Pengembangan Inovasi Pertanian 3(4), 2010: 274-288
PROSPEK PARASITOID Trichogrammatoidea bactrae-bactrae NAGARAJA (HYMENOPTERA) SEBAGAI AGENS HAYATI PENGENDALI HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI Etiella spp.1) Marwoto Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Jalan Raya Kendal Payak, Kotak Pos 66 Malang 65101 Telp. (0341) 801468, Faks. (0341) 801496 e-mail:
[email protected]
PENDAHULUAN Kebutuhan akan kedelai terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, namun produksinya justru makin menurun. Kebutuhan kedelai pada tahun 2004 diperkirakan 1.951.100 ton, sedangkan produksi pada beberapa tahun terakhir cenderung menurun. Pada tahun 1999, produksi kedelai mencapai 1.382.848 ton, tahun 2002 hanya 673.056 ton, dan pada tahun 2003 menurun lagi menjadi 672.439 ton (Ditjentan 2004). Berkaitan dengan penurunan luas tanam dan produksi kedelai, pemerintah melalui Direktorat Kacangkacangan dan Umbi-umbian, Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan pada tahun 2004 meluncurkan Program Bangkit Kedelai dengan tujuan meningkatkan produksi kedelai nasional. Penurunan produktivitas kedelai disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain: (1) menurunnya minat petani untuk menanam kedelai karena pendapatan usaha tani kedelai yang rendah, (2) membanjirnya ke-
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Ahli Peneliti Utama yang disampaikan pada tanggal 14 Oktober 2004 di Bogor.
delai impor dengan harga murah, (3) belum optimalnya kemitraan, dan (4) lemahnya dukungan kebijakan pemerintah dan pendampingan. Selain masalah tersebut, menurunnya minat petani menanam kedelai juga karena sebagian besar petani sulit menanggulangi serangan hama, walaupun pestisida telah banyak digunakan. Salah satu hama kedelai yang ditakuti petani adalah penggerek polong Etiella spp. (Lepidoptera: Pyralidae). Hama penggerek polong kedelai di Indonesia didominasi oleh dua spesies, yakni Etiella zinckenella dan E. hobsoni. Serangan hama ini sangat merugikan petani karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 80% (Marwoto 1999; Sumarno 1999). Upaya pengendalian hama tersebut hingga saat ini masih bertumpu pada penggunaan pestisida, tetapi belum berhasil dengan baik sehingga kehilangan hasil masih cukup tinggi (Marwoto et al. 1999). Kegagalan pemanfaatan pestisida dalam pengendalian hama penggerek polong kedelai E. zinckenella mendorong upaya untuk menggunakan cara pengendalian hayati. Pengendalian hayati adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan hama yang merugikan (De
Bach 1964). Salah satu cara pengendalian hayati yang berpeluang untuk digunakan ialah memanfaatkan parasitoid. Hasil penelitian Mangundojo (1958) menunjukkan bahwa pada telur Etiella spp. ditemukan parasitoid yaitu Trichogramma persunatum Relly (Hymenoptera: Trichogramatidae). Selanjutnya Naito dan Djuwarso (1993) mengidentifikasi parasitoid tersebut sebagai Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja. Potensi parasitoid Trichogramma sebagai agens pengendali hama secara hayati telah diuji di berbagai belahan dunia dan memberikan hasil yang baik.
ARTI PENTING HAMA PENGGEREK POLONG KEDELAI Etiella spp. Hama penggerek polong kedelai Etiella spp. dapat menimbulkan kerusakan polong yang sangat parah. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 80%, bahkan puso bila tidak dilakukan tindakan pengendalian (Marwoto et al. 1991, 1999). Larva Etiella spp. lebih suka memakan biji muda. Biji yang digerek dapat habis sama sekali atau tersisa sedikit. Dalam satu polong, jarang ditemukan lebih dari satu ekor larva (Djuwarso dan Harnoto 1998). Larva lebih menyukai hidup sendiri dalam polong. Jika dalam satu polong terdapat lebih dari satu larva maka akan terjadi kompetisi dan larva yang lemah akan keluar dan pindah ke polong yang lain. Serangan pada polong muda mengakibatkan polong rontok, sedangkan serangan pada polong tua dapat menurunkan kuantitas dan kualitas biji (Marwoto et al. 1999). Di Indonesia, penggerek polong terdapat hampir di seluruh provinsi dan merupakan salah satu hama utama di
sentra produksi kedelai (Naito dan Harnoto 1984; Okada et al. 1988). Hasil survei pada tahun 1991 menunjukkan, hama ini ditemukan di 20 provinsi di Indonesia (BPS 1992). Etiella hobsoni banyak terdapat di Sumatera serta beberapa daerah di Jawa dan Sulawesi, sedangkan E. zinckenella tersebar luas di seluruh Indonesia (Okada et al. 1988). Diduga kepadatan populasi Etiella spp. cenderung meningkat seiring dengan makin luasnya pertanaman inang (Hirano et al. 1992). Pertumbuhan dan perkembangan serangga hama di alam salah satunya dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas pakan. Semakin banyak pakan yang disukai, pertumbuhan dan perkembangan hama semakin cepat. Rata-rata luas serangan penggerek polong kedelai di Indonesia pada tahun 1986-1990 mencapai 10.788 ha. Serangan hama penggerek polong paling luas ditemukan di Jawa Tengah yakni 1.677 ha, diikuti Lampung 1.126 ha, Sulawesi 782 ha, Aceh 756 ha, Nusa Tenggara Barat 522 ha, dan Jawa Timur 322 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman 1992). Pada tahun 2003, luas serangan hama penggerek polong kedelai menunjukkan penurunan seiring dengan makin turunnya luas pertanaman kedelai. Namun, luas serangan di provinsi sentra produksi masih tercatat 538 ha (Ditjentan 2004). Musim sangat berpengaruh terhadap kepadatan populasi larva Etiella spp. Hasil penelitian pada musim hujan di Jawa Barat menunjukkan bahwa populasi larva Etiella spp. rendah. Populasi meningkat mulai akhir bulan Mei atau awal Juni dan mencapai puncaknya pada bulan Juni atau awal Juli (Naito dan Harnoto 1984). Di Jawa Timur, populasi cenderung meningkat pada musim kemarau dan serangan paling berat terdapat pada pertanaman kedelai musim tanam ketiga, sekitar Juli-Agustus
(Marwoto dan Neering 1988). Pada musim kemarau, suhu yang panas menyebabkan aktivitas metabolisme hama semakin cepat (Marwoto 1999). Metabolisme serangga yang cepat akhirnya akan memperpendek siklus hidupnya dan populasi hama meningkat dengan cepat. Tanaman inang penggerek polong Etiella spp. yang utama adalah kedelai (Marwoto et al. 1991). Hama ini juga dapat hidup pada polong kacang hijau (Vigna radiata), kacang tunggak (Vigna unguiculata), kacang gude (Cajanus cajan), dan kacang panjang (Vigna sinensis) (Naito et al. 1991), namun larva dan gejala kerusakan Etiella spp. tidak dijumpai pada tanaman kacang tanah. Ngengat Etiella spp. yang muncul dari polong kedelai lebih memilih meletakkan telurnya pada kedelai daripada Crotalaria, kacang hijau, dan kacang panjang. Demikian pula ngengat yang keluar dari Crotalaria dan kacang hijau lebih memilih polong kedelai daripada polong Crotalaria atau kacang hijau (Djuwarso dan Harnoto 1998).
PERAN PENGENDALIAN HAYATI DALAM PENGENDALIAN HAMA TERPADU Pentingnya Pengendalian Hayati Pengendalian hama penggerek polong kedelai hingga kini dilakukan dengan menggunakan pestisida secara intensif. Cara ini untuk sementara dapat mempertahankan hasil. Penggunaan pestisida yang intensif dalam pengendalian hama telah melupakan prinsip pengendalian hama berdasarkan pengetahuan biologi dan ekologi. Hakikat dan sifat pestisida dilupakan karena ter-
tutupi oleh kemanjurannya sehingga pestisida sering disebut sebagai obat-obatan pertanian. Penggunaan pestisida yang intensif dalam pengendalian hama penggerek polong ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah dan mendorong petani untuk meningkatkan frekuensi aplikasi pestisida (Rauf et al. 1994). Namun, walaupun frekuensi aplikasi pestisida ditingkatkan, hama penggerek polong tetap menjadi masalah pada pertanaman kedelai. Pemanfaatan pestisida bukan sematamata hanya berorientasi untuk mengendalikan hama. Carson (1963) dalam bukunya Silent Spring mengupas punahnya berbagai makhluk hidup akibat penggunaan pestisida kimia, dan mengingatkan manusia akan bahaya pestisida bagi kelestarian lingkungan hidup. Pestisida bukan hanya membunuh hama sasaran, tetapi juga organisme lain dalam ekosistem, termasuk musuh alami seperti parasitoid dan predator yang berperan sebagai pengendali hama di alam. Dengan demikian, rantai makanan akan terputus sehingga terjadi ledakan (out break) hama sasaran dan timbulnya hama sekunder. Di samping itu, tekanan seleksi yang kuat dari pestisida yang digunakan terhadap hama akan menimbulkan resistensi dan resurgensi (Stern et al. 1959; Untung 1993). Undang-undang No. 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman mengamanatkan bahwa perlindungan tanaman dilaksanakan dengan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Faktor utama yang mendorong penerapan PHT secara nasional adalah dalam rangka program pembangunan nasional berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Beberapa faktor yang mendorong penerapan PHT untuk
semua jenis komoditas pertanian adalah: (1) kegagalan pengendalian hama secara konvensional yang hanya mengandalkan pestisida, yang ditandai dengan munculnya resistensi, resurgensi, dan ledakan hama kedua; (2) kesadaran akan kualitas lingkungan hidup; dan (3) kebijakan pemerintah yang telah menetapkan PHT sebagai kebijakan dasar bagi setiap program perlindungan tanaman. Program PHT dilaksanakan dengan berorientasi pada aspek ekonomi dan ekologi. Oleh karena itu, setiap usaha perlindungan tanaman harus memberikan keuntungan ekonomi bagi petani dan dilaksanakan melalui manipulasi unsur-unsur lingkungan yang didasarkan pada keselarasan dengan lingkungan setempat. Salah satu manipulasi lingkungan yang sampai saat ini mendapatkan perhatian utama dalam pengendalian hama adalah pemanfaatan agens pengendalian hayati. Salah satu agens pengendali hama secara hayati adalah parasitoid. Pemanfaatan parasitoid telur T. bactraebactrae sebagai agens hayati mempunyai prospek yang baik untuk mengendalikan hama penggerek polong kedelai Etiella spp. Keberhasilan pemanfaatan parasitoid Trichogramma spp. dalam pengendalian hama telah teruji di berbagai belahan dunia. Di Filipina, pelepasan Trichogramma spp. berhasil menekan serangan hama penggerek pucuk tebu dengan laju parasitisasi 60,0-87,5% (Alba 1988). Di Cina, pelepasan Trichogramma spp. selama 10 tahun untuk mengendalikan hama penggerek batang jagung Ostrinia nubilalis pada areal 154.467 ha berhasil menurunkan kepadatan populasi penggerek hingga 97,52% (Han 1986). Pelepasan parasitoid T. bactraebactrae mampu memarasit hama penggerek polong kedelai Etiella spp. hingga 83,33% (Marwoto 2001).
Parasitoid Trichogramma sebagai Agens Pengendalian Hayati Pelepasan parasitoid bertujuan untuk menambah populasi parasitoid yang telah ada di alam. Teknik pelepasan parasitoid bergantung pada tujuan pelepasan. Pelepasan parasitoid dengan cara inundasi atau dalam jumlah banyak bertujuan agar parasitoid segera dapat menekan populasi hama. Pelepasan parasitoid dalam jumlah ribuan hingga jutaan individu bertujuan menurunkan populasi hama secara cepat. Pelepasan secara inundasi sering disebut sebagai “pestisida biologis” karena musuh alami diharapkan dapat bekerja secepat pestisida (Untung 1993; Mudjiono 1994). Pelepasan parasitoid secara inundasi memerlukan parasitoid dalam jumlah cukup banyak. Oleh karena itu, diperlukan teknik pembiakan massal parasitoid secara cepat dan ekonomis. Efektivitas pelepasan parasitoid dipengaruhi oleh kepadatan populasi hama dan populasi parasitoid serta lingkungan yang sesuai (iklim mikro). Menurut Voegele (1988), Knipling (1992), dan Nurindah (2000), agar pelepasan parasitoid efektif, yang perlu dipertimbangkan adalah: (1) mengetahui dinamika populasi hama dan waktu peletakan telur dalam hubungannya dengan fenologi tanaman; (2) faktor lingkungan yang mendorong parasitoid menetap dan aktif mencari inang; (3) kecepatan parasitoid menyebar dan menemukan inang; (4) waktu yang tepat untuk pelepasan parasitoid; (5) jarak antartitik pelepasan dan jumlah parasitoid yang dilepas; dan (6) pengaruh buruk penggunaan pestisida dari tempat lain yang dapat menyebar ke daerah pelepasan. Hasil penelitian Fang (1988) menunjukkan bahwa parasitoid Trichogramma
spp. efisien untuk mengendalikan hama penggerek batang tebu. Waktu pelepasan yang tepat adalah pada awal musim semi dengan mempertimbangkan kondisi lingkungan yang lebih menguntungkan bagi inang maupun parasitoid. Pelepasan parasitoid satu kali dan dalam jumlah sedikit memberikan hasil yang sama efektifnya dengan pelepasan secara massal. Garcia dan Jimenes (1992) mengemukakan bahwa waktu pelepasan parasitoid di lapangan perlu disesuaikan dengan perkembangan populasi hama. Trichogramma spp. adalah serangga yang hidupnya sangat bergantung pada suhu dan kondisi lingkungan. Keberhasilan memarasit inang bergantung pada kemampuan parasitoid mencari inang, memilih inang, dan meletakkan telur (Resznik et al. 1992, 2000). Pelepasan parasitoid Trichogramma spp. hendaknya dilakukan pada saat cuaca cerah. Suhu sangat berpengaruh terhadap waktu penerbangan. Sekitar 70-80% parasitoid terbang pada kisaran suhu 2530°C (Forsse et al. 1992). Pada umumnya, parasitoid hanya aktif terbang pada siang hari (Ashley et al. 1973) karena tidak dapat menemukan inang dalam keadaan gelap (Brower 1990). Kemampuan T. bactraebactrae memarasit inang lebih efektif pada pagi hari dibanding pada sore hari (Marwoto dan Supriyatin 1999; Marwoto 2001, 2002a). Hasil penelitian Manjunath (1972) menunjukkan bahwa Trichogramma spp. betina cenderung bergerak ke arah sumber sinar. Daya sebar parasitoid Trichogramma spp. mampu mencapai 50 m dari titik pelepasan, namun efektif memarasit inang hanya dalam radius 5 m (Marwoto dan Supriyatin 1999, 2000; Marwoto 2002a, 2002b). Takaran atau jumlah parasitoid yang efektif untuk mengendalikan hama berbeda untuk setiap spesies parasitoid dan hama yang dikendalikan. Menurut Guo (1988),
jumlah parasitoid Trichogramma dendrolimi untuk mengendalikan Adoxophyes orana dan Lampronadata cristata adalah 150.000 ekor/ha, dan parasitisasinya dapat mencapai 80%. Oatman dan Platner (1978) mengemukakan, untuk mengendalikan hama Heliothis zea pada tanaman tomat diperlukan pelepasan T. pretiosum 800.0001.272.000 ekor/ha, dan parasitisasinya berkisar antara 53,1-85,4%. Peningkatan efektivitas parasitoid Trichogramma spp. sebagai agens hayati pengendali hama dapat dilakukan dengan mempelajari strain parasitoid (Marwoto 2002b). Salah satu faktor yang menentukan efektivitas Trichogramma spp. adalah spesies atau ras yang mempunyai daya parasitisasi tinggi terhadap hama, sesuai dengan jenis tanaman dan iklim mikronya (Beglyarov dan Smetnik 1977). Ras atau strain dapat muncul akibat adanya keragaman habitat dan tekanan seleksi dari lingkungan. Ras atau strain adalah variasi serangga pada spesies yang sama, yang timbul karena tekanan faktor lingkungan (Mudjiono 1994). Ras atau strain memiliki habitat, sifat fisiologis atau geografis yang berbeda, tetapi morfologinya sama. Parasitoid dari spesies yang sama dapat berbeda daya adaptasinya, baik terhadap inang maupun pada habitat yang berbeda. Perkawinan antarras atau dalam ras atau strain akan melahirkan ras baru yang daya parasitisasinya berbeda. Pada umumnya Trichogramma spp. menyerang banyak inang, terutama dari ordo Lepidoptera. Satu spesies Trichogramma spp. dapat memarasit lebih dari satu inang, dan satu spesies inang dapat diparasit lebih dari satu spesies Trichogramma spp. Oleh karena itu, terdapat variasi intra- dan interspesifik dalam preferensi pemilihan inang, perilaku mencari inang, dan kemampuan merespons ling-
kungan (van Dijken et al. 1986; Pak 1988; Hassan 1993). Sebelum memutuskan membiakkan parasitoid telur untuk mengendalikan hama, perlu dilakukan seleksi terhadap kualitas ras/strain parasitoid yang mempunyai daya adaptasi dan parasitisasi yang tinggi.
Efektivitas Parasitoid Trichogramma spp. Efektivitas parasitoid Trichogramma spp. sebagai pengendali populasi Etiella spp. pada tanaman kedelai perlu dikaji. Parasitoid yang efektif sebagai pengendali hama adalah yang memiliki sifat sebagai berikut: (1) daya kelangsungan hidupnya baik; (2) memerlukan satu inang untuk melengkapi daur hidupnya; dan (3) populasinya dapat tetap bertahan meskipun populasi inang rendah. Sebagian parasitoid bersifat monofag atau oligofag, atau memiliki kisaran inang yang sempit (Pedigo 1989). Kelemahan pemanfaatan parasitoid sebagai pengendali hama adalah: (1) kemampuan mencari inang dipengaruhi oleh cuaca dan faktor lain; (2) hanya parasitoid betina yang aktif mencari inang; dan (3) parasitoid yang mempunyai daya cari tinggi, jumlah telurnya sedikit. Peningkatan efektivitas pelepasan parasitoid Trichogramma spp. sebagai pengendali hama Etiella spp. perlu memerhatikan faktorfaktor yang dapat meningkatkan efektivitas dan mengurangi faktor-faktor yang merugikan. Pelepasan parasitoid Trichogramma spp. yang efektif adalah pada pagi hari saat cuaca cerah dengan kisaran suhu 25-30°C. Dasar pertimbangannya adalah imago parasitoid keluar dari telur pada pukul 07.00-10.00 dan aktif terbang pada
suhu 15,56-32,20°C (Senft 1991; Forsse et al. 1992). Pelepasan parasitoid Trichogramma spp. dilakukan saat cuaca cerah karena pada malam hari parasitoid tidak aktif terbang (Ashley et al. 1973) dan tidak dapat menemukan inang dalam keadaan gelap (Brower 1990). Pelepasan dilakukan segera setelah populasi telur inang (hama) tinggi karena Trichogramma spp. lebih menyukai telur hama yang masih muda (Houseweart et al. 1982; Hutchison et al. 1990; Nurindah et al. 1997). Fluktuasi populasi hama penggerek polong Etiella spp. pada tanaman kedelai ditemukan seminggu setelah berbunga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur Etiella spp. mulai ditemukan pada saat tanaman berumur 44 hari setelah tanam atau seminggu setelah berbunga, dan mencapai puncaknya pada saat tanaman berumur 51 hari setelah tanam atau dua minggu setelah berbunga (Soejitno 1987). Agar dapat berperan sebagai pengendali hama, pelepasan parasitoid dilakukan setelah ditemukan telur inang (hama) atau populasi telur inang (hama) tinggi, yaitu pada umur tanaman 45 hari dan diulang tiga kali dengan interval waktu tujuh hari (Marwoto et al. 1997; Marwoto 2001). Aplikasi pestisida untuk mengendalikan hama akan berpengaruh terhadap hama, tanaman, dan parasitoid. Parasitoid lebih peka terhadap pestisida daripada hama sasaran. Tingkat parasitisasi parasitoid akan menurun jika tanaman disemprot pestisida (Scholz 1991). Dampak penyemprotan pestisida terhadap pelepasan Trichogramma spp. telah dievaluasi oleh King et al. (1986). Mereka membuktikan bahwa pelepasan T. pretiosum untuk mengendalikan Heliothis spp. pada tanaman kapas kurang berhasil karena pengendalian hama masih menggunakan pestisida.
Penelitian pengaruh pestisida terhadap kemunculan imago T. brasiliensis pada berbagai umur telur inang yang terparasit telah dilakukan oleh Varma dan Singh (1987). Pestisida dari golongan organofosfat dari jenis quinalfos dan fenitrotion mengakibatkan imago parasitoid tidak muncul pada semua tingkat umur telur yang terparasit (umur 1-7 hari setelah telur terparasit). Pengaruh buruk pestisida terhadap telur akan menurun dengan makin bertambahnya umur telur yang terparasit. Residu pestisida sihalotrin pada telur E. zinckenella memengaruhi perilaku imago parasitoid T. bactrae-bactrae sehingga tingkat parasitisasinya sangat rendah (Djuwarso dan Tengkano 1999). Pestisida klorpirifos yang diaplikasikan pada berbagai tingkat umur praimago T. bactraebactrae dalam inang telur C. cephalonica berdampak negatif terhadap pertumbuhan, perkembangan praimago, dan kemunculan imago F1. Semakin meningkat umur praimago parasitoid, semakin rentan terhadap pestisida yang diaplikasikan (Marwoto et al. 1997). Menurut Xiong et al. (1988), stadium telur paling tahan terhadap pestisida dibanding stadia pupa dan imago.
PENINGKATAN EFEKTIVITAS PARASITOID T. bactrae-bactrae Upaya Mendapatkan Spesies atau Ras yang Efektif Trichogrammatidae dari berbagai habitat dan inang tebu, tembakau, kapas, dan kubis mempunyai daya parasitisasi yang bervariasi. Dari 10 populasi Trichogrammatidae yang diseleksi, didapatkan satu spesies T. bactrae-bactrae dari tanaman kedelai yang menunjukkan daya parasitisasi tertinggi (73,60%) dan persentase
telur menjadi imago tertinggi, mencapai 97,29% (Marwoto 2001). Faktor yang menentukan keberhasilan parasitisasi adalah inang yang sesuai sehingga bila telah terjadi parasitisasi pada telur inang, keberhasilan parasitoid menjadi imago cukup besar. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian van Dijken et al. (1986) dan Nurindah (2000). Spesies atau ras Trichogrammatidae yang memiliki daya parasitisasi rendah pada telur E. zinckenella bukan berarti tidak berpotensi. Apabila spesies parasitoid yang berhasil memarasit telur inang dapat menjadi imago dan dipelihara secara terus-menerus pada telur E. zinckenella, daya parasitisasinya kemungkinan akan meningkat. Hal ini karena spesies parasitoid mampu beradaptasi pada telur E. zinckenella dan mengenal inangnya dengan baik sehingga meningkatkan daya parasitisasinya.
Waktu dan Titik Pelepasan Parasitoid Waktu dan titik pelepasan parasitoid T. bactrae-bactrae merupakan aspek penting yang perlu dipertimbangkan untuk keberhasilan pengendalian penggerek polong kedelai. Suhu pada pagi hari yang berkisar antara 20-30oC dan cuaca cerah sangat sesuai bagi parasitoid untuk beraktivitas (Forse et al. 1992). Dalam keadaan gelap atau berawan, parasitoid sulit menemukan inangnya (Ashley et al. 1973; Brower 1990). Daya sebar parasitoid T. bactraebactrae sangat terbatas dan lebih banyak dibantu angin. Hasil penelitian menunjukkan terdapat interaksi yang nyata antara waktu dan titik pelepasan parasitoid T. bactrae-bactrae dengan tingkat para-
sitisasi telur. Pelepasan parasitoid pada pagi hari dengan titik pelepasan 20 cm di atas permukaan daun kedelai lebih baik daripada pelepasan pada siang atau sore hari (Marwoto et al. 1997; Marwoto 2001). Parasitoid telur dari famili Trichogrammatidae mampu menyebar hingga 50 m (Djuwarso 1996), namun yang efektif hanya 5-10 m dari titik pelepasan. Oleh karena itu, pelepasan parasitoid pada pertanaman kedelai dapat dilakukan pada jarak 5-10 m.
Jumlah dan Frekuensi Pelepasan Parasitoid Jumlah parasitoid yang efektif untuk mengendalikan hama, berbeda untuk setiap spesies parasitoid dan hama yang dikendalikan. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah parasitoid telur T. bactrae-bactrae yang efektif untuk mengendalikan hama penggerek polong kedelai Etiella spp. adalah 250.000 ekor/ha/aplikasi. Pelepasan dilakukan tiga kali dengan selang waktu satu minggu. Pelepasan pertama dilakukan pada umur 45 hari setelah tanam (Marwoto 2001). Teknologi ini dapat menekan serangan hama penggerek polong Etiella spp. dan mencegah kehilangan hasil kedelai akibat hama tersebut.
Pestisida dan Parasitoid dalam Pengendalian Hama Tanaman Pestisida merupakan racun bagi serangga pada umumnya, baik hama, parasitoid maupun predator. Pada program PHT, pestisida digunakan apabila populasi hama telah mencapai ambang ekonomi dan digunakan secara selektif. Aplikasi pestisida dapat dikombinasikan dengan pelepasan
parasitoid dengan memerhatikan kepekaan parasitoid terhadap pestisida. Tarumingkeng (1977) dan Newton (1990) menyatakan bahwa penyemprotan pestisida yang lebih awal daripada pelepasan parasitoid akan menurunkan tingkat toksisitas pestisida karena penguapan, pencucian, pelapukan, dan degradasi enzimatis. Aplikasi pestisida pada saat parasitoid mencapai stadium praimago berpengaruh terhadap keberhasilan parasitoid menjadi imago. Parasitoid stadium praimago peka terhadap pestisida, yang ditunjukkan oleh rendahnya jumlah imago yang muncul dari telur inang (Marwoto 2001). Parasitoid stadium praimago lebih peka terhadap pestisida daripada stadium telur karena parasitoid telah menetas dalam telur inang, dan jika pestisida masuk ke dalam telur inang maka pestisida dapat langsung kontak dengan parasitoid. Pada stadium telur, parasitoid lebih tahan karena embrio parasitoid masih terlindungi kulit telur dan berada di dalam telur inang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Xiong et al. (1988), bahwa semakin meningkat umur praimago parasitoid, semakin rentan terhadap pestisida yang diaplikasikan. Penelitian Djuwarso dan Tengkano (1999) juga memperoleh hasil yang sama. Aplikasi pestisida yang bersifat selektif ekologi dapat dilakukan berdasarkan bioekologi parasitoid yang paling tahan terhadap pengaruh pestisida (Metcalf 1974; Stehr 1974; Untung 1993). Hingga kini belum didapatkan jenis pestisida yang selektif fisiologis. Pestisida yang bersifat selektif ekologis diharapkan dapat mematikan hama namun aman bagi musuh alami. Pestisida dapat mematikan imago parasitoid T. bactrae-bactrae. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua jenis pestisida dapat mematikan parasitoid T. bactrae-bactrae 100% dalam waktu satu
jam (Marwoto 2001). Imago parasitoid T. bactrae-bactrae sangat peka terhadap pestisida karena: (1) pestisida tidak bersifat selektif fisiologis; (2) pestisida mempunyai daya bunuh sebagai racun kontak dan racun perut sehingga imago langsung kontak dengan pestisida dan selanjutnya menyerang jaringan perut dan sistem syaraf; dan (3) imago T. bactrae-bactrae berukuran sangat kecil dan lemah. Stadium pertumbuhan parasitoid yang paling rentan terhadap pestisida adalah imago (Xiong et al. 1988; Djuwarso dan Tengkano 1999).
PENGEMBANGAN PEMANFAATAN PARASITOID T. bactrae-bactrae Prospek Pemanfaatan Parasitoid sebagai Agens Pengendali Hayati Pada era pasar bebas tahun 2003 (AFTA), 2010 (APEC), dan 2020 (WTO), konsumen menginginkan produk pertanian yang proses produksinya dilakukan secara ramah lingkungan. Konsumen akan memilih produk pertanian yang cara pengendalian hamanya dilakukan dengan teknologi alami seperti pengendalian hayati. Saat ini, permintaan terhadap produk pertanian organik oleh konsumen dalam negeri maupun manca negara makin meningkat. Berbagai isu tersebut akan meningkatkan peluang pemanfaatan parasitoid T. bactrae-bactrae sebagai agens pengendali hama yang efektif untuk menghasilkan produk yang sehat serta mendukung pelestarian lingkungan. Agar dapat memanfaatkan peluang pasar tersebut, penerapan pengendalian hayati harus diletakkan dalam satu kesatuan dengan pengelolaan ekosistem pertanaman yang berwawasan lingkungan. Pengendalian hayati tidak dapat berdiri dan berjalan
sendiri, tetapi merupakan salah satu komponen dari sistem pertanian berkelanjutan. Pengendalian hayati merupakan bagian dari PHT yang harus dipadukan dengan teknologi budi daya yang berwawasan lingkungan, seperti penggunaan pupuk hijau, kompos, dan pergiliran tanaman.
Arah dan Sasaran Penelitian Pemanfaatan Parasitoid Survei dan identifikasi perlu dilakukan untuk mendapatkan ras/strain/spesies Trichogramma spp. yang mempunyai daya cari inang dan daya parasitisasi tinggi serta adaptif terhadap agroekosistem spesifik lokasi. Parasitoid yang berpotensi sebagai agens hayati pengendali hama dapat diperoleh dari daerah lokal spesifik lokasi (Marwoto 2001). Parasitoid yang terpilih ditentukan oleh daya carinya (habitat, inang), preferensi terhadap serangga sasaran (pengenalan, penerimaan dan kesesuaian inang), serta toleransinya terhadap kondisi lingkungan. Kualitas dan kuantitas parasitoid dari hasil pembiakan massal menentukan tingkat keberhasilan program pengendalian hayati. Pengendalian kualitas parasitoid telur famili Trichogrammatidae sebagai pengendali hayati perlu dilakukan secara berkala dengan mengidentifikasi keragaman spesies, daya parasitisasi, dan vigor serangga parasitoid.
Kebijakan Pengembangan Pemanfaatan Parasitoid sebagai Agens Pengendali Hama Pengembangan agens hayati parasitoid telur famili Trichogrammatidae perlu dukungan kebijakan, penelitian, dan unit pelaksana teknis sebagai pelaksana opera-
sional di lapangan. Pola pengembangan pemanfaatan parasitoid telur sebagai agens pengendali hama dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan diseminasi hasil penelitian dengan melibatkan pengambil kebijakan, penyuluh, pengamat hama, dan petani (Marwoto et al. 1997). Diseminasi hasil penelitian tersebut dapat dilakukan melalui tiga bentuk kegiatan, yakni: (1) lokakarya, sarasehan yang diikuti oleh peneliti, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian), Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH), dengan materi teknik pembiakan massal, identifikasi spesies parasitoid potensial, dan peningkatan efektivitas parasitoid Trichogramma spp. sebagai agens pengendali hama; (2) pelatihan bagi petugas lapangan dan petani kooperator tentang pembiakan massal dan pelepasan parasitoid di lahan petani kooperator; dan (3) demonstrasi pelepasan parasitoid. Strategi pengembangan pemanfaatan parasitoid adalah dengan mengadakan pelatihan nasional bagi calon pelatih (training of trainers) yang berasal dari berbagai provinsi. Pelatih yang dihasilkan dari pelatihan tingkat nasional selanjutnya akan melatih petugas yang ada di masingmasing provinsi. Pelatih dari provinsi akan melatih petani pemandu di daerah. Ujung dari pemasyarakatan pemanfaatan parasitoid sebagai agens hayati pengendali hama adalah pelatihan pemanfaatan parasitoid bagi petani yang dilakukan oleh petani pemandu. Dalam operasional pengembangan parasitoid Trichogramma spp. sebagai agens pengendali hama di tingkat petani, penyuluh dan pengamat hama berperan sebagai konsultan.
Promosi dan diseminasi pemanfaatan parasitoid Trichogramma spp. perlu mendapat porsi khusus dan dilakukan secara berkelanjutan. Parasitoid telur efektif mengendalikan hama, tidak menimbulkan resistensi dan resurgensi, serta dapat bekerja dalam waktu lama. Sasaran akhir upaya ini, selain untuk melestarikan sumber daya pertanian, adalah menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi, yaitu clean product yang diakui pasar global.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Penggerek polong kedelai Etiella spp. merupakan salah satu hama penting pada tanaman kedelai. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini dapat mencapai 80%, bahkan puso apabila tidak dilakukan tindakan pengendalian. Strategi dan kebijakan untuk antisipasi dan penanggulangan hama tersebut harus bertitik tolak pada program PHT yang berorientasi pada aspek ekonomi dan ekologi. 2. Pengendalian hama penggerek polong kedelai Etiella spp. masih mengandalkan pestisida dan untuk sementara dapat mempertahankan hasil. Terobosan pengendalian yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah pemanfaatan agens hayati parasitoid telur T. bactrae-bactrae. Parasitoid sebagai komponen PHT efektif mengendalikan hama, aman bagi musuh alami dan lingkungan, serta tidak menimbulkan resistensi. 3. Peningkatan efektivitas parasitoid telur Trichogramma spp. untuk mengendalikan hama penggerek polong kedelai Etiella spp. dapat dilakukan dengan:
(a) memilih strain/ras/spesies Trichogrammatidae yang efektif, yaitu T. bactrae-bactrae, dan (b) melakukan pelepasan parasitoid pada pagi hari, letak inokulum 20 cm di atas permukaan daun, sebanyak 250.000 ekor/ha, dilepas tiga kali pada saat tanaman berumur 45, 52, dan 59 hari setelah tanam. Parasitoid telur sangat peka terhadap insektisida, terutama pada stadium imago dan praimago umur tua. 4. Pengembangan pemanfaatan parasitoid telur T. bactrae-bactrae sebagai agens pengendali hama penggerek polong memerlukan dukungan pengambil kebijakan (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan), penelitian (Badan Litbang Pertanian), Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di setiap provinsi, Pemerintah Daerah (Dinas Pertanian), dan partisipasi aktif kelompok tani. Strategi pengembangan dapat dilakukan melalui lokakarya, sarasehan, temu lapang, dan demonstrasi lapang yang dilaksanakan bekerja sama dengan pengguna teknologi. Kegiatan ini bertujuan untuk menginformasikan serta mengevaluasi keberhasilan dan kendala dalam pengembangan pemanfaatan parasitoid Trichogramma spp. 5. Ke depan perlu dilakukan penelitian secara terus-menerus untuk memperoleh strain/spesies Trichogramma spp. yang efektif, dan bila perlu melalui penelitian rekayasa genetik termasuk berbagai aspek positif dan negatifnya. Pemantauan pengendalian kualitas Trichogramma spp. di lapangan perlu dilakukan secara berkala, dengan mengidentifikasi keragaman spesies, daya parasitisasi, dan vigor serangga parasitoid. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan efektivitas parasitoid sebagai agens pengendali hama.
DAFTAR PUSTAKA Alba, M.C. 1988. Trichogrammatids in the Philippines. Philip. Entomol. 7(3): 252- 271. Ashley, L.C., D. Gonzalez, and T.F. Leigh. 1973. Reduction in effectiveness of laboratory reared Trichogramma. Environ. Entomol. 2: 1061-1073 . Beglyarov, G.A. and A.I. Smetnik. 1977. Seasonal colonization of entomophages. p. 283-328. In Ridgway and S. B. Vinson (Eds.). Biological Control by Augmentation of Natural Enemies. Plenum Press, New York and London. BPS. 1992. Survei pertanian: Luas dan intensitas serangga jasad pengganggu padi dan palawija di Indonesia 1991. BPS, Jakarta. 238 hlm. Brower, I.H. 1990. Influence of light on dispersal of Trichogramma pretiosum in a warehouse. p. 55-58. Trichogramma and Other Parasites. Proc. 3 rd Int. Symp. San Antonio, Texas, USA. Carson, R. 1963. Silent Spring. A Fawcett Cret Book. Fawcet Publ., Greenwich Conn. 304 pp. De Bach, P. (Ed.). 1964. Biological Control of Insect Pest and Weeds. Reinhold, New York. 844 pp. Direktorat Perlindungan Tanaman. 1992. Dominasi dan tingkat serangan hama kedelai. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. Ditjentan (Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan). 2004. Program Bangkit Kedelai Tahun 2004. Ditjentan, Jakarta. 21 hlm.
Djuwarso, T. 1996. Perkembangan Penelitian Pengendalian Hayati Penggerek Polong Kedelai Etiella sp. dengan Parasitoid Telur Trichogrammatoidea bactrae-bactrae Nagaraja untuk Mengendalikan Hama Penggerek Polong Kedelai Etiella zinckenella Treit dengan Cara Inundasi. Disertasi Universitas Brawijaya, Malang. 115 hlm. Djuwarso, T. dan Harnoto. 1998. Strategi pengendalian penggerek polong kedelai Ettiela sp. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 17(3): 90-98. Djuwarso, T. dan W. Tengkano. 1999. Dampak aplikasi pestisida terhadap kelangsungan hidup dan tingkat parasitisme Trichogrammatoidea bactraebactrae Nagaraja (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 18(1): 57-63. Fang, G.M. 1988. New method of Trichogramma utilization. p. 467-471. In J. Voegele, J. Waage, and J. van Lanteren (Eds.). Trichogramma and Other Parasites. Proc. 2nd Int. Symp., Guangzhou, China, 10-15 November 1986. Forsse, E., S.M. Smith, and R.S. Bourchier. 1992. Flight initiation in the egg parasitoid Trichogramma minutum: Effects of ambient temperature, mates, food and host eggs. Entomol. Exp. Appl. 62: 147-154. Garcia, R.E. and V.J. Jimenes. 1992. Production and management of Trichogramma spp. in Columbia. ICA-Inform. (Columbia) 26(1): 3-8. Guo, E.J. 1988. Studies on the biological control of insect in fruit tree and oak tree with Trichogramma denrolini Matsumura. p. 461-467. In J. Voegele, J. Waage, and J. van Lanteren (Eds.). Trichogramma and Other Parasites. Proc. 2nd Int. Symp., Guangzhou, China, 10-15 November 1986.
Han, L.T. 1986. Evaluation on the effectiveness of corn borer control in large area with Trichogramma. p. 467-471. In J. Voegele, J. Waage, and J. van Lanteren (Eds.). Trichogramma and Other Parasites. Proc. 2nd Int. Symp., Guangzhou, 10-15 November 1986. Hassan, S.A. 1993. The mass rearing and utilization of Trichogramma to control Lepidoptera pests achievement and out break. Pests. Sci. 37(4): 387-391. Hirano, K., E. Budiyanto, N. Swastika, U. Suherdis, and S. Winarni. 1992. Causes of the seasonal changes in population density of soybean pod borers in Java, Indonesia. Jpn. Agric. Res. Quarterly 26(2): 130-138. Houseweart, M.W., S.G. Southard, and D. T. Jennings. 1982. Availability and acceptability of spruce budworm eggs to parasitism by the eggs parasitoid, Trichogramma minutum (Hymenoptera: Trichogrammatidae). Can. Entomol. 144(8): 657-666. Hutchison,W., M. Moratorio, and J.M. Martin. 1990. Morphology and biology of Trichogrammatoidea bactrae (Hymenoptera: Trichogrammatidae), imported from Australia as a parasitoid of pink bollworm (Lepidoptera: Gelechiidae) eggs. An. Entomol. Soc. Am. 83(1): 46-54. King, E.G., L.F. Bouse, D.L. Bull, R.J. Coleman, W.A. Dickerson, W.J. Lewis, J.D. Lopez, R.K. Morrison, and J.R. Phillip. 1986. Management of Heliothis spp. in cotton by augmentative releases of Trichogramma pretiosum Ril. J. Appl. Entomol. 101: 2-10. Knipling, E.E. 1992. Principles of insect Parasitism Analyzed From New Perspectives. USDA Agric. Hand Book No. 693. 331 pp.
Mangundojo, R.G.S. 1958. Pengendalian Mengenai Penggerek Polong Crotalania puncea L. di Jawa. Balai Besar Penyelidikan Pertanian 153: 1-101. Manjunath, T.M. 1972. Biological studies on Trichogrammatoidea armigera Nagaraja, a new dimorphic egg parasite of Heliothis armigera Hubner in India. Entomophaga 17(2): 131-147. Marwoto dan K.E. Neering. 1988. Pengendalian hama kedelai dengan insektisida di lahan sawah setelah padi. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. 11 hlm. Marwoto, E. Wahyuni, dan K.E. Neering. 1991. Pengelolaan pestisida dalam pengendalian hama kedelai secara terpadu. Monograf Balittan Malang No. 7. 38 hlm. Marwoto, Supriyatin, dan T. Djuwarso. 1997. Prospek pengendalian hama penggerek polong kedelai (Etiella spp.) dengan parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pertanian 16(3): 71-76 . Marwoto. 1999. Rakitan teknologi PHT pada tanaman kedelai. hlm. 67-97. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang. Marwoto dan Supriyatin. 1999. Efektivitas teknik pelepasan parasitoid Trichogrammatoidea bactrae-bactrae untuk mengendalikan hama penggerek polong kedelai Etiella spp. pada pertanaman kedelai. hlm. 1-40. Laporan Teknis Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbiumbian, Malang. Marwoto, Suharsono, dan Supriyatin. 1999. Hama kedelai dan komponen pengendalian hama terpadu. Monograf Balitkabi No. 4. 50 hlm.
Marwoto dan Supriyatin. 2000. Daya sebar dan efikasi parasitoid T. bactraebactrae dalam mengendalikan hama penggerek polong kedelai. Penelitian Pertanian 19(1): 15-21. Marwoto. 2001. Potensi dan peluang parasitoid Trichogramma untuk menekan populasi hama pada tanaman kedelai. hlm. 103-109. Prosiding Seminar Nasional Kinerja Teknologi untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Marwoto. 2002a. Daya parasitisasi parasitoid Trichogrammatidae sebagai pengendali hama penggerek polong kedelai. hlm. 349-355. Prosiding Seminar Teknologi Inovatif Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Marwoto. 2002b. Prospek parasitoid telur Trichogramma sebagai agens hayati pengendalian hama dalam pertanian organik. hlm. 209-220. Prosiding Seminar Pertanian Organik, Jakarta, 2-3 Juli 2002. Metcalf, R.L. 1974. Insecticide in Pest Management. John Wiley and Sons, New York. p. 235-274. Mudjiono, G. 1994. Peranan serangga entomofagus. Pengendalian Hayati terhadap Serangga Hama. Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang. 178 hlm. Naito, A. and Harnoto. 1984. Ecology of the soybean podborers Etiella zinckenella Trcitschke and Etiella hobsoni Butler. Contrib. Centr. Res. Inst. Food Crops. Bogor, No. 72. Naito. A., T. Djuwarso, and J. Soejitno. 1991. Some aspects of the biological characteristics of Etiella pod borer in tropical humid areas. p. 65-67. Pro-
ceeding of Final Seminar on the Strengthening of Pioneering Research for Palawija Crops Production (ATA-378), Bogor, 4-5 March 1991. AARD, CRIFC, BORIF, and JICA. Naito, A. dan T. Djuwarso. 1993. Biological control of Etiella pod borer. hlm. 1-8. Risalah Simposium Penelitian Tanaman Pangan 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Newton, P. J. 1990. Inundative releases of Trichogrammatoidea cryptophlebiae Nagaraja against Cryptophlebia leucotreta Meyrick on citrus. p. 217-219. Trichogramma and Other Parasites. Proc. 3rd Int. Symp., San Antonio, Texas, USA. Nurindah, G. Gordh, and B.W. Cribb. 1997. Oviposition behavior and reproductive performance of Trichogramma australicum Girault (Hymenoptera: Trichogrammtidae) reared in artificial diet. Aust. J. Entomol. 36: 87-93. Nuridah. 2000. Teknik perbanyakan massal parasitoid telur Trichogrammatidae. Workshop on Development and Utilization of Parasitoids. Pusat Kajian PHTIPB. hlm. 1-16. Oatman, E. R. and G. R. Platner. 1978. Effect of mass release of Trichogramma pretiosum against Lepidopterous pests on processing tomatoes in Southern California, with notes on host population trends. J. Econ. Entomol. 71: 896-900. Okada, T., J. Soejitno, M.S. Pabbage, dan W. Tengkano. 1988. Jenis dan penyebaran penggerek polong dan pemakan polong kedelai di Indonesia. Seminar Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, 6 Desember 1988. 27 hlm. Pak, G. A. 1988. Selection of Trichogramma for Inundative Biological Control. A Study of Behavioural Variations Among Strains and Species of an Egg-
Parasite Genus. Doctorate Dissertation, Wageningen Agric. Univ., the Netherlands. 224 p. Pedigo, L.P. 1989. Entomology and Pest Management. Mac Millan Publ., New York. 646 pp. Rauf, A., H. Triwidodo, dan Widodo. 1994. Penggunaan pestisida oleh petani kedelai di tingkat Kabupaten di Jawa Barat. Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Kedelai melalui Penerapan PHT Kedelai. Bappenas-Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. 13 hlm. Resznik, S.Ya., D.G. Chernoguz, and K.B. Zinovjeva. 1992. Host Search, Host Selection and Host Parasitoid Interrelations in Alysia manducator (Hymenoptera: Braconidae). Zoological Institute St. Petersburg. http: www. Zin.ru/labs/expent [accessed on 7 August 2004]. Resznik, S.Ya., N.D. Voinovich, and T. Ya. Umarova. 2000. Host Selection, Oviposition and Egg Retention in Trichogramma. Zoological Institute St. Petersburg. Scholz, R.C.G. 1991. Evaluation and selection of native egg parasitoids for bollworm management in Australian cotton. Colloques de 1 INRA 56: 235238. Senft, D. 1991. Thwarting one of cottons hameless. Agric. Res. Washington 39(8): 21-22. Stehr, D.W. 1974. Parasitoid and predator in pest management. p. 135 -173. In Introduction to Insect Management. John Wiley and Sons, New York. Stern, V. M., R.F. Smith, R. van den Bosch, and K. S. Hagen. 1959. The integrated control concept. Hilgardia 29: 81-101. Sumarno. 1999. Strategi pengembangan produksi kedelai nasional mendukung
Gema Palagung 2001. hlm. 7-22. Prosiding Lokakarya Pengembangan Produksi Kedelai Nasional. Soejitno, J. 1987. Status and current research of soybean insect pest in Indonesia. Soybean Research and Development in Indonesia Workshop, Cipayung, Bogor. 16 pp. Tarumingkeng, R. 1977. Dinamika pestisida dalam lingkungan. Pestisida di Indonesia. Edisi Khusus LPPP 3: 59-63. Untung, K. 1993. Penggunaan pestisida oleh petani tanaman pangan di Provinsi Jateng dan DI Yogyakarta pada tahun 1989. Ilmu Pertanian 5(2): 575-585. van Dijken, M.J., M. Kole, J.C. van Lenteren, and A.M. Brand. 1986. Host preference studies with Trichogramma evanescen West Wood (Hym.: Trichogrammatidae) for Mamestra brassicae, Pieris brassicae and Pieris rapae. Zeitschift for Angewanate Entomologie (101): 64-85. Varma, G. C. and P. P. Singh. 1987. Effect of insecticides on the emergence of Tri-
chogramma brasiliensis (Hymenoptera: Trichogrammatidae) from parasitized host eggs. Entomophaga 32(5): 443-448. Voegele, J. 1988. Reflections upon the last ten year of research concerning Trichogramma (Hymenoptera: Trichogrammatoidea). In J. Voegele, J. Waage, and J. van Lanteren (Eds.). Trichogramma and Other Parasites. Proc. 2nd Int. Symp., Guangzhou, China, 10-15 November 1986. Xiong, H., L. K. Huang, L.Y. Fen, M.Q. Zhi, L.L. Ying, and Z.L. Chu. 1988. Preliminary study on selection for insecticide-resistant strain of Trichogramma joponicum Ashamed. p. 467471. In J. Voegele, J. Waage, and J. van Lanteren (Eds.). Trichogramma and Other Parasites. Proc. 2nd Int. Symp., Guang-zhou, China, 10-15 November 1986.