PENYEBAB KETIDAKPATUHAN BIROKRAT TERHADAP HUKUM DAN AKIBATNYA BAGI UPA YA . TERWUJUDNYA MASYARAKAT SEJAHTERA 1 Oleh: Suherman Toha~ S.H.,M.H.1 ABSTRAK Di negara manapun dialati bahwa hukum adalah suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan bermasyarakai, berbangsa, dan bernegara, tetapi nyatanya di Indonesia supremasi hukum masih dalam angan-angan. Berbagai kaidah yang oleh hukum digariskan menjadi acuan bersikaptindak para pelaksana pembang~nan cehderung · dilanggar, dan pelanggaran ·tersebut justru banyak dilakukanpula oleh para hirokrat yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan. Idealisme hukum tertinggal hanya pada saat hukum dibuat, sebagai akibatnya segala materi hukum yang secara substantif diperuntukkan menjadi rambu-rambu bagiterwujudnya masyarakat sejahtera menjadi bias, terjadi berbagai penyimpangan. · ·· , . ' karenadatairt jJeta!cSaniidnitya . . . ·· .. '
,.
.:. _·
'
~
Untuk menumbuhkan semangat birokrat mematuhi hukum dan jera untuk tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, selain diperlukan sanksi berat bagi mereka yang melanggar juga diperlukan adanya pembenahan manajerial kinerja pemerintahan. Termasuk di dalamnya adalah perbaikan gaji pegawai negeri dan menutup peluang bagi terjadinya penyimpangan dana pembangunan.
A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan
Tujuan untuk terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera telah ada di benak para pendiri negara (founding father) jauh sebelum kemerdekaan, dan telah dijabarkan secara jelas di dalam Pembukaan UUD 1945.
1
Penelitian ini dilaksanakan th. 2004-2005 Ahli Peneliti Madya di Badan Pembinaan Hukum Nasional
2
67
Pada zaman pemerintahan kolonial hamhatan utama untuk terwujudnya kesejahteraan umum masyarakat utamanya terletak pada sikap dan perilaku yang diskriminatif dari pemerintah jajahan terhadap golongan prihumi sehagai masyarakat yang dijajah. Sehingga tidak perlu diherankan lagi hila kewenangan-kewenangan puhlik yang melekat pada para petugas pemerintahan jajahan cenderung digunakan untuk melegitimasi perhuatanperhuatan yang mengandung unsur pemerasan dan kekejaman pada rakyat jajahan. Karena itu wajarlah hila pada zaman Pemerintahan Kolonial kehidupan masyarakat penuh dengan ketidakadilan dan herhau kemiskinan, serta tidak ada pola pemikiran yang jelas untuk pemhinaannya. Setelah Indonesia merdeka, di mana visi dan misi kehidupan herhangsa dan hemegara telah mengacu pada pola pemikiran hangsa Indonesia sendiri, sehagai hangsa yang hermartahat dan herkeinginan maju untuk kesejahteraan agar sejajar dengan hangsa-hangsa hesar lainnya di dunia semakin dipertegas. Pemikiran ideal tersehut hahkan secara konstitusional telah dituangkan di dalam UUD 1945 yang dalam pemhukaan dan hatang tuhuhnya secara jelas memerintahkan pada pemerintah sehagai pelaksana kedaulatan melakukan herhagai kegiatan untuk kesejahteraan rakyat. Hal yang demikian itu tentunya merupakan dorongan kuat untuk lancamya herhagai upaya terwujudnya kesejahteraan masyarakat, tetapi fakta menunjukkan hahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia umumnya masih sangat rendah, dan penyehah rendahnya kesejahteraan masyarakat Indonesia disehahkan hanyak faktor di antaranya dikarenakan rendahnya produktifitas kerja, helum efektifnya penggunaan dana pemhangunan dan helum meratanya kesempatan untuk menikmati basil pemhangunan. Potret kemiskinan yang terdapat hampir di seluruh tanah air adalah merupakan fen omena sosial yang sangat janggal hagi negara Indonesia yang merdeka yang wilayahnya sangat luas dan kaya sumher daya alamnya. Bila dicermati lehih dalam lagi kondisi kehidupan masyarakat kita hetul-hetul mengkhawatirkan karena di satu sisi sudah herkemhang pesat hudaya konsumtif tetapi di sisi lain produktifitas kerja dan kemampuan kompetitifnya masih rendah. Di sektor pertanian Indonesia masih ketinggalan dari negara Thailan, sedang dari segi teknologi terutama elektronik jauh ketinggalan dari Jepang, Korea dan Cina. Ketertinggalan di herhagai sektor kehidupan yang herakihat negatif pada kemampuan kompetitif dalam pemanfaatan peluang pasar tentunya sangat mengkhawatirkan hagi generasi yang akan datang. Agar keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan idealisme kehidupan herhangsa dan hemegara ini tidak menjadi kenyataan pahit hagi kehidupan generasi masyarakat Indonesia
68
mendatang tentunya antisipatifnya.
perlu dicermati dan diupayakan langkah-langkah
Sejak zaman pemerintahan Presiden Ir. Soekamo, zaman pemerintahan Presiden Jenderal Soeharto, dan seterusnya hingga pemerintahan Presiden Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono ("SBY") sekarang ini sebetulnya senantiasa sarat dengan pemikiran dan pola pembangunan, karenanya mengenai fakta ketertinggalan tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia dari bangsa lain sepintas lalu adalah sesuatu kejanggalan. Dari sekian banyak basil penelitian dan kajian yang bertujuan mencari penye~ab terjadinya berbagai kegagalan dalam pencapaian sasaran-sasaran pembari.gunan diluar gangguan politik praktis adalah disebabkan oleh kekurangmampuan birokrat dalan1 melaksanakan aturan-aturan hukum yang dijadikan rambu-rambu dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai bagian dari struktur dan mekanisme proses pembangunan. Sehingga tidak terlalu jauh hila konsepsi pemikiran menunjukkan bahwa untuk terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera dan menyeluruh akan sangat ditentukan oleh kemampuan birokrat dalam mewujudkan · strategi dan sasaran-sasaran pembangunan. Dengan latar belakang seperti terurai di atas permasalahan yang kami angkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah risiko kegagalan birokrat untuk mematuhi hukum?
2. Hal-hal apa sajakah yang menjadi penyebab kegagalan birokrat dalam pelaksanaan aturan hukum yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat? 3. Bagaimana upaya memperkecil kemungkinan terjadinya KKN di kalangan birokrat dan upaya peningkatan kualitas kinerjanya untuk kesejahteraan masyarakat? 2. Metode Pendekatan Jenis metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah penelitian juridis normatif. Diawali dengan inventarisasi dan mempelajari data kepustakaan, berupa aturan-aturan hukum, informasi-informasi aktual yang diambil dari literatur, media massa yang berkenaan atau_ ada. kaitannya dengan kaidah-kaidah hukum yang mengatur birokrat dan moral masyarakat. Fakta empiris tentang perilaku birokrat di peroleh melalui wawancara dan diskusi dengan para informan yang kami kategorikan layak untuk
69
dimintakan informasinya. Untuk kemudian data-data yang terkumpulkan tersebut dianalisis secara kualitatif yaitu; diedit, diolah, dibahas, dikaji dan dicarikan maknanya untuk kemudian dengan kekuatan pemikiran dikualifikasi, dirangkai, dikonstruksikan dan didiskriftifkan untuk mendapatkan hasil akhir, berupa kesimpulan penelitian yang pada intinya adalah untuk dapat menjawab permasalahan penelitian.
3. Dasar Teori Secara teoritik dapat dipahami bahwa masyarakat sejahtera merupakan kondisi kehidupan ideal sebagai output dari keberhasilan proses pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terencana, tertib, dinamis, yang memberikan peluang, semangat, sekaligus dorongan bagi segenap unsur lapisan masarakat untuk memberikan andil bagi suksesnya setiap upaya pencapaian sasaran pembangunan di segala bidang kehidupan masyarakat. Untuk fungsi integratif tersebut wibawa hukum harus dalam kondisi sedemikian rupa sehingga mencapai standar kelayakan, dari segi substantif, segi kelembagaan, juga dari segi dukungan budaya hukum masyarakat. Mengingat tugas dan fungsinya, birokrat mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk terwujudnya wibawa hukum sekaligus upaya untuk tercapainya masyarakat yang sejahtera.
4. Depinisi Operasional Birokrat: Yang dimaksud birokrat di sini adalah pegawai negeri dan pejabat struktural, baik di Pemerintah Pusat maupun di Daerah sebagai unsur administrasi negara yang tugas dan fungsinya untuk melaksanakan mekanisme roda pemerintahan baik dalam rangka dekonsentrasi maupun dalam rangka desentralisasi. Pegawai Negeri: Adalah mereka yang setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan negara atau diserahi tugas negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan dan digaji menurut perundang-undangan yang berlaku.
70
Pegawai Negeri Sipil Pusat: Adalah pegawai negeri sipil yang gajinya dibebankan pada APBN dan bekerja pada Departemen, Kejagung, Kesekretariatan Lembaga Kepresidenan, Kantor Menteri Negara Koordinator, Kantor Menteri Negara, Kepolisian Negara Rl, Lembaga Pemerintahan Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tinggi!finggi Negara, Badan Narkotika Nasional, Kesekretariatan Lembaga lain yang dipimpin oleh Pejabat Struktural eselon I dan bukan merupakan bagian dari Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, Instansi Vertikal di Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, Kepaniteraan Pengadilan, atau dipekerjakan untuk penyelenggaraan tugas Negara lainnya. Pegawai Negeri Sipil Daerah: Adalah pegawai negeri sipil yang gajinya dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah dan bekerja pada pemerintah daerah provinsi/ kabupaten/kota atau dipekerjakan di luar instansi induknya. Jabatan Struktural: Adalah suatu kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang pegawai negeri sipil dalam rangka memimpin suatu sa.tuan organisasi negara. Dekonsentrasi: Adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubemur sebagai wakil Pemerintah dan/atau perangkat Pusat di Daerah. Desentralisasi: Adalah penyerahan wewenang Pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam Kerangka Negara Kesatuan RI. Otonomi Daerah: Adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa. sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah Otonom: Adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
71
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan RI. B. ANALISIS Apabila nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten oleh segenap aparatur negara, dan setiap unsur birokrat melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai aturan hukum, maka tujuan negara untuk terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera akan segera dapat diwujudkan. Produk hUkum apapun baru mempunyai arti atau kegunaan bagi masyarakat hila telah berproses dengan baik dan tidak mengalami kendala yang berakibat tidak lancarnya froses pelaksanaan hukum secara baik seperti yang dikehendaki kaidah-kaidah atau norma-norma yang terkandung dalam aturan hukum tersebut. Fakta menunjukkan bahwa perangkat hukum yang disediakan untuk menjadi rambu-rambu pelaksanaan tugas dan fungsi birokrat belum optimal dalam pelaksanaannya dan karenanya belum memberi arti banyak bagi kesejahteraan masyarakat. Ketidak efektipan aturan hukum tentu ada penyebabnya, dapat disebabkan oleh kelemahan materi hukumnya, dapat disebabkan kelemahan dalam hal penerapannya, dan dapat pula disebabkan kelemahan dari budaya hukum masyarakatnya. Untuk terwujudnya materi hukum yang baik, maka dalam proses pembentukannya selain harus mengacu atau memperhatikan setiap ketentuan formal yang mengatur teknis pembuatan peraturan perundang-undangan, materi muatannyapun harus betul-betul memperhatikan kepentingan negara, bangsa, juga sesuai dengan aspirasi masyarakat hukumnya. sehingga materi aturan hukum dimaksudkan betul-betul teruji dari berbagai dimensi sudut pandang, termasuk dari segi juridis, filosofis, sosioligis, dan juga dari segi politisnya. Kelemahan hukum umumnya adalah dalam hal pelaksanaannya. Membuat materi hukum susah dan mahal, tetapi nyatanya pelaksanaan hukum lebih mahal lagi, dan lebih sulit lagi, lebih banyak lagi hambatan dan tantangannya. Mekanisme pelaksanaan hukum adalah kiprah para pelaksana hukum yang terstruktur, yang pada hakikatnya adalah merupakan perilaku manusia yang
72
di gerakkan oleh semangat kolektifitas dan semangat individual sebagai motomya. Semangat kolektif seseorang birokrat pelaksana hukum tumbuh dan mendorong keinginan pelaksanaan norma-norma atau aturan-aturan hukum dikarenakan adanya dorongan faktor ekstemal berupa rasa ketergantungan, rasa keterpaksaan, dan rasa takut. Semangat individual seseorang birokrat pelaksana hukum tumbuh dan mendorong keinginan pelaksanaan normanorma atau aturan hukum dikarenakan adanya dorongan faktor internal berupa penghargaan terhadap arti pentingnya hidup kebersamaan, rasa menghargai arti pentingnya kejujuran, dan memahami arti pentingnya fungsi hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam kehidupan masyarakat. Baik semangat kolektif maupun semangat individu adalah merupakan unsur penggerak perilaku seseorang untuk pelaksanaan hukum, yang walaupun sasaran utarna sarna yaitu untuk dilaksanakannya normanorma hukum tetapi kualifikasi pengaruhnya pada lingkungan perilaku sosial adalah berbeda. Untuk kepatuhan pada hukum yang ditimbulkan oleh semangat individual berupa dorongan internal karena kesadaran akan ·arti pentingnya kepatuhan dan kejujuran untuk dapat melaksanakan setiap apa yang telah dijadikan komitmen atau disepakati sebagai acuan bersarna dalarn berperilaku, maka akan menghasilkan kepatuhan birokrat pada hukum dengan kesadaran hukum yang tinggi sebagai outputnya. Untuk mencapai tarap kepatuhan seperti ini perlu proses dan tidak setiap birokrat dapat mencapainya, bahkan karena banyak interpensi faktor ekonomi yang sangat adaftif terhadap perilaku manusia maka tanpa adanya mentalitas yang tinggi ada kecenderungan untuk mengabaikan segala apa yang dikehendaki oleh aturan hukum. Tetapi untuk kepatuhan hukum yang ditimbulkan oleh semangat kolektif berupa dorongan dari luar betupa rasa takut, ini hanya efektif apabila unsur sanksi dan risiko ketidakpatuhan pada hukum dapat menimbulkan kejeraan bagi pelakunya. Misalnya, hila koruptor-koruptor yang terbukti kesalahannya telah korupsi dan sangat merugikan keuangan negara itu dieksekusi hukuman mati dan diumumkan pada masyarakat secara luas, tentunya akan menjadi bahan pertimbangan yang serius bagi korupturkoruptor lainnya untuk tidak lagi melakukan praktik korupsinya. Berdasarkan pemikiran secara interdisipliner terjadinya perilaku KKN disebabkan juga karena faktor sosiologis dan faktor ekonomis, untuk pencegahannyapun selain dilihat dari segi yuridis perlu di lihat pula dari segi perilaku masyaraka.t dan dari segi pemikiran ekonomi.
73
C. HASIL PENELITIAN Data yang diinventarisir setelah melalui pengolahan dan analisis, kami diskrifsikan sebagai berikut:
1. Birokrasi Sebagai Motor Penggerak Roda Pemerintahan
Data normatif menunjukkan bahwa birokrat dalam kedudukannya sebagai unsur eksekutif juga sebagai administratif, mengerjakan berbagai aktifitas yang pada garis besarnya terdiri dari: a.
Melaksanakan berbagai kegiatan dalam rangka mewujudkan segala apa yang diatur dan dikehendaki peraturan perundang-undangan.
b. Keikutsertaan dalam proses pembuatan produk perundang-undangan, baik yang bersifat represif maupun preventif. c.
Melakukan berbagai kegiatan pelayanan kepentingan umum (public service) untuk lancarnya aktivitas di segala sektor kehidupan masyarakat.
Dengan keikutsertaannya dalam proses pembuatan produk perundang-undangan (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah dll) birokrat sebetulnya punya peluang untuk ikut menentukan tentang kaidah-kaidah atau norma-norma yang perlu dimuat dalam setiap perundang-undangan, yang untuk kemudian menjadi acuan atau ramburambu pelaksanaan tugas dan fungsinya untuk pembangunan. Dalam rangka mewujudkan apa yang diatur dan dikehendaki peraturan perundang-undangan birokrat sebagai organ administrasi negara mengerjakan berbagai kebijakan dan sebagai produk utamanya adalah "beschikldng "atau penetapan. Melalui operasional distribusi kewenangan ini birokrat sangat kuat pengaruhnya sebagai motor penggerak pembangunan. Ditambah lagi dengan tugas dan fungsinya sebagai pelayan kepentingan umum, eksistensi birokrat betul-betul menentukan lancar atau tidaknya segala aktifitas pembangunan. Dengan kata lain bahwa untuk terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, birokrat dikondisikan sedemikian rupa sehingga punya kewenangan yang demikian luas dalam rangka pelaksanaan aturan-aturan hukum yang menjadi rambu-rambu untuk di semua bidang kehidupan masyarakat.
74
2. Tingkat Kehidupan Masyarakat Untuk memastikan apakah kualitas kehidupan masyarakat suatu negara sudah dalam tingkat kehidupan yang tinggi, sedang, atau rendah bukanlah suatu hal yang mudah, karena indikatornya berbeda-beda di setiap negara. Secara filosofis dengan mengacu kepada konstitusi, bahwa yang dimaksud kondisi ideal yang dikehendaki bangsa dan negara Indonesia adalah terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur, yang bercirikan adanya kemakmuran yang menyeluruh. Fakta masih menunjukkan barn beberapa gelintir ,saja rakyat Indonesia yang telah menikmati kemakmuran, bahkan selebihny.a. masih berada di bawah kemiskinan ini berarti bahwa tingkat ideal. kualitas kehidupan masyarakat Indonesia belum dapat diwujudkan. Di kalangan birokratpun kehidupannya tidak ideal dan bertendensi adanya ketidakwajaran dalam hal kesejahteraan, ada di antara birokrat (umumnya yang mempunyai kewenangan penting untuk mengatur dan melayani kehidupan masyarakat) mereka berada dalam kecukupan bahkan berlebihan, tetapi umuilmya yang terdiri dari pegawai biasa mereka berada dalam kehidupan yang minim, karena pendapatannya jauh di bawah pegawai swasta. Ada kecenderungan bahwa perbuatan korupsi telah terjadi dan masih ada di kalangan birokrat, dan hal ini berakibat tidak sehatnya sistem birokrasi pemerintahan. Untuk masalah rendah kesejahteraan masyarakat sebagai ilustrasi: Bahwa UNDP (United Nations Development Programe) salah satu badan PBB dalam laporan human development report tahun 2004 menginformasikan antara lain: Bahwa saat ini Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara, dan berada di bawah dari peringkat negara-negara tetangga. Berturut-turut; Singapura di peringkat 25, Brunai Darusalam di peringkat 58, Thailand di peringkat 78, dan Filipina di peringkat 83. Sebagai catatan, bahwa kualitas tingkat kehidupan yang dikembangkan UNDP adalah HDI, yang indikatomya adalah keberhasilan pembangunan kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Dengan memposisikan Indonesia di peringkat ke Ill dari 175 negara dimaksudkan, maka berarti UNDP menunjukkan bahwa kualitas kesejahteraan masyarakat Indonesia masih rendah. Walaupun tentunya)nformasi dari UNDP itu bukan suatu hal yang mutlak kebenarannya, tetap'i hal yang memprihatinkan ini cukup memberi alasan bagi segenap komponen bangsa untuk bangkit dari keterpurukan.
75
3. Kegagalan Birokrat Mematuhi hokum Kegagalan birokrat mematuhi hukum di pahami tidak saja dari akibatnya terhadap kehidupan sosial yang ditandai dengan semakin jauhnya jurang pemisah atara yang kaya dan miskin dan semakin merebaknya penduduk yang berada di bawah kemiskinan, tetapi juga oleh fenomena sosial yang banyak memunculkan berbagai peri1aku birokrat yang berindikasi penyimpangan hukum terutama kejahatan tindak pidana korupsi. Sehubungan dengan masalah ini Kwik da1am bukunya3 menerangkan: Pada tahun 2003 secara kasar rekapitu1asi jumlah uang yang dikorupsi adalah sebesar Rp 305,5 trilyun yang rinciannya: Rp 215 trilyun dari perpajakan; Rp 76,5 tri1yun dari pencurian ikan, pasir dan kayu; Rp 14 trilyun subsidi bank rekap yang tidak perlu. Jumlah ini belum mencakup bea masuk yang diselundupkan KKN di Pertamina dan BUMN lainnya; KKN dalam menjual asset BPPN; pemerasan oleh pejabat BPPN kepada bank-bank. Yang di bawah kontrolnya karena menikmati blanket guarantee, dan banyak lagi. Apa yang diterangkan pakar ekonomi tm betul-betul mengkhawatirkan bagi tujuan tercapainya masyarakat Indonesia yang sejahtera. Selanjutnya, Media Indonesiapun memberitakan, bahwa Tim Monitoring Terpadu yang diketuai oleh Mar'ie Muhamad menemukan tentang adanya indikasi korupsi sebesar Rp 2, 7 trilyun selama Darurat Militer di Aceh, perbuatan korupsi ini mencakup 74 poin permasalahan yang melibatkan instansi sipil dan juga militer. 4 Nampaknya sampai saat inipun perbuatan KKN masih berjalan terns dan masih tetap merupakan hal yang membahayakan bagi upaya tercapainya kesejahteraan masyarakat. 5
Indriyanto dalam tulisannya , mengatakan, bahwa nampaknya sulit memberantas korupsi, karena korupsi di negara kita lepelnya sudah sampai 3
Kwik Kian Gie: "Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan", Jakarta, November 2003, him. 13. 4 Media Indonesia:"KPK Usut Korupsi Rp 2,7 trilyun Selama DM di Aceh", Selasa, 24 Agustus 2004. 5 Prof. Dr. lndriyanto Seno Adji, S.H.: "Agenda Politik Melemahkan Penegakan Hukum", Harian Kompas, Sabtu, 13 Maret 2004 hlm.8.
76
pada tahap antara pembuluh dan darah. Sepanjang masih ada manusia, masih ada kompsi di Indonesia. Nah untuk memberantasnya kita membutuhkan waktu, sampai sepuluh tahun saja belum bisa. Untuk melakukan secara ekstrim sulit juga. Sebetulnya telah banyak upaya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, juga Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 adalah aturan-aturan formal yang sengaja dipersiapkan dengan tujuan untuk memberikan otonomi seluasluasnya pada daerah. Paradigma tersebut secara ideal akan sangat membantu para birokrat untuk melaksanakan tugas dan fungsinya bagi kesejahteraan masyarakatnya. Sebab dengan otonomi luas para birokrat cendemng untuk lebih dekat dan lebih memahami apa yang dibutuhkan dan diinginkan masyarakatnya. Juga keikutsertaan masyarakat beraspiratif dalam perencanaan dan proses pelaksanaan pembangunan daerahnya semakin luas dan terbuka. Tetapi dalam hal ini banyak responden yang meragukan, pada umumnya keraguan dimaksudkan karena mereka berpendapat, bahwa hila KKN tidak bisa diberantas tuntas, dengan otonomi luas yang banyak menditribusikan kewenangan pada daerah dimaksudkan akan diikuti juga oleh meluasnya perbuatan KKN. Pendapat ini cukup beralasan karena selama para birokrat masih banyak yang kelim dalam mempersepsikan arti dan kegunaan kewenangan yang disandangnya (dari yang sehamsnya untuk kepentingan masyarakat menjadi kepentingan pribadi atau golongan) maka KKN tetap akan ada dan berkembang. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa sampai s.aat ini masih bermunculan kasus KKN di daerah-daerah, baik dilakukan dinas-dinas maupun oleh anggota DPRD. Apabila kita bandingkan dengan birokrat zaman penjajahan yang kejam dan melakukan pemerasan kepada masyarakat pribumi sebagai rakyat jajahannya, maka birokrat saat ini yang cendemng komptor tersebut adalah juga sama-sama kejam karena perilakunya yang menterlantarkan masyarakat.
77
4. Aturan Hukum Pemberantasan KKN Setelah diinventarisir temyata perangkat hukum pemberantasan KKN telah demikian banyaknya antara lain:
untuk
a.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
b.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undangundang Nomor 20 Tahun 2001.
c.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
d.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.
2002
tentang
Komisi
Juga telah disediakan aturan ancaman pemidanaan bagi koruptor pada undang-undang lainnya, seperti pada: a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Th.l994 dan terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2000. b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. c. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. d. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Setelah setiap undang-undang dimaksudkan dipelajari, kaidahkaidah yang terkandung di dalamnya sangat meyakinkan untuk dapat memberantas perbuatan KKN. Dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang kemudian diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ancaman terhadap koruptor sebetulnya lebih tegas lagi dibandingkan aturan hukum sebelumnya, antara lain karena: a. Korporasi menjadi subyek tindak pidana. b. Adanya minimum khusus ancaman pidana baik untuk penJara maupun denda. c. Perubahan delik materiil menjadi delik formal. d. Adanya komulasi pidana penjara dan denda. e. Dibedakannya sanksi pidana bagi setiap delik sesu.:u dengan bobotnya.
78
Selanjutnya dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tindakan represif terhadap korupsi secara formal semakin diperketat lagi. Hal ini bisa dilihat dari pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang memperkuat kewenangan KPK dalam hal penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus tindak pidana korupsi yang meliputi kewenangan sebagai berikut: a. Menyadap dan merekam pembicaraan. b. Memerintahkan untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri. c. Meminta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. d. Memerintahkan untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya. e. Meminta data kekayaan dan perpajakan tersangka atau terdakwa. f. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya/pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukanldimiliki oleh tersangka/terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa. g. Meminta bantuan untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. h. Meminta bantuan untuk melakukan pencarian, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Bila mendapat kesulitan dapat memintakan bantuan pada instansi terkait. Dengan demikian dari segi formal rambu-rambu hukum telah begitu ketat untuk pemberantasan KKN.
5. Konsep-konsep Pemikiran untuk Pemberantasan Korupsi Pada dasamya hampir setiap responden sependapat bahwa untuk produktifitas dan efektivitas kerja Birokrat terutama yang harus diwujudkan adalah membebaskan mereka untuk tidak melakukan KKN. Untuk memberantas perbuatan korupsi para birokrat banyak sekali bermunculan konsep pemikiran, yang setelah digeneralisir pada intinya adalah berupa pemikiran bahwa; perlu sanksi berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, perlu pembenahan manajerial pemerintahan, dan perlu peningkatan gaji atau upah birokrat. Mengenai masalah ini ada beberapa konsep pemikiran p_akar, yang kami garis bawahi antara lain:
19
Menurut Kwik dalam tulisannya, 6 bahwa konsep dasar pemberantasan korupsi secara sederhana yaitu menerapkan "Carrot and
Stick': Keberhasilan konsep pemikiran ini menurutnya sudah dibuktikan banyak negara, antara lain di Singapura dan sekarang di RRC. Yang dimaksud dengan "Carrot " di sini adalah pendapatan bersih (net take home pay) untuk seorang birokrat, baik yang berstatus sipil,TNI, dan POLRI, yang mencukupi untuk hidup dengan standar yang sesuai dengan pendidikan, pengetahuan, tanggung jawab, kepemimpinan, pangkat, dan martabatnya. Akan lebih baik lagi bila pendapatan birokrat ini dibuat sedemikian tinggi sehingga tidak saja cukup untuk hidup layak tetapi cukup untuk gaya hidup sejajar dengan mereka yang bekerja di sektor swasta. Yang dimaksud "Stick" di sini adalah pentungan, dengan pengertian kalau kesemuanya itu sudah dipenuhi dan masih korupsi maka hukumannya jangan tanggung-tanggung, tetapi harus seberat-beratnya. 7
Romli Atmasasmita dalam tulisannya, bahwa kasus korupsi seharusnya ditangani dengan cara reformasi birokrasi, dan menurutnya hal tersebut merupakan prasyarat fundamental bila betul-betul mgm membereskan korupsi. Selanjutnya pakar hukum tersebut berpendapat bahwa penegakan hukum hams satu visi dalam pemberantasan korupsi. Saat ini penegak hukum (jaksa, polisi, hakim) mempunyai visi dan kepentingan yang berbeda-beda, akibatnya banyak putusan yang kontraversial. Tentunya yang dimaksud dengan satu visi di sini adalah tekad dan keinginan yang sama untuk dapat dilaksanakan aturan-aturan hukum secara tegas dan konsisten. Aturan hukum dimaksudkan adalah meliputi aturan hukum yang tujuannya sebagai rambu-rambu tugas dan fungsi birokrat, juga dalam hal penegakan hukum yang tujuannya untuk tindakan represif bagi birokrat yang melakukan KKN. Sunaryati Hartono 8 berpendapat, bahwa pemberantasan korupsi harus ditekankan pada tindakan prepentif (pencegahan), dari pada tindakan
6
Ibid, hlm. 2 Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H. LL.M: "Semestinya penegakan hukwn Korupsi seperti Terorisme", pada HarianKompas, Sabtu Mei 2004, hlm.S. ).
7
80
represif (pemidanaannya), dalam pengertian bahwa peluang untuk perbuatan kompsinya yang hams dipersempit. Secara pragmatis mudah dimengerti, dengan dasar pemikiran bahwa apabila konsep ini bisa dilaksanakan maka kemgian keuangan negara bisa dicegah sedini mungkin. Petugas pemasyarakatanpun .tidak perlu repot-repot mengums komptor yang dipenjarakan, yang menumt perkiraan bila setiap komptor terjaring dan dipenjarakan maka pemasyarakatan akan penuh sesak dengan komptor terpidana.
D. KESIMPULAN 1. Kegagalan birokrat untuk mematuhi. hukum berakibat terhambatnya proses terwujudnya kesejahteraan masyarakat. 2. Penyebab kegagalan birokrat untuk melaksanakan aturan-aturan hukum yang bertujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah: a. Ada kekeliman di antara birokrat dalam hal mempersepsikan tujuan dari pelaksanaan tugas dan fungsinya, yang sedianya hams mengutamakan kepentingan umum melainkan mereka prioritaskan untuk kepentingan pri6adi atau golong~. b. Ada ketidakkonsistenan di kalangan birokrat dalam hal budaya hukum, walaupun ikut bertanggung jawab dalam proses pembentukan hukum tetapi dalam hal pelaksaan tugas dan fungsinya justm bertentangan dengan hukum. c.
Belum efektifnya aturan hukum pemberantasan KKN.
d.
Sistem manajemen pemerintahan yang masih banyak memberi peluang terjadinya KKN.
3. Upaya yang diperlukan untuk memperkecil terjadinya KKN di kalangan birokrat adalah: a.
Peningkatan kualitas kinerja birokrat melalui pembinaan profesi, meluruskan persepsi tujuan kerja dan konsistensi antara semangat pembentukan hukum dengan pelaksana-annya dalam bentuk perilaku birokrat.
8
Prof Dr. Sunaryati Hartono, S.H., mantan Kepala BPHN Departemen Kehakiman dan HAM.
81
b. Penerapan sanksi berat bagi birokrat yang terbukti melakukan KKN. c.
82
Pembenahan manajemen pemerintahan, ditandai dengan adanya konsistensi pelaksanaan tugas dan fungsinya sesuai aturan hukum dan dengan memperkecil atau menghilangkan mata anggaran yang tidak jelas dan atau disamarkan sehingga mempersempit peluang terjadinya KKN.
LITERATUR Abdul Wahab, Solichin, M.A., DR.: "Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara", Edisi Kedua, Penerbit PT Bina Aksara, Jakarta, 2002. Atmasasmita, Romli, S.H., LL.M., Dr., Prof.: "Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional Dan Aspek Internasional", Penerbit CV Mandar Maju, Bandung, 2004 Atmosudirdjo, Prajudi, Mr., Dr., Prof.: "Hukum Administrasi Negara" th. 1972. Kelsen, Hans: "General Theory of law and State", Translated by Anders Wedberg, Russel & Russel Press. Stockholm, 1983; Jogyakarta, 1997. Kelsen, Hans: "The Pure Theory of law and State", Translate by Max Knight, University of California Press, Barkeley, Los Angeles, London, 1970. Kian Gie, Kwik: "Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kesejahteraan dan Keadilan, Jakarta, November, 2003. Koesnoe, Moh.: ''Nilai-nilai Dasar Identitas Hukum Nasional", UII Press, Yogyakarta, 1997. Purbopranoto, Kuntjoro, Mr., Prof.: "Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia", Binacipta, Bandung, 1981. Mubyarto: "Sistem dan Metode Ekonomi Indonesia", LP3S, Jakarta 1999.
83