ANALISIS DATA LANDSAT ETM+ UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON
ELISSA DWIYANTI A24104064
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN ELISSA DWIYANTI. Analisis Data Landsat ETM+ untuk Kajian Geomorfologi dan Penutup/Penggunaan Lahan dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan Kritis di Kota Cilegon. Dibimbing oleh BOEDI TJAHJONO dan WIKANTI ASRININGRUM. Kegiatan pengelolaan lahan atau tanah secara berlebihan dapat berdampak pada rusaknya unsur tanah dan kritisnya fungsi lahan. Kondisi ini terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, termasuk Kota Cilegon. Lahan disebut kritis jika pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidahkaidah konservasi tanah. Lahan kritis dapat mengganggu keseimbangan ekologis yang berakibat dapat menurunkan kualitas lingkungan yang menyebabkan gangguan ekonomi pada masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) analisis data Landsat ETM+ untuk kajian geomorfologi dan penutup/penggunaan lahan, (2) identifikasi dan pemetaan lahan kritis, (3) mempelajari penyebab terjadinya lahan kritis dalam kaitannya dengan bentuklahan (landform) dan penggunaan lahan (landuse), serta (4) memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung lingkungan atau lahan kritis. Metode penentuan lahan kritis mengacu pada Departemen Kehutanan RI (2003) sedangkan perhitungannya di lakukan dengan analisis tumpang-tindih (overlay) dengan Sistem Informasi Geografis (SIG). Berdasarkan analisis citra Landsat ETM+ diperoleh hasil bahwa kombinasi band 452 merupakan kombinasi terbaik untuk kajian geomorfologi, sedangkan kombinasi band 542 merupakan kombinasi terbaik untuk kajian penutup/penggunaan lahan. Berdasarkan perhitungan faktor-faktor penentu lahan kritis, yaitu penutup/penggunaan lahan, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan kondisi manajemen lahan di daerah penelitian di peroleh hasil seluas 1.977 Ha (10,98%) masuk ke dalam kategori kritis, 639 Ha (3,55%) agak kritis, 5.197 Ha (28,87%) potensial kritis, dan 10.189 Ha (56,80%) tidak kritis. Faktor-faktor yang banyak berpengaruh terhadap terjadinya lahan kritis di daerah penelitian adalah morfologi bentuklahan (lereng), tipe penggunaan lahan (kebun campuran/tegalan), dan manajemen lahan yang kurang baik (praktek konservasi tanah dan air). Oleh sebab itu areal lahan krits banyak terdapat di atas bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC), dan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD) yang mempunyai kemiringan lereng curam sampai sangat curam. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, dampak kegiatan industri (gasgas dan limbah kimia) secara langsung dan tidak langsung juga menyumbang
terhadap terjadinya lahan kritis. Penelitian untuk permasalahan ini perlu di lakukan tersendiri. Kata Kunci: Landsat ETM+, Geomorfologi, Bentuklahan, Penggunaan Lahan Sistem Informasi Geografis, Lahan Kritis.
SUMMARY ELISSA DWIYANTI. Analysis of Landsat ETM+ Data for Study of Geomorphology and Land Cover/Land Use, and its Utilization for Mapping of Critical Land in Cilegon City. Under Academic Supervision of BOEDI TJAHJONO and WIKANTI ASRININGRUM.
Excessive activity of land or soil management could have impacts in the form of soil damage and creation of critical land. Such condition occurs in nearly all areas of Indonesia, including Cilegon city. Land is categorized as critical, if at present, it is not productive or not sufficiently productive, from the point of view of agricultural use, because its management and use has insufficient or no consideration on soil conservation principles. Critical land could disturb ecological balance which results in reduction of environmental quality, and further economic disturbance toward the community. The objectives of this research were: 1) analyzing the data of Landsat ETM+ for study of geomorphology and land cover/land use, 2) identification and mapping of critical land, 3) studying the cause of critical land occurrence in its relation with land form and land use, and 4) providing recommendation for reducing the damage on environmental carrying capacity or for reducing critical land. Method of critical land determination referred to that of Departemen Kehutanan RI, (2003) whereas the calculation was performed by overlay analysis with Geographic Information System (GIS). Based on analysis of Landsat ETM+ Imagery, it was obtained that, combination of band 452 constituted the best combination for geomorphological study, whereas combination of band 542 constituted the best combination for study of land cover/land use. Based on calculation of determining factors for critical land, which comprise land cover/land use, slope, erosion level, and land management condition in the research area, the following results were obtained: 1.977 Ha (10,98%) was categorized as critical land, 639 Ha (3,55%) was categorized as somewhat critical, 5.197 Ha (28,87%) was potentially critical, and 10.189 Ha (56,80%) was non critical land. Factors which had much influence on the occurrence of critical land in the research area were morphology of land form (slope), types of land use (mixed garden/dry land farm), and low quality management of land (soil and water conservation practice). Therefore, critical land area occurred much on land form of denudational volcanic cone of Gunung Gede (KVDG), denudational volcanic cone of Gunung Cidanau (KVDC) and denudational volcanic hill (PVD) which had slopes ranging from steep to very steep. Based on field observation results, impacts of industrial activities (gases and chemical wastes) contributed directly and indirectly to the occurrence of
critical land. Research on this problem should be conducted further in other occasion. Key words: Landsat ETM+, Geomorphology, Geographic Information System, Land form, Land use, Critical Land.
ANALISIS DATA LANDSAT ETM+ UNTUK KAJIAN GEOMORFOLOGI DAN PENUTUP/PENGGUNAAN LAHAN DAN PEMANFAATANNYA UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI KOTA CILEGON
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Elissa Dwiyanti A24104064
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Penelitian
: Analisis
Data
Landsat
ETM+
untuk
Kajian
Geomorfologi dan Penutup/Penggunaan Lahan dan Pemanfaatannya untuk Pemetaan Lahan Kritis di Kota Cilegon. Nama
: Elissa Dwiyanti
NRP
:
A24104064
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Boedi Tjahjono, DEA
Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si
NIP. 131 846 877
NIP. 300 001 107
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Cilegon pada tanggal 28 Februari 1986 dari pasangan Bapak Safurizal (Alm) dan Ibu Muzayanah, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di Sekolah Dasar Negeri Tegal Cabe, kemudian melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 2 Cilegon pada tahun 1997, dan pada tahun 2000 penulis menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan Kimia PGRI Serang. Pada tahun 2004 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor, sebagai mahasiswa program Studi Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama menjadi mahaiswa, penulis mendapat kesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (PJIC) pada tahun ajaran 2006/2007 dan tahun ajaran 2008/2009, mata kuliah Geomorfologi dan Analisis Lansekap (GAL) pada tahun ajaran 2007/2008, dan mata kuliah Sistem Informasi Geografis (SIG) pada tahun ajaran 2007/2008. Penulis juga aktif di Himpunan Profesi Kemahasiswaan HMIT (Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah) sebagai anggota di Biro Kerohanian (periode 2004/2005), sebagai anggota di Biro Media Informasi (periode 2005/2006), dan sebagai pemimpin di Departemen Informasi dan Komunikasi (periode 2006/2007). Selain itu, penulis pernah menjadi tim pelaksana proyek Penataan Ruang Kawasan Agropolitan di Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah pada bulan NovemberDesember 2008. Penulis juga aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan dan kepanitiaan yang di selenggarakan Departemen Ilmu Tanah dan sumberdaya Lahan.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan seluruh rangkaian dari kegiatan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA selaku pembimbing Skripsi I dan Ibu Dra. Wikanti Asriningrum, M.Si selaku Pembimbing Skripsi II atas segala dukungan, bimbingan, motivasi, nasihat, dan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis. Serta untuk Bapak Dr. Ir. M. Ardiansyah sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan untuk penulis. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan data dan kerjasama dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih ini penulis sampaikan kepada Staf Bagian Pengolahan Data Penginderaan Jauh di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Bapak Sabri Mahyudin dan Staf di Bagian Tata Ruang Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kota Cilegon, dan Bapak Andi Jumhani di bagian Konservasi Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kota Cilegon. Keluargaku tercinta: Bapak Safurizal (Almarhum), Ibu Muzayanah, dan Bapak Suhaemi atas segala do’a dan dukungan bagi penulis yang tiada terhingga, serta kedua saudaraku Teh Yenny dan Nano, Bibi dan kedua sepupuku Ika dan Assya atas do’a dan perhatiannya. Terima kasih untuk Sahabat-sahabatku: Inga, Yesy, dan Rahmat atas motivasi dan semangatnya. Untuk Lasapierzz: Mbal, Desi, Nika, Dian, Ratih, Nibot, Lia, Novi, Heni, Rita, Septi, Mercy, dan Mba Restu yang selalu ada dalam suka dan duka serta persahabatan yang menyenangkan. Untuk Mba Reni, Mba Lela, Kak Hendi, dan Kak Aris terima kasih atas segala bantuannya. Untuk Mba Ely terima kasih atas saran-saran dan kebaikannya sebagai kakak, guru, dan senior yang sabar membimbing, dan untuk semua rekan di bagian Penginderaan Jauh: Nana, Alwan, Shanty, Totenx, Sinta, Nisa, Tanti, dan Aby atas semangat dan kerjasamanya.
x
Kepada Soilers 41 terima kasih atas kenang-kenangan yang tak terlupakan, dan kepada Soil angkatan 23 terimakasih atas bantuan dana perbanyakan skripsi melalui Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya. Atas perhatiannya penulis ucapkan Terimakasih.
Bogor, Januari 2009
Penulis
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………..................
xii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….
xiv
I. PENDAHULUAN…………………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………
1
1.2. Tujuan Penelitian……………………………………………….
2
1.3. Manfaat Penelitian……………………………………………...
2
II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………
3
2.1. Beberapa Definisi Mengenai Lahan Kritis……………………...
3
2.2. Pengelompokan Lahan Kritis…………………………………..
3
2.2.1. Lahan Potensial Kritis…………………………………...
4
2.2.2. Lahan Agak Kritis……………………………………….
4
2.2.3. Lahan Kritis……………………………………………...
4
2.2.4. Lahan Sangat Kritis……………………………………...
5
2.3. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis………………………..
5
2.4. Faktor Penyebab Lahan Kritis………………………………….
8
2.4.1. Penutupan Lahan....................................................……...
8
2.4.2. Kemiringan Lereng……………………………………...
9
2.4.3. Erosi……………………………………………………..
9
2.4.4. Manajemen Lahan……………………………………….
9
2.5. Geomorfologi…………………………………………………...
10
2.6. Penginderaan Jauh……………………………………………...
11
+
2.7. Landsat ETM …………………………………………………..
12
2.8. Klasifikasi Bentuklahan (Landform) dan Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse)……………………
15
2.8.1. Klasifikasi Bentuklahan (Landform)…………………….
15
2.8.2. Klasifikasi Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse)………………………………………...
18
xii
III. BAHAN DAN METODE…………………………………………
20
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian…………………………………...
20
3.2. Bahan dan Alat………………………………………………….
20
3.3. Metode Penelitian………………………………………………
21
3.3.1. Tahap Persiapan Data dan Pengolahan Citra……………..
21
3.3.2. Tahap Interpretasi Citra…………………………………..
25
3.3.3. Pengecekan Lapang (Survey)……………………………..
26
3.3.4. Tahap Analisis Hasil……………………………………...
27
3.3.5. Penyajian Hasil…………………………………………...
27
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN
29
4.1. Keadaan Topografi, Morfologi, dan Kemiringan Lereng………
29
4.2. Geomorfologi…………………………………………………...
31
4.3. Struktur Geologi………………………………………………..
32
4.4. Jenis Tanah, Tekstur Tanah, dan Kedalaman Efektif Tanah…...
32
4.5. Hidrologi………………………………………………………..
35
4.6. Kondisi Iklim…………………………………………………...
35
4.7. Penggunaan Lahan……………………………………………...
35
4.8. Kependudukan………………………………………………….
36
4.8.1. Pendidikan………………………………………………..
37
4.8.2. Perdagangan dan Industri………………………………...
37
4.8.3. Sosial Ekonomi…………………………………………...
37
V. HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………
38
5.1. Seleksi Data Citra Landsat ETM+................................................
38
5.1.1. Seleksi Fusi Multispektral………………………………...
39
5.1.2. Seleksi Penajaman Spektral………………………………
42
5.1.3. Seleksi Fusi Multispasial da Penajaman Spasial………….
43
5.2. Identifikasi Bentuklahan………………………………………..
51
5.2.1. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG)…………………………………………….
54
5.2.2. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC)………………………………………......
54
5.2.3. Bentuklahan Kipas Ignimbrite (KI)………………………
54
xiii
5.2.4. Bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik (FVP)……………
55
5.2.5. Bentuklahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD)...
55
5.2.6. Bentuklahan Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs)……………..
55
5.2.7. Bentuklahan Marin (Gisik dan Cliff)……………………..
56
5.3. Identifikasi Penutup/Penggunaan Lahan……………………….
56
5.4. Identifikasi Lahan Kritis………………………………………..
61
5.4.1. Kemiringan Lereng……………………………………….
61
5.4.2. Erodibilitas Tanah (Nikai K)……………………………..
64
5.4.3. Manajemen Lahan………………………………………..
65
5.5. Pemetaan Lahan Kritis………………………………………….
66
5.6. Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis………………………..
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………...
73
VII. DAFTAR PUSTAKA……………………………………………
75
xiv
DAFTAR TABEL Halaman
Nomor Teks 1.
Kriteria Lahan Kritis (Departemen Kehutanan, 2003) dalam Herdiana (2008)………………………………………………
7
2.
Indeks Penentuan Kelas Lahan Kritis………………………..
8
3.
Karakteristik Landsat ETM+…………………………………
15
4.
Karakteristik Band Landsat ETM+…………………………...
16
5.
Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian.....................
20
6.
Peralatan yang digunakan dalam Penelitian.............................
21
7.
Nilai OIF Daerah Penelitian………………………………….
40
8.
Rangkuman Hasil Pengolahan Terseleksi Citra Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan dan Penutupan/Penggunaan Lahan.................................................
49
9.
Luas Bentuklahan di Daerah Penelitian...................................
53
10.
Luas Penutup/Penggunaan Lahan Derah Penelitian……........
57
11.
Kemiringan Lereng dan Skor Penentu Parameter Erosi…….
61
12.
Luas Kelas Lereng Daerah Penelitian.....................................
64
13.
Tingkat erodibilitas Daerah Penelitian....................................
64
14.
Manajemen Lahan Daerah Penelitian………………………..
65
15.
Luas Lahan Kritis di Daerah Penelitian……………………...
67
16.
Luas Lahan Kritis pada Penutup/Penggunaan Lahan………..
69
17.
Luas Luas Kawasan Lindung Daerah Penelitian……………..
70
18.
Luas Lahan Kritis di Kawasan Lindung Daerah Penelitian….
71
Nomor
Halaman Lampiran
1.
Data Curah Hujan Daerah Penelitian Tahun 2002-2006……..
2.
Nilai OIF pada Daerah Model Bentuklahan Marin, Fluvial, Karst, Struktural, dan Vulkanik. (Asriningrum, 2002)………
79
80
xv
3.
Nilai Erodibilitas (K) Beberapa Jenis Tanah…………………
4.
Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Cilegon Tahun 2004-2006……………………………………………………
81
81
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman Teks
1.
Diagram Alir Metode Penelitian……………………………
28
2.
Peta Daerah Penelitian………………………………………
30
3.
Peta Geologi Daerah Penelitian………………………………
33
4.
Peta Jenis Tanah Daerah Penelitian………………………….
34
5.
Peta Pola Curah Hujan Daerah Penelitian……………………
36
6.
+
38
+
Citra Landsat ETM Wilayah Kota Cilegon…………………
7.
Citra Landsat ETM Wilayah di sekitar Kota Cilegon……….
39
8.
Variasi Komposit dari Fusi 245 di Daerah Penelitian………..
41
9.
Variasi Penajaman Spektral Komposit RGB 542 di Daerah Penelitian…………………………………………………….
43
10.
Hasil Fusi Multispasial Landsat ETM+………………………
44
11.
Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI dengan Penajaman High Pass Fiter, Sharpen 11…………………….
12.
46
Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di Daerah Penelitian…………………………………………….
47
13.
Hasil Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI terpilih....
50
14.
Peta Bentuklahan Daerah Penelitian……...............................
52
15.
Citra Landsat RGBI 4528, HPF Sharpen11 dengan Peta Bentuklahan Daerah Penelitian................................................
53
16.
Peta Penutup/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian………....
58
17.
Peta Penutup/Penggunaan Lahan dan Peta Kawasan Hutan Daerah Penelitian…………………………………………….
18.
59
Contoh Foto Cek Lapang Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campuran dan Tegalan………………………………………
60
19.
Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian………………….
62
20.
Contoh Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian……………
63
21.
Peta Erodibilitas Daerah Penelitian…………………………..
65
xvii
22.
Peta Lahan Kritis Daerah Penelitian…………………………
23.
Peta Lahan Kritis dan Peta Kawasan Hutan di Daerah Penelitian……………………………………………………..
24.
68
70
Foto Pengamatan Lapang untuk Daerah Hasil Rehabilitasi Lahan Kritis di Daerah Penelitian............................................
72
Halaman
Nomor Lampiran 1.
Peta Tekstur Tanah Daerah penelitian……………………….
77
2.
Peta Kedalaman Efektif Tanah Daerah Penelitian…………..
78
3.
Contoh Foto Manajemen Lahan……………………………..
82
4.
Contoh Foto-Foto Lahan Kritis di Lapangan………………...
82
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Adanya peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk kepentingan lainnya, diperlukan adanya
penataan
dan
perencanaan
penggunaan
lahan guna
menghindari permasalahan berkaitan dengan penggunaan lahan yang kurang sesuai. Beberapa pemasalahan yang dapat timbul diantaranya adalah (1) alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan permukiman atau industri, (2) rusaknya unsur hara tanah akibat pengolahan tanah konvensional ataupun adanya pembuangan limbah industri yang tidak memenuhi syarat yang telah ditetapkan, (3) adanya penambangan tanpa izin, (4) penggunaan pupuk kimia atau buatan, (5) penggunaan pestisida dan bahan kimia lainnya terhadap tanah secara berlebihan, (6) pola tanam yang tidak berkelanjutan (non sustainable), (7) penjarahan hutan, (8) eksploitasi hutan industri yang tidak mengacu pada kerangka dan program reboisasi, dan (9) adanya bencana alam. Berbagai permasalahan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan maupun keseimbangan ekosistem berupa lahan kritis (Bappeda, 2006). Dinas Lingkungan Hidup, Pertambangan, dan Energi Kota Cilegon mencatat luasan lahan kritis di Kota Cilegon mengalami penurunan. Pada tahun 2006 luas lahan kritis menurun seluas 2,92% dari 4.692,97 Ha menjadi 4.179,97 Ha dan pada tahun 2007 luas lahan kritis menurun seluas 1,00% dari 4.179,97 Ha menjadi 4.004,97 Ha. Lahan disebut kritis jika keadaannya membahayakan stabilitas dan kelangsungan tata air serta alam lingkungan, atau lahan pertanian yang sudah tidak subur lagi untuk ditanami, seperti tanah gundul, padang alang-alang, dan lahan bekas penambangan. Meluasnya lahan kritis di berbagai wilayah pada umumnya disebabkan oleh kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya daya dukung lingkungan, kehilangan lapisan tanah atas, dan akibat erosi sehubungan dengan pengelolaan tanah yang buruk. Timbulnya lahan kritis akan berdampak terhadap lingkungan berupa banjir, erosi, maupun berkurangnya daya resapan air.
2
Kota Cilegon merupakan kota industri dimana perkembangan industri dapat meningkatkan jumlah penduduk yang berarti meningkat pula berbagai macam kebutuhannya seperti jenis penggunaan lahan yang berakibat terjadinya perubahan penggunaan lahan. Perubahan semacam ini jika tidak sesuai dengan kemampuan lahannya dapat menyebabkan terjadinya lahan kritis. Dampak dari lahan kritis adalah mengganggu keseimbangan ekologis yang berakibat dapat menurunkan kualitas
lingkungan.
Bila
terjadi
ketidakseimbangan
antara
lingkungan
(ekosistem) dengan industri maka akan terjadi gangguan ekonomi pada masyarakat sehingga perlu adanya studi tentang lahan kritis untuk penanganan penurunan kualitas lngkungan. Studi permasalahan tersebut dapat dilihat dari kondisi fisik lingkungan (geografis) ataupun dengan melihat keterkaitan antara bentuklahan (landform) dengan penggunaan lahan (landuse). Dimana bentuklahan dipengaruhi oleh kondisi geologi dan geomorfologi, sedangkan penggunaan lahan lebih dipengaruhi oleh kegiatan manusia. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini antara lain untuk: -
Analisis
citra
landsat
ETM+
untuk
kajian
geomorfologi
dan
penutup/penggunaan lahan -
Identifikasi dan pemetaan lahan kritis
-
Mempelajari penyebab terjadinya lahan kritis dalam kaitannya dengan bentuklahan (landform) dan penggunaan lahan (landuse)
-
Memberikan rekomendasi untuk mengurangi rusaknya daya dukung lingkungan atau lahan kritis
1.3. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari kegiatan penelitian ini adalah untuk dapat mengidentifikasi dan memetakan lahan kritis di Kota Cilegon melalui analisis geomorfologi yang kemudian dapat memberikan rekomendasi rehabilitasi lahan untuk lahan kritis, dan dapat dijadikan sebagai salah satu masukan bagi pembangunan di Kota Cilegon khususnya dari sisi fisik lingkungan.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Beberapa Definisi Mengenai Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang pada saat ini tidak atau kurang produktif ditinjau dari penggunaan pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Definisi lahan kritis dapat berbeda-beda menurut pandangan dari berbagai aspek yang disesuaikan dengan kepentingan masing-masing instansi, diantaranya adalah Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak), menurut FAO, dan menurut Departemen Kehutanan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak, 1997) dalam Herdiana (2008) mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan fisik tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi dan daerah lingkungannya, sedangkan menurut FAO (1997) merupakan lahan yang mengalami penurunan produktivitas tanah yang disebabkan hilangnya tanah lapisan atas oleh erosi sehingga mengalami kerusakan fisik, kimia, dan biologi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produktivitas tanah, permukiman dan kehidupan sosial ekonomi. Adapun menurut Departemen Kehutanan (2003) lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga menyebabkan kehilangan atau berkurang fungsinya (fungsi produksi dan pengatur tata air). Menurunnya fungsi tersebut disebabkan oleh penggunaan lahan yang kurang atau tidak memperhatkan teknik konservasi tanah, sehingga menimbulkan erosi, tanah longsor, dan sebagainya yang berpengaruh terhadap kesuburan tanah, tata air dan lingkungan.
2.2. Pengelompokkan Lahan Kritis Pengelompokkan lahan kritis dilakukan karena tingkat kekritisan suatu lahan masing-masing berbeda-beda. Pengelompokkan lahan kritis ini dilihat dari aspek tingkat kerusakan fisik. Menurut Sitorus (2004) lahan kritis dikelompokkan menjadi: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis.
4
2.2.1. Lahan Potensial Kritis Lahan potensial kritis adalah lahan yang kurang produktif bila diusahakan untuk pertanian tanaman pangan atau mulai terjadi erosi ringan, akan tetapi bila pengelolaannya tidak berdasarkan pada kaidah-kaidah konservasi tanah, maka lahan dapat menjadi rusak dan cenderung akan berubah menjadi lahan agak kritis atau lahan kritis. Lahan potensial kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i.
Pada lahan belum terjadi erosi atau mulai terjadi erosi ringan. Erosi dapat terjadi terutama apabila dalam pemanfaatannya tidak disertai dengan kegiatan-kegiatan pencegahan erosi dan tindakan konservasi lainnya.
ii.
Tanah mempunyai kedalaman efektif yang cukup dalam, lapisan atas (top soil) lebih dari 20 cm.
iii. Persentase penutupan tanah relatif masih tinggi (vegetasi rapat). iv. Mempunyai kemiringan lereng datar sampai berbukit. v.
Tingkat kesuburan tanah rendah sampai tinggi.
2.2.2. Lahan Agak Kritis Lahan agak kritis adalah lahan yang kurang produktif dan telah terjadi erosi namun masih dapat diusahakan untuk kegiatan pertanian dengan tingkat produksi rendah. Lahan agak kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i.
Tanah telah mengalami erosi dari tingkat permukaan sampai erosi alur (rill erotion) dengan produksi yang rendah.
ii.
Tanah mempunyai kedalaman efektif yang sangat dangkal, lapisan atas (top soil) kurang dari 5 cm.
iii. Persentase penutupan tanah sedang. iv. Kemiringan lereng umumnya lebih dari 18%. v.
Tingkat kesuburan tanah rendah.
2.2.3. Lahan Kritis Lahan kritis adalah lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, sehingga untuk dapat diusahakan sebagai lahan pertanian perlu didahului dengan usaha rehabilitasi. Lahan kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i.
Lahan telah mengalami erosi berat dengan tingkat erosi umumnya berupa erosi parit (gully erotion).
5
ii.
Tanah mempunyai kedalaman efektif yang dangkal, kurang dari 60 cm.
iii. Persentase penutupan lahan rendah (antara 25-50%). iv. Kesuburan tanah rendah. 2.2.4. Lahan Sangat Kritis Lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak mungkin lagi untuk diusahakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar direhabilitasi. Lahan sangat kritis mempunyai ciri sebagai berikut: i.
Pada tanah telah terjadi erosi sangat berat, sebagian berada pada tingkat erosi parit (gully erotion).
ii.
Lapisan-lapisan tanah produksi telah habis tererosi, kedalaman efektif tanah sangat dangkal, kurang dari 30 cm.
iii. Persentase penutupan tanah oleh vegetasi sangat rendah (kurang dari 25%). iv. Kemiringan lereng umumnya kurang dari 40%. v. 2.3.
Tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis Identifikasi dan pemetaan lahan kritis adalah suatu usaha yang sangat
bermanfaat untuk perencanaan atau untuk penentuan prioritas pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam yang mencangkup konservasi dan rehabilitasi tanah. Identifikasi lahan kritis dapat dilihat dari beberapa param berdasarkan kriteria yang mempengaruhi lahan kritis. Menurut Departemen Kehutanan (2003) dalam Herdiana (2008) tingkat kekritisan lahan ditentukan dari jumlah nilai yang diperoleh untuk masing-masing kriteria sesuai fungsi lahannya yang mencakup: penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen lahan. Sedangkan pemetaannya dilakukan dengan mengukur faktor-faktor penyebab terjadinya lahan kritis secara spasial dan menghitung pengaruh agregasi faktorfaktor tersebut melalui analisis tumpang-tindih (overlay) data spasial. Data spasial tersebut adalah peta penutup/penggunaan lahan (C), peta lereng (S), peta erodibilitas tanah (E), dan manajemen lahan (M). Secara umum ke-5 data spasial tersebut dimodelkan dengan formula sebagai berikut:
6
ILK = {(a x C) + (b x S) + (c x E) + (d x M)}
Dimana ILK adalah Indeks Lahan Kritis, a, b, c, dan d adalah bobot penutup/penggunaan lahan, bobot lereng, bobot erosi, dan bobot manajemen lahan, yang besarnya masing-masing adalah 50, 20, 20, dan 10. Faktor penentu lahan kritis menurut skor dan pembobotannya dapat dilihat pada Tabel 1.
7
Tabel 1. Kriteria Lahan Kritis (Departemen Kehutanan, 2003) Kriteria (bobot) Penutupan Lahan (50)
Lereng (20)
Erosi (20)
Skor
Kelas
Kelas Besaran / Deskripsi
Sangat baik Baik Sedang Buruk Sangat buruk Datar Landai Agak curam Curam Sangat curam Ringan
>80% 61-80% 41-60% 21-40% <20%
5 4 3 2 1
<8% 8-15% 15-25% 25-40% >40%
5 4 3 2 1
Tanah dalam : <25% lapisan tanah atas hulang dan atau erosi alur pada jarak 2050 m Tanah dangkal : <25% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak >50 m Tanah dalam : 25-75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak <20 m Tanah dangkal : 25-50% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi alur pada jarak 20-50 m Tanah dalam : >75% lapisan tanah atas hilang dan atau erosi parit pada jarak 2050 m Tanah dangkal : 50-75% lapisan tanah atas hilang Tanah dalam : semua lapisan tanah atas hilang, >25% lapisan tanah bawah dan atau erosi parit dengan kedalaman sedang pada jarak ,20 m Tanah dangkal : >75% lapisan tanah atas telah hilang sebagian lapisan bawah tererosi
5
Lengkap Tidak lengkap Tidak ada
5 3 2
Sedang Berat Sangat berat
Manajemen Baik (10) Sedang Buruk
Sumber: Departemen Kehutanan, 2003 dalam Herdiana, 2008.
Keterangan Dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk
4 3 2
*) Tata batas kawasan ada; pengamanan ada; penyuluhan dilaksanakan
8
Tingkat kekritisan lahan ditentukan dengan nilai penentunya yang dihasilkan dari persamaan Indeks Lahan Kritis (ILK), kisaran nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Indeks Penentuan Kelas Lahan Kritis (ILK) No. Tingkat Kekritisan ILK 1. Sangat Kritis 120-180 2. Kritis 181-270 3. Agak kritis 271-360 4. Potensial kritis 361-450 5. Tidak kritis 451-500 Sumber: Departemen Kehutanan, 2003 dalam Herdiana, 2008
2.4.
Faktor Penyebab Lahan Kritis Faktor penyebab lahan kritis yang digunakan dalam penelitian ini
ditentukan berdasarkan kriteria lahan kritis menurut Departemen Kehutanan (2003) yaitu penutup/penggunaan lahan, kemiringan lereng, erosi, dan manajemen lahan. 2.4.1. Penutup/Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang terdiri dari iklim, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang berada di atasnya. Penggunaan lahan adalah setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Menurut Lillesand dan Kiefer (1994), penutupan lahan merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut. Secara umum, penutupan lahan dapat dibagi menjadi vegetasi penutup dan bangunan penutup. Penutupan lahan berupa vegetasi banyak bermanfaat dari sisi ekologi, misalnya dapat membantu proses infiltrasi air kedalam tanah sehingga dapat mengurangi aliran permukaan (run off) yang biasanya mempunyai dampak negatif terhadap lingkungan, dapat terjadinya banjir maupun erosi tanah. Penutupan lahan tertentu dapat berdampak negatif terhadap lingkungan apabila terjadi suatu perubahan penutupan akibat adanya suatu aktivitas yang tidak ramah lingkungan. Konversi lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian merupakan salah satu contoh. Perubahan penggunaan lahan adalah suatu
9
perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dengan penggunaan sebelumnya, baik untuk tujuan komersil maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian ke lahan non pertanian bersifat tidak balik, karena untuk mengembalikannya membutuhkan modal yang sangat besar. 2.4.2. Kemiringan Lereng Kemiringan lereng adalah kemiringan permukaan lahan terhadap suatu garis horisontal dan besarnya kemiringan dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak 100 m dan mempunyai selisih tinggi 100 m akan membentuk lereng sebesar 100% atau sama dengan suatu kecuraman lereng sebesar 450. Lereng yang curam seperti ini dapat memperbesar jumlah aliran permukaan, apabila terjadi hujan sehingga semakin besar nilai lereng maka akan dapat memperbesar energi angkut aliran permukaan. Akibat dari kondisi seperti ini maka dapat meningkatkan daya erosi terhadap tanah. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam, maka banyaknya erosi persatuan luas juga menjadi 2,0 sampai 2,5 kali lebih besar (Arsyad, 2000). 2.4.3. Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkatnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad, 2000). Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan tanah tersebut terjadi oleh media alami, yaitu oleh air ataupun angin. Erosi oleh angin disebabkan oleh kekuatan angin, sedangkan erosi air ditimbulkan oleh kekuatan air. Di daerah beriklim basah, erosi oleh air lebih dominan, sedangkan erosi oleh angin tidak berarti. Erosi oleh angin merupakan peristiwa yang sangat dominan di daerah beriklim kering (Arsyad, 2000). 2.4.4. Manajemen Lahan Manajemen lahan terkait dengan faktor manusia. Faktor ini terdiri dari kualitas manusia dan kuantitasnya. Kualitas dari manusia adalah umur, kepribadian, dan pendidikan, dan segala sesuatu yang mementukan kualitas diri manusia tersebut dalam menetukan keputusan (Mather, 1986 dalam Kristiani, 2007).
10
Contoh kuantitas manusia adalah jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk ini di kehidupan sehari-hari banyak mempengaruhi pola penggunaan lahan. Di Indonesia dari tahun ke tahun penggunaan lahan hutan semakin menurun, sedangkan lahan pertanian dan lahan terbangun terus meningkat. Ini merupakan dampak dari semakin tingginya jumlah penduduk, sedangkan jumlah lahan relatif tetap. Tekanan populasi yang tinggi ini merupakan ciri pendorong utama terhadap pembukaan lahan pertanian di negara berkembang (Mather, 1986 dalam Kristiani, 2007). 2.5.
Geomorfologi Geomorfologi merupakan salah satu cabang ilmu kebumian (earth sciences)
yang mempelajari tentang bentuk permukaan bumi atau bentuklahan (landform). Kajian geomorfologi merupakan suatu deskrpisi dan penjelasan (eksplaination) bentuklahan
yang
mencangkup
aspek-aspek
morfologi
(morfografi
dan
morfometri), morfogenesis (endogen dan eksogen), morfokronologi (dalam ruang dan waktu) serta struktur dan litologi penyusunnya. Aspek morfologi mencangkup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi mendeskripsi bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti pegunungan, gunung api, dataran, maupun yang berukuran kecil seperti bukit, lembah, dan kipas alluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian arah, dan sebagainya. Aspek morfogenesis mencangkup kajian terhadap proses geomorfik atau proses geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi atau waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek struktur dan litologi penyusunnya mengkaji mengenai material-material penyusun bentuk permukaan bumi atau struktur geologi dan jenis batuan/mineral. Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu (Thormbury, 1954 dalam Asriningrum, 2002). Proses geomorfik adalah semua perubahan baik fisik maupun kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk muka bumi. Agen/anasir geomorfik (geomorfik
11
agent) adalah semua media alami yang mampu memantapkan dan mengangkut bahan bumi (Wiradisastra et al, 2002). Geomorfologi dan penginderaan jauh mempunyai kaitan yang erat untuk menganalisis berbagai bentuklahan dapat digunakan data penginderaan jauh, yaitu foto udara atau citra digital sebagai salah satu alat untuk mengkaji lebih awal dan dilakukan secara ruang. Pengamatan lapang merupakan data tambahan ruang yang lebih spesifik untuk tambahan pengkajian yang tuntas. Berbagai kenampakan yang dapat dilihat dari foto udara atau citra digital adalah bentuk topografi, pola drainase, kenampakan proses dinamik, tipe bentuklahan dan distribusinya, pola dan distribusi penutup/penggunaan lahan atau vegetasi dan pola penggunaan lahan dan distribusinya (Wiradisastra et al, 2002). Analisis geomorfologi diperlukan untuk mengetahui sebaran bentanglahan (landscape) dari bentuklahan (landform) seperti dataran, dataran tinggi, pegunungan, serta fitur-fitur kecil seperti lembah, lereng dan alluvial. Bentuklahan tersebut dapat memberikan pemahaman mengenai karakteristik alam dan
pembentukannya.
Karakteristik
bentuklahan
dapat
mempengaruhi
penggunaan lahan. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan karakteristik bentuklahan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, longsor, erosi, lahan kritis dan lain-lain. Peranan geomorfologi dalam studi lahan kritis sangat penting khususnya untuk mengkaji bentuklahan, hubungan bentuklahan dengan penggunaan lahan, serta kondisi fisik aktual setelah ada interverensi manusia dalam memanfaatkan lahan. 2.6.
Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi
tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa adanya suatu kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994). Data penginderaan jauh merupakan hasil rekaman dari intraksi antara tenaga dengan objek yang direkam oleh sensor atau alat pengindera seperti kamera, penyiam (scanner), dan radiom yang masing-masing dilengkapi dengan detektor di dalamnya. Data penginderaan jauh dapat berupa data digital (data
12
numerik) dan data visual. Data visual terdiri dari citra maupun non citra. Data citra berupa gambaran yang mirip ujud aslinya atau berupa gambaran planimetrik sedangkan data non citra pada umumnya berupa garis atau grafik (Sutatnto, 1986). Simonett et al. (1983) dalam Sutanto (1986) mengutarakan pengertian tentang citra yaitu suatu gambaran rekaman dari objek (biasanya berupa gambaran pada foto) yang dihasilkan dengan cara optik, elektro-optik, optik mekanik, atau elektronik. Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara atau penalaran untuk mendeteksi, mengidentifikasi, dan menilai arti pentingnya objek yang tergambar pada citra (Estes dan Simonett, 1975, dalam Sutanto, 1986). Interpretasi citra mempunyai sembilan unsur, yaitu (1) rona atau warna, (2) ukuran, (3) bentuk, (4) tekstur, (5) pola, (6) tinggi, (7) bayangan, (8) situs dan (9) asosiasi. Sembilan unsur interpretasi citra ini disusun secara hirarki (Sutanto, 1986). Peranan penginderaan jauh dalam studi lahan kritis adalah untuk melakukan identifikasi dan interpretasi citra secara visual maupun digital sehingga dapat menghasilkan suatu peta lahan kritis. 2.7.
Landsat ETM+ Landsat ETM+ merupaka seri ke-7 atau terakhir dari Landsat yang memiliki
beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan dengan seri sebelumnya. Landsat (Land Satellite) merupakan satelit sumberdaya alam pertama yang awalnya bernama ERTS-1 (Earth Resources Technological Satellite) yang diluncurkan pertama kalinya pada tanggal 23 juli 1972 yang mengorbit hingga 6 Januari 1978. Satelit ini mengorbit mengelilingi bumi selaras matahari. Tepat sebelum peluncuran ERTS-B tanggal 22 Juli 1975, NASA (National Aeronautic and Space Administration) secara resmi menangani program ERTS menjadi program Landsat (untuk membedakan dengan program satelit oseanografi “SEASAT” yang telah direncanakan sehingga ERTS-1 dan ERTS-B menjadi Landsat-1 dan Landsat-2. Sedangkan Landsat-3 diluncurkan pada tanggal 5 Maret 1978. (Purwadhi, 2001). Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3 mempunyai kesamaan param orbit dan mempunyai interval waktu pemotretan terhadap objek yang sama, yaitu setiap 18
13
hari. Landsat berikutnya (4 dan 5) dirancang untuk mempunyai stabilitas lebih baik dari sebelumnya (Landsat-1, Landsat-2, dan Landsat-3). Landsat-4 diluncurkan pada bulan Juli 1982 dan Landsat-5 diluncurkan pada bulan Maret (1984) (Purwadhi, 2001). Landsat-4 dan Landsat-5 memuat sensor Multi Spectral Scanner (MSS) dan sensor Thematic Mappers (TM). Sensor MSS memiliki 4 band dengan resolusi spasial 79 m, sedangkan sensor TM memiliki 7 band dengan resolusi spasial 30 m dan 120 m (khusus untuk band 6). Citra Landsat di wilayah khatulistiwa memberikan liputan 185x185 Km2 (Asriningrum, 2002). Landsat merekam radiasi gelombang elektro-magnetik benda-benda di muka bumi, lalu dikirimkan ke bumi dalam bentuk data digital, untuk kemudian diolah menjadi citra atau gambar. Saat ini telah dibangun 25 stasiun bumi di seluruh dunia untuk menerima dan merekam data Landsat maupun SPOT, satu di antaranya adalah milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Pasar Rebo Jakarta (Soesilo, 1994). Landsat-6 memuat sensor ETM (Enhanced Thematic Mapper) diluncurkan pada bulan Februari 1993 tetapi mengalami kegagalan yang dikarenakan tidak mencapai orbit dan jatuh ke laut (Purwadhi, 2001). Selanjutnya Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999. Landsat-7 memuat sensor ETM+ dan memiliki 8 band. Perbedaan antara Landsat-7 dengan Landsat generasi sebelumnya adalah adanya tambahan 1 band pankromatik dan perubahan sistem perekaman pada band 6 beserta resolusinya. Band pankromatik memiliki resolusi 15 m dan band 6 memiliki resolusi 60 m, sedangkan sistem perekaman band 6 dibedakan menjadi dua yaitu low gain dan high gain. Perekaman sistem low gain ditujukan untuk analisis laut, sedangkan high gain untuk analisis darat (Asriningrum, 2002). Landsat-7 disebut juga Landsat ETM+. Keunggulan utama pada Landsat-7 dibandingkan dengan generasi sebelumnya adalah mempunyai resolusi spektral 8 band, resolusi radiometrik 8 bit, resolusi temporal 16 hari, dan resolusi spasial 30 m x 30 m (untuk band visible, near infrared, dan midlle infrared), 60 m x 60 m (untuk band thermal) dan 15 m x 15 m (untuk band pankromatik) (Purwadhi, 2001).
14
Dalam menjalankan kerjanya, Landsat menggunakan sensor-sensor yang dapat merekam kenampakan permukaan bumi dari angkasa. Setiap sensor memiliki kemampuan memisahkan setiap objek yang disebut resolusi. Menurut Swain dan Davis, 1978, dalam Asriningrum, 2002, resolusi adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi yang secara spasial berdekatan atau yang secara spektral mempunyai kemiripan. Dalam pengolahan citra ada empat macam resolusi yang penting, yaitu meliputi resolusi spektral, resolusi spasial, resolusi radiometrik, dan resolusi temporal. Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi (objek) berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002). Resolusi spasial adalah ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 1996 dalam Asriningrum, 2002). Semakin kecil ukuran objek yang dapat terdeteksi, berarti resolusinya semakin halus atau semakin tinggi. Resolusi radiometrik adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan sensor untuk mencatat respon spektral objek. Kemampuan ini dikaitkan dengan kemampuan koding (coding), yaitu pengubahan intensitas pantulan spektral menjadi angka digital dan dinyatakan dalam bit (Danoedoro, 1996, dalam Asriningrum, 2002). Resolusi temporal adalah resolusi yang menunjukkan kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama dengan satuan hari atau jam (Asriningrum, 2002). Landsat ETM+ memiliki resolusi temporal 16 hari, ini berarti bahwa sistem ini secara normal akan merekam ulang daerah yang sama setiap 16 hari sekali. Karakteristik Landsat ETM+ ditunjukkan pada Tabel 3, sedangkan karakteristik masing-masing band disajikan pada Tabel 4. Band atau kanal merupakan
serangkaian
nilai
file
data
dari
bagian
tertentu
spektrum
elektromagnetik dari reflektan atau emisi panas (biru, merah, hijau, inframerah dekat, inframerah termal, dsb). Dengan semakin meningkatnya jumlah band maka akan semakin banyak memberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai fusi
15
data untuk mendapatkan lebih banyak informasi disesuaikan dengan bidang aplikasinya. Landsat merupakan data penginderaan jauh yang memiliki cakupan yang luas dan kualitas resolusi spasial yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Karakteristik ini menguntungkan untuk tujuan analisis geomorfologis karena dengan menggunakan satu liputan (scene) data dapat di peroleh kenampakan bentang lahan secara utuh, sehingga sangat membantu untuk analisis morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi bentuklahan secara komposit.(Asriningrum, 2002). Tabel 3. Karakteristik Landsat ETM+ Tipe Spesifikasi Karakteristik Orbit : Ketinggian 705 Km Inklinasi 98,2 Orbit Sinkron matahari hampir polar Melintas ekuator 09.30 waktu setempat Periode 99 menit Periode ulang 16 hari Karakteristik Teknik Sensor : Tipe penyiam Opto-mechanical Resolusi spasial 15/30/60 m Resolusi radiometrik 8 bit (256 level) Panjang gelombang 0,45-12,5 m Jumlah band 8 Liputan 183 x 170 Km Lebar liputan 183 Km Stereo Tidak Dapat deprogram (programmable) Ya Sumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002).
2.8.Klasifikasi Bentuklahan (Landform) dan Penutup Lahan (Landcover)/ Penggunaan Lahan (Landuse) Bentuklahan dan penggunaan lahan dipermukaan bumi ini sangat beragam sehingga untuk dapat menggambarkannya secara spasial perlu dilakukan klasifikasi untuk menyederhanakan bentuklahan dan penggunaan lahan tersebut. 2.8.1. Klasifikasi Bentuklahan (Landform) Klasifikasi bentuklahan didasarkan pada kesamaan sifat dan karakteristik bentuklahan. Beberapa sifat dan karakteristik bentuklahan yang digunakan adalah:
16
(1)
konfigurasi
permukaan
(mencangkup:
topografi
dataran,
berombak,
bergelombang, perbukitan, pegunungan, dan ekspresi topografi yang menekankan pada ukuran seperti kamiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng, beda tinggi/relief, bentuk lembah dan sebagainya), (2) proses geomorfologis yang mengakibatkan terjadinya bentuklahan, dan (3) struktur geologi dan jenis batuan/material. Tabel 4. Karakteristik Band Landsat ETM+ Band
Panjang Gelombang (µm)
Resolusi Spasial (m)
Karakteristik
Penetrasi maksimum pada air berguna untuk pemetaan bathimetri pada air 1 (biru) 0,450-0,515 30 dangkal. Berguna untuk pembedaan antara tanah dan vegetasi. Sesuai untuk mengindera puncak pantulan 2 (hijau) 0,525-0,605 30 vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan pertumbuhan tanaman. Sesuai untuk membedakan absorbs klorofil 3 (merah) 0.630-0,690 30 yang penting untuk membedakan tipe vegetasi. Berguna untuk menentukan kandungan 4 (inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis 0,750-0,900 30 dekat) pantai serta membedakan antara tanamantanah dan lahan-air. Menunjukkan kandungan kelembaban tanah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. 5 (inframerah 1,550-1,750 30 Baik untuk kekontrasan antara tipe tengah I) vegetasi. Berguna untuk mendeteksi gejala alam yang berhubungan dengan panas. Citra 6 (inframerah 10,40-12,50 60 malam hari berguna untuk pemetaan termal termal) dan untuk perkiraan kelembaban tanah. Sama dengan absorbs band yang disebabkan oleh ion hidroksil dalam mineral. Rasio antara band 5 dan 7 berguna 7 (inframerah 2,090-2,350 30 untuk pemetaan perubahan batuan secata tengah II) hidrotermal yang berhubungan dengan endapan mineral dan sensitive terhadap kandungan kelembaban vegetasi. Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat 8 (pankromatik) 0,520-0,900 15 untuk identifikasi objek lebih detail. Sumber: EROS Data Center (1995), dalam Asriningrum (2002).
17
Beberapa klasifikasi bentuklahan yang dapat diterapkan di Indonesia antara lain menurut Thornbury (1954), Verstappen dan Van Zuidam (1969), dan Desaunettes J.R (1977). a.
Klasifikasi menurut Thornbury (1954), dalam bukunya “Principles of Geomorphology” Dasar
klasifikasi
yang
digunakan
adalah
unsur-unsur pembentuk
bentuklahan, yaitu: proses geomorfik, struktur geologi, relief, dan tingkatan hasil proses. Klasifikasi bentuklahan menurut Thornbury adalah: (1) bentuklahan fluvial, (2) bentuklahan denudasional, (3) bentuklahan struktural, (4) bentuklahan angin, (5) bentuklahan karst, (6) bentuklahan gleser, (7) bentuklahan marin (pantai dan dasar lautan), (8) bentuklahan gunung api, dan (9) bentuklahan pseudovulkanik. b.
Klasifikasi menurut Verstappen dan Van Zuidam (1969), dalam bukunya “ITC System of Geomorphological Survey” Klasifikasi yang digunakan adalah atas dasar genetik. Klasifikasinya
mencangkup: (1) bentuklahan asal struktural, (2) bentuklahan asal vulkanik, (3) bentuklahan asal denudasional, (4) bentuklahan asal fluvial, (5) bentuklahan asal marin, (6) bentuklahan asal glasial, (7) bentuklahan asal eolian, dan (8) bentuklahan asal solusional. c.
Desaunettes J.R (1977) dalam bukunya “Catalogue of Landforms for Indonesia (Interim Paper)” Dasar klasifikasi yang digunakan adalah hasil dari proses pelapukan dan
erosional yang bekerja pada berbagai batuan yang berbeda-beda. Klasifikasi bentuklahan menurut Desaunettes adalah: (A) sistem alluvial, (B) sistem marin, (P) sistem dataran, (H) sistem perbukitan, (M) sistem plato dan pegunungan, (V) sistem vulkanik, (K) sistem karst, dan (X) sistem lain.
18
2.8.2. Klasifikasi Penutup Lahan (Landcover)/Penggunaan Lahan (Landuse) Klasifikasi penutup/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan penutup/penggunaan lahan dalam penyajian data spasial dari penggunaan citra penginderaan jauh. Menurut
Suharyadi
(1996),
secara
teoritis
klasifikasi
penutupan
/penggunaan lahan yang dibangun harus mempertimbangkan beberapa kriteria sebagai berikut: tujuan survei, skala peta, dan kualitas data penginderaan jauh yang digunakan sebagai sumber utama dalam pemetaannya. Klasifikasi penutup/penggunaan lahan dibuat oleh instansi atau penulis dengan memfokuskan pada klasifikasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Beberapa klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibuat berdasarkan kebutuhan masing-masing instansi. a)
Klasifikasi Penutup/penggunaan Lahan Menurut Badan Pertanahan Nasional ( 1977) Badan Pertanahan Nasional membagi wilayah perdesaan dan perkotaan
sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan. Untuk wilayah perdesaan dirinci lagi berdasarkan skala peta. Klasifikasi penggunaan lahan pedesaan skala besar dan skala sedang bukan merupakan rincian dari klasifikasi penggunaan lahan skala kecil. Jadi beberapa kategori kelas penggunaan lahan pada klasifikasi skala besar dan sedang tidak terdapat pada kategori kelas penggunaan lahan skala kecil. b)
Klasifikasi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan untuk Indonesia Menurut Malingreau (1981) Sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan menurut Malingreau
merujuk pada kombinasi sistem psysiogonomik dan sistem fungsional. Sistem klasifikasi yang dibangun merupakan sistem klasifikasi bertingkat, dengan empat tingkat klasifikasi. c)
Klasifikasi Penutup Lahan dan Penggunaan Lahan Menurut United States Geologi Survey (USGS) Sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibangun oleh USGS
merupakan salah satu klasifikasi yang banyak dirujuk oleh para pengguna peta penggunaan lahan. Sistem klasifikasi ini dikembangkan dengan menggunakan
19
citra penginderaan jauh sebagai sumber data dalam pemetaannya. Sistem klasifikasi USGS merupakan sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang berjenjang, yaitu dari tingkat I (umum) hingga tingkat IV (rinci). d)
Klasifikasi Penutup/penggunaan Lahan Menurut Regional Physical Planning Programme for Transmigration (RePPPRoT) Klasifikasi penutup/penggunaan lahan yang dibuat oleh RePPPRoT adalah
untuk evaluasi lahan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh sebagai sumber utama datanya dan peta penutup/penggunaan lahan yang dihasilkan pada skala 1 : 50.000. e)
Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Neraca Sumber Daya Alam Spasial Daerah (NSSAD) Klasifikasi penggunaan lahan yang dibangun untuk keperluan Neraca
Sumberdaya Alam Spasial Daerah merupakan klasifikasi penggunaan lahan yang diarahkan untuk pengelolaan sumberdaya alam. Karena sifatnya untuk pengelolaan sumberdaya alam, maka penekanannya pada kategori penggunaan lahan yang terkait dengan sumberdaya alam. f)
Klasifikasi Penggunaan Lahan Menurut Kardono Darmoyuwono Klasifikasi penggunaan lahan yang dibangun oleh Kardono Darmoyuwono
merupakan klasifikasi yang digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di Indonesia. Klasifikasi ditekankan untuk wilayah perdesaan dan pada skala kecil. Klasifikasi yang dibangun merupakan sistem klasifikasi tunggal. Dalam sistem klasifikasi ini dilengkapi dengan simbol area untuk penggambaran pada peta.
20
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2008. Lokasi Penelitian adalah di Kota Cilegon, Provinsi Banten. Penelitian ini diawali dengan pengumpulan data dan dilanjutkan dengan analisis di bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
3.2. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas citra satelit, peta-peta, dan seperangkat komputer yang secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Data dan Peta yang digunakan dalam Penelitian No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Nama Bahan Citra satelit Landsat-ETM+ tanggal 06 Juli 2001 dalam liputan (scene) Path/Row 123/64 wilayah Kota Cilegon Peta Topografi wilayah Kota Cilegon tahun 1999 lembar Tamansari, Anyer, Bojonegara, dan Cilegon. Peta Administrasi wilayah Kota Cilegon Peta Geologi tahun 1991 lembar Serang dan Anyer Peta Kawasan Hutan tahun 1999 lembar Jawa Barat Peta Jenis Tanah Kota Cilegon tahun 2000 Peta Kedalaman Efektif Tanah dan Tekstur Tanah wilayah Kota Cilegon tahun 2000 Peta pendukung: Peta sungai dan peta jalan wilayah Kota Cilegon tahun 1999 Data Curah Hujan Kota Cilegon tahun 2002-2006
Spesifikasi Skala
1 : 25.000 1 : 25.000 1 : 100.000 1 : 250.000
1 : 25.000
21
Tabel 6. Peralatan yang digunakan dalam Penelitian Nama Alat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pengolahan Data Hardware Seperangkat komputer Scanner Printer
Software ER Mapper 6,4 Erdas Imagine 8,5 Arc View 3,3 Panavue Microsoft Word 2007 Microsoft Exel 2007
Survei GPS Clino m Bor tanah Alat tulis
3.3. Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam empat tahap, yaitu: (1) tahap persiapan dan pengolahan citra (data dasar), (2) tahap interpretasi citra, (3) pengecekan lapang, (4) tahap analisis hasil, dan (5) penyajian hasil. Metode penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. 3.3.1. Tahap Persiapan Data dan Pengolahan Citra Tahap persiapan data meliputi pengumpulan data primer maupun data sekunder yang jumlah dan jenisnya sesuai dengan param kriteria lahan kritis yang digunakan. Pembuatan peta kerja untuk melakukan cek lapang (survey) melalui persiapan data dasar berupa citra Landsat ETM+ dan pengolahan citra. Tahap pengolahan citra Landsat ETM+ meliputi: koreksi geometrik, pemotongan (cropping) citra, fusi band dan penajaman yang mencakup fusi multispektral dan fusi multispasial, dan penentuan jenis citra komposit. a)
Koreksi Geometrik Koreksi geometrik atau rektifikasi
bertujuan memperbaiki distorsi
geometrik sehingga diperoleh citra dengan sistem proyeksi dan koordinat seperti yang ada pada peta. Koreksi geometrik ini dapat dilakukan dengan cara koreksi citra yang belum terkoreksi ke peta digital (image to map geo-correction). Koreksi geometrik dilakukan pada citra dengan mengidentifikasi Ground Control Point (GCP) atau titik ikat yang mudah ditentukan seperti perumahan kecil atau bangunan yang terisolasi yang dibuat merata pada seluruh citra. Akurasi yang baik ditunjukkan oleh nilai Root Mean Square Errorr (RMS-error) yang sangat kecil
22
mendekati nol atau kurang dari 0,5. Akan tetapi dalam penelitian ini tidak dilakukan koreksi geometrik karena citra yang ada sudah terkoreksi secara sistematis. b)
Pemotongan (Cropping) Citra Pemotongan citra dilakukan untuk mendapatkan daerah penelitian dengan
maksud untuk dapat dilakukan pengolahan data yang lebih terfokus dan lebih terinci pada daerah tersebut. Pada pemotongan citra ini dilakukan berdasarkan posisi koordinat yang terdapat di peta topografi dengan proyeksi UTM (Universal Transfer Mercator). c)
Fusi Band dan Penajaman Citra Fusi band adalah penggabungan berbagai band yang terdapat pada Landsat
ETM+. Fusi band dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral dan fusi multispasial. i)
Fusi Multispektral dan Penajaman Spektral Fusi multispektral adalah penggabungan kombinasi antar band yang
memiliki resolusi spektral berbeda dan resolusi spasial sama. Dalam citra Landsat ETM+, band-band yang digunakan adalah band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 yang masingmasing memiliki resolusi spasial 30 m. Untuk band 6 dan band 8 tidak digunakan dalam fusi ini karena memiliki resolusi spasial yang berbeda, masing-masing 60 m dan 15 m. Fusi multispektral dilakukan dengan pemilihan kombinasi band terbaik dengan param Optimum Index Factor (OIF) yang dikembangkan oleh Chaves. Nilai OIF secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standar deviasi nilai-nilai spektral pada tiga band dengan jumlah nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga band. Untuk memperoleh nilai OIF maka digunakan persamaan sebagai berikut:
3
∑ Sk OIF =
K=1
3
∑ Abs (rj) i=1
Keterangan:
Sk : Standard deviasi nilai-nilai spektral pada band Abs (rj) : Nilai absolut koefisien antara tiap dua dari tiga band
23
Dari perhitungan nilai OIF terdapat 20 kombinasi yang kemudian ditentukan urutan nilai OIF tertinggi untuk dipilih sebagai kombinasi band terbaik. Namun Danoerdoro (1996) mengemukaan bahwa bentuk kombinasi yang memakai band 1 sebaiknya tidak digunakan untuk interpretasi objek karena band 1 atau spektrum biru mengandung hamburan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan variasi nilai spektral atau meningkatkan nilai OIF. Dalam penelitian Asriningrum (2002), perhitungan nilai OIF tetap menggunakan 6 band (1, 2, 3, 4, 5, dan 7) namun kombinasi yang dipilih adalah kombinasi band yang tidak menggunakan band 1 dan memiliki urutan nilai OIF tertinggi. Dari hasil pemilihan satu kombinasi band terbaik, selanjutnya dilakukan kombinasi kembali yaitu dengan cara dibolak-balik urutannya sehingga akan didapatkan 6 kombinasi. Keenam kombinasi ini bisa berbeda dalam warna, namun jumlah warnanya akan tetap sama, sehingga pengubahan susunan kombinasi tidak akan mengubah kedetilan informasi. Penajaman spektral atau kontras adalah manipulasi citra dengan merentangkan histogram untuk mendapatkan kecerahan citra. Penajaman spektral citra dilakukan untuk tahap lanjutan setelah pembuatan fusi band karena penajaman diaplikasikan pada model-model fusi band yang sudah terpilih. Penajaman citra meliputi semua operasi yang menghasilkan citra “baru” dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral berbeda. Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model penajaman yang ada pada perangkat lunak ER Mapper 6.4, yang meliputi transformasi linear, transformasi autoclip, transformasi level-slice, equalisasi histogram, equalisasi gaussian, transformasi logaritmik, transformasi exponential, dan transformasi histogram only. Semua transformasi ini menghilangkan 0,5% dikanan dan kiri histogram namun masing-masing algoritma bentuk transformasinya berbeda. Pada tahap ini beberapa jenis penajaman diamati dan kemudian dipilih jenis penajaman yang terbaik. ii) Fusi Multispasial dan Penajaman Spasial Fusi multispasial merupakan penggabungan band-band yang memiliki resolusi spasial berbeda. Pada landsat ETM+ dilakukan penggabungan antara citra multispektral (band 1, 2, 3, 4, 5, dan 7) yang memiliki resolusi spasial 30 m
24
dengan pankromatik (band 8) yang memiliki resolusi spasial 15 m, sehingga hasil akhirnya akan didapat citra baru yang memiliki resolusi spasial 15 m. Fusi multispasial dilakukan dengan menggunakan kombinasi band yang sudah terpilih. Metode fusi multispasial yang akan digunakan dan dibandingkan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Brovey dan metode RGBI yang kemudian dipilih salah satu metode yang terbaik untuk kenampakan bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan. Metode Brovey adalah metode fusi citra yang digunakan untuk memepertajam kenampakan air dan menampilkan dataran lebih alami. Metode Brovey bekerja dengan cara membagi band yang digunakan dalam lapisan warna tertentu dengan jumlah dari ketiga band yang digunakan dalam tiga lapisan warna (RGB) dan hasilnya dikalikan dengan citra pankromatik. Untuk dapat mengerjakan metode Brovey pada perangkat lunak ER Mapper maka digunakan rumus: R = r/(r+g+b)*l, G = g/(r+g+b)*l, B = b/(r+g+b)*l. Dimana : r, g, dan b adalah band terseleksi dan l adalah band pankromatik (band 8). Metode RGBI adalah metode fusi yang digunakan untuk analisis visual maupun untuk menggabungkan data penginderaan jauh yang berbeda jenis yaitu ke dalam sistem HSI (Hue-Saturation-Intensity). Dalam metode ini terdapat rangkaian proses dari RGB-HSI-RGB. Dimana masing-masing saluran R, G, dan B diubah dalam I, H, dan S dan kemudian dilakukan algoritma balik dari masingmasing I, H, dan S ke dalam R, G, dan B. citra pankromatik atau band 8 ditempatkan pada saluran intensity sehingga nanti akhirnya didapatkan citra yang baru dengan bentuk RGB. Metode RGBI berguna untuk meningkatkan kemampuan interpretasi citra komposit multispektral sehingga menghasilkan data baru yang warna kompositnya meningkat. Penajaman spasial atau
filtering bertujuan untuk menghaluskan,
menonjolkan, dan mempertajam detail permukaan bumi. Proses penajaman spasial ada beberapa macam, namun dalam penelitian ini digunakan tiga jenis penajaman spasial, meliputi low pass filter, high pass filter, dan edge detection filter. Hasil dari proses penajaman ini dipilih yang terbaik untuk kenampakan bentuklahan.
25
d)
Penentuan Jenis Citra Komposit Citra komposit dibuat untuk mendapatkan tampilan visual citra yang
optimal untuk identifikasi bentuklahan dengan tujuan menonjolkan detail bentuk permukaan bumi dengan memanfaatkan konfigurasi variasi nilai spektral dan penajaman, sehingga aspek-aspek morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi bentuklahan diharapkan dapat diidentifikasi. Kemudian dilakukan interpretasi bentuklahan secara visual pada monitor komputer dengan menggunakan unsurunsur interpretasi. Pemilihan kombinasi band terbaik, fusi band, penajaman citra, dan penentuan jenis citra komposit pada penelitian ini mengadopsi pada hasil penelitian Asriningrum (2002) dalam tesis yang berjudul Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan (Landform) di Daerah JakartaBogor. 3.3.2. Tahap Interpretasi Citra Data penginderaan jauh dapat berupa data numerik maupun data visual. Oleh karena itu interpretasi datanya dilakukan secara digital bagi data numerik dan secara manual bagi data visual. Interpretasi citra dilaksanakan untuk identifikasi, delimitasi, dan delineasi bentuklahan. Identifikasi adalah mengenali bentuklahan dan memberikan nama bentuklahan. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuklahan pada citra, sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuklahan tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan kedalam bentuk peta. Ketiganya dilakukan dengan mencangkup aspek-aspek morfologi, morfogenesis,dan morfokronologi. a)
Interpretasi Secara Digital Interpretasi data penginderaan jauh secara digital pada dasarnya berupa
klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi dapat dilakukan berdasarkan berbagai cara statistik. Tiap kelas kelompok piksel tersebut kemudian dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi.
26
•
Klasifikasi Citra Dalam interpretasi citra secara digital dilakukan klasifikasi citra yang
bertujuan untuk mendapatkan kelas-kelas penutup/penggunaan lahan dengan mengelompokkan piksel-piksel dari citra. Klasifikasi menggunakan
dilakukan
metode
secara
Klasifikasi
terbimbing
Kemungkinan
(supervised) Maksimum
dengan
(Maximum
Likelihood Classification). Klasifikasi ini dilakukan setelah diperoleh daerah contoh (training site). Ketelitian klasifikasi dinilai dari Nilai Kappa dan Matrik Konfusi dengan ketelitian minimal 85%. Klasifikasi penggunaan lahan dalam penelitian ini mengacu pada hasil rekomendasi klasifikasi penutup/penggunaan lahan untuk pemetaan tematik dari UGM dan Bakosurtanal (2000). b)
Interpretasi Visual Interpretasi data penginderaan jauh secara visual dilakukan melalui
interpretasi dan klasifikasi kenampakan asli dari citra. Pada tahap ini dilakukan interpretasi citra dengan memasukkan kriteria identifikasi bentuklahan, penutup/penggunaan lahan, dan kunci interpretasi penginderaan jauh. Interpretasi digital dan visual dilakukan untuk menghasilkan peta bentuklahan sementara, peta penutup/penggunaan lahan sementara, dan peta lahan kritis sementara. Peta lahan kritis ini dibuat berdasarkan klasifikasi menurut Sitorus (2004), yang mencangkup: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis. Peta-peta tersebut dibuat untuk dapat digunakan pada saat pengecekan lapang. 3.3.3.
Pengecekan Lapang (survey) Pengecekan lapang bertujuan untuk mengetahui kebenaran penutupan/
penggunaan lahan di lapangan, mengidentifikasi lahan kritis di lapang, analisis fisik tanah di lapangan (kedalaman efektif, tekstur, kemiringan lereng, dll), serta manajemen pengelolaan dan tindakan konservasi.
27
Tahap ini dilakukan dengan mengambil titik-titik sampel di peta, selanjutnya dilakukan pengecekan lapang dengan Global Possition System (GPS) dilapangan. 3.3.4. Tahap Analisis Hasil Pada tahap ini dilakukan analisis hubungan antara bentuklahan, penutup/penggunaan lahan, dan lahan kritis dengan memasukkan param-param penentu kriteria lahan kritis sehingga dapat menyajikan peta lahan kritis dan rekomendasi rehabilitasi lahan kritis. 3.3.5. Penyajian Hasil Seluruh rangkaian penelitian ini digambarkan dalam suatu diagram alir seperti yang disajikan pada gambar berikut:
28
Citra Landsat ETM+
Citra Komposit
Pengolahan Citra
Fusi dan
Fusi dan
Pemotongan
penajaman
penajaman
geomorfologi dan
Citra
Multispektral
Multispasial
penggunaan lahan
terbaik untuk studi
Pengolahan Citra
Digital
Landuse
Interpretasi Citra
Visual
Landform
Klasifikasi Citra
Identifikasi Lahan Kritis
Peta Landuse Sementara
Peta Landform Sementara Kriteria identifiasi
Visual
-
Landform
-
Landuse
-
Kunci interpretasi
Peta Lahan Kritis Sementara
Interpretasi Citra Peta kerja :
Pelaksanaan survey :
- Registrasi
Persiapan
- Digitasi
Administrasi
Pengecekan Lapang
data
lokasi
-
Tentukan lokasi (GPS)
-
Tentukan titik pengeboran tanah
- Overlay -
Analisis fisik tanah
Pengecekan Lapang Analisis Hasil
Identifikasi Hasil
Identifikasi Lahan Kritis
Pemetaan Lahan Kritis
Kriteria Lahan Kritis Peta Landuse
Penggunaan
Kemiringan
Tingkat
Manajemen
Lahan
Lereng
Erosi
Lahan
Peta Landform
Analisis hubungan antara landform, landuse, dan lahan kritis Analisis Hasil
Peta Lahan Kritis Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis
Gambar 1. Diagram Alir Metode Penelitian
29
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Kota Cilegon terletak pada garis meridian 50 52’ 24” – 60 04’ 07” Lintang Selatan (LS) dan di antara 1050 54’ 05” – 1060 05’ 11” Bujur Timur (BT). Secara administratif Kota Cilegon termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Serang Propinsi Banten berbatasan dengan:
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten Serang).
Sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda.
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan Mancak (Kabupaten Serang).
Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu (Kabupaten Serang). Berdasarkan administrasi Bakosurtanal tahun 1999, Kota Cilegon memiliki
luas ±18.002 Ha terbagi atas 8 Kecamatan (Cilegon, Cibeber, Ciwandan, Pulomerak, Purwakarta, Jombang, Ciwandan, dan Citangkil) yang terdiri atas 22 Desa dan 21 Kelurahan. Karakteristik fisik Kota Cilegon mencakup gambaran dasar mengenai keadaan topografi, morfologi, kemiringan lereng, geomorfologi, struktur geologi, jenis tanah, tekstur tanah, hidrologi, kondisi iklim, dan penggunaan lahan.
4.1. Keadaan Topografi, Morfologi, dan Kemiringan Lereng Topografi di Wilayah Kota Cilegon pada umumnya termasuk landai dengan ketinggian bervariasi dari 1 m sampai 250 mdpl. Secara umum keadaan morfologi Kota Cilegon terbagi atas tiga kelompok besar, yaitu: morfologi dataran (0-50 mdpl di timur dan barat kota), morfologi perbukitan landai-sedang (minimum 50 mdpl di tengah kota), dan morfologi perbukitan terjal (maksimum 551 mdpl di utara kota Kecamatan Pulomerak wilayah puncak Gunung Gede dan sebagian kecil wilayah selatan kota).
30
Gambar 2. Peta Daerah Penelitian
31
Kemiringan lereng secara global di wilayah Kota Cilegon antara <=8% (terletak di bagian barat, tengah hingga timur kota), kemiringan lereng 8-15% (terletak di bagian selatan kota), dan kemiringan lereng 25-40% (terletak di utara kota).
4.2. Geomorfologi Berdasarkan kenampakan dari citra satelit Landsat ETM+ tahun 2001, bentuklahan Kota Cilegon didominasi oleh bentuklahan Vulkanik dengan umur batuan kuarter dan proses pembentukan secara tektonik. Secara umum daerah ini dicirikan oleh adanya beberapa satuan bentang alam, yaitu: Satuan Perbukitan bergelombang Rendah dan Satuan Dataran Rendah. Satuan bentang alam tersebut adalah sebagai berikut: a)
Satuan Bentang Alam Perbukitan Bergelombang Rendah Satuan ini menempati wilayah di bagian Utara, dicirikan oleh perbukitan
bergelombang rendah dengan ketinggian maksimum sekitar 1.000 m. Secara umum permukaan dataran dari satuan ini adalah datar sampai landai, torehan sungai dangkal dan lebar satuan ini disusun oleh produk erupsi dan hasil rombakan dari gunungapi-gunungapi pada satuan pegunungan dari kenampakan bentang alamnya, batuan yang menyusunnya relatif lebih lunak atau bersifat lepas yang terdiri atas tuff dan breksi berbutir halus. b)
Satuan Bentang Alam Dataran Rendah Penyebaran satuan ini terdapat di hampir seluruh wilayah, sebagian besar di
dataran pantai Barat. Bentuk satuan ini berbeda dalam kenampakan yang sifatnya sesuai dengan cara pembentukan dataran tersebut. Dataran alluvial sungai dan pantai merupakan bentuk yang sangat umum terdapat di wilayah ini.
32
4.3. Struktur Geologi Batuan yang tersingkap di Kota Cilegon terdiri atas batuan vulkanik dan aluvium. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh IWACO dan WASECO pada 1990, sebaran batuan yang terdapat di Kota Cilegon terdiri atas lava, tuff, breksi, dan endapan sungai. Jenis batuan tersebut mempunyai sebaran sebagai berikut: 1.
Endapan pantai di bagian Barat Daya
2.
Endapan sungai berada di antara sebaran lava/breksi Gunung Gede dan breksi/tuff Gunung Gede
3.
Breksi dan Lava Gunung Tukung berada di bagian Barat Daya
4.
Breksi dan Tuff Gunung Gede tersebar di bagian tengah sampai Barat
5.
Lava dan Breksi Gunung Gede tersebar di bagian Utara
6.
Tuff Gunung Danau berada di bagian Timur dan
7.
Breksi dan Tuff Gunung Cidano tersebar di bagian tengah, barat, dan selatan.
4.4. Jenis Tanah, Tekstur Tanah dan Kedalaman Efektif Tanah Keadaan tanah di Kota Cilegon merupakan hasil pelapukan batuan vulkanik yang berasal dari Gunung Gede. Berdasarkan klasifikasi Pusat Penelitian Tanah terdapat tiga jenis tanah di Kota Cilegon, yaitu Alluvial, Latosol, dan Regosol. Jenis tanah ini memiliki beberapa kelas tekstur, diantaranya: Lempung Berliat, Lempung Berpasir, Lempung Liat Berpasir, Liat Berpasir, dan Pasir. Kedalaman efektif tanah pada wilayah ini dapat dibagi menjadi empat kelas yaitu: sangat dangkal (<30 cm), dangkal (30-60 cm), dalam (60-90 cm), dan sangat dalam (>90 cm). Persebaran jenis tanah di Kota Cilegon dapat dilihat pada Gambar 4.
33
Gambar 3. Peta Geologi Daerah Penelitian
34
Gambar 4. Peta Jenis Tanah Daerah Penelitian
35
4.5. Hidrologi Untuk sebaran air permukaan, di wilayah Kota Cilegon terdapat beberapa sungai kecil (kali). Secara umum dapat disebutkan kali-kali yang terdapat di Kota Cilegon adalah: Kali Kahal, Kali Tompos, Kali Sekong, Kali Gayam, (debit air 36 liter/detik), Kali Medaksa, Kali Sangkanila, Kali Cikuasa, Kali Sumur Wuluh, Kali Gerem, Kali Grogol, Kali Cijalumpong, Kali Cibeber (3.000 liter/detik), Kali Kedungingas (14.000 liter/detik), Kali Cidanau (2.000 liter/detik), Kali Krenceng (5 liter/detik) dan Kali Cipayurugan. Dari sejumlah kali tersebut, yang sudah dimanfaatkan untuk kegiatan komersial adalah Kali Cidanau. Aliran air Kali Cidanau ini di daerah Krenceng ditampung dalam sebuah waduk (Waduk Krenceng/Waduk Krakatau Steel) untuk selanjutnya diolah dan dimanfaatkan untuk kebutuhan air industri serta untuk pelayanan air bersih untuk kebutuhan rumah tangga. 4.6. Kondisi Iklim Kota Cilegon memiliki iklim tropis dengan suhu berkisar antara 21,10C34,10C. Kelembaban udara rata-rata bulanan berkisar antara 73%-86%. Tekanan udara di lokasi penelitian berkisar antara 1007,5 mb sampai dengan 1010.7 mb. Keadaan curah hujan di Kota Cilegon rata-rata sebanyak 12 hari dengan curah hujan rata-rata 114 mm per bulan (Tabel Lampiran 1). Bila ditinjau dari klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim Kota Cilegon termasuk tipe C (agak kering) dan memiliki pola curah hujan pada wilayah/pola IIA yang mempunyai curah hujan 1.000-2.000 mm/tahun dengan pola tunggal (simple wave) dan curah hujan terendah pada bulan Juli/Agustus. Pada wilayah ini jumlah curah hujan secara periodik terkonsentrasi pada suatu periode tertentu. Peta pola curah hujan dapat dilihat pada Gambar 5.
4.7. Penggunaan Lahan Lahan sebagai basis bagi aktivitas manusia selalu dihadapkan pada gejala pergeseran fungsi. Pada tahun 2004 penggunaan lahan (landuse) di Kota Cilegon pada dasarnya merupakan lahan pertanian, perumahan dan pemukiman, perkantoran, perdagangan dan jasa, industri, kehutanan, pariwisata dan lahan penggunaan lainnya (BPS, 2006).
36
Kota Cilegon
Gambar 5. Peta Pola Curah Hujan Daerah Penelitian
4.8. Kependudukan Jumlah penduduk Kota Cilegon dari tahun ke tahun mengalami pertambahan yang semakin besar. Jumlah penduduk Kota Cilegon pada tahun 2006 sebesar 339.316 jiwa, dengan komposisi 176.276 laki-laki dan 163.440 perempuan, dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 2,32% pertahun dan tingkat kepadatan mencapai 1.936 jiwa/km2. Situasi ketenagakerjaan di Kota Cilegon pada tahun 2006 menunjukkan terjadinya peningkatan angkatan kerja dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Lebih dari separuh penduduk 10 tahun keatas bekerja di sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor industri pengolahan, masing-masing sebesar 27,74% dan 27,38%.
37
4.8.1. Pendidikan Sarana pendidikan di wilayah Kota Cilegon terdiri dari pendidikan Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs), Sekolah Menengah Atas (SMA)/Madrasah Aliyah (MA) , Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Perguruan Tinggi (PT). Penduduk di wilayah Kota Cilegon sebagian besar menamatkan pendidikan pada tingkat SMA dan sedikit penduduk yang tidak memiliki pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk 5 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Kota Cilegon tahun 2006 adalah: untuk tingkat pendidikan SD/MI sebesar 22,13%, SLTP/MTs sebesar 21,07%, SMU/MA sebesar 25,31%, SMK sebesar 9,89%, D1/D2 sebesar 1,07%, D3/Akademi sebesar 1,52%, D4/S1-Sarjana sebesar 3,53%, S2/S3 sebesar 0,52%, dan untuk penduduk yang tidak mempunyai ijazah pendidikan sebesar 14,97%.
4.8.2. Perdagangan dan Industri Kegiatan perdagangan di Kota Cilegon dicirikan dengan adanya perdagangan tradisional dan modern. Perdagangan tradisional umumnya berupa perdagangan pada pasar-pasar tradisional yang banyak tersebar di Kota Cilegon, diantaranya Pasar Baru, Pasar Kelapa, Pasar Merak, dan Pasar Cigading. Adapun kegiatan perdagangan modern lebih terkonsentrasi di sekitar pusat Kota Cilegon, berupa pasar-pasar swalayan skala besar dan juga mall. Jenis industri yang banyak didirikan di Kota Cilegon, secara umum dapat dikategorikan ke dalam 3 jenis industri, yaitu industri baja, industri non baja, dan industri kecil (home industry). 4.8.3. Sosial Ekonomi Secara rill pertumbuhan ekonomi Kota Cilegon dapat dikaji melalui perkembangan PDRB atas dasar harga konstan karena angka ini tidak dipengaruhi oleh adanya perubahan harga. Pada tahun 2004 laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Cilegon sebesar 7,21% atau lebih cepat 0,10 point dibandingkan pertumbuhan tahun sebelumnya yang saat ini mencapai 7,11%.
38
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.
Seleksi Data Citra Landsat ETM+ Pengolahan Citra Landsat diawali dengan menggabungkan band-band
yang memiliki resolusi spasial sama; yaitu band 1, band 2, band 3, band 4, band 5, dan band 7 dengan resolusi spasial 30 m. Masing-masing karakteristik band dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan band 8 dengan resolusi spasial 15 meter digunakan pada saat fusi multispasial. Dalam penelitian ini band 6 tidak digunakan karena memiliki resolusi spasial yang rendah yaitu 60 m dan karakteristik band 6 (infra merah thermal) adalah berhubungan dengan panas objek di permukaan bumi. Penggabungan band pada citra ini dimaksudkan untuk dapat mengolah citra secara utuh dengan melakukan seleksi fusi multispektral dan seleksi fusi multispasial. Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit LandsatETM+ tanggal 06 Juli 2001 dalam liputan (scene) Path/Row 123/64 wilayah Kota Cilegon, dengan posisi geografis 50 52’ 24” – 60 04’ 07” Lintang Selatan dan di antara 1050 54’ 05” – 1060 05’ 11” Bujur Timur. Gambar citra Landsat wilayah Kota Cilegon ini disajikan pada Gambar 6, sedangkan Gambar 7 disajikan untuk dapat memperlihatkan kenampakan secara keseluruhan wilayah di sekitar Kota Cilegon.
Gambar 6. Citra Landsat ETM+ Wilayah Kota Cilegon
39
Kota Cilegon Kab Serang Selat Sunda
Kab Serang
Kab Serang
Gambar 7. Citra Landsat ETM+ Wilayah di sekitar Kota Cilegon.
5.1.1. Seleksi Fusi Multispektral Seleksi fusi multispektral dalam penelitian ini dilakukan setelah penggabungan band-band yang memiliki resolusi spasial sama dalam satu citra kemudian dilakukan pemotongan citra berdasarkan batas koordinat daerah penelitian yaitu pada wilayah Kota Cilegon. Seleksi fusi multispektral ini dilakukan dengan melihat nilai Optimum Index Factor (OIF). Berdasarkan perhitungan nilai OIF ini, seluruh wilayah daerah penelitian didapatkan hasil bahwa nilai OIF tertinggi adalah berturut-turut pada fusi-fusi band 145, 147, 134, 124, dan seterusnya (Tabel 7).
40
Tabel 7. Nilai OIF Daerah Penelitian Kombinasi 145 147 134 124 157 135 125 245 234 345
OIF 54.4136 42.7857 38.8017 37.0217 31.2448 28.7847 27.9163 27.8345 24.7241 24.6394
Kombinasi 247 347 235 257 137 457 127 357 237 123
OIF 23.4853 21.1658 20.3338 19.6416 19.1133 18.2029 17.9906 17.9521 14.6802 13.3257
Pemilihan kombinasi band terbaik diambil dari fusi yang memiliki nilai OIF tertinggi, akan tetapi fusi 145 tidak dipilih melainkan fusi 245 yang dipilih sebagai kombinasi terbaik walaupun fusi 245 berada diurutan kedelapan. Fusi ini dipilih karena band 1 memiliki hamburan spektral tinggi yang menaikkan nilai OIF sehingga tidak dapat mewakili nilai spektral permukaan bumi sebenarnya. Dari fusi terseleksi 245 ini selanjutnya dipilih warna komposit RGB-nya. Terdapat 6 kombinasi dari 245 yaitu: 245, 254, 425, 452, 524, dan 542. Dari keenam kombinasi tersebut dipilih tiga kombinasi yang kenampakannya paling jelas dan paling kontras. Dari keenam kombinasi tersebut, fusi 254, 452, dan 542 terlihat lebih jelas dibandingkan tiga kombinasi yang lain. Kemudian dari ke tiga kombinasi tersebut diseleksi kembali untuk mendapatkan citra dengan kenampakan bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan yang paling jelas. Dari proses penyeleksian akhirnya terpilih citra komposit untuk kenampakan bentuklahan paling jelas, yaitu fusi multispektral 452 karena dapat menampilkan detail
bentuk
permukaan
bumi
lebih
baik.
Untuk
kenampakan
penutup/penggunaan lahan dipilih fusi multispektral 542 karena dapat menampilkan warna natural dengan kontras warna paling tegas dan paling jelas dalam menampilkan penutup/penggunaan lahan. Variasi komposit RGB dari fusi 245 dapat dilihat pada Gambar 8.
41
Gambar 8. Variasi Komposit dari Fusi 245 di Daerah Penelitian Dalam penelitian ini, daerah yang diamati didominasi oleh bentuklahan vulkanik. Berdasarkan penelitian Asriningrum (2002), daerah bentuklahan vulkanik memiliki nilai OIF tertinggi pada fusi 345, sedangkan pada daerah penelitian ini, fusi 345 berada di urutan ke 10. Hal ini dikarenakan pada daerah penelitian ini memiliki bentuklahan yang beragam namun dominannya adalah bentuklahan vulkanik sehingga pengaruh vulkanik sangat terlihat. Perbedaan hasil nilai OIF juga dapat disebabkan oleh pengaruh kondisi atmosfer berupa awan, bayangan awan, dan kabut, serta perbedaan penutupan lahan. Menurut Asriningrum (2002), komposit terseleksi menonjolkan dua hal, yaitu konfigurasi nilai spektral dengan ketajaman warna dan kontras warna, serta detail kenampakan bentuklahan. Meskipun pada jenis tampilan memiliki warna berbeda, namun sebenarnya memiliki variasi spektral yang sama. Citra komposit RGB hasil fusi multispektal ini merupakan citra warna semu atau bukan warna sebenarnya. Untuk membuat citra komposit warna sebenarnya dapat dilakukan
42
melalui fusi band 123 dengan memasukkan setiap band spektral tepat pada filter merah, hijau, dan biru, sehingga merupakan komposit RGB 321. Berdasarkan perhitungan nilai OIF pada daerah peneltian diperoleh bahwa fusi band 123 memiliki nilai OIF terendah atau berada diurutan ke 20. Nilai OIF untuk fusi band 123 juga menempati urutan ke 20 atau urutan terendah pada hasil penelitian Asriningrum (2002) untuk daerah model dan verifikasi bentuklahan marin, fluvial, struktural, dan vulkanik, sedangkan untuk bentuklahan karst berada diurutan ke 19 (Tabel Lampiran 2), sehingga dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa citra komposit warna semu memiliki tampilan yang lebih baik dibandingkan dengan citra komposit warna sebenarnya. 5.1.2. Seleksi Penajaman Spektral Seleksi penajaman spektral dilakukan setelah memperoleh hasil citra komposit dari fusi multispektral, dalam hal ini dipilih fusi 542 sebagai kombinasi band terbaik untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan, sedangkan untuk kenampakan bentuklahan dipilih 452 sebagai kombinasi band terbaik. Untuk penajaman spektral di daerah penelitian yang didominasi bentuklahan vulkanik ini, diperoleh hasil penajaman terbaik adalah dengan transformasi autoclip untuk kenampakan
bentuklahan
dan
penutup/penggunaan
lahan
karena
dapat
menampilkan warna lebih kontras dengan kenampakan relief untuk bentuklahan yang lebih menonjol. Penajaman dengan transformasi autoclip ini cukup sulit dibedakan dengan transformasi linear dan histogram only, tetapi akhirnya dapat dibedakan karena transformasi autoclip dapat mengurangi munculnya lapisan awan pada citra tersebut. Variasi penajaman spektral komposit RGB 542 untuk penutup/penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
43
Gambar 9. Variasi Penajaman Spektral Komposit RGB 542 untuk Penutup/penggunaan Lahan di Daerah Penelitian 5.1.3. Seleksi Fusi Multispasial dan Penajaman Spasial Fusi multispasial dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, diantaranya adalah metode Brovey dan metode RGBI. Kedua metode ini merupakan metode fusi yang sering digunakan. Fusi citra dalam penelitian ini menggunakan citra Landsat ETM+ multispektral dan pankromatik. Citra landsat ETM+ memiliki resolusi spektral 8 band, dimana band 1,2 ,3, 4, 5, dan 7 memiliki resolusi spasial 30 m x 30 m, untuk band 6 memiliki resolusi spasial 60 m x 60 m, dan untuk band 8 memiliki resolusi spasial 15 m x 15 m. Dalam penelitian ini band 6 tidak digunakan karena fungsinya sebagai penginderaan jauh thermal tidak sesuai dengan tujuan penelitian ini. Fusi multispasial dilakukan untuk menggabungkan citra multispektral dengan citra pankromatik yang memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi agar
44
diperoleh citra yang memiliki resolusi spektral dan resolusi spasial yang lebih tinggi. Dalam hal ini band 1, 2, 3,4, 5, dan 7 digabung dengan band 8 sehinggga diperoleh citra baru dengan resolusi spasial 15 m dan memiliki kombinasi warna. Hasil dari proses fusi multispasial ini di sajikan pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil Fusi Multispasial Citra Landsat ETM+
45
Penajaman spasial dengan pemfilteran dilakukan pada software ER Mapper 6.4, dimana pada perangkat lunak tersebut terdapat beberapa jenis penajaman spasial. Pada penelitian ini digunakan tiga cara penajaman yaitu: Low Pass Filter (LPF), High Pass Filter (HPF), dan Edge Detection Filter (EDF). Masing-masing cara penajaman tersebut terbagi menjadi beberapa algoritma. Algoritma pada LPF adalah average 3x3, average 7x7, dan average diagonal. Algoritma pada HPF adalah sharpen2, sharpen11, dan sharpedge. Dan algoritma pada EDF adalah different, Gradien in the x detection, dan Gradien in the y detection. LPF digunakan untuk menghaluskan kenampakan citra, HPF digunakan untuk menonjolkan perbedaan antar objek atau perbedaan nilai, kondisi, atau sifat antar objek (Danoerdoro, 1996), dan EDF dipakai untuk menajamkan objek-objek yang terletak disekitar tepi pada citra (ER Mapper, 1997). Dari ketiga cara penajaman tersebut diperoleh hasil bahwa penajaman spasial yang terbaik adalah dengan high pass filter, sharpen11 karena objek pada citra terlihat lebih tajam dan perbedaan antar objek lebih jelas. Gambar 11 memperlihatkan hasil dari fusi multispasial metode Brovey dan RGBI high pass filter, Sharpen11, sedangkan Gambar 12 memperlihatkan penajaman (filtering) terhadap citra hasil fusi multispasial Brovey. Analisis perbandingan metode Brovey dan RGBI dilakukan dengan mengamati bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan pada citra. Pengamatan bentuklahan untuk metode Brovey dan RGBI menggunakan citra komposit hasil fusi multispektral yaitu komposit 452 dengan penajaman spasial HPF Sharpen11, sedangkan untuk pengamatan penutup/penggunaan lahan menggunakan komposit 542 dengan penajaman spasial HPF Sharpen11. Perbandingan citra sebelum dilakukan fusi dan citra setelah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil analisis perbandingan kedua metode fusi tersebut akhirnya diperoleh yang terbaik adalah Brovey untuk penutup/penggunaan lahan dan RGBI untuk bentuklahan, sehingga kedua metode fusi tersebut digunakan untuk identifikasi dalam penelitian ini.
46
Gambar 11. Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI dengan Penajaman High Pass Filter, Sharpen 11 Hasil pengamatan bentuklahan dengan metode Brovey 4528 dan RGBI 4528 dengan penajaman High Pass Filter, Sharpen11 menghasilkan informasi yang sangat detail. Tampilan warna pada citra yang pertama terlihat lebih cerah dibandingkan dengan citra yang kedua. Namun pada citra RGBI dapat menampilkan relief yang lebih kontras dibandingkan dengan citra Brovey 4528 dengan penajaman High Pass Filter, Sharpen11. Hal ini dikarenakan penggunaan rumus yang berbeda pada masing-masing metode. Secara teknis, pada metode Brovey, fusi citra Landsat ETM+ multispektral dan pankromatik dilakukan pada perlapisan warna RGB dan diproses secara bersamaan karena citra pankromatik digunakan untuk mengalikan hasil pembagian setiap band oleh jumlah ketiga band dari tiap lapisan pada citra kompositnya, sehingga dapat menghasilkan citra yang
47
kontras secara spektral dan bagus untuk kenampakan alami lahan dan air. Sedangkan pada metode RGBI proses fusi dilakukan terlebih dahulu dengan mentransformasikan kombinasi tiga band (komposit RGB 452 atau 542) ke dalam sistem Hue dan Saturasi, dan transformasi citra pankromatik ke dalam Intensity, sehingga diperoleh nilai Hue, Saturasi, dan Intensity (HSI) yang dihitung berdasarkan nilai RGB dari kombinasi tersebut, hasilnya kemudian ditransformasi kembali ke dalam RGB dengan bentuk akhir adalah RGB, sehingga hasil dari fusi ini dapat mempertipis liputan awan dan pada citra di daerah penelitian ini terlihat lebih kontras untuk kenampakan relief.
Gambar 12. Fusi Multispasial Brovey dengan Variasi Penajaman di Daerah Penelitian
48
Berdasarkan penelitian Asriningrum (2002), metode Brovey dan RGBI keduanya sangat bagus untuk kenampakan bentuklahan vulkanik, akan tetapi metode RGBI memiliki keunggulan dapat mempertipis liputan awan yang ada di atas bentuklahan vulkanik, oleh karena itu metode RGBI dipilih sebagai metode yang terbaik untuk daerah bentuklahan vulkanik. Hal tersebut terbukti dalam penelitian ini. Gambar 13 menunjukkan hasil dari fusi multispasial metode Brovey dan metode RGBI terpilih. Untuk analisis visual terhadap penutup/penggunaan lahan dari hasil kedua fusi multispasial (keduanya menggunakan citra komposit 542 dan penajaman spasial High Pass Filter, Sharpen11 diperoleh bahwa fusi multispasial dengan metode Brovey lebih bagus dibandingkan metode RGBI. Pada citra Brovey diperoleh citra dengan warna yang lebih cerah dan lebih kontras secara spektral sehingga sangat baik untuk analisis penutup/penggunaan lahan. Dari hasil pengamatan dapat terdeteksi sebanyak 8 penggunaan lahan, yaitu: permukiman, industri,
sawah,
tegalan/kebun
campuran,
hutan,
semak/lahan
terbuka,
tambak/rawa, dan waduk. Klasifikasi ini diambil berdasarkan rekomendasi klasifikasi penutup/penggunaan lahan oleh UGM dan Bakosurtanal (2000). Untuk analisis visual terhadap bentuklahan digunakan citra komposit 452 dengan membandingkan metode fusi Brovey dan RGBI (keduanya menggunakan citra komposit 452). Pada kedua citra hasil fusi tersebut, masing-masing dapat menampilkan relief yang lebih tajam, namun pada RGBI memiliki kelebihan dapat mempertipis liputan awan sehingga terpilih untuk identifikasi bentuklahan dalam penelitian ini. Dari hasil seleksi data citra Landsat ETM+ daerah penelitian, dapat disimpulkan bahwa hasil fusi terbaik adalah fusi multispektral komposit 245 dengan kombinasi band terbaik 452 untuk kenampakan bentuklahan dan 542 untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan dengan penajaman transformasi autoclip. Sedangkan untuk fusi multispasial dipilih metode RGBI 4528 dengan penajaman high pass filter, sharpen11 untuk kenampakan bentuklahan dan metode Brovey 5428 dengan penajaman high pass filter, sharpen11 untuk kenampakan penutup/penggunaan lahan.
49
Tabel 8 di bawah ini merupakan rangkuman hasil dari pengolahan citra Landsat ETM+ terseleksi yang kemudian dapat di gunakan untuk identifikasi bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan. Tabel 8. Rangkuman Hasil Pengolahan Terseleksi Citra Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan dan Penutup/penggunaan Lahan Fusi Multispektral
Penajaman Spektral
Fusi Multispasial
452
Autoclip
RGBI
542
Autoclip
Brovey
Penajaman Spasial HPF, Sharpen11 HPF, Sharpen11
Pemakaian Interpretasi Bentuklahan Penutup/penggunaan Lahan
50
Gambar 13. Hasil Fusi Multispasial Metode Brovey dan RGBI terpilih. Kiri: citra untuk identifikasi bentuklahan, kanan: citra untuk identifikasi penutup/penggunaan lahan
51
5.2
Identifikasi Bentuklahan Secara geomorfologis, dari kenampakan citra terlihat ada delapan
bentuklahan, yaitu: Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs), Dataran Fluvio Vulkanik (DFV), Kipas Ignimbritik (KI), Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD), Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC), Gisik (Beach), dan Tebing Pantai (Cliff). Bentuklahan KVDG meliputi 3 wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan Pulomerak (Desa Suralaya, Lebak Gede, Tamansari, dan Mekarsari), Kecamatan Grogol (Desa Gerem, Grogol, Kotasari, dan Rawa Arum), dan Kecamatan Purwakarta
(Desa
Pabean,
Tegal
Bunder,
Purwakarta,
Kotabumi
dan
Kebondalem). Bentuklahan DFV meliputi 4 wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan Grogol (Desa Gerem, Rawaarum, dan Kotasari), Kecamatan Purwakarta (Desa Purwakarta, Kotabumi, Kebondalem, dan Ramanuju), Kecamatan Ciwandan (Areal Krakatau Steel, Desa Kubangsari, dan Kepuh), dan Kecamatan Jombang (Desa Gedong Dalem, Panggung Rawi, dan Kedaleman). Bentuklahan KI meliputi 6 wilayah kecamatan, yaitu: Kecamatan Purwakarta (Desa Kebondalem dan Ramanuju), Kecamatan Ciwandan (Desa Kubangsari, Tegalratu, Banjarnegara, Randakari, Kepuh, dan Gunung Sugih), Kecamatan Citangkil (Desa Samangraya, Warnasari, Dringo, Lebakdenok, Kebonsari, Tamanbaru, dan Citangkil), Kecamatan Jombang (Desa Gedong Dalem, Panggung Rawi, Masigit, Jombang Wetan, dan Sukmajaya), Kecamatan Cilegon (Desa Ketileng, Ciwaduk, Bendungan, Ciwedus, dan Bagendung), dan Kecamatan Cibeber (Desa Kedaleman, Karangasem, Kalitimbang, Cibeber, dan Bulakan). Bentuklahan PVD hanya meliputi 1 kecamatan, yaitu Kecamatan Ciwandan (Desa Randakari, Kepuh, dan Gunung Sugih). Bentuklahan KVDC hanya terdapat di Kecamatan Cibeber (Desa Kalitimbang, Bulakan, dan Cikerai). Bentuklahan TVs terdapat di arah Barat Laut Kota Cilegon yang merupakan suatu pulau kecil di bagian barat Kecamatan Pulomerak dan masih termasuk dalam bagian dari Desa Tamansari.
52
Bentuklahan Gisik (Beach) dan Tebing Pantai (Cliff) pada citra dicirikan adanya bentuk seperti bayang-bayang dan terdapat di pinggiran pantai. Bentuklahan ini terdapat di bagian Kecamatan Pulomerak yang dekat dengan laut. Untuk melakukan identifikasi dan interpretasi bentuklahan di daerah penelitian, digunakan hasil pengolahan citra kombinasi band 452 hasil fusi multispasial RGBI high pass filter, Sharpen11 seperti yang telah diuraikan di atas. Identifikasi dan interpretasi bentuklahan di lakukan secara visual terhadap citra tersebut di atas. Dari hasil interpretasi di peroleh delapan jenis bentuklahan, yaitu: Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs), Dataran Fluvio Vulkanik (DFV), Kipas Ignimbritik (KI), Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD), Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC), Gisik (Beach), dan Tebing Pantai (Cliff). Dari hasil interpretasi tersebut, kemudian di lakukan cek lapangan untuk menguji kebenarannya. Hasil dari interpretasi dan cek lapangan tersebut menghasilkan peta bentuklahan seperti yang disajikan pada Gambar 14. Sedangkan Tabel 9 disajikan untuk luasan bentuklahan di daerah penelitian.
Gambar 14. Peta Bentuklahan Hasil Interpretasi Visual dan Cek Lapangan di Daerah Penelitian
53
TVs KVDG
DFV PVD KI
KVDC
Gambar 15. Citra Landsat RGBI 4528, HPF Sharpen11 dengan Peta Bentuklahan Daerah Penelitian Tabel 9. Luas Bentuklahan di Daerah Penelitian Bentuklahan Beach Cliff DFV KI TVs PVD KVDG KVDC Total
Luas (Ha)
Luas (%)
53
0,30
29 3.254 8.195 39 402 4.860 1.168 18.002
0,16 18,08 45,53 0,21 2,23 27,00 6,49 100,00
54
5.2.1. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG) Bagian Utara daerah penelitian merupakan daerah pegunungan yang terbentuk oleh proses vulkanik dan membentuk kerucut Gunung Gede. Dari citra tampak jelas bahwa bentuklahan vulkanik ini tertoreh kuat dengan pola radial. Hal ini menunjukkan bahwa gunung ini sudah tidak aktif lagi sehingga mengalami proses erosi yang berlanjut. Akibat proses erosi tersebut, maka bentuklahan ini dapat dinamakan Kerucut Vulkanik Denudasional. Bentuklahan ini berumur kuarter tersusun atas lava dan tuff vulkanik hasil letusan Gunung Gede yang dicirikan oleh adanya singkapan batuan serta banyaknya batuan-batuan dan tanah yang bertekstur halus. Pada bagian ini terlihat juga adanya lembah berbentuk V yang mencirikan bahwa wilayah ini berbahan induk homogen dan erosi vertikal pada lembah gunungapi ini masih terus berlangsung. Bentuklahan ini menempati elevasi antara 50-551 m di atas permukaan laut dan memiliki kemiringan lereng domonan >40%. 5.2.2. Bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC) Daerah penelitian di bagian selatan juga memiliki relief pegunungan. Secara regional, bentuklahan ini sebenarnya merupakan bagian dari bentuklahan yang lebih besar, yaitu kompleks gunungapi Cidano. Gunungapi ini pernah mengalami letusan besar dan menghasilkan kaldera Cidano yang terletak di sebelah selatan dari daerah penelitian. Volume yang besar dari letusan ini menghasilkan tuff vulkanik berbatu apung atau ignimbritik (Van Bemmelan, 1949). Berhubung aktivitas gunungapi ini sudah tidak berlangsung lagi, maka tubuh kompleks gunung api ini secara berlanjut mengalami proses denudasi. Oleh sebab itu, bagian dari kerucut kompleks Gunung Cidano yang masuk ke dalam Kota Cilegon ini dinamakan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano. Bentuklahan ini mempunyai elevasi antara 50-300 m di atas permukaan laut dan di dominasi oleh kemiringan lereng antara 15->40%. Torehan yang ada pada bentuklahan ini tampak lebih ringan dari pada torehan pada Gunung Gede. 5.2.3. Bentuklahan Kipas Ignimbritik (KI) Pada bagian timur daerah penelitian terdapat bentuklahan yang membujur dari tengah sampai ke selatan. Daerah ini mempunyai relief yang landai dan
55
berbentuk kipas. Bentuklahan ini tersusun atas endapan abu dan batu apung serta tuff vulkanik dari hasil letusan gunungapi berumur kuarter. Sebenarnya material penyusun bentuklahan ini adalah hasil letusan Gunung Cidano pada saat terbentuknya kaldera Cidano yang banyak menghasilkan ignimbrite. Berhubung endapan ignimbrite ini menempati lereng kaki kompleks Cidano dan berbentuk seperti kipas, maka bentuklahan ini dapat dinamakan Kipas Ignimbritik. Bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 8-<15% dan mempunyai elevasi antara 0-50 m di atas permukaan laut. 5.2.4. Bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik (DFV) Dataran fluvio vulkanik adalah bentuklahan yang di hasilkan oleh proses fluvial yang membawa bahan-bahan vulkanik (Selby, 1983 dalam Asriningrum, 2002). Dikarenakan merupakan hasil pengendapan maka bentuklahan ini mempunyai lereng datar hingga landai dan menempati posisi relatif rendah dibandingkan bentuklahan yang lain. Di daerah penelitian bentuklahan ini menempati bagian tengah, berumur kuarter dan memiliki elevasi 0-30 m di atas permukaan laut. 5.2.5. Bentuklahan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD) Pada bagian Barat Daya terdapat perbukitan kecil yang berbahan vulkanik (lava, pyroklastik). Di perbukitan ini terdapat singkapan batuan lava yang menyebar di seluruh permukaan. Bahan induk di perbukitan ini berupa tuff vulkanik berumur kuarter. Perbukitan ini merupakan bagian dari tubuh kompleks Gunung Cidano namun munculnya bentuklahan ini masih belum jelas proses pembentukannya. 5.2.6. Bentuklahan Tubuh Vulkanik Tersisa (TVs) Bagian utara sebelah barat terdapat satu pulau kecil yang merupakan bagian dari bentuklahan vulkanik. Berdasarkan peta geologi daerah penelitian, pulau kecil ini memiliki karakteristik yang sama dengan Gunung Gede berumur kuarter. Bentuklahan ini dinamakan Tubuh Vulkanik Tersisa karena diduga aktivitas pembentukannya berasal dari lereng kaki Gunung Gede yang mengalami abrasi sehingga terpisah dari tubuhnya dan membentuk pulau atau suatu tubuh
56
parasit yang muncul di lereng kaki Gunung Gede yang kemudian tidak aktif dan mengalami abrasi. 5.2.7. Bentuklahan Marin ( Gisik dan Cliff) Bentuklahan marin yang terlihat pada citra ini adalah Gisik (Beach) dan Tebing Pantai (Cliff). Gisik dan Tebing Pantai merupakan bentuklahan yang terjadi karena pengaruh aktifitas arus dan gelombang laut. Gisik merupakan kumpulan sedimen lepas berupa pasir alam dan batu yang kadang-kadang hanya terdapat pada bachshore (zona antara garis pantai pada kondisi air pasang dan lahan permanen/lereng sand dune bervegetasi), tetapi sering juga meluas hingga ke foreshore (zona antara garis pantai pada kondisi air surut dan garis pantai pada kondisi air pasang). Sedangkan Cliff merupakan bentuklahan hasil erosi laut atau abrasi berupa tebing dengan ketinggian bervariasi. Di daerah penelitian Cliff terlihat pada tepi barat yang berbatasan dengan laut.
5.3.
Identifikasi Penutup/Penggunaan Lahan Peta penutup/penggunaan lahan diperoleh dari hasil klasifikasi citra satelit
Landsat ETM+ dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised) yang dikerjakan
pada
perangkat
lunak
Erdas
Imagine
8,5.
Klasifikasi
penutup/penggunaan lahan dalam penelitian ini mengacu pada sistem klasifikasi penutup/penggunaan lahan UGM dan Bakosurtanal (2000). Berdasarkan hasil klasifikasi tersebut dan hasil penelitian di lapangan ditetapkan ada 8 kelas penutup/penggunaan
lahan, meliputi: permukiman,
industri,
hutan,
sawah,
kebun
campuran/tegalan,
semak/lahan
terbuka,
tambak/rawa, dan waduk. Luas masing-masing penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 10, sedangkan peta penutup/penggunaan lahan daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 16.
57
Tabel 10. Luas Penutup/penggunaan Lahan Derah Penelitian Kelas Penutup/penggunaan Lahan Hutan Kebun Campuran/Tegalan Industri Permukiman Sawah Semak/Lahan Terbuka Tambak/Rawa Waduk Total
Luas (Ha)
Luas (%)
% Tutupan Lahan
Skor
661
3,67
>80
5
7.336
40,75
41-60
3
2.104 2.486 3.851 1.032 421 111 18.002
11,69 13,81 21,39 5,73 2,34 0,61 100,00
61-80 >80 21-40 <20 61-80 >80
4 5 2 1 4 5
Berdasarkan Gambar 16 dan tabel 10, daerah penelitian ini memiliki 3,67% hutan yang tersebar dibagian utara, barat dan selatan yang mempunyai relief pegunungan. Luas hutan ini hanya menempati sebagian kecil dari luas Kawasan Lindung. Daerah penelitian ini memiliki 1.103 Ha Kawasan Hutan yang mencangkup kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Produksi Tetap (HPTp). Gambar 17 menunjukkan letak penggunaan lahan hutan yang berada di Kawasan Lindung. Sedangkan hutan di bagian barat dan selatan tidak masuk ke dalam Kawasan Lindung. Hutan dibagian barat merupakan hutan skunder yang umur tanamannya masih muda. Hutan ini sengaja ditanami oleh pemerintah Kota Cilegon diatas perbukitan sebagai bentuk upaya rehabilitasi lahan kritis akibat pengaruh konversi lahan.
58
Gambar 16. Peta Penutup/Penggunaan Lahan Daerah Penelitian yang Merupakan Hasil dari Klasifikasi terbimbing yang dikerjakan pada Perangkat Lunak Erdas Imagine 8,5
59
Gambar 17. Peta Penutup/penggunaan Lahan dan Peta Kawasan Hutan Daerah Penelitian Penggunaan lahan kebun campuran pada daerah penelitian tidak dapat dipisahkan dengan penggunaan lahan tegalan, oleh karena itu dalam penelitian ini dimasukkan ke dalam satu kelas penggunaan lahan. Penggunaan lahan ini memiliki luasan yang cukup besar, yaitu sebesar 7.336 Ha. Kebun campuran/tegalan tersebar di selatan, timur, dan barat. Sedangkan bagian tengah didominasi dengan permukiman, industri, dan sawah. Bagian tengah daerah penelitian ini memiliki morfologi datar hingga landai (bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik), sehingga dimanfaatkan untuk bangunan dan tanaman dataran rendah seperti padi sawah yang memerlukan pengairan yang cukup banyak. Penggunaan lahan sawah di daerah penelitian cukup luas hingga mencapai 3.851 Ha. Penggunaan lahan sawah paling luas berada di Kecamatan Jombang, Hal ini terkait dengan bentuklahan pada wilayah ini merupakan Dataran Fluvio Vulkanik. Berdasarkan informasi di lapangan, penggunaan lahan sawah ini sebagian dimanfaatkan pada saat musim hujan saja, sedangkan pada saat musim kemarau
60
lahan tersebut digunakan untuk tanaman tegalan, seperti kacang dan sayursayuran. Persawahan di daerah ini letaknya berdekatan dengan permukiman, yang memudahkan aksesibilitas bagi petani.
Gambar 18. Contoh Foto Cek Lapang Untuk Penggunaan Lahan Kebun Campuran dan Tegalan Permukiman di daerah ini menyebar di seluruh kota, namun secara dominan berada di bagian tengah, dekat dengan persawahan dan kawasan industri. Industri merupakan salah satu hal yang menonjol di wilayah ini. Luas penggunaan lahan untuk industri mencapai 2.104 Ha dari seluruh luas wilayah. Penempatannya berada di daerah datar dan sebagian besar berada di dekat laut. Luas permukiman hanya berselisih 2,12% dari luas kawasan industri, yaitu sebesar 2.486 Ha yang tersebar di seluruh daerah penelitian, namun sebagian besar berada di daerah datar dan landai. Tambak dan rawa luasnya sangat kecil dan hanya berada di bagian barat daerah penelitian. Penutupan lahan tubuh air di daerah penelitian adalah berupa waduk atau danau buatan yang dimanfaatkan untuk kegiatan komersial. Waduk yang paling terlihat adalah Waduk Krakatau Steel. Waduk ini merupakan tampungan dari aliran Sungai Cidano yang selanjutnya diolah dan dimanfaatkan untuk kebutuhan air industri serta untuk pelayanan air bersih untuk rumah tangga di wilayah ini. Di daerah penelitian ini, semak/lahan terbuka memiliki luas 1.032 Ha. Dari luasan tersebut sebagian besar semak/lahan terbuka masuk ke dalam kriteria lahan kritis. Hal ini membuktikan bahwa semak/lahan terbuka merupakan
61
penyebab utama dalam penentuan lahan kritis. Berdasarkan penelitian Setiawan (2007), semak dan lahan terbuka merupakan faktor pendorong utama dalam penentuan lahan kritis, hal ini dikarenakan persentase tutupan lahannya lebih rendah dibandingkan dengan kelas penutupan lainnya. Berdasarkan peta penutup/penggunaan lahan, dapat diketahui secara pasti bahwa penggunaan lahan sangat erat kaitannya dengan bentuklahan. Hal ini dapat dilihat dari persebaran penggunaan lahan pada daerah penelitian yang mengikuti pola kemiringan lereng (morfologi). 5.4.
Identifikasi Lahan Kritis
5.4.1. Kemiringan Lereng Peta kemiringan lereng daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 19. Peta kemiringan lereng ini dibuat secara digital dan manual. Cara digital adalah dengan menurunkan peta kontur kedalam bentuk DEM (Digital Elevation Model) untuk dapat mengkelaskan lereng dan menghitung kemiringan lereng dalam persen (%). Setelah itu dilakukan generalisasi melalui digitasi untuk menghilangkan komponen yang tidak diinginkan dari pola spasial kelas lereng. Cara ini merupakan cara manual yang digitasinya dibantu dengan peta kontur (overlay). Tabel 11 menyajikan keterangan mengenai kemiringan lereng, kelas lereng, dan skor yang digunakan sebagai parameter tingkat kekritisan lahan dan erosi. Morfologi lereng mencakup panjang dan kemiringan lereng (LS). Kedua faktor ini memiliki pengaruh terhadap besarnya erosi. Tabel 11. Kemiringan Lereng dan Skor Penentu Parameter Erosi Kemiringan Lereng (%)
Kelas Lereng
Skor Parameter Lahan Kritis
<=8 a. Datar 5 8-<15 b. Landai 4 15-<25 c. Agak curam 3 25-<40 d. Curam 2 >=40 e. Sangat curam 1 Keterangan: Faktor LS : Panjang dan Kemiringan Lereng Sumber: Setiawan, 2007
Nilai Faktor LS Penentu Erosi 0,25 1,20 4,25 9,50 12,00
62
Gambar 19. Peta Kemiringan Lereng Daerah Penelitian
63
(a) Hutan
(b) Kebun Campuran/Tegalan
(c) Sawah
(d) Semak/Lahan Terbuka
(e) Permukiman
(f) Industri
(g) Rawa
(h) Waduk
Gambar 20. Contoh Foto-Foto Pengamatan Lapang Penutup/Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian
64
Tabel 12. Luas Kelas Lereng Daerah Penelitian Kelas Lereng Datar Landai Agak landai Curam Sangat curam Total
Luas (Ha) 13.075 494 701 1.668 2.065 18.002
Luas (%) 72,63 2,74 3,89 9,26 11,47 100,00
5.4.2. Erodibilitas Tanah (Nilai K) Erosi merupakan salah satu penyebab utama terjadinya lahan kritis karena pada saat peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan di tempat lain. Peristiwa ini menyebabkan tanah lapisan atas yang banyak mengandung bahan organik berkurang, sehingga tanah menjadi tidak subur lagi. Erodibilitas tanah adalah kepekaan tanah terhadap erosi. Bila suatu tanah memiliki erodibilitas tinggi berarti tanah tersebut bersifat peka terhadap erosi. Sebaliknya, bila nilai erodibilitas tanah rendah berarti tanah tersebut tahan terhadap erosi. Nilai faktor erodibilitas tanah diperoleh berdasarkan tabel nilai K untuk beberapa jenis tanah (Kurnia dan Suwardjo, 1984 dalam Arsyad, 2000). Tabel 13. Tingkat erodibilitas Daerah Penelitian Jenis Tanah Alluvial dan Latosol Regosol
Nilai K 0,09 0,14
Kelas Erodibilitas 1 2
Harkat Sangat rendah Rendah
Berdasarkan tabel nilai K tersebut di atas dan peta jenis tanah di daerah penelitian, maka dapat di susun sebuah peta erodibilitas tanah (Gambar 21). Gambar 21 diperoleh dari tabel nilai K untuk jenis tanah Alluvial, Latosol, dan Regosol, sesuai dengan jenis tanah di daerah penelitian. Berdasarkan peta diatas, daerah penelitian memiliki dua nilai K atau hanya memiliki dua kelas erodibilitas tanah, yaitu sangat rendah dengan nilai K = 0,09, dan rendah dengan nilai K = 0,14. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka daerah penelitian termasuk daerah yang tanahnya tidak mudah tererosi.
65
Gambar 21. Peta Erodibilitas Daerah Penelitian
5.4.3. Manajemen Lahan Manajemen lahan merupakan salah satu kriteria yang digunakan untuk menilai kekritisan lahan. Penilaian mengenai manajemen lahan ini dilihat dari jenis penutupan lahan dan bentuk-bentuk konservasi yang ada. Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa sebagian dari wilayah ini sudah melakukan teknik konservasi tanah untuk budidaya tanaman, namun masih ada beberapa daerah di bagian utara yang tidak menggunakan teknik konservasi. Tabel 14. Manajemen Lahan Daerah Penelitian Manajemen Lahan Tidak lengkap Tidak ada
Kelas Sedang Buruk
Skor 3 2
66
5.5.
Pemetaan Lahan Kritis Pemetaan lahan kritis dalam penelitian ini dibuat melalui tumpang tindih
antara peta kemiringan lereng, peta kedalaman efektif tanah, peta erodibilitas tanah (Nilai K), dan peta penutup/penggunaan lahan. Hasil pemetaan tersebut diobservasi di lapangan sedangkan klasifikasi lahan kritis ini di tentukan menurut Sitorus (2004), yaitu: lahan potensial kritis, lahan agak kritis, lahan kritis, dan lahan sangat kritis. Gambar 22 menunjukkan peta lahan kritis hasil identifikasi dan observasi di lapangan, sedangkan Tabel 15 menunjukkan luasan lahan kritis berdasarkan peta lahan kritis hasil interpretasi dan pengecekan lapangan. Dari hasil pemetaan tersebut dapat diketahui bahwa persebaran lahan tidak kritis terdapat di bagian tengah daerah penelitian yang memiliki morfologi datar sampai landai atau dengan kemiringan lereng 0-15%. Sebagian besar lahan tidak kritis berada pada bentuklahan Dataran Fluvio Vulkanik dan Kipas Ignimbritik. Kedalaman efektif tanah di atas bentuklahan tersebut antar 60-90 cm (dalamsangat dalam), erodibilitas rendah sampai sangat rendah dan tidak terjadi erosi. Wilayah ini memiliki penutupan lahan yang beragam, meliputi: kebun campuran/tegalan, permukiman, sawah, dan industri. Kenampakan erosi tanah tidak terlihat di atas bentuklahan ini. Lahan potensial kritis sebagian besar berada pada bentuklahan Kipas Ignimbrite dengan kemiringan lereng 0-8% (datar). Tanah di atas bentuklahan ini mempunyai
tingkat
erodibilitas
rendah,
dan
digunakan
untuk
kebun
campuran/tegalan dan permukiman. Luas total lahan potensial kritis di daerah penelitian sebanyak 28,87% dari luas seluruh wilayah. Lahan agak kritis menempati daerah yang morfologinya agak curam sampai curam (15-40%). Lahan agak kritis ini hanya memiliki luas 639 Ha atau 3,55% dari luas wilayah. Lahan ini sebagian besar berada di bagian utara Kota Cilegon di atas bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede. Pada bentuklahan ini beberapa kenampakan erosi terlihat pada lereng-lereng yang curam, meskipun erodibilitas tanahnya tergolong sangat rendah. Rendahnya erodiblitas tanah ini dikarenakan jenis tanah di atas bentuklahan ini merupakan tanah Latosol. Penutupan lahan yang dominan di atas bentuklahan ini berupa kebun campuran, kedalaman efektif tanah yang dangkal (30-60 cm), dan memiliki
67
curah hujan bulanan rendah (rata-rata 114 mm/bulan). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, sebagian dari wilayah ini belum menggunakan teknik konservasi tanah dan air selain itu banyak lahan tidur dengan kondisi permukaan tanah tanpa vegetasi ataupun jenis penutup lahan yang lain. Oleh karena itu pada lahan ini perlu diupayakan tindakan konservasi agar dapat memperbaiki kualitas tanah atau tidak terjadi lahan kritis. Lahan kritis di daerah ini berdasarkan hasil pemetaan seluas 1.977 Ha atau 10,98% dari luas keseluruhan wilayah. Persebaran lahan kritis di daerah penelitian terdapat di daerah tinggi yang tersebar pada tiga bentuklahan, yaitu Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede, Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano dan Perbukitan Vulkanik Denudasional. Menurut hasil pengamatan lapangan, persebaran lahan kritis secara dominan berada di daerah dengan kemiringan lereng 20-40%, tanahnya mempunyai kedalaman efektif <30 cm dan mempunyai tingkat erodibilitas tanah yang rendah. Penggunaan lahannya berupa kebun campuran/tegalan, semak, dan sebagian kecil hutan. Selain itu lahan kritis di daerah penelitian bagian utara dan barat di pengaruhi juga oleh kegiatan industri. Hal ini terlihat dari produksi pertanian masyarakat yang menurun dikarenakan tercemar oleh gas-gas kimia.. Di atas bentuklahan tersebut juga tidak terlihat adanya perlakuan teknik konservasi, sehingga dapat dikatakan tidak mempunyai manajemen lahan yang baik.
Tabel 15. Luas Lahan Kritis di Daerah Penelitian Tingkat Kritis Tidak kritis Potensial kritis Agak kritis Kritis Total
Luas (Ha) 10.189 5.197 639 1.977 18.002
Luas (%) 56,60 28,87 3,55 10,98 100,00
68
Gambar 22. Peta Lahan Kritis Daerah Penelitian
69
Tabel 16. Luas Lahan Kritis pada Penutup/penggunaan Lahan
Penutup/Penggunaan Lahan
LTK (Ha)
Hutan Kebun 3 Campuran/Tegalan Industri 2.081 Permukiman 2.485 Sawah 3.851 Semak/Lahan Terbuka Tambak/Rawa 421 Waduk 111 Total 8.952 Ket: LTK = Lahan Tidak Kritis LPK = Lahan Potensial Kritis LAK = Lahan Agak Kritis LK = Lahan Kritis
LTK (%)
LPK (Ha)
LPK (%)
LAK (Ha)
LAK (%)
LK (Ha)
LK (%)
-
-
-
3
0,02
658
3,66
0,02
265
1,47
749
4,16
6.319
35,10
11,56 13,80 21,39
23 1 -
0,13 0,006 -
-
-
-
-
-
-
-
76
0.42
956
5,31
2,34 0,62 49,73
289
1,606
828
4,6
7.933
44,07
70
Dari sisi status kawasan, lahan kritis di daerah penelitian hampir menempati seluruh Kawasan Hutan, yaitu sebesar 1.103 Ha atau 92,56%. Pada wilayah Hutan Lindung (HL) seluas 623 Ha dan pada wilayah Hutan Produksi Tetap (HPTp) seluas 398 Ha. Jadi kawasan lindung di wilayah ini hanya memiliki 7,43% lahan yang tidak kritis. Gambar 23 memperlihatkan persebaran lahan kritis dan kawasan Lindung, sedangkan Tabel 18 di sajikan untuk luasan lahan kritis di Kawasan Lindung.
Gambar 23. Peta Lahan Kritis dan Peta Kawasan Hutan di Daerah Penelitian Tabel 17. Luas Kawasan Hutan Daerah Penelitian Kawasan Lindung Hutan Lindung (HL) Hutan Produksi Tetap (HPTp) Areal Penggunaan Lain (APL) Total
Luas (Ha) 705 398 16.899 18.002
Luas (%) 3,92 0,02 93,87 100,00
71
Tabel 18. Luas Lahan Kritis di Kawasan Hutan Daerah Penelitian Kawasan Hutan HL HPTp APL Total KL Ket; KL LK LTK
Luas LK (Ha) 623 398 6.710 1.103 : Kawasan Lindung : Lahan Kritis : Lahan Tidak Kritis
Luas LK (%) 56,48 36,08 39,71 92,56
Luas LTK (Ha)
Luas LTK (%)
82 0 10.189 82
7,43 0 60,29 7,43
Dengan kondisi tersebut di atas, maka Kawasan Hutan di daerah penelitian ini sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan fungsinya. Hal ini terlihat dari penggunaan lahan hutan yang sudah dikonversi menjadi penggunaan lain, seperti kebun campuran, tegalan, semak, dan permukiman. Konversi lahan ini dapat terjadi karena adanya peningkatan kebutuhan dan persaingan dalam penggunaan lahan baik untuk kepentingan produksi pertanian maupun untuk kepentingan lainnya. Selain itu konversi lahan dapat disebabkan oleh ketidak tahuan dan ketidak pedulian masyarakat terhadap kerusakan lingkungan, dan manajemen lahan yang dilakukan tidak mengikuti kaidah konservasi tanah dan air. Selain faktor fisik lahan, industri sebenarnya juga sangat berpengaruh terhadap terbentuknya lahan kritis, karena pengaruh gas kimia berbahaya yang dihasilkan mencemari lingkungan setempat. Khususnya terhadap vegetasi sehingga dengan berkurangnya jumlah vegetasi dapat menimbulkan lahan terbuka yang menjadi lahan kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki lahan kritis sebesar 1.977 Ha (10,98%), lahan agak kritis 639 Ha (3,55%), lahan potensial kritis 5.197 Ha (28,87%), dan lahan tidak kritis sebesar 10.189 Ha (56,60%) dari luas total luas wilayah, yaitu sebesar 18.002 Ha. Sehingga diketahui bahwa luas lahan kritis di Kota Cilegon rendah, yaitu ±14,53%.
5.6.
Rekomendasi Rehabilitasi Lahan Kritis Berdasarkan uraian tentang lahan kritis di daerah penelitian, maka beberapa
rekomendasi untuk perbaikan lahan kritis dapat diuraikan sebagai berikut: Lahan kritis di daerah ini dapat dikurangi dengan melakukan rehabilitasi lahan yang meliputi restorasi dan reklamasi. Restorasi merupakan upaya perbaikan lahan agar
72
lahan tersebut bisa difungsikan lagi ke penggunaan awalnya, sedangkan reklamasi adalah upaya perbaikan suatu lahan-lahan yang rusak dan digunakan untuk penggunaan lain. Restorasi dapat diterapkan untuk hutan yang hampir habis di daerah penelitian ini. Penanganan dengan cara ini sudah dilakukan di beberapa tempat di daerah penelitian ini, salah satu contoh yang sangat terlihat adalah di Desa Gunung Sugih, Kecamatan Ciwandan. Di wilayah ini sekitar tahun 1990, merupakan daerah yang gersang dengan perbukitan tanpa vegetasi, namun sekarang sudah terlihat hasil penghijauan yang telah di lakukan. Gambar 24. adalah contoh rehabilitasi lahan kritis pada bentuklahan Perbukitan Vulkanik Denudasional, dimana pada daerah ini terlihat upaya perbaikan lahan yang gundul menjadi hutan skunder. Semak/lahan terbuka dapat di perbaiki dengan cara reklamasi, yaitu di upayakan untuk penggunaan lain yang lebih berfungsi. Misalnya di konversi untuk pertanian lahan kering, dari pada tidak berfungsi sama sekali, namun demikian status lahan terkadang menjadi kendala tersendiri untuk upaya ini. Upaya perbaikan lahan kritis di daerah penelitian sudah dilaksanakan oleh pemerintah setempat, sedangkan data mengenai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 4.
Gambar 24. Foto Pengamatan Lapang untuk Daerah Hasil Rehabilitasi Lahan Kritis di Daerah Penelitian
73
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Data penginderaan jauh yang terseleksi untuk identifikasi lahan kritis
adalah citra landsat ETM+ dengan komposit 452 dan 542. Untuk identifikasi bentuklahan menggunakan hasil fusi multispasial metode RGBI 4528 dengan penajaman
High
Pass
Filter,
Sharpen11,
dan
untuk
identifikasi
penutupan/penggunaan lahan menggunakan metode Brovey 5428 dengan penajaman High Pass Filter, Sharpen11. Hasil fusi tersebut baik untuk studi geomorfologi maupun penutupan/penggunaan lahan. Dengan demikian citra landsat ETM+ cukup baik untuk pemetaan lahan kritis melalui identifikasi bentuklahan dan penutup/penggunaan lahan. Persebaran lahan kritis di daerah penelitian berada di atas bentuklahan Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Gede (KVDG), Kerucut Vulkanik Denudasional Gunung Cidano (KVDC), dan Perbukitan Vulkanik Denudasional (PVD). Ketiga bentuklahan tersebut memiliki relief perbukitan dan pegunungan. Faktor morfologi bentuklahan (lereng) dengan demikian banyak menentukan tingkat kekritisan lahan karena ketiga bentuklahan tersebut mempunyai morfogenesis yang sama, yaitu bentuklahan vulkanik. Lahan kritis di atas KVDG lebih luas daripada dua bentuklahan lainnya disebabkan, luas lereng curam pada bentuklahan KVDG lebih besar. Hal ini disebabkan di atas bentuklahan ini tidak banyak tertutup oleh bahan pyroklastik dibandingkan pada dua bentuklahan lainnya yang banyak mengandung endapan tufa atau ignimbrite Gunung Cidano. Selain bentuklahan, tingkat kekritisan lahan banyak juga di pengaruhi oleh jenis penggunaan lahan. Lahan kritis banyak terdapat juga di penggunaan lahan kebun campuran/tegalan (35,10%) dan semak/lahan terbuka (5,31%). Dengan demikian upaya konservasi tanah dan air dapat dijadikan program pemerintah terhadap jenis penggunaan lahan tersebut sebagai prioritas untuk mengurangi luas lahan kritis. Lahan kritis banyak terjadi di Kawasan Hutan (92,56%) dari pada di kawasan budidaya (39,71%). Hal ini menunjukkan bahwa program reboisasi perlu
74
dijadikan program utama untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai pengontrol keberadaan air sebagai sumber kehidupan manusia. Luas lahan yang tergolong kritis di daerah penelitian relatif kecil (14,53%), namun dengan angka ini tidak berarti bahwa dampak lahan kritis di Kota Cilegon menjadi kecil terhadap kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan lahan kritis terjadi hampir di seluruh Kawasan Lindung. Dengan demikian ekosistem Kota Cilegon dapat terganggu apabila tidak segera dilakukan perbaikan. Pengelolaan lahan yang perlu diperhatikan di Kota Cilegon adalah seluas 2.616 Ha atau 14,53% karena merupakan lahan kritis (1.977 Ha) dan lahan agak kritis (639 Ha), sementara itu lahan tidak kritis adalah seluas 10.189 Ha (56,60%) dari luas total wilayah sebesar 18.002 Ha.
6.2.
Saran Kondisi lahan kritis di Kota Cilegon harus diperbaiki sehingga tidak
bertambah atau menjadi lahan sangat kritis. Sedangkan manajemen lahan yang baik dapat dibantu oleh penyuluh pertanian dan pembinaan pengetahuan masyarakat mengenai kerusakan lingkungan. Selain faktor fisik lahan, industri juga berpengaruh terhadap terbentuknya lahan kritis karena pengaruh gas-gas kimia berbahaya dan limbah industri yang mencemari lingkungan setempat. Penelitian untuk permasalahan ini perlu di lakukan tersendiri.
75
VII. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor. IPB Press. Bogor. Asriningrum, W. 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM+ untuk Identifikasi Bentuklahan (Landform) di Daerah Jakarta-Bogor. [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. 2000. Data pokok Pembangunan Kota Cilegon. Bappeda. Cilegon. [BAPPEDA]
Badan
Perencanaan
Pembangunan
Daerah.
2006.
Kajian
Kemampuan Tanah Pertanian di Kota Cilegon. Rekacipta Bangun Struktur. Cilegon. [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Cilegon. 2007. Cilegon dalam Angka 2006. Bapeda. Cilegon. Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital (Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh). Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. Departemen Kehutanan. 2003. Buku Utama Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) di 29 DAS Prioritas Tahun 2003. Departemen Kehutanan. Jakarta. ER Mapper. 1997. ER Mapper 5.5 Level One Training Workbook. Western Australia. Earth Resourch Mapping. FAO. 1997. Soil Degradation in South and Southeast Asia. UNEP-FAO-ISRIC. Netherland. Herdiana, D. 2008. Identifikasi Lahan Kritis Kaitannya dengan Penataan Ruang dan Kegiatan Rehabilitasi Lahan di Kabupaten Sumedang. [tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kristiani, Y. 2007. Analisis Perubahan Penutupan/Penggunaan Lahan dan Hubungannya dengan Lahan Kritis Menggunakan Data Inderaja dan SIG Kasus DAS Citarum Hulu [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lillesand, T.M. dan R.W. Kiefer. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (Terjemahan). Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
76
Mather, A.S. 1986. Landuse. Longman. London and New York. Purwadhi, F.S.H. 2001. Interpretasi Citra Digital. Grasindo. Jakarta. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1997. Statistik Sumberdaya Lahan/Tanah Indonesia. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Setiawan, H. 2007. Identifikasi dan Pemetaan Lahan Kritis Menggunakan Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh Kasus Sub DAS Citarum Hulu, Propinsi Jawa Barat. [skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus, S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Laboratorium
Pengembangan
Wilayah.
Jurusan
Tanah.
Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soesilo, I. 1994. Peranan Data Satelit Penginderaan Bumi Untuk Eksplorasi Geologi in Soesilo, I. 1994. Teknologi Penginderaan jauh di Indonesia. Aksara Buana. Jakarta Timur. Hal : 138-142. Suharyadi. 1996. Petunjuk Praktikum Studi Kota. Jurusan Kartografi dan Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi. UGM. Yogyakarta. Sutanto. 1986. Pengantar Penginderaan Jauh. Gajah Mada University press. Yogyakarta. Swain, PH, and Shirley M. Davis. 1978. Remote Sensing (The Quantitative Approach). Mc. Graw-Hill, Inc. USA. Thornbury, W.D. 1954. Principles of Geomorphology. 2nd ed. John Wiley & Sons, Inc. New York. UGM dan Bakosurtanal. 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol Kualitas Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata Ruang. Kerjasama Fakultas Geografi UGM dan Bakosurtanal. Yogyakarta. Wiradisastra, U, et al. 2002. Geomorfologi dan Analisis Landsekap. Laboratoriun Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
77
Gambar Lampiran 1. Peta Tekstur Tanah Daerah Penelitian
78
Gambar Lampiran 2. Peta Kedalaman Efektif Tanah Daerah Penelitian
79
Tabel Lampiran 1. Data Curah Hujan Daerah Penelitian Tahun 2002-2006 Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 rata-rata /tahun
Jan 312 842 221 305 224 1.724,8
Feb 261 1.561 348 287 234 2.503,8
Mar 162 1.259 176 192 345 1.858
Apr 185 161 86 87 85 536
Curah Hujan Bulanan Mei Jun Jul 117 72 64 992 29 436 174 4 51 42 163 185 152 31 10 1.355,4 274,2 738
Ags 64 346 0 44 8 455,6
Sept 55 324 58 66 0 503
Okt 100 331 33 149 6 614,2
Nov 152 200 81 70 11 505,2
Des 178 1.168 235 181 150 1.792
80
Tabel Lampiran 2. Nilai OIF pada Daerah Model Bentuklahan Marin, Fluvial, Karst, Struktural, dan Vulkanik. (Asriningrum, 2002) Vulkanik Karst No. Fluvial Marin Struktural Fusi OIF Fusi OIF Fusi OIF Fusi OIF Fusi OIF 1 147 111.163 347 98.790 347 51.444 347 51.232 345 51.361 2 347 124.090 147 84.136 247 44.871 134 44.574 347 49.459 3 457 137.156 247 79.048 457 44.316 345 43.763 147 46.551 4 145 106.610 134 73.247 345 44.296 147 42.475 145 48.453 5 247 113.789 234 66.639 147 43.078 234 40.741 134 43.305 6 345 119.537 345 62.917 234 42.846 247 39.074 234 44.109 7 157 120.163 457 56.247 134 41.048 145 35.907 247 47.355 8 134 93.544 145 52.672 245 37.951 457 33.913 457 54.607 9 357 133.090 124 51.845 357 37.330 245 32.436 245 49.257 10 245 109.236 245 48.927 237 36.741 124 30.994 124 41.201 11 257 46.493 357 33.370 145 36.299 357 25.190 357 19.255 12 234 45.171 257 30.751 137 35.282 257 21.900 157 19.203 13 124 42.084 157 30.578 257 34.488 157 21.658 135 18.447 14 135 41.855 237 28.628 124 34.424 235 20.958 257 17.485 15 137 41.128 137 28.282 235 34.240 135 20.564 235 17.292 16 235 39.898 135 26.875 157 33.111 237 19.682 125 16.473 17 237 39.885 235 26.792 135 32.842 137 18.852 137 14.967 18 125 37.165 127 25.452 127 32.128 125 16.981 237 14.495 19 127 36.959 125 23.257 123 30.906 127 16.063 127 13.910 20 123 28.037 123 19.557 125 29.436 123 13.101 123 11.359
81
Tabel Lampiran 3. Nilai Erodibilitas (K) Beberapa Jenis Tanah Nilai K Jenis Tanah
Bahan Induk
Latosol Darmaga (Haplorthox) Tufa Volkan Latosol Citayam (Haplorthox) Tufa Volkan Regosol Tanjung Hardjo Batu Liat (Troporthents) Berkapur Grumusol Jegu, Blitar Napal (Chromuderst) Podsolik Jonggol (Tropudults) Batu Liat Mediteran Citayam Tufa Volkan (Tropohumults) Mediteran Putat (Tropudafs) Breksi Berkapur Mediteran Punung (Tropudafs) Breksi Berkapur Podsolik Merah Kuning Pekalongan, Lampung Tengah Dasitik (Tropudults) (Udang Kurnia dan Suwardjo, 1984).
0,02-0,04 0,08-0,09
RataRata 0,03 0,09
0,11-0,16
0,14
0,24-0,30
0,27
0,12-0,19
0,16
0,09-0,11
0,1
0,16-0,29 0,18-0,25
0,23 0,22
Kisaran
0,32
Tabel Lampiran 4. Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kota Cilegon Tahun 2004-2006 Tahun
Kagiatan Hutan Rakyat
2004
Penghijauan Kota Sumur Resapan Hutan Rakyat
2005
300 Ha 25 Ha
Pengkayaan Tanaman Sumur Resapan Gully Plug Hutan Rakyat
2006
Luas/Unit 125 Ha 12 Ha 100 Ha 50 Unit
Pengkayaan Tanaman Hutan Rakyat Kemitraan Gully Plug
200 Ha 20 Unit 10 Unit 25 Ha 75 Ha 25 Ha 100 Ha 8 Unit
Lokasi Pabean dan Randakari Gunung Sugih Cibeber, Cilegon, dan Citangkil Cibeber dan Citangkil Gunung Sugih, Kepuh, Lebak Denok, Dringo, Grogol, dan Gerem Lebakgede dan Kepuh Kec. Pulomerak Kalitimbang dan Cikerai Grogol dan Gerem Cikerai Pabean, Tegalbunder, dan Purwakarta Bulakan Randakari dan Banjarnegara Mekarsari dan Lebakgede
82
a)
b)
Gambar Lampiran 3. a) Contoh Manajemen Lahan Kelas Sedang, b) Contoh Manajemen Lahan Kelas Buruk
Gambar Lampiran 4. Contoh Foto-Foto Lahan Kritis di Lapangan