PENGGEREK POLONG KEDELAI, Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae), DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA DI INDONESIA Yuliantoro Baliadi, W. Tengkano, dan Marwoto Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66 Malang 65101
ABSTRAK Penggerek polong kedelai (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan hama penting dan dilaporkan terdapat pada semua sentra pertanaman kedelai di Indonesia. Selain E. zinckenella, ada empat spesies penggerek polong lain yang diidentifikasi di Indonesia, yaitu E. hobsoni Butler, E. chrysoporella Meyrick, E. grisea drososcia Meyrick Stat.n., dan E. behrii Zeller. E. zinckenella merupakan spesies yang paling dominan dan mengakibatkan kehilangan hasil panen kedelai hingga 80%. Kehilangan hasil tersebut merupakan dampak dari gerekan larva pada polong dan biji. Bintik coklat pada polong yang tertutupi oleh benang pintal merupakan jalan masuknya larva dan lubang besar pada polong sebagai jalan keluar larva dewasa untuk melanjutkan stadium pupa di dalam tanah. Polong yang terserang juga ditandai oleh butiran-butiran kotoran yang terikat satu sama lain oleh benang pintal berwarna coklat kekuningan dan adanya gerekan pada biji. Makalah ini menelaah kemajuan penelitian penggerek polong kedelai di Indonesia, meliputi bioekologi E. zinckenella (biologi, fluktuasi populasi, pola pembentukan polong, iklim, musuh alami, tanaman inang, dan tanggap varietas), komponen pengendalian (sanitasi, tanam serempak, pergiliran tanaman, pola tanam, tanaman perangkap, pestisida nabati, varietas tahan, biologi, dan kimia), serta rekomendasi pengendalian penggerek polong secara terpadu (PHT). Kata kunci: Kedelai, Etiella zinckenella, pengendalian hama terpadu, Indonesia
ABSTRACT Soybean pod borer, Etiella zinckenella Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae), and its control strategy in Indonesia
Soybean pod borer (Etiella zinckenella Treitschke) is an important pest and reported from all of soybean planting areas in Indonesia. Besides E. zinckenella, there are four others pod borer species identified in Indonesia, namely E. hobsoni Butler, E. chrysoporella Meyrick, E. grisea drososcia Meyrick Stat.n., and E. behrii Zeller. E. zinckenella is widely causing severe damage to soybean seeds in many soybean areas. Up to 80% yield losses of soybean have been reported in Indonesia. Damage by E. zinckenella is resulted from the larvae boring into pods and seeds. A brown spot on the pod indicates the point of larva entry, and left large hole where the mature larva moves to pupate in the soil. Feeding marks are rough and the injured pod contains large and round fecal pellets. Pods often rot away as a result of the accumulation of these fecals. The present report discusses the research progress of soybean pod borer in Indonesia, i.e, pest bioecology (biology, population dynamic, soybean pod development, climates, natural enemies, host plants, response of varieties), pest control (sanitation, simultaneous planting, crop rotation, trap crop, botanical pesticide, resistant variety, biology, and chemical), and the recommendation of integrated management (IPM) of soybean pod borer. Keywords: Soybean, Etiella zinckenella, integrated pest management, Indonesia
K
edelai merupakan salah satu tanaman pangan penting bagi penduduk Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan baku industri pakan ternak, dan bahan baku industri pangan. Hal tersebut menyebabkan permintaan kedelai terus meningkat jauh melampaui produksi dalam negeri. Kebutuhan kedelai pada tahun 2009 diprakirakan mencapai 2.037.530 ton, Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
sedangkan produksi dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Produksi kedelai tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 795.340 dan 782.530 ton, dan tahun 2009 diprakirakan turun menjadi 757.540 ton (Sudaryanto dan Swastika 2007). Salah satu kendala dalam peningkatan dan stabilisasi produksi kedelai di
Indonesia adalah serangan hama (Tengkano dan Soehardjan 1985). Penggerek polong (Etiella zinckenella Treitschke) merupakan salah satu hama utama pada pertanaman kedelai di Indonesia, terutama pada sentra-sentra produksi (Okada et al. 1988a; Tengkano et al. 2006; Tengkano 2007). Selain E. zinckenella, spesies penggerek polong lainnya di Indonesia 113
adalah E. hobsoni Butler (Kalshoven 1981; Naito et al. 1983; Naito dan Harnoto 1984), E. chrysoporella Meyrick, E. grisea drososcia Meyrick Stat.n., dan E. behrii Zeller (Whalley 1973). Spesies yang dominan dan memiliki daerah penyebaran yang luas adalah E. zinckenella. Informasi mengenai bioekologi dan daerah penyebaran empat spesies penggerek polong lainnya masih terbatas. Peningkatan serangan E. zinckenella diduga berkaitan dengan makin luasnya pertanaman kedelai dan tersedianya inang sepanjang tahun. Perbandingan kumulatif pertambahan luas serangan penggerek polong pada tahun 2002, 2003, dan ratarata tahun 1997−2001 masing-masing adalah 316 ha, 539 ha, dan 1.218 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2004). Seiring dengan menurunnya luas pertanaman kedelai, luas serangan penggerek polong pada tahun 2003 lebih rendah dibanding rata-rata tahun 1997−2001, namun serangannya terdapat di 22 provinsi. Provinsi dengan pertambahan luas serangan tertinggi adalah Jawa Tengah 197 ha, Sulawesi Tenggara 58 ha, NTB 37 ha, Jawa Timur 31 ha, Sulawesi Tengah 30 ha, dan Kalimantan Selatan 30 ha (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2004). Kehilangan hasil akibat serangan penggerek polong mencapai 80%, bahkan puso apabila tidak ada tindakan pengendalian (Djuwarso et al. 1990). Hingga kini, upaya pengendalian masih mengandalkan insektisida kimia, namun kehilangan hasil akibat serangan penggerek polong masih belum teratasi. Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengendalian, telah dilakukan pengkajian bioekologi sebagai dasar dalam penyusunan strategi pengendalian penggerek polong secara terpadu (PHT). Makalah ini membahas hasil-hasil penelitian mengenai bioekologi serta pengendalian penggerek polong kedelai di Indonesia.
PENELITIAN Etiella spp. DI INDONESIA Informasi awal mengenai Etiella spp. diperoleh sejak introduksi tanaman orokorok (Crotalaria juncea) sebagai bahan serat dari India pada tahun 1908. Perbanyakan biji orok-orok mengalami kesulitan karena terserang ulat. Hasil penelitian pada tahun 1912 menunjukkan bahwa 114
salah satu jenis ulat yang menyerang tanaman tersebut adalah E. zinckenella (Van Helten 1913 dalam Mangundojo 1958). Namun, penelitian mengenai E. zinckenella kurang berkembang karena terbatasnya peneliti bidang entomologi di Balai Penyelidikan Hama Tumbuhan di Bogor saat itu. Penelitian mengenai cara hidup, pengaruh hayati dan iklim terhadap perkembangan hama secara intensif dilakukan pada tahun 1956−1958 (Mangundojo 1958). Hasil penelitian menunjukkan bahwa E. zinckenella merupakan perusak polong utama tanaman orok-orok. Hal ini sesuai dengan laporan Kalshoven (1981) bahwa tanaman inang utama E. zinckenella selain kedelai adalah orok-orok. Hasil survei pada bulan Juni− Agustus 1971 memperlihatkan bahwa penggerek polong masih tercatat sebagai hama utama tanaman kedelai, khususnya di Jawa Timur (Iman et al. 1972). Whalley (1973) melaporkan terdapat lima spesies penggerek polong di Indonesia dan salah satunya adalah E. zinckenella. Pada tahun 1973 dan 1974, dilaporkan bahwa pertanaman kedelai di Tanggul, Jawa Timur, tanpa tindakan pengendalian hama terserang Etiella spp. hingga 39%. Pada tahun 1987, rata-rata serangan penggerek polong antarkabupaten di Jawa Timur berkisar antara 0,20−21% dan pada lokasi pengamatan sekitar 0−48%, meskipun telah dilakukan pengendalian dengan insektisida (Tengkano et al. 1991). Di Jatibarang, Jawa Tengah, serangan Etiella spp. pada tahun 1973 dan 1974 mencapai 66% (Tengkano et al. 1977; Soekarna dan Tengkano 1979); tahun 1978 serangannya pada tanaman kedelai umur 44−45 hari setelah tanam (HST) sebesar 3% dan pada umur 72−84 HST naik menjadi 13% (Iqbal 1979). Pada tahun 1983, serangan penggerek polong kedelai di Brebes pada musim kemarau mencapai 96% (Surjana 1992). Serangan penggerek polong juga terjadi di luar Jawa, yaitu di Sumatera Selatan (Djafar dan Saleh 1983), Kalimantan Selatan (Gabriel et al. 1986), Sulawesi Selatan (Akib dan Baco 1985), dan Lampung (Nakasuji et al. 1985; Sosromarsono et al. 1985). Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan (2004) melaporkan, penggerek polong kedelai juga tersebar di Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua.
Penelitian E. zinckenella berkembang pesat pada tahun 1980-an, antara lain mengenai kelimpahan populasi (Doda 1980; Djafar dan Saleh 1983; Gabriel et al. 1986; Okada et al. 1988a, 1988b), aspek biologi (Jovillano 1983; Naito et al. 1983), ekologi (Naito dan Harnoto 1984), dan mekanisme ketahanan (Akib dan Baco 1985; Honma et al. 1986). Pada tahun 1990−2007, penelitian dilakukan terhadap karakteristik biologi (Naito et al. 1991; Djuwarso et al. 1992), ketahanan varietas kedelai (Tengkano et al. 1992a; Trijaka et al. 1992; Djuwarso et al. 1994), pengendalian dengan tanaman perangkap Sesbania rostrata dan kacang hijau (Tengkano et al. 1994), identifikasi tanaman inang (Tengkano et al. 1995), pola sebaran dan metode pencontohan (Priyanto et al. 1997), tingkat kerusakan (Djuwarso dan Naito 1991; Bergh et al. 1998), parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae (Naito dan Djuwarso 1994; Djuwarso et al. 1997; Marwoto et al. 2002), pengaruh letak telur terhadap kelangsungan hidup larva (Tengkano 1999), monitoring dan pengendalian (Bergh et al. 2000), evaluasi ketahanan kedelai generasi F1 hasil transformasi dengan gen proteinase inhibitor II (pinII) (Herman et al. 2001), perbandingan perkembangan dan siklus hidup dua spesies Etiella spp. (Edmonds et al. 2003), bioasai kedelai transgenik (Sutrisno et al. 2003), daya predasi Oxyopes javanus (Tengkano et al. 2004), preferensi peneluran (Kamandalu et al. 1995; Ardiwinata et al. 1997; Tengkano et al. 2000; Suharsono 2004), dan pestisida nabati Aglaia odorata (Marwoto 2007).
Biologi Etiella spp. Dua spesies penggerek polong yang dominan di Indonesia, yaitu E. zinckenella dan E. hobsoni, mudah dibedakan berdasarkan ada tidaknya garis putih pada sayap depan bagian pinggir. Sayap depan imago E. zinckenella memiliki garis putih, sedangkan E. hobsoni tidak memiliki garis tersebut. Mobilitas imago E. zinckenella lebih gesit dibanding E. hobsoni (Naito dan Harnoto 1984). Selanjutnya Edmonds et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan biologi dan perilaku reproduksi kedua spesies tersebut juga berbeda. Imago E. zinckenella meletakkan telur pada pukul 15.00−03.00 WIB, dan terbanyak pada pukul 18.00−21.00 WIB (Kamandalu et al. 1995), sedangkan E. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
hobsoni pada pukul 12.00−23.59 WIB, terbanyak pada pukul 15.00−17.59 WIB (Tengkano et al. 1995). Bentuk telur kedua spesies tersebut sulit dibedakan. Kamandalu et al. (1995) melaporkan bahwa E. zinckenella meletakkan telur terutama pada polong. Tengkano (1999) menyatakan, keberadaan telur pada bunga pada umur 42 dan 49 HST perlu diperhitungkan dalam menentukan tindakan pengendalian. Lebih lanjut dilaporkan bahwa kelangsungan hidup larva E. zinckenella dipengaruhi oleh letak telur hingga tanaman berumur 56 HST serta ketersediaan dan kualitas pakan. Satu ekor imago betina E. zinckenella mampu bertelur 54 butir (Jovillano 1983). Menurut Mangundojo (1958), kapasitas bertelur penggerek polong rata-rata 75 butir/ekor dan tertinggi mencapai 204 butir/ ekor. Menurut Tengkano et al. (1992a), kapasitas bertelur berkisar antara 166−531 butir/ekor dan kisaran populasi telur antarindividu adalah 77−799 butir/ekor. Perbedaan kapasitas bertelur penggerek polong antara lain disebabkan oleh perbedaan jenis dan kualitas pakan pada stadium larva (Tengkano et al. 1992a). Setelah telur berumur 3 hari, larva akan keluar mencari polong dan mulai menggerek biji. Kerusakan biji oleh larva bergantung pada ukuran biji yang dimakan. Stadium telur berlangsung 2−4 hari (biasanya 3 hari), larva 16 hari, prapupa 3−4 hari, pupa 9−15 hari, dan imago 7 hari (Mangundojo 1958). Selanjutnya, prapeneluran berlangsung 2 hari, puncak peneluran 5−6 hari, dan periode bertelur 4−24 hari (Tengkano et al. 1992a). Setelah mencapai instar 5, larva akan menuju ke bawah untuk membentuk pupa di dalam tanah.
Fluktuasi Populasi E. zinckenella Fluktuasi dan puncak populasi telur dan larva penggerek polong berbeda menurut musim, curah hujan, varietas kedelai, pola tanam, kelimpahan tanaman inang lain, musuh alami, dan kegiatan pengendalian hama dengan insektisida (Wagiman et al. 1987). Di Jatibarang, Jawa Tengah, larva instar 1 E. zinckenella ditemukan pada umur 40−45 HST dan puncak populasinya pada umur 55 HST, kemudian menurun sampai pada umur 70 HST, dan ditemukan lagi pada umur 75 HST (Tengkano et al. 1977). Berdasarkan populasi larva instar 1 Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
pada 45 HST yaitu lima ekor dan stadia telur E. zinckenella, dapat dikemukakan bahwa telur penggerek polong telah ada pada pertanaman kedelai sejak tanaman berumur 41 atau 42 HST. Di Mojosari, Jawa Timur, pada kedelai varietas Wilis, telur dapat ditemukan pada umur 48, 51, 54, dan 57 HST. Pada 48 HST, populasinya cukup tinggi, tetapi tidak teramati pada umur tanaman yang lebih muda. Karena larva mulai ditemukan pada 48 HST maka sebelum 46 HST belum ada peneluran. Pada umur 60−69 HST tidak dijumpai telur, mungkin karena populasi imago rendah (Tengkano et al. 1988). Di Bantul, Yogyakarta, telur penggerek polong dijumpai pada umur 44−72 HST dan puncak populasinya pada 51 HST. Pada 44 HST sudah dijumpai larva meskipun populasinya masih rendah. Hal ini memberi petunjuk bahwa telur sudah ada pada 41 HST. Oleh karena itu, keberadaan telur penggerek polong pada pertanaman kedelai dapat diketahui berdasarkan umur tanaman dan terutama ada tidaknya imago.
Pengaruh Pola Pembentukan Polong Kedelai terhadap E. zinckenella Jumlah polong kedelai varietas Wilis pada umur 48 HST mencapai 62 buah/8 tanaman, selanjutnya bertambah 48 buah/8 tanaman pada 51 HST dan maksimum menjadi 214 buah/8 tanaman pada 54 HST. Pada 57 HST, penambahan polong turun menjadi 23 buah/8 tanaman. Total polong mencapai maksimum pada 81 HST, yaitu 347 buah/8 tanaman (Tengkano et al. 1988). Jumlah polong yang terbentuk setiap tanaman adalah 8 buah pada 48 HST, kemudian meningkat 14 buah pada 51 HST, 40 buah pada 54 HST, dan 43 buah pada 57 HST. Hal tersebut berarti pada saat tanaman kedelai berumur 48−57 HST perlu dilakukan pemantauan populasi penggerek polong dan aplikasi insektisida anjuran bila populasi larva di atas ambang kendali (2 ekor/tanaman) atau jumlah polong terserang > 2,50% (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan 2004). Informasi mengenai pola pembentukan polong penting artinya dalam pengelolaan hama pada umumnya dan hama polong pada khususnya, terutama hubungannya dengan kemampuan tanaman dalam mengkompensasi kerusakan.
Imago penggerek polong dapat ditemukan pada pertanaman kedelai sejak pembungaan sampai menjelang panen. Telur dapat dijumpai pada daun, bunga, batang, dan polong, sedangkan larva hanya pada polong. Telur dan larva dapat dijumpai pada polong muda sampai tua, baik pada batang bagian atas, tengah maupun bawah. Telur pada polong diletakkan secara acak yaitu pada bagian ujung, tengah, dan pangkal. Telur dijumpai pula pada bawah daun kelopak bunga yang telah mengering. Dalam satu polong dapat dijumpai lebih dari satu telur atau satu ekor larva dan biji rusak berkisar antara 0−3 biji (Tengkano 1999). Sebaran dan jumlah polong kedelai berbeda menurut umur tanaman dan varietas sehingga sebaran polong arah vertikal juga berbeda. Oleh karena itu, agar pemantauan populasi hama memperoleh data yang tepat dan akurat maka sebaran vertikal dan horisontal populasi dan serangan penggerek polong perlu diketahui. Tengkano et al. (1988) melaporkan bahwa pada kedelai varietas Wilis umur 48 HST, jumlah telur E. zinckenella yang diletakkan pada 1/3 tanaman bagian atas, 1/3 tanaman bagian tengah, dan 1/3 tanaman bagian bawah tidak berbeda, demikian pula pada umur 54 dan 57 HST. Pada umur 51 HST, yang merupakan puncak populasi, sebagian besar populasi telur terdapat pada 2/3 tanaman bagian atas dan tengah, sedangkan pada tanaman bagian bawah lebih sedikit. Djuwarso et al. (1993) juga melaporkan bahwa sebaran vertikal telur maupun larva Etiella spp. berbeda pada tanaman bagian atas, tengah, dan bawah. Populasi telur dominan terdapat pada 2/3 bagian atas, sedangkan larva pada 2/3 bagian bawah tanaman. Imago umumnya berada pada bagian atas dan tengah tanaman, terutama pada daun, namun populasi imago sulit dideteksi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa telur berada pada daun, bunga, batang, dan polong, sedangkan larva hanya terdapat pada polong.
Pengaruh Iklim terhadap Etiella spp. Hubungan antara iklim dan populasi penggerek polong telah dilaporkan sejak tahun 1929 (Goot 1929 dalam Mangundojo 1958). Populasi tertinggi penggerek polong terjadi pada musim kemarau, meskipun sepanjang tahun terdapat 115
Crotalaria sp. sebagai inang. Lebih lanjut Mangundojo (1958) melaporkan faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap timbulnya hama pada tanaman orok-orok di Pulau Jawa adalah curah hujan. Hal yang sama dilaporkan oleh Soekarna dan Tengkano (1979), bahwa serangan E. zinckenella di Tanggul (Jawa Timur) dan Jatibarang (Jawa Tengah) lebih tinggi pada musim kemarau dibanding pada musim hujan. Surjana (1992) juga melaporkan bahwa populasi larva dan serangan Etiella spp. di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, sangat tinggi pada musim kemarau dibandingkan pada musim hujan.
Musuh Alami Etiella spp. Predator Jenis predator yang banyak terdapat pada pertanaman kedelai dan bertindak sebagai predator imago penggerek polong adalah Lycosa sp., Oxyopes sp., Carabidae, Vespidae, Mantidae, Asylidae, Tettigonidae, dan Cycindelidae (Okada et al. 1988b). Penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa Oxyopes javanus Thorell, Lycosa pseudoannulata, dan Rhinocoris sp. berpotensi dalam mengendalikan populasi imago E. zinckenella (Tengkano et al. 2002; Tengkano dan Bedjo 2004; Tengkano et al. 2004), dan Paederus fuscipes berpotensi mengendalikan larva instar 1 (Tengkano dan Suharsono 2002).
Parasitoid Parasitoid penggerek polong ada beberapa jenis dan dapat dikelompokkan menjadi parasitoid telur, larva, dan pupa. Sebelum tahun 1956, parasitoid penggerek polong di Indonesia belum diketahui, tetapi di luar negeri sangat banyak, yaitu dari famili Ichneumonidae 25 spesies, Braconidae 21 spesies, Lavaevoridae 4 spesies, Chalcididae 13 spesies, dan dari ordo Diptera satu spesies. Dari sekian banyak parasitoid Etiella spp., hanya dua spesies yang berpotensi sebagai agens hayati (Mangundojo 1958). Selanjutnya dilaporkan bahwa di Muara, Jawa Barat, ditemukan parasitoid telur penggerek polong, Trichogramma minutum, tetapi di daerah lain seperti Kuningan, Muneng, dan Patrang tidak dijumpai parasitoid telur penggerek polong. 116
Parasitoid Telur. Pada tahun 1992, beberapa spesies parasitoid telur Etiella spp., yaitu Trichogramma bactraebactrae Nagaraja dan T. chilonis dikoleksi dari Bogor dan Lampung, Trichogramma sp. A dari Bogor, dan Trichogramma sp. B dari Palembang. Selain itu, juga dilakukan introduksi dari PT Madukismo pada tahun 1993 sebanyak dua spesies, yaitu T. japonicum dan T. australiticum (Naito dan Djuwarso 1994). Menurut Naito dan Djuwarso (1994), kedua jenis parasitoid tersebut salah identifikasi dan T. minutum tidak ditemukan di Indonesia. Lebih lanjut dikemukakan bahwa T. japonicum adalah Trichogrammatoidea sp. A dan T. australiticum adalah Trichogrammatoidea sp. B dan bukan berasal dari genus Trichogramma. Spesies T. bactrae-bactrae lebih banyak diteliti, terutama aspek biologi, cara pembiakan massal, dan pemanfaatannya pada pertanaman kedelai (Naito dan Djuwarso 1994; Djuwarso et al. 1997). Pelepasan T. bactrae-bactrae pada dosis sedang (1 juta ekor/ha) dengan tiga kali aplikasi cukup efektif dan efisien untuk mengendalikan penggerek polong (Marwoto 2001). T. bactrae-bactrae mampu menyebar hingga 50 m dan pada radius 30 m dengan tingkat parasitasi masih tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat ditentukan jarak antartitik pelepasan T. bactraebactrae, yaitu 10 m (Marwoto et al. 2002). Residu insektisida sihalotrin pada telur E. zinckenella menurunkan tingkat parasitasi T. bactrae-bactrae, namun tidak mempengaruhi waktu pemunculan dan jumlah imago yang keluar dari telur inang (Djuwarso et al. 1997). Untuk mempertahankan efektivitas parasitasi T. bactraebactrae, penggunaan insektisida perlu dilakukan secara selektif (Tengkano et al. 1992b). Parasitoid Larva. Parasitoid larva, yaitu Phanerotama hendecasisella Cam. dan Agathis sp., tersebar luas di Pulau Jawa. Di Kebun Percobaan Kuningan juga ditemukan Chelonus sp. dan Bracon sp. A. Di Muneng terdapat Apanteles machaeralis Wlkn., Bracon sp. B dan Bracon sp. Di daerah Bondowoso dan Jember, Jawa Timur, banyak dijumpai Bracon greeni Ashm. Dari sekian banyak parasitoid larva, yang paling tinggi tingkat parasitasinya adalah P. hendecasisella, yaitu 5−18%, sedangkan parasitoid lainnya hanya 5% (Tengkano et al. 1991). Naito et al. (1994) melaporkan tujuh jenis parasitoid larva Etiella spp., yaitu Baeognatha javana,
Phanerotoma sp., Braconidae, Ichneumonidae, Cardiochiles szepligeti, Temelucha etiellae, dan Pristmerus naitoi. Menurut Okada et al. (1988b), parasitoid larva tercatat 11 spesies; tiga jenis sama dengan yang dilaporkan oleh Naito et al. (1994), yaitu Phanerotoma sp., T. etiellae, dan P. naitoi; tiga jenis sama dengan yang dilaporkan oleh Mangundojo (1958); dan lima jenis lainnya termasuk dalam kelompok genus Microbracon sp. dan Apanteles sp. Berbagai jenis parasitoid tersebut penting diteliti aspek biologinya, terutama potensinya sebagai agens hayati pengendali Etiella spp. Informasi keberadaan parasitoid bermanfaat dalam analisis ekosistem dan pengambilan keputusan pengendalian penggerek polong dengan insektisida. Parasitoid Pupa. Parasitoid pupa penggerek polong adalah P. hendecasisella, namun parasitoid ini sebenarnya bukan parasitoid pupa, dan Antracephalus sp. (Chalcididae) yang juga diragukan sebagai parasitoid pupa (Mangundojo 1958).
Tanaman Inang E. zinckenella Salah satu faktor yang menunjang pertumbuhan dan perkembangan populasi penggerek polong di alam adalah ketersediaan tanaman inang. C. juncea merupakan tanaman introduksi dan inang bagi E. zinckenella (Mangundojo 1958). Surjana (1992) melaporkan bahwa tanaman inang yang paling penting bagi E. zinckenella adalah C. striata. Tanaman ini banyak ditemukan sepanjang tahun di pantai utara Pulau Jawa dengan tingkat serangan 10% pada musim hujan dan 75% pada musim kemarau. Hasil survei pada tahun 1987−1988 memberikan hasil yang sama, bahwa Etiella spp. ditemukan tidak saja pada tanaman kedelai, tetapi juga pada kacang gude lokal di Sumatera Barat; Crotalaria sp. di Minahasa; Crotalaria sp., Flemingia sp., dan kacang tanah di Papua (Okada et al. 1988b). Ruhendi dan Prasadja (1987) melaporkan bahwa penanaman kedelai secara tidak serempak menyebabkan makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan penggerek polong selalu tersedia dan berlimpah (Okada et al. 1988b). Jenis tanaman inang lainnya adalah C. usaramoensis, Cassia sp., kacang hijau, kacang tanah, Dolichos lab-lab, kacang tunggak, Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
Phaseolus lunatus, dan Tephrosia candida (Mangundojo 1958; Kalshoven 1981; Okada et al. 1988b; Naito et al. 1991; Djuwarso et al. 1992; Surjana 1992). Karena tanaman inang berperan penting dalam kelangsungan hidup penggerek polong dan berpotensi sebagai sumber infestasi maka perlu tindakan sanitasi.
Tanggap Varietas Kedelai terhadap E. zinckenella Selain preferensi peneluran dan tingkat serangan penggerek polong di antara jenis tanaman berbeda, masing-masing varietas kedelai juga memberikan tanggap yang berbeda terhadap serangan (Djuwarso et al. 1994). Upaya untuk mendapatkan varietas kedelai tahan penggerek polong telah lama dilakukan. Talekar dan Chen (1982) dalam Akib dan Baco (1985) menemukan tujuh varietas (galur) kedelai dengan tingkat serangan ringan. Empat dari delapan galur tersebut, yaitu G. 2102, G. 3473, G. 2105, dan G.8506 telah diuji ulang dengan menggunakan populasi penggerek polong asal Sulawesi Selatan. Galur-galur tersebut dan kedelai No. 29 serta varietas Guntur bersifat lebih tahan dibandingkan dengan varietas Galunggung, galur G. 1911, dan varietas Orba (Akib dan Baco 1985). Honma et al. (1986) juga melaporkan bahwa kedelai No. 29 lebih tahan terhadap penggerek polong dibanding varietas Orba. Lebih lanjut dikemukakan bahwa sifat ketidaktertarikan imago betina untuk meletakkan telur pada tanaman inang memegang peran penting dalam ketahanan varietas kedelai terhadap penggerek polong. Suharsono (2004) menyatakan bahwa trikoma berpengaruh negatif terhadap jumlah telur yang diletakkan, tetapi mempunyai peranan penting dalam mekanisme ketahanan terhadap penggerek polong. Kerapatan rata-rata trikoma pada polong varietas Wilis adalah 10/mm2, lebih rendah dibanding pada galur IAC-100 dan IAC-80-596-2 masing-masing 25 dan 22/ mm2. Namun, Tengkano et al. (1992a, 2000) menyatakan bahwa trikoma tidak berperan dalam ketertarikan penggerek polong untuk meletakkan telur karena memiliki ovipositor yang panjang, sehingga trikoma kurang berperan dalam mekanisme ketahanan tanaman terhadap penggerek polong. Djuwarso dan Naito (1991) dan Djuwarso et al. (1994) mengemukakan Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
bahwa Etiella spp. yang mendapat pakan polong kedelai No. 29 menunjukkan larva tumbuh terhambat, tingkat kematian larva dan pupa lebih tinggi, dan produksi telurnya lebih rendah dibandingkan pada varietas Wilis. Tengkano et al. (1992a) melaporkan hal yang sama, bahwa di lapangan kedelai No. 29 lebih tahan terhadap penggerek polong dibandingkan varietas Wilis. Hasil pengujian di laboratorium juga menunjukkan bahwa larva penggerek polong yang mendapat pakan polong kedelai No. 29 pertumbuhan larvanya terhambat, ukuran pupa pendek, bobotnya ringan, dan keperidiannya rendah. Selanjutnya, galur lAC 80-4-4228, lAC 100 (PI 516756), PI 171444, PI 201423 asal Jepang, dan TK 5 dapat menurunkan keperidian imago E. zinckenella (Tengkano et al. 1992a). Trijaka et al. (1992) melaporkan, saat pengujian ketahanan varietas (galur) kedelai terhadap pengisap polong ternyata seluruh varietas (galur) yang diuji terserang penggerek polong. Dari pengujian tersebut, 10 galur mendapat serangan ringan, yaitu MLG 2520, 2972, 3032, 2580, 2574, 2521, 2576, 2617, MSC 8616-67, dan MSC 8303-1-1 B (MLG 2918). Selanjutnya Suharsono (2004) melaporkan, galur IAC-100, IAC-80-596-2, dan varietas Bromo bersifat agak tahan, varietas Wilis sangat rentan, dan varietas Jayawijaya memiliki ketahanan yang rendah terhadap penggerek polong. Varietas dan galur kedelai yang bersifat lebih tahan dibanding varietas Orba dan Wilis belum dapat digunakan secara langsung sebagai teknologi pengendalian penggerek polong. Namun, informasi tersebut bermanfaat dalam upaya mendapatkan varietas kedelai unggul tahan penggerek polong melalui pemuliaan, baik secara konvensional maupun melalui rekayasa genetik. Evaluasi ketahanan kedelai generasi R1 hasil transformasi dengan gen pinII menunjukkan bahwa tanaman transgenik WP1 (varietas Wilis) dan AT1 (varietas Tidar) memiliki ketahanan terhadap E. zinckenella, yang diperlihatkan oleh rendahnya kerusakan pada polong dan biji (Herman et al. 2001).
Tanaman Perangkap Tanaman inang selain dapat digunakan sebagai pengendali populasi dan serangan hama secara langsung, secara tidak langsung dapat dimanfaatkan sebagai
tanaman perangkap atau umpan hama (Newsom dan Herzog 1977; McPherson 1984). Luckman dan Metcalf (1975) melaporkan terdapat sejumlah komponen pengelolaan hama, meliputi cara bercocok tanam serta pengendalian mekanis, fisik, biologis, kimiawi, genetik, dan pengendalian berdasarkan peraturan. Salah satu teknik pengendalian melalui bercocok tanam adalah penanaman tanaman perangkap. Meskipun cara pengendalian ini tergolong lama, hingga kini penerapannya di Indonesia masih jauh dari populer, tidak seperti pengendalian dengan insektisida. Namun di luar negeri, tanaman perangkap telah banyak digunakan dalam PHT pada tanaman kapas, kedelai, kentang, padi, tomat, jagung, tebu, dan kacang hijau (Hokkanen 1991). Penanaman kedelai berumur genjah pada 1−2 minggu sebelum tanam tanaman utama, berhasil mengkonsentrasikan populasi pengisap polong sebesar 70− 85%. Agar populasi hama yang terperangkap tidak bermigrasi ke tanaman utama, hama perlu dikendalikan dengan insektisida efektif (McPherson dan Newsom 1984). Penggunaan tanaman inang sebagai perangkap dan pengendalian hama hanya pada tanaman perangkap dapat menghemat biaya pengendalian 80−90%. Selain itu, aplikasi insektisida hanya pada tanaman perangkap dapat menjamin kelangsungan hidup musuh alami dan serangga nontarget (IITA 1981). Indonesia juga telah berhasil mendapatkan tanaman perangkap, yaitu jagung hibrida untuk Heliothis (Helicoverpa) pada tanaman kapas (Limbongan 1988), jagung berumur genjah, sedang, dan dalam untuk Helicoverpa pada kedelai varietas Wilis (Soegiarto et al. 1993), kacang hijau varietas Merak dan S. rostrata untuk pengisap polong pada pertanaman kedelai varietas Wilis (Tengkano et al. 1994). Tanaman perangkap untuk penggerek polong meliputi galur MLG 3023 dan varietas Malabar untuk E. zinckenella dan galur MLG 3023 dan No. 29 untuk E. hobsoni (Tengkano et al. 1995). Ardiwinata et al. (1997) melaporkan senyawa kimia yang berperan dalam menarik imago E. zinckenella pada ekstrak tanaman inang kedelai galur MLG 3023 adalah benzalacetaldehyde, 9-octadecanoic acid (z), trisulfuric acid, S-(2-aminoethyl) ester, octadecanoid acid, dan heptadecene-(8)-carbonic acid-(1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedelai galur MLG 3023 lebih menarik 117
sebagai perangkap telur E. zinckenella dibanding varietas Malabar. Rata-rata jumlah telur yang diletakkan pada galur MLG 3023 dan varietas Malabar masingmasing adalah 25% dan 7% (Tengkano et al. 2000). Lebih lanjut dilaporkan bahwa luas pertanaman perangkap yang optimum adalah 15% dari luas petak yang ditanami kedelai. Cara pemanfaatan, efektivitas, dan efisiensi tanaman perangkap dalam pengendalian hama perlu diteliti lebih lanjut, baik kombinasinya dengan insektisida maupun dengan parasitoid, terutama parasitoid telur. Kamandalu et al. (1995) melaporkan bahwa imago E. zinckenella paling menyukai tanaman kedelai umur 21 hari setelah berbunga untuk meletakkan telur, dan bagian tanaman yang paling disukai untuk meletakkan telur adalah polong. Faktor biofisik yang mempengaruhi peletakan telur E. zinckenella adalah panjang dan lebar polong.
memangkas polongnya karena E. zinckenella hanya meletakkan telur pada bagian polong dan larvanya hidup dengan memakan biji dalam polong. Dengan memangkas polong, diharapkan larva penggerek polong gagal membentuk pupa sehingga tidak ada sumber imago ke pertanaman kedelai.
Tanam Serempak Pada daerah dengan topografi yang sama dianjurkan untuk bertanam serempak, dengan kisaran waktu tanam antarpetani tidak lebih dari 14 hari, sehingga kisaran umur tanaman kedelai tidak lebih dari 14 hari. Jika ada petani yang melakukan tanam kedelai di luar kisaran tersebut, perlu dilakukan pengamatan hama secara intensif, dan bila populasi mencapai ambang kendali (2 ekor/tanaman) perlu dikendalikan dengan insektisida kimia efektif, misalnya lamda sihalotrin dan deltametrin (Tengkano et al. 2007; Baliadi et al. 2008).
KOMPONEN PHT E. zinckenella Dengan memahami konsepsi PHT maka pendekatan dalam memilih strategi pengendalian hama akan bertumpu pada pemanfaatan kombinasi yang kompatibel dari komponen pengendalian yang dipilih (Newsom 1978; Norris et al. 2003). PHT pada kedelai membatasi penggunaan insektisida kimiawi serta menghindari terjadinya ketahanan dan resurjensi hama terhadap insektisida dan dampak buruk penggunaan insektisida terhadap serangga berguna serta kesehatan manusia dan lingkungan (Soenarjo 1992). Berdasarkan bioekologi E. zinckenella dan teknologi pengendalian efektif yang tersedia, komponen teknologi PHT penggerek polong meliputi sanitasi, tanam serempak, pergiliran tanaman dan pola tanam, tanaman perangkap, insektisida nabati, varietas tahan, serta pengendalian biologi dan kimiawi (Direktorat Perlindungan Tanaman 1997).
Pergiliran Tanaman dan Pola Tanam Pergiliran tanaman dimaksudkan untuk memutus siklus hidup hama dan menurunkan populasi awal sehingga tanaman kedelai terbebas dari serangan E. zinckenella atau hanya menderita serangan rendah. Padi dan jagung bukan merupakan tanaman inang penggerek polong sehingga dapat ditanam secara bergilir dengan kedelai. Namun, hendaknya tidak melakukan pergiliran tanaman padi atau jagung dengan kedelai secara tetap karena keduanya memiliki hama yang sama yaitu Nezara viridula. Pergiliran tanaman dengan padi cocok untuk daerah berpengairan teratur dan sawah tadah hujan. Pada lahan kering, pergiliran tanaman dapat dilakukan dengan jagung, kubis, wortel, ubi jalar atau ubi kayu. Pergiliran tanaman akan berhasil bila disertai dengan bertanam serempak dan sanitasi Crotalaria sp.
Sanitasi Tanaman Perangkap Penggerek polong memiliki tanaman inang liar yaitu Crotalaria sp. Oleh karena itu, untuk menekan populasi hama perlu dilakukan sanitasi selektif terhadap Crotalaria sp. yang ada di sekitar lahan yang akan ditanami kedelai dengan cara 118
Untuk mengurangi penggunaan insektisida dalam pengendalian hama, telah diteliti pemanfaatan tanaman inang untuk mengkonsentrasikan populasi hama pada areal terbatas sehingga aplikasi insektisida
hanya pada tanaman perangkap (Newsom 1977). Menurut Tengkano et al. (2000), kedelai MLG 3023 lebih menarik E. zinckenella untuk bertelur sehingga dapat digunakan sebagai tanaman perangkap telur penggerek polong. Selain itu, karena tahap pertumbuhan tanaman mempengaruhi preferensi serangga untuk meletakkan telur maka pertanaman awal juga berfungsi sebagai tanaman perangkap. Hal ini berarti bahwa kedelai yang ditanam lebih awal pada suatu hamparan perlu dipantau secara intensif.
Insektisida Nabati Penggunaan insektisida nabati berkembang dalam tiga tahun terakhir. Beberapa tanaman yang mengandung senyawa insektisida adalah biji mimba (mengandung racun azadirachtin), biji srikaya (racun annonain), biji bengkuang (racun pachyrhizin), dan daun pacar cina (Aglaia odorata Lour) yang mengandung racun rokaglamida. Marwoto (2007) mengemukakan bahwa ekstrak daun A. odorata 5% mampu menekan kerusakan biji kedelai akibat serangan E. zinckenella dari 12% (kontrol) menjadi 2% dan mencegah kehilangan hasil kedelai hingga 46%. Ekstrak bagian tanaman pacar cina (alkaloid, saponin, flavonoid, dan tanin) selain dapat bersifat sebagai insektisida juga mampu berperan sebagai antifidan dan penghambat perkembangan hama.
Varietas Tahan Pengendalian hama dengan varietas tahan merupakan cara yang praktis, ekonomis, dan aman bagi lingkungan. Walaupun sumber gen tahan terhadap penggerek polong telah ditemukan (Tengkano et al. 1992a; Trijaka et al. 1992; Djuwarso et al. 1994), hingga kini belum diperoleh varietas kedelai yang tahan terhadap hama tersebut. Akib dan Baco (1985) melaporkan bahwa varietas No. 29 dan Guntur lebih tahan terhadap penggerek polong dibanding varietas Orba. Pertumbuhan larva E. zinckenella yang mendapat pakan polong kedelai No. 29 terhambat, kematian larva dan pupa lebih tinggi, serta keperidiannya rendah (Djuwarso dan Naito 1991; Tengkano et al. 1992a; Djuwarso et al. 1994). Penggunaan varietas tahan dimaksudkan untuk menurunkan populasi awal Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
dan selama pertumbuhan tanaman serta serangan Etiella spp. Kedelai transgenik WP1 (varietas Wilis) dan AT1 (varietas Tidar) memiliki ketahanan terhadap penggerek polong (Herman et al. 2001). Sutrisno et al. (2003) dengan menerapkan bioasai melaporkan bahwa 10 tanaman kedelai Wilis transgenik generasi R3 tidak tahan terhadap penggerek polong, tetapi kedelai Wilis pinII generasi R3 (WP1-1-1) menunjukkan persentase serangan polong dan biji rendah, masing-masing 52% dan 44%.
Pengendalian Biologi Komponen pengendalian dengan menggunakan musuh alami telah diteliti, khususnya parasitoid telur E. zinckenella, yaitu T. bactrae-bactrae (Djuwarso et al. 1997; Marwoto 2001) dan predator O. javanus (Tengkano dan Bedjo 2004). Kebutuhan imago T. bactrae-bactrae adalah 1 juta ekor/ha yang diaplikasikan tiga kali mulai tanaman berumur 35 HST hingga 65 HST (Supriyatin dan Marwoto 1999; Marwoto et al. 2002) dengan jarak antartitik pelepasan 10 m. Selama pelepasan parasitoid, dianjurkan tidak dilakukan aplikasi insektisida; bila terpaksa, aplikasi dilakukan pada 5 hari setelah pelepasan parasitoid. Selain T. bactraebactrae, masih banyak jenis parasitoid yang perlu diperhitungkan. Tengkano et al. (2004) melaporkan bahwa kemampuan O. javanus memangsa nimfa instar 2 dan imago dipengaruhi oleh padat populasi E. zinckenella. Hubungan antara daya memangsa dan padat populasi mangsa bersifat linier dan logaritmik. Artinya, daya mangsa O. javanus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah mangsa, tetapi dengan meningkatnya jumlah mangsa sampai pada titik tertentu daya mangsanya berkurang karena telah mencapai kejenuhan. Sampai dengan jumlah mangsa 6 ekor/2 hari hubungan bersifat linier, tetapi pada jumlah mangsa 8−10 ekor daya mangsanya mulai menurun.
Pengendalian Kimiawi Berdasarkan pola pembentukan dan pertumbuhan polong, aplikasi insektisida penting dilakukan pada 49, 52, dan 56 HST dengan catatan pembungaan terjadi pada 35 HST (Tengkano et aI. 1988). Untuk Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
menentukan aplikasi insektisida, perlu dilakukan pemantauan populasi dan serangan hama serta penilaian ambang kendali. Tengkano (1999) melaporkan, pemantauan hendaknya mulai dilakukan pada 42 HST bila telah ada polong dengan panjang > 8 mm dan dihentikan pada 70 HST, tetapi bila pada 77 HST polong masih hijau, perlu pemantauan. Agar pendugaan populasi dan serangan penggerek polong tepat, pemantauan perlu didasarkan pada pola sebaran hama dan serangannya. Larva penggerek polong umumnya menyebar secara bergerombol sehingga metode penarikan contoh yang efisien adalah sistemik dua dimensi dengan unit penarikan contoh tanaman (Suwarso 1983). Karena pengamatan populasi telur secara visual sulit dilakukan maka pemantauan dapat didasarkan pada gejala serangan dengan menggunakan pola pusat baris atau diagonal (Priyanto et al. 1997). Pengendalian dengan insektisida dapat dilakukan apabila populasi larva (polong terserang) 2 ekor pada R4 atau R5 dan 3 ekor pada R6 per 2 tanaman (Djuwarso et al. 1990; Harnoto et al. 1991).
REKOMENDASI PHT E. zinckenella Berdasarkan komponen pengendalian yang tersedia dan telah diuji kelayakannya, rekomendasi PHT untuk E. zinckenella dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Tanam serempak pada hamparan dengan kisaran waktu tanam 14 hari. Pertanaman awal dapat berfungsi sebagai perangkap populasi dari alam dan akan menjadi sumber infestasi bagi pertanaman berikutnya. Oleh karena itu, pertanaman awal perlu dipantau secara intensif. 2) Pergiliran tanaman dengan padi atau jagung untuk lahan sawah dan dengan jagung, ubi jalar atau ubi kayu untuk lahan kering. 3) Sanitasi selektif terhadap Crotalaria sp. dan tanaman inang lainnya pada 4−35 HST. 4) Pemantauan penggerek polong mulai 42 HST dan terakhir pada 70 HST. 5) Analisis ekosistem berdasarkan hasil pemantauan dan nilai ambang kendali untuk keputusan pengendalian, yaitu 2 ekor larva/tanaman. 6) Pelepasan parasitoid, perbanyakan T. bactrae-bactrae, dan pemantauan
pada 42 HST. Apabila dijumpai imago E. zinckenella segera dilakukan pelepasan parasitoid pada 45, 49, dan 53 HST. 7) Aplikasi SlNPV dan HaNPV. Apabila sebelum 45 HST terjadi serangan Spodoptera litura dan atau Helicoverpa armigera, dilakukan aplikasi nuclear polyhedrosis virus (NPV). 8) Apabila populasi pengisap polong (Riptortus linearis, N. viridula, Piezodorus hybnen) pada 49 HST melampaui ambang kendali, dilakukan penyemprotan insektisida sihalotrin dan pada 56 HST dengan deltametrin. 9) Apabila serangan penggerek polong masih belum dapat diatasi atau jauh di atas nilai ambang kendali maka dianjurkan untuk menggunakan insektisida lamda sihalotrin mengikuti petunjuk pada Tabel 1.
KESIMPULAN DAN SARAN Etiella zinckenella merupakan hama utama pada tanaman kedelai di Indonesia dengan daerah penyebaran yang sangat luas. Tanaman inang dapat berfungsi sebagai sumber populasi hama dan pengendali hama, baik secara langsung maupun tidak langsung. O. javanus, L. pseudoannulata, Rhinocoris sp., dan P. fuscipes berpotensi menurunkan populasi Etiella spp. sehingga perlu diperhitungkan dalam analisis ekosistem. Daya O. javanus memangsa imago dewasa E. zinckenella meningkat dengan bertambahnya jumlah mangsa. Parasitoid Etiella spp. yang berpotensi tinggi adalah T. bactrae-bactrae. Iklim berpengaruh nyata pada dinamika populasi Etiella spp. Hasil-hasil penelitian mengenai Etiella spp. belum memadai untuk menyusun teknologi PHT penggerek polong kedelai. Ke depan masih diperlukan penelitian terutama mengenai musuh alami, varietas tahan, tanaman perangkap, pestisida nabati, dan insektisida yang efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA Akib, W. dan D. Baco. 1985. Ketahanan varietas kedelai terhadap penggerek polong Etiella zinckenella (Treitschke). hlm. 56−82. Prosiding Simposium Hama Palawija. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang
119
Tabel 1. Waktu pemantauan populasi imago dan larva Etiella zinckenella, polong terserang, populasi hama lain, dan keputusan pengendalian. Waktu pemantauan (HST)
Polong Populasi imago Ambang kendali > 8 mm E. zinckenella 2 ulat/tanaman
Populasi S. litura
Pengisap H. polong armigera
Keputusan pengendalian
35
−
−
−
− ++ ++
− ++ −
− + +
1. − 2. Insektisida 3. NPV
42
<< << <<
Ada Ada Ada
− − −
− +++ −
− − +++
− ++ −
1. Inundasi T. bactrae-bactrae 2. SINPV + HaNPV + inundasi T. bactrae-bactrae 3. Lamda sihalotrin
49
> > >
Ada Ada Ada
< < <
− +++ −
− − +++
− ++ −
1. Inundasi T. bactrae-bactrae 2. SINPV + HaNPV + inundasi T. bactrae-bactrae 3. Lamda sihalotrin
52
>> >> >>
Ada Ada Ada
< < <
− +++ −
− − +++
− ++ −
1. Inundasi T. bactrae-bactrae 2. Aplikasi NPV, inundasi T. bactrae-bactrae 3. Lamda sihalotrin
56
< < <
Ada Ada Ada
<< << <<
− +++ −
− − +++
− ++ −
1. Inundasi T. bactrae-bactrae 2. Aplikasi NPV, inundasi T. bactrae-bactrae 3. Lamda sihalotrin
63
<< << <<
Ada Ada Ada
<< << <<
− ++ −
− − +++
− + −
1. Inundasi T. bactrae-bactrae 2. Aplikasi NPV, inundasi T. bactrae-bactrae 3. Lamda sihalotrin
70
−
Ada
<<<
− − −
− − ++
− − −
1. Inundasi T. bactrae-bactrae 2. − 3. Lamda sihalotrin
<, <<, <<< berturut-turut menyatakan kecil (rendah), lebih kecil (rendah), sangat kecil (rendah); >, >>, >>> menyatakan besar, lebih besar, sangat besar; +, ++, +++ menyatakan populasi hama rendah, banyak, dan sangat banyak.
Bandung dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. Ardiwinata, A.N., W. Tengkano, dan M. Iman. 1997. Senyawa kimia tanaman inang penarik imago Etiella zinckenella dan Heliothis armigera. hlm. 368−376. Dalam M. Arifin, Soetrisno, D. Soetopo, I.W. Laba, Harnoto, A. Kusmayadi, Siswanto, I.M. Trisawa, dan D. Koswanudin (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI, Bogor, 8 Januari 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor dan Proyek Pengendalian Hama Terpadu. Baliadi, Y., W. Tengkano, Bedjo, dan Purwantoro. 2008. Validasi rekomendasi pengendalian hama terpadu kedelai di lahan sawah dengan pola pergiliran tanaman padi-kedelaikedelai. Agritek 16(3): 492−500. Bergh, V.D., B.M. Shepard, and Nasikin. 1998. Damage incidence by Etiella zinckenella in soybean in East Java, Indonesia. Int. J. Pest Management 44(3): 153−159. Bergh, V.D., A. Azis, and M. Machrus. 2000. On-farm evaluation of measure to monitor and control soybean pod-borer Etiella zinckenella in East Java., Indonesia. Int. J. Pest Management 46(3): 219−224.
120
Direktorat Perlindungan Tanaman. 1997. Pedoman Rekomendasi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Padi dan Palawija. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura, Jakarta. 159 hlm. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. 2004. Evaluasi Kerusakan Tanaman Kedelai Akibat Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan Tahun 2003, Tahun 2002, dan Rerata 5 Tahun (1997−2001). Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan, Jakarta. 116 hlm. Djafar, Z.R. dan R.M. Saleh. 1983. Serangan hama pada tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill.) di Sumatera Selatan. Kongres Entomologi II, Jakarta, 24−26 Januari 1983. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta. 11 hlm. Djuwarso, T., Suryawan, dan Rahardjo. 1990. Pengaruh populasi larva penggerek polong Etiella spp. dan stadia tanaman terhadap kerusakan polong dan biji serta hasil panen. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 21−22 Februari 1990 (1): 131−140. Djuwarso, T. and A. Naito. 1991. Analysis of soybean and damage caused by Etiella pod borer. p. 56−60. Proceeding of Final Seminar on the Stengthening of Pioneering Research
for Palawija Crops Production (ATA-378). Bogor, 4−5 March 1991. AARD, CRIFC, BORIF, JICA. Djuwarso, T., M. Arifin, dan T. Okada. 1992. Bionomi penggerek polong Etiella spp. pada berbagai jenis kacang-kacangan, stadia tanaman, dan bagian tanaman. hlm. 58−68 Dalam J. Soejitno, Sutrisno, dan H.S. Suprapto (Ed.). Hama-hama Kedelai. Edisi Khusus No. 4. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. Djuwarso, T., B. Soegiarto, dan B.H. Priyanto. 1993. Pola sebaran penggerek polong Etiella spp. pada tanaman kedelai. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan No. 6. hlm. 46− 52. Djuwarso, T., D.M. Arsyad, Asadi, and A. Naito. 1994. Evaluation of soybean resistance to Etiella pod borer. p. 21−32. In I. Prasadja, M.F. Muhadjir, N. Sunarlim, L. Gunarto, dan U.G. Kartasasmita (Ed.). Effective Use of Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Central Research Institute for Food Crops-JICA. Djuwarso, T., W. Tengkano, D. Koswanudin, dan D. Damayanti. 1997. Potensi Trichogrammatoidea bactrae-bactrae parasitoid telur penggerek polong kedelai. hlm. 29− 47. Dalam M. Arifin, Soetrisno, D. Soetopo, Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
I.W. Laba, Harnoto, A. Kusmayadi, Siswanto, I.M. Trisawa, dan D. Koswanudin (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI. Bogor, 8 Januari 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor-Proyek Pengendalian Hama Terpadu.
Kamandalu, A.A.N.B., I.M. Samudra, B.H. Priyanto, dan W. Tengkano. 1995. Identifikasi faktor biofisik tanaman inang yang menarik imago Etiella zinckenella dan Helicoverpa armigera untuk hinggap dan bertelur. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 16 hlm.
Doda, J. 1980. Studi Kelimpahan dan Keragaman Jenis Serangga di Daerah Pertanian Desa Transmigrasi Mopuya Kabupaten Bolaang Mengondow (Sulawesi Utara). Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 107 hlm.
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Revised by P.A Van der Laan. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta. 701 pp.
Edmonds, R.P., J.H. Borden, N.P.D. Angerilli, and A. Rauf. 2003. A comparison of the developmental and reproductive biology of two soybean pod borer, Etiella spp. in Indonesia. Entomologia Experimentalis et Applicata 97(2): 137−147. Gabriel, B.P., Hamda, Mukhlas, Thamrin, M.B. Arifin, A. Syaiful, and H. Badaruddin. 1986. Pest management of food crops in the tidal monotous swamps of South Kalimantan. Banjarbaru Research Institute for Food Crops. 14 pp. Harnoto, D., Koswanudin, C. Sukmana, and A. Naito. 1991. Timing of insecticide spraying for control Etiella zinckenella. p. 61−64. In Proceeding of Final Seminar of the Strengthening of Pioneering Research for Palawija Crops Production (ATA-378), Bogor, 4−5 March 1991. AARD, CRIFC, BORIF, and JICA. Herman, M., S.J. Pardal, E. Listanto, T.I.R. Utami, dan Damayanti. 2001. Evaluasi ketahanan kedelai generasi R1 hasil transformasi dengan gen proteinase inhibitor II. In D.L. Weigman (Ed.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung. Hokkanen, H.M.T. 1991. Trap cropping in pest management. Annu. Rev. Entomol. 36: 119− 138. Honma, K., Harnoto, and A. Iqbal. 1986. Mechanism of resistance to pod borers in soybean variety No. 29. Penelitian Pertanian 6(1): 40−43. IITA. 1981. Trap cropping for control of stink bugs in soybean. p. 57−59. In IITA Research Highlight for 1980. IITA, Ibadan, Nigeria. Iman, M., K. Arifin, and S. Enceng. 1972. Result of soybean survey and insecticidal experiment during dry season 1971. Staff Meeting 29−30 May 1972. Ministry of Agriculture, Jakarta, and Central Research Institute for Agriculture, Bogor. 17 pp. Iqbal, A. 1979. Pengamatan Hama Penting pada Pertanaman Kedelai di Kecamatan Jatibarang Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Laporan Praktek Lapang, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Jovillano, M.A.D.A 1983. Biological aspects of Etiella zinckenella (Trietschke) (Lepidoptera: Pyralidae) in West Java. BIOTROP, SEAMEO Regional Center for Tropical Biology, Bogor. 47 pp. Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
Limbongan, J. 1988. Laporan hasil penelitian dan uji verifikasi kapas di Sub Balittas Bajeng. Workshop on Cotton IPM Research, 10− 11 August 1988. Research Institute for Tobacco and Fiber Crops, Malang, 17 hlm. Luckman, W.H. and R.L. Metcalf. 1975. The Pest Management Concept. Introduction to Insect Pest Management. John Wiley & Sons, NY. Mangundojo, R.S.G. 1958. Penyelidikan mengenai Penggerek Polong Crotalaria juncea L. di Djawa. Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta. Balai Besar Penyelidikan Pertanian (153): 101 hlm. Marwoto. 2001. Manipulasi Parasitoid Trichogrammatidae (Hymenoptera) sebagai Agens Hayati untuk Mengendalikan Hama Penggerek Polong Kedelai Etiella zinckenella Treit. dengan cara Inundasi. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Brawidjaya, Malang. 115 hlm. Marwoto, S. Rasminah, G. Mudjiono, dan Y. Moenandir. 2002. Penentuan waktu dan titik pelepasan parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja dalam mengendalikan hama penggerek polong kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 21(2): 24−29. Marwoto. 2007. Potensi ekstrak daun Aglaia odorata untuk pengendalian hama polong kedelai. hlm. 396−404. Dalam D. Harnowo, A.A. Rahmiana, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, Subandi, dan A.K. Makarim (Ed). Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. McPherson, R.M. 1984. Soybean Insect Management Guidelines. Number 8: Trap Crops. Virginia Cooperative. 3 pp. McPherson, R.M. and L.D. Newsom. 1984. Trap crops for control of stink bugs in soybean. I. Georgia Entomol. Soc. 19(4): 470−480. Naito, A. Harnoto, A. Iqbal, and I. Hattori. 1983. Pod borer Etiella hobsoni (Butler) of soybean in Indonesia. Seminar of Central Research Institute for Food Crops, Bogor. 15 pp. Naito, A. and Harnoto. 1984. Ecology of soybean pods borers Etiella zinckenella Treitschke and Etiella hobsoni Butler. Contr. Cent. Res. Inst. Food Crops No. 71, 33 pp. Naito. A., T. Djuwarso, and J. Soejitno. 1991. Some aspects of the biological characteristics of Etiella pod borer in tropical humid areas. p. 65−67. Proceeding of Final Seminar on
the Strengthening of Pioneering Research for Palawija Crops Production (ATA-378). Bogor, 4−5 March 1991. AARD, CRIFC, BORIF, and JICA. Naito, A. and T. Djuwarso. 1994. Biological control of Etiella pod borer of soybean. II. Biology and mass-production methods of selected egg parasitoid, Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja. p. 43−50. In I. Prasadja, M.F. Muhadjir, N. Sunarlim, L. Gunarto, dan U.G. Kartasasmita (Eds.). Effective Use of Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Central Research Institute for Food Crops-JICA. Naito, A., T. Djuwarso, and I.M. Samudra. 1994. Biological control of Etiella pod borer of soybean. I. Larva parasitoids of Etiella pod borer in Indonesia-possibility of using larva parasitoids. p. 33−41. In I. Prasadja, M.F. Muhadjir, N. Sunarlim, L. Gunarto, dan U.G. Kartasasmita (Eds.). Effective Use of Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Central Research Institute for Food Crops-JICA. Nakasuji, F., T. Ichikawa, and F.X. Susilo. 1985. Insect pest and insect borne disease of soybean in Lampung. p. 17−36. In. Tamamoto and S. Sosromarsono (Eds.). Ecological Impact of Pest Management in Indonesia. Crop Protection Studies in the Frame Work of the Agroecosystem. Tokyo Univ. Agric. Newsom, L.D. and D.C. Herzog. 1977. Trap crops for control soybean pest. La Agric. 20(3): 14−15. Newsom, L.D. 1978. Progress in integrated pest management of soybean pest. p. 157−179. In E.H. Smith and D. Pimental (Eds.). Pest Control Strategies. Academic Press, New York. Norris, R.F., E.P. Caswell-Chen, and M. Kogan. 2003. Concepts in Integrated Pest Management. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. 586 pp. Okada, T., J. Soejitno, M.S. Pabbage, dan W. Tengkano. 1988a. Jenis dan penyebaran penggerek polong dan pemakan polong kedelai di Indonesia. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6 Desember 1988. 27 hlm. Okada, T., W. Tengkano, and T. Djuwarso. 1988b. An outline on soybean pests in Indonesia in faunistic aspects. Seminar of Bogor Research Institute for Food Crops, 6 December 1988. 37 pp. Priyanto, B.H., W. Tengkano, dan E.K. Rusamsi. 1997. Pola sebaran dan metode pencontohan sekuensial untuk penggerek polong kedelai. Seminar Program Nasional PHT Subang, 16− 19 Juni 1997. 25 hlm. Ruhendi dan I. Prasadja. 1987. Pengaruh waktu tanam dan pengendalian kimiawi terhadap penggerek polong kacang tanah di Way Abung, Lampung Tengah. hlm. 525−530. Dalam S. Adisoemarto, A.H. Atmowidjoyo, W.A. Noerdjito, P.A. Rochandi, dan Y.R. Suhardjono (Ed.). Prosiding Kongres Entomologi II, Jakarta, 24−26 Januari 1983.
121
Perhimpunan Jakarta.
Entomologi
Indonesia,
Soegiarto, B., E. Soenarjo, dan U. Rachmat. 1993 Kajian pemanfaatan tanaman jagung sebagai tanaman perangkap untuk pengendalian Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman kedelai. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 11 hlm. Soekarna, D. dan W. Tengkano. 1979. Keanekaragaman dan suksesi hama kedelai. Kongres Entomologi I. Jakarta, Januari 1979. Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta. 11 hlm. Soenarjo, E. 1992. Konsepsi dan strategi pengelolaan hama terpadu. hlm. 3−11. Dalam Marwoto, N. Saleh, Sunardi, dan A. Winarno (Ed.). Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Sosromarsono, S., S. Sukirno, H. Triwidodo, and B. Tjahjono. 1985. Survey on soybean insect pests and diseases in Gunung Balak area, Central Lampung. p. 1−15. In I. Yamamoto and S. Sosromarsono (Eds.). Ecological Impact of Pest Management in Indonesia. Crop Protection Studies in the Frame Work of the Agroecosystem. Tokyo University. Sudaryanto, T. dan D.K.S. Swastika. 2007. Ekonomi kedelai di Indonesia. hlm. 1−27. Dalam Sumarno, Suyamto, A. Widjono, Hermanto, dan H. Kasim (Ed.). Kedelai. Teknik Produksi dan Pengembangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Suharsono. 2004. Preferensi peneluran hama penggerek polong kedelai Etiella zinckenella Treit pada beberapa galur kedelai (salah satu aspek ketahanan terhadap hama penggerek polong). hlm. 198−205. Dalam S. Hardaningsih, J. Soejitno, A.A. Rahmiana, Marwoto, Heriyanto, I.K. Tastra, E. Ginting, M.M. Adie, dan Trustinah (Ed.). Teknologi Inovatif Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Surjana, T. 1992. Distribusi populasi dan serangan E. zinckenella pada beberapa jenis tumbuhan inang di Pulau Jawa. Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28−30 Januari 1992 (Abstrak). Perhimpunan Entomologi Indonesia, Jakarta. Supriyatin dan Marwoto. 1999. Penentuan dosis pelepasan Trichogrammatoidea bactraebactrae untuk pengendalian hama penggerek polong kedelai. hlm. 61−70. Dalam I. Prasadja, M. Arifin, I.M. Trisawa, I.W. Laba, E.A. Wikandi, D. Soetopo, Wiratno, dan E. Karmawati (Ed.). Buku I. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Bogor, 16 Februari 1999. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor. Sutrisno., S.J. Pardal, D. Damayanti, M. Herman, R. Sundasari, dan E. Ibrahim. 2003. Bioasai tanaman kedelai transgenik pinll terhadap
122
hama penggerek polong (Etiella zinckenella, Treitschke). hlm. 167−172. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung.
tanaman inang yang menarik bagi imago Etiella zinckenella Tr. dan E. hobsoni Hbn. untuk meletakkan telur. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. 24 hlm.
Suwarso, D.L. 1983. Metode Penarikan Contoh untuk Pendugaan Populasi Hama Polong pada Tanaman Kedelai. Tesis, Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 51 hlm.
Tengkano, W. 1999. Pengaruh letak telur Etiella zinckenella Treitschke pada tanaman kedelai terhadap kelangsungan hidup larva dan tingkat serangannya. hlm. 529−340. Dalam I. Prasadja, M. Arifin, I.M. Trisnawa, I.W. Laba, E.A. Wikardi, D. Soetopo, Wiratno, dan E. Karmawati (Ed.). Buku 2. Prosiding Seminar Nasional Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis Bogor, 16 Februari 1999. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor.
Tengkano, W., D. Soekarna, E. Surachman, dan M. Roovers. 1977. Fluktuasi serangan hama penting pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba MK. 1973− MP. 1974/1975. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama/Penyakit No. 10: 8−29. Tengkano, W. dan M. Soehardjan. 1985. Jenisjenis hama pada berbagai fase pertumbuhan kedelai. hlm. 295−318. Dalam S. Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, M. Syam, S.O. Manurung, dan Yuswadi (Ed.). Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W., J. Soejitno, dan I. Okada. 1988. Penyebaran vertikal populasi dan serangan Etiella zinckenella Tr. selama pertumbuhan tanaman kedelai. Seminar Hasil Penelitian Hama Kedelai, 6 Desember 1988. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. 28 hlm. Tengkano, W., I. Okada, Suharsono, Bedjo, dan A. Basyir. 1991. Penyebaran dan komposisi jenis serangga hama kedelai di Provinsi Jawa Timur. hlm. 97−118. Dalam S. Hardjosumadi, M. Machmud, S. Tjokrowidjoyo, D. Pasaribu, dan A. Kurnia (Eds.). Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, 21−23 Februari 1990. Volume I. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W., B. Soegiarto, I.M. Samudra, dan A.M. Tahir. 1992a. Uji lapangan ketahanan varietas kedelai terhadap penggerek polong, Etiella zinckenella Tr. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu. Cisarua, 7−8 September 1992. Kerja sama Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu-Bappenas dan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 21 hlm. Tengkano, W., Harnoto, M. Taufik, dan M. Iman. 1992b. Dampak negatif insektisida terhadap musuh alami pengisap polong. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu. Kerja Sama Program Nasional Pengendalian Hama Terpadu-Bappenas dan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. 29 hlm. Tengkano, W., M. Iman, A.M. Tahir, and A. Naito. 1994. Trap crops for control of soybean pod sucking bugs: VII. Combination of Sesbania rostrata and mungbean for population management. p. 101−108. In. I. Prasadja, M.F. Muhadjir, N. Sunarlim, L. Gunarto, dan U.G. Kartasasmita (Eds.). Effective Use of Agricultural Materials and Insect Pest Control on Soybean. Central Research Institute for Food Crops-JICA. Tengkano, W., B. Soegiarto, D. Koswanudin, M. Imam, dan A.M. Tahir. 1995 Identifikasi
Tengkano, W., Supriyatin, dan Marwoto. 2000. Efektivitas penggunaan varietas dan luas pertanaman kedelai sebagai perangkap telur Etiella zinckenella Tr. hlm. 22−29. Dalam A.A. Rahmiana, J. Soejitno, D.M. Arsyad, Heriyanto, Sudaryono, Suharsono, dan I.K. Tastra (Ed.). Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Hayati pada Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W. dan Suharsono. 2002. Kumbang Paederus fuscipes Curtis sebagai pemangsa hama kedelai. hlm. 153−160. Dalam M. Jusuf, J. Soejitno, Sudaryono, D.M. Arsyad, A.A. Rahmiana, Heriyanto, Marwoto, I.K. Tastra, M.M. Adie, dan Hermanto (Ed.). Teknologi Inovatif Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W., Suharsono, dan M. Arifin. 2002. Potensi Lycosa pseudoannulata (Boesen berger and Styrand) dalam memangsa hama utama kedelai. hlm. 176−185. Dalam L. Hutagalung, Suprapto, B. Sudaryanto, W.S. Ardjasa, Sudaryono, N. Saleh, dan Subandi (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Palawija. Buku 2. Hasil Penelitian dan Pengkajian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Tengkano, W. dan Bedjo. 2004. Potensi Oxyopes javanus Thorell (Oxyopidae: Araneae) memangsa hama utama kedelai. Sainteks (Jurnal Pengembangan Ilmu-ilmu Pertanian) XI(3): 165−174. Tengkano, W., Bedjo, dan Suharsono. 2004. Kemampuan Oxyopes javanus Thorell memangsa nimfa instar 2 pengisap polong dan imago Etiella zinckenella Treit. pada berbagai tingkat populasi. hlm. 434−443. Dalam. A.K. Makarim, Marwoto, M.M. Adie, A.A. Rahmiana, Heriyanto, dan I.K. Tastra (Ed.). Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2006. Status hama kedelai dan musuh alami di lahan kering
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
masam Lampung. hlm. 511−526. Dalam Suharsono, A.K. Makarim, A.A. Rahmiana, M.M. Adie, A. Taufik, F. Rozi, I.K. Tastra, dan D. Harnowo (Eds.). Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W. 2007. Daerah penyebaran hama kedelai dan musuh alaminya di lahan kering masam Sumatera Selatan. hlm. 369−383. Dalam. D. Harnowo, A.A. Rahmiana, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, Subandi, dan A.K. Makarim (Ed.). Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Men-
Jurnal Litbang Pertanian, 27(4), 2008
dukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tengkano, W., Supriyatin, Suharsono, Bedjo, Y. Prayogo, dan Purwantoro. 2007. Status hama kedelai dan musuh alami di lahan kering masam Lampung. Iptek Tanaman Pangan 2(1): 93−109. Trijaka, Soegito, A. Osman, and C.C. van den Bogaert. 1992. Screening for resistance against the complex of pod-sucking insects in soybean, Muneng MK II, 1991. Internal Technical Report of Soybean Breeding. MARIF-RTI. 40 pp.
Wagiman, F.X., S. Turnipseed, and W. Linser. 1987. An evaluation of soybean pests, factors affecting their abundance, and recommendation for integrated pest management in Java. Survey Report. Department of Entomology and Phytopathology, Faculty of Agriculture, Gadjah Mada University, Yogyakarta. 21 pp. Whalley, P.E.S. 1973. The genus Etiella Zeller (Lepidoptera: Pyralidae): A zoo geographic, and taxonomic study. Bull. Br. Mus. Nat. Hist. (Ent.). 21 pp.
123