UJI POTENSI AKTIVITAS LARVASIDA LARUTAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM LINN) TERHADAP LARVA VEKTOR FILARIASIS CULEX SP SECARA IN VITRO Oleh Siti Zulaikah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya larvasida dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap pertumbuhan larva Culex sp. Penelitian ini merupakan penelitian dengan rancangan true experimental-post test only control group design. Hewan coba yang digunakan adalah larva Culex sp pada instar 3 dan 4. Konsentrasi larutan ekstrak yang digunakan adalah 0 ppm (kontrol negatif), 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm. Hasil yang didapatkan , tidak terdapat larva yang mati pada kontrol negative. Dan didapatkan kematian larva sebanyak 11,5 % pada konsentrasi 500 ppm dan 15 %, 23,5 %, 30 %, 38,5 %, 41,5 % berturut turut 1000 ppm, 1500 ppm,2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm. Data yang didapatkan dianalisa dengan Uji One Way ANOVA (α < 0,05) untuk mengetahui signifikansi rata-rata daya larvaasida perlakuan terhadap kontrol. Didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,007 . uji post hoc Duncan menunjukkan bahwa antara kontrol negative dengan perlakuan konsentrasi 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm terdapat perbedaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat efek larvasida dari ekstrak bawang putih terhadap pertumbuhan larva Culex sp. Kata kunci :Culex sp, ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn), Larvasida PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara tropik mempunyai kelembaban dan suhu optimal yang menguntungkan bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan larva, dan penularan parasit. Oleh karenanya penyakit yang disebabkan oleh parasit banyak dijumpai. Penularannya dapat melalui kontak langsung atau tidak langsung, melalui makanan, air, tanah, hewan vertebrata, dan vektor arthropoda (Lane, 1995). Nyamuk Culex sp. termasuk kelas Insecta, ordo Diptera dan famili Culicidae. Terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk di seluruh dunia. Jumlah spesies di daerah tropik lebih banyak dibandingkan dengan di daerah dingin. Nyamuk Culex sp. selain dapat mengganggu manusia dan binatang melalui gigitannya, juga dapat berperan sebagai vektor penyakit pada manusia dan binatang (Staf Pengajar Parasitologi, 2000). Penyakit kaki gajah (Filariasis), Chikungunya dan Japanese B Encephalitis adalah penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Culex sp. sebagai vektor atau perantara penularannya (Ganguly, 2003). Data yang didapatkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Jawa Timur, pada beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung mengalami peningkatan jumlah kasus maupun kematiannya. Kasus Filariasis di Jawa Timur telah dilaporkan sejak tahun 1981 di Kabupaten Malang, kemudian tahun 1992 dilaporkan
35
sebanyak 27 kasus terdapat di 7 kabupaten/kota, kemudian pada tahun 2003 dilaporkan sebanyak 175 kasus yang menyebar di 32 kabupaten/kota (Huda, 2005). Faktor penyebab timbulnya masalah adalah karena semakin berkurangnya kepedulian masyarakat terhadap masalah kesehatan lingkungan yang merupakan tempat berkembangbiaknya nyamuk penular penyakit tersebut, sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan jumlah kasus penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Terlebih sejak otonomi daerah dukungan finansial untuk pemberantasan penyakit yang ditularkan nyamuk semakin berkurang, karena prioritas pembangunan daerah-daerah ternyata lebih diarahkan ke sektor lain (Huda, 2005). Pengendalian nyamuk memegang peran penting dalam upaya penanggulangan Mosquito Born Disease. Pengendalian nyamuk bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satu yang paling sederhana dan sering dilakukan masyarakat adalah penggunaan insektisida (Utama, 2003). Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga baik bentuk dewasa maupun bentuk larva. Terdapat berbagai macam golongan insektisida buatan, antara lain karbamat (sulfur organik), klorin organik dan fosfor organik. Dalam hal efektivitas, sebenarnya kemampuan insektisida-insektisida tersebut tidak diragukan lagi. Permasalahannya adalah selain toksik terhadap serangga, ternyata insektisida-insektisida tersebut juga mempunyai efek terhadap manusia (Staf Pengajar Parasitologi, 2000). Pencemaran lingkungan, biological magnification pada rantai makanan dengan segala akibatnya, serta penyakit degenerasi dan keganasan semakin banyak dilaporkan (Utama, 2003). Pemakaian insektisida secara terus menerus juga dapat mengakibatkan keracunan pada manusia, hewan ternak, polusi lingkungan, dan serangga menjadi resisten. Pada umumnya nyamuk diberantas dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida sintesis sebagai racun serangga. Obat nyamuk semprot, obat nyamuk bakar, atau obat anti nyamuk yang dioleskan, tentunya mengandung insektisida yang mengandung beberapa senyawa kimia. Bagi warga yang tidak tahan, insektisida ini menimbulkan bau yang menyengat dan bisa menimbulkan sesak napas atau alergi pada kulit sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan (Rinjani, 2007). Salah satu cara pemberantasan Culex sp yang dapat dilakukan secara sederhana dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan adalah pemberantasan larva menggunakan senyawa kimia alami. Oleh karena itu, perlu diupayakan adanya insektisida alternatif yang berupa senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan serta ramah lingkungan. Tanaman merupakan sumber komponen kimia yang sampai saat ini manfaat setiap komponennya belum semua terungkap. Gerakan back to nature atau gerakan hidup sehat dengan kembali ke alam sangat mendorong ke arah penggunaan tanaman sebagai bahan obat, kosmetik, pestisida, ataupun kebutuhan keluarga lainnya (Kardinan, 2003). Banyak tumbuhan yang diduga dapat membunuh larva nyamuk. Salah satu tumbuhan yang di duga bisa membunuh larva nyamuk adalah bawang putih. Bawang putih juga telah digunakan di banyak negara untuk membasmi nyamuk pada tempat perindukannya. Siklus hidup nyamuk di antaranya terdiri dari stadium larva yang terdapat dalam genangan air. Minyak dari bawang putih dalam konsentrasi yang sangat rendah dicampur dengan bahan detergen dan disemprotkan diatas permukaan air. Campuran ini menyebabkan penggumpalan struktur struktur protein tertentu sehingga larva tersebut mati sebelum dewasa. Efektivitas bawang putih sebagai insektisida pada kebun-kebun domestik mungkin terjadi akibat proses yang sama (Roser, 1997). Menurut penelitian, larutan bawang putih dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh larva Aedes aegypti (Sulistyoningsih et al, 2009).
36
Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang efektivitas bawang putih dalam membunuh larva nyamuk Culex sp secara in vitro. Hal ini perlu dilakukan untuk membuktikan efektifitas larvasida dari bawang putih tersebut, sehingga diharapkan ekstrak bawang putih dapat digunakan sebagai bahan bioinsektisida alternatif untuk mengurangi kejadian filariasis. Berdasarkan uraian di atas permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dapat membunuh larva nyamuk Culex sp? Dan Berapakah konsentrasi terefektif dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) yang dapat membunuh larva nyamuk Culex sp? Tinjauan Pustaka Penyakit Filariasis Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori . Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi (Kemenkes, 2010). Penyakit filariasis disebut juga elephantiasis atau kaki gajah. Infeksi penyakit ini terutama pada bagian tungkai atau tangan yang menyebabkan pembengkakan dan deformasi organ tubuh. pembengkakan dan deformasi organ terjadi karena bentuk dewasa parasit cacing filaria ( umumnya adalah Wuchereria bancrofti ) yang hidup dalam kelenjar betah bening pada bagian tungkai. Karena parasit tersebut menutup sistem getah bening, timbunan kelenjar getah bening mengalami akumulasi (Sembel, 2009). Penyakit kaki gajah (Filariasis) terdapat hampir di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan beberapa daerah sub tropis. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia. Sedangkan di Asia filariasis menjadi penyakit endemik di Indonesia, Myanmar, India dan Srilanka (Widoyono, 2008). Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2010). Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi World Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia program eliminasi filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu: Memutuskan rantai penularan dengan pemberian obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis dan Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis (Kemenkes, 2010). Manifestasi Klinik Manifestasi klinis akibat infeksi dengan cacing ini terbentuk beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah infeksi, tetapi ada beberapa orang yang hidup di daerah endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot, anoreksia, dan malaise. Tidak jarang ditemukan adanya eosinofilia dan mikrofilaremia (Sandjaja, 2007). Cacing dewasa yang mati biasanya menimbulkan reaksi peradangan sampai terjadi nekrosis. Pada keadaan ini lumen pembuluh limfe tersumbat dan pada saat yang
37
bersamaan terjadi fibrosis di sekitar cacing yang mati tadi. Microfilaria cacing ini biasanya melekat erat di antara vena dan arteri di paru. Hal ini yang diperkirakan menjadi sebab timbulnya periodisitas. Mikrofilaria yang masih hidup umumnya tidak menimbulkan kerusakan, namun bila mikrofilaria ini mati dan mengalami disintegrasi, terjadilah peradangan akut sebagai reaksi imunologis dari tubuh (Sandjaja, 2007). Elephantiasis tidak terjadi pada setiap orang yang terinfeksi. Hanya pada mereka yang hipersensitif elephantiasis ini dapat terjadi, namun tidak ditemukan adanya mikrofilaria dalam darahnya. Kemungkinan hipersensitifitas ini yang menyebabkan mikrofilaria tidak terbentuk atau difagositosis. Elephantiasis kebanyakan terjadi di daerah genital dan tungkai bawah yang biasanya diikuti infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti dinamakan Weingartner’s syndrome atau tropical pulmonary eosinophilia (Sandjaja, 2007). Gejala Filariasis Gejala klinis akut berupa demam berulang-berulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat. Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit. Radang saluran kelenjar getah bening terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde lymphangitis) (Zulkoni, 2010). Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap pada tungkai (elephantiasis), lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti), dan pembesarn tersebut dapat pecah, mengeluarkan darah dan nanah (Zulkoni, 2010). Semua jenis nyamuk membutuhkan air untuk kelangsungan hidup karena larvalarva (jentik-jentik) nyamuk melanjutkan hidupnya di air dan hanya bentuk dewasa yang hidup di darat. Nyamuk betina biasanya memilih tipe air tertentu untuk meletakkan telurnya di permukaan air, ada yang meletakkan telur pada air bersih, air kotor, air payau, atau tipe air lainnya. Bahkan ada nyamuk yang meletakkan telurnya pada axil tanaman, lubang kayu, tanaman yang berkantung yang dapat menampung air, atau dalam kontainerkontainer bekas yang menampung air hujan atau air bersih (Sembel, 2009). Telur nyamuk menetas dalam air dan menjadi larva atau jentik. Larva-larva nyamuk hidup dengan memakan organisme-organisme kecil, tetapi ada juga yang bersifat sebagai predator seperti larva Toxorhynchites sp yang memangsa jenis nyamuk lainnya yang hidup di dalam air. Kebanyakan nyamuk betina harus menghisap darah manusia atau hewan lain seperti kuda, sapi, babi, dan burung dalam jumlah yangcukup sebelum perkembanagan telurnya terjadi. Bila tidak mendapatkan cairan darah yang cukup, nyamuk betina ini akan mati. Namun ada jenis nyamuk yang bersifat spesifik dan hanya menggigit manusia atau mamalia. Bentuk jantan nyamuk biasanya hidup dengan memakan cairan tumbuhan. Tingkah laku dan aktivitas nyamuk pada saat terbang berbeda-beda menurut jenisnya (Sembel, 2009). 2). Siklus Hidup Nyamuk Culex sp Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorphosis sempurna dengan bentuk siklus hidup berupa telur, larva (beberapa instar), pupa, dan dewasa. Perbedaan siklus hidup nyamuk-nyamuk Culex, Anopheles, dan Aedes dapat disimak melalui gambar 1
38
Sumber ; Sembel, 2009 Gambar 1 Perbedaan dalam gambar siklus hidup nyamuk Culex pipiens, Anopheles maculipennis dan Aedes aegypti
a. Telur Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air satu per satu atau dalam kelompok. Telur-telur dari jenis Culex dan Culiseta, telur-telurnya biasa diletakkan berkelompok (Raft). Dalam satu kelompok biasa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama dalam bentuk dorman. Namun, bila air cukup tersedia, telur-telur itu biasanya menetas 2-3 hari setelah diletakkan (Sembel, 2009). b. Larva Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Berbeda dengan larva dari anggota-anggota dipteral yang lain seperti lalat yang larvanya tidak bertungkai, larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, jentik-jentik nyamuk Culex dan Aedes menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Kebanyakan larva nyamuk menyaring mikroorganisme dan partikel-partikel lainnya dalam air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 hari (Sembel, 2009).
Gambar 2 morfologi dari Larva nyamuk Culex sp. Sumber : http://www.en.wikipedia.org/wiki/culex c. Pupa Sesudah melewati pergantian kulit ke empat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa
39
sudah sempurna, yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang (Sembel, 2009). d. Dewasa Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari Culex dan Aedes hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan, sedangkan Anopheles hinggap tegak lurus dengan permukaan (Sembel, 2009). 3).Morfologi Larva Culex sp. Larva Culex sp tubuhnya terdiri dari kepala, toraks (3 ruas/segmen), abdomen (10 ruas), siphon, dan ruas anal. Pada ruas abdomen VIII terdapat duri-duri (comb teeth) yang berjumlah lebih dari dua baris. Siphon berbentuk seperti kerucut, langsing dan panjang. Bulu siphon (hairtuft) terdapat lebih dari satu pasang. Pada ujung siphon terdapat alat pernapasan (Pusarawati et al, 2008).
4).Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Culex sp. Nyamuk Culex sp ada yang aktif pada waktu pagi, siang, dan ada yang aktif pada waktu sore atau malam. Nyamuk-nyamuk ini meletakkan telur dan berbuak di selokanselokan yang berisi air bersih ataupun selokan air pembuangan domestik yang kotor (air organik), serta di tempat-tempat penggenangan air domestik atau air hujan di atas permukaan tanah. Jentik-jentik nyamuk Culex sering kali terlihat dalam jumlah yang sangat besar di selokan-selokan air kotor. Jenis nyamuk seperti Culex pipien dapat menularkan penyakit filariasis, ensefalitis, dan virus chikungunya (Sembel, 2009). Bawang Putih (Allium sativum Linn)
\
Gambar 3. gambar umbi bawang putih Sumber : www.wikipedia.org/wiki/bawangputih Bawang putih mempunyai nama latin Allium sativum Linn. Allium sativum Linn termasuk family Amaryllidaceae, golongan spermatophyte, subgolongan Angiospermae, ordo Lilliflorae, dan kelas Monocotyledone (tanaman berkeping satu). Tanaman bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh tegak dan bisa mencapai ketinggian 30-60 cm. Disebabkan letaknya yang tersebar di seluruh dunia, orang menyebutnya berbeda-beda, tergantung dari bahasa yang dipakai di
40
wilayah tersebut. Di Indonesia karena bahasa daerah yang ada cukup banyak, sebutan untuk bawang putih juga banyak antara lain bawang bodhas (Sunda), bhabang pote (Madura), lasuna (Karo), dasun putih (Minang), lasuna (Bali), bawang pulak, lasuna moputih, pia moputi, lasuna kebo, kosai boti, bawa de are (Halmahera), bawa fiufer (Irian jaya). Sementara dalam bahasa Inggris, umbi ini dikenal dengan nama Garlic (Syamsiah dan Tajudin, 2003). Bawang putih bukan merupakan bahan asing. Hampir semua masakan yang ada di nusantara ini memakai umbi berwarna putih ini sebagai penyedap rasa. Di dunia pengobatan tradisional, bawang putih juga sudah dikenal, bahkan sering dipakai masyarakat kita. Bawang putih sebenarnya bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini diperkirakan berasal dari Asia Tengah, seperti Jepang dan Cina yang beriklim subtropik. Dari sini, bawang putih menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia. Di Indonesia, bawang putih dibawa oleh pedagang Cina dan Arab, kemudian di budidayakan di daerah pesisir atau daerah pantai. Seiring dengan berjalannya waktu kemudian masuk ke daerah pedalaman dan akhirnya bawang putih akrab dengan kehidupan masyarakat Indonesia (Syamsiah dan Tajudin, 2003). Sebagai bahan obat-obatan, umbi bawang putih berkhasiat menyembuhkan penyakit tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit kencing manis (diabetes), penyakit infeksi saluran pernafasan, penyakit cacingan, penyakit infeksi pada usus, penyakit infeksi pada kulit, luka gigitan binatang berbisa, penyakit batuk, gatal-gatal, penyakit tipus, penyakit meningitis karena jamur Erytococcus neoformens, penyakit kelamin (gonorhoe), penyakit maag, penyakit infeksi pada vagina karena jamur Candidas albicans, penyakit kanker, dan mata bengkak karena angin (Samadi, 2000). Bawang putih adalah antibiotik dengan spektrum luas. Ia membunuh varietas luas bakteri, baik bakteri gram positif maupun gram negatif. Dr. tariq Abdulah, seorang tokoh peneliti dari Akbar Klinik and Research Center di Panama City, Florida, mengatakan dalam majalah Prevention bulan Agustus 1987: " bawang putih mempunyai spektrum paling luas dibanding anti mikroba yang sudah kita kenal, ia adalah anti bakteri, anti jamur, anti parasit, anti protozoa dan anti virus (Benedict, 2006). Bawang putih yang dikeringkan yang digunakan sebagai ramuan memiliki bau menyengat dan panas alaminya mampu memproduksi efek terapi melalui meridianmeredian paru-paru, limpa dan perut dan dapat menyembuhkan edema dan pembengkakan, menawarkan keracunan, membunuh parasit, mengeluarkan dahak dan meningkatkan keluarnya urin ( Fuchun dan Yuhua, 2002). 1).Karakteristik Tanaman Bawang Putih (Allium sativum Linn) Bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh tegak, dan bisa mencapai ketinggian 30-60 cm. Daun bawang putih berupa helai-helai (seperti pita) memanjang ke atas. Jumlah daun setiap tanaman bisa mencapai lebih dari 10 helai. Bentuknya pipih rata, tidak berlubang, berbentuk runcing di ujung atasnya, dan agak melipat ke dalam ( kearah panjang atau membujur), serta membentuk sudut di permukaan bawahnya. Pelepah atau kelopak daun ini tipis tetapi kuat, membungkus kelopak daun yang lebih muda yang berada di bawahnya, sehingga membentuk batang semu yang panjang. Batang bawang putih merupakan batang semu yang panjang ( bisa mencapai 30 cm) dan tersusun dari pelepah daun yang tipis tetapi kuat. Pelepah daun pada dasarnya juga kelopak daun, membungkus kelopak-kelopak daun yang lebih muda yang berada di bawahnya hingga pusat batang pokok dan membentuk batang semu yang tersembul keluar. Batang pokok tanaman ini sebenarnya merupakan batang pokok tidak sempurna (rundimeter) dengan pangkal atau bagian dasarnya berbentuk cakram. Akar bawang putih terletak di batang pokok, tepatnya di bagian dasar umbi atau pangkal umbi yang terbentuk
41
cakram. Sistem perakarannya berupa akar serabut (monokotil) yang pendek-pendek dan menghujam kedalam tanah tidak terlalu dalam, sehingga mudah goyah oleh angin dan air yang berlebihan (Syamsiah dan tajudin, 2003). Di dekat batang pokok bagian bawah, tepatnya antara daun muda dekat pusat batang pokok, terdapat tunas-tunas. Dari tunas inilah akan tumbuh umbi-umbi kecil yang disebut suing. Siung ini tumbuh secara bergerombol membentuk umbi. Umbi bawang putih berbentuk mirip gasing. Setiap umbi mempunyai 3-36 siung. Bunga bawang putih berupa bunga majemuk, bertangkai, berbentuk bulat, dan menghasilkan biji untuk keperluan generatif (Syamsiah dan tajudin, 2003). 2).Kandungan Kimia Bawang Putih Bawang putih mengandung minyak asiri yang sangat mudah menguap di udara bebas. Minyak asiri dari bawang putih ini diduga mempunyai kemampuan sebagai antibakteri dan antiseptik. Sementara zat yang diduga berperan memberi aroma yang khas adalah alisin karena alisin mengandung sulfur dengan struktur tidak jenuhdan dalam beberapa detik saja akan terurai menjadi senyawa dialil-disulfida. Di dalam tubuh, alisin merusak protein kuman penyakit, sehingga kuman penyakit tersebut mati. Alisin merupakan zat aktif yang mempunyai daya antibiotika cukup ampuh. Banyak yang membandingkan zat ini dengan si raja antibiotik, yakni penisilin. Bahkan, banyak yang menduga kemampuan alisin 15 kali lebih kuat daripada penisilin (Syamsiah dan tajudin, 2003). Scordinin berperan sebagai enzim pertumbuhan dalam proses germinasi (pembentukan tunas) dan pengeluaran akar bawang putih. Scordinin diyakini dapat memberikan atau meningkatkan daya tahan tubuh (stamina) dan perkembangan tubuh. Hal ini disebabkan kemampuan bawang putih dalam bergabung dengan protein dan menguraikannya, sehingga protein tersebut mudah dicerna oleh tubuh (Syamsiah dan Tajudin, 2003). Kandungan kimia lain yang ada dalam bawang putih per 100 g sebagai berikut (1) air dengan jumlah 66,2-71,0 g, (2) kalori 95,0-122 kal, (3) kalsium yang bersifat menenangkan sehingga cocok sebagai pencegah hipertensi, sebesar 26-42 mg, (4) saltivine yang bisa mempercepat pertumbuhan sel dan jaringan serta merangsang susunan sel, (5) sulfur 60-120 mg, (6) protein 4,5-7 g, (7) lemak 0,2-0,3g, (8) karbohidrat 23,124,6 g. (9) fosfor 15-109 mg, (10) besi 1,4-1,5 mg, (11) vit A,B, dan C, (12) kalium 346377 mg, (13) selenium, (14) scordinin (Syamsiah dan tajudin, 2003). Kerangka Konsep Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disajikan dalam kerangka konsep uji potensi aktivitas larvasida larutan bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap larva vektor filariasis Culex sp secara in vitro :
42
Bawang putih (Allium sativum Linn)
Aedes sp
Keterangan :
antiparasit
antibakteri
Culex sp
Anopheles sp
antioksidan
: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti
Dr. tariq Abdulah, seorang tokoh peneliti dari Akbar Klinik and Research Center di Panama City, Florida, mengatakan dalam majalah Prevention bulan Agustus 1987 : “bawang putih mempunyai spektrum paling luas dibanding anti mikroba yang sudah kita kenal, ia adalah anti bakteri, anti jamur, anti parasit, anti protozoa dan anti virus” (Benedict, 2006). Minyak bawang putih juga telah digunakan di banyak negara untuk membasmi nyamuk pada tempat perindukannya. Minyak bawang putih dalam konsentrasi yang sangat rendah dicampur dengan bahan detergen dan disemprotkan diatas permukaan air. Campuran ini menyebabkan penggumpalan struktur-struktur protein tertentu sehingga larva tersebut mati sebelum dewasa. Efektivitas bawang putih sebagai insektisida pada kebun-kebun domestik mungkin terjadi akibat proses yang sama (Roser, 1997). Hipotesis Ho : Tidak ada efek larvasida dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap larva Culex sp. Ha : Ada efek larvasida dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap larva Culex sp.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang terdiri atas kelompok perlakuan dan kelompok sampel. Dengan rancangan true experimental-post test only control group design yaitu pengukuran dilakukan setelah diberikan perlakuan ekstrak bawang putih. Dalam penelitian ini kelompok perlakuan adalah pemberian ekstrak bawang putih. Populasi dari penelitian ini adalah keseluruhan larva nyamuk Culex sp yang diambil dari pembiakan larva nyamuk di laboratorium Parasitologi Universitas Brawijaya Malang tahun 2014. Sampel pada penelitian ini adalah larva nyamuk Culex sp yang diambil dari laboratorium Parasitologi Universitas Brawijaya Malang yang diberi perlakuan dengan pemberian ekstrak bawang putih. Tekhnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
43
non probability sampling jenis purposive sampling, yaitu sampel yang diambil didasarkan pada pertimbangan pribadi dari peneliti sendiri berdasarkan sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2005). Penghitungan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus seperti dibawah ini : Penghitungan besar sampel menggunakan rumus : (pn-1) – (p-1) ≥ 15 (3n-1) – (3-1) ≥ 15 (3n-1) – (2) ≥ 15 3n – 2 ≥ 15 + 1 3n ≥ 15 + 1 + 2 3n ≥ 18 n ≥ 18/3 = 6 (Basuki , 2004 ) Ket : p = Perlakuan n = Jumlah sampel per perlakuan Jadi jumlah sampel untuk tiap perlakuan adalah minimal 6. Total larva yang digunakan pada penelitian kali ini adalah 20 ekor untuk tiap kelompok, sehingga sampel keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 380 ekor larva. Variabel penelitian terdiri dari: a. Variabel Bebas, adalah pemberian beberapa konsentrasi ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) b. Variabel terikat, adalah Pertumbuhan Larva nyamuk Culex sp c. Variabel pengganggu, adalah Suhu, Lama pemaparan dan Ph air. Alat dan Bahan, antara lain; a. Alat untuk membuat ekstrak bawang putih adalah; Oven,Neraca Analitik, Gelas, Erlenmeyer, Corong gelas, Kertas saring whatman, Shaker, Labu evaporator, Labu penampung etanol, Rotary Evaporator, Pendingin spiral,Selang water pump, Water pump, Water bath, Vacuum pump, Vial (botol kaca). b. Alat untuk uji larvasida, antara lain; Gelas plastik transparan, Kain kasa, Pipet filler, Pipet tetes, Pipet Volume, Labu ukur, Beaker glass. c. Bahan Penelitian, adalah; Larva nyamuk Culex sp, Ekstrak bawang putih segar dengan konsentrasi 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm dan Aquadest. Metode pengumpulan data, yaitu; Sampel yang berupa larva Culex sp diambil dari laboratorium Parasitologi Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini menggunakan data primer yang meliputi pengujian variasi konsentrasi larutan bawang putih terhadap jumlah kematian larva Culex sp. Metode yang digunakan yaitu eksperimental laboratory, yaitu melihat hasil pemberian ekstrak terhadap pertumbuhan larva nyamuk Culex sp. Metode analisis data yang dipilih yaitu metode eksperimental, maka data-data hasil yang telah diperoleh, dikelompokkan dan dimasukkan dalam tabel dan diuji kemaknaannya dengan menggunakan Uji One Way ANOVA untuk menggambar grafik dan meramal nilai variabel numerik dengan nilai variabel numerik lainnya. Variabel yang ingin diprediksi adalah variabel tergantung, sedang yang diukur adalah variabel bebas.
44
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) sebagai larvasida Culex sp Penelitian uji larvasida in vitro ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dengan berbagai konsentrasi (500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm) terhadap larva Culex sp dengan melihat banyaknya larva yang mati setelah dipapar larutan ekstrak bawang putih selama 2 x 24 jam. Tabel 1 Rata-rata larva yang mati setelah 2 x 24 jam Keterangan : Kontrol negatif (-) : perlakuan tanpa pemberian ekstrak bawang putih Hasil dari efektivitas larvasida ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dilihat dari banyaknya larva yang mati. Hasil pengamatan efektivitas larvasida disajikan pada Konsentrasi (PPM)
Jumlah Larva 1
Pengulangan 2 3
Ratarata
Rata-rata (%)
kontrol 20 0 0 0 0 0 500 20 3 2 2 2,3 11,5 1000 20 4 3 2 3,0 15 1500 20 6 4 4 4,7 23,5 2000 20 8 5 5 6,0 30 2500 20 12 7 4 7,7 38,5 3000 20 5 13 7 8,3 41,5 tabel 1 diatas. Setelah data diatas di uji ke normalannya dengan uji normalitas data, didapatkan hasil uji normalitas 0,065 ( p > α ) (lihat lampiran 3). Data hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar data. Maka, dapat disimpulkan bahwa data terdistribusi secara normal. Hasil pada tabel menunjukkan bahwa konsentrasi terkecil yang memperlihatkan efek larvasida yaitu 500 ppm dengan jumlah larva mati rata-rata 11,5 %. Selanjutnya pada konsentrasi 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, rata-rata jumlah larva mati berturut-turut 15 %, 23,5%, 30%, 38,5%. Sedangkan pada konsentrasi 3000 ppm jumlah rata-rata larva mati yaitu 8 atau 41,5%. Data hubungan antara konsentrasi ekstrak bawang putih dengan jumlah larva Culex sp yang mati pada tabel 1 diatas diperjelas dengan gambar grafik 1. Pada grafik 1 dapat dilihat bahwa perlakuan kontrol negatif tidak terdapat larva yang mati. Ini menandakan bahwa penggunaan aquades tidak memberikan efek apa-apa terhadap pertumbuhan larva Culex sp dan semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) semakin meningkat hasil prosentrase jumlah rata-rata larva mati. Sehingga hubungan antara peningkatan konsentrasi ekstrak bawang putih berbanding lurus dengan jumlah rata-rata larva mati. Hal ini bisa dilihat pada grafik 4.1.
45
Jumlah larva yang mati
Prosentase Kematian Larva 0.5
39%
0.4
42%
30%
0.3
24%
0.2
15%
12%
0.1
% Kematian Larva
0
0 0
500 1000 1500 2000 2500 3000
konsentrasi ekstrak bawang putih (PPM)
Gambar 1Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak Bawang Putih dan Prosentase ratarata Jumlah Kematian Larva Culex sp Pada konsentrasi 500 ppm sudah terlihat efek larvasida dari larutan ekstrak bawang putih bila dibandingkan dengan kontrol negatif. Pada konsentrasi terkecil sudah bisa menyebabkan kematian larva kemungkinan disebabkan karena kurangnya kandungan oksigen dalam air sehingga larva kesulitan untuk bernafas hingga menyebabkan kematian larva. Jika dibandingkan antar konsentrasi, persentase terlihat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn). Analisa Data Data efek larvasida ekstrak bawang putih terhadap kematian larva Culex sp dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 dengan Uji One Way ANOVA. Uji One Way ANOVA digunakan untuk mengetahui signifikansi rata-rata daya larvasida perlakuan terhadap kontrol. Dari Uji One Way ANOVA didapatkan nilai p sebesar 0,007. Maka, p < α sehingga terdapat perbedaan kadar bawang putih diantara ketujuh perlakuan. Kemudian untuk mengetahui signifikansi perbedaan tiap-tiap kelompok perlakuan dilakukan Uji Post Hoc Duncan. Tabel 2 Hasil Uji Duncan Daya Larvasida Ekstrak Bawang Putih Kelompok perlakuan
N
kontrol 500 ppm 1000 ppm 1500 ppm 2000 ppm 2500 ppm 3000 ppm signifikansi
3 3 3 3 3 3 3 3
Subset for alpha = 0.05 1 0.0000 2.3333 3.0000
0.163
2 2.3333 3.0000 4.6667 6.0000
0.101
3
4.6667 6.0000 7.6667 8.3333 0.101
Keterangan : N : Jumlah Pengulangan perlakuan Kontrol : Perlakuan tanpa penambahan larvasida Hasil analisa statistik yang ditunjukkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok perlakuan kontrol terdapat perbedaan signifikan dengan perlakuan pada konsentrasi 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm. Yang mana ditunjukkan dengan nilai yang terletak pada kolom yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
46
pemberian ekstrak bawang putih pada dosis 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm memberikan efek beda signifikan terhadap larva Culex sp dibandingkan dengan kontrol negatif, 500 ppm dan 1000 ppm. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan antara larva Culex sp yang diberi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn ) dengan larva yang tidak diberi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn). Tanaman bawang putih (Allium sativum Linn) yang digunakan pada penelitian ini didapat dari pasar tradisional yang ada di Malang. Bagian tanaman yang digunakan adalah bagian umbi. Umbi tanaman tersebut diiris tipis kemudian dikeringkan di oven hingga kering. Setelah itu umbi yang sudah kering tadi di haluskan dengan cara di blender hingga didapatkan serbuk bawang putih yang siap digunakan untuk pembuatan ekstrak bawang putih yang digunakan untuk keperluan penelitian. Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah larva nyamuk Culex sp pada instar 3 atau 4 dengan keadaan sehat. Digunakan larva stadium 3 dan 4 karena pada stadium ini larva sudah cukup besar sehingga sistem pertahanannya sudah cukup kuat daripada larva instar 1 dan 2 . Dan demikian diasumsikan ekstrak yang dapat membunuh larva instar 3 dan 4 dapat membunuh larva instar 1 dan 2. Jumlah hewan coba sebanyak 380 ekor larva masing masing perlakuan 20 ekor. Pada penelitian ini digunakan ekstrak etanolik bawang putih (Allium sativum Linn). Penggunaan larutan etanol sebagai pelarut dalam pengekstrakan bertujuan agar didapatkan senyawa Allisin yang diduga mempunyai daya larvasida terhadap lava Culex sp. Penggunaan larutan etanol dipilih karena sifat toksiknya yang lebih rendah daripada pelarut lainnya seperti eter dan methanol. Pada perlakuan kontrol negatif hanya diberi larutan aquades. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan asumsi bahwa larva mati karena pemberian aquades. Pada perlakuan kontrol negative tidak didapatkan larva yang mati. Hal ini menandakan bahwa penggunaan larutan aquades sebagai pelarut tidak memberi efek apapun terhadap larva Culex sp. Pada tiap-tiap pengulangan di masing-masing konsentrasi didapatkan hasil yang tidak sama. Hal ini bisa disebabkan karena kondisi tiap-tiap larva yang berbeda-beda. Variabel-variabel pengganggu yang tidak diteliti bisa menjadi penyebab perbedaan tiaptiap pengulangan. Variabel pengganggu tersebut antara lain keadaan larva yang berbedabeda sebelum dilakukannya penelitian serta kondisi larva yang trauma akibat pemindahan dengan menggunakan pipet. Variabel pengganggu ini yang diduga bisa menyebabkan kematian larva pada dosis yang kecil. Larva yang mengalami trauma pada saat pemipetan dapat terlihat dengan pergerakannya yang kurang aktif. Uji larvasida dilakukan selama 2 x 24 jam. Selama 2 x 24 jam larva dipaparkan dengan ekstrak bawang putih (Allium sativum linn) dengan berbagai dosis. Setelah 2x24 jam dilihat berapa banyak larva yang mati akibat pemaparan larutan ekstrak bawang putih. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hasil rata-rata larva yang mati setelah pemaparan ekstrak bawang putih setelah 2 x 24 jam untuk semua perlakuan lebih tinggi dari kontrol negatif. Pada hasil dapat dilihat konsentrasi terkecil dari pemberian ekstrak bawang putih pada dosis 500 ppm mempunyai rata-rata larva yang mati sebanyak 11,5 %. Pada konsentrasi 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm menimbulkan kematian larva sebanyak berturut- turut 15%, 23,5%, 30%, 38,5%, dan 41,5%. Pada tabel 1 juga menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol tidak terdapat larva yang mati. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok perlakuan lain yang terlihat
47
beberapa larva yang mati. Untuk membuktikan adanya perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok-kelompok perlakuan maka dilakukan Uji One Way ANOVA. Setelah dilakukan Uji One Way ANOVA didapatkan nilai p sebesar 0,007 dengan α (0,05). Dengan nilai p kurang dari α maka tidak ada alasan untuk menerima Ho dan menolak Ha. Maka terdapat perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Hasil Uji Duncan memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara berbagai konsentrasi hal ini dapat dilihat pada tabel 2 . Kelompok kontrol mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kelompok perlakuan dengan konsentrasi 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm. Kelompok konsentrasi 500 ppm dan 1000 ppm mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kelompok konsentrasi 2500 ppm, dan 3000 ppm. Kelompok konsentrasi 2500 ppm dan 3000 ppm mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kelompok konsentrasi 500 ppm dan 1000 ppm. Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif yang terkandung di dalamnya. Kandungan allicin dan dialil sulphide memiliki sifat bakterisida dan bakteristatik (Rukmana dalam Agnetha, 2005). Allicin bekerja dengan cara menggangu sintesis membran sel parasit sehingga parasit tidak dapat berkembang lebih lanjut (Nok dalam Agnetha, 2005). Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak sulfhidril (SH) yang terdapat pada protein. (bawang putih) Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein dengan sulfhidril (SH) Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis. Toksisitas allicin tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki glutathione yang dapat melindungi sel mamalia dari efek allicin (Anki dalam Agnetha, 2005). Berdasarkan mekanisme tersebut maka allicin dapat menghambat perkembangan larva stadium 3 menjadi larva stadium 4 atau larva stadium 4 tidak akan berubah menjadi pupa dan akhirnya mati karena membran selnya telah dirusak. Garlic oil bekerja dengan mengubah tegangan permukaan air sehingga larva mengalami kesulitan untuk mengambil udara dari permukaan air. Hal ini diduga menyebabkan larva tidak mendapat cukup oksigen untuk pertumbuhannya sehingga menyebabkan kematian larva (Tvedten dalam Agnetha, 2005). Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan dalam kematian larva adalah flavonoid. Zat ini bekerja sebagai inhibitor pernapasan. Flavonoid diduga mengganggu metabolisme energi di dalam mitokondria dengan menghambat sistem pengangkutan elektron. Adanya hambatan pada sistem pengangkutan elektron akan menghalangi produksi ATP dan menyebabkan penurunan pemakaian oksigen oleh mitokondria (Bloomquist dalam Agnetha, 2005). Dengan demikian penelitian ini telah dapat membuktikan bahwa pemberian ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) memberikan perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Efek larvasida ekstrak bawang putih terhadap Culex sp dapat dicapai dosis minimal 500 ppm dengan rata-rata kematian 11,5 % dan dosis maksimal 3000 ppm dengan rata-rata kematian 41,5 %. Jumlah kematian larva berhubungan dengan konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn ) . Artinya, semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak bawang putih yang diberikan semakin tinggi pula angka kematian larva.
48
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Terdapat daya larvasida dalam ekstrak bawang putih. 2. Konsentrasi yang terefektif yang dapat membunuh larva adalah pada konsentrasi 3000 ppm. 3. Terdapat hubungan yang berbanding lurus antara peningkatan konsentrasi ekstrak dengan jumlah kematian larva. Artinya, semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak bawang putih semakin tinggi pula tingkat kematian larva.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui dosis yang lebih efektif untuk larvasida Culex sp. 2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui kandungan dari bawang putih yang mempunyai efek larvasida terhadap larva Culex sp. 3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pembuatan larvasida ekstrak bawang putih yang lebih aplikatif untuk masyarakat. 4. Masyarakat harap menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Serta memberantas tempat berkembang biak nyamuk. Sehingga bisa memutus siklus hidup nyamuk agar menurunkan tingkat perkembang biakan nyamuk. DAFTAR PUSTAKA Agnetha, Andi Yuliana. 2005. Efek Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum L) Sebagai Larvasida Nyamuk Aedes Sp.Jurnal Kedokteran Brawijaya. Basuki N. 2004. Perhitungan Besar Sampel. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga Surabaya. Bernasconi, G.et al. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta. Pradnya Paramita. Fuchun Wang, Duan Yuhua. 2002. Khasiat Jahe, Bawang Putih & Bawang Hijau untuk Pengobatan Berbagai Penyakit. Jakarta .Prestasi Pustaka. Gandahusada, Srisasi. (2000). Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta: EGC Ganguly, N.K., Meddapa, N., Srivastava, V.K. 2003. Prospect of Using Herbal Products in Control of Mosquito Vectors. ICMR Bulletin. http://www.wikipedia.org/wiki/culex Kardinan, Agus. 2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Jakarta: AgroMedia Pustaka. Kemenkes RI, Pusat Data dan Surveilans Epidemilogi. 2010. Filariasis di Indonesia, volume 1. Jakarta. Lane R, Crosskey. 1995. Medical Insect and Archnids, Rep. of Entomologi Chapman and Hall : London UK. Notoatmodjo, Soekidjo . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta Pusarawati, Suhantam., Bariah I., Kusmartinawati., Indah S.T., Sukmawati B. 2009. Atlas Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Rinjani .F. 2007. Ekstrak Serai, Pengusir Nyamuk Alamiah http://fattahrinjani. multiply.com/journal/item / 7/ Ekstrak_Serai_Pengusir_ Nyamuk_Alamiah. Roser, David. 1997. Bawang Putih Untuk Kesehatan, Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi Aksara.
49
Sandjaja, Bernardus. 2007. Parasitologi Kedokteran, buku kedua. Jakarta: Prestasi Pustaka. Samadi, B. 2000. Usaha Tani Bawang Putih. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. Sembel, Dantje T, 2009. Entomologi Kedokteran.Yogyakarta: Andi offset Staff Pengajar Parasitologi. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sulistyoningsih, Dwi., Santosa, Budi., Sumanto, Didik., 2009. Efektivitas Larutan Bawang Putih Dalam Membunuh Larva Aedes Aegypti. Jurnal kesehatan. Syamsiah , iyam siti., Tajudin. 2005. Khasiat & manfaat bawang putih. Jakarta. Agromedia Pustaka. Utama,Andi. 2003. Nyamuk Transgenik, Strategi Baru Pengontrol Malaria, http://www.beritaiptek.com/messages/artikel Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga. World Health Organization.2000. Preparing and Implementing a national plan to eliminate lymphatic filariasis.Geneva
50