PENGGUNAAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF) UNTUK IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK CURAH HUJAN (STUDI KASUS: DAS CIUJUNG-CIDURIAN)
NORMI ARDIANI
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS Ciujung-Cidurian) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Normi Ardiani NIM G24090058
ABSTRAK NORMI ARDIANI. Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS Ciujung-Cidurian). Dibimbing oleh AHMAD BEY. Variabilitas curah hujan di Indonesia sangat beragam secara ruang maupun waktu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pola spasial dan pola temporal curah hujan, mengkaji pengaruh ENSO terhadap variabilitas curah hujan, dan memperoleh lokasi stasiun yang berpengaruh besar terhadap variasi curah hujan. Metode yang digunakan adalah Empirical Orthogonal Function (EOF) dan Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF). Berdasarkan analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) diperoleh varian tahunan dan musiman curah hujan yang didominasi oleh sistem monsun. Tipe topografi berupa pegunungan juga ikut menyumbang varian curah hujan. Pola temporal musiman EOF berkaitan dengan kejadian ENSO. Hal ini dilihat dari nilai korelasi yang tinggi antara koefisien EOF dengan nilai SOI yaitu EOF1 dengan periode MAM, JJA, dan SON dengan nilai korelasi masing-masing sebesar -0.467, 0.413, dan 0.32. EOF2 berkorelasi tinggi dengan periode DJF dan SON dengan korelasi masing-masing sebesar -0.555 dan -0.588. Metode Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF) digunakan untuk melihat kontribusi setiap stasiun pengamatan dengan cara merotasi EOF. Rotasi yang digunakan adalah rotasi varimax. Hasil dari rotasi diperoleh bahwa faktor1 ditentukan oleh dua stasiun yaitu stasiun Ragas Hilir dan Jongjing sedangkan faktor lainnya hanya ditentukan oleh satu stasiun saja. Kata kunci: ENSO, EOF, monsoon, rotasi varimax
ABSTRACT NORMI ARDIANI. Application of Empirical Orthogonal Function (EOF) to Identify Rainfall Characteristic (Case Study: Ciujung-Cidurian Watershed). Supervised by AHMAD BEY. Rainfall in Indonesia is highly varied in space and time. The purpose of this research was identify spatial and temporal rainfall pattern, examine impact of ENSO on rainfall variability, and obtain the location of stations which had great impact on rainfall variability. The method used Empirical Orthogonal Function (EOF) and Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF). From EOF obtained annual and seasonal rainfall variance dominated by monsoon system. Type of mountain topography also contributed on rainfall variability. EOF seasonal temporal patterns related with ENSO. It was seen from high value of correlation between EOF coefficient and SOI. Correlation between EOF1 with MAM, JJA, and SON period respectively -0.467, 0.413, and 0.32. EOF2 correlated with DJF and SON period with correlation respectively -0.555 and -0.588. Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF) was used to see the contribution of each observation station by rotating the EOF. Type of rotation is varimax rotation.The result of rotation showed factor1 was determined by two station, Ragas Hilir and Jongjing station whereas other factors were determined by one stasion only. Keywords: ENSO, EOF, monsoon, varimax rotation
PENGGUNAAN EMPIRICAL ORTHOGONAL FUNCTION (EOF) UNTUK IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK CURAH HUJAN (STUDI KASUS: DAS CIUJUNG-CIDURIAN)
NORMI ARDIANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS Ciujung-Cidurian) Nama : Normi Ardiani NIM : G24090058
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Ahmad Bey Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Rini Hidayati, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah Empirical Orthogonal Function (EOF), dengan judul Penggunaan Empirical Orthogonal Function (EOF) untuk Identifikasi Karakteristik Curah Hujan (Studi Kasus: DAS Ciujung-Cidurian). Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut serta berperan dalam penyusunan karya ilmiah ini, terutama kepada: 1 Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku dosen pembimbing skripsi 2 Dosen penguji yang telah memberikan saran dalam menyempurnakan tulisan ini 3 Bapak Akhmad Marwie dan Ibu Basni, orang tua (umak dan bapak) beserta keluarga besar yang terus memberikan doa dan semangat serta kasih sayangnya 4 Pemerintah Kabupaten Belitung Timur yang telah memberikan kesempatan beasiswa bantuan pendidikan hingga bisa menyelesaikan studi sampai tahap akhir 5 Teman-teman GFM 46, yaitu teman-teman satu bimbingan (Wayan, Icha, Depe), Cibantengers (Nita, Winda, Dwi, Lidya, Ika Farah), Wengky dan Sholah yang telah membantu kesulitan dalam pengerjaan skripsi ini, Hifdi, Alin, Hanifah, Ika Pur, Silvi, Tommy, Rizal, Ima, Santi, Zia, Didi, Iif, Risa, Jame, Bang Nowa, Noya, Ocha, Dissa, Risna, Eka F, Edo, Abu, Halimah, Eko, Fahmi, Enda, Dodik, Rini, Dini, Muha, Bambang, Hijjaz, Ipin, Ian, Syarifah, Umar, Dimas, Rikson, May, Zaenal, Ervan, Khabib, dan Eka Al yang telah memberikan dukungan dan kebersamaannya selama tiga tahun ini 6 Teman-teman kosan Satelit 1 (Nita, Santi, Kak Ria, Fitri, Diah, Mba Anik) yang selalu memberikan canda tawa dan dukungannya 7 Anggota IKPB (Ikatan Keluarga Pelajar Belitung) yaitu Dwi, Dewi, Fadhil, Akhsanul (alm), Leon, Dea, Kak Dina, Bang Iqbal, Kak Yona, dan lain-lain 8 Keluarga Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi (para dosen, GFM 44, 45, 47, 48, dan seluruh staf GFM) 9 Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan memberikan dukungannya selama ini Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Normi Ardiani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Daerah Aliran Sungai
2
Pola Curah Hujan
4
Pengaruh ENSO terhadap Curah Hujan
6
Empirical Orthogonal Function (EOF)
7
Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF)
9
METODE
10
Bahan
10
Alat
11
Prosedur Analisis Data
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
12
Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF)
12
Analisis Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF)
24
SIMPULAN DAN SARAN
27
Simpulan
27
Saran
27
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
35
DAFTAR TABEL 1 Luas DAS Ciujung berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng 2 Daftar stasiun di DAS Ciujung-Cidurian 3 Hasil analisis tahunan dan musiman EOF, varian masing-masing EOF dan wilayah yang memiliki varian curah hujan tinggi 4 Nilai korelasi antara koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, dan eigenvector-3 dengan SOI 5 Rotated Factor Loading lima belas stasiun
3 10 23 23 25
DAFTAR GAMBAR 1 Peta DAS Ciujung-Cidurian 2 Pembagian pola curah hujan menurut Aldrian dan Susanto (2003), yaitu pola monsunal (A), pola ekuatorial (B), dan pola lokal (C) 3 Scree plot proporsi varian kumulatif tahunan 4 Pola distribusi nilai (a) curah hujan bulanan rata-rata (mm) (b) standar deviasi bulanan (mm) 5 Distribusi eigenvector komponen utama (a) pertama, (b) kedua, dan (c) ketiga 6 Time series koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, eigenvector-3 7 Scree plot proporsi varian kumulatif data musiman 8 Distribusi nilai curah hujan rata-rata masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON 9 Distribusi nilai standar deviasi curah hujan masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON 10 Distribusi nilai eigenvector pertama masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON 11 Distribusi nilai eigenvector kedua masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON 12 Distribusi nilai eigenvector ketiga masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON 13 Nilai curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian
5 6 13 14 14 16 17 18 19 20 21 22 26
DAFTAR LAMPIRAN 1 Nilai eigenvector masing-masing stasiun DAS Ciujung-Cidurian 2 Rotated factor loading DAS Ciujung-Cidurian seluruh stasiun 3 Curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian tahun 19982008
30 32 34
PENDAHULUAN
Latar Belakang Iklim dapat diartikan sebagai ukuran statistik cuaca untuk jangka waktu tertentu dan lokasi tertentu yang dipengaruhi berbagai unsur cuaca. Kombinasi dari berbagai unsur pembentuk iklim menentukan tipe iklim suatu wilayah. Unsur iklim yang dominan pengaruhnya akan menentukan tipe iklim wilayah tersebut. Variabilitas iklim tahunan dan antar-tahunan di Indonesia cukup unik karena tidak sama untuk semua daerah dan berpengaruh pada pola cuaca dan curah hujannya (Haylock and McBride dalam Aldrian dan Susanto 2003). Menurut Bruce dan Clark (1966), variabilitas curah hujan secara ruang sangat dipengaruhi oleh letak geografi (letak terhadap lautan dan benua), topografi, ketinggian tempat, arah angin umum, dan letak lintang. Menurut Niewolt (1977) dalam Ruminta (1989) berdasarkan skala waktu, variasi curah hujan dibagi menjadi tipe harian, musiman (bulanan), dan tahunan. Variasi curah hujan harian dipengaruhi oleh faktor lokal (topografi, tipe vegetasi, drainase, kelembaban, warna tanah, albedo, dan lain-lain). Variasi bulanan atau musiman dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi, arah aliran udara di atas permukaan bumi, variasi sebaran daratan dan lautan. Variasi tahunan dipengaruhi oleh perilaku sirkulasi atmosfer global, kejadian badai, dan lain-lain. Ramage (1968) menyebutkan bahwa wilayah Indonesia melepaskan banyak panas laten dan sebagai wilayah sumber pembentukan sirkulasi Walker tropis bersamaan dengan sirkulasi Hadley. Sirkulasi Walker merupakan sirkulasi atmosfer zonal yang berkaitan erat dengan fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) sedangkan sirkulasi Hadley adalah sirkulasi atmosfer meridional. Di wilayah Indonesia, konvergensi sirkulasi Hadley dari kedua belahan bumi utara dan selatan berubah menjadi monsun yang menyebabkan terjadi hujan lebat di Indonesia (Hermawan 2010). Variasi curah hujan bulanan di Pulau Jawa sangat dipengaruhi oleh monsun yang menimbulkan adanya periode bulan basah dan bulan kering dalam setahun. Hal ini disebabkan Pulau Jawa adalah daerah lintasan angin muson Timur Laut yang berasal dari Laut Cina Selatan. Daerah Aliran Sungai (DAS) CiujungCidurian adalah salah satu wilayah di Pulau Jawa dan merupakan DAS terbesar di propinsi Banten yang memiliki peran sangat penting sebagai penyedia airbaku di propinsi Banten. Secara umum, topografi DAS Ciujung-Cidurian terdiri dari daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri, dan sebagainya. DAS ini berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara. Laut Jawa merupakan sumber pengangkatan massa uap air pada saat musim basah. Curah hujan tahunan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian berkisar antara 1500 mm pada daerah dataran pantai utara sampai dengan 2500 mm pada bagian hulu (BBWS Cidanau-Ciujung-Cidurian 2011).
2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan 1 Mengidentifikasi pola spasial dan temporal curah hujan DAS CiujungCidurian dengan metode Empirical Orthogonal Function (EOF) 2 Mengkaji pengaruh ENSO terhadap variabilitas curah hujan DAS CiujungCidurian 3 Menentukan stasiun-stasiun yang berpengaruh terhadap variasi curah hujan DAS Ciujung-Cidurian
TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Berdasarkan UU RI Nomor 7 Tahun 2004, Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. DAS Ciujung DAS Ciujung terdiri dari sub DAS Ciujung Hulu, Ciujung Tengah dan Ciujung Hilir. Sub DAS Ciujung Hulu terletak di Kabupaten Lebak, yaitu antara 106°03’-106°16’ BT dan 6°29’-6°42’ LS yang secara geografis dibatasi oleh: a Sebelah Barat berbatasan dengan Sub DAS Cisimeut b Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Cilaman c Sebelah Utara berbatasan dengan Sub DAS Ciujung Tengah d Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Cimandur DAS Ciujung Tengah-Hilir terletak antara 106°02’07’’-106°21’36’ BT dan 5°56’05’’-6°18’36’’ LS yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Serang. Adapun batas wilayah Sub DAS Ciujung Tengah-Hilir adalah a Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Ciruas, Kecamatan Baros, Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Kasemen dan Kecamatan Pontang Kabupaten Serang b Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Carenang, Kecamatan Cikande, dan Kecamatan Kopo Kabupaten Serang c Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa d Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kopo, Kecamatan Pabuaran, dan Kecamatan Petir Kabupaten Serang Luas DAS Ciujung sekitar 1850 km2 dengan panjang sungai 142 km. DAS Ciujung mengalir dari sumber mata air yang berada di Gunung Endut dan Gunung Karang ke Laut Jawa dengan melewati Kabupaten Lebak dan Kabupaten Serang. Sub DAS Ciujung Hulu mempunyai tiga anak sungai utama yaitu sungai Ciujung Hulu, sungai Ciberang, dan sungai Cisimeut dengan pertemuan di daerah Kota Rangkasbitung.
3 Topografi DAS Ciujung Hulu sebagian besar terletak pada kemiringan agak curam yaitu sekitar 30.73% dari total seluruh lahan sedangkan DAS Ciujung Tengah-Hilir didominasi oleh kemiringan yang datar. Adapun luas DAS Ciujung berdasarkan kelerengan disajikan oleh Tabel 1. Tabel 1 Luas DAS Ciujung berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng Luas Sub DAS Luas Sub DAS Ciujung Tengah Kemiringan Ciujung Hulu No Kelas Hilir Lereng (%) Ha % Ha % 1I 0-8 2.234 10.514 62005 90.145 2 II 8-15 4.675 22.003 3444.75 5.008 3III 15-25 6.529 30.729 3333.75 4.847 4IV 25-45 4.194 19.739 5V >45 3.615 17.014 Jumlah 21.247 100 68783.5 100 Sumber: RTL-RLKT DAS Ciujung tahun 1999 Lahan yang ada di kiri kanan Daerah Aliran Sungai Ciujung secara umum merupakan daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri dan sebagainya. Jenis lahan yang ada sangat dipengaruhi oleh keberadaan tempat tersebut terhadap topografi sungai yang ada. Secara rinci lahan yang ada di kiri kanan sungai dapat diuriakan sebagai berikut : 1 Daerah bagian hulu sungai: hutan, kebun, galian golongan C (pasir), dan persawahan 2 Daerah bagian tengah sungai : kebun, persawahan, pemukiman, galian golongan C (pasir), dan jaringan irigasi 3 Daerah bagian hilir sungai : kebun, pemukiman, galian golongan C (pasir), industri, perkotaan dan tambak. DAS Cidurian Secara geografis letak DAS Cidurian terletak antara 106°00’-106°30’ BT dan 5°00’-6°40’ LS. Luas sungai Cidurian kurang lebih 815 km2 dengan panjang sungai 81.5 km .Wilayah DAS Cidurian ini dibatasi oleh: a Sebelah Barat berbatasan dengan DAS Ciujung b Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Cisadane-Ciliwung c Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa d Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Cibaliung-Cibareno DAS Cidurian mengalir dari sumber mata air yang berada di sekitar Gunung Gede ke Laut Jawa dengan melewati Kabupaten Bogor, Kabupaten Lebak, Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang. DAS Cidurian ini mempunyai tiga anak sungai utama yaitu sungai Cidurian Hulu, sungai Cibeureum dan sungai Cipangaur dengan pertemuan sungai yang bervariasi tempat yaitu pertemuan sungai Cidurian dengan sungai Cipangaur terletak pada daerah Cilaang dan pertemuan sungai Cidurian dan sungai Cibeureum pada daerah Cikande. Topografi DAS Cidurian yang merupakan daerah dataran dengan kemiringan antara 0.00012 – 0.00025 terletak pada daerah muara sungai sampai
4 dengan daerah pertemuan DAS Cibeureum dan DAS Cidurian sedangkan untuk topografi yang landai ke arah terjal (daerah pegunungan) terletak pada daerah pertemuan DAS Cidurian dengan DAS Cipangaur sampai ke arah hulu dengan kemiringan 0.0004 – 0.0007. Lahan yang ada di kiri kanan DAS Cidurian secara umum merupakan daerah perbukitan, perkebunan, hutan, sawah, pemukiman, industri dan sebagainya yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut. 1 Daerah bagian hulu sungai: hutan, perkebunan, galian golongan C (pasir), persawahan, perkotaan dan pemukiman 2 Daerah bagian tengah sungai : kebun, persawahan, pemukiman, galian golongan C (pasir), jaringan irigasi dan industri 3 Daerah bagian hilir sungai : kebun, pemukiman, galian golongan C (pasir), industri, perkotaan dan tambak.
Pola Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah yang diukur dalam tinggi hujan dengan satuan milimeter (mm) sebelum mengalami aliran permukaan, evaporasi, dan peresapan ke dalam tanah. Curah hujan memiliki variabilitas yang tinggi berdasarkan ruang dan waktu. Menurut Aldrian dan Susanto (2003) dan Hermawan (2010), pola curah hujan di Indonesia dapat dibedakan menjadi 3 pola, yakni 1 Pola ekuatorial. Pola ekuatorial berhubungan dengan pergerakan zona konvergensi ke arah utara dan selatan mengikuti pergerakan semu matahari. Zona konvergensi merupakan pertemuan dua massa udara (angin) yang berasal dari dua belahan bumi, kemudian udaranya bergerak ke atas. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi equinoks. Daerahnya meliputi pulau Sumatra bagian tengah dan Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara. 2 Pola monsunal. Pola monsunal dipengaruhi oleh sistem monsun yang ditandai dengan adanya pergerakan dari tekanan tinggi ke tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Pola monsunal ini dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi musim kering, sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Enam bulan sisanya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau). Daerah yang didominasi oleh pola monsun ini berada di daerah Sumatra bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua. 3 Pola lokal. Pola lokal dicirikan dengan kuatnya pengaruh kondisi setempat. Faktor yang mempengaruhi antara lain yakni keberadaan pegunungan, lautan dan bentang perairan lainnya, serta terjadinya pemanasan lokal yang intensif. Pola lokal daerah curah hujan pola lokal meliputi daerah Maluku, Sulawesi dan sebagian Papua.
5
Sumber: Keppres RI Nomor 12 Tahun 2012 Gambar 1 Peta DAS Ciujung-Cidurian
6
Gambar 2 Pembagian pola curah hujan menurut Aldrian dan Susanto (2003), yaitu pola monsunal (A), pola ekuatorial (B), dan pola lokal (C) Berdasarkan proses terjadinya, tipe hujan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1 Hujan konveksi yaitu hujan yang terjadi akibat naiknya udara hangat dan lembab dengan proses penurunan suhu secara adiabatik. Proses naiknya udara hangat dan lembab ini disebabkan oleh pemanasan permukaan pada siang hari. Hujan ini biasanya mencakup wilayah yang terbatas karena hanya dipengaruhi oleh sel-sel lokal. Awan yang terbentuk adalah awan tipe cumulus dan cumulonimbus yang sering menghasilkan hujan lebat yang disertai petir dan kilat. 2 Hujan orografik yaitu hujan yang dihasilkan oleh naiknya udara lembab akibat adanya penghalang topografi berupa pegunungan atau dataran tinggi. Curah hujan di dataran tinggi biasanya lebih tinggi dibandingkan pada dataran rendah disekitarnya. 3 Hujan gangguan, dibedakan menjadi dua yaitu hujan siklon dan hujan frontal. Hujan siklon adalah hujan yang disebabkan oleh gerakan udara naik yang berasosiasi dengan sistem tekanan rendah dalam skala besar sedangkan hujan frontal adalah hujan yang terjadi akibat bertemunya dua massa udara berbeda yaitu massa udara hangat yang lembab dari lintang rendah dengan massa udara dingin yang kering dari lintang tinggi. Pengaruh ENSO terhadap Curah Hujan Curah hujan di Indonesia terkadang dipengaruhi oleh fenomena ENSO yang menyebabkan anomali atau penyimpangan iklim. Fenomena ENSO merupakan fenomena interaksi antara fenomena lautan yaitu El Nino dan fenomena daratan yaitu Southern Oscillation. El Nino ditandai dengan adanya perubahan kondisi lautan maupun atmosfer. Pada saat El Nino, suhu permukaan laut di Pasifik Tengah dan Timur meningkat dari keadaan normalnya sedangkan di atmosfer terjadi pelemahan angin passat Timur Laut di Pasifik Barat sehingga menyebabkan perpindahan pusat konvergensi udara tropis dari wilayah Indonesia
7 ke arah Timur Pasifik. El Nino menyebabkan penurunan curah hujan, awal musim kemarau lebih cepat, dan awal musim hujan lebih lambat. Menurut Tjasyono dan Zadrach (1996), pengaruh El Nino sangat beragam pada wilayah dengan tipe iklim tertentu. Pengaruh El Nino kuat pada wilayah yang dipengaruhi oleh monsun, pada daerah dengan tipe ekuatorial pengaruh El Nino cenderung lebih lemah, dan pengaruhnya tidak jelas pada tipe daerah lokal. Tim Puslittanak (1999) menyatakan bahwa tidak semua stasiun curah hujan di Indonesia khususnya Jawa berkaitan erat dengan fenomena ENSO. Salah satu indikator dalam mengidentifikasi adanya fenomena ENSO yaitu Southern Oscillation Index (SOI). SOI adalah ukuran kekuatan untuk mengkuantifikasi driving force pergerakan barat-timur atau sebaliknya. SOI dihitung menggunakan perbedaan tekanan antara Tahiti dan Darwin. P (Tahiti) P arwin S I 10 SB Perbedaan dimana PA(Tahiti) adalah tekanan udara permukaan yang dikur di Tahiti, PA(Darwin) adalah tekanan udara yang diukur di Darwin, dan SB Perbedaan adalah simpangan baku perbedaan tekanan udara pada kedua stasiun. Nilai SOI negatif mengindikasikan kejadian El Nino. Nilai SOI negatif biasanya diikuti oleh peningkatan suhu Pasifik Tengah dan Timur dan penurunan angin passat Timur Laut yang berdampak pada penurunan curah hujan di Indonesia. SOI yang bernilai positif menunjukkan kejadian La Nina. Pada saat La Nina, suhu di Pasifik Tengah dan Timur menjadi lebih dingin dan angin passat menjadi lebih kuat pada periode ini. Berdasarkan Mulyana (2002), pengaruh El Nino di wilayah Indonesia lebih kuat pada musim transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa curah hujan periode September-OktoberNovember berkorelasi kuat dengan nilai SOI pada daerah Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, maluku Utara, dan Irian Jaya. Empirical Orthogonal Function (EOF) Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) merupakan metode untuk menentukan pola-pola dominan pada data dan berevolusi dalam ruang dan waktu (Luwahyudin et al 2012). EOF sudah dikenal dalam ilmu atmosfer sejak awal 1950. Beberapa peneliti mengkaji permasalahan ini dalam analisis data multivariat. Analisis EOF menjadi terkenal dalam paper Lorenz tahun 1956. Lorenz menganalisis Suhu Permukaan Laut (SPL) di wilayah Amerika Serikat dan Kanada bagian Utara. Hasil dari penelitiannya adalah sebanyak 91% keragaman SPL mampu dijelaskan oleh delapan komponen. Lorenz juga mengungkapkan bahwa EOF akan berguna untuk mengidentifikasi tipe cuaca. Perkembangan metode EOF dilanjutkan oleh Kutzbach (1967). Kutzbach menggunakan tiga peubah iklim dalam analisi EOF yaitu SPL, suhu permukaan, dan curah hujan di wilayah Amerika Utara. Kemudian Lyons (1982) dalam penelitiannya menggunakan EOF untuk analisis curah hujan Hawaii dan diperoleh bahwa EOF1 hingga EOF3 dipengaruhi oleh angin passat, angin tenggara, dan hujan konvektif
8 pada pola tahunannya. Penelitian terbaru yang mengkaji permasalahan ini adalah penelitian Nayagam, Janardanan, dan Mohan (2009). Penelitian tersebut menganalisis curah hujan Northeast Monsoon (NEM) dengan metode EOF dan kekuatan monsun dengan menggunakan analisis Wavelet. Dalam penelitian ini, tidak digunakan teknik Wavelet dalam analisis. Untuk daerah Indonesia sudah dilakukan penelitian oleh Aldrian dan Susanto (2003) dengan menggunakan teknik EOF sehingga dihasilkan tiga tipe iklim untuk seluruh wilayah Indonesia yang dikenal saat ini yaitu tipe monsunal, ekuatorial, dan lokal. Principal Component Analysis (PCA) menggunakan prosedur yang sama dengan EOF. Tujuan PCA adalah untuk mengurangi sekumpulan data yang mengandung jumlah variabel yang banyak menjadi kumpulan data yang mengandung sebagian variabel baru tetapi tetap mewakili fraksi variabilitas yang besar yang terkandung pada data asli (Wilks 1995). Analisis EOF merupakan perangkat yang baik untuk kompresi dan reduksi data secara dimensional di dalam ilmu atmosfer, oseanografi, dan iklim (Monahan 2009). Biasanya data atmosferik, dan geofisika lainnya tidak memperbolehkan adanya korelasi yang besar antara variabel bebas dan hasil dari metode EOF atau PCA lebih banyak merepresentasikan variasi tersebut (Wilks 1995). Menurut Haan (1967) secara umum, tujuan dari analisis EOF adalah mentransformasikan p peubah asal yang saling berkorelasi menjadi p buah komponen ortoghonal (tidak berkorelasi). Transformasi tersebut ditulis dalam bentuk sebagai berikut: ⃗⃗⃗ ⃗⃗ dimana X adalah matriks n x p yaitu matrik data asli, A adalah matriks p x p matriks koefisien yang merupakan transformasi linear sedangkan Z adalah matriks dari komponen utama. Keragaman total X dibatasi sebagai jumlah dari keragaman p buah peubah yang tedapat dalam X. Matriks ragam-peragam bagi dibatasi sebagai Matrik ∑ berukuran p p dimana ∑ G ij) peragam peubah ke–i dan ke–j dan (G ij) ragam peubah ke–i ∑ diduga oleh S. 1 T [S] = n-1 Var (Zi) = Var (⃗⃗ ai) = ai Var (⃗⃗ ) ai = ⃗ ⃗S ai Untuk menghasilkan komponen utama yang tidak saling berkorelasi, maka ragam harus dimaksimumkan. Var (Zi) dimaksimumkan menggunakan pengali Langrangian i ai ⃗S ai + i 1-ai ai d dimaksimumkan dengan turunan 0 dai
d dai
d dai
⃗ ai + ai S
i
1-ai ai
0
⃗S ai i ai 0 ⃗ i )ai 0 (S Solusi persamaan di atas agar tidak menghasilkan solusi trivial (ai 0), maka ⃗ |S- i | 0. Dari persamaan tersebut akan diperoleh nilai i yang disebut eigenvalue (akar ciri) sedangkan ai disebut eigenvector (vektor ciri).
9 Banyaknya komponen utama yang digunakan dalam analisis EOF tidak memiliki kesepakatan yang jelas. Akan tetapi, Afifi dan Clark (1996) menggunakan jumlah komponen utama yang dianggap dapat mewakili persentase keragaman total yaitu komponen utama dengan persentase keragaman lebih dari 80%. Untuk menghitung korelasi antara peubah X dan komponan utama Z dihitung dengan menentukan factor loading dengan rumus sebagai berikut Lij 1j 2 aij Jika menggunakan matriks varian-covarian S maka factor loading dicari dengan 12 j aij Lij sij
Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF) Hasil dari factor loading sering menghasilkan nilai yang intermediate, oleh karena itu dilakukan rotasi. Metode ini dikenal dengan rotated EOF. Menurut Hannachi (2004), Rotated EOF (REOF) adalah teknik sederhana berdasarkan rotasi E F. RE F sudah diterapkan dalam ilmu atmosfer sejak tahun 80’an dan dipakai untuk interpretasi proses fisik yang lebih sulit. Teknik ini dikenal juga sebagai faktor analisis yang bertujuan mendapatkan struktur yang lebih sederhana. Dalam meteorologi tujuan rotated EOF adalah 1 Mengurangi multikolinearitas dari analisis EOF 2 Menghasilkan struktur yang lebih sederhana 3 Lebih mudah menginterpretasi pola fisik Menurut Richman (1981), ada dua jenis rotasi yaitu rotasi orthogonal dan rotasi oblique. Rotasi orthogonal bertujuan merotasi jumlah komponen utama sebelumnya untuk menginterpretasi data lebih baik dengan tetap mempertahankan orthogonalitas vektor masing-masing. Sebaliknya, rotasi oblique tidak mempertahankan orthogonalitas tetapi merotasi vektor secara bebas untuk mengidentifikasi pengelompokan data. Rotasi yang paling dikenal adalah rotasi varimax (Kaiser 1958). Rotasi varimax termasuk ke dalam rotasi orthogonal yang bertujuan untuk menghindari nilai yang intermediate. Cara untuk menghasilkan nilai yang tidak intermediate adalah dengan memutar faktor sehingga diharapkan semua peubah akan mempunyai korelasi mendekati satu dengan sebuah faktor dan mendekati nol dengan faktor lain. Adapun persamaan yang dipakai adalah L LT dimana L = factor loading yang telah dirotasi L = factor loading yang belum dirotasi T = matriks orthogonal yang merupakan matriks identitas
10
METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan metode Empirical Orthogonal Function (EOF) dan Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF). Metode EOF digunakan untuk melihat pola spasial dan temporal DAS Ciujung-Cidurian, sedangkan metode REOF digunakan untuk mengetahui stasiun-stasiun pengamatan yang berpengaruh besar terhadap variasi curah hujan. Bahan Bahan atau data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan bulanan DAS Ciujung dan Cidurian tahun 1998-2008 yang terdiri dari dua puluh stasiun. Data ini diperoleh dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Ciujung-Cidanau Provinsi Banten. Adapun informasi lebih rinci mengenai stasiun-stasiun di DAS Ciujung-Cidurian dijelaskan oleh Tabel 2. Tabel 2 Daftar stasiun di DAS Ciujung-Cidurian Nama Stasiun Lintang Bujur Nomor Stasiun Bojong Manik 106.17 -6.588 B.40 Cimarga 106.538 -6.553 B.037e Ciminyak Cilaki 106.308 -6.54 43B Ragas Hilir 106.132 -6.208 B.032c Babadan 106.238 -6.119 B.20b Citeureup 106.394 -6.086 B.023f Jongjing 106.274 -6.133 B.032a Kalen Petung 106.228 -6.144 B.029g Pamarayan 106.282 -6.259 B.035 Petir 106.38 -6.128 B.024b Pipitan 106.467 -6.193 B.024a Ciboleger 106.231 -6.604 CBLGR Gn. Tunggal 106.231 -6.583 B.038d Gardu Tanjak 106.181 -6.519 B.026 Pasir Ona 106.449 -6.626 3a Sampang Peundeuy 106.189 -6.502 38A Cisalak 106.535 -6.628 B.037 f Toge 106.503 -6.509 R14 Cikasungka 106.021 -6.446 J. R16 Ranca Sumur 106.105 -6.311 RCSR
11 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer dengan sistem operasi Windows untuk aplikasi Microsoft Office 2007, Minitab digunakan untuk analisis EOF dan REOF, dan Surfer 8 untuk pemetaan variasi curah hujan secara spasial.
Prosedur Analisis Data Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) Analisis data dibagi menjadi analisis tahunan dan analisis musiman. Data untuk analisis tahunan adalah data curah hujan bulanan seluruh stasiun selama sebelas tahun sedangkan data untuk analisis musiman dibagi menjadi empat periode yaitu periode musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF), periode musim kemarau pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA), periode musim peralihan hujan ke kemarau pada bulan Maret-April-Mei (MAM), dan periode musim peralihan kemarau ke hujan pada bulan September-Oktober-November (SON). Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis EOF adalah 1 Mentransformasikan data curah hujan dalam bentuk matriks X m x p yang telah dinormalisasi ̅m m p m p
2 3
4
s̅m dimana m p = matriks penyimpangan dari nilai tengah pada stasiun ke-m dan pengamatan ke-p m p = data curah hujan bulanan pada stasiun ke-m dan pengamatan ke-p ̅ m = data curah hujan bulanan rata-rata pada stasiun m s̅m = standar deviasi curah hujan bulanan pada stasiun m Menghitung matriks varians-kovarians matrik X Menentukan nilai eigenvalue eigenvector 1 2 i 0 dan a1 a2 .ai . Nilai eigenvalue i menyatakan ragam sedangkan eigenvector ai merupakan koefisien dari komponen utama ke-i Menentukan factor loading untuk mengetahui korelasi antar data curah hujan asal dengan komponen utama. Nilai dari komponen utama dikenal juga dengan koefisien eigenvector.
Analisis Korelasi Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui pengaruh ENSO terhadap variasi curah hujan. Kejadian ENSO diidentifikasi oleh nilai SOI. Data SOI diperoleh dari website http://www.cgd.ucar.edu/cas/catalog/climind/SOI dari tahun 1998-2008. Kemudian data SOI ini dikorelasikan dengan koefisien eigenvector baik analisis tahunan maupun analisis musiman. Korelasi yang digunakan adalah korelasi linear antar dua peubah yang dikenal dengan korelasi Pearson. Adapun rumus perhitungan analisis korelasi adalah sebagai berikut
12 n ∑ni 1 i yi (∑ni 1 i ) ∑ni 1 yi
r
√ n ∑ni 1
2 i
∑ni 1
i
2
n ∑ni 1 y2i ∑ni 1 yi
2
Analisis Rotated Empirical Orthogonal Function (REOFF) Rotasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotasi varimax. Dalam rotasi varimax dicari factor loading baru yang mudah diinterpretasi. Faktor baru ini disebut rotated factor loading dimana nilainya akan menghasilkan factor loading yang sangat besar (mendekati ) dan sisanya adalah factor loading yang sangat kecil (mendekati nol). Setelah diperoleh rotated factor loading, langkah selanjutnya adalah menghilangkan stasiun-stasiun yang nilai rotated factor loadingnya kecil pada semua faktor sehingga diperoleh n stasiun , dengan n<m. Kemudian melakukan analisis EOF dan REOF ulang data n p dimana n p adalah matriks penyimpangan dari nilai tengah dan dibagi dengan standar deviasi pada stasiun ke-n dan pengamatan ke-p. Perhitungan Curah Hujan DAS Ciujung-Cidurian Berdasarkan hasil dari analisis EOF dan REOF sebelumnya dapat diidentifikasi stasiun-stasiun yang nilai rotated factor loadingnya besar pada setiap faktor. Kemudian dihitung nilai curah hujan yang mewakili DAS CiujungCidurian berdasarkan persentase variasi curah hujan. Adapun persamaannya adalah sebagai berikut. dimana
H i
H
S=
curah hujan yang mewakili DAS keragaman komponen utama ke-i = curah hujan stasiun ke-m yang nilai rotated factor loadingnya berkorelasi tinggi dengan faktor ke-i
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) Data curah hujan yang diukur oleh stasiun-stasiun pengamatan biasanya memiliki korelasi. Salah satu tujuan analisis EOF pada pengamatan ini adalah untuk menghilangkan korelasi antar stasiun pengamatan sehingga didapatkan keragaman data asli semaksimal mungkin dengan komponen utama sedikit mungkin. Komponen utama adalah hasil transformasi analisis EOF dengan nilai keragaman tertentu. Pada penelitian ini, data yang digunakan adalah data normalisasi. Menurut Kutzbach (1967), penggunaan normalisasi data agar setiap peubah pada masingmasing titik memiliki kepentingan yang sama dalam merepresentasikan keseluruhan data.
13 Analisis Tahunan Terdapat banyak kriteria dalam pemilihan jumlah komponen utama yang akan diikutsertakan ke dalam analisis EOF, akan tetapi dalam penelitian ini banyaknya komponen utama yang digunakan dilihat dari persentase varian kumulatif. Menurut Johnson (2007) komponen utama hanya diikutsertakan jika mempunyai proporsi varian kumulatif lebih dari 80%. Berdasarkan Gambar 3, banyaknya komponen utama yang memiliki varian kumulatif lebih dari 80% yaitu enam komponen utama yang mewakili varian curah hujan total sebesar 83%. Curah hujan bulanan rata-rata tinggi pada bagian tengah DAS sedangkan bagian hulu dan hilir ujung DAS curah hujannya rendah. Standar deviasi curah hujan bulanan menunjukkan curah hujan tinggi pada daerah Ragas Hilir, dan beberapa daerah di bagian tengah DAS yaitu stasiun Toge, Ciminyak Cilaki, dan Gardu Tanjak. Menurut Lyons (1982) daerah dengan variabilitas yang besar seharusnya mendominasi dalam analisis EOF dan merupakan kontributor penting kelebihan atau kekurangan curah hujan. Kedua pola curah hujan rata-rata dan standar deviasi bulanan dapat dilihat pada Gambar 4. Komponen utama pertama data tahunan menjelaskan varian data sebesar 49% dari varian total dan nilai semua eigenvector menunjukkan nilai positif (Gambar 5(a)) yang berarti terjadi penyimpangan positif curah hujan. Pola pada komponen utama pertama ini mirip dengan pola standar deviasi curah hujan bulanan (Gambar 4). Oleh karena itu, pola komponen utama pertama menggambarkan pola curah hujan bulanan DAS Ciujung-Cidurian. Komponen utama pertama menjelaskan bahwa curah hujan tinggi terdapat pada daerah Ragas Hilir dan sebagian DAS Ciujung Hulu.
Gambar 3 Scree plot proporsi varian kumulatif tahunan
14
(a) (b) Gambar 4 Pola distribusi nilai (a) curah hujan bulanan rata-rata (mm) (b) standar deviasi bulanan (mm)
(a) (b) (c) Gambar 5 Distribusi eigenvector komponen utama (a) pertama, (b) kedua, dan (c) ketiga Secara umum, eigenvector mendeskripsikan hubungan daerah-daerah yang memiliki variabilitas curah hujan yang besar. Daerah dengan curah hujan varian besar dapat dibedakan dengan daerah yang memiliki varian curah hujan kecil. Eigenvector dan nilai komponen utama (koefisien eigenvector) dapat bernilai positif ataupun negatif. Nilai positif menunjukkan curah hujan di atas rata-rata sedangkan nilai negatif berarti curah hujan di bawah rata-rata.
15 Pola temporal dari masing-masing koefisien eigenvector tahunan dijelaskan oleh time series koefisien eigenvector tersebut (Gambar 6). Koefisien eigenvector pertama menunjukkan nilai variasi musiman selama tahun amatan. Pada musim penghujan sekitar bulan Desember-Januari-Februari koefisien eigenvector menunjukkan nilai positif yang besar, sedangkan pada musim kering yaitu sekitar bulan Juli-Agustus-September nilainya besar tetapi menunjukkan tanda negatif. Hal ini mengindikasikan adanya pengaruh sistem monsun Asia dan Australia. Musim basah terjadi ketika angin Timur Laut menguat di Laut Cina Selatan. Di ekuator angin Timur Laut ini dibelokkan oleh gaya coriolis. Angin tersebut berubah arah yang bergerak dari arah Barat Laut ke wilayah Pulau Jawa termasuk DAS Ciujung-Cidurian. Dalam perjalanannya, angin muson Barat Laut yang melewati lautan membawa massa uap air dan menurunkan hujan di Indonesia. Berbeda halnya pada saat musim kering, angin Timur Laut melemah dan didominasi oleh angin Tenggara. Angin ini berasal dari Australia bagian Utara yang wilayahnya berupa gurun sehingga membawa massa udara yang kering ketika sampai di Indonesia. Komponen utama kedua menyatakan varian curah hujan sebesar 10% dan keragaman tinggi terdapat pada daerah aliran sungai bagian hulu. Pada Gambar 5(b) terlihat eigenvector pada bagian hulu dan tengah bernilai positif sedangkan pada bagian hilir eigenvector menunjukkan nilai negatif. Dillihat dari gambar, nilai eigenvector makin tinggi ke arah Tenggara sehingga dapat dikatakan bahwa eigenvector kedua dipengaruhi oleh angin muson Tenggara. Pola time series koefisien eigenvector kedua menunjukkan nilai yang tidak terlalu besar. Akan tetapi koefisien eigenvector kedua tidak menunjukkan pola musiman yang jelas. Nilai positif yang lebih besar selama periode tahun amatan terjadi pada tahun 1998-2004 sedangkan tahun 2005-2008 koefisien eigenvector lebih banyak menunjukkan nilai negatif. Hal ini berarti terjadi variabilitas interannual curah hujan DAS Ciujung-Cidurian. Penelitian ini hanya mengkaji pengaruh ENSO sebagai salah satu fenomena yang mempengaruhi variabilitas interannual curah hujan. Untuk melihat pengaruh ENSO, dilakukan analisis korelasi antara data SOI dengan koefisien eigenvector kedua. Hasil korelasinya adalah -0.007 yang berarti bahwa komponen utama kedua tidak berkaitan dengan fenomena ENSO. Berbeda dengan pola eigenvector pada komponen utama ketiga, varian tinggi terletak pada DAS Ciujung Hulu yang sebagian besar merupakan wilayah pegunungan. Dengan kata lain, hujan yang terjadi merupakan hujan orografik. Komponen utama ketiga menjelaskan keragaman curah hujan DAS CiujungCidurian sebesar 8% dari keragaman total. Berdasarkan pola time series, nilai koefisien eigenvector lebih kecil dibanding dua koefisien eigenvector sebelumnya. Sama dengan pola koefisien eigenvector kedua, koefisien eigenvector ketiga tidak memiliki variasi musiman yang jelas. Oleh karena itu, diduga ada kaitan kejadian ENSO yang menyebabkan variabilitas interannual. Namun, nilai korelasi antara SOI dengan koefisien eigenvector ketiga menghasilkan korelasi yang sangat lemah yaitu sebesar 0.111. Dengan demikian, tidak ada kaitan antara kejadian ENSO dengan pola curah hujan komponen utama ketiga.
16
8 6 4 2 0
-2
1998 1998 1999 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 2008
Koefisien Eigenvektor-1
10
-4
Koefisien Eigenvektor-3
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6
1998 1998 1999 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 2008
Koefisien Eigenvektor-2
10 8 6 4 2 0 -2 -4 -6
1998 1998 1999 2000 2000 2001 2002 2002 2003 2004 2004 2005 2006 2006 2007 2008 2008
-6
Gambar 6 Time series koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, eigenvector-3 Analisis Musiman Analisis tahunan yang dibahas sebelumnya menggambarkan variasi curah hujan selama setahun dan variabilitas interannual. Akan tetapi, setiap musim di Indonesia memiliki variasi curah hujan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu
17 dilakukan analisis musiman dengan membagi data menjadi empat periode yaitu musim hujan, musim kemarau, dan peralihan dari kedua musim. Gambar 8 dan Gambar 9 memperlihatkan curah hujan rata-rata dan standar deviasi tiap periode seluruh stasiun. Curah hujan rata-rata pada periode DJF memiliki pola yang sama dengan pola standar deviasi curah hujan bulanan yaitu tinggi pada daerah Ragas Hilir dan sebagian DAS Ciujung Hulu. Pola tersebut berbeda dengan pola curah hujan rata-rata pada periode MAM, JJA, dan SON. Pada periode MAM, JJA, dan SON nilai tertinggi terdapat pada stasiun Sampang Peundeuy, Gardu Tanjak, dan Ciminyak Cilaki. Curah hujan rata-rata dan standar deviasi setiap periode di stasiun Sampang Peundeuy, Gardu Tanjak, dan Ciminyak Cilaki relatif lebih seragam dibanding wilayah lain. Varian kumulatif yang dijelaskan oleh komponen utama tiap periode menunjukkan bahwa komponen utama keenam mampu menjelaskan varian curah hujan dari varian total. Hal ini dilihat dari varian kumulatif yang sudah mencapai 80% pada komponen utama keenam (Gambar 7) Pola distribusi masing-masing eigenvector pada setiap periode dapat dilihat pada Gambar 10-12. Pada eigenvector pertama, curah hujan tinggi di daerah Ragas Hilir pada periode DJF. Faktor yang diduga berpengaruh adalah adanya angin muson Barat Laut yang bertiup dari Laut Cina Selatan dengan membawa massa uap air yang hangat. Periode MAM diduga adanya pengaruh dari angin Timur dan angin Barat. Bulan Maret, April, dan Mei merupakan periode transisi dari musim hujan ke musim kemarau. Pada bulan-bulan ini, angin yang bertiup mulai tejadi perubahan arah tiupan angin dengan pola yang berubah-ubah hingga memasuki bulan Mei pengaruh angin muson Tenggara mulai terasa. Angin muson Tenggara menguat pada periode JJJA yang menyebabkan curah hujan menurun akibat massa udara kering yang dibawa oleh angin dari Australia bagian Utara. Secara umum, pola eigenvector pertama pada periode musiman menggambarkan sirkulasi monsun yang terjadi di Indonesia.
Gambar 7 Scree plot proporsi varian kumulatif data musiman
18
(b)
(c)
(d)
Gambar 8 Distribusi nilai curah hujan rata-rata masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
(a)
18
(b)
(c)
(d)
Gambar 9 Distribusi nilai standar deviasi curah hujan masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
(b)
19
19
20
(b)
(c)
(d)
Gambar 10 Distribusi nilai eigenvector pertama masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
(c)
20
(b)
(c)
(d)
Gambar 11 Distribusi nilai eigenvector kedua masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
(d)
21
21
22
(b)
(c)
(d)
Gambar 12 Distribusi nilai eigenvector ketiga masing-masing stasiun pada periode (a) DJF, (b) MAM, (c) JJA, dan (d) SON
(e)
22
23 Pola eigenvector kedua pada setiap periode dapat dilihat pada Gambar 11 . Umumnya curah hujan paling tinggi terdapat pada daerah hulu dan tengah DAS. Akan tetapi berbeda pada musim DJF, curah hujan tinggi pada daerah Ragas Hilir. Pengaruh angin muson Barat Laut masih terasa pada periode tersebut. Secara umum, wilayah dengan varian curah hujan tinggi adalah daerah selatan DAS. Eigenvector ketiga didominasi oleh hujan orografik kecuali pada periode DJF varian curah hujan tinggi di daerah Barat Laut dan Timur Laut. Adapun ringkasan hasil analisis tahunan dan musiman disajikan dalam Tabel 3. Time series dari masing-masing koefisien eigenvector pada setiap periode menunjukkan adanya variasi interannual (Lampiran). Di bawah ini adalah nilai korelasi antara SOI dengan masing-masing koefisien eigenvector tiap periode. Tabel 3 Hasil analisis tahunan dan musiman EOF, varian masing-masing EOF dan wilayah yang memiliki varian curah hujan tinggi Tahunan
DJF
MAM
JJA
EOF-1
Barat Laut (49%)
Barat Laut (35%)
Timur dan Barat (28%)
Tenggara (42%)
EOF-2
Tenggara (10%)
Barat Laut (16%)
Selatan dan Barat (17%)
Timur Laut dan Selatan (14%)
Selatan (16%)
EOF-3
Pengunungan (8%)
Barat Laut dan Timur Laut(10%)
Pengunungan (15%)
Pengunungan (9%)
Pengunungan (11%)
Tabel 4 Nilai korelasi antara koefisien eigenvector-1, eigenvector-2, dan eigenvector-3 dengan SOI SOI DJF MAM JJA SON EOF-1 0.217 DJF EOF-2 -0.555* EOF-3 0.156 EOF-1 -0.467* MAM EOF-2 -0.096 EOF-3 0.021 EOF-1 0.413* JJA EOF-2 -0.173 EOF-3 -0.071 EOF-1 0.32** SON EOF-2 -0.588* EOF-3 0.108 *Korelasi signifikan pada taraf nyata 5% **Korelasi signifikan pada taraf nyata 10%
SON Timur dan Barat Laut (37%)
24 Pada Tabel 4, hasil analisis korelasi menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan SOI pada periode MAM dan JJA untuk EOF-1 serta DJF dan SON untuk EOF-2. Nilai korelasi pada periode tersebut signifikan pada taraf nyata 5% sedangkan pada periode SON untuk EOF-1 koefisien eigenvector signifikan pada taraf nyata 10% dengan nilai korelasi 0.32. Signifikansi hubungan antara koefisien eigenvector dan SOI menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara kejadian ENSO dengan curah hujan. Dengan begitu, kejadian ENSO dapat dijelaskan dengan menggunakan koefisien dari EOF1 pada periode MAM, JJA, SON dan koefisien EOF2 pada periode DJF dan SON. Periode MAM pada EOF-1 serta periode DJF dan SON pada EOF2 menunjukkan hubungan negatif. Hubungan negatif ini menjelaskan ketika SOI mengalami peningkatan (positif) maka koefisien eigenvector mengalami penurunan. Pada periode JJA dan SON untuk EOF-1 bernilai positif yang berarti pada saat SOI turun (negatif) maka koefisien eigenvector akan turun pula. EOF-1 dipengaruhi oleh sistem monsun maka pada periode JJA dan SON di Indonesia akan mengalami penurunan curah hujan. Penurunan curah hujan akan lebih banyak ketika memasuki musim El Nino (SOI negatif). Analisis Rotated Empirical Orthogonal Function (REOF) Interpretasi komponen utama dilakukan melalui korelasi antara data curah hujan asal dengan komponen utama yang disebut factor loading. Untuk membuat interpretasi lebih mudah dilakukan rotasi. Rotasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotasi varimax. Rotated factor loading menghasilkan factor loading yang sangat besar dan sisanya factor loading yang sangat kecil serta tidak ada korelasi yang nilainya intermediat. Hasil rotated factor loading ditunjukkan pada Lampiran 2. Pada faktor 1 nilai korelasi yang tinggi terdapat pada dua stasiun yaitu Ragas Hilir dan Jongjing, sedangkan faktor 2 hingga faktor 14 korelasi tinggi hanya ada pada satu stasiun. Korelasi dianggap tinggi jika nilainya sama dengan atau lebih dari 0.75. Berdasarkan hasil ini, stasiun-stasiun yang korelasinya kecil dengan semua faktor dibuang karena dianggap tidak berpengaruh terhadap keragaman curah hujan DAS Ciujung-Cidurian. Total stasiun yang dibuang adalah lima stasiun. Kemudian ketujuh stasiun tersebut dilakukan analisis EOF kembali. Hasil dari rotated factor loading dengan lima belas stasiun dijelaskan dalam Tabel 5. Kontribusi curah hujan masing-masing stasiun yang mewakili tiap faktor akan menentukan nilai curah hujan seluruh DAS. Pengambilan jumlah faktor dilakukan dengan melihat persentase ragam yang telah mencapai 80% yaitu pada faktor 11. Faktor 1 diwakili oleh stasiun Ragas Hilir dan Jongjing. Oleh karena itu dilakukan pembagian nilai rotated factor loading dengan cara sebagai berikut. 0.892 0.134 0.072 Ragas hilir 0.892 0.777 0.777 0.134 0.062 Jongjing 0.892 0.777
0.102
0.114
0.153
0.135
0.15
0.079
0.141
0.08
0.892
0.381
0.777
0.228
0.378
0.058
0.144
0.282
0.19
0.196
0.099
Babadan
Jongjing
Petir
Pipitan
Ciboleger
Gn. Tunggal Gardu Tanjak Pasir Ona Sampang Peundeuy Cisalak
0.134
0.134
% Ragam
Kumulatif
0.208
0.074
1.1099
0.187
0.17
2.0054
0.008
0.046
0.206
0.907
0.271
0.156
Ragam
Toge Ranca Sumur
0.084
0.139
0.116
Factor2
Factor1
Variable Bojong Manik Ciminyak Cilaki Ragas Hilir
0.281
0.073
1.0876
0.158
0.112
0.19
0.185
0.097
0.152
0.156
-0.004
0.139
0.11
0.069
0.089
0.067
0.935
0.035
Factor3
0.353
0.072
1.0817
0.196
0.935
0.079
0.103
0.169
0.091
0.167
0.086
0.106
0.006
0.158
0.062
0.114
0.112
0.118
Factor4
0.425
0.072
1.0809
-0.063
-0.114
-0.164
-0.216
-0.117
-0.068
-0.21
-0.119
-0.067
-0.087
-0.147
-0.159
-0.09
-0.035
-0.92
Factor5
Tabel 5 Rotated factor loading lima belas stasiun
0.495
0.07
1.0562
-0.174
-0.068
-0.881
-0.085
-0.239
-0.127
-0.186
-0.035
-0.11
-0.131
-0.065
-0.204
-0.08
-0.16
-0.146
Factor6
0.565
0.07
1.0519
0.098
0.096
0.044
0.117
0.122
0.049
0.139
0.974
0.049
0.055
0.014
0.011
0.086
-0.005
0.141
Factor7
0.632
0.067
0.9983
0.12
0.073
0.116
0.192
0.239
0.853
0.144
0.036
0.119
0.114
0.16
0.133
0.185
0.118
0.057
Factor8
0.697
0.065
0.9705
0.831
0.14
0.148
0.156
0.224
0.112
0.114
0.064
0.24
0.147
0.114
0.128
0.102
0.115
0.049
Factor9
0.761
0.064
0.9613
-0.158
-0.078
-0.075
-0.836
-0.184
-0.181
-0.21
-0.077
-0.14
-0.065
-0.115
-0.104
-0.127
-0.135
-0.163
Factor10
0.821
0.06
0.8981
-0.104
-0.109
-0.143
-0.185
-0.102
-0.122
-0.8
-0.08
-0.186
-0.11
-0.066
-0.243
-0.094
-0.103
-0.141
Factor11
0.881
0.06
0.8938
-0.206
-0.113
-0.185
-0.167
-0.807
-0.202
-0.106
-0.073
-0.121
-0.11
-0.118
-0.068
-0.107
-0.068
-0.083
Factor12
0.939
0.058
0.8631
0.112
0.044
0.147
0.09
0.065
0.109
0.227
0.01
0.231
0.082
0.216
0.781
0.143
0.059
0.103
Factor13
0.991
0.052
0.7858
0.182
0.063
0.076
0.109
0.102
0.089
0.159
0.027
0.756
0.124
0.159
0.208
0.151
0.08
0.043
Factor14
25
1.001
0.01
0.1554
0.011
0.011
0.006
0.011
0.012
0.014
0.007
0
0.018
0.015
0.354
0.02
-0.168
0.005
0.011
Factor15
25
26 Adapun curah hujan DAS Ciujung-Cidurian dirumuskan sebagai berikut H
S
0.072
HRagas Hilir 0.062
0.067 0.06
HGardu Tanjak 0.065 HGn.Tunggal
HJongjing 0.074
HPetir 0.073
HRanca Sumur 0.064
H
iminyak ilaki
HSampang Peundeuy
Berdasarkan persamaan di atas, curah hujan DAS Ciujung-Cidurian tahun 1998-2008 ditentukan oleh sekitar 7% curah hujan stasiun Ragas Hilir, Petir, Ciminyak Cilaki, Toge, Bojong Manik, Cisalak, dan Ciboleger serta sekitar 6% curah hujan stasiun Jongjing, Gardu Tanjak, Ranca Sumur, Sampang Peundeuy, dan Gn. Tunggal. Nilai curah hujan yang diperoleh merupakan gambaran nilai curah hujan yang mendominasi varian curah hujan pada DAS Ciujung-Cidurian. Nilai curah hujan persamaan ini bukan merupakan curah hujan wilayah. Curah hujan persamaan ini menjelaskan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi keragaman curah hujan yang dinyatakan dengan persentase masing-masing faktor.
Curah Hujan (mm)
300 250
200 150 100 50 0 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Gambar 13 Nilai curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian Pola curah hujan DAS Ciujung-Cidurian sebagian besar dipengaruhi oleh monsun dari varian curah hujan total. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13, pola curah hujan rata-rata bulanan DAS Ciujung-Cidurian mengikuti pola curah hujan monsunal. Curah hujan tinggi pada bulan Januari-Februari sedangkan pada bulan Juli-September curah hujan rendah. Selain dipengaruhi monsoon, pola curah hujan DAS Ciujung-Cidurian ini juga dipengaruhi oleh topografi daerah yaitu daerah pegunungan.
27
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Metode Empirical Orthogonal Function (EOF) merupakan metode yang cukup baik digunakan untuk menganalisis data curah hujan secara spasial dan temporal dengan menghasilkan komponen baru yang orthogonal dan menjelaskan varian data sebanyak mungkin. Pola curah hujan di wilayah DAS Ciujung-Cidurian didominasi oleh pola curah hujan yang disebabkan sirkulasi monsun baik pola annual maupun pola musiman. Varian curah hujan tinggi pada daerah Ragas Hilir, Sampang Peudeuy, Gardu Tanjak, dan Toge baik varian tahunan maupun varian musiman. Pola EOF1 menunjukkan bahwa pada bulan basah (DJF) didominasi oleh angin muson Barat Laut sedangkan bulan kering dipengaruhi oleh angin muson Tenggara. Selain dipengaruhi muson, keadaan topografi wilayah juga ikut mempengaruhi varian curah hujan. Time series koefisien eigenvector pada periode musiman menjelaskan adanya pengaruh ENSO terhadap varian curah hujan DAS Ciujung-Cidurian. Fenomena ENSO dapat dilihat pada periode MAM, JJA, SON untuk EOF-1 dan pada periode DJF dan SON untuk EOF-2. Berdasarkan metode REOF dapat diperoleh curah hujan yang mewakili DAS Ciujung-Cidurian dengan melihat stasiun-stasiun yang berpengaruh terhadap varian curah hujan pada masing-masing faktor melalui nilai rotated factor loading. Saran Penelitian mengenai Empirical Orthogonal Function sebaiknya menggunakan data dengan rentang waktu yang panjang agar lebih representatif dan penggunaan parameter-parameter iklim lain disarankan untuk melihat proses fisik yang terjadi secara lebih jelas, seperti suhu dan tekanan. Perlu dikaji juga pengaruh fenomena lain yang berkaitan dengan interannual variabilitas, seperti Madden Julian Oscillation (MJO) dan Indian Ocean Dipole (IOD).
DAFTAR PUSTAKA Afifi AA, V Clark. 1996. Computer-Aided Multivariate Analysis 3th ed. Boca Raton(US): Chapman and Hall/CRC Press. Aldrian E, RD Susanto. 2003. Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea surface temperature. Journal Climatology 23(12): 1435-1452. [BBWS] Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian. 2011. Sejarah Bendung Pamarayan. [Internet]. [diunduh 2013 Mei 3]. Tersedia pada: http://bbwsc3.pdsda.net/index.php?page=bendung_pamarayan.
28 [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citarum-Ciliwung. 1999. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Ciujung Tengah-Hilir. Bogor (ID): BPDAS Citarum-Ciliwung. Bruce JP, Clark RH. 1966. Introduction to Hydrometeorology. California(US): Pergamon Press. Haan CT. 1967. Statistical Methods in Hydrology. Iowa(US): The Iowa State University Press. Hannachi A. 2004. A Primer of EOF Analysis of Climate Data. United Kingdom(GB): University of Reading. Hermawan E. 2010. Pengelompokan pola curah hujan yang terjadi di beberapa kawasan pulau Sumatera berbasis hasil analisis teknik spektral. Jurnal Meteorologi dan Geofisika 11(2): 75-84. Johnson RA, Wichern DW. 2007. Applied Multivariate Statistical Analysis 6th ed. New Jersey (US): Prentice Hall, Inc. Kaiser HF. 1958. The varimax criterion for analytic rotation in factor analysis. Psychometrika 23(3): 187-200. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai. Kutzbach JE. 1967. Empirical eigenvectors of sea-level pressure, surface temperature, and precipitation complexes over North America. Journal of Applied Meteorology 6:791-802. Lorenz EN. 1956. Empirical Orthogonal Function and Statistical Weather Prediction. Scientific Report 1:1-49. Lyons SW. 1982. Empirical Orthogonal Function analysis of Hawaiian rainfall. Journal Applied Meteorology 21: 1713-1729. Luwahyudin M, Suntoyo, Wahyudi C. 2012. Analisa perubahan garis pantai Tegal dengan menggunakan Empirical Orthogonal Function (EOF). Jurnal Teknis 1: 182-185. Mulyana E. 2002. Hubungan antara ENSO dengan variasi curah hujan di Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi Modifikasi Cuaca 3(1):1-4. Monahan AH, John CF, Maarten HPA, David BS, Gerald RN. 2009. Empirical Orthogonal Functions: The Medium is the Message. J Climate 22: 6501-6513. Nayagam LR, Rajesh J, H.S. Ram M. 2009. Variability and teleconnectivity of northeast monsoon rainfall over India. Global and Planetary Change 69: 225231. Ramage. 1968. Role of a tropical 'maritime continent' in the atmospheric circulation. Monthly Weather Review 96: 365-369. Richman MB. 1981. Obliquely rotated principal component: an improved meteorological map typing technique?. Journal of Applied Meteorology 20: 1145-1159.doi:0021-8952/81/101145-15$07.75. Ruminta. 1989. Model ARIMA untuk pendugaan pola curah hujan Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. [Tim Puslittanak] Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1999. Analisis peluang penyimpangan iklim dan ketersediaan air pada wilayah pengembangan IP Padi 300. Bogor (ID): Pusat penelitian tanah dan agroklimat bekerjasama dengan proyek pembinaan kelembagaan penelitian dan pengembangan pertanian ARMP-II.
29 Tjasyono B, Zadrach LD. 1996. The impact of El Nino on season in Indonesia monsoon region. Proceedings of the Internasional Workshop on the Climate System of Monsoon Asia; 1996 Dec 3-6; Kyoto, Japan. Kyoto (JP): Journal of the Meteorological Society of Japan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Wilks D. 1995. Statistical Method in the Atmospheric Science. California (US): Academic Press.
30
Lampiran 1 Nilai eigenvector masing-masing stasiun DAS Ciujung-Cidurian Stasiun
E-1
E-2
E-3
E-4
E-5
E-6
E-7
Bojong Manik
0.168
0.028
-0.03
0.49
0.191
-0.509
-0.336
Cimarga
0.176
0.104
0.081
0.154
0.125
-0.032
-0.227
Ciminyak Cilaki
0.248
0.481
0.476
-0.29
-0.541
-0.249
-0.073
Ragas Hilir
0.369
-0.506
-0.216
-0.209
-0.283
-0.232
-0.163
Babadan
0.19
-0.134
0.028
0.177
-0.11
0.086
0.228
Citeureup
0.177
-0.122
0.036
0.146
-0.074
0.183
0.074
Jongjing
0.282
-0.319
-0.151
-0.057
-0.2
-0.045
-0.159
Kalen Petung
0.187
-0.077
0.058
0.182
-0.074
0.115
0.097
Pamarayan
0.19
-0.016
0.06
0.028
-0.009
0.171
-0.027
Petir
0.131
-0.085
0.115
0.07
-0.056
0.181
-0.084
Pipitan
0.209
-0.115
0.018
0.084
-0.178
0.226
0.258
Ciboleger
0.033
0.008
-0.024
0.065
0.053
-0.044
-0.009
Gn. Tunggal
0.25
0.09
0.095
0.353
0.069
-0.121
0.593
Gardu Tanjak
0.361
-0.102
0.248
-0.526
0.619
-0.04
0.101
Pasir Ona
0.203
0.067
0.017
-0.009
0.24
0.235
-0.235
Sampang Peundeuy
0.22
0.07
0.097
0.083
0.16
-0.345
0.173
Cisalak
0.198
0.133
0.222
0.264
0.046
0.348
-0.432
Toge
0.238
0.409
-0.643
-0.057
0.004
-0.046
0.006
Cikasungka
0.229
0.345
-0.36
-0.14
0.011
0.143
0.05
Ranca Sumur
0.177
0.092
-0.021
0.036
-0.024
0.344
0.028
E-8
E-9
E-10
E-11
E-12
E-13
E-14
Bojong Manik
0.009
0.208
0.26
-0.021
-0.419
-0.002
-0.057
Cimarga
-0.067
0.215
-0.045
-0.121
0.376
0.07
0.484
Ciminyak Cilaki
0.046
0.059
0.004
0.003
-0.112
0.102
-0.041
Ragas Hilir
0.067
-0.378
-0.188
-0.089
-0.187
-0.2
0.131
Babadan
0.258
-0.089
0.361
0.066
0.113
0.256
-0.299
Citeureup
0.067
0.182
0.177
-0.266
-0.021
-0.084
0.048
Jongjing
-0.038
0.258
0.068
0.35
0.333
0.2
-0.005
Kalen Petung
-0.001
0.007
0.207
-0.008
0.101
0.129
-0.232
Pamarayan
-0.258
0.174
-0.149
-0.195
0.041
0.027
0.255
Petir
-0.127
0.431
-0.278
0.464
-0.004
-0.354
-0.239
Pipitan
-0.148
0.155
0.023
-0.408
-0.144
0.195
0.128
Ciboleger
-0.05
0.003
-0.127
-0.082
-0.094
-0.054
0.135
Gn. Tunggal
0.247
-0.115
-0.367
0.294
-0.103
-0.045
0.257
Gardu Tanjak
0.24
0.175
0.105
-0.08
-0.059
-0.066
-0.068
Pasir Ona
-0.25
-0.271
-0.244
0.228
-0.259
0.637
-0.064
Sampang Peundeuy
-0.559
-0.315
0.005
-0.106
0.438
-0.155
-0.27
Cisalak
0.388
-0.368
-0.071
-0.097
0.225
-0.244
-0.058
Stasiun
31 Toge
0.211
0.192
-0.312
-0.245
0.11
0.054
-0.318
Cikasungka
-0.09
-0.162
0.507
0.35
-0.026
-0.169
0.382
Ranca Sumur
-0.336
-0.029
0.075
-0.064
-0.365
-0.347
-0.208
E-15
E-16
E-17
E-18
E-19
E-20
Bojong Manik
-0.16
-0.009
0.057
0.03
-0.014
-0.035
Cimarga
0.497
0.02
0.005
0.174
-0.357
0.081
Ciminyak Cilaki
0.033
-0.01
-0.04
-0.038
0.028
0.022
Ragas Hilir
0.16
0.08
0.177
0.019
-0.068
0.075
Babadan
0.16
-0.064
0.165
-0.421
-0.468
-0.113
Citeureup
0.036
0.201
-0.306
-0.318
0.276
0.652
Jongjing
-0.245
-0.301
-0.444
0.099
0.099
-0.11
Kalen Petung
0.393
-0.042
0.337
0.393
0.582
-0.09
Pamarayan
-0.294
-0.451
0.515
-0.362
0.136
-0.023
0.04
0.408
0.223
-0.1
-0.095
-0.024
Pipitan
-0.313
0.413
-0.072
0.288
-0.168
-0.334
Ciboleger
0.353
0.091
-0.326
-0.496
0.315
-0.591
Gn. Tunggal
-0.05
-0.149
-0.089
0.1
0.031
0.08
Gardu Tanjak
-0.024
-0.019
-0.009
0.046
0.016
-0.065
0.05
0.143
-0.051
-0.069
0.017
0.173
Sampang Peundeuy
-0.118
0.139
-0.066
-0.071
-0.005
0.041
Cisalak
-0.262
0.027
-0.072
0.048
0.045
-0.144
Toge
0.022
-0.006
0.028
-0.006
-0.007
0.03
Cikasungka
-0.093
0.195
0.105
-0.046
0.077
-0.042
Ranca Sumur
0.228
-0.454
-0.272
0.167
-0.241
-0.002
Stasiun
Petir
Pasir Ona
32 Lampiran 2 Rotated Factor Loading DAS Ciujung-Cidurian seluruh stasiun Stasiun
Factor1
Factor2
Factor3
Factor4
Factor5
Factor6
Bojong Manik
0.133
0.124
0.115
-0.077
0.911
-0.134
0.028
Cimarga
0.124
0.194
0.098
-0.177
0.273
-0.258
0.182
Ciminyak Cilaki
0.073
0.137
0.065
-0.098
0.029
-0.151
0.928
Ragas Hilir
0.884
0.134
0.161
-0.110
0.088
-0.077
0.065
Babadan
0.361
0.086
0.793
-0.106
0.146
-0.186
0.083
Citeureup
0.360
0.079
0.358
-0.222
0.163
-0.230
0.062
Jongjing
0.764
0.172
0.231
-0.258
0.133
-0.044
0.058
Kalen Petung
0.326
0.086
0.419
-0.199
0.182
-0.203
0.117
Pamarayan
0.287
0.148
0.121
-0.237
0.097
-0.161
0.164
Petir
0.222
0.007
0.096
-0.898
0.080
-0.122
0.106
Pipitan
0.359
0.124
0.250
-0.190
0.054
-0.089
0.132
Ciboleger
0.057
0.086
0.014
-0.043
0.115
-0.031
-0.006
Gn. Tunggal
0.135
0.182
0.246
-0.146
0.203
-0.175
0.150
Gardu Tanjak
0.275
0.114
0.119
-0.128
0.060
-0.116
0.145
Pasir Ona Sampang Peundeuy
0.182
0.200
0.073
-0.145
0.109
-0.229
0.088
0.189
0.127
0.101
-0.072
0.207
-0.073
0.177
Cisalak
0.090
0.093
0.163
-0.131
0.154
-0.867
0.183
Toge
0.145
0.945
0.038
-0.015
0.108
-0.061
0.091
Cikasungka
0.135
0.646
0.123
-0.012
0.064
-0.088
0.181
Ranca Sumur
0.155
0.240
0.125
-0.184
0.053
-0.164
0.148
Factor8
Factor9
Factor10
Factor11
Factor12
Factor13
Factor14
Bojong Manik
0.138
0.048
-0.040
0.045
0.153
0.075
0.134
Cimarga
0.165
0.178
-0.096
0.102
0.195
0.158
0.117
Ciminyak Cilaki
-0.008
0.111
-0.101
0.078
0.127
0.061
0.097
Ragas Hilir
0.085
0.181
-0.090
0.156
0.125
0.103
0.086
Babadan
0.008
0.124
-0.104
0.199
0.096
0.065
0.225
Citeureup
0.143
0.165
-0.202
0.404
0.060
0.024
0.134
Jongjing
0.008
0.144
-0.089
0.150
0.099
0.106
0.056
Kalen Petung
0.036
0.106
-0.206
0.239
0.169
0.124
0.196
Pamarayan
0.064
0.183
-0.244
0.240
0.184
0.192
0.122
Petir
0.053
0.107
-0.133
0.126
0.058
0.105
0.104
Pipitan
0.043
0.103
-0.207
0.746
0.130
0.117
0.173
Ciboleger
0.972
0.032
-0.057
0.031
0.072
0.069
0.076
Gn. Tunggal
0.138
0.135
-0.097
0.157
0.201
0.098
0.790
Gardu Tanjak
0.045
0.843
-0.097
0.089
0.171
0.192
0.115
Pasir Ona Sampang Peundeuy Cisalak
0.120
0.229
-0.200
0.097
0.173
0.795
0.096
0.114
0.182
-0.139
0.103
0.825
0.156
0.178
0.038
0.106
-0.132
0.077
0.064
0.177
0.135
Stasiun
Factor7
33 Toge
0.098
0.058
-0.096
0.063
0.061
0.089
0.104
Cikasungka
0.015
0.132
-0.239
0.064
0.141
0.162
0.067
Ranca Sumur
0.097
0.108
-0.801
0.184
0.148
0.196
0.093
Factor15
Factor16
Factor17
Factor18
Factor19
Factor20
Bojong Manik
0.140
0.048
-0.053
0.023
-0.037
0.009
Cimarga
0.735
0.152
-0.085
0.050
-0.055
0.016
Ciminyak Cilaki
0.096
0.075
-0.036
0.055
-0.017
0.004
Ragas Hilir
0.016
0.081
-0.060
0.025
-0.031
-0.162
Babadan
0.062
0.070
-0.105
0.057
-0.073
0.016
Citeureup
0.135
0.142
-0.121
0.043
-0.524
0.023
Jongjing
0.136
0.135
-0.077
0.063
-0.082
0.340
Kalen Petung
0.164
0.121
-0.580
0.050
-0.090
0.016
Pamarayan
0.182
0.691
-0.076
0.037
-0.066
0.017
Petir
0.102
0.111
-0.061
0.007
-0.049
0.012
Pipitan
0.084
0.176
-0.101
0.035
-0.084
0.013
Ciboleger
0.074
0.028
-0.012
0.006
-0.027
0.000
Gn. Tunggal
0.097
0.087
-0.081
0.034
-0.045
0.005
Gardu Tanjak
0.122
0.106
-0.043
0.055
-0.047
0.011
Pasir Ona Sampang Peundeuy Cisalak
0.127
0.128
-0.055
0.076
-0.011
0.010
0.141
0.113
-0.066
0.062
-0.022
0.008
0.155
0.087
-0.067
0.035
-0.055
0.003
Toge
0.085
0.061
-0.020
0.010
-0.016
0.008
Cikasungka
0.081
0.051
-0.044
0.602
-0.030
0.012
Ranca Sumur
0.076
0.156
-0.083
0.103
-0.062
0.008
Stasiun
34 Lampiran 3 Curah hujan persamaan rata-rata DAS Ciujung-Cidurian tahun 19982008 Tahun 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Rata-rata
Jan 190 314 248 345 328 171 267 340 337 209 238 272
Feb 247 250 277 376 360 304 274 258 192 235 357 284
Mar 224 147 193 200 153 224 261 197 246 241 188 207
Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 240 212 129 105 131 77 143 151 194 117 78 52 76 59 52 135 134 214 148 216 97 69 44 97 101 113 114 173 201 138 165 60 142 102 154 100 190 82 72 119 10 25 36 149 150 187 134 46 23 16 83 204 109 248 274 131 83 100 38 99 110 142 235 137 137 193 115 83 123 151 234 266 148 159 61 19 4 28 39 127 214 158 143 140 64 39 18 68 45 163 142 108 70 7 110 69 184 215 181 174 146 98 78 54 74 116 143 189
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manggar, Belitung Timur pada tanggal 24 April 1991 sebagai putri pertama dari pasangan Akhmad Marwie dan Basni. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 4 Manggar pada tahun 2003-2006. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Manggar pada tahun 2006 dan lulus pada tahun 2009. Pada tahun yang sama, penulis mendapatkan bantuan beasiswa pendidikan dari Dinas Pendidikan Pemerintah Kabupaten Belitung Timur untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi sehingga melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan Daerah) penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) sebagai anggota Departemen Sains dan Aplikasi pada periode 2010-2011. Pada periode 2011-2012, penulis menjadi Bendahara Umum HIMAGRETO. Penulis pernah magang di Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) Bandung pada semester 6 selama satu bulan. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Meteorologi Fisik.