PENGGUNAAN BAHAN PADA PERAWATAN LUKA Meidina Sinaga*, Rosina Tarigan** *Mahasiswa Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara **Staf Pengajar Departemen Keperawatan Dasar dan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara Jl. Prof. Maas No. 3. Medan. 20155, INDONESIA Phone/Fax: 085763084356 E-mail:
[email protected]
Abstrak Metode perawatan luka berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini ditandai dengan munculnya bahan-bahan perawatan luka modern yang telah dirancang sesuai dengan karakteristik luka, sehingga proses penyembuhan luka maksimal. Di Indonesia, penerapan metode perawatan luka modern masih minim. Pelayanan kesehatan cenderung menggunakan metode perawatan luka konvensional. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengidentifikasi penggunaan bahan pada perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang perawat yang dipilih melalui metode purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Pengambilan data dilakukan pada Februari hingga Maret 2012. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan bahan perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar seluruhnya (100.00%) tidak sesuai dengan karakteristik luka. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan agar perawat menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien.
Kata kunci : Bahan, Perawatan luka PENDAHULUAN Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat proses patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter & Perry, 2006). Luka akut dan kronik beresiko terkena infeksi. Luka akut memiliki serangan yang cepat dan penyembuhannya dapat diprediksi. Contoh luka akut adalah luka jahit karena pembedahan, luka trauma dan luka lecet. Di Indonesia angka infeksi untuk luka bedah mencapai 2.30 sampai dengan 18.30 % (Depkes RI, 2001). Pada luka kronik, waktu penyembuhannya tidak dapat diprediksi dan dikatakan sembuh jika fungsi dan struktur kulit telah utuh. Jenis luka kronik yang paling banyak adalah luka dekubitus, luka diabetik, luka kanker. Pada awalnya para ahli berpendapat bahwa penyembuhan luka akan sangat baik bila luka dibiarkan tetap kering . Mereka berpikir bahwa infeksi bakteri dapat dicegah
apabila seluruh cairan yang keluar dari luka terserap oleh pembalutnya. Akibatnya sebagian besar luka dibalut oleh bahan kapas pada kondisi kering. Penelitian yang dilakukan Winter (1962) tentang keadaan lingkungan yang optimal untuk penyembuhan luka menjadi dasar diketahuinya konsep “Moist Wound Healing” (Morrison, 2004). ”Moist Wound Healing” adalah metode untuk mempertahankan kelembaban luka dengan menggunakan balutan penahan kelembaban, sehingga penyembuhan luka dan pertumbuhan jaringan dapat terjadi secara alami. Munculnya konsep “Moist Wound Healing” disertai dengan teknologi yang mendukung, hal tersebut menjadi dasar munculnya pembalut luka modern (Mutiara, 2009). Penggunaan dan pemilihan produkproduk perawatan luka kurang sesuai akan menyebabkan proses inflamasi yang
memanjang dan kurangnya suplai oksigen di tempat luka. Hal-hal tersebut akan memperpanjang waktu penyembuhan luka. Luka yang lama sembuh disertai dengan penurunan daya tahan tubuh pasien membuat luka semakin rentan untuk terpajan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi (Morrison, 2004). Munculnya infeksi akan memperpanjang lama hari rawat. Hari rawat yang lebih lama akan meningkatkan risiko pasien terkena komplikasi penyakit lain Berdasarkan data indikator mutu pelayanan, yang diperoleh dari RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tahun 2011 (periode April sampai September) terdapat angka kejadian dekubitus 0.00%, infeksi luka infus sebesar 1.11%, infeksi luka operasi sebesar 0.30 %. Dari data yang diperoleh, terdapat sebuah ruangan yaitu ruang C1 yang memiliki tingkat infeksi tertinggi yaitu untuk luka operasi mencapai 8.00% pada bulan Mei dan 6.25% pada bulan Juni. Berdasarkan WHO-depkes Indikator Standar Rawat Inap tergolong dengan kejadian infeksi tinggi sebagai indikator kejadian infeksi paska operasi memiliki standar maksimal 1.50% (Kuntjoro, 2007). Salah satu penyebab tingginya angka infeksi tersebut dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan perawatan luka yang tidak sesuai dengan karakteristik luka. Berdasarkan alasan diatas peneliti ingin mengidentifikasi penggunaan bahan dalam perawatan luka di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. METODE Desain penelitian ini adalah deskriptif. Sampel berjumlah 30 orang perawat yang diambil dengan teknik purposive sampling. Penelitian ini telah dilaksanakan selama lima bulan yaitu pada Februari sampai dengan Juni 2012. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner data demografi dan kuesioner penggunaan bahan pada perawatan
luka. Kuesioner demografi berisi informasi tentang usia, tingkat pendidikan dan lama bekerja perawat di rumah sakit. Kuesioner penggunaan bahan perawatan luka disusun oleh peneliti mengacu kepada tinjauan pustaka. Kuesioner penggunaan bahan pada perawatan luka yang terdiri dari penggunaan larutan pembersih, bahan balutan, larutan antiseptik, dan balutan sekunder. Penilaian kuesioner ini menggunakan skala Dichotomy dengan skor pilihan untuk pernyataan negatif benar (B) =1, salah (S)=0, dan untuk penyataan positif benar (B)=0, salah (S)=1.Pengujian kuesioner dilakukan oleh tiga orang yang ahli di bidang perawatan luka. Uji validitas ini menggunakan CVI dengan nilai CVI sebesar 0.78. Uji reliabel menggunakan uji KR-20 dengan nilai 0.70. Pengolahan data penggunaan bahanbahan perawatan luka dianalisis dengan menggunakan skala ordinal di mana hasilnya akan dibagi menjadi dua kategori penggunaan yaitu penggunaan bahan-bahan perawatan luka belum sesuai jenis luka dengan skor 0-6 dan penggunaan bahanbahan perawatan luka sudah sesuai jenis luka dengan skor 7-13. Selanjutnya data akan ditampilkan dalam distribusi frekuensi dan persentase. Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat izin dari Fakultas Keperawatan USU dan RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Peneliti menjelaskan terlebih dahulu kepada responden tentang maksud, tujuan dan prosedur penelitian serta menanyakan kesediaan calon responden. Calon responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani informed concent (surat persetujuan). Selama pengisian kuesioner responden diberi kesempatan untuk bertanya pada peneliti bila ada pernyataan yang tidak dimengerti. Setelah kuesioner selesai diisi
oleh responden, peneliti mengumpulkan kembali kuesioner dengan terlebih dahulu memeriksa kelengkapan jawaban. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan diketahui bahwa mayoritas perawat berada pada usia 30-34 tahun yaitu sebanyak 60.00% (18 responden). Seluruh responden (100.00%) memiliki latar belakang pendidikan DIII Keperawatan. Masa kerja responden mayoritas berada pada rentang 5-10 tahun sebanyak 66.70% (20 responden). Tabel 1 memperlihatkan komposisi distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden. Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik data demografi di RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar Karakteristik Frekuensi Persentase Usia (tahun) 25-29 3 30-34 18 35-40 9 Pendidikan SPK 0 D3 30 Sarjana 0 Lama Bekerja (tahun) 1-5 2 5-10 20 10 Tahun 8
10.00 60.00 30.00 0.00 100.00 0.00 6.60 66.70 26.70
Deskripsi penggunaan bahan-bahan pada perawatan luka berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar diketahui bahwa seluruh perawat tidak menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien (100.00%),
gambaran penggunaan bahan perawatan luka dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Penggunaan Bahan-Bahan pada Perawatan Luka Karakteristik Frekuensi Persentase Sesuai Tidak Sesuai
0 30
100.00 0.00
Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 30 orang perawat, ditemukan bahwa seluruh perawat (100.00%) di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar tidak menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien. Walaupun penggunaan bahan perawatan luka mayoritas tidak sesuai dengan karakteristik luka, masih ada penggunaan bahan yang tepat yaitu pemakaian salin normal sebagai larutan pembersih luka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh perawat (30 orang) menggunakan salin normal sebagai cairan pembersih pada perawatan luka akut seperti luka operasi, luka superfisial, dan luka kronik, termasuk luka kronik yang menghasilkan jaringan nekrotik. Menurut pedoman AHCPR 1994 menyatakan bahwa cairan pembersih yang dianjurkan adalah salin normal (sodium klorida 0.9%) (Morrison, 2004). Sodium klorida atau natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang memiliki komposisi sama seperti plasma darah, dengan demikian aman bagi tubuh (Morrison, 2004). Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa seluruh perawat (100.00%) menggunakan povidone iodine sebagai larutan antiseptik pada luka bedah (akut) dan 23 perawat (76.60%) menggunakan povidone iodine sebagai larutan antiseptik pada luka kronik, termasuk
juga pada luka kronik yang menghasilkan jaringan nekrotik. Penggunaan povidone iodine di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar belum tepat karena tidak sejalan dengan WHO yang tidak menyarankan penggunaan povidone iodine pada luka bersih seperti luka hasil pembedahan dan luka kronis. Hal ini disebabkan povidone iodine bersifat toksik yang dapat merusak perkembangan jaringan baru (WHO, 2010). Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan penggunaan antiseptik dalam hal ini belum tepat. Berdasarkan hasil penelitian ini penggunaan balutan di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar menunjukkan bahwa 100.00% (30 perawat) tidak menggunakan balutan yang dapat mempertahankan kelembaban (moist wound healing) seperti balutan oklusif ataupun balutan yang menyerap cairan (absorben dressing). Hasil peneltian ini juga menunjukkan bahwa seluruh perawat (30 orang) menggunakan balutan basah kering untuk merawat semua jenis luka akut dan 93.38% (28 perawat) menggunakan balutan basah kering (wet to dry) pada luka kronik termasuk luka kronik yang disertai dengan jaringan nekrotik. Balutan basah kering adalah balutan yang menggunakan kasa yang dibasahi dengan salin normal dan difiksasi menggunakan plester zink oksida. Penggunaan balutan basah kering dapat menyebabkan trauma pada jaringan yang akan sembuh. Pemakaian kasa konvensional yang terbuat dari material tekstil katun dan tersusun dari serabut-serabut anyaman akan menyebabkan kasa melekat pada permukaan luka. Kasa yang melekat akan menyebabkan luka kembali ke fase inflamasi, sehingga memperpanjang waktu penyembuhan luka. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Gates dan Holloway (2002) yang dilakukan pada 40 orang ibu yang menjalani operasi Caesar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa luka yang dirawat dengan balutan yang dapat mempertahankan kelembaban lebih cepat
menutup (5 hari) jika dibandingkan dengan luka yang dibalut dirawat dengan balutan basa kering (8 hari). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh perawat (100.00%) di RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematang Siantar menggunakan plester zink oksida sebagai perekat balutan pada perawatan luka akut dan kronik. Penelitian yang dilakukan Cutting (2007) menunjukkan bahwa luka yang dirawat menggunakan plester zink oksida menyebabkan peningkatan pelepasan kulit secara paksa (peel force) meningkat secara signifikan jika dibandingkan dengan luka yang dirawat menggunakan perekat hidrokoloid. Peningkatan pelapasan kulit secara paksa (peel force) dapat dicegah disebabkan oleh perekat hidrokoloid dapat mempertahankan kelembaban kulit secara konsisten. Plester zink oksida lebih cocok digunakan sebagai fiksasi infus atau kateter. Berdasakan pemaparan diatas dapat disimpulkan penggunaan balutan sekunder jenis balutan berperekat (adhesive dressing) lebih baik jika dibandingkan dengan pita perekat (adhesive tape). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan penggunaan balutan sekunder dalam hal ini belum tepat. SIMPULAN DAN SARAN Pengunaaan bahan pada perawatan luka dikategorikan tidak sesuai dengan karakteristik luka (100.00%). Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa manajemen luka RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar masih menerapkan metode perawatan luka konvensional. Perawat membersihkan luka menggunakan normal salin, menggunakan povidone iodine sebagai antiseptik dan mengandalkan balutan basah kering (wet to dry) sebagai bahan balutan baik pada luka akut maupun luka kronik. Balutan basah kering (wet to dry) adalah balutan yang menggunakan kasa yang dibasahi dengan salin normal dan difiksasi menggunakan plester zink oksida. Perawat
menggunakan bahan yang sama untuk merawat semua jenis luka akut dan kronik. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti ingin memberikan masukan kepada manajemen RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar agar menggunakan bahan perawatan luka yang sesuai dengan karakteristik luka pasien. misalnya tidak menggunakan povidone iodine pada luka akut seperti luka hasil pembedahan dan luka kronik yang menunjukkan kesembuhan (healable wound). Povidone iodine hanya digunakan pada jaringan kulit yang utuh pada pre-operatif, dan luka akut maupun kronik yang tidak dapat sembuh (nonhealable) ataupun luka yang mengalami infeksi. Selain itu, peneliti juga menyarankan agar manajemen RSUD Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar membuat suatu pelatihan tentang konsep perawatan luka terkini.
Khan, M. (2005). Antiseptics, iodine, povidone iodine and traumatic wound cleansing. Juni 27,2012. from http://www.tvs.org.uk/sitedocument/Kh an_16(4).pdf
DAFTAR PUSTAKA
Potter dan Perry. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.
DEPKES RI. (2001). Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Bryant, Ruth. (2007). Acute & Chronic Wounds; Current Manangement Concept. Philadelphia : Mosby Elsevier Cutting. (2007). Impact of adhesive surgical tape and wound dressing on the skin, with reference to skin stripping. Journal Of Wound Care. Vol.17 No.4, April 2008. http:// www. woundcarers.net Gates dan Holloway. Economic effectiveness modern versus traditional dressing. Journal Of Wound Care. Vol.27 No.9, April 2007. Hasan, Iqbal. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Jakarta: Ghalia Indonesia. Kuntjoro, (2007). Infeksi Nosokomial Rumah Sakit. Jakarta : Salemba Medika
Morison, Moya. (2004), Manajemen Luka. Jakarta : EGC Mutiara, Theresia (2009). Peranan Serat Alam untuk Bahan Baku Tekstil Medis Pembalut Luka (Wound Dressing). Jurnal Arena Tekstil. Vol.24 No.2, Desember 2009 http;//isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2 42097993.pdf. Nursalam. (2008). Konsep Dan Penerapan Metode Penelitian Ilmu Keperawatan; Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrument Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Komisi Indikator mutu pelayanan RSUD. Dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar. Oktober 10, (2011). Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta Suriadi. (2007). Perawatan Luka. Pontianak: Romeo Grafika. WHO. (2010). Wound and Limphoedema Management. Juni 27, 2012. from http://whqlibdoc.who.int/publications/2 010/9789241599139_eng.pdf