STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA (ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960)
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Lis budi qurnianti NIM. E0006157 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme termasuk kejahatan bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Aksi teroris telah menjadi fenomena dunia secara luas yang memiliki mata rantai internasional, baik secara organisatoris maupun dalam tingkatan kelompok kecil di suatu negara apapun tujuannya. Mereka melakukan kegiatannya dengan bertukar senjata, bertemu dalam suatu perencanaan operasi, penggunaan wilayah, dan penyiapan perlengkapan administrasi yang berupa dukungan logistik secara individu ataupun kelompok. Aktivitas teroris tersebut dilakukan dengan berbagai variasi dalam manifestasi
mereka,
seperti
penculikan,
pemaksaan,
pembajakan,
penyanderaan, pemerasan, pembunuhan, dan peledakan bom di seluruh dunia. Aksi kekerasan yang digunakan cenderung dijadikan sebagai objek atau trend, baik untuk usaha pemerasan, ataupun tuntutan lain yang relevansinya dengan perolehan finansial atau hanya sekadar ancaman. Perkembangan paling penting dalam terorisme internasional adalah bantuan, pembelaan, dan pembiayaan yang dilakukan oleh beberapa negara dengan menyediakan fasilitas perlindungan untuk teroris termasuk pemalsuan dokumen/paspor. Bantuan inilah yang memudahkan teroris untuk keluar masuk ke suatu negara dalam melakukan kegiatan terornya dan menjadikan aparat kesulitan dalam melacak teroris dan jaringannya. Pinkerton Risk Assesment of the USA telah mengkalkulasi bahwa serangan teroris di seluruh dunia cenderung meningkat (Adjie. S, 2005 : xiv). Hal tersebut dapat
diketahui dalam catatan setiap tahunnya, sejak pengeboman World Trade Centre di New York tanggal 26 Februari 1993 hingga tragedi pengeboman yang meruntuhkan gedung kembar itu dan memakan 3000 korban tanggal 11 September 2001. Selain itu aksi peledakan bom mobil, bom bunuh diri juga meningkat tajam bahkan korban dari aksi peledakan bom juga meningkat tajam. Terorisme memang menjadi pembahasan yang sangat hangat setelah Amerika menjadi korban terorisme pada peristiwa black September 2001 yang meruntuhkan gedung kembar yang merupakan simbol Amerika, di mana jaringan Al-Qaeda di bawah pimpinan Osama Bin Laden yang diduga menjadi pelaku atau bertanggungjawab atas “September Hitam”. Dalam konteks Indonesia, persoalan terorisme menjadi titik perhatian pada saat terjadi peledakan bom di Paddy’s Cafe dan Sari Club, Legian, Kuta, Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 (Bom Bali I). Tragedi peledakan bom tersebut telah menyebabkan Indonesia menjadi sorotan publik internasional mengingat banyaknya korban yang berjatuhan merupakan orang asing yang sedang berlibur di Pulau Bali. Adanya peledakan tersebut menjadi indikator bahwa sebuah jaringan teroris telah masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan telah menghancurkan citra Indonesia di mata dunia. Teror ini pun dikategorikan teror terbesar di Indonesia dari serangkaian teror yang terjadi di Indonesia dilihat dari banyaknya korban, kerusakan sarana dan prasarana, serta dampak sosial, ekonomi, dan pariwisata yang dialami. Serangkaian bom lain yang meledak di Indonesia sudah cukup panjang. Bermula, dengan ledakan bom di depan kediaman Dubes Filipina (1 Agustus 2000), Bursa Efek Jakarta (13 September 2000), serangkaian pengeboman pada malam Natal (Desember 2000), Bom Bali I (12 Oktober 2002), ledakan di restoran McDonald, Makasar (5 Desember 2002), ledakan bom di depan Hotel J.W. Marriott (5 Agustus 2004), bom di salah satu kafe karaoke yang terletak di Poso (10 Januari 2004), bom di depan Kedutaan Australia di Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (9 September 2004), bom di Pasar Tentena (28 Mei 2005), bom Bali II (2 Oktober 2005),
dan yang terakhir adalah bom yang meledek di Hotel J.W Marriott dan Hotel Ritz Carlton (17 Juli 2009). Bom yang meledak di depan Hotel J.W. Marriott tanggal 5 Agustus 2003, pada jam sibuk siang hari telah menewaskan 12 orang dan mencederai 149 lainnya (termasuk dua warga negara Amerika Serikat) (Adjie S, 2005 : 437). Untuk itu penanganan pemberantasan terorisme perlu dilakukan secara terkoordinasi lintas instansi, lintas nasional, dan secara simultan bersifat represif,
preventif,
preemtif,
maupun
rehabilitasi
(http://buletinlitbang.dephan.go.id/, Surakarta, 12 Maret 2010). Pencegahan dan pemberantasan terorisme dilakukan tidak hanya melibatkan satu pihak saja, melainkan membutuhkan kerjasama seluruh pihak termasuk masyarakat. Kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif atas dasar kehatihatian sangat diperlukan karena pemberantasan terorisme tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum. Pemberantasan tindak pidana terorisme juga merupakan masalah sosial, budaya, dan ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa. Selain itu, kebijakan dan langkah pemberantasan
terorisme
juga
ditujukan
untuk
memelihara
keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa. Terorisme bukan hanya ancaman bagi kedamaian dan keamanan di Indonesia, melainkan ancaman bagi kedamaian seluruh negara termasuk Malaysia. Kenyataan adanya perang tidak simetris memerlukan kita secara dramatis untuk mempertimbangkan lagi bagaimana kita harus menghadapi ancaman terorisme internasional (The reality of such asymmetric warfare required us to dramatically reconsider how we should confront the threat of international terrorism (Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and The Rule of Law”. Harvard Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No. 3.). Meskipun demikian, tiap-tiap negara memiliki langkah penanganan dan penanggulangan sendiri sesuai dengan karakteristik, kemampuan dan kondisi
masyarakatnya. Kebijakan dan langkah penanganan yang diambil oleh masing-masing negara memiliki karakteristik dan metode yang berbeda. Sebagai wujud penanganan dan penanggulangan tindak pidana terorisme
dengan
tersangka/terdakawa
memperhatikan serta
hak
didasarkan
asasi
pada
korban,
komitmen
saksi,
dan
nasional
dan
internasional, pemerintah Indonesia membentuk peraturan perundangundangan nasional. Mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
terorisme,
pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sementara
itu,
wujud
pemerintah
Malaysia
dalam
mencegah
dan
menanggulangi tindakan terorisme dan segala tindakan yang berkaitan dengan keamanan serta keselamatan Malaysia dilakukan dengan menerbitkan Akta Keselamatan Dalam Negeri atau yang sering disebut dengan Internal Security Act Malaysia atau disingkat dengan ISA Malaysia. Atas dasar tersebut, maka akan dilakukan perbandingan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dengan Malaysia melalui analisis
terhadap
Undang-Undang
Nomor
15
Tahun
2003
tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia tahun 1960. Dalam hal perbandingan hukum/comparative jurisprudence, hukum pidana positif Indonesia termasuk dalam keluarga Civil Law System sedangkan kajian hukum pidana Inggris, Malaysia, dan Australia termasuk dalam Common Law System. Memperbandingkan hukum nasional dengan hukum asing dapat memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional dan dengan secara objektif dapat melihat kelebihan dan kekurangan hukum nasional dibandingkan dengan hukum negara lain atau sebaliknya. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk menyusun penulisan hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI PENGATURAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME
ANTARA INDONESIA DAN
MALAYSIA
(ANALISIS TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME DAN INTERNAL SECURITY ACT MALAYSIA TAHUN 1960)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih rinci. Adapun beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960? 2. Bagaimana kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia menurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu penulis mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis sendiri baik berupa tujuan secara obyektif maupun tujuan secara subyektif. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan hukum formil dan materiil
yang
berlaku
terutama
mengenai
pengaturan
pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia 1960. b. Untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengaturan dalam pemberantasan tindak pidana terorisme melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia 1960. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperdalam dan menambah pengetahuan peneliti tentang hukum nasional dalam bidang Hukum Pidana khususnya tentang perbandingan atau komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia melalui UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan Internal Security Act Malaysia 1960. b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain : 1. Manfaat Teoretis a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya. b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang komparasi atau perbandingan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia melalui analisis terhadap Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Internal Security Act Malaysia 1960. c. Hasil penulisan ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis a. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua pihak yang berkepentingan dan memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti serta memberikan jawaban mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia. b. Menjadi
wahana
bagi
penulis
untuk
mengembangkan
penalaran, membentuk pola pikir ilmiah sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
E. Metode Penelitian Sebelum menguraikan tentang metode penelitian, terlebih dahulu akan dikemukakan mengenai pengertian metode itu sendiri. Kata “metode” (Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan atau suatu cara. Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yaitu peneliti harus lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan (yang berisi sistem dan ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut (Johnny Ibrahim, 2006 : 26). Metode dan sistem membentuk hakikat ilmu. Sistem berarti keseluruhan peraturan pengetahuan yang teratur atau totalitas isi dari ilmu, sementara itu metode secara harfiah menggambarkan jalan atau cara totalitas ilmu tersebut dicapai dan dibangun (Johnny Ibrahim, 2006 : 27). Metodologi
penelitian merupakan cara-cara mengenai bagaimana suatu penelitian itu akan dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata cara pengumpulan data, maupun analisis data serta laporan penelitian. Adapun metodologi yang digunakan penulis dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secra sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti (Soerjono Soekanto, 2006: 10). Penelitian seperti itu tidak mengenal penelitian lapangan (field research) karena yang diteliti adalah bahan-bahan hukum sehingga dapat dikatakan sebagai : library based, focusing on reading and analysis of the primary and secondary materials (Johnny Ibrahim, 2006 : 46). 2. Sifat Penelitian Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Dalam pelitian hukum ini karakteristik yang digunakan yaitu ilmu hukum yang bersifat preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 22). Sifat preskriptif ini merupakan hal substansial yang tidak mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang objeknya juga hukum.
3. Pendekatan Penelitian Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93). Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan komparatif (comparative
approach).
Pendekatan
undang-undang
(statute
approach) adalah pendekatan dengan menggunakan regulasi dan legislasi, di mana dalam penelitian ini regulasi yang digunakan sebagai acuan adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia. Sedangkan pendekatan komparatif yang penulis maksud dalam penelitian hukum ini yaitu dengan membandingkan undangundang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama. Dalam penelitian ini komparasi undang-undang yang diadakan adalah dengan membandingkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960. Sementara hal yang dibandingkan yaitu mengenai substansi hukum materiil pemberantasan tindak pidana terorisme. Kegunaan dan tujuan dari pendekatan komparatif ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaaan di antara kedua undang-
undang tersebut
dan untuk memperoleh gambaran mengenai
konsistensi antara filosofi dan undang-undang di antara Indonesia dan Malaysia. 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis merupakan jenis penelitian hukum normatif, sehingga tidak memerlukan data di lapangan secara langsung, melainkan data-data tersebut dapat diperoleh melalui studi kepustakaan. Data-data yang digunakan oleh penulis didapat dari : a) Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta. b) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. c) Tempat-tempat lain yang tersedia data yang diperlukan. d) Media Massa. Terkait dengan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan di berbagai perpustakaan tersebut di atas, maka sumber data yang penulis gunakan adalah sumber data primer, sekunder, dan tersier. Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumbersumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnaljurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
Sumber data sekunder dalam penelitian normatif ini adalah : 1. Bahan hukum primer itu sendiri berupa peraturan perundangundangan yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebelum dan setelah perubahan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia. 2. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnaljurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. 3. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 5. Teknik Pengumpulan Data Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan/studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. 6. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan
oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dengan cara menginventarisasi
sekaligus
mengkaji
penelitian
dari
studi
kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang
dapat
membantu
menafsirkan
norma
utnuk
menjawab
permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia serta kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia.
F. Sistematika Penulisan Hukum Dalam Penulisan hukum (Skripsi) ini terdiri atas empat bab yang masing-masing terdiri atas beberapa subbab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini disajikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis akan memberikan landasan teori atau memberikan penjelasan secara teoritik berdasarkan literatur-literatur yang penulis gunakan, tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis teliti. Kerangka teori tersebut meliputi tinjauan tentang perbandingan hukum, tinjauan tentang tindak pidana, tinjauan tentang terorisme, tinjauan tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dan tinjauan tentang Internal Security Act Malaysia Tahun 1960. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi hasil dari penelitian dan pembahasan yang berupa analisis dua peraturan perundang-undangan yang akan menjelaskan komparasi pemberantasan tindak pidana terorisme dua negara yaitu Indonesia dan Malaysia. Selain itu juga dibahas mengenai kelebihan dan kelemahan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia. BAB IV : PENUTUP Dalam bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan serta memberikan saran-saran terhadap beberapa kekurangan yang menurut penulis perlu diperbaiki dan yang penulis temukan selama penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Perbandingan Hukum a. Riwayat Perkembangan Menurut Rene David, perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini (Barda Nawawi Arief, 2008: 1). Sedangkan menurut Adolf F Schnitzer, perbandingan hukum baru berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu hukum pada abad ke-19. Studi ini dianggap begitu penting, dimana perbandingan hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang dianggap berdiri sendiri dan lebih merupakan suatu metode keilmuan/penelitian dalam memahami objek ilmu hukum (Barda Nawawi Arief, 2008 : 1). b. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum Pada awalnya perbandingan hukum sebagai disiplin hukum sekaligus sebagai cabang ilmu hukum dipahami sebagai metode pemahaman sistem hukum, selain sosiologi hukum dan sejarah hukum yang ketiganya berkaitan erat satu sama lain (Romli Atmasasmita, 1996 : 5). Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum, antara lain: Comparative Law; Comparative Jurisprudence; Foreign Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Perancis); Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman). Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan, bahwa Comparative Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles of legal science by the comparison of various systems of law) (Barda Nawawi Arief, 2008: 3). Ada yang membedakan antara Comparative Law dengan Foreign Law, yaitu: Comparative Law mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya. Foreign Law mempelajari hukum
asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri
dengan
tidak
secara
nyata
bermaksud
untuk
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. Menurut
Romli
Atmasasmita
yang
mengutip
pendapat
beberapa ahli hukum yaitu: Rudolf B. Schlesinger, mengatakan bahwa perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (Romli Atmasasmita, 1996 : 7). Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu perbandingan sistem-sistem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan (Romli Atmasasmita, 1996 : 7). Gutteridge menyatakan bahwa perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Gutteridge membedakan antara comparative law dan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah yang kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Winterton, dalam The Am.J.of Comp. L., 1975 : 72 diterjemahkan dalam buku Romli Atmasasmita, 1996 : 7). Romli Atmasasmita sendiri memberikan definisi perbandingan hukum (pidana) sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari secara sistematis hukum (pidana) dari dua atau lebih sistem hukum dengan mempergunakan metode perbandingan (Romli Atmasasmita, 1996 : 12).
Di antara teoritikus hukum, terdapat persamaan pandangan bahwa perbandingan hukum memiliki fungsi dan kegunaan bagi pembaharuan hukum di masa yang akan datang (Romli Atmasasmita, 1996 : 5). Sementara itu, penulis lebih menggunakan definisi perbandingan hukum menurut Romli Atmasasmita. 2. Tinjauan Tentang Tindak Pidana a. Istilah Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “stafbaar feit”. Secara literlijk kata straf artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh dan feit adalah perbuatan. Dalam kaitannya dengan istilah strafbaar feit secara utuh, straf diterjemahkan dengan kata hukum, padahal lazimnya hukum terjemahan dari recht. Untuk kata baar ada dua istilah yakni boleh dan dapat. Sedangkan untuk feit ada empat istilah yaitu tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan (Adami Chazawi, 2002 : 69). b. Pengertian Tindak Pidana Para ahli hukum mempunyai pandangan sendiri dalam memberikan pengertian mengenai tindak pidana. Menurut Adami Chazawi, mereka terbagi ke dalam 2 (dua) pandangan, yaitu pandangan dualisme dan monisme. Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Beberapa ahli hukum yang menganut pandangan dualisme memberikan definisi tindak pidana sebagai berikut : 1. Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
2. Menurut Pompe strafbaar feit sebenarnya tidak lain dari suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 3. Vos memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundangundangan. 4. R. Tresna memberi definisi peristiwa pidana sebagai sesuatu perbuatan
atau
rangkaian
perbuatan
manusia,
yang
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman (Adami Chazawi, 2002 : 72-73). Sementara itu, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Beberapa ahli hukum yang berpandangan monisme memberikan definisi tentang tindak pidana sebagai berikut : 1. J.E. Jonkers merumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. 2. Wirjono Prodjodikoro, menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 3. H.J. van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan. 4. Simons, merumuskan strafbaar feit adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum (Adami Chazawi, 2002 : 75). c. Unsur-Unsur Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) umumnya dapat dijabarkan dalam unsur subjektif dan objektif. Unsur subjektif adalah unsur yang melekat pada diri pelaku atau berhubungan dengan diri pelaku dan termasuk segala sesuatu yang terkandung di hatinya, terdiri dari: 1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2. maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 3. macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain; 4. merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 5. perasaan takut atau vress seperti antara lain yang terdapat dalam rumusan tindak pidana Pasal 308 KUHP (Lamintang, 1996 : 193-194). Unsur objektif adalah unsur-unsur yang berhubungan dengan keadaan-keadaan dalam mana tindakan dari pelaku harus dilakukan, terdiri dari: 1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2. kualitas dari pelaku; 3. kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan
sesuatu
(Lamintang, 1996 : 194).
kenyataan
sebagai
akibat
Selain itu, untuk menguraikan unsur-unsur tindak pidana menurut Adami Chazawi terdapat dua sudut pandang, yaitu : 1) Sudut teoretis (berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada rumusannya). Menurut Moeljatno (paham dualisme), unsur tindak pidana adalah: a. perbuatan; b. yang dilarang (oleh aturan hukum); c. ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan). Sedangkan Schravendijk (paham monisme)
memberikan
batasan yang unsur-unsurnya sebagai berikut : a. kelakuan (orang yang); b. bertentangan dengan keinsyafan hukum; c. diancam dengan hukuman; d. dilakukan oleh orang (yang dapat); e. dipersalahkan/kesalahan (Adami Chazawi, 2002 : 79-81). 2) Dari
sudut
undang-undang
(kenyataan
tindak
pidana
dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada). Dari rumusanrumusan tindak pidana tertentu yang terdapat dalam KUHP, maka unsur tindak pidana yaitu : a. Unsur tingkah laku (aktif dan pasif). b. Unsur sifat melawan hukum. c. Unsur
kesalahan (schuld),
terdiri dari kesengajaan,
kelalaian atau culpa. d. Unsur akibat konstitutif. e. Unsur keadaan yang menyertai.Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana. f. Syarat tambahan untuk memperberat pidana.
g. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana. d. Cara Merumuskan Tindak Pidana Menurut Adami Chazawi, dasar pembedaan cara dalam merumuskan tindak pidana dalam KUHP ada 3 (tiga) cara, yaitu : 1. Dilihat dari cara pencantuman unsur-unsur dan kualifikasi tindak pidana, baik itu dengan mencantumkan semua unsur pokok, kualifikasi dan ancaman pidana, maupun semua unsur pokok tanpa kualifikasi dan ancaman pidana serta hanya sekedar mencantumkan kualifikasinya saja. 2. Dilihat dari titik beratnya larangan dalam tindak pidana dengan cara formil (pada tindak pidana formil) dan dengan cara materiil (pada tindak pidana materiil). 3. Dari sudut pembedaan tindak pidana antara bentuk pokok, bentuk yang lebih berat dan yang lebih ringan (Adami Chazawi, 2002 : 112). e. Jenis-jenis Tindak Pidana Jenis tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu : 1. Menurut
sistem
KUHP,
dibedakan
antara
kejahatan
(misdrijven) dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dalam buku III. 2. Menurut cara merumuskannya, ada tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten). 3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, terdapat tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten). 4. Berdasar atas macam perbuatannya, dibedakan tindak pidana aktif/positif atau tindak pidana komisi (delicta commissionis)
dan tindak pidana pasif/negatif atau tindak pidana omisi (delicta omissionis). 5. Berdasarkan jangka waktu terjadinya, dibedakan tindak pidana yang terjadi seketika dan tindak pidana yang terjadi dalam kurun waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus. 6. Berdasarkan sumbernya dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan khusus. 7. Apabila dilihat dari subyek hukumnya dapat dibedakan antara tindak pidana communia yang dilakukan oleh siapa saja dan tindak pidana propria yang dilakukan oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu. 8. Berdasar atas perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten). 9. Berdasarkan atas berat-ringannya pidana yang diancamkan, dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten), dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten). 10. Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya tergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya. 11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (semengestelde delicten) (Adami Chazawi, 2002 : 117-119). 3. Tinjauan Tentang Terorisme a. Sejarah Terorisme
Terorisme ditengarai telah ada sejak jaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan pada abad pertengahan. Dari catatan sejarah dapat dirunut bahwa pada jaman Yunani Kuno, Xenophon (430-349 SM) telah menulis mengenai manfaat dan efektifitas perang urat saraf untuk menakut-nakuti musuh. Pada abad pertama Masehi, terorisme juga dilakukan oleh sekte Zealots, yaitu kelompok keagamaan Yahudi. Sekte ini menggunakan cara teror untuk melawan pemerintahan pendudukan Romawi di wilayah yang kini dikenal sebagai Negara Israel. Sementara itu, ahli strategi militer dari Cina Sien Tzu (500 SM), mengungkapkan pemikirannya tentang terorisme melalui konsep “bunuh satu, sepuluh ribu ketakutan” (Lukman Hakim, 2004 : 3). Menurut Lukman Hakim, pada abad ke-12, kelompok Assassins Islamiyah (Syiah) menggunakan metode teror yang berupa kekerasan dan ancaman kekerasan untuk melawan pemimpin politik dan ulama Suni di kawasan negara-negara Arab. Di pertengahan abad ke-19 sebuah kelompok radikal Narodnaya Volya di bawah pimpinan Mikhail Bukanin menggunakan teror untuk melawan kekuasaan Tsar Alexander II di Rusia. Awal abad ke-20, kejahatan terorisme dilakukan oleh penguasa di Rusia dan Jerman. Komunitas Yahudi di Palestina pun juga mempraktikkan terorisme untuk mengusir penjajah Inggris. Di Indonesia sendiri terorisme sudah dikenal di awal kemerdekaan RI dengan adanya gerakan radikalisme Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Kartosuwiryo (Lukman Hakim, 2004 : 4-8). b. Pengertian Terorisme Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun sudah ada ahli yang merumuskan, dan dirumuskan dalam perundang-undangan. Menurut Ridarson Galingging dalam Jurnal Mimbar Hukum, ketiadaan definisi umum mengenai terorisme dalam
hukum internasional menyebabkan ketidaktentuan aturan (Vol. 21 No. 3- Oktober 2009). Akan tetapi, ketiadaan definisi hukum internasional mengenai terorisme tidak serta-merta meniadakan definisi hukum mengenai terorisme (Abdul Wahid, 2004 : 22). Pada dasarnya terorisme merupakan suatu gejala kekerasan yang berkembang sejalan dengan peradaban manusia. Menurut Lukman Hakim yang mengutip pendapat
Kerstetter,
terorisme
sebagai
kejahatan
terhadap
kemanusiaan ditengarai telah ada sejak jaman Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan pada abad pertengahan (Lukman Hakim, 2004: 3). Terorisme merupakan suatu mazab/aliran kepercayaan melalui pemaksaan kehendak guna menyuarakan pesan, asas dengan cara melakukan tindakan ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan yang bertujuan untuk melumpuhkan otoritas pemerintah (Adjie. S., 2005 : 11). Menurut Lukman Hakim yang juga mengutip pendapat Ezzat A Fattah, kata teror berasal dari bahasa Latin “ terrere” yang kurang lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat membuat pihak lain ketakutan (Lukman Hakim, 2004: 9). Menurut Natangsa Surbakti dalam Jurnal Penelitian Hukum, tindakan teror merupakan salah satu modus operandi dalam kegiatan subversif yang mana lingkupnya meliputi kejahatan terhadap negara, strategi, taktik dan teknik yang digunakan untuk melancarkan kegiatan itu beraneka ragam serta berubah setiap perkembangannya (Vol.2 No.1- Juni 2001). Seorang pakar terorisme Lequeur menyimpulkan terdapat unsur-unsur yang sangat signifikan dari definisi terorisme yang dirumuskan berbagai kalangan. Terorisme memiliki ciri utama menggunakan ancaman kekerasan dan adanya tindak kekerasan serta terorisme tersebut umumnya didorong oleh motivasi politik atau mungkin juga karena fanatisme terhadap suatu agama.
Mengingat kompleksitas dalam mendefinisikan terorisme, maka hanya diuraikan ciri utama dari terorisme, yang menurut Amalya dalam bukunya Lukman Hakim, terdapat 10 (sepuluh) ciri utama, yaitu : 1. Penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan dengan tujuan tertentu secara sistematis, atau tindakan perorangan maupun kampanye kekerasan yang dirancang untuk menciptakan ketakutan. 2. Menggunakan ancaman kekerasan atau melakukan kekerasan tanpa pandang bulu, baik terhadap musuh atau sekutu, untuk mencapai tujuan-tujuan politik. 3. Sengaja ditujukan untuk menciptakan dampak psikolog atau phisik terhadap kelompok masyarakat atau korban tertentu dalam rangka mengubah sikap dan perilaku politik sesuai dengan maksud dan tujuan pelaku teror. 4. Meliputi kaum revolusioner, ekstrimis politik penjahat yang bertujuan polititk, dan para lunatik sejati. 5. Pelaku dapat beroperasi sendiri ataupun sebagai anggota kelompok yang teroganisir, bahkan pemerintah tertentu. 6. Motifnya
dapat
bersifat
pribadi,
atau
destruksi
atas
pemerintahan, atau kekuasaan kelompok, sedangkan ambisinya dapat terbatas (lokal) seperti penggulingan rezim tertentu dan global seperti revolusi simultan di seluruh dunia. 7. Modusnya berupa penculikan untuk mendapat tebusan, pembajakan, atau pembunuhan kejam yang mungkin tidak dikehendaki oleh para pelakunya. Teroris dapat atau tidak mengharapkan terbunuhnya korban, namun mereka seringkali menemukan
saat
untuk
membunuh
guna
memperkuat
kredibilitas ancaman, walaupun tidak diinginkan untuk membunuh korban.
8. Aksi-aksinya dirancang untuk menarik perhatian dunia atas eksistensinya, sehingga korban dan targetnya dapat saja tidak berkaitan sama sekali dengan perjuangan para pelaku. 9. Aksi-aksi teror dilakukan karena termotivasi secara politik, atau karena keyakinan kebenaran yang melatarbelakanginya, sehingga cara-cara kekerasan ditempuh untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, aksi-aksi teror pada dasarnya dikategorikan sebagai tindakan kriminal, illegal, meresahkan masyarakat dan tidak manusiawi. 10. Kegiatan terorisme ditujukan pada suatu pemerintahan, kelompok, klas, atau partai politik tertentu, dengan tujuan untuk membuat kekacauan di bidang politik, ekonomi, atau sosial (Lukman Hakim, 2004 : 11-13). Pengertian terorisme untuk pertama kali dibahas dalam European Convention on the Suppression of Terrorism (ECST) di Eropa tahun 1977 terjadi perluasan paradigma arti dari Crimes against State menjadi Crimes against Humanity. Crimes against Humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana yang teror). Dalam kaitannya dengan HAM, crimes against humanity masuk kategori gross violation of human rights yang merupakan bagian serangan yang meluas atau sistemik yang secara langsung ditujukan kepada penduduk sipil atau pada jiwa-jiwa tak bersalah seperti yang terjadi di Bali (Abdul Wahid, 2004 : 23). Di Amerika, rumusan terorisme terdapat pada United State Code, Section 2656 f (d) yang berbunyi : merencanakan lebih dahulu, kekerasan yang dimotivasi secara politis melawan target nonkombatan, yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi audiensi (premeditated, politically motivated violence perpetuated againts noncombatant targets, usually intended to influence an audience). Dari
rumusan tersebut, Hukum Amerika melihat terorisme dengan memberi penekanan pada motivasi politik, yang sasaran terorismenya hanya memperhatikan target sipil. Definisi di atas digunakan sebagai pedoman Kementerian Dalam Negeri dan tidak merupakan kerangka acuan Departemen Pertahanan dan FBI (Lukman Hakim, 2004 : 13). Sementara itu, The Central Intelegence Agency (CIA), mendefinisikan terorisme
internasional
adalah
terorisme
yang
dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan/atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga, atau pemerintah asing (Abdul Wahid, 2004 : 24). Di mana dari definisi tersebut terdapat kecenderungan memberi peran yang berlebihan kepada pemerintah untuk menafsirkan suatu tindakan sebagai terorisme. Menurut Konvensi Eropa tentang Pemberantasan Terorisme, salah satu unsur terorisme adalah adanya motif politik (Lukman Hakim, 2004: 14). Konsekuensinya, apabila definisi seperti ini diadopsi dalam hukum, maka penguasa akan sangat mudah menyalahgunakannya untuk kepentingan kekuasaan. Menurut Black Law’s Dictionary dalam bukunya Abdul Wahid, tindakan terorisme adalah : Kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika, atau negara bagian Amerika, dan jelas dimaksudkan untuk; (i) mengintimidasi penduduk sipil; (ii) mempengaruhi kebijakan pemerintah; (iii) mempengaruhi penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan (Abdul Wahid, 2004: 25). Lain halnya dengan kesepakatan di negara-negara Arab yang terdapat dalam Konvensi Arab tentang Pemberantasan Terorisme (The Arab Convention of the Suppression of Terrorism) : Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan, apapun motif dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak
kejahatan individu atau kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai mereka, atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan, atau bertujuan untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai dan merampasnya, atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional (Any act or threat of violence, whatever ist motives or purposes, that accours in the advancement of an individual or collective criminal agenda and seeking to show panic among people, causing fear by harming them,or placing their lives, liberty or security in danger, or seeking to cause damage to the enviroment or to public or private installations or property or to accupying or seizing them, or seeking to jeopardize national resource) (Abdul Wahid, 2004 : 25-26). Sementara itu Fauzan Al Anshari yang mengutip definisi terorisme menurut Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dalam bukunya Lukman Hakim, mendefinisikan terorisme sebagai : Tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berlatar belakang politik atau kekuasaan dalam suatu pemerintahan negara. Terorisme itu bisa dilakukan oleh pihakpihak yang melawan suatu pemerintahan yang sedang berkuasa untuk menjatuhkannya, tetapi bisa juga dilakukan oleh suatu pemerintahan terhadap rakyatnya atau kelompok oposisi untuk mempertahankan kekuasaannya. Tindakan mengancam dan bahkan sampai pada tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan atau perusakan harta benda tidak bisa disebut sebagai terorisme jika pihak-pihak yang bersangkutan telah menyatakan dalam keadaan perang terbuka (Lukman Hakim, 2004 : 16). Dalam keterangan pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia pada peristiwa Bom Bali tahun 2002, Yusril Ihza Mahendra mengatakan : Terorisme adalah suatu kejahatan yang tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa. Secara akademis terorisme dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime dan dikategorikan pula sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity. Mengingat kategori demikian, maka pemberantasannya tentulah tidak dapat menggunakan cara-cara yang biasa sebagaimana menangani tindak pidana biasa seperti pencurian, pembunuhan serta penganiayaan misalnya. Tindak pidana terorisme selalu menggunakan ancaman atau tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa tanpa memilih-milih
siapa yang akan menjadi korbannya (Lukman Hakim, 2004: 1617). Sementara itu, dalam yurisdiksi hukum nasional, pengertian mengenai terorisme terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sendiri diupayakan untuk memberikan batasan dan karakteristik pengertian teror, teroris, dan terorisme. Namun, menurut Bayu Dwiwiddy Jatmiko dalam Jurnal Ilmiah Hukum, tidak diberikannya definisi yang memuaskan mengenai perbuatan teror sebagai delik pidana, sehingga unsur perbuatan pidananya menjadi kabur dan terlalu luas pengertiannya, serta membuka peluang terjadinya kesewenangwenangan dalam proses penegakan hukum (Vol. 13 No. 1- 2005). Pasal 6, menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran pada obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. Pasal 7, menyatakan bahwa : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulakn suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”.
Dari beberapa definsi di atas, penulis menyimpulkan definisi menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 lebih luas memberikan batasan mengenai terorisme karena memuat delik formil dan delik materiil c. Tipologi dan Karakteristik Terorisme Secara kategoris, gerakan terorisme dari aspek spiritnya dapat dibedakan dalam berbagai kategori, yaitu : 1. Semangat nasionalisme, ditemukan di Aljazair, Palestina, dan sejumlah negara jajahan di masa suburnya kolonialisme. Kekerasan politik yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan, secara sepihak dianggap sebagai terorisme oleh rezim kolonial. 2. Semangat separatisme, di mana kelompok separatis secara stereotipe menempatkan kekerasan politik sebagai model perjuangan bersenjata. Gerakan separatisme yang mengadopsi pola terorisme pernah yang terjadi, yaitu : IRA di Irlandia, Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan serta Organisasi Papua Merdeka di Indonesia. 3. Semangat radikalisme agama, yaitu : Kelompok Jihad Islam di Mesir, Jihad Islam di Yaman, National Islamic Front di Sudan, Al Qaeda yang berbasis di Afghanistan, Jamaah Islamiyah yang berbasis di Malaysia, atau kelompok radikal Yahudi seperti Haredi, Gush Emunim, Kach Kahane di Israel. 4. Gerakan
terorisme
yang
didorong
oleh
spirit
bisnis.
Narcoterorism di Myanmar yang dikenal dengan United War State Army dan Yakuza di Jepang adalah bentuk terorisme yang didorong oleh spirit bisnis (Lukman Hakim, 2004 : 18-19). Dalam artikel yang ditulis harian Kompas, 5 Oktober 2002 dengan judul The Sociology and Psychology of Terrorism : Who become a Terrorist and Why? Divisi Riset Federal (kongres AS)
disebutkan ada lima ciri kelompok teroris, yaitu : separatis-nasionalis, fundamentalis-religius, religius baru, revolusioner sosial, dan teroris sayap kanan. Klasifikasi itu didasarkan atas asumsi kelompok teroris dapat dikategorikan menurut latar belakang politik dan ideologi (Abdul Wahid, 2004: 33). The United State National Advisory Committee dalam The Report of the Task Force on Disorders and Terrorism tahun 1996, membagi terorisme dalam beberapa tipe , yaitu : 1. Political terrorism, adalah bentuk terorisme yang dirancang untuk menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat dengan tujuan politik. 2. Nonpolitical terrorism, adalah bentuk terorisme yang dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti motif ekonomi, balas dendam, penyelamatan (salvation), maupun semata-mata karena kegilaan (madness). 3. Quasi terrorism yang menggambarkan kegiatan insidental guna melakukan kejahatan kekerasan yang bentuk dan caranya menggunakan metode teror . 4. Limited political terrorism, artinya kegiatan teror yang dilakukan tidak merupakan bagian dari suatu gerakan untuk menyerang
negara.
Contohnya
pembunuhan
politik
(assassination). 5. Official or state terrorism di mana organisasi negara sebagai pelaku teror yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam pengertian lain, bukan berarti negara terlibat dalam terorisme secara langsung, melainkan hanya menjadi sponsor dari organisasi-organisasi tertentu pelaku teroris, seperti Libya dan Israel (Lukman Hakim, 2004 : 19-22).
Menurut Adjie. S secara umum terdapat tiga kategori dalam kelompok teroris yang beroperasi di seluruh dunia hingga saat ini, yaitu : 1. Nonstate-supported grup adalah kelompok kecil yang memiliki kepentingan khusus, seperti kelompok yang antiaborsi, antikorupsi, dan lain sebagainya. Dalam aksinya mereka memblow-up
permasalahan
pembakaran,
penyanderaan,
tersebut ataupun
dengan aksi
melakukan lain
yang
membahayakan individu atau kepentingan umum. 2. State-sponsored grups kelompok ini memeproleh pelatihan, senjata, dan keperluan logistik dan dukungan administrasi dari negara asing, seperti Libya, Syria, Cuba, atau negara blok barat. 3. State-directed grups adalah suatu negara yang mengorganisasi dukungan kepada kelompok teroris secara langsung (Adjie S, 2005 : 16). Dalam mengkategorikan kejahatan terorisme sendiri harus dilakukan secara hati-hati, apalagi bila yang dominan untuk memberi label teroris adalah pihak yang berkuasa baik secara sosial, politik maupun ekonomi secara internasional. 4. Tinjauan Tentang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dengan terjadi peledakan bom di Bali, Manado dan berbagai tempat di Indonesia telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) guna mengisi kekosongan (Rechtsvacuum) terhadap penindakan terorisme (Abdul Wahid, 2004 : 9). Pemerintah langsung menerbitkan dua Perpu, yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang tentang Pemberlakuan
Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan penetapan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu ini didedikasikan kepada masyarakat internasional untuk menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memerangi terorisme. Penerbitan Perpu didasarkan pada hak prerogatif presiden, sesuai dengan Pasal 22 ayat (1) Perubahan UndangUndang Dasar 1945 dan Ketetapan (Tap) MPR No. III/MPR/2000, yang pada Pasal 3 ayat (4) menegaskan, dalam keadaan hal ikhwal kepentingan yang memaksa presiden berhak menerbitkan Perpu (Indriyanto Seno Adji, 2002 dalam OC Kaligis & Associates, 2003 : 53). Keberadaan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga menimbulkan pro dan kontra. Prof. Dr. Muladi SH (salah satu tim perumus RUU Anti-Terorisme) dalam diskusinya tentang Perpu Terorisme di Komnas HAM Jakarta, Senin 28 Oktober 2002 mengatakan bahwa tindak pidana terorisme yang dilakukan negara tidak bisa dijerat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (http://www.tempointeraktif.com//, Surakarta 7 Oktober 2009). Menurut Mohamad Mova Al Afghani dalam Jurnal Penelitian Hukum, kehadiran Perpu Nomor 1 dan Nomor 2, secara teoritis juga sangat bertentangan dengan asas non-retroaktivitas yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Keempat (Vol. 1 No. 9November 2002). Filosofi
yang
terkandung
dalam
Undang-Undang
Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bahwa terorisme merupakan
musuh umat manusia, kejahatan terhadap peradaban, serta merupakan Internasional dan Transnasional Organized Crimes (Soeharto, 2007 : 88). Tujuan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat, sedangkan paradigma pembentukan undang-undang adalah paradigma tritunggal, yaitu melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia (HAM), dan perlindungan terhadap Hak Asasi Tersangka (Soeharto, 2007 : 89). Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meliputi semua warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah negara Indonesia, termasuk fasilitas Republik Indonesia di luar negeri, misalnya tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsulat, kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menekan pemerintah Indonesia dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu, memaksa organisasi internasional di Indonesia untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Undang-undang ini juga berlaku untuk tindak pidana terorisme yang dilakukan di atas tempat yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar dalam Undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan atau oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia (Asas Ekstra Teritorial/Long Arm Juridiction). 5. Tinjauan Tentang Internal Security Act Malaysia Tahun 1960 Akta Keamanan/Keselamatan Dalam Negeri Malaysia atau Internal Security Act Malaysia atau yang disingkat dengan ISA Malaysia tahun 1960 lahir karena ada kepentingan dan kewajiban negara untuk menegakkan public order dan interests atas nama keamanan negara. Tentu hal ini dapat memberikan keleluasaan kepada penguasa untuk menafsirkan apa yang dimaksud public order dan public interests atas nama keamanan
negara. Ini sekaligus menegaskan bahwa ISA Malaysia dan langkahlangkah sejenisnya sejak awal dihadapkan pada masalah klasik, yaitu bagaimana membuat keseimbangan antara keamanan negara untuk melindungi public order dan public interests serta kebebasan dan hak-hak individual (http://www.propatria.or.id//, Surakarta 7 Oktober 2009). ISA Malaysia kini telah berumur 49 tahun. Ketentuan-ketentuan yang keras dalam ISA Malaysia, tidak terlepas dari latar belakang sejarahnya. Menjelang kemerdekaan Malaysia, muncul pemberontakan komunis yang lebih militan dan agresif dibandingkan gerakan-gerakan anti-Inggris
yang
lain.
Pemerintah
kolonial
Inggris
kemudian
mengeluarkan Emergency Regulation (pendahulu ISA) yang dapat menahan seseorang tanpa proses peradilan. Setelah merdeka pada tahun 1947, Malaysia mempertahankan warisan Inggris dengan mengeluarkan ISA pada tahun 1960 untuk menghadapi pemberontakan komunis. Tidak mengherankan jika pada dekade 60-an, mereka yang ditahan berdasarkan ketentuan ISA adalah para aktifis komunis dan anggota Partai Buruh yang merupakan bagian dari Front Sosialis. Akhir tahun 1960-an, juga mulai muncul gerakan tidak puas terhadap kebijakan UMNO yang dipelopori oleh Angkatan Belia Islam Malaysia dan beberapa kelompok Islam. Pada tahun 1970-an ISA lebih banyak ditujukan kepada gerakan-gerakan mahasiswa. Internal Security Act Malaysia 1960 atau Akta Keselamatan Dalam Negeri merupakan penahanan preventif (preventive detention) hukum yang berlaku di Malaysia. Undang-undang itu disahkan oleh politisi Malaysia setelah negara memperoleh kemerdekaan dari Britania Raya tahun 1957. Penahanan preventif pada tahun 1948 kemudian menjadi salah satu ciri Malaysia, terutama untuk memerangi pemberontakan bersenjata dari Partai Komunis Malaysia selama Darurat Malaysia, dan dibuatlah Peraturan-Peraturan Darurat 1948. Hal tersebut memungkinkan penahanan orang untuk setiap periode yang tidak melebihi waktu selama satu tahun.
ordonansi tahun 1948 dibuat terutama untuk melawan tindakan kekerasan di mana preventif penahanan dimaksudkan bersifat sementara. Namun pada tahun 1960, peraturan-peraturan darurat dianggap tidak berlaku atau berakhir serta mengakhiri pula kekuasaan yang terkandung dalam peraturan tersebut. Akan tetapi, kekuatan preventif penahanan itu tidak benar-benar berakhir dan pada kenyataannya justru menjadi cikal bakal dalam hukum Malaysia (http://www.wikipedia.org//, Surakarta, 7 Oktober 2009). Pada tahun 1960, pemerintah Malaysia menerbitkan Internal Security Act Malaysia sesuai dengan Pasal 149 Konstitusi Malaysia. Dalam ISA tersebut, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan kebijaksanaan melakukan penahanan tanpa tuduhan apapun dan dapat mengadili setiap orang di mana penahanan semacam itu diperlukan untuk mencegah orang yang dituduh melakukan tindakan apapun yang dapat merugikan keamanan nasional dan untuk memelihara kehidupan ekonomi di Malaysia serta menjaga perdamaian dan keamanan negara. Keberadaan ISA ini juga sangat kontroversial bahkan mendapat perlawanan juga dari warga negara Malaysia. Sebagaimana diungkapkan oleh Michael Chertoff dalam Harvard Journal of Law and Public Policy, kritik terhadap kebijakan administrasi ini juga jarang menggambarkan perbedaan di antara apakah arah suatu tindakan dihalalkan sebagai unsur hukum dan apakah arah tindakan berhati-hati itu sebagai unsur kebijakan (critics of this Administration’s policies rarely draw distinctions between whether a course of action is permitted as a matter of law and whether that course of action is prudent as a matter of policy) (Vol. 32 No. 1.). Menurut Edy Prasetyono, untuk memahami penerapan ISA diperlukan pemahaman mengenai dinamika tentang ekonomi di Malaysia. Banyak penahanan karena ISA terjadi di saat perekonomian Malaysia mengalami penurunan yang dapat menimbulkan keresahan dan protes masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh
pemerintah. Selain pemahaman terhadap dinamika ekonomi, pola penerapan ISA juga perlu dihubungkan dengan struktur politik di Malaysia. Sistem politik Malaysia yang damai dan ditandai oleh hubungan tiga etnis utama yang dilembagakan dalam tiga partai utama yakni UMNO (Melayu), MCA (Cina), dan MIC (India). Hubungan di antara ketiga partai itu tidak mengarah pada integrasi etnis, akan tetapi mempertahankan mobilisasi dukungan politik secara individual sesuai dengan garis etnis. Dengan demikian, untuk setiap gerakan politik yang terlihat mencoba untuk keluar dari tradisi politik Malaysia melintasi batas-batas etnis, dianggap membahayakan keamanan nasional dan menjadi sasaran target ISA. Penahanan oleh ISA juga berjalan seiring dengan perkembangan atau wacana politik Islam (http://www.propatria.or.id//, Surakarta, 7 Oktober 2009). B. Kerangka Pemikiran Tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau crime against humanity dan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime yang merupakan musuh umat manusia dan merupakan Interntional & Transnational Organized Crimes. Terorisme bukan hanya ancaman bagi bangsa Indonesia semata, melainkan ancaman terhadap kemananan dunia. Oleh karena itu masing-masing negara memiliki langkah dan kebijakan sendiri dalam mencegah, menangani pemberantasan tindak pidana terorisme. Sebagai wujud penanganan dan pencegahan tindak pidana terorisme dilakukan dengan membuat aturan perundang-undangan khusus yang mengacu pada konvensi internasional tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Di Indonesia, pengaturan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Di Malaysia, prediksi atau pengaturan atas tindakan terorisme diatur dalam Internal Security Act Malaysia Tahun 1960.
Substansi
yang
tertuang
dalam
masing-masing
peraturan
pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia tentunya tidak sama. Dari substansi yang diatur tersebut, maka kita akan mengetahui bagaimana pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia. Kemudian kita juga dapat mengetahui komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia dan Malaysia yaitu dalam hal hukum materiilnya. Komparasi pengaturan ini akan menemukan pula kelemahan dan kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia. Selain itu, dari komparasi juga dapat berguna bagi pembaharuan hukum di masa yang akan datang. Terorisme
Indonesia
Malaysia
UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Internal Security Act Tahun 1960
Substansi Pengaturan
C.
Komparasi
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
I. Komparasi Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960 Meningkatnya kasus terorisme telah melahirkan suatu komitmen internasional untuk melakukan perang global melawan terorisme. Komitmen tersebut tertuang dalam resolusi PBB yang merupakan bukti bahwa masyarakat internasional tidak mentolerir dan bertekad penuh untuk melawan segala bentuk terorisme. Bentuk komitmen internasional untuk melawan terorisme dibuktikan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. A/Res/56/1 tanggal 12 September 2001 tentang serangan terorisme dan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1438 tanggal 14 Oktober 2002 tentang peristiwa Bom Bali. Pemerintah Indonesia sendiri kemudian mengambil langkah-langkah konkrit untuk memerangi terorisme secara konseptual, terpadu, sistematis dan menggunakan pendekatan komprehensif. Langkah tersebut diambil setelah terjadinya serangan teroris yang terjadi di Kuta Bali (Bom Bali I). Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu Nomor 2 Tahun 2002. Selain itu,
Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2002, yang memberikan mandat kepada Menkopolkam untuk merumuskan kebijakan nasional dalam usaha melawan terorisme. Substansi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme banyak menampilkan hal yang baru, karena merupakan produk darurat. Sementara itu di Malaysia, kebijakan pemerintah Malaysia dalam usaha melawan terorisme diwujudkan dengan menerbitkan Akta Keamanan Dalam Negeri tahun 1960 atau yang dikenal dengan Internal Security Act (ISA) Malaysia tahun 1960. Internal Security Act Malaysia merupakan produk hukum peninggalan kolonial Inggris yang awalnya dibentuk untuk menangkis ancaman komunisme. Internal Security Act Malaysia juga merupakan produk politik hukum yang ditujukan untuk menegaskan wewenang negara berhadapan dengan kebebasan sipil dalam situasi khusus dan memaksa untuk menjamin keamanan nasional (http://www.propatria.or.id//, Surakarta, 7 Oktober 2009). Ketentuan yang terdapat dalam Internal Security Act Malaysia mengalami perubahan/amandemen pada tahun 1988. Amandemen tersebut justru menunjukkan karakter otoriter ISA dan menutup ruang bagi peninjauan kembali atas putusan yang telah dibuat oleh Menteri Dalam Negeri atau Yang Dipertuan Agung dengan hak diskresi menurut ISA. ISA Malaysia sebagaimana tercantum dalam Pasal 73 ayat (1) adalah peraturan yang memungkinkan polisi (tanpa bukti atau surat perintah) menangkap individu yang diyakini telah atau akan atau kemungkinan akan bertindak yang mengancam keamanan, hal-hal yang menguasai hajat hidup orang banyak atau kehidupan ekonomi Malaysia. Atas dasar uraian tersebut, penulis akan membandingkan UndangUndang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia dengan di Malaysia. Namun sebelum memaparkan mengenai komparasi/perbandingan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia, maka akan diuraikan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di masing-masing negara.
1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Salah satu tindakan terorisme yaitu peledakan bom atau bom bunuh diri yang merupakan modus pelaku terorisme telah menjadi fenomena umum di beberapa negara. Bom bunuh diri ini merupakan salah satu bentuk teror yang pernah menimpa Indonesia pada bom Bali I yang melatarbelakangi pembentukan peraturan perundang-undangan guna memberantas terorisme. Menurut Bintatar Sinaga dalam Jurnal Pusat Kajian Hukum dan Keadilan, tindakan teror dengan bunuh diri, dengan taktik irasional dan unpredictablity merupakan taktik yang digunakan oleh teroris fanatik yang menganggap dirinya tidak bernilai dan tidak merasa rugi bila mengorbankan nyawanya (nothing to lose) (Vol. 2 No. 2- 2002) . Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, secara spesifik memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terkait pendanaan tindak pidana terorisme terhadap kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif melainkan merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 Convention Againts Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terrorism (1999). Dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2002 yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini (Pasal 1 ayat (1)). Undang-undang diberlakukan terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah Negara
Republik Indonesia. Ruang lingkup undang-undang dalam Pasal 3 berlaku pula bagi setiap orang di negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menganut asas retroaktif atau berlaku surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46. Akan tetapi tuntutan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta memiliki keterkaitan dengan Pemerintah Republik Indonesia untuk menerima tuntutan sepanjang belum ada perjanjian ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kecuali Pemerintah Republik Indonesia setuju dengan berlakunya asas resiprositas. Proses ekstradisi itu sendiri dimulai dari adanya permintaan negara (peminta) yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan atau menghukum seseorang (orang yang diminta) baik dalam status hukumnya sebagai tersangka, tertuduh, terdakwa, ataupun terhukum kepada negara (diminta) yang merupakan negara tempatnya berada atau berlindung (I Wayan Parthiana, 2006 :137). Pemerintah Republik Indonesia melalui Pasal 4 berusaha untuk melindungi warga negara Republik Indonesia, Perwakilan Republik Indonesia dan harta kekayaan Republik Indonesia yang berada di luar negeri. Pasal 4 merupakan penerapan dari Asas Ekstra Teritorial/Long Arm Juridiction karena berlaku di atas tempat yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar ke dalam UndangUndang Negara Republik Indonesia (Soeharto, 2007 : 89). Kejahatan sebagaimana dimaksud dilakukan oleh setiap orang yang tidak berkewarganegaraan dan bertempat tinggal di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 membatasi atau mengecualikan tindak pidana selain yang bermotif politik. Pengaturannya dirumuskan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa, tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang
berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi. Dikecualikannya tindak pidana terorisme dari motif politik karena teroris yang memiliki motivasi politik menganggap dirinya sendiri (kelompoknya) sebagai sebuah instrumen pengadilan, dan sama sekali tidak beroperasi untuk tujuan kriminal (Adjie. S., 2005 : 9). Unsur-unsur tindak pidana terorisme yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, diantaranya terdapat dalam rumusan Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 6 : “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran objek-objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Pasal 7 : “Setiap orang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.” Rumusan Pasal 6 dan Pasal 7 memuat unsur subjektif dan unsur objektif untuk terjadinya tindak pidana. Akan tetapi terdapat perbedaan antara kedua unsur tersebut. Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 merupakan delik materiil sehingga unsur yang harus dibuktikan adalah
akibat dari perbuatan berupa munculnya suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 merupakan delik formil sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut yang meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, walaupun ancaman kekerasan atau kekerasannya belum dilakukan. Jadi yang membedakan adalah sesuatu yang harus dibuktikan yaitu berupa akibat dan maksud (Soeharto, 2007 : 90). Kekerasan menurut Pasal 6 dan Pasal 7 adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Kemudian ancaman kekerasan yang dimaksud adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan. Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan delik formil lain dari tindak pidana terorisme. Ketentuan mengenai kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana dan prasarana penerbangan sebelumnya juga diatur dalam Bab XXIX.A (29 A) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kemudian dalam Pasal 9 yang menyebutkan bahwa : “Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang
berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.” Pasal di atas termasuk dalam delik formil, yaitu yang menyangkut perbuatan yang dilarang dalam hal ini adalah perbuatan membuat, menerima, menyerahkan, membawa, mempergunakan bahan-bahan yang dilarang penguasaannya kecuali dengan izin pemerintah seperti senjata api dan amunisi. Selanjutnya, yang dimaksud “bahan yang berbahaya lainnya” adalah termasuk gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya. Bahan berbahaya yang dimaksud dapat pula menyebabkan kerusakan bagi lingkungan maupun bagi makhluk hidup termasuk manusia. Pasal 10 Undang-Undang Nomor menyebutkan bahwa :
15 Tahun 2003
yang
“Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional”. Pasal di atas juga termasuk dalam delik baru yang tergolong dalam delik formil yang titik tekannya meyangkut perbuatan yang dilarang. Rumusan tindak pidana terorisme dalam pasal di atas sering disebut dengan technological terrorism yaitu yang memanfaatkan bahan-bahan kimia dan sebagainya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan yang diambil dari Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna Tahun 1979 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1986 tentang Pengesahan Konvensi Proteksi Fisik dari Bahan Nuklir.
Ketentuan mengenai penyediaan atau pengumpulan dana yang ditujukan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan baik sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12. Selain itu, Pasal 11 dan Pasal 12 juga memuat mengenai ketentuan pidana atau pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun. Penyediaan atau pengumpulan dana merupakan aspek penting dari tindak pidana terorisme, sebab keberhasilan atau terlaksananya tindak pidana terorisme sangat ditentukan oleh pembiayaan yang diberikan kepada para pelaku sebagai eksekutor. Pembiayaan itu sendiri bagi kejahatan terorganisasi (organized crime) seperti terorisme merupakan suatu life-blood of
the crime , tulang
punggung para kriminal yang sangat menentukan keberhasilannya (Harian Seputar Indonesia, Selasa 30 Mei 2006). Khusus mengenai pembiayaan tindak pidana terorisme, sejak tahun 1999 sudah ada konvensi internasional yang mengaturnya, yaitu International Convention for The Supression of Terrorist Financing. Di Indonesia konvensi tersebut telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Konvensi Internasional untuk Larangan Pembiayaan Teroris, 1997. Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada Oktober 2001 di Washington DC memutuskan rekomendasi khusus agar
seluruh
negara
menyatakan perbuatan
pembiayaan terorisme sebagai suatu tindak pidana. Dalam kaitannya dengan rekomendasi FATF, di Indonesia khususnya dalam UndangUndang Tindak Pidana Pencucian Uang diatur bahwa harta kekayaan yang sah,
apabila digunakan untuk membiayai kegiatan terorisme dapat
diklasifikasikan sebagai transaksi yang mencurigakan yang harus dilaporkan kepada PPATK (Pasal 2 ayat (2)) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2005.
Menurut Roeslan Saleh, yang dimaksud tindak pidana ialah sesuatu yang
menyangkut
dilarangnya
perbuatan/tindakan
dan
sedangkan
terorisme itu berkaitan dengan tindakan yang dilarang (Roeslan Saleh dalam Abdul Wahid, 2004 : 87). Maka yang dimaksud dengan tindak pidana terorisme dalam peraturan ini adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang atau korporasi yang mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12. Perbuatan dilarang lainnya yang diatur dalam Pasal 13 yaitu berupa dukungan terhadap kegiatan terorisme yang dilakukan dengan cara meminjamkan uang, barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme. Dalam Pasal 13, bahwasannya seseorang yang memberikan bantuan atau yang membantu perbuatan (medeplichtige) adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana terorisme dilakukan. Mengenai pembantuan yang termasuk dalam delik pembantuan tersebut dalam Pasal 13 sesuai dengan Pasal 56 KUHP. Selain dilarang untuk meminjamkan uang, barang atau kekayaan kepada pelaku terorisme, dukungan juga dilarang dalam upaya menyembunyikan pelaku dan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. Pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak
Pidana
Terorisme
termasuk
dalam
delik
perencanaan, di mana perencanaan yang dimaksud yaitu merencanakan aksi terorisme, menetapkan tujuan, dan pengawas dari sebuah organisasi teroris. Delik perencanaan tersebut memuat unsur subjektif tindak pidana terorisme. Setelah tindak pidana dilakukan, dan disebutkan juga mengenai aktor intelektual yang dipidana tersendiri/secara khusus, yaitu orang yang dimaksud dengan merencanakan. Aktor intelektual ini adalah mereka yang merupakan penyebab dilakukannya suatu tindak pidana terorisme yang secara tidak langsung. Termasuk mempersiapkan diri baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia.
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dapat dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya. Pembantuan yang dapat dipidana menurut Pasal 15 adalah pembantuan baik sebelum, selama maupun sesudah kejahatan dilakukan. Pembantuan sebelum tindak pidana dilakukan dapat berupa mempersiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan yang mungkin berupa persiapan dana, bahan-bahan, dan tempat. Pembantuan selama dan setelah kejahatan terorisme dilakukan, dalam artian pelaku bisa bertindak sebagai pembantuan dalam menyediakan tempat persembunyian, dan mengupayakan dalam rangka penghilangan jejak dan lainnya. Pasal 13 dan Pasal 15 termasuk delik percobaan, pembantuan (sebelum dan pada saat kejahatan dilakukan), percobaan dan permufakatan jahat yang dipidana setara pelaku atau tindak pidana sempurna pembantuan dan penyertaan. Sedangkan menurut Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan adalah dikurangi sepertiga dari ketentuan pidana bila perbuatan selesai dilakukan. Subyek tindak pidana terorisme dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 terdiri dari setiap orang dan/atau korporasi baik dalam penyertaan maupun penganjuran. Disebutkan dalam ketentuan Pasal 17 bahwa dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan korporasi dan/atau pengurusnya. Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh korporasi yang dimaksud yaitu yang dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain secara bersama-sama ataupun sendiri. Apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya. Apabila suatu korporasi tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan terorisme, korporasi dapat menjadi pihak penyedia dana yang mendukung keberhasilan terlaksana atau tidaknya tindakan teror.
Atas tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh suatu korporasi sesuai Pasal 18, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat tinggalnya atau kantornya. Korporasi yang dimaksud adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik dalam bentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Selain pidana pokok berupa pidana denda, korporasi tersebut dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi
yang
terlarang.
Korporasi
juga
dapat
dibebani
pertanggungjawaban secara vicarious liability. Bagi pelaku tindak pidana terorisme yang terdiri atas setiap orang atau individu maka menurut undang-undang dapat dijatuhi pidana sesuai kategori tindak pidana terorisme yang dilakukan. Pidana pokok yang dijatuhkan berupa pidana penjara minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 20 (dua puluh) tahun, pidana mati, atau pidana seumur hidup. Terhadap setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahui akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk tindak pidana terorisme dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Namun ketentuan mengeni penjatuhan pidana mati dan seumur hidup tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Selain mengatur mengenai tindak pidana terorisme, dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 khususnya Bab IV Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 diatur mengenai tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme. Tindakan-tindakan tersebut berupa kekerasan atau ancaman kekerasan atau melakukan intimidasi terhadap penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasehat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga menggangu proses peradilan yang sedang berlangsung (Pasal 20). Kemudian seseorang dapat dihukum apabila memberikan kesaksian palsu,
menyampaikan alat bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau menyerang saksi dan petugas pengadilan (Pasal 21). 2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Malaysia Menurut Internal Security Act Malaysia Tahun 1960 Internal Security Act Malaysia atau Akta Keselamatan Dalam Negeri merupakan suatu akta yang diwujudkan oleh Parlemen Malaysia yang berlaku di Malaysia Barat dan Malaysia Timur. Akta Keselamatan Dalam Negeri tahun 1960 (Akta 82) yang lebih dikenal dengan ISA ini bertujuan untuk mencegah tindakan ancaman oleh sekumpulan orang yang substansial, baik dari dalam maupun luar Malaysia : 1. untuk menyebabkan kekerasan berencana terhadap orang atau harta, atau untuk menyebabkan sejumlah besar warga negara takut akan kekerasan itu; dan 2. untuk mendapatkan perubahan, dengan cara lain daripada cara yang sah, terhadap Kerajaan Malaysia yang didirikan menurut undang-undang. Kegiatan terorisme menurut ketentuan yang terdapat dalam ISA Malaysia termasuk dalam kejahatan yang berkaitan dengan keamanan wilayah (offences relating to security areas). Ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme tercantum dalam Bab III Internal Security Act Malaysia Tahun 1960. Dalam Bab III terdiri dari dua bagian dan sepuluh pasal yaitu Pasal 57 sampai Pasal 67. Ketentuan yang termuat dalam ISA Malaysia tidak memberikan definisi mengenai terorisme sebagai suatu perbuatan melainkan definisi teroris sebagai pelaku. Menurut ketentuan dalam Internal Security Act Malaysia Tahun 1960, yang dimaksud dengan teroris adalah setiap orang yang :
a. dengan menggunakan senjata api, bahan peledak atau amunisi bertindak dengan cara yang merugikan keselamatan umum atau perintah pemeliharaan ketertiban umum atau membangkitkan kekerasan atau mengabaikan nasihat menurut hukum atau perintah yang sah menurut hukum; b. membawa atau memiliki dalam kepemilikan atau mengendalikan senjata api, amunisi atau bahan peledak tanpa kewenangan yang sah menurut hukum; atau c. meminta, mengumpulkan atau, menerima persediaan apapun untuk penggunaan orang yang bermaksud atau untuk bertindak, atau baru-baru ini telah bertindak dengan cara merugikan keselamatan umum atau pemeliharaan ketertiban umum. Tidak diberikannya definisi mengenai terorisme dalam ISA bukan berarti Pemerintah Malaysia tidak sungguh-sungguh dalam memberantas tindak pidana terorisme. Definisi mengenai teroris yang terdapat dalam Preliminary Internal Security Act Malaysia bagian Interpretation lebih mengacu pada individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Definisi mengenai teroris dalam ISA lebih dipilih karena aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Kemudian, dari definisi itu dapat diambil langkah-langkah lebih lanjut dalam usaha melindungi keamanan dalam negeri, ketertiban umum dan memberantas terorisme. Salah satu kegiatan yang merupakan kejahatan terhadap keamanan wilayah dan dapat dikategorikan sebagai teroris yaitu setiap orang membawa atau memiliki senjata api, amunisi, dan bahan peledak dalam kekuasaannya di wilayah keamanan. Beban pembuktian ditanggungkan kepada setiap orang dengan tanpa alasan pemaaf yang sah yang membawa atau memiliki senjata api, amunisi, dan bahan peledak tersebut. Atas tindakan tersebut, maka setiap orang yang dinyatakan bersalah melakukan
kejahatan, dengan pasti dijatuhi hukuman mati. Ketentuan tersebut diatur dalam Bab III Pasal 57 ayat (1) Internal Security Act Malaysia. Namun ketentuan mengenai penguasaan dan pemilikan senjata api, amunisi, dan bahan peledak tersebut dikecualikan bagi pihak-pihak tertentu yang diatur dalam Pasal 57 ayat (2). Kemudian dalam Pasal 57 ayat (3) ISA, seseorang dianggap memiliki kekuasaan yang sah atas senjata api, amunisi, dan bahan peledak jika ia dapat membuktikan keahlian dalam menguasai senjata dan tidak setiap waktu membawa atau menguasai senjata api, amunisi, dan bahan peledak. Dalam hal bersama-sama dengan seseorang membawa atau memiliki senjata api atau bahan peledak, maka setiap orang dapat diancam dengan hukuman minimal 10 (sepuluh) tahun penjara dan maksimal pidana mati atau seumur hidup. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 58, yaitu : 1) Setiap orang yang berada di dalam daerah keamanan bersamasama, atau ditemukan bersama dengan seseorang yang membawa atau memiliki atau di bawah kekuasaannya senjata api, amunisi, atau bahan peledak yang bertentangan dengan Pasal 57, di suatu keadaan yang menimbulkan asumsi yang masuk akal yang ia bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau baru saja melakukan, dengan orang lain merugikan ketertiban umum atau ketertiban masyarakat dinyatakan bersalah melakukan ancaman dan dapat, dengan sangat meyakinkan, dijatuhi hukuman pidana mati atau seumur hidup. 2) Setiap orang yang berada di dalam daerah keamanan bersamasama, atau ditemukan bersama dengan seseorang yang membawa, atau memiliki atau di bawah kekuasaannya senjata api, amunisi atau bahan peledak yang bertentangan dengan Pasal 57, di suatu keadaan yang menimbulkan asumsi yang masuk akal yang ia
ketahui bahwa orang tersebut membawa atau memiliki atau menguasai senjata api, amunisi atau bahan peledak, dinyatakan bersalah melakukan ancaman dan diancam, dengan sangat meyakinkan, dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. 3) Di mana, penuntutan atas ancaman yang diatur di dalam pasal ini, ditetapkan pada peradilan yang semestinya di mana terdakwa bersama-sama dengan kelompok yang membawa atau memiliki atau menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak itu, patut diduga, hingga dapat dibuktikan sebaliknya, bahwa orang tersebut membawa, memiliki atau menguasai senjata api, amunisi, atau bahan peledak bertentangan dengan Pasal 57. Selain memberikan ancaman pidana terhadap setiap orang yang membawa, memiliki, atau menguasai senjata api, amunisi dan bahan peledak, ISA juga memberikan ancaman pidana terkait penyediaan senjata. Menurut ketentuan Pasal 2 (Interpretation) penyediaan yang dimaksud meliputi amunisi, bahan peledak, senjata api, uang, makanan, minuman, pakaian, obat-obatan, narkoba dan toko lainnya, peralatan, komoditas, materi atau barang apapun juga. Ketentuan mengenai penyediaan diatur dalam Pasal 59 Internal Security Act, yaitu : (1) Barang siapa baik di dalam atau di luar daerah keamanan meminta, menampung atau menerima pasokan (persediaan) dari orang lain yang dalam keadaaan tertentu dapat menimbulkan asumsi masuk akal bahwa ia bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau telah melakukan, perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau ketertiban masyarakat, atau bahwa persediaan sangat dibutuhkan, dikumpulkan, atau diterima berniat untuk digunakan oleh orang lain yang memiliki niat atau akan, hingga untuk melaksanakannya, atau telah melakukannya, atau untuk digunakan oleh teroris, dinyatakan bersalah terhadap keamanan dan dapat, dengan
meyakinkan, dijatuhi hukuman mati dengan keadaan di mana ia dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada kasus lain. (2) Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan ditemukan memiliki pasokan (persediaan) untuk pihak yang ia tidak dapat dengan sangat memuaskan peminta di dalam keadaan tertentu yang menimbulkan asumsi yang masuk akal bahwa pasokan
dimaksudkan
untuk
kegunaan
orang-orang
yang
bertujuan, atau akan, untuk melakukan, atau telah melakukan, perbuatan yang merugikan ketertiban umum atau ketertiban masyarakat, atau pasokan ditujukan untuk digunakan para teroris, dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dan dapat, dengan sangat menyakinkan, dijatuhi hukuman mati dengan keadaan di mana ia dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada kasus lain. (3) Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan menyediakan, baik secara langsung maupun tidak langsung, barang pasokan untuk orang lain yang dalam keadaan tertentu dapat dicurigai bahwa orang tersebut bermaksud, atau akan, untuk melakukan, atau telah melakukan perbuatan yang melanggar ketertiban umum dan ketertiban masyarakat, atau barang pasokan tersebut disediakan untuk tujuan digunakan oleh orang yang bermaksud atau untuk melakukan, atau hingga melaksanakannya, atau telah melakukan, atau barang tersebut dimaksudkan untuk teroris, dinyatakan bersalah melakukan kejahatan dan, dengan sangat meyakinkan, dihukum dengan hukuman mati dengan keadaan di mana ia dihukum karena barang pasokan yang ia timbun terdiri dari senjata api, amunisi, dan bahan peledak, atau dapat dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada kasus lain:
Menetapkan bahwa tidak seorangpun dinyatakan bersalah melakukan kejahatan melawan aturan pasal ini jika ia membuktikan bahwa sebelum ditahan oleh petugas polisi atau orang yang dengan kekuasaannya ia memberikan dengan suka rela seluruh informasi mengenai kejahatan pada petugas kepolisian. (4) Pada tuntutan kejahatan melawan aturan pada pasal ini dapat tidak perlu pada orang tertentu atau orang-orang dari siapa barang pasokan diminta, dikumpulkan atau diterima atau untuk siapa barang pasokan disediakan atau sengaja disediakan. Dalam usaha mengungkap adanya tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh teroris, sangat diperlukan adanya keterangan dari saksi. Akan tetapi saksi dalam mengungkap kegiatan teroris tidak mudah dalam menyampaikan keterangannya. Untuk itu, ISA memberikan ketentuan mengenai hal-hal yang dapat diambil apabila saksi gagal atau lalai melaporkan atau memberi keterangan mengenai kejahatan. Ketentuan mengenai kegagalan atau kelalaian untuk melaporkan kejahatan atau memberi keterangan dimuat dalam Pasal 60 (Failure to Report Offences or to Give Information), yaitu : Barang siapa yang baik di dalam atau di luar daerah keamanan, selama ketentuan dalam Pasal 47 (ketentuan mengenai daerah keamanan) dinyatakan berlaku , apabila : (a) mengetahui atau memiliki yang dapat diyakini bahwa orang tersebut berniat melakukan kejahatan melawan aturan ini tidak melaporkan hal yang sama pada petugas kepolisian; atau (b) memiliki di bawah kuasanya suatu informasi mengenai yang akan datang atau perbuatan akan dilakukan atau di mana seseorang yang ia tahu atau diyakini sebagai teroris tidak melaporkan hal yang seharusnya pada kepolisian, dinyatakan bersalah melakukan
kejahatan dan dapat dijatuhi, dengan menyakinkan, hukuman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun : Menetapkan bahwa tidak seorangpun dinyatakan bersalah melakukan kejahatan melawan aturan ini jika ia membuktikan jika sebelum ditangkap oleh polisi atau pihak yang memiliki kekuasaan, secara suka rela memberikan seluruh informasi kejahatan tersebut atau kegiatan atau tempat pada polisi. Ketentuan dalam ISA mengenai terorisme juga mengatur dalam hal percobaan tindak kejahatan. Ketentuan tersebut diberlakukan tanpa adanya prasangka sebagaimana diatur dalam Bab V Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Negara Federasi Malaysia atau dengan Ketetapan Ordonansi Sabah atau Serawak terhadap seseorang yang dapat bertempat pada, atau berada di dalam atau berada di luar daerah keamanan. Walaupun ketentuan Pasal 47 ISA (Proclamation of Security Areas) dalam hal ini diterapkan pada usaha (percobaan) melakukan atau perbuatan yang berhubungan dengan persiapan perbuatan melakukan kejahatan yang melawan Pasal 61, maka ia tetap dianggap bersalah melakukan kejahatan dan dengan menyakinkan, dapat dikenakan hukuman yang sama dengan kejahatan. Jadi meskipun suatu perbuatan itu merupakan percobaan untuk melakukan tindak pidana, maka ancaman hukuman yang dijatuhkan sama dengan hukuman apabila perbuatan kejahatan selesai dilakukan. Terkait dengan pembantuan yang melanggar, ketentuan Pasal 62 ISA (Assisting Offenders) menyebutkan bahwa tidak seorang pun mengetahui atau mempunyai alasan untuk menyakini bahwa orang lain telah melakukan kejahatan yang melanggar Pasal 62. Tindakan yang merupakan pembantuan pelanggar dilakukan baik di dalam ataupun di luar wilayah keamanaan, berupa memberikan orang lain perbantuan dengan tujuan demikian untuk mencegah, menghalangi, atau turut campur dalam proses penangkapan, persidangan atau penjatuhan hukuman terhadap orang tersebut pada petugas yang berwenang.
Untuk kejahatan-kejahatan lainnya dan penghasutan dengan menentang atau tidak tunduk pada ketentuan yang berlaku dinyatakan sebagai kejahatan dan bersalah melakukan kejahatan. Upaya seseorang menentang atau tidak tunduk pada peraturan atau syarat dalam ketentuan yang lain juga dapat dinyatakan bersalah melakukan kejahatan. Selain itu, termasuk pula tindakan menentang atau tidak tunduk terhadap ketentuan baik di dalam maupun di luar daerah keamanan serta melakukan persekongkolan pelanggaran dan melakukan kelalaian yang tidak semestinya. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 (Other Offences under this Part and Abetment). Sanksi dijatuhkan bagi siapa saja yang bersalah melakukan kejahatan yang bertentangan dengan Pasal 63 dengan ketentuan tanpa hukuman khusus. Subjek pada ketentuan khusus yang dimaksud dalam bagian tersebut atau peraturan lain yang diatur dalam Pasal 71, secara menyakinkan dapat dijatuhi hukuman dengan membayar denda paling tinggi lima ribu dolar atau penjara paling lama tiga tahun. Menurut Pasal 63A (General Penalty under Part 63), kedua sanksi yang berupa denda paling tinggi lima ribu dolar atau penjara paling lama tiga tahun dapat dijalankan secara bersama-sama. Terkait pihak yang mempunyai kekuasaan untuk membuat peraturan, ISA Malaysia mengaturnya dalam Bab VI (Power to Make Regulations) Pasal 71. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 47 (Proclamation of Security Areas) mengharuskan Yang Dipertuan Agung sesuai dengan undang-undang untuk membuat peraturan yang menyangkut keamanan daerah yang pertimbangannya layak untuk keamanan umum. Dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme, dapat ditetapkan ketentuan mengenai pembayaran hadiah untuk pekerja yang dirugikan atau untuk kepercayaan atas terbunuhnya pekerja oleh perbuatan terorisme di daerah keamanan. Ketentuan pidana yang dijatuhkan atas pelanggaran tidak melebihi dua ribu dolar atau penjara tidak lebih dari tiga tahun atau keduanya.
Preventive detention atau tindakan pencegah sebagai upaya dalam menjaga dan melindungi keamanan daerah dan ketertiban umum di Malaysia diatur secara khusus dalam ISA. Jenis-jenis tindakan pencegah yang merupakan upaya Pemerintah Malaysia diwujudkan dalam Pasal 72 dan Pasal 73 hanya dapat dilakukan oleh Kepolisian atau pihak lain yang ditetapkan secara khusus oleh undang-undang. Jenis-jenis tindakan pencegah tersebut adalah penangkapan dan penjaminan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) dan (2). Penangkapan dapat dilakukan
terhadap
setiap
orang
yang
melakukan
pelanggaran
bertentangan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Prosedur Kejahatan (Criminal Procedure Code). Ancaman pidana atas pelanggaran berupa hukuman penjara untuk melampaui waktu tiga tahun tidak akan ditebus demi kepentingan Kitab Undang-Undang Prosedur Kejahatan (Criminal Procedure Code).
3. Komparasi Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960. Berdasarkan pembahasan mengenai substansi masing-masing undang-undang dalam mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme di atas maka dapat diambil hal-hal yang menjadi perbedaan antara keduanya.
PERBEDAAN Perbedaan Hukum Materiil No.
1
Perbedaan
UU No. 15 Tahun
Internal Security
2003
Act Malaysia
Perbuatan Pidana : a. Unsur-unsur pidana terorisme
tindak a. Unsur-unsur tindak pidana terorisme
a. Unsur-unsur teroris
yang
menunjuk pada pelaku b. Asas retroaktif 2
Pertanggungjawaban pidana
b. Berlaku
b. Tidak berlaku
Individu dan
Individu
korporasi 3
Ketentuan pidana : 1. Delik selesai
1. pidana mati atau seumur
1. hukuman mati
2. Percobaan
penjara
3. Pembantuan
hidup atau penjara
dengan
4. permufakatan
paling
ketentuan
lama dua
2. dipidana sama
puluh tahun atau
pidana apabila
paling singkat tiga
delik selesai
tahun
3. hukuman
2. pidana
sama
dengan
ketentuan
pidana
apabila
delik selesai 3. pidana
minimal sepuluh tahun penjara maksimal
penjara
pidana
paling singkat tiga
atau
tahun dan paling
hidup
lama
lima
dan
belas
tahun
mati seumur
4. hukuman penjara
4. dipidana
setara
seumur hidup
pelaku atau tindak pidana
sempurna
pembantuan
dan
penyertaan
Tabel 1. Perbedaan Hukum Materiil Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme antara Indonesia dan Malaysia
Perbedaan hukum materiil pemberantasan tindak pidana terorisme yang terdapat dalam dua peraturan perundang-undangan mengenai pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia yaitu : 1. Perbuatan Pidana Perbedaan dalam hal perbuatan pidana terkait dengan rumusan unsur-unsur tindak pidana terorisme yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia. Terdapat persoalan yang mendasar bahwasannya tidak ada kesepakatan secara hukum internasional mengenai definisi terorisme, akan tetapi ini bukan berarti terorisme bukan merupakan kejahatan. Tidak adanya kesepakatan internasional mengenai terorisme ini mengakibatkan unsur-unsur terorisme yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tiap negara berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan negara
yang
menerapkan. Pada dasarnya unsur-unsur tindak pidana terorisme sangat diperlukan dalam memberikan batasan suatu tindakan. Dalam usaha melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme, pemerintah Indonesia melalui produk hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memberikan definisi atau unsur-unsur mengenai tindak pidana terorisme. Sedangkan pemerintah Malaysia melalui produk hukumnya tidak memberikan definisi mengenai tindak pidana terorisme akan tetapi definisi mengenai teroris yang lebih menunjuk pada pelaku terorisme. Penggunaan definisi teroris dalam ISA Malaysia untuk menggambarkan bahwa aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Istilah teroris yang digunakan dalam rumusan ISA Malaysia lebih menekankan pada individu yang secara personal terlibat dalam aksi terorisme. Tidak diberikannya definisi mengenai tindak pidana terorisme atau unsur-
unsur terorisme dalam rumusan ISA Malaysia dikarenakan masih terjadi perdebatan internasional mengenai definisi terorisme. Akan tetapi, dari definisi mengenai teroris ini, maka unsur-unsur tindak pidana terorisme sudah dapat dirumuskan. Terorisme menurut ISA Malaysia sudah dapat dipastikan menggunakan peralatan seperti senjata api, amunisi dan bahan peledak yang dapat merugikan keselamatan umum atau perintah pemeliharaan ketertiban umum atau mengabaikan nasihat menurut hukum atau perintah yang sah menurut hukum. Setiap orang yang terbukti membawa, memiliki, atau mengendalikan dan meminta, mengumpulkan, atau menerima persediaan peralatan berupa senjata api, amunisi, dan bahan peledak tanpa kewenangan yang sah menurut hukum juga telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana terorisme. Meskipun belum ada kesepakatan internasional dalam merumuskan
definisi
tindak
pidana
terorisme,
Pemerintah
Indonesia tetap berusaha merumuskan definisi tindak pidana terorisme dalam peraturan perundang-undangan. Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana yaitu terdapat dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 yang memuat delik materiil dan delik formil. Delik materiil dirumuskan dalam Pasal 6 sehingga harus dibuktikan akibat yang ditimbulkan atas suatu perbuatan. Delik formil terdapat dalam rumusan Pasal 7 sampai dengan Pasal 12, sehingga yang harus dibuktikan adalah adanya maksud atau niat melakukan suatu perbuatan. Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 memuat delik materiil dan formil, sedangkan definisi teroris dalam ISA Malaysia unsur-unsurnya hanya memuat delik formil saja yaitu adanya maksud atau niat bertindak dengan cara merugikan keselamatan umum. Jadi rumusan unsur-unsur tindak pidana
terorisme menurut Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 lebih luas dibanding dengan definisi teroris yang menunjuk pada terorisme dalam ISA Malaysia. Sementara itu, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 diberlakukan dengan menganut asas retroaktif yang berlaku pula terhadap kejahatan tindak pidana terorisme sebelum terbentuknya undang-undang. Jadi tindak pidana terorisme yang dilakukan sebelum
adanya
undang-undang
ini
tetap
dapat
diproses
menggunakan ketentuan undang-undang ini. Sedangkan dalam ISA Malaysia tidak menganut asas retroaktif terhadap kejahatan tindak pidana terorisme yang terjadi sebelum terbentuknya ISA Malaysia.
2. Pertanggungjawaban Pidana Subyek tindak pidana terorisme terkait dengan orang yang melakukan tindak pidana terorisme. Subyek juga menentukan terhadap penjatuhan pidana atau hukuman. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 merupakan undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai tindak pidana terorisme, di mana dalam rumusan undang-undang tentang tindak pidana khusus pelaku terdiri dari orang perseorangan/individu dan korporasi baik dalam bentuk badan hukum maupun non-badan hukum. Rumusan setiap orang menurut ketentuan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi. Sedangkan korporasi menurut ketentuan Pasal 1 butir 3, adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Penggunaan subyek tindak pidana terorisme yang terdiri dari orang perseorangan dan korporasi dalam rumusan undang-
undang pemberantasan tindak pidana terorisme karena pemerintah sadar bahwa dalam masa globalisasi ini para pelaku juga dilengkapi dengan peralatan dan kemampuan yang canggih. Semakin canggihnya peralatan dan kemampuan yang digunakan pelaku dalam melakukan aksi teror telah menunjukkan adanya indikasi keterlibatan suatu korporasi baik sebagai penyedia dana maupun sebagai penyedia peralatan. Ketentuan yang menyertakan korporasi sebagai salah satu subyek pelaku tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18. Korporasi dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana terorisme sebagai implementasi bahwa korporasi mampu melakukan tindak pidana dan mampu untuk dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana terorisme (Abdul Wahid, 2004 : 72). Sementara itu, ISA Malaysia diberlakukan hanya bagi setiap orang sebagai satu
individu.
ISA Malaysia tidak
mencantumkan korporasi baik badan hukum maupun non-badan hukum sebagai pelaku atau subyek tindak pidana terorisme. Beberapa pasal mengenai terorisme yang diatur dalam ISA Malaysia hanya ditujukan terhadap setiap orang. Rumusan setiap orang menurut ISA Malaysia dianggap lebih luas dan telah mencakup korporasi yang diwakili oleh pengurusnya sebagai subyek tindak pidana. Akan tetapi, kelemahan yang kemudian timbul dari tidak disertakannya korporasi sebagai pelaku kegiatan terorisme dalam ISA Malaysia adalah penjatuhan pidana apabila suatu korporasi terlibat dalam kegiatan terorisme. ISA Malaysia tidak menjatuhkan pidana terhadap korporasi yang terlibat dalam aksi teror meskipun ISA Malaysia dapat menjatuhkan pidana terhadap setiap orang dalam korporasi tersebut. Orang-orang
yang
terlibat
dalam
kerjasama
untuk
mewujudkan tindak pidana terdiri dari perbuatan yang berbeda satu dengan yang lain dan bisa juga tidak sama apa yang ada dalam
sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun peserta yang lain (Adami Chazawi, 2005 : 73). Berdasarkan rumusan Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP terdapat lima peranan pelaku tindak pidana, yaitu : orang yang melakukan (dader/pleger), orang yang menyuruh melakukan atau aktor intelektual (doenpleger/manus domina), orang yang turut melakukan (mededader), orang yang sengaja membujuk (uitlokker), dan orang yang membantu melakukan (medeplichtige) (Leden Marpaung, 2005 : 78). Dari bentuk penyertaan (deelneming) di atas, maka mereka yang dapat membuat tindak pidana dalam tindak pidana terorisme dan dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, adalah : 1. orang yang secara tunggal perbuatannya mewujudkan tindak pidana atau pembuat tunggal (dader); 2. orang yang menyuruh melakukan (doenpleger); 3. orang yang sengaja membujuk (utilokker); 4. orang yang turut melakukan (mededader); dan 5. orang yang membantu melakukan (medeplichtige). Sedangkan di Malaysia mereka yang dapat membuat tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana terorisme dapat dijatuhkan kepada : 1. orang yang melakukan (pleger); 2. orang yang bersama-sama dengan pelaku; dan 3. orang yang membantu melakukan (medeplichtige) baik sebelum, selama, maupun sesudah tindak pidana dilakukan.
3. Ketentuan Pidana Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyebutkan bahwa ketentuan pidana bagi pelaku dikecualikan atau tidak berlaku bagi pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Ketentuan pidana yang tidak diberlakukan terhadap pelaku yang
berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun adalah ketentuan pidana mati atau seumur hidup. Sementara dalam ISA Malaysia, tidak ada pengecualian ketentuan pidana meskipun tindak pidana terorisme dilakukan oleh pelaku yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Jadi ketentuan pidana mati atau seumur hidup tetap dapat diberlakukan bagi pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. Selain itu, ketentuan dalam ISA Malaysia khususnya Pasal 65 ayat (3) menyebutkan bahwa tak seorang pun wanita yang dicari dalam ketentuan tersebut selain oleh seorang wanita. Sebagai usaha dalam memberantas tindak pidana terorisme, pemerintah Indonesia dan Malaysia menerapkan sanksi maksimum dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Harapan dengan diterapkannya sanksi maksimum ini adalah membuat jera atau takut para pelaku sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk melakukan tindak pidana terorisme. Akan tetapi pidana minimum yang dijatuhkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia berbeda. Pidana minimum menurut UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 adalah pidana kurungan selama 1 (satu) tahun, sedangkan pidana minimum menurut ISA Malaysia adalah pidana penjara selama 3 (tiga) tahun. Dalam hal delik selesai, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menerapkan ketentuan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama dua puluh tahun atau paling singkat tiga tahun. Sedangkan dalam ISA Malaysia diterapkan ketentuan pidana mati. Ketentuan dalam ISA Malaysia tersebut lebih berat dibandingkan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena dalam ISA Malaysia hukuman mati sebagai satu-satunya hukuman yang dijatuhkan, dan tidak ada alternatif lain selain hukuman mati.
Ketentuan pidana yang dijatuhkan dalam hal percobaan dalam tindak pidana terorisme di Indonesia adalah sama dengan ketentuan pidana apabila perbuatan/kejahatan selesai dilakukan. Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan pidana yang dijatuhkan menurut ISA Malaysia yaitu ketentuan pidana bagi percobaan tindak pidana terorisme adalah sama dengan ketentuan pidana apabila kejahatan selesai. Sementara itu, ketentuan pidana bagi pembantuan atau permufakatan jahat menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia adalah sama dengan ketentuan pidana bagi pelaku tindak pidana terorisme (pleger) atau tindak pidana sempurna penyertaan dan pembantuan.
II. Kelemahan dan Kelebihan Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Antara Indonesia dan Malaysia Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960 Pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia dilakukan dengan kebijakan dan langkah yang tidak jauh berbeda. Pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama menganggap bahwa terorisme bukan hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat internasional. Terorisme merupakan bagian dari extra ordinary crimes yang berbeda dengan kejahatan lainnya karena kebiadaban kejahatan itu dalam era keberadaban telah mengorbankan manusia/orang-orang yang tak berdosa. Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia. Atas dasar itu, seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) termasuk Indonesia dan Malaysia wajib mendukung dan melaksanakan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang
mengutuk dan menyerukan seluruh anggota PBB untuk mengambil langkah pencegahan dan pemberantasan terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka pembangunan masyarakat di dalam suatu negara yang sedang berkembang, peraturan mempunyai peran yang sangat penting terutama sebagai pembinaan hukum. Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa hukum dapat dijadikan alat untuk mengubah dan membentuk masyarakat baru yang adil dan makmur (Mochtar Kusumaatmaja, 2002 : 36). Sehingga atas dasar tersebut, pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama mengambil
langkah pemberantasan tindak
pidana
terorisme
dengan
mengeluarkan kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Setiap negara mempunyai langkah yang menurut Michael Chertoff dalam Harvard Journal of Law and Public Policy, dilakukan melalui pendekatan peraturan yang terdapat siasat melawan terorisme berupa : mencegah para teroris dari masuknya di suatu negara, menangkap atau membunuh mereka di pangkalan induknya kapanpun memungkinkan, menghentikan mereka di sepanjang perjalanan mereka, dan membawa mereka untuk menegakkan suatu keadilan di sini atau di tempat lain di dunia (Taken together, these approaches constitute a layered strategy against terrorism: deterring terrorists from entering the country; capturing or killing them in their home base whenever possible; stopping them in the course of their travel; and bringing them to justice once found here or elsewhere in the world) (Vol. 32 No.1- ). Menghadapi kenyataan setelah terjadi serangkaian peledakan bom di Bali dan puncaknya pada tanggal 12 Oktober 2002, untuk mengantisipasi segala kemungkinan terjadinya kembali berbagai serangan terhadap jiwa, harta benda, dan instalasi-instalasi vital yang ada di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai langkah untuk memberantas tindak pidana terorisme tersebut kemudian dipertegas dengan menetapkan Perpu
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut tidak terlepas dari kelebihan dan kelemahannya sebagai suatu kebijakan dalam memberantas tindak pidana terorisme. Kelemahan dan kelebihan itu sendiri dapat menunjukkan sejauh mana efektifitas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme baik dalam usaha memberantas maupun mencegah tindak pidana terorisme. Berdasarkan pembahasan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme, kelebihan pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, sebagai berikut : 1) Ruang lingkup berlakunya undang-undang atau yurisdiksi undangundang dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain yang mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut. Ketentuan tentang yurisdiksi juga didasarkan pada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif yang diperkuat dengan ketentuan tentang kerjasama internasional sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana terorisme. 2) Adanya penegasan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bertujuan politik yang dapat menghambat proses ekstradisi. 3) Unsur-unsur tindak pidana terorisme dalam definisi tindak pidana terorisme Pasal 6 sampai Pasal 17 tidak hanya memuat mengenai delik materiil dan formil, akan tetapi diperluas dengan memuat delik penyertaan, percobaan, perencanaan dan delik pembantuan yang
diharapkan dapat secara efektif memberantas segala kegiatan terorisme. 4) Pertanggungjawaban pidana dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dapat dijatuhkan kepada setiap orang sebagai individu dan kepada korporasi. Pertanggungjawaban pidana kepada korporasi dapat dijatuhkan dengan mencabut izin dari korporasi tersebut. 5) Diterapkannya pidana mati atau pidana seumur hidup sebagai pidana maksimum terhadap pelaku tindak pidana terorisme dan adanya pengecualian terhadap pelaku yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme juga tetap mempertahankan ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus. 6) Ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan adalah sama dengan ketentuan pidana apabila perbuatan atau kejahatan selesai dilakukan. 7) Undang-undang ini merupakan ketentuan payung (umbrella act) terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme. 8) Undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana terorisme memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Meskipun terdapat kelebihan tidak menutup kemungkinan adanya kelemahan dari undang-undang. Kelemahan yang terdapat dalam UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003, yaitu : 1) Rumusan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sangat interpretatif dan elastis serta tidak jelas batasan-batasannya, karena belum melakukan tindak pidana terorisme sudah mendapat ancaman hukuman yang berat.
2) Rumusan tindak pidana terorisme dalam Pasal 7 memberikan sanksi yang terlalu berat bagi tindakan delik formil yang belum menimbulkan dampak apapun, kepada orang lain yang terlalu berlebihan. Pasal 7 juga memungkinkan aparat untuk melakukan tindakan represif. Sementara itu, ISA Malaysia yang diterapkan di Malaysia sebagai kebijakan untuk memberantas tindak pidana terorisme juga tidak terlepas dari kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari ISA Malaysia menurut pembahasan mengenai pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme, yaitu : 1) ISA Malaysia memberikan kewenangan kepada Pemerintah Malaysia untuk mencegah segala tindakan ancaman yang menyebabkan kekerasan berencana terhadap orang atau harta benda dengan melakukan penangkapan dan penahanan pencegahan (preventive detention) tehadap setiap orang yang dicurigai tanpa dibuktikan melalui proses peradilan. 2) Ketentuan pidana untuk percobaan tindak pidana sama dengan ketentuan pidana apabila kejahatan selesai dilakukan. 3) Ketentuan pidana bagi orang yang membantu terlaksananya tindak pidana terorisme, setara dengan ketentuan pidana bagi pelaku. 4) Digunakannya pidana mati atau seumur hidup sebagai pidana maksimum yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana terorisme. 5) Digunakannya asumsi yang masuk akal sebagai dasar untuk mencurigai setiap orang yang melakukan tindak pidana terorisme dalam bentuk laporan intelijen. 6) Tindak pidana terorisme yang diatur dalam ketentuan ISA Malaysia tidak dikecualikan dari tindak pidana yang bertujuan atau bermotif politik, sehingga dengan tujuan apapun tindak pidana terorisme itu maka dapat dijatuhi ketentuan pidana sebagaimana yang telah diatur.
Sedangkan kelemahan pemberantasan tindak pidana terorisme yang terdapat dalam Internal Security Act Malaysia, yaitu : 1) ISA Malaysia tidak memberikan definisi terorisme sebagai suatu aksi, melainkan memberikan definisi teroris yang dapat mempersempit unsur-unsur atau ruang lingkup tindak pidana terorisme. 2) Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai ruang lingkup atau yurisdiksi berlakunya ISA Malaysia sehingga tidak jelas terhadap siapa sajakah atau apa sajakah ISA Malaysia dapat diterapkan dan diberlakukan. 3) Tidak ada pembedaan terhadap subyek pelaku tindak pidana yang terdiri atas setiap orang sebagai individu dan korporasi, sehingga apabila korporasi terlibat tindak pidana terorisme, maka terhadap korporasi tersebut tidak dapat dijatuhi pidana baik pidana denda maupun pidana administrasi. 4) Tidak adanya kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang diberikan kepada tersangka/terdakwa maupun korban. 5) Amandemen terhadap ISA pada tahun 1988 justru menunjukkan karakter otoriter ISA karena menutup ruang bagi peninjauan kembali atas putusan yang dibuat oleh Menteri Dalam Negeri atau Yang Dipertuan Agung yang mempunyai hak diskresi menurut ISA. Ketentuan dalam Pasal 16 ISA juga memberi hak kepada pejabat untuk menutup informasi yang selanjutnya menyulitkan upaya untuk melakukan peninjauan. 6) Ketentuan ISA Malaysia tidak diterapkan berdasarkan asas retroaktif sehingga tidak dapat melakukan penuntutan terhadap tindak pidana terorisme sebelum ISA Malaysia ada. Meskipun terdapat kelemahan dalam penerapan ISA Malaysia, penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme di Malaysia dengan penggunaan preventive detention (penahanan dini tanpa dibuktikan dalam persidangan) terbukti lebih efektif dibanding dengan penerapan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Indonesia. ISA Malaysia dengan menerapkan preventive detention merupakan salah satu kelebihan karena dapat mencegah segala kegiatan terorisme di Malaysia. Sejak diberlakukanya ISA Malaysia, telah banyak orang yang ditangkap dan ditahan tanpa melalui proses peradilan terlebih dulu dengan dilanggar hak asasinya. Namun sejak pemberlakuan ISA, Malaysia hampir tak pernah terdengar mengalami segala bentuk aksi teror. ISA yang diterapkan di Malaysia lebih digunakan untuk kepentingan preventive detention, yaitu memberikan hak kepada aparat negara untuk melakukan penangkapan dan penahanan selama 60 (enam puluh) hari tanpa adanya proses pengadilan terlebih dahulu. Dalam kurun waktu penahanan tersebut, mereka yang dikenakan masa tahanan tidak memperoleh akses atas bantuan hukum dan tidak dapat berhubungan dengan keluarganya. Ketentuan tersebut dapat mengakibatkan seseorang terampas hak-hak asasinya seperti yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights, yaitu hak akan pengadilan yang adil, hak dianggap tak bersalah sampai dibuktikan oleh hukum (presumption of innocence) dan hak perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat (torture or other cruel, inhuman or degrading treatment). Internal Security Act atau yang disingkat dengan ISA Malaysia secara historis merupakan produk kolonial Inggris yang menerapkan keadaan darurat pada tahun 1948 sebagai respons terhadap kemungkinan ancaman Partai Komunis dan pasukan gerilyanya. Namun peraturan mengenai keadaan darurat itu kemudian dicabut pada tahun 1960 di mana kelompok komunis telah dikalahkan. Pada tahun yang sama Pemerintah Malaysia menerapkan ISA sebagai penggantinya yang tidak sama dengan peraturan mengenai keadaan darurat pada tahun 1948. Peraturan mengenai keadaan darurat lebih bersifat sementara untuk menghadapi situasi yang luar biasa, sedangkan ISA bersifat permanen
karena masih berlaku hingga saat ini. Sejak itu ISA dinilai telah digunakan secara politis dan selektif terhadap masyarakat sipil yang dianggap sebagai ancaman dan kurang lebih 4000 (empat ribu) orang telah ditahan sejak pemberlakuan ISA (http://www.unisosdem.org/, Surakarta, 7 Oktober 2009). Pemerintah Malaysia lebih memilih menggunakan pendekatan yang bersifat keras dan represif dalam menangani tindak pidana terorisme. Pendekatan yang keras tersebut terwujud dengan adanya preventive detention dalam ketentuan ISA Malaysia. Preventive detention dapat dikatakan merupakan metode pendekatan yang keras karena tidak adanya unsur penghormatan terhadap hak asasi manusia. Ketentuan dalam ISA Malaysia dipaksakan kepada setiap orang dari kelompok atau negara manapun tanpa memandang faktor budaya, sosial maupun usia yang melatarbelakangi orang tersebut. Penangkapan dan penahanan tanpa dibuktikan terlebih dahulu di muka persidangan merupakan tindakan yang tidak menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain itu penerapan asas praduga bersalah (presumption of guilty) tidak memberikan kesempatan seseorang untuk membela diri. Akan tetapi kelebihan dari metode pendekatan yang keras dan represif ini dapat memberikan efek penjeraan terhadap setiap orang yang berusaha merusak stabilitas keamanan Malaysia. Sementara di Indonesia, meskipun telah ada payung hukum (umbrella act) dan menggunakan pendekatan yang lunak dan dari segi budaya dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, sampai sekarang Indonesia masih menjadi target kegiatan terorisme. Terakhir aksi terorisme yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa dan merusak keamanan serta ketertiban Indonesia adalah aksi terorisme yang dilakukan dengan meledakkan bom bunuh diri di Hotel J.W. Marriott dan Hotel Ritz Carlton pada 17 Juli 2009. BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Dalam penelitian ini ada dua masalah pokok yang dikaji oleh penulis yaitu: (1)
tentang komparasi penanganan pemberantasan tindak pidana
terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960, dan (2) tentang kelemahan dan kelebihan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme antara Indonesia dan Malaysia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Internal Security Act Malaysia Tahun 1960. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Komparasi pengaturan pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia dalam hukum materiil terdapat perbedaan mengenai perbuatan pidana yaitu mengenai unsur-unsur terorisme dan teroris, serta berlakunya asas retroaktif. Dalam rumusan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan definisi tindak pidana terorisme sebagai perbuatan pidana yang memuat delik materiil dan delik formil dan ISA Malaysia menggunakan definisi teroris yang memuat delik formil saja dimana dari definisi tersebut lebih menunjuk pada pelaku. Selain itu, komparasi dalam hal pertanggungjawaban pidana di mana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 subyek tindak pidana terorisme terdiri dari setiap orang/individu dan korporasi baik berbadan hukum maupun non-badan hukum. Mereka yang dapat membuat
tindak
pidana
terorisme
dan
dapat
dibebani
pertanggungjawaban pidana menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, adalah : dader, doenplager, uitlokker, mededader, dan medeplichtige. Sedangkan mereka yang dapat melakukan tindak pidana terorisme menurut ISA Malaysia, adalah : pleger, orang yang bersama-sama dengan pelaku, dan medeplichtige. Ketentuan pidana
yang dijatuhkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 dikecualikan dari pelaku yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan sama dengan ketentuan pidana apabila delik selesai dan setara dengan pelaku.
Sedangkan
dalam
ISA
Malaysia,
ketentuan
pidana
dikecualikan dari seorang wanita dan ketentuan pidana bagi percobaan dan pembantuan adalah sama dengan ketentuan bila delik selesai dan setara dengan pelaku. 2. Terdapat kelebihan dan kelemahan dari pemberlakuan UndangUndang Nomor 15 Tahun 2003 dan ISA Malaysia dalam usaha pemberantasan tindak pidana terorisme. Kelebihan dan kelemahan ini dapat menjadi tolok ukur sejauhmana efektifitas penerapan peraturan perundang-undangan sebagai langkah untuk memberantas tindak pidana terorisme.
B. Saran 1. Terorisme merupakan kejahatan luar biasa yang mengancam keselamatan manusia sehingga dalam rangka mencegah dan menanggulangi tindak pidana terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antar aparat baik TNI maupun Kepolisian serta melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai tingkat RT hingga RW. 2. Mengoptimalkan peran serta intelijen dalam mendeteksi sedini mungkin akan kemungkinan adanya kegiatan mencurigakan yang berkaitan dengan kegiatan terorisme. 3. Perlunya perbaikan ataupun penyempurnaan perangkat hukum dan peraturan perundang-undangan dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme tanpa menghilangkan penghormatan atas hak asasi manusia demi melindungi kepentingan masyarakat dan hak asasi manusia. 4. Meskipun ISA Malaysia dengan preventive detention-nya terbukti lebih efektif dalam mencegah tindak pidana terorisme, namun Pemerintah
Indonesia sebaiknya tidak perlu membuat peraturan perundang-undangan semacam ISA Malaysia karena tidak dapat diterapkan pada kondisi masyarakat di Indonesia. 5. Pemerintah perlu meningkatkan kerjasama internasional baik dalam hal intelijen, Kepolisian maupun kerjasama teknis lainnya dalam usaha mencegah dan memberantas tindak pidana terorisme. 6. Pemerintah perlu melakukan perbandingan terhadap pengaturan dan penanganan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan negara-negara lain di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid. 2004. Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM, dan Hukum.Bandung : Refika Aditama. Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta : Raja Grafindo Persada. . 2005. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 3. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Adjie S. 2005. Terorisme. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Barda Nawawi Arief. 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Bayu Dwiwiddy Jatmiko. 2005. “Dinamika Perkembangan Pengaturan Kejahatan Keamanan Negara di Indonesia”. Legality Jurnal Ilmiah Hukum. Vol. 13 No. 1. Malang : Legality. Bintatar Sinaga. 2002. “Kejahatan Terorisme, Sebab, Modus Operandi, Konvensi
Internasional, dan Upaya Penanggulangan”. Pusat Kajian Hukum dan Keadilan.Vol. 2 No.2. Edy Prasetyono. Internal Security Act (ISA): Berkaca dari Pengalaman Malaysia. http://www.propatria.or.id/ [7 Oktober 2009 pukul 17.00]. Harian Seputar Indonesia. Selasa, 30 Mei 2006. Aspek Pembiayaan Dari Tindak Pidana. Internal Security Act Malaysia Tahun 1960. I Wayan Parthiana. 2006. Hukum Pidana Internasional. Bandung : Yrama Widya. Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi. Malang : Bayumedia. Leden Marpaung. 2005. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. Lukman Hakim. 2004. Terorisme di Indonesia. Surakarta : Forum Studi Islam Surakarta (FSIS). Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Bandung : Alumni. Mohamad Mova Al Afghani. 2002. “Kampanye Melawan Terorisme Telah Merusak Tatanan Hukum”. Vol.1 No. 9 November 2002. Michael B. Mukasey. 2008. “National Security and The Rule of Law”. Harvard Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No. 3. Michael Chertoff. 2008. “Tools Against Terror: All of The Above”. Harvard Journal of Law and Public Policy. Vol. 32, No.1. Natangsa Surbakti. 2001. “Kebijakan Kriminal Terhadap Perbuatan Teror dan Terorisme”. Jurnal Penelitian Hukum .Vol. 2 No. 1-Juni 2001. OC Kaligis & Associates. 2003. Terorisme. Tragedi Umat Manusia. Jakarta : OC
Kaligis & Associates. P.A.F. Lamintang. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana. Ridarson Galingging. 2009. “Problems and Progress in Defining Terrorism in International Law”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 21, No. 3 Oktober 2009. Romli Atmasasmita. 1996. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : Mandar Maju. Simorangkir, dkk. 2006. Kamus Hukum. Jakarta : Sinar Grafika. Soeharto. 2007. Perlindungan Hak Tersangka, Terdakwa dan Korban Tindak Pidana Terorisme dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : Refika Aditama. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI-Press. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention For The Suppression of Terrorist Bombings 1997. http://www.indonesia.go.id/id/ -[4 Oktober 2009 pukul 19.10]. http://www.tempointeraktif.com/ [4 Oktober 2009 pukul 17.15]. http://tempointeraktif.com// [Surakarta, 7 Oktober 2009].
http://pemantauperadilan.com [Surakarta, 7 Oktober 2009]. http://www.unisosderm.org/ [Surakarta, 7 Oktober 2009]. http://en.wikipedia.org/wiki/Internal_Security_Act_(Malaysia) [7 Oktober 2009 pukul 19.05]. http://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme[7 Oktober 2009 pukul 19.00]. http://www.detik.com [Surakarta, 11 Februari 2010]. http://buletinlitbang.dephan.go.id [Surakarta, 12 Maret 2010].