PENGGUNAAN EKSTRAK Allium sativum UNTUK PERAWATAN LUKA GIGITAN ULAR KOBRA
SKRIPSI “Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Sarjana Keperawatan”
Oleh : Pitriono NIM S10034
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, karena berkat rahmat Allah dan petunjuk-petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul : “Penggunaan Ekstrak Allium sativum Untuk Perawatan Luka Gigitan Ular Kobra” Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari bahwa tanpa dorongan, bimbingan dan motivasi-motivasi dari berbagai pihak niscaya penulis tidak akan mampu menulis skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada : 1. Ibu Dra. Agnes Sri Harti, M.Si, selaku ketua STIKes Kusuma Husada Surakarta, yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis. 2. Ibu Wahyu Rima Agustin, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku ketua Prodi S-1 Keperawatan, yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada semua mahasiswanya. 3. Bapak Prof. Dr. Hermanu Joebagio, M. Pd, selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dan arahan penulis dengan penuh kesabaran, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 4. IbuHappy Indri Hapsari, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan juga bagi penulis dengan penuh kesabaran, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 5. Bapak Oktavianus, S.Kep., Ns, selaku pembimbing dalam penyusunan proposal skripsi yang telah membimbing dengan penuh kesabaran dan memberikan motivasi bagi penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 6. Bapak dan Ibu selaku Pakar atau ahli kimia yang telah berperan penting dalam penelitian ini, sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 7. Bapak dan Ibu Dosen STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan segenap ilmu dan pengalamanya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 8. Ibu Novalia Eka Pratiwi, AMK, selaku ketua Laboratorium STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah berkenan memberikan izin penelitian di laboratorium tersebut, sehingga penulis dapat dengan mudah melakukan penelitian. 9. Bapak Drs.Supriyanto, MPD, selaku Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soediran Mangun Sumarso Kabupaten Wonogiri yang telah berkenan dalam memberikan izin penulis untuk mendapatkan angka kejadian kasus
iv
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
SURAT PERNYATAAN
iii
KATA PENGANTAR
iv
DAFTAR ISI
vi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv xv
ABSTRAK ABSTRACT BAB I
xvi
PENDAHULUAN
1
1.1 Latar Belakang
1
1.2 Rumusan Masalah
3
1.3 Tujuan Penelitian
4
1.3.1. Tujuan Umum
4
1.3.2. Tujuan Khusus
4
1.4 Manfaat Penelitian
4
1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti
4
1.4.2. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
5
1.4.3. Manfaat Bagi Masyarakat
5
vi
1.4.4. Manfaat Bagi Peneliti Lain
BAB II
1.5 Keaslian Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
8
2.1 Konsep Teori
8
2.1.1. Bawang Putih
8
2.1.1.1. Klasifikasi Bawang Putih (Allium sativum)
8
2.1.1.2. Kandungan Kimia Bawang Putih
10
2.1.2. Ekstraksi
12
2.1.2.1. Pengertian Ekstraksi
12
2.1.2.2. Ekstraksi Bawang Putih
13
2.1.3. Ular Kobra
BAB III
5
14
2.1.3.1. Kandungan Bisa Ular Kobra
16
2.1.3.2. Tanda Penderita Pasca Gigitan Ular
18
2.1.4. Mencit
20
2.1.5. Konsep Luka
23
2.1.5.1. Pengertian Luka
23
2.1.5.2. Klasifikasi Luka
23
2.1.5.3. Penyembuhan Luka
25
2.2 Kerangka Berfikir
28
METODOLOGI PENELITIAN
29
3.1. Tempat Penelitian
29
vii
3.2. Waktu Penelitian
29
3.3. Bentuk dan Strategi Penelitian
29
3.4. Sumber Data
30
3.4.1. Informan
30
3.4.2. Tempat dan Peristiwa
30
3.4.3. Dokumen
32
3.5. Teknik Pengumpulan Data
BAB IV
33
3.5.1. Wawancara Mendalam
32
3.5.2. Observasi
33
3.5.3. Analisis Dokumen
34
3.6. Teknik Sampling
34
3.7. Validitas Data
35
3.7.1. Trianggulasi Sumber
36
3.7.2. Trianggulasi Metode
37
3.7.3. Trianggulasi Peneliti
37
3.7.4. Trianggulasi Teori
37
3.8. Analisis Data
38
3.9. Alir Penelitian
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
41
4.1. Lokasi Penelitian
41
4.2. Sajian Data
42
4.2.1. Mencit 1 (M1)
44
viii
4.2.2. Mencit 2 (M2)
44
4.2.3. Mencit 3 (M3)
45
4.2.4. Mencit 4 (M4)
46
4.2.5. Mencit 5 (M5)
46
4.2.6. Mencit 6 (M6)
47
4.2.7. Mencit 7
48
4.2.8. Mencit 8
48
4.2.9. Mencit 9
49
4.2.10. Mencit 10
49
4.2.11. Mencit 11
50
4.2.12. Mencit 12
50
4.2.13. Mencit 13
50
4.2.14. mencit 14
51
4.2.15. Mencit 15
51
4.2.16. Mencit 16
52
4.2.17. Mencit 17
52
4.2.18. Mencit 18
52
4.3. Temuan Studi 4.3.1. Pertahanan
57 Kelangsungan
Hidup
Mencit
dengan
Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
57
ix
4.3.2. Timbulnya Edema Pada Kulit Mencit Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra dan Pemberian Terapi Ekstrak Cair Allium sativum
59
4.3.3. Timbulnya Luka (Kerusakan jaringan kulit) Pada Mencit Setelah Dilakukan Tusukan dan Olesan Bisa Ular Kobra
59
4.3.4. Kekuatan Ekstremitas Pada Mencit Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra dan Pemberian Terapi Ekstrak Cair Allium sativum
60
4.4. Pembahasan 4.4.1. Pertahanan
62 Kelangsungan
Hidup
Mencit
dengan
Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
62
4.4.2. Pencegahan Edema Pada Kulit Mencit dengan Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
70
4.4.3. Pencegahan Kerusakkan Jaringan Kulit Pada Mencit dengan Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
74
4.4.4. Pertahanan Fungsi Ekstremitas Pada Mencit dengan Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
76
x
BAB V
PENUTUP
80
5.1. Simpulan
80
5.1.1. Pertahanan
Kelangsungan
Hidup
Mencit
dengan
Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
80
5.1.2. Pencegahan Edema Pada Kulit Mencit dengan Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
81
5.1.3. Pencegahan Kerusakkan Jaringan Kulit Pada Mencit dengan Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
81
5.1.4. Pertahanan Fungsi Ekstremitas Pada Mencit dengan Pemberian Ekstrak Allium sativum Setelah Diinjeksi Bisa Ular Kobra
81
5.2. Implikasi Teori
82
5.3. Saran
84
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor Gambar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Judul Gambar
Halaman
Tanaman bawang putih (Allium sativum) Anatomi ular kobra bentuk luar Skema kelas fosfolipase Gigitan ular berbisa Gigitan ular tidak berbisa Skema gejala umum gigitan ular berbisa Mencit Skema fisiologi penyembuhan luka Skema kerangka berfikir Model Analisis Interaktif Miles & Huberman Skema Alir penelitian Uji aktivitas hemolisis pada darah Proses hemolisis di dalam pembuluh darah Proses denaturasi fosfolipase A2 oleh kandungan Allium sativum Jenis penyebab edema pada kulit
9 15 17 19 19 20 21 27 28 39 40 66 67 69
xii
72
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1 2 3 4 5 6
Judul Gambar Keaslian penelitian Pertahanan hidup mencit dengan injeksi bisa ular kobra 1 UI Edema pada mencit dengan injeksi bisa ular kobra 1 UI Luka (kerusakan jaringan kulit) pada mencit dengan tusukkan dan olesan bisa ular kobra Gangguan fungsi ekstremitas pada mencit dengan injeksi bisa ular kobra 1 UI Perubahan gerak ekstremitas setelah injeksi Allium sativum (5 menit setelah injeksi bisa)
xiii
Halaman 6 53 54 55 55 56
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Keterangan Jadwal Penelitian Lembar usulan topik penelitian (F.01) Lembar pengajuan judul skripsi (F.02) Lembar pengajuan ijin studi pendahuluan (F.04) Lembar oponent ujian sidang proposal skripsi (F.05) Lembar audience ujian sidang proposal skripsi (F.06) Permohonan pengantar untuk studi pendahuluan penelitian Surat rekomendasi tentang penelitian Nota dinas RSUD dr.Soediran Mangun Sumarso Wonogiri Lembar tanda bukti penerimaan laporan angka kejadian kasus Surat permohonan ijin pembuatan ekstrak Surat keterangan pembuatan ekstrak Surat keterangan penggunaan binatang uji coba Surat permohonan ijin mengunjungi perpustakaan Lembar pengajuan ijin penelitian (F.07) Surat ijin penelitian SOP injeksi bisa ular kobra pada mencit SOP pembuatan luka gigitan ular kobra pada mencit SOP pemberian terapi ekstrak Allium sativum Surat pernyataan bersedia berpartisipasi sebagai informan penelitian Hasil wawancara dan diskusi Pakar 1 Hasil wawancara dan diskusi Pakar 2 Analisis data berdasarkan tema Dokumentasi penelitian Surat keterangan tempat penelitian Lembar konsultasi laporan Skripsi
xiv
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
Pitriono Penggunaan Ekstrak Allium sativum Untuk Perawatan Luka Gigitan Ular Kobra Abstrak
Kematian akibat gigitan hewan berbisa sering dikarenakan oleh gigitan ular. Masyarakat yang tinggal jauh dari instasi kesehatan dalam beberapa kasus mengalami kelangkaan antivenom. Bawang putih (Allium sativum) diharapkan dapat menghambat dampak dari bisa ular kobra (Fosfolipase A2). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan ekstrak Allium sativum terhadap penyembuhan luka akibat gigitan ular. Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif klinis dengan desain “Case Study” yang menggunakan mencit sebagai binatang percobaan dengan pemberian injeksi dan tusukkan yang disertai olesan bisa ular kobra. Hal-hal yang diobservasi : lama pertahanan hidup mencit, edema, luka, dan kekuatan ekstremitas. Hasil uji coba didiskusikan dengan 2 orang pakar kimia dan analisis yang digunakan adalah model analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak cair Allium sativum dengan dosis 3 mg mampu memperpanjang hidup mencit yang telah diinjeksi bisa ular kobra. Ekstrak cair Allium sativum mampu merubah warna edema pada kulit mencit dari hitam menjadi pucat. Kecepatan ekstrak krim dari Allium sativum dalam menyembuhkan luka lebih lambat dibandingkan luka yang tanpa pemberian terapi ekstrak. Kekuatan ekstremitas mencit dipengaruhi oleh sistem imun mencit tersebut dan memperoleh dukungan dari kandungan antioksidan Allium sativum. Penyembuhan luka akibat gigitan ular kobra dengan menggunakan ekstrak krim Allium sativum tidak efektif untuk menyembuhkan luka, tetapi ekstrak cair Allium sativum mampu mengatasi gejala gigitan ular kobra sebelum terjadinya luka. Kata Kunci : Bisa Ular Kobra, Allium sativum, Ekstrak dan Luka Daftar pustaka : 42 (1999-2013)
xv
BACHELOR DEGREE PROGRAM IN NURSING SCIENCE KUSUMA HUSADA SCHOOL OF HEALTH OF SURAKARTA 2014
Pitriono THE USE OF ALLIUM SATIVUM EXTRACT TO TREAT COBRA SNAKE BITE WOUNDS Abstract
The mortality due to the bites of venomous animals is more frequently caused by snakebite. The communities living far away from the health installation in several cases experience the scarcity of antivenoms. Garlic (Allium sativum) is expected to inhibit the impact of the cobra venom (Fosfolipase A2). The objective of this research is to prove the effectiveness of the Allium sativum extract on the healing of cobra bite wounds. This research used the qualitative clinical research method with the case study design. The subjects of the research were mice as experimental animals by giving injection and puncture accompanied with the spread of cobra venom on it. The matters observed included survival length, edema, wound, and strength of extremities of the mice. The result of the observation was then discussed with two experts in khemistry. The data of the research were analyzed by using the interactive model of analysis. The result of the research shows that the Allium sativum liquid extract with dosage 3 mg can extend the lifespan of the mice following the injection with cobra venom. The Allium sativum liquid extract is able to change the color of edema on the skin of the mice from black to pale. The wounds exposed to the Allium sativum cream extract get recovered more slowly than the ones without any treatment of the extract. The strength of extremities of the mice is affected by their immune system and gets the support of the antioxidant content of the Allium sativum. The use of the Allium sativum cream extract is not effective to heal the cobra snake bite wounds, but the Allium sativum liquid extract is able the deal with the cobra bite symptoms prior to the wounds. Keywords: Cobra venom, Allium sativum, Extract and Wounds. References: 42 (1999-2013)
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kematian akibat gigitan hewan berbisa sering dikarenakan oleh gigitan ular. Kematian dan luka akibat gigitan ular berbisa terjadi di hampir seluruh bagian dunia, terutama di bagian dunia yang beriklim tropis. Kasus gigitan ular yang dilaporkan diseluruh dunia diperkirakan mencapai 300.000 orang per tahun, dengan angka kematian mencapai 50.000 sampai 100.000 orang. Angka kematian akibat gigitan ular sangat tinggi di Burma, India, Philipina, Sri Langka, dan Thailand. Kasus gigitan ular di Asia Tenggara biasanya terjadi pada petani padi, pekerja perkebunan karet, perkebunan kopi, dan nelayan (Yanuartono 2008). Penyebaran ular yang tersebar di kepulauan indonesia sekitar 350 spesies. Ular sedari dulu telah menjadi ketakutan tersendiri di masyarakat Indonesia, bukan hanya karena terkait dengan hal-hal yang mistis saja, melainkan karena pengetahuan masyarakat akan penanganan gigitan ular sangat minim. Masyarakat Indonesia akan lebih mudah mengenal ular berbisa, karena hanya 10 % saja dari total spesies yang ada di Indonesia yang berbisa tinggi dan mematikan dan 10 % itu yang mengakibatkan kematian hanya beberapa spesies saja, karena sebagian sangat jarang bersinggungan dengan manusia secara langsung (Rahadian 2012). Buku
1
2
yang dipublikasikan oleh WHO (2010) yang berjudul “Guidelines for management of snake bites” menuliskan bahwa Indonesia hanya mencatat 20 kematian per tahun akibat gigitan ular (Warrel 2010). Hasil dari studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri dari data rekam medik dalam 6 tahun terakhir, terhitung sejak tahun 2008 sampai 2013 jumlah kasus gigitan ular sebanyak 63 orang. Kasus meningkat pada tahun 2012 yaitu sebanyak 23 kasus gigitan ular. Gigitan ular seringkali menimbulkan gejala pada tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang dapat terjadi dalam beberapa menit, bisa akan menjalar ke proksimal, selanjutnya terjadi edem dan ekimosis. Pada kasus berat dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan otot dan kejang (Niasari 2003). Tenaga medis seringkali menggunakan serum anti bisa ular (SABU) atau antivenom untuk menangani korban dengan gigitan ular. Akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan dalam beberapa kasus mengalami kelangkaan antivenom, sering menyebabkan hasil yang buruk sehingga morbiditas dan mortalitas meningkat.Banyak korban gagal mencapai rumah sakit atau mencari perawatan medis setelah penundaan yang cukup lama karena mereka pertama kali mencari pengobatan dari dukun.Korban bahkan meninggal sebelum mencapai rumah sakit (WHO 2013).Beberapa orang mengatakan mereka sering menggunakan obat herbal yaitu bawang putih (Allium sativum) untuk mengobati luka akibat
3
gigitan ular. Bawang putih (Allium sativum) merupakan salah satu alternatif dalam mengobati gigitan ular berbisa, karena banyak mengandung zat antioksidan yang mampu menetralisir bisa ular yang masuk kedalam tubuh. Karen Evvenett (2006) menuliskan bahwa kandungan mineral bawang putih meliputi salenium, natrium, kalium, zat besi, kobalt, zink, nitrogen, kalsium, kromium, sulfur, magnesium, fosfor, tembaga, dan yodium. Bawang putih mengandung vitamin-vitamin, seperti A, B1, B2, dan C, serta merupakan antioksidan yang baik. Jenis bisa ular kobra termasuk dalam golongan hemotoksin dan neurotoksin (Rahadian 2012). Komponen bisa ini termasuk fosfolipase A2 (Greenberg dan Hendrickson 2004). Satwika (2010) menuliskan bahwa fosfolipase A2 dapat diinhibisi oleh zink, barium, dan ion mangan. Uraian diatas melandasi peneliti untuk melakukan penelitian tentang penggunaan ekstrak Allium sativum untuk perawatan luka gigitan ular kobra.
1.2
Rumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.2.1. Bagaimana Ekstrak Allium sativum dapatmempertahankan kelangsungan hidup mencit setelah diinjeksi bisa ular? 1.2.2. Mengapa pemberian Ekstrak Allium sativum dapat mencegah edema pada kulit mencit?
4
1.2.3. Bagaimana Ekstrak Allium sativum dapat menghambat kerusakan jaringan kulit pada mencit? 1.2.4. Bagaimana Ekstrak Allium sativum dapat mempertahankan fungsi ekstremitas pada mencit?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) terhadap penyembuhan luka akibat gigitan ular. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1.Untuk mendiskripsikan kandungan Allium sativum yang mempertahankan kelangsungan hidup mencit? 1.3.2.2.Untuk mendiskripsikan kandungan Allium sativum yang mencegah edema pada kulit mencit. 1.3.2.3.Untuk mendiskripsikan kandungan Allium sativum yang menghambat kerusakan jaringan kulit pada mencit. 1.3.2.4.Untuk
mendiskripsikan
kandungan
Allium
sativum
yang
dapat
mempertahankan fungsi ekstremitas pada mencit.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi peneliti Peneliti dapat mengetahui keberhasilan dari penelitian yang telah dilakukan. Peneliti juga dapat menambah pengetahuan tentang kandungan
5
ekstrak bawang putih. Apabila ekstrak bawang putih benar-benar telah terbukti dapat menyembuhkan luka bekas gigitan ular, hal ini dapat dikembangkan untuk dijadikan bahan obat darurat. 1.4.2 Manfaat bagi institusi pendidikan Menambah literatur tentang penelitian, sehingga dapat menambah pengetahuan bagi mahasiswa dalam institusi. Selain itu masyarakat akan mengenal nama institusi yang dibawa oleh peneliti. Sehingga masyarakat akan menganggap bahwa institusi telah memperhatikan kesehatan masyarakat. 1.4.3 Manfaat bagi masyarakat Menjadi sumber informasi terbaru jika penelitian ini benar-benar terbukti. Masyarakat tahu tentang pertolongan pertama yang harus dilakukan saat terjadi gigitan hewan berbisa dan masyarakat dapat mengaplikasikannya. 1.4.4 Manfaat bagi peneliti lain Peneliti lain dapat mengetahui hasil dari penelitian yang dilakukan serta dapat menambah pengetahuan peneliti tersebut. Selain itu penelitian dapat menjadi perbandingan bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian dengan topik yang sama. Peneliti lain juga dapat mengembangkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti.
6
1.5.
Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang terkait dengan “Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Untuk Perawatan Luka Gigitan Ular Kobra” diantaranya sebagai berikut : No . 1
Nama Peneliti Danar Dwi Anandika
Judul Penelitian Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Menurunkan Jumlah Leukosit pada Mencit Model Sepsis akibat Paparan Staphylococcu s aureus
Metode yang digunakan Penelitian ini bersifat eksperimenta l laboratorium dengan post test design with control group only.
2
Muslim, Hotly, & Widjajant i
Rancangan Acak Lengkap (RAL) 5 Perlakuan 3 Ulangan
3
Yosef Purwoko
Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Untuk Mengobati Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus ) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophylla Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Terhadap Respon Imun
Penelitian eksperimenta l dengan pendekatan The Post Test – Only Group
Hasil Penelitian Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih dengan dosis 4 mg mampu menurunkan jumlah leukosit dan menurunkan dalam kisaran stabil pada mencit yang telah diinduksi sepsis menggunakan Staphylococcus aureus. Ekstrak bawang putih dapat digunakan untuk mengobati penyakit bakterial pada benih ikan patin, khususnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri Aeromonashydrophyll a. Konsentrasi ekstrak bawang putih sebanyak 0,8 % memberikan hasil yang terbaik.
Pengaruh ekstrak bawang putih terbukti menurunkan koloni kuman Salmonella Typhimurium.
7
Seluler Mencit Balb/c yang Diinfeksi Salmonella Typhimurium.
Design dan Survival Study. Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap (Completely Randomized Design).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
KONSEP TEORI
2.1.1. Bawang Putih Bawang putih berasal dari Asia Tengah, seperti Jepang dan Cina yang beriklim subtropis, kemudian bawang putih menyebar keseluruh Asia, Eropa, dan akhirnya keseluruh dunia. Bawang putih dibawa ke Indonesia oleh pedagang Cina dan Arab, kemudian dibudidayakan di daerah pesisir atau daerah pantai. Bawang putih akhirnya akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya di pedalaman seiring dengan berjalannya waktu (Syamsiah dan Tajudin 2003). 2.1.1.1 Klasifikasi bawang putih (Allium sativum) Kurota Upik Aini (2008) menuliskan bahwa klasifikasi bawang putih adalah : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledone
Ordo
: Liliflorae
Famili
: Amaryllidaceae
Bangsa
: Allieae
8
9
Genus
: Allium
Spesies
: Allium sativum.
Tanaman bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk bergerombol, tumbuh tegak, dan bisa mencapai 30-60 cm. Daun bawang putih berupa helai-helai (seperti pita) memanjang ke atas. Batang bawang putih merupakan batang semu yang panjang (bisa mencapai 30 cm) dan tersusun dari pelepah daun yang tipis, tetapi kuat. Akar bawang putih terletak di batang pokok, tepatnya di bagian dasar umbi atau pangkal umbi yang berbentuk cakram. Sistem perakaranya berupa akar serabut (monokotil). Di dekat pusat batang pokok bagian bawah, tepatnya diantara daun muda dekat pusat batang pokok, terdapat tunas-tunas. Tunas inilah yang akan timbuh umbi-umbi kecil yang disebut siung. Setiap umbi memiliki 3-36 siung. Bunga bawang putih berupa bunga majemuk, bertangkai, berbentuk bulat, dan menghasilkan biji untuk keperluan generatif (Purwaningsih 2002).
Gambar 1. Tanaman bawang putih (Allium sativum)(Rukmana 2005).
10
2.1.1.2 Kandungan Kimia Bawang Putih Bawang putih mentah mengandung air, lemak, gula, pektin, selulosa, getah, serbuk, serbuk yang larut dalam asam, peptides, dan protein. Kandungan mineralnya meliputi salenium, natrium, kalium, zat besi, kobalt, zink, nitrogen, kalsium, kromium, sulfur, magnesium, fosfor, tembaga, dan yodium. Bawang putih mengandung vitamin-vitamin, seperti A, B1, B2, dan C, serta merupakan antioksidan yang baik (Evvenett 2006). Bawang putih mengandung minyak atsiri sangat mudah menguap di udara bebas. Minyak atsiri dari bawang putih ini diduga mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptik. Zat yang diduga berperan memberi aroma bawang putih yang khas adalah alisin karena alisin mengandung sulfur dengan struktur tidak jenuh dan dalam beberapa detik saja terurai menjadi senyawa dialil-disulfida. Asilin merusak protein kuman penyakit di dalam tubuh, sehingga kuman penyakit tersebut mati. Allicin merupakan zat aktif yang mempunyai daya antibiotika cukup ampuh. Zat ini banyak dibandingkan dengan jenis antibiotik, yaitu penisilin. Banyak orang yang menduga kemampuan alisin 15 kali lebih kuat daripada penisilin (Syamsiah dan Tajudin 2003). Scordinin berperan sebagai enzim pertumbuhan dalam proses germinasi (pembentukan tunas) dan pengeluaran akar bawang putih. Scordinin diyakini dapat memberikan atau meningkatkan daya tahan tubuh (stamina) dan perkembangan tubuh. Hal ini disebabkan kemampuan bawang putih dalam bergabung dengan protein dan menguraikannya,
11
sehingga protein tersebut mudah dicerna oleh tubuh (Syamsiah dan Tajudin 2003). Syamsiah dan Tajudin (2003) menuliskan kandungan kimia lain yang ada dalam bawang putih per 100 g adalah sebagai berikut : a Air dengan jumlah 66,2-71,0 g b Kalori 95,0-122 kal c Kalsium 26-42 mg d Saltivine e Allicin f Sulfur 60-120 mg g Protein 4,5-7 g h Lemak 0,2-0,3 g i Karbohidrat 23,1-24,6 g j Fosfor 15-109 mg k Besi 1,4-1,5 mg l Vit A, B, dan C m Kalium 346-377 mg n Salenium o Scordinin .
12
2.1.2 Ekstraksi 2.1.2.1 Pengertian Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu metoda operasi yang digunakan dalam proses pemisahan suatu komponen dari campurannya dengan menggunakan sejumlah massa bahan (solven) sebagai tenaga pemisah. Apabila komponen yang akan dipisahkan (solute) berada dalam fase padat, maka proses tersebut dinamakan pelindihan atau leaching. Proses pemisahan dengan cara ekstraksi terdiri dari tiga langkah dasar. a. Proses penyampuran sejumlah massa bahan ke dalam larutan yang akan dipisahkan komponen – komponennya. b.
Proses pembentukan fase seimbang.
c.
Proses pemisahan kedua fase seimbang. Tenaga
pemisah,
solven
harus
dipilih
sedemikian
hingga
kelarutannya terhadap salah satu komponen murninya adalah terbatas atau sama sekali tidak saling melarutkan. Karena dalam proses ekstraksi akan terbentuk dua fase cairan yang saling bersinggungan dan selalu mengadakan kontak. Fase yang banyak mengandung diluen disebut fase rafinat sedangkan fase yang banyak mengandung solven dinamakan ekstrak. Terbantuknya dua fase cairan, memungkinkan semua komponen yang ada dalam campuran terbesar dalam masing – masing fase sesuai dengan koefisien distribusinya, sehingga dicapai keseimbangan fisis.
13
Pemisahan kedua fase seimbang dengan mudah dapat dilakukan jika density fase rafinat dan fase ekstrak mempunyai perbedaan yang cukup. Density keduanya hampir sama maka proses pemisahan akan semakin sulit, sebab campuran tersebut cenderung untuk membentuk emulsi. Dibidang industri, ekstraksi sangat luas penggunaannya terutama jika larutan yang akan dipisahkan tediri dari komponen – komponen : a.
Mempunyai sifat penguapan relatif yang rendah.
b.
Mempunyai titik didih yang berdekatan.
c.
Sensitif terhadap panas.
d.
Merupakan campuran azeotrop. Komponen – komponen yang terdapat dalam larutan, menentukan
jenis atau macam solven yang digunakan dalam ekstraksi. Pada umumnya, proses ekstraksi tidak berdiri sendiri, tetapi melibatkan operasi – operasi lain seperti proses pemungutan kembali solven dari larutannya (terutama fase ekstrak), hingga dapat dimanfaatkan kembali sebagai tenaga pemisah. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk tujuan tersebut, misalnya dengan metode distilasi, pemanasan sederhana atau dengan cara pendinginan untuk mengurangi sifat kelarutannya (Maulida dan Zulkarnaen 2010). 2.1.2.2 Ekstraksi Bawang Putih Bawang putih utuh atau irisan dicampur dalam larutan ekstraksi (misal dalam air atau alkohol) dalam beberapa saat untuk mendapatkan ekstrak. Setelah dipisahkan dari larutan ekstrak yang terbentuk dikonsentrasikan dan langsung digunakan atau dibuat dalam bentuk
14
serbuk. Ekstrak, khususnya Aged Garlic Extract, berisi konstituen mengandung sulfur yang larut air lebih banyak dibanding komponen yang larut minyak. Selama proses aging, sifat bawang putih yang berbau khas, menyengat dan iritatif terkonversi secara alami menjadi komponen stabil yang mengandung sulfur yang digunakan sebagai standart karena sifat bioabilitasnya. Beberapa peneliti memperkenalkan metode preparasi minyak bawang putih dengan melakukan distilasi selama 3 jam dalam 100 liter pelarut menggunakan alat direct steam pilot tanaman dihasilkan 2,24,3 gram minyak/kg bawang putih (Purwoko 2003).
2.1.3 Ular Kobra Naja sputatrix atau dikenal dengan nama lokal yaitu Ular Kobra, Ular Sendok, Ular Dumung, Ular Cabe, Puput (Maumere, Flores), Pupurupi (Ende, Flores). Ular Kobra banyak tersebar di Pulau Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Komodo, Rinca, Flores, Sulawesi (Rahadian 2012). Kobra banyak terdapat didaerah tropis dan gurun di Asia dan di Afrika. Beberapa jenis kobra dapat mencapai panjang 1,2 sampai 5,6 meter. Bisa atau racun ular kobra merupakan salah satu yang terkuat di dunia. Racun ini bahkan mampu membunuh manusia. Ular kobra melumpuhkan mangsanya dengan menggigit dan menyuntikkan racun pada hewan tangkapannya. Racun tersebut disalurkan melalui taringnya. Racun ular kobra dapat melumpuhkan korbannya dengan menyemprotkan
15
bisa ke matanya. Namun tidak semua kobra dapat melakukan hal ini (Suherman 2009). Berikut ini adalah gambar anatomi ular kobra.
Gambar 2. Anatomi ular kobra bentuk luar (Wallach 2009). Jenis bisa ular kobra termasuk dalam golongan hemotoksin dan neurotoksin (Rahadian 2012). Hemotoksin yaitu jenis racun yang menyerang sistem peredaran darah dalam tubuh. Di dalamnya terdapat pula enzim pemecah protein. Akibatnya sel-sel darah akan rusak dan pengumpulan darah akan terjadi. Reaksi racun ini sangat cepat seiring dengan pembengkakan disekitar luka gigitan. Korban dalam beberapa menit saja akan merasa sakit dan panas yang luar biasa. Hal ini berbeda dengan racun neurotoksin yang tidak terasa sakit sama sekali. Neurotoksin yaitu jenis racun yang menyerang sistem saraf. Racun jenis ini melumpuhkan sistem pernapasan dan merusak otak korbannya. Korban yang tergigit seringkali tidak mengetahui bahwa ia telah tergigit. Pada bisa
16
Ular Kobra, neurotoksin menjadi komponen yang paling mematikan (Suherman 2009). Gigitan ular terkadang tidak hanya berdampak dalam jangka waktu dekat saja, tetapi juga pada jangka waktu panjang. Jaringan-jaringan dilokasi gigitan biasanya akan rusak, sehingga menyebabkan kelumpuhan, cacat atau mutasi, sehingga terkadang tindakan amputasi harus dilakukan, agar tidak membahayakan bagi bagian tubuh lain (Rahadian 2012). 2.1.3.1 Kandungan Bisa Ular Kobra Bisa ular merupakan hasil sekresi kelenjar mulut khusus yang menyerupai kelenjar saliva pada hewan vertebra, sehingga dapat dikatakan bahwa bisa ular adalah modifikasi dari saliva (Baniati 2001). Ular kobra termasuk dalam suku Elapid karena komponen bisa yang termasuk neurotoksik. Pada biasanya komponen ini termasuk α-toksin dan fosfolipase A2, yang menyebabkan paralisis bekerja secara presinaptik dan postsinaptik
pada
persambungan
neuromuskular
(Greenberg
dan
Hendrickson 2004). Spesies ular menghasilkan bisa dengan komponen dan kandungan bahan toksik yang berbeda, semakin dekat kekerabatan ular maka komponen penyusun bisanya akan semakin mirip. Jenis ular berbisa mengandung hemotoksik, kardiotoksik, dan neurotoksik namun dalam kadar yang berbeda sehingga dapat dibedakan antara ular yang bersifat neurotoksik, hemotoksik atau gabungan keduanya dan kardiotoksik. Susunan kimia dari bisa ular sangat kompleks, 90% tersusun atas protein
17
yang sebagian besar adalah enzim serta mengandung polipeptida. Enzim utama dalam bisa ular antara lain enzim proteolitik, hialuronidase, asam amino
oksidase,
kolinesterase,
fosfolipase
A,
ribonuklease,
deoksiribonuklease, fosfomonoesterase, fosfodiesterase, ATPase, dan DPNase. Protein penyusun bisa ular dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler, sirkulasi, respirasi, syaraf, dan otot skelet korban gigitan ular (Baniati 2001). Enzim penyebab hemolisis umumnya termasuk ke dalam golongan enzim lipase seperti fosfolipase, Enzim fosfolipase ditemukan pada semua bisa ular dalam beberapa bentuk dan variasi. Bisa ular famili elapidae ditemukan 4 jenis fosfolipase, yaitu A1, A2, C, dan D yang diklasifikasikan berdasarkan bagian mana dari ikatan ester 3-sn fosfogliserida yang dihidrolisis. Yusnita La Goa (2011) membagi kelas fosfolipase berdasarkan pemotongannya yaitu sebagai berikut.
Gambar 3. Skema kelas fosfolipase (Goa 2011). Keempat jenis fosfolipase tersebut yang menyebabkan faktor utama penyebab hemolisis, yaitu fosfolipase A2 dan faktor lain juga mempengaruhi, yaitu direct lytic factor (DLF) (Filani 2009). Fosfolipase A2 merupakan enzim yang tahan panas stabil sampai suhu 75°C dan enzim
18
ini mematikan pada tikus jika disuntikkan pada dosis LD50 2,7 mg/kg. Enzim fosfolipase A2 mengandalkan kalsium sebagai katalisisnya untuk menghidrolisis 2-asil dari ikatan 3-n-fosfogliserida. Enzim ini mempunyai berat molekul 15.000 dalton. Fosfolipase A2 diaktivasi oleh Ca2+, diinhibisi oleh zink, barium, dan ion mangan (Satwika 2010). Keluarga besar enzim fosfolipase A2 terbagi 15 grup berdasarkan struktur, lokasi, dan sumber termasuk pankreas mamalia, racun reptil, dan serangga serta cairan sinovial (Li-rong 2010 dalam Lischer 2012). Terdistribusikan diantara grup ini terdapat macam-macam bentuk dari PLA2 yang tersekresi (sPLA2s-grup I, II, III, V,IX, X, XI, XII, XIII, dan XIV), PLA2s sitosolik (cPLA2 – grup IV), Ca2+ independen intraselular PLA2s (iPLA2-grup VI), faktor aktivasi platelet asetilhidrolase (PAF-AHgrup VII dan VIII) dan PLA2s lisosomal (grup XV) (Guarnieri 2009 dalam Lischer 2012). PLA2 yang tersekresi ditemukan pada jamur, tanaman, marine sponge, chinaria, moluska, bintang laut, serangga, reptil, dan mamalia. Grup I yaitu berasal dari racun kobra/krait serta pankreas mamalia. Grup II dari racun crotalid dan ular. Grup III dari racun lebah, kadal, atau kalajengking (Li-rong 2010 dalam Lischer 2012). 2.1.3.2 Tanda Penderita Pasca Gigitan Ular Seseorang yang digigit ular akan diketahui tanda dari gigitan ular tersebut berbisa atau tidak, yaitu dengan melihat bekas gigitannya. Kondisi tersebut dapat dilihat melalui gambar berikut :
19
Gambar 4. Gigitan ular berbisa (Werner 2010). Gigitan ular berbisa akan meninggalkan dua buah bekas taring dan kadang diikuti oleh bekas-bekas kecil lainnya yang ditimbulkan oleh gigitan ular (Werner 2010).
Gambar 5. Gigitan ular tidak berbisa (Werner 2010). Gigitan ular yang tidak berbisa hanya meninggalkan dua baris bekas gigi, tetapi tidak ada bekas taring (Werner 2010). Seseorang yang tergigit ular umumnya akan mengalami bengkak sekitar gigitan dan berwarna kemerahan, daerah sekitar gigitan terasa nyeri, korban merasa mual dan ingin muntah, kesulitan bernapas, penglihatan terganggu, pengeluaran keringat dan air ludah (saliva) meningkat, dan terdapat mati rasa atau kesemutan rasa berdenyut-denyut
20
disekitar wajah atau tungkai dan lengan (Prihatini, dkk 2007). Skema Gejala Umum pada Gigitan ular Berbisa adalah sebagai berikut :
Gambar 6. Skema gejala umum gigitan ular berbisa (Rahadian 2012).
2.1.4 Mencit Mencit (Mus musculus albinus) merupakan salah satu hewan dalam kelompok rodentia yang mudah dipelihara, praktis juga dapat berkembang biak dengan cepat sehingga dapat diperoleh keturunan dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang singkat serta anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik (Kristiana 2008). Klasifikasi mencit menurut Kristiana (2008) adalah : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
21
Ordo
: Rodentia
Sub ordo
: Myomorphoa
Familia
: Muridae
Sub familia
: Murinae
Genus
: Mus
Spesies
: Mus musculus
Sub Spesies
: Mus musculus albinus
Mencit luar atau mencit rumah adalah hewan semarga dengan mencit laboratorium.Hewan tersebut tersebar di seluruh dunia dan sering ditemukan di dekat atau di dalam gedung dan rumah yang dihuni manusia.Berat badan bervariasi, tetapi umumnya pada umur empat minggu berat badan mencapai 18-20 g. Mencit liar dewasa dapat mencapai 30-40 g pada umur enam bulan atau lebih. Mencit laboratorium mempunyai berat badan kira-kira sama dengan mencit liar, tetapi setelah diternakkan secara selektif selama delapan puluh tahun yang lalu, sekarang ada berbagai warna bulu dan timbul banyak galur dengan berat badan berbeda-beda (Kristiana 2008). Hewan mencit dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 7.Mencit (Kristiana 2008).
22
Mencit dapat dikandangkan dalam kotak sebesar kotak sepatu.Kotak dapat dibuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik, aluminium, atau baja tahan karat (stainless steel).Prinsip dasar yang perlu dicamkan kalau memilih kotak mecit ialah bahwa kotak harus mudah dibersihkan dan disterilkan.Kotak mencit harus tahan lama, tahan gigit dan mencit tidak dapat lepas, apapun sistem kandang yang dipakai, paling penting untuk diperhatikan adalah persyaratan fisiologis dan tingkah laku mencit.Persyaratan ini meliputi menjaga lingkungan tetap kering dan bersih, suhu yang memadai, dan memberi ruang cukup untuk bergerak dengan bebas dalam berbagai posisi.Seluruh sistem perkandangan harus dirancang sehingga mudah dirawat dan diperbaiki demi kesehatan hewan.Kandang yang baik harus tersedia alas tidur (bedding) dengan kualitas bagus dan bersih.Biasanya di daerah tropis dapat dipakai serbuk gergaji atau sekam padi sebagai alas tidur. Alas tidur harus diganti sesering mungkin, sekurang-kurangnya satu kali tiap minggu (Kristiana 2008). Mencit laboratorium biasanya diberi makanan berbentuk pelet tanpa batas (ad libitum).Seekor mencit dewasa makan 3 g sampai 5 g makanan setiap hari.Jika mencit sedang bunting atau menyusui, nafsu makannya bertambah.Mencit laboratorium tidak boleh dalam keadaan tanpa air minum.Air minum dapat diberikan dengan botol-botol gelas atau plastik dan mencit dapat minum air dari botol tersebut malalui pipa gelas atau pipa logam.Faktor lingkungan terutama kualitas makanan berpengaruh pada kondisi mencit secara keseluruhan.Faktor-faktor tersebut dapat
23
mempengaruhi kemampuan mencit mencapai potensi genetik untuk tumbuh, berbiak, umur, atau reaksi terhadap pengobatan dan lain-lain (Kristiana 2008).
2.1.5 Konsep Luka 2.1.5.1 Pengertian Luka Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka merupakan kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain, ketika luka muncul akan timbul efek seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, dan kematian sel (Baroroh 2011). 2.1.5.2 Klasifikasi Luka Luka diklasifikasikan dalam 2 bagian : a.
Luka Akut Merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat penanganan
dan biasanya dapat sembuh dengan baik jika tidak terjadi komplikasi. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan Contoh : Luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury. Luka operasi dapat dianggap sebagai luka akut yang dibuat oleh ahli bedah.Contoh : luka jahit, skingrafting. b.
Luka Kronik Luka yang berlangsung lama atau sering timbul kembali (rekuren)
dimana terjadi gangguan pada proses penyembuhan yang biasanya
24
disebabkan oleh masalah multifaktor dari penderita. Pada luka kronik luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi untuk timbul kembali.Contoh : Ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous, luka bakar dll (Pradanakusuma 2007). c.
Kedalaman dan Luas Luka Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka diklasifikasikan dalam 4
tingkatan yaitu : 1) Stadium I : Luka Superfisial(Non-Blanching Erithema) yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit. 2) Stadium II : Luka “Partial Thickness” yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal. 3) Stadium III : Luka “Full Thickness” yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya. 4) Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas (Baroroh 2011).
25
d.
Perawatan Luka Perawatan luka akan tergantung pada jenis luka, berat ringannya
luka, ada tidaknya perdarahan dan risiko yang dapat menimbulkan infeksi. Prinsip perawatan umum pada luka tipe umum sebagai berikut. 1) Mencuci tangan dengan menggunakan sabun atau larutan antiseptik 2) Segera pantau luka kemungkinan ada benda asing dalam luka 3) Bersihkan luka dengan larutan antiseptik jika, bila lukanya dalam, bersihkan dengan normal salin dari pusat luka ke arah keluar, setelah luka dibersihkan kemudian lakukan irigasi luka dengan normal salin. 4) Keringkan luka dengan kasa steril yang lembut 5) Berikan antibiotik atau obat antiseptik yang sesuai 6) Tutup luka dengan kasa steril dan paten 7) Tinggikan posisi area luka bila ada perdarahan dan imobilisasi (Suriadi 2004). 2.1.5.3 Penyembuhan Luka Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggungjawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini :
26
a.
Fase inflamasi Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima.Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi.Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat
trombosit
akan
mengeluarkan
mediator
inflamasi
Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen. b.
Fase proliferasi atau fibroplasi Fase ini disebut fibroplasi karena pada masa ini fibroblas sangat menonjol perannya.Fibroblas mengalami proliferasi dan mensintesis kolagen.Serat kolagen yang terbentuk menyebabkan adanya kekuatan untuk bertautnya tepi luka.Pada fase ini mulai terjadi granulasi, kontraksi luka dan epitelialisasi.
27
c.
Fase remodeling atau maturasi Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan.Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Parut luka matang akan didapatkan pada akhir penyembuhan ini yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Pradanakusuma 2007).
Suriadi (2004) Menggambarkan skema fisiologi penyembuhan luka sebagai berikut. Injury Hemostasis; koagulasi, agregasi platelet Inflamasi :granulosites, macrophag, fagositosis Fibroblas Epitelialisasi Sintesis kolagen dan kontraksi Remodeling ; adanya lisis dan sintesis kolagen Peningkatan serabut kolagen Penyembuhan luka Gambar 8.Skema fisiologi penyembuhan luka (Suriadi 2004).
28
2.2
KERANGKA BERFIKIR
Bisa ular kobra
Hemotoksik
Neurotoksik
(Fosfolipase A2)
(Fosfolipase A2)
Injeksi dan tusukan olesan bisa ular
1. Edema 2. Fungsi ektremitas 3. kerusakan jaringan kulit 4. Luka
Mencit
Bertahan hidup dan luka sembuh
Injeksi bawang putih (Allium sativum)
Allicin
Minyak Atsiri
Scordinin
Zink (Ze)
Gambar 9. Skema kerangka berfikir (Anantyo 2009)
Selenium
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1.
Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium kampus STIKes Kusuma Husada Surakarta yang beralamat di Kelurahan Mojosongo, Jalan Jaya Wijaya nomor 11 Kadipiro Surakarta.
3.2.
Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 1 bulan, yaitu 4 Februari sampai 4 Maret 2014.
3.3.
Bentuk dan Strategi Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif klinis dengan desain “Case Study”, yaitu kasus terpancang tunggal yang menggunakan mencit sebagai binatang percobaan serta tindakan perlakuan dengan pemberian injeksi dan olesan bisa ular kobra. Injeksi bisa ularkobra dilakukan untuk mengetahui lamanya pertahanan hidup mencit. Tusukan dan olesan bisa ular bertujuan untuk menimbulkan luka yang kemudian diberikan terapi ekstrak krim bawang putih setiap harinya, untuk mengetahui proses penyembuhan luka tersebut.
29
30
3.4.
Sumber Data Pemahaman mengenai berbagai macam sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan kekayaan data atau kedalaman informasi yang diperoleh. Data tidak akan bisa diperoleh tanpa adanya sumber data (Sutopo 2006). Adapun jenis sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
3.4.1 Informan Pada penelitian kualitatif sumber data dari narasumber sangat penting perannya sebagai bahan informasi dalam penyusunan laporan. Dalam penelitian ini peneliti memilih informan yaitu pakar kimia. Karena seorang pakar tentunya mengetahui banyak informasi yang dibutuhkan peneliti. Narasumber bukan sekedar memberikan tanggapan pada apa yang ditanyakan peneliti, tetapi narasumber bisa lebih memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki (Sutopo 2006). 3.4.2 Tempat dan Peristiwa Penelitian ini dilakukan dengan mengobservasi mencit yang telah diinjeksi
bisa
ular
kobra,
sebelum
mencit
diobservasi
peneliti
mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan dalam proses penelitian. Menurut Sutopo (2006) teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, aktivitas, perilaku, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Beragam benda atau alat sederhana yang terlibat dalam suatu peristiwa atau kegiatan penelitian
31
dapat menjadi sumber data yang penting (Sutopo 2006). Berikut alat-alat yang digunakan untuk uji coba pada mencit diantaranya : a. 18 ekor mencit lengkap dengan kandangnya b. Bisa ular kobra yang didapatkan dari pedagang sate ular di kawasan alun-alun kota Surakarta c. Bawang putih yang telah diekstrak dalam bentuk krim. Proses pengekstrakan dilakukan di Universitas Setia Budi (USB) yang beralamtakan di Jalan Letjend Soetoyo, Mojosongo, Surakarta. Ekstrak bawang putih ini yang digunakan sebagai terapi dalam mengobati mencit. Ekstrak cair diberikan setelah 5 menit injeksi bisa ular kobra dan terapi ekstrak krimbawang putih digunakan sebagai obat perawatan luka setelah kulit mencit mengalami luka. d. 10 buah spuit 1 cc digunakan untuk injeksi bisa ular ke kulit mencit e. Gunting atau pengerok bulu mencit sebelum dilakukan injeksi f. Bengkok untuk tempat pembuangan spuit bekas injeksi. Langkah awal yang dilakukan pada mencit adalah pemotongan bulu mencit ditempat yang akan diinjeksi. Pemotongan dilakukan untuk mengetahui keadaan luka saat diobservasi, sehingga akan lebih mudah menilai tanda penyembuhan luka yang baik. Injeksi bisa ular kobra dilakukan setelah pemotongan bulu mencit, kemudian setelah 5 menit dilakukan injeksi ekstrak bawang putih (Allium sativum) sesuai dosis perlakuan. Injeksi ekstrak hanya dilakukan satu kali terhadap hewan uji, guna untuk mengetahui keparahan edema dari masing-
32
masing mencit yang diinjeksi bisa ular. Tahap observasi dilakukan setiap hari dan disertai dengan perawatan luka pada mencit yang dilakukan tusukan dan olesan bisa ular kobra. 3.4.3 Dokumen Sutopo (2006) menuliskan bahwa sumber data berupa dokumen atau arsip biasanya merupakan bahan tertulis yang berhubungan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu. Sumber yang telah disebutkan kebanyakan merupakan rekaman tertulis, namun juga bisa berupa gambar atau benda peninggalan. Pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan data yang disebutkan diatas, yaitu dengan menggunakan data dari hasil laboratorium berupa kandungan bawang putih dan bisa ular kobra. Kedua data tersebut diperoleh dari buku-buku yang membahas tentang bawang putih dan jurnal penelitian yang menyebutkan kandungan dari bisa ular.
3.5
Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Wawancara Mendalam Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui proses tanya jawab lisan yang berlangsung satu arah, artinya pertanyaan datang dari pihak yang mewawancarai dan jawaban diberikan oleh yang diwawancara (Fathoni 2006). Sumber data yang sangat penting dalam penelitian kualitatif adalah berupa manusia yang dalam posisi sebagai narasumber atau informan.
33
Teknik wawancara mendalam (in-depth interviewing) ini merupakan teknik yang paling banyak digunakan dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). 3.5.2 Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui suatu pengamatan, dengan disertai pencatatan-pencatatan terhadap keadaan atau perilaku objek sasaran (Fathoni 2006). Menurut Sutopo (2006) observasi dibagi menjadi dua yaitu observasi tak berperan dan observasi berperan. Observasi berperan meliputi observasi berperan pasif, observasi berperan aktif, dan observasi berperan penuh (Sutopo 2006). Pada penelitian ini pengolahan data termasuk kedalam observasi berperan penuh. Karena jenis observasi ini diartikan bahwa peneliti memang memiliki peran dalam lokasi studinya, sehingga benar-benar terlibat dalam suatu kegiatan yang ditelitinya (Sutopo 2006). Observasi pada penelitian ini langsung dilakukan untuk mengamati hasil perlakuan atau uji coba yang diberikan pada mencit. Pada hal ini yang perlu diamati adalah tanda dan gejala dari pemberian bisa ular meliputi keadaan kulit, keparahan edema, fungsi ekstremitas (lemah atau kuatnya pergerakan mencit), dan derajat luka. Observasi dilakukan setiap hari setelah mencit diberikan perlakuan.
34
3.5.3 Analisis Dokumen Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari catatan-catatan mengenai suatu data (Fathoni 2006). Dokumen tertulis merupakan sumber data yang memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif (Sutopo 2006). Pada penelitian ini sumber data dokumen diperoleh dari buku dan jurnal mengenai kandungan bawang putih dan bisa ular kobra. Kedua objek tersebut dianalisis kandungannya untuk memperkuat hasil penelitian yang jika benar-benar terbukti bahwa bawang putih dapat menyembuhkan luka gigitan ular.
3.6
Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Peneliti menggunakan 2 sampel kelompok uji coba, yaitu injeksi bisa ular kobra 1 UI dan tusukan yang disertai olesan bisa ular kobra, Masing-masing kelompok terdiri dari 3 mencit : M1 M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11 M12
Mencit yang diinjeksi bisa ular kobra dengan dosis 1 UI, untuk mengetahui efek negatif dari bisa ular tanpa dilakukan pengobatan. Mencit yang diinjeksi bisa ular kobra dengan dosis 1 UI, setelah timbul efek, mendapat terapi Ekstrak cairAllium sativum dengan dosis 1 mg. Mencit yang diinjeksi bisa ular kobra dengan dosis 1 UI, setelah timbul efek, mendapat terapi Ekstrak cairAllium sativum dengan dosis 3 mg. Mencit yang dilakukan tusukan dengan jarum injeksi dan diolesi bisa ular kobra untuk menimbulkan luka. Setelah luka muncul, mencit tidak diberikan terapi krim Allium sativum
35
M13 M14 M15
Mencit yang dilakukan tusukan dengan jarum injeksi dan diolesi bisa ular kobra untuk menimbulkan luka. Setelah timbul luka diberikan ekstrak krim Allium sativum.
M16 M17 M18
Mencit yang dilakukan tusukan dengan jarum injeksi dan diolesi bisa ular kobra untuk menimbulkan luka. Setelah timbul luka diberikan ekstrak krim Allium sativum.
Mencit yang dijadikan sampel sebanyak 18 ekor mencit yang berasal dari laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS). Sampel akan dibagi menjadi 3 uji coba, yaitu efek negatif dari bisa ular kobra tanpa pemberian ekstrak Allium sativum, pemberian injeksi ekstrak Allium sativum dengan dosis 1 mg, dan pemberian injeksi ekstrak Allium sativum dengan dosis 3 mg untuk mencegah keparahan edema dan untuk mengetahui lamanya pertahanan hidup pada mencit. Sembilan ekor mencit selanjutnya dilakukan tusukan dan olesan bisa ular kobra sehingga timbul luka, kemudian dilakukan perawatan luka dengan pemberian ekstrak krim Allium sativum. Kriteria pada mencit yang dijadikan sampel adalah mencit jantan umur 2-3 bulan, mencit yang aktif dan tidak tampak sakit serta mencit yang tidak tampak cacat. Kesembilan ekor mencit diadaptasikan terlebih dahulu selama 1 minggu sebelum digunakan dalam penelitian. Selama pemeliharaan mencit diberi makan dan minum secara ad libitum.
3.7
Validitas Data Data yang telah berhasil digali di lapangan studi, dikumpulkan dan dicatat dalam kegiatan penelitian, harus diusahakan bukan hanya untuk
36
kedalaman dan kemantapannya tetapi juga bagi kemantapan dan kebenarannya. Oleh karena itu setiap peneliti harus bisa memilih dan menentukan cara-cara yang tepat untuk mengembangkan validitas data yang diperolehnya. Disamping trianggulasi sumber, teori, peneliti, dan metode, peneliti memanfaatkan atau menggunakan trianggulasi dari pakar kimia untuk memperkuat trianggulasi teori. Pakar kimia yang diperlukan dalam penelitian ini bertujuan untuk memperkuat teori melalui wawancara tentang gejala atau efek yang muncul pada mencit setelah diberikan injeksi bisa ular kobra. Ke-18 mencit didokumentasikan dalam bentuk video dan gambar kemudian diperlihatkan kepada pakar atau ahli kimia untuk mendapatkan keterangan dari efek bisa ular tersebut. Pakar atau ahli kimia yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebanyak 2 orang yang berasal dari STIKes di Surakarta dan Universitas Setia Budi. Wawancara dilakukan setelah 1 bulanpasca uji coba pada mencit. Penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk pengembangan validitas data penelitian. Cara-cara tersebut antara lain bisa berupa beberapa teknik trianggulasi (triangulation), yaitu : 3.7.1 Trianggulasi Sumber Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data, peneliti wajib menggunakan beragam sumber data yang berbeda-beda yang tersedia. Data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenaranya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda, sehingga apa yang
37
diperoleh dari sumber yang satu, bisa lebih teruji kebenaranya bilamana dibandingkan dengan data sejenis yang diperoleh dari sumber lain yang berbeda, baik kelompok sumber sejenis atau sumber yang berbeda jenisnya. 3.7.2 Trianggulasi Metode Teknik trianggulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda. Disini yang ditekankan adalah penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda dan bahkan lebih jelas untuk diusahakan mengarah pada sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. 3.7.3 Trianggulasi Peneliti Trianggulasi peneliti adalah hasil penelitian baik data ataupun simpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti yang lain. Dari pandangan dan tafsir yang dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap semua informasi yang berhasil digali dan dikumpulkan yang berupa catatan dan bahkan sampai dengan simpulan-simpulan sementara, diharapkan bisa terjadi pertemuan pendapat yang pada akhirnya bisa lebih memantapkan hasil akhir penelitian. 3.7.4 Trianggulasi Teori Trianggulasi jenis ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.
38
Pada trianggulasi ini peneliti wajib memahami teori-teori yang digunakan dan keterkaitannya dengan permasalahan yang diteliti sehingga mampu menghasilkan simpulan yang lebih mantap, bisa dipertanggungjawabkan dan benar-benar memiliki makna yang mendalam serta bersifat multiperspektif. Peneliti juga dapat menggunakan satu teori khusus yang digunakan sebagai fokus utama dari kajiannya secara lebih mendalam daripada teori yang lain yang juga digunakan (Sutopo 2006).
3.8
Analisa Data Penelitian kualitatif proses analisis dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data. Teknik analisis dalam penelitian ini bersifat induktif yaitu teknik analisis yang tidak dimaksudkan untuk membuktikan suatu prediksi atau hipotesis penelitian, tetapi simpulan dan teori yang dihasilkan terbentuk dari data yang dikumpulkan. Sifat analisis induktif menekankan pentingnya apa yang sebenarnya terjadi di lapangan yang bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya. Dalam penelitian ini analisis induktif yang digunakan adalah teknik analisis interaktif, yaitu setiap data yang diperoleh dari lapangan selalu diinteraksikan atau dibandingkan dengan unit data yang lain (sutopo 2006).
39
Adapun model analisis interaktif ini digambarkan dalam bagan sebagai berikut :
Pengumpulan data
Sajian data
Reduksi data
Penarikan kesimpulan/verifikasi
Gambar 10. Model Analisis Interaktif Miles & Huberman (Sutopo 2006).
40
Alir Penelitian
Injeksi ekstrak cair Allium sativum setelah 5 menit Dosis 1 mg M1
M2
M3
M4
M5
Dosis 3 mg
M6
M7
M8
M9
Injeksi bisa ular kobra 1 UI S Luka tusukan dan olesan bisa ular kobra
M10
M11
M12
M13
M14
M15
M16
M17
M18
Perawatan luka dengan ekstrak krim Allium sativum Gambar 11. Skema Alir penelitian Keterangan
:
S
: Sampel
M1
: Mencit ke-1
M2
: Mencit ke-2
M3
: Mencit ke-3 dan seterusnya.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Lokasi Penelitian Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kusuma Husada Surakarta merupakan salah satu perguruan tinggi swasta yang berada di wilayah Surakarta. STIKes ini terletak di jalan Jaya Wijaya No.11 Kadipiro Mojosongo. Program studi yang berada di dalam STIKes ini meliputi DIII Keperawatan, S-1 Keperawatan dan DIII Kebidanan. Laboratorium yang digunakan sebagai tempat penelitian terletak di depan gedung kampus DIII Kebidanan. Laboratorium ini diketuai oleh lulusan DIII Keperawatan dan satu orang sekretaris, dua orang tersebut yang setiap harinya mengelola kegiatan mahasiswa saat di laboratorium. Ruang uji coba mencit dilakukan di lantai dua gedung laboratorium. Ruangan tersebut terdapat 4 buah jendela sehingga ventilasi untuk pertukaran udara cukup. Peralatan yang berada di ruangan antara lain, sebuah kandang mencit yang terbagi menjadi 9 bagian. Setiap pintu kandang tertuliskan label nomor urut mencit (M1 sampai M9) berdasarkan uji coba yang akan diberikan. Kandang berbentuk persegi dengan ukuran 17 cm x 17 cm, setiap ukuran tersebut ditempati satu ekor mencit. Ruang uji coba juga terdapat 1 buah gunting, 2 buah pengerok bulu mencit, 10 buah spuit 1 cc, 2 buah botol tempat hasil ekstraksi bawang putih yang
41
42
berupa salep dan cair, 1 botol kecil untuk tempat bisa ular kobra, dan 1 buah almari berlaci untuk menyimpan alat-alat dan makanan mencit. Ruangan tempat uji coba selalu dibersihkan setiap harinya. Alas kandang adalah lembaran koran dan diganti setiap hari untuk mencegah timbulnya bakteri yang akan mempengaruhi kesehatan mencit. Ruangan hanya boleh dimasuki oleh peneliti dan rekan-rekan dari S-1 yang membantu dalam proses penelitian. Penelitian dimulai dengan pembuatan proposal serta uji sidangnya. Peneliti mengajukan ijin kepada Ketua STIKes dan Ketua laboratorium STIKes Kusuma Husada dengan rekomendasi dari Program Studi S-1 Keperawatan. Setelah mendapatkan ijin dari kedua pihak tersebut barulah peneliti dapat melaksanakan penelitian.
4.2.
Sajian Data Pelaksanaan penelitian diawali dengan pemberian adaptasi terhadap mencit selama 1 minggu sebelum dilakukan uji coba. Mencit diberikan makanan secara ad libitum setiap harinya. Setelah berakhirnya adaptasi yang diberikan, mencit kemudian dialkukan uji coba pembuatan luka gigitan ular. Sesuai dengan tujuan khusus dari penelitian uji coba dilakukan 2 tahap, pertama dilakukan injeksi bisa ular dengan dosis 1 UI sehingga dapat menyebabkan kematian pada mencit. Dosis injeksi diturunkan sampai mencit dapat bertahan hidup. Dosis yang tepat hingga mencit tetap
43
bertahan hidup yaitu 0 UI. Karena peneliti ingin mengetahui kecepatan ekstrak Allium sativum dalam penyembuhan luka, maka luka dibuat dengan melakukan tusukkan terlebih dahulu ke kulit mencit secara subcutan baru setelah itu bekas tusukkan diolesi bisa ular kobra, sehingga akan timbul luka. Tahap kedua dengan sampel yang berbeda, 9 mencit diberikan injeksi 1 UI bisa ular kobra. Setelah 5 menit, 3 mencit tidak diberikan terapi ekstrak cair dari Allium sativum, 3 mencit selanjutnya dengan tindakan yang sama yaitu injeksi bisa ular kobra 1 UI, tetapi diberikan terapi ekstrak cair dari Allium sativum dengan dosis 0,02 UI (1 mg). Tindakan untuk 3 mencit terakhir diberikan uji coba yang sama dengan pemberian dosis terapi yang berbeda yaitu 0,06 UI (3 mg). Tahap kedua ini dilakukan untuk mengetahui kecepatan ekstrak Allium sativum dalam mengatasi edema, lamanya bertahan hidup serta kekuatan ekstremitas mencit setelah diinjeksi bisa ular kobra. Pembuatan luka dengan tusukkan dan
olesan
bisa
tidak
menimbulkan
edema
dan
gangguan
ekstremitas.Tusukan jarum dan olesan bisa ular kobra dilakukan terhadap 9 mencit, selain mencit yang diinjeksi 1 UI bisa ular kobra. Uji coba ini dilakukan untuk mengetahui kecepatan ekstrak krim dari Allium sativum dalam penyembuhan luka. Berikut ini adalah sajian data dari hasil observasi peneliti terhadap masing-masing mencit :
44
4.2.1. Mencit 1 (M1) Injeksi pada mencit ini diberikan dosis 1 UI bisa ular kobra. Mencit ini pada awal injeksi tampak masih dapat bergerak mengelilingi kandang. Kaki mencit yang berdekatan dengan bekas injeksi tampak berwarna hitam dan tidak dapat digerakkan. Edema pada mencit mulai terlihat semakin parah dengan ditandainya warna hitam pada bekas injeksi dan area disekitarnya. Detak jantung mencit terlihat berdebar kencang, tubuh tampak tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan. Beberapa menit kemudian mencit ini tampak terlihat lemas, pernafasan tampak tidak teratur terlihat dari kembang kempisnya perut mencit. Tanda dan gejala kematian dari mencit ini mulai tampak jelas, selain dari detak jantung dan keparahan edema yang terjadi, mencit ini mengeluarkan air seni dengan sendirinya tanpa ada penekanan atau sentuhan ke tubuh mencit. Bagian pupil pada mata mencit tampak melebar atau sudah tidak ada respon dari cahaya. Mencit ini mampu bertahan hidup selama 13 menit 30 detik dan tanpa mendapatkan terapi injeksi ekstrak Allium sativum pada 5 menit pertama setelah injeksi bisa ular kobra. 4.2.2. Mencit 2 (M2) Mencit ini diinjeksi dengan dosis 1 UI bisa ular kobra. Setelah diinjeksi mencit tampak kesakitan terlihat dari dia mengangkat kaki bekas injeksi. Mencit tampak kebingungan dengan berputar-putar di dalam kandang disertai rasa terengah-engah. Keparahan kaki disekitar bekas
45
injeksi mulai tampak. Kaki berwarna hitam dan tidak dapat digerakkan. Beberapa menit kemudian mencit tampak lemas, tidak ada respon atas rangsangan sentuhan yang diberikan karena biasanya ketika mencit diberikan sentuhan dia berusaha untuk lari dari sentuhan itu. Mencit tampak lemas, detak jantung berdenyut kencang dan disertai kesulitan bernafas terlihat dari kembang kempisnya perut mencit. Edema yang terjadi pada bekas injeksi berwarna hitam dan lebar. Air seni keluar karena penekanan pada tubuh mencit dan bukan keluar karena sendirinya. Mencit ini dapat bertahan hidup selama 9 menit. 4.2.3. Mencit 3 (M3) Injeksi bisa ular yang diberikan pada mencit ini dosisnya sama dengan mencit 1 dan 2. Setelah diinjeksi mencit 3 tampak pasif dan kaki pada area bekas injeksi tidak dapat digerakkan. Rangsangan sentuhan yang diberikan, mencit hanya merespon cukup lamban dalam menghindarinya. Mencit tampak lemas dan tidak berdaya meski masih berusaha untuk berjalan memutari kandang. Detak jantung mencit berdenyut cepat pada menit-menit akhir kematiannya. Edema berwarna hitam disekitar bekas injeksi. Mencit ini mampu bertahan hidup selama 9 menit 3 detik. Kematian mencit ini tidak disertai keluarnya air seni dari alat kelamin mencit meski sudah diberikan sentuhan pada bagian perutnya.
46
4.2.4. Mencit 4 (M4) Mencit ke-4 ini diinjeksi dengan dosis 1 UI bisa ular kobra. Mencit masih tampak aktif bergerak mengelilingi kandang. Kaki pada area bekas injeksi terlihat dapat digerakkan untuk berjalan. Rangsang sentuhan yang diberikan pada mencit diberikan respon menghindari sentuhan tersebut dengan cepat. Warna kulit bekas injeksi berwarna hitam. Mencit diinjeksi ekstrak cair dari Allium sativum dengan dosis 1 mg (0,02 UI), setelah 5 menit pemberian injeksi bisa ular. Respon mencit setelah mendapatkan injeksi ekstrak, mencit tampak lamban dalam bergerak mengelilingi kandang, bahkan dapat dikatakan pasif dibanding sebelumnya. Kaki mencit sudah tidak dapat digerakkan. Edema berwarna pucat pada area bekas injeksi dan mencit tampak lemas. Detak jantung mencit tampak cepat serta tampak kesulitan bernafas pada menit-menit terakhir. Setelah disentuh pada area perut, keluar air seni yang cukup banyak. Mencit ini mampu bertahan hidup selama 10 menit 30 detik. 4.2.5. Mencit 5 (M5) Pemberian dosis injeksi untuk kematian mencit ke-5 tidak berbeda dengan mencit-mencit yang lain, yaitu 1 UI bisa ular kobra. Mencit tampak pasif beberapa saat dan tidak tampak nyeri, setelah diberikan rangsang sentuhan mencit baru dapat bergerak dan kemudian berhenti lagi. Kaki disekitar area injeksi masih digunakan untuk berjalan. Warna bekas injeksi tampak sedikit kehitaman. Setelah 5 menit kemudian mencit diinjeksi ekstrak cair Allium sativumdengan dosis 1 mg (0,02 UI). Mencit
47
masih tetap pasif dan kaki diarea bekas injeksi tidak dapat digerakkan. Warna edema pucat dan mencit tampak lemas pada menit-menit akhir. Detak jantung mencit tampak berdetak kencang dan tampak kesulitan bernafas terlihat dari kembang kempisnya perut. Mencit ini mampu bertahan hidup selama 13 menit 50 detik dengan akhir kematian yang tidak mengeluarkan air seni, meskipun telah diberikan sentuhan pada perutnya. 4.2.6. Mencit 6 (M6) Dosis injeksi pada mencit 6 adalah 1 UI. Setelah diinjeksi bisa ular kobra, mencit tampak kesakitan yang ditandai dengan kebingungan di dalam kandang. Kaki mencit di area bekas injeksi tidak dapat digerakkan dan selalu diangkat saat berjalan. Mencit diberikan injeksi ekstrak cair Allium sativum setelah 5 menit dengan dosis 1 mg (0,02 UI). Mencit tampak pasif, lemah, dan ekstremitas sudah tidak mampu digunakan untuk berjalan. Kaki di area bekas injeksi tidak ada perubahan setelah diberikan injeksi ekstrak Allium sativum, yaitu masih tampak tidak dapat digerakkan, bahkan semakin parah dengan warna sedikit kehitaman. Rangsang sentuhan yang diberikan ke tubuh mencit hanya direspon dengan gerakkan badan dan tampak ingin menghindar namun tidak berdaya. Tampak jantung berdetak kencang dan tampak kesulitan bernafas. Edema berwarna pucat pada bekas injeksi. Detak jantung tampak cepat dan tampak kesulitan bernafas pada menit-menit akhir. Mencit ke-6 ini mampu bertahan hidup selama 10 menit 10 detik.
48
4.2.7. Mencit 7 (M7) Injeksi bisa ular kobra diberikan dengan dosis 1 UI. Setelah diinjeksi bisa mencit tampak aktif dan mengelilingi kandang. Mencit tidak tampak merasa kesakitan. Kaki di area bekas injeksi masih dapat digerakkan dan mampu untuk berjalan. Rangsang sentuhan direspon dengan baik yaitu cepat dalam menghindar. Setelah 5 menit mencit diinjeksi ekstrak cair Allium sativum dengan dosis 3 mg (0,06 UI). Respon yang muncul dari mencit, yaitu masih tampak aktif, kaki sekitar injeksi masih dapat digerakkan, edema berwarna hitam dan jaringan sekitar tampak kemerahan. Detak jantung mencit tampak cepat dan tampak kesulitan bernafas pada menit-menit akhir. Mencit ini mampu bertahan hidup selama 31 menit 17 detik. Kematian mencit tidak ditandai dengan keluarnya air seni. 4.2.8. Mencit 8 (M8) Mencit ini diberikan dosis injeksi 1 UI bisa ular kobra sama seperti mencit-mencit yang lain. Setelah diinjeksi mencit tampak aktif mengelilingi kandang. Mencit tampak bingung dan tampak merasa kesakitan. Kaki di dekat area bekas injeksi tidak dapat digerakkan. Mencit berusaha menghindar dari rangsang sentuhan dengan berjalan tampak pincang. Setelah 5 menit mencit diberikan injeksi cair ekstrak Allium sativum dengan dosis 3 mg (0,06 UI). Setelah pemberian injeksi cair ekstrak Allium sativum mencit tampak masih aktif dan mengelilingi kandang. Kaki pada mencit tetap tidak dapat digerakkan dan edema
49
berwarna pucat setelah diberikan injeksi ekstrak. Mencit mampu bertahan hidup selama 33 menit 18 detik dengan mengeluarkan air seni tanpa adanya penekanan pada perut mencit. 4.2.9. Mencit 9 (M9) Mencit terakhir ini diberikan injeksi bisa ular kobra dengan dosis 1 UI. Setelah diinjeksi mencit tampak pasif dan tampak merasa kesakitan. Kaki di dekat bekas injeksi tidak dapat digerakkan. Mencit diberikan injeksi cair dari ekstrak Allium sativum dengan dosis 3 mg (0,06 UI) setelah berlangsung selama 5 menit. Setelah injeksi ekstrak cair tidak ada perubahan yang terjadi pada kondisi mencit ini. Kaki tidak dapat digerakkan dan edema bertambah parah. Edema berwarna pucat, tampak lemas pada menit-menit akhir. Detak jantung mencit berdebar kencang dan tampak kesulitan bernafas. Mencit ini tidak mengeluarkan air seni saat menjelang kematiannya. Mencit mampu bertahan hidup selama 36 menit 9 detik. 4.2.10. Mencit 10 (M10) Mencit yang diinjeksi dengan dosis 1 UI berakhir dengan kematian, Sehingga tidak ada luka yang diberikan terapi krim dari ekstrak Allium sativum. Peneliti menggunakan mencit ini untuk diberikan uji coba agar timbul luka pada kulit mencit, yaitu dengan memberikan tusukkan jarum secara subkutan dan diolesi bisa ular kobra pada bekas tusukkan tersebut. Luka timbul 1 hari setelah penusukkan dan olesan bisa. Karakteristik luka pada awalnya berwarna kehitaman dan kesembuhan luka ditandai dengan
50
warna kulit yang sama dengan area kulit disekitarnya, teksturnya rata serta tidak ada jaringan cicatrik yang menandakan bekas luka. Mencit ini sembuh setelah 7 hari pasca tindakan uji coba dan tanpa pemberian terapi ekstrak krim dari Allium sativum. 4.2.11. Mencit 11 (M11) Luka pada mencit ini setelah ditusuk secara subkutan dan diberikan olesan bisa, pada awal luka tampak kemerahan dan berubah menjadi kehitaman setelah beberapa hari. Terapi krim Allium sativum tidak diberikan pada mencit ini. Luka sembuh dengan warna kulit yang sama dengan area disekitarnya. Kesembuhan luka dengan tekstur yang rata dan tidak ada jaringan cicatrik atau bekas luka. Luka sembuh 7 hari pasca uji coba. 4.2.12. Mencit 12 (M12) Luka pada mencit setelah diberikan tusukkan dan olesan bisa timbul setelah 1 hari. Luka berwarna kemerahan dan sembuh dengan warna kulit yang sama dengan jaringan sekitarnya. Tekstur kulitnya rata dan tidak ada jaringan cicatrik. Mencit ini tidak mendapatkan terapi krim dari Allium sativum sama seperti M10 dan M11. Mencit ini sembuh 3 hari lebih awal dibandingkan mencit yang diberikan ekstrak krim Allium sativum. Mencit sembuh pada hari ke-7 setelah uji coba. 4.2.13. Mencit 13 (M13) Pada luka dengan tusukkan dan olesan bisa ular mencit ini mendapatkan terapi krim hasil ekstrak Allium sativum. Setiap hari mencit
51
mendapatkan terapi krim untuk perawatan luka. Luka timbul setelah 1 hari pasca penusukkan dan olesan bisa ular. Pada awalnya luka berwarna kemerahan. Kesembuhan luka pada mencit ke-13 ini lebih lambat dibandingkan dengan mencit M10, M11 dan M12. Luka dari ketiga mencit tersebut sudah sembuh tetapi untuk mencit ke-13 ini masih terdapat jaringan cicatrik dan sedkit berwarna merah kecil pada bekas tusukan dan olesan bisa ular. Mencit ini sembuh pada hari ke-10 setelah uji coba. 4.2.14. Mencit 14 (M14) Luka pada mencit ke-14 dengan penusukkan dan olesan bisa ular kobra muncul setelah 1 hari pelaksanaan. Krim hasil ekstrak dari Allium sativum diberikan setiap hari untuk mengobati luka yang terjadi pada kulit mencit. Luka masih berwarna hitam kecil atau masih terdapat jaringan cicatrik pada hari ke-7. Mencit sembuh pada hari ke-10 ditandai dengan tekstur kulit rata dan tidak ada jaringan cicatrik atau bekas luka. 4.2.15. Mencit 15 (M15) Pada mencit ke-15 ini luka muncul setelah 1 hari pasca uji coba tusukan dan olesan bisa ular. Luka yang timbul berwarna kemerahan dan mulai berwarna hitam pada hari-hari berkutnya. Terapi ekstrak krim dari Allium sativum diberikan setiap hari untuk perawatan luka. Pada hari ke-7 masih terdapat jaringan cicatrik atau bekas luka, sedangkan pada M10, M11, dan M12 luka telah sembuh pada hari ke-10 ditandai dengan tekstur kulit yang sama dengan kulit di sekitar luka.
52
4.2.16. Mencit 16 (M16) Luka yang dihasilkan dari tindakkan tusukkan dan olesan bisa ular, timbul setelah 1 hari. Luka berwarna kehitaman dan sembuh cukup lambat dibanding dengan M10, M11 dan M12. Mencit ke-16 ini masih dalam kondisi luka yang parah pada hari ke-7, meskipun telah diberikan terapi krim ekstrak Allium sativum luka masih berwarna hitam sebagai tanda dari adanya jaringan cicatrik. Mencit ini sembuh pada hari ke-12 pasca uji coba. 4.2.17. Mencit 17 (M17) Luka yang ditimbulkan dari tusukkan dan olesan bisa pada mencit ini berwarna kemerahan. Perawatan luka diberikan setiap hari dengan mengoleskan ekstrak krim dari Allium sativum. Pada hari ke-7 masih terdapat jaringan cicatrik atau bekas luka. Sembuhnya luka cukup lambat dibanding dengan M10, M11, dan M12. Mencit sembuh pada hari ke-10 setelah uji coba. 4.2.18. Mencit 18 (M18) Luka yang dihasilkan dari tindakkan tusukkan dan olesan bisa ular, timbul setelah 1 hari dan diberikan terapi krim dari Allium sativum. Luka berwarna kemerahan dan sembuhnya luka cukup lambat dibanding dengan mencit M10, M11 dan M12. Luka pada mencit ini masih tampak titik merah kecil atau jaringan cicatrik pada hari ke-7 dan sembuh pada hari ke10 sama seperti mencit lainnya.
53
Sajian Data Secara Singkat Tabel 1. Pertahanan hidup mencit injeksi bisa ular kobra 1 UI Urutan Mencit M1
Respon Nyeri Setelah Injeksi Mencit tampak tidak merasa nyeri
M2
Mencit tampak merasa nyeri
M3
Mencit tampak merasa nyeri
M4
Mencit tampak merasa nyeri
M5
Mencit tampak tidak merasa nyeri
M6
Mencit tampak
Respon Fisiologis
Lama Bertahan Hidup
1. Mencit tampak aktif 2. Tampak lemas pada menit-menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati. 1. Mencit tampak pasif 2. Tampak lemas pada menit-menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati. 1. Mencit tampak pasif 2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati. 1. Mencit tampak aktif 2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati 1. Mencit tampak pasif 2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati. 1. Mencit tampak aktif
13 menit 30 detik
9 menit
9 menit 3 detik
10 menit 30 detik
13 menit 50 detik
10 menit 10 detik
54
merasa nyeri
M7
Mencit tampak tidak merasa nyeri
M8
Mencit tampak merasa nyeri
M9
Mencit tampak tidak merasa nyeri
2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati 1. Mencit tampak aktif 2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati. 1. Mencit tampak aktif 2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati. 1. Mencit tampak pasif 2. Tampak lemas pada menit akhir 3. Detak jantung tampak cepat dan mati.
31 menit 17 detik
33 menit 18 detik
36 menit 9 detik
Tabel 2. Edema pada mencit dengan injeksi bisa ular 1 UI M1 Hitam M4 Pucat M7 Hitam
M2 Hitam M5 Pucat M8 Pucat
M3 Hitam M6 Pucat M9 Pucat
55
Tabel 3. Luka (Kerusakan jaringan kulit) pada mencit dengan tusukan dan olesan bisa ular Kode Mencit M10 M11 M12 M13 M14 M15 M16 M17 M18
Lama Luka Sembuh 7 hari 7 hari 7 hari 10 hari 10 hari 10 hari 12 hari 10 hari 10 hari
. Tabel 4. Gangguan fungsi ekstremitas pada mencit dengan injeksi bisa ular kobra 1 UI M1
M2
M3
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Tidak
Gerak
Tidak
Gerak
Tidak
M4
M5
M6
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Tidak
M7
M8
M9
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Gerak
Tidak
Gerak
Tidak
56
Tabel 5. Perubahan gerak ekstremitas setelah injeksi Allium sativum (5 menit setelah injeksi bisa) Urutan Mencit M4 M5 M6 M7 M8 M9
Sebelum Injeksi Allium Sativum Gerak Gerak Tidak gerak Gerak Tidak gerak Tidak gerak
Setelah Injeksi Allium sativum Tidak gerak Tidak gerak Tidak gerak Gerak Tidak gerak Tidak gerak
57
4.3.
Temuan Studi Studi kasus yang dilakukan terhadap 18 ekor mencit menghasilkan beberapa temuan. Uji coba yang dilakukan dapat menimbulkan beberapa tanda dan gejala yang muncul. Berikut ini adalah perubahan yang terjadi pada kasus gigitan ular kobra terhadap mencit, yaitu :
4.3.1. Pertahanan kelangsungan hidup mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra. Temuan yang dihasilkan dari uji coba mencit, yaitu perbedaan bertahan hidup. Mencit yang tidak diberikan ekstrak cair dari Allium sativum mampu bertahan hidup selama 9 menit. Sedangkan mencit yang diberikan injeksi ekstrak Allium sativum dengan dosis 1 mg, setelah 5 menit diinjeksi bisa ular kobra mencit-mencit ini mampu bertahan hidup selama 10 menit. Perbedaan mencit yang tidak diberikan injeksi ekstrak dengan mencit yang diberikan injeksi ekstrak 1 mg memiliki sedikit perbedaan dalam bertahan hidup. Selisih waktu dalam kemampuan bertahan hidup kurang lebih 1 menit. Hal ini berbeda dengan mencit yang diberikan dosis injeksi ekstrak 3 mg. Mencit dengan nama M7, M8, dan M9 ini mampu bertahan hidup hingga 30 menit atau setengah jam setelah 5 menit diinjeksi ekstrak cair dari Allium sativum Mencit yang dilakukan uji coba mengalami nyeri dinilai dari observasi peneliti. Beberapa mencit ada yang mengeluarkan suara saat diinjeksi, hal ini menandakan bahwa mencit tersebut mengalami kesakitan saat bisa masuk kedalam tubuhnya. Selain mengeluarkan suara beberapa
58
mencit kebingungan saat setelah diinjeksi bisa ular, kemungkinan mencit ini merasakan nyeri karena bisa tersebut. Mencit tampak bingung mencari tempat perlindungan dan selalu mengangkat kaki yang berdekatan dengan tempat injeksi. Respon nyeri juga tampak pada mencit yang selalu menggerak-gerakkan kakinya setelah diinjeksi serta berfokus pada area tempat injeksi. Mencit yang merespon rasa nyeri, yaitu mencit dengan kode nama M2, M3, M4, M6, dan M8. Kelima mencit tersebut tampak merespon nyeri karena bisa ular yang masuk dalam tubuh melalui injeksi. Setiap makhluk yang hidup memiliki respon tubuh terhadap sesuatu yang dihadapi. Respon suatu individu berbeda-beda, tetapi tidak menuntut kemungkinan bahwa responnya memiliki persamaan. Seperti halnya yang terjadi pada mencit yang telah diberikan injeksi bisa ular kobra ini. Mencit ini memiliki persamaan dalam merespon bisa ular yang masuk kedalam tubuh.
Sesaat
mencit
diinjeksi
bisa
ular
beberapa
diantaranya
menunjukkan respon nyeri dan dapat diketahui aktivitas pergerakkan mencit yang menunjukkan keaktifan atau sebaliknya. Nyeri ini muncul diawal tindakan dan respon fisiologis lain muncul menjelang kematian. Respon yang terjadi, yaitu mencit tampak lemas disertai detak jantung yang tampak cepat, kejadian ini terjadi pada masing-masing mencit. Detak jantung yang berhenti menandakan kematian pada mencit. Pada saat itulah muncul respon fisiologis yang lain, yaitu beberapa mencit mengeluarkan air seni dengan sendirinya.
59
4.3.2. Timbulnya edema pada kulit mencit setelah diinjeksi bisa ular kobra dan pemberian terapi ekstrak cairAllium sativum. Edema terjadi pada mencit yang diberikan dosis injeksi bisa 1 UI, sedangkan mencit yang dilakukan tusukkan dan olesan bisa ular tidak menimbulkan edema. Meskipun mencit yang mengalami edema tidak mampu bertahan hidup, tetapi dapat diamati perbedaan yang terjadi pada edema
yang
muncul.
Karakteristik
edema
berbeda
warna
dan
keparahannya. Peneliti tidak menilai seberapa besar edema yang terjadi pada masing-masing mencit. Peneliti lebih mengutamakan efek kekuatan ekstrak dalam mengatasi edema yang timbul, dan dalam hal ini dapat ditemukan hasil dari uji coba bahwa edema dengan perbedaan warna telah muncul pada kulit mencit yang diinjeksi bisa ular. Edema dengan warna pucat terjadi pada M4, M5, M6, M8, M9, dan sisanya dengan edema berwarna hitam, yaitu terjadi pada M1, M2, M3, dan M7. 4.3.3. Timbulnya Luka (kerusakkan jaringan kulit) pada mencit setelah dilakukan tusukan dan olesan bisa ular kobra. Luka yang terjadi pada uji coba tusukkan dan olesan bisa timbul setelah satu hari dilakukan tindakan. Karakteristik luka pada masingmasing mencit memiliki kesamaan warna, yaitu hitam dan sedikit kemerahan. Proses sembuhnya luka pada tiap mencit berbeda-beda. Mencit dikatakan sembuh jika jaringan kulit yang luka sudah sama dengan jaringan kulit disekitarnya. Mencit yang sembuh lebih awal adalah M10, M11, dan M12. Disaat ketiga mencit tersebut sembuh, mencit yang lain
60
masih memiliki bekas luka yang terlihat bintik hitam kecil. Luka yang diberikan terapi ekstrak krim dari Allium sativum sembuh lebih lambat dibandingkan pada luka yang tidak diberikan terapi. 4.3.4. Kekuatan ekstremitas pada mencit setelah diinjeksi bisa ular kobra dan pemberian terapi ekstrak cair Allium sativum. Uji coba
yang dilakukan terhadap mencit mempengaruhi
kemampuan gerak ekstremitas. Kaki yang berada di area bekas injeksi tidak dapat digerakkan. Kaki yang tidak dapat digerakkan biasanya berwarna hitam. Beberapa mencit masih berusaha berjalan untuk menghindari rangsangan sentuhan. Setelah dilakukan injeksi bisa ular ketiga mencit yang kakinya tidak dapat digerakkan, yaitu M1, M2, dan M3. Ketiga mencit ini tidak mendapatkan terapi injeksi ekstrak cair Allium sativum. Keenam mencit yang mendapatkan terapi ekstrak cair Allium sativum, satu diantaranya tidak mengalami gangguan pada ekstremitas di dekat area bekas injeksi, mencit tersebut adalah M7 dengan dosis injeksi ekstrak cair Allium sativum sebesar 3 mg. Sedangkan mencit lain yang mendapatkan terapi ekstrak cair Allium sativum tetap tidak dapat menggerakkan kakinya. Keenam mencit sebelum mendapatkan terapi ekstrak cair Allium sativum, tiga diantaranya telah mengalami gangguan pada ekstremitasnya, mencit tersebut yaitu M6, M8, dan M9. Sedangkan mencit M4, M5, dan M7 tidak mengalami gangguan ekstremitas. Kekuatan ekstremitas mencit setelah diinjeksi bisa ular dapat dilihat
dampaknya
dengan
jelas.
Sebagian
mencit
tidak
dapat
61
menggerakkan kakinya (M1, M2, M3, M6, M8, M9) dan yang lain masih mampu bertahan dalam menggunakan kakinya untuk tetap berjalan (M4, M5, M7). Kaki mencit yang tidak dapat bergerak memiliki ciri khusus yaitu berwarna kemerahan dan semakin lama kemerahan itu berubah menjadi hitam. Pemberian injeksi ekstrak cair dari Allium sativum setelah 5 menit diinjeksi bisa ular tidak mengubah kondisi dari kekutatan ekstremitas mencit. Gangguan pada ekstremitas mencit hanya terjadi pada mencit yang diinjeksi dosis 1UI bisa ular kobra. Gangguan ekstremitas juga terjadi pada mencit yang diberikan terapi ekstrak cair Allium sativum, diantaranya terjadi pada M4, M5, M6, M8, dan M9.
62
4.4.
Pembahasan
4.4.1. Pertahanan kelangsungan hidup mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra. Kelangsungan hidup mencit berdasarkan temuan studi dipengaruhi oleh dosis bisa ular kobra yang diinjeksikan. Mencit yang diinjeksi dengan dosis 1 UI menimbulkan dampak kematian untuk semua mencit, tetapi berdasarkan terapi ekstrak yang diberikan menimbulkan dampak yang berbeda dari setiap mencit. Dampak dari ekstrak tersebut adalah pertahanan hidup mencit dengan selang waktu (menit) yang berbeda-beda. Kematian terjadi 9 menit untuk mencit yang tidak diberikan injeksi ekstrak cair Allium sativum. Keadaan ini terjadi karena tidak adanya perlawanan dari suatu senyawa yang berperan sebagai penghambat, sehingga kerja bisa ular kobra dapat bebas menyerang tubuh mencit dan perlawanan sistem imun mencit tersebut tidak mampu mencegah atau menghambat kerja bisa ular yang masuk. Waktu 9 menit menunjukan bahwa kemampuan bertahan hidup mencit terbatas dan kemampuan bisa ular yang menunjukan cepatnya penyerangan dalam tubuh serta mematikan dengan dosis 1 UI yang diberikan. Perbedaan pertahanan hidup dapat diketahui dari mencit yang diinjeksi ekstrak cair dengan dosis 1 mg (0,02 UI) yang didapatkan hasil bahwa ketiga mencit yang diinjeksi dengan dosis ini mampu melewati waktu 10 menit sebelum terjadi kematian. Kemampuan bertahan hidup ketiga mencit dengan injeksi ekstrak cair ini sedikit lebih lama dibandingkan mencit yang tanpa pemberian injeksi ekstrak. Kejadian ini
63
dikarenakan adanya kandungan senyawa aktif dari Allium sativum yang berperan sebagai antioksidan dan menghambat kerja bisa ular kobra tersebut, namun perlawanan dengan dosis injeksi ekstrak cair 1 mg ini tidak cukup mampu untuk menghambat. 1 mg ekstrak cair yang masuk dalam tubuh tidak dapat mengimbangi kekuatan bisa yang berada di dalamnya sehingga waktu yang dapat diberikan untuk mencit dalam bertahan hidup hanya sebatas 10 menit dibandingkan mencit tanpa injeksi ekstrak. Perbedaan lamanya waktu bertahan hidup tersebut dari keduanya apabila dibandingkan belum cukup sebagai bukti kuat bahwa ekstrak cair Allium sativum yang dibuat mampu mempertahankan kelangsungan hidup mencit-mencit yang diinjeksi bisa ular kobra. Bukti kuat ditunjukkan dengan hasil uji coba mencit yang diinjeksi dosis ekstrak cair sebesar 3 mg (0,06 UI). Mencit-mencit yang diinjeksi dengan dosis tersebut mampu bertahan hidup lebih lama, yaitu mampu melewati waktu 30 menit sebelum kematian. Kejadian ini merupakan buktinya proses penghambatan kerja bisa ular kobra oleh kandungan antioksidan dari Allium sativum semakin meningkat. Dosis 3 mg mampu menyebar dalam tubuh ketika di injeksikan dalam tubuh dibandingkan dosis 1 mg. Banyaknya ekstrak cair yang masuk sebesar 0,06 UI mampu menghambat kerja bisa ular kobra dan sedikit membuatnya menjadi tidak aktif. Perlawanan ini mampu memperpanjang waktu hidup mencit hingga melewati 30 menit. Kelangsungan hidup mencit yang berbeda-beda menjadi bukti bahwa ekstrak cair dari Allium sativum mampu menghambat kerja bisa
64
ular kobra yang masuk kedalam tubuh mencit. Kejadian tersebut terbukti pada penelitian “Anti-venom Potential Of Pakistani Medicinal Plants : Inhibition Of Anticoagulation Activity Of Naja naja karachiensis Toxin” yang dilakukan di Pakistan oleh Asad et al (2013) menuliskan tentang penghambatan aktivitas bisa ular kobra (fosfolipase A2) oleh beberapa tanaman. Berikut ini adalah tabel tentang kekuatan penghambatan bisa ular dari beberapa tanaman : Nama sampel dan konsentrasi tiap sampel (5 µg/200 µI) Naja naja karachiensis venom Control (saline) Standart anti-dote (antisera) Albizia lebbeck (L.) Benth Allium cepa L. Allium sativum L.
Aktivitas Enzim Fosfolipase A2(%)
Inhibisi Enzim Fosfolipase A2(%)
100
0
0 0 100 24 60
100 100 0 76 40
Tabel diatas adalah sebagian tanaman yang disajikan pada hasil penelitian. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa Allium sativum mampu menghambat kerja fosfolipase A2 sebesar 40% saja, sedangkan sisanya 60% dari fosfolipase A2 masih aktif dan dapat bekerja didalam tubuh. Enzime fosfolipase yang aktif lebih besar dibandingkan dengan penghambatan yang dilakukan oleh Allium cepa(bawang merah). Fosfolipase A2 diaktivasi oleh Ca2+ (Satwika 2010) dan menurut Ihtiarto (2011) menuliskan bahwa aktivitas enzim meningkat 180% dengan adanya Ca2+. Pernyataan ini sesuai hasil diskusi dengan pakar berikut ini :
65
Pakar 1 : “.....Diaktivasi itu berati mengaktifkan jadi fosfolipase itu diaktifkan oleh Ca2+ yang berasal dari tubuh kita di dalam darah kan juga ada kalsium ini,....” Pakar 2 : “.....Manusia juga ada Ca2+, kalau di dalam proses pembekuan kan butuh ion kalsium. Tubuh kita kan ya punya kalsium. Mau sumbernya darimanapun kalau ada ion kalsium fosfolipase A2 nya ya bisa aktif......” Berdasarkan pernyataan dan hasil diskusi diatas, maka dapat diketahui bahwa aktivitas enzim fosfolipase A2 ini akan mempengaruhi pertahanan hidup mencit dari efek yang ditimbulkan. Bisa ular kobra dapat menyebar melalui pembuluh darah dengan adanya ion kalsium yang mengaktifkan fosfolipase A2, setelah aktif enzim ini baru akan dapat bekerja mempengaruhi komponen yang terdapat dalam pembuluh darah. Menurut Kuriakose (2012) di dalam penelitiannya yang berjudul “Evaluation Of Venom Neutralising Capacity Of Indian Medicinal Plants by in vitro Methods” dituliskan bahwa racun fosfolipase A2 mampu menyebabkan lisis sel darah merah dan di dalam penemuannya disebutkan bahwa 15 µg dari bisa ular kobra yang mampu menyebabkan hemolisis (Kuriakose 2012). Hemolisis adalah penghancuran sel darah merah, dengan melepaskan hemoglobin yang terkandung di dalamnya (Brooker 2009). Filani (2009) dari IPB telah melakukan uji aktivitas hemolisis menggunakan sel darah merah sapi 4% dengan menempatkannya pada
66
pelat mikro yang telah diberikan bisa ular kobra dan air. Berikut ini adalah bukti uji aktivitas hemolisis yang telah dilakukannya.
(A)
(B)
Gambar 12. Uji aktivitas hemolisis pada darah (Filani 2009). Berdasarkan gambar diatas aktivitas hemolisis ditunjukkan oleh gambar (B) yang menunjukkan darah memenuhi luasnya penampang pelat mikro setelah penambahan ekstrak bisa ular kobra. Pernyataan tentang hemolisis ini sesuai hasil diskusi dengan pakar berikut ini : Pakar 1 : “.....Proses hemolisis juga dipengaruhi fosfolipase, begini mas fosfolipase itu akan memecah sel darah merah sehingga terjadi hemolisis. Mengapa begitu? Karena di dalam sel itu kan membrannya terdiri dari fosfolipid nah, fosfolipid ini dengan adanya fosfolipase A2 ini akan dipecah, hidrolisis, jadi ini buka, begitu dia buka ini akan pecah.” Pakar 2 : “.....Strukturnya eritrosit adalah fosfolipid bilayer berarti tersusun dari fosfat dan lemak 2 lapis. Berarti kalau ini lisis, berarti ini kan pecah terurai. Selnya jadinya bolong. Kalau selnya bolong otomatis isi selnya ini lisis, eritrositnya lisis pecah. Iya to? Berarti kan terjadi hemolisis. Siapa yang menyebabkan ya ini fosfolipase A2.”
67
Berdasarkan pernyataan dan diskusi diatas, maka dapat diketahui bahwa hemolisis dipengaruhi oleh enzim fosfolipase A2. Kerja fosfolipase akan merusak komponen eritrosit dan melisiskan semua isi yang berada didalam eritrosit. Berikut ini adalah gambar tentang proses hemolisis di dalam pembuluh darah.
Gambar 13. Proses hemolisis di dalam pembuluh darah (Ihtiarto 2011). Apabila kejadian seperti gambar diatas terjadi di sepanjang pembuluh darah, maka akan timbul dampak negatif di dalam
tubuh.
68
Graber (2006) menuliskan bahwa dapat timbul gagal ginjal akibat hemolisis. Kematian akan menjadi komplikasi akhir dari setiap efek yang ditimbulkannya. Pencegahan yang diberikan untuk mengatasi hal tersebut dibuktikan oleh Allium sativum yang telah diberikan terhadap hewan uji coba mencit, karena beberapa kandungan dari Allium sativum mampu menghambat kerja fosfolipase A2. Aktivitas fosfolipase A2 akan berkurang 10-20% dengan adanya Cu2+ dan Zn2+ (Ihtiarto 2011). Sedangkan menurut Satwika (2010) menuliskan bahwa fosfolifase A2 diinhibisi oleh zink, barium, dan ion mangan. Pernyataan ini sesuai hasil diskusi dengan pakar : Pakar 1 : “.....Fosfolipase nya diinhibisi oleh zink, berati fosfolipasenya dihambat oleh zink yang berada di Allium sativum tadi,...... selain itu tadi, ini ada kandungan flavonoid yang terdapat di dalam Allium sativum ini dapat merusak kerja fosfolipase, merusak aktivitas dengan cara mendenaturasi, jadi flavonoid nya menempel pada fosfolipase dan merusak struktur sehingga menjadi tidak aktif. Flavonoid ini termasuk metabolisme sekunder dari tumbuhan, biasanya jumlahnya sedikit dan untuk pertahanan diri tanaman itu.” Pakar 2 : “......Kandungan di dalam bisa ular itu kan fosfolipase, kemudian kandungan yang melawan atau menghambat kerja enzim fosfolipase adalah ion logamnya. Nah, zink ini yang berperan sebagai selenium atau ion logam. Padahal kerja enzim dapat dihambat oleh ion logam. Ion logam ini menyebabkan strukturnya itu berubah..........Kalau flavonoid termasuk jenis alkaloid, semua tanaman itu banyak sekali flavonoidnya, semua tanaman itu pasti punya.”
69
Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa kandungan didalam Allium sativum, beberapa diantaranya seperti ion logam (selenium, zink, zat besi, kobalt, kromium, dan magnesium) dapat menghambat aktivitas bisa ular kobra yang masuk ke dalam tubuh. Sedangkan flavonoid yang di ungkapkan oleh kedua pakar, menunjukkan bahwa flavonoid terdapat pada sebagian besar tanaman dan dipercaya sebagai antioksidan untuk mencegah aktivitas fosfolipase. Pernyataan tentang flavonoid diperkuat oleh Asad et al (2013) pada penelitiannya yang
menyebutkan
bahwa
flavonoid,
fenol,
quinonoids,
terpenoiddanxanthenesdidokumentasikansebelumnyauntuk menonaktifkankonstituenbisa ular. Berikut ini adalah ilustrasi mekanisme penghambatan bisa ular kobra oleh beberapa ion logam dan atau flavonoid yang berada pada kandungan bawang putih. : Flavonoid : Ion logam : Struktur aktif fosfolipase A2 (PLA2)
PLA2
Struktur aktif fosfolipase A2
PLA2
Proses denaturasi fosfolipase A2oleh ion logam dan flavonoid
PLA2
Struktur Non aktif fosfolipase A
Gambar 14. Proses denaturasi fosfolipase A2 oleh kandungan Allium sativum.
70
Gambar diatas menunjukkan proses penghambatan kerja bisa ular oleh kandungan bawang putih yang berperan sebagai antioksidan. Flavonoid dan ion logam akan mendenaturasi struktur dari fosfolipase. Perubahan bentuk enzim fosfolipase akan menyebabkan enzim tersebut menjadi tidak aktif, sehingga tidak akan terjadi hemolisis dan dampak bahaya lainnya. Sesuai yang telah disebutkan diatas bahwa Allium sativum mampu menghambat aktivasi fosfolipase 40% nya saja. Lebih besar fosfolipase yang masih dapat aktif daripada fosfolipase yang dihambat. Karena aktifnya fosfolipase ini hemolisis masih tetap terjadi. Pada mencit dengan injeksi 3 mg ekstrak cair Allium sativum mampu bertahan hidup melewati waktu 30 menit. Kejadian ini adalah bukti dari proses penghambatan ion logam dan atau flavonoid yang terdapat pada kandungan ekstrak. Semakin besar dosis yang diberikan terhadap mencit akan mempengaruhi lamanya pertahanan hidup mencit. Hal ini yang baru diketahui dari kedua dosis antara 1 mg dan 3 mg yang diberikan. 4.4.2. Pencegahan edema pada kulit mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra. Berdasarkan hasil penemuan setelah dilakukan uji coba, mencit menunjukkan timbulnya edema pada bekas area injeksi. Edema merupakan penimbunan cairan berlebih di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Penamaan penimbunan cairan ini bergantung pada lokasi dimana edema itu terjadi. Edema dapat terjadi secara lokal maupun umum.
71
Edema akan terjadi apabila tekanan hidrostatik intravaskuler meningkat, tekanan osmotik koloid plasma menurun, dan gangguan aliran limfe. Ketiga keadaan tersebut merupakan penyebab primer edema yang bukan disebabkan oleh reaksi radang (Asmadi 2008). Edema sekunder yang disebabkan oleh reaksi radang, menurut Elizabeth J. Corwin (2009) menuliskan bahwa infeksi dan inflamasi berkaitan dengan pembengkakan interstisial dan edema yang disebabkan oleh pelepasan mediator inflamasi vasoaktif yang menstimulasi peningkatan aliran darah kapiler dan peningkatan permeabilitas kapiler. Toksin bakterial juga menyebabkan kerusakan sel yang signifikan dan menyebabkan kerusakan kapiler sehingga kembali menyebabkan pembengkakan interstisial. Pernyataan tersebut sesuai diskusi dengan pakar berikut ini : Pakar 1 : “Edema itu merupakan bentuk radang akut. Apa yang menyebabkan radang akut? Benar, ya fosfolipase ini. Nah, pada jaringan yang mengalami radang akut ditemukan naiknya permeabilitas vaskuler akibat pemisahan sel endotel dibawah pengaruh mediator kimia. Sel endotel itu adalah sel-sel yang membentuk lapisan dalam pembuluh darah. Cairan yang mengandung banyak protein keluar dari pembuluh darah yang permeabel, masuk ke dalam jaringan yang mengalami radang.” Pakar 2 : “......Kalau edema itu kan cenderung bengkak ya, bengkak larinya ke inflamasi, inflamasi larinya ke proses mekanisme fagositosis. . . . . .kalau ada bisa ular ini salah satunya menyebabkan inflamasi. Pembengkakan dan sebagainya itu pasti ada zat yang hubungannya dengan mediator kimia, salah satunya adalah histamin, . . . . .enzim fosfolipase ini kan berperan sebagai toksinnya ya kan, Nah, enzim fosfolipase ini dianggap sebagai antigen atau suatu yang asing bagi tubuh. Kerja dari mediator
72
kimia yang dilepaskan oleh fagositosit salah satunya adalah melebarkan pembuluh darah, vasodilatasi sehingga terbentuknya edema.” Berdasarkan per pernyataan nyataan diatas dapat diketahui bahwa edema pada mencit setelahdiinjeksi bisa ular kobra terjadi karena proses peradangan. Bisa ular yang masuk kedalam tubuh mempengaruhi permeabilitas kapiler sehingga menjadi penyebab sekunder terjadinya edema. Berikut ini adalah gambar dari mekanise terjadinya edema pada kulit.
Gambar 15. Jenis penyebab edema pada kulit (Underwood 1999). Gambar diatas menunjukkan mekanisme terjadinya edema oleh fosfolipase A2 yang dianggap sebagai antigen dalam tubuh. Neutrofil keluar dari pembuluh darah untuk melawan antigen yang masuk. Perlawanan neutrofil ini berusaha untuk mengalahkan bisa ular kobra yang masuk ke dalam tubuh dengan cara memakannya, proses ini disebut fagositosis. sitosis. Neutofil yang emigrasi dari pembuluh darah menuju lapisan
73
sel endotel akan menyebabkan terjadinya edema atau pembengkakan, sehingga tampak benjolan dari kulit luar. Edema yang terjadi pada mencit mengalami perbedaan warna dikarenakan injeksi dari ekstrak cair Allium sativum. Edema berwarna pucat terjadi pada M4, M5, M6, M8, dan M9. Kelima mencit ini adalah mencit yang telah diberikan injeksi ekstrak cair Allium sativum. Edema mencit yang berwarna pucat menunjukkan bahwa ekstrak cair yang diberikan mempengaruhi warna edema yang timbul. Cairan dari Allium sativum telah bercampur dengan darah yang tertimbun di jaringan kulit (edema), atau karena kandungan yang berada di dalam Allium sativum ikut berperan dalam melawan bisa ular kobra yang masuk ke dalam tubuh, sehingga warna dari edema kelima mencit ini berbeda dengan warna edema pada mencit lainnya. Pada mencit dengan edema berwarna hitam, yaitu M1, M2, M3, dan M7. Edema warna hitam ini menunjukan bahwa bisa ular kobra hanya dilawan oleh sistem imun yang berada dalam tubuh mencit itu sendiri, karena pada keempat mencit ini tiga diantaranya adalah mencit yang tidak diberikan injeksi Allium sativum. Perlawanan tanpa bantuan injeksi ekstrak cair dari Allium sativum menjadikan warna edema menghitam. Hal ini dikarenakan meningkatnya kerja antigen yang masuk dan perlawanan sistem imun yang tidak mampu mengalahkan atau memakan antigen tersebut. Sehingga lama-kelamaan darah akan bertambah dibawah permukaan epidermis dan mengering sehingga berwarna kehitaman.
74
4.4.3. Pencegahan
kerusakkan
jaringan
kulit
pada
mencit
dengan
pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra Luka merupakan kerusakan kontinuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain, ketika luka muncul akan timbul efek seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri serta kematian sel (Baroroh 2011). Luka fisik yang disebabkan agen mikroba akan mempengaruhi kulit, membran mukosa, organ, dan aliran darah. Penyebab luka agen mikroba ini juga dapat menghasilkan eksotoksin atau melepaskan endotoksin serta dapat mempengaruhi sel-sel lain (Tambayong 2000). Menurut hasil diskusi dengan pakar tentang luka gigitan ular kobra adalah sebagai berikut : Pakar 1 : “.....Berawal dari fosfolipasenya tadi yang dapat memutus benangbenang fibrin. . . . . Lukanya juga dipengaruhi oleh hemolisisnya tadi.” Pakar 2 : “Nah luka itu kan sebagai akibat terjadi inflamasi tadi, kalau edema dibiarkan kan wujudnya menjadi luka. Luka kalau ada tumpanganya bakteri justru dapat memperparah luka.” Pernyataan tentang luka akibat bisa ular dituliskan oleh Sudoyo (2006) bahwa dampak bisa ular dapat berperan sebagai antifibrin dan antikoagulan. Keadaan ini merupakan penghambatan benang-benang fibrin ketika dalam masa penyembuhan luka. Fibrin yang tidak terbentuk akan menyebabkan luka semakin parah, bahkan dapat terjadi nekrosis karena
75
luka tidak kunjung kering. Pakar 1 menyebutkan bahwa luka yang timbul dipengaruhi oleh fosfolipase yang masuk dalam tubuh sampai terjadinya hemolisis. Keadaan ini akan menyebabkan kulit menjadi hematom, diperparah dengan sifat fosfolipase yang menghambat terbentuknya benang fibrin sehingga mengakibatkan timbulnya luka. Pakar 2 menyebutkan bahwa luka terjadi akibat edema yang dibiarkan. Edema yang tertimbun adalah darah di bawah permukaan kulit, sesuai dengan sifat bisa ular yang disebutkan oleh Sudoyo (2006), yaitu menimbulkan dampak antikoagulan, maka pembekuan darah akan terhambat dan bahkan perdarahan dapat meningkat. Luka yang timbul akan semakin parah jika terdapat bakteri yang menempel atau menginvasi luka tersebut. Pendapat kedua pakar ini saling berkaitan dalam menyebutkan penyebab timbulnya luka. Berdasarkan hasil temuan studi karakteristik awal timbulnya luka pada masing-masing mencit adalah sama. Cepatnya proses penyembuhan luka terjadi pada M10, M11, dan M12 dibanding mencit-mencit lain yang diberikan terapi ekstrak krim Allium sativum. Pada masing-masing mencit masih timbul bintik hitam kecil (cicatrik) pada bekas injeksi yang menandakan belum sepenuhnya luka sembuh. Hal ini terjadi pada mencit selain M10, M11, dan M13 pada hari ke-7. Kecepatan ekstrak krim dari Allium sativum dalam menyembuhkan luka lebih lambat dibandingkan luka yang tanpa pemberian terapi ekstrak. Keadaan ini terjadi karena dari metode maserasi dalam pembuatan ekstrak
76
yang kurang tepat. Ketika dilakukan ekstraksi bawang putih untuk dijadikan salep atau krim, kandungan bawang putih tidak bisa ditarik sempurna oleh etanol, dikarenakan kandungan antibiotiknya yang menguap waktu dilakukan proses ekstrak dengan corong buchner. Kandungan dari bawang putih yang mudah menguap, yaitu minyak atsiri. Kandungan ini sangat berperan dalam penyembuhan luka karena sebagai antibiotik atau antiseptik. 4.4.4. Pertahanan fungsi ekstremitas pada mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra Ekstremitas adalah anggota gerak tubuh. Jalannya rangsang gerak dapat dimulai dari tahap rangsang-reseptor-saraf sensorik-otak-saraf motorik-efektor-gerakan (Wariyono 2008). Kelumpuhan atau gangguan gerak pada manusia ataupun hewan pastinya terdapat gangguan pada komponen tersebut. Mencit yang diinjeksi bisa ular kobra menimbulkan dampak yang serius pada salah satu ekstremitasnya. Kaki yang berada didekat area injeksi tidak dapat digerakkan dan tampak berwarna kehitaman serta mencit tampak tidak seimbang saat berjalan. Mencit yang mengalami keadaan ini terjadi pada M1, M2, M3, M6, M8, dan M9. Pernyataan pakar tentang masalah tersebut adalah sebagai berikut : Pakar 1 : “. . . . .Bagaimanapun sama seperti kita manusia itu kan punya kekebalan masing-masing. Jadi sistem imunnya kan berbeda-beda. Kemudian kalau seperti ini kondisinya, ketika ini sudah diberikan bisa ular, kemungkinan tidak bisa geraknya itu ya karena itu tadi mas. Saraf penghubung antara saraf satu dengan saraf yang lain itu, enzim fosfolipase tadi memecah daripada zat-zat sel saraf.
77
Kalau sel saraf itu kan juga punya membran sehingga katakan ini sel saraf nyambung satu, nyambung dua, tiga dan seterusnya. Ya kalau disini Anda berikan racun, ini kan tidak ada implus saraf yang sampai. . .” Pakar 2 : Nah berati kearah sistem sarafnya. Sistem saraf bagaimana kerja bisa ular itu menginaktifkan saraf sampai terjadinya, istilahnya kalau orang lumpuh, kejang, kekakuan. . . . . nggak harus terpotong hanya mekanisme sistem kerja saraf itu ke neurotransmiternya terganggu, jadi komunikasi selnya atau transportasi antar sel itu kan jadi nggak lancar. Sesuatu bisa jalan itu kan ada komunikasi, nah komunikasi nggak jalan itu menyebabkan terjadinya proses kelumpuhan.” Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa bisa ular kobra yang diinjeksikan pada mencit akan mempengaruhi pergerakan mencit tersebut. Bisa ular kobra yang masuk selain dapat menghemolisis juga dapat menyerang sel-sel saraf. Terganggunya sistem saraf dapat menjadi faktor utama terjadinya kelumpuhan atau kekakuan pada otot. Pernyataan kedua pakar tersebut sesuai yang dituliskan Cepy Suherman (2009) bahwa bisa ular kobra dapat melumpuhkan saraf-saraf dan otot-otot mangsanya dalam beberapa menit. Ekstrak Allium sativum yang diinjeksikan bertujuan untuk menjadi terapi
bagi
mencit
yang diinjeksi
bisa ular agar tetap
dapat
mempertahankan gerak ekstremitasnya. Pernyataan pakar tentang Allium sativum dalam mempertahankan pergerakkan ekstremitas adalah sebagai berikut : Pakar 1 : “.......tetap dipengaruhi mas, soalnya ini bisa bergerak ini tidak kok. Tapi kalau statistik ini bisa diukur nilai kekuatan ototnya
78
berapa. . . . . fosfolipasenya juga dihambat ekstrak Allium sativum ini sehingga ada yang menghentikan kerja bisa ular kobra ini di dalam sistem saraf, sehingga implus tetap jalan. Untuk kandungan ini belum dijelaskan secara detail zat apa yang menyebabkan itu. . . . . Kalau mencit-mencit ini (M6, M8, M9) mungkin ketahanannya masing-masing.” Pakar 2 : “Ada, misalkan bisa ularnya ini ngeblok asetilkolin supaya ndak jalan, padahal sistem saraf berjalan kalau ada asetilkolin. Tapi dengan adanya Allium sativum ini ndak sampai terjadi blok, sehingga blokingnya ndak terjadi. Ototmatis kan ndak terjadi kelumpuhan. . . . Jadi menghambat supaya tidak terjadi blokingnya ini. Kalau mencit ini ya mungkin karena ketahanan tiap individu itu kan beda-beda.” Berdasarkan pernyataan kedua pakar diatas, Allium sativum mampu menghambat kerja racun bisa ular di dalam sistem saraf. Apabila racun bisa ular terhambat kerjanya, maka implus saraf atau komunikasi antar selnya tetap berjalan sehingga tidak menyebabkan kelumpuhan atau gangguan gerak. Pada hasil uji coba, mencit yang tidak diberikan ekstrak cair Allium sativum menunjukkan ketidakmampuan dalam menggerakan kakinya. Hal ini menunjukkan bahwa bisa ular kobra telah merusak sistem saraf mencitmencit tersebut. Pada kaki mencit M7 mampu bertahan untuk bergerak, hal ini sebagai bukti bahwa bisa ular kobra mendapat perlawanan dari Allium sativum yang diinjeksikan dan di dukung oleh sistem imun mencit tersebut dalam melawan bisa ular kobra yang masuk ke dalam tubuh. Mencit yang diberikan injeksi Allium sativum tetapi masih mengalami gangguan gerak
79
(M4, M5, M6, M8, M9) disebabkan pertahanan tubuh mencit yang lemah sehingga tidak mampu menggerakkan kakinya.
BAB V PENUTUP
5.1.
Simpulan Penelitian yang berjudul “Penggunaan Ekstrak Allium sativum Untuk Perawatan Luka Gigitan Ular Kobra” ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
5.1.1. Pertahanan kelangsungan hidup mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra Pertahanan hidup mencit pada penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak cair Allium sativum dengan dosis 3 mg mampu memperpanjang hidup mencit yang telah diinjeksi bisa ular kobra. Kejadian ini ditunjukan dari hasil observasi bahwa dosis 3 mg mampu memberikan pertahanan hidup melewati waktu 30 menit. Dosis 1 mg yang diberikan tidak cukup efektif dalam menghambat bisa ular kobra yang diinjeksikan. Hal ini dapat diketahui dari hasil uji coba bahwa mencit dengan injeksi 1 mg ekstrak menunjukkan waktu pertahanan hidup melewati waktu 10 menit. Waktu ini hanya berbeda 1 menit dengan mencit yang tidak diberikan injeksi ekstrak cair Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra.
80
81
5.1.2. Pencegahan edema pada kulit mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak cair Allium sativum mampu merubah warna edema pada kulit mencit. Hal ini terbukti bahwa mencit tanpa injeksi ekstrak cair menunjukan edema berwarna hitam, sedangkan mencit yang diberikan injeksi ekstrak cair menunjukan edema berwarna pucat. Besar kecilnya edema tidak dipengaruhi injeksi atau tidaknya ekstrak cair yang diberikan, karena karakteristik besarnya edema rata-rata sama pada setiap mencit. 5.1.3. Pencegahan
kerusakkan
jaringan
kulit
pada
mencit
dengan
pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra Kecepatan ekstrak salep dari Allium sativum dalam menyembuhkan luka lebih lambat dibandingkan luka yang tanpa pemberian terapi ekstrak. Keadaan ini terjadi, karena dari metode maserasi dalam pembuatan ekstrak yang kurang tepat. Ketika dilakukan ekstraksi bawang putih untuk dijadikan salep atau krim, kandungan bawang putih tidak bisa ditarik sempurna oleh etanol, selain itu kandungan antibiotiknya menguap waktu dilakukan proses ekstrak melalui corong buchner. 5.1.4. Pertahanan fungsi ekstremitas pada mencit dengan pemberian ekstrak Allium sativum setelah diinjeksi bisa ular kobra Berdasarkan dosis injeksi Allium sativum yang diberikan untuk mempertahankan pergerakkan kaki mencit, belum diketahui secara pasti tingkat keefektifannya. Pada kaki mencit M7 mampu bertahan untuk
82
bergerak, hal ini sebagai bukti bahwa bisa ular kobra mendapat perlawanan dari Allium sativum yang diinjeksikan dan di dukung oleh sistem imun mencit tersebut dalam melawan bisa ular kobra yang masuk ke dalam tubuh. Kekuatan ekstremitas mencit dipengaruhi oleh sistem imun mencit tersebut dan memperoleh dukungan dari kandungan antioksidan Allium sativum.
5.2.
Implikasi Teori Ekstrak cair Allium sativum(bawang putih) dosis 3 mg mampu memperpanjang waktu pertahanan hidup saat bisa ular kobra (fosfolipase A2) masuk ke dalam tubuh. Kandungan bawang putih seperti ion logam dan flavonoid berperan sebagai antioksidan. Ketika bisa ular kobra atau fosfolipase A2 masuk ke dalam tubuh akan aktif oleh adanya kalsium (Ca2+). Fosfolipase yang aktif akan mempengaruhi sistem peredaran darah. Salah satunya akan terjadi hemolisis, yaitu pecah atau terurainya sel darah merah di dalam pembuluh darah. Adanya ion logam dan flavonoid di dalam bawang putih akan menghambat kerja fosfolipase A2 tersebut. Ion logam dan flavonoid akan mendenaturasi atau mengubah struktur bentuk fosfolipase A2, sehingga fosfolipase akan rusak dan menjadi tidak aktif. Bawang putih ini hanya menghambat fosfolipase sebesar 40% nya saja, sehingga fosfolipase masih tetap aktif di dalam tubuh dan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, karena memiliki peluang aktif 60%.
83
Edema terjadi oleh adanya proses fagositosit. Pada gigitan ular kobra, racun bisa ular tersebut dianggap sebagai antigen yang masuk ke dalam tubuh. Secara langsung tubuh akan memberikan perlawanan dengan mengeluarkan neutrofil dari pembuluh darah. Perlawanan neutrofil ini berusaha untuk mengalahkan bisa ular kobra yang masuk ke dalam tubuh dengan cara memakannya, proses ini disebut fagositosis. Neutofil yang emigrasi dari pembuluh darah menuju lapisan sel endotel akan menyebabkan terjadinya edema atau pembengkakan, sehingga tampak benjolan dari kulit luar. Adanya Allium sativum yang masuk pada area bekas injeksi bisa ular akan merubah warna edema menjadi pucat. Keadaan edema ini terjadi karena bercampurnya cairan ekstrak dengan darah, sehingga ekstrak mampu melawan mikroba yang berasal dari bisa ular kobra. Sedangkan perlawanan tanpa bantuan injeksi ekstrak cair dari Allium sativum menjadikan warna edema menghitam. Hal ini dikarenakan meningkatnya kerja antigen yang masuk dan perlawanan sistem imun yang tidak mampu mengalahkan atau memakan antigen tersebut. Sehingga lama-kelamaan darah akan bertambah dibawah permukaan epidermis dan mengering sehingga berwarna kehitaman. Bisa ular kobra dapat berdampak sebagai antifibrin dan antikoagulan. Keadaan ini merupakan penghambatan benang-benang fibrin ketika dalam masa penyembuhan luka. Fibrin yang tidak terbentuk akan menyebabkan luka semakin parah, bahkan dapat terjadi nekrosis karena luka tidak kunjung kering. Luka yang timbul dipengaruhi oleh fosfolipase
84
yang masuk dalam tubuh sampai terjadinya hemolisis. Keadaan ini akan menyebabkan kulit menjadi hematom, diperparah dengan sifat fosfolipase yang menghambat terbentuknya benang fibrin sehingga mengakibatkan timbulnya luka. Kemampuan Allicin dan minyak atsiri berperan sebagai antibakteri yangterkandung di dalam bawang putih mampu mematikan bakteri yang menginvasi luka, sehingga luka tidak bertambah parah. Pada ekstrak Allium sativum tidak mampu menyembuhkan luka dikarenakan kandungan antibiotik yang terdapat di dalam bawang putih mudah menguap saat proses ekstrak berlangsung. Allium sativum mampu menghambat kerja racun bisa ular di dalam sistem saraf. Apabila racun bisa ular terhambat kerjanya, maka implus saraf atau komunikasi antar selnya tetap berjalan sehingga tidak menyebabkan kelumpuhan atau gangguan gerak.
5.3.
Saran Berdasarkan kesimpulan dan implikasi penelitian di atas dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut :
5.3.1. Kepada Institusi Pendidikan Hendaknya penelitian yang menggunakan hewan uji selanjutnya dapat difasilitasi oleh institusi pendidikan. Tempat penelitian dapat dipersiapkan, sehingga mahasiswa tidak kesulitan dalam mencari tempat penelitian. Tempat yang telah tersedia juga akan menambah fasilitas STIKes sehingga akan mampu bersaing dengan institusi lainnya.
85
5.3.2. Kepada Masyarakat Masyarakat dapat menggunakan bawang putih sebagai penanganan awal gigitan ular berbisa sebelum seseorang mendapatkan penanganan secara medis. Sehingga gejala gigitan ular dapat dicegah beberapa saat dan tidak menimbulkan dampak semakin memburuk. Masyarakat juga memiliki kesempatan untuk membawa ke instansi kesehatan terdekat setelah diberikan pencegahan dengan bawang putih. 5.3.3. Kepada Peneliti Penelitian ini dapat dilanjutkan oleh peneliti lain dengan mengubah beberapa metode penelitian. Peneliti lain dapat meningkatkan dosis injeksi atau dapat menggunakan metode in vitro dalam menguji sampel bisa ular kobra dan bawang putih. Pengujian sampel untuk mengetahui kandungan bawang juga dapat dilakukan dengan menggunakan model spektrum.
Daftar Pustaka
Aini, Kurota Upik 2008, ‘Kajian Histopatologi Pemberian Kombinasi Herbal (Bawang Putih dan Kunyit) dengan Zink terhadap Organ Ginjal Ayam Broiler yang Terinfeksi Virus Mare’, Skripsi, Sarjana Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Anandika, Danar Dwi 2011, ‘Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Menurunkan Jumlah Leukosit pada Mencit Model Sepsis akibat Paparan Staphylococcus aureus’, Vol.38, 2,Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta Anantyo, Dimas Tri 2009, ‘Efek Minyak Atsiri dari Bawang Putih (Allium sativum) terhadap Presentase Jumlah Neutrofil Tikus Wistar yang Diberi Diet Kuning Telur’, Skripsi, Sarjana Kedokteran, Universitas Diponegoro, Semarang Asad, Muhammad Hassham Hassan Bin, Muhammad Tahir Razi, Durr-e-Sabih, Qazi Najamus-Saqib, Sheikh Jawad Nasim, Ghulam Murtaza and Hussain, Izhar 2013, ‘Anti-venom Potential Of Pakistani Medicinal Plants : Inhibition Of Anticoagulation Activity Of Naja naja karachiensis Toxin’, CURRENT SCIENCE, Vol.105, No.10 Asmadi 2008, Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien, Salemba Medika, Jakarta Baniati, Rik 2001, ‘Reaksi Silang Antibisa Ular Spesifik Calloselasma Rhodostoma dan Bungarus fasciatus terhadap Bisa Ular Naja sputatrix Secara In Vitro’, Skripsi, Sarjana Kedokteran Hewan, Insttut Pertanian Bogor, Bogor Baroroh, Dewi B 2011, ‘Konsep Luka’,Basic Nursing Departement, PSIK FIKES UMM Brooker, Chris 2009, Ensiklopedia Keperawatan, EGC, Jakarta Corwin, Elisabeth J 2009, Buku Saku Patofisiologi Edisi 3, EGC, Jakarta Evennett, Karen 2006, Khasiat Bawang Putih, Arcan, Jakarta Fathoni, Abdurrahmat 2006, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, PT Asdi Mahasatya, Jakarta Filani, Susan 2009, ‘Isolasi dan Pencirian Komponen Hemotoksin Bisa Ular Kobra’, Skripsi, Sarjana Sains pada Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Graber, Toth, dan Herting, Robert L 2006, Buku Saku Dokter Keluarga University Of Lowa, EGC, Jakarta Greenberg dan Hendrickson, etal 2004, Teks Atlas Kedokteran Kedaruratan, Penerbit Erlangga, Jakarta Goa, Yusnita La 2011, ‘Isolasi dan Karakterisasi Fosfolipase A2 dari Racun Duri Acanthaster planci Isolat Perairan Papua’, Tesis, Magister Teknik Kimia, Universitas Indonesia, Depok Ihtiarto, Skripsihana 2011, ‘Ekstraksi, Pemurnian dan Uji Aktivitas Antibakterial Racun Duri Acanthaster Planci Perairan Maluku dan Papua’. Skripsi, Sarjana Teknik Kimia, Universitas Indonesia, Depok Kristiana, Hery 2008, ‘Gambaran Darah Mencit (Mus musculus albinus) yang Diberi Salep Ekstrak Etanol dan Fraksi Hexan Rimpang Kunyit (Curcuma longa Linn) Pada Proses Persembuhan Luka’, Skripsi, Sarjana Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Bogor Kuriakose, Beena Briget, N.A.Aleykutty, dan Nitha, B 2012, ‘Evaluation Of Venom Neutralising Capacity Of Indian Medicinal Plants by in vitro Methods’, Asian Journal Of Pharmaceutical and Health Sciences, Vol.2, Issue-4 Lischer, kenny 2012, ‘Ekstraksi Phospolipase A2 Duri Bintang Laut Acanthaster planci Perairan Maluku dan Preparasi Uji Aktivitas Antiviral Pada HIV’, Skripsi, Sarjana Teknik Bioproses, Universitas Indonesia, Depok Maulida, D dan Zulkarnaen, N 2010, ‘Ekstraksi Antioksidan (Likopen) dari Buah Tomat denggan Menggunakan Solven Campuran, n-Heksana, Aseton, dan Etanol’, Skripsi, Sarjana Teknik Kmia, Universitas Diponegoro, Semarang Muslim, Hotly, M. P dan H. Widjajanti 2009, ‘Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) Untuk Mengobati Benih Ikan Patin Siam (Pangasius hypophthalmus) yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophylla’,Jurnal Akuakultur Indonesia, Vol.8, No.1, 91-100 Niasari, Nia dan Latief Abdul 2003, ‘Gigitan Ular Berbisa’, Sari Pediatri, Vol.5, No.3, 92-98 Pradanakusuma, David 2007, ‘Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka’, Universitas Airlangga, Surabaya Prihatini, Trisnaningsih, Muchdor, & Rachman 2007, ‘Penyebaran Gumpalan dalam Pembuluh Darah (Disseminated intravasculer coagulation) Akibat Racun Gigitan Ular’, Indonesia Journal of Clinical Pathologi and Medical Laboratory, Vol.14, 1, 37-41
Purwoko, Yosef 2003, ‘Pengaruh Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum) Terhadap Respon Imun Seluler Mencit BALB/C yang Diinfeksi Salmonella Typhimurium’, Tesis, Magister Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro, Semarang Rahadian, Rudi 2012,Manajemen Gigitan Ular, Sioux Indonesia, Jakarta Rukmana, H. Rahmat 2005, Bertanam Sayuran di Pekarangan, Kanisius, Yogyakarta Satwika, Respatiphala Ardha 2010, ‘Kombinasi Metode Sonikasi, Pemanasan dan Fraksinasi Amonium Sulfat Untuk Ekstraksi Enzim Fosfolipase A2 dari Acanthaster planci’, Skripsi, Sarjana Teknik Kimia, Universitas Indonesia, Depok Sudoyo, A. W 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Depok Suherman, Cepy 2009, Hewan-Hewan Beracun Di Sekitar Kita, Buana Cipta Pustaka, Jakarta Sumarto, Hetifah Sj 2009, Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance : 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipasif di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Suriadi 2004, Perawatan Luka Edisi I, CV. Sagung Seto, Jakarta Sutopo 2006, Metodologi Penelitian Kualitatif (Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian), UNS Press, Surakarta Syamsiah, I. S dan Tajudin 2003, Khasiat dan Manfaat Bawang Putih, Agro Media Pustaka, Jakarta Tambayong, Jan 2000, Patofisiologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta Underwood 1999, Patologi Umum dan Sistematik Edisi 2, EGC, Jakarta Wallach, Van 2009, Cobras, Capstone Press, Minnesota America Wariyono, Sukis dan Muharomah, Yani 2008, Mari Belajar Ilmu Alam Sekitar, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta Warrel, David A 2010, Guidelines for management of snake bites, WHO, Regional Office For South East Asia Werner, Thuman, & Maxwell, Jane 2010, Apa yang Anda Kerjakan Bila Tidak Ada Dokter (Where there is no doctor), Yayasan Essentia Medica (YEM), Yogyakarta
World Health Organization 2013, ‘Snakebite’, Neglected Tropical Diaseases, International Society Of Toxinology Yanuartono 2008,‘Efek Samping Pemberian Serum Anti Bisa Ular Pada Kasus Gigitan Ular’, Journal Sain Vet, Vol.26, 1, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta