TINJAUAN PUSTAKA
PERAWATAN LUKA KANKER Dudut Tanjung* ABSTRAK Angka kejadian luka kanker tidak sepenuhnya diketahui, namun Schwartz (1995, dalam Schiech) melaporkan jumlah luka kanker 9% dari jumlah pasien kanker. Apabila tidak dilakukan perawatan dengan baik maka luka kanker dapat menyebabkan kerusakan integritas kulit yang pada akhirnya akan merusak pembuluh darah dan pembuluh lymph yang terdapat di kulit. Perawatan yang dibutuhkan untuk luka kanker adalah perawatan paliatif. Sehingga kualitas hidup pasien luka kanker dapat meningkat. Kata kunci: luka kanker, perawatan, kualitas hidup DEFINISI Luka kanker merupakan luka kronik yang berhubungan dengan kanker stadium lanjut. Hoplamazian (2006) menyebutkan definisi luka kanker sebagai kerusakan integritas kulit yang disebabkan infiltrasi sel kanker. Infiltrasi sel kanker juga akan merusak pembuluh darah dan pembuluh lymph yang terdapat di kulit (Grocott, 2003). EPIDEMIOLOGI Angka kejadian luka kanker tidak sepenuhnya diketahui, namun Schwartz (1995, dalam Schiech, 2002) melaporkan jumlah luka kanker sebesar 9% dari jumlah pasien kanker. Studi retrospektif yang dilakukan Thomas (1992, dalam Draper, 2005) pada unit radioterapi dan onkologi di United Kingdom melaporkan kejadian luka kanker dalam 4 minggu yaitu 295 dari 2417
(12,2%) responden. Luka kanker sering ditemukan di area payudara (39%) diikuti area kepala/leher sebesar 33,8% (Wilkes et al, 2001, dalam Naylor, 2002b). PATOFISIOLOGI Istilah fungating wound dan malinant wound selalu berubah untuk menjelaskan luka kanker. Istilah ini berhubungan dengan infiltrasi dan proliferasi sel kanker menuju epidermis kulit. Tumor ini dapat tumbuh secara cepat lebih kurang 24 jam dengan bentuk seperti cauliflower. Luka kanker dapat berupa kejadian primer kanker kulit seperti squamous cell carcinoma, basal cell carcinoma dan malignant melanoma (Naylor, 2002b). Luka kanker dapat pula berkembang dari tumor lokal menuju epitelium (Kalinski, 2005). Selain itu luka kanker dapat terjadi akibat metastase kanker (Goldberg & McGinnByer, 2000, dalam Schiech, 2002). Perlu
Penulis adalah * Staf Pengajar Keperawatan Medikal Bedah PSIK FK USU
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 82 Universitas Sumatera Utara
pula diketahui beberapa luka kronik dapat berkembang menjadi luka kanker, misalnya Marjolin’s ulcer (Pudner, 1998). Tanda awal luka kanker pada beberapa kasus ditemukan nodul nontender pada kulit. Ketika sel tumor tumbuh dan menyebar, nodul-nodul ini makin membesar dan merusak kapiler dan kelenjar getah bening. Pertumbuhan tumor biasanya akan mengganggu sirkulasi mikro dan mengganggu proses pembekuan darah. Hal ini akan menimbulkan perfusi yang buruk menuju kulit, edema, dan nekrosis (Collier, 1997; Mortimer, 1998; Young, 1997; dalam Naylor, 2002b). Selanjutnya tumor dapat berkembang menuju struktur yang dalam dan dapat menimbulkan sinus atau fistula pada luka, pada umumnya berhubungan dengan luka di abdomen atau perineal (Collier, 1997; Young, 1997; dalam Naylor, 2002b). Sel tumor akan melakukan infiltrasi pada lapisan epitel kulit melalui pembuluh darah dan pembuluh limfatik. Proses ini akan memberikan dampak pada hemostasis darah, kelenjar getah bening, interstisial, dan lingkungan seluler, misalnya perdarahan pada luka, lymphoedema (Pudner, 1998). Biasanya akan terjadi hipoksia jaringan dan bakteri anaerob akan melakukan kolonisasi pada jaringan nekrotik, hal ini merupakan karakteristik yang umum pada luka kanker (Grocott, 1995 dalam Collier, 2000). Volatille fatty acid akan dilepaskan sebagai hasil metabolisme yang bertanggung jawab terhadap malodor dan pembentukan eksudat pada luka kanker (Collier, 2000). Selanjutnya eksudat diproduksi akibat aktivitas protease yang berasal dari jaringan nekrotik (Collier, 1997, dalam Pudner, 1998). GEJALA Gejala yang sering ditemukan pada luka kanker adalah malodor, eksudat, nyeri, dan perdarahan.
83
a. Malodor Malodor merupakan sensasi yang dirasakan reseptor olfactory yang terletak di belakang hidung (van Toller, 1994, dalam Kelly, 2001). Produksi odor pada luka kanker selalu dirasakan dan dapat menstimuli reflek gag maupun muntah. Malodor pada luka kanker merupakan sumber bau yang menyengat bagi pasien, keluarga, maupun petugas kesehatan (Kalinski, 2005). Penyebab malodor sebenarnya belum diketahui, namun beberapa hal yang berkontribusi terhadap malodor sudah menjadi postulat yaitu terjadinya infeksi, kolonisasi bakteri anaerob, degradasi atau nekrosis jaringan seperti dinyatakan oleh Bale et al (2004, dalam Cooper & Gray, 2005). Faktor-faktor predisposisi pasien kanker terhadap infeksi, meliputi kerusakan integritas kulit dan membran mukosa, kemoterapi, terapi radiasi, kankernsi, malnutrisi, medikasi, kateter urine, kateter intravena, prosedur invasive lain (pembedahan, parasentesis, torakosentesis, selang drainase, endoskopi, ventilasi mekanik, alat-alat penampung, usia, penyakit kronis, hospitalisasi yang lama (Smeltzer & Bare, 1996). Pada stadium penyakit yang sangat lanjut, tumor lokal dapat menyebar ke dalam kulit yang berada di atasnya dan dapat pula berkembang menjadi suatu massa berbentuk jamur dari jaringan yang sangat rapuh (Morison, 2004). Jaringan tersebut dengan mudah dapat berdarah, sering juga sangat malodor, dan menghasilkan sejumlah besar eksudat, serta dapat menyebabkan pasien menjadi tidak nyaman. Bakteri yang menyebabkan malodor pada luka merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Bale et al, 2004). Pseudomonas dan Klebsiella merupakan bakteri aerob yang menghasilkan malodor pada luka yang terjadi secara persisten dan konstan (Bale et al, 2004). Bakteri anaerob
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 Universitas Sumatera Utara
yang berhubungan dengan malodor yaitu: Bacteroides spp, Prevotella spp, Fusobacterium nucleatum, Clostridium perfringens, dan Anaerobic cocci (Moody, 1998; Thomas et al, 1998, dalam Draper, 2005). Bowler et al (1999, dalam Cooper dan Gray, 2005) menyebutkan proporsi bakteri anaerob relatif meningkat pada luka malodor. Bakteri anaerob yang tidak berspora melakukan kolonisasi pada luka dan melepaskan volatille fatty acid sebagai sisa metabolik yang bertanggung jawab menghasilkan malodor pada luka (Moody 1998, dalam Kalinski, et al 2005). b. Eksudat Luka kanker juga mengeluarkan eksudat yang berlebihan dan tidak terkontrol. Peningkatan permeabilitas pembuluh darah oleh tumor dan sekresi faktor permeabilitas vaskular oleh sel tumor merupakan penyebab pengeluaran eksudat yang berlebihan seperti dijelaskan oleh Haisfeld-Wolfe dan Rund (1997, dalam Naylor b, 2002). Produksi eksudat juga akan meningkat ketika terjadi infeksi dan rusaknya jaringan karena protease bakteri (Naylor b, 2002). Pada luka kronik juga terjadi fase inflamasi yang memanjang (Moore, 1999, dalam Vowden & Vowden, 2003), yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Hal ini akan menimbulkan produksi cairan luka dan eksudat meningkat (Vowden & Vowden, 2003). Histamin dan serotonin dilepaskan dari sel yang rusak, bertanggung jawab terhadap peningkatan permeabilitas kapiler, menimbulkan pelepasan plasma menuju jaringan. c. Nyeri Beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan nyeri pada luka kanker yaitu penekanan tumor pada saraf dan pembuluh darah dan kerusakan saraf yang biasanya
menimbulkan nyeri neuropati Naylor, 2002b). Jika luka kanker mengenai dermis pasien akan merasakan superficial stinging. Nyeri juga dapat terjadi pada saat melakukan prosedur pencucian luka atau pengangkatan balutan yang lengket pada dasar luka (Jones, 1998, dalam Naylor, 2002b). d. Perdarahan Luka kanker biasanya rapuh sehingga mudah berdarah terutama bila terjadi trauma saat penggantian balutan (Hallet, 1995; Jones et al, 1998, dalam Naylor, 2002b). Perdarahan spontan juga bisa terjadi jika tumor merusak pembuluh darah besar. Selain itu, perdarahan dapat terjadi karena penurunan fungsi platelet akibat tumor. ASUHAN KEPERAWATAN LUKA KANKER Luka kanker merupakan luka pada kanker stadium lanjut yang membutuhkan perawatan paliatif. Perawatan paliatif akan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan luka kanker (Grocott, 2005). Pengkajian luka meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan pengalaman pasien, yaitu: reaksi pasien terhadap luka dan efeknya terhadap aktivitas sehari-hari, mekanisme koping, dan efek luka terhadap hubungan sosial pasien. a. Pengkajian Luka Kanker Pada luka kronik perlu melakukan pendekatan holistik dalam melakukan pengkajian. Pengkajian tidak hanya berpusat pada luka, melainkan reaksi psikologis maupun efek luka terhadap kehidupan sosial individu juga perlu dikaji. Penting diingat bahwa pada beberapa kasus, tindakan paliatif merupakan upaya yang tepat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dengan luka kanker. Manajemen luka yang dapat diterima perlu
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 84 Universitas Sumatera Utara
didiskusikan dengan pasien (Price, 1996, dalam Naylor, 2002b). Identifikasi gejala dan masalah psikososial yang menyebabkan distres bagi pasien juga perlu dikaji (Naylor, 2002b). Pengkajian yang akurat pada area luka merupakan dasar yang penting untuk merencanakan tindakan dan menilai keefektifan tindakan. Parameter yang perlu dinilai pada luka kanker meliputi lokasi, ukuran/kedalaman/bentuk, jumlah eksudat, jenis jaringan yang ditemukan (nekrotik, pus, granulasi, epitelisasi), tanda-tanda infeksi, nyeri (termasuk nyeri saat pencucian luka dan penggantian balutan), kondisi kulit sekitar luka, dan perdarahan (Naylor, 2002b). Jumlah eksudat juga dapat diukur dengan menggunakan alat ukur yang diambil dari Bates-Jensen wound assessment tool (Bates-Jensen & Sussman, 1998). Hasil pengukuran dikategorikan berdasarkan proporsi balutan yang terpapar eksudat. Jumlah eksudat diukur dengan menggunakan pengukur transparan yang membagi area menjadi 4 bagian (25%) second dressing. Kategori pengukuran digambarkan sebagai berikut: Tidak ada = jaringan luka tampak kering Kurang = jaringan luka tampak lembab, tidak terdapat eksudat yang diukur pada balutan Kecil = jaringan luka tampak basah, kelembaban terdistribusi pada luka, drainase pada balutan ≤25% Sedang = jaringan luka tampak jenuh, drainase dapat terdistribusi pada luka, drainase pada balutan >25% s.d. ≤75%. Besar = jaringan luka basah, drainase bebas, dapat terdistribusi pada luka, drainase pada balutan ≥ 75%
85
b. Diagnosa Keperawatan pada Luka Kanker Diagnosa keperawatan berdasarkan North American Nursing Diagnosis (NANDA) yang dapat ditemukan pada pasien dengan luka kanker yaitu risiko terjadinya gangguan integritas kulit, gangguan integritas kulit, dan gangguan integritas jaringan. Kozier et al (2000) menjelaskan perbedaan gangguan integritas kulit dan gangguan integritas jaringan berdasarkan kedalaman luka atau anatomi kulit yang rusak. Gangguan integritas kulit biasanya jika ditemukan kerusakan pada lapisan epidermis atau dermis kulit. Gangguan integritas jaringan ditegakkan jika kerusakan mengenai jaringan sub kutis, otot, dan tulang. Beberapa diagnosa keperawatan yang dapat menyertai kerusakan integritas kulit atau kerusakan integritas jaringan, termasuk risiko terjadinya infeksi, nyeri, gangguan gambaran diri, dan kecemasan (Kozier et al, 2000). c. Rencana Keperawatan pada Luka Kanker Tujuan perawatan luka kanker bukan untuk menyembuhkan luka, tapi untuk mempertahankan kenyamanan, menghindari isolasi sosial, dan meningkatkan kualitas hidup (HaisfieldWolfe & Rund 1997; Hallet, 1995; Ingham & Portenoy, 1998; Laverty et al, 2000; dalam Naylor, 2002). Perawatan berfokus pada menghilangkan atau mengontrol gejala pada luka kanker dan memenuhi kebutuhan psikososial pasien. d. Implementasi Keperawatan pada Luka Kanker 1) Obat Anti Kanker Wollina (pada 12th congress of the European Academy of Dermatology and Venerology in Germany) menyebutkan tindakan yang dilakukan pada pasien dengan luka kanker tidak hanya untuk mendorong kesembuhan, tapi juga untuk mencegah dan mengatasi infeksi,
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 Universitas Sumatera Utara
mengontrol dan mencegah perdarahan, menampung drainase dari luka, mengontrol dan mencegah malodor, dan mendorong kenyamanan pasien (Rutledge, 2003). Luka kanker sulit untuk disembuhkan tanpa terapi yang agresif, seperti pembedahan, radioterapi, atau kemoterapi. Pemberian obat anti kanker harus mempertimbangkan potensi keuntungan bagi pasien, misalnya untuk mengontrol gejala pada luka kanker dan efek samping yang timbul yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Tindakan yang biasanya dilakukan adalah radioterapi. Tindakan ini akan merusak sel kanker dan menurunkan ukuran luka, juga meminimalkan eksudat, perdarahan maupun nyeri (Naylor, 2002b). Penggunaan kemoterapi single-agent atau low-dose juga efektif menurunkan gejala yang terdapat pada luka kanker, tapi memiliki respon minimal pada kanker lanjut. 2) Pencucian Luka Luka kanker direkomendasikan untuk dicuci menggunakan irigasi lembut dengan NaCl 0,9% atau air yang hangat. Irigasi dingin dengan tekanan tinggi dihindari karena dapat menyebabkan nyeri atau ketidaknyamanan bagi pasien. Penggunaan antiseptik topikal, misalnya: chlorhexidine, povidone-iodine, hydrogen peroxide dan sodium hypochlorite juga dihindari karena dapat merusak jaringan dan menimbulkan nyeri (Gould, 1998, dalam Naylor, 2002b). 3) Manajemen Gejala Luka Kanker a) Malodor Penggunaan balutan pengontrol bau yang mengandung charcoal dapat membantu menurunkan malodor, seperti Actisorb silver 220, CarboFlex, Lyofoam C (Thomas et al, 1998, dalam White et al, 2001). Terapi antibiotik juga efektif untuk membunuh bakteri yang menghasilkan malodor (Naylor, 2003).
Metronidazole telah digunakan secara luas sebagai agen topikal untuk mengatasi malodor (Bale et al, 2004). Metronidazole topikal bekerja dengan berikatan dengan DNA bakteri dan mengganggu replikasi bakteri kemudian luka bebas dari malodor selama 7 hari (Bower et al, 1992, dalam Bale et al, 2004) Metronidazole dapat diberikan secara sistemik dengan dosis 200 mg, 3 kali sehari, akan tetapi pemberian melalui cara ini dapat menimbulkan efek samping mual. Thomas et al (1998, dalam Naylor, 2002b) menyebutkan pemberian antibiotik secara sistemik tidak efektif pada jaringan nekrotik dengan sirkulasi darah yang buruk. Metronidazole gel secara topikal mudah digunakan dan merupakan tindakan yang efektif (Ashford et al 1984; Bower et al, 1992; Finlay et al 1996; dalam Naylor, 2002b). Metronidazole diberikan langsung pada dasar luka selama 5-7 hari. Madu juga telah digunakan sejak beberapa abad yang lalu dan semakin populer penggunaannya saat ini, karena mampu melawan bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Madu yang memberikan lingkungan hiperosmotik pada luka mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan membantu debridemen luka (Cooper dan Molan, 1999; Edward, 2000; Morgan, 2000, dalam Naylor, 2002b). Madu juga dapat melepaskan hidrogen peroksida secara perlahan pada luka sebagai agen antibakteri (Dunford, 2000). b) Eksudat Luka kanker biasanya sangat sulit ditangani (Pudner, 1998, dalam Naylor, 2002). Memilih balutan yang dapat mengabsorbsi eksudat sangat dianjurkan namun kelembaban area luka tetap dipertahankan (Naylor, 2002b). Jika eksudat sedikit maka balutan daya serap rendah dapat digunakan, misalnya hydrocolloid, semipermeable film dan Melolin (Jones, 1998, dalam Naylor, 2002b).
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 86 Universitas Sumatera Utara
Jika eksudat berlebihan maka balutan daya serap sedang-tinggi yang digunakan, seperti alginate, foam dressing, Tielle plus dan Versiva (Naylor, 2002b). Metronidazole dan madu merupakan agen topikal yang dapat mengatasi infeksi pada luka kanker sehingga dapat menurunkan produksi eksudat. c) Nyeri WHO guideline untuk mengontrol nyeri kanker harus diikuti (WHO, 1996 dalam Naylor, 2002b). Pemberian analgesik biasanya dilakukan untuk mengontrol nyeri. Sangat penting untuk mencegah nyeri melalui penggunaan balutan yang tidak lengket dan mempertahankan lingkungan yang lembab. Pemberian analgesik diperlukan sebelum penggantian balutan (Naylor, 2002b). Pemberian analgesik opioid topikal, misalnya diamorphine dan morphin merupakan alternatif tindakan yang diberikan jika analgesik konvensional tidak berespon. Diamorphine dan morphin diberikan dengan hydrogel dan diberikan langsung pada permukaan luka. Konsentrasi yang diberikan biasanya 0,1% w/w (1mg morphin dalam 1g hydrogel), dan berbagai gel dapat diberikan. Metronidazole gel biasanya diberikan dengan opioid untuk mengontrol nyeri dan malodor (Flock et al, 2000; Grocott, 2000, dalam Naylor, 2002b). Kombinasi ini dapat menurunkan nyeri sampai dengan 24 jam (Naylor, 2002b). d) Perdarahan Risiko perdarahan pada luka kanker dapat diturunkan dengan menggunakan balutan yang tidak lengket dan dapat mempertahankan kelembaban pada luka. Pemberian inhibitor fibrinolitik (tranexamic) juga bermanfaat menghentikan perdarahan. Tranexamic acid biasanya diberikan dengan dosis 1 - 1,5 g, 2-4 kali sehari sampai dengan 10 hari (Dean, 1997, dalam Nalylor, 2002b). Perdarahan yang perlahan melalui kapiler dapat dihentikan dengan pemberian 87
sucralfat atau alginate (Emflorgo, 1998; Thomas et al, 1998, dalam Naylor, 2002b). Adrenalin topikal juga dapat diberikan pada perdarahan berat melalui vasokontriksi lokal dan menghentikan perdarahan. Tindakan ini harus dilakukan dengan supervisi medik karena penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan nekrosis iskemik (Grocott, 2000, dalam Naylor, 2002b). 4) Psychosocial care Naylor (2002b) menyebutkan tingkat malodor dan jumlah eksudat yang berlebihan menimbulkan efek negatif terhadap aspek psikososial pasien. Perhatian pasien berfokus pada balutan yang dapat mempertimbangkan aspek kosmetik, mempertahankan kehidupan sosial yang aktif, dan mempertahankan keharmonisan keluarga (Carville, 1995; Grocott, 1993; Saunders, 1997, dalam Naylor, 2002b). Strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan koping pasien adalah konseling, dukungan sosial, spritual care, komunikasi terapeutik, touching, dan terapi komplementer (Naylor, 2002b). e. Evaluasi Keperawatan pada Luka Kanker Evaluasi manajemen luka kanker dilakukan untuk memantau nyeri, infeksi, malodor, jumlah eksudat, perdarahan, dan maserasi sekitar luka (Kozier et al, 2000; Naylor 2002b). Evaluasi juga dilakukan untuk menilai efektifitas strategi yang digunakan untuk membantu pasien melakukan koping terhadap distres psikososial yang timbul akibat luka kanker. DAFTAR PUSTAKA Bale, S., Tebble, N., & Price, P., (2004). A topical metronidazole gel used to treat malodorous wounds. British journal of nursing
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 Universitas Sumatera Utara
Bates-Jensen B.M., & Sussman C. (1998). Wound care; A collaborative practice manual for physical therapists and nurses. Maryland: Apen publisher, Inc Cameron, J. (2004). Exudate and care of the periwound skin. Nursing standard Collier, M. (2000). Management of patient with fungating wounds. Nursing standard Cooper, R., & Gray D. (2005). The control of wound malodor with honey-based wound dressings and ointments. Wounds-UK Crisp, J., & Taylor, C. (2001). Potter and Perry’s fundamental of nursing. Australia: Mosby A Hartcourt Health Science company. Draper, C. (2005). The management of malodour and exudates in fungating wounds. British journal of nursing Dunford, M. (2000). The use of honey in wound management. Nursing standard Grocott, P. (2003). The palliative management of fungating malignant wound. Dipresentasikan pada 30 September 2003 oleh SAWMA dan ASTN di Queen Elizabeth Hospital. Grocott, P. (2005). Quality of life: Assessing the impact and benefits of care to patients with fungating wounds. Wounds Holloway, S., Bale, S., Harding, K., Robinson, B., & Ballard K. (2002). Evaluating the effectiveness of dressing for use in malodorous, exuding wounds. Ostomy/wound management Hoplamazian, L. (2006). Therapeutic measures for palliative treatment of tumor wounds. Midwest regional conference on end of life. Kansas city, Missouri. 14 November 2006.
Kalinski, C., Schenepf, M., Laboy, D., Hernandez, L., Nusbaum, J., McGrinder, B. et al (2005). Effectiveness of topical formulation containing metronidazole for wound odor and exudate control. http://www.woundsresearch.com/articl e/3950, diperoleh 1 Maret 2007 Kelly, N. (2002). Malodorous fungating wounds; a review of current literature. Professional nurse Kozier, B., Erb, G., Berman A.J., Burke, K., Bouchal, D.S.R., Hirst, S.P. (2000). Fundamentals of nursing. Edisi ke-1. Toronto: Prentice hall Naylor, W. (2002a). Part 1: Symptom control in the management of fungating wounds. www.worldwidewounds.com. Diperoleh 1 Maret 2007 Naylor, W. (2002b). Malignant wound: aetiology and principles of management. Nursing standard Naylor, W. (2002c). Part 2: Symptom selfassessment in the management of fungating wounds.www.worldwidewounds.com. Diperoleh 1 Maret 2007 Naylor, W. (2003). Malignant wound, dalam O’Connor, M. & Aranda, S., Palliative care nursing; a guide to practice (hlm. 199-213). Melbourne: Ausumed Publications. Pudner, R. (1998). The management of patient with a fungating or malignant wound. Journal of community nursing Rudledge, B.J. (2003). Malignant wound TX. Dermatology times Schiech, L. (2002). Malignant cutneous wounds. Clinical journal of oncology nursing Smeltzer C.S. & Bare B.G. (1996). Brunner & Suddarth’s textbook of medicalsurgical Nursing. Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 88 Universitas Sumatera Utara
Vowden, K. & Vowden, P. (2003). Understanding exudate management and the role of exudates in the healing process. British journal of nursing White, R. (2005). The benefit of honey in wound management. Nursing standard
89
White, R.J., Cooper, R., & Kingsley, A., (2001). Wound colonization and infection: The role of topical antimicobials. British journal of nursing.
Jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomor 2, November 2007 Universitas Sumatera Utara