1
PENINGKATAN KEMAMPUAN MENGIDENTIFIKASI UNSUR-UNSUR INTRINSIK DONGENG DENGAN METODE JIGSAW PADA SISWA KELAS V SDN BANDARDAWUNG 03 TAWANGMANGU TAHUN AJARAN 2009/2010
SKRIPSI
Oleh:
Asih Sulastri K.1206013
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 BAB I
2
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran sastra merupakan salah satu pembelajaran yang urgen. Sastra turut memberikan kontribusi yang besar dalam usaha membina mental serta memperkaya kehidupan rohani manusia. Sastra dapat memberi pengaruh yang besar terhadap cara berpikir seseorang mengenai cara hidup diri sendiri dan suatu bangsa. Sastra bukan merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan, tetapi menampilkannya. Pendek kata, pembelajaran sastra merupakan satu kebutuhan dalam rangka pembentukan moral bangsa. Rahmanto (1998: 16) mengungkapkan empat manfaat pembelajaran sastra, yaitu: (1) membantu keterampilan berbahasa, (2) meningkatkan pengetahuan budaya, (3) mengembangkan cipta dan rasa, (4) menunjang pembentukan watak. Sebuah karya sastra dapat membangkitkan daya kreativitas serta imajinasi siswa. Rangsangan dari sebuah karya sastra mengedepankan sebuah kesadaran kreatif sekaligus kesadaran kritis di dalam diri siswa yang akan dibutuhkan oleh cabang ilmu apa pun yang dikehendaki. Kajian dan identifikasi dongeng dapat memberi beberapa manfaat bagi peserta didik, tetapi ada kekhawatiran yang muncul di kalangan pendidik (guru) di SDN Bandardawung 03. Kekhawatiran ini disebabkan menurunnya minat dan daya apresiasi siswa terhadap dongeng itu sendiri. Dalam perkembangannya, dongeng semakin tergeser oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Padahal, di dalam dongeng dapat ditemukan sejumlah falsafah kehidupan dan nilai-nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan siswa. Mengacu pada survei awal yang telah peneliti lakukan, kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa selama ini rendah. Hal ini ditandai dengan nilai mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa yang masih di bawah standar ketuntasan yang telah ditetapkan di SDN Bandardawung 03 yaitu 60. Siswa yang belum mencapai batas ketuntasan sebanyak 17 siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil pretes kegiatan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik 1
3
dongeng siswa kelas V SDN
Bandardawung 03 Tawangmangu berikut ini:
rentang nilai 31-40 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 41-50 diperoleh 9 siswa, rentang nilai 51-60 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 61-70 diperoleh 5 siswa, rentang nilai 71-80 diperoleh 3 siswa, rentang nilai 81-90 diperoleh 1 siswa. Mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pembelajaran (proses belajar mengajar) yang dilaksanakna guru di kelas. Apabila terjadi penurunan mutu pendidikan yang pertama kali harus dikaji adalah kualitas pembelajaran (proses belajar mengajar) tersebut (Soedijarto, 1993: 102). Mengacu pada pandangan Soedijarto tersebut, maka dapat dikatakan kondisi pembelajaran sastra yang selama ini dilaksanakan di kelas V SDN Bandardawung 03 belum dapat dikatakan baik, yakni pembelajaran masih berkiblat pada guru, guru yang lebih aktif, sementara itu peran aktif siswa belum maksimal. Konteks pembelajaran sastra yang terjadi di SDN Bandardawung 03 pada umumnya sangat bersifat teoretis, mononton, dan menjemukan. Guru lebih banyak menekankan materi sastra (dongeng) dari sisi pengetahuan (ingatan) semata dengan metode ceramah sebagai andalannya. Sehingga siswa-siswa tidak tertarik dengan materi dongeng. Hal ini merupakan salah satu faktor kekurangberhasilan pembelajaran dongeng yang terjadi pada siswa kelas V di SDN Bandardawung 03. Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang berlangsung selama ini pun masih jauh dari harapan untuk mewujudkan pembelajaran
yang
bermakna
yang
mampu
meningkatkan
kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa. Pembelajaran yang ditemui adalah pembelajaran yang masih memfokuskan pembelajaran pada penyampaian materi, sehingga pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa hanya sebagai objek dan bukan sebagai subjek dalam kegiatan belajar mengajar. Kekurangberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa hal. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan siswa diperoleh penjelasan bahwa siswa tidak begitu menyukai pembelajaran dongeng, alasannya menurut mereka pembelajaran dongeng membosankan. Terkait dengan kemampuan mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng yang pernah mereka terima, siswa menuturkan bahwa
4
pembelajaran yang sering dilaksanakan guru adalah dengan metode ceramah. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki andil yang besar terhadap pembelajaran dan membuat siswa menjadi pasif. Hal senada diungkapkan oleh guru, beliau menuturkan bahwa rata-rata siswa mempunyai kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang masih rendah, hal itu disebabkan ketidakmampuan siswanya dalam memahami secara baik dongeng. Guru menilai para siswa pada umumnya belum mampu menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng. Masalah tersebut dapat disikapi dengan suatu metode pembelajaran yang dapat meningkatkan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar mengajar sehingga kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa
meningkat. Diharapkan dengan peningkatan kualitas proses pembelajaran, hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dapat meningkat. Berdasarkan kesepakatan antara guru dan peneliti metode pembelajaran yang digunakan adalah metode Jigsaw. Metode Jigsaw ini sangat tepat untuk meningkatkan kemampuan identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa kelas V SDN Bandardawung 03, sebab dengan metode Jigsaw siswa bisa berperan aktif dalam proses belajar mengajar, selain itu siswa bisa saling berpendapat untuk menentukan unsur-unsur intrinsik di dalam sebuah dongeng. Cole (dalam Sriyono, 2007: 6) menjelaskan metode Jigsaw merupakan pembelajaran yang mengutamakan sifat kerja sama (gotong royong) antar siswa (peserta didik) yang tersusun dalam suatu tim untuk mencapai tujuan bersama. Tujuannya adalah untuk membangkitkan interaksi personal di dalam kelompok melalui diskusi. Dalam hal ini aktivitas pembelajaran berpusat pada siswa. Mereka mendengarkan penjelasan guru, mempelajari materi ajar, berdiskusi, melaporkan, bertanya jawab dan memberikan simpulan materi yang didiskusikan. Metode Jigsaw mempunyai kelebihan yaitu antara lain: (1) lebih efisien dalam hal penyampaian materi, (2) membangun pengetahuan secara mendalam, (3) memahami pendapat orang lain dan memecahkan kesalah pahaman mengeai sutu topik, (4) membangun pemahaman konsep mengenai sesuatu hal yang harus mereka pecahkan, dan (5) mengembangkan kelompok kerja dan kerjasama serta
5
kemampuan tim. Sementara itu, metode Jigsaw juga ada kelemahannya yaitu antara lain: (1) dalam kelompok yang berpengalaman lebih, waktu tidak seimbang, (2) siswa harus dilatih dalam metode Jigsaw, (3) memerlukan jumlah yang sama pada kelompok-kelompok, dan (4) pengaturan kelas bisa menjadi sebuah masalah (Slavin, 2008: 85). Implikasi dari uraian di atas dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah perlu diterapkannya metode Jigsaw sebagai upaya meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Penelitian yang digunakan adalah bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut. 1. Apakah metode Jigsaw dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu? 2. Apakah metode Jigsaw dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti memiliki tujuan sebagai berikut. 1. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. 2. Meningkatkan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SD Bandardawung 03 Tawangmangu.
6
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoretis dan praktis, yaitu. 1. Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah teori yang terkait dengan langkah-langkah penerapaan metode Jigsaw dalam pembelajaran sastra, khususnya mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta dapat mengantisipasi hambatan-hambatan yang muncul. 2. Praktis a. Manfaat bagi siswa 1) Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa dengan metode Jigsaw. 2) Meningkatkan motivasi belajar siswa. 3) Meningkatnya rasa kebersamaan siswa dalam bekerja kelompok. b. Manfaat bagi guru 1) Meningkatnya kemampuan guru dalam mengajar identifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw. 2) Meningkatkan kerjasama antara guru dan siswa, dan antar guru. c. Manfaat bagi peneliti 1) Mengembangkan wawasan dan pengalaman peneliti. 2) Pengaplikasian teori yang telah diperoleh. d. Manfaat bagi peneliti lain 1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inspirasi maupun bahan pijakan peneliti lain untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam. 2) Sebagai acuan untuk melakukan penelitian berikutnya.
7
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD a. Pembelajaran Apresiasi Sastra di SD Pembelajaran apresiasi dongeng diarahkan pada proses pemerolehan pengalaman apresiasi dongeng agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas
wawasan
kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, hal itu berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bahasa Indonesia SD khususnya pembelajaran apresiasi sastra. Agar dongeng dapat memenuhi tuntutan kurikulum tersebut, diharapkan siswa mampu mengapresiasi dongeng tersebut melalui unsur-unsur intrinsiknya. Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng merupakan salah satu materi pembelajaran, sehingga untuk mencapai standar kompetensi yang diharapkan perlu disampiakan dengan metode yang tepat. Standar kompetensi yang hendak dicapai yaitu memahami penjelasan narasumber dan cerita rakyat secara lisan, dengan kompetensi dasar mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya. Pada dasarnya, pembelajaran bukan sekedar kegiatan transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Dalam pembelajaran, konteks diciptakan secara nyata sehingga siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi pengalaman dan keterampilan. Hasibuan
(dalam
Gino
dkk,
2002:
32)
memberikan
batasan
pembelajaran, yaitu usaha sadar guru untuk membuat siswa belajar dengan mengaktifkan faktor
intern dan ekstern dalam belajar. Faktor intern yang
dimaksud di sini meliputi minat, perhatian, motivasi, dan lain-lain. Faktor ekstern yang berpengaruh meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat. Pembelajaran juga dapat diartikan pemerolehan pengetahuan tentang suatu hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman (Brown dalam Sri Rahayu
6
8
Mulyaningsih, 2007: 31). Menurut Moh. Uzer Usman (dalam Sri Rahayu Mulyaningsih 2007: 32) pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Imain Machfudz dan Wahyudi Siswanto (1997) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu proses sistematis yang tiap komponennya penting sekali bagi keberhasilan pembelajaran. Lebih lanjut dikatakan bahwa pembelajaran hanya berlangsung manakala usaha tertentu dibuat untuk mengubah sedemikian rupa, sehingga suatu hasil belajar tertentu bisa dicapai. Mengacu pada uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara siswa dengan lingkungannya. Interaksi tersebut yang difasilitasi oleh guru yang menyebabkan terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Perubahan yang terjadi karena proses pembelajaran. Interaksi antar komponen merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu proses belajar mengajar. Oleh karena itu, kerjasama antara guru dan siswa sangat diperlukan demi kelancaran kegiatan belajar mengajar. Selain itu, kesesuain metode dalam proses belajar pembelajaran juga sangat berpengaruh dalam menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas. Apresiasi berasal dari kata appreciation yang artinya pemahaman dan pengenalan
yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan
yang
memberikan penilaian (AS Hornby dalam Sumito A.Sayuti, 2002: 195). Dari bahasa Latin, istilah apresiasi berasal dari kata apreciatio yang berarti mengindahkan atau menghargai. Dalam arti yang lebih luas dikatakan Gove (dalam Aminuddin, 1987: 34) Apresiasi mengandung makna: (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh penyair. Sastra itu sendiri sulit untuk didefinisikan. Secara entimologi sastra berasal dari bahasa Sansekerta akar kata Sas- artinya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/instruksi dan tra- menunjuk alat atau sarana. Dengan demikian
9
sastra berarti alat untuk mengajar (Teeuw, 1984: 23). Sastra adalah suatu bentuk sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati serta dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Selain itu dikatakan oleh Teeuw (1984: 49-51) bahwa Teks sastra mengandung tiga aspek utama yaitu decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delectore (memberikan
kenikmatan
melalui
unsur
estetik,
dan
movere
(mampu
menggerakkan kreativitas pembaca). Apresiasi sastra adalah pengenalan dan pemahan yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya serta kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Effendi (2004: 6) mengartikan apresiasi sastra sebagai menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga timbul pengertian, penghargaan, kepekaan, pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Suminto A.Sayuti (2002: 3) menyatakan bahwa apresiasi satra adalah upaya memahami karya sastra, yaitu upaya agar dapat mengerti sebuah karya sastra yang dibaca, baik fiksi maupun puisi, mengerti maknanya, baik yang internasional maupun yang aktual dan mengerti seluk beluk strukturnya. Sementara Herman J. Waluyo (2002: 44) mendefinisikan apresiasi sastra sebagai penghargaan atas karya sastra hasil pengenalan, memahaman, penafsiran, pengahayatan, penikmatan atas kaya sastra tersebut yang didukung atas kepekaan batin terhadap nilai yang terkandung dalam karya tersebut. Hakikat pembelajaran sastra, menurut Robert E. Probst, haruslah memampukan siswa menemukan hubungan antara pengalaman dengan cipta sastra yang bersangkutan (Rizanur Gani, 1988: 14). Dalam hal ini siswa diharapkan mampu menemukan hubungan antara pengalaman batinnya dengan esensi cipta sastra yang dipalajari. Oleh karena itu, siswa belajar sastra harus dihadapkan pada karya sastra yang bersangkutan agar siswa dapat berkomunikasi, bergaul langsung dengan karya sastra tersebut. Kegiatan yang demikian itu dinamakan kegiatan mengapresiasi sastra. Sastra harus dapat memberikan sumbangan untuk pendidikan secara utuh hal tersebut sesuai dengan tujuan karya sastra kepada pembaca. Sumbangan tersebut dapat secara utuh jika mencangkup empat manfaat, yaitu untuk
10
menunjang keterampilan berbahasa (skill), meningkatkan pengetahuan sosial budaya (knowledge), mengembangkan rasa karsa (development), membentuk watak (character) (Moody dalam Sriyono, 2007: 45). Mengikutsertakan pembelajaran sastra dalam kurikulum berarti membekali siswa untuk berlatih menyimak, membaca, berbicara, maupun menulis. Dengan membaca maupun menyimak karya sastra dapat menambah pengetahuan sosial budaya karena di dalam karya sastra mengandung ajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tugas pembelajaran sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan terhadap kebudayaannya sendiri. Dongeng merupakan salah satu kebudayaan bangsa yang wajib kita lestarikan. Implikasi dalam pembelajaran sastra demi kelestarian budaya bangsa adalah dengan adanya kompetensi dasar yang berada pada silabus kelas V SD yaitu mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya. Kompetensi dasar tersebut merupakan bentuk partisipasi dunia pendidikan sehubungan dengan pelestarian budaya bangsa. Selain
untuk
kelestarian
budaya,
pembelajaran
sastra
juga
mampu
mengembangkan kecakapan peserta didik. Kecakapan yang dikembangkan dalam pembelajaran sastra adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat pemahaman, yang bersifat afektif dan sosial, serta religius. Yang berhubungan dengan watak ada dua tuntutan alam pembelajaran sastra, yaitu pembelajaran sastra hendaknya dapat memberikan perasaan yang lebih tajam dan pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa seperti: tekun, pandai, pangimajinasian, dan penciptaan. Apresiasi sastra yang dilakukan dalam pembelajaran sastra di SD merupakan bentuk apresiasi sastra anak. Bahan ajar harus sesuai dengan anak didik sehingga pertimbangan usia anak didik menjadi pilihan utama. Keberagaman tema, keberagaman pengarang, dan bobot atau mutu karya sastra yang akan dijadikan bahan ajar juga menjadi pertimbangan yang matang. Menentukan metode harus disesuaikan dengan kemampuan guru dan kebutuhan serta kesesuaian dengan keadaan siswa. Menuliskan persiapan mengajar harian
11
merupakan salah satu bentuk keprofesionalan seorang guru. Penulisan PMH itu juga menunjukkan bahwa guru siap secara lahir batin hendak menyampaikan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar. Pelaksanaan pembelajaran apresiasi sastra anak di sekolah dasar dapat dimulai dari kegiatan pra-KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) hingga KBM di kelas. Kegiatan pra-KBM dapat dilakukan dengan memberi salinan atau kopi teks sastra, diberi tugas membaca, menghafalkan, meringkas atau mencatat dan menemukan arti kata-kata sukar yang terdapat dalam teks sastra. KBM di kelas dapat dilakukan dengan memberi tugas membaca sajak, membaca cerita, berdeklamasi atau mendongeng di depan kelas. Setelah itu baru diadakan tanya jawab, menuliskan pendapat, dan berdiskusi bersama merumuskan isi, tema, dan amanat. Evaluasi pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga komponen dasar evaluasi, yaitu: (a) kognisi, (b) afeksi, dan (c) keterampilan. Pada umumnya dikenal dua bentuk penilaian, yaitu: (a) penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan penilaian hasil belajar, dan (b) instrumen atau alat penilaian, yang meliputi tanya jawab, penugasan, tes esai dan pilihan ganda. b. Faktor-faktor Penentu Keberhasilan Proses Pembelajaran Apresiasi Sastra Suatu proses pembelajaran dikatan berhasil apabila tujuan yang telah ditentukan dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan telah dapat dicapai (Gino, dkk, 2002: 36-39). Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu motivasi belajar, minat belajar, bahan ajar, media belajar, suasana belajar, kondisi subjek yang belajar, kemampuan guru, dan metode pembelajaran. 1) Motivasi Belajar Motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan sesuatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk meningkatkan motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran, guru dapat menempuh jalan sebagai berikut: (1) menghadapkan
12
siswa pada hal-hal yang menentang, misalnya dengan jalan mengadakan penelitian, penyelidikan, percobaan, membuat sesuatu, dan kegiatan yang lain yang sekiranya dapat memotivasi siswa; (2) membantu siswa yang kurang pandai dalam pembelajaran, mendorongnya agar bisa lebih maju dan mau berusaha untuk bisa mengikuti perkembangan teman-temannya yang lain yang memiliki pengalaman lebih. Sementara itu, siswa yang sudah dapat mengikuti pembelajaran dengan baik, guru harus bisa memotivasinya agar mau berusaha untuk lebih baik lagi dan mau membantu temannya yang kurang mampu dalam pembelajaran. 2) Minat Belajar Minat, artinya kecenderungan yang menetap, dimana si subjek merasa tertarik dan senang dalam kegiatan suatu bidang. Untuk menarik minat siswa mengikuti
pembelajaran,
hendaknya
guru
memilih
media
dan
metode
pembelajaran yang sekiranya menarik bagi siswa misalnya, dengan mengajak siswa belajar di luar kelas. Minat siswa mempengaruhi prestasi belajar. 3) Bahan Belajar Bahan belajar merupakan isi dalam pembelajaran. Bahan atau materi yang digunakan dalam pembelajaran harus disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai oleh siswa dan harus sesuai dengan karakteristik siswa agar diminati oleh siswa. Pemilihan materi pembelajaran yang dilakukan secara teliti dan digunakan secara bijaksana, akan memunculkan suatu motivasi bagi siswa untuk merespon pembelajaran yang dilakukan oleh guru. 4) Media Belajar Media dalam belajar merupakan alat yang dapat membantu siswa untuk mencapai tujuaan belajar, misalnya media cetak (buku-buku, surat kabar, majalah) dan media elektronik (radio, televisi, komputer, tape recorder dan lain-lain). Alat bantu belajar adalah semua alat yang digunakan dalam kegiaran belajar-mengajar, dengan maksud untuk menyampaikan pesan pembelajaran dari sumber belajar (guru) kepada penerima (siswa). Media yang digunakan harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta dapat menarik minat, perhatian dan motivasi siswa untuk ikut dalam proses pembelajaran yang berlangsung.
13
5) Suasana Belajar Suasana belajar merupakan situasi dan kondisi yang ada dalam lingkungan tempat proses pembelajaran yang berlangsung. Suasana yang dapat mendukung kegiatan pembelajaran, yakni. a) Suasana kekeluargaan yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang lancar antara guru dan siswa, sehingga dapat memperlancar kegiatan belajar mengajar yang terjadi. Dengan hubungan yang akrab, maka siswa akan berani untuk mengungkapkan pendapatnya dalam setiap kegiatan pembelajaran yang terjadi. b) Suasana sekolah yang nyaman, tenang serta menyenangkan untuk melaksanakan pembelajaran. c) Kelas diatur secara fleksibel sesuai dengan kebutuhan siswa yang belajar, sehingga suasana bebas tetapi tetap disertai dengan pengawasan dari guru. d) Jumlah siswa dalam kelas tidak terlalu banyak sehingga memungkinkan bagi guru untuk memberi perhatian yang cukup merata pada seluruh siswa. e) Siswa belajar secara bervariasi, misalnya dengan berdiskusi, discovery, mengadakan eksperimen, atau dengan mengadakan study tour untuk menghindari kejenuhan dalam belajar. 6) Kondisi Siswa yang Belajar Kondisi siswa adalah keadaan siswa pada saat kegiatan belajar-mengajar belangsung. Kondisi yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya keadaan fisik siswa, melainkan juga keadaan psikis siswa. Apabila siswa sedang sakit, maka secara otomatis siswa tidak akan dapat mengikuti pembelajaran secara maksimal. Begitu juga apabila siswa dalam keadaan jiwa yang tertekan, atau sedang mempunyai masalah, siswa juga tidak akan dapat belajar dengan baik. Selain itu, guru juga harus memperhatikan kondisi kemampuan siswa dalam mengikuti dan menerima materi dalam kegiatan belajar-mengajar. Apabila kemampuan siswa kurang, maka guru harus berusaha untuk membantu siswa tersebut untuk memahami materi yang diberikan. Namun apabila siswa memiliki kemampuan yang lebih, maka guru harus bisa mengajar dengan baik agar tidak membosankan.
14
7) Kemampuan Guru Kemampuan guru yang dimaksud dalam hal ini adalah kemampuan guru dalam menyampaikan materi, dalam mengelola kelas, serta dalam mengatasi berbagai masalah yang mungkin terjadi selama proses belajar-mengajar berlangsung. Guru harus bisa menyampaikan materi dengan cara yang tepat dan tidak membosankan, namun tidak terkesan mempengaruhi. Selain itu, dalam menyampaikan materi guru harus bisa memilih metode dan cara yang tepat agar dapat menarik minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. Guru harus bisa mengelola kelas dengan baik, misalnya dengan
memberikan perhatian yang
merata pada seluruh siswa yang ada di kelas tersebut, baik yang di depan maupun yang di belakang. Guru harus mampu memotivasi siswa agar mau aktif dalam kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung. Guru harus bisa membuat siswa manaruh perhatian penuh pada kegiatan belajar-mengajar yang berlangsung. Seorang guru harus bisa mengatasi masalah yang mungkin saja muncul di kelas tempatnya mangajar. Misalnya saja ada siswa yang tidak mau memperhatikan pembelajaran yang diberikan. Ia justru membuat kekacauan di dalam kelas. Maka guru harus bisa mengambil tindakan yang dapat membuat anak tersebut jera, dan tidak mengulang perbuatan tersebut dengan cara menegurnya. Apabila cara tesebut tidak berhasil, guru dapat memberikan suatu punishment pada siswa tersebut agar dia menjadi jera. 8) Metode Pembelajaran Metode pembelajaran merupakan aspek penting dalam kemajuan pendidikan di sekolah. Apalagi saat ini, Indonesia mulai berbenah diri dalam pelaksanaan pendidikan bagi warganya melalui diversifikasi (penganekaragaman) kurikulum yang dapat melayani kemampuan sumber daya manusia, kemampuan siswa, sarana pembelajaran, dan budaya di daerah. Diversifikasi kurikulim tersebut pada akhirnya dapat menjamin hasil pendidikan bermutu yang dapat membentuk masyarakat Indonesia yang damai/sejahtera, demokratis, dan budaya saing untuk maju Nana Sujana (2002: 76) mengemukakan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa
15
pada saat berlangsungnya pengajaran. Muhibbin Syah (1995) menjelaskan bahwa metode pembelajaran merupakan cara yang bersifat prosedur untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, khususnya kegiatan penyajian materi pelajaran kepada siswa. Metode pembelajaran adalah bagian dari seperangkat alat dan cara dalam melaksanakan suatu srategi pembelajaran. Mengacu pada beberapa ahli di atas, dapat dikemukakan bahwa metode pembelajaran adalah segala upaya yang dilakukan guru dalam memberdayakan komponen-komponen pembelajaran terkait secara optimal sehingga pencapaian tujuan pembelajaran dapat terwujud sesuai dengan target dan kriteria yang telah ditentukan. Sehingga tujuan proses belajar pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan sesuai dengan indikator ketercapaian. Keefektifan penggunaan suatu metode tergantung pada seorang guru, karena guru sebagai pelaku dalam menggunakan metode tersebut. Suatu metode hasilnya baik untuk seorang guru dalam mengajarkan sastra, belum tentu hasilnya sama jika metode tersebut digunakan oleh guru yang lain. Dalam pembelajaran sastra, keaktifan guru dan siswa secara bersama-sama merupakan syarat mutlak untuk mencapai tujuan pembelajaran sastra yang apresiatif. Pembelajaran sastra selama ini menggunakan metode ceramah yang sebenarnya kurang efektif apabila diterapkan. Proses belajar pembelajaran dengan metode ceramah, guru cenderung dominan menguasai kelas, sehingga peran aktif siswa dalam proses belajar pembelajaran
sangat
kurang.
Hal
ini
merupakan
salah
satu
faktor
kekurangberhasilan pembelajaran sastra. Dibutuhkan suatu metode pembelajaran agar apresiasi sastra berhasil dengan hasil yang memuaskan yaitu siswa mampu mengulas sastra yang mereka dengar dengan baik dan benar.
2. Hakikat Dongeng a. Pengertian Dongeng Indonesia mempunyai kekayaan tradisi berupa budaya tulis (kitab, notaperjanjian, stempel) dan budaya tutur (pantun, puisi tradisional, dongeng). Penikmat budaya tulis dan tutur secara umum dapat dibedakan dari segi umur, gender, tingkat lapisan masyarakat maupun suku bangsanya. Budaya tutur
16
merupakan budaya yang bersifat nir-literatur dan budaya tulis bersifat literatur, oleh karena itu keduanya mempunyai keunikan dan kelebihan sendiri. Sedangkan dongeng merupakan salah satu jenis kebudayaan tutur yang disamapikan dari lisan ke lisan secara turun temurun. Dongeng adalah cerita sederhana yang tidak benar-benar terjadi, misalnya kejadian-kejadian aneh di jaman dahulu. Dongeng berfungsi menyampaikan ajaran moral dan juga menghibur. Dongeng termasuk cerita tradisional. Cerita tradisional adalah cerita yang disampaikan secara turun temurun. Suatu cerita tradisional dapat disebarkan secara luas ke berbagai tempat. Kemudian, cerita itu disesuaikan dengan kondisi daerah setempat. James Danandjaja (1991: 22) menyatakan bahwa dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita dan dongeng tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga dongeng yang melukiskan kebenaran, berisi ajaran moral, bahkan sindiran. Karena dongeng merupakan cerita sederhana dan tradisional, dongeng mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan karya sastra lain. Apabila karya sastra modern dibuat berdasarkan isi hati dan kemampuan pengarang. Suatu dongeng tidak diketahui secara pasti pengarang ataupun sumber cerita awal berasal darimana, sebab dongeng disamapaikan secara turun temurun dalam jangka waktu yang lama. Adapun ciri-ciri dongeng, yaitu: (1) alur sederhana; (2) singkat; (3) tokoh tidak diurai secara rinci; (4) penceritaan secara lisan; (5) pesan dan tema ditulis dalam cerita; (6) pendahuluan singkat dan langsung. Dongeng mempunyai kalimat pembuka dan penutup yang bersifat klise, contoh: pada zaman dahulu, hiduplah seorang raja dan mereka hidup bahagia selama-lamanya; alkisah, pada suatu hari, …dan mereka hidup dengan rukun dan bahagia, dan sebagainya. Dalam sebuah dongeng tema sangat penting karena tema merupakan unsur pokok yang harus terpenuhi dalam sebuah karya. Biasanya, suatu dongeng mempunyai tema antara lain. 1) Moral tentang kebaikan yang selalu menang melawan kejahatan. 2) Kejadian yang terjadi di masa lampau, di suatu tempat yang jauh sekali
17
3) Tugas yang tak mungkin dilaksanakan. 4) Mantra ajaib, misalnya mantra untuk mengubah orang menjadi binatang. 5) Daya tarik yang timbul melalui kebaikan dan cinta. 6) Pertolongan yang diberikan kepada orang baik oleh makhluk dengan kekuatan ajaib. 7) keberhasilan anak ketiga atau anak bungsu ketika sang kakak gagal. 8) Kecantikan dan keluhuran anak ketiga atau anak bungsu. 9) Kecemburuan saudara kandung yang lebih tua. 10) Kejahatan ibu tiri. Indonesia mempunyai ribuan budaya tutur yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara. Budaya tutur merupakan ajaran tersirat menyangkut pembelajaran moral, seperti yang disampaikan di dalam pantun, lagu tradisional, fabel, legenda, epik maupun cerita rakyat lainnya. Pembelajaran moral yang tersirat ini merupakan metode efektif, khususnya dalam mendidik anak-anak lewat penceritaan dongeng. Menurut Anti Arne dan Stith Thompson (2008) dongeng dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu : (1) dongeng binatang; (2) dongeng biasa; (3) lelucon atau anekdot; (4) dongeng berumus. 1) Dongeng binatang (fabel) Dongeng binatang adalah dongeng yang ditokohi oleh binatang peliharaan atau binatang liar. Binatang dalam cerita jenis ini dapat berbicara atau berakal budi seperti manusia. Di Negara-negara Eropa binatang yang sering muncul menjadi tokoh adalah rubah, di Amerika Serikat binatang itu adalah kelinci, di Indonesia binatang itu Kancil dan di Filipina binatang itu kera. Semua tokoh biasanya mempunyai sifat cerdik, licik dan jenaka. 2) Dongeng biasa Dongeng biasa adalah jenis dongeng yang ditokohi manusia atau biasanya adalah kisah suka duka seseorang, misalnya dongeng Ande-Ande Lumut, Joko Kendil, Joko Tarub, Sang Kuriang serta Bawang Putih dan Bawang Merah. Dalam dongeng ini biasanya terdapat dua jenis tokoh. Tokoh yang berlawanan digambarkan dalam bentuk yang berlawanan juga.
18
3) Lelucon atau anekdot Lelucon atau anekdot adalah dongeng yang dapat menimbulkan tawa bagi yang mendengarnya maupun yang menceritakannya. Meski demikian, bagi masyarakat atau orang menjadi sasaran, dongeng itu dapat menimbulkan rasa sakit hati. Rasa sakit timbul karena mereka merasa tersindir. 4) Dongeng Berumus Dongeng berumus adalah dongeng yang strukturnya terdiri dari pengulangan. Dongeng ini ada tiga macam, yaitu dongeng bertimbun banyak (cumulative tales), dongeng untuk mempermainkan orang (catch tales), dan dongeng yang tidak mempunyai akhir (endless tales). Dongeng berumus jarang kita temui. Pelaku atau tokoh dalam sebuah dongeng, bukanlah manusia biasa seperti dalam sebuah karya sastra modern, karena dongeng bersifat istana sentris atau hidup di sekitar istana dan terjadi pada masa lalu. Pelaku atau tokoh antara lain seperti: (1) dewa dan dewi, ibu dan saudara tiri yang jahat, raja dan ratu, pangeran dan putri, ahli nujum; (2) peri, wanita penyihir, raksasa, orang kerdil, putri duyung, monster; (3) binatang, misalnya ikan ajaib dan kancil; (4) kastil, hutan yang memikat, negeri ajaib; (5) benda ajaib, misalnya lampu ajaib, cincin, permadani, dan cermin. Sedangkan tokoh dalam sastra modern bersifat umum. Mengacu pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dongeng adalah cerita prosa rakyat yang berupa cerita rekaan. Dongeng disampaikan secara turun temurun sebagai penghibur sekaligus petuah bagi pendengarnya. Penceritaan dongeng diawali dan diakhiri dengan kalimat klise dan selalu berakhir bahagia. b. Pengertian Unsur-unsur Intrinsik Dongeng Cerita dibentuk oleh dua bagian besar unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dimana unsur intrinsik disebut sebagai unsur dalam yang membentuk suatu cerita sedangkan unsur ekstrinsik disebut unsur luar yaitu unsur-unsur pendukung terciptanya suatu cerita. Semi, (1988: 35) menyatakan, struktur fiksi itu secara garis besar dibagi alas dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar ekstrinsik dan (2) struktur dalam (instrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) segala macam unsur yang berada di luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi
19
kehadiran sastra tersebut, misalnya faktor sosial ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosiol politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut seperti: penokohan atau perwatakan, tema, alur (plot), pusat pengesahan, latar, gaya bahasa dan amanat. Agus Suyoto (2009) menyatakan bahwa unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra itu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan dunianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut. Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dari: tokoh, penokohan/perwatakan tokoh, tema, amanat, latar, alur, sudut pandang/gaya penceritaan. a) Tema Prosa fiksi harus mempunyai tema atau dasar, karena tema inilah yang paling penting dari keseluruhan cerita. Tema adalah pikiran pokok yang mendasari suatu cerita. Tema tersebut kemudian dikembangkan menjadi jalinan cerita yang disampaikan melalui tokoh, setting, dan suasananya. Untuk mengetahui tema, ketika membaca karya sastra Anda dapat bertanya “Masalah apakah yang dibahas dalam cerita di atas?” jawaban dari pertanyaan itu adalah tema. Sebuah cerita rekaan yang tanpa tema sama sekali adalah cerita rekaan yang tidak mempunyai tujuan apa-apa, sehingga dapat saja dianggap sebagai sastra yang tak berguna atau tak berfungsi (S.Tasrif, dalam Mido, 1994). Tema (theme), menurut Stanton (1965: 88) dan Kenny (1966: 20), adalah makna yang terkandung dan ditawarkan oleh sebuah cerita (dalam Burhan Nurgiantoro, 2002: 67). Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial
20
budaya, perjuangan, teknologi, dan tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Henry Guntur Tarigan (1993: 160) menyatakan bahwa tema adalah gagasan utama atau pikiran pokok, dalam karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh pembaca yang cermat sebagai akibat dari membaca karya sastra tersebut. Tema sering disebut juga sebagai dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi karya sastra. Tema juga dapat dikatakan sebagai permasalahan yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra, sekaligus maupakan pernasalahan yang ingin dipecahkan dalam karya tersebut. b) Tokoh dan Penokohan Prosa fiksi sudah pasti terdiri dari sejumlah peristiwa atau kejadian yang dialami oleh para tokoh cerita yang beraksi atau bereaksi. Mungkin konflik yang terjadi antara tokoh dengan tokoh, antar tokoh dengan lingkungan, antar tokoh dengan alam sekitar, bahkan dapat saja antara tokoh dengan dirinya sendiri, dengan nasibnya, dan dengan kekuatan adikodrati. Jelasnya, tanpa tokoh mustahil ada cerita dan tanpa cerita tak ada karya sastra. Tokoh cerita biasa dibedakan berdasarkan
peranannya
dan
berdasarkan
perwatakkannya.
Berdasarkan
peranannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi menjadi tokoh utama, tokoh pembantu dan tokoh tambahan (Mido, 1994). Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi empat yaitu tokoh statis, tokoh dinamis, tokoh datar dan tokoh bulat (Mido, 1994). Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 178), tokoh cerita dapat pula dibedakan berdasarkan fungsi penampilannya, yakni tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Agus Suyoto (2009) menjelaskan bahwa tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami peristiwa-peristiwa atau pelaku dalam berbagai peristiwa cerita. Pada umumnya tokoh berwujud manusia, dapat pula berwujud binatang atau benda yang diinsankan. Berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita, tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita Melani Budianta (2002) menyatakan bahwa tokoh dalam karya sastra adalah individu rekaan yang hanya diungkapkan satu segi wataknya yang
21
mengalami peristiwa atau perlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Ditambahkan oleh Burhan Nurgiantoro (2002: 165) bahwa istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Cerita rakyat pasti memiliki tokoh. Kehadiran tokoh dalam cerita sangat penting. Melalui tokoh cerita, suatu jalinan konflik dapat dibangun sehingga menjadi sebuah cerita yang utuh. Tokoh akan menggambarkan makna sesuai dengan alur cerita secara keseluruhan dan mengarah pada tujuan yang hendak dicapai. Sementara itu, penokohan adalah perihal proses penempatan tokoh-tokoh di dalam cerita. Penokohan dalam cerita biasanya direalisasikan melalui tokoh atau pelaku cerita. Tokoh dapat dibedakan menjadi dua yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang banyak mengalami peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) tokoh sentral protagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan positif atau menyampaikan nilai-nilai positif; (2) tokoh sentral antagonis, yaitu tokoh yang membawakan perwatakan yang bertentangan dengan protagonis atau menyampaikan nilai-nilai negatif. Tokoh bawahan adalah tokoh-tokoh yang mendukung atau membantu tokoh sentral. Tokoh bawahan dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) tokoh andalan. Tokoh andalan adalah tokoh bawahan yang menjadi kepercayaan tokoh sentral (baik protagonis ataupun antagonis); (2) tokoh tambahan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang sedikit sekali memegang peran dalam peristiwa sebuah cerita; (3) tokoh lataran. Tokoh lataran adalah tokoh yang menjadi bagian atau berfungsi sebagai latar cerita saja. Penokohan berkenaan dengan cara pengarang menampilkan watak tokoh-tokohnya dan bagaimana watak masing-masing tokoh tersebut. Ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya yaitu, dengan cara menjelaskan karakter tokoh secara eksplisit, menampilkan dialog dengan tokoh lain, melukiskan tempat atau lingkungan tokoh, memberi penjelasan melalui tokoh lain, dan melukiskan tingkah laku, cara berpakaian, dan
22
reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. Ada dua metode penyajian watak tokoh, yaitu. 1) Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara memaparkan watak tokoh secara langsung. 2) Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Menurut Jakob Sumardjo dan Saini KM (1988: 52), ada lima cara menyajikan watak tokoh, yaitu: (1) melalui apa yang diperbuatnya, tindakantindakannya, terutama bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis; (2) melalui ucapana-ucapannya. Dari ucapan kita dapat mengetahui apakah tokoh tersebut orang tua, orang berpendidikan, wanita atau pria, kasar atau halus; (3) melalui penggambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiran-pikirannya; (5) melalui penerangan langsung. Jadi tokoh dapat disajikan menurut keadaan. c) Alur/ Plot Plot adalah kejadian yang sengaja diciptakan penulis. Kilas balik atau flashback (atau bahkan kejadian di masa depan) dapat digunakan sama efektifnya dalam karya fiksi maupun nonfiksi. Alur adalah urutan atau rangkaian peristiwa dalam cerita rekaan. Burhan Nurgiantoro (2002: 110) menyatakan bahwa plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi yang lain. Sedangkan Luxemburg (1992: 149) memberikan batasan bahwa plot atau alur adalah konstruksi yang dibuat pembaca melalui sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan kronologis saling berkaitan, yang diakibatkan atau dialami oleh para pelaku. Plot atau alur sering diartikan sebagai keseluruhan rangkaian cerita yang terdapat dalam cerita. Plot juga dapat diartikan sebagai bagian rangkaian perjalanan cerita yang tidak tampak. Plot atau alur juga dapat diartikan sebagai jalan cerita yang berupa peristiwa. Peristiwa yang disusun satu persatu dan berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita. Secara tradisional, ada lima tahapan
23
alur, yaitu: (1) perkenalan (pengarang mengenalkan cerita, tokoh-tokoh dan wataknya, dan setting yang mendasari cerita itu); (2) pertikaian (pengarang mulai menampilkan pertikaian yang dialami tokoh baik dengan tokoh lain maupun dengan lingkungannya.); (3) perumitan (pertikaian mulai memuncak); (4) klimaks (pertikaian mencapai puncak); (5) peleraian (penyelesaian pertikaian dengan berbagai cara). Alur mempunyai beberapa jenis, yaitu: (1) alur rapat dan alur renggang. Alur rapat adalah alur yang terbentuk apabila alur pembantu mendukung alur pokoknya. Alur renggang sebaliknya; (2) alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal adalah alur yang hanya terjadi pada sebuah cerita yang memiliki satu jalan cerita saja, biasanya terjadi pada cerpen. Sebaliknya, alur ganda adalah alur yang terjadi pada sebuah cerita yang memiliki jalan cerita lebih dari satu, biasanya ada pada novel; (3) alur maju dan alur mundur. Alur maju adalah dan alur terbuka yang jalan ceritanya dimulai dari peristiwa pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya sampai cerita itu berakhir. Sebaliknya, alur mundur adalah alur yang jalan ceritanya dimulai dari peristiwa akhir kemudian kembali ke peristiwa pertama, kedua, dan seterusnya sampai kembali ke peristiwa yang terakhir tadi. d) Latar (Setting) Kita cenderung berfikir bahwa latar hanyalah sekedar ruang dan waktu tempat cerita berlangsung. Kejadian harus berlangsung di suatu tempat dan dalam kurun waktu tertentu (hari, musim, tahun). Latar bisa memperkaya suasana dan atmosfer cerita, yang akan mempengaruhi apa yang diserap pembaca. Latar bisa bersifat simbolik. Misalnya cerita tentang perjalanan seorang tokoh di tengah gurun pasir mencari oasis, bisa disimbolkan sebagai perjalanan dari neraka ke surga. Latar juga mencerminkan perjalanan emosional tokoh. Latar pun bertindak sebagai sebuah karakter, mempengaruhi pilihan karakter-karakter lain, dan mempengaruhi plot. Latar atau biasa disebut dengan setting merujuk pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar memberikan kesan realistis kepada pembaca. Latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial. Latar tempat merujuk pada lokasi
24
terjadinya peristiwa, latar waktu berhubungan dengan masalah kapan peristiwa terjadi dan latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat dalam cerita. Latar juga dapat diartikan sebagai gambaran tempat, waktu, dan segala situasi di tempat terjadinya peristiwa. Unsur waktu dapat dibedakan menjadi waktu kini, masa lalu, masa depan, dan waktu tak tentu. Unsur tempat dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat yang dikenal, tempat yang tidak dikenal, dan tempat khayalan. Unsur suasana juga mempunyai tiga kemungkinan, yaitu suasana alamiah, suasana sosio kultural, dan suasana batiniah. Suasana alamiah adalah suasana yang berhubungan dengan alam, misalnya suasana desa, kota, dan lain-lain. Suasana sosiokultural adalah suasana yang berkaitan dengan tatacara hidup, adat istiadat, keyakinan, dan lain-lain. Suasana batiniah adalah suasana sebagai akibat pengaruh interaksi antar tokoh, atau antar tokoh dengan lingkungannya. Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, suasana, dan situasi terjadinya peristiwa dalam cerita. Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok: (1) latar tempat, mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (2) latar waktu, berhubungan dengan masalah ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial bisa mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta status sosial. e) Amanat Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Amanat dapat disampaikan secara implisit dan eksplisit. Implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir, dapat pula secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan yang berhubungan dengan gagasan utama cerita.
25
Amanat juga dapat diartikan pesan moral yang ada pada sebuah cerita. Ketika membaca sebuah cerita. Amanah disampaikan melalui tema, jalinan cerita, peristiwa, dan tokoh-tokohnya. Amanah tidak disampaikan secara eksplisit. Pembaca sendirilah yang menyimpulkannya.
3. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra dengan Metode Jigsaw a. Hakikat Metode Jigsaw Metode Jigsaw sering dapakai dalam dunia pendidikan sebagai alternatif yang menarik. Berdasarkan penelitian terdahulu metode jigsaw telah mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi proses pendewasaan dan pengembangan kepribadian siswa tanpa mengorbankan aspek kognif. Ada satu prinsip yang perlu diingat dalam kehidupan bermasyarakat, dunia pekerja maupun dalam pembelajaran di kelas yaitu kemampuan bersinergi merupakan kunci keberhasilan. Penataan ruang kelas dalam metode Jigsaw, perlu memerhatikan prinsipprinsip tertentu (Anita Lie, 2005:57). Bangku perlu ditata sedemikian rupa sehingga semua siswa bisa melihat guru atau papan tulis dengan jelas, bisa melihat rekan-rekan kelompokknya dengan baik, dan berada dalam jangkauan kelompoknya dengan merata. Kelompok bisa dekat satu sama lain, tetapi tidak mengganggu kelompok yang lain dan guru bisa menyediakan sedikit ruang kosong di salah satu bagian kelas untuk kegiatan lain. Jigsaw merupakan salah satu jenis pembelajaran kooperatif dalam pendekatan CTL (Contextual Teaching ang Learning). Teknik ini digunakan untuk mengembangkan kemampuan membaca, memahami, mendengarkan, memecahkan masalah dan mempresentasikan sekaligus mengembangkan kerjasama (Anita Lie, 2005: 69). Siswa dalam metode pembelajaran Jigsaw ini, belajar di dalam kelompok heterogen dan beranggotakan 4 sampai 6 orang yang disebut kelompok asal. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari materi belajar yang ditugaskan kepadanya, kemudian mengajarkan bagian tersebut kepada anggota kelompoknya. Masing-masing anggota kelompok yang mendapat tugas penguasaan bagian materi itu disebut ahli. Anggota dari kelompok yang berbeda bertemu untuk berdiskusi “antarahli”. Mereka dapat saling membantu
26
satu sama lain tentang topik yang ditugaskan, serta mendiskusikannya. Setelah itu siswa pada “kelompok ahli” kembali pada kelompok asal untuk menjelaskan materi tersebut kepada anggota yang lainnya tentang apa yang dibahas/dipelajari dalam “kelompok ahli” (Arend Richard dalam Sriyono, 2007: 65). Pengertian Jigsaw dalam pembelajaran kooperatif adalah satu tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arend Richard dalam Sriyono, 2007: 67). Jigsaw menggabungkan konsep pengajaran pada teman sekelompok atau teman sebaya dalam usaha membantu belajar. Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab untuk pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Penn State (2007) mengemukakan pendapatnya mengenai metode Jigsaw sebagai berikut. The jigsaw process encourages listening, engagement, and empathy by giving each member of the group an essential part to play in the academic activity. Group members must work together as a team to accomplish a common goal; each person depends on all the others. No student can succeed completely unless everyone works well together as a team. This "cooperation by design" facilitates interaction among all students in the class, leading them to value each other as contributors to their common task (Penn State: 2007). Metode Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan menyimak dan rasa empati dengan memberi setiap anggota kelompok sebuah peran penting untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Anggota kelompok harus bekerja bersama-sama sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama; tiap anggota tergantung pada anggota yang lain. Tidak ada siswa yang bisa berhasil jika setiap siswa tidak bekerja sama dengan baik sebagai satu tim. “disain kooperatif” ini membangkitkan interaksi antar semua siswa dalam kelas, menuntun mereka untuk menilai satu sama lain sebagai kontributor untuk tugas bersama mereka. Slavin (2008: 122) menjelaskan bahwa dalam Jigsaw, siswa bekerja dalam kelompok heterogen. Siswa diberikan bab atau unit-unit lain untuk dibaca, dan juga diberikan ‘lembaran ahli’ yang berisi topik-topik untuk setiap anggota kelompok yang harus diperhatikan ketika membaca. Setelah semua siswa selesai
27
membaca, siswa dari kelompok yang berbeda dengan topik yang sama berkumpul di kelompok ahli untuk membicarakan topik mereka selama kurang lebih tiga puluh menit. Para ahli kemudian kembali pada kelompoknya masing-masing dan mengambil alih peran, yaitu mengajarkan pada teman sekelompoknya tentang topik tersebut. Akhirnya siswa diberi ulangan atau penugasan yang meliputi semua topik, nilai ulangan menjadi nilai kelompok. Skor atau nilai yang disumbangkan siswa pada kelompokknya berdasarkan pada sistem penilaian perkembangan atau kemajuan individual, dan siswa yang mempunyai skor kelompok tinggi dapat menerima penghargaan. Oleh karena itu, siswa termotivasi untuk mempelajari materi dengan baik dan bekerja keras dalam kelompok ahlinya sehingga mereka apat membantu teman sekelompoknya dengan baik. Kunci dari Jigsaw adalah ketergantungan: setiap siswa mengandalkan teman sekelompoknya untuk memberikan informasi agar dapat mengerjakan tes dengan baik. Metode Jigsaw melibatkan partisipasi aktif individu dan kerjasama kelompok. Dengan peyususnan pelajaran sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok memiliki informasi yang unik dan pengaruh tertentu. Hasil kelompok tidak lengkap bila tanpa masing-masing kelompok melakukan bagiannya. Hal tersebut diibaratkan sebagai Jigsaw Puzzel yang tidak lengkap tanpa setiap kepingan digabungkan (Brophy dalam Sri Rahayu Mulyaningsih, 2007: 37). Anita Lie (2005: 69) mengatakan bahwa Jigsaw dapat digunakan dalam beberapa mata pelajaran, seperti ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, matematika, agama dan bahasa. Dalam Jigsaw ini, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan informasi. Pembelajaran dengan metode Jigsaw terdiri dari siklus kegiatan-kegiatan instruksional yang tetap. Seperti yang dinyatakan oleh Slavin (2008: 124). Siklus-siklus pembelajaran Jigsaw adalah sebagai berikut: (1) membaca: siswa menerima topik-topik dan membaca materi yang diberikan untuk menemukan informasi; (2) diskusi kelompok ahli atau pakar: siswa yang membahas topik yang sama bertemu untuk membahasnya dalam kelompok ahli; (3) laporan kelompok: para ahli kembali ke kelompoknya masing-masing dan menjelaskan topik mereka pada anggota
28
kelompokknya; (4) tes: siswa mengerjakan tes individu yang berisi semua topik; (5) penghargaan kelompok: skor kelompok dihitung. Penghargaan kelompok diberikan kepada kelompok yang berhasil memeroleh rata-rata nilai kelompok (rata-rata nilai quis) di atas batas tuntas. Kelompok yang memeroleh nilai rata-rata tertinggi adalah kelompok yang berhak mendapat predikat superteam. Peringkat kedua mendapat predikat gretteam. Peringkat ketiga mendapat predikat goodteam, dan peringkat keempat mendapat predikat dreamteam (Slavin, 2008: 80). b. Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Metode Jigsaw Langkah-langkah yang diambil ketika pembelajran Jigsaw akan dilakukan, Aronson (1978) merekomendasikan sebagai berikut: 1) membagi siswa kedalam kelompok-kelompok, tiap kelompok beranggotakan 4-6 siswa. setiap kelompok diusahakan heterogen dalam hal jenis kelamin, suku dan yang paling penting adalah kemampuan; 2) menunjuk salah satu siswa dalam setiap kelompok sebagai ketua kelompok. Pilihan ini didasarkan pada kriteria kedewasaan siswa dalam kelompok; 3) membagi materi ke dalam empat atau lima bagian; 4) menugaskan siswa dalam kelompok untuk mengupas satu bagian dari materi yang telah dibagi. Arahkan siswa agar mereka hanya mendapat satu bagian dan mempelajari bagian mereka sendiri; 5) memberikan waktu kepada siswa untuk membaca bagiannya sehingga mereka mengatahui apa yang harus mereka lakukan. Siswa tidak perlu menghafal materi, tetapi harus mengetahui bagian mana yang harus mereka pahami; 6) membentuk kelompok ahli, yang diambil dari setiap kelompok dengan bagian yang sama, berkelompok untuk mendiskusikan masalahnya; 7) siswa kembali ke kelompok semula; 8) memberikan waktu kepada setiap siswa untuk menjelaskan apa yang sudah mereka dapatkan dalam kelompok ahli kepada teman kelompokknya semula. Teman kelompok diberikan kesempatan bertanya dan meminta penjelasan; 9) pada akhir sesi, diberikan sebuah tes materi agar siswa benar-benar mengerti dari realisasi bahwa pada setiap sesi tidak hanya kesenangan tetapi keseriusan.
29
c. Pengelompokan Metode Jigsaw Guru atau pimpinan sekolah sering membagi siswa dalam kelompokkelompok homogen berdasarkan prestasi belajar mereka. Praktik ini dikenal dengan istilah ability grouping. Ability grouping adalah praktik memasukkan beberapa siswa dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Dibalik segala manfaatnya, pengelompokan homogen ternyata mempunyai banyak dampak negatif. Dampak negatifnya antar lain bertentangan dengam misi pendidikan,
bisa
menghilangkan
kesempatan
anggota
kelompok
untuk
memperluas wawasan dan memperkaya diri. Pengelompokan heterogenitas merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam metode Jigsaw. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender, latar belakang agama, sosial-ekonomi, dan etnik, dan kemampuan akademis. Dalam hal kemampuan akademis, kelompok pembelajaran Jigsaw biasanya terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang berkemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang. Pengelompokan heterogen mempunyai beberapa kelebihan. Pertama, kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar (peer tutoring) dan saling mendukung. Kedua, kelompok ini meningkatkan relasi dan interaksi antarras, agama, etnik, dan gender. Ketiga, kelompok heterogen memudahkan pengelolaan kelas karena dengan adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi, guru mendapat satu asisten untuk setiap tiga orang. Salah satu kendala yang mungkin dihadapi guru dalam hal pengelompokan heterogen adalah keberatan dari pihak siswa yang berkemampuan akademis tinggi (atau orang tua mereka pada tingkat sekolah dasar). Siswa dari kelompok ini merasa rugi dan dimanfaatkan tanpa bisa mengambil manfaat apa-apa dalam kegiatan belajar. Jumlah anggota setiap kelompok bervariasi mulai dari 4 samapi 6 siswa, menurut kepentingan tugas. Tentu saja masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.
30
d. Penataan Ruang Metode Jigsaw Falsafah dan metode pembelajaran yang dipakai di kelas memengaruhi penataan ruang kelas. Penataan ruang yang klasikal dengan semua bangku menghadap ke satu arah (guru dan papan tulis) sangat sesuai dengan metode ceramah. Dalam metode ini, guru berperan sebagai narasumber yang utama, atau mungkin juga satu-satunya. Metode ceramah dan penataan ruang kelas klasikal bukan satu-satunya model yang bisa dipakai di kelas. Siswa bisa belajar dari sesama teman dalam metode Jigsaw. Guru lebih berperan sebagai fasilitator. Tentu saja, ruang kelas juga perlu ditata sedemikian rupa sehingga menunjang pembelajaran dengan metode Jigsaw. Keputusan guru dalam penataan ruang kelas harus disesuaikan dengan kondisi situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: (a) ukuran ruang kelas, (b) jumlah siswa, (c) tingkat kedewasaan siswa, (d) toleransi guru dan kelas sebelah terhadap kegaduhan dan lalu-lalangnya siswa lain, (e) toleransi siswa terhadap kegaduhan dan lalu-lalangnya siswa lain, (f) pengalaman guru dalam melaksanakan metode pembelajaran dengan metode Jigsaw. Hubungan yang terjadi antarkelompok asal dengan kelompok ahli digambarkan oleh Arend Richard (dalam Sriyono, 2007: 70) sebagai berikut: @
#
@
1 $
#
@
2 &
$
#
@
3
# 4
A
&
$
&
$
&
@
@
#
#
&
&
$
$
@
@
#
#
&
&
$
$
B
Gambar 1. Hubungan Kelompok Asal dan Kelompok Ahli dalam Jigsaw Keterangan: A
: Kelompok asal
B
: Kelompok ahli
@
: Ahli topik A kelompok 1, 2, 3, 4
&
: Ahli topik C kelompok 1, 2, 3, 4
$
: Ahli topik B kelompok 1, 2, 3, 4
#
: Ahli topik D kelompok 1, 2, 3, 4
31
e. Penilaian Metode Jigsaw Guru akan melakukan evaluasi terhadap siswa setelah melakukan kegiatan belajar mengajar, hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi yang diberikan. Penilaian dalam metode Jigsaw berbeda dengan metode pembelajaran lain. Dalam penilaian, siswa mendapat nilai pribadi dan nilai kelompok. Penilaian pribadi didapatkan dari hasil tes yang diberikan guru, sedangkan penilaian kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara. Pertama, nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh siswa dalam kelompok. Kedua, nilai kelompok bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok, dari sumbangan setiap anggota (Anita Lie, 2005: 88). Proses selanjutnya setelah evaluasi dilaksanakan, adalah perhitungan skor perkembangan individu dan skor kelompok. Skor individu setiap kelompok memberi sumbangan pada skor kelompok berdasarkan rentang skor yang diperoleh pada evaluasi sebelumnya dengan skor akhir. Untuk menetukan tingkat penghargaan yang diberikan kepada kelompok, sebagaimana dijelaskan oleh Aronson (1978) berikut ini. Tabel 1. Tingkat Penghargaan Kelompok Rata-rata kelompok
Penghargaan
15
Good Team (tim yang bagus)
20
Great Team (tim yang hebat)
25
Super Team (tim yang super) (adaptasi dari Aronson: 1978)
f. Kelebihan dan Kekurangan Metode Jigsaw Jill Parker (2003) menjelaskan kekurangan serta kelebihan metode Jigsaw sebagai berikut. The Advantage of Jigsaw method (1) It is an efficient way to learn the material; (2) Builds a depth of knowledge; (3) Discloses a student's own understanding and resolves misunderstanding; (4) Builds on conceptual understanding; (5) Develops teamwork and cooperative working skills. Disadvantage (1) Uneven time in expert groups; (2) Students must be trained in this method of learning; (3) Requires an equal number of
32
groups; (4) Classroom management can become a problem. (Jill Parker: 2003). Keuntungan metode Jigsaw: (1) metode Jigsaw adalah cara efisien untuk mengajarkan materi; (2) membangun sebuah pengetahuan yang mendalam mengenai sebuah topik; (3) pemahaman dan mengatasi ketidak pahaman siswa; (4) membangun pemahaman konseptual; (5) mengembangkan kerja tim dan kemampuan kerja sama. Kekurangan: (1) waktu untuk kelompok ahli tidak dapat diperhitungkan; (2) siswa harus dilatih dalam metode Jigsaw ; (3) mengharuskan jumlah yang sama dalam setiap kelompok; (4) pengelolaan kelas bisa menjadi sebuah masalah. Pembelajaran dengan metode Jigsaw juga memiliki kelebihan dan kelemahan. Aronson (1978) menyatakan kelebihan dan kelemahan metode Jigsaw adalah sebagai berikut. 1) Kelebihan metode Jigsaw a) banyak pengajar yang mengatakan bahwa Jigsaw mudah dipelajari; b) banyak pengajar yang menyukai pembelajaran Jigsaw; c) Jigsaw dapat digunakan dan dimodifikasi dengan metode yang lain; d) Jigsaw efektif bahkan jika hanya dilakukan satu jam perhari; e) Jigsaw mudah dilakukan. 2) Kelemahan metode Jigsaw a) kecenderungan adanya siswa yang mendominasi; b) masalah siswa yang lambat berpikir sehingga merasa bosan belajar; c) masalah siswa yang pandai yang merasa tidak sabar dengan proses yang berlangsung dan pada akhirnya merasa bosan; d) masalah siswa yang biasa bersaing. Langkah-langkah untuk mengurangi berbagai kelemahan itu antara lain. a) Dominasi siswa, permasalahan ini diselesaikan dengan menunjuk secara acak salah satu siswa dalam mempresentasikan suatu bagian materi. b) Siswa yang lambat berpikir, permasalah ini dapat diatasi oleh kelompok ahli. Bahwa sebelum siswa menampilkan laporannya, siswa sudah berdiskusi dahulu dengan kelompok ahli. Siswa akan saling bertanya dan menampilkan
33
masalah yang belum dia ketahui untuk selanjutnya didiskusikan. Sementara itu siswa mencatat berbagai hal yang mereka diskusikan dan memodifikasi semuanya menurut kesimpulan diskusi kelompok ahli. c) Siswa yang pandai, mengubah siswa yang pandai yang merasa bosan menjadi merasa bergairah belajar apabila ia berperan sebagai guru. Jika siswa dapat mengembangkan pikiran sebagai “guru”, belajar dapat mengubah suasana yang membosankan menjadi kegairahan tantangan. d) Siswa yang sudah terbiasa bersaing, dapat dilakukan dengan mengalihkan kepada presentasi hasil. Bagaimanapun juga presentasi hasil merupakan salah satu cara unjuk kebolehan, dan bagi siswa yang terbiasa bersaing keadaan seperti ini sangat menguntugkan karena dari mereka akan timbul banyak permasalahan yang dapat didiskusikan. Sedangkan menurut Slavin (2008: 85) metode Jigsaw mempunyai kelebihan: (1) mengembangkan kelompok kerja dan kerjasama serta kemampuan tim, (2) membangun pengetahuan secara mendalam, (3) memahami pendapat orang lain dan memecahkan kesalah pahaman, (4) membangun pemahaman konsep mengenai sesuatu hal, (5) lebih efisien dalam hal penyampaian materi, dan (6) meningkatkan rasa kerja sama di dalam kelas. Sementara itu, metode Jigsaw juga ada kelemahannya yaitu antara lain: (1) dalam kelompok yang berpengalaman lebih, waktu tidak seimbang, (2) siswa harus dilatih dalam pembelajaran Jigsaw, (3) memerlukan jumlah yang sama pada kelompokkelompok, dan (4) pengaturan kelas bisa menjadi sebuah masalah (5) terkadang timbul kesenjangan dalam sebuah kelompok.
B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang dilakukan oleh Munjaenah dengan judul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rakyat dengan Metode Jigsaw pada Sswa Kelas VII F SMP 03 Jekulo Kudus”. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk ; (1) mendeskripsikan proses pembelajaran apresiasi cerita rakyat dengan penerapan metode Jigsaw dan (2) meningkatkan kemampuan apresiasi cerita rakyat siswa pada siswa kelas VII F SMP 03 Jekulo.
34
Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui penerapan metode Jigsaw mampu meningkatkan kemampuan mengapresiasi cerita rakyat pada siswa kelas VII F SMP 03 Jekulo Kudus. Hasil ini dapat dilihat pada hasil pretes dan postes selama tiga siklus. Pada uji pratindakan jumlah siswa yang memperoleh nilia di atas KKM 8 siswa (20%), nilai rata-rata 58. Pada siklus I dilakukan perbaikan pembelajaran melalui metode Jigsaw dengan menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Pisang Becici Pantang Dimakan”. Hasilnya siswa yang memperoleh nilai di atas KKM meningkat menjadi 20 siswa (50%) terjadi kenaikan sebesar 30%, dengan nilai rata-rata 63,00, karena belum mencapai KKM maka pelaksanaan tindakan kelas dilanjutkan pada siklus II. Pada siklus II diberikan pembelajaran dengan menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Dongeng Bulus Sumber”. Hasilnya siswa yang memperoleh nilai di atas KKM meningkat menjadi 25 siswa (62,5%) terjadi kenaikan sebesar 12,5% dengan nilai rata-rata 66,38. Peningkatan tersebut belum mencapai 75% sehingga apresiasi cerita rakyat dilanjutkan pada siklus III. Setelah dilaksanakan uji kompetensi siklus III dengan menayangkan VCD cerita rakyat dari Kudus “Kisah Cinta Nawangsih dan Rinangku”. Hasilnya siswa yang mencapai KKM meningkat menjadi 31 siswa (77,5%) dengan nilai rata-rata 67,625 Pada siklus III pencapaian ketuntasan klasikal sudah lebih dari 75% dan ketuntasan kriteria minimal 62. Kesimpulannya bahwa melalui metode Jigsaw dalam pembelajaran apresiasi cerita rakyat dapat meningkatkan pembelajaran dan kemampuan mengapresiasi cerita rakyat. Penelitian yang dilakukan oleh Titiek Maryuni pada tahun 2006 yang berjudul “Peningkatan Keberanian Berbicara dengan Metode Jigsaw pada Siswa SMP Negeri 03 Nguter”, yang bertujuan untuk mengetahui secara pasti apakah metode Jigsaw benar-benar secara efektif dapat meningkatkan keberanian siswa kelas VIII B di SMP Negeri 03 Nguter. Ternyata simpulan tersebut membuktikan bahwa (1) penbelajaran berbicara dengan metode Jigsaw dapat meningkatkan keberanian berbicara pada siswa kelas VIII B SMP Negeri 03 Nguter; (2) pembelajaran dengan metode Jigsaw dapat meningkatkan keberanian berbicara mulai dari berani bertanya, menjawab, berani menjelaskan kepada temannya di kelompok ahli, di kelompok asal, maupun berbicara di depan kelas.
35
C. Kerangka Berpikir Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah upaya menyerap, menangkap informasi yang terkandung dalam dongeng. Upaya mengidentifikasi dikatakan berhasil apabila siswa mampu menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng yaitu: tema, tokoh dan penokohan, alur/plot, latar (setting), dan amanat. Mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng tidaklah mudah, diperlukan persyaratan yaitu, mampu membedakan antar unsur-unsur intrinsik agar tidak terjadi kekeliruan dalam menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng. Penerapan metode Jigsaw, dapat menjalin suasana belajar yang mengutamakan
kerjasama,
saling
menunjang,
menyenangkan,
tidak
membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran dengan terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, saling bertukar pendapat dengan teman, dan siswa kritis guru aktif. Siswa dapat merefleksi terhadap apa yang dipelajarinya sehingga dapat meningkatkan motivasi belajar kemampuan siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat dengan jelas pada gambar 2 berikut ini.
36
Kondisi Awal Sebelum Tindakan
· · ·
SISWA Kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa rendah Siswa kurang tertarik pada pembelajaran sastra Siswa pasif
· · · ·
KUALITAS PEMBELAJARAN
Pembelajaran terpusat pada guru Guru lebih aktif Pembelajaran bersifat teoretis, monoton dan menjemukan Guru menggunaka metode ceramah sebagai andalan
Pembelajaran mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng dengan Metode Jigsaw
· · · ·
Kondisi Akhir Setelah Tindakan Siswa aktif Pembelajaran tidak terpusat pada guru Siswa tertarik menyimak dongeng yang dibaca Kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa meningkat
D.
Hipotesis Tindakan
Mengacu pada latar belakang masalah, kajian teoretis, dan kerangka berpikir di atas, maka dapat dibuat hipotesis tindakan bahwa metode Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan dan kualitas proses mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar.
37
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SDN Bandardawung 03 tang beralamat di Dusun pelas, Desa Bandardawung, Kecamatan Tawangmangu Kabupaten Karanganyar kode pos 57792. Kelas yang digunakan untuk pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini adalah kelas V. Alasan dipilihnya kelas V sebagai tempat penelitian karena: (1) Kompetensi Dasar “Mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya” terdapat di kelas V; (2) di kelas tersebut terdapat permasalahan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Adapun dipilihnya sekolah ini sebagai lokasi penelitian adalah karena: (1) peneliti sudah memiliki hubungan baik dengan sekolah; (2) lokasi penelitian dekat dengan tempat tinggal peneliti. Adapun. Penelitian yang dilakukan terhadap kelas V ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Deskripsi ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu adalah sebagai berikut: ruang kelas berukuran 5 x 6 meter. Di dalam ruang kelas terdapat satu buah papan tulis hitam, satu pasang meja dan kursi guru, 15 meja dan 15 kursi untuk siswa, di dinding kelas tertempel jam dinding, satu gambar Burung Garuda, Presiden dan Wakil Presiden, satu kalender. Ruang kelas dengan cat warna cerah sehingga kelas keliatan terang. Peneliti membutuhkan waktu 6 bulan untuk melakukan penelitian ini. Penelitian ini dimulai bulan Desember sampai dengan bulan Mei 2010 yang terbagi menjadi beberapa tahap. Tahapan tersebut yaitu persiapan, pelaksanaan, dan penyusunan laporan. Berikut ini adalah rincian waktu dan kegiatan penelitian.
36
38
Tabel 2. Rincian Kegiatan dan Waktu Penelitian No
Nama Kegiatan
Bulan Des
1
Survei awal sampai penyususnan proposal
2
Seleksi Informan, penyiapan instrument dan media
3
Pengajuan surat izin penelitian ke sekolah
4
Pengumpulan data
5
Analisis data
6
Penyususnan laporan
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
B. Subjek Penelitian Subjek penelitian adalah siswa kelas V SDN Bandardawung 03 yang terdiri dari 11 siswa putra dan 17 siswa putri. Selain siswa, subjek penelitian adalah guru kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Sebagian besar siswa adalah anak petani dengan penghasilan menengah kebawah. Mereka bermain di lingkungan pertanian namun ada beberapa siswa yang sudah memepunyai tugas dari orang tua mereka untuk memebantu. Sedangkan Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. bukan warga asli Tawangmangu, beliau berasal dari Boyolali.
C. Sumber Data Tiga sumber data penting yang dijadikan sebagai sasaran penggalian dan pengumpulan data serta informasi dalam penelitian ini. Sumber data tersebut meliputi: 1. Peristiwa, yakni proses belajar pembelajaran di dalam kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu; penyusunan RPP antara peneliti dan guru; wawancara antara peneliti dan guru; wawancara antara peneliti dengan siswa.
39
2. Informan dalam penelitian ini meliputi: (1) guru kelas V yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. beliau yang mengetahui kegiatan belajar mengajar mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta mengatahui alasan penetapan KKM di kelas V; (2) siswa kelas V SD Negeri Bandardawung 03 yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo. Anggi Ayu Purnamasari, dijadikan sebagai informan sebab ia merupakan siswa yang pandai dan selalu aktif ketika proses belajar pembelajaran berlangsung. Rosyid Prasetyo dijadikan informan sebab dia siswa yang tidak begitu pandai dan sering tidak memperhatikan pembelajaran, sedangkan Indri Rosita Sari dijadikan informan sebab dia salah satu siswa yang kelihatan bosan ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng berlangsung. 3. Dokumen meliputi: (1) foto kegiatan pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang terjadi di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu; (2) hasil tes siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu untuk mengetahui tingkat keberhasilan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada setiap siklus; (3) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang dibuat oleh guru dan peneliti untuk pembelajaran setiap pelaksanaan siklus; (4) silabus yang ditentukan oleh pihak SDN Bandardawung 03 Tawangmangu; (5) catatan lapangan hasil observasi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; (6) serta catatan hasil wawancara yang telah ditranskrip yaitu wawancara dengan guru kelas V Ibu Wahyu Priyanti, S.Pd. dan 3 siswa kelas V SD Negeri Bandardawung 03 yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo.
D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh data yang berkualitas dalam suatu penelitian. Adapun dalam pengumpulan data digunakan metode, cara atau teknik tertentu. Metode atau teknik yang dipilih harus sesuai dengan sifat data. Penggunaan metode sepenuhnya tergantung pada objek, sasaran dan tujuan penelitian dilaksanakan.
40
Sesuai dengan tujuan, metode, dan jenis sumber data yang digunakan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi: observasi, wawancara, tes atau pemberian tugas. 1. Observasi Observasi digunakan untuk mendapatkan data-data pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang dilakukan oleh guru maupun siswa. Teknik ini dilakukan sejak sebelum tindakan diberikan, saat tindakan diberikan hingga akhir tindakan. Dalam observasi ini, peneliti bertindak sebagai partisipan pasif. Peneliti tidak melakukan tindakan yang dapat mempengaruhi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang sedang berlangsung. Peneliti hanya mengamati proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru maupun siswa serta mencatat segala sesuatu yang terjadi selama proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum menggunakan metode Jigsaw dan ketika menggunakan metode Jigsaw. Peneliti mengambil posisi di tempat duduk paling belakang. Hasil observasi didiskusikan peneliti bersama guru kelas V SDN Bandardawung 03 yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Dari hasil diskusi ini, Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada dalam proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah dilakukan kemudian diupayakan solusinya. Solusi yang dapat digunakan pada pelaksanaan siklus berikutnya. Observasi terhadap guru difokuskan pada kemampuan guru dalam mengelola kelas serta dalam memancing keaktifan siswa dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang sedang berlangsung. Sementara itu, observasi terhadap siswa difokuskan pada keaktifan siswa pada saat apersepsi, keaktifan siswa dalam pembelajaran, minat siswa dalam menyimak dongeng yang disampaikan, dan keaktifan siswa dalam diskusi kelompok ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng berlangsung baik sebelum maupaun sesudah mengunakan metode Jigsaw.
41
2. Wawancara Teknik ini digunakan untuk memperoleh data dari informan tentang pelaksanaan pembelajaran di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Berbagai informasi mengenai kesulitan yang dialami Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, faktor-faktor penyebabnya, serta solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang mucul. Melakukan wawancara dengan 3 siswa kelas V SDN Bandardawung 03 yaitu Anggi Ayu Purnamasari, Indri Rosita Sari, Rosyid Prasetyo, untuk mengetahui metode dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang diterapkan oleh guru dan untuk mengetahui tanggapan siswa terhadap cara mengajar yang digunakan oleh guru serta untuk mengetahui tingkat kemamapuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. 3. Tes/pemberian tugas Usaha yang dilakukan oleh guru dalam rangka untuk mengetahui hasil kegiatan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu sebelum dan sesudah pelaksanaan penelitian. Dalam penelitian ini, guru melakukan dua kali tes yakni pretes digunakan untuk mengetahui keterampilan awal siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dan postes untuk mengetahui kemampuan siswa setelah mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw. Tes yang dilaksanakan berupa esay jawaban singkat sebanyak lima belas soal.
E. Uji Validitas Data Untuk mendapatkan data yang valid, perlu dilakukan teknik-teknik sebagai berikut. 1. Trianggulasi metode, teknik ini digunakan untuk membandingkan data yang sudah diperoleh dari hasil observasi dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara. Data
yang diperoleh dari
hasil
observasi
pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah
42
menggunakan metode Jigsaw dibandingkan dengan hasil wawancara dengan Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. apakah ada kesesuian atau tidak. 2. Trianggulasi sumber data yaitu cara memperoleh satu data yang sama dari dua sumber berbeda. Trianggulasi sumber digunakan untuk menguji kebenaran data yang diperoleh dari satu informan dengan informan lain. 3. Review informan, teknik ini digunakan untuk menanyakan informan, apakah data yang diperoleh dari hasil wawancara sudah valid atau belum, sudah sesuai dengan kesepakatan atau belum. Peneliti mengadakan review informan setelah peneliti menulis semua hasil wawancara dengan Ibu Wahyu Priyanti S. Pd. mengenai pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu.
F. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis interaktif (interaktif model of analysis) oleh Sutopo (2002: 96). Teknik tersebut mencangkup kegiatan untuk mengungkapkan kelemahan serta kelebihan kinerja guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Hasil analisisnya dijadikan dasar dalam penyusunan perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya. Dalam hal ini peneliti mengungkapkan kelemahan serta kelebihan kinerja guru dan siswa ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah menggunakan metode Jigsaw yang berlangsung di SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Kemudian hasil analisis, peneliti dijadikan dasar dalam menyusun perencanaan tindakan untuk tahap berikutnya. Analisis model interaktif ini merupakan interaksi dari empat komponen, yaitu antara lain: (1) rencana tindakan (tahap display data); (2) pelaksanaan tindakan (tahap pengumpulan data); (3) pemantauan dan evaluasi tindakan (tahap pengumpulan data dan reduksi data); (4) analisis dan refleksi tindakan (tahap reduksi data, display data, serta penarikan kesimpulan.
43
1. Rencana tindakan (tahap display data) Berdasarkan hasil pengidentifikasian dan penetapan masalah, peneliti kemudian mengajukan suatu solusi yang berupa metode Jigsaw yang dapat diterapkan oleh guru untuk dipergunakan sebagai metode dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu dan penyusuanan RPP dengan metode Jigsaw. 2. Pelaksanaan tindakan (tahap pengumpulan data) Keseluruhan tindakan dilaksanakan dalam penelitian ini bertujuan untuk mengadakan perbaikan terhadap proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang selama ini dirasa kurang memadai. Tindakan dalam penelitian ini berupa penerapan metode Jigsaw agar dapat menarik minat siswa dalam mengikuti pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng di kelas. Setiap kegiatan yang dilakukan tersebut selalu diikuti dengan kegiatan pemantauan dan evaluasi serta analisis dan refleksi yang dilakukan oleh peneliti. Tahap ini peneliti melakukan observasi untuk mengetahui apakah tindakan yang dilakukan telah dapat mengatasi permasalahan yang ada atau belum. Selain itu, peneliti juga melaksanakan observasi untuk mengumpulkan data-data yang akan diolah untuk mengetahui segala kelemahan yang mungkin muncul ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng berlangsung. Data-data yang telah dikumpulkan tersebut diolah untuk menentukan tindakan penelitian berikutnya dilaksanakan lagi atau tidak. 3. Pemantauan dan evaluasi tindakan (tahap pengumpulan data dan reduksi data) Kegiatan pemantauan yang dilakukan untuk memonitor tindakan yang terjadi di dalam kelas. Dalam tahap ini, peneliti mengadakan observasi sebagai partisipan pasif, dimana peneliti berada di dalam lokasi penelitian yaitu di dalam ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu namun tidak berperan aktif dalam kegiatan yang sedang berlangsung. Peneliti hanya mengamati jalannya proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sebelum maupun sesudah menggunakan metode Jigsaw yang terjadi di dalam kelas dipandu oleh guru sambil mencatat segala sesuatu yang
44
terjadi selama proses pembelajaran berlangsung. Setelah itu, peneliti mengadakan sharing ide yang bersangkutan mengenai hasil pengamatan peneliti. Dalam forum sharing tersebut, diungkapkan kelemahan dan kelebihan proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah berlangsung dengan memfokuskan pada penampilan guru di kelas dan respon siswa terhadap stimulan dari guru. Tahap ini peneliti juga bertindak sebagai partisipan pasif yang mengamati jalannya pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang terjadi, dalam hal ini yaitu peristiwa kegiatan pembelajaran di kelas. Setelah data terkumpul, kemudian peneliti mengolah data tersebut hingga dapat disajikan pada guru yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. agar dapat dicari solusi untuk berbagai permasalahan yang muncul. 4. Analisis dan refleksi tindakan (tahap reduksi data, display data, serta penarikan kesimpulan Hasil evaluasi kemudian dianalisis untuk menentukan langkah-langkah perbaikan yang dapat ditempuh, sehinga didapatkan suatu solusi untuk semua permasalahan yang dialami oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran megidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Tahap ini peneliti menganalisa atau mengolah data yang telah dikumpulkan yaitu proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, kemudian menyajikan dalam pertemuan dengan Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Setelah dilakukan diskusi dan sharing ide dengan Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd., kemudian diambil suatu kesimpulan yang berupa hasil pelaksanaan penelitian. Dari hasil penarikan kesimpulan ini, dapat diketahui apakah ini berhasil atau tidak, sehingga dapat detentukan langkah selanjutnya. Teknik analisis interaktif dari Sutopo (2002: 96) digambarkan sebagai berikut:
45
Pengumpulan
Reduksi
Sajian
Penarikan Kesimpulan
Sutopo (2002: 96) Gambar 3. Analisis Model Interaktif
G. Indikator Keberhasilan Tindakan Secara garis besar indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Keberhasilan kualitas proses ditandai dengan keberhasilan tercapainya semua indikator yang telah ditetapkan, sehingga apabila semua indikator tersebut sudah tercapai siklus akan dihentikan. Keberhasilan kualitas hasil ditandai dengan nilai hasil mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa harus di atas KKM yang telah ditentukan oleh pihak sekolah yaitu 60. Penetapan KKM yang hanya 60 didasari oleh beberapa faktor, yaitu: (1) letak sekolah yang jauh dari kota, sehingga kemampuan siswa terbatas; (2) apabila KKM di atas 60 banyak siswa yang tidak tuntas; (3) sarana prasarana sekolah yang terbatas, sehingga guru kesulitan untuk mengembangkan kemampuan siswa.
46
Tabel 3. Indikator Ketercapaian Belajar Siswa Aspek
Presentase
Cara mengukur
pencapaian minat siswa dalam
75 %
Diamati saat pembelajaran
menyimak dongeng yang
dengan lembar observasi
disampaiakan
dihitung jumlah siswa yang menyimak pembacaan dongeng dengan sungguh-sungguh
keaktifan siswa dalam
75%
diskusi kelompok
Diamati saat pembelajaran dengan lembar observasi dihitung jumlah siswa yang menyampaikan pendapatnya saat diskusi berlangsung
ketuntasan belajar
75 %
Dihitung jumlah siswa yang mendapatkan nilai di atas 60 (enam puluh)
(adaptasi dari E. Mulyasa 2007: 255)
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan rangkaian tahapan penelitian dari awal hingga akhir penelitian. Penelitian ini adalah proses pengkajian sistem berdaur sebagaimana kerangka berpikir. Prosedur dalam Penelitian Tindakan Kelas ini mencangkup langkah-langkah sebagai berikut: (1) persiapan, (2) studi/survey awal, (3) pelaksanaan siklus, dan (4) penyusunan laporan. Pelaksanaan siklus meliputi: (a) perencanaan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan (acting), (c) pengamatan (observing), (d) refleksi (reflecting). Berikut ini adalah bagan prosedur Penelitan Tindakan Kelas yang dipaparkan oleh Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi (2008: 74).
47
Permasalahan
Perencanaan Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I
Refleksi I
Pengamatan/ pengumpulan data I
Siklus I Permasalahan baru hasil refleksi
Siklus II
Apabila permasalahan belum terselesaikan
Perencanaan Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan II
Refleksi II
Pengamatan/ pengumpulan data II
Dilanjutkan ke siklus berikutnya
Gambar 4. Prosedur Penelitian Tindakan Kelas (Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, 2008: 74) Penjelasan secara garis besar mengenai masing-masing langkah tersebut diuraikan sebagai berikut. 1. Persiapan Pada tahap persiapan ini peneliti menemui Kepala SDN Bandardawung 03 Tawangmangu untuk memberitahukan sekaligus meminta izin untuk melakukan penelitian. Peneliti mengajukan surat izin penelitian yang dikeluarkan oleh dekanat disertai proposal penelitian. Setelah peneliti mendapatkan ijin dari kepala sekolah, peneliti menemui guru kelas V untuk mempersiapan survei awal. 2. Studi/survei awal Untuk
mengetahui
kondisi
awal
proses
belajar
pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, peneliti melakukan survei awal di kelas yang telah ditentukan sebelumnya yaitu kelas V. Pada tahap ini peneliti berusaha mengenali kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng serta situasi dan kondisi pembelajaran mengidentifikasi unsur-
48
unsur intrinsik dongeng. Pengenalan tersebut dilakukan dengan mengamati proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, memeriksa hasil pekerjaan siswa berupa jawaban atas soal-soal yang guru berikan mengenai unsurunsur intrinsik dongeng yang siswa dengar. Pada tahap ini, peneliti juga melakukan wawancara pada guru kelas V yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. dan 3 siswa kelas V SDN Bandardawung 03 mengenai pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang terjadi selama ini. 3. Pelaksanaan siklus Indikator yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah meningkatnya kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karangnayar. Setiap tindakan menunjukkan peningkatan indikator tersebut yang dirancang dalam suatu siklus. Masing-masing siklus terdiri dari empat tahap yaitu: (a) perencanaan tindakan (planning), (b) pelaksanaan tindakan (acting), (c) pengamatan (observing), (d) refleksi (reflecting) untuk perencanaan siklus berikutnya. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga siklus. Adapun empat tahap pelaksanaan siklus diuraikan sebagai berikut: a) perencanaan tindakan (planning) Berdasarkan hasil identifikasi serta penetapan masalah dari kegiatan observasi survei awal dan wawancara, peneliti mengajukan alternatif pemecahan masalah dengan menerapkan metode pembelajaran Jigsaw dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Pada tahap ini, peneliti beserta guru menyusun skenario pembelajaran yang menerapkan metode Jigsaw. Di samping itu, peneliti menyiapkan perangkat yang diperlukan selama pembelajaran seperti kertas HVS, lembar jawab serta perangkat yang diperlukan untuk observasi seperti lembar observasi dan dokumentasi. b) pelaksanaan tindakan (acting) Tindakan yang telah direncanakan serta disepakati oleh peneliti dan guru diimplementasikan oleh guru dalam bentuk pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng yang menerapkan metode pembelajaran Jigsaw. Pelaksanaan tindakan diwujudkan dalam langkah-langkah pembelajaran yang
49
sistematis. Secara garis besar, sebelum siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang didengar, guru tetap memberikan materi melalui apersepsi dengan cara tanya jawab dengan siswa mencangkup pengertian dongeng dan unsur-unsur intrinsik pembangun dongeng. Setelah itu, siswa dibentuk kelompok kemudian salah satu siswa ditugasi untuk membacakan sebuah dongeng di depan kelas, siswa yang lain mendengarkan, kemudian guru menugasi siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang mereka dengar dalam kelompok ahli. Setelah diskusi di kelompok ahli selesai siswa kembali ke kelompok asal kemudian menyamapaikan hasil diskusi ke anggota kelompok asal secara bergantian, kemudian siswa kembali ke tempat duduk masing-masing kemudian guru memberikan tes. Selanjutnya, guru menilai hasil kerja siswa berdasarkan minat siswa saat menyimak dongeng yang disampaikan, keaktifan saat diskusi, serta kemampuan menjawab soal-soal yang diberikan guru. Guru juga memberikan memberikan masukan mengenai proses diskusi yang telah dilaksanakan oleh siswa. c) pengamatan (observing) Peneliti melakukan observasi saat pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw yang berlangsung. Observasi berupa kegiatan pemantauan, pencatatan, serta pendokumentasian segala kegiatan selama pelaksanaan pembelajaran. Data yang diperoleh dari kegiatan observasi kemudian diinterpretasi guna mengetahui kelebihan dan kekurangan dari tindakan yang dilakukan. d) analisis dan refleksi (reflecting) Peneliti menganalisis data yang telah terkumpul dari hasil observasi pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw kemudian menyajikannya pada guru kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu yaitu Ibu Wahyu Priyanti, S. Pd. Peneliti dan guru berdiskusi untuk menentukan langkah-langkah perbaikan yang akan dilakukan pada siklus berikutnya berdasarkan hasil analisis berupa kelemahan-kelemahan dalam pembelajaran. Dalam tahapan ini dapat diketahui berhasil tidaknya tindakan yang telah diberikan.
50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Sebelum hasil penelitian dipaparkan, pada bab ini diuraikan terlebih dahulu mengenai kondisi awal (pratindakan) pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar. Dengan demikian pada bab ini akan dikemukakan: (a) kondisi awal proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar, (b) pelaksanaan tindakan dan hasil penelitian, dan (c) pembahasan hasil penelitian. Penelitian tindakan dilakukan dalam tiga siklus meliputi: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, serta evaluasi dan refleksi.
A. Kondisi Awal Peneliti melakukan survei awal sebelum melaksanakan penelitian. Survei awal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dan mengetahui kemampuan awal siswa dalam memahami unsur-unsur intrinsik dongeng. Kondisi awal ini menjadi acuan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan pada pembelajaran dalam siklus selanjutnya. Survei awal dilakukan pada hari Jumat, 26 Februari 2010. Peneliti mengambil posisi tempat duduk paling belakang di kelas ketika melakukan survei awal. Peneliti melakukan kegiatan pengamatan selama proses belajar mengajar berlangsung. Segala kejadian yang berlangsung pada hari itu peneliti amati dalam lembar observasi. Selanjutnya, peneliti melakukan wawancara dengan guru kelas V dan wawancara kepada siswa siswi untuk mengetahui sejauh mana respon siswa terhadap pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah berlangsung. Deskripsi hasil survei awal yang peneliti lakukan adalah sebagai berikut. Pada saat pratindakan, guru memulai proses pembelajaran dengan mengucapkan salam dan mengecek kehadiran siswa. Peneliti menempatkan diri sebagai partisipan pasif dengan berada di tempat duduk bagian belakang, sehingga peneliti
49
51
dapat mengamati jalannya kegiatan belajar mengajar dengan leluasa tanpa mengganggu pelajaran yang sedang berlangsung. Di kelas V guru menjelaskan mengenai materi cerita rakyat, guru lebih mengutamakn materi tentang dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru menjelaskan dengan sesekali memberikan pertanyaan kepada siswa, kemudian meminta siswa untuk menjawab dengan mengacungkan jari. Akantetapi, tidak ada satu siswa pun yang menjawab pertanyaan dengan tegas dan lantang, sebagian siswa hanya bergumam tidak mau menjawab dengan berani. Ketika guru mulai masuk ke materi ada beberapa siswa yang gaduh berbicara sendiri dengan temannya, ada yang melamun sepertinya ngantuk sehingga ketika guru memberikan pertanyaan siswa tersebut tidak bisa menjawab pertanyaan dengan baik. Kemudian guru menunjuk siswa lain untuk menjawab pertanyaan tersebut. Siswa dapat menjawab dengan baik dan benar sesuai dengan yang diinginkan guru. Guru kemudian menuliskan materi yang akan dicatat oleh siswa di papan tulis, kemudian siswa disuruh mencatat di buku catatan mereka masing-masing. Guru memeriksa catatan siswa dengan berputar mengelilingi kelas serta mengontrol siswa agar tetap kondusif mengikuti kegiatan belajar mengajar. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya tentang materi yang belum dipahami dengan benar namun tidak ada siswa yang bertanya. Setelah itu guru menugasi siswa membacakan dongeng yang berada pada buku di depan kelas. Banyak siswa yang tidak mau mendengar, mereka bercerita sendiri dengan teman ada juga yang mengantuk meletakkan kepalanya di atas meja. Hanya sebagian siswa yang mendengarkan dongeng yang dibaca. Setelah dongeng dibacakan, guru menugasi siswa megidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng yang mereka dengar. Saat mendengar tugas dari guru, semua siswa sangat gaduh. Karena mereka tidak menyimak dengan baik dongeng yang dibaca. Selain itu, mereka juga belum begitu paham mengenai unsur-unsur intrinsik dongeng yang harus diidentifikasi. Tugas dikumpulkan setelah bel berbunyi.
52
Dari kenyataan yang ada, pembelajaran tersebut masih bersifat konvensional. Pembelajaran masih berpusat pada guru (teacer centered) meskipun siswa diberi kesempatan untuk bertanya. Metode yang diterapkan pun kurang bervariasi. Guru masih menggunakan metode ceramah sebagai andalannya dalam menyampaikan materi. Penugasan digunakan guru sebagai evaluasi pembelajaran. Hasil tugas yang diberikan guru menunjukkan bahwa masih cukup banyak siswa yang kurang memperhatikan penjelasan guru serta menangkap materi yang disampaikan oleh guru terlihat masih banyaknya fakta hasil identifikasi yang siswa lakukan masih banyak kesalahannya. Hal itu menunjukkan bahwa metode ceramah belum efektif untuk menyampaikan materi dongeng. Dari hasil wawancara dengan guru, beliau mengemukakan bahwa ratarata siswa mepunyai kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang masih rendah, hal itu disebabkan ketidakmampuan siswanya dalam memahami secara baik dongeng. Guru menilai para siswa pada umumnya belum mampu menentukan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru juga menyatakan belum menemukan metode yang tepat untuk menyampaikan materi dongeng agar prestasi belajar siswa maksimal. Selama ini masih banyak potensi siswa yang bisa digali agar siswa lebih aktif dalam pembelajaran namun belum bisa dilaksanakan untuk semua materi pelajaran. Guru mempunyai asumsi bahwa keaktifan siswa pada saat pembelajaran dongeng jauh bisa ditingkatkan sehingga kualitas proses dan hasil pembelajaran dongeng juga meningkat namun perlu metode yang tepat. Guru menyadari bahwa selama ini beliau hanya mengajar secara konvensional tanpa pernah mencoba metode-metode pembelajaran yang baru. Melihat kenyataan tersebut, tidak mengherankan jika siswa tampak tidak aktif selama proses pembelajaran. Metode yang konvensional, membuat siswa cepat merasa jenuh dalam mengikuti pembelajaran dongeng. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan siswa diperoleh penjelasan bahwa siswa tidak begitu menyukai pembelajaran dongeng, alasannya menurut
mereka
pembelajaran
dongeng
membosankan.
Terkait
dengan
kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang pernah mereka terima, siswa menuturkan bahwa pembelajaran yang sering dilaksanakan guru
53
adalah dengan metode ceramah. Hal tersebut menyebabkan siswa kurang memiliki andil yang besar terhadap pembelajaran dan membuat siswa menjadi pasif. Selain itu, mereka juga mengeluhkan cepat bosan dengan metode yang guru gunakan. Dari pengamatan saat pratindakan pada survei awal diketahui bahwa partisipasi aktif dan kemampuan siswa memahami unsur-unsur intrinsik dongeng masih rendah. Rendahnya partisipasi aktif siswa dalam pembelajaran dongeng tampak dalam hal berikut. 1. Lemahnya kemampuan siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; Dari hasil jawaban siswa diketahui bahwa siswa belum mampu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan baik. Tema belum sepenuhnya dipahami oleh siswa, latar peristiwa masih saja ada yang salah. Selain itu dalam menentukan tokoh dan penokohan ada yang terbalik. Amanat yang dituliskan pun belum sesuai dengan isi dongeng yang ada. 2. Masih banyak siswa yang belum mempunyai minat menyimak dongeng yang dibacakan; Pada saat dongeng dibaca, masih banyak siswa yang tidak menyimak dongeng dengan baik. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa siswa yang menyimak dongeng dengan baik sebanyak 11 siswa (40%). 3. Masih banyak siswa yang belum aktif ketika diskusi kelompok berlangsung; Pada saat diskusi kelompok, masih banyak siswa yang tidak berperan aktif ketika diskusi berlangsung, hanya tampak beberapa siswa saja yang selalu berperan aktif ketika berdiskusi. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa siswa yang aktif ketika diskusi 11 siswa (40%). 4. Masih banyak siswa yang belum mengalami ketuntasan belajar.
54
Tabel 4. Perolehan Nilai Pretes Mengidentifikasi Unsur-unsu Intrinsik Dongeng No NIS 1 767 2 776 3 790 4 791 5 798 6 803 7 814 8 815 9 816 10 818 11 819 12 820 13 821 14 822 15 823 16 824 17 825 18 827 19 828 20 830 21 831 22 834 23 838 24 839 25 848 26 873 27 896 28 898 rata-rata: 52.85
Nama Gilang Permana Rohmat Bayu A. S Diana Mita Sari Santi Tiara Bakti Kevin Pratama Putra Sriyanto Salsa Dinisa Nur Devi Kharisma Angzali Indri Rosita Sari Ratih Dwi Anggraeni Candra Sih Maulana Riski Setiawan Lina Imroatun Achmad Fadyanto Fahrian Sinta Dewi Desi Wahyu Sulistya N Puput Lestari Ivan Febri Bimantara Anggi Ayu Purnamasari Ayu Wibeseno Ulfiani Resti Utami Indah Puspitasari Iliyana Diningtyas Ratri Pinky Yulia Rahmawati Rosyid Prasetyo Nadila Putri Hapsari Ira Widiyastuti Yusroni Aruda F.
Nilai 50 35 70 50 40 45 75 90 60 80 65 55 65 55 40 50 45 50 80 50 70 55 70 50 60 35 50 40
Mengacu pada analisis di atas, dapat dikemukakan tiga hal pokok yang perlu diatasi, yaitu pembelajaran dongeng yang konvensional, rendahnya partisipasi aktif siswa dalam mengikuti pembelajaran serta menumbuhkan minat menyimak dongeng siswa. Implikasinya, tindakan perlu dilakukan untuk mengatasi dua hal tersebut. Untuk itu peneliti berdiskusi dengan guru untuk merencanakan langkah selanjutnya pada hari Sabtu, 27 Februari 2010.
55
B. Pelaksanaan Tindakan dan Hasil Penelitian 1. Siklus I a. Perencanaan Tindakan Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan ditemukan beberapa permasalahan, kemudian dilaksanakanlah siklus I sebagai tindakan pertama untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Tahap pertama dari siklus I adalah perencanaan tindakan. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27 Februari 2010 di ruang guru SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Peneliti dan guru melakukan diskusi, yaitu :(1) peneliti menyamakan presepsi dengan guru mengenai penelitian yang akan dilakukan; (2) peneliti memberikan usul menerapkan metode Jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; (3) peneliti dan guru bersama-sama menyususn RPP untuk siklus I; (4) peneliti dan guru menentukan indikator pencapaian tujuan; (5) guru dan peneliti membuat lembar penilaian tes dan nontes. Instrumen tes dinilai berdasarkan hasil pekerjaan siswa. Intrumen nontes dinilai berdasarkan pedoman observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan mengamati keaktifan dan sikap siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung; (6) menentukan jadwal penelitian berikutnya. Urutan tindakan yang direncanakan dalam siklus I adalah sebagai berikut: 1. guru memberikan apersepsi awal mengenai pengetahuan awal siswa terhadap dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng; 2. guru membagi siswa menjadi 7 kelompok; 3. guru membagi topik permasalahan yang harus siswa pecahkan; 4. guru menunjuk salah satu siswa membacakan dongeng di depan kelas; 5. guru menugasi siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah ditugaskan guru kepada mereka; 6. guru menugasi kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli; 7. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa; 8. guru menutup pelajaran.
56
Urutan kegiatan tersebut merupakan urutan proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng tindakan penelitian siklus I. Pelaksanaan siklus I disepakati hari Senin, 1 Maret 2010 pukul 07.15-08.25. b. Pelaksanaan Tindakan Tindakan pada siklus I dilaksanakan pada hari Senin tanggal 1 Maret 2010 di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Siklus I berlangsung selama 2 x 35 menit, yaitu mulai pukul 07.15-08.25. Langkah-langkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah sebagai berikut: 1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi; 2. guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan menyuruh mengeluarkan buku LKS serta buku paket; 3. guru mengadakan apersepsi dengan cara bertanya jawab mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng; 4. Guru dan siswa merangkum materi hasil apersepsi; 5. guru membentuk kelompok, yaitu dengan membagi siswa ke dalam 7 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 4 siswa dengan 1 siswa berkemampuan tinggi (pintar), 2 siswa berkemampuan sedang, dan 1 siswa berkamampuan rendah. Pembagian kelompok ini berdasarkan nilai siswa serta keaktifan siswa ketika mengikuti kegiatan belajar-mengajar sehari-hari. Sekaligus membagi topik untuk setiap siswa; 6. guru menugasi salah satu siswa membacakan dongeng di depan kelas; 7. siswa berdiskusi di kelompok asal mengenai tugas serta tanggung jawab mereka masing-masing; 8. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan; 9. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli;
57
10. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya; 11. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa; 12. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui; 13. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; 14. guru menutup pelajaran. Pada pelaksanaan siklus ini peneliti bertindak sebagai partisipan pasif memposisiskan diri di tempat duduk paling belakang dengan melakukan pengamatan sambil sesekali mengambil gambar. c. Observasi Observasi dilaksanakan dengan mengamati secara seksama pelaksanaan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng baik pada aktivitas guru maupun siswa. Peneliti yang duduk di belakang sebagai pertisipan pasif. Berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan didapat hasil sebagai berikut. Di awal pembelajaran sebagaimana yang telah direncanakan guru membuka pelajaran dengan memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi. Siswa tampaknya menilai hal itu sebagai sebuah kewajaran. Setelah itu guru melakukan pengondisian kelas dengan menyuruh siswa mempersiapkan dengan membuka buku LKS serta buku paket Bahasa Indonesia. Kemudian guru mengadakan apersepsi yaitu mengenai pengertian dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Rata-rata siswa mengeluh saat guru memberitahukan bahwa pelajaran ini adalah mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng, mungkin telah tergambar bagaimana sulitnya dan pasti membosankan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Langkah selanjutnya guru berupaya untuk mendapatkan keterangan dari siswa terkait dengan pengalaman siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Rata-rata siswa hanya terdiam dan tertunduk walaupaun sebenarnya guru sudah memancing dengan sedemikian rupa. Walaupun demikian usah itu bukanlah usaha yang sia-sia tampak beberapa siswa mulai antusias mengikuti pembelajaran. Berdasarkan kegiatan tanya jawab tersebut diketahui bahwasannya siswa tidak menyimak dongeng yang di bacakan teman mereka, sebagian mereka
58
merasa bosan sehingga mereka kesulitan mengidentifikasi serta membedakan tiap unsur-unsur intrinsik dongeng, selain itu mereka merasa bosan dengan metode yang diterapkan oleh guru. Setelah merasa siswa masuk pada konteks pembelajaran yang diharapkan, langkah berikutnya guru merangkum materi hasil apersepasi. Tak dapat dipungkiri ceramah pada awal pembelajarn itu sungguh membosankan dan mengakibatkan siswa tidak terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Reaksi yang sering muncul adalah beberapa siswa mulai tampak bosan dan beraktivitas sendiri. Guru sesekali harus menegur siswa yang tidak memerhatikan pembelajaran agar kembali fokus pada pembelajaran. Pelaksanaan tersebut tidak sesuai dengan RPP yang telah disepakati dengan peneliti. Setelah kegiatan apersepsi selesai, guru pun meminta siswa membentuk kelompok dengan anggota tiap kelompok sejumlah 4 orang siswa dan sekaligus guru membagi topik yang harus mereka pecahkan dalam kelompok ahli. Kemudian guru menugasi salah satu siswa yaitu Santi untuk membacakan dongeng di depan kelas. Ketika Santi membacakan dongeng di depan kelas, tidak semua siswa mendengarkan dengan antusias. Kebanyakan mereka malah kelihatan sangat bosan dengan aktivitas tersebut. Setelah Santi selesai membacakan dongeng, guru menugasi kelompok ahli untuk memecakan topik yang telah guru berikan. Setelah itu selesai, kelompok ahli kembali ke kelolmpok asal kemudian kelompok ahli bertugas menjelaskan ke kelompok asal. Kemudian guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Akan tetapi tidak ada satu siswa pun yang mau bertanya, padahal nampak jika mereka masih bingung dengan pembelajaran hari ini. Karena siswa tidak ada yang mau bertanya kemudian guru memberikan lembar soal untuk dikerjakan sebagai alat ukur untuk mengetahui keberhasilan pembelajaran hari ini. Setelah selesi mengerjakan soal, lembar jawaban siswa dikumpulkan lima menit sebelum bel berbunyi. Sebagai refleksi guru bertanya kepada siswa terkait dengan kesulitan yang masih ditemukan saat pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Beberapa siswa mengungkapkan bahwa mereka kurang berminat menyimak dongeng karena pembacaannya membosankan, siswa masih kesulitan memahami
59
unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah disampaikan oleh teman mereka serta masih bingung dengan penerapan metode yang diterapkan. Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan hasil observasi pada siklus I, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 12 siswa (42 %) ;4) siswa yang aktif saat diskusi 13 siswa (46 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 15 siswa (56 %). d. Analisis Refleksi Berdasarkan
pengamatan
yang
dilakukan
peneliti
kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dilakukan analisis dan refleksi sebagai berikut. 1 ) Selama pembelajaran siswa terlihat kurang aktif baik pada kegiatan apersepsi maupun selama proses pembelajaran. Hal itu tampak dari pertanyaanpertanyaan guru yang tidak sepenuhnya ditanggapi oleh siswa. 2 ) Pengelolaan kelas yang telah guru laksanakan kurang optimal, hal itu terbukti dengan proses pembelajaran masih bersifat satu arah yakni guru yang lebih mendominasi pembelajaran. 3 ) Beberapa siswa tampak kurang berminat menyimak dongeng yang dibaca. Tampak siswa sibuk melakukan aktivitas sendiri, seperti berbicara dengan teman sebangku bahkan ada menyandarkan kepala mereka di atas meja selain itu siswa juga tampak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar, intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan Hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang dilakukan oleh guru. 4 ) Penentuan kelompok perlu diulang, karena ada beberapa siswa yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok. 5 ) Diskusi kelompok belum berfungsi secara optimal. Selain itu waktu yang dibutuhkan cukup lama sehingga waktu banyak terbuang. 6 ) Siswa belum paham dengan langkah-langkah yang telah dijelaskan guru, hal itu terlihat dari banyaknya siswa yang masih kebingungan saat diminta segera mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
60
7 ) Balikan dan penguatan yang diberikan guru kurang optimal sehingga siswa belum mengetahui dengan jelas mengenai kelemahan yang ia lakukan pada saat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Berdasarkan analisis tersebut, berikut ini dikemukakan refleksi terhadap kekurangan yang ditemukan pada pelaksanaan pembelajaran siklus I. 1. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa; posisi guru tidak hanya di depan kelas karena untuk mengontrol dan mengondisikan siswa guru harus lebih dekat dengan siswa. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong siswa lebih aktif dalam berdiskusi serta mendorong siswa agar berani berpendapat dalam diskusi. 2. Guru mengulang pembagian kelompok, karena karena ada beberapa siswa yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok. 3. Dongeng dibacakan oleh guru, supaya siswa lebih fokus dalam menyimak dan tidak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar, intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan. Sehingga siswa yang menyimak kurang antusias, hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang dilaksanakn guru. 4. Guru memberikan kiat-kiat berdiskusi yang baik dalam satu kelompok. 5. Guru menjelaskan kembali penerapan metode yang dilaksanakan ketika mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng.
61
Tabel 5. Perolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng pada Siklus I No NIS 1 767 2 776 3 790 4 791 5 798 6 803 7 814 8 815 9 816 10 818 11 819 12 820 13 821 14 822 15 823 16 824 17 825 18 827 19 828 20 830 21 831 22 834 23 838 24 839 25 848 26 873 27 896 28 898 rata-rata: 59
Nama Gilang Permana Rohmat Bayu A. S Diana Mita Sari Santi Tiara Bakti Kevin Pratama Putra Sriyanto Salsa Dinisa Nur Devi Kharisma Angzali Indri Rosita Sari Ratih Dwi Anggraeni Candra Sih Maulana Riski Setiawan Lina Imroatun Achmad Fadyanto Fahrian Sinta Dewi Desi Wahyu Sulistya N Puput Lestari Ivan Febri Bimantara Anggi Ayu Purnamasari Ayu Wibeseno Ulfiani Resti Utami Indah Puspitasari Iliyana Diningtyas Ratri Pinky Yulia Rahmawati Rosyid Prasetyo Nadila Putri Hapsari Ira Widiyastuti Yusroni Aruda F.
Nilai 53 40 73 60 53 47 80 80 73 73 73 47 67 40 47 60 53 47 80 53 73 60 60 53 60 47 60 40
2. Siklus II a. Perencanaan Tindakan Bertolak dari refleksi yang telah dilakukan
terhadap siklus I maka
peneliti dan guru sepakat bahwa siklus II perlu dilakukan. Persiapan dan perencanaan tindakan dilakukan pada hari Rabu 3 Maret 2010 di ruang guru SDN Bandardawung menyamapaikan
03
Tawangmangu.
kembali
hasil
Dalam
observasi
kesempatan dan
refleksi
ini,
peneliti
pembelajaran
62
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siklus I. Pada kesempatan ini pula peneliti menyamapaikan kelemahan dan kelebihan siklus I sekaligus merencanakan tindakan selanjutnya pada siklus II. Setelah berdiskusi sekian lama akhirnya peneliti dan guru sepakat untuk memperbaiki beberapa hal yang dirasa memerlukan perbaikan sebagaimana yang telah terdapat pada refleksi siklus I. Langkah-langkah perbaikan yang dimaksud antara lain. 1. Guru lebih banyak berinteraksi dengan siswa; posisi guru tidak hanya di depan kelas karena untuk mengontrol dan mengondisikan siswa guru harus lebih dekat dengan siswa. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendorong siswa lebih aktif dalam berdiskusi serta mendorong siswa agar berani berpendapat dalam diskusi. 2. Guru mengulang pembagian kelompok, karena karena ada beberapa siswa yang mempunyai kemampuan kurang berada dalam satu kelompok. 3. Dongeng dibacakan oleh guru, supaya siswa lebih fokus dalam menyimak dan tidak bosan. Sebab pembacaan dongeng yang dilakukan siswa masih datar, intonasi, lafal, jeda dan ekspresi belum diterapkan. Sehingga siswa yang menyimak kurang antusias, hal ini berdasarkan observasi evaluasi yang dilaksanakan guru. 4. Guru memberikan kiat-kiat berdiskusi yang baik dalam satu kelompok. 5. Guru menjelaskan kembali penerapan metode yang dilaksanakan ketika mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Setelah merasa cukup dengan perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus II, peneliti dan guru kemudian menyusun RPP. Dalam diskusi penyusunan RPP tersebut guru dan peneliti merinci langkah-langkah yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran. Di samping itu, disepakati pula bahwa guru tidak hanya berada di depan kelas namun keliling untuk mengontrol dan mengondisikan diskusi kelompok siswa. Guru juga yang akan membacakan dongeng yang disimak siswa supaya siswa lebih bisa berkonsentrasi dengan baik. Selain itu guru juga akan lebih mengaktifkan siswa dengan lebih menekankan pada proses menemukan sendiri
63
pada tahapan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Sebagaimana tindakan siklus I, tindakan siklus II akan dilaksanakan pada Kamis 4 Maret 2010 di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di siklus II ini rencananya akan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1. guru membuka pelajaran dengan memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa; 2. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsiknya seperti pada siklus I ; 3. guru membentuk kelompok; 4. guru membacakan dongeng di depan kelas; 5. siswa berdiskusi di kelompok asal; 6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah ditugaskan guru kepada mereka; 7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli; 8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya; 9. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa; 10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui; 11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; 12. Guru menutup pelajaran. b. Pelaksanaan Tindakan Seperti yang telah direncanakan, tindakan siklus II dilaksanakan dalam satu kali pertemuan, yaitu pada hari Kamis 4 Maret 2010 bertempat di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Pertemuan berlangsung 2 x 35 menit. Pada tahap ini, guru bertindak sebagai pemimpin jalannya kegiatan belajar pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng di dalam kelas, sedangkan peneliti hanya bertindak sebagai partisipan pasif. Adapun langkahlangkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengdentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada tindakan siklus II adalah sebagai berikut:
64
1) guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi; 2) guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan menyuruh mengeluarkan buku LKS serta buku paket; 3) guru mengadakan apersepsi dengan cara berataya jawab mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng; 4) guru dan siswa merangkum materi hasil apersepsi; 5) guru membentuk kelompok 6) guru membacakan dongeng di depan kelas; 7) siswa berdiskusi di kelompok asal mengenai tugas serta tanggung jawab mereka masing-masing; 8) siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan; 9) kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli; 10) guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya; 11) guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa; 12) guru beserta siswa membahas soal-soal ulangan yang telah siswa kerjakan supaya siswa mengetahui letak kesalahannya; 13) guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui; 14) guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; 15) guru menutup pelajaran. c. Observasi Pelaksanaan tindakan siklus II ini dilaksanakan dalam satu kali pertemuan yaitu pada hari Kamis 4 Maret 2010, selama 2 x 35 menit di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Peneliti mengamati guru yang sedang mengajar siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu dengan menempatkan diri di tempat duduk paling belakang. Kegiatan observasi ini
65
dimaksudkan untuk mendeskripsikan apakah kekurangan proses
belajar
pembelajaran pada siklus I sudah bisa teratasi belum. Berdasarkan pengamatan yang telah peneliti lakukan didapat hasil sebagai berikut. Semua siswa pada saat itu masuk, kelas tampak rapi tetapi sedikit silau karena panas matahari, siswa tampak siap menghadapi pelajaran pada saat itu. Sama halnya dengan pembelajaran pada siklus I, kali ini pembelajaran juga menggunakan metode Jigsaw untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Di awal pembelajaran, sebagaimana yang telah direncanakan, guru membuka pelajaran dengan salam dan mengadakan presensi kehadiran siswa. Setelah itu guru mengondisikan siswa supaya siap menerima pelajaran dengan menugasi siswa membuka buku paket kemudian mengadakan apersepsi terhadap pengalaman siswa dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada siklus I dan kemampuan mereka saat mengerjakan soal-soal yang telah guru berikan. Dalam apersepasi guru menekankan sangat menariknya isi dongengdongeng di Indonesia dan banyak sekali manfaat yang dapat kita petik dari isi cerita dongeng yang ada di Indonesia. Selain itu, guru juga menjelaskan tentang pelaksanaan pembelajaran yang akan mereka laksanakan, supaya siswa tidak bingung seperti pada saat siklus I yang dilaksanakan kemarin. Langkah selanjutnya yang dilakukan guru adalah berupaya untuk mengorek keterangan dari siswa terkait dengan hal-hal yang dirasa sulit ketika mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng minggu yang lalu. Beberapa siswa mulai aktif mengajukan pertanyaan, mungkin karena mereka telah mengalami pembelajaran pada siklus I sehingga mengetahui kesulitan apa yang telah mereka alami pada silus I. Rata-rata siswa mengungkapkan bahwa mereka merasa bosan menyimak dongeng yang dibaca karena pembacaan yang monoton, siswa masih merasa bingung dengan langkah-langkah yang diterapakan dan mereka juga tidak mampu mengingat-ingat isi dongeng yang telah dibacakan. Tahap apersepasi yang dilakaukan guru pada siklus II tampak lebih lama jika dibandingkan dengan palaksanaan apersepsi pada siklus I. Setelah tahap apersepasi dirasa cukup, langah berikutnya menjelaskan metode yang akan
66
digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng adalah metode seperti yang digunakan pada pertemuan minggu lalu. Pada awalnya siswa mengeluh kepada guru, karena para siswa merasa berat untuk mengingat-ingat dongeng yang mereka dengar. Namun guru memberikan cara supaya mereka mudah mengingat dan tidak kesulitan dalam menyimak yaitu dengan cara berkonsentrasi ketika dongeng di baca serta membuat cacatan-cacatan kecil mengenai dongeng yang mereka dengar. Setelah memberikan penjelasan singkat kepada siswa, guru meminta siswa untuk duduk berkelompok berdasarkan anggota kelompok yang baru. Setelah siswa siap, kemudian guru membacakan dongeng. Ketika guru membacakan dongeng tampak suasan kelas hening dan sebagian besar siswa mendengar dengan baik. Sebagian besar siswa melaksanakan saran dari guru yaitu dengan membuat catatan-catatan kecil, namun beberapa siswa ketika pertengahan dongeng dibaca mereka tampak bosan mendengar isi dongeng tesebut. Setelah guru selesai membaca dongeng, guru menugasi siswa berdiskusi di kelompk ahli untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah mereka simak dengan topik yang telah guru bagi. Selama pembelajaran berlangsung guru sesekali berkeliling untuk memberikan tutorial kepada siswa yang masih mengalami kesulitan dalam memecahkan topik yang menjadi tanggung jawab mereka. Hal ini cukup memberikan andil besar terhadap pemahaman siswa karena siswa telah mengetahui apa yang mereka tidak bisa dan mereka menanyakan kepada guru. Setelah kegiatan berdiskusi di kelompok ahli selesai, guru menugasi siswa kembali kekelompok asal kemudian guru menugasi siswa kelompok ahli untuk menjelaskan masing-masing topik yang telah mereka diskusikan di kelompok ahli. Setelah semua kelompok ahli selesai menjelaskan dan siswa sudah paham mengenai unsur-unsur intrinsik dongeng yang mereka simak, guru menugasi siswa kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Suasan tampak gaduh saat itu, hal ini wajar karena siswa berpindah dari suatu kelompok ke tempat duduk mereka dengan merapikan tempat duduk mereka seperti saat awal
67
pelajaran di mulai. Guru mengondisikan siswa kemudian memberikan kesemapatan kepada siswa untuk bertanya. Setelah Tanya jawab usai, guru membagikan soal untuk menguji pemahaman siswa mengenai pembelajaran hari ini. Karena jumlah soal hanya lima belas, guru membatasi waktu untuk mengerjakan soal yaitu lima belas menit. Sebagai refleksi guru bertanya kepada siswa terkait dengan kesulitan yang masih ditemukan saat mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Beberapa siswa mengungkapakan bahwa mereka masih kesulitan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng sehingga penyampaian di kelompok asal belum maksimal serta masih merasa bosan menyimak dongeng karena pembacaan guru yang masih datar. Selain itu, guru juga bertanya mengenai pembagian kelompok apakah masih ada kekurangan atau tidak, siswa menjawab sudah sesuai. Mengenai penerapan metode, siswa merasa senang dengan metode yang digunakan ketika pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik donging berlangsung, siswa tidak bosan karena mereka mempunyai tanggung jawab, sehingga mereka harus bisa memecahkan topik yang telah diberikan guru. Guru pun memberikan simpulan pada pembelajaran hari ini dan menutup pembelajaran dengan ucapan salam. Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan hasil observasi pada siklus II, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 15 siswa (56 %) ;4) siswa yang aktif saat diskusi 15 siswa (56 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 22 siswa (78 %). d. Analisis Refleksi Berdasarkan hasil pengamatan peneliti pada tindakan siklus II, dapat dikemukakan beberapa hal, yaitu: 1) minat siswa dalam menyimak dongeng mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan siklus sebelumya, yakni sebesar 14 %. Pada siklus II siswa yang menyimak dongeng dengan baik sebanyak 15 siswa atau sebesar 56 % dari jumlah siswa; 2) kegiatan diskusi yang dilakukan juga lebih efektif jika dibandingkan dengan pelaksanaan pada siklus I. Keaktifan siswa meningkat 10 % bila dibandingkan
68
dengan siklus sebelumnya. Pada siklus II siswa yang aktif dalam diskusi sebanyak 15 siswa atau 56 % dari jumlah siswa. Akan tetapi masih ada beberapa siswa yang belum aktif ketika diskusi berlangsung. Sehingga keaktifan guru untuk mengamati siswanya sangat diperlukan. Guru harus selalu berkeliling untuk mengamati kerja kelompok siswa; 3) pengelolaan kelas yang dilakukan guru lebih baik daripada pengelolaan pada siklus sebelumnya. Pada siklus ini pembelajaran lebih hidup; Dari analisis serta refleksi di atas, dapat diungkapakan bahwa kualitas proses pembelajaran sudah mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan siklus I. Kekurangan hanya ditemui pada sikap siswa yang terkadang kelihatan agak bosan ketika dongeng di bacakan. Untuk itu pembacaan yang guru lakukan perlu diperbaiki yaitu dengan cara membacakan dongeng sesuai dengan karakter masing-masing tokoh serta dengan intonasi, jeda, lafal dan ekspresi yang tepat. Adapun dari kegiatan diskusi siswa, guru harus selalu berkeliling supaya diskusi dalam kelompok ahli lebih intensif dan hasil yang akan disampaikan kepada kelompok asal lebih maksimal supaya hasilnya optimal. Berikut ini data perolehan nilai identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa pada siklus II.
69
Tabel 6. Pemerolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng pada Siklus II No NIS 1 767 2 776 3 790 4 791 5 798 6 803 7 814 8 815 9 816 10 818 11 819 12 820 13 821 14 822 15 823 16 824 17 825 18 827 19 828 20 830 21 831 22 834 23 838 24 839 25 848 26 873 27 896 28 898 rata-rata: 67.32
Nama Gilang Permana Rohmat Bayu A. S Diana Mita Sari Santi Tiara Bakti Kevin Pratama Putra Sriyanto Salsa Dinisa Nur Devi Kharisma Angzali Indri Rosita Sari Ratih Dwi Anggraeni Candra Sih Maulana Riski Setiawan Lina Imroatun Achmad Fadyanto Fahrian Sinta Dewi Desi Wahyu Sulistya N Puput Lestari Ivan Febri Bimantara Anggi Ayu Purnamasari Ayu Wibeseno Ulfiani Resti Utami Indah Puspitasari Iliyana Diningtyas Ratri Pinky Yulia Rahmawati Rosyid Prasetyo Nadila Putri Hapsari Ira Widiyastuti Yusroni Aruda F.
Nilai 60 53 80 67 53 60 73 93 93 80 67 53 80 67 47 53 73 67 73 60 80 73 67 74 53 67 60 60
3. Siklus III a. Perencanaan Tindakan Berdasarkn hasil refleksi pada siklus II, guru dan peneliti sepakat bahwa siklus III perlu dilaksanakan. Perencanaan siklus III ini dilaksanakan di ruang guru SDN Bandardawung 03 Tawangmangu pada hari Sabtu tanggal 6 Maret 2010. Dalam diskusi tersebut disampaikan dan dibahas mengenai kelebihan dan kekurangan dari pelaksanaan siklus II. Terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan pada pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus II sehingga
70
palaksanaan
siklus
III
perlu
dilaksanakan
untuk
meningkatkan
proses
pembelajaran dan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Penambahan yang disepakati untuk dilaksanakan pada siklus III adalah sebagai berikut. 1. Guru membacakan dongeng dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang tepat, supaya siswa mudah dalam mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. 2. Guru selalu berkeliling ketika siswa berdiskusi supaya kerja mereka terkontrol dan ketika menyampaikan ke tim asal hasilnya maksimal. Setelah membahas hal-hal yang perlu dilakukan pada siklus III peneliti dan guru kemudian menyusun RPP mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw. Langkah-lankah pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng akan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: 1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa; 2. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsiknya seperti pada siklus II ; 3. guru menugasi siswa duduk berkelompok; 4. guru membacakan dongeng di depan kelas dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang tepat; 5. guru menugasi siswa berdiskusi di kelompok ahli dengan pembegian topik seperti pada siklus II; 6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah ditugaskan guru kepada mereka; 7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli; 8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya; 9. guru memberi ulangan untuk menguji kemampuan siswa; 10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui; 11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; 12. guru menutup pelajaran.
71
Pada akhir diskusi disepakati bahwa siklus III akan dilaksanakan pada hari Senin tanggal 8 Maret 2010. b. Pelaksanaan Tindakan Sebagaimana perencanaan yang telah disusun, tindakan siklus III dilaksanakan pada hari Senin, 8 Maret 2010. Pertemuan berlangsung salama 2 x 35 menit di ruang kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu. Langkahlangkah yang dilakukan guru dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng pada tindakan siklus III adalah sebagai berikut: 1. guru memberi salam dan menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi; 2. guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan menyuruh siswa mengeluarkan buku LKS serta buku paket; 3. guru mengadakan apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng yang telah mereka terima pada siklus I dan siklus II; 4. guru menugasi siswa duduk berkelompok; 5. guru membacakan dongeng di depan kelas, dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang tepat supaya siswa mudah mengingat; 6. siswa berdiskusi di kelompok ahli mendiskusikan masalah yang telah ditugaskan guru kepada mereka dengan cara saling bertukar pendapat kemudian menyamakan pendapat tersebut dalam sebuah kesimpulan; 7. kelompok ahli kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka diskusikan dalam kelompok ahli; 8. guru memberi kesempatan siswa untuk bertanya; 9. guru memberi ulanagan untuk menguji kemampuan siswa; 10. guru dan siswa merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui; 11. guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng; 12. guru menutup pelajaran.
72
Pada pelaksanaan tindakan ini, sebagaimana siklus I dan siklus II peneliti
bertindak
sebagai
partisipan
pasif
yang
mengamatai
jalannya
pembelajaran dari belakang. Peneliti memilih di belakang karena posisi ini memungkinkan
peneliti
mengamati
seluruh
proses
pembelajaran
tanpa
mengganggu jalannya pembelajaran. c. Observasi Sesuai dengan rencana, pelaksanaan siklus III dilaksanakan pada hari Senin 8 Maret 2010 . Sama halnya dengan yang peneliti lakukan pada siklus I dan II peneliti bertindak sebagai partisipan pasif pada pelaksanaan tindakan tersebut. Walauapun demikian peneliti terkadang berkeliling untuk ikut mengamati kegiatan diskusi siswa dan mengambil gambar sebagai bukti tindakan. Observasi difokuskan pada situasi pelaksanaan pembelajaran, kegiatan yang dilaksanakan guru serta aktivitas diskusi. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan penelliti diperoleh hasil sebagai berikut. Pembelajaran dalam tindakan ini merupakan solusi atas permasalahan yang muncul pada siklus II sehingga dalam kegiatana ini, guru mengaplikasikan solusi yang telah disepakati dengan peneliti untuk mengatasi permasalahan pada siklus II. Pembelajaran diawali guru dengan mengucapkan salam menanyakan kehadiran siswa dengan melakukan presensi, kemudian guru mengondisikan siswa untuk menerima materi pelajaran dengan menyuruh membuka buku LKS serta buku paket. Pada kegiatan awal ini siswa terlihat lebih semangat tampaknya mereka sudah tidak sabar untuk menyimak dongeng yang akan mereka simak serta berdiskusi untuk mengidentifkasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang kemudian mereka menyampiakannya kepada teman dalam kelmpok asal mereka. Langkah selanjutnya, guru memberikan sedikit apersepsi mengenai dongeng dan unsur-unsur intrinsik dongeng. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya bagian mana yang siswa belum paham. Pada saat sesi tanya jawab ini sebagian besar siswa sudah paham mengenai perbedaan yang mendasar setiap unsur intrtinsik dongeng. Kemudian guru menugasi siswa untuk duduk berkelompok dengan kelompok asal mereka, secara cepat siswa duduk berkelompok. Setelah siswa terkondisi, guru membacakan dongeng yang lelah
73
peneliti dan guru siapkan ketika perencanaan tidakan siklus III. Ketika guru membacakan dongeng, semua siswa nampak antusias menyimak dongeng, terlebih karena guru membacakan sesuai dengan intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang tepat dalam dongeng, sehingga dalam proses penceritaan tidak terkesan monoton dan menjemuhkan. Dongeng nampak menarik dan siswa sangan senang menyimaknya. Walaupan mereka menyimak dongeng dengan baik, tidak lupa mereka membuat catatan-catatan kecil untuk mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik yang nantinya akan mereka pecahkan di kelompok ahli. Setelah guru selesai membacakan, guru menugasi siswa ke kelompk ahli untuk memecahkan topik yang yang telah guru tugaskan seperti pada siklus I maupun siklus II. Secara cepat siswa ke kelompok ahli untuk berdiskusi topik yang harus mereka pecahkan. Kegiatan diskusi sangat hidup pada kegiatan pemebelajaran ini, siswasiswa sudah tidak kelihatan bingung dengan metode yang diterapakan. Siswa nampaknya sudah nyaman dengan metode Jigsaw yang guru dan peneliti terapkan. Guru selalu berkeliling untuk mengamati dan membantu permasalahan yang terjadi ketika kelompok ahli berdiskusi, supaya ketika menyampaikan atau menjelaskan ke kelompok asal hasilnya bisa maksimal sehingga semua anggota kelompok paham dengan penjelasan kelompok ahli. Setelah kelompok ahli selesai berdiskusi, guru menugasi siswa kembali ke kelompok asal untuk menjelaskan materi yang telah mereka pecahkan. Dengan antusias setiap kelompok ahli menyampaikan topik mereka masing-masing. Anggota kelompok asal sangat serius meperhatikan ketika kelompok ahli menjelaskan topik yang telah mereka pecahkan dengan bertanya apabila diantara mereka ada yang kurang jelas dengan penjelasan kelompok ahli. Guru selalu berkeliling mengamati jalannya diskusi. Langkah selanjutnya, guru menugasi siswa duduk di tempat duduk mereka masing-masing kemudian guru memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya bagian mana yang mereka belum paham. Semua siswa sudah paham dengan penjelasan kelompok ahli. Kemudian guru memberikan ulangan, semua siswa mengerjakan ulangan dengan baik. Setelah selesai mengerjakan soal ulangan, kemudian guru merefleksi kegiatan pembelajaran yang telah dilalui kemudian bertanya apakah senang
74
dengan dongeng serta metode yang guru terapkan dalam pembelajaran dongeng ini, secara serentak siswa menjawab senang. Guru menjeaskan bahwa dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa harus aktif dalam bertanya jawab agar mendapatkan jawaban atas hal-hal yang belum dipahami dan diharapkan mampu bekerja secara aktif dalam kelompok karena meningkatkan nilai keaktifan dalam belajar. Guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran hari ini yaitu mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Bel berbunyi guru menutup pelajaran. Pelaksanaan
pembelajaran
mengidentifikasi
unsur-unsur
intrinsik
dongeng pada siklus III berjalan dengan baik sehingga memuaskan guru. Sebagian besar siswa aktif dalam diskusi setelah mereka selesai menyimak dongeng yang telah guru bacakan dengan pembacaan yang menarik. Peningkatan yang signifikan dalam hal kuantitas siswa yang aktif dalam pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng dan juga peningkatan kualitas proses pembelajaran identifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. d. Analisis Refleksi Dari hasil pengamatan peneliti pada tindakan siklus III dapat dikemukakan bahwa kualitas pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari tercapainya sejumlah indikator yang telah ditetapkan, seperti meningkatnya keaktifan siswa ketika diskusi berlangsung, meningkatnya perhatian serta konsentrasi siswa ketika dongeng dibacakan. Di samping itu, kekurangan-kekurangan yang ditemui dalam siklis II telah dapat diatasi dengan baik oleh guru pada siklus III. Tingkat aktivitas siswa selama mengikuti pembelajaran berdasarkan hasil observasi pada siklus III, dapat disajikan sebagai berikut: 1) siswa yang berminat dalam menyimak dongeng yang disampaiakan 25 siswa (89 %) ;4) siswa yang aktif saat diskusi 22 siswa (78 %); 5) siswa mengalami ketuntasan belajar 28 siswa (100 %).
75
Tabel 7. Pemerolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng pada Siklus III No NIS 1 767 2 776 3 790 4 791 5 798 6 803 7 814 8 815 9 816 10 818 11 819 12 820 13 821 14 822 15 823 16 824 17 825 18 827 19 828 20 830 21 831 22 834 23 838 24 839 25 848 26 873 27 896 28 898 rata-rata: 79.5
Nama Gilang Permana Rohmat Bayu A. S Diana Mita Sari Santi Tiara Bakti Kevin Pratama Putra Sriyanto Salsa Dinisa Nur Devi Kharisma Angzali Indri Rosita Sari Ratih Dwi Anggraeni Candra Sih Maulana Riski Setiawan Lina Imroatun Achmad Fadyanto Fahrian Sinta Dewi Desi Wahyu Sulistya N Puput Lestari Ivan Febri Bimantara Anggi Ayu Purnamasari Ayu Wibeseno Ulfiani Resti Utami Indah Puspitasari Iliyana Diningtyas Ratri Pinky Yulia Rahmawati Rosyid Prasetyo Nadila Putri Hapsari Ira Widiyastuti Yusroni Aruda F.
Nilai 73 67 80 67 73 80 80 100 80 80 87 73 73 87 73 80 73 80 100 87 93 87 73 93 67 67 73 80
Berdasarkan hasil analisis dan refleksi di atas, tindakan pada siklus III dikatakan berhasil. Peningkatan terjadi pada beberapa indikator dibandingkan siklus sebelunya, Nilai rata-rata kelas sudah jauh melebihi batas ketuntasan serta ketuntasan siswa mencapai 100%.
76
C. Pembahasan Hasil Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan tindakan I, II, dan III dinyatakan bahwa terjadi peningkatan baik dari segi proses maupun hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw pada siswa kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu Karanganyar. Hal ini dapat diliahat pada indikator-indikator sebagai berikut: 1. Peningkatan Kualitas Proses dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini: a. Minat siswa dalam menyimak dongeng Sebelum tindakan penelitian ini dilakukan, siswa kurang tertarik dalam menyimak dongeng. Hal ini terjadi karena pembacaan yang datar serta belum adanya ekspresi ketika membaca dongeng. Siswa terlihat bosan, ngantuk serta beraktivitas sendiri ketika dongeng dibacakan. Setelah dilakukan tindakan yaitu dengan pemodelan ketika pembacaan dongeng (dongeng dibaca dengan nada, intonasi, lafal, jeda serta ekspresi yang tapat) siswa terlihat antusias menyimak. Terlihat pada diri siswa kesediaan untuk meyimak dongeng hal ini nampak pada suasana hening dengan konsentrasi penuh ketika dongeng di baca. b. Keaktifan siswa dalam diskusi kelompok Dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan metode Jigsaw keaktifan siswa ketika diskusi berlangsung meningkat. Berdasarkan hasil pengamatan peneliti keaktifan siswa pada siklus I mencapai 46%, siklus II mencapai 56% sedangkan pada siklus III menjadi 78% dari jumlah siswa. Siswa nampak antusias setiap kali berdiskusi. c. Kemampuan guru dalam mengelola kelas Kemampuan guru dalam mengelola kelas sangat mempengaruhi keberhasilan proses belajar-mengajar. Pengelolaan kelas yang dilakukan guru yaitu berupa tindakan memotivasi siswa untuk bisa mengeluarkan pendapat ketika diskusi berlangsung. Selain itu guru tidak hanya duduk di depan dalam mengajar tapi bisa lebih berinteraksi dengan siswa dengan cara berkeliling.
77
d. Kemampuan guru dalam menggunakan metode Jigsaw Sebelum adanya penelitian ini, guru mengaku bahwa belum pernah menerapkan metode Jigsaw pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Selama ini guru mengajar hanya dengan metode ceramah yang
monoton
kemudian
memberikan
tugas
kepada
siswa
untuk
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Pembelajaran terpusat pada guru, siswa bukan sebagai subjek akan tetapi sebagai objek dalam pembelajaran sehingga siswa cenderung pasif . Setelah diadakan penelitian ini, guru jadi tertarik dalam melaksanakan pembelajaran dengan menerapkan metode Jigsaw. Hal ini terbukti dengan penerapan metode Jigsaw guru lebih mudah dalam menyampaikan materi serta siswa lebih aktif, siswa tidak lagi sebagai objek akan tetapi sebagai subjek dalam pembelajaran. Berdasarkan penerapan metode Jigsaw ternyata dapat membantu siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng ketika proses belajar pembelajaran berlangsung. 2. Peningkatan kualitas hasil dapat dilihat dari indikator-indikator berikut ini: Peningkatan proses pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng juga sangat mempengaruhi hasil siswa mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Berdasarkan perolehan nilai sebelum tindakan yang dilakukan
pada
saat
survei
awal,
diketahui
bahwa
kemampuan
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa masih tergolong rendah. Pada kegiatan sebelum tindakan diketahui hanya 9 siswa yang mencapai batas minimal ketuntasan belajar (60). Pada siklus I diketahui terjadi peningkatan yaitu dari 9 siswa menjadi 15 siswa yang berhasil mencapai batas ketuntasan belajar. Begitu juga pada siklus II terjadi peningkatan yaitu hanya 8 siswa dari 28 siswa yang belum mencapai ketuntasan belajar. Pada siklus III, peningkatan nilai siswa sangat signifikan. Semua siswa berhasil mencapai ketuntasan belajar dengan kisaran nilai 67-100. Peningkatan skor ini menunjukkan terjadi peningkatan kemampuan mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng siswa. Berikut ini peningkatan skor siswa dari siklus I sampai siklus III.
78
Tabel 8. Perolehan Nilai Mengidentifikasi Unsur-unsur Intrinsik Dongeng Survei Awal sampai dengan Siklus III No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Gilang Permana Rohmat Bayu A. S Diana Mita Sari Santi Tiara Bakti Kevin Pratama Putra Sriyanto Salsa Dinisa Nur Devi Kharisma Angzali Indri Rosita Sari Ratih Dwi Anggraeni Candra Sih Maulana Riski Setiawan Lina Imroatun Achmad Fadyanto Fahrian Sinta Dewi Desi Wahyu Sulistya N Puput Lestari Ivan Febri Bimantara Anggi Ayu Purnamasari Ayu Wibeseno Ulfiani Resti Utami Indah Puspitasari Iliyana Diningtyas Ratri Pinky Yulia Rahmawati Rosyid Prasetyo Nadila Putri Hapsari Ira Widiyastuti Yusroni Aruda F.
Survei awal 50 35 70 50 40 45 75 90 60 80 65 55 65 55 40 50 45 50 80 50 70 55 70 50 60 35 50 40
Siklus I 53 40 73 60 53 47 80 80 73 80 73 47 67 47 47 60 53 47 80 53 73 60 73 53 60 47 60 40
Siklus II 60 53 80 67 53 60 73 93 93 80 67 53 80 67 47 53 73 67 73 60 80 73 67 74 53 67 60 60
Siklus III 73 67 80 67 73 80 80 100 80 80 87 73 73 87 73 80 73 80 100 87 93 87 73 93 67 67 73 80
Berdasarkan tabel 7 tersebut bahwa pemerolehan nilai siswa dari survei awal sampai siklus terakhir terjadi peningkatan. Siswa yang nilainya belum mencapai batas ketuntasan minimal (60) setelah diadakan tindakan dapat meningkatkan. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan metode Jigsaw dapat meningkatkan prestasi belajar siwa.
79
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan Penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan di kelas V SDN Bandardawung 03 Tawangmangu ini dilaksanakan 3 siklus. Setiap siklus meliputi: 1) tahap perencanaan tindakan; 2) tahap pelaksanaan tindakan; 3) tahap observasi; 4) tahap analisis dan refleksi. Simpulan dari penelitian yang telah peneliti laksanakan berupa peningkatan kualitas proses dan kemampuan pada pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur inrinsik dongeng pada siswa kelas V SDN Bandawdawung 03 Tawangmangu sebagai berikut: 1. Peningkatan kualitas proses pembelajaran Peningkatan kualitas proses antara lain ditandai dengan peningkatan indikator-indikator sebagai berikut. a. Minat siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan mengalami peningkatan sebesar 14% dibandingkan dengan siklus sebelumnya. Jika minat siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan pada siklus I hanya 42% atau sebesar 12 siswa maka pada silkus II minat siswa dalam menyimak dongeng yang disampaiakan sebesar 56% atau sebanyak 15 siswa. Pada siklus III peningkatan kembali terjadi sebesar 33%, yaitu sebesar 78% atau sebanyak 22 siswa. b. Aktivitas diskusi siswa dalam diskusi kelompok juga mengalami peningkatan. berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada silkus II aktivitas berdiskusi yang dilakukan siswa mengalami peningkatan sebesar 14%. Jika pada siklus I siswa yang melaksanakan diskusi dengan baik sebanyak 12 orang atau sebesar 42% maka pada siklus II diketahui 15 siswa atau 56% dari keseluruhan siswa melaksanakan diskusi dengan baik. Pada siklus III peningkatan terjadi sebesar 23%, yakni 78% atau sebanyak 22 siswa.
78
80
2. Peningkatan kualitas hasil pembelajaran Peningkatan kualitas hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng ditandai dengan peningkatan jumlah siswa yang mencapai batas ketuntasan hasil belajar dalam pembelajaran menulis cerpen sebagai berikut. a. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus I diketahui rerata sebesar 59.96. Dari tes tersebut terdapat 13 siswa yang belum mencapai ketuntasan sedangkan 15 siswa lainnya telah mampu mencapai ketuntasan minimal dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal pada siklus I juga baru 56%. b. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus II diketahui rerata kelas 67.32 dari tes tersebut terdapat 6 siswa yang belum mencapai ketuntasan sedangkan 22 siswa lainnya telah mampu mencapai ketuntasan minimal dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal pada siklus II mencapai 78%. c. Berdasarkan hasil tes yang telah dilaksanakan pada siklus III diketahui rerata kelas 79.5. Dari tes tersebut seluruh siswa telah mencapai ketuntasan minimal dengan nilai sama dengan 60 atau lebih. Ketuntasan klasikal yang mampu dicapai pada siklus III mencapai 100%.
B. Implikasi Implikasi yang diperoleh dari penelitian ini meliputi: 1) implikasi teoretis; 2) imlikasi paedagogis; 3) implikasi praktis. Penjelasan untuk masingmasing implikasi adalah sebagai berikut. 1. Implikasi Teoretis Penggunaan metode Jigsaw terbukti dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng. Peningkatan kualitas proses ditunjukkan dengan keaktifan siswa pada saat apersepasi, keaktifan siswa ketika pembelajaran berlangsung, keaktifan siswa selama diskusi dan minat siswa selama menyimak dongeng. Kualitas hasil dapat dilihat dari nilai semua siswa yang seratus persen mencapai batas ketuntasan belajar. Temuan ini memperkuat teori yang telah ada, yaitu bahwa penggunaan
81
metode yang tepat dapat meningkatkan kualitas pembelajaran terutama membantu peningkatan prestasi belajar siswa. Penelitian ini memberikan gambaran yang jelas bahwa keberhasilan proses dan peningkatan hasil pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor keberhasilan pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng selain penggunaan metode Jigsaw juga dipengaruhi oleh guru dan siswa sebagai subjek pembelajaran itu sendiri. Faktor guru meliputi kemampuan untuk mengelola kelas dan menerapkan metode yang sesuai. Faktor dari siswa berupa keaktifan, minat menyimak dongeng. Faktor dari guru dan siswa saling mendukung dan melengkapi demi tercapainya peningkatan proses dan hasil pembelajaran. 2. Implikasi Paedagogis Pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang dilaksanakan selama ini membuat siswa cepat bosan karena guru belum menggunakan metode pembelajaran yang tepat, metode yang diterapkan masih konvensional yaitu pembelajaran masih terpusat pada guru. Siswa lebih mudah mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng dengan menggunakan metode Jigsaw yaitu dengan cara berdiskusi dengan kelompok ahli kemudian menyampiakan hasil diskusi ke kelompok asal dari pada sebelum menggunakan metode
Jigsaw.
Penelitian
dengan
metode
Jigsaw
pada
pembelajaran
mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng terbukti dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut metode Jigsaw dapat digunakan guru sebagai metode untuk pembelajaran mengidentifikasi unsurunsur intrinsik dongeng. 3. Implikasi Praktis Metode pembelajaran Jigsaw merupakan salah satu variasi metode pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Selain itu kerjasama yang baik antara guru dan siswa juga merupakan penunjang keberhasilan pelaksanaan pembelajaran itu sendiri. Penggunaan metode yang tepat dan kerjasama guru dengan siswa menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif sehingga tujuan pembelajaran akan mudah dicapai.
82
C. Saran Berdasarkan simpulan dan implikasi di atas, peneliti apat mengajukan saran sebagai berikut. 1. Bagi Guru a. Guru hendaknya mengarahkan siswa agar bekerja sama selama kegiatan diskusi. b. Guru hendaknya memotivasi siswa agar aktif selama proses pembelajaran. c. Guru hendaknya mengubah pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik dongeng yang teacher centered menjadi student centered dengan menerapkan metode Jigsaw. 2. Bagi Siswa a. Siswa diharapkan banyak membaca maupun menyimak dongeng yang ada di Nusantara. b. Siswa diharapkan dapat bekerjasama selama kegiatan diskusi berlangsung untuk memecahkan sebuah topik. c. Siswa
hendaknya
giat
berlatih
untuk
menyimak
kemudian
mengidentifikasi unsur-unsur intrisnsik dongeng. 3. Bagi Sekolah a. Hendaknya sekolah berupaya untuk selalu menciptakan iklim kinerja yang kondusif melalui suasana yang harmonis dan komunikasi yang terbuka. b. Hendaknya pihak sekolah selalu memberi motivasi kepada guru dengan jalan antara lain memberi penghargaan kepada guru yang menunjukkan kinerjanya dengan baik. 4. Bagi Peneliti a. Metode Jigsaw dapat diterapkan di kelas lain maupun di sekolah lain, karena inti dari pembelajaran ini adalah berdiskusi dalam suatu tim ahli untuk memecahkan sebuah topik dan tentunya mampu diterapkan di tempat lain.
83
DAFTAR PUSTAKA Agus Suyoto. 2009. “Dongeng dalam Pembelajaran”. dalam http://www.agsuyoto. wordpres.com/2009/01/07/dongeng-pembelajaran/html diunduh pada tanggal 19 Oktober 2009. Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. YA 3 Malang dan Bandung: Sinar Baru. Anita Lie. 2005. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Anti Arne dan Stith Thompson. 2008. “Dongeng Anak”. dalam http://www. baim54ndy.blog.com/2008/04/29/dongeng-anak/html diunduh pada tanggal 19 Oktober 2009. Aronson. 1978. “The Jigsaw Classroom”. dalam http://www.Jigsaw.org.com/1978 /04/ 08/The-Jigsaw-Classroom.html diunduh pada tanggal 11 Oktober 2009. Burhan Nurgiantoro. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Effendi, S. 2004. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya. E. Mulyasa. 2007. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Gino, H. J. dkk. 2002. Belajar Pembelajaran. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Herman J. Waluyo. 2002. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Imain Machfudz dan Wahyudi Siswanto. 1997. “Hakikat Pembelajaran”. dalam http://www.idonbiu.com/1997/07/09/hakikat-pembelajaran.html diunduh pada tanggal 1 Desember 2009. Jakob, Sumardjo, dan Saini K.M. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. James Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
84
Jill Parker. 2003. “Jigsaw Strategi”. Nomor 12, Volume 1, 2003. (http://www. broward.k12.fl.us/ci/strategies_and_such/strategies/jigsaw.html.) diunduh pada tanggal 18 Juli 2010. Luxemburg, Jan van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Melani Budianta. 2002. “Kesusastraan Indonesia”. dalam http://blog.unnes. ac.id/2002/12/11/kesusastraan-Indonesia/html diunduh pada tanggal 5 Maret 2010. Mido. 1994. “Unsur-Unsur Intrinsik Cerpen”. dalam http://www.kalimantanpost. com/opini/1994/03/02/-sekilas-mengenal-unsur-intrinsik-cerpen-romandan-novel.html diunduh pada tanggal 1 Desember 2009. Muhibbin Syah. 1995. “Metode Pembelajaran”. dalam http://karyailmiah.um. ac.id/index.php/1995/09/01/metode-pembelajaran/html diunduh pada tanggal 30 Januari 2010. Nana Sujana. 2002. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Penn State. 2007. “Jigsaw Strategy”. Nomor 35, Volume 3, 2007. (http://www. schreyerinstitute.psu.edu) diunduh pada tanggal 18 Juli 2010. Semi, M. Atar. 1988. Rencana Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. Slavin, R.E. 2008. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa Media. Soedijarto. 1993. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Sri Rahayu Mulyaningsih. 2007. Thesis. “Pengaruh Pengajaran dengan Menggunakan Metode Jigsaw dan Metode Ceramah Terhadap Prestasi Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Ditinjau dari Kreativitas”. Surakarta. Pascasarjana UNS (2007) tidak diterbitkan. Sriyono. 2007. Thesis. “Upaya Meningkatkan Kemampuan Mengapresiasi Cerita Rakyat dengan Strategi Cooparative Learning”. Surakarta. Pascasarjana UNS (2007) tidak diterbitkan. Suharsimi Arikunto, Suhardjono dan Supardi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara Sumito A. Sayuti. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
85 84
Sutopo. H. B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press. Rahmanto, B. 1998. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Rizanur Gani. 1988. Pengajaran Sastra Respon dan Analisis. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPLPTK. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.