PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN AGLOMERASI INDUSTRI
DISERTASI
MUHAMMAD IRFAN AFFANDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala penyataan dalam disertasi saya yang berjudul :
“PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN AGLOMERASI INDUSTRI” merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Seluruh sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2009
Muhammad Irfan Affandi NRP. A161020051
ABSTRACT MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. The Roles of Agroindustry in the Regional Economy of Lampung Province: Analysis of Intersectoral Linkages and Agglomeration of Industries. (D.S. PRIYARSONO as Chairman, MANGARA TAMBUNAN and BONAR M. SINAGA as Members of Advisory Committee). The objectives of this study are to analyze intersectoral linkages among agroindustry in the regional economy of Lampung Province, to identify the existence of spatial concentration and agglomeration of agroindustry, to analyze agglomeration economies in the agroindustrial sectors, and to analyze some policies that are potentially improve the roles of agroindustry in the regional economy. This study used data of provincial Input-Output Table of 2000 and 2005 aggregated into 26 sectors (12 agroindustrial sectors and 14 non agroindustrial sectors) and results of Medium and Large Industrial Survey 1998-2005. In addition, it used indices to measure the size of agglomeration. It utilized also Cobb-Douglas production function to measure the agglomeration economies. Some policy simulations were analyzed to identify the effects of changes of final demand on sectoral outputs, income, and labor. The results show that in terms of linkages and multipliers of sectoral output, income, and labor, agroindustrial sectors have the biggest roles in the regional economy. The sectors also boost the other sectors’ growth. They have strong backward as well as forward linkages that are greater than those of other sectors. Most agroindustrial sectors are concentrated in one or few districts/municipalities. These concentrations significantly effect the production outputs. Most economies of localization and urbanization exist in the agroindustrial sectors. The combined policies of increasing government expenditure, investment, and export that are proportionally allocated to all of the agglomerated agroindustrial sectors result in the greatest positive change of sectoral output, households’ income, and labors absorption. The impact of economic policy on the agglomerated agroindustrial sectors are greater than that of similar policy that are applied to non agglomerated agroindustrial sectors. Keywords: agroindustry, linkages, agglomeration, input-output, policy
RINGKASAN MUHAMMAD IRFAN AFFANDI. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung: Analisis Keterkaitan Antarsektor dan Aglomerasi Industri. (D.S. PRIYARSONO sebagai Ketua, MANGARA TAMBUNAN dan BONAR M. SINAGA sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa. Berdasarkan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005, peringkat terbesar dalam kontribusi output sektoral adalah sektor agroindustri. Sektor agroindustri menyumbang sekitar 28% output daerah atau senilai Rp 22 156 435 juta, memiliki kontribusi sekitar 12% dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2001-2004,dan menyerap sekitar 77% tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun waktu tahun 2000-2005. Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga kerja, agroindustri
berperan sebagai leading sector sehingga
pengembangan agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah, mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri, menganalisis penghematan aglomerasi sektor agroindustri, dan menganalisis dampak kebijakan ekonomi yang berpotensi meningkatkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah. Analisis data menggunakan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 yang diagregasi ke dalam 26 sektor (12 sektor agroindustri dan 14 sektor non agroindustri) dan hasil Survei Industri Sedang dan Besar Tahun 19882005. Selain itu, analisis data menggunakan indeks-indeks untuk mengetahui kekuatan aglomerasi dan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas untuk mengetahui besarnya agglomeration economies. Simulasi kebijakan di sektor agroindustri dilanjutkan untuk mengetahui dampak perubahan permintaan akhir terhadap output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari nilai keterkaitan dan pengganda output sektoral, pendapatan dan tenaga kerja sektor agroindustri mempunyai peran terbesar dalam perekonomian wilayah dan mendorong
pertumbuhan sektor-sektor lain. Sektor agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan lebih besar dibandingkan sektor non agroindustri. Sebagian besar agroindustri berkonsentrasi pada satu atau beberapa kabupaten/kota yang berdekatan. Ada pengaruh nyata dari subsektor-subsektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap output produksi. Penghematan akibat lokalisasi
(localization
economies)
dan
penghematan
akibat
urbanisasi
(urbanization economies) pada setiap subsektor agroindustri sebagian besar memberikan pengaruh positif terhadap output produksi. Kebijakan ekonomi sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang mempunyai dampak paling besar terhadap perubahan output sektoral, pendapatan rumah tangga, dan penyerapan tenaga kerja adalah kebijakan gabungan peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. Dampak kebijakan ekonomi terhadap sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih besar daripada dampak kebijakan ekonomi sektor-sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi. Pengembangan agroindustri disarankan untuk memperhatikan konsentrasi dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui aglomerasi industri. Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian pencemaran dan lainnya).
Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan
ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi dan pelabuhan ekspor yang memadai bagi transportasi komoditas agroindustri. Penelitian lanjutan disarankan untuk menganalisis keterkaitan antar industri antar wilayah dengan membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota atau antar provinsi, dan penelitian tentang aglomerasi dengan model simultan yang menggambarkan hubungan antar produksi industri yang beraglomerasi, pendapatan regional, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor. Kata kunci: agroindustri, keterkaitan, aglomerasi, input-output, kebijakan
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a.Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisankarya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN AGLOMERASI INDUSTRI
Oleh: MUHAMMAD IRFAN AFFANDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Muhammad Firdaus, M.Si Penguji pada Ujian Terbuka
: Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec
Judul Disertasi
: PERAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG: ANALISIS KETERKAITAN ANTARSEKTOR DAN
AGLOMERASI INDUSTRI Nama Mahasiswa
: Muhammad Irfan Affandi
Nomor Pokok
: A161020051
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS Ketua
Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc Anggota
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Tanggal Ujian: 29 Oktober 2008
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga disertasi yang berjudul "Peran Agroindustri dalam
Perekonomian
Wilayah
Provinsi
Lampung:
Analisis
Keterkaitan
Antarsektor dan Aglomerasi Industri" dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis secara tulus mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS, Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan, M.Sc., dan Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan arahan dan bimbingan terutama mengenai pemodelan, pengolahan data, penyajian dan konsistensi dalam penyusunan disertasi, serta dorongan semangat untuk mempercepat penyelesaian studi. Terima kasih pula kepada Dr. Muhammad Firdaus, M.Si. selaku Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup, serta Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc. dan Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. selaku Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka atas saran dan masukan yang telah diberikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta para Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, atas arahan, bimbingan dan ilmu yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk mengikuti Program Doktor di Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Depdiknas, melalui BPPS, yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor di IPB, serta Lembaga Penelitian Universitas Lampung dan Yayasan Dana Mandiri yang telah memberikan bantuan fasilitasi dan dana penelitian disertasi. Tak lupa juga terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan Program S-3 Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2001 dan 2002, kolega dosen Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung, serta pihak-pihak yang tidak dapat disebut satu persatu. Terutama untuk kedua orang tuaku Bapak M. Hasyim (almarhum) dan Ibu Hj. Akmaliyah, kedua mertuaku Bapak Abd Rachman (almarhum) dan Ibu Hj. Subaidijah, serta kakak-kakak dan adik-adik atas perhatian dan dorongan semangat. Rasa terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada istri tercinta Dr. Ir. Sussi Astuti, M.Si, ananda Muhammad Riza Darmawan, Safira Nuril Izzah, dan Muhammad Rafi Naufal, yang telah setia dan sabar mendampingi dengan penuh pengertian dan pengorbanan selama penulis mengikuti program doktor ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Amin.
Bogor, Februari 2009
Muhammad Irfan Affandi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 24 Juli 1964 sebagai anak kelima dari pasangan M. Hasyim dan Hj. Akmaliyah. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1991, penulis melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Program Pascasarjana IPB dan menyelesaikannya pada tahun 1994. Pada tahun 2002, dengan beasiswa BPPS Departemen Pendidikan Nasional, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB. Sejak tahun 1989 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung sampai sekarang. Penulis pernah menjadi Sekretaris Pusat Pengembangan Wilayah LPM Universitas Lampung Tahun 1998-2003 dan Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung Tahun 2001-2002, serta aktif dalam kegiatan perencanaan tata ruang wilayah.
Sebagian hasil penelitian disertasi
penulis diseminarkan pada : 1. Seminar The IRSA 1st International Institute di ITB Bandung The Impacts of Agro Industry Development on The Regional Economic Growth And Employment In Province of Lampung 2. Seminar Internasional IRSA 2008 di Univertsitas Sriwijaya Palembang Improving
Regional
Economic
Development
Through
Promoting
Agglomeration Economies: The Case of Agroindustry in Lampung, Sumatra Dua artikel jurnal dari sebagian disertasi yang sudah diterbitkan yaitu : 1. Peranan Agroindustri Dalam Perekonomian Provinsi Lampung: Analisis dengan Pendekatan Tabel Input-Output Jurnal Media Ekonomi Universitas Trisakti Volume 13 Nomor 2 Agustus 2007. 2. Aglomerasi dan Pengembangan Klaster Industri Guna Meningkatkan Daya Saing Jurnal Ekonomi Universitas Tarumanegara Tahun XIII No.2 Juli Tahun 2008
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ……………………………………………………...
iv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………….……
vi
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………...
vii
I. PENDAHULUAN ……………………………………………….........
1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………..
1
1.2. Perumusan Masalah ……………………………………………..
3
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………......
7
1.4. Kegunaan Penelitian ……………………………………….........
8
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan …………………………..........
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………
11
2.1. Aglomerasi …………………………………………………….....
11
2.2. Keterkaitan Antarsektor ………………...………………………..
19
2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan ……………………………..
23
2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya ………………
26
2.5. Geografi dan Lokasi Industri ……………………………………..
30
2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah ...
33
2.7. Skala Pengembalian ……….…………………………………...…
38
2.8. Tinjauan Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian
40
2.9. Tinjauan Studi Terdahulu Aglomerasi Industri …............………...
41
III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
46
3.1. Kerangka Teori ………………………………………………........
46
3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian dan Industri …………...
46
3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi ………….….
55
3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika …………
63
3.2. Kerangka Pemikiran ………………………………………….........
65
3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Lampung
65
3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi …….
66
3.2.3. Penghematan Akibat Aglomerasi di Sektor Agroindustri ….....
67
i
3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Perekonomian Wilayah ………………………………………
68
3.3. Hipotesis …………………………………………………………….
71
IV. METODE PENELITIAN ………………………………………….…….
72
4.1. Lokasi Penelitian
………………………………………………..
72
4.2. Jenis, Sumber dan Pengolahan Data ………………………………..
72
4.3. Analisis Input-Output ……………………………………………….
73
4.4. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi …………...
77
4.5. Analisis Penghematan Aglomerasi …………………………………
81
4.6. Konstruksi Keterkaitan Input-Output Ekonometrika ……………….
83
4.7. Analisis Simulasi …………………………………………………....
85
V. KETERKAITAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROPINSI LAMPUNG ……………………………….…….
90
5.1. Kontribusi Agroindustri dalam Perekonomian di Provinsi Lampung 5.1.1. Struktur Output
90
……………………………….……..…..
90
5.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto …………………………………
91
5.2. Keterkaitan Antarsektor Agroindustri dengan Sektor Ekonomi Lainnya ……………………………………………….……………..
92
5.2.1. Keterkaitan Antarsektor ke Belakang ……………...….…….
92
5.2.2. Keterkaitan Antarsektor ke Depan ………………….……….
95
5.2.3. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor …………………….…..
99
5.2.4. Penelusuran Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang ….…....
101
5.3. Pengganda Sektor Agroindustri …………………..…………..........
103
5.3.1. Pengganda Output …………………………………..…….....
103
5.3.2. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga ……………………..
107
5.3.3. Pengganda Tenaga Kerja ……………...………………….....
109
VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AGLOMERASI AGROINDUSTRI ……………………………………………………….
114
6.1. Konsentrasi Spasial ………...................……………………………
114
6.2. Kekuatan Aglomerasi ……………………………………………...
118
6.3. Sumber-sumber Aglomerasi ………….……………………………
125
6.4. Penghematan Akibat Aglomerasi dan Produktivitas Agoindustri di ii
Provinsi Lampung …………………………………………………
129
6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model ……………………………
129
6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung ………….
131
6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri …………….
133
VII. DAMPAK KEBIJAKAN DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI LAMPUNG ……….…..
144
7.1. Output Sektoral ……………………………………………………
144
7.2. Pendapatan Rumah Tangga ………………………………………..
150
7.3. Kesempatan Kerja ………………………………………………….
154
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………….…..
159
8.1. Kesimpulan ………………………………….………………….....
159
8.2. Impikasi Kebijakan …………………………………….……….....
161
8.3. Saran Penelitian Lanjutan …………………….…….……………..
162
DAFTAR PUSTAKA …………….............……….………………......
164
LAMPIRAN ................................................................................…….…
170
iii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman ….......….…
15
2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS
42
3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Tabel Input-Output
44
4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks ………….
45
5. Model dasar Tabel Input-Output …………………………….…………
48
6. Nama dan Kode Sektor berdasarkan Agregasi Sektor Tabel Input-Output Provinsi Lampung …………….………………………………….…….
75
7. Klasifikasi Subyek Agroindustri berdasarkan Tabel I-O dan KBLI ……
84
8. Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 …………………………………….………...…….………
91
9. Keterkaitan ke Belakang Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………………...…….……….
94
10. Keterkaitan ke depan Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………………...…….……….
96
11. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……………………………………...……...…….………..
99
12. Penelusuran Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 ….........................................................….……..
102
13. Penelusuran Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 ......….…....................................................…....
103
14. Pengganda Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 ……………………………….…...…….………
105
15. Pengganda Pendapatan Tahun 2000 dan Tahun 2005 ………………...
108
16. Pengganda Tenaga Kerja Sektor Agroindustri ……………...………...
110
17. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Agroindustri Tahun 2005 …...........................................................……....………....
111
iv
18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung ….
115
19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …………………………………….……………....………...
116
20. Indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) Sektor Agroindustri Provinsi Lampung
118
21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung ……...………..
124
22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung …………………………………….………………….……
126
23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung ..............
132
24. Koefisien Akibat Aglomerasi pada Agroindustri di Provinsi Lampung
134
25. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….……
146
26. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 ……….……
151
27. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 …………….………………….………………….…….....
152
28. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 …………….…………………….………………….…….
155
29. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005
156
30. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005
161
v
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi …….……....….….…….
12
2. Pertumbuhan Jalur Seimbang dan Tidak Seimbang …....…….…….….....
22
3. Skala Pengembalian ………….………….….......…….......................…
40
4. Strategi Model Integrasi I-O dan Ekonometrika …….…...….……....…
64
5. Kerangka Pemikiran Penelitian ……….…………….…….……....…...
70
6. Kerangka Operasional Penelitian ……….…………….…..……....…..
87
7. Pemetaan Klaster Agroindustri Provinsi Lampung……….…..….…......
123
vi
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 ……….……….…
171
2. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….……….…
176
3. Kontribusi Output Sektor Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….....................…….……….………….……….…………....
182
4. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Agro ….........................…….…
183
5. Kontribusi Industri Pengolahan dalam PDRB Propinsi Lampung Atas Dasar Harga yang Berlaku …......…….……….………….……….…....
184
6. Perkembangan Ekspor Industri di Provinsi Lampung Tahun 2001-2005
185
7. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000-2005 ……….……….………….……….…………....…….…....
186
8. Peta Penyebaran Industri Provinsi Lampung….…………..................
187
9. Metode Pembaharuan Data …….…………….…………….………….
188
10. Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....…….........
191
11. Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………....…….........
192
12. Pangsa Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….…
193
13. Pangsa Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….………….……….…………....…….…
194
14. Daya Sebar dan Derajat Kepekaan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2005 ….…………….…………….…………….…...
196
15. Pengganda Output Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ……….………….……….…………....…….…….…………
197
16. Pengganda Pendapatan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………….…………….…………….…………...
198
17. Pengganda Kesempatan Kerja Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 ….…………………….…………….………….
199
vii
18. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2000 ….…………….…………….…………….………….......
200
19. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2005 ….…………….…………….…………….………….......
201
20. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2000 (jutaan rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…...........
202
21. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 (jutaan rupiah) ……….……….………….……….…………....…….…...........
203
22. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2000 ……….……….………….……….…………....…….…...
204
23. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 ……….……….………….……….…………....…….…....
205
24. Peta Rencana Sistem Pelayanan Perkotaan Provinsi Lampung...........
206
25. Direktori Industri Sedang dan Besar Provinsi Lampung Tahun 2005
207
26. Tingkat Pendidikan Pekerja Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 1997 ….…………….…………….…………….………….......
215
27. Hasil Estimasi Model dan Statistik t Tabel .…………….…………....
216
28. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .………….
221
29. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2005
223
30. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Tahun 2005 .……….
225
31. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 .………….
227
32. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 ……….…………….…………….…………..................
229
33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005
231
viii
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009 di Sektor Industri Manufaktur, Pemerintah Pusat memprioritaskan pengembangan agroindustri. Prioritas tersebut bertujuan untuk meningkatkan perekonomian wilayah, khususnya di luar Jawa. Rencana tersebut beralasan karena agroindustri merupakan subsektor industri yang selama ini memberikan kontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan ekspor non migas. Pengembangan agroindustri pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah sektor pertanian. Krisis ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 telah memberikan pengaruh yang besar terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang diawali oleh turunnya nilai rupiah terhadap US dollar menyebabkan semakin mahalnya harga barang-barang impor. Hal ini pada gilirannya menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi yang harus ditanggung oleh produsen dalam negeri, yang banyak menggantungkan produksi melalui ketersediaan bahan baku impor. Krisis ekonomi yang berkepanjangan tersebut menyebabkan output menjadi berkurang sehingga mengakibatkan penurunan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 1998. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun tersebut mengalami kontraksi sekitar -13.1%, yang mengakibatkan banyak sektor ekonomi terpuruk, terutama industri dan konstruksi. Menurut Departemen Perindustrian (2005), perekonomian Indonesia mulai mengarah pada pemulihan krisis ekonomi yang tercermin dari membaiknya kondisi ekonomi makro dengan indikator terkendalinya inflasi, stabilnya nilai tukar terhadap nilai mata uang asing khususnya dolar Amerika Serikat, rendahnya suku bunga bank dan sebagainya. Sejalan dengan kemajuan itu, sektor industripun mengalami
2 perbaikan kinerja, baik dalam hal pertumbuhan, kontribusi, maupun peranannya. Meskipun ada perbaikan yang cukup berarti, harus diakui bahwa peran sektor industri dalam ekonomi nasional, serta sektor riil lainnya masih lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis. Herjanto (2003) menyebutkan bahwa sebelum terjadi krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, perkembangan jumlah unit usaha, tenaga kerja, nilai produksi, nilai investasi dan nilai ekspor agroindustri menunjukkan peningkatan yang cukup menggembirakan. Dari jumlah unit usaha, pada tahun 1995 tercatat sebanyak 2 068 unit usaha sedangkan pada tahun 1997 telah mencapai 2 416 unit usaha atau naik rata-rata 8.41% pertahun. Penyerapan tenaga kerja juga mengalami peningkatan, apabila pada tahun 1995 sebesar 817 466 orang, pada tahun 1997 telah mencapai 971 896 orang. Perkembangan ekspor juga menunjukkan peningkatan yang tajam. Pada tahun 1995 nilai ekspor tercatat sebesar US$ 1.65 milyar, pada tahun 1997 telah mencapai US$ 2.39 milyar atau mengalami pertumbuhan rata-rata 20.5% pertahun. Saat awal krisis ekonomi pada tahun 1997, agroindustri masih bertahan. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat utilitas rata-rata sekitar 75.3%. Setelah krisis melanda Indonesia, terjadi penurunan tingkat utilitas menjadi sekitar 6.9% pada tahun 1998. Nilai ekspor juga mengalami penurunan, di mana pada tahun 1997 nilai ekspor mencapai US$ 2.39 milyar sedangkan tahun 1998 menjadi US$ 1.96 milyar (turun -17.8%). Meskipun demikian, kontribusi sektor agroindustri terhadap perekonomian masih tetap tinggi. Pada tahun 1998, saat pertumbuhan ekonomi negatif, sektor agroindustri menyumbang Rp 39.87 trilyun pada PDB ekonomi atau sebesar 17.56% dari kontribusi sektor industri pengolahan non-migas. Pada tahun 2000 sumbangan sektor agroindustri terhadap PDB ekonomi mencapai Rp 51.5 trilyun. Kelompok industri berbasis hasil pertanian (skala
3 menengah besar) berjumlah 2 190 unit usaha dengan nilai investasi sebesar Rp 27 trilyun. Nilai produksi mencapai Rp 39.1 trilyun dan total ekspor mencapai US$ 3 milyar. Sedangkan untuk skala kecil menengah berjumlah lebih dari 545 000 unit usaha dengan nilai produksi mencapai Rp 12.5 trilyun dan nilai investasi sebesar Rp 2.97 trilyun, serta total ekspor sebesar US$ 112.5 juta. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa. Besarnya potensi tersebut dapat dilihat dari kontribusi agroindustri terhadap output sektoral dalam perekonomian wilayah Lampung. Berdasarkan Lampiran 1, 2 dan 3 yang merupakan data Tabel InputOutput Provinsi Lampung
Tahun 2000 dan 2005, peringkat terbesar dalam
kontribusi output sektoral adalah sektor-sektor dalam kelompok agroindustri. Sektor-sektor agroindustri tersebut menyumbang sekitar 28% output daerah, dimana persentase ini lebih besar dibandingkan sektor pertanian. Jika dibandingkan dengan sektor produksi primer (perkebunan, padi, perikanan, peternakan dan kehutanan), perolehan output dan nilai tambah pada sektor agroindustri tersebut sangat besar. Sektor agroindustri
memberikan
sumbangan sekitar 50% terhadap ekspor non migas Provinsi Lampung selama tahun 2001-2005 (lihat Lampiran 6 dan 7). Pada tahun 2001 nilai ekspor industri hasil pertanian mencapai US $ 245 812.64 ribu. Nilai ekspor komoditas ini terus bergerak naik hingga mencapai US $ 586 216.46 ribu pada tahun 2005. 1.2. Perumusan Masalah Kebijakan dalam pembangunan industri manufaktur diarahkan untuk menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia serta mampu mengantisipasi perkembangan perubahan lingkungan yang cepat. Persaingan internasional merupakan suatu perspektif baru bagi semua negara, sehingga fokus dari strategi
4 pembangunan industri di masa depan adalah membangun daya saing industri manufaktur yang berkelanjutan di pasar internasional. Untuk membangun daya saing yang berkelanjutan, upaya pemanfaatan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki bangsa serta kemampuan untuk memanfaatkan peluang-peluang yang ada di luar maupun di dalam negeri harus dilakukan secara optimal. Oleh karena itu, daya saing yang berkelanjutan tersebut terletak pada upaya menggerakkan dan mengorganisasikan seluruh potensi sumber daya produktif untuk menghasilkan produk inovatif yang lebih murah, lebih baik, dan lebih mudah diperoleh dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan permintaan pasar. Menurut Pandjaitan (2000), dalam rangka untuk meningkatkan daya saing industri, diperlukan pengelompokan industri yang saling berhubungan secara intensif, dan merupakan aglomerasi perusahaan-perusahaan yang membentuk kemitraan. Pentingnya perhatian tentang aglomerasi, berkait dengan sejumlah argumen bahwa aglomerasi muncul karena pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi baik karena lokasi perusahaan (localization economies), maupun urbanisasi (urbanization economies) (Kuncoro, 2000). Hal ini sejalan dengan pemikiran O’Sullivan (2000) bahwa kedua macam penghematan ekonomi tersebut
merupakan
konsentrasi
ekonomi
secara
spasial.
Kedua
macam
penghematan ini, yang sering disebut agglomeration economies, secara implisit memperlihatkan hubungan antara industrialisasi dan urbanisasi dalam proses pembangunan. Penghematan akibat lokalisasi terjadi apabila biaya produksi perusahaan pada suatu industri menurun ketika produksi total dari industri tersebut meningkat. Dengan berlokasi di dekat perusahaan lain dalam industri yang sama, suatu perusahaan dapat menikmati beberapa manfaat. Tiga tipe agglomeration economies yaitu internal returns to scale, localization economies, dan urbanization
5 economies (O’Sullivan, 2000; Capello, 2007). Fujita et al. (1999) menyatakan terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi, biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar. Penghematan lokalisasi yang berkaitan dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki aktifitas dan berhubungan satu sama lain, telah memunculkan fenomena klaster industri, atau sering disebut industrial clusters atau industrial districts. Klaster industri pada dasarnya merupakan kelompok aktivitas produksi yang amat terkonsentrasi secara spasial dan biasanya berspesialisasi pada hanya satu atau dua industri. Menurut Markusen (1996), aglomerasi industri merupakan kumpulan klaster-klaster industri. Keterkaitan aglomerasi industri dengan kebijaksanaan industri nasional adalah kebijakan persebaran lokasi industri melalui penguatan klaster industri. Kebijakan klaster industri secara formal tercantum dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), dinyatakan bahwa dalam rangka konsolidasi pembangunan sektor primer, sekunder dan tersier, termasuk persebaran pembangunan sektor-sektor tersebut dapat ditempuh melalui klaster industri. Klaster industri merupakan bentukan organisasi yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi. Kebijakan ini dilanjutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009 yang berkaitan dengan sektor industri (Bappenas, 2005). Dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009, disebutkan bahwa peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Klaster-klaster tersebut tersebut adalah (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolahan hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit, (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan
6 bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, serta (10) industri petrokimia. Kriteria penentuan klaster adalah berdasarkan peranan industri terhadap (1) penyerapan tenaga kerja, (2) pemenuhan kebutuhan dasar dalam negeri, (3) pengolahan hasil pertanian dan sumberdaya alam, (4) potensi pengembangan ekspor, serta (5) terkait dengan industri masa depan. Menurut Departemen Perindustrian (2005), industri masa depan adalah industri-industri yang mempunyai daya saing tinggi, didasarkan pada besarnya potensi sumberdaya alam, kemampuan atau daya kreasi dan ketrampilan, serta profesionalisme sumberdaya manusia. Industri masa depan sebagai industri yang pengembangannya diprioritaskan pada masa yang akan datang, meliputi: (1) industri berbasis agro, (2) industri alat angkut, serta (3) industri teknologi informasi dan peralatan telekomunikasi (telematika). Pengembangan industri berbasis agro (agroindustri) dilakukan melalui pendekatan klaster. Lokasi pengembangan klaster agroindustri dapat dilihat pada Lampiran 4. Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi potensial untuk pengembangan agroindustri di luar Jawa dan lokasi utama klaster agroindustri. Berdasarkan Lampiran 5 diketahui bahwa agroindustri di Provinsi Lampung memiliki kontribusi yang besar dalam PDRB dan penyerapan tenaga kerja. Dari lampiran tersebut terlihat bahwa agroindustri menyumbang sekitar 12% dari total PDRB Provinsi Lampung dalam kurun waktu tahun 2000-2004 dan menyerap sekitar 75% dari tenaga kerja yang bekerja di lapangan usaha industri dalam kurun waktu tahun 2000-2005.
Berdasarkan kontribusi output dan penyerapan tenaga
kerja, agroindustri berperan sebagai leading sector sehingga pengembangan agroindustri di Provinsi Lampung memiliki arti yang sangat strategis. Salah satu syarat tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri adalah adanya
7 keterkaitan antara pertanian dan industri yang tangguh. Dengan demikian, penelitian keterkaitan antarsektor agroindustri di Provinsi Lampung diperlukan untuk melihat peran agroindustri sebagai leading sector menuju tercapainya transformasi struktural dari pertanian ke industri. Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi Provinsi Lampung dekat dengan kawasan Jabotabek sebagai daerah pemasaran, dan dekat dengan sumber bahan baku (lihat Lampiran 8). Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang aglomerasi industri dan peranannya dalam perekonomian Provinsi Lampung. Analisis peranan agroindustri dalam perekonomian wilayah dilakukan agar target agroindustri dalam meningkatkan output, pendapatan dan penyerapan tenaga kerja wilayah memberikan kontribusi yang besar. Dari latar belakang dan gambaran kondisi agroindustri di Provinsi Lampung, maka ada beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana keterkaitan antarsektor agroindustri terhadap sektor-sektor lain dalam perekonomian wilayah? 2. Apakah terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor-sektor agroindustri di Provinsi Lampung? 3. Apakah aglomerasi menimbulkan penghematan (agglomeration economies) dalam produksi sektor agroindustri? 4. Kebijakan ekonomi apakah yang berpotensi meningkatkan peran sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah? 1.3. Tujuan Penelitian Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis keterkaitan sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah. 2. Mengidentifikasi terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri.
8 3. Menganalisis penghematan aglomerasi (agglomeration economies) dalam sektor agroindustri. 4. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri dalam perekonomian wilayah. 1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat : 1. Memberikan kontribusi bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan guna mengoptimalkan peranan agroindustri dalam perekonomian Provinsi Lampung melalui pendekatan aglomerasi, keterkaitan dan kontribusi agroindustri dalam output, pendapatan, dan tenaga kerja. 2. Memperkaya khasanah pengetahuan tentang ekonomi pembangunan, ekonomi pertanian, geografi ekonomi, ekonomi regional, ekonomi publik, dan perencanaan wilayah. 3. Sebagai bahan referensi bagi penelitian lanjutan yang lebih mendalam. 1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ini mengkaji dampak eksternalitas aglomerasi dan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung dengan ruang lingkup dan keterbatasan sebagai berikut : 1. Penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut: (1) pengkajian struktur ekonomi wilayah, (2) pembaharuan data (updating) Tabel Input-Output Tahun 2000 ke Tahun 2005, (3) pengkajian keterkaitan ke belakang dan ke depan, serta dampak pengganda agroindustri, (4) pengkajian besarnya konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi, (5) pengkajian faktor-faktor penentu penyebab tumbuhnya penghematan akibat aglomerasi agroindustri (agglomeration economies), (6) pemodelan simulasi/skenario kebijakan, dan (7) perumusan implikasi kebijakan.
9 2. Lingkup wilayah penelitian dibatasi pada tingkat makro wilayah Provinsi Lampung dan tidak menganalisis keterkaitan antar wilayah (inter region). Salah satu alat analisis data yang dipergunakan adalah Model Input-Ouput (I-O) sehingga berlaku asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam model tersebut. Asumsi-asumsi tersebut adalah : (1) keseluruhan kegiatan ekonomi dibagi habis menurut klasifikasi tertentu ke dalam sektor dan institusi, (2) jumlah penerimaan dan jumlah pengeluaran dari masing-masing sektor/institusi berimbang (adanya prinsip keseimbangan umum), dan (3) distribusi koefisien antar sektor/berlaku konstan. 3. Asumsi yang digunakan dalam analisis input-output yaitu: (1) keseragaman (homogeneity), yang mensyaratkan bahwa tiap sektor memproduksi suatu output tunggal dengan struktur input tunggal dan tidak ada substitusi otomatis terhadap input dari output sektor yang berbeda-beda, (2) kesebandingan (proportionality), yang menyatakan hubungan antara input dan output di dalam tiap sektor merupakan fungsi liniar, yaitu jumlah tiap jenis input yang diserap oleh sektor tertentu naik atau turun sebanding dengan kenaikan atau penurunan output dari sektor-sektor tersebut, (3) penjumlahan (additivity), yang berarti bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan efek masing-masing kegiatan, dan (4) ekses kapasitas atau kapasitas sumberdaya berlebih. Artinya sisi penawaran selalu dapat merespon perubahan sisi permintaan dan penawaran tidak pernah menimbulkan kesenjangan antara keduanya. Konsekuensinya harga-harga tidak pernah berubah atau harga tetap (fixed price) dan bersifat eksogen. 4. Tidak membangun Tabel Input-Output Interregional antar kabupaten/kota ataupun antar provinsi.
10 5. Analisis pengaruh penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies) agroindustri dibatasi pada maanfaatnya bagi produksi atau output industri besar dan sedang karena berhubungan dengan konfigurasi spasial dan keterbatasan data. 6. Analisis konsentrasi spasial dan kekuatan aglomerasi sektor agroindustri dibatasi pada unit spasial kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (co-location). 7. Analisis knowledge spillovers dibatasi pada tingkat pendidikan pekerja, sedangkan natural advantage berkaitan dengan bahan baku agroindustri.
11
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aglomerasi Montgomery (1988) mendefinisikan aglomerasi sebagai konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity), yang diasosasikan dengan klaster spasial dari perusahaan, para pekerja, dan konsumen. Markusen (1996) menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu lokasi yang "tidak mudah berubah" akibat adanya penghematan eksternal yang terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain dan penyedia jasa-jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja secara individual. Aglomerasi merupakan kumpulan klaster-klaster industri. Namun suatu klaster, atau superklaster di Brazil, atau bahkan kumpulan klaster tidak dapat diidentikkan dengan suatu kota. Namanama populer seperti Silicon Valley di AS atau Sinos Valley di Brazil menunjukkan bentuk-bentuk geografis yang berbeda. Negara Bagian Minnesota juga merupakan aglomerasi industri dari masing-masing bagian wilayah yang berspesialisasi yaitu Twin Cities untuk industri jasa, Southeast Minnesota
untuk industri mesin,
Southwest Minnesota untuk industri peralatan pertanian, Northwest Minnesota untuk industri pengolahan hasil pertanian, dan Northeast Minnesota untuk industri hasil hutan dan rekreasi (Munnich, 2005). Perkembangan konsep dan pemikiran tentang aglomerasi dapat dirangkum dalam Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa setiap studi atau teori mengenai aglomerasi dapat digolongkan dalam perspektif klasik atau moderen. Ditinjau dari perspektif klasik, aglomerasi merupakan suatu bentuk spasial dan diasosiasikan dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" (economies of agglomeration) melalui konsep eksternalitas. Para pendukung perspektif ini telah
12 meletakkan dasar-dasar model mikro mengenai eksternalitas akibat skala ekonomis (Kuncoro, 2000). AGLOMERASI
KLASIK
Penghematan Eksternal
MODERN
Formasi Perkotaan
Eksternalitas Dinamis
MarshallArrow Romer
Lokalisasi vs Urbanisasi
Increasing return (Penghematan akibat skala)
Knowledge spill over akibat keanekaragaman
Pertumbuhan Kota
Jacobs
Biaya Transaksi
Central Place vs Network System
Ketergantungan skala vs netralitas
Minimisasi biaya transaksi akibat skala
Sumber: Kuncoro (2000) Gambar 1. Perkembangan Pemikiran tentang Aglomerasi Jalur pemikiran tersebut dikembangkan dengan berbagai studi empiris yang mencoba menganalisis dan mengestimasi besarnya skala ekonomis. Sementara itu, para ahli ekonomi regional mendefinisikan kota sebagai hasil dari produksi aglomerasi secara spasial. Hal ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya literatur mengenai formasi kota. Menurut Hoover (1985), penghematan aglomerasi adalah penghematan yang terjadi akibat terkonsentrasinya aktivitas ekonomi secara spasial. Penghematan tersebut dapat terjadi dalam industri yang sama atau beberapa industri yang berbeda.
13 Hoover (1985) menyatakan bahwa ada 2 macam penghematan akibat aglomerasi, yaitu penghematan lokalisasi dan penghematan urbanisasi. Penghematan lokalisasi terjadi karena konsentrasi spasial dalam industri yang sama, meliputi penghematan transfer yang terjadi pada keseluruhan perusahaan dalam industri dan saling terkait satu sama lain. Hal ini menyebabkan penurunan biaya produksi perusahaan pada suatu industri ketika produksi total dari industri tersebut meningkat (economies of scale). Penghematan urbanisasi terjadi apabila industri-industri pada suatu wilayah terasosiasi dan terakumulasi dalam berbagai tingkatan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Penghematan urbanisasi mendorong terciptanya pendukung dari aktivitas ekonomi secara keseluruhan dan menciptakan keuntungan secara kumulatif bagi seluruh industri. Berdasarkan Pemikiran Hoover tentang localization economies dan urbanization economies, Glaeser et al. (1992) mengklasifikasikan dua macam knowledge spillovers, yaitu intraindustry spillovers dan interindustry spillovers. Intraindustry spillovers adalah knowledge spillovers yang terjadi pada suatu industri yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Romer. Sedangkan interindustry spillovers, yang dikembangkan oleh Jacob, merupakan knowledge spillovers yang terjadi antar industri yang berkaitan dalam suatu lokasi. Jacob (1969) mengembangkan pemikiran Hoover tentang penghematan urbanisasi. Jacob menyatakan bahwa terjadi ekternalitas positif antar industri berupa interindustry spillovers yang biasa disebut sebagai Jacobs externalities sebagai dampak terkonsentrasinya dan terasosiasinya industri-industri pada suatu wilayah. Henderson (1994) melengkapi pemikiran Jacob dan menyatakan bahwa penelitian dan pengembangan (R&D) berpengaruh positif terhadap Jacobs externalities. Perspektif moderen menunjukkan beberapa kritik terhadap teori Klasik mengenai aglomerasi. Pada konteks ini, tiga jalur pemikiran dapat diidentifikasi.
14 Pertama, teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis (dynamic externalities). Kedua, mahzab pertumbuhan perkotaan. Ketiga, paradigma berbasis biaya transaksi. Dalam kaitannya dengan aglomerasi, sebagian besar ekonom mendefinisikan kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara spasial. Quigley (1998) mengidentifikasi empat macam pemikiran studi aglomerasi dan yang diidentifikasi menjadi empat periode evolusi pemikiran. Periode pertama, yaitu beberapa dasawarsa setelah Perang Dunia I, fokus analisis adalah pada faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi perusahaan dan rumah tangga dalam suatu kota. Pada periode kedua, yang dimulai pada pertengahan dasawarsa 1960-an, kebanyakan studi mencoba menjelaskan daya tarik lokasi kawasan perkotaan. Periode ketiga muncul dari analisis yang intensif mengenai kota-kota utama di AS dan memperkenalkan konsep eksternalitas, yang muncul akibat skala ekonomis. Menurut Quigley (1998), saat ini kita berada dalam pertengahan periode keempat dalam mencoba memahami perekonomian kota. Pada periode ini, kota digunakan untuk menganalisis hakikat dan sebab-sebab pertumbuhan ekonomi. Kebanyakan analisis aglomerasi secara implisit mengasumsikan bahwa formasi dan perkembangan kota dapat dipahami bila mekanisme konsentrasi produksi secara spasial telah dimengerti dengan benar. Kuncoro (2000) menyatakan bahwa aglomerasi tidak selalu memunculkan suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan kota terutama terletak pada perbedaan antara kesederhanaan (simplicity) dan kompleksitas. Teori klasik mengenai aglomerasi berargumen bahwa aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan akibat lokasi maupun penghematan akibat urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Aglomerasi ini mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi yang sama: apakah
15 antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Di lain pihak, kota adalah suatu daerah keanekagaman yang menawarkan manfaat kedekatan lokasi konsumen maupun produsen.
Beberapa faktor kunci yang memiliki implikasi
terhadap skala dan keberagaman kota disajikan pada Tabel 1. Faktor-faktor ini meliputi skala ekonomis, penghematan akibat berbagi input baik dalam proses produksi maupun konsumsi, penurunan biaya transaksi, dan penurunan variabilitas akibat keanekaragaman aktivitas ekonomi. Tabel 1. Implikasi Aglomerasi Berkat Skala dan Keanekaragaman Faktor 1. Penghematan skala (Scale economies) Dalam produksi, di dalam perusahaan Dalam konsumsi
2. Berbagi bahan baku (Shared inputs) Dalam produksi Dalam konsumsi 3. Biaya transaksi (Transaction cost) Dalam produksi
Dalam konsumsi
4. Penghematan statistik (Statistical economies) Dalam produksi Dalam konsumsi
Contoh
Argumen Teori
Skala pabrik yang lebih besar Mills, Dixit Barang publik: taman, stadion olah raga Arnott & Stiglizt
Perbaikan, akuntansi, hukum, Krugman iklan Teater, restoran, kultur Rivera-Batiz tinggi/rendah
Kesesuaian pasar tenaga kerja Heisley & Strange, Acemoglu, Artle Kawasan perbelanjaan
Asuransi bagi penganggur Penjualan kembali aset Barang-barang substitusi
David & Rosenbloom Heisley & Strange
Sumber: Quigley (1998) Pendekatan lain adalah mengaitkan aglomerasi sebagai suatu bentuk spasial dengan konsep "penghematan akibat aglomerasi" melalui konsep eksternalitas. Scott and Storper (1992) membedakan konsep eksternalitas antara: (1) penghematan internal dan eksternal (internal economies dan external economies); dan (2)
16 penghematan akibat skala dan cakupan (economies of scale dan economies of scope). Penghematan internal adalah suatu pengurangan biaya secara internal di dalam suatu perusahaan atau pabrik. Seberapa jauh pengurangan biaya dapat dicapai pada suatu perusahaan tergantung apakah efisiensi dapat ditingkatkan atau dipertahankan. Beberapa faktor yang berperan dalam pengurangan biaya secara internal meliputi: pembagian kerja (spesialisasi), digantinya tenaga manusia dengan mesin, melakukan subkontrak beberapa aktivitas proses produksi kepada perusahaan lain, dan menjaga titik optimal operasi yang meminimalkan biaya. Penghematan eksternal merupakan pengurangan biaya yang terjadi akibat aktivitas di luar lingkup perusahaan atau pabrik. Sebagaimana halnya suatu perusahaan dapat mencapai penghematan biaya secara internal dengan memperluas produksi atau meningkatkan efisiensi, suatu atau beberapa industri dapat meraih penghematan eksternal dengan beraglomerasi secara spasial. Penghematan biaya terjadi akibat perusahaan-perusahaan dalam industri yang sama bersaing satu sama lain dalam memperoleh pasar atau konsumen. Penghematan juga terjadi karena adanya tenaga terampil dan bahan baku pada daerah tersebut yang menopang jalannya usaha perusahaan. Manfaat aglomerasi industri diperkuat oleh sarana dan prasarana seperti pendidikan, air, transportasi, dan hiburan, yang memungkinkan adanya penghematan biaya. Penghematan akibat skala muncul karena perusahaan menambah produksi dengan cara memperbesar pabrik (skala). Penghematan biaya terjadi dengan meningkatkan skala pabrik sehingga biaya produksi per unit dapat ditekan. Ini berbeda dengan penghematan akibat cakupan yang terjadi karena sejumlah aktivitas atau sub-unit usaha secara internal maupun eksternal dapat dilakukan pada saat yang bersamaan
sehingga
menghemat
biaya.
Penghematan
eksternal
maupun
17 penghematan skala ekonomis dan cakupan secara khusus berkaitan dengan proses aglomerasi. Penghematan akibat aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barangbarang konsumsi, variabilitas input antara, dan angkatan kerja (Kuncoro, 2000). Dewasa ini teori-teori klasik yang dianggap standar ditantang dan disempurnakan oleh tiga jalur paradigma: (1) teori-teori baru mengenai eksternalitas dinamis yang menekankan peranan transfer informasi dan inovasi, (2) paradigma pertumbuhan perkotaan, dan (3) paradigma yang berbasis biaya transaksi. Teori-teori baru mengenai eskternalitas dinamis percaya bahwa akumulasi informasi pada suatu lokasi tertentu akan meningkatkan produktivitas dan kesempatan kerja. Pendekatan ini menjelaskan secara simultan bagaimana kota-kota terbentuk dan mengapa mereka tumbuh. Berbeda dengan eksternalitas statis, Menurut Henderson et al. (1995) eksternalitas dinamis menekankan pada pentingnya transfer pengetahuan (knowledge spillovers) antar perusahaan dalam suatu industri, yang diperoleh lewat komunikasi yang terus berlangsung antar perusahaan lokal dalam industri yang sama. Porter (1990) membuat argumen yang serupa bahwa pertumbuhan didorong oleh transfer pengetahuan pada industri yang berspesialisasi pada produk tertentu dan terkonsentrasi secara spasial. Pertumbuhan kota-kota ternyata meliputi berbagai faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan akibat aglomerasi. Teori skala kota yang optimal (theories of optimum city size), yang dikaji ulang oleh Fujita and Thisse (2002) menggambarkan ekuilibrium konfigurasi spasial dari aktivitas ekonomi sebagai hasil yang menarik antara kekuatan sentripetal dan sentrifugal. Kekuatan sentripetal (centripetal forces), yang ditunjukkan oleh penghematan aglomerasi, adalah semua kekuatan menarik aktifitas ekonomi ke daerah perkotaan. Kekuatan sentrifugal (centrifugal forces) adalah kebalikan dari kekuatan sentripetal.
18 Ronald Coase (Pemenang Hadiah Nobel dalam llmu Ekonomi tahun 1991) merupakan ekonom yang mengembangkan analisis biaya transaksi (ABT). Menurut Coase (1992), untuk melakukan suatu transaksi pasar diperlukan identifikasi dengan siapa seseorang bertransaksi, menginformasikan kepada masyarakat bahwa seseorang ingin berurusan beserta persyaratannya, melakukan negosiasi hingga penawaran, menulis kontrak, melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa syarat-syarat kontrak telah diikuti, dan seterusnya. Biaya transaksi tidak hanya mempengaruhi penyusunan kontrak tetapi juga mempengaruhi barang dan jasa yang diproduksi. Adanya biaya transaksi akan mendorong munculnya perusahaan. Sumber-sumber aglomerasi ekonomi
terdiri dari spillovers
(rembesan)
informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih (Mccann, 2001; Capello, 2007). Jika beberapa perusahaan pada industri yang sama terkumpul pada lokasi yang sama, ini berimplikasi bahwa pemilik perusahaan relatif mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers) informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung (Cohen, 2005). Pada situasi di mana beberapa perusahaan ada di lokasi yang sama, ada kemungkinan terdapat input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, dengan cara yang lebih efisien dibandingkan jika perusahaan terdispersi/menyebar. Konsentrasi spasial menurunkan biaya transaksi informasi. Konsentrasi spasial meningkatkan kemungkinan informasi yang tepat akan ditransmisikan, dan ketersediaan tenaga kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang terdispersi.
19 2.2. Keterkaitan Antarsektor Debat ahli ekonomi mengenai pertumbuhan seimbang (balanced growth) dan tidak seimbang (unbalanced growth) telah memberikan sumbangan bagi studi kuantitatif pola-pola pembangunan. Pendukung pertumbuhan seimbang seperti Nurkse (1953) atau Rosenstein-Rodan (1963) mengargumentasikan bahwa negara harus membanguan berbagai industri secara simultan jika ingin mencapai pertumbuhan berkelanjutan. Tipe pembangunan ini sering disebut sebagai pertumbuhan seimbang pada sisi permintaan, karena pembangunan industri ditentukan oleh permintaan atau pola pengeluaran dari konsumen dan investor. Pertumbuhan seimbang pada sisi penawaran menunjukkan kebutuhan untuk membangun
beberapa industri secara bersamaan untuk mencegah kemacetan
penawaran. Salah satu masalah terkait dengan argumen
pertumbuhan seimbang
berkaitan dengan nasehat suatu negara miskin dengan sedikit atau tanpa industri disarankan untuk membangun beberapa industri secara bersamaan atau terus mengalami stagnasi. Program ini terkadang disebut sebagai big push atau critical minimum effort. Saran tersebut tidak mendorong negara miskin yang memiliki beban sumberdaya manajerial dan finansial yang membatasinya untuk mendirikan beberapa pabrik baru. Dalam pembahasan mengenai pola pembangunan industri, ditunjukkan bahwa sedikit bukti yang menunjukkan bahwa semua negara mengikuti pola tertentu. Beberapa negara memberikan penekanan pada satu industri tertentu, sedangkan negara lain terkonsentrasi pada set industri yang berbeda. Pendukung pola pertumbuhan tidak seimbang (unbalanced growth), khususnya Hirschman (1958), menyadari perbedaan tersebut dan menggunakannya untuk mengusulkan
20 pola pembangunan industrial yang berbeda. Suatu negara dapat mengkonsentrasikan energinya hanya pada beberapa sektor pada tahap awal pembangunannya. Menurut Perkins (2001), pertumbuhan tidak seimbang yang diusulkan oleh Hirschman, tidak berisi cara melepaskan diri dari dilema pertumbuhan seimbang. Hirschman membangun ide pertumbuhan tidak seimbang tertuju bagaimana seharusnya pembangunan berjalan. Konsep sentral dari teori Hirschman (1958) adalah keterkaitan. Industri dikaitkan dengan industri lain dengan cara-cara yang dapat diperhitungkan dalam memutuskan suatu strategi pembangunan. Industri dengan backward linkages menggunakan input dari industri lain. Keterkaitan ke depan terjadi dalam industri yang memproduksi barang yang menjadi input industri lain. Keterkaitan ke depan dan ke belakang menghasilkan tekanan yang mengawali penciptaan industri baru yang pada gilirannya menciptakan tekanan tambahan dan seterusnya. Tekanan ini dapat berbentuk peluang profit baru bagi pengusaha swasta atau tekanan yang dibangun melalui proses politik agar pemerintah
mengambil
kebijakan.
Investor
swasta
misalnya
memutuskan
membangun pabrik tanpa memberikan fasilitas perumahan bagi pekerjanya. Pemerintah mengambil kebijakan untuk membangun infrastruktur dan jalan. Perkins (2001) menyatakan bahwa meskipun di permukaan pola pembangunan seimbang dan tidak seimbang nampak tidak konsisten satu sama lain, namun dapat dipandang sebagai sisi yang berlawanan dari koin yang sama. Tidak ada pola tunggal dalam industrialisasi yang harus diikuti semua negara. Di sisi lain, analisis kuantitatif menunjukkan bahwa beberapa pola sangat mirip antar kelompok negara. Meskipun negara dengan jumlah perdagangan luar negeri yang besar dapat mengikuti strategi tidak seimbang untuk beberapa lama, suatu negara tidak dapat
21 mengandalkan industri yang diinginkannya dan selanjutnya terfokus pada industri tersebut di seluruh tahap pembangunan negara tersebut. Konsep keterkaitan menunjukkan bahwa ketidakseimbangan yang kaku akan menghasilkan tekanan yang memaksa suatu negara kembali ke jalur pertumbuhan seimbang. Jadi, tujuan mendesaknya adalah derajat keseimbangan dalam program pembangunan. Tetapi perencana memiliki pilihan antara berusaha menjaga keseimbangan melalui proses pembangunan atau terlebih dulu menciptakan ketidakseimbangan
dengan
pemahaman
bahwa
tekanan
keterkaitan
akan
memaksanya kembali ke keseimbangan. Pilihan-pilihan tersebut adalah mengikuti jalur pertumbuhan seimbang yang ditunjukkan oleh garis lurus atau pertumbuhan tidak seimbang diperlihatkan ditunjukkan oeh garis kurva, yang dilustrasikan pada Gambar 2. Saling ketergantungan antar sektor dapat dirumuskan dalam tiga jenis efek keterkaitan, yaitu: (1) efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), mengukur efek peningkatan satu unit permintaan akhir (final demand) terhadap tingkat produksi dalam setiap sektor, (2) efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect), mengukur penggunaan total tenaga kerja dalam satu sektor sebagai akibat perubahan satu unit permintaan akhir, dan (3) efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect) mengukur efek perubahan salah satu variabel eksogen dalam permintaan akhir terhadap peningkatan pendapatan (Chenery and Clark, 1959). Peningkatan
satu unit permintaan akhir pada variabel eksogen dapat
meningkatkan produksi dalam setiap sektor melalui efek keterkaitan antar industri dan tingkat penyerapan tenaga kerja melalui efek keterkaitan ketenagakerjaan. Peningkatan output dan ketenagakerjaan timbul dari keterkaitan ini, juga dicerminkan oleh penciptaan pendapatan tenaga kerja melalui keterkaitan penciptaan
22 pendapatan
mendorong
peningkatan
permintaan
barang-barang
konsumsi,
Output sektor A
menginduksi lebih banyak output dan kesempatan kerja.
b Jalur pertumbuhan seimbang
a Jalur pertumbuhan tidak seimbang
Output sektor B Gambar 2. Jalur Pertumbuhan Seimbang dan Tidak Seimbang Menurut Meier (1995), dua mekanisme yang bekerja dalam sektor aktivitas produksi secara langsung adalah pertama, penyediaan input yang menghasilkan permintaan atau backward linkage effects, yaitu setiap aktivitas ekonomi non primer akan mempengaruhi upaya untuk mensuplai melalui produksi domestik input yang diperlukan oleh aktivitas tersebut. Kedua, pemanfaatan output atau forward linkage effects, yaitu setiap aktivitas yang menurut sifatnya tidak menjadi barang akhir, akan mempengaruhi usaha untuk memanfaatkan output sebagai input pada aktivitas baru. Pengembangan agroindustri di satu pihak meningkatkan permintaan input antara (intermediate input) seperti bahan baku tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan dan lain-lain yang dipasok oleh sektor pertanian. Hal ini
23 disebut keterkaitan ke belakang (backward linkage). Di pihak lain, sektor agroindustri meningkatkan penawaran output untuk sektor-sektor lain seperti perdagangan dan industri lainnya, di samping ada yang digunakan sendiri oleh agroindustri. Hal ini disebut keterkaitan ke depan (forward linkage). Jadi, kedua aspek ini yang dikenal sebagai efek keterkaitan antar industri (interindustry linkage effect), yang mengarah ke belakang dan ke depan. Selain itu, pengembangan sektor agroindustri akan meningkatkan penyediaan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, yang selanjutnya meningkatkan permintaan terhadap barang-barang konsumsi yang dihasilkan sektor lain. Keinginan untuk
mengkonsumsi
barang-bararig
tersebut
merupakan
dorongan
untuk
meningkatkan produktivitas dan akhirnya meningkatkan tabungan di sektor agroindustri. Hubungan ini dikenal sebagai efek keterkaitan ketenagakerjaan (employment linkage effect) dari efek keterkaitan penciptaan pendapatan (income generation linkage effect). 2.3. Agroindustri, Peran dan Kebijakan Istilah agroindustri tidak dapat dipisahkan dari istilah agribisnis. Keduanya memang menyangkut unsur yang sama, yaitu agro, tetapi memiliki ruang lingkup yang berbeda. Berikut beberapa kutipan yang dapat membedakan keduanya. Davis dan Golberg dari Harvard University, yang dikenal sebagai pencetus istilah agribisnis, mendefinisikan agribisnis sebagai jumlah total dari semua operasi yang terlibat dalam manufaktur dan distribusi suplai usahatani; aktivasi produksi pada usahatani; dan penyimpanan atau pengolahan dan distribusi komoditas usahatani dan barang-barang dagangan yang dihasilkannya (Herjanto, 2003). Sedangkan, Downey and Erickson (1987) dalam memberikan pengertian tentang agribisnis mencakup semua bisnis dan aktivitas manajemen yang dilakukan perusahaan
24 yang memberikan input untuk sektor usahatani, menghasilkan produk usahatani, dan/atau pemrosesan, transport, pembiayaan, penanganan atau pemasaran produk usahatani. Austin (1992) memberikan definisi agroindustri sebagai suatu usaha yang mengolah bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan hewan. Pengolahannya mencakup transformasi dan preservasi melalui perubahan secara fisik dan kimiawi, penyimpanan, pengemasan dan distribusi.
Karakteristik pengolahan dan derajat
transformasi dapat sangat beragam, mulai dari pembersihan, grading dan pengemasan, pemasakan, pencampuran dan perubahan kimiawi yang menciptakan makanan sayur-sayuran yang berserat. Hubungan antara sektor pertanian dengan sektor industri dalam agribisnis menurut Sinaga (1998) adalah agribisnis mencakup seluruh kegiatan di sektor pertanian dan sebagian dari sektor industri. Subsektor industri tersebut menghasilkan sarana produksi pertanian dan mengolah hasil-hasil pertanian dan dikenal sebagai agroindustri. Dari beberapa definisi di atas jelas bahwa agroindustri mempunyai ruang lingkup yang lebih kecil dibandingkan agribisnis. Agroindustri terbatas pada kegiatan pengolahan produk yang berbasiskan pertanian, sedangkan agribisnis mencakup semua kegiatan sejak menyediakan input, membudidayakan, mengolah, menyediakan dana, memasarkan, dan mendistribusikan produk-produk berbasiskan pertanian. Agroindustri dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu agroindustri hulu (upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian (Sinaga, 1998). Dalam konsep pembangunan ekonomi, suatu sektor disebut sebagai sektor yang memimpin (a leading sector) jika sektor tersebut memenuhi beberapa kriteria
25 sebagai berikut: (1) memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan, (2) memiliki pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi, serta (3) memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang cukup besar. Kondisi tersebut umumnya dicirikan oleh tingginya elastisitas harga untuk permintaan dan penawaran, elastisitas pendapatan untuk permintaan yang relatif besar, multiplier pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif besar, kemampuan menyerap bahan baku dan kemampuan memberikan sumbangan input yang besar, serta memiliki keterkaitan erat dengan sektor ekonomi lain yang juga memiliki pangsa yang relatif besar dalam struktur ekonomi. Berdasarkan pemikiran di atas dan menelaah kondisi yang terjadi di Indonesia, Saragih (1992) melihat bahwa agroindustri dapat berperan sebagai sektor yang memimpin. Dengan menggunakan pendekatan input-output, Saragih (1996) melakukan kajian peran sektor agroindustri dalam perekonomian Indonesia. Selama periode 1971-1995, pangsa agroindustri terhadap ekspor industri nonmigas mengalami pertumbuhan, demikian pula pangsa terhadap impor juga mengalami peningkatan. Meskipun keduanya mengalami peningkatan, tetapi proporsi ekspor masih lebih besar daripada impor, sehingga selalu menjadi penghasil surplus devisa. Dengan neraca perdagangan yang terus positif, agroindustri tetap menjadi penyumbang terbesar dalam devisa non migas. Untuk mengukur kinerja ekonomi agroindustri menggunakan tiga kriteria ekonomi: nilai tambah per tenaga kerja, nilai tambah per output, dan nilai tambah per unit input tidak termasuk modal tetap. Agroindustri dapat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi serta sebagai prime mover dalam industrialisasi pedesaan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Pryor and Holt (1998) yang menunjukkan bahwa kontribusi agrobisnis dalam perkembangan ekonomi nasional
26 (GDP) mencapai 53%, lebih tinggi dari Malaysia, Korea Selatan, Argentina maupun Brazil. Menurut Rusastra et al. (2005), dalam rangka mewujudkan struktur perekonomian yang seimbang, kebijakan ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan
lapangan
pekerjaan,
meningkatkan
penerimaan
devisa,
dan
meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama perekonomian maka harus
memenuhi persyaratan
sebagai
berikut : berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang
besar dengan
industri
lainnya,
dan
padat tenaga kerja
(Simatupang dan Purwoto, 1990). 2.4. Klaster Industri dan Kebijakan Pengembangannya Menurut Porter (1998), klaster adalah sekelompok perusahaan dan lembaga terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong kompetisi serta juga bersifat komplementer. Kedekatan produk dari perusahaanperusahaan ini pada tahap awal akan memacu kompetisi dan kemudian mendorong adanya spesialisasi dan peningkatan kualitas serta mendorong inovasi dalam diferensiasi pasar. Porter (1998) menggambarkan bahwa klaster merupakan konsentrasi geografis atas berbagai industri yang terkait, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukungnya. Klaster dapat berupa sebuah kawasan tertentu, sebuah kota sampai wilayah yang lebih luas. Bahkan klaster juga berupa sebuah wilayah lintas negara seperti Jerman Selatan dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman. Kriteria geografisnya terletak pada apakah efisien ekonomis atas jarak tersebut ada dan terwujud dalam berbagai aktivitas bisnis yang menguntungkan atau tidak.
27 Porter (1998) berpendapat bahwa klaster disebabkan oleh (1) keunggulan kompetitif, (2) sejarah, dan (3) institusi. Keunggulan kompetitif berkaitan dengan faktor yang berhubungan dengan kondisi penawaran dan permintaan, hubungan industri, dan persaingan lokal yang memberikan keuntungan bagi perusahaan lokal. Sejarah berkaitan dengan faktor yang mendasari industri atau penggunaan teknologi yang menyebabkan keunggulan kompetitif. Institusi adalah kelembagaan formal dan informal yang mempengaruhi pengembangan klaster guna mendukung kreasi, difusi, dan impor pengetahuan. Proses pembentukan klaster pertama kali diamati oleh Alfred Marshall pada tahun 1919. Marshall mengidentifikasi manfaat dari berkumpulnya perusahaan dalam sebuah ruang geografis tertentu. Karakteristik manfaat ini tidak dinikmati secara pribadi dan mikro oleh sebuah perusahaan serta dapat dinikmati bersama oleh perusahaan lain. Manfaat seperti ini sering juga disebut sebagai economies of localization. Menurut
Hartarto (2004), fenomena pengklasteran merupakan suatu
fenomena yang terjadi sejak permulaan awal industrialisasi. Fenomena ini terjadi dari penenunan kapas di Lancashire dan industri mobil di Detroit sampai industri tekstil di Ahmadabad dan Bombay serta penyamakan kulit di Calcutta dan Arcot. Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri beradasarkan studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal, peranan pemerintahan daerah, dan peranan asosiasi, pola klaster dibedakan menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik Satelit, dan Distrik State-anchored.
28 Kebijakan pengembangan klaster industri di Indonesia secara formal tercantum dalam Program Pembangunan Nasional 1999-2004. Dalam Program Pembangunan
Nasional
tersebut
dijelaskan
bahwa
dalam
rangka
mengkonsolidasikan pembangunan sektor-sektor primer, sekunder, dan tersier, termasuk keseimbangan persebaran pembangunannya ditempuh pendekatan klaster industri. Melalui pendekatan ini diharapkan pola keterkaitan antar kegiatan baik di dalam sektor industri sendiri (keterkaitan horisontal) maupun antara sektor industri dengan seluruh jaringan produksi dan distribusi terkait (keterkaitan vertikal) akan dapat secara responsif menjawab tantangan persaingan global yang semakin ketat. Dipilihnya pendekatan klaster industri didorong oleh pemikiran bahwa berbagai kebijakan yang lalu bersifat parsial dan memberi preferensi lebih pada kegiatan industri tertentu yang cenderung kurang memperhatikan keterkaitan horisontal maupun vertikal, sehingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan pada gilirannya justru melemahkan pengembangan klaster dan daya saing nasional. Berdasarkan RPJM Tahun 2004-2009 dan Kebijakan Menteri Perindustrian 2005-2009, peningkatan daya saing industri manufaktur dilakukan melalui penguatan klaster. Strategi pengembangan industri di masa depan terdiri atas strategi pokok dan strategi operasional. Strategi pokok tersebut meliputi: (1) memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai nilai pada klaster dari industri yang bersangkutan, (2) meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai, (3) meningkatkan sumber daya yang digunakan industri, dan (4) menumbuhkembangkan industri kecil dan menengah. Sedangkan untuk strategi operasional terdiri dari: (1) menumbuh-kembangkan lingkungan bisnis yang nyaman dan kondusif, (2) penetapan prioritas industri dan penyebarannya, (3) pengembangan industri dilakukan dengan pendekatan klaster, dan (4) pengembangan kemampuan inovasi teknologi.
29 Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi serta terbatasnya kemampuan sumberdaya pemerintah, fokus utama pengembangan industri manufaktur ditetapkan pada beberapa sub-sektor yang memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri, dan (4) memiliki potensi pengembangan ekspor. Diturunkan dari keempat kriteria di atas berdasarkan analisis keunggulan komparatif dan kompetitif, prioritas dalam tahun 2005-2009 adalah pada penguatan klaster-klaster: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri pengolah hasil laut, (3) industri tekstil dan produk tekstil, (4) industri alas kaki, (5) industri kelapa sawit; (6) industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu), (7) industri karet dan barang karet, (8) industri pulp dan kertas, (9) industri mesin listrik dan peralatan listrik, dan (10) industri petrokimia. Intervensi langsung pemerintah secara fungsional dalam bentuk investasi dan layanan publik diarahkan pada hal-hal di mana mekanisme pasar tidak dapat berlangsung. Dalam tataran ini, aspek tersebut meliputi: (1) pengembangan riset untuk pembaruan dan inovasi teknologi produksi, termasuk pada pengembangan manajemen produksi yang memperhatikan kesinambungan lingkungan dan teknik produksi yang ramah lingkungan (clean production), (2) peningkatan kompetensi dan keterampilan tenaga kerja, (3) layanan informasi pasar produk dan faktor produksi baik di dalam maupun luar negeri, (4) pengembangan fasilitasi untuk memanfaatkan aliran masuk dana asing sebagai potensi sumber alih teknologi dan perluasan pasar ekspor, (5) sarana dan prasarana umum pengendalian mutu dan pengembangan produk, dan (6) prasarana klaster lainnya, terutama dalam mendorong penyebaran industri ke luar Jawa.
30 2.5. Geografi dan Lokasi Industri Aktivitas
industri
membutuhkan
fasilitas
fisik,
bangunan
instalasi
permesinan, perlengkapan dan faktor lingkungan kerja. Dari seluruh fasilitas fisik, maka lokasi merupakan faktor penentu sebelum kegiatan tersebut berlangsung. Di samping itu, lokasi menjadi tempat melangsungkan suatu kegiatan dan dapat menentukan atau mempengaruhi hal teknis yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan, seperti pengangkutan bahan baku, permesinan dan perlengkapan lainnya, pemasaran dan perlengkapan lainnya Sejumlah faktor yang ikut menentukan munculnya industri di suatu wilayah, antara lain faktor ekonomis, historis, manusia, politis, dan akhirnya geografis. Menurut Richardson (1977), faktor geografis terdiri atas bahan mentah, sumberdaya tenaga, suplai tenaga kerja, suplai air, pemasaran, dan fasilitas transportasi. 1. Bahan mentah Tak ada barang dapat dibuat jika tak ada bahan-mentahnya; misalnya untuk industri pensil dibutuhkan tambang grafit dan kayu jenis khusus tentunya. Industri kulit pasti berlatarbelakang daerah peternakan di mana jenis ternak dapat menyediakan kulit yang diperlukan. Industri semen membutuhkan jenis lempung yang mengandung kapur. Selanjutnya masih perlu dipikirkan, bagaimana mengangkut bahan mentah tersebut ke kota yang mempunyai industri tersebut. 2. Sumberdaya tenaga Sumberdaya tenaga yang diperlukan dalam industri adalah sumberdaya untuk menggerakkan mesin pabrik, yaitu tenaga air atau perlistrikan. Untuk mendatangkan bahan-bahan seperti itu, lokasi pabrik dapat mendekat ke pelabuhan pengimpor bahan tersebut atau mendekat ke lokasi sumber air dan pembangkit listrik.
31 3. Suplai tenaga kerja Suplai tenaga kerja menyangkut dua segi, yaitu kuantitatif artinya banyaknya orang yang direkrut dan kualitatif yaitu tenaga kerja berdasarkan ketrampilan tekniknya. 4. Suplai air Industri amat memerlukan persediaan air, misalnya pabrik kertas, pabrik pangan, dan pabrik kimiawi. Bahkan ada yang memerlukan air bersih atau air yang keras atau lunak secara kimiawi, serta air yang bebas dari pencemaran. Hal ini penting dalam pelayanan industri pembuatan kertas, minuman dan tekstil. 5. Pemasaran Tujuan industri adalah memproduksi barang-barang untuk dijual sehingga pemasaran mempunyai kedudukan yang penting. Pemasaran tergantung pada luasnya pasar, kuatnya pasaran, dan taraf hidup para pelanggan. 6. Fasilitas transportasi Transportasi lewat darat, air atau udara amat diperlukan bagi industri. Hal ini bertalian dengan usaha untuk mendatangkan bahan mentah dan usaha untuk melempar produksi ke pasar. Kajian lokasi industri sebagaimana dikemukakan oleh McCann (2001) bertujuan untuk menemukan lokasi optimal (optimum location) bagi setiap pabrik atau industri, yaitu lokasi yang terbaik secara ekonomis. Keuntungan tertinggi akan diperoleh apabila biaya yang ditanggung paling rendah, namun diperoleh pendapatan yang tertinggi. Teori Weber menyatakan bahwa lokasi industri mengacu pada tempat yang biayanya paling minimal. Inilah prinsip dari least cost location, di mana untuk mendapatkan hal itu perlu dilakukan evaluasi pada beberapa prakondisi sebagai berikut: (1) wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim, dan penduduknya, (2) sumberdaya atau bahan mentah, (3) upah buruh, (4) biaya
32 transportasi yang tergantung dari bobot bahan mentah dan jarak antara terdapatnya sumberdaya (bahan mentah) dan lokasi pabrik, dan (5) terdapatnya kompetisi antarindustri. Masalah lokasi bisa muncul baik sebelum pendirian suatu perusahaan maupun setelah perusahaan berproduksi. Bisa saja suatu perusahaan yang sudah lama berproduksi mendadak harus pindah lokasi, sehubungan dengan perkembangan perusahaan, perubahan pasar, atau sumber penawaran bahan baku. Dengan demikian, dalam situasi persaingan yang melibatkan masalah biaya, maka penentuan lokasi industri menjadi faktor penting. Hal ini sesuai dengan dasar teori lokasi perusahaan, yaitu penentuan lokasi perusahaan pada titik geografis yang terbanyak memberi kesempatan pada peningkatan daya saing atau potensi pasar perusahaan. Tingkat persaingan dalam pasar dapat diketahui dari posisi suatu perusahaan dalam suatu industri. Struktur (structure) menentukan perilaku (conduct) dan pada gilirannya juga akan menentukan kualitas dari kinerja industri-industri. Struktur mengacu pada sifat industri yang mempengaruhi keadaan proses persaingan. Struktur mencakup ukuran dan distribusi ukuran perusahaan, penghalangpenghalang dan syarat-syarat masuk dalam industri, diferensiasi produk, struktur harga/biaya, dan aturan pemerintah. Struktur pasar bisa mempengaruhi kebijakan perusahaan (conduct), misalnya kebijakan personalia, syarat-syarat kerja, dan berbagai faktor lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap alokasi sumber daya perusahaan tersebut dan produk-produk dihasilkannya. Perilaku (conduct) perusahaan dalam industri perlu mempertimbangkan faktor-faktor desain produk, diferensiasi produk, cara penetapan harga, aktivitas-aktivitas promosi penjualan, dan iklan. Kinerja merupakan suatu penilaian tentang pencapaian
33 ekonomi dari tujuan-tujuan yang telah direncanakan, misalnya efisiensi, pertumbuhan ekonomi, ekspor, dan kesempatan kerja. 2.6. Teori Lokasi, Kutub Pertumbuhan dan Pengembangan Wilayah Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah diintrodusksi oleh para pencetusnya dapat diketengahkan beberapa di antaranya yang dianggap penting, yaitu Von Thunen pada tahun 1826, A. Weber pada tahun 1909, W. Christaller pada tahun 1933, A. Losch pada tahun 1944, F. Perroux pada tahun 1955, W. Isard pada tahun 1956, dan J. Friedmann pada tahun 1964. Von Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Lokasi berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan tanaman pangan, perkebunan, dan sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam pasar dan jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya. Menurut von Thunen, produsen-produsen tersebar di daerah luas, sedangkan pembeli-pembeli terkonsentrasi pada titik sentral (buyers concentrated, seller dispersed). Titik sentral pada umumnya merupakan kota, dan tidak terdapat perbedaan lokasi di antara para pembeli di dalam kota. Semua pembeli membayar suatu harga tertentu, tetapi unit penghasilan bersih di antara para produsen berbedabeda, tergantung pada jaraknya dari pusat konsumsi. Model von Thunen ini termasuk dalam kategori satu unit pasar dan banyak unit produksi.
34 Jika terdapat kenaikan biaya transpor, maka harga barang akan naik, dan sebaliknya penurunan biaya transpor akan menurunkan harga pasar dan memperbesar penjualan. Manfaat dari penjualan yang bertambah tersebut akan dinikmati oleh para penjual yang jaraknya lebih jauh, yang berarti lebih banyak penjual yang melayani suatu pasar sehingga mengakibatkan meningkatnya permintaan. Meskipun model Von Thunen masih sangat sederhana, namun sumbangan pemikirannya bagi pengembangan wilayah cukup penting yaitu mengenai penentuan kawasan (zoning) menurut berbagai jenis kegiatan usaha (pertanian). Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah mendapat perhatian utama dalam pemikiran Alfred Weber. Ia menekankan pentingnya biaya transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua kekuatan lokasional primer, yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah mengembangkan pula dasardasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek, di antaranya yaitu penentuan lokasi yang optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri). Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat paling besar, sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun dalam tata ruang geografis, dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang
35 lebih luas dibandingkan pusat-pusat yang kecil; sedangkan secara vertikal, model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller, seluruh wilayah perdagangan dapat dilayani, sedangkan dalam kenyataannya sebagian dari wilayah-wilayah tersebut tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografis. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur herarkis pusatpusat kota (wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan, atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan gejala-gejala (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis, agar teori tempat sentral dapat menjelaskan gejala-gejala dinamis, maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang diformulasikan oleh Perroux. Sumbangan positif teori tempat sentral karena teori tersebut relevan bagi perencanaan dan pengembangan wilayah yaitu sistem herarki pusat merupakan sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi. Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana, jaringan wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi merupakan unsur pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada umumnya ditetapkan pada pusat-pusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat
36 urban. Perusahaan-perusahaan akan memilih lokasinya pada suatu tempat dimana terdapat permintaan maksimum. Menurut Fujita et al. (1999), ada tiga arus pemikiran teori lokasi yaitu arus pertama dari analisis von Thunen mengenai land rent dan land use. Arus kedua, berhubungan dengan Alfred Weber dan pengikutnya, memfokuskan pada permasalahan lokasi optimal pabrik. Arus ketiga teori lokasi pusat dari Christaller dan Losch menawarkan jawaban terhadap pertanyaan bagaimana ekonomi skala dan biaya transportasi berinteraksi dalam menghasilkan ekonomi spasial. Berdasar struktur herarkis tempat sentral yang telah ditunjukkan oleh Christaller di atas, Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban tingkat nasional (metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri. Selanjutnya Isard mengembangkan gejala locational economies (penghematan lokasi), dan urbanization economies (penghematan urbanisasi) sebagai akibat dari pengaruh lokasi. Urutan besarnya peranan kota-kota dapat ditentukan dengan cara meranking pusat-pusat yang bersangkutan (rank size rule) menurut jumlah penduduknya. Dalam kerangka dasar pemikiran Perroux, suatu tempat merupakan suatu kutub pertumbuhan apabila di tempat tersebut terdapat industri kunci (key industry dalam bahasa Inggris atau industries clef dalam bahasa Perancis) yang memainkan peranan sebagai pendorong yang dinamik karena industri tersebut mempunyai kemampuan untuk melakukan inovasi. Suatu kutub pertumbuhan dapat merupakan pula suatu kompleks industri, yang berkelompok di sekitar industri kunci. Industri kunci adalah industri yang mempunyai dampak berantai ke depan (forward linkage) yang kuat. Istilah industri pendorong dan industri kunci agar digunakan secara tepat. Industri pendorong adalah yang mempunyai pengaruh penting terhadap kegiatan-
37 kegiatan pada industri-industri lainnya, baik sebagai pensuplai atau langganan untuk barang-barang atau jasa-jasa, sedangkan industri kunci adalah industri yang menentukan peningkatan aktivitas maksimum (Richardson, 1977). Konsep kutub pertumbuhan merupakan suatu konsep yang sangat menarik bagi para perencanaan wilayah. Persoalan utama yang dihadapi dalam penerapan konsep tersebut adalah pemilihan industri kunci atau industri yang menonjol (leading industry) sebagai penggerak dinamika perturnbuhan. Dalam kasus suatu kompleks
industri
yang
harus
diperhatikan
yaitu
mengidentifikasikan
ketergantungan di antara kegiatan-kegiatan ekonomi dan persoalan proses pemindahan perturnbuhan, serta dimensi lokasional dan geografis dari kegiatankegiatan tersebut. Pemilihan industri yang menonjol yang ditetapkan di kutub perturnbuhan pada umumnya merupakan industri terberat atau terbesar yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini tidak hanya menyangkut pengertian dampak berantai ke belakang dan ke depan, tetapi berkaitan pula dengan jaringan ketergantungan secara teknik dan ekonomi. Di daerah-daerah non industri banyak mengalami gejala-gejala bahwa industri-industri yang dianggap menonjol tidak memiliki ciri-ciri sebagaimana dinyatakan dalam konsep di atas karena keterbatasan skala teknik dan ekonominya, sehingga penerapan kriteria pemilihan industri-industri tersebut tergantung pada kondisi setempat, artinya bersifat relatif. Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada aglomerasi. Dinyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala tempat, akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Perroux lebih memberikan tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap industri pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk menunjang pembangunan selanjutnya.
38 Dimensi geografis telah dimasukkan dalam pengaruh kutub pengembangan. Antara kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat, satu sama lain saling melengkapi seperti dikemukakan Isard (1956). Friedmann (1964) meninjau dari ruang lingkup yang luas dengan menampilkan teori core region (wilayah inti). Wilayah inti dikaitkan dengan fungsinya yang dominan terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya, misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah inti disebut wilayah-wilayah pinggiran (periphery regions). Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam, yaitu biaya transportasi yang terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi ataupun daya tarik lainnya berupa penghematan-penghematan lokasional dan penghematan-penghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah dimasukkan sebagai variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan. 2.7. Skala Pengembalian Skala pengembalian (returns to scale) menunjukkan hubungan perubahan input secara bersama-sama (dalam persentase) terhadap perubahan output. Menurut Nicholson (2000), skala pengembalian merupakan suatu keadaan di mana output meningkat sebagai respon adanya kenaikan proporsional dari seluruh input. Berkaitan dengan efek skala, skala pengembalian dibedakan menjadi tiga macam yaitu skala pengembalian konstan (constant returns to scale), skala pengembalian menurun (decreasing returns to scale), dan skala pengembalian meningkat (increasing returns to scale).
39 Sebuah fungsi produksi dikatakan menunjukkan skala pengembalian konstan (constant returns to scale) jika peningkatan seluruh input sebanyak dua kali lipat berakibat pada peningkatan output sebanyak dua kali lipat pula. Jika penggandaan seluruh input menghasilkan output yang kurang dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi tersebut dikatakan menunjukkan skala pengembalian menurun (decreasing returns to scale). Jika penggandaan seluruh input menghasilkan output lebih dari dua kali lipatnya, maka fungsi produksi mengalami skala hasil meningkat (increasing returns to scale). Menurut Sugiarto et al. (2002), spesialisasi pekerja dan teknologi skala besar sering disebut sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi baik increasing returns to scale maupun decreasing returns to scale. Sebagai ilustrasi, pekerja spesialis biasanya memiliki kinerja yang membaik dengan bertambahnya waktu dan pengalaman. Tetapi bila mereka secara terus menerus menggeluti pekerjaan tersebut, kemungkinan timbul kejenuhan yang pada akhirnya menurunkan kinerja. Teknologi skala besar terkait dengan economic of scale. Sampai pada tingkat produksi tertentu di mana kapasitas maksimal faktor produksi belum terlampaui, produksi masih bisa dioptimalkan. Namun apabila kapasitas optimal faktor produksi telah terlampaui, penambahan produksi walaupun sangat kecil akan berdampak pada peningkatan biaya produksi. Secara umum increasing returns to scale muncul pada saat skala operasi perusahaan masih kecil hingga sedang, diikuti munculnya kondisi constant returns to scale dan selanjutnya muncul kondisi decreasing returns to scale saat skala operasi perusahaan sudah besar. Gambar 3 mengilustrasikan keadaan tersebut, yaitu dari titik A ke titik D berlaku kondisi increasing return to scale, dari titik D ke titik F berlaku kondisi constant return to scale dan di atas F berlaku kondisi decreasing returns to scale.
40
Gambar 3. Skala Pengembalian
2.8. Studi Terdahulu Model I-O dalam Analisis Perekonomian Kerangka analisis dengan model I-O telah diterapkan secara luas oleh para peneliti sebelumnya untuk mengungkapkan
berbagai aspek ekonomi regional.
Beberapa peneliti seperti Sumartono (1985), Sarkaniputra (1986), dan Sastrowiharjo (1989) menggunakan kerangka analisis input output tersebut. Sumartono (1985), dalam studinya menggunakan Tabel I-O Indonesia tahun 1980 mengungkapkan keterkaitan dan ketergantungan sektor pertanian dalam struktur perekonomian di Indonesia. Studinya menemukan bahwa keterkaitan langsung sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian masih relatif lemah, yang ditunjukkan oleh koefisien keterkaitan langsung ke depan sebesar 0.44 dan koefisien keterkaitan ke belakang sebesar 0.34. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa output sektor pertanian belum banyak digunakan oleh sektor lain, sebaliknya sektor pertanian belum banyak menggunakan output sektor lain. Temuan ini menunjukkan bahwa keadaan struktur ekonomi Indonesia pada tahun 1980 belum menggambarkan
41 keadaan ekonomi yang seimbang antara sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian. Sarkaniputra (1986), menggunakan model I-O sebagai kerangka strategi pembangunan pertanian. Dari hasil studinya dirumuskan strategi pembangunan pertanian, antara lain (1) kebijakan yang berorientasi pada perluasan lapangan kerja di sektor agribisnis yang disertai dengan perbaikan penghasilan melalui sistem bagi hasil, (2) kebijakan yang berorientasi pada pembangunan organisasi yang ditujukan untuk memperkuat institusi sosial yang telah ada, pengaturan kapasitas pemilikan tanah, besar sewa dan bagi hasil, pembangunan agraria, dan pengaturan kegiatan produksi, serta (3) kebijakan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi di daerah pedesaan. Sastrowiharjo
(1989),
menggunakan
model
I-O
untuk
mengetahui
pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Provinsi Jambi. Dan hasil studinya ditemukan bahwa proses pertumbuhan perekonomian Provinsi Jambi ditentukan oleh pertumbuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah rutin, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan, investasi swasta, stok dan ekspor. Dalam jangka pendek, pertumbuhan permintaan akhir untuk setiap komoditi bersifat independen, artinya tidak ditentukan oleh sistem produksi itu sendiri, tetapi oleh faktor-faktor lain. Temuan lainnya yaitu struktur perekonomian provinsi Jambi pada tahun 1984 mengalami perubahan yang jelas, di mana kelompok sektor pertanian yang pada tahun 1978 memberikan sumbangan PDRB sebesar 53.46% turun menjadi sebesar 44.46% tahun 1984. 2.9. Studi Terdahulu Aglomerasi Industri Penelitian tentang aglomerasi industri dengan pendekatan ekonomi belum banyak dilakukan oleh peneliti. Dari beberapa penelitian tersebut terdapat penelitian
42 menggunakan metode ekonomi geografi, metode ekonometrika/ OLS (lihat Tabel 2), metode Input-Output (lihat Tabel 3), dan metode indeks (lihat Tabel 4). Penelitian aglomerasi dengan pendekatan ekonomi geografi dimulai dengan Markusen (1996) membuat tesis tentang pola klaster industri atau aglomerasi beradasarkan studinya di Amerika Serikat. Berdasarkan variabel struktur bisnis dan skala ekonomi, keputusan investasi, jalinan kerjasama dengan pemasok, jaringan kerjasama sesama pengusaha dalam klaster, jaringan kerjasama dengan perusahaan di luar klaster, pasar dan migrasi tenaga kerja, keterkaitan identitas budaya lokal, peranan pemerintah lokal daerah, dan peranan asosiasi, maka pola klaster dibedakan menjadi empat distrik yaitu Distrik Marshallian, Distrik Hub & Spoke, Distrik Satelit, dan Distrik State-anchored. Tabel 2. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Ekonometrika/OLS Peneliti Kim (1995)
Kuncoro (2000)
Variabel Dependen Lokalisasi Regional
Variabel Penjelas Intensitas sumberdaya, skala ekonomis, variabel boneka industri dan variable boneka waktu
Indeks Spesialisasi Industri Manufaktur
Intensitas sumberdaya, kandungan impor, biaya tenaga kerja, skala ekonomis, orientasi ekspor, investasi asing langsung, indeks persaingan, umur, dan pendapatan per kapita
Kesimpulan Perubahan dalam penggunaan sumberdaya dan skala ekonomi, secara signifikan menjelaskan kecenderungan lokalisasi regional di Amerika Serikat Variabel-variabel yang signifikan antara lain skala ekonomis, kandungan impor, biaya tenaga kerja, orientasi ekspor, investasi asing, indeks persaingan, dan umur mempengaruhi spesialisasi regional secara signifikan. Pendapatan regional per kapita sebagai variable spesifik regional juga mampu menjelaskan spesialisasi regional dengan baik
43 Tabel 2. Lanjutan Peneliti Somik et al. (2004)
Variabel Dependen Output Industri
Subana (2005)
Produk Domestik Bruto (PDRB) kabupaten
Doriza (2005)
Output
Variabel Penjelas Kapital, Labor, Energi, Material, penghematan akibat lokal dan penghematan akibat urbanisasi Proksi investasi (modal), angkatan kerja, proksi aglomerasi tenaga kerja Kapital, Labor, Energi, Material, penghematan akibat lokal, dan penghematan akibat urban
Kesimpulan Semua variabel memiliki efek positif terhadap output industri
Proksi investasi (modal) dan urbanisasi tenaga kerja berpengaruh positif tenaga kerja Semua variabel memiliki efek positif terhadap output industri
Kuncoro (2000) menganalisis dinamika dan kekuatan aglomerasi industri di Jawa tahun 1976-1995 dengan metode ekonometrika yang menggunakan data panel dan regresi berganda OLS (ordinary least squre). Variabel penelitian yang digunakan adalah Indeks Spesialisasi Industri Manufaktur sebagai variabel dependen. Variabel penjelasnya adalah intensitas sumberdaya, kandungan impor, biaya tenaga kerja, skala ekonomis, orientasi ekspor, investasi asing langsung, indeks persaingan, umur, dan pendapatan per kapita. Wahyudin (2004) meneliti lokasi dan konsentrasi spasial industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekpor pada tingkat kabupaten/kota. Penelitian tersebut menggunakan analisis statistik deskriptif, indeks entropi theil guna mengamati konsentrasi dan dispersi. Hamzah (1997) meneliti pergerakan faktor produksi pada aglomerasi industri dengan model Cobb-Douglas yang menunjukkan bahwa perpindahan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, investasi, dan inovasi mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. Sedangkan Harmidi (2001) menganalisis aglomerasi
44 industri manufaktur besar dan sedang di DKI Jakarta menggunakan model linier OLS dan panel data Tahun 1975-1998. Tabel 3. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Analisis Input-Output No.
Peneliti
Model
Implikasi Wilayah-wilayah industri yang beraglomerasi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup besar dibandingkan wilayah lain Industri yang beraglomerasi mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang cukup besar dibandingkan wilayah lain Wilayah yang lebih besar kekuatan aglomerasinya mempunyai indeks aglomerasi yang lebih dibandingkan daerah lain Wilayah dalam klaster mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang lebih besar dibandingkan wilayah lain
1.
Okamoto (2004a)
Multi-regional Input-output untuk China (CMRIO) untuk analisa aglomerasi dan keterkaitan intra dan inter regional China
2.
Okamoto (2004b)
Tabel Input-Output untuk analisis aglomerasi dan daya saing industri di Malaysia
3.
Kuncoro (2005)
Tabel Input-Output untuk masing-masing daerah yang diperbandingkan eksternalitas aglomerasinya
4.
Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota (2005)
Tabel Input-Output dipergunakan untuk menganalisis peran dan keterkaitan klaster industri
Penelitian aglomerasi menggunakan metode input-output dilakukan oleh. Okamoto (2004a) dan Okamoto (2004b). Okamoto (2004a) mengalisis aglomerasi industri di China guna melihat keterkaitan intra dan inter regional (lihat Tabel 3). Sedangkan Okamoto (2004b) mengunakan model input-output untuk menganalisis aglomerasi dan daya saing internasional produk industri Malaysia. Indikator yang digunakan Okamoto (2004a) dalam menganalisis aglomerasi adalah besarnya keterkaitan setiap industri. Industri yang mempunyai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang besar akan cenderung beraglomerasi. Penelitian klaster industri dilakukan oleh Humphrey Institute of Public Affairs University of Minnesota (2005) di Negara Bagian Minnesota. Penelitian tersebut
menggunakan pendekatan Markusen (1996) dalam menganalisis pola
45 klasternya, sedangkan keterkaitan klaster indutri menggunakan input-output dan jaringan klaster dalam pembangunan ekonomi menggunakan pendekatan Porter (1998). Beberapa peneliti aglomerasi yang menggunakan sejumlah indeks adalah Ellison and Glaeser (1999); Lafourcade and Mion (2003). Adapun indeks-indeks yang digunakan antara lain Indeks Gini Lokasional, Indeks Ellison dan Glaeser, dan Location Quotient (lihat Tabel 4). Tabel 4. Contoh Penelitian Aglomerasi yang Menggunakan Indeks No.
Peneliti
Indeks
1.
Ellison and Glaeser (1999)
Indeks Gini Lokasional, Indeks Ellison dan Glaeser
2.
Lafourcade and Mion (2003)
Location Quotient (LQ)
Implikasi Industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural advantage dan knowledge spillover (disebut juga MarshalArrow-Romer atau MAR eksternalitas). Spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat
46
III. KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Teori 3.1.1. Tabel Input-Output, Perekonomian Wilayah dan Industri Tabel Input-Output (Tabel I-O) telah dikenal sejak pertengahan abad ke-18, khususnya oleh Francois Quesnay
pada tahun 1758 dengan Tableau
De'economique-nya. Semula Quesnay hanya mengkonstruksi model makro ekonomi I-O khususnya antara petani dan buruh (farmers and laborers), tuan tanah (landowners) dan pihak lainnya (others, sterile class). Leon Walras pada tahun 1877 dengan general equilibrium membuatnya menjadi lebih terinci melalui pemisahan sektor yang lebih baik dan jelas. Perkembangan Tabel Input-Output menuju bentuk yang mendasari Tabel Input-Output modern adalah Tabel I-O yang dikembangkan oleh Leontief pada tahun 1947. Tujuan Leontief mengembangkan Tabel I-O adalah untuk menjelaskan besarnya arus interindustri dalam hal tingkat produksi dalam tiap-tiap sektor. Saat ini, analisis I-O telah berkembang luas menjadi model analisis standar untuk melihat struktur keterkaitan perekonomian nasional, wilayah dan antar wilayah, serta dimanfaatkan untuk berbagai peramalan perkembangan struktur perekonomian. Menurut Nicholson (2001), model keseimbangan umum dari Walras menjelaskan adanya dua lembaga ekonomi yaitu rumah tangga dan perusahaan. Di antara kedua lembaga tersebut terjadi, penawaran barang-barang jadi (final good) dari perusahaan dan permintaan terhadap barang-barang jadi oleh rumahtangga, tetapi secara bersamaan terjadi permintaan terhadap faktor-faktor produksi dari perusahaan terhadap rumah tangga. Apabila jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan, maka keseimbangan umum tercapai.
47 Konsep
dasar
Model
Input-Output
Leontief
adalah:
(1)
struktur
perekonomian tersusun dari berbagai sektor atau industri yang satu sama lain berinteraksi melalui transaksi jual beli, (2) output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal dan ekspor, (3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, dan rumah tangga dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, (4) hubungan input-output bersifat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisa selama satu tahun, total input sama dengan total output, dan (6) suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan. Suatu sektor hanya menghasilkan suatu output yang dihasilkan oleh suatu teknologi. Model dasar Tabel Input-Output disajikan pada Tabel 5. Tabel input-output digunakan untuk: (1) memperkirakan dampak permintaan akhir terhadap output, nilai tambah, impor, dan penyerapan tenaga kerja di berbagai sektor produksi, (2) menyusun proyeksi variabel-varibel ekonomi makro, (3) menganalisis perubahan harga, (4) mengetahui sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap pertumbuhan ekonomi dan sektor-sektor yang pengaruhnya paling dominan terhadap pertumbuhan perekonomian nasional, (5) melihat komposisi penyediaan dan penggunaan barang dan jasa, terutama dalam analisis terhadap kebutuhan dan kemungkinan substitusinya, dan (6) melihat konsistensi dan kelemahan berbagai data statistik yang pada gilirannya dapat digunakan sebagai landasan perbaikan, penyempurnaan dan pengembangan lebih lanjut (BPS, 2000). Model input-output juga dapat digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain sebagai: (1) analisis struktural yang melukiskan hubungan permintaan dan penawaran pada tingkat keseimbangan, (2) alat evaluasi pengaruh ekonomi pada investasi masyarakat terhadap perekonomian wilayah dan nasional, (3) alat peramalan dan perencanaan melalui mekanisme tertentu, (4) alat analisis regional
48 dan interregional, (5) analisis dampak antar sektor ekonomi, tenaga kerja, pendapatan, dan lain-lain, (6) analisis kepekaan dan uji kelayakan, (7) bersama-sama dengan metode linear programming dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, dan (8) bersama-sama dengan analisis comparative cost, untuk analisis industrial kompleks dalam suatu rangkaian analisis ekonomi regional (BPS, 2000). Tabel 5. Model Dasar Tabel Input-Output Sektor Input Antara
1 2 … I .. N Input W Primer T S Impor M Total Input
1 X11 X21 … … … Xn1 W1 T1 S1 M1 X1
2 … … … … … … … … …
… … … … … … … … … …
J Xij X2j … Xij … Xnj Wj Tj Sj Mj Xj
… … … … … … … … … …
N Xin X2n … … … Xnn Wn Tn Sn Mn Xn
C C1 C2 … Ci … Cn CW CT CS CM C
G G1 G2 … Gi … Gn GW GT GS GM G
I I1 I2 … Ii … In IW IT IS IM I
E E1 E2 … Ei … En EW ET ES E
Total Output X1 X2 … Xi … Xn W T S M X
Keterangan : i,j : Sektor ekonomi, i =1,2,...n, dan j =1,2, ...n Xij : Total output sektor i yang dipergunakan sebagai input sektor j : Total ouput sektor i, X j total input sektor j, untuk sektor yang sama Xi (i=j) , total output sama dengan total input (Xi= Xj). : Pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap output sektor i Ci Gi : Pengeluaran pemerintah yaitu belanja rutin dan pembangunan terhadap output sektor i. Ii : Pengeluaran pembentukan modal tetap netto (investasi) dari output sektor i, output i, ouput sektor i yang menjadi barang modal. Ei : Ekspor barang dan jasa sektor i, output sektor i yang disekpor/ dijual ke luar wilayah, permintaan wilayah eksternal terhadap output sektor i. Yi : Total permintaan akhir terhadap output sektor i (Yi=Ci+Gi+Ii+E i) Wj : Balas jasa rumah tangga yaitu upah dan gaji dari sektor j, nilai tambah sektor j yang dialokasikan sebagai upah dan gaji anggota rumah tangga yang bekerja di sektor j. Tj : Pendapatan pemerintah yaitu pajak dari sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi pendapatan asli daerah dari sektor j. Sj : Surplus usaha sektor j, nilai tambah sektor j yang menjadi surplus usaha : Impor sektor j, komponen input produksi sektor j yang diperoleh/ dibeli Mj dari luar wilayah.
49 Secara sederhana, tabel input output pada Tabel 5 terdiri dari : pemintaan antara, permintaan akhir, input antara, input primer, total input dan total output. Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa pada sektor 1, output sebesar X1 dialokasikan sebesar X11, X21, X31 dan X14 berturut-turut kepada sektor 1, 2, 3 dan 4, sebagai permintaan antara, serta Fi yaitu konsumsi rumahtangga, pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor, untuk memenuhi permintaan akhir. Alokasi output secara keseluruhan dapat dirumuskan ke dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut :
X 11 + X 12 + X 13 + F1 = X 1 X 21 + X 22 + X 23 + F2 = X 2 X 31 + X 32 + X 33 + F3 = X 3 Persamaan diatas selanjutnya ditulis kembali sebagai berikut :
a11 X 1 + a12 X 1 + a13 X 1 + F1 = X 1 a 21 X 2 + a 22 X 2 + a13 X 2 + F2 = X 2 a 31 X 3 + a32 X 3 + a 33 X 3 + 33 = X 3 Dimana aij = X ij / X j dan menyatakan koefisien (teknik) secara langsung. Dalam
bentuk matriks persamaan dapat dinyatakan sebagai berikut : AX + F = X
(3.1)
Dimana : [ α ij ] merupakan matriks koefisien, X menyatakan matriks total dan F menyatakan matriks permintaan akhir. Persamaan 3.1 dapat dinyatakan sebagai berikut : X = ( I − A) −1 .F
(3.2)
Tabel input-output sederhana dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu kuadran I, II, III dan IV. Menurut Bendavid (1991), pembagian tabel input-output ke dalam empat kuadran tersebut sangat penting untuk memahami ketergantungan ekonomi dan gambaran holistik masing-masing sektor.
50 Kuadran Antara (kuadran I) atau intermediate quadrant disebut juga kuadran interindustri atau kuadran prosesing, yaitu suatu matriks dalam tabel input-output yang menunjukkan transaksi antar sektor produksi atau industri dalam perekonomian. Menurut Bendavid (1991), analisis input output berbeda dengan perhitungan sosial, dimana pendapatan dan nilai tambah sudah dalam permintaan akhir (final demand). Kuadran ini merupakan sumber yang membedakan antara sistem perhitungan sosial (misalnya pendapatan dan pengeluaran) nasional atau regional dengan perhitungan sosial lainnya, karena transaksi antara yang menyebabkan timbulnya perhitungan ganda terhadap nilai output transaksi. Analisis keterkaitan antar sektor atau ketergantungan ekonomi bertitik tolak dari kuadran ini sehingga kuadran ini menjadi suatu bagian terpenting dalam model input-output. Dari kuadran ini pula akan dapat disusun matriks koefisien input yang merupakan dasar analisis linkages, yaitu perbandingan antara penggunaan input antara dengan nilai output dari sektor yang bersangkutan atau dengan kata lain kuadran antara (kuadran I) memiliki peranan penting karena kuadran inilah yang menunjukkan antara sektor ekonomi dalam melakukan proses produksinya. Kuadran antara menunjukkan keterkaitan antar sektor perekonomian. Keterkaitan ini penting untuk melihat perubahan output suatu sektor terhadap pendapatan, ketenagakerjaan dan output sektor-sektor lainnya. Kuadran pemintaan akhir (kuadran II) atau final demand quadrant menunjukkan penjualan barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor-sektor perekonomian untuk memenuhi permintaan akhir. Isian sel pada kuadran II ada dua jenis, yaitu: (1) transaksi permintaan akhir, dan (2) komponen penyediaan pada masing-masing sektor produksi. Permintaan akhir terdiri dari enam komponen, yaitu pengeluaran
konsumsi
rumahtangga,
pengeluaran
konsumsi
pemerintah,
pembentukan modal tetap bruto, perubahan stok, ekspor barang dan ekspor jasa.
51 Jumlah permintaan merupakan jumlah permintaan antara ditambah dengan jumlah permintaan akhir. Isian sepanjang baris pada kuadran II memperlihatkan komposisi permintaan akhir terhadap suatu sektor produksi dan bagaimana komposisi penyediaannya. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan distribusi masing-masing komponen permintaan akhir dan penyediaan menurut sektor. Secara umum komponen permintaan akhir yang terdiri dari pengeluaran rumahtangga, pengeluaran pemerintah, pembentukan modal, perubahan stok, dan ekspor merupakan sisi pengeluaran dalam sistem perhitungan nasional atau merupakan komponen perhitugan gross domestic regional product dari sisi pengeluaran. Kuadran input primer (kuadran III) atau primary input quadrant disebut juga dengan kuadran nilai tambah yang menunjukkan pembelian input yang dihasilkan diluar sistem produksi oleh sektor-sektor dalam kuadran antara. Isian kuadran III terdiri dari sel-sel nilai tambah bruto atau input primer. Nilai tambah bruto terdiri dari upah dari gaji, surplus usaha/penyusutan, pajak tak langsung dan subsidi. Isian sepanjang baris pada kuadran III menunjukkan distribusi penciptaan masing-masing komponen nilai tambah bruto menurut sektor. Sedangkan isian sepanjang kolom menunjukkan komposisi penciptaan nilai tambah bruto oleh masing-masing sektor menurut komponennya. Dalam banyak analisis, nilai tambah bruto yang dihasilkan oleh masingmasing sektor pada umumnya dikonversikan ke produk domestik regional bruto. Untuk keperluan ini maka nilai tambah bruto sektor perdagangan terlebih dahulu harus ditambah pajak penjualan impor dan bea masuk. Di samping melalui nilai tambah bruto, dapat juga diturunkan dari permintaan akhir, yaitu jumlah seluruh permintaan akhir dikurangi dengan impor barang dan impor jasa.
52 Kuadran input primer permintaan akhir (kuadran IV) atau kuadran input primer permintaan akhir menunjukkan transaksi langsung antara kuadran input primer dan permintaan akhir tanpa melalui sistem produksi atau kuadran antara. Umumnya kuadran IV ini jarang terdapat dalam tabel input-output. Tabel transaksi menggambarkan tentang arus (flow) komoditi barang dan jasa yang dinyatakan dalam nilai uang diantara sektor-sektor dalam satuan waktu dan sistem ekonomi tertentu. Penjualan dan pembelian diantara sektor ekonomi diproyeksikan dalam suatu matriks yang terdiri dari baris dan kolom, pada suatu sektor tertentu ke sektorsektor lainnya serta kepada konsumen akhir, seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Pembelian sektor tertentu terhadap output sektor lainnya serta pembelian faktor-faktor produksi primer (nilai tambah bruto didistribusikan menurut kolom). Sedangkan isian angka menurut baris memperlihatkan bagaimana output suatu sektor dialokasikan unruk memenuhi permintaan antara dan permintaan akhir. Isian angka menurut kolom menunjukkan permintaan input antara maupun input primer yang disediakan oleh input-input lain untuk melaksanakan proses produksi. Menurut Kuncoro (2004b), analisis tabel input-output dapat dipergunakan untuk mengukur struktur dan perilaku industri. Untuk mengetahui struktur industri digunakan analisis keterkaitan antarsektor ke depan dan ke belakang dan analisis konsentrasi industri. Perilaku industri dipergunakan analisis
angka pengganda
output, pendapatan dan tenaga kerja. Analisis perilaku (conduct) merupakan salah satu elemen dasar analisis klasik yang dikenal pada ekonomi industri. Perilaku perusahaan-perusahaan dalam suatu industri tidak pernah lepas dari struktur industri dan pasar yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan. Menurut Miller and Blair (1985), ada tiga angka pengganda yang dipergunakan untuk mengestimasi efek dari perubahan eksogen guna mengukur perilaku industri, yaitu :
53
Output Multiplier (Efek Pengganda Output)
Rumus efek pengganda output adalah sebagai berikut : n
O j = ∑α ij
(3.3)
i =1
dimana : i
= nomor baris
j
= nomor kolom
Oj
= efek pengganda sektor j
α
= elemen dalam matriks Leontief invers
Income Multiplier (Efek Pengganda Pendapatan)
Rumus efek pengganda pendapatan adalah sebagai berikut : n
H j = ∑ a n =1...iα ij
(3.4)
i =1
dimana : Hj
= efek pengganda pendapatan
a
= koefisien pendapatan
α
= elemen dalam matriks Leontief invers
Employment multipler (Efek pengganda tenaga kerja) n
E j = ∑ Wn +1α ij
(3.5)
i =1
dimana: Eij
= efek pengganda tenaga kerja
w
= koefisien tenaga kerja
α
= elemen dalam matriks Leontief invers
Rasmussen
(1956)
mengukur
keterkaitan
antarsektor
berdasarkan
penjumlahan kolom (atau baris) pada matrix invers Leontief, (I–A)-1. Keterkaitan ke
54 belakang dan keterkaitan ke depan menurut metode ini masing-masing diukur dengan cara : n
BLRj = ∑ g ij
(3.6)
i =1
dan, n
FLRj = ∑gij
(3.7)
j =1
Di mana BLRj dan FLRj berturut-turut menunjukkan ukuran keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan untuk metode Rasmussen, sedangkan g uj adalah elemen pada matriks invers Leontief, (I–A)-1. Oleh karena model Rasmussen menggunakan matriks invers Leontief, maka ukuran keterkaitan antarsektor yang diperoleh bisa dikatakan merupakan ukuran keterkaitan secara tidak langsung, yang menghitung dampak tidak langsung dari suatu sektor dalam perekonomian. Rasmussen (1956) juga memberikan dua jenis ukuran indeks lainnya yang disebut : (1) kemampuan penyebaran (power of dispersion), dan (2) kepekaan penyebaran (sensitivity of dispersion). Dengan dua indeks ini kita bisa melakukan perbandingan besarnya derajad
keterkaitan antarsektor, yang nantinya bisa
ditentukan sektor-sektor mana saja yang dapat dijadikan sebagai sektor kunci atau sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi. n
aj =
∑g i= j
1 n
ij
∑∑ g i
(3.8) ij
j
dan, n
βj= 1 n
∑g i= j
ij
∑∑ g i
j
(3.9) ij
55 Dari persamaan 3.8 dan 3.9, α j menunjukkan indeks daya penyebaran dari sektor j dalam perekonomian, dan β i merupakan indeks derajat kepekaan dari sektor i. Sedangkan g ii adalah elemen matriks invers Leontief, G = (1-A)-1. Invers Leontief dipergunakan untuk multiplier (angka pengganda), baik pengganda output, pendapatan rumah tangga (RT) dan tenaga kerja. Analisis keterkaitan dipergunakan untuk mengukur keterkaitan antara sektor pertanian dan industri. Salah satu syarat perlu (necessary condition) agar dapat mencapai transformasi struktural dari pertanian ke industri manufaktur adalah adanya keterkaitan sektor pertanian dan sektor industri yang tangguh. Kaitan yang paling sesuai menuju industri yang tangguh adalah pengolahan produk-produk pertanian ke dalam pengembangan sektor agroindustri. 3.1.2. Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial berlokasi pada suatu wilayah tertentu (Fujita et al., 1999). Definisi tersebut melengkapi pandangan Krugman (1991) yang menyatakan bahwa konsentrasi spasial merupakan aspek yang ditekankan dari aktivitas ekonomi secara geografis dan sangat penting penentuan lokasi industri. Krugman (1991) menyatakan bahwa dalam konsentrasi aktivitas ekonomi secara spasial, ada tiga hal yang saling terkait yaitu interaksi antara skala ekonomi, biaya transportasi, dan permintaan. Untuk mendapatkan dan meningkatkan kekuatan skala ekonomis, perusahaan-perusahaan cenderung berkonsentrasi secara spasial dan melayani seluruh pasar dari suatu lokasi. Sedangkan untuk meminimumkan biaya transportasi, perusahaan cenderung berlokasi pada wilayah yang memiliki permintaan lokal yang besar, akan tetapi permintaan lokal yang besar cenderung berlokasi di sekitar terkonsentrasinya aktivitas ekonomi. Selanjutnya, Fujita et al. (1999) menjelaskan
56 bahwa pada dasarnya, pemikiran tentang terjadinya aglomerasi didasari oleh pentingnya hasil yang meningkat akibat skala ekonomi dan biaya transportasi, serta keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan
yang besar merupakan
argumentasi logis yang dapat menjelaskan terjadinya aglomerasi. Menurut Aiginger and Hansberg (2003), konsentrasi spasial merupakan regional share yang menunjukkan distribusi lokasional dari suatu industri.
Sedangkan spesialisasi industri didefinisikan sebagai distribusi share industri dari suatu wilayah. Pada wilayah terspesialisasi, konsentrasi spasial menunjukkan tingkatan aktivitas dan distribusi lokasional dari industri pada wilayah tersebut. Adanya spesialisasi, konsentrasi spesial di industri utama relatif lebih tinggi dari pada konsentrasi spesial di luar industri utama. Dengan demikian, kontribusi industri utama pada suatu wilayah menimbulkan distribusi spasial yang cenderung terkonsentrasi pada suatu wilayah. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri utama akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial. Dasar analisis pada penelitian
ini bersumber pada dua indikator yang
merupakan dasar dalam penyusunan indeks spesialisasi dan konsentrasi spasial seperti yang dikemukakan oleh Kuncoro (2000) yang menggunakan PDRB yaitu: Vi s =
PDRBis PDRBi
(3.10)
dimana : Vi S = pangsa dari PDRB subsektor Agroindustri s di kota atau kabupaten i
terhadap PDRB sektor industri manufaktur kabupaten atau kota i secara keseluruhan. i = kota atau kabupaten di Provinsi Lampung s = subsektor industri/ agroindustri berdasarkan klasifikasi ISIC
57 Berdasarkan pendapat yang dikemukakan Aiginger and Hansberg (2003), kontribusi PDRB subsektor industri manufaktur s di kabupaten atau kota i terhadap PDRB kabupaten secara keseluruhan dapat menunjukkan subsektor industri manufaktur apa yang merupakan spesialisasi sektor dan kabupaten i. PDRBis Vi = PDRBi s
(3.11)
Spesialisasi pada tingkatan yang lebih luas dilambangkan oleh V s yang merupakan pangsa dari PDRB subsektor agroindustri s terhadap PDRB sektor agroindustri Provinsi Lampung secara keseluruhan. V s menunjukkan subsektor agroindustri yang merupakan spesialisasi dari sektor agroindustri. Penggunaan data PDRB dalam menganalisis spesialisasi didasarkan pada penelitian Kuncoro (2000). S iS =
PDRBiS PDRB S
(3.12)
dimana : S iS
= konsentrasi spesial
PDRBiS = PDRB subsektor S di kota/ kabupaten i PDRB S = PDRB subsektor S di seluruh provinsi
Pada sisi lain, Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi dapat didefinisikan sebagai regional pangsa yang menunjukkaan distribusi lokasional dari suatu industri. Konsentrasi spesial yang dilambangkan S iS menunjukkan kontribusi PDRB subsektor s di kota/ kabupaten i terhadap PDRB subsektor s di seluruh Provinsi Lampung. Penggunaan data PDRB pada konsentrasi spasial berdasarkan penelitian yang dilakukan Sjoberg and Sjoholm (2001). Xi =
dimana :
PDRBi PDRB
(3.13)
58 X i = kontribusi kabupaten/ kota i terhadap agroindustri Provinsi Lampung
Perbandingan nilai X i antara daerah i = (1…..n) menunjukkan distribusi lokasional agroindustri di Provinsi Lampung. Salah satu pendekatan yang paling sering digunakan adalah menganalisis spesialisasi daerah adalah Location Quotient (LQ), yang juga disebut Koefisien Hoover-Balassa (Lafourcade and Mion, 2003). Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat (Kuncoro, 2000). LQ =
V iS S iS = VS Xi
(3.14)
dimana : LQ
= Location Quotient atau Koefisien Hoover-Balassa
Vi S
= pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap industri provinsi
VS
= pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
S iS
= kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
Xi
= kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
Apabila V iS > V S atau S iS > X i S iS > X i
maka
LQ < 1 . Nilai
maka
LQ > 1 ; Apabila V iS < V S atau
LQ > 1 , menunjukkan bahwa subsektor s
terspesialisasi secara relatif di wilayah i. Menurut Bendhavid (1991), subsektor s merupakan subsektor unggulan yang layak untuk dikembangkan di wilayah i dan
59 demikian pula sebaliknya apabila LQ < 1 maka subsektor s bukan merupakan subsektor unggulan daerah tersebut. Pada sisi lain, Krugman (1991) menyatakan tentang perbedaan struktur industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spesialisasi wilayah yang dianalisis. Oleh karena itu, dalam menganalisis spesialisasi suatu daerah digunakan indikator yang digunakan oleh Krugman (1991) yaitu Indeks spesialisasi regional atau K SPEC . Kim (1999) menyatakan bahwa nilai yang menjadi ukuran K SPEC berkisar antara nilai nol dan dua. Nilai nol menunjukkan bahwa adanya kesamaan struktur industri antara wilayah yang dianalisis dengan wilayah yang dijadikan benchmark. Nilai dua menunjukkan tidak adanya kesamaan struktur antara wilayah yang dianalisis sehingga masing-masing wilayah yang dinalisis terspesialisasi pada industri unggulan masing-masing. N
S S K SPEC = ∑ V i − V S =1
(3.15)
dimana : K SPEC = indeks spesialisasi regional. Vi S
= pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap agroindustri di tingkat provinsi
VS
= pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
K SPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu
wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark. Dalam konteks Provinsi Lampung, yang menjadi benchmark dalam menganalisis K SPEC pada i adalah struktur agroindustri Provinsi Lampung. K SPEC bernilai dua
60 apabila struktur agroindustri pada wilayah i memiliki tidak memiliki kesamaan dengan struktur agroindustri di Lampung secara keseluruhan. K SPEC bernilai nol apabila persamaan struktur agroindustri daerah i sama dengan struktur agroindustri Lampung secara keseluruhan. K SPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu sampai dengan lebih kecil sama dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih terspesialisasi daripada wilayah lain di Lampung. Pendekatan lain untuk menganalisis konsentrasi spasial adalah Indeks Herfindahl
yang dilambangkan HS yang menunjukkan distribusi lokasi pada
subsektor s di wilayah tertentu. Nilai HS berkisar antara nol dan satu, semakin tinggi HS maka distribusi lokasi semakin tidak merata dan industri manufaktur pada
subsektor S cenderung terkonsentrasi pada wilayah tertentu. H S = ∑ (S Si ) M
2
(3.16)
i =1
dimana : HS = distribusi lokasi pada subsektor s di wilayah tertentu S iS = konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten/ kota i
Ellison and Glaeser (1997) menganalisis konsentrasi spasial dengan menggunakan indeks yang berbasis tenaga kerja : M
(
g EG = ∑ S is− X i i =1
)
2
(3.17)
dimana : g EG = Indikator Gini Lokasional S is = kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap
agroindustri provinsi X i = kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri
provinsi
61 Indikator ini menunjukkan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Indeks yang dikembangkan dari g
EG
telah digunakan oleh Ellison and
Glaeser (1999) untuk menganalisa konsentrasi spasial dari industri manufaktur di Amerika Serikat, berdasarkan analisa yang telah dilakukan berkesimpulan bahwa pada industri yang terspesialisasi, konsentrasi spasial terjadi karena natural advantage dan knowledge spillover (disebut juga Marshal-Arrow-Romer atau MAR
eksternalitas). Akan tetapi sangat sulit untuk mengukur dorongan dari knowledge spillover terhadap konsentrasi spasial. Oleh karena itu, Ellison and Glaeser (1999)
mengemukakan tentang kontribusi natural advantages berdasarkan factor endowment yang secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi
internal perusahaan. Ellison and Glaeser (1999) membangun indikator untuk merefleksikan kontribusi dari natural advantages dan knowledge spillover, yaitu :
γ EG = G1EG− −HHf
f
(3.18)
dimana :
γ EG
= Indeks Ellison dan Glaeser
G EG
= besarnya kekuatan aglomerasi
H
f
= indeks Herfindahl
Indikator tersebut dibangun dari persamaan (3.19) dan (3.20) G EG =
g EG
1 − ∑ (X i) M
2
i =1
dimana : G EG
= besarnya kekuatan aglomerasi
g EG
= indeks konsentrasi spasial
(3.19)
62 = kontribusi kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
Xi
GEG atau yang biasa disebut dengan raw concentration menunjukkan besarnya
kekuatan aglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial dan disusun berdasarkan persamaan (3.17) 2
( )
L
H =∑ Z f =1
(3.20)
S f
H f merupakan firm size Herfindahl yang menunjukkan distribusi tenaga kerja pada
industri, sedangkan Z Sf adalah firm size yang dikalkulasi berdasarkan pangsa tenaga kerja firm terhadap tenaga kerja industri. Lafourcade and Mion (2003) menggunakan H sebagai proxy untuk menggantikan H
f
dengan memakai data
PDRB (salah unsurnya adalah upah tenaga kerja ) dimana : H = ∑ M (S Si ) i =1 M 1
2
(3.21)
H
= Indeks Herfindahl
S iS
= konsentrasi spasial subsektor s di kabupaten/ kota i
Oleh karena itu, dengan mengganti H
f
dengan H maka persamaan (3.18) akan
berubah menjadi:
γ EG =
G EG − H 1− H
(3.22)
dimana :
γ EG
= Indeks Ellison dan Glaeser
G EG
= besarnya kekuatan aglomerasi
H
= Indeks Herfindahl
Berdasarkan pengamatan empiris yang dilakukan oleh Ellison dan Glaeser,
γ EG menunjukkan pengaruh natural advantage dan knowledge spillover terhadap konsentrasi spasial dari industri. Ellison and Glaeser (1997) menyatakan bahwa standar pengukuran dari indeks tersebut berdasarkan beberapa perhitungan empiris
63 adalah: di bawah 0.02 menunjukkan dispersi spasial dan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi yang kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spillover. 3.1.3. Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika
Ada tiga strategi yang dipergunakan dalam menggabungkan model inputoutput dan ekonometrika yaitu (1) embedding, (2) linking, dan (3) coupling. Perbedaan utama ketiga strategi ini terletak pada rezim integrasi dan struktur integrasi tenaga kerja. Rezim integrasi berhubungan dengan sifat dasar dan kuatnya interaksi antara model input-output dan ekonometrika, interaksi antar model dapat berupa sistem persamaan rekursif atau simultan. Struktur integrasi terdiri atas persamaan matematis dan metode solusi optimal yang dipilih. Struktur tersebut dapat bersifat komposit dan modular. Struktur komposit menyatakan bahwa kedua model di dalam sekuensial persamaan linear dan atau non-linear yang kemudian diselesaikan dengan algoritma iterasi yang tepat. Sedangkan struktur modular menunjukkan bahwa suatu model dapat dijalankan sampai konvergen sebagai subsekuensial kemudian berinteraksi dengan sub-sekuensial model yang lain. Integrasi model dengan strategi embedding, didominasi oleh model ekonometrika, sedangkan model input-output hanya bersifat memberikan informasi keterkaitan antar sektor-sektor perekonomian. Akibatnya rezim integrasinya tidak bersifat rekursif dan simultan karena satu model lebih berpengaruh dari model yang lain. Struktur integrasi dari strategi dari strategi embedding ini bersifat komposit. Dalam strategi linking, model input-output tidak terlalu tergantung dengan model ekonometrika. Rezim integrasi dari strategi ini bersifat rekursif karena satu model digunakan sebagai input atau informasi bagi model yang lain secara rekursif (satu arah). Strategi integrasi Model I-O dan Ekonometrika dapat dilihat pada Gambar 4.
64
Sumber : Rey, 1999 Gambar 4. Strategi Integrasi Model I-O dan Ekonometrika Strategi yang terakhir adalah coupling, strategi ini menggambarkan eratnya hubungan dan kuatnya interaksi antara model input-output dan ekonometrika. Model ini memandang satu kesatuan antara model input-output dan ekonometrika, yang dihubungkan oleh permintaan akhir. Strategi integrasi coupling, terdiri dari atas beberapa bagian yang saling tumpah tindih, mirip seperti embedding, sedangkan bagian lain mirip dengan strategi linking. Studi-studi
yang
menggunakan
model
integrasi
input-output
dan
ekonometrika banyak dilakukan di Amerika Serikat. Strategi integrasi embedding digunakan oleh Glemon and Lane (1990) untuk Kentucky. Strategi integrasi linking digunakan oleh King et al. (1977) untuk Ohio. Sedangkan strategi integrasi coupling digunakan oleh Conway Jr. (1990) untuk Washington dan Israilevich et al. (1996) untuk Chicago.
65 3.2. Kerangka Pemikiran 3.2.1. Peran Agroindustri dalam Perekonomian Wilayah Provinsi Lampung
Agroindustri merupakan pengolahan produk berbasis pertanian. Agroindustri terdiri dari agroindustri hulu (upstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang menghasilkan sarana produksi pertanian, dan agroindustri hilir (downstream agrobusiness) yaitu subsektor industri yang mengolah hasil-hasil pertanian. Agroindustri merupakan merupakan subsistem agribisnis yang berperan untuk meningkatkan nilai tambah subsistem produksi pertanian. Agroindustri merupakan salah satu sektor yang berpotensi menjadi leading sector dalam perekonomian nasional atau regional. Indikator suatu sektor menjadi leading sector antara lain memiliki pangsa yang besar dalam perekonomian secara keseluruhan, pertumbuhan dan nilai tambah yang relatif tinggi; dan memiliki keterkaitan ke depan dan ke belakang (forward and backward linkages) yang cukup besar. Pada tahun 2005, agroindustri di Provinsi Lampung memberikan kontribusi terhadap total output sebesar 28%, sementara sektor pertanian berkontribusi sebesar 27%. Agroindustri mempunyai keterkaitan ke belakang (hulu) sangat besar karena menggunakan input dari bahan baku sektor pertanian. Sektor pertanian di Provinsi Lampung merupakan sektor yang berkontribusi besar setelah sektor agroindustri. Agroindustri mempunyai keterkaitan ke depan (hilir) besar karena outputnya dipergunakan sebagai input industri atau sektor lain.
Keterkaitan industri
merupakan salah satu proses yang mendorong terjadinya aglomerasi. Aglomerasi agroindustri di Provinsi Lampung terjadi karena posisi wilayah provinsi dekat dengan kawasan megapolitan Jabotabek dan adanya ekspor langsung ke pasar internasional melalui Pelabuhan Panjang dan pelabuhan khusus yang
66 dibangun oleh industri. Selain industri berorientasi ekspor, juga berkembang industri berbasis bahan baku yang tersebar di wilayah sentra produksi pertanian. Selain keterkaitan, agroindustri juga memberikan dampak pengganda bagi output sektoral, pendapatan rumah tangga sektoral, dan kesempatan kerja sektoral. Angka pengganda output menghitung output total yang tercipta dari satu unit uang permintaan akhir. Karena output sektor-sektor agroindustri yang paling besar, maka keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung menjadi lebih besar dibandingkan sektor lain. 3.2.2. Konsentrasi Spasial, Klaster dan Kekuatan Aglomerasi
Konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi secara spasial yang berlokasi pada suatu wilayah tertentu. Klaster adalah konsentrasi spasial dari industri-industri yang sama atau sejenis. Aglomerasi merupakan berkumpulnya atau terkonsentrasinya suatu kegiatan ekonomi pada suatu wilayah atau area tertentu yang memberikan manfaat bagi kegiatan sektor ekonomi. Aglomerasi
merupakan
suatu
proses
yang
menyebabkan
industri
berkonsentrasi secara spasial. Suatu industri yang terpesialisasi atau industri utama (share besar) akan cenderung terkonsentrasi pada wilayah secara spasial. Agroindustri di Provinsi Lampung merupakan sektor utama atau industri yang terspesialisasi sehingga cenderung terkonsentrasi secara spasial Aglomerasi menimbulkan manfaat bagi pembangunan wilayah yaitu pergerakan barang, pergerakan sumberdaya manusia, dan kemudahan informasi. Pada beberapa industri yang lokasinya berdekatan, commuting cost untuk memudahkan pergerakan barang di antara industri tersebut menjadi lebih murah. Pasar tenaga kerja menjadi lebih besar di kawasan industri yang teraglomerasi, informasi mengenai ketenagakerjaan menjadi lebih banyak, sedangkan biaya lain yang ditimbulkan adalah biaya hidup, commuting, dan biaya lainnya.
67 Kekuatan aglomerasi disebabkan oleh natural advantage dan knowledge spillover. Natural advantage bagi sektor agoindustri di Provinsi Lampung didukung ketersediaan bahan baku dan sarana infrastruktur penunjang. Sedangkan faktor knowledge spillover ditunjang oleh semakin meningkatnya derajat pendidikan pekerja. 3.2.3. Penghematan Akibat Aglomerasi di Sektor Agroindustri
Aglomerasi muncul karena para pelaku ekonomi berupaya mendapatkan penghematan aglomerasi (agglomeration economies), baik karena penghematan lokasi maupun penghematan urbanisasi, dengan mengambil lokasi yang saling berdekatan satu sama lain. Penghematan aglomerasi merupakan fungsi dari sejumlah barang-barang kapital, skala ekonomi, bahan baku, upah tenaga kerja dan jumlah pekerja. Interaksi dalam aglomerasi industri mencerminkan adanya sistem interaksi antara pelaku ekonomi, antar perusahaan dalam industri yang sama, antar perusahaan dalam industri yang berbeda, ataupun antar individu, perusahaan dan rumah tangga. Faktor-faktor yang menentukan ouput agroindustri di Provinsi Lampung
yang
beraglomerasi (agglomeration economies) adalah kapital, bahan baku, upah tenaga kerja, energi, penghematan akibat lokasi, dan penghematan akibat urbanisasi. Penghematan akibat lokalisasi terjadi jika biaya produksi dari perusahaan secara individu menurun sebagai akibat dari meningkatnya jumlah output dari wilayah perkotaan. Salah satu alasan mengapa penghematan akibat lokalisasi akan meningkatkan produktivitas karena alasan tenaga kerja, di mana pada daerah industri tertentu, tenaga dengan keahlian yang dibutuhkan oleh industri tersebut berkumpul dan memudahkan industri dalam mencari tenaga kerja sesuai kebutuhan sehingga menurunkan biaya pencarian.
68 Penghematan akibat urbanisasi merupakan keuntungan-keuntungan yang bcrsifal eksternal bagi industri, terutama dirasakan di daerah perkotaan. Aglomerasi yang bersifat penghematan akibat urbanisasi akan mempengaruhi aktifitas ekonomi wilayah perkotaan/metropolitan karena pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja (kepadatan penduduk) mencerminkan pertumbuhan ekonomi daerah. Masuknya unsur penghematan akibat aglomerasi ke dalam fungsi produksi menyebabkan terjadinya kenaikan penggunaan input. Akibatnya, output akan terdorong naik dengan derajat yang lebih tinggi dibanding kenaikan input itu sendiri, sehingga penghematan akibat aglomerasi akan membawa dampak positif bagi perekonomian wilayah. 3.2.4. Dampak Kebijakan Ekonomi di Sektor Agroindustri terhadap Perekonomian Wilayah
Guna mewujudkan struktur
perekonomian yang seimbang, kebijakan
ekonomi di sektor agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama perekonomian, persyaratan yang harus dipenuhi adalah: berlokasi di pedesaan, terintegrasi vertikal ke bawah, mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri lainnya, dan padat tenaga kerja. Sesuai dengan permasalahan mendesak yang dihadapi, serta terbatasnya kemampuan sumberdaya pemerintah, maka kebijakan ekonomi di sektor agroindustri sejalan dengan fokus utama kebijakan pengembangan industri. Kebijakan ekonomi tersebut ditetapkan pada sub-sektor yang memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) memenuhi kebutuhan dasar dalam negeri (seperti makanan-minuman dan obat-obatan), (3) mengolah hasil
69 pertanian dalam arti luas (termasuk perikanan) dan sumber-sumber daya alam lain dalam negeri, dan (5) memiliki potensi pengembangan ekspor. Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi, baik peningkatan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi maupun peningkatan ekspor akan meningkatkan output sektor agroindustri. Pendapatan regional yang dimodifikasi dari rumus Keyness merupakan penjumlahan konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih antara ekspor dan impor. Dalam analisis input-output, ada tiga hal yang berpengaruh terhadap output atau pertumbuhan ekonomi yaitu investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor. Pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) merupakan pembelian barang dan jasa yang merupakan injeksi terhadap perekonomian wilayah. Pengeluaran pemerintah dalam pengembangan agroindustri berupa program pengembangan produktivitas agroindustri, penyediaan infrastruktur dan pengembangan kawasan. Investasi
agroindustri
diperlukan
untuk
meningkatkan
stok
kapital
guna
meningkatkan kapasitas produksi. Peningkatan investasi dilakukan melalui penambahan pabrik agroindustri dan peningkatan kapasitas produksi. Peningkatan ekspor di Provinsi Lampung akan dapat meningkatkan pertumbuhan regional karena sebagian besar produk agroindustri berorientasi ekspor. Kebijakan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor ditujukan untuk meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam peningkatan output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja. Dampak kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri melalui keterkaitan antarsektor akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik tenaga kerja sektor agroindustri maupun non sektor agroindustri, serta permintaan terhadap modal yang dipenuhi oleh rumah tangga dan perusahaan. Hal ini akan
70 PEREKONOMIAN WILAYAH
SEKTOR AGROINDUSTRI Kontribusi/ Pangsa Keterkaitan Antarsektor Pengganda
Spasial PENGHEMATAN AGLOMERASI Penghematan Lokalisasi Penghematan Urbanisasi
Industri Beraglomerasi (Klaster)
Industri Tidak Beraglomerasi/ (Klaster)
KEBIJAKAN EKONOMI Pengeluaran Pemerintah Investasi Ekspor
KINERJA MENINGKAT Output Pendapatan Rumah Tangga Kesempatan Kerja
Gambar 5. Kerangka Pemikiran Penelitian
71 berdampak lebih lanjut pada peningkatan pendapatan rumah tangga dan perusahaan. Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda. Keterkaitan
antarsektor
dan
dampak
pengganda
agroindustri
yang
beraglomerasi dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar dari pada keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda sektor lain. Oleh karena itu, kebijakan yang meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam hal output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja sektoral adalah kebijakan gabungan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor ditujukan pada
sektor
agroindustri
yang
beraglomerasi.
Kerangka
pemikiran
yang
menghubungkan peran agroindustri dalam perekonomian wilayah, aglomerasi industri dan dampak kebijakan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 5.
3.3. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, maka disusun hipotesis yaitu : 1. Konstribusi, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar daripada peranan, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda non agroindustri. 2. Terjadi konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri. 3. Faktor-faktor yang menentukan ouput industri yang beraglomerasi adalah kapital, bahan baku, upah tenaga kerja, energi, penghematan akibat lokalisasi (localization economies) dan penghematan akibat urbanisasi (urbanization economies). 4. Kebijakan yang meningkatkan kinerja perekonomian wilayah dalam hal output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja sektoral adalah kebijakan gabungan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi dan peningkatan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi.
72
IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Lampung, yang didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu: (1) Provinsi Lampung memiliki aktivitas agroindustri yang dominan dibandingkan provinsi lain yang ada di Sumatera, sehingga layak menjadi sebuah obyek kajian ekonomi makro regional, (2) Provinsi Lampung merupakan lokasi utama pengembangan klaster agroindustri berdasarkan Kebijakan Pembangunan Industri Nasional 2004-2009, dan (3) Provinsi Lampung telah melaksanakan desentralisasi fiskal sehingga dapat lebih leluasa dalam mengelola kebijakan fiskalnya. 4.2. Jenis, Sumber dan Pengolahan Data
Data yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian adalah data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data utama yang diperlukan dalam penelitian adalah PDRB Kabupaten/ Kota, PDRB Provinsi Lampung, Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000, serta Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi Lampung 1988-2005. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 diperoleh dengan cara meng-update dari Tabel Input-Output Tahun 2000 dengan metode RAS (lihat Lampiran 22). Untuk meng-update Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 ke Tahun 2005 dilakukan dengan mencari data : Total Input Antara, Total Input Primer, Total Output Antara, dan Permintaan Akhir pada tahun 2005. Total Input merupakan penjumlahan Total Input Antara dengan Total Input Primer (Nilai Tambah). Total Output merupakan penjumlahan Total Output Antara dan Permintaan Akhir.
73 Data lain yang digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Departemen Perindustrian, Badan Pusat Statistik, Dinas Koperasi Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Lampung, Bappeda Provinsi Lampung, Dinas Kebudayaan Pariwisata Promosi dan Investasi Provinsi Lampung, asosiasi perusahaan, dinas/instansi tingkat kabupaten/kota, serta berbagai sumber lain yang dianggap relevan dengan tujuan penelitian. Survei terhadap departemen/ dinas/ instansi di samping untuk mengumpulkan data sekunder, juga untuk mengetahui kebijakan/strategi/ program yang berkaitan dengan aglomerasi dan klaster industri. Survei dilakukan pada Bulan November 2006 sampai dengan Juli 2007. Pengolahan data penelitian menggunakan bantuan software Microsoft Office 2003, IO Windows for Practioners 1.0.1 , SAS/ ETS 6.12 dan GRIMP 7.2. 4.3. Analisis Input-Output
Data utama yang diperlukan dalam penelitian analisis Input-Output adalah Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 (dua titik waktu). Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 diperoleh dengan cara mengestimasi data input-output pada tahun 2000, sebagai data perekonomian setelah krisis ekonomi di Indonesia, khususnya di provinsi Lampung. Selain itu, diperlukan data-data lain yang dapat mendukung analisis dan pembahasan penelitian ini. Rancang bangun Tabel Input-Output Provinsi Lampung 2005 memerlukan beberapa jenis data antara lain dari Tabel Input-Output Provinsi Lampung 2000, Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), dan Statistik Keuangan Daerah. Data Tabel I-O Tahun 2000 meliputi : (1) alokasi nilai tambah faktor produksi tenaga kerja dan modal, (2) transaksi antar sektor produksi menurut harga pembelian, (3) ekspor, impor dan investasi, (4) marjin perdagangan dan pengangkutan, dan (5) pajak tidak langsung netto. Data Susenas meliputi : (1) pengeluaran golongan rumah
74 tangga atas komoditas, dan (2) pajak langsung masing-masing golongan rumah tangga, sedangkan Statistik Keuangan Daerah meliputi: (1) penerimaan pemerintah daerah, (2) pengeluaran pemerintah untuk rutin (APBD), (3) pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi, dan (4) pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur sosial. Tabel Input-Output (I-O) Provinsi Lampung Tahun 2000 merupakan tabel dasar untuk penyusunan Tabel Input-Output (I-O) Provinsi Lampung Tahun 2005. Pada prinsipnya Tabel I-O Provinsi Lampung Tahun 2005 yang dibangun disusun dengan struktur sebagai berikut : 1. Kuadran I, yaitu kuadran transaksi antar sektor atau permintaan antara, yang terdiri dari atas 70 sektor. 2. Kuadran II, yaitu kuadran permintaan akhir, yang terdiri dari 5 jenis permintaan, yaitu: (1) konsumsi rumahtangga (C), (2) konsumsi pemerintah (G), (3) pembentukan modal tetap/ investasi (I), (4) perubahan stok (R), dan (5) ekspor (X). 3. Kuadaran III, yang merupakan kuadran nilai tambah atau input primer, terdiri dari : (1) upah dan gaji, (2) surplus usaha, (3) penyusutan, dan (4) pajak tidak langsung. Tabel Input-Ouput tahun 2005 dibangun dengan cara mengagregasi Tabel Input-Ouput Tahun 2000 yang terdiri dari 70 sektor menjadi 26 sektor. Hasil agegasi 26 sektor terdiri dari 12 sektor-sektor agroindustri dan 14 sektor-sektor non agroindustri. Nama dan kode transaksi Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 dan agregasi sektor-sektor pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 disajikan pada Tabel 6.
75 Tabel 6. Nama dan Kode Sektor berdasarkan Agregasi Sektor Tabel Input-Output Provinsi Lampung Nomor Sektor 1 2. 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Sektor Tahun 2000
27 28
Padi Jagung Ubi Kayu Sayur-sayuran Pisang Nanas Buah-buahan lainnya Tanaman bahan makanan lainnya Karet Tebu Kelapa Kelapa Sawit Kopi Cengkeh Kakao Lada Tanaman perkebunan lainnya Tanaman lainnya Peternakan dan hasil-hasilnya Unggas dan hasil-hasilnya Kayu Hasil hutan lainnya Perikanan laut Perikanan darat Udang Penambangan minyak/gas dan panas bumi Penambangan dan penggalian lainnya Industri pengolahan buah/ sayuran
29
Industri pengolahan ikan dan udang
30
Industri pengolahan/ pengawetan makanan lainnya Industri kopra Industri minyak/lemak
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 47
Industri penggilingan padi Industri gula Industri pengupasan biji kopi Industri penggilingan kopi Industri pakan ternak Industri pengupasan/ penggilingan tanaman lainnya Industri makanan lainnya Industri minuman Industri barang karet dan plastik
Agregasi Sektor Tahun 2005 Tanaman Pangan
Kode TPGN
Tanaman Perkebunan
TKBN
Peternakan
PTK
Kehutanan
KHTN
Perikanan
IKAN
Pertambangan dan Penggalian
TBNG
Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi
IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP
Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya
IPKT IMLN
Industri Minuman Industri Pengolahan Karet
IMN IKRT
76 Tabel 6. Lanjutan Nomor Sektor 41 42 43 44 45 46 48 49
Sektor Tahun 2000
50 51 52 53
Industri permintalan dan rajutan Industri tekstil, pakaian dan kulit Industri bambo, kayu dan kulit Industri kertas, barang kertas dan karton Industri pupuk, pestisida dan kimia Industri pengilangan minyak bumi Industri barang mineral bukan logam Industri dasar besi/baja, logam dasar bukan besi Industri mesin, alat/perlengkapan bukan Industri alat angkut dan perbaikannya Industri barang lainnya Listrik, gas dan air minum
54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Bangunan Perdagangan Restoran Hotel Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Jasa penunjang angkutan Komunikasi Bank dan lembaga keuangan lainnya Usaha bangunan dan jasa perusahaan
65 66
Pemerintahan umum dan pertahanan Jasa kesehatan, pendidikan dan jasa pemerintahan lainnya Jasa kesehatan, pendidikan dan jasa swasta lainnya Jasa hiburan, rekreasi dan kebudayaan swasta Jasa perbengkelan, perorangan, dan jasa rumah tangga Kegiatan yang tidak jelas batasannya
67 68 69 70
Agregasi Sektor Tahun 2005 Industri Lainnya
Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran
Kode ILNY
LGA BKST PHR
Transportasi dan Komunikasi
TRKM
Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya
LKJP PTUM JJLN
Sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 diagregrasi berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 dan International Standard of Industrial Clasification (ISIC), yaitu industri pengolahan buah/sayuran, industri pengolahan ikan dan udang, industri pengolahan/ pengawetan makanan lainnya, industri kopra, industri minyak/ lemak,
77 industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri minuman. Uji Perbedaan Kelompok Agroindustri dan Non Agroindustri Mann-Whitney
Uji Mann-Whitney (Mann-Whitney Test) disebut juga Uji U atau Uji Jumlah Peringkat Wilcoxon (Wilcoxon Rank Sum Test). Uji Mann-Whitney merupakan alternatif dari uji-t dua sampel independen. Uji Mann-Whitney berdasarkan jumlah peringkat (rank) data. Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan ranking yang diberikan kepada kelompok agroindustri dan kelompok non agroindustri. Data dari kedua sampel digabungkan dan diberi peringkat dari terkecil hingga terbesar. Bentuk hipotesis untuk Uji Tanda : H 0 : η1 = η 2 H 1 : η1 ≠ η 2
dimana :
η1 = median peringkat pada group 1 (kelompok agroindustri) η 2 = median peringkat pada group 2 (kelompok non agroindustri) Dalam pengujian hipotesis, kriteria untuk menolak dan menerima Ho berdasarkan Pvalue adalah : Jika P-value < α, maka Ho ditolak Jika P-value ≥ α, maka Ho diterima 4.4. Analisis Konsentrasi Spasial dan Kekuatan Aglomerasi 1. Koefisien Hoover-Balassa
Pendekatan yang paling sering digunakan untuk menganalisis spesialisasi daerah adalah Location Quotient (LQ), yang juga disebut Koefisien Hoover-Balassa. Pendekatan ini menyatakan bahwa spesialisasi relatif (agroindustri) pada suatu
78 wilayah terjadi apabila spesialisasi industri pada suatu wilayah lebih besar dari pada spesialisasi industri pada wilayah agregat. LQ =
V iS S iS = VS Xi
(3.14)
dimana : LQ
= Location Quotient atau Koefisien Hoover-Balassa
Vi S
= pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap industri provinsi
VS
= pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
S iS
= konsentrasi spasial industri s di kota/ kabupaten
Xi
= kontribusi kabupaten/ kota i terhadap agroindustri provinsi
Nilai LQ > 1 , menunjukkan bahwa subsektor s terspesialisasi secara relatif di
wilayah i, subsektor s merupakan subsektor unggulan yang layak untuk dikembangkan di wilayah i. Nilai LQ < 1 maka subsektor s bukan merupakan subsektor unggulan daerah tersebut. 2. Indeks Spesialisasi Regional
Indeks Spesialisasi Regional atau
K SPEC
merupakan indeks yang
dipergunakan untuk menganalisis perbedaan struktur industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah menjadi standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spesialisasi wilayah yang dianalisis. Kim (1999) menyatakan bahwa nilai yang menjadi ukuran K SPEC berkisar antara nilai nol dan dua. N
S S K SPEC = ∑ V i − V S =1
dimana :
(3.15)
79 = indeks spesialisasi regional.
K SPEC Vi S
= pangsa subsektor agroindustri s di kabupaten/ kota terhadap agroindustri di tingkat provinsi
VS
= pangsa sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
K SPEC atau indeks spesialisasi regional menunjukkan tingkatan spesialisasi suatu
wilayah bila dengan wilayah lain dengan wilayah bersama sebagai benchmark. Dalam konteks Provinsi Lampung, yang menjadi benchmark dalam menganalisis K SPEC pada i adalah struktur agroindustri Provinsi Lampung. K SPEC bernilai dua
apabila struktur agroindustri pada wilayah i memiliki tidak memiliki kesamaan dengan struktur agroindustri di Lampung secara keseluruhan. K SPEC bernilai nol apabila persamaan struktur agroindustri daerah i sama dengan struktur agroindustri Lampung secara keseluruhan. K SPEC wilayah i bernilai lebih besar daripada satu sampai dengan lebih kecil sama dengan dua menunjukkan bahwa wilayah i lebih terspesialisasi daripada wilayah lain di Lampung. 3. Indeks Gini Lokasional
Indeks Gini Lokasional digunakan untuk menganalisis tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. M
(
g EG = ∑ S is− X i i =1
)
2
(3.17)
dimana : g EG
= Indeks Gini Lokasional
S is
= kontribusi subsektor agroindustri di kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
Xi
= kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap
80 agroindustri provinsi 4. Indeks Kekuatan Aglomerasi
Indeks Kekuatan Aglomerasi atau GEG yang biasa disebut raw concentration menunjukkan besarnya kekuatan aglomerasi yang mendorong konsentrasi spasial. G EG =
g EG
1 − ∑ (X i) M
2
(3.19)
i =1
dimana : G EG
= besarnya kekuatan aglomerasi
g EG
= Indeks Gini Lokasional (konsentrasi spasial)
Xi
= kontribusi sektor agroindustri kabupaten/ kota terhadap agroindustri provinsi
5. Indeks Ellison-Glaeser atau Pengaruh Aglomerasi
Indeks Ellison-Glaeser diperlukan untuk menganalisis pengaruh natural advantage dan knowledge spillovers terhadap konsentrasi spasial dari industri.
γ EG =
G EG − H 1− H
(3.22)
dimana :
γ EG
= Indeks Ellison-Glaeser
G EG
= besarnya kekuatan aglomerasi
H
= Indeks Herfindahl
Ellison and Glaeser (1997) menyatakan bahwa standar pengukuran dari indeks tersebut berdasarkan beberapa perhitungan empiris : di bawah 0.02 menunjukkan dispersi dan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi yang kedua-duanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spillovers.
81
4.5. Analisis Penghematan Akibat Aglomerasi
Spesifikasi model yang dilakukan merupakan pengembangan model Somik (2004) dan Kanemoto (1996). Model tersebut mengikuti bentuk model yang menguji kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi sesuai model Moomaw (1983), Nakamura (1985) dan Henderson (1995). Model tersebut secara matematis dinyatakan sebagai berikut : ^
Yi = g ( Ai ) X ( K i )
(4.1)
g ( Ai ) = f ( Loc,Urb) ^
X ( K i ) = f(kapital, upah, bahan baku, energi) Dimana Yi adalah output pada industri i, g(Ai) menunjukkan pengaruh eksternal dari sumber-sumber aglomerasi; Loc merupakan ukuran penghematan akibat lokalisasi, sedangkan Urb merupakan ukuran penghematan akibat urbanisasi. ^
X ( K i ) merupakan input industri i, yang terdiri dari kapital, upah (labor), bahan
baku (material) dan energi. Spesifikasi model dalam penelitian ini merupakan fungsi produksi CobbDouglas dalam bentuk linier logaritma yaitu : LnYit = αˆ it + αˆ1 ln localit + αˆ 2 ln urbanit + βˆ1 ln capitalit + βˆ2 ln laborit +
(4.2)
βˆ3 ln materialit + βˆ4 ln energiit + ε it Dimana Yi merupakan output agroindustri industri yang tergantung pada jenis penghematan akibat aglomerasi yang terdiri dari penghematan akibat lokalisasi (lokalt) dan penghematan akibat urbanisasi (urbant). Jenis input produksi terdiri dari kapital, upah, bahan baku, dan energi.
82 Hipotesis yang digunakan adalah menduga bahwa α 1 , α 2 , β 1 , β 2 , β 3 , β 4 adalah positif. Seluruh variabel memiliki efek positif terhadap output industri. Nilai
koefisien tersebut merupakan elastisitas output kapital, elastisitas output labour, elastisitas output material, elastisitas output energi. Metode untuk menganalisis faktor-faktor penentu penghematan aglomerasi adalah uji regresi ols dan panel data untuk berbagai macam agroindustri pada industri besar dan sedang di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005. Variabel terikat yang digunakan adalah output, sedangkan variabel-variabel bebasnya adalah kapital, bahan baku, upah tenaga kerja, energi, penghematan akibat lokasi, dan penghematan akibat urbanisasi. Output produksi (OP) didefinisikan sebagai total nilai output yang dihasilkan oleh kelompok industri atau subsektor agroindustri dalam ribuan rupiah. Kapital (KPT) didefinisikan sebagai taksiran modal yang diperlukan dalam industri, terdiri dari taksiran gedung, mesin dan barang kapital lainnya dalam ribuan rupiah. Bahan Baku (BBK) atau material didefinisikan sebagai total nilai input yang diperlukan oleh kelompok industri dalam ribuan rupiah. Upah Tenaga Kerja (UTK) didefinisikan sebagai total upah tahunan pekerja dalam ribuan rupiah. Energi (ENG) didefinisikan sebagai energi yang dipergunakan dalam proses produksi yang dihitung dari total pembelian listrik dan bahan bakar dalam ribuan rupiah. Penghematan Lokalisasi (PLK) didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja pada sektor agroindustri.
Penggunaan ukuran jiwa pekerja ini sejalan dengan
manfaat spillovers karena lokalisasi ekonomi berasal dari aktivitas di suatu daerah. Penghematan Urbanisasi (PUB) didefinisikan sebagai kepadatan penduduk yang menggambarkan konsentrasi spasial. Penggunaan jiwa penduduk per km persegi sebagai ukuran konsentrasi spasial.
83 OPt
= f (KPT, BBK, UTK, ENG, PAL, PUB)
(4.3)
LnOPt = bo + b1LnKPTt+b2LnBBKt+ b3LnUTKt+b4LnENGt+ b5LnPALt +b6LnPUBt Paramater yang diharapkan : b1, b2, b3, b4, b5, b6 >0 dimana Sektor Agroindustri (berdasarkan ISIC/KLUI) yang dianalisis adalah : 1 = Industri Pengolahan Buah/ Sayuran 2 = Industri Ikan, Daging dan Udang 3 = Industri Tapioka dan Tepung Lain 4 = Industri Kopra/ Kelapa 5 = Industri Minyak/ Lemak 6 = Industri Padi 7 = Industri Gula 8 = Industri Kopi 9 = Industri Pakan Ternak 10 = Industri Makanan Lainnya 11 = Industri Minuman 12 = Industri Pengolahan Karet Kemudian dilakukan perbandingan antara industri yang beraglomerasi dan tidak beraglomerasi, dengan menggunakan persamaan gabungan sektor agroindustri sebagai berikut : OPit = f (KPT, BBK, UTK, ENG, PLK, PUB, DAG)
(4.4)
DAG = Dummy aglomerasi, jika sektor agroindustri beraglomerasi (berklaster) maka dinilai 1 dan yang tidak beraglomerasi dinilai 0. LnOPit=bo+b1LnKPTit+b2LnBBKit+b3LnUTKit+b4LnENGit+b5LnPLKit+ b6LnPUBit+ dAGit Paramater yang diharapkan : b1, b2, b3, b4, b5, b6 , d>0 4.6. Konstruksi Keterkaitan Model Input-Output dan Ekonometrika
Strategi integrasi model input dan ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah linking, dengan tahapan :
84 1. Dalam penelitian ini pendugaan parameter menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Pada dasarnya, setiap persamaan yang terbaik memenuhi tiga kriteria yaitu : (1) ekonomi (tanda dan besaran), (2) statistika (R2, uji statistik F dan uji statistik t), dan (3) ekonometrika (multikolinearitas, heteroskedastis dan autokorelasi). Koefisien diterminasi digunakan untuk melihat kemampuan model dalam menjelaskan perilaku variabel endogen. Untuk mengetahui dan menguji apakah variabel penjelas secara bersama-sama menjelaskan atau tidak terhadap variabel yang dijelaskan digunakan uji statistik F, sedangkan untuk menguji apakah masing-masing variabel penjelas berpengaruh nyata atau tidak terhadap variabel yang diterangkan digunakan uji statistik t. 2. Model OLS juga digunakan untuk menentukan koefisien g ( Ai ) = f ( Loc,Urb) yang mengindikasikan besarnya pengaruh aglomerasi terhadap produktivitas. Masing-masing produktivitas output pada kelompok agroindustri diuji dengan model tersebut. 3. Industri-industri dalam kelompok agroindustri tersebut masuk dalam Tabel I-O yang dibangun pada tahun 2000 dan di-update tahun 2005 (lihat Tabel 7). Tabel 7. Klasifikasi Subyek Agroindustri berdasarkan Tabel I-O dan KBLI No. 1.
Subyek Agroindustri
Tabel Input-output Kode I-O Kode 28
Kode 30
Ekonometrika KBLI Kode 151 Kode 1513 Kode 151 Kode 1512 Kode 153
Kode 31 Kode 32 Kode 33 Kode 34 dan 35 Kode 36 dan 37
Kode 153 Kode 151 Kode 153 Kode 154 Kode 153
4. 5. 6. 7. 8.
Industri Pengolahan Buah/ Sayuran Industri Pengolahan Ikan dan Udang Industri Pengolahan/ Pengawetan Makanan Lainnya Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi
9.
Industri Pakan Ternak
Kode 38
Kode 153
10.
Industri Makanan Lainnya
Kode 39
Kode 154
11.
Industri Minuman
Kode 40
Kode 155
12.
Industri Pengolahan Karet
Kode 47
Kode 251
2 3.
Kode 29
85 4. Masukan dari ekonometrika yang diperlukan dalam Model Input-Output adalah besarnya koefisien, elastisitas produksi, dan tanda positif atau negatif yang menentukan apakah sektor agroindustri beraglomerasi atau tidak, yang digunakan untuk menentukan kisaran permintaan akhir dalam simulasi kebijakan. 5. Masukan dari Model Input-Output adalah besarnya input antara, nilai tambah, dan output pada tahun 2000 dan 2005 yang dibandingkan dengan hasil survei industri besar dan sedang. 4.7. Analisis Simulasi
Analisis dampak digunakan untuk mengetahui dampak perubahan variabel eksogen (injeksi) terhadap neraca eksogen pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005. Tujuan analisis simulasi adalah untuk mengetahui dampak perubahan variabel eksogen (injeksi) pada permintaan akhir terhadap neraca endogen yaitu output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja di Provinsi Lampung. Hasil analisis simulasi dipakai sebagai perumusan implikasi kebijakan (lihat Gambar 6). Dalam Model Input-Output, output memiliki hubungan timbal balik dengan permintaan akhir. Jumlah output yang dapat diproduksi tergantung pada jumlah permintaan akhirnya. Kenaikan output sektoral diikuti secara proporsional oleh kenaikan pendapatan rumah tangga dan jumlah kesempatan atau penyerapan tenaga kerja. 1. Dampak Permintaan Akhir terhadap Output X = ( I − A) −1 F dimana : X
= matriks output
(4.5)
86 ( I − A) −1 = matriks pengganda F
= permintaan akhir
2. Dampak Permintaan Akhir terhadap Pendapatan Rumah Tangga In = τν ( I − A) −1 F
(4.6)
dimana : In
= matriks pendapatan
τ
= matriks pendapatan
ν
= matriks koefisien nilai tambah
3. Dampak Permintaan Akhir terhadap Kesempatan Kerja L = γ ( I − A) −1 F
(4.7)
dimana :
L
= matriks kesempatan kerja
γ
= matriks koefisien tenaga kerja
Simulasi perubahan dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri meliputi : 1. Kebijakan Pengeluaran Pemerintah
S1 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, yang dialokasikan pada sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. S2 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, yang dialokasikan pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional. S3 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, yang dialokasikan pada pembangunan infrastruktur. Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan pengeluaran pemerintah terhadap perubahan output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja sektoral.
87
INDEKS KONSENTRASI SPASIAL
TABEL I-O TAHUN 2000
Updating Data Pemetaan Agroindustri
KLASTER INDUSTRI & BESARNYA Survei Industri
PENGHEMATA N AKIBAT AGLOMERASI
TABEL I-O TAHUN 2005
AGREGASI 12 SEKTOR AGROINDUSTRI
PENGGAN DA
KETERKAIT AN
SIMULASI DAN ANALISIS KEBIJAKAN
IMPLIKASI KEBIJAKAN
Gambar 6. Kerangka Operasional Penelitian
88 2. Kebijakan Investasi
S4 : simulasi peningkatan investasi 20%, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. S5 : simulasi peningkatan investasi 20%, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional. Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan investasi terhadap perubahan output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja sektor agroindustri yang beraglomerasi dan yang tidak beraglomerasi. 3. Kebijakan Ekspor
S6 : simulasi peningkatan ekspor 25%, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. S7 : simulasi peningkatan ekspor 25%, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional. Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan ekspor terhadap perubahan output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja. 4. Kebijakan Tunggal Komparasi
S8 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah
sebesar
25% yang
dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional. S9 : simulasi peningkatan investasi sebesar ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional. S10 : simulasi peningkatan ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional. Tujuan: Untuk mengetahui dampak kebijakan tunggal pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor (besar perubahan yang sama) terhadap perubahan output, pendapatan rumah tangga dan kesempatan kerja.
89 5. Kebijakan Gabungan
S11 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, investasi 20%, dan ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. S12 : simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah 30% , investasi 20%, dan ekspor 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional. S13 : simulasi gabungan peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, investasi 20%, dan ekspor 25% yang dialokasikan pada tiga sektor agroindustri penyumbang output dan beraglomerasi terbesar secara proporsional. S14 : simulasi gabungan peningkatan pengeluaran pemerintah 30%, investasi 20%, dan ekspor 25% yang dialokasikan pada tiga sektor agroindustri yang merupakan penyerap tenaga kerja dan beraglomerasi terbesar secara proporsional. Tujuan : Untuk mengetahui dampak kebijakan gabungan pemerintah, investasi dan ekspor
terhadap perubahan
output,
pengeluaran pendapatan
rumah tangga dan kesempatan kerja Besaran angka pengeluaran pemerintah 30%, investasi 20% dan ekspor 25% di Provinsi Lampung merupakan rata-rata kenaikan pengeluaran pemerintah kabupaten/kota
dan
provinsi
dalam
program
pengembangan
agroindustri,
pertumbuhan investasi industri PMA/PMDN, dan peningkatan ekspor agroindustri selama tahun 2001-2005. Simulasi peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor 25% pada kebijakan tunggal komparasi merupakan besaran rata-rata peningkatan
pengeluaran pemerintah 30%, pertambahan investasi 20%, dan
peningkatan ekspor 25%.
90
V. KETERKAITAN AGROINDUSTRI DALAM PEREKONOMIAN WILAYAH PROVINSI LAMPUNG 5.1. Kontribusi Agroindustri dalam Perekonomian di Provinsi Lampung
Kontribusi agroindustri dalam perekonomian wilayah di Provinsi Lampung dilihat dari struktur output dan nilai tambah bruto (value added). Kedua nilai tersebut merupakan indikator makro yang menunjukkan besarnya sektor unggulan daerah secara makro. 5.1.1. Struktur Output
Output merupakan nilai produksi (baik barang ataupun jasa) yang dihasilkan oleh sektor-sektor ekonomi di Provinsi Lampung. Dengan menelaah besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor, berarti akan diketahui sektor-sektor yang mampu memberikan sumbangan besar dalam pembentukan output secara keseluruhan di Provinsi Lampung. Berdasarkan klasifikasi sektor ekonomi, terlihat bahwa sektor agroindustri merupakan sektor terbesar menurut peringkat outputnya. Output sektor agroindustri tersebut memberikan andil sebesar Rp 21 766 835 juta atau 27.93%, diikuti sektor perdagangan sebesar Rp 10 693 953 juta atau 13.72%, dan sektor pertanian tanaman pangan sebesar Rp 9 999 424 juta atau 12.83%. Sektor bangunan dan konstruksi menduduki peringkat ke 4 dengan kontribusi sebesar Rp 6 021 228 juta atau 7.48%. Jika dilakukan perbandingan antarsektor agroindustri pada tahun 2000 dan tahun 2005, peringkat pertama pada tahun 2000 adalah industri padi sebesar Rp 3 301 974 juta atau 7.85%, peringkat kedua industri makanan lainnya sebesar Rp 2 744 860 juta atau 6.53%, sedangkan peringkat ketiga adalah industri kopi sebesar Rp 1 715 973 juta atau 4.08% (lihat Lampiran 3). Pada tahun 2005, peringkat pertama adalah industri makanan lainnya sebesar Rp 3 784 981 juta atau
91 4.86%, peringkat kedua adalah industri gula sebesar Rp 3 348 117 juta atau 4.30%, sedangkan peringkat ketiga adalah industri tapioka dan tepung lain sebesar Rp 2 868 404 juta atau 3.68%. Tabel 8. Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 No .
Kode Sektor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12
IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT
Nilai Tahun 2000 (Rp juta) 786 890 1 309 108 949 206 271 063 723 487 3 301 974 1 166 162 1 715 973 925 555 2 744 860 58 321 334 287
Pangsa Pering Total -kat Output (%) 1.8699 8 3.1109 4 2.2556 6 0.6441 11 1.7192 9 7.8467 1 2.7712 5 4.0778 3 2.1994 7 6.5228 2 0.1385 12 0.7944 10
Nilai Tahun 2005 (Rp juta) 1 150 181 2 380 795 2 868404 413 558 1 208 335 2 163 021 3 348 117 2 060 497 1 343 493 3 784 981 95 832 949 621
Pangsa Total Output (%) 1.4756 3.0544 3.6799 0.5306 1.5502 2.7750 4.2954 2.6435 1.7236 4.8558 0.1229 1.2183
Pering -kat 9 4 3 11 8 5 2 6 7 1 12 10
5.1.2. Struktur Nilai Tambah Bruto
Nilai tambah bruto adalah balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Dalam Tabel Input-Output, nilai tambah ini dirinci menurut upah dan gaji, surplus usaha (sewa, bunga dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak langsung neto. Besarnya nilai tambah pada tiap-tiap sektor ditentukan oleh besamya output (nilai produksi) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Oleh sebab itu, sektor yang memiliki output besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar, tergantung dari biaya produksi yang dikeluarkan. Berdasarkan klasifikasi 26 sektor ekonomi Provinsi Lampung, terlihat bahwa sektor yang memberikan kontribusi terbesar dalam perekonomian Provinsi Lampung adalah sektor pertanian tanaman pangan sebesar Rp 7 875 793 juta atau 19.35%,
92
sektor perdagangan sebesar Rp 6 781 912 juta atau 16.67%, dan tanaman perkebunan sebesar Rp 4 693 007 juta atau 11.53%. Pada sektor-sektor agroindustri, kontribusi nilai tambah terbesar dihasilkan oleh industri gula sebesar Rp 881 594 juta atau 2.17%, industri tapioka dan tepung lainnya sebesar Rp 656 005 juta atau 1.61%, sedangkan industri makanan lainnya sebesar Rp 241 378 juta atau 0.59%. 5.2. Keterkaitan Antarsektor Agroindustri dengan Sektor Ekonomi Lainnya 5.2.1. Keterkaitan Antarsektor ke Belakang
Keterkaitan antarsektor ke belakang menunjukkan seberapa besar input yang digunakan oleh suatu sektor dari output sektor lain akibat peningkatan satu satuan permintaan akhir sektor tersebut. Analisis keterkaitan, baik keterkaitan ke depan maupun keterkaitan ke belakang digunakan untuk mengetahui struktur agroindustri. Berdasarkan hasil analisis keterkaitan ke belakang dengan klasifikasi 26 sektor, terlihat bahwa sektor agroindustri di Provinsi Lampung mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar dibandingkan sektor-sektor ekonomi yang lain (lihat Lampiran 10). Sektor-sektor non agroindustri yang mempunyai keterkaitan ke belakang yang besar pada tahun 2005 adalah industri lainnya sebesar 1.0694 untuk keterkaitan langsung dan sebesar 1.1175 untuk keterkaitan langsung dan tak langsung (total), keterkaitan langsung sektor listrik, gas dan air sebesar 1.0718 dan keterkaitan total sebesar 1.0912, sedangkan keterkaitan langsung sektor bangunan dan konstruksi sebesar 0.9101 dan keterkaitan total sebesar 1.1901. Pada tahun 2005, besarnya keterkaitan ke belakang sektor agroindustri pada industri pengolahan ikan dan udang untuk keterkaitan langsung adalah 1.3817 dan keterkaitan total sebesar 1.6528. Pada industri pakan ternak, keterkaitan langsung
93 sebesar 1.2428 dan keterkaitan total sebesar 1.6224, pada industri gula keterkaitan langsung sebesar 1.5502 dan keterkaitan total sebesar 1.6132, pada industri padi keterkaitan langsung sebesar 1.1856 dan keterkaitan total sebesar 1.6124, pada industri makanan lainnya keterkaitan langsung sebesar 1.2148 dan keterkaitan total sebesar 1.6011, pada industri tapioka dan tepung lain keterkaitan langsung sebesar 1.2743 dan keterkaitan total sebesar 1.5834, pada industri pengolahan karet keterkaitan langsung sebesar 1.2001 dan keterkaitan total sebesar 1.5802, pada industri buah dan sayur keterkaitan langsung sebesar 1.1882 dan keterkaitan total sebesar 1.5792, pada industri kopra/kelapa keterkaitan langsung sebesar 1.1668 dan keterkaitan total sebesar 1.5518, pada industri kopi keterkaitan langsung sebesar 1.2200 dan keterkaitan total sebesar 1.319, pada industri minyak/lemak keterkaitan langsung sebesar 1.0941 dan keterkaitan total sebesar 1.2158, sedangkan pada industri minuman keterkaitan langsung sebesar 0.8942 dan keterkaitan total sebesar 0.9783. Apabila data pada tahun 2000 dibandingkan dengan data tahun 2005 (Tabel 9), terlihat bahwa terjadi perubahan/pergeseran peringkat pada industri tapioka dan tepung lain (dari peringkat 7 ke peringkat 6), industri padi (dari peringkat 3 ke peringkat 4), industri gula (dari peringkat 5 ke peringkat 3), industri makanan lainnya (dari peringkat 4 ke peringkat 5), dan industri pengolahan karet (dari peringkat 6 ke peringkat 7). Berdasarkan data angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000, terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000039 yang lebih kecil
94 dibandingkan nilai α = 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian, besarnya angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor non agroindustri. Tabel 9. Keterkaitan ke Belakang Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 No.
1. 2. 3. 4. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Sektor
IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT
Kaitan ke Belakang Kaitan ke Belakang Tahun 2000 Tahun 2005 Langsung Langsung Peringkat Langsung Langsung Peringkat dan Tak dan Tak Langsung Langsung 1.1181 1.7842 8 1.1882 1.5792 8 1.3103 2.1079 1 1.3817 1.6528 1 1.1924 1.8705 7 1.2743 1.5834 6 1.1731 1.7837 9 1.1668 1.5518 9 1.0484 1.3171 11 1.0941 1.2158 11 1.1122 1.9210 3 1.1856 1.6124 4 1.6838 1.8792 5 1.5502 1.6132 3 1.0856 1.3193 10 1.2200 1.3191 10 1.1785 1.9391 2 1.2428 1.6299 2 1.1671 1.8895 4 1.2148 1.6011 5 0.6689 0.8202 12 0.8942 0.9783 12 1.1628 1.8740 6 1.2001 1.5802 7
Berdasarkan data angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005, terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektorsektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000039 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke belakang sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan sektor-sektor non agroindustri.
95
5.2.2. Keterkaitan Antarsektor ke Depan
Keterkaitan ke depan menunjukkan peran suatu sektor dalam menyediakan output untuk digunakan sebagai input oleh sektor-sektor lain akibat peningkatan satu satuan permintaan akhir sektor tersebut. Berdasarkan Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005, peringkat pertama keterkaitan ke depan pada 26 sektor di Provinsi Lampung adalah sektor tanaman perkebunan dengan keterkaitan langsung sebesar 1.3341 dan keterkaitan total sebesar 1.9743. Selanjutnya, sektor tanaman pangan dengan keterkaitan langsung sebesar 1.2148 dan keterkaitan total sebesar 1.9032. Keterkaitan ke depan agroindustri dengan sektor lain di Provinsi Lampung tahun 2000 dan tahun 2005 disajikan pada Tabel 10. Keterkaitan ke depan sektor agroindustri Provinsi Lampung tahun 2005 yang terbesar adalah industri pengolahan karet dengan keterkaitan langsung sebesar 1.2484 dan keterkaitan total sebesar 1.7699, pada industri gula keterkaitan langsung sebesar 1.0315 dan keterkaitan total sebesar 1.3087, pada industri tapioka dan tepung lain keterkaitan langsung sebesar 0.6043 dan keterkaitan total sebesar 1.2396, pada industri padi keterkaitan langsung sebesar 0.6336 dan keterkaitan total sebesar 1.0911, pada industri pakan ternak keterkaitan langsung sebesar 0.9476 dan keterkaitan total sebesar 1.0122, pada industri pengolahan ikan dan udang keterkaitan langsung sebesar 0.3771 keterkaitan total sebesar 0.8030, pada industri minuman
dan
keterkaitan langsung
sebesar 0.5228 dan keterkaitan total sebesar 0.6608, pada industri makanan lainnya keterkaitan langsung sebesar 0.1245 dan keterkaitan total sebesar 0.7933, pada industri buah dan sayur keterkaitan langsung sebesar 0.0203 dan keterkaitan total sebesar 0.6941, pada industri minyak/lemak keterkaitan langsung sebesar 0.4728 dan keterkaitan total sebesar 0.7933, pada industri kopi keterkaitan langsung sebesar
96
0.1253 dan keterkaitan total sebesar 0.6241, sedangkan pada industri kopra/kelapa keterkaitan langsung sebesar 0.3458 dan keterkaitan total sebesar 0.6121. Apabila data pada tahun 2000 dibandingkan dengan data pada tahun 2005, terlihat bahwa terjadi perubahan/pergeseran peringkat pada industri buah dan sayur (dari peringkat 9 ke peringkat 8), industri pengolahan ikan dan udang (dari peringkat 8 ke peringkat 6), industri tapioka dan tepung lain (dari peringkat 5 ke peringkat 3), industri padi (dari peringkat 2 ke peringkat 4), industri gula (dari peringkat ke peringkat 2), industri pengolahan karet (dari peringkat 4 ke peringkat 5), dan industri minuman (dari peringkat 6 ke peringkat 9). Tabel 10. Keterkaitan ke Depan Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Sektor
IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT
Kaitan ke depan tahun 2000 Langsung Langsung Peringkat dan Tak Langsung 0.2167 0.7837 9 0.4371 0.8509 8 0.4352 1.0530 5 0.3395 0.6895 12 0.4771 0.7344 10 0.1857 1.3058 2 0.8976 1.2102 3 0.1900 0.7303 11 0.6584 1.1966 4 0.5724 1.0143 7 0.3795 1.0390 6 1.2106 1.4206 1
Kaitan ke depan tahun 2005 Langsung Langsung Peringkat dan Tak Langsung 0.2203 0.6941 8 0.3771 0.8030 6 0.6043 1.2396 3 0.3458 0.6121 12 0.4728 0.6265 10 0.6336 1.0911 4 1.0315 1.3087 2 0.1253 0.6241 11 0.9476 1.0122 5 0.1245 0.7933 7 0.5228 0.6608 9 1.2484 1.7699 1
Pada tahun 2000 dan tahun 2005, terlihat adanya pergeseran angka dan peringkat keterkaitan ke depan pada sektor agroindustri, namun peringkat pertama tetap dihasilkan oleh industri pengolahan karet. Berdasarkan data angka keterkaitan ke depan sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 11), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri.
97 Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00049 yang lebih kecil dari nilai α = 0.05, sehingga Ho ditolak. Dengan demikian, besarnya angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka keterkaitan ke depan sektor-sektor non agroindustri. Berdasarkan data angka keterkaitan ke depan sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 11), ada dua kategori pengelompokan, yaitu sektor agroindustri dan sektor non agroindustri. Jumlah sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00059 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka keterkaitan ke depan sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka keterkaitan ke depan sektor-sektor non agroindustri. Berdasarkan data analisis keterkaitan ke belakang dan depan, terlihat bahwa sektor agroindustri mempunyai keterkaitan yang besar dengan sektor lain. Nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang lebih besar dari pada nilai keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor agroindustri di Provinsi Lampung lebih mampu mendorong sektor pertanian sebagai pemasok bahan baku dibandingkan penciptaan kenaikan output apabila terjadi peningkatan satu-satuan permintaan akhir (final demand). Keterkaitan ke belakang sektor agroindustri adalah keterkaitan dengan sektor-sektor yang memasok bahan baku yaitu tanaman pangan, tanaman
98 perkebunan, peternakan, dan perikanan. Sektor-sektor primer juga mempunyai nilai ouput yang sebagian besar merupakan input sektor agroindustri. Sedangkan keterkaitan ke depan sektor agroindustri merupakan keterkaitan dengan sektor yang memanfaatkan output sektor agroindustri. Output sektor agroindustri sebagian besar ditujukan untuk keperluan ekspor dan sebagian dimanfaatkan untuk industri lain. Kondisi tersebut menyebabkan nilai rata-rata keterkaitan ke belakang sektor industri lebih besar dibandingkan nilai rata-rata keterkaitan ke depan, sehingga nilai ratarata daya penyebaran sektor agroindustri lebih besar dari pada nilai rata-rata daya kepekaannya (lihat Lampiran 14). Okamoto (2004a) menyatakan bahwa keterkaitan merupakan salah satu proses untuk mempercepat terjadinya aglomerasi atau terkonsentrasinya industri. Hasil penelitian Okamoto di Cina menunjukkan bahwa nilai keterkaitan yang tinggi menyebabkan terjadinya aglomerasi. Fujita et al. (1999) menyatakan bahwa terjadinya aglomerasi didasarkan pada hasil yang meningkat akibat skala ekonomi, biaya transportasi, keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan yang besar. Dengan demikian nilai keterkaitan sektor agroindustri dengan sektor lain yang besar mengindikasikan terjadinya aglomerasi pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung. Lebih lanjut Fujita et al. (1999) menyatakan bahwa intraindustry dan interindustry spillover merupakan salah satu pendorong terjadinya aglomerasi industri atau clustering. Mekanisme trade off antara centripetal forces dan centrifugal forces menyebabkan terjadinya aglomerasi. Centripetal forces atau agglomeration forces adalah kekuatan yang mendorong terjadinya konsentrasi spasial, sedangkan centrifugal forces atau dispersion forces adalah kekuatan yang berlawanan dan mendorong terjadinya distribusi spasial. Centripetal forces terdiri dari keterkaitan (linkages), pasar yang besar (thick market), knowledge spillover,
99 serta eksternalitas yang menguntungkan (pure external economies). Centrifugal forces terdiri input/faktor yang tidak cepat bergerak (immobile factor), nilai lahan (land rent and comuting), kemacetan (congestion and other pure), dan diseconomies. Jika persyaratan utama aglomerasi adalah keterkaitan, nilai keterkaitan ke belakang dan depan yang besar pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung mengindikasikan bahwa terjadi aglomerasi pada sektor tersebut. 5.2.3. Kombinasi Keterkaitan Antarsektor
Pengelompokkan keterkaitan antarsektor yang didasarkan pada kombinasi antara forward dan backward linkage, yaitu forward rendah dan backward tinggi, forward tinggi dan backward tinggi, forward tinggi dan backward rendah, serta forward rendah dan backward rendah disajikan pada Tabel 11. Tabel 11. Kombinasi keterkaitan antarsektor ekonomi di Provinsi Lampung Forward Rendah Backward Tinggi
Forward Rendah Backward Tinggi
IBS IKUD IKKL IML IKP JJLN IMLN Rendah Forward Rendah Backward Rendah IMN BKST PTUM
Tinggi Forward Tinggi Backward Tinggi ITKT IPD IGL IPKT IKRT Forward Tinggi Backward Rendah TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG ILNY LGA PHR TRKM LKJP
100 Agroindustri yang mempunyai kaitan ke depan (forward) dan ke belakang (backward) yang tinggi adalah tapioka dan tepung lain, industri gula, industri pakan ternak dan industri karet. Peningkatan investasi di sektor-sektor agroindustri ini akan memberikan dampak yang luas tidak hanya terhadap sektor input, tetapi juga pada sektor output. Tingginya kaitan ke belakang menunjukkan tingginya penyebaran dampak perubahan sektor tersebut terhadap subsektor lainnya, yang tergolong pada industri hulu (sektor input). Output sektor-sektor ini akan menjadi input bagi sektor lain yang lebih hilir. Agroindustri yang mempunyai klasifikasi kaitan ke depan tinggi dan kaitan ke belakang rendah tidak ada. Sektor pertanian masuk dalam klasifikasi tersebut. Sektor pertanian umumnya masih perlu untuk dilakukan proses pengolahan oleh sektor industri pengolahan, khususnya pengolahan hasil pertanian. Dengan demikian, sektor-sektor ini lebih peka terhadap perubahan sektor lain akibat perubahan permintaan akhir terhadap masing-masing sektor. Sementara itu, perubahan permintaan akhir terhadap sektor-sektor ini tidak memberikan dampak yang besar terhadapsektor lain karena kaitan ke belakangnya rendah. Agroindustri yang memiliki kaitan ke belakang tinggi dan kaitan ke depan rendah adalah industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan dan udang, industri kopra/ kelapa, industri minyak/ lemak, industri kopi, dan industri makanan lainnya. Kaitan ke belakang yang tinggi merupakan alasan utama mengapa agroindustri menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sedangkan kaitan ke depan yang rendah pada sektor tersebut tidak mengherankan mengingat sektor tersebut merupakan sektor hilir dalam proses input-output. Investasi pada industri-industri tersebut akan menumbuhkan industri hulu, khususnya sektor pertanian.
101 Agroindustri yang mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang rendah adalah industri minuman. Di samping tidak peka terhadap perubahan sektor lain, sektor ini juga tidak dapat diandalkan untuk menumbuhkan sektor lain apabila investasi pada sektor ini ditingkatkan.
Menurut Setiawan (2006), sektor-sektor industri makanan dan minuman (agroindustri) di Provinsi Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat merupakan sektor yang memiliki daya mengait ke sektor hulu atau backward linkages dan sekaligus memiliki daya dorong ke sektor hilir atau forward linkages yang tinggi. Hasil penelitian Supriyati dan Suryani (2006) di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara menunjukkan tingginya daya kepekaan sektor agroindustri karena pengaruh pertumbuhan ekonomi wilayah yang memiliki kaitan ke belakang yang kuat serta mampu menarik pertumbuhan output industri hulunya. Nilai derajat kepekaan menunjukkan efek relatif yang disebabkan oleh perubahan sektor agroindustri yang menimbulkan perubahan output sektor-sektor lain dengan menggunakan output dari sektor agroindustri tersebut, baik langsung maupun tidak langsung. 5.2.4. Penelusuran Keterkaitan ke Depan dan ke Belakang
Analisis penelusuran keterkaitan ke depan dan ke belakang digunakan untuk mengetahui secara rinci keterkaitan sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian wilayah. Penelusuran dilakukan dengan cara mengetahui persentase sektor-sektor dari nilai keterkaitan . Berdasarkan Tabel 12 dan Lampiran 12
terlihat bahwa keterkaitan ke
belakang terdiri dari keterkaitan dengan sektor itu sendiri, sektor yang memasok bahan baku, sektor perdagangan, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor lainnya. Keterkaitan dengan sektor itu sendiri berkisar antara 40.50–56.12%. Keterkaitan sektor diri sendiri merupakan keterkaitan sesama sektor agroindustri
102 dalam menggunakan input. Penggunaan input sesama sektor dalam prakteknya merupakan kerjasama antar perusahaan sejenis. Keterkaitan ke belakang dengan sektor yang memasok bahan baku berkisar antara 9.29–35.59%. Keterkaitan tersebut merupakan keterkaitan sektor agroindustri dengan sektor-sektor pertanian seperti tanaman pangan, tanaman perkebunan, dan perikanan. Keterkaitan dengan sektor perdagangan berkisar antara 5.57–12.43%. Sektor perdagangan berkaitan dengan transaksi
ekspor-impor.
Dengan
demikian
sebagian
sektor
agroindustri
menggunakan input dari impor dan jasa perdagangan lainya. Tabel 12. Penelusuran Keterkaitan Ke Belakang Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 No. SEKTOR
Nilai Keterkaitan
1.
IBS
1.5792
2.
IKUD
1.6528
3.
ITKT
1.5834
4.
IKKL
1.5518
5.
IML
1.2158
6.
IPD
1.6124
7.
IGL
1.6132
8.
IKP
1.3191
9.
IPKT
1.6299
10.
IML
1.6011
11.
IMN
0.9783
12.
IKRT
1.5802
Sektor 1 (%) IBS (43.98) IKUD (44.23) ITKT (46.73) IKKL (46.04) IML (40.50) IPD (44.28) IGL (56.12) IKP (45.47) IPKT (42.58) IML (42.58) IMN (53.70) IKRT (50.47)
Sektor 2 (%) TPGN (35.59) IKAN (28.68) TPGN (14.13) TKBN (34.607) TKBN (32.379) TPGN (43.980( TKBN (25.240) TKBN (28.532) TPGN (33.90) TPGN (26.207) TKBN (9.29) TKBN (31.771)
Sektor 3 (%) PHR (9.01) PHR (12.43) PHR (12.24) PHR (9.61) IKKL (10.26) PHR (5.57) PHR (7.20) PHR (10.41) PHR (9.96) TKBN (11.222) IGL (6.96) PHR (8.28)
Sektor 4 (%) TRKM (2.50 ) TRKM (3.29) TKBN (4.57) TRKM (3.13) PHR (8.60) TRKM (1.89) TRKM (3.33) TRKM (8.38) TRKM (2.62) PHR (8.67) PHR (11.14) TRKM (2.98)
Sektor Lain (%) (8.92) (11.37) (22.33) (6.613) (8.261) (4.28) (8.11) (7.208) (10.94) (11.321) (18.91) (6.499)
Berdasarkan Tabel 13 dan Lampiran 13 terlihat bahwa keterkaitan ke depan terdiri dari keterkaitan dengan sektor itu sendiri, sektor yang memanfaatkan output
103 untuk bahan baku, sektor perdagangan, sektor, jasa-jasa lainnya dan sektor lainnya. Keterkaitan dengan sektor diri sendiri berkisar antara 72.48–98.94%. Keterkaitan diri sendiri merupakan keterkaitan sesama sektor agroindustri dalam menggunakan input. Penggunaan input sesama sektor dalam prakteknya merupakan kerjasama antar perusahaan sejenis. Keterkaitan ke depan sektor agroindustri yang menggunakan output berkisar antara 0.65–18.47%. Keterkaitan dengan sektor perdagangan berkisar antara 0.38– 0.70%. Sektor perdagangan berkaitan dengan transaksi ekspor-impor. Dengan demikian sebagian besar sektor agroindustri menggunakan output untuk diekspor ke luar wilayah dan jasa perdagangan lainya. Tabel 13. Penelusuran Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 No. SEKTOR
Nilai Keterkaitan
1.
IBS
0.6941
2.
IKUD
0.8030
3.
ITKT
1.2396
4.
IKKL
0.6121
5.
IML
0.6265
6.
IPD
1.0911
7.
IGL
1.3087
8.
IKP
0.6241
9.
IPKT
1.0122
10.
IMLN
0.7933
11.
IMN
0.6608
12.
IKRT
1.7699
Sektor 1 (%) IBS (94.57) IKUD (96.12) ITKT (78.44) IKKL (74.75) IML (88.97) IPD (84.98) IGL (72.48) IKP (89.35) IPKT (75.95) IMLN (95.49) IMN (98.94) IKRT (81.55)
Sektor 2 (%)
Sektor 3 (%)
PHR (3.08) PHR (3.23) PHR (6.52) IML (18.47) IPKT (1.62) IKAN (1.62) ITKT (11.67) PHR ( 7.21) PTK (11.68) ITKT (0.65) PHR (0.21) BKST (2.52)
JJLN (1.06)
Sektor 4 (%)
Sektor Lain (%) (1.29) (1.65)
JJLN ( 7.54) IPKT (3.69) IMLN (1.42) PHR (1.46) IMN (9.26)
IMN (1.04)
(7.5) (3.09)
ITKT (1.33) JJLN (2.63) JJLN (1.55)
(7.99) (11.94) (6.59) (3.44)
PHR (5.67) IPKT (0.94)
ITKT (3.85) PHR (0.38)
(6.7) (2.92) (0.85)
ILNY (2.31)
IMN (1.49)
(13.44)
104
5.3. Pengganda Sektor Agroindustri 5.3.1. Pengganda Output
Model Input-Output yang dipergunakan adalah model input-output terbuka yang menganggap rumah tangga (household) sebagai exogenous factor. Rumah tangga merupakan salah satu konsumen akhir yang mengkonsumsi sejumlah output yang dipergunakan sebagai konsumsi akhir. Angka pengganda (multiplier) menggambarkan dampak yang terjadi terhadap variabel endogen tertentu akibat perubahan terhadap variabel eksogen dalam perekonomian. Angka pengganda tipe I menganggap rumah tangga (household) sebagai exogenous factor. Angka pengganda tipe II menganggap rumah tangga (household) sebagai endogenous factor. Sedangkan variabel-variabel endogen adalah output sektoral. Pada penelitian ini dipergunakan angka -engganda tipe I. Nilai pengganda (multiplier) output dari suatu sektor menunjukkan besarnya peningkatan output pada sektor tersebut akibat kenaikan satu satuan permintaan akhir. Suatu sektor yang memiliki nilai pengganda output tinggi akan memberikan pangaruh yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan pekerjanya jika terjadi kenaikan permintaan pada output yang diproduksinya. Angka pengganda juga dipergunakan untuk mengetahui perilaku industri. Apabila ditinjau dari angka pengganda output klasifikasi 26 sektor ekonomi Provinsi Lampung, pemegang nilai pengganda output yang besar dicapai oleh sektor-sektor agroindustri (terutama urutan 1 sampai 10). Sektor-sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan ikan dan udang, industri pengolahan karet, industri tapioka dan tepung lain, industri pakan ternak, industri makanan lainnya,
105 industri kopi, industri buah dan sayur, industri padi, industri gula dan industri minuman. Nilai pengganda output terbesar sektor agroindustri adalah pada industri pengolahan ikan dan udang sebesar 2.6480. Artinya, terjadinya peningkatan output pada sektor industri pengolahan ikan, daging dan udang sebesar satu rupiah mengakibatkan peningkatan jumlah output pada semua sektor sebesar 2.6480 rupiah (lihat Tabel 14). Berdasarkan Tabel 14, apabila dilakukan perbandingan angka pengganda output sektor agroindustri pada tahun 2000 dan 2005, terdapat pergeseran/ perubahan nilai peringkat pada ITKT (dari peringkat 6 ke peringkat 3), IML (dari peringkat 10 ke peringkat 11), IPKT (dari peringkat 3 ke peringkat 4), IMLN (dari peringkat 4 ke peringkat 6), dan IMN (dari peringkat 4 ke peringkat 5). Sedangkan peringkat angka pengganda output untuk industri lain tetap. Tabel 14. Pengganda Output Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan Tahun 2005 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Sektor IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT
Nilai Tahun 2000 2.3625 2.7686 2.3939 1.7288 1.7380 2.3501 1.8578 2.4571 2.4903 2.4661 1.7332 2.5196
Peringkat 7 1 6 12 10 8 9 5 3 4 11 2
Nilai Tahun 2005 2.8607 3.2984 2.9948 1.9146 2.0989 2.8207 2.4548 2.9336 2.9523 2.9206 2.4002 3.0585
Peringkat 7 1 3 12 11 8 9 5 4 6 10 2
Berdasarkan data angka pengganda output sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 15), terdapat dua kategori yaitu sektor agroindustri dan non agroindustri. Jumlah sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah
106 sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value
sebesar 0.000093 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05
sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya angka pengganda output antara sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda output antara sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan sektor-sektor non agroindustri. Berdasarkan data angka pengganda output sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 15), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000093 yang lebih kecil dibandingkan
nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak.
Dengan
demikian besarnya angka pengganda output antara sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda output antara sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda output sektorsektor non agroindustri. Dampak pengganda output sektor agroindustri dapat dirinci melalui disagregasi. Disagregasi yang dimaksud dalam pembahasan ini mempunyai pengertian bahwa dampak berganda output dari suatu sektor agroindustri akan dirinci secara sektoral, di mana penjumlahan dampak dari seluruh sektor tersebut merupakan besarya dampak pengganda output terhadap perekonomian Provinsi Lampung. Dengan cara ini akan diketahui dengan jelas ke mana saja dampak pengganda output sektor agroindustri itu disebar, sehingga dapat menunjukkan sektor ekonomi mana yang paling diuntungkan apabila dilakukan pengembangan
107 sektor agroindustri. Dampak injeksi awal permintaan akhir pada sektor agroindustri adalah : 1. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri pengolahan ikan dan udang adalah sektor perikanan sebesar 0.9459 rupiah atau 28.68% dari dampak total sektor industri pengolahan ikan dan udang terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 3.2984 rupiah. 2. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri pengolahan karet adalah sektor tanaman perkebunan sebesar 0.9716 rupiah atau 31.77% dari dampak total sektor sektor industri pengolahan karet terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 3.0584 rupiah. 3. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri tapioka dan tepung lain adalah sektor peternakan (PTK) sebesar 0.4231 rupiah atau 14.13% dampak total sektor industri tapioka dan tepung lain terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9948 rupiah dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (PHR) sebesar 0.3665 atau 12.24% dampak total sektor sektor industri tapioka dan tepung lain terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9948 rupiah. 4. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri pakan ternak adalah sektor tanaman pangan sebesar 1.0008 rupiah atau 33.90% sektor industri pakan ternak terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9523 rupiah. 5. Sektor ekonomi yang paling diuntungkan ketika ada injeksi awal permintaan akhir sebesar 1 rupiah pada sektor industri makanan lainnya adalah sektor tanaman pangan sebesar 0.7654 rupiah atau 26.21% sektor industri makanan
108 lainnya terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9206 rupiah dan sektor tanaman perkebunan sebesar 0.2613 rupiah atau 11,22% sektor industri makanan lainnya terhadap perekonomian Provinsi Lampung sebanyak 2.9206 rupiah.
5.3.2. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga
Nilai pengganda pendapatan rumah tangga dari suatu sektor menunjukkan besarnya peningkatan pendapatan rumahtangga yang bekerja pada sektor tersebut akibat kenaikan satu satuan permintaan akhir. Suatu sektor yang memiliki nilai pengganda pendapatan tinggi akan memberikan pangaruh yang besar terhadap peningkatan kesejahteraan pekerjanya jika terjadi kenaikan permintaan pada output yang diproduksinya.
Tabel 15 memperlihatkan nilai pengganda pendapatan sektor-sektor agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005. Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa urutan sektor yang memberikan pengganda yang besar adalah industri pengolahan ikan dan udang sebesar 20.7939, industri pakan ternak sebesar 20.5521, industri pengolahan karet sebesar 15.7328, dan industri makanan lainnya sebesar 12.3682. Sektor industri pengolahan ikan dan udang memiliki nilai pengganda pendapatan sebesar 20.7939, artinya apabila terjadi peningkatan output pada sektor industri tersebut sebesar satu rupiah hanya akan mengakibatkan peningkatan pendapatan rumah tangga sebesar 20.7939 rupiah baik secara langsung maupun tidak langsung. Tabel 15. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2000 dan Tahun 2005 No.
Sektor
1 IBS 2 IKUD
Pengganda Pendapatan Tahun 2000 3.4430 9.8197
Peringkat 8 1
Pengganda Pendapatan Tahun 2005 9.9603 20.7939
Peringkat 6 1
109 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT
4.0219 2.7136 2.7271 6.4481 1.5350 4.7591 6.5972 4.4004 1.7450 6.0017
7 10 9 3 12 5 2 6 11 4
7.6987 5.0786 6.0044 5.3231 8.4118 12.1358 20.5521 12.3682 3.0947 15.7328
8 11 9 10 7 5 2 4 12 3
Berdasarkan data angka pengganda pendapatan rumah tangga sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 16), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000025 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya pendapatan rumah tangga antara sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda pendapatan rumah tangga sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda sektor-sektor non agroindustri. Berdasarkan data angka pengganda pendapatan rumah tangga sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 16), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.000025 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya pendapatan rumah tangga sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda pendapatan rumah
110 tangga
sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda
pendapatan rumah tangga sektor-sektor non agroindustri. 5.3.3. Pengganda Tenaga Kerja
Nilai pengganda tenaga kerja dari suatu sektor menunjukkan besarnya peningkatan tenaga kerja akibat kenaikan satu satuan permintaan akhir. Berdasarkan hasil analisis tabel input-output diperoleh nilai pengganda tenaga kerja pada sektorsektor agroindustri Provinsi Lampung tahun 2005 berkisar antara 3.6307 sampai 44.4494. Nilai pengganda tenaga kerja terbesar adalah pada industri pengolahan ikan dan udang, yaitu sebesar 44.4494. Artinya, apabila terjadi peningkatan output industri pengolahan ikan dan udang sebesar satu rupiah hanya akan mengakibatkan peningkatan tenaga kerja sebesar 44.4494. Berdasarkan
angka yang diperoleh,
terlihat bahwa sektor-sektor agroindustri mempunyai pengganda yang sangat besar terhadap tenaga kerja. Pada Tabel 16 terlihat bahwa peringkat pengganda tenaga kerja sektor agroindustri antara tahun 2000 dan tahun 2005 menunjukkan pergeseran peringkat pada beberapa industri sektor agroindustri. Tabel 16. Peringkat Pengganda Tenaga Kerja Sektor Agroindustri No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Sektor IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT
Pengganda Tenaga kerja Tahun 2000 16.1178 39.2294 14.8172 9.7087 10.0656 22.0238 21.2912 9.7634 30.9823 20.8743 2.4587 25.5432
Peringkat 7 1 8 11 9 4 5 10 2 6 12 3
Pengganda Tenaga kerja Tahun 2005 18.2218 44.4494 25.2196 10.6087 11.1682 22.2228 23.4915 10.8540 32.9436 20.9656 3.6307 28.5534
Peringkat 8 1 4 11 9 6 5 10 2 7 12 3
111 Berdasarkan data angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor ekonomi pada Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (lihat Lampiran 17), terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor-sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00006 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya pengganda tenaga kerja sektor-sektor agroindustri dengan sektor-sektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor non agroindustri. Berdasarkan data angka pengganda tenaga kerja sektor-sektor ekonomi pada
Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (lihat Lampiran 17),
terdapat dua kelompok yaitu sektor-sektor agroindustri dan sektor-sektor non agroindustri. Jumlah sektor-sektor agroindustri dalam Tabel Input-Output Provinsi Lampung sebanyak 12 sektor, sedangkan jumlah sektor non agroindustri sebanyak 14 sektor. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai P-value sebesar 0.00006 yang lebih kecil dibandingkan nilai α = 0.05 sehingga Ho ditolak. Dengan demikian besarnya pengganda tenaga kerja antara sektor-sektor agroindustri dengan sektorsektor non agroindustri berbeda, di mana angka pengganda tenaga kerja sektorsektor agroindustri lebih besar dibandingkan angka pengganda tenaga kerja sektorsektor non agroindustri. Berdasarkan rekapitulasi peringkat pengganda pada Tabel 16, urutan peringkat pengganda kesempatan kerja sektor agroindustri adalah industri pengolahan ikan dan udang, industri pakan ternak, industri pengolahan karet, industri tapioka dan tepung lain, industri gula, industri makanan lainnya, industri
112 padi, industri buah dan sayur,
industri kopi,
industri minyak/lemak, industri
kelapa/kopra, dan industri minuman. Tabel 17. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Agroindustri Tahun 2005 Sektor
Peringka t Keterkaitan ke Belakan g
Peringka t Keterkaitan ke Depan
Peringka t Penggan -da Output
Peringka t Penggan -da Pend. RT
IBS IKUD ITKT IKKL
8 1 6 9
8 6 3 12
7 1 3
6 1 8
8 1 4
37 10 24
IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT
11 4 3 10 2 5 12 7
10 4 2 11 5 7 9 1
12 11 8 9 5 4 6 10 2
11 9 10 7 5 2 4 12 3
11 9 6 5 10 2 7 12 3
55 50 32 26 41 15 29 55 16
Peringkat Penggand a Kesempat an Kerja
Total Pering Nilai kat
8 1 4 11 10 7 5 9 2 6 12 3
Hasil penelitian Supriyati dan Suryani (2006) di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara tentang pengganda agroindustri terhadap output, pendapatan dan tenaga kerja menunjukkan bahwa sektor agroindustri mempunyai nilai pengganda yang tinggi, baik terhadap output, pendapatan maupun tenaga kerja dibandingkan dengan sektor non agroindustri. Nilai pengganda di Jawa Timur lebih besar dibandingkan agregat maupun wilayah lain, namun masih di bawah nilai pengganda sektor agroindustri Provinsi Lampung. Pengganda output yang tinggi tersebut disebabkan agroindustri yang memanfaatkan bahan baku pada sektor pertanian cukup besar, ditunjang dengan potensi sektor pertanian yang cukup besar pula. Pengganda pendapatan akan tinggi apabila output agroindustri mampu diserap, baik sebagai konsumsi langsung maupun untuk memenuhi permintaan dalam dan luar negeri. Sektor agroindustri
113 yang mempunyai pengganda tenaga kerja tinggi perlu distimulasi sehingga akan dapat mengatasi permasalahan pengangguran yang semakin meningkat. Menurut Setiawan (2006), suatu sektor dinyatakan sebagai unggulan dalam pembangunan ekonomi daerah dengan melihat kriteria sebagai berikut: (1) sumbangan sektor produksi pada total output, (2) sumbangan sektor produksi terhadap nilai tambah bruto, (3) daya penyebaran dan daya penyebaran dan derajat kepekaan yang merupakan keterkaitan sektoral ke hulu dan hilir, (4) nilai pengganda output, nilai tambah dan tenaga kerja, dan (5) prospek sektor tersebut di masa mendatang. Jika dilihat dari kinerja agroindustri di Provinsi Lampung dari peranan, angka pengganda dan keterkaitan antar sektoral maka sektor agroindustri merupakan sektor pemimpin (leading sector) dalam pembangunan ekonomi wilayah. Sektor-sektor agroindustri yang merupakan industri prioritas berdasarkan peringkat pada Tabel 17 serta Lampiran 18 dan 19 di Provinsi Lampung adalah industri pengolahan ikan dan udang, industri pakan ternak, industri pengolahan karet, industri tapioka dan tepung lain, industri gula dan industri makanan lainnya (enam peringkat teratas). Pengembangan industri tersebut memerlukan dukungan kelembangan dan politik dari pemerintah. Pemerintah pusat dan daerah memainkan peran penting yang memberikan manfaat industri-industri tersebut melalui kebijakan fiskal (pengeluaran pemerintah), serta mendorong investasi dan ekspor. Oleh karena itu, kebijakan dan program pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota se Provinsi Lampung menjadikan sektor agroindustri sebagai prioritas, tanpa mengabaikan potensi dan peluang sektor-sektor lainnya. Prioritas tersebut perlu diwujudkan dalam program atau kegiatan pengembangan agroindustri yang dapat direalisasikan, terlebih sektor ini bisa menggerakkan sektor pertanian karena adanya keterkaitan yang besar antara sektor pertanian dengan sektor agroindustri.
114
VI. KONSENTRASI SPASIAL DAN PENGHEMATAN AKIBAT AGLOMERASI 6.1. Konsentrasi Spasial
Menurut Fujita et al. (1999) konsentrasi spasial merupakan pengelompokan setiap industri dan aktivitas ekonomi yang secara spasial berlokasi pada suatu wilayah tertentu. Aiginger and Hansberg (2003) menyatakan bahwa konsentrasi spasial dapat didefinisikan sebagai pangsa output regional yang menunjukkaan distribusi lokasional dari suatu industri. Komposisi dan besaran produk domestik regional bruto (PDRB) sektor agroindustri berdasarkan sebaran sektor dan kabupaten/ kota tahun 2000 dan 2005 dapat dilihat pada Lampiran 20 dan 21. Berdasarkan lampiran tersebut, urutan besarnya PDRB Provinsi Lampung adalah industri gula sebesar Rp 992 872 juta atau 20.86%, industri pengolahan ikan dan udang sebesar Rp 646 442 juta atau 14.39%, industri tapioka dan tepung lain sebesar Rp 627 400 juta atau 13.18%, industri makanan lainnya Rp 465 961 juta atau 9.79%, industri pengolahan karet Rp 378 668 juta atau 7.96%, industri pakan ternak Rp 312 024 juta atau 6.55%, industri kopi Rp 285 965 juta atau 6.00%, industri padi Rp 262 152 juta atau 5.50%, industri buah dan sayur Rp 256 626 juta atau 5.39%, industri minyak/lemak Rp 124 188 juta atau 2.60%, industri kopra/kelapa Rp 97 094 juta atau 2.04%, dan industri minuman Rp 43 266 juta atau 0.90%. Besaran PDRB per sektor agroindustri dari urutan pertama hingga urutan dua belas di Provinsi Lampung menunjukkan ketidakseimbangan kontribusi antara beberapa agroindustri tersebut. Apabila ditinjau dari kontribusi kabupaten/kota terhadap PDRB sektor agroindustri di Provinsi Lampung, kabupaten yang memberikan kontribusi output terbesar pada tahun 2005 adalah Kabupaten Tulang Bawang sebesar Rp 1 207 738 juta atau 26.88%, diikuti Kabupaten Lampung Tengah Rp 870 839 juta
atau
115 19.38%, dan Kota Bandar Lampung Rp 836 951 juta atau 18.63%. Ketiga kabupaten/kota tersebut merupakan sentra produksi utama agroindustri di Provinsi Lampung (lihat Lampiran 20, 21, 22 dan 23). Kontribusi kabupaten/kota lainnya dalam PDRB sektor agroindustri Provonsi Lampung adalah Kabupaten Lampung Selatan sebesar Rp 571 285 juta atau 12.72%, Kabupaten Lampung Utara Rp 414 662 juta atau 9.23%, Kabupaten Lampung Timur Rp 264 840 juta atau 5.89%, Kabupaten Tanggamus Rp 202 177 juta atau 4.50%, Kabupaten Way Kanan Rp 77 971 juta atau 1.74%, Kabupaten Lampung Barat Rp 29 621 juta atau 0.66%, dan Kota Metro Rp 16 572 juta atau 0.37%. Besaran PDRB Sektor Agroindustri per kabupaten/ kota
di Provinsi Lampung
menunjukkan ketidakmerataan kontribusi antara beberapa kabupaten/kota. Indeks Gini Lokasional (gEG) merupakan tingkat spesialisasi suatu sektor dan konsentrasi spasial antara beberapa wilayah. Nilai Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung atau indeks ketidakmerataan lokasi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18. Indeks Gini Lokasional Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung No.
Sektor Agroindustri
2000 gEG
Klasifikasi
2005 gEG
1
Industri Buah dan Sayur
0.2712
Terkonsentrasi
0.2739
2
Industri Ikan, Daging & Udang
0.1469
Terkonsentrasi
0.2511
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.2702
Terkonsentrasi
0.2738
4
Industri Kopra/ Kelapa
0.0249
Menyebar
0.0252
5
Industri Minyak/ Lemak
0.0158
Menyebar
0.0156
6
Industri Padi
0.1351
Terkonsentrasi
0.1364
7
Industri Gula
0.4517
Terkonsentrasi
0.4181
8
Industri Kopi
0.0695
Menyebar
0.0695
9
Industri Pakan Ternak
0.1039
Terkonsentrasi
0.1004
10
Industri Makanan Lainnya
0.6143
Terkonsentrasi
0.6295
11
Industri Minuman
0.0215
Menyebar
0.0218
12
Industri Pengolahan Karet
0.0629
Menyebar
0.0974
Klasifikasi Terkonsentrasi Terkonsentrasi Terkonsentrasi Menyebar Menyebar Terkonsentrasi Terkonsentrasi Menyebar Terkonsentrasi Terkonsentrasi Menyebar Menyebar
116 Pada Tabel 18, terlihat bahwa sebagian besar sektor agroindustri
di Provinsi
Lampung pada tahun 2005 terkonsentrasi secara spasial. Nilai Gini Lokasional sektor agroindustri terbesar adalah industri makanan lainnya sebesar 0.6295, diikuti industri gula sebesar 0.4181, industri buah sayur sebesar 0.2739, industri tapioka dan tepung lain sebesar 0.2738, serta industri ikan, daging dan udang sebesar 0.2511. Hasil nilai Gini Lokasional menunjukkan ketidakmerataan lokasi agroindustri di Provinsi Lampung. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) menunjukkan perbedaan struktur industri pada suatu wilayah dengan struktur industri pada suatu wilayah lain maupun seluruh wilayah, yang akan mempengaruhi daya saing wilayah yang menjadi standar. Hasil penilaian menunjukkan tingkat spealisasi wilayah yang dianalisis. Indeks Spesialisasi Krugman pada tahun 2000 dan 2005 disajikan pada Tabel 19. Tabel 19. Indeks Spesialisasi Krugman (KSpec) Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung No.
Sektor Agroindustri
2000 Kspec
Klasifikasi
2005 Kspec
Klasifikasi
1
Industri Buah dan Sayur
1.041829
Terspesialisasi
1.004104
Terspesialisasi
2
Industri Ikan, Daging & Udang
1.164160
Terspesialisasi
1.507187
Terspesialisas
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
1.375592
Terspesialisasi
1.390984
Terspesialisas
4
Industri Kopra/ Kelapa
0.355566
0.353130
5
Industri Minyak/ Lemak
0.327284
6
Industri Padi
0.681447
7
Industri Gula
2.111491
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi
8
Industri Kopi
0.774254
9
Industri Pakan Ternak
0.835137
10
Industri Makanan Lainnya
1.752682
11
Industri Minuman
0.301427
12
Industri Pengolahan Karet
0.718105
0.312591 0.689609 2.034469
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi
0.766481
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi
0.299717
0.786864 1.688222
0.828129
Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi Terspesialisasi Kurang terspesialisasi Kurang terspesialisasi
117 Hasil analisis menunjukkan bahwa industri gula mempunyai nilai Indeks Spesialisasi Krugman terbesar, yang berarti bahwa Provinsi Lampung mempunyai tingkat spesialisasi yang tinggi pada industri gula. Urutan selanjutnya terhadap nilai Indeks Spesialisasi Krugman adalah industri makanan lainnya, industri pengolahan ikan dan udang, industri tapioka dan tepung lain, serta industri buah dan sayur. Menurut Marshal (1920) dalam McCann (1991), ketersediaan tenaga kerja spesialis akan menguntungkan perusahaan yang terspesialisasi di wilayah tersebut. Sedangkan Porter (1990) menyatakan bahwa tenaga kerja yang terspesialisasi merupakan bagian dan faktor determinan dalam keunggulan ekonomi suatu wilayah. Adanya tenaga kerja yang terspesialisasi akan mendorong perusahaan yang terspesialisasi untuk terkonsentrasi pada wilayah tersebut (Lafourcade and Mion, 2003). Graham (2007) melihat perlunya penggunaan kedekatan lokasi (co-location) untuk mengidentifikasi industri yang teraglomerasi dan berklaster. Oleh karena itu, klaster agroindustri yang berbasis bahan baku layak dikembangkan di Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang karena Kabupaten Lampung Tengah dan Kabupaten Tulang Bawang merupakan wilayah yang lokasinya berdekatan. Industri berorientasi ekspor-impor cocok untuk dikembangkan di Kota Bandar Lampung karena kedekatannya dengan pelabuhan ekspor-impor. Pada sisi lain, konsentrasi spasial pada agroindustri di Kota Bandar Lampung terjadi akibat adanya aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya transportasi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Krugman (1991) yang menyatakan bahwa
aglomerasi yang disebabkan oleh upaya mengurangi biaya
transportasi berlokasi di sekitar local demand yang besar serta upaya memperoleh akses pasar yang luas. Industri-industri yang mengalami konsentrasi spasial tersebut adalah industri pengolahan kopi, industri minyak/ lemak, dan industri minuman. Jumlah penduduk Kota Bandar Lampung yang cukup banyak merupakan pasar yang
118 potensial bagi output industri tersebut. Selain itu, pelabuhan Panjang di Kota Bandar Lampung mempermudah akses menuju pasar ekspor-impor bagi industri pakan ternak, pengolahan karet, dan industri-industri lain. 6.2. Kekuatan Aglomerasi
Ellison and Glaeser (1997) mengemukakan peranan knowledge spillover dan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantages dalam mendorong terjadinya konsentrasi spasial sebagai kekuatan aglomerasi. Kontribusi natural advantages berdasarkan factor endowment secara simultan mempengaruhi dan mendorong skala ekonomi internal perusahaan. Ellison and Glaeser (1997) membuat suatu indeks ( γ EG ) dengan standard pengukuran sebagai berikut : di bawah 0.02 menunjukkan dispersi, sedangkan di atas 0.05 menunjukkan terjadinya aglomerasi, di mana keduaduanya disebabkan oleh pengaruh natural advantage dan knowledge spillover. Tabel 20. Indeks Ellison-Glaeser Sektor Agroindustri Provinsi Lampung No.
Sektor Agroindustri
γ EG
2000 Klasifikasi
γ EG
2005 Klasifikasi
1
Industri Buah dan Sayur
0.244708
Aglomerasi
Peringkat 3
2
Industri Ikan, Daging & Udang
0.132928
Aglomerasi
5
0.22424705
Aglomerasi
5
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.230377
Aglomerasi
4
0.23278537
Aglomerasi
4
4
Industri Kopra/ Kelapa
0.021578
Dispersi
0.02190139
Dispersi
5
Industri Minyak/ Lemak
0.013836
Dispersi
0.01356651
Dispersi
6
Industri Padi
0.116101
Aglomerasi
6
0.11748674
Aglomerasi
6
7
Industri Gula
0.424831
Aglomerasi
2
0.39360045
Aglomerasi
2
8
Industri Kopi
0.059059
Aglomerasi
8
0.05894218
Aglomeras
9
9
Industri Pakan Ternak
0.093962
Aglomerasi
7
0.09033555
Aglomerasi
7
10
Industri Makanan Lainnya
0.547666
Aglomerasi
1
0.56691352
Aglomerasi
1
11
Industri Minuman
0.018969
Dispersi
0.01927654
Dispersi
12
Industri Pengolahan Karet
0.050537
Aglomerasi
0.082884
Aglomerasi
9
0.24741368
Aglomerasi
Peringkat 3
8
119 Berdasarkan Tabel 20, nilai Indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) atau terbesar pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung tahun 2005 adalah industri makanan lainnya, diikuti industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, industri ikan, daging, dan udang, industri padi, industri pakan ternak, industri karet, dan industri kopi. Sektor agroindustri yang mempunyai nilai indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) di atas 0.05 dinyatakan beraglomerasi. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan indeks Ellison-Glaeser pada tahun 2000, namun pada tahun 2005 industri kopi yang menempati peringkat 8 pada tahun 2000 turun menjadi peringkat 9 (terendah) pada tahun 2005. Industri makanan lainnya mempunyai nilai indeks Ellison-Glaeser sebesar 0.5669. Nilai indeks Ellison-Glaeser pada industri makanan lainnya tersebut merupakan indeks terbesar di antara sektor agroindustri di Provinsi Lampung pada tahun 2005. Industri makanan lainya terkonsentrasi pada kota Metro. Besarnya nilai indeks tersebut menjelaskan terjadinya MAR (Marshall-Arrow-Romer) eksternalitas (knowledge spillover) dan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantage. Faktor natural advantage berkaitan dengan potensi kawasan budidaya yang dimanfaatkan untuk budidaya pertanian sebagai bahan baku agroindustri. Berdasarkan RTRW Provinsi Lampung Tahun 2006, 70% dari luas wilayah Provinsi Lampung yaitu sebesar 3 301 545 ha dimanfaatkan untuk kawasan budidaya. Mayoritas penggunaan budidaya digunakan untuk budidaya pertanian lahan kering dan lahan basah sesuai dengan kesesuaian lahannya. Nilai indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) untuk industri kopra dan kelapa sebesar 0.02190139, industri minyak lemak sebesar 0.0135665, dan industri minuman sebesar 0.01927654. Ketiga sektor tersebut memiliki nilai indeks Ellison-Glaeser dibawah 0.02 yang menunjukkan adanya dispersi (penyebaran) atau tidak adanya aglomerasi. Pada ketiga sektor agroindustri tersebut juga tidak ditemukan peranan
120 eksternalitas knowledge spillover dan peranan eksternalitas yang disebabkan oleh natural advantage. Dinamika nilai indeks Ellison-Glaeser ( γ EG ) tahun 2000 dan tahun 2005 dipengaruhi pula oleh dinamika pada nilai Indeks Gini Lokasional
(gEG) dan
indeks kekuatan aglomerasi (GEG). Terjadi penurunan gEG pada industri minyak/lemak pada tahun 2000 sebesar 0.0158 menjadi sebesar 0.0156 pada tahun 2005. Penurunan gEG menunjukkan bahwa keanekaragaman karakteristik antar wilayah pada industri minyak/lemak semakin berkurang. Penurunan gEG pada industri minyak/lemak menunjukkan penurunan eksternalitas yang disertai dengan penurunan kekuatan aglomerasi (terlihat dari penurunan gEG dari 0.015913 pada tahun 2000 menjadi 0.015645 pada tahun 2005). Penurunan nilai gEG terjadi pula pada industri kopra/ kelapa dan industri minuman. Pada industri buah dan sayur di Provinsi Lampung terjadi peningkatan gEG dari 0,2712 pada tahun 2000 menjadi 0,2739 pada tahun 2005. Hal ini menunjukkan peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah sektor tersebut. Hal ini diikuti oleh peningkatan kekuatan aglomerasi
tersebut (peningkatan kekuatan
aglomerasi terlihat dari kenaikan GEG dari 0.27231 tahun 2000 menjadi 0.27485 pada tahun 2005). Kenaikan dorongan aglomerasi disebabkan oleh peningkatan eksternalitas yang disebabkan knowledge spillover natural advantage (diperlihatkan oleh kenaikan γ EG dari sebesar 0.244708 pada tahun 2000 menjadi 0.247413 pada tahun 2005). Industri buah dan sayur di Provinsi Lampung mengalami peningkatan gEG dari 0,2712 pada tahun 2000 menjadi 0,2739 pada tahun 2005 menujukkan peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah subsektor tersebut. Hal ini diikuti oleh peningkatan kekuatan aglomerasi
tersebut (peningkatan kekuatan
aglomerasi terlihat dari kenaikan GEG dari 0.27231 tahun 2000 menjadi 0.27485 pada
121 tahun 2005. Kenaikan dorongan aglomerasi disebabkan oleh peningkatan eksternalitas yang disebabkan knowledge spillover natural advantage (diperlihatkan oleh kenaikan
γ EG dari sebesar 0.244708 pada tahun 2000 menjadi 0.2474137 pada tahun 2005). Industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lainnya, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet, dalam kurun waktu tahun 2000 ke 2005 mengalami peningkatan gEG. Peningkatan gEG ini menunjukkan peningkatan perbedaan kerakteristik dan spesialisasi antar wilayah sektor tersebut. Menurut Ellison and Glaeser (1999), jumlah penduduk sebagai pasar yang potensial dan
pelabuhan laut yang mendukung industri merupakan natural
advantages wilayah yang berperan penting dalam proses aglomerasi. Fujita and Mori (1996) menyatakan bahwa adanya pelabuhan laut memperbesar skala kota dan meningkatkan ektemalitas positif dari konsentrasi spasial. Pendapat ini didukung oleh Porter (1990) yang menyatakan bahwa demand condition dan factor condition (termasuk di dalamnya akses transportasi dan infrastruktur) merupakan determinan keunggulan industri suatu wilayah. Provinsi Lampung memiliki enam pelabuhan laut, meliputi satu pelabuhan umum yang diusahakan dan lima pelabuhan yang tidak diusahakan, serta satu pelabuhan khusus yang dikelola oleh agroindustri udang PT Dipasena Citra Darmaja di Pantai Timur Provinsi Lampung. Pelabuhan laut yang diusahakan di Provinsi Lampung adalah Pelabuhan Panjang yang dikelola oleh PT (Persero) PELINDO II Cabang Panjang. Kelima pelabuhan yang tidak diusahakan adalah Kota Agung, Teluk Betung, Labuhan Maringgai, Menggala, dan Mesuji. Penghematan urbanisasi terjadi ketika efisiensi perusahaan meningkat akibat meningkatnya produksi dan efisiensi seluruh perusahaan dalam wilayah yang sama. Penghematan karena berlokasi di wilayah yang sama ini terjadi akibat skala
122 perekonomian kota dan wilayah yang besar serta beranekaragam, dan bukan akibat skala suatu jenis industri. Penghematan urbanisasi memunculkan fenomena yang disebut dengan aglomerasi perkotaan yang menyebabkan terjadinya perluasan wilayah metropolitan (extended metropolitan regions) dan mendorong industrialisasi pada suatu wilayah (Kuncoro, 2000). Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung, yaitu sebesar 37 042 pekerja pada tahun 2000 menjadi 61 522 pekerja pada tahun 2005. Peningkatan jumlah tenaga kerja pada sektor agroindustri tersebut didorong oleh perkembangan industri di Provinsi Lampung akibat penghematan urbanisasi. Berdasarkan Rencana Tata Ruang nasional (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008), kawasan perkotaan Bandar Lampung merupakan pusat kegiatan nasional (PKN). PKN merupakan kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional dan beberapa provinsi atau pelayanan primer (Departemen Pekerjaan Umum, 2008). Sedangkan kota-kota lain di Provinsi Lampung yaitu Metro, Kalianda, Liwa, Menggala, Kotabumi dan Kotaagung merupakan pusat kegiatan wilayah atau pelayanan sekunder yang melayani kegiatan provinsi atau kabupaten/kota (Bappeda Provinsi Lampung, 2006). Konfigurasi sistem perkotaan yang berpengaruh pada aglomerasi secara spasial dapat dilihat pada Lampiran 24. Klaster adalah konsentrasi spasial dari industri-industri yang sama atau sejenis. Penetapan klaster tersebut didasarkan pada Indeks Spesialisasi Krugman, Indeks Ellison-Gleaser, dan pemetaan agroindustri. Pemetaan agroindustri dilakukan untuk mengelompokkan sektor agroindustri berdasarkan kedekatan lokasi dalam kabupaten atau kabupaten yang berdekatan (lihat Gambar 7). Berdasarkan kriteriakriteria tersebut, pengelompokkan sektor agroindustri yang berklaster dan yang tidak berklaster dapat dilihat pada Tabel 21.
123
Gambar 7. Pemetaan Klaster Agroindustri Provinsi Lampung
124 Tabel 21. Penetapan Klaster Agroindustri di Provinsi Lampung Agroindustri
Indeks Spesialisasi Krugman 2005
Indeks Ellison Gleaser 2005
Industri Buah dan Sayur
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab. LampungTengah & Tulang Bawang
Klaster
Industri Ikan, Daging & Udang
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab. Tulang Bawang
Klaster
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab Lampung Tengah dan Tulang Bawang
Klaster
Industri Kopra/ Kelapa
Kurang terspesialisasi
Dispersi
Tidak ada klaster
Tidak Berklaster
Industri Minyak/ Lemak
Kurang terspesialisasi
Dispersi
Tidak ada klaster
Tidak Berklaster
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kab Lampung Tengah & Tanggamus
Klaster
Industri Padi
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada klaster di Kab. Lampung Tengah & Tulang Bawang
Klaster
Industri Kopi
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kota Bandar Lampung
Klaster
Industri Pakan Ternak
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kota Bandar Lampung
Klaster
Industri Makanan Lainnya
Terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Kota Metro
Klaster
Kurang terspesialisasi
Dispersi
Tidak Ada klaster
Tidak Berklaster
Kurang terspesialisasi
Aglomerasi
Ada Klaster di Bandar Lampung dan Lampung Selatan
Klaster
Industri Tapioka & Tepung Lain
Industri Gula
Industri Minuman Industri Pengolahan Karet
Pemetaan Agroindustri
Penetapan Klaster
Sektor agroindustri yang berklaster adalah adalah industri makanan lainnya, industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, industri ikan, daging, dan udang, industri padi, industri pakan ternak, industri karet, dan industri kopi. Sektor agroindustri yang tidak berklaster adalah industri kopra dan kelapa, industri minyak/lemak, dan industri minuman.
125 6.3. Sumber-sumber Aglomerasi
Menurut MacCann (1991) terdapat tiga sumber-sumber aglomerasi, yaitu spillovers informasi, input lokal tidak diperdagangkan, dan sumber tenaga kerja lokal terlatih. Spillovers informasi pemilik perusahaan relatif mudah dalam mengakses tenaga kerja dari perusahaan lokal lainnya. Tenaga kerja yang berkumpul pada lokasi yang sama memudahkan rembesan (spillovers) informasi melalui kontak langsung atau tidak langsung. Input lokal tidak diperdagangkan seperti infrastruktur tersebut, menyebabkan perusahaan lebih efisien dibandingkan apabila perusahaan terdispersi / menyebar. Ketersediaan tenaga kerja terlatih pada lokasi tersebut relatif lebih banyak dari pada tenaga kerja yang terdispersi. Dalam analisis sumber-sumber aglomerasi pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung, spillovers informasi didekati dengan afiliasi perusahaan pada kelompok yang dapat mempercepat kwoledge spillovers, input lokal yang tidak diperdagangkan dilihat dari infrastruktur yang mendukung pengembangan agroindustri, dan tenaga terlatih yang didekati dari tingkat pendidikan pekerja. Salah satu infrastruktur penting yang mendukung pengembangan agroindustri adalah jalan. Jaringan prasarana jalan di Provinsi Lampung terdiri dari ruas-ruas jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Sumber-sumber aglomerasi sektor agroindustri di Provinsi Lampung disajikan pada Tabel 22. Berdasarkan Tabel 22, terlihat bahwa pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung terdapat kelompok mayoritas pada setiap cabang agroindustri, adanya infrastruktur yang mendukung pengembangan agroindustri, serta mayoritas pekerja yang berpendidikan SMA. Adanya kelompok perusahaan akan memudahkan pekerja
untuk
mendapatkan
informasi
ketenagakerjaan
pada
perusahaan
kelompoknya. Infrastruktur yang mendukung merupakan salah satu input yang
126 tidak diperdagangkan. Rincian nama perusahaan agroindustri, produksi utama, jumlah tenaga kerja, dan alamatnya dapat dilihat pada Lampiran 25. Tabel 22. Sumber-sumber Aglomerasi Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung No
Agroindustri
Jumlah Perusahaan 3
1.
Industri buah dan sayur
2.
Industri ikan, daging dan udang
3
PT Central Proteinaprima Tbk
3.
Industri minyak dan lemak
3
4.
Industri padi
11
Tidak ada mayoritas, 1 perusahaan berada di lokasi bahan baku dan 2 lainnya tidak Asosiasi
5.
Industri kelapa/ kopra
3
Tidak ada
6.
Industri tapioka dan tepung lain
39
CV Bumi Waras dan Budi Acid Jaya
7.
Industri pengolahan kopi
6
Berafiliasi pada AEKI, salah satu grup adalah PT Aman Jaya Perdana
8.
Industri pengolahan makanan lainnya
35
9.
Industri gula
5
Berafiliasi pada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sugar Group Company
Kelompok Mayoritas
Infrastruktur Pendukung
Sumberdaya Manusia
PT Great Giant Pineapple
Jalan lintas tengah Sumatera yang relatif terawat dan dipelihara oleh Negara Pantai timur Provinsi Lampung yang sudah dilengkapi pelabuhan ekspor
Tingkat pendidikan pekerja mayoritas adalah SMA (67.98 %), Tingkat pendidikan pekerja mayoritas adalah SMA (67.98 %), Mayoritas pekerja berpendidikan SD (60.69 %)
Infrastruktur yang mendukung kedua kelompok tersebut berbeda Terpeliharanya jaringan irigasi dan jalan pada sentra produksi padi Infrastruktur berbeda antar beberapa kabupaten/kota
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (42.67 %) Mayoritas pekerja berpendidikan SD (38.26 %)
Infrastruktur sentra produksi tapioka yang dibangun mulai dari zaman transmigrasi hingga sekarang Mayoritas pada kawasan industri di sekitar Pelabuhan Panjang dan infrastruktur perkotaan Infrastruktur perkotaan pada sentra industri
Mayoritas pekerja berpendidikan SD dan SMP
Jalan Lintas Tengah dan Timur Sumatera, dan infrastruktur perkebunan antar perusahaan yang baik
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (48 %) Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (34 %) Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (60 %)
127 Tabel 22. Lanjutan No
Agroindustri
Jumlah Perusahaan 6
10.
Industri pakan ternak
11.
Industri minuman
8
12.
Industri pengolahan karet
9
Kelompok Mayoritas PT Vista Grain
Salah satu industri PT Keong Nusantara Abadi, yang lainnya menyebar PTP Nusantara VII
Infrastruktur Pendukung
Sumberdaya Manusia
Perusahaan berada pada kawasan industri di sekitar Pelabuhan Panjang dan infrastruktur perkotaan Infrastruktur berbeda antar beberapa kabupaten/kota
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (31 %)
Infrastruktur jalan kebun, jalan antar kabupaten dan prasarana perkotaan
Mayoritas pekerja berpendidikan SD dan SMP masing-masing 45 % dan 25%
Mayoritas pekerja berpendidikan SMA (58 %)
Dalam kurun waktu tahun 1997 – 2005, tingkat pendidikan pekerja pada sektor agroindustri menunjukkan peningkatan. Tingkat pendidikan pekerja industri buah sayur pada tahun 2005 adalah SMA (67.98%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan derajat pendidikan untuk lulusan D3 dan sarjana (masing-masing menjadi sebesar 5%). Tingkat pendidikan pekerja industri buah sayur pada tahun 2005 adalah SMA (67.98 %), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan derajat pendidikan untuk lulusan D3 dan sarjana (masingmasing menjadi sebesar 12% dan 9%). Sedangkan mayoritas pekerja pada industri tapioka adalah berpendidikan SD dan SMP masing-masing sebesar 25%, apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 6% dan 4% (lihat Lampiran 24). Pekerja pada industri kopi mayoritas berpendidikan SMA (48%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 5% dan 4% pada
128 tahun 2005. Pada industri pengolahan makanan, terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 3% dan 2%. Sedangkan pekerja pada industri gula terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 11% dan 9%. Mayoritas pekerja pada industri pakan ternak adalah berpendidikan SMA (31%), apabila dibandingkan dengan tahun 1997 terjadi peningkatan pada jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 4.5% dan 3% pada tahun 2005. Pada industri minuman terjadi peningkatan jumlah pekerja yang berpendidikan tingkat D3 dan sarjana, masing-masing menjadi 3.2% dan 2.5%. Pada industri pengolahan karet terjadi peningkatan pendidikan pada jumlah pekerja, tetapi yang meningkat adalah tingkat D3 dan sarjana, masingmasing menjadi 3% dan 2.4%. Selama tahun 1997 – 2005, tingkat pendidikan pekerja sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang mengalami peningkatan adalah pada tingkat D3 dan sarjana dari mayoritas pekerja yang berpendidikan SMA. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya kualitas pekerja dalam kurun waktu tersebut. Tenaga berkualitas merupakan sumber tenaga kerja lokal terlatih yang merupakan salah satu sumber aglomerasi. Berdasarkan Tabel 22, disimpulkan bahwa sebagian besar agroindustri besar dan sedang yang beraglomerasi di Provinsi Lampung terdiri dari : 1. Agroindustri besar dan sedang, terutama industri buah dan sayur, industri ikan, daging, dan udang, industri tapioka dan tepung lain, dan mempunyai kelompok mayoritas atau merupakan bagian atau anak perusahaan dari group besar. 2. Agroindustri berada pada sentra produksi pada jalur jalan negara atau provinsi yang mempunyai akses ke kota pusat pelayanan atau ke pelabuhan ekspor. 3. Mayoritas pekerja berpendidikan setingkat SMA.
129 6.4. Produktivitas dan Penghematan Akibat Aglomerasi 6.4.1. Hasil Pengujian Statistik Model
Spesifikasi model yang dilakukan merupakan pengembangan dari model Somik (2004), Cohen (2005) dan Kanemoto (1996). Model tersebut mengikuti bentuk model yang menguji kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi sesuai model Moomaw (1983), Nakamura (1985) dan Henderson (1995). Model yang dipergunakan dalam analisis produktivitas dan penghematan akibat aglomerasi adalah : ^
Yi = g ( Ai ) X ( K i ) g ( Ai ) = f ( Loc, Urb)
(4.1)
^
X ( K i ) = f ( Kapital , Upah, Bahanbaku, Enegi) Di mana Yi adalah output pada subsektor agroindustri/ industri tertentu i, g(Ai) menunjukkan pengaruh eksternal dari sumber-sumber aglomerasi; dimana Loc merupakan ukuran penghematan akibat lokalisasi dan Urb merupakan ukuran ^
penghematan akibat urbanisasi. X ( K i ) merupakan input industri i, yang terdiri dari kapital, upah (labor), bahan baku (material) dan energi. Spesifikasi model dalam penelitian ini merupakan fungsi produksi cobbdouglas dalam bentuk linier logaritma yaitu :
LnYit = αˆ it + αˆ1 lnlocalit + αˆ 2 ln urbanit + βˆ1 ln capitalit + βˆ2 ln laborit +
(4.2)
βˆ3 ln materialit + βˆ4 ln energiit + ε it Dimana Yit merupakan output agroindustri/ industri tertentu i pada tahun ke t yang tergantung pada jenis penghematan akibat aglomerasi yang terdiri dari penghematan akibat lokalisasi (lokalt) dan penghematan akibat urbanisasi (urbant). Jenis input produksi terdiri dari kapital, upah, bahan baku, dan energi.
130 Hipotesis yang digunakan dengan menduga bahwa α 1 , α 2 , β 1 , β 2 , β 3 , β 4 adalah positif. Seluruh variabel memiliki efek positif terhadap output industri. Nilai koefisien tersebut merupakan elastisitas output kapital, elastisitas output labour, elastisitas output material, elastisitas output energi. Hasil regresi berdasarkan pengujian pendekatan model estimasi output sektor agroindustri di Provinsi Lampung secara umum menunjukkan pengaruh yang nyata (lihat Lampiran 27). Hasil tersebut dibuktikan antara lain: (1) nilai R-squared yang menunjukkan seluruh variabel bebas menerangkan variabel ln output berkisar antara 0.7 sampai dengan 0.97, (2) nilai F statistik menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya, dan (3) tidak ditemukan gangguan autokorelasi, multikolinearitas, dan heterokedastisitas pada semua data 12 sektor agroindustri yang dianalisis. Pengujian variabel secara parsial menggunakan uji t-statistik. Uji tersebut digunakan untuk menguji signifikansi parameter atau koefisien industri buah dan sayur, industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri kopra/kelapa, industri minyak/lemak, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, industri minuman, dan industri pengolahan karet.
Variabel bebas terdiri dari ln kapital, ln bahan baku, ln upah
tenaga kerja dan ln energi berpengaruh nyat terhadap ln output industri. Nilai uji thitung lebih besar dibandingkan t-tabel (untuk α sebesar 1.5 dan 10%) sehingga seluruh variabel tersebut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ln output. Hasil pengujian secara statistik menunjukkan bahwa output prooduksi sektor agroindustri di Provinsi Lampung secara signifikan dipengaruhi oleh fungsi produksi atau variabel faktor produksi dan fungsi eksternal atau variabel unsur eksternal. Hasil ini sejalan dengan penelitian Somik (2004) dan Cohen (2005) yang membuktikan adanya kontribusi faktor eksternal dalam suatu fungsi produksi.
131 6.4.2. Produktivitas Agroindustri di Provinsi Lampung
Fungsi produksi adalah hubungan teknis antara input dengan output. Suatu persamaan yang menunjukkan jumlah maksimum output yang dihasilkan dengan kombinasi input tertentu. Dua aspek fungsi produksi yang bisa diukur adalah konsep return to scale dan marginal physical product (MPP). MPP adalah perubahan output sebagai akibat perubahan satu satuan input yang diperoleh melalui turunan pertama dan fungsi produksi Cobb-Douglass (CD). Pemahaman tentang MPP penting untuk mengetahui produktivitas masing-masing faktor input. Apabila nilai MPP untuk tiap-tiap input di atas dikaitkan dengan elastisitas inputnya, maka akan diperoleh keistimewaan dalam fungsi produksi CD. Elastisitas input adalah persentase perubahan output sebagai akibat persentase perubahan input. Tujuannya adalah untuk: (1) menjelaskan input mana yang lebih elastis dibandingkan dengan input lainnya, dan (2) mengetahui intensitas faktor produksinya, apakah bersifat padat kerja atau padat modal. Fungsi produksi menggambarkan hubungan input, ouput, dan waktu, dikenal dengan efisiensi menurut Hicks (Hicksian neutral technical progress) yang dinyatakan dalam bentuk logaritma natural (ln A). Nilai ini dapat disebabkan oleh kapital, labor, energi, bahan baku, penghematan akibat aglomerasi dan sebagainya. Dengan kata lain, efisiensi menurut Hicks, dapat menggambarkan tingginya penggunaan teknologi untuk mcnghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi. Koefisien produktivitas agroindustri di Provinsi Lampung berdasarkan pengujian model disajikan pada Tabel 23. Skala pengembalian (return to scale) agroindustri di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005 berkisar antara 0.2827 (industri padi) dan 1.227 (industri pakan ternak). Rendahnya elastisitas pada industri padi menunjukkan bahwa terjadi fenomena berlakunya hukum diminishing marginal
132 productivity of energy, di mana penambahan terhadap energi justru akan menurunkan total produksi industri. Tabel 23. Koefisien Produksi pada Agroindustri di Provinsi Lampung Agroindustri
Elastisitas Output Kapital
Elastisitas Output Bahan Baku
Industri Buah dan Sayur
0.0264
Industri Ikan, Daging & Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa
Elastisitas Output Energi
Return to Scale (RTS)
0.5744
Elastisitas Output Upah Tenaga Kerja 0.2858
0.1293
1.0159
0.2866
0.7815
-0.024
-0.1489
0.895
0.0415
0.5903
0.2923
0.1275
1.0516
-0.0472
0.2911
0.3863
0.1044
0.7346
0.016
0.4112
0.0323
0.0922
0.5517
Industri Padi
-0.2296
0.614
0.0629
-0.165
0.2827
Industri Gula
0.2332
-1.4695
1.2841
1.0748
1.1226
Industri Kopi
-0.0178
0.3262
0.6219
0.0275
0.9578
Industri Pakan Ternak
0.0802
0.5267
0.57
0.0501
1.227
Industri Makanan Lainnya
0.0996
0.9245
-0.121
-0.0136
0.8894
Industri Minuman
0.0105
0.2874
0.3966
0.0541
0.7486
0.092
-0.00285
0.2382
0.73
1.05735
Industri Minyak/ Lemak
Industri Pengolahan Karet
Terdapat empat agroindustri yang memiliki nilai increasing return to scale (IRTS) yaitu industri buah dan sayur sebesar 1.0159, industri tapioka dan tepung lain sebesar 1.0516, industri gula sebesar 1.226, dan industri pakan ternak sebesar 1.227.
RTS tertinggi terjadi pada industri pakan ternak sebesar 1.227, yang
menunjukkan karakter increasing return to scale, artinya bahwa penambahan faktor produksi sebanyak 1 unit menyebabkan peningkatan output sebesar 1.227 unit. Elastisitas output kapital/marjinal produksi kapital berkisar antara -0.2296 (industri gula) dan 0.2866 (industri ikan, daging dan udang). Kecilnya elastisitas output kapital/marjinal produksi di antara marjinal produksi input lainnya terkait dengan perkembangan agoindustri di Provinsi Lampung periode tahun 2000 – 2005, di mana penambahan investasi kurang nyata untuk peningkatan stok kapital.
133 Elastisitas output bahan baku/marjinal produksi bahan baku berkisar antara -0.00285 (industri pengolahan karet) dan 0.9245 (industri makanan lainnya). Hampir seluruh agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan elastisitas output bahan baku/marjinal produksi bahan baku yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap output produksi. Elastisitas output upah tenaga kerja/marjinal produksi upah tenaga kerja berkisar antara -0.0242 (industri ikan, daging dan udang) dan 1.3841 (industri gula). Tingkat efisiensi perusahaan berkaitan erat dengan biaya-biaya faktor input terutama tenaga kerja yang digunakan untuk setiap unit output yang dihasilkan dalam proses produksi. Elastisitas output energi/marjinal produksi energi berkisar antara -0.0136 (industri makanan lainnya) dan 1.0748 (industri gula). Hampir seluruh agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan elastisitas output energi/marjinal produksi energi yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap output produksi. Dengan kata lain, produktivitas energi terhadap output produksi efisien karena kebutuhan dan permintaan terhadap input energi pada tiap sektor agroindustri tersebut mengalami peningkatan sehingga mampu meningkatkan jumlah output produksi. 6.4.3. Penghematan Akibat Aglomerasi Agoindustri
Hasil regresi terhadap masing-masing output sektor agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa jenis aglomerasi yang terjadi memberikan pengaruh signifikan (positif atau negatif) terhadap agregat output yang diwakili oleh variabel output industri. Interpretasi berkaitan dengan aglomerasi lebih menekankan pada tanda signifikansi.
Koefisien penghematan akibat aglomerasi pada agroindustri
disajikan pada Tabel 24. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif dari penghematan akibat lokalisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan
134 udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, industri makanan lainnya, dan industri minuman. Tabel 24. Koefisien Penghematan Akibat Aglomerasi pada Agroindustri No.
Agroindustri
Lokal
Urban
1
Industri Buah dan Sayur
0.024
4.522
2
Industri Ikan, Daging & Udang
0.05
7.1304
3
Industri Tapioka & Tepung Lain
0.096
4.201
4
Industri Kopra/ Kelapa
-0.0837
-7.67
5
Industri Minyak/ Lemak
0.0573
3.1878
6
Industri Padi
1.742
4.6547
7
Industri Gula
2.163
60.418
8
Industri Kopi
0.0275
1.916
9
Industri Pakan Ternak
-0.271
0.2217
10
Industri Makanan Lainnya
0.199
3.7155
11
Industri Minuman
0.0658
-8.534
12
Industri Pengolahan Karet
-0.048
4.212
Pertimbangan pemilihan lokasi industri buah dan sayur disebabkan perusahaan pengolahan buah dan sayur memilih dekat dengan sumber bahan bakunya. Industri buah dan sayur memerlukan lokasi dan kondisi agroklimat yang sesuai. Sebagian besar industri buah dan sayur berada di Kabupaten Lampung Tengah karena agroklimat yang sesuai, serta memiliki akses yang baik ke pelabuhan Panjang dan Kota Bandar Lampung sebagai transit tujuan ekspor industri buah dan sayur. Industri pengolahan ikan, daging, dan udang memilih berlokasi di daerah sentra produksinya karena berorientasi pada input
(resources based oriented).
Kontributor terbesar industri pengolahan ikan, daging, dan udang di Provinsi Lampung berasal dari industri pengolahan udang PT Dipasena Citra Darmaja dan PT Central Pertiwi Bratasena di Kabupaten Tulang Bawang. Dilihat dari fungsi produksi industri pengolahan ikan, daging, dan udang Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan lebih efektif dalam
135 meningkatkan output, namun penggunaan tenaga kerja yang tinggi akan menurunkan output. Industri tapioka dan tepung lain berlokasi di daerah sentra produksi di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung Tengah dan Lampung Timur
karena
berorientasi pada input (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung didirikan pada lokasi bahan baku. Secara historis, Kabupaten Lampung Tengah merupakan daerah transmigran yang lebih banyak ditanami singkong sebagai bahan baku tapioka sebelum menghasilkan tanaman lain. Dilihat dari fungsi produksi industri tapioka dan tepung lain di Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) lebih efektif dalam meningkatkan output. Dua macam pertimbangan untuk pemilihan lokasi industri minyak/lemak di daerah sentra agroindustri di Kabupaten Lampung Tengah karena berorientasi pada input (resources based oriented) dan berlokasi dekat dengan Kota Bandar Lampung sehingga lebih berorientasi pada konsumen dan kelancaran transportasi pemasaran. Berdasarkan fungsi produksi industri minyak/lemak Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Pertimbangan pemilihan lokasi industri pengolahan padi (beras) di daerah sentra produksi padi di Kabupaten Lampung Tengah dan Tanggamus karena industri padi berorientasi pada input (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung berlokasi dekat dengan bahan bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri padi Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Industri gula berlokasi di daerah sentra produksi tebu di Kabupaten Tulang Bawang dan Lampung Tengah. Industri ini berorientasi pada input (resources based
136 oriented) karena agroindustri gula cenderung berlokasi dekat dengan bahan bakunya. Berdasarkan fungsi produksi industri gula Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Sebagian besar industri pengolahan kopi di Provinsi Lampung berlokasi di Kota Bandar Lampung karena berorientasi pada ekspor. Agroindustri pengolahan kopi cenderung berlokasi di dekat Pelabuhan Panjang sebagai sarana pelabuhan ekspor utama di Provinsi Lampung. Berdasarkan fungsi produksi industri kopi Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Pertimbangan pemilihan lokasi industri minuman di daerah sentra produksi yaitu di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan berorientasi pada input produksi (resources based oriented). Agroindustri ini cenderung berlokasi dekat dengan bahan bakunya.
Berdasarkan fungsi produksi industri minuman
Provinsi Lampung pada tahun 1988-2005, keseluruhan input yang digunakan (kapital, bahan baku, tenaga kerja dan energi) efektif dalam meningkatkan output. Agroindustri yang mempunyai pengaruh negatif dari penghematan akibat lokalisasi yaitu: industri kopra/kelapa, industri pakan ternak, dan industri pengolahan karet. Industri kopra/kelapa masih beroperasi dalam skala kecil dan menengah, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi dicerminkan dari spillovers yang masih negatif terhadap output. Industri kopra/kelapa beroperasi dalam jumlah perusahaan yang terbatas, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi yang dicerminkan dari spillovers masih negatif terhadap output. Industri pakan ternak masih beroperasi dalam kapasitas terbatas dan belum ada penambahan investasi, sehingga pengaruh penghematan lokalisasi yang dicerminkan dari spillovers masih negatif terhadap output.
137 Penghematan akibat urbanisasi akan mempengaruhi aktivitas ekonomi daerah, antara lain pertumbuhan tenaga kerja yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi daerah. Masuknya unsur penghematan akibat aglomerasi ke dalam fungsi produksi menyebabkan terjadinya kenaikan penggunaan input sehingga output akan terdorong naik dengan derajat yang lebih tinggi dibanding kenaikan input itu sendiri. Dengan demikian, penghematan akibat aglomerasi akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan daerah. Timbulnya penghematan akibat urbanisasi memerlukan peningkatan produktivitas industri yang berpengaruh pada lokasi perusahaan. Penghematan akibat urbanisasi ekonomi dapat dilihat dari pengaruh positif dan negatif terhadap outputnya. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif terhadap output dari penghematan akibat urbanisasi yaitu: industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri minyak/lemak, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet. Industri buah dan sayur berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri buah dan sayur. Pemilihan lokasi industri pengolahan ikan, daging dan udang dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri ikan, daging dan udang. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of energy, di mana penambahan terhadap energi justru akan menurunkan total produksi industri.
138 Industri tapioka dan tepung lain berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri tapioka dan tepung lain . Industri minyak/lemak berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri minyak/lemak. Industri pengolahan padi berlokasi dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri padi (beras). Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Iindustri gula berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri gula. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Industri pengolahan kopi berlokasi pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan permintaan dan penjualan produk industri kopi (kopi bubuk). Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri.
139 Pemilihan lokasi industri pakan ternak pada suatu area dengan pertimbangan kedekatan dengan perusahaan lain yang memberikan manfaat ekonomi. Tingginya kepadatan penduduk di Provinsi Lampung diharapkan mampu meningkatkan konsumsi ternak, sehingga permintaan dan penjualan ternak meningkat. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Agroindustri yang mempunyai pengaruh negatif dari penghematan akibat urbanisasi yaitu industri kopra/kelapa dan industri minuman. Industri kopra/kelapa masih beroperasi dalam skala kecil dan menengah serta jumlah perusahaan terbatas, sehingga penghematan urbanisasi yang dicerminkan dari pengaruh kepadatan penduduk masih negatif terhadap output. Pada industri ini terjadi diminishing marginal productivity of capital, di mana penambahan terhadap kapital justru akan menurunkan total produksi industri. Industri minuman juga masih beroperasi dalam jumlah perusahaan terbatas, sehingga penghematan urbanisasi yang dicerminkan dari pengaruh kepadatan penduduk terhadap output secara makro masih negatif. Adanya kenaikan jumlah kepadatan penduduk dapat mengurangi output produksi karena biaya yang dikeluarkan perusahaan masih lebih besar dari pada manfaat yang diperoleh oleh industri minuman. Perbandingan antara industri yang beraglomerasi (berklaster) dan tidak beraglomerasi (berklaster) menggunakan persamaan gabungan sektor agroindustri sebagai berikut : OPit
= f (KPT, BBK, UTK, ENG, PLK, PUB, DAG)
(4.4)
LnOPit = bo+b1LnKPTit+b2LnBBKit+b3LnUTKit+b4LnENGit+b5LnPLKit+ b6LnPUBit+ dAGit
140 dimana KPT merupakan kapital, BBK merupakan bahan baku, UTK merupakan upah tenaga kerja, ENG merupakan energi, PLK merupakan penghematan lokasi, PUB merupakan penghematan urbanisasi dan DAG merupakan dummy aglomerasi, dengan ketentuan apabila sektor agroindustri beraglomerasi/ berklaster maka dinilai 1, sedangkan yang tidak beraglomerasi/ tidak berklaster dinilai 0. Variabel dummy digunakan untuk mengindikasikan sektor agroindustri yang beraglomerasi atau berklaster dan yang tidak beraglomerasi (tidak berklaster)pada satu atau beberapa kabupaten yang berdekatan. Jika sektor agroindustri beraglomerasi/berklaster maka dinilai 1 dan yang tidak beraglomerasi (tidak berklaster) dinilai 0. Hasil estimasi model pada persamaan 4.4 adalah: OP = 1.235410 + 0.046605 KPT + 0.751021 BBK+ 0.132418 UTK + 0.052742 ENG + 0.021854 PLK + 0.063572 PUB + 0.146681 DAG Hasil estimasi persamaan 4.4 tersebut menghasilkan nilai return to scale (RTS) sebesar 1.00464,
artinya
penambahan faktor produksi 1% unit
menyebabkan output bertambah 1.00464%. Hasil RTS ini menunjukkan output berada di antara constant return to scale dan increasing return to scale. Koefisien pada persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan elastisitas, terdiri dari elastisitas output kapital, elastisitas output bahan baku, elastisitas output upah tenaga kerja, elastisitas output energi, elastisitas output penghematan lokalisasi dan elastisitas output penghematan urbanisasi. Interpretasi hasil pengujian setiap koefisien adalah : 1. Kapital Koefisien kapital positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi kapital menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output kapital sebesar 0.046605, artinya penambahan kapital 1% menyebabkan output bertambah 0.046605 %.
141 2. Bahan Baku Koefisien bahan baku positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi bahan baku menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output bahan baku sebesar 0.751021, artinya penambahan bahan baku 1 % menyebakan output bertambah 0.751021%. 3. Upah Tenaga Kerja. Koefisien upah tenaga kerja positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi upah tenaga kerja menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output upah tenaga kerja sebesar 0.132418, artinya penambahan upah tenaga kerja 1% unit menyebabkan output bertambah 0.132418%. 4. Energi Koefisien energi yang positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi energi menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas output energi sebesar 0.052742, artinya penambahan energi 1% unit menyebabkan output bertambah 0.132418%. 5. Penghematan Lokalisasi Koefisien penghematan lokalisasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi penggunaan tenaga kerja menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas penghematan lokasi sebesar 0.021854, artinya penambahan tenaga kerja 1% unit menyebabkan output bertambah 0.021854%. 6. Penghematan Urbanisasi Koefisien penghematan urbanisasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi kepadatan penduduk menyebabkan output semakin tinggi. Elastisitas penghematan urbanisasi sebesar 0.063572, artinya penambahan kepadatan penduduk 1% menyebabkan output bertambah 0.063572%. Jika dilihat dari hasil estimasi yang menggunakan fungsi Cobb-Douglas, semua variabel berpengaruh nyata terhadap output sektor agroindustri. Output
142 produksi sektor agroindustri di Provinsi Lampung berdasarkan data pada tahun 1988–2005 dipengaruhi oleh kapital, bahan baku, upah tenaga kerja dan energi, penghematan akibat lokalisasi, penghematan akibat urbanisasi, dan penetapan sektor agroindustri yang beraglomerasi atau tidak beraglomerasi. Sektor-sektor agroindustri yang beraglomerasi (industri buah dan sayur, industri ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet) berbeda secara signifikan dengan sektor-sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (industri kopra/kelapa, industri minyak/lemak, dan industri minuman). Hasil tersebut dibuktikan antara lain: (1) nilai R-squared yang menunjukkan seluruh variabel bebas menerangkan variabel ln output sebesar 0.97, (2) nilai F statistik menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel terikatnya, dan (3) tidak ditemukan gangguan autokorelasi, multikolinearitas, dan heterokedastisitas. Jika dilihat dari manfaat industri yang mengkonsentrasikan lokasinya melalui tiga manfaat yaitu ekonomi internal untuk perusahaan (economies of scale), ekonomi eksternal untuk perusahaan tetapi internal untuk industri (localization economies), dan ekonomi eksternal untuk perusahaan dan eksternal untuk industri (urbanization economies), maka aglomerasi pada sembilan sektor agroindustri memberikan manfaat nyata. Pengembangan agroindustri hendaknya memperhatikan konsentrasi spasial dan spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui promosi pentingnya manfaat dari aglomerasi industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogyanya memberi ruang
143 bagi dunia usaha yang berinvestasi di sektor agroindustri berlokasi dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kedekatannya dengan industri lainnya.
144
VII. DAMPAK KEBIJAKAN DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI LAMPUNG 7.1. Output Sektoral
Kebijakan ekonomi di sektor agroindustri berupa stimulus ekonomi baik peningkatan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi maupun peningkatan ekspor akan meningkatkan output sektor agroindustri. Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri melalui keterkaitan antarsektor akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik tenaga kerja sektor agroindustri maupun sektor non agroindustri, dan permintaan terhadap modal yang dipenuhi oleh rumah tangga dan perusahaan. Hal ini akan berdampak lebih lanjut terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga dan perusahaan. Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda (multiplier effect). Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri Provinsi Lampung yang diskenariokan terdiri dari simulasi kebijakan ekonomi tunggal dan gabungan. Simulasi kebijakan ekonomi tunggal adalah simulasi kebijakan pada satu variabel permintaan akhir, yaitu pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor. Sedangkan simulasi kebijakan ekonomi gabungan/kombinasi adalah simulasi kebijakan pada gabungan/kombinasi lebih dari satu variabel permintaan akhir. Kebijakan ekonomi gabungan/kombinasi terdiri dari kebijakan gabungan dan kebijakan prioritas tiga agroindustri. Dampak kebijakan ekonomi terhadap perekonomian difokuskan pada pencapaian output sektoral, pendapatan rumah tangga sektoral, dan kesempatan kerja sektoral. Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap output sektoral dapat dilihat pada Tabel 25 dan 26. Sedangkan alternatif atau sumber simulasi
145 kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap output sektoral dapat dilihat pada Lampiran 28 dan 31. Tabel 25. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 (%) DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL No.
SEKTOR
PENGELUARAN PEMERINTAH S1
S2
S3
INVESTASI S4
EKSPOR
S5
S6
S7
1
TPGN
17.777
4.198
6.010
18.559
4.198
18.559
4.198
2
TKBN
9.132
26.492
3.005
8.280
26.492
8.280
26.492
3
PTK
3.146
1.561
2.225
3.138
1.561
3.138
1.561
4
KHTN
0.070
0.069
0.490
0.070
0.069
0.070
0.069
5
IKAN
4.154
1.098
1.618
4.147
1.098
4.147
1.098
6
TBNG
0.372
0.301
5.175
0.369
0.301
0.369
0.301
7
IBS
2.055
0.084
0.122
2.052
0.084
2.052
0.084
8
IKUD
4.882
0.115
0.168
4.875
0.115
4.875
0.115
9
ITKT
6.712
1.388
1.996
6.687
1.388
6.687
1.388
10
IKKL
0.311
14.265
0.201
0.504
14.265
0.504
14.265
11
IML
0.669
23.848
0.711
0.675
23.848
0.675
23.848
12
IPD
8.029
2.156
3.104
7.999
2.156
7.999
2.156
13
IGL
5.270
0.814
0.835
5.204
0.814
5.204
0.814
14
IKP
3.829
0.156
0.209
3.824
0.156
3.824
0.156
15
IPKT
2.948
0.286
0.409
7.163
0.286
7.163
0.286
16
IMLN
7.818
1.060
1.518
3.530
1.060
3.530
1.060
17
IMN
0.065
1.926
0.095
0.065
1.926
0.065
1.926
18
IKRT
2.591
0.573
1.713
2.588
0.573
2.588
0.573
19
ILNY
0.813
0.757
6.237
0.814
0.757
0.814
0.757
20
LGA
0.493
0.482
0.743
0.494
0.482
0.494
0.482
21
BKST
0.740
0.929
34.852
0.725
0.929
0.725
0.929
22
PHR
10.316
10.002
15.730
10.437
10.002
10.437
10.002
23
TRKM
3.983
3.617
5.040
3.992
3.617
3.992
3.617
24
LKJP
2.573
2.444
5.863
2.563
2.444
2.563
2.444
25
PTUM
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
JJLN
1.252
1.378
1.931
1.244
1.378
1.244
1.378
100
100
100
100
100
100
100
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
4 393 381
4 247 942
4 334 485
3 313 230
3 207 790
7 824 872
7 575 853
5.636
5.450
5.561
4.251
4.115
10.039
9.719
Total Dampak (%) Nilai Dasar (Juta Rp) Perubahan (Juta Rp) Perubahan (%)
146 Tabel 26. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 (%) DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL No.
KEBIJAKAN TUNGGAL KOMPARASI
SEKTOR S8
S9
KEBIJAKAN GABUNGAN
S10
S11
S12
S13
S14
1
TPGN
16.6713
16.6713
16.6713
18.5591
4.1983
15.6002
5.9342
2
TKBN
10.5450
10.5450
10.5450
8.2801
26.4917
10.6076
6.7942
3
PTK
3.0174
3.0174
3.0174
3.1375
1.5609
4.7569
5.0709
4
KHTN
0.0697
0.0697
0.0697
0.0697
0.0693
0.0688
0.0602
5
IKAN
3.9055
3.9055
3.9055
4.1467
1.0981
1.1582
11.6432
6
TBNG
0.3661
0.3661
0.3661
0.3693
0.3008
0.3422
0.5735
7
IBS
1.8946
1.8946
1.8946
2.0520
0.0842
0.0883
0.0890
8
IKUD
4.4939
4.4939
4.4939
4.8754
0.1153
0.1204
16.4855
9
ITKT
6.2790
6.2791
6.2791
6.6872
1.3879
12.0815
13.1519
10
IKKL
1.4471
1.4472
1.4472
0.5045
14.2652
0.2632
0.2301
11
IML
2.5555
2.5556
2.5555
0.6755
23.8483
0.8468
0.6493
12
IPD
7.5508
7.5508
7.5508
7.9992
2.1563
2.4031
2.4880
13
IGL
4.9071
4.9071
4.9071
5.2043
0.8140
10.5857
11.3485
14
IKP
3.5304
3.5304
3.5304
3.8240
0.1563
0.1513
0.1539
15
IPKT
2.7310
2.7310
2.7310
7.1634
0.2857
0.7828
1.1435
16
IMLN
7.2678
7.2678
7.2678
3.5299
1.0595
19.2536
1.2098
17
IMN
0.2165
0.2165
0.2165
0.0650
1.9262
0.0674
0.0699
18
IKRT
2.4270
2.4270
2.4270
2.5876
0.5732
0.6330
0.7126
19
ILNY
0.8089
0.8089
0.8089
0.8139
0.7573
0.8450
0.7188
20
LGA
0.4920
0.4920
0.4920
0.4945
0.4819
0.5153
0.5710
21
BKST
0.7553
0.7553
0.7553
0.7246
0.9285
0.7604
0.8733
22
PHR
10.2902
10.2902
10.2902
10.4369
10.0020
10.4462
11.8942
23
TRKM
3.9534
3.9534
3.9534
3.9924
3.6165
3.6945
3.9166
24
LKJP
2.5625
2.5625
2.5625
2.5631
2.4441
2.6308
2.8490
25
PTUM
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
26
JJLN
1.2619
1.2619
1.2619
1.2440
1.3784
1.2970
1.3688
100
100
100
100
100
100
100
Nilai Dasar (Juta Rp)
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
77 947 008
Perubahan (Juta Rp)
3 549 516
4 015 254
10 367 040
15 531 483
15 037 209
15 346 596
14 605 061
Perubahan (%)
4.554
5.151
13.300
19.926
19.292
19.688
18.737
Total Dampak (%)
147 Kebijakan tunggal pada sektor agroindustri Provinsi Lampung yang menghasilkan dampak besar bagi peningkatan output sektoral secara berurutan adalah kebijakan ekspor, kebijakan pengeluaran pemerintah dan kebijakan investasi. Kebijakan pengeluaran pemerintah, peningkatan investasi, dan peningkatan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih besar dibandingkan sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi. Kebijakan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S6) menghasilkan dampak perubahan output sebesar 10.89%. Nilai perubahan output tersebut merupakan perubahan output terbesar di antara kebijakan tunggal lainnya. Kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan output lebih besar dari pada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S2) dan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur (S3). Demikian pula, kebijakan investasi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S4) menghasilkan dampak perubahan output lebih besar dari pada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S5). Kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur (S3) sebesar 30% menghasilkan kinerja yang lebih baik dibandingkan S2. Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian pencemaran dan lainnya). Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi dan pelabuhan ekspor yang memadai bagi transportasi komoditas agroindustri. Infrastruktur bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga bagi investor atau dunia usaha, yang diadakan melalui pengembangan investasinya.
148 Terdapat tiga kombinasi pada kebijakan komparasi tunggal, yaitu kebijakan pengeluaran pemerintah (S8), kebijakan investasi (S9), serta kebijakan ekspor (S10). Di antara tiga kombinasi tersebut, kombinasi kebijakan kebijakan ekspor (S9) menghasilkan dampak perubahan output sebesar 13.3% atau paling besar di antara perubahan output dan dari berbagai kebijakan komparasi tunggal. Kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25%, dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional (S11). Sedangkan kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25% dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional (S12). Simulasi kebijakan memperlihatkan bahwa S11 menghasilkan dampak perubahan output dan nilai pengganda output S12. Sejalan dengan dengan kebijakan tunggal, kebijakan
pengeluaran
pemerintah,
kebijakan
peningkatan
investasi,
dan
peningkatan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi lebih besar dari pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi. Dua simulasi kebijakan pengembangan tiga agroindustri prioritas (S13 dan S14) memberikan dampak perubahan yang besar terhadap output, masing-masing sebesar 19.69% dan 18.74%. Nilai perubahan tersebut lebih kecil dibandingkan S11 yang merupakan kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25%, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional. S11 memberikan perubahan yang paling besar dibandingkan dengan simulasi-simulasi kebijakan yang lain. Simulasi dampak kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S1, S4, S6, S11, S13, dan S14) terhadap output sektoral
149 menghasilkan perubahan dampak sektoral terbesar terhadap output sektor pertanian (tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berkisar antara 3–18%, output sektor agroindustri berkisar antara 2–12%, dan output sektor perdagangan (ekspor-impor) berkisar 10%. Hal ini menunjukkan bahwa dampak kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap output, sektor hulu atau pemasok bahan baku agroindustri yang berasal dari sektor pertanian merupakan sektor yang memperoleh manfaat terbesar. Dampak peningkatan ekspor pada dasarnya merupakan efek kebijakan peningkatan investasi agroindustri dan kebijakan pengeluaran pemerintah berkaitan dengan agroindustri yang menghasilkan produksi untuk ekspor. Namun apabila peningkatan ekspor tersebut merupakan suatu kebijakan untuk mencapai target ekspor tertentu, maka kebijakan tersebut harus diikuti dengan upaya lain untuk mendorong percepatan ekspor, misalnya melakukan perluasan pasar, mengaktifkan pendekatan ke pihak yang memiliki saluran distribusi ke luar negeri, peningkatan kualitas sarana dan prasarana ekspor seperti pelabuhan, jalan dan infrastruktur lain, upaya-upaya perbaikan mutu produk ekspor, serta diversifikasi produk olahan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor. Pengembangan agroindustri harus disertai penciptaan iklim investasi yang kondusif dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap peningkatan peran dunia usaha dan swasta untuk meningkatkan output sektor agroindustri dan pendapatan rumah tangga. Iklim investasi yang kondusif antara lain berkaitan dengan penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, serta transparansi biaya perizinan sektor agroindustri dari instansi/ dinas pemerintahan yang berwenang di bidang investasi (BKPM/ BKPMD).
150 7.2. Pendapatan Rumah Tangga
Seperti halnya dampak kebijakan terhadap output sektoral, kebijakan ekonomi yang ditujukan ke agroindustri akan menghasilkan peningkatan pendapatan rumah tangga. Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri melalui keterkaitan antarsektor lebih lanjut akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan pendapatan rumah tangga, baik pendapatan rumah tangga agroindustri maupun non agroindustri. Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda (multiplier effect). Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap pendapatan rumah tangga sektoral dapat dilihat pada Tabel 27 dan 28. Sedangkan alternatif atau sumber simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap pendapatan rumah tangga sektoral dapat dilihat pada Lampiran 29 dan 32. Pada kebijakan tunggal, kebijakan ekspor pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S6) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga sebesar 5.611% terhadap total pendapatan rumah tangga. Nilai perubahan pendapatan rumah tangga tersebut merupakan perubahan pendapatan rumah tangga sektoral terbesar diantara kebijakan tunggal lainnya. Kebijakan
pengeluaran
pemerintah
pada
sektor
agroindustri
yang
beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga lebih besar daripada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S2) dan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur (S3). Kebijakan investasi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S4) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga lebih besar daripada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S5).
151 Tabel 27. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 (%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL No.
SEKTOR
PENGELUARAN PEMERINTAH
INVESTASI
EKSPOR
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
1
TPGN
26.708
6.328
6.334
28.043
6.328
28.043
6.328
2
TKBN
16.377
47.665
3.780
14.934
47.665
14.934
47.665
3
PTK
4.584
2.281
2.273
4.597
2.281
4.597
2.281
4
KHTN
0.100
0.100
0.494
0.101
0.100
0.101
0.100
5
IKAN
6.748
1.790
1.844
6.775
1.790
6.775
1.790
6
TBNG
0.791
0.642
7.724
0.790
0.642
0.790
0.642
7
IBS
0.430
0.018
0.018
0.432
0.018
0.432
0.018
8
IKUD
0.440
0.010
0.011
0.442
0.010
0.442
0.010
9
ITKT
4.256
0.883
0.888
4.264
0.883
4.264
0.883
10
IKKL
0.124
5.705
0.056
0.202
5.705
0.202
5.705
11
IML
0.045
1.602
0.033
0.045
1.602
0.045
1.602
12
IPD
0.674
0.182
0.183
0.676
0.182
0.676
0.182
13
IGL
4.946
0.766
0.550
4.912
0.766
4.912
0.766
14
IKP
0.714
0.029
0.027
0.717
0.029
0.717
0.029
15
IPKT
0.292
0.028
0.028
0.714
0.028
0.714
0.028
16
IMLN
1.337
0.182
0.182
0.607
0.182
0.607
0.182
17
IMN
0.039
1.171
0.040
0.040
1.171
0.040
1.171
18
IKRT
0.363
0.080
0.168
0.364
0.080
0.364
0.080
19
ILNY
0.644
0.602
3.465
0.648
0.602
0.648
0.602
20
LGA
0.372
0.365
0.394
0.376
0.365
0.376
0.365
21
BKST
1.225
1.543
40.479
1.207
1.543
1.207
1.543
22
PHR
15.028
14.619
16.075
15.292
14.619
15.292
14.619
23
TRKM
7.079
6.449
6.283
7.136
6.449
7.136
6.449
24
LKJP
2.789
2.658
4.459
2.795
2.658
2.795
2.658
25
PTUM
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
JJLN
3.892
4.300
4.213
3.891
4.300
3.891
4.300
100
100
100
100
100
100
100
Nilai Dasar (Juta Rp)
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
Perubahan (Juta Rp)
476 716
462 452
672 716
359 511
347 230
849 059
820 054
Perubahan (%)
3.151
3.056
4.446
2.376
2.295
5.611
5.420
Total Dampak (%)
152 Tabel 28. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005 (%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN KERJA SEKTORAL No.
SEKTOR
KEBIJAKAN TUNGGAL KOMPARASI
KEBIJAKAN GABUNGAN
S8
S9
S10
S11
S12
S13
S14
1
TPGN
25.0538
25.0538
25.0538
28.0429
6.3284
22.4063
8.5630
2
TKBN
18.9159
18.9159
18.9159
14.9341
47.6651
18.1858
11.7025
3
PTK
4.3969
4.3969
4.3969
4.5969
2.2813
6.6248
7.0952
4
KHTN
0.1000
0.1000
0.1000
0.1006
0.0998
0.0944
0.0830
5
IKAN
6.3459
6.3460
6.3460
6.7747
1.7897
1.7987
18.1659
6
TBNG
0.7792
0.7792
0.7792
0.7902
0.6421
0.6961
1.1721
7
IBS
0.3966
0.3966
0.3966
0.4319
0.0177
0.0177
0.0179
8
IKUD
0.4048
0.4048
0.4048
0.4416
0.0104
0.0104
1.4259
9
ITKT
3.9823
3.9823
3.9823
4.2643
0.8829
7.3232
8.0093
10
IKKL
0.5770
0.5770
0.5770
0.2022
5.7046
0.1003
0.0881
11
IML
0.1711
0.1711
0.1711
0.0455
1.6019
0.0542
0.0418
12
IPD
0.6344
0.6344
0.6344
0.6758
0.1817
0.1930
0.2007
13
IGL
4.6067
4.6067
4.6067
4.9124
0.7665
9.4978
10.2298
14
IKP
0.6588
0.6588
0.6588
0.7175
0.0293
0.0270
0.0276
15
IPKT
0.2709
0.2709
0.2709
0.7143
0.0284
0.0742
0.1089
16
IMLN
1.2437
1.2437
1.2437
0.6073
0.1819
3.1489
0.1988
17
IMN
0.1313
0.1313
0.1313
0.0396
1.1714
0.0390
0.0407
18
IKRT
0.3397
0.3397
0.3397
0.3641
0.0805
0.0847
0.0958
19
ILNY
0.6408
0.6408
0.6408
0.6483
0.6018
0.6398
0.5468
20
LGA
0.3719
0.3719
0.3719
0.3758
0.3653
0.3723
0.4144
21
BKST
1.2510
1.2510
1.2510
1.2067
1.5425
1.2037
1.3889
22
PHR
14.9952
14.9952
14.9952
15.2919
14.6194
14.5487
16.6427
23
TRKM
7.0280
7.0280
7.0280
7.1361
6.4486
6.2770
6.6855
24
LKJP
2.7787
2.7787
2.7787
2.7946
2.6584
2.7265
2.9665
25
PTUM
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
26
JJLN
3.9252
3.9252
3.9252
3.8907
4.3005
3.8558
4.0884
100
100
100
100
100
100
100
Nilai Dasar (Juta Rp)
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
15 131 408
Perubahan (Juta Rp)
386 315
4 37 004
1 128 307
1 685 286
1 627 714
1 663 176
1 639 493
Perubahan (%)
2.553
2.888
7.457
11.138
10.757
10.992
10.835
Total Dampak (%)
153 Pada kebijakan komparasi tunggal terdapat tiga kombinasi, yaitu kebijakan pengeluaran pemerintah (S8), kebijakan investasi (S9), dan kebijakan ekspor (S10). Di antara tiga kombinasi tersebut, kebijakan ekspor (S9) menghasilkan dampak perubahan pendapatan rumah tangga sebesar 7.455% atau paling besar di antara perubahan pendapatan rumah tangga dari berbagai kebijakan komparasi tunggal. Dua kebijakan gabungan tiga agroindustri prioritas (S13 dan S14) memberikan dampak perubahan yang besar terhadap pendapatan rumah tangga sektoral, masing-masing sebesar 10.039% dan 9.719%. Nilai perubahan tersebut lebih kecil daripada kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional (S11), yang memberikan persentase perubahan pendapatan rumah tangga paling besar (11.138 %). Simulasi dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang beraglomerasi (S1, S4, S6, S11, S13, dan S14) menghasilkan perubahan dampak sektoral terbesar terhadap pendapatan rumah tangga sektor pertanian (tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berkisar antara 4– 28%, pendapatan rumah tangga sektor agroindustri yang berkisar antara 0,2–7%, dan pendapatan rumah tangga sektor perdagangan yang berkisar 15%. Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap pendapatan rumah tangga, sektor yang memperoleh manfaat terbesar adalah sektor hulu atau pemasok bahan baku yang berasal dari sektor pertanian.
154 7.3. Kesempatan Kerja
Dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri melalui keterkaitan antar sektor lebih lanjut akan meningkatkan pertumbuhan output sektor ekonomi lainnya. Peningkatan output akan mendorong peningkatan permintaan tenaga kerja, baik tenaga kerja pertanian di sektor agroindustri maupun non agroindustri. Proses ini akan terus berlangsung melalui efek pengganda (multiplier effect). Simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap kesempatan kerja sektoral dapat dilihat pada Tabel 29 dan 30. Sedangkan alternatif atau sumber simulasi kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap output sektoral dapat dilihat pada Lampiran 30 dan 33. Pada kebijakan tunggal, kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kerja sebesar 6.08% terhadap total kesempatan kerja. Nilai perubahan kesempatan kerja tersebut merupakan perubahan kesempatan kerja sektoral terbesar diantara kebijakan tunggal lainnya. Kebijakan
pengeluaran
pemerintah
pada
sektor
agroindustri
yang
beraglomerasi (S1) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kerja lebih besar daripada kebijakan pengeluaran pemerintah pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi (S2) dan kebijakan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur (S3). Kebijakan investasi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi (S4) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kerja kebijakan
pengeluaran
pemerintah
pada
sektor
lebih besar daripada
agroindustri
yang
tidak
beraglomerasi (S5). Kebijakan komparasi tunggal terdiri dari kebijakan pengeluaran pemerintah (S8), kebijakan investasi (S9), dan kebijakan ekspor (S10). Di antara tiga kombinasi tersebut, kebijakan ekspor (S9) menghasilkan dampak perubahan kesempatan kierja
155 sebesar 13.982% atau paling besar di antara perubahan pendapatan rumah tangga dari berbagai kebijakan komparasi tunggal. Tabel 29. Dampak Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 (%) DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL No.
SEKTOR
PENGELUARAN PEMERINTAH
INVESTASI
EKSPOR
S1
S2
S3
S4
S5
S6
S7
1
TPGN
8.793
8.793
19.347
40.240
8.793
40.240
8.793
2
TKBN
66.225
66.225
11.547
21.430
66.225
21.430
66.225
3
PTK
3.170
3.170
6.944
6.596
3.170
6.596
3.170
4
KHTN
0.139
0.139
1.508
0.144
0.139
0.144
0.139
5
IKAN
2.487
2.487
5.633
9.721
2.487
9.721
2.487
6
TBNG
0.057
0.057
1.498
0.072
0.057
0.072
0.057
7
IBS
0.010
0.010
0.023
0.262
0.010
0.262
0.010
8
IKUD
0.006
0.006
0.014
0.268
0.006
0.268
0.006
9
ITKT
0.518
0.518
1.146
2.586
0.518
2.586
0.518
10
IKKL
3.349
3.349
0.073
0.123
3.349
0.123
3.349
11
IML
0.940
0.940
0.043
0.028
0.940
0.028
0.940
12
IPD
0.107
0.107
0.236
0.410
0.107
0.410
0.107
13
IGL
0.450
0.450
0.710
2.979
0.450
2.979
0.450
14
IKP
0.017
0.017
0.035
0.435
0.017
0.435
0.017
15
IPKT
0.017
0.017
0.037
0.433
0.017
0.433
0.017
16
IMLN
0.107
0.107
0.235
0.368
0.107
0.368
0.107
17
IMN
0.688
0.688
0.052
0.024
0.688
0.024
0.688
18
IKRT
0.047
0.047
0.217
0.221
0.047
0.221
0.047
19
ILNY
0.353
0.353
4.472
0.393
0.353
0.393
0.353
20
LGA
0.054
0.054
0.127
0.057
0.054
0.057
0.054
21
BKST
0.306
0.306
17.679
0.248
0.306
0.248
0.306
22
PHR
7.785
7.785
18.820
8.411
7.785
8.411
7.785
23
TRKM
2.133
2.133
4.568
2.437
2.133
2.437
2.133
24
LKJP
0.135
0.135
0.496
0.146
0.135
0.146
0.135
25
PTUM
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
0.000
26
JJLN
2.108
2.108
4.540
1.970
2.108
1.970
2.108
100
100
100
100
100
100
100
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
250 627
235 602
160 866
189 008
176 755
446 381
417 443
6.080
5.716
3.903
4.585
4.288
10.829
10.127
Total Dampak (%) Nilai Dasar (Jiwa) Perubahan (Jiwa) Perubahan (%)
156 Tabel 30. Dampak Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 (%) DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL No.
SEKTOR
KEBIJAKAN KOMPARASI TUNGGAL
KEBIJAKAN GABUNGAN
S8
S9
S10
S11
S12
S13
S14
1
TPGN
35.8286
35.8286
35.8285
40.2401
8.7926
33.5132
13.3101
2
TKBN
27.0509
27.0509
27.0509
21.4296
66.2252
27.2005
18.1902
3
PTK
6.2878
6.2878
6.2878
6.5962
3.1697
9.9087
11.0286
4
KHTN
0.1431
0.1431
0.1431
0.1444
0.1386
0.1411
0.1291
5
IKAN
9.0751
9.0751
9.0751
9.7213
2.4866
2.6903
28.2366
6
TBNG
0.0708
0.0708
0.0708
0.0720
0.0567
0.0661
0.1157
7
IBS
0.2397
0.2397
0.2397
0.2619
0.0104
0.0112
0.0117
8
IKUD
0.2446
0.2446
0.2446
0.2677
0.0061
0.0066
0.9365
9
ITKT
2.4065
2.4065
2.4065
2.5857
0.5184
4.6284
5.2606
10
IKKL
0.3487
0.3487
0.3487
0.1226
3.3492
0.0634
0.0579
11
IML
0.1034
0.1034
0.1034
0.0276
0.9404
0.0342
0.0274
12
IPD
0.3834
0.3834
0.3834
0.4097
0.1067
0.1220
0.1318
13
IGL
2.7837
2.7837
2.7837
2.9786
0.4500
6.0028
6.7190
14
IKP
0.3981
0.3981
0.3981
0.4351
0.0172
0.0171
0.0181
15
IPKT
0.1637
0.1637
0.1637
0.4331
0.0167
0.0469
0.0715
16
IMLN
0.7515
0.7515
0.7515
0.3683
0.1068
1.9902
0.1306
17
IMN
0.0793
0.0793
0.0793
0.0240
0.6878
0.0247
0.0267
18
IKRT
0.2053
0.2053
0.2053
0.2208
0.0472
0.0535
0.0629
19
ILNY
0.3873
0.3873
0.3873
0.3931
0.3533
0.4044
0.3591
20
LGA
0.0563
0.0563
0.0563
0.0571
0.0538
0.0590
0.0682
21
BKST
0.2558
0.2558
0.2558
0.2476
0.3064
0.2574
0.3087
22
PHR
8.2193
8.2193
8.2193
8.4105
7.7853
8.3406
9.9154
23
TRKM
2.3922
2.3922
2.3922
2.4373
2.1325
2.2346
2.4734
24
LKJP
0.1447
0.1447
0.1447
0.1460
0.1345
0.1485
0.1679
25
PTUM
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
0.0000
26
JJLN
1.9804
1.9804
1.9804
1.9697
2.1081
2.0347
2.2421
100
100
100
100
100
100
100
NilaDasar (Jiwa)
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
4 121 960
Perubahan (Jiwa)
197 323
223 214
576 319
886 015
828 578
812 238
817 441
Perubahan (%)
4.787
5.415
13.982
21.495
20.102
19.705
19.831
Total Dampak (%)
157 Dua kebijakan tiga agroindustri prioritas (S13 dan S14) memberikan dampak perubahan yang besar terhadap kesempatan kerja sektoral, masing-masing sebesar 19.705% dan 19.831%. Nilai perubahan tersebut lebih kecil daripada kebijakan kombinasi/gabungan
yang
terdiri
dari
kebijakan
peningkatan
pengeluaran
pemerintah sebesar 30%, investasi sebesar 20%, dan ekspor sebesar 25% yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional (S11), yang memberikan perubahan kesempatan kerja paling besar (28.9441%). Simulasi dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang beraglomerasi (S1, S4, S6, S11, S13, dan S14) menghasilkan perubahan dampak sektoral terbesar terhadap kesempatan kerja sektor pertanian (tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang berkisar antara 2 – 66%, kesempatan kerja sektor agroindustri berkisar 0,1–9 %, sedangkan kesempatan kerja sektor perdagangan berkisar 7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri yang beraglomerasi terhadap kesempatan kerja, sektor yang memperoleh manfaat terbesar adalah sektor hulu atau pemasok bahan baku yang berasal dari sektor pertanian. Menurut Rusastra et al. (2005), dalam rangka mewujudkan struktur perekonomian yang seimbang, kebijakan pengembangan agroindustri memiliki beberapa sasaran menarik pembangunan sektor pertanian, menciptakan output/nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan penerimaan devisa, dan meningkatkan pembagian pendapatan. Simulasi-simulasi kebijakan ekonomi sektor agroindustri di Provinsi Lampung menunjukkan kinerjanya untuk mencapai sasaransasaran tersebut. Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi pada pencapaian output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja menunjukkan kinerja lebih besar daripada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi. Hal
158 tersebut disebabkan pada sektor agroindustri yang beraglomerasi, nilai pengganda dan keterkaitan output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja lebih besar daripada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi.
159
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8. 1. Kesimpulan
1. Kontribusi, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda agroindustri dalam perekonomian wilayah Provinsi Lampung lebih besar daripada peranan, keterkaitan antarsektor dan dampak pengganda non agroindustri. a. Kontribusi output sektor-sektor agroindustri terbesar dibandingkan sektorsektor lain dalam perekonomian Provinsi Lampung b. Sektor agroindustri di Provinsi Lampung mempunyai keterkaitan ke belakang paling besar di antara sektor-sektor ekonomi yang lain. Sektor agroindustri mempunyai nilai keterkaitan ke belakang yang tertinggi adalah industri pengolahan ikan dan udang. Sektor yang mempunyai nilai keterkaitan ke depan yang tinggi adalah industri pengolahan karet. c. Keterkaitan antarsektor ke belakang sektor agroindustri ditujukan pada sektor-sektor yang menyediakan bahan baku, sedangkan keterkaitan antarsektor ke depan
sektor agroindustri pada sektor perdagangan dan
transportasi. d. Nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja terbesar dalam perekonomian Provinsi Lampung diberikan oleh sektor industri pengolahan ikan dan udang, industri pakan ternak, dan industri pengolahan karet. e. Sektor-sektor agroindustri yang merupakan industri prioritas (nilai ranking keterkaitan dan pengganda yang besar) yaitu industri pengolahan ikan dan udang, industri pakan ternak, industri pengolahan karet, industri tapioka dan tepung lain, industri gula dan industri makanan lainnya. 2. Terjadinya konsentrasi spasial dan aglomerasi pada sektor agroindustri di Provinsi Lampung.
160 a. Sebagian besar agroindustri berkonsentrasi (berklaster) dan berspesialisasi pada satu atau beberapa kabupaten/kota. Industri yang berklaster adalah industri buah sayur, industri pengolahan ikan dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet. Sedangkan industri yang tidak berklaster adalah industri minyak/lemak, industri kopra/kelapa, dan industri minuman. b. Adanya ketidakmerataan lokasi sektor agroindustri di Provinsi Lampung pada industri makanan lainnya, diikuti oleh industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, serta industri ikan, daging dan udang. c. Sektor agroindustri di Provinsi Lampung yang mempunyai kekuatan atau dorongan aglomerasi terbesar adalah industri makanan lainnya, diikuti industri gula, industri buah sayur, industri tapioka dan tepung lain, serta industri ikan, daging, dan udang. 3. Sektor
agroindustri
di
Provinsi
Lampung
sebagian
besar
mengalami
penghematan akibat aglomerasi (agglomeration economies) yang mempengaruhi output produksi. a. Penghematan akibat aglomerasi pada setiap sektor agroindustri berbeda. Setiap penghematan akibat aglomerasi yang terjadi memberikan pengaruh yang positif dan negatif terhadap output produksi. b. Industri yang mengalami penghematan akibat lokalisasi dan penghematan akibat urbanisasi terjadi pada industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri padi, industri gula, industri kopi, dan industri makanan lainnya. c. Penghematan akibat lokalisasi terjadi dan memberikan pengaruh terhadap output industri. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif dari
161 penghematan akibat lokalisasi yaitu: industri buah pengolahan ikan, daging
dan sayur, industri
dan udang, industri tapioka dan tepung lain,
industri padi, industri gula, industri kopi, industri makanan lainnya, dan industri minuman. d. Penghematan akibat urbanisasi terjadi dan memberikan pengaruh terhadap output industri. Agroindustri yang mempunyai pengaruh positif terhadap output dari penghematan akibat urbanisasi yaitu : industri buah dan sayur, industri pengolahan ikan, daging dan udang, industri tapioka dan tepung lain, industri minyak/ lemak, industri padi, industri gula, industri kopi, industri pakan ternak, industri makanan lainnya, dan industri pengolahan karet. e. Klasifikasi sektor-sektor agroindustri
beraglomerasi
dan sektor-sektor
agroindustri yang tidak beraglomerasi berpengaruh terhadap output produksi. 4. Kebijakan ekonomi pada sektor agroindustri yang beraglomerasi pada pencapaian
output,
pendapatan
rumah
tangga,
dan
kesempatan
kerja
menunjukkan kinerja lebih besar dibandingkan sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi. Skenario kebijakan yang memberikan dampak perubahan output, pendapatan rumah tangga, dan kesempatan kerja terbesar adalah kebijakan kombinasi/gabungan yang terdiri dari kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi, dan ekspor yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional.
8.2. Impikasi Kebijakan
1. Pengembangan sektor agroindustri memerlukan dukungan kelembagaan dan fasilitasi dari pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan dan program pemerintah provinsi dan kabupaten/kota se Provinsi Lampung menjadikan sektor
162 agroindustri sebagai prioritas, tanpa mengabaikan potensi dan peluang sektorsektor lainnya. 2. Pengembangan
agroindustri
hendaknya memperhatikan
konsentrasi
dan
spesialisasi industri, daya dorong yang menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan promosi pengembangan ekonomi daerah melalui promosi pentingnya manfaat dari aglomerasi industri. Oleh karena itu, pemerintah daerah seyogyanya memberi ruang bagi dunia usaha yang berinvestasi di sektor agroindustri berlokasi dengan mempertimbangkan keterkaitan dan kedekatannya dengan industri lainnya. 3. Pengembangan agroindustri yang beraglomerasi hendaknya didukung oleh kebijaksanaan fiskal guna pengembangan produktivitas dan pembangunan infrastruktur (penataan ruang kawasan industri, sarana transportasi, pengendalian pencemaran
dan lainnya). Infrastruktur yang diperlukan untuk peningkatan
ekspor adalah sarana transportasi, komunikasi
dan pelabuhan ekspor yang
memadai bagi transportasi komoditas agroindustri. 4. Pengembangan agroindustri harus disertai penciptaan iklim investasi yang kondusif dari pemerintah daerah bagi peningkatan peran dunia usaha dan swasta, guna meningkatkan output sektor agroindustri dan pendapatan masyarakat.
8.3. Saran Penelitian Lanjutan
1. Penelitian tentang aglomerasi dengan model persamaan simultan yang menggambarkan
hubungan
antar
persamaan
produksi
industri
yang
beraglomerasi, pendapatan regional, pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor.
163 2. Untuk menganalisis keterkaitan antarindustri antarwilayah disarankan untuk membangun Tabel Input-Output Interregional kabupaten/kota ataupun antar provinsi. 3. Pengembangan model penelitian integrasi Input-Output-Ekonometrika tipe Coupling
yang
menggabungkan
penyesuaian
output
dan
harga
guna
menganalisis perekonomian wilayah. 4. Penelitian aglomerasi dengan memasukkan variabel-variabel lain seperti perkembangan inovasi dalam produksi dan networking antar perusahaan.
164
DAFTAR PUSTAKA
Aiginger, K. and E. Hansberg. 2003. Specialization versus Concentration: A Notes of Theory and Evidence. Empirica, 44(4):255-266. Austin, J.E. 1992. Agroindustrial Project Analysis: Critical Design Factors. John Hopkins University Press, Baltimore. Bappenas. 2005. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) Tahun 2004-2009. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Bappeda Provinsi Lampung. 2006. Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Lampung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Lampung, Bandar Lampung. Badan Pusat Statistik. 2000. Kerangka Teori dan Analisis Tabel Input-Output. Center for Statistical Services, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bendavid, A.V. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners. Fourth Edition. Praeger, London. Capello, R. 2007. Regional Economics. Routledge, Taylor and Francis Group, London Chenery, H. and P. Clark. 1959. Interindustry Economics. John Wiley and Sons Inc., New York. Coase, R.H. 1992. The Institutional Structure of Production. American Economic Review, 28(4):713-720. Cohen, J.P. and C.J.M. Paul. 2005. Agglomeration Economies and Industry Location Decisions: The Impacts of Spatial and Industrial Spillovers. Regional Science and Urban Economics, 35(3):215-237. Conway Jr., R.S. 1990. The Washington Projection and Simulation Model: A Regional Interindustry Econometric Model. International Regional Science Review, 13(1):141-165. Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Departemen Pekerjaan Umum, Jakarta. Departemen Perindustrian. 2005. Kebijakan Pembangunan Industri Nasional. Departemen Perindustrian, Jakarta. Downey, W.D. and S.P. Erickson. 1987. Agribusiness Management. McGraw Hill, New York.
165 Doriza, S. 2005. Penghematan Akibat Aglomerasi dan Produktivitas Industri di Jawa Timur. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Ellison, G. and E. Glaeser. 1997. Geographic Concentration in US Manufacturing Industries: A Dartboard Approach. Journal Political Economy, 105(5):889927. ________. and E. Glaeser. 1999. The Geographic Concentration of Industry: Does Natural Advantage Explain Agglomeration? American Economic Review, 89(2):311-316. Friedmann, J. 1964. Regional Development and Planning. MIT Press, Cambridge. Fujita, M. and T. Mori. 1996. The Role of Ports in Making of Major Cities: Self Agglomeration and Hub Effect. Journal of Development Economics, 49(1):93-120. ________., P. Krugman and A.J. Venagbles. 1999. The Spatial Economy: Cities, Regions, and International Trade. The MIT Press, Cambridge. ________. and J.F. Thisse. 2002. Economics of Agglomeration: Cities, Industrial Location, and Regional Growth. Cambridge University Press, Cambridge. Glaeser, E., H.D. Kallal, J.A. Scheinkman and A. Shleifer. 1992. Growth in Cities. Journal of Political Economy, 100(6):1126-1152. Glennon, D. and J. Lane. 1990. Input-Output Restrictions, Regional Structural, Models and Econometric Forecast. In: Anselin and Madden (Eds). New Directions in Regional Analysis. Belhaven, London. Graham, D.J. and H.Y. Kim. 2007. An Empirical Analytical Framework for Agglomeration Economies. The Annals of Regional Science, 42(2):267-289. Hamzah, L.M. 1997. Pergerakan Faktor Produksi dan Aglomerasi Industri. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Harmidi, S.H.B. 2001. Analisis Aglomerasi Industri Manufaktur Besar dan Sedang di DKI Jakarta Tahun 1975-1998. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Hartarto, A. 2004. Strategi Clustering dalam Industrialisasi Indonesia. Penerbit Andi, Yogyakarta. Henderson, J.V., A. Kuncoro and M. Turner. 1995. Industrial Development in Cities. Journal of Political Economy, 103(5):67-90. Herjanto, E. 2003. Dampak Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Terhadap Kinerja Sektor Agroindustri Indonesia. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
166 Hirchman, A.O. 1958. The Strategy of Economic Development. Yale University Press, New Heaven. Hoover, E. 1985. An Introduction to Regional Economics. Third Edition. Alfred A. Knopf, New York. Humphrey Institute of Public Affairs. 2005. Industry Cluster and Quantitative Analysis. Working Paper. University of Minnesota, Minneapolis. Isard, W. 1956. Location and Space Economy. John Wiley and Sons Inc., New York. Israilevich, P.R., R. Mahidhara and G.J.D. Hewings. 1996. The Choice of InputOutput Table Embedded in Regional Econometric Input-Output Models. Regional Science, 75(2):103-119. Jacobs, J. 1969. Economy of Cities. Vintage, New York. Kanemoto, Y., T. Ohkawara and T. Suzuki. 1996. Agglomeration Economies and Test For Optimal City in Japan. TCER-NBER-CEPR Trilateral Conference in Tokyo. University of Tokyo, Tokyo. King, A.E, R. Sines and W.L. L’Esperance. 1977. Conjoining an Input-Output Model with an Econometric Model of Ohio. Regional Science Perspectives, 7(2):54-77. Kim, S. 1995. Expansion of Markets and the Geographic Distribution of Economics Activities: The Trends in U.S. Regional Manufacturing Structure 1860-1987. The Quarterly Journal of Economics. 110(4):881-908. Kuncoro, M. 2000. Beyond Agglomeration and Urbanization. Gadjah Mada International Journal of Business, 2(3):307-325. ___________. 2004a. Adakah Perubahan Konsentrasi Spasial Industri Manufaktur di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, 19(4):1-20. ___________. 2004b. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. UPP AMP YKPN, Yogyakarta. ___________. 2005. Agglomeration Externalities Within Metropolitan Regions: An Input-Output Analysis of Jabotabek and Singapore. The Journal of Accounting, Management, and Economic Research, 5(1):1-32. Krugman, P. 1991. Geography and Trade. MIT Press, Cambridge. Lafourcade, M. and G. Mion. 2003. Concentration, Spatial Clustering and Size of Plants: The Sources of Co-location Externalities. CORE Working Paper No. 2003/91. Catholiq University of Louvain, Louvain. Mccann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press, New York.
167 Markusen, A. 1996. Sticky Places in Slipppery Space: A Typology of Industrial Districts. Economic Geography, 72(3):293-313. Marshall, A. 1920. Principles of Economics. Macmillan, London. Meier, G.M. 1995. Leading Issues in Economic Development. Oxford University Press, New York. Miller, R.E. and P.D. Blair. 1985. Input-Output Analysis: Foundation and Extensions. Printice Hall Inc., New Jersey. Montgomery, M.R. 1988. How Large is Too Large? Implication of the City Size Literature for Population Policy and Research. Economic Development and Cultural Change, 36(4):691-720. Moomaw, R.L. 1983. Is Population Scale a Worthless Surrogate for Bussines Agglomeration Economies? Regional Science and Urban Economics. 13(4): 524-545. Munnich, L. 2005. Knowledge Clusters as a Means of Promoting Regional Economic Development. Humphrey Institute of Public Affairs, University of Minnesota, Minneapolis. Nakamura, R. 1985. Agglomeration Economies in Urban Manufacturing Industries: A Case of Japanese Cities. Journal of Urban Economics, 17(1):108-124. Nicholson, W. 2001. Intermediate Microeconomics: And Its Application. Eight Edition. Amherst College, Massachusetts. Nurkse, R. 1953. Problem of Capital Development in Underdeveloped Countries. Oxford University Press, New York. Okamoto, N. 2004a. Agglomeration, Intraregional and Interregional Linkage in China. In: Okamoto and Ihara (Eds). Spatial Structure and Regional Development in China: Input-Output Approach. IDE Development Prespective Series 5. Institute of Developing Economic, JETRO, Tokyo. ________,Y. 2004b. Agglomeration and International Competitiveness: Can Malaysia’s Growth be Sustainable. In: Kuchiki and Tsuji (Eds). Industrial Clusters in Asia: Analysis of Their Competition and Cooperation. IDE Development Prespective Series 6. Institute of Developing Economic, JETRO, Tokyo. O’Sullivan, A. 2000. Urban Economics. Irwin McGraw-Hill, Boston. Pandjaitan, L. 2000. Kebijakan Nasional Sektor Industri: Aglomerasi dengan Kemitraan. Departemen Perindustrian, Jakarta. Perkins, D.H., S. Radeler, D.R. Snodgrass, M. Gillis and M. Romer. 2001. Economics of Development. W.W. Norton & Company, New York.
168 Porter, M.E. 1998. Clusters and the New Economics of Competition. Harvard Business Review, 76(6):77-91. Pryor, J. and T. Holt. 1998. Agribusiness as An Engine of Growth. USAID, Washington D.C. Quigley, J.M. 1998. Urban Diversity and Economic Growth. Journal of Economic Prespectives, 12(2):127-138. Richardson, H.W. 1977. Regional Economics. Macmillan, London. Rey, S.J. 1999. Integrated Regional Economic and Input-Output Modeling. Working Paper. Department of Geography, San Diego State University, San Diego. Rosenstein-Rodan, P.N. 1963. Problem of Industrialization of Eastern and Southestern Europe. In: Agarwal and Singh (Eds). The Economic of Under Development. Oxford University Press, New York. Rasmussen, P.N. 1956. Studies in Intersectoral Relations. PC, Amsterdam. Rusastra, I.W., K. M. Noekman, Supriyati, Erma Suryani dan R. Elizabeth. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Saragih, B. 1992. Dinamika Pemikiran tentang Pembangunan Pertanian. Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, Jakarta. Saragih, B. 1996. Agroindustri sebagai Suatu Sektor yang Memimpin Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II. Yayasan Bina Desa, Jakarta. Sarkaniputra, M. 1986. Analisa Input-Output Sebagai Kerangka Strategi Pembangunan Pertanian. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta . Sastrowiharjo, M. 1989. Pertumbuhan dan Perubahan Struktur Ekonomi Provinsi Jambi. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Scott, A.J. and M. Storper. 1992. Regional Development Reconsidered. Belhaven Press, London. Setiawan, D.M.D. 2006. Peranan Sektor Unggulan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sjoberg, O. and F. Sjoholm. 2001. Trade Liberalization and the Geography of Production: Agglomeration, Concentration and Dispersal in Indonesia’s Manufacturing Industry. Working Paper No. 138. Stocholm School of Economics, Stocholm.
169 Simatupang, P. dan A. Purwoto. 1990. Pengembangan Agroindustri Sebagai Penggerak Pembangunan Desa. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Agro Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor. Sinaga, R.S. 1998. Peluang Perekonomian Indonesia Melalui Pemahaman Konsep dan Peran Agribisnis. Dies Natalis XI STIE IBII. IBII, Jakarta. Somik, V.L, Z. Shalizi and U. Deichman. 2004. Agglomeration Economies and Productivity in Indian Industry. Journal of Development Economics, 73(2):643-673. Sugiarto, T., Herlambang, Brastoro, R. Sudjana dan S. Kelana 2002. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Subana, P.A. 2005. Analisis Pengaruh Spasial Tingkat Urbanisasi Tenaga Kerja Terhadap PDRB Kabupaten/Kota di Pulau Jawa. Tesis Magister. Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Universitas Indonesia, Depok. Supriyati dan E. Suryani. 2006. Peranan, Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 24(2):92-106. Wahyudin, M. 2004. Industri dan Orientasi Ekspor: Dinamika dan Analisis Spasial. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPGJ PJK+IMPOR TOTAL NT LAIN
TPGN 146 905 0 9 678 1 798 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 204 42 766 0 1 803 286 687 36 928 36 747 0 438 566 954 1 051 669 5 064 330 5 631 284 4 012 661
TKBN 9 44 265 2 507 735 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 107 14 176 771 18 696 100 842 28 729 15 479 0 3 476 232 792 621 322 2 655 889 2 888 681 2 034 567
PTK 19 065 725 567 133 0 1 0 94 84 55 212 16 634 3 0 152 055 3 0 786 1 212 2 289 1 995 52 261 8 191 1 519 0 441 258 325 259 557 1 150 972 1 409 297 891 415
KHTN 0 0 0 34 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 618 155 2 652 2 834 2 951 350 0 249 9 847 10 310 50 175 60 022 39 865
IKAN 12 824 0 113 245 70 283 12 562 0 0 573 141 61 18 859 140 36 31 435 637 0 1 844 2 196 1 104 6 571 63 195 4 806 8 973 0 1 950 238 548 311 115 1 238 301 1 476 849 927 186
TBNG 0 0 0 22 0 1 238 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 74 850 181 3 011 14 550 8 189 14 652 0 1 469 44 236 163 897 608 557 652,793 444 660
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPGJ PJK+ IMPOR TOTAL NT LAIN
IBS 438 725 29 661 0 0 0 145 1 362 0 153 14 2 284 0 12 158 0 0 820 0 2 841 650 598 0 119 862 11 920 4 165 0 1 127 626 485 47 700
IKUD 0 0 0 133 677 707 3 438 0 163 089 9 44 182 0 0 0 0 2 184 0 3 230 1 078 1 664 2 340 310 336 28 099 14 728 0 2 273 1 210 534 28 786
ITKT 5 967 3 644 221 693 3 0 0 0 0 32 826 589 6 831 0 101 990 0 0 3 957 0 2 191 444 1 596 194 165 733 15 416 3 609 0 1 384 568 067 110 824
IKKL 0 159 103 0 29 0 166 0 0 0 7 589 0 0 0 0 0 0 0 6 20 452 101 42 552 4 575 986 0 896 216 475 25 574
IML 0 352 868 0 6 0 12 0 0 265 182 967 1 203 0 0 0 0 5 0 480 162 166 270 87 811 7 342 923 0 206 634 686 11 730
IPD 2 589 265 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 28 006 0 0 0 0 0 1 250 70 960 19 130 305 33 740 5 937 0 97 2 789 650 91 277
160 405 786 890 112 705
98 574 1 309 108 69 788
381 139 949 206 270 315
54 588 271 063 29 014
88 801 723 487 77 071
512 324 3 301 974 421 047
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPGJ PJK+IMPOR TOTAL NT LAIN
IGL 0 288 478 0 0 0 3 942 0 0 0 0 0 0 15 345 0 0 0 0 3 249 6 786 703 3 443 73 328 18 206 15 103 0 2 066 430 649 164 407 735 513 1 166 162 571 106
IKP 9 124 840 500 0 0 0 0 0 0 0 0 38 0 0 90 357 0 92 0 1 745 226 434 0 308 681 176 836 1 761 0 548 1 430 342 76 301 285 631 1 715 973 209 330
IPKT 505 409 1 050 26 0 0 0 0 7 78 50 620 15 664 4 339 76 0 17 598 10 629 0 1 150 389 1 163 41 170 331 15 203 1 028 0 73 794 874 26 703 130 681 925 555 103 978
IML 1 057 652 577 577 2 080 9 2 083 420 0 0 6 402 501 38 595 25 856 37 072 0 0 111 664 0 2 297 885 2 391 814 386 251 35 860 8 027 0 1 225 2 297 661 130 600 447 199 2 744 860 316 599
IMN 345 2 769 0 0 0 0 0 0 60 0 0 0 4 286 286 0 44 241 372 194 128 21 6 356 957 1 402 0 1 360 18 821 5 463 39 500 58 321 34 037
IKRT 0 174 948 0 0 0 428 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 48 435 420 1 010 171 41 668 5 718 2 536 0 1 868 277 202 11 432 57 085 334 287 45 653
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPGJ PJK+ IMPOR TOTAL NTLAIN
ILNY 0 2 337 52 11 492 6 57 425 5 0 112 0 597 0 206 0 0 78 0 3 391 33 974 3 703 1 614 131 998 20 064 15 243 0 5 079 287 376 83 836
LGA 0 0 0 0 0 13 800 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 626 13 916 17 243 3 777 36 764 3 631 13 296 0 630 103 683 30 760
BKST 0 0 0 9 043 0 227 638 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 39 361 300 121 1 795 5 067 615 717 50 253 138 813 0 6 539 1 394 347 631 408
PHR 36 946 41 942 127 578 519 96 369 1 2 558 6 178 57 538 9 42 100 77 367 8 859 8 343 0 12 855 7 048 15 093 6 694 33 076 8 253 215 916 258 003 117 783 0 35 998 1 217 026 1 064 328
TRKM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 250 17 8 502 1 549 4 266 16 741 70 886 83 162 60 689 0 5 328 251 390 341 317
LKJP 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 490 1 698 5 435 76 077 24 376 16 055 105 523 0 7 078 236 735 207 735
336 956 624 332 253 120
139 587 243 270 108 827
1 629 076 3 023 423 997 668
5 055 865 6 272 891 3 991 537
1 457 434 1 708 824 1 116 117
1193 314 1430 049 985 579
Lampiran 1. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPGJ PJK+IMP OR TOTAL NT LAIN
PTUM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 211 815 1 272 406
JJLN 5 286 432 24 690 36 27 260 423 281 3 731 35 765 0 1 790 27 132 3 329 61 0 2 477 26 10 240 13 850 7 437 15 709 141 174 17 121 30 820 0 16 486 385 556 544 662 714 216
TOTAL 4 827 522 2 520 299 388 984 24 238 873 708 321 639 4 206 173 099 133 865 242 529 109 557 198 193 183 464 99 083 201 088 145 695 7 335 153 968 444 944 88 720 169 380 3 600 414 891 955 620 092 0 98 284 16 522 261 0 25 558 518
KONS RT 624 960 167 048 673 919 1 967 523 813 1 173 71 506 48 879 456 427 0 270 551 2 731 106 265 486 112 863 13 099 946 114 46 470 113 299 127 446 134 577 0 2 306 739 700 416 781 372 0 744 527 0 0 0
PA LAIN 803 762 368 382 1020 313 35 784 603 141 331 154 782 684 1136 009 815 341 28 534 613 930 3103 781 982 698 1616 890 724 467 2599 165 50 986 180 319 179 388 154 550 2854 043 2672 477 816 869 809 957 1272 406 1001 488 25558518 0 2854 043
TOTAL 5 631 284 2 888 681 1 409 297 60 022 1 476 849 652 793 786 890 1 309 108 949 206 271 063 723 487 3 301 974 1 166 162 1 715 973 925 555 2 744 860 58 321 334 287 624 332 243 270 3 023 423 6 272 891 1 708 824 1 430 049 1 272 406 1 099 772 42080 779 0 28412 561
1 272 406 60 591
1 099 772 169 554
42 080 779
0
28412561
70493 340
Lampiran 2. Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2005 (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPH GJ SRPLS PNYST PJKTL+IMP TOTAL EMPLOY
TPGN 801 076 0 33 055 9 313 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 14 607 156 158 0 7 618 820 952 153 228 125 712 0 1 913 2 123 630 1 635 503 6 091 656 99 962 48 672 9 999 423 1 194 654
TKBN 56 206 979 9 729 4 326 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 16 094 58 815 3 763 89 752 328 111 135 447 60 168 0 17 254 930 494 1 097 888 3 263 667 246 739 84 713 5623 502 801 953
PTK 116 176 3 334 2 164 770 0 4 0 428 568 207 862 41 809 12 0 435 103 11 0 4 004 4 946 10 988 9 419 167 236 37 981 5 807 0 2 153 843 982 451 075 1 437 189 73 724 38 243 2 844 213 329 488
KHTN 0 0 0 317 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 33 4 064 1 199 20 178 14 615 22 051 2 156 0 1 959 66 572 32 364 97 112 7 104 3 940 207 092 23 641
IKAN 79 478 0 439 1 442 309 502 53 955 0 0 3 939 540 252 48 210 593 114 91 485 2 312 0 9 554 9 114 5 390 31 554 205 674 22 665 34 888 0 9 682 920 782 549 896 1 472 737 112 212 53 854 3 109 481 401 672
TBNG 0 0 0 171 0 7 013 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 506 4 653 1 166 19 070 62 457 50 935 75 138 0 9 620 230 727 382 076 972 396 43 451 20 743 1 649 393 17 725
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPH GJ SRPLS PNYST PJK+IMPR TOTAL EMPLOY
IBS 845 108 43 119 0 0 0 194 1 623 0 327 17 2 936 0 16 001 0 0 925 0 4 575 838 907 0 121 248 17 472 5 033 0 1 739 1 062 062 26 204 56 972 3 773 1 170 1 150 181 8 088
IKUD 0 0 0 359 1 369 090 6 774 0 346 359 28 77 345 0 0 0 0 3 636 0 7 678 2 052 3 727 5 155 463 347 60 791 26 270 0 5 177 2 300 866 23 341 45 615 5 948 5 025 2 380 795 7 204
ITKT 36 012 16 597 838 023 17 0 0 0 0 219 762 2 195 27 515 0 420 544 0 0 13 984 0 11 055 1 794 7 588 907 525 255 70 795 13 664 0 6 692 2 212 399 197 996 422 084 30 735 5 190 2 868 404 61 113
IKKL 0 295 428 0 68 0 283 0 0 0 11 528 0 0 0 0 0 0 0 12 33 876 193 54 980 8 565 1 522 0 1 766 3 75 254 17 945 17 236 2 975 148 413 558 5 539
IML 0 701 053 0 15 0 22 0 0 774 297 381 2 114 0 0 0 0 8 0 1 056 286 344 551 121 395 14 707 1 524 0 434 1 141 664 8 807 53 517 3 981 366 1 208 335 2718
IPD 3045 343 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 13 586 0 0 0 0 0 1 229 55 889 17 80 481 30 196 4 381 0 91 3 176 270 30 617 131 175 9 682 373 3 348 117 9 450
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPH GJ SRPLS PNYST PJK+IMPR TOTAL EMPLOY
IGL 0 914 987 0 0 0 11 482 0 0 0 0 0 0 44 063 0 0 0 0 11 416 19 098 2 328 11 212 161 840 58 224 39 822 0 6 956 1 281 427 221 003 609 944 28 614 22 033 2 163 021 68 214
IKP 17 547 1 219 874 0 0 0 0 0 0 0 0 49 0 0 89 013 0 104 0 2 806 291 658 0 311 746 258 781 2 125 0 844 1 903 837 41 849 91 219 15 221 8 371 2 060 497 12 917
IPKT 962 453 1 509 31 0 0 0 0 10 165 59 514 19 908 3 408 99 0 15 737 11 852 0 1 831 496 1 745 60 170 335 22 030 1 228 0 111 1 272 522 14 502 41 626 13 325 1 518 1 343 493 4 476
IML 2 001 727 824 958 2 466 16 2 801 551 0 0 13 441 585 48 752 20 184 47 937 0 0 123 751 0 3 634 1 122 3 565 1 194 383 888 51 644 9 531 0 1 857 3 543 603 70 492 137 735 20 630 12 521 3 784 981 21 758
IMN 1 400 8 482 0 0 0 0 0 0 270 0 0 0 11 886 595 0 105 607 1 262 527 409 66 13 548 2 956 3 570 0 4 423 50 107 6 324 33 981 3 146 2 274 95 832 1 952
IKRT 0 570 864 0 0 0 1 282 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 175 081 1 216 3 440 573 94 611 18 813 6 879 0 6 471 879 230 14 465 46 368 5 643 3 916 949 622 4 465
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPH GJ SRPLS PNYST PJK+IMPOR TOTAL EMPLOY
ILNY 0 11 096 205 68 679 27 250 389 19 0 782 0 2 507 0 886 0 0 287 0 17 837 143 133 18 353 7 868 436 119 96 057 60 166 0 25 600 1 140 010 150 429 374 763 53 108 26 308 1 744 618 46 431
LGA 0 0 0 0 0 58 090 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 179 56 600 82 505 17 775 117 265 16 782 50 665 0 3 066 405 927 53 284 153 568 20 958 13 988 647 725 4 122
BKST 0 0 0 39 062 0 717 416 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 149 645 913 909 6 430 17 853 1470 387 173 894 396 027 0 23 823 3 908 446 1 085 390 765 792 166 434 95 166 6 021 228 113 354
PHR 173 776 148 878 375 848 2 319 322 068 3 7 443 21 706 300 208 26 132 161 150 096 28 469 20 101 0 35 405 20 565 59 349 21 083 122 554 30 076 533 309 923 401 347 552 0 135 645 3912 040 1696 054 4261 232 402 770 421 856 10 693 952 474 850
TRKM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 086 78 52 726 7 694 24 929 96 218 276 132 469 410 282 429 0 31 663 1 242 363 836 912 1 824 385 283 722 138 220 4 325 602 145 505
LKJP 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 12 2 679 7 435 27 995 385 425 83 701 79 882 432 871 0 37 077 1 057 077 387 382 1 606 606 127 718 103 574 3 282 357 10 305
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPH GJ SRPLS PNYST PJK+IMP TOTAL EMPLOY
PTUM 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 562 014 0 178 101 0 3 740 115 150 445
JJLN 26 399 1 628 77 233 171 96 734 1 464 868 13 918 198 139 0 5 966 55 891 11 359 156 0 7 244 81 42 755 46 318 29 259 60 786 370 249 65 064 96 564 0 65 961 1 274 208 775 762 184 414 49 860 7 221 2 291 465 199 921
TOTAL 8 106 550 4 968 786 1 339 192 127 045 2 100 223 1 108 922 9 953 382 421 738 403 372 070 243 368 333 184 581 849 109 979 542 324 200 708 21 343 594 601 1 461 730 361 006 813 520 7 388 880 2 861 770 2 085 692 0 401 978 37 255 500 13 369 574 24 192 991 2 009 536 1 119 403 77 947 004 4 121 960
KONS RT 1 054 738 207 358 969 929 4 400 784 076 1 725 106 850 97 126 1 192 372 0 444 257 2 687 488 427 170 165 497 15 782 1 357 929 62 073 223 068 104 576 219 269 0 1 709 118 917 265 1 148 857 0 1 230 486 15 131 409 0 0 0 0 15 131 409 0
KONS PM 0 1 151 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24 412 6 271 67 450 114 407 95 767 124 229 40 634 3 740 115 641 988 4 856 424 0 0 0 0 4 856 424 0
Lampiran 2. Lanjutan (juta rupiah) SEKTOR TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IML IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN TOTAL UPH GJ SRPLS PNYST PJK+IMPR TOTAL EMPLOY
PTK MDL 0 0 10 037 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44 240 0 5 093 301 295 333 50 734 0 0 0 5 493 645 0 0 0 0 5 493 645 0
STOK 358 188 114 044 91 521 1 535 0 228 43 285 123 389 52 371 10 471 26 288 51 827 46 500 70 357 10 817 10 874 723 6 212 7 288 0 0 0 0 0 0 0 1 025 918 0 0 0 0 1 025 918 0
EKSPOR 479 948 332 163 433 534 74 112 225 182 538 518 990 093 1 777 859 885 258 31 017 494 422 275 618 1 107 502 1 714 664 774 570 2 215 470 11 693 101 329 120 513 0 0 1 204 854 371 604 7 174 0 17 013 14 184 110 0 0 0 0 14 184 110 0
TOTAL 9 999 423 5 623 502 2 844 213 207 092 3 109 481 1 649 393 1 150 181 2 380 795 2 868 404 413 558 1 208 335 3 348 117 2 163 021 2 060 497 1 343 493 3 784 981 95 832 949 622 1 744 618 647 725 6 021 228 10 693 952 4 325 602 3 282 357 3 740 115 2 291 465 77 947 006 13 369 574 24 192 991 2 009 536 1 119 403 118 638 510 4 121 960
Lampiran 3. Kontribusi Output Sektor Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
25 26
Sektor
Output Pangsa Output Pangsa Tahun 2000 (%) Tahun 2005 (%) (juta) (juta) Pertanian Tanaman Pangan 5 631 284 13.382 9 609 824 12.328 Tanaman Perkebunan 2 888 681 6.865 5 623 502 7.215 Peternakan 1 409 297 3.349 2 844 213 3.649 Kehutanan 60 022 0.143 207 092 0.266 Perikanan 1 476 849 3.510 3 109 481 3.989 Pertambangan dan Penggalian 652 793 1.551 1 649 393 2.116 Industri Buah dan Sayur 786 890 1.870 1 150 181 1.476 Industri Pengolahan Ikan dan Udang 1 309 108 3.111 2 380 795 3.054 Industri Tapioka dan Tepung Lain 949 206 2.256 2 868 404 3.680 Industri Kopra/ Kelapa 271 063 0.644 413 558 0.531 Industri Minyak/ Lemak 723 487 1.719 1 208 335 1.550 Industri Padi 3 301 974 7.847 3 348 117 4.295 Industri Gula 1 166 162 2.771 2 552 620 3.275 Industri Kopi 1 715 973 4.078 2 060 497 2.643 Industri Pakan Ternak 925 555 2.199 1 343 493 1.724 Industri Makanan Lainnya 2 744 860 6.523 3 784 981 4.856 Industri Minuman 58 321 0.139 95 832 0.123 Industri Pengolahan Karet 334 287 0.794 949 622 1.218 Industri Lainnya 624 332 1.484 1 744 618 2.238 Listrik Gas dan Air Minum 243 270 0.578 647 725 0.831 Bangunan/Konstruksi 3 023 423 7.185 6 021 228 7.725 Perdagangan Hotel dan Restoran 6 272 891 14.907 10 693 952 13.720 Transportasi dan Komunikasi 1 708 824 4.061 4 325 602 5.549 Lembaga keuangan persewaan dan jasa perusahaan 1 430 049 3.398 3 282 357 4.211 Pemerintahan Umum 1 272 406 3.024 3 740 115 4.798 Jasa-jasa dan Lainnya 1 099 772 2.613 2 291 465 2.940 Jumlah 42 080 779 100 77 947 006 100
Lampiran 4. Lokasi Pengembangan Klaster Industri Agro No.
Jenis Klaster
1
Industri Makanan dan Minuman Industri Pengolahan Kakao dan Cokelat Industri Pengolahan Buah
1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 2
Industri Pengolahan Kelapa Industri Pengolahan Kopi Industri Pengolahan Gula Industri Pengolahan Tembakau Industri Pengolah Hasil Laut
3
Industri Kelapa Sawit
4 5
Industri Barang Kayu IKM Makanan Ringan
Lokasi
Banten, Jabar, Jatim, Sulteng, Sultra, Sumut, Lampung Sumut, Kep. Riau, Sumsel, Lampung, Jabar, Jatim Riau, Jawa, Sulawesi Lampung, Sumut, Jatim, Sulsel Lampung, Banten, Jabar, Jateng, Jatim Sumut, Jabar, Jateng, Jatim, NTB Jatim, Bali, NTT, Sulsel, Sulut, Maluku, Maluku Utara, Lampung, Papua, Sumut, Sulteng, Kaltim, Jateng Sumut, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumsel, Jatim, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Papua Sumatera, Jawa, Kalimantan NAD, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumsel, DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, NTT, Kalimantan, Sulsel, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Papua
Sumber : Departemen Perindustrian, 2005.
Lampiran 5. Kontribusi Industri Pengolahan dalam PDRB Propinsi Lampung Atas Dasar Harga yang Berlaku ( %) No. Industri Pengolahan
1. a. b. 2. a. b. c. d. e.
Minyak dan Gas Bumi Pengolangan Minyak Bumi Gas Alam Cair Non Minyak dan Gas Bumi Makanan, minuman dan tembakau Tekstil dan Kulit Barang dari kayu dan hasil hutan Kertas dan barang cetakan Kimia dan barang dari karet
Sumber : BPS Provinsi Lampung, 2005.
2001
2002
Tahun 2003
0.00 0.00 0.00 13.23 12.27
0.00 0.00 0.00 12.95 11.86
0.00 0.00 0.00 12.88 11.72
0.00 0.00 0.00 12.88 11.66
0.00 0.00 0.00 12.80 11.73
0.00 0.31 0.01 0.35
0.00 0.36 0.01 0.39
0.00 0.38 0.01 0.40
0.00 0.45 0.01 0.38
0.00 0.36 0.01 0.37
2004
2005
Lampiran 6. Perkembangan Ekspor Industri di Provinsi Lampung Tahun 20012005
No. A 1 2 3 4 5 6 7 8 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 C 1 2
Komoditas Hasil Pertanian Kopi Udang Beku Rempah-rempah Biji Coklat Ikan dan Lainnya Damar dan getah damar Buah-buahan Hasil Pertanian Lainnya Hasil Industri Kayu Olahan Besi/ baja Karet Alam Olahan Makanan Ternak Minyak Nabati Makanan Olahan Bahan Kimia Kaca/ barang dari kaca Kertas/ barang dari kertas Industri Lainnya Hasil Tambang Batubara Hasil Tambang Lainnya
2003 2004 281 277 234 288 125 078 124 067 103 270 80 785 37 144 23 103 12 280 1 993 241 721 624 297
(ton) 2005 409 488 230 891 128 944 23 017 19 426 2 221 -
2001 136 548 51 879 37 373 37 602 1 215 2 807 295
2002 184 471 84 337 63 240 28 191 5 632 1 215 304
156 5 218
84 1 467
245 812 10 670 108 4 343 1 454 8 501 93 809 24 450 4 852
326 135 13 587 620 5 046 3 761 23 458 132 175 22 504 6 254
10 811
106 973
1 699
1 098
155 343
86 811 20 729 5 572 818
11 754 6 390 21 031 101
160 439 89 904 27 387 -
41 974 41 575
80 942 88 058 87 615 442
427 51 072
1 188 0
2 010 2 975
368 612 393 430 25 769 19 853 1 767 82 11 226 17 104 5 432 972 32 688 60 165 115 766 122 714 18 730 14 333 5 488 4 486
586 216 12 345 419 27 146 7 320 135 678 147 534 14 087 5 396
Lampiran 7. Perkembangan Indikator Makro Ekonomi Provinsi Lampung Tahun 2001-2005
No. 1. 2. 3. 4. 5.
6.
7.
Indikator Pertumbuhan Ekonomi Inflasi PDRB Harga Konstan 2000 (Milyar Rp) PDRB per Kapita (Rp) Neraca Perdagangan Luar Negeri a. Ekspor (Ribu US $) b. Impor (Ribu US $) Investasi a. PMDN (Ribu Rp) b. PMA (Ribu Rp) Suku Bunga Deposito Berjangka Bank Umum 1 Bulan (%)
2001 3.59
2002 5.62
2003 5.76
2004 5.07
2005 4.02
12.94 24 079.60
10.32 25 433. 27
5.44 26 898. 05
5.22 28 262. 28
21.17 29 397. 24
4 274 064
4 218 733
4 647 890
5 098 641
5 748 422
388.8
531.7
739.8
669.7
1 083.8
892.0
1 154.0
951.3
1 338.6
3 473.8
184 064 17.88
2 785 086.3 87 391 14.33
148 900 97 440 9.65
618 000 280 068 13.50
1 440 039 63 497 14.00
Lampiran 8. Peta Penyebaran Industri Provinsi Lampung
Lampiran 9. Metode Pembaharuan Data Tahapan untuk meng-update atau memperbaharui Tabel Input-Output Provinsi Lampung Tahun 2000 ke Tahun 2005 adalah: 1. Mencari data Total Input Antara, Total Input Primer, Total Output Antara, dan Permintaan Akhir. Total Input merupakan penjumlahan Total Input dengan Total Input Primer (Nilai Tambah). Total Output merupakan penjumlahan Total Output Antara dan Total Permintaan Akhir (Final Demand). 2. Matriks Transaksi Antara (A) Tahun 2005 dibuat dengan meng-up date Matriks Transaksi Antara (A) Tahun 2000 dengan metode RAS. Seperti dijelaskan pada Bab III bahwa Tabel input-output umumnya terdiri dari kuadran I, II dan III. Kuadran I tidak lain merupakan matriks input antara atau disebut juga koefisien teknis (matriks A). Dua kuadran berikutnya berkaitan dengan matriks permintaan akhir dan nilai tambah yang secara praktis lebih mudah disusun dibanding matriks A, karena data/informasi yang tersedia seperti data pendapatan nasional, matriks ekspor impor dan lain-lain sudah sangat membantu. Jika pendekatan ketiga atau tidak langsung yang digunakan untuk memperbaiki matriks A, maka kita mau tidak mau harus berhadapan dengan pendekatan matematis. Metode RAS merupakan salah satu dari beberapa metode yang dapat dipakai untuk memperbaharui data input-ouput, terutama koefisien teknis (matriks A). Hal ini dilakukan karena metode ini dari segi metodologi cukup sederhana, banyak dipakai, dan hasilnya cukup memuaskan. Metode RAS pertama kali dikembangkan oleh Prof. Richard Stone dari Cambridge University, Inggris. Metode ini secara intensif telah dimanfaatkan oleh lembaga statistik untuk keperluan pembuatan tabel input-output up-dating. Secara sederhana metode RAS merupakan suatu metode untuk memperkirakan matriks koefisien input yang baru pada tahun t “A(t)” dengan menggunakan informasi
koefisien input tahun dasar “A(0)”, total permintaan antara tahun t, dan total input antara tahun t. Secara matematis metode RAS dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Andaikan matriks koefisien input pada tahun dasar adalah A(0) = {a,j(0)}, i,,j =1,2,...,n. Matriks koefisien input untuk tahun proyeksi t diperkirakan dengan rumus A(t) = R A(0) S di mana R = matriks diagonal yang elemen-elemennya menunjukkan pengaruh substitusi, dan S = matriks diagonal yang elemenelemennya
menggambarkan
pengaruh
fabrikasi.
Pengaruh
substitusi
menunjukkan seberapa jauh suatu komoditi (baca menurut baris dalam tabel input-output) dapat digantikan oleh komoditi lain dalam proses produksi. Pengaruh fabrikasi menunjukkan seberapa jauh suatu sektor (baca menurut kolom dalam tabel input-output) dapat menyerap input antara dari total input yang tersedia. 2. Andaikan r, dan s, berturut-turut merupakan elemen matriks diagonal R dan S. Misalkan pula Xij(O) adalah input antara sektor j yang berasal dari output sektor i pada tahun dasar. Untuk menjaga konsistensi hasil estimasi r, dan Sj, perlu ditambahkan dua persamaan pembatas seperti tertera di bawah ini. n
∑ r x (0)s j =1
j ij
= bi , i = 1,2........, n
j
n
∑ r x (0)s i =1
j ij
j
= k j , i = 1,2........, n
dimana: bi = jumlah permintaan antara sektor i pada tahun t kj = jumlah input antara sektor j pada tahun t
Dengan dua persamaan pembatas tersebut diperoleh 2n persamaan dengan 2n bilangan yang tidak diketahui (n buah n dan n buah Sj). Akan tetapi jika kita perhatikan lebih jauh, sebenarnya hanya ada 2n-1 persamaan yang bebas, sedangkan persamaan yang satunya bergantung dengan persamaan lainnya.
Lampiran 10. Keterkaitan ke Belakang Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 Kaitan ke Belakang Tahun 2000 Langsung Langsung dan Tak Langsung TPGN 0.1897 0.7241 TKBN 0.1556 0.7422 PTK 0.3934 0.8374 KHTN 0.3429 0.7763 IKAN 0.3335 0.8133 TBNG 0.1371 0.7694 IBS 1.1181 1.7842 IKUD 1.3103 2.1079 ITKT 1.1924 1.8705 IKKL 1.1731 1.7837 IML 1.2484 1.9871 IPD 1.1122 1.9210 IGL 1.6838 1.8792 IKP 1.0856 1.3193 IPKT 1.1785 1.9391 IMLN 1.1671 1.8895 IMN 0.6689 0.8202 IKRT 1.1628 1.8740 ILNY 0.8347 0.8952 LGA 0.9063 0.9365 BKST 0.9698 1.0422 PHR 0.4159 0.8011 TRKM 0.3046 0.7813 LKJP 0.3665 0.7561 PTUM 0.0000 0.4033 JJLN 0.7301 1.2735
No. Sektor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Peringkat 25 24 16 21 18 22 9 1 8 10 2 4 6 11 3 5 17 7 15 14 13 19 20 23 26 12
Kaitan ke Belakang Tahun 2005 Langsung Langsung dan Tak Langsung 0.3632 0.6923 0.2830 0.6614 0.5075 0.8344 0.5498 0.8173 0.5064 0.7812 0.2392 0.6410 1.1882 1.5792 1.3817 1.6528 1.2743 1.5834 1.1668 1.5518 1.2941 1.6158 1.1856 1.6224 1.5502 1.6132 1.2200 1.3191 1.2428 1.6199 1.2148 1.6011 0.8942 0.9783 1.2001 1.5802 1.0694 1.1175 1.0718 1.0912 1.1101 1.0901 0.6256 0.8503 0.4912 0.7694 0.5508 0.8236 0.0000 0.4218 0.9510 1.0598
Peringkat 23 24 18 20 21 25 9 1 7 10 4 2 5 11 3 6 16 8 12 13 14 17 22 19 26 15
Lampiran 11. Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri dengan Sektor Lain di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 Kaitan ke depan Tahun 2000 Langsung Langsung dan Tak Langsung TPGN 1.4477 1.6265 TKBN 1.1849 1.6740 PTK 0.8509 1.1940 KHTN 0.8482 1.2461 IKAN 1.1638 1.5333 TBNG 0.7822 1.5155 IBS 0.2167 0.7837 IKUD 0.4371 0.8509 ITKT 0.4352 1.0530 IKKL 0.3395 0.6895 IML 0.4771 0.7344 IPD 0.1857 1.3058 IGL 0.8976 1.2102 IKP 0.1900 0.7303 IPKT 0.6584 1.1966 IMLN 0.5724 1.0143 IMN 0.3795 1.0390 IKRT 1.2106 1.4206 ILNY 1.1537 1.5547 LGA 1.1118 1.3820 BKST 0.1699 0.5007 PHR 0.9997 1.1718 TRKM 1.3111 1.5937 LKJP 1.3169 1.4053 PTUM 0.0000 0.4298 JJLN 0.2750 0.7885
No. Sektor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Peringkat 2 1 14 11 5 6 21 19 16 24 22 10 12 23 13 18 17 7 4 9 25 15 3 8 26 20
Kaitan ke depan Tahun 2005 Langsung Langsung dan Tak Langsung 1.2148 1.9032 1.3341 1.9743 1.1054 1.0390 1.4402 1.2907 1.5856 1.1646 1.5783 1.2150 0.2203 0.6941 0.3771 0.8030 0.6043 1.2396 0.3458 0.6121 0.4728 0.6265 0.6336 1.0911 1.0315 1.3087 0.1253 0.6241 0.9476 1.0122 0.1245 0.7933 0.5228 0.6608 1.2484 1.7699 1.1587 1.3669 1.2427 1.3084 0.3172 0.7507 1.2531 1.6220 1.3203 1.5531 1.3019 1.4917 0.0000 0.3845 0.4118 0.7825
Peringkat 2 1 15 10 13 12 21 17 11 25 23 14 8 24 16 18 22 3 7 9 20 4 5 6 26 19
Lampiran 12. Pangsa Keterkaitan ke belakang Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
SEKTOR Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya TOTAL
IBS 35.592 2.639 0.54 0.07 0.33 0.19 43.98 0.02 0.31 0.06 0.23 0.15 0.70 0.02 0.09 0.07 0.02 0.42 0.79 0.21 0.35 9.01 2.50
IKUD 2.521 0.765 0.60 0.05 28.68 0.81 0.01 44.23 0.46 0.10 0.18 0.64 0.12 0.03 0.95 0.15 0.02 0.47 0.40 0.36 0.76 12.43 3.00
ITKT 3.792 4.570 14.13 0.03 0.45 0.20 0.01 0.03 46.73 0.30 0.64 0.40 7.04 0.02 2.20 0.30 0.02 0.49 0.41 0.43 0.48 12.24 3.29
IKKL 0.472 34.607 0.52 0.07 0.36 0.26 0.01 0.03 0.34 46.04 0.13 0.16 0.08 0.02 0.09 0.04 0.02 0.29 0.63 0.32 0.88 9.61 3.13
IML 0.419 32.379 0.47 0.06 0.32 0.21 0.01 0.02 0.32 10.26 40.50 0.14 0.08 0.02 0.08 0.03 0.02 0.30 0.58 0.22 0.80 8.60 2.67
IPD 43.980 0.301 0.40 0.08 0.20 0.17 0.00 0.01 0.18 0.02 0.07 44.28 0.05 0.01 0.07 0.02 0.01 0.19 0.83 0.13 0.26 5.57 1.89
IGL 0.358 25.240 0.39 0.07 0.27 0.62 0.01 0.02 0.26 0.03 0.10 0.12 56.12 0.01 0.07 0.03 0.01 0.62 1.08 0.25 1.10 7.20 3.33
IKP 0.921 28.532 0.53 0.05 0.38 0.22 0.01 0.03 0.35 0.04 0.14 0.17 0.09 45.47 0.09 0.04 0.02 0.43 0.58 0.27 0.90 10.41 8.38
IPKT 33.900 2.572 0.57 0.07 0.36 0.18 0.01 0.03 0.33 2.13 0.77 0.27 0.09 0.02 42.58 0.43 0.02 0.28 0.74 0.25 0.34 9.96 2.62
IML 26.207 11.222 0.58 0.07 0.35 0.20 0.01 0.02 0.46 0.19 0.69 0.38 0.67 0.02 0.10 44.44 0.02 0.28 0.73 0.22 0.48 8.67 2.47
IMN 1.566 9.298 0.74 0.05 0.54 0.32 0.01 0.05 0.77 0.05 0.16 0.25 6.96 0.37 0.13 0.11 53.70 1.20 0.83 0.55 0.88 11.14 3.86
IKRT 0.418 31.771 0.46 0.06 0.32 0.31 0.01 0.02 0.31 0.03 0.11 0.14 0.08 0.02 0.08 0.03 0.02 50.47 0.67 0.40 0.86 8.28 2.98
1.42 0.00 0.26 100
1.85 0.00 0.42 100
1.39 0.00 0.38 100
1.40 0.00 0.50 100
1.17 0.00 0.33 100
1.15 0.00 0.13 100
2.24 0.00 0.44 100
1.60 0.00 0.35 100
1.26 0.00 0.21 100
1.29 0.00 0.23 100
3.63 0.00 2.86 100
1.54 0.00 0.62 100
Lampiran 13. Pangsa Keterkaitan ke Depan Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 2005 (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
SEKTOR Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet
TPGN
TKBN
PTK
KHTN
IKAN
TBNG
IBS
IKUD
ITKT
IKKL
IML
IPD
IGL
IKP
0.01
0.01
0.01
0.01
0.01
0.00
95.57
0.02
0.02
0.02
0.02
0.01
0.01
0.02
0.02
0.02
0.04
0.04
0.02
0.02
0.04
98.12
0.07
0.05
0.05
0.03
0.03
0.05
0.26
0.22
0.29
0.39
0.38
0.18
0.51
0.87
78.44
0.55
0.57
0.30
0.34
0.58
0.03
0.02
0.60
0.04
0.16
0.02
0.11
0.19
0.51
74.75
18.47
0.04
0.04
0.07
0.13 0.15 0.06 0.02
0.10 0.12 0.05 0.02
0.36 1.44 0.07 0.02
0.16 0.21 0.09 0.03
0.18 1.62 0.10 0.02
0.07 0.09 0.04 0.01
0.47 0.28 1.13 0.04
0.43 1.44 0.22 0.06
1.33 0.80 11.67 0.05
0.25 0.30 0.13 0.04
88.97 0.30 0.13 0.04
0.15 84.98 0.07 0.02
0.15 0.19 72.48 0.02
0.28 0.33 0.14 98.35
0.11
0.07
11.68
0.09
2.55
0.04
0.16
1.88
3.85
0.15
0.15
0.12
0.09
0.16
0.04 0.02
0.03 0.02
0.17 0.02
0.05 0.03
0.15 0.02
0.02 0.01
0.15 0.04
0.36 0.06
0.65 0.05
0.08 0.04
0.08 0.04
0.05 0.02
0.05 0.03
0.09 0.05
0.25
0.39
0.28
0.50
0.42
0.16
0.64
0.82
0.75
0.43
0.50
0.29
0.74
0.65
Lampiran 13. Lanjutan (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
SEKTOR Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet
IPKT 0.02
IML 0.01
IMN 0.02
IKRT 0.01
ILNY 0.03
LGA 0.02
BKST 0.02
PHR 3.08
TRKM 0.01
LKJP 0.01
PTUM 0.00
JJLN 0.06
TOTAL 100
0.05
0.04
0.07
0.05
0.08
0.07
0.08
0.23
0.03
0.03
0.00
0.67
100
0.57 3.69 1.62 0.54 0.15 0.04 75.95
0.77 0.32 1.42 0.75 1.11 0.04 0.18
1.04 0.06 0.26 0.39 9.26 0.65 0.18
0.55 0.06 0.24 0.30 0.13 0.04 0.15
0.94 0.12 0.53 0.49 0.26 0.06 0.22
0.74 0.08 0.35 0.41 0.18 0.05 0.19
0.86 0.10 0.42 0.48 0.21 0.06 0.22
6.52 0.29 1.26 1.46 0.62 7.21 5.67
0.30 0.03 0.12 0.16 0.07 0.02 0.07
0.31 0.03 0.11 0.15 0.07 0.02 0.07
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
7.54 0.18 0.64 2.63 1.55 0.05 1.01
100 100 100 100 100 100 100
0.94 0.05
95.49 0.04
0.20 98.94
0.08 0.04
0.14 0.06
0.11 0.06
0.13 0.07
0.38 0.21
0.07 0.02
0.04 0.02
0.00 0.00
0.46 0.05
100 100
0.44
0.43
1.49
81.55
1.31
0.93
2.52
0.74
1.29
0.51
0.00
1.97
100
Lampiran 14. Daya Sebar dan Derajat Kepekaan Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2005
Sektor Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya
Daya Penyebaran 0.9928 0.8023 1.0341 0.8945 0.7469 0.8571
Derajat Kepekaan 0.7938 0.6774 0.8583 0.7186 0.9018 0.7821
1.4986 1.1823 0.8772
1.4416 1.4239 1.1096
1.4916 1.2405 1.8016 1.3460 1.2430 1.4288 1.1326 0.7124 1.2654 0.8288 0.7320
0.7821 1.0773 1.2389 1.0905 1.4323 0.8827 1.4108 1.0090 0.8389 0.7576 0.7911
0.8694 0.5233
1.1596 0.7365
0.8882
0.7335
1.0083
0.7649
0.0000 0.8117
1.4637 1.1235
Lampiran 15. Pengganda Output Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 No. Sektor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN
Pengganda Tahun 2000 1.5301 1.5684 1.7695 1.6403 1.7185 1.6257 2.3625 2.7686 2.3939 1.7288 1.7380 2.3501 1.8578 2.4571 2.4903 2.4661 1.7332 2.5196 1.8916 1.9789 2.2023 1.6928 1.6509 1.5976 1.9652 2.6909
Peringkat Pengganda Peringkat Tahun 2005 26 1.8764 26 25 1.8807 25 15 2.1832 18 22 2.2085 17 19 2.1408 20 23 1.9173 23 8 2.8607 9 1 3.2984 1 7 2.9948 4 18 1.9146 24 16 2.0989 22 9 2.8207 10 14 2.4548 13 6 2.9336 7 4 2.9523 6 5 2.9206 8 17 2.4002 15 3 3.0585 3 13 2.7079 12 11 2.7107 11 10 2.9751 5 20 2.2755 16 21 2.1642 19 24 2.1107 21 12 2.4495 14 2 3.2753 2
Lampiran 16. Pengganda Pendapatan Rumah Tangga Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 No.
Sektor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN
Pengganda Peringkat Pengganda Peringkat Tahun 2000 Tahun 2005 1.0920 23 1.3065 23 1.0732 24 1.2213 24 1.1966 19 1.4319 19 1.2230 18 1.5977 17 1.1571 20 1.4151 21 1.0546 25 1.1561 25 3.4430 8 9.9603 6 9.8197 1 20.7939 1 4.0219 7 7.6987 8 2.7136 10 5.0786 11 2.7271 9 6.0044 9 6.4481 3 5.3231 10 1.5350 14 8.4118 7 4.7591 5 12.1358 5 6.5972 2 20.5521 2 4.4004 6 12.3682 4 1.7450 11 3.0947 12 6.0017 4 15.7328 3 1.6716 12 2.9688 13 1.6686 13 2.9279 14 1.4204 15 1.9110 15 1.2469 17 1.5836 18 1.1506 21 1.3860 22 1.2717 16 1.7539 16 1.0000 26 1.0000 26 1.1488 22 1.4290 20
Lampiran 17. Pengganda Kesempatan Kerja Sektor Ekonomi di Provinsi Lampung Tahun 2000 dan 2005 No.
Sektor
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN
Pengganda Peringkat 2000 1.1631 22 1.0126 25 1.1878 21 1.0346 24 1.1619 23 1.5653 18 16.1178 7 39.2294 1 14.8172 8 9.7087 11 10.0656 9 22.0238 4 21.2912 5 9.7634 10 30.9823 2 20.8743 6 2.4587 16 25.5432 3 2.6826 15 6.1013 12 3.0995 14 1.5862 17 1.3742 20 4.6536 13 1.0000 26 1.5153 19
Pengganda 2005 1.1731 1.1028 1.2898 1.1741 1.2617 1.6693 18.2218 44.4494 25.2196 10.6087 11.1682 22.2228 23.4915 10.8540 32.9436 20.9656 3.6307 28.5534 2.5826 6.1114 3.0990 1.7862 1.4742 5.6536 1.0000 1.6155
Peringkat 24 25 21 23 22 18 8 1 4 11 9 6 5 10 2 7 14 3 16 12 15 17 20 13 26 19
Lampiran 18. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2000 Sektor
TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN
Peringkat Keterkaitan Ke Belakang 25 24 16 21 18 22 8 1 7 9 11 3 5 10 2 4 17 6 15 14 13 19 20 23 26 12
Peringkat Keterkaitan Ke Depan
Peringkat Pengganda Output
Peringkat Pengganda Pend. RT
2 1 14 11 5 6 21 19 16 24 22 10 12 23 13 18 17 7 4 9 25 15 3 8 26 20
26 25 15 22 19 23 8 1 7 18 16 9 14 6 4 5 17 3 13 11 10 20 21 24 12 2
23 24 19 18 20 25 8 1 7 10 9 3 14 5 2 6 11 4 12 13 15 17 21 16 26 22
Peringkat Pengganda Kesempatan Kerja 22 25 21 24 23 18 7 1 8 11 9 4 5 10 2 6 16 3 15 12 14 17 20 13 26 19
Total Nilai
98 99 85 96 85 94 52 23 45 72 67 29 50 54 23 39 78 23 59 59 77 88 85 84 116 75
Peringkat
24 25 18 23 19 22 8 1 6 13 12 4 7 9 2 5 16 3 10 11 15 21 20 17 26 14
Lampiran 19. Rekapitulasi Peringkat Keterkaitan dan Pengganda Sektor Ekonomi Tahun 2005 Sektor
TPGN TKBN PTK KHTN IKAN TBNG IBS IKUD ITKT IKKL IML IPD IGL IKP IPKT IMLN IMN IKRT ILNY LGA BKST PHR TRKM LKJP PTUM JJLN
Peringkat Keterkaitan Ke Belakang 23 24 18 20 21 25 7 1 6 9 11 4 3 10 2 5 16 8 12 13 14 17 22 19 26 15
Peringkat Keterkaitan Ke Depan
Peringkat Pengganda Output
Peringkat Pengganda Pend. RT
2 1 16 10 13 12 21 15 11 25 23 14 8 24 17 18 22 3 7 9 20 4 5 6 26 19
26 25 18 17 20 23 9 1 4 24 22 10 13 7 6 8 15 3 12 11 5 16 19 21 14 2
23 24 19 17 21 25 6 1 8 11 9 10 7 5 2 4 12 3 13 14 15 18 22 16 26 20
Peringkat Pengganda Kesempatan Kerja 24 25 21 23 22 18 8 1 4 11 9 6 5 10 2 7 14 3 16 12 15 17 20 13 26 19
Total Nilai
98 99 91 87 97 103 52 19 33 80 74 44 36 56 29 42 79 20 60 59 69 72 88 75 118 75
Peringkat
23 24 21 19 22 25 8 1 4 18 14 7 5 9 3 6 17 2 11 10 12 13 20 15 26 16
Lampiran 20. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2000 (jutaan rupiah) Industri Industri Buah dan Sayur Industri Ikan Daging & Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi
0
WK 19730
4 086
0
75 617
163 445
16 463
5 041
2 577
8 231
4 576
47 671
Industri Gula
269
Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Jumlah
LB 404
TGM 644
LS 20 578
LTM 840
LT 128 421
0
644
94 660
0
1 615
902
0
4 038
0
1 615
0
0
0
Total 170 618
0
175 844
3 118
0
278 352
52 146
11 274
50 241
31 175
0
386 416
0
0
0
0
37 411
0
62 952
0
0
0
0
0
68 586
0
81 009
2 058
8 402
46 699
20 858
0
31 401
0
906
162 570
1 933
1 235
504
239 330
99 077
0
263 765
0
0
606 114
4 307
15 461
41 157
0
0
0
0
0
124 702
0
185 626
673
0
6 174
4 201
11 675
0
0
0
180 818
109
203 648
6 191
45 094
102 892
47 051
11 675
33 895
0
31 401
37 411
10 142
325 751
1 346
6 442
0
0
0
0
0
0
18 705
1 811
28 304
0
773
82 313
1 344
17 512
44 324
5 637
12 560
43 646
0
208 110
25 034
122 141
375 761
143 000
622 842
250 301
36 642
565 212
545 570
12 967
2 699 470
Keterangan : LB = Kabupaten Lampung Barat TGM = Kabupaten Tanggamus LS = Kabupaten Lampung Selatan LTM = Kabupaten Lampung Timur LT = Kabupaten Lampung Tengah
LU
LU WK TB BL MT
= = = = =
TB
BL
Kabupaten Lampung Utara Kabupaten Way Kanan Kabupaten Tulang Bawang Kabupaten Bandar Lampung Kota Metro
MT
Lampiran 21. PDRB Sektor Agroindustri Provinsi Lampung Tahun 2005 (jutaan rupiah) Sektor Agroindustri Industri Buah dan Sayur Industri Ikan Daging & Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi
LB
TGM
LS
LTM
LT
LU
WK
TB
BL
MT
TOTAL
478
1 066
31 987
1 556
179 555
0
41 984
0
0
0
256 626
0
1 066
147 140
0
5 713
0
0
487 741
4 783
0
646 442
1 911
1 493
0
140 045
228 524
90 707
23 991
92 903
47 826
0
627 400
4 778
0
25 589
9 336
0
0
0
0
57 391
0
97 094
1 911
4 265
12 795
0
0
0
0
0
105 217
0
124 188
5 415
78 909
3 199
15 561
65 293
34 555
0
58 064
0
1 157
262 152
Industri Gula
319
3 199
1 919
934
334 624
164 137
0
487 741
0
0
992 872
Industri Kopi
5 096
25 592
63 974
0
0
0
0
0
191 303
0
285 965
796
0
9 596
7 780
16 323
0
0
0
277 389
139
312 024
7 326
74 644
95 961
87 139
16 323
56 152
0
58 064
57 391
12 962
465 961
1 593
10 663
0
0
0
0
0
0
28 695
2 315
43 266
0
1 280
179 126
2 490
24 485
69 110
11 996
23 226
66 956
0
378 668
29 621
202 177
571 285
264 840
870 839
414 662
77 971
1 207 738
836 951
16 572
4 492 658
Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Jumlah
Keterangan : LB = Kabupaten Lampung Barat TGM = Kabupaten Tanggamus LS = Kabupaten Lampung Selatan LTM = Kabupaten Lampung Timur LT = Kabupaten Lampung Tengah
LU WK TB BL MT
= = = = =
Kabupaten Lampung Utara Kabupaten Way Kanan Kabupaten Tulang Bawang Kabupaten Bandar Lampung Kota Metro
Lampiran 22. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2000 INDUSTRI LB(LQ) 1 IBS
TGM(LQ) LS(LQ)
LTM(LQ) LT(LQ)
LU(LQ)
WK(LQ)
TB(LQ)
BL(LQ)
MT(LQ)
0.255189
0.083448
0.86647
0.09296
3.262216
0
8.519403
0
0
0
2 IKUD
0
0.05115
2.443101
0
0.063624
0
0
3.01717
0.055417
0
3 ITKT
0.450704
0.051584
0
3.694082
1.833231
1.4554
2.149513
0.62097
0.399195
0
4 IKKL
6.916336
0
1.878698
1.511679
0
0
0
0
2.940431
0
5 IML
2.149868
0.703016
0.729966
0
0
0
0
2.95E-06
4.189172
0
6 IPD
3.035317
6.480843
0.090936
0.975615
1.244984
1.383748
0
0.922498
0
1.159565
7 IGL
0.04789
0.070471
0.014634
0.015701
1.71137
1.762937
0
2.07841
0
0
8 IKP
2.501935
1.840822
1.592825
0
0
0
0
0
3.323999
0
9 IPKT
0.356332
0
0.21778
0.389411
0.248464
0
0
0
4.393267
0.11108
10 IMLN
2.049453
3.059517
2.269146
2.726601
0.155331
1.122187
0
0.460384
0.568246
6.48139
11 IMN
5.127584
5.030225
0
0
0
0
0
0
3.269934
13.32026
0
0.082097
2.841483
0.12194
0.364706
2.297013
1.995595
0.288253
1.03771
0
12 IKRT
Lampiran 23. Nilai LQ Sektor Agroindustri Kabupaten/ Kota di Provinsi Lampung Tahun 2005 INDUSTRI LB(LQ) 1 IBS
TGM(LQ) LS(LQ)
LTM(LQ)
LT(LQ)
LU(LQ)
WK(LQ)
TB(LQ)
BL(LQ)
MT(LQ)
0.2823651
0.092335
0.98021
0.102859217
3.609616
0
9.426652
0
0
0
2 IKUD
0
0.036655
1.78999
0
0.045594
0
0
2.806659
0.039713
0
3 ITKT
0.4619843
0.052875
0
3.786534278
1.879112
1.566416
2.20331
0.550827
0.409186
0
4 IKKL
7.4630797
0
2.07261
1.631178399
0
0
0
0
3.172875
0
5 IML
2.3339562
0.763214
0.81022
0
0
0
0
1.5E-06
4.54788
0
6 IPD
3.1326804
6.688727
0.09596
1.006909778
1.284919
1.428134
0
0.823923
0
1.19676
7 IGL
0.0486549
0.071597
0.0152
0.015951504
1.738719
1.79111
0
1.827367
0
0
8 IKP
2.7028861
1.988674
1.7593
0
0
0
0
0
3.590977
0
9 IPKT
0.3870548
0
0.24186
0.42298591
0.269886
0
0
0
4.772055
0.120657
10 IMLN
2.3845081
3.559702
1.61955
3.172359447
0.180726
1.305648
0
0.463544
0.661146
7.541
11 IMN
5.5827055
5.476705
0
0
0
0
0
0
3.560171
14.50256
0
0.075091
3.72007
0.111533418
0.333581
1.977395
1.825287
0.228161
0.949149
0
12 IKRT
Lampiran 24. Peta Rencana Sistem Pelayanan Perkotaan Provinsi Lampung
Sumber : Bappeda Provinsi Lampung, 2006
Lampiran 25. Direktori Industri Sedang dan Besar Provinsi Lampung Tahun 2005
1. Industri Pengolahan dan Pengawetan Daging Ikan, Buah-Buahan, Sayuran
No
Kode
1
IKUD-LT
2 3 4
IKUD-LT IML-BL IML-LT
5 6
IKUD-TB IKUD-LS
7 8 9
IML-BL IKUD-TB IBS-WK
10
IML-BL
Nama Perusahaan PT. Great Giant Pineapple Coy (GGPC) PT. Tris Delta Agrindo PT. Tunas Baru Lampung PTPN VII (Persero) BEKRI PT. Dipasena Citra Darmaja PT. Keong Nusantara Abadi CV. Sinar Laut PT. Central Pertiwi Bahari PT. Kencana Acilindo Perkasa PT. Tunas Baru Lampung
Jenis Produksi Utama Nanas Kemasan Nenas Kaleng Minyak Goreng (KLP) Minyak Sawit Udang Beku Bekicot Olahan
Tenaga Kerja 5576 150 154 863 10211 1860
Minyak Goreng (SWT) Udang Beku Nanas Kaleng
93 2648 101
Miyak Goreng (SWT)
112
Alamat Terbanggi Besar KM 7 Lampung Tengah Jl. Raya Trans Sumatera KM. 55-56 Lampung Tengah Jl. Yos Sudarso No.29 Panjang Bandar Lampung 35244 Sinar Banten, Gn Sugih Lampung Tengah Desa Bumi Dipasena, Tulang Bawang Desa Bumi Sari RK II Lampung Selatan Jl. Sukarno Hatta Km.6, Bandar Lampung Adiwarna, Tulang Bawang Pakuan Ratu, Way Kanan Jl. Yos Sudarso 29 Panjang Bandar Lampung
Lampiran 25. Lanjutan 2. Industri Penggilingan Padi-Padian, Tepung dan Makanan Ternak No
Kode
Nama Perusahaan
1 2
11 12 13 14 15 16
ITKT-BL ITKTLTM IKP-BL IKP-BL ITKT-LT ITKT-TB IKP-BL IKP-BL ITKT-LT ITKTLTM ITKT-LT ITKT-LT IMLN-BL IKP-BL ITKT-LT IKP-BL
18 19 20
IKKL-BL ITKT-TB ITKT-TB
PT. Sari Segar Husuda PT. Wira Kencana Adiperdana Bumi Sakti Perdana Laujaya
3 4 5 6 7 8 9 10
Tenaga Kerja
Alamat
CV. Setia Utama PT. Inti Sumber Agung Lancar
Jenis Produksi Utama Jagung Pipil (Sortasi) Tepung Tapioka
55 36
Jl.Ir. Sutami Km. 14 No.22, Bandar Lampung Desa Sumber Agung Lampung Timur 34181
Tri Panca Grup PT. Abdina Jaya Tapioka Karya Kencana PT. Budi Acid Jaya CV. Antara Saudara PT. Sungai Budi PT. Eka Inti Tapioka Murni PT. Eka Inti Tapioka
Kopi Biji (Sortasi) Kopi Biji (Sortasi) Tepung Tapioka Tepung Tapioka Kopi Biji (Sortasi) Kopi Biji (Sortasi) Tepung Tapioka Tepung Tapioka
252 23 27 392 204 29 54 87
Jl. Yos Sudarso No 41 Ketapang Bandar Lampung 35241 Jl. Ir. Sutami Km 4.5 Bandar Lampung 35241 Desa Rantau Jaya Baru, Lampung Tengah 34157 Desa Penumangan Tulang Bawang 34593 Jl. Soekarno Hatta No.3, Bandar Lampung 35241 Jl. Yos Sudarso No. 29, Bandar Lampung 35241 Setia Bumi 7. Lampung Tengah 34156 Ds I Sukaraja Nuban, Lampung Timur 34156
PT. Eka Inti Tapioka Tapioka Serba Jaya CV. Mustika Kencana PT. Aneka Sumber Kencana PT. Budi Acid Jaya PT. Aman Jaya Perdana
Tepung Tapioka Tepung Tapioka Coklat (Sortasi) Kopi Biji (Sortasi) Tepung Tapioka Lada Hitam & Kopi (Sortasi) Tepung kelapa Tepung Tapioka Tepung Tapioka
41 87 34 150 300 300
Bumi Nabung Timur, Lampung Tengah 34157 Dusun Gaya Baru II, Lampung Tengah Jl. Kgs.Anang No.23, Bandar Lampung 35241 Jl. Ian Koki No.5,Bandar Lampung Jl. Trans Sumatra Km.223, Lampung Utara 34564 Jl.Ir. Sutami Km. 7 Bandar Lampung 35121
600 111 23
JL. Raya Bakauhuni Km.16 Lampung Selatan 35453 Jl. Raya Unit II Banjar Agung,Tulang Bawang 34596 Desa Sukajaya, Tulang Bawang 34593
Lampiran 25. Lanjutan No
Kode
21 22 23 24
ITKT-TB IPKT-BL ITKT-LT ITKT-LU
25 26 27 28 29 30 31 32 33 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45
IKP-BL ITKT-TB ITKT-WK ITKT-TB ITKT-TB ITKT-LT ITKT-TB ITKT-LT ITKT-LT ITKT-LT ITKT-LT ITKT-LT ITKT-LT ITKT-LT ITKT-BL ITKT-LT ITKT-LT IKP-BL ITKT-LT ITKT-LU
Nama Perusahaan PT. Budi Acid Jaya PT. Sierad Produce, Tbk PT. Budi Acid Jaya PT. Budi Acid Jaya PT. Istana Lampung Jaya Megah PT. Bumi Jaya Murni Gunung Sugih Agung PT. Teguh Wibawa Bhakti PT. Budi Acid Jaya Tapioka Sangga Buana PT. Sinar Pematang Mulia CV. Sinar Bintang Tapioka Bangun PT. Budi Acid Jaya Tapioka Gunung Intan PT. Budi Acid Jaya Tapioka Gayatri Tapioka Sidokerto Sagu Aren Nasional Tapioka Bangun Tapioka Gaya Baru III CV. Maja Raya PT. Budi Sanwa Starch Lpmd
Jenis Produksi Utama Tepung Tapioka Pakan Ternak Tepung Tapioka Tepung Tapioka
Tenaga Kerja 236 222 456 399
Sortasi Lada Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Sagu Tepung Tapioka Tepung Tapioka Kopi Biji (Sortasi) Sagu Halus Tapioka
27 27 25 138 483 39 111 67 50 384 37 439 29 43 84 27 23 20 126 154
Alamat Desa Kibang Yekti Unit VI, Tulang Bawang 34596 Jl.Ir.Sutami Km.12, Lampung Selatan 35361 Desa Gunung Batin Udik, lampung Tengah 34163 Desa Gedung Ketapang,Lampung Utara 34554 Jl.M. Salim No. 26 Way Lunik, Bandar lampung Desa Jaya Murni, Tulang Bawang 34593 Serupa indah, Way Kanan Desa Banjar Agung, Tulang Bawang Desa Bujuk Agung, Tulang Bawang Desa Sangga Buana, Lampung Tengah 34156 Desa Rejomulyo, Tulang Bawang Desa Bumi Raharjo, Lampung Tengah 34161 Desa Buyut Ilir, Lampung Tengah 34161 Desa Terbanggi Besar, Lampung Tengah 34163 Desa Rukti Basuki, Lampung tengah 34157 Desa Buyut Ilir, Lampung Tengah 34161 Ds. IV Reno Basuki Lampung Teangah Desa Sidokerto, Lampung Tengah 34161 Jl. Imam Bonjol Gg. Ruyung, No.10 Bandar lampung 35145 Desa Gaya Baru I, Lampung Tengah 34158 Dsn. Gaya Baru III, Lampung tengah 34158 Jl. Kgs.Hi.Anang No.36, Bandar Lampung Ds. Buyut Ilir,Lampung Tengah 34161 Jl. Raya Trans Sumatra Km.19, Simpang Perungung, Lampng Utara 34501
Lampiran 25. Lanjutan No
Kode
46 47 48 49 50
IKP-BL IPD-LTM ITKT-LT IPD-TG IKP-BL
51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65
Nama Perusahaan
Jenis Produksi Utama
PT. Lembah Gunung Beras Sri Rejeki Pabrik Sagu Gaya Baru IV Beras Kurnia Jaya CV. Bali Kencana
Kopi Biji (Sortasi) Beras Sagu kasar Beras Kopi Biji (Sortasi)
ITKT-LT IPD-LT IPKT-BL ITKT-LTM ITKT-LT IPKT-BL IPKT-BL IPD-LT IKP-LS IPKT-BL IPKT-BL
Tapioka Santosa/Bumi Nabung Beras Jaya Makmur PT. Sinar Mutiara Agro Kencana PT. Budi Acid Jaya Tapioka Siswo Bangun XVI PT. Vistagrain Corporation PT. Jaka Utama Kratfutter Beras Bubur Jaya/Atun PT. Indra Brothers PT. Japfa Kompeed Indonesia PT. Sentra Profeed Intermitra
IPKT-BL IPD-LT ITKT-LT IPKT-BL
PT. Sumber Mustika Beras Maju Jaya PT. Budi Acid Jaya PT. Indonesian Peleting CO. Ltd
Tepung Tapioka Beras Jagung Pipil (Sortasi) Tepung Tapioka Tepung Tapioka Pakan Ternak Pakan Ternak Beras Kopi Biji (Sortasi) Pakan Ternak Pakan Ternak Pengeringan Jagung (Sortasi) Beras Tepung Tapioka Pakan Sapi
Tenaga Kerja 20 24 29 23 25
Alamat
25 21 64 300 39 112 20 23 182 147 71
JL. Soekarno Hatta No.12, Bandar Lampung 35241 Persil 2 Desa Raman Aji, Lampung Timur 34154 Desa Gaya Baru IV, Lampung Tengah 34158 Desa Margodadi, Tanggamus 35373 Jl. Yos Sudarso No.275 Bumi Waras, Bandar Lamping 35226 Ds. Bumi Nabung Ilir, Lampung Tengah 34157 Desa Bangun Rejo, Lampung Tengah 34161 Jl.Ir.Sutami No.36, Bandar Lampung Ds. Labuhan Ratu, Lampung Timur 34196 Desa Siswo Bangun, Lampung Tengah 34156 Jl. Yos Sudarso No.257, Bandar Lampung 35227 Jl. Raya Kalianda Km.12, Bandar Lampung 35241 Desa untoro Dusun II, Lampung Tengah JL. Raya Bakauhuni Km.16 Lampung Selatan 35453 Jl. Raya Ir. Sutami Km.18, 2 Lampung Selatan Jl. Soekarno Hatta Km.8,5 Bandar Lampung 35121
53 26 320 38
Jl. Ir. Sutami, Bandar Lampung 35241 Trimurjo No.10 Lk 3, Lampung Tengah 34172 Desa Gunung Agung Km 87. Lampung Tengah 34163 Jl. Ir. Sutami Km 18,2 Lampung Selatan 35361
Lampiran 25. Lanjutan No
Kode
67 68 69 70 71 72 73 74 75
IKP-BL ITKT-LTM ITKT-LTM ITKT-LT ITKT-LTM IPD-TG ITKT-TB ITKT-LTM ITKT-TB
Nama Perusahaan PT. Putra Bali Adyamulya Aci Way Raman CV. Sukabumi PT. Wiratapioka Mandiri PT. Umas Jaya Agro Tama Rukun PT. Bumi Tapioka Jaya Wirakencana Adiperdana Pa.Menggala " C "
Jenis Produksi Utama Kopi Biji (Sortasi) Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Tepung Tapioka Beras Tapioka Industri Tapioka Tapioka
Tenaga Kerja 41 24 33 106 212 23 80 103 32
Alamat Jl Jend Gatot Subroto No 79 Bandar Lampung 35226 Desa Raman Endra, Lampung Timur 34154 Jl. Batang Hari, Lampung Timur 34191 Rumbia Lampung Tengah Jl. Raya Panjang-Sribahwono Km 36, Lampung Timur Kp. Waluyojati, Tanggamus Ds. Karta, Tulang Bawang Kedaton Buring, Lampung Timur Desa Suka Jaya, Tulang Bawang
3. Industri Makanan Lainnya No
Kode
1 2 3 4 5 6 7
IMN-LTM IMLN-LT IMLN-TG IGL-TB IMLN-LS IMLN-LS IMLN-LT
Nama Perusahaan PT. Indomiwon Citra Inti PT.Vewong Budi Indonesia Sinar Mustika Jaya PT. Indo Lampung Perkasa Bihun Sumber Alam CV. Pelita Jaya Suhun Komsrudin Ali
Jenis Produksi Utama Micin Penyedap Masakan Kerupuk (Chiki) Gula Putih Bihun Kerupuk Chiki Suhun
Tenaga Kerja 638 364 149 4765 20 56 32
Alamat Gunung Pasir. Jaya, Lampung Timur Jl. Raya Gunung Sugih Kota Gajah, Lampung tengah 486122 Jl. Baru Kodomoro, Tanggamus 35373 Jl. Lintas Timur Km. 108 Tulang Bawang Desa Suka Raja Lampung Selatan 35371 Candi Mas, Lampung Selatan Desa Gunung Sugih Pasar, Lampung Tengah 34161
Lampiran 25. Lanjutan No
Kode
Nama Perusahaan
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Bihun Mudah Harapan Roti Mitra Agung, UD Roti Maju Jaya PT. Indofood Sukses Makmur Tbk Keripik Pisang Suseno Roti Agogo Roti Ak.100 Roti Sagon Monas PT. Nestle Beverages Indonesia PT. Elyana & Co Kue Ratimin Sinar Surya Roti Semanis Madu PT. Air Jadi PT. Metro Abadi Makmur PT. Iglo Mekar PT. Gunung Madu Plantations PT. Air Kuala
26
IMLN-MT IMLN-LS IMLN-LS IMLN-LS IMLN-BL IMLN-MT IMLN-MT IMLN-MT IKP-BL IKP-BL IMLN-TG IMLN-LS IMLN-TG IMLN-LS IMLN-MT IMLN-LT IGL-LT IMLNLTM IMLN-LS
Jenis Produksi Utama Bihun Roti Roti Mie Instan Keripik Pisang Roti Roti Roti Coffe Instan Kopi Biji (Sortasi) Roti Keriupuk Roti Es Balok Es Balok Es Balok Gula Pasir Es Balok
PT. Air Kali Urang
Es Balok
27 28 29 30
IGL-LU IMLN-LT IGL-LT IMLN-LS
PTPN. VII ( P ) Bunga Mayang PT. Batu Salju Bening PT. Gula Putih Mataram Kecap Kawan Setia
Gula Pasir Es Balok Gula Pasir Kecap
Tenaga Kerja 20 38 51 205 20 125 63 23 224 50 50 30 20 29 31 20 569 31 31 1495 20 4018 35
Alamat Jl. Tiram No. 3 15 A, Metro 34111 Desa Candi Mas, Lampung Selatan 35362 Sukarame, Lampung Selatan 35362 Jl.Ir. Sutami Km 15, Tanjung Bintang, Lampung Selatan Jl. Hayam Wuruk, Bandar Lampung 35211 Jl. Imam Bonjol No. 35, Metro 34113 Jl. Sere 21 C, Metro 34112 Jl. Imam Bonjol No. 56/57 Metro 47927 Jl. Raya Kalianda Km. 12 Bandar Lampung 35241 Jl. Prof. Dr.Ir.Sutami Km.7 Bandar Lampung 35241 Ds.Pringkumpul, Pringsewu No. 1340, Tanggamus 35373 Desa Bumi Sari, Lampung Selatan, Jl.Kh.Dewantoro No.68, Pringsewo, Tanggamus 35373 Jl Raya Natar Km 16 Po Box 77, Lampung Selatan 35362 Jl. Imam Bonjol Banjar Km. 68, Metro 34117 Jalan Negara Km.68, Lampung Tengah 34163 Km 90 Ds Gunung Batin Baru Lamping Tengah 34163 Desa Tulung Patik Lampung Timur 34199 Jl. Raya Trans Sumatra, Lampung Selatan 35551 Desa Negara Tulang Bawang Tungkai Selatan Po Box 125, Lampung Utara 34554 Jl. Raya Punggur, Lampung Tengah 34152 Desa Mataram Udik, Lampung Tengah 34164 Desa Negri Sakit, Lampung Selatan
Lampiran 25. Lanjutan No
Kode
Nama Perusahaan
31 32
IGL-TB IMLN-BL
PT. Sweet Indo Lampung Cv. Jaya Raya Abadi
33 34
IMLN-BL IMLN-BL
Permen Timur Jaya PD. Andalas Mekar Sentosa
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
IMLN-LT IMLN-LS IMLN-LS IMLN-LT IMLN-LS IMLN-LS IMLN-LU IMLN-LU IMLN-MT IMLN-LS IMLN-LS IMLN-LS IMLN-LS
PT. Budi British Bahan Pangan Cv. L. Brana Kerupuk Sinar Palembang Kerupuk Dua Saudara PD. Mitra Perkasa Kerupuk Sinar Pagi Pilus Cap Dua Anak Kerupuk Pada Suka Roti Mawar Kerupuk Bintang Tiga Chiki Jempol Jaya Kerupuk Rubi Makmur Sakti Chiki Bumi Jaya
Jenis Produksi Utama Gula Pasir Kecap (Kg) Permen Keripik Pisang Glukosa Dari Tapioka Kerupuk Kerupuk Kerupuk Kerupuk Chiki Kerupuk Kerupuk (Pilus) Kerupuk Roti Kerupuk (Chiki) Kerupuk (Chiki) Kerupuk (Chiki) Kerupuk (Chiki)
Tenaga Kerja 368 26 22 52 98 25 58 40 56 20 23 23 202 55 62 20 86
Alamat Desa Astra Kesetra, Tulang Bawang Jl. Pagar Alam No. 181 Bandar Lampung Jl. Merauke No. 84 Teluk Betung selatan, Bandar Lampung 35226 Jl. Imam Bonjol Gg.Kelana No. 24 Bandar Lampung 35154 Desa Gunung Batik Udik, Lampung Tengah 34163 Candi Mas I No. 314 Km.25, Lampung Selatan 35362 Batu Ceper Km. 27, Lampung Selatan 35362 Desa Seputih Jaya, Lampung Tengah 34161 Desa Candi Mas, Lampung Selatan Desa Candi Mas, Lampung Selatan Jl.A Akuan Gg. Cempaka No. 414, Lampung Utara 34511 Jl. Cemara No. 65, Lampung Utara 34511 Jl. Jendral Sudirman No. 193, Metro Desa Candi Mas, Lampung Selatan 35362 Desa Tanjung Sari, Lampung Selatan Desa Bumisari, Lampung Selatan, Desa Bumi Sari, Lampung Selatan,
Lampiran 25. Lanjutan 4. Industri Minuman No
Kode
Nama Perusahaan
Jenis Produksi Utama
1 2 3 4 5
IMN-BL IMN-BL IMN-BL IMN-BL IMN-TG
PT. Tirta Investama Umum Sumatra PT. Sari Segar Husada PT. Multilamindo Abadi Lestari PD. Sarialam Marisa
Air Mineral (Aqua) Limun Minuman Sari Kelap Air Mineral (Amila) Limun
Tenaga Kerja 126 30 30 28 25
6 7 8 9
IMN-BL IMN-BL IMN-TG IMN-BL
Limun Metro PT. Coca Cola Panjava Bottling Co Limun Metro Jaya "Cap Panda" PT. Tri Jaya Tirta Darma
Limun Minuman Ringan Limun Ari Minum Kemasan
25 207 22 112
Alamat Jl.Kh.A. Dahlan No. 202, Bandar Lampung 35211 Jl. Selat Malaka I No. 12, Bandar Lampung Jl.Kh. Agus Anang No. 31, Bandar Lampung Jl. Pagar Alam Gg. Landak, Bandar Lampung Jl. Melati Ii No. 25 Pringimbo Pringsewu, Tanggamus 35373 Jl. Lembang No.1 Bandar Lampung Jl. Raya Sri Bowono Km. 13,5 Lampung Selatan 35361 Jl.Kh.Gholib, Pringsewu, Tanggamus 35373 Jl. Saleh Raja Kasuma Yudi, Bandar Lampung
5. Industri Karet dan Bahan dari Karet No
Kode
Nama Perusahaan
Jenis Produksi Utama
Tenaga Kerja
Alamat
1 2
IKRT-WK IKRT-LS
Karet Remah (SIR) Karet Remah (SIR)
667 170
3 4 5 6 7 8 9 10
IKRT-LS IKRT-BL IKRT-BL IKRT-LU IKRT-BL IKRT-TB IKRT-LS IKRT-TB
PTPN.VII (P) Tulang Buyut PTPN.VII (P) Kedaton (Way Galih) PTPN.VII (P) Way Berlulu PT. Garuntang PT. Way Kandis PT. Nakau PT. Gunung Putra Surya PD. Sinar Jaya PTPN.VII (P) Kebun Rejosari PT. Humah Indah Mekar
Karet Remah (SIR) Karet Remah (SIR) Karet Remah (SIR) Pengolahan Karet (RSS) Vulkanishir Ban Karet Remah (SIR) Karet Remah (SIR) Karet Asap
750 227 129 410 72 64 288 143
Desa Kali Papan, Way Kanan Desa Way Galih, Tromol Poe No. 70, Lampung Selatan 35361 Desa Kebagusan Gd. Tataan, Lampung Selatan Jl. Udang No. 279 Bumi Waras, Bandar Lampung Jl.Hi.Komarudin No. 9, Bandar Lampung 35144 Ds Candi Mas, Po Box 102 Kotabumi, Lampung Utara Jl.Hm. Salim No. 52a, Bandar Lampung Desa Penumangan Baru, Tulang Bawang Jl. Raya No. 71 A (Pewa, Kebon Rejo sari) Desa Panumargah Tulang Bawang 34543
Lampiran 26. Tingkat Pendidikan Pekerja Sektor Agroindustri di Provinsi Lampung Tahun 1997
No 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kode Industri Ind. Buah & Sayur Ind. Pengolahan Ikan dan Udang Industri Minyak dan Lemak Industri Padi Ind. Kopra/ Kelapa Ind. Gula Ind. Tapioka & Tepung Ind. Kopi Ind. Peng. Mkn Lainnya Ind. Pakan Ternak Ind. Minuman Industri Karet Total Persentase
Jumlah Perusahaan (buah) 4
Jumlah Pekerja (jiwa)
TT SD (jiwa)
SD (jiwa)
SMP (jiwa)
SMA (jiwa)
D3/SM (jiwa)
S1 (jiwa)
S2 (jiwa)
S3 (jiwa)
2 748
15
226
397
1 868
101
140
1
0
3
11 260
138
727
2 723
5 885
996
597
68
1
4 9 58 4 43
1 338 389 1 404 4 453 3 700
2 24 27 0 455
812 106 536 427 1 104
184 75 318 678 920
314 166 486 2 935 974
11 6 21 213 74
15 7 12 199 36
0 1 1 1 0
0 0 0 0 0
12 41
973 2 065
19 56
279 717
151 483
470 717
22 11
29 15
1 0
0 0
7 10 12 147
697 748 4 100 33 508
58 14 162 1 461 3.358
196 112 2 484 9 472 21.771
72 141 749 9 465 21.755
169 437 563 19 322 44.410
2 18 10 1 724 3.962
9 0 42 1 379 3.170
0 0 0 77 0.177
0 0 0 1 0.002
Lampiran 27. Hasil Estimasi Model dan Statistik t Tabel IBS Industri Buah dan Sayur
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -20.2814 0.0264 0.5744 0.2858 0.1293 0.024 4.522 8.93453 0.01195 0.1094 0.1387 0.068 0.0112 1.4494 -2.27 2.21 5.25 2.06 1.9 2.15 3.12 N N Y N N N Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IKUD Industri Pengolahan Ikan dan Udang
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -29.8748 0.2866 0.7815 -0.024 -0.1489 0.0496 7.1304 10.2918 0.176 0.1223 0.0134 0.0902 0.0212 2.2144 -2.9 2.63 4.75 -1.81 -1.65 2.34 3.22 N Y N N N Y
Y
Y
Y
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
ITKT Industri Tapioka dan Tepung Lain
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB 22.2933 0.0415 0.5903 0.2923 0.1275 0.096 4.201 11.20266 0.01781 0.124274 0.1372 0.0817 0.0478 1.0912 1.99 2.33 4.75 2.13 1.56 2.01 3.85 N N Y N N N Y
Y
Y
Y
Y
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Lampiran 27. Lanjutan
IKKL Industri Kopra/ Kelapa
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB 35.9702 -0.0472 0.2911 0.3863 0.1044 -0.084 -7.670 13.7291 0.0254 0.0558 0.1961 0.0746 0.0457 0.6039 2.62 -1.86 5.22 1.97 1.4 -1.83 -12.7 N N Y N N N N
Y
Y
Y
N
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IML Industri Minyak/ Lemak
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -13.5935 0.016 0.4112 0.0323 0.0922 0.0573 3.1878 7.347838 0.00751 0.107 0.0141 0.0452 0.0318 1.5626 -1.85 2.13 6.64 2.29 2.04 1.8 2.04 N Y N N N N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IPD Industri Padi
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -20.5896 -0.2296 0.614 0.0629 -0.165 1.742 4.6547 11.19 0.12084 0.15049 0.0446 0.0876 0.9416 1.6332 -1.84 -1.9 4.08 1.41 -1.88 1.85 2.85 N N Y N N N N
Y
Y
Y
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Lampiran 27. Lanjutan IGL Industri Gula
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -231.471 -0.7332 -1.1695 1.4841 1.4748 2.163 60.418 110.5295 0.312 0.71311 -0.613 0.7972 1.1692 18.999 -2.09 -2.35 -1.64 -2.42 1.85 1.85 3.18 N N N N N N Y
Y
Y
N
Y
N
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IKP Industri Kopi
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -1.5964 -0.0178 0.3262 0.6219 0.0275 0.6677 1.916 0.7787 0.0093 0.1623 0.3173 0.0126 0.3649 0.9438 -2.05 -1.92 2.01 1.96 2.19 1.83 2.03 N N N N N N N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IPKT Industri Pakan Ternak
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB 1.9654 -0.0802 0.5267 0.57 0.0501 -0.271 0.2217 0.704444 0.04774 0.1593 0.2549 0.0202 0.1419 0.0729 2.79 -1.68 3.31 2.24 2.48 -1.91 3.04 N N Y N N N N
Y
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Lampiran 27. Lanjutan IMLN Industri Makanan Lainnya
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB -12.0682 -0.0996 0.9245 -0.121 -0.0136 0.199 3.7155 4.388436 0.04116 0.201856 0.0738 0.0061 0.1301 1.2426 -2.75 -2.42 4.58 -1.64 -2.22 1.53 2.99 N N Y N N N Y
Y
Y
Y
Y
Y
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IMN Industri Minuman
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB 42.891 0.0105 0.2874 0.3966 0.0541 0.0658 -8.534 19.4571 0.00438 0.154516 0.1638 0.2953 0.0323 3.8269 2.2 2.4 1.86 2.42 1.88 2.04 -2.23 N N N N N N N
Y
Y
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
IKRT Industri Pengolahan Karet
koef Sb Thit Kpts 1% Kpts 5% Kpts 10 %
Intercept KPT BBK UTK ENG PLK PUB 29.3402 -0.092 -0.00285 0.2382 0.73 -0.048 4.212 7.3692 0.0431 0.001939 0.1498 0.0862 0.0262 1.381 3.98 -2.13 -1.47 1.59 8.47 -1.83 3.05 Y N N N Y N N
Y
Y
N
N
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Y
Lampiran 27. Lanjutan FUNGSI GABUNGAN KPT BBK UTK ENG PLK PUB 0.0226 0.75102 0.13241 0.05274 0.02185 0.06357 koef 0.01102 0.02876 0.03828 0.02054 0.00916 0.03045 Sb Thit 2.04988 26.1059 3.45853 2.56739 2.38415 2.08768 N Y Y N N N Kpts 1% Y Y Y Y Y Y Kpts 5% Y Y Y Y Y Y Kpts 10 %
Keterangan :
Taraf nyata t tabel 1 % =3.10; 5 % =1.796; 10 % =1.363 Y = hasil pengujian nyata (tolak H0) N = hasil pengujian tidak nyata (terima H0) KPT = Kapital BBK = Bahan Baku UTK = Upah Tenaga Kerja ENG = Energi PLK = Penghematan Lokasi PUB = Penghematan Urbanisasi AGL = Aglomerasi
AGL 0.14668 0.06835 2.14576 N
Y Y
Lampiran 28. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 (%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
SEKTOR Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 16.671 17.777 4.198 6.010 16.671 18.559 4.198 10.545 9.132 26.492 3.005 10.545 8.280 26.492 3.017 3.146 1.561 2.225 3.017 3.138 1.561 0.070 0.070 0.069 0.490 0.070 0.070 0.069 3.906 4.154 1.098 1.618 3.906 4.147 1.098 0.366 0.372 0.301 5.175 0.366 0.369 0.301 1.895 2.055 0.084 0.122 1.895 2.052 0.084 4.494 4.882 0.115 0.168 4.494 4.875 0.115 6.279 6.712 1.388 1.996 6.279 6.687 1.388 1.447 0.311 14.265 0.201 1.447 0.504 14.265 2.556 0.669 23.848 0.711 2.556 0.675 23.848 7.551 8.029 2.156 3.104 7.551 7.999 2.156 4.907 5.270 0.814 0.835 4.907 5.204 0.814 3.530 3.829 0.156 0.209 3.530 3.824 0.156 2.731 2.948 0.286 0.409 2.731 7.163 0.286 7.268 7.818 1.060 1.518 7.268 3.530 1.060 0.217 0.065 1.926 0.095 0.217 0.065 1.926 2.427 2.591 0.573 1.713 2.427 2.588 0.573 0.809 0.813 0.757 6.237 0.809 0.814 0.757 0.492 0.493 0.482 0.743 0.492 0.494 0.482
P8 14.549 11.164 2.516 0.068 5.443 0.395 3.307 6.877 4.532 0.828 2.277 3.191 3.877 5.970 3.110 8.560 0.104 2.212 0.784 0.499
EKSPOR P9 18.559 8.280 3.138 0.070 4.147 0.369 2.052 4.875 6.687 0.504 0.675 7.999 5.204 3.824 7.163 3.530 0.065 2.588 0.814 0.494
P10 4.198 26.492 1.561 0.069 1.098 0.301 0.084 0.115 1.388 14.265 23.848 2.156 0.814 0.156 0.286 1.060 1.926 0.573 0.757 0.482
Lampiran 28. Lanjutan. (%) No. 21 22 23 24 25 26
SEKTOR Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya Total Dampak Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 77 947 008 juta)
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 0.755 0.740 0.929 34.852 0.755 0.725 0.929 10.290 10.316 10.002 15.730 10.290 10.437 10.002 3.953 3.983 3.617 5.040 3.953 3.992 3.617 2.563 2.573 2.444 5.863 2.563 2.563 2.444
P8 0.790 10.783 4.298 2.599
EKSPOR P9 0.725 10.437 3.992 2.563
P10 0.929 10.002 3.617 2.444
0.000 1.262 100
0.000 1.252 100
0.000 1.378 100
0.000 1.931 100
0.000 1.262 100
0.000 1.244 100
0.000 1.378 100
0.000 1.266 100
0.000 1.244 100
0.000 1.378 100
5.465
5.636
5.450
5.561
4.121
4.251
4.115
9.870
10.039
9.719
Lampiran 29. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Tahun 2005 (%) No.
SEKTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Peng. Ikan & Udang Industri Tapioka dan Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 25.054 26.708 6.328 6.334 25.054 28.043 6.328 21.954 18.916 16.377 47.665 3.780 18.916 14.934 47.665 20.108 4.397 4.584 2.281 2.273 4.397 4.597 2.281 3.682 0.100 0.100 0.100 0.494 0.100 0.101 0.100 0.099 6.346 6.748 1.790 1.844 6.346 6.775 1.790 8.880 0.779 0.791 0.642 7.724 0.779 0.790 0.642 0.844 0.397 0.430 0.018 0.018 0.397 0.432 0.018 0.695 0.405 0.440 0.010 0.011 0.405 0.442 0.010 0.622 3.982 0.577 0.171 0.634 4.607 0.659 0.271 1.244 0.131 0.340 0.641 0.372
4.256 0.124 0.045 0.674 4.946 0.714 0.292 1.337 0.039 0.363 0.644 0.372
0.883 5.705 1.602 0.182 0.766 0.029 0.028 0.182 1.171 0.080 0.602 0.365
0.888 0.056 0.033 0.183 0.550 0.027 0.028 0.182 0.040 0.168 3.465 0.394
3.982 0.577 0.171 0.634 4.607 0.659 0.271 1.244 0.131 0.340 0.641 0.372
4.264 0.202 0.045 0.676 4.912 0.717 0.714 0.607 0.040 0.364 0.648 0.376
0.883 5.705 1.602 0.182 0.766 0.029 0.028 0.182 1.171 0.080 0.602 0.365
2.886 0.332 0.153 0.269 3.655 1.119 0.310 1.471 0.063 0.311 0.624 0.379
EKSPOR P9 28.043 14.934 4.597 0.101 6.775 0.790 0.432 0.442 4.264 0.202 0.045 0.676 4.912 0.717 0.714 0.607 0.040 0.364 0.648 0.376
P10 6.328 47.665 2.281 0.100 1.790 0.642 0.018 0.010 0.883 5.705 1.602 0.182 0.766 0.029 0.028 0.182 1.171 0.080 0.602 0.365
Lampiran 29. Lanjutan. (%) No. 21 22 23 24 25 26
SEKTOR Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya Total Dampak Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 15 131 408 juta)
P1 1.251 14.995 7.028
DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 1.225 1.543 40.479 1.251 1.207 1.543 1.315 15.028 14.619 16.075 14.995 15.292 14.619 15.778 7.079 6.449 6.283 7.028 7.136 6.449 7.671
P9 1.207 15.292 7.136
EKSPOR P10 1.543 14.619 6.449
2.779 0.000 3.925 100
2.789 0.000 3.892 100
2.658 0.000 4.300 100
4.459 0.000 4.213 100
2.779 0.000 3.925 100
2.795 0.000 3.891 100
2.658 0.000 4.300 100
2.830 0.000 3.953 100
2.795 0.000 3.891 100
2.658 0.000 4.300 100
3.064
3.056
3.151
4.446
2.310
2.295
2.376
5.511
5.611
5.420
Lampiran 30. Alternatif Kebijakan Ekonomi Tunggal di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Tahun 2005
(%) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
SEKTOR Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum
P1 35.829 27.051 6.288 0.143 9.075 0.071 0.240 0.245 2.406 0.349 0.103 0.383 2.784 0.398 0.164 0.752 0.079 0.205 0.387 0.056
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA Pengeluaran Pemerintah Investasi P2 P3 P4 P5 P6 P7 8.793 8.793 19.347 35.829 40.240 8.793 66.225 66.225 11.547 27.051 21.430 66.225 3.170 3.170 6.944 6.288 6.596 3.170 0.139 0.139 1.508 0.143 0.144 0.139 2.487 2.487 5.633 9.075 9.721 2.487 0.057 0.057 1.498 0.071 0.072 0.057 0.010 0.010 0.023 0.240 0.262 0.010 0.006 0.006 0.014 0.245 0.268 0.006 0.518 0.518 1.146 2.406 2.586 0.518 3.349 3.349 0.073 0.349 0.123 3.349 0.940 0.940 0.043 0.103 0.028 0.940 0.107 0.107 0.236 0.383 0.410 0.107 0.450 0.450 0.710 2.784 2.979 0.450 0.017 0.017 0.035 0.398 0.435 0.017 0.017 0.017 0.037 0.164 0.433 0.017 0.107 0.107 0.235 0.752 0.368 0.107 0.688 0.688 0.052 0.079 0.024 0.688 0.047 0.047 0.217 0.205 0.221 0.047 0.353 0.353 4.472 0.387 0.393 0.353 0.054 0.054 0.127 0.056 0.057 0.054
P8 31.516 28.866 5.285 0.141 12.748 0.077 0.422 0.377 1.750 0.201 0.093 0.163 2.217 0.679 0.188 0.892 0.038 0.189 0.378 0.058
Ekspor P9 40.240 21.430 6.596 0.144 9.721 0.072 0.262 0.268 2.586 0.123 0.028 0.410 2.979 0.435 0.433 0.368 0.024 0.221 0.393 0.057
P10 8.793 66.225 3.170 0.139 2.487 0.057 0.010 0.006 0.518 3.349 0.940 0.107 0.450 0.017 0.017 0.107 0.688 0.047 0.353 0.054
Lampiran 30. Lanjutan. (%) No.
SEKTOR
21 22 23 24
Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya Total Dampak Persentase Perubahan dari nilai dasar (4 121 960 orang)
25 26
P1 0.256 8.219 2.392
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA PENGELUARAN PEMERINTAH INVESTASI P2 P3 P4 P5 P6 P7 0.306 0.306 17.679 0.256 0.248 0.306 7.785 7.785 18.820 8.219 8.411 7.785 2.133 2.133 4.568 2.392 2.437 2.133
P8 0.270 8.682 2.621
P9 0.248 8.411 2.437
EKSPOR P10 0.306 7.785 2.133
0.145 0.000 1.980 100
0.135 0.000 2.108 100
0.135 0.000 2.108 100
0.496 0.000 4.540 100
0.145 0.000 1.980 100
0.146 0.000 1.970 100
0.135 0.000 2.108 100
0.148 0.000 2.002 100
0.146 0.000 1.970 100
0.135 0.000 2.108 100
5.745
6.080
5.716
3.903
4.332
4.585
4.288
10.294
10.829
10.127
Lampiran 31. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Output Sektoral Tahun 2005 (%) No.
SEKTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum
KEBIJAKAN GANDA P11 16.6713 10.5450 3.0174 0.0697 3.9055 0.3661 1.8946 4.4939 6.2791 1.4472 2.5555 7.5508 4.9071 3.5304 2.7310 7.2678 0.2165 2.4270 0.8089 0.4920
P12 15.3054 10.9434 2.6948 0.0688 4.8950 0.3848 2.8034 6.0281 5.1543 1.0488 2.3764 4.7446 4.2444 5.1004 2.9749 8.0996 0.1441 2.2885 0.7928 0.4965
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL KEBIJAKAN GABUNGAN P13 15.1742 10.9817 2.6638 0.0687 4.9901 0.3866 2.8907 6.1754 5.0463 1.0106 2.3592 4.4751 4.1807 5.2512 2.9983 8.1795 0.1371 2.2752 0.7913 0.4969
P14 15.5947 10.8590 2.7631 0.0690 4.6854 0.3809 2.6109 5.7031 5.3925 1.1332 2.4143 5.3390 4.3847 4.7678 2.9232 7.9234 0.1594 2.3178 0.7962 0.4955
P15 18.5591 8.2801 3.1375 0.0697 4.1467 0.3693 2.0520 4.8754 6.6872 0.5045 0.6755 7.9992 5.2043 3.8240 7.1634 3.5299 0.0650 2.5876 0.8139 0.4945
P16 4.1983 26.4917 1.5609 0.0693 1.0981 0.3008 0.0842 0.1153 1.3879 14.2652 23.8483 2.1563 0.8140 0.1563 0.2857 1.0595 1.9262 0.5732 0.7573 0.4819
KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI P17 P18 15.6002 5.9342 10.6076 6.7942 4.7569 5.0709 0.0688 0.0602 1.1582 11.6432 0.3422 0.5735 0.0883 0.0890 0.1204 16.4855 12.0815 13.1519 0.2632 0.2301 0.8468 0.6493 2.4031 2.4880 10.5857 11.3485 0.1513 0.1539 0.7828 1.1435 19.2536 1.2098 0.0674 0.0699 0.6330 0.7126 0.8450 0.7188 0.5153 0.5710
Lampiran 31. Lanjutan (%) No.
SEKTOR
21 22 23 24
Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya Total Dampak Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 77 947 008 juta)
25 26
KEBIJAKAN GANDA
DAMPAK TERHADAP OUTPUT SEKTORAL KEBIJAKAN GABUNGAN
KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI P17 P18 0.7604 0.8733 10.4462 11.8942 3.6945 3.9166
P11 0.7553 10.2902 3.9534
P12 0.7779 10.6077 4.1749
P13 0.7801 10.6382 4.1962
P14 0.7732 10.5404 4.1280
P15 0.7246 10.4369 3.9924
P16 0.9285 10.0020 3.6165
2.5625 0.0000 1.2619 100
2.5862 0.0000 1.2642 100
2.5885 0.0000 1.2645 100
2.5812 0.0000 1.2637 100
2.5631 0.0000 1.2440 100
2.4441 0.0000 1.3784 100
2.6308 0.0000 1.2970 100
2.8490 0.0000 1.3688 100
9.586
15.334
13.991
19.455
19.926
19.292
18.737
19.688
Lampiran 32. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Pendapatan Rumah Tangga Sektoral Tahun 2005
No.
SEKTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum
(%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 25.0538 23.0614 22.8695 23.4843 28.0429 6.3284 22.4063 8.5630 18.9159 19.6820 19.7558 19.5194 14.9341 47.6651 18.1858 11.7025 4.3969 3.9371 3.8929 4.0347 4.5969 2.2813 6.6248 7.0952 0.1000 0.0991 0.0990 0.0993 0.1006 0.0998 0.0944 0.0830 6.3460 7.9747 8.1316 7.6290 6.7747 1.7897 1.7987 18.1659 0.7792 0.8212 0.8252 0.8123 0.7902 0.6421 0.6961 1.1721 0.3966 0.5884 0.6069 0.5477 0.4319 0.0177 0.0177 0.0179 0.4048 0.5444 0.5579 0.5148 0.4416 0.0104 0.0104 1.4259 3.9823 3.2776 3.2097 3.4272 4.2643 0.8829 7.3232 8.0093 0.5770 0.4193 0.4041 0.4527 0.2022 5.7046 0.1003 0.0881 0.1711 0.1596 0.1584 0.1620 0.0455 1.6019 0.0542 0.0418 0.6344 0.3997 0.3771 0.4495 0.6758 0.1817 0.1930 0.2007 4.6067 3.9950 3.9361 4.1248 4.9124 0.7665 9.4978 10.2298 0.6588 0.9543 0.9828 0.8916 0.7175 0.0293 0.0270 0.0276 0.2709 0.2958 0.2982 0.2905 0.7143 0.0284 0.0742 0.1089 1.2437 1.3897 1.4037 1.3587 0.6073 0.1819 3.1489 0.1988 0.1313 0.0876 0.0834 0.0969 0.0396 1.1714 0.0390 0.0407 0.3397 0.3211 0.3193 0.3251 0.3641 0.0805 0.0847 0.0958 0.6408 0.6298 0.6287 0.6321 0.6483 0.6018 0.6398 0.5468 0.3719 0.3762 0.3767 0.3753 0.3758 0.3653 0.3723 0.4144
Lampiran 32. Lanjutan
No.
SEKTOR
21 22 23 24
Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya Total Dampak Persentase Perubahan dari nilai dasar (Rp 15 131 408 juta)
25 26
(%) DAMPAK TERHADAP PENDAPATAN RUMAH TANGGA SEKTORAL KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 1.2510 1.2919 1.2958 1.2832 1.2067 1.5425 1.2037 1.3889 14.9952 15.4984 15.5469 15.3916 15.2919 14.6194 14.5487 16.6427 7.0280 7.4412 7.4810 7.3535 7.1361 6.4486 6.2770 6.6855 2.7787 0.0000 3.9252 100
2.8118 0.0000 3.9428 100
2.8150 0.0000 3.9445 100
2.8048 0.0000 3.9391 100
2.7946 0.0000 3.8907 100
2.6584 0.0000 4.3005 100
2.7265 0.0000 3.8558 100
2.9665 0.0000 4.0884 100
5.374
8.575
7.821
10.885
11.138
10.757
10.992
10.835
Lampiran 33. Alternatif Kebijakan Ekonomi Gabungan di Sektor Agroindustri Provinsi Lampung terhadap Kesempatan Kerja Sektoral Tahun 2005 (%) No.
SEKTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Tanaman Pangan Tanaman Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Buah dan Sayur Industri Ikan dan Udang Industri Tapioka & Tepung Lain Industri Kopra/ Kelapa Industri Minyak/ Lemak Industri Padi Industri Gula Industri Kopi Industri Pakan Ternak Industri Makanan Lainnya Industri Minuman Industri Pengolahan Karet Industri Lainnya Listrik, Gas dan Air Minum
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 35.8285 33.0604 32.7931 33.6491 40.2401 8.7926 33.5132 27.0509 28.2157 28.3282 27.9680 21.4296 66.2252 27.2005 6.2878 5.6442 5.5820 5.7811 6.5962 3.1697 9.9087 0.1431 0.1420 0.1419 0.1422 0.1444 0.1386 0.1411 9.0751 11.4324 11.6600 10.9311 9.7213 2.4866 2.6903 0.0708 0.0748 0.0752 0.0739 0.0720 0.0567 0.0661 0.2397 0.3564 0.3677 0.3316 0.2619 0.0104 0.0112 0.2446 0.3298 0.3380 0.3117 0.2677 0.0061 0.0066 2.4065 1.9854 1.9448 2.0750 2.5857 0.5184 4.6284 0.3487 0.2540 0.2448 0.2741 0.1226 3.3492 0.0634 0.1034 0.0966 0.0960 0.0981 0.0276 0.9404 0.0342 0.3834 0.2421 0.2285 0.2722 0.4097 0.1067 0.1220 2.7837 2.4200 2.3849 2.4974 2.9786 0.4500 6.0028 0.3981 0.5781 0.5955 0.5398 0.4351 0.0172 0.0171 0.1637 0.1792 0.1807 0.1759 0.4331 0.0167 0.0469 0.7515 0.8418 0.8505 0.8226 0.3683 0.1068 1.9902 0.0793 0.0531 0.0505 0.0587 0.0240 0.6878 0.0247 0.2053 0.1945 0.1935 0.1968 0.2208 0.0472 0.0535 0.3873 0.3815 0.3809 0.3827 0.3931 0.3533 0.4044 0.0563 0.0571 0.0572 0.0570 0.0571 0.0538 0.0590
P18 13.3101 18.1902 11.0286 0.1291 28.2366 0.1157 0.0117 0.9365 5.2606 0.0579 0.0274 0.1318 6.7190 0.0181 0.0715 0.1306 0.0267 0.0629 0.3591 0.0682
Lampiran 33. Lanjutan (%) No.
SEKTOR
21 22 23 24
Bangunan/Konstruksi Perdagangan, Hotel &Restoran Transportasi dan Komunikasi Lembaga keuangan, persewaan dan jasa perusahaan Pemerintahan Umum Jasa-jasa dan Lainnya Total Dampak Persentase Perubahan dari nilai dasar (4 121 960 orang)
25 26
DAMPAK TERHADAP KESEMPATAN KERJA SEKTORAL KEBIJAKAN GANDA KEBIJAKAN GABUNGAN KEBIJAKAN TIGA AGROINDUSTRI P11 P12 P13 P14 P15 P16 P17 P18 0.2558 0.2648 0.2657 0.2629 0.2476 0.3064 0.2574 0.3087 8.2193 8.5160 8.5446 8.4529 8.4105 7.7853 8.3406 9.9154 2.3922 2.5391 2.5533 2.5078 2.4373 2.1325 2.2346 2.4734 0.1447 0.0000 1.9804 100
0.1468 0.0000 1.9942 100
0.1470 0.0000 1.9955 100
0.1464 0.0000 1.9913 100
0.1460 0.0000 1.9697 100
0.1345 0.0000 2.1081 100
0.1485 0.0000 2.0347 100
0.1679 0.0000 2.2421 100
10.077
16.038
14.626
20.371
21.495
20.102
19.705
19.831
Lampiran 33. Lanjutan Keterangan Pilihan-pilihan kebijakan pada Lampiran 28-33 No. 1.
Kode P1
2.
P2
3.
P3
4.
P4
5.
P5
6.
P6
7.
P7
8.
P8
9.
P9
10.
P10
11.
P11
12.
P12
13.
P13
14.
P14
15.
P15
16.
P16
Uraian Alternatif Kebijakan Peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional Peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasika pada sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional peningkatan pengeluaran pemerintah 30 %, yang dialokasikan pada pembangunan infrastruktur peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional. peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional peningkatan investasi 20 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri secara proporsional. peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional peningkatan ekspor 25 %, yang dialokasikan pada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 % dan investasi dinaikkan sebesar 20 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri secara proporsional, pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri yang beraglomerasi secara proporsional pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor
17.
P17
18
P18
dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada semua sektor agroindustri yang tidak beraglomerasi secara proporsional pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada tiga sektor agroindustri penyumbang output dan beraglomersi terbesar secara proporsional pengeluaran pemerintah pengeluaran pemerintah dinaikkan sebesar 30 %, investasi dinaikkan sebesar 20 % dan ekspor dinaikkan sebesar 25 % yang dialokasikan kepada tiga sektor agroindustri yang mempunyai penyerap tenaga kerja dan beraglomersi terbesar secara proporsional