BAB V LAPORAN PERANCANGAN Pada bab ini, penulis menjabarkan mengenai konsep perancangan, hubungan bangunan dengan konteksnya, serta program ruang yang tersusun sehingga membentuk museum peranakan Tionghoa. 5.1.
Konsep Perancangan Konsep perancangan museum ini mempunyai keterkaitan dengan
kebudayaan
Peranakan
Tionghoa
dalam
kehidupan
sehari-hari.
Konsep
perancangannya berhubungan dengan warisan yang akan ditampilkan. Konsep perancangan yang diusulkan berasal dari lampion. Lampion mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan Peranakan Tionghoa.37 Lampion tidak hanya sebagai sebuah alat penerangan namun juga sebagai sebuah simbol. Pada zaman kuno di Cina, tradisi menggantung lampion di depan rumah setiap Tahun Baru Imlek berarti mengharapkan kemakmuran di masa depan.
Gambar 5.1 Lampion Sebagai Konsep Perancangan Museum. Sumber: Data Pribadi.
Lampion yang paling populer berbentuk bola yang terbuat dari kertas dan terdapat ornamen benang-benang yang disimpul menjadi satu di bagian bawah. Bentuk bola pada lampion ini penulis terapkan sebagai konsep gubahan program. Masing-masing program terbentuk dari bola-bola dengan berbagai modul ukuran, sesuai dengan kebutuhan luasan ruang. Dari program yang dikemas berbentuk bola, 37
“Sosbud”, Kompasiana, “Tahun Baru Imlek dan Lampion”, Homepage Online. Dikutip dari http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/16/tahun-baru-imlek-dan-lampion/; Internet; pada tanggal 2 Januari 2013.
47
pengunjung dapat merasakan pergantian ruang ketika memasuki program ruang lain. Seperti yang telah dibahas pada bab dua, konsep courtyard yang merupakan elemen penting dari segi arsitektur peranakan Tionghoa turut masuk kedalam museum ini. Courtyard di dalam museum ini menjadi penanda adanya kesinambungan arsitektur Peranakan Tionghoa dengan konsep museum. Courtyard, di dalam kehidupan Peranakan Tionghoa, merupakan penghubung antara manusia yang di bawah dengan Tuhan yang di atas. Dari segi arsitekturnya, courtyard berfungsi sebagai jalur sirkulasi yang menghubungkan program satu dengan lainnya serta sebagai ruang terbuka. Ruang terbuka tersebut menjadi sarana cahaya dan pengudaraan alami untuk masuk ke dalam museum.
Gambar 5.2 Courtyard di.Bagian Belakang Rumah Mayor, Gedung Candra Naya. Sumber: http://travel.detik.com.
Di dalam penerapan courtyard, diperlukan analisa dimensi ruang terbuka ini dengan massa di sekitarnya. Dalam kasus ini saya mengambil studi kasus dari Rumah Mayor di Candra Naya. Courtyard akan selalu terletak di tengah tengah bangunan, dan sifatnya melebar. Apabila berdasarkan perbandingan panjang, lebar dan tingginya yaitu, dua banding satu banding satu. Perbandingan ini diperlihatkan dari denah Rumah Mayor di Candra Naya. Dari perbandingan ini, didapat dimensi ruang yang dibutuhkan untuk courtyard yang terletak di tengah-tengah bangunan.
48
5.2.
Hubungan Bangunan dengan Konteks Tapak yang telah ditunjuk penulis berada di kawasan Kota Tua yang
memang sudah dikenal sebagai kawasan peranakan Tionghoa. Kawasan ini juga merupakan kawasan komersial yang menjual pernak-pernik, obat obatan serta makanan khas peranakan Tionghoa. Lebih detailnya tapak berada di jalan Pancoran yang dimana jalan yang selalu ramai.
Gambar 5.3 Dominasi Bangunan Bernuansa Arsitektur Peranakan Tionghoa, namun Bentuk Fasad Rumah Tidak Beraturan. Sumber: Data Pribadi.
Karakteristik kawasan Kota Tua secara fisik didominasi dengan bangunan tua, yang bersuasana arsitektur peranakan Tionghoa. Bentuk fasad dari rumah tua ini tidak beraturan karena beberapa bangunan baru terlihat bergaya modern. Di sepanjang jalan kawasan Kota Tua dipenuhi oleh sarana komunitas. Ruang terbuka yang ada pasti dimanfaatkan sebagai tempat kegiatan jual beli. Hal ini menjadi salah satu penyebab kesemerautan kawasan Kota Tua, selain tempat parkir yang kurang.
Gambar 5.4 Ruang terbuka digunakan sebagai sarana komunitas untuk kegiatan jual beli, dari sayur, pakaian, peralatan dapur, hingga makanan. Sumber: Data Pribadi.
49
Melalui hasil analisa karakteristik kawasan Kota Tua, terdapat beberapa program yang dapat menunjang kegiatan yang ada di kawasan Kota Tua. Program tersebut salah satunya adalah ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini didapat dari sisa kebutuhan dasar bangunan museum. Ruang terbuka hijau menjadi tempat untuk masyarakat berkumpul, sarana apresiasi terhadap kesenian. Selain kebutuhan akan ruang terbuka hijau, museum memerlukan program pendukung untuk mengundang pengunjung masuk kedalam museum. Berhubungan dengan adanya jajanan dan kios-kios makanan yang ada di sebelah tapak, maka penulis mencoba menghubungkannya kedalam museum. Penulis menempatkan zoning restoran dan café untuk menghubungkannya. Ditambah dengan arkade yang dapat dijadikan tempat untuk berdagang. Arkade ini tercipta karena tingkat dasar bangunan museum yang lebih tinggi tiga meter di banding dengan tinggi jalan. 5.3.
Massa Bangunan Lokasi tapak memiliki hubungan dengan program yang dirancang oleh
museum. Hal ini berpengaruh pada bagaimana massa bangunan terbentuk sehingga museum tidak mengubah karakteristik kawasan. Dalam membentuk massa museum, penulis menggabungkan menjadi satu massa utuh dikarenakan program museum yang saling berkaitan satu sama lainnya. Dengan balok sebagai bentuk dasar massa, hubungan bangunan dengan konteksnya tercermin dari penyesuaian peletakan program museum dan fasad museum.
Gambar 5.5 Massing Luar Museum Peranakan Tionghoa. Sumber: Data Pribadi.
50
Hubungan antara bangunan dan konteksnya juga berpengaruh pada kebutuhan museum yang memerlukan perhatian dari masyarakat. Caranya adalah dengan menetapkan kemungkinan pandangan yang didapat oleh masyarakat. Pandangan yang mungkin didapat tersebut berasal dari jalan layang Pasar Pagi. Cara yang diterapkan oleh penulis adalah dengan meninggikan sudut dari massa bangunan agar terlihat dari arah jalan layang. Fasad bangunan yang lebih tinggi ini bertujuan mencegah cahaya matahari barat yang panas.
Gambar 5.6 Massing Final Museum Peranakan Tionghoa. Sumber: Data Pribadi.
Pandangan lain yang dapat dipergunakan adalah hubungan fasad museum dengan ruko-ruko yang berada di sebelah selatan tapak. Fasad ini merupakan tampak depan bangunan, sehingga perlu merespons ruko di seberangnya dengan menyamakan bentuk dari fasad museum. Apabila dilihat dari fasad nya, ruko-ruko ini sebagian besar mempunyai tinggi yang hampir sama yaitu tiga lantai. Hal ini berpengaruh pada fasad bangunan, sehingga penulis memberikan aksen kotak pada fasad sebelah selatan. Fasad ini berbeda-beda dengan sisi lain bangunan. Di sebelah timur tapak terdapat aneka jajanan makanan traditional yang bertepatan di rukoruko dengan ketinggian dua hingga tiga lantai. Untuk merespons ruko yang di sebelah timur makan penulis menurunkan ketinggian fasad, hal ini juga berfungsi untuk menangkap cahaya matahari timur ke dalam bangunan.
51
5.4.
Zoning Ruang Pada pembahasan di bab empat, program museum terdapat program
permanen dan program non permanen. Program permanen terdiri dari pameran galeri utama, galeri kamar, galeri masakan, dan perpustakaan. Sedangkan program non permanen adalah kegiatan kesenian dan pameran. Dari program kegiatan ini didapat kebutuhan ruang. Dengan mengambil contoh dari arsitektur Peranakan Tionghoa, program museum kemudian disusun berdasarkan sifat publik dan privatnya suatu program. Program yang bersifat privat adalah program yang hanya boleh diakses oleh pekerja museum, seperti kantor, ruang laboratorium, ruang workshop dan ruang penyimpanan artefak. Sedangkan program yang bersifat publik merupakan program yang dapat diakses oleh umum. Program ini seperti ruang auditorium serta restoran. Ruang galeri serta perpustakaan termasuk kedalam program semi privat, karena tidak serta-merta bebas diakses umum, namun perlu pengawasan. Pembagian privat dan publiknya program ruang kemudian dilanjutkan kepada zoning program Zoning pada program museum berasal dari hubungan bangunan dengan konteksnya serta penyesuaiannya kembali kepada konsep arsitektur peranakan Tionghoa. Ruang yang bersifat privat terletak di basement. Ruangan yang terlatek di basement termasuk kantor, ruang laboratorium, ruang menyimpanan artefak, ruang workshop, arena loading dock. Zoning restauran serta kafeteria di sebelah timur untuk merespon program komersial yang ada di timur tapak. Pintu masuk utama terletak di sebelah barat laut site, agar pengunjung dapat masuk kedalam ruang terbuka hijau terlebih dahulu dan menikmatinya. Di dalam konsep arsitektur peranakan Tionghoa, zona arena publik terletak di selatan bangunan, kemudian zona ruang servis terletak di kiri dan kanan bangunan. Di area tengah bangunan terdapat courtyard, yang menghubungkan arena publik di selatan dan arena privat di utara. Konsep ini juga menjadi pedoman penyusunan zoning untuk area auditorium, galeri, kantor, serta perpustakaan. Kantor disini terdapat di setiap lantai sebagai sarana transportasi barang galeri. Lobi juga terletak di setiap bangunan untuk memudahkan pengunjung mengakses galeri dan auditorium selain melalu ramp.
52
5.5.
Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan observasi penulis mengenai ruang terbuka untuk publik di
kawasan Kota Tua mempunyai kualitas yang kurang baik. Ruang terbuka pada kawasan Kota tua ini cenderung kumuh dan kotor, bahkan sangat sedikit ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau mempunyai berbagai fungsi, dari sarana rekreasi masyarakat, sebagai penghasil oksigen hingga mencegah banjir. Berdasarkan fungsi ruang terbuka hijau inilah penulis memberikan setengah wilayah tapak menjadi ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau ini terdapat fasilitas auditorium outdoor, dan area publik untuk kegiatan sosial. Untuk mewujudkannya tapak ditaman beberapa pohon yang rindang agar pengunjung terlindung dari panas matahari. Konsep penataan tapak disesuaikan dengan konsep museum yang berasal dari modul bola. Penataan tapak tersebut terlihat membulat sehingga terlihat lebih alami. Ruang terbuka pada tapak museum memiliki kontur untuk mencapai lantai dasar museum dengan perbedaan ketinggian tiga meter. Perbedaan ketinggian ini disebabkan oleh transfer beam pada ruang bawah tanah dengan ketebalan dua meter ditambah ruang servis yang dibutuhkan setinggi lima meter. 5.6.
Program Ruang Program ruang akan dijelaskan berdasarkan pengelompokan fungsi ruang
yang lebih mendetail. Pengelompokan fungsi tersebut terdapat program ruang servis, courtyard, program ruang galeri, auditorium, perpustakaan, dan program pendukung seperti restaurant dan pameran non-permanen. 5.6.1. Program Ruang Servis Program ruang servis terdiri dari kantor, ruang penyimpanan artefak, ruang laboratorium konservasi, gudang, serta workshop. Ruangan servis ini merupakan ruang yang memiliki akses hanya kepada pekerja museum dan bertepatan di ruang bawah tanah. Pekerja museum mempunyai akses lift tersendiri, yang berada di lobi kantor. Lobi kantor terdapat di setiap lantai museum dan berfungsi sebagai jalur transportasi barang keperluan galeri.
53
Ruang servis yang dimaksud adalah ruang yang mewadahi kegiatan pelestarian artefak hingga dapat dipamerkan. Ruang ini dimulai dari area loading dock yang menampung artefak yang berasal dari luar museum. Setelah diterima, artefak akan masuk ke dalam laboratorium. Di dalam laboratorium artefak diperiksa suhu yang dibutuhkan, tingkat kelembaban, cahaya yang dibutuhkan, hingga pengudaraannya. Diperlukan pengertian yang dalam untuk menjaga lingkungan museum agar tetap bersahabat dengan artefak. Dari kebutuhan artefak ini, sangat dimungkinkan bahwa artefak diduplikat agar tidak rusak, dan kegiatan duplikat ini dikerjakan di area workshop. Setelah kegiatan menduplikat artefak, pekerja museum akan menyimpan artefak asli serta dicatat datanya. Sedangkan artefak duplikat akan ditampilkan pada galeri. Kegiatan dari masuknya artefak baru hingga dapat dipamerkan menjadi landasan kebutuhan ruang untuk program servis. Ruang servis bersifat privat dan hanya diperbolehkan untuk kalangan pekerja museum. Ruang servis ini juga memerlukan akses langsung ke dalam program galeri. Akses langsung ini memudahkan artefak untuk dipamerkan. 5.6.2. Courtyard
Gambar 5.7 Massing Courtyard Museum Peranakan Tionghoa. Sumber: Data Pribadi.
54
Courtyard memiliki banyak fungsi bermanfaat. Melalui courtyard bangunan mendapat pencahayaan alami baik secara langsung atau tidak langsung. Dimensi dari courtyard berhubungan dengan dimensi bangunan, karena semakin banyak bukaan pada massa bangunan, kemungkinan cahaya matahari yang didapat, sedangkan semakin tebal bangunan, courtyard yang diperlukan semakin besar. Melalui courtyard juga, sirkulasi udara dalam museum dapat berputar. Sirkulasi udara menjadi salah satu pertimbangan utama museum karena berhubungan dengan kualitas penyimpanan artefak. Courtyard di dalam museum bertugas sebagai ruang terbuka yang menjadi jalur sirkulasi antara program museum. Jalur sirkulasi museum mengelilingi courtyard. Jalur sirkulasi ini memang dengan sengaja diletakan di tengah-tengah massa museum agar pengunjung dengan mudah dan strategis mencapai program museum lainnya. Dengan adanya courtyard yang menghubungkan area publik di lantai dasar museum, pengunjung museum dapat merasakan ruangan terbuka hijau yang luas di kawasan Kota Tua yang ramai. Di dalam memasukan massa untuk courtyard, penulis menyadari bahwa penerapan ruang terbuka tidak hanya bersifat vertikal ke atas, namun bisa juga secara diagonal. Konsep courtyard tetap ruang terbuka yang masi terdapat cahaya matahari, mengudaraan dari luar. Seperti yang terlihat pada gambar 5.7. 5.6.3. Program Ruang Galeri Ruang galeri pada museum Peranakan Tionghoa terbagi menjadi empat jenis, yaitu galeri utama, galeri kamar, galeri busana, dan galeri makanan. Galeri utama dan galeri kamar merupakan galeri permanen yang menampilkan artefak berupa interior dan furniture. Galeri busana akan menampilkan perkembangan busana dari ketika warga Tionghoa asal datang ke Indonesia hingga adanya percampuran kebudayaan dengan kebudayaan lokal. Sedangkan galeri makanan menyajikan artefak-artefak peralatan dapur serta contoh makanan khas peranakan Tionghoa.
55
Gambar 5.8 Massing Ruang Galeri Museum Peranakan Tionghoa. Sumber: Data Pribadi.
Program ruang galeri terletak di bagian utara massa bangunan. Peletakan ini berdasarkan sifat galeri yang membatasi aksesnya untuk umum. Untuk menuju ruang galeri permanen ini, pengunjung museum dapat melalui ramp, dan juga melalui lift lobi umum. Program ruang galeri terikat dengan sarana transportasi lift servis. Lift servis ini digunakan untuk memindahkan artefak yang akan ditampilkan dari ruang bawah tanah ke ruang galeri. Untuk memudahkan pengelolaan artefak museum, maka dibutukan tempat penyimpanan artefak sementara yang terletak tak jauh dari galeri dan lift servis. 5.6.4. Auditorium Ruang auditorium merupakan program ruang terbesar. Ruang auditorium ini menyajikan beragam kegiatan kesenian. Dengan kapasitas kurang lebih delapan ratus orang, auditorium ini terbagi menjadi tiga lantai. Auditorium ini juga menjadi aksen untuk fasad bangunan dengan memperlihatkan bentuk bola yang menonjol keluar.
56
Gambar 5.9 Massing Auditorium Museum Peranakan Tionghoa. Sumber: Data Pribadi.
Di dalam pemenuhan kebutuhan program auditorium, panggung yang memakai lift hidrolik memang diperlukan karena auditorium ini terletak pada ketinggian sekitar sepuluh meter. Kesulitan untuk mendekorasi panggung menjadi hambatan dan salah satu penyelesaiannya dengan menggunakan lift hidrolik. Lift hidrolik ini menghubungkan auditorium dengan workshop untuk panggung yang terletak di lantai bawah tanah. Dalam merancang program museum, faktor akustik menjadi bahan tertimbangan yang sangat penting. Konsep lampion bagi auditorium membuat factor akustik menjadi kurang baik. Hal ini disebabkan oleh bentuk bola yang sifatnya membalikan suara ke tengah sehingga membutuhkan diffuser (pemecah suara). Diffuser adalah penyalur suara, agar suara dapat terbagi ke berbagai tempat tidak hanya ke satu tempat. Penulis mengusulkan untuk menaruh difuser di langitlangit auditorium. 5.6.5. Perpustakaan Begitu banyak informasi dari peranakan Tionghoa yang hilang, namun informasi yang hilang tersebut dapat ditelusuri dari buku. Walaupun buku-buku
57
Peranakan Tionghoa banyak yang habis disita dan dibakar pada masa orde baru, namun masih ada budayawan yang terus mengumpulkan sisa-sisa peninggalan tersebut. Melalui perpustakaan dalam museum, informasi dari buku-buku dapat diwadahi, serta dilindungi. Perpustakaan pada museum Peranakan Tionghoa berada di sebelah timur dan terletak di bagian atas massa. Dengan peletakan ini, perpustakaan dapat menggunakan cahaya matahari sebagai penerangan alami. 5.6.6. Program Pendukung Program pendukung disini adalah restoran, kafetaria dan ruang eksebisi. Program pendukung ini berada di lantai dasar. Restoran dan kafetaria menjadi penghubung museum dengan area komersial di sepanjang jalan timur tapak. Restoran dan kafetaria ini menjual makanan khas Peranakan Tionghoa, sehingga apa yang terlihat di galeri makanan dapat dicicipi di bagian jajanan dalam museum. Ruang eksebisi ini menjadi tempat untuk memamerkan artefak yang tidak dapat dicakup oleh museum. Artefak tersebut dapat berupa guci-guci, atau bahan keramik yang menjadi barang dagangan rakyat pendatang Tionghoa berjualan di nusantara.
5.7.
Sirkulasi Museum Peranakan Tionghoa mempunya dua jalur sirkulasi. Jalur publik
dan jalur privat memang dipisahkan. Jalur privat merupakan akses pekerja museum untuk menaruh artefak dan akses ini berupa lift yang berada di lobi khusus kantor. Perbedaan jalur sirkulasi ini mengendalikan akses pengunjung museum untuk bebas keluar masuk galeri. Jalur sirkulasi publik terdapat tiga jenis, yang pertama adalah ramp. Ramp ini mengitari courtyard yang bermodul bola. Dimensi ruang sirkulasi ramp ini dibuat selebar tiga meter agar memungkinkan pengunjung untuk berjalan santai melihat pemandangan dan efek dari ruangan. Sirkulasi utama ini berada di tengah tengah aksis bangunan sehingga memudahkan pengunjung mengakses segala ruangan yang ingin dikunjungi.
58
Gambar 5.10 Sistem Transportasi pada Museum Peranakan Tionghoa. Sumber: Data Pribadi.
Jalur sirkulasi publik kedua adalah lift. Lift ini berada di antara program ruang auditorium dan galeri utama. Peletakan lift ini bermaksud agar pengunjung museum mudah untuk berjalan masuk ke dalam program utama museum yaitu ruang auditorium dan galeri utama. Lift publik ini berada di dalam ruang lobi. Di lobi umum ini terdapat tempat duduk untuk bersantai dan informasi-informasi acara yang akan diadakan oleh museum. Jalur sirkulasi terakhir ini digunakan pada saat darurat. Jalur ini berupa tangga yang menyebar pada tiga titik museum. Jalur tangga darurat berada di zona galeri utama, zona perpustakaan, dan zona antara auditorium dan lobi publik. Tiga titik ini merupakan zona yang paling mencakup keseluruhan program ruang bangunan secara merata. 5.8.
Sistem Struktur Dengan menggunakan bentuk bola sebagai konsep, memerlukan analisa
yang mendalam dari segi sistem struktur. Struktur rumah Iglo yang berasal dari
59
orang Eskimo bisa dijadikan referensi. Rumah Iglo merupakan sebuah tempat berlindung sementara orang Eskimo. Melalui struktur rumah Iglo, orang Eskimo dapat melakukan berbagai kegiatan seperti memasak, makan dan tidur, dengan suhu yang lebih hangat.
Gambar 5.11 Arah Gaya Bangunan Struktur Rumah Iglo . Sumber: Data Pribadi.
Rumah Iglo berangkat dari modul blok es yang disusun melingkar dan menyusut di atas sehingga membentuk kubah. Berdasarkan arah gayanya, bentuk dari struktur kubah ini menjaga arah gaya untuk seimbang ke tanah. Penerapan sistem modul balok es ini dilakukan juga pada sistem struktur museum. Modul struktur museum memakai dinding precast yang kemudian disusun diatas rangka baja. Rangka baja ini sebagai penyangga dinding ini agar dapat disusun.
Gambar 5.12 Perpotongan dari Struktur Rumah Iglo. Sumber: http://www.cap-mer-montagne.com/
60
Program ruang antar modul bola yang saling berhubungan dibuat saling memotong. Seperti contoh pada gambar 5.11, struktur pada bola tidak memerlukan struktur kurva penuh, namun dapat dipotong. Di dalam penerapan pada modul museum, persinggungan antar struktur bola ditopang dengan struktur baja. Pelat lantai memiliki konsep struktur yang sama. Pelat lantai ini berporos pada satu lingkaran di tengah, lalu dihubungkan dengan struktur dinding bola. Modul bola pada masa museum terbagi menjadi lima jenis ukuran. Modul bola paling besar berdiameter 35 meter, diikuti dengan modul berdiameter 30 meter, 25 meter, 20 meter, dan yang paling kecil berdiameter 15 meter. Modul ini disesuaikan dengan kebutuhan ruang. Program ruang auditorium memakai modul bola berukuran 35 meter, sedangkan program ruang galeri utama cukup dengan modul berdiameter 30 meter. Program ruang galeri ini terbagi menjadi empat lantai. 5.9.
(Mechanical Electrical Plumbing) MEP Konsep utama dari sistem pengudaraan, sistem pengairan air bersih dan
elektrikal pada museum yaitu berada di ruang-ruang sisa antar struktur bola. Ruangruang sisa yang dipakai ini untuk jalur pipa-pipa servis agar tidak mengganggu pemandangan museum. Ruang sisa pada struktur bola bagian bawah juga digunakan untuk tempat menaruh unit pompa atau meteran units, unit yang membutuhkan tempat cukup besar.
Gambar 5.13 Sistem Instalasi AC Daikin VRV Sumber: http://daikin-indonesia.blogspot.com.
61
Untuk sistem pengudaraan atau sistem air conditioning, museum menggunakan sistem VRV. VRV (Variable Refrigerant Volume) merupakan sistem pendingin ruangan yang dapat diubah-ubah, sehingga lebih hemat energi. Sistem VRV ini bisa digunakan oleh lebih dari dua AC dalam ruangan dengan menggunakan satu unit luar ruangan, serta dapat mengatur jadwal dan temperatur AC yang diinginkan. Sistem VRV ini cocok untuk digunakan oleh museum. Dengan satu unit outdoor yang ditepatkan pada atap bangunan, unit pendingin ruangan dapat terbagi ke beberapa program ruangan. Sistem pengairan air bersih pada museum bersumber dari PDAM. Dari PDAM air kemudian dihubungkan ke meteran dan langsung ditampung di penyimpanan air bawah tanah. Dari penyimpanan air bawah tanah, air dipompa ke tempat penyimanan air di atas. Dari sinilah air baru dialiri ke setiap unit toilet. Melalui penyimpanan air di atas, museum tidak lagi membutuhkan pompa untuk mengairi ke setiap unit karena dibantu oleh gravitasi. Tempat penampungan air bersih ini juga berdampingan dengan tempat penampungan air hujan. Air hujan ini dapat digunakan untuk keperluan siram tanaman.
Gambar 5.14 Sistem Perairan Air Bersih Sumber: Data Pribadi.
62
Sistem listrik pada museum menggunakan aliran listrik yang bersumber dari PLN. Listrik ini akan dicatat penggunaanya melalui meteran listrik, yang kemudian diolah di gardu listrik. Gardu listrik ini kemudian menyalurkannya ke setiap unit melalui MCB unit. Saluran listrik museum utama bersifat vertikal lalu disalurkan ke setiap unit di setiap lantai museum. *** Perancangan museum Peranakan Tionghoa bermula dari konsep lampion. Konsep lampion ini diterapkan ke dalam modul program ruang. Adanya lima modul berbentuk bola dengan ukuran yang berbeda-beda berfungsi untuk mewadahi kebutuhan kegiatan museum. Setelah penyusunan modul bola berdasarkan hubungan museum dengan konteksnya, tidak lupa penulis memasukan konsep arsitektur Peranakan Tionghoa. Courtyard sebagai ruang terbuka ikut masuk kedalam program museum, dan tidak kehilangan fungsinya yaitu sebagai jalur sirkulasi pengunjung museum. Modul program ruang yang berbentuk bola kemudian
disesuaikan
dengan
koefisien
dasar
bangunan
yang
diperbolehkan.Berikut merupakan rincian total luas program keseluruhan. Tabel 5.1 Rincian Total Luas Program Ruang
Program Ruang
Diameter Modul Bola
Total Luas Ruang
Galeri Utama
30 m
2826 m2
Galeri Kamar Tidur
20 m
628 m2
Galeri Busana
15 m
353 m2
Galeri Masakan
20 m
628 m2
Auditorium
35 m
2500 m2
Exhibition
25 m
981 m2
Food Court
25 m + 20 m
804 m2
25 m
981 m2
20 m + 20 m
1256m2
Perpustakaan Lobi publik dan kantor Ruang Servis
3575 m2
Total
14532 m2
Sumber : Data pribadi.
63
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN Bab terakhir ini merupakan jawaban atas permasalahan kebudayaan Peranakan Tionghoa serta saran penulis berdasarkan studi yang telah dilakukan. 6.1.
Kesimpulan Kebudayaan Peranakan Tionghoa merupakan contoh dari keanekaragaman
kebudayaan di nusantara. Seiring berjalannya waktu, kebudayaan nusantara terus berkembang. Perkembangan kebudayaan ini tidak selalu bersifat baik, malah sekarang berada dalam keadaan memprihatinkan. Generasi Peranakan Tionghoa sekarang tidak mengetahui kebudayaan asal mereka dan peran mereka. Kurangnya informasi tentang kebudayaan Peranakan Tionghoa menjadi landasan pengusulan program museum. Kebudayaan Peranakan Tionghoa mempunyai peninggalan warisan yang tak ternilai harganya. Warisan yang ditinggalkan berupa ilmu-ilmu kehidupan. Ilmu tersebut berupa konsep kehidupan, ilmu arsitektur, kesenian, cara berpakaian, dan makanan. Melalui wadah yang berupa museum, diharapkan menjadi sarana yang mengfasilitasi warisan kebudayaan Peranakan Tionghoa untuk dilestarikan dan diteliti. Hasil dari penelitiannya akan dipamerkan di dalam galeri agar orang yang berminat akan kebudayaan Peranakan Tionghoa dapat menerima informasi yang dibutuhkan. Kebudayaan Peranakan Tionghoa merupakan hasil dari pencampuran kebudayaan Tionghoa dengan kebudayaan lokal. Hal ini yang menyebabkan begitu banyaknya
warisan
Peranakan
Tionghoa.
Warisan
Peranakan
Tionghoa
memerlukan batasan untuk dimasukan kedalam museum. Batasan ini dilihat dari kegiatan keseharian Peranakan Tionghoa. Yang ditampilkan pastinya ruang galeri altar, ruang galeri kamar, ruang masak, ruang galeri busana serta courtyard. Courtyard merupakan elemen penting di dalam arsitektur Peranakan Tionghoa. Courtyard berfungsi sebagai ruang terbuka yang berada di tengah-tengah rumah Peranakan Tionghoa. Courtyard juga sebagai jalur sirkulasi yang
64
menghubungkan program ruang satu dengan lainnya. Di dalam penerapannya kepada program museum, courtyard ini tetap berada di tengah massa museum. Hasil analisa dimensi courtyard juga menjadi studi kasus bagaimana hubungan courtyard dengan program sekitarnya. Konsep perancangan museum berasal dari warisan Peranakan Tionghoa yang digunakan sehari-hari, yaitu lampion. Lampion memiliki fungsi yang tidak hanya sebagai alat penerangan masyarakat Tionghoa, namun lebih kepada pengharapan masa depan. Tradisi menggantung lampion ketika hari raya Tahun Baru Imlek bermaksud untuk mengharapkan kemakmuran untuk tahun yang akan datang. Di dalam menerapkan konsep lampion, penulis mengambil bentuk dasar lampion, yaitu bentuk bola. Bentuk bola ini menjadi modul untuk program ruang utama dengan ukuran yang disesuaikan oleh kebutuhan ruang. Berangkat dari modul bola kemudian disusun masuk kedalam massa bangunan sesuai dengan koefisien dasar bangunan yang diperbolehkan. Modul bola disusun berdasarkan karakteristik dari fungsi program, apakah program tersebut hanya dapat diakses oleh pekerja museum atau umum. Penyusunan program ini didasari dari konsep penataan ruang arsitektur Peranakan Tionghoa. Penyusunan ini menghasilkan pengelompokkan zona fungsi museum yang membatasi diakses dengan umum dinaikan ke lantai atas, sedangkan arena publik terbuka di lantai dasar. Hubungan museum dengan konteksnya dapat ditelusuri pertama melalui karakteristik kawasan Kota Tua. Kawasan yang ramai ini membutuhkan ruang terbuka hijau dan ruang publik untuk bersantai. Kebutuhan ruang publik dan ruang terbuka hijau terpenuhi dengan merancang lantai dasar museum menjadi zona publik. Ruang terbuka hijau terletak di luar dan dalam bangunan (courtyard). Melalui analisa konteks sekitar tapak, didapati titik pemandangan yang dapat dijadikan museum sebagai penanda keberadaan museum. Dari arah jalan layang Pasar Pagi, museum dapat terlihat dan ini menjadi view terbaik museum untuk masyarakat agar mengetahui keberadaan museum. Fasad museum juga menjadi penting untuk menghubungkan museum dengan bangunan di sekitarnya.
65
Untuk respon terhadap bangunan sekitarnya, fasad museum mempunyai ketinggian yang berbeda-beda pada sudutnya. Dari segi struktur museum, penulis memilih menggunakan studi kasus dari rumah Iglo. Struktur rumah Iglo berasal dari modul balok es yang disusun melingkar dan menyusut diatasnya hingga berbentuk kubah. Penyusunan balok es ini berasal dari sudut hubungan antar balok es, yang saling menguatkan. Berdasarkan arah gaya struktur kubah ini mengikuti arah kubah ke bawah. Di dalam penerapan ke struktur bola, dinding bola memakai dinding precast. Dinding precast ini ditopang oleh struktur rangka baja. Dari segi sistem pendingin ruangan, sistem pengairan air bersih, dan sistem listrik, pipa-pipa yang digunakan ditaruh tersembunyi di ruang-ruang sisa. Ruangruang sisa ini terdapat di antara struktur bola, dan modul bola dibawah pelat lantai yang tidak terpakai. Pipa-pipa ini tidak dapat ditaruh tegak lurus karena peletakan modul bola yang tidak beraturan letaknya. Demikian pada akhirnya terjawab sudah rumusan permasalahan yang ada dalam merancang museum Peranakan Tionghoa di Jakarta. Museum Peranakan Tionghoa bermula dari proses studi literatur, studi kasus, hingga penyelesaian rancangan desain. 6.2.
Saran Museum di Indonesia mempunyai banyak kekurangan. Secara fisiknya
sebagian besar museum di Indonesia tidak terawat, baik dari bangunannya serta artefak yang ditampilkannya. Ketika dilihat sebuah fasilitas sosial, museum jelas bukan sarana rekreasi untuk masyarakat umum. Museum hanya sebagai gudang tempat benda-benda kuno yang tidak terpakai. Kekurangan inilah yang menyebabkan citra museum menjadi tidak baik. Museum sesungguhnya merupakan tempat pelestarian artefak hasil kebudayaan serta wadah sarana pendidikan. Museum seharusnya dirancang untuk menarik pengunjung untuk berkunjung ke dalam museum. Salah satu caranya dengan memasukkan ruang kegiatan sosial ke dalam museum. Dalam perancangan penulis memasukan ruang terbuka hijau, tempat bersantai, dan tempat makan.
66
Di dalam konteksnya, kawasan Kota Tua merupakan kawasan yang selalu padat pengunjung. Kepadatan ini tidak ditunjang dengan infrastruktur kawasan dengan baik. Perancang menyarankan untuk memakai sistem kawasan bebas kendaraan untuk daerah Kota Tua yang padat. Sistem kawasan bebas kendaraan ini, pengunjung museum dapat menepatkan kendaraan mereka di gedung parkir dan berjalan untuk menelusuri kawasaan Kota Tua. Diharapkan dapat membantu mengurangi kekacauan antara pejalan kaki dengan kendaraan bermotor.
67