1) pengelolaan dana pendidikan berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik, (2) Ketentuan mengenai pengelolaan dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Dengan demikian daerah memiliki tanggung jawab yang sangat besar untuk membiayai sektor pendidikan dengan menggunakan APBD-nya. Dukungan dari Pusat (dan Propinsi) tetap dimungkinkan, tetapi juga harus melalui mekanisme APBD, atau paling tidak tercatat di dalam APBD kabupaten/kota. Tantangan pertama yang harus dihadapi oleh para pengelola pendidikan adalah masalah pendanaan. Sebagai ilustrasi, rendahnya kualitas gedung sekolah, terutama SD, merupakan salah satu dampak keterbatasan kemampuan pemerintah dalam memobilisasi dana untuk sektor pendidikan. Di sisi lain, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberi beban yang sangat berat bagi pemerintah. Pasal 49 menyatakan sebagai berikut; 1. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). 2. Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 3. Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 210
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 5.
3.
Ketentuan mengenai pengalokasian dana pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pembahasan Persoalan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia dewasa ini sangat kompleks. Permasalahan yang besar antara lain menyangkut soal pembiayaan pendidikan, mutu pendidikan, pemerataan pendidikan, dan manajemen pendidikan. Terkait dengan pembiayaan pendidikan adalah masalah biaya yang dikeluarkan untuk operasional dan kebutuhan pendidikan, sedangkan mutu pendidikan adalah masalah mengenai kurikukum, proses pembelajaran, evaluasi, buku ajar, mutu guru, sarana dan prasarana pendidikan. Termasuk persoalan pemerataan pendidikan adalah masih banyaknya anak umur sekolah yang tidak dapat menikmati pendidikan formal di sekolah, sedangkan persoalan manajemen menyangkut segala macam pengaturan seperti otonomi pendidikan, birokrasi, dan transparansi agar kualitas dan pemerataan pendidikan dapat terselesaikan dengan baik14. Untuk itulah pemerintah daerah memilih kebijakan pendidikan sebagai pilar pertama dan utama dalam pembangunan Kabupaten Solok guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia, namun sebagian masyarakat banyak yang meragukan kebijakan ini, karena dinilai kurang populis dan hasilnya tidak langsung dinikmati atau kelihatan dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat, bahkan juga tidak sedikit yang mencemaskan kebijakan ini. Sebab pesimistis yang muncul memberikan argumen bahwasanya membangun pendidikan tidak sama dengan membangun jalan, jembatan, gedung, mewah dan bangunan fisik lainnya. Membangun pendidikan selama puluhan tahun sekalipun belum tentu akan terlihat hasilnya. 14
Paul Suparno, dalam Widodo Alexander Jatmiko dan Fandy Tjiptono (ed), 2002, Pendidikan Berbasis Kompetensi, Jakarta: Universitas Atma Jaya hal ix
Bandingkan dengan membangun jembatan, jalan, gedung mewah atau pusat perkantoran, begitu dibangun langsung terlihat hasilnya15. Margaret E. Goertz 16 mengatakan bahwa kebijakan pendidikan berkenaan dengan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan. Hal ini menjadi penting dengan meningkatnya kritisi publik terhadap biaya pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa: ….An increased emphasis on educational adequacy and public’s concern over the high cost of education is focusing policy makers’ attention the efficiency and effectiveness of educational spending…
Namun demikian, pemerintah daerah tetap berkomitmen tinggi dalam membangun pendidikan di daerahnya dengan mempertaruhkan segalanya untuk membangun pendidikan. Langkah awal yang dilakukan adalah berusaha secara maksimal melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 bahwasanya sekurangkurangnya anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN atau APBD dan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2004 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 49 ayat (1) yakni dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Untuk tingkat kabupaten (daerah) dalam menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBD tidaklah sulit asalkan ada political will dari kepala daerah untuk memperhatikan pendidikan. Pada tahun 2005 anggaran pendidikan Kabupaten Solok yang semula hanya 14% per tahun dari APBD dinaikkan menjadi 15,4% tahun 2006. Kalau pada 2006 anggaran pendidikan baru mencapai 15,4%, maka pada 2007 anggaran 15
Gusmal, 2007, Pendidikan Tanpa Akhir, Padang: Padang Media, hal 146 16 Dalam Tilaar dan Nugroho ibid hal 37
211
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pendidikan sudah mencapai 21,5%. Angka ini sudah melebihi target yang ditetapkan pemerintah pusat dengan memaksimalkan anggaran daerah yang ada. Jikapun tidak akan naik pada tahun 2008 hingga 2010, setidaknya dengan posisi sekarang Kabupaten Solok sudah berusaha maksimal melaksanakan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional17. Pemerintah kabupaten Solok berusaha memilih bidang pendidikan sebagai sektor utama pembangunan. Karena dengan pilihan seperti itu maka diharapkan Sumber Daya Manusia daerah ini akan dapat lebih maju lagi dibandingkan daerah lain di masa yang akan datang. Apalagi posisi Kabupaten Solok dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya di Sumatra Barat masih tertinggal. Karena itu dengan memberikan anggaran yang lebih besar pada bidang pendidikan diharapkan secara bertahap program-program yang dihasilkan juga mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerah ini dan yang tidak kalah pentingnya sekolah dan lembaga pendidikan di Kabupaten Solok bisa bersaing dalam kemajuan zaman. Dengan komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah bukan tidak mungkin Solok akan menjadi Kabupaten yang unggul di masa akan datang. Untuk Tantangan kedepan yang harus dihadapi adalah bahwasanya implikasi dari undang-undang badan hukum pendidikan dan No Indokator peraturan pemerintah tentang 1 APK pen-danaan pena. Laki-laki didikan memb. Perempuan berikan pekerjaan c. Kota rumah yang d. Desa 2 APM cukup berat me3 Perbandingan antar jenjang ngingat ada 4 Rasio kekhawatiran a. Siswa/sekolah akan terjadinya b. Siswa/kelas komersialisai c. Siswa/Guru pendidikan di d. Kelas/Ruang Kelas daerah sehingga e. Kelas/Guru biaya pendidikan 5 Angka Melanjutkan menjadi mahal 6 Tingkat Pelayanan Sekolah 17
dan tidak terjangkau lagi, yang bisa mendapat pendidikan hanya orang yang mempunyai uang. Dengan demikian pemerintah daerah perlu mengantisipasi hal ini guna mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari dimana banyak anak-anak yang tidak sekolah atau melanjutkan sekolah karena terkendala biaya sehingga dengan adanya undang-undang ini bukannya manusia Indonesia menjadi maju dan berkualitas malah menjadi manusia yang tidak terdidik dan tertinggal. Pembangunan pendidikan bukanlah sesuatu hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan bahkan hasilnya tidak akan langsung terlihat, itu sangat disadari oleh pemerintah daerah. Bahkan setiap tahun peningkatan APK (Angka Partisipasi Kasar) dan APM (Angka Partisipasi Murni) tidaklah terlalu tinggi, hanya berkisar tiga sampai empat persen per tahun. Kalau ini bisa berjalan sebagaimana mestinya, maka tahun 2010 diharapkan Kabuaten Solok bisa menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Artinya saat itu tidak ada lagi lulusan Sekolah Dasar yang tidak melanjutkan pendidikan dan angka drop out SMP bisa ditekan sekecil mungkin, sehingga angka buta aksara juga dapat dikurangi. Tabel 1. Indikator Pemerataan Pendidikan Dasar dan Menengah Tahun 2007/2008 SD+MI
SLTP/MTs
SLTA
106,62 109,43 102,43 106,62 95,91 6
81,38 73,20 79,93 81,38 75,41 3
41,29 40,18 42,31 41,29 38,96 1
150,21 22,08 14,92 1,08 0,67 132
196,25 28,85 9,50 0,89 0,33 91,69 87
312 31 10 0,99 0,33 82,91 91
Gusmal Ibid Hal 147
212
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 3.1. Regulasi dan Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendidikan 3.1.1. Regulasi Pemerintah Kabupaten Dalam Pembiayaan Pendidikan Sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam mengelola keuangan daerah, Kabupaten Solok berusaha memaksimalkan dan mengefisienkan anggaran yang ada, karena masih tingginya ketergantungan daerah terhadap Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum dari pemerintah pusat. Ketergantungan ini di satu sisi menyulitkan pemerintah daerah dalam mengelola keuangannya sendiri karena pospos anggaran yang ada tentu saja harus menyesuaikan berapa besar dana yang diberikan oleh pemerintah pusat. Karena hampir setiap tahunnya dana DAU dapat berkurang seiring dengan dinamika pemerintah daerah yang terus berkembang dan pemekaran beberapa daerah yang ada. Guna mempertegas tanggung jawab dan pembagian kewenangan pemerintah antar lini dalam layanan pendidikan, diperlukan regulasi teknis yang bersifat mengikat. Dari sejumlah turunan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Pemerintah tentang Wajib Belajar dan Pendanaan Pendidikan dipandang mendesak dan sangat relevan untuk dibuat dan direalisasikan secepatnya. Kedua peraturan itu harus sejiwa, jangan sampai kelak justru bertolak belakang, mengingat dengan kian dekatnya target waktu penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, yakni 2010. sejalan dengan itu, pembiayaan pendidikan juga terus-menerus menjadi masalah yang menghantui para orangtua siswa tidak terkecuali pendidikan dasar dan menengah negeri yang nota benenya tanggung jawab pemerintah daerah. Regulasi pembiayaan pendidikan juga mendesak untuk dibenahi sebagai jawaban atas maraknya fenomena komersialisasi di bidang pendidikan. Dengan adanya beberapa peraturan pemerintah tentang diperbolehkannya pihak swasta asing untuk berinvestasi di bidang pendidikan. Sehingga dewasa ini fakta menyodorkan bahwa antara
sekolah negeri dan swasta belakangan ini nyaris tak ada lagi perbedaan mendasar. Kedua jenis institusi pendidikan tersebut sudah sama-sama menarik berbagai jenis pungutan dari orangtua siswa yang jumlahnya bervariasi untuk masing-masing sekolah yang disesuaikan dengan kondisi sekolah yang bersangkutan, walaupun sebenarnya sudah ada dana bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah. Padahal seharusnya Wajib Belajar Sembilan tahun merupakan rujukan teknis bagi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan dalam menjalankan amanat konstitusi. Pemerintah mewajibkan masyarakat untuk mengenyam pendidikan minimal sembilan tahun dengan harapan demikian dimasa akan datang manusia Indonesia akan dapat bermutu dan mampu bersaing dengan Negaranegara lainnya. Dengan demikian, konsekuensi dari semua pihak yang bertanggung jawab terhadap pendidikan hendaknya tidak hanya memperhatikan biaya pendidikan semata, tetapi juga mutu. Artinya, setiap warga harus dipenuhi haknya untuk mendapatkan layanan pendidikan dasar minimal (SD-SMP) yang tidak sekadar ada, tetapi juga harus bermutu. Pendidikan dasar yang bermutu merupakan fondasi yang ideal untuk keberlanjutan pendidikan peserta didik, dan untuk mencapai mutu yang baik relatif dibutuhkan biaya sesuai kondisi serta perkembangan sekolah dan peserta didik. Untuk itu, harus ada peraturan yang mengikat pemerintah untuk membiayainya. Pemerintah Daerah Kabupaten Solok tetap berpegang kepada peraturan yang ada karena secara khusus memang belum ada peraturan daerah yang membahas tentang pembiayaan pendidikan. Hal ini memberikan otonomi kepada daerah untuk dapat menentukan sendiri berapa biaya yang harus dikeluarkan calon siswa untuk dapat bersekolah. Jadi pada dasarnya, keinginan dari berbagai pihak untuk dapat terciptanya aturan yang jelas tentang pembiayaan pendidikan di Solok memperlihatkan bahwasanya perhatian yang besar terhadap bidang pendidikan. 213
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Sehingga biaya pendidikan dasar dan menegah dapat ditanggung bersama oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu kerjasama antara unsur-unsur terkait di pemerintah daerah sangat diharapkan supaya aturan dapat dibuat dan dilaksanakan
3.1.2. Mekanisme Penyusunan Anggaran Pendidikan pada APBD Kabupaten Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah membuka peluang yang luas bagi daerah untuk mengembangkan dan membangun daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan prioritasnya masing-masing. Dengan berlakunya kedua undang-undang tersebut di atas membawa konsekuensi bagi daerah dalam bentuk pertanggungjawaban atas pengalokasian dana yang dimiliki dengan cara yang efisien dan efektif, khususnya dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan pelayanan umum kepada masyarakat. Prinsip dan kebijakan yang dikemukakan di atas dengan sepenuhnya berusaha untuk diterapkan dalam penyusunan APBD setiap tahunnya. Lebih lanjut dalam hal mekanisme penyusunan APBD bidang pendidikan di Kabupaten Solok dapat dijelaskan bahwa pada awalnya perencanaan APBD diawali dengan adanya musrenbang (Musyawarah Pembangunan) tingkat Nagari (Desa) yang diikuti oleh kepala-kepala Jorong (kampung), tokoh masyarakat dan lembagalembaga yang ada di nagari yang isinya memutuskan proyek atau kegiatan apa yang akan dilakukan oleh nagari dalam hal ini program pendidikan. Sekitar bulan Juli diadakan musrenbang tingkat Kecamatan yang diikuti oleh seluruh Wali nagari, unsur Muspika yang membahas usulan dari masingmasing Nagari, setelah itu program-program (program pendidikan) yang disusun diajukan kepada kabupaten untuk “digodok” lebih lanjut. Di tingkat Kabupaten oleh pemerintah (dalam hal ini pihak eksekutif, Bupati dengan perangkatnya) yang berposisi sebagai pihak
pelaksana, sebagaimana yang telah diamanatkan undang-undang/peraturan daerah. Pemerintah dalam hal ini eksekutif memiliki tim anggaran sebagai ujung tombak dalam perumusan APBD. Adapun hal-hal yang terkait dengan kepentingan-kepentingan sektoral diurus oleh masing-masing dinas yang terkait. Pemerintah daerah membuat rencana berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perencanaan meliputi tahapan Rapertada (Rencana Program Tahunan Daerah), Rencana Strategis, Program Pembangunan Daerah dan lain-lain yang deprogram untuk dibelanjakan/direalisasikan dalam pembangunan. Kemudian rencana itu diajukan kepada DPRD sebagai usulan melalui Panitia Anggaran (panggar). Kalau rencana tersebut di panggar tidak terlalu jelas, maka dibiarkan (divakumkan dulu) sebelum maju ke proses formal sebagai nota keuangan yang disampaikan secara resmi. Kemudian rencana dibahas melalui pandangan fraksi-fraksi di DPRD. Melalui fraksi-fraksi dan komisikomisinya, DPRD mengundang/memanggil Dinas Pendidikan untuk mengadakan pertemuan dengan tim anggaran pemerintah yang telah disampaikan rancangannya tentang penyelenggaraan pembiayaan terhadap program-program pendidikan tahun depan. Kalau DPRD masih membutuhkan informasi lebih lanjut. DPRD dapat melakukan panggilan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan untuk mengikuti dengar pendapat (hearing). Di acara hearing, materi dapat dibahas dan dipertimbangkan secara teknis. Selanjutnya rancangan yang sudah ada dibawa ke rapat kerja legislatif dan diteruskan ke eksekutif. Setelah itu dinas terkait akan melaksanakan sesuai dengan panduan rencana pembangunan. Setelah tuntas di panitia Anggaran, dengan pandangan dan ketentuanketentuan sebagaimana belanja pembangunan dengan rapertada, dan program-program yang menjadi prioritas, juga belanja rutin baru selanjutnya rencana disampaikan secara formal oleh pemerintah dihadapan sidang paripurna DPRD tentang APBD. Dalam sidang tersebut rencana dibahas oleh DPRD melalui 214
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 fraksi-fraksi dari beberapa komisi. Untuk bidang pendidikan di Kabupaten Solok berada pada Komisi A. Pada kesempatan itu komisikomisi menyampaikan kembali RAPBD yang semestinya kepada pemerintah. Demikian seterusnya hingga ada kesepakatan berdasarkan criteria-kriteria tertentu dan ketentuan yang masuk dari usulan komisikomisi serta berdasarkan kepentingan pembangunan. Selanjutnya baru dapat disimpulkan bahwa RAPBD sudah selesai dibahas dan diperbaiki. Dengan demikian RAPBD akhirnya ditetapkan sebagai Perda berupa APBD untuk dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Setelah APBD ditetapkan, maka anggota dewan harus turun ke masyarakat untuk melihat langsung apakah pelaksanaan kebijakan (APBD) dapat benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Proses ini memakan waktu hingga berbulan-bulan (kurang lebih selama dua bulan). Dalam kurun waktu tersebut anggota dewan memperhatikan aspirasi dari masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatanprogram yang telah ditetapkan dan sudah semestinya apabila pelaksanaan kebijakan tersebut benar-benar menyentuh kepentingan masyarakat, mengingat bahwa pemerintah merupakan penyusun sekaligus pelaksana, sehingga mengetahui secara pasti (secara teknis) pelaksanaan kebijakan yang seharusnya dikerjakan. Namun tidak semua rencana pemerintah dapat disetujui DPRD, karena dalam rencana itu ada materi yang menjadi prioritas dan ada yang tidak. Oleh Karena itu pembahasan harus dilaksanakan secara cermat dan sesuai dengan kebutuhan mendasar pembangunan. Dengan demikian, dinas diminta menyiapkan program-program yang menjadi prioritas utama terselenggaranya pendidikan yang lebih baik di masa akan datang sehingga anggaran yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal. Sebagaimana keuangan daerah dikelola kabupaten/kota di era otonomi daerah ini, proses penyusunan APBD yang tergambar merupakan perencanaan yang
dimulai dari bawah. Dengan perlibatan masyarakat secara aktif diharapkan APBD yang terbentuk mencerminkan aspirasi masyarakat dan masyarakat mengetahui arah dan tujuan daripada rencana penggunaan APBD tersebut. Di Bidang pendidikan misalnya masukan dan peran serta masyarakat sangat diperlukan guna turut serta memajukan pendidikan nasional secara bersama-sama. Untuk itu penjaringan aspirasi masyarakat adalah untuk menggali informasi tentang aspirasi dan kebutuhan riil yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dan kemudian mendeskripsikan sekaligus di paparkan dalam penyusunan arah dan kebijakan umum APBD. Dengan demikian APBD yang disusun merupakan APBD yang pro terhadap kepentingan masyarakat, sehingga programprogram yang ada dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan.
3.2. Sumber Anggaran Pendidikan Kabupaten Solok Pendidikan merupakan tanggung jawab semua pihak, bukan hanya pemerintah semata tetapi juga masyarakat maupun dunia usaha. Sebagaimana amanat dalam UndangUndang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 47 bahwasanya sumber pendanaan pendidikan itu berasal dari Pemerintah (APBN), Pemerintah Daerah (APBD) dan masyarakat (masyarakat, individu, dunia usaha). Sehingga persepsi yang selama ini menyalahkan pemerintah terhadap rendahnya atau kurangnya prestasi pendidikan Indonesia tidak sepenuhnya benar, karena pendidikan bukan saja tanggung jawab pemerintah semata tetapi tanggung jawab semua lapisan masyarakat. Untuk itu, guna meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di daerah, hendaknya semua unsur yang ada di daerah saling bahu-membahu guna memajukan pendidikan. Dinas pendidikan sebagai leading sector hendaknya mampu bekerjasama dengan semua stakeholder di daerah yang concern terhadap dunia pendidikan. Dengan mengandeng para pengusaha tentu saja akan memberikan keuntungan tersendiri bagi daerah dalam hal 215
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pembiayan pendidikan yang semakin hari semakin mahal saja. Anggaran yang disediakan oleh pemerintah belum sepenuhnya dapat membantu semua biaya yang diperlukan untuk operasional pendidikan (sekolah), sehingga diperlukan tambahan dana dari pihak lain yang dalam hal ini masyarakat atau dunia usaha yang diajak bekerjasama dalam memajukan pendidikan di daerah. Sumber pembiayaan bidang pendidikan dari APBN adalah mendapatkan alokasi anggaran yang cukup besar dalam kurun waktu 2004-2009 yang diprioritaskan pada peningkatan pelayanan dasar berupa akses masyarakat terhadap pendidikan dasar yang lebih bermutu dengan adanya peningkatan pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan pemberian kesempatan yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan dasar melalui Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Untuk Kabupaten Solok dengan adanya program dana BOS ini cukup membantu terselenggaranya proses belajar mengajar di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Tingkat Sekolah dasar untuk Dana Bos Juli-Desembar Tahun 2008 menerima sebesar Rp. 6.439.408.000,- sehingga dengan adanya dana BOS tersebut berdasarkan temuan dilapangan memberikan pengaruh yang siginifikan terhadap pembiayaan operasional pendidikan tingkat sekolah dasar. Sehingga untuk sekolah dasar di Kabupeten Solok tidak perlu lagi melakukan pungutan terhadap siswa yang ada, karena sudah cukup terbantu dengan dana BOS dari pemerintah Pusat. Sedangkan untuk tingkat SLTP di Kabupaten Solok tahun 2008 per JuliDesember mendapatkan alokasi dana sebesar Rp. 2.345.781.000,-. Dana tersebut dialokasikan sebesar Rp. 27.500,- perbulan untuk satu orang siswa, sehingga apabila di suatu sekolah terdapat pungutan dari komite maka yang dibayarkan adalah kekurangan dari pada dana BOS yang telah ada. Misalnya, dana pungutan atau iuran komite ditetapkan
sebesar Rp.30.000,- untuk tiap-tiap siswa, maka siswa hanya cukup menambah sebesar Rp. 2.500,- lagi guna menambah kekurangan dari dana BOS yang sudah ada. Selain block grant berupa dana BOS dari pemerintah pusat, pihak sekolah juga bisa mendapatkan dana dari pemerintah pusat/pemerintah provinsi berupa dana dekonsentrasi yang langsung diberikan kepada sekolah. Untuk dana dekonsentrasi ini tidak semua sekolah mendapatkannya, karena untuk mendapatkan dana ini sekolah perlu membuat proposal yang diajukan dengan sepengetahuan Dinas Pendidikan kepada pemerintah pusat/pemerintah provinsi. Dari temuan lapangan di beberapa lokasi penelitian didapatkan bahwa dana yang diterima oleh sekolah cukup besar, misalnya untuk tahun 2008 SLTP N 4 Kubung menerima dana dari pemerintah pusat sejumlah Rp. 10.000.000,untuk keperluan kurikulum KTSP, Rp. 80.000,untuk keperluan alat-alat laboratorium, dan sebagai sekolah standar nasional menerima bantuan sebesar Rp. 80.000.000,- untuk keperluan alat-alat computer dan Rp. 120.000.000,- untuk keperluan multi media serta Rp. 12.500.000,- untuk keperluan rehap lapangan upacara . sedangkan SLTPN 2 Gunung Talang menerima dana dekonsentrasi sebesar Rp. 225.000.000,- dan hibah dari pemerintah pusat berupa dana “block grant” sebesar Rp. 50.000.000,serta Rp. 171.000.000,- dari pemerintah pusat. Dengan demikian, terbuka sekali peluang bagi sekolah atau daerah yang mau dan mampu memanfaatkan kesempatan yang ada guna mendapatkan tambahan anggaran untuk terlaksananya operasional pendidikan atau untuk menambah sarana dan prasarana pembelajaran sehingga menghasilkan manusia yang berkualitas. Dengan adanya bantuan dana dekonsentrasi dan hibah dari pemerintah pusat dinilai cukup membantu sekolah dalam proses belajar mengajar terkait dengan biaya operasional sekolah, sehingga dari beberapa sekolah tidak perlu lagi memungut biaya dari siswa karena sudah cukup terbantu dari bantuan pemerintah tersebut, namun ada juga sekolah yang memungut biaya dari siswa 216
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 karena sekolah menilai bantuan atau dana BOS dari pemerintah pusat belum mencukupi untuk membiayai keperluan atau operasioanal sekolah, untuk tingkat SLTP dan SLTA pungutan yang diambil bervariasi berdasarkan kebutuhan masing-masing sekolah. Perbedaan interpretasi dari cukup atau tidaknya dana pendidikan dari pemerintah tergantung kepada kebutuhan masing-masing sekolah yang bersangkutan, sehingga ada sekolah yang merasa sudah cukup dengan dana yang ada, dan ada sekolah yang masih kekurangan, sehingga diperlukan sumber lain yang memungkinkan untuk dioptimalkan.
3.2.1. Sumber APBD sebagai bagian utama pembiayaan pendidikan di daerah Salah satu faktor yang cukup penting dalam melaksanakan kebijakan pendidikan di daerah adalah adanya ketersediaan sumber anggaran yang mencukupi untuk terlaksananya program-program pendidikan. Kabupaten Solok sebagai salah satu daerah yang cukup perhatian terhadap sektor pendidikan berusaha untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar 1945 terhadap porsi anggaran pendidikan 20 %. Semenjak tahun 2005 sampai sekarang (2008) pemerintah Kabupaten Solok berusaha untuk meningkatkan anggaran pendidikan dalam APBD. Data anggaran pendidikan Kabupaten Solok yang bersumber pada APBD dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 2. Anggaran Pendidikan Kabupaten Solok Tahun 2005-2008 Tahun 2005 2006 2007 2008
Anggaran Pendidikan (Belanja Langsung) Rp. 5.743.878.991 Rp. 18.522.030.355 Rp. 51.210.035.488 Rp. 72.669.865.438
Sumber: Laporan Ringkasan APBD Kabupaten Solok Tahun 2005-2008
Dari laporan APBD terlihat adanya peningkatan anggaran pendidikan tiap tahunnya, ini menandakan bahwa pemerintah daerah memiliki kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan. Dengan jumlah anggaran pendidikan yang demikian diharapkan sektor pendidikan di Kabupaten Solok dapat ditingkatkan mutu dan program wajib belajar sembilan tahun dapat dituntaskan. Ke depan kerja keras pemerintah kabupaten dalam membiayai pendidikan dasar dan menengah akan mendapat tantangan yang cukup berat mengingat semakin tingginya tingkat kesulitan ekonomi akibat krisis ekonomi global yang melanda dunia, termasuk Indonesia. 3.2.2. Sumber pembiayaan dari masyarakat sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan
Keterbatasan sumber pembiayaan pendidikan termasuk salah satu persoalan pelik yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan perkembangan zaman. Meskipun alokasi anggaran pendidikan masih terbilang kecil, baik prosentase maupun angka absolut terhadap total anggaran nasional, namun besaran anggaran pendidikan tampak meningkat dari tahun ke tahun. Dunia pendidikan sekarang ini bukan hanya merupakan tanggung jawab pemerintah tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak tidak terkecuali masyarakat yang dalam hal ini APBD sesuai dengan UndangRp. 232.902.085.645,45 Undang Rp. 355.092.983.500,00 No. 20 Rp. 441.777.142.708,00 Tahun Rp. 524.469.500.118,00 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 46 dan 47 kelangkaan dana untuk pembiayaan pendidikan ternyata dapat ditanggulangi oleh 217
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 dukungan swasta dan masyarakat dengan menyediakan kesempatan berbagai jenjang pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan oleh pihak swasta dimungkinkan tumbuh dengan memanfaatkan permintaan potensial (potential demand) yang tidak seluruhnya dapat diakomodasi oleh lembaga-lembaga yang disediakan pihak pemerintah. Peran serta masyarakat dalam pembiayaan pendidikan sangat diharapkan guna mendukung kelancaran biaya operasional sekolah, karena anggaran yang dianggarkan oleh pemerintah dirasakan masih kurang bagi terlaksananya pendidikan yang bermutu. Untuk itu keterlibatan masyarakat sangat penting, wujud daripada keterlibatan masyarakat dalam hal ini adalah dengan adanya komite sekolah yang terdiri dari unsur masyarakat yang peduli terhadap kelangsungan pendidikan serta orang tua murid. Untuk tingkat kabupaten dikenal dengan nama dewan pendidikan. Komite sekolah dan sekolah bahu-membahu dan saling bekerjasama dalam memajukan pendidikan disekolah. Komite sekolah sebagai stakeholders mewadahi dan meningkatkan partisipasi para stakeholder pendidikan pada tingkat sekolah untuk turut serta merumuskan, menetapkan melaksanakan dan memonitor pelaksanaan kebijakan sekolah dan pertanggunjawaban yang terfokus pada kualitas pelayanan terhadap peserta didik secara proporsional dan terbuka serta mewadahi partisipasi stakeholder untuk turut serta dalam manajamen sekolah sesuai dengan peran dan fungsinya berkenaan dengan perencanaan pelaksanaan evaluasi program sekolah secara proporsional. Aturan tentang Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan ini diatur dalam Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 044/U/2002 tanggal 2 April 2002. Dalam kepmendiknas tersebut disebutkan bahwa peran yang harus diemban oleh dewan pendidikan dan komite sekolah adalah (1) pemberi pertimbangan dalam pengambilan keputusan, (2) fungsi pengendalian dan akuntabilitas publik, (3) fungsi pendukungan (support), dan (4) mediator antar sekolah dan masyarakat.
Sedangkan tugas daripada Komite Sekolah adalah menyelenggarakan rapat-rapat komite sesuai dengan program yang ditetapkan bersama-sama sekolah merumuskan dan menetapkan visi misi menyusun standar pembelajaran, menyusun rencana strategis pengembangan sekolah, menyusun dan menetapkan rencana program tahunan serta mengembangakn potensi kearah prestasi unggulan membahas dan menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan, menghimpun, menggali dan mengelola sumber dana dan kontribusi lainnya baik materil maupun non materil dari masyarakat. Dengan tugas yang sedemikian rupa dari beberapa sekolah yang dijadikan lokasi penelitian menunjukkan kurang maksimalnya kinerja daripada komite sekolah dalam menghimpun dana dari masyarakat dan rendahnya perhatian masyarakat terhadap pendidikan. Dengan demikian, dengan masih kurangnya pemahaman masyarakat terhadap tanggung jawab pembiayaan pendidikan di daerah maka pemerintah dalam hal ini Dinas Pendidikan, Dewan Pendidikan serta Komite Sekolah harus bekerja keras untuk bisa meyakinkan masyarakat akan pentingnya tanggung jawab bersama terhadap pendidikan.
3.2.3. Sumber pembiayaan dari Sektor Swasta Pihak swasta juga mempunyai andal yang besar terhadap pembiayaan pendidikan di daerah, dengan membantu sekolah-sekolah atau pemerintah daerah dalam meningkatkan kelancaran proses belajar mengajar. Sekolahsekolah yang ada dapat bekerjasama langsung dengan beberapa perusahan apakah itu milik swasta atau BUMN. Dalam hal ini dengan adanya kerjasama yang terjalin antara kedua belah pihak memberikan nilai posisi terhadap peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, peran serta dari pada pihak ketiga dirasakan cukup membantu sekali dalam melancarkan proses belajar mengajar dan peningkatan mutu pendidikan. Kepedulian swasta/individu terhadap pendidikan di daerah telah membawa 218
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 atmosfer yang cukup baik terhadap perkembangan pendidikan di daerah sehingga pemerintah bukan lagi menjadi satu-satunya sumber dalam membiayai pendidikan. Peran aktif swasta/individu terhadap sektor pendidikan di daerah tidak terlepas dari kreativitas pemerintah daerah dan dan political will kepala daerah serta semua pihak yang terkait dengan pendidikan dalam melakukan kerjasama dengan pihak swasta. Dengan komitmen yang tinggi dari pemerintah daerah maka pendidikan di daerah akan maju dan mampu menciptakan manusia yang unggul. 3.3. Alokasi Pembiayaan Pendidikan 3.3.1. Anggaran pembangunan dan rutin untuk sektor pendidikan
Manajemen pendidikan belum berjalan secara efektif dan efisien. Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikan di masing-masing wilayah sejak penyusunan rencana, penentuan prioritas program serta mobilisasi sumberdaya untuk merealisasikan rencana yang telah dirumuskan. Sejalan dengan itu, otonomi pendidikan telah pula dilaksanakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi yang memberikan wewenang yang lebih luas pada satuan pendidikan untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki termasuk mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Dengan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan diharapkan daerah dan satuan pendidikan lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Namun demikian pelaksanaan desentralisasi dan otonomi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan karena belum mantapnya pembagian peran dan tanggungjawab masingmasing tingkat pemerintahan termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan, serta belum terlaksananya standar pelayanan minimal yang seharusnya ditetapkan oleh masingmasing kabupaten/kota dengan acuan umum dari
pemerintah pusat. Disamping itu efektivitas peran serta masyarakat dalam pembangunan pendidikan termasuk peran dan fungsi dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah juga belum optimal. Sebagai daerah yang menempatkan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan, Kabupaten Solok mulai berbenah diri dengan memperhatikan anggaran bidang pendidikan. Setiap tahunnya mulai tahun 2005 sampai tahun 2008, anggaran pendidikan di Kabuapeten Solok meningkat, bahkan untuk pengesahan APBD Tahun 2009 melebihi angka 25 persen. Dengan memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan terutama dengan meningkatkan anggaran sektor pendidikan diharapkan pendidikan di daerah akan lebih meningkat baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas. Untuk Dinas pendidikan sebagai leading sector pendidikan di daerah tentu saja harus berperan maksimal dengan anggaran yang ada, berikut ini adalah anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten Solok Tahun 2008. Untuk Kabupaten Solok, Anggaran Dinas Pendidikan merupakan anggaran terbesar kedua setelah anggaran dari Dinas Pekerjaan Umum. Melihat ini semua maka sebenarnya terbuka peluang yang besar bagi dinas untuk membuat program-program yang dapat meningkatkan kualitas maupun kuantitas pendidikan di daerah. Namun dengan melihat rekapitulasi daftar anggaran tersebut masih menunjukkan bahwa pembiayaan program-program yang ada masih bersifat temporal atau masih bersifat pengeluaran rutin berupa pengembangan kelembagaan dari dinas itu sendiri, sedangkan untuk operasional sekolah masih mengandalkan dana dari pusat yang sudah dianggarkan oleh pemerintah pusat dalam APBN, sehingga pemerintah daerah tinggal menjalankan saja. Denga demikian pos pengeluaran pendidikan terkesan menumpangkan saja anggaran yang ada dari pemerintah pusat ke pada anggaran yang dibuat oleh pemerintah daerah tanpa adanya improvisasi dan kreativitas pemerintah daerah untuk membuat program-program yang lebih 219
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 bersifat operasional guna peningkatan pendidikan dasar dan menengah di Kabupaten Solok.
Pemerintah dan pemerintah daerah telah menyediakan beasiswa bagi anak-anak yang kurang mampu dan anak-anak yang berprestasi. Besarnya beasiswa beasiswa beragam untuk setiap jenjang pendidikan. Tabel 3. Daftar Anggaran Belanja Untuk tahun 2008 pemerintah daerah telah Langsung Dinas Pendidikan Kabupaten menganggarkan beasiswa bagi siswa yang Solok Tahun 2008 berprestasi, No Kegiatan Anggaran (Rp) beasiswa wajar wajar 9, beasiswa 1 Program Pelayanan Administrasi Perkantoran 943.368.333 anak miskin dan beberapa 2 Program peningkatan pengembangan laporan 79.999.925 beasiswa lainnya sehingga angka putus sekolah dan 3 Program manajemen pelayanan pendidikan 49.999.875 mutu pendidikan 4 Program peningkatan sarana dan prasarana 562.600.000 dapat di aparatur tingkatkan. Berikut ini dapat 5 Program peningkatan kapasitas sumber daya 160.000.050 dilihat rincian aparatur beasiswa yang 6 Program peningkatan mutu pendidik dan tenaga 530.000.000 diberikan oleh kependidikan pemerintah kepada siswa:
7
Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
25.387.413.765
8
Program pendidikan anak usia dini
370.000.000
9
Program pendidikan menengah
5.287.495.000
10
Program Pendidikan Non Formal
160.000.000
Sumber: Ringkasan APBD Kabupaten Solok Tahun 2008 3.3.2. Beasiswa pendidikan Dengan dijadikan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan guna meningkatkan sumber daya manusia di masa akan datang, maka berbagai pihak terus memperhatikan persoalan pendidikan. Hal yang sangat perlu dilakukan daerah dalam hal ini adalah bagaimana supaya angka putus sekolah dapat dikurangi dan meningkatnya angka partisipasi Kasar dan angka Partisipasi Murni siswa. Berbagai gebrakan telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi angka putus sekolah dalam rangka menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Anak-anak yang kurang mampu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah di semua jenjang pendidikan.
Tabel 4. Jumlah Alokasi Anggaran Beasiswa Kabupaten Solok Tahun 2008 No Keterangan Jumlah (dalam Rupiah) 1 Penyediaan 750.000.000,beasiswa retrieval untuk anak putus sekolah 2 Beasiswa berprestasi 721.800.000,3 Beasiswa wajar 9 721.800.000,tahun 4 Pemberian beasiswa 442.800.000,anak miskin SD 14.760 ob x Rp. 30.000,5 Pemberian beasiswa 93.600.000,SD 2.340 ob x Rp. 220
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 40.000,6 Pemberian beasiswa 117.000.000,anak miskin SMP 2.340 ob x Rp. 50.000,7 Pemberian beasiswa 68.400.000,SMP 1.140 ob x Rp. 60.000,8 Penyediaan beasiswa 264.680.000,bagi keluarga tidak mampu 9 Belanja beasiswa 239.520.000,untuk siswa berprestasi 10 Belanja beasiswa 4.119.840.000,pendidikan menengah 11 beasiswa perguruan 120.000.000,tinggi (beasiswa mahasiswa) 1.200 ob x Rp. 100.000,Sumber: Laporan APBD Kabupaten SolokTahun 2008 Dengan melihat tabel di atas komitmen pemerintah terhadap pendidikan cukup tinggi, ini dapat terlihat dari sekian banyaknya beasiswa yang diberikan kepada siswa (sekolah). Namun dengan beasiswa yang ada belum sepenuhnya mampu membantu siswa dalam proses belajar mengajar, karena jumlah beasiswa yang diterima oleh masing-masing siswa jumlahnya sedikit dalam artian dengan beasiswa yang diterima siswa masih perlu memikirkan biaya lain seperti buku-buku pelajaran yang setiap tahunnya bisa bergantiganti sesuai dengan kebijakan perubahan kurikulum pendidikan. Dengan demikian, perhatian pemerintah daerah terhadap siswa-siswa miskin dan berprestasi perlu didukung oleh pengalokasian anggaran yang cukup untuk pemberian beasiswa pendidikan kepada siswa yang dimaksud, sehingga diharapkan dengan adanya pemberian beasiswa tersebut angka putus sekolah dapat dikurangi dan peningkatan mutu serta kualitas siswa dapat di tingkatkan.
Dengan adanya beasiswa pendidikan yang diberikan kepada siswa-siswa yang tidak mampu yang bersumber dari APBN ataupun APBD menunjukkan bahwasanya Kabupaten Solok dalam menyusun anggaran sudah mempedulikan aspirasi masyarakat miskin (pro poor), sehingga masyarakat yang miskin atau tidak mampu menjadi terbantu dengan adanya beasiswa pendidikan untuk anakanaknya yang akan bersekolah. Bantuan ini merupakan bentuk peduli pemerintah daerah dalam mengurus masyarakat miskin yang termaginalkan oleh keadaan ekonomi mereka.
4.
Kesimpulan Dan Saran
Sektor pendidikan yang merupakan pilar utama dalam pembangunan Kabupaten Solok kedepan hendaknya mendapat perhatian yang serius terutama dari segi pembiayaan pendidikan yang dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Untuk itu pemerintah dan semua stakeholders pendidikan harus proaktif dalam menciptakan pendidikan yang murah dan bermutu yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, telah memberikan peluang kepada Kabupaten Solok untuk lebih meningkatkan pelayanan dasar kepada masyarakat. Di bidang pendidikan Pemerintah Kabupaten berusaha untuk memberikan pelayanan yang maksimal dengan menempatkan pendidikan sebagai pilar utama dalam pembangunan, ini berarti pemerintah mempunyai itikad baik memajukan pendidikan di daerah ini. Dengan alokasi anggaran pendidikan yang melebihi 20% diharapkan kualitas pendidikan meningkat dan wajib belajar Sembilan tahun dapat dituntaskan. Dengan demikian dari penelitian dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut ini; 1. Setelah diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda. Konsekwensinya, tidak ada lagi 221
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemda, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprop. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk mengimplementasikan programprogramnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota. 2. Dari regulasi pembiayaan pendidikan yang secara jelas mengatur tentang pembiayaan pendidikan di Kabupaten Solok belum ada, namun walaupun demikian kondisi di lapangan menunjukkan untuk pendidikan dasar (SD) di bebaskan dari segala pungutan, sedangkan untuk tingkat SLTP dan SLTA masih dilakukan pungutan oleh sekolah karena dana Bantuan Operasional Sekolah dari pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah (BOS SLTA) masih belum cukup untuk membiayai operasional sekolah. Sehingga pungutan tidak dilarang sejauh tidak memberatkan orang tua dan mendapat persetujuan oleh wali murid dalam rapat paripurna wali murid. 3. Mekanisme penetapan anggaran pendidikan sudah dilaksanakan secara bottom-up dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan dengan cara musrenbang
4. Kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam pembiayaan pendidikan masih diprioritaskan untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun dengan memberikan prioritas terhadap daerah-daerah terpencil dan masyarakat kurang mampu 5. Sumber pembiayaan pendidikan masih mengandalkan dana bantuan dari pemerintah pusat (BOS+DAU) dengan ditambah dari dana-dana bantuan atau sumbangan dari masyarakat/perantau yang jumlahnya cukup membantu daerah dalam pembangunan bidang pendidikan. Namun danadana bantuan masyarakat tersebut tidak secara simultan dapat membiayai pendidikan karena jumlahnya tidak tetap dan fluktuatif. 6. Alokasi pengeluaran pendidikan masih menempatkan pengeluaran rutin dan administratif dalam pos yang cukup besar, sedangkan pos untuk operasional pendidikan pemerintah daerah “menumpangkan” saja pada dana bantuan dari pemerintah pusat, sehingga terkesan pemerintah daerah tidak kreatif dalam memanfaatkan dana yang ada dan kurang berusaha mencari sumber-sumber dana yang lainnya.
Dari beberapa kesimpulan di atas dapat dirumuskan rekomendasi sebagai berikut: 1. Perlu adanya mekanisme pembiayaan yang jelas, berupa standar biaya pendidikan dasar dan menengah yang harus dikeluarkan oleh calon siswa yang akan masuk suatu sekolah negeri. Sehingga pungutan-pungutan yang nantinya akan memberatkan siswa dapat diantisipasi sedini mungkin sehingga semua masyarakat dapat 222
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
2.
3.
4.
5.
sekolah tidak dibedakan status sosial ekonominya. Standar pembiayaan ini penting mengingat kedepannya nanti pemerintah bisa memperkirakan berapa biaya yang harus dianggarkan oleh pemerintah daerah untuk membiayai seluruh jenjang pendidikan yang ada di daerah, hal ini dimaksudkan supaya pemerintah bisa membuat suatu kebijakan pendidikan yang murah atau gratis bagi semua jenjang pendidikan. Perlu adanya kerjasama yang lebih konkrit lagi dengan dunia usaha guna membantu dalam hal pembiayaan pendidikan, berupa beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu, yang selama sebagian besar dananya masih bersumber dari pemerintah melalui APBN dan APBD. Perlu adanya peran serta aktif masyarakat dalam mencari danadana yang terkait dengan pembiayaan pendidikan. Komite sekolah sebagai perpanjangan tangan orang tua murid hendaknya memaksimalkan kinerjanya untuk mencari dana guna kemajuan sekolah, dewan sekolah diharapkan dapat bekerja secara optimal dalam menggali dana-dana dari pihak-pihak ketiga. Mengingat pendidikan merupakan sektor yang penting bagi pembangunan daerah, sudah seharusnya peningkatan anggaran pendidikan setiap tahunnya dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin, sehingga dikemudian hari kabupaten Solok dapat membuat kebijakan pendidikan gratis mulai dari SD sampai SLTP (wajar Sembilan tahun) bahkan sampai tingkat SLTA Persentase dana pendidikan, yang berkaitan dengan biaya
operasional pendidikan agar lebih ditingkatkan
DAFTAR PUSTAKA Chandler, R.C, Q. J.C Palano, 1988, The Public Administration Dictionary, Second Edition, Santa Barbara, CA, ABC-CLIO. INC Gusmal,
2007, Pendidikan Tanpa Padang: Padang Media,
Akhir,
Halim, Abdul, 2001, Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah, Yogyakarta: UUP AMP YKPN,
Hudayana, Dadang, 2007, Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pendidikan dalam Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (Studi Deskriptif Peningkatan Pelayanan Wajib Belajar Pendidikan Dasar di Kabupaten Ogan Komering Ulu Propinsi Sumatera Selatan), Tesis S2 Program Studi Magister Administrasi Publik, Konsentrasi Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan, Yogyakarta Keban,
Yeremias, 2008, Enam Dimensi Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Edisi ke 2, Yogyakarta: Gava Media, Moleong, J lexy (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: P.T. Remaja Rosdakya. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed), 1995, Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES Suparno, Paul dalam Widodo Alexander Jatmiko dan Fandy Tjiptono (ed), 2002, Pendidikan Berbasis Kompetensi, Jakarta: Universitas Atma Jaya
Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), Jakarta: PSAP Muhammadiyah 223
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho, 2008, Kebijakan Pendidikan, Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Wasitohadi, 2008, Implikasi Paradigma Baru Pendidikan Terhadap Model Perencanaan Pendidikan Dalam Rangka Implementasi Kebijakan Pendidikan Di Era Otonomi Daerah, disampaikan Symposium Simposium Tahunan Penelitian Pendidikan 2008 di Jakarta, 11-14 Agustus 2008 Widodo, Erna dan Muhktar, 2000, Konstruksi ke arah Penelitian Deskriptif, Yogyakarta: Auyrouz
Winarno, Budi, 2007, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Yogyakarta: Media Pressindo
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi (ed), Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES,1995 hal 263
Depdiknas. (2001). Desentralisasi Pendidikan. Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan Biodata Penulis Roni Ekha Putera, S.IP., MPA, Lahir di Panyakalan, Solok, Sumatera Barat, 3 Mei 19981. Alumni Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Tahun 2003. Gelar M.P.A diraih dari Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIPOL UGM Tahun 2009. Tahun 2005 sampai sekarang adalah Staf Pengajar Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat. Minat khusus pada Kebijakan Publik, Manajemen Publik, Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
224
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
PARADIGMA BARU PELAYANAN KESEHATAN (Suatu Kajian Kesiapan Daerah Menghadapi Desentralisasi Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010) Oleh: Haeruddin, Dosen FISIP Univ. Sulawesi Tenggara Kendari HP: 081316730101/081323203789 Abstraksi
Health policy that all this is that centralized policy is now beginning decentralized, so that the regions have considerable authority in managing the health sector. Meanwhile, strategic issues in health toward Healthy Indonesia 2010 is cross-sectoral collaboration, community empowerment, quality and affordability of health care, and health financing resources. In order to achieve the goal of health development toward Healthy Indonesia 2010 some of the policies pursued strategies, among others, is the increase in cross-sector cooperation; increase in behavior, community and private partnerships, improving health efforts, and increase health resources. There are vision of health development toward Healthy Indonesia 2010 is the community, nation, and the country was marked by the population live in the environment and health behavior, has the ability to reach out to quality health services in a fair and equitable, as well as having the highest level of health throughout Indonesia . Meanwhile, one of the missions of health development is to encourage people to live healthy independence. When linked with the vision and mission of health development toward Healthy Indonesia 2010, the policy of decentralization can be regarded as an effort that leads the acceleration of these ideals, because of the nature of the decentralization of health development is the availability of health services in a fair and equitable for all citizens. This is possible because the area was given the flexibility to take care of the health regions. Health development programs are no longer top-down but it really comes from the aspirations of the community (region). With decentralization, local government has authority to formulate their own health systems, determine the health development budget, selecting development priorities, utilization of health resources, determine the rate of health services, and making policy in the area of health financing systems. Keywords: Decentralization of Health, Health Services and Healthy Indonesia
A. Latar Belakang Perubahan struktur organisasi adalah merupakan salah satu kunci reformasi administrasi publik dalam rangka meningkatkan mutu, efektivitas dan efisiensi pelayanan publik di era desentralisasi. Dasar hukum perubahan struktur organisasi kesehatan tersebut adalah Undang-Undang (UU) No. 22/1999 tentang pemerintahan
daerah yang kemudian diganti dengan UU No. 32/2004, Keputusan Presiden (Keppres) No. 40/2001 tentang Pedoman Kelembagaan dan Pengelolaan Rumah Sakit Daerah (RSD) serta Peraturan Pemerintah (PP) No.8/2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah sebagai peraturan pelaksana dari UU No. 22/1999. Keluarnya undang-undang tersebut membawa implikasi yang luas terhadap 225
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pelaksanaan tugas dan wewenang pihak penyelenggara pemerintah Kabupaten dan Kota (eksekutif dan legislatif). Di satu sisi, pihak eksekutif sebagai pelaksana kebijakan akan memiliki tugas dan wewenang yang semakin besar. Di sisi lain, pihak legislatif (DPRD) dituntut untuk mengoptimalkan pengawasan pelaksanaan kebijakan oleh eksekutif. Beberapa kekhawatiran yang berkembang di masyarakat sebagai akibat dari kebijakan otonomi daerah, antara lain adalah munculnya raja-raja kecil di daerah, pemindahan korupsi dari pusat ke daerah, dan DPRD akan bertindak sebagai wasit ‘tegas’ yang sewaktuwaktu dapat menjatuhkan Bupati/Walikota. Indikasi ke arah tersebut telah ditemukan oleh Suryadharma, dkk (2002), yang menunjukkan bahwa pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menginginkan kekuasaan yang lebih luas daripada yang ditetapkan undang-undang. Desentralisasi pembangunan kesehatan dimaksudkan untuk lebih mengoptimalkan pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan sistem desentralistik diharapkan program pembangunan kesehatan lebih efektif dan efisien serta menyentuh kepada kebutuhan kesehatan riil masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena dengan sistem desentralistik rantai birokrasi akan diperpendek. Selain itu, sistem desentralistik juga memberi kewenangan bagi daerah untuk menentukan sendiri program serta pengalokasian dana pembangunan kesehatan di daerahnya. Hal ini berbeda dengan sistem sentralistik yang mekanisme penyusunan program dan pengalokasian dana pembangunannya yang top-down. Secara tidak langsung sistem sentralistik menganggap masalah kesehatan di seluruh Indonesia sama, padahal kenyataannya tidak dan bahkan sangat berbeda dari daerah yang satu ke daerah lain. Dengan sistem desentralisasik diharapkan pembangunan kesehatan dilakukan dengan mempertimbangkan masalah dan kebutuhan kesehatan dan potensi
setempat. Dengan sistem desentralistik, juga, diharapkan adanya keterlibatan masyarakat (community involvement) yang besar dalam pembangunan kesehatan di daerahnya. Dengan cara ini masyarakat tidak lagi sebagai objek pembangunan tetapi akan berperan sebagai subjek pembangunan. Hakikat desentralisasi kesehatan ini juga sesuai dengan paradigma sehat yang ditetapkan sebagai model pembangunan kesehatan di Indonesia, yaitu pembangunan kesehatan yang mengutamakan upaya-upaya promotif dan preventif tanpa mengabaikan upaya-upaya kuratif dan rehabilitatif (Depkes, 2001). Paradigma sehat merupakan modal pembangunan kesehatan yang dalam jangka panjang akan mampu mendorong masyarakat untuk bersikap dan bertindak mandiri dalam menjaga kesehatannya sendiri melalui kesadaran terhadap pentingnya upaya-upaya kesehatan yang bersifat promotif dan preventif. Salah satu misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat. Untuk dapat terselenggaranya misi tersebut ditetapkanlah 4 (empat) strategi pembangunan kesehatan, yaitu; 1. pembangunan berwawasan kesehatan, 2. profesionalisme, 3. jaminan pemeliharaan kesehatan, dan 4. desentralisasi (Depkes, 1999). Oleh karena itu, untuk menjamin terlaksananya pembangunan kesehatan yang digariskan dalam kebijakan desentralisasi, paradigma sehat, dan Indonesia Sehat 2010, semua kebijakan pembangunan yang sedang dan atau akan ditetapkan hendaknya memiliki wawasan kesehatan. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya agar semua penentu kebijakan memahami hakikat pembangunan berwawasan kesehatan. Selain itu perlu dilakukanpenjabaran konsep tersebut ke dalam operasionalnya berupa sistem kesehatan serta dirumuskan indikator dan ukuran-ukuran untuk menilainya.
226
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 B. Permasalahan Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adanya kebijakan desentralisasi dalam bidang kesehatan akan membawa implikasi yang luas, terutama, terhadap pemerintah daerah sebagai pelaksana kebijakan dan terhadap masyarakat sebagai pelaku pembangunan dan yang akan merasakan hasil pembangunan. Implikasi tersebut tidak saja positif tetapi juga, mungkin, negatif. Hal ini dapat dimengerti karena, di satu sisi, selama ini pihak pelaksana pembangunan kesehatan di daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota) sudah terbiasa dengan kebijakan yang digariskan secara top-down. Sementara itu, mereka tidak terbiasa menyusun program kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi setempat. Di sisi lain, masyarakat yang selama ini dianggap sebagai objek pembangunan, dengan adanya desentralisasi kesehatan, akan turut serta menenetukan apa yang menurut mereka baik dan sesuai untuk dilakukan. Hal ini tidak mudah, tidak saja karena selama ini masyarakat jarang dilibatkan dalam setiap program pembangunan, tetapi juga adanya ‘stigmatisasi negatif’ masyarakat terhadap pemerintah, yang menyebabkan mereka sulit untuk dilibatkan. Berdasarkan uraian di atas beberapa hal yang patut dikaji dalam upaya meningkatkan kesiapan daerah dalam melaksanakan pembangunan kesehatan pada era desentralisasi kesehatan adalah: 1. Dampak desentralisasi kesehatan terhadap pelaksanaan program kesehatan di daerah oleh penyelenggara pemerintaan di Kabupaten/Kota.
2. Bagaimana meningkatkan kesiapan masyarakat untuk turut serta mendukung kebijakan desentralisasi kesehatan?
3. Bagimana kesiapan sarana dan prasarana daerah Kabupaten/Kota untuk mendukung kebijakan desentralisasi kesehatan? 4. Apakah penyusunan program pembangunan kesehatan daerah mempertimbangkan potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam daerah? C. Tujuan Berhasil tidaknya pelaksanaan kebijakan desentralisasi pembangunan kesehatan sangat bergantung pada kesiapan (dalam arti luas) daerah sebagai daerah otonom, maka selanjutnya perlu diuraikan sumbangan pemikiran mengenai beberapa upaya yang perlu dilakukan oleh penyelenggara pemerintah dan masyarakat daerah untuk menghadapi era desentralisasi pembangunan kesehatan. Dalam hal ini dibahas mengenai bagaimana penyelenggara pemerintah daerah memahami hakikat desentralisasi kesehatan, bagaimana menentukan skala prioritas, bagaimana menganalisis potensi setempat, bagaimana melibatkan masyarakat, bagaimana mengoptimalkan sarana dan prasarana yang ada, dan bagaimana melibatkan sektor 227
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 (instansi) lain dalam pembangunan kesehatan di daerah. Pembahasan akan dimulai dari tinjauan kepustakaan mengenai kebijakan desentralisasi pembangunan bidang kesehatan (terutama mengenai tugas, wewenang, dan peran daerah); konsep paradigma sehat; dan visi, misi, dan kebijakan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010.
II. TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Pengertian Desentralisasi Desentralisasi dalam arti umum didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, atau pembagian kekuasaan dalam perencanaan pemerintahan, manajemen dan pengambilan keputusan dari tingkat nasional ke tingkat daerah (Rondinelli, 1981). Secara lebih umum desentralisasi didefinisikan sebagai pemindahan kewenangan, kekuasaan, perencanaan pemerintahan, dan pengambilan keputusan dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah (Mills, dkk, 1989). Dalam prakteknya, terdapat empat jenis desentralisasi yang umum dijumpai, yaitu dekonsentrasi, devolusi, delegasi, dan privatisasi (Rondinelli, 1983). Istilah dekonsentrasi dipakai untuk menggambarkan pemindahan beberapa kekuasaan administratif ke kantor-kantor daerah dari pemerintah pusat. Dalam prakteknya, sebelum era otonomi daerah, Indonesia sudah menerapkan dekonsentrasi, yaitu dengan adanya Kantor Wilayah Departemen di provinsi. Karena dekonsentrasi melibatkan pemindahan fungsi administratif, bukan fungsi politis, maka dekonsentrasi merupakan bentuk desentralisasi yang paling lemah. Dalam hal ini, Kantor Wilayah Deparetemen hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, karena secara riil tanggung jawab pemerintahan tetap berada pada pemerintah pusat. Devolusi merupakan kebijakan untuk membentuk atau memperkuat pemerintahan tingkat sub-nasional (pemerintah daerah) yang benar-benar independen dari tingkat pusat dalam beberapa fungsi secara jelas. Otoritas daerah mempunyai status hukum yang jelas, sejumlah fungsi yang harus
dikerjakan, dan kewenangan untuk mencari sumber pembiayaan serta pembelanjaannya. Pemerintah Indonesia, secara ’setengah hati’ telah mempraktekkan devolusi, yaitu dengan adanya Kantor Dinas di Kabupaten/Kota. Walaupun pihak Dinas Kabupaten/Kota diberi kewenangan untuk mencari sumber dana sendiri, namun dalam prakteknya bagian terbesar pembiayaannya masih berasal dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat, secara kuat, masih memegang kewenangan dalam hal penentuan kebijakan pembangunan di daerah. Delegasi berkaitan dengan pemindahan tanggungjawab manajerial untuk tugas-tugas tertentu ke organisasi-organisasi tertentu di luar stuktur pemerintah pusat, tetapi pelaksanaannya, secara tidak langsung, masih dikontrol pemerintah pusat. Pemerintah pusat memandang pendelegasian tanggungjawab sebagai suatu cara untuk menghindari ketidakefisienan pengelolaan, penghematan biaya pengawasan, dan untuk menyusun suatu organisasi yang responsif dan luwes. Tanggungjawab terakhir masih di tangan pemerintah pusat, tetapi pelaksananya mempunyai kewenangan luas untuk melaksanakan tugas-tugas kewenangan dan kewajiban yang sudah ditentukan. Pengadaan dokter pegawai tidak tetap (dokter PTT) adalah contoh delegasi di Indonesia. Pengadaan dokter PTT merupakan kebijakan pemerintah pusat (termasuk penggajian), sedangkan pengelolaannya (penugasan) merupakan wewenang pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan. Privatisasi merupakan pemindahan tugas-tugas pengelolaan ke organisasiorganisasi sukarelawan atau perusahaan privat, baik yang mencari untung maupun tidak. Dalam bidang kesehatan, beberapa jenis pelayanan telah diserahkan kepada perusahaan swasata, seperti pengelolaan Rumah Sakit dan perusahaan farmasi. Namun penting untuk diketahui bahwa privatisasi tidak membuat pemerintah lepas beban dari pengelolaan pelayanan kesehatan. Sebuah badan pengatur (misalnya Badan Pengawasan Obat dan Makanan) dibutuhkan untuk mengawasi penyediaan dan mutu obat dan makanan. Perbedaan antara keempat jenis 228
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 desentralisasi tersebut di atas pada prinsipnya berdasar atas status hukumnya (Mills, dkk, 1989). Selanjutnya, salah satu jenis desentralisasi di Negara tertentu dapat lebih menonjol daripada jenis yang lainnya, atau bahkan saling tumpang tindih. 2.2 Desentralisasi Sistem Kesehatan di Indonesia Desentralisasi kesehatan di Indonesia secara lebih jelas dilaksanakan setelah dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999, PP No. 25 tahun 2000, serta SE Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000. UU No. 22 tahun 1999 pasal 1 ayat h menyebutkan “otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat (termasuk bidang kesehatan), menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Menurut aturan perundangundangan dan dalam prakteknya, desentralisasi bidang kesehatan di Indonesia menganut semua jenis desentralisasi (dekonsentrasi, devolusi, delegasi, dan privatisasi). Hal ini terlihat dari masih adanya kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasikan di daerah provinsi melalui Dinas Kesehatan Provinsi. Selain itu, berdasarkan SE Menkes/E/VII/2000 disebutkan beberapa tugas yang mungkin tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dapat diserahkan ke tingkat yang lebih tinggi. Upaya privatisasi pelayanan kesehatan dan perusahaan pendukung pelayanan kesehatan juga sedang giat dilakukan. Kandungan makna substansial dari desentralisasi adalah bagaimana menyejahterakan dan menciptakan keadilan bagi kehidupan masyarakat di daerah (Tagela, 2001). Selanjutnya, Simangunsong (2001) mengatakan bahwa inti dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terdapatnya keluwesan pemerintah daerah untuk melaksanakanan pemerintahan sendiri atas prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan daerahnya. Dalam bidang kesehatan, implikasi desentralisasi
pembangunan kesehatan, antara lain, adalah sebagai berikut: 1. Terwujudnya pembangunan kesehatan yang demokratis yangberdasarkan atas aspirasi masyarakat. 2. Pemerataan pembangunan dan pelayanan kesehatan, 3. Optimalisasi potensi pembangunan kesehatan di daerah yang selama ini belum tergarap, 4. Memacu sikap inisiatif dan kreatif aparatur pemerintah daerah yang selama ini hanya mengacu pada petunjuk atasan, 5. Menumbuhkembangkan pola kemandirian pelayanan kesehatan (termasuk pembiayaan kesehatan) tanpa mengabaikan peran serta sektor lain. Kesemuanya ini bermuara pada peneingkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. 2.3
Fungsi dan Kewenangan Daerah Kabupaten/Kota dalam Desentralisasi Kesehatan
Kewenangan Desentralisasi Kesehatan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota diatur melalui PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 No. 10 bidang kesehatan. Selanjutnya, kewenangan desentralisasi dan dekonsentrasi daerah Kabupaten/Kota dijabarkan dalam SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000. Tabel 1 dan Tabel 2, berturut-turut, memuat kewenangan dekonsentrasi dan desentralisasi Provinsi dan kewenangan desentralisasi daerah Kabupaten/Kota.
229
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Sumber: 1. PP No. 25 tahun 2000 pasal 2 No. 10 Bidang Keehatan 2. SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000 Selanjutnya, berdasarkan PP No. 25 tahun 2000 pasal 3 ayat 3 disebutkan selain kewenangan yang dimaksud dalam pasal 1 dan pelayanan minimal yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota, Provinsi dapat melaksanakan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Ayat 4 menyebutkan kewenangan Kabupaten/Kota pada bidang tertentu dan bagian tertentu dari kewenangan wajib dapat dilaksanakan oleh Provinsi dengan kesepekatan antar Kabupate/Kota dan Provinsi. Pasal 3 ayat 3 dan 4 ini member peluang pada bertambahnya kewenangan Provinsi atau berkurangnya kewenangan Kabupaten/Kota, tergantung kepada kesiapan sumberdaya Kabupaten/Kota. 2.4 Desentralisasi Kesehatan Indonesia Sehat 2010
Menuju
Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) tahun 1948 disepakati, antara lain, bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggitingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut, dan tingkat sosial ekonominya. Inilah salah satu yang menjiwai penyusunan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 yang berdasarkan atas perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata, dan pengutamaan manfaat. Sementara itu, isu strategis bidang kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah kerja sama lintas sektor, pemberdayaan masyarakat, mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, dan sumber daya pembiayaan kesehatan. Untuk dapat mencapai tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 beberapa kebijakan strategi yang ditempuh, antara lain, adalah peningkatan kerjasama lintas sektor; peningkatan perilaku, pemberdayaan masyarakat dan kemitraan swasta; peningkatan upaya kesehatan; dan peningkatan sumber daya kesehatan (Depkes, 1999). Visi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah masyarakat, bangsa, dan negara yang ditandai dengan oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan perilaku hidup sehat, memiliki kemampuan 230
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan setinggi-tingginya diseluruh Indonesia. Sementara itu, salah satu misi pembangunan kesehatan adalah mendorong kemandirian masyarakat untuk hidup sehat (Depkes, 1999).
desentralisasi pembangunan kesehatan adalah tersedianya pelayanan kesehatan secara adil dan merata bagi seluruh warga negara. Hal tersebut dimungkinkan karena daerah diberi keluwesan untuk mengurus kesehatan daerahnya. Program pembangunan kesehatan tidak lagi top-down tetapi benar-benar berasal dari aspirasi masyarakat (daerah). Dengan desentralisasi, daerah memiliki kewenangan menyusun sistim kesehatannya sendiri, menentukan anggaran pembangunan kesehatan, memilih prioritas pembangunan, mendayagunaka n sumber daya kesehatan, menentukan tarif pelayanan kesehatan, dan membuat kebijakan sistem pembiayaan kesehatan di daerahnya.
Sumber: SE No. 1107/Menkes/E/VII/2000
III.
Bila dikaitkan dengan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010, maka kebijakan desentralisasi dapat dianggap sebagai upaya percepatan menunju cita-cita tersebut, karena hakikat dari
Harus diakui bahwa melaksanakan sesuatu yang relatif baru tentu akan berhadapan dengan berbagai kendala, yang penyelesaiannya membutuhkan waktu yang
KENDALA DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI KESEHATAN
231
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 relatif lama. Salah satu hal yang dapat menghambat pelaksanaan desentralisasi adalah perubahan yang dramatis terhadap birokrasi pemerintahan di daerah. Selama ini masyarakat memandang birokrasi sebagai suatu proses panjang dan berbelit-belit, apabila masyarakat akan menyelesaikan suatu urusan dengan aparatur pemerintah (Widjaya, 2002). Arus desentralisasi semakin menuntut perobahan ‘radikal’ dalam kinerja birokrasi aparatur pemerintahan. Hal ini merupakan kendala, karena peroses perobahannya memerlukan waktu lama dan kemauan kuat dari aparatur pemerintah (termasuk perubahan mental birokrat) yang selama ini sudah ‘mapan’. Menurut Tagela (2001), beberapa kendala umum yang dihadapi daerah (Kabupaten/Kota) dalam melaksanakan desentralisasi adalah terbatasnya sumber daya manusia, sarana dan prasarana, manajemen, sumber daya alam, pendapatan asli daerah, dan mental aparatur yang sudah terbiasa dengan mengikuti petunjuk atasan. Disamping itu, dari sisi masyarakat, posisi masyarakat yang selama ini menjadi objek pembangunan merupakan kendala juga, karena dalam era desentralisasi mereka dituntut untuk banyak terlibat dalam perencanaan dan penyusunan program pembangunan di daerah. Dalam bidang kesehatan, berdasarkan fungsi dan kewenangan daerah Kabupaten /Kota, kesiapan daerah, baik dari pihak penyelenggara pemerintahan (ekesekutif dan legislatif) maupun dari pihak masyarakat, sangat dituntut. Sebagai contoh, pemerintah daerah diharapkan untuk menyusun sistim kesehatan, merencanakan pembangunan kesehatan, melakukan bimbingan dan pengendalian upaya kesehatan, dan pengembangan kerjasama lintas sector (lintas instansi). Selain itu, pemerintah daerah dituntut untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada di daerah dan sedapat mungkin melibatkan masyarakat dalam setiap perencanaan dan penyusunan program pembangunan kesehatan di daerah. Hal ini tidak mudah dilakukan, karena selama ini daerah sudah dininabobokan oleh kebijakan yang ditetapkan dari pusat. Pihak DPRD
diharapkan dapat menghasilkan peraturan daerah yang memberi iklim kondusif terhadap pembangunan kesehatan di daerah. Kebiasaan ego-sektoral yang selama ini terjadi juga merupakan kendala dalam pelaksanaan desentralisasi kesehatan, karena pembangunan kesehatan hanya dapat berhasil jika terdapat kerjasama lintas sektor yang baik. Hal ini sesuai dengan misi Indonesia Sehat 2010.
IV. UPAYA MENINGKATKAN KESIAPAN DAERAH Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi kesehatan tergantung pada kesiapan daerah untuk dapat mengimplementasikannya. Berdasarkan fungsi dan kewenangan yang dimiliki Kabupaten/Kota dan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010, ada tiga elemen masyarakat pokok di daerah yang dituntut kesiapannya dalam memahami hakikat dan tujuan desentralisasi kesehatan sehingga pelaksanaannya di daerah dapat berjalan sesuai dengan harapan. Ketiga elemen tersebut adalah a) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (pihak ekeskutif), b) DPRD Kabupaten/Kota (pihak legislatif), dan c) masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk lebih menyiapkan daerah dalam menghadapi dan melaksanakan desentralisasi kesehatan diuraikan berikut ini.
4.1 Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Hal pertama yang perlu dipahamai oleh pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota beserta jajarannya adalah memahami hakekat dan tujuan kebijakan desentraslisasi kesehatan dan mengintegrasikannya dengan visi dan misi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010. Selain itu, hal lain yang sama pentingnya adalah pemahaman dan fungsi, tugas, dan wewenang Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang ditetapkan oleh peraturan, serta kewenangan pihak instansi yang lebih tinggi (Provinsi dan Pusat). Hal ini diperlukan untuk menghindari kemungkinan adanya saling tidak pengertian antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Provinsi dan Pusat. Untuk tujuan 232
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 ini pemerintah daerah bersama-sama dengan pihak DPRD dapat menyelenggarakan sebuah seminar atau sejenis pelatihan bekenaan dengan fungsi, tugas, dan wewenang daerah untuk menyamakan persepsi mereka terhadap desentralisasi kesehatan. Bekenaan dengan pelaksanaan desentralisasi kesehatan, pihak Pemerintah Daerah,Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan DPRD perlu melaksanakan hal-hal, antara lain, sebagai berikut: a. Menetapkan Sistem Kesehatan Daerah Menurut Hartono (2001), sistem kesehatan adalah semua kegiatan yang secara bersamasama diarahkan untuk mencapai tujuan utama berupa peningkatan dan pemeliharaankesehatan. Tujuan pokok penetapan sistem kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, merespon harapan-harapan dan kebutuhan masyarakat sesuai dengan harga diri dan hak azasinya, dan memberikan perlindungan finansial terhadap kemungkinan dikeluarkannya biaya pelayanan kesehatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem kesehatan memiliki empat fungsi, yaitu pelayanan kesehatan, pembiayaan kesehatan, pengembangan sumber daya kesehatan, dan pengawasan dan pengarahan pembangunan dan pelayanan kesehatan. Penetapan sistem kesehatan dapat dilakukan, salah satunya, dengan menempatkan bidang kesehatan sebagai salah satu ‘pilar’ pembangunan daerah. Hal ini dilakukan, tentunya, dengan melihat potensi dan prioritas masalah di daerah. Penempatan bidang kesehatan sebagai salah satu pilar pembangunan daerah membawa konsekuensi luas terhadap kebijakan pembangunan di daerah. Semua program pembangunan sedapat mungkin diarahkan untuk mendukung program kesehatan. Konsekuensi lain adalah perlunya peningkatan yang signifikan alokasi biaya pembangunan kesehatan dalam Rancangan Anggaran Pembangunan Daerah. Dalam Sistem Kesehatan daerah juga harus ditetapkan visi dan misi pembangunan kesehatan daerah, yang dapat menunjang dan mendukung visi dan misi pembangunan kesehatan nasional.
Visi dan misi ini selanjutnya dimasukkan dalam rencana strategis pembangunan kesehatan daerah. Pihak perencana program dituntut kepekaannya untuk menangkap setiap peluang untuk melakukan perubahan (seizing the opportunity for change) (IVACG, 1992) berdasarkan potensi setempat dan masalah untuk dapat digunakan sebagai dasar penentuan prioritaspembangunan. b. Menata Ulang Struktur Organisasi Kesehatan Dinas Kesehatan Struktur organisasi yang selama ini dianut sudah sangat terbiasa dengan pola sentralistik, sehingga untuk lebih akomodatif dan tanggap terhadap perubahan yang relative sangat berbeda perlu dilakukan penyegaran strukturnya. Dianjurkan untuk pembentukan Sub Dinas baru (sesuai dengan kebutuhan, dan kondisi setempat), misalnya Sub Dinas Penelitian dan Pengembangan. Sub Dinas ini nantinya akan membawahi Seksi Sistem Informasi Kesehatan.
c. Menyusun Program Pembangunan secara Bottom-Up Setelah pihak Kabupaten/Kota menetapakan sistem kesehatan daerahnya, maka hal yang segera perlu dilakukan adalah merencanakan dan menyusun program pembangunan kesehatan secara bottom-up. Dinas Kesehatan diberi kewenangan yang sangat luas untuk merencanakan dan menyususn programnya. Dalam menyusun program kesehatan ini, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus memperhatikan hal-hal berikut: 1) Memilih/menentukan program kesehatan yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat setempat (melakukan identifikasi masalah secara akurat). Hal ini didukung oleh penentuan skala prioritas pembangunan 2) Melakukan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats) Untuk mengidentifikasi dan mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman daerah. Analisis SWOT adalah indentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi program pembangunan (Rangkuti, 2002). Analisis ini didasarkan pada logika 233
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Dengan demikian para perencana strategic harus menganalisis faktor-faktor strategis daerah (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) pada kondisi saat ini. Beberapa faktor strategis yang harus dipertimbangkan, antara lain, adalah sumber daya (alam, manusia), sarana dan prasarana (RS, Puskesmas, Puskesmas Pembantu, Posyandu, dan lain-lain), kondisi geografis, sarana transportasi, jumlah penduduk, dan budaya masyarakat. 3) Mengoptimalkan potensi daerah, melalui pemanfaatan secara bijaksana sumber daya lokal untuk mendukung pembangunan kesehatan. Menjajaki kemungkinan pemanfaatan pengobatan tradisional, adalah contoh optimalisasi potensi daerah.
d. Menumbuhkan Mental Proaktif Sudah saatnya pihak Dinas Kesehatan melakukan upaya-upaya pembangunan secara proaktif tanpa menunggu petunjuk dari atasan. Budaya Asal Bapak Senang sudah saatnya ditinggalkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan, antara lain, adalah: 1. proaktif mengembangkan dan menghasilkan ide-ide dan berpikir secara system (system thinking), 2. proaktif mencari sumber dana pembangunan kesehatan, 3. proaktif mengundang investor bidang kesehatan, dan 4. proaktif melakukan kerjasama dengan lembaga-lembaga donor nasional dan internasional. e. Mengembangkan Sitsem Informasi Kesehatan Daerah Setiap program yang direncanakan dan disusun harus didukung oleh data yang akurat dan mutakhir. Selama ini, kebanyakan data yang dilaporkan disesuaikan dengan keinginan pihak yang dilapor (atasan) sehingga data yang ada tidak mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan. Oleh karena itu, langkah yang penting diambil adalah pengumpulan data yang akurat dan mutakhir
tentang situasi kesehatan daerah dan faktorfaktor pendukungnya. Hal tersebut dapat dialakukan dengan merevitalisasi dan menata kembali peran system informasi kesehatan yang selama ini kurang berjalan dengan baik. Pembentukan seksi penelitian dan pengembangan juga merupakan salah satu alternatif untuk pengadaan data yang akurat untuk tujuan penyusunan program kesehatan daerah. f. Menjalin Kerjasama dengan Lembagalembaga Ilmiah dan Pendidikan Kesehatan Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga dituntut untuk lebih proaktif menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan yang terkait dengan kesehatan. Sebagai contoh, selama ini tenaga dokter spesialis enggan bertugas di daerah. Namun hal ini dapat diatasi dengan melakukan kerjasama dengan pihak perguruan tinggi untuk menempatkan dokter yang sedang mengikuti pendidikan dokter spesialis untuk berpraktek di rumah sakit daerah. Berbagai jenis pelatihan tenaga kesehatan juga dapat dilakukan dengan baik dengan adanya kerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan lembaga pendidikan kesehatan. g. Mengembangkan Model Promosi Kesehatan Daerah Pembangunan kesehatan akan berjalan lebih baik bila didukung oleh bentuk penyampaian informasi yang baik dan efektif. Upaya-upaya penyuluhan kesehatan akan berjalan lebih efektif apabila didukung oleh promosi kesehatan yang baik. Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memilih berbagai model pemasaran sosial untuk tujuan itu. Dengan menerapkan sistem pemasaran sosial dapat dilakukan penentuan bentuk informasi yang akan disampaikan, pengembangan strategi komunikasi, dan penentuan sasaran dengan baik. h. Meningkatkan Kerjasama Lintas Sektor Salah satu penyebab kurangberhasilnya program pembangunan (dalam berbagai bidang) selama ini adalah adanya ego-sektoral instansi pemerintahan. Padahal beberapa program pembangunan akan dapat berjalan dengan apabila ada kerjasama dengan sektor 234
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 lain. Pembangunan sektor kesehatan, misalnya, memerlukan kerjsama dengan sektor pertanian, pendidikan, dan sosial.
i. Membentuk Badan Kerjasama antar Kabupaten/Kota Harus disadari bahwa penyakit tidak mengenal batas daerah. Wabah penyakit di satu daerah dapat menjalar ke daerah lain. Selain itu, masalah penyakit yang dihadapai daerah yang satu dengan daerah yang lain (dalam satu provinsi) relatif sama. Oleh karena itu, untuk dapat mengatasi masalah tersebut secara bersama-sama dengan daerah lain secara lebih terarah, efisien, dan efektif, perlu dibentuk badan kerjasama antar Kabupaten/Kota berupa Provincial Joint Health Council (PJHC). Kerjasama dapat berupa pertukaran informasi, pelatihan bersama, dan penanganan masalah penyakit bersama. Adanya PJHC juga akan meningkatkan posisi tawar daerah terhadap pemerintah provinsi dan pusat.
j. Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat Hakikat pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Misra (1981) menyatakan bahwa ‘real meaning of development is an increasing attainment of one’s own cultural values’. Selanjutnya Susanto (2000) menyatakan pembangunan tidak hanya ditujukan untuk pencapaian kebutuhan fisik saja, tetapi lebih daripada itu untuk peningkatan dan pengakuan harkat dan martabat manusia. Pembangunan harus bermuara kepada peningkatan dan apresiasi martabat dan harga diri manusia. Dalam bidang kesehatan, tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa mengabaikan harkat dan martabat serta budaya masyarakat. Konsep pemberdayaan masyarakat harus lebih diartikan sebagai lebih memberdayakan masyarakat, bukan menganggap masyarakat tidak berdaya. Masyarakat yang selama ini dianggap sebagai objek pembangunan harus dirobah menjadi pelaku pembangunan. Oleh karena itu, pembangunan kesehatan harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat, yaitu dengan
mendengarkan aspirasi masyarakat. Program yang baik menurut pemerintah belum tentu baik menurut masyarakat dan sebaliknya. Pemerintah dan masyarakat harus duduk dan berjalan bersama-sama menyususn dan melaksanakan pembangunan kesehatan daerah. k. Mengembangkan Model Pembiayaan Kesehatan Dalam SE Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000 disebutkan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berwewenang mengembangkan sistem pembiayaan kesehatan melalui Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Hal tersebut senada dengan salah strategi pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010, yaitu JPKM. Untuk mendukung hal tersebut salah satu model pembiayaan kesehatan yang mungkin dilakukan adalah sistem prabayar layanan kesehatan. Salah satu bentuk pembiayaan kesehatan tersebut adalah asuransi kesehatan skala kecil, seperti arisan kesehatan. Hal ini dapat diterapkan pada organisasi sosial dan adat baik yang formal maupun tidak formal. Sebagai contoh adalah arisan kesehatan para penarik becak.
4.2 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Disadari bahwa kemampuan anggota DPRD sangat beragam dan cenderung terbatas, terutama DPRD tingkat Kabupaten/Kota. Sementara mereka dituntut untuk memahami hakikat desentralisasi (termasuk desentralisasi bidang kesehatan) agar dapat mengawasi pelaksanaan pembangunan kesehatan daerah dan mengeluarkan peraturan daerah (PERDA). PERDA yang dihasilkan harus mendukung program pembangunan kesehatan, menciptakan iklim yang kondusif untuk infestasi kesehatan. Hal ini dapat terjadi jika pihak DPRD memiliki komitmen yang baik terhadap pembangunan kesehatan dan memahami hakikatnya. Untuk tujuan ini perlu diselenggarakan pelatihan (capacity building) kepada anggota DPRD (terutama komisi E yang membidangi kesehatan) mengenai kebijakan desentralisasi kesehatan. Ada 235
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 baiknya juga dipertimbangkan agar komisi E DPRD memiliki staf ahli bidang kesehatan untuk dimintai saran dan pendapat berkaitan dengan tugas pengawasan DPRD. 4.3 Masyarakat Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa makna substansial dari desentralisasi kesehatan adalah peran serta masyarakat, maka adanya kebijakan desentralisasi akan member ruang dan waktu bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan usul berkenaan dengan pembangunan kesehatan di daerah. Masyarakat berhak dimintai pendapatnya mengenai apa yang terbaik bagi mereka dan apa yang mereka butuhkan. Organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga adat, tokoh masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) harus secara bersama-sama dan bahumembahu dengan pemerintah menjalankan pembangunan kesehatan di daerahnya. Pemerintah harus memberi akses yang sebesar-besarnya kepada masyarakat tentang kebijakan yang dilakukan, sehingga masyarakat merasa turut memiliki pembangunan dan diakui keberadaannya. Selain itu, masyarakat dapat berperan sebagai pengawas jalannya pembangunan kesehatan daerah. V. PENUTUP Hakikat dari pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan, pengakuan martabat, dan peningkatan serta apresiasi terhadap harga diri masyarakat. Kebijakan desentralisasi pembangunan kesehatan seyogianya dimaksudkan untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat secara merata di seluruh Indonesia. Dengan adanya kebijakan desentralisasi maka terdapat keluwesan pemerintah daerah untuk melaksanakanan pemerintahan sendiri atas prakarsa, kreativitas, dan peran serta masyarakat dalam mengembangkan dan memajukan kesehatan di daerahnya. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah daerah Kabupaten/Kota (pemerintah, DPRD, dan masyarakat) harus merencanakan dan
merumuskan sendiri program pembangunan kesehatan di daerahnya tanpa harus menunggu kebijakan dari atas. Program pembangunan kesehatan harus bersifat bottom-up, yaitu berdasarkan aspirasi dari bawah. Hal ini tidak mudah, karena selama ini daerah sudah terbiasa dengan kebijakan pembangunan yang topdown tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat. Di satu sisi, pihak pemerintah daerah (Dinas Kesehatan) tidak terbiasa merencanakan dan menyusun program pembangunan daerah. Di sisi lain, masyarakat sangat jarang dilibatkan dalam proses pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan kesehatan di era desentralisasi sangat tergantung pada kesiapan daerah untuk melaksanakannya. Beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah (Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) untuk meningkatkan kesiapan daerah dalam menghadapi dan melaksanakan desentralisasi pembangunan kesehatan, antara lain, adalah menata ulang struktur organisasi Dinas Kesehatan, menetapkan sistem kesehatan daerah, merencanakan dan menyusun program pembangunan secara bottom-up, menumbuhkan mental proaktif pada aparatur pemerintah, mengembangkan sistem informasi kesehatan, menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan kesehatan, mengembangkan model promosi kesehatan daerah, menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga ilmiah dan pendidikan kesehatan, meningkatkan kerjasama lintas sektor, membentuk badan kerjasama antar Kabupaten/Kota, meningkatkan keterlibatan masyarakat, dan mengembangkan model pembiayaan kesehatan. Selain itu, DPRD Kabupaten/Kota harus mengawasi jalannya pembangunan kesehatan dan menghasilkan peraturan daerah yang memberikan suasana kondusif kepada proses pembangunan dan infestasi bidang kesehatan di daerah. Masyarakat, juga, harus terlibat dalam penyusunan dan pelaksanaan pembangunan kesehatan di 236
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 daerah, di samping berperan sebagai pengawas pelaksanaannya. Akhirnya, dengan adanya kebijakan desentralisasi, pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama bahu-membahu menjalankan pembangunan kesehatan untuk mencapai kondisi kesehatan yang dicanangkan dalam Indonesia Sehat 2010, yaitu masyarakat yang hidup dalam lingkungan dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya.
DAFTAR PUSTAKA ---------. 1999. UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah --------. 2000. PP Nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom ---------. SE Menkes Nomor 1107/Menkes/E/VII/2000 tentang Penjabaran KewenanganDesentralisasi Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota Chu, C.G., S.A. Rahim, and D.L. Kincaid. 1976. Communication for Group Transformation in Development. EastWest Center, East-West Communication Institute Jahi, A. 1988 (penyunting). Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. PT. Gramedia, Jakarta Depkes RI. 1999. Indonesia Sehat 2010: Visi Baru, Misi, Kebijakan, dan Strategi Pembangunan Kesehatan. Jakarta Hartono, B. 2001. Penataan Sistem Kesehatan Daerah. Departemen Kesehatan RI, Jakarta IVACG. 1992. Nutrition Communications in Vitamin A Programs. International Vitamin A Consultative Group, Washington, D.C. Mills, A., J.P. Vaughan, D.L. Smith, dan I. Tabibzadeh. 1989. Desentralisasi Sistem Kesehatan: Konsep-konsep, Isu-
isu, dan Pengalaman di Berbagai Negara (diterjemahkan oleh Trisnantoro, L.). Gajah Mada University Press, Yogjakarta Misra, R.P. 1981. Depelopment Where People Matter: Case for a Comprehensive SocialPolicy. Regional Development Alternatives, International Perspectives. Maruzen, Asia, Nagoya Rangkuti, F. 2002. Analisis SWOT: Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia, Jakarta Rondinelli, D.A. 1981. Government Decentralization in Comparative Theory and Practice in Developing Countries. International review of administrative sciences 47(2): 133145 Rondinelli, D.A. 1983. Decentralization in Developing Countries (Staff Working Paper). Simangunsong, T. 2001. Otonomi Daerah, Antara Harapan dan Kenyataan. Makalah disampaikan pada pertemuan senior members and friends dan Dies Natalis ke-51GMKI, 9-11 Februari 2001, Wisma Kinasih Caringin Bogor. Suryadharma dan Suryautama. 2002. Fungsi Dinas Kesehatan Provinsi dalam Era Desentralisasi. Laporan Hasil Penelitian, Medan Susanto, D. 2000. Pendekatan Paradigma Baru Ilmu Penyuluhan Pembangunan: Sumbang Pikiran dalam Meningkatkan Kiprah Jajaran Alumni Program Studi PPN. Makalah disajikan sebagai sumbangan bahan diskusi di dalam Seminar Nasional Pemberdayaan SDM menuju terwujudnya masyarakat madani. PPS IPB 25-26VSeptember 2000.
237
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
TEORI PERTUMBUHAN WW. ROSTOW Oleh: Budi Kristanto Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNLAM ABSTRAK This writing aims to trace one of Modernisation theory varians, i.e. Growth Theory by W.W Rostow. Growth theory by W.W Rostow is one of the modernisation varians since it is in accordance to the idea and the goals of modernisation theory, i.e. the effort to pursue growth as high as possible, by the support of industrialisation and technology that enhances the industrialization. Besides that, his way of thinking which is dicotomic, analyses between modern-traditional and evolutionair in stages of society development. Modernisation theory also argues that cultural transformation is created, values and structures of the West are brought to the East in order to modernize the world of the East which is still considered as ’traditional’. Those countries in the East should be acknowledged to modern values which is more rational and other supporting means to encourage the process of development. Countries able to help are definitely known as developed countries. The use of western culture and also the import of western goods are parts of modernization process. Therefore, Fred W Riggs and Jan Nederveen Pieterse call the modernization process as westernization, using the components consist of industrialization, democracy, and market economy. Key words: modernization, take off stage, and evolution.
PENDAHULUAN ’Tout pour l'industrie, tout par elle’ (Claude Henry-Saint Simon)
S
ebelum membahas tentang teori pertumbuhan dari WW. Rostow, disini penulis akan sedikit mengeksplorasi tentang asal usul dari teori modernisasi, historycal context dari teori tersebut, dan kemudian melanjutkannya dengan menelaah satu varian dari teori modernisasi, yakni teori pertumbuhan dari WW. Rostow. Proyek modernisasi sebagai pembangunan, sebenarnya adalah suatu proyek yang dimulai oleh Rene Descartes dan Francis Bacon, dan akhirnya berlanjut sampai
sekarang ini. Metode Descartes merupakan esensi dari kesederhanaan: meragukan segala sesuatu kecuali apa yang hadir dengan sendirinya pada pikiran secara langsung dan jelas, merumuskan masalah sebanyak mungkin, merekonstruksikan seluruh masalah itu selangkah demi selangkah, melakukan proses induktif, dan menyebutkan satu demi satu serta mencatat segalanya. Manusia dapat menguraikan empat langkah sekaligus: abstraksi, analisis, sintesis, dan kontrol.18 Tujuannya, tulis Descartes, tidak sekadar pengetahuan, tetapi juga kekuasaan dan kemakmuran -- "suatu filsafat praktis (sains)" 18
Uraian lebih lengkap tentang pemikiran dari Rene Descartes ini dapat dilihat pada buku Discourse on Methods and the Meditation.
238
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 yang akan membuat umat manusia menjadi penguasa (tuan) dan pemilik alam melalui penemuan beraneka alat yang membuat kita dapat menikmati buah-buahan dan berbagai komoditas lain dengan lebih mudah, serta memelihara kesehatan yang memang paling berharga bagi kita. Keakraban pesan-pesannya yang terkenal ini tidak akan mengecilkan keberaniannya; Descartes menjanjikan kita tidak hanya mengenai penemuan dan alat-alat baru untuk menguasai dan memiliki alam, tetapi juga penguasaan sebenar-benarnya terhadap bumi secara keseluruhan -- tanpa usaha apapun. Pemikirannya mempesona bagi orangorang pada zamannya, begitu pula para komentator sesudahnya sampai sekarang. Bersama Sir Francis Bacon, Descartes mengusulkan sebuah program baru bagi masyarakat manusia, suatu prinsip pengorganisasian baru dari hubungan sosial, yang disebut Bacon sebagai Kekaisaran Manusia atas Segalanya. Bacon menguraikan implikasi sosial dan politik secara terperinci, sementara Descartes justru menetapkan kerangka epistemologi dan metafisika tentang apa yang kemudian dikenal sebagai proyek modern. Langkah awal Descartes menyusun suatu keraguan yang sistematis dan meluas bahkan sampai meragukan tubuhnya sendiri, dan mengakhiri dengan satu "kepastian", bahwa sesuatu berpikir dan karenanya dia eksis: “Saya berpikir, karena itu saya ada” (cogito ego sum). Dari kecenderungan ini, dia membuktikan eksistensi Tuhan dan merekontruksi dunia. Dalam Second Meditation dia menyimpulkan bahwa karateristik dunia yang fundamental, pasti, dan tidak dapat dibagi lagi adalah "peluasan". Dia mencontohkannya dengan gumpalan lilin, yang dapat dicetak, dilelehkan, lalu dibentuk lagi. Dan yang jelas lilin itu selalu menempati tiga dimensi yang membatasi peluasannya dalam ruangan. Dalam dunia ini, objek-objek hadir dan hadir kembali pada subjek tertentu yaitu subjek yang berpikir dan aktor yang memainkan aturan-aturan berupa abtraksi, analisis, sintesis, dan kontrol.
Visi Descartes adalah kesatuan, universal, dan kemutlakan; Saya mungkin tidak akan tampak terlalu sia-sia, jika Anda mempertimbangkan bahwa hanya ada satu kebenaran pada tiap-tiap persoalan. Dan siapa pun yang menemukan kebenarannya berarti ia mengetahui segala sesuatu mengenai persoalan itu. Hanya ada satu jawaban untuk setiap persoalan yang ada. Tradisi berpikir dari Descartes dan Bacon ini kemudian dilanjutkan oleh generasi transisi seperti Saint Simon19 dan generasi sesudahnya seperti Auguste Comte, Adam Smith, maupun tokoh lain seperti Talcott Parsons yang kemudian mengusung teori evolusionisme, teori ekonomi klasik maupun teori srukturalisme-fungsionalisme. Pada dasarnya, teori modernisasi dipengaruhi oleh tiga varian besar teori tersebut, yakni teori ekonomi klasik20, teori evolusionisme21, serta teori struktural19
Saint-Simon melihat dirinya sebagai figur transisi antara pengusung proyek modern Pencerahan abad ke17, dan apa yang dia harapkan akan menjadi realisasi sosialnya yang konkret pada abad ke-19. Bagi dia, kehendak berkuasa yang melekat dalam diri manusia telah menjadi problem utama bagi masyarakat. Kehendak yang demikian merupakan akar peperangan, kekerasan, kriminal, dan perselisihan. Akan tetapi, kata dia, sejak saat itu hingga masa-masa mendatang… nafsu untuk mendominasi, yang merupakan bawaan pada semua manusia, telah meredam sifat jahatnya. Atau, setidak-tidaknya akan ada suatu zaman ketika nafsu itu tidak lagi menjadi jahat, tetapi sebaliknya, nafsu itu akan menjadi berguna Saint -Simon dan para pengikutnya beranganangan tentang sebuah pengorganisasian masyarakat yang dapat menyalurkan sifat agresif manusia ke dalam proyek-proyek pembangunan, dan ke dalam pertumbuhan industri yang tiada putus-putusnya. "Tout pour l'industrie, tout par elle," begitu kata mereka. Secara bebas, mungkin semboyan itu bisa disepadankan dengan peribahasa yang cukup populer pada tahun 1990-an: “Jika segalanya diabdikan pada pertumbuhan, maka kita pun akan memperoleh segalanya dari pertumbuhan.” 20 Lebih lengkap tentang teori ekonomi klasik ini dapat dibaca pada buku karya Adam Smith, Wealth of Nation, London, Routledge, 1890 3 Uraian lebih lengkap dapat dilacak pada Auguste Comte, Introduction to Positive Philosophy, Indianapolis, IN: Hackett, 1988.
239
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 fungsional22. Ketiganya, memberikan fondasifondasi dasar bagi perkembangan teori modernisasi di kemudian hari. Teori ekonomi klasik bersumber pada ajaran Adam Smith, yang dituangkan dalam bukunya Wealth of Nation. Selain Adam Smith, para ahli seringkali merujuk pada dua pemikir ekonomi lainnya, yakni karya-karya dari David Ricardo23 dan J.Stuart Mill. Pemikiran dari kaum ekonomi klasik biasanya dibangun di atas landasan filsafat ekonomi liberalisme. Mereka sangat percaya, bahwa kebebasan individu, kepemilikan pribadi, dan inisiatif individu serta usaha swasta. Inti dari teori ekonomi klasik adalah, pertama, menekankan pada laissez-faire, yakni kepercayaann akan kebebasan dalam bidang ekonomi yang memberi isyarat perlunya membatasi peran pemerintah dalam bidang ekonomi. Kedua, mereka juga percaya ekonomi pasar yang disana terjadi persaingan dengan kompetisi yang sempurna. Ketiga, mereka juga percaya pada kondisi full employment yakni suatu kepercayaan bahwa ekonomi akan berjalan secara lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri jika tanpa intervensi dari pemerintah. Keempat, penekanan ada pada bidang industri sebagi penopang kegiatan ekonomi yang utama. Mereka juga sangat percaya bahwa hukum ekonomi berlaku secara universal. Para pemikir ekonomi klasik inilah yang pertama kali memberikan perhatian kepada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Kemudian pengaruh kedua berasal dari teori evolusionisme, dimana mereka mendasarkan pada enam asumsi tentang perubahan, yakni perubahan dilihat secara natural, immanent, kontinyu, suatu keharusan, dan berjalan melalui sebab yang sama. Pelopor pemikir dari teori evolusionisme ini adalah Frederich Hegel, dan dilanjutkan oleh Auguste Comte, yang menjadikan teori evolusi lebih 4
Uraian lebih lengkap dapat dilacak pada Talcot Parsons, The Social System, Glencoe, IL: The Free Press, 1951. 23 Untuk memahami pemikiran David Ricardo, dapat dilihat dalam The Principles of Political Economy and Taxation; London. 1817.
berwatak positivistik. Auguste Comte memandang transformasi masyarakat berjalan secara linier dengan tahapan, yakni fase masyarakat theological, dimana suatu masyarakat masih dikuasai oleh mitos-mitos. Fase methaphysical, dengan ciri-ciri sudah mulai terjadi rasionalisasi dalam berpikir, dan masih banyak dikuasai oleh pemikiran filosofis manusia. Kemudian terakhir adalah masyarakat yang scientific. Pada tahap inilah, masyarakat sudah mulai memahami hukum alam dan eksperimen-eksperimen ilmiah. Masyarakat pada fase ini sudah hidup pada zaman positivisme, yang menempatkan ilmu pengetahuan empiris dan kerja yang diorganisasikan secara rasional sebagai tujuan dan isi keberadaan manusia. Masyarakat baru yang diorganisasi secara ilmiah itu memerlukan agama baru ; yakni agama kemanusiaan. Obyek penyembahannya adalah “kenyataan yang agung”, perwujudan akal yang abstrak dalam sejarah, yang dalam beberapa hal mirip geist-nya kaum Hegelian. Semboyan agama kemanusiaan, yang sekaligus semboyan zaman positivisme sejarah adalah tatanan dan kemajuan. Menurut teori evolusi ini pula, masyarakat akan berkembang dari tipe masyarakat sederhana (primitif) menuju ke masyarakat modern (kompleks) dan memerlukan proses jangka panjang, fase demi fase seperti yang digambarkan oleh Auguste Comte. Hal ini nantinya akan memberikan pengaruh terhadap cara pandang mereka melihat masyarakat, dimana ada proses dari suatu masyarakat yang sederhana ke arah masyarakat yang maju. Watak tradisional dan konservatif merupakan suatu penghambat bagi kemajuan. Hal ini, mempengaruhi asumsi mereka selanjutnya bahwa masa depan menusia sudah dapat dipastikan, yakni akan melalui suatu proses panjang menuju masyarakat maju. Asumsi ini, dikuatkan dengan pendapat mereka bahwa masyarakat yang dicita-citakan adalah masyarakat modern, dimana ditandai dengan rasionalitas berpikir. Proses yang dinamakan evolusi ini, berjalan dengan sangat panjang dan dalam waktu yang lama. Dalam proses modernisasi ini, ada perubahan secara bertahap menuju 240
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 “kemajuan” (idea of progress), yakni dengan yang menjadi hambatan, seperti nilai-nilai melihat Barat sebagai referensi utama tradisional dalam masyarakat. perubahan (homogenisasi dan westernisasi). Ketiga teori ini, sangat berpengaruh Sebagai sebuah progress, sebenarnya teori terhadap perkembangan teori modernisasi. evolusi ini menggambarkan sesuatu proses Kita bisa melihat, bagaimana pemikiran dari yang tidak perlu berbalik arah (progresif) dan WW. Rostow, Davis McClelland, dan Alex ada dimensi teleologis di dalam proses Inkeles dalam memahami proses tersebut. pembangunan, sangat terlihat kesamaannya Teori struktural-fungsionalisme juga dengan ketiga teori yang menjadi referensinya. menyumbangkan pengaruh terhadap teoriMisalnya saja adalah tentang pemahaman teori modernisasi. Teori ini muncul pertama lokus analisis dari keduanya, yakni sama-sama kali pada tahun 1930-an dan dikembangkan melihat negara Dunia Ketiga secara konstan, oleh Robert Merton dan Talcott Parsons. Teori kemudian tingkat analisis pada level nasional, ini sebenarnya sangat sederhana, yakni dengan lebih cenderung melihat pada aspek memandang bahwa masyarakat merupakan internal (budaya, nilai-nilai, dan struktur) suatu sistem yang yang terdiri dari sub-sub untuk ditransformasikan ke dalam negarasistem yang saling berkaitan. Perspectives Meanings of Development Bagi para penganut teori Period 1870 > Latecomers Industrialization, catching up strukturalisme1850 > Colonial economics Resource Management fungsionalisme, masyarakat 1940 > Developmenteconomics Economic (growth)pasti akan berubah, namun industrialization perubahan berjalan dengan Modernization theory Growth, political and social teratur dan harmonis. Dalam 1950 > modernization masyarakat, terdapat integrasi, Dependency theory Accumulation-national, stabilitas, dan telah mapan. 1960 > autocentric Konflik harus dihindarkan. Parsons menguraikan visi 1970 > Alternative development Human flourishing tentang masa depan dari 1980 > Human development Capacitation, enlargement of sebuah masyarakat yakni, people’s choices masyarakat modern cenderung 1980 > Neoliberalism Economic growth-structural mempunyai hubungan reform, deregulation, kenetralan, tidak mempribadi, liberalization, privatization dan berjarak, serta tidak 1990 > Post development Authoritarian, engineering, emosional. Masyarakat disaster modern juga dipandang negara Dunia Ketiga tersebut, dan pada memiliki hubungan dengan norma-norma akhirnya, teori-teori ini bersifat sangat praktis universal dan berorientasi pada diri sendiri, (benevolent). dan terdapat persaingan yang ketat. Dalam Namun, tentu saja, ketiga teori ini tidak masyarakat modern sudah terdapat melulu menjadi rujukan utama teori spesialisasi dan diferensiasi fungsi-fungsi dari modernisasi, tetap ada perbedaan yang lembaga masyarakat. Inilah visi dari Parsons mendasar antara teori modernisasi dengan tentang konsep masyarakat modern. ketiga teori tersebut. Misalnya saja, dalam Sementara masyarakat tradisional, dipandang teori evolusionisme, teori evolusionisme kolektif dan lebih banyak bersifat komunal. memandang bahwa perubahan masyarakat Dalam pandangan teori strukturalismeterjadi dalam waktu lama, sementara bagi para fungsionalisme, modernisasi dipandang penganut teori modernisasi, proses sebagai sebuah proses yang menyeluruh, pembangunan (perubahan) dapat berjalan sehingga perubahan harus secara frontal dan dipercepat dengan pendekatan revolusi sistemik dengan merombak semua tatanan melalui pelbagai intervensi. Menurut mereka, pengetahuan ilmiah dapat direncanakan, yang 241
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 oleh para pengikutnya sering disebut dengan social engineering (rekayasa sosial). Aplikasi dari teori-teori ini, menjadi sendi dasar dari pemahaman pembangunan, menurut teori modernisasi, yakni bahwa masyarakat bergerak dari masyarakat tradisional (primitive) ber evolusi ke arah masyarakat industri yang lebih kompleks dan berbudaya. Watak tradisional (primitif) adalah suatu masalah yang menghambat pembangunan. Dalam teori modernisasi ada dikotomi yang jelas antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Pemikiran ini jelas-jelas dipengaruhi oleh teori evolusionisme. Istilah spesifik "pembangunan”24 (development) sendiri sebenarnya merupakan fenomena yang muncul pasca-Perang Dunia II. Namun, istilah pembangunan yang merujuk baik kepada kemajuan, modernisasi, teknologi, maupun pertumbuhan sebenarnya telah berlangsung di Barat sejak abad ke-17. Seperti ditulis W.W Rostow, fenomena pembangunan dapat dilihat dalam pengertian yang sederhana dan jelas, yang membedakan dunia pascarevolusi industri dari dunia sebelumnya adalah diterapkannya ilmu pengetahuan dan teknologi secara sistematis, regular, dan progresif pada sistem produksi barang dan jasa. Jan Nederveen Pieterse menguraikan perkembangan berbagai teori pembangunan dari waktu ke waktu dan inti pemikiran dari konsep maupun teori pembangunan dalam bukunya Development Theory, Deconstruction/Reconstruction25 menjadi beberapa periode berikut ini: Tulisan ini hanya akan membahas tentang ide-ide dari teori modernisasi dengan salah satu variannya, yakni teori pertumbuhan dari Rostow. Rostow dimasukkan sebagai salah satu teoritisi modernisasi karena 24
Jan Nederveen Pieterse menyebut proses pembangunan ini, tidak lain adalah bagian dari pencerahan yang diterapkan atau modernisasi yang dioperasionalkan. Lihat pada Jan Nederveen Pieterse, Emansipation, Modern, and Posmodern, dalam Development and Change, volume 23, Number.3, July 1992. 25 Diterbitkan oleh Vistaar Publicatons, New Delhi.
asumsi-asumsi dan argumen yang dibangun oleh Rostow, yakni teori pertumbuhan selaras dengan pemikiran dan cita-cita teori modernisasi. Cita-cita modernisasi ini yakni upaya untuk mencapai pertumbuhan yang setinggi-tingginya, tentunya harus didukung oleh industrialisasi dan penguasaan teknologi yang mendukung upaya industrialisasi tersebut. Teknologi, dalam pengertian pembuatan pelbagai alat untuk mempermudah pekerjaan dan segala tindakan terhadap alam untuk memuaskan kebutuhan manusia, ternyata selalu eksis. Titik kritis dalam sejarah masyarakat manusia sebenarnya muncul bersamaan dengan datangnya pencerahan, yaitu ketika masyarakat di Eropa Barat mulai mengorganisasi diri mereka dalam sebuah putaran (loop) kilas balik berupa inovasi dan tranformasi teknologi yang berlangsung terusmenerus. Pada saat itulah terjadi sebuah dinamika sosial baru yang menggabungkan sistem produksi ekonomi dengan metode ilmu pengetahuan modern ditambah ekspansi pasar. Seluruh keruwetan nilai dan tujuan sosial pembangunan, yang oleh Gunnar Myrdal disebut sebagai "cita-cita modernisasi (modernization ideals)", memasuki tahun 1960-an telah menjadi "iman resmi" atau bisa dikatakan sebuah "agama nasional" di banyak negara berkembang. Sebagaimana disimpulkan Myrdal dalam studi monumentalnya mengenai pembangunan di Asia Selatan, Asian Drama, nilai-nilai itu berakar pada masa pencerahan Barat. Nilainilai itu mengejawantah dalam bentuk hasrat menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produksi material. Selain itu, cita-cita modernisasi tersebut berisikan suatu keinginan besar untuk mengembangkan institusi-institusi dan transformasi kultural yang mewujudkan nilainilai seperti diutarakan Max Weber: efisiensi, kehematan, kerapian, kerajinan, ketepatan waktu, dan di atas semua itu, sikap rasional dalam pembuatan keputusan yang terbebas dari tradisi, adat, dan kesetiaan kelompok. Tidak bisa dipungkiri teori modernisasi merupakan teori yang dibangun dalam 242
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 konstruksi kepentingan kapitalisme. Sebagaimana diketahui, setelah Perang Dunia II, negara-negara yang terlibat perang, terutama di Eropa Barat, banyak yang mengalami kesulitan ekonomi akibat tingginya biaya perang. Untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya, negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat melakukan konsolidasi. Hasil dari konsolidasi itu adanya perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi dan politik. Eropa Barat dan Amerika Serikat tidak mungkin lagi melakukan penjajahan fisik karena tuntutan keadaan setelah Perang Dunia II. Bangkitnya negara-negara baru yang merdeka di Asia dan Afrika setelah Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada tahun 1955, yang sebelumnya merupakan negara-negara jajahan Eropa dan Amerika Serikat menjadi ancaman baru bagi eksistensi paham kapitalisme, karena banyak di antara tersebut lebih tertarik pada paham sosialisme untuk melakukan perubahan sosial. Hal yang menambah kekhawatiran negara-negara Barat, pada masa itu perang dingin mulai melanda dunia. Amerika dan negara-negara Eropa Barat menyadari situasi ini sehingga mereka mendorong para ilmuwan sosial mengembangkan teori-teori yang dapat menarik dan dapat diaplikasikan di negaranegara dunia ketiga, namun tetap dapat melanggengkan kapitalisme itu sendiri. Oleh karenanya di bidang sosial, mulai dilakukan rekayasa sosial melalui penyusunan teori-teori sosial. Salah satu teori sosial yang kemudian diintroduksikan ke negara-negara berkembang dan baru merdeka adalah teori modernisasi atau teori pembangunan yang dikembangkan di Amerika Serikat sejak 1948. Diintroduksikannya teori modernisasi ke negara-negara Dunia Ketiga, karena dalam perspektif Barat negara-negara tersebut dipandang sebagai negara yang masih dalam proses modernisasi, khususnya dalam proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi itu diharapkan dapat berjalan menurut proses atau tahap-tahap tertentu yang juga pernah dialami oleh negara-negara kapitalis di masa pertumbuhannya pada abad 19.
Cara berpikir dari teoritisi modernisme adalah superioritas, dimana nilai yang ditanamkan adalah dianggap lebih daripada nilai-nilai yang lain Dalam konteks modernisasi, Fred W Riggs, menyatakan penggunaan cara-cara budaya Barat maupun pemasukan barang-barang materi dari Barat merupakan bagian dari proses modernisasi.Oleh karena itu, Fred W. Riggs menyebut proses modernisasi sebagai westernisasi26, dengan komponenkomponennya yang terdiri dari industrialisasi, demokrasi, dan ekonomi pasar. Salah satu varian dari teori modernisasi di sini adalah teori pertumbuhan dari Rostow. Teori pertumbuhan dari Rostow dimasukkan dalam teori modernisasi, karena cara berpikirnya yang sangat dikotomis melihat antara tradisional-modern, dan evolusioner dalam tahapan-tahapan perkembangan masyarakat. Dan memandang bahwa diupayakan terjadinya transformasi kultural, nilai-nilai serta struktur-struktur yang ada di Barat ke dunia Timur agar mampu untuk memordenisasi dunia Timur yang masih dianggap ‘tradisional’. TEORI PERTUMBUHAN WW.ROSTOW Rostow pada dasarnya merupakan seorang ahli ekonomi. Namun, perhatiannya tidak terbatas pada masalah-masalah ekonomi. Dia juga menaruh perhatian yang sangat besar terhadap disiplin ilmu lain seperti sosiologi pembangunan. Rostow, dianggap sebagai salah satu pionir teori modernisasi dengan variannya yakni penekanan pada aspek pertumbuhan27 dan 26
Hal senada juga diungkapakan oleh Jan Nederveen Pieterse, op.cit Development Theory, Deconstuction/Reconstruction. 27 Pemahaman lain tentang konsep pembangunan dan kaitannya dengan teori pertumbuhan dapat pula dilihat pada Richard Peet with Elaine Hartwick, Theories of Development, The Guilford Press, New York/ London,1999. dimana dalam fase-fase awal konsep pembangunan, seringkali disebut konsep pembangunan konvensional, semata-mata hanya dilihat dari tinggi rendahnya GNP (Gross National Product).
243
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 tinggal landas (fase take-off) ketika memahami proses pembangunan. Pandangan umum mengenai asal mula pembangunan ekonomi modern sebenarnya telah dirumuskan oleh Rostow dengan sangat meyakinkan dalam How It All Began: Origins of the Modern Economy. Dalam buku itu, diidentifikasikan revolusi ilmu pengetahuan pada abad ke-17 dan ke-18 sebagai awal evolusi perkembangan teknologi dan ekonomi. Tambahan pula, separoh terakhir abad ke-17 merupakan sebuah periode penemuan ilmiah yang belum pernah terjadi sebelumnya.28 Pada saat itulah Isaac Newton menciptakan karya terbaiknya, yang menjadi parameter ilmu pengetahuan Barat selama dua tahun berikutnya. Rostow mencatat bahwa melewati abad ke-18, modernisasi secara luas merupakan urusan "dari atas ke bawah" (top down); penelitian teknik dan penciptaan pabrikpabrik serta pasar dengan penuh ketekunan dan sungguh-sungguh dipromosikan oleh pemerintahan nasional yang secara gradual membentuk suatu perasaan kebangsaan. "Berkenaan dengan masa depan," dia dengan optimistis menyatakan, "tugas-tugas ekonomi yang dijalankan oleh berbagai pemerintah pada awal Eropa modern memperkirakan bahwa negara-negara itu menjadi bagian yang terindustrialisasi dari dunia yang tengah membangun setidak-tidaknya setelah tahun 1945"29. Perkembangan teoritis pemikiran WW.Rostow dapat kita lihat pada pembacaan karya-karyanya antara lain; the Stages of Economic Growth: A Non Communist 28
Literatur yang asli pada pokok bahasan tersebut mengenai pembangunan ekonomi di era modern tentu saja sangat banyak; untuk pengantar, lihat H.W. Arndt, Economic Development: The History an Idea University of Chicago Press, Chicago, 1987; Walt W. Rostow, How it All Began: Origins of the Modern Economy, McGraw-Hill Book Company, New York 1975; J.B. Bury, The Idea of Progress: An Inquiry into its Origin and Growth, Dover Publication, New York 1932. 29 Uraian lebih lanjut dapat dilihat Rostow, How It All Began: Origins of the Modern Economy.
Manifesto30, the Economics of Take-off into Sustained Growth31, Politics and the Stages of Growth32 dan How it All Began: Origins of the Modern Economy33. Tulisan Rostow pada buku the Stages of Economic Growth: A Non Communist Manifesto pada dasarnya merupakan maklumat pada dunia tentang teori pembangunannya, yang menguraikan perjalanan sangat panjang dan sangat lama sebuah masyarakat. Rostow, mengemukakan bahwa pembangunan merupakan sebuah proses yang bergerak dalam sebuah garis linier yakni dari masyarakat tradisional (primitif); ke arah masyarakat modern (maju). Proses ini, dengan bebagai variannya, pada dasarnya berlangsung sama dimanapun dan dalam waktu kapan pun juga. Rostow melihat perubahan sosial, yang disebutnya sebagai pembangunan, sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern. Asumsi yang dibangun adalah semua masyarakat termasuk masyarakat Barat sekalipun, pernah mengalami ”tradisional” dan akhirnya menjadi ”modern”. Sikap tradisional dari manusia lah yang dianggap sebagai sumber masalah. Pemikirannya dituangkan secara rinci dalam the five-stages scheme. Lima tahap tersebut adalah; masyarakat tradisional34, yang kemudian berkembang menjadi prakondisi tinggal landas35, masyarakat tinggal 30
Cambridge, 1960. New York, 1963. 32 Cambridge, 1971. 33 Op.cit. 34 Dalam masyarakat tradisional ini, ilmu pengetahuan masih belum banyak dikuasai. Karena itu, masyarakat semacam inii masih dikuasasi oleh kepercayaankepercayaan tentang kekuatan di luar kekuasaan manusia. Manusia dengan demikian masih tunduk kepada alam, belum bisa menguasai alam. 35 Dalam masyarakat dengan prakondisi untuk tinggal landas ini, masyarakat tradisional walaupun masih sangat lambat, namun terus bergerak. Pada satu titik, dia mencapai posisi prakondisi untuk tingal landas, yakni dengan adanya campur tangan dari luar, dari masyarakat yang sudah maju. Misalnya saja adalah, pembukaan armada angkatan laut Amerika Serikat di Jepang. Pada tahap ini, usaha untuk meningkatkan saving (tabungan) masyarakat sudah terjadi. Tabungan 31
244
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 landas36, masyarakat dengan pematangan pertumbuhan37, dan akhirnya mencapai masyarakat modern38, yang bercirikan suatu ini kemudian dipakai untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produktif yang menguntungkan, termasuk misalnya pendidikan. Singkat kata, usaha untuk meningkatkan produksi mulai bergerak pada tahap ini. 36 Pada periode lepas landas, ditandai dengan tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan merupakan sesuatu yang berjalan wajar. Pada periode ini, tabungan (saving) dan investasi meningkat dari 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional bahkan lebih. Industri –industri baru berkembang dengan sangat pesat. Keuntungan dari sebagian besar industri kemudian ditanamk kembali dalam bentuk investasi perusahaan-perusahaan baru. Kemudian dalam bidang pertanian, juga sudah berkembang usaha-usaha komersiil untuk mencari keuntungan, tidak sematamata konsumsi semata. Peningkatan produktivitas dalam pertanian ini meupakan sesuatu yang sangat penting dalam prose tinggal landas, karena proses modernisasi masyarakat membutuhkan hasil pertanian yang sangat banyak, agar ongkos perubahan tersebut tidak terlalu tinggi. 37 Sesudah era tinggal landas, akan terjadi proses kemajuan yang terus bergerak ke depan (progress), meskipun kadang-kadang terjadi pasang surut. Antara 10% sampai dengan 20% dari pendapatan nasional selalu diinvestasikan kembali, supaya bisa mengatasi persoalan pertambahan penduduk. Industri berkembang dengan sangat pesat. Negara, pada tahap ini sudah memantapkan posisinya dalam perekonomian global ; barang-barang yang semula masih diimport kemudian sudah bisa diproduksi di dalam negeri. Tingkat pematangan pertumbuhan ini, biasanya berlangsung sesudah 40 tahun setelah periode lepas landas berakhir. 38 Dengan naiknya pendapatan nasional (GNP) dan pendapatan masyarakat, konsumsi tidak lagi dibatasi pada kebutuhan pokok untuk hidup, namun meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Orientasi produksi industri juga bergeser, dari kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Pada periode inilah, investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan utama. Sesudah taraf pematangan pertumbuhan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada tahap inilah, pembangunan sudah merupakan sebuah proses yang berkesinambungan, yang bisa menopang kemajuan secara terus-menerus.
masyarakat dengan tingkat konsumsi yang tinggi. Kemudian, pemikiran Rostow yang dituangkan dalam bukunya the Economics of Take-off into Sustained Growth pada dasarnya ingin mengeksplorasi satu tahapan pembangunan yakni tinggal landas (fase take off) yakni sebuah tahapan penting pembangunan ekonomi dengan menekankan pada sisi pertumbuhannya39. Fase tinggal landas (take-off) adalah suatu periode, yang di dalamnya terjadi peningkatan skala investasi sedimikian rupa, sehingga output riil (real output) per kapita meningkat yang diikuti kemudian oleh peningkatan secara dramastis kuantitas produksi dan aliran pendapatan (income flows). Yang paling penting dalam proses ini adalah kaitan yang sangat erat antara pertumbuhan ekonomi dengan kondisi sosial masyarakat (sosial, politik, dan budaya) yang dapat memperlancar, atau sebaliknya menghalangi proses pertumbuhan tersebut. Untuk itu, fase ini membutuhkan kesiapan masyarakat yang mampu merespon secara aktif, misalnya dengan mendirikan lembagalembaga produksi. Untuk itu, lebih jauh lagi, keadaan ini membutuhkan institusi politik, sosial yang kuat demi menunjang perubahanperubahan yang terjadi dalam level ekonomi. Teori Rostow tentang pertumbuhan, pada dasarnya merupakan sebuah revisi dari teori modernisasi dan pembangunan, yakni suatu teori yang meyakini bahwa faktor manusia (bukan struktur dan sistem) menjadi fokus utama perhatian mereka. Teori 39
Beberapa studi yang lebih baru (dibanding dengan studi Rostow) yang dilakukan oleh para ahli sejarah ekonomi menekankan peranan penataan (arrangements) baru, yaitu susunan sosial, hukum, dan hak-milik yang lebih efisien secara ekonomi. Semua itu, bersama-sama penemuan teknologi, menciptakan dorongan-dorongan yang menguatkan usaha ekonomi individual dan karenanya menjadi "kunci untuk pertumbuhan" (Douglas C. North dan Robert Paul Thomas, The Rise of the Western World: A New Economic History [Cambridge, England: Cambridge University Press, 1973], 1; lihat juga Nathan Rosenberg dan L.E. Birdzell, Jr., How the West Grew Rich: A New Economic Transformation of The Industrial World [New York: Basic Books, 1986] ).
245
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pertumbuhan merupakan suatu bentuk teori modernisasi yang menggunakan metafora pertumbuhan, yakni tumbuh sebagai organisme. Fase tingal landas adalah sebuah periode yang didalamnya terjadi peningkatan skala investasi sedemikian rupa sehingga out put (real output) per kapita meningkat yang diikuti kemudian oleh peningkatan secara dramatis kuantitas produksi dan aliran pendapatan. Ada tiga tahapan urutan pembanguan ekonomi, pertama, periode panjang (sekitar satu abad bahkan bisa lebih), ketika kondisi-kondisi tinggal landas sedang dalam proses pembentukan. Kedua, proses tinggal landas itu sendiri, membutuhkan waktu dua sampai tiga dekade. Ketiga, periode panjang, ketika pertumbuhan yang setinggitingginya telah tercapai. Pembentukan prakondisi-prakondisi menuju tinggal landas bermacam-macam, dengan setting masyarakat yang juga beragam. Setting yang pertama, dan yang paling banyak terjadi di berbagai negara adalah pra kondisi tinggal landas membutuhkan perubahan yang mendasar pada struktur ekonomi dan politik, termasuk juga membutuhkan perubahan yang mendasar pada nilai-nilai budaya. Bentuk yang kedua, proses tinggal landas mengambil tempat di negara-negara yang kaya sumber alam, sehingga level kesejahteraan yang tinggi dapat tercapai dengan eksploitasi tanah dan sumber-sumber alam. Fenomena ini terjadi di banyak negara-negara kaya sumber daya alam seperti Amerika Utara, Australia dan Swedia. Pada setting yang pertama, yang terjadi di masyarakat tradisional, pola produksi utamanya adalah pertanian dengan alat produksi yang masih sangat sederhana. Kegiatan menabung (saving) dan investasi (investasi) sangat sedikit sehingga malah menjatuhkan nilai produksi itu sendiri (depreciation). Kemudian lahir pemikiran (biasanya dari kalangan borjuis, elit , atau dari kalangan yang tidak diuntungkan oleh sistem, seperti kasus pada Revolusi Perancis) tentang upaya mengubah keadaan, dengan melakukan pembangunan ekonomi. Bahkan sering ditemui bahwa motif utama melakukan
pembangunan ekonomi bukan karena alasan pembangunan ekonomi semata, melainkan motif non ekonomi seperti keinginan meraih status sosial yang lebih tinggi, kebanggaan nasional, ambisi politik dan sebagainya. Faktor pendidikan adalah satu hal yang sangat penting dan turut menyumbang bagi perubahan pola pikir kelompok masyarakat menjadi semakin responsif terhadap kebutuhan aktivitas ekonomi modern. Pengusaha-pengusaha baru kemudian lahir dan berkembang serta semakin berani mengambil resiko berusaha demi mengejar keuntungan. Institusi yang memobilisir modal pun lahir, pasar-pasar pun bermunculan, sarana transportasi dan komunikasi berkembang, dan akhirnya pabrik-pabrik pun bermunculan, yang biasanya menggantikan (substitusi) barang impor. Pada saat yang sama, kualitas kehidupan semakin meningkat. Tingkat kematian menurun dan kelahiran meningkat. Meski begitu, dasar perekonomian tetap dalam kategori tradisional, karena ciri khas perekonomian masih didominasi dengan teknik produksi yang masih rendah, dengan kelembagaan yang masih kuno. Sementara itu, setting yang kedua terjadi di negara-negara kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah. Ada keseimbangan antara kualitas sumber daya alam dengan penduduknya. Penduduk umumnya adalah imigran dengan kebudayaan yang sudah tinggi. Sehingga di setting kedua ini tidak ditemukan hambatan-hambatan budaya tradisional sebagaimana ditemukan di setting yang pertama. Kegagalan mencapai fase tinggal landas biasanya disebabkan karena persoalan keuntungan komparatif (comparative advantage). Awal proses tinggal landas (take off) biasanya dirangsang oleh berbagai peristiwa, misalnya revolusi politik (yang mempengaruhi langsung keseimbangan kekuatan sosial dan nilai-nilai masyarakat yang ada), kemajuan teknologi, atau adanya situasi internasional yang mendorong berlangsungnya fase tinggal landas. Pembukaan pasar Inggris dan Prancis terhadap produk kayu dari Swedia adalah salah satu contoh nyata. Sementara itu, situasi internasional bisa juga memberikan akibat 246
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 yang sebaliknya, misalnya ketika terjadi Perang Dunia II. Fase tinggal landas juga ditandai dengan beberapa hal berikut ini : 1. Meningkatnya rata-rata investasi produktif dari 5 % (atau kurang) menjadi lebih dari 10% dari keseluruhan pendapatan nasional. 2. Perkembangan lebih dari satu sektor manufaktur dengan tingkat rata-rata pertumbuhan yang tinggi. 3. Keberadaan atau kelahiran institusi politik dan sosial yang mampu untuk memnafaatkan berbagai dorongan gerak ekspansi dari sektor ekonomi modern dan akibat yang mungkin terjadi dengan adanya kekuatan tinggal landas. Lembagalembaga ini, kemudian mampu untuk mendorong pertumbuhan menjadi sebuah proses yang berkesinambungan40. Pola pertumbuhan yang terjadi pada negara-negara belum berkembang (underdeveloped) di sekitar tahun 1945 ada empat tipe, yakni: 1. Pretake Off Economics (tahap perekonomian sebelum take off) Rata-rata nilai saving dan investasi termasuk impor biasanya di bawah 5% dari total NNP (Net National Product). Meski data-data yang didapat tentang negara-negara dalam kategori ini sangat terbatas, namun kira-kira yang tergolong dalam kategori pertama ini adalah di Ethiopia, Kenya, Thailand, Kambodia, Indonesia, Afghanistan. 40
Kondisi ketiga ini merupakan kondisi non ekonomi. Dimana dikatakan oleh Rostow bahwa kondisi ini merujuk kepada kesanggupan yang cukup (dari lembaga-lembaga) untuk mengumpulkan modal dari sumber-sumber dalam negeri. Pra kondisi untuk tinggal landas, memerlukan kesanggupan awal u8ntuk menggerakkan tabungan dalam negeri secara produktif, dan juga untuk menciptakan sebuah struktur yang memungkinkan tingkat tabungan yang tinggi. Untuk pembahasan lain, tentang faktor-faktor non ekonomi, semisal politik (peran pemerintah, dn sebagainya) dapat dibaca karya Rostow yang lain, yakni Politics and the Stages of Growth.
2. Economic Attempting To Take Off (tahap perekonomian yang berupaya untuk tinggal landas) Rata-rata saving dan investasi termasuk impor besarnya di atas 5% dari total NNP (Net National Product). Contohnya adalah negara-negara di Amerika Selatan, Mexico, Chile, Panama, PuertoRico, Philipina, India. 3. Growing Economics (tahap perekonomian maju) Rata-rata saving dan investasi termasuk impor besarnya di atas 10% dari total NNP (Net National Product). Kolumbia masuk pada kategori ini. 4. Enclave Economics (perekonomian enklave) Rata-rata saving dan investasi termasuk besarnya impor di atas 10% dari total NNP (Net National Product), namun kondisi domestik untuk mempertahankan kelanjutan prestasi ekonomi tidak ada. Masuk pada kategori ini adalah Burma dan Nigeria. Akhirnya, proses tinggal landas di definisikan sebagai revolusi di bidang industri, berkaitan secara langsung dengan perubahanperubahan radikal dalam metode berproduksi. Proses-proses ini juga membutuhkan prakondisi-prakondisi yang sangat luas guna menembus jantung organisasi perekonomian masyarakat. Sektor-sektor manufaktur akan menjadi mesin transformasi perekonomian. Namun sesungguhnya, pendekatan dengan memanfaatkan data-data empirik tentang data dan prestasi ekonomi nasional yang sudah dicapai tersebut, sebenarnya tidak mampu untuk menjelaskan apapun tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses tinggal landas (take off) tersebut dan hubungan sebab akibat yang terjadi di dalamnya. Yang juga sangat penting diperhatikan sebenarnya adalah bagaimana memahami dan memperhatikan variabelvariabel yang khas di setiap negara dengan setting nya sendiri-sendiri berlangsung. Sebenarnya kalau kita cermati dengan seksama, tidak ada pola yang seragam atau sama (there is no single pattern). Faktorfaktor yang khas tersebut adalah pertama, 247
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 adanya dana pinjaman (utang). Kedua, sumber-sumber kewiraswastaan (entrepeneurship). Dan ketiga, adalah sektor terdepan (leading sector) dalam proses tinggal landas tersebut. KESIMPULAN Transformasi struktural, kultural maupun nilai-nilai modernitas sangat ditekankan dalam teori modernisasi, karena struktur, kultur maupun nilai di Barat dianggap lebih mencerminkan modernitas (yang ditandai dengan kemajuan, rasionalitas berpikir, cara kerja yang efisien,dsb) dibandingkan dengan struktur, kultur dan nilai-nilai yang berkembang di daerah-daerah yang tradisional (irasional serta cara kerja yang tidak efisien). Sehingga dalam bayangan para ahli teori modernisasi, suatu proses pembangunan dilihat secara linier, ada suatu proses dari tradisional ke masyarakat modern. Dalam kacamata teori modernisasi, nilai-nilai tersebut dapat ditransformasikan secara universal ke dalam setiap masyarakat yang lain, tanpa melihat konteks yang tentunya berbeda-beda. Oleh karena itu, seringkali dianggap bahwa pendekatan untuk mengkaji teori modernisasi, biasanya bersifat ahistoris. Semua masyarakat akan berjalan melalui prose dan logika dari masyarakat tradisional ke arah masyarakat modern. Karya WW. Rostow, yakni teori pertumbuhan pada dasarnya merupakan salah satu varian dari teori modernisasi yang berkembang pasca Perang Dunia II. Rostow berasumsi bahwa diperlukan adanya kesiapan terhadap lembaga-lembaga sosial dan politik yang mendukung proses pembangunan. Teori Rostow menekankan arti pentingnya proses tinggal landas dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung di suatu negara. Fase tinggal landas adalah sebuah periode yang didalamnya terjadi peningkatan skala investasi sedemikian rupa sehingga out put (real output) per kapita meningkat yang diikuti kemudian oleh peningkatan secara dramatis kuantitas produksi dan aliran pendapatan. Implikasinya adalah, akan terjadi suatu peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi, diharapkan akan
mampu terjadi proses menetes ke bawah (trickle down effect). Rostow juga beranggapan bahwa, negara-negara yang masih tradisional, hanya akan bisa memerdekakan dirinya sendiri karena datangnya faktor-faktor eksternal. Negara-negara itu harus diperkenalkan dengan nilai-nilai modern yang lebih rasional, dan sarana-sarana penunjang lain untuk menopang proses pembangunan. Negaranegara yang bisa menolong ini, tidak lain dan tidak bukan adalah negara-negara maju. Mungkin inilah yang disinyalir oleh Fred W Riggs maupun Jan Nederveen Pieterse bahwa penggunaan cara-cara budaya Barat maupun pemasukan barang-barang materi dari Barat merupakan bagian dari proses modernisasi. Oleh karena itu, Fred W. Riggs dan Jan Nederveen Pieterse menyebut proses modernisasi sebagai westernisasi, dengan komponen-komponennya yang terdiri dari industrialisasi, demokrasi, dan ekonomi pasar. DAFTAR` PUSTAKA
Arendt, H.W. Economic Development: The History an Idea University of Chicago Press, Chicago, 1987; Comte, Auguste Introduction to Positive Philosophy, Indianapolis, IN: Hackett, 1988. Descartes Rene, a.d, Discourse on Methods and the Meditation. J.B. Bury, The Idea of Progress: An Inquiry into its Origin and Growth, Dover Publication, New York 1932. Parsons, Talcot The Social System, Glencoe, IL: The Free Press, 1951. Pieterse Jan Nederveen, a.d, Development Theory, Deconstuction/Reconstruction. Vistaar Publicatons, New Delhi. Pieterse, Jan Nederveen, Emansipation, Modern, and Posmodern, dalam Jurnal Development and Change, Volume 23, Number.3, July 1992. Peet, Richard with Hartwick, Elaine, Theories of Development, The Guilford Press, New York/ London, 1999. Ricardo, David, the Principles of Political Economy and Taxation; London. 1817. 248
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Smith, Adam Wealth of Nation, London, Routledge, 1890 Rostow, Walt W. the Stages of Economic Growth: A Non Communist Manifesto, Cambridge, 1960. Rostow, Walt W. the Economics of Take-off into Sustained Growth, New York, 1963 Rostow, Walt W. Politics and the Stages of Growth, Cambridge, 1971. Rostow, Walt W. How it All Began: Origins of the Modern Economy, McGraw-Hill Book Company, New York 1975. .Thomas, Robert Paul and North, Douglas C., the Rise of the Western World: A New Economic History, Cambridge, England: Cambridge University Press, 1973 Rosenberg, Nathan dan L.E. Birdzell, Jr., How the West Grew Rich: A New Economic Transformation of the Industrial World, New York: Basic Books, 1986.
249
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Australian Politics: The Debate on Being Republic Oleh: Tri Windari
Dosen Jurusan Pemerintahan FISIP UNLAM Abstract:
Negara Australia merupakan negara yang menganut sistem politik demokrasi liberal yang tergolong sukses di dunia dengan memberikan kemakmuran rakyat dalam atmosfer multikuluralisme dan isu suku aslinya, yakni suku Aborigin. Namun yang unik dari semua itu adalah Australia tetap mempertahankan keterikatannya dengan negara Barat yang jauh berada di seberang samudera yang telah membentuk benua Australia seperti sekarang, yakni negara Inggris. Ikatan ini ditunjukkan dengan masih dipertahankannya Ratu Inggris sebagai Ratu dari negara Australia dan yang berhak mengangkat Kepala Negaranya, yakni seorang Governor General meskipun jalannya pemerintahan Australia tetap dipimpin oleh seorang Perdana Menteri yang dipilih secara demokratis oleh rakyatnya. Seiring dengan arus imigrasi dari berbagai negara yang tiap tahun menambah multikulturalisme di Australia dan tingkat pendidikan warganya maka keterikatan emosional dengan Ratu Inggris semakin melemah. Generasi baru cenderung berfokus pada kinerja pemerintahan daripada keberlangsungan ‘kehadiran’ Ratu Inggris di negaranya. Debat tentang menjadikan Australia murni sebagai sebuah negara republik pun bermunculan berkali-kali. Berbagai argumen dikemukakan terkait dengan esensi demokrasi dan penghargaan sejarah terbentuknya Australia, dan referendum tentang pembentukan negara Australia pun sebagai sebuah republik dilakukan. Namun hingga saat ini Australia masih tetap mengakui Ratu Inggris sebagai Ratu dari negaranya yang diwakili oleh seorang Governor General. Kata Kunci: monarki, republik, demokrasi.
I. Introduction he debate over an Australian republic has been living in Australia even before 1901. The supports for making Australia as a republic or keeping the monarchical system have been ups and downs throughout the years. The development of Australia and multiculturalism has been contributed to enrich the debates even more. However, the people’s understanding of their own political system is one of the main determinations in changing the current system. As an outsider, I believe that there is a possibility for Australia to become a republic or to have the legal formal system of a pure republic along with
T
the increasing level of education, multiculturalism-including the rights of the indigenous people, and the changing conception of itself in international relations. II. The Definition of a Republic Harry Evans stated that the true republic is a constitutional order in which government is conducted according to rules and there is an apportionment and balance of powers to guard against their misuse, even by the people, it is essentially founded on division of power.41 The frame of federalism is also an improvement on the classical model because it 41
Lovell, David W, et all, The Australian Political System, Longman Australia, 1998, p.732
250
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 could be directed to the same end.42 Oxford English Dictionary defines a republic as a state in which supreme power rests in the people and their elected representatives or officers, as opposed to one governed by a king or similar ruler; a commonwealth.43 III. The Debates on Making Australian Republic III. A. Keeping the Current System
There has been variety of reasons for people to keep the current system which is based on the British monarchy.
John Howard, the leader of the Coalition disagreed on making Australia as a republic country because he does not believe in changing a constitutional system which works so well and has helped bring such stability to Australia would make any differences, such as the independency of Australia, the efficiency of government and political system, and democracy. Thus, it might disrupt the check and balances mechanism in Australia and there is less security of the position of the president rather than the Governor-General.44 In regards to Australian political system that has been working, the argument for keeping the monarchy mainly based on three categories. Firstly, Australian people are entirely sovereign; there is no monarch or other groups of notables with any legitimate claim to rule independently the people. Secondly, for almost a century the Australian people have constituted themselves politically as a nation and structured their government in an elaborate federal system of parliamentary responsible government through the Commonwealth constitution over which they have supreme authority. Thirdly, the formal 42
Ibid, p.730 Ibid, p.733 44 John Howard's Statement on the Republic Referendum, Monday, October 25, 1999, viewed at
, viewed on 28 May 2008 43
monarchic residual-monarch and its representative (head of states) - is incorporated entirely within the Australian’s people constitution. Consequently, in substance and effect, Australia is a republic. 45 For this argument, it is believed that Australia has republicanizing the symbolic character of the heads of states, the governor-general and state governors. There is a fear over changing Australia into a republic as stated by Tony Abbott who argued that becoming a republic has the potential to divide Australia in much the same way as the World War I conscription debates, the 1951 Communist Party dissolution bill or the 1975 dismissal crisis. Only the difference is that becoming a republic would have the immediate practical consequences.46 The Crown is an important link to centuries of tradition and an important sign of the continuity in Australian national life. The Crown is the oldest continuing institution in western civilization and Tony Abbott believed that sensible countries will not throw away their icons without very good reasons. Therefore, even though Australia seems to have the ability to construct the world’s best republic, he argued there is nothing wrong to keep the good sense of Australia’s history by keeping the current system which has been proven to be hard to beat.47 The importance of the Queen lies in her throne which holds link between the modern Australia and its past, the long interplay of forces between government and people, and signifies the unity of political community by holding itself aloof from the merest taint of political controversy.48 The Queen is represented in Australia by the governor-general who is appointed by the Queen on the advice of the Australian prime minister of the day for a fixed term of office. While the prime minister is elected 45
Lovell, op.cit, p.738 Ibid, p.656 47 Ibid, p.657 48 Maddox, Graham, Australian Democracy, Pearson Education Australia, 2005, p.150 46
251
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 democratically by the people, thus even the appointment of the governor general by the Queen still holds the democratic elements in terms of the people preference. Sir Harry Gibbs believed that constitutional monarchy provides a subtle and flexible system of checks and balances, without any detracting from national independence.49 And he said that it has been proven that most constitutional monarchy is free and democratic while most republics are not, and Australia has been a free and stable society continuously since 1901. In regards to multicultural society, some ethnic leaders point that the choice of keeping the monarchy is also because some immigrants were fleeing from tyranny in foreign republics such as Vietnam, the former Yugoslavia and Chile. A Greek-descent lawyer also believed that the constitution has been independent and has provided stability that attracts hundred thousands of people coming to this country, therefore this type of government is already good.50
For people who vote for maintaining the current system, many of them also believe of the democratic element of its current system. It is where the Governor-General is bound by a convention to appoint the Prime Minister and Ministers able to obtain the support of the majority of the Lower House and because the Governor-General is then bound by the basic constitutional convention to exercise powers to the decisions of voters in elections. These conventions are the glue that binds the Governor-General to the democratic process.51 Thus, the democratic support to the Governor-General can been seen in some reasons in; its mandate that enables no power 49
Shiell, Annette and Spearrritt, Peter, Australians and the Monarchy, National Centre for Australian Studies Monash University, 1993, p.40 50 Higgins, Ean, A Battle over the Queen, MacLean’s, Vol. 112, Issue 45, p.34 51 McGarvie, Richard E., Democracy: choosing Australia’s republic, Melbourne University Press, Victoria, 1999, p.12
to encourage rivalry with the elected government, its liability to prompt dismissal of any conventional breach, its method of appointment in a representative and democratic way, and its capacity to exercise a reserve power and refer a question to the Parliament as the safeguards of democracy. The involvement of the Governor-General in many ceremonies even encourages the shared values of a democratic community and reinforces confidence in them. III. B. Making Australia as a Republic In formal terms, an Australian republic means that the Constitution must be amended so that references to the monarch and the Governor-general are replaced by references by the office of a new head of state.52Many people would agree with Grassby that the central of Australian Republic is the way the Australians would choose the head of state, whether by general election, election by the Parliament, appointment by an Electoral College, or appointment by the government. This method of election will determine its democracy or representative-ness and the relation with the Prime Minister. The issue of an Australian republic raises many important questions about its political system. It will chiefly regularize what Australia has already become and deals with the question of clearing up the remaining anomalies in Australia’s legal and constitutional status. There is an argument that Australia was never a constitutional monarchy but always a federal republic 53 based on the democratic elements found in running the country therefore making Australian republic is just like switching the symbol only. However, for others it may be argued that making Australia republic is not just switching symbols since it is a question of political maturity and an Australian identity. But identity is a complicated concept in relation with the political contest and the 52 53
Lovell, op.cit, p.644 Ibid
252
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 burdened of cultural diversity in Australia. That is why, the defenders of the status quo mostly fear on the largely unnecessary implications on its unforeseen and unintended consequences that might resulted in its cultural diversity of Australia.
Two referendums were held on Saturday 6 November 1999. One concerned the establishment of an Australian republic with a Head of State appointed by a two-thirds majority of Federal Parliament. The other concerned a Preamble to the Constitution. Both referendums were defeated. The result of the referendum on November 6, 1999, Australians voted 55% to 45% against a proposed model to make the nation a republic. The 1999 referendum failed was due to the debate over the minimalist model. The minimalism was proposed because of a belief that there is nothing wrong with the constitution, the difficulty of considering more change at that stage so it could be better to focus on the head of state issue then deal with the others later because the Australian people were essentially still conservative.54 But the minimalist is seen as undemocratic. The 1999 showed the huge gap between elite thinking and the most of voters. Opinion polls showed consistently that a directly-elected president was wanted, but the majority of the Constitutional Commission delegates had their own ideas.55 According to Beazley, the 1999 referendum result indicates that the majority of Australians favor a republic, thus the referendum itself failed because of the following factors; the influence of the Prime Minister, public ignorance of the Constitution and the republican proposal, cynical opposition by the ‘non-campaigners’, lack of trust to politicians and public institutions, and a perception by the majority of Australians that the model proposed was not owned by them.56 In regards to these reasons, civics 54
Hudson, op.cit, p. 112 Ibid, p.122 56 Craven, Greg, et.all, Law Review, The University of Notre Dame, Australia, Vol.4, December 2002, p.165 55
education and the right question proposed are essential to determine the answer. The design of a republican model which clarifies the uncertainty and specifies its powers of the head of state vis-à-vis the Prime Minister and the historical background is also fundamental.
The debate over republic also deals with the model of an Australian republic, whether Australians would have an elected president by the people directly; or a minimalist idea where the president would continue to represent the Governor-General at the federal and state levels which has the limited powers to dismiss and appoint the relevant representatives only; or the choice for the states whether they would remain as monarchies if they wish.57 There are two major obstacles to public acceptance of an Executive President. They require the constituencies in the Parliament itself and in the public opinion to make changes. Parliament has to pass the Bill to hold the referendum to make the constitutional changes. However, those who hold power are unlikely to give away their power.58 Given the lack understanding of the political system in Australia, it is a very hard and complicated preference to decide for the people to be able to choose without strong influences of the media.
A younger generation may be less blindly loyal or uncritically admiring the royal family than its predecessors even though the interest of the royal members as celebrities are still popular. Having the development and globalization, many recent immigrants to Australia from non-English-speaking countries feel no interest and no connection with the Britain. The idea of representative-ness and responsible government is more important therefore it can be the argument for establishing a republic as a means to declare itself as ‘a people’s affair’. Based on this argument, a republic is believed to give 57 58
Craven, loc.cit, p. 158-159 Ibid, p.163
253
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Australians a great opportunity to establish a new constitution and to use the occasion of its promulgation to educate the public into a new understanding of political principles.59
In regards to multiculturalism in Australia, Ann Curthoys believed that national identity and republicanism are important because it reflects a confident national selfimage in a much better basis for international interchange than the British-colonial one which will continue to envelope Australia if the monarchy and its symbols remain.60 As time passing by, there are more diverse society come and live in this continent. Even though the Anglo-Celtic has remained predominantly ethnicity in Australia, but the number keeps decreasing. The Anglo-Celtic share has fallen from 90% in 1947 to 74.5% in 1988, and down to 70% in 1999. And if Australia keeps the immigration policy in favor of diverse countries, it is projected that in 2025 the Anglo-Celtic share will reach 62.2%.61 Therefore, the representative-ness of the British Queen is questionable. By looking at the development of Australian multicultural society and its independence in a quite democratic way, Australia has the capacity and possibility to become fully republic. Furthermore, by being republic would not make any significant change in its relation with its historical ties with Britain and the commonwealth. By being republic would even encourage a possibility of creating a more democratic Australia as it might enable more justice and equality amongst many ethnicities living in this country.62 However, an Australian republic
would have more opportunity to establish if the society had a better understanding of its own political system, government, and their constitution.
Looking at the history of the republicanism, it has various considerable impacts on the evolution and development of Australia’s political institutions. The republican element has pervaded in most political discourse, such as in the making of a responsible government and its relation to the Colonial Office in 1880s.63 The defeat of the republican by the Crown in 1901 was because the British connection provided and guaranteed a better protection for the white settlement in a non-white geographical location.64 Therefore in order to create an Australian republic, the republicans would better bring its history of its rich and sophisticated heritage into the public domain to provide a means of self-examination through the critical appraisal of a republican past, which might be lack understood by the Australians. In fact the political institutions of Australia have been shaped by the political philosophies and determination of Australians over the last 200 years. But there are some problems in the republican movement, for example it was never cohesive. Republicans stood for a variety of platforms with different motivations and varied levels of commitment, such as the socialist influence as seeing monarchy as a symbol of a class division. According to McKenna, the formation of federation in 1901 was a genius compromise to steer republicanism towards constitutional 65 monarchy.
59
Maddox, op.cit, p.150 Lovell, op.cit, p. 659 61 Price, Charles, Australian Population: Ethnic Origin, People and Place, Vol. 7, No.4, p. 13, viewed at , viewed on 1 June 2008 60
62
Department of the Prime Minister and Cabinet, An Australian Republic; Questions and Answers about the
Government’s Proposal, Publishing Service, 1995
Australian
63
Government
McKenna, Mark, The Captive Republic; A History of Republicanism in Australia 1788-1996, Cambridge University Press, Cambridge, 1996, pp. 9-10 64 65
Ibid, p.10 Shiell, op.cit, p. 12
254
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 The debates over the model of Australia’s republic showing that Australians need to reach a new consensus about what a republic is, and what republicanism means in their political, philosophical and legal context.66 In English a republic means a state without a monarch. But British constitutional defines a republic as a Commonwealth or a form of government which pursues the public good ethically committed institutions, therefore Britain is a ‘crowned republic’. David Flint argued that the Crown is the core of the link through the past of Australia as a state and he recognized the fear of changing the constitution that has worked so well. However, McKenna argued on the contrary, that it is actually a failure to adequately ‘imagine’ the change. They need to broaden their concept of the meaning of a republic and consider a proposal for a democratic process that will create a sense of popular ownership in a republic, to define not simply by nationality of the head of state but the process to decide the change.67 This includes the recognition of the diversity of the immigrants and Australia’s Aboriginal and Torres as Strait Islanders are accounted in this process. Winterton argued that Australia tends to seek a republic in a modern sense, that employed by American Founding Fathers. But the Australian people have lack of understanding of what the Australian republic entailed. The Australian constitutional system embodies a number of fundamental principles, including representative government, federalism, the independence of the judiciary, judicial review of the validity of legislation, and responsible government under the Crown. The Australian republic would only change the responsible government under the Crown while its principle would remain 68 unaffected. The government could continue 66
Hudson, Wayne, and Brown, AJ., Restructuring Australia, The Federation Press, Sydney, 2004, p. 80 67
Ibid, p.81 68 Winterton, George, Monarchy to Republic, Oxford University Press, Melbourne, 1994, p. 4
to be carried on by ministers, having the confidence of the lower house of parliament, such as in Ireland and India. The fear over creating a republic of Australia actually is not very necessary because the Australian system is republican in terms of the use of the constitutions for the Commonwealth and the States as the instruments of the Australian people who have supreme authority. Therefore Winterton strongly argues that the monarchic element persists in formal ways within legislatures and executives.69 Thus, Australia in substance is a republic disguised in monarchic forms, so switching from a formal monarchism would only be regularizing the Australian republic.70 Thus again, it is mainly about changing symbols and regularizing the Australian republic, not a change of political system in essence. But even though the support for a republic has dropped 6% to 45% in May from February 2005 and the support for monarchy was up to 42%, the majority, 56%, stated vote for a republic if Prince Charles were crowned a King.71 Therefore, there is still a possibility towards Australia becoming a republic, despite all the public debate on its constitution and the people’s understanding of their political system. Analyzing the referendum results over many years held in Australia can be a guide to understand the result of the republican referendum. Based on the data of Referendum Dates and Results 1906 – Present, there have been 44 referendums held by Australians since 1906 up to the present and there were only 13 referendums were won, with 8 results were implemented. The referendums were voted by all states were only those 8, except in State 69
Galligan, Brian, A Federal Republic, Cambridge University Press, 1995, p. 14 70
Ibid, p.15
71
Morgan Poll, Now Only 45% of Australians
Want a Republic with an Elected President (Down 6% Since 2001), 7 May 2008, viewed at , viewed on 30 May 2008
255
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Debts polling in 1910 where New South Wales did not vote.72 The pattern of the referendum result that tends to lose the votes probably needs to be analyzed better if Australia wants to use referendum to create a republic. The question is essential because Australians trust the current democracy so that is why the hard question deals with the model for the head of state in a republic that would be best maintain the character, strengths and quality of the present democracy. The community should be given a simple referendum choice between the present monarchical system and the republican model which will best maintain Australian’s democracy.73
IV. Conclusion There is a possibility of Australia to become a republic by looking at the constitution and its political system since essentially Australia has had the components of becoming a republic country. The multicultural society living in Australia, many of whom are not British and the indigenous people, might be a support of Australian republic as they do not have a strong connection with the Queen and more focus on how the government runs its function democratically and the government’s capacity in dealing with the people’s needs. Dealing with the symbolic role of the GovernorGeneral, in fact his power was proven not purely ceremonial when in 1975 former Prime Minister Gough Whitlam was dismissed by the Governor-General and replaced by the caretaker Malcolm Fraser due to unpredictable crisis at that time.74 One of the striking features in republic debate is that there is a great reluctance 72
Referendum Dates and Results 1906-Present, Australian Electoral Commission, viewed at , viewed on 29 May 2008 73 74
McGarvie, op.cit, p. 3 Mcgarvie, op.cit, p. 60
amongst parliaments in discussing this issue in publics. They seem to be waiting until the public shows their preference first, while most Australians have little knowledge of the Constitutions of the Commonwealth, states and territories. Their level of knowledge of how Australian system of government works is low.75 However, the education and the development in Australia would deal with this problem in later year Bibliography An Australian Republic, the way forward: Speech by The Prime Minister,the Hon. PJ Keating MP, 7 June 1995, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1995 Craven, Greg, et.all, Law Review, The University of Notre Dame, Australia, Vol.4, December 2002 Department of the Prime Minister and Cabinet, An Australian Republic; Questions and Answers about the Government’s Proposal, Australian Government Publishing Service, 1995 Higgins, Ean, A Battle over the Queen, MacLean’s, Vol. 112, Issue 45,
Jaensch, Dean, The Politics of Australia, Macmillan Education Australia, 1997 John Howard's Statement on the Republic Referendum, Monday, October 25, 1999, viewed at , viewed on 28 May 2008 Galligan, Brian, A Federal Republic, Cambridge University Press, 1995
Hudson, Wayne, and Brown, AJ., Restructuring Australia, The Federation Press, Sydney, 2004, 75
Ibid, p. 269-270
256
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Lovell, David W, et all, The Australian Political System, Longman Australia, 1998
McKenna, Mark, The Captive Republic; A History of Republicanism in Australia 17881996, Cambridge University Press, Cambridge, 1996, pp. 9-10 Maddox, Graham, Australian Democracy, Pearson Education Australia, 2005 McGarvie, Richard E., Democracy: choosing Australia’s republic, Melbourne University Press, Victoria, 1999
Morgan Poll, Now Only 45% of Australians Want a Republic with an Elected President (Down 6% Since 2001), 7 May 2008, viewed at , viewed on 30 May 2008
One hundred years a nation: Australia looks to 2001, Georgetown University, Centre for Australian and New Zealand Studies, Washington DC, The Melbourne Lecture, 23 September 1997. Price, Charles, Australian Population: Ethnic Origin, People and Place, Vol. 7, No.4, p. 13, viewed at , viewed on 1 June 2008 Referendum Dates and Results 1906-Present, Australian Electoral Commission, viewed at , viewed on 29 May 2008
Shiell, Annette and Spearrritt, Peter, Australians and the Monarchy, National Centre for Australian Studies Monash University, 1993 Winterton, George, Monarchy to Republic, Oxford University Press, Melbourne, 1994
257
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
ANALISIS KRITIS TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA DALAM NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh : Andi Tenri Sompa Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNLAM Abstraksi Hakikat sebuah negara dapat diukur dengan ada atau tidak adanya kesejahteraan dalam masyarakat. Artinya, jika kesejahteraan tidak dapat dirasakan, maka negara dianggap tidak ada. Dalam konsep negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan terlantarnya masyarakat tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpusat oleh program-program jaminan sosial, seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran. Tulisan ini mencoba menggali sedikit dimensi sektor pertanian tersebut, dimana pembahasannya akan di titik beratkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pertanian tersebut. Hal ini mengingat aktor utama dalam pengelolaan sektor pertanian tersebut, serta pihak yang paling merasakan implikasi dari berhasil tidaknya pertanian dalam suatu negeri adalah petani. Lebih-lebih kehidupan para petani Indonesia kini ibarat berada di ujung tanduk. Jika mereka berhenti sebagai petani dan mencari pekerjaan lain yang tentu tidak mudah diperoleh, kehidupan keluarganya pasti terancam. Jika meneruskan pekerjaan sebagai petani, hasilnya tidak menguntungkan. Key words : Sektor pertanian, Negara kesejahteraan
PENDAHULUAN he Wealth of Nations (1776) karya Adam Smith menjadi sebuah pijakan konseptual pembentukan negara kesejahteraan. Dalam diktumnya yang terkenal, defense comes before opulence, Smith76 menyebutkan beberapa kewajiban yang mesti dilakukan oleh negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya. Pertama adalah menjaga keselamatan dan kebebasan warganya dari serangan pihak luar, serta adanya perbudakan. Kewajiban tersebut tidak
T 76
Adam Smith, An Inquiry the Nature and Causes of The Wealth of Nations, The University of Chicago Press. Chapter ix hal. 183
merupakan harga mati yang harus dilakukan oleh negara. Pemerintah sebagai instrument negara harus membela rakyatnya meskipun pelaksanaan tujuan tersebut mengharuskan pengorbanan finansial yang besar. Kewajiban kedua yang harus dilakukan negara adalah melindungi setiap anggota masyarakat dari ketidak adilan dan penindasan yang mungkin terjadi diantara sesama anggota masyarakat. Ketidak adilan harus dilenyapkan. Karena bagaimanapun kesejahteraan sulit terwujud dan dirasakan semua anggota masyarakat, jika ketidak adilan berlaku. Ketiga, kewajiban negara terkait dengan fungsinya sebagai sebuah institusi. Negara berkewajiban menciptakan lembaga (institusi) publik untuk kesejahteraan masyarakat luas.
258
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Dengan hal-hal tersebut, maka tidak berlebihan jika para ahli menyatakan bahwa hakikat sebuah negara dapat diukur dengan ada atau tidak adanya kesejahteraan dalam masyarakat. Artinya, jika kesejahteraan tidak dapat dirasakan, maka negara dianggap tidak ada. Dalam sejarahnya, manusia berupaya mewujudkan kesejahteraan dalam aneka konsep negara. Misalnya negara demokrasi, totalitarian, republik atau monarki, komunis atau fasis, kapitalis atau kolektivis. Poin yang menjadi tujuan utama konsep-konpse negara tersebut adalah pada kesejahteraan tadi. Realisasi dari kesejahteraan juga dilakukan dalam konteks masyarakat di era pasar bebas (laissez faire). Bahkan dapat dipahami bahwa gagasan pasar bebas sesungguhnya bagian lain dari upaya mencapai kesejahteraan dimaksud. Smith sangat mendukung konsep laissez faire passer yang menghendaki campur tangan pemerintah seminimal mungkin dalam perekonomian. Smith berkeyakinan bahwa perekonomian dapat berjalan dengan wajar tanpa ada campur tangan pemerintah. Ia sangat yakin akan adanya mekanisme tak terlihat yang disebut invisible hands yang akan memperekonomian pada keseimbangan. Sebaliknya jika pemerintah campur tangan maka akan menimbulkan inefisiensi dan ketidak seimbangan. Kemunculan teori ekonomi pada abad 18 akhir dan awal abad 19 merupakan upaya perbaikan konseptual untuk melepaskan jeratan ilmiah dari kecenderungan irasionalitas. Kekuatan irasionalitas menjadi salah satu sisi gelap dalam sejarah. Pada abad sebelumnya, misalnya abad 15 kekuatan pemikiran ekonomi diwarnai dengan kuatnya hubungan ilmu ekonomi dengan persoalan etis. Sama halnya, konsep kesejahteraan (welfare), harus diperlakukan serta dipahami dalam luas. Maksudnya konsep tadi bukan hanya sekedar argument para ahli ekonomi, namunjuga melingkupi persoalan yang sangat luas, dari social, politik dan budaya. Sebuah institusi berguna untuk merealisasikan gagasan kesejahteraan tersebut. Tanpa itu, maka sama saja nihil. Faktor butilitas atau kegunaan harus menjadi konsep kunci yang mengaitkan antara analisa
disatu sisi dan kebijakan ekonomi pada sisi lain. Mengacu pada hal tersebut tidak ada kebijakan atau institusi yang dapat mengklaim keabsahan dan kebaikannya secara abolut. Ukuranya justru harus dinilai pada aspek akibat, berupa kebahagiaan yang akan dirasakan manusia. Sudah sejak lama, para ahli ekonomi klasik meyakini bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan tersebut dapat diraih melalui konsep laissez faire. Namun, mereka, para ahli ekonomi klasik, mulai dari Adam Smith hingga John Sturat Mill tidak menghendaki harapan yang ada pada konsep tersebut, hanya sekedar menjadi dotrin konseptual saja. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka konsep tersebut dalam perkembangannya mengalami modifikasi, terutama yang diakibatkan situasi yang terjadi pada era industrialism, pada era abad 19. Akhirnya, baik Benthan maupun Mill mengadopsi filsafat sosial dan politik yang dekat dengan konsep Negara kesejahteraan. John Stuart Mill (1806-1873) merupakan tokoh kunci ekonomi klasik. Dalam bukunya Principles of Political Economy, Mill menentang pihak-pihak yang menuduh paham lasissez faire sebagai ilmu yang muram dan menyedihkan (dismal science).77 Konsep yang digagas Mill tidak terlalu kaku mengenai campur tangan pemerintah. Ia membolehkan campur tangan pemerintah berupa aturan-aturan dan kebijakan yang dapat membawa pada efisiensi. Namun begitu, keinginan untuk memperbaiki system yang terus terjadi. maka salah satu yang terjadi adalah terjadinya peralihan dari konsep laissez faire ke ekonomi Negara kesejahteraan. Dibalik fenomena tersebut dapat dilihat beberapa factor, misalnya ekonomi, politik dan psikologis. Pada abad 18, atau awal abad 19 unit ekonomi utama berkisar pada pertanian, perdagangan, dan bisnis yang relatif kecil. Itupun dikelola, dijalankan dan dimiliki satu keluarga. Dalam kondisi tersebut, masyarakat mengharapkan akan terciptanya kebebsan aktiviast mereka dari pendiktean (control) pemerintah. Hasrat 77
Ebensteain, William. Great Political Thinkers. New York. NY: holt Rinehart, and Wunston, 1960
259
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 untuk meraih kebebsan ekonomi tersebut bertepatan dengan perkembangan realitas teknologi ekonomi. Dengan kondisi seperti itu, unit yang paling efesien dijalankan dalam skala yang berukuran relatif kecil. Kedua, kekutan pendorong dibalik evolusi Negara kesejahteraan bersifat politis. Situasi ini terkait dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka untuk memilih. Fenomena tersebut terakmulasi dalam tuntutan terhadap hak suara yang terjadi di sebagaian besar Negara Barat pada abad 20. Mereka menyadari bahwa, hak untuk memilih tidak hanya menyangkut kekuasaan politik untuk memilih perwakilan di parlemen atau kongres. Tetapi lebih itu, hak memilih juga berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan social yang sangat luas. Kekuatan ketiga dibalik pertumbuhan Negara kesejahteraan bersifat psikologis. Masyarakat di seluruh dunia, baik dalam masyarakat maju maupun berkembang tidak lagi menerima kesengsaraan sebagai suatu takdir yang tidak bisa diubah. Kondisi ini diakibatkan oleh menurunnya pengaruh agama, terutama terkait dengan konsep tentang nasib. Agama tidak lagi memiliki pengaruh kuat sebagaiman dalam imajinasi masyarakat masa lalu. Sejak dari itu masyarakat lebih yakin bahwa kesejahteraan hidup ditentukan oleh kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial. Wacana ini disuarakan di hampir semua negara, baik Negara sosialis maupun Negara non-sosialis.78 Di negara berkembang kekutaan psikologis ini muncul dalam bentuk yang kekuatan politik, terutama yang bertujuan bagi tercapainya kemerdekaan bangsanya. Namun pada hakikatnya, semua persitiwa tersebut, sebenarnya juga dimotivasi oleh keinginan akan kondisi kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik. Keinginan yang luas terhadap kebijakan negara kesejahteraan tidak murni didasarkan pada sentiment dan kekuatan psikologis saja. Hal tersebut sesungguhnya mengisyaratkan bahwa dalam sejarahnya umat manusia sudah sampai pada satu tahap dimana mereka membutuhkan cukup 78
Ibid
pengetahuan dan menguasai alam untuk kesejahteraan. Prinsip pokok dalam konsep negara kesejahteraan relatif sederhana. Pertama, bahwa semua anggota masyarakat, karena ia makhluk hidup, berhak atas standar minimum kehidupan. Kedua, Negara kesejahteraan berkomitmen pada kebijakan stabilitas dan kemajuan ekonomi. Ketiga, Negara kesejahteraan berkewajiban untuk mengadakan lapangan pekerjaan sebagai prioritas dalam kebijakan ekonomi mereka. Depresi besar (The Great depretion) yang pernah terjadi dalam sejarah masyarakat Barat menunjukan bagaimana jatuhnya ekonomi, berakibat pada terdegradasinya harkat dan kesejahteraan kemanusiaan. Sistem kesejahteraan sebagai hak sosial warga dalam negara kesejahteraan harus diimbangi oleh dua hal yang salaing terkait yaitu pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja penuh (full employment). Di satu sisi, hak sosial tidak seharusnya menjadi disinsentif bagi warga untuk terlibat dalam pasar tenaga kerja (labour market), sehingga negara harus menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang aktif (active labour policy) untuk mendorong partisipasi penuh warga dalam pasar tenaga kerja.79 Di sisi lain, luasnya basis hak sosial membutuhkan sumber pembiayaan yang memadai melalui sistem perpajakan yang kuat yang hanya dimungkinkan melalui pertumbuhan ekonomi dengan peran aktif pemerintah di dalamnya. Segitiga antara peran negara dalam pertumbuhan ekonomi-jaminan hak sosialkebijakan aktif tenaga kerja merupakan karakteristik kunci dari suatu negara kesejahteraan.80 79
Hall dan Soskice dalam LJ Touwen, Welfare State and Market Economy in Netherlands, 1945-2000: Macroeconomics Aspect of a Coordinated Economy, 2004 hal 5 dalam Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (2006) hal11. 80 S. Kuhnle dan SEO Hort, The Developmental Welfare State in Scandinavia: Lessons for the Developing World (UNRISD, 2004), hal 13-14, dalam Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (2006) hal 11.
260
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Dalam konsep negara kesejahteraan, pemecahan masalah kesejahteraan sosial, seperti kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan terlantarnya masyarakat tidak dilakukan melalui proyek-proyek sosial yang berjangka pendek. Melainkan diatasi secara terpusat oleh program-program jaminan sosial, seperti pelayanan sosial, rehabilitasi sosial, serta berbagai tunjangan pendidikan, kesehatan, hari tua, dan pengangguran. Dalam permasalahan sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran. Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya. Perjalanan pembangunan pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani dan kontribusinya pada pendapatan nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi Sumber Daya Alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya pangsa terhadap ekspor nasional, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Potensi pertanian Indonesia yang besar namun pada kenyataannya sampai saat ini sebagian besar dari petani kita masih banyak yang termasuk golongan miskin.
Permasalahan sektor pertanian dari nasib sektor pertanian pada negara Indonesia masih diundervaluekan dari sektor yang lain sampai dengan tanpa kita disadari telah banyak kerusakan lahan yang terjadi akibat aktivitas eksploitasi pertanian di bumi yang kita cintai ini. Banyak penyebab signifikan yang mengundervaluekan sektor pertanian, diantaranya dilihat berdasarkan alam (banjir, kering, hama, dll), ekonomi (harga jual turun terus sedang input naik, spread antara petani dan konsumen lebar), sosial (20 juta petani menanam di kurang dari ¼ hektar dan tidak efisien, 40% penduduk bekerja di sektor pertanian). Selain faktor yang telah disebutkan, faktor penyebab berikutnya adalah produktivitas yang minim yang bisa kita minimalkan dengan peningkatan kualitas skill dan peduli akan sustainable development. Hal ini dapat diaplikasikan dengan baik agar meminimalisir dan mencegah dampak kerusakan lahan yang akan berpengaruh pada stabilitas makro ekonomi (terutama inflasi), ketahanan pangan, pengangguran, dan kemiskinan. Pada dasarnya, kebijakan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dalam sektor pertanian pada tulisan ini menjadi poin penting terciptanya produktifitas pertanian yang berkelanjutan dan meminimalisir cost yang terjadi akibat rusaknya lahan pertanian.
Kerangka Teori Secara teoritik terdapat dua pendekatan ekonomi politik yang saling berhadapan yaitu pendekatan yang berpusat pada pasar (market oriented) dan pendekatan yang berpusat pada negara (state centered). Pendekatan yang berpusat pada negara didasarkan pada asumsi bahwa negara memiliki agenda sendiri dalam hubungannya dengan menciptakan kesejahteraaan, dan kemakmuran masyarakat.81 Sebagaimana dijelaskan Eric Nordlinger dalam On The Autonomy of The 81
James A.Caporaso, David P.Levine, dalam Deliarnov, Ekonomi Politik : Mencakup Berbagai Teori dan Konsep Yang Komprehensif, (Jakarta :Erlangga, 2006), hal 66.
261
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Demokratic State (1981), negara bertindak berdasarkan agendanya sendiri.82 Artinya negara memiliki kepentingannya sendiri, memiliki pandangan sendiri yang sering kali berbeda atau bahkan bertentangan dengan kepentingan atau pandangan masyarakat. Meskipun demikian sikap dan tindakan negara seringkali mengatasnamakan kepentingan masyarakat. Asumsi pendekatan ini sangat bertentangan dengan pendekatan ekonomi politik liberal klasik maupun turunannya neoliberal, di mana peran pemerintah relative dibatasi hanya sebagai penjaga stabilitas yang memungkinkan pasar dapat menjalankan fungsinya dengan sempurna. Ekonomi politik tradisi klasik ditentukan oleh factor ekonomi, atau lebih luas oleh sistem kepentingan privat, sedangkan negara dianggap sebagai institusi yang dimanfaatkan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok sebagai alat untuk mengejar tujuan privat. Mazab neoliberal ini kemunculannya terkait dengan dan ditandai dengan terbitnya karya Alfred Marshal, The Principle of Economics.83 Kalau mazab Keynesan diarahkan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan menekankan pada keterlibatan negara dalam menciptakan lapangan kerja, jaminan sosial, dsb, maka neoliberal merupakan jawaban atas stagflasi, yaitu kemacetan ekonomi yang dibarengi dengan inflansi tingkat tinggi, dan krisis fiskal. Oleh karena itu, menguatnya kembali terkait dengan krisis ekonomi tahun 1970 (Oil boompen) sehingga mendorong pemikir ekonomi kembali berpaling pada teori klasik, yaitu dengan memunculkan kembali aliran neoklasik /neo liberal.84 Pada masa itulah terjadi “Revolusi Konservatif” yang dipelopori oleh Reagan, dan Magaret Thatcher, yang pada intinya adalah membongkar pilar-pilar welfare state yang dianggap sebagai biang keladi kemerosotan pertumbuhan ekonomi 82
Ibid, hal 66. Dawam Rahardjo, Lahirnya Ekonomi Pancasila, http ://www.bisnis.com/servlet/ page 2 84 A.Prasetyantoko, Menanti Fajar Baru, http://www.unisosdem.org/ekopol, page 3 83
masyarakat mereka.85 Prinsip dasarnya adalah mengurangi peran negara dan menyerahkan pada mekanisme pasar sampai titik paling rendah, dalam penjelasan James A. Caporaso, dikemukakan bahwa peran negara sebatas mengatasi kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar dapat terjadi karena pengaruh negative dari ekternalisasi perusahaan yang kemudian memicu peningkatan ongkos produksi (cost production) dan kenaikan harga, juga karena adanya ketidakseimbangan pasar akibat dari adanya monopoli dan oligopoli.86 Lebih lanjut dijelaskan bahwa mekanisme pasar sebagai yang menentukan, di mana negara tidak boleh melakukan intervensi, kecuali untuk menghindari terjadinya distorsi pasar.87 Artinya melalui mekanisme pasar yang berjalan secara otomatis sebagaimana dijelaskan dalam kerangka hukum permintaan-penawaran (supply-demand), pembentukan laba individuindividu yang berinteraksi di pasar akan terbentuk. Semakin intensif proses tersebut semakin tinggi kemungkinan dicapainya kemakmuran individu-individu tersebut. Dengan demikian, secara agregat akan berujung bahkan berjalan seiring dengan kemakmuran bersama masyarakat. Sebaliknya menurut Caporaso dan Levine (1993), pendekatan terpusat ke negara tidak resmi dimulai dengan kegagalan pasar dalam mengintifikasi peran politik vis a vis peran ekeonomi. Jika negara punya tujuantujuan sendiri, dan jika dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut membawa implikasi terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi dan institusi-institusi ekonomi, maka negara bisa berusaha mengontrol ekonomi bukan untuk mengoreksi kegagalan pasar, tetapi demi mencapai tujuan-tujuan sendiri. Negara punya 85
Mochtar Masoed, dalam “Resep Bersama Washington Consensus: Pengantar”, Andrinof A. Chaniago, dalam Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, ( Jakarta : LP3ES, 2001), hal xxv. 86 James A.Caporaso, David P.Levine, Theory of Political Economy, New York : Cambridge , 1997, hal 89-96. 87 Ibid, 96.
262
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kemampuan untuk menentukan dan mengejar agenda yang tidak ditentukan oleh kepentingan privat. Ini yang disebut sebagai otonomi negara, yaitu adanya kemampuan negara untuk bertindak bebas tidak ditentukan atau dipengaruhi oleh kekuatankekuatan sosial lainnya (terutama kekuatankekuatan ekonomi). Dalam membahas masalah sektor Pertanian, ada baiknya juga dibahas sejenak konsep kesejahteraan (welfare) yang sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Merujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000), Thompson (2005), Suharto, (2005a), dan Suharto (2006),88 pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna. 1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia arena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.89 88
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall, Midgley, James, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (2000), “Introduction: Social Policy and Social Welfare” dalam James Midgley, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (ed), The Handbook of Social Policy, London: Sage, halaman xi-xv, Thomson, Neil (2005), Understanding Social Work: Preparing for Practice, New York: Palgrave, Suharto, Edi (2005a), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama, Suharto, Edi (2005b), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta 89 Midgley, James, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (2000), “Introduction: Social Policy and Social Welfare” dalam James Midgley, Martin B.
2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial personal (personal social services). 3. Sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin. Karena sebagian besar penerima welfare adalah orang-orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “social illfare” ketimbang “social welfare” 4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembagalembaga sosial, masyarakat maupun badanbadan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian ke dua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga). Tentang negara kesejahteraan terfokus pada dua konsep: social welfare dan economic development, yang oleh James Midgley disebut antithetical notions. Pembangunan ekonomi berkenaan dengan pertumbuhan, akumulasi modal, dan keuntungan ekonomi; sedangkan social welfare berhubungan dengan altruisme, hak-hak sosial, dan redistribusi aset. Yang pertama adalah jalan menciptakan kekayaan, meningkatkan kualitas dan standar hidup. Yang kedua, mekanisme redistribusi kekayaan untuk membiayai layanan sosial bagi masyarakat miskin dan tertindas90 Melalui intervensi kebijakan yang tepat, merujuk pada social welfare to work, pembangunan sosial dapat diarahkan untuk (i) menciptakan lapangan kerja, (ii) mengembangkan modal manusia, (iii) memobilisasi modal sosial, (iv) mengakumulasi aset produktif, dan (v) Tracy dan Michelle Livermore (ed), The Handbook of Social Policy, London: Sage, halaman xi 90 Midgley, Growth, Redistribution, and Welfare: Toward Social Investment, 2003. Hal 271
263
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 merintis serta mengembangkan usaha kecil dan menengah. Semua itu akan meningkatkan pendapatan, berdampak pada peningkatan kualitas dan standar hidup, menstimulasi pertumbuhan. Dengan demikian, social development bisa berarti economic development, dan perwujudan negara kesejahteraan tak semata-mata dalam bentuk kebijakan dan program sosial seperti (i) social safety net, (ii) social security, (iii) social insurance, atau (iv) social subsidy Tujuan pokok negara kesejahteraan, antara lain, (i) mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; (ii) menjamin distribusi kekayaan secara adil dan merata; (iii) mengurangi kemiskinan; (iv) menyediakan asuransi sosial (pendidikan, kesehatan) bagi masyarakat miskin; (v) menyediakan subsidi untuk layanan sosial dasar bagi disadvantaged people; (vi) memberi proteksi sosial bagi tiap warga. Negara Kesejahteraan (welfare state) adalah sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) dalam menjamin kesejahteraan sosial secara terencana, melembaga, dan berkesinambungan. Suatu negara dikatakan sejahtera apabila memiliki empat pilar utama yaitu : (1) Social citizenship, (2) Full democracy, (3) Modern industrial relation systems, dan (4) Rights to education and the expansion of modern mass education systems. Gagasan ini muncul pada akhir abad 19 dan mencapai puncaknya pada era "golden age" pasca Perang Dunia II. Faktor utama pendorong berkembangnya negara 91 kesejahteraan menurut Pierson adalah industrialisasi yang membawa perubahan dramatis dalam tatanan tradisional penyediaan kesejahteraan dan ikatan keluarga, seperti akselerasi pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan populasi penduduk, munculnya pembagian kerja (divison of 91
C Pierson, Late Industrializers an the Development of The Welfare State (UNSRID, 2004) dalam Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, LP3ES, 2006 hal 24.
labour), perubahan pola kehidupan keluarga dan komunitas, maraknya pengangguran siklikal, serta terciptanya kelas pekerja nirlahan (landless working class) beserta potensi mobilisasi politis mereka. Perkembangan negara kesejahteraan ini mengalami penyesuaian dengan kondisi di masing-masing negara. Konsep negara kesejahteraan pertamatama dipraktekkan di Eropa dan Amerika Serikat, yang ditujukan untuk mengubah kapitalisme menjadi lebih manusiawi. Dengan sistem ini, negara bertugas melindungi golongan lemah dalam masyarakat dari ketidaksempurnaan kapitalisme. Hingga saat ini, negara kesejahteraan masih dianut oleh negara maju dan berkembang. Dilihat dari besarnya anggaran negara untuk jaminan sosial, sistem ini dapat diurutkan ke dalam empat model, yaitu: Pertama, model universal yang dianut oleh negara-negara Skandinavia, seperti Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Dalam model ini, pemerintah menyediakan jaminan sosial kepada semua warga negara secara melembaga dan merata. Anggaran negara untuk program sosial mencapai lebih dari 60% dari total belanja negara. Kedua, model institusional yang dianut oleh Jerman dan Austria. Seperti model pertama, jaminan sosial dilaksanakan secara melembaga dan luas. Akan tetapi kontribusi terhadap berbagai jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha, dan pekerja. Ketiga, model residual yang dianut oleh AS, Inggris, Australia dan Selandia Baru. Jaminan sosial dari pemerintah lebih diutamakan kepada kelompok lemah, seperti orang miskin, cacat dan penganggur. Pemerintah menyerahkan sebagian perannya kepada organisasi sosial dan LSM melalui pemberian subsidi bagi pelayanan sosial dan rehabilitasi sosial “swasta”. Keempat, model minimal yang dianut oleh negara-negara seperti Perancis, Spanyol, Yunani, Portugis, Itali, Chile, Brazil dan negaranegara Asia seperti Korea Selatan, Filipina, Srilanka. Anggaran negara untuk program sosial sangat kecil, di bawah 10 persen dari 264
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 total pengeluaran negara. Jaminan sosial dari pemerintah diberikan secara temporer dan minimal yang umumnya hanya diberikan kepada pegawai negeri dan swasta. Kesejahteraan (welfare state). Setidaknya ada dua tipologi Negara Kesejahteraan, yaitu residual welfare state dan institutional welfare state. Residual welfare state mengasumsikan tanggung jawab negara sebagai penyedia kesejahteraan berlaku, jika dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marjinal serta mereka yang “patut” mendapatkan alokasi kesejahteraan dari negara. Sedangkan institutional welfare state bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta terlembagakan dalam basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat. Negara Kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh rezim yang berkuasa pada masing-masing negara (welfare regims). Pengaruh ini terjadi terutama terhadap kemampuan negara tersebut memproduksi dan mendistribusikan kesejahteraan melalui kebijakan sosial. Rezim kesejahteraan mengacu pada pola intraksi dan saling keterkaitan dalam produksi dan alokasi kesejahteraan antar-negara, rezim pasar dan keluarga/rumah tangga. Ketiga lembaga tersebut merupakan penyedia kesejahteraan dan tempat individu mendapatkan perlindungan dari resiko-resiko sosial. Namun, tidak selamanya negara menjadi aktor tunggal dalam penyediaan kesejahteraan. Ada varian Negara Kesejahteraan yang ditipologikan menurut rezim kesejahteraan Liberal, Sosial Demokrat dan Konservatif. Dimana terlihat peran negara, rezim pasar dan keluarga/rumah tangga memiliki dominasi masing-masing, Residual welfare state: negara sebagai penyedia kesejahteraan berlaku jika dan hanya jika keluarga dan pasar gagal menjalankan fungsinya serta terpusat pada kelompok tertentu dalam masyarakat, seperti kelompok marjinal serta mereka yang “patut” mendapatkan alokasi kesejahteraan dari negara.
Institutional welfare state: penyediaan kesejahteraan bersifat universal, mencakup semua populasi warga, serta terlembaga dalam basis kebijakan sosial yang luas dan vital bagi kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan negara menunjuk pada sebuah model ideal pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker, misalnya, menyatakan bahwa kesejahteraan negara “…stands for a developed ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible standards.”92
Analisa Pasca turunnya Soeharto, Indonesia telah mengalami proses demokrasi meskipun oleh banyak pihak baru sebatas demokrasi prosedural. Tetapi setidaknya yang terkait dengan rekriutmen pejabat publik khususnya Presiden-wakil presiden yang dipilih langsung dan diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum yang independent merupakan perkembangan yang signifikan. Namun demikian sebagaimana dikemukakan oleh Freed perubahan politik yang signifikan tersebut menyisakan tanda tanya apakah hingga saat ini Indonesia bergerak kearah konsolidasi demokrasi atau sebaliknya semakin memburuk. Sebuah cacatan penting yang dikemukakan Freed terkait dengan hal tersebut adalah adanya fakta bahwa pemerintah tidak mampu melindungi kelompok minoritas sebagaimana yang seharusnya dalam sebuah negara demokrasi. “The Government in Jakarta has clearly not protected Indonesia’s minorities.”93 Demikian dikatakan Freed. Dalam hubungannya dengan konsolidasi demokrasi, Freed menjelaskan, “…a democratic regime as consolidated when the 92
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall. Hal 82 93 Amy L.Freedman, Consolidation or Withering Away of Democracy ? Political Changes in Thailand and Indonesia, 209.
265
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 leaders behave democratically, when major political actors acquire democratic attitudes and when the socioeconomic and institutional foundatios for democracy are in place.94 Persoalannya adalah dalam kaitannya dengan rezim ekonomi yang diterapkan. Apakah sebuah negara demokrasi berarti harus memberlakukan ekonomi pasar, karena negara otoriter memiliki kecenderungan untuk mempraktekkan ekonomi komando (state centered). Kalau tuntutannya demikian, penguasa politik pasca Soeharto, mulai dari B.J Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY-JK dan SBYBudiono memiliki kecenderungan untuk memberlakukan ekonomi terbuka (market oriented), meskipun dalam kadar yang tidak sama. Dalam arti masih akomodatif terhadap pemikiran di luar ekonomi pasar. Di Indonesia, dalam sektor pertanian bahwa dalam konsep pembangunan kesejahteraan negara, yakni serangkaian aktivitas yang terencana dan melembaga yang ditujukan untuk meningkatkan standar dan kualitas kehidupan manusia. Sebagai sebuah proses untuk meningkatkan kondisi sejahtera, istilah ‘kesejahteraan’ sejatinya bisa menunjukkan pada sektor pertanian yang termasuk dalam wilayah masyarakat kalangan menengah ke bawah. Sektor pertanian juga termasuk dalam wilayah pembangunan negara. Di negara lain, istilah yang banyak digunakan adalah ‘welfare’ (kesejahteraan) yang secara konseptual mencakup segenap proses dan aktivitas mensejahterakan warga negara dan menerangkan sistem pelayanan sosial. Dalam konteks pembangunan nasional, maka pembangunan kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai segenap kebijakan dan program yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan civil society untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan manusia melalui pendekatan pekerjaan sosial. Merujuk pada struktur pemerintahan di Indonesia, lembaga atau departemen pemerintah yang berperan menjalankan pembangunan kesehatan adalah Kementerian Kesehatan, pembangunan pendidikan adalah 94
Ibid, hal 210.
Kementerian Pendidikan Nasional, pembangunan agama adalah Kementerian Agama, dan pembangunan kesejahteraan adalah Kementerian Sosial. Ketiga Kementerian itu berada di bawah naungan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra). Karena sejatinya Menko Kesra ini menjalankan Pembangunan Sosial, maka sesungguhnya lebih tepat jika diberi nama Menko Sosial. Sedangkan Kementerian sosial lebih tepat jika diberi nama Kementerian Kesejahteraan karena fungsinya lebih terfokus pada urusan kesejahteraan sebagai bagian dari pembangunan sosial (social development) yang secara konseptual memang lebih luas dari konsep kesejahteraan (welfare). Berbicara tentang sektor pertanian pasti tidak akan terlepas dari desa, petani, kemiskinan, dan komoditi pertanian itu sendiri.. Namun makalah ini penulis tidak akan menjawab semua pertanyaan tersebut. Akan tetapi disini kita akan coba menggali sedikit dimensi sektor pertanian tersebut, dimana pembahasannya akan di titik beratkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) pertanian tersebut. Hal ini mengingat aktor utama dalam pengelolaan sektor pertanian tersebut, serta pihak yang paling merasakan implikasi dari berhasil tidaknya pertanian dalam suatu negeri adalah petani. Namun, kehidupan para petani Indonesia kini ibarat berada di ujung tanduk. Jika mereka berhenti sebagai petani dan mencari pekerjaan lain yang tentu tidak mudah diperoleh, kehidupan keluarganya pasti terancam. Jika meneruskan pekerjaan sebagai petani, hasilnya tidak menguntungkan. Fakta juga menunjukkan bahwa sebagian besar petani di Indonesia adalah petani penggarap. Sehingga makin sulit mengharapkan memperoleh penghasilan seperti yang diinginkan. Apalagi pada musim hujan seperti saat ini, ancaman banjir juga makin membuat para petani merugi. Hasil panen menyusut atau malah tidak ada sama sekali karena diterjang ganasnya air. Sesungguhnya kekecewaan petani yang hidupnya makin didera kemiskinan wajar saja hingga akhirnya mereka melakukan pemberontakan. Belum lagi harga-harga 266
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kebutuhan pokok yang dari waktu ke waktu terus meningkat, ditambah lagi biaya pendidikan dan kesehatan juga terus melambung. Ini juga merupakan ancaman bagi para petani. Selain itu harga pupuk, bibit dan perlengkapan pertanian lainnya turut melambung tinggi sehingga lebih dapat menyusahkan petani. Hal ini masih ditambah dengan harga panen mereka yang terkadang menurun dan ditawar oleh tengkulak sehingga menambah penderitaan petani. Sikap nekad untuk melakukan pemberontakan tentu sangat mengerikan jika benar-benar terjadi. Bisa dibayangkan apa jadinya jika di Indonesia terjadi pemberontakan. Tentu yang jadi korban adalah rakyat kecil yang notabene di antaranya adalah para petani juga. Menghadapi kenyataan itu, seharusnya negara mendengar keluh kesah para petani. Pemerintah seharusnya berupaya untuk membantu para petani agar kehidupan mereka tidak menderita, tapi karena persoalan yang dialami oleh negara ini masih demikian rumit dan berat; maka uluran tangan bagi para petani itu belum bisa dirasakan ada hasilnya. Dari sudut pandang pandang teori secara sederhana dapat dibagi menjadi tiga elompok utama, yaitunegara, pasar dan komunitas. Masing-masing memiliki pilar paradigma, ideologi, nilai, norma, rules of the game dan bentuk keorganisasian sendiri. Antara satu pilar dan lainnya sangat terkait erat. Dan seharusnya negara menjadi tumpuan sebagai fasilitator, dinamisator dan regulator berjalannya sistem dan tata hubungan antara tiga pilar utama tersebut. Adanya kepentingan pemerintah atas majunya sektor pertanian seharusnya “untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya”. Dalam hal pertanian, bentuk dan legitimasi sebuah pemerintahan sangat mempengaruhi seberapa besar makna peran pemerintah dalam mendorong meningkatkan kesejateraan petani. Sehingga pemerintah sebenarnya memiliki perananan yang cukup penting didalam pertanian. Dimana seharusnya pemerintah berperan aktif terutama dalam memajukan kesejahteraan petani.
Pertanian Indonesia cukup tertinggal dari negara lain padahal seharusnya sebagai negara agraris sektor pertaniannyalah yang menjadi sektor utama untuk meningkatkan perekonomian kita. Dibawah ini adalah beberapa indikator yang menyebabkan Pertanian kita cukup tertinggal : Pertama, kalau mempelajari indikator makro, terlihat bahwa ekonomi Indonesia sebelum krisis multidimensi 1998 hampir selalu tumbuh di atas 7 persen dan pada saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda membaik menuju ke kondisi sebelum krisis. Namun demikian, apabila kita memperhatikan besaran lainnya seperti Nilai Tukar Petani (NTP), produktivitas, aspek lingkungan hidup, perkembangan usaha Pertanian, daya saing, efisiensi dan berbagai variable Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), kita dapat menyatakan bahwa masih banyak tantangan yang harus kita hadapi untuk memajukan pertanian kita, yang pada umumnya baru sampai pada tahap “bertahan hidup”. Kedua, kehidupan petani, khususnya petani pangan di Jawa, belum banyak berubah. Kalaupun ada, kemajuan itu terjadi pada segelintir elite desa. Sementara, jutaan petani lainnya, hanya dapat bertahan hidup di atas lahan Pertanian yang semakin hari semakin menyempit. Sebaliknya, ada juga yang lahannya semakin melebar sebagai akibat belum optimalnya perangkat hukum di bidang pertanahan, serta hukum ekonomi pasar yang seringkali kurang berkeadilan. Jumlah petani gurem bukannya berkurang, tetapi semakin meningkat. Ketiga, harga riil komoditas primer Pertanian yang dihasilkan petani semakin hari semakin berkurang nilainya dibandingkan komoditas industri, biaya pendidikan dan kesehatan yang mereka butuhkan. Demikian pula biaya angkutan, harga sarana produksi yang selalu meningkat. Sebuah paradoks, upah buruh tani yang dirasakan oleh pemilik lahan dan penggarap semakin meningkat, bagi buruh tani masih belum cukup, sehingga banyak yang berangan-angan untuk ramai-ramai bekerja sebagai buruh kasar di negara lain. 267
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Namun, kenyataannya hal tersebut sulit terjadi di Indonesia. Setiap panen justru yang terdengar adalah keluhan petani soal harga gabah yang selalu murah. Jangankan untung, bisa mengembalikan biaya penggarapan sawah saja sudah bersyukur. Hal ini terjadi karena pemerintah tidak mampu menjaga berlakunya harga dasar yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No 32/1998, sehingga petani menerima harga gabah jauh di bawah harga dasar. Tujuan dari kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) adalah agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya. Namun ternyata hal itu tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah. Dengan keberadaan tengkulak, seharusnya bisa membantu para petani. Karena petani tidak perlu susah-susah memasarkan padinya. Para tengkulak akan mendatangi mereka dan membeli hasil panenannya. Dengan begitu para petani bisa terbantu masalah penjualan, karena dengan hasil panen yang tidak terlalu besar tidak mungkin bagi para petani untuk memasarkan sendiri hasil panennya. Selain itu tengkulak juga sangat mengutungkan para pengusaha padi mitra BULOG dan BULOG itu sendiri, karena sistem distribusi padi menjadi lebih efisien. Namun walaupun demikian, ternyata para tengkulak ini bisa dan sering menciptakan harga sendiri sesuai keinginan mereka. Mereka membeli gabah para petani dengan harga yang sangat rendah dibawah HPP yang telah ditetapkan pemerintah. Sehingga yang terjadi, bukannya membantu para petani tetapi malah semakin memperburuk kondisi perekonomian para petani. Dalam hal ini, BULOG yang seharusnya bertugas dalam pembelian gabah hasil panen dari petani ternyata kurang menjalankan fungsinya. Selama ini, pemerintah melalui BULOG membeli gabah dan beras bukan dari petani. Akan tetapi dari pedagang beras, yang terkonsentrasi di tangan beberapa distributor besar (atau tengkulak), yang bertindak sebagai oligopolis pasar. Jumlah penjual yang sangat
terkonsentrasi ini menyebabkan setiap kenaikan harga gabah/beras, yang merupakan peningkatan defisit APBN, akan lebih banyak jatuh bukan pada petani akan tetapi sekedar dinikmati segelintir pedagang. Jatuhnya harga gabah lokal itu juga tak terlepas dari membanjirnya beras impor dan selundupan di berbagai daerah karena tak ada pengamanan yang baik. Kebijakan impor harusnya ditempatkan sebagai residual atau menutupi defisit kebutuhan beras dalam negeri. Tetapi kenyataannya, ketika musim panen raya tiba beras impor yang lebih murah membanjiri tanah air, sehingga harga gabah pun turun drastis. Mulai dari tahun 1984 sampai dengan 1993, Indonesia mengimpor rata-rata 160 ribu ton beras per tahun. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi rata-rata 1,10 juta ton/ pertahun pada periode 1994-1997. Pada masa krisis 1998-2000 jumlah ini meningkat lagi menjadi 4.65 juta tahun. Walau kemudian ada sedikit penurunan, sepanjang 2001-2005, impor beras bertahan di atas 2 juta ton pertahunnya, yang membuat Indonesia praktis selalu berada pada lima besar negara pengimpor beras.95 Menurut caporaso Lebih lanjut dijelaskan bahwa mekanisme pasar sebagai yang menentukan, di mana negara tidak boleh melakukan intervensi, kecuali untuk menghindari terjadinya distorsi pasar.96 Artinya melalui mekanisme pasar yang berjalan secara otomatis sebagaimana dijelaskan dalam kerangka hukum permintaan-penawaran (supply-demand), pembentukan laba individu-individu yang berinteraksi di pasar akan terbentuk. Semakin intensif proses tersebut semakin tinggi kemungkinan dicapainya kemakmuran individu-individu tersebut. Dengan demikian, secara agregat akan berujung bahkan berjalan seiring dengan kemakmuran bersama masyarakat. Ini akan menjadi masalah besar muncul ketika harga pasar naik, konsumen 95
Supadi dalam M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall: 2006 96 Ibid, 96.
268
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kebingungan, tetapi petani pun ikut bingung karena kenaikan harga tidak berimbas pada kenaikan harga gabah. Kenaikan harga di tingkat konsumen ternyata tidak sebesar kenaikan harga jual mereka ke tengkulak/distributor. Misalnya naik Rp 500 di konsumen, paling hanya naik Rp 100 di sisi petani. Belum lagi karena harga pupuk dan alat pertanian tiba-tiba juga ikut naik, seakan tidak rela membiarkan petani menerima kelebihan dan berkah. Indikasinya adalah harga tidak diatur oleh supply (petani) dan demand (konsumen), karena jelas mekanisme pasarnya terdistorsi sekali.97 Dimana banyak sekali fakta-fakta yang menggambarkan kehidupan para petani di Indonesia yang tak kunjung membaik. Karena telah kita ketahui bersama, bahwa sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani, makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia adalah beras, maka pertanian khususnya padi seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Dimana dapat kita katakan juga bahwa petani adalah tulang punggung bangsa. Tetapi sepertinya pemerintah kurang memberikan dukungan dan bantuan terhadap hal ini, dan seolah menutup mata dengan masalah ini. Lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi dengan harga jual gabah di tingkat petani tak pernah meningkat/baik, walaupun harga beras di pasar meningkat. Kemudian, sejauh mana keberadaan tengkulak dan kebijakan impor yang kurang berpihak kepada petani berpengaruh terhadap rendahnya harga jual gabah di tingkat petani Sektor ini yang harus menjadi salah satu komponen utama dalam program dan strategi pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Di masa lampau pertanian Indonesia telah mencapai hasil yang baik dan memberikan kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menciptakan lapangan pekerjaan dan pengurangan kemiskinan secara drastis. Hal ini dicapai dengan memusatkan perhatian pada bahan-bahan pokok seperti beras, jagung, gula, dan kacang kedelai. Akan tetapi, 97
Ekonomi-Nasional, 03/01/2007
dengan adanya penurunan tajam dalam hasil produktifitas panen dari hampir seluruh jenis bahan pokok, ditambah mayoritas petani yang bekerja di sawah kurang dari setengah hektar, aktifitas pertanian kehilangan potensi untuk menciptakan tambahan lapangan pekerjaan dan peningkatan penghasilan. Walaupun telah ada pergeseran menuju bentuk pertanian dengan nilai tambah yang tinggi, pengaruh diversifikasi tetap terbatas hanya pada daerah dan komoditas tertentu di dalam setiap sub-sektor. Pengalaman negara tetangga menekankan pentingnya dukungan dalam proses pergeseran tersebut. Sebagai contoh, di pertengahan tahun 1980-an sewaktu Indonesia mencapai swasembada beras, 41% dari semua lahan pertanian ditanami padi, sementara saat ini hanya 38 %, suatu perubahan yang tidak cukup besar untuk jangka waktu 15 tahun. Sebaliknya, penanaman padi dari total panen di Malaysia berkurang setengahnya dari 25% di tahun 1972 menjadi 13 % di tahun. Pertanian jelas mempunyai peran yang sangat penting dalam menjawab semua tantangan diatas. harus dilengkapi dengan bermacam-macam inisiatif dari badan pemerintahan nasional lainnya, pemerintahan lokal yang akan berada di garis depan dalam pengimplementasikan program, organisasi produsen di pedesaan yang bergerak dibidang agribisnis, dan para petani yang harus menjadi partner penting demi mendukung proses penting perubahan ini. Adapun beberapa hal yang sebaiknya dilakukan untuk menjawab tntangan diatas adalah : 1. Peningkatan pendapatan petani melalui diversifikasi lebih lanjut 2. Memperkuat kapasitas regulasi 3. Meningkatkan pengeluaran untuk pertanian 4. Mendukung cara-cara baru dalam penyuluhan pertanian 5. Mengembangkan teknologi informasi dan komunikasi 6. Menjamin berlangsungnya irigasi Tak bisa dipungkiri lagi pertanian sedikit banyak telah membantu perekonomian di 269
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Indonesia. Banyak bukti yang memperkuat pernyataan diatas salah satunya adalah kita telah mencapai swasembada beras. Hal ini tidak luput dari poeran besar petani. Namun, terkadang kita menganggap remeh petani padahal apabila kita telaah lebih dalam lagi tanpa petani apa yang bisa kita lakukan. Tanpa adanya petani bisa saja kita merugikan perekonomian negara karena tanpa petani mungkin kita hanya dapat mengimpor semua bahan makanan pokok dan itu menandakan bahwa semakin banyak pengeluaran negara. Melihat struktur pembentuk pertumbuhan ekonomi di tahun 2008, variabel investasi akan memegang peranan signifikan dibandingkan variabel-variabel lainnya. Terlihat bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8% terutama akan didukung oleh meningkatnya pertumbuhan investasi yang diperkirakan tumbuh sebesar 15 persen.98 Dewasa ini, terdapat 3 mazhab pilihan strategi industrilisasi yang berkembang di masyarakat Indonesia. Ketiga mazhab yang berkembang ini perlu diuji kemampuannya (paling sedikit pada tingkat teoritis) dalam memecahkan isu-isu pembangunan ekonomi nasional. Ketiga pilihan strategi itu adalah: strategi industrilisasi berspektrum luas, strategi industrilisasi dengan industry berteknologi tinggi, dan strategi industrilisasi pertanian dalam bentuk pembangunan agribisnis. Pertanian dalam bentuk agribisnis juga sangat baik untuk membantu krisis ekonomi. Kenyataan juga menunjukkan bahwa selain industri migas, sektor agribisnis adalah penyumbang ekspor netto yang penting selama hampir 30 tahun Indonesia membangun. Pada masa krisis ekonomi saat ini, sektor ekonomi yang masih mampu bertahan adalah sektor agribisnis. Pengalaman 98
Djiman Murdiman Sarosa. 2008, “Urgensi Pemberian Insentif Ekonomi dan Kemudahan PenanamanModal Didaerah” dalam Jurnal Triwulan Pembangunan Daerah Vol 4, No. 4 (Desember 2008) : 21.
ini seharusnya menyadarkan kita semua (termasuk pemerintah), bahwa kita harus meninggalkan strategi industrilisasi berspektrum luas dan canggih serta kembali ke strategi industrilisasi berbasis agribisnis. Dengan memberi prioritas pada percepatan pada sektor agribisnis, akan mampu memberikan solusi bagi pemulihan ekonomi nasional. Meningkatnya produksi produk-produk agribisnis akan meningkatkan ekspor tanpa harus mengimpor bahan baku. Meningkatnya ekspor berarti meningkatkan penawaran volute asing (dollar) sehingga akan memperkuat (apresiasi) rupiah secara gradual. Selain produk agribisnis untuk ekspor, produk agribisnis bahan pangan juga meningkat, sehingga ketersediaan bahan pangan di dalam negeri juga meningkat. Mengingat harga-harga bahan pangan masih merupakan komponen terpenting dalam menentukan laju inflasi domestik, maka dengan peningkatan produksi pangan tersebut akan dapat menurunkan laju inflasi yang sudah sangat tinggi saat ini. Kemudian karena teknologi produksi agribisnis pada umumnya bersifat padat karya dengan kisaran kualitas tenaga kerja yang sangat luas, maka peningkatan produksi agribisnis dalam negri akan diikuti dengan penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat menurunkan pengangguran yang sangat tinggi saat ini. Turunnya inflasi dan pengangguran serta stabilitas kurs rupiah yang reasonable, merupakan kondisi pulihnya perekonomian nasional. Ini juga telah menunjukkan bahwa petani sangat berperan penting dalam perekonomian Indonesia karena dalam sektor agribisnis yang dapat memulihkan perekonomian nasional petani juga sangat penting, mereka menanam tanaman yang sangat dibutuhkan dalam agribisnis tersebut. KESIMPULAN Pertanian merupakan sector yang sangat sensitive dan sangat mudah terpengaruh oleh banyak factor, tidak hanya factor alam seperti cuaca dan kesuburan lahan, tetapi juga kebijakan-kebijakan ekonomi atau perdagangan, terutama liberalisasi 270
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 perdagangan dunia/regional utuk komoditaskomoditas pertanian. Pertanian juga merupakan sector kunci bagi negara mengenai kemiskinan di Negara-negara terbelakang atau Negara-negara sedang berkembanga (NSB), termasuk Indonesia. pertanian pada masa lalu mempunyai beberapa kelemahan, yakni hanya terfokus pada usaha tani, lemahnya dukungan kebijakan makro, serta pendekatannya yang sentralistik. Akibatnya usaha pertanian di Indonesia sampai saat ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan: (a) skala kecil, (b) modal yang terbatas, (c) penggunaan teknologi yang masih sederhana, (d) sangat dipengaruhi oleh musim, (e) wilayah pasarnya lokal, (f) umumnya berusaha dengan tenaga kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran tersembunyi), (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h) pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan petani. Selain itu, masih ditambah lagi dengan permasalahan-permasalahan yang menghambat pembangunan pertanian di Indonesia seperti pembaruan agraria (konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian) yang semakin tidak terkendali lagi, kurangnya penyediaan benih bermutu bagi petani, kelangkaan pupuk pada saat musim tanam datang, swasembada beras yang tidak meningkatkan kesejahteraan petani dan kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Petani, menuntut pemerintah untuk dapat lebih serius lagi dalam upaya penyelesaian masalah pertanian di Indonesia demi terwujudnya pembangunan pertanian Indonesia yang lebih maju demi tercapainya kesejahteraan masyarakat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Adam Smith, An Inquiry the Nature and Causes of The Wealth of Nations, The University of Chicago Press.
Ebensteain, William. Great Political Thinkers. New York. NY: holt Rinehart, and Wunston, 1960
Hall dan Soskice dalam LJ Touwen, Welfare State and Market Economy in Netherlands, 1945-2000: Macroeconomics Aspect of a Coordinated Economy, 2004 hal 5 dalam Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (2006) S. Kuhnle dan SEO Hort, The Developmental Welfare State in Scandinavia: Lessons for the Developing World (UNRISD, 2004) Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan (2006)
James A.Caporaso, David P.Levine, dalam Deliarnov, Ekonomi Politik : Mencakup Berbagai Teori dan Konsep Yang Komprehensif, (Jakarta :Erlangga, 2006) Dawam Rahardjo, Lahirnya Ekonomi Pancasila, http ://www.bisnis.com/servlet/ page 2
A.Prasetyantoko, Menanti Fajar Baru, http://www.unisosdem.org/ekopol, page 3
Mochtar Masoed, dalam “Resep Bersama Washington Consensus: Pengantar”, Andrinof A. Chaniago, dalam Gagalnya Pembangunan, Kajian Ekonomi Politik terhadap Akar Krisis Indonesia, ( Jakarta : LP3ES, 2001) James A.Caporaso, David P.Levine, Theory of Political Economy, New York : Cambridge , 1997 Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall,
Midgley, James, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (2000), “Introduction: Social Policy and Social Welfare” dalam James Midgley, Martin B. Tracy dan Michelle 271
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Livermore (ed), The Handbook of Social Policy, London: Sage
Thomson, Neil (2005), Understanding Social Work: Preparing for Practice, New York: Palgrave
Suharto, Edi (2005a), Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama Suharto, Edi (2005b), Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, Bandung: Alfabeta
Midgley, James, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (2000), “Introduction: Social Policy and Social Welfare” dalam James Midgley, Martin B. Tracy dan Michelle Livermore (ed), The Handbook of Social Policy, London: Sage, halaman xi
Midgley, Growth, Redistribution, and Welfare: Toward Social Investment, 2003. Hal 271 C
Pierson, Late Industrializers an the Development of The Welfare State (UNSRID, 2004) dalam Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahagijo, Mimpi Negara Kesejahteraan, LP3ES, 2006
Spicker, Paul (1995), Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice Hall.
Amy L.Freedman, Consolidation or Withering Away of Democracy ? Political Changes in Thailand and Indonesia Supadi dalam M Ikhsan Modjo, Kajian Monash Indonesian Islamic Student Westall: 2006 Ekonomi-Nasional, 03/01/2007
Djiman Murdiman Sarosa. 2008, “Urgensi Pemberian Insentif Ekonomi dan Kemudahan PenanamanModal Didaerah” dalam Jurnal Triwulan Pembangunan Daerah Vol 4, No. 4 (Desember 2008). 272
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
ANALISA KRITIS TERHADAP DEMOKRASI : SEBUAH TELAAH EPISTEMOLOGI POSTMODERNISME Oleh: Netty Herawati Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UNLAM Abstract Democracy has been a kind of a hegemonic ideology when it is used to describe an ideal political system for states. It grew out of a lifelong effort to explain how the means that ordinary people use to make a collective regimes. This writings is intended to describe the critical review from postmodernism to that perfect political system which is called as democracy. However, the postmodernism review can’t justify itself as a revise of democracy, but just trying to give the alternative position that differs from the Liberal Democracy. Keywords: Demokrasi, Epistemologi Postmodernisme
Pengantar roses demokratisasi dan perjuangan demi demokrasi merupakan ciri penting perkembangan politik di sebagian besar belahan dunia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an. Runtuhnya tembok Berlin, keberhasilan gerakan Solidaritas di Polandia, yang kemudian disusul dengan maraknya gerakan prodemokrasi di Hongaria, Cekoslowakia, dan tumbangnya rezim komunis di Yugoslavia, telah menawarkan janji-janji akan meluasnya proses demokratisasi di belahan bumi lain.99 Dalam pandangan saya, konsep “demokrasi” telah mengalami proses ameliorasi yang luar biasa sejak mula dicetuskan. Kini, demokrasi diyakini sebagai
P 99
Tentang proses demokratisasi di negara-negara Eropa dan Amerika Latin lihat di Guillermo O’Donnell dkk, Transisi menuju Demokratisasi, Jilid 1-3, LP3ES, Jakarta, 1992. Tentang Demokrasi di beberapa negara berkembang lihat Larry Diamonds dkk, Politics in Developing Countries : Comparing Experiences with Democracy, Boulder, CO : Lynne Rinner.
label terbaik yang harus dimiliki oleh suatu pemerintahan. Apapun dan bagaimanapun praktek pemerintahan, perekonomian dan pranata sosial yang ada, tidak menghalangi suatu negara atau pemerintahan untuk menyatakan dirinya demokratis. Demokrasi dianggap sangat mendukung legitimasi di dalam negeri maupun reputasi di lingkup internasional.100 Ironisnya, demokrasi malah justru menjadi sebuah ideologi yang sangat diterima oleh masyarakat hampir di seluruh dunia. Ide demokrasi menjadi sangat hegemonik dalam kehidupan masyarakat. Dalam perkembangannya, demokrasi yang mengusung konsep otoritas dan otonomi “pribadi perseorangan”, universalitas “hak asasi manusia”, dan kemajuan “pembangunan” melalui globalisasi itu ternyata tidak mampu menjawab sisi pandang lain yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar mereka. Kritikan tajam mulai bermunculan baik itu dari dalam maupun dari luar kelompok Pencerahan, yang pada hakikatnya ingin bergerak lebih jauh dari pandangan 100
David Held, Democracy and the Global Order, Stanford, California : Stanford University Press, 1995, hal 3.
273
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 monolitik yang dihasilkan oleh kelompok Pencerahan itu. Tulisan ini mencoba memotret dan menganalisa reaksi keras gerakan postmodernisme terhadap wacana dan praksis modernisasi yang dominan (dominant discourse and practise), terutama dalam bentuk sistem demokrasi liberal (sistem politik dan ideologi). Secara umum tak ada kesimpulan spesifik yang ingin ditunjukkan penulis karena harus pula diakui bahwa alternatif-alternatif pemikiran dan eksperimen-eksperimen sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang muncul seperti yang dikemukakan oleh kelompok postmodernisme belum mampu menandingi hegemoni proyek Pencerahan.
Perdebatan Konsep Ideal Demokrasi Demokrasi mungkin menjadi satusatunya gagasan universal tertinggi dan yang paling banyak mendapatkan perhatian dunia sampai saat ini. Paling tidak sejarah demokrasi modern yang kita kenal sekarang telah berawal dari sekitar 2500 tahun yang lalu. Adalah Kleistenis, seorang Yunani, yang mengadakan beberapa pembaharuan terhadap bentuk pemerintahan kota Athena. Pemerintahan itu kemudian dinamakan Demokratia, atau pemerintahan oleh rakyat. Banyak literatur yang menawarkan kajian demokrasi dengan sudut pandang yang beragam. Namun, hampir dapat dipastikan semua teoretisi –bahkan sejak zaman klasik– selalu menekankan bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi itu adalah rakyat. Pemerintahan demokratis ideal, menurut Lijphart101, tentunya pemerintahan yang tindakannya selalu benar-benar sesuai dengan preferensi rakyat. Pendapat Lijphat didukung pula oleh Roberth Dahl102, bahwa rakyat haruslah memiliki kesempatan utama untuk 101
Arend Lijphart, Democracies, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in TwentyOne Countries, New haven : Yale University Press, 1984, hal 1. 102 Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics, New Haven, Connecticut, Yale University Press, 1989, hal 113.
menentukan masalah apa yang hendak dibahas atau diputuskan dalam proses demokrasi. Terlepas dari konsep umum demos dan kratos di atas, secara ontologis ada beberapa pandangan yang membenarkan keberadaan demokrasi dan seringkali saling bertolak belakang satu dengan yang lain. Pandangan individualisme liberal, misalnya, sangat berlawanan dari pandangan sosialisme holistik. Menurut individualisme liberal, demokrasi terwujud untuk menjamin kepentingan masing-masing individu. Mereka mengkonsepsikan demokrasi sebagai sebuah pemerintahan perwakilan yang mengedepankan persamaan dan hak politik universal. Sebaliknya sosialisme holistik mengkonsepkan demokrasi sebagai sistem politik dan ekonomi tersentralisasi, yang dengan sistem ini masyarakat sebagai keseluruhan menerapkan kontrol sosial tidak hanya terhadap wilayah politik melainkan juga terhadap produksi dan distribusi barang.103 Perdebatan ini terjadi sebagai akibat dari perbedaan pemahaman terhadap paradigma Pencerahan secara total. Pandangan pertama melihat proses demokratisasi dalam kerangka kapitalisme dan demokrasi liberal, sebagaimana yang dikembangkan oleh teori-teori modernisasi, sedang pandangan lainnya melakukan pencarian dari sisi paradigma Marxian yang melihat proses demokratisasi dalam kerangka gerak sosial menuju masyarakat sosialistiskomunistis.104 Belakangan, banyak pula yang memusatkan perhatian mereka pada tata cara dan syarat-syarat formal dalam rangka mewujudkan sebuah negara yang demokratis yang kemudian menjadi resep atau model yang ditawarkan kepada negara yang “belum atau tidak demokratis”. Mereka bertumpu pada gagasan Schumpeter, yaitu demokrasi 103
Untuk mengetahui lebih jelas tentang ontologi demokrasi lihat, Carol C. Gould, Demokrasi Ditinjau Kembali, Tiara Wacana Yogyakarta, 1993. 104 Muhammad A. S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta, 1999, hal 80-81.
274
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 sebagai politik. Menurut Schumpeter105, metode demokratik adalah prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusankeputusan politik dimana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan. Gagasan Schumpeterian ini memandang demokrasi sebagai suatu sistem untuk memproses konflik kepentingan melalui mekanisme kepartaian dan pemilihan umum yang teratur.106 Pemahaman demokrasi dalam konteks seperti ini membawa perhatian kita untuk mengamati unsur-unsur pembentuk demokrasi modern, yaitu107 : (a) Dasar-dasar dalam pembentukan kekuasaan politik (the constitution of political power), mencakup universalitas dan efektivitas pemungutan suara, perluasan basis-basis pemilihan umum, pencegahan kecurangan-kecurangan dalam pemungutan suara, dan sebagainya; (b) Tatanan dan cara kerja kekuasaan politik (the structure and operation of political power), mencakup pembagian kekuasaan, kemandirian tiap cabang kekuasaan politik dalam hubungannya dengan yang lain, keberadaan dan cara kerja kekuatan-kekuatan pengimbang, hubungan antara kekuasaan politk dengan kekuasaan ekonomi atau ideologi, pilihan bentuk-bentuk tatanan politk, dan sebagainya; (c) Pengendalian kekuasaan politik (the control of political power), mencakup syarat-syarat pembatasan kekuasaan, perluasan partisipasi warga negara, mekanisme pertanggung jawaban, dan sebagainya. 105
Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism, and Democracy, Counterpoint, London, hal 269. 106 Carol mengkategorikan pandangan Schumpterian ini ke dalam demokrasi pluralisme, yang dalam kadar tertentu dapat di pandang sebagai modifikasi atas individualisme liberal. Sedangkan Afan gaffar menggolongkan pandangan Dahl dan Schumpterian sebagai procedural democracy, lihat Afan Gaffar, politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000. 107 Gustavo Esteva & Madhu Suri Prakash, “Demokrasi Radikal : Otonomi Lokal, bukan Globalisasi” dalam Wacana, Insist, Edisi 2 Tahun I, 1999, hal 30.
Kritik terhadap demokrasi Kritik terhadap demokrasi liberal telah banyak dilakukan baik oleh pemikiranpemikiran tokoh Pencerahan sendiri maupun di luar kelompok tersebut. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa ide besar demokrasi yang mengusung pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat itu, terjebak dengan mekanisme demokratisasi yang mereka buat sendiri. Banyak masalah yang dihadapi oleh demokrasi liberal saat ini bertolak dari fakta bahwa politik telah diciutkan pengertiannya menjadi sekadar suatu kegiatan instrumental untuk memenuhi kepentingan-kepentingan pribadi. Pembatasan demokrasi menjadi hanya sekedar seperangkat aturan tata cara yang netral sifatnya, yang merubah warga negara menjadi sekadar pengguna (consumers) dari hal-hal yang bersifat politis. Sistem demokrasi parlementer yang mengandung unsur perwakilan liberal, misalnya, justru membentuk aspek-aspek tidak demokratis.108 Parlemen yang diidealkan sebagai representasi dari rakyat hanyalah bentuk dari perwakilan sekelompok orang atau elit. Rakyat hanyalah dijadikan sebagai alat penguasa untuk melegitimasi kedudukannya. Kritik tajam mulai hadir untuk kembali memulihkan dan mengaktualisasikan makna dasar konsep demokrasi. Pemikiran-pemikiran yang radikal mulai hadir dengan konsepkonsep alternatifnya terhadap democracy procedural untuk mencegah lahirnya struktur otoriter dan kekerasan baru di tubuh demokrasi. “Kedaulatan rakyat” coba dibangkitkan kembali melalui terciptanya pemerintahan bersama (shared governance)109. Dalam kebersamaan itulah rakyat saling mengikatkan diri satu sama lain dengan sejumlah tugas-tugas dan kewajibankewajiban, bukan dengan sederet penjelasan abstrak tentang hak-hak. Mereka terikat oleh 108
Carl Schmitt, The Crisis of Parliamentiary Democracy, Harvard University Press, 1985, hal 15. 109 D. Lummis, “Radical Democracy”, dalam Gustavo Esteva & Madhu Suri Prakash, Wacana, Insist Yogyakarta hal 37.
275
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 suatu “kehendak” bersama untuk saling memiliki, saling berperan serta membangun dan membagi cara-cara bersama menjalani kehidupan. Menurut Carol110, untuk menciptakan sebuah sistem yang demokratis perlu adanya pembentukan individu-individu demokratik yang mandiri dan mampu melakukan penalaran rasional serta terlibat aktif dalam proses-proses pengambilan keputusan dalam masyarakat. Konsekuensinya, pendekatan seperti ini menekankan prakarsa dan peran serta dari anggota masyarakat ketimbang prakarsa dan peran serta negara dalam proses-proses pembentukan subyek-subyek politik (political subjects) serta pranatapranata sosial politik (political institutions). Demikian pula, peran organisasi massa dan asosiasi-asosiasi sukarela semakin diperluas menggantikan peran negara dan aparataparatnya dalam masyarakat.
Epistemologi Postmodernisme atas Wacana Demokrasi Penting kiranya bagi penulis untuk sedikit mengulas pemahaman filosofis dan epistemologis kelompok Pencerahan dalam rangka membentuk kerangka analisis kritis atas salah satu produk besar mereka, yaitu demokrasi. Paradigma-paradigma yang dijadikan dasar epistemologis mereka cenderung memandang proses sejarah secara tertutup dan menafikan perlunya elemenelemen di luar rasionalitas. Obyektifitas dan kepastian empiris jadinya merupakan ukuran satu-satunya bagi setiap upaya penyelidikan dan pengkajian ilmiah modern. Metodemetode pencarian ataupun perspektifperspektif kesejarahan yang melibatkan elemen-elemen di luar rasionalitas instrumental serta merta dianggap tidak relevan. Akibatnya, proyek pencerahan yang dihasilkan bersifat sepihak (one sided) atau 110
Lihat Carol C. Gould, op cit, hal 287-301. Untuk lebih jelas mengetahui karya mutakhir tentang kritik terhadap demokrasi, lihat juga C. B. Machperson, Democratic Theory: Essays in Retrieval, Oxford : Clarendon Press, 1990; D. Held, Models of Democracy, Stanford university Press, 1986.
tidak mengindahkan sisi pandang lain yang bertentangan dengan mereka.111 Tuntutan akan sebuah alternatif epistemologi yang mampu menerobos kesepihakan proyek Pencerahan menyebabkan munculnya berbagai epistemologi tandingan yang mencoba melibatkan elemen-elemen di luar rasionalitas instrumental. Salah satunya adalah gerakan postmodernisme112 yang bersikap keras terhadap bias-bias etnosentris Barat dan kesepihakan inheren dalam wacana dan praksis modernisasi. Wacana (discourse) dan bahasa yang telah melahirkan paradigma dominan tersebut dianggap netral, mampu memisahkan secara tegas antara “subyek” (pembicara) dengan “obyek” , dan hanya dipahami sebagai alat untuk menyampaikan kenyataan-kenyataan sosial atau politik. Sebaliknya kaum postmodernisme curiga dengan “netralitas” wacana dan bahasa. Bahasa oleh mereka dianggap berperan dalam membentuk tematema wacana tertentu, jenis-jenis subyek tertentu sehingga jika dikaitkan dengan wacana politik maka bahasa tidak lagi alat atau medium “netral”. Bahasa adalah representasi dari dirinya sendiri, dari hubungan-hubungan politis dan merupakan ruang bagi penggelaran kuasa-kuasa tertentu.113 Kuasa atau kekuasaan dianggap senantiasa berada dalam setiap proses wacana dan ia memberikan batasan-batasan tentang apa yang diperkenankan dalam wacana, perspektif apa yang harus dipakai didalamnya, topik apa yang dibicarakan, dan norma-norma
111
Muhammad A. S. Hikam, op. cit, hal 79-80. Postmodernisme atau pasca modernisme dipahami sebagai rentang sejarah setelah modernisme. Sebagai sebuah mode of thought atau sudut pandang, postmodernisme merupakan selebrasi dan legitimasi dari “otherness” dan “difference”. Lebih lanjut lihat J. F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester University Press, 1984. 113 M. Shapiro, “Language and Political Understanding: The Politics of Discursive Practice”, dalam A. S. Hikam, op. cit, hal 186-187. 112
276
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 serta elaborasi konsep-konsep dan teori-teori apa yang bisa dan sah untuk dipakai.114 Inilah yang kemudian dikenal sebagai pendekatan discursive practice di kalangan postmodernisme, sebuah pendekatan wacana dan bahasa yang amat berkaitan dengan tindak dan praksis politik. Menurut pandangan ini, subyek tidak lagi dominan sebagai titik tolak analisis. Subyek tidak selalu menyadari sepenuhnya atas apa yang mereka lakukan. Seperti yang dikatakan oleh Foucault, “apa yang bermakna dari sesuatu yang dikatakan orang, tidaklah senantiasa tergantung dari apa yang dipikirkan, tetapi apa yang telah mensistematisasi mereka sejak semula.”115 Namun perlu disadari bahwa wacana dalam ilmu politik sampai saat ini masih didominasi oleh paradigma modernisasi dan paradigma Marxian. Paradigma-paradigma dominan tersebut kurang memberikan perhatian yang serius terhadap masyarakat bawah (gross-root). Bahkan, di dalam paradigma Marxian sekalipun, yang konon memiliki klaim filosofi sebagai si pembela kaum tertindas, kecenderungan elitisme tetap dominan. Contoh yang paling jelas adalah strukturalisme Marxis yang dipelopori oleh Althusser, Balibar, Poulantzas, dan yang kemudian berpengaruh dalam pendekatanpendekatan Marxian seperti tesis-tesis ketergantungan, dan sebagainya. Demikian juga strukturalisme-fungsional ala Parsons yang dikembangkan dari tesis-tesis Max Weber.116 Dalam perkembangannya, dominasi yang dimiliki oleh mereka tidak lepas dari dukungan yang diberikan oleh kekuasaan politik dari negara melalui para teknokrat dan birokratnya. Di Indonesia, misalnya, wacana politik normal pernah dikenakan kepada mahasiswa pada masa Orde Baru melalui program “Normalisasi Kehidupan Kampus”. Program ini 114
M. Foucault, “Language, Counter memory, Practice : Selected Essays and Interviews, dalam ibid, hal 188. Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak dapat hanya diterjemahkan dalam arti yang negatif, tetapi harus juga dilihat dalam arti yang positif, yakni dalam soal kemampuannya membangun subyektifitas. 115 Ibid. 116 Ibid, hal 101.
ditujukan untuk menghasilkan subyek-subyek baru dikalangan mahasiswa yang tidak lagi terlibat secara langsung dalam politik seperti para pendahulunya. Subyek baru ini kemudian lebih diorientasikan pada pemenuhan kebutuhan teknokratik dan pasar tenaga kerja yang muncul akibat tuntutan modernitas. Lewat wacana, negara mampu meciptakan kekuasaan terhadap rakyatnya baik itu berpresentasi ilmiah ataupun yang bukan. Wacana institusionalisme yang dikembangkan lewat modernisasi dan para pakar politik seperti Apter, Huntington dan Dahl, misalnya, telah menciptakan batasan-batasan terhadap kegiatan-kegiatan politik yang dianggap sah dan tidak sah. Negara juga sepertinya mendapat legitimasi untuk menertibkan perbedaan-perbedaan ideologi yang diangap rawan konflik, yang sebenarnya ditujukan pula untuk menciptakan stabilitas atau untuk memperkuat kedudukannya vis a vis rakyat. Wacana kebijakan publik telah menjadi wacana elitis yang dikuasai oleh segelintir elit di pusat-pusat kekuasaan. Kebijakankebijakan yang sifatnya top down telah berimplikasi pada kurang terakomodasinya pilihan publik, rendahnya komitmen masyarakat, terjadinya learning diability dalam skala luas yang terwujud dalam bentuk ketergantungan masyarakat pada negara, serta rendahnya implementary degree dari suatu kebijakan. Wacana partisipasi publik secara dangkal diterjemahkan menjadi partisipasi dalam mengimplementasikan kebijakan. Sedang proses formulasi dan mungkin keterlibatan dalam menikmati hasil kebijakan tersebut menjadi domain negara dan kaum birokrat-teknokratnya. Bagi penulis, postmodernisme dengan pendekatan discursive practice-nya telah memberikan kontribusi besar dalam mengungkap selubung yang ada dibalik wacana dan praksis politik. Pemahaman kritis dan reflektif oleh postmodernisme senantiasa peka terhadap berbagai asumsi mapan yang seolah-olah muncul secara natural dan karenanya tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan sepertinya pendekatan postmodernisme ini memiliki potensi emansipatoris bagi mereka yang berada dalam kondisis tertindas, yang 277
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 oleh Habermas diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih halus yaitu communicative action. Teori Kritik Habermas, Telaah atas Demokrasi Dalam pandangan penulis, teori kritik Habermas lebih realistis dalam memandang keadaan masyarakat dewasa ini. Meski Habermas tidak sepenuhnya menolak kritikan postmodernisme atas rasio dan pencerahan karena ia juga melihat ada sesuatu yang tidak beres dengan proyek-proyek pencerahan, tetapi ia tidak juga sama sekali meninggalkan modernitas sebagai proyek sejarah karena pada hakekatnya modernitas adalah sebuah proyek yang tidak pernah selesai (unfinished project of modernism). Kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam modernitas haruslah diatasi dengan pencerahan lebih lanjut dalam arti “rasio komunikatif” yang kritis terhadap rasionalitas yang menyembunyikan kekuasaan. Habermas mengangkat permasalahan demokrasi melalui rasionalisasi kekuasaan yang melibatkan bentuk-bentuk komunikasi umum dan publik yang bebas (public sphere) dan terjamin secara institusional. Pada ruang publik yang bebas, secara normatif, individuindividu dalam posisinya yang setara, dapat melakukan transaksi-transaksi wacana (discursive transactions) dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Secara teoritis, publik yang bebas dapat diartikan sebagai ruang dimana anggota masyarakat sebagai warga negara mempunyai akses sepenuhnya terhadap semua kegiatan publik. Mereka juga berhak melakukan kegiatan-kegiatan termasuk menyampaikan pendapat secara lisan maupun tulisan. Lebih singkatnya, public sphere117 adalah semua wilayah kehidupan sosial yang memungkinkan terbentuknya opini publik lewat diskusi rasional.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana menciptakan public sphere semacam ini sementara dalam kondisi sosial yang semakin kompleks saat ini praktek kekuasaan politis masih bersifat elitis. Dalam artikelnya The Scientization of Politics,118 Habermas melihat bahwa demokrasi bisa terwujud jika terwujud interaksi kritis dan komunikasi timbal balik antara para politikus dan para ahli (experts). Meskipun kedua aktor yang terlibat dalam komunikasi tersebut adalah elit, namun pada gilirannya harus dihubungkan dengan opini publik. Secara keseluruhan dapat dibayangkan adanya komunikasi antara para politikus dan para ilmuwan berdasarkan riset-riset; dan mereka berusaha menerjemahkan informasi ilmiah ke dalam persoalan-persoalan yang dirumuskan secara ilmiah, dan sebaliknya, menerjemahkan informasi ilmiah ke dalam persoalanpersoalan praktis. Proses penerjemahan inilah yang harus dihubungkan dengan opini publik karena mau tidak mau harus disesuaikan dengan sistem-sistem nilai yang ada dalam masyarakat. Menurut penulis, memang sulit untuk menciptakan public sphere seperti yang diidealkan oleh Habermas karena bagi masyarakat yang sedang berkembang seperti di Indonesia, misalnya, masih menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang rendah. Rasionalisasi kekuasaan juga tidak mudah dicapai oleh masyarakat yang dunia akademis ilmiahnya belum otonom. Namun yang pasti, pemikiran Habermas tidak akan menjadi utopia belaka jika ide rasionalisasi kekuasaan tersebut diusahakan untuk terwujud oleh seluruh lapisan masyarakat, dunia akademisi dan para elit politik. Demokrasi bukanlah sebuah narasi besar yang telah kehilangan kredibilitasnya menjawab perkembangan dunia kontemporer, demokrasi bisa terwujud melalui usaha bersama menuju masyarakat yang komunikatif. Kesimpulan
117
Steven Seidman (ed). “Jurgen Habermas on Society and Poliics”, dalam F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal 122-129.
118
Lihat Thomas Mc Carthy, The Critical Theory of Jurgen Habermas, Polity Press, Cambridge, 1989, hal 1-16.
278
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Bicara mengenai demokrasi sangat mengasyikkan, karena banyak pengamat dan para ahli politik yang memiliki berbagai pandangan beragam tentang konsep ini atau bahkan menungkin saking bertolak belakang. Demokrasi bisa dilihat sebagai ideologi atau Weltanschauung. Demokrasi juga bisa dilihat sebagai suatu sistem yang mengoperasionalkan ide-ide. Apapun itu, demokrasi telah menjadi wacana yang menarik untuk diperbincangkan dari masa ke masa. Sebagai proyek Pencerahan, demokrasi juga mendapat kritikan tajam dari kalangan postmodernisme. Mereka memandang demokrasi telah mendominasi wacana publik yang berpihak pada minoritas. Tidak adanya inter-subyektif antara pelaku demokrasi membuat demokrasi “tidak terbuka” untuk partisipasi dari rakyat. Wacana (discourse) yang dihasilkan hanya berjalan satu pihak (one sided). Pandangan Habermas tentang demokrasi sepertinya memposisikan dirinya sebagai “jalan ketiga”. Dia tidak menyalahkan sepenuhnya tentang konsep besar modernitas tersebut. Tetapi ia juga melihat kekurangankekurangan yang ada dalam tubuh demokrasi. Demokrasi berarti pemerintahan untuk rakyat. Sedang demokrasi yang berjalan saat ini, baik itu ala Barat ataupun ala Duni Ketiga, cenderung hanya mengakomodir kepentingankepentingan para elit melalui mekanisme perwakilan. Sulit memang untuk menciptakan suatu mekanisme yang bisa mengakomodir seluruh kepentingan rakyat. Menurut Habermas, rakyat bisa ikut terlibat asal terbentuk ruang publik yang otonom sebagai alat komunikasi aktif antara penguasa dengan rakyatnya. Sekali lagi, komunikasi menjadi penting bagi proses demokratisasi. Idealnya, komunikasi yang menjadi sistem tukarmenukar wacana tidak hanya dikuasai oleh satu pihak saja dan juga tidak berlangsung satu arah saja (top down). Sepertinya, perlu adanya pemikiran lebih lanjut untuk menciptakan suasana public sphere yang diidealkan Habermas untuk menciptakan demokrasi yang benar-benar “demokratis”. Dan itu menjadi permasalahan kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA Dahl, Robert A., Democracy and Its Critics, New Haven, Connecticut, Yale University Press, 1989.
Diamonds, Larry dkk, Politics in Developing Countries : Comparing Experiences with Democracy, Boulder, CO : Lynne Rinner. Gaffar, Afan, politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2000.
Gould, Carol C., Demokrasi Ditinjau Kembali, Tiara Wacana Yogyakarta, 1993. Hardiman, F. Budi., Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta, 1993
Held, David, Democracy and the Global Order, Stanford, California : Stanford University Press, 1995.
----------------, Models of Democracy, Stanford university Press, 1986. Hikam, Muhammad A. S., Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta, 1999. Insist, Edisi 2 Tahun I, 1999. Lijphart,
Arend, Democracies, Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, New haven : Yale University Press, 1984.
Lyotard, F., The Postmodern Condition: A Report on Knowledge, Manchester University Press, 1984.
279
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Machperson, C. B., Democratic Theory: Essays in Retrieval, Oxford : Clarendon Press, 1990 Mc Carthy, Thomas., The Critical Theory of Jurgen Habermas, Polity Press, Cambridge, 1989 O’Donnell, Guillermo dkk, Transisi menuju Demokratisasi, Jilid 1-3, LP3ES, Jakarta, 1992. Schumpeter, Joseph A., Capitalism, Socialism, and Democracy, Counterpoint, London. Schmitt, Carl, The Crisis of Parliamentiary Democracy, Harvard University Press, 1985
280
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI DI INDONESIA Oleh: Saladin Ghalib Dosen Program Studi Administrasi Niaga FISIP UNLAM Abstraksi Tingkat inflasi merupakan variable ekonomi makro yang paling penting dan paling ditakuti oleh para pelaku ekonomi termasuk pemerintah, karena dapat membawa pengaruh buruk pada struktur biaya produksi dan tingkat kesejaheraan masyarakat. Bahkan, sebuah rezim pemerintahan dapat tumbang hanya karena gagal mengendalikan lonjakan tingkat inflasi. Tulisan ini mencermati fenomena inflasi di Indonesia dalam konteks beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan pendekatan moneter. Dimana kebijakan yang dibuat pemerintah dalam konteks makro mampu mengendalikan devaluasi, tetapi sisi lain merugikan dunia usaha. Beberapa teori penting menjadi tumpuan dalam memahami inflasi di Indonesia menjadi bagian dari kajian ini. Key words: Inflasi, Kebijakan Pengendalian
Latar Belakang.
I
nflasi adalah sebuah konsep yang cukup populer di Indonesia dan bahkan untuk saat ini, dimana sistim informasi sudah sedemikian meluasnya, konsep tersebut dikenal sampai pada masyarakat lapisan menengah bawah di Indonesia. Popularitas konsep inflasi ini juga ditunjang oleh effeknya yang sangat massive terhadap masyarakat secara keseluruhan, terutama dalam sektor perekonomian yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sangat mempengaruhi pada hidup dan kehidupan mereka. Dalam kondisi inflasi masyarakat menjadi semakin sulit memenuhi kebutuhannya, karena pendapatan riilnya (real income) menjadi semakin menurun, karena tingkat harga barang di pasar menjadi naik. Selain itu, inflasi adalah sebuah fenomena ekonomi yang sulit sekali dihilangkan, karena
semua Negara dimuka bumi ini pasti mengalaminya. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar tingkat inflasi tersebut tidak berada pada tingkat yang membahayakan, yaitu kurang dari 10% per tahun. Ace Partadireja (1983:137) bahkan menyatakan bahwa tingkat inflasi yang ideal pada suatu Negara adalah tidak lebih dari 5% per tahun.
Ringkasnya, tingkat inflasi merupakan variable ekonomi makro yang paling penting dan paling ditakuti oleh para pelaku ekonomi termasuk pemerintah, karena dapat membawa pengaruh buruk pada struktur biaya produksi dan tingkat kesejaheraan masyarakat. Bahkan, sebuah rezim pemerintahan dapat tumbang hanya karena gagal mengendalikan lonjakan tingkat inflasi. Tingkat inflasi yang naik berpuluh kali lipat pada masa pemerintahan rezim Soekarno dan rezim Marcos di Filiphina, menjadi bukti empiris dari rawannya dampak negative yang harus ditanggung para pengusaha dan masyarakat.
Bagi organisasi bisnis yang dalam menjalankan kegiatannya ber-orientasi pada 281
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 pencapaian keuntungan, inflasi secara nyata merupakan salah satu variable eksternal yang memberikan ancaman sangat menakutkan. Dari satu sisi, tingkat inflasi yang cukup tajam mengakibatkan kesulitan bagi pelaku bisnis dalam memasarkan produknya karena turunnya daya beli masyarakat, yang akhirnya bermuara pada menurunnya total revenue yang diperolehnya.
Dari sisi lainnya, inflasi dapat meningkatkan total cost yang harus dikeluarkannya dalam pelaksanaan produksinya, terutama dalam pengadaan bahan baku yang diperlukan dalam proses produksi. Menurunnya total revenue yang disertai dengan peningkatan total cost akan menekan tingkat profit margin yang dapat diraih oleh pelaku usaha, Jika kondisi seperti tersebut tidak dapat diantisipasi dengan sebuah strategi bisnis yang tepat, bukan mustahil akan mengakibatkan kebangkrutan. Stagnasi dalam dunia usaha, secara empiris dapat terlihat pada saat terjadinya krisis moneter di tahun 1998, yang dilatar belakangi oleh adanya devaluasi. Pada saat ini, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih banyak didasari pada pendekatan moneter, yang antara lain dilakukan dengan peningkatan suku bunga Bank Indonesia.
Kebijakan pengetatan uang yang beredar (tight money policy) secara ekonomi makro memang cukup efektif dalam jangka pendek untuk mengendalikan devaluasi, tetapi pada sisi lain sangat menyudutkan pelaku usaha, karena tingkat bunga yang berlaku justeru lebih tinggi dari margin keuntungan yang dapat diraihnya. Gairah untuk berusaha dan melakukan investasi (marginal propensity to invest) dari para pelaku bisnis merosot dengan tajam, karena mereka lebih tertarik untuk menyimpan uangnya di bank dengan tawaran tingkat bunga yang sangat menggiurkan. Akibat dari hal ini, pengusaha juga berusaha untuk mengurangi beban cost yang tinggi, yang antara lain dilakukan dengan mengurangi penggunaan tenaga kerja yang
secara makro pengangguran.
meningkatkan
jumlah
Drama kehancuran sektor bisnis di Indonesia kemudian terulang kembali pada saat awal pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dengan kebijakan pengurangan subsidi BBM yang terjadi pada awal tahun 2005. Kebijakan ini tentunya memicu peningkatan inflasi, dan pada akhirnya juga sempat mengakibatkan kelesuan dalam dunia usaha. Penelusuran Teori Inflasi.
Karena inflasi dianggap sebagai momok yang klasik dalam ekonomi makro dan berakibat massive pada masyarakat, maka sepanjang masa ini telah berkembang beberapa teori yang berusaha memecahkan permasalahan ini, antara lain: 1.Teori Kuantitas.
Menurut teori ini, yang kebanyakan didukung oleh kalangan moneter, inflasi dipengaruhi oleh 2 variabel pokok. Variabel pertama yang sangat berpengaruh adalah Volume Uang yang beredar di masyarakat. Apabila jumlah uang yang beredar ( dalam bentuk kartal dan giral) meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah barang yang diperdagangkan dimasyarakat, cenderung akan mengakibatkan kenaikan harga barang secara umum.
Variabel kedua yang cukup menentukan pula terhadap fluktuasi inflasi adalah ekspektasi masyarakat tehadap kenaikan harga. Apabila masyarakat memprediksi bahwa kecendrungan harga dimasa yang akan datang akan menaik, hal ini akan memicu terjadinya kenaikan permintaan terhadap barang yang diperdagangkan yang bermuara pada kenaikan harga.
282
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 2. Mark-up Model. Teori ini menyatakan bahwa inflasi ditentukan oleh 2 faktor pokok. Pertama, Inflasi akan terjadi apabila terjadi kenaikan dalam biaya yang dikeluarkan oleh produsen untuk menghasilkan barang, baik dalam bentuk biaya bahan mentah (cost of material used), kenaikan upah buruh, maupun kenaikan pada biaya produksi lainnya (overhead cost). Variabel lainnya yang juga mempengaruhi kenaikan harga adalah batas tingkat keuntungan (profit margin) yang diinginkan oleh pengusaha dalam penjualan barang yang diperdagangkannya. Dengan kata lain, teori ini menyatakan bahwa inflasi merupakan fungsi dari total production cost dan profit margin.Inflasi yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi ni disebut sebagai: Cost- push inflation. 3. Keynessian Model. Menurut model ini kenaikan harga akan terjadi apabila terjadi kenaikan pengeluaran konsumsi (C) masyarakat secara keseluruhan dan pengeluaran investasi (I) masyarakat secara keseluruhan terhadap barang dan jasa dimana pada saat bersamaan tidak dapat diimbangi dengan kenaikan penawaran barang (S) dalam masyarakat secara keseluruhan, yang dilatarbelakangi oleh kondisi fullemployment. Dalam kondisi tingkat pengerjaan penuh (full employment), semua sumber daya produksi sudah digunakan dalam proses produksi dan tidak memungkinkan untuk ditambah lagi. Akibat logis dari kenaikan C+I yang tidak dapat diimbangi oleh kenaikan Supply (S) adalah terjadinya kenaikan harga (inflationary gap). Inflasi yang terjadi karena hal ini disebut sebagai demand-push inflation. 4. Teori Struktural.
Pada intinya teori ini menyatakan bahwa inflasi pada suatu Negara yang sedang berkembang, seperti halnya dengan Indonesia
kebanyakan disebabkan oleh kendala-kendala sruktural (structural bottle-neck) yang biasanya terdapat pada Negara yang bersangkutan. Adwin S.Atmadja (1999:57) merincikan bottle necks tersebut menjadi beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya keterbatasan supply pada sektor pertanian dalam mengimbagi kenaikan permintaan masyarakat terhadap produk hasil pertanian. Beberapa hal yang mengakibatkan hal ini adalah antara lain: kurangnya perhatian pemerintah terhadap perlindungan dan perluasan lahan pertanian, banyaknya bencana alam yang terjadi yang mengakibatkan gagal panen, dan yang paling penting adalah masih sederhananya penggunaan teknologi yang lebih sophisticated pada sektor pertanian.
Kelemahan dalam sektor pertanian inilah yang bisa mengakibatkan apa yang disebut oleh sri Mulyani Indrayati sebagai “Outputgap” yaitu selisih antara apa yang seharusnya dapat dihasilkan dengan apa yang senyatanya bisa dihasilkan. Keberadaan output-gap ini selain menekan kapasitas produksi di sektor pertanian yang berakibat pada rendahnya kemampuan supply produk pertanian dalam mengimbangi kenaikan demand yang bermuara pada munculnya demand – push inflation, juga dapat mengakibatkan inefficiency dalam proses produksi yang bermuara pada cost - push inflation.
Faktor kedua yang dapat memicu tingkat inflasi di Negara berkembang adalah kecilnya cadangan devisa yang diakibatkan oleh rendahnya net factor income from abroad yang bernilai negative, dimana nilai ekspor lebih rendah dari nilai impor. Kekurangan cadangan devisa ini mengakibatkan kesulitan untuk membeli barang-barang modal yang canggih dari luar negeri guna menunjang efisiensi pada sektor industry. Jika efisiensi dalam proses produksi bisa ditingkatkan, maka output gap dapat diminimalisasikan.
283
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Faktor ketiga terlihat pada anggaran pendapatan dan belanja pemerintah yang defisit, karena penerimaan rutin terutama dari sektor pajak yang masih kecil yang berhubungan dengan masih rendahnya income per kapita masyarakat. Untuk menutupi defisit tersebut pemerintah terpaksa meningkatkan pinjaman luar negeri, atau seperti apa yang pernah dilakukan pada rezim Sukarno, yaitu dengan cara pencetakan uang baru, yang tentu saja mengakibatkan munculnya tingkat inflasi yang tergolong kedalam hyper-inflation.
Faktor ke-empat adalah hal yang lumrah terjadi pada Negara berkembang yang pada umumnya sangat tergantung pada barang import untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Dengan kendala struktural seperti ini, imported inflation akan mudah terjadi pada Negara berkembang baik karena meningkatnya harga barang impor dinegara asalnya atau karena adanya penurunan (depresiasi) nilai tukar negara importir terhadap Negara eksportir. Kebijakan Indonesia.
Pengendalian
Inflasi
di
1.Kebijakan pemotongan nilai mata uang (saneering) Kebijakan ini pernah diambil pada masa rezim sukarno pada sekitar tahun 1960-an, dimana pada saat itu inflasi sudah sedemikian tingginya yaitu mencapai angka ratusan persen. Dengan kebijakan ini, nilai uang sebesar seribu rupiah dipangkas menjadi satu rupiah. Kebijakan ini hanya dapat dijalankan dalam kondisi yang sangat mendesak dan bahkan semaksimal mngkin harus dihindari karena resikonya yang sangat besar antara lain dalam bentuk pemiskinan masyarakat secara massive, keresahan yang tinggi pada rakyat dan kepercayaan yang rendah dari masyarakat terhadap nilai mata uang, sehingga mengakibatkat tingkat perpindahan
uang dari satu orang ke orang lainnya (velocity of money) menjadi semakin tinggi, dan hal ini bisa berakibat pada meningkatya kembali laju inflasi. Secara politis, kebijakan yang diambil pada era pemerintahan Soekarno menimbulkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang berujung pada tumbangnya rezim ini.
2.Tight money policy (Kebijakan uang ketat). Kebijakan ini yang nampaknya paling digemari untuk dijalankan oleh otoritas moneter di Indonesia yang secara empiris pernah dijalankan pada saat Indonesia mengalami krisis moneter yang cukup berat pada tahun 1998.
Kebijakan ini pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat melalui peningkatan suku bunga Bank Indonesia. Dengan tingginya SBI, maka suku bunga yang ditawarkan oleh bank umum juga meningkat. Meningkatnya suku bunga ini mengurangi minat pengusaha untuk ber-investasi karena return on investment yang dapat diraihnya lebih rendah dari rate of interest. Karena kondisi ini, pengalaman tahun 1998 menunjukkan pada saat itu banyak pengusaha maupun masyarakat umum yang berburu bunga dengan melakukan deposito di Bank. Secara jangka pendek kebijakan uang ketat ini memang efektif dalam mengurangi jumlah uang yang beredar seperti yang diasumsikan oleh para moneterist, tetapi keadaan ini sebetulnya dapat menimbulkan gejala ekonomi baru yang lebih berat yaitu munculnya stagnasi dalam dunia usaha dan bersamaan dengan itu juga bisa memunculkan kembali inflasi.
Gejala seperti ini yang disebut oleh Ace Partadireja sebagai stagflasi, karena stagnasi mengakibatkan dis-equilibrium baru antara 284
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 supply dan demand, dimana demand akan lebih besar dari supply.
Pada sisi lain, kebijakan uang ketat ini dapat menjadi boomerang pada sektor perbankan karena simpanan masyarakat di bank menjadi lebih besar dari penyaluran kreditnya kepada masyarakat. Sektor perbankan dengan demikian mengalami apa yang disebut sebagai negative spread yang dapat mengancam eksistensi perusahaan perbankan karena beban cost of capital yang membesar. 3.Meningkatkan penerimaan rutin dari sektor Pajak.
Secara teoritis upaya meningkatkan penerimaan pajak ini, baik melalui peningkatan tarif pajak maupun melalui perluasan objek pajak dapat mengurangi inflationary gap. Yang harus diwaspadai dalam hal ini adalah jangan sampai peningkatan penerimaan di sektor pajak ini dapat mempengaruh iklim usaha dan investasi. Hal lainnya yang harus diperhatikan, dan ini adalah hal yang faktual di Indonesia adalah terjadinya penyelewengan (demoralisasi) dalam sektor pajak baik yang berasal dari fiskus maupun dari wajib pajak. Demoralisasi dalam sektor pajak ini merupakan sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian ekstra dari Pemerintah. Kasus Gayus Tambunan menunjukkan pada semua rakyat Indonesia bahwa mafia dalam sektor perpajakan perlu diberanas secara tuntas. Pengawasan yang lebih ketat dan bersih dalam hal ini masih sangat diperlukan. 4. Meningkatkan supply bahan pangan.
Hal ini dapat dijalankan dengan melakukan perluasan lahan pertanian, maupun dengan penggunaan teknologi canggih dalam bidang produksi pertanian, yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Kebijakan seperti ini lebih cocok digunakan di
Indonesia, karena pendekatan supply side seperti ini lebih mengena dengan permasalahan “structural bottle necks” seperti yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Peningkatan produktivitas di sektor pertanian ini memang meningkatkan pendapatan masyarakat petani, tetapi peningkatan pendapatan ini tidak serta merta mengakibatkan peningkatan pengeluaran konsumsi mereka dalam jumlah yang setara , karena masyarakat petani biasanya ditandai dengan hasrat konsumsi atau marginal propensity to consume (MPC) yang rendah. Dengan demikian, maka kenaikan pendapatan petani sangat kecil kemungkinannya bisa memicu kenaikan laju inflasi.
Agak berbeda halnya jika peningkatan pendapatan terjadi pada golongan masyarakat dengan strata social menengah atas. Kenaikan pendapatan pada golongan masyarakat ini akan cukup berpengaruh pada peningkatan inflasi, karena golongan masyarakat ini memiliki hasrat konsumsi yang lebih besar. 5. Meningkatkan cadangan devisa.
Peningkatan cadangan devisa dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kinerja ekspor. Selanjutnya, dengan cadangan devisa yang besar tersebut akan dapat digunakan untuk membeli barang-barang modal untuk menunjang sektor industry didalam negeri guna mengurangi ketergantungan impor dengan luar negeri. Namun demikian, upaya peningkatan cadangan devisa harus merupakan gerakan yang serempak dari pemerintah maupun masyarakat. Untuk peningkatan kinerja ekspor, perlu didukung dengan kebijakan pemerintah yang dapat memberikan rangsangan kepada eksportir dalam bentuk pemberian insentif ekspor, kemudahan dalam perijinan ekspor dan kemudahan dalam pemberian kredit eksport. Pemerintah juga
285
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 seharusnya lebih aktif dalam memfasilitasi promosi ekspor dipasar luar negeri.
Dari kalangan pengusaha ekspor (esportir), seharusnya lebih giat dan kreatif dalam membaca peluang dan memperluas pasar ekspor diluar negeri dan melakukan usaha-usaha innovatif yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan daya saing produk di pasaran internasional.
Dari kalangan masyarakat secara umum (terutama untuk golongan menengah atas), seharusnya bersedia untuk merubah kultur yang selama ini lebih cenderung pada import oriented dalam memenuhi kebutuhannya menjadi local oriented. Perubahan kultur seperti ini sebenarnya sesuatu ang tidak terlalu sulit dilakukan, asalkan keteladanan dimulai dari masyarakat tingkat atas, yaitu pejabat pemerintahan dan kalangan pengusaha.
Malaysia, sebagai Negara tetangga terdekat dengan Indonesia, dapat kita jadikan contoh dalam menggalakkan kecintaan masyarakatnya terhadap produk dalam negeri. Disana semua mobil dinas pejabat Negara/pemerintahan menggunakan mobil produksi nasional (proton). Ini merupakan sebuah keteladanan yang akhirnya diikuti oleh masyarakat umum. 6. Membangun Industri yang mampu menghasilkan barang-barang modal.
Jika hal ini dapat dilakukan, maka untuk pemenuhan barang modal di dalam negeri tidak perlu lagi tergantung dengan importer diluar negeri. Keberadaan industry barang modal ini akan dapat semakin menambah cadangan devisa dan yang lebih penting kemungkinan timbulnya inflasi sebagai pengaruh dari variable luar negeri (imported inflation) dapat ditekan sekecil mungkin. Sehubungan dengan point 5 yang telah dijelaskan diatas, keberadaan industry barang modal didalam negeri, akan dapat
mengakibatkan pengurangan biaya produksi yang sangat signifikan sehingga akan menngkatkan daya saing barang yang diproduksi baik dengan orientasi ekspor maupun dengan orientasi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Jika hal ini dapat diwujudkan maka daya saing hasil produksi kita akan memiliki daya saing lebih tinggi dipasar internasional. Dari sisi lain, hal ini akan menjad rintangan yang berat bagieksportir di luar negeri untuk masuk ke pasar nasional kita. Dengan demikian ekspor nasional akan meningkat, dan dalam waktu bersamaan kecendrungan masyarakat untuk menggunakan barang impor (Marginal propensity to Import) juga akan menurun. 7. Menghilangkan factor-faktor mengakibatkan High cost economy.
yang
Kecendrungan yang sering terlihat pada Negara berkembang adalah birokratisasi yang berlebihan terutama dalam memberikan kemudahan berusaha bagi masyarakat, dan munculnya pungutan-punguan illegal, baik dalam mata rantai pembelian maupun distribusi dan pemasaran barang. Semua hal yang dapat mendorong kenaikan biaya ini, sudah saatnya perlu dilakukan deregulasi dan debirokratisasi. 8. Mengurangi Output-gap.
Seperti yang sudah djelaskan pada bagian terdahulu, output gap dapat dikurangi dengan penggunaan teknologi canggih dalam proses produksi, dengan didukung oleh tenaga yang mampu menjalankan teknologi tersebut. Upaya riset yang terus menerus perlu digalakkan untuk pengembangan teknologi baru yang lebih baik.
Dalam upaya mengurangi output-gap ini, masih terlihat kendala-kendala yang bersyifat kultural dalam bentuk sikap masyarakat yang menolak terhadap perubahan (resistence to change). Sosialisasi yang lebih intens dalam penggunaan teknologi baru,terutama dalam
286
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 sektor pertanian pemerintah.
perlu
dilakukan
oleh
Kesimpulan
Untuk pengendalian inflasi di Indonesia, sebaiknya dihindari penggunaan pendekatan yang bersyifat moneter, seperti melakukan saneering atau dengan penggunaan Kebijakan uang ketat. Pendekatan yang biasanya digunakan oleh monetarist ini bisa digunakan dalam kondisi yang sangat darurat dan hanya bisa mengharapkan efek positif dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pendekatan ini bisa mengakibatkan efek yang negative bagi perekonomian nasional.
Indrawati, Sri Mulyani , Sumber-sumber Inflasi di Indoesia, Makalah dalam seminar ISEI dan PERHEPI, Jakarta, 1996.
Partadiredja, Ace, Pengantar Ekonomika, Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi Univeritas Gajahmada, Yogyakarta, 1983.
Samuelson, Paul A, Economics ; An Introductory Analysis, McGraw Hill Book Company, Inc,1961.
Untuk kondisi Indonesia yang masih memiliki kendala structural yang cukup rumit, pendekatan yang sebaiknya dijalankan adalah seperti yang dianjurkan oleh para structuralist, yaitu dengan berupaya meningkatkan supply bahan pangan, meningkatkan cadangan devisa, mengurangi high cost economy, melakukan deregulasi dan debirokratisasi dan berupaya untuk mengurangi outpt-gap dalam proses produksi.
Yang tidak kalah pentingnya dalam upaya pengendalian inflasi ini adalah keikut sertaan masyarakat secara umum, dalam bentuk kesediaan merubah sikap yang tadinya cenderung konsumtif menjadi lebih produktif, atau sikap yang tadinya lebih menyukai produk impor menjadi lebih mencintai produk Dalam negeri. Sikap yang lebih terbuka terhadap penggunaan teknologi moderen yang sebenarnya lebih efisien dalam berbagai bidang juga perlu dimiliki oleh masyarakat Indonesia secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA
Atmadja ,Adwin S , Inflasi di Indonesia: Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya, Jurnal Akunansi dan Keuangan, Vol.1.hal 54-57, Mei 1999 287
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Keterlibatan Pemerintah Dalam Mengatasi Potensi TRAFFICKING di Kalsel oleh: Hamsy Mansur dan Fahriannoor Dosen FKIP Unlam dan Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNLAM Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk keterlibatan pemerintah dalam nengantisifasi munculnya Trafficking ( Perdagangan orang) di Kalimantan Selatan sehingga mampu mencegah sedini mungkin terjadinya praktik perdagangan orang. Keterlibatan tersebut dimaknai dari sisi regulasi dan implementasi atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Kalimantan Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif dengan mengambil 4 lokasi penelitian yang masing-masing terdiri dari Pemerintah Kota Banjarmasin, Pemerintah Kota Banjarbaru Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu dan Pemerintah Kabupaten Tabalong yang masing-masing punya karakteristik wilayah yang berbeda-beda dan dianggap berpotensi munculnya Trafficking (perdagangan orang). Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi, kemudian dianalisa dengan menggunakan model interaktif yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman dengan tiga prosedur yaitu reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan dan verifikasi. Konsep teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah David Easton (1953) yang melihat regulasi itu pusat public policy tidak sekedar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga terkait dengan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah, karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan. Didasarkan pada konsep tersebut, menunjukan bahwa keterlibatan pemerintah dalam mengatasi potsensi trafficking masih dinilai sangat minim. Kata kunci : Keterlibatan Pemerintah, Trafficking
Latar Belakang`Masalah
I
ndikasi adanya fenomena trafiking, di wilayah Kalimantan Selatan telah menunjukan indikasi yang cukup jelas terutama jika dilihat dari enam hal tersebut di atas yaitu wilayah industri, banyaknya fasilitas yang menyediakan jasa hotel-hotel, hiburan salon dan karaoke dan wilayah perlintasan yang menyediakan warung remang-remang dan tempat prostistusi. Dari keenam hal itu yang paling rentan terutama wilayah industri dimana didaerah tersebut juga difasilitasi
dengan sarana hotel-hotel, tempat hiburan dan salon-salon, dan juga ada kawasan prostistusi serta warung remang-remang. Selain itu beberapa fakta yang ada di atas menunjukan bahwa baik PSK maupun para Ladies yang bekerja di karaoke sebagian besar adalah berasal dari luar wilayah Kalimantan Selatan ini semakin menguatkan dugaan bahwa di Kalimantan Selatan juga terjadi trafiking, namun sifatnya masih terselubung. Sementara itu para Ladies yang menjadi pekerja di karaoke adalah komunitas yang rentan dan cenderung menjadi korban 288
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 dari trafiking yang terselubung ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartini (2001 : 186-187) bahwa ada delapan kategori pelacuran dua diantaranya adalah Gadis-gadis bar atau B-grils : yaitu gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan bar dan sekaligus bersedia memberikan pelayanan seks kepada para pengunjung. Katagori lainnya yaitu Penggali emas atau gold-diggers, yaitu gadisgadis dan wanita-wanita cantik-ratu-ratu kecantikan, pramugari/manequin, penyanyi, pemain panggung, bintang film, pemain sandiwara teater atau opera, anak wayang dan lain-lain yang pandai merayu dan bermain cinta untuk mengaduk kekayaan orang berduit. Mereka ini umumnya sulit utuk diajak bermain seks, yang ada mereka berusaha merayu untuk memperoleh keuntungan. Ungkapan konsep ini sebenranya semakin memberikan gambaran apabila dihubungkan dengan motiv sebagian besar dari para Ladies yang bekerja di tempattempat karaoke yang sebagin besar dari hasil wawancara menyebutkan motiv ekonomi menjadi faktor dominan. Dan ini juga membuka peluang munculya sindikasi yang terorganisir untuk menjadikan para LadiesLadies sebagai “alat” untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Kondisi seperti ini mulai nampak terlihat pada saat tim melakukan pemetaan di lapangan. Mesklipun dari para korban belum mengungkapkan bahwa mereka adalah korban dari trafiking, hal ini adalah wajar, karena mereka belum menyadari bahwa mereka adalah korban dari sindikasi trafiking. Begitu juga dengan keberadaan warung remang-remang yang banyak terdapat dikawasan perlintasan atau jalur trans Kalimantan. Untuk kasus warung remangremang banyak terdapat di kabupaten Tabalong. Para perekrjanya umumnya adalah para wanita (gadis) yang berusia 14 – 20 tahun. Motiv mereka bekerja adalah karena faktor ekonomi. Keberadaan agensi TKI menunjukan bahwa masih banyaknya agensi-agensi TKI illegal. Munculnya agensi-agensi TKI illegal ini berpotensi bagi terjadinya kasus trafiking. Selain itu izin operasional untuk agensi-agensi
yang hanya satu tahun juga berpeluang memunculkan trafiking, karena waktu satu tahun pertama dapat digunakan oleh agensi tersebut untuk mempelajari situasi daerah yang bersangkutan. Apabila pemahaman ini dijadikan acuan untuk menilai ada tidaknya perdagangan orang untuk wilayah seperti Kalimantan Selatan, maka peluang dan indikasi kearah sana telah ada. Hal ini didukung dengan hasil pemetaan yang dilakukan di lapangan menunjukan bahwa di Kalimantan Selatan ada indikasi bahwa telah ada sindikasi trafikingt di wilayah ini. Indikasi dari hasil pemetaan trafiking ini dilihat dari : 1. Tempat-tempat yang rawan terjadinya trafiking; seperti : hotel-hotel, karaokekaraoke, salon-salon dan tempat praktek legal PSK (Pekerja Seks Komersial). 2. Wilayah perlintasan (transit) 3. Wilayah Industri. Mengacu pada hasil penelitian sebelunya, ternya Kalimantan Selatan berpotensi munculnya trafficking hal ini didasarkan pada hasil penelitian terdahulu yang telah berhasil memetakan potensi trafficking di Kalimantan Selatan. A. Konsepsi Kebijakan Public Policy sering diterjemahkan secara bebas sebagai kebijakan publik. Pada konteks pemahaman bidang ilmu administrasi publik pemahaman ini dimakanai secara beragam. Kebijakan publik secara sederhana dapat didefinisikan “segala sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah, sebab-sebab mengapa hal tersebut dilakukan, dan perbedaan yang ditimbulkan sebagai akibatnya“ (Thomas R. Dye). Definisi lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Harold Lasswell, yang memahami kebijakan publik sebaga sebagai serangkaian program yang terencana, yang meliputi tujuan, nilai-nilai dan praktek. Berbeda dengan Laswswell, Austein Ranney memahami kebijakan publik sebagai tindakan-tindakan tertentu yang telah ditentukan atau pernyataan mengenai sebuah kehendak. 289
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Dalam bahasa yang lebih komprehensip lagi, Laster (2000) dalam Eddi Wibowo (2004 : 45) memberikan pemehanan terhadap kebijakan publik, yaitu : “proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas pemerintah yang didesain untuk mengatasi permasalahan publik, apakah hal ini terkait dengan permasalahan riil atau masih dalam bentuk peremcanaan (imagined)”. Pada konseptualisasi tersebut tentunya memeiliki karakteristik dimana kebijakan akan mengalami proses peformulasian, pengimplementasian dan evaluasi oleh kewenangan atau ototitas yang berada dalam suatu sistem politik yang bisa saja berupa : anggota legislatif, eksekutif, hakim, ataupun administrator. Satu hal yang patut untuk menjadi bahan catatan adalah pada kenyataannya kebijakan publik selalu menjadi subjek yang selalu mengalami perubahan berdasarkan informasi-informasi yang lebih baru dan lebih baik yang diperoleh berkaitan dengan efek yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Sebagai sebuah studi, kebijakan publik baru muncul sejak pasca perang dunia di Amerika Utara yang kemudian berkembang di kawasan Eropa, hal ini dipicu oleh beberapa hal, sebagaimana yang diungkapkan oleh Howlet dan Ramesh, (1995) pertama, statisnya studi tentang kehidupan politik yang cenderung mengkaji aspek normatif atau moral pemerintah dengan fokus pada tujuan yang akan dicapai dan tindakan yang harus dimiliki dan serta dilakukan pemerintah untuk mensejahterakan warganya. Kedua, kegelisahan untuk menemukan pemahaman yang sifatnya baru mengenai hubungan antara warga negara dan pemerintah dimana studi-studi yang telah dilakukan drasa semakin menjauhkan teoriteori politik prescriptive (bersifat memberi petunjuk atau ketentuan) dari praktik politik riil. Relaitas ini mendorong untuk semakin ditemukannya metode lain untuk mengkaji dan menggabungkan berbagai teori yang ada. Konsepsi lain terhadap pemahaman kebijakan publik terkait dengan tujuan ideal yang ingin dicapai sehingga upaya-upaya untuk mendapatkan keadilan, efesiensi,
keamanan, kebebasan serta tujuan-tujuan dari suatu komunitas warga itu sendiri. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Stone (1997 : 37) bahwa : “Keadilan pada konteks ini diartikan sebagai memperlakukan seolah-olah seperti sama/treating like alike, sedangkan efesiensi diartikan sebagai usaha mendapatkan output terrbanyak dari sejumlah input tertentu. Keamanan diartikan pemuasan minimum atas kebutuhan manusia, dan kebebasan diartikan sebagai kemampuan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan sepanjang tidak mengganggu individu lain”. Pemahaman lain yang lebih spesifik terhadap kebijakan publik sebagaimana yang dikemukakan oleh David Easton (1953) , bahwa :
“the authoritative allocation of value for the whole society-but it turns out that only the government can authoritatively act on the “whole” society, adn everyting the government choosed to dor or not to do results in the “allocation of value”.
Dengan pengertian seperti itu, maka pusat public policy tidak sekedar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga terkait dengan apa yang tidak dilakukan oleh pemerintah, karena keduanya sama-sama membutuhkan alasan-alasan yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan begitu wilayah yang diurusi oleh public policy sangat luas dari mulai mengatur perilaku, mengorganisasikan birokrasi, mendistribusikan penghargaan, sampai kepada penarikan pajak-pajak dari anggota masyarakat. Selain itu menurut Amitai Etzioni dalam Yustika (2000 : 217) menyebutkan bahwa proses pembuatan keputusan adalah kometment-kometmen masyarakat yang acapkali masih kabur dan abstrak, sebagaimana tampak dalam nilai-nilai dan 290
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 tujuan-tujuan masyarakat, diterjemahkan oleh aktor politik kedalam kometmen-kometmen yang lebih spesifik, menjadi tindakan-tindakan dan tujuan-tujuan kongkrit. Mengacu pada beberapa konsep tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas pemerintah yang didesain untuk mengatasi permasalahan publik, terutama terkait dengan permasalahan yang real atau masih dalam bentuk perencanaan (imagined). Pada konseptualisasi tentunya memiliki karakteristik dimana kebijakan akan mengalami proses reformulasian, pengimplementasian dan evaluasi oleh kewenangan atau ototitas yang berada dalam suatu sistem politik yang bisa saja berupa : anggota legislatif, eksekutif, hakim, ataupun administrator. Pendapatnya Laster (2000) lebih memberikan kejelasan dalam memberikan pemehaman terhadap kebijakan. B. Konsep Dasar Kejahatan Manusia dalam realitas kehidupan tentulah tidak akan lepas dari ikatan suatu sistem. Dalam sistem terbentuk interaksi yang simultan antara masing-masing elemen yang ada dalam sistem tersebut. Jika terjadi disfungsional pada salah satu elemen, maka interaksi antara elemen tersebut akan mengalami disharmoni sistem. Disharmoni sistem dalam masyarakat ini dapat dikatakan sebagai bentuk penyimpangan atau deviasi. Penyimpangan ini umumnya dapat berupa tingkah laku yang berbeda dengan tingkah laku manusia pada umumnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kartini Kartono (2001 : 9) dalam bukunya Patologi Sosial menyebutkan : “Deviasi atau penyimpangan diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan / populasi. Sedang deferensiasi diartikan sebagai tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan adalah semua tingkahlaku yang berbeda dan menyimpang dari ciri-ciri dan karakter
umum, serta bertentangan dengan hukum, atau melawan peraturan yang legal. Sedang kejahatan itu mencakup banyak variasi tingkah laku dan sangat heterogen sifatnya, sebab bisa dilakukan oleh pria, wanita, anak-anak, tua remaja, maupun usia sangat muda”.
Konsep tersebut di atas, baik deviasi maupun diferensiasi berujung pada munculnya tindak kejahatan. Sementara itu kejahatan dapat dipahami sebagai tingkah laku yang menyimpang. Durkheim dalam gagasannya yang banyak dikenal orang dengan istilah anomie (Lukes, 1985 dalam Sztompka (2005 : 92) menyebutkan :
“sifat alami manusia adalah buas, egoistik, individualistis yang siap bertempur untuk mempertahankan kepentingannya tanpa menghiraukan orang lain. Hanya jika manusia dikekakng oleh kultural, norma dan nilai, perang semua melawan semua dapat dihindarkan dan kehidupan sosial yang selaras mungkin terwujud. Namun ada keadaan historis ketika aturan kultural kehilangan daya mengikatnya atau hancur sama sekali. Keadaan demikian yang disebut anomi, atau tanpa norma, ketika orang hidup tanpa bimbingan, merasa terjungkir dan kehilangan pegangan. Mereka mencari jalan keluar dengan perilaku menyimpang, atau bunuh diri diikuti anarkhi atau kekacauan sosial”.
Maksud konsep ini sangat jelas, bahwa kejahatan adalah perilaku yang menyimpang dan merupakan bentuk kekacauan kultural dan sosial. Kejahatan atau kriminalitas dapat juga dipahami sebagai bentuk dari purakpurandanya sistem moral masyarakat. Gidden (1999 : 99) menyebutkan bahwa salah satu dari inovasi paling signifikan dalam kriminologi akhir-akhir ini adalah penemuan bentuk runtuhnya kesantunan hari demi hari berlangsung dengan kriminaltas. Stephen Carter (1998) telah memetakan nasib 291
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 kesantunan dalam masyarakat modern. Menurutnya kesantunan adalah jumlah pengorbanan yang dilakukan demi kehidupan bersama. Definisi lain tentang kejahatan sebagaimana yang dikemukakan oleh Kartono (2001 : 126) bahwa : “secara sosiologis adalah semua bentuk ucapan, perbuatan dan tingkah laku yang secara ekonomis, politis dan sosial psikologi sangat merugikan masyarakat, melanggar norma-norma susila dan menyerang keselamatan warga masyarakat”.
Apa yang dikemukakan oleh Kartono tersebut di atas dapat dipahami sebagai kejahatan yang tervisualisasi oleh indra manusia. Artinya ia dapat dilihat, didengar, di raba dan sekaligus dirasakan oleh orang lain. Lain lagi dengan konsep kejahatan yang dikemukakan oleh Donal R. Grssey (1961) dalam Soekanto (1990 : 366-367) bahwa kejahatan segala kondisi sosial dan proses-proses sosial yang sama yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan variasi organisasiorganisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial dimana kejahatan tersebut terjadi. Kedua, para sosiolog berusaha menentukan proses-proses yang menyebabkan seseorang menjadi penjahat. Analisis ini bersifat sosial psikologis. Analisis ahli menekankan pada beberapa bentuk proses, seperti proses imitasi, pelaksana peranan sosial asosiasi diferensial, kompensasi, identifikasi, konsep diri (self conception) dan kekecewaan yang agresif sebagai proses yang menyebabkan seseorang menjadi jahat. Mengacu dari beberapa konsepsi tersebut di atas, maka kejahatan dapat digeneralisasikan sebagai bentuk dari perilaku yang menyimpang dan cenderung merugikan orang lain, melanggar norma-norma sosial dan
hukum secara nyata, sehingga menimbulkan kerugian bagi orang lain, organisasi sosial masyarakat. Akibatnya masyarakat mengalami disharmoni dan disorganisasi. Dari segi pelakupun kejahatan dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu kejahatan perseorangan dan kejahatan kolektif dan terorganisir. C. Kosepsi Deviasi Deviasi atau penyimpangan tingkah laku itu umumnya bersifat tunggal, misalnya hanya kriminal saja atau tidak alkoholik atau pencandu bahan-bahan psikotropika dan tindakan asusila lainnya. Namun Deviasi ini juga bisa bersifat jamak. Misalnya pemabuk sekaligus pembunuh atau penjudi sekaligus pencuri, atau seorang wanita tunasusila sekaligus juga kriminal. Dengan demikian deviasi jamak ini adalah penyimpangan yang sifatnya kombinasi dari beberapa prilaku menyimpang. Deviasi ini dapat kita bedakan dalam tiga kelompokyaitu: (a) Individu –individu dengan tingkah laku yang menjadi “masalah” merugikan dan destruktif bagi orang lain, akan tetapi tidak merugikan diri sendiri. (b) Individu–individu dengan tingkah laku menyimpang yang menjadi ”masalah” bagi diri sendiri, akan tetapi tidak merugikan orang lain ;dan (c) Individu–individu dengan deviasi tingkah laku yang menjadi ”masalah” bagi diri sendiri dan bagi orang lain. (Kartono, 2001 : 63) Yang jelas, deviasi tingkah laku itu tidak pernah berlangsung dalam isolasi; tidak berlangsung sesuai generis (unik khas satusatunya dalam jenisnya) dan dalam keadaan vakum. Akan tetapi selalu berlangsung dalam satu konteks sosio-kultural dan antarpersonal. Jadi, sifatnya bisa organismis atau fisiologis; juga bisa psikis, interpersonal, antar-personal dan kultural. Sehubungan dengan lingkungan sosio-kultural ini, deviasi tingkah laku ini dapat dibagikan menjadi: (1) deviasi individual, (2) deviasi situasional, dan (3) deviasi sistematik. 1. Deviasi Individual Beberapa deviasi merupakan gejala personal, pribadi atau individual, sebab 292
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 ditimbulkan oleh ciri-ciri yang khas unik dari individu itu sendiri. Yaitu berasal dari anomali-anomali (penyimpangan dari hukum, kelainan-kelainan), variasi-variasi biologis, dan kelainan-kelainan psikis tertentu, yang sifatnya herediter ada sejak lahir kelainan ciri tingkah laku bisa juga disebabkan oleh penyakit dan kecelakaan. Jika tidak ada diferensiasi biologis, maka deviasi-deviasi itu pastilah disebabkan oleh pengaruh sosial dan kultural, yang ”membatasi” dan merusak kualitas-kualitas psiko-fisik individu. Deviasi jenis ini seringkali sifatnya simptomatik. Yaitu disebabkan oleh konflikkonflik intrapsikis yang kronis dan sangat dalam; atau berasal dari konflek-konflek yang ditimbulkan oleh indentifikasi-indentifikasi yang kontroversal bertentangan satu sama lain . konflik-konflik semacam ini mengakibatkan keterbelahan pribadi; orangnya menjadi khaotis kacau, dan kepribadiannya tidak terintegrasi dengan baik. Dimasukkan dalam kelompok deviasi individual ini antara lain ialah: anak-anak luar biasa, penemu-penemu, genius-genius, fanatisi (orang-orang yang sangat fanatik), idiot savant atau genius-genius yang bersifat idiot dan tidak berperikemanusiaan, dan individuindividu yang psikotis. Pribadi-pribadi sedemikian ini pada dasarnya sudah memiliki predisposisi-predisposisi dan kecenderungankecenderungan yang menyimpang, baik secara biologis maupun psikis, yang kemudian diperhebat oleh rangsangan sosial dan stimuli (stimulus=rangsangan) kultural dari lingkungan hidupnya.
2. Deviasi Situasional Deviasi jenis ini disebabkan oleh pengaruh bermacam-macam kekuatan situasional/ sosial diluar individu; atau oleh pengaruh situasi dalam mana pribadi yang bersangkutan menjadi bagian integral dari padanya. Situasi tadi memberikan pengaruh yang memaksa, sehingga individu tersebut terpaksa harus melanggar peraturan dan norma-norma umum atau hukum formal.jika anak istri hampir-hampir mati kelaparan, dan tidak ada jalan lain untuk mendapatkan bahan makanan kecuali dengan cara mencuri,
sehingga pria yang bersangkutan terpaksa harus mencuri, maka jadilah ia seorang penjahat situasional. Dan deviasinya bersifat situasional. Contoh lain, gadis-gadis tertentu melakukan pekerjaan WTS. Menjadi wanita tunasusila disebabkan oleh perasaan tidak puas terhadap pekerjaan yang lalu, karena upahnya tidak mencukupi untuk membeli jenis-jenis perhiasan dan pakain yang diinginkannya. Ringkasnya, individu-individu atau kelompok-kelompok tertentu bisa mengembangkan tingkah laku menyimpang dari norma-norma susila atau hukum, sebagai produk dari transformasi-transformasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya. Contuh lain yang menegaskan dari deviasi situasional ini ialah: pasukan-pasukan tentara yang mengalami demoralisaasi karena kalah perang; kelompokkelompok demonstrasi yang menjadi liar tidak terkendali dan mengacau serta merampok dengan ganas, (peristiwa jawa tengah, Desember 1980), perkelahian – perkelahian anak sekolah yang menjadi peristiwa berbunuh-bunuhan (pada bulan Desember 1980, di Jakarta), dan lain-lain. Maka, situasi sosial yang eksternal itu memberikan limitasi, tekanan-tekanan serta paksaan-paksaan tertentu, dan mengalahkan faktor-faktor internal (pikiran, pertimbangan akal, hati nurani), sehingga memunculkan deviasi situasional tadi. Maka ruang dan waktu itu merupakan dimensi-dimensi pokok dari situasi sosial, yang memberikan penggaruh ”menekan-memaksa” kepada individu. Sampai berapa besar penggaruh situasi sosial yang ”menekan-memaksa”, dapat kita ketahui apabila individu yang menyimpang itu dipindahkan ke dalam situasi sosial lain. Akan lenyaplah pola-pola deviasi tersebut setelah situasi sosialnya diubah secara drastis. Khususnya, situasi dan kondisi sosial atau sosi-kultural yang repetitif selalu berulang-ulang dan terus–menerus, akan mengkondisionir dan memperkuat deviasideviasi, sehingga kumulatif (bertimbunbertumpuk) sifatnya. Deviasi kumulatif sedemikian ini bisa menjelma menjadi ”disorganisasi sosial” atau” disentegrasi 293
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 sosial.” Khususnya apabila deviasi ini berlangsung pada bagian tertentu dari populasi atau anggota masyarakat pada umumnya. Peristiwa ini disebut pula sebagai deviasi kumulatif. Contuh yang menyolok dari deviasi kumulatif ini ialah korupsi. Pada umumnya, deviasi situasional yang kumulatif itu merupakan produk dari konflik kultural; yaitu merupakan produk dari periode-periode dangan banyak konflik kultural. Konflik budaya/ kultural ini dapat diartikan sebagai: (a) konflik antar individu dengan masyarakat (b) konflik antar nilai-nilai dan praktekpraktak dari dua atau lebih kelompokkelompok sosial (c) konflik-konflik introjektif yang berlangsung dalam diri seorang, yang hidup dalam lingkungan sosial penuh dengan nilai dan norma-norma yang bertentanggan Konflik-konflik budaya ini dapat diartikan pula sebagai: situasi sosial dipenuhi dengan kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan atau didamaikan, dan ada banyak golongan berpengaruh yang disebut sebagai pressure-groups. Sehingga mengakibatkan timbulnya keteganganketegangan, ketakutan dan kecemasankecemasan batin yang tidak dapat diintegrasikan oleh banyak individu.situasi sedemikian ini pada akhirnya mengembangkan tingkah laku patologis yang menyimpang dari pola umum. Fraksi-fraksi sosial yang tarpecah-pecah, dengan normanorma dan sistem nilai sendiri-sendiri itu memudahkan timbulnya tingkah laku baru yang ”semau gue” (menurut selera dan kriteria sendiri), menyimpang dari pola tingkah laku umum. Maka apabila tingkah laku menyimpang ini berlangsung secara meluas dalam masyarakat, jadilah ia deviasi situasional komulatif. Contoh deviasi sedemikian ini ialah (1) kebudayaan korupsi, (2) pemberuntakan anak remaja, (3)”adolescent revoit,” (4) kesukarankesukaran menopausal di kalangan wanita setengah umur; (5) deviasi-deviasi seksual
disebabkan oleh penundaan saat perkawinan jauh sesudah kematangan biologis serta pertimbangan-pertimbangan ekonomis, dan banyak disimulir oleh rangsangan-rangsangan erotik berupa film-film biru, buku-buku porno dan tingkah laku yang a-susila.juga (6) peristawa homoseksual banyak terjadi dikalangan narapidana di penjara-penjara, yang akan hilang dengan sendirinya apabila para narapidana sudah dibebaskan, dan bisa melakukan ralasi heteroseksual dengan jenis kelamin lainnya. Trafficking, apabila dicermati secara lebih dalam maka ini adalah merupakan bagian dari bentuk deviasi yang sifatnya komulatif, karena ini telah terjadi secara meluas di masyarakat. Banyaknya korban trafficking dengan bermacam modos operandi, membuktikan bahwa ini adalah sebuah penyimpangan yang telah mulai marak. D. Pengertian Trafiking Untuk memahami konsepsi tentang traffickin secara lebih mendalam, pertanyaan yang cukup mendasar untuk dikemukakan adalah apa yang dimaksud dengan trafficking atau perdagangan orang? Mengacu pada Protokol PBB Tahun 2000 bahwa trafficking atau perdagangan orang dimaknai sebagi segala usaha atau tindakan yang terkait dengan perekrutan, pengiriman, pemindahan dan penampungan, atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk kekerasan lainnya, seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi untuk menerima bayaran atau manfaat yang memperoleh izin dari orang yang mempunyai kewenangan atas orang lain untuk tujuan eksploitasi. (Tammaka, 2003 : 6). Definisi yang lain tentang trafiking sebagaimana yang terdapat dalam Kepres RI. No. 88 Tahun 2002 bahwa trafiking perempuan dan anak menurut RAN adalah segala tindakan pelaku trafiking yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindahtanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau ditempat tujuan, 294
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 perempuan dan anak. Dengan cara ancaman, penggunaan kekuasaan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan utang dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, dimana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual, (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun illegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk ekspolitasi lainnya. Mengacu pada kedua pemahaman tersebut di atas, maka konsepsi atas pemahaman tentang trafficking sebagai mana yang di definisikan oleh RAN ini adalah merupakan definisi yang ideal. Karena telah meliputi tiga hal penting yakni proses, metode dan tujuan. Namun konsepsi ini menempatkan korban hanya sebatas pada pada perempuan dan anak. Realitasnya jika dicermati dari tujuan, maka perempuan dan anak-anak adalah korban yang rentan, namun korban lainnya juga tidak menutup kemungkinan ada juga laki-laki dewasa, yang praktiknya bisa dalam bentuk pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) keluar negeri yang dalam prosesnya juga banyak mengalami penipuan, begitu juga dengan pengambilan organ tubuh ini bisa perempuan dan anak, bisa juga lakilaki dewasa. Dengan demikian trafiking pada hakikatnya adalah perdagangan orang, untuk tujuan tujuan prostitusi, perbudakan modern ataupun penjualan organ tubuh. Metode Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu pertama, Mengetahui kondisi yang menjadi unsur-unsur potensial yang dapat menjadi pendorong munculnya trafficking di Kalimantan Selatan. Kedua, mengetahui lokasilokasi yang berpotensi munculnya trafficking di wilayah Kalimantan Selatan. Ketiga, mengetahui hubungan atau keterkaitan antara industri hiburan dengan potensi terjadinya
trafficking di Kalimantan Selatan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang hanya menghimpun data, menyusun data secara sistematis, faktual dan cermat (Isaac dan Michael, 1981: 46, dalam Rahmat, 2001: 27). Pada metode penelitian deskriptif kualitatif ini tentu saja lebih mengedepankan pada unsur pencatatan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bogdan dalam Muhadjir (2000: 139-140) bahwa dalam penelitian deskriftif pencatatan dapat dibedakan menjadi dua yaitu deskriftif dan refliktif. Catatan deskriptif lebih menyajikan rinci kejadian dari pada ringkasan, dan bukan evaluasi. Mengutif pernyataan orang, bukan meringkas apa yang dikatakan itu merupakan catatan yang lebih baik, sebagai cacatan deskriftif. Deskriftif dapat disajikan pada dimensi-dimensi berikut. Pertama, dideskripsikan tampilan fisiknya; kedua, dialog direkonstruksi sehingga situasi interaktifnya menjadi lebih wajar; ketiga, dideskrifsikan lingkungan fisiknya; keempat, disajikan kejadian-kejadian khusus; kelima, lukisan aktivitas secara merinci dan keenam, penelitia adalah bagian dari penelitian sehingga perilaku, fikiran dan perasan penelitipun dideskripsikan. Artinya metode diskriptif kualitatif menekankan kepada peneliti untuk lebih mampu menggambarkan atas data dan fakta serta mampu membangun keterlibatan secara penuh dari peneliti. Pada kontek penelitian ini yang berusaha untuk dapat memetakan dan sekaligus mendeskripsikan potensi munculnya trafficking di wilayah Kalimantan Selatan dengaan fokus di empat kabupaten. Pembahasan
Seiring dengan perkembangan jaman, berbagai persoalan yang terkait dengan kemanusian juga semakin komplek dan beragam bentuknya. Dari permasalahan yang sifatnya sederhana hingga permasalahan yang sangat rumit dan tersistem serta termanajemen dengan baik. Kesemuannya ini tentunya membutuhkan penanganan yang serius dan tersistematis, hingga pendekatan 295
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 penyelesaian masalahpun adalah pendekatan yang dinilai efektif. Salah satu permasalahan yang akhirakhir ini sering diwacakanan oleh banyak kalangan adalah terkait dengan permasalahan perdagangan perempuan dan anak (trafiking). Dan ini adalah permasalahan kemanusiaan yang cukup mendasar. Pertanyaannya adalah siapakah yang harus bertanggung jawab atas permasalahan ini, negarakah atau semua elemen masyarakat? Upaya-upaya priventif harus segera dilakukan, mengingat perkembangan dan penyebaran permasalahan trafiking ini begitu cepatnya. Sebagaimana yang disinyalir telah ada, sedikitnya ada 12 daerah di Indonesia yang terindikasi sebagai pusat perdagangan orang terutama wanita dan anak-anak. Wanita dan anak-anak adalah kelompok yang rentan terkena permasalahan trafiking ini. Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia ((DPD-RI), Nani Tuloli di Gorontalo, Jumat, mengungkapkan bahwa ke 12 daerah tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, NTT serta NTB. Ini bukan berarti dibeberapa daerah lain di Indonesia telah terbebas dari permasalahan trafiking ini. Daerah-daerah lain perlu segera mengantisifasi permasalahan yang terkait dengan trafiking ini. Pada sisi lain sebagaimana yang diungkapkan pada rencana aksi yang diamanatkan oleh Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang bahwa dalam penanganan trafiking selain dilakukan dengan pendekatan terpadu, juga mesti dilakukan dengan bottom up, yaitu pendekatan yang dianggap sebagai pendekatan yang akomodatif terhadap aspirasi dari bawah dengan benar-benar membangun pilar keterbukaan, tranpsransi, membuka akses terhadap informasi, dan mengembangkan manajemen berbasis masyarakat civil dalam penanganan perdagangan orang. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, bahwa Kalimantan Selatan terdapat potensi-potensi terjadinya trafficking yang
berada pada tempat-tempat seperti Karaoke, Salon-Salon kecantikan, hotel, warung remang-remang dan tempat-tempat prostitusi. Sebagaimana yang bukti yang ada, bahwa tempat-tempat tersebut memiliki indikatorindikator tersendiri (Mansur, 2010 : 80).
Kerelibatan Pemerintah Kota Banjarmasin dalam Mengatasi Potensi Trafficking Sebagaimana yang diamantkan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seperti yang tercantum dalam Bab VII Pasal 29 ayat (1) disebutkan untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Ripublik Indonesia wajib melaksanakan kerja sama Internasional, baik yang bersifat bilateral, regional maupun multilateral. Pada pasal tersebut tercantum katakata wajib berarti ini adalah sebuah keharusan yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah yang dimaksud dapat dipahami bahwa bukan saja pemerintah pusat, namun juga pemerintahan yang dimaksudkan adalah pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota. Untuk kota Banjarmasin, sebagaimana peta potensi menunjukan bahwa potensi trafficking itu berada di tempat-tempat hiburan seperti karaoke, hotel, dan salonsalon. Untuk pencegahan sebagaimana yang disebutkan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga H. Hesly Junianto, SH bahwa : “Selama ini ini pemerintah Kot Banjarmasin, terutama melalui Dinas Pariwisata telah melakukan pembinaan terhadap salon, hotel dan karaoke. Dalam hal ini, Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga tidak berdiri sendiri, namun kami melakukan koordinasi dengan SKPD yang lain. Untuk Salon, tempat harus terbuka, mempunyai peralatan salon dan kecantikan. Kedepan kami akan perketat lagi salon dan karaoke di Kota Banjarmasin. Rancana kami untuk karaoke, para ledisnya juga 296
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 perlu kami data kembali. Namun yang jelas dalam melakukan pengawasan dan pembinaan, kami harus berlandaskan hukum, koordinasi, efektifitas pengawasan dan keterlibatan masyarakat. (wawancara tanggal 13 September 2010)
Apa yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata, Budaya, Pemuda dan Olahraga tersebut, merupakan langkahlangkah yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin. Langkah-langkah ini, apabila dihubungkan dengan Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Banjarmasin Tentang Izin Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum, maka didalamnya tidak ditemukan aturan tentang berbagai larangan ataupun batasan-batasan yang dapat dikategorikan sebagai pencegahan terhadap trafficking. Keterlibatan Pemerintah Kota Banjarbaru Dalam Mengatasi Potensi Trafficking.
Tidak jauh berbeda dengan pola penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru juga melakukan upaya-upaya yang bersifat privintif. Pemerintah Kota Banjarbaru menyadari kebaradan Kota Banjarbaru yang berada di kawasan perlintasan. Karena keberadaanya yang berada di kawasan perlitasan, maka Kota Banrbaru juga ditemukan banyak hotel-hotel. Untuk mengantisipasi munculnya traffciking pemerintah sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahyudi dari Dinas Sosial Kota Banjarbaru bahwa : “Dinas Sosial selalu berkoordinasi denga Dinas-Dinas lainnya dalam rangka melakukan pengawasa dan pembinaan terhadap hotel-hotel yang ada di Kota Banjarbaru, selain itu itu untuk hotel juga diperketat dengan Perda No. 1 Tahun 2010 Tentang Pajak Hotel dan Restoran, dan Perda No. 15 tahun 2001 Tentang Kebersihan dan Ketertiban Umum. Dua Perda tersebut bagi kami anggap cukup strategis untuk mengantisipasi trafficking”.
(wawancara tanggal 14 September 2010) Apa yang diungkapkan tersebut di atas, oleh Pemerintah Kota Banjarbaru adalah merupakan bentuk keterlibatan mereka dalam upaya mengantisipasi trafficking. Ungkapan tersebut, terutama mengacu pada dasar hukum yang menjadi kebijakan Pemko Banjarbaru, dinilai relatif lemah dan tidak ada korelasinya, hal ini karena tidak satu pasalpun yang mengarah pada upaya-upaya antisipasi terhadap munculnya potensi trafficking untuk hotel. Aturan dinilai sangat longgal, pemerintah dinilai belum ketatat melakukan pengawasan terhadap hotel.
Keterlibatan Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu dalam Mengantisifasi Munculnya Trafficking Pemerintah dalam melakukan pencegahan ataupun mengantisipasi harus selalu mengacu pada payung hukum yang jelas. Sehingga dalam setiap tindakan yang dilakukan ada unsur penguatnya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Sosial Kabupaten Tanah Bumbu, bahwa “Untuk tempat-tempat prostitusi seperti yang ada di Batu Ampar I dan Batu Ampar II kami selalu memberikan pembinaan dan penyuluhanpenyuluhan sosial., salah satu upaya nyata kami adalah dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada para PSK untuk selalu memeriksakan kesehatannya kepada petugas. Selain itu pembinaan yang kami lakukan adalah berupa bimbingan mental dengan mendatangkan para ustadz. Dari hasil pembinaan tersebut memang ada beberapa yang sadar dan merubah pekerjaan mereka.” (wawancara tanggal 21 September 2010).
Mengacu pada penjelasan tersebut, upaya privintif untuk mencegah terjadinya trafficking terutama untuk tempat-tempat prostitusi belum ada tindakan yang bersifat tegas. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu yang memberikan pembinaan dan penyuluhan297
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 penyuluhan adalah merupakan kegiatan yang telah terjadi. Namun untuk mengantisifasi agar tidak terjadi ini belum menunjukan kearah sana. Hal senada juga berlaku untuk jenis usaha pengelolaan Pariwisata, sebagainama yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Retribusi Izin Usaha Jasa Kepariwisataan. Pada Bab II Pasal 3 Poin c dan d bahwa Klub malam, panti pijat, diskotik, panti mandi uap dan salon serta hotel masuk dalam kategori jasa kepariwisataan. Ini bila dihubungkan dengankondisi dan fakta-fakta diatas bahwa tempat-tempat tersebut adalah tempat yang berpotensi munculnya trafficking. Mengenai hal tersebut, kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tanah Bumbu, mengungkapkan : “Kami melakukan pengawasan terhadap berbagai aktifitas jasa kepariwisataan, seprti klub malam, panti pijat, panti mandi uap dan salon serta hotel-hotel. Jika jasa kepariwisataan ini berpotensi memunculkan trafficking, maka kami kedepannya akan melakukan tindakan tegas, tentunya sesuai dengan mekanisme dan aturan yang berlaku. Untuk Perda No. 11 Tahun 2006 memang kami akui tidak mengatur persoalan-persoalan akibat dari adanya usaha atau jasa tersebut.” Apa yang diungkapkan tersebut di atas, menunjukan bahwa usaha pemerintah kurang mengantisipasi akan munculnya potensi trafficking. Tindakan nyata dilakukan apabila telah terjadi kasus. Ini artinya keterlibatan pemerintah relatif kecil, yaitu menunggu kasus terjadi.
Keterlibatan Pemerintah Kabupaten Tabalong Dalam Mengantisipasi Potensi Trafficking Pemerintah Daerah Kabupaten Tabalong, telah mengetahui adanya potensi Traffickin di Kabupaten Tabalong. Namun untuk melakukan tindakan masih sangat sulit karena kasus tersebut belum muncul kepermukaan. Selain itu untuk melakukan tidakan pemerintah Kabupaten Tabalong
belum memiliki dasar hukum yang dianggap cukup kuat untuk melakukan tindakan tegas. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Kepala Badan Kesbanglinmas Kabupaten Tabalong, bahwa : “Sebenarnya kami menyadari bahwa kebaradaan kabupaten Tabalong sebagai kawasan industri tambang batu bara akan memunculkan pengaruhpengaruh sosial lainnya. Namun ini sulit kami cegah karena kasus yang muncul ke permukaan belum tampak. Memang untuk kasus prostitusi ada keresahan di kalangan masyarakat sekitar dan ini kami akan mengambil tindakan, dan berkoordinasi dengan lembaga-lembaga lainnya.” Tidak jauh berbeda dengan apa yang di jelaskan oleh Ketua DPRD Kabupaten Tabalong, yaitu : “Permasalahan sosial kemasyarakatan seperti adanya salon-salon plus, warung remang-remang dan tempat prostitusi kami akui memang ada di Kabupaten Tabalong. Namun yang menjadi permasalahan kami adalah terkait dengan dasar hukum yang menjadi aturan untuk dapat melakukan tindakan penertiban. Selain itu kami masih sulit untuk mengungkap kasus tersebut. Sebagai kawasan industri tentunya akan muncul fenomena sosial seperti itu”.
Mengacu dari dua pendapat tersebut di atas keterlibatan Pemerintah Daerah Kabupaten Tabalong dalam mengantisipasi munculnya trafficking boleh dikatakan tidak jauh berbeda dengan tiga daerah lainnya. Dilihat sisi regulasi, belum ada gerulasi yang secara jelas akan dapat menghambat munculnya potensipotensi trafficking di daerah ini. Akibanya kebaradaan salon, warung remang-remang dan tempat prostitusi hingga saat ini masih tetap eksis. Dikalangan masyarakat Tabalong, untuk warung remang-remang dikenal dengan istilah “Warung Jablai”. Potensi trafficking yang ada di Kabupaten Tabalong, berdasarkan 298
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 informasi tersebut terkesan tidak mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah.
Analisis Kritis Permasalahan trafficking merupakan permasalahan yang bersumber dari persoalanpersoalan kemiskinan, rendahnya ketersediaan lapangan pekerjaan, pendidikan, migrasi, kondisi keluarga, sosial budaya dan soasialisasi media massa. Bagimana pun juga trafficking jika mengacu pada konsep deviasi yang dihubungkan dengan patologi sosial maka dapat dikategorikan sebagai kejahatan atau kriminalitas. Hal ini telah diungkapkan oleh Kartini Kartono (2001 : 9) dalam bukunya Patologi Sosial menyebutkan deviasi atau penyimpangan diartikan sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tendensi sentral atau ciri-ciri karakteristik rata-rata dari rakyat kebanyakan / populasi. Sedang deferensiasi diartikan sebagai tingkah laku yang berbeda dari tingkah laku umum. Misalnya kejahatan adalah semua tingkahlaku yang berbeda dan menyimpang dari ciri-ciri dan karakter umum, serta bertentangan dengan hukum, atau melawan peraturan yang legal. Sedang kejahatan itu mencakup banyak variasi tingkah laku dan sangat heterogen sifatnya, sebab bisa dilakukan oleh pria, wanita, anakanak, tua remaja, maupun usia sangat muda. Tindakan trafficking sebagaimana yang telah di sebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 adalah merupakan tindakan kejahatan. Tindakan kejahatan selalu menimbulkan adanya pihak korban, dalam kaitannya dengan trafficking, maka kategori korban sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa yang disebut sebagai korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan/atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang. Apabila konsep ini dikorelasikan denga konsep moderitas maka ini keberadaan adalah sebuah risiko dari adanya modernitas. Risiko modernitas sebagaimana yang diungkapkan oleh Antony Giddens dalam bukunya Risk Society a New Modernity (1991) menyebutkan
bahwa modernitas adalah kultur berisiko. Konsep resiko menjadi masalah baik dalam cara penempatan aktor yang berkemampuan spesialis teknis dalam organisasi kehidupan sosial. Modernitas mengurangi risiko menyeluruh bidang dan gaya hidup tertentu, tetapi pada waktu bersamaan memperkenalkan risiko baru yang sebagian besar atau seluruhnya belum dikenal sebelumnya. Trafficking adalah merupakan sebuah risiko dari produk yang ditampilkan oleh bentuk-bentuk modernitas, baik modernitas yang dikemas secara professional maupun modernitas kampungan. Adanya industrialisasi baik dibidang pertambangan, jasa yang berupa hiduran dan yang menawarkan kenyamanan lainnya adalah bentuk-bentuk yang ditawarkan oleh modernitas. Industri hotel, salon, tempattempat hiburan, bentuk nyata yang ditawarkan dari kemasan industrialisasi hiburan yang ujungnya tetap berorientasi ekonomi. Begitu juga dengan kemasan industri warung remang-remang, yang kemunculannya lebih banyak berada dikawasan perlintasan yang disitu terdapat industri-industri besar seperti tambang bataubara. Antara warung remang-remang dan industri pelayanan lainnya tidak ada perberbedaan. Namun kemasannya berbeda. Jika hotel, karaoke, salon dan café adalah produk modernitas yang memerlukan modal besar. Maka warung remang-remang adalah bentuk lain dari pelayanan kampungan yang disitu juga terdapat pelayanan. Kondisi seperti ini melahirkan kritik terhadap modernitas, sebagaimana yang dilontarkan oleh Karl Marx dalam Sztompka (2004 : 92-93) yang mengungkapkan kritik terhadap modernitas, dia menyatakan bahwa masyarakat modern adalah kehilangan identitas individual mereka dan molai diperlakukan tanpa nama (anonym) sebagai kumpulan atom-atom buruh, klerek, warga pembeli, warga pemilih, pembeli dan penonton. Kehormatan individu atau kelompok dikaburkan atau diabaikan sama sekali. Akibatnya ikatan antar peribadi, 299
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 berdasarkan kesamaan lingkungan tempat tinggal, kesukuan, agama dan kelas menjadi terputus. Individu menjadi terisolasi dan tercabut dari akar kebersamaannya. Dalam keadaan yang seperti ini kekerasan dan manipulasi dapat dengan mudah terjadi. Potensi trafficking yang ada di Kalimantan Selatan apabila dianalisa, ini bermuara dari adanya dorongan ekonomi, yang sangat kuat. Keberadaan hotel, salon, karaoke, café, tempat-tempat prostitusi dan warung remang-remang semuanya menjalankan aktivitas ekonomi. Pelayanan adalah menu utama yang harus disajikan kepada para konsumen. Salah satu dari menu itu adalah terkait dengan pelayanan seks. Terkait dengan ini Michel Foucault (1980 : 49 ) mengungkapkan sebuah hipotesis yang diberi nama hipotesis Victoria yaitu : “Kita harus membuat hipotesis yang menyatakan bahwa masyarakat industri modern menghantarkan kita ke abad peningkatan penindasan seksual. Kita hanya akan menyaksikan ledakan nyata seksualitas yang ortodoks..puasat-pusat kekuasaan tak lagi eksis; perhatian tak lagi dimanifestasikan dan diucapkan..tempat-tempat dimana intensitas kesenangan dan persistensi kekuasaan tak lagi dipertahankan, tetapi menyebar kemana-mana” Ungkapan dari Foucault tersebut di atas menunjukan bahwa industrialisasi membawa situasi kepada terjadinya penindasan terhadap seksualitas. Seksualitas adalah sesuatu yang bisa diangap sakral dan bersifat individual, akan tetapi apabila sakralitas ini telah berubah menjadi sebuah bentuk aktivitas konsumsi maka ini adalah merupakan penindasan terhadap seksualitas itu sendiri. Karenanya pada bagian lain Foucault pentingnya pengetahuan masyarakat tentang seksualitas dan masyarakat akan melaksanakan kekuasaan lebih besar dari kehidupan itu sendiri namun lebih penting melaksanakan kontrol. Sebagaimana yang diaungkapkan berikut ini :
“agen seks inilah yang harus kita jauhi, jika kita bertujuan, melalui reversal taktis terhadap berbagai mekanisme seksualitas untuk menghadapi cengkraman kekuasaan dengan klaimklaim atas tubuh, kesenangan, dan pengetahuan dalam multipilitas dan kemungkinan resistensi mereka. Tempat berkumpul untuk menyerang balik penyebaran seksualitas seharusnya bukan keinginan seks, tetapi tubuh dan keinginan (Foucault, 1980 : 157).
Disini Foucault secara sadar merekomendasikan untuk menjauhi agen seks, kareana dalam agen-agen seks tersebut terdapat kekuasaan yang diyakini sangat mencengkram dan sekaligus juga menindas. Trafficking, yang dibingkai dalam bentuk pelayanan hotel, salon, karaoke, cafe, tempat prostitusi dan warung remang-remang adalah merupakan agen-agen seks yang harus terus dikontrol oleh masyarakat. Berikut ini adalah gambar Peta Potensi Trafficking di Kalimantan Selatan. Terkait dengan kebijakan pemerintah yang program-programnya hanya adalah merupakan hasil dari proses politik. Kebijakan adalah proses atau serangkaian keputusan atau aktivitas pemerintah yang didesain untuk mengatasi permasalahan publik, terutama terkait dengan permasalahan yang real atau masih dalam bentuk perencanaan (imagined). Pada konseptualisasi tentunya memiliki karakteristik dimana kebijakan akan mengalami proses peformulasian, pengimplementasian dan evaluasi oleh kewenangan atau ototitas yang berada dalam suatu sistem politik yang bisa saja berupa : anggota legislatif, eksekutif, hakim, ataupun administrator. Pendapatnya Laster (2000) lebih memberikan kejelasan dalam memberikan pemehaman terhadap kebijakan. Pemaknaan atas keterlibatan pemerintah dalam mengantisipasi potensi trafficking adalah merupakan proses dimana pemerintah mengambil keputusan-keputusan strategi atau aktivitas pemerintah yang terkait dengan upaya mengatasi potensi munculnya 300
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 trafficking. Pada tingkat legeslatif, empat pemerintah darerah yang ada di Kalimantan Selatan, dalam hal ini adalah Pemerintah Kota Banjarmasin, Pemerintah Kota Banjarbaru, Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu dan Pemerintah Kabupaten Tabalong, belum membuat kebijakan terkait dengan mengantisifasi potensi trafficking tersebut. Begitu pula dengan pihak eksekutif, yang dilakukan adalah kegiatan-kegiatan implementatif yang dinilai belum menyentuh pada akar permasalahan yang sesungguhnya.
Kesimpulan Mengacu pada hasil pembahasan pada BAB sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pada konteks keterlibatan secara regulasi, keterlibatan pemerintah dinilai masih sangat minim, hal hin terbukti tidak ada satu mekanisme aturan yang dapat diarahkan untuk mengantisipasi potensi trafficking di Kalimantan Selatan. 2. Aturan-aturan yang ada dalam bentuk Peraturan Pemerintah Daerah atau Perda, belum memiliki kekuatan untuk mengantisifasi potensi trafficking tersebut, hal ini dikarenakan isi aturan tidak mengarah pada pengantisipasian potensi trafficking. 3. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sektor-sektor yang rawan potensi trafficking, seperti tempat-tempat prostitusi masih dalam kisaran pembinaan dan penyuluhan-penyuluhan kepada para pelaku prostitusi, sementara untuk sindikasinya masih tidak tersentuh. 4. Pada sektor yang lebih luas lagi, seperti hotel, tempat hiburan karaoke dan salonsalon yang dilakukan oleh pemerintah masih dalam batasan pengawasan. 5. Pada sektor yang lebih kecil lagi sekalanya yaitu warung remang-remang, sama sekali tidak ada tindakan apapun yang dilakukan oleh pemerintah Kalimantan Selatan. 6. Sikap pemerintah Kalimantan Selatan terhadap upaya mengantisipasi potensi trafficking ini masih dalam tahapan pasif, artinya pemerintah tidak melakukan apapun karena dianggap belum ada kasus.
Daftar Pustaka D, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan PublikFormulasi, Implementasi dan Evaluasi. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Foucault, Michel, 1985, The Use of Pleaure. The History of Sexuality. Vol. 2. New York : Pantheon. Giddens, Anthony. 1999. Jalan Ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Haralambos, Michael. 1980. Sociology Themes and perspectives. University Tutorial Press, New York. Jones, Charles O.1991. Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy). Jakarta : CV. Rajawali. Mangunjaya, Fachruddin M. 2006. Hidup Harmonis dengan Alam, Esai-esai Pembangunan Lingkungan, Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Mansur, Hamsi dan Fahrianoor, 2010, Potensi Trafficking Di Kalimantan Selatan, Posmo, Yogyakarta. Miles, Mattew B. Dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press. Katoni, Kartini. 2001. Patologi Sosial. Rajawali Pers, Jakarta. Katono Kartini, 2001, Patologi Sosial, Tiara Wacana, Jakarta Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang Kepres RI No 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk Bentuk Perkerjaan Terburuk Untuk Anak, Departemen Tenaga 301
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang Kepres RI No 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Bentuk Bentuk Perkerjaan Terburuk Untuk Anak, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, Jakarta. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI, Perempuan dn Anak Indonesia 2005, Jakarta Muhadjir, Noeng, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi IV. Reka Sarasih, Yogyakarta. Rahmat, Jalaluddin. 2001. Metode Penelitian Komunikasi, Dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Remadja Rosda Karya, Bandung. Ritzer, Goerge – Douglas J. Goodman, 2004. Teori-Teori Sosiologi Modern. Kencana Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu pengantar. Rajawali Pers, Jakarta Sztompka, Piotr. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada, Jakarta. Tammaka, Mh. Zaelani. Dkk. 2003. Menuju Jurnalisme Berkemanusiaan, Kasus Trafficking dalam Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. AJI, Surakarta. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, kementerian Pemberdayaan Perempuan Republik Indonesia, Jakarta
www.yayasansejahtera.or.id www.lpa.or.id www.jarak.or.id www.komnasanak.or.id
302
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Paradoks Program Pemberdayaan Masyarakat: Penjajagan Penerapan Pendekatan Modal Sosial Oleh: Dr. Syakrani Dosen Prodi Administrasi Negara FISIP UNLAM Abstract Community empowerment has for long time served a model of poverty alleviation programs in Indonesia. We believed that the programs can alleviate the poverty. But whether we also believe that they always go hand in hand with improvement of social capital stocks or they are exactly paradoxical and trade-off. This article explores that a part of contemporary research findings found that the programs have been depleting social capital stock in community. Neighborhood, community self-help, and social trust indexes have been declining. At conceptual level, government recognized that social capital is critical factor for sustaining poverty alleviation, but at implementation phase, they failed to elaborate it as an integral part of the programs. Unfortunately, government benefited from the failures for canalizing their impetus to get economic rents and political images. This article offers two theoretical strategies to recover social capital stock depletion. First, holistic approach in formulating and implementing the programs is a necessary solution. In this context, measurement of performance of community empowerment programs could be based on level of empowerment. Second, re-teritorialization and the mystery of social capital theories are also important to map which are social capital depleting, so that we have a complete data of social capital stock in community as an empirical base in formulating social capital recovery movement. Key words: community empowerment, poverty alleviation programs, social capital depletion, recovery movement.
Pendahuluan
A
da salah satu “kultur” penghambat kemajuan yang selama ini senantiasa luput dari perhatian kita, yakni “selalu mulai dari titik nol.” Di hampir semua aspek kehidupan, kultur ini menyusup, termasuk dalam program-program sosial pengentasan kemiskinan atau pemberdayaan masyarakat. Terkait dengan program ini, jumlah anggaran yang dihabiskan dalam beberapa tahun terakhir mungkin dapat dipetakan progresnya. Demikian juga
dengan jumlah penduduk miskin yang dapat dikurangi dari tahun ke tahun.119 Tetapi, program tersebut masih menyisakan banyak persoalan; dua di antaranya adalah, pertama, ada ketidakpuasan publik terhadap perbandingan antara jumlah anggaran dan penurunan jumlah penduduk miskin (Gambar 1). Kedua, yang lebih memperihatinkan justeru bukan 119
Menurut rencana, anggaran program pengentasan kemiskinan pada tahun anggaran 2011 akan mencapai 86.1 triliun dengan sasaran pengurangan jumlah penduduk miskin menjadi 11 – 12,5% (Kompas, 08 Januari 2011).
303
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
ketidakpuasan terhadap angka-angka itu, tetapi fakta yang tersembunyi di baliknya.
Ada sebuah golden rule dalam praksis pengembangan dan pemberdayaan masyarakat: keberhasilan programnya tidak diukur berdasarkan jumlah dana yang dibelanjakan dan kegiatan yang dilaksanakan, tetapi pada eskalasi dan akselerasi perubahan positif pada kelompok yang diberdayakan, yakni tingkat keberdayaan kelompok sasaran. Dari aspek ini, programprogram tersebut hasilnya nihil. Jika ada yang terusik dengan penilaian tersebut, maka mari kita bersama telusuri dan kumpulkan data, lalu kita diskusikan dua hal: (a) adakah laporan statistik yang dapat dipercaya bahwa program-program itu telah mampu helping people (community) helping themselves? (2) apakah ukuran keberdayaan yang digunakan menggambarkan konsepsi helping themselves yang berkelanjutan? Pasti jawabannya TIDAK ADA. Ketiadaan laporan dan ukuran yang dapat dipercaya ini terkait dengan beberapa hal.
Pertama, pada tataran politik, kemiskinan – apa pun kata yang disinonimkan dengannya dan kapan pun -senantiasa menjadi agenda politik rezim yang berkuasa. Legitimasi politis rezim ini akan senantiasa terjaga dan dapat ditingkatkan hanya apabila kehadirannya pada tingkat penduduk akar-rumput dapat dirasakan melalui kebijakan politik etis mirip program yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Tetapi, kemiskinan tetaplah menjadi fenomena sosial yang unik. Beragam pendekatan kebijakan politik dan strategi teoretik telah diterapkan untuk mengatasinya. Hasilnya, kalau tidak ingin disebut tidak efektif, tampaknya belum memuaskan. Penduduk atau keluarga miskin yang tadinya diyakini sudah terentas dari kemiskinan, karena kondisi internal dan ekternal tertentu, kini menjadi miskin lagi.
304
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Fenomena “kembali miskin lagi” menunjukkan beberapa hal menarik.
Kedua, pendekatan-pendekatan yang diterapkan selama ini tidak berhasil mendorong penduduk miskin keluar dari situasi kerentanan (vulnerability). Mereka hanya dapat “diangkat” ke posisi di atas garis kemiskinan, sehingga masih sangat rentan terhadap perubahan-perubahan signifikan yang mempengaruhi kehidupan ekonomi mereka. Sebagai contoh, implementasi banyak program pemberdayaan keluarga, seperti program UPPKS, dilaporkan berhasil mengubah status keluarga dari Prasejahtera dan Sejahtera 1 menjadi Keluarga Sejahtera 2, 3, dan Sejahtera 3 Plus, tetapi karena ukurannya adalah “miskin” (baca: garis kemiskinan), bukan kerentanan, maka perubahan tersebut menjadi artifisial. Ketiga, secara teoretik dan empirik, sesungguhnya konsep kemiskinan dan strategi yang digunakan tidak peka untuk mengantisipasi kondisi kerentanan individu atau keluarga miskin, sehingga meskipun pada saat itu pendapatan mereka meningkat melampaui ukuran kemiskinan yang digunakan, tetapi konsep dan ukuran yang digunakan tidak reliable pada saat-saat yang lain.
Keempat, pendekatan-pendekatan itu mungkin juga tidak memasukkan faktor faktor internal-komunitas, seperti assetasset ekonomi dan sosial budaya tempatan, yang memungkinkan penduduk/keluarga miskin, setelah mendapat bantuan program pengentasan kemiskinan, memiliki kesadaran kritis
(critical consciousness) bahwa kemiskinan merupakan masalah komunitas, karena program itu gagal melakukan pengembangan kapasitas-diri secara kolektif (building capacity for collectively helping themselves). Sangat bisa jadi hal ini disebabkan pula oleh penerapan model relasi antara helper dan doer yang bersifat dependency-creating, sehingga upaya pengentasan kemiskinan menjadi tidak berkelanjutan. Kelima, program-program pengentasan kemiskinan yang disponsori oleh pemerintah mengidap tiga patologi birokrasi sebagai berikut:
1. Program dirancang dengan logika proyek, sehingga proses pengentasan kemiskinan terhalangi untuk menjadi sebuah proses belajar sosial secara kolektif (collective social learning processes) dan berubah menjadi gerakan kultural yang berbasis asset komunitas (community’s asset-based cultural movement). Dalam kondisi ini, keteraturan administrasi (keuangan) lebih diutamakan daripada tercapainya tujuan, yang kerap tidak bisa mengikuti logika itu. 2. Prioritas pada keteraturan administrasi menimbulkan efek lain, yaitu diabaikannya proses need assessment sebagai entry point formulasi dan implementasi program, sehingga fokus program didominasi oleh keinginan pemerintah, bukan kebutuhan penduduk miskin. 3. Pemerintah dan semua representasi kelembagaannya tidak buta konteks (context blind) dan tidak memiliki 305
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 terhadap aspek sosial-budaya kemiskinan, sehingga program itu lebih diorientasikan pada keapikan administrative accountability, tetapi gagal memenuhi kepatutan-kepatutan social accountability.
Para ahli menyayangkan penerapan pedekatan-pendekatan tersebut. Program pengentasan kemiskinan yang tidak mampu mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan bukan hanya boros secara ekonomis, tetapi secara sosial juga merugikan, karena model itu tidak dapat mengoptimalkan asset-asset komunitas tempatan dan melupakan potensi kekuatan internal dalam masyarakat.
Banyak hasil kajian dan penelitian membuktikan, program-program sosial pemberdayaan masyarakat atau pengentasan kemiskinan telah melemahkan potensi internal warga untuk mengatasi masalahnya sendiri. Neraca modal sosial warga, yang seharusnya bisa menjadi kekuatan, justeru mengalami defisit akibat program pemberdayaan masyarakat mengabaikan prinsip-prinsip sistemik community empowerment. Miskin dan Rentan
Butir ketiga di atas, yang mengemukakan konsep kerentanan, perlu diberi catatan khusus. Moser (1997) mengemukakan, kemiskinan tidak mampu menjelaskan fenomena people move in and out of poverty, serta dinamika dan cara-cara yang diterapkan oleh penduduk ketika kembalimiskin (move in poverty). Konsep kerentanan dapat menutupi kelemahan konsep kemiskinan. Dalam kaitan ini
Moser menjelaskan berikut:
tiga
hal
sebagai
1. Vulnerability is a dynamic concept referring to negative outcomes on the well-being of individuals, households, or communities from environmental changes. 2. Environmental changes that threaten welfare may be ecological, economic, social, political in nature, and take the form of sudden shocks, long-term trends, or cyclical seasonal variations. These changes may produce increased risk, insecurity, uncertainty, and diminished self-respect. 3. The analysis of vulnerability involve not only identifying the threat in question, but also the ability to resist or withstand the negative effects of the changing environment, and the level of resilience to recover afterwards or exploit positive opportunities.
Hasil penelitian Moser menunjukkan, pemahaman tingkat kerentanan penduduk miskin tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan mobilisasi asset. Di sini dia menemukan teori berbanding terbalik antara tingkat kerentanan dan pemilikan asset (assets ownership):
1. The more assets people have, the less vulnerability they are. 2. The greater the erosion of assets, the greater the level of insecurity.
Asset yang dimiliki oleh penduduk tidak terbatas pada asset yang kelihatan (tangible assets), tetapi juga yang tak306
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
tampak, seperti capital).
modal
sosial
(social
Penerapan konsep kerentanan sebagai substitusi konsep kemiskinan, secara metodologik, berimplikasi pada pemahaman kita tentang penduduk yang tidak berdaya (disadvantage group), yakni sekelompok penduduk dan sejumlah keluarga yang dengan mudah move in and out of poverty. Mereka adalah penduduk rentan. Di antara mereka ada penduduk yang sudah tidak miskin lagi berdasarkan angka garis kemiskinan (bahkan pegawai), yang lantaran kuatnya tekanan perubahan lingkungan (misalnya kenaikan harga sembako), mereka menjadi miskin lagi. Program pemberdayaan masyarakat semestinya tidak fokus pada penduduk/keluarga miskin, tetapi pada penduduk rentan, karena ketika kelompok yang terakhir ini menjadi sasaran program tersebut, maka otomatis penduduk miskin akan menjadi bagiannya. Persoalannya adalah, berdasarkan apa kita harus menetapkan ambang batas kerentanan itu? Memang perlu kajian akademik yang cermat, tetapi secara embrional, penetapan garis kemiskinan tawaran Bank Dunia melalui program MDGs, untuk sementara, dapat digunakan sebagai ukurannya. Seperti kita ketahui, Bank Dunia menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp 18.000 atau US$ 2,0/kapita/hari. Bila kita menggunakan ukuran ini, maka garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS
(2010) sebesar Rp 7.058120 per kapita/ hari mencakup sekitar 78 cent dalam satu dollar AS. Selintas tawaran ini sangat sederhana, karena hanya soal menambah besaran ambang batas kemiskinan, tetapi secara politik tidak sederhana. Pertama, garis kemiskinan sebesar Rp 18.000 atau US$ 2,0/kapita/hari, apa lagi lebih besar lagi, jelas lebih manusiawi. Ia cukup untuk memenuhi baku kualitas hidup minimal, bukan sekadar kebutuhan hudup minimal, meskipun dengan implikasi penambahan jumlah penduduk miskin 100%. Kedua, ukuran dengan kurs dollar lebih responsif terhadap inflasi atau tekanan kenaikan harga, yang memungkinkan kelompok penduduk tidak berdaya tidak mudah move in and out of poverty akibat tekanan tersebut. Penerapan konsep kerentanan juga memungkinkan kita untuk dapat memahami hal-hal lain. Selain tidak akan terjebak dalam pemetaan profil-tunggal kemiskinan, kita juga dapat:
1. Menyusun profil-jamak kemiskinan: miskin absolut (A), relatif (R), struktural (S), relasional (Re), dan miskin kultural (K),seperti disajikan pada Gambar 2. 2. Memahami interaksinya dengan konteks mikro/meso, seperti pola okupasi yang mereka tekuni, pola pertahanan hidup, asset si miskin, 120Garis Kemiskinan
di Indonesia (Kota dan Desa) sebesar Rp 211.726/kapita/bulan. Untuk Provinsi Kalimantan Selatan sebesar Rp 210.820 (BPS, 2010). 2010
307
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
modal sosial, dan relasinya dengan beragam institusi publik jarang dipahami, sehingga dinamikanya tidak pernah menjadi landasan penyusunan strategi dan kebijakan penanggulangannya, seperti disajikan pada Gambar 3.
kebijakan
atau
program
pengentasan
kemiskinan akan menghasilkan dampak kesejahteraan yang berkelanjutan.
Gambar 2. Ambang Batas Kemiskinan, Kerentanan, dan Profil Kemiskinan
Analisis
interaksi
antara
lima
bentuk kemiskinan, reaksi-hidup, dan
relasi sosial individu/keluarga miskin akan menghasilkan kebutuhan strategi, kebijakan,
dan
kebutuhan
program-
program kapasitasi yang beragam untuk
setiap profil kemiskinan dan kerentanan untuk
peningkatan
Kesesuaian
antara
kesejahteraannya. kebutuhan
dan
Modal Sosial dan Pemberdayaan Diskusi tentang lintas-pemikiran kemiskinan yang berkembang selama ini menceritakan mengenai polarisasi; bukan sekadar variasi pendekatan. Dan polarisasi itu juga terjadi dalam lingkup para ahli yang berkiprah di Bank Dunia. Dalam beberapa karyanya, Narayan beserta timnya dari Bank Dunia memprakarsai sebuah studi yang mencoba memahami kemiskinan dari sudut pandang dan kepentingan si miskin, serta 308
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
dari perspektif kekayaan sosio-kultural penduduk miskin. Laporan studinya dituangkan dalam Voice of the Poor: Crying out for Change (2000) dan Poverty Reduction Strategy (2007). Dalam kajiankajian ini, orang miskin dipahami suara atau pendapatnya. Mereka diberi ruang dan keleluasaan untuk mendefinisikan apa itu miskin, apa itu kaya, apa yang menyebabkan mereka miskin, dan setinggi apa mereka trust terhadap lembaga pemerintah.
Untuk kasus negara maju, seperti Amerika Serikat, karya Putnam (1993) memprakarsai tradisi baru dalam kajian tentang bekerjanya demokrasi dan penciptaan kemakmuran sebuah komunitas atau negara. Khusus yang menyangkut tergerusnya modal sosial, Putnam menekankan kembali keprihatinannya terhadap tergerusnya modal ini dalam Bowling Alone (2000).
Putman (1993; 2000) menjelaskan, kemajuan yang dicapai di bidang ekonomi
Gambar 3. Model Analisis Interaktif antara Profil Kemiskinan & Pola Okupasi Penduduk
Harapannya, temuan-temuan ini menjadi perhatian pemerintah dan lembaga internasional dalam menyusun strategi pemberdayaan masyarakat. Gagasan utama yang membentang dalam studi-studi itu sebenarnya secara konseptual membentuk jalinan yang erat dengan keprihatinan dan hasil studi para ahli sebelumnya tentang makin tergerusnya modal sosial penduduk akibat program pembangunan, termasuk program pengentasan kemiskinan, yang buta-konteks sosial budaya.
melalui desain modernisasi dan industrialisasi tidak mampu menahan laju punahnya modal sosial dalam masyarakat. Dalam bukunya Bowling Alone dia menegaskan, “… we have become increasingly disconnected from family, friends, neighbors, and our democratic structures -- and how we may reconnect. Our stock of social capital the very fabric of our connections with each other, has plummeted, impoverishing our lives and communities.” 309
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Untuk kasus negara AS, Putnam menunjukkan beberapa bukti berikut ini:
1. Joining and participating in one group cuts in half your odds of dying next year. 2. Every ten minutes of commuting reduces all forms of social capital by 10%. 3. Watching commercial entertainment TV is the only leisure activity where doing more of it is associated with lower social capital. 4. Attending club meetings 58% drop. 5. Family dinners 43% drop. 6. Having friends over 35% drops.
Kelompok-kelompok sosial akar-rumput yang selama ini menjadi wadah memupuk kohesi sosial, proses belajar mengatasi masalah bersama, mutual aid, dan investasi kebajikan (social capital), makin lama makin punah tergantikan oleh organisasi-organisasi professional yang didasarkan bukan pada emotional, social bonding and bridging, tetapi oleh professional attachment. Dalam masyarakat seperti itu, indeks ketatanggaan antar-warga (neighborhood index) semakin rendah, yang ditandai oleh rendahnya kunjungan antar-warga, pemahaman masalah wargaterdekat, dan transaksi mutual aid. Warga justeru lebih mengenal nama warga supra komunitas daripada nama warga sekomunitas. Relasi sosial antar-warga dalam komunitas semacam ini semakin formal berdasarkan ikatan kepentingan, tidak lagi informal berdasarkan ikatan kekerabatan. Dua kajian Putnam tersebut menggambarkan inti terdalam dalam
modal sosial, yaitu menurunnya trust antar-warga. Data lintas negara, seperti yang dihimpun oleh Inglehart (2000) membenarkan kecenderungan kuat seperti ditemukan oleh Putnam, yaitu interpersonal mistrust. Pertanyaan yang diajukan oleh Inglehart dalam survey itu adalah: apakah anda harus bersikap hatihati atau jangan mudah percaya terhadap orang lain? Hasilnya sangat mengejutkan. Sekitar 71% responden menjawab bahwa mereka memang harus hati-hati atau tidak boleh mudah percaya terhadap orang lain. Ini artinya, 71 orang dari 100 orang sudah tidak percaya lagi terhadap orang lain. Dari negara yang disurvei, angka interpersonal mistrust (IM) Norwegia (data 1996) menduduki posisi terendah, yakni sebesar 36%; sedangkan yang tertinggi adalah Turki (data 1996), yakni sebesar 96%. Negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jepang, memiliki angka IM yang hampir sama, yakni 57% (AS, 1995) dan 58% (Jepang, 1995). Bagaimana dengan Indonesia? Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Institut Agama Islam Negeri Jakarta pada 2001 menunjukkan bahwa angka IM di negeri kita sudah mencapai 86%. Artinya, kalau ada 100 orang ditanya dengan pertanyaan di atas, maka hanya sekitar 14 orang yang masih percaya kepada orang lain. Alasannya beragam, tetapi yang dominan adalah, mereka tidak mudah percaya terhadap orang lain, karena orang lain bisa memanfaatkan dirinya (80%) dan orang lain hanya dapat memikirkan dirinya sendiri (65%). 310
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Hasil jajak pendapat Harian Kompas121 menginformasikan, sebanyak 6,8% responden menilai bahwa toleransi antarwarga, sebagai salah satu indikator modal sosial, semakin buruk. Angka-angka ini memang belum mencapai prediksi Hidayat (2001), yang menilai bahwa masyarakat Indonesia sudah mencapai zero trust society, meskipun sudah sampai pada fase low trust society versi Fukuyama (1995; 2001). Lalu, apa artinya ini? Terlepas dari kategori siapa yang mau dipakai, angka-angka itu sudah menunjukkan bahwa kita sedang mengalami bukan sekadar krisis sosial multi-dimensi, tetapi the Great Disruption (Fukuyama, 2000), yang ciri-cirinya sudah kita saksikan bersama seperti meningkatnya penurunan kepedulian sosial; tingginya angka kriminalitas; makin lunturnya nilai sakral keluarga tradisional; maraknya peristiwa pengadilan rakyat, akibat pupusnya kepercayaan publik terhadap pengadilan formal; anarkisme; konflik sosial yang sulit dituntaskan; penegakan hukum yang amburadul dan diskriminatif; baku palak antar-warga dan kelompok penduduk; dan makin tingginya tingkat toleransi komunitas terhadap pembusukan dan kebusukan moralitas. Kini kita benar-benar memasuki suasana chaos, yakni sebuah situasi ketidakberaturan dan kekacauan di segala bidang kehidupan yang sukar diprediksi polanya (Piliang, 2001). Sekurang-kurangnya, kalau tesis Fukuyama dirujuk, maka akan ada dua 121
Harian Kompas 20 Desember 2010. Menilik Bangun Solidaritas Masyarakat. Halaman 5.
persoalan besar yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat berkaitan dengan fenomena low trust society itu. Pertama, pembangunan, khususnya, pembangunan ekonomi akan semakin mahal, karena ada biaya tambahan yang dikeluarkan akibat rendahnya trust antarwarga dan trust warga kepada lembaga pemerintah. Kedua, akan sering terjadi praktik pembiaran sosial – social ignorance – antar-warga, lantaran semakin rendahnya kohesi dan solidaritas sosial antar-warga. Acara Minta Tolong tayangan salah satu stasiun TV nasional mewakili fenomena tentang betapa memang sulit kita sekarang menemui warga yang bersedia memberi bantuan kepada sesama, meskipun hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang seadanya. Fenomena ini adalah gambaran awal tentang sedang terjadinya defisit neraca modal sosial. Anehnya lagi, Syakrani (2009; 2010) menemukan, program-program pemberdayaan masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan memberi kontribusi positif peda defisit neraca modal sosial (Gambar 4). Program-program tersebut secara langsung menambah arus uang, yang dengannya kesempatan ekonomi di tempat peredaran uang itu bertambah. Penduduk semakin disibukkan oleh kesempatan tersebut, sehingga semakin sedikit waktu yang mereka miliki untuk memupuk modal sosial. Arus uang juga memperdalam praktik ekonomisasi aktivitas sosial, yang perlahan-lahan mengikis budaya mutual aid, self-help dan mutual trust.
311
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Dari perspektif teori the speed of trust (Covey, 2004), rendahnya social trust akan menghambat laju pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan, tetapi meningkatkan cost. Selain itu, jika laju defisit neraca modal sosial ini tidak dikendalikan, maka, menurut Piliang daya gerusnya bukan hanya akan terjadi pada ranah sosial kehidupan masyarakat, yang memudahkan tersulutnya konflik dan kekerasan antarkelompok, etnik, dan ras yang tak gampang diatasi (social chaos), tetapi juga mengimbas pada bidang kehidupan yang lain. Di bidang politik, gejala ini akan mempengaruhi bagaimana pola-pola dan perilaku politik semakin sulit diprediksi akibat dahsyatnya perseteruan antarelite politik (political chaos) yang didorong oleh histeria
kekuasaan. Di bidang ekonomi, perilaku ekonomi sulit diantisipasi dan dijelaskan dengan teori mana pun yang mapan (economic chaos). Di bidang hukum, dengan vulgar bisa kita simak bagaimana tatanan hukum kerap dijadikan perisai pragmatisme politik. Dan di bidang budaya terjadi guncangan nilai-nilai, penjungkirbalikan, dan distorsi tatanan moralitas (cultural and morality chaos). Community Trust Recovery
Defisit neraca modal sosial sesungguhnya menyembunyikan fakta lain, yakni misteri kapital kewargaan (mystery of citizenship capital). Lalu, tawaran apa yang bisa kita kemukakan untuk mengatasi hal tersebut? Pertama, formulasi dan implementasi program pemberdayaan masyarakat tidak 312
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
boleh lagi buta-konteks. Hal pertama yang harus kita tekankan adalah bahwa ukuran keberhasilan pemberdayaan harus mencakup beberapa level of empowerment, sebagai berikut: 1. Power within: peningkatan kesadaran & keinginan kelompok sasaran untuk berubah. 2. Power to: peningkatan kemampuan kelompok sasaran untuk berubah, memperoleh akses ke dan kontrol terhadap sumberdaya yang dibutuhkan. 3. Power over: peningkatan kemampuan kelompok sasaran menghadapi tantangan untuk berubah dan kesulitan memperoleh akses ke dan kontrol terhadap sumberdaya yang dibutuhkan. 4. Power with: peningkatan kemampuan untuk menjadi lebih bersama (better together, kayuh baimbai), tidak hendak menjadi baik sendiri (bowling alone), tetapi memupuk solidaritas dan m o Cent, Commodities, Capital dBoosting productivity in apeople core livelihood l Promoting people health status
s oPromoting education s i aBettering social & economic l infrastructure Social protection
Community Empowerment
antar-warga dan antar-komunitas baik secara internal (bonding social capital) maupun eksternal (bridging social capital).
Fenomena miskin-kembali dan defisit neraca modal sosial disebabkan oleh kesibukan penekanan program pemberdayaan hanya pada level power to, tetapi gagal menjangkau terjadinya power with pada kelompok sasaran. Karena itu, menurut Sen dan Narayan, formulasi dan implementasi program pemberdayaan harus menerapkan pendekatan yang holistik; bukan cent, commodities, and capitals yang menjadi sasaran utama, tetapi juga capabilities & sensibility. Pendekatan holistik ini menekankan keseimbangan antara cent and sensibility, capital & capabilities, dan commodities and capacities. Atau peningkatan cent, capital, and commodities harus menjadi pengungkit peningkatan capabilities, capacities, and sensibility kelompok sasaran secara individual dan kolektif. Tabel 1. Pendekatan Holistik Pemberdayaan Masyarakat Sensibility, Capability
Social functioning to be solidarity; social agency Political functioning to be selfdetermination; political agency
Cultural-functioning to be self-identity, cultural agency Economic functioning to be self-help, economic agency
Psychological functioning to be autonomy, psychological agency
313
dalam
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Bila tawaran pertama ini diterima, maka konsekuensinya kita harus pendekatan baru dalam mengukur keberhasilan program pemberdayaan masyarakat, bukan sekadar didasarkan pada peningkatan pendapatan atau berkurannya jumlah penduduk miskin, tetapi juga pada perubahan neraca modal sosial, dengan asumsi-asumsi sebagai berikut:
5. Sebaliknya, terhalangnya kelahiran gerakan budaya tersebut akan menyuburkan logika proyek sebagai kanalisasi permainan politik program pemberdayaan, termasuk program pengentasan kemiskinan (Gambar 5).
1. Kalau modal sosial atau mutual trust menentukan laju perubahan sosial, termasuk pengentasan kemiskinan berbasis asset komunitas, maka semestinya program-program pemberdayaan masyarakat juga semestinya bisa meningkatkan keberdayaan warga/penduduk atau masyarakat. 2. Jika “kaidah” ini disepakati, maka implikasinya adalah, mengukur keberhasilan program-program tersebut tidak hanya tertuju pada berkurangnya jumlah penduduk miskin, tetapi justeru pada peningkatan mutual trust atau modal sosial warga. 3. Bila mutual trust atau modal sosial mengalami defisit, maka program itu tidak boleh dinilai berhasil, meskpun jumlah penduduk miskin dapat dikurangi sesignifikan apa pun. 4. Defisit modal sosial akan menghalangi lahirnya pemberdayaan masyarakat sebagai gerakan budaya yang bersumber pada kesadaran kolektif untuk menjadi baik secara bersama-sama. 314
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Gambar 5. Program Pemberdayaan Masyarakat dan Modal Sosial
Kedua, kalam konteks program pemberdayaan berkelanjutan, kita juga dapat mengadaptasi teori Deleuze dan Guattari (1994) tentang re-teritorialization dan de Soto (2000) tentang the mystery of capital. Dari perspektif teori reteritorialization, masalah defisit modal sosial dan dampak ikutannya – chaos -merupakan kondisi tipikal masa transisi dari sebuah komunitas yang penduduknya berjuang merebut kembali territorial (political, economic and socio-cultural territories) yang pernah dirampas oleh penguasa dan tergerus oleh modernisasi; sebuah situasi di mana penduduk
bertarung dalam sebuah kancah geopolitics and geosocio-cultural; sebuah upaya de-teritorialization. 122 Gejala ini menandai munculnya suatu dinamisme komunitas. Sisi gelapnya, bila gerakan ini 122
De-teritorialization atau re-teritorialization di bidang lain mencakup ruang wacana (bahasa), kekuasaan, ranah sistem, dan tataran ideologi. Reteritorialization pada tataran bahasa menuntut dihapuskankannya penggunaan euphemism dan bahasa kekuasaan. Pada ruang kekuasaan, reteritorialization menuntut formulasi distribusi kekuasaan kepada masyarakat, sehingga terbentuk format dan manajemen kekuasaan yang polimorfik; tidak ada satu pihak mana pun yang sangat dominan atau monopoli akses ke dan kontrol terhadap kekuasaan.
315
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
tidak diberi ruang hidup yang layak, maka ia gampang menjurus pada anarkisme dan egoisme. Karena itu, re-teritorialization menjadi pilihan yang paling mungkin.
Ada beberapa tataran reteritorialization bisa diagendakan; salah satu di antaranya adalah social reteritorialization, yakni revitalisasi energienergi sosial di luar lembaga pemerintah baik yang berupa kelompok-kelompok sosial maupun norma-norma sosial budaya yang selama ini fungsional mengawal dinamika komunitas. Pemikiran Deleuze dan Guattari yang dielaborasi di atas bekerja pada tataran makro, yang harus dibumikan melalui pilihan strategi pemulihan kapital sosial berbasis pemberdayaan masyarakat. Dengan kata lain, kalau agenda reteritorialisasi ini berhasil kita tuntaskan, maka ia akan menjadi forcing factors, atau setidaktidaknya peubah konteks, bagi terwujudnya pemulihan kapital sosial. Model teoretik de Soto (2000) tentang mystery of capital relevan untuk tujuan ini. Dia bercerita tentang transformasi idle asset menjadi productive capital melalui extralegal system. Gagasannya sangat sederhana, yakni melegalkan aset-aset ekonomi masyarakat agar bisa digunakan untuk aktivitas produktif (Riyanto dan Peresthu, 2002). Tetapi model teoretik ini sangat terbatas lingkupnya untuk dipertimbangkan menjadi rujukan teoretik pengembangan solusi defisit neraca modal di Indonesia. Karena itu, model ini harus dimodifikasi agar dapat menyentuh civic atau social capital (citizenship capital), yang untuk
kasus Indonesia tak kalah misterinya dibandingkan dengan economic assets dalam versi Soto. Kalau de Soto berbicara soal extralegal system sebagai medium kapitalisasi asset masyarakat, maka dalam konteks defisit modal sosial kita harus mengedepankan community trusts recovery. Hampir pasti, selama ini kita hanya bisa merasakan bahwa social capital masyarakat telah mengalami defisit. Tetapi kita tidak pernah mengetahui dalam bentuk-bentuk apa civic and social capital itu mewujud. Praktis kita tidak memiliki neraca civil and social capital yang baik; kita mengalami apa yang oleh de Soto namakan the mystery of missing information. Akibatnya mudah dibayangkan; kita miskin kebijakan pemanfaatan kapital tersebut, padahal ia nyata dan menjadi landasan interaksi sosial.
Putnam (1993) mengemukakan, kapital ini berbeda dari sumberdaya lainnya; ia merupakan “ … a resource whose supply increases rather than decrease through use and which become depleted if not used.” Dalam banyak kajian, modal sosial dipahami sebagai modal yang memiliki dua dimensi yakni dimensi struktural dan kognitif, yang membentang pada aras makro dan mikro, seperti disajikan pada Gambar 6. Dimensi struktural berkaitan dengan lembaga sosial, sedangkan dimensi kognitif berhubungan dengan kepercayaan antarwarga (mutual trust). Masalahnya adalah, kalau kita sekarang merasakan akibat dari defisit neraca modal sosial, khususnya 316
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
pada dimensi kogntifi-mikronya, itu karena kita membiarkannya tetap menjadi sebuah misteri. Ruang publik dan sosial kita gerus semaksimal mungkin, sehingga vitalitas social capital untuk menjadi a glue that holds societies together (Serageldin, 1996) atau as a primary factor of prosperity (Fukuyama, 1995) mati.
mendatang. Melalui refleksi dan antisipasi ini kita bisa merancang sebuah program community trusts recovery.
Tidak ada jalan lain memang, kecuali melakukan community trusts recovery dalam kerangka community empowerment. Tetapi juga tidak ada jalan pintas untuk melakukannya. Langkah awal menuju community trusts recovery adalah memetakan kembali melalui kajian cermat terhadap bentuk-bentuk civic and social capital yang pernah kita miliki dan bentukbentuk lain yang kondusif untuk era
AS, melalui civic innovation program (Siriani and Friedland, 1997). Program ini diisi dengan berbagai aktivitas social development, seperti community’s civic capacity building, civic revitalization, family strengthening, atau neighborhood development.
Banyak hasil kajian mutakhir mendeskripsikan sukses inisiatif program community trusts recovery di beberapa tempat. Satu di antarnya adalah inisiatif yang berkembang di sebuah komunitas di
Gambar 6. Dua Dimensi Modal Sosial
Ada dua kekuatan utama yang memprakarsai program ini, yakni universitas dan lembaga sosial keagamaan. 317
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
Universitas dengan sinungan model teoretik yang dimilikinya berperan sebagai center for community organizing and development, sedangkan lembaga sosial (keagamaan) menjadi penggerak program tersebut. Di antara dua pusat ini dijalin jaringan kerjasama. Universitas juga mempublikasikan civic journalism untuk memudahkan diambilnya keputusan inovasi sosial oleh penduduk. Keduanya saling diuntungkan. Tetapi yang paling diuntungkan di sini adalah masyarakat secara keseluruhan. Stok kapital sosial mereka menjadi normal kembali setelah beberapa tahun mengalami defisit akibat program pembangunan, industrliasasi, atau modernisasi. Mereka kembali bisa menikmati suasana mutual trust baik dalam hubungan sosial maupun ekonomi.
Kerentanan komunitas terhadap perubahan lingkungan dapat teratasi, karena dalam diri komunitas ada semacam kohesi dan solidaritas sosial. Pelajaran berharga ini bisa kita petik hikmahnya: penguatan organisasi masyarakat madani hingga memiliki kapasitas swa-inovasi dan self-sustaining renewal yang didukung bukan oleh sektor negara dan bisnis, tetapi oleh perguruan tinggi merupakan determinan utama pemulihan social capital yang mengalami deficit. Dalam konteks wacana civil society, baik agenda reteritorialisasi maupun pemulihan atau investasi kapital sosial berbasis pengembangan komunitas harus melibatkan semua sektor, yakni sektor civil society organization (organisasi
masyarakat madani), negara dan sektor swasta.
Skenario ini akan menempuh jalan terjal, tetapi harus dimulai. Sebab, jika tidak, maka mayoritas penduduk akan tetap mengalami sengsara-sengsara modernitas di tengah libido dan histeria kekuasaan elite politik, serta pembangunan yang senantiasa menuai hasil positif secara material-ekonomis, tetapi secara sosial budaya membiakkan persoalan lain yang mengganggu kohesi sosial. Penguatan civil society akan membantu mengatasi masalah ini. Seperti kita ketahui, isu civil society akhir-akhir ini menggelinding mengisi perkembangan wacana pembangunan di negeri ini. Menurut Prasetyo et.al. (2002), konsep civil society berakar dari bangunan atau model pemikiran tentang manusia dan masyarakat. Menurut filosof Stoa dan pemikir Patristik, manusia dalam konteks civil society adalah makhluk utama yang memiliki nilai-nilai luhur seperti kebebasan, keadaban, kesederajadan, individualitas, dan bakat untuk mewujudkannya. Jadi, sebuah civil society adalah sebuah entitas sosial atau ruang publik yang terdiri dari individu-individu yang memiliki dan menjunjung tinggi nilainilai tersebut. Di Indonesia, perkembangan konsep dan wacana civil society berkembang ke dua arah (Baso, 1999; Prasetyo et.al., 2002). Pemadanan istilah civil society dengan masyarakat sipil dan masyarakat madani merupakan salah satu indikasi dari perkembangan itu. Civil society dalam pengertian masyarakat sipil dipahami 318
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
sebagai sebuah entitas sosial yang dibangun dan memposisikan dirinya sebagai sebuah gerakan sosial untuk melakukan kontrol sosial-politik terhadap negara dan sekaligus sebagai counter hegemony terhadap besarnya dominasi negara (Prasetyo et.al., 2002). Sedangkan dalam konteks masyarakat madani, konsep civil society lebih dimaknai sebagai karakteristik-karakteristik unggul yang harus dimiliki oleh sebuah masyarakat, seperti egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, keterbukaan, partisipasi, penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, keimanan etis, wawasan kebebasan, dan supremasi hukum (Madjid, 1996). Kajian ini tidak akan melibatkan diri dalam polemik konseptual tentang perkembangan konsep civil society di atas. Yang ingin dielaborasi dari konsep civil society di sini adalah signifikansi preskripsinya tentang peran ruang publik (public sphere) di luar sektor negara dan bisnis ini (Holloway, 2001). Ruang publik tersebut sering disebut sektor ketiga, yang oleh Wuthnow (Prasetyo et.al., 2002), Naidao dan Tandon (1999) dipadankan dengan voluntary sector, associational autonomy, atau independent sector, yang terdiri atas organisasi keagamaan, paguyuban, perkumpulan, kelompok keterampilan, dan organisasi swadaya (Rahardjo, 1999), pembentuk, pengawal, dan pelestari modal sosial. Catatan Penutup
Program pemberdayaan masyarakat adalah fungsi konstitusional negara dan
pemerintah. Sah-sah saja sebenarnya jika pemerintah ingin mendapat legitimasi politik dalam implementasi program tersebut, karena di mana pun pemerintah memang membutuhannya.
Tetapi, legitimasi politik akan menjadi persoalan ketika ia harus mengorbankan vitalitas hidup penduduk yang menjadi kelompok sasaran programprogram itu. Inilah sebuah capaian legitimasi politik di atas piramidan pengorbanan ketergantungan penduduk. Tentu tidak sehat. Defisit neraca modal sosial baik karena implementasi program-program pemberdayaan masyarakat, termasuk program pengentasan kemiskinan, maupun program pembangunan yang lain adalah representasi sempurna tentang kegagalan negara dan pemerintah menyuburkan potensi civil society dan social capital dalam masyarakat.
Pembangunan dalam kondisi defisit neraca modal sosial adalah kebijakan pembangunan yang sangat mahal baik secara sosial maupun ekonomi. Tetapi, nampaknya pemerintah lebih menyukai pembangunan yang mahal, meskipun menggerus energi-energi sosial ekonomi di luar dirinya untuk tumbuh menjadi kekuatan yang signifikan. Kesukaan pada pembangunan yang mahal inilah menjadi salah satu penyebab lahirnya paradoks dalam program pembangunan, termasuk program pemberdayaan masyarakat.
319
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010
DAFTAR PUSTAKA Baso. A. 1999. Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikuran Civil Society dalam Islam Indonesia. Pustaka Hidayah, Bandung.
Bandura, A. 1977. Social Learning Theory. Englewood Cliffs, Prentice-Hall, New York. Bennet, W. and D. Coat. 1995. “How to Restore a Civil Society.” Dalam The Wall Street Journal, 28 September 1995. Borgos, S. and S. Douglas. 1996. Community Organizing and Civic Renewal: A View from the South. Social Policy: Winter, 18 – 28.
Biddle, W.W. and L.J. Biddle. 1965. The Community Development Process: The Rediscovery of Local Initiatives. Holt, Rinehart and Winston, Inc., New York. Dasgupta, P. and I. Serageldin (Eds.). 2000. Social Capital: A Multifaceted Perspective. The World Bank. Washington D.C.
Eade, D. 2000. Capacity-Building: An Approach
Development. Kingdom.
to
People-Centered
Oxfam,
United
Ellen, I.G. 1997. Welcome Neighbors? New Evidence on the Possibility of Stable Racial Integration. The Brooking Review: 18 – 21.
Friedmann, J. 1993. Empowerment: The Politics of Alternatives Development. Blackwell Book, Cambridge.
Fukuyama, F. 1995. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. The Free Press. New York.
Fukuyama. F. 2000. The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social Order. Simon & Schuster, New York. Grootaert,
C.
1999.
Social
Capital,
Household Welfare, and Poverty in
Indonesia. Policy Research Working Paper
2148.
Washington, D.C.
World
Bank,
Helliwell, J.F. and R.D. Putnam. 2000. Economic Growth and Social Capital in Italy. In P. Dasgupta and I. Serageldin (eds.). Social Capital: A Multifaceted Perspective. The World Bank, Washington, D.C.
Holloway, R. 2001. Using the Civil Society Index: Assessing the Health of Civil Society. Civicus, Canada.
Ife, J. 1995. Community Development: Creating
Alternatives,
Visions,
Analysis and Practice. Longman, Australia.
Misztal, B.A. 1996. Trust in Modern Societies: The Search for the Base of Social Order. Polity Press, Cambridge.
Naidao, K. and Rajesh Tandon. 1999. “The
Promise of Civil Society.” Dalam CIVICUS.
Civil
Millennium.
Connecticut.
Society
Kumarian
320
at
the
Press,
PublikA: Volume 3 Nomor 2, Juli - Desember 2010 Narayan, D. 1995. Designing CommunityBased Development. Environment Department Paper No. 7. The World Bank. Washington D.C.
Schiff, M. 1999. Trade, Migration, and Welfare: The Impact of Social Capital. Policy Research Working Paper 2044. The World Bank. Washington D.C.
Narayan, D., R.C. Chambers, M.K. Shah and P. Petecsh. 2007. Poverty Reduction Strategy. World Bank, Washington D.C.
Then, V. and P. Walkenhorst. 1999.
Narayan. 1997. Voices of the Poor: Poverty and Sosial Capital in Tanzania. The World Bank. Washington D.C.
Prasetyo, H. dkk. 2002. Islam dan Civil Society:
Pandangan
Indonesia. Gramedia, Jakarta.
Muslim
Priyono, O.S. dan A.M.W. Pranarka (eds.). 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. CSIS. Jakarta.
Sen, A. 1982. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. Clarendon Press, Oxford.
Strengthening Civil Society’s Capacity to Promote Democratic Governance.” Dalam CIVICUS. Civil Society at the Millennium.
Connecticut.
Kumarian
Putnam, R.D. 1995. Bowling Alone: America’s Declining social Capital. In Journal of Democracy, 6 (1).
Putnam, R.D. (2000). Bowling Alone: The Collapse and Revival of American Community. Simon & Schuster, New York. Putnam, R.D. and L. M. Feldstei. 2003. Better Together: Restoring the American Community. Simon & Schuster, New York. Roach, J.L. and J.K. Roach (eds.). 1972. Poverty: Selected Reading. Penguin Books, Harmondsworth.
Rojas, O. 1999. The Role of Civil Society Organizations
in
Sustainable
Development. Dalam CIVICUS. Civil Society at the Millennium. Kumarian Press, Connecticut.
321
Press,