Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 21 November 2015 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor
ANALISA KARAKTERISTIK CURAH HUJAN DIURNAL DI STASIUN METEOROLOGI SANGKAPURA-BAWEAN DAN STASIUN METEOROLOGI CITEKO-BOGOR BERDASARKAN PENGARUH REGIONAL DAN LOKAL *
Nanda Alfuadi , Shanas Septy Prayuda Prodi Meteorologi, Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Abstrak. Di Indonesia zona pola curah hujan terbagi menjadi 3, yaitu monsunal, equatorial, dan lokal. Pembagian pola ini sangat dipengaruhi posisi geografis masing-masing zona. Karena keberagaman posisi geografis ini seharusnya wilayah-wilayah yang memiliki pola curah hujan sama secara bulanan tidak selalu memiliki pola curah hujan diurnal yang sama pula. Untuk mengetahui lebih jauh tentang hal tersebut, pada penelitian ini dilakukan analisa data curah hujan 3 jam-an pada Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean yang berada di Pulau Bawean dan Stasiun Meteorologi Citeko Bogor yang berada di wilayah dataran tinggi. Metode yang digunakan adalah analisa curah hujan 3 jam-an yang dijumlah setiap 3 bulan (DJF, MAM, JJA, dan SON) dan dikaitkan dengan faktor regional (monsoon) dan lokal (land breeze, sea breeze, anabatic, katabatic). Berdasarkan hasil analisa curah hujan 3 jam-an, terdapat korelasi negatif antara data dari Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean dan Stasiun Meteorologi Citeko Bogor dengan nilai koefisien korelasi tertinggi pada bulan DJF dan korelasi terendah pada bulan MAM. Pada bulan DJF di daerah Sangkapura Bawean hujan lebih dominan terjadi pada dini hari (jam 22.00 – 00.00 UTC) yang merepresentasikan kondisi cuaca marine (laut). Sedangkan di daerah Citeko Bogor lebih dominan pada siang hari (jam 07.00 – 09.00 UTC) yang merepresentasikan kondisi cuaca kontinen (darat) pada dataran tinggi. Pengaruh lokal berperan dalam pembentukan pola curah hujan diurnal, dimana untuk Citeko Bogor pengaruh lokalnya lebih kuat dibandingkan dengan Sangkapura Bawean. Kata kunci: hujan, diurnal, Citeko, Bawean Abstract. In Indonesia zones rainfall patterns are divided into three, namely the monsoon, equatorial, and local. The division of this pattern strongly influenced the geographical position of each zone. Because of the diversity of geographical position is supposed to be the areas that have the same pattern of monthly rainfall does not always have a diurnal pattern of rainfall equally. To know more about this, on this research, analysis of rainfall data three hours late on Bawean Sangkapura Meteorological Station on the island of Bawean and Meteorological Station Citeko Bogor, which is in the highlands. The method used is the analysis of rainfall 3-hourly are added up every 3 months (DJF, MAM, JJA, and SON) and associated with regional factors (monsoon) and local (land breeze, sea breeze, Anabatic, katabatic). Based on the analysis of rainfall three hours late, there is a negative correlation between the data from the Meteorological Station Meteorological Station Sangkapura Citeko Bawean and Bogor with the highest correlation coefficient in DJF and lowest correlation in MAM. In DJF in the area Sangkapura Bawean more dominant rainfall occurred in the early morning (at 22:00 to 00:00 UTC), which represents the marine weather conditions (sea). While in the area of Bogor Citeko more dominant during the day (hours 7:00 a.m. to 09:00 UTC), which represents the continent weather conditions (surface) on the plateau. Local influence was instrumental in the formation of precipitation diurnal patterns, where to Citeko Bogor local influence is stronger than the Sangkapura Bawean. Keywords: rain, diurnal, Citeko, Bawean
*
email :
[email protected]
FB-56
FB-57
Nanda Alfuadi dan Shanas Septy Prayuda
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara maritim dengan ciri khas daratannya yang dikelilingi laut, selain itu Indonesia juga menjadi negara yang dilalui oleh equator geografis dan equator meteorologi. Kondisi ini menyebabkan Indonesia menjadi bagian penting dalam dinamika monsun Asia dan Australia. Selain itu, hal ini juga memungkinkan Indonesia memiliki 3 pola curah hujan, yaitu monsun, equatorial, dan lokal untuk beberapa wilayah. Pola curah hujan ini didasarkan pada jumlah curah hujan tiap bulan yang dianalisa dalam bentuk grafik selama satu tahun sehingga didapatkan pola-pola sinusoidal. Pembagian wilayah-wilayah berdasarkan pola curah hujannya terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta pola curah hujan di Indonesia
Menurut Prof. Edvin Aldrian (2008), Sifat besarnya nilai panas spesifik dari air dibandingkan tanah dan udara adalah penyebab utama kenapa lautan menghangat lebih lambat daripada daratan atau udara dan juga mendingin lebih lambat. Dibandingkan dengan daratan terdekat, lautan tidak akan memanas lebih tinggi daripada daratan di siang hari dan juga tidak akan mendingin lebih dari daratan di malam hari. Sehingga dapat dikatakan suhu dari massa udara lebih dipengaruhi oleh permukaan dimana udara tersebut diam atau bergerak. Berdasarkan hal tersebut, dapat ditarik sebuah pemikiran bahwa karena keberagaman posisi geografis dan topografi pada masing-masing daerah, tentu ada perbedaan pada wilayah-wilayah yang memiliki pola hujan monsunal sama. Hal ini karena suhu udara adalah salah faktor yang sangat mempengaruhi tingkat penguapan yang nantinya akan berimplikasi pada jumlah pembentukan awan dan curah hujan. Ini berarti wilayah kontinen (daratan) dan pulau kecil yang mewakili iklim marine (laut) meskipun memiliki pola curah hujan yang sama dimungkinkan memiliki pola diurnal yang berbeda. Selain itu, elevasi juga sangat berpengaruh pada curah hujan baik dalam hal kuantitas maupun waktu puncaknya. Pada penelitian parameter cuaca di wilayah Papua pada berbagai elevasi oleh Donaldi Sukma Permana (2011) menunjukkan bahwa data AWS PTFI yang ditempatkan di Stasiun Meteorologi Timika
Analisa Karakteristik Curah Hujan Diurnal Di Stasiun Meteorologi……
FB-58
menunjukkan bahwa total curah hujan tahunan saat malam hari (06:00 sore 06:00 pagi) lebih tinggi daripada saat siang hari (06:00 pagi - 06:00 sore) pada elevasi dibawah ~600 mdpl. Sebaliknya, diatas ~600 mdpl, total curah hujan tahunan saat siang hari lebih tinggi daripada saat malam hari. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh rentang kelembapan relatif harian yang lebih besar pada elevasi dibawah ~600 mdpl daripada diatasnya. Dibawah elevasi ~600 mdpl, kelembapan relatif rata-rata saat malam hari lebih tinggi dari pada saat siang hari, yang menyebabkan kemungkinan curah hujan pada malam hari lebih tinggi. Sedangkan diatas 600 mdpl, rentang kelembapan relatif harian semakin mengecil. Tambahan uap air dari transpirasi tanaman saat siang hari juga memicu tingginya curah hujan siang hari dibandingkan dengan saat malam hari. Untuk mengetahui perbedaan karena pengaruh kondisi geografis tersebut, penelitian ini mengkaji variasi diurnal dari curah hujan di 2 tempat dengan kondisi geografis yang sangat berbeda yakni Stasiun Meteorologi Citeko Bogor dan Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean. Berikut ini adalah peta lokasi kedua stasiun meteorologi tersebut.
Gambar 2. Lokasi Stasiun Meteorologi Citeko Bogor
Gambar 3. Lokasi Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean
Stasiun Meteorologi Citeko Bogor terletak pada titik kordinat 06° 41.872’ LS, 106° 41.872’ BT dan berada pada elevasi 994 m. Stasiun ini terletak di Desa Citeko, Cisarua, Kab Bogor yang berada di lereng Utara Gunung Gede (2958 mdpl) seperti terlihat pada Gambar 2. Pada Gambar 3 terlihat bahwa Stasiun Meteorologi Sangkapuran Bawean terletak di Pulau Bawean yang memiliki koordinat 05o 51’ 3,862” LS ; 112o 39’ 28,662” BT dengan elevasi 3 m. Stasiun ini berada pada pesisir selatan Pulau Bawean.
FB-59
Nanda Alfuadi dan Shanas Septy Prayuda
Pulau yang berjarak sekitar 81 mil ke utara dari Jawa Timur memiliki luas sekitar sekitar 194,11 km2. Terdapat bukit di tengah pulau ini dengan ketinggian tidak lebih dari 500 m. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lokal dan regional terhadap curah hujan diurnal di Citeko dan Bawean agar menjadi bahan pemikiran dalam rangka mitigasi bencara yang disebabkan oleh jumlah curah hujan ekstrem yang terjadi di Citeko dan Bawean. Hal ini mengingat jumlah curah hujan di Citeko merupakan salah satu prediktor kejadian banjir Jakarta dan Bawean merupakan pulau kecil yang memiliki akses luar pulau kurang bagus jika terjadi bencana hidrometeorologis. 2. Metode Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data curah hujan Stasiun Meteorologi Sangkapura Bawean dan Stasiun Meteorologi Citeko Bogor pada Desember 2011 hingga November 2013. Alasan penentuan dua tahun ini sebagai rentang waktu data penelitian karena pada akhir tahun 2011 hingga akhir 2013 tidak terdapat fenomena El Nino ataupun La Nina. Sesuai dengan grafik ENSO yang dirilis BMKG untuk Prediksi ENSO oleh 3 Institusi Internasional dan BMKG (update 10 April 2014) seperti pada Gambar 4 berikut ini.
Gambar 4. Grafik indeks Nino
Hal ini ditujukan untuk meminimalkan pengaruh gangguan atmosfer yang terjadi, mengingat bahwa pengaruh ENSO sangat kuat terhadap curah hujan di Indonesia. Dan penulis membatasi gangguan skala global hanya pada pengaruh ENSO saja. Untuk mengetahui pola hujan di Bawean dan Citeko, pada tulisan ini dilakukan analisis deret waktu dari data curah hujan yaitu dengan analisis curah hujan yang ditakar setiap 3 jam. Dijumlah setiap 3 bulan (DJF, MAM, JJA, dan SON)
Analisa Karakteristik Curah Hujan Diurnal Di Stasiun Meteorologi……
FB-60
dan dikaitkan dengan faktor regional (monsun) dan lokal (land breeze, sea breeze, anabatic, katabatic). Untuk mengetahui pengaruh angin lokal yang ada digunakan analisa data angin permukaan per jam yang diklasifikasikan berdasarkan arah angin dengan menggunakan program windrose dengan pembagian 16 arah angin seperti pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. 16 arah angin
Pada Gambar 5 terlihat bahwa terdapat perbeda yang signifikan antara waktu dimana jumlah curah hujan mencapai nilai tertinggi pada wilayah Citeko dan Bawean. Pada pengukuran bulan Desember, Januari, dan Februari puncak jumlah curah hujan terjadi pada jam 21-00 UTC untuk wilayah Bawean dengan nilai 700,528 mm dan 06-09 UTC untuk wilayah Citeko dengan nilai 878,715 mm. Pada pengukuran bulan Maret, April, dan Mei waktu puncak jumlah curah hujan di Bawean terjadi pada jam 21-00 UTC dengan nilai 555,854 mm dan untuk wilayah Citeko masih terjadi pada jam 09-12 UTC dengan nilai 639,6 mm. Kondisi pada pengukuran jumlah curah hujan pada bulan Juni, Juli, dan Agustus juga masih menunjukkan pola yang hampir sama dengan pengukuran 2 triwulan sebelumnya, namun waktu puncak jumlah curah hujan di Bawean mengalami pergeseran menjadi jam 00-03 UTC dengan nilai 190,108 mm, sedangkan untuk jumlah curah hujan di Citeko masih tetap pada kisaran waktu 09-12 UTC dengan nilai 221,895 mm. Pola ini masih bertahan hingga pada pengukuran pada bulan September, Oktober, dan November namun dengan nilai yang berbeda, yakni untuk puncak jumlah curah hujan di Bawean bernilai 156,914 mm dan di Citeko bernilai 639,1 mm.
FB-61
Nanda Alfuadi dan Shanas Septy Prayuda
3. Hasil dan Pembahasan a. Data Curah Hujan Data jumlah curah hujan 3 jam-an yang diakumulasi selama tahun 2012-2013 dan diklasifikasi tiap 3 bulan pada pengukuran di wilayah Citeko dan Bawean terlihat pada gambar berikut ini. DJF
1000
MAM
800 Jumlah Curah Hujan (mm)
878,715
Jumlah Curah Hujan (mm)
800 700,528 600 400 200
619,618 639,6 600 555,854
400 200 0
0
21-00 00-03 03-06 06-09 09-12 12-15 15-18 18-21 Jam (UTC)
21-00 00-03 03-06 06-09 09-12 12-15 15-18 18-21 Jam (UTC)
BAWEAN
BAWEAN
CITEKO
(a)
JJA 221,895
250
SON
800
639,1
190,108
Jumlah Curah Hujan (mm)
Jumlah Curah Hujan (mm)
200
CITEKO
(b)
600
150
400
100
200
50
156,914
0
0 21-00 00-03 03-06 06-09 09-12 12-15 15-18 18-21 Jam (UTC)
BAWEAN
(c) Gambar 5 :
CITEKO
a. b. c. d.
21-00 00-03 03-06 06-09 09-12 12-15 15-18 18-21 Jam (UTC)
BAWEAN
CITEKO
(d) Jumlah curah hujan Desember, Januari, dan Februari Jumlah curah hujan Maret, April, dan Mei Jumlah curah hujan Juni, Juli, dan Agustus Jumlah curah hujan September, Oktober, dan November
Berdasarkan data perbandingan tersebut terlihat bahwa pola data jumlah curah hujan tiap triwulan berdasarkan waktu pengukuran tiap 3 jam di Bawean dan Citeko relatif tetap. Secara umum waktu puncak jumlah curah hujan di Bawean terjadi pada pagi hari sedangkan di Citeko terjadi pada siang hingga sore hari. Perbedaan waktu ini sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis di kedua lokasi penelitian tersebut. Citeko yang berada di wilayah dataran tinggi, distribusi temporal curah hujannya sangat dipengaruhi oleh angin gunung (katabatic) dan angin lembah (anabatic). Angin lokal inilah yang akan membawa massa udara naik atau turun. Posisi Citeko yang berada di barat laut Gunung Gede membuat angin ketika pagi hingga siang hari berasal dari arah barat laut yang merepresentasikan angin lembah. Angin lembah ini akan bergerak menyusuri lereng menuju puncak G. Gede. Udara basah (uap air) yang dipaksa naik/terbawa bersama angin lembah ini. Keberadaan angin lokal seperti ini dapat menjadi
Analisa Karakteristik Curah Hujan Diurnal Di Stasiun Meteorologi……
FB-62
penguat monsun memperkuat efek orografik sehingga menyebabkan curah hujan berlimpah di tanah-tanah yang tinggi pada lereng di atas angin. Efek orografik meningkatkan jumlah curah hujan hingga di sekitar ketinggian 1000 m seperti di daerah Citeko. Angin lembah yang terjadi dominan pada siang hari ini akan membentuk awan pada siang hingga sore hari. Pada masa monsun Asia aktif (DJF), jumlah curah hujan akan mencapai nilai tertinggi dalam satu tahun karena terjadi penguatan angin lembah oleh angin dari Laut Karimata sehingga massa udara yang terangkat akan semakin banyak. Pola diurnal curah hujan di Bawean yang memiliki waktu puncak jumlah curah hujan pada pagi hari sebelum matahari terbit pada bulan Desember hingga Mei (DJF dan MAM) dan jam 07.00 hingga 10.00 WIB pada bulan Juni hingga November (JJA dan SON) merupakan ciri dari variasi diurnal curah hujan di wilayah lautan. Hal ini karena pada wilayah lautan pembentukan awan paling intensif terjadi bukan pada saat laut dikenai pemanasan oleh radiasi sinar matahari namun ketika malam hari. Energi kalor yang diterima oleh lautan pada siang hari lebih banyak digunakan untuk menaikkan suhu lautan lapisan permukaan daripada untuk penguapan karena kapasitas panas laut yang cukup besar. Kapasitas panas yang cukup besar ini akan membuat suhu muka laut cukup stabil sehingga lambat panas dan lambat dingin dibandingkan dengan suhu di daratan. Hal ini mengakibatkan hasil penguapan akan mulai membentuk awan pada malam hari dan terus berlanjut hingga menjelang fajar terbit sehingga hujan dengan intensitas tertinggi terjadi pada pagi hari. b. Data Angin Permukaan Dengan membandingkan pola diurnal jumlah curah hujan Bawean dan Citeko, terdapat indikasi bahwa pengaruh lokal di Citeko terhadap jumlah curah hujan lebih besar daripada Bawean. Ini juga terbukti dari data angin permukaan selama tahun 2012-2013 yang terukur di Bawean dan Citeko seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Kondisi angin permukaan tahun 2012-2013 di Bawean dan Citeko
Bawean Bulan
DJF
MAM
Citeko
Waktu (UTC) 01-03
Arah Dominan (derajat) WSW
Prosentase Arah (%) 27,26
Arah Dominan (derajat) Calm/W
Prosentase Arah (%) 35,91/15,84
04-06 07-09 10-12 13-15 16-18 19-21 22-00 01-03
WSW WSW W Calm/WNW Calm/W Calm/WNW Calm/WNW Calm/ESE
27,81 33,52 29,28 29,83/28,18 30,39/15,65 28,73/27,44 30,02/22,84 17,39/14,49
W Calm/W Calm/W Calm/W Calm/W Calm/W Calm/W Calm/WNW
22,84 22,65/19,89 52,85/10,68 73,35/4,96 76,01/6,27 78,09/5,89 70,09/6,24 32,97/13,41
04-06 07-09 10-12 13-15 16-18 19-21 22-00
ESE E Calm/E Calm/E Calm/E Calm/E Calm/E
13,95 13,40 30,07/15,58 36,05/14,49 36,41/12,14 45,65/11,77 35,87/13,23
W Calm/W Calm/W Calm/W Calm/SSE Calm/S Calm/SSE
23,37 19,93/19,38 54,17/7,43 69,20/3,80 77,86/3,99 76,81/3,98 73,91/4,71
FB-63
JJA
SON
Nanda Alfuadi dan Shanas Septy Prayuda
01-03
ESE
29,71
Calm/WNW
35,33/13,95
04-06 07-09 10-12 13-15 16-18 19-21 22-00 01-03
ESE E E E E E E SE
26,81 28,62 42,57 44,20 40,22 30,80 27,54 22,34
W W Calm/W Calm/SSE Calm/SSE Calm/SSE Calm/SSE Calm/WNW
21,28 18,66 52,54/10,87 81,88/5,07 82,58/4,17 81,16/3,80 76,27/7,79 26,56/16,48
04-06 07-09 10-12 13-15 16-18 19-21 22-00
SE ESE E E E E Calm/ESE
25,64 23,08 38,09 39,93 39,93 25,28 24,54/17,95
W Calm/WNW Calm/W Calm/E Calm/SSE Calm/SSE Calm/SSE
22,16 24,54/14,47 55,13/7,33 79,67/3,11 80,40/3,85 82,97/3,48 77,84/5,31
Berdasarkan Tabel 1, kondisi arah angin permukaan di wilayah Bawean memiliki variasi seasonal (bulanan) sedangkan di wilayah Citeko arah angin memiliki variasi diurnal (harian). Kondisi ini disebabkan oleh posisi geografis dari kedia temapat tersebut. Variasi seasonal merupakan karakteristik parameter cuaca yang ada pada laut lepas atau pulau kecil. Hal ini sesuai dengan kondisi Bawean yang merupakan pulau kecil tanpa ada gunung dengan puncak yang tinggi dan terletak di lautan yang luas (Laut Jawa) sehingga potensi untuk terjadinya angin darat, angin laut, angin gunung, angin lembah, serta pengaruh lokal lainnya tidak begitu signifikan. Pengaruh lokal yang tidak signikan ini terlihat dari variasi arah angin yang berubah mengikuti perubahan angin monsun sehigga dapat dikatakan variasi arah angin di Bawean merupakan variasi seasonal, bukan variasi harian (bervariasi dengan jelas dalam satu hari) atau variasi diurnal. Kondisi ini berbeda dengan wilayah Citeko yang berada pada wilayah daratan di lereng gunung dengan elevasi mendekati 1000 mdpl. Dengan posisi geografis yang seperti itu, pengaruh atmosfer dalam skala lokal sangat mempengaruhi fluktuasi nilai parameter cuaca yang ada di Citeko, termasuk angin. Hal ini karena pada wilayah pegunungan terdapat angin gunung dan angin lembah yang bervariasi diurnal. Pengaruh angin lokal yang cukup signifikan ini terlihat pada variasi arah angin pada Tabel 1 yang menunjukkan variasi diurnal yang jelas kecuali pada bulan DJF. Selama bulan DJF, variasi diurnal arah angin di wilayah Citeko kurang terlihat karena pada bulan-bulan tersebut merupakan puncak terjadinya angin muson sehingga terjadi dominasi oleh angin yang bergerak dari Laut Karimata menuju ke selatan. Dominasi inilah yang menyebabkan pengaruh lokal yang biasanya terjadi akan mengalami atenuasi. 4. Kesimpulan 1. Secara rata-rata puncak jumlah curah hujan di wilayah Sangkapura Bawean terjadi pada jam 21-00 UTC dan 06-09 UTC untuk wilayah Citeko Bogor. 2. Posisi geografis dari Bawean dan Citeko sangat mempengaruhi jumlah curah hujannya.
Analisa Karakteristik Curah Hujan Diurnal Di Stasiun Meteorologi……
FB-64
3. Variasi jumlah curah hujan di Sangkapura Bawean lebih karena pengaruh regional (monsun) sedangkan di Citeko pengaruh lokal berupa angin gunung-lembah lebih kuat. 4. Tidak semua wilayah yang sama-sama memiliki pola hujan monsunal akan juga memiliki pola hujan diurnal yang sama. 5. Cuaca di Citeko merepresentasikan cuaca lereng gunung dan cuaca di Bawean merepresentasikan cuaca lautan. Daftar Pustaka 1. Aldrian, Edvin. 2008. Meteorologi Laut Indonesia. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 2. Cloud Formation (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/print_2.htm, diakses 8 Maret 2015). 3. Mason, B.J.. 1971. The Physics of Cloud.London: Oxford University Press. 4. Permana, Donaldi Sukma. 2011. Analisis Data Meteorologi Dari Pemantau Cuaca Otomatis Berbagai Elevasi Dan Data Radiosonde Di Papua. Jurnal Meteorologi dan Geofisika vol. 12 No. 2 hal. 151 – 162. 5. Petterssen, Sverre. 1956. Weather Analysis and Forecasting 2nd Edition. New York: McGraw-Hill Book Company. 6. Pruppacher, Hans R., James D. Klett. 1980. Microphysic of Clouds and Precipitation. London: D. Riedel Publishing Company. 7. Ratag, Mezak A., Yusuf S.U. 2008. Dasar – Dasar Fisika Monsun. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 8. Tjasyono, Bayong. 2007. Meteorologi Indonesia 2 Awan dan Hujan Monsun. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 9. Unstable Atmosphere (http://www.meted.ucar.edu/fire/s290/unit6/print_4.htm, diakses 8 Maret 2015). 10. Winarso, Paulus Agus. 2011. Analisa Cuaca 1. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika. 11. Winarso, Paulus Agus. 2009. Analisa Cuaca II. Jakarta: Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika.