SKRIPSI
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
Oleh NANDA HADITTAMA F24050806
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh NANDA HADITTAMA F24050806
2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
STUDI PENGGUNAAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN) PADA PENGAWETAN BAKSO DENGAN ASAM ASETAT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh NANDA HADITTAMA F24050806 Dilahirkan pada tanggal 27 November 1986 di Bukittinggi Tanggal Lulus : 1 September 2009 Menyetujui, Bogor,
Oktober 2009
Dr. Ir. Joko Hermanianto
Tjahja Muhandri, STP, MT
Dosen Pembimbing 1
Dosen Pembimbing 2
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Nanda Hadittama. F24050806. Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat. Di bawah bimbingan : Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. 2009 RINGKASAN Pengawet merupakan salah satu kategori bahan tambahan pangan. Salah satu pengawet yang sering digunakan adalah asam organik, contohnya asam asetat. Asam asetat memiliki kelemahan saat digunakan ke bahan pangan yaitu aroma dan rasa asam yang tidak disukai. Penambahan bahan lain dibutuhkan sebagai penutup aroma dan rasa asam, salah satunya dengan penggunaan rempah. Bawang putih memiliki komponen citarasa yang khas dan kuat. Pencampuran asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat menjadi pengawet yang efektif dan diterima secara sensori. Penelitian bertujuan untuk menemukan pengawet yang aman bagi kesehatan, diterima secara sensori, dan relatif murah untuk diaplikasikan pada bakso. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih diharapkan dapat mengawetkan bakso selama minimal 4 hari pada suhu ruang tanpa terjadinya perubahan mutu bakso. Penelitian dibagi atas penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk bawang putih, formulasi asam asetat dan ekstrak bawang putih sebagai larutan biang pengawet, dan melihat pengaruh pengawetan terhadap umur simpan bakso. Pada penelitian utama dilakukan penentuan konsentrasi pengenceran terbaik untuk mengawetkan bakso minimal 4 hari pada suhu ruang. Metode pengawetan yang digunakan adalah perendaman dan perebusan. Lama perlakuan perendaman dan perebusan selama 10 menit. Bakso yang telah direbus atau direndam dengan larutan pengawet dikemas dengan plastik HDPE, dan disimpan pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan selama 4 hari atau lebih singkat karena terdeteksinya kerusakan pada bakso seperti terbentuknya lendir atau tumbuhnya miselium kapang. Pengamatan meliputi total mikroba, pengukuran pH, total asam tertitrasi, tekstur, warna, uji organoleptik, dan analisis biaya sederhana. Ekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol, karena ekstrak yang dihasilkan memiliki aroma dan rasa yang kuat dibandingkan dengan penggunaan pelarut lain seperti heksan dan etil asetat. Pengukuran kadar air terhadap bawang putih menunjukkan bahwa kadar air bawang putih cukup tinggi yaitu 69.18%, sehingga dilakukan pengeringan bawang putih terlebih dahulu agar kandungan air yang tinggi tidak mengganggu penetrasi pelarut dalam mengekstrak komponen citarasanya. Pengeringan dilakukan menggunakan oven vakum suhu 60oC dengan tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Kadar air bawang putih setelah pengeringan menjadi 46.33%. Rendemen ekstraksi dengan etanol 70% yaitu sekitar 75.18% (KA ekstrak bawang putih 66.48%). Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih yang terpilih berdasarkan nilai pH dan uji organoleptik yaitu kombinasi 60:40, dengan pH 3.02 dan intensitas rasa asam yang paling rendah. Pengamatan menunjukkan metode pengawetan dengan perendaman dan perebusan memperpanjang umur simpan bakso. Perendaman dengan konsentrasi 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 3 hari, perendaman dengan larutan konsentrasi 15% mampu memenuhi target
penyimpanan 4 hari. Pengawetan dengan perebusan menunjukkan keefektifan yang lebih besar dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan dengan konsentrasi larutan 10% larutan biang mampu mengawetkan bakso selama 6 hari. Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1 pengamatan. Uji mikrobiologi menunjukkan pengawetan dengan perendaman (konsentrasi 15% dan 20% larutan biang) dan dengan perebusan (konsentrasi 10%, 15%, dan 20% larutan biang) dapat mempertahankan total mikroba pada bakso dibawah 1x105 koloni/g sampai penyimpanan hari ke-4 di suhu ruang. Uji organoleptik yang dilakukan menunjukkan semakin tinggi konsentrasi larutan biang yang digunakan menurunkan penerimaan untuk parameter aroma, rasa, dan keseluruhan. Pengawetan dengan konsentrasi terendah yang diujikan yaitu 10% larutan biang menunjukkan penerimaan tertinggi untuk pengawetan dengan metode perendaman dan perebusan. Berdasarkan uji mikrobiologi dan organoleptik, metode pengawetan dan konsentrasi yang memenuhi target penyimpanan selama 4 hari pada suhu ruang adalah metode perendaman dengan konsentrasi minimal 15% larutan biang dan metode perebusan dengan konsentrasi 10% larutan biang. Biaya pengawetan dengan metode perendaman adalah Rp.360,00 per kg bakso dan dengan metode perebusan Rp.516,92 per kg bakso.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 27 November 1986 di Bukittinggi. Penulis adalah putra pertama dari pasangan Bapak Yoer Sofyan dan Ibu Elisri Nelhuda. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 30 ATTS, Bukittinggi pada tahun 1993-1999, kemudian melanjutkan studi di SLTP Negeri 4 Bukittinggi pada tahun 1999-2002 dan di SMA Negeri 5 Bukittinggi pada tahun 2002-2005. Pada tahun 2005, penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dibidang akademik dan non akademik. Dibidang non akademik, penulis aktif dalam berbagai keorganisasian dan kepanitiaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti penulis adalah IPMM (Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang) sebagai BPA (Badan Perwakilan Anggota) periode 2006-2007 dan sebagai Ketua pada periode 20082009, HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan) sebagai Staff Departemen Hubungan Luar periode 2007-2008, dan Food Processing Club pada divisi Ice Cream. Beberapa kepanitiaan kegiatan yang pernah diikuti adalah sebagai Ketua Pelaksana ”Baur” (Masa Perkenalan Departemen dan Himpunan Mahasiswa ITP) pada tahun 2007 dan sebagai staff Public Relation HACCP pada tahun 2007. Penulis juga pernah menjadi trainer pembuatan produk sari buah dan mi jagung tahun 2008, menjadi penyuluh keamanan pangan pada tahun yang sama. Menjuarai cabang basket pada Olimpiade Fateta dari tahun 2006-2009. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis telah menyusun skripsi setelah melakukan penelitian di laboratorium ITP FATETA IPB mulai bulan Desember 2008 sampai bulan Mei 2009, dengan judul Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Tjahja Muhandri. STP, MT
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Studi Penggunaan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum LINN) pada Pengawetan Bakso dengan Asam Asetat”, Tulisan ini merupakan laporan penelitian yang telah dilakukan penulis di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor dan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah banyak memberikan bantuan, baik moril, materi dan waktu kepada : 1. Mama dan Ayah tercinta yang telah memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan kami baik moril dan materil selama ini, Rifqi, Arif yang memberi semangat dan Nenek untuk kasih sayangnya. 2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik pertama, yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan, terutama selama penelitian dan penyelesaian skripsi ini. 3. Bapak Tjahja Muhandri STP, MT, yang telah bersedia menjadi dosen pembimbing akademik kedua dan memberikan arahan serta bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum M. Sc. yang telah bersedia menjadi dosen penguji dan memberi masukan untuk penyelesaian skripsi ini. 5. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang telah membagi ilmunya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat hingga akhir hayat kelak. 6. Sari Sulistyawati dan Try Aprianti Utami, yang telah memberikan perhatian, dukungan, dan semangat selama ini. 7. Teman-teman terbaik selama di ITP 42 yaitu Aji, Ardi, Wiwi, Hesti, Haris, Midun, Beqi, Caca, Fera, Fuad, Juju, Nina, Umam, Ikhwan, Wahyu,
i
Venty, Muji, Tyu, Adi Leo, Santi, Galih, Arya, Suhe, Olo dan temanteman ITP 42 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Muji, Nina, Tyu, Kak Cici, Dody dan Indi, teman-teman sebimbingan yang senasib dan sepenanggungan di ITP, dan telah banyak membantu dari awal penelitian sampai skripsi ini selesai. 9. Teman-teman Sarang Rayap, Aji, Haris, Juju, Fuad dan Mas Bowo. 10. Para Laboran yang sangat membantu selama penelitian, Pak Sobirin, Pak Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Wahid, Pak Gatot, Bu Rubiyah, Bu Antin, Mba Ida dan Mba Ari. 11. Keluarga besar TPG/ ITP angkatan 41, 42, 43, 44 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.
Bogor, Oktober 2009
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR.....................................................................
i
DAFTAR ISI...................................................................................
iii
DAFTAR TABEL...........................................................................
v
DAFTAR GAMBAR.......................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................
viii
PENDAHULUAN….......................................................................
1
A. LATAR BELAKANG...............................................................
1
B. TUJUAN....................................................................................
3
C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN.....................
3
D. MANFAAT PENELITIAN.......................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................
4
A. ASAM ORGANIK .................................................................
4
B. REMPAH..................................................................................
8
C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.).............................
9
D. EKSTRAKSI ............................................................................
12
E. BAKSO......................................................................................
15
III. METODOLOGI PENELITIAN......................................................
19
A. BAHAN DAN ALAT ...............................................................
19
B. METODE PENELITIAN .........................................................
19
1. Penelitian Pendahuluan ......................................................
20
2. Penelitian Utama ................................................................
21
I.
II.
C. PERLAKUAN............................................................................
24
1. Metode Pengawetan...............................................................
24
2. Konsentrasi Larutan Pengawet...............................................
24
3. Kondisi Pengemasan..............................................................
25
D. PENGAMATAN........................................................................
25
1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45,1999)……………………....................…….
25
2. Rendemen Ekstraksi………...................................................
26
iii
3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989)............................
26
4. Warna (Pomeranz et. al., 1978)..............................................
26
5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989)...................
27
6. Tekstur (Penetrometer)...........................................................
28
7. Total Mikroba (Fardiaz, 1992)...............................................
29
8. Pendugaan Umur Simpan Secara Visual................................
29
9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985).........................................
29
10. Analisis Biaya.........................................................................
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.......................................................
31
A. PENELITIAN PENDAHULUAN.............................................
32
1. Ektraksi Bawang Putih.........................................................
32
2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih
V.
sebagai Larutan Biang...........................................................
35
3. Pengaruh Pegawetan terhadap Umur Simpan Bakso…........
36
B. PENELITIAN UTAMA ............................................................
39
1. Mikrobiologi.........................................................................
39
2. Derajat Keasaman (pH).........................................................
42
3. Total Asam Tertitrasi.............................................................
48
4. Tekstur...................................................................................
52
5. Warna.....................................................................................
57
6. Uji Organoleptik....................................................................
64
7. Analisis Biaya.......................................................................
71
KESIMPULAN DAN SARAN.........................................................
75
A. KESIMPULAN............................................................................
75
B. SARAN........................................................................................
76
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................
77
LAMPIRAN ....................................................................................
82
iv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan (ICSMF, 1982).......................................................................... Tabel 2. Jumlah batasan
maksimal
asam organik
yang
dapat
dikonsumsi per hari oleh manusia………................................. Tabel 3. Konsentrasi
asam
organik
untuk
5
6
menghambat
mikroorganisme…....................................................................
7
Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat….........................................................
8
Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi..................................
11
Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi...........
13
Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapi menurut SNI..............
18
Tabel 8.
Kriteria Mutu Sensori Bakso.....................................................
18
Tabel 9. Intrepretasi nilai oHue...............................................................
27
Tabel 10. Kadar air bawang putih.............................................................
34
Tabel 11. Rendemen ekstraksi komponen polar dan larut air Bawang putih.............................................................................
34
Tabel 12. Nilai pH dan intensitas asam dari asam asetat dan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih..................... Tabel 13. Pengaruh
metode pengawetan
dan konsentrasi
36
larutan
pengawet terhadap TPC............................................................
39
Tabel 14. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi terhadap nilai pH selama penyimpanan.......................................
44
Tabel 15. Pengaruh perebusan baksodengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan………........
46
Tabel 16. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan
49
Tabel 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan....................
51
v
Tabel 18. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan...................
61
Tabel 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan..............
63
Tabel 20. Nama dan harga bahan-bahan yang digunakan..........................
72
Tabel 21. Penghitungan biaya untuk mendapatkan ekstrak bawang putih
72
Tabel 22. Pembuatan larutan biang dan pertambahan nilai per kg bakso..
73
v
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4.
Bawang Putih............................................................................ Struktur kimia Allisin............................................................... Diagram alir ekstraksi bawang putih........................................ Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat dan ekstrak bawang putih........................................................ Gambar 5. Diagram alir penelitian utama ………...................................... Gambar 6. Hasil ekstraksi dengan pelarut etanol, etil asetat, dan heksana Gambar 7. Umur simpan bakso berdasarkan pengamatan visual............... Gambar 8. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi terhadap nilai pH selama penyimpanan.................................... Gambar 9. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan............................................................................ Gambar 10. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Gambar 11. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan.... Gambar12. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan.... Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan Gambar 15. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan............................................................................. Gambar 16. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan............................................................................. Gambar 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan............................................................................. Gambar 18. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap penerimaan panelis.................... Gambar 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap penerimaan panelis.......................................................................................
10 11 22 23 24 33 37 43
45 48 50 53 55 58
60
62
63 65
68
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21.
Halaman Form Uji Organoleptik..………........................................…. 82 Derajat keasaman (pH) bakso kontrol dan perlakuan............ 83 Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan perendaman pada hari ke-0..................................................... 84 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso kontrol H0-H1.... 84 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 10% H0-H4.................................................................................... 85 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 15% H0-H4.................................................................................... 86 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 20% H0-H4.................................................................................... 87 Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan perebusan pada H-0................................................................ 88 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 10% H0-H4.................................................................................... 89 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 15% H0-H4.................................................................................... 90 Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 20% H0-H4.................................................................................... 91 Nilai TAT bakso kontrol dan perlakuan perebusan dan perendaman............................................................................. 92 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan perendaman H-0...................................................................... 93 Hasil uji ANOVA TAT bakso kontrol H0-H1....................... 94 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 10% H0-H4.................................................................................... 95 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 15% H0-H4.................................................................................... 96 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 20% H0-H4.................................................................................... 97 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan perebusan H-0........................................................................ 98 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 10% H0-H4.................................................................................... 99 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 15% H0-H4.................................................................................... 100 Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 20% H0-H4.................................................................................... 101
vii
Lampiran 22. Hasil pengukuran penetrometer untuk kontrol dan perlakuan (celup dan rebus).................................................................... Lampiran 23. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol dan perendaman H0................................................................. Lampiran 24. Hasil uji ANOVA pengukuran penetrometer bakso kontrol H0-H1..................................................................................... Lampiran 25. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman 10% H0-H4......................................................... Lampiran 26. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman 15% H0-H4......................................................... Lampiran 27. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman 20% H0-H4......................................................... Lampiran 28. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer untuk kontrol dan perebusan H0................................................................... Lampiran 29. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 10% H0-H4........................................................... Lampiran 30. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 15% H0-H4........................................................... Lampiran 31. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 20% H0-H4........................................................... Lampiran 32. Data warna kontrol dan perlakuan (perendaman dan perebusan).............................................................................. Lampiran 33. Nilai 0hue kontrol dan perlakuan (perendaman dan perebusan).............................................................................. Lampiran 34. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan perendaman H0....................................................................... Lampiran 35. Hasil uji ANOVA lightness bakso kontrol H0-H1................ Lampiran 36. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 10% H0-H4......................................................... Lampiran 37. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 15% H0-H4......................................................... Lampiran 38. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 20% H0-H4......................................................... Lampiran 39. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan perebusan H0......................................................................... Lampiran 40. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 10% H0-H4........................................................... Lampiran 41. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 15% H0-H4........................................................... Lampiran 42. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 20% H0-H4...........................................................
102 102 103 104 105 106 107 108 109 110 112 112 113 113 114 115 116 117 118 119 120
viii
Lampiran 43. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso perendaman......................................................................... Lampiran 44. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso perendaman......................................................................... Lampiran 45. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso perendaman......................................................................... Lampiran 46. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso perebusan............................................................................ Lampiran 47. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso perebusan............................................................................. Lampiran 48. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso perebusan.............................................................................. Lampiran 49. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan perendaman.......................................................................... Lampiran 50. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan perendaman.......................................................................... Lampiran 51. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol dan perebusan....................................................................... Lampiran 52. Hasil uji ANOVA dan Duncan aroma bakso kontrol dan perebusan.............................................................................. Lampiran 53. Hasil uji ANOVA dan Duncan rasa bakso kontrol dan perebusan.............................................................................. Lampiran 54. Hasil uji ANOVA dan Duncan keseluruhan bakso kontrol dan perebusan.......................................................................
121 122 123 124 125 126 127 127 128 129 129 130
ix
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawet termasuk ke dalam salah satu kategori bahan tambahan pangan, namun dalam penggunaannya sering terjadi pelanggaran seperti penggunaan dosis pengawet yang tidak tepat atau penggunaan bahan lain yang bukan bahan tambahan pangan. Hal tersebut diatur di dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kurangnya pengetahuan, efektifitas, dan harga dari pengawet, mempengaruhi pemilihan bahan pengawet untuk digunakan. Keberadaan mikroorganisme di alam tersebar luas sehingga produk pangan jarang sekali yang steril dan umumnya tercemar oleh berbagai jenis mikroba (Rahmawati, 2004). Mikroba pada bahan pangan dapat menyebabkan kebusukan dan keracunan. Kebusukan disebabkan oleh aktivitas mikroba pembusuk, sedangkan keracunan disebabkan oleh aktivitas mikroba patogen atau akibat toksin yang dihasilkan sebagai produk sekunder metabolismenya, sehingga keberadaan mikroba sangat berpengaruh terhadap umur simpan dan tingkat keamanan produk pangan saat dikonsumsi. Pengawet berfungsi untuk mengendalikan pertumbuhan mikroba produk berada dalam batas aman, seperti angka lempeng total bakso menurut SNI yaitu maksimal 1x105 koloni/gram. Bakso merupakan produk yang rentan terhadap penggunaan pengawet karena sifatnya yang cepat rusak (perishable). Pemasaran bakso di masyarakat pada umumnya berlangsung dengan kondisi penyimpanan kurang saniter pada suhu kamar. Menurut survei yang dilakukan Andayani (1999), sebagian besar konsumen bakso adalah pelajar dan mahasiswa yang merupakan usia produktif (usia di bawah 21 tahun), sehingga keamanan bakso sebagai bahan pangan yang sering dikonsumsi oleh konsumen usia produktif ini perlu diperhatikan. Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati netral, kadar air dan Aw yang juga tinggi menyebabkan umur simpannya relatif singkat yaitu sekitar 12 jam sampai 1 hari, sehingga banyak produsen atau pedagang bakso menggunakan bahan pengawet untuk memperpanjang umur simpan bakso, bahkan menggunakan pengawet yang dilarang seperti 1
boraks dan formalin. Boraks dan formalin diketahui dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker, apabila terakumulasi di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Seiring dengan meningkatnya kesadaran dan perhatian masyarakat terhadap keamanan makanan yang mereka konsumsi, penelitian telah banyak diarahkan untuk menemukan bahan pengawet baru yang dapat mengawetkan produk pangan dengan baik dan aman bagi kesehatan. Saat ini sedang dikembangkan metode pengawetan dengan menggunakan asam-asam organik, karena dengan menurunkan pH menciptakan lingkungan yang tidak disukai oleh mikroba untuk tumbuh. Asam organik yang sering digunakan untuk mengawetkan seperti asam askorbat, asam asetat, asam sitrat, dan asam laktat. Asam organik yang digunakan pada penelitian ini adalah asam asetat (cuka pasar). Rempah digunakan sebagai pemberi citarasa yang khas pada produk kulinari dan telah banyak penelitian berusaha membuktikan bahwa rempah juga dapat berfungsi sebagai antibakteri dan antioksidan alami. Hasil penelitian menunjukkan sifat antibakteri dan antioksidan rempah memang ada tetapi masih kurang efektif dibandingkan dengan senyawa sintetis yang beredar di pasaran. Penggunaan rempah pada penelitian ini dititikberatkan kepada sifat rempah yang memiliki citarasa yang kuat dan khas, digunakan untuk menutupi rasa asam dari asam organik, dan tidak mempengaruhi sifat antimikroba dari asam organik itu sendiri. Rempah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih (Allium sativum LINN) yang merupakan ingredien umum dalam pembuatan bakso. Pembuatan pengawet yang merupakan paduan antara asam asetat (cuka pasar) dan ekstrak bawang putih diharapkan efektif meningkatkan umur simpan bakso dan penggunaannya lebih murah secara ekonomi dibandingkan dengan pengawet sintetik yang beredar di pasaran dan diterima secara sensori, sehingga penggunaan pengawet yang dilarang dan membahayakan kesehatan dapat dikurangi atau bahkan dapat dihilangkan dari tengah masyarakat.
2
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan : 1. Tujuan umum: a. Memperoleh bahan pengawet yang sesuai untuk bakso b. Menemukan bahan pengawet yang efektif untuk mengawetkan produk pangan sehingga dapat menggantikan bahan pengawet yang dilarang. c. Menemukan bahan pengawet yang murah sehingga dapat diaplikasikan oleh industri-industri kecil. 2. Tujuan khusus: a. Menemukan bahan pengawet yang dapat mengawetkan bakso minimal empat hari penyimpanan dalam suhu ruang. b. Menemukan rempah yang dapat menutupi rasa asam dari asam organik yang digunakan. c. Memperoleh kombinasi yang tepat antara rempah dan asam organik sehingga pengawet yang dibentuk tidak terasa asam dan tetap memiliki aktivitas antimikroba. d. Menemukan bahan pengawet yang diterima oleh konsumen secara organoleptik C. INDIKATOR KEBERHASILAN PENELITIAN Penggunaan kombinasi antara asam asetat dan ekstrak bawang putih mampu mempertahankan umur simpan bakso pada penyimpanan suhu ruang selama empat hari dan diterima secara sensori. D. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian ini diharapkan dapat menemukan bahan pengawet yang efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme, meningkatkan umur simpan, dapat diaplikasikan oleh produsen bakso, tidak berdampak negatif terhadap kesehatan, dan relatif lebih murah dibandingkan dengan pengawet makanan yang beredar sekarang.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. ASAM ORGANIK Asam organik adalah asam yang secara alami dihasilkan oleh tumbuhtumbuhan dan makhluk hidup. Sifat antimikroba asam organik disebabkan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi meracuni mikroba dan pengaruhnya terhadap pH. Beberapa asam organik yang sering digunakan untuk makanan yaitu asam sitrat, asam
laktat, asam askorbat, asam
propionat, asam fumarat, asam tartarat, dan asam asetat. Kisaran pH menentukan jenis mikroorganisme yang tumbuh pada suatu lingkungan, sehingga
pengaturan
pH
akan
mempengaruhi
pertumbuhan
dari
mikroorganisme. Nilai pH menyeleksi mikroorganisme yang tumbuh dominan pada suatu produk pangan, karena setiap mikroorganisme memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap nilai pH, misalnya kapang yang masih dapat tumbuh pada pH 4.0 (Doores, 1993), sedangkan bakteri tumbuh pada pH mendekati netral yaitu pH 6.5-7.5 (Davidson et al., 2005). Penurunan pH dilakukan dengan penambahan asidulan atau dengan fermentasi alami. Pengasaman atau penambahan asidulan cenderung bersifat mikrostatik atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme daripada bersifat mikrosidal atau membunuh mikroorganisme. Pemberian asam organik diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mencegah kerusakan bahan pangan tersebut (Ray dan Sandine, 1992). Pemilihan dan penggunaan asam organik perlu mempertimbangkan banyak faktor. Beberapa faktor pertimbangan dalam pemilihan asam organik yang tepat adalah sifat kimiawi dan antimikroba senyawa; sifat dan komposisi produk; sistem pengawetan lain yang digunakan selain asam organik; tipe, karakteristik dan jumlah mikroba di dalam produk; aspek legalitas dan keamanan antimikroba; aspek ekonomi penggunaannya dan jaminan bahwa antimikroba tersebut tidak merusak kualitas produk. Efektivitas penggunaan suatu senyawa antimikroba di dalam bahan pangan juga tergantung pada kondisi produk pangan seperti pH (keasaman), polaritas, komposisi nutrisi di dalam bahan pangan, juga tergantung pada 4
faktor lainnya seperti suhu, metode pengawetan, proses pengolahan, pengemasan, dan penanganan pasca pengolahan. Pemilihan jenis asam organik yang digunakan sebagai pengawet bahan makanan didasarkan atas kelarutannya, rasa asam yang ditimbulkan pada bahan pangan dan toksisitasnya yang rendah. Asam organik kebanyakan mudah larut dalam air, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1. Menurut FAO/WHO (ICMSF, 1980), sampai saat ini asam organik merupakan bahan pengawet makanan yang dianggap aman. Tabel 1. Solubilitas asam organik sebagai bahan pengawet makanan (ICMSF, 1980) ADb (mg/kg berat badan)
Konsentrasi maksimum yang digunakan (mg/kg)
Asam organik
pKa
Solubilitasa (g/100g)
Asam asetat
4.75
Mudah larut
Tidak terbatas
Tidak terbatas
Asam sitrat
3.1
Mudah larut
Tidak terbatas
Tidak terbatas
Asam laktat
3.1
Mudah larut
Tidak Terbatas
Tidak Terbatas
Asam sorbat
4.8
0.16 (20oC)
25
1-2000
Keterangan :
a
Solubilitas dalam air
b
Jumlah yang dapat dimakan per hari (FAO/WHO, 1979)
Asam organik telah sering digunakan sebagai pengawet untuk makanan, karena selain memiliki aktivitas antimikroba, asam organik tersebut aman untuk dikonsumsi karena bersifat food grade. Penggunaan beberapa jenis asam organik pada makanan sebagai bahan pengawet memiliki batas maksimal penggunaan. Batas maksimal penggunaan beberapa asam organik dapat dilihat pada Tabel 2.
5
Tabel 2. Jumlah batasan maksimal asam organik yang dapat dikonsumsi per hari oleh manusia No
Asam Organik
Batasan (mg/kg berat badan)
1
Asam asetat
Tidak terbatas
2
Sodium diasetat
0-15
3
Asam fumarat
0-6
4
Asam laktat
Tidak terbatas
5
Asam propionat
Tidak terbatas
6
Asam tartarat
0-30
Sumber : Doores (1993) Keberhasilan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh jenis mikroorganisme, jenis dan konsentrasi asidulan, waktu kontak, kapasitas buffer pada makanan, dan kondisi lain pada makanan yang mampu meningkatkan penghambatan pertumbuhan mikroorganisme tersebut (Doores, 1993). Konsentrasi hambatan asam organik terhadap pertumbuhan mikroorganisme dapat dilihat pada Tabel 3. Aktivitas antimikroba asam organik ditentukan oleh besarnya persentase molekul asam yang tidak terurai (undissociated), yang ditetapkan dengan nilai pKa. Nilai pKa adalah nilai pH saat 50% total asam merupakan bentuk yang tidak terurai. Masing-masing jenis asam organik memiliki nilai pKa yang berbeda-beda yang dapat dilihat pada Tabel 1 (ICMSF, 1980). Nilai pKa akan menentukan kisaran pH efektif dari asam organik untuk dapat bersifat mikrostatis. Bahan makanan yang memiliki pH rendah, maka banyaknya persentase molekul asam organik yang tidak terurai meningkat, sehingga kemampuan sebagai antimikroba juga akan meningkat. Kemampuan asam sebagai anti mikroorganisme didasarkan atas dua hal yaitu pengaruhnya terhadap pH lingkungan dan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi untuk meracuni mikroba (Buckle et al., 1987). Proses penghambatan dari asam tidak terdisosiasi yang merupakan asam organik adalah dengan berpenetrasi ke dalam membran sel dengan 6
mudah karena sifat lipofilik dari rantai karbon pada asam organik. Di dalam sel, asam organik akan terdisosiasi karena pH di sitoplasma yang netral, disosiasi asam organik menurunkan pH di sitoplasma. Sel harus mempertahankan netralitas pH di dalam sitoplasma agar tidak terjadi perubahan bentuk dari protein, enzim, asam nukleat dan fosfolipid. Proton yang dihasilkan dari disosiasi asam organik harus dikeluarkan dari dalam sel, proses pengeluaran proton dari sitoplasma sel menggunakan ATP sebagai sumber energi karena melawan gradien konsentrasi, sehingga pada akhirnya sel akan kehabisan energi (ATP) dan tidak dapat tumbuh (Davidson et al., 2005). S. aureus adalah bakteri yang paling sensitif terhadap asam asetat, diikuti oleh asam sitrat, asam laktat, asam malat, asam tartarat, dan asam hidroklorat (Nunheimer dan Fabian 1940 di dalam Davidson et al., 2005). Anderson dan Marshall (1989) di dalam Davidson et al., (2005) menunjukkan penggunaan asam asetat konsentrasi 3% dapat mengurangi jumlah bakteri pada daging sebesar 99.6%. Tabel 3. Konsentrasi asam organik untuk menghambat mikroorganisme Asam organik
Asam tidak terdisosiasi yang diperlukan untuk menghambat (%)
Asam asetat
Bakteri Gram positif 0.1
Bakteri Gram negatif 0.05
0.1 >0.03
Asam propionat Asam laktat
Ragi
Kapang
0.5
0.1
0.05
0.2
0.05
>0.01
>0.01
>0.01
Sumber : Ray dan Sandine (1992) Asam asetat merupakan cairan yang jernih, tidak berwarna, dan memiliki bau asam yang menusuk. Asam asetat dapat larut dalam air, alkohol, lemak, dan gliserol. Selain itu asam jenis ini juga dikenal sebagai pelarut yang baik untuk bahan organik (Marshall et al., 2000). Asam asetat selain digunakan sebagai sanitaiser, juga dapat digunakan pada makanan sebagai penegas rasa, penegas warna, bahan pengawet, penyelubung after taste yang tidak disukai, dan sebagai bahan pengembang (Winarno, 1997). Sifat dari asam asetat dapat dilihat pada Tabel 4. 7
Tabel 4. Sifat fisik Asam Asetat No Sifat Fisik 1 Rumus Kimia 2 Berat Molekul 3 Aspek Fisik 4 Titik Didih 5 Titik Beku 6 Konstanta Ionisasi 7 Bau 8 Rasa 9 Kelarutan 10 Commercial grades 11 Densitas larutan 99.5 % 12 Densitas larutan 36 % 13 pH larutan 1 % Sumber : Furia (1972)
Karakteristik CH3COOH 60.03 Cairan tidak berwarna 119oC 16.6oC 1.75 x 10-5 Menyengat Asam Larut dalam air, alkohol, gliserin Larutan aqueous 99.5 % dan 36 % 1045 g/l 376 g/l 2.78
Asam asetat termasuk ke dalam gugus asam karboksilat. Asam karboksilat berwujud cairan tidak berwarna dengan bau tajam atau tidak enak (Hart, 2003). Asam karboksilat tergolong polar dan larut air disebabkan gugus hidrogen pada molekul asam yang berbobot molekul rendah seperti asam asetat. Asam asetat yang memiliki pH rendah dapat menghambat pertumbuhan mikroba yang sebagian besar tidak tahan terhadap pH rendah. Asam asetat memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan asam asetat sebagai sanitaiser antara lain : 1) termasuk kelompok GRAS (Generally Recognize As Safe) sehingga aman digunakan pada makanan; 2) harganya relatif murah; 3) memiliki toksisitas yang rendah (Marshall et al., 2000). Kekurangan asam asetat adalah bau dan rasanya yang asam, sehingga sebelum digunakan asam asetat ini biasanya diencerkan terlebih dahulu. Sifat hidrofilik yang dimiliki asam asetat juga mendukung proses pengawetan, karena fase air merupakan tempat mikroorganisme tumbuh. B. REMPAH Rempah-rempah adalah bahan asal tumbuh-tumbuhan yang biasa dicampurkan ke dalam berbagai makanan untuk memberi aroma atau flavor dan membangkitkan selera makan. Rempah-rempah diklasifikasikan menjadi 8
4 kategori, yaitu: 1) species Aromata yaitu rempah-rempah yang digunakan sebagai wangi-wangian, seperti kapulaga, kayu manis, dan sweet marjoram; 2) species Thumiamata yaitu rempah yang digunakan untuk dupa dan kemenyan, seperti thyme, kayu manis, dan rosemary; 3) species Condimenta yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk pembalseman dan pengawetan, seperti kayu manis, jinten, adas, cengkeh, dan sweet marjoram; 4) species Theriaca yaitu rempah-rempah yang digunakan untuk menetralkan racun, seperti adas, ketumbar, bawang putih, dan oregano (Farrel, 1985). Peran rempah sebagai pengawet makanan tidak terlepas dari kemampuan rempah yang memiliki aktivitas antimikroba dan antioksidan. Antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan dan aktivitas mikroba, khususnya mikroba perusak dan pembusuk makanan (Pelczar dan Reid, 1972). Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat terjadinya proses oksidasi. Menurut Ardiansyah (2007), efek penghambatan senyawa antimikroba dari rempah-rempah tidak hanya menghambat pertumbuhan bakteri, tetapi dapat juga menghambat pertumbuhan khamir seperti Candida albican dan Sacharomyces cerevisiae. Komponen-komponen aktif pada minyak thyme, minyak sage, minyak rosemary, minyak cumin, minyak caraway, dan minyak cengkeh dapat menghambat khamir dengan konsentrasi 0.5-2.0 mg/mL. C. BAWANG PUTIH (Allium sativum LINN.) Bawang putih termasuk famili Liliaceae, ordo Liliflorae, kelas Monocotyledone, Genus Allium, dan spesies Sativum (Wibowo, 1991). Menurut Morton dan Macleod (1982), bawang putih merupakan umbi tanaman yang berukuran kecil dan sedikit keras, warnanya berbeda-beda (putih, merah muda, dan kuning) tergantung varietasnya. Bawang putih termasuk klasifikasi tumbuhan berumbi lapis atau siung bersusun. Bawang putih tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm, mempunyai batang semu yang terbentuk dari pelepah-pelepah daun. Helaian daunnya mirip pita, berbentuk pipih dan memanjang. Bawang putih pada awalnya merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, namun sekarang di Indonesia, jenis tertentu dibudidayakan di dataran rendah (Anonima, 2005). 9
Di bidang pangan, bawang putih banyak digunakan sebagai penyedap masakan, sedangkan di bidang farmasi bawang putih digunakan sebagai bahan pencampur obat-obatan. Bawang putih digunakan untuk mencegah infeksi lanjut pada penyakit batuk dan sebagai disinfektan bagi sejumlah penyakit (Farrell, 1985).
Gambar 1. Bawang Putih Berdasarkan SNI nomor 01-3160-1992, bawang putih adalah umbi tanaman bawang putih (Allium sativum Linn.) yang terdiri dari siung-siung, kompak, masih terbungkus oleh kulit luar, bersih dan tidak berjamur. Bawang putih tersusun atas beberapa senyawa kimia dengan air sebagai komponen dengan jumlah terbesar. Komposisi kimia bawang putih dapat dilihat pada Tabel 5. Bawang putih mempunyai karakter bau sulfur yang khas yang akan keluar setelah bawang putih dipotong atau dihancurkan. Bawang putih mengandung minyak volatil kurang dari 0.2% (w/w). Komponen-komponen yang terdapat dalam minyak bawang putih adalah dialil disulfida (60.0%), dialil trisulfida (20.0%), alil propil disulfida (6.0%), dietil disulfida, dialil polisulfida, alinin, serta allisin dalam jumlah kecil (Farrell, 1985). Menurut Guenther (1952), allisin tidak terdapat pada umbi bawang putih yang utuh, tetapi dalam bentuk prekursor yang tahan panas yaitu alliin. Senyawa alliin sendiri tidak mempunyai sifat bakterisidal. Pada saat umbi bawang putih dihancurkan allisin akan terbentuk dari alliin dengan bantuan dari enzim alliinase. Hal ini terjadi karena alliin dan enzim alliinase berada di dalam kompartemen sel yang berbeda, ketika bawang putih dihancurkan kompartemen ini pecah, substrat alliin dan enzim alliinase akan membentuk 10
produk yaitu allisin. Allisin selanjutnya akan terdekomposisi menjadi dialil sulfida dan sulfida-sulfida lain pada destilasi uap dengan tekanan atmosfer. Tabel 5. Komposisi bawang putih per 100g umbi Komposisi
Jumlah (per 100g)
Protein
4.5 g
Lemak
0.20 g
Karbohidrat
23.10 g
Vitamin B1
0.22 g
Vitamin C
15 mg
Kalori
95 kal
Fosfor
134 mg
Kalsium
42 mg
Besi
1 mg
Air
71 g a
Sumber : Anonim (2005) Bawang putih termasuk salah satu rempah yang telah terbukti dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Golongan senyawa yang diperkirakan memiliki aktivitas antimikroba pada bawang putih, seperti allisin, ajoene, dialil sulfida, dialil disulfida, yang termasuk dalam golongan senyawa tiosulfinat. Tiosulfinat adalah golongan senyawa yang mengandung 2 atom belerang yang saling berikatan rangkap dengan atom oksigen seperti allisin.
CH2=CHCH2S-SCH2CH=CH2 ║ O Gambar 2. Struktur kimia Allisin Struktur kimia allisin dapat dilihat pada Gambar 2. Allisin adalah komponen utama hasil degradasi secara enzimatis dari prekursor pembentuk citarasa (Alliin) bawang putih yang tidak stabil dan sangat reaktif yang disebabkan lemahnya ikatan S-S (Block, 1992). Kestabilan senyawa tiosulfinat tergantung dari pelarut, suhu, konsentrasi, dan kemurnian. 11
Tiosulfinat mengalami beberapa perubahan yang tergantung pada suhu, pH, dan kondisi pelarut untuk membentuk senyawa yang lebih stabil, seperti disulfida, trisulfida, alilsulfida, vinil dithiins, ajoene, dan merkaptosistein (Nagpurkar et al., 2000). Allisin (dialil tiosulfinat) pertama kali ditemukan oleh Cavalito dan Bailey pada tahun 1944. Sifat-sifatnya antara lain tidak stabil terhadap panas, stabil dalam asam dan basa pada konsentrasi rendah, larut air (2.5% pada 10oC), tidak larut dalam larutan karbon alifatik (n-heksan) (Whitmore dan Naidu, 2000). Allisin adalah cairan kuning berminyak, berbau tajam, bersifat sangat reaktif, sedikit larut air, larut alkohol dan merupakan oksidator kuat. Menurut Nagpurkar et al., (2000), allisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar, namun kurang larut dalam air. Komponen larut air allisin lebih stabil dibandingkan komponen larut minyaknya. Amagase et al., (2001) mengemukakan bahwa allisin hanyalah sebuah senyawa transisi yang mudah terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa sulfida lainnya, seperti ajoene dan dithiin. Diallil sufida merupakan komponen yang paling dominan dalam bawang putih (Fenwick dan Hanley, 1985) dan merupkan komponen yang sangat menentukan citarasa dan aroma bawang putih. Menurut Purnowati et al., (1992), allisin adalah komponen terbesar yang menentukan rasa bawang putih segar, sedangkan disulfida dan trisulfida mendukung bau bawang putih yang dimasak. Suharti (2004) meneliti tentang sifat antibakteri bawang putih terhadap Salmonella typhirium. Hasilnya adalah serbuk bawang dengan konsentrasi 5% dapat menghambat pertumbuhan bakteri yang setara dengan tetrasiklin 100 µg/ml. Whitmore dan Naidu (2000) mengemukakan bahwa allisin dalam bawang putih dibutuhkan dalam jumlah lebih banyak untuk menghambat mikroba pada medium cair dibandingkan dengan medium padat. D. EKSTRAKSI Menurut Nur dan Adijuwana (1989), ekstraksi merupakan peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut yang saling tidak bercampur. Menurut Harborne (1987), ektraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu contoh dengan menggunakan pelarut tertentu. 12
Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat akan berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan dan jenis senyawa lain yang diinginkan (Nielsen, 2003). Pemilihan metode ekstraksi senyawa ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif, dan kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik beberapa pelarut organik untuk ekstraksi pelarut
polaritas (ε)a)
karbondioksida
0,00
konstanta dielektrik (Debye)b) -
titik didih (oC) a) -56,60
kelarutan dalam air (%)b) -
pentana
0,00
1,84
36,20
0,01
heksana
0,00
2,00
68,70
0,01
toluena
0,29
2,40
11,06
0,05
benzena
0,32
2,30
80,10
0,06
etil asetat
0,38
6,00
77,10
9,80
aseton
0,47
20,70
56,20
larut
propan-2-ol (IPA)
0,63
18,30
82,30
larut
etanol
0,68
24,30
78,30
larut
metanol
0,73
32,60
64,80
larut
air
0,90
78,50
100,00
Sumber : a)Moyler (1995); b)Houghton dan Raman (1998) Proses isolasi atau pemisahan komponen bioaktif yang terkandung dalam tumbuhan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut. McCabe dan Smith (1974) menyatakan bahwa metode yang digunakan untuk melarutkan komponen yang larut dari zat padat yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut tertentu disebut dengan leaching atau ekstraksi padat/ cairan (solid/liquid extraction). Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe’s, 1954). 13
Proses pemindahan komponen bioaktif dari bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi, proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Danesi, 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan berakhir apabila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan terjadi apabila seluruh zat terlarut sudah larut semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini tercapai dengan cepat atau lambat tergantung dari struktur zat padatnya. Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke permukaan padatan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses ini berlangsung secara seri. Bila salah satu proses berlangsung lebih cepat maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lebih lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda maka kecepatan reaksi tergantung dari kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997). Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan dalam setiap pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko, 1982). Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh konstanta dielektriknya, semakin besar konstanta dielektrik suatu pelarut maka semakin polar komponen tersebut.
14
Penggunaan metode ekstraksi yang akan dilakukan bergantung pada beberapa hal, yaitu tujuan dilakukan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi, dan sifat pelarut yang diinginkan (Hougton dan Raman, 1998). Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah distilasi dan ekstraksi dengan pelarut. Proses ekstraksi dipengaruhi oleh oleh lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan komponen yang akan diekstrak, semakin sempurna proses ekstraksi. Teknik ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi dengan pelarut organik secara bertingkat atau disebut dengan ekstraksi bertingkat. Menggunakan metode maserasi atau dengan perendaman bahan menggunakan pelarut tertentu. Ekstraksi bertingkat dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut dengan berbagai tingkat kepolaran, dimulai dengan pelarut non-polar ke pelarut polar. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai pelarut adalah : (1) pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, (2) pelarut organik akan cenderung melarutkan senyawa organik, dan (3) pelarut air cenderung melarutkan senyawa anorganik dan garam dari asam ataupun basa (Achmadi, 1992). Penelitian ini menggunakan pelarut non-polar yaitu heksana yang berfungsi melarutkan lemak, heksana merupakan hidrokarbon alkana dengan rumus molekul C6H14, pelarut semi-polar yaitu etil asetat dengan rumus molekul C4H8O2, dan pelarut polar yaitu etanol dengan rumus molekul C2H5OH yang bersifat volatil. E. BAKSO Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan yang diizinkan. Menurut Tarwotjo et al. (1971), Bakso berbeda dengan meatball, bakso menggunakan bahan berpati yang tidak dibatasi penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan konsentrat protein, tepung kedelai, susu bubuk tanpa lemak dan bahan sejenis lainnya maksimal 12%. 15
Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan, dicampur dengan pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun udang (Widyaningsih, 2006). Bakso yang beredar umumnya menggunakan daging sapi. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung yang digunakan, Elviera (1988) mengelompokkan bakso menjadi tiga kelompok, yakni bakso daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso juga dapat dikelompokkan berdasarkan daging yang digunakan, seperti bakso sapi, bakso ikan, bakso babi, dan bakso ayam. Proses pembuatan bakso dibagi menjadi 4 tahap yaitu penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses pembuatan bakso terdiri dari daging, bahan pengisi, garam, es, dan ingredien lain (seperti bawang putih, MSG, merica). Daging yang digunakan menentukan mutu dari bakso (Sunarlim, 1992). Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding capacity masih tinggi (jumlah ATP yang masih banyak sehingga ikatan antar protein renggang) dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase berikutnya
sehingga
kemampuan
emulsinya
juga
meningkat
dan
menghasilkan emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor, akan memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah tapioka dan pati sagu. Bahan pengisi penting karena kemampuannya yang tinggi dalam mengikat air, tapi tidak mempunyai kemampuan dalam mengemulsikan lemak. Fungsi bahan pengisi yaitu (1) memperbaiki sifat emulsi, (2) mereduksi penyusutan selama pemasakan, (3) memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, dan (4) menurunkan biaya (Kramlich, 1971). Menurut Trout dan Schmidt (1986) di dalam Sunarlim (1992), garam berfungsi untuk mengekstrak protein miofibrial dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis, dan berinteraksi dengan protein otot membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur. Jumlah garam yang ditambahkan sekitar 2.5% dari berat daging. Es dalam penggilingan daging berfungsi untuk menjaga suhu daging selama 16
penggilingan, suhu daging yang terlalu tinggi (lebih dari 15-20oC) akan menyebabkan kerusakan emulsi (Wilson, 1981). Selain itu es juga berfungsi memperlancar ekstraksi protein, mencegah tekstur adonan menjadi kering, dan meningkatkan rendemen. Penambahan es sebanyak 10%-15% dari berat daging, atau bahkan 30% dari berat daging. Protein berperan penting pada bakso karena merupakan pembentuk sistem emulsi, karena protein merupakan emulsifier alami. Ada tiga protein yang berperan dalam pembentukan emulsi, yaitu (1) protein sarkoplasma yang larut air, (2) aktin miosin yang larut garam, dan (3) protein lain seperti mioglobin (larut air dan garam) (Wilson, 1981). Karakteristik bakso sapi yang disukai oleh konsumen berdasarkan survei yang dilakukan Andayani (1999) adalah rasanya gurih (sedang), agak asin, rasa daging kuat, berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan kenyal, bentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3 -5 cm). Syarat mutu bakso menurut SNI dapat dilihat pada Tabel 7. Banyak pengusaha bakso yang ingin meningkatkan produksinya terbentur masalah keawetan dari produk bakso yang hanya berkisar 12 jam dan maksimal 1 hari pada suhu ruang, sehingga mereka menggunakan bahan yang dapat memperpanjang umur simpan dari bakso, termasuk penggunaan bahan pengawet yang dilarang seperti penggunaan boraks dan formalin. Menurut Sendih (1998), 63% pedagang bakso di kota Bogor menggunakan formalin untuk mengawetkan bakso. Penilaian mutu bakso dapat dilakukan dengan menilai mutu sensori atau mutu organoleptiknya. Menurut Wibowo (2005), kriteria mutu sensori bakso dapat diketahui berdasarkan lima parameter sensori utamanya seperti tercantum pada Tabel 8. Bakso memiliki kadar air dan Aw yang tinggi yaitu 80% dan 0.99 sehingga rentan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh mikroorganisme. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri.
17
Tabel 7. Syarat mutu objektif bakso daging sapi menurut SNI No.
Kriteria Uji
1
Air
Satuan % b/b
Persyaratan Maks. 70.0
2
Abu
% b/b
Maks. 3.0
3
Protein
% b/b
Min. 9.0
4
Lemak
% b/b
Maks. 2.0
5
Boraks
-
Tidak boleh ada
6
Cemaran mikroba
-
-
6.1
Angka Lempeng Total
Koloni / g
Maks. 1.0 x 105
6.2
Escherichia coli
APM / g
<3
6.3
Staphylococcus
Koloni / g
Maks. 1.0 x 102
aureus Sumber : SNI No. 01-3818-1995 Tabel 8. Kriteria Mutu Sensori Bakso Parameter Penampakan
Ciri-ciri Bentuk bulat halus, berukuran seragam, bersih dan cemerlang, tidak kusam, sedikitpun tidak tampak berjamur, tidak berlendir.
Warna
Coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur).
Bau
Bau khas daging segar rebus dominan, tanpa bau tengik, asam, basi, atau busuk. Bau bumbu cukup tajam.
Rasa
Rasa lezat, enak, rasa daging dominan dan rasa bumbu cukup menonjol tapi tidak berlebihan. Tidak terdapat rasa asing yang mengganggu.
Tekstur
Tekstur kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh.
Sumber : Wibowo, 2005. 18
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakso dan bawang putih (Allium sativum LINN). Senyawa organik yang digunakan yaitu asam asetat (CH3COOH) merupakan cuka pasar. Bahan-bahan yang digunakan dalam proses ekstraksi adalah pelarut teknis heksana, pelarut teknis etil asetat, pelarut teknis etanol. Bahan-bahan yang digunakan untuk uji mikrobiologi yaitu media PCA (Plate Count Agar), larutan pengencer (buffer fosfat, KH2PO4), alkohol 70%, dan aquades. Bahan–bahan yang digunakan untuk analisis total asam tertitrasi adalah NaOH 0,1N, asam potasium phtalate (KHP), dan indikator phenoftalein (PP). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah baskom, pisau, pengaduk, penyaring, dan plastik HDPE. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah oven, oven vakum, pH meter, stomacher, bunsen, inkubator, rotary vaccum evaporator, penyaring vakum, shaker, buret, erlenmeyer, gelas piala, Chromameter, Texture Analyzer, cawan petri, mikro pipet, gelas ukur, balep, tabung reaksi, tabung pengencer, autoklaf, dan labu takar. B. METODE PENELITIAN Penelitian dibagi menjadi 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan pelarut yang efektif untuk ekstraksi komponen citarasa dari bawang putih dan menentukan fraksi yang mampu menghilangkan atau mereduksi rasa asam dari asam asetat, yaitu fraksi polar, semi-polar, non-polar, atau kombinasi ketiga fraksi tersebut, juga membandingkan rendemen ekstraksi dari masingmasing pelarut. Penelitian dilanjutkan dengan penentuan formula dari ekstrak bawang putih dan asam asetat yang dapat mengurangi rasa dan aroma asam, dilakukan dengan cara mencampurkan ekstrak bawang putih dengan asam asetat pada berbagai perbandingan. Formula larutan biang juga diujikan terhadap bakso untuk melihat pengaruh larutan biang terhadap umur simpan bakso. 19
Pengawetan dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan perendaman dan perebusan. Pada penelitian utama, dilakukan penentuan konsentrasi terbaik dari asam asetat dan ekstrak bawang putih. Pengujian dilakukan terhadap bakso perlakuan dengan beberapa konsentrasi larutan pengawet. Pengamatan dilakukan terhadap bakso yang telah diberi perlakuan, untuk mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama empat hari penyimpanan. 1. Penelitian Pendahuluan Ekstraksi bawang putih dilakukan dengan ekstraksi bertingkat metode maserasi (perendaman) menggunakan pelarut yang berbeda-beda tingkat kepolarannya, kemudian dinilai keefektifan dan rendemen ekstraksinya. Pelarut terpilih digunakan untuk ekstraksi bawang putih selanjutnya. Bawang putih dibersihkan lapisan luarnya, diiris melintang, dan kemudian dikeringkan dengan oven vakum suhu 600C tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Pengeringan dilakukan untuk mencegah kandungan air yang terlalu tinggi pada ekstrak. Selanjutnya bawang putih dihancurkan dengan blender sehingga diperoleh bawang putih yang telah menjadi potongan-potongan atau bentuk yang lebih kecil. Semakin halus hancuran bawang putih maka semakin luas permukaan yang kontak dengan pelarut, sehingga ekstraksi dapat berlangsung lebih efektif dan cepat. Metode ekstraksi ini berdasarkan penelitian Leomitro (2007) yang mengekstraksi biji Lotus (Nelumbium nelumbo). Perbandingan bawang putih dengan pelarut adalah 1:4, yaitu 60 g bawang putih dengan 240 ml pelarut dalam erlenmeyer dan ditempatkan di atas inkubator bergoyang dengan kecepatan 30 rpm pada suhu ruang selama 24 jam untuk masing-masing pelarut yang digunakan. Filtrat yang telah diperoleh dipekatkan dengan rotary vaccum evaporator pada suhu 55oC dengan kecepatan 75 rpm hingga sebagian besar pelarut terpisah dari ekstrak. Volume akhir filtrat yaitu sekitar seperempat volume sebelum dipekatkan. Filtrat ditempatkan semalam di ruang asam untuk menghilangkan sisa pelarut. Padatan yang diperoleh dari penyaringan vakum kembali diekstraksi dengan pelarut berikutnya dengan tahapan proses yang sama. Pelarut yang 20
digunakan pertama adalah pelarut nonpolar yaitu heksana, pelarut selanjutnya adalah pelarut semipolar yaitu etil asetat, dan terakhir pelarut polar yaitu etanol. Tiap larutan hasil ekstraksi dari masing-masing pelarut kemudian disaring vakum untuk memisahkan padatan dan filtrat, filtrat diuapkan dengan rotary vaccum evaporator untuk menghilangkan pelarutnya. Diagram proses ektraksi yang lebih lengkap dapat dilihat pada Gambar 3. Ekstrak bawang putih yang diperoleh dicampurkan dengan asam organik yaitu asam asetat. Penentuan konsentrasi yang tepat dilakukan secara objektif dengan pengukuran pH yaitu campuran dengan pH ≤ 3.0 dan secara subjektif dengan organoleptik yaitu kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih yang menghasilkan rasa asam paling rendah dibandingkan dengan larutan asam dengan konsentrasi yang sama tapi tanpa penambahan ekstrak rempah. Campuran ini akan digunakan pada penelitian utama. Diagram proses penentuan konsentrasi rempah yang tepat dapat dilihat pada Gambar 4. Pada penelitian pendahuluan juga dilakukan pengamatan terhadap kemampuan antimikroba dari kombinasi asam asetat dan bawang putih yang telah diencerkan menjadi beberapa konsentrasi. Kemampuan antimikroba ini dinyatakan sebagai umur simpan bakso. Parameter subjektif (visual) yang diukur adalah terbentuknya lendir, tumbuhnya miselium kapang, dan perubahan aroma. 2. Penelitian Utama Pada penelitian utama campuran asam asetat dan ekstrak bawang putih yang terpilih ditentukan konsentrasi terbaik untuk mengawetkan bakso minimal 4 hari penyimpanan pada suhu ruang. Metode pengawetan yang digunakan adalah perendaman dan perebusan dengan larutan pengawet konsentrasi pengenceran tertentu. Konsentrasi pengenceran yang dibuat adalah 10%, 15%, dan 20%. Waktu perendaman dan perebusan selama 10 menit. Bakso dikemas dengan plastik HDPE dan di-seal. Kemudian dilakukan pengujian terhadap bakso yang diberi perlakuan pengawetan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi selama 21
penyimpanan. Parameter yang diuji adalah total mikroba, pH, total asam tertitrasi, tekstur, warna, dan uji organoleptik. Diagram penentuan konsentrasi pengenceran optimum dapat dilihat pada Gambar 5. Bawang putih
Diiris melintang
Dikeringkan dengan oven vakum, suhu 60oC, 400 mmHg, selama 3 jam Dihaluskan dengan blender Diekstrak dengan heksana, selama 24 jam Disaring vakum
padatan
filtrat
Diekstrak dengan etilasetat, 24 jam
Evaporasi, 550C
Disaring vakum
Dihembus N2 / diuapkan di ruang asam
padatan
filtrat Ekstrak heksana 0
Diekstrak dengan etanol, 24 jam
Evaporasi, 55 C Dihembus N2 / diuapkan di ruang asam
Disaring vakum
padatan
filtrat
Ekstrak etil asetat
Evaporasi, 550C Dihembus N2 / diuapkan di ruang asam Ekstrak etanol
Ekstrak Bawang putih
Gambar 3. Diagram alir ekstraksi bawang putih
22
Larutan asam asetat 25%
Ekstrak bawang putih
Dibuat berbagai kombinasi konsentrasi 60:40, 70:30, 80:20
Mixing Dilakukan pengukuran pH untuk masing-masing kombinasi Diperoleh larutan pengawet dengan pH ≤ 3, rasa dan aroma asam dapat direduksi Diujikan pada bakso dengan konsentrasi 10%, 15%, dan 20% Pengamatan terhadap kerusakan visual dan aroma dari bakso
Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih terpilih Gambar 4. Diagram alir penentuan kombinasi konsentrasi asam asetat dan ekstrak bawang putih
23
Penggilingan daging
Formula larutan pengawet terpilih
Pembuatan adonan Larutan pengawet diencerkan menjadi konsentrasi 10%, 15%, dan 20%
Pencetakan Perebusan 2x (60-80oC & 100oC)
Perendaman atau perebusan bakso pada larutan pengawet selama 10 menit
Bakso matang
Dikemas dan di-seal dalam plastik HDPE
Disimpan dalam suhu ruang
Pengamatan terhadap perubahan mutu bakso Gambar 5. Diagram alir penelitian utama
C. PERLAKUAN 1. Metode Pengawetan K
: Kontrol, tidak mendapat perlakuan dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih.
A
: Perendaman bakso ke dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan pengenceran tertentu selama 10 menit.
B
: Perebusan bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan pengenceran tertentu selama 10 menit.
2. Konsentrasi Larutan Pengawet A0
: Kontrol, tanpa perendaman dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih
A1
: Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 10%. 24
A2
: Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 15%.
A3
: Perendaman bakso dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 20%.
B0
: Kontrol, tanpa perebusan dengan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih
B1
: Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 10%.
B2
: Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 15%.
B3
: Perebusan bakso di dalam larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan konsentrasi larutan biang sebesar 20%.
3. Kondisi Pengemasan Penyimpanan bakso dilakukan pada kondisi suhu ruang selama maksimal 4 hari dengan menggunakan kemasan plastik HDPE untuk melihat tingkat efektifitas dari masing-masing formula larutan pengawet dalam mengawetkan bakso. D. PENGAMATAN Pengamatan dilakukan dari hari ke-0 sampai hari ke-4 atau sampai hari terdeteksinya kerusakan pada bakso. Pengamatan yang dilakukan meliputi : 1. Pengukuran Kadar Air Metode Oven Vakum (AOAC 925.45, 1999) Kadar air awal bawang putih diukur untuk menentukan besarnya kadar air dari bahan mentah, sehingga dapat diketahui perlakuan pendahuluan seperti pengeringan. Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan oven vakum untuk mencegah kehilangan komponen volatil yang terdapat pada bawang putih. Bawang putih ditimbang sebanyak 1-2 g, kemudian dikeringkan dengan oven vakum dengan suhu 60oC dengan tekanan 400 mmHg selama 2 jam, setelah itu didinginkan dalam desikator, selanjutnya ditimbang dengan neraca analitik sampai tercapai bobot tetap (<0.0005 g). 25
2. Rendemen Ekstraksi Rendemen ekstraksi diukur dengan menimbang jumlah bahan awal sebelum proses ekstraksi, kemudian diukur jumlah ekstrak yang diperoleh setelah proses penghilangan pelarut. Rendemen ekstraksi adalah perbandingan bahan awal dengan hasil ekstraksi yang dinyatakan dalam persen (%). Rendemen Ekstraksi (%) = Ekstrak yang didapatkan x 100% Berat bawang setelah pengeringan 3. Pengukuran pH (Apriyantono et al., 1989) Nilai pH bakso diukur menggunakan pH meter. Sebelum pengukuran, pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan 7. Bakso yang akan dianalisis, ditimbang sebanyak 1 gram dan dicampur dengan akuades sebanyak 10 ml, dihancurkan dengan tangan selama 1 menit dengan memasukkan bakso dan akuades ke dalam plastik HDPE. Setelah campuran homogen baru dilakukan pengukuran pH. Pengukuran pH dilakukan dengan merendam elektroda pH meter ke dalam larutan sampai alat menunjukkan nilai pH terukur, elektroda kemudian dibilas dengan akuades, dikeringkan dan digunakan untuk pengukuran pH selanjutnya. 4. Warna (Pomeranz et al., 1978) Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter CR-200 merek “Minolta”. Pada Chromameter ini menggunakan sistem Y, x, dan y. Pengukuran warna dari bakso dimulai dengan kalibrasi alat dengan menggunakan lempeng warna yang mendekati warna sampel uji. Nilai kalibrasi yang digunakan yaitu Y = 25.3, x = 0.363, dan y = 0.336. Nilai Yxy yang diperoleh dari pengukuran, kemudian dikonversi menjadi nilai L, a, dan b. Y
= Y (Luminan)
L
= 10 (Y0.5)
X
= Y (x/y)
a
= 17.5 (1.02X - Y)/Y0.5
Z
= Y (I1-(x+y)I/y)
b
= 7.0 (Y - 0.847Z)/Y0.5
26
Nilai L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatis dimana a untuk warna hijau (a negatif) ke merah (a positif) dan b untuk biru (b negatif) sampai kuning (b positif). Semakin tinggi nilai L, maka semakin tinggi tingkat kecerahan warnanya, L bernilai 0-100, yang mewakili warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam. Selanjutnya dari nilai a dan b dapat dihitung oHue dengan rumus: o
Hue = tan-1 b/a
Pengukuran tiap produk dilakukan sebanyak 2 kali. Data perhitungan nilai oHue dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Interpretasi nilai oHue Hasil Perhitungan
Warna
18o-54o
Merah
54o-90o
Merah – Kuning
90o-126 o
Kuning
126o-162o
Kuning –Hijau
162o-198o
Hijau
198o-234o
Hijau – Biru
234o-270o
Biru
270o-306o
Biru – Ungu
306o-342o
Ungu
342o-18o
Ungu – Merah
5. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989) Penentuan total asam tertitrasi dimulai dengan standarisasi NaOH yang dijadikan sebagai basa standar, standarisasi dilakukan dengan mentitrasi asam potassium phtalate dengan larutan NaOH, dan dilakukan 27
penentuan normalitas NaOH. Analisis terhadap bakso dilakukan dengan menimbang 4 gram bakso, ditambahkan dengan sedikit air, dan dihancurkan sampai menjadi bubur. Setelah itu, campuran dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan akuades sampai tanda tera, diambil 50 ml larutan dan diberi 3 tetes indikator fenolftalein. Larutan kemudian dititrasi dengan NaOH 0.01 N sampai terbentuk warna merah muda yang merupakan titik akhir titrasi.
100
Keterangan : TAT dinyatakan dalam ml NaOH 0.1 N/100ml atau 100g larutan contoh V = volume NaOH 0.1 N yang telah distandarisasi FP = faktor pengenceran W = berat contoh atau volume contoh (g atau ml) 6. Tekstur (Penetrometer) Tekstur bakso dianalisis dengan menggunakan penetrometer. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya tusuk pada bahan pangan dengan beban (gaya) tertentu pada selang waktu tertentu. Dihasilkan nilai kedalaman tusukan terhadap sampel dalam satuan mm, dengan waktu pengamatan yang telah ditentukan yaitu 5 detik. Jarum yang digunakan memiliki berat 1.4 gram. Sampel bakso diletakkan di atas wadah yang tersedia, kemudian pengukuran dilakukan dengan memberikan gaya tusuk pada sampel. Pada layar
penetrometer akan menunjukkan penghitungan mundur waktu,
setelah itu dapat dilihat berapa kedalaman jarum menembus sampel. Nilainya dinyatakan dalam mm per 5 detik. Pengukuran dilakukan sebanyak 2 kali pada bagian yang lonjong dari bakso.
28
7. Total mikroba (Fardiaz, 1992) Sebanyak 10 gram sampel ditimbang secara aseptik dimasukkan ke dalam plastik stomacher steril, ditambahkan 90 ml larutan pengencer fisiologis (NaCl), dan dihancurkan selama 1 menit. Sampel yang telah dihancurkan dengan stomacher, kemudian dilakukan pengenceran hingga 10-4 dan dilakukan pemupukan duplo 10-3 dan 10-4. Dilakukan penambahan media PCA cair untuk menguji total mikroba. Setelah media membeku, cawan diinkubasi pada suhu 30oC selama 2 hari dengan posisi terbalik. Penghitungan total koloni dilakukan dengan metode Harrigan seperti di bawah ini: N=
C [(1 * n1) + (0.1 * n2)] * d
Batas koloni yang dihitung : 25 – 250 cfu Keterangan : N : Total koloni per ml atau gram sampel C : Jumlah koloni dari semua cawan yang masuk batas perhitungan n1 : Jumlah cawan pada pengenceran pertama n2 : Jumlah cawan pada pengenceran kedua d : Tingkat pengenceran pertama saat mulai perhitungan 8. Umur Simpan (Secara Visual) Sampel bakso diamati secara visual. Parameter-parameter yang menunjukkan mutu bakso yang menurun adalah (1) adanya lendir, (2) teksturnya lunak, (3) adanya kapang, dan (4) berbau asam atau bau yang menyimpang. 9. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985) Pengujian organoleptik terhadap bakso dilakukan terhadap 3 parameter
yaitu
aroma,
rasa,
dan
keseluruhan
(tekstur,
warna,
penampakan, aroma, rasa). Uji yang dilakukan adalah uji kesukaan (rating hedonik). Pengujian dilakukan oleh 30 orang panelis tidak terlatih. Skala hedonik yang digunakan terdiri dari 7 skala, dari sangat tidak suka pada 29
skala 1 sampai sangat suka pada skala 7. Form uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 1. 1 = sangat tidak suka
5 = agak suka
2 = tidak suka
6 = suka
3 = agak tidak suka
7 = sangat suka
4 = netral 10. Analisis Biaya Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui biaya yang diperlukan untuk mengawetkan satu kilogram bakso dengan larutan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih. Pengujian terhadap analisis biaya ini dilakukan dengan menghitung selisih volume larutan sebelum perebusan dengan volume larutan setelah perebusan. Selisih bobot sebelum dan sesudah perlakuan akibat penyerapan pengawet dikonversikan ke dalam biaya tambahan untuk pengawetan.
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bakso memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, pH mendekati netral dan kadar air serta Aw yang tinggi (80% dan 0.99). Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan masa simpannya relatif singkat yaitu 12 jam sampai maksimal 1 hari pada suhu ruang. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri. Umur simpan bakso yang relatif singkat membuat produsen menyiasatinya dengan penambahan boraks (Na2B4O7.10H2O) atau dengan penambahan formalin. Boraks memperpanjang umur simpan bakso dan menyebabkan bakso menjadi lebih kenyal. Bakso yang diawetkan dengan formalin tidak mengalami kerusakan hingga mencapai lima hari penyimpanan dalam suhu ruang (Saparinto dan Hidayati, 2006). Penggunaan formalin dan boraks dilarang oleh pemerintah (Permenkes No.722 /MENKES /PER /IX /88). Larutan pengawet yang digunakan dalam penelitian ini, merupakan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih. Kemampuan asam sebagai antimikroba didasarkan pada dua hal, yaitu pengaruhnya terhadap pH dan kemampuan asam-asam yang tidak terdisosiasi meracuni mikroba (Buckle et al., 1987). Penelitian-penelitian membuktikan bahwa asam asetat merupakan asam organik yang efektif dalam menghambat aktivitas mikroorganisme pada produk pangan. Menurut Setyadi (2008), cuka pasar direkomendasikan sebagai bahan pengawet karena efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan harganya yang murah. Chung dan Goepfert (1970) juga telah menguji 13 jenis asam sebagai inhibitor terhadap Salmonella dan merekomendasikan asam asetat dan asam propionat sebagai asam paling efektif dalam menghambat pertumbuhan Salmonella. Ekstrak bawang putih memiliki karakteristik aroma dan rasa yang khas dan kuat. Ekstrak bawang putih digunakan untuk menutupi aroma dan rasa asam dari asam asetat. Kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih ini diharapkan dapat menjadi alternatif pengawet makanan yang aman dengan harga yang relatif murah.
31
A. Penelitian Pendahuluan Pada penelitian pendahuluan dilakukan pemilihan metode ekstraksi yang sesuai untuk bawang putih, penentuan formulasi asam asetat dan bawang putih sebagai larutan biang, dan penentuan umur simpan bakso perlakuan pengawetan. 1. Ekstraksi Bawang Putih Bawang putih dipilih karena merupakan rempah yang memiliki citarasa yang khas dan kuat. Selain itu, bawang putih merupakan ingredien
umum
dalam
proses
pembuatan
bakso,
sehingga
penggunaannya tidak menyebabkan penyimpangan aroma atau rasa dari bakso. Teknik ekstraksi yang dipilih adalah ekstraksi bertingkat dengan metode maserasi (perendaman), menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda-beda nilai kepolarannya, yaitu heksana (pelarut non-polar), etil asetat (pelarut semi-polar), dan etanol (pelarut polar). Bawang putih sebelum diekstraksi diiris melintang kemudian dikeringkan dengan oven vakum dan dihaluskan dengan blender. Hancuran bawang putih direndam di dalam larutan heksana
dengan perbandingan 1:4, selama 24 jam
disertai pengadukan dengan kecepatan 30 rpm. Dilanjutkan dengan penyaringan untuk memisahkan larutan dan padatan. Larutan hasil penyaringan mengandung ekstrak non-polar bawang putih dan pelarut heksana. Pemisahan pelarut dari ekstrak menggunakan alat rotary vaccum evaporator dengan suhu 55oC sampai diperoleh ekstrak non-polar dari bawang putih. Padatan direndam kembali dengan etil asetat dengan perbandingan dan waktu yang sama seperti perendaman sebelumnya. Tahap perendaman dengan etil asetat juga diikuti dengan penyaringan, pemisahan padatan dan larutan, serta pemisahan ekstrak dari pelarut. Selanjutnya
padatan
direndam
kembali
dengan
etanol
dengan
perbandingan dan waktu yang sama dengan perendaman sebelumnya. Hasil ekstraksi yang didapatkan adalah ekstrak non-polar, semi-polar, dan
32
polar dari bawang putih. Diagram proses ekstraksi yang lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.
A
B
C
Gambar 6. Hasil ektraksi dengan pelarut: (A) etanol, (B) etil asetat, dan (C) heksana Tahap perendaman dengan etanol menghasilkan larutan dengan aroma dan rasa bawang putih yang paling kuat, sedangkan aroma dan rasa ekstrak heksana dan etil asetat lebih lemah. Selain itu, perendaman menggunakan pelarut etanol menghasilkan volume ekstrak paling besar. Seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 6. Berdasarkan pertimbangan karakteristik aroma dan rasa bawang putih yang diperoleh, hanya ekstrak polar dari bawang putih yang digunakan untuk penelitian selanjutnya. Pengukuran kadar air bawang putih dilakukan untuk menentukan perlakuan pendahuluan untuk bawang putih setelah dikupas kulitnya. Perlakuan pendahuluan yang dimaksud seperti pengeringan. Kadar air yang terlalu tinggi mengganggu penetrasi pelarut dalam mengekstraksi dan mengurangi kepekatan ekstrak yang dihasilkan, sedangkan kadar air yang telalu rendah menyebabkan perubahan dari komponen yang diekstrak. Selama pengeringan terjadi penguraian air serta zat-zat yang mudah menguap dari jaringan ke permukaan bahan. Hal ini mempercepat berlangsungnya proses ektraksi. Selain itu kerusakan dinding sel bahan selama pengeringan mempermudah pengeluaran komponen bioaktif bahan sehingga waktu ekstraksi lebih singkat (Bombardelli, 1991). Pengeringan dapat meningkatkan mutu ekstrak dengan menghindari adanya air dalam ekstrak (Houghton dan Raman, 1998). Kadar air bahan 33
yang tinggi menyebabkan hasil ekstrak mengandung komponen larut air seperti pati dan gula. Kadar air bawang putih terukur dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Kadar air bawang putih Bawang Putih
Kadar air (% BB)
Sebelum pengeringan
69.18
Setelah pengeringan
46.33
Kadar air awal bawang putih yaitu 69.18 g/100g basis basah, hasil ini mendekati kadar air bawang putih di literatur yaitu 71 g/100g basis basah (anonima, 2005). Pengeringan dilakukan menggunakan oven vakum dengan suhu 60oC tekanan 400 mmHg selama 3 jam. Kadar air setelah pengeringan yaitu 46.33 g/100g bahan basah. Menurut Harborne (1987), pengeringan harus dilakukan dalam keadaan terkontrol untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak dari bahan. Setelah bawang putih dikeringkan, bawang putih diblender untuk menghaluskan ukurannya. Menurut Purseglove et al., (1981), partikel bahan
setelah
pengecilan
sebaiknya
berukuran
seragam
untuk
mempermudah difusi pelarut ke dalam bahan. Hal ini mempengaruhi rendemen ekstraksi secara langsung. Rendemen ektraksi diukur berdasarkan perbandingan antara volume hasil ekstrak dan berat rempah yang telah dikeringkan dan dihaluskan. Rendemen ekstraksi bawang putih yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rendemen ekstraksi komponen polar dan larut air bawang putih Bawang putih setelah dikeringkan (g)
Volume ekstrak dan pelarut sebelum dievaporasi (ml)
Volume setelah dievaporasi (ml)
Rendemen Ekstraksi dengan pelarut etanol 70% (%)
Kadar air ekstrak bawang putih (%)
Volume ekstrak tanpa kandungan air (ml)
117.06
428.15
88
75.18
66.48
29.50
34
Rendemen ekstraksi bawang putih dengan pelarut etanol 70% yaitu sebesar 75.18%. Pengukuran kadar air ekstrak bawang putih menunjukkan kadar air ekstrak bawang putih cukup tinggi yaitu sebesar 66.48%. Jadi volume ekstrak bawang putih tanpa kandungan air yaitu sebesar 29.50 ml, sehingga rendemen ekstraksi komponen polar bawang putih yaitu sebesar 25.20%. Karakteristik ekstrak polar bawang putih yang didapatkan yaitu berwarna kuning, lengket, rasa dan aroma khas bawang putih. Komponen aktif dan citarasa dari bawang putih yang paling besar adalah allisin. Menurut Nagpurkar et al., (2000), allisin larut dalam pelarut organik, terutama pelarut polar dan kurang larut dalam air. Aroma dan rasa khas ekstrak polar bawang putih digunakan untuk mereduksi aroma dan rasa yang tidak disukai dari asam asetat. 2. Formulasi Asam Asetat dan Ekstrak Bawang Putih sebagai Larutan Biang Larutan biang terdiri dari larutan asam asetat berkonsentrasi 25% dicampurkan dengan ekstrak polar dari bawang putih. Asam asetat yang digunakan yaitu cuka pasar merk “Dixi” dengan konsentrasi 25%. Formulasi larutan biang yang digunakan dipilih berdasarkan pH larutan dan intensitas rasa asam dari campuran yang diuji secara organoleptik. Nilai pH yang diinginkan nilainya ≤ 3.0 dengan intensitas rasa asam rendah secara sensori. Asam asetat yang digunakan memiliki pH sebesar 2.77, sedangkan ekstrak bawang putih memiliki pH sebesar 5.82. Pencampuran keduanya akan menaikkan pH dari asam asetat. Nilai pKa asam asetat adalah 4.75 sehingga pada pH 3.0 jumlah asam tidak terdisosiasi dari asam asetat lebih besar dari 50%. Formula larutan biang yang diujikan beserta nilai pH dan intensitas asam secara sensori dapat dilihat pada Tabel 12.
35
Tabel 12. Nilai pH dan intensitas asam dari asam asetat dan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih Larutan Asam asetat
pH 2.77
Ekstrak bawang putih
5.82
Intensitas Asam ++++
Rasa Asam Khas bawang putih
Asam asetat : Ekstrak bawang putih 60:40
3.02
+
70:30
2.88
++
Keterangan : + ++ +++ ++++
Sedikit asam, cepat hilang Sedikit asam, lebih lama hilang
intensitas asam rendah intensitas asam sedang intensitas asam agak tinggi intensitas asam tinggi
Pengujian pH dan intensitas rasa asam terhadap beberapa formula larutan biang menunjukkan perbandingan asam asetat dan ekstrak bawang putih sebesar 60:40 merupakan kombinasi terbaik. Penambahan ekstrak bawang putih lebih banyak lagi, maka pH larutan biang akan lebih besar dari 3.0. Selain itu, intensitas rasa asam yang terdeteksi sudah cukup rendah, rasa asamnya sedikit dan cepat hilang. Perbandingan asam asetat dan ektrak bawang putih sebesar 70:30 memiliki pH di bawah 3.0 yaitu 2.88, tetapi intensitas rasa asamnya lebih tinggi dan lebih lama hilang. Berdasarkan nilai pH dan intensitas rasa asam, formula larutan biang terpilih adalah perbandingan asam asetat dan ekstrak bawang putih sebesar 60:40. 3. Pengaruh Pengawetan terhadap Umur Simpan Bakso Larutan terpilih (larutan biang) diencerkan menjadi 3 konsentrasi larutan yaitu 10%, 15% dan 20%. Asam asetat yang digunakan berkonsentrasi 25%, penambahan ekstrak bawang putih mengencerkan asam asetat. Kombinasi terpilih yaitu 60% asam asetat dan 40% ekstrak bawang putih. Kombinasi ini mengencerkan asam asetat konsentrasi 25% menjadi 15%. Kombinasi terpilih diencerkan menjadi 10%, 15%, dan 20%, sehingga konsentrasi asam asetat yang digunakan adalah 1.5%, 2.25%, dan 3.0%. Penetapan konsentrasi ini berdasarkan penelitian 36
Sugih harti (2009) yang menyiimpulkan baahwa asam aasetat konsenntrasi 1.5% mem mberikan keaawetan terbaaik untuk bakso selamaa 4 hari pen nyimpanan pada suhu ruang.. Hasil penngamatan terrhadap umu ur simpan baakso dengann perlakuan penggawetan perrendaman dan perebu usan, sertaa konsentraasi setelah
Umur simpan (hari)
penggenceran laru utan biang daapat dilihat pada p Gambaar 7. 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Akhhir penggamatan
Tarrget umu ur sim mpan
kontrol rendam rebus 0
100
155
2 20
K Konsentrasi larutan pen ngawet (%) mbar 7. Umuur simpan baakso berdasaarkan pengam matan visual Gam Pengamattan dihentikkan saat teerdeteksi addanya kerusakan pada bakso seperti teerbentuknyaa lendir ataau tumbuhnnya miselium m kapang. Penggamatan umuur simpan baakso dilakukkan sampai hhari ke-8 unttuk melihat peng garuh peninggkatan konseentrasi larutaan pengawet terhadap um mur simpan bakso. Gambar 7 menunjukkkan bahwaa bakso koontrol hanyaa bertahan ma 1 hari, kerusakanny k a yaitu tekssturnya hanccur dan perm mukaannya selam berleendir. Pengaamatan terhaadap bakso yang y diberi perlakuan pengawetan p menu unjukkan baahwa baksoo yang diren ndam dengaan larutan konsentrasi k 10% larutan biaang mampu bertahan selama 3 haari. Perendam man bakso gan larutan pengawet p konsentrasi 155% dan 20% mampu meengawetkan deng samppai 5 dan 6 hari. h Perebussan bakso deengan larutann pengawet konsentrasi k 10% larutan bianng mampu mengawetka m an bakso sellama 6 hari. Perebusan bakso dengan koonsentrasi 155% dan 20% % larutan bianng dapat meengawetkan 37
sampai akhir pengamatan yaitu 8 hari. Perbedaan keawetan selain dipengaruhi konsentrasi larutan pengawet juga dipengaruhi oleh metode pengawetan. Penetrasi larutan pengawet lebih besar dengan perebusan dibandingkan dengan perendaman, sehingga keawetan metode perebusan lebih lama dari metode perendaman pada konsentrasi yang sama Pengamatan secara visual memperhatikan terbentuknya lendir pada permukaan bakso, karena lendir merupakan indikasi awal kerusakan. Kerusakan lain yang dapat terdeteksi adalah tumbuhnya miselium kapang pada permukaan, penyimpangan aroma, dan melunaknya tekstur bakso akibat aktivitas proteolitik dari mikroorganisme. Menurut Ray (2001), untuk dapat menghasilkan perubahan yang terdeteksi secara subyektif seperti munculnya bau asam dan lendir, mikroorganisme (terutama bakteri dan khamir) harus tumbuh sampai mencapai level tertentu yang disebut dengan level deteksi kerusakan. Umumnya level deteksi kerusakan ini bervariasi dari 106 sampai 108 koloni/ml, tergantung dari jenis bahan pangan, tipe kerusakan, dan jenis mikrobanya. Terbentuknya lendir diakibatkan oleh golongan bakteri pembentuk lendir (slime forming bacteria) yang umumnya bersifat aerobik. Bakteri yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain beberapa spesies dari Pseudomonas, Alcaligenes, Lactobacillus, Streptococcus, dan Koliform (Frazier dan Westhoff, 1978). Bau basi terutama disebabkan oleh aktivitas golongan bakteri koliform dan beberapa spesies bakteri yang bersifat putrefactive seperti Clostridium, S. putrefaciens dan Pseudomonas yang menghasilkan bau busuk. Senyawa-senyawa dan gas-gas hasil hidrolisis yang menyebabkan munculnya bau menyimpang antara lain senyawa sulfida seperti metil dan etil sulfida, hidrogen disulfida (H2S); senyawa amine seperti histamine, tyramine, piperidine, putrescine, dan cavaderine; serta senyawa-senyawa lain seperti amonia (NH3), indole, skatol, dan asam-asam lemak (Frazier dan Westhoff, 1978). Menurut Frazier dan Westhoff (1988), kandungan mikroorganisme saat terdeteksi bau tidak enak adalah 1.2x106-108 koloni/g.
38
B. PENELITIAN UTAMA Pada penelitian utama dilakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi pengenceran dan metode pengawetan. Konsentrasi yang diujikan yaitu 10%, 15%, dan 20%. Metode pengawetan yang digunakan yaitu metode perendaman dan perebusan. 1. Mikrobiologi Uji mikrobiologi dilakukan untuk melihat pengaruh pengawetan terhadap jumlah mikroba pada bakso selama 4 hari penyimpanan. SNI No.01-3818-1995 tentang bakso menyatakan jumlah maksimal total mikroba pada bakso 1x105 koloni/g, sehingga pengamatan dilakukan terhadap cawan dengan pengenceran 103 dan 104 saja. Hasil pengujian TPC pada bakso dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Pengaruh metode pengawetan dan konsentrasi larutan pengawet terhadap TPC Perlakuan
Konsentrasi (%)
Kontrol
Rendam
Rebus
Jumlah Mikroorganisme (koloni/gram) H-0
H-3
H-4
0
<2,5x10
H-1 TBUD >2,5x106
H-2
4
*
*
*
10
<2,5x104
<2,5x104
<2,5x104
4,2x105
15 20 10 15 20
<2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
<2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
<2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
<2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
TBUD >2,5x106 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104 <2,5x104
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan Pengamatan pada hari ke-0 menunjukkan bakso kontrol dan perlakuan memiliki total mikroba lebih kecil dari 2,5x104 koloni/gram. Pada hari ke-1, bakso kontrol telah menunjukkan tanda-tanda kerusakan seperti permukaan yang berlendir (lengket), jumlah total mikroba bakso kontrol pada hari ke-1 sudah melewati 2.5x106 koloni/gram. Berdasarkan SNI, bakso kontrol sudah tidak layak dikonsumsi setelah 1 hari penyimpanan. Pada hari ke-1 bakso yang diberi perlakuan pengawetan baik
itu
perendaman
dan
perebusan
pada
semua
konsentrasi 39
masih.menunjukkan jumlah total mikroba masih dibawah 2.5x104 koloni/gram sampai pengamatan hari ke-2. Pada hari ke-3, bakso dengan perlakuan perendaman dengan larutan pengawet konsentrasi 10% menunjukkan jumlah total mikroba yang telah mencapai 4.2x105 koloni/gram. Jumlah ini melampaui batas maksimal SNI total mikroba pada bakso. Jumlah total mikroba bakso perendaman dengan konsentrasi 15% dan 20% masih lebih kecil dari 2,5x104 koloni/gram sampai pengamatan hari ke-4. Begitu juga dengan jumlah total mikroba bakso dengan metode perebusan di dalam larutan pengawet konsentrasi 10%, 15%, dan 20% masih kurang dari 2,5x104 koloni/gram sampai pengamatan hari ke-4. Perbedaan antara metode perendaman dan metode perebusan adalah kemampuannya dalam mempertahankan sampel bakso dari kerusakan pada konsentrasi yang sama. Bakso yang direbus dengan larutan pengawet konsentrasi 10% larutan biang dapat mempertahankan keawetan sampai hari ke-4, sedangkan bakso yang direndam dengan larutan berkonsentrasi sama
hanya dapat mempertahankan keawetan
sampai hari ke-3. Perbedaan kemampuan ini disebabkan penetrasi asam yang lebih baik dengan metode perebusan dan efektifitas asam yang meningkat dengan penggunaan suhu yang tinggi, sehingga metode perebusan juga mereduksi jumlah mikroba awal pada bakso. Pada suhu kamar, terbentuknya lendir akibat pertumbuhan mikrokoki dan bakteri mesofil yang dapat berkompetisi dengan Pseudomonas (Frazier dan Westhoff, 1988). Menurut Frazier dan Westhoff (1978), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3.0 x 106 sampai 3.0 x 108 koloni/ml sampel dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2x106 sampai 1.2x108 koloni/ml. Pengamatan sampai hari ke-4 pada sampel yang diberi perlakuan pengawetan menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan pengamatan hari ke-0 yaitu kurang dari 2,5x104 koloni/gram, kecuali untuk bakso yang direndam dengan larutan pengawet konsentrasi 10%
40
yang pada hari ke-3 jumlah mikroorganismenya yaitu 4.2x105 koloni/g dan jumlah ini telah melewati SNI bakso yaitu 1x105 koloni/g. Dapat disimpulkan bakso dengan metode perebusan konsentrasi 10% larutan biang saja dapat mempertahankan jumlah mikroba pada bakso di bawah 1x105 koloni/g selama 4 hari penyimpanan, sedangkan metode perendaman membutuhkan konsentrasi yang lebih besar untuk hasil yang sama. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral terutama adalah golongan bakteri. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria. Adam dan Moss (1995) menyatakan bahwa secara umum bakteri tumbuh lebih cepat pada pH 6.0-8.0, khamir pada pH 4.5-6.0, dan kapang pada 3.5-4.0. Sampel bakso yang diberi perlakuan berada pada kisaran pH 4.58-5.43 masih memungkinkan terjadinya aktifitas kapang, khamir dan bakteri. Kerusakan yang terdeteksi seperti terbentuknya lendir dan tekstur yang melunak menunjukkan adanya aktifitas mikroba. Lendir dapat diproduksi oleh khamir dan bakteri. Pelunakan tekstur terjadi akibat aktifitas bakteri proteolitik yang tahan dengan kondisi asam. Golongan mikroba proteolitik tahan asam antara lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa (Frazier dan Westhoff, 1978). Nilai pKa adalah nilai pH saat 50% total asam dalam bentuk tidak terurai (undissociated form). Semakin besar total asam yang tidak terurai, semakin efektif hambatan asam terhadap mikroba. Kisaran nilai pH bakso perlakuan pengawetan yaitu 4.58-5.43. Kisaran nilai pH ini tidak terlalu jauh dari nilai pKa asam asetat yaitu 4.75, sehingga keefektifan 41
asam asetat sebagai antimikroba masih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Dickson dan Anderson (1992), menunjukkan daya antimikroba dari asam organik semakin meningkat
dengan semakin meningkatnya
konsentrasi asam organik tersebut. Keefektifan asam organik sebagai antimikroba juga didukung oleh sifat kimianya. Asam organik memiliki 2 sisi yaitu rantai lipofilik dan rantai hidrofilik. Rantai lipofilik berperan untuk menembus membran sel, sedangkan bagian hidrofilik juga berperan karena mikroorganisme tumbuh pada kondisi adanya air (Robach, 1980 di dalam Davidson et. al., 2005). Nilai pH yang rendah akan mengubah bentuk protein atau enzim sehingga mengganggu metabolisme sel. Penggunaan ATP untuk mengeluarkan proton (H+) menyebabkan sel mikroorganisme kehabisan energi dan tidak dapat lagi menjalankan aktivitas seluler. Jadi selain nilai pH larutan pengawet yang rendah, jumlah asam tidak terdisosiasi juga memiliki
peran
penting
dalam
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme. Rendahnya pH menekan mikroorganisme yang tidak tahan pada kondisi lingkungan yang asam tetapi tidak mematikannya. 2. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH menunjukkan perbandingan jumlah ion hidrogen (H3O+) atau ion hidroksi (OH-), nilainya dinyatakan dalam negatif logaritmik jumlah ion hidrogen, atau 14 dikurangi logaritmik dari jumlah ion hidroksi dalam larutan. Peningkatan jumlah ion hidrogen (H3O+) menyebabkan terjadi penurunan pH dan sebaliknya penurunan jumlah ion hidrogen (H3O+) menyebabkan terjadinya kenaikan pH. Perubahan nilai pH selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 2. a. Metode Perendaman Pengukuran
pH
dilakukan
untuk
mengetahui
pengaruh
penggunaan larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih terhadap nilai pH bakso dan perubahan pH bakso selama penyimpanan. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 8. 42
6,50 6,00 kontrol
5,50
A1 (10%)
pH
A2 (15%)
5,00
A3 (20%) 4,50 4,00 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 8. Pengaruh perendaman baksodengan berbagai konsentrasi terhadap nilai pH selama penyimpanan Gambar 8 menunjukkan bakso kontrol mengalami penurunan pH dari 6.33 (hari 0) menjadi 5.95 (hari 1). Pada hari 1, bakso kontrol telah mengalami kerusakan, tekstur yang hancur dan bau yang tidak enak. Bakso A1 dan A2 menunjukkan peningkatan pH. Bakso A1 mengalami peningkatan pH yang besar dibanding peningkatan pH dari bakso A2. Mikroba penyebab terjadinya peningkatan pH bakso adalah bakteri proteolitik yang memecah protein. Hidrolisis protein secara enzimatis oleh bakteri proteolitik meningkatkan derajat kebasaan (Frazier dan Westhoff, 1978). Bakso A3 dapat mempertahankan nilai pH-nya sampai hari ke-4. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 14.
43
Tabel 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan Nilai pH pada hari kePerlakuan 0 1 2 3 4 Kontrol
6.33
5.95
*
*
*
A1 (10%)
4.95
5.18
5.17
5.33
5.43
A2 (15%)
4.90
4.87
4.95
5.01
5.02
A3 (20%)
4.75
4.84
4.79
4.82
4.77
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan Analisis sidik ragam (ANOVA) dengan derajat signifikansi 5%, menunjukkan nilai pH bakso kontrol berbeda dengan nilai pH bakso perlakuan pada hari ke-0 (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan perlakuan memberikan nilai pH yang berbeda terhadap bakso. Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso kontrol menunjukkan perubahan nilai pH dari hari ke-0 sampai hari ke-1 tidak berbeda signifikan (Lampiran 4). Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan pH ketiga bakso selama penyimpanan tidak berbeda nyata (Lampiran 5, 6, dan 7). Perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan selama 4 hari penyimpanan, sehingga dapat disimpulkan perendaman dapat mempertahankan nilai pH bakso. Bakso kontrol telah mengalami kerusakan pada hari ke-1, uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikrobanya telah mencapai >2.5x106 koloni/gram. Penurunan pH ini disebabkan aktivitas bakteri pembentuk asam seperti bakteri asam laktat yang menghasilkan asam dan menurunkan pH bakso. Bakso A1 mengalami peningkatan pH yang lebih besar jika dibandingkan dengan bakso A2. Hal ini menunjukkan perbedaan konsentrasi larutan pengawet mempengaruhi kemampuan antimikroba dalam mempertahankan perubahan pH akibat aktivitas mikroba. Aktivitas mikroba pada bakso A1 lebih tinggi dari bakso A2. Bakso A3 dapat mempertahankan nilai pH selama penyimpanan, perubahan nilai pH-nya berkisar 4.75-4.84. 44
Berdasarkan profil perubahan pH dapat disimpulkan bahwa bakso kontrol mengalami penurunan pH, sedangkan bakso yang diberi perlakuan mengalami peningkatan pH selama penyimpanan. Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan, artinya perubahan pH yang terjadi masih kecil. Konsentrasi larutan pengawet mempengaruhi profil perubahan pH. Oleh sebab itu, bakso A2 dan A3 merupakan bakso yang paling dapat mempertahankan nilai pH selama 4 hari penyimpanan karena nilai pH-nya yang rendah dan menghambat terjadinya pertumbuhan mikroba. b. Metode Perebusan Nilai pH bakso kontrol dan metode perebusan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9. 6,50 6,00 kontrol
5,50
B1 (10%)
pH
B2 (15%)
5,00
B3 (20%) 4,50 4,00 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 9. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan Gambar 9 menunjukkan bakso kontrol pada hari ke-1 telah mengalami kerusakan seperti permukaan yang berlendir, tekstur yang melunak, dan bau yang tidak enak. Bakso kontrol mengalami penurunan pH yang disebabkan kerusakan oleh aktivitas mikroba, sedangkan bakso B1, B2, dan B3 dapat mempertahankan nilai pH selama penyimpanan. Penurunan pH pada bakso kontrol disebabkan 45
oleh aktifitas bakteri pembentuk asam, karena pH bakso kontrol mendekati netral yaitu 6.33. Nilai ini memungkinkan mikroba untuk tumbuh, salah satunya adalah bakteri pembentuk asam yang menghasilkan asam-asam organik. Bakso B1 menunjukkan profil perubahan pH yang fluktuatif tapi tidak menyimpang terlalu besar dari pH pada hari ke-0. Bakso B2 dan B3 dapat mempertahankan nilai pHnya tetap stabil selama penyimpanan. Nilai pH bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai pH selama penyimpanan Nilai pH pada hari kePerlakuan
0
1
2
3
4
Kontrol
6.33
5.95
*
*
*
B1 (10%)
4.77
4.81
4.91
4.77
4.89
B2 (20%)
4.63
4.60
4.59
4.63
5.69
B3 (30%)
4.58
4.57
4.58
4.59
4.63
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan nilai pH bakso kontrol berbeda dengan nilai pH bakso perlakuan pada hari ke-0 (Lampiran 8). Hal ini menunjukkan perlakuan memberikan nilai pH yang berbeda terhadap bakso. Analisis sidik ragam terhadap nilai pH bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan menunjukkan perubahan pH dari ketiga bakso tidak berbeda secara signifikan (Lampiran 9, 10 dan 11). Perubahan nilai pH yang terjadi tidak signifikan antar harinya yang disebabkan perlakuan pengawetan mampu mempertahankan bakso dari kerusakan akibat aktifitas mikroba yang menyebabkan perubahan pH. Bakso B1 mengalami fluktuasi nilai pH yang masih berada pada kisaran 4.77-4.91. Nilai pH yang stabil ditunjukkan oleh nilai pH bakso B2 dan B3. Fluktuasi nilai pH terjadi akibat aktivitas mikroba yang menghasilkan produk sekunder metabolismenya yang bersifat asam atau basa. 46
Perbedaan
penetrasi
asam
dengan
pengawetan
metode
perebusan menghasilkan nilai pH yang lebih rendah. Pada konsentrasi larutan pengawet yang sama, pengawetan dengan perebusan menghasilkan pH yang lebih rendah dibandingkan pengawetan dengan perendaman. Perebusan juga mengurangi jumlah mikroba awal dari bakso. Berdasarkan profil perubahan pH dapat disimpulkan bahwa bakso B1, B2, dan B3 dapat mempertahankan pH selama 4 hari penyimpanan. Hal ini disebabkan perebusan dapat meningkatkan penetrasi larutan pengawet ke dalam bakso. Keasaman yang dihasilkan dengan perlakuan tidak cukup tinggi, rata-rata pH sekitar 4-5. Keadaan ini memungkinkan pertumbuhan beberapa mikroba, seperti kapang dan golongan proteolitik yang tahan asam (acid proteolitik). Golongan mikroba proteolitik tahan asam antara lain Micrococcus, Streptococcus faecalis var liquefaciens (termasuk bakteri laktik enterokoki yang bersifat termodurik), dan beberapa spesies Bacillus pembentuk spora dan dapat memfermentasi laktosa (Frazier dan Westhoff, 1978). Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Setyadi (2008) yang menyatakan bahwa tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% dengan metode perendaman selama satu menit mengalami penurunan nilai pH selama penyimpanan 3 hari. Ferdiani (2008) juga menyatakan bahwa mi basah matang yang diawetkan dengan cuka pasar konsentrasi 1% dan 2% mengalami penurunan nilai pH selama penyimpanan 4 hari. Jadi dapat disimpulkan perlakuan perendaman dengan larutan pengawet konsentrasi 15%, 20% dan perlakuan perebusan pada semua konsentrasi dapat mempertahankan nilai pH bakso selama 4 hari penyimpanan. Hal ini disebabkan bakso perlakuan perendaman dan perebusan dengan larutan biang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme penyebab terjadinya perubahan pH.
47
3. Total Asam Tertitrasi Analisis total asam tertitrasi (TAT) merupakan analisis untuk mengukur kandungan keseluruhan asam yang tidak terdisosiasi yang terdapat dalam bahan pangan, dengan mentitrasi sampel dengan larutan basa standar yang telah diketahui normalitasnya. Total asam tertitrasi merupakan aplikasi dari reaksi penetralan asam-basa, sehingga jumlah asam yang tertitrasi dapat dihitung dengan mengetahui jumlah basa terstandarisasi yang digunakan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kestabilan jumlah asam asetat yang berfungsi sebagai antimikroba selama penyimpanan dan kemungkinan aktivitas bakteri pembentuk asam seperti bakteri asam laktat. Nilai total asam tertitrasi bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 12. a. Metode Perendaman Nilai total asam tertitrasi bakso kontrol dan perendaman selama
total asam tertitrasi (ml NaOH 0,1N/100ml bahan)
empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 10. 25,00 20,00 kontrol
15,00
A1 (10%) A2 (15%)
10,00
A3 (20%) 5,00 0,00 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 10. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan
Gambar 10 menunjukkan pada hari ke-0, bakso kontrol memiliki nilai TAT yang paling rendah dan bakso A3 memiliki nilai TAT yang paling tinggi. Nilai TAT semakin besar dengan 48
meningkatnya konsentrasi dari larutan pengawet yang digunakan. Nilai TAT yang terukur fluktuatif karena tidak seragamnya kerusakan yang terjadi walaupun dengan perlakuan yang sama. Nilai TAT bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Nilai TAT pada hari kePerlakuan 0 1 2 3 4 Kontrol
4.00
5.25
*
*
*
A1 (10%)
11.75
10.30
13.45
8.27
13.98
A2 (15%)
15.55
16.80
15.42
14.31
14.50
A3 (20%)
21.98
20.67
23.52
19.29
21.85
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan Analisis sidik ragam menunjukkan nilai TAT bakso kontrol dan perendaman (A1, A2, A3) pada hari ke-0 berbeda signifikan (Lampiran
13).
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
perendaman
mempengaruhi nilai TAT bakso secara nyata. Bakso kontrol hari ke-0 berbeda dengan nilai TAT pada hari ke-1 (Lampiran 14). Analisis sidik ragam terhadap bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai TAT untuk ketiga bakso selama penyimpanan tidak berbeda secara signifikan (Lampiran 15, 16, dan 17). Hal ini menunjukkan bahwa perubahan nilai TAT selama penyimpanan tidak signifikan. Bakso kontrol mengalami kenaikan nilai TAT disebabkan oleh aktivitas bakteri pembentuk asam yang menurunkan pH bakso. Penurunan pH menyebabkan asam dalam bentuk tidak terdisosiasinya menjadi bertambah. Jumlah total mikroba bakso kontrol pada hari ke1 sudah lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram. Nilai TAT bakso A1, A2, dan A3 yang fluktuatif disebabkan aktivitas mikroba, kompetisi antara bakteri pembentuk asam dan bakteri proteolitik yang tahan asam. Uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba bakso A1 pada hari ke-3 mencapai 4.2x105 koloni/gram, ini juga ditunjukkan 49
oleh nilai TAT bakso A1 pada hari ke-3 yang turun menjadi 8.27, didukung juga oleh kenaikan pH pada hari ke-3. Bakso A2 dan A3 berdasarkan uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba masih di bawah 2.5x104 koloni/gram sampai penyimpanan hari ke-4. Jumlah mikroba yang masih rendah ini menyebabkan sedikit perubahan nilai TAT. Nilai TAT berkorelasi negatif dengan nilai pH, semakin tinggi nilai pH semakin rendah nilai TAT, dan semakin rendah nilai pH semakin tinggi nilai TAT. Hal ini disebabkan asam akan terdisosiasi pada pH yang lebih tinggi dari nilai pKa-nya. b. Metode Perebusan Nilai total asam tertitrasi bakso kontrol dan perebusan selama
total asam tertitrasi (nl NaOH 0.1N/100ml)
empat hari penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11. 50,00 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
kontrol B1 (10%) B2 (15%) B3 (20%)
0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 11. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi
larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Gambar 11 menunjukkan pada hari ke-0, nilai TAT bakso kontrol yang paling rendah dan nilai TAT bakso B3 paling tinggi. Peningkatan konsentrasi larutan pengawet meningkatkan nilai TAT dari bakso. Perubahan nilai TAT dari bakso B1, B2, dan B3 stabil selama 4 hari penyimpanan. Nilai TAT bakso selama penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 17. 50
Tabel 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap nilai TAT selama penyimpanan Nilai TAT pada hari kePerlakuan 0 1 2 3 4 Kontrol
4.00
5.25
*
*
*
B1 (10%)
19.03
19.75
17.59
18.38
18.57
B2 (15%)
28.22
33.99
34.32
29.47
31.76
B3 (20%)
44.49
40.16
43.25
42.00
41.80
Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perlakuan berpengaruh terhadap nilai TAT bakso pada hari ke-0 (Lampiran 18). Analisis sidik ragam juga menunjukkan perubahan nilai TAT bakso kontrol berbeda antara hari ke-0 dengan hari ke-1, sedangkan nilai TAT bakso B1, B2, dan B3
selama penyimpanan tidak berbeda
signifikan (Lampiran 19, 20, dan 21). Bakso B1, B2, dan B3 menunjukkan nilai TAT yang lebih besar dari nilai TAT bakso kontrol dan lebih besar dari nilai TAT bakso metode pengawetan perendaman (Bakso A1, A2, dan A3). Nilai TAT yang besar ini disebabkan penetrasi yang besar dari larutan pengawet yang mengandung asam asetat. Metode perebusan menunjukkan penetrasi yang lebih besar ke dalam bakso. Hal ini ditunjukkan nilai TAT metode perebusan lebih besar dari metode perendaman pada konsentrasi yang sama. Uji mikrobiologi menunjukkan jumlah total mikroba bakso B1, B2, dan B3 di bawah 2.5x104 koloni/gram sampai penyimpanan hari ke-4. Berdasarkan profil perubahan nilai TAT, metode pengawetan dengan perebusan dengan larutan pengawet konsentrasi 10% dari larutan biang (B1) sudah dapat mempertahankan nilai TAT selama 4 hari penyimpanan. Menurut Ray dan Sandine (1992), penurunan pH disebabkan oleh kandungan karbohidrat (pati) yang menjadi bahan pengisi dari bakso, walaupun kandungan protein yang juga cukup tinggi karbohidrat akan lebih dulu digunakan oleh mikroba pembentuk asam (bakteri asam 51
laktat). Peningkatan pH pada sampel yang diberi perlakuan disebabkan oleh aktivitas proteolitik. Hidrolisis protein secara enzimatis oleh golongan mikroba proteolitik cenderung menyebabkan peningkatan derajat kebasaan (Frazier dan Westhoff, 1978). Hasil pengamatan yang didapat berbeda dengan penelitian yang dilakukan Setyadi (2008) menyatakan bahwa tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% mengalami kenaikan nilai total asam tertitrasi selama penyimpanan selama 3 hari. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Ferdiani (2008) bahwa mi basah matang yang telah diawetkan dengan cuka pasar berkonsentrasi 1% dan 2% juga mengalami kenaikan nilai total asam tertitrasi selama penyimpanan 4 hari. Jadi dapat disimpulkan bakso dengan perlakuan perendaman 15% dan perebusan pada semua konsentrasi dapat mempertahankan perubahan nilai total asam tertitrasi selama 4 hari penyimpanan. 4. Tekstur Tekstur bakso diukur dengan menggunakan penetrometer untuk melihat perubahan tekstur berdasarkan kedalaman jarum penetrometer menembus permukaan bakso. Menurut Wibowo (2005), tekstur bakso termasuk dalam kriteria mutu bakso. Tekstur yang bagus adalah tekstur yang kompak, elastis, kenyal, tetapi tidak liat atau membal, tidak ada serat daging, tidak lembek, tidak basah berair, dan tidak rapuh. Kekerasan menyatakan kekuatan suatu benda terhadap gaya tekan yang diberikan tanpa
mengalami
deformasi
bentuk
(Soekarto,
1990).
Prinsip
penetrometer adalah melakukan penusukan terhadap sampel dengan gaya tertentu selama waktu tertentu. Pengamatan untuk melihat perbedaan kekerasan antar bakso tanpa pengawetan dan bakso dengan pengawetan, serta membandingkan perubahan kekerasannya selama penyimpanan. Peningkatan hasil pengukuran dengan penetrometer mengindikasikan bahwa kekerasan sampel berkurang, sehingga jarum dapat lebih mudah menembus bakso dan begitu juga sebaliknya, penurunan hasil pengukuran mengindikasikan 52
terjadinya peningkatan kekerasan dari sampel yang diukur Hasil pengukuran dengan penetrometer selama 4 hari dapat dilihat pada Lampiran 22. a. Metode Perendaman Gambar 12 menunjukkan hasil pengukuran penetrometer terhadap tekstur dari bakso kontrol dan bakso perendaman (10%, 15%, dan 20%). Pada hari ke-0, bakso A1 menunjukkan nilai pengukuran yang paling besar yaitu 17.28 mm/5detik yang artinya bakso A1 adalah bakso yang paling lunak pada hari itu. Bakso kontrol, A2, dan A3 menunjukkan kekerasan yang hampir sama pada hari ke-0. 18
Daya Penetrasi (mm/5 detik (1.4g))
17 kontrol
16
A1 (10%) A2 (15%)
15
A3 ( 20%)
14 13 12 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (Hari)
Gambar
12.
Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan
Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan bakso (Lampiran 23). Hal ini menunjukkan perendaman tidak mempengaruhi kekerasan bakso pada hari ke-0. Pada hari ke-1, bakso kontrol mengalami penurunan kekerasan, sedangkan bakso A1, A2, dan A3 mengalami peningkatan kekerasan. Bakso kontrol pada hari ke-1 sudah mengalami kerusakan 53
akibat aktivitas mikroba, kerusakan yang terjadi yaitu permukaan berlendir dan tekstur yang mulai lunak. Jumlah total mikroba bakso kontrol pada hari ke-1 juga telah lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram. Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan kekerasan bakso kontrol tidak berbeda signifikan (Lampiran 24). Bakso A1, A2, dan A3 terus mengalami peningkatan kekerasan sampai hari ke-4. Penurunan kekerasan seharusnya terjadi pada bakso A1 disebabkan terjadinya aktivitas mikroba, jumlah total mikroba pada hari ke-3 pada bakso A1 telah mencapai 4.2x105 koloni/gram, sedangkan jumlah total mikroba bakso A2 dan A3 masih di bawah 2.5x104 koloni/gram. Tidak turunnya kekerasan dari bakso A1 walau jumlah mikroba sudah mencapai 4.2x105 dikarenakan kerusakan yang terjadi masih pada permukaan saja sedangkan bagian dalam bakso masih baik sehingga tidak mempengaruhi tekstur ketika diukur. Analisis sidik ragam terhadap nilai kekerasan dari bakso A1, A2, dan A3 selama
penyimpanan
menunjukkan
lama
penyimpanan
tidak
mempengaruhi nilai kekerasan secara signifikan (Lampiran 25, 26, dan 27). Bakso perlakuan pengawetan dengan perendaman ke dalam larutan pengawet konsentrasi tertentu terbukti mampu menghambat aktivitas mikroba pada bakso A1, A2, dan A3. Aktivitas mikroba yang tinggi terjadi pada bakso kontrol yang mengalami penurunan kekerasan pada hari ke-1. Menurut Jay (1996), bahwa lendir hasil pertumbuhan bakteri dapat menyebabkan terjadinya pelunakan atau melonggarnya struktur protein daging. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), jumlah populasi mikroba pada saat terbentuknya lendir adalah 3.0x106 sampai 3.0x108 koloni/ml dan jumlah populasi mikroba saat terdeteksi bau kurang enak adalah 1.2x106 sampai 1.2x108 koloni/ml. Tidak terjadinya atau sedikitnya aktivitas mikroorganisme pada bakso A1, A2, dan A3 membuat bakso perlakuan tidak mengalami penurunan kekerasan.
54
Peningkatan kekerasan terjadi karena penurunan kadar air selama penyimpanan sehingga menyebabkan mengkerutnya struktur protein daging dan tekstur menjadi lebih keras. Dapat disimpulkan bakso
perlakuan
dapat
mempertahankan
kekerasan
dengan
menghambat aktivitas mikroba yang menyebabkan terjadinya pelunakan tekstur dari bakso. Perlakuan perendaman bakso ke dalam larutan pengawet konsentrasi 15% dan 20% dapat mempertahankan kekerasan sampai hari ke-4 penyimpanan. b. Metode Perebusan Gambar 13 menunjukkan pada hari ke-0 bakso perlakuan pengawetan dengan perebusan (B1, B2, dan B3) memiliki nilai pengukuran yang paling besar, dan nilai pengukuran bakso kontrol paling rendah. 19
Daya Penetrasi (mm/5 detik (1.4g))
18 17
kontrol
16
B1 (10%) B2 (15%)
15
B3 ( 20%)
14 13 12 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (Hari)
Gambar 13. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan Analisis sidik ragam menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan bakso pada hari ke-0 (Lampiran 28). Hal ini menunjukkan metode perebusan tidak mempengaruhi kekerasan bakso pada hari ke-0. Pada hari ke-1, bakso kontrol menunjukkan
penurunan
kekerasan
disertai
dengan 55
terdeteksinyakerusakan akibat aktivitas mikroba. Bakso B1, B2, dan B3 terus mengalami peningkatan kekerasan selama penyimpanan. Hal ini didukung oleh hasil uji mikrobiologi yang menunjukkan jumlah total mikroba dari bakso B1, B2, dan B3 sampai hari ke-4 penyimpanan masih di bawah 2.5x104 koloni/gram, sehingga bakso belum mengalami kerusakan oleh mikroba. Analisis sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kekerasan dari bakso B1 dan B2 (Lampiran 29 dan 30), sedangkan analisis sidik ragam tehadap nilai kekerasan bakso B3 menunjukkan lama penyimpanan mempengaruhi nilai kekerasan secara nyata (Lampiran 31). Hal ini menunjukkan bakso B1 dan B2 tidak mengalami peningkatan kekerasan secara signifikan, sedangkan bakso B3 mengalami peningkatan kekerasan yang besar. Jumlah total mikroba dari bakso B1, B2, dan B3 sampai hari ke-4 penyimpanan di bawah 2.5x104 koloni/gram. Bakso perlakuan pengawetan dengan perebusan dengan larutan pengawet konsentrasi tertentu dapat menghambat aktivitas mikroba selama penyimpanan. Bakso kontrol yang merupakan bakso tanpa perlakuan telah mengalami penurunan kekerasan akibat pertumbuhan mikroba yang tinggi, yaitu lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram, terutama bakteri proteolitik. Kekerasan yang rendah dari bakso B1, B2, dan B3 pada hari ke-0 disebabkan perlakuan perebusan mengempukkan
tekstur
bakso.
Perlakuan
pemanasan
seperti
perebusan membuat struktur protein dari bakso menjadi merenggang. Dapat disimpulkan perlakuan perebusan dengan larutan pengawet berkonsentrasi 10%, 15%, dan 20% dapat mempertahankan kekerasan dengan menghambat aktivitas mikroba selama 4 hari penyimpanan. Menurut Frazier dan Westhoff (1978), beberapa golongan bakteri yang dapat tumbuh baik pada bahan pangan yang banyak mengandung protein, kadar air tinggi dengan pH netral antara lain : golongan bakteri proteolitik, bakteri asam laktat, dan golongan termodurik, seperti Micrococcus, Bacillus, dan Brevibakteria. Menurut Fardiaz (1989), semua 56
bakteri yang tumbuh pada makanan bersifat heterotropik, yaitu membutuhkan zat organik untuk pertumbuhannya. Metabolisme bakteri heteotropik menggunakan protein, karbohidrat, lemak, dan komponen makanan
lainnya
sebagai
sumber
karbon
dan
energi
untuk
pertumbuhannya. Hasil pengukuran tekstur ini berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Setyadi (2008), yaitu tahu yang diawetkan dengan pengawet cuka pasar pada konsentrasi 2%, 2.5%, dan 3% mengalami penurunan tingkat kekerasan secara terus-menerus selama penyimpanan selama 3 hari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ferdiani (2008) bahwa mi basah matang yang telah diawetkan dengan cuka pasar berkonsentrasi 1% dan 2% juga mengalami penurunan tingkat kekerasan selama penyimpanan 4 hari. Jadi dapat disimpulkan bakso perlakuan perendaman dan perebusan pada semua konsentrasi yang diujikan dapat mempertahankan tekstur (kekerasan) selama empat hari penyimpanan pada suhu ruang. 5. Warna Warna merupakan mutu sensori yang pertama terdeteksi ketika mengkonsumsi produk pangan dan mempengaruhi penilaian terhadap produk karena memberikan persepsi terhadap sesuatu, termasuk pada bakso. Sifat warna merupakan sifat produk pangan yang paling menarik perhatian konsumen dan paling cepat pula memberi kesan disukai atau tidak (Soekarto, 1990). Menurut Wibowo (2005), kriteria mutu warna bakso adalah coklat muda cerah atau sedikit agak kemerahan atau coklat muda hingga coklat muda agak keputihan atau abu-abu. Warna tersebut merata tanpa warna lain yang mengganggu (jamur). Oleh sebab itu pengujian terhadap warna dari bakso secara objektif dilakukan. Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter. Chromameter adalah alat yang digunakan untuk menganalisis warna secara tristimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu permukaan. Sebuah lampu gelombang xenon arc akan memberikan pencahayaan pada permukaan sampel kemudian pantulan cahaya dari permukaan sampel 57
akan dideteksi oleh detektor. Skala yang digunakan dalam pengukuran warna pada penelitian adalah L (Lightness/ kecerahan), a (a+ warna merah, a- warna hijau), dan b (b+ kuning, b- biru) yang kemudian nilai a dan b dikonversi menjadi nilai 0Hue. a. Metode Perendaman Nilai L menunjukkan tingkat kecerahan warna bakso. Perubahan nilai L bakso kontrol dan perebusan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 14. Kecerahan sampel bakso yang diberi perlakuan menunjukkan nilai yang lebih tinggi, dibandingkan dengan bakso kontrol (Lampiran 32). 57,00
Kecerahan (L)
56,00 55,00 54,00
kontrol
53,00
A1 (10%) A2 (15%)
52,00
A3 (20%)
51,00 50,00 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 14. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan Gambar 14 menunjukkan kecerahan bakso kontrol berbeda dengan kecerahan dari bakso A1, A2, dan A3. Kecerahan bakso kontrol lebih rendah dibanding bakso perlakuan. Analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan nilai kecerahan bakso kontrol pada hari ke-0 berbeda dengan nilai kecerahan bakso perlakuan (Lampiran 34). Bakso perlakuan lebih cerah dibandingkan bakso kontrol. Kecerahan bakso kontrol pada hari ke-1 mengalami peningkatan. Analisis sidik 58
ragam menunjukkan peningkatan ini tidak berbeda dengan kecerahan pada hari ke-0 (Lampiran 35). Nilai kecerahan dari bakso perlakuan A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan yang fluktuatif, pada hari ke-1 bakso A1, A2 dan A3 mengalami peningkatan kecerahan. Pada hari ke-2, terjadi penurunan kecerahan bakso A1 dan A2, sedangkan bakso A3 masih mengalami peningkatan kecerahan. Pada hari ke-3, bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan penurunan keceran. Pada hari ke-4, bakso A1 dan A3 mengalami peningkatan kecerahan, sedangkan bakso A2 mengalami penurunan kecerahan. Analisis sidik ragam untuk nilai kecerahan bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan kecerahan selama penyimpanan tidak berbeda signifikan (Lampiran 36, 37, dan 38). Peningkatan kecerahan dari bakso kontrol pada hari ke-1 disebabkan oleh aktivitas mikroba yang membentuk lendir, sehingga permukaan bakso menjadi mengkilat dan memantulkan cahaya lebih banyak ketika diukur. Bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan perubahan nilai kecerahan yang fluktuatif selama penyimpanan. Perbedaan nilai kecerahan yang tidak terlalu besar selama penyimpanan disebabkan tidak meratanya warna bakso, ada bagian yang lebih terang dan ada bagian yang lebih gelap. Nilai kecerahan bakso A1, A2, dan A3 selama perlakuan berkisar antara 54.41 sampai 56.39. Nilai ini menunjukkan bahwa bakso selama penyimpanan tetap berwarna abuabu. Hasil survei yang dilakukan Andayani (1999), menunjukkan konsumen paling menyukai bakso dengan nilai kecerahan sebesar 53.77. Kecerahan bakso A1, A2, dan A3 masih mendekati nilai kecerahan 53.77. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap oHue dari kontrol dan sampel perlakuan (Lampiran 33).
59
92
Derajat Hue
90 kontrol
88
A1 (10%)
86
A2 (15%)
84
A3 (20%)
82 80 78 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 15. Pengaruh perendaman bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan Nilai 0Hue bakso kontrol mengalami penurunan dari 85.990 (hari 0) ke 83.360 (hari 1). Nilai 0Hue 540-900 merupakan kisaran warna merah ke kuning, jadi kontrol mengalami perubahan warna menjadi lebih merah selama 1 hari pengamatan saat bakso kontrol mengalami kerusakan.
Perlakuan
perendaman
dengan
larutan
pengawet
konsentrasi 10%, 15%, dan 20% pada hari 0 menunjukkan nilai 0Hue yang hampir sama dengan kontrol, nilainya berturut-turut yaitu 89.56, 89.06, dan 89.86. Pada hari 1 perlakuan perendaman dengan larutan pengawet konsentrasi 10%, 15%, dan 20% mengalami penurunan 0
Hue. Nilai
0
Hue menunjukkan profil yang fluktuatif hal ini
disebabkan warna bakso yang tidak merata. Nilai 0Hue masih berada dalam kisaran 82.34 sampai 89.98. Nilai ini mewakili warna kuning dan mendekati warna kontrol pada hari ke-0, sehingga perlakuan pengawetan dapat mempertahankan warna bakso sampai hari ke-4. Pengukuran 0Hue untuk bakso pelakuan perendaman dapat dilihat pada Tabel 18.
60
Tabel 18. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kekerasan selama penyimpanan Perlakuan H-0 H-1 H-2 H-3 Kontrol 85,99 83,36 * * A1 (10%) 89,56 82,34 83,91 89,14 A2 (15%) 89,06 82,93 89,10 87,19 A3 (20%) 89,86 86,31 89,26 89,98 Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan
H-4 * 84,79 85,47 85,83
b. Metode Perebusan Perubahan nilai L bakso kontrol dan perebusan selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 menunjukkan kecerahan bakso kontrol berbeda dengan kecerahan dari bakso B1, B2, dan B3. Analisis sidik ragam menunjukkan nilai kecerahan bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan perebusan (Lampiran 39). Pada hari ke-0, kecerahan bakso kontrol lebih rendah dibanding bakso perlakuan. Pada hari ke-1 kecerahan bakso kontrol mengalami peningkatan. Bakso B1 dan B3 juga mengalami peningkatan kecerahan, sedangkan bakso B2 mengalami penurunan nilai kecerahan. Nilai kecerahan bakso B1 dan B2 terus meningkat sampai hari ke-4, sedangkan bakso B3 sampai hari ke-3 mengalami peningkatan kecerahan dan pada hari ke-4 mengalami penurunan kecerahan. Analisis sidik ragam menunjukkan perubahan kecerahan bakso B1, B2, dan B3 selama penyimpanan tidak berbeda signifikan (Lampiran 40, 41, dan 42).
61
57,00
Kecerahan (L)
56,00 55,00
kontrol B1 (10%) B2 (15%) B3 (20%)
54,00 53,00 52,00 51,00 50,00 0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 16. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap kecerahan selama penyimpanan Berdasarkan pengamatan terjadi peningkatan kecerahan dari bakso kontrol dan perlakuan. Bakso kontrol mengalami peningkatan nilai kecerahan yang besar, sedangkan perlakuan mengalami peningkatan nilai kecerahan secara bertahap antar hari. Penilaian yang fluktuatif terhadap kecerahan dari bakso dikarenakan tidak meratanya warna dari bakso, terdapat bagian yang lebih gelap dan bagian yang lebih terang. Sehingga nilai kecerahan yang terukur berbeda. Kecerahan bakso yang diberi perlakuan pengawetan perebusan berada pada kisaran 53.14 sampai 55.94. Nilai ini mewakili warna abu-abu dan masih merupakan warna normal bakso Selanjutnya dilakukan analisis terhadap oHue dari kontrol dan sampel perlakuan (Lampiran 33).
62
Derajat Hue
92 90 88 86 84 82 80 78 76 74 72 70
kontrol B1 (10%) B2 (15%) B3 (20%)
0
1
2
3
4
Lama Penyimpanan (hari)
Gambar 17. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan Gambar 17 menunjukkan pada hari ke-0 , nilai 0Hue dari bakso kontrol sama dengan bakso perlakuan (Bakso B1, B2, dan B3). Pada hari ke-1, bakso kontrol mengalami sedikit penurunan nilai 0Hue. Perubahan 0Hue dari bakso perlakuan perebusan menunjukkan profil yang hampir sama dengan perubahan 0Hue dari bakso perlakuan perendaman. Terjadi fluktuasi nilai 0Hue selama penyimpanan, yang disebabkan warna permukaan bakso tidak merata. Pengukuran 0Hue untuk bakso pelakuan perebusan dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Pengaruh perebusan bakso dengan berbagai konsentrasi larutan pengawet terhadap derajat hue selama penyimpanan Perlakuan H-0 H-1 H-2 H-3 H-4 Kontrol 85,99 83,36 * * * B1 (10%) 88,12 83,83 89,98 88,08 87,25 B2 (15%) 88,12 77,70 89,45 89,68 88,40 B3 (20%) 87,49 82,89 89,78 84,87 89,59 Keterangan : * tidak dilakukan pengamatan Ketidakseragaman dari warna bakso menyebabkan perubahan nilai 0
Hue yang tidak dapat dilihat profil perubahannya, diantaranya bumbu 63
yang tidak merata, yang terlihat pada permukaan bakso. Peningkatan intensitas warna merah pada bakso dan penurunan warna kuning, dikarenakan
terjadinya
pengikatan
oksigen
sehingga
membentuk
oksimioglobin yang berwarna merah terang sehingga nilai kecerahan pada bakso pun meningkat, jika terjadi oksidasi berlebihan oleh oksigen terhadap oksimioglobin akan menyebabkan oksimioglobin menjadi metmioglobin yang berwarna coklat dan lebih gelap. Hal ini didukung oleh
kondisi
pengemasan
bakso
yang
tidak
vakum
sehingga
memungkinkan terjadinya oksidasi oleh oksigen. Warna bakso dipengaruhi oleh jenis daging, jenis dan jumlah tepung serta bahan pemutih yang digunakan. Kecerahan bakso juga cenderung menurun dengan semakin banyaknya penambahan jumlah tepung. Bakso yang beredar di pasaran pada umumnya berwarna abu-abu (pucat sampai gelap) atau putih (bakso ikan atau bakso daging yang ditambahkan bahan pemutih). 6. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan yaitu uji rating hedonik atau kesukaan. Uji Hedonik adalah uji penerimaan berdasarkan penilaian panelis secara spontan sehingga tidak digunakan standar. Uji ini hanya menilai kesukaan atau ketidaksukaan panelis secara subjektif. Uji ini untuk mengetahui derajat kesukaan panelis terhadap bakso yang diberi perlakuan pengawetan. Hasil pengukuran ini menunjukkan penerimaan subjektif dari panelis yang mewakili penerimaan konsumen bakso secara umum. Data hasil uji diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan apabila terdapat perbedaan yang signifikan antar sampel dilanjutkan dengan uji uji Duncan untuk mengidentifikasi sampel yang berbeda. a. Metode Perendaman Aroma merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan bakso yang diberi perlakuan pengawet asam organik. Hasil penilaian panelis terhadap parameter aroma, rasa, dan 64
keseluruhan daari bakso konntrol dan bakkso perlakuaan pengawettan dengan perendaman daapat dilihat pada Gambarr 18. aroma 6 5 4
kontro ol
3
A1 (10%)
2
kkeseluruh an
1
A2 (15%)
0
A3 ( 20%) 2
rasa
Gambar 18. Pengaaruh perenddaman bakkso dengann berbagai konseentrasi larutaan pengawett terhadap penerimaan p paneliis 1) Aroma p a aroma dari Hasiil uji organnoleptik mennunjukkan parameter bakso tanp pa perlakuann (kontrol) memperoleh m h penerimaaan tertinggi yaitu 5.80,, nilai ini terrdapat antarra “agak sukka” dan “suk ka”. Bakso A1, A2, daan A3 menuunjukkan nillai penerimaaan berturut--turut yaitu 4.43, 4.13,, dan 3.07. Penerimaann aroma unttuk bakso A1 A dan A2 nilainya teerdapat anttara “netral” dan “agak suka”, sedangkan penerimaan n untuk baksso C nilainyaa terdapat anntara “agak tidak t suka” dan “netrall”. Anallisis sidik raagam (ANO OVA) terhaddap penerim maan aroma menunjukk kan perlakuuan berpeng garuh nyataa terhadap parameter aroma. Ujii Duncan menunjukkan m n penerimaaan aroma un ntuk bakso kontrol berbeda dari bakso b perlakkuan, baksoo A1 dan A2 A berbeda nnya, sedanngkan bakso o A3 berbeeda dari koontrol dan penerimaan berbeda jugga dengan baakso A1 dan n A2 (Lampiiran 49). Peneerimaan pannelis terhadaap aroma bakso perlak kuan masih baik sampai konsentraasi 15% darri larutan biiang. Pada konsentrasi k 65
20%, penerimaan panelis menunjukkan hasil agak tidak disukai. Perlakuan pengawetan mengurangi penerimaan terhadap bakso, karena bakso kontrol menunjukkan penerimaan yang paling tinggi. Penelitian Ferdiani (2008) menyatakan perendaman mi basah dengan larutan asam asetat 2% menurunkan penerimaan terhadap aroma secara signifikan. Penurunan penerimaan terhadap aroma disebabkan bau yang tajam dan menyengat dari asam asetat. Aroma asam asetat dapat tertutupi oleh komponen aroma dari bawang putih untuk bakso A1 dan A2. Tingkat volatilitas ekstrak bawang putih yang lebih tinggi dibanding asam asetat menyebabkan intensitas aroma bawang putih lebih dominan tercium oleh panelis. Penerimaan aroma untuk bakso A1 dan A2 antara “netral’ dan “agak suka”. Penerimaan aroma ini juga didukung karena bawang putih merupakan ingredien bakso yang umum digunakan, sehingga aroma ini tidak menyimpang dari aroma bakso normal. 2) Rasa Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter rasa dari bakso kontrol memperoleh penerimaan tertinggi yaitu 5.0, (agak suka). Penerimaan aroma untuk bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai penerimaan yaitu 4.17, 3.77, dan 3.07. Penerimaan rasa untuk bakso A1 nilainya antara “netral” dan “agak suka”, sedangkan penerimaan untuk bakso A2 dan A3 nilainya antara “agak tidak suka” dan “netral”. Analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap penerimaan rasa menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap rasa. Uji Duncan menunjukkan penerimaan rasa untuk bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan, bakso A1, A2, dan A3 juga saling berbeda penerimaan rasanya secara signifikan (Lampiran 50). Penerimaan panelis terhadap bakso perlakuan berbeda dengan bakso kontrol. Uji organoleptik menunjukkan penerimaan rasa terhadap bakso perlakuan lebih rendah dibandingkan dengan bakso kontrol. Penerimaan untuk bakso yang direndam dengan larutan 66
pengawet konsentrasi 10% masih baik. Penelitian Ferdiani (2008) mengatakan bahwa perendaman mi basah matang ke dalam larutan pengawet asam asetat 2 % saja menyebabkan perbedaan rasa yang signifikan terhadap mi basah kontrol, dimana mi basah kontrol lebih disukai. 3) Keseluruhan Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter keseluruhan dari bakso kontrol memperoleh penerimaan tertinggi yaitu 5.17, nilai ini berada antara “agak suka” dan “suka”. Penerimaan keseluruhan untuk bakso A1, A2, dan A3 menunjukkan nilai penerimaan berturut-turut yaitu 3.77, 3.47, dan 2.80. Penerimaan rasa untuk bakso A1 dan A2 nilainya terdapat antara “agak suka” dan “netral”. Penerimaan untuk bakso A3 terdapat antara “tidak suka” dan “agak tidak suka”. Analisis
sidik
ragam
(ANOVA)
terhadap
penerimaan
keseluruhan menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter keseluruhan. Uji Duncan menunjukkan penerimaan keseluruhan untuk bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan, bakso A1 dan A2 tidak berbeda penerimaannya, dan bakso A3 berbeda dengan kontrol dan bakso A1 dan A2 (Lampiran 51). Penerimaan
parameter
keseluruhan
untuk
bakso
yang
diawetkan dengan perendaman ke dalam larutan pengawet menunjukkan penerimaan yang rendah, yaitu antara “tidak suka”dan “netral”. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Ferdiani (2008) yang menyatakan bahwa perendaman mi basah matang ke dalam larutan pengawet asam asetat 2% tidak menyebabkan perbedaan penerimaan keseluruhan yang signifikan terhadap mi basah. Perbedaan penerimaan antara bakso kontrol dan bakso perlakuan disebabkan sifat ekstrak bawang putih yang lengket dari larutan biang, sehingga bakso setelah perendaman memiliki permukaan yang lengket dan sulit untuk kering dan terjadi akumulasi larutan
67
pengawet pada permuukaan bakso yang meenurunkan penerimaan p parameter keseluruhan k n. b. Mettode Perebu usan Hasil penilaian panelis terhhadap param meter aroma,, rasa, dan keseluruhaan dari baksso kontrol dan d bakso pperlakuan pengawetan p dengan perrebusan dapaat dilihat pad da Gambar 119. aroma 6 5 4
kontrrol
3
B1 (1 10%)
2
B2 (1 15%)
1
B3 ( 20%)
0
keseluruhan n
Gambar
rasa
19. Pengaaruh perebbusan baksso dengan berbagai konsenntrasi larutann pengawet terhadap penerimaan panelis
1) Aroma a dari Hasil uji organnoleptik mennunjukkan pparameter aroma bakso tanp pa perlakuann (kontrol) memperoleh m h penerimaaan tertinggi yaitu 5.27,, nilai ini anntara “agak suka” dan ““suka”. Baksso B1, B2, dan B3 menunjukkan m n nilai peneerimaan bertturut-turut yaitu y 5.10, 5.00, dan 4.90. 4 Penerim maan aromaa untuk baksso B1 dan B2 B nilainya terdapat anntara “agak suka” s dan “ssuka”. Penerrimaan untukk bakso B3 nilainya terrdapat antaraa “netral” daan “agak sukka”. Anallisis
sidik
ragam
(A ANOVA)
terhadap
p penerimaan
keseluruhaan menunjukkkan perlak kuan berpenngaruh nyataa terhadap aroma. Ujii Duncan menunjukkan m n penerimaaan aroma un ntuk bakso kontrol dan n bakso perlaakuan tidak berbeda nyaata (Lampiraan 52). 68
Penerimaan yang tinggi terhadap parameter aroma dari bakso yang direbus dengan larutan pengawet disebabkan penggunaan suhu yang tinggi ketika perebusan. Suhu yang tinggi meningkatkan jumlah komponen aroma bawang putih yang volatil lebih banyak menguap dan terdeteksi oleh indera penciuman. Perbedaan titik didih asam asetat dan ekstrak bawang putih menyebabkan aroma bawang putih lebih dominan dari aroma asam asetat pada saat pendinginan setelah perebusan. 2) Rasa Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter rasa dari bakso tanpa perlakuan (kontrol) memperoleh penerimaan tertinggi yaitu 5.93, nilai ini terdapat antara “agak suka” dan “suka”. Bakso yang B1, B2, dan B3 menunjukkan nilai penerimaan berturut-turut yaitu 3.87, 3.47, dan 2.90. Penerimaan aroma untuk bakso B1 dan B2 nilainya terdapat antara “agak tidak suka” dan “netral”. Penerimaan untuk bakso B3 nilainya terdapat antara “tidak suka” dan “agak tidak suka”. Analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap penerimaan rasa menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap rasa. Uji Duncan menunjukkan penerimaan keseluruhan untuk bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan, bakso B1 dan B2 tidak berbeda penerimaannya, dan bakso B3 berbeda dengan kontrol dan bakso B1 dan B2 (Lampiran 53). Penerimaan yang rendah untuk parameter rasa dari bakso yang direbus dengan larutan pengawet disebabkan oleh penetrasi larutan pengawet yang tinggi ke dalam bakso. Hal ini menyebabkan jumlah asam yang masuk ke dalam bakso semakin besar, sehingga intensitas rasa asam semakin kuat ketika dideteksi oleh indera pengecap. Selain
itu,
peningkatan
konsentrasi
larutan
biang
semakin
menurunkan penerimaan rasa dari bakso yang diberi perlakuan.
69
3) Keseluruhan Hasil uji organoleptik menunjukkan parameter aroma dari bakso tanpa perlakuan (kontrol) memperoleh penerimaan tertinggi yaitu 6.00, nilai ini yaitu “suka”. Bakso B1, B2, dan B3 menunjukkan nilai penerimaan berturut-turut yaitu 4.33, 4.00, dan 3.63. Penerimaan aroma untuk bakso B1 dan B2 nilainya terdapat antara “netral” dan “agak suka”. Penerimaan untuk bakso B3 nilainya terdapat antara “agak tidak suka” dan “netral”. Analisis
sidik
ragam
(ANOVA)
terhadap
penerimaan
keseluruhan menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter keseluruhan. Uji Duncan menunjukkan penerimaan keseluruhan untuk bakso kontrol berbeda dengan bakso perlakuan, bakso yang direbus B1 dan B2 tidak berbeda penerimaannya, dan bakso B3 berbeda dengan kontrol dan bakso yang direbus B1 dan B2 (Lampiran 54). Penerimaan keseluruhan terhadap bakso yang diberi perlakuan perebusan menunjukkan nilai yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan perendaman. Bakso yang direbus dengan larutan pengawet, memiliki permukaan yang kering dan aroma bawang putih yang kuat. Sifat larutan biang yang lengket dan susah kering diatasi dengan penggunaan suhu yang tinggi pada perebusan. Ketika bakso ditiriskan, larutan pengawet yang menempel pada permukaan bakso mengering karena suhu yang tinggi. Perebusan meningkatkan penetrasi larutan pengawet sehingga bakso yang diberi perlakuan memiliki rasa asam yang lebih kuat. Hal ini menurunkan penerimaan parameter rasa dan parameter keseluruhan dari penerimaan bakso yang diberi perlakuan. Aroma bawang putih dapat menutupi rasa asam dari asam asetat karena perbedaan volatilitas keduanya. Komponen volatil bawang putih lebih dahulu menguap sehingga terdeteksi lebih awal dibandingkan aroma asam asetat.
70
Rasa asam terdeteksi ketika asam terdisosiasi menjadi ion hidrogen (H3O+), ion ini terdeteksi oleh ion hidrogen channel dan berinteraksi dengan amaloryde sensitive channel yang akan memberi kesan rasa asam (Anonimb, 2006). Rasa asam terdeteksi setelah ion hidrogen tercuci oleh saliva. Mekanisme penurunan intensitas rasa asam dengan penambahan ekstrak rempah disebabkan rasa ekstrak bawang putih yang kuat, sehingga pencucian oleh saliva sesaat setelah ion hidrogen terdeteksi langsung ditutupi oleh rasa ekstrak bawang putih. Rasa asam yang terdeteksi segera dicuci oleh rasa khas yang kuat dari bawang putih, sehingga rasa asam hanya terdeteksi sedikit dan sesaat oleh indera pengecap manusia. Komponen citarasa bawang putih dalam bentuk ekstrak memiliki rasa dan aroma yang lebih kuat dibandingkan rasa dan aroma bawang putih biasa. Sifat oleoresin termasuk di dalamnya bawang putih yaitu kental, berupa cairan sampai semi padat menyulitkan pencampuran ke dalam makanan tanpa disertai dengan pemanasan, dan kualitas flavornya tergantung dari pelarut yang digunakan (Farrel, 1985). Oleh sebab itu, penerimaan parameter keseluruhan dari perlakuan perendaman lebih rendah dari perlakuan perebusan, karena perlakuan perebusan disertai dengan perlakuan pemanasan. Sifat ekstrak bawang putih yang kental juga menyebabkan permukaan bakso dengan perendaman terlihat berlendir dan lengket. 7. Analisis Biaya Pertimbangan produsen bakso dalam memilih pengawet adalah keefektifan pengawet dalam memperpanjang umur simpan dan pertimbangan ekonomis. Aplikasi pengawet pada bakso akan menambah biaya produksi, sehingga produsen cenderung memilih pengawet yang relatif murah sehingga tidak terjadi peningkatan biaya produksi yang terlalu besar, sehingga pada akhirnya harus menaikkan harga penjualan bakso untuk konsumen. Pendekatan untuk analisis biaya aplikasi pengawet dilakukan secara sederhana, dengan memperhitungkan harga dari bawang putih, 71
cuka pasar (25%), dan alkohol (etanol 70%) sebagai pelarut untuk proses ekstraksi. Analisis biaya untuk bakso dilakukan dengan menimbang bobot bakso sebelum dan setelah perlakuan, sehingga diketahui beberapa jumlah larutan yang terserap dan terbawa oleh bakso. Larutan pengawet diencerkan ke dalam air, berdasarkan uji mikrobiologi dan uji organoleptik, untuk perlakuan perendaman konsentrasi larutan pengawet minimum adalah 15% dan untuk perebusan
konsentrasi larutan
minimum adalah 10%. Analisis biaya dilakukan untuk mengetahui harga larutan biang yang merupakan campuran asam asetat (cuka pasar) dan ekstrak bawang putih. Dapat dilihat pada Tabel 20, 21 dan 22. Tabel 20. Nama dan harga bahan-bahan yang digunakan No 1 2 3
Nama bahan Cuka pasar, merk Dixie (25%) Bawang putih Alkohol (etanol 70%)
Harga (Rp) Satuan 13.250,00 liter 15.000,00 kg 15.000,00 liter
Bahan-bahan yang digunakan diperoleh dari pasar dan toko bahan kimia. Bahan yang cukup mahal adalah bawang putih dan alkohol, penggunaan alkohol dapat lebih dari sekali, karena dalam proses juga dilakukan pemisahan pelarut dari ekstrak. Pada perhitungan ini alkohol dianggap hanya digunakan untuk sekali ekstraksi. Tabel 21. Penghitungan biaya untuk mendapatkan ekstrak bawang putih Bahan Bawang putih Bawang putih bersih kulit Pengeringan : Bobot bawang putih dengan kadar air awal 69.18% Bobot bawang putih dengan kadar air akhir 46.33% Alkohol untuk ekstraksi (1:4) Rendemen ekstraksi 75,18%
Jumlah 1 kg 900 g
Harga (Rp) 15.000,00
900 g 516,83 g 2,07 liter 388,55 ml
31.050,00 46.050,00
72
Tabel 22. Penghitungan biaya untuk pembuatan larutan biang dan pertambahan biaya pengawetan bakso Bahan Ekstrak bawang putih Asam asetat yang dicampurkan 60:40 volume ekstrak Harga per liter Aplikasi untuk 1 liter larutan Perendaman Konsentrasi minimal 15% Perebusan Konsentrasi minimal 10%
Jumlah 388,55 ml
Harga (Rp) 46.050,00
582,83 ml 971,38 ml 1.000 ml
7.722,50 53.772,50 53.356,81
150 ml
8.003,52
100 ml
5.335,68
Bakso perendaman 15% mengalami peningkatan berat sebesar 0,585 g Bakso perebusan 10% mengalami peningkatan berat sebesar 1,26 g Kenaikan biaya produksi per kg Pengawetan perendaman 15% 1 kg Pengawetan perebusan 10% 1 kg
4,68/bakso (±13g)
6,72/bakso (±13g) 360.00 516,92
Peningkatan biaya untuk memproduksi 1 kg bakso untuk rendam adalah sebesar Rp.360,00 dan untuk rebus sebesar Rp.514,92. Peningkatan biaya ini cukup besar dikarenakan penggunaan bawang putih yang harganya cukup mahal yaitu Rp.15.000,00 per kg, dan penggunakan alkohol yang pada perhitungan ini dianggap sekali pakai, harganya yaitu Rp.15.000,00 per liter. Jika dibandingkan dengan penggunaan formalin, biaya tambahan pengawet formalin 250 ppm untuk 1 kg bakso yaitu sekitar Rp. 54,00, biaya tambahan dengan menggunakan pengawet asam asetat dan ekstrak bawang putih relatif lebih mahal. Meskipun demikian, jika melihat efek toksik yang ditimbulkan oleh pengawet formalin, pengawetan dengan asam cuka pasar cenderung lebih baik. Menurut Manitoba Federation of Labour (MFL) Inc (2004) yang dikutip oleh Teddy (2007), batas konsentrasi formaldehid yang tidak berpengaruh terhadap kesehatan manusia hanyalah sebesar ≤ 0.05 ppm. 73
Biaya
pengawetan
ini
tentunya
sebanding
dengan
nilai
keamanannya ketika dikonsumsi, karena tidak adanya efek toksisitas bagi tubuh
walau
dikonsumsi
berulang
kali.
Efektivitasnya
dalam
memperpanjang umur simpan bakso hingga penyimpanan minimal empat hari (pelakuan perendaman konsentrasi minimal adalah 15% dan perlakuan perebusan konsentrasi minimal adalah 10%) dapat dijadikan pertimbangan untuk menggantikan formalin dan boraks.
74
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol merupakan metode paling efektif untuk mendapatkan ekstrak bawang putih dengan aroma dan citarasa yang kuat dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan pelarut heksan (non polar) dan etil asetat (semi polar). Formula yang memenuhi kriteria pH dan intensitas rasa asam adalah larutan asam asetat dan ekstrak bawang putih dengan perbandingan 60:40. Hasil pengujian aktivitas antimikroba menunjukkan pengenceran terhadap formula terpilih dengan konsentrasi 10%, 15%, dan 20% memiliki kemampuan menghambat kerusakan oleh mikroba pada bakso. Uji mikrobiologi menunjukkan perendaman dan perebusan dengan larutan pengawet dapat menghambat aktivitas mikroba pada bakso. Jumlah total mikroba pada bakso kontrol hari ke-1 lebih besar dari 2.5x106 koloni/gram, sedangkan jumlah total mikroba bakso perlakuan sampai hari ke-4 masih di bawah 2.5x104 koloni/gram, kecuali bakso yang direndam dengan konsentrasi 10%. Total mikroba dari bakso yang direndam larutan pengawet konsentrasi 10% pada hari ke-3 telah mencapai 4.2x105 koloni/gram. Konsentrasi minimum untuk metode perendaman yaitu 15% dan metode perebusan yaitu 10% dapat mempertahankan bakso dari kerusakan sampai 4 hari penyimpanan di suhu ruang. Uji organoleptik menunjukkan perlakuan pengawetan berpengaruh nyata terhadap kesukaan panelis untuk parameter aroma, rasa, dan keseluruhan secara signifikan. Nilai derajat kesukaan bakso perlakuan perendaman dan perebusan berbeda dari bakso tanpa perlakuan (kontrol). Peningkatan konsentrasi larutan pengawet yang digunakan menurunkan kesukaan panelis terhadap parameter aroma, rasa, dan keseluruhan. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa
perlakuan perendaman dan
perebusan berpengaruh terhadap nilai pH, TAT, tekstur bakso, dan warna. Analisis biaya menunjukkan untuk pengawetan dengan metode perebusan konsentrasi 10% menambah biaya produksi sebesar Rp.514,92 per kg bakso, dan untuk pengawetan dengan metode perendaman konsentrasi 15% menambah biaya produksi sebesar Rp.360,00 per kg bakso. 75
Metode pengawetan yang paling efektif adalah metode perebusan dengan konsentrasi larutan pengawet 10%. Pengawetan ini dapat mempertahankan keawetan bakso selama 4 hari pada suhu ruang. Penerimaan sensori untuk konsentrasi 10% ini lebih tinggi daripada penerimaan sensori metode perendaman pada konsentrasi yang sama.
B. SARAN Pengawetan bakso dengan perendaman dan perebusan menggunakan kombinasi asam asetat dan ekstrak bawang putih selama 10 menit dapat mempertahankan umur simpan bakso hingga 4 hari. Namun, dilihat dari segi sensori, pengawet ini masih belum sepenuhnya diterima secara organoleptik karena rasa asam yang ditimbulkan masih belum tertutupi dengan sempurna. Untuk mengurangi rasa yang masih asam, disarankan untuk : 1. Menambahkan rempah lain yang mempunyai aroma dan rasa yang lebih kuat 2. Mengkombinasikan asam cuka pasar dengan asam laktat atau asam organik lainnya yang memiliki karakteristik rasa asam yang tidak terlalu tajam. 3. Menambahkan perlakuan perendaman dalam larutan basa yang foodgrade ketika hendak disajikan untuk mengurangi rasa asam. 4. Mengurangi lamanya perebusan bakso dalam larutan pengawet.
76
VI. DAFTAR PUSTAKA
[Anonima. 2005] Tanaman Obat Indonesia. www.iptek.net.id. [2 Februari 2006] [Anonimb. 2006] Tongue Feels Sour Taste Only After Saliva Has Wiped It Off. www.thaindian.com. [16 Maret 2009]. [ICMSF] The Internacional Comisión on Microbiological Specification for Foods. 1980. Microbial Ecology of Foods Volume 1. Factors Affecting Life and Death of Microorganisms. New York: Academia Press. Achmadi, S. 1992. Kimia Kayu. FMIPA, IPB. Bogor. Adams, M. R. Dan M. O. Moss. 1995. Food Microbiology. Chapman, The Royal Society Of Chemistry. United Kingdom. Amagase, H., B. L. Petesch, H. Matsuura, S. Kasuga, Y. Itakura. 2001. Intake of Garlic dan Its Bioactive Components. Journal of Nutrition. 131:955S-962S. Andayani, R. 1999. Standarisasi Mutu Bakso Sapi Berdasarkan Kesukaan Konsumen (Studi Kasus Bakso di Wilayah DKI Jakarta). Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. AOAC International. 1999. Official Method of Analysis 925.45 Chapter 44.1.03 p.2. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L.Puspitasari, Y. Sedarnawati dan B. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU IPB. Bogor Ardiansyah. 2007. Keamanan Pangan Fungsional Berbasis Pangan Tradisional. www.beritaiptek.com [19 Maret 2007]. Block, E. 1992. The Organosulfur Chemistry of The Genus Allium. Implications for The Organic Chemistry of Sulfur. Angew. Chem. Int. Ed. Engl 31:11351178 Bombardelli, E. 1991. Technologies for the processing of medical plants. Di dalam Supriadi. Optimalisasi Ekstraksi Komponen Bioaktif Daun Tabat Barito. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Buckle, K. A., R. A.Edwards, G. H. Fleet, M. Wootton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan. Penerjemah : Purnomo, H., Adiono. UI Press. Jakarta. Chung, K.C. dan Geopfert. 1970. Di dalam : Gould, G.W. (Ed). 1995. New Method of Food Preservation. Chapman and Hall, Glosgow. 77
Danesi, P. R. 1992. Solvents Extractiom Kinetic. di dalam Rydberg, j., C. Musikas dan G. R. Choppin. Principles and Practises of Solvent Extraction. Marcel Dekker Inc., New York. Davidson, P. M., N. S. Jhon, A. L. Brannen. 2005. Antimicrobial in Food. 3rd edition. Taylor & Francis Group. United States Of America. Dickson, J. S., dan M. E. Anderson. 1992. Microbilological Decontamination of Food Animal Carcasses by Washing and Sanitizing Systems : A Review. J. Food Protect. 55 : 133-140. Dorres, S. 1993. Organics Acids. Di dalam : Davidson, P. M., Branen, A. L. (Eds.). Antimicrobials In Foods. Marcel Dekker Inc. New York. Elviera, G. 1988. Pengaruh Pelayuan Daging Sapi Terhadap Mutu Bakso Bakso.Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. IPB Press. Bogor Farrel, K. T. 1985. Spices, Condiments, and Seasonings. The AVI Publ. Co., Inc. Westport, Connecticut. Fenwick, G. R., dan A, B, Hanley. 1985. The Genus Allium. CRC Critical Review in Food Science and Nutrition. Ferdiani, I. 2008. Pengaruh Perendaman Larutan Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan Mi Basah Matang Pada Suhu Ruang. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th Edition. McGraw-Hill, Inc., USA. Frazier, W.C. dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Mc Graw-Hill, Ltd. New York. Furia, E. T. 1972. Handbook of Food Additives Second EditionVolume I. CRC Press, Inc. Florida. Guenther, E. 1952. The Essential Oil. Vol. VI. D. Van Nostrand Company, Inc. New York. Harborne, I. B. 1987. Metode Fitokimia, terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. 78
Hart, H., L.F. Craine, D.J dan Hart. 2003. Kimia Organik Suatu Kuliah Singkat. Penerbit Erlangga, Jakarta. Houghton, P. J. dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination of Natural Extract. Thomas Science, London. ICMSF. 1996. Microorganism In Food : Microbial Ecology Of Food Commodines. G. Blackie Academic and Professional. New Tork. Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology. Chapman dan Hall, New York. Kramlich,W.E., A.M. Pearson, F.W.Tauber. 1977. Processed Meat. AVI Publisher.Co.Inc., Westport, Connecticut. Kusumo, S. 1985. Budidaya Bawang Putih. Yasaguna, Jakarta. Leomitro, A. 2007. Ekstraksi Komponen Antioksidan dan Antibakteri Biji Lotus (Nelumbium nelumbo). Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Marshal, D. L., L. N. Cotton, F. A. Bal’a. Acetic Acid. Di dalam : Naidu, A. S. (Eds.). 2000. Natural Food Antimicrobial Systems. CRC Press. New York. McCabe, W. L. dan J. C. Smith. 1974. Unit Operations of Chemical Engineering. 3th ed. Mc Graw Hill International Book Company, New York. Miskelly, D. M. 1996. The Use Of Alkali For Noodle Processing. Di dalam : Pasta and Noodle Technology. Kruger, J. E., Matsuo, R. B., Dick, J. W. (Eds.). Cereal Chemist Inc. St Paul, Minnesota, USA. Morton, I.D. dan A. J. Macleod. 1982. Food Flavors. Elsevier Scientific Publ., Co., Amsterdam. Moyler, D.A. 1995. Oleoresins, Tinchores, and Extracts. Di dalam : Ashurst, PR (ed.) Food Flavoring. Blackie Academic and Professional, New York. Nagpurkar, A., J. Peschell, B.J. Holub. 2000. Garlic Constituens and Disease Prevention. Di dalam: Mazza, G., dan B. D. Oomah (Eds). Herbs, Botanical and Teas. Technomic Publishing Co., Inc. Lancaster. Pp. 3-5. Nielsen, S. S. 2003. Food Analysis 3rd Edition. Kluwer Academic / Plenum Publisher. New York, USA. Nur, N. A. dan H. Adijuwana. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biokimia. PAU, Ilmu Hayati, IPB, Bogor. Pelczar, M. J., R.D. Reid dan E. S. C. Chan. 1979. Microbiology. McGraw-Hill Book, co., New York. 79
Pomeranz, Yeshaju dan C. E. Meloan. 1978. Food Analysis : Theory and Practice. AVI Publ. Co. Inc. Westport, Connecticut. Purnowati, S., S. Hartinah dan R. Sumekar. 1992. Tinjauan Kepustakaan Bawang Putih: Kegunaan dan Prospek Pemasaran. Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI, Jakarta. Purseglove, J. W., E. G. Brown, C. L. Green dan S. R. L. Robbins. 1981. Spices. Volume II. Longman Inc., New York. Rahmawati, D. 2004. Mempelajari Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak Antarasa (Litsea cubeba) dan Aplikasinya sebagai Pengawet Alami pada Bahan Pangan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ray, B., dan W.E. Sandine. 1992. Acetic, Propionic, And Lactic Acid of Starter Culture Bacteria as Biopreservatives. Di dalam Ray, B., Daeschel, M., editor. Food Biopreservatives of Microbial Origin. Tokio: CRC Press. hlm 104 – 133. Saparinto, Cahyo dan Diana Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius, Yogyakarta. Sediawan, W. B. dan A. Prasetya.1997. Pemodelan Matematis dan Penyelesaian Numeris dalam Teknik Kimia dengan Pemrograman Bahasa Basic dan Fortran. Penerbit Andi, Yogyakarta. Sendih. 1998. Pengaruh Pemberian Bakso yang Mengandung Boraks terhadap Keadaan Fisiologik dan Morfologik Tikus Percobaan. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Setyadi, D. 2008. Pengaruh Penggunaan Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori Dan Umur Simpan Tahu. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. SNI No. 01-3818. 1995. Bakso Daging. Badan Standarisasi Nasional. Soekarto, S. T. 1985. Penelitian Organoleptik. Bhratara Jarya Aksara. Jakarta. Soekarto, S. T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. IPB, Bogor. Standar Nasional Indonesia. 01-3160-1992. Bawang Putih. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. Sugiharti, S. 2009. Pengaruh Perebusan Bakso Dalam Pengawet Asam Organik Terhadap Mutu Sensori dan Umur Simpan. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. 80
Suharti, S. 2004. Kajian Antibakteri Temulawak, Jahe, dan Bawang Putih terhadap Bakteri Salmonella typhimurium serta Pengaruh Bawang Putih terhadap Performans dan Respon Imun Ayam Pedaging. Tesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapi dan Pengaruh Penambahan Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syamsir, E., F. Kusnandar, D. R. Adawiyah, N. E. Suyatma, D. Herawati, D. Hunaefi. 2008. Penuntun Praktikum Teknologi Pengolahan Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tarwotjo, Ig., S. Hartini, S. Soekirman dan Sumartono. 1971. Komposisi Tiga Jenis Bakso di Jakarta. Akademi Gizi Jakarta. Teddy. 2007. Pengaruh Konsentrasi Formalin terhadap Keawetan Bakso dan Cara Pengolahan Bakso terhadap Residu. Skripsi. Fateta IPB, Bogor. Thorpe’s J. F. dan M. A. Whiteley. 1954. Thorpe’s Dictionary of Applied Chemistry. Volume II. 4th ed. Longmans, Green and Co., London. Ucko, D. A. 1982. Basic for Chemistry. Academic Press Inc., New York. Whitemore, B. B. Dan A. S. Naidu. 2000. Thiosulfinates. Di dalam: Natural Food Antimicrobial System. A. S. Naidu (Ed). CRC Press. New York. Wibowo, S. 1991. Budidaya Bawang. PT. Penebar Swadaya. Jakarta Wibowo, S. 2005. Pembuatan Bakso Daging dan Bakso Ikan. Penebar Swadaya, Jakarta. Widyaningsih, T.D. dan E.S.Murtini. 2006. Alternatif Pengganti Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya. Wilson, N. R. P. 1981. Meat and Meat Products: Factor Affecting Quality Control. Applied Science Publisher Ltd., England. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Winarno, F. G.dan T.S. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan Makanan dan Kontaminan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
81
LAMPIRAN Lampiran 1. Form uji organoleptik Uji Rating Hedonik Hari/ tgl : Nama :
Produk : No. Hp :
Petunjuk : 1. Tuliskan nomor sampel pada bagian atas kolom. 2. Lakukan pengujian dimulai dari kiri ke kanan terhadap masing-masing atribut dengan memberikan tanda tick (√) pada baris dan kolom yang sesuai. 3. Jangan membandingkan antar sampel. Aroma Penilaian
Kode sampel
sangat tidak suka tidak suka agak tidak suka netral agak suka suka sangat suka
Rasa Penilaian
Kode sampel
sangat tidak suka tidak suka agak tidak suka netral agak suka suka sangat suka
Keseluruhan Penilaian
Kode sampel
sangat tidak suka tidak suka agak tidak suka netral agak suka suka sangat suka
Komentar : ………………………………………………................. ………………………………………………………….
82
Lampiran 2. Derajat keasaman (pH) bakso kontrol dan perlakuan pengawetan perlakuan
kontrol
[ ]
0%
10%
rebus
15%
20%
10%
rendam
15%
20%
u1 u2 rerata SD RSDa u1 u2 rerata SD RSDa u1 u2 rerata SD RSDa u1 u2 rerata SD RSDa u1 u2 rerata SD RSDa u1 u2 rerata SD RSDa u1 u2 rerata SD RSDa
H-0 6,31 6,35 6,33 0,0259 0,4097 4,70 4,85 4,77 0,1061 2,2228 4,57 4,70 4,63 0,0896 1,9331 4,47 4,70 4,58 0,1603 3,4970 4,77 5,13 4,95 0,2593 5,2378 4,78 5,02 4,90 0,1673 3,4141 4,66 4,85 4,75 0,1379 2,9013
H-1 6,35 5,55 5,95 0,5657 9,5073 4,76 4,85 4,81 0,0636 1,3235 4,57 4,63 4,60 0,0448 0,9739 4,51 4,63 4,57 0,0825 1,8045 5,04 5,31 5,18 0,1909 3,6893 4,79 4,95 4,87 0,1108 2,2740 4,70 4,97 4,84 0,1909 3,9487
H-2
H-3
4,86 4,95 4,91 0,0636 1,2966 4,50 4,68 4,59 0,1296 2,8253 4,48 4,68 4,58 0,1414 3,0878 4,98 5,36 5,17 0,2687 5,1940 4,76 5,14 4,95 0,2640 5,3331 4,62 4,96 4,79 0,2369 4,9479
4,69 4,84 4,77 0,1037 2,1757 4,50 4,75 4,63 0,1768 3,8222 4,43 4,75 4,59 0,2286 4,9829 5,06 5,61 5,33 0,3889 7,2943 4,87 5,15 5,01 0,2003 4,0003 4,70 4,94 4,82 0,1650 3,4231
H-4
4,87 4,91 4,89 0,0283 0,5788 4,61 4,76 4,69 0,1108 2,3646 4,49 4,76 4,63 0,1956 4,2299 5,20 5,67 5,43 0,3347 6,1601 4,95 5,10 5,02 0,1120 2,2284 4,74 4,80 4,77 0,0424 0,8894
83
Lampiran 3. Hasil uji ANOVA dan Duncan untuk pH kontrol dan perendaman pada H-0 Descriptives pH
N kontrol celup 10% celup 15% celup 20% Total
Mean 6,3300 4,9500 4,9000 4,7550 5,2338
2 2 2 2 8
95% Confidence Interval for Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum ,02828 ,02000 6,0759 6,5841 6,31 6,35 ,25456 ,18000 2,6629 7,2371 4,77 5,13 ,16971 ,12000 3,3753 6,4247 4,78 5,02 ,13435 ,09500 3,5479 5,9621 4,66 4,85 ,69263 ,24488 4,6547 5,8128 4,66 6,35
ANOVA pH Sum of Squares 3,246 ,112 3,358
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 1,082 ,028
F 38,485
Sig. ,002
Post Hoc Tests pH Duncan
a
sampel celup 20% celup 15% celup 10% kontrol Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 4,7550 4,9000 4,9500 6,3300 ,315 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 4. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso kontrol pada H-0-H-1 Descriptives pH
N 0 1 Total
2 2 4
Mean Std. Deviation Std. Error 6,3300 ,02828 ,02000 5,9500 ,56569 ,40000 6,1400 ,39379 ,19689
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 6,0759 6,5841 6,31 6,35 ,8675 11,0325 5,55 6,35 5,5134 6,7666 5,55 6,35
84
ANOVA pH Sum of Squares ,144 ,321 ,465
Between Groups Within Groups Total
df 1 2 3
Mean Square ,144 ,160
F ,900
Sig. ,443
Lampiran 5. Hasil Uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 10% pada H-0-H-4 Descriptives pH
N 0 1 2 3 4 Total
Mean Std. Deviation Std. Error 4,9500 ,25456 ,18000 5,1750 ,19092 ,13500 5,1700 ,26870 ,19000 5,3350 ,38891 ,27500 5,4350 ,33234 ,23500 5,2130 ,28056 ,08872
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 2,6629 7,2371 4,77 5,13 3,4597 6,8903 5,04 5,31 2,7558 7,5842 4,98 5,36 1,8408 8,8292 5,06 5,61 2,4490 8,4210 5,20 5,67 5,0123 5,4137 4,77 5,67
ANOVA pH Sum of Squares ,273 ,435 ,708
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,068 ,087
F ,785
Sig. ,581
Post Hoc Tests pH Duncan
hari 0 2 1 3 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 4,9500 5,1700 5,1750 5,3350 5,4350 ,173
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
85
Lampiran 6. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perendaman 15% H-0-H-4 Descriptives pH
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 4,9000 4,8700 4,9500 5,0100 5,0250 4,9510
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,16971 ,12000 3,3753 6,4247 4,78 5,02 ,11314 ,08000 3,8535 5,8865 4,79 4,95 ,26870 ,19000 2,5358 7,3642 4,76 5,14 ,19799 ,14000 3,2311 6,7889 4,87 5,15 ,10607 ,07500 4,0720 5,9780 4,95 5,10 ,14925 ,04720 4,8442 5,0578 4,76 5,15 ANOVA
pH Sum of Squares ,036 ,164 ,200
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,009 ,033
F ,276
Sig. ,882
Post Hoc Tests pH Duncan
hari 1 0 2 3 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 4,8700 4,9000 4,9500 5,0100 5,0250 ,440
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
86
Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH perendaman 20%, pada H-0-H-4 Descriptives pH
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 4,7550 4,8350 4,7900 4,8200 4,7700 4,7940
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,13435 ,09500 3,5479 5,9621 4,66 4,85 ,19092 ,13500 3,1197 6,5503 4,70 4,97 ,24042 ,17000 2,6299 6,9501 4,62 4,96 ,16971 ,12000 3,2953 6,3447 4,70 4,94 ,04243 ,03000 4,3888 5,1512 4,74 4,80 ,12989 ,04107 4,7011 4,8869 4,62 4,97 ANOVA
pH Sum of Squares ,009 ,143 ,152
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,002 ,029
F ,078
Sig. ,986
Post Hoc Tests pH Duncan
hari 0 4 2 3 1 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 4,7550 4,7700 4,7900 4,8200 4,8350 ,661
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
87
Lampiran 8. Hasil uji ANOVA pH bakso kontrol dan perebusan pada H-0 Descriptives pH
N kontrol rebus 10% rebus 15% rebus 20% Total
Mean 6,3300 4,7750 4,6350 4,5850 5,0813
2 2 2 2 8
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,02828 ,02000 6,0759 6,5841 6,31 6,35 ,10607 ,07500 3,8220 5,7280 4,70 4,85 ,09192 ,06500 3,8091 5,4609 4,57 4,70 ,16263 ,11500 3,1238 6,0462 4,47 4,70 ,77865 ,27529 4,4303 5,7322 4,47 6,35
ANOVA pH Sum of Squares 4,197 ,047 4,244
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 1,399 ,012
F 119,195
Sig. ,000
Post Hoc Tests pH Duncan
a
sampel rebus 20% rebus 15% rebus 10% kontrol Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 4,5850 4,6350 4,7750 6,3300 ,160 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
88
Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 10%, H-0-H-4 Descriptives pH
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 4,7750 4,8050 4,9050 4,7650 4,8900 4,8280
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,10607 ,07500 3,8220 5,7280 4,70 4,85 ,06364 ,04500 4,2332 5,3768 4,76 4,85 ,06364 ,04500 4,3332 5,4768 4,86 4,95 ,10607 ,07500 3,8120 5,7180 4,69 4,84 ,02828 ,02000 4,6359 5,1441 4,87 4,91 ,08535 ,02699 4,7669 4,8891 4,69 4,95 ANOVA
pH Sum of Squares ,034 ,031 ,066
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,009 ,006
F 1,360
Sig. ,366
Post Hoc Tests pH Duncan
hari 3 0 1 4 2 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 4,7650 4,7750 4,8050 4,8900 4,9050 ,149
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
89
Lampiran 10. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH bakso perebusan 15%, H-0-H-4 Descriptives pH
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 4,6350 4,6000 4,5900 4,6250 4,6850 4,6270
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum ,09192 ,06500 3,8091 5,4609 4,57 4,70 ,04243 ,03000 4,2188 4,9812 4,57 4,63 ,12728 ,09000 3,4464 5,7336 4,50 4,68 ,17678 ,12500 3,0367 6,2133 4,50 4,75 ,10607 ,07500 3,7320 5,6380 4,61 4,76 ,09429 ,02982 4,5596 4,6944 4,50 4,76 ANOVA
pH Sum of Squares ,011 ,069 ,080
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,003 ,014
F ,201
Sig. ,928
Post Hoc Tests pH Duncan
hari 2 1 3 0 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 4,5900 4,6000 4,6250 4,6350 4,6850 ,464
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
90
Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan pH perebusan 20%, H-0-H-4 Descriptives pH
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 4,5850 4,5700 4,5800 4,5900 4,6250 4,5900
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,16263 ,11500 3,1238 6,0462 4,47 4,70 ,08485 ,06000 3,8076 5,3324 4,51 4,63 ,14142 ,10000 3,3094 5,8506 4,48 4,68 ,22627 ,16000 2,5570 6,6230 4,43 4,75 ,19092 ,13500 2,9097 6,3403 4,49 4,76 ,12684 ,04011 4,4993 4,6807 4,43 4,76 ANOVA
pH Sum of Squares ,004 ,141 ,145
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,001 ,028
F ,031
Sig. ,998
Post Hoc Tests pH Duncan
hari 1 2 0 3 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 4,5700 4,5800 4,5850 4,5900 4,6250 ,760
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
91
Lampiran 12. Nilai TAT bakso kontrol dan perlakuan perebusan dan perendaman perlakuan [ ] kontrol
0%
10%
rebus
15%
20%
10%
rendam
15%
20%
u1 u2 rerata stdev u1 u2 rerata stdev u1 u2 rerata stdev u1 u2 rerata stdev u1 u2 rerata stdev u1 u2 rerata stdev u1 u2 rerata stdev
H-0 H-1 H-2 H-3 H-4 3,806 5,250 4,200 5,250 4,003 5,250 0,278 0,000 21,656 20,606 17,456 19,425 18,244 16,406 18,900 17,719 17,325 18,900 19,031 19,753 17,588 18,375 18,572 3,712 1,207 0,186 1,485 0,464 28,744 38,850 40,031 36,488 35,569 27,694 29,138 28,613 22,444 27,956 28,219 33,994 34,322 29,466 31,763 0,742 6,868 8,074 9,930 5,383 49,744 42,788 46,988 43,706 42,656 39,244 37,538 39,506 40,294 40,950 44,494 40,163 43,247 42,000 41,803 7,425 3,712 5,290 2,413 1,207 13,256 11,025 12,338 10,369 8,531 10,238 9,581 14,569 6,169 19,425 11,747 10,303 13,453 8,269 13,978 2,135 1,021 1,578 2,970 7,703 16,538 17,325 16,275 17,588 15,225 14,569 16,275 14,569 11,025 13,781 15,553 16,800 15,422 14,306 14,503 1,392 0,742 1,207 4,640 1,021 26,381 23,231 26,381 21,131 22,444 17,588 18,113 20,659 17,456 21,263 21,984 20,672 23,520 19,294 21,853 6,218 3,620 4,046 2,599 0,835
92
Lampiran 13. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan perendaman H-0 Descriptives TAT
N kontrol celup 10% celup 15% celup 20% Total
2 2 2 2 8
Mean 4,00300 11,74700 15,55350 21,98450 13,32200
95% Confidence Interval for Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum Maximum ,278600 ,197000 1,49988 6,50612 3,806 4,200 2,134048 1,509000 -7,42666 30,92066 10,238 13,256 1,392293 ,984500 3,04424 28,06276 14,569 16,538 6,217590 4,396500 -33,87833 77,84733 17,588 26,381 7,405736 2,618323 7,13065 19,51335 3,806 26,381 ANOVA
TAT Sum of Squares 338,686 45,229 383,914
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 112,895 11,307
F 9,984
Sig. ,025
Post Hoc Tests TAT Duncan
a
sampel kontrol celup 10% celup 15% celup 20% Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 3 4,00300 11,74700 11,74700 15,55350 15,55350 21,98450 ,083 ,321 ,128
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
93
Multiple Comparisons Dependent Variable: TAT Mean Difference (I) sampel (J) sampe (I-J) Std. Error Tukey HSDkontrol celup 10%-7,744000 3,362614 celup 15% 11,550500 3,362614 celup 20% 17,981500*3,362614 celup 10% kontrol 7,744000 3,362614 celup 15%-3,806500 3,362614 celup 20% 10,237500 3,362614 celup 15% kontrol 11,550500 3,362614 celup 10%3,806500 3,362614 celup 20%-6,431000 3,362614 celup 20% kontrol 17,981500*3,362614 celup 10% 10,237500 3,362614 celup 15%6,431000 3,362614
95% Confidence Interval Sig. Lower BoundUpper Bound ,240 -21,43272 5,94472 ,085 -25,23922 2,13822 ,020 -31,67022 -4,29278 ,240 -5,94472 21,43272 ,692 -17,49522 9,88222 ,119 -23,92622 3,45122 ,085 -2,13822 25,23922 ,692 -9,88222 17,49522 ,350 -20,11972 7,25772 ,020 4,29278 31,67022 ,119 -3,45122 23,92622 ,350 -7,25772 20,11972
*. The mean difference is significant at the .05 level.
Lampiran 14. Hasil uji ANOVA TAT bakso kontrol H0-H1 Descriptives TAT
N 0 1 Total
2 2 4
Mean Std. Deviation 4,00300 ,278600 5,25000 ,000000 4,62650 ,737705
Std. Error ,197000 ,000000 ,368853
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 1,49988 6,50612 3,806 4,200 5,25000 5,25000 5,250 5,250 3,45265 5,80035 3,806 5,250
ANOVA TAT
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1,555 ,078 1,633
df 1 2 3
Mean Square 1,555 ,039
F 40,068
Sig. ,024
94
Lampiran 15. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 10% H0-H1. Descriptives TAT
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean Std. Deviation 11,74700 2,134048 10,30300 1,021062 13,45350 1,577555 8,26900 2,969848 13,97800 7,703221 11,55010 3,651477
Std. Error 1,509000 ,722000 1,115500 2,100000 5,447000 1,154699
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum -7,42666 30,92066 10,238 13,256 1,12912 19,47688 9,581 11,025 -,72027 27,62727 12,338 14,569 -18,41403 34,95203 6,169 10,369 -55,23270 83,18870 8,531 19,425 8,93799 14,16221 6,169 19,425
ANOVA TAT Sum of Squares 43,755 76,245 120,000
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 10,939 15,249
F ,717
Sig. ,615
Post Hoc Tests TAT Duncan
hari 3 1 0 2 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 8,26900 10,30300 11,74700 13,45350 13,97800 ,216
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
95
Lampiran 16. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 15% H0-H4 Descriptives TAT
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 15,55350 16,80000 15,42200 14,30650 14,50300 15,31700
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 1,392293 ,984500 3,04424 28,06276 14,569 16,538 ,742462 ,525000 10,12924 23,47076 16,275 17,325 1,206324 ,853000 4,58361 26,26039 14,569 16,275 4,640742 3,281500 -27,38891 56,00191 11,025 17,588 1,021062 ,722000 5,32912 23,67688 13,781 15,225 1,955730 ,618456 13,91796 16,71604 11,025 17,588 ANOVA
TAT Sum of Squares 7,900 26,524 34,424
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 1,975 5,305
F ,372
Sig. ,820
Post Hoc Tests TAT Duncan
hari 3 4 2 0 1 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 14,30650 14,50300 15,42200 15,55350 16,80000 ,339
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
96
Lampiran 17. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perendaman 20% selama 4 hari Descriptives TAT
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean Std. Deviation Std. Error 21,98450 6,217590 4,396500 20,67200 3,618973 2,559000 23,52000 4,046065 2,861000 19,29350 2,598617 1,837500 21,85350 ,835093 ,590500 21,46470 3,258364 1,030385
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum -33,87833 77,84733 17,588 26,381 -11,84318 53,18718 18,113 23,231 -12,83245 59,87245 20,659 26,381 -4,05415 42,64115 17,456 21,131 14,35049 29,35651 21,263 22,444 19,13381 23,79559 17,456 26,381
ANOVA TAT Sum of Squares 19,976 75,576 95,552
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 4,994 15,115
F ,330
Sig. ,847
Post Hoc Tests TAT Duncan
hari 3 1 4 0 2 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 19,29350 20,67200 21,85350 21,98450 23,52000 ,337
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
97
Lampiran 18. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso kontrol dan perebusan H-0 Descriptives TAT
N kontrol rebus 10% rebus 15% rebus 20% Total
2 2 2 2 8
Mean 4,00300 19,03100 28,21900 44,49400 23,93675
5% Confidence Interval fo Mean Std. DeviationStd. ErrorLower BoundUpper Bound Minimum Maximum ,278600 ,197000 1,49988 6,50612 3,806 4,200 3,712311 2,625000 -14,32279 52,38479 16,406 21,656 ,742462 ,525000 21,54824 34,88976 27,694 28,744 7,424621 5,250000 -22,21357 111,20157 39,244 49,744 16,010055 5,660409 10,55201 37,32149 3,806 49,744 ANOVA
TAT Sum of Squares 1724,718 69,535 1794,253
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 574,906 17,384
F 33,071
Sig. ,003
Post Hoc Tests TAT Duncan
a
sampel kontrol rebus 10% rebus 15% rebus 20% Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 3 4,00300 19,03100 28,21900 44,49400 1,000 ,092 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
98
Lampiran 19. Hasil uji ANOVA dan Duncan TAT bakso perebusan 10%, H0-H4 Descriptives TAT
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 19,03100 19,75300 17,58750 18,37500 18,57200 18,66370
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 3,712311 2,625000 -14,32279 52,38479 16,406 21,656 1,206324 ,853000 8,91461 30,59139 18,900 20,606 ,185969 ,131500 15,91663 19,25837 17,456 17,719 1,484924 1,050000 5,03349 31,71651 17,325 19,425 ,463862 ,328000 14,40436 22,73964 18,244 18,900 1,592835 ,503699 17,52425 19,80315 16,406 21,656 ANOVA
TAT Sum of Squares 5,143 17,691 22,834
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 1,286 3,538
F ,363
Sig. ,826
Post Hoc Tests TAT Duncan
hari 2 3 4 0 1 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 17,58750 18,37500 18,57200 19,03100 19,75300 ,313
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
99
Lampiran 20. Hasil uji ANOVA dan Duncan bakso perebusan 15%, H0-H4 Descriptives TAT
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 28,21900 33,99400 34,32200 29,46600 31,76250 31,55270
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum ,742462 ,525000 21,54824 34,88976 27,694 28,744 6,867421 4,856000 -27,70733 95,69533 29,138 38,850 8,073745 5,709000 -38,21772 106,86172 28,613 40,031 9,930608 7,022000 -59,75697 118,68897 22,444 36,488 5,383204 3,806500 -16,60367 80,12867 27,956 35,569 5,761709 1,822012 27,43102 35,67438 22,444 40,031 ANOVA
TAT Sum of Squares 58,282 240,494 298,776
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 14,570 48,099
F ,303
Sig. ,865
Post Hoc Tests TAT Duncan
hari 0 3 4 1 2 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 28,21900 29,46600 31,76250 33,99400 34,32200 ,428
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
100
Lampiran 21. Hasil uji ANOVA dan Duncan bakso perebusan 20, H0-H4 Descriptives TAT
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean Std. Deviation Std. Error 44,49400 7,424621 5,250000 40,16300 3,712311 2,625000 43,24700 5,290573 3,741000 42,00000 2,412648 1,706000 41,80300 1,206324 ,853000 42,34140 3,732497 1,180319
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum -22,21357 111,20157 39,244 49,744 6,80921 73,51679 37,538 42,788 -4,28691 90,78091 39,506 46,988 20,32321 63,67679 40,294 43,706 30,96461 52,64139 40,950 42,656 39,67133 45,01147 37,538 49,744
ANOVA TAT Sum of Squares 21,211 104,173 125,384
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 5,303 20,835
F ,255
Sig. ,895
Post Hoc Tests TAT Duncan
hari 1 4 3 2 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 40,16300 41,80300 42,00000 43,24700 44,49400 ,396
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
101
Lampiran 22. Hasil pengukuran penetrometer untuk kontrol dan perlakuan (rebus dan rendam) perlakuan
[ ] 0% stdev 10% stdev 15% stdev 20% stdev 10% stdev 15% stdev 20% stdev
kontrol
rebus
rendam
H-0 16,175 1,237437 17,725 3,075914 18,125 4,772971 17,275 0,106066 17,28333 3,983368 16,55 2,687006 16,19167 0,058926
H-1 17,33333 1,791337 14,725 2,722361 17,0375 0,053033 16,20833 0,082496 15,7 0,141421 15,6 0,070711 15,15 1,862048
H-2
H-3
H-4
14,1 0,5656854 13,5875 1,5379572 14,216667 0,8720984 13,675 1,3788582 14,8 1,979899 14,083333 2,710576
14,291667 0,9310239 13,025 0,6717514 13,433333 0,3771236 13,495833 0,2415948 12,883333 0,7778175 14,025 0,3889087
12,75 1,6970563 13,15 0,2828427 13,191667 0,2239171 13,0625 1,5379572 13,033333 0,3299832 13,316667 0,0235702
Lampiran 23. Hasil uji ANOVA dan Duncan nilai penetrometer bakso kontrol dan perendaman H0 Descriptives
mm llightness
N kontrol celup 10% celup 15% celup 20% Total
2 2 2 2 8
Mean Std. Deviation Std. Error 16,175000 1,2374369 ,8750000 17,285000 3,9810112 2,8150000 16,550000 2,6870058 1,9000000 16,190000 ,0565685 ,0400000 16,550000 1,9355250 ,6843114
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum 5,057071 27,292929 15,3000 -18,482966 53,052966 14,4700 -7,591789 40,691789 14,6500 15,681752 16,698248 16,1500 14,931861 18,168139 14,4700
Maximum 17,0500 20,1000 18,4500 16,2300 20,1000
ANOVA
mm llightness
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1,621 24,603 26,224
df 3 4 7
Mean Square ,540 6,151
F ,088
Sig. ,963
102
Post Hoc Tests llightness mm Duncan
a
sampel kontrol celup 20% celup 15% celup 10% Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 16,175000 16,190000 16,550000 17,285000 ,678
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 24.Hasil uji ANOVA pengukuran penetrometer bakso kontrol H0-H1 Descriptives
mm llightness
N 0 1 Total
Mean 2 6,175000 2 7,335000 4 6,755000
95% Confidence Interval for Mean Std. DeviationStd. Error Lower BoundUpper Bound Minimum 1,2374369 ,8750000 5,057071 27,292929 15,3000 1,7889802 ,2650000 1,261651 33,408349 16,0700 1,4232943 ,7116472 14,490221 19,019779 15,3000
Maximum 17,0500 18,6000 18,6000
ANOVA
mm llightness
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 1,346 4,732 6,077
df 1 2 3
Mean Square 1,346 2,366
F ,569
Sig. ,529
103
Lampiran 25. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman 10% H0-H4 Descriptives mm
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 17,285000 15,700000 13,675000 13,500000 13,065000 14,645000
2 2 2 2 2 10
Std. Deviation Std. Error 3,9810112 2,8150000 ,1414214 ,1000000 1,3788582 ,9750000 ,2404163 ,1700000 1,5344217 1,0850000 2,2569362 ,7137059
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound -18,482966 53,052966 14,429380 16,970620 1,286450 26,063550 11,339945 15,660055 -,721232 26,851232 13,030485 16,259515
Minimum 14,4700 15,6000 12,7000 13,3300 11,9800 11,9800
ANOVA mm Sum of Squares 25,662 20,182 45,844
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 6,415 4,036
F 1,589
Sig. ,309
Post Hoc Tests mm Duncan
hari 4 3 2 1 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 13,065000 13,500000 13,675000 15,700000 17,285000 ,100
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
104
Maximum 20,1000 15,8000 14,6500 13,6700 14,1500 20,1000
Lampiran 26. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman 15% dari H0-H4 Descriptives mm
N 0 1 2 3 4 Total
Mean 6,550000 5,600000 4,800000 2,880000 3,035000 4,573000
2 2 2 2 2 10
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum 2,6870058 ,9000000 -7,591789 40,691789 14,6500 ,0707107 ,0500000 14,964690 16,235310 15,5500 1,9798990 ,4000000 -2,988687 32,588687 13,4000 ,7778175 ,5500000 5,891587 19,868413 12,3300 ,3323402 ,2350000 10,049042 16,020958 12,8000 1,8960019 ,5995685 13,216682 15,929318 12,3300
Maximum 18,4500 15,6500 16,2000 13,4300 13,2700 18,4500
ANOVA mm Sum of Squares 20,493 11,860 32,353
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 5,123 2,372
F 2,160
Sig. ,210
Post Hoc Tests mm Duncan
hari 3 4 2 1 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 12,880000 13,035000 14,800000 15,600000 16,550000 ,072
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
105
Lampiran 27. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perendaman 20% dari H0-H4 Descriptives mm
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 6,190000 5,150000 4,085000 4,025000 3,315000 4,553000
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum ,0565685 ,0400000 15,681752 16,698248 16,1500 1,8667619 ,3200000 -1,622190 31,922190 13,8300 2,7082190 ,9150000 -10,247382 38,417382 12,1700 ,3889087 ,2750000 10,530794 17,519206 13,7500 ,0212132 ,0150000 13,124407 13,505593 13,3000 1,5314267 ,4842796 13,457483 15,648517 12,1700
Maximum 16,2300 16,4700 16,0000 14,3000 13,3300 16,4700
ANOVA mm Sum of Squares 10,133 10,974 21,107
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 2,533 2,195
F 1,154
Sig. ,429
Post Hoc Tests mm Duncan
hari 4 3 2 1 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 13,315000 14,025000 14,085000 15,150000 16,190000 ,121
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
106
Lampiran 28. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso kontrol dan perebusan H0 Descriptives mm
N kontrol rebus 10% rebus 15% rebus 20% Total
2 2 2 2 8
Mean Std. Deviation Std. Error 6,175000 1,2374369 ,8750000 7,725000 3,0759145 2,1750000 8,125000 4,7729708 3,3750000 7,275000 ,1060660 ,0750000 7,325000 2,3310022 ,8241337
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 5,057071 27,292929 -9,910995 45,360995 -24,758441 61,008441 16,322035 18,227965 15,376233 19,273767
Minimum Maximum 15,3000 17,0500 15,5500 19,9000 14,7500 21,5000 17,2000 17,3500 14,7500 21,5000
ANOVA mm Sum of Squares 4,250 33,785 38,035
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 1,417 8,446
F ,168
Sig. ,913
Post Hoc Tests mm Duncan
a
sampel kontrol rebus 20% rebus 10% rebus 15% Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 16,175000 17,275000 17,725000 18,125000 ,541
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
107
Lampiran 29. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 10% H0-H4 Descriptives mm
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean Std. Deviation Std. Error 7,725000 3,0759145 2,1750000 4,725000 2,7223611 ,9250000 4,100000 ,5656854 ,4000000 4,290000 ,9333810 ,6600000 2,750000 1,6970563 ,2000000 4,718000 2,3070944 ,7295673
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound -9,910995 45,360995 -9,734444 39,184444 9,017518 19,182482 5,903905 22,676095 -2,497446 27,997446 13,067604 16,368396
Minimum Maximum 15,5500 19,9000 12,8000 16,6500 13,7000 14,5000 13,6300 14,9500 11,5500 13,9500 11,5500 19,9000
ANOVA mm Sum of Squares 26,960 20,944 47,904
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 6,740 4,189
F 1,609
Sig. ,304
Post Hoc Tests mm Duncan
hari 4 2 3 1 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 12,750000 14,100000 14,290000 14,725000 17,725000 ,068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
108
Lampiran 30. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 15% H0-H4 Descriptives mm
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean Std. Deviation Std. Error 18,125000 4,7729708 3,3750000 17,040000 ,0565685 ,0400000 13,590000 1,5414928 1,0900000 13,025000 ,6717514 ,4750000 13,150000 ,2828427 ,2000000 14,986000 2,8317023 ,8954629
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum -24,758441 61,008441 14,7500 21,5000 16,531752 17,548248 17,0000 17,0800 -,259763 27,439763 12,5000 14,6800 6,989553 19,060447 12,5500 13,5000 10,608759 15,691241 12,9500 13,3500 12,960322 17,011678 12,5000 21,5000
ANOVA mm Sum of Squares 46,475 25,692 72,167
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 11,619 5,138
F 2,261
Sig. ,197
Post Hoc Tests mm Duncan
hari 3 4 2 1 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 13,025000 13,150000 13,590000 17,040000 18,125000 ,084
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
109
Lampiran 31. Hasil uji ANOVA dan Duncan penetrometer bakso perebusan 20% H0-H4 Descriptives mm
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 7,275000 5,700000 3,675000 3,500000 3,065000 4,643000
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound ,1060660 ,0750000 16,322035 18,227965 ,1414214 ,1000000 14,429380 16,970620 1,3788582 ,9750000 1,286450 26,063550 ,2404163 ,1700000 11,339945 15,660055 1,5344217 ,0850000 -,721232 26,851232 1,8227333 ,5763989 13,339095 15,946905
Minimum Maximum 17,2000 17,3500 15,6000 15,8000 12,7000 14,6500 13,3300 13,6700 11,9800 14,1500 11,9800 17,3500
ANOVA mm Sum of Squares 25,556 4,345 29,901
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 6,389 ,869
F 7,353
Sig. ,025
Post Hoc Tests mm Duncan hari 4 3 2 1 0 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 3 13,065000 13,500000 13,500000 13,675000 13,675000 15,700000 15,700000 17,275000 ,551 ,071 ,152
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
110
Multiple Comparisons Dependent Variable: mm Tukey HSD
(I) hari 0
1
2
3
4
(J) hari 1 2 3 4 0 2 3 4 0 1 3 4 0 1 2 4 0 1 2 3
Mean Difference (I-J) 1,5750000 3,6000000 3,7750000* 4,2100000* -1,5750000 2,0250000 2,2000000 2,6350000 -3,6000000 -2,0250000 ,1750000 ,6100000 -3,7750000* -2,2000000 -,1750000 ,4350000 -4,2100000* -2,6350000 -,6100000 -,4350000
Std. Error ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749 ,9321749
Sig. ,511 ,058 ,048 ,032 ,511 ,319 ,263 ,162 ,058 ,319 1,000 ,958 ,048 ,263 1,000 ,987 ,032 ,162 ,958 ,987
95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -2,164424 5,314424 -,139424 7,339424 ,035576 7,514424 ,470576 7,949424 -5,314424 2,164424 -1,714424 5,764424 -1,539424 5,939424 -1,104424 6,374424 -7,339424 ,139424 -5,764424 1,714424 -3,564424 3,914424 -3,129424 4,349424 -7,514424 -,035576 -5,939424 1,539424 -3,914424 3,564424 -3,304424 4,174424 -7,949424 -,470576 -6,374424 1,104424 -4,349424 3,129424 -4,174424 3,304424
*. The mean difference is significant at the .05 level.
111
Lampiran 32. Data warna bakso kontrol dan perlakuan (perendaman dan perebusan) perlakuan kontrol
[ ] 0%
10%
rebus
15%
20%
10%
rendam
15%
20%
L a b L a b L a b L a b L a b L a b L a b
H-0 51,0205 0,8505 12,1351 54,2043 0,4349 13,2813 53,9903 0,7164 13,0378 53,7716 0,5891 13,4499 54,4080 0,0920 12,0192 55,7068 0,2148 13,0286 54,5592 0,0315 12,9856
H-1 53,6749 1,2824 11,0098 54,5210 1,2492 11,5530 53,1398 2,3540 10,7967 54,1926 1,4411 11,5536 56,1846 1,5835 11,7707 56,2929 1,2837 10,3491 55,2844 0,7331 11,3756
H-2
H-3
H-4
54,9839 0,0037 11,1122 54,6182 0,1089 11,3062 54,9838 0,0439 11,3007 55,7207 1,1527 10,8052 54,9615 0,1762 11,1697 55,8790 0,1370 10,6323
54,8639 0,3893 11,6261 55,3600 0,0649 11,6139 55,6162 1,0111 11,2719 54,9590 0,1774 11,8479 54,9362 0,5414 11,0439 55,1345 0,0039 10,7335
55,4172 0,5725 11,9393 55,9442 0,3382 12,1073 54,1332 0,0832 11,6547 55,9040 1,0348 11,3443 54,6845 0,9151 11,5491 56,3943 0,7424 10,1720
Lampiran 33. Nilai 0Hue untuk bakso kontrol dan perlakuan perlakuan kontrol rebus
rendam
[ ] 0% 10% 15% 20% 10% 15% 20%
H-0 85,9909 88,1245 88,1245 87,4921 89,5614 89,0555 89,861
H-1 83,3556 83,8287 77,7003 82,8901 82,3381 82,9292 86,3127
H-2
H-3
H-4
89,9809 89,4482 89,7774 83,9107 89,0962 89,2618
88,0822 89,6798 84,8742 89,1422 87,1935 89,9792
87,2547 88,3999 89,5909 84,788 85,4696 85,8257
112
Lampiran 34. Hasil uji ANOVA dan Duncan Lightness bakso kontrol dan perendaman H-0 Descriptives llightness
N kontrol celup 10% celup 15% celup 20% Total
2 2 2 2 8
Mean 1,020500 4,408050 5,706750 4,559200 3,923625
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum ,9077837 ,6419000 42,864387 59,176613 50,3786 ,1786859 ,1263500 52,802621 56,013479 54,2817 1,4185269 ,0030500 42,961791 68,451709 54,7037 ,2883581 ,2039000 51,968405 57,149995 54,3553 1,9800416 ,7000504 52,268269 55,578981 50,3786
Maximum 51,6624 54,5344 56,7098 54,7631 56,7098
ANOVA llightness Sum of Squares 24,493 2,951 27,444
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 8,164 ,738
F 11,065
Sig. ,021
Post Hoc Tests llightness Duncan
a
sampel kontrol celup 10% celup 20% celup 15% Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 2 51,020500 54,408050 54,559200 55,706750 1,000 ,211
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 35. Hasil uji ANOVA lightness kontrol H0-H1 Descriptives llightness
0 1 Total
95% Confidence Interval for Mean N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum Maximum 2 1,020500 ,9077837 ,6419000 42,864387 59,176613 50,3786 51,6624 2 3,674900 ,0000000 ,0000000 53,674900 53,674900 53,6749 53,6749 4 2,347700 1,6196615 ,8098308 49,770457 54,924943 50,3786 53,6749
113
ANOVA llightness Sum of Squares 7,046 ,824 7,870
Between Groups Within Groups Total
df 1 2 3
Mean Square 7,046 ,412
F 17,100
Sig. ,054
Lampiran 36. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 10% H0-H4 Descriptives llightness
N 0 1 2 3 4 Total
Mean Std. Deviation 2 54,408050 ,1786859 2 56,184550 ,7677058 2 55,720750 ,9485837 2 54,959000 ,1415628 2 55,904000 1,2206077 10 55,435270 ,9018695
Std. Error ,1263500 ,5428500 ,6707500 ,1001000 ,8631000 ,2851962
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 52,802621 56,013479 49,286987 63,082113 47,198063 64,243437 53,687109 56,230891 44,937275 66,870725 54,790111 56,080429
Minimum Maximum 54,2817 54,5344 55,6417 56,7274 55,0500 56,3915 54,8589 55,0591 55,0409 56,7671 54,2817 56,7671
ANOVA llightness Sum of Squares 4,289 3,031 7,320
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 1,072 ,606
F 1,769
Sig. ,272
Post Hoc Tests llightness Duncan
hari 0 3 2 4 1 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 54,408050 54,959000 55,720750 55,904000 56,184550 ,081
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
114
Lampiran 37. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 15% H0-H4 Descriptives llightness
N 0 1 2 3 4 Total
Mean Std. Deviation Std. Error 2 55,706750 1,4185269 ,0030500 2 56,292900 1,1053493 ,7816000 2 54,961550 ,6818631 ,4821500 2 54,936200 ,7304413 ,5165000 2 54,684550 1,7908893 ,2663500 10 55,316390 1,1050914 ,3494606
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 42,961791 68,451709 46,361730 66,224070 48,835253 61,087847 48,373445 61,498955 38,594048 70,775052 54,525855 56,106925
Minimum Maximum 54,7037 56,7098 55,5113 57,0745 54,4794 55,4437 54,4197 55,4527 53,4182 55,9509 53,4182 57,0745
ANOVA llightness Sum of Squares 3,551 7,440 10,991
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,888 1,488
F ,597
Sig. ,681
Post Hoc Tests llightness Duncan
hari 4 3 2 0 1 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 54,684550 54,936200 54,961550 55,706750 56,292900 ,256
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
115
Lampiran 38. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perendaman 20% H0-H4 Descriptives llightness
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 4,559200 5,284450 5,879050 5,134500 6,394300 5,450300
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound ,2883581 ,2039000 51,968405 57,149995 ,5115918 ,3617500 50,687980 59,880920 ,2530735 ,1789500 53,605275 58,152825 1,1735144 ,8298000 44,590891 65,678109 ,9309768 ,6583000 48,029805 64,758795 ,8592821 ,2717289 54,835607 56,064993
Minimum Maximum 54,3553 54,7631 54,9227 55,6462 55,7001 56,0580 54,3047 55,9643 55,7360 57,0526 54,3047 57,0526
ANOVA llightness Sum of Squares 3,993 2,653 6,645
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,998 ,531
F 1,881
Sig. ,252
Post Hoc Tests llightness Duncan
hari 0 3 1 2 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 54,559200 55,134500 55,284450 55,879050 56,394300 ,061
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
116
Lampiran 39. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso kontrol dan perebusan Descriptives llightness
N kontrol rebus 10% rebus 15% rebus 20% Total
2 2 2 2 8
Mean 1,020500 4,566000 4,254400 3,955550 3,449113
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound Minimum ,9077837 ,6419000 42,864387 59,176613 50,3786 1,0496293 ,7422000 45,135455 63,996545 53,8238 1,9810304 ,4008000 36,455548 72,053252 52,8536 ,7467755 ,5280500 47,246039 60,665061 53,4275 1,7932044 ,6339935 51,949956 54,948269 50,3786 ANOVA
llightness Sum of Squares 16,101 6,408 22,509
Between Groups Within Groups Total
df 3 4 7
Mean Square 5,367 1,602
F 3,350
Sig. ,137
Post Hoc Tests llightness Duncan
a
sampel kontrol rebus 20% rebus 15% rebus 10% Sig.
N 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 51,020500 53,955550 54,254400 54,566000 ,053
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
117
Maximum 51,6624 55,3082 55,6552 54,4836 55,6552
Lampiran 40. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 10% H0-H4 Descriptives llightness
N 0 1 2 3 4 Total
Mean Std. Deviation Std. Error 2 54,566000 1,0496293 ,7422000 2 54,521000 1,5530893 ,0982000 2 54,983850 1,0256584 ,7252500 2 54,863900 ,9537456 ,6744000 2 55,417200 ,6092432 ,4308000 10 54,870390 ,8755873 ,2768850
95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound 45,135455 63,996545 40,567046 68,474954 45,768675 64,199025 46,294836 63,432964 49,943367 60,891033 54,244033 55,496747
Minimum Maximum 53,8238 55,3082 53,4228 55,6192 54,2586 55,7091 54,1895 55,5383 54,9864 55,8480 53,4228 55,8480
ANOVA llightness Sum of Squares 1,053 5,847 6,900
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,263 1,169
F ,225
Sig. ,913
Post Hoc Tests llightness Duncan
hari 1 0 3 2 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 54,521000 54,566000 54,863900 54,983850 55,417200 ,454
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
118
Lampiran 41. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness perebusan 15% H0-H4 Descriptives llightness
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 4,254400 3,139800 4,618250 5,360000 5,944150 4,663320
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 1,9810304 ,4008000 36,455548 72,053252 1,6799443 ,1879000 38,046099 68,233501 ,4434267 ,3135500 50,634220 58,602280 ,2203345 ,1558000 53,380373 57,339627 ,0347189 ,0245500 55,632213 56,256087 1,3426992 ,4245988 53,702811 55,623829
Minimum Maximum 52,8536 55,6552 51,9519 54,3277 54,3047 54,9318 55,2042 55,5158 55,9196 55,9687 51,9519 55,9687
ANOVA llightness Sum of Squares 9,232 6,993 16,226
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square 2,308 1,399
F 1,650
Sig. ,295
Post Hoc Tests llightness Duncan
hari 1 0 2 3 4 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 53,139800 54,254400 54,618250 55,360000 55,944150 ,073
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
119
Lampiran 42. Hasil uji ANOVA dan Duncan lightness bakso perebusan 20% H0-H4 Descriptives llightness
N 0 1 2 3 4 Total
2 2 2 2 2 10
Mean 3,955700 4,192550 4,983800 5,616250 4,133150 4,576290
95% Confidence Interval for Mean Std. Deviation Std. Error Lower BoundUpper Bound Minimum ,7469876 ,5282000 47,244283 60,667117 53,4275 1,1547761 ,8165500 43,817299 64,567801 53,3760 1,0320931 ,7298000 45,710812 64,256788 54,2540 ,4100512 ,2899500 51,932086 59,300414 55,3263 ,4441338 ,3140500 50,142766 58,123534 53,8191 ,8990610 ,2843081 53,933140 55,219440 53,3760
Maximum 54,4839 55,0091 55,7136 55,9062 54,4472 55,9062
ANOVA llightness Sum of Squares 3,953 3,322 7,275
Between Groups Within Groups Total
df 4 5 9
Mean Square ,988 ,664
F 1,487
Sig. ,332
Post Hoc Tests llightness Duncan
hari 0 4 1 2 3 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
Subset for alpha = .05 1 53,955700 54,133150 54,192550 54,983800 55,616250 ,108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
120
Lampiran 43. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso perendaman Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
Kontrol 5 3 6 6 6 6 7 3 6 6 6 6 6 5 6 6 7 6 6 6 6 6 6 5 6 6 7 6 6 6 5,80
konsentrasi larutan pengawet 10% 15% 20% 5 5 4 3 2 2 6 6 5 7 6 4 2 2 3 4 3 3 6 5 4 4 5 2 4 3 3 4 3 2 5 5 4 3 4 2 3 3 3 3 3 3 4 3 3 5 5 3 5 5 3 4 4 2 6 5 3 6 5 4 5 5 4 3 4 2 3 3 3 3 3 3 4 3 3 5 5 3 5 5 3 4 4 2 6 5 3 6 5 4 4,43
4,13
3,07
121
Lampiran 44. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso perendaman Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
kontrol 5 5 5 5 4 5 5 5 6 5 5 6 4 6 6 4 4 5 5 5 4 4 4 7 5 5 5 6 5 5 5
konsentrasi larutan pengawet 10% 15% 20% 4 4 4 5 4 3 4 4 3 3 4 4 3 3 2 4 4 3 3 3 2 3 3 5 6 3 3 5 6 3 3 5 3 5 3 5 3 2 2 5 4 6 5 4 3 4 4 3 4 4 3 5 4 3 5 4 3 4 4 2 2 2 1 3 3 2 3 3 2 6 4 3 5 5 3 5 4 4 4 3 4 5 4 3 4 3 2 5 6 3 4,17
3,77
3,07
122
Lampiran 45. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso perendaman Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
Kontrol 4 6 5 5 6 6 6 4 6 5 6 6 6 5 4 4 3 6 6 3 4 6 5 5 6 6 6 4 6 5 5,17
konsentrasi larutan pengawet 10% 15% 20% 3 3 3 4 3 2 3 2 2 4 2 2 4 4 3 5 5 3 4 4 2 3 2 3 2 2 2 3 3 5 6 6 4 3 4 3 3 4 2 4 3 2 6 6 4 3 3 2 2 2 2 7 7 4 6 6 5 3 3 2 3 3 3 4 3 2 3 2 2 4 2 2 4 4 3 5 5 3 4 4 2 3 2 3 2 2 2 3 3 5 3,77
3,47
2,80
123
Lampiran 46. Hasil uji organoleptik parameter aroma bakso perebusan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
Kontrol 5 7 6 3 6 6 2 6 6 6 6 6 6 6 6 5 5 4 5 4 4 6 6 7 6 4 4 2 7 6 5,27
konsentrasi larutan pengawet 10% 15% 20% 6 6 6 6 5 6 6 3 6 6 4 6 3 6 4 5 6 5 3 6 2 6 4 5 5 3 5 6 6 6 6 5 6 5 2 6 6 7 6 6 6 5 6 4 4 4 6 5 6 6 6 4 4 4 5 4 5 4 6 4 5 4 3 4 3 4 2 6 2 6 6 6 6 6 6 6 5 7 5 4 3 3 5 2 6 5 6 6 7 6 5,10
5,00
4,90
124
Lampiran 47. Hasil uji organoleptik parameter rasa bakso perebusan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
Kontrol 7 6 6 6 7 6 5 7 7 6 5 7 6 6 6 3 5 5 5 6 4 6 6 7 7 5 7 7 6 6 5,93
konsentrasi larutan pengawet 10% 15% 20% 4 3 4 5 3 2 4 4 3 3 4 4 2 3 2 4 4 1 3 3 2 2 1 5 6 3 3 5 6 3 3 5 3 5 3 5 2 2 2 5 4 6 5 3 3 4 4 2 4 4 3 5 3 3 5 4 3 4 3 2 2 2 1 3 3 2 1 1 1 5 3 3 5 5 3 5 6 5 4 3 4 2 3 2 4 3 2 5 6 3 3,87
3,47
2,90
125
Lampiran 48. Hasil uji organoleptik parameter keseluruhan bakso perebusan Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Ratarata
Kontrol 6 4 6 7 6 6 4 7 6 6 6 6 7 6 6 7 5 6 6 6 6 6 7 5 6 6 6 6 7 6 6,00
konsentrasi larutan pengawet 10% 15% 20% 4 3 4 5 6 4 6 5 6 5 3 6 4 3 3 3 4 2 3 3 2 5 4 3 5 5 3 4 4 4 5 5 4 4 4 3 5 3 3 5 5 6 3 3 3 5 6 2 3 5 3 6 6 4 3 3 4 5 3 5 3 3 6 4 4 1 2 3 2 4 3 4 4 4 4 6 4 3 4 3 4 4 4 4 5 3 3 6 6 4 4,33
4,00
3,63
126
Lampiran 49. Hasil uji Anova dan Duncan aroma bakso kontrol dan perendaman Anova Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2470,342(a)
panelis
76,842
29
sampel
114,092
3
46,658
87
,536
Error
df 33
Mean Square 74,859
F 139,583
Sig. ,000
2,650
4,941
,000
38,031
70,912
,000
Total
2517,000 120 a R Squared = ,981 (Adjusted R Squared = ,974) Duncan N sampel rendam20 % rendam15 % rendam10 % kontrol
Subset
1
2 30
3
1
3,07
30
4,13
30
4,43
30
Sig.
5,80 1,000
,116
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,536. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 50. Hasil uji Anova dan Duncan rasa dari bakso kontrol dan perendaman Dependent Variable: skor Source Model panelis sampel
Type III Sum of Squares 2036,100a
df 33
Mean Square 61,700
F 116,948
Sig. ,000
57,500
29
1,983
3,758
,000
58,600
3
19,533
37,024
,000
,528
Error
45,900
87
Total
2082,000
120
a. R Squared = ,978 (Adjusted R Squared = ,970)
127
Duncan
a,b
Subset sampel rendam20%
N
1 30
rendam15%
30
rendam10%
30
kontrol
30
2
3
4
3,07 3,77 4,17 5,00
Sig.
1,000
1,000
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,528. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 51. Hasil uji ANOVA keseluruhan dari bakso kontrol dan perendaman Anova Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 1920,900(a)
panelis
98,700
29
sampel
89,400
3
,725
df 33
Error
63,100
87
Total
1984,000
120
Mean Square 58,209
F 80,257
Sig. ,000
3,403
4,693
,000
29,800
41,087
,000
a R Squared = ,968 (Adjusted R Squared = ,956) Duncan sampel
N
Subset
1
2
3
1
rendam20%
30
rendam15%
30
3,47
rendam10%
30
3,77
kontrol
30
Sig.
2,80
1,000 ,176 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,725. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
5,17 1,000
128
Lampiran 52. Hasil uji ANOVA aroma dari bakso kontrol dan perebusan Anova Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 3177,200(a)
panelis
94,467
sampel
2,200 102,800
Error
df 33
Mean Square 96,279
F 81,481
Sig. ,000
29
3,257
2,757
,000
3
,733
,621
,604
87
1,182
Total
3280,000 120 a R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,957) Duncan N sampel rebus20%
Subset
1
1 30
4,90
rebus15%
30
5,00
rebus10%
30
5,10
kontrol
30
5,27
Sig.
,240
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,182. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
Lampiran 53. Hasil Uji ANOVA rasa dari bakso Kontrol dan perebusan Anova Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2189,042(a)
df 33
Mean Square 66,335
F 61,422
Sig. ,000
panelis
71,542
29
2,467
2,284
,002
sampel
157,292
3
52,431
48,548
,000
Error
93,958
87
1,080
Total
2283,000
120
a R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,943) Duncan N sampel Rebus20%
Subset
1
2 30
3
1
2,90
Rebus15%
30
3,47
Rebus10%
30
3,87
kontrol
30
Sig.
5,93 1,000
,140
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1,080. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
129
Lampiran 54. Hasil uji ANOVA bakso keseluruhan kontrol dan perebusan Anova Dependent Variable: skor Source Model
Type III Sum of Squares 2567,608(a)
sampel
98,358
panelis
48,242
Error
81,392
87
,936
df 33
Mean Square 77,806
F 83,168
Sig. ,000
3
32,786
35,045
,000
29
1,664
1,778
,022
Total
2649,000 120 a R Squared = ,969 (Adjusted R Squared = ,958) Duncan N sampel Rebus20%
Subset
1
2
3
30
3,63
Rebus15%
30
4,00
Rebus10%
30
kontrol
30
Sig.
1 4,00 4,33 6,00
,146
,185
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,936. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30,000. b Alpha = ,05.
130