Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Laporan Kajian Prastudi Kelayakan (Draft Final Business Case) TAHUN ANGGARAN 2015
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Laporan Kajian Prastudi Kelayakan (Draft Final Business Case)
Kata Pengantar
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Dalam rangka memulai langkah implementasi pengembangan pelabuhan Baubau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang akan dibangun dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Pemerintah telah melaksanakan Kajian Awal Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) pada Tahun 2013 dengan nama Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara. Agar dapat segera dilaksanakan tender investasi secara KPBU, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, maka tahapan selanjutnya adalah perlu adanya Dokumen Tahap Transaksi, berupa Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business Case), Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum, dan Rancangan Perjanjian Kerjasama). Laporan Draft FInal Business Case (FBC) ini merupakan laporan hasil dari kegiatan Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara. Secara garis besar, Laporan Draft FBC ini telah memuat semua materi yang diisyaratkan dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK). Jakarta, Oktober 2015 Ketua Tim
|i
Daftar Isi
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Bab 1 Pendahuluan 1.1 1.2 1.3 1.4
Latar Belakang ________________________________________________________ 1-1 Maksud & Tujuan ______________________________________________________ 1-2 Keluaran _____________________________________________________________ 1-2 Ruang Lingkup_________________________________________________________ 1-3
Bab 2 Gambaran Umum Lokasi Studi 2.1 Kota Baubau __________________________________________________________ 2-1 2.1.1 Kondisi Fisik Wilayah _____________________________________________ 2-1 2.1.2 Kependudukan __________________________________________________ 2-3 2.1.3 Potensi Wilayah _________________________________________________ 2-4 2.1.3.1 Pertanian _______________________________________________ 2-4 2.1.3.2 Perkebunan _____________________________________________ 2-9 2.1.3.3 Peternakan ______________________________________________ 2-9 2.1.3.4 Perikanan ______________________________________________ 2-10 2.1.4 Perdagangan ___________________________________________________ 2-11 2.1.5 Transportasi ___________________________________________________ 2-15 2.1.5.1 Transportasi Darat_______________________________________ 2-15 2.1.5.2 Transportasi Laut________________________________________ 2-17 2.1.5.3 Transportasi Udara ______________________________________ 2-17 2.1.6 Pariwisata _____________________________________________________ 2-18 2.1.7 Perekonomian __________________________________________________ 2-19 2.2 Pelabuhan Baubau ____________________________________________________ 2-21 2.2.1 Fasilitas Pokok Pelabuhan ________________________________________ 2-21 2.2.2 Armada Angkutan Laut___________________________________________ 2-22 2.2.3 Angkutan Laut Pelabuhan Murhum Baubau __________________________ 2-23 2.2.4 Angkutan Peti Kemas Pelabuhan Murhum ___________________________ 2-25 2.3 Kebutuhan Proyek KPBU Di Pelabuhan Baubau _____________________________ 2-26 2.4 Potensi KPBU di Pelabuhan Baubau ______________________________________ 2-27 2.5 Infrastruktur yang Akan dibangun dengan Skema KPBU ______________________ 2-28 2.6 Pelabuhan Baubau dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baubau __________ 2-29 2.7 Resume Rencana Induk pelabuhan Baubau ________________________________ 2-30 Bab 3 Kajian Hukum dan Kelembagaan 3.1 Analisa Peraturan Perundang-Undangan ___________________________________ 3-1 3.1.1 Aspek Hukum Kepelabuhanan ______________________________________ 3-1 3.1.1.1 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran_____ 3-1 3.1.1.2 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan3-2
| ii
3.1.1.3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan ___________ 3-3 3.1.1.4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas Pelabuhan_______________________________________________ 3-4 3.1.2 Aspek Hukum Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha di bidang Infrastruktur Pelabuhan ___________________________________ 3-5 3.1.2.1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi _____________________________________________ 3-5 3.1.2.2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2010 tentang Pembentukan Simpul Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)_____________________________________________ 3-6 3.1.3 Aspek Pendirian Perusahaan dalam rangka Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha _________________________________________ 3-8 3.1.4 Aspek Hukum Investasi/Penanaman Modal __________________________ 3-12 3.1.5 Aspek Keselamatan Kerja ________________________________________ 3-13 3.1.6 Aspek Hukum Pengadaan Lahan ___________________________________ 3-16 3.1.7 Aspek Pembiayaan ______________________________________________ 3-17 3.1.8 Aspek Hukum Perpajakan ________________________________________ 3-18 3.2 Analisa Mengenai Kebutuhan Peraturan Baru ______________________________ 3-19 3.3 Analisa Jenis-Jenis Perijinan Yang Diperlukan Untuk Proyek _________________ 3-19 3.4 Kajian Kelembagaan___________________________________________________ 3-28 3.4.1 Analisa Kewenangan Kementerian Perhubungan Dalam Penyelenggaraan Proyek _________________________________________ 3-28 3.4.2 Analisa Pemetaan Stakeholders dan Peran Serta Tanggung Jawabnya______________________________________________________ 3-29 Bab 4 Kajian Teknis 4.1 Standar Kinerja Teknis Operasional Pelabuhan______________________________ 4-1 4.2 Kondisi Teknis Lingkungan Pelabuhan _____________________________________ 4-6 4.2.1 Elevasi Pasang Surut______________________________________________ 4-6 4.2.2 Tinggi Gelombang dan Kecepatan Arus ______________________________ 4-6 4.2.2.1 Gelombang ______________________________________________ 4-6 4.2.2.2 Arus ____________________________________________________ 4-6 4.3 Analisis Kebutuhan Fasilitas Perairan______________________________________ 4-7 4.3.1 Panjang, Tinggi Dek, dan Lebar Dermaga ____________________________ 4-7 4.3.2 Tipe Dermaga ___________________________________________________ 4-7 4.3.3 Perencanaan Layout dan Elevasi Penting ____________________________ 4-9 4.3.3.1 Panjang Dermaga_________________________________________ 4-9 4.3.3.2 Alur Pelayaran __________________________________________ 4-12 4.3.3.3 Dimensi Kolam Pelabuhan_________________________________ 4-14 4.3.3.4 Layout Pelabuhan _______________________________________ 4-21 4.3.4 Fasilitas Penunjang _____________________________________________ 4-25 4.3.4.1 Kebutuhan Revertment ___________________________________ 4-25 | iii
4.3.4.2 Fasilitas Navigasi ________________________________________ 4-25 4.4 Konfigurasi Tiang Pancang______________________________________________ 4-25 4.4.1 Konfigurasi Tiang Pancang Dermaga _______________________________ 4-25 4.4.2 Konfigurasi Tiang Pancang Trestle _________________________________ 4-26 4.5 Analisis Kebutuhan Fasilitas Darat _______________________________________ 4-27 4.5.1 Lapangan Penumpukan Peti Kemas ________________________________ 4-27 4.5.2 Pelabuhan Barang Umum/Multipurpose_____________________________ 4-29 4.5.3 Parkir Kendaraan _______________________________________________ 4-30 4.5.3.1 Parkir Truk _____________________________________________ 4-31 4.5.3.2 Parkir Non Truk _________________________________________ 4-32 4.5.4 Perkantoran ___________________________________________________ 4-32 4.5.5 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan ___________________________ 4-33 4.6 Peralatan Penunjang __________________________________________________ 4-33 4.7 Analisis Risiko ________________________________________________________ 4-37 4.8 Estimasi Kebutuhan Biaya Pekerjaan Konstruksi____________________________ 4-40 4.9 Pendapatan dan Manfaat Pelabuhan _____________________________________ 4-41 4.9.1 Pendapatan Pelabuhan __________________________________________ 4-41 4.9.2 Manfaat Pelabuhan______________________________________________ 4-42 Bab 5 Kajian Ekonomi dan Komersial 5.1 Kajian Ekonomi ________________________________________________________ 5-1 5.2 Kajian Komersial_______________________________________________________ 5-3 5.2.1 Keterkaitan Antar Kajian dengan Model Perhitungan Finansial __________ 5-4 5.2.2 Perhitungan Keuangan ____________________________________________ 5-5 Bab 6 Kajian Lingkungan dan Sosial Bab 7 Kajian Bentuk KPBU 7.1 Kajian Bentuk Kerjasama________________________________________________ 7-1 7.2 Penentuan LINGKUP kerjasama___________________________________________ 7-3 Bab 8 Kajian Risiko 8.1 8.2 8.3 8.4 8.5
Umum________________________________________________________________ 8-1 Identifikasi Risiko ______________________________________________________ 8-1 Penilaian Risiko________________________________________________________ 8-2 Alokasi Risiko _________________________________________________________ 8-3 Mitigasi Risiko _________________________________________________________ 8-3
Bab 9 Dukungan Pemerintah dan Penjaminan 9.1 Dukungan Pemerintah __________________________________________________ 9-1 9.2 Penjaminan Pemerintah_________________________________________________ 9-1
| iv
Daftar Tabel
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Baubau___________________________________________1 Tabel 2.2 Data Jumlah Penduduk dan KK Per Kecamatan Kota Baubau tahun 2013 _____________________________________________________________3 Tabel 2.3 Data Jumlah Kepadatan Penduduk Perkapita Dalam Wilayah Kota Baubau Tahun 2013 ________________________________________________4 Tabel 2.4 Luas Penggunaan Tanah menurut Kecamatan (ha) Tahun 2013 ____________5 Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian _________________________________________6 Tabel 2.6 Produksi Tanaman Hortikultura (kuintal) ______________________________8 Tabel 2.7 Luas Areal Tanaman Perkebunan menurut Jenis Tanaman dan Tingkat Produktivitas Lahan (ha) _____________________________________9 Tabel 2.8 Populasi Ternak Besar dan Kecil menurut Kecamatan (Ekor) ______________9 Tabel 2.9 Populasi Ternak Unggas menurut Kecamatan (Ekor) ____________________10 Tabel 2.10 Produksi Perikanan menurut Kecamatan (ton) _________________________11 Tabel 2.11 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Bumi dan Laut menurut Jenis Komoditas __________________________________________12 Tabel 2.12 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perkebunan menurut Jenis Komoditas __________________________________________12 Tabel 2.13 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perikanan menurut Jenis Komoditas __________________________________________________13 Tabel 2.14 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Kehutanan menurut Jenis Komoditas __________________________________________________14 Tabel 2.15 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Industri menurut Jenis Komoditas __________________________________________________14 Tabel 2.16 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut Pelabuhan Tujuan __________________________________________________________15 Tabel 2.17 Volume Beras, Gula Pasir, Tepung Terigu dan Jagung yang Disalurkan oleh Perum Bulog Sub Divre Wil I di Kota Baubau (ton) ________15 Tabel 2.18 Panjang Jalan menurut Pemerintah yang Berwenang dan Jenis Permukaan Jalan (Km)_____________________________________________16 Tabel 2.19 Banyaknya Kendaraan Bermotor menurut Jenis Kendaraan Terdaftar Pada Samsat di Kota Baubau (unit) __________________________________16 Tabel 2.20 Jumlah Kunjungan Kapal dan Penumpang menurut Jenis Pelayaran di Kota Baubau _____________________________________________________17 Tabel 2.21 Lalu Lintas Pesawat Terbang dan Penumpang melalui Pelabuhan Udara Betoambari Tahun 2006 - 2013 ________________________________18 Tabel 2.22 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Kota Baubau (Juta Rupiah) _________________________________________20 Tabel 2.23 Fasilitas Pelabuhan di Pelabuhan Murhum Baubau______________________21 Tabel 2.24 Aktifitas Angkutan Laut di Pelabuhan Murhum Baubau __________________23 Tabel 2.25 Produktifitas Angkutan Peti Kemas di Pelabuhan Murhum _______________25 |v
Tabel 2.26 Potensi (Awal) Proyek KPBU di Pelabuhan Baubau______________________27 Tabel 2.27 Rekapitulasi Pengembangan Sarana dan Prasarana Pelabuhan Baubau ________________________________________________________________31
Table 3.1 Jenis Perizinan, Persyaratan dan Jangka Waktu Penerbitan____________ 3-21 Tabel 4.1 Rata-rata Produktifitas Pelabuhan (untuk kapal besar dan kecil) pergerakan per jam ______________________________________________ 4-5 Tabel 4.2 BOR Maksimum (kinerja dermaga) __________________________________ 4-5 Tabel 4.3 Karakteristik Kapal______________________________________________ 4-10 Tabel 4.4 Kebutuhan Pengembangan Dermaga Pelabuhan Murhum Baubau________ 4-12 Tabel 4.5 Perhitungan Lebar Alur Pelayanan _________________________________ 4-13 Tabel 4.6 Perhitungan Kebutuhan Area Perairan Pelabuhan Baubau _____________ 4-19 Tabel 4.7 Kebutuhan Luasan yang Diperlukan Per TEUS ________________________ 4-28 Tabel 4.8 Luas Container Yard (m2) untuk setiap Tahap Pengembangan _________ 4-29 Tabel 4.9 Komposisi Penanganan Barang di Pelabuhan_________________________ 4-30 Tabel 4.10 Luas Transit Shed, Warehouse, dan Open Storage untuk Dermaga Multi Purpose yang Diperlukan pada Tiap Tahap Pengembangan (m2) ___ 4-30 Tabel 4.11 Rekapitulasi Kebutuhan Transit Shed, Ware House, dan Open Storage _______________________________________________________ 4-30 Tabel 4.12 Kebutuhan Parkir Truk Cargo _____________________________________ 4-31 Tabel 4.13 Rekapitulasi Kebutuhan Ruang Perkantoran _________________________ 4-33 Tabel 4.14 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan Pelabuhan Baubau___________ 4-33 Tabel 4.15 Kebutuhan Peralatan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau _________ 4-37 Tabel 4.16 Perkiraan Biaya Konstruksi Pengembang Dermaga Pelabuhan Baubau____ 4-40 Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Skenario-1: Pesimis _______________________________ 5-5 Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis_______________________________ 5-6 Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-1: Pesimis ____________________ 5-7 Table 8.1 Tabel Acuan Alokasi Risiko ________________________________________ 8-4
| vi
Daftar Gambar
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
2.1 2.2 2.3 2.4 2.5
Peta Administrasi Wilayah Kota Baubau ____________________________ 2-2 Produktifitas Angkutan Laut Pelabuhan Murhum ____________________ 2-24 Produktifitas Angkutan Barang Pelabuhan Murhum Baubau ___________ 2-24 Produktifitas Angkutan Penumpang Pelabuhan Murhum ______________ 2-25 Operasional Peti Kemas Pelabuhan Murhum Baubau _________________ 2-26
Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
4.1 Waktu pelayanan di dermaga _____________________________________ 4-4 4.2 Bentuk tipikal dimensi kapal ____________________________________ 4-11 4.3 Lebar alur untuk 1 kapal ________________________________________ 4-18 4.4 Lebar alur untuk 2 kapal ________________________________________ 4-18 4.5 Denah Pengembangan Dermaga dan Trestle________________________ 4-21 4.6 Kondisi gelombang pada area Pelabuhan __________________________ 4-21 4.7 Kondisi gelombang pada pengembangan dermaga___________________ 4-22 4.8 Kondisi perambatan gelombang pada pengembangan dermaga. _______ 4-22 4.9 Kondisi arus di pagi hari pukul 06.00______________________________ 4-23 4.10Kondisi arus di siang hari pukul 12.00 _____________________________ 4-23 4.11Kondisi arus di sore hari pukul 16.00. _____________________________ 4-24 4.12Kondisi arus di malam hari pukul 22.00 ___________________________ 4-24 4.13Layout Pengembangan Dermaga Pelabuhan ________________________ 4-25 4.14Layout konfigurasi tiang pancang dermaga ________________________ 4-26 4.15Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga________________________ 4-26 4.16Layout konfigurasi tiang pancang trestle __________________________ 4-27 4.17Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga________________________ 4-27 4.18Container Crane _______________________________________________ 4-34 4.19Transtainer ___________________________________________________ 4-34 4.20Forklift ______________________________________________________ 4-35 4.21Mobile Crane (kiri) dan Reach Stacker (kanan) _____________________ 4-35 4.22Top Loader ___________________________________________________ 4-36 4.23Kondisi Sarana Angkut Peti Kemas di Pelabuhan Baubau _____________ 4-36 4.24Orientasi lokasi Pelabuhan dan sumber sedimen ____________________ 4-38 4.25Hasil Pemodelan sebaran sedimen________________________________ 4-38 4.26Hasil Pemodelan perubahan dasar perairan ________________________ 4-39 4.27Grafik perubahan dasar perairan di area Pelabuhan Bau-bau._________ 4-39 4.28Lokasi Pelabuhan Ferry dan Kolam Putarnya _______________________ 4-40
Gambar 5.1 Kriteria Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha _________________ 5-4 Gambar 5.2 Keterkaitan Antar Kajian terhadap Model Perhitungan Keuangan ______ 5-5 Gambar 5.3 Pola Perhitungan Proyek Keuangan ________________________________ 5-6 Gambar 8.1 Proses Analisa Risiko ____________________________________________ 8-1
| vii
Bab 1 Pendahuluan
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
1.1
LATAR BELAKANG
Dalam rangka memulai langkah implementasi pengembangan pelabuhan Baubau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara yang akan dibangun dengan skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), Pemerintah telah melaksanakan Kajian Awal Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) pada Tahun 2013 dengan nama Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara. Agar dapat segera dilaksanakan tender investasi secara KPBU, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional No. 4 tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, maka tahapan selanjutnya adalah perlu adanya Dokumen Tahap Transaksi, berupa Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business Case), Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum, dan Rancangan Perjanjian Kerjasama). Dikarenakan terdapat perubahan peraturan perundangan mengenai pelaksanaan kerjasama pemerintah dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dimana Permen PPN No. 3 Tahun 2012 dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Permen PPN No. 4 Tahun 2015, maka hasil Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara yang telah dilaksanakan, perlu dilakukan Review untuk memeriksa kelengkapan persyaratan analisis sesuai dengan peraturan yang baru. Untuk selanjutnya, dalam pemenuhan lingkup kegiatan maupun keluaran, selain mengacu kepada Kerangka Acuan Kerja, juga mengacu pada pada Permen PPN No. 4 Tahun 2015 Pasal 42 mengenai Ketentuan Peralihan yang menyatakan bahwa untuk proyek yang telah melaksanakan Kajian Awal Prastudi Kelayakan, maka Kajian Akhir Prastudi Kelayakan harus merujuk kepada peraturan ini. Dalam konsep pembangunan Pemerintah Kota Baubau, pelabuhan ini dibangun untuk memenuhi tuntutan kebutuhan pelayanan demi mendukung program jangka panjang menjadikan Kota Baubau Pintu Gerbang Ekonomi dan Pariwisata di Sulawesi Tenggara. Karena itu kebutuhan dan fasilitas yang terkait dengan pembangunan pelabuhan akan dilakukan secara bertahap berdasarkan kebutuhan. Rencana pengembangan Pelabuhan
Bab 1 | 1
Baubau meliputi reklamasi, pembangunan penahan dan pengikat talud, penambahan trestel
dermaga,
pengembangan
ruang
kawasan,
dan
pembangunan
terminal
penumpang. Selain itu, pembangunan gudang transit, penambahan lapangan penumpukan peti kemas, perluasan areal parkir dan pos jaga, penambahan pagar pengaman, penambahan jalan akses dan pengaman, serta pembangunan jembatan penghubung. Pelabuhan Baubau berada di bawah Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Laut Kemenhub dengan status Unit Pelaksana Teknis (UPT). Sesuai dengan hasil screening pada Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara, ditetapkan dua proyek pembangunan dari sembilan proyek yang diidentifikasi dapat dilaksanakan di Pelabuhan Baubau, yaitu Pembangunan Terminal Penumpang dan Terminal Petikemas. Selanjutnya dalam kajian Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara ini hanya akan dibahas mengenai dua jenis proyek di atas.
1.2
MAKSUD & TUJUAN
Maksud dari pekerjaan ini adalah melanjutkan penyusunan dokumen Kajian Awal Prastudi Kelayakan (Outline Business Case) Pengembangan Pelabuhan Baubau yang telah dilakukan sebelumnya, agar Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) siap untuk masuk dalam tahap Transaksi untuk melaksanakan pelelangan Proyek ini. Tujuan dari kegiatan ini adalah mereview dokumen kajian awal prastudi kelayakan (OBC) dan menyusun dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan (Final Business Case), Dokumen Lelang Investasi (Dokumen Prakualifikasi, Dokumen Pelelangan Umum, dan Rancangan Perjanjian Kerjsama) Pelabuhan Baubau sehingga memenuhi ketentuan proyek KPS.
1.3
KELUARAN
Keluaran dari kegiatan ini adalah tersedianya 2 Jenis Dokumen Transaksi untuk mendukung Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara yang terdiri dari: 1. Dokumen Kajian Akhir Prastudi Kelayakan atau Final Business Case Rencana Pengembangan Pelabuhan Baubau. Bab 1 | 2
2. Dokumen Lelang Investasi meliputi: a. Dokumen Prakualifikasi; b. Dokumen Draft Pelelangan Umum c. Dokumen Rancangan Perjanjian Kerjasama.
1.4
RUANG LINGKUP
Berdasarkan KAK dan juga hasil rapat kick-off meeting, ruang lingkup kegiatan ini terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: A. Review Kajian Prastudi Kelayakan (Outline Business Case), sekurang-kurangnya terdiri dari: 1. Kajian hukum dan kelembagaan Kajian hukum dan kelembagaan terdiri atas: a. Analisis peraturan perundang-undangan, yang dilakukan dengan tujuan untuk: 1) memastikan
bahwa
KPBU
dilaksanakan
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan aspek-aspek: a) pendirian Badan Usaha; b) penanaman modal; c) persaingan usaha; d) lingkungan; e) keselamatan kerja; f) pengadaan tanah; g) pembiayaan KPBU, termasuk mekanisme pembiayaan dan pendapatan; h) perizinan KPBU; i) perpajakan; dan j) peraturan-peraturan terkait lainnya. 2) menentukan risiko hukum dan strategi mitigasinya; 3) mengkaji kemungkinan penyempurnaan peraturan perundang-undangan, atau penerbitan peraturan perundang-undangan yang baru; 4) menentukan jenis-jenis perizinan/persetujuan yang diperlukan; dan 5) menyiapkan rencana dan jadwal untuk memenuhi persyaratan peraturan dan hukum berdasarkan kajian pada angka 4. b. Analisis kelembagaan, yang dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: 1) memastikan kewenangan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah/Direksi Badan Usaha Milik Negara/Direksi Badan Usaha Milik Daerah sebagai PJPK Bab 1 | 3
dalam melaksanakan KPBU termasuk penentuan PJPK dalam proyek multi infrastuktur; 2) melakukan pemetaan pemangku kepentingan (stakeholders mapping) dengan menentukan peran dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang berkaitan dalam pelaksanaan KPBU; 3) menentukan peran dan tanggung jawab Tim KPBU berkaitan dengan kegiatan penyiapan kajian awal Prastudi Kelayakan, dan penyelesaian kajian akhir Prastudi Kelayakan, serta menentukan sistem pelaporan Tim KPBU kepada PJPK; 4) menentukan dan menyiapkan perangkat regulasi kelembagaan; dan 5) menentukan kerangka acuan pengambilan keputusan. 2. Kajian teknis, terdiri atas: a. Analisis teknis, yang bertujuan untuk: 1) menetapkan standar kinerja teknis operasional yang diperlukan; 2) mempertimbangkan berbagai alternatif tapak, besaran proyek, kualitas, teknologi dan waktu pelaksanaan; 3) menetapkan
kapasitas
keluaran
dan
standar
operasional
yang
dibutuhkan, serta menyiapkan rancangan awal yang layak secara teknis; 4) mengidentifikasi dan menilai Barang Milik Negara dan/atau Daerah yang dibutuhkan dan menyiapkan daftar Barang Milik Negara dan/atau Daerah yang akan digunakan untuk pelaksanaan KPBU; 5) mengidentifikasi
ketersediaan
pasokan
sumber
daya
untuk
keberlangsungan KPBU, apabila diperlukan; 6) mengidentifikasi persyaratan dan ketersediaan input sekurang-kurangnya meliputi sumber daya manusia, bahan baku, pelayanan jasa, akses menuju tapak; 7) menentukan perkiraan biaya KPBU dan asumsi perhitungan biaya KPBU; 8) memperkirakan dan menentukan pendapatan (revenue), biaya modal, biaya operasional dan biaya pemeliharaan dengan berbagai pilihan; 9) menyiapkan rencana pembiayaan yang sesuai denga jadwal konstruksi, perkiraan biaya operasional, perkiraan biaya pemeliharaan, dan estimasi biaya siklus kesinambungan KPBU; dan 10) mengidentifikasi standar pelayanan minimum. b. Penyiapan tapak termasuk jalur, apabila diperlukan, yang dilakukan dengan mempertimbangkan: 1) kesesuaian tapak dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
Bab 1 | 4
2) kesesuaian tapak dengan kebutuhan operasional dan bahan baku; 3) ketersediaan pelayanan jasa dan bahan baku; 4) kondisi tapak yang diusulkan dan kesesuaian dengan kebutuhan KPBU; 5) konfirmasi kepemilikan tanah dan hambatan-hambatan yang timbul; 6) perkiraan biaya pengadaan tanah dengan berbagai pilihan; dan 7) rencana dan jadwal pelaksanaan program pengadaan tanah
dan
pemukiman kembali. c. Rancang bangun awal, yang memuat rancangan teknis dasar KPBU termasuk lingkup KPBU yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik dari masing-masing sektor; d. Spesifikasi keluaran, yang meliputi: 1) Standar pelayanan minimum yang meliputi kuantitas, kualitas dan ketersediaan (availibility); 2) Jadwal indikatif untuk pekerjaan konstruksi dan penyediaan peralatan; 3) Kepatuhan atas masalah lingkungan, sosial dan keselamatan; 4) Persyaratan pengalihan aset sesuai perjanjian KPBU; dan 5) Pengaturan pemantauan pada setiap tahapan: a) konstruksi; b) operasi komersial; dan c) berakhirnya perjanjian KPBU. 3. Kajian ekonomi dan komersial, mencakup substansi sebagai berikut: a. analisis permintaan (demand), yang bertujuan untuk memahami kondisi pengguna layanan. Analisis permintaan ini dilakukan dengan paling kurang memuat: 1) Survei kebutuhan nyata (real demand survey) untuk mendapatkan gambaran
yang
akurat
seperti
mengenai
perkiraan
kebutuhan,
ketertarikan, kemauan dan kemampuan pengguna untuk membayar, kinerja pembayaran, serta tingkat pelayanan yang diharapkan; dan 2) Penentuan sumber dan tingkat pertumbuhan permintaan dengan berbagai skenario (uji elastisitas permintaan). b. Analisis
pasar
(market),
yang
bertujuan
untuk
mengetahui
tingkat
ketertarikan industri dan kompetisi. Analisis pasar ini dilakukan dengan paling kurang memuat: 1) Penyampaian rencana KPBU kepada publik dalam rangka penjajakan minat calon investor terhadap KPBU;
Bab 1 | 5
2) Pengumpulan tanggapan dan penilaian calon investor terhadap kelayakan, risiko
serta
kebutuhan
Dukungan
Pemerintah
dan/atau
Jaminan
Pemerintah untuk KPBU; 3) Pengumpulan tanggapan dan penilaian lembaga keuangan nasional dan internasional dan/atau institusi lainnya mengenai potensi pemberian dan indikasi besaran pinjaman yang bisa dialokasikan dalam KPBU; 4) Pemilihan strategi untuk mengurangi risiko pasar dan meningkatkan persaingan yang sehat dalam proses pengadaan KPBU; dan 5) Penilaian mengenai struktur pasar untuk menentukan tingkat kompetisi pada sektor yang bersangkutan. c. Analisis struktur pendapatan KPBU, yang bertujuan untuk mengidentifikasi sumber-sumber
pendapatan
yang
optimal
bagi
KPBU
dengan
mempertimbangkan hasil analisis permintaan, kemampuan pembiayaan Kementerian/Lembaga/Daerah yang bersangkutan, serta tingkat kelayakan KPBU selama masa KPBU. Analisis struktur pendapatan KPBU ini paling kurang memuat: 1) Perhitungan keseimbangan antara biaya dan pendapatan KPBU selama masa kerjasama; 2) Identifikasi pembayaran/tarif awal, mekanisme penyesuaian, indeks acuan untuk membuat penyesuaian atas parameter yang digunakan selama jangka waktu perjanjian KPBU; 3) Identifikasi dampak terhadap pendapatan dalam hal: a) Terjadi kenaikan biaya KPBU (cost over run); b) Pembangunan KPBU selesai lebih awal; dan c) Pengembalian KPBU melebihi tingkat maksimum yang ditentukan, sehingga
dimungkinkan
pemberlakuan
mekanisme
penambahan
pembagian keuntungan (clawback mechanism); d) Terjadinya pemberian insentif atau pemotongan pembayaran dalam hal pemenuhan kewajiban. d. Analisis Biaya Manfaat Sosial (ABMS), yang bertujuan untuk memastikan manfaat sosial dan ekonomi serta keberlanjutan KPBU yang berkaitan dengan efektivitas, ketepatan waktu, penggunaan dana, dan sumber daya publik selama masa KPBU, selain itu ABMS juga dimaksudkan untuk memberikan batasan maksimal besarnya Dukungan Pemerintah, sehingga manfaat bersih KPBU lebih besar dari Dukungan Pemerintah yang diberikan. ABMS ini dilakukan dengan memuat paling kurang:
Bab 1 | 6
1) Perbandingan biaya dan manfaat dengan ada atau tanpa adanya KPBU; 2) Biaya yang dimaksud dalam angka 1 didasarkan pada harga konstan, yang meliputi: a) biaya penyiapan KPBU; b) biaya modal; c) biaya operasional; d) biaya pemeliharaan; dan e) biaya-biaya lain akibat dari adanya proyek. 3) Penilaian/pengukuran manfaat proyek bagi masyarakat dan negara dengan mempertimbangkan paling kurang: a) Penghematan oleh masyarakat; dan b) penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diperoleh. 4) Penentuan biaya ekonomi yang dilakukan dengan mengubah harga finansial menjadi harga ekonomi (shadow price) untuk setiap masukan dan keluaran berdasarkan faktor konversi ekonomi yang sesuai; 5) Penentuan manfaat ekonomi dilakukan dengan mengkonversikan manfaat tersebut menjadi kuantitatif; 6) Parameter penilaian kelayakan ekonomi dilakukan melalui pendekatan EIRR dan ENPV dengan menggunakan tingkat diskonto ekonomi atau sosial (economic atau social discount rate); dan 7) Analisis sensitivitas untuk mengkaji pengaruh ketidakpastian pelaksanaan KPBU terhadap tingkat kelayakan ekonomi proyek. e. Analisis keuangan, dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Analisis keuangan bertujuan untuk menentukan kelayakan finansial KPBU dengan menggunakan asumsi yang didasarkan pada: a) Informasi ekonomi makro (nilai tukar, inflasi, dan suku bunga) yang dikeluarkan oleh otoritas lembaga resmi seperti Bank Indonesia dan BPS; b) Analisis biaya modal yang terdiri dari biaya proyek, asumsi bunga dan eskalasi biaya dari KPBU; c) Biaya operasional dan pemeliharaan; d) Biaya penyusutan dan nilai buku pada akhir masa konsesi; e) Perhitungan biaya-biaya lain terkait KPBU termasuk biaya pemukiman kembali, pemeliharaan lingkungan, perijinan, dan biaya tidak langsung (management overhead cost);
Bab 1 | 7
f) Biaya mitigasi risiko; dan g) Perhitungan
pendapatan
yang
didasarkan
pada
hasil
analisis
kebutuhan dan analisis struktur pendapatan. 2) Analisis keuangan dilakukan dengan cara: a) Menetapkan rasio ekuitas dan pinjaman yang akan digunakan dalam KPBU, sesuai dengan rasio yang umum digunakan di Indonesia; b) Menentukan tingkat biaya modal rata-rata tertimbang/WACC sesuai dengan rasio ekuitas dan pinjaman yang akan digunakan, tingkat suku bunga pinjaman, serta biaya ekuitas; c) Menentukan tingkat imbal hasil keuangan/FIRR pada KPBU; d) Menentukan rasio cakupan pembayaran hutang (Debt Service Coverage Ratio - DSCR) dengan menghitung besarnya kas yang tersedia untuk membayar kewajiban (pokok pinjaman dan bunga) yang akan jatuh tempo pada tahun berjalan; e) Menentukan besaran imbal hasil ekuitas (Return On Equity - ROE); f) Menentukan besaran FNPV dan metode pengembalian investasi (payback period); g) Menyajikan proyeksi arus kas KPBU; h) Menyajikan proyeksi arus kas dan laporan laba rugi Badan Usaha Pelaksana; i) Menyajikan sensitivitas KPBU dalam berbagai pilihan analisis keuangan dalam nilai rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya disetarakan dengan rupiah; j) Menentukan bentuk dan nilai Dukungan Pemerintah; dan k) Menentukan besaran premi Jaminan Pemerintah. 4. Kajian lingkungan dan sosial, meliputi: a. kajian lingkungan hidup bagi KPBU yang wajib AMDAL, yang dilakukan mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1) Melakukan penapisan yang bertujuan untuk: a) menetapkan potensi dampak penting yang akan timbul dari KPBU; b) menetapkan klasifikasi KPBU dalam memperkirakan dampak yang akan ditimbulkan terhadap lingkungan hidup sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; c) menentukan peningkatan kapasitas dan program pelatihan untuk melaksanakan program perlindungan lingkungan, jika diperlukan;
Bab 1 | 8
d) memperkirakan biaya yang dikeluarkan untuk perizinan yang berkaitan dengan kepentingan lingkungan hidup; dan e) menyiapkan rencana dan jadwal untuk melaksanakan program kepatuhan lingkungan dan melakukan pencatatan untuk persetujuan lingkungan. 2) Penyeleksian digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menyusun kerangka acuan analisis dampak lingkungan (KAANDAL). 3) Prosedur dalam melakukan kajian dampak lingkungan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup. 4) PJPK bertanggung jawab untuk menyusun dokumen AMDAL bagi KPBU yang terdiri dari dokumen KA-ANDAL, ANDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup-Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagai dasar penilaian dan izin lingkungan dari Menteri/Kepala Daerah sesuai dengan kewenangannya. b. Kajian lingkungan hidup bagi KPBU yang wajib memiliki UKL-UPL, dilakukan mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1) mengisi ringkasan informasi awal yang meliputi: a) identitas pemrakarsa, yaitu PJPK atau Badan Usaha Calon Pemrakarsa; b) rencana usaha dan/atau kegiatan; c) dampak lingkungan yang akan terjadi; dan d) program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. 2) ringkasan informasi awal sebagaimana dimaksud pada angka 1), diajukan kepada: a) Bupati/Walikota, untuk KPBU yang berlokasi pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dan di wilayah laut paling jauh 1/3 (satu per tiga) dari wilayah laut kewenangan provinsi; b) Gubernur, untuk KPBU yang berlokasi di lebih dari 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam 1 (satu) propinsi; di lintas kabupaten/kota; dan/atau di wilayah laut paling jauh 12 (dua belas) mil dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan; c) Menteri, untuk KPBU yang berlokasi di lebih dari 1 (satu) wilayah propinsi; di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang dalam sengketa dengan negara lain; di wilayah laut lebih dari 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai kearah laut lepas; dan/atau di lintas batas Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan negara lain.
Bab 1 | 9
3) Setelah memeriksa dan menyatakan tidak ada kekurangan dari data yang diisikan, Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota mengeluarkan rekomendasi yang selanjutnya diajukan kepada pejabat yang berwenang sebagai dasar penerbitan izin untuk melakukan usaha atau kegiatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup. c. analisis sosial, diperlukan untuk: 1) menentukan dampak sosial KPBU terhadap masyarakat dan menyusun rencana mitigasinya; 2) menentukan lembaga yang bertanggung jawab untuk pembebasan tanah dan pemukiman kembali; 3) menentukan pihak-pihak yang akan terkena dampak oleh proyek dan kompensasi yang akan diberikan, bila diperlukan; 4) memperkirakan kapasitas lembaga untuk membayar kompensasi dan melaksanakan rencana pemukiman kembali, bila diperlukan; dan 5) menentukan rencana pelatihan dalam rangka melaksanakan program perlindungan sosial untuk meningkatkan kapasitas masyarakat yang terkena dampak. d. rencana pengadaan tanah dan pemukiman kembali, mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1) menyiapkan dokumen perencanaan pengadaan tanah terlebih dahulu; 2) PJPK bertanggung jawab untuk menyiapkan dokumen perencanaan pengadaan tanah yang merupakan persyaratan untuk memperoleh penetapan lokasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3) Izin Lingkungan diperlukan untuk memperoleh surat penetapan lokasi, selain dokumen rencana pengadaan tanah; dan 4) rencana pemukiman kembali, yang merupakan bagian dari rencana pengadaan tanah, disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan. 5. Kajian bentuk KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur Kajian bentuk KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur mengikuti ketentuan sebagai berikut: a. pemilihan bentuk KPBU dilakukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) kepastian ketersediaan Infrastruktur tepat pada waktunya; 2) optimalisasi investasi oleh Badan Usaha; 3) maksimalisasi efisiensi yang diharapkan dari pengusahaan Infrastruktur oleh Badan Usaha;
Bab 1 | 10
4) kemampuan Badan Usaha untuk melakukan transaksi; 5) alokasi resiko; dan 6) kepastian adanya pengalihan keterampilan manajemen dan teknis dari sektor swasta kepada sektor publik. b. bentuk KPBU harus mencakup sekurang-kurangnya: 1) lingkup KPBU, mencakup sebagian atau seluruh proses kegiatan KPBU, seperti
membiayai,
merancang,
membangun,
merehabilitasi,
mengoperasikan, memelihara, dan lainnya; 2) jangka waktu dan penahapan KPBU; 3) identifikasi keterlibatan pihak ketiga, seperti off-taker, penyedia bahan baku, dan lainnya; 4) skema pemanfaatan Barang Milik Negara dan/atau Barang Milik Daerah selama perjanjian KPBU; 5) status kepemilikan aset KPBU selama jangka waktu perjanjian KPBU dan pengalihan aset setelah berakhirnya perjanjian KPBU; dan 6) bentuk partisipasi pemerintah dalam Badan Usaha Pelaksana KPBU, seperti penyertaan modal atau bentuk lainnya. 6. Kajian risiko Kajian risiko dilakukan dengan memenuhi ketentuan, sebagai berikut: a. analisis risiko bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan. b. analisis risiko dilakukan dengan cara: 1) melakukan identifikasi risiko; 2) mengukur besaran risiko; 3) menentukan alokasi risiko; dan 4) menyusun mitigasi risiko. 7. Kajian kebutuhan Dukungan Pemerintah dan/atau Jaminan Pemerintah, meliputi: a. Analisis Dukungan Pemerintah, yang bertujuan untuk mengidentifikasi perlu atau tidaknya Dukungan Pemerintah guna meningkatkan kelayakan keuangan KPBU. b. Dukungan Pemerintah dapat diberikan dalam bentuk: 1) dukungan kelayakan KPBU (Viability Gap Fund) yang diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Keuangan; 2) insentif perpajakan; dan/atau
Bab 1 | 11
3) dukungan Pemerintah dalam bentuk lainnya sesuai dengan peraturan perundang undangan. c. analisis Jaminan Pemerintah yang bertujuan untuk mengidentifikasi perlu atau tidaknya Jaminan Pemerintah untuk mengurangi risiko Badan Usaha yang dapat diberikan oleh Menteri Keuangan melalui BUPI sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 8. Kajian mengenai hal-hal yang perlu ditindaklanjuti, antara lain: a. Identifikasi isu-isu kritis yang harus ditindaklanjuti; b. Menyusun rencana penyelesaian isu-isu kritis pada huruf a, termasuk strategi penyelesaian dan penanggung jawab; dan c. jangka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan persiapan KPBU. B. Kajian akhir Prastudi Kelayakan, terdiri dari penyempurnaan data dengan kondisi terkini dan pemutakhiran atas kelayakan dan kesiapan KPBU yang sebelumnya telah tercakup dalam kajian awal Prastudi Kelayakan, termasuk penyelesaian hal-hal yang perlu ditindaklanjuti. C. Pembuatan Rancangan Dokumen Lelang Investasi yang terdiri atas: a. Dokumen Prakualifikasi b. Dokumen Draft Pelelangan Umum c. Dokumen Rancangan Perjanjian Kerjasama
Bab 1 | 12
Bab 2 Gambaran Umum Lokasi Studi Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
2.1
KOTA BAUBAU
2.1.1 Kondisi Fisik Wilayah Secara geografis Kota Bau-Bau terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara bagian Selatan Pulau Buton dengan posisi koordinat sekitar 05°21’ hingga 05°30’ Lintang Selatan dan 122°30’ sampai 122°45’ Bujur Timur. Kota Baubau berada di Pulau Buton, dan tepat terletak di Selat Buton dengan Pelabuhan Utama menghadap Utara. Di kawasan selat inilah aktivitas lalu lintas perairan baik nasional, regional maupun lokal sangat intensif. Batas-batas administrasi wilayah Kota Baubau adalah sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kapontori Kabupaten Buton, Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pasarwajo Kabupaten Buton, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Batauga Kabupaten Buton, Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Buton. Secara administrasi, sejak tahun 2013 Kota Baubau terbagi menjadi 8 kecamatan yakni Betoambari, Bungi, Kokalukuna, Lea-lea, Murhum, Sorawolio, Wolio, dan Batupoaro dengan luas wilayah 251 km² dengan luas daratan 221 km² dan luas laut sekitar 30 km². Tabel 2.1 Luas Wilayah Kota Baubau Luas wilayah No Kecamatan (km²) 1 Wolio 17,33 2 Betoambari 27,89 3 Sorawolio 83,25 4 Bungi 47,71 5 Murhum 4,90 6 Kokalukuna 9,44 7 Lea-lea 28,93 8 Batupoaro 1,55 Jumlah 221 Sumber: Baubau dalam Angka, 2014
Persentase (%) 7,84 12,62 37,67 21,59 2,22 4,27 13,09 0,70 100
Bab 2 | 1
Gambar 2.1 Peta Administrasi Wilayah Kota Baubau Bab 2 | 2
Karakteristik Wilayah Kota Baubau untuk wilayah utara cenderung subur dan bisa dimanfaatkan sebagai wilayah pengembangan pertanian dalam arti luas, yaitu meliputi wilayah Kecamatan Bungi, Sorawolio, sebagian Kecamatan Wolio dan Betoambari. Wilayah selatan cenderung kurang subur diperuntukan bagi pengembangan perumahan dan fasilitas pemerintahan. Sementara wilayah pesisir untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi topografi daerah Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukit–bukit terbentang dataran yang merupakan daerah potensial untuk mengembangkan sektor pertanian. Kota Baubau memiliki sebuah sungai yang besar yaitu sungai Baubau. Sungai tersebut melewati Kecamatan Wolio, Kecamatan Murhum dan Kecamatan Batupoaro. Sungai tersebut pada umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga listrik, pertanian, perikanan, kebutuhan industri, kebutuhan rumahtangga dan pariwisata. 2.1.2 Kependudukan Berdasarkan data Baubau dalam Angka Tahun 2014, penduduk Kota Baubau tahun 2013 berjumlah sebanyak 145.427 orang. Dengan luas 221 km2, maka diperoleh kepadatan penduduk Kota Baubau tahun 2013 sebesar 658 orang/km². Penduduk Kota Baubau terdiri dari penduduk laki-laki sejumlah 71.817 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 73.610 jiwa. Tabel 2.2 Data Jumlah Penduduk dan KK Per Kecamatan Kota Baubau tahun 2013 Jumlah Penduduk Rasio Jenis Kelamin No Kecamatan KK Jumlah (%) L P 1 Wolio 8.859 20.247 20.065 40.312 100,91 2 Betoambari 3.799 8.533 8.753 17.286 97,49 3 Sorawolio 1.662 3.776 3.785 7.561 99,76 4 Bungi 1.665 3.726 3.807 7.533 97,87 5 Murhum 4.493 9.961 10.486 20.447 94,99 6 Kokalukuna 3.906 8.808 8.959 17.767 98,31 7 Lea-lea 1.548 3.421 3.617 7.038 94,58 8 Batupoaro 6.041 13.345 14.138 27.483 94,39 Jumlah 31.973 71.817 73.610 145.427 97,56 Sumber: BPS Kota Baubau, 2014
Bab 2 | 3
Pada Tabel 2.3 di bawah ini dapat diketahui bahwa Kecamatan Batupoaro memiliki kepadatan paling tinggi yaitu 17.731 orang/km², sedangkan Kecamatan Sorawolio memiliki kepadatan penduduk terkecil yaitu 91 orang/km². Tabel 2.3 Data Jumlah Kepadatan Penduduk Perkapita Dalam Wilayah Kota Baubau Tahun 2013 No Kecamatan Jumlah Penduduk Luas wilayah (km²) Kepadatan / km² 1 Wolio 40.312 17,33 2.326 2 Betoambari 17.286 27,89 620 3 Sorawolio 7.561 83,25 91 4 Bungi 7.533 47,71 158 5 Murhum 20.447 4,90 4.172 6 Kokalukuna 17.767 9,44 1.882 7 Lea-lea 7.038 28,93 243 8 Batupoaro 27.483 1,55 17.731 Jumlah 145.427 221,00 658 Sumber: BPS Kota Baubau, 2014
2.1.3 Potensi Wilayah 2.1.3.1 Pertanian Sektor
pertanian
mempunyai
peranan
strategis
dalam
struktur
pembangunan
perekonomian nasional. Pembangunan pertanian di Indonesia dianggap penting dari keseluruhan pembangunan nasional. Ada beberapa hal yang mendasari mengapa pembangunan pertanian di Indonesia mempunyai peranan penting, antara lain: potensi Sumber Daya Alam yang besar dan beragam, pangsa terhadap pendapatan nasional yang cukup besar, besarnya penduduk Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada sektor ini, perannya dalam penyediaan pangan masyarakat dan menjadi basis pertumbuhan di pedesaan. Pada bab ini disajikan data hasil pembangunan khususnya sektor pertanian meliputi penggunaan tanah, tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Penggunaan tanah tahun 2013 yang disajikan pada Tabel 2.4 meliputi jenis penggunaan tanah sawah, bangunan dan pekarangan, tanah tegalan/kebun, tanah ladang/huma, tanah padang rumput, tanah rawa yang tidak ditanami, tambak/empang, lahan yang sementara tidak diusahakan, tanaman kayu-kayuan, hutan negara, perkebunan, dan lainnya. Dari rincian jumlah tersebut pada tahun 2013 penggunaan yang terluas adalah hutan negara seluas 8.012 ha dari 22.100 ha seluruh luas penggunaan tanah di Kota Baubau. Kemudian terluas kedua adalah tegal/ tanah perkebunan seluas 3.289 ha. Ketiga adalah lainnnya seluas 2.938 ha.
Bab 2 | 4
Wolio
Kokalukuna
Sorawolio
Bungi
428 19 7 3 -
110 -
110 1.301 -
137 454 220 11 -
150 250 1.025 344 41 1
1.200 156 169 225 10 15 34
90 386 256 116 28 -
1.440 1.709 3.289 1.084 409 67 35
15
-
-
-
150
71
119
628
3
-
-
-
300
212
171
718
- 5.860 1.742 410 105 150 463 578 17 54 474 739 944 8.325 4.771 2.893
8.012 1.771 2.938 22.100
3 12 490
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
300 45 22 155 1.733
Lea-Lea
Batupoaro
Tanah Sawah Pekarangan 132 Tegal/Kebun 65 Ladang/Huma 172 Padang rumput 368 Rawa yang ditanami Kolam/tambak Sementara tidak 273 diusahakan Lahan tanaman 32 kayu-kayuan Hutan negara Perkebunan rakyat 172 Lainnya 1.575 Jumlah 2.789
Murhum
Penggunaan Tanah
Betoambari
Tabel 2.4 Luas Penggunaan Tanah menurut Kecamatan (ha) Tahun 2013 Kecamatan Jumlah
Terdapat 8 komoditas utama pertanian yang meliputi padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang kedelai, kacang tanah dan kacang hijau. Tanaman padi sawah pada tahun 2013 memiliki luas panen 2.519 ha dengan hasil produksi sebesar 13.657,20 ton. Lokasi penanaman padi terkonsentrasi pada 3 kecamatan yakni Kecamatan Sorawolio dengan luas panen sebesar 19 ha serta hasil produksi sebesar 72,20 ton, Kecamatan Bungi dengan luas panen 2.335 ha serta hasil produksi sebesar 12.842,5 ton, dan Kecamatan Lea-lea dengan luas panen 165 ha serta hasil produksi sebesar 742,50 ton. Pada tahun 2013, luas panen tanaman jagung mencapai 215 ha dengan hasil produksi sebesar 528,70 ton, dengan demikian terjadi penurunan hasil produksi sebesar 26,30 persen bila dibandingkan dengan hasil produksi pada tahun 2012 yang menghasilkan produksi sebesar 717,40 ton. Untuk tanaman kedelai mengalami penurunan 100 persen baik luas panen maupun hasil produksinya dimana pada tahun 2013 tidak ada hasil produksi. Sementara untuk tanaman kacang tanah mengalami peningkatan luas panen dan hasil produksi dibanding tahun 2012. Untuk tanaman ubi kayu dengan luas panen 120 ha mencapai hasil produksi sebesar 1.112 ton dimana terjadi penurunan hasil produksi tanaman ubi kayu sebesar 31,79 persen bila dibandingkan dengan hasil produksi tahun 2012 yang mencapai 1.630,25 ton. Sementara itu, tanaman ubi jalar mengalami peningkatan hasil produksi sebesar den 44,17 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bab 2 | 5
Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian Padi Sawah Padi Ladang Jagung Kedelai Kecamatan Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas ProdukProduksi Produksi Produksi Produksi Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Betoambari 34 78,20 23,00 Murhum 5 10,00 20,00 Batupoaro Wolio 49 122,50 25,00 Kokalukuna 10 21,00 21,00 Sorawolio 19 72,20 38 202 727.20 36,00 39 101,40 26,00 Bungi 2334 12.842,50 55 12 24,00 20,00 Lea-Lea 165 742,50 45 66 171,60 26,00 Kota Batubau 2013 2.519 13.657,20 54,22 202 727,20 36,00 215 528,70 24,59 2012 2.344 10.652,40 45,45 342 1.162,80 34,00 312 717,40 22,99 4 4 10 2011 2.460 12.214,68 49,65 371 1.187,20 32,00 303 763,90 25,21 1 1 10 2010 2.516 12.364,70 39,00 346 891,85 28,10 198 446,42 23,10 4 4 10 2009 2.040 10.274,56 49,30 562 2.050,59 36,40 277 363,00 22,10 9 9 10 Tabel 2.5 Luas Panen (Ha), Produksi (Ton), dan Produktivitas (kg/ha) 8 Komoditas Utama Pertanian (Lanjutan) Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Kecamatan Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas ProdukProduksi Produksi Produksi Produksi Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Betoambari 20 184,00 92,00 8 48,00 60,00 Murhum 2 17,50 87,50 2 10,00 50,00 Batupoaro Wolio 1 1,00 10,00 26 239,20 92,00 30 186,00 62,00 Kokalukuna 2 2,00 10,00 6 54,00 90,00 6 34,20 57,00 Sorawolio 7 7,00 10,00 1 0,95 9,50 9 81,90 91,00 7 42,00 60,00 Bungi 3 3,00 10,00 1 9,00 90,00 Lea-Lea 56 526,40 94,00 19 117,80 62,00
Bab 2 | 6
Kecamatan Kota Batubau 2013 2012 2011 2010 2009
Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Luas Produk- Luas Produk- Luas Produk- Luas ProdukProduksi Produksi Produksi Produksi Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas Panen tivitas 13 5 9 10 14
13,00 5,00 10,50 4,50 16,20
10,00 10,00 11,67 9,00 10,50
1 3 3 1 4
0,95 2,85 2,85 0,95 3,80
9,50 9,50 9,50 9,50 9,50
120 178 154 132 203
1.112,00 1.630,25 1.411,50 1.265,04 1.957,28
92,67 91,59 91,66 94,90 96,20
72 64 55 31 43
554,75 384,80 330,00 186,50 265,93
77,05 60,12 60,00 59,00 61,80
Bab 2 | 7
Data tanaman hortikultura yang disajikan pada Tabel 2.6 adalah tanaman sayur-sayuran serta tanaman buah-buahan.
53 38 19 20 42 47 219
-
16 16
-
8 1 4 5 11 111 5 6 6 157
13 45 36 69 28 235 152 5 1 190 16 28 19 837
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Lea-Lea
82 57 32 49 15 23 258
Bungi
Kokalukuna
-
Sorawolio
Wolio
Sayuran dipanen Berkali-kali Kacang Panjang 14 Cabe Tomat 14 Terung Buncis Ketimun Labu Kangkung Bayam Jumlah 28 Sayuran dipanen Sekali Bawang Daun Kubis Petai/Sawi 59 Jumlah 59 Buah-Buahan Alpokat 47 Mangga 139 393 Rambutan Jeruk 1 Jambu Biji 11 Jambu Air 1 Pepaya 116 25 Pisang 189 38 Nanas 2 3 Salak Sawo 2 Nangka 12 980 Sukun 7 Belimbing 3 2 Sirsak 3 Jumlah 531 1.443
Batupoaro
Murhum
Penggunaan Tanah
Betoambari
Tabel 2.6 Produksi Tanaman Hortikultura (kuintal) Kecamatan
75 384 238 120 120 90 159 95 439 241 26 22 34 140 137 91 555 244 93 110 42 529 1.907 1.019 88 94 151 333
130 137 267
Jumlah
846 335 390 748 68 311 947 315 3.960
90 154 244
88 314 517 919
29 19 61 64 232 519 651 24 17 1.935 12 631 134 14 18 5 41 14 33 77 45 477 217 360 60 2.842 1.417 818 4 31 9 9 1 3 170 681 909 321 61 27 54 39 25 19 2 23 113 166 180 563 4.515 5.888 2.647
169 2.051 1.976 815 162 158 1.486 5.627 63 2 5 3.268 165 124 510 16.581
Data jenis tanaman sayur-sayuran yang disajikan pada Tabel 2.6 terdiri dari dua kelompok, yaitu: kelompok tanaman sayur-sayuran yang dipanen berkali-kali dan sayursayuran yang dipanen sekaligus. Kelompok pertama terdiri dari sembilan jenis, yaitu: Kacang Panjang, Cabe, Tomat, Terung, Buncis, Ketimun, Labu, Kangkung dan Bayam. Bab 2 | 8
Sedangkan kelompok kedua terdiri dari 6 jenis tanaman, yaitu: Bawang Merah, Bawang Putih, Bawang Daun, Kubis, Petsai/Sawi dan Kacang Merah. Pada tahun 2013 produksi tanaman sayur-sayuran yang dipanen berkali-kali paling banyak adalah jenis kangkung, kacang panjang dan terung, masing-masing sebanyak 947 kuintal, 846 kuintal dan 748 kuintal.
2.1.3.2 Perkebunan Tanaman perkebunan rakyat yang diusahakan terdiri dari 13 komoditi. Produktifitas rata-rata tanaman perkebunan pada tahun 2013 mengalami penurunan. Hasil perkebunan yang paling menonjol pada tahun 2013 adalah tanaman jambu mete dengan produksi sebesar 75,94 ton, kelapa dalam 20,77 ton. Untuk tanaman perkebunan lainnya hanya mampu berproduksi dibawah 10 ton. Tabel 2.7 Luas Areal Tanaman Perkebunan menurut Jenis Tanaman dan Tingkat Produktivitas Lahan (ha) Jenis Tanaman Produktif Belum Produktif Tidak Produktif Jumlah Kelapa Dalam 106,00 20,50 7,00 133,50 Kopi 37,25 18,25 4,00 59,50 Kapuk 22,65 2,85 1,00 26,50 Lada 0,80 2,40 3,20 Cengkeh 1,00 1,00 Jambu Mete 372,70 93,00 354,00 819,70 Kemiri 57,45 12,75 3,00 73,20 Coklat 102,00 23,75 43,25 169,00 Enau 9,50 3,00 1,25 13,75 Kelapa Hybrida 17,00 4,00 0,50 21,50 Asam Jawa 8,75 0,75 1,00 10,50 Pinang 1,30 0,10 1,40 Panili 1,00 2,00 1,00 4,00 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.3.3 Peternakan Rata-rata jumlah populasi ternak besar dan kecil di Kota Baubau tahun 2013 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012. Populasi ternak di tahun 2013 seperti sapi dan babi mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya yakni masing-masing sebesar 0,06 persen dan 0,77 persen. Untuk ternak unggas yang mengalami peningkatan hanya ayam kampung dari 138.626 ekor menjadi 139.594 ekor serta ayam ras dari 36.000 ekor. menjadi 41.050 eko tahun 2013, sedangkan itik/itik manila mengalami penurunan populasi dari 5.828 ekor menjadi 5.590 ekor. Tabel 2.8 Populasi Ternak Besar dan Kecil menurut Kecamatan (Ekor) Kecamatan Sapi Kambing Babi Betoambari 67 197 Murhum 90 257
-
Jumlah
Bab 2 | 9
264 347
Kecamatan Batupoaro Wolio Kokalukuna Sorawolio Bungi Lea-Lea Kota Batubau
Sapi
2013 2012 2011 2010 2009
157 22 325 939 192 1.792 1.791 1.657 2.255 2.168
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Kambing
296 295 338 165 133
Babi
1.681 1.983 1.801 1.767 1.694
Tabel 2.9 Populasi Ternak Unggas menurut Kecamatan (Ekor) Kecamatan Ayam Kampung Ayam Ras Betoambari 23.295 6.000 Murhum 12.333 11.600 Batupoaro Wolio 18.633 5.800 Kokalukuna 21.667 3.800 Sorawolio 27.229 1.950 Bungi 19.383 9.000 Lea-Lea 17.054 2.900 Kota Batubau 2013 139.594 41.050 2012 138.626 36.000 2011 134.590 33.500 2010 132.120 373.200 2009 146.455 354.000
Itik
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
1.963 -
Jumlah
453 317 663 3.067 325
1.963 1.948 1.883 1.818 1.699
5.436 5.722 5.341 5.840 5.561
452 811 378 788 304 2.233 624
Jumlah 29.747 24.744 24.811 26.255 29.483 30.616 20.578
5.590 5.828 5.825 5.604 6.428
186.234 180.454 173.915 510.924 506.883
2.1.3.4 Perikanan Kegiatan penangkapan ikan dilaksanakan melalui berbagai usaha meliputi perikanan laut dan usaha perikanan darat (perairan umum, tambak dan kolam). Produksi hasil perikanan laut dan perikanan darat disajikan pada Tabel 2.10 dan Tabel 2.11. Produksi perikanan laut dikelompokkan menjadi 3, antara lain: penagkapan Ikan, budidaya rumput laut dan budidaya mabe. Di tahun 2013 usaha penangkapan ikan di laut mencapai 7.885,79 ton, budidaya rumput laut 2.668,66 ton dan budidaya mabe sebesar 12,78 ton, sedangkan produksi perikanan darat mencapai 7,30 ton. Usaha perikanan darat terletak di 3 kecamatan. Produksi ikan darat terbanyak terdapat di Kecamatan Bungi dengan hasil 6,09 ton. Di Kecamatan Sorawolio sebesar 1,21 ton, sedangkan untuk tahun 2013 di Kecamatan Lea-lea tidak ada produksi perikanan darat.
Bab 2 | 10
Tabel 2.10 Produksi Perikanan menurut Kecamatan (ton) Perikanan Laut Budidaya Budidaya Perikanan Kecamatan Jumlah Penangkapan Darat Rumput Mabe Ikan Laut Betoambari 726,84 448,08 1.174,94 Murhum 45,74 45,74 Batupoaro 3.116,94 235,04 3.351,98 Wolio 165,90 165,90 Kokalukuna 1.434,17 1.434,17 Sorawolio 1,21 1,21 Bungi 6,09 6,09 Lea-Lea 2.396,20 1.985,54 12,78 4.394,52 Kota Batubau 7.885,79 2.668,66 12,78 7,30 10.574,53 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.4 Perdagangan Sektor
perdagangan
merupakan
salah
satu
sendi
perekonomian
yang
dapat
menyumbangkan pemasukan yang berpengaruh bagi suatu daerah apabila daerah tersebut memiliki potensi yang cukup besar. Kegiatan perdagangan terdiri dari perdagangan ekspor dan impor serta perdagangan antar pulau, jenis komoditi yang diperdagangkan
meliputi
hasil
pertanian,
pertambangan,
industri,
perkebunan,
perikanan, perternakan dan kehutanan, sedangkan untuk impor adalah barang modal dan bahan baku industry. Meskipun peranannya masih belum begitu dominan dalam perekonomian daerah, namun melihat potensi posisi Kota Baubau yang strategis, kegiatan industri memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan. Jenis industri yang dominan yaitu industri pengolahan makanan dan minuman, pengolahan hasil perikanan (pembekuan ikan dan pengalengan), industri pengolahan hasil perkebunan dan kehutanan (penggergajian, meubel, dan gembol). Jumlah total volume perdagangan sebesar 6.211,68 ton, 10 ekor, 7.277 m3 dan 238.966 buah. Jumlah tersebut terdiri dari 0,16 ton hasil tanaman pangan, 2.819,51 ton hasil perkebunan, 10 ekor peternakan, 2.613,88 ton hasil perikanan, 567,13 dan 7.202 m3 hasil kehutanan, serta 193 ton, 238.966 buah dan 75 m3 dari industri. Komoditas tanaman pangan yang diperdagangkan antar pulau adalah bawang merah dengan volume 0,16 ton dan nilainya Rp. 6.400.000 atau menurun sebesar 97,44 persen sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Bab 2 | 11
Tabel 2.11 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Bumi dan Laut menurut Jenis Komoditas Jenis Komoditas Satuan Volume Nilai (Rp. 000,-) Tanaman Pangan Ton 0,16 6.400 Perkebunan Ton 2.819,51 23.431.410 Peternakan Ekor 10 120.000 Perikanan Ton 2.631,88 33.139.992 Ton 567,13 1.809.307 Hasil Kehutanan m3 7.202 26.583.444 Ton 193 386.000 Industri Buah 238.966 1.462.594 m3 75 675.000 Ton 6.211,68 58.773.109 Jumlah Buah 10 120.000 m3 7.277 27.258.444 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Volume dan nilai perdagangan hasil komoditi perkebunan yang di perdagangkan tahun 2013 mencapai 2.819,51 ton dengan nilai Rp. 23.431.410.000, dimana komoditas kopra penyumbang volume terbesar yaitu 1.847,93 ton dengan nilai Rp. 12.935.510.000. Sedangkan nilai perdagangan terkecil dari komoditas buah pala dengan volumen 0,72 ton senilai Rp. 14.400.000. Tabel 2.12 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perkebunan menurut Jenis Komoditas Volume Nilai Jenis Komoditas (ton) (Rp. 000,-) Buah Pala 0,72 14.400 Jahe 2 4.000 Kopi 1,10 16.500 Kopra 1.847,93 12.935.510 Kacang Mete 26,06 1.823.850 Kelapa Biji 6 2.000 Mete Gelondongan 743,15 7.431.500 Biji Kemiri 81,45 366.525 Gula Merah 0,80 5.600 Biji Coklat 71,27 819.525 Asam 39,03 12.000 Jumlah 2013 2.819,51 23.431.410 2012 6.414,95 41.164.800 2011 3.419,62 27.467.479 2010 3.844,86 30.302.150 2009 7.474,88 46.309.664 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Pada sektor peternakan terdapat komoditas sapi/kerbau yang diperdagangan dengan jumlah 10 ekor dan senilai Rp. 120.000.000. Tabel 2.13 memperlihatkan volume dan nilai perdagangan antar pulau dari sektor perikanan. Jenis ikan bete-bete dan agar-agar Bab 2 | 12
memiliki volume perdagangan yang sangat tinggi yaitu 1.144,04 ton dan 964,35 ton. Meskipun volume aga-agar tidak banyak dibandingkan ikan bete-bete tapi nilai penjualanya lebih tinggi yaitu 11.572.200 ribu rupiah, sedangkan ikan bete-bete hanya 576.152 ribu rupiah. Tabel 2.13 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Perikanan menurut Jenis Komoditas Nilai Jenis Komoditas Satuan Volume (Rp. 000,-) Agar-agar ton 964,35 11.572.200 Biji Mutiara biji 19,45 583.500 Cumi-cumi Kering ton 140 5.600 Ikan Baronang ton 0,35 9.450 Ikan Beku ton 50 1.750 Ikan Bete-bete ton 1.144.04 576.152 Ikan Cakalang ton 206,80 2.068.000 Ikan Deho ton 595 2.380.000 Ikan Ekor Kuning ton 5,20 15.600 Ikan Kaha-kaha ton 8,25 20.625 Ikan Kakap Merah ton 1,00 3.000 Ikan Lansu ton 37,00 148.000 Ikan Layang ton 46,50 186.000 Ikan Segar Campuran ton 0,60 15.000 Ikan Tembang ton 58,05 290.225 Ikan Belah ton 4 100.000 Ikan Tongkol ton 48,25 193.000 Kulit Lokan ton 104,32 365.120 Kulit Mabe ton 2,15 7.525 Kulit Mutiara ton 3,49 20.940 Roci ton 23,84 476.700 Teri Biasa ton 105,39 2.107.800 Teri Masdak ton 230,30 10.361.205 Teripang Campuran ton 15,30 1.300.500 Tongkat Ikan Hiu ton 0,60 27.000 Udang ton 3,40 153.000 Udang Cuci/Pin ton 3,38 152.100 Jumlah 2013 ton 3.821,11 33.139.992 ton 3.704,73 40.886.590 2012 biji 15.800 316.000 ton 3.504,97 36.767.048 2011 biji 31.150 623.000 ton 4.088,34 35.595.384 2010 biji 35.590 711.800 ton 4.664,14 37.383.969 2009 biji 10.300 206.000 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Nilai hasil kehutanan yang diperdagangkan mencapai 1.809.207 ribu rupiah dengan volume 567,13 ton dan 7.202 m3, dimana nilai terbesar berasal dari kayu jati olahan
Bab 2 | 13
yaitu dengan nilai 14.634.000 ribu rupiah sedangkan volume terkecil dari rotan polish 20,6 ton dengan nilai 195.700 ribu rupiah (Tabel 2.14). Tabel 2.14 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Kehutanan menurut Jenis Komoditas Nilai Jenis Komoditas Satuan Volume (Rp. 000,-) Kayu Jati Logs m3 1.139,00 3.075.300 3 Kayu Jati Olahan m 1.626,00 14.634.000 Kayu Rimba Olahan m3 4.437,00 8.874.144 Rotan Asalan ton 51,97 129.915 Rotan Batang ton 379,76 1.139.292 Rotan Polish ton 20,60 195.700 Kayu Cendana ton 114,80 344.400 ton 567,13 1.809.307 Jumlah 2013 m3 7.202,00 26.583.444 ton 532,03 1.992.365 2012 m3 2.779,00 14.130.150 ton 704,07 2.455.126 2011 m3 3.145,00 20.589.607 ton 647,08 6.549.118 2010 3 m 2.963,00 25.921.800 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Volume perdagangan terbesar di sektor industri adalah dari jenis botol kosong sebesar 196.150 buah dengan nilai 196.150 ribu rupiah. Namun jika dilihat dari nilainya maka jenis bantal memiliki nilai perdagangan yang tinggi yaitu 771.750.000 rupiah dengan volume 30.870 ton. Tabel 2.15 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau Hasil Industri menurut Jenis Komoditas Nilai Jenis Komoditas Satuan Volume (Rp. 000,-) Baja/Besi Beton ton 193 386.000 Bantal buah 30.870 771.750 3 Jati Olahan m 75 675.000 Kasur B1 buah 5.310 69.030 Kasur B2 buah 5.226 73.164 Kasur B3 buah 1.410 352.500 Botol Kosong buah 196.150 196.150 ton 193 386.000 Jumlah buah 238.966 1.462.594 2013 m3 75 675.000 ton 0,12 1.044.000 2012 buah 13.290 1.663.475 ton 1,83 10.457.100 2011 buah 9.537,00 1.179.238 ton 2010 buah 16.085 1.937.250 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Bab 2 | 14
Tabel 2.16 menyajikan volume perdagangan antar pulau menurut pelabuhan tujuan tahun 2013, dimana pelabuhan Surabaya merupakan tujuan terbanyak. Tabel 2.16 Volume dan Nilai Perdagangan Antar Pulau menurut Pelabuhan Tujuan Volume Nilai Pelabuhan Tujuan Satuan (ton) (Rp. 000,-) Jakarta ton 202,14 12.661.775 ton 4.882,04 39.858.697 Surabaya 3 m 7.202 26.583.444 ton 202,82 3.241.360 Makassar ekor 10 120.000 Lainnya ton 48,41 199.400 ton 5.287 55.761.832 Jumlah m3 7.202 26.583.444 2013 ekor 10 120.000 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Tabel 2.17 menyajikan volume beras, gula pasir, tepung terigu dan jagung yang disalurkan oleh Perum Bulog. Tahun 2013 hanya beras lokal yang disalurkan yaitu sebanyak 7.260 ton. Kebijakan pemerintah dalam pembinaan koperasi ditujukan agar koperasi menjadi lembaga yang kuat dan wadah utama untuk membina kemampuan usaha golongan ekonomi lemah. Tabel 2.17 Volume Beras, Gula Pasir, Tepung Terigu dan Jagung yang Disalurkan oleh Perum Bulog Sub Divre Wil I di Kota Baubau (ton) Tahun Beras Lokal Gula Pasir Jagung 2006 5.780,60 10,00 2007 5.850,60 14,39 2008 10.697,00 2009 9.853,30 2010 9.738,08 2011 10.365,25 2012 8.107.984,00 2013 7.260,00 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.5 Transportasi 2.1.5.1 Transportasi Darat Panjang jalan tahun 2013 di Kota Baubau secara keseluruhan adalah 257,44 km, yang terdiri dari jalan beraspal sepanjang 218,55 km atau 84,89 persen), dan Kerikil 38,89 km atau 15,11 persen. Bila dilihat dari kondisinya, jalan yang dalam kondisi baik sepanjang 228,80 km, 22,49 km dalam kondisi sedang dan 6,15 km dalam kondisi rusak, selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.18.
Bab 2 | 15
Tabel 2.18 Panjang Jalan menurut Pemerintah yang Jalan (Km) Jenis Tahun Tinjauan Status Jalan Permukaan 2012 2013 Diaspal 62,08 62,08 Kerikil Jalan Negara Tanah Lainnya Jumlah 62,08 62,08 Jalan Provinsi Jumlah Diaspal 137,76 156,47 Kerikil 49,99 38,89 Jalan Kota Tanah Lainnya Jumlah 187,75 195,36
Berwenang dan Jenis Permukaan
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Kondisi Baik Sedang Rusak Rusak Berat Jumlah Jumlah Baik Sedang Rusak Rusak Berat Jumlah
Tahun Tinjauan 2012 2013 56,50 50,48 3,83 11,30 1,75 0,30 62,08 62,08 170,72 178,32 10,50 11,19 6,53 5,85 187,75 195,36
Sarana angkutan darat seperti kendaraan bermotor disamping dapat digunakan oleh masyarakat sebagai angkutan penumpang, juga dapat digunakan sebagai angkutan barang, baik barang produksi pabrik maupun barang hasil produksi pertanian dan hasilhasil lainnya. Pada Tabel 2.19 disajikan banyaknya kendaraan yang tercatat dan terproses pada Samsat Kota Baubau. Jenis sarana angkutan tersebut meliputi mobil penumpang sebanyak 202 buah, mobil barang sebanyak 947 buah, mobil bus sebanyak 1.584 buah dan sepeda motor sebanyak 21.347 buah. Tabel 2.19 Banyaknya Kendaraan Bermotor menurut Jenis Kendaraan Terdaftar Pada Samsat di Kota Baubau (unit) Jenis Kendaraan 2009 2010 2011 2012 2013 Mobil Penumpang 187 285 335 314 202 - Sedan Non Taksi 28 46 45 48 45 - Jeep 59 102 90 100 111 - St. Wagon 100 137 200 166 46 Mobil Barang 597 605 480 613 947 - Truck barang 203 288 246 295 380 - Truck Trail 15 - Truck Tangki 14 18 19 17 30 - Pemadam Api 3 4 2 5 - Pick Up 377 284 211 299 532 Mobil Bus 783 1.013 1.016 1.111 1.584 - Mikro Bus (12 Seats) 349 489 709 766 1.571 - Mini Bus (12-32 Seats) 407 501 301 343 9 - Bus (32 Seats) 27 23 6 2 4 Sepeda Motor 13.235 18.954 19.538 17.537 21.347 - Scooter 91 28 7.768 262 521 - Motor 13.144 18.926 11.770 17.275 10.826 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Bab 2 | 16
2.1.5.2 Transportasi Laut Angkutan laut merupakan sarana perhubungan yang sangat penting dan strategis di Kota Baubau yang merupakan pintu gerbang pelayaran antar pulau di wilayah Indonesia bagian timur. Hal ini terlihat dari banyaknya kunjungan kapal pada pelabuhan di Kota Baubau sebagaiman disajikan pada tabel 2.20 yang menggambarkan lalulintas kapal laut dan Fery selama tahun 2013. Tabel 2.20 Jumlah Kunjungan Kapal dan Penumpang menurut Jenis Pelayaran di Kota Baubau Penumpang Jenis Pelayaran Call Kapal GRT Turun Naik Dalam Negeri 7.568 11.038.283 437.192 453.938 - Umum 2.691 6.631.813 285.031 297.521 - Rakyat 1.672 833.113 10.249 12.796 - Perintis 69 540.992 944 423 - Khusus Pertamina 255 1.299.699 - Lainnya 2.881 1.732.736 140.968 143.198 Luar Negeri 84 2.261.325 Jumlah 2013 7.652 13.299.608 437.192 453.938 2012 8.243 10.577.612 448.585 493.621 2011 8.067 8.426.850 445.723 500.100 2010 8.010 6.046.573 429.655 473.934 2009 7.928 6.151.180 414.833 510.414 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
Jumlah kunjungan kapal laut tahun 2013 tercatat sebanyak 7.652 kunjungan menurun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 8.243 kunjungan atau turun 7,17 persen. Jumlah penumpang naik mencapai 453.938 orang, dan jumlah penumpang turun sebanyak 437.192 orang. Jumlah penumpang naik mengalami penurunan sebanyak 8,04 persen, sedangkan jumlah penumpang turun juga mengalami penurunan sebesar 2,54 persen.
2.1.5.3 Transportasi Udara Keberadaan bandar udara sebagai prasarana transportasi udara memberikan andil yang cukup besar bagi perekonomian Kota Baubau. Dari Tabel 8.1.8 dapat diketahui bahwa pada tahun 2013 kunjungan pesawat udara yang datang melalui Bandara Betoambari mengalami penurunan menjadi 730 kali dengan jumlah penumpang datang sebanyak 41.529, sedangkan jumlah penumpang yang berangkat sebanyak 40.186 orang, dan untuk bagasi melalui bandara Betoambari tahun 2013 mencapai 357.090 kg barang yang dibongkar serta 259.286 kg untuk barang yang dimuat.
Bab 2 | 17
Tabel 2.21 Lalu Lintas Pesawat Terbang dan Penumpang melalui Pelabuhan Udara Betoambari Tahun 2006 - 2013 Lalu Lintas Pesawat Penumpang (orang) Tahun Datang Berangkat Transit Datang Berangkat Transit 2006 6 6 50 53 2007 47 47 1.322 1.095 2008 243 243 6.805 4.710 2009 282 282 5.778 5.250 7 2010 1.224 1.224 2 37.058 34.872 2.810 2011 1.431 1.431 - 48.750 43.658 2012 1.471 1.471 - 57.988 56.773 2013 730 730 - 41.529 40.186 Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.1.6 Pariwisata Kota Baubau memiliki potensi wisata dan daya tarik wisata budaya dan wisata alam yang cukup representatif untuk dikembangkan. Selain sebagai pusat pemerintahan, Kota Baubau juga sekaligus sebagai pusat Budaya Kesultanan Buton sehingga menjadikan Kota Baubau memiliki obyek wisata dari peninggalan sejarah dan kebudayaan yang sangat menarik bagi wisatawan lokal maupun macananegara. Berdasarkan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kota Baubau, kawasan pariwisata dikelompokan menjadi 6 bagian yaitu: 1. Kota Lama, sebagai pusat pelayanan wisata untuk Kota Bau – Bau dan sekitarnya serta wisata budaya berbasis pada bangunan tradisional dan pantai sebagai penunjang, dengan obyek wisata meliputi Pantai Kamali, Malige, Batu Puaro, dan Kota Lama. 2. Benteng, sebagai kawasan wisata budaya, dengan obyek wisata meliputi Benteng Wolio dan Benteng Sorawolio. 3. Pantai sebagai kawasan wisata budaya alam berbasis pantai, dengan obyek wisata meliputi Pantai Nirwana, Pantai Lakeba, Gua Lakasa, dan Gua Moko. 4. Bungi sebagai kawasan wisata alam berbasis air terjun dan ekologi hutan dan pantai dengan obyek wisata meliputi Air Terjun Bungi, Pantai Kokalukuna, Air Terjun Tirta Rimba, dan Hutan Wakonti. 5. Samparona sebagai kawasan wisata alam berbasis air terjun dan ekologi hutan dengan obyek wisata meliputi Air Terjun Samparona dan Air Terjun Kantongara. 6. Pulau Makassar sebagai kawasan wisata budaya berbasis pemukiman dan tata cara hidup nelayan serta pantai sebagai penunjang, dengan obyek wisata meliputi pulau makassar.
Bab 2 | 18
Selain enam bagian potensi wisata di Kota Baubau yang telah ada saat ini, Kota Baubau merupakan salah satu pintu gerbang utama menuju kawasan wisata Kepulauan Wakatobi melalui lintas angkutan penyeberangan antar pulau yang menghubungkan Kota Baubau dengan Pulau Kadatua Kabupaten Buton, Pulau Muna Kabupaten Muna dan Pulau Wakatobi Kabupaten Wakatobi. Pembangunan pariwisataan diarahkan pada peningkatan peran pariwisata dalam kegiatan ekonomi yang dapat menciptakan lapangan kerja serta kesempatan berusaha dengan tujuan meningkatkan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah melalui pengembangan dan pendayagunaan berbagai potensi kepariwisataan daerah, dan dampak yang ditimbulkan dari pembangunan pariwisata di bidang ekonomi adalah meningkatnya pendapatan karena tercipta peluang usaha. Jumlah hotel dan penginapan di Kota Baubau sebanyak 56 dengan jumlah kamar sebanyak 757 dan jumlah tempat tidur sebanyak 1.032. Banyaknya tamu hotel bintang dan non bintang tahun 2013 sebanyak 81.601 orang, yang terdiri dari 511 tamu asing dan 81.090 orang tamu dalam negeri. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah tamu dalam negeri sebesar 15,59 persen.
2.1.7 Perekonomian Produk Domestik Regional Bruto merupakan salah satu indikator untuk mengetahui keadaan ekonomi suatu daerah dalam suatu periode tertentu. PDRB dihitung berdasarkan harga berlaku dan harga konstan, dimana PDRB atas dasar harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Nilai PDRB Daerah Kota Baubau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2012 sebesar 2.634.647,13 juta rupiah, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar 912.758,25 juta rupiah dengan tahun dasar 2000. Penyajian PDRB menurut lapangan usaha dibagi menjadi sembilan sektor, dan dirinci masing – masing menjadi sub sektor dengan perkembangan setiap sektor sebagai berikut: 1. Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Sektor pertanian pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 12,75 persen terhadap total PDRB Kota Baubau. 2. Pertambangan dan Penggalian Sektor ini terdiri dari 2 sub sektor yakni pertambangan dan penggalian, dimana sub sektor pertambangan di Kota Baubau memberikan kontribusi 0,68 persen terhadap total PDRB Daerah Kota Baubau. Bab 2 | 19
3. Industri Pengolahan Sektor industri pengolahan yang meliputi industri migas dan non migas dalam hal ini industri makanan, tekstil, barang dari kayu, semen dan barang galian bukan logam dan lain-lain pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 2,43 persen terhadap total Produk Domestik Regional Bruto Daerah Kota Baubau. 4. Listrik, Gas dan Air Bersih Sektor ini merupakan sektor penunjang seluruh kegiatan perekonomian di Daerah Kota Baubau. Produksi listrik sebagian besar dihasilkan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sebagian oleh listrik non PLN. Sedangkan air bersih dihasilkan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sektor ini pada tahun 2012 memberikan kontribusi sektoral sebesar 1,17 persen. 5. Konstruksi / Bangunan Sektor konstruksi/bangunan pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 21,52 persen terhadap total PDRB Kota Baubau. 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran Sektor ini berperan sebagai penunjang kegiatan ekonomi yang menghasilkan produk barang dan jasa. Secara keseluruhan pada tahun 2012 sektor ini memberikan kontribusi sektoral sebesar 26,73 persen. 7. Pengangkutan dan Komunikasi Sektor pengangkutan dan komunikasi memiliki peranan sebagai pendorong aktivitas disetiap sektor ekonomi. Sektor ini pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 10,00 persen. 8. Keuangan Persewaan dan Jasa Perusahaan Sektor ini mencakup bank, lembaga keuangan bukan bank, sewa bangunan dan jasa perusahaan disebut sektor finansial karena secara umum kegiatan utamanya berhubungan dengan kegiatan pengelolaan keuangan yang bersumber dari penarikan dana masyarakat maupun penyaluran kembali. Sektor ini pada tahun 2012 memberikan kontribusi sebesar 6,39 persen. 9. Jasa - jasa Sektor jasa-jasa meliputi pemerintahan umum dalam hal ini administrasi pemerintahan dan
jasa pemerintahan
serta swasta
yang mencakup sosial
kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi juga perorangan dan rumah tangga. Sektor jasa–jasa memberikan kontribusi sebesar 18,32 persen terhadap total PDRB Daerah Kota Baubau. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, PDRB Kota Baubau pada tahun 2007 sebesar 586.325 juta Rupiah. Sektor listrik, gas dan air bersih mengalami pertumbuhan tertinggi yaitu sebesar 44 persen, diikuti oleh sektor bangunan sebesar 12 persen dan industri pengolahan sebesar 11 persen. Secara keseluruhan pendapatan regional dikota Baubau pada tahun 2007 naik sebesar 7,81 persen bila dibandingkan pada tahun 2006. Nilai PDRB atas dasar harga konstan tersebut tersajikan pada Tabel 2.22 dan Gambar 3.4. Tabel 2.22 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan Kota Baubau (Juta Rupiah) No Sektor 2010 2011 2012 Proporsi 2012 (%) Bab 2 | 20
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sektor Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel, dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Total
2010 64.202,98 5.145,29 32.096,18 7.702,06 169.353,90
2011 65.486,03 6.027,71 34.192,70 8.310,74 190.202,01
2012 66.596,84 7.055,97 36.463,40 9.834,74 226.916,27
Proporsi 2012 (%) 7,30 0,77 3,99 1,08 24,86
169.891,09
188.502,34
207.084,37
22,69
85.570,42
92.506,52
97.517,77
10,68
54.482,16
67.493,06
72.646,19
7,96
175.541,71 182.726,76 188.642,70 763.985,79 835.447,87 912.758,25
20,67 100,00
Sumber: Kota Baubau dalam Angka, 2014
2.2
PELABUHAN BAUBAU
Secara Geografis Pelabuhan Baubau terletak diantara 5027’16,5” Lintang Selatan sampai 122036’31,4” Bujur Timur, tepatnya Pelabuhan Baubau terletak di Kota Baubau bagian selatan Sulawesi Tenggara, untuk lebih tepatnya Pelabuhan Baubau ini berada di Pulau Buton yang terletak di Selat Buton dengan Pelabuhan Utama menghadap ke utara. 2.2.1 Fasilitas Pokok Pelabuhan Status Pelabuhan Baubau adalah Pelabuhan yang tidak diusahakan yang diselenggarakan oleh pengelolaan Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Baubau sebagai UPT Pusat. Kondisi fasilitas pelabuhan yang ada saat ini pada dasarnya sangat memadai dengan adanya penambahan dermaga tahun anggaran 2009-2012 dengan panjang total 120 meter. Fasilitas Pelabuhan Baubau secara lengkap dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.23 Fasilitas Pelabuhan di Pelabuhan Murhum Baubau No Fasilitas Dimensi Keterangan 1 Daerah Kerja Daratan 8 Ha Tanah urugan Tipe lantai beton, dengan tiang pancang 2 Dermaga I 180 x 12 m beton Tipe lantai beton, dengan tiang pancang 3 Dermaga II (Baru) 120 x 15 m beton Tipe lantai beton, dengan tiang pancang Dermaga Finger I 50 x 10 m beton D=400mm, dibangun tahun 2002 4 Tipe lantai beton, dengan tiang pancang Dermaga Finger II 50 x 10 m beton D=400mm, dibangun tahun 2012 (sedang berjalan) 5 Trantel I 97 x 8 m Tipe beton dengan tiang beton D=450mm 6 Transtel II 123 x 8 m Tipe beton dengan tiang beton D=450mm 7 Causeway I 55 x 8 m Tipe Gravity Wall 8 Causeway II 30 x 8 m Tipe Gravity Wall 9 Causeway III 60 x 10 m Tipe Gravity Wall 10 Talud I P. 64 m Dinding Penahan Tanah Bab 2 | 21
No
Talud II
Fasilitas
11
Mooring Dolphin
12 13 14 15 16 17
Kantor Pelabuhan Terminal Penumpang Gudang Rumah Jaga (jalan masuk) Rumah Jaga (jalan keluar) Lapangan Penumpukan Jalan – Utama I Jalan – Utama II Jalan – Extra Areal Parkir Klinik Kesehatan Pelabuhan Karantina Tumbuhan Karantina Hewan Kantor Perusahaan Pelayaran Kantor Buruh / TKBM Bak air Tangki BBM Pagar Alat Bantu Navigasi Suplay Listrik Suplay Air Telephone SRP / Stasiun Radio Taman I Taman II Lapangan Penumpukan
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Dimensi Keterangan P. 130 m Dinding Penahan Tanah Tipe beton dengan tiang Pancang Beton 2 unit D=450mm 250 m2 Tipe struktur beton, kondisi cukup baik 780 m2 Tipe struktur beton, kondisi cukup baik Nihil Tidak ada 6 x 4 m Tipe struktur beton, kondisi cukup baik - 1.800 m2 Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik 94 x 11,5 m Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik 32 x 6 m 53 x 6,75 m 42 x 68 m Perkerasan dengan aspal kondisi cukup baik Menumpang di terminal 12 m2 1 unit 3 unit Menumpang pada terminal penumpang 24 m3 300 m3 Tidak ada 335 m3 1 unit 1.500 KVA 100 m3 2 line SSB 53 x 6,30 m 33 x 6 m 68 x 64 m
Menumpang pada terminal penumpang Kapasitas 90 ton/jam Memakai mobil tangki Pagar BRC, kondisi cukup baik 1 lampu suar PLN PDAM PT Telkom
Sumber: KUPP Pelabuhan Baubau, 2013
Pintu utama pelabuhan bagi orang dan kendaraan yang keluar masuk di pelabuhan mengalami hambatan karena belum terpisahnya pintu pejalan kaki dan kendaraan yang menyebabkan sering terjadi kemacetan pada pintu utama disaat kegiatan puncak yaitu embarkasi dan debarkasi penumpang Kapal Pelni. 2.2.2 Armada Angkutan Laut Berdasarkan data yang didapat dari KUPP Pelabuhan Baubau, potensi armada angkutan laut yang dioperasikan di Pelabuhan Baubau memiliki jumlah yang sangat besar. Terdapat 52 kapal yang beroperasi dengan trayek asal Baubau yang dikelola oleh sebanyak sebelas perusahaan termasuk PT Pelni. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah: 1. PT Pelni Bab 2 | 22
2. PT Dharma Lautan Utama 3. PT Dharma Indah 4. PT ASDP 5. PT Mira Cipta Sombu 6. PT Global Expres Lines 7. PT Aksar Saputra Lines 8. PT Boy Bahtera Mandiri 9. PT Fungka Permata Group 10. PT Uki Raya Lines 11. PT Wahyu Samudera Timur Data lengkap mengenai nama kapal, lintasan trayek, serta kapasitas kapal disampaikan pada Lampiran 1. 2.2.3 Angkutan Laut Pelabuhan Murhum Baubau Di Pelabuhan Murhum, aktifitas angkutan yang terselenggara meliputi 3 akfititas pelabuhan yang dicatat sebagai bagian dari aktifitas angkutan laut di Pelabuhan Murhum Baubau yaitu Pelabuhan Umum Dalam Negeri, Pelabuhan Rakyat dan Pelabuhan Perintis. Rekapitulasi aktifitas angkutan laut untuk kurun waktu 2010-2013 di Pelabuhan Murhum ini dijabarkan pada Tabel 2.24 dan digambarkan pada Gambar 2.2-2.4. Tabel 2.24 Aktifitas Angkutan Laut di Pelabuhan Murhum Baubau Tahun
Kapal Call
Isi Kotor (GT)
Barang (T/M3) Panjang (m)
Bongkar
Penumpang (Org)
Muat
Turun
Naik
2007
4.260
3.168.789
98.602
93.844
31.164
346.613
450.231
2008
4.441
3.798.409
114.955
103.944
207.387
372.947
504.375
2009
4.941
3.648.801
128.701
133.585
196.147
414.833
511.414
2010
5.052
4.302.453
159.981
189.960
237.218
428.784
473.353
2011
5.232
4.702.322
80.333
228.476
238.074
447.673
500.140
2012
5.230
5.820.272
154.738
254.268
175.264
491.149
532.080
2013
5.593
5.902.455
143.694
290.555
266.239
491.071
519.139
2014
5.802
6.377.392
149.640
325.758
290.628
389.609
458.652
Sumber: KUPP Pelabuhan Baubau, 2015
Bab 2 | 23
Gambar 2.2 Produktifitas Angkutan Laut Pelabuhan Murhum
Gambar 2.3 Produktifitas Angkutan Barang Pelabuhan Murhum Baubau
Bab 2 | 24
Gambar 2.4 Produktifitas Angkutan Penumpang Pelabuhan Murhum 2.2.4 Angkutan Peti Kemas Pelabuhan Murhum Angkutan peti kemas di Pelabuhan Baubau menunjukkan pertumbuhan yang cukup besar, ditunjukan dengan data dalam kurun waktu 2010-2013, bongkar peti kemas menunjukkan pertumbuhan rata-rata sebesar 37,73% (TEUS) / 42,14% (Ton) dan untuk muat peti kemas, pertumbuhan dalam periode tersebut rata-rata sebesar 41,12% (TEUS) / 33,10% (Ton). Penjabaran mengenai data angkutan peti kemas di Pelabuhan Murhum ini dijabarkan pada Tabel 2.25. Tabel 2.25 Produktifitas Angkutan Peti Kemas di Pelabuhan Murhum Bongkar Muat Tahun Teus Ton Kosong Teus Ton Kosong 2010 4.049 64.059 36 2.093 41.977 2.079 2011 5.634 90.867 21 2.958 59.115 2.383 2012 7.680 129.430 36 4.168 74.111 3.348 2013 8.580 137.199 0 5.252 86.568 3.401 2014 10.149 182.903 7 6.668 115.068 3.302 Sumber: KUPP Pelabuhan Baubau, 2015
Bab 2 | 25
Operasional Peti Kemas Pelabuhan Murhum Baubau 200,000 180,000 160,000
Bongkar (Teus)
140,000
Bongkar (Ton)
120,000
Bongkar (Kosong)
100,000 80,000
Muat (Teus)
60,000
Muat (Ton)
40,000
Muat (Kosong)
20,000 0
2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 2.5 Operasional Peti Kemas Pelabuhan Murhum Baubau 2.3
KEBUTUHAN PROYEK KPBU DI PELABUHAN BAUBAU
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengindikasikan bahwa perlunya penyediaan infrastruktur pelabuhan sebagai tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi. Pembangunan pelabuhan tersebut harus direncanakan secara tepat, memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan dan memperhatikan keterpaduan intra dan antar moda transportasi. Pendekatan multi-dimensi yang diamanatkan oleh Undang-Undang diharapkan dapat mendukung dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang dan jasa, membantu terciptanya konektivitas dan pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis serta meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Visi pembangunan dibidang kepelabuhanan ditetapkan sebagai berikut: “Sistem kepelabuhanan yang efisien, kompetitif dan responsif yang mendukung perdagangan internasional dan domestic serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah”. Untuk memenuhi kebutuhan demand di Pelabuhan Murhum Baubau yang semakin meningkat setiap tahunnya, serta untuk mendukung program jangka panjang dalam konsep pembangunan pemerintah Kota Baubau yang bertujuan menjadikan Kota Baubau Pintu Gerbang Ekonomi dan Pariwisata di Sulawesi Tenggara. Pelabuhan Baubau yang merupakan salah satu pelabuhan dengan perkembangan kegiatan ekonomi yang lebih Bab 2 | 26
pesat dibandingkan dua pelabuhan lainnya di Kota Baubau, selain itu Pelabuhan Murhum Baubau memiliki status sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berada di bawah Direktorat Jenderal (Dirjen) Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Melihat status serta keberadaannya yang cukup vital bagi transportasi dan perekonomian maka pemenuhan kebutuhan pergerakan di Pelabuhan Baubau perlu menjadi prioritas pengembangan. Karena anggaran Pemerintah terbatas, maka perlu dibantu dari anggaran/investasi
swasta
untuk
mencukupi
kebutuhan
pendanaan
penyediaan
infrastruktur secara berkelanjutan.
2.4
POTENSI KPBU DI PELABUHAN BAUBAU
Berdasarkan dokumen hasil Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan BaubauSulawesi Tenggara, disampaikan mengenai potensi awal proyek KPBU di Pelabuhan Murhum Baubau seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2.26 Potensi (Awal) Proyek KPBU di Pelabuhan Baubau No Tipe Proyek Karakteristik - Permintaan mapan dan terus meningkat - Pengembangan usaha dagang - Kebutuhan lahan Terminal reklamasi/flatform antara 2 1 Penumpang causeway - Kebutuhan pembangunan gedung baru - Telah banyak diterapkan di beberapa negara - Permintaan terus meningkat - Pasar yang mapan - Dapat terisolasi dari kegiatan pelabuhan umum - Membutuhkan teknologi modern Teminal Peti 2 untuk mencapai efisiensi Kemas - Terbatasnya jumlah klien - Dapat dikembangkan dari operator eksisting - Telah banyak diterapkan di beberapa negara - Aset jangka panjang yang tidak menghasilkan tingkat pengembalian menarik bagi sektor swasta karena permintaan 3 Kargo Umum terbatas dan tarif rendah - Pendapatan biasanya menyebar dan sulit untuk dikumpulkan. - Dapat dikembangkan sebagai pola awal pengenalan KPBU Penyediaan dan - Terlalu kecil untuk 4 pelayanan dipertimbangkan sebagai JV /
Opsi Skema KPBU
Prioritas
- BOT - Konsesi - Manajemen kontrak privatisasi
Tinggi
- BOT - Konsesi - Manajemen kontrak privatisasi
Tinggi
hybrid
Rendah
hybrid
Sedang Bab 2 | 27
No
Tipe Proyek peralatan pelabuhan (cranes dan gantry)
5
Pergudangan
6
Pelayanan tunda dan pandu
7
Supply air bersih dan air minum kapal
8
Pengelolaan SBNP
9
Reklamasi lahan
2.5
Karakteristik BOT. - Secara kolektif, masih kurang besar nilainya sebagai BOT. - Sulit untuk diisolasi dari kegiatan pelabuhan lainnya. - Keterbatasan lahan di kawasan pelabuhan - Sering dilakukan oleh perusahaan swasta yang memberikan layanan kepada perusahaan pengguna jasa pengiriman. - Nilai terlalu kecil untuk BOT. - Frekuensi kapal yang masih rendah - Pada umumnya, nilai terlalu kecil sebagai BOT/JV. - Investasi kapal yang cukup tinggi - Kebutuhan tenaga spesialis menetap. - Frekuensi kapal yang masih rendah - Pada umumnya, nilai terlalu kecil sebagai BOT/JV. - Pemanfaatan fasilitas yang telah ada - Kebutuhan supply air yang menerus - Fokus pada keselamatan pelayaran - Investasi awal cukup tinggi - Tidak ada pendapatan secara langsung Aset yang sangat jangka panjang atau pengembangan yang belum dapat menghasilkan keuntungan yang memadai bagi investor sektor swasta
Opsi Skema KPBU
Prioritas
BOT
Sedang
Manajemen kontrak
Sedang
- Perusda (PDAM) - Kontrak pelayanan
Sedang
Kontrak pelayanan
Rendah
Pemerintah
Rendah
INFRASTRUKTUR YANG AKAN DIBANGUN DENGAN SKEMA KPBU
Dari hasil identifikasi pada Tabel 2.27 di atas, serta perhitungan awal kelayakan studi, maka ditentukan proyek yang memiliki prioritas tinggi untuk dilaksanakan proyek KPBU di Pelabuhan Bau Bau adalah Pembangunan Terminal Peti Kemas dan Multipurpose dengan beberapa informasi kegiatan sebagai berikut: a. Proyek Kerjasama Permerintah Swasta untuk Penyelenggaraan Terminal Peti Kemas Pelabuhan
Baubau
meliputi
perencanaan,
pengelolaan,
pembangunan
dan
operasional terminal peti kemas termasuk prasarana dan sarana yang ada didalamnya. b. Pelayanan jasa peti kemas di Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau termasuk hak untuk menetapkan tarif pelayanan dermaga Peti Kemas yang meliputi: Bab 2 | 28
1) Kegiatan operasi kapal, terdiri atas: a) Kegiatan dermaga b) Stevedoring c) Haulage/trucking d) shifting e) buka tutup palka f) lift on/lift off 2) Kegiatan operasi lapangan, terdiri atas: a) penumpukan b) lift on/lift off c) gerakan ekstra d) relokasi e) angsur 3) Kegiatan operasi container freight station, terdiri atas: a) stripping/ stuffing b) penumpukan c) penerimaan penyerahan 4) kegiatan pelayanan tambahan, terdiri atas: a) biaya administrasi nota b) biaya inter terminal transfer c) biaya SPP (Surat Penyerahan Petikemas) d) biaya kartu ekspor e) biaya hi-co scan f) biaya hi-co scan with behandle g) biaya stack awal (biaya penumpukan plus gerakan ekstra) h) biaya batal transaksi i) biaya after closing time j) biaya administrasi IT System k) biaya PLP (Pindah Lokasi Penumpukan) l) biaya site office m) biaya monitoring/supervisi
2.6
PELABUHAN BAUBAU DALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BAUBAU
Pelabuhan Baubau dalam Peraturan Daerah Kota Baubau Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Baubau Tahun 2011-2030 adalah Pelabuhan
Bab 2 | 29
Pengumpan skala regional dengan alur pelayaran regional yang menghubungkan Pelabuhan Baubau dengan pelabuhan regional dan pelabuhan nasional lainnya. Berdasarkan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi laut untuk tatanan kepelabuhanan, mengikuti ketentuan: 1. Kegiatan yang diperbolehkan untuk pelabuhan umum meliputi kegiatan: operasional pelabuhan, pembangunan prasarana dan sarana penunjang pelabuhan, dan pengembangan kawasan pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. 2. Kegiatan yang diperbolehkan dengan syarat meliputi kegiatan selain yang disebutkan pada nomor 1 yang berada di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, dengan syarat harus mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan Raperda RTRW Kota Baubau 3. Kegiatan yang tidak diperbolehkan berupa kegiatan yang dapat mengganggu kegiatan di Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan, dan jalur transportasi laut.
2.7
RESUME RENCANA INDUK PELABUHAN BAUBAU
Rencana pengembangan fasilitas Pelabuhan Baubau didasarkan pada dokumen Rencana Induk Pelabuhan yang memuat rencana pengembangan jangka pendek, menengah dan panjang. Tahapan pengembangan dalam Dokumen Rencana Induk tersebut merupakan pegangan dalam pengembangan prasarana, sarana maupun fasilitas pendukung pada pelabuhan.
Bab 2 | 30
Tabel 2.27 Rekapitulasi Pengembangan Sarana dan Prasarana Pelabuhan Baubau
Sumber: Dokumen Draft Rencana Induk Pelabuhan Baubau
Bab 2 | 31
Bab 3 Kajian Hukum dan Kelembagaan
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
3.1
ANALISA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
3.1.1 Aspek Hukum Kepelabuhanan 3.1.1.1 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran daerah untuk kabupaten/kota yang berskala kabupaten/kota, terdapat beberapa beberapa definisi yang berhubungan dengan Studi Kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk Pelabuhan Baubau Sulawesi Tenggara dijabarkan seperti yang disebutkan oleh pasal sebagai berikut: Pelayaran dikuasai oleh Negara dan pembinaannya oleh pemerintah, pembinaan tersebut meliputi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Pengaturan sebagaimana yang dimaksud meliputi kebijakan umum dan teknis, antara lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk keselamatan dan keamanan pelayaran serta perijinan. Pengendaliaan yang dimaksud adalah pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perijinan, sertifikasi, serta teknis dibidang pembangunan dan pengoperasian. Pengawasan yang dimaksud adalah meliputi pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan aturan perundang-undangan termasuk dalam tindakan korektif dan penegakan hukum. Pembinaan yang dimaksud adalah dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan. Pemerintahan daerah melakukan pembinaan pelayaran sesuai dengan kewenangannya. Dalam Undang-Undang 17/2008 tentang Pelayaran disebutkan bahwa Penyelenggaraan Pelabuhan dilaksanakan oleh pemerintah, dan Badan Usaha Pelabuhan berperan sebagai operator yang mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Penyelenggara pelabuhan berperan sebagai wakil pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian, dimana pemberian konsesi tersebut dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Pasal inilah yang dapat menjadi dasar hukum untuk
pelaksanaan
skema
Kemitraan
Pemerintah
dan
Swasta
dalam
penyelenggaraan/pengusahaan pelabuhan.
Bab 3 | 1
3.1.1.2 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhan Beberapa poin yang diatur dalam Peratuan Pemerintah 61 tahun 2009 yang tentang Kepelabuhan khususnya yang ada hubungannya dengan penyelenggaraan kegiatan atau pengusahaan pelabuhan dijabarkan sebagai berikut: Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas: penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang; dan jasa terkait dengan kepelabuhanan. (Pasal 68) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang,dan barang terdiri atas: a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat; b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih; c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan; d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas; e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan; f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan ro-ro; g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang; h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal. Kegiatan-kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang,dan barang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan. Penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan meliputi: a.
Penyediaan fasilitas penampungan limbah;
b.
penyediaan depo peti kemas;
c.
penyediaan pergudangan;
d.
jasa pembersihan dan pemeliharaan gedung kantor;
e.
instalasi air bersih dan listrik;
f.
pelayanan pengisian air tawar dan minyak;
g.
penyediaan perkantoran untuk kepentingan pengguna jasa pelabuhan;
h.
penyediaan fasilitas gudang pendingin;
i.
perawatan dan perbaikan kapal;
j.
pengemasan dan pelabelan;
k.
fumigasi dan pembersihan/perbaikan kontainer;
Bab 3 | 2
l.
angkutan umum dari dan ke pelabuhan;
m.
tempat tunggu kendaraan bermotor;
n.
kegiatan industri tertentu;
o.
kegiatan perdagangan;
p.
kegiatan penyediaan tempat bermain dan rekreasi;
q.
jasa periklanan; dan/atau
r.
perhotelan, restoran, pariwisata, pos dan telekomunikasi.
Kegiatan-kegiatan
penyediaan
dan/atau
pelayanan
jasa
terkait
dengan
kepelabuhanan dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha. Badan Usaha Pelabuhan dapat melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang,dan barang pada 1 (satu) atau beberapa terminal dalam 1 (satu) pelabuhan. (Pasal 71) Dalam kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa terkait dengan kepelabuhanan, penyelenggara pelabuhan dapat melakukan kerjasama dengan orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha. (Pasal 76)
3.1.1.3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Perhubungan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2015 menjelaskan jenis PNBP yang berlaku pada lingkungan Kementerian Perhubungan yang meliputi jasa transportasi darat, laut, udara serta pendidikan dan pelatihan. Jasa transportasi laut sendiri, dibagi kedalam 4 jenis jasa pelayanan yakni: 1. Jasa Kepelabuhanan, terdiri dari: a. Jasa Pelayanan Kapal, (labuh, pandu, tunda dan tambat) b. Jasa Pelayanan Barang (bongkar, muat, penumpukan petikemas, gudang) c. Jasa Pelayanan Alat 2. Jasa Navigasi, terdiri dari: a. Jasa Bantu Navigasi Pelayaran b. Sewa Fasilitas Galangan Navigasi c. Jasa Telekomunikasi Pelayaran 3. Penerimaan Uang Perkapalan, terdiri dari: a. Pemeriksaan, pengujian dan sertfikasi keselamatan kapal b. Pengukuran kapal 4. Jasa Angkutan Laut: Bab 3 | 3
a. Surat Izin Usaha Perusahaan Angkutan Laut (SIUPAL) b. Surat Izin Operasi Perusahaan Angkutan Laut Khusus (SIOPSUS) Adapun point-point penting dalam pasal 6 menjelaskan jasa-jasa yang berkaitan dengan jasa transportasi laut, yang dijabarkan sebagai berikut: 1.
Besaran tarif jasa pemanduan di luar perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa dikenakan tarif PNBP sesuai dengan tarif jasa pemanduan di pelabuhan umum.
2.
Besaran tarif jasa pemanduan di luar perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa tersebut, tidak termasuk biaya akomodasi dan transportasi. 3.
Biaya akomodasi dan tansportasi tersebut dibebankan kepada wajib bayar yang
meminta jasa pemanduan sesuai dengan peraturan perundangan.
3.1.1.4 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 63 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Otoritas Pelabuhan Dalam Undang-undang nomor 63 tahun 2010 tentang organisasi dan tata kerja kantor otoritas pelabuhan yang berhubungan dengan studi ini adalah sebagai berikut: 1. Kantor
Otoritas
Pelabuhan
mempunyai
tugas
melaksanakan,
pengaturan,
pengendalian, dan pengawasan kepelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial (pasal 2). 2. Kantor otoritas pelabuhan menyelenggaraan fungsi seperti penyusunan rencana kerja, program dan desain, analisis dan evaluasi penyediaan dan pemeliharaan fasilitas pelabuhan, penahan gelombang, pengerukan kolam pelabuhan dan alur pelayaran, reklamasi serta jaringan jalan dan sarana bantu navigasi pelayaran, sarana dan prasarana jasa kepelabuhanan. Pelaksanaan pegaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan lalu lintas dan angkatan laut serta penjaminan arus barang di pelabuhan. Pelaksanaan dan pengawasan penggunaan lahan daratan dan perairan, fasilitas dan pengoperasian pelabuhan, Daerah Lingkungan Kerja (DLKr), dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan serta keamanan dan ketertiban keamanan (Pasal 3 dan pasal 9). 3. Beberapa program persiapan, antara lain: Penyiapan bahan penyusunan rencana kerja, penyiapan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan, penyiapan bahan penetapan standar kinerja operasional pelayanan jasa pelabuhan, penyiapan bahan rencana pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pelayanan jasa kepelabuhanan, penyiapan bahan penyusunan rencana desain konstruksi fasilitas pokok pelabuhan dan fasilitas penunjang kepelabuhanan, penyiapan bahan penyusunan program pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana Bab 3 | 4
pelayanan
jasa
kepelabuhanan,
penyiapan
bahan
analisa
dan
evaluasi
pembangunan, penyiapan bahan penyusunan dan pengusulan tarif (pasal 10).
3.1.2 Aspek Hukum Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha di bidang Infrastruktur Pelabuhan 3.1.2.1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 83 Tahun 2010 tentang Panduan Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur Transportasi mengatur mengenai: 1. Penyediaan Infrastuktur adalah kegiatan yang meliputi pekerjaan konstruksi untuk membangun dan meningkatkan kemampuan infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastuktur dan/atau pemeliharaan infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastuktur. 2. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) adalah kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan Koperasi 3. Perjanjian
kerjasama
adalah
kesepakatan
yang
tertulis
untuk
Penyediaan
Infrastruktur antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha yang ditetapkan melalui pelelangan Umum. 4. Proyek Kerjasama adalah Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama
atau
pemberian
Izin
Pengusahaan
antara
Menteri/
Kepala
Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha. 5. Dukungan Pemerintah adalah kontribusi fiskal ataupun non fiskal yang diberikan oleh Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala
Daerah
dan/atau
Menteri
Keuangan
sesuai
kewenangan masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam rangka meningkatkan kelayakan finansial Proyek Kerjasama. 6. Jaminan Pemerintah adalah kompensasi finansial dan/atau kompensasi dalam bentuk lain yang diberikan oleh Menteri Keuangan kepada Badan Usaha melalui skema pembagian risiko untuk Proyek Kerjasama. 7. Untuk mengetahui kelayakan KPS, Prastudi Kelayakan dilakukan melalui evaluasi dari sisi ekonomi dan finansial proyek KPS. Output dari Hasil evaluasi tersebut berupa: a. Layak ekonomi dan finansial marginal Kategori kelayakan ini membutuhkan dukungan atau jaminan pemerintah berupa dukungan fiskal dan non fiskal (perizinan). Fiskal dalam hal ini berupa tanah dan
Bab 3 | 5
infrastruktur dasar yang telah disetujui dalam RKAKL Kementerian Perhubungan dalam bentuk DIPA (Daftar Isian Pengguna Anggaran). b. Layak ekonomi dan finansial Kategori ini tidak membutuhkan dukungan fiskal dari Pemerintah. 8. Usulan proyek yang sudah dinyatakan layak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu konsultasi publik dan market sounding. Proses konsultasi publik dilakukan pada tahap penyusunan prastdudi kelayakan dengan pemangku kepentingan. Proses konsultasi publik dilakukan dalam bentuk penyebarluasan informasi pada PPP Book. 9. Semua proyek KPS infrastruktur di Sektor Transportasi harus dilakukan melalui proses pelelangan yang kompetitif yang didahului proses struktural pada umumnya termasuk proses pra-kualifikasi meliput. 10. Bentuk Kerja Sama merupakan tinjauan agar kemitraan KPS distrukturkan untuk mengoptimalkan nilai bagi publik dan pada saat yang bersamaan tidak mengurangi minat dari mitra swasta. Pada umumnya, Bentuk Kerja Sama ini dilakukan sebagai bagian dari Studi Kelayakan. Adapun bentuk-bentuk kerjasama secara garis besar dibagi menjadi: 1. bangun-milik-guna (build-own-operate); 2. bangun-milik-guna-serah (build-own-operate-transfer); 3. bangun-guna-serah (build-operate-transfer); 4. bangun-serah-guna (build-transfer-operate); 5. rehabilitasi-guna-serah (rehabilitate-operate-transfer); 6. kembangkan-guna-serah (develope-operate-transfer); dan 7. bentuk-bentuk kerjasama lainnya.
3.1.2.2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2010 tentang Pembentukan Simpul Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) Beberapa point penting yang dalam Peraturan Menteri Pehubungan Nomor 90 Tahun 2010 yang menjelaskan mengenai simpul KPS dijabarkan sebagai berikut: 1. Simpul KPS Kementerian Perhubungan merupakan unit kerja fungsional yang bertanggung jawab kepada Menteri. 2. Simpul KPS dibentuk untuk pemberdayaan organisasi unit kerja di lingkungan Kementerian Perhubungan sesuai tugas dan fungsinya masing-masing dalam penyedian dan pembangunan infrastruktur melalui mekanisme KPS;
Bab 3 | 6
3. Simpul KPS mempunyai tugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan, sinkronisasi, koordinasi, pengawasan dan evaluasi pembangunan proyek-proyek infrastruktur dengan skema KPS. 4. Simpul Kerjasama Pemerintah Swasta Kementerian Perhubungan akan dievaluasi secara berkala disesuaikan dengan perkembangan Iingkungan strategisyang terjadi 5. Simpul KPS sebagaimana dimaksud terdiri atas Pengarah dan Pelaksana Pengarah meliputi: a. Ketua: Menteri Perhubungan; b. Wakil Ketua: Wakil Menteri Perhubungan; c. Sekretaris: Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan; d. Anggota: 1) Direktorat Jendral Perhubungan Darat 2) Direktorat Jendral Perhubungan Laut 3) Direktorat Jendral Perhubungan Udara 4) Direktorat Jendral Perkeretaapian 5) Kepala Badan Pengembangan Sumber DayaManusia Perhubungan; 6) Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perhubungan; dan 7) Staf Ahli Bidang Ekonomi dan KemitraanPerhubungan. Pelaksanan meliputi: e. Ketua Harian: Kepala Pusat Kajian Kemitraan dan Pelayanan Jasa Transportasi; f. Wakil Ketua I: Kepala Biro Perencanaan; g. Wakil Ketua II: Kepala Biro Hukum & KSLN; h. Koordinator: 1) Perencanaan Proyek Kerjasama: Kepala Biro Perencanaan; 2) Penyiapan Prastudi Kelayakan Proyek Kerjasama: Kepala PKKPJT; 3) Transaksi Proyek Kerjasama: a) Transportasi Darat: Sekretaris Ditjen Perhubungan Darat; b) Transportasi Laut: Sekretaris Ditjen Perhubungan Laut; c) Transportasi Udara: Sekretaris ditjen Perhubungan Udara; d) Transportasi Perkeretaapian: Sekretaris Ditjen Perkeretaapian; e) Prasarana/ Sarana Pengembangan SDM Perhubungan: Sekretaris Badan Pengembangan SDM Perhubungan 4) Manajemen Perjanjian Kerjasama a) Transportasi Darat: Direktur LLASOP Oitjen Perhubungan Darat dan Direktur LLAJ Ditjen Perhubungan Darat; b) Transportasi Laut: Direktur Pelpeng Ditjen Perhubungan Laut; c) Transportasi Udara: Direktur Bandara Ditjen Perhubungan Udara;
Bab 3 | 7
d) Transportasi Perkeretaapian Direktur LLAKA Oitjen Perkeretaapian; Prasarana/Sarana Pengembangan SDM Perhubungan Kapus Pengembangan SDM
Perhubungan
Darat
danPerkeretaapian,
Kapus
Pengembangan
SDMPerhubungan Laut, Kapus Pengembangan SDM Perhubungan Udara. 5) Anggota: a) Kepala Biro Keuangan dan Perlengkapan b) Kepala Data dan Informasi c) Kepala Komunikasi Publik
3.1.3 Aspek Pendirian Perusahaan dalam rangka Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perpres 38/2015”) dan Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur (“Permen PPN 4/2015”) mengamanatkan pemenang pelelangan dalam proyek KPBU untuk mendirikan badan usaha pelaksana. Badan usaha pelaksana selanjutnya akan menandatangani perjanjian kerjasama dengan penangung jawab perjanjian kerjasama (“PJPK”) dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan proyek. Perpres 38/2015 dan Permen PPN 4/2015 mengamanatkan badan usaha pelaksana berbentuk perseroan terbatas. Sehubungan dengan hal tersebut maka pendirian badan usaha pelaksana akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU 40/2007”). Terdapat beberapa ketentuan dalam UU 40/2007 yang perlu dipertimbangkan dalam pembentukan badan usaha pelaksana sebagai berikut: 1. Jangka waktu berdirinya badan usaha pelaksana Pasal 6 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan terbatas dapat didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. Dalam kaitannya dengan Proyek, badan usaha pelaksana dibentuk untuk melaksanakan Proyek dengan jangka waktu perjanjian yang telah ditentukan oleh PJPK, oleh karenanya badan usaha pelaksana harus memiliki jangka waktu pendirian yang meliputi seluruh jangka waktu perjanjian kerja sama berikut dengan perpanjangannya. Bab 3 | 8
2. Pemegang saham badan usaha pelaksana Pasal 7 UU 40/2007 mengatur bahwa perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam kaitannya dengan proyek KPBU, dalam hal peserta lelang merupakan konsorsium maka sesuai dengan ketentuan Perpres 38/2015 dan Permen PPN 4/2015 maka seluruh anggota konsorsium harus menjadi pemegang saham dalam badan usaha pelaksana sesuai dengan porsi ekuitas yang telah ditentukan dalam perjanjian konsorsium. Dalam hal ini perlu juga diperhatikan ketentuan dalam Pasal 22 (1) j 2) e) Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perka LKPP 19/2015”) yang mengatur bahwa pimpinan konsorsium harus menguasai mayoritas ekuitas dari badan usaha pelaksana yang dibentuk oleh pemenang pelelangan. Adapun pimpinan konsorsium dapat lebih dari 1 (satu) badan usaha. Ketentuan dalam UU 40/2007 tersebut di atas juga membawa konsekuensi bahwa dalam hal pemenang lelang merupakan badan usaha tunggal maka badan usaha tunggal tersebut tidak akan dapat membentuk badan usaha pelaksana. Di sisi lain, melarang badan usaha tunggal sebagai peserta lelang juga tidak tepat karena Perka LKPP 19/2015 telah mengatur bahwa badan usaha tunggal dapat menjadi peserta dalam pelelangan KPBU. Oleh karenanya dalam dokumen pelelangan perlu diatur mekanisme atau ketentuan yang khusus mengatur mengenai pembentukan badan usaha pelaksana oleh peserta yang merupakan badan usaha tunggal, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada badan usaha tunggal tersebut untuk melibatkan pihak lain sebagai pemegang saham sehingga memenuhi syarat pendirian perseroan terbatas dalam UU 40/2007. Namun demikian karena pihak lain tersebut tidak ikut dalam proses prakualifikasi dan pelelangan maka jumlah saham dari pemegang saham lain tersebut harus diatur seminimal mungkin sehingga tidak mereduksi tujuan dari prakualifikasi dan pelelangan yang telah dilakukan. 3. Status badan hukum dari badan usaha pelaksana Pasal 7 ayat 4 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menkumham”) mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.
Bab 3 | 9
Sehubungan dengan pendirian dan status badan hukum dari badan usaha pelaksana, perlu juga diperhatikan ketentuan dalam Lampiran Permen PPN 4/2015 yang mengatur bahwa badan usaha pelaksana harus telah didirikan secara sah paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal penetapan pemenang pelelangan selanjutnya perjanjian KPBU harus ditandatangani oleh Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (“PJPK”) dan badan usaha pelaksana selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari kerja setelah terbentuknya badan usaha pelaksana (Bab IV E 1. b. dan c.). Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas maka penandatanganan perjanjian kerjasama antara PJPK dengan badan usaha pelaksana dilaksanakan setelah pendirian badan usaha pelaksana tersebut telah mendapatkan pengesahan dari Menkumham. 4. Kegiatan usaha badan usaha pelaksana Pasal 18 UU 40/2007 mengatur bahwa suatu perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang dicantumkan dalam anggaran dasar perseroan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitannya dengan Proyek, badan usaha pelaksana khusus didirikan untuk melaksanakan Proyek, sehingga dengan demikian badan usaha pelaksana harus mencantumkan dalam anggaran dasarnya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang sejalan dengan Proyek dan tidak mencantumkan jenis usaha atau kegiatan lainnya di luar Proyek. 5. Pemindahan hak atas saham Pasal 55 dan Pasal 56 UU 40/2007 pada dasarnya memberikan kebebasan kepada pemegang saham untuk mengalihkan sahamnya sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam anggaran dasar perseroan. Untuk membatasi/mengatur pengalihan saham dalam badan usaha pelaksana oleh para pemegang sahamnya maka perlu diatur batasan-batasan pengalihan saham badan usaha pelaksana dalam perjanjian kerjasama antara PJPK dengan badan usaha pelaksana. Pengaturan pengalihan saham ini diperlukan untuk memastikan bahwa pengalihan saham dalam badan usaha pelaksana tidak akan berdampak negatif terhadap Proyek, misalnya mengakibatkan jadwal pembangunan Proyek menjadi tidak tercapai. Dalam Bab IV E 2. f. 3. Permen PPN 4/2015 diatur mengenai tugas dari Simpul KPBU sehubungan dengan pengalihan saham dalam badan usaha pelaksana sebelum proyek
Bab 3 | 10
KPBU beroperasi secara komersial. Dalam hal pengalihan saham tersebut di atas, Simpul KPBU ditugaskan untuk melakukan kegiatan yang meliputi: a. Penetapan kriteria pengalihan saham oleh PJPK yang meliputi: 1) pengalihan saham tidak boleh menunda jadwal mulai beroperasinya KPBU; dan 2) pemegang saham pengendali yang merupakan pemimpin konsorsium dilarang untuk mengalihkan sahamnya sampai dengan dimulainya operasi komersial dari KPBU. b. melakukan kualifikasi terhadap calon pemegang saham baru badan usaha pelaksana yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada saat dilaksanakan prakualifikasi pelelangan umum Badan Usaha Pelaksana; c. mengajukan persetujuan kepada PJPK, apabila calon pemegang saham baru telah memenuhi seluruh kriteria pengalihan saham yang ditetapkan dan memenuhi persyaratan kualifikasi; dan d. menyiapkan konsep persetujuan pengalihan saham yang akan ditandatangani oleh PJPK. 6. Kewenangan Direksi badan usaha pelaksana untuk menandatangani perjanjian kerjasama dengan PJPK Berdasarkan Pasal 98 UU 40/2007 pada dasarnya direksi memiliki kewenangan dalam mewakili badan usaha pelaksana baik di luar maupun di dalam pengadilan. Kewenangan direksi untuk mewakili badan usaha pelaksana sebagaimana dimaksud di atas tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UU 40/2007, anggaran dasar, atau keputusan rapat umum pemegang saham. Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas maka perlu dipastikan kapasitas atau kewenangan dari direksi badan usaha pelaksana dalam anggaran dasar badan usaha pelaksana untuk menandatangani perjanjian kerjasama. Jika dalam anggaran dasar diatur mengenai persyaratan untuk mendapatkan persetujuan dari organ perseroan untuk menandatangani perjanjian kerjasama maka persyaratan tersebut harus diperoleh sebelum penandatanganan perjanjian kerjasama. Dalam rangka memastikan legal standing dari badan usaha pelaksana termasuk direksinya dalam menandatangani dan melaksanakan perjanjian kerjasama dan perjanjian terkait lainnya, maka sebaiknya dalam perjanjian kerjasama disyaratkan kewajiban dari badan usaha pelaksana untuk menyerahkan pendapat hukum dari
Bab 3 | 11
firma hukum yang menegaskan legal standing termasuk kewenangan dari direksi badan usaha pelaksana untuk menandatangani dan melaksanakan perjanjian kerjasama dan perjanjian proyek lainnya. 3.1.4 Aspek Hukum Investasi/Penanaman Modal Mengenai penanaman modal asing di Indonesia, dalam proyek KPS sektor pelabuhan, menurut Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Perpres 39/2014”), terdapat batas kepemilikan asing untuk penanaman modal di dalam perusahaan yang melakukan kegiatan usaha infrastruktur sektor pelabuhan adalah sebesar 49 %. Oleh karena demikian, investor asing harus bergabung dengan mitra lokal guna memiliki sedikitnya 51 % saham di Badan Usaha sebagaimana diatur dalam daftar negatif investasi. Mitra lokal ini harus ikut serta dalam proses tender sebagai anggota konsorsium investor asing. Dalam hal perusahaan pemenang tender Proyek adalah badan hukum asing, maka badan hukum tersebut dalam melakukan penanaman modal di Indonesia harus tunduk pada ketentuan-ketentuan penanaman modal asing yang diatur dalam UU 25/2007. Berdasarkan ketentuan UU 25/2007, setiap penanaman modal asing (investasi asing) yang dilakukan di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Suatu PT yang memiliki unsur permodalan asing disebut sebagai perusahaan penanaman modal asing ("Perusahaan PMA"). Sebelum pendirian atau pembentukan sebuah Perusahaan PMA, calon investor harus mengajukan permohonan untuk pendaftaran penanaman modal di BKPM. Selama proses aplikasi pendaftaran penanaman modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal ("BKPM") akan menentukan disetujui atau tidaknya permohonan penanaman modal tersebut. Langkah-langkah dan prosedur untuk melakukan pendaftaran penanaman modal, izin prinsip dan izin usaha, dan perubahan status Perusahaan PMA diatur dalam Peraturan BKPM 5/2013. Perusahaan PMA bisa
mendapatkan insentif penanaman modal
dalam bentuk
pembebasan bea masuk untuk mesin, pembebasan bea masuk untuk barang-barang dan bahan-bahan dan pengurangan pajak pendapatan perusahaan (PPh perusahaan). Dalam Bab 3 | 12
hal suatu Perusahaan PMA ingin mendapatkan insentif penanaman modal, maka Perusahaan PMA tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan izin prinsip dari BKPM. Dalam mengajukan permohonan Izin Prinsip dari BKPM, Penanam Modal asing mengisi aplikasi pendaftaran penanaman modal asing kepada BKPM sesuai dengan Peraturan BKPM No.5 Tahun 2013. Setelah dikeluarkan Izin Prinsip dari BKPM, maka penanam modal dapat mengajukan permohonan pemberian fasilitas investasi (pembebasan bea masuk barang produksi, penangguhan pajak penghasilan badan). Penanam modal wajib memperoleh izin usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan BKPM No. 5 Tahun 2013 dan peraturan lain yang terkait. 3.1.5 Aspek Keselamatan Kerja Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”) mengatur
mengenai
hak
tenaga
kerja
untuk
mendapatkan
perlindungan
atas
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan. UU 1/1970 berlaku untuk keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, termasuk untuk pekerjaan di darat dan di bawah air. UU 1/1970 mengatur mengenai kewajiban dan hak dari pekerja terkait dengan keselamatan kerja yang meliputi: 1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; 2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan; 3. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan; 4. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan yang diwajibkan; 5. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batasbatas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan. UU 1/1970 juga mengatur mengenai kewajiban dari pengurus selaku pimpinan langsung tempat kerja sebagai berikut: 1. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sesuai UU 1/1970 dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-
Bab 3 | 13
tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesehatan kerja; 2. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja; 3. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja. Pasal 86 dan 87 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) mengatur bahwa setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi. Lebih lanjut, untuk memastikan perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja tersebut, setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem perusahaan. Dalam rangka K3, Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan perundangundangan di bidang K3, antara lain: 1. Peraturan
Menteri
Tenaga
Kerja
Nomor
PER.05/MEN/1996
tentang
Sistem
Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (“Permenaker 5/1996”); 2. Surat Keputusan Bersama Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 174/MEN/1986 & 104/KPTS/1986 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi (“SKB 174/1986 & 104/1986”); 3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 09/PER/M/2008 tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Konstruksi Bidang Pekerjaan Umum (“Permen PU 9/2008”). Permenaker 5/1996 mengatur bahwa setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja
Bab 3 | 14
wajib menerapkan Sistem Manajemen K3. Dalam penerapan Sistem Manajemen K3 tersebut, perusahaan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Menetapkan kebijaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dan menjamin komitmen terhadap penerapan Sistem Manajemen K3. 2. Merencanakan pemenuhan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan dan kesehatan kerja; 3. Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja. 4. Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja keselamatan dan kesehatan kerja serta melakukan perbaikan dan pencegahan; 5. Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan Sistem Manajemen K3 secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam rangka memastikan penerapan Sistem Manajemen K3 tersebut di atas, perusahaan dapat melakukan audit melalui badan audit yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja. Audit Sistem Manajemen K3 meliputi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Pembangunan dan pemeliharaan komitmen; 2. Strategi pendokumentasian; 3. Peninjauan ulang desain dan kontrak; 4. Pengendalian dokumen; 5. Pembelian; 6. Keamanan bekerja berdasarkan Sistem Manajemen K3; 7. Standar Pemantauan; 8. Pelaporan dan perbaikan kekurangan; 9. Pengelolaan material dan pemindahannya; 10. Pengumpulan dan penggunaan data; 11. Pemeriksaan sistem manajemen; 12. Pengembangan keterampilan dan kemampuan Dalam rangka kegiatan konstruksi, Permen PU 9/2008 mensyaratkan agar pengguna jasa/penyedia jasa yang aktifitasnya melibatkan tenaga kerja dan peralatan kerja untuk keperluan pelaksanaan pekerjaan fisik dil lapangan wajib menyelenggarakan sistem manajemen dan keselamatan kerja (SMK3) konstruksi bidang pekerjaan umum. Lebih lanjut Permen PU 9/2008 mengatur bahwa dalam rangka penyelenggaraan SMK3
Bab 3 | 15
Konstruksi bidang pekerjaan umum penyedia jasa konstruksi harus membuat Rencana Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja Kontrak yang disetujui oleh pengguna jasa. Pasal 3 Permen PU 9/2008 mengatur bahwa untuk instansi di luar Kementerian Pekerjaan Umum. Penyelenggaraaan SMK3 sebagaimana diatur dalam Permen PU 9/2008 perlu penyesuaian lebih lanjut sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam kaitannya dengan Proyek, untuk memastikan dipenuhinya segala peraturan yang berlaku di bidang K3 oleh badan usaha pelaksana, perlu diatur dalam perjanjian kerjasama mengenai kewajiban dari badan usaha pelaksana untuk mematuhi segala peraturan di bidang K3. 3.1.6 Aspek Hukum Pengadaan Lahan Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang akan digunakan dalam Proyek harus dilaksanakan dengan berdasarkan UU No. 2/2012, Perpres 71/2012, dan Peraturan BPN No. 5/2012 ("Kerangka Pengadaan Tanah"). Kerangka Pengadaan Tanah sebagai dasar diadakannya pengadaan tanah suatu proyek yang terkait dengan kepentingan umum harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Kerangka Pengadaan Tanah tersebut. Berdasarkan Kerangka Pengadaan Tanah, proses pengadaan tanah dibagi dalam tiga tahap: tahap perencanaan, persiapan dan pelaksanaan. Tahapan pengadaan tanah tersebut dapat dijalankan secara berdampingan dengan tahapan pelaksanaan proyek kerjasama pada tahap perencanaan dan penyiapan Proyek. Tahap pertama dari kerangka pengadaan tanah adalah tahap perencanaan. Tahapan perencanaan terdiri dari studi kelayakan dan dokumen perencanaan pengadaan tanah. Terlepas dari hal-hal lain, dokumen perencanaan pengadaan tanah harus menunjukan bahwa pengadaan tanah tersebut didasarkan kepada: 1. rencana tata ruang dan wilayah yang ada; dan 2. prioritas pengembangan proyek seperti dijelaskan dalam rencana pembangunan jangka menengah, rencana strategis, dan rencana kerja lembaga pemerintahan. Tahapan persiapan dilaksanakan setelah rencana pengadaan tanah disetujui oleh instansi yang memerlukan tanah. Tahapan persiapan terdiri dari, antara lain, konsultasi publik dan penetapan lokasi awal rencana pembangunan. Tahapan pelaksanaan terdiri
Bab 3 | 16
dari: pendataan status tanah, penilaian atas tanah oleh seorang penilai independen yang ditunjuk oleh BPN, negosiasi kompensasi dan penyerahan hak atas tanah. Dalam Kerangka Pengadaan Tanah, bentuk kompensasi dapat berupa pembayaran uang, tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham dalam proyek, atau bentuk lain yang disetujui para pihak. Kerangka Pengadaan Tanah menetapkan kriteria yang luas tentang orang yang berhak untuk mendapatkan kompensasi (tidak hanya pihak yang memiliki tanah dengan status terdaftar). Kriteria-kriteria ini dijelaskan dalam pasal 17 sampai 26 dari Perpres 71/2012. Kerangka Pengadaan Tanah memberikan mekanisme pengajuan keberatan bagi seluruh pihak yang merasa keberatan. Setiap keberatan selama konsultasi publik diberikan secara langsung pada tim terkait dengan konsultasi publik. Setiap keberatan terkait inventarisasi status tanah harus disampaikan kepada BPN dalam 14 hari setelah pengumuman status tanah terkait. Setiap keberatan sebagai hasil dari negosiasi kompensasi harus diberikan kepada Pengadilan Negeri (dengan hak untuk mengajukan banding kepada Mahkamah Agung). Berdasarkan pasal 85 UU 17/2008 diatur bahwa Otoritas Pelabuhan dapat diberikan Hak Pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengaturan
tersebut
dimaksudkan
bahwa
tanah
yang
dipergunakan untuk pengusahaan jasa kepelabuhan hak pengelolaannya diberikan kepada Otoritas Pelabuhan.
3.1.7 Aspek Pembiayaan Sebagai proyek infrastruktur yang dikembangkan berdasarkan skema KPBU, maka proyek pengembangan pelabuhan Bau-Bau diharapkan dapat dibiayai oleh badan usaha pelaksana. Dalam rangka pembiayaan Proyek, badan usaha pelaksana pada umumnya akan mendapatkan pembiayaan dari kreditor (lembaga keuangan) dan modal sendiri. Komposisi antara pembiayaan yang bersumber dari kreditor dalam bentuk pinjaman dan pembiayaan yang bersumber dari modal sendiri/ekuitas perlu ditetapkan sesuai dengan kajian kelayakan finansial sehingga Proyek dapat dikembangkan secara efisien dengan biaya yang terjangkau. Mengingat Proyek dikembangkan dengan skema pembayaran ketersediaan layanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 Bab 3 | 17
tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur (“Permenkeu 190/2015”) maka
pengembalian investasi badan usaha pelaksana didasarkan pada pembayaran berkala yang dilakukan oleh PJPK atas ketersediaan pelayanan infrastruktur oleh badan usaha pelaksana. Dalam hal ini, PJPK harus memastikan tersedianya anggaran untuk melakukan pembayaran ketersediaan layanan tersebut, dan disisi lain badan usaha pelaksana harus memastikan tersedianya layanan sesuai dengan indikator kinerja yang telah diperjanjikan untuk memastikan diperolehnya pembayaran dari PJPK. Sesuai dengan Pasal 3 dan 6 Permenkeu 190/2015, PJPK harus menganggarkan dana pembayaran ketersediaan layanan dalam APBN dan memastikan melakukan pembayaran ketersediaan layanan sesuai dengan mekanisme APBN. 3.1.8 Aspek Hukum Perpajakan Pengaturan
perpajakan
dalam
pelaksanaan
pembangunan,
pengelolaan
dan
penyelenggaraan pelabuhan terkait pelaksanaan Proyek KPBU meliputi, 1. Pajak Penghasilan pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 2 UU 36/2008; Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU 36/2008, badan usaha dapat dikenakan pajak penghasilan. Pajak penghasilan yang dibayarkan dihitung berdasarkan jumlah penghasilan kena pajak yaitu jumlah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya langsung ataupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha. 2. Pajak Bumi dan Bangunan pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 3 UU 12/1985 sebagaimana telah diamandemen melalui UU 12/1994; Badan usaha memiliki kewajiban untuk membayarkan Pajak Bumi dan Bangunan ("PBB") terhadap konstruksi yang dibangun atau ditanamkan secara tetap pada tanah. Pasal 3 UU 12/1985 sebagaimana telah diamandemen oleh UU 12/1994 menyebutkan bahwa obyek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah obyek pajak yang: a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
Bab 3 | 18
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah Negara yang belum dibebani suatu hak; d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan atas perlakuan timbal balik; e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Menurut ketentuan Pasal 5 UU 12/1985, besarnya PBB yang harus dibayarkan oleh badan usaha terhadap bangunan yang memiliki fungsi berkaitan dengan Proyek dan tidak termasuk dalam pengecualian obyek yang dikenakan PBB adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen). 3. Pajak Pertambahan Nilai pada Perusahaan Pelaksana Proyek, dasar hukum Pasal 4A UU 42/2009. Badan Usaha wajib untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan yang diatur pada Pasal 4A UU 42/2009, tidak menyebutkan bahwa penyelenggara prasarana transportasi tidak termasuk dalam kategori jenis jasa yang tidak dikenakan PPN. Oleh karena itu, kegiatan penyelenggaraan pelabuhan terkena kewajiban membayar PPN yang dibayarkan oleh badan usaha dalam penyelenggaraan pelabuhan sebesar 10% (sepuluh persen).
3.2
ANALISA MENGENAI KEBUTUHAN PERATURAN BARU
Sejauh ini, untuk kepastian pelaksanaan Proyek tidak teridentifikasi adanya kebutuhan untuk diterbitkannya Peraturan baru.
3.3
ANALISA JENIS-JENIS PERIJINAN YANG DIPERLUKAN UNTUK PROYEK
Pelaksanaan Proyek tentu harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk juga ketetuan-ketentuan mengenai perizinan. Secara umum ketentutan-ketentuan mengenai perizinan terdapat dalam Peraturan Pemerintah No 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhan. Dalam pasal 79 PP 61/2009 disebutkan bahwa “Pembangunan pelabuhan hanya dapat dilakukan berdasarkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) dan Rencana Induk Pelabuhan (RIP)”.
Bab 3 | 19
Dalam hal ini rencana Proyek telah sesuai dengan RIPN dan RIP Bau-Bau. Pembangunan pelabuhan laut oleh penyelenggara pelabuhan hanya dapat dilakukan setelah diperolehnya
izin
pembangunan
pelabuhan.
Dikarenakan
pelabuhan
Bau-Bau
direncanakan dikategorikan sebagai pelabuhan pengumpul, maka izin pembangunan pelabuhan Bau-Bau haruslah diajukan kepada Menteri. Dalam
proses
pembangunan
suatu
Pelabuhan
Umum
terdapat
bebeberapa
Penetapan/Perizinan awal yang harus diperoleh oleh Penyelenggara Pelabuhan, dalam hal pelabuhan Bau-Bau ini dilakukan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan agar dapat melaksanakan
Pembangunan
Pelabuhan,
adapun
Penetapan/Perizinan
tersebut
diantaranya adalah: 1. Penetapan Lokasi Pelabuhan 2. Rencana Induk Pelabuhan 3. Penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (Penetapan Batas-batas Tanah dan Perairan Pelabuhan) 4. Izin Pembangunan Pelabuhan 5. Perizinan Terkait Fasilitas Pelabuhan 6. Jaminan Kelestarian Lingkungan 7. Jaminan Keamanan dan Ketertiban 8. Izin Mendirikan Bangunan (Untuk Lahan Pelabuhan di daratan) 9. Izin Penggunaan Perairan (Untuk Lahan Pelabuhan di Perairan) 10. Izin Pengerukan dan Izin Reklamasi 11. Izin Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran 12. Izin Pekerjaan Di Bawah Air
Bab 3 | 20
Table 3.1 Jenis Perizinan, Persyaratan dan Jangka Waktu Penerbitan No 1
2
3
Dokumen
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya
Penetapan Lokasi Dokumen-dokumen yang diperlukan yaitu meliputi: Pelabuhan 1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional; 2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; 3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota; 4) Rencana Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan; 5) Hasil Studi Kelayakan mengenai: a) Kelayakan Teknis; b) Kelayakan Ekonomi; c) Kelayakan Lingkungan; d) Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan social daerah setempat; e) Keterpaduan intra dam amtarmoda; f) Adanya aksesibilitas terhadap hinterland; g) Keamanan dan keselamatan pelayaran; h) Pertahanan dan kemanan i) Rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota. Rencana Induk Dokumen-dokumen yang diperlukan yaitu meliputi: Kepelabuhan 1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional 2) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi 3) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota 4) Keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain yang terkait di Lokasi Pelabuhan. 5) Kelayakan teknis , ekonomis dan lingkungan 6) Keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal. Penetapan Daerah Dokumen yang diperlukan meliputi: Rekomendasi dari Lingkungan Kerja gubernur dan bupati/walikota mengenai kesesuaian dengan dan Daerah tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Lingkungan Kepentingan
Jangka Waktu Penerbitan 30 hari
Keterangan Pemohon adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Tidak ditentukan
Ditetapkan oleh Menteri dan Gubernur sesuai dengan kewenangannya
Tidak ditentukan
Ditetapkan oleh: 1) Menteri untuk Pelabuhan Utama dan Pelabuhan Pengumpul 2) Gubernur untuk Pelabuhan Pengumpan regional, dan Bab 3 | 21
No
Dokumen Pelabuhan.
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya
Jangka Waktu Penerbitan
Keterangan 3) Bupati/Walikota untuk pelabuhan untuk pelabuhan pengumpan local. Isi dalam Penetapan, paling tidak memuat Antara lain: 1) Luas lahan daratan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja; 2) Luas perairan yang digunakan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; 3) Titik koordinat geografis sebagai batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan. Kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam penetapan: 1) Untuk Daerah Lingkungan Kerja Daratan: a) Memasang tanda batas sesuai dengan batas Daerah Lingkungan Kerja daratan yang telah ditetapkan; b) Memasang papan pengumuman yang memuat informasi mengenai batas Daerah Lingkungan Kerja daratan pelabuhan; c) Melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki; Bab 3 | 22
No
4
5
Dokumen
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya
Jangka Waktu Penerbitan
Keterangan
d) Menyelesaikan sertifikat hak pengelolaan atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangm undangan; 2) Untuk Daerah Lingkungan Kerja Perairan: a) Memasang tanda batas sesuai dengan batas Daerah Lingkungan Kerja perairan yang telah ditetapkan; b) Menginformasikan mengenai batas Daerah Lingkungan Kerja perairan pelabuhan kepada pelaku kegiatan kepelabuhanan; c) Menyediakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; d) Menyediakan dan memelihara kolam pelabuhan dan alurpelayaran; e) Menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan; f) Melaksanakan pengamanan terhadap aset yang dimiliki berupa fasilitas pelabuhan di perairan. 30 hari sejak Pemohon merupakan Penyelenggara permohonan Pelabuhan yaitu Otoritas Pelabuhan atau diterima Unit Penyelenggara Pelabuhan.
Izin Pembangunan Perizinan/ Dokumen yang diperlukan meliputi: Pelabuhan 1) Rencana Induk Pelabuhan; 2) Dokumen kelayakan; 3) Dokumen desain teknis; 4) Dokumen lingkungan. Izin Mendirikan Persyaratan dan prosedur disesuaikan dengan UU No. 28 –
– Bab 3 | 23
No
6
7 8 9
10
Dokumen
Bangunan (untuk /2002 dan PP No. 36 /2005 lahan daratan pelabuhan) Izin Pembangunan Peraturan terkait belum diterbitkan Fasilitas Perairan Pembangunan
Izin Pembangunan Jaringan Jalan ke Pelabuhan Izin Pembangunan Sarana Bantu Navigasi Pelayaran Izin Pembangunan Penahan Gelombang,Izin Pembangunan Kolam Pelabuhan dan Izin Pembangunan Alur Pelayaran Izin Pengerukan
Jangka Waktu Penerbitan
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya
Keterangan
–
Akan diteliti dan dikonfirmasi lebih lanjut apakah yang dimaksud Izin ini adalah: 1. Izin Pengerukan 2. Izin Reklamasi 3. Izin Pekerjaan di Bawah Air
Ditetapkan oleh menteri.
–
–
Peraturan terkait belum diterbitkan
–
–
1) Pemenuhan persyaratan Administrasi, meliputi: a) Akta Pendirian Perusahaan; b) NPWP c) SKDP d) Keterangan Penanggung Jawab 2) Pemenuhan Persyaratan Teknis, meliputi: a) Keterangan mengenai maksud dan tujuan kegiatan pengerukan;
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Dirjen, Menteri dalam
Persyaratan dan prosedur disesuaikan dengan UU No. 38 /2002 tentang Jalan dan peraturan pelaksananya
Bab 3 | 24
No
11
Dokumen
Izin Reklamasi
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya b) lokasi dan koordinat geografis areal yang akan dikeruk; c) peta pengukuran kedalaman awal (predredge sounding) dari lokasi yang akan dikerjakan; d) untuk pekerjaan pengerukan dalam rangka pemanfaatan material keruk (penambangan) harus mendapat izin terlebih dahulu dari instansi yang berwenang; e) hasil penyelidikan tanah daerah yang akan dikeruk untuk mengetahui jenis dan struktur dari tanah; f) hasil pengukuran dan pengamatan arus di daerah buang; g) hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan atau sesuai ketentuan yang berlaku; dan h) peta situasi lokasi dan tempat pembuangan yang telah disetujui oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan, yang dilengkapi dengan koordinat geografis. 3) Surat pernyataan bahwa pekerjaan pengerukan akan dilakukan oleh perusahaan pengerukan yang memiliki izin usaha serta mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk melakukan pengerukan; 4) Rekomendasi dari Syahbandar setempat berkoordinasi dengan Kantor Distrik Navigasi setempat terhadap aspek keselamatan pelayaran setelah mendapat pertimbangan dari Kepala Kantor Distrik Navigasi setempat. 1) Administrasi, meliputi: a) Akte Pendirian Perusahaan; b) NPWP c) SKDP
Jangka Waktu Penerbitan jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja menerbitkan izin pengerukan
Keterangan
hasil penelitian yang dilakukan Bab 3 | 25
No
12
Dokumen
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya
Jangka Waktu Penerbitan Direktur Jenderal, Menteri dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari menerbitkan izin reklamasi
Keterangan
d) Keterangan penanggung jawab 2) Teknis, meliputi: a) keterangan mengenai maksud dan tujuan kegiatan reklamasi; b) lokasi dan koordinat geografis areal yang akan direklamasi; c) peta pengukuran kedalaman awal (predredge sounding) dari lokasi yang akan direklamasi; dan d) hasil studi analisis mengenai dampak lingkungan atau sesuai ketentuan yang berlaku. 3) Surat pernyataan bahwa pekerjaan reklamasi akan dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin usaha serta mempunyai kemampuan dan kompetensi untuk melakukan reklamasi; 4) Rekomendasi dari syahbandar setempat berkoordinasi dengan Kantor Distrik Navigasi setempat terhadap aspek keselamatan pelayaran setelah mendapat pertimbangan dari Kepala Kantor Distrik Navigasi setempat; dan 5) Rekomendasi dari Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan dari pelabuhan setempat akan kesesuaian dengan Rencana Induk Pelabuhan bagi pekerjaan reklamasi yang berada di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; atau 6) Rekomendasi dari bupati/walikota setempat akan kesesuaian dengan rencana umum tata ruang wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan bagi pekerjaan reklamasi di wilayah perairan terminal khusus. Izin Pekerjaan 1) Persyaratan Administrasi: Direktur Bawah Air (PBA) a) Memiliki kontrak kerja dan atau Letter of Intent Jenderal
Bab 3 | 26
No
Dokumen
Perizinan/Penetapan/Kewajiban Yang Diperlukan Untuk Mendapatkannya dari Pemberi Kerja; b) Fotokopi Surat Izin Usaha perusahaan salvage dan/atau pekerjaan bawah air; c) Daftar Kapal Kerja yang dilengkapi dengan crew list dan d) Fotokopi sertifikat/dokumen kelaikan dan operasional kapal yang masih berlaku. 2) Persyaratan Teknis, meliputi rencana kerja yang dilengkapi dengan jadwal, metode kerja, tenaga kerja, peralatan kerja, dan perta wilayah kerja kegiatan yang ditandai dengan koordinat geografis.
Jangka Waktu Penerbitan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja menerbitkan izin kegiatan pekerjaan bawah
Keterangan
Bab 3 | 27
3.4
Kajian Kelembagaan
3.4.1 Analisa Kewenangan Kementerian Perhubungan Dalam Penyelenggaraan Proyek Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perpres 38/2015”) infrastruktur transportasi merupakan jenis infrastruktur yang dapat dikerjasamakan dengan badan usaha melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (“KPBU”). Pasal 6 Perpres 38/2015 mengatur bahwa dalam proyek KPBU, Menteri/Kepala Lembaga dan Kepala Daerah bertindak sebagai Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (“PJPK”). Penentuan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah sebagai PJPK dilakukan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan di sektor infrastruktur yang terkait. Meskipun Perpres 38/2015 mengatur bahwa PJPK adalah Menteri/Kepala Lembaga dan Kepala Daerah, namun Perpres 38/2015 sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Permen PPN 4/2015”) memberikan kewenangan kepada Menteri/Kepala Lembaga dan Kepala Daerah untuk
mendelegasikan
kewenangannya
kepada
pihak
yang
dapat
mewakili
kementerian/lembaga/pemerintah daerah yang ruang lingkup, tugas, dan tanggung jawabnya
meliputi
sektor
Infrastruktur
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundangundangan. Dalam rangka implementasi skema KPBU dalam Proyek, skema kelembagaan didasarkan pada pembangunan dan pengembangan pelabuhan pada awalnya. Pelabuhan Baubau dibangun dan dikembangkan dengan investasi pemerintah pusat dengan sumber pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan pada hal tersebut, maka Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (Selanjutnya disebut “PJPK”) adalah Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Perhubungan. PJPK akan menggunakan dan mengijinkan Badan Usaha untuk menggunakan, mengoperasikan, merehabilitasi, meningkatkan, memelihara dan memperbaiki aset eksisting yang dimiliki oleh PJPK, Pemerintah Pusat c.q Kementerian Perhubungan. Hal ini merupakan bentuk kerjasama pemanfaatan barang sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2014 Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah. Bab 3 | 28
Dalam hal pemilihan bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah terkait Proyek, skema kerjasama yang dapat diimplementasikan adalah kerjasama pemanfaatan (untuk aset eksisting) dan skema Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer) untuk aset yang akan dibangun. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna barang milik negara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Dalam hal ini ketentuan mengenai tata cara yang dimaksud adalah tertuang pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pemanfaatan Barang Milik Negara. 3.4.2 Analisa Pemetaan Stakeholders dan Peran Serta Tanggung Jawabnya Stakeholders dan peran serta tanggung jawabnya dalam Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Kementerian Perhubungan Menteri Perhubungan merupakan penanggung jawab administrasi transportasi Indonesia. Menteri Perhubungan atas nama pemerintah melaksanakan fungsi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian sektor tranportasi. Merujuk pada peran dari Menteri Perhubungan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Menteri Perhubungan merupakan penanggung jawab umum atas Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau. Khusus dalam kaitannya dengan Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau peran dari Menteri Perhubungan juga meliputi penerbitan izin yang berada di bawah kewenangan Menteri Perhubungan, antara lain, Izin Pembangunan Pelabuhan untuk dapat melakukan pengembangan Pelabuhan Bau-Bau yang meliputi kegiatan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan tersebut. 2. Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut memiliki peran dalam merumuskan serta melaksanakan kebijakan, standar, norma, pedoman, kriteria dan prosedur serta bimbingan teknis, evaluasi dan pelaporan di bidang pengembangan pelabuhan dan perancangan fasilitas pelabuhan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan dan pendundaan kapal, bimbingan pelayanan jasa dan operasional pelabuhan.
Bab 3 | 29
3. Unit Penyelenggara Pelabuhan Bau-Bau Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 62 Tahun 2010 tentang Sususan Organisasi dan Tata Kerja Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan. Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Kementerian Perhubungan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Perhubungan melalui Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan mempunyai tugas melaksanakan pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. 4. Kementerian Keuangan Mengingat Proyek dikembangkan dengan skema Pembayaran Ketersediaan Layanan, maka sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.08/2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan Dalam Rangka Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“PMK 190/2015”) pembayaran ketersediaan layanan tersebut harus dilakukan melalui mekanisme APBN. Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka Kementerian Keuangan memiliki peranan dalam pengalokasian anggaran pembayaran ketersediaan layanan dalam APBN, khusunya dalam rangka memastikan: a. Kemampuan keuangan negara (kapasitas fiskal); b. Kesinambungan fiskal; dan c. Pengelolaan risiko fiskal. 5. PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) Sesuai dengan PMK 190/2015, terhadap proyek kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) yang dilaksanakan dengan mekanisme pembayaran ketersediaan layanan dapat diberikan penjaminan infrastruktur sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai penjaminan infrastruktur untuk proyek KPBU. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan badan Usaha yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (“Perpres 78/2010”) penjaminan terhadap proyek KPBU di bidang infrastruktur diberikan melalui Badan
Bab 3 | 30
Usaha Penjaminan Infrastuktur (dalam hal ini PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (“PT PII”)). PT PII didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara untuk Pendirian Badan Usaha Milik Negara di Bidang Penjaminan Infrastruktur (sebagaimana telah beberapakali diubah). Tujuan utama pendirian PT II adalah: a. Menyediakan penjaminan untuk proyek KPBU infrastruktur di Indonesia; b. Meningkatkan kelayakan kredit (creditworthiness) terutama bankability dari proyek KPBU dimata investor/kreditor; c. Meningkatkan tata kelola dan proses yang transparan dalam penyediaan penjaminan; d. Meminimalkan kemungkinan kejutan langsung (sudden shock) terhadap APBN dan memagari (ring-fencing) eksposur kewajiban kontinjensi Pemerintah.
a.
Badan Usaha Pelaksana Proyek Badan usaha pelaksana Proyek merupakan perusahaan yang dibentuk khusus oleh badan usaha pemenang pelelangan untuk melaksanakan Proyek. Berdasarkan perjanjian kerja sama yang akan ditandatangani oleh PJPK dan Badan Usaha Pelaksana Proyek, Badan Usaha Pelaksana Proyek memiliki kewajiban untuk membiayai, mendesain, membangun dan mengoperasikan pelabuhan bau-bau selama jangka waktu kerja sama.
b.
Pengguna Layanan Jasa Pelabuhan Proyek Pengembangan Pelabuhan Bau-Bau dimaksudkan untuk melakukan rehabilitasi pada fasilitas pelabuhan Bau-Bau eksisting dan melakukan pengembangan terhadap fasilitas eksisting pelabuhan Bau-Bau berupa pembangunan terminal multipurpose bagi pengguna jasa pelabuhan di wilayahpelabuhan Bau-Bau. Pengguna layanan jasa pelabuhan akan bertindak sebagai pengguna dan memiliki kewajiban pembayaran tariff jasa kepelabuhanan sesuai yang diterimanya kepada Pemerintah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.1
ANALISA PERAN DAN TANGGUNG JAWAB TIM/PANITIA DALAM RANGKA KERJA SAMA
Berdasarkan
Pasal
6
Peraturan
Kepala
Lembaga
Kebijakan
Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Bab 3 | 31
Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (“Perka LKPP 19/2015”) PJPK memiliki tugas dan tanggung jawab dalam menetapkan Tim KPBU dan Panitia Pengadaan. a. Tim KPBU Berdasarkan Pasal 7 Perka LKPP 19/2015 tujuan pembentukan Tim KPBU adalah untuk membantu PJPK dalam melaksanakan: (i) kegiatan pada tahap transaksi hingga tercapainya pemenuhan pembiayaan (financial close); dan (ii) kegiatan pengadaan badan usaha pelaksana, apabila diperlukan. Tugas dan tanggung jawab Tim KPBU dalam proses pengadaan meliputi: (i) (ii) (iii)
berkordinasi dengan Panitia Pengadaan selama proses pengadaan; menyusun kerangka acuan kerja untuk pengadaan badan penyiapan; membantu PJPK dalam monitoring pelaksanaan pengadaan.
b. Penitia Pengadaan Pasal 8 Perka LKPP 19/2015 mengatur tugas dan tanggung jawab dari Panitia Pengadaan sebagai berikut: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi) (vii) (viii) (ix) (x) (xi) (xii)
Menetapkan dokumen pengadaan dan perubahannya (apabila ada) setelah mendapatkan persetujuan dari PJPK; Mengelola data dan informasi pada ruangan data dan informasi (data room) Mengumumkan pelaksanaan pengadaan; Menilai kualifikasi peserta melalui prakualifikasi; Memberikan penjelasan dokumen pengadaan; Melakukan evaluasi administrasi, teknis dan finansial terhadap penawaran peserta; Melakukan diskusi optimalisasi pada metode pelelangan dua tahap; Melakukan negosiasi; Mengusulkan pemenang seleksi atau pelelangan; Mengusulkan penetapan badan usaha pelaksana melalui penunjukan langsung; Berkordinasi dengan Tim KPBU selama proses pengadaan; Melaporkan proses pelaksanaan pengadaan secara berkala kepada Bab 3 | 32
PJPK; (xiii) Menyerahkan dokumen asli proses pengadaan kepada simpul KPBU setelah proses pengadaan selesai; dan (xiv) Menyerahkan salinan dokumen proses pengadaan kepada PJPK. Pasal 9 Perka LKPP 19/2015 mengatur bahwa Panitia Pengadaan berjumlah minimal 5 (lima) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan. Panitia pengadaan dapat berasal dari personil instansi sendiri dan dapat berasal dari instansi/satuan kerja terkait serta personil unit layanan pengadaan pada kementerian/lembaga setempat. Lebih lanjut diatur bahwa panitia pengadaan terdiri dari anggota yang memahami tentang: (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi)
Prosedur pengadaan; Prosedur KPBU; Ruang lingkup pekerjaan proyek kerjasama; Hukum perjanjian dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang infrastruktur sektor bersangkutan; Aspek teknis terkait dengan proyek kerjasama; dan Aspek bisnis dan finansial terkait dengan proyek kerjasama.
Pada tahap persiapan, tugas Panitia Pengadaan meliputi: (i) (ii) (iii) (iv) (v)
Konfirmasi kesiapan proyek KPBU untuk dilanjutkan ke tahap pengadaan badan usaha pelaksana. Konfirmasi minat pasar; Penyusunan jadwal pengadaan badan usaha pelaksana dan rancangan pengumuman; Penyusunan dan penetapan dokumen pengadaan badan usaha pelaksana; dan Pengelolaan ruang data dan informasi (data room) untuk keperluan uji tuntas (due diligence).
Dalam Permen PPN 4/2014 diatur bahwa Tim KPBU memiliki peran dan tanggung jawab untuk: (i) (ii) (iii) (iv)
melakukan kegiatan tahap penyiapan KPBU meliputi, kajian awal Prastudi Kelayakan dan kajian akhir Prastudi Kelayakan; melakukan kegiatan tahap transaksi KPBU hingga tercapainya pemenuhan pembiayaan (financial close), kecuali kegiatan pengadaan Badan Usaha Pelaksana; menyampaikan pelaporan kepada PJPK secara berkala melalui Simpul KPBU; dan melakukan koordinasi dengan Simpul KPBU dalam pelaksanaan tugasnya. Bab 3 | 33
c. Simpul KPBU Selain Tim KPBU dan Panitia Pengadaan, berdasarkan Pasal 44 Perpres 38/2015, Menteri diamanatkan untuk menunjuk unit kerja di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah sebagai Simpul KPBU. Simpul KPBU bertugas untuk menyiapkan perumusan kebijakan, sinkronisasi, koordinasi, pengawasan, dan evaluasi pembangunan KPBU. Pasal 41 Permen PPN 4/2015 mengatur lebih lanjut bahwa simpul KPBU dapat melekat pada unit kerja yang sudah ada di lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah atau unit kerja baru yang dibentuk dalam lingkungan Kementerian/Lembaga/Daerah. Lebih lanjut dalam Lampiran Permen PPN 4/2014 diatur peran dari Simpul KPBU sebagai berikut: (i)
Dalam tahap manajemen pelaksanaan KPBU, Simpul KPBU membantu PJPK untuk mengawasi dan mengendalikan jalannya pelaksanaan KPBU sesuai dengan ketentuanketentuan yang disepakati dan tercantum dalam perjanjian KPBU;
(ii)
Dalam masa pra konstruksi, Simpul KPBU bertugas melaksanakan pengawasan pelaksanaan perjanjian KPBU dan pemenuhan pembiayaan (financial close);
(iii)
Dalam masa konstruksi, Simpul KPBU bertugas melaksanakan manajemen pelaksanaan KPBU atas: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
rancangan fasilitas baru atau penjelasan atas pelayanan yang akan disediakan; penggabungan fasilitas baru dengan fasilitas yang telah ada; hak untuk menyampaikan permasalahan terkait dengan kegagalan dan ketidakmampuan Badan Usaha Pelaksana untuk memenuhi perjanjian KPBU; penundaan atau perubahan jadwal konstruksi; variasi disain konstruksi, apabila diminta oleh PJPK; kesiapan pekerjaan/operasi; pemantauan atas kesesuaian perencanaan teknik dengan pelaksanaan konstruksi; permasalahan mengenai tenaga kerja; dan risiko yang ditanggung oleh PJPK.
Apabila terjadi pengalihan saham Badan Usaha Pelaksana sebelum proyek KPBU beroperasi secara komersial, Simpul KPBU melakukan kegiatan yang meliputi:
1)
penetapan kriteria pengalihan saham oleh PJPK yang meliputi: (a) pengalihan saham tidak boleh menunda jadwal mulai beroperasinya KPBU; dan Bab 3 | 34
2) 3) 4)
(iv)
(b) pemegang saham pengendali yang merupakan pemimpin konsorsium dilarang untuk mengalihkan sahamnya sampai dengan dimulainya operasi komersial dari KPBU. melakukan kualifikasi terhadap calon pemegang saham baru Badan Usaha Pelaksana yang sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan yang ditetapkan pada saat dilaksanakan prakualifikasi pelelangan umum Badan Usaha Pelaksana; mengajukan persetujuan kepada PJPK, apabila calon pemegang saham baru telah memenuhi seluruh kriteria pengalihan saham yang ditetapkan dan memenuhi persyaratan kualifikasi; dan menyiapkan konsep persetujuan pengalihan saham yang akan ditandatangani oleh PJPK.
Dalam Masa Operasi, Simpul KPBU melaksanakan manajemen pelaksanaan terhadap:
1) pelaksanaan perjanjian KPBU; dan 2) pemantauan standar kinerja jasa/layanan sesuai dengan perjanjian KPBU. Lebih lanjut Simpul KPBU juga bertugas untuk melakukan koordinasi dengan BUPI (PT PII) dalam hal proyek mendapatkan jaminan pemerintah melalui PT PII. (v)
Dalam tahap pengakhiran proyek KPBU, Simpul KPBU melakukan penilaian aset yang meliputi kegiatan: 1) 2) 3) 4) 5)
meneliti dan menilai semua komponen sarana/sistem yang termasuk dalam perjanjian KPBU (penilaian dilakukan terhadap kondisi atau kinerja dan sisa usia masing-masing komponen sesuai tolak ukur yang disepakati); menghitung perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk operasi dan pemeliharaan rutin dan non rutin selama sisa usia; menilai ketersediaan suku cadang untuk sarana dan sistem yang secara teknis mungkin sudah tidak layak; melakukan evaluasi ketersediaan sumber daya manusia yang dimiliki oleh PJPK; dan melakukan evaluasi terhadap efisiensi manajemen pelaksanaan selama kerjasama berlangsung.
Dalam hal pengalihan aset, Simpul KPBU melakukan kegiatan: 1) 2) 3) 4)
menyiapkan dan mengajukan izin pemeriksaan/pengujian terhadap semua aset KPBU untuk kepentingan pengalihan aset; melakukan pengujian dan pemeriksaan sarana fisik dan semua peralatan untuk kepentingan pengalihan aset sesuai dengan perjanjian KPBU; melakukan tindakan administrasi yang diperlukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sehingga semua aset tercatat atas nama PJPK; dan menyiapkan dan membuat Berita Acara Serah Terima Aset yang ditandatangani oleh Badan Usaha Pelaksana dan PJPK.
Bab 3 | 35
Memperhatikan tugas Simpul KPBU dalam Permen PPN 4/2015 tersebut di atas maka secara umum dapat disimpulkan tugas Simpul KPBU adalah membantu PJPK dalam pelaksanaan KPBU, terutama dalam tahap pelaksanaan perjanjian kerjasama.
Berikut adalah organisasi kelembagaan dalam pelaksanaan KPBU menurut Permen PPN 4/2015:
2.2
PERANGKAT REGULASI/KEPUTUSAN MENGENAI KELEMBAGAAN
Berdasarkan uraian pada bagian 2.3 di atas maka dapat diidentifikasi perangkat regulasi/Keputusan yang diperlukan terkait dengan aspek kelembagaan adalah: a. Surat Keputusan PJPK tentang Tim KPBU; dan b. Surat Keputusan PJPK tentang Panitia Pengadaan.
2.3
KERANGKA ACUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Bab 3 | 36
Merujuk pada Ketentuan dalam Permen PPN 4/2015 dan Perka LKPP 19/2015 acuan pengambilan keputusan dalam perencanaan, penyiapan dan transaksi proyek KPBU adalah sebagai berikut: Jenis Keputusan
Penerbit/ Penanggung Jawab
Tahap Perencanaan Rencana Anggaran Dana KPBU
Menteri
Identifikasi Proyek KPBU
Dirjen
Penetapan Proyek KPBU yang memiliki potensi untuk dikerjasamakan Keputusan Lanjut atau tidak lanjut dengan rencana KPBU Pengusulan Rencana KPBU kepada Menteri Perencanaan
Menteri
Tahap Penyiapan Pembentukan Tim KPBU
Tahap Transaksi Pembentukan Panitia Pengadaan
Menteri Menteri
PJPK
Persyaratan/Catatan
Penyusunan rencana aggaran meliputi setiap tahap pelaksanaan KPBU Dalam rangka identifikasi proyek KPBU harus disusun studi pendahuluan
Diputuskan berdasarkan hasil identifikasi Proyek KPBU Dokumen tersebut dijadikan dasar oleh Menteri Perencanaan dalam menyusun Daftar Rencana KPBU Dapat dibantu oleh Badan penyiapan. Pada Tahap ini PJPK dibantu oleh Tim KPBU melakukan penyiapan kajian prastudi kelayakan, konsultasi publik, penjajakan minat pasar, penyusunan rencana pengadaan tanah dan pemukinam kembali, proses perolehan dukungan pemerintah dan/atau jaminan pemerintah, serta proses kajian lingkungan hidup (jika proyek disyaratkan mendapatkan AMDAL)
PJPK
Bab 3 | 37
Konfirmasi proyek KPBU
Kesiapan
Panitia Pengadaan
Konfirmasi minat pasar
Panitia Pengadaan
Penyusunan Pengadaan
Jadwal
Panitia Pengadaan
Penetapan Dokumen Pengadaan dan perubahannya (jika ada)
Panitia Pengadaan
Evaluasi sanggah dan Penetapan Prakualifikasi Ulang Berita Acara Hasil Evaluasi Dokumen Penawaran Sampul II
PJPK
Berita Acara Pelelangan
Panitia Pengadaan
hasil
Jawaban atas sanggahan pelelangan
Panitia Pengadaan
PJPK
Panitia Pengadaan harus melakukan checklist terhadap kelengkapan dokumen/data kesiapan proyek KPBU dengan mengacu kepada Permen PPN 4/2015 Dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain dengan mereviu hasil penjajakan minat pasar yang dilakukan oleh PJPK atau melakukan diskusi dengan forum badan usaha. Harus memberikan alokasi waktu yang cukup untuk melakukan semua tahapan pengadaan Berdasarkan persetujuan dari PJPK. Persetujuan perubahan dokumen pengadaan diberikan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah perubahan diusulkan oleh Panitia Pengadaan. Apabila PJPK tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu tersebut maka PJPK dianggap tidak menyetujui perubahan Didasarkan pada kajian mengenai penyebab kegagalan Prakualifikasi Ditandatangani oleh paling kurang dua pertiga dari jumlah anggota panitia pengadaan Ditandatangani oleh paling kurang dua pertiga dari jumlah anggota panitia pengadaan Jawaban pertulis atas semua sanggahan diberikan oleh PJPK paling lambat 10 Bab 3 | 38
Surat pemenang lelang (letter of award)
PJPK
Surat penunjukan badan usaha Pemenang Lelang sebagai Pelaksana proyek KPBU
PJPK
(sepuluh) hari kerja setelah diterimanya sanggahan. Apabila PJPK tidak memberikan jawaban dalam jangka waktu tersebut di atas maka PJPK dianggap menolak sanggahan. Apabila sanggahan dinyatakan benar oleh PJPK maka PJPK menyatakan evaluasi ulang atau menyatakan pelelangan gagal. PJPK menerbitkan surat pemenang lelang dengan ketentuan: a. Tidak ada sanggahan dari peserta lelang; b. Sanggahan terbukti tidak benar; c. Masa sanggah telah berkahir; d. Pemenang lelang sudah memperpanjang surat jaminan penawaran yang berlaku sampai dengan penandatanganan perjanjian kerjasama. PJPK menerbitkan Surat Pemenang Lelang selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah proses sanggah selesai. Surat diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat pemenang lelang diterbitkan
Bab 3 | 39
Bab 3 | 40
Bab 4 KAJIAN TEKNIS
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
4.1
STANDAR KINERJA TEKNIS OPERASIONAL PELABUHAN
Untuk dapat memberikan pelayanan yang baik dalam penyelenggaraan transportasi laut, maka perlu ditetapkan standar kinerja teknis operasional pelabuhan yang dapat dijadikan
sebagai
alat
untuk
mengukur
tingkat
keberhasilan
penyelenggaraan
transportasi laut, sebagai instrumen perencanaan untuk menggambarkan kondisi yang ingin dicapai di masa yang akan datang, sebagai instrumen perencanaan untuk mengalokasikan sumber daya/investasi, sebagai instrumen pemantauan (monitoring) dan evaluasi kinerja (performance evaluation) untuk pelaksanaan kegiatan, sebagai instrumen pembantu untuk pengambilan keputusan. Indikator
Kinerja
Pelayanan
Operasional
adalah
variabel-variabel
Pelayanan,
penggunaan fasilitas dan peralatan pelabuhan. Indikator tersebut terdiri dari Waiting Time (WT) atau waktu tunggu kapal, Approach Time (AT) atau waktu pelayanan pemanduan, Effektive Time dibanding Berth Time (ET: BT), Produktivitas Kerja (T/G/J dan B/C/H), Receiving/Delivery Petikemas, Berth Occupancy Ratio (BOR) atau atau tingkat penggunaan dermaga, Shed Occupancy Ratio (SOR) atau tingkat penggunaan gudang, Yard Occupancy Ratio (YOR) atau tingkat penggunaan lapangan penumpukan, Kesiapan operasi peralatan. Beberapa definisi yang berkaitan dengan kinerja pelayanan adalah sebagai berikut: 1. Kinerja Terminal Petikemas Kriteria kinerja Terminal Petikemas, salah satunya dapat dilihat dari produktivitas alat bongkar muat. Kemampuan alat bongkar muat yang dimiliki oleh Terminal Petikemas harus dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk melakukan kegiatan bongkar muat Peti Kemas yang keluar masuk terminal, antara lain di definisikan sebagai berikut: a. Produktifitas Alat Bongkar Muat (Crane) /
/
=
Bab 4 | 1
b. Produktifitas Dermaga (berth) / /
dengan: B = box
=
ℎ
C = crane S = ship H = hour c. Kinerja arus lalu tambatan / dermaga (Berth Through-Put, BTP) =
dengan:
∑(
/
)
,
BTP = jumlah ton barang di dermaga konvensional atau TEU’s petikemas di dermaga petikemas dalam satu periode (bulan/tahun) yang melewati dermaga yang tersedia dalam satuan meter. d. Kinerja dermaga (Berthing Occupancy Ratio, BOR) BOR merupakan indicator pemanfaatan dermaga yang menyatakan tingkat pemaiakaian dermaga terhadap waktu tersedia. Dermaga yang tidak terbagi atas beberapa
tempat
tambatan
(continous
berth),
perhitungan
penggunaan
tambatan didasarkan pada panjang kapal ditambah 5m sebagai pengaman depan dan belakang. =
∑ (
+ 5)
100%
Dengan Nilai BOR, maka diketahui tingkat kepadatan sebuah pelabuhan. BOR juga merupakan indikator yang menentukan apakah sebuah pelabuhan masih memenuhi sarat untuk melayani kapal dan barang atau membutuhkan pengembangan, dan BOR juga menggambarkan produktifitas pelabuhan. e. Kinerja lapangan penumpukan (Container Yard Occupancy Ratio) Tingkat pemakaian lapangan penumpukan petikemas CYOR atau YOR, merupakan perbandingan jumlah pemakaian lapangan penumpukan petikemas yang dihitung dalam 1 TEU per hari atau m² per hari dengan kapasitas penumpukan yang tersedia. Container Yard:
Bab 4 | 2
ℎ
=
Container Freight Station =
ℎ
ℎ
100% 1
/ ℎ
100%
Untuk mengatasi kondisi kritis (over load) dan menjamin kelancaran operasi di lapangan
penumpukan
petikemas,
maka
dalam
perencanaan
harus
dipertimbangkan kapasitas lapangan penumpukan yang dapat menampung petikemas denga jumlah minimal disesuaiakan dalam 3 hari kerja (Kramadibrata S, 1985). 2. Pengukuran Kinerja Pelayanan Terminal Petikemas a. Pelayanan Kapal Dalam perhitungan kinerja operasional terminal, terdapat beberapa indikator terutama yang berkaitan dengan pelayanan kapal di dermaga, yaitu waktu pelayanan. Waktu pelayanan ini terdiri dari: 1) Berthing time, yaitu total waktu yang digunakanoleh kapalselama berada di tambatan. Berthing time terdiri dari berth working time dan not operation time Berthing time (BT) BT = BWT + NOT dengan: BT = jumlah jam satu kapal selama berada di tambahan 2) Berth working time yaitu waktu yang direncanakan untuk melakukan kegiatan bongkar muat, yang terdiri dari effective time dan idle time. Berth Working Time (BWT): BWT = ET + IT BWT = BT - NOT dengan: BWT = jumlah jam satu kapal yang direncanakan untuk melakukan kegiatan bongkar / muat petikemas selama berada di tambatan. 3) Not operation time, yaitu waktu yang direncanakan untuk tidak bekerja (tidak melakukan kegiatan bongkar muat), seperti waktu istirahat yaitu 30 menit tiap Shift. 4) Effective time, yaitu waktu yang digunakan untuk melakukan kegiatan bongkar muat secara efektif.
Bab 4 | 3
5) Idle time, yaitu waktu yang tidak digunakan untuk melakukan kegiatan bongkar muat atau waktu menganggur, seperti waktu yang terbuang saat peralatan bongkar muat rusak.
Gambar 4.1 Waktu pelayanan di dermaga Waktu pelayanan kapal dermaga tersebut akan mempengaruhi indikator pemanfaatan (utilitas) yang dikenal dengan BOR. Karena secara keseluruhan dari indikator waktu pelayanan tersebut akan menjadi dasar perhitungan rasio penggunaan dermaga (BOR). Rasio
penggunaan
dermaga
yang
dinyatakan
dalam
satuan
persen
(%)
memberikan informasi mengenai seberapa padat arus kapal yang tambat dan melakukan kegiatan bongkar muat di dermaga sebuah pelabuhan. b. Pelayanan Petikemas Kecepatan bongkar / muat Per Kapal. 1) Kecepatan bongkar / Muat di pelabuhan (Ton per Ship Hour in Port)
dengan:
=
∑(
/
)
TSHP = kecepatan bongkar muat di pelabuhan (ton jam). 2) Kecepatan Bongkar / Muat di Tambatan (Ton per Ship Hour in Berth) = =
∑( ∑(
/ /
) ) Bab 4 | 4
dengan: TSHB = kecepatan bongkar muat per shift di tambatan (ton jam) 3. Kongesti Pelabuhan Kongesti/kemacetan pelabuhan akan timbul apabila kapasitas pelabuhan tidak sebanding dengan jumlah kapal dan barang yang akan masuk ke pelabuhan untuk melakukan kegiatan bongkar muat uang ditandai oleh indikator kinerja pelabuhan (BOR). Gejala ini dapat terjadi apabila pada suatu pelabuhan terjadi kebutuhan yang mendadak atau kelambatan kerja pelayanan bongkar muat di pelabuhan. Kapal dan barang dapat menunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu di luar pelabuhan untuk membongkar muatannya. Bila hal ini terjadi, perekonomian suatu negara akan sangat terpengaruh dan pelayaran secara keseluruhan akan merasakan akibatnya. Oleh karena itu, BIMCO (The Baltic and International Maritime Conference), yaitu perkumpulan pemilik kapal yang dalam hal ini mewakili UNCTAD membuat saran untuk menghindari kongesti pelabuhan (Shipping Pengangkutan Intermodal Ekspor Impor Melalui Laut, R.P.Suyono, 2001). Tabel 4.1 Rata-rata Produktifitas Pelabuhan (untuk kapal besar dan kecil) pergerakan per jam Produktifitas untuk Kapal Kecil Produktifitas untuk Kapal Besar Pelabuhan Crane Dermaga Crane Dermaga Singapore 23 45 36 140 UEA Rashid & Jebel Ali 22 40 30 110 Khor-Fakkan 20 32 28 100 Salalah 29 90 Adem 28 70 India Nhava Sheva 18 30 22 40 Jawaharlal Nehru 16 24 20 36 Tuticorin 14 14 Colombo-SLPA 14 23 18 45 Colombo-SAGT 13 25 Sumber : Container Terminal Productivity, 2007 Kapal Kecil: 400-1.800 TEU, Kapal Besar 1.800 TEU ke atas
Tabel 4.2 BOR Maksimum (kinerja dermaga) Number of Berth in the Group Recommended maximum Bert Ocupancy Ratio (%) 1 40 2 50 3 55 4 60 5 65 6-10 70 >10 80 Tergantung kondisi pelabuhan Sumber : Port development A Handbook for Planners in Developing Countries UNCTAD
Bab 4 | 5
Untuk mengatasi kongesti di pelabuhan dapat dilakukan dengan: a) Pemakaian pelabuhan lain yang berada di dekat pelabuhan b) Pemakaian kapal jenis lain c) Melakukan perubahan dalam peraturan dan undang-undang segingga barang lebih mudah keluar atau masuk pelabuhan. d) Indikasi untuk pengembangan pelabuhan (perluasan atau pengembangan baru). Dengan memberikan pelayanan yang effisien akan memberikan dampak terhadap peningkatan indikator kinerja (BOR), mengurangi waktu tidak efektif atau Waiting Time (Port Development A handbook for planners in developing countries, UNCTAD, 1985) Dari referensi lain, diperoleh informasi bahwa ketentuan BOR maksimum adalah 70% yang direkomendasikan oleh UNCTAD (Studi Tolok Ukur Kinerja Fasilitas Pelabuhan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Devisi. Proyek Penelitian dan Pengkajian Sistem Transportasi Laut, ITS).
4.2
KONDISI TEKNIS LINGKUNGAN PELABUHAN
4.2.1 Elevasi Pasang Surut Data elevasi pasang surut tertinggi dan terendah berdasarkan peramalan adalah sebagai berikut: Mean High Water Level (MHWL)
=
+ 2.00 m
Mean Low Water level (MLWL)
=
+ 0.00 m
4.2.2 Tinggi Gelombang dan Kecepatan Arus 4.2.2.1 Gelombang Tinggi gelombang rencana berdasarkan hasil simulasi perambatan gelombang laut dalam dari arah utara: Tinggi Gelombang
=
1.0 m
Periode
=
6.0 s
Bilangan gelombang =
0.086
4.2.2.2 Arus Kecepatan arus rencana berdasarkan hasil simulasi arus pasang surut yang telah dilakukan: Kecepatan Arus (U)
=
0.5 m/s Bab 4 | 6
Koefisien Drag
=
1
Koefisien Inersia
=
2
4.3
ANALISIS KEBUTUHAN FASILITAS PERAIRAN
Analisis kebutuhan fasilitas perairan ini meliputi: 1. Analisis Fasilitas Pokok, yang terdiri dari: a. Panjang, Tinggi Dek, dan Lebar Dermaga; b. Kolam Putar (Turning Basin); c. Area Tambat dan Sandar Kapal; d. Luas dan kedalaman Kolam; e. Panjang, Kedalaman, dan Lebar Alur Pelayaran; dan f. Luas Areal Tempat Labuh. 2. Analisis Fasilitas Penunjang. 4.3.1 Panjang, Tinggi Dek, dan Lebar Dermaga Dermaga adalah suatu bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambat kapal yang melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan penumpang. Dimensi dermaga didasarkan pada jenis dan ukuran kapal yang merapat dan bertambat pada dermaga tersebut. Pertimbangan ukuran dermaga harus berdasarkan pada ukuran-ukuran minimal sehingga kapal dapat bertambat atau meninggalkan dermaga maupun melakukan bongkar muat barang dengan aman, cepat dan lancar. Dermaga dapat dibedakan menjadi dua tipe yaitu wharf atau quay dan jetty atau pier. Wharf adalah dermaga yang paralel dengan pantai dan biasanya berimpit dengan garis pantai. Wharf juga dapat berfungsi sebagai penahan tanah yang ada di belakangnya. Jetty atau pier adalah dermaga yang menjorok ke laut. Berbeda dengan wharf yang digunakan untuk merapat pada satu sisi, pier bisa digunakan pada satu sisi atau dua sisinya.
4.3.2 Tipe Dermaga Pemilihan tipe dermaga sangat dipengaruhi oleh kebutuhan yang akan dilayani (dermaga penumpang atau barang yang bisa berupa barang satuan, curah atau cair), ukuran kapal, arah gelombang dan angin, kondisi topografi dan tanah dasar laut, dan yang paling
Bab 4 | 7
penting adalah tinjauan ekonomi untuk mendapatkan bangunan yang paling ekonomis. Pemilihan tipe dermaga didasarkan pada tinjauan berikut: 1. Tinjauan Topografi Daerah Pantai Di perairan yang dangkal sehingga kedalaman yang cukup agak jauh dari darat, penggunaan jetty akan lebih ekonomis karena tidak diperlukan pengerukan yang besar.
Sedang di lokasi dimana kemiringan dasar cukup curam, pembuatan pier
dengan melakukan pemancangan tiang di perairan yang dalam menjadi tidak praktis dan sangat mahal. Dalam hal ini pembuatan wharf adalah lebih tepat. Di suatu daerah yang akan dibangun daerah industri atau pertambangan dekat pantai, di mana daerah daratan rendah maka diperlukan penimbunan dengan menggunakan pasir hasil pengerukan di laut. Untuk menahan tanah timbunan diperlukan dinding penahan tanah. Dinding penahan tanah tersebut dapat juga sebagai dermaga dengan menambah fasilitas tambatan, bongkar-muat, perkerasan halaman dermaga, dan sebagainya. Dermaga ini disebut bulkhead wharf (wharf penahan tanah). 2. Jenis Kapal yang Dilayani Dermaga yang melayani kapal kontiner (container cargo) memerlukan peralatan bongkar-muat barang yang besar, rel khusus crane, gudang-gudang, dan lain-lain. Karena kebutuhan fasilitas bongkar muat tersebut, areal darat lebih cocok berupa timbunan. Apabila areal darat Untuk melayani kapal tersebut penggunaan pier atau jetty akan lebih ekonomis. 3. Daya Dukung Tanah Kondisi tanah sangat menentukan dalam pemilihan tipe dermaga. Pada umumnya tanah di dekat daratan mempunyai daya dukung yang lebih besar daripada tanah di dasar laut.
Dasar laut umumnya terdiri dari dari endapan yang belum padat.
Ditinjau dari daya dukung tanah, pembuatan wharf atau dinding penahan tanah lebih menguntungkan. Tetapi apabila tanah dasar berupa karang, pembuatan wharf akan mahal karena untuk memperoleh kedalaman yang cukup di depan wharf diperlukan pengerukan. Dalam hal ini pembuatan pier akan lebih murah karena tidak diperlukan pengerukan dasar karang. Dengan
melihat
kondisi
di
lapangan
dan
mengacu
kepada
pertimbangan-
pertimbangan diatas dipilihlah tipe pier atau jetty untuk struktur dermaga karena dinilai lebih ekonomis. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi pantai yang curam dan jenis kapal yang dilayani adalah kargo dengan spesifikasi 30.000 DWT.
Bab 4 | 8
4.3.3 Perencanaan Layout dan Elevasi Penting 4.3.3.1 Panjang Dermaga Dermaga berfungsi sebagai tempat membongkar-muat (loading-unloading) dan berlabuh (berthing). Dasar pertimbangan dalam perencanaan dermaga: 1. Arah angin, arah arus, dan perilaku kestabilan pantai. 2. Panjang dan lebar dermaga disesuaikan dengan kapasitas/jumlah kapal berlabuh. 3. Letak dermaga dipilih sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan terhadap fasilitas darat yang tersedia dengan mempertimbangkan kedalaman perairan. 4. Elevasi lantai dermaga dengan memperhitungkan kondisi pasang surut dan gelombang. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dermaga diuraikan di bawah ini. 1. Elevasi Dermaga Hal terpenting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan dermaga adalah elevasi dermaga. Elevasi dermaga dibuat sedemikian rupa sehingga pada saat pasang tinggi air tidak melimpas ke permukaan dermaga. Penentuan elevasi lantai dermaga sesuai dengan kondisi pasang surut yaitu: E = MHWL + 1/2H + F
dengan: E
= Elevasi dermaga
MHWL
= Mean High Water Level, elevasi pasut tertinggi. (3.56m)
H
= tinggi gelombang. (1.0m)
F
= free board, tinggi jagaan (0.5-1.0 m)
Dari data-data yang dimiliki didapatkan elevasi dermaga: E = 2.00 + ½(1.0) + 1.00 = 3.5 m 2. Panjang Dermaga Penentuan kebutuhan panjang dermaga ditentukan oleh arus bongkar muat berdasarkan jenis komoditi, volume barang, dan jenis kemasan, dimana penentuan kebutuhan fasilitas tiap tahapan pengembangan dibagi menjadi tiga masa rencana, yaitu: a. Kebutuhan fasilitas pelabuhan untuk 5 tahun kedepan; b. Kebutuhan fasilitas pelabuhan untuk 10 tahun kedepan, dan; Bab 4 | 9
c. Kebutuhan fasilitas pelabuhan untuk 20 tahun kedepan. Dalam
perhitungan
kebutuhan
dermaga
diperlukan
pengetahuan
mengenai
karakterisitik kapal yang akan digunakan dalam perencanaan seperti panjang (loa), lebar dan draft. Karakteristik kapal yang digunakan dalam pengembangan Pelabuhan Baubau dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3 Karakteristik Kapal Panjang Loa (m) Kapal Penumpang (GRT) 500 51 1.000 68 2.000 88 3.000 99 5.000 120 8.000 142 10.000 154 15.000 179 20.000 198 30.000 230 Bobot
Lebar (m)
Draft (m)
10,2 11,9 13,2 14,7 16,9 19,2 20,9 22,8 24,7 27,5
2,9 3,6 4,0 4,5 5,2 5,8 6,2 6,8 7,5 8,5
Kapal Barang (DWT) 700 58 9,7 1.000 64 10,4 2.000 81 12,7 3.000 92 14,2 5.000 109 16,4 8.000 126 18,7 10.000 137 19,9 15.000 153 22,3 20.000 177 23,4 30.000 186 27,1 40.000 201 29,4 50.000 216 31,5 Kapal Barang Curah (DWT) 10.000 140 18,7 15.000 157 21,5 20.000 170 23,7 30.000 192 27,3 40.000 208 30,2 50.000 222 32,6 70.000 244 37,8 90.000 250 38,5 100.000 275 42,0 150.000 313 44,5 Sumber :
3,7 4,2 4,9 5,7 6,8 8,0 8,5 9,3 10,0 10,9 11,7 12,4 8,1 9,0 9,8 10,6 11,4 11,9 13,3 14,5 16,1 18,0
Panjang Loa (m) Kapal Minyak (DWT) 700 50 100 61 2.000 77 3.000 88 5.000 104 10.000 130 15.000 148 20.000 162 30.000 185 40.000 204 50.000 219 60.000 232 70.000 244 80.000 255 30.000 185
Lebar (m)
Draft (m)
8,5 9,8 12,2 13,8 16,2 20,1 22,8 24,9 28,3 30,9 33,1 35,0 36,7 38,3 28,3
3,7 4,0 5,0 5,6 6,5 8,0 9,0 9,8 10,9 11,8 12,7 13,6 14,3 14,9 10,9
Kapal Peti Kemas (DWT) 20.000 201 30.000 237 40.000 263 50.000 280
27,1 30,7 33,5 35,8
10,6 11,6 12,4 13,0
Kapal Ferry (GRT) 1.000 73 2.000 90 3.000 113 4.000 127 6.000 138 8.000 155 10.000 170 13.000 188
14,3 16,2 18,9 20,2 22,4 21,8 25,4 27,1
3,7 4,3 4,9 5,3 5,9 6,1 6,5 6,7
Bobot
Perencanaan Pelabuhan, Bambang Triatmodjo, 2010
Bab 4 | 10
Gambar 4.2 Bentuk tipikal dimensi kapal Berikut ini disampaikan perhitungan panjang dermaga, berdasarkan proyeksi lalu lintas peti kemas untuk tahun 2020: 1. Jumlah bongkar muat peti kemas
: 34.538 TEUS
2. Jumlah efektif hari kerja setahun
: 300 hari (Hari Minggu dan Libur Nasional
tidak beroperasi) 3. Jumlah efektif hari kerja perhari
: 12 jam
4. Berth Occupancy Ratio
: 60%
5. Produktifitas crane darat perjam
: 5 box/jam
6. Produktifitas crane perhari, dihitung berdasarkan: = jumlah efektif kerja perhari x produktifitas crane perjam = 12 jam/hari x 5 box/jam = 60 box/hari 7. Total kebutuhan efektif hari kerja: = ship call kapal pertahun x (jumlah hari kerja/produktifitas crane perhari)/BOR = 128 x (300/60)/60% = 1.066 hari 8.
Kebutuhan Jumlah Dermaga Peti Kemas Dihitung berdasarkan asumsi jenis kapal standar (rata-rata yang bersandar): Jenis kapal: tahap 1 = 7.000 GT, tahap 2 = 10.000 GT dan tahap 3 = 15.000 GT Panjang kapal masing-masing 130, 145, dan 160m. Jumlah kapal dihitung dengan mengiterasi proporsi ketiga ukuran kapal diatas sehingga mendapatkan jumlah kapal ideal = 438 ~ 2 buah kapal yang bersandar pada saat yang sama 300
9. Jumlah kapal perhari tahun 2020 setelah proses iterasi adalah:
Tahap 1: 2 buah kapal bobot 5.000 DWT;
Tahap 2: 2 buah kapal bobot 10.000 DWT;
Tahap 3: 2 buah kapal bobot 15.000 DWT.
10. Total panjang dermaga peti kemas tahun 2020: 260 meter. Bab 4 | 11
Peningkatan kinerja operasional pelabuhan yang meliputi BOR, jumlah jam operasi, jumlah gang, serta produktifitas alat/gang mempengaruhi kebutuhan dermaga pada pelabuhan yang dikaji. Pada kasus Pelabuhan Baubau, terdapat tiga jenis angkutan utama yaitu angkutan penumpang, angkutan barang umum dan angkutan peti kemas. Perhitungan tiap tahapan pengembangan panjang dermaga Pelabuhan Murhum Baubau lebih lengkapnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 4.4 Kebutuhan Pengembangan Dermaga Pelabuhan Murhum Baubau No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Uraian
Satuan
Terminal Peti Kemas Bongka r mua t conta i ner TEUS Juml a h efekti f kerja per ha ri ja m Berth Occupa ncy Ra ti o % Produkti vi ta s cra ne da ra t per ja m box Produkti vi ta s cra ne da ra t per ha ri box Jeni s Ka pa l Si ngga h GT Pendeka ta n Pa nja ng Derma ga (ukura n ka pa l ) m Ka pa s i ta s Ka pa l box Shi p ca l l per ta hun ka l i Tota l Kebutuha n Efekti f Ha ri Kerja s el uruh ta mba ta n ha ri Juml a h ha ri kerja ha ri Juml a h Derma ga Conta i ner berth Tota l Pa nja ng derma ga ka pa l peti kema s m Terminal Multi Purpose Bongka r mua t ca rgo Ton Produkti vi ta s ga ng per ja m Ton Produkti vi ta s ga ng per ha ri Ton Berth Occupa ncy Ra ti o % Juml a h Ga ng per ha ri ga ng Kebutuha n Pa nja ng Derma ga Ca rgo m Jeni s Ka pa l Si ngga h GT Pendeka ta n Pa nja ng Derma ga (ukura n ka pa l ) m Juml a h Derma ga Ca rgo berth Tota l Pa nja ng derma ga ka pa l ca rgo m
Sumber :
Eksisting 2015
Pendek 2016-2020
Menengah 2016-2025
Panjang 2016-2035
11.848 12 63 5 60 5.000 130 206 58 316 330 1,0 130
31.564 14 60 8 112 7.000 130 288 110 472 330 2,0 260
45.833 14 55 10 140 10.000 160 412 112 599 330 2,0 320
81.073 18 55 12 216 15.000 160 618 132 687 330 3 480
529.532 15 180 68 8,91 655 1.000 68 10,0 680
1.088.340 15 210 70 15,70 1122 2.000 100 12,0 1200
1.544.458 25 350 70 13,37 955 3.000 110 9,0 990
2.890.237 35 630 70 14 993 5.000 130 8 1.040
Hasil Analisis, 2015
3. Lebar Dermaga Lebar dermaga ditentukan bedasarkan peralatan dan kebutuhan bongkar muat barang di atas dermaga. Dalam hal ini alat-alat yang disediakan. Dalam studi ini lebar dermaga di desain sepanjang 20 m untuk memenuhi kebutuhan bongkar muat kontainer.
4.3.3.2 Alur Pelayaran 1. Panjang Alur
Bab 4 | 12
Panjang alur pelayaran tergantung dari topografi dasar perairan (bathimetri) dan kedalaman alur yang diinginkan, sedangkan arah alur pelayaran tergantung dari arah angin dominan, topografi dasar perairan, dan material dasar perairan. Berdasarkan pada karakteristik geografis Baubau, kedalaman alur pelayaran di Selat Masiri dan Selat Buton berkisar antara 10 – 20 meter dengan lebar alur pelayaran yang cukup memadai. Sedangkan arah alur pelayaran adalah dari arah barat daya Pelabuhan Baubau dan khusus alur dari Kendari, alur pelayaran dari arah utara pelabuhan. 2. Lebar Alur Untuk lebar alur dapat dihitung dengan menggunakan rumus seperti yang terlihat pada Tabel 4.5. Tabel 4.5 Perhitungan Lebar Alur Pelayanan No
Pemanfaatan alur
1
Satu jalur
2
Dua jalur dan alur relatif panjang
3
Dua jalur dan alur melengkung
Kondisi Alur Kapal tidak berpapasan Kapal sering berpapasan (frekwensi lalu lintas kapal cukup banyak) Kapal jarang berpapasan (frekwensi lalu lintas kapal relatif sedikit) Kapal sering berpapasan Kapal jarang berpapasan
Ket: B = lebar kapal rencana (dalam meter)
Lebar Alur 5B 7B + 30 M 4B + 30 M 9B + 30 M 6B + 30 M
Dengan menggunakan kapal standar sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengembangan, maka kebutuhan alur pelayaran didasarkan pada untuk ukuran kapal maksimum yaitu kapal dengan ukuran 15.000 DWT. Dengan asumsi alur pelayaran adalah dua jalur dengan alur pelayaran relatif panjang dengan kondisi alur kapal sering berpapasan, maka direncanakan lebar alur pelayaran sebesar = (7 x 24m) + 30m = 198 meter. Dengan penetapan lebar alur pelayaran sebesar 14,5 mil (232 meter), alur pelayaran Pelabuhan Baubau cukup untuk memenuhi kebutuhan pelayaran sampai dengan jangka panjang. 3. Kedalaman alur Kedalaman air diukur terhadap muka air referensi nilai rata-rata dari muka air surut terendah pada saat pasang kecil (neap tide) dalam periode panjang yang disebut LLWL (Lowest Low Water Level), agar kapal dapat masuk dan keluar dengan lancar pada saat muka air rendah. Kedalaman alur pelayaran berdasarkan Technical Standards and Commentaries for Port and Harbour Facilities In Japan ditentukan dengan rumus:
Bab 4 | 13
D = d + 0.5H + s + c Keterangan: d D H s
: Draft kapal (meter) : Kedalaman pelabuhan pada saat muka air terendah (meter) : Tinggi gelombang maksimum diambil 1.5 m : Squat (tinggi ayunan kapal yang berlayar, tergantung besarnya kapal), dimana s dan C diambil 0.5 untuk kapal >1.000 GT : Clearance sebagai pengaman, antara 25 – 100 cm, tergantung kondisi kekerasan dasar perairan
c
Perhitungan kedalaman alur pelayaran didasarkan kepada pertimbangan draft kapal maksimum (kapal peti kemas 15.000 DWT) adalah 8,7 meter. Berdasarkan pada kebutuhan draft kapal ini, direncanakan sisi luar dermaga dengan kedalaman minimum 9 meter.
4.3.3.3 Dimensi Kolam Pelabuhan a. Areal Alur Pelayaran dari dan ke Pelabuhan Berdasarkan ‘Pedoman Teknis Rencana Induk Pelabuhan’ yang diterbitkan oleh Direktorat Perhubungan Laut, Direktorat Pelabuhan dan Pengerukan Tahun 2002, untuk perhitungan alur pelayaran
pelayaran dari dan ke pelabuhan menggunakan rumus
sebagai berikut: Alur = (9B + 30) x Lajur Keterangan: B Lalur
= Lebar kapal maksimum = Panjang alur pemanduan dan penundaan
b. Areal Tempat Sandar Area tambat/sandar kapal digunakan untuk menampung kapal yang bertambat dengan syarat tidak mengganggu kegiatan bongkar muat dan manuver kapal yang akan keluar masuk kolam pelabuhan. Kebutuhan luas area tambat yang diperlukan berdasarkan KM No.52 Tahun 2004 diperoleh dengan rumus: Luas areal tempat sandar kapal = jumlah kapal x (1.8 L x 1.5 L) Keterangan: 1,8L x 1,5L: Luas perairan untuk tempat sandar 1 kapal (A) L: Panjang kapal (meter)
c. Areal Kolam Putar kolam putar diperlukan agar kapal dapat mudah berbalik arah. Luas area untuk perputaran kapal sangat dipengaruhi oleh ukuran kapal, sistem operasi, dan jenis kapal.
Bab 4 | 14
Radius kolam putar berdasarkan KM No.52 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan menggunakan rumus: A = ¼ x N x π x D² Keterangan: A: Luas kolam putar (m2) N: Jumlah kolam putar D: Diameter areal kolam putar dengan tunda = 2L D: Diameter areal kolam putar tanpa tunda = 3L L: Panjang kapal maksimum d. Areal Tempat Labuh Penentuan luas areal berlabuh tergantung pada jumlah dan panjang kapal yang akan direncanakan berlabuh. Perhitungan luas areal tempat labuh adalah sebagai berikut: A = N x π x R² R = L + 6D + 30 m Keterangan:
R L D
: Jari-jari areal untuk berlabuh kapal (meter); : Panjang kapal yang berlabuh (meter); : Kedalaman air (meter).
e. Areal Pindah Labuh Kapal Penentuan luas areal pindah labuh kapal tergantung pada jumlah dan panjang kapal yang akan direncanakan berlabuh. Perhitungan luas areal pindah labuh kapal adalah sebagai berikut: A = N x π x R² R = L + 6D + 30 m Keterangan:
R L D
: Jari-jari areal untuk berlabuh kapal (meter); : Panjang kapal yang berlabuh (meter); : Kedalaman air (meter).
f. Areal Alih Muat Kapal Penentuan luas areal alih kapal tergantung pada jumlah dan panjang kapal yang akan direncanakan berlabuh. Perhitungan luas areal alih kapal adalah sebagai berikut: A = N x π x R² R = L + 6D + 30 m Keterangan: R L D
: Jari-jari areal untuk berlabuh kapal (meter); : Panjang kapal yang berlabuh (meter); : Kedalaman air (meter).
Bab 4 | 15
g. Areal Penempatan Kapal Mati Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan luas area untuk penempatan kapal mati adalah jumlah kapal dan ukuran kapal. h. Areal Keperluan Keadaan Darurat Faktor yang perlu diperhatikan adalah kecelakaan kapal, kebakaran kapal, kapal kandas dan lain-lainnya. Salvage area diperkirakan luasnya 50% dari luas areal pindah labuh kapal. i. Areal Percobaan Berlayar Faktor yang perlu diperhatikan dalam penentuan luasan area untuk percobaan berlayar adalah ukuran kapal rencana. j. Kolam Pelabuhan Kolam pelabuhan adalah lokasi perairan tempat kapal berlabuh, mengisi perbekalan, atau melakukan aktivitas bongkar-muat. Secara fungsional batas-batas kolam pelabuhan sulit ditentukan dengan tepat, tetapi secara teknis kolam pelabuhan dibatasi oleh daratan, pemecah gelombang, dermaga, atau batas administrasi pelabuhan. Dasar pertimbangan perencanaan kolam pelabuhan: Perairan harus cukup tenang (memenuhi syarat harbor tranquility). Lebar dan kedalaman perairan kolam disesuaikan dengan fungsi dan kebutuhan. Kemudahan gerak (manuver) kapal. Kolam pelabuhan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Cukup luas supaya dapat menampung semua kapal yang datang berlabuh dan masih tersedia cukup ruang bebas supaya kapal masih dapat bergerak dengan bebas. Cukup lebar supaya kapal dapat melakukan manuver dengan bebas, sebaiknya merupakan lintasan memutar yang tidak terputus. Cukup dalam supaya kapal terbesar masih dapat masuk pada saat air surut terendah. Untuk memenuhi syarat-syarat tersebut di atas kolam pelabuhan harus direncanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan kriteria sebagai berikut:
Bab 4 | 16
a. Kedalaman Kolam Perairan kolam harus memiliki kedalaman yang cukup supaya kapal-kapal dapat keluar-masuk dengan aman pada saat air surut terendah (LLWL). Kedalaman kolam dihitung dengan persamaan di bawah ini. h = d + ½H + C dengan: h = Kedalaman kolam pelabuhan saat surut terrendah. d = draft = tinggi bagian kapal yang terrendam air pada saat muatan penuh (8.2 m) H = Tinggi gelombang rencana (1.0 m) C = keel clearence = sebagai pengaman, diambil nilai 10-100 cm. Dari data-data yang dimiliki didapatkan kedalaman kolam putar: h = 11.0 + ½(1.0) + 0.5
= 12.0 m
b. Diameter Kolam Putar (Turning Basin) Kawasan kolam tempat kapal melakukan gerak putar untuk berganti haluan harus direncanakan sedemikian rupa sehingga memberikan ruang cukup luas dan kenyamanan. Diameter putar turning basin yang ideal adalah: D = 2 x LOA dengan: D
= diameter putar turning basin.
LOA
= length overall = panjang total kapal (185 m)
Dari data-data yang dimiliki didapatkan diameter kolam putar: D = 2 x 185 = 370 m c. Lebar Alur Lebar alur biasanya diukur pada kaki sisi-sisi miring saluran atau pada kedalaman yang direncanakan. Lebar alur tergantung pada beberapa faktor, yaitu: Lebar, kecepatan dan gerak kapal Trafik kapal, perencanaan alur dilewati satu atau dua kapal Kedalaman alur pelabuhan Stabilitas tebing alur Angin, gelombang, dan arus
Bab 4 | 17
1,8 B
1,5 B
1,5 B
B
Kapal
Gambar 4.3 Lebar alur untuk 1 kapal
1,5 B
1,8 B
C
1,8 B
B
B
Kapal
Kapal
1,5 B
Gambar 4.4 Lebar alur untuk 2 kapal Lebar alur pelabuhan yang ideal untuk 2 kapal sering berpapasan adalah: D = 7.6B dengan: B
= Lebar kapal terbesar yang akan masuk pelabuhan. (27.5)
Dari data-data yang dimiliki didapatkan lebar alur: B
= 7.6 x 27.5
D
= 209 ~ 210 m
d. Luas Kolam Pelabuhan
Perencanaan luas kolam harus menunjang kemudahan manuver kapal dan dapat menampung kegiatan yang dilakukan oleh kapal mulai dari kedatangan sampai berangkat. Formula perhitungan kebutuhan luas kolam pelabuhan adalah: A = A kolam putar + A sandar kapal Berdasarkan pada asumsi kapal maksimum (Peti Kemas dan Barang Umum) pada masingmasing tahapan pengembangan, diperhitungkan kebutuhan luar area dalam wilayah Bab 4 | 18
pelabuhan yang meliputi area alur pelayanan dari dan ke pelabuhan, tempat sandar, kolam putar, tempat labuh, pindah labuh kapal, alih muat kapal, area penempatan kapal mati, area keperluan darurat, percobaan berlayar, luas kolam pelabuhan dijabarkan pada Tabel 4.6. Tabel 4.6 Perhitungan Kebutuhan Area Perairan Pelabuhan Baubau No
1
2
3
4
5
Uraian Karakteristik Kapal Desain/Standar a. Ukuran b. LOA (Panjang), L c. Beam (lebar), B d. Draft minimum, D Jumlah Kapal dilayani a. Kedatangan b. Sandar, N c. Labuh d. Alih Muat e. Kapal Mati Panjang Dermaga a. Panjang Eksisting, Le b. Panjang rencana, Lr c. Panjang Tambahan, Lt Dimensi Alur Panjang Alur (Lalur) eksisting Lebar Alur eksisting Lebar Alur ukuran kapal a. 1-way b. 2-ways Kedalaman Alur Dimensi Kolam a. Areal Alur Pelayaran dari dan ke Pelabuhan b. Areal Tempat Sandar Lebar Panjang Luas untuk 1 kapal Luas Total c. Areal Kolam Putar Diameter (dgn tunda) Luas Diameter (tanpa tunda) Luas d. Areal Tempat Labuh Jari-jari
Satuan
Pendek (2014-2018) Peti Kemas
Menengah (2014-2023)
Barang Umum
Peti Kemas
Panjang (2014-2033)
Barang Umum
Peti Kemas
Barang Umum
DWT m m m
7,000 109 20.1 6.8
2,000 81 12.7 4.9
10,000 135 20.8 7.6
3,000 92 14.2 5.7
15,000 158 23.3 8.7
5,000 109 16.4 6.8
unit unit unit unit unit
7 7 1 1 1
7 7 1 1 1
7 7 1 1 1
7 7 1 1 1
8 8 1 1 1
7 7 1 1 1
m m m
180 260 80
512 576 64
260 320 60
576 562 -
320 320 -
562 630 68
m m
17,000 232
17,000 232
17,000 232
17,000 232
17,000 232
17,000 232
m m m
101 171 9-12
64 119 9-12
104 176 9-12
71 129 9-12
117 193 9-12
82 145 9-12
Ha
359
245
369
268
407
m m m2 Ha
164 196 32,079 22
122 146 17,715 12
203 243 49,208 34
138 166 22,853 16
237 284 67,403 54
m Ha m Ha
218 26 327 59
162 14 243 32
270 40 405 90
184 19 276 42
316 63 474 141
m
180
140
211
156
Luas
m2
101,562
61,928
139,337
76,650
Luas Total
Ha
10
6
14
8
240 181,25 7 18
Bab 4 | 19
359 164 196 32,079 22 218 26 327 59 180 101,56 2 10
No
Uraian e. Areal Pindah Labuh Kapal Jari-jari Luas Luas Total f. Areal Alih Muat Kapal g. Areal Penempatan Kapal Mati h. Areal Keperluan Keadaan Darurat i .Areal Percobaan Berlayar Lebar (Minimum) Panjang (Minimum) j. Luas kolam pelabuhan Dengan tunda Tanpa tunda
Sumber :
Analisis Konsultan, 2015
Satuan
Pendek (2014-2018) Peti Kemas
Menengah (2014-2023)
Barang Umum
Peti Kemas
Panjang (2014-2033)
Barang Umum
Peti Kemas
Barang Umum 180 101,56 2 10 10
m
180
140
211
156
m2
101,562
61,928
139,337
76,650
Ha Ha
10 10
6 6
14 14
8 8
240 181,25 7 18 18
Ha
5
6
14
8
18
Ha
5
3
7
4
9
5
Ha m m
30 171 1,744
15 119 1,296
38 176 2,160
19 129 1,472
49 193 2,528
30 171 1,744
48.58 81.24
26.83 44.86
74.52 124.62
34.61 57.88
116.66 195.09
48.58 81.24
4. Sistem Fender Sistem fender ditujukan untuk menjamin kapal pada saat berlabuh dari kerusakan yang mungkin terjadi karena benturan antara lambung kapal dengan dermaga. Tipe fender yang akan digunakan disesuaikan dengan gaya tambat dan energi reaksi pada fender itu sendiri. 5. Alat Penambat Kapal Alat-alat penambat berfungsi untuk menjaga kapal yang berlabuh dari gerakan yang dapat mengganggu aktivitas bongkar muat. Gerakan-gerakan yang biasanya paling mengganggu operasional kapal adalah gerak vertikal (heave) dan gerak horisontal (surge). Penambatan kapal dilakukan dengan tali yang diikatkan pada bollard. Bollard terbuat dari kayu atau baja yang ditanam dalam blok beton pada lantai dermaga. Peralatan penambatan didesain dengan memperhitungkan gaya-gaya tarik yang ditimbulkan oleh kapal. Gaya tarik oleh kapal pada saat ditambat dipengaruhi oleh bobot kapal, gelombang, angin, dan arus. 6. Kebutuhan Trestle Tipe dermaga terpilih berupa pier atau jetty yang dihubungkan oleh trestle ke daratan. Kebutuhan panjang trestle disesuaikan hingga mencapai kedalaman
Bab 4 | 20
5
rencana dermaga. Sedangkan kebutuhan lebar trestle disesuaikan dengan aktifitas kendaraan yang akan melakukan bongkar muat kontainer.
Gambar 4.5 Denah Pengembangan Dermaga dan Trestle
4.3.3.4 Layout Pelabuhan Penentuan layout pengembangan dermaga Pelabuhan Baubau berdasarkan karakteristik lingkungan berupa kondisi gelombang dan arah arus. Pertimbangan arah pengembangan dermaga mengikuti arah datang gelombang dan arus.
Gambar 4.6 Kondisi gelombang pada area Pelabuhan Bab 4 | 21
Gambar 4.7 Kondisi gelombang pada pengembangan dermaga
Gambar 4.8 Kondisi perambatan gelombang pada pengembangan dermaga.
Bab 4 | 22
Gambar 4.9 Kondisi arus di pagi hari pukul 06.00
Gambar 4.10 Kondisi arus di siang hari pukul 12.00
Bab 4 | 23
Gambar 4.11 Kondisi arus di sore hari pukul 16.00.
Gambar 4.12 Kondisi arus di malam hari pukul 22.00 Dengan mempertimbangkan aspek yang telah di paparkan sebelumnya, layout Pengembangan Pelabuhan Baubau disajikan pada gambar berikut.
Bab 4 | 24
Gambar 4.13 Layout Pengembangan Dermaga Pelabuhan
4.3.4 Fasilitas Penunjang 4.3.4.1 Kebutuhan Revertment Revertment direncanakan berfungsi menjadi bangunan pelindung tebing terhadap pengaruh air (gelombang, arus, dan lain-lain) yang dapat menyebabkan bahaya kelongsoran. Perencanaan revertment harus memperhatikan ketersediaan material, koefisien gesekan, tinggi muka air, run up gelombang, dan kemiringan revertment.
4.3.4.2 Fasilitas Navigasi Alat navigasi pelayaran diperlukan untuk keselamatan, efisiensi, dan kenyamanan pelayaran kapal. Alat ini dipasang pada alur masuk dan sepanjang alur pelayaran agar kapal tidak menyimpang dari jalurnya, alat ini terdiri dariMenara Suar, Rambu Suar, Kapal Tunda, dan Kapal Pandu.
4.4
KONFIGURASI TIANG PANCANG
4.4.1 Konfigurasi Tiang Pancang Dermaga Penentuan konfigurasi tiang pancang didasarkan pada layout dan beban yang akan bekerja. Pada studi tesis ini, komponen beban vertikal terbesar akibat Mobile crane dengan bobot 60 ton. Selain itu juga terdapat komponen beban horizontal akibat berthing dan mooring. Dalam tahap awal, ditetapkan konfigurasi menggunakan tiang Bab 4 | 25
tegak dengan jarak antar tiang maksimum 5m. Adapun layout dan tampat samping konfigurasi tiang pancang adalah sebagai berikut.
Gambar 4.14 Layout konfigurasi tiang pancang dermaga
Gambar 4.15 Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga
4.4.2 Konfigurasi Tiang Pancang Trestle Sama seperti penentuan konfigurasi tiang pancang pada dermaga, penentuan konfigurasi didasarkan pada beban-beban yang bekerja di atas trestle. Pada struktur trestle, beban yang bekerja hanya beban sendiri dan beban hidup merata. Beban yang bekerja di atas struktur trestle lebih sedikit jika dibandingkan dengan struktur dermaga, karena itu jarak antar tiang apabila menggunakan tiang yang sama seharusnya bisa lebih panjang. Namun, selain pertimbangan beban, pada trestle juga dipertimbangkan lebar struktur untuk penentuan panjang tiang. Dengan lebar trestle 8m, ditetapkan jarak antar tiang
Bab 4 | 26
pancang sepanjang 6m, dengan jarak tiang ke tepi dermaga sepanjang 1m. Adapun layout dan tampat samping konfigurasi tiang pancang adalah sebagai berikut.
Gambar 4.16 Layout konfigurasi tiang pancang trestle 1
6
1
Gambar 4.17 Tampak konfigurasi tiang pancang dermaga
4.5
ANALISIS KEBUTUHAN FASILITAS DARAT
4.5.1 Lapangan Penumpukan Peti Kemas Lapangan penumpukan peti kemas/Container Yard (CY) harus memiliki luasan yang cukup untuk menampung peti kemas yang datang maupun yang akan diangkut. Letak lapangan ini sebaiknya dekat dengan dermaga untuk mengurangi perjalanan dari traktor-trailer. Formulasi untuk menghitung luas lapangan penumpukan peti kemas adalah sebagai berikut: HCR
= CMPY x ATT/365 Bab 4 | 27
NTSR
= HCR x ARPTEU
GTSAR
= NTSR/RAMSH
CPA
= GTSAR x (1 + RCSF/100)
Keterangan: HCR = Holding Capacity Required CMPY = Container Movements Per Year (1 tambatan) ATT = Average Transit Time NTSR = Net Transit Storage Requirement ARPTEU = Area Requirement per TEU’s GTSAR = Gross Transit Storage Area Requirement RAMSH = Ratio Of Average To Maximum Stacking Height RCSF = Reserve Capacity Safety Factor CPA = Container Park Area Berat 1 TEU’s diambil 20 ton Luas area penumpukan dihitung dengan pendekatan sebagai berikut: {Bongkar muat pertahun X prosentase penumpukan di area terbuka X waktu tinggal X kebutuhan ruang X Fk X (1 + faktor keamanan)}/ jumlah hari kalender per tahun X rata rata tinggi tumpukan) di mana Fk = 1,25 adalah faktor musim sibuk (peak season factor). Selain
pendekatan
yang
dilakukan
diatas
dilakukan
juga
pendekatan
jumlah
penumpukan petikemas yang terdpat di Pelabuhan Baubau pada jangka pendek, jangka menengah serta jangka panjang. Pendekatan ini menghasilkan jumlah kebutuhan luasan yang diperlukan per TEUS (ARPTEU), dengan mengacu kepada Tabel 4.8. Hasil perhitungan yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 4.9. Tabel 4.7 Kebutuhan Luasan yang Diperlukan Per TEUS Luasan yang diperlukan per teus (m2/teus) pk 20 feet pk 40 feet
Peralatan dan metode penanganan
Tinggi penumpukan
trailer
1
60
45
1
60
80
2
30
40
3
20
27
truk forklift
straddle carrier
rubber tyred gantry crane Sumber :
1
30
2
15
3
10
2
15
3
10
4
7,5
Perencanaan Pelabuhan, Bambang Triatmodjo, 2010
Bab 4 | 28
Tabel 4.8 Luas Container Yard (m2) untuk setiap Tahap Pengembangan Tahun 2020 2025 2035
Sumber :
ATF (ton/th) 473.467 687.498 1.216.101
CMPY (TEU) 31.564 45.833 81.073
ATT (hari) 4 4 4
Analisis Konsultan, 2015
ARPTEU (m2) 7,5 7,5 7,5
RAMSH
RSCF
0,6 0,6 0,6
25 25 25
HCR (TEU) 346 502 888
NTSR (m2) 2.594 3.767 6.664
GTSAR (m2) 4.324 6.279 11.106
4.5.2 Pelabuhan Barang Umum/Multipurpose Muatan yang diangkut kapal dapat dibedakan menjadi barang cargo dan barang curah. Dengan harapan dapat memberikan pelayanan dalam tingkat internasional, sudah barang tentu diperlukan fasilitas dan prasarana sehingga barang tersebut dapat dimuat atau dibongkar dengan cepat, efisien dan aman. Berikut ini akan dijelaskan secara umum metode perhitungan yang digunakan sehingga diperoleh besaran luasan dari fasilitas-fasilitas yang ada di pelabuhan multipurpose. Perhitungan luas area transit shed dihitung berdasarkan bongkar muat barang jenis general cargo. Untuk menghitung Luas Transit Shed dan Ware House adalah sebagai berikut: HCR NHVR GHVR ASAR 1 ASAR 2 DSA
= = = = = =
ATTS x ATT/365 HCR/DOC 1,2 x NHVR GHVR/ASH 1,4 x ASAR 1 ASAR 2 x (A+RCSF/100)
Keterangan: HCR ATTS ATT NHVR GHVR RCSF ASAR 1 ASAR 2 DSA DOC ASH
= = = = = = = = = = =
Holding capacity requires Annual tonnage through store Average transit time Net holding volume required Gross holding volume required Reserve capacity safety factor Average stacking area required Average storage area required Design storage area Density of cargo Average stacking height
Perhitungan luas area warehouse dihitung berdasarkan bongkar muat barang di mana dengan pendekatan luas gudang tertutup adalah {Bongkar muat per tahun x prosentase penumpukan di gudang x waktu tinggal x kebutuhan ruang x 1.25 x (1+ faktor
Bab 4 | 29
CPA (m2) 5.405 7.848 13.882
keamanan)}/ jumlah hari kalender per tahun x rata rata tinggi tumpukan), di mana 1,25 adalah faktor perhitungan pada waktu sibuk. Perbandingan luas areal warehouse dengan transit shed adalah 1:2 dengan skenario komposisi barang sebagaimana dijabarkan pada Tabel 8. Tabel 4.9 Komposisi Penanganan Barang di Pelabuhan Komposisi Barang disimpan di Gudang disimpan di Open Storage langsung dibawa
Pendek 20% 10% 70%
Analisis Konsultan, 2015
Sumber :
Menengah 20% 10% 70%
Panjang 10% 10% 80%
Hasil perhitungan yang telah dilakukan disajikan pada Tabel 4.11. Tabel 4.10 Luas Transit Shed, Warehouse, dan Open Storage untuk Dermaga Multi Purpose yang Diperlukan pada Tiap Tahap Pengembangan (m2) Storage
Tahun
Transit Shed dan Ware 2020 House 2025 2035 Open Storage 2020 2025 2035
ATTS
ATT
DOC
(ton/th)
(ton/th)
(hari)
(ton/m3)
Tabel 4.11 Tahun 2020 2025 2035
ASH RCSF
(m)
HCR
NHVR
GHVR
(ton)
m3
m3
ASAR1 ASAR2
m2
m2
1.088.340 1.544.458 2.890.237
217.668 308.892 289.024
6 6 6
0,7 0,7 0,7
4 4 4
40 40 40
3578 5078 4751
5112 7254 6787
6134 8705 8145
1533 2176 2036
2147 3047 2851
1.088.340 1.544.458 2.890.237
108.834 154.446 289.024
10 10 10
1 1 1
2,5 2,5 2,5
50 50 50
2982 4231 7918
2982 4231 7918
3578 5078 9502
1431 2031 3801
2004 2843 5321
Analisis Konsultan, 2015
Sumber :
Sumber :
ATF
Rekapitulasi Kebutuhan Transit Shed, Ware House, dan Open Storage Transit Shed 2.100 2.900 2.700
Ware House 1.100 1.500 1.400
Open Storage 3.006 4.265 7.982
Analisis Konsultan, 2015
4.5.3 Parkir Kendaraan Parkir kendaraan di pelabuhan (berdasarkan parkir mobil yang dirancang untuk fasilitas pelabuhan) hendaknya juga mengacu pada standar struktur dan peralatan yang berlaku. Tempat parkir terbesar sesuai daerah pelayanan masing-masing bangunan yaitu daerah sekitar dermaga dan daerah sekitar bangunan fasilitas perkantoran. Ukuran dan lokasi parkir
mobil hendaknya ditentukan
sehingga tidak menemui
perintang untuk
menggunakan fasilitas pelabuhan dengan pertimbangan lalu lintas yang digerakkan dan kondisi jalan di sekitarnya.
Bab 4 | 30
DSA
m2 3006 4265 3991 3.006 4.265 7.982
Parkir kendaraan sebaiknya tidak ditempatkan di jalan, jika kondisi topografis atau alasan lainnya mengharuskannya, maka ukuran dan lokasi parkir mobil harus memenuhi persyaratan berikut:
Tidak di jalan penghubung pelabuhan dan jalan utama;
Tidak diletakkan di tempat yang menutupi kendaraan ke tempat penanganan kargo atau gudang;
Tidak diletakkan di dekat tempat penanganan barang berbahaya, kecuali dibutuhkan karena alasan topografis atau alasan lain;
Lebar jalan di dalam tempat parkir dan lebar untuk memundurkan dan membelokkan kendaraan ke tempat parkir harus ditentukan dengan tepat sesuai tipe kendaraan yang menggunakannya, sudut parkir, dan metode parkir.
Kebutuhan ruang area parkir untuk pelabuhan terdiri dari kebutuhan ruang untuk area parkir kendaraan yang menyeberang serta area parkir kendaraan penjemput dan transportasi umum.
4.5.3.1 Parkir Truk Untuk perhitungan luas areal parkir truk untuk setiap pengembangannya dapat lihat sebagai berikut dengan asumsi:
Waktu menunggu maksiumum (jam) = pada jangka pendek dan menengah 4 jam, pada jangka panjang 3 jam
Jam kerja bongkar muat (jam) = pada jangka pendek 15 jam, jangka menengah 18 jam, dan jangka panjang 18 jam
Tipe Truk yang dipergunakan: -
Panjang truk
= 20 feet
-
Daya muat
= 20 ton
-
Truk + ruang gerak truk
= 54 m²
Hari kerja
= 365 hari dalam setahun
Tabel 4.12 Kebutuhan Parkir Truk Cargo Dermaga Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Bongkar Muat Barang per jam (ton) 220 260 487
Sumber : Analisis Konsultan, 2015
Jumlah Truk Parkir 26 29 52
Luas Lahan (m2) 1.404 1.566 2.808
Bab 4 | 31
4.5.3.2 Parkir Non Truk
Parkir Kendaraan Non Bus Mobil + Ruang Gerak Mobil
= 14,4 m²
Jumlah Karyawan
= 61 orang
Jumlah Mobil Karyawan
= 15 unit
Jumlah Mobil Tamu
= 15 unit
Jumlah Mobil Penumpang Maksimum
= 20 unit
Jumlah Total
= 50 unit
Jadi kebutuhan luas lahan parkir = Jumlah Total Mobil x Ruang Gerak Mobil = 720 m² 4.5.4 Perkantoran Kebutuhan ruang luasan perkantoran pada Pelabuhan Baubau ini dapat dijelaskan pada tabel berikut. Asumsi: Berdasarkan kondisi yang terdapat dilapangan kebutuhan karyawan untuk setiap 750.000 TEUS (kontainer) dibutuhkan 165 karyawan, kebutuhan karyawan untuk Pelabuhan Baubau berdasarkan proyeksi kebutuhan petikemas dan Cargo adalah 54 orang karyawan. Adapun perkiraan jumlah karyawan / kelompok kerja per sub bidang, yaitu: -
Pusat administrasi pelabuhan
: 20 orang, 4 kelompok kerja
-
Pusat bea cukai
: 4 orang, 2 kelompok kerja
-
Admistrasi pelabuhan pembantu: 12 orang, 3 kelompok kerja
-
EMKL
: 4 orang, 2 kelompok kerja
-
Amenities
: 4 orang, 2 kelompok kerja
-
Keagenan
: 2 kelompok kerja
-
Terminal Penumpang: 2.907 orang 6 pemberangkatan 485 orang/pemberangkatan 1,5 faktor arus maksimum
-
Karantina
Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas Luas
: 10 orang
ruang kerja / kel.kerja ruang kerja / kel.kerja + R.Meeting sirkulasi (%) dari luas lantai efektif ruang keagenan / kel kerja + R.Meeting lantai ruang tunggu penumpang (m²) / penumpang perkantoran untuk Terminal Penumpang lantai ruang karantina (m²) / orang perkantoran untuk Karantina
= = = = = = = =
45 m² 60 m² 40% 30 m² 2,4 m² 120 m² 1,8 m² 100 m² Bab 4 | 32
Tabel 4.13 Rekapitulasi Kebutuhan Ruang Perkantoran Rekapitulasi Kantor - Pusat administrasi pelabuhan - Pusat bea cukai - Gedung terminal kontainer - Pusat bea cukai pembantu - Imigrasi -EMKL - Amenities - Keagenan - Terminal Penumpang - Karantina Total Sumber :
Luas Efektif Lantai (m2) 240 120 180 60 60 120 120 60 1,283 118
Luas Sirkulasi (m2) 96 48 72 24 24 48 48 24 120
Total (m2) 336 168 252 84 84 168 168 84 1,403 118 2.865
Analisis Konsultan, 2015
4.5.5 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan Rekapitulasi kebutuhan fasilitas daratan pada Pelabuhan Baubau yang didasarkan pada perhitungan standar kebutuhan ruang dengan prediksi kebutuhan masa datang (sesuai jangka pengembangan) serta memperhatikan ketersediaan lahan eksisting dijabarkan pada Tabel 4.14. Tabel 4.14 Rekapitulasi Kebutuhan Fasilitas Daratan Pelabuhan Baubau No
1 2
Uraian
6 7 8 9 10 11
Dermaga kapal container Dermaga kargo umum Lapangan Penumpukan Peti Kemas Gudang Cargo (Cargo Warehouse) Open Storage Transit Shed Lapangan parkir truk Lapangan parkir umum Terminal penumpang
4.6
PERALATAN PENUNJANG
3
Sumber :
Analisis Konsultan, 2015
Satuan
Eksisting 2015
Jgk Pendek 2016-2020
Jgk Menengah 2016-2025
Jgk Panjang 2016-2035
m m
130 680
260 1.200
320 990
480 1.040
m2
20.661
5.500
7.900
13.900
m2 m2 m2 m2 m2 m2
0 0 0 0 2.856 780
1.100 3.006 2.100 1.404 4.000 1.080
1.500 4.265 2.900 1.566 4.000 2.160
1.400 7.982 2.700 2.808 4.000 2.160
Peralatan penunjang yang dibutuhkan untuk pada Dermaga Peti Kemas dimaksudkan untuk memaksimalkan kapasitas pelabuhan dalam menangani bongkar muat peti kemas. Beragam peralatang yang umum digunakan pada pelabuhan peti kemas dengan berbagai
Bab 4 | 33
kapasitas dan kemampuan handling. Beberapa peralatan penanganan peti kemas di pelabuhan dijabarkan sebagai berikut: A. Container Crane Alat bongkar muat kapal yang ditempatkan permanen di dermaga dan berfungsi sebagai alat utama bongkar muat peti kemas dari dermaga ke kapal dan sebaliknya. Kapasitas 35-40 ton.
Gambar 4.18 Container Crane B. Transtainer Alat bongkar muat kapal untuk mengangkut, menumpuk 4 + 1 tiers, lebar span 6 + 1 rows dan membongkar/memuat peti kemas dilapangan penumpukan (container yard). Alat ini bergerak dan ditempatkan di lapangan penumpukan petikemas. Kapasitas 40 ton.
Gambar 4.19 Transtainer C. Forklift Alat bongkar muat kapal yang digunakan untuk angkat barang umum/general cargo dengan kapasitas angkat tertentu dan mempunyai jangkauan pengangkatan yang
Bab 4 | 34
terbatas. Kapasitas forklift yang umum digunakan adalah ukuran 2.5, 3, 15 sampai 40 ton.
Gambar 4.20 Forklift D. Mobile Crane Alat angkat barang umum/general cargo dengan kapasitas angkat tertentu dan mempunyai jangkauan pengangkatan yang relatif jauh. Kapasitas <40 ton. E. Reach Stacker Alat angkat peti kemas dengan kapasitas angkat tertentu dan mempunyai jangkauan pengangkatan yang relatif lebih sempit. Kapasitas 40 ton.
Gambar 4.21 Mobile Crane (kiri) dan Reach Stacker (kanan) F. Top Loader Alat bongkar muat kapal seperti Forklift tetapi mempunyai kemampuan mengangkat peti kemas dan jangkauan pengangkatan yang terbatas. Kapasitas 30.5 ton.
Bab 4 | 35
Gambar 4.22 Top Loader Kondisi eksisting peralatan penunjang Pelabuhan Baubau saat ini memiliki 3 buah peralatan penunjang yaitu Mobil Fortklift, Boat crane dan Mobile crane. Berdasarkan kondisi pelabuhan serta kebutuhan peralatan penunjang yang mendasar, Pelabuhan Baubau membutuhkan penambahan perlatan penunjang pada jangka panjang yaitu Rubber tyred gantry crane atau Transteiner.
Gambar 4.23 Kondisi Sarana Angkut Peti Kemas di Pelabuhan Baubau
Bab 4 | 36
Untuk kebutuhan alat dan peralatan di Pelabuhan Baubau khususnya untuk mendukung operasional terminal peti kemas disesuaikan dengan besaran demand pada setiap tahapan pengembangan pelabuhan. Kebutuhan peralatan ini juga disesuaikan dengan kondisi ketersediaan lahan dengan memperhatikan ketersediaan lahan pelabuhan yang cukup terbatas. Kebutuhan peralatan di Terminal Peti Kemas Pelabuhan sampai dengan jangka panjang dijabarkan pada Tabel 4.15. Tabel 4.15 Kebutuhan Peralatan Terminal Peti Kemas Pelabuhan Baubau No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Uraian Crane 40 Ton Crane 25 Ton Crane 5 Ton Crane 3 Ton Reach Stacker 42 Ton Top Leader 36 Ton Bottom Lift 15 Ton Forklift 2 Ton Forklift 3 Ton Forklift 5 Ton Head Truck Mobile Crane 40 Ton Transtainer
Sumber :
4.7
Analisis Konsultan, 2015
Satuan
Eksisting 2015
unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit unit
0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 4 0 0
Jgk Pendek 2016-2020 0 1 1 1 0 0 0 2 1 1 6 1 0
Jgk Mngah 2016-2025 0 1 0 0 1 1 1 2 1 1 4 0 0
Jgk Panjang 2016-2035 1 1 0 0 0 2 0 2 1 1 4 0 1
ANALISIS RISIKO
Secara teknis, risiko dari pengembangan Pelabuhan Baubau sangat kecil. Hal ini dikarenakan kondisi fisik lingkungan yang memadai dari sisi kedalaman perairan, tinggi gelombang dan kecepatan arus perairan. di sekitar lokasi Pelabuhan Baubau sendiri terdapat sumber sedimen dari sungai yang berjarak 1 Km di sisi barat pelabuhan. Namun, karena lokasi Pelabuhan terdapat di selat dengan kecepatan arus yang cukup tinggi dan letak pengembangan dermaga berada di > -10m, pendangkalan di lokasi dermaga dapat direduksi. Hasil analisa sedimentasi menunjukkan kadar sedimentasi di lokasi dermaga mencapai 300mg/L dengan pendangkalan 0.3m/tahun.
Bab 4 | 37
Gambar 4.24 Orientasi lokasi Pelabuhan dan sumber sedimen
Gambar 4.25 Hasil Pemodelan sebaran sedimen
Bab 4 | 38
Gambar 4.26 Hasil Pemodelan perubahan dasar perairan
Gambar 4.27 Grafik perubahan dasar perairan di area Pelabuhan Bau-bau. Risiko terbesar dari pengembangan dermaga kearah timur pelabuhan Baubau adalah risiko kecelakaan dengan kapal ferry. Hal ini dikarenakan area sandar pengambangan dermaga dan kolam putar ferry yang hampir berhimpitan. Perlu dilakukan regulasi sandar kapal apabila terjadi kedatangan yang bersamaan.
Bab 4 | 39
Gambar 4.28 Lokasi Pelabuhan Ferry dan Kolam Putarnya
4.8
ESTIMASI KEBUTUHAN BIAYA PEKERJAAN KONSTRUKSI
Mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 78 Tahun 2014 mengenai Standar Biaya di Lingkungan Kementerian Perhubungan, didapatkan harga satuan per m2 untuk bangunan deck on pile sebesar Rp 9.669.150,00 dengan indeks kemahalan kota baubau adalah 1,0493. Berdasarkan acuan harga tersebut didapatkan perkiraan biaya konstruksi pengambangan dermaga di Kota Baubau sebagai berikut. Tabel 4.16 Perkiraan Biaya Konstruksi Pengembang Dermaga Pelabuhan Baubau
Bab 4 | 40
No
Pekerjaan
satuan
Harga Satuan
2016-2020 volume
2016-2025
jumlah
volume
jumlah
2016-2035 volume
jumlah
A PEKERJAAN REKLAMASI
1 2 4 5 6 7 8 9
Tanah timbunan Soil improvement Geotextile woven Geotextile non woven Breakwater Revetmen Sand mat Pemindahan tanah sisa preload
m3 m3 m2 m2 m m3 m3 m3
687.500 68.750 52.465 42.321 13.609.185 312.500 437.500 43.750
3.240 324 3.240 324 16 324 162 648
2.227.500.000 22.275.000 169.986.600 13.711.887 220.468.797 101.250.000 70.875.000 28.350.000
m2 m2 m2 m2 m2 m m2 m2 m2 m2
1.897.996 1.897.996 1.930.964 1.897.996 1.930.964 11.424.094 25.314.961 16.876.641 6.228.095 12.164.923
4.600 2.597 547 400 200 1.200 -
8.730.781.026 4.929.525.248 1.056.237.216 759.198.350 386.192.766 13.708.913.108 -
m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 m2 LS
2.549.000 2.549.000 2.549.000 1.897.996 2.549.000 2.549.000 2.549.000 2.549.000 3.500.000 3.500.000 1.930.964 1.875.000.000
900 1.800 1.080 5.188 350 250 1.000 250 100 60
2.294.100.000 4.588.200.000 2.752.920.000 9.846.802.601 892.150.000 637.250.000 2.549.000.000 637.250.000 350.000.000 210.000.000
1
1.875.000.000
uni t
1.437.500.000 1.062.500.000 812.500.000 625.000.000 1.500.000.000 312.500.000 625.000.000 750.000.000 875.000.000 1.062.500.000 500.000.000 2.200.000.000 16.875.000.000
-
4.575 458 4.575 458 23 458 229 915
3.302.578.125 33.025.781 252.028.744 20.329.777 326.875.612 150.117.188 105.082.031 42.032.813
40.935 4.094 40.935 4.094 205 4.094 2.047 8.187
32.364.234.375 323.642.344 2.469.802.991 199.225.471 3.203.278.931 1.471.101.563 1.029.771.094 411.908.438
2.300 1.123 7.313
4.583.660.039 2.238.058.021 14.827.195.429 13.556.161.753 1.070.580.000 1.873.515.000 2.890.566.000 430.465.465 669.112.500 1.013.756.012 -
5.700 3.360 1.090
12.441.362.963 7.333.787.284 2.420.463.163 -
670
13.003.451.766 39.171.052.514 2.357.310.877 -
B INFRASTRUKTUR AREA TERMINAL PETI KEMAS
1 Perkerasan a. Area container yard b. Open storage c. Jalan utama d. Area parkir truk di CFS e. Jalan lingkungan f. Drainase g. Dermaga peti kemas ukuran lebar 15 m h. Dermaga cargo ukuran 10 m i. Causeway j. Trestle 3 Bangunan a. Ware house b. Transit shed c. Terminal penumpang d. Area parkir e. Kantor operasi terminal peti kemas f. Bengkel g. Container Freight Station (CFS) h. Gerbang terminal peti kemas i. Oil storage tank j. Kantin 4 Jalan akses 5 Pekerjaan elektrikal dan mekanikal C Sarana Terminal Peti Kemas 1 Crane 40 Ton
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Crane 25 Ton
uni t
Crane 5 Ton
uni t
Crane 3 Ton
uni t
Reach Stacker 42 Ton
uni t
Top Leader 36 Ton
uni t
Bottom Lift 15 Ton
uni t
F o r k l i f t 2 Ton
uni t
F o r k l i f t 3 Ton
uni t
F o r k l i f t 5 Ton
uni t
Head Truck Mobile Crane 40 Ton
uni t
Transtainer
uni t
4.9
uni t
Total Total
-
-
510 400 700 1.080 216
250
500
1 1 1 2 1 1 6 1 1
Rp. Rp.
1.062.500.000 812.500.000 625.000.000 1.500.000.000 875.000.000 1.062.500.000 3.000.000.000 2.200.000.000 16.875.000.000 87.070.437.600
0 1 0 0 1 1 1 2 1 1 4 0 0
1.115.625.000 1.575.000.000 328.125.000 656.250.000 1.575.000.000 918.750.000 1.115.625.000 2.100.000.000 56.769.515.289
2800
1.080
1 1 0 0 0 2 0 2 1 1 4 0 1
1.653.125.000 1.221.875.000 718.750.000 1.725.000.000 1.006.250.000 1.221.875.000 2.300.000.000 19.406.250.000 147.453.518.772 291.293.471.661
PENDAPATAN DAN MANFAAT PELABUHAN
4.9.1 Pendapatan Pelabuhan Pendapatan pelabuhan yang diperhitungkan dari pelayanan yang dilakukan oleh pelabuhan. Pelayanan di Pelabuhan Baubau meliputi pelayanan pada angkutan penumpang, angkutan barang umum (multi purpose) dan angkutan peti kemas. Selain itu, juga diperhitungkan jasa-jasa pelayanan dermaga yang meliputi, Jasa labuh Jasa pemanduan Bab 4 | 41
Jasa penundaan Jasa tambat Khusus untuk terminal peti kemas dan barang umum, terdapat beberapa komponen pendapatan jasa yang diterima oleh penyelenggara pelabuhan sebagai imbal jasa pelayanan yang diberikan. Pelayanan tersebut meliputi :
Kegiatan
operasi
kapal,
terdiri
atas
:
Kegiatan
dermaga,
Stevedoring,
Haulage/trucking, shifting, buka tutup palka, lift on/lift off;
kegiatan operasi lapangan, terdiri atas: penumpukan, lift on/lift off, gerakan ekstra, relokasi, dan angsur;
kegiatan operasi Container Freight Station, terdiri atas: stripping/ stuffing, penumpukan,penerimaan penyerahan
kegiatan pelayanan tambahan seperti biaya administrasi, inter terminal transfer, dan lain-lain.
Sedangkan untuk pelayanan jasa terminal penumpang, pendapatan yang didapatkan oleh pelabuhan dapat meliputi pendapatan atas jasa pelayanan jasa terminal penumpang, pengembangan usaha terkait pelayanan penumpang seperti restoran, tempat istirahat temporer, dan sebagainya.
4.9.2 Manfaat Pelabuhan Keberadaan pelabuhan serta operasional pelabuhan memberikan manfaat pada perekonomian wilayah khususnya pada sektor perdagangan, jasa, perhotelan dan lainnya. Manfaat pelabuhan yang diperhitungkan dalam kelayakan ekonomi adalah kuantifikasi pada manfaat pelabuhan pada peningkatan ekonomi wilayah (PDRB wilayah) dan penghematan waktu dengan ketersediaan angkutan laut baik pada angkutan penumpang maupun angkutan barang. Selain itu, dalam perhitungan manfaat ekonomi, diperhitungkan juga pendapatan pelabuhan berupa pendapatan langsung pada jasa pelabuhan, tetapi dengan harga ekonomi (shadow price) serta pendapatan dari retribusi tiket penumpang dan pendapatan dari air kapal.
Bab 4 | 42
Bab 5 KAJIAN EKONOMI DAN KOMERSIAL
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
5.1
KAJIAN EKONOMI
Kajian ekonomi bertujuan untuk melihat dampak atau kontribusi dari suatu proyek terhadap masyarakat dan negara. Kajian ekonomi menjadi dasar bagi Pemerintah dalam mengambil keputusan untuk merealisasikan proyek atau tidak. Kota Baubau merupakan daerah penghubung (connecting/transit area) antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kota Baubau juga berperan sebagai daerah pengumpul hasil produksi dan distributor kebutuhan daerah hinterlandnya, yaitu Kab. Buton, Kab. Muna, Kab. Wakatobi, dan Kab. Bombana. Potensi komoditas dari Kota Baubau dan hinterland-nya mencakup perikanan, budidaya rumput laut,
budidaya
mutiara,
pertanian,
perkebunan,
peternakan,
perdagangan,
perindustrian, pariwisata. Selama periode 2010-2013 bongkar muat peti kemas menunjukan pertumbuhan yang cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 37.73% (TEUS) / 42.14% (Ton) untuk bongkar peti kemas dan rata-rata sebesar 41,12% (TEUS) / 33.10% (Ton) untuk muat peti kemas. Melihat kondisi tersebut dan rencana Kota Baubau untuk menjadi ibukota Provinsi Kepulauan Buton, maka pengembangan Pelabuhan Baubau dipandang perlu untuk dilaksanakan. Beberapa manfaat dari pengembangan Pelabuhan Baubau adalah sebagai berikut: 1. Memenuhi kebutuhan permintaan (demand) Dengan pertumbuhan seperti saat ini, Pelabuhan Baubau akan mencapai kapasitas maksimalnya pada tahun 2018. Jika Pelabuhan Baubau tidak dikembangkan maka komoditas, baik dari Kota Baubau dan hinterland-nya maupun dari KBI ke KTI dan sebaliknya, tidak dapat difasilitasi yang selanjutnya berdampak pada terhambatnya arus distribusi secara langsung serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung.
Bab 5 | 1
2. Meningkatnya pelayanan bagi pengguna Fasilitas pelabuhan yang ada pada Pelabuhan Baubau saat ini belum memadai dibandingkan dengan permintaan yang ada. Hal ini berdampak pada lamanya proses bongkar muat serta kualitas bongkar muat tersebut. Proses bongkar muat yang lama mengakibatkan biaya sandar yang mahal serta mengakibatkan beberapa komoditas, terutama komoditas yang cepat rusak seperti hasil sumber daya alam, berpotensi rusak. Kualitas bongkar muat yang tidak baik pun berpotensi merusak komoditas yang dibongkar-muat. Dengan pengembangan Pelabuhan Baubau, diharapkan dapat meminimalisasi lama proses bongkar muat serta memberikan kualitas pelayanan bongkar muat yang optimal bagi pengguna. Hal ini akan meminimalisasi kerugian yang berpotensi diderita oleh pengguna apabila kondisi Pelabuhan Baubau saat ini dipertahankan. 3. Membuka peluang investasi dan lapangan kerja Pengembangan Pelabuhan Baubau akan membuka peluang kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, Pelabuhan Baubau akan membutuhkan pegawai baru, baik selama masa konstruksi maupun operasi. Pengembangan
Pelabuhan
Baubau
juga
akan
menstimulus
perkembangan
perekonomian di wilayah sekitarnya. Pelabuhan yang baik mendukung sistem distribusi yang baik yang dapat mengundang investor, baik dalam dan luar negeri, untuk menanamkan modalnya. Hal ini akan bermuara pada tumbuhnya perekonomian rakyat. 4. Meningkatnya PDRB Perbaikan sistem distribusi komoditas barang dan manusia serta pertumbuhan ekonomi di sekitar Pelabuhan Baubau akan memberikan dampak positif bagi PDRB daerah. Berdasarkan penelitian1, rata-rata PDRB dan pertumbuhan PDRB kota pelabuhan lebih besar daripada kota yang tidak memiliki pelabuhan. Peran pelabuhan menjadi sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga mobilitas sosial dan perdagangan tidak akan terlepas dari peran pelabuhan.
1
Karunia, Diana Sekarayu dan Komara Djaja. 2013. Peran Pelabuhan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kota di Indonesia. Indonesia: Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
Bab 5 | 2
5. Menurunnya tingkat kriminalitas Wilayah pelabuhan selalu dikenal sebagai salah satu wilayah dengan tingkat kriminalitas yang tinggi. Oleh karena itu pengembangan pelabuhan, yang mencakup penataan area serta perbaikan fasilitas, diharapkan akan mencegah peluang kriminalitas di pelabuhan tersebut.
5.2
KAJIAN KOMERSIAL
Kajian komersial terhadap pembangunan pelabuhan Bau Baru didasarkan pada awalnya dilakukan berdasarkan suatu keputusan yang menjawab pertanyaan apakah pengguna jasa (masayarakat) harus membayar jasa layanan yang diberikan? (Yesombee, 2007), jika jawabanannya ya berarti pemerintah harus memikirkan bagaimana caranya memberi konsesi kepada pihak ketiga. Namun jika jawabannya adalah tidak, maka pemerintah harus mulai berfikir bagaimana caranya membuat perhitungan keuangan. Jika setelah dibuat model konsesi ternyata pendapatan mayoritsnya diperoleh dari masyarakat, maka secara otomatis proyek tersebut adalah proyek milik pemerintah (publik), dan jika pendapatannya hanya minoritas dari masyarakat, maka proyek tersebut merupakan kerjasama dengan swasta (private). Keputusan berikutnya apakah sektor swasta menanggung risiko permintaan (demand) dan spesifikasi produk yang dihasilkan (ouput), jika jawaban kedua-duanya tidak, maka proyek tersebut merupakan proyek kerjasama pemerintah (publik) dan sebaliknya jika jawabannya ya, maka proyek tersebut merupakan kerjasama swasta. Hal ini dapat diilustrasikan dalam gambar 5.2.1 berikut:
Bab 5 | 3
Gambar 5.1 Kriteria Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha 5.2.1 Keterkaitan Antar Kajian dengan Model Perhitungan Finansial Untuk melakukan kajian komersial terhadap proyek pelabuhan Bau Bau,
diperlukan
beberapa kajian yang mendahului, yaitu kajian rencana pembangunan dan kajian rencana produksi. Di dalam kajian rencana pembangunan, tahap pertama diperlukan dua kajian utama, yaitu kajian studi teknis, rencana pembangungan dan kajian lingkungan. Sementar itu tahap kedua diperlukan kajian legal, yang mempertimbangkan aspek undang-undang dan peraturan yang berlaku serta kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Pada fase yang lain, diperlukan kajian produksi yang mempertimbangkan aspek kebutuhan pasar berdasarkan real demand survey dan kesiapan pelabuhan beserta peralatan pendukung produksi dengan pertimbangan aspek transportasi. Sedangkan dalam memfinalisasi model keuangan, juga diperlukan masukan terkait motivasi peminjam (lenders), pihak investor (swasta) dan penjamin risiko (jika diperlukan). Jika smua hal tersebut sudah dirangkum, maka barulah dapat dihasilkan model finansial, yang dapat dijadikan pedoman bagi kajian ekonomi dan menjadi dasar dalam penyusunan dokumen Financial Business Plan. Semua rangkaian kegiatan tersebut, diilustrasikan dalam Gambar 5.2.
Bab 5 | 4
Gambar 5.2 Keterkaitan Antar Kajian terhadap Model Perhitungan Keuangan
5.2.2 Perhitungan Keuangan Melalui
beberapa
perhitungan
keuangan
konvensional
yang
dilakukan
dengan
pertimbangan seperti gambaran yang telah dijelaskan diatas serta memperhatikan kemampuan keuangan pemerintah dan motivasi investor, ternyata hasil perhitungan keuangan ini masih belum memenehui berbagai parameter seperti yang diharapkan (Permenhub no 83 tahun 2010). Berikut disampaikan ikhtisar hasil perhitungan proyeksi keuangan model konvensional. Hal ini dilakukan dengan 2 (dua) skenario, pada skenario1: Pesimis, dimana demand dihasilkan berdasarkan perhitungan kebutuhan akan pasar pada kondisi saat ini dan dengan dukungan pemerintah (government support) sebesar 0%. Sedangkan skenario-2: Optimis, jika demand dihitung sudah memperhatikan daya tarik pelabuhan terkait komoditas lokal (aspal Buton dan komoditas lainnya) di wilayah sekitar pelabuhan (hinterland dan foreland) serta dengan dukungan pemerintah maksimal sebesar 49%. Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Skenario-1: Pesimis ASUMSI DASAR 1 Government Support 0% 2 Ekuity-Private 30% 3 Interest rate 12% 4 Discount rate 9% 5 Tariff increase/3 years 10% 6 Pembulatan tarif Rp 500 7 Loan Period (years) 24 8 Kenaikan demand 20%
Kesimpulan Kelayakan Proyek: Project IRR Private IRR Project NPV (in million)= Private Investment NPV (in million)= Average DSCR (x) Minimum DSCR (c) KESIMPULAN
Rp Rp
Parameter 3,22% 10,80% 2,70% 15,00% (110.368) 0 (49.514) 0 0,34 1,4 0,24 1,0
Keputusan Ditolak Ditolak Ditolak Ditolak Ditolak Ditolak Tidak Layak
Bab 5 | 5
Tabel 5.2 Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis ASUMSI DASAR 1 Government Support 49% 2 Ekuity-Private 30% 3 Interest rate 12% 4 Discount rate 9% 5 Tariff increase/3 years 10% 6 Pembulatan tarif Rp 500 7 Loan Period (years) 24 8 Kenaikan demand 20%
Kesimpulan Kelayakan Proyek: Project IRR Private IRR Project NPV (in million)= Private Investment NPV (in million)= Average DSCR (x) MinimumDSCR (c)
Rp Rp
Parameter 3,32% 10,80% 7,82% 15,00% (104.314) 0 42.940 0 0,81 1,4 0,49 1,0
KESIMPULAN
Keputusan Ditolak Ditolak Ditolak Diterima Ditolak Ditolak Tidak Layak
Dengan demikian maka apabila Financial Projection masih negatif sehingga “Tidak Layak” seperti dijelaskan diatas, maka diperlukan kajian tambahan dengan pendekatan metode pembayaran Ketersediaan Layanan (Availability Payment/AP) dengan ilustrasi pada Gambar 5.3 berikut:
Gambar 5.3 Pola Perhitungan Proyek Keuangan Berdasarkan perhitungan proyeksi keuangan dengan pendekatan ketersediaan layanan (AP) dengan formulasi sebagi berikut: Skenario-1: AP Pesimis
Metoda AP dengan skema pembayaran 5 (lima) tahun pertama 45%,
tahap kedua
sebesar 35% dan ketiga sebesar 20%, sebagai berikut:
Bab 5 | 6
SKENARIO-1 PESIMIS Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun SKENARIO-1 PESIMIS Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun SKENARIO-1 PESIMIS Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun
OPEX w/o ROI TOT AP Deprc 1 Rp 39.182 Rp 34.358 Rp 46.374 Rp 17.111 Rp 97.842 2 Rp 30.475 Rp 26.440 Rp 36.068 Rp 13.309 Rp 75.817 3 Rp 17.414 Rp 12.486 Rp 20.610 Rp 7.605 Rp 40.701
Pembayaran AP/Thn Rp 19.568 Rp 15.163 Rp 8.140
OPEX w/o ROI TOT AP Deprc 1 Rp 25.546 Rp 22.401 Rp 61.508 Rp 17.411 Rp 101.320 2 Rp 19.869 Rp 17.239 Rp 47.840 Rp 13.542 Rp 78.620 3 Rp 11.354 Rp 8.141 Rp 27.337 Rp 7.738 Rp 43.216
Pembayaran AP/Thn Rp 20.264 Rp 15.724 Rp 8.643
OPEX w/o ROI TOT AP Deprc 1 Rp 48.727 Rp 42.728 Rp 87.828 Rp 27.311 Rp 157.867 2 Rp 37.899 Rp 32.881 Rp 68.311 Rp 21.242 Rp 122.434 3 Rp 21.656 Rp 15.527 Rp 39.035 Rp 12.138 Rp 66.700
Pembayaran AP/Thn Rp 31.573 Rp 24.487 Rp 13.340
Stage-1
Stage-2
Stage-3
CAPEX
CAPEX
CAPEX
Interest
Interest
Interest
Maka diperoleh hasil perhitungan proyeksi keuangan sebagi berikut: Tabel 5.3 Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-1: Pesimis 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASUMSI DASAR Government Support 0% Ekuity-Private 30% Interest rate 12% Discount rate 9% Tariff increase/3 years 10% Pembulatan tarif Rp 500 Loan Period (years) 18 Kenaikan demand 2,86 Tingkat ROI 20%
Kesimpulan Kelayakan Proyek: Project IRR 5,12% Private IRR 5,75% Project NPV (in million)= Rp 23.900 Private Investment NPV (in million)= Rp 6.217 Average DSCR (x) 1,11 Minimum DSCR (x) 0,42
Parameter 10,80% 15,00% 0 0 1,4 1,0
KESIMPULAN
Keputusan Ditolak Ditolak Diterima Diterima Ditolak Ditolak Tidak Layak
Memperhatikan kriteria seuai parameter yang disyaratkan Project IRR = WACC, Private (Equity) IRR = Cost of Debt (Ke), Project dan Equity NPV ≥ 0, Average DSCR ≥ 1,4 dan Minimum DSCR ≥,0. Maka dapat disimpulkan, sebagai berikut: 1. Hasil perhitungan proyeksi keuangan dengan metoda perhitungan keuangan normal, dimana government support 0% proyek “Tidak Layak” karena Project NPV maupun Equity NPV masih negatif; 2. Hasil perhitungan proyeksi keuangan dengan metoda perhitungan keuangan normal, dimana government support diberikan maksimum sampai 49%, proyek masih tetap “Tidak layak” karena Project NPV masih negatif. Oleh sebab itu dibuat kembali perhitungan proyeksi keuangan dengan pendekatan metode AP, dengan tanpa dukungan pemerintah (0%) sebagai berikut: Skenario-2: AP Optimis
Bab 5 | 7
SKENARIO-3 OPTIMIS Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun SKENARIO-3 OPTIMIS Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun SKENARIO-3 OPTIMIS Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun Pembayaran AP 5 tahun
OPEX w/o ROI TOT AP Deprc 1 Rp 39.182 Rp 34.358 Rp 58.365 Rp 19.509 Rp 112.232 2 Rp 30.475 Rp 26.440 Rp 45.395 Rp 15.174 Rp 87.008 3 Rp 17.414 Rp 12.486 Rp 25.940 Rp 8.671 Rp 47.096
Pembayaran AP/Thn Rp 22.446 Rp 17.402 Rp 9.419
OPEX w/o ROI TOT AP Deprc 1 Rp 25.546 Rp 22.401 Rp 89.261 Rp 22.961 Rp 134.623 2 Rp 19.869 Rp 17.239 Rp 69.425 Rp 17.859 Rp 104.523 3 Rp 11.354 Rp 8.141 Rp 39.671 Rp 10.205 Rp 58.017
Pembayaran AP/Thn Rp 26.925 Rp 20.905 Rp 11.603
OPEX w/o ROI TOT AP Deprc 1 Rp 48.727 Rp 42.728 Rp 145.295 Rp 38.804 Rp 226.827 2 Rp 37.899 Rp 32.881 Rp 113.007 Rp 30.181 Rp 176.069 3 Rp 21.656 Rp 15.527 Rp 64.576 Rp 17.246 Rp 97.349
Pembayaran AP/Thn Rp 45.365 Rp 35.214 Rp 19.470
Stage-1 Rp Rp Rp
Stage-2 Rp Rp Rp
Stage-3 Rp Rp Rp
CAPEX
CAPEX
CAPEX
Interest
Interest
Interest
Maka diperoleh hasil perhitungan proyeksi keuangan sebagi berikut: Hasil Perhitungan Metoda AP, Skenario-2: Optimis 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASUMSI DASAR Government Support 0% Ekuity-Private 30% Interest rate 12% Discount rate 9% Tariff increase/3 years 56% Pembulatan tarif Rp 500 Loan Period (years) Rp 18 Kenaikan demand 20% Tingkat ROI 20%
Kesimpulan Kelayakan Proyek: Project IRR Private IRR Project NPV (in million)= Rp Private Investment NPV (in million)=Rp Average DSCR (x) Minimum DSCR (x)
10,85% 19,42% 83.718 Rp 29.394 Rp 4,15 1,39
Parameter 10,80% 15,00% 1,4 1,0
KESIMPULAN
Keputusan Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima Layak
Berdasarkan perhitungan tersebut dan dibandingkan dengan parameter yang sama seperti yang telah dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan hasilnya sebagi berikut: 1. Hasil perhitungan proyeksi keuangan metoda AP, dengan skenario Pesimis proyek masih belum layak (namun NPV sudah positif); 2. Hasil perhitungan proyeksi keuangan metoda AP, dengan skenario Optimis proyek “Layak”, dengan catatan tarif naik di awal periode naik sebesar 56%. Berikut disampaikan beberapa saran terhadap proyek pembangunan pelabuhan Bau Bau: 1. Metoda Pembayaran normal tidak akan menarik bagi investor karena IRR dan NPV sangat rendah, oleh karena itu disarankan menggunakan metod pembayaran AP sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 190/PMK.08/2015, tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan dalam rangka KPBU dalam penyediaan Infrastruktur.
Bab 5 | 8
2. Dana Pembayaran Ketersediaan Layanan adalah dana yang dialokasikan dalam APBN atau APBD dalam rangka pelaksanaan Pembayaran Ketersediaan Layanan untuk KPBU pada setiap tahun anggaran. Dimana tujuannya adalah untuk: (1) memastikan keteresediaan layanan yang berkualitas; (2) mengoptimalkan nilai guna dari APBN/APBD (value for money); (3) menyediakan skema pengembalian investasi yang menarik minat Badan Usaha untuk bekerjasama dengan Pemerintah dalam menyediakan layanan kepada masyarakat melalui KPBU. 3. Untuk itu maka Pembayaran Ketersediaan Layanan ini harus memperhatikan prinsipprinsip: (1) kemampuan keuangan negara (kapasitas fiskal); (2) kesinambungan fiskal; (3) pengelolaan risiko fiskal, dan; (4) ketepatan sasaran penggunaan. Hasil Perhitungan Skenario-2: Optimis 1 2 3 4 5 6 7 8 9
ASUMSI DASAR Government Support 0% Ekuity-Private 30% Interest rate 12% Discount rate 9% Tariff increase/3 years 56% Pembulatan tarif Rp 500 Loan Period (years) Rp 18 Kenaikan demand 20% Tingkat ROI 20%
Kesimpulan Kelayakan Proyek: Project IRR Private IRR Project NPV (in million)= Rp Private Investment NPV (in million)=Rp Average DSCR (x) Minimum DSCR (x)
10,85% 19,42% 83.718 Rp 29.394 Rp 4,15 1,39
KESIMPULAN
Parameter 10,80% 15,00% 1,4 1,0
Keputusan Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima Diterima Layak
Bab 5 | 9
Bab 6 KAJIAN LINGKUNGAN DAN SOSIAL Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan pemantauan dan pengawasan lingkungan hidup. Menurut Undang-Undang No. 17 Tahun 2008, pelayaran di Indonesia diselenggarakan berdasarkan asas berwawasan lingkungan hidup. Selanjutnya disebutkan bahwa semua kegiatan angkutan di perairan ke pelabuhan, harus memperhatikan keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia. Untuk itu Pembangunan Pelabuhan BauBau perlu direalisasikan dengan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 05 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau kegiatan yang Wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, bahwa untuk kegiatan pelabuhan dengan luas > 6000 m2 merupakan kegiatan yang wajib studi AMDAL. Dengan demikian perlu dilaksanakan studi AMDAL untuk melengkapi kegiatan Pelabuhan BauBau. Adapun kegiatan yang diperkirakan dapat menjadi penyebab terjadinya dampak adalah sebagai berikut: 1. Konstruksi a. Mobilisasi tenaga kerja konstruksi b. Pembuatan dan pengoperasian base camp c. Mobilisasi alat berat dan material konstruksi d. Pekerjaan tanah e. Pembangunan fasilitas sisi darat f. Pembangunan fasilitas sisi perairan 2. Operasional a. Perekrutan tenaga kerja operasional
Bab 6 | 1
b. Pengoperasian fasilitas sisi perairan Komponen lingkungan yang diperkirakan akan terkena dampak penting dari kegiatankegiatan tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1. Aspek Fisik Kimia a. Kualitas udara mencakup meliputi NO2, SO2 dan debu b. Kebisingan (Intensitas Kebisingan) c. Hidrologi dan Kualitas Air Debit air larian yang terjadi karena adanya pembangunan di lokasi tapak Kualitas fisik, kimia, air permukaan (sungai) dan air laut Kualitas fisik, kimia, sumber air bersih (air sumur dan air hujan) d. Limbah Padat Jumlah sampah yang dihasilkan 2. Aspek Tata Ruang dan Transportasi a. Pola ruang dan tata guna lahan Alokasi penggunaan ruang menurut Rencana Tata Ruang Penggunaan lahan sesuai kebijaksanaan tata ruang dan perijinan yang berlaku Penggunaan lahan eksisting b. Transportasi Air Jenis alat transportasi air Alur pelayaran 3. Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya Penelaahan aspek sosial, ekonomi dan budaya mencakup kondisi kependudukan (demografi), kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya. a. Kependudukan (Demografi) Jumlah dan kepadatan penduduk serta penyebarannya Struktur penduduk berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan Tingkat pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja b. Kondisi Sosial Ekonomi Struktur jenis pekerjaan penduduk Tingkat pendapatan penduduk Analisis penurunan perekonomian penduduk Kesempatan kerja dan berusaha c. Kondisi Sosial Budaya Persepsi masyarakat terhadap kegiatan 4. Aspek Kesehatan Masyarakat Bab 6 | 2
a. Sanitasi Lingkungan b. Keselamatan dan kesehatan kerja c. Pola penyakit Selain komponen lingkungan yang tersebut di atas akan ditelaah pula komponen lingkungan
yang dapat mempengaruhi intensitas, arah dan luas dari penyebaran
dampak. Komponen lingkungan tersebut adalah: 1. Iklim a. Kelembaban dan temperatur udara b. Curah hujan c. Arah dan kecepatan angin 2. Hidrooceanografi a. Pola arus b. Pasang surut
Bab 6 | 3
Bab 7 Kajian Bentuk KPBU
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
7.1
KAJIAN BENTUK KERJASAMA
Studi OBC menjelaskan bentuk kerja sama yang diusulkan untuk dikaji lebih lanjut terdiri atas 2 alternatif yaitu BOT terminal peti kemas dan BOT terminal penumpang. Diantara kedua alternatif tersebut, studi OBC merekomendasikan BOT terminal peti kemas sebagai bentuk kerjasama yang paling potensial. Pada studi FBC, konsultan meninjau ulang kemungkinan kerja sama BOT terminal penumpang, BOT terminal peti kemas, BOT terminal peti kemas dan kargo, dan BOT untuk
keseluruhan
operasional
terminal
penumpang,
peti
kemas,
dan
kargo.
Berdasarkan analisa konsultan dengan mempertimbangkan kondisi pelabuhan yang sudah berdiri dan sedang berjalan, kondisi demand penumpang dan barang, status pelabuhan sebagai pelabuhan non komersil dan tarif yang ditetapkan, serat rencana pengembangan pelabuhan ke depan, konsultan mengusulkan bentuk kerjasama Rehabilitate Build Operate Transfer (RBOT) / Rehabilitasi Bangun Guna Serah untuk pengoperasian terminal peti kemas dan kargo. Pemilihan skema KPBU tersebut dengan mempertimbangkan: 1. Waktu ketersediaan infrastruktur Infrastruktur pelabuhan sudah tersedia, akan tetapi perlu direhabilitasi dan dikembangkan, sehingga ada aktivitas rehabilitasi bangunan eksisting, dan juga pembangunan prasarana baru yang mendukung rencana pengembangan pelabuhan. Jika pemerintah mengharapkan dana APBN untuk rehabilitasi dan pengembangan akan membutuhkan dana yang besar dan butuh waktu yang tidak cepat. Di satu sisi, pertumbuhan kargo meningkat, dan potensi lebih aktif Pengusahaan Aspal Buton akan menambah geliat ekonomi. 2. Optimalisasi investasi Pelaksanaan KPBU rehabilitasi-bangun-guna-serah terminal peti kemas dan kargo akna lebih mengoptimalkan investasi pemerintah. Dana APBN dapat dialokasikan untuk peningkatan pelayanan terminal penumpang dan pengembangan cruise
Bab 7 | 1
terminal. Hal ini mengingat Bau Bau sebagai gerbang pariwisata ke kawasan wisata bahari Wakatobi, tentu perlu memberikan pelayanan yang terbaik. 3. Maksimalisasi efisiensi Pengoperasian terminal peti kemas dan kargo secara KPBU diharapkan lebih meningkatkan efisiensi pengoperasian pelabuhan dan meningkatkan pelayanan dengan standar yang tinggi. 4. Kemampuan badan usaha Berdasarkan hasil market sounding ke beberapa perusahaan investasi, operator pelabuhan, dan pelayaran, badan usaha swasta lebih tertarik mengoperasikan terminal peti kemas dan kargo daripada terminal penumpang. Hal ini dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian investasi dan proses bisnis yang dilakukan. Pengelolaan terminal penumpang lebih mengedepankan jasa atas kenyamanan individu yang dapat memberkan respon positif atau negatif seketika, sehingga cukup berisiko. Berdasarkan analisa atas pelabuhan yang dikelola badan usaha ang ada di Indonesia, umumnya merupakan terminal peti kemas, bukan terminal penumpang. Adapun untuk terminal penumpang biasanya hanya dilakukan kontrak servis jasa kebersihan terminal penumpang. 5. Alokasi risiko Pemilihan skema RBOT dengan mempertimbangkan bahwa risiko konstruksi dan risiko operasional ditransfer ke Badan Usaha. Kedua risiko ini merupakan risiko utama di dalam skema ini. Mengingat pelabuhan ini bersifat non-komersil dimana tarif ditetapkan oleh pemerintah, Badan Usaha akan keberatan untuk menangani risiko demand dan pendapatan. Selain itu, dengan pertimbangan bahwa Bau Bau berada di satu pulau, tentunya mengkreasikan demand dari dalam pulau sangat susah. Demand diharapkan dapat tumbuh dari posisi Pelabuhan Bau Bau sebagai pintu gerbang ekonomi dan pariwisata di Sulawesi Tenggara dan sebagai pelabuhan pengumpul yang akan menjadi titik transfer penumpang dan barang ke lokasi Indonesia timur lainnya. Selain itu, perlu dipertimbangkan bahwa terdapat 6 pelabuhan pengumpul di sekitar pelabuhan Bau Bau yaitu: a. Pelabuhan Kendari (Kendari), b. Pelabuhan Bangkutoko (Kendari), c. Pelabuhan Kolaka (Kolaka), d. Pelabuhan Watunohu (Kolaka Utara),
Bab 7 | 2
e. Pelabuhan Raha (Muna), dan f. Pelabuhan Wanci (Wakatobi). Hal ini tentunya mempengaruhi penyebaran demand. 6. Alih pengetahuan Kerjasama ini diharapkan dapat terjadi alih pengetahuan di dalam pengelolaan terminal peti kemas yang lebih efisien dan efektif sehingga meningkatkan pelayanan. Berdasarkan pertimbangan di atas, tentunya pemilihan skema KPBU dengan bentuk RBOT menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan sebagai salah satu cara peningkatan pelayanan di Pelabuhan Bau Bau dengan prinsip pengoptimalan investasi pemerintah dan maksimalisasi efisiensi biaya operasi ang didasari prinsip alokasi risiko yang tepat.
7.2
PENENTUAN LINGKUP KERJASAMA
Hal yang perlu diingat terkait kerjasama ini bahwa Pelabuhan Bau Bau telah beroperasi penuh saat ini. Oleh karena itu, proses kerjasama ini seharusnya tidak menghentikan operasional pelabuhan. Lingkup kerjasama skema RBOT meliputi: 1. Pelaksanaan rehabilitasi, pengoperasian, dan pemeliharaan prasarana dan fasilitas eksisting sehingga dapat memberikan pelayanan yang lebih optimal; 2. Pembangunan prasarana dan penyediaan fasilitas tambahan untuk pengembangan pelabuhan dalam 2 tahap dengan mempertimbangkan pertumbuhan demand. 3. Pengoperasian
dan
pemeliharaan
prasarana
dan
fasilitas
tambahan
untuk
meningkatkan pelayanan pelabuhan. 4. Pengalihan aset rehabilitasi dan pembangunan baru kepada pemerintah pada akhir masa konsesi. 5. Menjaga kualitas dan kuantitas fasilitas aset eksisting yang digunakan hingga dilakukan proses pengalihan hak guna pada akhir masa konsesi. 6. Dalam pengoperasian dan pemeliharaan terminal peti kemas dan kargo, Badan Usaha diperkenankan untuk melakukan kerja sama dengan pihak ketiga selama tidak mengganggu kinerja operasional.
Bab 7 | 3
Pentahapan rehabilitasi dan pembangunan terdiri atas 3 tahap, yaitu: a. Tahap 1: Rehabilitasi dilakukan pada tahun 2018-2019, sehingga bisa beroperasi penuh pada tahun 2020. Hal ini dengan pertimbangan bahwa lelang KPBU dimulai pada pertengahan 2016, sehingga proses lelang hingga financial close selesai pada akhir tahun 2017. b. Tahap 2: Pembangunan pengembangan pertama dilakukan pada tahun 2020-2023. c. Tahap 3: Pembangunan pengembangan kedua dilakukan pada tahun 2030-2033. Jangka waktu perjanjian kerjasama ini diusulkan selama 30 tahun, terhitung sejak kegiatan rehabilitasi dilakukan. Harapanya dengan skema kerjasama yang tidak sepanjang masa konsesi pelabuhan di Indonesia pada umumnya akan memberikan waktu yang cukup dan tepat bagi Pemerintah untuk mengoperasikan secara mandiri dan Badan Usaha mendapatkan keuntungan yang layak. Aset pemerintah di Pelabuhan Bau Bau merupakan aset Pemerintah Pusat. Aset yang dikerjasamakan meliputi segala aset yang digunakan untuk pengoperasian dan pemeliharaan terminal peti kemas saat ini.
Bab 7 | 4
Bab 8 Kajian Risiko
Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
8.1
UMUM
Dalam rangka memenuhi tata cara penyusunan Pra-Studi Kelayakan seperti tertuang didalam Permen PPN/Bappenas No. 4 tahun 2015, maka kajian risiko harus dilakukan. Kajian risiko meliputi identifikasi risiko, penilaian risiko, alokasi risiko, dan mitigasi risiko. Output kajian risiko berupa matriks risiko. Proses kajian risiko dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Identifikasi Risiko
Penilaian Risiko
Alokasi Risiko
Mitigasi Risiko
Matriks Risiko Gambar 8.1 Proses Analisa Risiko
8.2
IDENTIFIKASI RISIKO
Menurut Bramantyo Djohanputro dalam buku Manajemen Risiko Korporat Terintegrasi dinyatakan bahwa berdasarkan kemampuan memperoleh data atau sumber data, metode identifikasi risiko terdiri atas: 1. Analisis historis, yaitu pemanfaatan data-data masa lalu di proyek/organisasi tersebut untuk mengidentifikasi risiko akan datang. 2. Pengamatan dan survey, yaitu suatu metode identifikasi risiko, khususnya terhadap risiko yang “diyakini” atau “dicurigai” bisa terjadi tetapi proyek/organisasi tidak memiliki catatan historis. 3. Pengacuan atau benchmarking, yaitu proses identifikasi dengan melakukan acuan kepada proyek/organisasi yang memiliki objek dengan kondisi internal dan eksternal yang dekat atau mirip dengan objek yang kita amati.
Bab 8 | 1
4. Pendapat Ahli, yaitu meminta Pendapat Ahli dikarenakan tidak tersedianya data dengan ketiga metode di atas, kondisi yang ditimbulkan dianggap “baru” dan berubah-ubah, dan adanya unsur kerahasiaan/paten. 5. Wawancara pihak berkepentingan, yaitu melakukan wawancara dengan stakeholder terkait
untuk
mengetahui
kepentingan,
kekhawatiran,
dan
hal-hal
yang
menyebabkan tidak terpenuhinya kepentingan mereka. Untuk studi ini, identifikasi risiko akan mengacu kepada acuan alokasi risiko yang diterbitkan oleh PII dengan penyesuaian atas kondisi dan struktur proyek.
8.3
PENILAIAN RISIKO
Penilaian risiko dengan mempertimbangkan frekuensi dan dampak yang ditimbulkan. Penilaian risiko dapat berupa: 1. kualitatif, yaitu penentuan frekuensi dan dampak berdasarkan tingkat kualitatif seperti sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. 2. kuantitatif, yaitu penentuan frekuensi dan dampak berdasarkan hasil pengukuran. Pengukuran dampak risiko dapat menggunakan: 1. Cara hipotesis (Notional), yaitu menentukan batas atas besarnya nilai yang menghadapi risiko. Misal perubahan nilai harga emas atau kurs. 2. Sensitivitas, yaitu mengukur penimpangan variabel target sebagai akibat pergerakan satu unit variabel pasar. 3. Volatilitas yaitu mengukur variasi sekitar rata-rata atau ekpektasi variabel target, baik variasi positif maupun negatif. Metode ini menggunakan peramalan. 4. Penyimpangan bawah (VaR), yaitu mengukur penyimpangan negatif dari variabel target untuk kasus terburuk. Metode monte carlo digunakan untuk mencari VaR. Untuk proyek ini, perhitungan VaR tidak bisa dilakukan dengan pertimbangan bahwa perhitungan VaR tidak memberikan gambaran mengenai risiko terburuk. Akurasi perhitungan VaR sangat tergantung dengan banyaknya data yang kita miliki. 5. Pengukuran secara kualitatif / expert judgement. Metode perhitungan: Nilai Dampak = (Optimis + 4 Moderat + Pesimis)/6 6. Hasil desk research berupa rujukan ke suatu studi atau benchmark. Pada studi ini, penilaian risiko dilakukan secara kualitatif dengan mempertimbangkan hasil desk research, benchmark, dan expert judgement.
Bab 8 | 2
8.4
ALOKASI RISIKO
Alokasi risiko bertujuan untuk menentukan pihak yang paling mampu mengelola risiko dalam hal ini pemerintah, badan usaha, atau kedua belah pihak. Risiko yang dialokasikan ke pemerintah menjadi retained risk, adapun risiko yang dialokasikan ke badan usaha akan menjadi transferable risk. Alokasi risiko akan mengacu kepada buku Acuan Alokasi Risiko PII.
8.5
MITIGASI RISIKO
Setelah proses identifikasi, penilaian dan aloaksi risiko dilakukan, selanjutnya dilakukan proses mitigasi risiko. Mitigasi atau pengendalian risiko dapat berupa penghilangan risiko, pemindahan risiko ke pihak ketiga, minimalisasi risiko, ataupun penerimaan atas risiko tersebut. Hasil identifikasi, penilaian, alokasi dan mitigasi risiko dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Bab 8 | 3
Table 4.1 Tabel Acuan Alokasi Risiko Kategori Risiko dan Peristiwa Risiko
Deskripsi
Publik
Swasta
1. RISIKO LOKASI Kesulitan pada kondisi lokasi yang tak terduga
Keterlambatan karena ketidakpastian kondisi lokasi
x
Gagal menjaga keselamatan dalam lokasi
x
Kontaminasi/polusi ke lingkungan lokasi 2. RISIKO DESAIN, KONSTRUKSI DAN UJI OPERASI
x
Ketidakjelasan spesifikasi output
Keterlambatan dan kenaikan biaya akibatspesifikasi output tidak jelas
Kesalahan desain
Menyebabkan ekstra/revisi desain yang diminta operator
x
Terlambatnya penyelesaian konstruksi
Dapat termasuk terlambatnya pengembalian akses lokasi
x
Risiko uji operasi
Strategi Mitigasi Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko
RS
Data historis penggunaan lahan dan penyelidikan tanah
Karena lahan tidak luas, risiko geoteknis relatif bisa dikelola
RR
Data historis penggunaan lahan dan penyelidikan tanah
P
D
NR
1
2
1x2
R
S
R
R
x
Kerusakan artefak dan barang kuno pada lokasi
Kenaikan biaya konstruksi
Bersama
x
R
S
RS
Implementasi prosedur keselamatan kerja yang baik
S
S
SS
Kesesuaian dengan studi Amdal yang baik Klarifikasi saat proses tender; Kapasitas desain yang baik
Spesifikasi output PJPK harus mengacu ke best practice
Konsultan desain yang berpengalaman dan baik Kontraktor yang handal dan klausul kontrak yang standar
Biasanya teridentifikasi saat uji operasi teknis
x R
B
RB
R
B
RB
R
S
RS
S
B
SB
Kesepakatan faktor eskalasi harga tertentu dalam kontrak
R
B
RB
Koordinasi kontraktor dan operator yang baik
x
Kesalahan estimasi waktu/ biaya dalam uji operasi teknis
x
3. RISIKO SPONSOR
Bab 8 | 4
Kategori Risiko dan Peristiwa Risiko
Deskripsi
Kinerja subkontraktor yang buruk Default subkontraktor Default BU
Publik
Swasta x x
Default BU yang mengarah ke terminasi/step-in oleh financier
x
Default pihak sponsor (atau anggota konsorsium)
x
Kegagalan mencapai financial close
Tidak tercapainya financial close karena ketidakpastian kondisi pasar
x
Risiko struktur finansial
Inefisiensi karena struktur modal proyek yang tidak optimal
x
Risiko nilai tukar mata uang
fluktuasi (non ekstrim) nilai tukar
x
Risiko tingkat inflasi
Kenaikan (non ekstrim) tingkat inflasi terhadap asumsi dalam life-cycle cost
x
fluktuasi (non ekstrim) tingkat suku bunga
x
Default sponsor proyek
Bersama
P
D
NR
S
S
SS
R
S
RS
R
B
RB
R
B
RB
Strategi Mitigasi Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko
Proses pemilihan subkontraktor yang kredibel Proses pemilihan subkontraktor yang kredibel Konsorsium didukung sponsor yang kredibel dan solid Proses PQ untuk memperoleh sponsor yang kredibel
4. RISIKO FINANSIAL
Risiko suku bunga
S
R
S
B
SS
Koordinasi yang baik dengan potential lenders
Bisa juga karena conditions precedence tidak terpenuhi
RB
Konsorsium didukung sponsor/lender yang kredibel Instrumen lindung nilai; Pembiayaan dalam Rupiah
Bisa dibagi dengan Pemerintah apabila fluktuasinya ekstrim
Faktor indeksasi tarif;
Bisa dibagi dengan Pemerintah apabila fluktuasinya ekstrim
Lindung nilai tingkat suku bunga
Bisa dibagi dengan Pemerintah apabila fluktuasinya ekstrim
S
B
SB
R
B
RB
R
S
RS
Bab 8 | 5
Kategori Risiko dan Peristiwa Risiko Risiko asuransi (1)
Deskripsi
Publik
Swasta
Cakupan asuransi untuk risiko tertentu tidak lagi tersedia di pasaran
x
Kenaikan substansial tingkat premi terhadap estimasi awal
x
Ketersediaan fasilitas Buruk atau tidak tersedianya layanan
Akibat fasilitas tidak bisa terbangun Akibat fasilitas tidak bisa beroperasi
x
Aksi industri
Aksi mogok, larangan kerja,dsb
x
Risiko yang timbul karena tidak diperhitungkannya budaya atau kondisi sosial masyarakat setempat dalam implementasi proyek
x
Kegagalan manajemen proyek
Kegagalan atau ketidakmampuan Badan Usaha dalam mengelola operasional Proyek Kerjasama
x
Kegagalan kontrol dan monitoring proyek
Terjadinya penyimpangan yang tidak terdeteksi akibat kegagalan kontrol dan monitoring oleh Badan Usaha atau PJPK
Risiko asuransi (2)
Bersama
D
NR
R
S
RS
Konsultansi dengan spesialis/broker asuransi
R
S
RS
Konsultansi dengan spesialis/broker asuransi
S
B
RB
S
B
SB
5. RISIKO OPERASI
Risiko sosial dan budaya lokal
x
R
x
Strategi Mitigasi Sesuai Best Practice
P
S
RS
R
S
RS
R
S
RS
x S
S
SS
Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko Khususnya untuk cakupan risiko terkait keadaan kahar
Kontraktor yang handal Operator yang handal; Spesifikasi output yang jelas kebijakan SDM dan hubungan industrial yang baik Menerapkan program pengembangan masyarakat yang people-oriented; Pemberdayaan masyarakat Menyusun rencana manajemen operasi dan dijalankan secara profesional
Bisa oleh staf operator, subkontraktor atau penyuplai
Menyusun rencana kontrol dan monitoring serta evaluasi berkala terhadap efektivitas rancangan dan pelaksanaannya
Bab 8 | 6
Kategori Risiko dan Peristiwa Risiko Kenaikan biaya O&M
Deskripsi
Publik
Akibat kesalahan estimasi biaya O&M atau kenaikan tidak terduga
Swasta
P
D
NR
Strategi Mitigasi Sesuai Best Practice Operator yang handal; Spesifikasi output yang jelas; Faktor eskalasi dalam kontrak
x
Kesalahan estimasi biaya life cycle
x
Kecelakaan lalu lintas atau isu keselamatan 6. RISIKO PENDAPATAN Perubahan proyeksi volume permintaan
x
Kesalahan estimasi pendapatan dari model awal
Bersama
S
B
SB
R
B
RB
S
R
SR
x S
B
SB
R
B
RB
R
S
RS
x
Pelanggan akhir tidak membayar
Akibat user affordability and willingness di bawah tingkat kelayakan
x
Kegagalan memungut pembayaran tarif
Akibat kegagalan / tidak optimalnya sistem pemungutan tariff
x
Kegagalan mengajukan penyesuaian tarif
Akibat BU tidak mampu memenuhi standar minimal yang disepakati
R
S
RS
R
S
RS
x
Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko
Kesepakatan/kontrak dengan supplier sedini mungkin Asuransi kewajiban pihak ketiga
Survei lalu lintas yang handal; Pinjaman lunak di awal operasi
Pertimbangan menggunakan skema Availability Payment
Survei lalu lintas yang handal;
Pertimbangan menggunakan skema Availability Payment
Subsidi (khususnya tarif) Sosialisasi yang baik ke publik Survei user affordability and willingness yang handal Kinerja operasi yang baik dan jelas;
Pertimbangan menggunakan skema Availability Payment
7. RISIKO POLITIK
Bab 8 | 7
Kategori Risiko dan Peristiwa Risiko
Deskripsi
Publik
Mata uang asing tidak dapat dikonversi
Mata uang asing tidak tersedianya dan/atau tidak bisa dikonversi dari Rupiah
x
Mata uang asing tidak dapat direpatriasi
Mata uang asing tidak bisa ditransfer ke negara asal investor
x
Risiko ekspropriasi
Nasionalisasi/pengambilalihan tanpa kompensasi (yang memadai)
x
Perubahan regulasi (dan pajak) yang umum
Bisa dianggap sebagai risiko bisnis
Perubahan regulasi (dan pajak) yang diskriminatif dan spesifik
Berbentuk kebijakan pajak oleh otoritas terkait (pusat atau daerah)
x
Keterlambatan perolehan persetujuan perencanaan Gagal/terlambatnya perolehan persetujuan
Hanya jika dipicu keputusan sepihak /tidak wajar dari otoritas terkait
x
Hanya jika dipicu keputusan sepihak /tidak wajar dari otoritas terkait
x
Swasta
Bersama
P
D
NR
R
B
RB
R
B
RB
R
B
RB
R
S
RS
x
R
S
RS
Strategi Mitigasi Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko
- Pembiayaan domestik - Akun pembiayaan luar negeri - Penjaminan dari bank sentral - Pembiayaan domestik - Akun pembiayaan luar negeri - Penjaminan dari bank sentral - Mediasi,negosiasi - Asuransi Risiko Politik - Penjaminan Pemerintah
- Mediasi,negosiasi - Asuransi Risiko Politik - Penjaminan Pemerintah
Selain memiliki provisi kontrak yang jelas termasuk kompensasinya
Provisi kontrak yang jelas termasuk kompensasinya
R
S
RS
R
S
RS
Provisi kontrak yang jelas termasuk kompensasinya
R
B
RB
Asuransi, bila dimungkinkan
Biasanya terkait isu selain perencanaan
10. RISIKO FORCE MAJEURE Bencana alam
x
Bab 8 | 8
Kategori Risiko dan Peristiwa Risiko Force majeur politis
Deskripsi
Publik
Swasta
Peristiwa perang, kerusuhan, gangguan keamanan masyarakat
Bersama
x
Force majeure berkepanjangan
x
Jika di atas 6-12 bulan,dapat mengganggu aspek ekonomis pihak yang terkena dampak (terutama bila asuransi tidak ada) 11. RISIKO KEPEMILIKAN ASET Kebakaran, ledakan, dsb
D
NR
R
B
RB
R
B
RB
x
Cuaca ekstrim
Risiko nilai aset turun Keterangan: P = Probabilitas D = Dampak R = Rendah S = Sedang T = Tinggi
P
x
R
B
RB
R
B
RB
Strategi Mitigasi Sesuai Best Practice
Kondisi Spesifik terkait Alokasi Risiko
Asuransi, bila dimungkinkan Asuransi, bila dimungkinkan Setiap pihak dapat mengakhiri kontrak KPS dan memicu terminasi dini
Terutama bila asuransi tdk tersedia untuk risiko tertentu
Asuransi
Bab 8 | 9
Bab 8 | 10
Bab 9 Dukungan Pemerintah dan Penjaminan Penyiapan Dokumen Transaksi Proyek Kerjasama Pemerintah Swasta Pelabuhan Baubau, Sulawesi Tenggara
9.1
DUKUNGAN PEMERINTAH
Proyek ini tidak memerlukan dukungan kelayakan (viability gap funding), karena menggunakan mekanisme Availability Payment (AP) untuk pembayarannya. Oleh karena itu, dibutuhkan kepastian dari pemerintah untuk dapat melakukan pembayaran AP secara tepat waktu sesuai dengan yang diperjanjikan di dalam kontrak. Selain itu, Badan Usaha Pelaksana (BUP) akan membutuhkan bantuan pemerintah untuk memberikan kemudahan dalam proses perizinan badan usaha dan pemngoperasian. Dukungan pemerintah dalam bentuk insentif pajak tidak diperlukan di dalam skema ini, karena hanya merupakan kantong kanan kantong kiri saja.
9.2
PENJAMINAN PEMERINTAH
Penjaminan untuk proyek ini dapat dibutuhkan atau tidak dibutuhkan sangat tergantung dengan ketertarikan pasar. Berdasarkan hasil market sounding awal, salah satu badan usaha yakin pemerintah akan komitmen melakukan pembayaran secara AP sesuai dengan kontrak. Jika pemerintah dikhawatirkan tidak komitmen dalam pelaksanaan pembayaran, tentunya penjaminan pemerintah akan sangat membantu memberikan kenyamanan tersebut. Risiko yang diusulkan untuk dijamin adalah: -
Risiko politik & regulasi. Kondisi politik yang dapat berubah sehingga dapat mengubah regulasi yang kemungkinan dapat menimbulkan risiko negatif bagi proyek.
-
Risiko penyesuaian pembayaran (adjustment). Risiko terjadinya keterlambatan atau tidak dilakukannya penyesuaian pembayaran AP sesuai dengan inflasi epr tahunnya.
-
Risiko
pembayaran.
Risiko
terjadinya
penundaan
atau
tidak
dilakukannya
pembayaran AP oleh pemerintah hingga melewati batas waktu yang dijanjikan di dalam kontrak.
Bab 9 | 1
Penjaminan atas risiko-risiko tersebut akan memberikan tambahan kenyamanan bagi investor dan lender. Walaupun begitu, dalam studi ini disepakati tidak mengajukan penjaminan pemerintah.
Bab 9 | 2