HARSONO: KERAPATAN TRIKOMA DAN PENGGEREK POLONG KEDELAI
Hubungan Kerapatan Trikoma dengan Intensitas Serangan Penggerek Polong Kedelai Suharsono Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jl. Raya Kendalpayak, kotak pos 66, Malang, Jawa Timur
ABSTRACT. The Relationship between Trichome Densities and Pod Damage by Soybean Pod Borer Etiella zinckenella. An experiment was conducted in a glasshouse of the Indonesian Legumes and Tuber Crops Research Institute (ILETRI) using eight soybean genotypes and three soybean varieties, i.e. Jayawijaya, Bromo, and Wilis. Pod damage and trichome densities of each genotypes were observed to determine their relationships. Each of the eight genotypes were grown in 12 kg polibags containing fertile soil and maintained in 4m x 4m x 2m screen cage. At pod development stage (R6), each genotype was infested with a pair of virgin pod borer. The experiment was laid in a complete randomized design (CRD) with three replicates. Number of eggs laid, larvae, pod and seed damages, and trichome densities varied among the soybean genotypes. A total of 98 eggs were found in variety Wilis. Number of eggs laid on genotypes Jayawijaya, Bromo, IAC-100, IAC-80596-2 and MLG 3036 was 3-10 eggs/plant less than that on Wilis. Pod damage on Wilis variety was approximately 80%, while on IAC-100, IAC-80-596-2, MLG 3032 and Bromo each was 9-11%. The number of egg, larvae, and pod damages were related to the trichome densities. Genotypes had denser trichomes than variety Wilis resulted in less number of eggs. The high number of eggs and larvae resulted in the highest pod damages, while the denser trichomes had reduced the pod damage. Numbers of egg and larvae were positively correlated with pod damages, with r = 0,99 and r = 0.92, respectively, and were negatively correlated with trichome densities, with r = -0,75 and r = -0,72 respectively. The denser trichomes is beneficial in controlling pod borer attack. Soybean pods with less trichomes are potentially suffer more damages, thus is more susceptible to pod borer. In breeding for pod borer resistance, trichome density can be used as a criterion for selections in the selection process. Keywords: Egg, larva, pod characteristics, source of resistance, soybean ABSTRAK. Penelitian dilakukan di rumah kaca Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi), menggunakan delapan galur kedelai, yaitu MLG 2982, MLG 3036, MLG 3124, MLG 3126, MLG 3261, MLG 3238, IAC-80-596-2, IAC100 serta tiga varietas kedelai yaitu Jayawijaya, Bromo, dan Wilis. Intensitas kerusakan polong dan kerapatan trikoma polong pada masing-masing galur digunakan untuk mengukur keeratan hubungannya. Galur/varietas kedelai ditanam pada polibag kapasitas 12 kg yang berisi media tanah, kemudian dipelihara dalam kurungan kasa berukuran 4m x 4m x 2m. Pada fase pertumbuhan polong penuh (R6) tiap galur/varietas diinfestasi dengan sepasang imago E. zinckenella hasil pemeliharaan laboratorium. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap, tiga ulangan. Jumlah telur, larva,dan intensitas serangan pada polong dan biji, serta kerapatan trikoma pada polong beragam di antara galur/varietas kedelai. Telur penggerek polong terbanyak ditemukan pada varietas Wilis, mencapai 98,3 butir, diikuti oleh galur MLG 2982. Jumlah telur pada varietas Jayawijaya, Bromo, galur IAC-100, IAC-80-596-2, dan MLG 3036 lebih sediki, berkisar antara 3-10 butir/tanaman. Intensitas serangan penggerek polong pada varietas Wilis mencapai lebih
176
dari 80%, sedangkan pada galur IAC-100, IAC-80-596-2, MLG 3032 dan varietas Bromo berkisar antara 9-11%. Lebih rendahnya jumlah telur, larva, dan intensitas kerusakan polong pada galur-galur tersebut berhubungan dengan kerapatan trikoma. Galur-galur tersebut mempunyai trikoma lebih rapat daripada varietas Wilis. Jumlah telur dan larva berkorelasi positif dengan kerusakan polong masing-masing dengan r = 0,99; 0,92, tetapi berkorelasi negatif dengan kerapatan trikoma dengan r = -0,75, dan r = -0,72. Makin banyak telur yang diletakkan dan larva terbentuk, makin tinggi intensitas kerusakan pada polong. Namun intensitas kerusakan polong makin rendah dengan makin rapatnya trikoma. Disimpulkan bahwa trikoma polong berpengaruh terhadap intensitas serangan penggerek polong. Makin sedikit jumlah trikoma maka polong berpeluang lebih besar terserang penggerek polong, sehingga makin rentan terhadap penggerek polong. Dalam program pemuliaan tahan penggerek polong, kerapatan trikoma dapat digunakan sebagai salah satu kriteria seleksi. Kata kunci: Telur, larva, karakter polong ,sumber ketahanan, kedelai
enggerek polong Etiella zinckenella Treit. merupakan hama penting kedelai (Tengkano dan Suhardjan 1985, Tengkano et al. 1990). Di Indonesia telah diidentifikasi lima jenis penggerek polong kedelai, yaitu Etiella zinckenella Treit., E. hobsoni Butler, E. chrysoporella Meyrick, E. grisea drocoscia Meyrick, dan E. behrii (Zeller) (Hirano et al. 1992). Penyebaran hama ini sangat luas, mulai dari negara subtropis Australia, Selandia Baru, Taiwan, Jepang, sampai negara tropis termasuk Indonesia, Filipina, Hawai, Samoa (Hattori 1988). E. zinckenella tersebar luas di Indonesia, sedangkan E. hobsoni tersebar terbatas di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan sebagian kecil Jawa Timur, Sumatera dan Sulawesi (Naito et al. 1986). Kehilangan hasil akibat serangan hama ini beragam, bergantung pada lokasi dan musim. Pada serangan yang parah dapat menyebabkan kehilangan hasil 60-90% (Naito dan Harnoto 1984, Pabbage et al. 1990), bahkan dapat menyebabkan tanaman puso (Suharsono et al. 1997, Berg et al. 1998). Hasil penelitian Suharsono dan Trisnaningsih (2000) di Jawa Timur menunjukkan serangan penggerek polong pada akhir musim kemarau (September dan Oktober) sangat tinggi, berkisar antara 47-82%. Hal ini juga tercermin pada populasi larva penggerek polong yang ditemukan di Madiun dan Ponorogo, akibatnya kerusakan biji makin parah (Suharsono dan Trisnaningsih 2000). Fenomena ini
P
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
diduga karena perkembangan populasi (population built up) yang terjadi sejak pertanaman kedelai pertama berlanjut sampai pada akhir musim kemarau, terutama di daerah dengan pola tanam padi-palawiaja-palawija (kedelai), sedangkan pengendalian belum efektif karena ulat berada di dalam polong kedelai. Hirano et al. (1992) menyatakan bahwa populasi Etiella spp. pada musim hujan di Jawa Tengah justru lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena pertanaman kedelai pada musim hujan lebih luas sehingga tersedia yang berlimpah, sementara di Jawa Timur pertanaman kedelai banyak diusahakan pada musim kemarau (Berg et al. 1998). Kesulitan pengendalian hama ini secara kimiawi disebabkan oleh sempitnya celah rentan terhadap pestisida kimia, yaitu waktu antara stadia telur sampai larva menetas, karena segera setelah menetas larva menggerek dan makan di dalam polong, sehingga terlindung dari paparan racun kimia. Varietas tahan merupakan komponen pengendalian yang efektif. Daya pertahanan diwujudkan dalam serangan yang lebih rendah, namun pada tanaman kedelai masih terbatas. Ketahanan tanaman yang ditentukan oleh struktur tanaman atau karakter morfologi disebabkan karena karakter tersebut dapat mengganggu pergerakan, makan atau perkembangbiakan serangga yang diekpresikan berupa warna, ketebalan dinding sel, jaringan tanaman, lapisan lilin, duri, dan trikoma. Karakter-karakter tersebut menjadikan tanaman secara visual kurang menarik bagi serangga atau membentuk barier fisik terhadap serangga, sehingga secara morfologis mampu menghambat proses makan dan peneluran serangga (Smith 1989). Selain morfologis, penolakan inang juga dapat berupa senyawa kimia. Struktur morfologi berupa trikoma, lapisan lilin, metabolit sekunder, dan duri dapat berfungsi sebagai penolak, racun, dan menghambat proses makan. Dengan adanya karakter tersebut maka tanaman dapat terhindar atau mengurangi intensitas kerusakan karena serangga hama. Salah satu organ tanaman yang pertama kali berhadapan dengan hama adalah trikoma. Trikoma pada batang, daun, dan buah adalah organ tanaman yang berhubungan langsung dengan hama pada tahap awal penerimaan inang (host acceptance). Trikoma merupakan organ tambahan (penonjolan) yang tumbuh di seluruh permukaan tanaman, dan dijumpai pada sebagian besar jenis tanaman (Werker 2000). Trikoma berupa sel tunggal atau multisel yang berkembang pada permukaan epidermis dan secara bersama menyusun sekumpulan trikoma pada permukaan tanaman. Trikoma pada jaringan epidermis
mempunyai sifat khusus sebagai daya pertahanan dari serangga, yang ditentukan oleh adanya kelenjar (glandula) atau tidak (nonsecretory), kerapatan, panjang, bentuk, dan ketegakaan trikoma. Apabila trikoma pada jaringan epidermis lebih panjang, maka trikoma tersebut menjadi barier mekanis yang sangat efektif bagi serangga (Tingey 2001). Trikoma mempunyai peran yang penting sebagai alat pertahanan tanaman terhadap herbivora (Traw and Dawson 2002). Banyak fakta menunjukkan bahwa kerusakan tanaman akibat serangga lebih rendah dengan meningkatnya kerapatan trikoma (Hare and Elle 2002). Tanaman herba perenial Arabidopsis lyrata yang bertrikoma lebih sedikit mendapat serangan hama yang lebih berat daripada jenis yang mempunyai trikoma lebih banyak (Loe et al. 2007). Data pada katalog plasma nutfah kedelai yang tersedia di Balitkabi, karakter trikoma belum menjadi ciri pembeda di antara genotipe kedelai. Hasil penelitian Ekawati (2003) dan Ernestina (2003) menunjukkan bahwa perbedaan peneluran penggerek polong E. zinckenella berhubungan dengan ragam kerapatan trikoma pada kedelai. Untuk peneluran, E. zinckenella membutuhkan trikoma, namun peneluran pada galur IAC-80-596-2 dan IAC 100 dengan trikoma yang lebih rapat menjadi lebih rendah (Ernestina 2003). Oleh sebab itu, ketahanan kedelai terhadap penggerek polong E. zinckenella berhubungan erat dengan morfologi polong (Hattori 1988), baik ketahanan maupun kerentanan terhadap serangga herbivora (Karkkaninen and Agren 2002 dalam Susanto dan Adie 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara karakter trikoma polong, khususnya kerapatan trikoma, terhadap berbagai jenis kedelai dengan intensitas kerusakan polong oleh penggerek polong E. zinckenella.
BAHAN DAN METODE Benih delapan genotipe (MLG 2982, MLG 3036, MLG 3124, MLG 3126, MLG 3261, MLG 3238,IAC-100 dan IAC-80-5962) dan tiga varietas kedelai (Jayawijaya, Wilis, maupun Bromo) ditanam dalam polibag kapasitas 5 kg yang telah diisi media tanah. Penanaman dilakukan secara bertahap, disesuaikan dengan umur berbunga dari masing-masing galur kedelai, tiga benih kedelai/polibag. Pada umur satu bulan setelah tanam, tanaman dipertahankan dua tanaman/polibag. Pemeliharaan tanaman antara lain diupayakan dengan pemupukan NPK 0,5 g/polibag pada saat tanam dan pengairan dilakukan secara intensif. Pada umur 60 hari setelah tanam (HST), seluruh tanaman disungkup dengan
177
HARSONO: KERAPATAN TRIKOMA DAN PENGGEREK POLONG KEDELAI
sangkar kasa (1m x 1m x 1m). Setelah tanaman kedelai berpolong penuh (R4), ke dalam sangkar diinfestasikan 10 pasang imago jantan + betina E.zinckenella yang dipelihara di laboratorium. Imago diperoleh dengan cara mengumpulkan larva dari pertanaman kedelai di KP Muneng. Larva dipelihara di laboratorium dengan pakan polong kedelai segar varietas Wilis yang ditanam di dalam polibag. Semua larva yang memasuki larva akhir (prakepompong) dikumpulkan, kemudian dipelihara dalam kotak plastik yang diberi kapas untuk berkepompong. Kepompong yang telah terbentuk dikumpulkan dalam kotak plastik. Segera setelah keluar imago, dikumpulkan dan dipisahakan antara imago jantan dan betina. Imago yang baru keluar dari kepompong diberi pakan cairan madu 10% yang diteteskan pada gulungan kapas untuk mempertahankan kebugaran dan kesuburan serangga. Serangga betina memiliki ujung posterior yang lebih lebar, sementara ujung posterior jantan lebih ramping. Tujuh hari setelah infestasi dilakukan pengamatan terhadap: 1) jumlah polong/tanaman, 2) jumlah telur/ tanaman, 3) jumlah larva yang masuk ke dalam polong, dan 4) intensitas serangan pada polong. Intensitas serangan pada polong dihitung dengan rumus: I=
n x 100% N
I = Intensitas serangan polong. n = jumlah polong yang terserang N = jumlah seluruh polong yang diamati Kerapatan trikoma dihitung dari potongan kulit polong seluas 1 mm2 yang diambil dari polong masingmasing galur kedelai. Tiap polong diambil tiga potong. Pengamatan dilakukan di bawah stereo mikroskop Nikon dengan perbesaran 40 kali.
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji F dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test, DMRT) pada taraf nyata 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah polong, telur, larva, dan tingkat kerusakan polong berbeda nyata di antara varietas/galur kedelai (Tabel 1). Ragam jumlah polong, telur, larva, dan intensitas kerusakan polong sangat besar antargalur dan varietas kedelai. Galur MLG 3036 menghasilkan jumlah polong terbanyak, yaitu 71 polong/tanaman. Komponen produksi kedelai antara lain adalah tinggi tanaman dan jumlah buku subur. Makin banyak buku subur yang dimiliki oleh suatu galur, maka jumlah polong yang terbentuk juga makin banyak. Polong pada galur MLG 3036 lebih banyak karena galur tersebut memiliki jumlah buku yang lebih banyak dibandingkan galur/ varietas yang lain, yaitu 35 buku/tanaman dan setiap buku terdapat rata-rata 2,02 polong, sedangkan jumlah polong terendah terdapat pada galur IAC-100, IAC-80596-2, dan varietas Jayawijaya. Telur yang ditemukan pada varietas Wilis lebih banyak dibandingkan dengan galur varietas lainnya, sehingga larva yang terbentuk juga lebih banyak. Akibatnya, intensitas serangan pada polong lebih tinggi. Oleh sebab itu, varietas Wilis menjadi lebih rentan terhadap penggerek polong. Jumlah telur yang diletakkan pada varietas Jayawijaya, galur IAC-100, IAC80596-2, dan varietas Bromo lebih sedikit. Jumlah telur berkorelasi positif nyata dengan jumlah larva yang ditemukan. Makin banyak telur diletakkan, makin besar peluang larva yang menetas. Akibatnya, kerusakan yang ditimbulkan juga makin tinggi (Tabel 2). Namun tidak
Tabel 1. Jumlah polong, jumlah telur, larva E. zinckenella, kerapatan trikoma, dan intensitas kerusakan polong. Galur/varietas
MLG 2982 MLG 3036 MLG 3124 MLG 3126 MLG 3261 MLG 3238 Jayawijaya Wilis Bromo IAC-100 IAC-80-596-2
Jumlah polong/ tanaman 59,3 bc 71,0 d 49,5 bc 50,8 bc 43,2 abc 59,5 cd 37,5 ab 40,3 ab 43,8 abc 28,2 a 36,6 ab
Jumlah telur/ tanaman 57,0 bc 10,3 ab 15,6 ab 25,3 ab 29,3 ab 19,6 ab 9,7 ab 98,3 c 5,7 a 3,0 a 5,5 a
Jumlah larva/ tanaman 45,3 b 9,0 ab 14,7 ab 17,3 ab 27,0 ab 17,0 ab 8,3 a 90,0 c 4,3 a 2,7 a 5,5 a
Data kerusakan polong ditransformasi keArc sin. Angka selajar yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 DMRT.
178
Jumlah trikoma/mm2 6,0 a 15,7 cd 13,0 bc 8,0 ab 7,5 ab 9,3 ab 16,3 cd 5,0 a 17,0 cd 24,9 d 21,8 d
Kerusakan polong (%) 50,0 bc 11,8 ab 29,7 ab 31,3 ab 38,5 ab 25,8 ab 19,4 ab 81,7 c 9,9 a 9,6 a 10,3 ab
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
ditemukan korelasi yang nyata antara jumlah polong dengan jumlah telur, jumlah larva, dan intensitas serangan polong, karena jumlah polong ditentukan oleh karakter galur. Ini berarti jumlah telur, larva, dan intensitas serangan tidak dipengaruhi oleh jumlah polong. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan E. fabae pada kedelai dan red clover dengan trikoma yang lebih rapat menurunkan peneluran E. fabae. Peferensi peneluran kutu kebul Bemisia tabaci lebih banyak pada galur/varietas kedelai yang mempunyai trikoma lebih rapat (Oriani and Lara 2000). Penelitian Lima dan Lara (2003) menunjukkan bahwa PI 227687 yang memiliki trikoma lebih rapat lebih disukai oleh kutu kebul untuk peletakan telur, sedangkan kedelai BR-82 12547 dan PI 229358 yang mempunyai trikoma lebih sedikit kurang disukai sehingga kedua genotipe mempunyai ketahanan nonpreferensi untuk peletakan telur. Meskipun dilaporkan trikoma mempunyai peranan dalam ketahanan kacang beras Phaseoulus vulgaris terhadap Empoasca fabae (Pillemer and Tingey 1978) dan pengorok daun Liriomyza trifolii (Quiring et al. 1992) namun tidak ditemukan hubungan antara trikoma dengan ketahanannya terhadap kutu kebul, sehingga mekanisme tersebut tidak efektif untuk B. tabaci. Kerapatan trikoma pada permukaan polong varietas Wilis dan galur MLG 2982 adalah yang terendah, sedangkan telur yang ditemukan pada galur/varietas yang lain lebih banyak. Sebaliknya, telur yang ditemukan pada galur IAC-100, IAC-80-596-2, dan varietas Bromo dengan jumlah trikoma lebih sedikit dibandinggalur/ varietas lainnya. Kerapatan trikoma berkorelasi negatif nyata dengan jumlah telur, jumlah larva, dan intensitas serangan polong dengan koefisien korelasi masing-masing -0,75; -0,72 dan -0,87 (Tabel 2). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa trikoma yang makin rapat pada Tabel 2. Matrik korelasi sederhana antara jumlah polong, jumlah telur, larva E. zinckenella, kerapatan trikoma, dan kerusakan polong. Peubah
X1
X2
X1 X2 X3 X4 X5
1 0,07 0,03 -0,45 0,01
1 0,99** -0,75** 0,99**
X1 X2 X3 X4 X5 **
= jumlah polong/tanaman = jumlah telur/tanaman = jumlah larva/tanaman = kerapatan trikoma = kerusakan polong = berbeda sangat nyata pada taraf 0,01
X3
1 -0,72** 0,92**
X4
1 -0,87**
polong kedelai cenderung mempersulit imago E. zinckenella untuk meletakkan telurnya. Sebaliknya, penghilangan trikoma polong varietas Wilis dan galur IAC-100 tidak ditemukan telur penggerek polong (Ernestina 2003). Tanpa penghilangan trikoma, telur yang ditemukan pada varietas Wilis lebih tinggi daripada IAC-100. Ini berarti peneluran penggerek polong memerlukan trikoma dengan kerapatan tertentu, namun apabila trikoma polong lebih rapat justru menghambat peneluran imago penggerek polong. Trikoma pada varietas Jayawijaya, galur IAC-100, IAC80596-2 dan varietas Bromo lebih rapat daripada varietas/galur yang lain (Tabel 1). Diasumsikan trikoma yang rapat bertindak sebagai barier mekanis dalam menghalangi imago penggerek polong untuk meletakkan telurnya, sehingga telur yang diletakkan pada kempat varietas/galur tersebut lebih sedikit. Kutu kebul dengan ukuran tubuh lebih kecil daripada imago penggerek polong mampu bergerak secara leluasa di antara barier trikoma. Tidak ada hubugan antara peletakan telur pada galur IAC-100, IAC-80596-2 yang mempunyai trikoma lebih rapat dengan ketahanannya terhadap pengisap polong Riptortus linearis (Suharsono 2001). Kedua genotipe tersebut dinyatakan tahan terhadap pengisap polong karena trikoma pada polong lebih rapat dan pengisap polong meletakkan telur tidak semata-mata bergantung pada inangnya. Selain itu, mobilitas nimfa muda sangat tinggi, kulit telur (corion) lebih tebal dan keras, sehingga lebih terlindung dari gangguan alam dan musuh alami. Hal tersebut berbeda dengan penelitian Hattori (1997) yang menunjukkan bahwa galur IAC–100 dan IAC–80-596-2 lebih disukai oleh E. zinckenella untuk bertelur. Namun belum dijelaskan faktor penyebabnya. Trikoma yang dapat pada polong kedelai Clark mengurangi serangan kumbang kedelai Cerotoma trifurcata Foster (Wai-Ki and Pedigo 2001). Fakta yang sama ditemukan pada tanaman Arabidopsis thaliana, di mana kerapatan trikoma berkorelasi negatif dengan peneluran Plutella xylostella L. (Handley et al. 2005). Trikoma pada tanaman tomat kurang disukai oleh aphid (Simmons and Gurr 2004). Peranan karakter trikoma terhadap ketahanan semakin nyata dengan adanya genotipe kedelai yang mempunyai karakter trikoma yang berbeda (Boethel 1999). Dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa ketahanan kedelai terhadap hama lebih banyak ditentukan oleh orientasi atau arah pertumbuhan trikoma dibandingkan dengan kerapatan trikoma (Hulburt et al. 2004). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa serangga mempunyai reaksi yang berbeda terhadap morfologi tanaman. Pada Tabel 1 diketahui bahwa tingkat serangan penggerek polong E. zinckenella beragam di antara
179
HARSONO: KERAPATAN TRIKOMA DAN PENGGEREK POLONG KEDELAI
Faktor morfologis dan fisiologis tanaman dapat mempengaruhi pemilihan inang, makan, proses pencernaan, perkawinan, dan peneluran serangga (Norris and Kogan 1980). Trikoma dapat berfungsi sebagai faktor ketahanan melalui gangguan pada peletakan telur, makan, dan pencernaan. Kerapatan trikoma berkorelasi negatif nyata dengan jumlah telur (R2 = - 0,75), jumlah larva (R2 = - 0,72), dan kerusakan polong (R2 = -0,87) (Tabel 2). Fakta ini menunjukkan bahwa trikoma yang lebih rapat secara langsung mengurangi peletakan telur, jumlah larva, dan selanjutnya mengurangi intensitas serangan penggerek polong (Gambar 4). Hasil penelitian pada tanaman kapas menunjukkan serangan pengisap daun Amrasca devastans berkorelasi negatif dengan kerapatan trikoma pada daun. Makin rapat trikoma pada permukaan daun makin rendah serangan kutu daun tersebut (Hassan et al. 1999). Haqul et al. (2003) menyatakan bahwa trikoma pada daun pucuk kedelai mampu bertindak sebagai faktor ketahanan terhadap kutu kebul B. tabaci, pengisap daun‘Amrasca bigutella, dan ulat jengkal Pseuodoplusia includes, sehingga beberapa jenis kedelai dapat menekan serangan ketiga hama tersebut. Namun berbeda dengan hasil penelitian Ali et al. (1995) yang menyatakan bahwa kerapatan trikoma daun berkorelasi positif dengan kutu kebul Bemisia tabaci. Hal ini disebabkan karena perilaku dan ukuran tubuh yang kecil lebih leluasa memasuki dan bergerak di antara celah trikoma. Selain itu, secara naluriah kutu kebul menjadikan trikoma yang rapat sebagai tempat perlindungan dari cekaman lingkungan dan musuh alaminya. Hasil penelitian yang lain juga menunjukkan bahwa kerapatan trikoma berpengaruh negatif terhadap kelimpahan dan efektivitas musuh alami (Fordyce and Agrawal 2001). Namun pengaruh panjang dan ketegakan (erectness) trikoma belum diketahui.
100
90
90
80
80
70
70 60 50 40 Y= 0,892x – 0,752 R2 = 0,990
30 20
60 50 40 Y= 0,747x – 9,932 R2 = 0,957
30 20 10
10
0
0 0
20
40
60
80
100
120
Jumlah telur/tanaman
Gambar 1. Hubungan antara jumlah telur dengan jumlah larva E. zinckenella.
180
Kerusakan polong (%)
Jumlah larva/tanaman
genotipe/varietas kedelai. Hasil analisis ragam menunjukkan, kerusakan lebih tinggi terjadi pada varietas Wilis dengan tingkat kerusakan 81,7%, sedangkan kerusakan terendah terjadi pada galur IAC80-596-2, IAC-100 dan Bromo masing-masing 9,69%, 10,4%, dan 10,0%. Selain varietas Wilis, galur MLG 2982 juga sangat rentan terhadap penggerek polong kedelai dengan tingkat kerusakan 50,04%. Galur MLG 2982 mempunyai kerapatan trikoma yang hampir sama dengan varietas Wilis, galur MLG 3126, dan MLG 3238. Jumlah telur dengan larva berkorelasi positif nyata dengan R2 = 0,99 (Gambar 1). Ini berarti bahwa makin banyak telur yang diletakkan makin besar peluang larva penggerek polong yang terbentuk. Jumlah telur yang diletakkan juga tercermin pada jumlah larva dan intensitas serangan penggerek polong. Makin banyak telur yang diletakkan maka peluang terjadinya kerusakan polong juga makin tinggi (Gambar 2). Terdapat korelasi positif antara jumlah telur dan jumlah larva yang menetas dengan intensitas kerusakan polong masing-masing dengan r = 0,98 dan r = 0,92 (Tabel 2). Serangan akan makin parah sejalan dengan meningkatnya jumlah larva yang menetas (Gambar 3). Hal yang sama juga ditemukan oleh Suharsono dan Trisnaningsih (2000), bahwa serangan penggerek yang tinggi di daerah penghasil kedelai di Jawa Timur dipicu oleh tingginya populasi larva yang ditemukan pada biji. Tingkat kerapatan trikoma terendah pada varietas Wilis dan tertinggi pada galur IAC-100 dan IAC-80-596-2, disusul oleh varietas Bromo. Berdasarkan tingkat kerusakan polong maka galur IAC-596-2, IAC-100, dan varietas Bromo tergolong tahan dibanding genotipe/ varietas yang lain. Smith (1989) menyatakan, batang tanaman kapas yang memiliki trikoma rapat dapat menekan serangan dan peletakan telur penggerek buah kapas, Anthomonus grandis Boheman. Artinya kerapatan trikoma berkorelasi negatif dengan tingkat serangan.
0
20
40
60
80
100
120
Jumlah telur/tanaman
Gambar 2. Hubungan antara jumlah telur E. zinckenella dengan kerusakan polong.
90
90
80
80
70
70 Jumlah larva/tanaman
Kerusakan polong (%)
JURNAL PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 28 NO. 3 2009
60 50 40 30 Y= 0,831x – 10,70 R2 = 0,952
20
Y= -2,681x + 64,17 R2 = 0,654
60 50 40 30 20 10
10
0
0 0
20
40
60
80
100
Jumlah larva/tanaman
-10
0
5
10
15
20
25
30
Kerapatan trikoma
Gambar 3. Hubungan antara jumlah larva E. zinckenella dengan kerusakan polong.
Gambar 4. Hubungan antara kerapatan trikoma dengan kerusakan polong.
Perlu diketahui bahwa reaksi serangga terhadap morfologi tanaman berbeda, bergantung pada spesies serangga dan perilaku kehidupan serangga dalam berinteraksi dengan tanaman inangnya.
Berg, H. van den., B.M. Shepard, and Nasikin. 1998. Damage incidence by Etiella zinckenella in soybean in East Jawa, Indonesia. International Journal of Pest Management. 44 (0) 000-000. TPM Paper No. 100265.
KESIMPULAN DAN SARAN
Ernestina, F. 2003. Peranan trikom polong pada preferensi peneluran penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella) Treit. Skripsi S1. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang. 45 p.
1. Intensitas dan tingginya serangan penggerek polong pada kedelai ditentukan oleh jumlah telur dan larva yang menetas dari telur yang diletakkan. 2. Kerapatan trikoma menekan peletakan telur, jumlah larva, dan intensitas serangan penggerek polong. 3. Galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 mempunyai trikoma yang lebih rapat sehingga peluang serangan penggerek polong E. zinckenella pada kedua galur lebih rendah. 4. Penelitian lebih lanjut tentang struktur trikoma yang meliputi ketegakan (erectness), arah pertumbuhan, dan bentuk trikoma dalam hubungannya dengan serangan penggerek polong perlu dilakukan.
Boethel, D.J. 1999. Assessment of soybean germplasm for multiple insect resistance. pp. 102-129. In S.L. Clement and S.S. Quisenberry (Eds.). Global plant genetic resources for insectresistance crops. CRC. Boca raton FL.
Fordyce, J.A. and A.A. Agrawal. 2001. The role of plant trichome and caterpillar group size on growth and defence of the pipevine swallowtail Battus philenor. J. Animal Ecology 70:997-1005. Handley, R., E. Barbara, and Agren. 2005. Variation in trichome density and resistance against specialist insect herbivore in nNatural populations of Arabidopssis thaliana. J. Econ. Entomol. 30 (3):284-292. Haq-ul, I., M. Amjad, S.A. Kakakhel, and M.A. Khokhar. 2003. Morphological and Physical Parameters of Soybean Resistance to Insect Pests. Asian J. of Plant Sci.2 (2): 202204. Hare, J.D. and E. Elle. 2002. Variable impact of diverse insect herbivores on dimorphic Daturawrightii. Ecol. 83:2711-2720. Hassan, M., F. Ahmed and F. Mushtaq. 1999. Role of Physiomosphic Characters Imparting Resistance in Cotton Against Some Insect Pests. Pakistan Entomol. 21:61-62.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Suntono, SP yang telah membantu penlitian di laboratorium, dan Dr. Ir. Yusmani Prayogo atas saran dan kritiknya bagi penyempurnaan makalah ini.
Hattori, M. 1997. Visiting Report to RILET. JIRCAS, Unpublished. Hattori, M. 1988. Host plant factors responsible for oviposistion behavior in lima bean pod borer, Etiella zinckenella Treitschke. J. Insect Physiol. 34(3):191-196. Hirano, K., E. Budiyanto, N. Swastika, U. Suherman, and S. Winarni. 1992. Causes of the seasonal changes in population density of soybean podborers in Java, Indonesia. JARQ 26 (2):130138.
DAFTAR PUSTAKA
Hulburt, D.J., H. Roger Boerma, and J.N. All. 2004. Effect of pubescence tip on soybean resistance to lepidopteran insects. J. Econ. Entomol. 97(2): 621-627.
Ali, A., A. Khaliq, and M. Ashraf. 1995. Physical factors effecting resistance in cotton against jassid (Amrasca devastans (Dist.) and thrips (Thrips tabaci Lind.) J. Agric. Res. 33: 173-178.
Lima, A.C.S., and F.M. Lara. 2003. Resistance of soybean genotypes to silverleaf whitefly Bemisia tabaci (Genn.) Biotype B. Neorotrop. Entomol. 33(1):71-75.
181
HARSONO: KERAPATAN TRIKOMA DAN PENGGEREK POLONG KEDELAI
Loe, G., P. Torang, M. Gaudeul, and J. Agren. (2007). Trichome production and spatiotemporal variation in herbivor y in perennial herb Arabidopsis lyrata. Oikos.116:134-142. Naito, A. and Harnoto. 1984. Ecology of soybean pod borer Etiella zinckenella Treitschke and Etiella hobsoni Butler. Contr. Central Res. Inst. Food Crops. Bogor. (71):15-33. Naito, A., Harnoto, A. Iqbal, dan I. Hattori. 1986. Notes on the morphology and distribution of Etiella hobsoni (Butler). A new sybean podborer in Indonesia, with special reference to comparisons with Etiella zinckenella (Treitschke) (Lepidoptera:Pyrallidae). Appl. Entomol. and Zool. 21(1):8188. Norris, D.M. and M. Kogan. 1980. Biochemical and morphological bases of resistance. In F.G. Maxwell and P.R. Jennings (Eds.). Breeding Plants Resistance to Insects. John Wiley and Sons, Inc. New York. 683 p. Oriani, M.A., G. De , and F.M Lara. 2000. Ovipostion preference of Bemisia tabaci (Genn.) biotype B. (Hom.: Aleyrodidae) fFor bean genotypes containing arcelin in the seeds. Ann. Soc. Entomol. Bras. 2:20-30.
Smith, C.M. 1989. Plant resistance to insects. A fundamental approach. John Wiley & Sons, Inc. 286 p. Suharsono, Henk van der Berg dan B.M. Shepard. 1997. Hubungan antara waktu tanam dan jarak tanam dengan pelimpahan populasi hama penggerek polong kedelai Etiella zinckenella Tr. (Lep.:Pyralidae). Lokakarya PHT pada Tanaman Kedelai. BLPP Batu, 2-4 Maret 1997. Suharsono dan Trisnaningsih. 2000. Komposisi jenis penggerek polong Etiella spp. di Jawa Timur. Laporan hasil penelitian. Participatory of Agriculture Development Technology Project (PAATP), 1999/2000. 11 p. Suharsono. 2001. Kajian aspek ketahanan beberapa genotipe kedelai terhadap hama pengisap polong Riptortus linearis F. (Hem.:Alydidae). Disertasi Doktor. Univ. Gadjah Mada Yogyakarta. 144 p. Tengkano, W. dan M. Suhardjan. 1985. Jenis hama utama pada berbagai fase pertumbuhan tanaman kedelai. p. 295-318. Dalam S. Sadikin, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi (Eds.). Kedelai. Puslitbangtan. Bogor.
Pabbage, M.S., Masmawati, dan T.A. Achmad. 1990. Ketahanan varietas/galur kedelai terhadap penggerek polong. Laporan Tahunan Balittan Maros.
Tengkano, W., T. Okada, Suharsono, Bedjo, dan A. Basyir. 1990. Penyebaran dan komposisi jenis serangga hama kedelai di Jawa Timur. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balittan Bogor, 10-11 Februari 1990.
Pillemer, E.A. and W.M. Tingey. 1978. Hooked trichomes and resistance of Phaseolus vulgaris to Empoasca fabae (Harris). Entomol. Exp. Appl. 24:83-94.
Tingey, Ward. M. 2001. Trichomes. Plant sciences. Free trichome information p.1-5. http://www.encyclopedia.com/doc/1G23408000305.html.diases 23/8/2009.
Quiring, D.T., P.R. Timmins, and S.J. Park. 1992. Effect of variations in hooked trichome densisties of Phaseolus vulgaris on longevity of Liriomyza trifolii (Diptera: Agromyzidae) Adults. Environ. Entomol. 21:1357-1361.
Traw, B.M. and T.E. Dawson., 2002. Reduced performence of two specialist herbivores (Lepidoptera: Pieridae, Colepotera: Chrysomelidae) on new leaves of damaged black mustard plants. Environ. Entomol. 31:714-722.
Simmons, A.T. and G.M. Gurr. 2004. Trichome-based host plant resistance of Lycopersicon species and biocontrol agent Mallada signata: are they compatible?. Entomol. Expp. et Applicata. 113: 95-101.
Wai-Ki, F.L. and L.P. Pedigo. 2001. Effect of trichome density on soybean pod feeding by adult leaf beetle (Coleoptera: Chrysomelidae). J. Econ. Entomol. 94 (6):1459-1463.
182
Werker, E. 2000. Trichome diversity and development. Adv. Bot. Res. 31:1-35.