i
PENYUSUNAN PROFIL BEST PRACTICES PTSP SINTESA MODEL PELAYANAN PERIZINAN BEYOND PTSP
PUSAT INOVASI PELAYANAN PUBLIK LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA 2015
i
PENYUSUNAN PROFIL BEST PRACTICES PTSP SINTESA MODEL PELAYANAN PERIZINAN BEYOND PTSP 2015 Bibliografi ISBN : 976-602-71620-3-7 Hak Cipta pada © Pusat Inovasi Pelayanan Publik - LAN Diterbitkan Oleh: Pusat Inovasi Pelayanan Publik Kedeputian Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta 10110 CETAKAN PERTAMA Penyunting : Erfi Muthmainah, Marsono, Witra Apdhi Yohanitas, Harditya Bayu Kusuma Desain sampul : Vishu Wicaksono, Witra Apdhi Yohanitas ----- Cet.1.Jakarta,Pipel-LAN,2015 xvi + 65 hal ; 18 x 25 cm
Sanksi pelanggaran Pasal 44, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta: 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000, (lima puluh juta rupiah).
ii
TIM PENYUSUN Anggota Tim (Sesuai
Penulis
SK)
Marsono
Kania Damayanti (Almh)
Witra Apdhi Yohanitas
Menik Noviati
Haris Faozan
Marsono
Agung Nugroho
Witra Apdhi Yohanitas
Harditya Bayu Kusuma
Harditya Bayu Kusuma Ria Veriani Teguh Henry Prayitno Isni Kartika Larasati Gunanta Sundari Rachmasari Ramelan
Kontributor
Reviewer
Kementerian Dalam Negeri
Adi Suryanto
Kementerian PAN dan RB
Tri Widodo Wahyu Utomo
Badan Koordinasi Penanaman
Erfi Muthmainah
Modal
KPPOD
iii
KATA SAMBUTAN
R
eformasi birokrasi di Indonesia yang telah berjalan selama kurun waktu dua dekade, belum mampu mendorong peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya terkait dengan pelayanan perizinan. Tantangan terberat bagi bangsa ini adalah masih tingginya disharmonisasi regulasi pelayanan perizinan sejak hulu hingga hilir. Belum lagi regulasi dari masing-masing kementerian sektoral yang dalam implementasinya seringkali menimbulkan karakter ego sektoral atau yang lebih dikenal dengan silo mentality. Upaya membangun kepercayaan publik bidang pelayanan perizinan sesungguhnya telah dilakukan pemerintah melalui pembangunan sistem Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA), selanjutnya disempurnakan dengan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Melalui sistem pelayanan terpadu tersebut diharapkan dapat diwujudkan pelayanan perizinan yang berkualitas, mudah, cepat, tepat, murah dan transparan. Namun demikian, dari kurang lebih 498 jumlah PTSP yang ada saat ini hanya sebagian kecil yang memiliki kinerja yang baik. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (Doing Business) yang selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun di posisi internasional. Berdasarkan kondisi tersebut, maka LAN melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik (PiPEL), Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara berupaya untuk mengembangkan sistem pelayanan perizinan dengan menghasilkan model-model alternatif pelayanan perizinan beyond PTSP. Hal tersebut dilakukan agar akselerasi pelayanan perizinan benar-benar dapat mendorong tumbuh kembangnya realisasi investasi khususnya dan perekonomian Indonesia pada umumnya. Tentunya kajian ini masih mempunyai kelemahan dan kekurangan, untuk itu saran, masukan dan kritik yang bersifat membangun untuk kesempurnaan hasil kajian ini sangat diharapkan. Semoga apa yang telah dihasikan oleh PiPEL dapat menjadi pemicu dan pemacu menuju pelayanan perizinan yang profesional dan berkualitas.
Jakarta, September 2015 Deputi Inovasi Administrasi Negara
Dr. Tri Widodo Wahyu Utomo, M.A
iv
KATA PENGANTAR
P
eningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan melalui Sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) selama ini belum dapat memberikan hasil yang signifikan. Kondisi tersebut dapat dicerminkan bahwa dari kurang lebih 498 jumlah PTSP yang ada saat ini hanya sebagian kecil yang memiliki kinerja yang baik. Kondisi ini diperkuat dengan hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (Doing Business) yang selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun di posisi internasional. Kondisi secara umum terkait dengan pelayanan perizinan adalah masih adanya prosedur yang masih berbelit-belit, tidak ada kepastian jangka waktu, biaya yang harus dikeluarkan, persyaratan yang tidak transparan, petugas yang tidak profesional, sehingga menimbulkan citra yang kurang baik terhadap pemerintah. Berdasarkan kondisi tersebut, maka Pusat Inovasi Pelayanan Publik (PiPEL), Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara melakukan kajian penyusunan Profil Best Practices Pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP. Kajian ini telah menghasilkan aspek-aspek utama yang dapat mendorong pengelolaan PTSP memiliki kinerja yang tinggi dan dapat menjadi acuan bagi PTSP yang masih memiliki kinerja rendah. Aspek-aspek utama yang berpengaruh dalam keberhasilan penerapan PTSP selama ini adalah: (a) dasar hukum pembentukan; (b) bentuk kelembagaan; (c) pelimpahan kewenangan; (d) penggunaan IT; dan (e) dukungan dan komitmen pimpinan. Hal ini tentunya bisa menjadi pelajaran bagi seluruh Kepala PTSP khususnya dan pimpinan daerah dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan perizinan khususnya dan meningkatkan kinerja PTSP pada umumnya. Disamping itu, kajian ini juga telah menghasilkan alternatif model-model pelayanan perizinan beyond PTSP yang diharapkan dapat dijadikan referensi dalam mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan pelayanan perizinan kedepan. Akhirnya seluruh tim kajian menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya keseluruhan proses kajian ini dari tahap awal hingga terbitnya Laporan Hasil Kajian ini.
Jakarta, September 2015 Plt. Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Dr. Basseng, M.Ed
v
vi
RINGKASAN EKSEKUTIF
A
genda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pelayanan publik yang harus dicapai oleh Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah antara lain mencakup: (a) peningkatan kualitas implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi sistem dan manajemen pelayanan publik (SDM, IT, Standar Pelayanan); (c) monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik; (d) membuka ruang partisipasi publik melalui Citizen Charter; dan (e) penguatan integritas dalam pelayanan publik. Sejalan dengan pencapaian agenda prioritas RPJMN 2015-2019 tersebut, maka salah satu misi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang berkualitas baik menyangkut pelayanan jasa publik, barang publik, maupun pelayanan administratif termasuk didalamnya pelayanan perizinan dan nonperizinan. Berkaitan dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha serta meningkatnya kepuasan masyarakat sangat terkait dengan inovasi, kreativitas dan strategi pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan serta efisien. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat dan dunia usaha melalui berbagai macam inovasi pelayanan publik. Inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik telah cukup banyak dilakukan oleh berbagai Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai respons terhadap tuntutan kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa strategi yang telah dilakukan antara lain dengan membentuk sebuah sistem pelayanan terpadu dengan menggabungkan pendekatan pelayanan fungsional yang dilakukan oleh masing-masing Kementerian/ Lembaga/SKPD ke dalam pendekatan terpadu satu otoritas. Pendekatan pelayanan terpadu sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Di dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 menyebutkan PTSP adalah pelayanan yang secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Sedangkan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 PTSP adalah perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan satu pintu. Dalam penyelenggaraannya PTSP tersebut harus memenuhi prinsip keterpaduan, ekonomis, koordinasi, pendelegasian/pelimpahan wewenang, akuntabilitas dan aksesibilitas. Hingga saat ini jumlah PTSP berdasarkan sumber Kementerian Dalam Negeri (2015) sebanyak 498 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 372, Kota 92. Dengan bentuk kelembagaan yang juga cukup bervariasi yaitu dalam bentuk Badan 214, Dinas 2, Kantor 278 dan Unit 4. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah PTSP berdasarkan sumber Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) data per 18 Februari 2015 sebanyak 508 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 364, Kota 97, Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) 5, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 8.
vii
Upaya peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan yang selama ini telah dilakukan melalui sistem PTSP, pada hakikatnya telah dilakukan yaitu dengan keluarnya pengaturan mengenai penyederhanaan proses administrasi perizinan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan Bidang Usaha. Sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1984 tersebut, disebutkan bahwa penyederhanaan dan pengendalian perizinan di bidang usaha/penanaman modal, antara lain dengan mengurangi jumlah dan prosedur perizinan yang diperlukan pengusaha. Selanjutnya disebutkan bahwa izin usaha diberikan dengan mempertimbangkan tujuan bagi pengembangan yang sehat bagi kegiatan di masing-masing bidang usaha, perlindungan bagi konsumen dengan jaminan mutu hasil produksi yang memadai, dan pencegahan gangguan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari UU tersebut telah ditetapkan beberapa peraturan pemerintah, diantaranya adalah PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi pada PP Nomor 111 Tahun 2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM Nomor 12 Tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal di Indonesia. Namun demikian, telah teridentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif berdasarkan sumber Bappenas (2011) diantaranya adalah: (1) masih perlu dilengkapinya peraturanperaturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) kurang memadainya kapasitas dan kualitas infrastruktur untuk mendukung investasi yang sudah ada dan investasi baru; (3) masih cukup panjangnya proses perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan lainnya; (4) belum lancarnya implementasi pelimpahan wewenang perizinan dari beberapa instansi—yang mulai dialihkan wewenangnya ke daerah tujuan investasi—karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan sarana pendukungnya; (5) masih bervariasinya kelembagaan dan model pengelolaan PTSP; serta (6) banyaknya peraturan daerah (Perda) yang bermasalah sehingga menambah beragamnya pungutan daerah. Dari berbagai permasalahan yang diidentifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses perizinan di Indonesia masih terlalu panjang dan hal ini mempersulit pihak-pihak yang ingin berinvestasi dan melakukan usaha di Indonesia. Hal ini belum sesuai dengan tujuan sistem pelayanan yang diinginkan dalam PTSP, sehingga peringkat Doing Business Indonesia selalu pada posisi terendah. Seiring dengan perkembangan dunia usaha, tuntutan untuk melakukan penyederhanaan prosedur perizinan sudah menjadi hal yang tidak terelakkan. Akhirnya pada tahun 2012, pemerintah dalam hal ini menempatkan penyederhanan perizinan sebagai salah satu program dalam 9 program percepatan reformasi birokrasi. Program ini dilakukan melalui beberapa kegiatan prioritas diantaranya yaitu: (1) deregulasi perizinan usaha, (2) penguatan Pelayanan Terpadu Satu Pintu, (3) pembatasan waktu pengurusan perizinan, (4) kejelasan biaya dan syarat perizinan, dan (5) penguatan budaya pelayanan prima. Program ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
viii
mendorong tumbuhnya iklim investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam lingkup global. Namun demikian, walaupun PTSP telah dibentuk oleh sebagian besar unit penyelenggara pelayanan publik baik pusat maupun daerah, ternyata belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan perizinan secara signifikan. Hal tersebut terlihat masih besarnya tantangan Indonesia dalam upaya mengembangkan dunia usaha. Tantangan tersebut diantaranya adalah kurangnya tenaga kerja terdidik, infrastruktur yang buruk dan kerangka kebijakan yang berbelit-belit (World Bank, 2012). Disamping itu, hasil berdasarkan Doing Business Survey 2015 memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada ranking 114, jauh dibawah Singapura yang sudah langganan di posisi pertama, Malaysia telah menempati peringkat ke-18, Thailand (ke-26), Vietnam (ke-78), Filipina (ke-95), dan Brunei Darussalam (ke-101). Indonesia di peringkat ke-114 hanya unggul atas Kamboja di posisi ke-135 dan Timor Leste yang tertinggal di posisi ke-172. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan serta memberikan model pengelolaan PTSP terbaik (best practice), maka Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik pada tahun 2015 menyusun Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP untuk mendorong unit-unit pelayanan perizinan dengan kinerja PTSP yang kurang baik agar dapat mereplikasi dan mengadopsi model-model terbaik tersebut. Sehingga upaya transformasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan dapat dilaksanakan melalui berbagai inovasi dan terobosan-terobosan baru sebagaimana telah dilakukan beberapa PTSP dengan kinerja terbaik. Kajian ini telah menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Unsur-unsur utama sebagai pendorong PTSP untuk berkinerja tinggi atau menjadi best practices meliputi: a. Dasar hukum pembentukan PTSP; Dasar hukum pembentukan PTSP menjadi aspek yang sangat penting karena memberikan kepastian terhadap kewenangan yang dimiliki, kemudahan berkomunikasi dengan SKPD teknis, dukungan sumber daya, serta kapasitas organisasi PTSP dalam memberikan pelayanan perizinan. Dasar hukum pembentukan PTSP berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Walikota (Perwali). b. Bentuk kelembagaan/organisasi PTSP; Bentuk (nomenklatur) organisasi PTSP sangat penting dalam mengakselerasi pelayanan perizinan. Efektivitas koordinasi dengan SKPD teknis dalam proses pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh bentuk kelembagaan PTSP, karena kelembagaan PTSP memiliki konsekuensi terhadap tingkat eselonisasi jabatan kepala PTSP. Bentuk kelembagaan PTSP bervariasi, antara lain: Dinas, Badan, Kantor dan Unit. Setiap bentuk kelembagaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda terkait dengan kewenangan, kapasitas organisasi, sumber daya yang dimiliki serta efektivitas koordinasi dalam proses pelayanan perizinan. c. Pelimpahan kewenangan dari Gubernur, Bupati atau Walikota; Pemberian kewenangan Kepala PTSP untuk menandatangani dan melegalisasi surat perizinan menjadi aspek yang sangat mutlak agar proses perizinan dapat berjalan secara cepat dan efektif. Pada tataran implementasi, pelimpahan kewenangan menjadi masalah terbesar, mengingat masih sebagian besar PTSP belum menerima pelimpahan kewenangan secara penuh. Oleh karena itu, potensi tarikmenarik kewenangan antara PTSP dengan SKPD teknis masih sangat tinggi.
ix
Belum lagi adanya kepentingan lain yang juga memiliki potensi cukup tinggi yaitu memperlakukan pelayanan perizinan sebagai sumber pendapatan. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat kualitas pelayanan perizinan. d. Penggunaan IT; Dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan di PTSP saat ini dan kedepan menjadi keharusan, mengingat penggunaan IT (IT based) dalam pelayanan perizinan dapat mendukung percepatan waktu, transparansi dan kemudahan akses bagi masyarakat pengguna layanan. Sebagian besar PTSP, terutama PTSP yang masuk dalam kategori berkinerja tinggi dan baik, telah didukung dengan sistem IT yang memadai. Bahkan beberapa PTSP telah menggunakan sistem online dalam memberikan pelayanan perizinan, sehingga pemohon dapat mengajukan perizinan dari rumahnya dan dapat memonitor jalannya proses perizinan secara daring. e. Komitmen atau dukungan pimpinan; Tidak dapat dipungkiri bahwa baik buruknya, tinggi rendahnya kinerja PTSP sangat dipengaruhi oleh komitmen pimpinan daerah dan seluruh jajarannya. Pada tataran praktik, PTSP-PTSP yang berkinerja tinggi dan menjadi best practice profil PTSP pada dasarnya mendapat dukungan atau komitmen pimpinan daerah yang sangat tinggi. Namun disisi lain, juga banyak PTSP yang kinerjanya rendah karena secara riil tidak mendapat dukungan pimpinan daerah yang memadai. Bahkan banyak PTSP yang kinerja menurun yang disebabkan adanya pergantian kepala daerah yang nyata-nyata tidak memiliki kepedulian terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan. 2. Beberapa kelemahan potensial yang masih terjadi dalam pelayanan perizinan selama ini, antara lain: a. Dari perspektif kebijakan yang melandasinya, sesungguhnya pelayanan perizinan dalam tataran implementasinya di lapangan oleh PTSP, masih terjadi disharmonisasi. Kondisi tersebut mengakibatkan: (1) nomenklatur kelembagaan yang sangat bervariatif, business process PTSP juga sangat bervariatif; (2) kewenangan yang dimiliki PTSP secara umum juga sangat bervariatif; standar pelayanan (waktu, persyaratan, biaya) juga sangat bervariasi. Kondisi kebijakan pengaturan PTSP yang belum sinkron tersebut, dalam implementasinya membawa dampak yang signifikan terhadap pembentukan lembaga PTSP khususnya dan ketidakefektivan pelayanan perizinan selama ini. b. Dalam proses pelayanan perizinan PTSP masih sangat bergantung kepada Tim Teknis yang secara legal formal keberadaanya di SKPD-SKPD teknis. Kondisi ini berpotensi menjadi permasalahan permanen dalam dinamika dan diskursus pelayanan perizinan oleh PTSP; c. Terkait dengan pelimpahan kewenangan juga masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung selesai. Tarik menarik antara SKPD teknis dengan PTSP dan Kepala Daerah masih kental mewarnai birokrasi pelayanan perizinan secara umum. Orientasi dari para pihak masih seputar sumber yang harus diamankan. Oleh karena itu akselerasi pelayanan perizinan melalui berbagai terobosan belum memberikan hasil yang signifikan atau dapat dikatan masih jalan ditempat. d. Miss pemahaman dalam Doing Business; Hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (doing business) selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun diposisi internasional. Kondisi ini terkait dengan sistem penilaian doing business yang menggabungkan seluruh proses pelayanan perizinan, baik proses yang dilakukan di SKPD teknis berupa rekomendasi teknis maupun proses pelayanan yang ada di PTSP. Dari sisi
x
waktu maupun biaya serta persyaratan dihitung menjadi satu kesatuan waktu pelayanan perizinan. Sementara dari sisi PTSP persepsi tentang waktu yang dibutuhkan dalam kemudahan membuka usaha ( doing business) adalah waktu pelayanan yang ada di PTSP saja. Kondisi ini akan menjadi problem secara terus menerus dengan konsekuensi Indonesia selalu mendapatkan penilaian pada posisi yang rendah. e. Business Process PTSP belum clear; Terkait dengan business process yang ada di PTSP, hampir sebagian besar PTSP belum memiliki business process yang jelas, dimana core business (fungsi utama) dan supporting unit (fungsi penunjang) tidak dibangun dengan baik. Artinya bahwa core business PTSP hanya melulu penandatanganan surat izin yang diberikan kepada masyarakat. Tidak ada fungsi pengawasan dan pengendalian perizinan, tidak ada fungsi pencabutan izin dan lain-lain. Business Process yang tepat bagi PTSP, yaitu harus memiliki core business yang jelas, yaitu fungsi pemberian perizinan, penolakan perizinan, legalisasi dan duplikasi perizinan, pengawasan perizinan, pencabutan perizinan, pengaduan perizinan serta pengkajian dan monev perizinan. 3. Untuk menjawab berbagai permasalahan dalam pelayanan perizinan oleh PTSP selama ini, maka kedepan dibutuhkan alternatif model pelayanan perizinan beyond PTSP, dengan berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak dan bahkan berfikir pada kotak yang baru. Dalam konteks ini, berfikir dalam kotak yang selama ini hanya mengandalkan dan bergantung pada PTSP dengan segala kekurangannya harus kita tinggalkan dengan mencari dan mendesain model pelayanan perizinan beyond PTSP. Kajian ini telah menghasilkan 3 (tiga) model pelayanan perizinan kedepan, yaitu: (1) Model Penguatan; (2) Model Akselerasi; dan (3) Model Inovatif. Model Penguatan; yaitu upaya peningkatan kualitas pelayanan perizinan dengan lebih mengoptimalkan dan penguatan implementasi 5 aspek utama dalam PTSP. Penguatan aspek-aspek dimaksud mencakup mandat (dasar hukum), penguatan bentuk organisasi atau kelembagaan, penguatan pendelegasian kewenangan kepada PTSP, memperkuat dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan, memastikan terwujudnya komitmen dan dukungan pimpinan dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Dengan strategi jangka pendek melalui model penguatan ini, diharapkan dapat menpercepat peningkatan kinerja PTSP yang berjumlah kurang lebih 498 di seluruh Indonesia. Model Akselerasi; Model Akselerasi merupakan kelanjutan dari penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1. Dengan terwujudnya penguatan aspek-aspek utama tersebut, selanjutnya diperkuat dengan berbagai ide baru, kreativitas dan terobosan-terobosan baru yang dapat lebih mempercepat atau mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan oleh PTSP. Ide dan terobosan baru tersebut mulai keluar kotak, yaitu: (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusat-pusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis “gerak cepat” dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RT RW, pusat
xi
informasi pemasaran, pusat informasi ketenagaker-jaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut kawasan pelayanan investasi terpadu (KPIT). Model Inovatif. Model Inovatif ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspek-aspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep whole-ofgovernment (WOG) approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat. Dalam model inovatif ini lebih menganut pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) tidak menekankan adanya kelembagaan secara formal, tetapi lebih pada terlaksananya fungsi pelayanan perizinan secara efektif. Secara organisasi dipimpin oleh tim manajemen atau colective colegial dan juga dapat dipimpin secara komisioner; (b) pelayanan perizinan lebih berorientasi sosial, sehingga menghilangkan stigma selama ini bahwa pelayanan perizinan merupakan sumber pendapatan; (c) lebih menekankan adanya koordinasi dan integrasi strategi dari SKPD terkait, sehingga akan menghilangkan ego sektoral atau silo mentality yang selama ini terjadi; (d) lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat; (e) melibatkan masyarakat secara optimal dalam proses kebijakan, proses pelayanan, dan monitoring dan evaluasi (sistem partisipatori). Disamping menghasilkan 3 (tiga) alternatif model pelayanan perizinan beyond PTSP, kajian ini juga menghasilkan 3 strategi dalam membangun pelayanan perizinan beyond PTSP, yaitu berupa strategi jangka pendek (2016-2017); strategi jangka menengah (2018-2020); dan strategi jangka panjang (2021-2025). Ketiga strategi tesebut terintegrasi dengan model pelayanan perizinan yang telah dibangun. Dalam perspektif waktu, strategi tersebut tertuang dalam roadmap inovasi pelayanan perizinan. Berdasarkan kesimpulan di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam kajian ini adalah perlu keberanian untuk mendobrak sistem birokrasi pelayanan perizinan saat ini melalui strategi strategi sebagai berikut: 1. Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan pelayanan perizinan dan kelembagaan PTSP yang hingga saat ini masih terjadi tumpang tindih, akibat dari banyaknya jenis peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh berbagai Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah. Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait harus berani mengambil peran, bersinergi dan berkolaborasi untuk mensinkronkan kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan dari hulu hingga hilir. Jika dipandang perlu pengaturan secara khusus (lek spesialis) terhadap pelayanan perizinan, maka instansi terkait secara bersama-sama perlu segera menginisiasi
xii
peraturan perundangan yang mengatur pelayanan perizinan secara clear, sehingga tidak ada persinggungan dengan kebijakan sektoral. 2. Untuk PTSP yang masih dalam kelompok kinerja rendah perlu melaksanakan atau menerapkan strategi jangka pendek yang harus dilakukan, yaitu penguatan terhadap 5 (lima) aspek utama dalam pengelolaan PTSP terhadap kurang lebih 498 PTSP di seluruh Indonesia. Artinya bahwa dibutuhkan gerakan yang masif oleh pemerintah dan seluruh jajaran pimpinan Pemerintah Daerah untuk secara konsisten memberikan dukungan yang konkret terhadap PTSP melalui: (1) penguatan dasar hukum pembentukan PTSP; (2) penguatan kapasitas kelembagaan PTSP; (3) penguatan kewenangan dan pelimpahan kewenangan secara penuh kepada PTSP; (4) penguatan dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan; dan (5) dukungan konkret dari pimpinan daerah berupa penyediaan berbagai sumber daya, reward dan punishment, serta sarana dan prasarana yang memadai. 3. Disamping strategi jangka pendek tersebut diatas, untuk PTSP dalam kelompok kinerja baik, perlu menerapkan strategi akselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui berbagai inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan baru dengan mencoba berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak. Model Akselerasi merupakan kelanjutan dari penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1. Beberapa ide dan terobosan baru tersebut antara lain melalui: (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusatpusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis “gerak cepat” dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan: pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RT RW, pusat informasi pemasaran, pusat informasi ketenagakerjaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut Kawasan Pelayanan Investasi Terpadu (KPIT).
4. Untuk PTSP dalam kelompok kinerja tinggi, perlu menerapkan Model Inovatif. Model
Inovatif ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspekaspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep Whole of Government (WOG) Approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat. Dalam model inovatif ini lebih menganut pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) tidak menekankan adanya kelembagaan secara formal, tetapi lebih pada terlaksananya fungsi pelayanan perizinan secara efektif; (b) pelayanan perizinan lebih berorientasi sosial, sehingga menghilangkan stigma selama ini bahwa
xiii
pelayanan perizinan merupakan sumber pendapatan; (c) lebih menekankan adanya koordinasi dan integrasi strategi dari SKPD terkait, sehingga akan menghilangkan ego sektoral atau silo mentality yang selama ini terjadi; (d) lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat; (e) melibatkan masyarakat secara optimal dalam proses kebijakan, proses pelayanan, dan monitoring dan evaluasi (sistem partisipatori).
xiv
DAFTAR ISI HALAMAN Kata Sambutan ............................................................................................................................. iv Kata Pengantar ............................................................................................................................. v Ringkasan Eksekutif ..................................................................................................................... vi Daftar Isi ........................................................................................................................................... xv Bab I Pendahuluan ....................................................................................................................... 1 A. Latar Belakang ............................................................................................................. 2 B. Tujuan dan Sasaran ..................................................................................................... 5 C. Hasil Yang Diharapkan ............................................................................................... 5 D. Metode Kajian ................................................................................................................ 5 E. Framework Kajian ........................................................................................................ 6 F.
Lokus Kajian ................................................................................................................... 7
G. Tahapan Kegiatan........................................................................................................ 8 Bab II Konsep dan Kebijakan Pelayanan Publik Bidang Perizinan .............................. 9 A. Inovasi Pelayanan Publik ........................................................................................... 10 B. Kebijakan Penyederhanaan Perizinan .................................................................. 11 C. Konsepsi Pelayanan Perizinan Terpadu ................................................................. 13 D. Model Pelayanan Perizinan Whole of Government Aprroach ........................ 15 Bab III Dinamika Model Pengelolaan PTSP .......................................................................... 19 A. Gambaran Umum Model Pengelolaan PTSP Terpilih ....................................... 20 B. Alternatif Desain Model Pengelolaan PTSP Terbaik .......................................... 36 C. Arah Model Pelayanan Perizinan Kedepan ......................................................... 41 Bab IV Strategi Membangun Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP ................... 45 A. Sinkronisasi Regulasi ..................................................................................................... 46 B. Strategi Penguatan Pelayanan Perizinan ............................................................. 52 Bab V Penutup .............................................................................................................................. 57 A. Kesimpulan ..................................................................................................................... 58 B. Rekomendasi .................................................................................................................. 61 Daftar Pustaka .............................................................................................................................. 64
xv
xvi
1
A. Latar Belakang
A
genda prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bidang pelayanan publik yang harus dicapai oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah antara lain mencakup: (a) peningkatan kualitas implementasi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; (b) modernisasi sistem dan manajemen pelayanan publik (SDM, IT, Standar Pelayanan); (c) monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik; (d) membuka ruang partisipasi publik melalui Citizen Charter; dan (e) penguatan integritas dalam pelayanan publik. Sejalan dengan pencapaian agenda prioritas RPJMN 2015-2019 tersebut, maka salah satu misi utama pemerintah adalah memberikan pelayanan publik yang berkualitas baik menyangkut pelayanan jasa publik, barang publik, maupun pelayanan administratif termasuk di dalamnya pelayanan perizinan dan nonperizinan. Berkaitan dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha serta meningkatnya kepuasan masyarakat sangat terkait dengan inovasi, kreativitas dan strategi pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan serta efisien. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi masyarakat dan dunia usaha melalui berbagai macam inovasi pelayanan publik. Inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik telah cukup banyak dilakukan oleh berbagai Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai respons terhadap tuntutan kecepatan, kemudahan, keterjangkauan, dan efisiensi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa strategi yang telah dilakukan
2
antara lain dengan membentuk sebuah sistem pelayanan terpadu dengan menggabungkan pendekatan pelayanan fungsional yang dilakukan oleh masingmasing Kementerian/Lembaga/SKPD ke dalam pendekatan terpadu satu otoritas. Pendekatan pelayanan terpadu sebagaimana telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Di dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 menyebutkan PTSP adalah pelayanan yang secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu. Sedangkan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 PTSP adalah perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan satu pintu. Dalam penyelenggaraannya PTSP tersebut harus memenuhi prinsip keterpaduan, ekonomis, koordinasi, pendelegasian/pelimpahan wewenang, akuntabilitas dan aksesibilitas. Hingga saat ini jumlah PTSP berdasarkan sumber Kementerian Dalam Negeri (2015) sebanyak 498 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 372, Kota 92. Dengan bentuk kelembagaan yang juga cukup bervariasi yaitu dalam bentuk Badan 214, Dinas 2, Kantor 278 dan Unit 4. Dalam perkembangan selanjutnya jumlah PTSP berdasarkan sumber Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) data per 18 Februari 2015 sebanyak 508 dengan rincian Provinsi 34, Kabupaten 364, Kota 97, Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) 5, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) 8. Upaya peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan yang selama ini telah dilakukan melalui sistem
PTSP, pada hakikatnya telah dilakukan yaitu dengan keluarnya pengaturan mengenai penyederhanaan proses administrasi perizinan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan Bidang Usaha. Sesuai dengan Inpres Nomor 5 Tahun 1984 tersebut, disebutkan bahwa penyederhanaan dan pengendalian perizinan di bidang usaha/penanaman modal, antara lain dengan mengurangi jumlah dan prosedur perizinan yang diperlukan pengusaha. Selanjutnya disebutkan bahwa izin usaha diberikan dengan mempertimbangkan tujuan bagi pengembangan yang sehat bagi kegiatan di masing-masing bidang usaha, perlindungan bagi konsumen dengan jaminan mutu hasil produksi yang memadai, dan pencegahan gangguan pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan UU Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari UU tersebut telah ditetapkan beberapa peraturan pemerintah, diantaranya adalah PP No 77 Tahun 2007 tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi pada PP Nomor 111 Tahun 2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM No 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal di Indonesia. Namun demikian, telah teridentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapi terkait dengan upaya menciptakan iklim investasi yang kondusif berdasarkan sumber Bappenas (2011) diantaranya, adalah: (1) masih perlu
dilengkapinya peraturan-peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; (2) kurang memadainya kapasitas dan kualitas infrastruktur untuk mendukung investasi yang sudah ada dan investasi baru; (3) masih cukup panjangnya proses perizinan investasi dibandingkan dengan negara-negara sekawasan lainnya; (4) belum lancarnya implementasi pelimpahan wewenang perizinan dari beberapa instansi—yang mulai dialihkan wewenangnya ke daerah tujuan investasi—karena keterbatasan kemampuan sumber daya manusia (SDM), teknologi, dan sarana pendukungnya; (5) masih bervariasinya kelembagaan dan model pengelolaan PTSP; serta (6) banyaknya peraturan daerah (Perda) yang bermasalah sehingga menambah beragamnya pungutan daerah. Dari berbagai permasalahan yang diidentifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses perizinan di Indonesia masih terlalu panjang dan hal ini mempersulit pihak-pihak yang ingin berinvestasi dan melakukan usaha di Indonesia. Hal ini belum sesuai dengan tujuan sistem pelayanan yang diinginkan dalam PTSP, sehingga peringkat Doing Business Indonesia selalu pada posisi terendah. Seiring dengan perkembangan dunia usaha, tuntutan untuk melakukan penyederhanaan prosedur perizinan sudah menjadi hal yang tidak terelakkan. Akhirnya pada tahun 2012, pemerintah dalam hal ini menempatkan penyederhanan perizinan sebagai salah satu program dalam 9 program percepatan reformasi birokrasi. Program ini dilakukan melalui beberapa kegiatan prioritas diantaranya yaitu: (1) deregulasi perizinan usaha, (2) penguatan pelayanan terpadu satu pintu, (3) pembatasan waktu pengurusan perizinan, (4) kejelasan biaya dan syarat perizinan, dan (5) penguatan budaya pelayanan prima. Program ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk mendorong tumbuhnya iklim investasi di Indonesia yang pada akhirnya akan meningkatkan kredibilitas Indonesia dalam lingkup global.
3
Terkait dengan implementasi sistem pelayanan terpadu satu pintu, terdapat asas dalam penyelenggaraan PTSP, yaitu sebagai berikut: a. Transparan, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b. Akuntabel, yaitu dapat dipertanggung jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. c. Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. d. Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. e. Efisien, yaitu proses pelayanan perizinan hanya melibatkan tahap-tahap yang penting dan melibatkan personil yang telah di tetapkan. f. Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan perizinan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. g. Profesional, pemprosesan perizinan melibatkan keahlian yang diperlukan, baik untuk validasi administratif, verifikasi lapangan, pengukuran dan penilaian kelayakan, yang masingmasing prosesnya dilaksanakan berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan.
4
Namun demikian, walaupun PTSP telah dibentuk oleh sebagian besar unit penyelenggara pelayanan publik baik pusat maupun daerah, ternyata belum mampu meningkatkan kualitas pelayanan perizinan secara signifikan. Hal tersebut terlihat masih besarnya tantangan Indonesia dalam upaya mengembangkan dunia usaha. Tantangan tersebut diantaranya adalah kurangnya tenaga kerja terdidik, infrastruktur yang buruk dan kerangka kebijakan yang berbelit-belit. (World Bank, 2012). Disamping itu, hasil berdasarkan Doing Business Survey 2015 memperlihatkan bahwa Indonesia berada pada ranking 114, jauh dibawah Singapura yang sudah langganan di posisi pertama, Malaysia telah menempati peringkat ke-18. Thailand (ke26), Vietnam (ke-78), Filipina (ke-95), dan Brunei Darussalam (ke-101). Indonesia di peringkat ke-114 hanya unggul atas Kamboja di posisi ke-135 dan Timor Leste yang tertinggal di posisi ke-172. Sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan serta memberikan model pengelolaan PTSP terbaik (best practice), maka Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik pada tahun 2015 menyusun Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP untuk mendorong unitunit pelayanan perizinan dengan kinerja PTSP yang kurang baik agar dapat mereplikasi dan mengadopsi model-model terbaik tersebut. Sehingga upaya transformasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan dapat dilaksanakan melalui berbagai inovasi dan terobosan-terobosan baru sebagaimana telah dilakukan beberapa PTSP dengan kinerja terbaik.
B. Tujuan dan Sasaran
T
ujuan penyusunan best practices model pengelolaan PTSP adalah untuk: 1. Memetakan inovasi dan terobosan baru yang telah dilakukan oleh PTSP dengan kinerja terbaik sesuai dengan daerah yang terpilih; 2. Mengidentifikasi berbagai model pengelolaan PTSP di Indonesia sesuai dengan daerah yang terpilih.
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah: 1. Tersusunnya data dan informasi terkait inovasi dan terobosan baru yang telah dilakukan oleh PTSP dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; 2. Tersedianya berbagai alternatif model pengelolaan PTSP di Indonesia sesuai dengan daerah yang terpilih.
C. Hasil yang Diharapkan
H
asil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah tersedianya profil best practices model pengelolaan PTSP
sebagai acuan bagi PTSP yang lain dalam meningkatkan kinerjanya.
D. Metode Kajian
M
etode yang digunakan dalam penyusunan profil best practices model pengelolaan PTSP yaitu deskriptif analitis. Metode deskriptif ini digunakan untuk mendeskripsikan objek studi yaitu inovasi-inovasi dan terobosan-terobosan baru yang telah dilakukan oleh PTSP dan model pengelolaannya. Sedangkan metode analitis digunakan untuk menganalisis berbagai faktor pendodong keberhasilan, proses inovasi dalam PTSP, dan model pengelolaannya serta lesson learn yang dapat diambil dalam meningkatkan kinerja PTSP.
Adapun metode dalam penyusunan best practices model pengelolaan PTSP ini adalah dengan melakukan stock taking, observasi dan validasi. Sumber informasi dalam penyusunan profil best practices model pengelolaan PTSP diperoleh dari data sekunder baik dari laporan, hasil penelitian, temu inovasi tahunan dan publikasi lainnya. Disamping melakukan stock taking, juga dilakukan diskusi terbatas (FGD) dengan mengundang narasumber, pakar, praktisi dan stakeholder lainnya.
5
E. Framework Kajian Framework Penyusunan Profil Best Practices Pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP sebagai berikut: Policy Review
Theoritical Review
Data Sekunder
Review Awal Profil PTSP Terpilih
Initial Draft Profil PTSP
FGD (Pakar dan Akademisi) Data Sekunder
Aspek Aspek Utama Profil Best Practices
Hasil Indepth Interview
Validasi Profil PTSP
Signifikansi Aspek -Aspek BP Sintesa Model Beyond PTSP
Strategi & Alternatif Model
Strategi Model Penguatan Model Akselerasi Model Inovasi
Penjelasan Framework : Kajian Profil Best Practices Pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP dilakukan berdasarkan kerangka kerja sebagai berikut: Untuk memperoleh data sekunder dilakukan review atau telaah kebijakan terkait dengan Pelayanan Perizinan; Selanjutnya dilakukan review konsep dan paradigma Whole Of Government (WOG) Approach; Agar penyusunan profil best practices berjalan efektif, maka dilakukan review awal terhadap profil PTSP terpilih atau yang dijadikan lokus;
6
Setelah kebutuhan data sekunder terpenuhi, maka dilakukan diskusidiskusi baik internal tim kajian maupun FGD yang lebih luas dengan melibatkan pakar, praktisi maupun instansi terkait guna menghasilkan draf awal (initial draft) profil best practices PTSP yang telah menghasilkan aspek-aspek utama yang menjadi pendorong PTSP memiliki kinerja tinggi (best practices); Berdasarkan initial draft profil PTSP dan aspek-aspek utama, maka dilakukan validasi ke lapangan untuk mendapatkan gambaran yang konkret terkait dengan implementasi aspek-aspek utama di masing-masing PTSP terpilih serta arah kedepan berupa alternatif
model PTSP;
pelayanan
perizinan
beyond
baru baik berupa strategi model-model pelayanan beyond PTSP.
Hasil validasi lapangan diolah dan dianalisis untuk menghasilkan formula
maupun perizinan
F. Lokus Kajian
D
alam rangka memperoleh Best Practice Model Pengelolaan PTSP sesuai dengan hasil yang diharapkan, maka dilakukan observasi terhadap beberapa PTSP terpilih sesuai dengan kriteria yang objektif. Beberapa kriteria tersebut antara lain: (1) PTSP yang memiliki kinerja tinggi; (2) mewakili jenjang penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan (3) mewakili bentuk organisasi atau kelembagaan. Kriteria kinerja tinggi yang dimaksud adalah (1) PTSP yang mendapat penghargaan dari instansi pembina dan
penilai; (2) menjadi rujukan penyelenggara PTSP di daerah lain
bagi
Berdasarkan kriteria sebagaimana tersebut di atas, maka PTSP yang direkomendasikan untuk disusun profil best practices adalah: (1) PTSP Provinsi Jawa Barat; (2) PTSP Provinsi Jawa Timur; (3) KPPT Kabupaten Purbalingga; (4) PTSP Kota Yogyakarta; (5) PTSP Kabupaten Sidoarjo; (6) PTSP Kab Purwakarta; (7) UPTSA Kota Surabaya. Penjelasan pemilihan lokus secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut.
Tabel 2.1 Penentuan Pemilihan Lokus Kriteria Jenis Kelembagaan PTSP Badan
Kriteria Jenjang Pemda Tk. Provinsi
Penilaian BKPM (2010, 2012, 2013, 2014)
Badan
Tk. Provinsi
BPMPT Kota Surakarta
Penilaian BKPM (2014)
Badan
Tk. Kota
4.
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Penilaian BKPM (2009)
Dinas
Tk. Kota
5.
BPPT Kab. Sidoarjo
Penilaian KPPOD (referensi), BKPM (2010)
Badan
Tk. Kabupaten
6.
BPMPTSP Kab Purwakarta
Penilaian BKPM (2012)
Badan
Tk. Kabupaten
7.
UPTSA Kota Surabaya
Penilaian KPPOD (referensi)
Unit
Tk. Kota
8.
KPPT Kota Cimahi
Penilaian BKPM (2010)
Kantor
Tk. Kota
9.
KPMPT Kab. Purbalingga
Penilaian KPPOD (referensi)
Kantor
Tk. Kabupaten
No.
Nama PTSP
Penghargaan
1.
BPMPTSP Provinsi Jawa Barat
Penilaian BKPM (2012, 2013)
2.
UPTP2TS Provinsi Jawa Timur
3.
7
No.
Nama PTSP
Penghargaan
BPTPM Kab. Sragen
11.
BPPT Kota Bandung
Badan
Tk. Kota
12.
BPM Kota Kediri
Badan
Tk. Kota
Tahapan Kegiatan
T
ahapan kegiatan penyusunan profil best practices model pengelolaan PTSP dan Sintesa Model Pelayanan Perizinan Beyond PTSP secara rinci sebagai berikut:
1.
Penyempurnaan TOR (Maret)
Tahap ini membahas penyusunan TOR, dimana dalam kegiatan tersebut dilakukan melalui pengumpulan berbagai literatur yang relevan serta melaksanakan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber/ pakar dan pengelola PTSP serta stakeholder terkait.
2. Penyusunan Riset Desain dan Instrumen (April-Mei)
Dalam tahapan ini Tim akan melakukan identifikasi berbagai literatur terkait dengan penyusunan disain profil best practices model pengelolaan PTSP. Dalam kegiatan ini juga dilakukan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber yang kompeten. Hasil dari identifikasi data serta konsep-konsep yang relevan, selanjutnya dilakukan penyusunan dan finalisasi riset desain dan instrumen.
3. Penyusunan Draft Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP (Juni)
Setelah riset desain tersusun, selanjutnya dilakukan penyusunan draft disain profil best practices model pengelolaan PTSP. Agar draft pengelolaan disain profil best practices
8
Kriteria Jenjang Pemda Tk. Kabupaten
10.
G.
Penilaian BKPM (2009)
Kriteria Jenis Kelembagaan PTSP Badan
model pengelolaan PTSP lebih implementatif dan sesuai dengan kebutuhan, maka kegiatan ini juga dilakukan diskusi terbatas mengundang narasumber yang kompeten guna memberikan masukan terhadap draft disain profil best practices model pengelolaan PTSP.
4. Validasi Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP (JuliAgustus)
Untuk memperoleh profil best practices model pengelolaan PTSP yang berkinerja tinggi dalam memberikan pelayanan perizinan dan nonperizinan, maka dilakukan validasi terhadap profil best practices model pengelolaan PTSP yang telah disusun. Validasi ini dilaksanakan terhadap 5 PTSP yang memiliki kinerja terbaik.
5. Evaluasi dan Penyusunan Laporan Disain Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP (September)
Berdasarkan hasil validasi tersebut, maka tim melakukan evaluasi dan penyusunan laporan profil best practices model pengelolaan PTSP. Selanjutnya, dilakukan pencetakan dan pembuatan laporan serta pendistribusian profil best practices model pengelolaan PTSP agar dapat dimanfaatkan oleh Kementerian/ Lembaga, Pemda dan stakeholder terkait.
9
A. Inovasi Pelayanan Publik
T
antangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pelayanan publik saat ini adalah masih rendahnya tingkat kualitas pelayanan, yang antara lain disebabkan oleh masih adanya disharmoni kebijakan, kelembagaan yang tumpang tindih, tatalaksana yang tidak efisien, kompetensi SDM pelayanan yang rendah serta terbatasnya sarana dan prasarana. Mencermati kondisi pelayanan publik tersebut, dituntut adanya inovasi, kreativitas dan terobosan-terobosan baru dalam penyelenggaraan pelayanan publik kedepan. Inovasi dalam pelayanan publik merupakan faktor yang sangat penting mengingat tingginya keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat terhadap kualitas pelayanan publik suatu bangsa. Oleh karena itu, upaya mendorong percepatan tumbuh dan berkembangnya inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik menjadi sebuah keharusan, baik terkait dengan model leadership-nya, kelembagaan, bisnis proses (tatalaksana), SDM dan saranaprasaranya. Terkait dengan konsep inovasi, dalam konteks publik inovasi dapat berupa inovasi produk (produk baru), inovasi proses (cara baru dimana proses-proses organisasi didesain), pelayanan (cara baru dimana pelayanan disediakan untuk pengguna), inovasi retorikal (konsep baru), dan lain-lain yang memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan. Istilah inovasi berasal dari bahasa latin innovare yang berarti berubah sesuatu yang menjadi baru. Inovasi (innovation dan innovate) sendiri baru mulai dikenal dalam kosa kata bahasa Inggris pada abad ke-16. Namun pada masa itu, istilah ini banyak diasosiasikan secara negatif sebagai troublemaker dan lebih identik dengan nuansa revolusi atau perubahan radikal menjadikan rezim kekuasaan dan politik serta otoritas keagamaan masa itu
10
cenderung menolak segala hal yang berbau inovasi. Barulah sekitar 300 tahun kemudian, pengertian inovasi perlahan mengalami pergeseran makna menjadi positif yang dipahami sebagai “creating of something new” atau penciptaan sesuatu yang baru. Inovasi juga tidak selamanya baru (completely new), baik dari segi fisik maupun fitur yang melengkapinya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id), inovasi adalah pemasukan atau pengenalan hal-hal yang baru; penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode atau alat). Selanjutnya Van den Ban & Hawkins (2005) memberikan pengertian inovasi sebagai suatu gagasan, metode atau objek yang dianggap sebagai sesuatu yang baru tetapi lebih merupakan hasil penelitian mutakhir. Dalam hubungannya dengan organisasi, Hurley dan Hult (1998) dalam (Kusumo, 2006:22) mendefinisikan inovasi sebagai sebuah mekanisme organisasi dalam beradaptasi dalam lingkungan yang dinamis, oleh karenanya organisasi dituntut untuk mampu menciptakan pemikiran – pemikiran baru, gagasan – gagasan baru, produk baru serta peningkatan pelayanan yang memuaskan pelanggan. Dapat dikatakan inovasi merupakan kelanjutan dari adanya kreativitas dan dalam hubungannya dengan praktik birokrasi, Inovasi berarti menemukan dan melakukan proses kerja baru yang bertujuan untuk menjadikan pelayanan menjadi lebih baik. Namun demikian inovasi dalam birokrasi seringkali menghadapi hambatan dan benturan dari keberadaan aturan formal dan rendahnya sikap pemimpin yang kurang visioner. Menurut Clark, John dan Ken Guy (1997) mengartikan Inovasi sebagai proses atau hasil pengembangan, pemanfaatan/ mobilisasi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk menciptakan atau memperbaharui produk (barang dan jasa), proses atau sistem yang baru, yang
memberikan nilai tambah. Sedangkan Agus Dwiyanto (2013) menyatakan Inovasi adalah “segala sesuatu yang berkenaan dengan gagasan dan pengetahuan baru dan transformasinya kedalam hasil (outcome) yang dapat menciptakan nilai tambah pada praktik dan proses, barang dan jasa, adopsi teknik dan pendekatan baru dalam pengelolaan satu organisasi. Dalam bidang administrasi publik, inovasi adalah setiap bentuk transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi publik”. Richard (2003) sebagaimana dikutip oleh Desi Fernanda (2014), inovasi adalah ide-ide untuk beraksi. Inovasi adalah proses aktif yang memiliki tujuan akhir menghasilkan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang lain. Inovasi pada dasarnya merupakan kegiatan yang bersifat konvergen yang membawa atau membumikan ide-ide cemerlang dalam kehidupan nyata. Hasil dari sebuah inovasi adalah perubahan (transformasi) dan implementasi. Humanitarian Innovatioan Fund (HIF) (2009), inovasi adalah proses dinamis yang berfokus pada penciptaan dan implementasi produk baru atau yang ditingkatkan, dan jasa, proses, posisi dan paradigma. Inovasi yang sukses adalah
mereka yang menghasilkan dalam efisiensi, efektifiitas hasil, kualitas atau sosial/ dampak. Berdasarkan berbagai pendapat diatas terkait inovasi, maka dapat disimpulkan Inovasi adalah ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi negara. Inovasi adalah suatu ide, gagasan, pemikiran, terobosan yang memiliki unsur kebaharuan, manfaat, dapat diadopsi/direplikasi, berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang undangan yang berlaku (LAN, 2014). Lebih lanjut disebutkan bahwa jenisjenis inovasi administrasi Negara mencakup: inovasi proses, inovasi produk, inovasi metode, inovasi struktur organisasi, inovasi teknologi, inovasi sumber daya manusia, inovasi konseptual, dan inovasi hubungan. Dengan demikian inovasi pelayanan publik adalah ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses pemberian pelayanan kepada masyarakat.
B. Kebijakan Penyederhanaan Perizinan
M
isi utama birokrasi pemerintah adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat termasuk dalam hal ini adalah kepada dunia usaha. Terkait dengan perizinan usaha, upaya mendorong tumbuh dan berkembangnya dunia usaha sangat terkait dengan peran pemerintah dalam memberikan pelayanan yang mudah, cepat, tepat, murah dan transparan. Oleh karena itu, peran dan tanggung jawab pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan katalisator menjadi penting dalam memberikan kemudahan bagi dunia usaha
melalui berbagai macam pelayanan sejak investor mulai membuka usahanya sampai dengan jika terjadi sengketa arbitrase. Sejalan dengan program reformasi birokrasi dimana salah satu area perubahan adalah bidang pelayanan publik, dengan hasil akhir yang diharapkan adalah pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat. Untuk dapat mewujudkan target reformasi pelayanan publik tersebut, sudah barang tentu diperlukan adanya kerja keras pemerintah dan pemerintah daerah serta seluruh aparatur pelayanan publik. Salah satu
11
upaya pemerintah dalam mendukung terwujudnya pelayanan prima khususnya di bidang investasi dan dunia usaha, adalah dengan mengeluarkan kebijakan pembentukan kelembagaan pelayanan publik yang tidak birokratis dan berbelitbelit. Upaya tersebut adalah dengan pembentukan kelembagaan pelayanan dalam bentuk Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang saat ini telah dimiliki sebagian besar unit pelayanan baik di pusat maupun di daerah. Berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan upaya penyederhanaan perizinan tersebut antara lain Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi. Perbaikan iklim investasi yang diamanatkan inpres tersebut menekankan perlunya: (a) memperkuat kelembagaan pelayanan investasi; (b) Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Peraturan Daerah (Perda); (c) kejelasan ketentuan mengenai kewajiban analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL); (d) debirokratisasi di bidang cukai; serta (e) melaksanakan sistem “self assesment” secara konsisten. Pelaksanaan paket kebijakan selama kurun waktu tahun 2006 diharapkan dapat mendorong pertumbuhan investasi di Indonesia. Selanjutnya dalam rangka menarik investor asing dan investor dalam negeri untuk berinvestasi di Indonesia, serta untuk memberikan kepastian hukum kepada calon investor tersebut, pada tahun 2007 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sebagai implementasi dari UndangUndang tersebut telah ditetapkan beberapa Peraturan Pemerintah, diantaranya adalah PP Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal sebagaimana yang telah direvisi dengan PP Nomor 111 Tahun 2007 dan kembali disempurnakan melalui PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal dan Peraturan Kepala BKPM Nomor
12
12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal di Indonesia. Perbaikan kelembagaan pelayanan publik sebagai upaya mendorong peningkatan kualitas perizinan usaha dan investasi telah dilakukan melalui beberapa kebijakan antara lain Keputusan Presiden Nomor 29 tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, disebutkan bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam menarik investor untuk melakukan investasi di Indonesia, memandang perlu untuk menyederhanakan sistem pelayanan penyelenggaraan penanaman modal dengan metode pelayanan satu atap. Dalam Perpres ini juga ditekankan bahwa Sistem pelayanan satu atap dilaksanakan oleh BKPM sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1981 tentang Badan Kooordinasi Penanaman Modal Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir Dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004. Pada Diktum selanjutnya Gubernur/ Bupafi/ Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap. Selanjutnya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi, yang salah satunya mengamanatkan perlunya memperkuat kelembagaan pelayanan investasi. Sebagai implementasi Inpres No 3 Tahun 2006 tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaran Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang antara lain menginstruksikan kepada pemerintah daerah melakukan: (1) penyederhanaan sistem dan prosedur perizinan usaha; (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu pintu di daerah; (3)
pemangkasan waktu dan biaya perizinan; (4) perbaikan sistem pelayanan; (5) perbaikan sistem informasi; (6) pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses penyelenggaraan. Dalam rangka lebih memperkuat landasan kebijakan kelembagaan PTSP di daerah, lebih lanjut Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu di Daerah. Dimana dalam peraturan ini terdapat ketentuan menyangkut nomenklatur unit pelayanan, dimana disebutkan bahwa Unit pelayanan perizinan terpadu adalah bagian perangkat daerah berbentuk Badan dan/atau Kantor pelayanan perizinan terpadu, merupakan gabungan dari unsur-unsur perangkat daerah yang mempunyai kewenangan di bidang pelayanan perizinan. Selanjutnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penyederhanaan pelayanan adalah upaya penyingkatan terhadap waktu, prosedur, dan biaya pemberian perizinan dan nonperizinan. Disamping itu, diatur tentang tugas Badan dan/atau Kantor mempunyai tugas melaksanakan koordinasi dan menyelenggarakan pelayanan administrasi dibidang perizinan secara terpadu dengan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, simplifikasi, keamanan dan kepastian.
Dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 27 tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Dimana dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau limpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat. Disamping itu, Perpres ini juga mengatur mengenai mutu pelayanan, yaitu bahwa Pelaksanaan PTSP di bidang Penanaman Modal harus menghasilkan mutu pelayanan prima yang diukur dengan indikator kecepatan, ketepatan, kesederhanaan, transparan, dan kepastian hukum. Sebagai tindak lanjut Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tersebut, pemerintah mengeluarkan Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri PANRB, dan Kepala BKPM sejak bulan September 2010 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Pelayanan Penanaman Modal di Daerah, yang meminta para Gubernur, Bupati dan Walikota untuk segera melimpahkan kewenangannya di bidang perizinan dan nonperizinan kepada kepala PTSP.
C. Konsep Pelayanan Perizinan Terpadu
U
ntuk dapat mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan memuaskan, perlu didukung dengan model-model pengelolaan pelayanan yang efisien, cepat, transparan dan akuntabel, termasuk di dalamnya yang terkait dengan pelayanan perizinan dan nonperizinan. Beberapa model pelayanan yang terintegrasi diantaranya adalah Pelayanan Terpadu Satu Atap (PTSA) dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang selama ini telah dikembangkan oleh beberapa Kementerian/Lembaga dan hampir di
seluruh Provinsi dan Kabupaten/Kota. Upaya pembentukan kelembagaan PTSP dari berbagai unit penyelenggara pelayanan publik tersebut perlu mendapat apresiasi agar komitmen mereka dalam peningkatan kualitas pelayanan publik senantiasa dapat terus meningkat. Namun demikian, pembentukan kelembagaan pelayanan PTSP yang bertujuan untuk mempermudah bagi masyarakat dalam memperoleh pelayanan tersebut, perlu dievaluasi kinerjanya termasuk efektivitas-
13
nya terhadap peningkatan perizinan usaha dan pertumbuhan investasi. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 menyebutkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Lebih lanjut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan Perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tersebut juga menginstruksikan kepada pemerintah daerah melakukan: (1) penyederhanaan sistem dan prosedur perizinan usaha; (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu pintu di daerah; (3) pemangkasan waktu dan biaya perizinan; (4) perbaikan sistem pelayanan; (5) perbaikan sistem informasi; (6) pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses penyelenggaraan. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan jasa perizinan dan nonperizinan, yang proses pengelo-laannya dimulai dari tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan izin dokumen, dilakukan secara terpadu dalam satu tempat. Dengan konsep ini, pemohon cukup datang ke satu tempat dan bertemu dengan petugas front office saja. Hal ini dapat meminimalisasikan interaksi antara pemohon dengan petugas perizinan dan menghindari pungutanpungutan tidak resmi jika ada masyarakat yang ingin memiliki izin tinggal. Pembentukan penyelenggaraan PTSP pada dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan birokrasi pelayanan perizinan dan nonperizinan dalam bentuk: (1) Mempercepat waktu pelayanan dengan mengurangi tahapan-tahapan dalam
14
pelayanan yang kurang penting. Koordinasi yang lebih baik juga akan sangat berpengaruh terhadap percepatan layanan perizinan; (2) Menekan biaya pelayanan izin usaha, selain pengurangan tahapan, pengurangan biaya juga dapat dilakukan dengan membuat prosedur pelayanan serta biaya resmi menjadi lebih transparan; dan (3) Menyederhanakan persyaratan izin usaha industri, dengan mengembangkan sistem pelayanan paralel dan akan ditemukan persyaratan-persyaratan yang tumpang tindih, sehingga dapat dilakukan penyederhanaan persyaratan. Hal ini juga berdampak langsung terhadap pengurangan biaya dan waktu. Selanjutnya asas penyelenggaraan PTSP, antara lain adalah: (1) Transparan, yaitu bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti; (2) Akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (3) Partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat; (4) Kesamaan hak, yaitu tidak diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi; (5) Efisien, yaitu proses pelayanan perizinan hanya melibatkan tahap-tahap yang penting dan melibatkan personil yang telah di tetapkan; (6) Keseimbangan antara Hak dan Kewajiban, yaitu pemberi dan penerima pelayanan perizinan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak; (7) Profesional, pemrosesan perizinan melibatkan keahlian yang diperlukan, baik untuk validasi administratif, verifikasi lapangan, pengukuran dan penilaian kelayakan, yang masing-masing prosesnya dilaksanakan berdasarkan tata urutan dan prosedur yang telah ditetapkan.
D. Model Pelayanan Perizinan Whole of Government Approach
P
enyelenggaran perizinan yang dilakukan selama ini menuai berbagai spekulasi yang pada akhirnya memunculkan kebingungan bagi para penyelenggara perizinan. Perubahan pandangan pelayanan yang berorientasi struktural, sektoral dan organisasi dengan satu tugas sudah mulai terjadi diberbagai negara. Dalam konteks pelayanan perizinan, diperlukan suatu sistem yang dapat memberi efek pada pengambilan keputusan dalam rangka meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi yang dapat mengkoordinasikan seluruh kepentingan sektor. Peningkatan pelayanan perizinan tentu saja merupakan tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh pemerintah. Pendekatan pelayanan yang lebih mengedepankan logika ekonomi dimana hanya memikirkan keuntungan yang akan didapat dalam sebuah layanan harus dirubah. Saat ini perlu dipikirkan pendekatan lain dalam pelayanan terutama perizinan. Pendekatan ilmu sosial dapat menjadi pilihan yang dapat menjembatani permasalahan yang saat ini dihadapi. Seperti yang diungkapkan oleh Christensen dan Lagreid (2006) bahwa negara-negara seperti Inggris, Selandia Baru, dan Australia mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanannya sebagai respons terhadap peningkatan permasalahannya. dan sebenarnya lagi, koordinasi dan integrasi strategi bukanlah fenomena baru dalam rangka upaya untuk mengkoordinasikan kebijakan pemerintah dan pelayanan melintasi batas-batas organisasi. Konsep whole of government (WOG) approach merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi
16
untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG ini terdapat pada fokusnya dalam pengembangan kebijakan, pengelolaan program, dan pelayanan. Dari segi pelayanan perizinan WOG dapat menjadi konsep alternatif yang dapat di adopsi oleh pemerintah Indonesia. WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat. Munculnya konsep WOG menurut Gregory (2006), Pollitt (2003a) merupakan reaksi terhadap siloisasi atau pilarisasi dari sektor publik yang muncul pada manajemen publik sebelumnya. Dalam konsep Manajemen Publik baru (New Publik Manajement /NPM) Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat diarahkan lebih pada sektor yang mengurusi bidang masing masing. Hal ini menyebabkan munculnya ego sektoral yang justru menghambat pelayanan lintas sektor. Banyaknya peran dan fungsi khusus yang diberikan pada unit sektoral ternyata malah menghasilkan terlalu banyak fragmentasi, egoisme kepentingan, dan kurangnya kerjasama dan koordinasi sehingga justru menghambat efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Pelimpahan kekuasaan (Devolusi) struktural ternyata memberi efek sisi pengendalian/ kontrol dari kepemimpinan politik dan administrasi sehingga justru memunculkan pertanyaan terkait akuntabilitas dan kapasitas. WOG sangat penting diterapkan sebagai langkah efisiensi dan jawaban terhadap tekanan anggaran. Dalam konsep WOG ini dilakukan pengetatan dari sistem pelayanan publik vertikal (struktur layanan) yang diselenggarakan dengan dikombinasikan dengan peningkatan kerjasama horizontal (sektoral) dengan fokus pada pada efisiensi dalam pemberian layanan. Contohnya adalah inisiasi dari
pemerintah Selandia baru yang membentuk semacam unit super-monitoring yang mampu melakukan koordinasi antar sektor. Implementasinya lebih dilakukan penekanan kuat pada efektivitas dimana untuk jangka panjang difokuskan pada outcome yang akan diterima serta untuk jangka pendek memfokuskan pada Efektivitas layanan dan output. Penggunaan Teknologi informasi dapat dilakukan untuk mengurangi biaya komunikasi secara horizontal dan koordinasi. Seperti yang telah diketahui pengembangan ICT saat ini sudah sangat pesat. Tidak ada salahnya untuk percepatan proses komunikasi secara vertikal dan horizontal serta koordinasi antar sektor dilakukan menggunakan ICT. Dalam pelayanan perizinan bisa dilakukan dengan membangun sistem informasi yang terintegrasi yang memungkinkan dapat melihat proses layanan perizinan yang diberikan. Penjabaran diatas dapat terlihat bahwa penerapan WOG dilakukan dengan melakukan koordinasi secara vertikal dan horizontal dengan tujuan untuk 1. menghilangkan situasi di mana kebijakan yang berbeda melemahkan satu sama lain; 2. melakukan kinerja lebih baik dengan menggunakan sumber daya yang terbatas; 3. menciptakan sinergi dengan membawa pemangku kepentingan (stakesholders) yang berbeda kepentingan agar bersama-sama dalam bidang kebijakan tertentu; 4. Menawarkan akses layanan yang mudah bagi masyarakat. Peran konsep WOG dalam menghadapi tantangan organisasi pemerintah yang berperan secara hirarkis dan negosiasional. Peran organisasi hirarki memiliki tantangan dalam mengembangkan struktur yang mendukung untuk kerangka kerja bersama. Begitu juga dengan organisasional. Pendekatan prosedural juga dilakukan untuk meningkatkan inisiatif pelayanan
16
publik. Berikut ini adalah tantangan yang harus dihadapi menurut dua versi organisasi. 1. Organisasi Hirarki Menurut versi hirarkis, kepemimpinan politik dan administrasi yang homogen dan dalam perjanjian tentang desain dan desain ulang organisasi publik. Dengan kata lain, hanya ada satu sumber ambigu dan homogen kontrol dan perhitungan rasional. Seperti yang dijelaskan oleh Simon (1957) juga March dan Simon (1958) bahwa hal terpenting dari struktur organisasi adalah kepemimpinan politik-administratif untuk tidak perlu terlalu banyak memiliki kontrol atau wawasan yang sempurna atau lengkap dalam setiap masalah, solusi, dan efek, melainkan, sesuai dengan pendekatan rasionalitas terikat. Yang terpenting adalah mempengaruhi perilaku pengambilan keputusan dengan mengendalikan proses desain dan rancangan struktur organisasi publik. Salah satu cara mengatasi tantangan tersebut dengan mengadopsi gaya top-down yang lebih agresif seperti yang dilakukan Pemerintah Ingris oleh Toni Blair di tahun 2005. Pilihan lainnya dengan melakukan penguatan atau penegasan kembali tugas fungsi unit organisasi dari organisasi pusat. Hal ini akan memunculkan dimensi vertikal dan dimensi horizontal organisasi yang lebih masif, dimana pada dimensi vertikal akan memerlukan pengendalian lebih kuat ke unit sektoral (bawahan), sedangkan dimensi horisontal akan peduli dengan mendapatkan kementerian pusat yang berbeda dan badan-badan khusus untuk bekerja lebih baik bersama-sama, kedua instrumen potensial dalam pendekatan Wog. Dalam hal ini peranan pemerintah pusat diperkuat dengan menetapkan struktur seperti unit strategis, ulasan (reviews), dan perjanjian layanan publik seperti yang dilakukan oleh pemerintah Inggris. 2. Organisasi Negosiasional
Menurut versi negosiasional, kepemimpinan yang diharapkan adalah berdasarkan heterogenitas, bukan pada homogenitas, dan pada gagasan perlu ada pembagian peran pada tingkat hirarki yang sama dan pemain yang sama. Dalam hal ini akan ada heterogenitas aparat publik internal dimana unit yang berbeda memiliki struktur yang berbeda, peran, fungsi, dan kepentingan (March dan Olsen 1983). Selain itu heterogenitas juga terdapat pada stakeholder utama dalam lingkungan, termasuk pihak swasta. Ini berarti pemimpin politik dan administrasi harus melakukan proses negosisasi terlebih dahulu, dimana tidak akan ada pemenang atau pecundang,
konsensus atau pencatatan bergulir, di mana janji diterima dan diberikan mengenai tindakan dan keputusan di masa depan. Dalam menghadapi tantangan struktur maka keputusan akan disesuaikan dengan memperhatikan kedua untuk kontrol, karena negosiasi harus dilakukan, dan perhitungan rasional, karena sikap dan pemikiran organisasi akan bervariasi. Hal ini akan membuat segalanya lebih ambigu tetapi memiliki keuntungan dari segi legitimasi yang lebih besar, karena mereka melibatkan lebih banyak peserta dan proses negosiasi dipandang sebagai lebih tepat daripada hirarki perintah.
17
18
19
A. GAMBARAN UMUM MODEL PENGELOLAAN PTSP TERPILIH Berdasarkan hasil validasi terhadap 12 PTSP terpilih dapat disampaikan gambaran model pengelolaan, aspek-aspek pengelolaan dan inovasi-inovasi unggulan dari masing-masing PTSP. Gambaran secara umum terkait dengan model pengelolaan PTSP berdasarkan kriteria dari praktik di lapangan adalah sebagai berikut. 1. Aspek Utama Pembentuk Profil PTSP Terbaik
penandatanganan perizinan; (d) penggunaan IT dalam memberikan pelayanan perizinan; serta (e) komitmen dan dukungan pimpinan daerah terhadap PTSP. Selanjutnya berdasarkan hasil validasi terhadap 12 PTSP terpilih, maka gambaran terhadap aspek-aspek tersebut dapat disampaikan sebagai berikut:
a. Dasar hukum Berdasarkan data empiris dan praktik pelayanan perizinan di lapangan dapat Dari seluruh PTSP yang menjadi lokus diindikasikan bahwa baik buruknya (terpilih) dasar hukum kelembagaan atau tinggi rendahnya kinerja PTSP PTSP diatur dengan Peraturan dalam memberikan pelayanan perizinan Daerah (Perda). Uraian secara sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek lengkap mengenai dasar hukum seperti : (a) dasar hukum pembentukan pembentukan PTSP tersebut dapat PTSP; (b) bentuk kelembagaan dan dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut. eselonisasi; (c) pelimpahan kewenangan Tabel 3.1 Dasar Hukum Pembentukan PTSP No.
Nama PTSP
Dasar Hukum
1.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta
Peraturan Daerah Kabupaten Purwakarta Nomor 11 Tahun 2007
2.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2014
3.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung
Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tugas dan Fungsi BPPT
4.
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi
Peraturan Daerah Kota Cimahi Nomor 9 Tahun 2008 tentang Lembaga Teknis Daerah dan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Cimahi.
5.
Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga
Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Nomor 14 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Purbalingga.
6.
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pembentukan, Susunan, Kedudukan dan Tugas Pokok Dinas Daerah
21
No.
Nama PTSP
Dasar Hukum
7.
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen
Peraturan Daerah Kabupaten Sragen Nomor 5 Tahun 2011 tentang Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen.
8.
Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Teknis Daerah
9.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta
Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 14 Tahun 2011 tentang Pembentukan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Kota Surakarta
10.
Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
Peraturan Walikota Kediri Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Uraian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Penanaman Modal Kota Kediri
11.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo
Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sidoarjo Peraturan Bupati No. 57 Tahun 2008 Jo Peraturan Bupati No. 38 Tahun 2014 tentang rincian, tugas, fungsi dan tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sidoarjo.
12.
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 24 Tahun 2009 tentang perubahan atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 40 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya Peraturan Walikota Surabaya Nomor 8 Tahun 2010 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 Tahun 2007 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
Sumber : data dan informasi tim validasi b. Kelembagaan
21
Dari aspek kelembagaan dapat diidentifikasi bahwa dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih) memiliki bentuk dan nomenklatur kelembagaan yang berbeda-beda. Perbedaan bentuk dan nomenklatur kelembagaan tersebut, tentu berdampak pada level eselonisasi pada tingkat pimpinan PTSP masingmasing. Berdasarkan hasil validasi ditemukan beberapa jenis
kelembagaan PTSP seperti Dinas, Badan, Kantor dan Unit. Dari masingmasing bentuk kelembagaan tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya jika orientasi PTSP adalah peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Uraian secara lengkap mengenai bentuk dan nomenklatur serta level eselonisasi pimpinan PTSP dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut.
Tabel 3.2 Bentuk Kelembagaan dan Eselonisasi PTSP No. 1.
2.
3. 4. 5.
6.
Bentuk Kelembagaan
Pimpinan & Tingkat Eselon
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta
Badan
Kepala Badan
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
Badan
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung
Badan
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi
Kantor
Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga
Kantor
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
Dinas
Nama PTSP
Eselon II Kepala Badan Eselon II Kepala Badan Eselon II Kepala Kantor Eselon III Kepala Kantor Eselon III Kepala Dinas Eselon II
7. 8. 9.
10.
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen
Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Unit
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta
Badan
Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
Badan
Kepala Badan Eselon II Kepala Unit Non Eselon Kepala Badan Eselon II Kepala Badan Eselon II
23
No. 11. 12.
Bentuk Kelembagaan
Pimpinan & Tingkat Eselon
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo
Badan
Kepala Badan
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
Unit
Nama PTSP
Eselon II
c. Pelimpahan Kewenangan Selanjutnya terkait dengan aspek Pelimpahan Kewenangan secara umum dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih) telah memiliki sebagian
Kepala Unit Non Eselon besar kewenangan untuk menandatangani surat perizinan. Uraian secara lengkap terkait dengan pelimpahan kewenangan dalam penandatanganan perizinan dapat dilihat pada Tabel 3.3 sebagai berikut.
Tabel 3.3 Pelimpahan Kewenangan Penandatanganan Dokumen Perizinan No.
Nama PTSP
Jumlah Perizinan Yang diserahkan
Dasar Hukum Pelimpahan
1.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta
51 jenis perizinan telah diserah dari 107 total jenis perizinan atau sebesar 48%.
Perbub No. 26 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Dibidang Perizinan dan Nonperizinan Kab Purwakarta
2.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
261 jenis pelayanan perizinan seluruhnya telah dilimpahkan atau 100% telah dilimpahkan kepada BPMPTSP
Pergub No. 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Prov Jawa Barat No. 7 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu
3.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung
25 jenis pelayanan perizinan seluruhnya telah dilimpahkan atau 100% telah dilimpahkan kepada BPPT
Peraturan Walikota Bandung Nomor 855 Tahun 2015 tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Pelayanan Perizinan Terpadu
4.
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi
54 jenis pelayanan perizinan dari total 60 jenis pelayanan perizinan telah dilimpahkan kepada KPPT atau sebesar 90%.
Peraturan Walikota Cimahi Nomor 28 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas pada Lembaga Teknis Daerah dan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Cimahi
23
No.
Nama PTSP
Jumlah Perizinan Yang diserahkan
Dasar Hukum Pelimpahan
5.
Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga
12 jenis pelayanan perizinan seluruhnya telah dilimpahkan kepada KPMPT atau 100%.
Peraturan Bupati No. 111 Tahun 2011 tentang Pengalihan Pengelolaan Penanaman Modal dan Perizinan kepada Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu
6.
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
27 jenis pelayanan perizinan, seluruhnya telah dilimpahkan kepada Dinas Perizinan atau 100%.
Peraturan Walikota No. 20 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perizinan pada Pemerintah Kota Yogyakarta
7.
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Sragen
74 jenis pelayanan perizinan, seluruhnya telah dilimpahkan kepada BPTPM atau 100%.
Perda No. 5 Tahun 2011.
8.
Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Pemerintah Provinsi Jawa Timur
177 jenis pelayanan perizinan, seluruhnya telah dilimpahkan kepada P2T atau 100%
Pergub No. 8 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu
9.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta
56 jenis pelayanan perizinan, seluruhnya atau 100% telah dilimpahkan kepada BPMPT Kota Surakarta
Peraturan Walikota No. 52 Tahun 2012 tentang Pendelegasian Kewenangan Walikota Di Bidang Pelayanan Perizinan Kepada Kepala BPMPT Kota Surakarta.
10.
Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
87 Jenis Pelayanan dan 100% telah dilimpahkan seluruhnya kepada BPM Kota Kediri
Peraturan Walikota Kediri Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Uraian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Penanaman Modal Kota Kediri
11.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo
37 jenis pelayanan yang telah didelegasikan secara penuh dari total 73 jenis pelayanan perizinan atau sebesar 50,6 %.
Perbup No. 38 Tahun 2014 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Sidoarjo
12.
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
82 jenis perizinan dan nonperizinan namun kewenangan masih ada pada SKPD masing-masing
Peraturan Walikota Surabaya No. 8 Tahun 2010 tentang Organisasi Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
24
Keputusan Bupati No. 17 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Terpadu Kabupaten Sragen.
memiliki karakteristik dan keunggulan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi wilayah kerjanya.
d. Penggunaan IT Secara umum dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih), dalam memberikan pelayanannya sudah menggunakan IT untuk mendukung kecepatan dalam proses pelayanan perizinan. Hanya saja masing-masing
Uraian secara lengkap mengenai penggunaan IT dalam memberikan pelayanan perizinan dapat dilihat pada Tabel 3.4 sebagai berikut.
Tabel 3.4 Penggunaan IT Dalam Pelayanan Perizinan No.
Nama PTSP
Optimalisasi Penggunaan IT
1.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta
Penggunaan IT dalam proses pelayanan perizinan di BPMPTSP Kabupaten Purwakarta belum optimal, mengingat beberapa sistem TI masih dalam proses pengerjaan;
2.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
BPMPTSP Provinsi Jawa Barat telah menggunakan IT dalam pelayanan perizinan secara masih. Penggunaan jaringan IT tersebut telah dapat mengintegrasikan 4 (empat) gerai pelayanan perizinan yang telah dibuka di beberapa Kabupaten/ Kota.
3.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung
Masyarakat pemohon tidak lagi harus datang ke BPPT Kota Bandung untuk mendapatkan perizinan. Cukup mendaftar online dari rumah dan hasilnya diantar ke rumah oleh pihak Kantor Pos berkat adanya kerjasama dengan pihak Kantor Pos.
4.
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi
Dukungan IT dalam pelayanan perizinan di KPPT Kota Cimahi sudah cukup baik. Hal yang paling menonjol adalah penggunaan teknologi GPS dalam memetakan wilayah kerja yang perlu dilakukan peninjauan lapangan.
5.
Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga
Dukungan IT dalam pelayanan perizinan di KPMPT Kabupaten Purbalingga belum optimal. Kondisi tersebut sesuai dengan hasil pengukuran tingkat kepuasan pelanggan yang menunjukkan tingkat kepuasan yang masih relatif rendah.
6.
Dinas Perizinan Yogyakarta
Dukungan IT khususnya untuk pelayanan perizinan meliputi :
Kota
Jaringan LAN/ Internet/ Wifi Touchscreen antrian Touchscreen informasi (persyaratan izin, status proses, buku tamu, dll) Penggunaan software untuk mengontrol aktivitas komputer lain (komputer admin dapat memantau komputer-komputer lain yang sedang digunakan untuk aktivitas diluar kepentingan kantor, misal game/ BBM/ dll.)
25
No.
Nama PTSP
7.
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen
8.
Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Optimalisasi Penggunaan IT Informasi izin dan beberapa Formulir Izin dapat di download dari website www.perizinan.jogjakota.go.id Aplikasi SIM perizinan (SIM HO, TDP, SIUP, IMB, Aplikasi pendaftaran, SMS Gateway) Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen telah secara maksimal dalam penggunaan IT dalam memberikan pelayanan perizinan. Terkait dengan kemajuan dalam sistem pelayanan tersebut, maka BPTPM telah dijadikan rujukan nasional oleh Kementerian PanRB. Sofware 1. Pelayanan berbasis web: Pembuatan Sistem aplikasi pelayanan perizinan terpadu berbasis web untuk semua jenis perizinan 2. Dokumen management sistem (digital office): Berkas dokumen permohonan setelah diproses dilakukan scanner dan disimpan dalam server dan hard disk external 3. Pengembangan Modul Aplikasi Perizinan Terpadu : Pengembangan meliputi modul Izin Harian URC, Modul Pencarian Data dan Modul Monitoring dan Eksekutif Summary Aplikasi Perizinan 4. Barcode system: Semua dokumen perizinan yang telah diterbitkan ditandai dengan nomor random barcode 5. Website 4 (empat) bahasa (Inggris, Jepang, Cina, Korea): Memberikan kemudahan sistem pelayanan informasi perizinan di Jawa Timur 6. Sistem Tracking: Sistem aplikasi proses perizinan yang terjadwal setiap tahapan penyelesaian dari awal sampai izin diterbitkan 7. Pengembangan Modul GIS (Geagraphic Information System): Aplikasi Geographic Information System (GIS) untuk mendeteksi titik koordinat lokasi wilayah, Visualisasi fisik menggunakan peta bumi (Google Map), sebagai inventarisasi data secara lebih akurat 8. Dokumen Management Solution: Sistem Aplikasi management dokumen menggunakan ELO Software yang di integrasikan dengan aplikasi perizinan untuk fitur Mobile Sign 9. Aplikasi e-Office: Membangun Aplikasi untuk menunjang kegiatan surat menyurat dinas Hardware 1. Pengadaan Server Aplikasi dan Database: Pengadaan Server database untuk menyimpan seluruh data dari sistem aplikasi perizinan terpadu berbasis web 2. CCTV System: Sistem penunjang untuk memonitor segala kegiatan yang terjadi di areal Pelayanan, sebagai bagian dari sistem pengamanan
26
No.
Nama PTSP
Optimalisasi Penggunaan IT 3. Aplikasi Sistem Antrian: Sistem penunjang kegiatan pelayanan terhadap pemohon izin dengan pembuatan sistem aplikasi antrian elektronik 4. Aplikasi Touch Screen IKM: Mesin berbentuk Kiosk yang dilengkapi layar touchscreen dan Aplikasi IKM yang dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam memberikan penilaian pelayanan yang diberikan. 5. Pengadaan Data Center: Pembangunan sistem hardware yang meliputi Server, Jaringan, Storage, Firewall, UPS Backup Power untuk menunjang sistem aplikasi pelayanan perizinan terpadu. 6. Peningkatan dan Optimalisasi Hardware Data Center: Peningkatan Hardware antara lain Server Database dan Server Web serta Software Virtualisasi for Server 7.
Internet Protokol Television (IPTV) Solution: Sistem software komunikasi Client - Server yang digunakan untuk mem-broadcast video atau informasi multimedia melalui jaringan data yang ada
9.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta telah membarikan pelayanan perizinan yang maksimal kepada masyarakat melalui dukungan sistem IT dengan pelayanan online. Sistem layanan SMS gateway salah satu layanan berbasis IT yang telah dikembangkan oleh BPMPT Kota Surakarta.
10.
Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
Pelayanan perizinan di KPPT Kabupaten Kediri belum didukung dengan penggunaan IT yang memadai.
11.
Badan Perizinan (BPPT) Sidoarjo
Pelayanan Terpadu Kabupaten
Implementasi Paket Perizinan (Online) sudah berbasis tandatangan elektronik
12.
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
Dukungan IT sudah penuh dengan adanya sistem Surabaya Single Window. Sistem yang dibangun juga terkait dengan availability dari izin yang akan diajukan, masih memungkinkan tidak dengan sistem C-MAP sebagai info tata ruang
e. Komitmen pimpinan
dan
dukungan
Dari seluruh PTSP yang menjadi lokus (terpilih) dasar hukum kelembagaan PTSP diatur dengan Peraturan
Daerah (Perda). Uraian secara lengkap mengenai dasar hukum pembentukan PTSP tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.5 sebagai berikut.
27
Tabel 3.5 Komitmen dan Dukungan Pimpinan No.
Komitmen Pimpinan Terhadap Pelayanan Perizinan
Nama PTSP
1.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta
2.
Badan Penanaman (1) Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
3.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung
4.
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi
5.
Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga
6.
Dinas Perizinan Yogyakarta
7.
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen
8.
Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur
Kota
Aspek komitmen pimpinan terhadap BPMPTSP untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu dukungan pimpinan terhadap BPMPTSP Kabupaten Purwakarta selama ini cukup besar. Komitmen dan dukungan pimpinan terhadap peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui BPMPTSP Provinsi sangat tinggi. Hal ini dibuktikan dengan berbagai prestasi yang dicapai BPMPTSP selama ini. Dukungan dan komitmen pimpinan terhadap Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung sangat tinggi terbukti dengan berbagai layanan online telah dikembangkan. Aspek komitmen dan dukungan pimpinan terhadap KPPT cukup baik, sehingga KPPT Kota Cimahi terus berkembang dan saat ini kelembagaannya berkembang menuju Badan Pelayanan Perizinan Terpadu. Dukungan pimpinan terhadap Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga cukup tinggi, sehingga banyak kerjasama investasi asing yang telah menanamkan modalnya di Kabupten Purbalingga. Walikota mendelegasikan kewenangan penyelenggaraan perizinan meliput pemberian, penolakan, pembatalan, pengawasan dan pencabutan izin kpd Dinas Perizinan, Kecamatan dan SKPD Teknis. Pergantian pimpinan daerah selama ini tidak membuat Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal Kabupaten Sragen menurun kinerjanya, namun bahkan lebih meningkat dan menjadi rujukan nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa dukungan dan komitmen pimpinan sangat tinggi. - Berdirinya P2T merupakan inisiatif Gubernur Soekarwo yang ingin mewujudkan keinginan lama dalam menyederhanakan birokrasi pelayanan perizinan dalam berbagai aspek.P2T diwujudkan dalam bentuk lembaga perizinan satu atap satu pintu (One stop Service) bukan satu atap banyak pintu (One Roof Service). Kantor P2T bukan berfungsi terminal yang berfungsi untuk mendistribusikan ke dinas atau SKPD terkait. Kantor UPT P2T berfungsi integratif yakni sebagai penerima, penyeleksi, memproses menerbitkan dan mengeluarkan perizinan.
29
No.
Nama PTSP
9.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta
10.
Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
11.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo
12.
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
Komitmen Pimpinan Terhadap Pelayanan Perizinan - UPT P2T ditetapkan sebagai pilot project zona integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) : 1. Instrumen Yang Dibangun: Sistem Pengelolaan Keuangan (Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Belanja, Pengawasan, Pertanggungjawaban, Pelaporan) 2. Aktualisasi: MOU PEMPROV – KPK 3. Objek/Subyek Pelaku: Pengelolaan Keuangan di UPT Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T) Badan Penanaman Modal Prov. Jatim. 4. Output: Akuntabilitas, Transparansi Pengelolaan Keuangan Daerah 5. Outcome: Optimalisasi Pencapaian Kinerja 6. Manfaat: Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat 7. Impact: Bebas Korupsi untuk Mengurangi Kemiskinan Estafet kepemimpinan daerah sejak Joko Widodo hingga Walikota saat ini tetap memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap peningkatan kualitas pelayanan yang diberikan oleh Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta. Komitmen pimpinan terhadap pelayanan perizinan di Kota Kediri sudah cukup tinggi, walaupun pelaksanaan perizinan dan penanaman modal masih dilakukan secara terpisah oleh BPM dan PTSP. Pimpinan terus meningkatkan pelayanan a.l : 1. penerapan ISO 9001 : 2008 2. Sistem Informasi Pelayanan Perizinan Terpadu (SIPPADU) secara online dan tracking system. 3. Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) 4. New Mobile Service (Pelayanan perizinan usaha). Tahun 2016 akan diciptakan Smartcard untuk setiap jenis pelayanan. Dukungan walikota Surabaya sangat penuh terhadap UPTSA. Dukungan nyata dengan pembangunan IT secara menyeluruh.
2. Signifikansi (tingkat kepentingan) Masing-Masing Aspek
tersebut dapat dilihat pada masingmasing PTSP sebagai berikut:
Berdasarkan hasil validasi diperoleh data persepsi pimpinan masing-masing PTS terkait dengan tingkat kepentingan (signifikansi) aspek-aspek utama dalam mendukung keberhasilan dan tingkat kinerja PTSP selama ini. Data persepsi
a. BPMPTSP Kabupaten Purwakarta
30
Pimpinan dan jajaran BPMPTSP Kabupaten Purwakarta memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspek-aspek pembentuk Profil Best Practices sebagai berikut:
1) dasar hukum pembentukan BPMPTSP dengan nilai sebesar 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi BPMPTSP; 2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 80, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait; 3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 80; 4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan memiliki nilai terendah yaitu 50, hal ini bukan berarti peranan IT tidak penting dalam mendukung pelayanan perizinan, tetapi penggunaan IT di BPMPTSP belum optimal, beberapa sistem masih dalam proses pengerjaan; 5) sedangkan untuk aspek komitmen pimpinan terhadap BPMPTSP untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran BPMPTSP Kabupaten Purwakarta memberikan nilai 100. b. BPMPTSP Provinsi Jawa Barat Pimpinan dan jajaran BPMPTSP Provinsi Jawa Barat memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspek-aspek pembentuk Profil Best Practices PTSP seluruhnya dengan skor nilai 100. Hal ini menunjukkan bahwa 5 (lima) aspek tersebut mutlak harus terpenuhi, agar sebuah PTSP dapat berkinarja tinggi atau menjadi best practices. Uraian
secara lengkap terkait dengan penilaian tersebut sebagai berikut: 1) terhadap dasar hukum pembentukan BPMPTSP diberi skor nilai 100, hal ini menunjukkan bahwa dasar hukum pembentukan PTSP mutlak harus ada dan memiliki kedudukan hukum yang kuat; 2) aspek kelembagaan juga diberi bobot 100, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegan peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait; 3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang sangat penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 100; 4) IT menjadi kunci utama dalam proses pelayanan perizinan secara modern saat ini. Oleh karena itu dukungan IT menjadi mutlak dalam proses pelayanan perizinan secara online. Penilaian terhadap pentingnya IT dalam proses pelayanan perizinan diberi skor nilai 100; 5) Komitmen pimpinan terhadap peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui BPMPTSP juga sangat mutlak diperlukan. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran BPMPTSP Provinsi Jawa Barat memberikan nilai 100. c. BPPT Kota Bandung Uraian penilaian mengenai pentingnya aspek-aspek pembentuk BPPT Kota Bandung menjadi salah satu PTSP yang berkinerja tinggi dapat dilihat sebagai berikut: 1) terhadap dasar hukum pembentukan BPPT Kota Bandung diberi skor nilai sebesar 100, artinya
31
bahwa dasar hukum yang kuat bagi BPPT mutlak ada;
mempersulit koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait.
2) terkait dengan aspek kelembagaan diberi bobot 99, hal ini juga menunjukkan bahwa kelembagaan BPPT memegang peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait;
3) aspek pelimpahan kewenangan memberikan penilaian yang sangat tinggi yaitu 100, artinya bahwa pelimpahan kewenangan menjadi sangat mutlak agar KPPT dapat memberikan pelayanan perizinan secara cepat dan tepat;
3) untuk aspek pelimpahan kewenangan juga mendapat nilai sangat tinggi yaitu 100, artinya bahwa pelimpahan kewenangan dalam penandatanganan perizinan merupakan unsur yang sangat penting bagi BPPT untuk dapat berkinerja tinggi; 4) peran IT dalam proses pelayanan perizinan juga dinilai sangat tinggi dan diberi skor nilai 100; 5) tidak kalah pentingnya terhadap komitmen dan dukungan pimpinan terhadap BPPT dalam memberikan pelayanan perizinan. Oleh karena itu. Oleh karena itu, terkait dengan komitmen dan dukungan pimpinan juga diberi nilai 100. d. KPPT Kota Cimahi Terhadap aspek-aspek pendorong pembentukan PTSP berkinerja tinggi, pimpinan dan jajaran KPPT Kota Cimahi memberikan nilai bervariasi. 1) terhadap pentingnya dasar hukum pembentukan KPPT diberi nilai 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi KPPT; 2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 70, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan KPPT dipandang masih kurang optimal. Dengan kelembagaan Kantor secara psikologis dan teknis akan
32
4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan diberi bobot nilai 80, mengingat penggunaan IT di KPPT dipandang belum optimal, beberapa sistem masih dalam proses pengembangan; 5) aspek komitmen pimpinan terhadap KPPT untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran KPPT Kota Cimahi memberikan nilai 100. e. KPMPT Kabupaten Purbalingga Pimpinan dan jajaran KPMPT Kabupaten Purbalingga memberikan penilaian tingkat pentingnya aspekaspek pembentuk Profil Best Practices dengan tingkat variasi yang cukup ekstrim sebagai berikut: 1) pentingnya dasar hukum pembentukan KPMPT dengan nilai sebesar 100, nilai ini merupakan yang tertinggi diantara aspekaspek yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa dasar hukum merupakan aspek yang utama dan terpenting dari aspek lainnya; 2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot sedikit lebih rendah yaitu 70, yang menunjukkan bahwa kelembagaan KPMPT yang sekarang masih dalam bentuk Kantor, sehingga berpengaruh terhadap Efektivitas koordinasi dengan SKPD terkait; 3) aspek pelimpahan kewenangan dinilai memiliki tingkat
kepentingan yang terendah yaitu 60, ini artinya bahwa pelimpahan kewenangan dipandang tidak terlalu penting terhadap suksesnya KPMPT dalam memberikan pelayanan perizinan; 4) sedangkan terkait dengan penggunaan IT dalam proses pelayanan perizinan diberikan nilai yang tinggi yaitu 80, hal ini membuktikan bahwa IT memiliki peran yang penting dalam mendukung pelayanan perizinan; 5) Untuk aspek komitmen pimpinan terhadap KPMPT juga dinilai tinggi yaitu 80, ini membuktikan bahwa komitmen dan dukungan pimpinan merupakan hal yang sangat mutlak bagi keberlangsungan. KPMPT Kabupaten Purbalingga dalam memberikan pelayanan perizinan. f. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Berdasarkan hasil validasi di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, dapat diketahui bahwa dari seluruh aspekaspek yang berpengaruh terhadap kinerja Dinas Perizinan diberikan nilai yang sangat penting dengan skor nilai 100. Uraian penilaian terhadap aspekaspek tersebut dapat disampaikan sebagai berikut: 1) terhadap dasar hukum pembentukan Dinas Perizinan diberi skor nilai sebesar 100, ini menunjukkan bahwa dasar hukum pembentukan Dinas Perizinan merupakan hal yang sangat vital. Hal ini dapat disampaikan bahwa untuk dapat memberikan pelayanan perizinan terbaik perlu dukungan dasar hukum Dinas Perizinan yang kuat. 2) aspek kelembagaan juga dinilai 100, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP juga sangat penting yang dalam mendukung efektivitas koordinasi;
3) terkait dengan aspek pelimpahan kewenangan, Dinas Perizinan menilai bahwa ini adalah merupakan faktor kunci untuk dapat memberikan perizinan yang paripurna. Untuk kondisi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta, pelimpahan kewenangan bahwkan diikuti dengan tim teknisnya sekaligus. Artinya seluruh proses peninjauan lapangan dilakukan sendiri oleh Dinas Perizinan. Oleh karena itu, Dinas Perizinan memberi skor nilai sebesar 100. 4) dukungan IT juga dipandang sangat vital bagi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat. Hal ini terbukti bahwa seluruh proses perizinan di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta seluruhnya berbasis IT. Oleh karena itu, Dinas Perizinan Kota Yogyakarta memberikan nilai terhadap pentingnya IT sebesar 100; 5) terkait aspek komitmen pimpinan terhadap Dinas Perizinan Kota Yogyakarta untuk memberikan pelayanan perizinan yang dapat memuaskan masyarakat, diberi nilai sebesar 100. Hal ini mengindikasikan bahwa begitu pentingnya kpmitmen dan dukungan pimpinan terhadap Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Data empiris telah membuktikan bahwa dengan adanya pergantian pucuk pimpinan daerah, komitmen ini masih tetap tinggi, sehingga Dinas Perizinan Kota Yogyakarta tetap memberikan kinerja yang tinggi walaupun telah berganti pimpinan daerah. g. BPTPM Kabupaten Sragen Pimpinan dan jajaran BPTPM Kabupaten Sragen memberikan penilaian tingkat kepentingan terdap aspek-aspek pembentuk Profil Best Practices sebagai berikut:
33
1) dasar hukum pembentukan BPTPM dengan nilai sebesar 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi BPTPM; 2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 100, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait; 3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang sangat fital dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 100; 4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan juga diberi bobot nilai 100. 5) sedangkan untuk aspek komitmen pimpinan terhadap BPTPM untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak, namun mengingat BPTPM merupakan salah satu PTSP yang sudah mapan, maka dukungan pimpinnan dianggap tidak terlalu signifikan lagi, sehingga diberi bobot nilai sebesar 70. h. P2T Provinsi Jawa Timur Pimpinan dan jajaran P2T Provinsi Jawa Timur memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspekaspek pembentuk Profil Best Practices bervariasi sebagai berikut: 1) dasar hukum pembentukan P2T dengan nilai sebesar 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi P2T;
34
2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 80, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait; 3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 90; 4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan memiliki nilai yang sangat penting sehingga diberi bobot 100; 5) sedangkan untuk aspek komitmen pimpinan terhadap P2T untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran P2T Provinsi Jawa Timur memberikan nilai 100. i. BPMPT Kota Surakarta Pimpinan dan jajaran BPMPT Kota Surakarta memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspekaspek pembentuk Profil Best Practices sebagai berikut: 1) dasar hukum pembentukan BPMPT dengan nilai sebesar 90, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi BPMPT; 2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 100, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan sangat penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait;
3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 100; 4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan memiliki nilai 100, hal ini mengingat dukungan IT dalam pelayanan perizinan saat ini menjadi mutlak adanya; 5) sedangkan untuk aspek komitmen pimpinan terhadap BPMPT untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran Kota Surakarta memberikan nilai 100.
j. BPM Kota Kediri
4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan memiliki nilai terendah yaitu 80, hal ini bukan berarti peranan IT tidak penting dalam mendukung pelayanan perizinan, tetapi penggunaan IT di BPM cenderung belum optimal, beberapa sistem masih dalam proses pengerjaan; 5) sedangkan untuk aspek komitmen pimpinan terhadap BPM untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran BPM Kota Kediri memberikan nilai 90.
k. BPPT Kabupaten Sidoarjo
Pimpinan dan jajaran BPM Kota Kediri memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspek-aspek pembentuk Profil Best Practices cukup bervariasi sebagai berikut:
Pimpinan dan jajaran BPPT Kabupaten Sidoarjo memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspek-aspek pembentuk Profil Best Practices sebagai berikut:
1) dasar hukum pembentukan BPM dengan nilai sebesar 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi BPM;
1) dasar hukum pembentukan BPPT dengan nilai sebesar 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi BPPT;
2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 90, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait;
2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 90, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait;
3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 90;
3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 90;
35
4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan memiliki nilai 90, hal ini menunjukkan bahwa peranan IT sangat penting dalam mendukung pelayanan perizinan; 5) sedangkan untuk aspek komitmen pimpinan terhadap BPPT untuk memberikan pelayanan terbaik adalah merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran BPPT Kota Sidoarjo memberikan nilai 100.
2) untuk aspek kelembagaan diberi bobot 80, ini menunjukkan bahwa bentuk kelembagaan PTSP yang dalam hal ini berbentuk Badan memegang peranan penting, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan koordinasi dengan tim teknis dan SKPD terkait; 3) aspek pelimpahan kewenangan juga merupakan unsur yang penting dalam kelancaran dan kecepatan proses perizinan, sehingga diberi bobot nilai 70. Hal ini mengingat proses perizinan di UPTSA masih melalui Dinas Teknis. 4) dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan memiliki nilai yang sangat penting, sehingga diberi bobot 100;
l. UPTSA Kota Surabaya Pimpinan dan jajaran UPTSA Kota Surabaya memberikan penilaian tingkat kepentingan terhadap aspekaspek pembentuk Profil Best Practices cukup bervariasi sebagai berikut: 1) dasar hukum pembentukan UPTSA dengan nilai sebesar 100, yang menunjukkan bahwa dasar hukum yang secara umum dalam bentuk Perda memegang peranan sangat penting dalam pelaksanaan tugas dan fungsi UPTSA;
5) untuk aspek komitmen pimpinan terhadap UPTSA untuk memberikan pelayanan terbaik adalah juga merupakan hal yang sangat mutlak. Oleh karena itu pimpinan dan jajaran UPTSA Kota Surabaya memberikan nilai 100. Adapun data signifikansi aspek-aspek utama pembentuk PTSP terbaik secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.6 sebagai berikut.
Tabel 3.6 Matriks Signifikansi Aspek-Aspek Utama Pembentuk Profil PTSP Best Practices Aspek-Aspek Utama No.
Nama PTSP
Dasar Hukum 100
Kelembagaan 80
Pelimp. Kewenangan 80
Penggunaan IT 50
Komitmen Pimpinan 100
1.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta
2.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Provinsi Jawa Barat
100
100
100
100
100
3.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Pemerintah Kota Bandung
100
99
100
100
100
36
4.
Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT) Kota Cimahi
100
70
100
80
100
5.
Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (KPMPT) Kabupaten Purbalingga
100
70
60
80
80
6.
Dinas Perizinan Kota Yogyakarta
100
100
100
100
100
7.
Badan Perizinan Terpadu dan Penanaman Modal (BPTPM) Kabupaten Sragen
100
100
100
100
70
8.
Pelayanan Perizinan Terpadu P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur
100
80
90
100
100
9.
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu (BPMPT) Kota Surakarta
90
100
100
100
100
10.
Badan Penanaman Modal (BPM) Kota Kediri
100
90
90
80
90
11.
Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) Kabupaten Sidoarjo
100
90
90
90
100
12.
Unit Pelayanan Terpadu Satu Atap (UPTSA) Kota Surabaya
100
80
70
100
100
B. ALTERNATIF DESAIN MODEL PENGELOLAAN PTSP TERBAIK
B
erdasarkan studi awal melalui beberapa kali FGD dan hasil validasi 12 profil best practices PTSP tersebut di atas, dapat disusun model pengelolaan PTSP kedepan yaitu : Model I: Paket Lengkap Reformasi Perizinan, Model 2: PTSA Plus Paket Reformasi lain, Model 3: PTSP Berjenjang Hingga Kelurahan, Model 4: PTSP Bermodel Generik. Deskripsi dari masing-masing model pengelolaan PTSP tersebut sebagai berikut. 1.
Model I : Paket Reformasi Perizinan
inovasi Tata Kelola Ekonomi Daerah (TKED) yang menyangkut perizinan dan diregulasi terkait dengan inovasi pengelolaan fiscal (APBD) dan Aset, Inovasi pelayanan dasar bidang kesehatan dan pendidikan.
Level perubahan
Debirokratisasi pada efisiensi business process, de-regulasi dengan fokus pada rasionalisasi perizinan.
Jenis perubahan
Efisiensi business process meliputi : pelayanan se-cara
Lengkap
Model ini menekankan pada prosedur, biaya, syarat dan substansi/materi perizinan, deregulasi dan debirokratisasi sebagai satu paket reformasi dalam pelayanan perizinan usaha. Adapun lingkup reformasi difokuskan pada :
36
Area perubahan
terpadu, e-service: online, touchscreen, penggabungan prosedur, sistem parallel rumpun perizinan.
perizinan tertentu, penghapusan beberapa syarat administrasi, penghapusan biaya (pajak dan retribusi).
Rasionalisasi perizinan meliputi: menghapuskan jenis
Adapun desain Model Paket I tersebut, dapat dilihat pada gambar 3.1 sebagai berikut:
Area Perubahan
Gambar 3.1 Model 1 : Paket Lengkap Reformasi Perizinan 2. Model II : PTSA Reformasi Lain
Plus
Paket
Model ini lebih menekankan adanya media centre atau berupa single window sistem untuk mendukung pelayanan perizinan yang dalam hal ini dilaksanakan oleh PTSP. Model
perizinannnya bukan one stop service tetapi justru another stop service. Desain model II : PTSA Plus Refomasi Lain dapat dilihat pada Gambar 3.2 sebagai berikut.
37
Gambar 3.2 Model II : PTSA Plus Reformasi Lain 3. Model III: PTSP Berjenjang Hingga Kelurahan Model ini lebih menekankan pada birokrasi perizinan 4 tingkat terintegrasi, dimana masing-masing tingkatan memiliki peran dan tugas masing-masing yang merupakan satu kesatuan sistem terintegrasi. Tingkat I
Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP) memiliki peran terkait dengan kebijakan, pengawasan dan layanan.
Tingkat II
Kantor PTSP memiliki peran pengawasan dan layanan.
Tingkat III
Satpel Kecamatan memiliki peran memberikan layanan.
Tingkat IV
Satpel Kelurahan memiliki peran memberikan layanan
Secara lebih detail model III PTSP Berjenjang Hingga Kelurahan dapat dilihat pada Gambar 3.4 sebagai berikut.
43
Gambar 3.4 Model III : PTSP Berjenjang Hingga Kelurahan Selanjutnya terkait dengan penyempurnaan business processnya untuk Model III : PTSP 4 Level
Terintegrasi dapat dilihat pada Gambar 3.5 sebagai berikut.
Gambar 3.5 Business Process Pelayanan Perizinan 4 Tingkat Terintegrasi
39
4. Model IV : PTSP Bermodel Generik Model ini menekankan pada prosedur pelayanan perizinan umum (generik) tanpa desain business process yang spesifik. Variasi antar PTSP terlihat pada: (a) dukungan infrastruktur (IT); (b) keterkaitan dengan SKPD; (c)
jumlah perizinan; (d) lokasi pembayaran retribusi; (e) loket pengaduan, dan seterusnya. Desain PTSP Bermodel Generik tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.6 sebagai berikut.
Gambar 3.6 Model IV : PTSP Bermodel Generik Berdasarkan bebebrapa model tersebut di atas, dapat disampaikan bahwa Profil Best Practices Model Pengelolaan PTSP berdasarkan Kriteria dari Praktik di Lapangan adalah sebagai berikut: 1. Dasar hukum: kelembagaan PTSP diatur Perda, sementara pelimpahan urusan perizinan bisa dengan Perkada. 2. Otoritas perizinan: keputusan pengeluaran/persetujuan dan penandatanganan ada di Kepala PTSP, sementara rekomendasi dan koordinasi bisa melibatkan SKPD terkait. 3. Business Process: PTSP menjadi titik akses tunggal perizinan baik dalam skala kewenangan [bermula-berproses-
40
berakhir di PTSP] maupun cakupan urusan [PTSP sbg operator semua perizinan dengan atau tanpa pelibatan SKPD lain]. 4. Pengendalian & pengawasan atas praktik perizinan melekat dalam fungsi penanaman modal [PTSP terintegrasi dlm BPMD: PTSP-BPMD Perpres No.97/14], berkoordinasi dgn SKPD. 5. Berbasis IT: integrasi data dalam satu pangkalan [database], pengurusan izin, akses dan pengecekan oleh publik dan informasi ke Provinsi/Pusat. 6. Sustainabilitas: inovasi atau best practices yang berbasis figur [Kepala Daerah atau Kepala PTSP] bertransformasi ke
kekuatan sistem [dari dukungan publik yang terlibat dalam proses reformasi, dasar hukum yang kokoh, hingga institusionalisasi dan budaya birokrasi]. 7. Paket komplit : baik bersamaan maupun berurutan dilakukan proses
debirokrasi dan deregulasi yang melembaga dalam kerja dari PTSP. Pada akhirnya uji efektivitas dan butki kontribusi PTSP adalah pada realisasi kinerja dlm pengurusan izin [waktu, biaya, syarat, prosedur] maupun animo warga utk mengurus perizinan [legalisasi usaha].
C. ARAH MODEL PELAYANAN PERIZINAN KEDEPAN Dari hasil validasi dapat diketahui bahwa harapan kedepan terhadap pelayanan perizinan dari masing-masing PTSP menunjukkan pandangan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Data terkait dengan hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. BPMPTSP Kabupaten Purwakarta Ekspektasi BPMPTSP Kabupaten Purwakarta kedepan terhadap model pelayanan perizinan sebagai berikut: a. Strategi menarik Tim Teknis ke PTSP; b. PTSP yang menjemput bola ke Dinas Teknis; c. Proaktif ke Dinas Teknis; d. Didukung anggaran yang memadai; e. SDM di PTSP betul-betul yang mempunyai kemampuan bidang IT dan teknis; f. Perlu dukungan kepala daerah yang tinggi (jangan diserahkan kepalanya dipegang ekornya); g. Sarana dan prasarana ditingkatkan; h. Perlu penyederhanaan persyaratan, mengajukan izin dengan persyaratan tunggal; i. Kalau kembali lagi tidak efektif, set back kebelakang kalau tidak diwadahi PTSP; j. Saat ini PTSP masih menjadi pilihan dan perlu diperkuat dengan terobosan-terobosan baru. 2. BPMPTSP Provinsi Jawa Barat Ekpektasi BPMPTSP Provinsi Jawa Barat model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut:
a. Kedepan model tidak harus PTSP, tetapi yang terpenting dapat mempercepat dan menyederhanakan proses perizinan. b. Desentralisasi perizinan dengan membuka gerai-gerai di Kabupaten/Kota. c. Menyusun model Pelayanan Perizinan: (1) Generasi satu perizinan menyebar di masing-masing SKPD; (2) Generasi dua PTSA; (3) Generasi tiga PTSP; (4) Generasi empat Penggabungan dengan Kabupaten/Kota; (5) Generasi lima Penggabungan Pusat, Kab/Kota dengan Provinsi. 3. BPPT Pemerintah Kota Bandung Ekpektasi BPPT Kota Bandung tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. Sistem harus ada perbaikan secara terus menerus; b. Sistem pengembangan sistem untuk mewujudkan transparansi, sehingga dapat menghilangkan percaloan; c. Tidak diperlukan lagi front office karena sudah IT based; d. Perlu langkah-langkah simplifikasi proses perizinan dari yang ada sekarang 10 langkah menjadi 3 langkah; e. Untuk mengajukan permohonan perizinan, masyarakat tidak perlu lagi datang ke PTSP karena sudah dapat mendaftar dan memonitor
41
dari rumah dan hasilnya diantar ke rumah. f. Persoalan kultur harus diselesaikan dan dipaksa dengan sistem. 4. KPPT Kota Cimahi Ekpektasi KPPT Kota Cimahi tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. PTSP bukan satu-satunya model yang dipandang bagus dalam pemberian pelayanan perizinan, yang penting masyarakat mendapat haknya dalam pelayanan yang cepat, mudah dan transparan. Oleh karena itu, model apapun tidak menjadi masalah; b. Adanya peningkatan status kelembagaan menjadi Badan; 5. KPMPT Kabupaten Purbalingga Ekpektasi KPMPT Kabupaten Purbalingga tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. Kapasitas kelembagaan harus meningkat, agar koordinasi dan sinkronisasi dengan seluruh SKPD teknis dapat berjalan secara optimal; b. Model kelembagaan perlu ditingkatkan lagi menjadi dinas atau badan agar dapat memudahkan koordinasi dengan SKPD terkait c. Perlunya sinkronisasi kebijakan dari Pemerintah Pusat agar PTSP di daerah tidak perlu mencari solusi atas perbedaan kebijakan. d. Harapan adanya integrasi sistem terpadu yang selama ini dikeluarkan beberapa kementerian e. Perlu ada penguatan status dan peran tim teknis yang ada di masing-masing SKPD. 6. Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Ekpektasi Dinas Perizinan Kota Yogyakarta tentang model pelayanan
42
perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. Konsep PTSP adalah pelayanan, apakah bentuknya dinas, badan, kantor ataupun unit, yang utama adalah memberikan pelayanan yang terbaik dan berkualitas kepada masyarakat. b. Pelayanan perizinan yang diberikan kepada masyarakat harus selalu lebih cepat, mudah, murah dan ramah. c. Peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat selalu dilakukan dengan inovasi pelayanan perizinan. d. Ada sinergitas dan kolaborasi antara fungsi pelayanan perizinan dan penanaman modal, misalnya penanaman modal digabung dengan pelayanan perizinan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi. 7. BPMPT Kota Surakarta Ekpektasi BPMPT Kota Surakarta tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. Untuk jenis perizinan dengan skala kecil yang selesai di Kecamatan dan Kelurahan ya harus menjadi kewenangan mereka; b. Proses perizinan selesai di Kecamatan atau di Kelurahan, tetapi datanya harus diintegrasikan dengan Pemerintah Kota untuk perbaikan kebijakan; c. Kedepan kewenangan harus diserahkan penuh, jangan digondeli. 8. BPTPM Kabupaten Sragen Ekpektasi BPTPM Kabupaten Sragen tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. Model pelayanan perizinan ke depan tetap PTSP, tetapi pendekatannya digital;
b. Harus sudah berubah pola, kedepan SDM lebih sedikit, karena sudah digital; c. Sistem teritegrasi dari berbagai stakeholders; d. Terintegrasi dengan data based kependudukan, perbankan dan kepegawaian dll. 9. P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur Ekpektasi P2T Pemerintah Provinsi Jawa Timur tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut: a. Membuka cabang di 4 Kabupaten, yaitu : Kab. Malang, Kab. Kediri, Kab. Madiun dan Kab. Jember. b. Membuka layanan on line untuk sektor peternakan di check point untuk keluar masuk ternak. c. Membuat mobil pelayanan keliling (2 mobil) d. Peningkatan kapasitas hardware, software dan brainware teknologi informasi e. Penyusunan Naskah Akademik Perubahan Nomenklatur BPM menjadi Badan Pelayanan Perizinan dan Penanaman Modal. f. Penyusunan Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Terpadu. g. Penyusunan Naskah Akademik Insentif Daerah. h. Menyusun Grand Design Sistem Informasi Penanaman Modal 10. BPM Kota Kediri Ekpektasi BPM Kota Kediri tentang model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut:
b. Penyederhanaan jumlah perizinan yang sesuai dengan kebutuhan daerah setempat. c. Penyeragaman bentuk kelembagaan PTSP. 11. BPPT Kabupaten Sidoarjo Ekspektasi BPPT Kabupaten Sidoarjo Provinsi Jawa Timur model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut : a. PTSP diyakini masih dapat memberikan pelayanan yang berkualitas b. Berharap agar ada pelimpahan kewenangan semua izin, dari 73 izin yang adadi BPPT Kabupaten Sidoarjo masih ada 6 izin yang masih ditandatangani oleh Bupati. c. Membuat telaahan penggabungan antara PTSP dan PTSA. 12. UPTSA Kota Surabaya Ekspektasi UPTSA Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur model pelayanan perizinan kedepan antara lain sebagai berikut a. Ada klasifikasi model PTSP dengan melihat kondisi kabupaten/kota di Indonesia dan kompleksitas yang melatar belakanginya. Daerah dengan jumlah pengunjung ± 1000 orang per hari tentu akan berbeda treatment dengan daerah yang pengunjungnya sedikit. b. Jika berbentuk PTSP, pelimpahan kewenangan harus secara keseluruhan. Penandatanganan oleh kepala PTSP dan bisa menggunakan tanda tangan elektronik. c. Petugas UPTSA perlu sertifikasi.
a. Perlunya dukungan sarana yang memadai untuk operasionalisasi penyelenggaraan PTSP.
43
44
45
A
nalisis akan difokuskan pada tiga strategi utama dalam membangun model pelayanan perizinan beyond PTSP (paripurna), yaitu strategi sinkronisasi kebijakan sejak hulu hingga hilir terkait dengan regulasi pelayanan perizinan. Selanjutnya strategi jangka pendek dengan pendekatan penguatan terhadap aspek-
aspek utama yang dapat mendorong peningkatan kinerja PTSP. Adapun strategi ketiga atau jangka panjang adalah membangun model pelayanan perizinan dengan pendekatan one agency one service atau whole of goverment approach dalam rangka menghilangkan silo mentality dan membangun sinergitas dan kolaborasi.
A. Sinkronisasi Regulasi
T
antangan terberat bagi bangsa Indonesia terkait dengan penyelenggaraan pelayanan perizinan adalah masih adanya kebijakan dari hulu hingga hilir (dari pusat sampai daerah) yang satu sama lain saling bertentangan (disharmonisasi) baik itu kebijakan lek spesialis maupun kebijakan masing-masing kementerian (sektoral).
Dalam konteks kebijakan pelayanan perizinan yang berujung pada amanat pembentukan PTSP saja masih terdapat berbagai persepsi yang berbeda-beda antar satu kementerian dan lembaga yang membina pelayanan perizinan. Beberapa kebijakan tersebut antara lain:
Tabel 4.1 Maping Kebijakan Pelayanan Perizinan Dan Amanat Pembentukan PTSP Aspek
PTSP BKPM
PTSP Kemendagri
Dasar hukum pembentukan PTSP
1. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 2. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 3. Perpres No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penenaman Modal. 4. Perka BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penanaman Modal.
1. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. 2. PP No. 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009. 3. Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. 4. Perpres No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penenaman Modal. 5. Permendagri No. 24 Tahun 2006 trntang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. 6. Permendagri No. 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah.
46
Selanjutnya dalam konteks pendefinisian PTSP juga masih terjadi ketidak samaan konsepsi, sehingga dalam tataran praktiknya juga masih terjadi perbedaanperbedaan baik nomenklatur
kelembagaannya maupun eselonisasinya. Perbedaan-perbedaan konsepsi PTSP tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2 sebagai berikut.
Tabel 4.2 Maping Pendefinisian PTSP Berdasarkan Regulasi Yang Ada Aspek
PTSP BKPM
PTSP Kemendagri
Definisi PTSP
Dalam Perpres Nomor 27 tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, disebutkan bahwa Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu Perizinan dan Nonperizinan bidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 menyebutkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yaitu perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas dan fungsi mengelola sermua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah kegiatan penyelenggaraan Perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sarnpai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tersebut juga menginstruksikan kepada pemerintah daerah melakukan: (1) penyederhanaan sistem dan prosedur perizinan usaha; (2) pembentukan lembaga pelayanan perizinan terpadu satu pintu di daerah; (3) pemangkasan waktu dan biaya perizinan; (4) perbaikan sistem pelayanan; (5) perbaikan sistem informasi; (6) pelaksanaan monitoring dan evaluasi proses penyelenggaraan.
Selanjutnya terkait dengan isi (content) kebijakan maka juga diketemukan jenis dan kriteria-kriteria pelayanan perizinan pada masing-masing peraturan yang
menjadi acuan PTSP selama ini. Perbedaanperbedaan isi dari masing-masing peraturan dapat dilihat pada Tabel 4.3 sebagai berikut.
Tabel 4.3 Maping Isi (content) Kebijakan PTSP Aspek Deskripsi Isi (content) Kebijakan
PTSP BKPM Penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal oleh Pemerintah dilaksanakan oleh BKPM atas dasar pelimpahan/ pendelegasian wewenang dari menteri teknis/kepala LPND yang
PTSP Kemendagri Bupati/ Walikota mendelegasikan kewenangan penandatanganan perizinan dan nonperizinan kepada Kepala PPTSP untuk mempercepat proses pelayanan.
47
Aspek
48
PTSP BKPM memiliki kewenangan atas urusan Pemerintah di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah. Sedangkan terkait dengan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah yang diselenggarakan di PTSP BKPM terdiri atas : (1) penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi; (2) urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang meliputi : (a) penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; (b) penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; (c) penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; (d) penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; (e) penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan (f) bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan Pemerintah me-nurut undang-undang. Selanjutnya poin ketiga (3) bahwa penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, meliputi: (a) penanaman modal asing yang dilakukan oleh pemerintah negara lain; (b) penanaman modal asing yang dilakukan oleh warga negara asing atau badan usaha asing; dan (c) penanam modal yang menggunakan modal asing yang
PTSP Kemendagri Lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan atas semua bentuk pelayanan perizinan dan nonperizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota. PPTSP mengelola administrasi perizinan dan nonperizinan dengan mengacu pada prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan keamanan berkas. Perangkat Daerah yang secara teknis terkait dengan PPTSP berkewajiban dan Bertanggungjawab untuk melakukan pembinaan teknis dan pengawasan atas pengelolaan perizinan dan nonperizinan sesuai dengan bidang tugasnya. Jenis izin yang dikeluarkan Pemerintah Daerah mencakup : - Izin Lokasi - Izin Prinsip - Izin Mendirikan Bangunan - Izin Gangguan - Izin Keselamatan Kerja. Jenis perizinan di PTSP Pemerintah Provinsi (BKPMD), meliputi : - Izin Usaha Perikanan (IUP) - Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) 10 GT - 30 GT (30 PK - 90 PK) - Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPII) 10 GT 30 GT (30 PK - 90 PK) - Surat Izin Kapal Pengangkut dan Pengumpul Ikan Indonesia (SIKPPII) (30 PK - 90 PK) - Surat Izin Perusahaan Pemboran (SIPPAT) Air Bawah Tanah - Surat Izin Pemanfaatan Air (SIPA) Bawah Tanah - Surat Izin Pemanfaatan Air (SIPA) Permukaan - Izin Lembaga Penempatan Tenaga Kerja Swasta (LPTKS)
Aspek
PTSP BKPM berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan pada perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain. Jenis persetujuan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Kepala BKPM: - Surat persetujuan penanaman modal dalam negeri; - Surat persetujuan penanaman modal asing; - Surat persetujuan perluasan perluasan penanaman Modal (PMDN/PMA); - Surat persetujuan perubahan penanaman modal (PMDN/PMA) yang meliputi: Surat persetujuan perubahan lokasi; Surat persetujuan perubahan bidang usaha, jenis dan kapasitas produksi. Jenis perizinan yang diterbitkan BKPM: - Angka pengenalan importir terbatas; - Izin usaha/usaha tetap/izin perluasan; - Rencana Penggunaan Tata Kerja Asing (RPTKA); - Rekomendasi Visa Bagi Pengguna Tenaga Kerja Asing (RVPTKA); - Izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; - Perpanjangan izin mempekerjakan tenaga kerja asing yang bekerja di lebih dari satu provinsi; Fasilitasi pembebasan/keringanan bea masuk atas pengimporan barang modal atau bahan baku/penolong dan fasilitas fiscal lainnya.
-
-
-
-
-
-
-
-
-
PTSP Kemendagri Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing Izin Pembentukan Kantor Cabang Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) s.d. 6.000 m3/thn Izin Perluasan IUIPHHK s.d. 6.000 m3/thn Izin Perubahan dan Penggantian Nama Pemegang IUIPHHK s.d. 6.000 m3/thn Izin Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMPU) Izin Usaha Perkebunan (IUP) Lintas Kabupaten / Kota Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) Lintas Kabupaten /Kota Izin Usaha Perkebunan untuk Pengolahan (IUP-P) Lintas Kabupaten / Kota Izin Penyalur Alat Kesehatan (Cabang) Izin Laboratorium Prosthetic (PMDN) Izin Medical Check up Center Izin Klinik Rehabilitasi Medis Izin Klinik Fisioterapi Surat Izin Usaha Perdagangan B2 (Bahan Berbahaya) Pengecer Terdaftar Surat Izin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi (SIUJPT) Usaha Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) Surat Izin Usaha Perusahaan Pelayaran Rakyat (SIUPPER) Pendaftaran Penanaman Modal Izin Prinsip Penanaman Modal Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal
49
Aspek
PTSP BKPM -
Dari perspektif kebijakan yang melandasinya, sesungguhnya pelayanan perizinan dalam tataran implementasinya di lapangan oleh PTSP, masih terjadi disharmoni. Kondisi tersebut mengakibatkan: (1) nomenklatur kelembagaan yang sangat bervariatif, business process PTSP juga sangat bervariatif; (2) kewenangan yang dimiliki PTSP secara umum juga sangat bervariatif; standar pelayanan (waktu, persyaratan, biaya) juga sangat bervariasi.
dalam koordinasi dengan SKPD Teknis, dimana Tim-Tim Teknis sektoral masih berada dan menjadi kewenangan SKPD Teknis. 3.
Selanjutnya dalam konteks pelimpahan kewenangan, ruh PTSP atau mati hidupnya PTSP sangat tergantung kepada pelimpahan kewenangan Pimpinan Daerah yang ada di masing-masing SKPD teknis. Kondisi saat ini bahwa dari keseluruhan totalitas jumlah PTSP yang ada, baru sebagian kecil saja yang memiliki kewenangan penuh dalam memberikan pelayanan perizinan. Selebihnya pelimpahan kewenangan masih menjadi komoditas dan sumber pendapatan di masing-masing SKPD teknis. Berdasarkan konidisi tersebut, maka upaya mempercepat pelayanan perizinan atau simplifikasi business process pelayanan perizinan dipastikan tidak dapat berjalan optimal.
4.
Hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (doing business) selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun diposisi internasional. Kondisi ini terkait dengan sistem penilaian doing business yang menggabungkan seluruh proses pelayanan perizinan, baik proses yang dilakukan di SKPD teknis berupa rekomendasi teknis maupun proses pelayanan yang ada di PTSP. Dari sisi waktu maupun biaya serta persyaratan dihitung menjadi satu kesatuan waktu pelayanan perizinan. Sementara dari sisi PTSP persepsi tentang waktu yang dibutuhkan dalam kemudahan membuka usaha
Kondisi kebijakan pengaturan PTSP yang belum sinkron sebagaimana tersebut di atas, dalam implementasinya membawa dampak yang signifikan terhadap pembentukan lembaga PTSP khususnya dan ketidak efektivan pelayanan perizinan selama ini. Adapun data terkait dengan kinerja pelayanan perizinan yang dilaksanakan oleh PTSP dapat disampaikan sebagai berikut : 1.
2.
50
Dari kurang lebih 498 PTSP baik yang ada di Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota, baru sebagian kecil saja yang memiliki kinerja yang baik sesuai dengan penghargaan-penghargaan yang mereka terima baik dari BKPM maupun dari Kementerian Dalam Negeri (data terlampir). Nomenklatur kelembagaan juga masih bervariasi, ada yang berbentuk Dinas, Badan, Kantor maupun Unit Kerja. Perbedaan-perbedaan nomenklatur kelembagaan PTSP tersebut juga sangat berpengaruh terhadap Efektivitas, efisiensi dan kinerja PTSP tersebut. Hal yang paling mendasar adalah kelembagaan PTSP sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
PTSP Kemendagri Izin Usaha Izin Usaha Perluasan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) Izin Usaha Perubahan
(doing business) adalah waktu pelayanan yang ada di PTSP saja. Kondisi ini akan menjadi problem secara terus menerus dengan konsekuensi Indonesia selalu mendapatkan penilaian pada posisi yang rendah. 5.
6.
Proses kecepatan dan ketepatan dalam memberikan pelayanan perizinan, khususnya terkait dengan tinjauan lapangan sangat dipengaruhi oleh kecepatan kerja tim teknis yang ada di SKPD teknis. Selama ini koordinasi, kolaborasi antara PTSP dengan tim teknis masih menjadi persoalan yang cukup besar. Oleh karena itu kedepan pelayanan perizinan harus dapat menghilangkan kendala-kendala yang lebih disebabkan ketergantungan yang sangat PTSP terhadap keberadaan tim teknis tersebut. Hanya PTSP Pemerintah Kota Yogyakarta yang telah memiliki tim teknis yang keberadaanya secara langsung ada dalam kelembagaan PTSP. Dengan demikian, hampir kecil sekali ketergantungan PTSP terhadap SKPD teknis. Terkait dengan business process yang ada di PTSP, hampir sebagian besar PTSP belum memiliki business process yang jelas, dimana core business (fungsi utama) dan supporting unit (fungsi penunjang) tidak dibangun dengan baik. Artinya bahwa core business PTSP hanya melulu penandatanganan surat izin yang diberikan kepada masyarakat. Tidak ada fungsi pengawasan dan pengendalian perizinan, tidak ada fungsi pencabutan izin dan lain-lain. Dalam konteks ini
PTSP Kota Yogyakarta yang memiliki core business yang jelas, yaitu fungsi pemberian perizinan, penolakan perizinan, legalisasi dan duplikasi perizinan, pengawasan perizinan, pencabutan perizinan, pengaduan perizinan serta pengkajian dan monev perizinan. 7.
Proses pelayanan perizinan (delivery) juga sangat bervariasi, ada pemohon yang harus datang menyampaikan surat perizinan dan datang kembali untuk mengambil hasilnya, adanya juga yang datang menyampaikan permohonan dan hasilnya akan diantar kerumah, ada juga yang pemohon sama sekali tidak datang ke PTSP karena mengajukan permohonan online dan hasilnya diantar kerumah. Tetapi ada juga yang datang mendaftar secara online dan datang kembali mengambil hasilnya, tetapi dia bisa memantau dari rumah sampai dimana proses perizinan berjalan.
8.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dibutuhkan akselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui berbagai inovasiinovasi dan terobosan-terobosan baru dengan mencoba berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak dan bahkan berfikir pada kotak baru. Dalam konteks ini, berfikir dalam kotak yang selama ini selalu mengandalkan dan bergantung pada PTSP dengan segala kekurangannya harus mulai kita tinggalkan dengan mencari dan mendesain model pelayanan perizinan beyond PTSP.
51
B. Strategi Penguatan Pelayanan Perizinan
P
enguatan pelaksanaan fungsi pelayanan perizinan dengan mendesain ulang model pelayanan perizinan yang tidak selalu melalui pendekatan kelembagaan terpadu sebagaimana PTSP selama ini. Karena pendekatan kelembagaan PTSP dalam pelayanan perizinan selama ini ternyata belum dapat memberikan pelayanan perizinan yang betul-betul sesuai dengan yang diharapkan Pemerintah cq. Presiden Joko Widodo yang telah beberapa kali menerbitkan Perpres percepatan pelayanan perizinan. Oleh karena itu, diperlukan model pelayanan perizinan yang lebih inovativ yang benar-benar dapat mewujudkan harapan pemerintah tersebut. Contoh model ini adalah pelayanan perizinan Pemerintah DKI Jakarta yang telah menetapkan waktu pelayanan perizinan 1 (satu) hari untuk seluruh jenis perizinan. Inovasi ini telah melampaui seluruh PTSP di Indonesia yang telah menetapkan waktu rata-rata untuk seluruh jenis perizinan selama 14 (empat belas) hari kerja dengan catatan seluruh persyaratan dan rekomendasi SKPD teknis terpenuhi, bahkan untuk perizinan yang membutuhkan Amdal membutuhkan waktu 4 bulan. Namun demikian inovasi tersebut tidak diakui karena Provinsi DKI Jakarta dianggap tidak mematuhi regulasi yang ada dan tidak mengikuti regim BKPM maupun Kemendagri. Kasus-kasus ini juga dihadapi oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dengan kelembagaan PTSP dalam bentuk Dinas dan Kota Surabaya dalam bentuk Unit. Beberapa strategi akselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan antara lain sebagai berikut: 1. Strategi Jangka Pendek Strategi jangka pendek dilakukan melalui penguatan aspek-aspek dalam PTSP (Model Penguatan). Penguatan mandat (dasar hukum), penguatan bentuk organisasi atau kelembagaan, memperjelas business process pelayanan perizinan, memastikan terwujudnya
52
kualifikasi SDM dan kepemimpinan yang menjadi role model dan saling memampukan. Strategi jangka pendek ini diyakini dapat merubah dan meningkatkan kinerja PTSP secara signifikan. a. Dasar hukum pembentukan PTSP; Dasar hukum pembentukan PTSP menjadi aspek yang sangat penting karena memberikan kepastian terhadap kewenangan yang dimiliki, kemudahan berkomunikasi dengan SKPD teknis, dukungan sumber daya, serta kapasitas organisasi PTSP dalam memberikan pelayanan perizinan. Dasar hukum pembentukan PTSP berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Walikota (Perwali). b. Bentuk kelembagaan/organisasi PTSP; Bentuk (nomenklatur) organisasi PTSP sangat penting dalam mengakselerasi pelayanan perizinan. Efektivitas koordinasi dengan SKPD teknis dalam proses pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh bentuk kelembagaan PTSP, karena kelembagaan PTSP memiliki konsekuensi terhadap tingkat eselonisasi jabatan kepala PTSP. Bentuk kelembagaan PTSP bervariasi, antara lain : Dinas, Badan, Kantor dan Unit. Setiap bentuk kelembagaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda terkait dengan kewenangan, kapasitas organisasi, sumber daya yang dimiliki serta Efektivitas koordinasi dalam proses pelayanan perizinan. c. Pelimpahan kewenangan dari Gubernur, Bupati atau Walikota; Pemberian kewenangan Kepala PTSP untuk menandatangani dan
melegalisasi surat perizinan menjadi aspek yang sangat mutlak agar proses perizinan dapat berjalan secara cepat dan efektif. Pada tataran implementasi, pelimpahan kewenangan menjadi problem terbesar, mengingat masih sebagian besar PTSP belum menerima pelimpahan kewenangan secara penuh. Oleh karena itu, potensi tarik-menarik kewenangan antara PTSP dengan SKPD teknis masih sangat tinggi. Belum lagi adanya kepentingan lain yang juga memiliki potensi cukup tinggi yaitu memperlakukan pelayanan perizinan sebagai sumber pendapatan. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat kualitas pelayanan perizinan. d. Penggunaan IT; Dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan di PTSP saat ini dan kedepan menjadi keharusan, mengingat penggunaan IT (IT based) dalam pelayanan perizinan dapat mendukung percepatan waktu, transparansi dan kemudahan akses bagi masyarakat pengguna layanan. Sebagian besar PTSP, terutama PTSP yang masuk dalam dalam kategori berkinerja tinggi dan baik, telah didukung dengan sistem IT yang memadai. Bahkan beberapa PTSP telah menggunakan sistem online dalam memberikan pelayanan perizinan, sehingga pemohon dapat mengajukan perizinan dari rumahnya dan dapat memonitor jalannnya proses perizinan secara daring. e. Komitmen atau dukungan pimpinan; Tidak dapat dipungkiri bahwa baik buruknya, tinggi rendahnya kinerja PTSP sangat dipengaruhi oleh komitmen pimpinan daerah dan seluruh jajarannya. Pada tataran praktik, PTSP-PTSP yang berkinerja tinggi
dan menjadi best practice profil PTSP pada dasarnya mendapat dukungan atau komitmen pimpinan daerah yang sangat tinggi. Namun disisi lain, juga banyak PTSP yang kinerjanya rendah karena secara riil tidak mendapat dukungan pimpinan daerah yang memadai. Bahkan banyak PTSP yang kinerja menurun yang disebabkan adanya pergantian kepala daerah yang nyata-nyata tidak memiliki kepedulian terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan. 2. Strategi Jangka Menengah Strategi jangka menengah dilakukan melalui Model Akselerasi. Model Akselerasi merupakan kelanjutan dari strategi penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1 melalui berbagai ide baru, kreativitas dan terobosan-terobosan yang dapat lebih mempercepat peningkatan kualitas pelayanan perizinan baik terkait dengan penetapan waktu, jumlah langkah, persyaratan dan biaya. Dengan terwujudnya penguatan aspekaspek utama tersebut, selanjutnya diperkuat dengan berbagai ide baru, kreativitas dan terobosan-terobosan baru yang dapat lebih mempercepat atau mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan oleh PTSP. Ide dan terobosan baru tersebut mulai keluar kotak, yaitu: (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusat-pusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis “gerak cepat” dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini
53
setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan: pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RTRW, pusat informasi pemasaran, pusat informasi ketenagakerjaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut kawasan pelayanan investasi terpadu (KPIT). 3. Strategi Jangka Panjang Strategi jangka panjang dilakukan melalui Model Inovasi. Model Inovasi ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspek-aspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspek-aspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu
juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep wholeof-government (WOG) approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isuisu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat. Gambaran model inovasi pelayanan perizinan beyond PTSP dapat terlihat sebagai berikut:
Gambar 4.1 Model Inovasi Pelayanan Perizinan Beyond PTSP
54
Adapun strategi secara komprehensif dalam membangun model pelayanan perizinan beyond PTSP dapat dilihat pada Road Map Inovasi Pelayanan Perizinan sebagai berikut:
ROADMAP INOVASI PELAYANAN PERIZINAN BEYOND PTSP
Model Inovatif (Kotak Baru) Jangka Menengah (2018-2020) Model Penguatan (Dalam Kotak)
Jangka Penjang (2021-2025)
PELAYANAN PERIZINAN BERKELAS DUNIA 2015
Model Akselerasi (Diluar Kotak) Jangka Pendek 2016-2017
Gambar 4.2 Road Map Inovasi Pelayanan Perizinan
Disamping penguatan terhadap aspek utama tersebut diatas, beberapa aspek dibawah ini dapt mempengaruhi kinerja PTSP. Oleh karena itu aspek–aspek berikut ini juga perlu mendapatkan perhatian dalam menginovasi pelayanan perizinan kedepan. Penguatan aspek – aspek pelayanan perizinan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.3 Penguatan aspek pelayanan Perizinan
55
56
57
B
erdasarkan hasil pembahasan pada bab-bab terdahulu, maka pada bab V ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan lebih pada upaya konkret yang harus dilakukan terhadap 3 strategi yang telah dibangun dalam rangka mewujudkan
model pelayanan perizinan beyond PTSP. Sedangkan rekomendasi lebih pada rencana aksi yang harus dilakukan oleh stakeholder terkait dalam rangka membangun model pelayanan perizinan beyond PTSP.
A. Kesimpulan
B
erdasarkan pembahasan dan analisis Bab-Bab sebelumnya, maka kajian ini dapat menghasilkan kesimpulkan sebagai berikut: 1. Unsur-unsur utama sebagai pendorong PTSP untuk berkinerja tinggi atau menjadi best practices meliputi: a. Dasar hukum pembentukan PTSP; Dasar hukum pembentukan PTSP menjadi aspek yang sangat penting karena memberikan kepastian terhadap kewenangan yang dimiliki, kemudahan berkomunikasi dengan SKPD teknis, dukungan sumber daya, serta kapasitas organisasi PTSP dalam memberikan pelayanan perizinan. Dasar hukum pembentukan PTSP berupa Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbub), dan Peraturan Walikota (Perwali).
b. Bentuk PTSP;
kelembagaan/organisasi
Bentuk (nomenklatur) organisasi PTSP sangat penting dalam mengakselerasi pelayanan perizinan. Efektivitas koordinasi dengan SKPD teknis dalam proses pelayanan perizinan sangat dipengaruhi oleh bentuk kelembagaan PTSP, karena kelembagaan PTSP memiliki konsekuensi terhadap tingkat eselonisasi jabatan kepala PTSP. Bentuk kelembagaan PTSP bervariasi, antara lain : Dinas, Badan, Kantor dan Unit. Setiap bentuk kelembagaan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda terkait
dengan kewenangan, kapasitas organisasi, sumber daya yang dimiliki serta Efektivitas koordinasi dalam proses pelayanan perizinan.
c. Pelimpahan kewenangan dari Gubernur, Bupati atau Walikota;
Pemberian kewenangan Kepala PTSP untuk menandatangani dan melegalisasi surat perizinan menjadi aspek yang sangat mutlak agar proses perizinan dapat berjalan secara cepat dan efektif. Pada tataran implementasi, pelimpahan kewenangan menjadi problem terbesar, mengingat masih sebagian besar PTSP belum menerima pelimpahan kewenangan secara penuh. Oleh karena itu, potensi tarikmenarik kewenangan antara PTSP dengan SKPD teknis masih sangat tinggi. Belum lagi adanya kepentingan lain yang juga memiliki potensi cukup tinggi yaitu memperlakukan pelayanan perizinan sebagai sumber pendapatan. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap tingkat kualitas pelayanan perizinan. d. Penggunaan IT; Dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan di PTSP saat ini dan kedepan menjadi keharusan, mengingat penggunaan IT (IT based) dalam pelayanan perizinan dapat mendukung percepatan waktu, transparansi dan kemudahan akses bagi masyarakat pengguna layanan. Sebagian besar PTSP, terutama PTSP yang masuk dalam dalam kategori berkinerja
57
tinggi dan baik, telah didukung dengan sistem IT yang memadai. Bahkan beberapa PTSP telah menggunakan sistem online dalam memberikan pelayanan perizinan, sehingga pemohon dapat mengajukan perizinan dari rumahnya dan dapat memonitor jalannnya proses perizinan secara daring. e. Komitmen atau dukungan pimpinan; Tidak dapat dipungkiri bahwa baik buruknya, tinggi rendahnya kinerja PTSP sangat dipengaruhi oleh komitmen pimpinan daerah dan seluruh jajarannya. Pada tataran praktik, PTSP-PTSP yang berkinerja tinggi dan menjadi best practice profil PTSP pada dasarnya mendapat dukungan atau komitmen pimpinan daerah yang sangat tinggi. Namun disisi lain, juga banyak PTSP yang kinerjanya rendah karena secara riil tidak mendapat dukungan pimpinan daerah yang memadai. Bahkan banyak PTSP yang kinerja menurun yang disebabkan adanya pergantian kepala daerah yang nyata-nyata tidak memiliki kepedulian terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik khususnya pelayanan perizinan. 2. Beberapa kelemahan potensial yang masih terjadi dalam pelayanan perizinan selama ini, antara lain : a. Dari perspektif kebijakan yang melandasinya, sesungguhnya pelayanan perizinan dalam tataran implementasinya di lapangan oleh PTSP, masih terjadi disharmonisasi. Kondisi tersebut mengakibatkan: (1) nomenklatur kelembagaan yang sangat bervariatif, business process PTSP juga sangat bervariatif; (2) kewenangan yang dimiliki PTSP secara umum juga sangat bervariatif; standar pelayanan (waktu, persyaratan, biaya) juga sangat bervariasi. Kondisi kebijakan pengaturan PTSP yang belum
sinkron tersebut, dalam implementasinya membawa dampak yang signifikan terhadap pembentukan lembaga PTSP khususnya dan ketidak efektivan pelayanan perizinan selama ini. b. Dalam proses pelayanan perizinan PTSP masih sangat bergantung kepada Tim Teknis yang secara legal formal keberadaanya di SKPD-SKPD teknis. Kondisi ini berpotensi menjadi permasalahan permanen dalam dinamika dan diskursus pelayanan perizinan oleh PTSP; c. Terkait dengan pelimpahan kewenangan juga masih menjadi masalah klasik yang tak kunjung selesai. Tarik menarik antara SKPD teknis dengan PTSP dan Kepala Daerah masih kental mewarnai birokrasi pelayanan perizinan secara umum. Orientasi dari para pihak masih seputar sumber yang harus diamankan. Oleh karena itu akselerasi pelayanan perizinan melalui berbagai terobosan belum memberikan hasil yang signifikan atau dapat dikatan masih jalan ditempat. d. Miss pemahaman dalam Doing Business; Hasil penilaian tingkat kemudahan membuka usaha di Indonesia (doing business) selalu menunjukkan posisi Indonesia berada pada ranking terendah di kawasan ASEAN maupun diposisi internasional. Kondisi ini terkait dengan sistem penilaian doing business yang menggabungkan seluruh proses pelayanan perizinan, baik proses yang dilakukan di SKPD teknis berupa rekomendasi teknis maupun proses pelayanan yang ada di PTSP. Dari sisi waktu maupun biaya serta persyaratan dihitung menjadi satu kesatuan waktu pelayanan perizinan. Sementara dari sisi PTSP persepsi tentang waktu yang dibutuhkan dalam kemudahan membuka usaha (doing business) adalah waktu pelayanan yang ada di
59
PTSP saja. Kondisi ini akan menjadi problem secara terus menerus dengan konsekuensi Indonesia selalu mendapatkan penilaian pada posisi yang rendah. e. Business Process PTSP belum clear; Terkait dengan business process yang ada di PTSP, hampir sebagian besar PTSP belum memiliki business process yang jelas, dimana core business (fungsi utama) dan supporting unit (fungsi penunjang) tidak dibangun dengan baik. Artinya bahwa core business PTSP hanya melulu penandatanganan surat izin yang diberikan kepada masyarakat. Tidak ada fungsi pengawasan dan pengendalian perizinan, tidak ada fungsi pencabutan izin dan lain-lain. Business Process yang tepat bagi PTSP, yaitu harus memiliki core business yang jelas, yaitu fungsi pemberian perizinan, penolakan perizinan, legalisasi dan duplikasi perizinan, pengawasan perizinan, pencabutan perizinan, pengadu-an perizinan serta pengkajian dan monev perizinan. 3. Untuk menjawab berbagai permasalahan dalam pelayanan perizinanan oleh PTSP selama ini, maka kedepan diutuhkan alternatif model pelayanan perizinan beyond PTSP, dengan berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak dan bahkan berfikir pada kotak yang baru. Dalam konteks ini, berfikir dalam kotak yang selama ini hanya mengandalkan dan bergantung pada PTSP dengan segala kekurangannya harus kita tinggalkan dengan mencari dan mendesain model pelayanan perizinan beyond PTSP. Kajian ini telah menghasilkan 3 (tiga) model pelayanan perizinan kedepan, yaitu: (1) Model Penguatan; (2) Model Akselerasi; dan (3) Model
Inovatif.
a. Model Penguatan; yaitu upaya peningkat-an kualitas pelayanan perizinan dengan lebih
60
mengoptimalkan dan penguatan implementasi 5 aspek utama dalam PTSP. Penguatan aspek-aspek dimaksud mencakup mandat (dasar hukum), penguatan bentuk organisasi atau kelembagaan, penguatan pendelegasian kewenangan kepada PTSP, memperkuat dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan, memastikan terwujudnya komitmen dan dukungan pimpinan dalam peningkatan kualitas pelayanan perizinan. Denganstrategi jangka pendek melalui model penguatan ini, diharapkan dapat menpercepat peningkatan kinerja PTSP yang berjumlah kurang lebih 498 di seluruh Indonesia. b. Model Akselerasi; Model Akselerasi merupakan kelanjutan dari penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1. Dengan terwujudnya penguatan aspek-aspek utama tersebut, selanjutnya diperkuat dengan berbagai ide baru, kreativitas dan terobosan-terobosan baru yang dapat lebih mempercepat atau mengakselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan oleh PTSP. Ide dan terobosan baru tersebut mulai keluar kotak, yaitu: (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusat-pusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis “gerak cepat” dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan: pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RTRW, pusat informasi
pemasaran, pusat informasi ketenagakerjaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut kawasan pelayanan investasi terpadu (KPIT). c. Model Inovatif. Model Inovatif ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspekaspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep whole-ofgovernment (WOG) approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batasbatas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isu-isu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun informal. Hal terpenting dari WOG WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat.
Dalam model inovatif ini lebih menganut pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) tidak menekankan adanya kelembagaan secara formal, tetapi lebih pada terlaksananya fungsi pelayanan perizinan secara efektif. Secara organisasi dipimpin oleh tim manajemen atau colective colegial dan juga dapat dipimpin secara komisioner; (b) pelayanan perizinan lebih berorientasi sosial, sehingga menghilangkan stigma selama ini bahwa pelayanan perizinan merupakan sumber pendapatan; (c) lebih menekankan adanya koordinasi dan integrasi strategi dari SKPD terkait, sehingga akan menghilangkan ego sektoral atau silo mentality yang selama ini terjadi; (d) lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat; (e) melibatkan masyarakat secara optimal dalam proses kebijakan, proses pelayanan, dan monitoring dan evaluasi (sistem partisipatori). Disamping menghasilkan 3 (tiga) alternatif model pelayanan perizinan beyond PTSP, kajian ini juga menghasilkan 3 strategi dalam membangun pelayanan perizinan beyond PTSP, yaitu berupa strategi jangka pendek (2016-2017); strategi jangka menengah (2018-2020); dan strategi jangka panjang (2021-2025). Ketiga strategi tesebut terintegrasi dengan model pelayanan perizinan yang telah dibangun. Dalam perspektif waktu, strategi tersebut tertuang dalam roadmap inovasi pelayanan perizinan.
B. Rekomendasi
B
erdasarkan kesimpulan di atas, maka rekomendasi yang dapat diberikan dalam kajian ini adalah perlu keberanian untuk mendobrak sistem birokrasi pelayanan perizinan saat ini melalui strategi strategi sebagai berikut:
1. Sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan pelayanan perizinan dan kelembagaan PTSP yang hingga saat ini masih terjadi tumpang tindih, akibat dari banyaknya jenis peraturan perundangan yang dikeluarkan oleh berbagai
61
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah. Kementerian/ Lembaga dan Pemerintah Daerah terkait harus berani mengambil peran, bersinergi dan berkolaborasi untuk mensinkronkan kebijakan penyelenggaraan pelayanan perizinan dari hulu hingga hilir. Jika dipandang perlu pengaturan secara khusus (lek spesialis) terhadap pelayanan perizinan, maka instansi terkait secara bersama-sama perlu segera menginisiasi peraturan perundangan yang mengatur pelayanan perizinan secara clear, sehingga tidak ada persinggungan dengan kebijakan sektoral. 2. Untuk PTSP yang masih dalam kelompok kinerja rendah perlu melaksanakan atau menerapkan strategi jangka pendek yang harus dilakukan, yaitu penguatan terhadap 5 (lima) aspek utama dalam pengelolaan PTSP terhadap kurang lebih 498 PTSP di seluruh Indonesia. Artinya bahwa dibutuhkan gerakan yang masif oleh pemerintah dan seluruh jajaran pimpinan pemerintah daerah untuk secara konsisten memberikan dukungan yang konkret terhadap PTSP melalui: (1) penguatan dasar hukum pembentukan PTSP; (2) penguatan kapasitas kelembagaan PTSP; (3) penguatan kewenangan dan pelimpahan kewenangan secara penuh kepada PTSP; (4) penguatan dukungan IT dalam proses pelayanan perizinan; dan (5) dukungan konkret dari pimpinan daerah berupa penyediaan berbagai sumber daya, reward dan punishment, serta sarana dan prasarana yang memadai. 3. Disamping strategi jangka pendek tersebut diatas, untuk PTSP dalam kelompok kinerja baik, perlu menerapkan strategi akselerasi peningkatan kualitas pelayanan perizinan melalui berbagai inovasiinovasi dan terobosan-terobosan baru dengan mencoba berfikir yang tidak lagi dalam kotak, melainkan mulai keluar kotak. Model Akselerasi merupakan
62
kelanjutan dari penguatan terhadap aspek-aspek dalam Model 1. Beberapa ide dan terobosan baru tersebut antara lain melalui : (a) membangun jejaring pelayanan atau membuka gerai-gerai pelayanan di pusat-pusat perbelanjaan, area-area publik, di Kabupaten/Kota, di tingkat Kecamatan, dan bahkan Kelurahan dan Desa; (b) setiap SKPD teknis membentuk tim teknis “gerak cepat” dalam rangka mempercepat validasi dan verifikasi teknis; (c) pengintegrasian layanan, yaitu integrasi dengan layanan yang terkait langsung maupun yang tidak langsung terkait. Dalam konteks ini setiap layanan PTSP harus berada pada satu kawasan dengan: pusat konsultansi perizinan investasi, pusat informasi peluang investasi, pusat informasi RTRW, pusat informasi pemasaran, pusat informasi ketenagakerjaan, pusat informasi perpajakan atau bisa disebut kawasan pelayanan investasi terpadu (KPIT). 4. Untuk PTSP dalam kelompok kinerja tinggi, perlu menerapkan Model Inovatif. Model Inovatif ini adalah membangun model pelayanan perizinan terpadu yang sama sekali berbeda dengan konsep Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang kita pahami selama ini. Karena secara konseptual dan substansial berbeda, maka aspek-aspek dan sistem pelayanan perizinan terpadu juga berbeda sesuai dengan perkembangan paradigma dan lingkungan strategis yang berubah. Salah satu konsep baru terkait dengan pelayanan publik adalah konsep wholeof-government (WOG) approach, merupakan konsep yang mengadopsi prinsip koordinasi dan integrasi strategi dalam pelayanan serta mengedepankan ilmu sosial. WOG menunjukkan lembaga pelayanan publik yang bekerja melintasi batas-batas sektoral mereka untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi untuk isuisu tertentu. Pendekatan pelaksanaan konsep ini dapat formal maupun
informal. Hal terpenting dari WOG bahwa WOG dapat diterapkan untuk memberi efek keputusan kebijakan pemerintah, untuk meningkatkan konsistensi dan kontrol dan untuk memberikan penghematan dan efisiensi, sehingga kepuasan masyarakat akan meningkat. Dalam model inovatif ini lebih menganut pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) tidak menekankan adanya kelembagaan secara formal, tetapi lebih pada terlaksananya fungsi pelayanan perizinan secara efektif. Secara organisasi dipimpin oleh tim manajemen atau colective colegial dan juga dapat dipimpin secara komisioner; (b) pelayanan perizinan lebih berorientasi sosial, sehingga menghilangkan stigma
selama ini bahwa pelayanan perizinan merupakan sumber pendapatan; (c) lebih menekankan adanya koordinasi dan integrasi strategi dari SKPD terkait, sehingga akan menghilangkan ego sektoral atau silo mentality yang selama ini terjadi; (d) lebih berorientasi kepada kepentingan masyarakat; (e) melibatkan masyarakat secara optimal dalam proses kebijakan, proses pelayanan, dan monitoring dan evaluasi (sistem partisipatori).
63
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. PP Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perizinan Bidang Usaha. Peraturan Kepala BKPM No 12 Tahun 2009 tentang pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal di Indonesia. Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Permendagri No. 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perizinan Terpadu di Daerah. Dadang Mulyana, Pelayanan Terpadu Satu Pintu Bidang Penanaman Modal, Bahan Paparan FGD, LAN 30 Maret 2015, Jakarta. Robert Endi Jaweng, Kelembagaan PTSP Perizinan Usaha: Sejumlah Model Berbasis Praktik Nyata Di Daerah, Bahan Paparan FGD, LAN 30 Maret 2015, Jakarta. Sugiyono, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Di Daerah, Bahan Paparan FGD, LAN 30 Maret 2015, Jakarta. Christensen, Tom.Lagreid, Per. The Whole-Of-Government Approach – Regulation,Performance, And Public-Sector Reform. Stein Rokkan Centre For Social Studies. Unifob As: 2006 finance.gov.au. 2015. What is Whole – of – Government? Tersedia Online (http://www.finance.gov.au/procurement/wog-procurement/wog.html, diakses 11 Desembar 2015) Gregory, R. (2006). Theoretical Faith and Practical Works: De-Autonomizing and Joining-Up in the New Zealand State Sector, in T. Christensen and P. Lægreid (eds.): Autonomy and regulation: Coping with agencies in the modern state. London: Edward Elgar Pollitt, C. (2003a).Joined-up Government: a Survey, Political Studies Review, 1: 34–49. March, J. G. and H. Simon. 1958. Organizations. New York: Wiley. Simon, H.1957. Administrative Behaviour. New York: Macmillan. March, J. G, Olsen, J. P. 1983. Organizing Political Life: What Administrative reorganization Tells Us About Governance», American Political Science Review, 77 (2): 281–296.
64
Sekilas Kontributor 1. Dr. Adi Suryanto, M.Si Dr. Adi Suryanto, M.Si saat ini menjabat sebagai Kepala Lembaga Administrasi Negara. Sebelum menjabat sebagai Kepala LAN, beliau menjabat sebagai Sekretaris Utama LAN. Dr. Adi Suryanto, M.Si menyelesaikan pendidikan di tingkat Sarjana (S1) di bidang Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro Semarang, Master di Bidang Administrasi dan Kebijakan Publik di Universitas Indonesia dan Doktor di bidang Ilmu Politik yang juga diraih di Universitas Indonesia. Beliau memiliki spesialisasi di bidang politik, kebijakan dan penyelenggaraan pemerintahan negara, serta inovasi administrasi negara. Beliau merupakan salah satu tokoh penting dalam transformasi Lembaga Administrasi Negara dan perancang utama pembaharuan Diklat PIM Pola baru. Sekarang ini beliau fokus dalam mendorong percepatan inovasi administrasi negara di Indonesia.
2. Dr. Tri Widodo W. Utomo, SH., MA
3. Prof. Agus Dwiyanto
negara di Indonesia.
Dr. Tri Widodo W. Utomo saat ini menjabat sebagai Deputi Bidang Inovasi Administrasi Negara yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pusat kajian Hukum Administrasi Negara LAN. Beliau adalah salah satu tokoh berpengaruh dalam perkembangan inovasi administrasi negara di Indonesia yang mendorong percepatan inovasi administrasi negara. Memiliki spesialisasi di bidang Hukum tata Negara, Inovasi Administrasi Negara serta Sumber Daya Aparatur Pemerintah. Dr. Tri Widodo W. Utomo baru saja merampungkan pendidikan Doktoral di Bidang Administrasi Negara di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Dimana pendidikan Master of Arts diselesaikan di Nagoya University Jepang sedangkan Pendidikan Sarjana (S1) diselesaikan di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Jurusan Hukum Tata Negara. Prof. Agus Dwiyanto adalah mantan Kepala Lembaga Administrasi Negara yang juga merupakan seorang guru besar Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, FISIPOL UGM. Ia menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di UGM dalam bidang Ilmu Administrasi Negara dan kemudian memperoleh MPA dan Ph.D dalam bidang Public Policy and Management dari University of Southern California, Los Angeles pada 1990. Konsentrasi penelitian beliau yaitu dalam area kependudukan, pelayanan Publik, privatisasi dan Reformasi Birokrasi, governance studies, public service dan desentralisasi serta sudah menulis banyak buku tentang Reformasi Birokrasi, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Beliau adalah peletak dasar (founding Father) inovasi administrasi
65
66