UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI PADA EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) TERHADAP Salmonella thypi secara in vitro Oleh Nugroho Tristyanto Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang Abstrak Bawang putih ( Allium sativum Linn) merupakan salah satu tanaman obat yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat. Bawang putih selain digunakan sebagai bumbu masakan juga digunakan sebagai obat antibakteri. Pertumbuhan bakteri Salmonella thypi di duga bisa di hambat oleh zat alisin yang terkandung dalam ekstrak bawang putih. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak bawang putih terhadap Salmonella thypi secara in vitro. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan post test only control group design. Sampel pada penelitian eksperimental ini adalah ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) yang dibuat dengan metode maserasi. Metode yang digunakan adalah metode dilusi cair,yang dibagi menjadi 10 kelompok perlakuan dengan konsentrasi ekstrak bawang putih 100%, 75 %, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%, 0,39%, dan 2 kelompok kontrol yaitu kontrol positif dan kontrol negatif. Selanjutnya, untuk mengetahui KHM pertumbuhan bakteri dilakukan dengan cara melihat kejernihan secara visual oleh 3 pengamat secara independen. Sedangkan untuk mengetahui KBM pertumbuhan bakteri dilakukan dengan cara melihat pertumbuhan kuman pada plate dan menghitung jumlah koloni bakteri Salmonella thypi. Analisis statistik menggunakan ANOVA One - Way Test. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat dengan konsentrasi ekstrak bawang putih 0,39% sudah dapat menekan pertumbuhan bakteri Salmonella thypi dibandingkan dengan control positif dengan angka persentase kematian sebesar 4%. Hal ini disuga karena kandungan zat aktif antibakteri dalam bawang putih yakni alisin. Kata kunci :Allium sativum Linn, Salmonella thypi, efek antibakteri, KHM (Kadar Hambat Minimum), KBM (Kadar Bunuh Minimum). PENDAHULUAN Demam tifoid merupakan masalah umum dan masalah kesehatan yang utama di Negara berkembang termasuk di Indonesia (Sudjana dan Jusuf, 1998). Secara ekonomik sangat penting karena berkaitan dengan kasus foodborne disease pada ternak pangan (Portillo, 2000). Penyakit ini bersifat endemis hampir di semua kota besar di wilayah Indonesia (Soewandojo et al., 1998). Diperkirakan demam tifoid terjadi sebanyak 60.000 hingga 1.300.000 kasus dengan sedikitnya 20.000 kematian per tahun (Suwandono et al., 2005). Pada periode 1999-2003 salmonellosis-non tifoid pada manusia yang terjadi di Indonesia diantaranya disebabkan oleh S. typhimurium, S. enteritidis, S. worthington, S. lexington, S. agona, S. weltervreden, S. bovismorbificans, S. dublin, S. newport, S11. (stellenbosch), S. virchow, S. virginia, S. aequaticus, S. derby dan S. javana (Poernomo, 2004; Sudarmono et al., 2001). Demam tifoid masih menjadi masalah utama di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia (Soewandojo et al., 1998). Dari 16 juta kasus demam tifoid, terdapat kematian sebesar 600.000 jiwa. Namun insiden salmonellosis-tifoid ini cenderung lebih konstan, dengan kasus yang tidak sebanyak kasus salmonellosis-non tifoid. Insiden salmonellosis-non tifoid terus meningkat di seluruh dunia. Kasus tersebut tercatat
1
mencapai 1,3 miliar dari kasus gastroenteritis akut atau diare dengan 13 juta kematian (Portillo, 2000). Di USA kira-kira sebanyak 5 juta kasus salmonellosis, 60-80 % diantaranya terjadi secara sporadik, tetapi sebagian besar kasus terjadi berasal dari makanan yang tercemar. Di Massachusetts, 50% lebih S. enteritidis dan S. typihimurium dapat diisolasi dari kasus yang terjadi (CDC, 2001). Kejadian salmonellosis tifoid di Amerika Selatan yaitu 1:650 per tahun, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara di benua yang berbeda seperti Indonesia dan Papua New Guinea yaitu 1:100 per tahun (Portillo, 2000). Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella spp. Dan dapat menyerang baik pada hewan maupun manusia atau zoonosis (OIE, 2000). Kebanyakan tipe Salmonella dapat menyebabkan penyakit pada manusia. Salmonellossis pada manusia ada 2 macam yaitu tifoid dan non tifoid. Salmonellosis-tifoid meliputi demam tifoid (thyphoid fever) dan demam paratifoid (parathyphoid fever) yang disebabkan oleh masing-masing Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A dan B. Sedang salmonellosis-non tifoid biasanya disebabkan oleh serovar-serovar Salmonella yang tidak mempunyai hospes spesifik. Serovar ini bersifat patogen baik pada hewan maupun manusia. Penularan penyakit ini berasal dari hewan ke manusia melalui makanan asal hewan yang terkontaminasi Salmonella (food-borne disease) contohnya: S. enteritidis, S. typhimurium (ARS, 2002; Portillo,2000). Usaha – usaha telah banyak digunakan untuk mencegah serta menekan pertumbumbuhan bakteri Salmonella tiphi, secara empiris penggunaan tumbuhan – tumbuhan sebagai anti bakteri ini telah banyak digunakan. Salah satu tumbuhan yang memiliki zat anti bakteri tersebut adalah bawang putih. Sejak tahun 1858, Louis Pasteur telah menyatakan bahwa bawang putih mempunyai sifat antibakteri (Anonymous, 2004). Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri, bawang putih juga bersifat antijamur. Kemampuan bawang putih ini berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonymous, 2004). Kandungan Allicin yang terdapat pada bawang putih, bila bergabung dengan enzim allinase akan bereaksi sebagai antibakteri. Karena kandungan ini terdapat dalam bawang putih, telah dilaporkan bahwa bawang putih lebih efektif daripada penisilin terhadap penyakit tipes (demam thypimurium) dan mempunyai efek yang baik etrhadap Streptococcus, Staphylococcus, dan mikroorganisme yang berpengaruh dalam menyebabkan penyakit kolera, disentri dan enteristis (Anonymous, 2004). Allicin adalah zat aktif dalam bawang putih yang efektif dapat membunuh mikroba, seperti kuman kuman penyebab infeksi (flu, gastroenteritis, dan demam) (Iyam Siti S, Tajudin, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas, maka perlu dilakukan penelitian terhadap daya anti bakteri dari bawang putih terhadap jenis bakteri yang berhasil diisolasi dari penderita demam typhoid. Hal ini perlu dilakukan untuk membuktikan efektifitas antibakteri dari bawang putih tersebut, sehingga diharapkan ekstrak bawang putih dapat digunakan sebagai bahan obat – obatan alami bagi penderita demam typhoid. Bakteri Salmonella dapat ditularkan dari hewan yang menderita salmonellosis atau karier ke manusia, melalui bahan pangan telur, daging, susu, atau air minum dan bahanbahan lainnya yang tercemar oleh ekskresi hewan / penderita atau sebaliknya (animal and human carrier). Ekskresi ini terutama adalah keluaran dari saluran pencernaan berupa feses. Makanan yang mengandung bahan dari telur tercemar Salmonella misalnya kuekue, es krim, martabak dan lainnya, yang kurang sempurna dimasak atau setengah
2
matang, telur mentah yang dicampur pada hidangan penutup juga dapat sebagai sumber penularan Salmonella (Darmojono, 2001). Pada umumnya infeksi Salmonella pada hospes terjadi karena pengaruh factor kemampuan adaptasi serovar Salmonella pada tipe hospesnya. Berdasarkan pada factor tersebut terdapat 3 kelompok serovar penyebab penyakit pada manusia dan atau hewan. Kelompok I merupakan serovar S. enteric yang bersifat patogen dan menyebabkan penyakit hanya pada manusia atau primate tingkat tinggi seperti S. typhi, S. paratyphi A, B, C dan S. sendai (ARS, 2002). Kelompok ini merupakan agen penyebab demam tifoid dan paratifoid. Pada umumnya demam tifoid menyebabkan demam tinggi dan kasus kematian yang tinggi. S. typhi dapat diisolasi dari darah, diare maupun urine. Sindrom paratifoid kejadiannya lebih ringan dibandingkan dengan demam tifoid (JAY, 1996). Pada daerah endemik, S. typhi dan S. paratyphi A, B dapat ditularkan melalui makanan maupun minuman (Portillo, 2000). Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisa, kimia klinik, imunoserologi, bakteriologi, dan biologi molekuler. Pemriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakir, dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit. (Agustin ,2011) Sebagai bumbu dapur, bawang putih (Allium sativum Linn) mempunyai peranan penting dalam melezatkan dan menimbulkan aroma yang sedap pada masakan. Akan tetapi selain sebagai bumbu, bawang putih memiliki khasiat yang luar biasa bagi kesehatan. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui khasiat bawang putih, namun keterbatasan informasi yang diterima masyarakat dan adanya pergeseran pola hidup masyarakat ke arah moderen mengakibatkan khasiat bawang putih mulai dilupakan masyarakat. Sejak tahun 1858, Louis Pasteur telah menyatakan bahwa bawang putih mempunyai sifat antibakteri (Anonymous, 2004). Kemampuan bawang putih sebagai antibakteri juga didukung oleh penelitian Yamada dan Azama (1977) yang menyatakan bahwa selain bersifat antibakteri, bawang putih juga bersifat antijamur. Bawang putih mengandung minyak atsiri, dialil sulfide, aliin, alisin, enzim alinase, saponin, favonoid, polifenol, vitamin A, B, dan C (Departemen Kesehatan RI, 1995). Salah satu zat aktif yang terkandung dalam bawang putih sebagai antimikroba selain minyak atsiri adalah alisin. Alisin dapat membunuh mikroba secara efektif, seperti kuman penyebab infeksi flu, gastroenteritis atau demam. Alisin dipercaya dapat membunuh bakteri Gram positif dan Gram negative (Iyam Siti S, Tajudin, 2003). Kemampuan bawang putih ini berasal dari zat kimia yang terkandung di dalam umbi. Komponen kimia tersebut adalah Allicin. Allicin berfungsi sebagai penghambat atau penghancur berbagai pertumbuhan jamur dan bakteri (Anonymous, 2004). Kandungan Allicin yang terdapat pada bawang putih, bila bergabung dengan enzim allinase akan bereaksi sebagai antibakteri. Karena kandungan ini terdapat dalam bawang putih, telah dilaporkan bahwa bawang putih lebih efektif daripada penisilin terhadap penyakit tipes (demam thypimurium) dan mempunyai efek yang baik etrhadap Streptococcus, Staphylococcus, dan mikroorganisme yang berpengaruh dalam menyebabkan penyakit kolera, disentri dan enteristis (Anonymous, 2004). Allicin adalah zat aktif dalam bawang putih yang efektif dapat membunuh mikroba, seperti kuman kuman penyebab infeksi (flu, gastroenteritis, dan demam) (Iyam Siti S, Tajudin, 2003).
3
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post test only control group design. Sampel penelitian berupa ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) yang dibuat dengan metode maserasi. Prosedur ekstraksi bawang putih dilakukan di Laboratorium Analis Pangan Akademi Farmasi Malang dan Laboratorium Mikrobiologi Akademi Analis Kesehatan Malang. Penelitian ini menggunakan sampel berupa sediaan Salmonella thypi dan ekstraksi bawang putih. Konsentrasi ekstrak bawang putih yang digunakan 10 konsentrasi yaitu 100%, 75%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%, dan 0,39%. Kriteria bawang putih yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Bawang putih dengan warna dan bentuk : umbi segar, warna putih kekuningan, aroma segar, satu umbi terdiri dari 8 – 9 siung. Umbi bawang putih didapat di pasar jln. Jombang, Malang kota. Sediaan Salmonella thypi didapat dari 3 pasien yang telah diidentifikasi positif menderita demam typoid yang kemudian dimurnikan dan disatukan menjadi satu biakan murni Salmonella thypi. Penelitian ini menggunakan metode dilusi yang meliputi dua tahap, yaitu penentuan KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum). Konsentrasi ekstrak bawang putih yang digunakan 10 konsentrasi yaitu 100%, 75%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%, dan 0,39%. Ditambah 1 kelompok kontrol bakteri (K+) dan 1 kelompok kontrol bakteri mati (K-). Selanjutnya sediakan 13 tabung untuk masing-masing konsentrasi diatas beserta kelompok kontrolnya. Tabung 1 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 100% ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 2 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 75 % dalam media MH cair ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 3 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sampel 50 % dalam media MH cair ditambah1 mata ose koloni bakteri. Tabung 4 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 25% dalam media MH cair ditambah1 mata ose koloni bakteri. Tabung 5 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sampel 12,5 % dalam media MH cair ditambah1 mata ose koloni bakteri. Tabung 6 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 6,25 % dalam media MH cair ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 7 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 3,125 % dalam media MH cair ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 8 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 1,56 % dalam media MH cair ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 9 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 0,78 % dalam media MH cair ditambah 1 mata ose koloni bakteri.Tabung 10 diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dengan konsentrasi sample 0,39 % dalam media MH cair ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 11 sebagai kontrol bakteri (K+) diisi 1 ml media MH cair dengan konsentrasi sampel 0 % ditambah 1 mata ose koloni bakteri. Tabung 12 sebagai kontrol bakteri mati (K-) diisi 1 ml ekstrak Allium sativum Linn dalam media MH cair dengan konsentrasi sampel 0,0475 % ditambah 1 mata ose koloni bakteri dan 0,1 ml formalin. Pada konsentrasi bawang putih 0,0475% pada kontrol bakteri mati (K-) merupakan batas maksimum yang tidak akan mempengaruhi pertumbuhan bakteri sehingga formalin digunakan dalam kontrol kuman mati ini untuk mematikan bakteri. Perlakuan di atas dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Kesemua tabung diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam, kemudian diamati, dibandingkan dengan kontrol. Konsentrasi terendah dari larutan sampel yang dapat menghambat pertumbuhan
4
bakteri (ditandai dengan kejernihan secara visual oleh tiga pengamat secara independen) ditentukan sebagai Kadar Hambat Minimum (KHM). Untuk mengetahui Kadar Bunuh Minimum (KBM), larutan tadi digoreskan pada media MH padat kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 18-24 jam. KBM ditentukan pada konsentrasi terendah dimana pada media tidak terdapat pertumbuhan koloni kuman. Dari metode ini dapat ditentukan konsentrasi Kadar Hambat Minimum (KHM) yaitu kadar terkecil dari ekstrak bawang putih yang dapat menghambat pertumbuhan Salmonella thypi dan juga konsentrasi Kadar Bunuh Minimum (KBM) yaitu kadar terkecil dari ekstrak bawang putih yang dapat membunuh pertumbuhan Salmonella thypi dari setiap percobaan/replikasi. Sehingga dari rata-rata tersebut kita dapat mengetahui nilai KHM dan KBM. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada ekstrak bawang putih dihasilkan cairan yang berwarna putih kekuningan, beraroma khas bawang putih. Tabung reaksi yang berisi ekstrak bawang putih yang dicampur dengan MH didapatkan konsentrasi akhir 100 %, 75 %, 50%, 25%, 12,5 %, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%, dan 0,39% dihomogenkan dengan Salmonella thypi kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam pada suhu 370C, setelah 24 jam tabung tersebut diamati kekeruhannya. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1
Gambar 1 Hasil uji aktivitas Salmonella thypi terhadap ekstrak bawang putih Keterangan : (Dari sebelah kanan) Tabung 1 : Kontrol (+) Tabung 2 : Kontrol (-) Tabung 3 – 6 : MH + ekstrak bawang putih + Salmonella thypi Untuk mengetahui KBM, perlu dilakukan penanaman ulang dari tiap kultur Salmonella thypi pada media MH agar sehingga dapat diketahui dengan jelas yaitu konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan Salmonella thypi sebanyak 1 mata ose dari masing-masing tabung reaksi ditanam pada media MH agar dan diinkubasi 18-24 jam pada suhu 370C. Adanya pertumbuhan Salmonella thypi ditandai dengan adanya koloni pada media. Pada media MH agar, ekstrak bawang putih pada konsentrasi 100 % hingga 0,39 % tampak pertumbuhan Salmonella thypi,. Hal ini berarti ekstrak bawang putih tidak dapat membunuh Salmonella thypi.
5
Tabel 1. Hasil pengamatan pada media MH cair ekstrak bawang putih yang menghambat pertumbuhan kuman Salmonella thypi Kopnsentrasi ekstrak bawang putih Replika si
100 %
75 %
50 %
25 %
12,5 0%
6,25 %
1
+
++
++ +
+++
+++
2
++
+
+++
++++
+++ +++ +
3 ++ ++ +++ Sumber : Data Diolah Keterangan : (-) : (+) : (++) : (+++) : (++++) : Dimana ( - ) :
+++
+++
++ ++ +
3,13 %
1,56 %
+++ +
+++ +
+++
+++ +++ +
+++
0,78 %
0,39 % +++ +
+++ +++ + +++ +
+++ +++ +
Kont rol ()
Kont rol (+) ++++
-
++++
-
++++
-
Jernih Sedikit keruh Cukup keruh Keruh Sangat keruh Tidak ada pertumbuhan Salmonella thypi
Tabel 2. Hasil pengamatan pada media MH agar ekstrak bawang putih yang menghambat pertumbuhan kuman Salmonella thypi Konsentrasi ekstrak bawang putih Repli kasi 1 2 3 Mean pertum buhan
100 %
75 %
50 %
25 %
12,5 %
6,25 %
3,13 %
1,56 %
0,78 %
0,39 Kontrol Kontrol % (+) (-)
23 41 42
44 38 47
66 50 68
75 69 76
77 82 79
79 85 79
88 80 85
90 88 91
94 95 94
95 96 97
99 98 98
0 0 0
35,3
43
61,3
73,3
79,3
81
84,3
89,7
94,3
96
98,3
0
Sumber: Data diolah Pada penelitian yang telah dilakukan terlihat bahwa ekstrak bawang putih mampu menghambat partumbuhan Salmonella thypi tetapi tidak merata (kurang jernih). Dari tiga kali replikasi yang dilakukan pada penelitian ini tidak didapatkan hasil kadar hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) ekstrak bawang putih terhadap Salmonella thypi. Hasil dari Efektivitas antibakteri ekstrak bawang putih (Allium sativum linn) dilihat dari kekeruhan pada media MH cair yang kemudian dilanjutkan pada media MH agar. Hasil pengamatan efektivitas antibakteri disajikan pada tabel 4.2 diatas. Setelah data diatas diuji ke normalannya dengan uji normalitas data, data hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar data. Maka, dapat
6
disimpulkan bahwa data terdistribusi secara normal. Didapatkan hasil uji normalitas 0,08 (p>α) Hasil pada table 4.2 menunjukkan bahwa konsentrasi terkecil yang memperlihatkan efek antibakteri yaitu 0,39 dengan jumlah pertumbuhan bakteri rata-rata 96. Selanjutnya pada konsentrasi 0.78%, 1.56%, 3.13%, 6.25%, 12.50%, 25%, 50%, 75%, rata-rata jumlah pertumbuhan bakteri berturut-turut 94.3, 89.7, 84.3, 81, 79.3, 73.3, 61.3, dan 43. Sedangkan pada konsentrasi 100% jumlah rata-rata pertumbuhan bakteri yaitu 35.3. Data hubungan antara konsentrasi ekstrak bawang putih dengan jumlah pertumbuhan bakteri Salmonella typhi pada tabel 2 diatas diperjelas dengan gambar 1. Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa perlakuan kontrol negative tidak terdapat bakteri yang terdeteksi pertumbuhannya. Ini menandakan bahwa penggunaan formalin dapat digunakan sebagai pembunuh bakteri sebagai control negative dalam pengukuran pertumbuhan bakteri Salmonella thypi dan semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum linn) semakin menngecil jumlah rata-rata pertumbuhan bakteri. Sehingga hubungan antara peningkatan konsentrasi ekstrak bawang putih berbanding lurus dengan jumlah rata-rata penghambatan pertumbuhan bakteri. Hal ini bisa dilihat pada gambar 1.
Pertumbuhan
% Pertumbuhan
0 35.3 43 61.373.379.3 81 84.389.794.3 96 98.3 200 0
Perlskusn Pertumbuhan Linear (Pertumbuhan) Linear (Pertumbuhan)
2 per. Mov. Avg. (Pertumbuhan)
Gambar 1 Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak Bawang Putih dan rata-rata Jumlah pertumbuhan bakteri Salmonella thypi.
% Kematian
kematian 150 100 50 0
100 64.7 57 38.7 26.7 20.7 19 15.7 10.3 5.7
4
1.7
Perlakuan kematian
Gambar 2. Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak Bawang Putih dan rata-rata Jumlah kematian bakteri Salmonella thypi.
7
Pada konsentrasi terkecil sudah bias menyebabkan kematian bakteri yang kemungkinan disebabkan karena kandungan zat alisin sebagai zat aktif antibakteri pada ekstrak bawang putih yang menyebabkan kematian bakteri terjadi. Dengan konsentrasi ekstrak bawang putih 0,39% sudah dapatr menekan pertumbuhan bakteri Salmonella thypi dibandingkan dengan control positif dengan angka persentase kematian sebesar 4%. Hal ini diduga karena kandungan zat aktif antibakteri dalam bawang putih yakni alisin. Kandungan antibakteri tersebut sebelumnya telah pernah diteliti oleh Louis Pasteur (1858) dan diperkuat oleh penelitian Yamada dan Azama (1977). Alisin dipercaya dapat membunuh bakteri gram negative dan gram positif (Iyam Siti S, Tajudin, 2003). Jika dibandingkan antar konsentrasi, terlihat persentase kematian bakteri semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn). Pembahasan Pertumbuhan Salmonella thypi dilihat dengan mencampurkan koloni kuman Salmonlla thypi dan ekstrak bawang putih dalam media Muller Hinton (MH), kemudian diinkubasi selama 24 jam dan dilakukan pencatatan kekeruhan secara visual. Kekeruhan yang tampak pada tabung menunjukkan adanya pertumbuhan Salmonella thypi karena ekstrak bawang putih pada konsentrasi tersebut tidak mampu menghambat pertumbuhan Salmonella thypi. Sementara tidak adanya kekeruhan pada tabung menunjukkan tidak ada peetumbuhan Salmonella thypi dan pencatatan yang dilakukan secara visual dan hanya melalui kekeruhan yang tampak, maka diperlukan penanaman ulang pada media MH agar, untuk memastikan ada tidaknya pertumbuhan Salmonella thypi dan diinkubasi Selama 18-24 jam dalam inkubator. Pada tabel 2 dapat dilihat bahwa pada konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25%, 12,5%, 6,25%, 3,125%, 1,56%, 0,78%, dan 0,39%. dari ekstrak bawang putih masih ada pertumbuhan Salmonella thypi, namun tingkat persentasi pertumbuhan semakin menurun seiring meningkatnya konsentrasi dari ekstrak bawang putih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak bawang putih mampu menghambat pertumbuhan Salmonella thypi, namun belum memenuhi harapan dari peneliti dimana akan didapatkan KHM (Kadar Hambat Minimum) dan KBM (Kadar Bunuh Minimum). Bahan aktif yang terdapat pada ekstrak bawang putih dalam hal ini Alisin yang diketahui berfungsi sebagai antibakteri tidak mampu menghambat pertumbuhan Salmonella thypi, Pada tabel 2 juga menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol negatif tidak terdapat bakteri yang tumbuh. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok perlakuan lain yang terlihat beberapa bakteri yang tumbuh. Untuk membuktikan adanya perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok-kelompok perlakuan maka dilakukan Uji One Way ANOVA. Setelah dilakukan Uji One Way ANOVA didapatkan nilai p sebesar 0,000 dengan α (0,05). Dengan nilai p kurang dari α maka tidak ada alasan untuk menerima Ho dan menolak Ha. Maka terdapat perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Sedangkan untuk menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan maka uji statistic dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Dari hasil uji Post Hoc dapat diketahui perbadaan yang bermakna antar kelompok perlakuan yang satu dengan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwasanya seiring peningkatan konsentrasi ekstrak bawang putih, maka akan semakin tinggi pula angka kematian bakteri Salmonella thypi. Hal tersebut dapat dilihat dari gambar 2. Penelitian ini hanya menentukan efektifitas ekstrak bawang putih dalam menghambat pertumbuhan Salmonella thypi dan tidak dilakukan pengujian untuk menentukan bahan aktif apa saja yang terkandung dalam bawang putih yang diduga
8
berperan sebagai antibakteri dan banyaknya kandungan bahan aktif tersebut pada bawang putih. Ekstrak bawang putih tidak terbukti dapat menghambat pertumbuhan Salmonella thypi berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh.Dari hasil penelitian tentang daya hambat ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap pertumbuhan Salmonella thypi ini telah diketahui bahwa ekstrak bawang putih tidak memiliki daya hambat minimum (KHM) dan kadar bunuh minimum (KBM) terhadap pertumbuhan Salmoenlla thypi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak bawang putih mampu menghambat pertumbuhan Salmonella thypi 2. Terdapat perbedaan yang signifikan (ANOVA, α < 0,05) antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan dengan berbagai konsentrasi. 3. Terdapat hubungan yang berbanding lurus antara peningkatan konsentrasi ekstrak dengan jumlah kematian larva. 4. Tidak didapatkannya Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) terhadap pertumbuhan Salmonella thypi. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui dosis yang lebih efektif untuk antibakteri Salmonella thypi. 2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui kandungan dari bawang putih yang mempunyai efek antibakteri terhadap Salmonella thypi. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pembuatan ekstrak bawang putih yang lebih aplikatif untuk masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Bernasconi G et, al, 1995, Tekhnologi kimia 2, Jakarta PT Pradnya Paramita, Hal : 177 Agricultural Research Service (ARS), 2002. A focus on Salmonella. http://www.nal.usda. gov/fsirio/research/fsleets/fsheet10.htm. Agustin Beti, 2011, Prevalensi Penderita Thypus yang diperiksa Menggunakan Widal di PUSKESMAS Singosari pada tahun 2008-2009, Akademi Analis Kesehatan Malang, Hal : 6-9. Anonymous. 2004. Garlic A(llium sativum). Diakses dari http://www.Dietsite. com/dt/alternativenutrition/Herbs/garlic.asp. Tanggal 24 April 2004. Anonymous. 2004. Garlic A(llium sativum). Diakses dari http://www.Vitaminevi.com/ Herb/Garlic-F.htm. Tanggal 24 April 2004 Anonymous. 2004. Garlic (Allium sativum). Diakses dari http://www.sirisimpex. com/garlic.html. Tanggal 24 April 2004 Centers for Disease Control and Prevention (CDC),2001. Salmonellosis (Non Typhoid). Guide to Surveillance and Reporting. Massachusetts Department of Public Health, Division of Epidemiology and Immunization. http://www.mass.gov/dph/cdc/gsrman/salmon.pdf. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Materi Media Indonesia. Jilid IV. Derektorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta. Dharmojono., 2001. Penyakit Tifus (Salmonellosis). Dalam Penyakit menular dari binatang ke manusia. Edisi Pertama. Milenia Populer. Hal.111-121.
9
Entjang, indah, 2003, Mikrobiologi dan parasitologi, PT Citra Aditya, Bandung Iyam Siti S, Tajudin. Khasiat & Manfaat Bawang putih Raja Antibiotik Alami. Jakarta: Agromedia Pustaka, 2003; 2-6,12,14 Jay, J. M., 1996. Foodborne gastroenteritis caused by Salmonella and Shigella. In Modern Food Microbiology Fifth Edition. Litton Euditorial Publishing Inc. New York. pp 507-543. Jusuf, H. dan P. Sudjana, 1998. Mecillinam for the typhoid fever. Med. J. of Indonesia.70: 195. Office International des Epizootis (OIE)., 2000. Salmonellosis. In Manual of standards for diagnostic test and vaccines. World organization for animal health, pp 691699. Poernomo., S., 2004. Variasi Tipe Antigen Salmonella pullorum yang ditemukan di Indonesia dan penyebaran serotipe Salmonella pada ternak (PO). Wartazoa Vol. 14., No. 4., Hal:143-159. Portillo, F. G., 2000. Molecular and cellular biology of Salmonella pathogenesis in microbial foodborne disease: Mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis First Edition. (Eds: J.W. Cary, J.E. Linz, D. Bhatnagar). Technomic Publishing Company., Inc. 851 New Holland Avenue Box 3535. Lancester, Pennysylvania 17604 USA, pp 3-7. Ramadanti irmadinta ari, 2008, Uji Aktifasi Antibakteri Ekstrak Bawang Putih terhadap Bakteri E. Coli secara invitro, Universitas Diponegoro Semarang, Hal : 8-10 Ripani musyaffala, 2010, widal-dan-typhoid-fiver, file://localhost/D:/.html, diakses 07 Agustus 2010. Soewandojo, E. Suharto dan U. HADI, 1998. Typhoid fever in Indonesia clinical picture, treatment and status after therapy. Med. J. of Indonesia.70: 95-104. Sudarmono, P., S. Poenomo dan I. Suhadi, 2001. The current management of Salmonella typhi and Salmonella in Indonesia. In Typhoid fever and other Salmonellosis. First Ed. (Eds: OU J.T., C-H. CHIU dan C. CHIU). The Fourth International Symposium on thypoid fever and other Salmonellosis, Taipei, Taiwan. pp. 25-30. Suwandono, A.M. Destri dan C. Simanjuntak, 2005. Salmonellosis dan Surveillans demam tifoid yang disebabkan Salmonella di Jakarta Utara. Disampaikan dalam Lokakarya Jejaring Intelijen Pangan – BPOM RI, Jakarta, 25 Januari 2005. Yamada, Y and K.Azama. 1977. Antimicrobe. Agents Chemotheraphy., 743 : 1. Diakses dari http://www.sirisimpex.com/garlic.html. Tanggal 24 April 2004.
10