PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU
DISERTASI
IZAAC TONNY MATITAPUTTY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku” adalah merupakan karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor, Januari 2012
Izaac Tonny Matitaputty NRP. A161030091
ABSTRACT
IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Development of Production Centers Area in Improving Archipelago Region Economy in the Province of Maluku. (KUNTJORO as Chairman, HARIANTO and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committee).
Province of Maluku is the lagerst archipelago in Indonesia with the heterogen and large local spesific in the marine sector this region should be able to develop marine/maritim based key sectors. The region which is consisting of the islands requires the ability of service facilities in the centers of development as prime mover to develop the marine based key sectors in this archipelago. The objectives of the research are to: (1) identify the region key sectors on the basis analyze of partial criteria local spesific marine/maritim province of Maluku, (2) analyze the key sectors based on criteria analysis of connectivity in the province of Maluku, (3) analyze of the final demand impact sectors of the economy of the region to other economic sectors and the total output in the province of Maluku, ( 4) analyze the role of development centers based on the ability of the service facilities in the province of Maluku and, (5) analyze to the develop level of the hierarchy of central regional in the province of Maluku as an archipelago.This research the conducted by two approaches, sectoral and regional approach. Sectoral approach studied by the method of Input-Output (I-O) and regional approach studied by the method of scolagram. Input-Output analysis to determine the key sectors, while the ability to analyze scalogram likes sevice facilities in the center development as a prime mover the development of key sectors on spesific local area of islands.The results of analysis showed key sectors in the province of Maluku has not been well developed as yet supported by the ability of the service facilities at the development of production centers area.
Keywords:
Development centers, input-output, scalogram, key sectors, final demand Impact, service fascilities.
ABSTRAK
IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku. (KUNTJORO sebagai Ketua, HARIANTO dan D.S. Priyarsono sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Provinsi Maluku merupakan wilayah kepulauan terbesar di Indonesia, dengan local spesific yang sangat besar di sektor bahari maka seharusnya wilayah ini mampu mengembangkan sektor-sektor unggulan berbasis bahari/maritim. Wilayah yang terdiri dari pulau-pulau memerlukan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan sehingga mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah kepulauan yang berbasis bahari/maritim tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasikan sektor-sektor unggulan berdasarkan kriteria analisis parsial yang berbasis local spesific bahari/maritim di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (2) menganalisis sektorsektor unggulan wilayah berdasarkan kriteria analisis konektivitas di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (3) menganalisis dampak output permintaan akhir sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dan total output Provinsi Maluku, (4) menganalisis peran fungsi pelayanan pusatpusat pengembangan wilayah berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku dan, (5) menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pisat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan. Penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dikaji dengan metode Input-Output sedangkan regional menggunakan metode Skalogram. Analisis I-O untuk mengetahui sektor-sektor unggulan wilayah dan Skalogram menganalisis kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan sebagai penggerak utama pengembangan sektor-sektor unggulan berbasis wilayah kepulauan dengan local spesific bahari/maritim. Hasil analisis memperlihatkan sektor unggulan di Provinsi Maluku belum didukung oleh kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan Kawasan Sentra Produksi .
Kata Kunci:
Pusat pengembangan, input-output, skalogram, sektor unggulan, dampak permintaan akhir, fasilitas pelayanan.
RINGKASAN
IZAAC TONNY MATITAPUTTY. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku, (KUNTJORO sebagai Ketua, HARIANTO dan PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Pengembangan sektor-sektor unggulan ekonomi wilayah kepulauan Provinsi Maluku sudah merupakan aspek yang sangat mendesak, sehingga arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah harus berorientasi pada keunggulan spasial dan potensi lokal (local spesific). Aspek ini akan memberikan manfaat pada wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku untuk menggerakkan sektor-sektor unggulannya sebagai penggerak utama (prime mover) bagi sektor lain dalam mendorong atau menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan (growth pole) wilayah saja. Dengan mengidentifikasi/menemukenali serta menentukan sektorsektor unggulan wilayah serta didukung oleh kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah yang berbasis wilayah kepulauan maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis parsial yang berbasis local spesific bahari/maritim di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (2) menganalisis sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis konektivitas di wilayah kepulauan Provinsi Maluku, (3) menganalisis dampak peningkatan permintaan akhir (output final demand impact) sektor-sektor ekonomi berbasis wilayah kepulauan terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dan total output Provinsi Maluku, (4) menganalisis peran pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku berdasarkan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong pengembangan sektor-sektor unggulan berbasis local spesific wilayah kepulauan dan, (5) menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan kelompok dan kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat pengembangan. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder dengan dua pendekatan analisis yaitu pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral menggunakan metode analisis Input-Output (I-O) sedangkan pendekatan regional menggunakan metode analisis skalogram. Analisis sektor-sektor unggulan ekonomi Provinsi Maluku dilakukan berdasarkan klasifikasikan 60 sektor ekonomi tabel I-O Maluku. Dengan analisis ini diharapkan dapat melihat struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effek dan keterkaitannya (linkages) diantara sektor-sektor wilayah. Sedangkan salah satu analisis yang berhubungan dengan dukungan terhadap perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah adalah kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan wilayah. Dengan mengetahui kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dan hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah maka dapat diketahui apakah sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku mendapat dukungan fasilitas pelayanan yang sesuai dengan ketersediaan fasilitas di pusat-pusat pengembangan tersebut.
Arah dan strategi kebijakan perekonomian pemerintah daerah dapat dilihat dari hasil analsis I-O seperti, melihat konektivitas antara kriteria analisis sektor-sektor unggulan pada struktur output dengan nilai tambah bruto, struktur output, nilai tambah bruto dengan multiplier effek atau struktur output,nilai tambah bruto, multiplier effect dengan intersectoral linkages. Konektivitas ini dilakukan untuk mengetahui apakah sektor-sektor unggulan sesuai dengan arah dan strategi kebijakan perekonomian pemerintah yang berbasis potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Analisis untuk simulasi dilakukan dengan shock output permintaan akhir pada sektor-sektor yang relevan dengan karakteristik wilayah kepulauan seperti angkutan, air (laut), udara, darat dan perikanan. Hasil analisis skalogram terhadap kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusatpusat pengembangan (kabupaten/kota) memperlihatkan bahwa Kota Ambon masih merupakan satu-satunya pusat pengembangan utama/pusat pertumbuhan di Provinsi Maluku diikuti pusat pengembangan lainnya seperti, Kabupaten Maluku Tengah, Buru, Maluku Tenggara, Seram Bagian Barat, Maluku Tenggara Barat Daya, Seram Bagian Timur dan terakhir Kabupaten Kepulauan Aru. Hirarki pusat pengembangan menunjukkan masih rendahnya ketersediaan fasilitas pelayanan wilayah di Provinsi Maluku. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu mengembangkan sektor-sektor unggulan wilayah berbasis potensi lokal (local spesific) bahari/maritim. Hal ini dapat di lihat dari hasil analisis konektivitas yang tidak memperlihatkan keterkaitan sektor-sektor ekonomi dari konektivitas struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. Hasil simulasi final demand impacts menunjukkan sektor perikanan dan beberapa sektor yang berbasis wilayah kepulauan (archipelago) belum mampu menjadi sektor unggulan sedangkan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan sektor terunggul. Ketidakmampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah seperti belum memiliki fasilitas pelayan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya sehingga memiliki kapasitas pendukung yang rendah bagi pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah berbasis local spesific. Dengan demikian hasil analsis menunjukkan bahwa belum ada sektor-sektor unggulan Provinsi Maluku berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah yang mampu menciptakan keunggulan sektoral dari sisi konektivitas struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect, intersectoral linkages dan final demand impact. Sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan Provinsi Maluku belum mampu menjadi sektor unggulan karena rendahnya kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat-pusat pengembangan wilayah. Berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini, maka dapat diajukan beberapa implikasi kebijakan sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah perlu menentukan sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan sehingga mampu meningkatkan perekonomian berdasarkan kemampuan dan potensi lokal wilayah yang tersedia di wilayah ini. 2. Pada wilayah periphery kabupaten lainnya perlu dikembangkan sektor-sektor kawasan-kawasan sentra produksi yang berbasis potensi lokal wilayah dengan dukungan fasilitas pelayanan wilayah sehingga semakin cepat terciptanya
pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dan berkembangnya sektorsektor unggulan wilayah. 3. Kuatnya daya tarik aglomerasi dan lemahnya polarisasi dari pusat pertumbuhan (growth pole) Kota Ambon terhadap wilayah lainnya (periphery) seperti kemampuan penyediaan fasilitas pelayan di sektor jasa dan pengangkutan dan komunikasi yang terpusat menjadikannya sebagai satusatunya pusat pertumbuhan di Provinsi Maluku. Untuk itu kebijakan pembangunan daerah lebih diarahkan pada penciptaan dan penyediaan fasilitas pelayanan di setiap wilayah pengembangan sehingga mampu mempercepat penciptaan pusat-pusat pengembangan utama yang baru selain Kota Ambon. 4. Perlu dilakukan perubahan arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi dari basis daratan (continental) ke arah dan strategi wilayah yang berbasis spasial dan potensi lokal wilayah kepulauan yakni bahari/maritim sehingga mampu menciptakan keunggulan sektoral baik dari sisi struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages dan dukungan ketersediaan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Dengan demikinan seluruh pusat-pusat pengembangan akan saling membutuhkan baik antarwilayah maupun antarsektor (interregional linkages dan intersectoral linkages) di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Sesuai dengan hasil analisis pada penelitian ini maka diusulkan penelitian selanjutnya sebagai berikut: 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih terperinci pada komoditikomoditi sektor ekonomi yang berbasis spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah seperti penelitian RCA antarwilayah di wilayah kepulauan. 2. Penelitian ini tidak dilakukan pada wilayah-wilayah pemekaran baru diatas tahun 2002 sehingga penentuan sektor unggulan pada level kabupaten/kota belum semua dapat diketahui secara spesifik terhadap wilayah-wilayah tersebut sesuai karakteristik Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago).
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang – Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulisini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan penididikan, p[enelitian, penulisn karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, dan tinauan suatu masalah ; b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bbentuk apa pun tanpa izin IPB.
PENGEMBANGAN KAWASAN SENTRA PRODUKSI DALAM MENINGKATKAN PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU
IZAAC TONNY MATITAPUTTY
DISERTASI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. 2. Dr. Ir. Heny K. Daryanto, MEc Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka: 1. Prof (R). Dr. Ir. Dewa Sadra Swastika, MSc Peneliti Utama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2. Dr. Ir. Anna Fariyanti, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Judul Disertasi
: Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku
Nama Mahasiswa
: Izaac Tonny Matitaputty
Nomor Pokok
: A 161030091
Program Studi
: Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Kuntjoro Ketua
Dr. Ir. Harianto, MS Anggota
Ir. D. S. Priyarsono, Ph. D Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
Tanggal Ujian: 30 Januari 2012
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas segala
karuniaNya yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan peneletian ini. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Sekolah Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berjudul “ Pengembangan Kawasan Sentra Produksi dalam Meningkatkan Perekonomian Wilayah Kepulauan di Provinsi Maluku.”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Kuntjoro, sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Harianto dan Ir. D. S. Priyarsono, Ph. D sebagai anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan arahannya dalam penyusunan disertasi ini. 2. Prof. Dr. Ir. Bonar
M. Sinaga, MA
sebagai ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian atas dorongan dan bimbingannya selama penulis kuliah di program studi sampai penulisan disertasi ini. 3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan izin belajar kepada penulis untuk melanjutkan studi program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 5. Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura yang telah mendukung penulis untuk melanjutkan studi program Doktor di Institut Pertanian Bogor.
6. Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS, Dr. Ir. Heny K. Daryanto, M.Ec
dan Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka
Prof (R). Dr. Ir. Dewa Sadra Swastika, Dr. Ir. Anna fariyanti, M.Si 7. Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi
yang telah memberikan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS). 8. Ibunda Anatje dan Ayahanda (Alm) Ledrick Hendrick, Cindy, Putri, Syaloom beserta seluruh keluarga besar Matitaputty, Yohannis, Yohanna, Ferdinand, Matheus, Aleksander, Leonard, Rudllof, Abraham, Yuliana dan Bill. 9. Prof. Dr. J. Syauta, MEc (Alm), Drs. D. I. Sihasalle (Alm), Drs. F. Bahasoan, (Alm), Ibu Non Syauta, Ibu Hawa Syarluf, Ibu Thea Sihasalle, dan seluruh staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Pattimua atas dukungannya. 10. Teman sejawat, Mas Arif Dirgantoro, Bayu, Ridwan, Asri Djauhar, Yusuf, Didiek, Mbak Beatrixia, Hapsa, Wiwiek, Naidah dan Perhimpunan Alumni SMP-SMA Angkasa Lanud Pattimura (PRASSASTI), atas dorongan dan bantuannya kepada penulis. 11. Teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 12. Pegawai sekretariat EPN, mbak Rubby, Yanni, Kokom, mas Husein dan Erwin yang selalu memberi semangat kepada penulis. Semoga segala bantuan yang telah diberikan selama pendidikan ini mendapat balasan Berkat dari Tuhan Yang Maha Kasih. harapan penulis semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Bogor, Januari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon-Laha, Komplek TNI-AU Lanud Pattimura tanggal 1 April 1964 dan diberi nama, Izaac Tonny Matitaputty dari pasangan Ledrick Hendrick Matitaputty (Alm) dengan Anatje Silooy.
Penulis dibesarkan
dalam lingkungan keluarga besar TNI-AU Lanud Pattimura. Pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas semuanya dilalui oleh penulis di lingkungan pendidikan yayasan Ardhya Garini (Angkasa) Lanud Pattimura-Laha. Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Fakultas Ekonomi Universitas Pattimura dan lulus Tahun 1990. Tahun ajaran 1996 penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 (Magister) Program Perencanaan dan Pengembangan Wilayah (PPW) Universitas Hassanudin Makassar, lulus Tahun 1998. Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada jenjang S3 (Doktor) di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mulai bekerja dari Tahun 1993 hingga sekarang sebagai staf pengajar di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Pattimura – Ambon.
DAFTAR ISI
Halaman
I.
II.
DAFTAR TABEL ...............................................................................
xx
DAFTAR GAMBAR ..........................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................
xxiv
PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
8
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................
14
1.4. Kegunaan Penelitian .....................................................................
15
1.5. Ruang Lingkup .............................................................................
15
1.6. Keterbatasan Penelitian ................................................................
17
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
19
2.1.
Tinjauan Teoritis ..........................................................................
19
2.1.1. Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah ...
19
2.1.2. Penataan Ruang Wilayah ....................................................
30
2.1.3. Konsep Pusat Pengembangan Wilayah ...............................
35
2.1.4. Wilayah Negara Daratan Versus Wilayah Negara Kepulauan ...........................................................................
42
2.1.5. Peran dan Fungsi Wilayah di Era Otonomi .........................
49
2.1.6. Pembangunan Ekonomi Wilayah .......................................
52
2.1.7. Sektor-Sektor Strategis Pembangunan Wilayah .................
58
2.1.8. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah .................................
60
2.1.8.1. Teori Harrod – Domar (H – D) .....................
62
2.1.8.2 Teori Pertumbuhan Solow ...........................
65
2.1.9. Teori Lokasi ................................................................
68
2.1.9.1. Teori Perroux ..............................................
70
2.1.9.2. Teori Losch ..................................................
73
2.1.9.3. Teori Hirschman .........................................
75
2.1.10. Teori Leontief (Model I-O) .....................................
77
2.1.11. Analisis Model Input-Output (I-O).............................
83
2.2. Tinjauan Empiris........... ..................................................................
86
2.2.1. Kebijakan Pembangunan Wilayah Atas Dasar Geografi Ekonomi...........................................................
86
2.2.2. Dinamika Antarsektor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Sektoral Wilayah .............
91
2.2.3. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kebijakan Strategi Pembangunan Ekonomi Antarwilayah Berbasis Potensi Lokal Wilayah ......................................
95
III. KERANGKA PEMIKIRAN .................................................................
101
IV. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................
105
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................
107
4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................
107
4.3. Metode Analisis Data .......................................................................
108
4.3.1. Analisis Pendekatan Regional ............................................
111
4.3.1.1. Analisis Skalogram ..............................................
111
4.3.2. Analisis Pendekatan Sektoral .............................................
113
4.3.2.1. Analisis Input-Output (I-O) .................................
114
xv
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PROVINSI MALUKU ..........
127
5.1. Kondisi Fisik Wilayah ...................................................................
127
5.1.1. Letak Geografis Wilayah .....................................................
127
5.1.2. Topografi dan Iklim .............................................................
129
5.1.3. Kondisi Sumberdaya Alam Wilayah dan Pemanfaatannya ..................................................................
131
5.1.3.1. Kawasan Wilayah Daratan .....................................
132
5.1.3.2. Kawasan Wilayah Lautan .......................................
135
5.1.4. Komposisi Penduduk ...........................................................
137
5.1.5. Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat ..............................
138
5.1.6. Kondisi Sarana dan Prasarana Transportasi ........................
139
5.1.6.1. Transportasi Darat ...................................................
139
5.1.6.2. Transportasi Udara ..................................................
140
5.1.6.3. Transportasi Air (Laut) ...........................................
141
5.1.7. Kondisi Perekonomian Wilayah .........................................
142
VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU ...............................................................................................
147
6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku ...................
147
6.2. Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Dalam Kajian Analisis Input-Output (I-O) ............................................................
149
6.2.1. Strukutur Permintaan dan Penawaran..............................
149
6.2.2. Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto ..........................
159
6.2.3. Struktur Permintaan Akhir.................................................
162
6.3. Analisis Pengganda ........................................................................
165
6.3.1. Angka Pengganda Output ....................................................
167
6.3.2. Pengganda Pendapatan .......................................................... xvi
169
6.3.3. Pengganda Tenaga Kerja Sektoral ....................................
172
6.4. Keterkaitan Antarsektor .................................................................
173
6.4.1. Keterkaitan ke Depan dan Penyebaran ke Depan ................
175
6.4.2. Keterkaitan ke Belakang dan Penyebaran ke Belakang .....
178
VII. KONEKTIVITAS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU ............................................................................................
183
7.1. Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku .....................
183
7.1.1. Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto ......................................................................
186
7.1.2. Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Multiplier Effect .......................................
188
7.1.3. Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor ..........................
191
7.1.4. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Multiplier Effect. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Intersectoral Linkages. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Multiplier Effect dan Intersectoral Linkages .......................
192
7.2. Kebijakan Final Demand Impacts Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku ....................
204
7.2.1. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Udara (SIM 1) ..........................
206
7.2.2. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Darat (SIM 2) ..........................
207
7.2.3. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Air (SIM 3) ...............................
208
7.2.4. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Perikanan (SIM 4) .....................................
209
7.2.5. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir di Sektor Angkutan Udara, Darat, Air dan Perikanan (SIM 5) ............................................................... xvii
210
7.3. Penetuan Sektor Unggulan Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku ............................................................................................
211
7.4. Arah dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sektor Unggulan di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku ......................
214
7.5. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Berbasis Sektor Unggulan Bahari/Maritim dan Prospeknya di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku ...........................................................
217
VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU ....................
221
8.1. Kemampuan Fasilitas Pelayanan Pusat Pengembangan ................
221
8.2. Analisis Kemampuan Fasilitas Pelayanan dan Hirarki Pusat Pengembangan Wilayah .................................................................
222
8.2.1. Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Dengan Metode Skalogram Guttman ................................................
223
8.2.1.1. Kota Ambon .........................................................
224
8.2.1.2. Kabupaten Maluku Tengah ..................................
226
8.2.1.3. Kabupaten Buru ....................................................
227
8.2.1.4. Kabupaten Maluku Tenggara ...............................
229
8.2.1.5. Kabupaten Seram Bagian Barat ............................
230
8.2.1.6. Kabupaten Maluku Tenggara Barat ......................
231
8.2.1.7. Kabupaten Seram Bagian Timur ..........................
232
8.2.1.8. Kabupaten Kepulauan Aru ...................................
234
8.3 Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Provinsi Maluku Sebagai Wilayah Kepulauan Berbasis Bahari / Maritim ............................................................................
237
IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................
245
9.1
Simpulan ......................................................................................... xviii
245
9.2
Saran...............................................................................................
247
9.3
Implikasi Kebijakan .......................................................................
249
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
251
LAMPIRAN .................................................................................................
261
xix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.
Perbedaan Karakteristik Wilayah Daratan dan Kepulauan .....................
44
2.
Perbedaan Pengembangan Wilayah Daratan dengan kepulauan ............
45
3.
Kerangka/Model Baku Tabel Input-Output ...........................................
83
4.
Matriks Pendekatan Penelitian ................................................................ 109
5.
Informasi dan Data Untuk Analisis Skalogram ...................................... 112
6.
Skalogram Pada Pusat Pengembangan Wilayah di Provinsi ”X” ........... 113
7.
Tabel Transaksi Input-Output Sederhana................................................ 116
8.
Ketinggian dan Derajat Kemiringan Rata-rata Wilayah ......................... 130
9.
Produksi dan Nilai Produksi Ikan Hasil Budidaya Tambak dan Kolam Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun 2008................ 136
10.
Produksi dan Nilai Produksi Ikan Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun 2008 .............................................................................. 137
11.
Jumlah dan Kepadatan Penduduk Provinsi Maluku, Tahun 2005 – 2007 ................................................................................. 138
12.
PDRB Provinsi Maluku Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan, Tahun 2000/2008 .......................................................... 145
13.
Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun 2007 ................................................................ 151
14.
Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun 2007 ............................................................... 154
15. Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Output Provinsi Maluku, Tahun 2007 ............................................................................... 160 16.
Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Nilai Tambah Bruto Provinsi Maluku, Tahun 2007 ................................................................ 160
17.
Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pendapatan ......... 164
18.
Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pengeluaran ........ 166 xx
19. Sepuluh Sektor Pengganda Output Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 ................................................. 168 20. Sepuluh Sektor Pengganda Pendapatan Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 ...................................... 170 21. Sepuluh Sektor Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 ....................... 172 22. Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya ............................................................. 175 23. Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Depannya .............................................. 177 24. Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya ............................................................ 178 25. Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Belakangnya ........................................ 181 26. Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto di Provinsi Maluku .............................. 187 27. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto ........................................ 188 28. Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Angka Pengganda, Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja. ............................... 190 29. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Angka Pengganda, Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja.................... 190 30. Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Keterkaitan Antarsektor di Provinsi Maluku .............................................................. 192 31. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor ......................................................................... 192 32. Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Angka Pengganda .................................................................. 195 33. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dan Angka Pengganda .................................................... 196 34. Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor .................................................. 197
xxi
35. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor ..................................... 198 36. Sepuluh Sektor Terbesar dari Angka Pengganda dengan Keterkaitan Antarsektor . ............................................................................... 199 37. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Angka Pengganda dengan Keterkaitan Antarsektor .......................................................................... 200 38. Keunggulan Sektoral dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Pengganda, Keterkaitan Antarsektor. ...................................................... 201 39. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Angka Pengganda dan Keterkaitan Antarsektor ............................................................................................. 203 40. Sepuluh Sektor Penerima Terbesar Dampak Permintaan Akhir Terhadap Perekonomian Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku ............. 205 41. Penilaian Fungsi / Pusat Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun 2000 - 2002 ............................ 239 42. Penilaian Kemampuan Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat Pengembangan, Tahun 2000 – 2002 ......................................... 240 43. Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun 2000-2002 .................... 241 44. Penilaian Fungsi/Pusat Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun 2008 – 2009 ............................... 242 45. Penilaian Kemampuan Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun 2008 – 2009 ............................... 243 46. Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun 2008-2009 .................. 244
xxii
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Enam Pilar Penopang Pembangunan Wilayah ......................................
21
2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Pada Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku .................................................................................... 106 3. Peta Provinsi Maluku ............................................................................ 127
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Kode Sektor – Sektor Ekonomi ...........................................................
263
2. Total Output Multipliers Provinsi Maluku Update ..............................
265
3. Total Income Multipliers Provinsi Maluku Update .............................
267
4. Total Employment Multipliers Provinsi Maluku Update ....................
269
5. Analisis Keterkaitan Antarsektor ........................................................
271
6. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Udara ........................
274
7. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Darat .........................
276
8. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Air ............................
278
9. Output Final Demand Impact Sektor Perikanan ..................................
280
10. Output Final Demand Impact Sektor Perikanan, Udara, Darat dan Air..................................................................................................
282
11. Peta Batas Administrasi .......................................................................
284
12. Peta Lereng ..........................................................................................
285
13. Peta Tanah ............................................................................................
286
14. Peta Kawasan Lindung.........................................................................
287
15. Peta Potensi Perikanan .........................................................................
288
16. Peta Kepadatan Penduduk ...................................................................
289
17. Kawasan Sentra Produksi Provinsi Maluku .........................................
290
18. Peta Perhubungan Laut ........................................................................
291
19. Peta Perhubungan Udara ......................................................................
292
20. Peta Konsep Gugus Pulau ....................................................................
293
21. Peta Pola Interaksi Ruang ....................................................................
294
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan bagian dari wilayah di permukaan bumi, memiliki rona wilayah yang heterogen terdiri dari pulau-pulau. Menurut Yakub (2004), bentuk-bentuk rona suatu wilayah dikatakan sebagai negara atau wilayah kepulauan (archipelagic state/archipelago), dari aspek fisiografinya merupakan wilayah yang tidak kompak/seragam (non contigous shape). Non contigous shape yaitu, suatu wilayah yang berbentuk fragmental (kepulauan), terpecah (broken shape), tersebar (scattered shape) dan lingkar laut (sircum marine). Sitaniapessy (2002), menyatakan wilayah kepulauan terbentuk karena adanya perbedaan karakteristik yang disebabkan oleh perbedaan aspek geografis, fisik, iklim, sosial budaya dan etnis serta adanya perbedaan pada tahap perkembangan pembangunan ekonomi wilayah. Sedangkan Monk et al. (2000), berpendapat bahwa wilayah kepulauan merupakan kumpulan pulau-pulau yang mengelompok secara bersama sebagai suatu masa daratan yang seluruhnya dikelilingi oleh laut. Aspek fisiografi di atas menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) letak geografisnya bagaikan untaian “zamrud” di khatulistiwa. Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki wilayah laut terluas mencapai 3.1 juta Km2 dan panjang pantai 80 791 km atau sekitar 43 670 mil terpanjang kedua setelah Kanada. Gugusan kepulauan mencapai 17 500-an buah pulau, terbentang dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Rote. Dengan belasan ribu buah pulau memberikan akses pada sumberdaya alam
2
wilayah yang beraneka ragam dan berlimpah untuk segera dikelola yang berbasis local spesific di bidang kelautan atau bahari/maritim (Azis, 2004). Kusumaatmaja (2005), mengatakan bahwa keunggulan sumberdaya alam dan letak geografis Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) merupakan keunggulan potensi lokal (local spesific) wilayah yang strategis. Keunggulan potensi lokal sumberdaya kelautan atau bahari perlu menjadi pertimbangan di dalam mengelola kegiatan ekonomi. Oleh karena itu secara geopolitik dan geoekonomi sumberdaya tersebut seharusnya menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) bagi negara-negara disekitarnya. Paradigma pembangunan selama ini berorientasi pada pembangunan wilayah daratan (continental) adanya kekeliruan tentang paradigma pembangunan yang tidak berorientasi pada konsep wilayah kepulauan (archipelago/archipelagic state) oleh Lukman (2004), dikatakan sebagai gagalnya pembangunan wilayah yang pengembangan perekonomian wilayah belum berbasis pada sektor perikanan diantaranya belum tercapainya swasembada ikan dan gagalnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor angkutan air (laut). Menurut Lukman sektor angkutan air (laut) merupakan salah satu sektor yang sangat berpengaruh untuk pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sehingga harus menjadi perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Konsep pembangunan selama ini masih dibentuk dengan paradigma pembangunan wilayah daratan (continental/landlock state) tanpa memperhatikan aspek kapasitas atau potensi lokal wilayah. Paradigma pembangunan yang berorientasi wilayah daratan ternyata menimbulkan eksploitasi (backwash effect)
3
secara besar-besaran dari wilayah pusat (core) terhadap wilayah pinggiran (periphery). Pemahaman pola pembangunan yang demikian ternyata menciptakan ketimpangan pembangunan (regional disparity) yaitu, tidak semua wilayah dapat merasakan hasil pembangunan yang sama dengan wilayah lain. Sehingga aspek kapasitas atau potensi lokal tidak tergarap secara optimal. Selanjutnya pemerintah daerah belum mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) karena belum mampu mengidentifikasi/ menemukenali dan menentukan sektor-sektor unggulan mana yang berbasis local spesific. Selain itu seluruh aktivitas perekonomian baik barang dan jasa (infrastruktur, keuangan, transportasi dan komunikasi) dan seluruh investasi terpusat pada satu pusat pertumbuhan yaitu di ibukota provinsi. Hal ini mengakibatkan munculnya persepsi investor yang sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kemudahan yang diperoleh bila berinvestasi di pusat pertumbuhan. Dengan demikian wilayah di luar pusat pertumbuhan (periphery) akan semakin tertinggal dan menimbulkan regional disparity. Oleh sebab itu kebijakan-kebijakan ekonomi wilayah kepulauan (archipelagic state/archipelago) seharusnya berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah kepulauan yaitu maritim/bahari. Kebijakan ekonomi yang tidak didasari keunggulan wilayah sering mengakibatkan ketertinggalan pada wilayahwilayah lain. Sebagai contoh majunya wilayah-wilayah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) khususnya pulau Jawa menimbulkan ketimpangan antar Jawa dengan wilayah di luar Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dari jumlah kota/kabupaten tertinggal di Indonesia sebanyak 183 kota/kabupaten dimana 123 kota/kabupaten
4
berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) selain itu 62 persen luas wilayah Indonesia berada di KTI. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) pembuat atau pengambil kebijakan harus merubah paradigma pembangunan wilayah dari berbagai kebijakan dan strategi pembangunan yang berorientasi pada konsep wilayah daratan (landlock state/continental) menjadi wilayah kepulauan (archipelago /archipelagic state). Konsep-konsep pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal wilayah dan berorientasi maritim /bahari sebagai sektor unggulan atau pada konsep wilayah kepulauan akan menjadikan wilayah di luar pulau Jawa semakin tertinggal dan menimbulkan ketimpangan antarwilayah bahkan disintegrasi bangsa. Menurut World Bank (2009), selama bertahun-tahun unsur spasial belum menjadi perhatian utama sehingga diperlukan konsep pemahaman implementasi pada satu konsep pendekatan
terhadap geografi ekonomi. Dengan demikian
perubahan-perubahan terhadap pergeseran struktural ekonomi wilayah dapat disesuaikan dengan potensi lokal (local spesific) wilayah setempat sesuai sektorsektor unggulannya. Berlakunya UU No.32 Tahun 2004 dan UU No.33 Tahun 2004 (sebagai revisi dari UU No.22 dan No.25 Tahun 1999) maka pemerintah daerah dituntut untuk semakin mandiri dan mampu dalam mengelola berbagai potensi sumberdaya yang ada dengan tetap memperhatikan sustainable development dari daerah tersebut. Namun seringkali kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di era otonomi lebih memperhatikan kebijakan politis dan kurang memperhatikan karakteristik dan infrastruktur yang ada di daerah. Di sisi lain pemerintah daerah
5
setelah otonomi belum mampu mendorong atau mengupayakan peningkatan sektor-sektor berbasis kapasitas dan potensi (local spesific) wilayahnya. Sjafrizal (2008), menyatakan perubahan sistem pemerintahan dan pengelolaan
pembangunan daerah dan terjadinya globalisasi ekonomi akan
menimbulkan perubahan yang cukup dratis dalam pembangunan ekonomi daerah. Kebijakan pembangunan yang selama ini hanya merupakan pendukung kebijakan nasional mulai mengalami pergeseran sesuai dengan keinginan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah. Kartasasmita (1996), menyatakan pelaksanaan pembangunan wilayah harus merupakan bagian integral dari proses pembangunan nasional dan menempati posisi strategis dalam kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan pembangunan daerah bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat di daerah melalui perencanaan pembangunan yang serasi, selaras dan terpadu baik antarsektor dengan perencanaan daerah. Untuk itu sudah sepatutnya daerah-daerah pada era otonomi dan memiliki kewenangan atau kebebasan dalam menjalankan berbagai kebijakan pembangunan, lebih di arahkan pada pengembangan sektorsektor ekonomi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah. Berdasarkan kajian-kajian atau pendapat para pakar ekonomi yang di dasarkan pada perubahan selama kebijakan otonomisasi dilakukan, maka penelitian ini diarahkan untuk menganalisis bagaimana seharusnya pembangunan ekonomi wilayah dilakukan. Kajian yang lebih mendalam mengenai berbagai potensi lokal wilayah dan tingkat perkembangan ekonomi wilayah, sudah menjadi keharusan bagi pemerintah daerah maupun pusat untuk mendorong atau memajukan wilayah-wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku dengan
6
menciptakan pusat pengembangan atau pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah berbasis maritim/bahari harus menjadi political will pemerintah daerah. Oleh sebab itu pemerintah yang berkuasa harus mereorentasi konsep pengembangan wilayah kepulauan berbasis maritim/bahari sesuai karakteristik/kearifan lokal dengan meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Provinsi Maluku dikenal sebagai daerah “seribu pulau” yang juga dikenal pada masa lampau dengan sebutan “The Spice Island” memiliki luas wilayah seluas 851 000 km2. Provinsi ini dengan luas wilayahnya 90 persen merupakan lautan seluas 765 272 km2 dan 10 persen daratan sekitar 85 724 km2 (Bappeda Provinsi Maluku, 1999). Sebagai wilayah kepulauan yang memiliki bentuk wilayah atau rona wilayah (non contigous shape). Dengan rona wilayah kepulauan (fragmental), broken shape, scattered shape dan sicrum marine maka Maluku memiliki berbagai karakteristik dan potensi lokal wilayah yang beragam (heterogen) baik dari sisi geografi, ekonomi dan sosial budaya. Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang terdiri dari pulau-pulau dan dipisahkan oleh lautan masih terfokus pada satu pusat pertumbuhan wilayah saja yaitu Kota Ambon. Lemahnya peran di sektor infrastruktur seperti sektor jasa, angkutan dan komunikasi membuat beberapa wilayah di daerah ini, hampir-hampir tidak memiliki akses keluar-masuk (exit and entry) antarwilayah bahkan di dalam wilayah administrasinya sendiri. Hal ini mengakibatkatkan wilayah di luar pusat pertumbuhan provinsi ini belum mampu mengembangkan wilayahnya sesuai kapasitas atau potensi lokal wilayahnya.
7
Kapasitas atau potensi lokal wilayah yang beraneka ragam dan memiliki kemampuan sumberdaya alam bahari melimpah, seharusnya Provinsi Maluku mampu untuk memacu atau mendorong keunggulan potensi sumberdaya alamnya. Keunggulan wilayah pada sumberdaya alam bahari/maritim merupakan potensi lokal seharusnya menjadi sektor unggulan dan pendorong utama (prime mover) terhadap seluruh aktivitas sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan ini. Sesuai kondisi wilayah Provinsi Maluku, maka kebijakan-kebijakan perencanaan pembangunan wilayah yang berbeda dengan kondisi wilayahnya dalam jangka panjang akan mengalami kegagalan. Kurang mendukungnya infrastruktur (sektor jasa, angkutan dan komunikasi) antarwilayah, antara wilayah pinggiran (periphery) dengan pusat (core) tentunya menimbulkan ketimpangan atau kesenjangan (disparity) pembangunan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Pada pelaksanaannya pembangunan di wilayah Maluku harus benar-benar secara agresif dan integratif dapat memberikan manfaat bagi wilayah-wilayah belakangnya (periphery). Hal ini berhubungan dengan penetapan lokasi investasi sehingga dapat meminimalisasi ketimpangan (disparity) antarwilayah dalam pemanfaatan ruang (spatial) dan potensi lokal sehingga memacu atau mendorong sektor-sektor unggulan setiap wilayah yang ada di Provinsi Maluku. Pembangunan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang berorientasi pada pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) sektor unggulan wilayah berbasis local spesific merupakan bagian dari arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah berkarakteristik kepulauan. Oleh sebab itu pembangunan di wilayah ini merupakan suatu ekuilibrium matriks lokasi yang meliputi beberapa pusat
8
pertumbuhan pembangunan (growth poles development) dan memiliki daerah penyangga (hinterland) sehingga mampu mendorong atau mempercepat proses pengembangan wilayah.
Dengan demikian kekuatan – kekuatan agglomerasi
dapat menciptakan dukungan ke depan (spread effect) maupun dukungan ke belakang (backwash effect). Sehingga pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth pole) mampu mendukung pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan dan memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang (forward and backward linkages) antarwilayah (interregional) maupun antarsektor (intersectoral). Pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berhubungan erat dengan bagaimana daerah mampu mengidentifikasi/menemukan dan menentukan serta mengelola potensi lokal wilayah yang ada. Sebagai wilayah kepulauan dengan potensi maritim/bahari mengharuskan pembangunan daerah secara tepat, efektif dan efisien serta mampu mengembangkan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Dengan demikian
penelitian tentang
pengembangan (KSP) pada wilayah kepulauan berdasarkan kapasitas dan potensi lokal dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku sangat perlu untuk dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Provinsi Maluku dikenal dengan sebutan daerah “seribu pulau”, atau “The Spice Islands” memiliki kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah berbasis maritim/bahari melimpah dan beraneka ragam. Kekayaan sumberdaya ini terdapat di berbagai sektor perekonomian, baik yang telah dikelola maupun yang belum dikelola secara ekonomi. Selain itu secara geografis, ekonomi wilayah kepulauan berbasis maritim/bahari ini belum menjadi perhatian serius
9
sebagai modal dasar penggerak utama (prime mover) pembangunan terhadap sektor pendukung lainnya. Sumberdaya alam yang melimpah dan beraneka ragam hayati serta didukung dengan
jumlah
penduduk yang cukup beragam kepadatannya,
membuat potensi wilayah di provinsi ini belum mampu tergarap secara optimal. Kota Ambon sebagai pusat pemerintahan ibukota Provinsi Maluku memiliki jumlah penduduk yang cukup padat, berbagai aktivitas ekonomi yang cukup besar menjadikannya sebagai pusat pemasaran, perbankan, pendidikan dan lainnya. Dengan berbagai aktivitas ekonomi tersebut menjadikan Kota Ambon sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) atau daerah inti (core region) satusatunya di Provinsi Maluku. Bila dilihat dari sisi daya pemancaran (spread effect) maupun daya dorong (backwash effect) maka kondisi seperti di atas membuat teraglomerasinya kegiatan ekonomi di Kota Ambon. Sebagai wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) daya dorong (polarisasi) aktivitas ekonomi wilayah, Kota Ambon belum mampu atau lambat dalam memacu percepatan pembangunan ekonomi wilayah di sekitarnya (periphery) yakni kabupaten lainnya. Walaupun UU otonomi memberikan kewenangan pada setiap daerah untuk mengatur wilayahnya sendiri-sendiri tidak menjadikan kabupaten lainnya sebagai pusat pertumbuhan yang sama dengan Kota Ambon. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh Kota Ambon sebagai ibukota provinsi dan besarnya aktivitas ekonomi yang terpusat di kota ini. Oleh karena itu Kota Ambon harus berperan menjadi pusat pertumbuhan wilayah (growth pole) atau daerah inti (core region) bagi wilayah lainnya. Dengan mendorong atau memacu percepatan pembangunan
10
ekonomi wilayah disekitarnya maka akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan wilayah baru (new growth poles) selain Kota Ambon dan satu-satunya pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku (saluran distribusi). Pengaruh lain yang cukup mempengaruhi terlambatnya pembangunan di wilayah kabupaten lain adalah adanya pengertian yang salah dari masing-masing wilayah setelah otonomi. Dimana setiap wilayah mengembangkan konsep pengembangan sektor ekonomi yang sama dengan wilayah lainnya tanpa mengidentifikasi/menentukan sektor unggulan wilayahnya. Selain itu keegoisan masing-masing wilayah masih sering diperlihatkan tanpa memperhatikan kebutuhan (needs) atau keterkaiatan (linkages) antarsektor maupun antarwilayah. Dengan demikian pembangunan di era otonomi menjadi tidak terkendali atau ketidak terpaduan pembangunan antarwilayah bahkan secara nasional. Masingmasing daerah atau wilayah lebih mengutamakan kepentingan wilayahnya sendirisendiri. Semua faktor-faktor di atas mengakibatkan rendahnya pengelolaan perekonomian wilayah yang berdampak pada pertumbuhan atau kegiatan ekonomi yang tidak optimal dan menurunnya penerimaan
Produk Domestik Regional
Bruto, lambatnya produktivitas sektor-sektor strategis, rendahnya fungsi dan peran infrastruktur, tingkat pengangguran tinggi sehingga pendapatan perkapita masyarakat menjadi rendah dan berpengaruh buruk terhadap berbagai kegiatan ekonomi masyarakat di daerah. Hal ini juga turut mempengaruhi peringkat daya saing Provinsi Maluku secara nasional yang berada pada posisi lima terbawah dari kondisi neraca daya saing antar provinsi di Indonesia.(Bank Indonesia, 2002)
11
Sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu memperbaiki peringkat daya saing wilayahnya. Lemahnya daya saing dari provinsi ini sering disebabkan oleh belum mampunya mengidentifikasi/menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) dari wilayahnya. Hal ini terbukti sejak Tahun 1999 persentase investasi domestik (% terhadap PDRB) Provinsi Maluku menduduki peringkat ke-26 sebelum pemekaran provinsi dan berada pada peringkat ke-30 setelah adanya penambahan provinsi baru yaitu sebesar 2.17 persen. Laju pertumbuhan PDRB hanya sekitar 0.20 persen, laju pertumbuhan PMA sekitar 0.39 persen. Sebagai wilayah kepulauan penggunaan angkutan laut untuk barang (arus bongkar-muat) berada pada peringkat 23 dari 33 provinsi yakni hanya sekitar 2 046 juta ton/tahun. Laju pertumbuhan produktivitas sektor jasa dari Tahun 1999 berada di peringkat 28 yaitu sebesar 21.92 persen dari total laju pertumbuhan sektor jasa di seluruh provinsi di Indonesia (Bank Indonesia, 2002). Kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi (agglomerasi) di Kota Ambon menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan (growth pole) yang tidak mampu mendorong/memacu/menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah lain. Dengan demikian hal ini menciptakan ketimpangan (disparitas) pembangunan ekonomi wilayah, sehingga menimbulkan keinginan pengembangan wilayah (outer island) seperti pemekaran wilayah-wilayah baru lainnya. Adanya proses pembangunan yang bersifat eksploitasi dimasa lalu dan lebih menitikberatkan pada pengembangan wilayah daratan (continental) daripada wilayah kepulauan (archipelago) lebih didasarkan pada kepentingan politis dari pemerintahan pusat yang mempercepat pemekaran wilayah.
12
Guna percepatan pembangunan wilayah dan pertumbuhan sektor-sektor unggulan ekonomi wilayah kepulauan diperlukan penciptaan pusat-pusat pengembangan atau pertumbuhan baru (new growth poles) di Provinsi Maluku. Hal ini dapat dilihat dari lemahnya daya pemancaran (spread effect) dan daya dorong (backwash effect) baik dari pusat pertumbuhan Kota Ambon ke wilayah lainnya hal ini terlihat dari kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang berbeda dari pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku. Berdasarkan latar belakang penelitian memperlihatkan Provinsi Maluku belum
mampu
memberdayakan
keunggulan
sektoralnya
yang
berbasis
maritim/bahari sesuai kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Salah satu lemahnya daya saing sektor unggulan wilayah di Provinsi Maluku disebabkan juga karena lemah atau kurang tersedianya fasilitas pelayanan pusat pengembangan. Kurangnya kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah di Maluku dengan provinsi lain di Indonesia seharusnya menjadi rangsangan di dalam mempercepat arah dan strategi kebijakan daerah. Dengan kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah yang baik dan di dukung dengan kemampuan potensi lokal bahari/maritim akan mempercepat peningkatan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah di masa depan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu menentukan arah dan strategi kebijakan
pengembangan
sektor-sektor
unggulan
wilayah
yang
terpadu
antarwilayah, sesuai dengan pengembangan kawasan sentra produksi secara keseluruhan dan menyentuh aspek potensi lokal wilayah serta aspek ekonomi kerakyatan yang melibatkan masyarakat wilayah setempat.
13
Berdasarkan latar belakang, maka pokok permasalahan dari penelitian ini adalah : 1. Sektor-sektor apa saja yang menjadi sektor unggulan (key sector) berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages terhadap pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis local spesific di Provinsi Maluku? 2. Bagaimana konektivitas sektor-sektor ekonomi yang merupakan sektor unggulan (key sector) dan sektor pendukung (leading sector) dalam pengembangan kegiatan ekonomi wilayah kepulauan di Provinsi Maluku? 3. Bagaimana dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand impacts) dari sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan terhadap sektor lainnya dan total output Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago)? 4. Apakah pusat-pusat pengembangan wilayah telah berperan atau berfungsi sesuai
dengan
kemampuan
fasilitas
pelayanan
wilayahnya
terhadap
peningkatan sektor-sektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific wilayah kepulauan di Provinsi Maluku? 5. Apakah terjadi pergeseran pusat-pusat pengembangan wilayah sesuai dengan hirarki tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Maluku? 6. Bagaimana arah dan strategi kebijakan pembangunan struktur ekonomi wilayah kepulauan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi unggulan kawasan sentra produksi dalam suatu aktivitas perekonomian kepulauan di Provinsi Maluku?
wilayah
14
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages yang berbasis local spesific di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. 2. Menganalisis sektor-sektor unggulan (key sector) berdasarkan kriteria analisis konektivitas struktur output dengan nilai tambah bruto, struktur output, nilai tambah bruto dengan multiplier effect, struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dengan intersectoral linkages di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. 3. Menganalisis dampak peningkatan permintaan akhir output (output final demand impact) sektor-sektor ekonomi wilayah kepulauan terhadap sektorsektor ekonomi berbasis wilayah kepulauan bahari/maritim dan total output Provinsi Maluku, sehingga pemerintah daerah mampu menentukan sektorsektor unggulannya yang berbasis wilayah kepulauan (archipelago). 4. Menganalisis
peran
atau
fungsi
pusat-pusat
pengembangan
wilayah
berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan terhadap pengembangan sektorsektor unggulan (key sector) yang berbasis local spesific wilayah kepulauan. 5. Menganalisis hirarki tingkat perkembangan pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku. 6. Merekomendasikan
arah dan strategi kebijakan pengembangan wilayah
Kawasan Sentra Produksi (KSP) sesuai dengan potensi atau kapasitas lokal (local spesific) wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
15
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini sangat penting dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan pengembangan wilayah di Indonesia, khususnya wilayah kepulauan dalam meningkatkan perekonomian wilayahnya. Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan ada tidak adanya keterkaitan antarwilayah dalam proses pengembangan perekonomian wilayah dan ketergantungan wilayah terhadap potensi lokal yang dimilikinya khususnya wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Kegunaan lain dari penelitian ini yaitu, memberikan kontribusi terhadap pola kebijakan yang secara efektif dapat meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Maluku. Kontribusi dari hasil penelitian diharapkan akan merubah paradigma pemahaman pembagunan wilayah kepuluan di era otonomi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terlebih penting dari semua yang telah diuraikan diatas yaitu, pembangunan wilayah kepulauan harus didasari pada pola kebijakan pembangunan yang berorientasi pada potensi atau kapasitas lokal sumberdaya kepulauan (local spesific/wisdom).
1.5. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku dengan fokus penelitian pada pengembangan ekonomi wilayah berbasis karakteristik wilayah sebagai wilayah kepulauan (archipelago) dengan kekuatan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah. Selanjutnya penelitian ini diarahkan untuk mengetahui atau menemukenali dan menganalisis sektor-sektor unggulan (key sectors) apa saja yang berbasis local spesific. Selain menemukenali dan menganalisis sektorsektor unggulan wilayah dengan pendekatan sektoral, penelitian ini juga melakukan pendekatan regional untuk menganalisis struktur atau hirarki pusat-
16
pusat pengembangan (kabupaten/kota) dengan kemampuan fasilitas pelayanannya sebagai pusat pengembangan wilayah yang dapat mendorong percepatan sektorsektor unggulan berbasis wilayah kepulauan di Provinsi Maluku. Berdasarkan analisis penelitian ini diharapkan mampu memberikan arah dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi wilayah kepulauan sesuai lokasi kawasan sentra produksi. Dengan mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah dan aktivitas ekonomi lainnya yang didukung ketersediaan fungsi pelayanan wilayah dari berbagai keragaman pelayanan yang terdapat di pusat-pusat pelayanan dengan berbagai tingkatannya di Provinsi Maluku maka ruang lingkup penelitian ini hanya dilakukan pada sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan dan ketersediaan fasilitas pelayanan yang ada dan tersedia di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data makroekonomi yang bersifat sekunder. Dengan menganalisis sektor-sektor atau kegiatan ekonomi yang dikategorikan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dan berkontribusi terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).Untuk analisis penelitian disesuaikan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian dengan meng-update berbagai data Input-Output (I-O) Provinsi Maluku sehingga dapat menjawab permasalahan yang selama ini dialami wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Hasil pengolahan data (I-O) akan didukung dengan analisis skalogram dalam menciptakan keterkaitan fungsional antar satuan pusat pengembangan. Keterkaitan
fungsional
pusat
pengembangan
dikembangkan
berdasarkan
keunggulan fasilitas pelayanan yang dimiliki oleh setiap pusat pengembangan
17
sehingga keunggulan yang dimiliki oleh satu pusat pengembangan mampu mempengaruhi wilayah disekitarnya.
1.6. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian yang dilakukan di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan adalah tidak semua wilayah kabupaten di wilayah ini yang diteliti karena, pada beberapa wilayah administrasi yang baru dimekarkan pada tahun 2003 tidak dilakukan pengkajian terhadap wilayah/daerah tersebut. Hanya pada beberapa kabupaten/kota yang telah dimekarkan sejak tahun 2000 sampai tahun 2002 saja yang dilakukan pada penelitian ini. Hal ini berkaitan dengan kesulitan memperoleh data pada wilayah-wilayah pemekaran baru diatas tahun 2002. Keterbatasan penelitian ini dapat diatasi bila ada peneliti yang ingin melakukan penelitian seperti yang dilakukan oleh peneliti terdahulu, karena bagi peneliti berikutnya mengenai permasalahan keterbatasan data di daerah-daerah yang baru dimekarkan diatas tahun 2002 sudah dapat diperoleh untuk penelitian berikutnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Perwilayahan Pembangunan dan Pembangunan Wilayah Tinjauan pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pendekatan secara komprehensif, mendalam dan terperinci, sehingga dapat menghasilkan suatu rangkuman penelitian yang terukur dan terarah. Kemudian dikembangkan menjadi proposisi-proposisi untuk mengarahkan penelitian ini menjawab permasalahan penelitian dimaksud. Bertolak dari maksud tersebut, tinjauan pustaka diarahkan pada beberapa tinjauan yaitu: pertama) tinjauan terhadap pandangan-pandangan pemikiran teoritis yang digunakan sebagai landasan teori pada penelitian ini. kedua) mengemukakan beberapa studi atau penelitian sejenis yang dapat menunjukkan berbagai fenomena dan rujukan analisis terhadap pengembangan kawasan sentra produksi pada wilayah kepulauan. Dengan demikian pembangunan yang seimbang atas dasar kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah dalam bingkai negara kepulauan (archipelagic state) dapat mewujudkan azas pemerataan berdasarkan kekuatan potensi ekonomi lokal yang berbasis local spesific wilayah. Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan dapat memenuhi taraf kesejahteraan masyarakat, dimana pembangunan itu sendiri tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan pokok saja tetapi juga mempunyai kebutuhan lainnya yang sangat banyak jumlahnya (Adisasmita, 2005). Sementara pembangunan wilayah muncul atau berkembang karena adanya ketidakpuasan dari pakar
20
ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya perhatian dan analisis ekonomi yang berdimensi spasial. Menurut Misra (1977), pembangunan wilayah merupakan ilmu pengatahuan yang bukan hanya merupakan pendisagregasian pembangunan nasional tetapi pembangunan wilayah terletak pada perlakuan terhadap dimensi spasial. Perlakuan tersebut menyebabkan keterbelakangan suatu wilayah yang dipengaruhi oleh rendahnya tingkat aktivitas perekonomian wilayah, misalnya daya tarik wilayah, kondisi sumberdaya alam maupun manusia serta rendahnya insentif yang ditawarkan. Insentif dapat bervariasi dari infrastruktur sampai pada persoalan kenyamanan dan keamanan wilayah yang bersangkutan. Sedangkan menurut Abustan (1998), pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan usaha yang luas cakupannya serta tidak terbatas pada pengembangan daerah pusat (growth) saja tetapi pengembangan tersebut harus meliputi daerah belakangnya (hinterland). Di sisi lain menurut Azis (1994), daya tarik suatu wilayah dapat dilihat dari berbagai keuntungan yang bersumber dari gejala spasial (spatialjuxtaposition), seperti sejauh mana suatu kebijakan dapat mempengaruhi atau menciptakan
berbagai
kebijakan
serta
insentif
yang ditawarkan
untuk
mengembangkan wilayah-wilayah terbelakang. Jenis insentif yang paling tepat untuk suatu wilayah ditentukan oleh sifat kegiatan ekonomi yang ingin dibuatnya. Meskipun kadang-kadang kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan kadang-kadang insentif tersebut tidak diciptakan tetapi insentif tersebut sangat perlu untuk diciptakan dan infrastruktur harus diusahakan menjadi semakin memadai, karena berhubungan dengan adanya
21
unsur keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) dan pengembangan sektor unggulan (key sector) wilayah tersebut. Bila ditinjau dari aspek lokasi (location) maka pembangunan yang tidak didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah serta keterkaitan antarwilayah (interregional linkages) akan sulit untuk memacu atau mendorong
setiap
wilayah
meningkatkan
perekonomian
produktivitas ekonomi wilayahnya. Keterkaitan
atau
aktivitas
antarwilayah (interregional
linkages) maupun potensi lokal (local spesific) wilayah merupakan faktor positif, baik ditinjau secara politis maupun dari segi kepentingan integrasi ekonomi wilayah (daerah) maupun nasional serta turut mempengaruhi wilayah (periphery) di sekitar wilayah pusat pertumbuhan (growth pole) yang lambat perkembangan perekonomiannya. Menurut
Budiharsono
(2001),
pembangunan wilayah tidak hanya
terletak pada perlakuan dimensi spatial, tetapi setidaknya perlu ditopang oleh enam pilar analisis yaitu: analisis biogeofisik, sosiobudaya, kelembagaan, Lingkungan, lokasi, dan ekonomi seperti Gambar 1.
Sumber: Budiharsono, 2001 Gambar.1 Enam Pilar Penopang Pembangunan Wilayah
22
Analisis ekonomi merupakan salah satu pilar pembangunan ekonomi wilayah sehingga perlu dilakukan sebagai upaya pemanfaatan tata ruang wilayah yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Bila dianalisis secara mendalam sebenarnya pertimbangan-pertimbangan dalam membuat konsep perwilayahan seperti yang dikemukakan oleh Nijkamp (1979), yaitu dengan menggabungkan konsep perwilayahan seperti: 1. Homogenous Region, yaitu pengelompokan wilayah yang didasarkan pada unsur kedekatan dengan karakteristik yang sama atau hampir
bersamaan
seperti pertanian, peternakan dan perikanan sehingga didalam pembangunan wilayah dapat dirumuskan dengan kebijakan atau pola program yang sesuai dengan potensi wilayah-wilayah yang bersangkutan. 2. Konsep Nodal Region atau Kosep Polarized Region, yaitu konsep yang lebih banyak menekankan pada aspek distribusi dan transportasi atau lebih tegasnya konsep ini lebih banyak diterapkan dengan memperhatikan tingkat keterkaitan antar masing-masing sub wilayah. 3. Administration Region, yaitu konsep perwilyahan yang lebih difokuskan pada wilayah administrasi. Pada saat wilayah yang telah didasarkan sesuai pada otonomisasi daerah. McCann (2001), mengartikan wilayah sesuai dengan konsep poles de croisance atau konsep Growth Poles seperti yang dikemukakan oleh Perroux (1950), yaitu wilayah sebagai kutub pertumbuhan atau pusat pertumbuhan. Penekanan wilayah oleh McCann lebih pada pengertian kutub pertumbuhan dalam ruang ekonomi. Dimana ruang ekonomi sebagai unit yang paling dominan atau yang memegang peran utama pada pengembangan wilayah.
23
Adanya kecenderungan terkonsentrasinya aktivitas pembangunan karena fasilitas pelayanan yang lebih lengkap pada wilayah tertentu untuk sektor-sektor tertentu seperti perdagangan, perindustrian, jasa, transportasi dan komunikasi di wilayah pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan antarwilayah (regional disparity) yang semakin melebar di wilayah tersebut. Bila perwilayahan pembangunan didasarkan pada prinsip pemusatan (agglomerasi) maka pusat perekonomian wilayah atau
aktivitas
ekonomi
terkonsentrasi di pusat wilayahnya sendiri. Sedangkan
seluruhnya
wilayah pinggiran
(periphery) aktivitas ekonomi wilayahnya akan berada pada wilayah yang lebih kecil dengan aktivitas ekonomi yang sangat rendah di wilayahnya juga. Menurut Christaller (1933), dan Reksohadiprodjo (2001), perwilayahan pembangunan pada wilayah pusat (kota/growth centres) lebih cepat mengalami kemajuan karena didukung oleh ketersediaan tanah yang produktif. Dengan demikian apa yang disebut dengan tempat sentral (central palace) pada hakikatnya adalah pusat wilayah (kota). Sehingga muncul berberapa anggapan yang disampaikan oleh Christaller dan Losch (1940), seperti: 1. Hanya ada dua kegiatan yaitu kegiatan di wilayah central/pusat/kota dan di wilayah pheryperi/pinggiran/desa. 2. Kegiatan di wilayah pinggiran yaitu pemakaian ekstensif tanah untuk pertanian serta tidak ada ekonomi aglomerasi 3. Kegiatan
tempat central/pusat merupakan
pemakaian intensif tanah dan
sifatnya ekonomi aglomerasi 4. Masyarakat yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut saling membutuhkan hasil kegiatan masing-masing
24
5. Kualitas tanah sama dan ongkos transport proposional dengan jarak 6. Kegiatan pada wilayah pinggiran dan permintaan terhadap hasil pusat/kota berdistribusi yang sama Berbagai aktivitas kegiatan pembangunan suatu wilayah seperti di atas harus didasarkan pada berbagai perencanaan pembangunan wilayah. Menurut Sukirno (1976), perlu dilakukan beberapa pendekatan yang lebih dikenal dengan pendekatan perwilayahan berdasarkan administrasi seperti: 1. Perencanaan dan pembangunan ekonomi wilayah lebih mudah dilaksanakan karena berbagai kebijakan dan rencana pembangunan wilayah diperlukan tindakan-tindakan dari suatu wilayah administrasi tersebut. 2. Wilayah yang batasnya ditentukan dengan berdasarkan pada satuan administrasi lebih mudah untuk diamati atau dianalisis, hal ini berkaitan dengan berbagai data yang telah lama dilakukan. Berkaitan dengan Sukirno maka dalam era globalisasi dewasa ini, prinsip efisiensi dalam alokasi sumberdaya (resources alocation) yang optimal akan berkembang menjadi berbagai alokasi produk (product alocation) yang menjangkau pasar secara luas seperti yang dikemukakan oleh Porter (1990), sebagai berikut: 1. Memasuki pasar global maka tidak ada lagi pembatas dalam alokasi sumberdaya dan alokasi pasar 2. Kegiatan ekonomi menjadi Stateless, tidak ada batas negara artinya yang menggunakan tidak harus yang menghasilkan. 3. Adanya pemahaman tentang Resources Basedless artinya perencanaan dan pembangunan wilayah sudah tidak bergantung pada asal faktor produksi.
25
Menurut Hidayat (2000), ada beberapa alasan pokok mengapa pembagunan daerah atau wilayah pada era otonomi perlu dilakukan yaitu : 1. Political equlity 2. local accountability 3. local responsiveness Ketiga unsur di atas
sangat penting
bagi upaya peningkatan
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah. Namun dari ke tiga alasan pokok diatas sering yang menjadi perhatian utama adalah political equity karena ingin menyenangkan masyarakat setempat tanpa memperhatikan alasan pokok lainnya. Pembangunan wilayah pada era otonomi daerah seharusnya dapat mengembangkan dan mempercepat daya serta laju pertumbuhan yang kuat dalam lingkungan wilayahnya dan dapat mendorong perkembangan wilayah disekitar yang relatif lebih terbelakang (Adisasmita, 2005). Sedangkan menurut Ariani dan Saliem (2002), dalam era globalisasi dan perdagangan bebas yang sangat kompetitif, Indonesia akan menghadapi tantangan berat dalam merumuskan kebijakan pangan yang mampu memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Untuk itu dalam kondisi demikian, ketersediaan pangan ditingkat wilayah baik nasional maupun regional harus dapat dipacu serta lebih berorientasi pada pasar internasional
dengan mendahulukan kepentingan nasional melalui percepatan
pembangunan wilayah dengan local spesific yang dimiliki wilayah tersebut. Wacana-wacana
tentang
konsep
pembangunan
wilayah
atau
pengembangan wilayah bukan merupakan hal baru, namun implementasi model pembangunan wilayah yang lebih berorientasi pada otonomi relatif masih terbatas
26
di Indonesia. Secara umum konsep dasar pembangunan ini telah diperkenalkan oleh Tiebout (1956), Isard (1960), dan Rusastra (2004), dimana konsep dasar paradigmanya sebagai berikut: 1. Sinergisme hubungan antar wilayah pusat maupun wilayah belakang (hinterland),
membutuhkan dukungan kelembagaan (pemerintah daerah)
sehingga terjadi re-distribusi sumberdaya dan komoditas berdasarkan prinsip ekonomi. 2. Akumulasi modal dapat diatasi melalui mekanisme pasar sehingga terjadi realokasi modal dengan sasaran manfaat sosial yang lebih optimal. 3. Terjadinya kemunduran (diminishing return) di pusat pertumbuhan (growth pole) pada suatu waktu tertentu akan menjadi kenyataan, sebagai akibat dari berkembangnya wilayah-wilayah terbelakang (hinterland). Harun (2005), mengemukakan bahwa pembangunan wilayah sebaiknya tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan wilayah yang didasarkan atau dipengaruhi oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi oleh economic of scale dan economic of scope dari kawasan pengembangan yang dirancang. Pengembangan wilayah yang diharapkan adalah dengan memperhatikan karakteristik, realitas dan eksistensi perkembangan kawasan pengembangan di daerah tersebut. Ohlin (1933), dan Sjafrizal (1998), mengatakan bahwa pembangunan wilayah bila didasarkan pada sudut pandang Teori Lokasi (Export-Base Models) maka pertumbuhan ekonomi suatu wilayah (region) akan lebih banyak ditentukan oleh keuntungan lokasi yang selanjutnya dapat digunakan oleh wilayah tersebut sebagai kekuatan ekspor.
27
Menurut Hikam (1997), wilayah yang memiliki keuntungan lokasi dapat menentukan wilayahnya sebagai kawasan produksi yang didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti: 1. Wilayah tersebut merupakan pusat kegiatan industri dan perdagangan. 2. Wilayah tersebut memiliki kekuatan dalam mendorong (push) kegiatan ekonomi daerah belakangnya (hinterland). 3. Wilayah tersebut memiliki kualitas infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi. Adam (1994), mengemukakan secara konseptual masalah-masalah yang dihadapi setiap wilayah bersumber dari perbedaan karakteristik ekonomi yang dimiliki oleh masing-masing wilayah. Dengan membiarkan setiap wilayah membangun wilayahnya sendiri-sendiri maka keseimbangan pembangunan yang diharapkan akan sangat mengandung resiko yang cukup besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Untuk itu pembangunan wilayah memerlukan intervensi dengan menyusun pola pembangunan terpadu baik ditingkat daerah maupun pusat. Menurut Ursula (1957), bahwa pembangunan ekonomi wilayah sangat berkaitan dengan kemampuan atau kapasitas potensi lokal yang dimiliki oleh wilayah tersebut baik di wilayah pusat (pole/core) maupun wilayah belakangnya (periphery). Sedangkan Jhingan (1975), menyatakan perkembangan ekonomi wilayah sebagai suatu perubahan yang terjadi pada faktor-faktor ekonomi yang menentukan pertumbuhan wilayah. Faktor-faktor ekonomi tersebut dapat mendorong dan mempercepat perubahan perkembangan ekonomi wilayahnya.
28
Harmon dan Mayer (1986), Mustopadidjaja (1996), berpendapat bahwa pembangunan wilayah harus berpatokan pada beberapa hal yaitu: 1. Prakarsa dan pengambilan keputusan harus dilakukan secara bertahap dan memenuhi kebutuhan yang diletakkan pada masyarakat itu sendiri (partisipatoris). 2. Adanya kemampuan dari masyarkat wilayah itu
untuk mengelola dan
memobilisasi sumber-sumber yang ada (local spesific). 3. Karakteristik wilayah. 4. Penekanan pada social learning antara birokrat dengan masyarakat. 5. Adanya jaringan (networking) antara birokrat dengan masyarakat atau dengan lembaga swadaya masyarakat. Menurut Lincolin (1999), perbedaan karakteristik atau kondisi wilayah membawa implikasi pada corak pembangunan yang diterapkan berbeda pada wilayah-wilayah tersebut. Peniruan pola kebijakan yang diadopsi mentah-mentah dari keberhasilan pembangunan wilayah lain belum tentu berhasil pada wilayah lainnya. Pola kebijakan seperti ini biasanya tidak berhasil bila diterapkan pada wilayah kepulauan seperti Indonesia (archipelagic state/archipelago). Oleh sebab itu kebijakan pembangunan yang diterapkan pada suatu wilayah harus sesuai dengan kondisi potensi, kebutuhan dan masalah wilayah yang bersangkutan. Untuk itu berbagai penelitian yang mendalam tentang potensi atau kapasitas wilayah harus dilakukan sesegera mungkin sehingga berguna dalam menentukan pola kebijakan perencanaan pembangunan wilayah tersebut khususnya wilayah kepulauan (archipelago) yang berbeda dengan wilayah daratan (continental).
29
Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang proses perkembangan pembangunan ekonomi wilayah ditinjau dari aspek kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah sehingga sulit memberikan gambaran tentang pola perkembangan pembangunan wilayah di suatu negara. Namun secara global dapat dikatakan bahwa regionalisasi kegiatan ekonomi suatu wilayah berhubungan erat dengan pola perkembangan peranan berbagai kegiatan ekonomi masyarakat dalam keseluruhan kegiatan ekonomi disetiap wilayahnya. Menurut Streeten (1981), kurangnya perhatian masyarakat dan bahkan mungkin tidak mau menerima perubahan kegiatan ekonomi yang dianjurkan pemerintah, seolah-olah mereka menolak niat baik pemerintah untuk meningkat taraf hidup mereka. Streeten melihat penolakan masyarakat terhadap perubahan yang diingini pemerintah karena masyarakat memandang dari sisi lain. Hal ini menurutnya berkaitan dengan modal yang harus dikeluarkan oleh masyarakat yang bila pada suatu waktu pada kenyataannya hasil yang diperoleh tidak dapat diharapkan sehingga pada akhirnya masyarakat harus mengorbankan harga diri mereka
dengan terpaksa harus menjual harta benda mereka, karena adanya
kesalahan mengidentifikasi masalah oleh pemerintah atau pembuat kebijakan. Dengan demikian pembangunan wilayah tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tetapi bagaimana keikutsertaan masyarakat dalam penentuan proses pelaksanaan pembangunan di wilayahnya sehingga apa yang masih menjadi keraguan di kalangan masyarakat menjadi suatu kepastian dapat dapat meningkatkan taraf hidup serta tidak mengkuatirkan kelangsungan hidup mereka sehari-hari.
30
2.1.2. Penataan Ruang Wilayah Menurut Asyiawati (2002), bentuk-bentuk penataan ruang wilayah dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. 2. Penataan ruang
berdasarkan
aspek administrasi tata ruang administrasi
meliputi rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, dan tata ruang kabupaten/ kota. 3. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan dan aspek kegiatan meliputi kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu seperti kegiatan pembangunan skala besar untuk kegiatan industri, pariwisata beserta sarana dan prasarananya. Sementara Misra (1981), mengatakan pengembangan spatial meliputi dua faktor utama yaitu: 1. Adanya pola pemukiman di dalam wilayah. 2. Adanya tata guna lahan yang dikelola secara optimal dan eksploitasi sumberdaya yang terkendali. Menurut Wikantiyoso (1996), tantangan pembangunan wilayah pusat terletak pada penciptaan keseimbangan wilayah sehingga diperlukan keterpaduan pembangunan ekonomi dengan kebijakan pengembangan tata ruang (spatial) wilayah dalam skala regional. Parlindungan (1993), menjelaskan Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang penataan ruang meliputi:
31
1. Pencapaian tata ruang kawasan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pembangunan. 2. Meningkatkan fungsi kawasan antara perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat. 3. Menata atau mengatur pemanfaatan ruang guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif dari pengelolaan lingkungan alam, lingkungan alam buatan dan lingkungan sosial. Undang-undang penataan ruang wilayah nasional maupun provinsi secara makro sudah mulai diperdebatkan sejak Desember tahun 1977 di kota Ambon. Dalam perkembangannya kerangka teoretis penataan ruang wilayah didasarkan pada sejumlah sistem yang telah berkembang sampai dewasa ini. Dalam undang-undang penataan ruang wilayah yang dimaksudkan dengan: 1. Ruang adalah: wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah. Tempat dimana manusia dan makhluk hidup lainnya melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. 2. Tata Ruang adalah: wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. 3. Penataan ruang adalah: proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. 4. Rencana Tata Ruang adalah: hasil perencanaan tata ruang. 5. Wilayah adalah: ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur-unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. 6. Kawasan adalah: wilayah dengan fungsi utama lindung atau budi daya.
32
7. Kawasan Sentra Produksi adalah:
wilayah
yang kegiatan ekonominya
terkonsentrasi pada suatu aktivitas ekonomi tertentu dengan
pemanfaatan
ruang serta unsur yang terkait padanya sesuai aspek fungsional dan potensi lokal wilayahnya. Sistematika undang-undang penataan ruang wilayah diatur berdasarkan: 1. Tata Ruang Administratif yakni,
tata ruang nasional,
tata ruang daerah
(provinsi, kabupaten dan kota). 2. Fungsi Kawasan yakni, fungsi yang didasarkan pada aspek kegiatan kawasan yang meliputi, fungsi perdesaan, perkotaan dan fungsi kawasan tertentu dengan memperhatikan aspek keserasian, keselarasan, keseimbangan fungsi budi daya, pengelolaan secara
terpadu dan fungsi lindung
(Parlindungan, 1993) Wilayah kepulauan Provinsi Maluku adalah salah satu wilayah yang penataan ruangnya harus berorientasi pada aspek ruang kelautan (bahari/maritim). Hal ini disebabkan karena laut adalah matra ruang dari pola dasar pembangunan daerah serta menjadi acuan untuk penyusunan berbagai kebijakan pembangunan tentang pemanfaatan ruang wilayahnya. Untuk
mewujudkan
keterkaitan,
keselarasan
dan
keseimbangan
perkembangan wilayah maka salah satu pengembangan kawasan di daerah ini di arahkan pada pengembangan kawasan sentara produksi yang berorientasi pada pemanfaatan kawasan yang disesuaikan dengan aspek sosial budaya, ekonomi dan aspek keuntungan lokasi (locational) berbasis kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.
33
Provinsi Maluku di era otonomi memiliki beberapa wilayah otonomnya (kabupaten/kota) dengan otonomi yang luas maka sesegera mungkin melakukan berbagai model perubahan arah dan strategi kebijakan dalam pengembangan wilayahnya. Berkaitan dengan hal tersebut Provinsi Maluku secara makro memiliki kemampuan untuk mengembangkan wilayahnya dengan memanfaatkan peluang-peluang yang bersifat lokal, nasional maupun global. Peluang wilayah lokal tersebut seperti kapasitas dan potensi lokal wilayah (local spesific) dengan berbasis pada keunggulan sektoral wilayahnya seperti sektor bahari/maritim. Pada umumnya penataan ruang wilayah diarahkan untuk dapat: 1. Menyusun arahan pengembangan wilayah. 2. Memanfaatkan pedoman pemanfaatan ruang secara terpadu dan menjadi acuan pembangunan. 3. Memadukan keserasian penataan ruang kabupaten, kota dan provinsi. 4. Melakukan revisi terhadap rencana-rencana tata ruang wilayah atau arah dan strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah yang tidak sesuai dengan kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah. Sasaran yang dicapai dalam penataan ruang wilayah berfungsi untuk: 1. Merumuskan arahan pengelolaan
kawasan seperti, kawasan lindung,
budidaya/sentra produksi. 2. Merumuskan arahan pengelolaan kawasan perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu. 3. Merumuskan arahan pengembangan kawasan-kawasan yang menjadi prioritas pengembangan selama jangka waktu yang diperlukan.
34
4. Merumuskan arahan kebijakan penatagunaan lahan/tanah, air, udara, hutan, mineral dan sumber daya alam lainnya. Keberhasilan pengembangan kawasan sentra produksi akan memfasilitasi pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota untuk memacu dan menerapkan prinsip-prinsip otonomi yang didasarkan pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific). Orientasi wilayah dengan menerapkan prinsip otonomi haruslah didasarkan pada keunggulan spasial dan potensi lokal wilayah tersebut. Prinsip seperti ini didukung oleh karakteristik setiap wilayah yang heterogen dan memiliki potensi atau keunggulan yang besar antarwilayah (interregional linkages) dengan wilayah lainnya serta intersectoral linkages. Keunggulan potensi local (local spesific) tersebut seharusnya mampu menjadi modal dasar sebagai penggerak utama (prime mover) pembangunan ekonomi wilayah . Penetapan 21 Kawasan Strategis Nasional (KSN) oleh Direktur Penataan Ruang Wilayah dari sudut kepentingan ekonomi nasional belum memperlihatkan peran yang menonjol dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kawasan Strategis Nasional dimaksud hanya memperhatikan berbagai kebijakan pengembangan wilayah pada Kawasan Barat Indonesia dengan penetapan kawasan andalan darat dan laut di Kawasan ini. Dengan penetapan kawasan strategis tanpa memperhatikan potensi jangka panjang wilayah maka sudah tentu akan menimbulkan kecemburuan di antara wilayah khususnya Kawasan Barat Indonesia dengan Kawasan Timur Indonesia. Kawasan Strategis Nasional sebaiknya tidak diarahkan hanya pada salah satu wilayah tetapi harus didasarkan pada kapasitas atau potensi wilayah yang saling berkaitan antara potensi wilayah andalan laut dengan wilayah darat, antara
35
wilayah timur dengan laut sebagai andalannya dan wilayah barat dengan potensi daratnya. Sehingga wilayah-wilayah ini akan berada pada suatu kawasan yang saling membutuhkan dengan tidak merugikan wilayah lain atau saling menguntungkan. Pengembangan seperti hal di atas biasanya lebih dikenal dengan istilah Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) namun sampai saat ini konsep-konsep yang bagus belum dan tidak mendapat respon karena banyak pengambil kebijakan di pusat maupun di daerah tidak memahami betapa pentingnya suatu konsep dalam mengembangkan wilayahnya maupun wilayah di sekitarnya dengan lebih dulu menemukenali atau mengidentifikasi dan menentukan potensi lokal wilayah (local spesific) berbasis karakteristik wilayah itu sendiri.
2.1.3. Konsep Pusat Pengembangan Wilayah Richardson (1978), mengemukakan bahwa pusat pengembangan wilayah meliputi empat unsur yaitu : 1. Harus ada sekumpulan kegiatan atau industri pada suatu tempat atau lokasi tertentu. 2. Mampu menggerakkan atau merangsang pertumbuhan ekonomi yang dinamis. 3. Industri yang berada dalam satu kawasan dan saling terkait antara satu dengan lainnya. 4. Harus ada industri induk. Lokasi geografis seperti wilayah kepulauan dapat memberikan manfaat dan keuntungan antarwilayah (interregional) bila terjadi keuntungan agglomerasi yang diperoleh dari lokasi sumberdaya, tenaga kerja dan fasilitas prasarana
36
lainnya. Menurut Perroux (1955), pusat pengembangan wilayah melalui pemanfaatan Agglomeration Economic yaitu : 1. Scale Economies 2. Localization Economies 3. Urbanization Economies Scale Economies dimaksudkan semacam keuntungan yang dapat timbul dari pusat pengembangan dimana industri yang bergabung di dalamnya dapat menjalankan kegiatan produksi dengan skala besar, karena terjaminnya kebutuhan terhadap bahan baku, maupun pemasaran hasil produksi. Localization Economies yaitu adanya penekanan ongkos produksi, karena adanya saling keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan akan bahan baku dengan ongkos transportasi yang minimum dapat diwujudkan. Sedangkan Urbanization Economies timbul karena adanya fasilitas-fasilitas pelayanan sosial, ekonomi dan lainnya yang dapat dipergunakan secara bersama-sama sehingga ongkos dapat ditekankan. Menurut Wibisono (2005), pusat pengembangan wilayah (regional) di Indonesia menjadi sangat penting karena beberapa alasan yaitu: 1. Alasan politik maksudnya dengan keragaman etnik yang begitu pural, tidak ada isu yang lebih sensitif selain isu kedaerahan. 2. Alasan disparitas pendapatan regional maksudnya pembagian pendapatan yang bersumber dari distribusi pendapatan sumber daya alam yang sangat tidak merata. 3. Alasan dinamika spasial maksudnya daerah harus memegang peran penting dalam kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan masyarakat daerah tersebut.
37
4. Alasan desentralisasi maksudnya bagaimana hubungan antar daerah dapat dilakukan, seberapa besar desentralisasi harus diberikan kepada daerah agar desentralisasi tetap dapat dilaksanakan
secara konsisten dengan tujuan
kesatuan dan persatuan nasional. Sedangkan menurut Weber (1979), Hoover (1948), Mills (1972), dan Juoro (1989), dikatakan bahwa konsep pusat pengembangan ditujukan untuk menjadikan suatu wilayah lebih terkonsentrasi (agglomerasi) dari seluruh aktivitas ekonomi, hal seperti ini terjadi karena: 1. Pendekatan keberagaman (diversity) sumberdaya, skala ekonomi (scale of economies) produksi dan aglomerasi konsumen. 2. Faktor-faktor unik yang dimiliki oleh wilayah tersebut. 3. Adanya kegiatan ekonomi berskala besar (large-scale economies). 4. Adanya ekonomi lokalisasi (localization economies). Model pusat pengembangan wilayah oleh Dixit (1977), lebih ditekankan pada pengertian kota sebagai pusat aktivitas dan lebih bersifat umum. Tema utama dari
penulisannya adalah ukuran pusat pengembangan (optimum size), yang
ditentukan oleh keseimbangan antara skala ekonomi produksi (economies of scale in production), dan disekonomi (diseconomies) transportasi. Fujita dan Jacques (2002), melihat pusat pengembangan wilayah dari sisi eksternal
terhadap suatu industri
dimana ekonomi urbanisasi (urbanization
economies) sangat dipengaruhi oleh adanya ekonomi lokalisasi yaitu lokalisasi ini merupakan faktor eksternal terhadap aktivitas ekonomi (perusahaan) pada suatu lokasi tertentu tetapi internal terhadap industrinya. Di sisi lain Warpani (1984), menyatakan bahwa ada tiga hubungan yang dapat diklasifikasikan dalam hal
38
keterkaitan atau ketergantungan antara suatu aktivitas ekonomi disuatu wilayah dengan aktivitas ekonomi lainnya dan wilayah diluar wilayah tersebut. Ketiga macam hubungan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Hubungan langsung yaitu; pengaruh yang secara langsung dirasakan oleh sektor yang menggunakan input dari output sektor yang bersangkutan. 2. Hubungan tidak langsung yaitu; pengaruh terhadap suatu sektor
yang
outputnya tidak digunakan sebagai input bagi output sektor yang bersangkutan. 3. Hubungan sampingan yaitu; pengaruh tidak langsung yang jangkauannya lebih panjang daripada pengaruh langsung tersebut diatas. Menurut
Chen
dan
Mattoo
(2004),
mengatakan
perkembangan
perdagangan yang sangat cepat dan lebih bervariasi memberikan dampaknya bagi pengembangan pembangunan perwilayahan. Pembangunan perwilayahan sudah tidak dibatasi lagi antara wilayah perbatasan atau wilayah pinggiran (periphery) dengan wilayah pusat pengembangan(growth center). Hal inilah yang menurut Chen dampak dari adanya perdagangan antarwilayah baik dari dan ke pusat wilayah maupun wilayah pinggiran secara signifikan memberikan dampak yang positif bagi perdagangan yang dilakukan oleh satu wilayah dengan wilayah lain bahkan lebih dari beberapa wilayah disekitarnya. Untuk itu apa yang menjadi harapan Sun dan Cheol (2006), dikatakan bahwa antara pemerintah pusat dan daerah dapat saling memperkuat daya saing antar daerah. Selanjutnya untuk menciptakan daya saing antar daerah diperlukan peran pemerintah
dalam melakukan intervensi
dengan
kebijakan untuk meningkatkan efisiensi setidaknya untuk
membuat reformasi menciptakan iklim
39
investasi di daerah tersebut. Hubungan pemerintah pusat dan daerah berhubungan seperti “saudara kembar” yakni kebijakan yang dibuat akan dilakukan dengan satu tujuan memperbaiki kehidupan masyarakat, sementara koordinasi antar lembaga pemerintah semuanya harus berjalan dalam satu koordinasi dan setiap lembaga memiliki tujuan yang sama
sehingga tidak perlu khawatir akan terjadi ego
diantara lembaga pemerintah itu sendiri. Alonso (1964), Mills (1972), Muth (1969), dan McCann (2001), melihat adanya peran wilayah penyangga (sub wilayah) dengan pusat wilayah (wilayah utama/kota) dimana dengan adanya wilayah penyangga maka dapat merangsang atau mempengaruhi perdagangan antarwilayah (interregional) disekitarnya. Atas dasar kemampuan atau kapasitas yang sesuai dengan ruang wilayahnya semua aktivitas perdagangan dapat dikelola atau dipusatkan pada suatu wilayah spesifik seperti yang dikenal dengan pengembangan Kawasan Industri Makassar (KIM) di Makassar, Bekasi, Tangerang. Alonso (1966), menyebutnya dengan Central Business District (CBD) yaitu aktivitas perdagangan yang dilakukan terpusat pada suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah seperti ini semua unsur diasumsi homogen kecuali jarak. Konsep seperti ini oleh Thunen hanya terfokus pada satu dimensi saja yakni pada CBD dimana CBD berperan sebagai pengganti kota yaitu sebagai pusat pasar atau pusat perdagangan sebab suatu wilayah akan terbatas pada lahan yang tersedia karena akan digunakan untuk berbagai aktivitas lain selain aktivitas produksi atau perdagangan. Pemahaman pusat pengembangan wilayah seperti diatas sudah sangat sulit diterima, karena perencanaan pembangunan wilayah atas dasar Growth pole tidak dibatasi lagi oleh ruang wilayah pusat wilayah tersebut. Oleh sebab itu
40
menurut Stamer-Meyer (2003), dikatakan pemahaman tentang pengembangan pusat wilayah atas dasar ekonomi lokal dengan pembangunan wilayah itu sendiri (regional) memiliki perbedaan yang sulit ditentukan. Perbedaan pembangunan ekonomi wilayah lokal dengan pembangunan wilayah (regional) cenderung dipahami oleh beberapa orang dengan pembangunan ekonomi regional. Pengembangan pusat wilayah tidak saja pada aspek ekonomi wilayah lokal namun didasarkan juga pada aspek pemberdayaan wilayah regional. Sehingga konsep pemahaman ekonomi lokal atau regional tidak dibatasi lagi oleh tempat dan ruang wilayah. Pemahaman lokal maupun regional diarahkan pada setiap wilayah yang mengembangkan keunggulan sektoralnya sebagai potensi lokal wilayah dan didukung kelengkapan fasilitas pelayanan sehingga mampu mendorong atau memacu perkembangan wilayahnya yang lebih baik. Adisasmita, R. (1997), (2008), Rondinelli (1985), Hadjisarosa (1976), Boudenville (1966), dan Tarigan (2004), mengemukakan beberapa kebijakan pengembangan wilayah yang pernah diterapkan di beberapa negara berdasarkan asumsi karakteristik wilayah daratan dimana rona wilayahnya dianggap sama (homogen) seperti: 1.
India dengan sistem perencanaan pembangunan wilayah yang di dasarkan pada perencanaan tingkat blok. Perencanaan ini memperlihatkan bahwa suatu wilayah yang dipusatkan pada suatu area akan meningkatkan aktivitas pada wilayah tersebut. Dengan demikian akan menciptakan pusat pengembangan wilayah terhadap wilayah pendukung lainnya (sistem zoning). Biasanya kebijakan seperti ini di dasarkan pada keingginan meningkatkan ekonomi perkotaan (konsep pembangunan ekonomi wilayah daratan).
41
2.
Peru, Equador, Kenya dan beberapa negara Afrika lainnya lebih menitik beratkan sistem pengembangan wilayah melalui penciptaan pusat-pusat pasar di setiap wilayahnya yang saling berdekatan. Kebijakan di negara-negara ini juga memperlihatkan penerapan pembangunan yang di dasarkan pada sistem zoning. Dengan sistem ini maka aspek jarak dan ongkos transporatsi dianggap sama (membuktikan bahwa sistem ini menganut sistem kebijakan pembangunan ekonomi wilayah daratan).
3.
Malawi dan Thailand pada sistem jenjang penciptaan pusat pertumbuhan melalui kapasitas atau potensi lokal di wilayahnya. Kebijakan pengembangan wilayah di negara-negara ini lebih ditujukan pada penentuan sektor unggulan wilayah (berbasis potensi lokal wilayah). Bila di lihat dari konsep kebijakan seperti yang di lakukan oleh ke dua negara ini maka keterhubungan dan ketergantungan wilayah menetapkan balancing growth seperti pada teori lokasi model Von Thunen. Dengan demikian konsep ini merupakan sistem zoning yang berlaku pada kebijakan pembangunan wilayah daratan.
4.
Bolivia, Philipina dan Malaysia
lebih menekankan pentingnya sistem
pengembangan wilayah melalui peningkatan fungsi-fungsi pelayanan perkotaan dengan daerah perdesaan. Negara-negara ini jelas menggunakan kebijakan pengembangan ekonomi perkotaan dengan asumsi setiap wilayah akan berkembang bila fungsi pelayanan ditingkatkan. Konsep ini merupakan konsep pembangunan wilayah daratan dan kepulauan. Hal ini berhubungan dengan asumsi semua rona wilayah adalah sama (homogen) tetapi di sisi lain setiap wilayah membutuhkan peningkatan fasilitas pelayanan termasuk pada wilayah kepulauan.
42
5.
Indonesia sebagi negara kepulauan terbesar dalam menunjang pengembangan ekonomi wilayah lebih menekankan pentingnya sistem permukiman. Sistem pengembangan wilayah seperti ini lebih mengutamakan pada usaha untuk menyebar luaskan jumlah penduduk dari wilayah yang padat penduduknya ke wilayah yang jarang penduduknya. Aspek atau kebijakan pembangunan yang dilakukan selama ini masih berorientasi pada konsep wilayah daratan dengan sistem zoning yaitu menyebar luaskan penduduk ke wilayah lain maka secara otomatis wilayah tersebut akan terpacu pembangunan ekonomi wilayah setempat. Sistem ini akhirnya belum memperlihatkan kemajuan dalam menciptakan keunggulan
wilayah yang ditempatinya. Aspek ini
cenderung mengabaikan ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sehingga sering menimbulkan kecemburuan antara pendatang dengan penduduk setempat.
Kebijakan ini menganut asumsi semua wilayah
dianggap sama (homogen). Dengan demikian konsep pembangunan seperti ini tidak didasarkan pada usaha untuk mencari/menemukan/ mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan berbasis pada keunggulan local spesific spasial sebagai wilayah kepulauan yang heterogen.
2.1.4. Wilayah/Negara Daratan (Continental/Landlock State) versus Wilayah/Negara Kepulauan (Archipelago/Archipelagic State) Pemahaman wilayah/negara daratan (continental/landlock state) dengan wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) mulai diperbedatkan sejak tahun 1824. Indonesia mulai diakui sebagai salah satu negara kepulauan (archipelagic state) pada saat dilakukannya konvensi hukum laut PBB
43
(UNCLOS-United Nations Convention on the Law of the Sea) ke tiga pada tanggal 30 April 1982 di New York (Arsana, 2007). Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikenal sebagai negara maritim atau bahari karena wilayah laut Indonesia mencakup 75 persen dari luas wilayahnya dan 25 persen wilayah daratan. Syaeful (2008), menyatakan sebutan negara kepulauan (archipelgic state) kepada suatu negara bila negara tersebut memiliki zona ekonomi ekslusif (ZEE) sehingga negara tersebut memiliki wewenang sebagai hak kedaulatan untuk mengelola, mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumberdaya alam baik di laut maupun di bawah dasar laut baik hayati maupun non hayati. Menurut Yakub (2004), dan Syaeful (2008), menggambarkan ciri-ciri atau karakteristik wilayah/negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) adalah sebagai berikut: 1. Memiliki bentuk yang tidak kompak atau rona wilayah yang tidak seragam (non-contigous shape) 2. Terdiri dari bentuk fragmental (kepulauan) 3. Terpecah (broken shape) 4. Tersebar (scattered shape) 5. Dikelilingi laut atau lingkar laut (sircum marine) Berdasarkan ciri atau karakteristik diatas dan hasil konsesus konvensi UNCLOS di New York, Indonesia disebut sebagai negara kepulauan (archipelagic state) karena bentuk wilayahnya (rona wilayah) tidak kompak (noncontigous shape) dipisahkan oleh laut atau perairan. Dengan demikian ciri wilayah/negara daratan (continental/landlock state) merupakan kebalikan dari ciri
44
negara kepulauan. Hasil konvensi UNCLOS di New York lebih dipertegas bahwa suatu wilayah/negara yang tidak memiliki ZEE maka negara tersebut merupakan wilayah/negara daratan (continental/landlock state). Hal ini berkaitan dengan negara daratan tidak memiliki batas laut teritorial, batas landas kontinen, ZEE dan bentuk wilayahnya yang kompak atau seragam (contigous shape). Sebagai gambaran adanya perbedaan karakteristik antara wilayah/negara daratan
(continental/landlock
state)
dengan
wilayah/negara
kepulauan
(archipelago/archipelagic state) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel. 1. Perbedaan Karakteristik Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/ Negara Kepulauan Wilayah Daratan
Wilayah Kepulauan Karakteristik Geografis
Rona wilayah sama/ bentuk kompak (homogen/contigous shape) Berbentuk wilayah daratan yang luas (pulau besar/benua)
Rona wilayah tidak sama/ bentuk tidak kompak (heterogen/non contigous shape) Berbentuk kepulauan (fragmental)/(pulau kecil) Terpecah (broken shape) Tersebar (scattered shape) Lingkar laut (sircum marine)
Kepustakaan 1. Hadi, B.S (2008) 2. Adisasmita, R. (2005) 3. Yakub, R. (2004) 4. Monk, Dkk (2000) 5. Sitaniapessy. (2002)
Karakteristik Geologi
Jenis sedimen, metamorfik Memiliki keseragaman geologi
Jenis sedimen, metamorfik dan beku 1. Dirjen Cipta Karya Dep PU. (berkarang) (1992) Tidak semua wilayah memiliki 2. Unpatti (2000) keragaman geologi. 3. Hadi, B. S (2008) Iklim tropik basah (Indonesia)
Karakteristik Sumberdaya Alam (Flora dan Fauna)
Tidak dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker Hampir semua wilayah memiliki keseragaman flora dan fauna
Dibatasi garis Wallace, Weber dan Lydeker Garis Weber wilayah bagian barat Indonesia Garis Wallace wilayah bagian timur Indonesia Garis Lydeker bagian Maluku dan Halmahera (fauna Asiatis dan Australia) Sumberdaya alam/potensi lokal beragam dan besar
1. Hadi, B. S (2008) 2. Unpatti (2000) 3. Parlindungan , A. P. (1993) 4. Sitanipessy. (2002)
Karakteristik Sosial Budaya dan Kependudukan
Penduduk tersebar merata Memiliki keterkaitan budaya yang sangat dekat Laju urbanisasi dari wilayah pinggiran ke pusat pertumbuhan mengecil/rendah
Penduduk tersebar tidak merata Penduduk terpusat pada pusat aktivitas pelayanan masyarakat Memiliki budaya yang tidak seragam Laju urbanisasi meningkat seiring terpusatnya aktivitas di pusat
1. World Bank (2009) 2. Hadi, B. S (2008) 3. Adisasmita, R. (2008)
45
pertumbuhan.
Karakteristik Aktivitas Ekonomi
Terdapat banyak pusat pertumbuhan dan sistem zone industri Konsentrasi aktivitas ekonomi meningkat di setiap pusat pertumbuhan dan wilayah pinggiran Investasi dan industri berada dihampir setiap wilayah pengembangan Disparitas kesejahteraan antara pusat pertumbuhan dengan zone wilayah pinggiran semakin kecil Pasar dekat Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran dekat
Terdapat satu atau beberapa pusat pertumbuhan Investasi dan industri terpusat di pusat pertumbuhan Konsentrasi aktivitas ekonomi hanya pada pusat pertumbuhan Terjadi disparitas kesejahteraan Pasar jauh Jarak wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah pinggiran jauh Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang rendah di pusat pengembangan
1. Adisasmita, R. (1997), (2005), (2008). 2. Tarigan, R. (2004) 3. Reksohadiprodjo , S. dan Karseno, A. R. (2001) 4. Budiharsono, S. (2001)
Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti Adapun perbedaan pengembangan wilayah/negara daratan dengan wilayah/ negara kepulauan berdasarkan konsep pengembangan spasial yang di dasarkan pada konsep pengembangan wilayah dari memperlihatkan adanya
pusat pertumbuhan, desentralisasi dan integrasi
perbedaan konsep pengembangan wilayah daratan dengan
kepulauan. Perbedaan pengembangan wilayah antara wilayah daratan dengan kepulauan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel. 2.
Perbedaan Pengembangan Wilayah/Negara Daratan dengan Wilayah/Negara Kepulauan Berdasarkan Konsep Pengembangan Spasial (Growth Pole, Desentralisasi Teritorial dan Integrasi)
Konsep Pengembangan Spasial (1)
I. Konsep Kutub Pertumbuhan (Growth Pole)
Pengembangan Wilayah Daratan (Continental)
Kepulauan (Archipelago)
(2) Investasi dan industri (aktivitas ekonomi) terpusat di pusat pertumbuhan Otomatis terjadi spread effect ke wilayah ping-girannya (periphery) Wilayah pinggiran (periphery) cepat berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga terhadap pusat pertumbuhan utama Prasarana dan sarana (infrastruktur) tersedia dengan baik Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota generatif Jarak dan infrastruktur dianggap sama untuk seluruh wilayah
(3) Investasi dan industri (aktivitas ekonomi) seharusnya tidak terpusat di pusat pertumbuhan tetapi di beberapa pusat pertumbuhan. Belum tentu terjadi spread effect tetapi sebaliknya cenderung terjadi backwash effect Wilayah pinggiran (periphery) sulit berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan Prasarana dan sarana (infrastruktur) belum baik bahkan cenderung sulit diperoleh Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada
Kepustakaan (4) 1. Adisasmita, R. (2005) 2. Tarigan, R. (2004) 3. Richardson, H.W. (1978) 4. Rondinelli. D. A. (1985) 5. World Bank (2009) 6. Daryanto, A. (2003) 7. Porter, M. E. (1990) 8. Okali, D. Okpana, E. dan Olawoye, J. (2001)
46
II. Konsep Desentralisasi Teritorial
III. Konsep Integrasi (FungsiFungsi Spasial)
Wilayah terseleksi berdasarkan zone Muncul istilah kota Megapolitan terdiri dari beberapa kota yang berdekatan (kasus kota Jakarta dengan istilah Jababodetabek) Kota menengah dan kecil saling membutuhkan (generatif) terhadap kota besar/utama begitupun sebaliknya. Investasi dan industri terpencar (spread effect) ke wilayah pinggiran/kota kecil lainnya Migrasi penduduk hampir merata di seluruh wilayah kota besar, menengah dan kecil Distribusi pelayanan dan fasilitas sosial, infrastruktur ekonomi tersedia dengan baik Wilayah pinggiran berpotensi menjadi wilayah yang kuat meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional Semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan
Adanya keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) bergerak secara alami Sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya Pusat-pusat pertumbuhan yang berebeda ukuran (kota besar, menengah dan kecil) tetapi saling membutuhkan Wilayah penyangga mampu menjadi pendukung bagi wilayah pusat Karakteristik fungsional bermacam-macam atau bervariasi Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki keterkaitan sebagai wilayah produksi dan wilayah konsumsi yang mampu menyediakan berbagai
yang enclave Jarak dan infrastruktur tidak sama di semua wilayah Wilayah sulit terseleksi Tidak ada kota megapolitan Wilayah pinggiran selalu bergantung (parasitis) terhadap wilayah pusat Investasi dan industri sulit terpencar (spread effect) dari wilayah pusat ke wilayah pinggiran Penduduk tidak merata di wilayah masing-masing. Terjadi migrasi ke wilayah pusat pertumbuhan Distribusi pelayanan sosial, infrastruktur ekonomi tidak cukup tersedia dengan baik Jaringan/hubungan (networking) antar wilayah di dalam wilayah itu sendiri sangat lemah Wilayah pinggiran sulit bertumbuh menjadi pusat pertumbuhan dan pelayanan ekonomi, sosial, administrasi serta jasa lainnya. Wilayah pinggiran sulit berpotensi menjadi wilayah yang kuat untuk meningkatkan produktivitas ekonomi secara nasional. Tidak semua wilayah dapat berkembang menjadi pusat pertumbuhan Belum ada keseimbangan dan kesinambungan yang baik diantara wilayah disekitarnya (jenjang hirarki) tidak bergerak secara alami, harus ada political will dari penguasa. Lemahnya sistem pengembangan wilayah seperti infrastruktur yang saling terpadu antara satu wilayah (keterpaduan pusat pelayanan) dengan wilayah disekitarnya Hanya ada satu pusat pertumbuhan (ibu kota provinsi) wilayah lain disekitarnya dianggap sebagai wilayah penyangga pusat pertumbuhan Karakteristik fungsional belum dapat diidentifikasi Wilayah pusat menjadi elemen yang memiliki pengaruh kuat sebagai wilayah produksi dan konsumsi tetapi belum mampu menyediakan berbagai
9. Uphoff. N. (1999) 10. Douglas, M. (1998)
47
interaksi fungsional di wilayah sekitarnya. Terdapat hubungan tarik menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya
interaksi fungsional bagi wilayah sekitarnya Lemahnya hubungan tarik menarik (hubungan timbal balik) antara wilayah pusat pertumbuhan dengan wilayah sekitarnya Pusat pertumbuhan (kota) memiliki hubungan dengan wilayah belakangnya sebagai kota parasitif bahkan ada yang enclave
Sumber: Dari Berbagai Kepustakaan dan Dikembangkan oleh Peneliti
Berdasarkan perbedaan karakteristik dan konsep pengembangan spasial wilayah daratan dan kepulauan dapat dikatakan Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelago/archipelagic state) bukan negara daratan. Sebagai negara kepulauan Indonesia memiliki salah satu provinsi kepulauan terbesar yaitu Provinsi Maluku. Karakteristik dan pengembangan spasial memperlihatkan Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan (archipelago). Konsep pengembangan spasial wilayah kepulauan seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan 2 menunjukkan bahwa Provinsi Maluku identik dengan konsep pengembangan pusat pertumbuhan (growth pole), desentralisasi teritorial (otonomi daerah) dan konsep integrasi berdasarkan fungsi-fungsi spasialnya. Pengembangan wilayah kepulauan seperti terlihat pada karakteristik dan tujuan pengembangan spasial maka sebagai wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu menentukan sektor-sektor apa saja yang berbasis pada potensi lokal (local spesific). Menurut Daryanto (2003), potensi lokal (local spesific) merupakan potensi wilayah yang perlu dikembangkan tidak hanya pada aspek keunggulan komparatif tetapi harus memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi. Dengan demikian setiap wilayah harus tetap mengacu pada wilayah itu sendiri (inward looking) sehingga wilayah tersebut mampu menyesuaikan arah pembangunan wilayahnya sesuai dengan karakteristik lokal (local spesific).
48
Porter (1990), mengemukakan bahwa pengembangan ekonomi atau daya saing suatu wilayah biasanya ditentukan oleh faktor produksi, kondisi permintaan pasar dan peranan pemerintah (role of goverment) sebagai faktor penunjang. Menurutnya peran pemerintah diperlukan karena dapat menciptakan kompetensi inti sehingga suatu wilayah dapat dibedakan dari wilayah lainnya melalui daya saing wilayah yang tercipta. Menurut Douglas (1998), dikatakan bahwa pertumbuhan di beberapa wilayah inti (core) mampu mendatangkan
atau
memberikan keuntungan kepada perkembangan wilayah lainnya (periphery). Pembangunan wilayah menurut Okali (2001), lebih ditujukan pada penerapan konsep pembangunan wilayah daratan. Okali dkk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya interaksi antara wilayah kota dengan perdesaan adalah arus spasial seperti tenaga kerja, produksi, komoditi, modal dan informasi. Aktivitas yang terciptanya antara kota dengan perdesaan akan menciptakan dinamika pembangunan wilayahnya. Selanjutnya menurut Okali perlunya peran atau intervesi pemerintah dalam meningkatkan aktivitas sektoral di wilayah perdesaan. Menurut Uphoff (1990), sektor yang berbasis potensi lokal seperti pertanian mampu mengatasi masalah krisisis pembangunan ekonomi di Indonesia. Uphoff
melihat kinerja sektor pertanian di Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara lain, Indonesia mampu menjadi negara yang
berhasil
mengimplementasi model pembangunan pertanian sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya.
49
2.1.5. Peran dan Fungsi Wilayah di Era Otonomi Berbagai
permasalahan
otonomi
daerah muncul
dalam bingkai
pembangunan wilayah. Adanya distorsi hubungan antara pusat dengan daerah dimana pusat terlalu mendominasi berbagai kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya
alam,
ekonomi,
hukum
maupun
politik. Sehingga muncul
penyesuaian kewenangan dan fungsi penyediaan pelayanan antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota yang dikenal dengan istilah otonomi (Widjaja, 2002). Otonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, secara praktis pemerintahan Orde Baru sudah mengembangkan sistem ini dengan mengurangi wewenangnya, namun kerangka yang diharapkan dapat memacu perubahan pembangunan di daerah tidak sepenuhnya dilaksanakan bagi kepentingan daerah. Selama hampir 18 tahun berbagai diskusi tentang pelaksanaan Otonomi Daerah telah diteliti dan didiskusikan dalam berbagai seminar, undang-undang otonomi yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah daerah,
diharapkan dapat mengembangkan prinsip-prinsip pembangunan di daerah berdasarkan pada kemampuan atau kapasitas atau potensi lokal suatu daerah untuk mempercepat pembangunan ekonomi daerahnya. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional tidak bisa dilepas pisahkan dari prinsip otonomi daerah. Sebagai daerah otonom, daerah mempunyai kewenangan dan tanggung jawab menyelenggarakan proses pembangunan atas kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip keterbukaan,
50
partisipasi masyarakat (partisipatoris). Dengan demikian upaya-upaya untuk melaksanakan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan seksama dan kerelaan pemerintah pusat kepada daerah. Hal ini berhubungan dengan tujuan otonomi yang hendak dicapai yakni, pencapaian efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat (Abe, 2001). Menumbuh kembangkan daerah otonom dalam berbagai bidang seperti, kemandirian dan meningkatkan daya saing daerah adalah proses pembangunan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan pemerataan demi kemandirian wilayah tersebut. Sejalan dengan kemandirian daerah atau wilayah dalam berbagai kesempatan perencanaan pembangunan maka secara terbuka daerah dapat membangun kemitraan dengan publik seperti pihak swasta daerah, pusat atau pihak asing dalam berbagai bidang sosial, ekonomi dan budaya terkecuali keamanan (militer) dengan negara asing. Sesuai dengan kemajemukan sumberdaya manusia (pluralis) dan perbedaan kondisi kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah maka akan terdapat variasi (keragaman) fungsi yang diemban oleh kabupaten/kota bahkan provinsi. Perbedaan kapasitas atau potensi lokal wilayah merupakan nilai tambah (value added) yang belum tentu dimiliki oleh negara lain. Kapasitas atau potensi lokal (local spesific) dan di dukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan wilayah seharusnya menjadi penggerak utama (prime mover) atau faktor pendorong setiap wilayah untuk memacu aktivitas masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, budaya dan politik. Untuk itu perbedaan atau keberagaman kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan dukungan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan wilayah diharapkan akan mempercepat penciptaan
51
pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dengan merangsang sektorsektor ekonomi potensial baik yang sudah maupun yang belum dikelola. Wirawan (2001), menyatakan dalam era otonomi, ekonomi kerakyatan saling berkaitan dengan otonomi yang dimiliki suatu daerah dimana daerah harus berlomba membangun basis ekonomi kerakyatan yang berbasis local spesific. Pengembangan sektor-sektor unggulan yang berbasis local spesific menjadi hal penting bila di dukung dengan ketersedian kemampuan fasilitas pelayanan pusatpusat pengembangan. Kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pusat-pusat pengembangan menjadi salah satu indikator penentuan maju tidaknya suatu aktivitas ekonomi wilayah guna percepatan pengembangan sektor unggulan yang berbasis pada local spesific wilayahnya. Beberapa kasus yang dapat diuraikan dalam membangun ekonomi kerakyatan di era otonomi seperti: pengembangan ekonomi wilayah di Lampung, Sawahlunto, Bantul dan Malang. Masing-masing wilayah mengembangkan ekonomi kerakyatannya berdasarkan spesific local wilayahnya. Lampung mengembangkan
potensi
lokal
wilayahnya
seperti,
sektor
perikanan
(pertambakan) dan sektor perkebunan, Sawahlunto dengan pertambangan batu bara, Bantul dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi lokal lebih menonjolkan industri kerajinan gerabah, batik, perak dan penganan kecilnya seperti; gaplek. Kota Malang dengan keuntungan geografis dan keindahan alam penggunungannya mampu memanfaatkan keuntungan potensi lokal (local spesific) di sektor pertanian yang dipadukan dengan keindahan alamnya, sehingga sektor agrowisata menjadi pilihan sebagai sektor yang berbasis potensi lokal wilayah. Sektor agrowisata dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di
52
Malang mampu meningkatkan sektor pertanian (hortikultura), pariwisata dan menjadi pusat pasar buah dan kerajinan cendera mata terbesar di Jawa Timur dan Indonesia.
2.1.6. Pembangunan Ekonomi Wilayah Pembangunan ekonomi wilayah memiliki berbagai aspek yang terus berubah secara dinamis, terencana dan terkoordinasi bila dilihat dari kerangka perencanaan pembangunan ekonomi wilayah,
baik secara regional, nasional
maupun internasional. Pembangunan ekonomi wilayah ditujukkan pada pencapaian sasaransasaran sub sistem pembangunan nasional yang terorganisir secara teritorial atau tata ruang (spatial). Meskipun dalam prateknya pembangunan ekonomi wilayah perlu memberlakukan penjelasan-penjelasan dasar bersifat teori yang memiliki keeratan hubungan antara pembangunan ekonomi wilayah dengan tata ruang. Dengan kata lain proses pembangunan ekonomi wilayah harus memperhatikan pendekatan aspek dimensi tata ruang (spatial) seperti
karakteristik wilayah,
geografis, sumberdaya manusia, interaksi antarwilayah. Todaro (2000), mengatakan pembangunan ekonomi wilayah merupakan proses multidimensial yang menyangkut reorganisasi dan reorientasi sistem ekonomi dan sosial secara keseluruhan. Pembangunan disamping untuk meningkatkan pendapatan dan output, pembangunan harus melihat perubahan dalam perubahan sikap masyarakat, struktur sosial, adat dan kepercayaan masyarakatnya (kearifan lokal/local wisdom). Menurut Kartasasmita (1996), pembangunan adalah usaha meningkatkan harkat dan martabat masyarakat melalui kemampuan dan kemandirian lokal
53
wilayahnya. Kemandirian yang dimaksud adalah proses pembangunan yang berpijak pada pembangunan masyarakat dan diharapkan dapat memacu peran serta masyarakat (partisipatoris) dalam proses pembangunan itu sendiri. Proses pembangunan tersebut diharapkan akan mampu melepaskan kondisi masyarakat dari kemiskinan dan keterbelakangan. Selain hal-hal diatas pembangunan ekonomi wilayah tidak dapat dilepas begitu saja dari proses pembangunan yang sudah ada pada saat itu. Peran serta (partisipatoris) masyarakat sebagai pelaku atau pencipta (aktor) kegiatan ekonomi wilayah adalah seluruh masyarakat pada wilayah tersebut dan pihak investor dari luar yang ingin melakukan kegiatan ekonominya di wilayah itu. Namun pada kenyataannya
banyak wilayah di KTI khususnya provinsi Maluku sering
mengalami kendala sebagai akibat dari tidak sinergisnya pembangunan
yang non spatial
perencanaan
dengan tataruang wilayah. Akibat ketidak
sinergisnya perencanaan pembangunan yang demikian menimbulkan berbagai pertentangan antara pusat dengan daerah. Dengan adanya otonomi daerah, maka daerah lebih melihat wilayah dari sudut pandang mereka yaitu dari sudut pendekatan regional. Pertentangan perencanaan pembangunan yang selalu berbasis pada non spatial versus spatial menimbulkan wilayah (daerah) hanya menjadi pusat eksploitasi
sebagai lokasi proyek sektoral,
akibatnya
pembangunan yang diharapkan memberi manfaat pada masyarakat di daerah tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pembangunan ekonomi wilayah harus menjadi primadona proses pembangunan dewasa ini di era otonomi. Dengan demikian pemerintah (pusat, daerah, kabupaten/kota), perlu memperhatikan apa yang ingin atau akan dilakukan
54
oleh pihak di luar pemerintah (swasta/investor) termasuk masyarakat. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi pemerintah yang memiliki peran cukup penting dalam proses pembangunan sebagai pengatur atau pengendali (regulator). Walaupun demikian pemerintah tidak dapat bertindak semena-mena dalam mengendalikan pembangunan di wilayahnya. Oleh sebab itu pemerintah dapat mengarahkan pembangunan ekonomi wilayah ke arah mana dan bagaimana setiap kegiatan ekonomi wilayah dapat berkembang dan bermanfaat bila tidak ada campur tangan pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya fungsi pemerintah selain sebagai regulator, pemerintah juga berfungsi sebagai stimulator. Dalam kondisi seperti ini proses pembangunan ekonomi wilayah dapat menunjukkan arah perkembangan seperti diharapkan pada kondisi atau sasaran yang ingin dicapai oleh setiap wilayah sehingga setiap wilayah mampu memacu pembangunan di berbagai sektor andalannya. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral adalah pendekatan pembangunan ekonomi dengan memfokuskan perhatiannya pada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang ada di wilayah tersebut kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan (less spatial). Sedangkan pendekatan regional adalah pendekatan pembangunan ekonomi yang memfokuskan perhatiannya pada pemanfaatan ruang (spatial) yang satu dengan ruang lainnya dan dapat memanfaatkan perencanaan pembangunan dengan rencana tataruang wilayah. Dengan demikian pada pendekatan regional, pendekatan pembangunan ekonomi wilayah lebih ditekankan pada pemanfaatan ruang wilayah yang berbeda antara
55
satu wilayah dengan wilayah lainnya dan
dapat
menghubungkan
berbagai
interaksi yang terjadi dalam setiap aktivitas atau kegiatan pembangunan di wilayah tersebut. Pengelompokkan sektor-sektor baik pada pendekatan sektoral sering dibedakan berdasarkan kelompok kegiatan pembangunan ekonominya dan berdasarkan pada administrasi pemerintahan wilayah yang menangani sektorsektor tersebut. Dalam hal pembangunan wilayah banyak pengelompokkan didasarkan pada keseragaman kegiatan dan secara administrasi pemerintahan sering berjalan bersamaan atau sejalan. Pada
pendekatan
regional
pengelompokkan
wilayah
dilakukan
berdasarkan batas administrasi pemerintahan wilayah atau didasarkan atas dasar wilayah pengaruh dari suatu pusat pertumbuhan (growth centre). Biasanya pembagian ke dua pendekatan ini berbeda antara satu dengan lainnya. Menurut pendekatan regional perencanaan pembangunan sejalan dengan pembagian wilayah menurut administrasi pemerintahan dan pertumbuhan wilayah tersebut. wilayah
pembagian menurut pusat
Namun ada kalanya
ada bagian dari suatu
yang secara sosial ekonomi berhubungan antara wilayahnya dengan
pusat pertumbuhan yang berada diwilayah lain. Hadjisarosa (1976), mengatakan suatu wilayah dapat berkembang selain karena ada pengaruh wilayah pusat atau pusat pertumbuhan wilayahnya maupun pengaruh pusat pertumbuhan wilayah lainnya, hal tersebut disebabkan karena adanya pusat-pusat pengembangan wilayah yang dipengaruhi oleh adanya simpulsimpul jasa distribusi. Pendekatan sepertii inilah yang disebut Hadjisarosa dengan istilah pendekatan regional (networking distribution).
56
Pendekatan sektoral maupun pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan ekonomi wilayah. Dalam pendekatan sektoral seluruh kegiatan ekonomi wilayah dikelompokkan atas sektor-sektor atau kegiatan ekonomi. Sektor-sektor tersebut akan di analisis persektor sehingga dapat dilihat potensi dan peluang dari setiap sektor ekonomi yang ada di wilayah yang bersangkutan. Pendekatan regional perlu dilakukan dalam suatu analisis pembangunan wilayah hal ini disebabkan karena, pendekatan regional berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhir yang diharapkan memperoleh kesamaan. Analisis regional dilakukan karena berhubungan dengan analisis atas penggunanaan ruang (space) pada saat itu. Biasanya analisis tersebut dilakukan berdasarkan aktivitas atau kegiatan pembangunan ekonomi dengan pemanfaatan atau penggunaan lahan/ruang serta pengaruhnya di masa yang akan datang. Analisis regional berusaha untuk meramalkan adanya daya tarik (attractiveness), suatu wilayah yang kuat (growth pole) terhadap wilayah lainnya (periphery). Pada dasarnya pendekatan regional didasarkan pada anggapan bahwa pendekatan ini memandang wilayah sebagai kumpulan atau bagian-bagian wilayah yang memiliki potensi/kapasitas/kemampuan dan daya tarik yang berbeda diantara wilayah masing-masing. Dengan melakukan pendekatan-pendekatan ini maka diharapkan adanya perubahan-perubahan besar yang terjadi dan dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi wilayah. Pengaruh positif diharapkan tidak hanya pada wilayah pusat maupun wilayah pinggiran ataupun terhadap wilayah lainnya yang dipisahkan
57
karena adanya batasan administrasi wilayah, tetapi juga mempengaruhi perekonomian regional, nasional maupun global. Pembangunan ekonomi wilayah sudah sepantasnya tidak hanya berdasarkan batas wilayah secara administrasi, pusat (centre/pole) dan pinggiran (periphery) tetapi berdasarkan
pada kebutuhan masyarakat. Perkembangan
pemikiran dan pendekatan pertumbuhan dengan stabilitas (growth with stability) wilayah pada hakikatnya menghendaki pembangunan yang berkeadilan dengan menempatkan sumberdaya manusia, alam dan ketersediaan fasilitas pelayanan pada posisi utama sebagai penggerak utama (prime mover) dalam pengembangan wilayah. Peningkatan kualitas sumberdaya alam (resource approach) akan menjadikan output bernilai tambah (added value) dan dapat memberikan kontribusi besar bagi laju pertumbuhan pembangunan ekonomi wilayah sehingga menjadi indikator berhasilnya pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi wilayah dan kestabilan kehidupan masyarakat setempat. Hal seperti ini memperlihatkan bahwa wilayah-wilayah terbelakang atau tertinggal akan mempunyai ketergantungan yang kuat pada wilayah-wilayah lain yang lebih maju didalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Untuk itu diperlukan kegiatan pembangunan ekonomi wilayah,
berbagai
sehingga dapat menghilangkan
keterbelakangan (backwardness) yang berarti
mengurangi ketergantungan
(dependency). Prinsipnya pengelolaan pembangunan ekonomi wilayah, harus berpijak pada sistem pengelolaan sumberdaya alam wilayahnya dengan melibatkan peran serta
masyarakat
(participatory),
pemberdayaan
(empowerment)
dan
58
berkelanjutan (sustainable) sehingga pembangunan wilayah tidak hanya terfokus pada pemenuhan kebutuhan pokok semata (basic needs approach) melainkan juga bagaimana
kegiatan pembangunan tersebut dapat dimanfaatkan oleh
kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi wilayah meningkatkan pembangunan ekonomi lokal berdasarkan kapasitas atau kemampuan lokal wilayah yang bersangkutan. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi lokal dalam sistem ekonomi pasar,
harus dapat memanfaatkan
sumberdaya-sumberdaya
pembangunan lokal untuk mencapai keuntungan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) sebagai upaya, untuk mendorong berkembangnya pembangunan ekonomi lokal yang ada pada saat ini, serta mempertahankan basis ekonomi yang dimiliki oleh wilayah yang bersangkutan.
2.1.7. Sektor-Sektor Strategis Pembangunan Wilayah Pertumbuhan sektoral merupakan hal yang sangat penting, karena berkaitan dengan pertumbuhan pendapatan, dimana pendapatan suatu wilayah merupakan penjumlahan dari setiap sektor yang ada di wilayah tersebut. LIPI (2003), mengklasifikasikan secara sederhana sektor atas beberapa tingkatan yaitu: 1. Sektor primer terdiri dari pertanian dan pertambangan 2. Sektor sekunder terdiri dari manufaktur kadang-kadang memasukan sektor kontruksi/bangunan. 3. Sektor tersier terdiri dari jasa-jasa, perbankan dan lainnya.
59
BPS (2005), secara umum sektor disebut juga lapangan usaha dan diklasifikasikan atas sembilan sektor yaitu: sektor pertanian, sektor pertambangan, sektor
industri, sektor listrik, sektor bangunan, sektor perdagangan, sektor
pengangkutan, sektor keuangan, sektor jasa-jasa Kesembilan sektor diatas dapat dipecah kedalam beberapa sub sektor seperti sektor pertanian dipecahkan atas empat sub sektor demikian juga bagi sektor keuangan. Bila sektor atau lapangan usaha didasarkan pada sub sektor maka akan meliputi 31 lapangan usaha. Untuk daerah tertentu jasa kereta api berdiri sendiri dalam sektor pengangkutan. Adisasmita (1994), menyatakan sektor-sektor strategis harus dapat memenuhi empat kriteria yakni: 1. Sektor-sektor yang menghasilkan produksi dan mempunyai kontribusi besar bagi PDRB. 2. Sektor-sektor yang diinterpretasikan dapat memberikan lapangan kerja yang besar. 3. Sektor-sektor yang memiliki tingkat keterkaitan yang kuat terhadap pengembangan sektor lainnya. 4. Sektor-sektor yang berpotensi meningkatkan ekspor non migas walaupun sumbangan atau kontribusinya terhadap PDRB relatif kecil namun sektor tersebut memiliki prospek untuk dikembangkan dimasa akan datang. Namun di sisi lain pembangunan sektor ekonomi wilayah masih berorientasi pada sektor-sektor yang proses kegiatan ekonominya memanfaatkan sumberdaya alam kedaratan (landward orientation) sedangkan aspek kelautan (seaward
development) dianggap sebagai penunjang atau penyangga saja.
60
Wilayah kepulauan (archipelago) dimasa depan sebaiknya lebih berorientasi pada pengembangan sektor-sektor strategis dengan memanfaakan sumberdaya kelautan baik di permukaan, di dalam dan yang berada di dasar laut (aspek bahari/maritim). Dengan wilayah laut yang cukup luas dan kaya sumberdayanya maka pengembangan wilayah laut berpotensi dan prospektif mempunyai peluang untuk dimanfaatkan sebagai salah satu sektor strategis yang menentukan kemajuan bangsa di masa yang akan datang. Peluang ini harus didukung dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut sehingga mampu meningkatkan sektor-sektor yang dianggap sebagai sektor strategis.
2.1.8. Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Selama satu dasawarsa atau setelah 10 tahun reformasi dilaksanakan, banyak hal yang telah menarik perhatian para ahli,
khususnya dikalangan
ekonom. Akibat dari munculnya permasalahan di bidang ekonomi yang sulit diprediksi sering menimbulkan gejolak ekonomi yang sulit diperkirakan sebelumnya, maka hal tersebut telah menarik perhatian dari kalangan masyarakat perekonomian di tingkat nasional maupun dunia yang hanya tertuju pada bagaimana mempercepat laju pertumbuhan ekonomi nasionalnya. Konsep pertumbuhan ekonomi yang dipakai saat ini sebagai tolok ukur penilaian pertumbuhan ekonomi setiap negara maupun daerah (wilayah) perlu mengetahui faktor-faktor atau sumber-sumber pertumbuhan ekonomi wilayah. Sehubungan dengan itu konsep dasar yang berkaitan erat dengan teori-teori pertumbuhan ekonomi
perlu mendapat perhatian seperti, perubahan yang
mendasar atas struktur kelembagaan ekonomi, sosial, budaya dan administrasi.
61
Berbagai pandangan tentang konsep pertumbuhan ekonomi wilayah sering mendapat kritik dari berbagai pihak, tetapi sampai sekarang konsep ini secara umum masih digunakan. Dimana konsep pertumbuhan ekonomi belum secara jelas membicarakan distribusi pendapatan, hal ini dapat dikatakan karena bila suatu wilayah mempunyai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, belum tentu diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan di masyarakat dan ternyata pertumbuhan ekonomi yang tinggi sering diikuti dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan masyarakat pada wilayah tersebut. Dilain sisi ada beberapa pandangan yang menggambarkan kemampuan atau kapasitas dari suatu perekonomian wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa, dimana kedua unsur tersebut mempunyai peran penting untuk mencapai tujuan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Samuelson dan Nordhaus (1983), memperkenalkan teori pertumbuhan jalur cepat yaitu, setiap wilayah perlu melihat sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan
cepat, baik karena
potensi sumberdaya alamnya maupun karena sektor atau komiditi tersebut memiliki competitive advantage. Secara umum ada beberapa pandangan atau sisi yang menentukan atau mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Pandangan dari sisi permintaan (demand side) yaitu, pandangan yang melihat pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan atau dipengaruhi oleh pengeluaran pemerintah (goverment expenditure),
jumlah uang yang beredar (money
supply) serta investasi swasta (private invesment).
62
2. Pandangan dari sisi penawaran (supply side) yaitu, pandangan yang melihat pertumbuhan ekonomi dari sisi sumberdaya manusia (human resourcess), sumberdaya alam (natural resourcess), teknologi
stock kapital (capital stock) dan
(technoloy shock), dimana
faktor-faktor tersebut sangat
menentukan adanya kemajuan atau mundurnya suatu pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah dengan berbagai kebijakan ekonominya. Pemahaman seperti diatas menunjukkan pertumbuhan ekonomi wilayah merupakan kemampuan atau kapasitas dari suatu perekonomian wilayah untuk menghasilkan barang dan jasa yang menjadi tujuan utama dalam pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Untuk itu
berbagai teori tentang pertumbuhan
ekonomi akan dibahas pada sub-sub bab berikutnya. 2.1.8.1. Teori Harrod – Domar (H – D) Dalam teori
Harrod-Domar (H-D) berusaha untuk
memadukan
pandangan kaum Klasik yang dinilai terlalu menekankan pada sisi penawaran (supply side) dan pandangan Keynesian lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side). Harrod-Domar (kaum Klasik) dalam kaitan dengan pandangannya diatas mengatakan bahwa faktor investasi memainkan peran ganda (dual role) yakni disatu sisi, investasi akan meningkatkan
kemampuan produktif (productive
capacity) dan perekonomian Keynesian di sisi lainnya menyatakan investasi akan meningkatkan permintaan (demand creating) didalam perekonomian (Romer, 2001). Pandangan Harrod – Domar menyatakan bahwa, tabungan dan investasi merupakan faktor penentu atau kekuatan sentral (saving and invesment is forces
63
behind economic growth) terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Seandainya
tabungan (S) adalah bagian
dari jumlah tertentu
atau s
dari
pendapatan nasional (Y). Dengan demikian dapat ditulis hubungan tersebut dalam bentuk persamaan sederhana sebagai berikut: S = sY....................................................................................(1) Selanjutnya investasi (I) didefenisikan sebagai perubahan dari stok modal (K) yang dapat diawali oleh ΔK, dengan demikian dapat kita tulis persamaan kedua yang sederhana sebagai berikut: I = ΔK....................................................................................(2) Persamaan di atas seperti jumlah stok modal K mempunyai hubungan langsung
dengan jumlah pendapatan
nasional
atau output Y seperti yang
diperlihatkan oleh rasio modal – output k maka persamaan ketiga adalah sebagai berikut: K/Y = k atau ΔK/ΔY = k ΔK = kΔY..............................................................................(3) Akhirnya hubungan jumlah dari keseluruhan tabungan nasional (S) harus sama dengan keseluruhan investasi (I). Dengan demikian akan diperoleh persamaan keempat sebagai berikut: S = I......................................................................................(4) Bila dilihat dari persamaan (1) di atas diketahui bahwa
S
=
sY,
persamaan (2), I = ΔK dan persamaan (3), ΔK = kΔY, dimana kita ketahui bahwa persamaan dari I = ΔK = kΔY maka dengan demikian”identitas ”tabungan yang merupakan persamaan modal seperti yang terlihat pada persamaan (4), dengan demikian persamaan berikut selanjutnya dapat dilihat sebagai berikut:
64
S = sY = kΔY = Δk = I......................................................(5) Bila diringkas maka diperoleh persamaan sebagai berikut: SY = kΔY..............................................................................(6) Selanjutnya bila kedua sisi persamaan (6) dibagi dengan Y kemudian dengan k, maka dapat diperoleh persamaan sebagai berikut: ΔY/Y = s/k..............................................................................(7) dimana : (ΔY/Y) = Pertumbuhan ekonomi S
= Tingkat tabungan nasional
K
= ICOR (incremental capital output rasio, ΔK/ΔY atau I/ΔY)
Y
= Output nasional atau GNP,
K
= Stok kapital,
I
= Investasi
Dari persamaan-persamaan tersebut dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (ΔY/Y) ditentukan bersama-sama oleh rasio tabungan nasional (s) dan rasio modal output nasional (k), dimana secara ekonomi hal ini mengandung makna bahwa, suatu perekonomian dapat bertumbuh bila perekonomian harus disertai dengan tabungan investasi yang proposional dari GNP-nya. Perkins et al. (2001), dikatakan bila semakin banyak yang menabung dan melakukan investasi maka semakin cepat / pesat pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan demikian hal tersebut dapat
diperlihatkan pada persamaan-
persamaan seperti di atas. Bagi wilayah-wilayah terbelakang (periphery), teori Harrod-Domar perlu menjadi acuan. Mengapa
perlu menjadi acuan, karena biasanya wilayah
periphery memiliki infrastruktur yang rendah, hubungan keluar-masuk dari
65
wilayah yang bersangkutan sangat sulit. Pada kondisi yang demikian biasanya barang modal sangat langka sehingga sulit untuk melakukan konversi antara barang modal dengan tenaga kerja. Kondisi wilayah seperti itu, bagi sektor yang hasil produksinya
tidak layak atau kurang menguntungkan untuk diekspor
(karena biaya angkut tinggi atau produk tidak tahan lama) maka peningkatan produksi mengakibatkan produk tidak terserap di pasar lokal dan mengakibatkan tingkat harga turun drastis sehingga merugikan produsen. Dengan demikian setiap wilayah periphery harus dapat mengatur atau meningkatkan pertumbuhan berbagai sektor secara seimbang karena pertambahan produksi di satu sektor harus dapat diserap oleh sektor lainnya yang tumbuh secara seimbang.
2.1.8.2. Teori Pertumbuhan Solow Hossain dan Chowdhury (2001), selain teori Harrod – Domar (HD), teori pertumbuhan Solow merupakan salah satu teori ekonomi yang membahas tentang pertumbuhan ekonomi Neoklasik (Neoclasical Growth Theory) banyak yang menyebutnya dengan Teori Pertumbuhan Solow (Solow Growth Theory). Bila
teori pertumbuhan model Harrod – Domar lebih mengutamakan pada
faktor tabungan dan investasi maka dalam teori pertumbuhan model Solow lebih banyak menekankan modelnya pada faktor kapital serta pentingnya faktor-faktor lain seperti tenaga kerja dan pengaruh teknologi. Model pertumbuhan Solow merupakan salah satu model yang sering digunakan oleh para ekonom untuk analisisnya. Hal ini dikarenakan teori Solow merupakan model pertumbuhan yang secara mendasar cukup berbeda dengan teori-teori pertumbuhan terdahulunya dan lebih mudah untuk dipahami untuk analisis-analisis yang digunakan.
66
Asumsi-asumsi dalam
model Solow lebih memusatkan perhatiannya
pada beberapa variabel. Ada empat variabel yang menjadi perhatiannya antara lain. Satu). Variabel Output (Y), dua). Variabel Modal (K), tiga). Variabel tenaga kerja (L) dan empat). Variabel Pengatahuan atau “efektivitas tenaga kerja” (A). Dimana model pertumbuhan Solow mengatakan bahwa pada waktu kondisi tertentu suatu perekonomian harus memiliki sejumlah modal (K), tenaga kerja (L), dan ilmu pengatahuan (A) dimana kombinasi dari faktor-faktor tersebut akan mengahasilkan output (Y). Fungsi produksi model pertumbuhan Solow akan berbentuk sebagai berikut: Y(t) = F (K(t), A(t)L(t)............................................................(1) dimana: (t) = waktu. Beberapa menjadi perhatian
pandangan (fetures) dari
fungsi produksi ini yang perlu
adalah: Pertama). Waktu (t) tidak masuk dalam
fungsi
produksi secara langsung tetapi hanya melalui K, L dan A, dimana output (Y) akan berubah terhadap waktu bila input produksinya berubah. Output yang berubah atau diperoleh dari jumlah modal dan tenaga kerja tertentu akan meningkat terhadap waktu dengan kemajuan teknologi bila adanya kemajuan atau peningkatan dibidang pengatahuan. Kedua). Tenaga kerja (L) dan ilmu pengatahuan (A). AL menunjukkan tenaga kerja yang efektif dan perkembangan teknologi yang dikenal dengan labour augmenting atau Harrod-neutral. Asumsi utama dari model pertumbuhan Solow adalah, difokuskannya pada fungsi produksi dan perubahan ketiga input produksi (Capital, Labour dan Knowledge) terhadap waktu (t).
67
Asumsi penting yang terkait model Solow dengan fungsi produksi adalah, constan return to scale yang dapat dijelaskan kedalam dua input modal (capital) dan tenaga kerja efektif (effective labour). Dengan menggandakan jumlah
modal (C) dan tenaga kerja efektif (L), maka diharapkan akan
menggandakan jumlah produksinya. Secara umum dengan mengalikan kedua penjelas dengan constanta c non negatif akan menyebabkan output berubah dengan faktor yang sama, seperti persamaan berikut ini. F(cK, cAL) = cF(K, AL) untuk semua c ≥ 0 .....................(2) Pada teori pertumbuhan baru (new growth theory), salah satu hal yang paling ditekan adalah pentingnya peran pemerintah. Menurut model ini kebijakan pemerintah sangat berpengaruh terutama dalam penyediaan atau meningkatkan infrastruktur, membangun serta meningkatkan modal manusia (human capital) dan mendorong faktor penelitian dan pengembangan (research and development). Faktor-faktor
tersebut
sangat
penting
perannya
dalam
meningkatkan
produktivitas masyarakat suatu wilayah, karena pertumbuhan produktivitas dari masyarakat pada gilirannya akan menjadi motor penggerak (prime mover/engine of growth) terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah tersebut Model Solow secara mendasar tidak mengidentifikasikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas kerja. Model ini hanya mengatakan bahwa selain faktor tenaga kerja dan faktor modal yang mempengaruhi pertumbuhan maka faktor efektivitas turut berperan dalam proses tersebut, hal ini berkaitan dengan pengatahuan yang abstrak. Dengan demikian faktor pengatahuan merupakan sisi yang harus menjadi perhatian utama di dalam memberdayakan sumberdaya
68
manusia wilayah kepulauan bila ingin mempercepat proses pembangunan selain potensi sumberdaya manusia yang murah dan sumberdaya alam yang melimpah. Schumpeter (1961), menyatakan pertumbuhan ekonomi wilayah sering diartikan
sebagai perkembangan ekonomi atau kemajuan ekonomi., dimana
perkembangan ekonomi adalah suatu perubahan yang spontan dan terputus-putus. Sementara pertumbuhan
ekonomi adalah perubahan jangka panjang secara
perlahan dan mantap yang terjadi melalui kenaikan tabungan dan jumlah penduduk. Lebih lanjut Schumpeter mengatakan kemajuan ekonomi suatu wilayah sangat dipengaruhi atau ditentukan oleh jiwa usaha (enterpreneurship) masyarakat. Wijaya (2003), mengatakan pertumbuhan ekonomi biasanya tidak menjelaskan secara jelas tentang distribusi pendapatan. Menurutnya dapat saja suatu wilayah mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi tetapi ternyata dibarengi dengan semakin timpangnya distribusi pendapatan. Dengan demikian walaupun konsep pertumbuhan ekonomi masih mendapat kritik dari berbagai pihak, konsep ini secara umum masih digunakan.
2.1.9. Teori Lokasi Permasalahan lokasi yang diperuntukkan bagi setiap aktvitas atau kegiatan pembangunan ekonomi wilayah baik secara nasional maupun regional, harus mempertimbangkan secara cermat agar aktivitas pembangunan tersebut dapat berlangsung secara efisien, efektif dan berkelanjutan (efficiency, effectivity and sustainable). Teori-teori lokasi telah lama diperkenalkan terutama pada wilayah Eropa Tengah, dimana pada saat itu secara teoretik berimplikasi pada analisis ekonomi
69
yang berhubungan dengan faktor tata ruang (space) dan faktor jarak (distance). Teori-teori lokasi pada saat ini lebih banyak memusatkan perhatiannya pada perencanaan wilayah, dimana dimensi tata ruang atau dimensi geografis dan landskap ekonomi (economic landscape) dimasukkan sebagai salah satu variabel penting dalam analisis aktivitas ekonomi atau pembangunan. Banyak ahli ekonomi yang melakukan berbagai analisisnya
yang ditujukkan terhadap
perusahan-perusahan individu dengan memasukkan asumsi faktor lokasi terisolasi tanpa melihat faktor adanya persaingan dalam harga atau output. Smith (1776), hanya membahas masalah lokasi secara terbatas. William (1971), membahas adanya perbedaan sewa tanah yang disebabkan karena adanya perbedaan lokasi. Sedangkan Cantillon (1755), dan Chinitz (1970), tidak hanya membahas masalah lokasi tetapi juga membahas pentingnya pasar untuk wilayahwilayah berkembang sebagai akibat dari adanya kemajuan ekonomi. Dari beberapa ahli tersebut di atas dapat dikatakan bahwa para ahli tersebut tidak menulis atau mengemukakan pendapatnya secara jelas dan hanya memberikan pendapatnya secara terbatas. Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata ruang (spatial) dan lokasi (location) kegiatan aktivitas ekonomi dapat dimasukkan ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal ini mendorong beberapa ahli untuk melakukan kombinasi antara teori lokasi dengan teori ekonomi baik mikro maupun makro. Perkembangan ini selanjutnya
mendorong berbagai analisis
ekonomi tata ruang (spatial) yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya teori ekonomi regional dengan dasar kajian pada aspek lokasi dan tata ruang terhadap pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah daerah sesuai dengan karakteristik geografis, kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayahnya.
70
Provinsi Maluku adalah cermin kecil negara Indonesia, dimana luas lautan wilayah ini lebih luas dari wilayah daratannya. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan/maritim (archipelagic state/archipelago) terbesar di dunia. Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah dengan luas lautan terluas di Indonesia. Untuk itu pengembangan wilayah seperti ini diperlukan berbagai konsep/kebijakan yang bertujuan: 1. Mewujudkan saling ketergantungan antar wilayah yang menghendaki adanya keseimbangan diantara pusat wilayah (core region) dengan wilayah lainnya. Hal ini diharapkan dapat
mendorong
terwujudnya ”spesialisasi wilayah”
berdasarkan kapasitas dan potensi lokalnya. 2. Terwujudnya keseimbangan pengembangan pembangunan wilayah kepulauan dengan mengokohkan pentingnya ”laut” sebagai
bagian dari proses
pembangunan yang sama besar manfaatnya dengan wilayah daratan. Rahardjo (1988), mengatakan pembangunan atau pertumbuhan di setiap wilayah tidak terjadi di segala ruang (spatial) akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat atau wilayah tertentu. Dimana setiap wilayah akan memiliki wilayah kutub (pole) yang daya tarik kekuatannya terdapat di kutub-kutub atau pusat-pusat wilayah berbeda antara satu wilayah dengan lainnya.
2.1.9.1. Teori Perroux Pengembangan teori Perroux (1955), sangat berpengaruh terhadap teoriteori lokasi pertumbuhan lainnya seperti teori Schumpeter yang menitikberatkan pertumbuhan
pada pentingnya inovasi-inovasi baru
bagi industri besar.
Sedangkan Perroux melihat inovasi-inovasi baru sangat diperlukan terhadap
71
berbagai kegiatan kewiraswastaan karena akan mempengaruhi atau mendominasi kegiatan-kegiatan ekonomi wilayah lainnya. Perroux memperlihatkan adanya kaitan erat antara, skala, dominasi, dan dorongan-dorongan untuk melakukan penemuan-penemuan baru yang akan menimbulkan
indutri
pendorong/penggerak
(industrie
motrice/propulsive
industry). Pemikiran dasar dari teori ini adalah adanya konsep titik pertumbuhan atau kutub pertumbuhan (pole de croissance/growth poles). Teori Perroux menunjukkan faktor utama pengembangan wilayah (regional) karena adanya interaksi antara industri pendorong yang merupakan urat nadi dari kutub pertumbuhan. Industri pendorong
yang
merupakan urat
nadi dari kutub pertumbuhan menurut Perroux memilki ciri-ciri seperti: 1. Tingkat konsentrasi atau pengaruh yang tinggi. 2. Pengaruh polarisasi lokal yang sangat besar. 3. Teknologi yang sudah maju. 4. Tingkat manajerial yang modern. Jadi industri yang dimaksud merupakan industri yang relatif besar, berkembang dengan pesat dan memiliki kedudukan oligopolistik
serta
mempunyai pengaruh dalam menentukan pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung. Di sisi lain teori Perroux mengatakan bahwa kutub pertumbuhan yang ada, tidak hanya merupakan petunjuk bahwa adanya industri-industri pendorong akan tetapi
kutub pertumbuhan diharapkan
dapat
mempengaruhi wilayah-
wilayah lain disekitarnya. Oleh karena itu pengaruh polarisasi dari industri tersebut memiliki ketergantungan diantara industri-industri lainnya.
72
Perroux dengan teori kutub pertumbuhannya (growth pole) menjelaskan bahwa, perlunya interaksi antara kutub-kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruh. Dengan demikian menurutnya ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dari interaksi-interaksi tersebut yaitu: 1. Dapat menimbulkan ketidak-seimbangan struktural di wilayahnya, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan tingkat kemakmuran antara kutub pertumbuhan dengan wilayah-wilayah yang terletak disekitarnya (new industrial complex). 2. Adanya pemusatan (agglomerasi) industri pendorong (propulsive industries) dan industri-industri kunci (key industries) sedangkan
tenaga kerja, bahan
mentah dan jasa-jasa lainnya terpencar (polarisasi) keseluruh wilayah pengaruh. 3. Fungsi tempat sentral dari kutub pertumbuhan (growth pole) dapat memperjelas hubungan antara kutub pertumbuhan dengan wilayah pengaruhnya. Untuk itu secara konsepsional tempat sentral tidak identik dengan dengan kutub pertumbuhan. Tempat sentral banyak sekali jumlahnya dan tersusun dalam suatu hirarkhi sedangkan kutub pertumbuhan
hanya sedikit dan terbatas
jumlahnya dalam suatu wilayah. Perbedaan yang cukup menonjol antara kutub pertumbuhan dengan tempat sentral adalah, yang menopang suatu tempat
sentral
pertumbuhan
adalah wilayah komplementernya sedangkan yang
menopang pertumbuhan wilayah pengaruh adalah kutub pertumbuhan. Beberapa kontribusi dari teori kutub pertumbuhan Perroux (growth pole) dalam
bidang pengembangan wilayah seperti, matarantai dari interaksi antar
industri (inter industries linkages) dan teori ketergantungan antar industri yang
73
berasal dari industri pendorong. Walaupun teori ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dilain sisi teori kutub pertumbuhan belum dapat dikategorikan sebagai teori tanpa tata ruang (spaceless), karena teori kutub pertumbuhan belum dapat menjelaskan secara rinci tentang pemilihan lokasi optimum suatu industri atau kegiatan ekonomi lainnya. Dengan demikian teori Perroux sering kali di tafsirkan scara berlebihan terutama dalam pernyataannya tentang peran industri pendorong di suatu wilayah.
2.1.9.2. Teori Losch Suatu model keseimbangan
tata ruang wilayah (regional spatial),
pertama kali dikembangkan oleh Christaller dan diperluas lagi oleh Losch (1940) dengan membahas atau menguraikan prinsip-prinsip dasar analisa spatial serta menginterpretasikannya kedalam ekonomi spatial dalam bentuk pasar persaingan monopolistik. Losch dalam mengembangkan modelnya, menggunakan beberapa asumsi sebagai kerangka pemikiran yang menunjukkan bahwa teorinya berbeda dengan teori-teori regional yang telah dikembangkan terlebih dahulu. Perbedaan seperti, tidak adanya perbedaan-perbedaan spatial baik untuk sumberdaya alam, tenaga kerja dan modal. Seluruh wilayah dianggap sama (homogen), yang berarti bahwa lokasi usaha/kegiatan ekonomi wilayah dapat ditempatkan dimana saja. Penduduk tersebar merata, kepadatan penduduk uniform, sosial budaya dan ekonomi masyarakat dianggap konstan dan perbedaan pendapatan diabaikan. Selanjutnya menurut Losch,
wilayah pasar (market region) dan
permintaan (demand)
terhadap hasil produksi wilayah yang bersangkutan tidak dipengaruhi oleh lokasi dari kegiatan ekonomi lainnya.
74
Menurut Losch, ada tiga jenis wilayah ekonomi yaitu: 1. Wilayah pasar sederhana 2. Jaringan wilayah pasar 3. Sistem jaringan wilayah pasar Teori Losch (1940), ingin memperlihatkan bahwa suatu wilayah harus melakukan/melihat tahapan-tahapan paling menguntungkan bagi wilayah yang melakukan kegiatan ekonomi berdasar wilayah pasar tersebut. Wilayah pasar sederhana
biasanya sangat bergantung pada perdagangan yang dilakukan,
sedangkan jaringan maupun sistemnya sangat kompleks, walaupun hal tersebut ideal akan tetapi masih sulit dijumpai pada suatu kenyataan, bila wilayah-wilayah tersebut tidak mencerminkan keunggulan dari setiap wilayah pasar. Salah satu aspek dari analisis Losch adalah mengabaikan aspek agglomerasi pada beberapa kegiatan ekonomi dengan tidak memperdulikan adanya titik nodal dalam ekonomi spatial. Pengabaian ini karena Losch beranggapan bahwa bahan mentah sama atau seragam (uniform) dan terdapat dimana-mana di semua wilayah. Richardson (1970), menyatakan teori umum Losch ternyata masih membutuhkan beberapa pengujian lagi sebagai akibat dari beberapa asumsiasumsi dasar yang dipakainya. Ia beranggapan bahwa Losch, memberikan kebebasan setiap wilayah dapat melakukan berbagai kegiatan produksi/ekonomi secara terpisah tanpa memperhatikan kebutuhan antar wilayah sehingga digambarkan kegiatan ekonomi wilayah secara tidak utuh atau memiliki satu kesatuan yang saling melengkapi.
75
Teori Losch yang dikenal dengan teori kerucut permintaan (demand cone) lebih mengutamakan model keseimbangan regional spatial. Losch melihat jika sebuah aktivitas atau kegiatan ekonomi semuanya sama di suatu wilayah maka
aktivitas atau kegiatan ekonomi
dilakukan
di wilayah lain
di wilayah tersebut sama dan dapat
sehingga satu wilayah dianggap dapat mewakili
wilayah lain. Dalam beberapa segi teori Losch belum memuaskan tetapi Losch telah berhasil menjelaskan timbulnya kecenderungan kuat dari setiap wilayah untuk melakukan aktivitas atau kegiatan ekonomi yang cenderung melakukan agglomerasi
karena
adanya penghematan dan ketergantungan antarwilayah
dimana unsur spatial menjadi bagian analisis tata ruang wilayah.
2.1.9.3. Teori Hirschman Konsep teori Hirschman (1958), lebih mengutamakan perhatiannya pada pertumbuhan wilayah tidak seimbang. Dimana secara geografis pertumbuhan ekonomi wilayah akan dipengaruhi oleh kemajuan-kemajuan disuatu wilayah pada satu titik tempat yang menimbulkan dorongan ke arah perkembangan titik-titik atau tempat-tempat wilayah berikutnya. Teori Hirschman melihat fungsi-fungsi ekonomi suatu wilayah, berbeda tingkat intensitasnya untuk setiap tempat yang berbeda pula. Perkembangan suatu wilayah dimulai dari titik originalnya sebelum tersebar (polarisasi) ke berbagai wilayah lainnya. Titik original Hischman dikenal dengan istilah growing point atau growing centre bukan growth pole seperti yang dikemukakan oleh Perroux. Menurut Djojodipuro (1992), teori Hirschman melihat tingkat pembangunan di suatu wilayah cenderung tercapai pada beberapa titik
76
pertumbuhan. Dimana kegiatan atau aktivitas ekonomi lebih berkelompok di tempat-tempat tersebut, karena memiliki berbagai manfaat dalam bentuk penghematan dan kemudahan-kemudahan yang diperolehnya yaitu tersedianya berbagai fasilitas pelayanan yang lebih lengkap dari wilayah lain. Dampak pemusatan (agglomerasi) dapat dilihat juga dari besarnya migrasi penduduk ke pusat titik suatu wilayah sehingga terlihat dari tingkat komplementaritas antara dua tempat wilayah yang saling bergantung tersebut. Dengan demikian tingkat pembangunan yang dicapai pada saat itu cenderung mengalami tingkat perbedaan, namun dalam jangka panjang akan mengalami penurunan tingkat perbedaan pada wilayah-wilayah disekitarnya. Komplementaritas yang kuat akan mengakibatkan terjadinya proses penyebaran pembangunan ke wilayah-wilayah belakang (trickling down), namun sebaliknya
jika
komplementaritas
lemah maka
akan menimbulkan atau
mengakibatkan terjadinya polarisasi. Jika polarisasi lebih kuat dari pengaruh aglomerasi pembangunan maka akan menimbulkan ciri-ciri wilayah perkotaan yang modern tetapi juga menimbulkan terbelakang. Walaupun
pengaruh
ciri-ciri wilayah
aglomerasi
perdesaan yang
yang cukup kuat, Hirschman
masih optimis bahwa pada akhirnya pengaruh trickling down akan dapat mengatasi pengaruh polarisasi yang terjadi pada wilayah-wilayah terbelakang. Trickling down yang terjadi pada wilayah terbelakang harus mampu mendorong percepatan pembangunan wilayah perdesaan. Dengan demikian dalam jangka panjang komplementaritas antar wilayah-wilayah pusat dengan wilayah perdesaan akan menjamin polarisasi pembangunan wilayah keseluruh wilayah disekitarnya. Di sisi lain teori Hirschman menurut Myrdal (1968), masih bersifat
77
konseptual yang memperkenalkan struktur titik-titik pertumbuhan dan wilayah terbelakang. Myrdal mempergunakan istilah backwash effect dan spread effect, yang pengertiannya hampir sama dengan istilah polarisasi dan trickling down. Penekanan perbedaan yang terjadi antara Hirschman dan Myrdal pada analisis Myrdal lebih menekankan pemahaman tentang pengaruh agglomerasi yang lebih kuat dari polarisasi pembangunan. Pesimistis tersebut terjadi karena Myrdal tidak melihat teori Hirschman yang menyatakan bahwa, timbulnya titik-titik pertumbuhan wilayah adalah suatu hal yang merupakan syarat bagi perkembangan pembangunan selanjutnya serta syarat bagi penyebaran pembangunan terhadap wilayah di sekitarnya. Di sisi lain timbulnya kekuatan yang menyebabkan titik balik apabila perkembangan ke arah polarisasi di suatu wilayah sudah terjadi atau berlangsung untuk waktu yang telah lama. Perbedaan antara Hirscman dan Myrdal, teori Hirschman menekankan pendapatnya untuk membentuk lebih banyak titik-titik pertumbuhan sehingga dapat menciptakan pengaruh penyebaran pembangunan yang lebih efektif. Sedangkan
Myrdal
menyatakan
pada
langkah-langkah
kebijakan
untuk
memperlemah backwash effect dan mempercepat spread effect agar proses memperkecil ketimpangan regional (disparity regional) antarwilayah
dapat
diperkecil.
2.1.10. Teori Leontief (Model I-O) Upaya untuk
memahami
berbagai permasalahan atau kompleksitas
suatu aktivitas ekonomi suatu wilayah dan kondisi
untuk mempertahankan
keseimbangan antara permintaan dan penawaran oleh Leontief
dikenal dengan
istilah analisis antarindustri. Analisis antarindustri merupakan salah satu teknik
78
baru yang diperkenalkan dengan istilah teknik input-output (I-O). Dasar utama model (I-O) sebenarnya pertama kali dikembangkan oleh Francois Quesnay dalam teori distribusinya yang dikenal dengan Tableu Eqonomique. Budiharsono (2001), mengemukakan konsep dasar yang dikembangkan oleh Leontief dalam model (I-O) sebagai berikut: 1. Struktur perekonomian terdiri dari berbagai sektor dan ada transaksi. 2. Output suatu sektor diperlukan sektor lainnya untuk memenuhi permintaan akhir. 3. Input suatu sektor dibeli oleh sektor lainnya, rumah tangga, pemerintah, surplus usaha dan impor. 4. Adanya hubungan secara linear antara input dengan output. 5. Dalam kurun waktu analisis biasanya 1 tahun total input sama dengan total output. 6. Suatu sektor terdiri dari satu atau beberapa perusahaan dan output tersebut diproduksikan oleh satu teknologi (Richardson, 1978 dan Isard, 1975). Keuntungan dari penggunaan teknik (I-O) merupakan salah satu teknik yang
dipergunakan
untuk
menganalisis
perekonomian
suatu
wilayah.
Perekonomian wilayah dimaksud adalah keterkaitan antarsektoral dimana input suatu sektor (industri) merupakan
ouput
sektor (industri) lainnya
atau
sebaliknya. Teknik ini sering diartikan bahwa dalam keadaan keseimbangan jumlah nilai output agregat dari suatu aktivitas atau kegiatan ekonomi harus sama dengan jumlah antarindustri.
nilai
input antarindustri
dan jumlah nilai output
79
Menurut Arsyad (1999), model (I-O) dapat memberikan informasi yang diperlukan mengenai koefisien struktural berbagai sektor perekonomian selama suatu jangka waktu tertentu dan dapat dipergunakan seoptimal mungkin dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi wilayah. Analisis perekonomian wilayah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan ekonomi wilayah yang
menjadi tujuan utama pembangunan. Oleh sebab itu
pengembangan seluruh sektor perekonomian secara komprehensif dan terkait perlu dianalisis bagaimana keterkaitan antarsektor di wilayah tersebut karena tidak semua sektor dalam suatu wilayah memiliki nilai keterkaitan yang sama. Selain analisis keterkaitan antarsektor menurut Kadariah (1978), menyatakan peningkatan aktivitas sektor utama (leading sector) ekonomi suatu wilayah sangat berpengaruh pada peningkatan arus pendapatan ke wilayah tersebut pada masa depan. Dimana dengan meningkatnya pendapatan masyarakat maka akan meningkatkan tingkat konsumsi, barang dan jasa yang pada akhirnya akan meningkatkan aktivitas atau kegiatan ekonomi lainnya di wilayah tersebut. Analisis (I-O) yang dilakukan didasarkan pada teori keseimbangan umum (general equilibrium) karena mengintegrasikan permintaan dan penawaran (demand and supply). Analisis ini mampu memberikan gambaran rinci mengenai perekonomian suatu wilayah
dengan mengkuantifikasikan
ketergantungan
(interdependency) antarsektor. Selain itu analisis (I-O) dapat digunakan untuk memperkirakan dampak permintaan akhir dan perubahannya terhadap keluaran berbagai sektor produksi, nilai tambah (added value) dan sebagainya. Dalam analisis (I-O) teknik ini mampu menjawab bagian di atas dengan memproyeksi peubah-peubah ekonomi dan dapat memberi petunjuk mengenai sektor-sektor
80
yang memiliki pengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi serta sektor-sektor peka
terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah baik secara regional,
nasional maupun internasional. Model (I-O)
masih memiliki keterbatasan
dan asumsi-asumsi yang
digunakan dalam penyusunan tabel (I-O). Sehingga tabel (I-O) harus dapat memenuhi unsur-unsur asumsi dasar analisis (I-O) tersebut. Asumsi-asumsi dasar
dalam analisis (I-O)
menurut
Bulmer-Thomas (1982), Budiharsono
(2001), dan Tarigan (2004), yaitu: 1. Homogenitas (homogenity) atau keseragaman. Asumsi ini digunakan untuk menyatakan bahwa setiap sektor hanya memproduksi satu jenis barang atau jasa yang sama dengan struktur input tunggal. Dengan demikian suatu sektor hanya menghasilkan barang atau jasa melalui satu cara dengan satu susunan input. 2. Proposionalitas (proportionality/linearity) atau kesebandingan. Asumsi ini menyatakan
setiap kenaikan
penggunaan input
selalu berbanding lurus
(proposional) dengan kenaikan outputnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa setiap ada perubahan suatu output pada suatu tingkat akan selalu didahului
oleh adanya perubahan penggunaan input yang seimbang. Jadi
asumsi ini menggambarkan bahwa fungsi produksi Leontief mencerminkan tidak adanya subtitusi antar faktor produksi (elastisitas subtitusi σ adalah nol sehingga koefisien input aij2 selalu tetap). 3. Additivitas (additivity) atau penjumlahan. Asumsi ini menyatakan bahwa efek total dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan dari
81
efek masing-masing kegiatan atau akibat dari
pelaksanaan produksi di
berbagai sektor dihasilkan oleh masing-masing sektor secara terpisah. Berdasarkan asumsi-asumsi diatas, tabel input-output sebagai model kuantitatif memiliki keterbatasan seperti koefisien input atau koefisien teknis diasumsikan
tetap (konstan) selama periode analisis. Keterbatasan lain dalam
analisis (I-O) adalah banyaknya agregasi yang dilakukan terhadap sektor-sektor yang ada di wilayah tersebut. Hal ini membuat semakin besarnya pelanggaran terhadap asumsi keseragaman atau homogenitas sehingga dapat menyebabkan informasi-informasi
ekonomi lainnya
tidak terungkap dalam analisis yang
dilakukan. Model umum Input-Output menurut Miler and Blair (1985), menyatakan bahwa model Input-Output yang dikembangkan Leontief saat ini memiliki tiga struktur dasar yaitu: 1. Tabel transaksi antarsektor (kuadran I). 2. Sejumlah kolom tambahan permintaan akhir (kuadran II). 3. Sejumlah baris tambahan untuk nilai tambah (kuadran III). Dengan demikian tabel transaksi antarsektor menggambarkan distribusi output yang diproduksi pada sisi baris dan menggambarkan distribusi input bagi tiap sektor produksi pada sisi kolom. Oleh karena itu tabel transaksi antar industri hanya menggambarkan sektor-sektor yang saling berhubungan dalam masalah produksi untuk kurun waktu tertentu. Sedangkan barang-barang yang dikelompokkan kedalam permintaan akhir bersifat eksogen bagi sektor industri. Barang-barang tersebut diminta oleh konsumen akhir
yang dikenal dengan,
rumah tangga (H), pemerintah (G) dan pihak luar negeri (X-M).
82
Permintaan atas barang diproduksi dan bukan
tidak ditentukan oleh jumlah barang yang
merupakan input dalam proses industri. Bagian baris
tambahan dalam model Input-Output dikenal sebagai nilai tambah (added value) merupakan input yang tidak diproduksi oleh sektor-sektor ekonomi dan yang termasuk dalam nilai tambah adalah jasa faktor produksi yaitu, upah, sewa, bunga dan keuntungan pemilik modal. Bulmer-Thomas (1982), seluruh data Input-Output harus dicatat berdasarkan satuan moneter dan merupakan nilai tambah dari masing-masing sektor. Selanjutnya dikatakan bahwa formulasi Leontief pada mulanya lebih menggambarkan
tentang keseluruhan keterkaitan
produksi dalam
model
Input-Output dalam besaran fisik. Untuk itu digunakan ukuran satuan moneter sebagai perbandingan antar sektor dibandingkan dengan ukuran fisik yang pertama kali diformulasikan oleh Leontief. Kerangka tabel Input-Output sederhana Leontief seperti yang disajikan pada Tabel 3. menerangkan X12 sebagai output sektor 1 dan digunakan oleh sektor 2 sebagai input antara dan F1 adalah output sektor 1 merupakan bagian dari permintaan akhir
untuk sektor rumah tangga (H), pemerintah (G) serta
ekspor (X). Dengan demikian baris 1 menggambarkan distribusi total output sektor 1 sebesar X1 ke sektor-sektor produksi dan permintaan akhir sebesar F1. Angka- angka sepanjang kolom menggambarkan susunan input dari masing-masing sektor produksi. Susunan input J terdiri dari X1i (i = 1, 2, 3...) dan yang merupakan input primer adalah V1. Secara umum persamaan yang menyatakan distribusi output adalah: 3
Xi = ∑ Xij + Fi j=1
83
Persamaan susunan input untuk sektor sebagai berikut: 3
Xi = ∑ Xij + Vi j=1
Secara umum kerangka tabel Input-Output sederhana dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kerangka/Model Baku Tabel Input-Output
…
S i Xii … E . … … K . … … T . … … O . … … R j Xji … P . … … A R . … … N O n X … ni T D A U R K A S I Upah & Li … gaji RT Nilai Vi … Tambah Lain Impor Mi … Total Input Xi … Sumber: Budiharsono I N P U T
j
…
N
Xij … … … … Xjj … … Xnj
… Xin … … … … … … … … … Xjn … … … … … Xnn
Lj
… Ln
Vj
… Vn
Kon. RT
Kon. Pemerintah
Pembtk Modal Tetap
Ekspor
i
Permintaan Akhir Stok
Input Antara Sektor Produksi
Total Output
Rhi … … … … Rhj … … Rhn
Kpi … … … … Kpj … … Kpn
Ii … … … … Ij … … In
Si … … … … Sj … … Sn
Ei … … … … Ej … … En
Xi … … … … Xj … … Xn
Mj … Mn Xj … Xn (2001) dan Kuncoro (2004)
2.1.10.1. Analisis Model Input-Output (I-O) Analisis perekonomian suatu wilayah dapat dilakukan melalui model analisis Input-Output (Model I-O). Melalui analisis ini dapat diketahui mekanisme perhitungan
sesuai dengan aspek kepentingan penelitian yang dilakukan.
Biasanya tabel Input-output digunakan
untuk mengetahui berbagai
perekonomian suatu wilayah (Kuncoro, 2004).
aktivitas
84
Mekanisme perhitungan yang dilakukan melalui model (I-O) memiliki berbagai aspek pendekatan. Aspek-aspek tersebut memiliki fungsi dan keeratan analisis
perekonomian
wilayah
tersebut.
Fungsi
dan
keeratan
analisis
perekonomian suatu wilayah meliputi: struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. 1. Struktur Output Output adalah nilai produksi dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh
aktivitas
kegiatan
perekonomian
suatu
wilayah/daerah.
Dengan
mengetahui besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor maka akan diketahui
sektor-sektor mana yang mampu
memberikan
penerimaan
terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan di wilayah atau daerah itu. 2. Struktur Nilai Tambah Bruto Nilai tambah bruto merupakan balas jasa dari faktor produksi yang tercipta karena adanya aktivitas atau kegiatan produksi. Besarnya nilai tambah bruto dari tiap-tiap sektor biasanya ditentukan dari besarnya nilai produksi (output) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan selama proses produksi dilakukan. Setiap sektor yang memiliki output yang besar belum tentu memiliki nilai tambah
yang besar pula.
Nilai tambah
yang besar dari suatu sektor
biasanya bergantung pada besarnya biaya produksi yang dikeluarkan oleh sektor tersebut.
85
3. Analisis Angka Pengganda (MultiplierEffect) Analisis pengganda (multiplier) dipergunakan untuk dari
perubahan
permintaan akhir suatu sektor
menilai dampak
terhadap penciptaan output,
pendapatan dan kesempatan kerja. Analisis pengganda (multiplier) meliputi: A. Pengganda Output (Output Multiplier). Analisis pengganda output (output multiplier) bertujuan untuk melihat dampak dari perubahan permintaan akhir suatu sektor terhadap semua sektor yang ada pada setiap satuan perubahan jenis pengganda. Peningkatan output sektor lain tercipta
sebagai akibat dari adanya
efek tidak langsung
dari
peningkatan permintaan akhir sektor (Miller and Blair, 1985). B. Pengganda Pendapatan (Income Multiplier) Analisis pengganda pendapatan (income multiplier) merupakan suatu alat analisis untuk melihat pengaruh dari perubahan-perubahan permintaan akhir oleh suatu sektor terhadap pendapatan disektor tersebut dalam suatu aktivitas atau kegiatan perekonomian yang dilakukan. C. Pengganda Tenaga Kerja (Employment Multiplier) Analisis
pengganda
tenaga
kerja
(employment
multiplier)
memperlihatkan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan sebagai akibat adanya satu unit uang mempengaruhi perubahan permintaan akhir dari suatu sektor tertentu. Biasanya analisis pengganda tenaga kerja digunakan untuk melihat peran
dari suatu sektor perekonomian wilayah atau daerah
dalam
meningkatkan besarnya jumlah tenaga kerja yang terserap dalam aktivitas perekonomian yang sedang dilakukan.
86
4. Analisis Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages) Analisis keterkaitan antarsektor (intersectoral linkages) digunakan dalam suatu analisis input-output untuk melihat keterkaitan antarsektor terutama untuk menentukan strategi kebijakan pembangunan. Analisis keterkaitan antarsektor dikenal dengan dua jenis keterkaitan yaitu: A. Keterkaitan ke Depan (forward linkages) B. Keterkaitan ke Belakang (backward linkages) Keterkaitan ke depan merupakan keterkaitan dari penjualan barang jadi dan dihitung menurut baris. Sedangkan keterkaitan ke belakang
merupakan
keterkaitan dengan bahan mentah dan dihitung menurut kolom (Kuncoro, 2004, dan Rasmussen, 1956).
2.2. Tinjauan Empiris 2.2.1. Kebijakan Pembangunan Wilayah Atas Dasar Geografi Ekonomi Kajian empiris yang dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan atau pengembangan wilayah, mulai dilakukan setelah adanya ketergantungan perkembangan ekonomi terhadap ruang wilayah tersebut. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi suatu wilayah terutama di negara berkembang sangat mempengaruhi perkembangan aktivitas atau kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Kajian tentang pertumbuhan ekonomi wilayah sudah banyak dilakukan oleh para ekonom. Berikut ini disajikan beberapa hasil penelitian atau kajiankajian tentang studi yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu tentang peran serta aktivitas ekonomi dalam mempengaruhi pengembangan
87
ekonomi wilayah di beberapa negara, baik di negara sedang berkembang maupun di negara industri baru. Rona
wilayah
yang
heterogen
membuat
berbagai
kebijakan
pembangunan wilayah di setiap daerah atau negara berbeda satu dengan lainnya. Dengan adanya perbedaan kebijakan pembangunan wilayah, menimbulkan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi terjadi lebih cepat atau lebih lambat di beberapa wilayah. Sedangkan pada wilayah lainnya belum tentu mencapai hasil pembangunan dan pertumbuhan seperti yang diharapkan. Biasanya rona wilayah yang heterogen sering menimbulkan ketimpangan (disparity) antarwilayah walaupun dalam suatu wilayah administrasi. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kebijakan yang dibuat tidak didasarkan pada kapasitas atau potensi lokal wilayah terutama pada wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku. World Bank (2009), dengan pendekatan topografi menyatakan bahwa ”dunia ini tidak datar” sehingga pada skala spasial kekuatan-kekuatan ekonomi tidak tidak bekerja pada suatu tempat yang hampa secara geografis. Kekuatan ekonomi seperti ini
berhubungan dengan kosentrasi penduduk dan produksi.
Konsentrasi penduduk berhubungan dengan migrasi sedangkan produksi berhubungan dengan spasial. Sedangkan kebijakan pembangunan wilayah merupakan
intervensi
pemerintah
untuk
menyebarkan
manfaat-manfaat
pertumbuhan ekonomi wilayah secara merata ke setiap wilayah (daerah). Oleh sebab itu pembuat kebijakan sering berkompromi karena
adanya kesalahan-
kesalahan di dalam mengenali pentingnya geografi ekonomi sehingga akan sangat sulit bagi investor (produsen) untuk membuat suatu keputusan mengenai dimana mereka harus melakukan aktivitas ekonomi secara tepat.
88
Kondisi alam atau karakteristik serta geografis yang berbeda antar wilayah akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan wilayah. Oleh sebab itu perbedaan seperti diatas, pada skala wilayah (daerah/provinsi) sering mengakibatkan
adanya
percepatan agglomerasi atau menimbulkan
perlambatan polarisasi bahkan sebaliknya. Namun kondisi perbedaan wilayah sering menimbulkan percepatan pembangunan yang bersifat aglomerasi dengan melakukan eksploitasi wilayah pinggiran (periphery) sering memperlambat polarisasi pembangunan ekonomi wilayah lainnya. Meyer-Stamer (2003),
mengatakan pembangunan ekonomi wilayah
lokal berbeda dengan pembangunan lokal atau wilayah (regional). Ada kecenderungan
dari
sebagian
masyarakat
melihat
pembangunan
lokal
berhubungan dengan wilayah administrasi seperti pembangunan kota, kabupaten atau kecamatan. Sedangkan pembangunan wilayah (regional) berkaitan dengan sekumpulan kota-kota yang batasan tertinggi sampai pada jenjang provinsi. Dengan demikian antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan wilayah perlu dilakukan batasan pengertiannya sehingga pengertian lokal pada pembahasan ini hanya pada batasan
wilayah geografis yang lebih kecil
cakupannya dari pengertian region. Banyaknya istilah-istilah yang sering dipakai dalam ekonomi regional berhubungan dengan skala spasial membuat pembuat kebijakan perlu memahami wilayah pengamatannya. Istilah
”daerah” biasanya berhubungan dengan kata
”teritori” (teritorial) sedangkan istilah regional berhubungan dengan kawasan sehingga kawasan dapat dijelaskan sebagai kumpulan atau sekelompok negara tetapi bila diartikan kedalam negara kepulauan ”kawasan” mengandung
89
pengertian sebagai kumpulan atau sekelompok pulau-pulau dalam wilayah tersebut, seperti Provinsi Maluku yang dikenal sebagai kawasan seribu pulau tentunya memiliki kawasan sentra produksi yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan keunggulan sektoralnya. Berbagai studi tipologi wilayah telah dilakukan di beberapa negara maupun di Indonesia antara lain tipologi kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, beberapa kecamatan dan kabupaten di Provinsi Jawa Barat serta beberapa wilayah lainnya di Indonesia. David et al. (1990), menyatakan suatu wilayah memiliki keterkaitan dengan wilayah luar tetapi tidak semua wilayah akan mengalami shock makroekonomi, tetapi bagaimana shock tersebut dapat berguna bagi pembuatan kebijakan yang lebih baik terhadap wilayah tersebut dalam jangka pendek maupun jangka panjang. David dkk, memperkirakan dampak ketidakseimbangan makroekonomi terhadap hasil yang dicapai oleh suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian perlu didorong (push) berbagai pendekatan baik dari bawah (bottom-up) seperti: faktor pasar, produk pasar dan berbagai agen ekonomi yang spesifik dan ketersediaan fasilitas pelayanan dari wilayahnya sendiri. Hay (1979), berdasarkan hasil penelitiannya di Brazil, mengatakan bahwa setiap wilayah (region) memiliki keuntungan lokasi yang berbeda-beda dan hal ini sangat tergantung pada keadaan geografi wilayah setempat. Dengan demikian setiap wilayah dapat meningkatkan pembangunan wilayahnya sesuai strategi-strategi yang disesuaikan dengan keuntungan lokasi (advantage location) yang dimiliki dan tidak harus sama dengan strategi pembangunan yang dibuat
90
oleh pemerintah pusat. Dengan demikian model ini lebih banyak melihat pembangunan wilayah pada aspek comparative advantage. Otmazgin (2005), menyatakan kedudukan wilayah dalam kenyataannya sangat dipengaruhi oleh aspek politik serta ekonomi dari suatu negara. Sebelum dan setelah perang dingin antara Amerika Serikat dengan sekutunya melawan Uni Soviet ternyata perwilayahan (regionalization) selalu difokuskan pada cultural commodities, khususnya pada negara-negara di Asia Timur. Dasar dari perwilayahan ini adalah, budaya dari masyarakat, pendekatan karakteristik wilayah, pasar serta perhatian dari pemerintah seperti besarnya peran lembagalembaga formal dalam mendukung peran serta masyarakat. Sedangkan sejauh ini pemerintah hanya memperhatikan infrastruktur dan insetif bagi sektor industri pada suatu wilayah., tetapi dalam waktu yang sama pemerintah melakukan intervensi dalam proses cultural commodities dengan mempergunakan kekuatan politik. Menurut Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum (1992), tipologi wilayah ditentukan berdasarkan potensi sumberdaya alam utama wilayah yang bersangkutan. Dengan demikian berbagai kebijakan wilayah biasanya dipengaruhi oleh keadaan kondisi atau potensi lokal wilayah tersebut dan hal ini berlaku pula bagi wilayah-wilayah lainnya sebab masing-masing wilayah memiliki karakteristik dan potensi lokal (local spesific) yang berbeda satu dengan lainnya. Walaupun kadangkala ada beberapa wilayah yang memiliki keseragaman (homogen) karakteristik tertentu, tetapi secara umum setiap wilayah memiliki perbedaan (heterogen) karakteristik dalam hal tertentu pula. Tipologi harus
91
didasarkan pada pola keterkaitan parameter yang di ukur dengan ruang (space) wilayah. Wilayah merupakan tempat berbagai aktivitas dilakukan baik untuk berproduksi maupun untuk memperoleh hasil atau pendapatan dari aktivitas yang dilakukan. Oleh karena sifat ruang yang terbatas maka pola penggunaannya perlu menjadi perhatian dalam pembuatan kebijakan wilayah. Banyaknya kebijakan yang dibuat dan tidak sesuai dengan pola penggunaan ruang (spatial) akan menimbulkan kesalahan dalam pengambilan kebijakan. Hal seperti ini sering terjadi karena tidak memperhatikan aspek karakteristik wilayah yang berbeda
tersebut
seperti,
banyaknya kebijakan-
kebijakan yang hanya berpatokan pada asumsi semua wilayah homogen baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Berbagai kebijakan yang keliru masih tercermin dari salahnya pengambilan kebijakan dengan mengasumsikan Indonesia sebagai negara daratan (landlock state) padahal sudah jelas seperti tertuang dalam UUD Negara Indonesia bahwa negara kesatuan republik Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state). Sebagai wilayah kepulauan tentunya memiliki karakteristik kapasitas atau kemampuan serta potensi lokal (local spesific) wilayah yang berbeda (growth potensial/local spesific/wisdom). Potensi lokal wilayah ini perlu dimanfaatkan atau dikelola sehingga menjadi daya tarik (attractiveness) dalam mempercepat dan meningkatkan daya saing antarwilayah yang saling menguntungkan.
2.2.2.
Dinamika Antarsektor dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keunggulan Sektoral Wilayah Verner dan Fiess (2001), dalam studi atau kajian yang dilakukannya
dikatakan peran sektor maupun antarsektor sangat berpengaruh
dalam
92
meningkatkan perekonomian wilayah melalui peningkatan Gross Domestic Product (GDP). Hasil temuannya memperlihatkan
adanya peran antarsektor,
khususnya peran sektor pertanian dimana menurutnya untuk jangka panjang sektor pertanian masih merupakan sektor dominan atau sektor pendorong (prime mover sector) terhadap sektor-sektor lainnya sebagai intermediate goods terlebih sektor industri yang beraktivitas pada suatu wilayah. Berdasarkan hasil studi atau kajian yang mereka lakukan dikatakan bahwa, peran negara harus lebih besar atau kuat untuk tetap mempertahankan sektor-sektor unggulan khususnya sektor pertanian sebagai sektor yang harus ditingkatkan nilai tambahnya (value added) sehingga mampu bersaing atau meningkatkan perekonomian atau pertumbuhan negara tersebut. Hasil kajian ini menunjukkan besarnya perkembangan sektor industri perminyakan dan sektor ini sendiri merupakan sektor yang banyak terserap dalam mendorong perkembangan sektor lainnya. Sektor-sektor yang merupakan sektor unggulan dapat ditemui pada kajian analisisnya dengan melihat dinamika antarsektor, dimana sektor pertanian masih sangat bergantung dari sektor-sektor lainnya seperti sektor industri namun sektor industri itu sendiri masih sangat bergantung pada besarnya sumbangan atau peran serta dari sektor industri perminyakan yang lebih banyak menyumbangkan devisa bagi negara ini. Peran sektor industri perminyakan masih diharapkan sebagai penggerak utama bagi sektor-sektor lainnya, sehingga pertumbuhan ekonomi yang diharapkan tetap terjaga atau meningkat. Studi-studi
lain yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu
seperti yang dilakukan oleh Steven dan kawan-kawan, lebih banyak menyoroti
93
kajiannya pada pertumbuhan ekonomi yang terjadi di belahan dunia ketiga. Kajian mereka kali ini melihat tentang besarnya pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan cukup tinggi dan sangat cepat pergerakkannya di belahan benua Asia. Menurut Steven (2001), kunci keberhasilan dari pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat atau besar, diperoleh dari adanya konsep pembagunan yang diprioritaskan sesuai dengan kapasitas atau kemampuan negara. Keuntungan geografis dan karakteristik struktural perekonomian yang begitu besar serta sedikitnya pengangguran yang terjadi akibat dari adanya perubahan perekonomian ke arah yang lebih baik, sehingga laju pertumbuhan ekonomi dapat bertumbuh dengan baik. Disamping itu adanya berbagai strategi kebijakan ekonomi yang ada di negara-negara Asia yang memperlihatkan suasana investasi yang lebih kondusif dari beberapa waktu yang lampau. Selain memperhatikan aspek potensi, karakteristik dan kapasitas wilayah kajian ini di arahkan dengan menyimpulkan besarnya, peranan sektor potensial untuk dikembangkan dengan cepat tanpa mengabaikan peran kebijakan-kebijakan di bidang keunggulan sektoralnya untuk dapat meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi wilayah pada masa-masa yang akan datang. Studi yang dilakukan Gaurav dan Marthin (2002), tentang estimasi tingkat kemiskinan menunjukkan adanya penurunan angka kemiskinan rata-rata 1 persen per tahun. Kajian yang dilakukan memperlihatkan bahwa, perlu adanya penekanan pada faktor keseimbangan dari berbagai aspek yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi. Tentang besarnya peran sektor pertanian
yang sangat penting
94
digunakan sebagai salah satu ukuran untuk mengukur keberhasilan mengatasi tingkat kemiskinan yang terjadi selain pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Bila dilihat dari letak atau kedudukan geografis atau ruang wilayahnya (spatial) dan perkembangan dari sektor-sektor unggulan atau potensial maka ada ketidakseimbangan
yang
terjadi diantara sektor-sektor
tersebut. Studi ini
menunjukkan sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian mengalami ketimpangan yang cukup mendasar. Bila diperkirakan pertumbuhan ekonomi secara umum meningkat kemiskinan
berdasarkan
tingkat
namun berdasarkan tingkat
tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah cukup mempengaruhi
terhadap tingkat kemiskinan yang tetap tinggi. Hasil kajian selanjutnya menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi bersumber dari sektor-sektor yang bukan pertanian, studi ini juga memperlihatkan bahwa, tingkat pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan karena besarnya tingkat kemiskinan yang ada akibat dari timpangnya pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor bukan pertanian. Kajian ini memperlihatkan sektor pertanian
masih memegang peran
penting disamping berperannya faktor spatial atau geografis wilayah dan sebagai faktor yang cukup besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi adalah lemahnya pemberdayaan dan peran sumberdaya manusia di wilayah perkotaan maupun perdesaan. Dengan demikian sektor pertanian yang merupakan leading sector masih berperan atau berpengaruh dalam meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi India walaupun tidak setinggi seperti yang diharapkan yakni diatas laju pertumbuhan tingkat kemiskinan. Oleh karena itu Gaurav dan Martin merekomendasikan bahwa, sektor pertanian masih tetap merupakan sektor yang
95
berpengaruh besar dalam mengurangi tingkat kemiskinan yang semakin membengkak dan sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi wilayah. Sehingga sektor pertanian tidak dipandang lagi sebagai sektor inferior tetapi sebagai sektor yang cukup berpengaruh terhadap perkembangan sektor lainnya. Belajar dari krisis pangan saat ini yang dialami hampir semua negara, menjadikan Indonesia perlu memacu atau mendorong perkembangan ekonomi wilayah berbasis kapasitas dan potensi lokal wilayah dengan mengedepankan keunggulan sektoralnya.
2.2.3. Perubahan Struktur Ekonomi dan Kebijakan Strategi Pembangunan Ekonomi Antarwilayah Berbasis Potensi Lokal Wilayah Review yang dilakukan oleh Lardy (1999), pada laju pertumbuhan ekonomi China, sejak tahun 1970 memperlihatkan sistem ekonomi pasarnya dari era komunis sampai era reformasi menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan dalam pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik. Perubahan ini menurut Lardy diakibatkan adanya sistem ekonomi pasar yang terus mengalami perubahan Hasil survey yang diambil dari rata-rata pertumbuhan aktual dan sumber-sumber pertumbuhan dengan beberapa spekulasi yang dilakukan menunjukkan pemerintah ingin tetap mempertahankan laju pertumbuhan yang semakin tinnggi menuju pada tingkat overheating. Perkiraan perubahan kebijakan yang dilakukan oleh negara tersebut
pada
awalnya
hanya
dengan
memperkirakan
pengaruh
dari
meningkatnya pertumbuhan output industri baru. Jefferson (1992), dalam kajian tentang berkembangnya industri-industri baru dengan cepat dan memperluas daerah pemasarannya. Perkembangan industriindustri tersebut sangat mendukung percepatan laju pertumbuhan di sektor
96
elektronik, komunikasi sekitar 1.4 persen sampai 7.6 persen. Di sisi lain oleh Lardy (1999), dikatakan selain industri baru di sektor industri elektronik menurutnya, sektor pertanian yang dikembangkan berdasarkan keunggulankeunggulan wilayah (local spesific) mampu meningkatkan produksi komoditinya dengan kualitas yang semakin baik. Dengan demikian oleh Jefferson dikatakan bahwa sektor pertanian dengan spesifikasi yang semakin baik mulai menguasai pasar impor negara lain karena adanya inovasi di sektor tersebut. Selain itu pengembangan sektor pertanian yang dikembangkan disesuaikan dengan kapasitas atau kondisi kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari wilayah-wilayah tersebut. Hasil kajian yang di lakukan akhirnya memperlihatkan peran inovasi dan ketergantungan pada wilayah pengembangan sesuai dengan kapasitasnya sehingga turut mempengaruhi laju pertumbuhan negara tersebut, selain tabungan masyarakat yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi dari ketiga sektor ini yaitu sektor pertanian, industri baru dan angkutan pada akhirnya diharapkan dapat merangsang pertumbuhan sektor-sektor ekonomi lain
yang
masih perlu dipacu atau di dorong perkembangannya. Kajian lain yang dilakukan Akita dan Kataoka (2002), memperlihatkan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Perubahan dalam kebijakan pemerintah ini yang menjadi fokus utama terhadap penciptaan kondisi yang lebih kondusif untuk menghasilkan pusat pertumbuhan di masing-masing wilayah. Studi yang dilakukan Akita dan Kataoka memakai tiga wilayah untuk proses pengembangan analisisnya. Hasil studi dari ketiga wilayah kajian tersebut memperlihatkan hasil
97
seperti banyaknya kebijakan
pengembangan wilayah khususnya untuk ketiga
wilayah kajian didasarkan pada beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini peran pemerintah pusat lebih dominan di dalam membuat berbagai kebijakan wilayah dengan menyediakan berbagai fasilitas pelayanan di ketiga wilayah tersebut. Kebijakan pemerintah tersebut
sangat mempengaruhi masing-masing
wilayah dengan karakteristik atau potensi wilayah yang heterogen. Ada empat faktor yang sangat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yaitu: 1.
Terjadinya perubahan permintaaan akhir (final demands) seperti, pengeluaran konsumsi pribadi maupun publik di ketiga wilayah kajian karena adanya fasilitas pelayanan yang semakin baik dari ketiga wilayah yang diteliti.
2. Adanya perubahan pada koofisient Input-Output 3. Adanya perubahan ekspor diantara ketiga wilayah kajian yakni secara regional, maupun internasional 4. Impor hanya sebagai bagian substitusi atau pengganti komoditi yang belum dapat dipenuhi oleh ketiga wilayah tersebut. Secara nyata studi atau kajian yang dilakukan oleh Akita dan Kataoka menunjukkan bahwa, keterhubungan antarwilayah yakni wilayah Kyushu, Kanto dan wilayah peristirahatan di dekat wilayah Kyushu (interregional) sangat mempengaruhi industrial linkages dengan banyak faktor yang dipengaruhinya seperti meningkatnya volume perdagangan, kunjungan wisatawan domestik maupun luar negeri sehingga secara signifikan turut meningkatkan permintaan
98
akan penginapan sektor perdagangan, hotel dan restoran di wilayah-wilayah tersebut. Di sisi lain adanya perubahan kebijakan pemerintah dengan menyediakan fasilitas pelayanan sehingga turut mempengaruhi aliran hasil produksi dari dan ke wilayah lainnya. Setiap wilayah masih memerlukan sumberdaya manusia, pengembangan dan penelitian serta pemasaran yang didukung dengan kemampuan ketersediaan pusat pengembangan dengan fasilitasnya sehingga dapat mempercepat pengembangan industri baru dan sektor-sektor pendukung lainnya. Sektor-sektor pendukung lainnya diluar SDM, R&D serta pemasaran diharapkan mampu bersaing diantara sektor-sektor itu sendiri sehingga mampu bersaing dengan wilayah lain untuk menghasilkan komoditi yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Amir dan Nazara (2005), bertujuan untuk menganalisis sektor-sektor unggulan (key sector) terhadap aktivitas perekonomian wilayah di Provinsi Jawa Timur. Kajian-kajian yang dilakukannya untuk mengidentifikasi perubahan struktur perekonomian pada periode yang sama dengan mempergunakan analisis input-output. Kajian Amir dan Nazara mau memperlihatkan apakah terjadi keterkaitan (linkages) antara satu sektor dengan sektor lainnya (intersectoral) perekonomian dan angka penggandanya (multiplier effect). Provinsi Jawa Timur dipilih sebagai daerah kajian karena dianggap dapat mewakili beberapa wilayah yang ada di pulau Jawa. Berbagai macam indikator dipilih untuk kajian di Jawa Timur. Indikator di daerah ini memiliki beberapa kelebihan seperti penduduknya merupakan ketiga terbesar di Indonesia, tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi, terdiri dari 29 kabupaten, 8 kota dan 2 kota administratif.
99
Hasil kajian yang dilakukan memperlihatkan bahwa, telah terjadi pergeseran struktur perekonomian terhadap beberapa sektor unggulan dan angka pengganda sektoral. Sumbangan atau peran sektor
industri terutama industri
makanan, minuman dan tembakau sangat dominan dari sisi besaran outputnya serta memiliki angka pengganda yang cukup tinggi dari sektor lainnya terutama sektor pertanian non tembakau yang selama ini menjadi sektor unggulan Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Amir dan Nazara (2005), menunujukkan bahwa dalam kurun waktu 1994 – 2000 telah terjadi perubahan sektor ekonomi wilayah yang mengindikasi adanya pengaruh perubahan sektoral terhadap perekonomian atau perubahan peranan sektor-sektor penting bagi perekonomian Jawa Timur sejak Tahun 1994-2000. Namun disisi lain pengaruh perubahan struktur perekonomiannya masih terlalu kecil tetapi hal tersebut turut mempengaruhi kontribusi output sektor ekonomi, perubahan sektor unggulan dan keterkaitan antarsektor wilayahnya. Selain terjadi perubahan struktur perekonomian, diharapkan titik berat perhatian pemerintah tidak mengabaikan begitu saja peran dari sektor-sektor unggulan wilayah seperti sektor pertanian. Kajian yang dilakukan memperlihatkan sektor perdagangan dan pertanian merupakan sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dengan sangat besar. Untuk itu kedua sektor tersebut harus menjadi acuan atau kajian dengan memanfaatkan ketersediaan fasilitas pelayanan di wilayah Jawa Timur karena kemampuan fasilitas pelayanan semakin lengkap atau tersedia di wilayahnya.
BAB III. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka
pemikiran
berdasarkan
teori
yang
digunakan
dapat
menjelaskan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Berbagai kajian atau teoriteori pengembangan wilayah secara umum menggambarkan adanya perbedaan kebijakan pembangunan antara wilayah/negara daratan (continental/landlock state)
dengan
wilayah/negara
kepulauan
(archipelago/archipegic
state).
Pendekatan analisis pengembangan wilayah kepulauan seperti yang ingin diperlihatkan dalam penelitian ini adalah, untuk mengidentifikasi sektor-sektor unggulan wilayah yang didukung dengan pengembangan kemampuan fasilitas pendukung pada pusat-pusat pengembangan (kabupaten/kota). Arah pemikiran penelitian akan melihat sektor-sektor unggulan wilayah di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan berbasis bahari/maritim dapat menjadikan pusat-pusat pengembangan wilayahnya dalam menyediakan fasilitas pendukung sehingga dapat berperan sebagai pusat-pusat pengembangan antarwilayah di wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Kebijakan pembangunan selama ini belum memperlihatkan arah dan strategi kebijakan pembangunan yang berbasis pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan. Penerapan teori pembangunan wilayah kepulauan seharusnya terpusat pada penentuan sektor-sektor unggulan yang berbasis potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Untuk itu tujuan utama dari penelitian ini bagi pemerintah daerah yaitu, bila ingin mengembangkan wilayah kepulauan pemerintah daerah perlu mengidentifikasi dan menentukan sektorsektor apa saja yang merupakan sektor unggulan dari wilayahnya.
102
Kebijakan atau arah dan strategi pembangunan wilayah Provinsi Maluku selama ini sebaiknya diarahkan guna menemukenali serta menentukan sektorsektor unggulan (key sector) yang menciptakan keunggulan sektoral wilayah dan menciptakan pusat pertumbuhan baru (new growth pole) berbasis pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah. Keunggulan sektor berbasis potensi lokal harus memiliki konektivitas atau keterkaitan antarsektor baik dari sisi output, nilai tambah bruto, multiplier effek dan linkages intersectoral diantara sektor-sektor yang diamati dan fasilitas pendukung wilayahnya. Berdasarkan pemahaman di atas maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengembangan ekonomi wilayah kepulauan melalui pendekatan multisektoral berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah. Sesuai dengan pendekatan tersebut perkembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku perlu mengidentifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan (key sector) berbasis bahari atau maritim dengan potensi lokalnya dan sektor-sektor yang dapat dipacu perkembangannnya sebagai sektor pendorong (prime/leading sector) terhadap sektor lainnya. Pemikiran penelitian ini didasari dari suatu pemahaman dengan melihat pengembangan wilayah di Indonesia yang lebih didasarkan pada paradigma pembangunan wilayah daratan (continental) hal ini dapat di lihat dari rendahnya peran sektor angkutan air dan jasa serta sektor berbasis bahari/maritim di hampir seluruh wilayah kepulauan. Dengan demikian arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang tidak berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific)
wilayah
akan
pengembangan wilayah.
memperlemah
dan
memperlambat
pusat-pusat
103
Oleh sebab itu arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang berbasis pada potensi lokal (local spesific) akan menciptakan kekuatan ekonomi melalui sektor-sektor unggulan (key sector) dan ketersediaaan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat pengembangan. Kekuatan ekonomi wilayah akhirnya mampu mendorong, mempercepat penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) yang tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan atau satu pusat pengembangan saja. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran didalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa pendekatan yang dapat dilihat pada Gambar 2. Kerangka pemikiran yang terbentuk dalam penelitian ini adalah : 1. Adanya
perubahan
paradigma
pembangunan
wilayah
dari
konsep
wilayah/negara daratan (continental/landlockstate) ke konsep wilayah/negara kepulauan (archipelagoarchipelagicstate) dengan
karakteristik wilayah
kepuluan yang berbasis pada local spesific bahari/maritim. 2. Pengembangan sektor-sektor unggulan (key sector) wilayah kepulauan (archipelago) dengan keunggulan potensi lokal (local spesific) bahari/maritim diharapkan mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) atau pusat-pusat pengembangan dengan memanfaatkan kemampuan fasilitas pelayanan di pusat pengembangan sehingga
ketergantungan
antarwilayah pada wilayah kepulauan akan saling menguntungkan (wilayah generatif). Untuk itu perlu dilakukan dua model pendekatan pembangunan secara bersamaan yaitu melalui pendekatan sektoral (I-O) dan pendekatan regional (Skalogram).
104
3. Analisis skalogram merupakan salah satu analisis yang digunakan untuk menilai kemampuan pusat-pusat pengembangan wilayah dalam rangka mendukung aktivitas ekonomi dan pelayanan sosial di wilayahnya. Pendekatan regional perlu dilakukan sebagai bagian dari analisis arah dan strategi
kebijakan
pembangunan
pengembangan
fasilitas
kemampuan
pelayanan wilayah melalui analisis hirarki pusat-pusat pengembangan. Identifikasi dan menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) dalam struktur ekonomi wilayah perlu didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan sehingga sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis karakteristik atau potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan bahari/maritim dapat memanfaatkan ketersediaan fasilitas di pusat-pusat pengembangan tersebut. 4. Analisis Input-Output (I-O) merupakan
salah satu analisis pendekatan
sektoral dan digunakan untuk menganalisis sektor-sektor unggulan wilayah baik dari sisi struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effek dan intersectoral linkages serta arah dan strategi kebijakan pengembangan perekonomian wilayah. Dengan kata lain analisis (I-O) mampu memberikan gambaran
secara rinci mengenai
suatu perekonomian wilayah
dengan
mengkuantifisikan kebijakan ekonomi wilayah yang diperlihatkan melalui peningkatan struktur output, nilai tambah bruto, multiplier efek (multiplier effect) dan ketergantungan/keterkaitan antarsektor (interdependency/linkages intersector). Selanjutnya dari analisis ini dapat dijelaskan sektor-sektor yang memiliki keunggulan sektoral terhadap perekonomian wilayah khususnya wilayah kepulauan yang berbasis bahari/maritim.
Wilayah Kepulauan Provinsi
Undang – Undang Ottonomi Daerah
Maluku
Kapasitas dan Potensi lokal Wilayah Kepulauan
Pemanfaatan Spasial Wilayah Analisis Ekonomi Wilayah
Pendekatan Regional Pendekatan Sektoral
Analisis Skalogram
Fasilitas Pendukung Sektor Ekonomi
Fasilitas Pendukung Sektor Transportasi dan Komunikasi
Analisis Input – Output (I-O)
Fasilitas Pendukung Sektor Jasa
Terintegrasinya Pusat Pengembangan Wilayah dalam Menyediakan Fasilitas Pendukung Pengembangan Wilayah dengan Sektor unggulan Wilayah
Analisis Struktur Output dan NTB
Analisis Multiplier Effect
Analisis Parsial Sektor Unggulan
Analisis Intersectoral Linkages
Analisis Konektivitas Penentuan Sektor Unggulan
Simulasi Output Final Demand Impact
Arah dan Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kepulauan Berbasis Local Spesific Bahari/Maritim
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) Pada Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku
105
106
5. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi mengenai arah dan strategi kebijakan pengembangan pembangunan perekonomian wilayah kepulauan di Provinsi Maluku yang berbasis local spesific bahari/maritim. Di sisi lain penelitian ini
mau menunjukkan peran wilayah
pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku dalam fasilitas
di pusat-pusat menyediakan
pelayanan yang lebih lengkap bila ingin mengembangkan peran
pusat-pusat pengembangan wilayahnya kepulauan (archipelago).
yang berkarakteristik wilayah
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Maluku karena lokasi penelitian menggambarkan tentang wilayah kepulauan dengan kapasitas atau potensi lokal wilayah (local spesific) yang berbeda satu dengan lainnya (heterogen). Penetapan lokasi penelitian di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan membutuhkan pemahaman
dari
pembuat
atau
pengambil
kebijakan
bahwa
konsep
pengembangan wilayah kepulauan seharusnya menjadi skala prioritas dalam penentuan sektor-sektor unggulan/keunggulan sektoral sesuai dengan kapasitas atau potensi lokal wilayahnya (local spesific/wisdom). Provinsi Maluku terdiri dari kabupaten/kota sehingga perlu untuk melakukan analisis terhadap wilayah penelitian dengan analisis (I-O), sebagai pusat-pusat pengembangan di Provinsi Maluku maka dilakukan analisis skalogram terhadap kabupaten/kota. Bagi lokasi kabupaten/kota dilakukan penelitian terhadap kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan pada semua kabupaten/kota termasuk kabupaten yang baru dimekarkan setelah otonomi daerah sejak Tahun 2000 – 2002
dan wilayah
pemekaran baru di atas Tahun 2003 tidak dilakukan penelitian, hal ini berkaitan dengan ketersediaan data pada wilayah yang baru dimekarkan di atas Tahun 2000. Waktu penelitian dilakukan sejak Tahun 2006 sampai akhir 2007.
4.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua data yang berupa data sekunder yaitu, Tabel Input-Output Provinsi Maluku Tahun 2007, PDRB Provinsi Maluku, PDRB kabupaten/kota, penyediaan fasilitas yang ada di
108
kabupaten/kota dan beberapa data yang dianggap berkaitan dengan penelitian ini. Data-data yang dikumpulkan diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi Maluku dan kabupaten/kota serta instansi terkait lainnya yang ada kaitan dengan penelitian ini. Tabel Input-Output Provinsi Maluku Tahun 2007 yang diterbitkan oleh BPS Provinsi Maluku, jenis transaksi dalam model Input-Output Provinsi Maluku Tahun 2007 adalah transaksi atas dasar harga produsen dan tersusun dalam klasifikasi 60 sektor. Untuk analisis Skalogram model Guttman digunakan data kemampuan fasilitas pelayanan sebanyak 30 fasilitas pelayanan di kabupaten/kota
sebagai
pusat
pengembangan
wilayah
seperti:
fasilitas
pelayanan/pendukung wilayah di sektor ekonomi, sektor transportasi dan komunikasi serta fasilitas pelayanan di sektor jasa (pendidikan dan pelayanan sosial lainnya).
4.3. Metode Analisis Data Permasalahan
dari
penelitian
ini
dianalisis
dengan
pendekatan
multisektoral, dimana intinya semua wilayah memeiliki kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya. Pendekatan multisektoral dilakukan dengan dua pendekatan yaitu: analisis dari sudut pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral lebih menitikberatkan pembangunan ekonomi pada sektor-sektor
kegiatan ekonomi
yang ada di wilayah tersebut dan kurang
memperhatikan aspek spatial secara keseluruhan (less spatial). Pendekatan regional lebih menitikberatkan pendekatan pembangunan ekonominya pada pemanfaatan spatial antar ruang wilayah yang berbeda dan dapat menghubungkan berbagai interaksi yang terjadi didalam setiap aktivitas atau kegiatan ekonomi di
109
wilayah tersebut. Di sisi lain pendekatan sektoral dalam penentuan keunggulan sektoral memiliki integrasi yang cukup kuat dengan kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan fasilitas pelayanan diwilayahnya (pusat pengembangan). Dengan demikian penelitian ini berusaha untuk menjawab berbagai
kegiatan
ekonomi wilayah tidak hanya pada keseragaman wilayah dengan aktivitasnya tetapi juga pada keberanekaragaman wilayah dengan berbagai pendekatan ekonomi yang dilakukan pada wilayah yang diteliti. Adapun pendekatan penelitian yang ingin dicapai dalam metode analisis meliputi tujuan, teknik analisis, informasi dan output serta berbagai sumber data seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Matriks Pendekatan Penelitian No I
Tujuan
1.
Menganalisis hirarki pusat-pusat fasilitas pendukung pengembangan wilayah pada pusat-pusat pengembangan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku
Teknik Analisis Informasi dan Output Pendekatan Regional 1. Analisis Skalogram adalah sebuah teknik analisis deskriptif yang dapat dijadikan sebagai analisis kuantitatif dan kualitatift untuk melihat adanya peningkatan peran pusat pengembangan wilayah sebagai wilayah dominan yang dapat di jadikan pusat pengembangan sektor unggulan wilayah
1. Fasilitas Pendukung Sektor Ekonomi di kabupaten/kota yaitu: Bank Pembangunan Daerah Bank Swasta Money Changger Pusat Perbelanjaan (Supermarket/Plaz a) Pasar Induk Pasar Tradisional 2. Fasilitas Pendukung Transportasi dan Komunikasi di kabupaten/kota yaitu: Bandara Kls,1/2 Pelabuhan Bongkar Muat/Pelra, Dermaga Ferry Tempat Pelabuhan Ikan Terminal Bus, Angkot Stasiun RRI, swasta Stasiun Televisi,
Sumber 1.BPS 2.Pemda 3.Instansi terkait 4.Data survey
110
Pemnacar Televisi Swasta 3. Fasilitas Pendidikan dan Pelayanan Sosial lainnya yaitu: Hotel Berbintang, non Bintang Bioskop Tempat Hiburan Malam, Rekreasi Indoor dan Outdoor. PTN, PTS RSU PDAM Penerbit Surat Kabar Jasa Telekomunikasi
II
Pendekatan Sektoral
1.
Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan pada tingkat struktur perekonomian wilayah provinsi Maluku
1. Updating Tabel InputOutput (I-O) tahun 2009.
2.
Menganalisis sektorsektor unggulan pada tingkat struktur perekonomian wilayah provinsi Maluku
2. Analisis tabel InputOutput (I-O)
III
1.BPS 2.Pemda 3.Instansi terkait 4.Data survey
Penentuan Keunggulan Sektoral, Arah dan Strategi Kebijakan Pengembangan Keunggulan Sektoral Wilayah Provinsi
1.
Peningkatan peran wilayah kabupaten/kota sebagai pusat pengembangan antarwilayah di wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
2.
Merumuskan pilihan model arah dan strategi kebijakan pengembangan keunggulan sektoral wilayah sesuai potensi lokal (local spesific)
1. Analsis Deskriptif, I.Hasil analisis Skalogram terdiri dari hasil tentang penilaian analisis Skalogram kemampuan fasilitas dan Input-Output pelayanan pusat – sebagai arah dan pusat pengembangan strategi pilihan yang wilayah di Provinsi ingin dicapai oleh Maluku pemerintah daerah dalam II.Hasil analisis Inputmengembangkan Output provinsi keunggulan sektoral Maluku dengan kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat pengembangan wilayah.
1.Data analisis Skalogram dan InputOutput
Sumber: BPS Provinsi Maluku (2000-2009), BPS Kabupaten/Kota (2000-2009), Instansi Terkait dan Dirjen Cipta Karya (1992).
111
4.3.1. Analisis Pendekatan Regional Pendekatan regional merupakan salah satu alat analisis penelitian yang dilakukan di dalam studi pengembangan ekonomi wilayah. Pendekatan regional yang dipakai untuk menjawab beberapa pertanyaan atau permasalahan dalam penelitian ini adalah analisis penilaian kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di pusat pengembangan wilayah dengan mempergunakan landasan teori dan teknik analisis skalogram.
4.3.1.1. Analisis Skalogram Analisis skalogram merupakan salah satu teknik analisis yang mengacu pada azas kemampuan fasilitas pelayanan suatu wilayah (pusat pertumbuhan/ pengembangan) wilayah tertentu. Analisis ini digunakan
untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan tentang hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku seperti kemampuan fasilitas pelayanan di kabupaten/kota (pusat-pusat pengembangan). Kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah merupakan salah satu indikator bahwa suatu pusat pengembangan mampu mengembangkan atau meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayah sehingga pada gilirannya akan mampu meningkatkan daya saing sektor unggulan maupun wilayah itu sendiri. Untuk mendapatkan gambaran keterkaitan antara sektor unggulan wilayah dengan pengaruh ketersediaan atau kemampuan fasilitas pelayanan wilayah maka analisis yang diperlukan atau perlu ditambahkan dalam penelitian ini adalah metode analisis skalogram. Informasi dan data yang dibutuhkan dilihat pada Tabel 5.
untuk analisis skalogram
dapat
112
Tabel 5. Informasi dan Data Untuk Analisis Skalogram INFORMASI METODE ANALISIS Bagaimana struktur atau hirarki pusat-pusat pengembangan di wilayah kepulauan Provinsi Skalogram Maluku Fungsi-fungsi fasilitas pelayanan apa saja yang seharusnya ada tetapi tidak terdapat di Skalogram pusat-pusat pengembangan Sumber: BPS Provinsi Maluku (2000-2009), BPS Kabupaten/Kota (2000-2009), Instansi Terkait dan Dirjen Cipta Karya PU (1992).
Metode analisis skalogram biasanya digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar sebagai metode pendukung tentang bagaimana pola atau fungsi fasilitas pelayanan yang terdapat pada berbagai hiraki atau tingkat pusat pengembangan wilayah dan bagaimana pola atau fungsi fasilitas pelayanan tersebut dapat dan mampu melayani atau memenuhi kebutuhan aktivitas produksi atau sosial ekonomi yang dilakukan di pusat-pusat pengembangan wilayah. Penyusunan skalogram
dilakukan melalui beberapa tahap sebagai
berikut: 1. Membuat sebuah tabel berdasarkan jumlah satuan pusat
pengembangan
(kabupaten/kota) pada kolom baris dan jumlah fasilitas pelayanan berdasarkan informasi yang dibutuhkan yang terdapat di wilayah atau pusat pengembangan yang diteliti. 2. Setiap sel di isi dengan tanda (+) atau (X) bila sel tersebut mewakili fungsi fasilitas pelayanan yang ada di wilayah tersebut atau tanda (-) untuk sel yang mewakili fungsi fasilitas yang tidak ada di wilayah tersebut. 3. Atur kembali
letak setiap fungsi
pelayanan dan wilayah atau pusat
pengembangan berdasarkan fungsi pelayanan yang paling banyak terdapat di pusat-pusat pengembangan dan letakkan pada kolom paling kiri.
113
Contoh pembuatan tabel skalogram yang mewakili suatu wilayah tertentu sebagai berikut: Tabel 6. Skalogram Pada Pusat Pengembangan Wilayah di Provinsi ”X” FASILITAS PELAYANAN WILAYAH SATUAN WILAYAH 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
11
Kabupaten A
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Kabupaten B
+
-
+
+
-
+
+
+
+
-
-
Kabupaten C
+
+
+
-
-
-
+
+
+
-
-
Kabupaten D
-
-
+
+
-
-
+
-
+
-
-
Kabupaten E
-
+
+
+
-
-
-
-
-
-
-
Kabupaten F
-
+
+
-
-
-
+
-
+
-
-
Kabupaten G
+
+
-
-
-
-
+
+
+
-
-
Kabupaten H
+
-
+
-
-
-
+
+
+
-
-
Sumber: Glasson (1978), Dirjen Cipta Karya PU (1992), dan disusun kembali oleh Peneliti Sebagai gambaran untuk menyusun skalogram perlu menyiapkan datadata yang berhubungan dengan kemampuan fasilitas pelayanan di wilayah pengamatan. Hal ini berhubungan dengan jumlah fungsi pelayanan yang bervariasi antarwilayah serta tergantung justifikasi fungsi pelayanan apa yang paling penting mendukung penelitian yang ingin di capai oleh peneliti. Selanjutnya hasil skalogram harus memenuhi standar koefisien reprodusibilitas (Kr) dan koefisien skalabilitas (Ks). Skalogram dapat dipakai sebagai bahan analisis bila (Kr) > 0,90 dan (Ks) > 0,65 dengan demikian skalogram dapat tersebut dapat diterima (Dirjen Cipta Karya PU, 1992).
4.3.2. Analisis Pendekatan Sektoral Pendekatan sektoral sering dibedakan berdasarkan kelompok kegiatan pembangunan ekonomi dan berdasarkan administrasi wilayah yang menangani
114
sektor-sektor ekonomi wilayah yang diteliti. Dalam pengelompokkan sektor ekonomi tersebut
keseragaman
kegiatan
ekonomi
serta
administrasi
pemerintahan sering berjalan bersamaan. Untuk itu dalam penelitian ini model pendekatan analisis sektoral sebagai salah satu model dengan mempergunakan metode analisis Input-Output (I-O) diharapkan dapat menjawab permasalahan pada penelitian ini.
4.3.2.1. Analisis Input-Output (I-O) Analisis (I-O) merupakan salah satu model analisis perkembangan perekonomian wilayah. Dengan demikian berbagai permasalahan perekonomian wilayah
dapat
dilakukan
dengan
mempergunakan
model
analisis
ini.
Permasalahan perkembangan perekonomian wilayah yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun dapat dilihat dari adanya interaksi antarsektor sehingga perlu dilakukan pendekatan
secara general equilibrium seperti model input-ouput
(I-O) (Miller and Blair, 1985). Proses penyusunan tabel (I-O) dan berbagai analisis ekonomi yang menggunakan model (I-O) meliputi beberapa variabel seperti: 1. Variabel output 2. Variabel input antara 3. Variabel input primer 4. Variabel permintaan akhir 5. Variabel impor Perumusan konsep dan defenisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan hasil yang diperoleh dari analisis Input-Output (I-O) dengan mempergunakan program GRIMP seperti:
115
I.
Nilai Tambah Bruto Dari aspek nilai tambah bruto (NTB) ini dapat diketahui kondisi
perekonomian Provinsi Maluku yang meliputi: a. Besarnya masing-masing komponen yang terkandung di dalam NTB tersebut yaitu upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung. b. Tingkat efisiensi ekonomi daerah, baik terhadap penggunaan faktor produksi yang tersedia dalam menghasilkan output total daerah maupun terhadap kemampuan dalam menciptakan besarnya nilai tambah bruto itu sendiri.
II. Tingkat Ketergantungan Faktor Input Tingkat ketergantungan faktor input (TKFI) dimaksudkan sebagai kapasitas penggunaan faktor input suatu sektor untuk menghasilkan output. Semakin tinggi nilai TKFI suatu sektor, maka hal demikian menunjukkan semakin tinggi ketergantungan pada faktor input oleh sektor tersebut untuk menghasilkan output. Di dalam Tabel Input-Output terdapat dua jenis Input, yaitu Input Antara dan Input Primer. Input Antara diartikan sebagai segenap faktor input atau biaya, baik antara lain bentuk barang maupun jasa bagi segenap sektor perekenomian yang penggunaannya adalah secara langsung pakai dan langsung habis. Input Primer diartikan sebagai input atau biaya yang timbul sebagai akibat penggunaan faktor produksi dalam suatu kegiatan ekonomi. Faktor produksi di sini terdiri dari tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Wujud dari input primer adalah upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan barang modal, dan pajak tak langsung. Dimana kedua input tersebut tidak dapat dipisahkan, maka nilai-nilai koefisien input keduanya dapat digunakan untuk menganalisis tingkat efisiensi teknis
116
produksi daerah. Asumsi ini didasarkan pada dalil bahwa jumlah koefisien Input Antara dan koefisien Input Primer adalah -1 (Rauf. 2002). Jika nilai kofisien Input Antara lebih besar dari 0.5 maka hal demikian menunjukkan bahwa sektor yang bersangkutan masih mengutamakan ketergantungan pada penggunaan faktor produksi (faktor input produksi) daripada mengutamakan penciptaan NTB atau balas jasa yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Kondisi demikian menunjukkan bahwa kemampuan teknis sektor yang bersangkutan belum efisien. NTB, PA dan TKFI secara simultan dapat dijelaskan melalui analisis Tabel Input-Output, yaitu dengan menganalisis hubungan antara angka transaksi dalam Tabel 3. Pada dasarnya penyusunan tabel Inpul-Oulpul adalah untuk memperlihatkan bagaimana output suatu sektor yang dialokasikan ke sektorsektor lain atau sebaliknya. Untuk itu dalam tabel Input-Output secara horizontal atau menurut baris ditempatkan alokasi output masing-masing sektor ke sektor komponen lainnya dalam Tabel tersebut. Secara vertikal atau menurut koloni ditempatkan susunan input yang memperlihatkan perincian susunan input masingmasing sektor yang berasal dari sektor komponen lainnya. Tabel Transaksi InputOutput sederhana dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Tabel Transaksi Input-Output Sederhana Alokasi Output Permintaan Antar Susunan Input I ... Sektor i XM ... ... …. … Sektor j Xfi ... ... ... Sektor n Xni Input Primer Vj Total Input Xi Sumber: Richardson, 1978
Sektor J Xij ... ... Xs ... Xni V Xi
Perminiaan Total Akhir Output n Xm Xjn
Fi ... Fi
Xi ... Xi
X-nn … xn
Fn F
Xn V X
117
Isian angka menurut koloni menunjukkan Input Antara maupun Input Primer yang disediakan oleh sektor-sektor lain untuk kegiatan produksi sehingga dihasilkan output. Dari Tabel 7 terlihat bahwa sektor i akan menghasilkan output sebesar Xi dan kemudian dialokasikan secara baris sebesar Xi1, Xn dan Xn berturut-turut kepada sektor i, j dan n sebagai permintaan antara serta sebesar Fi untuk memenuhi permintaan akhir. Secara aljabar maka alokasi Output secara keseluruhan sektor dapat dirumuskan sebagai berikut: X 11 X 12 ... X 1n F1 X 1 X 21 X 22 ... X 2 n Fi X 2
X 1 X 22 ... X 2 n Fi X n
..................................................... (1)
Rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi: n
X i 1
ij
Fi X i ; untuk i 1,2,3
dan seterusnya ................................... (2)
dimana:
X ij Fi
= Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j = Permintaan akhir (PA) sektor i
Dengan mengikuti cara membaca sepcrti demikian maka persamaan aljabar secara kolom dapat dirumuskan clalam bentuk persaniaan aljabar sebagai berikut: X 11 X 21 ... X n1 V1 X 1
X 21 X 22 ... X nj Vi X j X 1n X 2 n ... X nn Vn X n
.............................................................. (3)
118
Rumusan aljabar di atas dapat disimbolkan lebih lanjut menjadi: n
X j 1
ij
V j X j ; untuk j 1,2,3 dan seterusnya ................................ (4)
dimana:
X ij Vj
= Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input produksi sektor j = Input primer (NTB) sektor j
Dari Tabel 7 dapat dianalisis mengenai koefisien input antara dan koefisien input primer. Koefisien input menggambarkan jumlah unit input dari masing-masing sektor menurut kolom yang dibutuhkan oleh sektor tersebut untuk menghasilkan produksi sebesar satu unit. Koefisien input dibedakan atas koefisien input antara (a,j) dan koefisien input primer (Vj). Untuk memperoleh kedua koefisien input tersebut digunakan rumus sebagai berikut: a ij
vij
xij X i untuk i dan j = 1,2, …, n, ........................................................ (5)
Vij X
j
untuk i dan j = 1,2, …, n, ....................................................... (6)
dimana : xij
Xj Vj aij
= Jumlah output sektor i yang digunkan sebagai input oleh sektor j untuk menghasilkan output sebesar Xi = Total input sektor j yang sebsarnya adalah sama dengan total output (Xi) = Total input primer (NTB) untuk menghasilkan total input (Xj) = Jumlah unit putput sektor i yang digunakan sebagai input antara sektor j untuk menghasilkan output sektor i
119
vij
= Jumlah unit input primer yang dibutuhkan oleh sektor j untuk menghasilkan output sendiri sebesar satu unit menghasilkan output sendiri sebesar satu unit.
III. Keterkaitan ke Depan dan Keterkaitan ke Belakang A. Keterkaitan Langsung ke Depan dan Keterkaitan Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung ke depan menunjukkan akibat suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian output tersebut secara langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke depan, digunakan rumus sebagai berikut: n
Fi
X j 1
ij
Xi
n
a ij j 1
................................................................................ (7)
dimana: Fj
= Keterkaitan langsung ke depan (direct forward linkage)
xij
= Banyaknya output sektor i yang digunakan oleh sektor j
Xi
= Total output sektor i
aij
= Unsur matriks koefisien teknis
Keterkaitan langsung ke belakang menunjukkan akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menggunakan sebagian input antara bagi sektor tersebut secara langsung perunit kenaikan permintaan total. Untuk mengetahui besarnya keterkaitan langsung ke belakang, digunakan rumus sebagai berikut: n
Bj
X i 1
Xj
ij
n
aij i 1
............................................................................... (8)
dimana: Bj = Keterkaitan langsung ke belakang (direct backward linkage)
120
xij = Banyaknya output sektor i yang digunakan oleh scktor j Xj = Total input sektor j aij = Unsur matriks koefisien teknis B. Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung kedepan Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan merupakan alat untuk mengukur akibat dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan .-output bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tak langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengukur besarnya. Kelerkaitan iangsung dan tak hngsung ke depan digunakan rumus sebagai berikut (Langham dan Retzlaff, 1982). n
FLTL i bij j 1
....................................................................................... (9)
dimana: FLTLi = Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke depan bij i)
= Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka
Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang menyatakan akibat
dari suatu sektor tertentu terhadap sektor-sektor yang menyediakan input amtara bagi sektor tersebut baik secara langsung maupun tak langsung per unit kenaikan permintaan total. Untuk mengukur besarnya keterkaitan langsung dan tak langsung ke belakang digunakan rumus sebagai berikut (Langham dan Retzlaff, 1982). n
BLTL j bij i 1
dimana:
..................................................................................... (10)
121
BLTLj
= Keterkaitan langsung dan tidak langsung ke belakang
bij
= Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka
IV. Koefisien Dampak Pengganda A. Pengganda Pendapatan Menurut Miller dan Blair (1985), terdapat empat jenis pengganda pendapatan yaitu: 1. Pengganda pendapatan sederhana 2. Penggandaan pendapatan total 3. Pengganda pendapatan tipe I 4. Pengganda pendapatan tipe II. 1) Pengganda Pendapatan Sederhana dan Total Pengganda pendapatan sederhana (MS) merupakan penjumlahan pengaruh langsung dan tak langsung secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: n
MS j a n 1,i .bij i 1
................................................................................ (11)
dimana: MSj
= Pengganda pendapatan sederhana sektor ke j
bij
= Unsur matriks kebalikan Lcontief terbuka = (I - A)-1
an+1,i
= Koefisien input gaji / upah rumah tangga
Pengganda pendapatan total (Ml) merupakan penjumlahan antara pengaruh
langsung
ditambah
pengaruh
tak
langsung
dan
pengaruh
induksi/imbasan (induce). Selanjutnya untuk menghitung pengganda pendapatan total, terlebih dahulu memasukkan vektor baris upah dan gaji rumah tangga dan vektor kolom konsunisi rumah tangga ke dalam matriks permintaan antara
122
sehingga terdapat matriks baru yang disebut matriks Leontief tertutup. Setelah itu dicari matriks kebalikan Leontief tersebut. yaitu (I - D-1). Secara matematis pengganda pendapatan total dapat dirumuskan sebagai berikut: n
MT j a n 1,i .Dij i 1
.............................................................................. (12)
dimana: MTj
= Penggandaan pendapatan total sektor ke j
an+1,j
= Koefisien input gaji / upah rumah tangga
Dij
= Unsur matriks kebalikan Leontif tertutup
2) Pengganda Pendapatan Tipe I Pengganda Pendapatan Tipe 1 adalah besarnya peningkatan pendapatan pada suatu sektor akibat meningkatnya permintaan akhir output sektor tersebut sebesar satu unit. Artinya apabila permintaan akhir terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar satu rupiah. maka akan meningkatkan pendapatan rurnah tangga yang bekerja pada sektor tersebut sebesar nilai pengganda sektor yang bersangkutan. Pengganda pendapatan tipe I merupakan penjumlahan pengaruh langsang dan tidak langsung dibagi dengan pengaruh langsung yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
MI
pengaruh langsung pengaruh tidak langsung pengaruh langsung
atau secara rnatematis dapat dirumuskan sebagai berikut:
123
n
MI j
a i 1
n 1, j
.bij
a n 1, j
.............................................................................. (13)
dimana: MIj
= Pengganda pendapatan tipe I sektor ke j
bij
= Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka = (I - A)-1
an+i,j = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j 3) Pengganda Pendapatan Tipe II Pengganda Pendapatan Tipe II ini selain menghitung pengaruh langsung dan tak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induce effects). MI
pengaruh langsung pengaruh tidak langsung pengaruh induksi pengaruh langsung
atau secara rnatematis dapat dirumuskan sebagai berikut: n
MII j
a i 1
n 1, j
.Dij
a n 1, j
............................................................................. (14)
dimana: MIIj = Pengganda pendapatan tipe II sektor ke j Dij
= Unsur matriks kebalikan Leontief tertutup = (I - D)-1
an+i,j = Koefisien input gaji/upah rumah tangga sektor j B. Pengganda Tenaga Kerja Pengganda tenaga kerja adalah besarnya kesempatan kerja tersedia pada sektor tersebut sebagai akibat penambahan permintaan akhir dari sektor yang bersangkutan sebesar satu satuan rupiah. 1) Pengganda Tenaga Kerja Tipe I
124
Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe I digunakan rumus sebagai berikut: n
MLI j
w
n 1,i
i 1
.bij
wn 1, j
. wn 1,i
Li Xi
........................................................ (15)
dimana: MLIj = Pengganda tenaga kerja tipe i sektor j W
= Vektor baris koefisien tenaga kerja (orang/satuan rupiah)
W
= [wn+1,1, wn+1,2, ..., wn+1,n]
Wn+i,j = Koefisien tenaga kerja sektor ke i (orang/satuan rupiah) Wn+1,j = Koefisien tenaga kerja sektor ke j (orang/satuan rupiah) Xj
= Total output (satuan rupiah)
Li
= Komponen tenaga kerja sektor ke i
Bjj
= Unsur matriks kebalikan leontief terbuka
2) Pengganda Tenaga Kerja Tipe II Untuk menghitung pengganda tenaga kerja tipe II digunakan rumus sebagai benkut: n
MLII j
w i 1
n 1,i
wn 1, j
.Dij
.......................................................................... (16)
dimana: MLIIj
= Pengganda tenaga kerja sektor j
Wn+_1,i
= Koefisien tenaga kerja sektor ke i (orang/satuan rupiah)
Wn+1,j
= Koefisicn tenaga kerja sektor ke j (orang/satuan rupiah)
dij
= Unsur matriks kebalikan Leontief tertutup
C.
Pengganda Output
1)
Pengganda Output Sederhana
125
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor yang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk menghitung pengganda output sederhana digunakan rumus sebagai berikut: n
MXS j bij i 1
....................................................................................... (17)
dimana: MXSj = Pengganda Output Sederhana sektor. bij
= Unsur matriks kebalikan Leontief terbuka.
2) Pengganda Output Total Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sampai berapa jauh kenaikan permintaan akhir suatu sektor di dalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor yang lain baik secara langsung atau tidak langsung maupun induksi. Untuk mengetahui pcngganda output total digunakan rumus sebagai berikut: n
MXT j Dij i 1
...................................................................................... (18)
dimana: MXTj = Pengganda output sederhana sektor j. Dij
= Unsur matriks kebalikan Leontief tertutup.
V. Dampak Permintaan Akhir (Final Demand Impacts) Melalui permintaan akhir (PA) dapat
diketahui masing-masing
komponen yang terkandung didalamnya yang meliputi: permintaan konsumsi rumah tangga, permintaan konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap, perubahan stok dan ekspor netto. Disamping itu dapat diketahui interaksi antar
126
komponen itu sendiri baik terhadap masing-masing sektor maupun keseluruhan total sektor perekonomian daerah. Berkaitan dengan ekspor netto maka dapat diketahui kemampuan perekonomian daerah dalarn menciptakan nilai surplus ekonomi kegiatan ekspor masing-masing
sektor. Nilai
yang ditunjukkan
oleh komponen ekspor ini,
apabila menunjukkan nilai positif berarti sektor tersebut mampu melakukan kegiatan ekspor. Sebaliknya, apabila nilai tersebut menunjukkan nilai negatif maka sektor tersebut belum mampu melakukan kegiatan ekspor atau dengan kata lain bahwa sektor tersebut masih bergantung pada kegiatan impor.
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PROVINSI MALUKU
5.1. Kondisi Fisik Wilayah Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah kepulauan di Indonesia. Karakteristik wilayah yang heterogen dengan ratusan buah pulau menjadikan provinsi ini berbeda (unik) dari wilayah-wilayah lain. Kondisi alam yang di dominasi lautan seharusnya merupakan kekuatan atau potensi lokal (local spesific) bagi pengembangan wilayah yang berbasis pada kearifan lokalnya.
5.1.1. Letak Geografis Wilayah
Sumber: Bappeda Provinsi Maluku Tahun 2008
Gambar 3. Peta Provinsi Maluku Posisi koordinat wilayah Provinsi Maluku terletak pada: 20 30’ - 90 1240
Lintang Selatan
- 1350 Bujur Timur
128
Berbatasan dengan laut Seram pada bagian Utara, laut Indonesia dan laut Arafuru pada bagian Selatan, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Papua Barat dan bagian Barat berbatasan dengan pulau Sulawesi (Utrecht, 1998). Secara keseluruhan luas wilayahnya adalah seluas 581.376 km2, dengan luas wilayahnya 90 persen merupakan lautan seluas 527.191 km2
dan 10 persen
daratan 54.185 km2. Dengan kondisi lautan yang demikian luasnya maka Provinsi Maluku berpeluang untuk dapat berinteraksi dengan wilayah diluarnya. Titaley (2006) berdasarkan identifikasi citra satelit LAPAN, jumlah keseluruhan pulau-pulau di Provinsi Maluku adalah 1.412 buah pulau. Luas pulau-pulau di provinsi ini, bervariasi antara ≤ 761 km2 sampai 18.625 km2. Pulau dengan luas kurang dari 1 juta ha dikategorikan sebagai pulau kecil menurut
Monk et al. (2000). Dengan kategori pulau seperti itu, maka hanya
pulau Seram yang memiliki luas diatas 1 86 juta ha dan tidak termasuk pulau kecil sedangkan sisanya sebanyak 1.411 buah pulau termasuk kategori pulau-pulau kecil (Nanere, 2006). Secara spesifik pulau-pulau yang ada di wilayah Maluku merupakan pulau-pulau yang mengelompok secara bersama dan memiliki karateristik yang heterogen. Karakter yang saling berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya disebabkan oleh perbedaan aspek geografis, fisik, iklim, sosial, budaya dan etnis serta tahapan perkembangan ekonomi wilayahnya (Sitaniapessy, 2002). Secara administrasi Provinsi Maluku terdiri dari 9 Kabupaten dan 1 Kota yaitu: 1. Kota Ambon 2. Kabupaten Maluku Tengah (Masohi)
129
3. Kabupaten Seram Bagian Barat (Piru) 4. Kabupaten Seram Bagian Timur (Geser) 5. Kabupaten Maluku Tenggara (Tual) 6. Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Saumlaki) 7. Kabupeten Pulau Aru (Dobo) 8. Kabupaten Buru (Namlea) 9. Kabupaten Maluku Tenggara Bagian Selatan (Wetar) 10. Kabupaten Buru Selatan (Leksula) Masing-masing wilayah diatas merupakan bagian dari gugus pulau yang tersebar dari utara sampai ke selatan dengan luas wilayah yang berbeda baik dalam kondisi, karateristik geografis serta alamnya yang heterogen dengan kata lain potensi atau kapasitas antarwilayah berbeda diantara wilayah-wilayah tersebut. Karakter wilayah yang berbeda-beda inilah yang mengakibatkan perkembangan pembangunan di beberapa wilayah di Provinsi Maluku melakukan pemusatan kegiatan ekonomi, sosial budaya dan administrasi pada pulau-pulau besar saja. Hal inilah yang mengakibatkan sumber-sumber pertumbuhan, pola persebaran (distribusi) kegiatan ekonomi, serta adanya gejala aglomerasi kegiatan ekonomi hanya pada wilayah-wilayah tertentu saja. Dengan karakteristik wilayah kepulauan yang terdiri dari pulau-pulau maka wilayah Provinsi Maluku dijuluki sebagai wilayah atau Provinsi Seribu Pulau.
5.1.2. Topografi dan Iklim Provinsi Maluku adalah wilayah kepulauan terbesar di Indonesia yakni kondisi satu wilayah dengan wilayah lainnya dipisahkan dengan laut yang terbagi dalam beberapa gugusan pulau-pulau besar maupun kecil. Keadaan topografi di
130
Provinsi Maluku secara umum berbukit-bukit sepanjang garis pantai menuju dataran tinggi, karateristik wilayah ini dipengaruhi oleh adanya pertemuan dua buah lempeng
bumi yang disebut dengan Sirkum Pasifik dan Mediterania.
Karakteristik tersebut menjadikan wilayah ini hampir 70 persen terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian yang bervariasi. Umumnya penduduk di Provinsi Maluku bertempat tinggal di dataran yang ketinggiannya dibawah 100 mdp l atau pada dataran rendah. Sedangkan pada dataran menengah sekitar 100 – 500 mdp l dan dataran tinggi sekitar diatas 500 mdp l digunakan oleh penduduk di Maluku sebagai aktivitas atau kegiatan pertanian, perkebunan dan kegiatan lainnya yang berhubungan dengan kehutanan. Kondisi lahan secara makro di wilayah Maluku berbukit (hilly), bergunung (mountaineous) dan sedikit dataran (plain). Sekitar 0 – 3 persen berupa datar, 4 – 8 persen berombak, 8 – 15 persen bergelombang, 15 – 50 persen curam bahkan sangat curam. Kondisi atau karakteristik wilayah di Provinsi Maluku dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Ketinggian dan Derajat Kemiringan Rata-rata Wilayah No
Kabupaten/Kota
(1)
(2)
1. 2. 3. 4. 5. Sumber
Ambon Maluku Tengah Maluku Tenggara Maluku Tenggara Barat Pulau Buru
Derajat Kemiringan (1) (3) √ √ √
(2) (4) √ √ √ √ √
: Departemen PU Provinsi Maluku Tahun 1999.
Keterangan : Derajat Kemiringan (1) 00 - 250 (2) 260 - 450 (3) 460 - 900
(3) (5)
√ √
Ketinggian (mdpl) (6) 200 – 600 50 – 600 100 – 1000 200 – 1000 50 – 1000
131
5.1.3. Kondisi Sumberdaya Alam Wilayah dan Pemanfaatannya Provinsi Maluku merupakan salah satu wilayah kepulauan terbesar dengan memiliki lahan yang penggunaannya lebih didominasi sektor perkebunan, padang rumput ilalang, semak, hutan belukar hutan sejenis maupun tanah kosong yang lebih banyak ditemui pada wilayah pesisir pulau. Umumnya struktur tanah yang ditemui cenderung berbeda satu wilayah dengan wilayah lainnya. Secara fungsional penggunaan lahan sering dibedakan
menjadi dua
bagian yaitu, kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung dapat dibedakan atas beberapa kawasan antara lain : 1. Kawasan yang memberikan perlindungan setempat 2. Kawasan perlindungan setempat. 3. Kawasan suaka alam dan cagar alam 4. Kawasan rawan bencana Kawasan budidaya
didasarkan pada kondisi fisik dan potensi sumberdaya
alamnya yang dimanfaatkan bagi kepentingan produksi maupun kebutuhan permukiman. Secara teori kawasan budidaya dapat terdiri dari : 1. Kawasan budidaya pertanian 2. Kawasan budidaya non pertanian Provinsi Maluku dengan kondisi alamnya yang sebagian besar dikelilingi lautan memiliki kondisi wilayah kelautan berdasarkan fisiknya bila dilihat dari suhu sekitar 280 – 310 C, hal ini dipengaruhi lamanya penyinaran matahari dan berfungsinya hutan lindung pantai. Selain suhu, faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi kondisi wilayah laut di Provinsi Maluku antara lain, salinitas, densitas, arus, pasang surut, pH, dan sifat kimia air laut lainnya.
132
Selain potensi pertanian, Maluku memiliki potensi yang sangat besar dari sektor perikanan laut. Dengan memiliki kekhasannya yang berbeda dengan provinsi lainnya di Indonesia. Provinsi Maluku memiliki kekayaan sumberdaya alam yang tidak atau jarang dimilki oleh provinsi lainnya. Namun dengan sistem pengelolaan (koordinasi) yang belum optimal dari pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota maka hasil yang diharapkan belum dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat di daerah ini.
5.1.3.1. Kawasan Wilayah Daratan Wilayah daratan di kawasan ini terdiri dari sejumlah pulau besar maupun kecil sebanyak 632 buah pulau dengan 10 persen daratan seluas 85 724 km2. Kedudukan pulau-pulau yang berjauhan satu dengan lainnya menjadikan Provinsi Maluku sangat terbuka untuk melakukan interaksi dengan kepulauan lain dari Provinsi diluar Maluku. Tingkat kesuburan tanah yang berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya menimbulkan keanekaragaman tanaman serta sumberdaya lainnya. Luasnya wilayah yang terdiri dari pulau-pulau dan terbentang dari Utara sampai Selatan, menjadikannya sebagai wilayah dengan memiliki kondisi/karakteristik beragam (heterogen) sehingga masing-masing pulau memiliki kemampuan atau kapasitas lokal pengelolaan sumberdaya yang berbeda pula. Kawasan budidaya
berdasarkan kondisi fisik dan berbagai potensi
sumberdaya alam lainnya sangat mempengaruhi produksi dan pemanfaatannya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat. Harapan pemanfaatan dari kawasan budidaya ini meliputi kawasan budidaya pertanian maupun kawasan budidaya non pertanian.
133
Kawasan budidaya pertanian di Provinsi Maluku meliputi: 1. Kawasan pertanian lahan basah, kawasan seperti ini biasanya diperuntukan bagi pertanian tanaman pangan lahan basah seperti, tanaman padi. Kawasan pertanian lahan basah dapat ditemui untuk beberapa pulau yakni, pulau Seram dan Buru. 2. Kawasan pertanian lahan kering, adalah kawasan yang dimanfaatkan bagi tanaman pangan lahan kering seperti palawija ataupun bagi tanaman seperti buah-buahan (hortikultura). Kondisi kawasan pertanian lahan kering banyak dijumpai di hampir seluruh pulau-pulau di Provinsi Maluku. 3. Kawasan
pertanian
tanaman perkebunan atau tanaman Tahunan, adalah
kawasan yang diperuntukan bagi tanaman-tanaman yang berumur panjang (Tahunan) maupun perkebunan. Biasanya kawasan seperti ini dimanfaatkan bagi perkebunan yang menghasilkan bahan baku tanaman pangan dan telah dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan besar perkebunan. Beberapa pulau yang
telah
dimanfaatkan
oleh
perusahaan
swasta
nasional
dengan
memanfaatkan keunggulan dari kawasan pertanian ini terdapat di beberapa pulau antara lain: pulau Seram, Buru, Banda dan beberapa pulau lainnya. Disamping kawasan-kawasan tersebut, Provinsi Maluku memiliki hutan produksi yang sangat berpotensi ekonomi tinggi. Hutan produksi yang ada di daerah ini meliputi tiga jenis hutan produksi yaitu: 1.
Hutan produksi konversi yaitu, kawasan hutan yang pemanfaatannya dapat dialihkan bagi kegiatan lain. Kegiatan-kegiatan lain yang dimaksud adalah kegiatan yang
pemanfaatan arealnya dimanfaatkan bagi kegiatan non
134
kehutanan dan disesuaikan dengan ruang serta tataguna lahan hutan secara terpadu, serasi dan berkesinambungan. 2.
Hutan produksi tetap yaitu, kawasan hutan yang eksploitasinya diarahkan terhadap kawasan produksi hasil hutannya. Eksploitasi hasil hutan dimaksud pada kayu yang dilakukan secara tebang pilih atau secara tebang habis.
3.
Hutan produksi terbatas yaitu,
kawasan hutan yang pemanfaatan hasil
hutannya secara terbatas dan dilakukan dengan cara terbatas atau tebang pilih. Hasil hutan produksi cukup banyak tersebar di seluruh pulau sedangkan industri perkayuan yang memanfaatkan hasil hutan di daerah ini dalam skala besar maupun kecil dapat ditemui di beberapa kabupaten dan kota di Provinsi Maluku. Bahkan beberapa jenis komoditas
hasil hutan seperti kayu hitam,
meranti dan jenis tanaman anggrek masih belum menjadi perhatian serius dari pemerintah setempat sebagai salah satu komoditas andalan. Berdasarkan
data dan informasi sumberdaya lahan pada wilayah
kepulauan Provinsi Maluku oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku (2006), membedakan beberapa komoditas pertanian unggulan provinsi dengan tingkat nasional. Komoditas di provinsi lebih di dominasi oleh tanaman pangan lokal seperti: sagu, kacang merah, ubi kayu, ubi jalar, buah-buahan lokal seperti: duku, cempedak, sukun, salak, durian, manggis, mangga, jeruk, tanaman perkebunan seperti: pala, cengkih, kayu manis, kelapa, kakao, peternakan lokal seperti: ruminansia besar yaitu, sapi dan ruminansia kecil yaitu, domba dan kambing.
135
5.1.3.2. Kawasan Wilayah Lautan Wilayah lautan merupakan kawasan terluas dan memiliki aneka ragam hayati laut serta kekhasannya yang berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Dengan luasnya lautan, banyaknya pulau-pulau besar dan kecil menjadikannya sebagai wilayah berpotensi di sektor perikanan, namun potensi tersebut belum dapat menjadikan penduduknya
menjadikan sektor ini sebagai
harapan
penghidupan dimasa depan. Beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa potensi dari Provinsi Maluku di sektor perikanan sangat besar, bukan saja untuk komoditas ikan tetapi juga komoditas non ikan yang belum dikelola secara baik dan benar.
Potensi wilayah laut yang terdapat di Provinsi Maluku memliki
berbagai komoditas seperti, Ikan Pelagis Kecil, Ikan Tuna, Ikan Cakalang, Ikan Dasar, Ikan Karang, Udang, Rumput Laut, Cumi-cumi, Lobster. Komoditas-komoditas di atas merupakan komoditas potensial yang tersebar dihampir semua perairan potensi
laut
sekitar 682.000 ton/Tahun dan
ekonomis serta
Provinsi Maluku. Dengan memiliki merupakan komoditas
yang sangat
berpengaruh besar terhadap mata pencaharian masyarakat di
Provinsi ini. Oleh sebab itu potensi laut yang ada di kawasan ini, berpeluang untuk dikelola secara intesif namun aksesibilitas pasar dan teknologi pasca panen belum tersedia atau dikelola secara high technology. Selain komoditas ikan pelagis kecil maupun kawasan laut
Provinsi Maluku memiliki
pelagis besar, potensi
berbagai jenis kerang-kerangan.
Diperkirakan potensi perikanan kerang-kerangan sekitar 969 jenis terdiri dari
136
665 jenis siput dan 274 jenis kerang. Secara ekonomis ada sekitar 13 jenis siput dan 21 jenis kerang yang sangat berpotensi dijadikan peluang ekspor. Banyaknya pulau menjadikan wilayah Maluku memiliki potensi pariwisata laut dengan pemandangan alam dasar laut seperti taman laut di Banda, indahnya teluk, selat dan lagoon yang sangat berpotensi untuk dijadikan tempat pengembang biakan budidaya laut seperti budidaya kerang mutiara maupun penangkaran ikan kerapu. Dengan kondisi alam, teluk dan selat yang mendukung menjadikannya sebagai tempat yang sangat baik untuk pengembangan budidaya laut karena cukup terlindungi dari berbagai pengaruh ombak dan gelombang besar pada saat-saat tertentu. Dengan demikian pengembangan budidaya kerang mutiara, lola, teripang, rumput laut dan ikan pelagis kecil
berpotensi untuk
dikembangkan dalam jumlah besar. Walaupun masih banyak jenis komoditas laut yang belum teridentifikasi pada wilayah-wilayah tertentu di Provinsi Maluku namun hal ini bukan menjadikannya sebagai wilayah terbelakang. Komoditas-komoditas yang belum tergarap atau diolah secara baik dan menjanjikan perkembangan di masa depan seperti penangkaran ikan hias air asin yang jenisnya tidak dapat diperoleh di wilayah lain di luar Provinsi Maluku. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan pada Tahun 2008 berproduksi ikan dan nilai produksi perikanan hasil budidaya tambak dan kolam berdasarkan jenis ikan sesuai Tabel 9 dan 10. Tabel 9. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Hasil Budidaya Tambak dan Kolam Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun 2008 Jenis Ikan Produksi (Ton) Nilai (Ribuan Rp) 1. Tambak Bandeng 15.900 11.847 Mujair Lain-lain 1.205.800 11.814
137
2. Kolam Mas Mujair Lain-lain 3. Laut Total Produksi/Nilai Produksi
306.700 147.450 727.350 955.825
324 154 754 48.286
3.359.025
73.179
Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Tahun 2008
Tabel 10. Produksi dan Nilai Produksi Ikan Menurut Jenis Ikan di Provinsi Maluku, Tahun 2008 Jenis Ikan Produksi (Ton) Nilai (ribuan rp) 1. Udang 4.704.5 203.361.6 2. Cakalang 21.133.5 71.802.8 3. Kembung 33.537.9 123.760.8 4. Julung 2.382.2 5.356.2 5. teri 9.128.6 12.530.6 6. Layang 35.832.3 112.088.1 7. Selar 13.722.5 38.754.7 8. Lain-lain 364.021.5 1.920.009.6 9. Tuna 6.378.5 38.832.6 10. Ikan Darat 709.2 13.769.6 Total Produksi dan Nilai Produksi 491.550.7 2.526.634.3 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, Tahun 2008
5.1.4. Komposisi Penduduk Berdasarkan data registrasi kependudukan, jumlah penduduk Provinsi Maluku sampai Tahun 2007 berjumlah 1.420.433 jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk sekitar 26 jiwa/km2, sedangkan persebarannya tidak merata karena adanya konsentrasi penduduk pada wilayah-wilayah tertentu terutama pada wilayah pusat kota dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu saja. Jumlah rata-rata penduduk per rumah tangga di Provinsi Maluku sekitar 5 – 6 jiwa/keluarga dan laju pertumbuhan penduduk dari Tahun 2000 – 2007 sebesar 2.57 persen. Sesuai dengan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 11.
138
Tabel 11. Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Provinsi Maluku, Tahun 2005 – 2007 Tahun Jumlah Jiwa Kepadatan/Km2 2005 1.350.156 25 2006 1.384.585 25 2007 1.420.433 26 Sumber : BPS, Tahun 2008, data diolah
5.1.5. Kondisi Sosial dan Budaya Masyarakat Masyarakat Provinsi Maluku terdiri dari berbagai suku dan agama. Beberapa suku di wilayah ini umumnya memiliki kekerabatan yang diikat dengan marga atau fam. Pengelompokkan masyarakat di Maluku biasanya didasarkan pada urutan dan asal tempatnya seperti dari pulau Seram, Banda dan sebagaian kepulauan Kei bagian Selatan dan Tenggara, Halmahera dan Tidore, bahkan ada sebagian masyarakat Maluku yang berasal dari daerah bagian Barat terutama dari pulau Jawa (Tuban). Ikatan tradisi kekeluargaan yang sampai saat ini masih tetap dilestarikan atau dipertahankan adalah ikatan ”Pela” dan ”Gandong”. Ikatan-ikatan tersebut menggambarkan tentang persekutuan yang terjalin dan terbina secara bersahabat antar desa, baik antar desa dalam satu pulau atau antar desa yang berlainan pulau. Ikatan ini telah dilakukan atau terbentuk sejak zaman nenek moyang orang Maluku dengan mengandung unsur-unsur budaya luhur dan religie magis. Ikatan-ikatan yang terjalin begitu lama berfungsi sebagai suatu tatanan untuk menjaga persaudaraan diantara sesama warga pela dan gandong serta kerukunan beragama diantara sesama agamanya.
warga masyarakat yang berbeda keyakinan atau
139
Kondisi sosial dan budaya masyarakat Maluku dapat dilihat dari adanya ikatan emosional kerja sama
yang dikenal dengan ”Masohi” atau ”Gotong
Royong”. Budaya ini bersifat
hubungan kerja sama yang dilakukan secara
bersama-sama dalam menyelesaikan suatu kegiatan atau pekerjaan dengan membutuhkan dana, daya dan lain-lain sehingga perlu dilakukan antar desa maupun antar masyarakat walaupun berbeda ikatan pela dan gandong. Dengan demikian semua masyarakat Maluku wajib melaksanakan ikatan yang telah terbina dari zaman nenek moyangnya. Kondisi seperti ini yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) dengan potensi alam yang tersedia seharusnya menjadi arah dan strategi kebijakan pembangunan Provinsi Maluku. Kearifan lokal yang masih dipertahankan untuk menjaga kelestarian alam seperti tidak boleh memanen ikan, tanaman pada waktu-waktu tertentu dikenal dengan istilah daerah yakni ”Sasi”. Di beberapa wilayah lebih dikenal dengan sasi di sektor perikanan. Dimana tidak boleh mengambil ikan sebelum berakhirnya masa sasi. Sasi ini telah berlangsung turun temurun, bila ada masyarakat yang melanggar aturan ini biasanya dikenai dengan sanksi adat.
5.1.6. Kondisi Sarana dan Prasarana Transportasi 5.1.6.1. Transportasi Darat Sebagai wilayah kepulauan yang sebagian wilayahnya teridir dari lautan sehingga untuk sarana dan prasarana transportasi darat belum mendapat perhatian karena sektor angkutan darat ini cukup bermanfaat bagi wilayah-wilayah yang tidak dipisahkan oleh laut atau satu pulau dan bahkan antar pulau yang letak pulaunya cukup dekat satu dengan lainnya (Ambon – Seram). Sarana dan
140
prasarana transporatsi
di wilayah kepulauan Provinsi Maluku meliputi
transportasi darat, udara dan air (laut). Transportasi darat meliputi jalan yang menghubungkan Kota Ambon dengan Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tengah dan dari Kabupaten Maluku Tengah terhubung ke Kabupaten Seram Bagian Timur. Jaringan jalan dari Kota Ambon menuju pusat-pusat pengembangan (kabupaten disekitarnya) disebut dengan jalan trans Seram. Dengan kata lain jaringan transportasi jalan yang paling panjang di Provinsi Maluku adalah jaringan jalan yang menghubungkan Kota Ambon dengan tiga kabupaten di Pulau Seram. Panjang jalan di Provinsi Maluku untuk jalan nasional dan provinsi sepanjang 1.885.22 km yang terdiri dari jalan nasional sepanjang 985.46 km dan provinsi 899.77 km Tahun 2007. Tipe jalan umumnya berupa jalan di aspal, kerikil, tanah dan yang tidak dirinci.
5.1.6.2. Transportasi Udara Sarana dan prasarana transportasi udara di wilayah kepulauan Provinsi Maluku membagikan beberapa kelas untuk kapsitas lapangan udara yang di Maluku. Kota Ambon sebagai pusat pertumbuhan/pengembangan memiliki bandar udara tipe kls 1 dan Kabupaten Maluku Tengah Kls 3 sedangkan kabupaten lainnya hanya memiliki bandar udara bertipe Lapter (lapangan terbang). Bandar udara tipe kls 1 dapat didarati oleh pesawat dengan kapasitas/jenis Airbus (A-300) sejenis boing (B.372-200) sedangkan kls 3 hanya dapat didarati pesawat dengan tipe Foker (F-27) di Banda (kabupaten Maluku Tengah). Lapter (lapangan terbang) yang berada di beberapa kabupaten lainnya
141
hanya dapat didarati oleh jenis pesawat Cassa (C-212). Dengan kondisi bandar udara seperti di atas maka masih sulit untuk pusat-pusat pengembangan di wilayah ini dapat mempercepat pengembangan wilayah dengan keunggulan sektoralnya. Perusahaan penerbangan yang telah beroperasi di Provinsi Maluku adalah perusahaan penerbangan Lion Air, Batavia, Sriwijaya, Garuda untuk tujuan Ambon sedangkan ke wilayah (kabupaten) lainnya perusahaan penerbangan yang beroperasi adalah PT. Trigana dan Merpati (jenis cassa dan twin otter). Rata-rata frekuensi penerbangan secara teratur ke Ambon satu kali per satu hari untuk semua jenis pesawat sedangkan ke kabupaten lainnya selain Ambon frekuensi penerbangan sering tergantung dari cuaca dan jumlah pesawat yang terbatas sehingga frekuensi penerbangan tergantung dari penumpang yang akan bepergian. Rata-rata penumpang pada Tahun 2008 yang melakukan perjalan dengan pesawat dari bandara Pattimura – Ambon adalah sebanyak 20.937 orang per bulan. Jumlah bagasi yang di muat Tahun 2008 seberat 3.444.678 kg sedangkan bongkar seberat 1.465.370 kg.
5.1.6.3. Transportasi Air (Laut) Sarana dan prasarana laut di wilayah kepulauan Provinsi Maluku merupakan salah satu sarana transportasi yang harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Dengan karakteristik sebagai wilayah kepulauan yang berbasis bahari/maritim harusnya didukung dengan sarana dan prasaran tarnsportasi laut yang memadai. Fasilitas pelabuhan laut di Maluku meliputi pelabuhan yang termasuk dalam pelabuhan bongkar muat kelas 2 dengan konstruksi dermaga adalah beton dan jenis pelabuhan seperti ini terdapat di Kota Ambon dan
142
Kabupaten Maluku Tengah sedangkan beberapa kabupaten lainnya masih berupa beton/kayu dengan kondisi pelabuhan sebagai pelabuhan rakyat (pelra). Ukuran pelabuhan terbesar berada di Kota Ambon yakni berukuran panjang 576 meter dan lebarnya 18 meter, fasilitas gudang yang tersedia di pelabuhan Ambon (Yos Sudarso) 6.830 M2. Pelabuhan Yos Sudarso dikelola oleh PT. Pelindo sedangkan pelabuhan di kabupaten lainnya di kelola oleh Dephub (ADPEL kelas 4). Arus barang dan penumpang transportasi laut dilayari dengan mempergunakan jenis kapal penumpang cepat antar provinsi yang dikelola oleh PT.Pelni seperti KM. Dobonsolo, KM. Bukit Siguntang, KM. Lambelu. Jumlah penumpang turun per Tahun rata-rata yang mempergunakan kapal cepat PT. Pelni sekitar 37 795 orang sedangkan turun rata-ratanya sekitar 40.109 orang. Kabupaten lainnya masih melakukan kegiatan bongkar muat di wilayahnya dengan mempergunakan sarana pelabuhan rakyat (pelra) termasuk pelabuhan kecil yang umumnya berada di kabupaten-kabupaten disekitar Kota Ambon. Angkutan sungai danau dan Penyeberangan (ASDP) Ferry beroperasi untuk menghubungi wilayah yang dekat dengan pusat pengembangan Kota Ambon seperti dari Ambon ke Pulau Seram (Kabupaten Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah), Ambon – Buru, Maluku Tenggara – Maluku Tenggara Barat.
5.1.7. Kondisi Perekonomian Wilayah Sesuai dengan perspektif keruangan (tata ruang) wilayah Provinsi Maluku, maka sudah seharusnya sistem pengembangan perekonomian wilayahnya diarahkan pada konsep pembangunan yang didasarkan pada konsep kemampuan
143
atau kapasitas wilayah, sebagai salah satu indikator yang memperhatikan aspek ketataan ruang wilayah (space) dan potensinya. Selama ini sistem perekonomian yang dianut Provinsi Maluku masih bersifat tertutup dan tidak memperhatikan aspek tata ruang wilayahnya (spaceless), sehingga aktivitas perekonomian wilayah lebih bersifat pemenuhan kebutuhan lokal wilayah itu sendiri atau bersifat internal. Wilayah
Maluku
sebagai
wilayah
kepulauan
memiliki
struktur
perekonomian yang tentu berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal
ini dapat terlihat dengan jelas karena antara satu wilayah (kota dan
kabupaten) dipisahkan oleh laut. Luas wilayah yang pada umumnya dipisahkan oleh laut tentunya memiliki lokasi pengembangan yang terpencar. Kondisi
perekonomian
wilayah
Provinsi
Maluku
seperti
yang
digambarkan di atas memperlihatkan kondisi perekonomian wilayah ini mau berkembang maka model perekonomiannya harus bersifat terbuka. Oleh karena itu aspek keruangan (space) menjadi model ekonomi wilayah yang saling berinteraksi (linkages) atau memiliki berbagai macam simpul-simpul jasa distribusi diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Model perekonomian seperti ini akan menjadi salah satu model perekonomian yang berakarakteristik perekonomian wilayah kepulauan sehingga di harapkan mampu dalam meningkatkan mobilitas faktor-faktor produksi dan menjadi andalan (prime mover) untuk memacu
perkembangan
perekonomian wilayahnya.
Dengan
demikian sektor-sektor yang berpotensi atau dominan terhadap produksinya serta memiliki nilai tambah (value added) baik menurut lapangan usaha (sektor) maupun komponennya akan menjadi daya tarik dan daya kepekaan
144
yang tinggi (backward and forward linkages) dan memberi dampak multiplier effek dari sektor-sektor unggulan tersebut terhadap sektor lainnya. Secara umum Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Maluku menurut lapangan usaha menunujukkan seperti pada Tabel 12.
kinerja
perekonomiannya
Tabel 12. PDRB Provinsi Maluku Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (dlm jutaan Rupiah), Tahun 2000/2008 URAIAN SEKTOR Pertanian
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
43 7376.55
424 824.07
433 339.61
1 029 450
1 058 272
1 096 737
1 129 295
1 175 896
1 209 850
10 634.4
11 438.39
11 796.26
25 260
26 019
26 951
28 067
25 730
27 004
Industri Pengolahan
67 586.65
62 785.6
63 107.25
142 165
147 070
152 394
160 349
180 252
188 445
Listrik, Gas dan Air Minum
10 556.73
7 590.25
7 107.43
15 946
17 188
18 249
19 570
20 599
20 958
Bangunan
10 824.22
11 386
11 927
37 370
39 373
41 645
44 447
47 705
49 848
Perdagangan, Hotel dan Restoran
278 365.6
286 970.84
299 118.33
719 658
757 098
802 381
863 351
922 453
971 534
Pengangkutan dan Komunikasi
128 595.26
110 334.81
116 430.73
257 266
288 267
318 850
354 487
388 588
407 690
Bank dan Lembaga Keuangan
87 211.24
88 449.15
92 238.77
168 612
174 646
181 483
190 606
201 042
209 645
266 351.46
273 168.92
288 535.47
574 737
594 062
620 556
649 943
671 249
702 130
Total PDRB 1 299 502.11 1 278 949.03 Sumber: Maluku Dalam Angka Tahun 2008, data diolah
1 325 602.85
2 972 467.00
3 103 999.00
3 261 251.00
3 442 121.00
3 635 521.00
3 789 112.00
Petambagan dan Penggalian
Jasa-Jasa
145
VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU
6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan, bila mampu menunjukkan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi (economic growth) wilayah dari Tahun ke Tahun. Indikator makroekonomi biasanya mempergunakan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu alat ukur untuk mengukur kemajuan atau tingkat keberhasilan
pembangunan suatu
wilayah. Dalam menganalis sektor-sektor ekonomi wilayah terhadap perubahan struktur ekonominya, diperlukan faktor-faktor yang menjadi sumber pertumbuhan sehingga
dapat diketahui kondisi transformasi aktivitas ekonomi wilayah
tersebut. Menurut
kerangka pemikiran Rostow
(1956)
oleh Chenery et.al
(1962), dan Sulistyaningsih (1997), dikatakan ada perbedaan di antara kedua ahli ekonomi ini. Rostow berupaya mendefinisikan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi sebagai perubahan absolut, sedangkan Chenery mendefinisikan sumbersumber pertumbuhan ekonomi sebagai nilai deviasi pertumbuhan proposional setiap sektor. Untuk analisis sektor-sektor ekonomi wilayah Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan digunakan indikator agregat makroekonomi dengan mempergunakan sumber data dari Biro Pusat Statistik (BPS) berupa Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Data-data yang dianalisis dalam penelitian ini menggunakan data PDRB Provinsi Maluku, Kota dan Kabupaten sebagai pelengkap analisis sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku.
148
Analisis
dan
pembahasan
pada
sub
bab
penelitian
ini,
mengelompokkan PDRB Provinsi Maluku ke dalam 9 sektor, digunakan sebagai sumber data
analisis dan pembahasan sektor-sektor unggulan Provinsi (I-O),
untuk analisis Input-Output (I-O) pada sub berikutnya dipergunakan data pada tabel (I-O) updating
Provinsi Maluku Tahun 2007 yang
dikelompokkan
kedalam 60 sektor ekonomi wilayah. Pada bagian ini analisis diarahkan untuk menguraikan mengenai struktur penawaran (supply) dan permintaan (demand) terhadap barang dan jasa yang dilakukan di Provinsi Maluku. Selanjutnya penelitian dari hasil analisis (I-O), berupa sektor-sektor dominan dalam permintaan output, struktur output dan struktur nilai tambah (added value) baik menurut lapangan usaha (sektor) maupun kompenen beserta struktur permintaan akhir. Dari hasil pengolahan data-data tersebut, akan dilakukan kajian tentang daya penyebaran dan derajat kepekaan (backward and forward linkage). Dengan demikian
hasil analisis penelitian
yang dilakukan
akan mampu menjawab
perkembangan perekonomian Provinsi Maluku (Kota/Kabupaten) terhadap sektorsektor unggulan yang mengalami perubahan selama periode pengukuran. Perkembangang perekonomian
suatu daerah/wilayah biasanya dapat
dilihat dari perubahan yang terjadi pada penemuan serta penetapan sektor-sektor unggulan dan mempengaruhi
pergeseran struktur perekonomian wilayahnya.
Dengan adanya perubahan struktur perekonomian tersebut, maka suatu wilayah mampu menunjukkan
besarnya kontribusi dari setiap sektor unggulan yang
mengidentifikasikan bahwa wilayah tersebut mengalami perkembangan sesuai arah kebijakan pembangunan untuk masa kini maupun dimasa datang. Oleh sebab itu indikator perkembangan perekonomian harus mampu menggambarkan
149
seberapa besar kekuatan ekonomi wilayah yang sesuai dengan potensi atau kapasitas wilayahnya sehingga setiap perubahan struktur ekonomi mampu memperlihatkan adanya kemajuan didalam pengambilan kebijakan pembangunan.
6.2
Struktur Perekonomian Provinsi Maluku Dalam Kajian Analisis Input-Output (I-O) Analisis Input-Output (I-O) dilakukan dengan menggunakan Tabel
(I-O) Provinsi Maluku 2007. Data-data pada tabel tersebut merupakan sumber data yang bersifat lengkap dan komprehensif sehingga dapat dilihat seberapa besar ketergantungan antarsektor dan beberapa analisis lainnya pada suatu sistem perekonomian wilayah. Hasil analisis berikutnya dapat diketahui melalui kajian analisis secara umum keadaan perekonomian Provinsi Maluku yang diuraikan pada sub bab berikutnya.
6.2.1. Strukutur Permintaan dan Penawaran Tabel
Input-output
seperti yang telah dijelaskan pada
sub bab
terdahulu merupakan salah satu instrumen sumber data yang digunakan sebagai bahan analisis ekonomi. Dengan demikian tabel Input-Output dapat digunakan untuk mengkaji struktur permintaan dan penawaran barang dan jasa di Provinsi Maluku. Terminologi tabel (I-O) biasanya membedakan permintaan menurut permintaan antara (intermediate demand) dan permintaan akhir (final demand). Permintaan antara merupakan permintaan
sektor produksi guna memenuhi
kebutuhan produksi sedangkan permintaan akhir merupakan permintaan akan barang yang digunakan sebagai konsumsi akhir domestik dan konsumen diluar wilayah Provinsi Maluku. Sedangkan penawaran terhadap barang dan jasa
150
terdiri dari
produksi domestik (output domestic) dan impor yang berasal dari
wilayah lain maupun luar negeri. BPS Provinsi Maluku (2007) menunjukkan permintaan terhadap barang dan jasa Provinsi Maluku sebesar Rp. 9.08 triliun. Sebagian besar dari nilai total permintaan sebesar 60.07 persen merupakan permintaan oleh konsumen akhir domestik sedangkan 19.65 persen atau sekitar Rp. 1.79 triliun digunakan untuk memenuhi permintaan konsumen diluar wilayah Provinsi Maluku atau di ekspor. Sedangkan permintaan sektor-sektor produksi untuk memenuhi kegiatan produksi di Provinsi Maluku sebesar 20.46 persen atau sebesar Rp. 1.86 triliun. Untuk memenuhi
permintaan
barang
dan jasa
diperoleh
dari
produksi
domestik sebesar 80.91 persen atau sebesar Rp. 7.3 triliun dan sebesar 19.09 persen harus diimpor dari luar wilayah Provinsi Maluku. Sebagai gambaran terhadap struktur permintaan dan penawaran Provinsi Maluku dapat ditampilkan sektor-sektor ekonomi yang diklasifikasikan kedalam 60 sektor ekonomi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun 2007 (Juta Rupiah) Permintaan Kode
Uraian Sektor
1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
2 Padi Jagung Ubi Kayu Ubi-Ubian Lainnya Kacang-kacangan Sayuran Dataran Tinggi Sayuran Dataran Rendah Jeruk Pisang Buah-buahan Lainnya Pertanian tanaman pangan lainnya Kelapa Cengkih Kakao Pala Kopi Perkebunan lainnya Peternakan Kayu Gelondongan Hasil hutan lainnya Perikanan Pertambangan
Antara 3 19461 4170 16935 2566 2023 572 1052 451 2667 8841 3797 40539 7537 3220 5448 724 1000 10608 144430 7639 66434 656
Akhir Domestik
Ekspor
Jumlah Permintaan
4
5
6
2997 6 377 157 650 44745 19842 28008 43043 18976 40782 45334 36677 105331 18999 16403 22074 4927 16213 70132 7723 11497 360829 6009
24 1985 17589 13 450 1478 7 209 781 1681 37 124 187 605 15466 33158 428 521 0 1243 344 740706 14951
22482 12532 192174 47324 22315 30058 44102 19636 44230 55856 40511 145994 214141 35089 60680 6079 17734 80740 153396 19480 1167969 21616
Penawaran Output Domestik 7 22482 7178 192174 47 324 21 565 30 058 44 047 19263 44230 50899 22207 145994 214141 35089 60680 6079 17558 76154 111806 19480 1167713 21616
Impor
Jumlah Penawaran
8
9
0 5 354 0 0 750 0 55 373 0 957 18304 0 0 0 0 0 176 4586 41590 0 256 0
22482 12532 192174 47324 2315 30058 44102 19636 44230 55856 40511 145994 214141 35089 60680 6079 17734 80740 153396 19480 1 167969 21616
151
152
1 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46
2 Penggalian Industri Pengilangan minyak bumi Industri Penggilingan padi Industri tepung terigu Industri minyak hewan dan nabati Industri biskuit roti dan sejenisnya Industri Gula Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki Industri kayu lapis Industri penggergajinan kayu Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri Kerang-kerangan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri semen dan bahan galian bukan logam Industri lainnya Listrik Air bersih Bangunan Pedagang besar eceran Hotel Restoran dan rumah makan
3 15131 253788 47008 5404 13060 14396 2645 75057 5591
4 15222 4809 329786 20067 84743 44695 129520 155480 1507
5 2258 0 17194 0 9543 171 83 13206 98
6 32611 258597 393988 25471 107346 59262 132248 243743 7196
7 32611 0 44634 0 73940 57921 522 43314 1854
8
9
0 258597 349354 25471 33406 1341 131726 200429 5342
32611 258597 393988 25471 107346 59262 132248 243743 7196
4845 10224 66126
84152 29968 32808
14554 159066 129355
103551 199258 228289
286 198373 228269
103265 885 20
103551 199258 228289
7297 4937 41546 85752
20084 474 25546 18559
12669 129 0 4275
40050 5540 67092 108586
39964 5540 3182 44409
86 0 63910 64177
40050 5540 67092 108586
35605 91842 16194 1837 50567 363873 12277 25224
6205 229274 42493 2304 200569 922693 28860 31313
374 2614 0 0 0 302598 1281 644
42184 323730 58687 4141 251136 1589164 42418 57181
1743 10166 58687 4135 251136 1589164 35577 56618
40441 313564 0 6 0 0 6841 563
42184 323730 58687 4141 251136 1589164 42418 57181
1 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
2
5 30727 37641 18703 8023 294 203 12 0 5
6 205720 238816 220652 44210 54954 81694 58266 205138 47236
7 205383 237998 219686 43833 54934 81114 58074 205138 3372
337 818 966 377 20 580 192 0 43864
9 205720 238816 220652 44210 54954 81694 58266 205138 47236
21490 915678 0 14835 86202 30 3419 16876 152 1051 29492 43 304 -292 0 1841498 5455330 1784745 Sumber : Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
937168 101067 20447 30586 12 9081573
937168 101067 4093 29875 0 7341517
0 0 16354 711 12 1740056
937168 101067 20447 30586 12 9081573
Angkutan darat Angkutan Air Angkutan udara Jasa penunggang angkutan Komunikasi Bank Lembaga keuangan non-bank Sewa bangunan Jasa perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan Jasa sosial kemanusiaan Jasa hiburan dan rekreasi Jasa perorangan dan rumah tangga Lainnya yang tidak jelas batasanya Jumlah
3 33191 41824 45191 10325 22985 10260 9991 13444 12192
4 141802 159351 156758 25862 31675 71231 48263 191694 35039
8
153
154
Tabel 14. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Sektor Ekonomi di Provinsi Maluku, Tahun 2007 (Persen) Permintaan No
Uraian Sektor Antara
1
2 1
Padi
2
Jagung
3
Ubi Kayu
4
3
Akhir Domestik 4
19461
2997
Jumlah Ekspor
Permintaan
5
6
Penawaran
Persen Permintaan
Output Domestik
24
7
8
22482
0.25
Jumlah
Persen
Impor
Penawaran
Penawaran
9
10
11
22482
0
22482
0.25
4170
6377
1985
12532
0.14
7178
5354
12532
0.14
16935
157641
17598
192174
2.12
192174
0
192174
2.12
Ubi-Ubian Lainnya
2566
44745
13
47324
0.52
47324
0
47324
0.52
5
Kacang-kacangan
2023
19842
450
22315
0.25
21565
750
22315
0.25
6
Sayuran Dataran Tinggi
572
28008
1478
30058
0.33
30058
0
30058
0.33
7
Sayuran Dataran Rendah
1052
43043
7
44102
0.49
44047
55
44102
0.49
8
Jeruk
451
18976
209
19636
0.22
19263
373
19636
0.22
9
Pisang
2667
40782
781
44230
0.49
44230
0
44230
0.49
10
Buah-buahan Lainnya
8841
45334
1681
55856
0.62
50899
4957
55856
0.62
11
Pertanian tanaman pangan lainnya
3797
36677
37
40511
0.45
22207
18304
40511
0.45
12
Kelapa
40539
105331
124
145994
1.61
145994
0
145994
1.61
13
Cengkih
7537
18999
187605
214141
2.36
214141
0
214141
2.36
14
Kakao
3220
16403
15466
35089
0.39
35089
0
35089
0.39
15
Pala
5446
22076
33158
60680
0.67
60680
0
60680
0.67
16
Kopi
724
4927
428
6079
0.07
6079
0
6079
0.07
17
Perkebunan lainnya
1000
16213
521
17734
0.20
17558
176
17734
0.20
18
Peternakan
10608
70132
0
80740
0.89
76154
4586
80740
0.89
19
Kayu Gelondongan
144430
7723
1243
153396
1.69
111806
41590
153396
1.69
20
Hasil hutan lainnya
21
Perikanan
7639
11497
344
19480
0.21
19480
0
19480
0.21
66434
360829
740706
1167969
12.86
1167713
256
1167969
12.86
1
2
22
Pertambangan
23
Penggalian
24
Industri Pengilangan minyak bumi
25
Industri Penggilingan padi
26
Industri tepung terigu
27
3
4
5
6
7
8
9
10
11
656
6009
14951
21616
0.24
21616
0
21616
0.24
15131
15222
2258
32611
0.36
32611
0
32611
0.36
253788
4809
0
258597
2.85
0
258597
258597
2.85
47008
329786
17194
393988
4.34
44634
349354
393988
4.34
5404
20067
0
25471
0.28
0
25471
25471
0.28
Industri minyak hewan dan nabati
13060
84743
9543
107346
1.18
73940
33406
107346
1.18
28
Industri biskuit roti dan sejenisnya
14396
44695
171
59262
0.65
57921
1341
59262
0.65
29
Industri Gula
2645
129520
83
132248
1.46
522
131726
132248
1.46
75057
155480
13206
243743
2.68
43314
200429
243743
2.68
5591
1507
98
7196
0.08
1854
5342
7196
0.08
4845
84152
14554
103551
1.14
286
103265
103551
1.14
30 31 32
Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki
33
Industri kayu lapis
10224
29968
159066
199258
2.19
198373
885
199258
2.19
34
Industri penggergajinan kayu
66126
32808
129355
228289
2.51
228269
20
228289
2.51
hasil hutan lainnya
7297
19084
13669
40050
0.44
39964
86
40050
0.44
36
Industri Kerang-kerangan
4937
474
129
5540
0.06
5540
0
5540
0.06
37
Industri kertas dan barang cetakan
41546
25546
0
67092
0.74
3182
63910
67092
0.74
85752
18559
4275
108586
1.20
44409
64177
108586
1.20
35605
6205
374
42184
0.46
1743
40441
42184
0.46
35
38
39
Industri barang lain dari kayu dan
Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri semen dan bahan galian bukan logam
40
Industri lainnya
91842
229274
2614
323730
3.56
10166
313564
323730
3.56
41
Listrik
16194
42493
0
58687
0.65
58687
0
58687
0.65
42
Air bersih
1837
2304
0
4141
0.05
4135
6
4141
0.05
155
156
1
2
43
Bangunan
44
Pedagang besar eceran
45 46
3
4
5
6
7
8
9
10
11
50567
200569
0
251136
2.77
251136
0
251136
2.77
363873
922693
302598
1589164
17.50
1589164
0
1589164
17.50
Hotel
12277
28860
1281
42418
0.47
35577
6841
42418
0.47
Restoran dan rumah makan
25224
31313
644
57181
0.63
56618
563
57181
0.63
47
Angkutan darat
33191
141802
30727
205720
2.27
205383
337
205720
2.27
48
Angkutan Air
41824
159351
37641
238816
2.63
237998
818
238816
2.63
49
Angkutan udara
45191
156758
18703
220652
2.43
219686
966
220652
2.43
50
Jasa penunggang angkutan
10325
25862
8023
44210
0.49
43833
377
44210
0.49
51
Komunikasi
22985
31675
294
54954
0.61
54934
20
54954
0.61
52
Bank
10260
71231
203
81694
0.90
81114
580
81694
0.90
53
Lembaga keuangan non-bank
9991
48263
12
58266
0.64
58074
192
58266
0.64
54
Sewa bangunan
13444
191694
0
205138
2.26
205138
0
205138
2.26
55
Jasa perusahaan
12192
35041
5
47238
0.52
3374
43864
47238
0.52
21490
915678
0
937168
10.32
937168
0
937168
10.32
56
Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan
57
Jasa sosial kemanusiaan
14835
86202
30
101067
1.11
101067
0
101067
1.11
58
Jasa hiburan dan rekreasi
3419
16876
152
20447
0.23
4093
16354
20447
0.23
59
Jasa perorangan dan rumah tangga
1051
29492
43
30586
0.34
29875
711
30586
0.34
60
Lainnya yang tidak jelas batasanya
304
-292
0
12
0.00
0
12
12
0.00
1841498
5454330
1785745
9081573
100
7341517
1740056
9081573
100.00
Jumlah
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
157
Berdasarkan gambaran struktur di atas dari sisi penawaran terlihat kelompok sektor pertanian mampu berperan cukup besar dengan menawarkan dari produksi domestiknya sebesar 96.8 persen yaitu sebesar Rp.2.36 triliun sedangkan 3.1 persen merupakan
produksi yang mampu disediakan dari luar Provinsi
Maluku. Untuk memenuhi permintaan antara dari jumlah penawaran dialokasikan sebesar 14.9 persen terhadap konsumsi
domestik
dialokasikan sebesar 43.7
persen dan 41.8 persen merupakan sisa dari alokasi yang disediakan bagi kegiatan ekspor. Ketergantungan Provinsi Maluku terhadap produk-produk pertanian dengan wilayah luar lainnya bila dilihat dari sisi komposisi penawaran masih sangat rendah, hal ini dimungkinkan karena pemenuhan permintaan di dalam wilayahnya sebagian besar dapat dipenuhi/dihasilkan sendiri. Bila dilihat dari sisi komposisi permintaan produk-produk pertanian umumnya secara merata dapat memenuhi konsumsi domestik dan ekspor serta memenuhi permintaan terhadap proses kelanjutan kegiatan produksi selanjutnya. Sektor pertanian sub sektor perikanan merupakan sektor terunggul atau unggulan
mengingat sektor ini
merupakan sektor yang paling dominan karena mampu memenuhi sebagian besar permintaan/memenuhi kebutuhan permintaan domestik dan sebagian kecil digunakan sebagai input industri bahan makanan. Dengan demikian dapat dilihat dari ketergantungan Provinsi Maluku terhadap berbagai kegiatan ekonomi wilayah,
teridentifikasi bahwa kegiatan produksi yang dilakukan
dengan
mempergunakan bahan baku dari sektor pertanian hanya sekitar 15 persen. Hal ini berarti kegiatan produksi menggunakan sedikit bahan baku yang berasal dari
158
wilayahnya sendiri dan sebagian besar untuk memenuhi permintaan di luar wilayah Provinsi Maluku. Sektor lainnya yang turut mempengaruhi
perekonomian Provinsi
Maluku selain sektor pertanian adalah sektor industri pengolahan. Sektor ini mampu menghasilkan barang-barang hasil industri dalam perekonomian wilayah sekitar 2.34 triliun rupiah. Sektor industri pengolahan mampu memenuhi kebutuhan permintaan konsumsi domestik sebesar Rp.1.21 triliun atau sekitar 51.90 persen dan untuk memenuhi kebutuhan di sektor-sektor produksi sebesar 0.76 triliun rupiah atau sekitar 32.61 persen sisanya sebesar 0.36 triliun rupiah atau sekitar 15.49 persen guna memenuhi permintaan ekspor. Impor yang dilakukan guna memenuhi permintaan domestik berupa barang dan jasa sebesar Rp.1.59 triliun atau sekitar 67.86 persen diperoleh dari luar wilayah Provinsi Maluku sedangkan sisanya sebesar Rp. 0.75 tiliun atau sekitar 32.14 persen merupakan hasil produksi domestik. Bila diidentifikasi dari besarnya nilai impor diatas maka dapat dikatakan bahwa Provinsi Maluku diindikasikan masih menggantungkan kebutuhan domestiknya yang cukup besar terhadap sektor industri pengolahan dari wilayah lain di luar wilayah Provinsi Maluku. Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang cukup berperan dalam kegiatan perekonomian wilayah. Sektor ini berada di kegiatan ekonomi wilayah nomor tiga berdasarkan struktur permintaan dan penawaran, oleh sebab itu sektor perdagangan, hotel dan restoran dapat dikatakan merupakan salah satu sektor yang harus menjadi perhatian di Provinsi Maluku. Dengan jumlah permintaan sebesar Rp.1.68 triliun ternyata sektor ini mampu memenuhi kebutuhan permintaan domestik sebesar Rp. 0.98 triliun atau sekitar 58.20 persen
159
sedangkan sisanya berupa permintaan dari luar wilayah ini sebesar Rp. 0.07 triliun atau sekitar 0.44 persen, sehingga dapat dikatakan bahwa sektor ini mampu memenuhi permintaan domestik. Namun bila dilihat dari sisi struktur penawaran sektor perdagangan, hotel dan restoran sama dengan sektor lainnya seperti: sektor listrik,gas dan air, pertambangan dan penggalian, bangunan, pengangkutan dan komunikasi, bank dan lembaga keuangan serta sektor jasa-jasa masih merupakan sektor-sektor penawarannya
yang memiliki berasal
dari
kesamaan aktivitas
distribusi
kegiatan
yang sebagian
ekonomi
domestik.
besar Bila
diidentifikasi selanjutnya maka dapat dikatakan bahwa baik dari sisi struktur permintaan maupun penawaran sektor-sektor ini sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan produksi dan konsumsi domestik.
6.2.2. Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto Output sering diartikan sebagai nilai produksi barang ataupun jasa yang dihasilkan dari sektor-sektor ekonomi suatu wilayah (daerah). Dengan menelaah besarnya output yang diciptakan oleh masing-masing sektor maka dapat diketahui sektor-sektor mana saja yang mampu memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan di Provinsi Maluku. Nilai tambah bruto merupakan balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi. Nilai tambah bruto di setiap sektor biasanya ditentukan oleh besarnya output (nilai produksi) yang dihasilkan serta jumlah biaya yang dikeluarkan dalam proses produksi. Dengan demikian suatu sektor yang memiliki output besar belum tentu memiliki nilai tambah yang besar dan tergantung dari seberapa besar biaya produksi yang dikeluarkan oleh sektor tersebut.
160
Berdasarkan pengertiannya diatas maka output sektor ekonomi tabel I-O Provinsi Maluku yang diklasifikasikan kedalam 60 sektor ekonomi diperoleh 10 sektor output terbesar seperti pada Tabel 15. Tabel 15. Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Output Provinsi Maluku, Tahun 2007 Kontribusi No Kode Uraian Sektor Nilai (Juta Rp) (%) 1 44 Perdagangan besar dan eceran 1.439.867 19.61 2 21 Perikanan 1.167.714 15.91 Pemerintahan Umum dan 12.77 3 56 937.169 Pertahanan 4 43 Bangunan 251.137 3.42 5 48 Angkutan Air 238.196 3.24 6 34 Industri Penggergajian Kayu 228.269 3.11 7 49 Angkutan Udara 219.691 2.99 8 13 Cengkih 214.141 2.92 9 47 Angkutan Darat 206.382 2.81 10 54 Sewa Bangunan 205.137 2.79 Lainnya 2.233.845.08 30.43 Jumlah 7.341.548.08 100.00 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating 2007. Data Diolah
Berdasarkan Tabel 15 terlihat beberapa sektor ekonomi yang cukup dominan dalam penciptaan output di Provinsi Maluku. Sektor-sektor ekonomi dominan tersebut
meliputi 3 sektor seperti terlihat pada besarnya kontribusi
sektor-sektor tersebut antara lain: (1) Sektor perdagangan besar dan eceran dengan output sebesar Rp.1.58 triliun atau sekitar 21.64 persen. (2) Sektor perikanan dengan output sebesar Rp. 1.16 triliun atau sekitar 15.91 peresen. (3) Sektor pemerintahan umum dan pertahanan sebesar Rp. 0.94 triliun atau sekitar 12.77 persen. Bila dilihat dari kontribusi ketiga sektor dominan tersebut, sektorsektor ini mampu menciptakan output sebesar 50.32 persen dari struktur output sektor lainnya. Dengan demikian dapat diidentifikasikan bahwa ketiga sektor
161
(sektor perdagangan dan eceran, perikanan, pemerintahan umum dan pertahanan) merupakan leading sector dalam struktur perekonomian Provinsi Maluku. Beberapa sektor
ekonomi
yang memiliki peringkat output
dalam
kelompok 10 sektor dominan dengan kontribusinya kurang dari 10 persen antara lain: (1) Sektor bangunan dengan output 3.42 persen (2) Sektor angkutan air 3.24 persen
(3) Sektor industri penggergajian kayu 3.11 persen (4) Sektor
angkutan udara 2.99 persen (5) Sektor perkebunan (cengkih) 2.92 persen (6) Sektor angkutan darat 2.80 persen dan (7) Sektor sewa bangunan sekitar 2.79 persen.
Bila dilihat dari besarnya kontribusi ketujuh sektor dominan dengan
kontribusi kurang dari 10 persen dalam struktur output Provinsi Maluku, dapat dikatakan bahwa sektor angkutan air, angkutan udara, perkebunan (cengkih), angkutan darat, belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah daerah. Untuk itu sudah selayaknya sektor-sektor tersebut
dijadikan sebagai basis
pengembangan sektor unggulan wilayah kepulauan yang heterogen baik dari sisi geografis, ekonomi, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sosial budaya dalam rangka pengembangan ekonomi kawasan yang berbasis potensi lokal wilayah di Provinsi Maluku. Berdasarkan Tabel 16 nilai tambah bruto sebagai balas jasa terhadap faktor produksi
yang tercipta
karena adanya kegiatan produksi maka nilai
tambah di tiap-tiap sektor tentunya
ditentukan oleh besarnya output (nilai
produksi) yang dihasilkan. Ketiga sektor ekonomi dominan berdasarkan penciptaan nilai tambah bruto antara lain: (1) Sektor perdagangan besar dan eceran sebesar Rp.1.24 triliun atau sekitar 22.54 persen (2) Sektor perikanan sebesar Rp. 0.9 triliun atau sekitar 16.40 persen (3) Sektor pemerintahan umum
162
dan pertahanan sebesar Rp. 0.8 triliun atau sekitar 15.19 persen. Bila dilihat dari penciptaan peringkat output dan nilai tambah maka terlihat ketiga sektor ini berperan sangat dominan
sebagai pencipta output terbesar dan nilai tambah
terbesar di Provinsi Maluku. Tabel 16. Sepuluh Sektor Terbesar Menurut Peringkat Nilai Tambah Bruto Provinsi Maluku, Tahun 2007 Kontribusi Nilai (Juta No Kode Uraian Sektor Rp) (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
44 21 56 3 13 54 47 48 49 12
Perdagangan besar dan eceran Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Ubi kayu Cengkih Sewa bangunan Angkutan darat Angkutan air Angkutan udara Kelapa Lainnya Jumlah
1.090.154 902.204 835.498 181.755 170.270 161.294 154.110 143.136 141.396 137.255 1.582.960
19.82
5.500.032
100.00
16.40 15.19 3.30 3.10 2.93 2.80 2.60 2.57 2.50 28.78
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Sesuai dengan Tabel 16 dapat dirinci nilai tambah bruto berdasarkan 10 sektor terbesar dalam penciptaan nilai tambah bruto di Provinsi Maluku. Dari kesepuluh sektor terbesar tersebut teridentifikasi 3 sektor paling dominan dalam penciptaan nilai tambah bruto mampu menciptakan perannya sekitar 54.13 persen atau sebesar Rp. 2 97 triliun terhadap seluruh nilai tambah bruto yang terbentuk di Provinsi Maluku. Selain ketiga sektor dominan diatas terdapat 7 sektor lainnya yang termasuk kedalam sektor dominan yaitu: (1) Sektor tanaman pangan (ubi kayu) 3.30 persen (2) Sektor perkebunan 3.10 persen (cengkih) (3) Sektor sewa bangunan 2.93 persen (4) Sektor angkutan darat 2.78 persen (5) Sektor angkutan air 2.60 persen (6) Sektor angkutan udara 2.57 persen (7) Sektor
163
perkebunan
(kelapa)
2.50
persen,
ketujuh
sektor
ini
menciptakan
kontribusi/perannya secara keseluruhan sekitar 27.9 persen dari nilai tambah bruto Provinsi Maluku. Secara umum dapat digambarkan struktur nilai tambah bruto dalam Tabel I-O Provinsi Maluku Tahun 2007 dengan 3 pendekatan yaitu: (1) Menurut produksi (sektor ekonomi) (2) Pendapatan dan (3) Pengeluaran (konsumsi). Berdasarkan struktur perekonomian Provinsi Maluku Tahun 2007 terlihat sektor
ekonomi
yang berpengaruh terhadap perekonomian wilayah.
9
Dari
kesembilan sektor ekonomi wilayah ini terlihat adanya beberapa sektor yang sangat dominan dalam struktur perekonomian Provinsi Maluku. Sektor-sektor dominan tersebut antara lain: sektor pertanian dengan kontribusi sebesar Rp. 1 97 triliun atau sekitar 29.89 persen, diikuti oleh sektor sektor jasa-jasa sebesar Rp. 1. 30 triliun sekitar 24.69 persen dan sebesar perdagangan besar dan eceran Rp. 0.93 triliun sekitar 23.45 persen. Perkembangan yang cukup menonjol karena sektor-sektor tersebut berkontribusi terhadap struktur
perekonomian Provinsi Maluku dibawah 10
persen. Bila melihat grafik struktur PDRB menurut sektor Ekonomi (persen) terlihat bahwa sektor pertambangan, listrik, gas dan air bersih kontribusinya sekitar 0.76 – 0.79 persen. Dengan demikian dapat dikatakan kedua sektor tersebut merupakan sektor yang kontribusinya paling rendah dari ketujuh sektor lainnya. Untuk itu diperlukan berbagai kebijakan pemerintah daerah didalam mengembangkan atau mempercepat peningkatan sektor-sektor tersebut sesuai kebutuhan dan potensi yang ada guna percepatan pembangunan wilayah.
164
Komponen pendapatan berdasarkan nilai tambah bruto (PDRB) menunjukkan sebagian besar nilai tambah tersebut bersumber dari komponen surplus usaha. Dimana nilai surplus usaha dalam perekonomian Provinsi Maluku Tahun 2007 mencapai Rp. 3.23 triliun atau sekitar
59.0 persen. Sedangkan
komponen upah dan gaji termasuk komponen yang cukup besar sekitar Rp. 1.65 triliun atau 30.0 persen dari keseluruhan nilai tambah dihasilkan di Provinsi Maluku. Komponen lainnya seperti penyusutan dan pajak tak langsung masing4–7
masing memberikan nilai tambah yang tidak terlalu besar hanya sekitar persen saja dari keseluruhan nilai tambah di wilayah ini. Tabel 17. Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pendapatan (juta rupiah) Provinsi Maluku, Tahun 2007 No
Kode
Komponen
1 1 2 3 4
2 201 202 203 204
3 Upah dan Gaji Surplus Usaha Penyusutan Pajak tak langsung PDRB
Nilai (Rp) 4 1.657.215.67 3.231.462.93 362.477.43 248.876.17 5.500.032.21
Persen (%) 5 30.13 58.75 6.59 4.52
100.00
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Sesuai Tabel 17 dapat dikatakan bahwa, komponen upah dan gaji relatif masih rendah bila dibandingkan dengan surplus usaha. Ukuran masih rendah terhadap komponen upah dan gaji karena komponen ini merupakan salahsatu ukuran yang memperlihatkan komponen nilai tambah yang diterima secara langsung dan dibawa pulang oleh pekerja serta dapat dinikmati oleh masyarakat. Walaupun demikian dapat dikatakan surplus usaha merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penerimaan pengusaha untuk digunakan sebagai modal usaha atau disimpan dalam bentuk laba yang ditahan di dalam perusahaan tersebut.
165
Sehingga bila upah dan gaji merupakan komponen yang menjadi perhatian pemerintah daerah maka kebijakan penetapan UMP perlu memperhatikan komponen-komponen yang mempengaruhi nilai tambah struktur ekonomi Provinsi Maluku. Dengan demikian komponen upah dan gaji serta surplus usaha bagi pekerja dan pengusaha dapat memberikan nilai tambah secara langsung yang dapat dinikmati baik oleh pekerja dan laba bagi pengusaha demi pengembangan ekonomi wilayah kedepan.
6.2.3. Struktur Permintaan Akhir Pada tabel Input-Output permintaan akhir atau pendapatan suatu wilayah ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen-komponen
tersebut
pada
dasarnya memenuhi persamaan Y = C + I + G + ( X – M ), komponen Y adalah pendapatan (dalam konteks tabel I-O sama dengan PDRB dari sisi penggunaan atau total nilai tambah), C adalah konsumsi rumah tangga, G adalah konsumsi pemerintah sedangkan ( X - M ) adalah ekspor neto (ekspor dikurangi impor). Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa, jumlah komponen permintaan akhir dikurangi dengan impor akan sama dengan jumlah penggunaan akhir barang dan jasa yang bersumber dari kegiatan faktor produksi domestik atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut penggunaannya. Pentingnya komponen
permintaan akhir
maka perkembangan
komponen ekspor dan pembentukan modal tetap bruto harus menjadi perhatian pemerintah daerah. Hal ini
menjadi penting karena
komponen ekspor
merupakan salah satu sumber devisa dan komponen pembentukan modal tetap bruto merupakan salah satu komponen peningkatan
kapasitas produksi
yang berkaitan langsung
dengan
atau pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
166
Komponen-komponen ini harus menjadi tujuan utama pemerintah daerah bila ingin meningkatkan kemampuan sektor-sektor unggulannya dan pengusaha di daerah mau mengkonsolidasi surplus usahanya terhadap potensi dari sektor-sektor unggulan daerah. Peningkatan permintaan terhadap ekspor dan penciptaan pembentukan modal tetap akibat dari surplus usaha yang tidak ditransfer keluar wilayah ini akan semakin meningkatkan dan memacu perkembangan wilayah serta meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat dan pendapatan regional Provinsi Maluku. Untuk melihat komposisi nilai tambah bruto menurut komponen pengeluaran dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponen Pengeluaran Provinsi Maluku, Tahun 2007 No
Kode
1 2 3 4 5 6 7
301 302 303 304 305 309 409
Komponen
Nilai
Konsumsi Rumah Tangga Konsumsi Pemerintah Pembentukan Modal Tetap Bruto Perubahan Stok Ekspor Jumlah Permintaan Impor PDRB
4.051.445.24 901.171.37 325.461.25 177.263.76 1.784.745.79 7.240.087.41 1.740.054.31 5.500.033.41
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Struktur nilai tambah bruto menurut komponen pengeluaran (konsumsi) Provinsi Maluku Tahun 2007 seperti terlihat pada Tabel 18 ternyata penyumbang terbesar dalam pembentukan aktivitas perekonomian di wilayah Provinsi Maluku adalah
komponen konsumsi rumahtangga (301) yakni sebesar 55.96 persen.
Selain komponen konsumsi rumahtangga
beberapa komponen lain yang
berpengaruh dalam pembentukan perekonomian daerah antara lain: komponen
167
ekpor barang dan jasa sekitar 24.65 persen, konsumsi pemerintah sebesar 12.45 persen, pembentukkan modal tetap bruto sebesar 4.50 persen dan perubahan stok sekitar 2.45 persen. Dari komponen-komponen diatas Provinsi Maluku harus menutupi kekurangan dari persediaan domestik. Oleh sebab itu dibutuhkan besarnya impor sekitar 24.03 persen, bila dilihat dari neraca perdagangan Tahun 2007 terlihat bahwa Provinsi Maluku mengalami surplus perdagangan sebesar 44.69 miliar rupiah yaitu selisih dari nilai ekspor dan impor.
6.3. Analisis Pengganda Analisis angka pengganda (multiplier analysis) merupakan salah satu jenis analisis yang umum dilakukan untuk menilai perubahan terhadap varibelvariabel endogen tertentu apabila terjadi perubahan variabel-variabel eksogen seperti permintaan akhir dalam suatu struktur perekonomian. Perubahan variabel eksogen (permintaan akhir) suatu sektor dalam analisis angka pengganda meliputi tiga variabel yang menjadi perhatian utama antara lain: angka pengganda penciptaan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Dalam analisis angka pengganda biasanya digunakan dua tipe pengganda seperti: pengganda tipe I (Type I) dan pengganda tipe II (Type II).
6.3.1. Angka Pengganda Output Analisis sebagai nilai total
angka pengganda output secara sederhana dapat dikatakan dari output atau produksi
yang dihasilkan oleh sistem
perekonomian suatu wilayah guna memenuhi atau akibat dari adanya perubahan satu unit permintaan akhir suatu sektor. Hasil perhitungan angka pengganda output untuk 60 sektor ekonomi maka ditentukan 10 sektor yang memiliki nilai
168
angka pengganda output terbesar dalam perekonomian wilayah Provinsi Maluku. Seperti terlihat pada Tabel 19 angka pengganda output dibawah ini memperlihatkan bahwa beberapa sektor yang memiliki nilai pengganda output tipe I terbesar. Tabel 19. Sepuluh Sektor Pengganda Output terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 No
Kode
1
35
2 3 4 5 6 7 8 9 10
43 33 34 28 31 40 30 37 25
Uraian Sektor Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Bangunan Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri kain tenun Industri lainnya Industri makanan dan minuman lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri penggilingan padi
Nilai 2.0403 1.9565 1.8862 1.8311 1.6962 1.6314 1.6309 1.6121 1.5537 1.5377
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Sektor-sektor
yang memiliki angka pengganda output terbesar di
Provinsi Maluku sesuai Tabel 19 menunjukkan bahwa sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35) memiliki nilai pengganda output tertinggi yaitu sebesar 2.0403 berada pada peringkat pertama. Angka pengganda dari sektor ini menggambarkan bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar satu satuan maka akan meningkatkan output pada semua sektor ekonomi sebesar 2.0403 satuan Dapat dikatakan juga bahwa nilai pengganda output sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 2.0403 mengandung arti bahwa jika terjadi kenaikan pada permintaan akhir terhadap sektor ini sebesar
169
satu juta rupiah maka akan meningkatkan output dari seluruh sektor dalam struktur perekonomian Provinsi Maluku sebesar Rp. 2.0403 juta. Sektor lain yang berada pada peringkat sepuluh besar yang memiliki angka pengganda output terbesar yaitu: sektor bangunan (43), industri kayu lapis (33), industri penggergajian kayu (34), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri kain tenun (31), industri lainnya (40), industri makanan dan minuman lainnya (30),
industri kertas dan barang cetakan (37) dan industri
penggilingan padi (25). Nilai dari angka pengganda output pada sepuluh sektor ekonomi terbesar mengandung arti yang sama dengan sektor yang berada pada peringkat satu yaitu bila terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor yang tersebut sebesar satu juta rupiah maka output seluruh sektor perekonomian
Provinsi Maluku
dalam
hanya mampu meningkat sebesar nilai
pengganda output dari sektor tersebut. Kebijakan pemerintah daerah biasanya menjadikan ukuran pertumbuhan ekonomi
sebagai keberhasilan pembangunan dengan menggunakan kriteria
angka pengganda output sebagai salah satu kriteria penilaian kebijakannya.
6.3.2. Pengganda Pendapatan Secara langsung efek yang dihitung dari koefisien input belum dapat menggambarkan suatu hasil dari angka pengganda sebagai dasar di dalam pembuatan suatu rencana atau keputusan perencanaan pengembangan sektoral. Hal ini berkaitan dengan koefisien input yang dihasilkan
belum mampu
memberikan gambaran pengaruh suatu sektor terhadap perekonomian wilayah secara keseluruhan. Dengan demikian pemotretan efek langsung yang dihitung
170
dari hasil analisis tabel Input-Output adalah hasil analisis pengganda (multiplier) yang diturunkan dari tabel matriks invers Leontief. Dari hasil perhitungan angka pengganda ditampilkan pada Tabel 20 terlihat
pendapatan
seperti yang
beberapa sektor yang dapat memberikan
efek langsung secara maksimal terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah Provinsi Maluku. Berikut ini dapat ditampilkan sepuluh sektor pengganda pendapatan terbesar menurut sektor ekonomi Provinsi Maluku Tahun 2007 seperti pada tabel dibawah ini: Tabel 20. Sepuluh Sektor Pengganda Pendapatan Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 No
Kode
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
43 35 33 34 25 54 28 31 29 30
Uraian Sektor Bangunan Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya Industri kayu lapis Industri Penggergajian kayu Industri penggilingan padi sewa bangunan Industri minyak hewan dan nabati Industri kain tenun Industri gula Industri makanan dan minuman lainnya
Nilai 3.0279 2.3251 2.1812 2.1081 1.8046 1.8004 1.7871 1.7770 1.7171 1.7093
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Sektor-sektor yang memberikan efek maksimal terhadap pendapatan masyarakat
berdasarkan perhitungan
angka pengganda pendapatan terbesar
adalah: sektor bangunan (43) sebesar 2.5481 nilai ini memberi arti bahwa bila nilai pengganda pendapatan sektor bangunan sebesar 2.5481 maka sektor tersebut akan menyebabkan pembentukan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebesar nilai pengganda pendapatan sektor bangunan tersebut. Begitupun terhadap kesembilan sektor lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 20. Sektor-sektor yang memiliki angka pengganda pendapatan terbesar mengindikasikan bahwa,
171
peningkatan pendapatan sebesar satu satuan pada orang yang bekerja di sektor tersebut akan menyebabkan pembentukkan pendapatan masyarakat secara keseluruhan sebesar nilai pengganda pendapatan di sektor tersebut. Sesuai dengan hasil analisis yang dilakukan terhadap angka pengganda pendapatan menurut sektor ekonomi Provinsi Maluku terlihat beberapa sektor yang memiliki nilai pengganda pendapatan terbesar. Sektor-sektor yang termasuk sepuluh sektor terbesar adalah: sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri kayu lapis (33), industri penggergajian kayu (34), industri penggilingan padi (25), sewa bangunan (54), industri kain tenun (31), industri makanan dan minuman lainnya (30), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28) dan sektor industri minyak hewan dan nabati (27). Sektor-sektor ekonomi Provinsi
Maluku
yang
memiliki
nilai
pengganda
pendapatan
terbesar
menunjukkan bahwa bila terjadi peningkatan pendapatan sebesar satu satuan pada sektor-sektor tersebut akan berdampak
pada peningkatan pendapatan
masyarakat sebesar angka pengganda pendapatan pada sektor tersebut. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan berbagai kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah tentunya memiliki tujuan akhir dari proses pembangunan yang dilakukannya. Untuk itu bila pemerintah daerah ingin mencapai tujuan atau sasaran target yang ingin dicapai adalah peningkatan pendapatan masyarakat maka pemerintah daerah Provinsi Maluku harus mendorong peningkatan setiap sektor sesuai dengan nilai pengganda pendapatan seperti pada Tabel 20. Sebagai pelaku lapangan (stakeholder) masyarakat dapat mengalokasikan setiap satuan pendapatan
yang diperoleh
dibelanjakan
yang memiliki nilai pengganda
kepada output
sektor-sektor
supaya dapat
172
pendapatan terbesar. Dengan demikian bila pengganda pendapatan mejadi sasaran atau target
maka pemerintah daerah harus mengoptimalkan peningkatan
pendapatan terhadap perekonomian wilayah di Provinsi Maluku.
6.3.3. Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Pengganda tenaga kerja sektoral merupakan analisis yang di gunakan sebagai alat untuk mengukur tingkat kebutuhan tenaga kerja sektoral dalam perekonomian suatu wilayah. Berdasarkan angka pengganda tenaga kerja tipe I maka kebutuhan tenaga kerja Provinsi Maluku pada masing-masing sektor dapat di lihat pada Tabel 21. Tabel 21. No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sepuluh Sektor Pengganda Tenaga Kerja Sektoral Terbesar Menurut Sektor Ekonomi Provinsi Maluku, Tahun 2007 Kode Uraian Sektor Nilai 44 Perdagangan besar dan eceran 16.5893 34 Industri penggergajian kayu 14.7396 54 Sewa bangunan 14.7065 33 Industri kayu lapis 12.7934 49 Angkutan udara 5.5557 28 Industri roti, biskuit dan sejenisnya 4.9105 30 Industri makanan dan minuman lainnya 4.1120 57 Jasa sosial kemanusiaan 3.6553 25 Industri penggilingan padi 3.4125 Industri barang lain dari kayu dan hasil 35 3.0219 hutan lainnya
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Tabel 21 di atas memperlihatkan bahwa kebutuhan tenaga kerja sektoral dari ke sepuluh sektor pengganda tenaga kerja sektoral terbesar
di Provinsi
Maluku masih di dominasi oleh sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan banyaknya tenaga kerja yang dibutuhkan
oleh sektor-sektor tersebut. Sektor
perdagangan besar dan eceran merupakan sektor yang mempunyai nilai pengganda tenaga kerja terbesar yaitu sebesar 26.0317 yang mengandung arti sektor tersebut akan menciptakan lapangan kerja untuk 26.0317 orang (26 orang)
173
tenaga kerja di semua sektor ekonomi bila output sektor pedagang besar eceran meningkat sebesar satu juta rupiah. Sektor-sektor lain yang berperan besar dalam menciptakan tenaga kerja pada sektor ekonomi Provinsi Maluku seperti terlihat pada tabel di atas adalah sektor Industri penggergajian kayu mampu menciptakan kebutuhan tenaga kerja sebesar 17 orang, industri kayu lapis sebesar 16 orang, sewa bangunan sebesar 16 orang, angkutan udara sebesar 9 orang, industri roti, biskuit dan sejenisnya sebesar 6 orang, Industri makanan dan minuman lainnya sebesar 4 orang, Jasa sosial kemanusiaan sebesar 4 orang, industri penggilingan padi sebesar 4 orang dan sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 3 orang. Sektor-sektor yang dipengaruhi oleh ke sepuluh sektor terbesar di atas pada dasarnya merupakan sektor yang sama dalam memperoleh efek penciptaan tenaga kerja. Oleh karena itu
sektor-sektor yang menciptakan
penambahan
tenaga kerja atau peningkatan kesempatan kerja seluruh sektor ekonomi perlu menjadi perhatian pemerintah Provinsi Maluku dengan tidak meninggalkan tujuan menciptakan sektor-sektor unggulan yang berbasis potensi atau kapasitas wilayah kepulauan.
6.4.
Keterkaitan Antarsektor Analisis keterkaitan antarsektor (intersectoral linkage
analysis)
merupakan salah satu analisis umum yang digunakan dengan model input-output. Analisis ini pada dasarnya melihat dampak terhadap output dari suatu kenyataan bahwa, pada dasarnya sektor-sektor dalam struktur perekonomian wilayah saling berpengaruh satu
dengan lainnya
(pengaruh-mempengaruhi).
Keterkaitan
antarsektor dapat berupa keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan
174
ke belakang (backward linkage). Keterkaitan ke depan merupakan hubungan sektor dengan penjualan
barang jadi sedangkan keterkaitan ke belakang
merupakan keterkaitan hubungan dengan bahan mentah atau bahan baku. Indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) mengindikasikan bahwa sektor-sektor yang mempunyai indeks daya penyebaran sektor lebih besar dari satu, mengindikasikan sektor tersebut memiliki daya penyebaran di atas rata-rata daya penyebaran secara keseluruhan. Begitu pula mengenai indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) mengandung pengertian yang sama dengan indeks keterkaitan ke depan yang mengindikasikan bahwa, bila indeks keterkaitan ke belakang memiliki nilai lebih besar satu mengindikasikan sektor tersebut memiliki derajat kepekaan di atas derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Daryanto (2010), mendefenisikan keterkaitan antarsektor merupakan hubungan saling ketergantungan antar sektor satu dengan lainnya, dimana output dari suatu sektor produksi merupakan input bagi sektor produksi lainnya begitu pula sebaliknya. Keterkaitan hubungan antar sektor ini mengakibatkan perubahan output
suatu sektor produksi akan mempengaruhi
pula output
dari sektor
produksi yang lain. Keterkaitan antarsektor dirinci sebagai berikut, (1) keterkaitan langsung ke depan (2) keterkaitan langsung ke belakang (3) daya sebar ke depan (4) daya sebar ke belakang. Dengan demikian menurut Jhingan (1993) dikatakan bahwa, pemerintah daerah (pembuat kebijakan) dapat menyusun dan menentukan suatu rencana yang sesuai dengan analisis keterkaitan antarsektor berdasarkan pengaruh dari suatu perubahan pada satu sektor terhadap sektor lainnya dalam struktur perekonomian wilayah.
175
6.4.1. Keterkaitan ke Depan dan Penyebaran ke Depan Berdasarkan klasifikasi 60 sektor ekonomi Provinsi Maluku, terlihat 10 sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke depan (forward linkage) diatas ratarata sektor lainnya dan indeks penyebaran ke depannya seperti terlihat pada Tabel 22. Tabel 22. Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya Provinsi Maluku, Tahun 2007 Kaitan ke Depan 1. Perdagangan besar dan eceran 2.5302 44 2. Industri pengilangan minyak bumi 2.4422 24 3. Kayu gelondongan 2.3962 19 4. Industri semen dan bahan galian bukan logam 2.2711 39 5. Padi 2.2355 1 6. Industri kerang-kerangan 2.0655 36 7. Industri pupuk kimia dan barang dari karet 1.9076 38 8. Industri kertas dan barang cetakan 1.8402 37 9. Air bersih 1.6708 42 10. Industri kain tenun 1.3305 31 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah No
Kode
Sektor
Penyebaran ke Depan 0.6010 0.5682 1.2094 1.4348 1.6785 0.8953 1.2137 0.9185 0.7785 0.9135
Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori 10 besar sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44) yaitu sebesar 2.5302 dengan indeks tingkat penyebaran ke depan sebesar 0.6010, hal ini mengidikasikan bahwa sektor perdagangan besar dan eceran memperlihatkan adanya peningkatan output di sektornya. Dengan demikian dapat dikatakan peningkatan output dari sektor pedagang besar dan eceran dapat mencapai nilai sebesar 2.5302 kali lipat dibandingkan dengan ratarata peningkatan output di sektor lain apabila seluruh sektor ekonomi masingmasing mengalami kenaikan permintaan akhir sebesar 1 unit. Bila melihat indeks penyebaran ke depan dari sektor pedagang besar dan eceran yang menunjukkan nilai sebesar 0.6010 maka dapat diindikasikan bahwa sektor ini mempengaruhi
176
penciptaan terhadap output sektor-sektor ekonomi di Provinsi Maluku dimana penciptaan output sektor-sektor ekonomi tersebut tergantung secara merata pada sektor pedagang besar dan eceran. Sektor lain yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi namun mempunyai nilai indeks penyebaran ke depan terendah antara lain, sektor industri pengilangan minyak bumi (24), industri kerang-kerangan (36), industri kertas dan barang cetakan (37), air bersih (42) dan industri kain tenun (31). Sektor-sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi dan indeks penyebaran ke depan terendah seperti sektor-sektor di atas menunjukkan bahwa, sektor-sektor tersebut mengalami peningkatan output sebesar indeks
keterkaitan ke depan
dibandingkan dengan rata-rata peningkatan output di sektor lain apabila seluruh sektor ekonomi masing-masing mengalami kenaikan permintaan akhir sebesar 1 unit. Namun dengan indeks penyebaran ke depan yang rendah sektor-sektor ini mengindikasikan bahwa penciptaan output dari sektor-sektor ekonomi lainnya di Provinsi Maluku secara merata tergantung
pada sektor-sektor seperti, sektor
industri pengilangan minyak bumi, industri kerang-kerangan, industri kertas dan barang cetakan, air bersih dan industri kain tenun. Sektor-sektor ekonomi lainnya yang memiliki indeks keterkaitan ke depan tertinggi maupun indeks penyebaran ke depan tertinggi diatas rata-rata yakni lebih besar dari satu seperti, sektor kayu gelondongan (19), industri semen dan bahan galian bukan logam (39), padi (1), industri pupuk kimia dan barang dari karet (38). Dengan demikian sektor-sektor yang memiliki indeks penyebaran ke depan tertinggi diatas rata-rata yakni lebih besar dari satu mengindikasikan bahwa
177
sektor-sektor tersebut cukup memiliki daya penyebaran secara keseluruhan terhadap sektor-sektor ekonomi Provinsi Maluku. Pada Tabel 23 terlihat 10 sektor tingkat penyebaran ke depan tertinggi dengan tingkat keterkaitan ke depannya sebagai berikut: Tabel 23. Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Depan Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Depannya Provinsi Maluku, Tahun 2007 Kaitan ke Depan 1. Cengkih 0.1014 13 2. Padi 2.2355 1 3. Sayuran dataran rendah 0.0721 7 4. Perikanan 0.1635 21 5. Industri semen dan bahan galian bukan logam 2.2711 39 6. Kakao 0.2740 14 7. Industri makanan dan minuman lainnya 0.8254 30 8. Industri roti, biskuit dan sejenisnya 0.6444 28 9. Jeruk 0.0699 8 10. Jagung 0.0926 2 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah No
Kode
Sektor
Penyebaran ke Depan 1.7673 1.6785 1.6326 1.4657 1.4348 1.3708 1.3384 1.3298 1.2825 1.2815
Berdasarkan Tabel 23 terlihat ada 2 sektor yang memiliki tingkat penyebaran ke depan tertinggi atau indeks penyebaran ke depan tertinggi dan tingkat kaitan ke depan tertinggi yakni diatas rata-rata lebih besar dari satu. Ke dua sektor tersebut yaitu sektor padi (1), industri semen dan bahan galian bukan logam (39). Ke sepuluh sektor dengan tingkat penyebaran yang tinggi seperti pada Tabel 23 memperlihatkan bahwa sektor-sektor tersebut menunjukkan kebutuhan masukkan antara sektor-sektor tersebut dapak memberikan dampak peningkatan keluaran di atas rata-rata terhadap sektor lainnya. Dengan kata lain ke sepuluh sektor ini mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam mempengaruhi pertumbuhan perekonomian wilayah Provinsi Maluku secara keseluruhan. Sektor padi dan industri semen dan bahan galian bukan logam selain memiliki daya penyebaran yang cukup tinggi dan keterkaitan ke depan yang cukup besar maka
178
dapat dikatakan bahwa sektor-sektor ini mengindikasikan keluaran ke dua sektor ini mempunyai pengaruh yang lebih besar dari sektor-sektor lain
yang
menggunakan keluaran kedua sektor tersebut sebagai masukkan dibandingkan keluaran sektor lainnya.
6.4.2. Keterkaitan ke Belakang dan Penyebaran ke Belakang Indeks keterkaitan ke belakang (backward linkage) memiliki pengertian yang sama dengan indeks keterkaitan ke depan (forward linkage). Bila indeks keterkaitan ke belakang
memiliki nilai lebih besar dari satu berarti
derajat
kepekaan sektor tersebut diatas derajat kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Dengan mengukur indeks keterkaitan dan indeks penyebaran maka dapat diketahui keragaman ketergantungan antar sektor, indeks penyebaran
yang
tinggi pada suatu sektor berarti sektor tersebut hanya bergantung pada satu atau beberapa sektor saja. Tabel 24. Sepuluh Sektor Tingkat Keterkaitan ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Penyebarannya Provinsi Maluku , Tahun 2007 No
Kode
Sektor
Kaitan ke Belakang
Industri barang lain dari kayu dan hasil 3.0650 hutan lainnya 2. Industri kayu lapis 2.8358 33 3. Industri penggergajian kayu 2.7930 34 4. Bangunan 2.7718 43 5. Industri roti, biskuit dan sejenisnya 2.3732 28 6. Industri makanan dan minuman lainnya 2.0874 30 7. Industri kerang-kerangan 2.0398 36 8. Industri gula 2.0290 29 9. Industri kain tenun 2.0198 31 10. Industri minyak hewan dan nabati 1.9783 27 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah 1.
35
Penyebaran ke Belakang 0.7311 0.9860 1.0849 0.7400 0.5510 0.8164 1.8600 1.0695 1.0229 1.7922
179
Sedangkan
bila indeks penyebaran
mengindikasikan
suatu sektor rendah maka hal ini
bahwa sektor tersebut
tegantung secara merata terhadap
seluruh sektor perekonomian wilayah yang bersangkutan. Sektor-sektor yang memiliki tingkat keterkaitan ke belakang tertinggi dapat dilihat pada Tabel 24 hasil analisis keterkaitan ke belakang ini memperlihatkan sektor-sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke belakang tertinggi seperti, sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri kayu lapis (33), industri penggergajian kayu (34), bangunan (43), industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri makanan dan minuman lainnya (30) serta industri kerang-kerangan (36), industri gula (29) dan industri kain tenun (31) ke sembilan sektor tersebut merupakan sektor-sektor yang memiliki indeks keterkaitan ke belakang diatas rata-rata lebih besar dari satu yakni diatas dua. Dari kesepuluh sektor tersebut di atas yang memiliki nilai indeks penyebaran rendah yakni di bawah satu adalah, industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri kayu lapis (33),
bangunan (43),
industri
roti,
biskuit dan
sejenisnya (28), industri makanan dan minuman lainnya (30). Dengan memiliki nilai indeks penyebaran ke belakang yang rendah mengindikasikan bahwa ke lima sektor tersebut dengan indeks penyebaran rendah sekitar 0.5510 – 0.9680, tetapi memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang tinggi yakni diatas rata-rata maka sektor-sektor tersebut mampu mendorong peningkatan output seluruh sektor perekonomian wilayah Provinsi Maluku di atas rata-rata sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan rata-rata kemampuan
sektor ekonomi lainnya. Tetapi
dengan indeks penyebaran ke belakang yang rendah dari ke lima sektor tersebut
180
menunjukkan bahwa sektor-sektor ini masih sangat tergantung secara merata terhadap seluruh sektor ekonomi dalam perekonomian wilayah Provinsi Maluku. Sektor lain yang memiliki nilai indeks keterkaitan ke belakang di atas rata-rata lebih besar dari satu adalah, sektor industri minyak hewan dan nabat (27), industri penggilingan padi (25), industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki (32) dan industri kertas dan barang cetakan (37). Keempat sektor ini termasuk sektor-sektor yang mampu mendorong peningkatan output seluruh sektor perekonomian wilayah. Sepuluh sektor ekonomi yang memiliki nilai keterkaitan ke belakang tertinggi ternyata ada lima sektor yang memiliki indeks penyebaran ke belakang diatas satu yakni, sektor industri penggergajian kayu (34), industri kerangkerangan (36), industri gula (29), industri kain tenun (31), industri minyak hewan dan nabati (27). Dengan memiliki nilai indeks penyebaran ke belakang dan indeks keterkaitan ke belakang yang tinggi dapat diartikan bahwa kenaikan permintaan pada ke lima sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap kenaikan output perekonomian wilayah di Provinsi Maluku. Untuk itu sektor-sektor ini perlu menjadi perhatian dari pemerintah daerah dalam meningkatkan perannya apalagi sektor yang merupakan sektor potensial di daerah Maluku. Sektor potensial itu antara lain sektor industri kerang-kerangan (36) dan industri kain tenun (31). Untuk melihat sektor-sektor ekonomi Provinsi Maluku yang memiliki tingkat penyebaran ke belakang tertinggi dengan tingkat keterkaitannya dapat ditampilkan pada Tabel 25.
181
Tabel 25. Sepuluh Sektor Tingkat Penyebaran ke Belakang Tertinggi dengan Tingkat Keterkaitan ke Belakangnya Provinsi Maluku, Tahun 2007 Kaitan ke Penyebaran ke Belakang Belakang 1. Industri kerang-kerangan 2.0398 1.8600 36 2. Industri minyak hewan dan nabati 1.9783 1.7922 27 3. Buah-buahan lainnya 0.2329 1.7819 10 4. Pisang 0.2075 1.7743 9 5. Pala 0.2723 1.7646 15 6. Industri penggilingan padi 1.9391 1.7470 25 7. Kelapa 0.2389 1.6565 12 8. Ubi kayu 0.2163 1.5115 3 9. Kakao 0.3945 1.4955 14 10. Kacang-kacangan 0.2297 1.4278 5 Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah No
Kode
Sektor
Sesuai tabel diatas terlihat sepuluh sektor dengan tingkat penyebaran ke belakang tertinggi, tetapi ada tiga sektor yang memiliki tingkat penyebaran dan keterkaitan ke belakang yang tinggi berbeda dengan ke tujuh sektor lainnya sektor-sektor tersebut yaitu, sektor industri kerang-kerangan (36), industri minyak hewan dan nabati (27) dan industri penggilingan padi (25). Sektor-sektor yang memiliki tingkat penyebaran ke belakang tertinggi namun memiliki tingkat keterkaitan ke belakang yang rendah adalah, sektor buah-buahan (10), pisang (9), pala (15), kelapa (12), ubi kayu (3), kakao (14), dan kacang-kacangan (5). Sektorsektor yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi tetapi memiliki nilai keterkaitan ke belakang yang rendah biasanya di indentifikasikan sebagai sektor yang kenaikan
permintaannya
kurang
berpengaruh
terhadap
kenaikan
output
perekonomian wilayah Provinsi Maluku. Sebagai wilayah kepulauan dengan potensi sumberdaya alam yang melimpah tentunya sektor-sektor yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah daerah, apalagi sektor-sektor tersebut merupakan sektor-sektor local spesific. Kelima sektor dengan tingkat penyebaran ke belakang tertinggi ini sejak jaman penjajahan
182
merupakan sektor unggulan wilayah dengan demikian pemerintah daerah harus mampu mengelola sumberdaya alam potensial (local spesific) tersebut menjadi sektor unggulan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
VII. KONEKTIVITAS SEKTOR-SEKTOR EKONOMI UNGGULAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU
7.1. Potensi Lokal Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki
potensi
sumberdaya alam yang heterogen dan berlimpah namun dari sisi percepatan pembangunan wilayah ini masih jauh tertinggal dari wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Keterbatasan
dalam
mengidentifikasi/menentukan
sektor-sektor
unggulan wilayah ini sangat tergantung dari arah dan strategi kebijakan serta tujuan pembangunan dan pengembangan wilayah Provinsi Maluku. Tujuan pembangunan pengembangan wilayah yang tidak terpusat
pada satu pusat
pertumbuhan dan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah kabupaten/kota belum menjadi prioritas utama dari tujuan pembangunan Provinsi Maluku. Dengan adanya tujuan pembangunan yang ingin dicapai dalam meningkatkan ekonomi wilayah dan menjadikan wilayah lain sebagai pusat pertumbuhan baru (new growth poles) maka pengembangan pembangunan wilayah sebaiknya di arahkan pada kapasitas wilayah yang berbasis bahari/maritim sebagai kekuatan potensi terbesar. Penentuan arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah yang berbasis pada kapasistas atau potensi lokal (local spesific) wilayah harus mampu mengidentifikasi/ menemukenali dan mengembangkan sektor-sektor unggulan selain memiliki nilai tambah dan mampu memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang (linkages) terhadap
sektornya
sendiri
dan
sektor-sektor
lainnya.
Percepatan
dan
pengembangan sektor-sektor unggulan menjadi dasar untuk meningkatkan PDRB.
184
Meningkatnya PDRB tidak dilihat dari sisi struktur output yang besar, nilai tambah bruto tetapi mampu meningkatkan nilai pengganda dari output, pendapatan, tenaga kerja dan memberikan keterkaitan (linkages) dengan sektor lainnya sebagai sektor pendorong utama (prime mover). Selain itu sektor unggulan tidak hanya didasarkan pada posisi relatifnya yang kuat karena hasil perhitungan mengindentifikasikan posisi unggul namun harus memperhatikan posisi relatif sektor yang lemah tetapi memiliki nilai strategis dengan mempertimbangkan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah yang belum tergarap atau yang sudah tetapi belum dikelola secara optimal. Hasil
indentifikasi
sektor-sektor
ekonomi
Provinsi
Maluku
memperlihatkan beberapa sektor yang sangat berpengaruh dalam penentuan ekonomi wilayah. Sektor-sektor unggulan dimaksud dalam analisis penelitian dipahami sebagai sektor yang dapat berkembang serta mampu menggerakkan sistem perekonomian wilayah domestiknya maupun di luar wilayah tersebut. Dengan pemikiran di atas maka arah dan strategi kebijakan pembangunan Provinsi Maluku harus dikembangkan atas dasar kemampuan setiap wilayah atau pusat pengmebangan dalam mengembangkan sektor-sektor unggulan berbasis local spesific. Berkaitan dengan pemahaman tersebut pengembangan kawasan sentra produksi wilayah kepulauan Provinsi Maluku harus mampu memberi makna pada pengertian pengembangan kawasan itu sendiri. Bappeda Provinsi Maluku (1999) mendefenisikan kawasan sentra produksi sebagai wilayah yang dikembangkan atas dasar potensi wilayah tersebut yang secara geografis memiliki hubungan satu dengan lainnya sehingga secara keseluruhan dapat mempercepat akselerasi atau aksesbilitas pembangunan wilayahnya Pengembangan kawasan sentra produksi
185
yang di dasarkan pada potensi wilayah adalah bagian dari strategi kebijakan untuk menjawab berbagai tantangan seperti, letak geografis yang jauh atau relatif terpencil dan sulit dijangkau, potensi sumberdaya yang belum tergarap dan dikelola dengan baik, kualitas sumberdaya manusia yang relatif rendah, kegiatan investasi
dan produksi yang rendah serta kondisi fasilitas pelayanan atau
infrastruktur sosial ekonomi yang kurang memadai. Untuk itu dengan mengidentifikasi/menemukenali sektor-sektor unggulan berbasis potensi lokal (local spesific) akan mendorong percepatan pembangunan wilayah khususnya pada wilayah-wilayah yang karakteristik geografisnya adalah wilayah kepulauan (archipelago). Pemanfaatan kapasitas atau potensi lokal wilayah harus mampu dijadikan sebagai bahan pertimbangan
dalam perencanaan pembangunan
di
Provinsi Maluku. Berdasarkan hasil analisis maka perlu adanya percepatan pengembangan sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan wilayah. Berdasarkan studi tipologi kabupaten/kota (1999), dikatakan bahwa sektor unggulan adalah sektor yang mampu menggambarkan posisi relatif sektor tersebut terhadap perekonomian wilayah maupun nasional dengan kemampuannya sebagai sektor ungggulan dan mampu mendorong percepatan pembangunan wilayah. Untuk itu percepatan pengembangan sektor unggulan harus mampu menggerakkan roda perekonomian dan mempercepat proses penciptaan pusat pertumbuhan baru (new growth poles) diwilayahnya dan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan (growth pole) saja. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penentuan sektor unggulan harus didasari pada kapasitas dan potensi lokal (local spesific) wilayah sehingga menjadi acuan didalam penentuan tujuan perencanaan pembangunan
186
dengan arah dan strategi kebijakan pemerintah selain hasil analisis yang telah dilakukan saat ini. Perencanaan
pembangunan wilayah yang sesuai dengan
kapasitas atau potensi lokal wilayah dan menemukenali sektor unggulannya akan mampu dalam pengembangan wilayah kawasan sentra produksi.
Didalam
menunjang proses pembangunan berdasarkan konteks wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku, kawasan sentra produksi akan meningkatkan interaksi atau keterkaitan satu wilayah dengan wilayah lain baik secara spasial maupun fungsional. Arah dan strategi kebijakan pengembangan sektor-sektor ekonomi wilayah melalui
identifikasi/menemukan sektor unggulannya
dan
dapat
meningkatkan kawasan sentra produksinya akan menciptakan fungsi pusat pengembangan atau pertumbuhan baru di wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
7.1.1. Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto Berdasarkan
klasifikasi sepuluh sektor terbesar dari struktur output
dengan nilai tambah bruto maka diperoleh sektor-sektor unggulan (key sector dan leading sector). Key sector merupakan sektor unggulan yang memiliki nilai struktur output maupun nilai tambah bruto tertinggi sedangkan leading sector adalah sektor pemimpin yang memiliki salah satu nilai tertinggi dari ke dua nilai tersebut yakni struktur output atau nilai tambah bruto dapat dilihat pada Tabel 26 di bawah ini:
187
Tabel 26.
Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Struktur Output dan Nilai Tambah Bruto di Provinsi Maluku, Tahun 2007
No
Kode
Uraian Sektor
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
2.
21
Perikanan
3.
56
4. 5. 6.
34
7. 8.
Nilai Struktur Output (Juta Rp)
Uraian Sektor
Nilai Tambah Bruto (Juta Rp)
No
Kode
1 589 164
1
44
1 167 713
2
21
Pemerintahan umum dan pertahanan
937 168
3
56
43
Bangunan
251 136
4
3
Perdagangan besar dan eceran Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Ubi kayu
48
237 998
5
13
Cengkih
170 270
228 269
6
54
Sewa bangunan
161 294
49
Angkutan Air Industri penggergajian kayu Angkutan udara
219 686
7
47
Angkutan darat
154 110
13
Cengkih
214 141
8
48
Angkutan Air
143 136
9.
47
Angkutan darat
205 383
9
49
Angkutan udara
141 396
10.
54
Sewa bangunan
205 138
10
12
Kelapa
137 255
1 090 154 902 204 835 498 181 755
Sumber: Tabel Input-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Hasil konektivitas sepuluh sektor terbesar dari struktur output dan nilai tambah bruto terlihat
hasil dari kedua nilai tersebut
terdapat
enam sektor
unggulan (key sector) di Provinsi Maluku. Sektor-sektor yang termasuk dalam enam sektor unggulan tersebut antara lain: sektor perdagangan besar dan eceran (44), perikanan (21), pemerintahan umum dan pertahanan (56), angkutan air (48), angkutan darat (47) dan sewa bangunan (54). Dengan hasil konektivitas kedua kriteria analisis Input-Output yang dilakukan ternyata sektor-sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki sumbangan terbesar dalam pembentukan output secara keseluruhan dan memiliki nilai tambah bruto atau balas jasa terhadap faktor produksi yang tercipta karena adanya kegiatan produksi yang dilakukan oleh sektor-sektor tersebut. Oleh sebab itu suatu sektor yang memiliki struktur output dan nilai tambah bruto yang besar menunjukkan bahwa sektor tersebut termasuk dalam sektor yang unggul bila dilihat dari konektivitas struktur output dan nilai tambah bruto. Hasil konektivitas untuk menentukan sektor-sektor unggulan (key
188
sector) dari analisis konektivitas yang dilakukan pada struktur output dan nilai tambah bruto dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output dengan Nilai Tambah Bruto, Tahun 2007 No
Kode
Uraian Sektor
1.
44
2.
21
3.
56
Perdagangan besar dan eceran Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan
4.
48
5. 6.
Nilai Struktur Output (Juta Rp)
Uraian Sektor
Nilai Tambah Bruto (Juta Rp)
No
Kode
1.589.164
1
44
1.167.713
2
21
937.168
3
56
Angkutan Air
237.998
4
48
Perdagangan besar dan eceran Perikanan Pemerintahan umum dan pertahanan Angkutan Air
47
Angkutan darat
205.383
5
47
Angkutan darat
154.110
54
Sewa bangunan
205.138
6
54
Sewa bangunan
161.294
1.090.154 902.204 835.498 143.136
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
7.1.2. Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Multiplier Effect Berdasarkan klasifikasi sepuluh sektor terbesar dari analisis multiplier effect yakni pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja terlihat sektor-sektor unggulan (key sector dan leading sector). Key sector merupakan sektor unggulan yang memiliki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja tertinggi sedangkan leading sector adalah sektor pemimpin yang memiliki salah satu nilai tertinggi dari ke tiga nilai pengganda tersebut. Sepuluh sektor terbesar tersebut dapat dilihat pada Tabel 28. Sektor-sektor yang termasuk dalam kategori sektor unggulan dan memenuhi syarat sebagai sektor unggulan adalah sektor yang memilki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja tertinggi serta memiliki konektivitas diantara ke tiga nilai pengganda tersebut. Hasil analisis konektivitas pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja seperti terlihat pada Tabel 28. diperoleh sektor-sektor unggulan sebagai berikut: sektor industri kayu lapis (33),
Tabel 28.
Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Analisis Pengganda Tahun 2007
No
Kode
Uraian Sektor
1
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
Nilai
No
Kode
1
43
Bangunan
2.0403
(Multiplier Effect), Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja,
Uraian Sektor
Nilai
No
Kode
uraian sektor
Nilai
3.0279
1.
44
Pedagang besar eceran
16.5893
2.3251
2.
34
Industri penggergajian kayu
14.7396
2
43
Bangunan
1.9565
2
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya
3
33
Industri kayu lapis
1.8862
3
33
Industri kayu lapis
2.1812
3.
54
Sewa bangunan
14.7065
4
34
Industri penggergajian kayu
1.8311
4
34
Industri Penggergajian kayu
2.1081
4.
33
Industri kayu lapis
12.7934
5
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.6962
5
25
Industri penggilingan padi
1.8046
5.
49
Angkutan udara
5.5557
6
31
Industri kain tenun
1.6314
6
54
Sewa bangunan
1.8004
6.
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
4.9105
7
40
Industri lainnya
1.6309
7
28
Industri minyak hewan dan nabati
1.7871
7.
30
Industri makanan dan minuman lainnya
4.1120
8
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.6121
8
31
Industri kain tenun
1.7770
8.
57
Jasa sosial kemanusiaan
3.6553
9
37
Industri kertas dan barang cetakan
1.5537
9
29
Industri gula
1.7171
9.
25
Industri penggilingan padi
3.4125
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
3.0219
10
25
Industri penggilingan padi
1.5377
10
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.7093
10.
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating,Tahun 2007. Data Diolah
Tabel 29.
Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Pengganda (Multiplier Effect), Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja, Tahun 2007
No
Kode
Uraian Sektor
1
33
Industri kayu lapis
2
28
3 4
Nilai Output
No
Kode
Uraian Sektor
1.8862
1
33
Industri kayu lapis
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.6962
2
28
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.6121
3
25
Industri penggilingan padi
1.5377
4
Nilai Pendapatan
no
Kode
uraian sektor
Nilai TK
2.1812
1.
33
Industri kayu lapis
Industri minyak hewan dan nabati
1.7871
2.
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
4.9105
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.7093
3.
30
Industri makanan dan minuman lainnya
4.1120
25
Industri penggilingan padi
1.8046
4.
25
Industri penggilingan padi
3.4125
12.7934
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
189
190
industri roti, biskuit dan sejenisnya (28), industri makanan dan minuman lainnya (30), serta industri penggilingan padi (25) Sektor-sektor yang termasuk dalam sektor unggulan berdasarkan hasil konektivitas berdasarkan kriteria pengganda memperlihatkan bahwa ke empat sektor tersebut memiliki nilai pengganda output, pendapatan maupun tenaga kerja terbesar baik dari sisi pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja. Sektorsektor unggulan dimaksud menujukkan bahwa jika terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap sektor-sektor tersebut
akan memberikan dampak yang positif
terhadap output seluruh sektor, pendapatan masyarakat serta memiliki kemampuan didalam menciptakan kesempatan kerja pada seluruh sektor unggulan wilayah kepulauan di Provinsi Maluku.
191
7.1.3. Konektivitas Keunggulan Sektoral Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor Salah satu keunggulan dari analisis keterkaitan antarsektor (Intersectoral Linkages) yaitu dapat mengetahui seberapa besar tingkat hubungan atau keterkaitan antarsektor ekonomi. Keterkaitan antarsektor ekonomi dapat berupa keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun ke depan (forward linkages). Backward linkages merupakan hubungan dengan bahan mentah sedangkan forward linkages merupakan hubungan dengan penjualan barang jadi. Konektivitas sepuluh sektor terbesar dari kriteria backward linkages dan forward linkages menghasilkan beberapa sektor unggulan berdasarkan analisis dari kedua kriteria tersebut. Sektor-sektor unggulan berdasarkan konektivitas keriteria backward dan forward linkages seperti terlihat pada Tabel 30 dan Tabel 31 yaitu: sektor industri kerang-kerangan (36) dan industri kain tenun (31). Hasil analisis memperlihatkan bahwa ke tiga sektor tersebut secara konektivitas mampu memberikan nilai keterkaitan ke belakang dan ke depan yang tinggi. Dengan demikian ketiga sektor ini memiliki nilai penyebaran dan nilai kepekaan yang tinggi diatas derajat penyebaran maupun kepekaan rata-rata secara keseluruhan. Selain itu nilai penyebaran dan kepekaan dari ketiga sektor unggulan dimaksud dapat diartikan memiliki kemampuan untuk mendorong penciptaan dan peningkatan output secara merata pada seluruh sektor perekonomian wilayah kepualaun Provinsi Maluku. Tabel 31 memperlihatkan hasil konektivitas dari hasil analisis intersectoral linkages.
192
Tabel 30. No
Kode
Sepuluh Sektor Terbesar dengan Kriteria Keterkaitan Antarsektor di Provinsi Maluku, Tahun 2007 Uraian Sektor Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu
Kaitan ke Belakang
Uaraian Sektor
Kaitan ke Depan
No
Kode
3.0650
1
44
Pedagang besar dan eceran
2.5302
2.8358
2
24
Industri pengilangan minyak bumi
2.4422
2.7930
3
19
Kayu gelondongan
2.3962
2.7718
4
39
Industri semen dan bahan galian bukan logam
2.2711
2.3732
5
1
Padi
2.2355
2.0874
6
36
Industri kerangkerangan
2.0655
1
35
2
33
3
34
4
43
5
28
6
30
7
36
Industri kerangkerangan
2.0398
7
38
8
29
Industri gula
2.0290
8
37
9
31
2.0198
9
42
Air bersih
1.6708
10
27
1.9783
10
31
Industri kain tenun
1.3305
Bangunan Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya
Industri kain tenun Industri minyak hewan dan nabati
Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan
1.9076
1.8402
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Tabel 31.
Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Keterkaitan Antarsektor (linkages) Tahun 2007
No
Kode
Uraian Sektor
1
36
Industri kerangkerangan
2
31
Industri kain tenun
Kaitan ke Belakang
Uraian Sektor
Kaitan ke Depan
No
Kode
2.0398
1
36
Industri kerangkerangan
2.0655
2.0198
2
31
Industri kain tenun
1.3305
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
7.1.4. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Analisis Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Multiplier Effect. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Intersectoral Linkages. Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Multiplier Effect dan Intersectoral Linkages. Hasil konektivitas dari analisis Input-Output berdasarkan kriteria analisis struktur output, nilai tambah bruto, multiplier efek dan keterkaitan antar sektor seperti yang diperlihatkan pada Tabel 39 menunjukkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu mengidentifikasi/menemukenali sektor-sektor
193
unggulan wilayahnya. Hal ini terlihat dari sektor-sektor unggulan yang diperoleh masih bersifat parsial yaitu hanya ditentukan berdasarkan pembuat atau pengambil kebijakan di daerah ini. Banyaknya sektor-sektor berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan yang belum dikembangkan dengan baik. Sektor berbasis potensi lokal wilayah kepulauan dapat dilihat pada Tabel 32 dimana sektor perikanan (27), angkutan air (48) merupakan sektor terbesar dalam struktur output maupun nilai tambah bruto di Provinsi Maluku. Bila dilihat dari konektivitas berdasarkan analisis kriteria multiplier effect dengan struktur output dan nilai tambah bruto maka sektor-sektor tersebut seperti sektor perikanan (27), angkutan air (48) tidak memperlihatkan adanya perubahan pengganda dari sektor-sektor tersebut (sektor unggulan berdasarkan kriteria struktur output, nilai tambah bruto) terhadap penciptaan output, pendapatan dan kesempatan kerja. Sektor-sektor unggulan wilayah berdasarkan kriteria multiplier effectpun tidak memperlihatkan konektivitas yang positif terhadap sektor-sektor terbesar dari struktur output dan nilai tambah bruto. Dengan demikian sektor unggulan dari analisis struktur output, nilai tambah bruto berbeda dengan sektor unggulan berdasarkan kriteria analisis multiplier effect. Bila melihat hasil penentuan sektor unggulan yang didasarkan pada kriteria di atas maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu menentukan arah dan strategi kebijakan pengembangan perekonomian wilayah yang berbasis pada potensi lokal wilayah. Hal ini dapat dilihat dari besarnya peran pemerintah daerah Provinsi Maluku yang lebih mengutamakan pencapaian pertumbuhan ekonomi dari sektor-sektor terbesar dalam analisis multiplier effect. Biasanya pemerintah daerah lebih menggunakan kriteria angka pengganda untuk
194
perencanaan
pembangunan
wilayah
untuk
meningkatkan
pertumbuhan
ekonominya. Sektor-sektor terbesar berdasarkan kriteria multiplier effect tidak memperlihatkan sektor-sektor yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan potensi lokalnya yang besar di sektor pertanian tidak memperlihatkan besarnya peran sektor-sektor ini. Umumnya sektor-sektor yang memiliki nilai pengganda terbesar adalah sektor-sektor yang bukan merupakan sektor yang berbasis potensi lokal wilayah hal ini dapat dilihat pada Tabel 28 dan 29. Dari hasil analisis multiplier effect tersebut terlihat bahwa pemerintah daerah lebih mengutamakan aspek pengganda pada output, pendapatan dan tenaga kerja sehingga diindikasikan pemerintah daerah lebih mengejar tingkat pertumbuhan ekonomi dalam menentukan perencanaan pembangunan di Provinsi Maluku. Konektivitas
sepuluh
sektor terbesar berdasarkan
kriteria analisis
terhadap struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages memperlihatkan adanya keunggulan sektoral yang berbeda diantara kriteria-kriteria
analisis tersebut.
Perbedaan hasil analisis tersebut yang
dilakukan berdasarkan hasil konektivitas diantara kriteria-kriteria analisis inputOutput memperlihatkan bahwa pemerintah daerah Provinsi Maluku belum mampu mengidentifikasikan/menemukenali sektor-sektor unggulan wilayahnya yang berbasis potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan dan masih kuatnya daya tarik pusat pertumbuhan Kota Ambon dari wilayah lain di sekitarnya.
Tabel 32. No
1
Kode
44
Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Angka Pengganda (Multiplier Effect), Tahun 2007 Sektor
Perdaganga n besar dan eceran
Nilai
1.589.164
No
1
Kode
44
Sektor
Perdagangan besar dan eceran
Nilai
1.090.154
No
1
Kode
35
Sektor Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
Nilai
2.0403
No
1
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
43
Bangunan
3.0279
1
44
Pedagang besar eceran
16.5893
2.3251
2
34
Industri penggergajia n kayu
14.7396
2.1812
3
54
Sewa bangunan
14.7065
2.1081
4
33
Industri kayu lapis
12.7934
1.8046
5
49
Angkutan udara
5.5557
1.167.713
2
21
Perikanan
902.204
2
43
Bangunan
1.9565
2
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya
Pemerintaha n umum dan pertahanan
937.168
3
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
835.498
3
33
Industri kayu lapis
1.8862
3
33
Industri kayu lapis
43
Bangunan
251.136
4
3
Ubi kayu
181.755
4
34
1.8311
4
34
5
48
Angkutan Air
237.998
5
13
Cengkih
170.270
5
28
1.6962
5
25
6
34
Industri penggergaji an kayu
228.269
6
54
Sewa bangunan
161.294
6
31
Industri kain tenun
1.6314
6
54
Sewa bangunan
1.8004
6
28
7
49
Angkutan udara
219.686
7
47
Angkutan darat
154.110
7
40
Industri lainnya
1.6309
7
28
Industri minyak hewan dan nabati
1.7871
7
30
1.6121
8
31
Industri kain tenun
1.7770
8
57
Jasa sosial kemanusiaa n
3.6553
1.5537
9
29
Industri gula
1.7171
9
25
Industri penggilinga n padi
3.4125
30
Industri makanan dan minuman lainnya
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
3.0219
2
21
Perikanan
3
56
4
8
13
Cengkih
214.141
8
48
Angkutan Air
143.136
8
30
9
47
Angkutan darat
205.383
9
49
Angkutan udara
141.396
9
37
10
54
Sewa bangunan
205.138
10
12
Kelapa
137.255 10
25
Industri penggergajia n kayu Industri roti, biskuit dan sejenisnya
Industri makanan dan minuman lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri penggilingan padi
1.5377 10
Industri Penggergaji an kayu Industri penggilinga n padi
1.7093 10
Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya
4.9105
4.1120
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
195
196
Tabel 33. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dan Multiplier Effect , Tahun 2007 No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
1.589.164
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
2.
21
Perikanan
1.167.713
2.
21
3.
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
937.168
3.
4.
48
Angkutan Air
237.998
5.
47
Angkutan darat
6.
54
Sewa bangunan
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
1.090.154
1
33
Industri kayu lapis
1.8862
1
33
Industri kayu lapis
2.1812
1.
33
Industri kayu lapis
12.7934
Perikanan
902.204
2
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.6962
2
28
Industri minyak hewan dan nabati
1.7871
2.
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
6.9105
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
835.498
3
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.6121
3
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.7093
3.
30
Industri makanan dan minuman lainnya
4.1120
4
48
Angkutan Air
143.136
4
25
Industri penggilingan padi
1.5377
4
25
Industri penggilingan padi
1.8046
4.
25
Industri penggilingan padi
3.4125
205.383
5
47
Angkutan darat
154.110
205.138
6
54
Sewa bangunan
161.294
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Tabel 34. Sepuluh Sektor Terbesar dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Uraian Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Kaitan ke Belakang
No
Kode
3.0650
1
44
Pedagang besar dan eceran
2.5302
Uaraian Sektor
Kaitan ke Depan
1.090.154
1
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
Perikanan
902.204
2
33
Industri kayu lapis
2.8358
2
24
Industri pengila-ngan minyak bumi
2.4422
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
835.498
3
34
Industri penggergajian kayu
2.7930
3
19
Kayu gelondongan
2.3962
4.
3
Ubi kayu
181.755
4
43
Bangunan
2.7718
4
39
Industri semen dan bahan galian bukan logam
2.2711
237.998
5.
13
Cengkih
170.270
5
28
2.3732
5
1
Padi
2.2355
Industri penggergajian kayu
228.269
6.
54
Sewa bangunan
161.294
6
30
2.0874
6
36
Industri kerangkerangan
2.0655
49
Angkutan udara
219.686
7.
47
Angkutan darat
154.110
7
36
Industri kerangkerangan
2.0398
7
38
8.
13
Cengkih
214.141
8.
48
Angkutan Air
143.136
8
29
Industri gula
2.0290
8
37
9.
47
Angkutan darat
205.383
9.
49
Angkutan udara
141.396
9
31
2.0198
9
42
Air bersih
1.6708
10.
54
Sewa bangunan
205.138 10.
12
Kelapa
137.255
10
27
1.9783
10
31
Industri kain tenun
1.3305
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
1.589.164
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
2.
21
Perikanan
1.167.713
2.
21
3.
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
937.168
3.
4.
43
Bangunan
251.136
5.
48
Angkutan Air
6.
34
7.
Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya
Industri kain tenun Industri minyak hewan dan nabati
Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan
1.9076
1.8402
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
197
198 Tabel 35. Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No
Kode
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
1.589.164
1.
44
Perdagangan besar dan eceran
2.
21
Perikanan
1.167.713
2.
21
3.
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
937.168
3.
4.
48
Angkutan Air
237.998
5.
47
Angkutan darat
54
Sewa bangunan
6.
Sektor
Nilai
No
Kode
Uraian Sektor
Nilai
No
Kode
1.090.154
1
36
Perikanan
902.204
2
31
56
Pemerintahan umum dan pertahanan
835.498
4
48
Angkutan Air
143.136
205.383
5
47
Angkutan darat
154.110
205.138
6
54
Sewa bangunan
161.294
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Sektor Industri kerangkerangan Industri kain tenun
Kaitan ke Belakang
No
Kode
2.0398
1
36
2.0198
2
31
Uaraian Sektor Industri kerangkerangan Industri kain tenun
Kaitan ke Depan 2.0655 1.3305
Tabel 36. No
1
Sepuluh Sektor Terbesar dari Pengganda (Multiplier Effect) dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007
Kode
Sektor
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
Nilai
2.0403
No
1
Kode
Sektor
43
Bangunan
Nilai
No
Kode
Sektor
44
Pedagang besar dan eceran
14.7396
3.0279
1 .
2.3251
2 .
34
Industri penggergajia n kayu
Nilai
16.5893
No
Kode
Sektor
Kaitan ke Belakang
No
Kode
Uaraian Sektor
Kaitan ke Depan
3.0650
1
44
Pedagang besar dan eceran
2.5302
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
2
33
Industri kayu lapis
2.8358
2
24
1
2
43
Bangunan
1.9565
2
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya
3
33
Industri kayu lapis
1.8862
3
33
Industri kayu lapis
2.1812
3 .
54
Sewa bangunan
14.7065
3
34
Industri penggergajia n kayu
2.7930
3
19
4
34
Industri penggergajia n kayu
1.8311
4
34
Industri Penggergajia n kayu
2.1081
4 .
33
Industri kayu lapis
12.7934
4
43
Bangunan
2.7718
4
39
5
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.6962
5
25
Industri penggilingan padi
1.8046
5 .
49
Angkutan udara
5.5557
5
28
2.3732
5
1
Padi
2.2355
6
31
Industri kain tenun
1.6314
6
54
Sewa bangunan
1.8004
6 .
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
4.9105
6
30
2.0874
6
36
Industri kerangkerangan
2.0655
7
40
Industri lainnya
1.7871
7 .
30
Industri makanan dan minuman lainnya
4.1120
7
8
30
9
37
10
25
Industri makanan dan minuman lainnya Industri kertas dan barang cetakan Industri penggilingan padi
Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri makanan dan minuman lainnya
Industri pengilangan minyak bumi Kayu gelondong an Industri semen dan bahan galian bukan logam
Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri kertas dan barang cetakan
2.4422
2.3962
2.2711
1.6309
7
28
Industri minyak hewan dan nabati
1.6121
8
31
Industri kain tenun
1.7770
8 .
57
Jasa sosial kemanusiaan
3.6553
8
29
Industri gula
2.0290
8
37
1.5537
9
29
Industri gula
1.7171
9 .
25
Industri penggilingan padi
3.4125
9
31
Industri kain tenun
2.0198
9
42
Air bersih
1.6708
30
Industri makanan dan minuman lainnya
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
3.0219
10
27
Industri minyak hewan dan nabati
1.9783
10
31
Industri kain tenun
1.3305
1.5377 10
1.7093 10.
36
Industri kerangkerangan
2.0398
7
38
1.9076
1.8402
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
199
200
Tabel
37.
Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Multiplier Effect dengan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007
No
Kode
Sektor
1
33
Industri kayu lapis
2
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
3
30
4
25
Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi
Nilai
No
Kode
1.8862
1
33
1.6962
2
28
1.6121
3
30
1.5377
4
25
Sektor
Nilai
Industri kayu lapis Industri minyak hewan dan nabati Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi
No
Kode
Sektor
2.1812
1
33
Industri kayu lapis
1.7871
2
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.7093
3
30
1.8046
4
25
Industri makanan dan minuman lainnya Industri penggilingan padi
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
Nilai
No
Kode
12.7934
1
36
Industri kerangkerangan
4.9105
2
31
Industri kain tenun
4.1120
3.4125
Sektor
Kaitan ke Belakang
Uaraian Sektor
Kaitan ke Depan
No
Kode
2.0398
1
36
Industri kerangkerangan
2.0655
2.0198
2
31
Industri kain tenun
1.3305
Tabel 38. Keunggulan Sektoral dari Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Pengganda, Keterkaitan Antarsektor, Tahun 2007 No Kode
1
1.
2.
3.
2
44
Sektor
Nilai
3
4
Perdagan gan besar dan eceran
21
Perikanan
56
Pemerinta han umum dan pertahana n
1.589.164
1.167.713
937.168
No Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Kaitan ke belakang
No Kode
Sektor
Kaita n ke depan
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25 26
27
28
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
1
43
Bangun an
3.0279
44
Pedagan g besar eceran
16.5893
33
Industri kayu lapis
2.8358
1
44
Pedaga ng besar dan eceran
2.5302
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil lainnya
2.3251
34
Industri pengger gajian kayu
14.7396
43
Bangun an
2.7718
2
24
Industri pengila -ngan minyak bumi
2.4422
33
Industri kayu lapis
54
Sewa banguna n
28
Industri roti, biskuit dan sejenisn ya
2.3732
3
19
Kayu gelond ongan
2.3962
2.1081
33
Industri kayu lapis
12.7934
4
30
Industri makana n dan minuma n lainnya
2.0874
4
39
Industri semen dan bahan galian bukan logam
2.2711
49
Angkuta n udara
5.5557
5
36
Industri kerangkeranga n
2.0398
5
1
Padi
2.2355
28
Industri roti, biskuit dan sejenisn ya
4.9105
6
31
Industri kain tenun
2.0198
6
36
Industri kerangkerang an
2.0655
30
Industri makanan dan minuma n lainnya
4.1120
7
27
Industri minyak hewan dan nabati
1.9783
7
38
Industri pupuk kimia dan barang dari karet
1.9076
57
Jasa sosial kemanus iaan
3.6553
8
25
Industri penggili ngan padi
1.9391
8
37
Industri kertas dan barang cetakan
1.8402
5
6
7
1.
44
Perdaganga n besar dan eceran
2.
3.
21
Perikanan
56
Pemerintah an umum dan pertahanan
1.090.154
902.204
835.498
1
2
3
2.0403
43
Bangunan
1.9565
33
Industri kayu lapis
1.8311
4
34
Industri Pengge rgajian kayu
1.8862
2
3
2.1812
4.
43
Bangunan
251.136
4.
3
Ubi kayu
181.755
4
34
Industri penggergaji an kayu
5.
48
Angkutan Air
237.998
5.
13
Cengkih
170.270
5
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.6962
5
25
Industri penggil ingan padi
1.8046
6.
34
Industri penggerga jian kayu
228.269
6.
54
Sewa bangunan
161.294
6
31
Industri kain tenun
1.6314
6
54
Sewa bangun an
1.8004
1.7871
1.7770
7.
49
Angkutan udara
219.686
7.
47
Angkutan darat
154.110
7
40
Industri lainnya
1.6309
7
28
Industri minyak hewan dan nabati
8.
13
Cengkih
214.141
8.
48
Angkutan Air
143.136
8
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.6121
8
31
Industri kain tenun
1
2
3
4
5
6
7
8
14.7065
1
2
3
201
202
1
9.
10.
2
47
54
3
Angkutan darat
Sewa bangunan
4
205.383
205.138
5
9.
6
49
10. 12
7
Angkutan udara
Kelapa
8
141.396
137.255
9
10
9
10
11
37
Industri kertas dan barang cetakan
25
Industri penggilinga n padi
12
1.5537
1.5377
13
9
10
14
15
29
Industri gula
30
Industri makana n dan minum an lainnya
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
16
1.7171
1.7093
17
9
10
18
19
20
25
Industri penggili ngan padi
3.4125
35
Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
3.0219
21
22
23
24
25
26
27
28
9
32
Industri tekstil bahan dari kulit dan alas kaki
1.8072
9
42
Air bersih
1.6708
10
37
Industri kertas dan barang cetakan
1.7852
10
31
Industri kain tenun
1.3305
Tabel 39. Konektivitas Sektor Unggulan Berdasarkan Kriteria Struktur Output, Nilai Tambah Bruto, Multiplier Effect dan Keterkaitan Antarsektor (Intersectoral Linkages), Tahun 2007 No
Kode 1
2
Sektor
Nilai
3
4
No
Kode 5
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
1
33
Industri kayu lapis
1.090.154
1
33
Industri kayu lapis
1.8862
1
44
Perdagang an besar dan eceran
2
21
Perikanan
1.167.713
2.
21
Perikanan
902.204
2
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
1.6962
2
28
3
56
Pemerinta han umum dan pertahana n
937.168
3.
56
Pemerinta han umum dan pertahana n
835.498
3
30
Industri makanan dan minuman lainnya
1.6121
3
30
48
Angkutan Air
4
25
Industri penggilingan padi
1.5377
4
25
4
48
5
47
6
54
Angkutan Air Angkutan darat Sewa bangunan
1.589.164
1.
44
Perdagang an besar dan eceran
237.998
4
205.383
5
47
205.138
6
54
Angkutan darat Sewa bangunan
143.136
Industri minyak hewan dan nabati Industri makana n dan minum an lainnya Industri penggil ingan padi
No Kode 17
18
Sektor
Nilai
19
20
Sektor
Kaitan ke belakang
No Kode
22
23
24
25 26
2.0398
1
2.0198
2
No Kode 21
2.1812
1
33
Industri kayu lapis
12.7934
1
36
Industri kerangkeranga n
1.7871
2
28
Industri roti, biskuit dan sejenisnya
4.9105
2
31
Industri kain tenun
1.7093
3
30
Industri makanan dan minuman lainnya
4.1120
1.8046
4
25
Industri penggiling an padi
3.4125
Sektor 27
Kaita n ke depan 28
36
Industri kerangkerangan
2.0655
31
Industri kain tenun
1.3305
154.110 161.294
Sumber: Tabel Inpuit-Output Provinsi Maluku Updating, Tahun 2007. Data Diolah
203
204
7.2. Kebijakan Final Demand Impacts Terhadap Sektor-Sektor Perekonomian Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Berdasarkan penentuan sektor unggulan wilayah yang telah dilakukan terdahulu
maka Provinsi Maluku sebagai wilayah berbasis bahari/maritim perlu
menguji final demand impacts
sebagai salah satu terapan analisis kompenen
permintaan akhir dari sektor-sektor yang berpengaruh di wilayah kepulauan ini. Sebagai terapan pada salah satu komponen permintaan akhir yakni
ekspor dari
sektor-sektor yang berhubungan dengan karakteristik wilayah maka diperoleh hasil output permintaan akhir dari beberapa sektor yang memiliki indikator ekonomi wilayah kepulauan. Sektor-sektor yang dianggap berbasis wilayah kepulauan seperti, sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48), perikanan dan dilakukan kombinasi antarsektor sekaligus diperlihatkan pada Tabel 32. Cara simulasi pada final demand impacts dilakukan sebagai bagian dari simulasi perubahan output bila pemerintah daerah Provinsi Maluku ingin melihat dampak dari shock permintaan akhir sektorsektor yang berbasis wilayah kepulauan terhadap arah dan strategi kebijakan pembangunan wilayah kepulauan. Terlihat jelas beberapa sektor yang mengalami perubahan output dan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku dari dampak shock permintaan akhir yang dilakukan. Dampak perubahan output sektor-sektor tersebut dapat dilihat melalui simulasi yang di gambarkan sesuai pada Tabel 40.
Tabel 40.
Sepuluh Sektor Penerima Terbesar Dampak Shock Output Final Demad Impacts Terhadap Perekonomian Wilayah Provinsi Maluku, Tahun 2007 Dampak Shock Output Final Demand Impacts
SIM 1 (AU) No
SIM 2 (AD)
Kode
Sektor
1
44
Perdaganga n besar dan eceran
Nilai
No
Kode
357.884.57
1
44
2
24
Industri pengilangan minyak bumi
143.746.75
2
24
3
40
Industri lainnya
98.437.64
3
4
21
Perikanan
93.904.93
5
54
Sewa bangunan
6
30
7
Sektor Perdagang an besar dan eceran
SIM 3 (AA) Nilai
No
Kode
Sektor Perdagan gan besar dan eceran Industri pengilang an minyak bumi
SIM 5 (AU+AD+AA+Prkn)
SIM 4 (Prkn) Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai
No
Kode
Sektor
Nilai 1.274.590.66
383.666.94
1
25
Penggilinga n padi
345.450.72
1
44
Perdagangan besar dan eceran
124.265.74
2
44
Perdagangan besar dan eceran
223.103.72
2
24
Industri pengilangan minyak bumi
466.409.94
Perikanan
96.292.90
3
30
80.900.64
3
40
Industri lainnya
320.061.52
40
Industri lainnya
92.063.19
4
24
77.063.00
4
30
Industri makanan dan minuman
270.018.55
5
30
Industri makanan dan minuman
84.485.38
5
35
56.823.78
5
54
Sewa bangunan
193.961.63
49.559.41
6
54
Sewa bangunan
56.128.07
6
40
Industri lainnya
45.412.85
6
3
Ubi kayu
161.204.32
48.389.86
7
49
Angkutan udara
55.611.77
7
48
Angkutan air
32.583.78
7
12
Kelapa
135.018.70
47.941.06
8
47
Angkutan darat
50.037.84
8
54
Sewa bangunan
31.035.85
8
29
Industri gula
116.730.03
Ubi kayu
39.906.30
9
3
Ubi kayu
46.551.66
9
49
Angkutan udara
30.774.10
9
57
Jasa sosial kemanusiaan
100.376.04
Kelapa
32.981.28
10
12
Kelapa
42.753.32
10
3
Ubi kayu
29.587.53
10
51
Komunikasi
99.749.57
309.935.43
1
44
Industri pengilang an minyak bumi
121.334.46
2
24
40
Industri lainnya
84.147.83
3
21
4
21
Perikanan
82.629.26
4
57.238.30
5
49
Angkutan udara
49.802.42
Industri makanan dan minuman
56.242.66
6
54
Sewa bangunan
48
Angkutan air
53.494.04
7
30
8
47
Angkutan darat
48.015.63
8
48
9
3
Ubi kayu
45.158.83
9
3
10
51
Komunikasi
40.455.01
10
12
Industri makanan dan minuman Angkutan air
Industri makanan dan minuman Industri pengilangan minyak bumi Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya
Ket:
SIM 1 = Shock Sektor Angkutan Udara (AU) SIM 2 = Shock Sektor Angkutan Darat (AD) SIM 3 = Shock Sektor Angkutan Air (AA)
SIM 4 = Shock Sektor Perikanan (Prkn) SIM 5 = Shock Sektor AU + AD + AA + Prkn
205
206
7.2.1. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir Sektor Angkutan Udara (SIM 1)
di
Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan udara (49) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan udara cukup memberi dampaknya pada setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Hasil shock permintaan akhir dari sektor angkutan udara (49) seperti terlihat pada tabel. 36 menunjukkan ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), industri lainnya (40), perikanan (21), sewa bangunan (54), industri makanan dan minuman (30), angkutan air (48), angkutan darat (47), ubi kayu (3) dan komunikasi (51). Sebagai wilayah kepulauan dengan keunggulan bahari/maritimnya maka sektor perikanan menerima dampak dari shock sektor angkutan udara berada pada posisi
ke- 4. Sektor perikanan mengalami perubahan output sebesar
Rp. 93 904 930 sedangkan secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku sebesar Rp. 2 275 730 310. Dampak shock permintaan akhir dari sektor angkutan udara lebih dirasakan perubahan outputnya oleh sektor diluar sektor perikanan seperti, sektor perdagangan besar dan eceran (44) disamping sektor-sektor industri, sektor angkutan dan komunikasi. Sedangkan sektor pertanian tanaman ubi-ubian seperti
207
ubi kayu merupakan salah satu sektor berpotensi pada urutan ke-9 mengalami perubahan output dari dampak shock permintaan akhir sektor angkutan udara.
7.2.2. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir Sektor Angkutan Darat (SIM 2)
di
Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan darat (47) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan darat memberi dampak perubahan output yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Hasil shock permintaan akhir dari sektor angkutan darat (47) seperti terlihat pada tabel. 36 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), industri lainnya (40), perikanan (21), angkutan udara (49), sewa bangunan (54), industri makanan dan minuman (30), angkutan air (48), ubi kayu (3), dan kelapa (12). Kebijakan peningkatan output permintaan akhir sektor angkutan darat (47) mampu merubah output dari sektor-sektor terbesar di atas. Terlihat dengan sangat jelas bahwa sektor yang paling besar
menerima dampak dari shock
permintaan akhir di sektor angkutan darat adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44) yaitu sebesar Rp. 309 935 430 dan diikuti oleh sektor lainnya. Secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku sebesar Rp. 214 875 430.
208
Sektor ubi kayu (3) dan kelapa (12) merupakan sektor pertanian tanaman pangan masih merupakan sektor yang mampu memenuhi kebutuhan pangan di wilayah ini. Kedua sektor tersebut sebenarnya mampu menjadi andalan ekspor ke wilayah lain karena memiliki
nilai perubahan output yang positif. Dengan
demikian sektor ubi kayu (3) dan kelapa (12) selain perikanan (21) sektor-sektor tersebut berpeluang menjadi komoditi ekspor Provinsi Maluku.
7.2.3. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir Sektor Angkutan Air (SIM 3)
di
Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan air (48) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan darat memberi dampak perubahan output yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Dampak shock permintaan akhir dari sektor angkutan air (48) seperti terlihat pada Tabel. 32 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), perikanan (21), industri lainnya (40), industri makanan dan minuman (30), sewa bangunan (54), angkutan udara (49), angkutan darat (47), ubi kayu (9), dan kelapa (12). Sepuluh sektor terbesar seperti pada tabel 36. terlihat sektor yang paling besar menerima dampak shock permintaan akhir sektor angkutan air (48) adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44) yang berubah outputnya sebesar Rp. 383 666 940. Sedangkan sektor perikanan yang termasuk sepuluh sektor terbesar
209
menempati urutan/posisi ke-3 dengan perubahan output sebesar Rp. 96.292.900 artinya sektor perikanan mengalami perubahan output yang cukup besar dibandingkan shock dari sektor angkutan udara (49) maupun angkutan darat (47) terhadap sektor ini. Secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku adalah sebesar Rp. 2 252 172 240. Bila dilihat dari dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah shock sektor angkutan air (48) masih lebih rendah dari shock sektor angkutan udara (49).
7.2.4. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir Sektor Perikanan (SIM 4)
di
Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada salah sektor ekonomi wilayah atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor perikanan (21) bila naik sebesar 1 juta rupiah. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor angkutan darat memberi dampak perubahan output yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Dampak shock permintaan akhir dari sektor perikanan (21) seperti terlihat pada tabel. 36 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: industri penggilingan padi (25), perdagangan besar dan eceran (44), industri makanan dan minuman (30), industri pengilangan minyak bumi (24), industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya (35), industri lainnya (40), angkutan udara (49) dan ubi kayu (9).
angkutan air (48), sewa bangunan (54),
210
Sektor paling besar menerima dampak shock permintaan akhir adalah sektor industri penggilingan padi (25) dimana perubahan output dari shock sektor perikanan adalah sebesar Rp. 345 450 720. Sedangkan sektor perdagangan besar dan eceran yang termasuk sepuluh sektor terbesar dan selalu menempati posisi ke1 dari shock terdahulu menempati urutan/posisi ke-2. Shock sektor perikanan memberikan perubahan output pada sektor perdagangan besar dan eceran (44) sebanyak Rp. 223 103 720. Secara keseluruhan dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah Provinsi Maluku dari shock permintaan akhir sektor perikanan (21) adalah sebesar Rp. 2 400 758 880. Dilihat dari dampak total yang diberikan untuk output perekonomian wilayah maka shock sektor perikanan memberikan output perekonomian wilayah Provinsi Maluku lebih besar dari shock sektor angkutan udara (49), darat (47) dan udara (48). Dengan demikian dapat dikatakan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang berbasis bahari/maritim sangat bergantung pada shock yang berhubungan dengan sektor perikanan dibandingkan sektor lainnya.
7.2.5. Kebijakan Peningkatan Output dari Shock Permintaan Akhir Sektor Angkutan Udara, Darat, Air dan Perikanan (SIM 5)
di
Kebijakan peningkatan output dari shock permintaan akhir (final demand impacts) pada kombinasi beberapa sektor ekonomi wilayah secara bersamaan atau komponen permintaan akhir yakni ekspor dari sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48) dan sektor perikanan (21) bila sektor-sektor tersebut naik sebesar Rp. 1 juta. Dampak kebijakan shock permintaan akhir peningkatan output dari sektor-sektor tersebut memberi dampak perubahan output
211
yang diterima oleh setiap sektor dan total perekonomian wilayah secara keseluruhan. Hasil shock permintaan akhir dari sektor angkutan udara (49),darat (47), air (48) dan perikanan (21) seperti terlihat pada tabel. 36 ada sepuluh sektor terbesar yang menerima dampak shock tersebut. Sepuluh sektor tersebut adalah: perdagangan besar dan eceran (44), industri pengilangan minyak bumi (24), industri lainnya (40), industri makanan dan minuman (30), sewa bangunan (54), ubi kayu (3), dan kelapa (12), industri gula (29), jasa sosial kemanusiaan (57) dan komunikasi (51) Sektor paling besar menerima dampak shock permintaan akhir dari keempat sektor yang di shock secara bersamaan adalah sektor perdagangan besar dan eceran (44). Perubahan output dari shock ke empat sektor tersebut adalah sebesar Rp. 1 274 590 660. Secara keseluruhan dampak total yang diberikan terhadap output perekonomian wilayah Provinsi Maluku dari shock permintaan akhir sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48) dan perikanan (21) adalah sebesar Rp. 9 069 536 860. Hal ini berarti Provinsi Maluku mengalami perubahan output perekonomian wilayahnya yang cukup besar dari shock yang dilakukan secara bersamaan. Simulasi kombinasi antarsektor secara bersamaan/sekaligus memberikan dampak peningkatan output
pada sektor-sektor yang menerima
shock permintaan akhir di sektor angkutan udara (49), darat (47), air (48) dan perikanan (21).
7.3. Penentuan Sektor Unggulan Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Keunggulan suatu wilayah sangat berkaitan dengan kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayahnya. Dengan kapasitas atau potensi lokalnya
212
maka wilayah tersebut seharusnya mampu mengidentifikasi atau menemukenali sektor-sektor unggulan yang berbasis pada karakteristik wilayahnya. Untuk itu mengembangkan potensi-potensi yang ada di wilayah tersebut akan sangat menentukan
dinamika
pembangunan
perekonomian
wilayah.
Dinamika
perekonomian wilayah seperti wilayah kepulauan Provinsi Maluku dapat dipacu lebih tinggi lagi karena memiliki keunggulan-keunggulan seperti: 1. Keunggulan sumberdaya (potensi). 2. Keunggulan lokasi. Keunggulan sumberdaya (potensi) berhubungan dengan alokasi pemanfaatan sumberdaya wilayah (kawasan) sedangkan keunggulan lokasi berhubungan dengan struktur tata ruang kawasan yang bersangkutan. Keunggulan wilayah seperti sumberdaya dan lokasi harus didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan di wilayah tersebut. Sesuai dengan pemahaman diatas maka sektor unggulan pada kawasan sentra produksi di wilayah kepulauan Provinsi Maluku harus: 1. Sesuai dengan karakteristik atau potensi lokal (local spesific) wilayah. 2. Mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di wilayahnya. 3. Dapat berkembang dan harus didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan pada pusat-pusat pengembangan. 4. Berkelanjutan (sustainable). Potensi sektor unggulan Provinsi Maluku dibangun atas kemampuan kapasitas dan potensi kemampuan wilayahnya dengan tidak terlepas dari konsep pengembangan wilayah kepulauan yang dianut. Berdasarkan hasil analisis InputOutput maka dapat dikatakan bahwa Provinsi Maluku belum mampu
213
mengidentifikasi/menemukenali serta menentukan sektor-sektor unggulannya. Hal ini dapat dilihat dari analisis yang dilakukan secara konektivitas di antara kriteria struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages. penentuan sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku yang dapat dilihat pada Tabel 39. Penentuan sektor unggulan melalui simulasi output final demand impacts merupakan salah satu skenario yang di harapkan dapat menjadi acuan penentuan arah dan strategi kebijakan Provinsi Maluku ke depan. Simulasi ini memberikan gambaran sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan mampu digerakan bila ada kebijakan shock permintaan akhir dari sektor-sektor potensi di wilayah ini. Hasil simulasi yang dilakukan pada sektor-sektor berbasis wilayah kepulauan dan simulasi kombinasi antarsektor yang potensial secara sekaligus menunjukkan bahwa sektor perikanan merupakan salah satu sektor yang mengalami perubahan output terbesar dari kebijakan shock permintaan akhir. Dampak shock ini secara keseluruhan memperlihatkan bahwa sektor-sektor yang mengalami perubahan output belum semuanya sesuai dengan karakteristik Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan terbesar di Indonesia. Hasil simulasi shock permintaan akhir dapat dilihat pada Tabel 40. Secara menyeluruh dengan adanya kenaikan permintaan akhir pada sektor-sektor
yang
dianggap
berbasis
karakteristik
wilayah
kepulauan
menunujukkan sektor perdagangan besar dan eceran merupakan sektor terbesar yang menerima perubahan output dari shock permintaan akhir dari simulasi yang dilakukan.
214
7.4. Arah dan Strategi Kebijakan Pengembangan Sektor Unggulan di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Arah pengembangan ekonomi wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku perlu diarahkan pada pengembangan sektor-sektor unggulan yang berbasis kapasitas atau potensi lokalnya. Dalam pelaksanaan pembangunan daerah khususnya wilayah kepulauan dengan potensi lokalnya yang cukup besar biasanya menemui berbagai kendala terutama didalam mengembangkan kawasan sentra produksi sektor unggulan.
Dengan demikian seharusnya arah pengembangan
sektor unggulan di wilayah kepulauan Provinsi Maluku lebih diarahkan untuk memacu atau mendorong sektor-sektor yang berbasis kapasitas atau potensi lokalnya. Selain itu berbagai program pembangunan lebih bersifat pendekatan proyek dan belum diarahkan pada upaya untuk menjadikan wilayah kepulauan sebagai sentra produksi yang berbasis potensi lokal. Terbatasnya infrastruktur di wilayah kepulauan juga menjadi kendala dalam mengembangkan wilayah-wilayah pinggiran (periphery) sehingga menimbulkan daya tarik pusat pertumbuhan (growth pole) terhadap wilayah lain disekitarnya. Strategi kebijakan pembangunan ekonomi wilayah kepulauan Provinsi Maluku didasarkan kepada berbagai komitmen yang dibangun diantara pembuat maupun pengambil kebijakan pembangunan wilayah. Berbagai komitmen perlu dibangun sebagai upaya memacu atau mendorong sektor-sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya. Adanya kebijakan pengembangan sektor unggulan yang berbasis potensi wilayah perlu diukur dari kemampuan mengidentifikasi/ menemukenali sektor unggulannya. Dengan kemampuan mengidentifikasi/ menemukenali sektor unggulan wilayah maka perlu adanya penguatan sektorsektor prime mover seperti sektor pengangkutan dan komunikasi, jasa dan sektor
215
lainnya. Untuk itu bertolak dari kebijakan yang dibangun hendaknya memiliki kemampuan strategis pengembangan wilayah. Kebijakan strategis tersebut perlu diarahkan pada pengembangan semua sektor-sektor unggulan wilayah guna mendukung kawasan sentra produksi sektor unggulan dan menjadikan wilayahnya sebagai sentra pengembangan sektor unggulan dalam kerangka penciptaan pusatpusat pertumbuhan baru (new growth poles) serta menjadikan masyarakat setempat sebagai stake holder pelaku utama pembangunan diwilayahnya. Kebijakan strategis selanjutnya perlu berbasis kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah yang dimilikinya dan mampu menjamin keberlanjutan (sustainability) dari sektor-sektor yang menjadi sektor unggulan wilayahnya. Oleh karena itu pengembangan sektor unggulan wilayah pada setiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Maluku harus mempertimbangkan
aspek
ketersediaan potensi sektor unggulan, aksesbilitas fasiitas pelayanan pusat-pusat pengembangan
serta keberlanjutannya dalam jangka panjang. Untuk strategi
kebijakan program pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis kapasitas atau potensi lokal (local spesific) bahari/maritim diarahkan untuk: 1. Mengidentifikasi/menemukenali serta menentukan sektor-sektor unggulan (key sectors) yang berbasis pada kapasitas atau potensi lokal wilayah (local spesific) Provinsi Maluku yaitu berbasis bahari/maritim. 2. Penyusunan rencana pemanfaatan potensi lokal (local spesific) wilayah di setiap wilayah pada level kabupaten/kota kepulauan Provinsi Maluku. 3. Pendayagunaan semua sektor pendukung utama (leading sectors) terhadap sektor-sektor yang berbasis potensi lokal wilayahnya menjadi sektor unggulan (key sectors).
216
4. Mendorong penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) pada wilayah kabupaten lainnya atau di wilayah sekitar pusat pertumbuhan dan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan saja yaitu di Kota Ambon. 5. Terbentuknya kawasan sentra produksi (KSP) sektor unggulan wilayah yang dapat mendukung perkembangan ekonomi kawasan di wilayah Provinsi Maluku sehingga percepatan dan perluasan pengembangan ekonomi wilayah pinggiran (periphery) dapat dipacu sesuai dengan kapasitas atau potensi local wilayahnya (local specific). 6. Terbentuknya keterkaitan (konektivitas) diantara sektor-sektor terunggul yang menjadi sektor unggulan dengan sektor terlemah namun berpotensi berkembang sesuai potensi lokal wilayah dan saling menguntungkan. 7. Mempertahankan
keberlanjutan
(sustainability)
sektor-sektor
unggulan
wilayah dalam jangka panjang. 8. Meningkatkan infrastruktur wilayah kepulauan untuk lebih berdaya guna dan berhasil guna terutama dengan keterkaitannya dengan keunggulan sektoral dari tiap wilayah. 9. Meningkatkan
sektor-sektor unggulan wilayah kepulauan terutama yang
memiliki keterkaitannya dengan local spesific wilayah yakni bahari/maritim. 10. Sektor-sektor yang memiliki keterkaitan dengan local spesific bahari/maritim adalah sektor perikanan, jasa transportasi dan komunikasi.
217
7.5. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Berbasis Sektor Unggulan Bahari/Maritim dan Prospeknya di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku Pengembangan kawasan sentra produksi (KSP) berbasis sektor unggulan merupakan suatu keharusan
dari
upaya
strategis
pengembangan wilayah
kepulauan. Karakteristik wilayah kepulauan (archipelago) yang berbeda (heterogen) dengan wilayah daratan (continental) yang (homogen) tentunya memiliki potensi atau kapasitas atau potensi lokal wilayah yang berbeda pula. Dengan demikian pengembangan kawasan sentra produksi wilayah kepulauan akan menciptakan prime mover bagi sektor-sektor ekonomi wilayah terunggul disekitarnya (periphery). Sehingga percepatan pembangunan
di era otonomi
dengan berbasis pada sektor unggulan wilayah mampu mendorong percepatan penciptaan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles). Atas dasar pemahaman diatas menurut Abe (2001), adanya pengakuan keberagaman atau pluralitas dan keunikan suatu wilayah (daerah) maka suatu kebijakan pembangunan tidak harus dibuat sama secara universal. Keberagaman suatu wilayah harus berpijak pada kapasitas atau potensi lokal (local spesific) dan lingkup tantangan yang berbeda antarwilayah. Oleh sebab itu atas dasar berbagai potensi dan tantangan yang berbeda maka dibutuhkan suatu kebijakan yang berbeda pada setiap wilayah pengembangan. Bank Indonesia (2001), menyimpulkan suatu daerah dapat meningkatkan daya saing sektor unggulannya bila mampu meningkatkan peran sumberdaya alam, memahami secara mendalam dimana letak sektor-sektor terunggulnya untuk dikembangkan secara berkelanjutan (sustainable) serta mampu membuat daerah mencapai tingkat perkembangan ekonomi yang lebih tinggi tidak terlena dengan
218
perkembangan yang telah dicapainya. Implikasi dari kemampuan suatu wilayah dapat mengidentifikasi/menemukenali dan menentukan sektor-sektor unggulannya mengindikasikan arah dan strategi kebijakan pengembangan wilayah perlu dilakukan sesegera mungkin oleh pemerintah daerah sehingga lebih fokus pada target-target pengembangan ekonomi wilayah yang menjadi prioritas untuk dikembangkan atau dipacu serta yang perlu diperbaiki guna penciptaan pusat pertumbuhan baru yang lebih banyak di setiap wilayah pengembangan. Penciptaan kabupaten/kota
pusat-pusat
merupakan
pertumbuhan
salahsatu
upaya
baru
baik
memperkecil
di
tingkat
kesenjangan
antarwilayah (regional disparity), dengan mengandalkan pengembangan sektorsektor unggulannya yang bernilai ekonomi tinggi dan mampu diserap pangsa pasar
baik lokal (domestic) maupun nasional/internasional. Kawasan sentra
produksi pada wilayah kepulauan Provinsi Maluku seharusnya sudah menjadi suatu perencanaan yang komprehensif
dan terpadu tanpa adanya keegoisan
wilayah (otonomi), sehingga mampu mengakomodasikan serta
menciptakan
sektor-sektor terunggulnya sebagai salah satu aspek kebutuhan atau tuntutan yang mendesak bagi pengembangan
setiap wilayah
di wilayah
kepulauan
Provinsi Maluku. Pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) di Provinsi Maluku perlu dipercepat
untuk dikembangkan,
sehingga implementasi dari
menemukenali dan menetapkan sektor-sektor unggulan wilayah dapat diterapkan pada wilayah-wilayah tersebut sesuai dengan kapasitas atau potensinya. Peran aktif pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) sangat berpengaruh didalam pelaksanaan
pengembangan kawasan sentra produksi. Dengan demikian
219
pemerintah daerah perlu menetapkan skala prioritas yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi daerah atas unggulan wilayahnya.
dasar keunggulan dari sektor-sektor
VIII. ANALISIS KEMAMPUAN FASILITAS PELAYANAN DAN HIRARKI PUSAT PENGEMBANGAN WILAYAH DI WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU
8.1. Kemampuan Fasilitas Pelayanan Pusat Pengembangan Analisis kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah merupakan salah satu bagian analisis dengan pendekatan regional. Pendekatan ini mengkaji pusat-pusat pengembangan wilayah secara fungsional terhadap berbagai fasilitas yang ada di pusat pengembangan dan memiliki keterkaitan dengan pengembangan sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis karakteristik wilayah kepulauan. Kemampuan fasilitas pelayanan pusat pengembangan wilayah meliputi kemampuan fasilitas di sektor ekonomi, transportasi dan komunikasi serta jasa (pendidikan dan pelayanan sosial lainnya). Kemampuan dan hirarki pusat pengembangan wilayah dilakukan dengan metode skalogram berdasarkan kedekatan hubungan spatial wilayah kepulauan antar kabupaten/kota di Provinsi Maluku. Analisis dengan metode analisis skalogram digunakan untuk melihat seberapa besar kemampuan fasilitas pelayanan yang ada di pusat-pusat pengembangan mampu menunjang sektorsektor unggulan ekonomi wilayah yang berbasis bahari/maritim. Akita (2002), melalui kajian yang dilakukan di Jepang melihat peran pemerintah cukup besar untuk menyediakan fasilitas pelayanan di daerah kajiannya. Dengan demikian kemampuan fasilitas pelayanan tidak bisa diserahkan pada pemerintah setempat tetapi perlu intervensi dari pemerintah pusat bila ingin memajukan wilayahwilayah yang sulit dan jauh dari pusat pengembangan.
222
8.2. Analisis Kemampuan Fasilitas Pelayanan dan Hirarki Pusat Pengembangan Wilayah
Berdasarkan karakteristik wilayah kepulauan yang terdiri dari pulaupulau sehingga pendekatan penilaian kemampuan fasilitas dan hirarki pusat pengembangan perlu dilakukan. Pendekatan analisis ini digunakan untuk: 1. Penilaian terhadap hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan kemampuan fasilitas pelayanan yang terdapat di pusat-pusat pengembangan wilayah. Kelengkapan fasilitas pelayanan merupakan salah satu indikator bahwa pusat pengembangan wilayah tersebut lebih baik/maju atau lambat dalam penyediaan kelengkapan fasilitas pelayanan di wilayahnya. Ketidak mampuan penyediaan fasilitas pelayanan biasanya memperlambat laju perkembangan wilayah
baik di tingkat hirarki kabupaten/kota maupun
provinsi. Sebaliknya bila suatu pusat pengembangan wilayah mampu menyediakan berbagai fasiltas pelayanan maka menunjukkan bahwa hirarki pusat pengembangan wilayah tersebut sangat baik atau semakin tinggi sehingga mampu mempercepat laju perkembangan wilayah dengan basis sektor unggulannya. Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan dengan berbasis bahari atau maritim tentunya memiliki kemampuan dalam infrastruktur yang berkaitan dengan sektor-sektor berbasis karakteristik wilayah kepulauan. Dengan penilaian kemampuan fasilitas pelayanan di pusatpusat pengembangan dapat kita ketahui keterkaitan antara kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dengan perkembangan sektor unggulan wilayah (Glasson, 1978).
223
2. Penentuan pusat-pusat pengembangan yang kemudian akan menentukan pusat pengembangan utama/pusat pertumbuhan (growth pole) berdasarkan hasil penilaian kemampuan fasilitas pelayanan yang tersedia di Provinsi Maluku. Untuk pusat-pusat
pengembangan yang dapat dijadikan sebagai pusat
pengembangan utama/pusat pertumbuhan (growth pole)
adalah pusat
pengembangan wilayah yang memiliki orde/hirarki I dan II.
8.2.1. Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Dengan Metode Skalogram Guttman Penilaian kemampuan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah berdasarkan metode skalogram Guttman pada dasarnya memperlihatkan kemampuan dari pusat-pusat pengembangan untuk menyediakan fasilitas pelayanan di wilayahnya. Berbagai fasilitas yang tersedia dengan kemampuannya akan menunjukkan keterbatasan atau maju tidaknya suatu wilayah dengan berbagai pertimbangan karakteristik wilayah tersebut (Rondinelli, 1985). Analisis skalogram pada dasarnya memberikan gambaran bahwa pada pusat-pusat pengembangan wilayah biasanya terjadi pengelompokkan pusat-pusat pengembangan. Pengelompokkan wilayah dilakukan berdasakan kelengkapan kemampuan fasilitas fungsi
pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah
tersebut. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada Tahun 2000-2002 dan 2008-2009 dapat di lihat terbentuknya sistem perwilayahan pengembngan berdasarkan fungsional. Perwilayahan fungsional disini dimaksudkan dengan berfungsinya setiap wilayah sebagai pusat pengembangan berdasarkan hirarki kelengkapan
fasilitas
yang
mempunyai
pengaruh
dibandingkan dengan pusat pengembangan lainnya.
pelayanan
tertinggi
224
Hasil perhitungan analisis dengan metode skalogram Guttman di wilayah kepulauan Provinsi Maluku memperlihatkan terjadinya pengelompokkan wilayah atas 7 kelompok pusat pengembangan seperti terlihat pada Tabel 41. Secara spasial pengelompokkan wilayah pusat pengembangan di Provinsi Maluku terbentuk berdasarkan potensi kemampuan fasilitas pelayanan yang ada di wilayahnya. Berdasarkan hasil analisis skalogram Tahun 2000 – 2009 maka pusatpusat pengembangan wilayah yang terbentuk di Provinsi Maluku adalah sebagai berikut: 1.
Kota Ambon sebagai pusat pengembangan utama (I).
2.
Kabupaten Maluku Tengah sebagai sub wilayah pengembangan (II).
3.
Kabupaten Buru sebagai sub wilayah pengembangan (III).
4.
Kabupaten Maluku Tenggara sebagai sub wilayah pengembanga (IV).
5.
Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai sub wilayah pengembangan (V).
6.
Kabupaten Maluku Tenggara Barat sebagai sub wilayah pengembangan (VI).
7.
Kabupaten Seram Bagian Timur sebagai sub wilayah pengembangan (VII).
8.
Kabupaten Kepulauan Aru sebagai sub wilayah pengembangan (VII).
8.2.1.1. Kota Ambon Hasil analisis menunjukkan bahwa Kota Ambon sebagai pusat pengembangan wilayah utama karena berada pada hirarki (I) atau pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku. Dengan memiliki kemampuan dalam penyediaan fasilitas pelayanan wilayah menunjukkan bahwa Kota Ambon mampu menjadi. pusat pengembangan utama atau pusat pertumbuhan (growth pole) di Provinsi Maluku. Sebagai pusat pengembangan utama yang memiliki
225
pengaruh pelayanan tertinggi dibandingkan pusat-puat pengembangan lainnya. Maka pengaruh pusat pengembangan utama atau pusat pertumbuhan Kota Ambon dapat dirasakan di hampir seluruh wilayah pusat-pusat pengembangan yang ada di Provinsi Maluku. pengaruh atau peran Kota Ambon yang cukup tinggi dibandingkan wilayah lainnya dapat dilihat dari tersedianya fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi. Fasilitas pelayanan di sektor transportasi yang dimiliki oleh Kota Ambon dan tidak dimilki wilayah lain seperti: Bandara Internasional, pelabuhan laut (beton) dan lembaga keuangan. Kota Ambon sebagai satu-satunya pusat pengembangan utama wilayah yang mampu menyediakan berbagai fasilitas pelayanan di Provinsi Maluku tentunya akan mempengaruhi aktivitas ekonomi wilayah lain. Apabila wilayah lain tidak segera menyediakan fasilitas pelayanan yang lengkap sama seperti yang ada di Kota Ambon (terjadi backwahs), maka hal ini akan mempengaruhi investor untuk melakukan investasi di pusat-pusat pengembangan wilayah lainnya. Dengan demikian bila sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah Provinsi Maluku hanya terpusat di Kota Ambon akan mengakibatkan lambatnya perkembangan sektorsektor ekonomi unggalan. Sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah tidak akan berkembang bila tidak didukung dengan penyediaan fasilitas pelayanan yang baik dan lengkap di setiap wilayah pengembangan. Untuk itu percepatan penciptaan pusat-pusat pengembangan utama atau pusat pertumbuhan yang baru (new growth poles) sangat perlu dipercepat sehingga kebutuhan akan fasilitas pelayanan dari sektorsektor unggulan mampu dipenuhi oleh pusat-pusat pengembangan atau pusat pertumbuhan baru (new growth poles) yang ada di Provinsi Maluku.
226
Ketidakmampuan penciptaan pusat-pusat pengembangan atau pusat pertumbuhan akan menimbulkan pula eksploitasi dari wilayah yang telah maju atau pusat pertumbuhan terhadap daerah hinterlandnya (sub wilayah pengembangan). Tersedianya fasilitas pelayanan yang lebih lengkap di kota Ambon dibandingkan wilayah lain dan disertai dengan pertumbuhan atau perkembangan fasilitas pelayanan yang lambat dari wilayah lain tentunya menimbulkan disparitas atau kesenjangan antarwilayah sehingga semakin lemah pengembangan sektorsektor unggulan berbasis wilayah kepulauan di Provinsi Maluku.
8.2.1.2. Kabupaten Maluku Tengah Kabupaten Maluku Tengah sebagai sub wilayah pengembangan (II) di Provinsi Maluku hanya mampu menyediakan fasilitas pelayanan sekitar 63.33 persen dari seluruh kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang ada di Kota Ambon sebagai pusat pengebangan utama (I). Gambaran kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di Kabupaten Maluku Tengah menunjukkan bahwa Kabupaten Maluku Tengah masih lambat untuk mendorong aktivitas ekonomi wilayahnya karena kurang tersedianya fasilitas pelayanan baik dari aspek pelayanan di sektor ekonomi, transportasi dan komunikasi serta beberapa pelayanan sosial lainnya. Ketidakmampuan Kabupaten Maluku Tengah dalam menyediakan fasilitas pelayanan selama 9 Tahun belum mengalami peningkatan yakni hanya sekitar 63.33 persen. Dengan demikian kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di pusat pengembangan Kabupaten Maluku Tengah tetap tidak mengalami peningkatan. Ketidakmampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi akan mempengaruhi kemampuan berkembangnya sektor-sektor unggulan wilayah
227
Kabupaten Maluku Tengah sebagai kawasan sentra produksi di sektor perikanan dan sektor perkebunan. Ketidakmampuan penyediaan fasilitas transportasi udara yang lebih baik dari kls 3 dan hanya mampu didarati oleh pesawat jenis Cassa 212
sedangkan
fasilitas pelayanan transportasi laut (dermaga beton namun
dengan ukuran yang belum memadai sebagai dermaga ekspor-impor), jalan darat yang sangat jauh dari pusat pengembangan utama dan rusak menjadi kendala untuk meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayah ini. Potensi sumberdaya alam yang besar dari Kabupaten Maluku Tengah tidak dapat dikembangkan atau ditingkatkan apabila tidak didukung dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang baik dan lengkap. Dengan otonomi daerah, seharusnya Kabupaten Maluku Tengah mampu menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang selama ini belum dapat dikembangkan. Untuk dibutuhkan intervensi dari pemerintah daerah (kabupaten) di dalam menyediakan berbagai fasilitas pelayanan yang lebih memadai guna mendukung perkembangan sektor-sektor ekonomi yang menjadi unggulannya.
8.2.1.3.
Kabupaten Buru Hasil analisis terhadap Kabupaten Buru memperlihatkan bahwa wilayah
ini hanya berada pada posisi sebagai sub wilayah pengembangan (III) Tahun 2000-2002 dan menjadi sub wilayah pengembangan IV Tahun 2008-2009. Walaupun perkembangan penyediaan fasilitas pelayanan dari Tahun 2000-2002 sampai 2008-2009 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup maju namun perkembangan fasilitas pelayanan yang ada belum mampu menjadikannya sebagai salah satu wilayah pengembangan utama atau pusat pertumbuhan baru (new growth pole) selain Kota Ambon.
228
Sebagai salah satu kawasan sentra produksi di sektor pertanian sub sektor perkebunan tingkat perkembangan penyediaan fasilitas pelayanan di Kabupaten Buru dari hanya 46.66 persen menjadi 60 persen selama 9 Tahun mengindikasikan adanya percepatan dalam menyediakan fasilitas pelayanan di wilayah ini. Untuk itu kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari Kabupaten Buru perlu ditingkatkan lagi sehingga mampu mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi unggulan di sektor perkebunan seperti kelapa, tanaman pangan lainnya. Kelemahan dari lambatnya perkembangan sub wilayah pengembangan Kabupaten Buru karena rendahnya peran sektor transportasi dan komunikasi. Hadjisarosa (1976), suatu wilayah tidak akan mampu berkembang
dan
mendorong perkembangan sektor-sektor ekonomi wilayahnya bila tidak di dukung dengan saluran distribusi yang baik (networking distribution). Networking distribution akan berkembang dengan baik bila sub wilayah pengembangan Kabupaten Buru mampu menyediakan fasilitas pelayanan di wilayahnya sehingga tidak terjadi backwash. Bila dilihat dari ketersediaan fasilitas pelayanan di sub wilayah Kabupaten Buru sebagai kawasan sentra produksi di sektor pertanian sub sektor perkebunan dan tanaman pangan, maka Kabupaten Buru harus mempercepat penyediaan fasilitas pelayanan pendukung sektor unggulan wilayahnya di sub sektor perkebunan dan tanaman pangan. Kalau diintegrasikan dengan hasil analisis Input-Output menunjukkan sektor unggulan Provinsi Maluku di sektor kelapa dan tanaman pangan lainnya belum menjadi sektor unggulan. Dengan demikian sub wilayah pengembangan Kabupaten Buru perlu meningkatkan
229
penyediaan fasilitas pelayanan pendukung yang berbasis karakteristik local spesific.
8.2.1.4.
Kabupaten Maluku Tenggara Sebagai salah satu sub wilayah pengembangan (IV) di Provinsi Maluku,
wilayah ini hanya mampu meningkatkan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan dari Tahun 2000 – 2009 sebesar 46.66 persen menjadi 56.66 persen. Dengan demikian selama 9 Tahun sub wilayah pengembangan Kabupaten Maluku Tenggara hanya mampu menyediakan fasilitas pelayanan sebesar 10 persen. Lambatnya perkembangan penyediaan fasilitas pelayanan di Kabupaten Maluku Tenggara karena lambatnya perkembangan pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi di wilayah ini. Sebagai wilayah kawasan sentra produksi di sektor perikanan tentunya fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi menjadi arah dan strategi kebijakan pembangunan di Kabupaten Maluku Tenggara. Lambatnya penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi akan memperlambat perkembangan sektor-sektor unggulan berbasis wilayah kepulauan seperti sektor perikanan. Oleh karena itu sektor perikanan sebagai sektor yang berbasis wilayah kepulauan seharusnya di dukung oleh ketersediaan fasilitas pelayanan dan mampu menunjang atau mendorong perkembangan sektor ini sebagai sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku khususnya sub wilayah pengembangan Maluku Tenggara. Kabupaten Maluku Tenggara dengan potensi perikanan yang besar tentunya memerlukan jasa transportasi baik udara, laut dan pelabuhan yang baik untuk aktivitas ekonomi yang lebih besar seperti aktivitas ekspor.
230
8.2.1.5.
Kabupaten Seram Bagian Barat Hasil analisis terhadap Kabupaten Seram Bagian Barat menunjukkan
bahwa sub wilayah pengembangan IV pada Tahun 2000-2002 dan menjadi sub wilayah pengembangan V Tahun 2008-2009. Perubahan posisi atau hirarki dari sub wilayah pengembangan Seram Bagian Barat memperlihatkan penurunan posisi dari kelengkapan fasilitas pelayanan di Provinsi Maluku. Namun penurunan peringkat sub wilayah pengembangan ini tidak berarti mengindikasikan bahwa penyediaan fasilitas pelayanan tidak atau belum tersedia. Penurunan posisi dari wilayah ini akibat dari cepatnya perkembangan fasilitas pelayanan di sub wilayah pengembangan lainnya seperti Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara. Sub wilayah pengembangan Seram Bagian Barat sejak Tahun 20002009 memperlihatkan peningkatan ketersediaan fasilitas pelayanan sebesar 10 persen.. Hal ini berarti laju perkembangan sub wilayah pengembangan IV masih rendah dalam penyediaan fasilitas pelayanan di wilayahnya. Seram Bagian Barat yang terkenal sebagai kawasan sentra produksi pertanian seharusnya di dukung dengan ketersediaan fasilitas pelayanan yang dapat meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayahnya seperti sektor tanaman pangan dan hasil hutan lainnya. Sektor-sektor unggulan dari sub wilayah pengembangan ini dari analisis InputOutput provinsi menunjukkan masih sumbangannya terhadap PDRB. Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai sub wilayah pengembangan V tentunya mampu menyediakan fasiltas pelayanan pendukung sektor unggulan wilayah bila arah dan strategi kebijakan pembangunan sesuai dengan karakteristik wilayahnya. Karakteristik wilayah yang lebih di dominasi sektor pertanian tanaman pangan
dan hasil hutan lainnya seharusnya di dukung dengan
231
penyediaan jasa transportasi laut atau darat. Ketidakmampuan dalam penyediaan fasilitas pelayan di sektor transportasi laut dan darat akan berdampak pada lambatnya perkembangan sektor-sektor unggulan di wilayah ini.
Dengan
demikian sub wilayah pengembangan V seperti Kabupaten Seram Bagian Barat perlu mempercepat penyediaan fasilitas-fasilitas pelayanan yang belum ada dan meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan yang sudah ada menjadi lebih baik lagi seperti fasilitas di sektor pelayanan di sektor transportasi darat dan laut.
8.2.1.6.
Kabupaten Maluku Tenggara Barat Hasil analisis
Kabupaten Maluku Tenggara Barat memperlihatkan
bahwa wilayah ini berfungsi sebagai sub wilayah pengembangan V pada Tahun 2000 dan sebagai sub wilayah pengembangan VI Tahun 2009. Posisi sub wilayah pengembangan V menjadi VI karena adanya perkembangan fasilitas pelayanan yang berkembang di wilayah lain.
Tahun 2000 kelengkapan fasilitas di sub
wilayah pengembangan sekitar 20,0 persen dan Tahun 2009 sekitar 26.66 persen. Hal ini mengidikasikan terjadi perubahan yang lebih baik didalam penyediaan fasilitas pelayanan di wilayan ini sekitar 6.0 persen. Kenaikan sebesar 6.0 persen menunjukkan bahwa proses perubahan di dalam penyediaan fasilitas masih bergerak lambat. Sebagai sub wilayah pengembangan daerah pemekaran baru maka dapat dikatakan bahwa Kabupaten Maluku Tenggara Barat perlu mempercepat penyediaan fasilitas pelayanan yang lebih baik bila tidak akan tertinggal dengan wilayah lain yang sama-sama merupakan daerah pemakaran baru seperti Kabupaten Seram Bagian Barat. Sebagai wilayah pemekaran baru yang berada pada posisi ke VI sub wilayah pengembangan di Provinsi Maluku, Kabupaten
232
Maluku Tenggara memiliki keunggulan di dalam penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi Ferry. Tarnsportasi ini menghubungkan antara sub wilayah pengembangan VI dengan IV yaitu Kabupaten Maluku Tenggara. Sub wilayah pengembangan Maluku Tenggara Barat merupakan kawasan sentra produksi perikanan di Provinsi Maluku yang dekat dengan negara Timor Leste. Kedekatan sub wilayah pengembangan Maluku Tenggara dengan Timor Leste seharusnya menjadikan wilayah ini untuk berkembang lebih cepat dari wilayah lainnya. Kabupaten Maluku Tenggara Barat akan dengan cepat berkembang bila kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi dapat berkembang dengan baik. Perkembangan sampai saat ini memperlihatkan jasa telekomunikasi masih merupakan kendala di dalam penyediaan fasilitas di sub wilayah pengembangan VI ini. Dengan demikian ketidakmampuan dalam menyediakan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi akan memperlambat perkembangan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Sebagai wilayah yang berkarakteristik kepulauan dan memiliki sumberdaya laut yang besar sub wilayah pengembangan VI merupakan kawasan sentra produksi di sektor perikanan. Sebagai kawasan sentra produksi sektor perikanan memerlukan penyediaan fasilitas pelayanan yang mendukung perkembangan sektor unggulan wilayahnya. Untuk itu penyediaan fasilitas pelayanan yang berhubungan dengan sektor unggulan di sektor perikanan di butuhkan fasilitas pelayanan di sektor transportasi laut dan udara.
8.2.1.7.
Kabupaten Seram Bagian Timur Hasil analisis terhadap Kabupaten Seram bagian Timur menunjukkan
bahwa kabupaten ini berfungsi sebagai sub wilayah pengembangan VII bersama-
233
sama dengan Kabupaten Kepulauan Aru. Karakteristik ke dua
wilayah ini
memperlihatkan kesamaan dalam penyediaan fasilitas pelayanan walaupun karakteristik wilayahnya berbeda. Kabupaten Seram Bagian Timur lebih didominasi
di sektor perikanan dan merupakan wilayah pemakaran dari
Kabupaten Maluku Tengah. Sebelum pemekaran Kabupaten Seram Bagian Timur termasuk wilayah yang perkembangannya sangat lambat. Untuk itu seharusnya dengan di mekarkan wilayah ini menjadi wilayah otonom seharusnya dengan cepat dapat berkembang lebih maju lagi dari wilayah lainnya. Kendala yang dihadapi selama ini adalah masih rendahnya penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi di sub wilayah pengembangan VII ini. Kabupaten Seram Bagian Timur. Sebagai salah satu kawasan sentra produksi sektor perikanan sub wilayah pengembangan VII Kabupaten Seram Bagian Timur berpotensi untuk lebih maju dari wilayah lain di Provinsi Maluku. Hal ini
berhubungan karena
letak wilayahnya yang dekat dengan wilayah pengembangan utama Kota Ambon dan sub wilayah pengembangan II Kabupaten Maluku Tengah. Kedekatan wilayah antara ke dua wilayah ini dengan Kabuapten Seram Bagian Timur seharusnya dapat memacu perkembangan fasilitas pelayanan yang lebih baik. Perkembangan dari sub wilayah pengembangan VII berpotensi maju dari wilayah lainnya bila di dukung dengan dengan potensi pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi. Berdasarkan potensi inilah seharusnya Kabupaten Seram Bagian Timur melakukan arah dan strategi kebijakan sebagai wilayah kepulauan wilayah ini memerlukan strategi penyediaan fasilitas pelayanan yang
234
dapat mendukung perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah yang berbasis wilayah kepulauan di sektor perikanan. Sektor perikanan memerlukan ketersediaan fasilitas pelayanan yang cepat dan tentunya baik sehingga menghasilkan kualitas komoditi yang berkualitas ekspor.
8.2.1.8.
Kabupaten Kepulauan Aru Kabupaten Kepulauan Aru merupakan kabupaten pemekaran baru dari
kabupaten sebelumnya yaitu Kabupaten Maluku Tenggara. Hasil analisis menunjukkan bahwa kabupaten ini berfungsi sebagai sub wilayah pengembangan VII bersama dengan Kabupaten Seram Bagian Timur.
Sebagai sub wilayah
pengembangan VII karakteristik kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan Kabupaten Kepulauan Aru mirip dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Sub wilayah pengembangan VII Kepulauan Aru masih memerlukan percepatan penyediaan fasilitas pelayanan yang lebih cepat dan memadai bila ingin memeprcepat laju perkembangan wilayahnya. Sebelum dimekarkan menjadi kabupaten baru wilayah ini termasuk wilayah tertinggal di Provinsi Maluku. ketertinggalan di wilayah ini karena jauh dari wilayah pengembangan utama yakni Kota Ambon. Selain jauh dari Kota Ambon, wilayah Kabupaten Kepulauan Aru masih sangat sulit dijangkau karena sulitnya jasa transportasi dan komunikasi. Kelemahan atau kendala dari masih rendahnya peran pelayanan dari ketersediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi berdampak terhadap perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah. sebagai wilayah kepulauan dengan luas laut yang cukup luas Kabupaten Kepulauan Aru terkenal sebagai kawasan sentra produksi di sektor perikanan dan penghasil mutiara terbesar dan terbaik di Provinsi Maluku. Dengan otonomi daerah seharusnya
235
pemerintah Kabupaten Kepulauan Aru mempercepat penyediaan fasilitas pelayanan di sektor transportasi laut dan udara sehingga mampu bersaing dengan wilayah lain di Provinsi Maluku. Kekuatan potensi di sektor perikanan mampu mempercepat perkembangan sub wilayah pengembangan VII ini bila menjadi arah dan strategi kebijakan pembangunan di sektor transportasi dan komunikasi sebagai terobosan untuk meningkatkan sektor-sektor unggulan wilayahnya di sektor perikanan. Hasil analisis peringkat kabupaten/kota sebagai wilayah pengembangan utama dan sub wilayah pengembangan berdasarkan kelengkapan fasilitas pelayanan di Provinsi Maluku. Analisis kelengkapan fasilitas pelayanan sangat berpengaruh terhadap peningkatan sektor-sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 41 dan 42. Pengelompokkan wilayah atas dasar kelengkapan fasilitas pelayanan menunjukkan suatu wilayah berdasarkan potensi pusat pelayanan di sektor transportasi dan komunikasi, ekonomi dan pelayanan sosial lainnya. Bila suatu wilayah dengan jumlah wilayah yang sedikit, seperti kasus ini dan memperlihatkan terjadi pengelompokkan yang menyebar sebanyak jumlah wilayah yang dikaji maka dapat dikatakan bahwa potensi perkembangan wilayah di Provinsi berdasarkan kelengkapan fasilitas pelayanan yang teredia masih sangat rendah. Hal ini terbukti dengan jumlah wilayah 8 kabupaten/kota terjadi pengelompokkan wilayah sebanyak 7 wilayah pengembangan terdiri dari 1 wilayah
pengembangan
pengembangan lainnya.
utama/pusat
pertumbuhan
dan
6
sub
wilayah
236
Berdasarkan pengelompokkan wilayah dari hasil analisis yang dilakukan maka
sektor
unggulan
wilayah
kepulauan
Provinsi
Maluku
berbasis
bahari/maritim belum atau kurang di dukung dengan kelengkapan fasilitas pelayanan dari seluruh kabupaten/kota khususnya di sektor transportsi dan komunikasi. Menurut Johnson (1975), dikatakan bahwa suatu wilayah akan semakin terbelakang atau tertinggal dari wilayah lainnya bila sistem kelengkapan fasilitas pelayanan wilayah tidak atau kurang berperan. Hal lain oleh Rondinelli (1978), dikatakan
lebih dominannya pusat pengembangan utama dari sub wilayah
pengembangan dan tidak memiliki integrasi yang kuat dari wilayah utama ke wilayah pinggiran lainnya akan mengakibatkan perkembangan perekonomian wilayah lainnya semakin tertinggal dan berkembang secara tidak seimbang. Dari hasil analisis pengelompokkan wilayah di wilayah kepulauan Provinsi Maluku mengindikasikan bahwa Provinsi Maluku memerlukan dukungan yang kuat dari wilayah-wilayahnya dengan kemampuan atau kelengkapan fasilitas pelayanan yang dapat mendukung perkembangan sektor-sektor unggulan wilayah ini. Seharusnya dengan megetahui pengelompokkan wilayah yang terjadi di Provinsi Maluku maka diperlukan cara yang relatif lebih efisien dengan membangun jaringan atau saluran distribusi (networking) antarwilayah tidak menonjolkan egoisme wilayah sehingga kemampuan wilayah tidak mudah dipengaruhi oleh berbagai gejolak ekonomi global. Kekuatan atau potensi suatu wilayah tidak akan mampu berkembang bila tidak di dukung dengan kemampuan dengan wilayah lainnya (antarwilayah). Bila keterkaitan yang terjadi atas dasar saling membutuhkan untuk meningkatkan
237
sektor-sektor ekonomi wilayahnya maka diperlukan dukungan kemampuan fasilitas pelayanan yang baik antarwilayah tersebut (Glasson, 1977).
8.3. Penilaian Kemampuan Fasilitas Pelayanan Provinsi Maluku Sebagai Wilayah Kepulauan Berbasis Bahari/Maritim Penilaian kemampuan fasilitas pelayanan pada pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku mencerminkan bahwa Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan (archipelago) masih menganut sistem pengembangan wilayah dengan konsep wilayah daratan (continental).
Beberapa teori lokasi dapat
menunjukkan bahwa konsep pembangunan wilayah daratan masih diterapkan di Provinsi Maluku seperti
teori Hirschman, Losch
dan beberapa teori lokasi
lainnya. Hirschman (1958), menunjukkan bahwa suatu wilayah akan berkembang di mulai dari titik originalnya (growing point) sebelum terpolarisasi ke wilayah lainnya. Losch (1940), lebih mengutamakan perkembangan wilayah dengan konsep daratan yakni suatu wilayah akan melakukan aktivitas ekonomi yang sama dan dapat dilakukan di wilayah lain maka tidak perlu mengembangkan wilayah satunya karena sudah di wakili oleh wilayah lain. Hasil analisis skalogram pada pusat-pusat pengembangan wilayah Provinsi Maluku memperlihatkan bahwa hanya ada satu pusat pengembangan utama yaitu Kota Ambon dan lambatnya ketersediaan fasilitas pelayanan yang memadai menunujukkan bahwa Provinsi Maluku masih menerapkan arah dan strategi kebijakan pembangunan yang tidak berbasis pada wilayah kepulauan. Analisis skalogram yang dilakukan pada dasarnya memperlihatkan adanya beberapa wilayah yang mengelompok berdasarkan kelengkapan fasilitas
238
pelayanan yang tersedia. Menurut Rondinelli (1985), hirarki pusat-pusat pengembangan suatu wilayah sangat dipengaruhi oleh ketersediaan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan di wilayah-wilayah tersebut. Bila suatu wilayah tidak mampu menyediakan fasilitas pelayanan yang baik maka wilayah tersebut akan berada pada orde terbawah sebagai wilayah tertinggal. Provinsi Maluku dengan 8 kabupaten/kota mengindikasikan bahwa ketersediaan fasilitas pelayanan di wilayah ini belum tersebar secara merata karena dari 8 kabupaten/kota terbentuk hirarki atau peringkat kabupaten/kota sebanyak 7 hirarki/peringkat. Dengan demikian Provinsi Maluku lambat dalam menyediakan fasilitas pelayanan di pusat-pusat pengembangan wilayah
dan
hanya terkonsentrasi pada satu pusat pertumbuhan utama saja. Untuk itu Kabupaten Maluku Tengah sebagai pusat pengembangan berpeluang menjadi pusat pengembangan utama selain Kota Ambon bila intervensi pemerintah daerah mampu meningkatkan kemampuan fasilitas pelayanan yang ada di wilayah ini. Oleh sebab itu diperlukan intervensi pemerintah daerah baik Provinsi maupun kabupaten/kota
untuk
menyediakan
pengembangan di Provinsi Maluku.
fasilitas
pelayanan
di
pusat-pusat
Tabel 41. Penilaian Fungsi / Pusat Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun 2000 - 2002 NO
NAMA WILAYAH JUMLAH (KABUPATEN / KOTA) PENDUDUK
1
Ambon
271.972
2
Maluku Tengah
398.136
3
Buru
143.315
4
Maluku Tenggara
153.198
5
Seram Bagian Barat
158.619
6
Maluku Tenggara Barat
162.634
7
Seram Bagian Timur
82.699
8
Kepulauan Aru
79.865
FASILITAS PELAYANAN 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
+
-
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
-
+
+
+
+
+
+
-
-
-
-
+
-
+
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
--
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
+
+
-
+
+
+
-
-
-
+
+
-
-
-
+
+
+
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Keterangan Fasilitas Pelayanan :
1
Bank Pembangunan Daerah
6 Pasar Tradisionil
11 Dermaga Ferri
16 Stasiun Radio Swasta
21
Bioskop
26 Perguruan Tinggi Swasta
2
Bank Swasta
7 Bandara Kls 1
12 TPI (Tempat Pelabuhan Ikan)
17 Stasiun Televisi Pemerintah
22
Tempat Hibura Malam
27 Rumah Sakit Umum
3
Money Changer
8 Bandara Kls 3
13 Terminal Bus/AKAB
18 Pemancar Televisi Swasta
23
Tempat Rekreasi Indoor
28 PDAM
9 Pelabuhan Bongkar Muat
14 Terminal Angkot
19 Hotel Berbintang
24
Tempat Rekreasi Outdoor
29 Penerbit Surat Kabar Daerah
10 Pelabuhan Rakyat (Pelra)
15 Stasiun Radio/RRI
20 Hotel Non Bintang
25
Perguruan Tinggi Negeri
30 Jasa Telekomunikasi
4
5
Pusat Perbelanjaan/ Plaza (Supermarket) Pasar Induk
239
240
Tabel 42. Penilaian Kemampuan Pelayanan Dengan Skalogram Guttman di Pusat Pengembangan, Tahun 2000 – 2002 NO
NAMA WILAYAH JUMLAH (KABUPATEN / KOTA) PENDUDUK
TOTAL Error
FASILITAS PELAYANAN 6
10
24
11
14
1
20
22
5
25
26
27
28
12
2
8
9
13
15
21
3
4
7
16
17
18
19
23
29
30
1 Ambon
271.972 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
30
0
2 Maluku Tengah
398.136 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
19
1
3 Buru
143.315 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14
1
4 Maluku Tenggara
153.198 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
14
0
5 Seram Bagian Barat
158.619 1
1
1
1
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
7
1
6 Maluku Tenggara Barat
162.634 1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
7 Seram Bagian Timur
82.699 1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
8 Kepulauan Aru
79.865 1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
Tn = Jumlah wilayah
8
8
8
6
6
5
5
5
4
4
4
4
4
3
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
96
3
e = Error/Kesalahan
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
of
Reproducibility/Koefisien
COR/Kr = Koefisien Reprodusibilitas = 0,98 dan Ks = Koefisien Skalabilitas = 0,95 Berdasarkan Skalogram diatas maka dihitung: 1. Koefisien Reprodusibiltas (Kr) 2. Koefisien Skalabilitas (Ks).
Hasil
Perhitungan
Coefficien
Reprodusibilitas (COR/Kr) = 0,98 Hasil Perhitungan Koefisien Skalabilitas (Ks) = 0,95 Persyaratan suatu Skalogram dapat diterima sebagai hasil analisis bila hasil perhitungan COR/Kr dan Ks yaitu: COR/Kr > 0,90
dan
Ks > 0,65
Tabel. 43. Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun 2000-2002 No
Kabupaten/Kota
Kelompok
Kelengkapan Fasilitas
Jumlah (%)
Jenis
1.
Ambon
I
30
100,00
Bank swasta, money changer, supermarket, pelabuhan udara kls 1, stasiun radio, stasiun televisi, pemancar televisi swasta, hotel berbintang, tempat rekreasi indoor, penerbitan surat kabar, jasa telekomunikasi
2.
Maluku Tengah
II
19
63,33
Pelabuhan udara kls 3, pelabuhan bongkar muat, terminal bus, stasiun radio (RRI), bioskop
3. 4.
Buru Maluku Tenggara
III III
14 14
46,66 46,66
Bank swasta Tempat pelabuhan ikan (TPI)
5.
Seram Bagian Barat
IV
7
23,33
Hotel non bintang, tempat hiburan malam
6.
Maluku Tenggara Barat
V
6
20,00
Bank pembangunan daerah
7.
Seram Bagian Timur
VI
3
10,00
Pasar tradisional, peabuhan rakyat, tempat rekreasi outdoor
8.
Kepulauan Aru
VI
3
10,00
Pasar tradisional, peabuhan rakyat, tempat rekreasi outdoor
Sumber : Hasil Analisis
241
242
Tabel 44. Penilaian Fungsi/Pusat Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun 2008 – 2009 FASILITAS PELAYANAN NAMA WILAYAH JUMLAH NO (KABUPATEN / PENDUDUK KOTA)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
1 Ambon
271.972
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
2 Maluku Tengah
398.136
+
-
-
-
+
+
-
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
-
-
+
+
+
-
+
+
+
+
+
-
-
3 Buru
143.315
+
-
-
-
+
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
-
+
+
+
+
+
+
+
4 Maluku Tenggara
153.198
+
+
-
-
+
+
-
-
-
+
+
+
-
+
-
+
-
-
-
+
-
+
-
+
+
+
+
+
-
+
5 Seram Bagian Barat
158.619
+
-
-
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
+
-
+
-
-
+
+
-
+
+
-
-
-
-
+
-
-
-
+
+
-
-
+
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+
+
-
-
-
-
Maluku
Tenggara
6 Barat
162.634
-
7 Seram Bagian Timur
82.699
+
-
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
8 Kepulauan Aru
79.865
+
-
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
-
Keterangan Fasilitas Pelayanan : 1
Bank Pembangunan Daerah
6
Pasar Tradisionil
11 Dermaga Ferri
16 Stasiun Radio Swasta
21 Bioskop
26 Perguruan Tinggi Swasta
2
Bank Swasta
7
Bandara Kls 1
12 TPI (Tempat Pelabuhan Ikan)
17 Stasiun Televisi Pemerintah
22 Tempat Hibura Malam
27 Rumah Sakit Umum
3
Money Changer
8
Bandara Kls 3
13 Terminal Bus/AKAB
18 Pemancar Televisi Swasta
23 Tempat Rekreasi Indoor
28 PDAM
4
Pusat Perbelanjaan/ Plaza (Supermarket)
9
Pelabuhan Bongkar Muat
14 Terminal Angkot
19 Hotel Berbintang
24 Tempat Rekreasi Outdoor
29 Penerbit Surat Kabar Daerah
5
Pasar Induk
10
Pelabuhan Rakyat (Pelra)
15 Stasiun Radio/RRI
20 Hotel Non Bintang
25 Perguruan Tinggi Negeri
30 Jasa Telekomunikasi
Tabel 45. Penilaian Kemampuan Pelayanan dengan Skalogram Guttman di Pusat-Pusat Pengembangan, Tahun 2008 – 2009 FASILITAS PELAYANAN NO
NAMA WILAYAH
JUMLAH
(KABUPATEN / KOTA)
PENDUDUK
TOTAL Error
1
6
10
14
24
27
11
28
22
5
16
20
25
26
30
12
2
8
9
13
15
18
21
29
3
4
7
17
19
23
1
Ambon
271.972 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
30
0
2
Maluku Tengah
398.136 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
19
3
3
Buru
143.315 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
18
3
4
Maluku Tenggara
153.198 1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
17
0
5
Seram Bagian Barat
158.619 1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
10
1
6
Maluku Tenggara Barat
162.634 1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
8
0
7
Seram Bagian Timur
82.699 1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
8
Kepulauan Aru
79.865 1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
Tn = Jumlah wilayah
8
8
8
8
8
8
6
6
5
4
4
4
4
4
4
3
2
2
2
2
2
2
2
2
1
1
1
1
1
1
114
7
e = Error/Kesalahan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
2
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
7
COR/K = Koefisien Reprodusibilitas = 0,97 dan Ks = Koefisien Skalabilitas = 0,89
Berdasarkan Skalogram diatas maka dihitung: 1. Koefisien Reprodusibiltas (Kr) 2. Koefisien Skalabilitas (Ks).
Hasil Perhitungan Koefisien Reprodusibilitas COR/Kr = 0,97 Hasil Perhitungan Koefisien Skalabilitas Ks = 0,89 Persyaratan suatu Skalogram dapat diterima sebagai hasil analisis bila hasil perhitungan COR/Kr dan Ks yaitu: COR/Kr > 0,90
dan
Ks > 0,65
243
244
Tabel 46. Pengelompokkan Pusat-Pusat Pengembangan Wilayah Berdasarkan Metode Skalogram di Provinsi Maluku, Tahun 2008-2009 No
Kabupaten/Kota
Kelompok
Kelengkapan Fasilitas
Jumlah (%)
Jenis
1.
Ambon
I
30
100,00
Jasa telekomunikasi, bank swasta, stasiun radio (RRI), pemancar televisi, bioskop, penerbitan surat kabar, money changer, supermarket, pelabuhan udara kls 1, stasiun televisi pemerintah, hotel berbintang, tempat rekreasi indoor.
2.
Maluku Tengah
II
19
63,33
Tempat pelabuhan ikan (TPI), pelabuhan udara kls 2, pelabuhan bongkar muat, terminal bus, pemancar televisi swasta.
3.
Buru
III
18
60,00
Jasa telekomunikasi, stasiun radio (RRI), bioskop, penerbitan surat kabar,
4.
Maluku Tenggara
IV
17
56,66
Tempat pelabuhan ikan, bank swasta.
V
10
33,33
Jasa telekomunikasi
VI
8
26,66
Dermaga ferry, PDAM
5. 6.
Seram Bagian Barat Maluku Tenggara Barat
7.
Seram Bagian Timur
VII
6
20,00
8.
Kepulauan Aru
VII
6
20,00
Sumber : Hasil Analisis
Bank pembangunan daerah, pasar tradisional, pelabuhan rakyat, terminal angkot, tempat rekreasi outdoor Bank pembangunan daerah, pasar tradisional, pelabuhan rakyat, terminal angkot, tempat rekreasi outdoor
IX. SIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
9.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pengembangan kawasan sentra produksi dalam meningkatkan perekonomian wilayah kepulauan Provinsi Maluku, maka dapat dikemukakan beberapa simpulan sebagai berikut: 1. Sektor-sektor unggulan (key sectors) berdasarkan kriteria struktur output dan nilai tambah bruto adalah sama yaitu: sektor perdagangan besar dan eceran, dan sektor perikanan. Sektor-sektor unggulan berdasarkan kriteria multiplier effect berdasarkan pengganda output adalah: sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya, dan sektor bangunan; berdasarkan pengganda pendapatan adalah: sektor bangunan, dan sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya; sedangkan berdasarkan pengganda tenaga kerja sektoral adalah: sektor perdagangan besar dan eceran, dan sektor industri penggergajian
kayu.
Sektor-sektor
unggulan
berdasarkan
kriteria
intersectoral linkages keterkaitan ke depan adalah: sektor perdagangan besar dan eceran, dan sektor industri pengilangan minyak bumi; sedangkan keterkaitan ke belakang adalah: sektor industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya, dan sektor kayu lapis. 2. Berdasarkan analisis konektivitas struktur output dan nilai tambah bruto diketahui ada enam sektor yang memiliki konektivitas yaitu: sektor perdagangan besar dan eceran, sektor perikanan, sektor pemerintahan umum dan pertahanan, sektor angkutan Air, sektor angkutan darat, dan sektor sewa bangunan. Berdasarkan konektivitas multiplier effect diketahui ada empat sektor yang memiliki konektivitas, yaitu: sektor industri kayu lapis, sektor
246
industri roti, biskuit dan sejenisnya, sektor industri makanan dan minuman lainnya, dan sektor industri penggilingan padi. Berdasarkan konektivitas intersectoral linkages diketahui ada dua sektor yang memiliki konektivitas yaitu: sektor industri kerang-kerangan dan sektor industri kain tenun. Berdasarkan kriteria analisis konektivitas secara keseluruhan (struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages) diketahui bahwa sektor-sektor unggulan belum menunjukkan konektivitas diantara kriteria analisis tersebut. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya sektor unggulan yang sama di semua kriteria analisis yang berbasis spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah. 3. Hasil simulasi output final demand impacts memperlihatkan sektor berbasis karakteristik wilayah kepulauan yang menerima perubahan output belum di rasakan pada sektor berbassis bahari/maritim. Sektor-sektor terbesar penerima perubahan output lebih di rasakan pada sektor perdagangan dan indusrti, sedangkan sektor perikanan berada pada posisi ketiga dan keempat. 4. Lambatnya penyediaan fasilitas pelayanan wilayah seperti, pelabuhan laut, bandar udara dan jalan raya di pusat-pusat pengembangan wilayah mengakibatkan rendahnya peran dan fungsi pusat-pusat pengembangan wilayah di daerah ini. Rendahnya peran dan fungsi pusat-pusat pengembangan wilayah dalam menyediakan fasilitas pelayanan mengakibatkan rendahnya peningkatan sektor-sektor unggulan berbasis local spesific pada kawasan sentra produksi di pusat-pusat pengembangan wilayah kepulauan Provinsi Maluku.
247
5. Masih terpusatnya pusat pengembangan wilayah utama di Kota Ambon berdasarkan peringkat atau hirarki pusat-pusat pengembangan wilayah di Provinsi Maluku, diikuti pusat-pusat pengembangan lainnya seperti; Kabupaten Maluku Tengah peringkat kedua, Kabupaten Buru peringkat ketiga dan diikuti oleh kabupaten lainnya. 6. Kebijakan ekonomi wilayah kepulauan Provinsi Maluku masih bersifat jangka pendek karena lebih mengutamakan sektor-sektor yang tidak sesuai dengan spasial dan potensi lokal (local spesific) wilayah seperti; sektor perdagangan besar dan eceran, sektor industri pengilangan minyak bumi dan sektor industri lainnya. Konsep kebijakan pembangunan wilayah lebih berorientasi pada konsep wilayah daratan (continental) bukan kepulauan (archipelago) seperti masih rendah atau belum unggulnya sektor-sektor potensial yang berbasis wilayah kepulauan seperti sektor jasa, angkutan, komunikasi dan sektor perikanan.
9.2. Saran Sehubungan dengan simpulan di atas berikut ini disampaikan beberapa saran berkenan dengan arah dan strategi kebijakan pemerintah daerah Provinsi Maluku dan pengembangan penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut: 1. Sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku belum memperlihatkan konektivitas diantara kriteria-kriteria yang dibangun seperti sektor unggulan berdasarkan analisis kriteria struktur output, nilai tambah bruto, multiplier effect dan intersectoral linkages, sehingga diperlukan konektivitas diantara sektor-sektor unggulan dari berbagai kriteria yang dibangun untuk menjadi model bagi pemerintah daerah Provinsi Maluku guna menentukkan sektor-
248
sektor unggulannya. Dengan demikian Provinsi Maluku perlu meningkatkan sektor-sektor unggulan berbasis bahari/maritim seperti, sektor perikanan, sektor angkutan air (laut), sektor udara, sektor darat dan sektor turunan dari sektor perikanan seperti, sektor kerang-kerangan sebagai sektor unggulan wilayahnya pada semua kriteria analisis secara konektivitas. 2. Sektor-sektor unggulan wilayah kepulauan Provinsi Maluku berbasis potensi lokal wilayah (local spesific) memerlukan dukungan penyediaan atau peningkatan kemampuan fasilitas pelayanan pada level kabupaten/kota sebagai pusat-pusat pengembangan wilayah kepulauan, sehingga mampu memberi aspek dukungan ke depan (spread effect) dan ke belakang (backwash effect) terhadap sektor unggulan wilayahnya. Dengan kemampuan penyediaan fasilitas pelayanan yang lebih lengkap akan mampu menciptakan pusat-pusat pengembangan atau pusat pertumbuhan baru (new growth poles) sehingga aktivitas ekonomi wilayah di Provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan tidak terpusat pada satu pusat pertumbuhan (growth pole) saja yaitu di Kota Ambon sebagai ibukota Provinsi Maluku. 3. Pada
wilayah
kabupaten/kota
sebaiknya
pembangunan
sektor-sektor
perekonomian wilayah didasarkan pada aspek kapasitas atau potensi lokal (local spesific) wilayah dengan mengutamakan sektor-sektor unggulan dan berkelanjutan di masing-masing wilayah kabupaten/kota serta didukung dengan kemampuan fasilitas pelayanan yang baik dan memadai. 4. Sektor-sektor yang memperlihatkan perubahan output dari hasil permintaan akhir sebaiknya menjadi acuan untuk mengkaji lagi arah dan strategi kebijakan pembangunan yang berbasis wilayah kepulauan seperti sektor
249
angkutan air, darat dan tanaman pangan ubi-ubian sebagai sektor pendorong utama terhadap sektor lainnya. 5. Masih rendahnya sektor-sektor potensial seperti, sektor jasa, sektor angkutan dan komunikasi serta sektor perikanan yang berbasis spasial atau lokasi wilayah dan potensi lokal (local spesific) wilayah kepulauan, sehingga diperlukan integrasi dan regulasi kebijakan pada sektor-sektor potensial tersebut untuk meningkatkan efek ganda antarwilayah (interregional) dan antarsektor (intersectoral) di Provinsi Maluku. 6. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih terperinci pada sektor-sektor ekonomi unggulan wilayah berbasis potensi lokal (local spesific) bahari/ maritim pada level kabupaten/kota setelah pemekaran wilayah (otonomi) di atas tahun 2002.
9.3. Implikasi Kebijakan 1.
Pengembangan ekonomi wilayah kepulauan berbasis spasial bahari/maritim dan
potensi lokal (local spesific) wilayah
harus mampu menentukan
pengembangan sektor-sektor unggulan yang berkelanjutan dan mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru (new growth poles) dan tidak tergantung pada satu pusat pertumbuhan saja. Sektor-sektor unggulan yang dimaksud yaitu, sektor perikanan, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor industri pengolahan dan didukung dengan ketersediaan fasilitas pelayanan lainnya. 2.
Arah dan strategi kebijakan pengembangan ekonomi wilayah perlu menjadi perhatian serius khususnya pada sektor-sektor unggulan yang berbasis spasial dan potensi lokal wilayah. Kebijakan pengembangan seperti ini dinilai
250
mampu mengembangkan sektor-sektor ekonomi lainnya yang memiliki keterkaitan (linkages) dan efek pengganda (multiplier effect) terhadap pengembangan wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku yang memiliki potensi lokal (local spesific) di sektor perikanan bila pusat-pusat pengembangan mampu menyediakan fasilitas pelayanan yang dapat meningkatkan pengembangan sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku. 3.
Sebagai wilayah kepulauan berbasis bahari/maririm dan memiliki potensi perikanan terbesar dari wilayah lain, membuat pengambil
kebijakan di
daerah ini harus memiliki visi dan misi untuk menciptakan atau mengembangkan
ekonomi wilayah melalui intervensi pemerintah dalam
menyediakan fasilitas pelayanan guna peningkatan investasi pada sektorsektor ekonomi yang menjadi sektor unggulan Provinsi Maluku. Peningkatan investasi pada sektor-sektor yang berpeluang menjadi komoditi ekspor dengan basis potensi lokal wilayah kepulauan melalui simulasi permintaan akhir memperlihatkan bahwa sektor perikanan sangat besar untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan wilayah.
DAFTAR PUSTAKA
Abe, A. 2001. Perencanaan Daerah. Memperkuat Prakarsa Rakyat Dalam Otonomi Daerah. Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta. Abustan. 1998. Peranan Sub-Wilayah Sebagai Pusat Pengembangan Pembangunan Daerah di Kabupaten Daerah Tingkat II Bone. Tesis Magister Sains, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Adam, L. 1994. Aplikasi Model Shift-Share Analysis di Provinsi Sulawesi Utara. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 2 (1): 17 – 32. Adisasmita, R. 1997. Perencanaan Spasial dan Pengembangan Wilayah. Materi Kuliah Program Magister Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Adisasmita, R. 2008. Ekonomi Archipelago. Graha Ilmu, Yogyakarta ----------------- 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu, Yogyakarta. ----------------- 1997. Pengkajian Teori Simpul Jasa Distribusi Melalui Jalur Perdagangan (Kasus Daerah Sulawesi Selatan). Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Akita, T. and M. Kataoka. 2002. Interregional Interdependence and Regional Economic Growth: An Interregional Input-Output Analysis of The Kyushu Region. RURDS, 14 (1): 18 – 40. Alonso, W. 1964. Location and Land Use. MA: Havard University Press, Cambridge. Amir, H. dan S. Nazara. 2005. Analisis Perubahan Struktur Ekonomi (Economic Landscape) dan Kebijakan Strategi Pembangunan Jawa Timur Tahun 1994 dan 2000; Analisis Input-Output. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5 (2): 37 – 55 Amenta. P. 1998. Interpolative and Predictive Biplots applied to Generalized PLS Discriminant Analysis. http://www.mtisd06.unior.it//collegament/ MTISD% 202006/abstracts/01c-Amenta.pdf
Arsana, A. M. I. 2007. Batas Maritim Indonesia-Singapura. Posted by
[email protected] Published in Maritim Indonesia Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi. BPFEUGM, Yogyakarta.
252
Asyawati, Y. 2002. Pendekatan Sistem Dinamik dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor Aziz, I. J. 1994. Ilmu Ekonomi Regional dengan Beberapa Aplikasinya di Indonesia. LP FEM – UI, Jakarta. Azis, N. A. 2004. Laut Jadi Perekat Pulau-Pulau. http://www.kompas.com. Jakarta Bappeda Provinsi Maluku. 1999. Master Plan and Action Plan Kawasan Andalan. Kerjasama Lembaga Peneliti Unpatti, Ambon Bank Indonesia. 2001. Daya Saing Daerah; Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan. BPFE, Yogyakarta. BPS. 2005. Statistik Indonesia, Berbagai Publikasi, Jakarta. ------. 2007. Tabel Input-Output Provinsi Maluku. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, Ambon BPTP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2006. Data dan Informasi Sumberdaya lahan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis di Wilayah Kepulauan Provinsi Maluku. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Rumah Tiga, Ambon Boudenville, J. R. 1966. Problem of Regional Economics Planning. Edinburg University Press, Edinburg Budiharsono, S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Bulmer-Thomas, V. 1982. Input-Output Analysis in Developing Countries: Sources, Methods and Applications. John Wiley & Sons LTD, New York. Cantillon, R. 1755. Essay Sur la Nature du Commerce en General. Fletcher English Translation by H. Higgs. Reprinted 1964. A. M. Kelley, New York. Chen, X. M. and Mattoo, A. 2004. Regionalism in Standards; Good or Bad for Trade. Development Research Group, World Bank 1816 H Street.NW.Washington.DC 80309. Email:
[email protected] Email:
[email protected]. Chinitz, B. 1970. Contrasts in Agglomeration. New York and Pittsburg. American Economics Review Paper, 51: 279 – 289.
253
Christaller, W. 1966. Central Places in Southern Germany. Jena: fischer, Germany. Daryanto, A dan Y, Hafizrianda. 2010. Analisis Input-Output & Social Accounting Matrix; Untuk Pembangunan Ekonomi Daerah. IPB Press, Bogor. Daryanto, A. 2003. Disparitas Pembangunan Perkotaan – Perdesaan di Indonesia. Agrimedia 8 (2): 30 – 39, Bogor Davis, S., G. Thomas, and D. Orden. 1990. Macroeconomic Imbalances; A Multiregional General Equilibrium Analysis. Cambridge University Press, Cambridge. Dirjen Cipta Karya PU. 1992. Studi Tipologi Kabupaten, Proyek Penataan Ruang Wilayah Nasional. PSDAL. Lembaga Penelitian Universitas Hasanuddin, Makassar. Dixit, A. and J. Stiglitz. 1977. Monopolistic Competetion and Optimum Product Diversity. American Economic Review, 67 (2): 297 - 308. Djojodipuro, M. 1992. Teori Lokasi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Douglas, M. (1998). A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural Urban Linkages, Third World Planning Review 20 (1): 1 – 33. Fujita, M. Thisse and F. Jacques. 2002. Economics of Agglomeration. Published by The Press Syndicate of The University of Cambridge-United Kingdom, London. Fujita, M. and P. R. Krugman. 2000. The Spatial Economy; Cities Region and International Trade. The MIT Press, Cambridge. Gaurav, D and R. Martin. 2002. Is India’s Economic Growth Leaving The Poor Behind. Economic Prospectives Journal, 16 (3): 17 – 48. Glasson, J. 1978. An Introduction to Regional Planning, Concepts, Theory, and Practice. Hutchinson & Co, London Green, F. B. 1956. A Method of Scalogram Analysis Using Summary Statistics. Psychometrika 21 (1): 79 – 88. Hadi, S. B. 2008. Geografi Regional Indonesia. Fakultas Sosial dan Ekonomi. Jurusan Pendidikan Geografi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
254
Harun, R.U. dan S. I. Anugrah. 2005. Kerangka Teoritis Pendekatan Agropolitann Sebagai Konsep Pembangunan Pertanian Terpadu Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah Pedesaan, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 8 (1): 161 - 186. Hadjisarosa, P. 1976a. Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), Seri; Mekanisme Pengembangan Wilayah. Bagian I. Departemen Pekerjaan Umum (PU), Jakarta. -------------------1976b. Penggunaan SPWTN Sebagai Variabel dalam Perencanaan Pengembangan Nasional, Seri; Mekanisme Pengembangan Wilayah. Bagian II. Departemen PU. RI, Jakarta. Hay, D. A. 1979. The Location Industry in a Developing Country; The Case of Brazil. Oxford Economic Papers, 31 (1): 93 - 120. Hidayat, S. 2000. Refleksi Realitas Otonomi Daerah: Tantangan Kedepan. Pustaka Quantum, Jakarta. Hikam, A. S dan H. Susanto. 1997. Kajian Pembangunan Kota di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 1 (1): 51 - 82. Hirschman, A. O. 1958. The Strategy of Development. CN: Yale University Press, New Haven. Hossain, A and A. Chowdhury. 2001. Open Economy. Macroeconomics for Developing Countries. Edward Elgar Publishing Inc, Massachusetts Hoover, E. M. 1948. Location Theory of Economic Activity. McGraw-Hill, New York. Isard, W. 1960. Methods of Regional Analysis-An Introduction to Regional Science. Massachusetts Institute of Technology and Wiley, New York. Isard, W. 1975. Introduction to Regional Science. Prentice Hall, Inc. Englewood cliffs, New Jersey. Jhingan, M. L. 1983. The Economics of Development and Planning. Vicas Publishing House, New Delhi. Jhingan, M. L. 1993. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Johnson A.R. and W. D. Wichern. (2002). Applied Multivariate Statistical Analysis. Person Education International. Prentice Hall. Inc, USA
255
Johnson, E. A. J. 1975. The Organization of Space in Developing Countries. Havard University Press, Massachusetts. Juoro, U. 1989. The Determinants of Aglomeration Economies in Indonesia. Jurnal Triwulan Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Lembaga Penyelidik Ekonomi dan Masyarakat. FE-UI, 37 (2): 269 - 291. Kadariah. 1978. Ekonomi Perencanaan. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta. Kartasasmita, G. 1996. Membangun Pertanian Abad 21; Menuju Pertanian Berbudaya Industri. Bappenas, Jakarta. -------------------- 1996. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. CIDES, Jakarta. Kuncoro, M. 2004. Metode Kuantitatif: Teori dan Aplikasi untuk Bisnis dan Ekonomi. Edisi Kedua. Unit Penerbitan dan Percetakan AMP YKPN, Yogyakarta. Kusumaatmaja, S. 2005. Visi Maritim Indosnesia: Apa Masalahnya. Posted by Gohan
[email protected] Published in Maritim Indonesia, Jakarta. Langham, M. R. and R. H. Retzlaff. 1982. Agriculture Sector Analysis in Asia. Singapore University Press, Singapore. Lardy, R. N. 1999. China”s Economics Growth in an International Context. The Pacific Review, 12 (2): 25 - 50. LIPI. 2003. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Ekonomi, Jakarta. Lukman, A. H. 2004. Perlunya Meretorasi Paradigma Pembangunan Kelautan. Posted by Gohan
[email protected] Published in Maritim Indonesia. http:/blog.its.ac.id/afgantth/2007, Jakarata Losch, A. 1940. The Economic of Location. Jena Germany: Fischer, English Translation. Yale University Press, New Haven McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press Inc, New York. Meyer-Stemer, J. 2003. The PACA www.mesopartner.com
Book of
Concepts. Available
at
Misra, R. P. 1977. Regional Development Planning : Search for Bearing. UNCRD, Nagoya.
256
---------------- 1978. Regional Planning and National Development. Vicas Publishing PVT Ltd, New Delhi. Miller, R. E. and P. D. Blair. 1985. Input-Output Analysis. Foundation and Extensions. Prentice-Hall Inc. Englewood Cliffs, New York. Mills, E. S. 1972. Studies in the Structure of the Urban Economy. The Johns Hopkins Press, Baltimore. Mustopadidjaja, A. R. 1998. Beberapa Dimensi Paradigma dan Model Pembangunan Abad 21. Studi Pembangunan Nasional, Ujung Pandang. Muth, R. F. 1969. Cities and Housing. University of Chicago Press, Chicago. Monk, K. A., Reksodihardjo dan G. Uley. 2000. Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Edisi Indonesia. Prenhalindo, Jakarta. Myrdal, G. 1968. Asian Drama; An Inquiry into the Pantheon, New York.
Poverty of
Nations.
Nanere, J. L. 2006. Sagu dan Lingkungan di Maluku (dalam rangka revitalisasi pertanian di kepulauan Maluku). Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu. Tema”Sagu didalam Revitalisasi Pertanian Maluku”. Kerjasama Universitas Pattimura, Bappeda Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP Maluku, Ambon. Nicholas, R. L. 1999. China’s Economic Growth In an International Contex. The Pacific Review, 12 (2): 21 – 57. Nijkamp, P. 1979. Multidimensional Spatial Data and Decision Analysis. John Wiley and Son Ltd, New York. Ohlin, B. 1933. Interregional and International Trade. Revised Version Published in 1968, MA: Havard University Press, Cambridge Okali, D., E. Okpana dan J. Olawoye. 2001. The Case of Aba and its Region, Southerneast Nigeria. Working Paper. International Institute for Enviromental Development, London. Otmazgin, K. N. 2005. Cultural Commodities and Regionalization in East Asia. Contemporary Southeast Asia, 27 (3): 499 - 523. Parlindungan, A. P. 1993. Komentar Atas Undang-Undang Penataan Ruang. CV Mandar Maju, Bandung Perkins, D. H., S. Radeler., D. R. Snodgrass., M. Gills, and M. Roemer. 2001. Economic of Development. Fifth Edition. W.W. Norton and Company, New York.
257
Perroux, F. 1955. Note Sur la Notion de Pole de Croissance. Economique Appliquee. Press Universitives de France, France. Porter, M. E. 1990. The Competitive Advantage of Nation. The Macmillan Press, Ltd. London or The Free Press, New York. Priyarsono, D. S. dan E. Rustiadi. 2010. Regional Development in Indonesia. Crestpent Press. IPB Baranangsiang, Bogor Rachman, H. P., M. Ariani, dan P. H. Saliem. 2002. Ketahanan Pangan, Konsep, Pengukuran dan Strategi. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 20 (1): 12 - 24. Rahardjo, A. 1988. Teori-Teori Lokasi Dan Pengembangan Wilayah. Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang. Rasmussen, R. 1956. Studied in Intersectoral Relations. North Holland Publishing Company, Amsterdam. Reksohadiprodjo, S. dan A. R. Karseno. 2001 Ekonomi Perkotaan. PT BPFE. Fakultas Ekonomi UGM, Yogyakarta. Richardson, H. W. 1978a. Regional Economic. University of Illionis Press, Illionis. ------------------------ 1978b. Growth Centres, Rural Development and National Urban Policy : A Defence International Regional Science Review, 3 (2) : 133 - 152. ------------------------ 1991. Dasar-Dasar Ilmu Ekonomi Regional. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Romer, D. 2001. Advanced Macroeconomics. second edition. Mac Graw-Hill. Higher Education, Boston. Rondinelli, D. A. 1985. Applied Methods of Regional Analysis, The Spatial Dimensions of Development policy. Westview Press Boulder, Colorado. Rusastra, I. W. 2004. Kinerja dan Prospektif Pengembangan model Agropolitan Dalam Mendukung Pengembangan Ekonomi Wilayah Berbasis Agribisnis. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor. Samuelson, A. P. and D. W. Nordhaus. 1983. Macroeconomics. (A Version of Economics). Thirteenth Edition. New York; Mac Graw-Hill Book Company Inc, Boston.
258
Sartono. B., F. M. Affendi., U. D. Syafitri., I. M. Sumertajaya dan Y. Angraeni 2003. Analisis Peubah Ganda. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor Schumpeter, J. A. 1961. The Theory of Economic Development. Oxford University Press, New York. Sitaniapessy, P. M. 2002. Problema Lingkungan Pulau Kecil di Provinsi Maluku. Jurnal Pertanian Kepulauan, 1 (2): 79 – 82. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Baduose Media, Jakarta. Smith, A. 1776. An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. Straham and Cadell. Fifth Edition Reprinted in 1965. The Modern Library, New York. Stamer-Meyer. 2003. The PACA www.mesopartner.com
Book
of
Concepts.
Available
at
Streeten, P. P. 1981. The frontiers of Development studies. Johns willey and Son, New York. Steven, R., Jefrey. S and Jong. W. L. 2001. The Determinants and Prospects of Economic growth in Asia. International Economic Journal, 15 (3): 24 – 56. Sukirno, S. 1976. Beberapa Aspek Dalam Persoalan Pembangunan Daerah. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta. Sukanto, R. dan A. R. Karseno. 2001. Ekonomi Perkotaan. PT. BPFE – UGM, Yogyakarta. Sun, S. K. and G. P. Cheol. 2006. Regulatory and Reform Office of the Prime Minister Republic of Korea. Regulatory Reform Committee (RRC). Regulatory Reform Promotion (RRP), Seoul. Syaeful, H. B. 2008. Geografi Regional Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi. Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. Takahiro, A. and K. Mitsuhiko. 2002. Interregional Interdepedence and Regional economic Growth; An Interregional Input – Output Analysis of the Kyushu. International Regional Science Review, 14 (1): 18 – 42. Tarigan, R. 2004a. Ekonomi Regional; Teori dan Aplikasi. PT Bumi Aksara, Jakarta. ---------------2004b. Perencanaan Pembangunan Wilayah. PT Bumi Aksara, Jakarta.
259
Tiebout, C. M. 1956. A Pure Theory of Local Public Expenditures. Journal of Political Economy, 64 (1): 416-424. Tim Peneliti Unpatti. 2000. Penyusunan Master Plan And Action Plan Kondisi dan Potensi Wilayah. Lembaga Penelitian Universitas Pattimura, Ambon. Titaley, P. A. 2006. Kebijakan Revitalisasi Pertanian di Maluku. Makalah disampaikan pada Lokakarya Sagu. Tema”Sagu didalam Revitalisasi Pertanian Maluku”. Kerjasama Universitas Pattimura, Bappeda Maluku, Dinas Pertanian Provinsi Maluku dan BPTP Maluku, Ambon. Todaro, M. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Erlangga, Jakarta. Utrecht, LSEM. 1998. Atlas Maluku. DSA, Ambon. Uphoff, N. (1999). Rural Development Strategy for Indonesian Recovery: Reconciling Contradictions and Tensions, Paper Presented at the International Seminar on Agricultural Sector During the Turbelence of Economic Crisis: Lessons and Future Directions. Center for AgroSocioeconomic Research, 17 – 18 February 1999, Bogor. Verner, D. and M. N. Fiess. 2001. Intersectoral Dinamics and Economic Growth in Equador. World Bank, Washington DC. Warpani, S. 1984. Analisis Kota Daerah. Penerbit ITB Bandung, Bandung. Webber, M. J. 1979. Information Theory and Urban Spatial Structure. Croom Helm, London. Wibisono, Y. 2005. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Regional; Studi Empiris Antar Propinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 5 (2): 91 – 120. Widodo, T. S. 2000. Indikator Ekonomi; Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Widjaja, H. A. W. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Divisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Wijaya, A. 2003. Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Ekonomi. Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, Jakarta. William, O. P. (1971). Metropolitan Political Analysis: A Social Access Approach. The Free Press, New York.
260
Wirawan, I., B. Sukidin dan Basrowi. 2001. Perencanaan dan strategi pembangunan. Jember University Press, Jember. World Bank. 2009. Menata Ulang Geografi Ekonomi/World Bank. World Development Report, Jakarta. Yakub, R. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. Pradnya Paramita, Jakarta
263
Lampiran 1. Kode Sektor – Sektor Eknonomi Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Nama Sektor Padi Jagung Ubi Kayu Ubi-Ubian Lainnya Kacang-kacangan Sayuran dataran ttinggi Sayuran dataran rendah Jeruk Pisang Buah-buahan lainnya Pertanian tanaman pangan lainnya Kelapa Cengkih Cokelat Pala Kopi Perkebunan Lainnya Peternakan Kayu Gelondongan Hasil hutan lainnya Perikanan Pertanmbangan Penggalian Industri pengilangan minyak bumi Industri Pnggilingan padi Industri tepung terigu Industri minyak hewan dan nabati Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri gula Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Industri tekstil, bahan dari kulit dan alas kaki Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kerang-kerangan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri semen dan bahan galian bukan logam
264
Lampiran 1. Lanjutan Kode Nama Sektor 40 Industri lainnya 41 Listrik 42 Air bersih 43 Bangunan 44 Pedagang besar eceran 45 Hotel 46 Restoran dan rumah makan 47 Angkutan darat 48 Angkutan air 49 Angkutan udara 50 Jasa penunggang angkutan 51 Komunikasi 52 Bank 53 Lembaga keuangan non-bank 54 Sewa bangunan 55 Jasa Perusahaan 56 Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan 57 Jasa sosial kemanusiaan 58 Jasa hiburan dan rekreasi 59 Jasa Perorangan dan rumah tangga 60 Lainnya yang tidak jelas batasannya 200 Impor 201 Upah dan gaji 202 Surplus usaha 203 Penyusutan 204 Pajak tak langsung 205 Subsidi 301 Konsumsi Rumah Tangga 302 Konsumsi Pemerintah 303 Pembentukan Modal Tetap Bruto 304 Perubahan Stok 305 Ekspor 309 Jumlah Permintaan 409 Impor
265
Lampiran 2. Total Output Multipliers Provinsi Maluku Update SECTOR 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
INITIAL 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
FIRST 3 0.1234 0.0758 0.0542 0.0504 0.0576 0.0359 0.058 0.046 0.052 0.0584 0.0684 0.0598 0.2049 0.0981 0.0682 0.0953 0.0628 0.1252 0.1696 0.0569 0.2274 0.2476 0.1647 0 0.4588 0 0.4676 0.5311 0.4788 0.4917 0.5218 0.4336 0.6523 0.6433 0.7 0.4812 0.4247 0.2918 0.2887 0.4714 0.3444 0.2274 0.6539 0.2429 0.2566 0.3266 0.2533 0.3991 0.3564 0.2182 0.128
INDUST 4 0.0327 0.0157 0.01 0.0102 0.0112 0.0076 0.0144 0.0127 0.0081 0.0093 0.0192 0.0086 0.0654 0.0164 0.0089 0.027 0.0193 0.0392 0.0553 0.0182 0.075 0.0927 0.0324 0 0.0789 0 0.0616 0.1651 0.1511 0.1203 0.1096 0.1504 0.2339 0.1878 0.3403 0.1508 0.129 0.0704 0.0839 0.1595 0.0883 0.0858 0.3025 0.0881 0.0767 0.1421 0.067 0.1355 0.0962 0.0786 0.0442
CONS'M 5 0.4283 0.3364 0.3526 0.262 0.293 0.1908 0.3474 0.4719 0.3694 0.219 0.4695 0.3901 0.6967 0.4413 0.7392 0.5161 0.2419 0.6924 0.3515 0.3091 0.4167 0.3735 0.7511 0 0.4387 0 0.5512 0.5814 0.5133 0.5308 0.4832 0.5821 0.5347 0.4605 0.5637 0.6413 0.5036 0.5473 0.5723 0.6625 0.5532 0.4563 0.497 0.624 0.4969 0.5107 0.5376 0.4996 0.562 0.6403 0.4046
TOTAL 6 1.5844 1.4279 1.4168 1.3226 1.3618 1.2344 1.4198 1.5307 1.4296 1.2867 1.5571 1.4585 1.967 1.5558 1.8163 1.6384 1.3239 1.8568 1.5764 1.3843 1.7191 1.7137 1.9483 1 1.9763 1 2.0804 2.2776 2.1433 2.1429 2.1147 2.166 2.4208 2.2916 2.604 2.2734 2.0573 1.9095 1.945 2.2934 1.9859 1.7695 2.4535 1.955 1.8302 1.9794 1.8579 2.0342 2.0146 1.9372 1.5769
ELAST 7 0.2129 0.5387 0.1314 0.0166 0.0686 0.0866 0.2271 0.2873 0.2243 0.0938 0.08 0.0288 1.8639 1.3957 1.6242 0.842 0.3604 0.2845 0.0811 0.7298 1.14 1.6555 0.9115 0 1.0181 0 -0.0078 -0.4328 20.7238 -0.2932 -8.6445 107.1815 2.3068 1.5734 2.019 -0.3919 -7.4545 0.3439 7.0498 10.9232 0 0 1.9595 0.496 0.0659 0.0225 0.3237 0.3788 0.2045 0.4293 0.0084
TYPE I 8 1.1561 1.0915 1.0643 1.0606 1.0688 1.0435 1.0724 1.0587 1.0601 1.0677 1.0876 1.0685 1.2703 1.1144 1.0771 1.1223 1.082 1.1644 1.2249 1.0751 1.3024 1.3403 1.1972 1 1.5377 1 1.5292 1.6962 1.63 1.6121 1.6314 1.584 1.8862 1.8311 2.0403 1.632 1.5537 1.3622 1.3727 1.6309 1.4327 1.3133 1.9565 1.3309 1.3332 1.4686 1.3203 1.5346 1.4526 1.2968 1.1722
TYPE II 9 1.5844 1.4279 1.4168 1.3226 1.3618 1.2344 1.4198 1.5307 1.4296 1.2867 1.5571 1.4585 1.967 1.5558 1.8163 1.6384 1.3239 1.8568 1.5764 1.3843 1.7191 1.7137 1.9483 1 1.9763 1 2.0804 2.2776 2.1433 2.1429 2.1147 2.166 2.4208 2.2916 2.604 2.2734 2.0573 1.9095 1.945 2.2934 1.9859 1.7695 2.4535 1.955 1.8302 1.9794 1.8579 2.0342 2.0146 1.9372 1.5769
266
Lampiran 2. Lanjutan SECTOR 1 52 53 54 55 56 57 58 59 60
INITIAL 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
FIRST 3 0.1079 0.1881 0.2137 0.2049 0.1085 0.3453 0.0952 0.1006 0
INDUST 4 0.0349 0.0596 0.1418 0.0612 0.0479 0.1326 0.0392 0.0337 0
CONS'M 5 0.6418 0.6418 0.2442 0.3825 0.7998 0.8175 0.522 0.4583 0
TOTAL 6 1.7846 1.8895 1.5997 1.6487 1.9562 2.2954 1.6563 1.5927 1
ELAST 7 0.0045 0.0004 0 0.0024 1.881 0.0007 0.0614 0.0023 0
TYPE I 8 1.1428 1.2477 1.3555 1.2661 1.1564 1.4779 1.1343 1.1344 1
TYPE II 9 1.7846 1.8895 1.5997 1.6487 1.9562 2.2954 1.6563 1.5927 1
267
Lampiran 3. Total Income Multiplier Effect Provinsi Maluku Update KODE 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51
INITIAL 2 0.1953 0.1613 0.1751 0.1278 0.1433 0.0938 0.1702 0.2384 0.1846 0.1063 0.2312 0.1943 0.3094 0.2108 0.3688 0.2486 0.1095 0.3336 0.151 0.1536 0.1712 0.1425 0.3786 0 0.1298 0 0.1865 0.1737 0.1596 0.1658 0.1452 0.2063 0.1309 0.1166 0.1294 0.2235 0.1824 0.2346 0.24 0.2374 0.2353 0.1899 0.0876 0.2712 0.2009 0.1909 0.2326 0.1749 0.219 0.2928 0.1774
FIRST 3 0.0276 0.0155 0.0113 0.0103 0.0111 0.0067 0.0127 0.0112 0.0111 0.009 0.0158 0.0123 0.051 0.0216 0.0235 0.0221 0.0162 0.0288 0.0265 0.0082 0.0374 0.0403 0.0167 0 0.088 0 0.096 0.1051 0.0864 0.0945 0.0932 0.0775 0.1145 0.0978 0.1151 0.0928 0.0641 0.0458 0.0514 0.0882 0.0442 0.039 0.1269 0.0465 0.0503 0.0546 0.0421 0.0662 0.0633 0.0349 0.0305
INDUST 4 0.0058 0.0028 0.0018 0.0018 0.002 0.0013 0.0025 0.0023 0.0016 0.0016 0.0037 0.0017 0.0116 0.0033 0.0023 0.0049 0.0035 0.0073 0.0102 0.0033 0.0139 0.0166 0.0057 0 0.0164 0 0.0117 0.0316 0.028 0.0231 0.0196 0.027 0.0401 0.0314 0.0565 0.0262 0.0223 0.0118 0.0142 0.0282 0.0158 0.0146 0.0508 0.0155 0.0141 0.0271 0.0123 0.0257 0.0177 0.0143 0.0081
CONS'M 5 0.0848 0.0666 0.0698 0.0519 0.058 0.0378 0.0688 0.0934 0.0732 0.0434 0.093 0.0772 0.138 0.0874 0.1464 0.1022 0.0479 0.1371 0.0696 0.0612 0.0825 0.074 0.1487 0 0.0869 0 0.1091 0.1151 0.1016 0.1051 0.0957 0.1153 0.1059 0.0912 0.1116 0.127 0.0997 0.1084 0.1133 0.1312 0.1095 0.0904 0.0984 0.1236 0.0984 0.1011 0.1065 0.0989 0.1113 0.1268 0.0801
TOT 6 0.3135 0.2462 0.2581 0.1918 0.2145 0.1397 0.2543 0.3454 0.2704 0.1603 0.3436 0.2855 0.51 0.323 0.541 0.3778 0.1771 0.5068 0.2573 0.2263 0.305 0.2734 0.5498 0 0.3211 0 0.4034 0.4256 0.3757 0.3885 0.3537 0.4261 0.3914 0.3371 0.4126 0.4694 0.3686 0.4006 0.4189 0.4849 0.4049 0.334 0.3638 0.4568 0.3637 0.3738 0.3935 0.3657 0.4114 0.4687 0.2962
ELAST 7 0.2158 0.5757 0.1366 0.0188 0.0754 0.1045 0.239 0.2719 0.2298 0.11 0.0764 0.029 1.5619 1.375 1.3118 0.7808 0.4403 0.2328 0.0876 0.7768 1.1813 1.8531 0.6793 0 1.2744 0 -0.0081 -0.4655 22.76 -0.3206 -9.9584 102.1955 2.8494 1.9843 2.4714 -0.3621 -7.3206 0.3076 6.328 9.7296 0 0 3.315 0.4274 0.0652 0.0223 0.2947 0.3894 0.1906 0.3548 0.0089
TYPE I 8 1.1712 1.1132 1.0749 1.095 1.0916 1.0861 1.0899 1.0568 1.0684 1.1002 1.0844 1.0717 1.2024 1.118 1.07 1.1084 1.1798 1.1081 1.2427 1.0749 1.2994 1.3994 1.0592 0 1.8046 0 1.5776 1.7871 1.7171 1.7093 1.777 1.5065 2.1812 2.1081 2.3251 1.5324 1.4738 1.2457 1.2736 1.4902 1.255 1.2826 3.0279 1.2288 1.3205 1.4281 1.2339 1.5253 1.37 1.1678 1.218
TYPE II 9 1.6056 1.5261 1.4736 1.5011 1.4965 1.4889 1.4941 1.4487 1.4646 1.5082 1.4866 1.4692 1.6483 1.5327 1.4669 1.5194 1.6173 1.519 1.7036 1.4735 1.7813 1.9183 1.4521 0 2.4739 0 2.1626 2.4499 2.3539 2.3432 2.4361 2.0653 2.9902 2.89 3.1874 2.1007 2.0203 1.7077 1.7459 2.0428 1.7204 1.7583 4.1508 1.6845 1.8102 1.9577 1.6915 2.091 1.878 1.6009 1.6697
268
Lampiran 3. Lanjutan KODE 1 52 53 54 55 56 57 58 59 60
INITIAL 2 0.3118 0.2793 0.0724 0.1658 0.3969 0.3511 0.2538 0.2141 0
FIRST 3 0.0248 0.0525 0.0319 0.028 0.0214 0.0605 0.018 0.0244 0
INDUST 4 0.0061 0.0108 0.0261 0.0104 0.0087 0.0249 0.0069 0.0062 0
CONS'M 5 0.1271 0.1271 0.0483 0.0758 0.1584 0.1619 0.1034 0.0908 0
TOT 6 0.4698 0.4698 0.1787 0.28 0.5854 0.5984 0.382 0.3355 0
ELAST 7 0.0038 0.0003 0 0.0025 1.4182 0.0005 0.0558 0.0023 0
TYPE I 8 1.0991 1.2268 1.8004 1.232 1.0759 1.2431 1.0981 1.143 0
TYPE II 9 1.5067 1.6818 2.4681 1.689 1.4749 1.7041 1.5054 1.5669 0
269
Lampiran. 4. Total Employment Multiplier Effect Provinsi Maluku Update SECTOR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
INITIAL 0.2326 3.5727 0.159 0.6475 1.431 0.2246 0.1278 0.3478 0.1662 0.1131 0.3332 0.0432 0.1167 0.8609 0.4136 0.7405 0.3218 0.3309 0.2683 1.0269 0.0347 0.7157 0.7207 0 0.0448 0 0.0135 0.0454 1.9231 0.0346 1.3646 3.4965 0.0151 0.011 0.1251 1.0108 0.3146 0.027 0.5741 0.5605 0.1022 1.2098 0.1195 0.0031 0.2811 0.5299 0.0727 0.1029 0.0114 0.1141 0.091 0.1233
FIRST 0.0154 0.1463 0.0057 0.0169 0.046 0.0047 0.0045 0.0081 0.0066 0.0053 0.011 0.0034 0.0191 0.0616 0.0246 0.0398 0.0097 0.0456 0.0264 0.0055 0.0213 0.0429 0.0232 0 0.0981 0 0.0231 0.1443 0.2738 0.0864 0.3362 0.3874 0.1398 0.1198 0.1851 0.0152 0.07 0.0108 0.0606 0.1273 0.0379 0.0147 0.1622 0.0342 0.0233 0.0257 0.0292 0.0343 0.0359 0.0252 0.0238 0.0156
INDUST 0.0027 0.0074 0.0011 0.0015 0.0025 0.0008 0.0014 0.0019 0.0012 0.0013 0.0024 0.0011 0.0062 0.0057 0.0021 0.006 0.003 0.0073 0.0108 0.0031 0.0122 0.017 0.007 0 0.01 0 0.0065 0.0331 0.047 0.0214 0.0252 0.0602 0.0386 0.0307 0.0678 0.0181 0.0222 0.0063 0.0155 0.0309 0.0149 0.0129 0.0569 0.0145 0.0114 0.0269 0.0118 0.0243 0.016 0.0146 0.0081 0.0055
CONS'M 0.0993 0.0779 0.0817 0.0607 0.0679 0.0442 0.0805 0.1094 0.0856 0.0508 0.1088 0.0904 0.1615 0.1023 0.1713 0.1196 0.0561 0.1604 0.0815 0.0716 0.0966 0.0865 0.1741 0 0.1017 0 0.1277 0.1347 0.1189 0.123 0.112 0.1349 0.1239 0.1067 0.1306 0.1486 0.1167 0.1268 0.1326 0.1535 0.1282 0.1057 0.1152 0.1446 0.1152 0.1183 0.1246 0.1158 0.1302 0.1484 0.0938 0.1487
TOTAL 0.35 3.8043 0.2475 0.7266 1.5474 0.2743 0.2142 0.4672 0.2596 0.1704 0.4553 0.1381 0.3035 1.0305 0.6116 0.9059 0.3907 0.5442 0.387 1.1072 0.1648 0.8621 0.9249 0 0.2546 0 0.1709 0.3574 2.3628 0.2654 1.838 4.079 0.3174 0.2681 0.5086 1.1928 0.5235 0.1709 0.7828 0.8723 0.2832 1.3431 0.4538 0.1965 0.4309 0.7008 0.2383 0.2772 0.1935 0.3022 0.2167 0.2931
ELAST 0.2022 0.4017 0.1443 0.0141 0.0545 0.0857 0.2681 0.2522 0.2451 0.1099 0.0702 0.0632 2.4638 1.0738 1.3223 0.6287 0.3304 0.252 0.0742 0.5684 3.1501 1.1636 0.6005 0 2.9265 0 -0.0472 -1.4977 11.8801 -1.0487 -5.506 57.7262 19.9982 16.8105 3.1527 -0.2034 -6.0297 1.1394 4.9426 7.4118 0 0 3.0336 15.9486 0.0552 0.015 0.5712 0.5019 1.7258 0.5872 0.0127 0.0059
TYPE I 1.078 1.043 1.0429 1.0283 1.0339 1.0245 1.0462 1.0289 1.047 1.0583 1.0401 1.1051 1.2171 1.0781 1.0645 1.0619 1.0397 1.1597 1.1387 1.0084 1.9665 1.0836 1.0419 0 3.4125 0 3.1957 4.9105 1.1668 4.112 1.2648 1.128 12.7934 14.7396 3.0219 1.033 1.2931 1.6327 1.1326 1.2823 1.5166 1.0228 2.8343 16.5893 1.1234 1.0993 1.5645 1.5696 5.5557 1.3489 1.3503 1.1706
TYPE II 1.5047 1.0648 1.5567 1.1221 1.0814 1.2215 1.676 1.3433 1.5622 1.5072 1.3666 3.1997 2.6001 1.1969 1.4786 1.2234 1.2139 1.6446 1.4423 1.0782 4.7504 1.2045 1.2834 0 5.6811 0 12.6394 7.8813 1.2287 7.6639 1.3469 1.1666 20.9865 24.4833 4.0662 1.18 1.6641 6.3264 1.3636 1.5562 2.7705 1.1102 3.7985 62.8599 1.533 1.3226 3.2785 2.6953 17.0005 2.6498 2.3804 2.377
270
Lampiran. 4. Lanjutan SECTOR 53 54 55 56 57 58 59 60
INITIAL 0.1205 0.0049 0.4417 0.032 0.0198 0.366 0.1172 0
FIRST 0.0272 0.0362 0.0296 0.0167 0.0286 0.0191 0.0446 0
INDUST 0.0081 0.0306 0.0104 0.0092 0.0239 0.0074 0.007 0
CONS'M 0.1487 0.0566 0.0886 0.1853 0.1894 0.121 0.1062 0
TOTAL 0.3045 0.1283 0.5703 0.2433 0.2618 0.5135 0.2749 0
ELAST 0.0005 0 0.0019 7.3094 0.0039 0.052 0.0034 0
TYPE I 1.2922 14.7065 1.0904 1.8119 3.6553 1.0723 1.4398 0
TYPE II 2.5262 26.3132 1.2911 7.6013 13.2279 1.4028 2.3464 0
271
Lampiran. 5 Total Backward dan Forward Multipliers Provinsi Maluku Update Kode
Sektor
1
2
Column
Column
Standard
Coefficient
Backward
Backward
Total
Mean
Deviation
Variation
Linkage
Spread
3
4
5
6
7
8
1
Padi
0.8656
0.0144
0.1048
7.2645
1.28
1.7153
2
Jagung
0.3327
0.0055
0.0308
5.5453
0.492
1.3093
3
Ubi Kayu Ubi-Ubian Lainnya Kacangkacangan Sayuran dataran ttinggi Sayuran dataran rendah Jeruk
0.0882
0.0015
0.006
4.0485
0.1304
0.9559
0.0542
0.0009
0.0037
4.0518
0.0802
0.9567
0.0906
0.0015
0.0057
3.7841
0.134
0.8935
0.0191
0.0003
0.0019
6.1241
0.0282
1.446
0.0239
0.0004
0.0028
7.0659
0.0353
1.6684
0.023
0.0004
0.0021
5.5632
0.034
1.3136
0.0603
0.001
0.0046
4.5957
0.0892
1.0851
0.1583
0.0026
0.0122
4.6259
0.234
1.0922
0.0937
0.0016
0.004
2.5892
0.1386
0.6113
12
Pisang Buah-buahan lainnya Pertanian tanaman pangan lainnya Kelapa
0.2777
0.0046
0.0245
5.3039
0.4106
1.2523
13
Cengkih
0.0352
0.0006
0.0045
7.648
0.052
1.8058
14
Cokelat
0.0918
0.0015
0.0091
5.9238
0.1357
1.3987
15
Pala
0.0898
0.0015
0.0078
5.225
0.1328
1.2337
16
0.1191
0.002
0.0083
4.1909
0.1761
0.9895
0.0559
0.0009
0.004
4.2669
0.0826
1.0075
0.1314
0.0022
0.006
2.7444
0.1943
0.648
0.9415
0.0157
0.0772
4.9179
1.3922
1.1612
0.3921
0.0065
0.0257
3.9384
0.5798
0.9299
21
Kopi Perkebunan Lainnya Peternakan Kayu Gelondongan Hasil hutan lainnya Perikanan
0.0569
0.0009
0.006
6.3431
0.0841
1.4977
22
Pertanmbangan
0.0303
0.0005
0.0027
5.3931
0.0449
1.2734
23
Penggalian Industri pengilangan minyak bumi Industri Pnggilingan padi Industri tepung terigu Industri minyak hewan dan nabati
0.464
0.0077
0.0588
7.6012
0.6861
1.7947
0.9814
0.0164
0.0402
2.4591
1.4512
0.5806
0.1193
0.002
0.007
3.5099
0.1764
0.8287
0.1148
0.0019
0.0074
3.888
0.1698
0.918
0.1217
0.002
0.0068
3.3348
0.1799
0.7874
4 5 6 7 8 9 10 11
17 18 19 20
24
25 26 27
272
Lampiran 5. Lanjutan Kode 1
Sektor 2
Column
Column
Standard
Coefficient
Backward
Backward
Total
Mean
Deviation
Variation
Linkage
Spread
3
4
5
6
7
8
41
Industri roti, biskuit dan sejenisnya Industri gula Industri makanan dan minuman lainnya Industri kain tenun Industri tekstil, bahan dari kulit dan alas kaki Industri kayu lapis Industri penggergajian kayu Industri barang lain dari kayu dan hasil hutan lainnya Industri kerangkerangan Industri kertas dan barang cetakan Industri pupuk kimia dan barang dari karet Industri semen dan bahan galian bukan logam Industri lainnya Listrik
42
Air bersih
0.4436
0.0074
0.0253
3.4177
0.6559
0.807
43
Bangunan Pedagang besar eceran Hotel Restoran dan rumah makan Angkutan darat
0.2014
0.0034
0.0132
3.9447
0.2977
0.9314
0.229
0.0038
0.009
2.3574
0.3386
0.5566
0.2894
0.0048
0.0145
3.0019
0.428
0.7088
0.4412
0.0074
0.0218
2.9664
0.6524
0.7004
0.1615
0.0027
0.0059
2.1849
0.2388
0.5159
28 29 30
31
32
33 34
35
36
37
38
39
40
44 45 46 47
0.2429
0.004
0.0233
5.7549
0.3592
1.3588
0.02
0.0003
0.0019
5.589
0.0296
1.3196
0.3079
0.0051
0.0293
5.7033
0.4553
1.3466
0.777
0.013
0.0556
4.2973
1.1489
1.0146
0.0468
0.0008
0.0018
2.3406
0.0692
0.5526
0.0513
0.0009
0.0045
5.2278
0.0759
1.2344
0.2897
0.0048
0.0206
4.2645
0.4283
1.0069
0.1823
0.003
0.0112
3.6813
0.2696
0.8692
0.891
0.0148
0.0584
3.9321
1.3174
0.9284
0.6192
0.0103
0.051
4.9412
0.9156
1.1667
0.7897
0.0132
0.0549
4.1674
1.1677
0.984
0.844
0.0141
0.1013
7.2003
1.248
1.7001
0.2841
0.0047
0.0157
3.3061
0.4201
0.7806
0.2759
0.0046
0.0166
3.5992
0.408
0.8498
273
Lampiran 5. Lanjutan Kode
1
Sektor
2 48 49 50 51 52 53 54 55
56
57 58
59
60 Total Average
Column
Column
Standard
Coefficient
Backward
Backward
Total
Mean
Deviation
Variation
Linkage
Spread
3
4
Angkutan air Angkutan udara Jasa penunggang angkutan Komunikasi
0.1751
0.0029
0.2048
Bank Lembaga keuangan nonbank Sewa bangunan Jasa Perusahaan Pemerintahan umum dan pertahanan keamanan Jasa sosial kemanusiaan Jasa hiburan dan rekreasi Jasa Perorangan dan rumah tangga Lainnya yang tidak jelas batasannya
5
6
7
8
0.0065
2.2349
0.259
0.5277
0.0034
0.0101
2.9591
0.3028
0.6987
0.2336
0.0039
0.0092
2.3671
0.3454
0.5589
0.4182
0.007
0.0195
2.801
0.6184
0.6614
0.1256
0.0021
0.0055
2.6302
0.1857
0.621
0.1715
0.0029
0.0064
2.2518
0.2535
0.5317
0.0655
0.0011
0.0052
4.7275
0.0969
1.1162
0.2579
0.0043
0.0189
4.4072
0.3814
1.0406
0.0229
0.0004
0.0009
2.2242
0.0339
0.5252
0.1468
0.0024
0.0076
3.0916
0.217
0.73
0.1672
0.0028
0.0102
3.6509
0.2473
0.862
0.0344
0.0006
0.0017
2.9896
0.0508
0.7059
25.3333
0.4222
1.67
3.9552
37.4592
0.9339
40.5775
0.6763
2.7819
254.1148
60
60
0.6763
0.0113
0.0464
4.2352
1
1
274
Lampiran 6. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan udara Sektor
Final Demand
Indust Sup
1
0.00
1057.70
2
0.00
13.26
3
0.00
134.23
4
0.00
43.63
5
0.00
6 7
Consumption -9948.07
Total
Percent
-8890.38
-0.39
1982.20
1995.46
45024.60
45158.83
12223.91
34.62
0.00 0.00
8
Flow On
Percent
-8890.38
-0.70
0.09
1995.46
0.16
1.98
45158.83
3.54
12267.54
0.54
12267.54
0.96
5528.51
5563.12
0.24
5563.12
0.44
7.52
7340.36
7347.88
0.32
7347.88
0.58
6.77
9712.37
9719.14
0.43
9719.14
0.76
0.00
13.53
4194.26
4207.79
0.18
4207.79
0.33
9
0.00
110.75
9703.08
9813.83
0.43
9813.83
0.77
10
0.00
446.66
13166.95
13613.60
0.60
13613.60
1.07
11
0.00
62.82
10191.51
10254.33
0.45
10254.33
0.80
12
0.00
473.91
36875.24
37349.16
1.64
37349.16
2.93
13
0.00
1.57
1030.57
1032.14
0.05
1032.14
0.08
14
0.00
20.48
332.91
353.39
0.02
353.39
0.03
15
0.00
31.94
799.75
831.69
0.04
831.69
0.07
16
0.00
10.75
744.47
755.23
0.03
755.23
0.06
17
0.00
37.64
3317.46
3355.10
0.15
3355.10
0.26
18
0.00
324.75
16784.17
17108.93
0.75
17108.93
1.34
19
0.00
844.44
-1579.33
-734.89
-0.03
-734.89
-0.06
20
0.00
136.94
-45.36
91.57
0.00
91.57
0.01
21
0.00
1307.01
92597.92
93904.93
4.13
93904.93
7.36
22
0.00
23.09
38.05
61.14
0.00
61.14
0.00
23
0.00
253.49
1135.81
1389.30
0.06
1389.30
0.11
24
0.00
107561.44
36185.31
143746.75
6.32
143746.75
11.27
25
0.00
27985.36
-264153.70
-236168.34
-10.38
-236168.34
-18.51
26
0.00
79.91
6583.58
6663.49
0.29
6663.49
0.52
27
0.00
651.53
27286.46
27938.00
1.23
27938.00
2.19
28
0.00
1048.30
15522.24
16570.54
0.73
16570.54
1.30
29
0.00
54.73
33464.20
33518.93
1.47
33518.93
2.63
30
0.00
2526.81
53715.85
56242.66
2.47
56242.66
4.41
31
0.00
252.63
2969.46
3222.08
0.14
3222.08
0.25
32
0.00
382.19
22286.62
22668.80
1.00
22668.80
1.78
33
0.00
211.05
-602.00
-390.95
-0.02
-390.95
-0.03
34
0.00
1134.29
-1097.75
36.54
0.00
36.54
0.00
35
0.00
5385.71
-44797.20
-39411.49
-1.73
-39411.49
-3.09
36
0.00
462.57
285.83
748.41
0.03
748.41
0.06
37
0.00
8883.32
15698.20
24581.52
1.08
24581.52
1.93
38
0.00
11078.36
12554.13
23632.49
1.04
23632.49
1.85
39
0.00
651.03
1309.58
1960.61
0.09
1960.61
0.15
40
0.00
38910.84
59526.80
98437.64
4.33
98437.64
7.72
41
0.00
1860.46
12983.10
14843.56
0.65
14843.56
1.16
275
Lampiran 6. Lanjutan Sektor
Final Demand
Indust Sup
Consumption
Total
Percent
Flow On
Percent
42
0.00
1174.40
-11243.63
-10069.24
-0.44
-10069.24
-0.79
43
0.00
4045.81
8768.32
12814.13
0.56
12814.13
1.00
44
0.00
91854.32
266030.25
357884.57
15.73
357884.57
28.05
45
0.00
10432.69
9353.12
19785.81
0.87
19785.81
1.55
46
0.00
3251.51
10696.42
13947.93
0.61
13947.93
1.09
47
0.00
9011.44
39004.19
48015.63
2.11
48015.63
3.76
48
0.00
9108.64
44385.40
53494.04
2.35
53494.04
4.19
49
1000000.00
27395.66
45651.46
1073047.11
47.15
73047.11
5.73
50
0.00
3277.40
7549.96
10827.36
0.48
10827.36
0.85
51
0.00
28560.60
11894.41
40455.01
1.78
40455.01
3.17
52
0.00
8419.21
20416.04
28835.25
1.27
28835.25
2.26
53
0.00
3428.44
13799.12
17227.56
0.76
17227.56
1.35
54
0.00
4434.67
52803.63
57238.30
2.52
57238.30
4.49
55
0.00
3211.79
11414.52
14626.31
0.64
14626.31
1.15
56
0.00
18563.89
7437.82
26001.71
1.14
26001.71
2.04
57
0.00
5518.11
25675.64
31193.75
1.37
31193.75
2.45
58
0.00
2008.25
5066.27
7074.53
0.31
7074.53
0.55
59
0.00
51.59
7951.96
8003.55
0.35
8003.55
0.63
60
0.00
6.28
-69.34
-63.05
0.00
-63.05
0.00
61
1000000.00
448272.70
827457.61
2275730.31
100.00
1275730.31
100.00
62
0.00
0.00
0.00
2.28
0.00
1.28
0.00
276
Lampiran 7. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Darat Sektor
Final Demand
Indust Sup
1
0
4035.56
2
0
10.45
3
0
48.21
4
0
33.32
5
0
6 7
Consumption -8806.54
Total
Percent
-4770.98
-0.22
1754.74
1765.19
39858.09
39906.30
10821.23
22.54
0 0
8
Flow On
Percent
-4770.98
-0.42
0.08
1765.19
0.15
1.86
39906.30
3.50
10854.56
0.51
10854.56
0.95
4894.12
4916.66
0.23
4916.66
0.43
3.08
6498.06
6501.15
0.30
6501.15
0.57
6.29
8597.89
8604.18
0.40
8604.18
0.75
0
9.47
3712.97
3722.45
0.17
3722.45
0.33
9
0
40.56
8589.67
8630.23
0.40
8630.23
0.76
10
0
300.53
11656.06
11956.59
0.56
11956.59
1.05
11
0
383.20
9022.05
9405.25
0.44
9405.25
0.82
12
0
337.41
32643.86
32981.28
1.54
32981.28
2.89
13
0
0.61
912.32
912.92
0.04
912.92
0.08
14
0
8.77
294.71
303.48
0.01
303.48
0.03
15
0
9.10
707.98
717.09
0.03
717.09
0.06
16
0
4.16
659.05
663.20
0.03
663.20
0.06
17
0
30.54
2936.79
2967.33
0.14
2967.33
0.26
18
0
822.99
14858.21
15681.20
0.73
15681.20
1.37
19
0
738.43
-1398.10
-659.68
-0.03
-659.68
-0.06
20
0
107.14
-40.16
66.98
0.00
66.98
0.01
21
0
656.81
81972.44
82629.26
3.86
82629.26
7.24
22
0
17.22
33.68
50.90
0.00
50.90
0.00
23
0
272.15
1005.48
1277.63
0.06
1277.63
0.11
24
0
89301.36
32033.10
121334.46
5.67
121334.46
10.64
25
0
107033.97
-233842.46
-126808.49
-5.92
-126808.49
-11.12
26
0
47.17
5828.12
5875.29
0.27
5875.29
0.51
27
0
425.96
24155.38
24581.35
1.15
24581.35
2.15
28
0
274.94
13741.09
14016.03
0.65
14016.03
1.23
29
0
29.85
29624.23
29654.09
1.39
29654.09
2.60
30
0
837.82
47552.04
48389.86
2.26
48389.86
4.24
31
0
173.07
2628.71
2801.78
0.13
2801.78
0.25
32
0
858.15
19729.26
20587.41
0.96
20587.41
1.80
33
0
184.99
-532.92
-347.93
-0.02
-347.93
-0.03
34
0
1025.64
-971.78
53.85
0.00
53.85
0.00
35
0
3590.41
-39656.79
-36066.38
-1.68
-36066.38
-3.16
36
0
580.30
253.04
833.33
0.04
833.33
0.07
37
0
4673.41
13896.86
18570.26
0.87
18570.26
1.63
38
0
8193.72
11113.56
19307.28
0.90
19307.28
1.69
39
0
1256.93
1159.31
2416.24
0.11
2416.24
0.21
40
0
31451.64
52696.19
84147.83
3.93
84147.83
7.38
41
0
1431.69
11493.31
12925.00
0.60
12925.00
1.13
277
Lampiran 7. Lanjutan Sektor
Final Demand
Indust Sup
Consumption
962.47
-9953.44
Total -8990.98
Percent -0.42
Flow On -8990.98
Percent
42
0
-0.79
43
0
4373.19
7762.17
12135.36
0.57
12135.36
1.06
44
0
74431.75
235503.67
309935.43
14.48
309935.43
27.17
45
0
2236.00
8279.86
10515.86
0.49
10515.86
0.92
46
0
3662.83
9469.02
13131.84
0.61
13131.84
1.15
47
1000000
4887.26
34528.52
1039415.78
48.55
39415.78
3.45
48
0
8648.82
39292.24
47941.06
2.24
47941.06
4.20
49
0
9389.39
40413.02
49802.42
2.33
49802.42
4.37
50
0
2819.78
6683.61
9503.40
0.44
9503.40
0.83
51
0
10139.90
10529.55
20669.45
0.97
20669.45
1.81
52
0
2008.06
18073.33
20081.39
0.94
20081.39
1.76
53
0
4246.97
12215.69
16462.67
0.77
16462.67
1.44
54
0
2814.92
46744.49
49559.41
2.31
49559.41
4.34
55
0
1405.13
10104.72
11509.85
0.54
11509.85
1.01
56
0
7958.45
6584.34
14542.79
0.68
14542.79
1.27
57
0
3149.49
22729.40
25878.89
1.21
25878.89
2.27
58
0
4768.26
4484.93
9253.19
0.43
9253.19
0.81
59
0
1189.84
7039.49
8229.32
0.38
8229.32
0.72
60
0
5.26
-61.38
-56.12
0.00
-56.12
0.00
61
1000000
408367.35
732508.08
2140875.43
100.00
1140875.43
100.00
62
0
0
0.00
2.14
0.00
1.14
0.00
278
Lampiran 8. Output Final Demand Impact Sektor Angkutan Air Final Demand
Indust Sup
Consumption
1
0
1051.34
-10100.59
-9049.25
-0.40
-9049.25
-0.72
2
0
62.30
2012.59
2074.88
0.09
2074.88
0.17
3
0
836.75
45714.91
46551.66
2.07
46551.66
3.72
4
0
3279.61
12411.32
15690.93
0.70
15690.93
1.25
5
0
2002.87
5613.27
7616.14
0.34
7616.14
0.61
6
0
3.70
7452.90
7456.60
0.33
7456.60
0.60
7
0
5.10
9861.28
9866.38
0.44
9866.38
0.79
8
0
6.56
4258.57
4265.13
0.19
4265.13
0.34
9
0
49.77
9851.85
9901.62
0.44
9901.62
0.79
10
0
419.56
13368.82
13788.38
0.61
13788.38
1.10
11
0
112.49
10347.76
10460.25
0.46
10460.25
0.84
12
0
5312.71
37440.61
42753.32
1.90
42753.32
3.41
13
0
4.77
1046.37
1051.15
0.05
1051.15
0.08
14
0
35.28
338.01
373.29
0.02
373.29
0.03
15
0
141.33
812.01
953.34
0.04
953.34
0.08
16
0
34.81
755.89
790.69
0.04
790.69
0.06
17
0
2236.09
3368.32
5604.41
0.25
5604.41
0.45
18
0
5272.34
17041.50
22313.85
0.99
22313.85
1.78
19
0
592.74
-1603.54
-1010.80
-0.04
-1010.80
-0.08
20
0
110.79
-46.06
64.73
0.00
64.73
0.01
21
0
2275.29
94017.61
96292.90
4.28
96292.90
7.69
22
0
7.85
38.63
46.48
0.00
46.48
0.00
23
0
133.34
1153.22
1286.57
0.06
1286.57
0.10
24
0
87525.64
36740.09
124265.74
5.52
124265.74
9.92
25
0
27856.30
-268203.65
-240347.34
-10.67
-240347.34
-19.19
26
0
2046.99
6684.52
8731.51
0.39
8731.51
0.70
27
0
6787.97
27704.81
34492.78
1.53
34492.78
2.75
28
0
1586.44
15760.22
17346.67
0.77
17346.67
1.39
29
0
112.62
33977.27
34089.89
1.51
34089.89
2.72
30
0
29945.97
54539.41
84485.38
3.75
84485.38
6.75
31
0
209.04
3014.98
3224.02
0.14
3224.02
0.26
32
0
521.22
22628.31
23149.53
1.03
23149.53
1.85
33
0
141.18
-611.23
-470.05
-0.02
-470.05
-0.04
34
0
763.08
-1114.58
-351.50
-0.02
-351.50
-0.03
35
0
4544.75
-45484.02
-40939.28
-1.82
-40939.28
-3.27
36
0
179.42
290.22
469.63
0.02
469.63
0.04
37
0
2421.59
15938.89
18360.48
0.82
18360.48
1.47
38
0
3741.30
12746.61
16487.91
0.73
16487.91
1.32
39
0
396.90
1329.66
1726.56
0.08
1726.56
0.14
40
0
31623.74
60439.46
92063.19
4.09
92063.19
7.35
41
0
1069.16
13182.16
14251.31
0.63
14251.31
1.14
Sektor
Total
Percent
Flow On
Percent
279
Lampiran 8. Lanjutan Final Demand
Indust Sup
Consumption
42
0
1350.11
-11416.02
-10065.91
-0.45
-10065.91
-0.80
43
0
2020.38
8902.75
10923.13
0.49
10923.13
0.87
44
0
113557.98
270108.96
383666.94
17.04
383666.94
30.64
45
0
589.96
9496.52
10086.48
0.45
10086.48
0.81
46
0
1923.77
10860.41
12784.18
0.57
12784.18
1.02
47
0
10435.64
39602.19
50037.84
2.22
50037.84
4.00
48
1000000
12966.74
45065.91
1058032.65
46.98
58032.65
4.63
49
0
9260.40
46351.38
55611.77
2.47
55611.77
4.44
50
0
3768.89
7665.72
11434.60
0.51
11434.60
0.91
51
0
18956.10
12076.77
31032.88
1.38
31032.88
2.48
52
0
1061.93
20729.05
21790.98
0.97
21790.98
1.74
53
0
1098.87
14010.68
15109.55
0.67
15109.55
1.21
54
0
2514.87
53613.20
56128.07
2.49
56128.07
4.48
55
0
829.32
11589.53
12418.84
0.55
12418.84
0.99
56
0
3727.89
7551.85
11279.74
0.50
11279.74
0.90
57
0
1776.00
26069.29
27845.30
1.24
27845.30
2.22
58
0
676.58
5143.95
5820.53
0.26
5820.53
0.46
59
0
45.40
8073.88
8119.28
0.36
8119.28
0.65
60
0
6.71
-70.40
-63.69
0.00
-63.69
-0.01
61
1000000
412028.24
840144.00
2252172.24
100.00
1252172.24
100.00
62
0
0.00
0.00
2.25
0.00
1.25
0.00
Sektor
Total
Percent
Flow On
Percent
280
Lampiran 9. Output Final Demand Impact Sektor Perikanan Final Demand
Indust Sup
Consumption
1
0
18781.46
-5757.18
13024.29
0.54
13024.29
0.93
2
0
2694.02
1147.14
3841.16
0.16
3841.16
0.27
3
0
3530.77
26056.76
29587.53
1.23
29587.53
2.11
4
0
95.43
7074.25
7169.68
0.30
7169.68
0.51
5
0
80.19
3199.47
3279.66
0.14
3279.66
0.23
6
0
48.96
4248.03
4296.99
0.18
4296.99
0.31
7
0
4.14
5620.77
5624.90
0.23
5624.90
0.40
8
0
3.60
2427.31
2430.92
0.10
2430.92
0.17
9
0
22.07
5615.40
5637.46
0.23
5637.46
0.40
10
0
256.11
7620.01
7876.13
0.33
7876.13
0.56
11
0
565.99
5898.06
6464.05
0.27
6464.05
0.46
12
0
594.40
21340.55
21934.95
0.91
21934.95
1.57
13
0
3.85
596.42
600.27
0.03
600.27
0.04
14
0
29.66
192.66
222.32
0.01
222.32
0.02
15
0
179.41
462.83
642.24
0.03
642.24
0.05
16
0
43.40
430.84
474.24
0.02
474.24
0.03
17
0
75.45
1919.89
1995.34
0.08
1995.34
0.14
18
0
1161.46
9713.38
10874.85
0.45
10874.85
0.78
19
0
7126.76
-913.99
6212.77
0.26
6212.77
0.44
20
0
2708.93
-26.25
2682.68
0.11
2682.68
0.19
21
1000000
49256.43
53588.53
1102844.96
45.94
102844.96
7.34
22
0
9.90
22.02
31.92
0.00
31.92
0.00
23
0
74.73
657.32
732.05
0.03
732.05
0.05
24
0
56121.73
20941.27
77063.00
3.21
77063.00
5.50
25
0
498322.50
-152871.78
345450.72
14.39
345450.72
24.66
26
0
75.00
3810.07
3885.06
0.16
3885.06
0.28
27
0
513.70
15791.30
16305.00
0.68
16305.00
1.16
28
0
81.53
8983.08
9064.61
0.38
9064.61
0.65
29
0
100.62
19366.50
19467.12
0.81
19467.12
1.39
30
0
49814.05
31086.59
80900.64
3.37
80900.64
5.78
31
0
164.49
1718.49
1882.98
0.08
1882.98
0.13
32
0
1078.86
12897.77
13976.64
0.58
13976.64
1.00
33
0
1591.53
-348.39
1243.14
0.05
1243.14
0.09
34
0
7595.21
-635.29
6959.92
0.29
6959.92
0.50
35
0
82748.94
-25925.16
56823.78
2.37
56823.78
4.06
36
0
459.54
165.42
624.96
0.03
624.96
0.04
37
0
1433.87
9084.91
10518.78
0.44
10518.78
0.75
38
0
4764.87
7265.36
12030.23
0.50
12030.23
0.86
39
0
556.36
757.89
1314.24
0.05
1314.24
0.09
40
0
10963.33
34449.52
45412.85
1.89
45412.85
3.24
41
0
972.51
7513.62
8486.13
0.35
8486.13
0.61
Sektor
Total
Percent
Flow On
Percent
281
Lampiran 9. Lanjutan Final Demand
Indust Sup
Consumption
42
0
20717.16
-6506.95
14210.21
0.59
14210.21
1.01
43
0
1127.64
5074.43
6202.07
0.26
6202.07
0.44
44
0
69145.93
153957.78
223103.72
9.29
223103.72
15.93
45
0
297.43
5412.86
5710.29
0.24
5710.29
0.41
46
0
1917.55
6190.26
8107.81
0.34
8107.81
0.58
47
0
5257.50
22572.62
27830.12
1.16
27830.12
1.99
48
0
6896.94
25686.85
32583.78
1.36
32583.78
2.33
49
0
4354.56
26419.54
30774.10
1.28
30774.10
2.20
50
0
1798.09
4369.34
6167.43
0.26
6167.43
0.44
51
0
708.66
6883.57
7592.23
0.32
7592.23
0.54
52
0
248.05
11815.23
12063.27
0.50
12063.27
0.86
53
0
1294.30
7985.87
9280.16
0.39
9280.16
0.66
54
0
477.18
30558.67
31035.85
1.29
31035.85
2.22
55
0
1392.43
6605.84
7998.27
0.33
7998.27
0.57
56
0
749.74
4304.43
5054.17
0.21
5054.17
0.36
57
0
599.01
14859.08
15458.09
0.64
15458.09
1.10
58
0
53.21
2931.97
2985.18
0.12
2985.18
0.21
59
0
23.27
4601.98
4625.25
0.19
4625.25
0.33
60
0
125.81
-40.13
85.69
0.00
85.69
0.01
61
1000000
921890.25
478868.63
2400758.88
100.00
1400758.88
100.00
Sektor
Total
Percent
Flow On
Percent
282
Lampiran 10. Output Final Demand Impact Sektor Perikanan, Angkutan Darat, Udara dan Air Final Demand
Indust Sup
Consumption
1
0
24926.06
-34612.38
-9686.32
-0.11
-9686.32
-0.19
2
0
2780.02
6896.67
9676.69
0.11
9676.69
0.19
3
0
4549.95
156654.37
161204.32
1.78
161204.32
3.18
4
0
3451.99
42530.72
45982.70
0.51
45982.70
0.91
5
0
2140.22
19235.37
21375.59
0.24
21375.59
0.42
6
0
63.26
25539.36
25602.62
0.28
25602.62
0.51
7
0
22.30
33792.30
33814.60
0.37
33814.60
0.67
8
0
33.17
14593.11
14626.28
0.16
14626.28
0.29
Sektor
Total
Percent
Flow On
Percent
9
0
223.14
33760.00
33983.14
0.37
33983.14
0.67
10
0
1422.86
45811.84
47234.70
0.52
47234.70
0.93
11
0
1124.50
35459.39
36583.88
0.40
36583.88
0.72
12
0
6718.44
128300.26
135018.70
1.49
135018.70
2.66
13
0
10.80
3585.67
3596.48
0.04
3596.48
0.07
14
0
94.19
1158.29
1252.48
0.01
1252.48
0.02
15
0
361.78
2782.58
3144.36
0.03
3144.36
0.06
16
0
93.12
2590.25
2683.37
0.03
2683.37
0.05
17
0
2379.72
11542.46
13922.18
0.15
13922.18
0.27
18
0
7581.55
58397.27
65978.82
0.73
65978.82
1.30
19
0
9302.37
-5494.97
3807.40
0.04
3807.40
0.08
20
0
3063.79
-157.84
2905.96
0.03
2905.96
0.06
21
1000000
53495.55
322176.50
1375672.05
15.17
375672.05
7.41
22
0
58.06
132.37
190.44
0.00
190.44
0.00
23
0
733.72
3951.83
4685.55
0.05
4685.55
0.09
24
0
340510.18
125899.77
466409.94
5.14
466409.94
9.20
25
0
661198.13
-919071.59
-257873.46
-2.84
-257873.46
-5.09
26
0
2249.06
22906.29
25155.35
0.28
25155.35
0.50
27
0
8379.17
94937.96
103317.13
1.14
103317.13
2.04
28
0
2991.21
54006.63
56997.84
0.63
56997.84
1.12
29
0
297.82
116432.20
116730.03
1.29
116730.03
2.30
30
0
83124.65
186893.89
270018.55
2.98
270018.55
5.33
31
0
799.22
10331.64
11130.86
0.12
11130.86
0.22
32
0
2840.42
77541.96
80382.38
0.89
80382.38
1.59
33
0
2128.74
-2094.54
34.20
0.00
34.20
0.00
34
0
10518.22
-3819.41
6698.81
0.07
6698.81
0.13
35
0
96269.82
-155863.18
-59593.37
-0.66
-59593.37
-1.18
36
0
1681.83
994.51
2676.33
0.03
2676.33
0.05
37
0
17412.19
54618.86
72031.05
0.79
72031.05
1.42
38
0
27778.25
43679.67
71457.92
0.79
71457.92
1.41
39
0
2861.22
4556.44
7417.66
0.08
7417.66
0.15
40
0
112949.55
207111.97
320061.52
3.53
320061.52
6.31
283
Lampiran 10. Lanjutan Final Demand
Indust Sup
Consumption
41
0
5333.82
45172.19
50506.01
0.56
50506.01
1.00
42
0
24204.14
-39120.05
-14915.91
-0.16
-14915.91
-0.29
43
0
11567.02
30507.67
42074.69
0.46
42074.69
0.83
44
0
348989.99
925600.67
1274590.66
14.05
1274590.66
25.14
45
0
13556.09
32542.36
46098.44
0.51
46098.44
0.91
46
0
10755.66
37216.10
47971.77
0.53
47971.77
0.95
47
1000000
29591.85
135707.52
1165299.37
12.85
165299.37
3.26
48
1000000
37621.14
154430.40
1192051.54
13.14
192051.54
3.79
49
1000000
50400.01
158835.40
1209235.40
13.33
209235.40
4.13
50
0
11664.16
26268.63
37932.79
0.42
37932.79
0.75
51
0
58365.27
41384.30
99749.57
1.10
99749.57
1.97
52
0
11737.25
71033.64
82770.89
0.91
82770.89
1.63
53
0
10068.58
48011.36
58079.94
0.64
58079.94
1.15
54
0
10241.63
183719.99
193961.63
2.14
193961.63
3.83
55
0
6838.67
39714.61
46553.28
0.51
46553.28
0.92
56
0
30999.97
25878.44
56878.41
0.63
56878.41
1.12
57
0
11042.62
89333.42
100376.04
1.11
100376.04
1.98
58
0
7506.30
17627.12
25133.42
0.28
25133.42
0.50
59
0
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
60
0
1310.10
27667.31
28977.41
0.32
28977.41
0.57
61
0
144.06
-241.24
-97.18
0.00
-97.18
0.00
62
4000000
2190558.54
2878978.32
9069536.86
100.00
5069536.86
100.00
63
0
0.00
0.00
2.27
0.00
1.27
0.00
Sektor
Total
Percent
Flow On
Percent
284
Lampiran 11. Peta Batas Administrasi Gambar 1
Lampiran 12. Lereng Gambar 2
285
286
Lampiran 13. Tanah Gambar 3
Lampiran 14. Kawasan Lindung saat ini Gambar 4
287
288
Lampiran 15. Peta Potensi Perikanan Gambar 5
Lampiran 16. Kepadatan Penduduk Per Kecamatan Gambar 6
289
290
Lampiran 17. Kawasan Sentra Produksi Propinsi Maluku Gambar 7
Lampiran 18. Perhubungan Laut Trayek PELNI Gambar 8
291
292
Lampiran 19. Perhubungan Udara Gambar 9
Lampiran 20. Konsep Gugus Pulau Gambar 10
293
294
Lampiran 21. Pola Interaksi Ruang Gambar 11