Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004: 1-14
Infeksi HIV pada Bayi dan Anak Arwin AP Akib
P
eningkatan taraf kesehatan anak di negara berkembang telah banyak berhasil dilakukan melalui program imunisasi serta rehidrasi oral yang telah menurunkan angka kematian bayi dan anak; tetapi kehadiran infeksi HIV yang berkembang dengan cepat terutama di negara berkembang sangat mengancam keberhasilan tersebut. Ancaman berupa peningkatan angka kematian anak, jumlah yatim piatu, serta penurunan sumber daya manusia dan perburukan kondisi sosial ekonomi keluarga yang menyertainya akan merusak keberhasilan tadi. Sebagai contoh, angka kematian bayi dan anak berusia kurang dari 15 tahun yang berhubungan dengan infeksi HIV/AIDS pada akhir tahun 2003 oleh UNAIDS diperkirakan mencapai 500.000 orang (420.000-580.000), yang sebagian besar terjadi di negara berkembang. Pada awal tahun 1900an diperkirakan bahwa infeksi HIV akan menjadi masalah serius di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, dan pada saat ini masalah tersebut menjadi kenyataan dengan banyaknya penderita infeksi HIV terutama di Thailand dan India. Walaupun jumlah penderita infeksi HIV/AIDS (Odha) pada akhir tahun 2003 di Afrika Sub Sahara masih tetap yang tertinggi (25-28,2 juta) tetapi Asia Selatan dan Tenggara secara tetap menduduki tempat berikutnya (4,6-8,2 juta). Sampai saat ini kecenderungan peningkatan Odha di negara berkembang masih terus berlangsung. Mengingat sebagian besar Odha berada dalam kelompok usia subur maka diperkirakan bahwa jumlah wanita hamil dengan HIV (+) akan meningkat pula dengan konsekuensi terjadi peningkatan jumlah bayi berisiko terinfeksi HIV.
Alamat Korespondensi: Dr. Arwin AP Akib, Sp.A(K). Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Subbagian AlergiImunologi. Jl. Salemba 6, Jakarta 10430. Telepon. 021-316 1144. Fax. 3913982.
Epidemiologi Kasus AIDS anak dilaporkan pertama kali pada Centers for Disease Control di Amerika pada tahun 1982. Akhir tahun 1990 CDC menerima laporan 2786 penderita AIDS anak usia kurang dari 13 tahun, dan pada Februari 1992 meningkat menjadi 3598 orang anak. Pada Desember 2003 UNAIDS memperkirakan di seluruh dunia terdapat 50 juta Odha, di antaranya 2,5 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Terdapat sekitar 700.000 infeksi HIV baru dan 500.000 kematian yang berhubungan dengan AIDS pada kelompok anak usia kurang dari 15 tahun selama tahun 2003. Sebagian besar (91%) anak tesebut tertular dari ibunya. Untuk daerah Asia Selatan dan Tenggara UNAIDS memperkirakan pada akhir 2003 terdapat 4,6-8,2 Odha dengan infeksi baru antara 610.000-1,1 juta orang, yang sebagian besar terdapat di India dan Thailand. Di Asia Tenggara kasus AIDS anak dilaporkan pertama kali oleh Thailand pada tahun 1988. Kelompok Kerja AIDS Thailand memperkirakan terdapat 1 juta orang terinfeksi HIV pada tahun 2000, dan disana telah tercatat 289.000 kematian yang berhubungan dengan infeksi HIV. Pada saat ini terdapat kurang lebih 15.000 kelahiran dari ibu HIV (+) di Thailand. Di Indonesia, UNAIDS memperkirakan terdapat 650 orang anak usia kurang dari 15 tahun dengan infeksi HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1999 dan 1300 orang anak pada 2001. tetapi laporan Depkes RI mencatat bahwa secara kumulatif sampai dengan 31 Maret 2004 hanya terdapat 25 orang anak dengan AIDS berusia kurang dari 15 tahun di Indonesia, terdiri dari 4 orang anak berusia kurang dari 4 tahun, 17 orang berusia antara 1-4 tahun, dan 4 orang berusia antara 5-14 tahun. Dalam laporan tersebut tercatat pula bahwa secara kumulatif sampai dengan 31 Maret 2004 terdapat 4159 penderita infeksi HIV/AIDS di Indonesia, dan 493 orang di antaranya meninggal dengan AIDS. Dari kepustakaan dapat diketahui laporan kasus seorang bayi yang terinfeksi dari ibu HIV
1
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
(+) pada tahun 1996 di Jakarta, dan lama setelah itu baru terdapat lagi laporan 4 orang bayi dari Bali (19872002) dan 24 orang bayi di Jakarta (2002-2004) pada awal tahun 2004 yang lahir dari ibu HIV (+). Kurang lebih separuh dari infeksi HIV baru di Amerika terdapat pada pasien usia 13-24 tahun dan sebagian besar di antaranya terjadi melalui hubungan seksual. Sejauh ini belum ada laporan penderita infeksi HIV pada anak remaja Indonesia. Menilik faktor risikonya maka hampir semua kasus infeksi HIV baru di tiga kota besar di Indonesia saat ini terjadi melalui pemakaian narkoba melalui suntikan (IDU=injection drug use) yang pada dekade lalu belum dikenal. Pada akhir 2003 UNAIDS melaporkan bahwa 90% IDUs di Malaysia, Myanmar, Nepal, Thailand, dan Manipur (India) telah terinfeksi HIV. Maka, sangat mungkin sudah ada anak remaja penyandang infeksi HIV di Indonesia seiring dengan makin meningkatnya IDUs di kalangan remaja.
Diagnosis Salah satu masalah terpenting untuk infeksi HIV pada bayi dan anak adalah petunjuk untuk diagnosis infeksi HIV, terutama pada bayi yang lahir dari ibu HIV (+). Pada dasarnya upaya untuk menentukan adanya HIV adalah sama dengan menentukan diagnosis penyakit infeksi pada umumnya, yaitu dari gejala klinis, menentukan respons imun spesifik terhadap HIV, dan mendeteksi virus atau partikel virus HIV. Tetapi gejala klinis infeksi HIV tidak spesifik dan menyerupai gejala umum infeksi virus lainnya. Bila infeksi telah berlanjut dan terjadi defisiensi imun berat maka yang terlihat hanya gejala penyakit infeksi sekunder sesuai dengan mikroba penyebabnya, tidak ada yang spesifik untuk HIV. Dengan demikian maka diagnosis infeksi HIV sangat ditentukan oleh pembuktian adanya respons imun spesifik terhadap HIV dan deteksi virus atau partikel HIV dalam tubuh pasien. Penemuan antibodi spesifik yang dapat menentukan bahwa seseorang pernah terpajan pada mikroba tertentu dapat dipakai untuk diagnosis infeksi HIV pada anak dan dewasa, tetapi tidak pada bayi karena masih terdapat antibodi anti HIV pasif dari ibu yang dapat menetap sampai usia 18 bulan. Karena itu pembuktian virus HIV dalam tubuh merupakan syarat mutlak untuk menentukan apakah seorang bayi dan anak berusia kurang dari 18 bulan terinfeksi HIV atau tidak. Pembuktian dini 2
sangat penting karena masa depan anak akan sangat dipengaruhi oleh ketepatan waktu pengobatan profilaksis maupun pengobatan infeksi HIV. Ciri utama infeksi HIV adalah penurunan fungsi sistem imun yang hebat sehingga terjadi berbagai infeksi oportunis dan penyakit keganasan serta gangguan fungsi berbagai organ tubuh secara langsung maupun tidak langsung. Pada tahun 1987, yang kemudian direvisi tahun 1994, CDC telah membuat klasifikasi infeksi HIV untuk bayi dan anak berdasarkan gejala klinis dan derajat berat defisiensi imun yang terjadi (Tabel 1dan 2). Dalam revisi tersebut dimasukkan hitung CD4 sebagai petanda imunosupresi karena parameter ini secara konsisten berhubungan dengan defisiensi imun dan perkembangan penyakit infeksi HIV serta memberi informasi yang diperlukan bagi penanganan medis. Petanda ini jauh lebih bermakna untuk evaluasi perkembangan penyakit dibandingkan dengan petanda lain seperti neopterin serum, b2-mikroglobulin, antigen p24HIV, reseptor Il-2 solubel, IgA antiHIV, atau respons imun tipe lambat. Selain itu pada anak hitung CD4 dapat menentukan prognosis anak yang lahir dari ibu HIV (+) yang tidak terinfeksi atau prognosis pada anak yang mendapat terapi anti retrovirus. Penyakit yang dipakai sebagai indikator untuk HIV ditambah lagi dengan tuberkulosis paru, pneumonia rekuren, dan karsinoma serviks invasif. Kasus tuberkulosis anak tercatat meningkat di daerah AIDS yang mungkin terjadi karena peningkatan penularan dari pasien AIDS dewasa pada anak biasa, atau infeksi tuberkulosis pada anak yang menderita AIDS yang memang rentan terhadap perkembangan tuberkulosis Kriteria dan batasan AIDS untuk anak oleh CDC memang sangat bagus, tetapi aplikasinya di negara berkembang mendapat hambatan besar karena berbagai penyakit infeksi serta kurang gizi yang merupakan indikator infeksi HIV secara alamiah memang sering ditemukan. Kesulitan lain adalah keterbatasan fasilitas dan biaya untuk deteksi virus HIV pada bayi yang justru merupakan prioritas penatalaksanaan infeksi HIV pada anak. Pemeriksaan baku deteksi virus mempergunakan biakan HIV, PCR DNA, maupun assays RNA sangat terbatas dan mahal. Dalam keadaan seperti itu maka pemeriksaan serologi anti HIV negatif dua kali berturut-turut dengan selang 1 bulan pada bayi berusia lebih dari 6 bulan dengan klinis baik dapat dianggap sebagai tidak terinfeksi HIV.
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Tabel 1. Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori klinis CDC (revisi 1994) 1. Kategori N (tanpa gejala) Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya satu gejala kategori A 2. Kategori A (gejala klinis ringan) Terdapat dua atau lebih gejala berikut tanpa gejala kategori B dan C • Limfadenopati (>0,5 cm lebih dari satu tempat, bilateral dianggap 1 tempat) • Hepatomegali • Splenomegali • Dermatitis • Parotitis • Infeksi saluran napas atas, sinusitis, atau otitis media berulang atau menetap 3. Kategori B (gejala klinis sedang) Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C • Anemia (<8 g/dL), neutropenia (<1000/µl), atau trombositopenia (<100.000//µl) menetap >30 hari • Meningitis bakterial, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal) • Kandidiasis orofarings menetap >2 bulan pada anak usia >6 bulan • Kardiomiopati • Infeksi sitomegalovirus dengan onset <usia 1 bulan • Diare berulang atau kronik • Hepatitis • Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>2 episode dalam setahun) • Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan onset usia <1 tahun • Herpes zoster pada paling sedikit dua episode berbeda atau >1 dermatom • Leiomiosarkoma • Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid paru • Nefropati • Nokardiosis • Demam lebih dari 1 bulan • Toksoplasmosis dengan onset usia <1 bulan • Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi) 4. Kategori C (gejala klinis berat) Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B. • Dua episode infeksi bakteri serius • Ensefalopati (mikrosefali didapat, keterlambatan kognitif, kelainan neurologi • Wasting syndrome (gagal tumbuh berat, penurunan berat badan kurang dari 2 persentil • Infeksi oportunistik (PCP, CMV, toksoplasmosis, infeksi jamur diseminata) • Infeksi mikobakterium diseminata • Kanker (sarkoma Kaposi, limfoma)
Tabel 2. Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak: kategori status imunosupresi berdasarkan jumlah dan persentase sel T CD4 menurut usia (revisi 1994) < 12 bulan No/mm3 %
Usia / CD4 1-5 tahun No/mm3 %
6-12 tahun No/mm3 %
> 1500 750-1499 < 750
> 1000 500-999 < 500
> 500 200-499 < 200
Status imun
Kategori 1. Tidak ada supresi Kategori 2. Supresi sedang Kategori 3. Supresi berat
> 25 15-24 < 15
> 25 15-24 < 15
> 25 15-24 < 15
3
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Pengobatan Perhatian utama untuk pengobatan infeksi HIV pada anak saat ini terutama ditujukan untuk pengobatan profilaksis sejak bayi dalam kandungan. Berbagai protokol pengobatan ibu HIV (+) pada saat hamil dan persalinan telah berhasil menekan transmisi maternofetal dari 15-50% menjadi sekitar 2% yang sangat mengurangi beban baik secara medis maupun secara ekonomis dan emosional. Selain itu pengobatan profilaksis pada bayi yang lahir dari ibu HIV (+) memperlihatkan pula kemajuan berarti merupakan pula upaya pencegahan penyakit AIDS yang selama ini biasanya dalam masa singkat berakhir fatal. Bayi yang terbukti terinfeksi HIV, dengan atau tanpa kelainan klinis, saat ini telah tersedia berbagai obat anti retrovirus yang cukup efektif untuk menurunkan jumlah virus (viral load) sampai sehingga dapat memperbaiki keadaan umum dan kualitas hidup bayi dan anak tersebut. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jakarta telah membuat petunjuk pelaksanaan untuk tata laksana bayi yang lahir dari ibu HIV (+) (Lampiran 1-3), walaupun pada kenyataannya sebagian besar petunjuk tersebut tidak dapat dilaksanakan di lapangan. Kesulitan terbesar adalah pada tahap diagnosis yang disebabkan oleh ketidaksiapan dan kekurangtahuan dokter terhadap kemungkinan infeksi HIV pada pasiennya. Selain itu sikap dokter dan rumah sakit yang masih menampik perawatan penderita AIDS sangat mempengaruhi kualitas perawatan dan pengobatan tersangka infeksi HIV. Sehubungan dengan itu maka beberapa negara telah mengharuskan setiap ibu hamil diperiksa status infeksi HIVnya agar dapat dilakukan pencegahan dan pengobatan dini pada ibu dan bayi. Keengganan dokter dan rumah sakit serta perlakuan salah oleh oleh masyarakat menyebabkan ibu HIV(+) dan bayinya tidak memperoleh pelayanan medis yang seharusnya, bahkan mereka mendapat kesulitan yang sangat tidak masuk
akal. Bayi seperti ditolak untuk mendapat pelayanan imunisasi, tindik kuping, pengobatan rawat jalan dan rawat inap, dan bahkan kebanyakan apotik menolak dengan berbagai alasan untuk membuatkan sediaan puyer bagi obat anti retrovirus yang dibawa pasien. Dengan kondisi demikian maka ibu lebih suka menutupi riwayat penyakit yang sebenarnya agar anak memperoleh pelayanan kesehatan memadai. Tidak terelakkan lagi akhirnya bayi dan anak dengan infeksi HIV ini kemudian dirawat di suatu rumah sakit tanpa dokter dan perawat mengetahui kondisi pasiennya dengan baik. Beberapa orang bayi AIDS pernah dirawat di lebih dari dua rumah sakit ternama di Jakarta yang diperkirakan akan menolak pasien tersebut bila mengetahuinya sebagai pengidap AIDS. Jauh sebelum masalah ini menjadi persoalan WHO telah menetapkan perawatan dengan kewaspadaan universal (universal precaution) harus menjadi baku pelayanan semua rumah sakit karena sesungguhnya tidak akan dapat diperkirakan apakah pasien kita menderita infeksi HIV atau tidak. Jadi lebih baik memperlakukan semua pasien seakan menderita infeksi HIV dari pada hanya pasien AIDS yang dirawat secara khusus. Kewaspadaan yang sama harus berlaku pula bagi sampel darah serta berbagai tindakan perawatan yang harus dilakukan, baik untuk prosedur diagnosis maupun pengobatan. Kewaspadaan universal memang harus diketahui dan diamalkan oleh setiap insan kesehatan untuk menjaga diri dan lingkungannya dari ancaman semua penyakit menular. Pengobatan profilaksis untuk bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dengan zidovudin selama 6 minggu merupakan baku anti retrovirus, dan dapat ditambah dengan nevirapin bila ibu belum mendapat anti retrovirus sewaktu hamil atau hanya mendapat anti retrovirus selama persalinan saja. Bila bayi terbukti terinfeksi HIV maka pertimbangan pengobatan tergantung dari risiko progresivitas menurut derajat defisiensi imun yang terjadi atau sesuai dengan kondisi klinis bayi (Tabel 3 dan 4). Pengobatan infeksi HIV
Tabel 3. Indikasi pengobatan anti retrovirus untuk infeksi HIV pada bayi usia < 12 bulan Kategori klinis
4
Sel CD4 %
Kopi RNA HIV
Rekomendasi
Simptomatik (kategori klinis A, B, C)
< 25% (kategori imun 2 atau 3)
Semua nilai
Terapi
atau
Asimptomatik (kategori klinis N)
> 25% (kategori imun 1)
Semua nilai
dan
Pertimbangkan terapi
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Tabel 4. Indikasi pengobatan anti retrovirus untuk infeksi HIV pada anak usia > 1 tahun Kategori klinis AIDS (kategori klinis C)
sel CD4 %
Kopi RNA HIV/ml
Rekomendasi
< 15% (kategori imun 3)
Semua nilai
Terapi
Simptom ringan-sedang (kategori klinis A atau B) atau
15-25% (kategori imun 2) atau
> 100.000 kopi
Pertimbangkan terapi
Asimptomatik (kategori klinis N)
> 25% dan (kategori imun 1)
< 100.000 kopi
Monitor ketat klinis, imun, parameter virus
atau
dan
Tabel 5. Rekomendasi anti retrovirus inisial untuk infeksi HIV pada anak (2004) 1. Regimen berbasis inhibitor protease Sangat dianjurkan: dua NRTI + lopinavir atau nelvinafir atau ritonavir Rekomendasi alternatif: dua NRTI + amprenavir (anak usia > 4 tahun) atau indinavir 2. Regimen berbasis inhibitor reverse transkriptase non-nukleosida Sangat dianjurkan: Anak > 3 tahun: dua NRTI + efavirenz (dengan/tanpa nelvinafir) Anak < 3 tahun atau belum dapat menelan kapsul: dua NRTI + nevirapin Rekomendasi alternatif: dua NRTI + nevirapin (anak usia > 3 tahun) 3. Regimen berbasis analog nukleosida Sangat dianjurkan: tidak ada Rekomendasi alternatif: zidovudin + lamivudin + abacavir Untuk keadaan khusus: dua NRTI 4. Regimen yang tidak mendapat rekomendasi Monoterapi Kombinasi dua NRTI tertentu Dua NRTI + saquinavir 5. Data masih kurang untuk diberikan rekomendasi Dua NRTI + delavirdin Dua inhibitor protease NRTI + NNRTI + protease inhibitor Regimen yang mengandung tenofovir Regimen yang mengandung enfuvirtide T-20) Regimen yang mengandung emtricitabine (FTC) Regimen yang mengandung atazanavir
Tabel 6. Rekomendasi anti retrovirus inisial pada anak (2002) 1. 2. 3.
Satu inhibitor protease sangat aktif nelfinavir (NFV, Viracept®), atau ritonavir (RTV, Norvir®) + 2 NRTI NNRTI efevirenz (EFV, SustivaTM) + dua NRTI Rekomendasi dua NRTI a. AZT (zidovudin, Retrovir®) + ddI (didanosin, dideoksiinosin, Videx®) b. AZT + 3 TC (lamivudin, Epivir®) c. D4T (stavudin, Zerit®) + ddI
5
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
harus mempergunakan paling sedikit 2 jenis anti retrovirus untuk memperoleh efektivitas yang tinggi serta mengurangi resistensi obat yang mungkin terjadi (Tabel 5) Mengingat obat yang mendapat rekomendasi tersebut masih sulit diperoleh di Indonesia maka untuk saat ini agaknya kita masih dapat memakai rekomendasi tahun 2002 yang lalu seperti tertera pada Tabel 6.
2.
3.
4. 5.
Ringkasan dan Kesimpulan Di daerah dengan prevalensi AIDS rendah seperti di Indonesia diagnosis lebih lambat karena dokter masih kurang peka terhadap gejala ringan atau tidak spesifik. Dalam setiap pembahasan masalah AIDS para pembicara umumnya berpendapat bahwa laporan Depkes RI tentang penderita infeksi HIV/AIDS (Odha) agaknya belum menunjukkan angka kejadian yang sesungguhnya. Walaupun kita percaya bahwa nilai moral serta sikap religius sebagian besar penduduk Indonesia masih tetap tinggi dan dapat diandalkan untuk membendung merebaknya infeksi HIV, tetap saja harus diingat bahwa arus globalisasi yang sedang melanda dunia membawa pula dampak negatif terhadap nilai kehidupan serta sikap moral sebagian warga kita. Dengan belajar dari pengalaman di Thailand dan India kita dapat memperkirakan bahwa masalah infeksi HIV/AIDS pada anak di Indonesia sudah harus mendapat porsi yang layak untuk diperhatikan dengan serius seiring dengan meningkatnya penderita infeksi HIV dan bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dalam tahun terakhir ini. Karena itu kesiagaan dokter spesialis anak perlu dijaga dan ditingkatkan untuk menghadapi kemungkinan terburuk yang dapat menimpa populasi anak Indonesia.
6.
7.
8.
9. 10.
11.
12. 13.
14.
15.
Daftar Pustaka 1.
6
Matondang CS, Akib A, Siregar SP, Abdulsalam M, Latu J, Oesman F, dkk. Human immunodeficiency virus seroprevalence in child receiving multiple transfusions or blood product in the Departement of Child Health Faculty of Medicine University of Indonesia/Dr.
16.
17.
Ciptomangunkusumo General Hospital, Jakarta. Pediatr Indones 1988;28:223-30. Akib A. Infeksi Human immunodeficiency virus pada anak. Diajukan pada KONIKA IX Semarang, 13-17 Juni 1993. Matondang CS, Wisnuwardhani SD, Suradi R, Satari HI, Graham RR, Siregar SP, dkk. A case of HIV (Human immunodeficiency virus) infected child born to HIV positive mother. Pediatr Indones 1996;36:216-20. Samduridjal. Kewaspadaan universal. Jakarta; IDI 1997. Ministry of Public Health Thailand. National guidelines for the clinical management of HIV infection in children and adults. Edisi ke-6. Nonthabury; Ministry of Public Health 2000. Infectious Diseases and Immuninization Committee, Canadian Pediatric Society. Care of the infant born to an HIV-positive mother. Pediatrics Child Health 2000;5:161-4. World Health Organization. Guidelines on Standard Operating Procedures for laboratory diagnosis of HIVopportunistic infections. New Delh; WHO 2001. Kozinetz CA, Matusa R, Cazacu A. The burden of pediatric HIV/AIDS in Constanta, Romania: a cross sectional study. BMC Infect Dis 2001;1:7-12. Diperoleh dari http://www.biomedcentral.com. Chinen J, Shearer WT. Molecular virology of HIV infection. J Allergy Clin Immunol 2002;110:189-197. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar. Edisi ke-2. Jakarta; FKUI 2003. Peters V, Liu KL, Dominguez K, Frederick T, Melville S, Hsu HW, dkk. Missed opportunity for perinatal HIV prevention among HIV-exposed infants born 19962000, pediatric spectrum of HIV disease cohort. Pediatrics 2003;111:1186-91. UNAIDS/WHO. AIDS epidemic update. December 2003. Diperoleh dari http://www.unaids.org. The Working Group on antiretroviral and medical management of HIV-infected children, The National Resources and Services Administration, and The National Institute of Health. Guidelines for the use of antiretroviral agents in pediatric HIV infection. January 20, 2004. Diperoleh dari http://www.aidsinfo.org. Limantara VL, Arhana BNP, Hamid S A. Pencegahan transmisi HIV dari ibu ke anak. Maj Kedokt Indon 2004;54:90-7. Akib A. Infeksi HIV pada anak. Disampaikan pada KPPIK FKUI, 7 Maret 2004. John-Stewart G, Mbori-Ngacha D, Ekpini R, Janoff EN, Nkengasong J, Read JS, dkk. Breast-feeding and transmission of HIV-1. J Acquir Immune Defic Syndr 2004;35:196-202. Ditjen PPM & PLP Depkes RI . Laporan triwulan pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS sd. 31 Maret 2004.
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Lampiran-1 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI/RSCM, Jakarta Petunjuk Pelaksanaan Penatalaksanaan Bayi HIV (+)/AIDS (BIHA) A. Batasan 1. BIHA adalah bayi ibu HIV(+)/AIDS, yaitu semua pasien bayi yang lahir dari ibu HIV(+)/AIDS 2. Terminologi BIHA dipakai sebagi tanda pengenal dan kode bagi semua petugas administrasi, medis, paramedis, pekarya, dan petugas pembersih yang dituliskan di atas stiker berwarna merah pada dokumen rekam medis, sediaan laboratorium, tempat obat, tempat peralatan pengobatan (set infus, alat suntik, respirator), peralatan makan, peralatan linen, dan berkas rujukan penderita (untuk diketahui pihak yang dirujuk), serta semua perlengkapan pasien yang dianggap perlu untuk diberi label tersebut 3. Tim BIHA IKA adalah kelompok staf inti yang ditunjuk oleh Ketua Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM untuk merancang dan membuat petunjuk penatalaksanaan bayi yang lahir dari ibu HIV(+)/ AIDS, serta menentukan penatalaksanaan dan pengobatan BIHA. B. Tujuan 1. Memberikan pelayanan optimal bagi setiap bayi yang lahir dari ibu HIV(+)/AIDS di RSCM dengan tetap melindungi petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan tersebut 2. Memberikan panduan bagi petugas kesehatan yang terlibat dalam pelayanan BIHA C. Pelayanan BIHA 1. Pelayanan ditujukan terhadap pasien, orang tua dan keluarga, serta petugas pelayanan kesehatan 2. Pelayanan BIHA meliputi pelayanan fisis, administrasi, konsultasi keluarga, laboratorium, dan perawatan (rawat inap dan rawat jalan) 3. Pelayanan dilakukan dengan melibatkan sarana dan prasarana, lingkungan, serta faktor sosial-budaya setempat 4. Pasien mendapat pelayanan yang sesuai dengan baku pelayanan secara umum dengan tetap menjaga kerahasiaan penyakitnya 5. Orang tua dan keluarga pasien mendapat pelayanan konsultasi dan penjelasan tentang berbagai aspek dan konsekuensi infeksi HIV/AIDS serta cara menghadapinya 6. Petugas kesehatan mendapat informasi tentang penyakit dan kondisi pasien, serta merawatnya dengan melaksanakan Kewaspadaan Universal D. Pintu masuk pasien 1. Kamar Bersalin Bagian Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSCM 2. Instalasi Gawat Darurat RSCM 3. Poliklinik Bagian IKA RSCM F. Petunjuk teknis penatalaksanaan BIHA I) Protokol penataksanaan 1. Hari 1 a. Tidak diberi ASI b. Pengobatan profilaksis i) Bila ibu mendapat pengobatan anti retrovirus (ARV) pada waktu hamil dan intrapartum, berikan zidovudin (AZT) profilaksis untuk bayi mulai usia 12 jam selama 6 minggu
7
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8
ii) Bila ibu hanya mendapat ARV intrapartum atau tidak mendapat ARV, selain AZT untuk bayi diberi juga nevirapin dosis tunggal dalam masa usia 12 jam pertama c. Lapor pada tim BIHA IKA Sebelum pulang a. Laboratorium darah tepi lengkap (Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis),hitung limfosit T, serologi antiHIV, dan PCR DNA/RNA HIV pertama (kirim ke Pokdisus AIDS FKUI) b. Imunisasi rutin, kecuali bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin hidup c. Yang dimaksud vaksin hidup pada program imunisasi adalah BCG, OPV, campak, dan MMR Usia 1 bulan a. Laboratorium darah tepi lengkap, hitung limfosit T, PCR RNA HIV kedua b. Diagnosis infeksi HIV ditegakkan bila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV dua kali berturutturut positif dalam jarak 1 bulan c. Bila diagnosis infeksi HIV (+) pertimbangkan pengobatan ARV (lihat butir tentang pengobatan anti retrovirus) d. Bila salah satu PCR DNA/RNA HIV (+) lakukan uji PCR DNA/RNA HIV ketiga satu bulan kemudian untuk konfirmasi e. Imunisasi rutin, kecuali bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin hidup Usia 2-3 bulan a. Pemeriksaan PCR DNA/RNAHIV ketiga b. Pengobatan pencegahan pneumonia Pneumocystis carinii dengan trimetoprim-sulfametoksazol (TMP/SMX) mulai usia 5-6 minggu c. Bila pemeriksaan PCR DNA/RNA HIV dua kali negatif berarti anak tidak terinfeksi HIV, TMP/SMX dihentikan. Lakukan pemeriksaan serologi antiHIV usia 18 bulan untuk konfirmasi negatif d. Bila diagnosis infeksi HIV (+) pertimbangkan pengobatan ARV (lihat butir tentang pengobatan anti retrovirus) e. Imunisasi rutin, kecuali bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin hidup Usia 4 bulan a. Infeksi HIV (-): imunisasi rutin b. Infeksi HIV (+): pengobatan ARV, imunisasi rutin kecuali bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin hidup Usia 6 bulan Infeksi HIV (-) a. Pemeriksaan fisis umum dan tumbuh-kembang anak b. Imunisasi rutin Infeksi HIV (+) a. Pemeriksaan fisis umum dan tumbuh-kembang anak b. Imunisasi rutin kecuali bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin hidup c. Pengobatan ARV Usia 18 bulan Infeksi HIV (-) a. Pemeriksaan fisis umum dan tumbuh-kembang anak sekali setahun b. Imunisasi rutin
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
c. Serologi antiHIV untuk konfirmasi negatif Infeksi HIV (+) a. Pemeriksaan fisis umum dan tumbuh-kembang anak b. Imunisasi rutin kecuali bila terdapat tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberikan vaksin hidup II) Petunjuk teknis perawatan (baku kewaspadaan universal) III) Petunjuk teknis pemeriksaan laboratorium (baku kewaspadaan universal) IV) Klasifikasi infeksi HIV pada anak V) Pengobatan anti retrovirus untuk infeksi HIV pada anak VI) Rekomendasi anti retrovirus untuk terapi inisial infeksi HIV pada anak 1. Regimen berbasis inhibitor protease Sangat dianjurkan: Dua NRTI + Lopinavir atau Nelvinafir atau Ritonavir Rekomendasi alternatif: Dua NRTI + Amprenavir (anak usia > 4 tahun) atau Indinavir 2. Regimen berbasis inhibitor reverse transkriptase non-nukleosida Sangat dianjurkan: Anak > 3 tahun: Dua NRTI + Efavirenz (dengan/tanpa Nelvinafir) Anak < 3 tahun atau belum dapat menelan kapsul: Dua NRTI + Nevirapin Rekomendasi alternatif: Dua NRTI + Nevirapin (anak usia > 3 tahun) 3. Regimen berbasis analog nukleosida Sangat dianjurkan: tidak ada Rekomendasi alternatif: Zidovudin + lamivudin + abacavir Untuk keadaan khusus: Dua NRTI 4. Regimen yang tidak mendapat rekomendasi Monoterapi Kombinasi dua NRTI tertentu Dua NRTI + Saquinavir 5. Data masih kurang untuk diberikan rekomendasi Dua NRTI + Delavirdin Dua inhibitor protease NRTI + NNRTI + Protease inhibitor Regimen yang mengandung Tenofovir Regimen yang mengandung Enfuvirtide T-20) Regimen yang mengandung Emtricitabine (FTC) Regimen yang mengandung Atazanavir VII) Protokol pengobatan 1. Anti retrovirus a. AZT Neonatus kurang bulan 1,5 mg/kgBB tiap 12 jam sampai usia 2 minggu, kemudian 2 mg/kgBB tiap 8 jam Neonatus cukup bulan (sampai bayi usia 90 hari) Oral: 2 mg/kgBB tiap 6 jam (oral) IV: 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam Pediatrik (rentang dosis 90 mg-180mg/m2 LPB tiap 6-8 jam)) Oral: 160 mg/m2 LPB tiap 8 jam IV (infus intermiten): 120 mg/m2 LPB tiap 6 jam IV (infus rumatan): 20 mg/m2 LPB/jam 9
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Adolesen 3x200 mg/hari, atau 2x300 mg/hari b.
3TC
c.
Nelfinavir
d.
Nevirapin
Neonatus (bayi < 30 hari) 2 mg/kgBB, 2x sehari Pediatrik 4 mg/kgBB, 2x sehari Adolesen BB > 50 kg: 2x150 mg/hari; BB < 50 kg: 2 mg/kgBB, 2x sehari Neonatus 40 mg/kgBB, 2x sehari Pediatrik 20-30 mg/kgBB, dapat sampai 45mg/kgBB, 3x sehari Adolesen 2 x 1250 mg/hari, atau 3 x 750 mg/hari Perinatal profilaksis 2 mg/kgBB (oral) pada usia 48 jam Neonatus (sampai usia 2 bulan) 14 hari pertama: 5 mg/kgBB atau 120 mg/m² sekali sehari 14 hari kedua: 120 mg/m² 2x sehari berikutnya: 200 mg/m² 2x sehari sampai usia 2 bulan Pediatrik 14 hari pertama: inisial 120 mg/m² 2x sehari (max. 200 mg) kemudian naikkan sampai dosis penuh 120-200 mg/m² 2x sehari (max. 200 mg) bila tidak terdapat rash atau reaksi simpang obat lainnya, atau dosis penuh (sesudah inisial) anak usia < 8 tahun 7 mg/kgBB 2x sehari dan anak usia > 8 tahun 4 mg/kgBB sehari Adolesen Dosis inisial 1 x 200 mg sehari selama 14 hari, kemudian naikkan menjadi 2 x 200 mg bila tidak terdapat rash atau reaksi simpang obat lainnya
2. Pneumosistis karinii Kotrimoksazol Profilaksis: 2,5 mg TMP/kgBB, 2x sehari, 3 hari seminggu Pengobatan: 8-10 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
10
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Tabel 1. Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak usia kurang dari 13 tahun: kategori klinis CDC (revisi 1994) Klasifikasi infeksi HIV pada anak (kategori klinis) 1
Kategori N
Tidak terdapat tanda dan gejala klinis akibat infeksi HIV, atau hanya terdapat satu gejala kategori A
2
Kategori A (gejala klinis ringan)
Terdapat dua atau lebih gejala berikut tanpa gejala kategori B dan C a. Limfadenopati > 0,5 cm lebih dari satu tempat (bilateral dianggap 1 tempat) b. Hepatomegali c. Splenomegali d. Dermatitis e. Parotitis f. Infeksi saluran napas atas, sinusitis, atau otitis media berulang atau menetap
3
Kategori B (gejala klinis sedang)
Terdapat gejala klinis lain selain gejala kategori A atau C a. Anemia (<8 g/dL), neutropenia (<1000/mm3), atau trombositopenia (<100.000/mm3) yang menetap >30 hari b. Meningitis bakterialis, pneumonia, atau sepsis (episode tunggal) c. Kandidiasis orofarings menetap >2 bulan pada anak usia >6 bulan d. Kardiomiopati e. Infeksi sitomegalovirus dengan onset usia <1 bulan f. Diare berulang atau kronik g. Hepatitis h. Stomatitis herpes simpleks (HSV) berulang (>2 episode dalam setahun) i. Bronkitis, pneumonitis, atau esofagitis HSV dengan onset usia <1 tahun j. Herpes zoster pada paling sedikit 2 episode berbeda, atau >1 dermatom k. Leiomiosarkoma l. Pneumonitis interstisial limfoid atau kompleks hiperplasia limfoid paru m. Nefropati n. Nokardiosis o. Demam >1 bulan q. Varisela diseminata (cacar air dengan komplikasi)
4
Kategori C (gejala klinis berat)
Semua anak yang memenuhi kriteria AIDS, kecuali untuk pneumonitis interstisial limfoid yang masuk dalam kategori B. a. Dua episode infeksi bakteri serius b. Ensefalopati (mikrosefali didapat, keterlambatan kognitif, kelainan neurologi c. Wasting syndrome (gagal tumbuh berat, penurunan BB kurang dari 2 persentil d. Infeksi oportunistik (PCP, CMV, Toksoplasmosis, infeksi jamur diseminata) e. Infeksi mikobakterium diseminata f. Kanker (Sarkoma Kaposi, limfoma)
Tabel 2. Sistem klasifikasi infeksi HIV pada anak usia kurang dari 13 tahun: kategori status imunosupresi berdasarkan jumlah dan persentase sel T CD4 menurut usia (revisi 1994).
Usia Status imun Kategori 1. Tidak ada supresi Kategori 2. Supresi sedang Kategori 3. Supresi berat
<12 bulan No/mm3 >1500 750-1499 <750
1-5 tahun % >25% 15-24% <15%
No/mm3 >1000 500-999 <500
% >25% 15-24% <15%
6-12 tahun No/mm3 >500 200-499 <200
% >25% 15-24% <15%
11
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Tabel 3. Indikasi pengobatan anti retrovirus untuk infeksi HIV pada bayi usia < 12 bulan
Kategori klinis Simptomatik (kategori klinis A, B, C) atau Asimptomatik (kategori klinis N)
dan
sel CD4 %
Kopi RNA HIV
Rekomendasi
< 25% (kategori imun 2 atau 3)
Semua nilai
Terapi
> 25% (kategori imun 1)
Semua nilai
Pertimbangkan terapi
Tabel 4. Indikasi pengobatan anti retrovirus untuk infeksi HIV pada anak usia > 1 tahun
Kategori klinis AIDS (kategori klinis C)
atau
Simptom ringan-sedang (kategori klinis A atau B) atau Asimptomatik (kategori klinis N)
12
dan
sel CD4 Kopi RNA HIV/ml % < 15% Semua nilai (kategori imun 3) > 100.000 kopi 15-25% (kategori imun 2) atau terapi > 25% dan (kategori imun 1)
< 100.000 kopi
Rekomendasi Terapi
Pertimbangkan
Monitor ketat klinis, imun, parameter virus
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Lampiran 2 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI/RSCM, Jakarta Algoritme Penatalaksanaan Bayi HIV (+)/AIDS (BIHA) (baku diagnosis dengan pemeriksaan PCR DNA/analisis RNA HIV) BAYI LAHIR DARI IBU HIV (+)/AIDS Pemeriksaan fisis Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan antibodi antiHIV Pemeriksaan sub populasi limfosit T (CD4) Pemeriksaan PCR DNA HIV/RNA HIV Profilaksis AZT 6 minggu
RNA HIV NEGATIF
RNA HIV POSITIF
Ulang RNA HIV 1 bulan kemudian Pantau gejala klinis & darah tepi
Ulangi RNA HIV 1 bulan kemudian Pantau gejala klinis & darah tepi
RNA HIV (+) RNA HIV (+)
RNA HIV (-)
RNA HIV (-)
Pantau gejala klinis & darah tepi Periksa antibodi antiHIV umur 18 bulan
AntiHIV (+)
AntiHIV (-)
Ulang RNA HIV 1 bulan kemudian Pantau gejala klinis dan darah tepi
RNA HIV (-)
RNA HIV (+)
Pantau gejala klinis & darah tepi Periksa antibodi HIV pada umur 18 bulan
AntiHIV (-)
AntiHIV (+)
INFEKSI HIV TIDAK INFEKSI HIV
Keterangan Diagnosis infeksi HIV ditegakkan dengan: 1. Pemeriksaan analisis RNA HIV positif 2 kali berturut-turut dengan selang 1 bulan 2. Serologi antiHIV positif pada usia > 18 bulan.
13
Sari Pediatri, Vol. 6, No. 1 (Supplement), Juni 2004
Lampiran-3 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK FKUI/RSCM, Jakarta Algoritme Penatalaksanaan Bayi HIV (+)/AIDS (BIHA) (bila tidak tersedia pemeriksaan PCR DNA/analisis RNA HIV) BAYI LAHIR DARI IBU HIV (+)/AIDS (BIHA) Pemeriksaan fisis Pemeriksaan darah tepi Antibodi antiHIV Profilaksis AZT 6 bulan
AntiHIV (+) Kelainan (-)
AntiHIV (+) Kelainan (+)
Ulang antiHIV usia 6 bulan
AntiHIV (+) Kelainan (+)
AntiHIV (+) Kelainan (-)
AntiHIV (-)
Ulang antiHIV 1 bulan kemudian Ulang antiHIV usia 18 bulan
AntiHIV (+) Kelainan (+)
INFEKSI HIV
Anti HIV (+) Kelainan (-)
AntiHIV (-)
TIDAK INFEKSI HIV
Keterangan 1. Diagnosis infeksi HIV ditegakkan dengan pemeriksaan serologi antiHIV positif disertai kelainan klinis infeksi HIV, atau serologi HIV (+) pada usia > 18 bulan 2. Bila serologi antiHIV setelah usia 6 bulan negatif dua kali berturut-turut dengan selang 1 bulan dianggap tidak terinfeksi HIV 3. Konfirmasi tidak terinfeksi HIV adalah bila serologi antiHIV tetap negatif pada usia > 18 bulan.
14