Bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta yang Ideal UNAIR NEWS – Pemerintah harus mengacu pada pasal 33 UUD RI 1945 dalam mengelola dan mengoptimalisasi kekayaan alam agar bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Meski pemerintah sudah membentuk badan usaha milik negara maupun daerah, pemerintah perlu membuat regulasi yang berpihak pada kepentingan nasional, termasuk mengakomodasi kepentingan swasta. Pernyataan itu disampaikan oleh Faizal Kurniawan, S.H., M.H., LL.M, pengajar sekaligus peneliti pada Departemen Hukum Perdata, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga. Penelitian itu disampaikan dalam diskusi paralel “Simposium I: University Network for Indonesia Infrastructure Development” di Graha Institut Teknologi 10 Nopember. Topik kerjasama pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur dari segi regulasi ini merupakan payung penelitian. Dalam diskusi paralel itu, setidaknya ada tiga topik yang dipresentasikan oleh Faizal dan tim FH UNAIR. Ketiga judul penelitian itu adalah “Creating Role Models on Sustainable Financing in The Public Private Partnership (PPP) in Infrastructure Projects”; “Elaborating Appropriate Models of the Sustainable Financing Instruments in Public Private Partnerships (PPP); “National Interests as the Legal Foundation in Encouraging Public Private Partnerships in Indonesia”. Menurut Faizal, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia, pemerintah harus menyiapkan regulasi-regulasi yang dibutuhkan. Regulasi yang dipersiapkan tak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. “Indikatornya adalah pemerintah menciptakan regulasi yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Ada elaborasi dari
pasal 33 UUD NKRI 1945, bahwa bumi, air, kekayaan yang terkandung di dalam bumi harus dimaknai sebagai raw material dan dikuasai pemerintah. Agar kepentingan nasional tercapai, ya, leading sector-nya adalah pemerintah,” tutur Faizal. Ada dua kasus yang dipakai dalam penelitian yang dilakukan oleh Faizal dan tim. Pertama, proyek unggulan. Kedua, inisiasi penghematan energi. Dalam problem proyek unggulan, Faizal mengatakan bahwa harus ada mekanisme yang tepat dalam skema PPP. “Apakah proyek unggulan itu menggunakan mekanisme PPP, kerjasama daerah, atau pemerintah dengan daerah. Contoh tumpang tindihnya peraturan itu banyak terjadi di Indonesia. Apakah pemerintah dalam melakukan PPP ini tunduk pada regulasi kerjasama daerah, ataukah kerjasama pemerintah swasta ini,” tutur Faizal. Untuk menjamin percepatan pembangunan infrastruktur, pada awal tahun lalu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden no. 4 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Kelistrikan (PIK). Menurut dosen Departemen Hukum Perdata itu, perpres itu masih belum kuat untuk memayungi percepatan pembangunan infrastruktur itu. “Kalau undang-undang perdagangan itu masih tinggi kedudukannya sehingga bisa membatalkan perjanjian yang dibuat, sedangkan arahan Presiden yang masih dibingkai dalam bentuk perpres itu tidak cocok,” tutur Faizal. Sehingga, peraturan yang dibuat oleh pemerintah harus mencerminkan asas-asas peraturan perundang-undangan yang baik, misalnya mencerminkan tujuan yang jelas, kesesuaian peraturan dengan norma, dan rumusan masalah yang jelas. Selain tumpang tindih, peraturan yang ada harus bisa mengakomodasi inisiatif-inisiatif yang lahir dari pihak swasta. Menurut Faizal, konsep-konsep yang ditawarkan pihak swasta tentang infrastruktur khususnya tentang
ketenagalistrikan itu jauh lebih inovatif. “Ada pihak swasta yang memiliki konsep mengenai efisiensi listrik. Nah peraturan mana yang bisa diberlakukan terhadap pihak swasta tersebut, apakah Perpres 38 tentang kerjasama pemerintah swasta, atau ada undang-undang sektoral seperti sumber daya energi. Karena ini merupakan ide yang baru sehingga belum ada aturan yang mewadahinya, di sisi lain pemerintah juga bingung,” imbuhnya. (*) Penulis: Defrina Sukma S. Editor: Nuri Hermawan
Dengan Lesehan, Rektor Sambut Sambat Warga UNAIR NEWS – “UNAIR kampus rakyat, UNAIR kampus rakyat, UNAIR kampus rakyat,” itulah sorakan dari kurang lebih 300 warga Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, yang disambut Rektor UNAIR dengan lesehan di Hall lantai satu Gedung Rektorat. Kedatangan mereka bertujuan untuk memohon agar UNAIR membantu dalam menangani kasus limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3) yang telah mencemari sumber air sumur mereka. “Lima tahun yang lalu PT Putra Restu Ibu Abadi melakukan penimbunan B3 di lingkungan warga, padahal di Jawa Timur tidak ada perusahaan yang memiliki izin untuk penimbunan,” jelas Prigi Arisandi, alumnus UNAIR yang fokus pada kelestarian lingkungan. Prigi juga menambahkan bahwa warga sebenarnya telah melakukan berbagai upaya, mulai mengajukan masalah ini ke Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Lingkungan Hidup (BLH) provinsi dan kabupaten, namun belum ada respon sama sekali. “Rakyat ini saat mengadu ke mereka dituduh mengada-ada, dan ketika tim ahli mereka datang mengkaji air yang tercemar, kata mereka tidak ada apa-apa, padahal sudah ada kurang lebih 200 anak di lima dusun yang terkena, bahkan lima dusun tersebut setiap hari harus beli air galon,” tegas aktivis lingkungan tersebut. Sikap warga pun berlanjut dengan menggelar aksi ke Istana Grahadi, Kamis (2/6). Selepas dari Grahadi, warga akhirnya bergerak menuju UNAIR untuk meminta bantuan dari pihak akademisi UNAIR untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. “Kami yakin Rektor akan berpihak pada kepentingan rakyat dan UNAIR mau membela kita, karena selama ini tidak ada yang membela kami,” tegasnya. Warga
yang
hadir
pun
juga
juga
berkesempatan
untuk
menyampaikan aspirasi. Salah satunya adalah Supriyadi, warga Dusun Kedungpalang, menjelaskan bahwa mulanya warga memang buta mengenai masalah B3. Perlahan tapi pasti, lima tahun berjalan warga mulai terdampak. Hingga melakukan beberapa aksi yang sampai saat ini belum ada tanggapan sama sekali dari pihak berwenang. “Saya khawatir lima tahun lagi anak-anak kami tidak bisa merasakan sumber air sumur yang bersih lagi, kami sudah lelah dan lelah, pihak terkait tidak pernah merespon sama sekali,” keluhnya.
Senyum Hangat Rektor Saat Menerima Warga Desa Lakardowo Di Hall Lantai 1 Kantor Manajemen UNAIR. (Foto: Nuri Hermawan) Menanggapi penjelasan Prigi dan Supriyadi, Rektor UNAIR, Prof. Dr. Moh. Nasih, SE., MT., Ak., CMA., menjelaskan bahwa kewenangan masing-masing pihak berbeda. Prof Nasih juga menekankan bahwa dalam waktu yang dekat, UNAIR akan membentuk dan menerjunkan tim untuk mengkaji sekaligus menganalisis kasus yang ada. “Secara akademik kami akan menerjunkan tim kami, kami juga punya pakar lingkungan, kesehatan masyarakat, sosial politik, kesemuanya saya berharap bisa melakukan kajian ini dalam waktu yang tidak lama,” ungkap Prof Nasih. Guru Besar FEB UNAIR tersebut juga menambahkan bahwa dari hasil kajian tersebut nantinya akan disampaikan pada pihak yang terkait. “Hasil kajian bahaya limbah ini bisa kami teruskan bisa ke pihak yang mempunyai hak, kalau UNAIR nutup pabrik gak
mungkin, UNAIR tidak punya kewenangan, ada aparat yang berwenang untuk hal itu,” jelasnya sembari disambut tepukan tangan warga. (*) Penulis: Nuri Hermawan Editor: Dilan Salsabila