PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK POLONG KEDAWUNG (Parkia roxburghii G. Don.) PADA TAHAP PASCAIMPLANTASI LANJUT TERHADAP FERTILITAS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI
Oleh :
FUAD AL AHWANI 0801145027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA JAKARTA 2012
PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK POLONG KEDAWUNG (Parkia roxburghii G. Don) PADA TAHAP PASCAIMPLANTASI LANJUT TERHADAP FERTILITAS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) BETINA GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI Disusun sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh : FUAD AL AHWANI 0801145027
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF.DR.HAMKA JAKARTA 2012
ABSTRAK
FUAD AL AHWANI. Pengaruh Pemberian Ekstrak Ethanol Polong Kedawung (Parkia roxburghii G.Don.) Pada Tahap Pasca Implantasi Lanjut Terhadap Fertilitas Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Betina Galur Sprague Dawley. Skripsi Jakarta: Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendididkan Universitas Muhamadiyah Prof.DR.HAMKA 2012. Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui adanya efektivitas pengaruh ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut tikus putih betina galur Sprague Dawley terhadap Kematian Pasca Implantasi (KPI). Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2011- April 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi UHAMKA, Jl. Tanah Merdeka, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimental dengan menggunakan Rancang Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dengan enam ulangan. Penelitian menggunakan 24 ekor tikus betina yang dibagi dalam empat kelompok yang dibagi menjadi empat perlakuan, yaitu: 0, 0,5, 1,5 dan 2,5 gr/kg b.b. Perlakuan diberikan setiap hari pada hari ke-11-14 kebuntingan. Setelah kebuntingan hari ke- 15 tikus dibedah dan diamati jumlah implantasi, fetus hidup, fetus mati dan korpus luteum. Pengamatan dilakukan terhadap ratarata persentase KPI. Pemberian ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut dengan menggunakan dosis 0 dan 0,5 g/kg b.b memiliki persentase KPI sebesar 0%. Pada dosis 1,5 g/kg b.b memiliki persentase KPI sebesar 5,18% dan pada dosis 2,5 g/kg b.b persentase KPI nya sebesar 9,65%. Data yang diuji dengan menggunakan uji Chi kuadrat (X2), menunjukkan semua data KPI tidak berdistribusi normal dan dengan uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa keempat dosis peyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung tersebut, tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap KPI. Dari hasil yang didapatkan, disimpulkan bahwa pemberian ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut, cenderung menurunkan fertilitas tikus putih (Rattus novergicus L.) betina galur Sprague Dawley. Kata Kunci : Polong Kedawung, Tikus Putih, Pascaimplantasi lanjut
iii
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia- Nya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada suri teladan ummat, Rasulullah Saw. beserta keluarga, sahabat dan pengikutnya sampai akhir zaman. Skripsi ini penulis ajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat dalam meraih gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini, dari mulai pengumpulan data, pengolahan hingga penyusunan data, penulis banyak sekali menemui kesulitan-kesulitan. Tetapi berkat rahmat dan izinNya, serta adanya bimbingan, bantuan dan motivasi yang diperoleh penulis, akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga kepada : 1. Dr. Sukardi. M.Pd, Dekan FKIP Universitas Muhammadiyah Prof. DR.Hamka Jakarta. 2. Dr. Budhi Akbar, M.Si, Ketua Program Studi Biologi UHAMKA dan sekaligus juga sebagai pembimbing I, yang telah memberikan banyak saran yang membantu penulis, sehingga penulis sangat terbantu dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Dra. Meitiyani, M.Si, Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran dan pemecahan dari permasalahan yang penulis hadapi selama proses penelitian dan selama penyusunan skripsi ini sehingga penulis amat terbantu dalam menyelesaikan proses dalam penulisan skripsi.
iv
4. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Biologi yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dalam membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 5. Teristimewa kepada Ibundaku dan Ayahandaku tercinta yang senantiasa memberikan do’anya yang tulus setiap waktu dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, baik material maupun spiritual. 6. Teman satu penelitian yaitu Mawar, Ade dan Indah yang selalu membantu penulis dalam melakukan penelitian meskipun mereka sudah selesai terlebih dahulu. 7. Kakak penulis Meutia Primanita yang selalu mendoakan bersama orang tua penulis untuk kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsinya. 8. Teman-teman mahasiswa biologi yang selalu mendoakan penulis selama penelitian dan penyelesaian skripsi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada semua pihak yang telah membantu penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Tangerang, Juni 2012.
Penulis
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii ABSTRAK .............................................................................................................. iii KATA PENGANTAR ............................................................................................ iv DAFTAR ISI ............................................................................................................ vi DAFTAR TABEL ................................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. B. C. D. E. F.
Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1 Identifikasi Masalah .............................................................................. 3 Pembatasan Masalah .............................................................................. 3 Perumusan Masalah ............................................................................... 3 Tujuan Penelitian ................................................................................... 4 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 5 A. Kajian Teori ............................................................................................ 5 1. Tanaman Kedawung ........................................................................ 5 2. Tikus Putih ....................................................................................... 8 3. Mekanisme Kerja Hormon Steroid................................................... 24 4. Mekanisme Kerja Kontrasepsi Hormon Steroid............................... 24 B. Kerangka Berpikir .................................................................................. 26 C. Hipotesis ............................................................................................... 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 28 A. B. C. D. E.
Tujuan Operasional Penelitian ............................................................... 28 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................ 28 Metode Penelitian .................................................................................. 28 Variabel Penelitian .................................................................................. 29 Bahan dan Alat Penelitian ...................................................................... 29 vi
F. G. H. I.
Prosedur Penelitian .................................................................................. 31 Teknik Pengumpulan Data ..................................................................... 35 Hipotesis Statistik .................................................................................... 35 Analisa Data ............................................................................................. 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 37 A. Hasil Penelitian ...................................................................................... 37 B. Pembahasan ............................................................................................ 38 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 41 A. Kesimpulan ............................................................................................ 41 B. Saran ...................................................................................................... 41 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 42
vii
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1
: Data Biologi Tikus.......................................................................... 9
Tabel 2
: Tata Letak Rancangan Penelitian.................................................... 29
Tabel 3
: Persentase KPI dari tikus yang diberi berbagai dosis ekstrak etahnol polong kedawung pada umur kebuntingan 11-14 ............ 37
Tabel 4
: Data hasil pengamatan .................................................................... 46
Tabel 5
: Data perhitungan persentase KPI ................................................... 46
Tabel 6
: Distribusi frekuensi observasi dan frekuensi ekspektasi ................ 46
Tabel 7
: Pengujian perbedaan dalam pengaruh pemberian empat dosis Yang bervariasi ekstrak etahnol polong kedaung ........................... 55
Tabel 8
: Urutan peringkat data...................................................................... 55
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1
: Pohon kedaung ............................................................................. 5
Gambar 2
: Struktur kimia ß sitosterol ........................................................... 7
Gambar 3
: Tikus putih betina galur Sprague Dawley.................................... 8
Gambar 4
: Proses pembelahan embiro mencit.............................................. 20
Gambar 5
: Skema kerangka berpikir............................................................. 26
Gambar 6
: Diagram KPI tikus yang diberi ekstrak ethanol polong kedaung berbagia dosis pada umur kebuntingan ke-15 ........................... 38
Gambar 7
: Uterus tikus setelah pembedahan hari ke-15............................... 45
ix
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1
: Uterus tikus setelah pembedahan pada hari kebuntingan 15... 45
Lampiran 2
: Hasil pengamatan ................................................................. 46
Lampiran 3
: Uji Normalitas dengan uji chi kuadrat..................................... 47
Lampiran 4
: Uji Kruskal Wallis................................................................... 54
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jakarta merupakan sebuah kota besar yang mempunyai laju perkembangan ekonomi yang sangat pesat, sehingga menjadi magnet bagi penduduk daerah lain untuk mencari kerja dan bahkan tinggal di Jakarta. Banyaknya pendatang tersebut, akan menyebabkan terjadinya kepadatan penduduk di Jakarta, hal ini bisa dilihat dari sensus yang dilakukan oleh Suku Dinas Kependudukan (2011) yang menunjukkan jumlah penduduk di Jakarta sebesar 8.524.190 jiwa (Anonim, 2011). Untuk menanggulangi masalah yang muncul akibat tingkat kepadatan penduduk yang tinggi tersebut, diperlukan upaya dan langkah kongkrit guna menurunkan laju pertumbuhan penduduk dan meningkatkan kualitas penduduk melalui berbagai program, baik dalam aspek kualitas maupun kuantitas. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan menekan laju reproduksi penduduk, yaitu dengan menggunakan program KB (Pitakasari, 2011). KB adalah usaha untuk mencegah dan menunda kehamilan. Untuk dapat mencapai hal tersebut maka dibuatlah beberapa cara atau alternatif yang salah satunya adalah dengan kontrasepsi. Salah satu cara kontrasepsi yang paling banyak digunakan saat ini adalah dengan cara kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi hormonal, adalah suatu cara kontrasepsi dengan menekan kerja dari hormon reproduksi yang kemudian akan
1
2
mencegah terjadinya proses kehamilan. Hormon reproduksi yang dimaksud adalah estrogen dan progesteron yang merupakan golongan steroid, oleh sebab itu maka obat kontrasepsi yang paling efektif dan banyak digunakan adalah yang berasal dari golongan steroid. Pada saat ini hampir semua jenis obat kontrasepsi merupakan merupakan hasil sintesis di laboratorium. Akibatnya, sifat alami dari obat tersebut akan berubah drastis dan akan menimbulkan efek samping yang merugikan bagi pemakainya. Oleh sebab itu dibutuhkan solusi baru untuk menemukan obat kontrasepsi alami yang tidak menimbulkan efek samping bagi pemakainya. Salah satu solusi yang mungkin dapat digunakan adalah, dengan mencari tumbuhan yang banyak mengandung senyawa steroid atau yang pada tumbuhan disebut sebagai fitosterol. Salah satu tanaman yang mempunyai banyak kandungan fitosterol di dalamnya adalah kedawung. Hal ini bisa dilihat dari penelitian pengkajian kandungan fitosterol yang dilakukan oleh Tisnadjaja et al. (2006), yang menunjukkan seluruh bagian tanaman kedawung banyak mengandung fitosterol yang terdiri dari -sitosterol dan stigmasterol terutama pada bagian polongnya. Untuk menguji solusi tersebut. dilakukanlah penelitian untuk melihat pengaruhnya terhadap kehamilan, dengan cara menyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung pada kehamilan tahap pascaimplantasi lanjut, untuk melihat pengaruhnya terhadap fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley. Jika hasil penelitian tersebut terbukti dapat menurunkan fertilitas tikus putih dan tidak menimbulkan efek samping, maka ekstrak tersebut selanjtnya dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi bagi manusia.
3
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas dapat diidentifikasi berbagai masalah yang akan muncul, yaitu : 1. Apakah ekstrak ethanol polong kedawung dapat digunakan sebagai obat kontrasepsi alami? 2. Apakah ada efek samping yang akan ditimbulkan dari pemberian kontarsepsi alami? 3. Apakah
efek
samping
merugikan
yang
dapat
ditimbulkan
dengan
menggunakan obat kontrasepsi hasil sintesis laboratorium? 4. Apakah
penyuntikan
ekstrak ethanol polong
kedawung pada tahap
pascaimplantasi lanjut dapat berpengaruh terhadap fertilitas pada tikus putih betina ? 5. Apakah penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap sebelum pascaimplantasi lanjut dapat mengurangi jumlah fetus yang dilahirkan pada tikus betina?
C. Pembatasan Masalah Dalam penelitian ini masalah
hanya dibatasi pada pengaruh penyuntikan
ekstrak ethanol polong kedawung selama tahap pascaimplantasi lanjut terhadap fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley D. Rumusan Masalah
4
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut berpengaruh terhadap fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley.
E. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pengaruh ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut terhadap ferilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley.
F. Manfaat Penelitian 1. Untuk pelajar : Dapat digunakan sebagai pembahasan dalam konsep pembelajaran biologi reproduksi dan embriologi. 2. Untuk para mahasiswa : Menambah ilmu pengetahuan mereka tentang pengaruh pemberian ekstrak ethanol polong kedawung yang dapat menurunkan fertilitas tikus putih betina dewasa. Selain itu, dapat digunakan sebagai dasar bagi para mahasiswa untuk penelitian lanjutan. 3. Untuk masyarakat : Memberikan alternatif baru tanaman obat yang bisa digunakan sebagai bahan kontrasepi tradisional yang alami dan mudah di dapat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. KAJIAN TEORI 1. Tanaman Kedawung
Gambar 1 : Pohon kedawung (Parkia roxburghii G.Don.) (Sumber : Sabarno et al., 2011).
a. Klasifikasi
Menurut Tjitrosoepomo (2002) kedawung memiliki klasifikasi sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub division
: Angiospermae
Klas
: Dicotyledoneae
Sub Klas
: Rosidae
Ordo
: Mimosaceae
Familia
: Fabaceae
Genus
: Parkia
Spesies
:Parkia javanica (Lamk) Merr.
Selain Parkia javanica, kedawung memiliki banyak nama sinonim, yaitu: Parkia timoriana (DC) Merr., Parkia roxburghii G. Don dan Parkia biglobosa 5
6
Auct, Non. Benth. Kedawung juga memiliki banyak sebutan berbeda di setiap daerah dan Negara, diantaranya, kedawung (Indonesia); peundeuy (Sunda), Sataw (Inggris), Petai kerayung (Melayu); Karieng (Thailand); Kupang atau Amarang (Philipina) (Anonim, 2011b). b. Manfaat Kedawung, merupakan salah satu jenis pohon yang berkhasiat obat dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat terutama yang tinggal di sekitar Taman Nasional Meru Betiri. Bagian yang paling banyak dimanfaatkan dari pohon kedawung adalah bijinya, baik digunakan sebagai pengobatan secara langsung atau dijual kepada pemasok industri jamu (Winara, 2001). Biji tersebut biasanya digunakan sebagai obat untuk mengobati perut kembung, kolera, dan radang usus (Sabarno et al., 2011). c. Ciri Morfologis Tanaman kedawung merupakan pohon raksasa dengan tinggi mencapai 25-40 m. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang meranggas, yang akan menggugurkan daunnya pada musim kemarau panjang (Rinekso, 2000). Pohon kedawung memiliki akar tunggang dan berwana coklat. Batang yang berkayu, tegak, dengan diameternya + 30 cm. Pada saat masih muda batangnya berwarna
coklat dan setelah tua akan berwarna lebih putih.
Daunnya merupakan daun yang majemuk dengan tangkai daun berkelenjar. Setiap daun memiliki anak daun dengan jumlah yang berbeda pada setiap cabangnya. Pada cabang pertama memiliki 15-42 pasang anak daun dan pada cabang kedua memiliki sampai 80 pasang anak daun, dengan panjang 4-10 cm
7
dan lebar 1-2 cm. Kedawung, memiliki bunga majemuk yang berbentuk bongkol dan berbunga pada akhir musim hujan (Sukito, 2003). Bunga jantan memiliki benang sari berjumlah 10 yang terletak dekat tangkai, bunga lainnya berkelamin dua dengan 10 benang sari
dan satu putik, bunga berwarna
kuning. Tanaman kedawung memiliki buah polong dengan panjang 20-36 cm dan lebar 3-4,5 cm. Di dalam polong terdapat 15-21 biji yang berwarna hitam, berbentuk bulat telur, pipih, dengan panjang 1-2 cm, lebar ± 1,5 cm, dan tebal 1,5-2 mm (Sabarno et al., 2011). d. Kandungan Kimia Kedawung
Gambar 2. Struktur kimia -sitosterol ( Sumber : Wiryowidagdo, 2007 )
Seperti yang telah dijelaskan di dalam latar belakang, obat konrasepsi yang paling banyak digunakan pada saat ini adalah yang berasal dari golongan steroid, yang pada tanaman disebut sebagai fitosterol. Ada tiga jens fitosterol yang umumnya terdapat pada tumbuhan, yaitu: sitosterol (dahulu dikenal sitosterol), stigmasterol dan kampesterol (Harborne, 1987). Salah satu tanaman yang banyak mengandung senyawa fitosterol adalah tanaman kedawung. Hal ini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh Tisnadjaja et al. (2006) pada tanaman kedawung, yang diketahui bahwa: (a)
8
Pada tanaman kedawung hanya terdapat dua jenis fitosterol saja, yaitu: sitosterol dan kampesterol. (b) Seluruh bagian tanaman kedawung antara lain biji, polong, daun, tangkai daun, dan kulit pohon mengandung senyawa fitosterol yang cukup signifikan. (c) Dari kedua senyawa fitosterol yang ada, senyawa -sitosterol merupakan komponen utama dari kandungan fitosterol yang terdeteksi pada setiap bagian tanaman. 2. Tikus Putih ( Rattus novergicus L. )
Gambar 3. Tikus putih Galur Sprague dawley (Sumber: Dok. Pribadi, 2012) Menurut Hickman et al. (2004), tikus putih dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Rodentia
Sub Ordo
: Myomorpha
Famili
: Muridae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus L.
9
Tikus merupakan binatang asli Asia, India, dan Eropa Barat. Tikus putih merupakan jenis hewan yang sering dipergunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian biologis maupun biomedis, baik secara in vitro maupun in vivo (Musahilah, 2010). Tikus putih, banyak digunakan dalam penelitian karena tikus merupakan hewan yang praktis dalam perawatannya dan cepat berkembangbiak. a. Data Biologis tikus Tabel 1. Data Biologi Tikus Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun Lama produksi ekonomis 1 tahun Umur dewasa 40-60 hari Umur disapih 21 hari Siklus kelamin Poliestrus Siklus estrus (berahi) 4-5 hari Lama estrus 9-20 jam Perkawinan Pada waktu estrus Ovulasi 8-11 jam sesudah timbul estrus Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi Berat dewasa 300-400 g jantan; 250-300 g betina Jumlah anak Rata-rata 9, dapat 20 Berat lahir 5-6 g Suhu 36-390C (Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) b. Reproduksi Reproduksi, adalah suatu cara atau suatu perilaku mahluk hidup untuk menjaga kelangsungan hidup spesiesnya. Tanpa kemampuan reproduksi tersebut, suatu jenis hewan akan segera mengalami kepunahan. Untuk dapat mengadakan aktivitas reproduksi, mahluk hidup harus memiliki beberapa komponen penting yang saling bekerjasama untuk dapat terjadinya aktivitas reproduksi tersebut. Komponen penting yang dimaksud disebut sebagai sistem
10
reproduksi. Sistem reproduksi pada hewan mamalia betina selalu melibatkan berbagai organ reproduksi, yaitu ovarium, uterus, vagina dan kelenjar mamae (Musahilah, 2010). 1) Ovarium Ovarium adalah kelenjar ganda yang dapat menghasilkan baik getah eksokrin (sitogenik) maupun getah endokrin (Lesson et al., 1996). Sebagai kelenjar endokrin ovarium dapat menghasilkan hormon estrogen, progesteron, dan relaksin. Ketiga hormon yang dihasilkan tersebut mempunyai banyak fungsi terutama dalam siklus reproduksi dan proses kehamilan (Ville et al., 1984). Bentuk ovarium ternyata sangat bervariasi sesuai dengan spesiesnya. Pada spesies mamalia yang melahirkan anak dalam jumlah banyak (politokus) memiliki ovarium yang berbentuk buah beri. Pada spesies yang melahirkan anak dalam jumlah sedikit (monotokus) ovariumnya berbentuk bulat telur (Nalbandov, 1990). Ovarium memiliki permukaan yang berbenjol-benjol, karena pada bagian permukaannya terdapat sel-sel folikel dan korpus luteum (Musahilah 2010). Bagian permukaan tersebut dibatasi oleh sejumlah epitel kubus selapis, yang disebut dengan epitel germinativum (Junqueira dan Carneiro, 1992). Di bawah epitel tersebut, terdapat selapis jaringan ikat padat yang disebut tunika albuginea (Lesson et al., 1996). Di bawah tunika albuginea terdapat daerah korteks yang ditempati oleh folikel ovarium beserta dengan oositnya.
Bagian terdalam ovarium adalah
11
daerah medulla, yang terdiri atas jaringan ikat fibroelastik yang penuh dengan jaringan saraf, pembuluh darah, dan limfe (Musahilah, 2010). Berdasarkan penjelasan diatas, ovarium memiliki dua komponen penting, yaitu folikel dan korpus luteum. a) Folikel Salah satu bagian ovarium yang memiliki peran penting dalam reproduksi adalah folikel. Folikel dikatakan penting karena di dalam folikel terdapat banyak sel telur yang ketika sudah matang akan keluar dan berjalan ke uterus untuk dibuahi oleh sperma. Folikel, berdasarkan tahap perkembangannya dapat dibedakan atas tiga jenis, yaitu: folikel primordial, folikel yang sedang tumbuh dan folikel de Graaf. Beberapa ahli histologi membagi lagi folikel yang sedang mengalami pertumbuhan ke dalam tiga kategori, yaitu: folikel primer, folikel sekunder, dan folikel tersier (Junqueira dan Carneiro, 1992). Folikel primer adalah folikel yang terdapat pada saat embrio dan beberapa ditemukan pada betina pasca dilahirkan. Folikel primer terdiri dari sebuah sel telur yang belum memiliki membran vitelina dan hanya diliputi oleh selapis epitel yang berbentuk gepeng (Lesson et al., 1996). Folikel primer kemudian akan mengalami pertumbuhan menjadi folikel sekunder. Folikel pada tahap ini sel telurnya sudah dilapisi oleh suatu membran yang disebut dengan zona pelusida. Zona pelusida, berfungsi sebagai sawar pelindung kedua dari gamet wanita yang kelak akan ditembus oleh sperma pada saat fertilisasi (Sadler, 1988). Sel folikel kemudian akan
12
sangat aktif membelah diri untuk membentuk dinding berlapis di sekitar ovum. Kemudian terjadi proliferasi sel-sel folikel yang sangat cepat di satu kutub ovum, sehingga ovum bentuknya menjadi lonjong (Lesson et al., 1996). Seiring dengan berkembangnya folikel, akan muncul ruangan-ruangan kecil yang berisi cairan jernih di dalam kerumunan sel folikel. Ruanganruangan kecil tersebut selama perkembangannya akan saling menyatu dan membentuk sebuah ruang yang besar yang disebut antrum. Folikel yang telah memiliki antrum disebut sebagai folikel tersier. Antrum yang terdapat pada folikel tersier sebenarnya merupakan ruangan yang berisi cairan yang mengandung estrogen dengan konsentrasi tinggi, yang disekresikan oleh sel teka dan granulosa pada folikel (Guyton, 1990). Seiring dengan perkembangannya folikel tersier tersebut akan menjadi masak dan bertambah besar karena adanya penimbunan cairan folikuler. Folikel yang telah masak itu disebut dengan folikel de Graaf, yang akan pecah pada saat ovulasi. b) Korpus Luteum Setelah proses ovulasi terjadi maka ruang-ruang folikel yang awalnya berisi sel telur, akan terisi dengan cairan darah dan limpa, sehingga folikel akan berubah fungsi menjadi sebuah kelenjar sementara yang disebut korpus luteum. Korpus luteum dibentuk oleh rangsang LH (Luteinzing Hormone) yang disintesis oleh pars distalis hipofisis dibawah pengawasan hipotalamus. Pengaktifan LH oleh hipotalamus disebabkan oleh adanya aktifitas estrogen yang tinggi di dalam darah, sehingga estrogen akan dihambat melalui
13
mekanisme umpan balik yaitu dengan memberi sinyal kepada hipotalamus untuk menghambat estrogen dan mengaktifkan LH. LH kemudian akan merangsang pertumbuhan korpus luteum sehingga, korpus luteum dapat menghasilkan progesteron. Progesteron inilah yang menjadi salah satu hormon utama yang harus ada selama proses kehamilan. Apabila sel telur yang telah dilepaskan pada saat ovulasi dibuahi maka korpus luteum akan bertambah besar dan dipertahankan selama proses kehamilan. Tetapi apabila sel telur tidak dibuahi maka korpus luteum akan berangsur-angsur mengecil dan akan membentuk jaringan parut yang disebut sebagai korpus albikan. (Nalbandov, 1990). 2) Tuba Uterina (Oviduk) Tuba uterina (oviduk) merupakan suatu saluran muskuko-membaranosa yang memiliki mobilitas yang luas, dengan panjang sekitar 12 cm. Oviduk dibagi dalam empat segmen, beberapa diantaranya tidak mempunyai batas yang tegas. Segmen pertama adalah bagian Intramural (pars interstialis) yang terletak di bagian dalam dinding uterus. Segmen ke dua atau isthmus dibentuk oleh bagian tuba yang berdekatan dengan uterus. Segmen ke tiga adalah ampula, yang lebih lebar dari isthmus. Segmen ke empat adalah infundibulum, yang berbentuk corong dan terletak dekat ovarium (Junqueira dan Carneiro, 1992). Ujung ovarium dari oviduk memiliki bentuk yang lebar disebut sebagai fimbria atau corong, dengan tepi yang berjumbai. Pada saat ovulasi, ujung fimbria akan banyak bergerak, yang mungkin berguna sekali bagi ovum untuk
14
menemukan jalannya menuju ke oviduk. Selain itu, fimbria ternyata dapat memungut sel telur yang tersasar di ruang tubuh atau sel telur yang sudah diovulasikan oleh ovarium dari sisi yang lain. Pada oviduk, sel telur yang telah dikeluarkan oleh ovarium akan dibuahi oleh sperma. Sel telur yang telah dibuahi, selanjutnya akan melanjutkan perjalanannya menuju uterus dan akan memperoleh nutrisi yang disekresikan oleh bagian lumen ovarium (Junqueira dan Carneiro, 1992). 3) Uterus Rahim atau uterus merupakan salah satu bagian dari saluran reproduksi yang mempunyai dinding yang tebal. Rahim mempunyai bentuk mirip buah alpukat yang kecil dengan panjang 7 cm, lebar 5 cm, dan tebal 2-3 cm. Pada umumnya uterus pada setiap spesies terdiri atas dua bagian utama, yaitu :bagian atas yang melebar disebut badan rahim (corpus uteri), bagian bawah yang berbentuk silinder disebut leher rahim (cervix uteri) (Lesson et al., 1996). Pada mamalia terdapat empat jenis uterus yang tidak sama pada setiap spesies, yaitu uterus dupleks, uterus bikornis, uterus bipartitis, dan uterus simpleks. Tikus memiliki uterus tipe dupleks, yang terdiri dari dua tanduk (kornus uteri) dan satu badan yang bersatu membenuk huruf Y. Dinding uterus terdiri atas tiga lapisan, yaitu: membran serosa, miometrium, dan endometrium. Membran serosa merupakan suatu lapisan yang membungkus seluruh organ. Miometrium, adalah lapisan tengah dari uterus yang terdiri atas tiga lapisan otot, yaitu lapisan otot dalam yang tersusun melingkar, lapisan
15
otot luar yang membujur dan lapisan vaskuler yang memisahkan kedua lapisan otot tersebut. Endometrium, adalah lapisan terdalam dari uterus yang terdiri atas lapisan epithelium yang membatasi lumen, lapisan glanduler dan jaringan pengikat (Nalbandov, 1990). Selama kehamilan miometrium berada dalam pertumbuhan yang sangat besar. Pertumbuhan tersebut disebabkan karena adanya peningkatan jumlah serabut-serabut otot polos melalui pembelahan dari sel-sel otot polos yang telah ada dan melalui rediferensiasi sel-sel jaringan penyambung intrasel menjadi serabut-serabut otot baru, serta hipertrofi serabut-serabut otot polos yang telah ada. Setelah kehamilan, serabut-serabut otot polos akan mengalami destruksi, pengurangan ukuran serabut-serabut otot polos lainnya, dan degenerasi enzimatik kolagen. Destruksi yang terjadi tersebut akan menyebabkan ukuran uterus berkurang sampai hampir mencapai ukuran sebelum kehamilan (Junqueira dan Carneiro, 1992). 4) Vagina Vagina merupakan saluran reproduksi terpanjang yang terletak di bagian dorsal uretra dan bagian ventral rektum. Vagina terbagi menjadi dua bagian, yakni vestibulum (bagian terluar vagina) dan vagina posterior (meluas dari muara uterus sampai serviks). Vagina tidak mempunyai kelenjar, namun walaupun demikian vagina tetap mampu untuk menghasilkan lendir. Lendir pada umumnya ditemukan di bagian lumen dan akan menjadi sangat banyak apabila betina sedang berahi. Lendir ini pada awalnya berasal dari serviks,
16
yang kemudian mengalir ke dalam lumen vagina pada saat berahi (Nalbandov, 1990). Vagina mempunyai tiga lapis dinding yaitu, lapisan mukosa, otot, dan adventisia. Lapisan mukosa vagina memiliki sel epitel yang sering terkelupas terus-menerus dan akan memperlihatkan bentuk yang berbeda pada setiap siklus estrusnya (Lesson et al., 1996). Perubahan epitel pada vagina pertama kali diketahui oleh Stockard dan Papanicolau, juga Long dan Evans, mereka pada awalnya mengamati bahwa jaringan epitelium vagina selalu berubah setiap siklusnya. Epitelium vagina secara siklik rusak dan dibangun kembali, bervariasi dari bentuk skuama berlapis sampai kuboid rendah. Atas dasar itulah lapisan mukosa vagina banyak digunakan untuk melihat perubahan siklus estrus mamlia, terutama untuk mamlia yang mempunyai siklus estrus yang pendek, dengan menggunakan tekhnik apusan vagina (Nalbandov, 1990). Terdapat empat jenis tahap di dalam siklus estrus yang pada setiap tahap tersebut terdapat bentuk epithelium yang berbeda-beda, yaitu : a) Fase estrus Fase estrus merupakan suatu keadaan dimana hewan betina berkeinginan kuat untuk melakukan koitus dan berlangsung selama 9-15 jam. Pada siklus estrus hewan betina biasanya akan lebih aktif dan mengalami perubahan perilaku termasuk bergerak-geraknya telinga dan lordosis, atau melengkungya punggung dalam menanggapi perlakuan manusia atau mendekatnya hewan jantan.
17
Pada tahap estrus, epitel pada mukosa vagina akan mengalami mitosis secara cepat sehingga lapisan epitel akan menjadi menanduk. Epitel menanduk, terjadi karena adanya kandungan estrogen yang tinggi di dalam darah sehingga akan menyebabkan terjadinya proliferasi dari sel-sel epitel vagina. Sel-sel menanduk berperan penting pada saat kopulasi, karena sel-sel ini membuat vagina pada mencit betina tahan terhadap gesekan penis pada saat kopulasi. Menjelang estrus berakhir, di dalam lumen vagina akan terdapat suatu masa seperti keju yang terdiri dari sel-sel menanduk dengan inti berdegenerasi dan leukosit, yang berguna untuk memfagositosis sperma yang tidak berhasil masuk ke dalam sel telur (Turner dan Bagnara, 1988). b) Fase Metestrus Metestrus terjadi segera setelah ovulasi dan periodenya berakhir 10-14 jam sesudah ovulasi tersebut (Turner dan Bagnara, 1988). Pada tahap ini telah terbentuk korpus luteum yang dibentuk dari sel-sel granulose folikel yang telah pecah di bawah pengaruh LH dari adenohipofisa (Toelihere, 1979). Pada saat ini korpus luteum sedang aktif memproduksi progesteron yang berfungsi mempersiapkan uterus untuk menerima zigot. Apabila kebuntingan tidak terjadi akan menyebabkan uterus, korpus luteum dan saluran reproduksi lainnya beregresi ke keadaan yang kurang aktif yang disebut diestrus (Toelihere, 1979).
18
c) Fase Diestrus Tahap selanjutnya adalah tahap diestrus, tahap ini merupakan suatu periode istirahat yang akan berakhir 60 sampai 70 jam setelah siklus metestrus. Pada tahap ini uterus akan mengecil, anemik dan agak kontraktil. Selain itu mukosa vagina tipis dan banyak mengandung leukosit (Turner dan Bagnara, 1988). Apabila pada tahap ini tidak terjadi proses pembuahan, maka korpus luteum akan berdegenerasi menjadi korpus albikan dan akan menghilang sebelum terjadi ovulasi berikutnya. Namun, jika terjadi pembuahan dan kehamilan korpus luteum akan dipertahankan (Surjono, 2000). d) Fase Proestrus Pada fase proestrus terjadi penebalan endometrium dan mukosa vagina. Pada saat ini dinding uterus lebih tebal, halus, dan lebih berglandular serta kelenjarnya tumbuh maksimal dan mengeluarkan cairan yang disebut uterine milk. Pada fase ini folikel ovarium dalam keadaan matang dan menghasilkan hormon estrogen, yang menandakan datangnya birahi pada hewan betina (Surjono, 2000). c. Fertilisasi Fertilisasi adalah suatu proses penyatuan atau peleburan antara gamet jantan dengan gamet betina sehingga membentuk zigot. Proses fertilisasi pada mamalia dimulai dari bergeraknya sperma melalui saluran kelamin betina. Selama perjalanannya dalam saluran kelamin betina, sperma akan mengalami
19
proses kapasitasi yang memberikan kekuatan bagi sperma untuk melakukan reaksi akrosom. Waktu yang diperlukan oleh sperma untuk kapasitasi bervariasi pada setiap mamalia, yaitu: pada mencit kurang dari satu jam, dan pada primata dan manusia antara 5-6 jam. Pada proses kapasitasi terjadi pelepasan glikoprotein yang menyelaputi sperma dan perubahan membran plasma sperma. Sperma yang tidak terlibat dalam proses fertilisasi akan dibersihkan dari saluran kelamin betina, adapun sperma yang berada dibagian oviduk akan dimakan oleh sel-sel fagosit. Pada kebanyakan mamalia temasuk manusia, ovum yang telah diovulasikan harus dibuahi dalam waktu 24 jam jika tidak maka kemampuan fertilitas dan valiabilitasnya akan menurun (Surjono, 2000). d. Implantasi Implantasi adalah proses tertanamnya embrio mamalia pada tahap blastosis akhir dalam endometrium uterus induk. Implantasi dimulai dengan menempelnya trofoblas yang menutupi inner cell mass. Tempat implantasi embrio pada endometrium adalah spesifik untuk hampir setiap jenis hewan. Pada hewan ternak, implantasi hanya dapat terjadi pada tempat-tempat khusus berupa penonjolan mukosa uterus yang aglandular dan disebut crancule. Implantasi embrio umumnya terjadi pada endometrium uterus bagian dorsal, yaitu pada umur kehamilan enam atau tujuh hari. Umur kebuntingan saat terjadinya implantasi berbeda-beda pada berbagai hewan, yaitu: pada anjing 14 hari, mencit dan tikus 4,5-6 hari, kelinci 7-8 hari, dan sapi 30-45 hari.
20
Sebelum proses implantasi berjalan normal blastosis yang baru menempel akan mendapatkan makanan dari cairan yang disekresikan oleh kelenjar uteri yang terletak di uterus, dan juga dari reruntuhan sel-sel epitel endometrium. Setelah proses implantasi berjalan sempurna, pertumbuhan embrio sangat tergantung kepada persediaan darah di dalam endometrium (Hardjopranjoto, 1995). 1) Proses Implantasi Setelah satu hari proses fertilisasi, zigot akan mengalami serangkaian pembelahan mitosis, sehingga mengakibatkan bertambahnya jumlah sel mulai dai dua sel, empat sel, delapan sel awal, dan menjadi morula dalam waktu 3-4 hari (Surjono, 2000 dan Sadler, 1988).
Gambar 4: Proses pembelahan embrio mencit (Sumber: Surjono, 2000) Morula dengan cepat akan berjalan di dalam tuba falopi menuju rongga uterus. Selama perjalanannya melalui kanalikuli zona pelusida, sejumlah
21
cairan akan disekresikan ke dalam morula yang menyebabkan embrio menjadi berongga dan sel-sel yang di bagian dalam berkelompok pada satu cincin eksternal dan akan membentuk struktur yang disebut blastosis (Surjono, 2000). Selama perjalanan menuju uterus blastosis akan mengalami gastrulasi, yaitu proses penataan kembali sel-sel embrio secara terintegrasi oleh berbagai gerakan morfogenik (Surjono, 2000). Setelah mencapai rahim zona pelusida mengembang dan menipis. Selanjutnya, sekitar 50% bagian blastosis akan masuk ke dalam stroma endometrium. Setelah itu, sel trofoblas superfisial akan mengalami deferensiasi menjadi sitotrofoblas (lapisan dalam) dan sinsitiotrofoblas (lapisan luar). Jonjot trofoblas dengan cepat terbentuk dan menginvasi stroma endometrium secara terkendali. Pada hari ketujuh pasca fertilisasi.
Jonjot trofoblas membentuk inti
mesodermal dan masuk lebih dalam ke endometrium. Pada hari ke-10 pasca fertilisasi, inner cell mass akan mengalami diferensiasi menjadi lapisan ektodermal, lapisan mesodermal dan lapisan endodermal. Selain terbentuk inner cell mass, pada hari ke-10 pasca fertilisasi juga terjadi pembentukan rongga kecil berisi cairan yang akan menjadi kantung amnion. Pada hari ke-12 Trofoblas blastosis mengalami diferensiasi menjadi sinsitium primitif dan sinsitrofoblas. Mesoblas mengalami diferensiasi dan mengisi seluruh kavum blastosis, sehingga terbentuklah lakuna dalam sinsitium (Toelihere, 1979).
22
e. Hormon-homon reproduksi Seperti halnya manusia kunci siklus reproduksi tikus betina terletak pada hipotalamus yang berhubungan dengan kelenjar hipofisis. Siklus reproduksi berlangsung dengan bantuan hormon gonadotropin yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisis bagian anterior melalui sistem portal hipotalamus-hipofisis. Hormon gonadotropin terdiri atas FSH (Follicle Stimulating Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan juga prolaktin. Selain ketiga hormon tersebut ada satu lagi hormon yang berpengaruh terhadap siklus reproduksi terutama pada hari kehamilan ke-13, sampai partus yang disebut dengan Luteotropic Hormone (Nalandov, 1990). FSH atau Folicle Stimulating Hormone mempunyai beberapa fungsi, yaitu menginisiasi perkembangangan folikel ovarium, menstimulasi sekresi hormon estrogen dari sel folikel (Scanlon dan Sanders, 1991). Estrogen yang dihasilkan oleh FSH mempunya fungsi utama, yaitu: menyebabkan proliferasi dan pertumbuhan sel jaringan organ seks dan jaringan lain yang berhubungan dengan reproduksi, selain itu estrogen juga mengubah epitel vagina dari kuboid menjadi berlapis yang jauh lebih resisten terhadap trauma dan infeksi daripada epitel prapubertas (Guyton, 1990). Kemampuan estrogen untuk merangsang perkembangan jaringan yang terlibat dalam reproduksi seperti yang disebutkan diatas itu, dilakukan oleh estrogen dengan cara meningkatkan kecepatan sintesis protein, rRNA, mRNA, tRNA, dan DNA. Sehingga, jaringan tersebut akan mengalami perkembangan dengan sangat cepat (Murray et al., 2003).
23
Seperti yang telah kita ketahui LH adalah hormon yang disekresikan oleh pituitari anterior yang mempunyai beberapa fungsi, diantaranya menyebabkan ovulasi, menstimulasi sekresi progesteron dengan korpus luteum (Scanlon dan Sanders, 1991). Progesteron berasal dari kata pro dan gesterone yang berarti for gestation (Regelson et al., 1996). Progesteron yang dihasilkan oleh LH di ovarium, pada umumnya akan mengurangi aktivitas proliferatif yang dimiliki oleh hormon estrogen terhadap epitel vagina dan mengubah epitel uterus dari fase proliferatif ke fase sekretorik (Murray et al., 2003). Selain hal tersebut diatas progesteron memiliki beberapa efek terhadap uterus dan tuba falopi. Pada uterus, fungsi progesteron adalah meningkatkan perubahan sekresi pada endometrium jadi menyiapkan uterus untuk implantasi ovum yang telah dibuahi (Guyton, 1990). Selain itu, progesteron juga mempercepat pertumbuhan pembuluh darah ke endometrium dan menyediakan nutrisi untuk fetus dan juga mencegah kontraksi dari miometrium (Scanlon dan Sander, 1991). Pada tuba falopii, progesteron berfungsi untuk meningkatkan perubahan sekresi pada mukosa yang melapisi tuba falopii. Sekresi ini penting untuk nutrisi pada ovum yang telah dibuahi, yang sedang membelah waktu ia berjalan dalam tuba falopii sebelum implantasi. Selain estrogen dan progesteron ada pula hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina yaitu prolaktin. Penggolongan hormon prolaktin sebagai salah satu dari hormon gonadotrofik ternyata masih menjadi perdebatan dikarenakan, hormon prolaktin bersifat luteotrofik pada tikus dan
24
mencit saja, sedangkan pada mamalia yang lain prolaktin tidak bersifat luteotrofik. Pada mencit dan tikus, hormon prolaktin dikatakan bersifat luteotrofik karena hormon tersebut dapat merangsang pertumbuhan dari desidouma pada uterus tikus, dan bersama-sama LH berguna untuk merangsang korpus luteum menghasilkan hormon progesteron (Toelihere, 1979). 3. Mekanisme Kerja Hormon Steroid Hormon steroid merupakan hormon yang larut dalam lemak, sehingga dapat dengan mudah menembus membran sel dari targetnya dan masuk ke sitosol.dalam sitosol sel targetnya, hormon steroid akan mengadakan ikatan secara non kovalen dengan reseptor yang ada di sitoplasma membentuk hormon-reseptor kompleks. Selanjutnya komplek hormon-reseptor tersebut akan ditranslokasikan ke dalam nukleus dan mengadakan interaksi dengan genom, yaitu pada kromosom tertentu. Gen yang diaktifkan ini kemudian akan membentuk enzim yang penting untuk mengubah fungsi sel, dengan cara yang khas (Wulangi, 1993 dan Amstrong, 1995). 4. Mekanisme Kerja Kontrasepsi Hormon Steroid Ada dua jenis hormon steroid yang berperan dalam siklus reproduksi dan kedua jenis hormon tadi digunakan sebagai kontrasepsi hormonal. Kedua hormon tersebut adalah estrogen dan progesteron. Estrogen dapat bekerja sebagai alat kontrasepsi yang dapat mempengaruhi beberapa tempat dengan mekanisme berbeda, yaitu:
25
a. Ovulasi Estrogen dapat menghambat proses ovulasi melalui efek umpan balik negatif pada hipotalamus, yang kemudian mengakibatkan supresi pada FSH dan LH kelenjar hipofisis. Dengan demikian dapat menghambat pengeluaran hormon estrogen sehingga proses ovulasi terhambat. b. Implantasi 1) Implantasi dari blastosit yang sedang berkembang terjadi pada hari keenam setelah fertilisasi, dan ini dapat dihambat bila lingkungan endometrium tidak dalam keadaan optimal. Kadar estrogen yang berlebihan atau kurang akan menyebabkan pola endometrium yang abnormal sehingga menjadi tidak baik untuk implantasi. 2) Implantasi dari ovum yang tidak dibuahi juga dapat dihambat oleh estrogen dosis tinggi yang diberikan sekitar pertengahan siklus pada senggama yang tidak dilindungi, dan ini disebabkan karena terganggunya perkembangan endometrium yang normal. c. Transpor gamet / Ovum Pada percobaan binatang, transport gamet/ovum akan dipercepat oleh estrogen, dan ini disebabkan karena efek hormonal pada sekresi dan peristaltic tube serta kontraktilitas uterus. d. Luteolisis Yaitu degenerasi dari korpus luteum yang menyebabkan penurunan yang cepat dari produksi estrogen dan progesteron oleh ovarium sehingga jaringan endometrium dibuang dan menyebabkan penurunan kadar progesteron serum,
26
dan selanjutnya mencegah implantasi yang normal yang mungkin disebabkan oleh efek pemberian estrogen dosis tinggi pasca senggama.
B. KERANGKA BERPIKIR Hipotalamus Polong kedawung Hipofisa anterior
GnRH Fitosterol
FSH -sitosterol
LH
Kampesterol Estrogen
Fetus mati
Progesteron
Endometrium
Gambar 5. Skema Kerangka Berpikir Hipotalamus akan menghasilkan GnRH untuk merangsang kelenjar hipofisis untuk mengeluarkan hormon FSH dan LH. FSH berperan menghasilkan hormon estrogen dan LH akan menghasilkan progesteron. Estrogen dan progesteron yang dihasilkan tersebut berguna untuk mempertahankan korpus luteum dan penting selama proses kehamilan. Hormon estrogen dan progesteron dapat dihambat apabila dilakukan pemberian zat yang bersifat estrogenik dari luar tubuh. Hal ini dapat dilihat dari
27
penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung yang mengandung senyawa fitosterol yang bersifat estrogenik. Penyuntikan ekstrak tersebut akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar estrogen di dalam darah. Tingginya kadar estrogen dapat menyebabkan terjadinya umpan balik negatif terhadap estrogen, dengan cara tubuh mengirim sinyal ke hipotalamus untuk menekan sekesi GnRH. Terhambatnya sekresi GnRH menyebabkan hipofisis anterior, menekan sekresi FSH dan LH. Dengan tidak dihasilkannya FSH dan LH, akan menyebabkan tidak dihasilkannya hormon estrogen dan progesteron, sehingga aliran pembuluh darah ke endometrium menjadi berkurang. Berkurangnya aliran pembuluh darah pada endometrium akan berdampak pada berkurangnya suplai nutrisi untuk fetus, sehingga fetus akan kelaparan dan apabila berlangsung lama fetus dapat mengalami kematian.
C. Hipotesis Ho : Tidak terdapat pengaruh pemberian ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut terhadap penurunan fertilitas tikus putih betina Galur Sprague Dawley H1 : Terdapat pengaruh pemberian ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut terhadap penurunan fertilitas tikus putih betina Galur Sprague Dawley.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Operasional Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menghitung kematian pascaimplantasi (KPI) tikus putih (Rattus norvegicus L.) betina galur Sprague Dawley pada tahap pascaimplantasi lanjut.
B. Waktu Dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2011-April 2012. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi UHAMKA, Jl. Tanah Merdeka, Pasar Rebo, Jakarta Timur
C. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode eksperimental, dengan menggunakan desain Rancangan Acak Lengkap (RAL). dengan empat perlakuan dan enam ulangan, yang diperoleh berdasrkan rumus Frederer, yaitu : (t-1) (n-1) ≥ 15, dimana t adalah jumlah kelompok perlakuan, dan n adalah jumlah ulangan (hewan percobaan setiap kelompok perlakuan). Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus betina yang dibagi dalam empat kelompok. Penelitian ini menggunakan enam baki, dimana setiap baki berisi empat tikus dari keempat perlakuan yang berbeda-beda.
28
29
Tabel 2. Tata letak rancangan penelitian
B1 C5
A5
B4
D6
A6
A3 D1
C2
A4
B2
C3
B3
D4
C6
A2
D5
D2 A1
B6
D3
C1
B5
C4
Keterangan : A : Kelompok kontrol (minyak zaitun) B : Kelompok tikus yang diberi penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung dosis 0,5 g/ kg b.b C : Kelompok tikus yang diberi penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung dosis 1,5 g/kg b.b D : Kelompok tikus yang diberikan penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung dosis 2,5 g/kb b.b
D. Variabel Penelitian 1.
Variabel bebas pada penelitian ini adalah pemberian ekstrak etanol polong kedawung dengan dosis 0,5, 1,5, dan 2,5 g/kg b.b.
2.
Variabel terikat pada penelitian ini adalah penurunan fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley.
E. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat penelitian
30
a. Kandang perlakuan dengan menggunakan baki yang bagian atasnya ditutup anyaman kawat. b. Botol minum, yang dibuat dari botol beling bekas dengan tutup yang diberi pipa bekas antenna. c. Alat bedah, kaca objek, pipet, syringe, lampu Bunsen, gelas ukur, alat bedah, spatula, gelas ukur. d. Mikroskorp cahaya e. Timbangan digital 2. Bahan penelitian a. Ekstrak ethanol polong kedawung Ekstrak tersebut diperoleh dari Balitro Bogor. b. Hewan percobaan Hewan percobaan yang dipakai dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus novergicus L.) betina, yang diperoleh dari Badan Penelitian Obat dan Makanan (BPOM), Balitvet dan IPB. c. Makanan dan minuman hewan uji Pakan tikus berupa pelet yang diperoleh dari pasar hewan Barito, Jakata dan minumannya air isi ulang yang diberikan secara ad libitum. d. Bahan kimia Bahan yang digunakan adalah NaCl 0,9%, metilen blue, kloroform, minyak zaitun, amonium sulfide, dan alkohol. e. Sekam padi dan kapas.
31
F. Prosedur Penelitian 1. Persiapan hewan uji Dalam persiapan hewan uji ada 3 langkah yang dilakukan, yaitu: a. Pemilihan Tikus putih betina yang dipilih adalah tikus betina galur Sprague Dawley berumur 2-4 bulan, dengan berat badan berkisar antara 135-250 g sebanyak 24 ekor. Adapun, tikus putih jantan yang digunakan adalah tikus jantan yang fertil (untuk dikawinkan dengan tikus betina) dengan berat badan 300-400 g sebanyak delapan ekor. b. Perawatan Tikus ditempatkan di dalam kandang kelompok perlakuan yang dilengkapi dengan tempat makan dan minum. Alas pada kandang yang berupa sekam padi diganti setiap seminggu dua kali. Tikus diberi makan yang berupa pelet dua kali sehari dan diberi minum air isi ulang satu botol sehari selama percobaan. c.
Aklimatisasi Tikus diaklimatisasi selama satu minggu agar dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Tikus yang nampak sakit biasanya memiliki aktifitas yang berkurang, bulu-bulunya banyak yang berdiri dan lebih banyak diam. Untuk tikus tersebut tidak diikutsertakan dalam penelitian. Selama penelitian tikus berada dalam ruangan dengan suhu 27oC dan waktu
pencahayaan
seimbang antara terang dan gelap (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998). 2. Persiapan Bahan uji
32
Bahan uji yang merupakan ekstrak ethanol polong kedawung didapatkan dari Balitro. Pembuatan ekstrak ethanol polong kedawung dilakukan dengan cara: polong kedawung dicuci dengan air bersih, lalu dikeringkan dengan cara dijemur di dalam ruangan tanpa terkena sinar matahari langsung selama 14 hari, atau dikeringkan dalam oven dengan suhu tidak lebih dari 500C. Selanjutnya polong yang telah kering ini digiling menjadi serbuk halus (simplisia) dengan menggunakan mesin penggiling simplisia. Simpilsia tersebut selanjutnya direndam (maserasi dengan ethanol 96%, guna penarikan fitosterol dari siimpilsia polong kedawung tersebut). Langkah selanjutnya adalah campuran simplisia – ethanol disaring. Filtrat yang didapatkan dari hasil penyaringan tadi kemudian dipekatkan dangan cara diuapkan dengan menggunakan rotator evaporator, sehingga didapatkan larutan pekat (Musahilah, 2011). 3. Pembuatan apusan vagina a. Beri tanda pada setiap kaca objek sesuai dengan identitas tikus yang diperiksa. b. Genggam badan tikus dengan tangan kiri (dengan menggunakan sarung tangan), kemudian melilitkan ekornya pada jari kelingking agar ekor tidak menghalangi vagina. c. Ambil sedikit larutan NaCl 0,9% dengan menggunakan pipet. d. Masukkan pipet kedalam lubang vagina (jangan sampai terbentuk celah, agar udara tidak masuk). e. Semprotkan larutan NaCl 0,9% ke dalam vagina kemudian hisap kembali larutan tersebut ke dalam pipet secara langsung beberapa kali.
33
f. Teteskan larutan NaCl 0,9% yang sudah dibilas ke dalam vagina tersebut ke permukaan kaca objek. g. Keringkan kaca objek dengan lampu bunsen. h. Berikan cairan metilen blue di atas preparat tersebut dan membilasnya dengan air biasa, lalu dijemur hingga kering. i. Periksa preparat di bawah mikroskop. j. Catat fase dari setiap preparat masing-masing tikus (apabila terdapat sperma maka dianggap sebagai hari pertama kebuntingan). 4. Langkah-langkah penelitian a. Pengawinan tikus Tikus-tikus betina yang berada pada fase proestrus akhir atau estrus, dicampurkan dengan tikus jantan dalam satu kandang dengan perbandingan tiga betina dan satu jantan (3:1). b. Pengecekan kebuntingan Setelah tikus betina dicampurkan dengan tikus jantan, keesokan harinya (pagi hari) dibuat kembali apusan vagina untuk mengetahui adanya sperma atau tidak. Adanya sperma maka diasumsikan telah terjadi fertilitas dan ditetapkan sebagai hari pertama kebuntingan atau (H-1). c. Perlakuan Pada tahap pascaimplantasi lanjut yaitu pada umur 11-14 hari, tikus disuntik secara subkutan berturut-turut dengan konsentrasi 0,5, 1,5, dan 2,5 g/kg b.b, masing-masing untuk kelompok perlakuan 1, 2, dan 3. Sedangkan untuk
34
kelompok kontrol diberi minyak zaitun. Selanjutnya, tikus-tikus yang hamil tersebut dipisah serta ditempatkan masing-masing dalam kandang tersendiri. d. Pembedahan Berat badan tikus ditimbang pada saat awal kebuntingan, pada saat awal diberi perlakuan hingga pembedahan. Setelah perlakuan penyuntikan selesai, yaitu pada kebuntingan hari ke-15 tikus dibius dengan kloroform dan selanjutnya dibedah. Pembedahan dilakukan dengan melentangkan tikus di atas papan bedah. Kulit perut yang terletak dekat vulva diangkat dengan pinset lalu digunting. Pembedahan mengikuti arah tanduk uterus tikus yang berbentuk dupleks, yaitu dilanjutkan kearah kiri dan kanan mengikuti garis tanduk uterus. Otot dinding perut dibedah seperti pada pembedahan kulit perut. Ketika ovarium dan uterus yang berisi embrio sudah terlihat, lalu kedua ovarium tikus beserta uterus dilepaskan dengan gunting kecil dan dimasukkan ke dalam larutan NaCl 0,9% secara terpisah. Korpus luteum dilepaskan dari bursa yang membungkus ovarium dengan menggunakan pinset dan gunting. e. Pengamatan Pada kedua tanduk uterus dan ovarium dilakukan pengamatan mengenai jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, jumlah fetus mati, dan jumlah korpus luteum. Jumlah implantasi dinyatakan dengan jumlah fetus yang berhasil berimplantasi, baik itu fetus hidup, mati, maupun teresorbsi. Untuk mengetahui apakah fetus tersebut mati maupun hidup, dilakukan dengan melihat warna dari fetus. Apabila fetus berwarna putih maka fetus dikatakan mati dan apabila fetus berwarna agak kemerah-merahan maka fetus tersebut dikatakan hidup.
35
Setelah mengetahui jumlah korpus luteum, jumlah implantasi, jumlah fetus hidup, dan jumlah fetus mati, lalu dilanjutkan dengan menghitung persentase Kematian Pascaimplantasinya dengan menggunakan rumus persentase KPI. Adapun rumus perhitungan KPI per induk tikus setelah data diperoleh menurut (Adnan lihat Akbar 1998) adalah sebagai berikut : Persentase Kematian Pasca Implantasi (KPI) :
G. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menghitung jumlah implantasi, fetus hidup, fetus mati dan korpus luteum per tikus.
H. Hipotesis Statistik Ho: μK=μP1= μP2= μP3 Hi : μK≠ μP1= μP2= μP3 Keterangan : μK
:Kontrol, rata-rata persentase KPI tanpa pemberian ekstrak ethanol polong kedawung.
μP1 :Rata-rata persentase KPI dengan pemberian dosis 0,5 g/kg b.b ekstrak ethanol polong kedawung. μP2 :Rata-rata persentase KPI dengan pemberian dosis 1,5 g/kg b.b ekstrak ethanol polong kedawung. μP3 :Rata-rata persentase KPI dengan pemberian dosis 2,5g/kg b.b ekstrak ethanol polong kedawung.
36
I. Analisis Data Data yang telah diperoleh diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Chi kuadrat (X2) dan uji Bartlett untuk mengetahui homogenitas variansi data. Karena data yang diperoleh tidak berdistribusi normal, tidak perlu dilanjutkan uji homogenitas tapi dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Parameter dari penelitian pengaruh penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung pada hari ke-11-14 (Pascaimplantasi lanjut) adalah Kematian Pasca Implantasi (KPI). Data hasil penelitian dosis ekstrak ethanol polong kedawung yang bervariasi pada rentang waktu tersebut disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Persentase kematian pascaimplantasi (KPI) dari tikus yang diberi berbagai dosis ekstrak ethanol polong kedawung pada umur kebuntingan 11-14 Dosis Jumlah Rata-rata (g/kg b.b)
Hewan uji
FH
FM
Kontrol
6
7,5
0
7,5
0
0,5
6
9,17
0
9,17
0
1,5
6
8,83
0,33
9,17
5,18
2,5
6
8,83
1
9,83
9,65
Ket: FH : Fetus Hidup KL : Korpus Luteum
KL
KPI (%)
FM : Fetus Mati KPI: Kematia Pascaimplantasi
Dari data terlihat bahwa persentase kematian pascaimplantasi (KPI), yang terendah diperoleh pada kelompok kontrol yang hanya diberikan minyak zaitun dan kelompok tikus yang diberi dosis 0,5 g/kg b.b, yaitu 0%. Pada dosis 1,5 dan 2,5 g/kg b.b ditemukan fetus yang mati dengan rata-rata persentase KPI pada dosis tersebut sekitar 5,18% dan 9,65%.
37
38
Dari data yang diperoleh, menunjukkan rata-rata persentase KPI cenderung meningkat dengan bertambahnya dosis yang disuntikan, walaupun secara statistik menunjukkan bahwa nilai KPI diantara keempat perlakuan cenderung tidak berbeda. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji hipotesis melalui uji Kruskal Wallis yang memberikan hasil X2crit 0,95(3) (7,81) > H (7,38). Gambar di bawah ini merupakan diagram yang menggambarkan efektifitas ekstrak ethanol polong kedawung terhadap KPI :
KPI (%) 12% 10% 8% 6% 4% 2% 0%
9,65 5,18
% 0
0.5
1.5
KPI (%)
2.5
Dosis ethanol polong kedawung g/kg b.b
Gambar 6. Diagram KPI tikus yang diberi ekstrak ethanol polong kedawung berbagai dosis pada umur kebuntingan 11-14 hari.
B. Pembahasan Hasil pengujian statistik nonparametrik dengan Uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa data persentase KPI pada tikus yang diberi ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut dosis 0,5, 1,5 dan 2,5 g/kg b.b tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Namun demikian, persentase kematian pascaimplantasi cenderung meningkat dengan semakin tingginya dosis yang diberikan.
39
Persentase KPI yang tidak terlalu tinggi pada tikus yang diberi ekstrak ethanol polong kedawung pada dosis 1,5 dan 2,5 g/kg b.b pada hari ke-11-14 kehamilan, kemungkinan disebabkan karena tidak maksimalnya proses penghambatan FSH dan LH. Hal ini dikarenakan oleh FSH dan LH hanya bertanggung jawab dalam menjaga proses kehamilan tikus pada hari 1-12 kehamilan saja dan hari ke-13 sampai melahirkan digantikan oleh hormon LTH (prolaktin), yang merupakan hormon nonsteroid dan mempunyai pelepas yang berbeda dengan FSH dan LH. Sehingga, proses penghambatan FSH da LH yang diinginkan hanya berlangsung pada hari ke-11 dan 12 saja, adapun untuk hari ke-13 da 14 meskipun tetap diberi perlakuan, LTH tetap dihasilkan untuk mendukung kehidupan fetus (Nalbandov, 1990). Masih ditemukannya fetus yang mati mungkin dikarenakan penghambatan FSH dan LH yang terjadi pada hari ke-11 dan 12 kehamilan, sehingga pada saat itu estrogen dan progetsteron terhambat. Dengan demikian fetus akan mengalami kematian, dikarenakan suplai nutrisi untuk fetus yang berasal dari pembuluh darah endometrium dan uterine milk terhambat akibat rendahnya konsentarsei kedua hormone tersebut. Selain karena faktor di atas rendahnya nilai KPI yang didapatkan, mungkin juga disebabkan oleh adanya tembuni/plasenta yang menjadi penghasil homon steroid utama pada saat pertengahan kehamilan, yang mampu untuk menghasilkan hormon estrogen dan progesteron 30-40 kali lebih besar dari yang dihasilkan oleh korpus luteum. Kemampuan plasenta dalam menghasilkan kedua hormon steroid tersebut, dikarenakan oleh adanya peran dari homon Chorionic Gonadotrofin,
40
yang mempunyai kemiripan dengan hormon LH, yang dapat merangsang plasenta untuk dapat menghasilkan kedua hormon steroid tersebut. Adanya estrogen dan progesteron yang dihasilkan oleh plasenta tersebut akan dapat menjaga kelangsungan hidup fetus selama kehamilan, meskipun FSH dan LH pada ovarium dihambat. (Fox, 2004; Vander et al., 2001 dan Murray, 2003). Rendahnya nilai KPI yang didapatkan pada penelitian pemberian ekstrak ethanol polong kedawung pada tahap pascaimplantasi lanjut, juga tercermin pada penelitian yang dilakukan oleh Handajani (2005), yang melakukan penelitian untuk melihat pengaruh pemberian ekstrak nanas muda yang dilakukan pada tahap pascaimplantasi lanjut juga. Penelitian menunjukkan bahwa data persentase KPI pada tahap pascaimplantasi lanjut kelompok perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol, yang menunjukkan hasil yang cenderung sama diantara keempat perlakuan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pemberian ekstrak ethanol polong kedawung (Parkia roxburghii G. Don.) dosis 1,5 dan 2,5 g/kg b.b pada tahap pascaimplantasi lanjut cenderung menurunkan fertilitas tikus putih (Rattus norvegicus L.) betina galur Sprague Dawley.
B. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui : 1. Dosis efektif dan lamanya pemberian ekstrak ethanol polong kedawung yang dapat menurunkan fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley. 2. Cara pemberian ekstrak yang lebif efektif yang dapat menurunkan fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley. 3. Pengaruh senyawa murni fitosterol yang terdapat pada polong kedawung terhadap fertilitas tikus putih betina galur Sprague Dawley.
41
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, B. 1998. Pengaruh Mangostin Terhadap Fertilitas Tikus Putih (Rattus novergicus L. ) Betina Wistar. Tesis. Bandung: ITB Amstrong, F. B. 1995. Buku Ajar Biokimia (Biochemistry). Alihbahasa, R.F. Maulany. Jakarta : EGC. Anonim, 2011. Grafik Penyebaran Penduduk DKI Jakarta http://www.kependudukancapil.go.id/index.php/statistik/penduduk-dkijakarta/42-statistik/4-jumlah-penduduk-provinsi-dki-jakarta.Diakses Tanggal 28 September 2011. Campbell, N.A., Reece, B. J., Mitchell, G. L. 2004, Biologi Jilid II. Alihbahasa, Wasmen. Jakarta: Erlangga. Fox, I. S. 2004. Human Physiology Eight Edition. New York: The Mc Graw–Hill Companies, Inc. Ganong, F.W. 1993. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology); Alihbahasa, M.Djauhari Widjajakusumah et al, Jakarta: EGC. Guyton, C.A. 1990. Fisiologi Manusia Dan Mekanisme Penyakit (Human Physiology an Mechanisms of Disease); Alihbahasa, Petrus Andrianto. Jakarta: EGC. Handajani. 2005. Pengaruh Pemberian Ekstrak Buah Nanas (Ananas comosus L. Merr.) Muda Pada Tahap Pascaimplantasi Lanjut Terhadap Fertilitas Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Betina Galur Sprague Dawley. Skripsi. Jakarta: UHAMKA. Harbone, B.J. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan oleh J.B.Harbone Terbitan Kedua; Alihbahasa, Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: ITB. Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga University Press. Hartanto, H. 1994. Keluarga Berencana Dan Kontrasepsi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Hickman, P. C., Roberts, S. L., Larson, A., I’anson, H. 2004. Integrated Principles Of Zoology. New York : The Mc Graw Hill Companies, Inc. 42
43
Junqueira, C.L. dan Carneiro, J. 1992. Histologi Dasar (Basic Histology). Jakarta: EGC. Lesson, S. T., Lesson, R. C., Paparo, A. A. 1996. Buku Ajar Histologi (Textbook of Histology); Alihbahasa, Yan Tambayong, dkk.. Jakarta: EGC. Murray, K.R, Garner, K.D, Mayes, A.P, Rodwell, W.V. 2003. Biokimia Harper Edisi 25; Alihbahasa, Anna.P.Bani, Tiara M.N, Sikumbang. Jakarta: EGC. Musahilah, T. 2010. Efek Pemberian Daun Maja (Aegle marmelos Corr.) Terhadap Fertilitas Tikus Betina. Skripsi. Bogor: IPB. Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Alihbahasa, Sunaryo Keman. Jakarta: Universitas Indonesia. Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Malang: Universitas Brawijaya Malang. Pitakasari, A. R. 2011. Penduduk Indonesia 214 juta jiwa. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/07/05/Inua4prediksibkkbn-2011-penduduk-indonesia-241-juta-jiwa Diakses Tanggal 28 September 2011. Ramadanti, A. W. 2011. Pengaruh Pemberian Ekstrak Etil Asetat Herba Patika Kebo (Euphorbia hirata L.) Pada Tahap Praimplantasi Terhadap Fertilitas Tikus Putih (Rattus novergicus L.) Betina Galur Sprague Dawley. Skripsi. Jakarta: UHAMKA. Regelson, W. dan Colman, C. 1996. The Super Hormone Promise Nature’s Antidote Aging. New York: Simon & Schuster Inc. Rinekso, J. A. 2000. Model Penduga Produksi Biji Kedawung (Parkia roxburghii G. Don) Di Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Bogor: IPB. Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Alihbahasa, Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB. Sabarno, Y. M., Indriani, D., Hidayat, A. 2011. Laporan Praktikum Konservasi Tanaman Obat. Laporan Praktikum. Bogor: IPB. Sadler, T.W. 1988. Langman Embriologi Kedokteran (Langman’s Medical Embryology); Alihbahasa, Irwan Susanto. Jakarta: EGC. Scanlon, C.V, dan Sanders, T. 1991. Essentials of Anatomy and Physiology. F.A Philadelphia: Davis Company.
44
Smith,B. J dan Mangkoewidjojo,S. J. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia. Sukito, A. 2003. Status Rhizobium dan Cendawan Mikoriza Arbuskula (CMA) Pada Kedawung (Parkia timoriana) dai Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur. Skripsi. Bogor: IPB Sumali, W. 2007. Kimia & Farmakologi Bahan Alami. Jakarta: EGC. Surjono, T. W. 2000. Perkembangan Hewan. Jakarta: UT Tisnadjaja, D., Hidayat, L. S., Sumirja, S., Simanjutak, P. 2006. Pengkajian Kandungan Fitosterol Pada Tanaman Kedawung (Parkia roxburghii G. Don). Laporan Penelitian. Bogor: LIPI. Tjitrosoepomo, G. 2002. Taksonomi Tumbuhan (Spermathophyta). Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Toelihere, M. R. 1979. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Bandung: Angkasa.
Turner, D dan Bagnara, T.J. 1988. Endokrinologi Umum. Alihbahasa, Harsojo. Yogyakarta: Airlangga University Press. Vander, A., Sherman, J. dan Luciano, D. 2001. Human Physiology The Mechanisms of Body Function. New York: The Mc Graw-Hill Companies, Inc. Ville, C. A., Walker, W. F. dan Barnes., R. D. 1984. Zoologi Umum (General Zoology). Alihbahasa, Nawangsari Sugiri. Jakarta: Erlangga. Winara, A. 2001. Beberapa Aspek Ekologi Kedawung (Parkia Timoriana (DC) Merr. Bogor: IPB. Wiryowidagdo, S. 2007. Kimia dan Farmakologi Bahan Alam. Jakarta: EGC. Wulangi, S.K. 1993. Prinsip-Prinsip Fisiolog Hewan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Zuhud, AM.E. 2007. Bio-Ekologi Tumbuhan Obat Kedawung (Parkia timoriana (DC Merr.) di Hutan Alam Taman Nasional Meru Betiri. Laporan penelitian. Bogor: IPB.
LAMPIRAN 1
(Dok. Pribadi, 2012) Gambar 7. Uterus tikus setelah pembedahan pada kebuntingan hari ke-15.
Keterangan: A : Kontrol (minyak zaitun)
B : Dosis 0,5 g/kg b.b
C : Dosis 1,5 g/kg b.b
D : Dosis 2,5 g/kg b.b
45
46
LAMPIRAN 2 Hasil Pengamatan
Tabel 4. Data hasil pengamatan KL 8 11 7 6 9 4 7,5
Kontrol
IM 8 11 7 6 9 4 7,5
FH 8 11 7 6 9 4 7,5
FM 0 0 0 0 0 0 0
KL 7 12 10 11 7 8 9,17
0,5 g/Kg b.b IM 7 12 10 11 7 8 9,17
FH 7 12 10 11 7 8 9,17
Keterangan : KL : Korpus Luteum FH : Fetus Hidup
FM 0 0 0 0 0 0 0
KL 14 8 7 12 9 5 9,17
1,5 g/Kg b.b IM 14 8 7 12 9 5 9,17
FH 14 8 7 12 8 4 8,83
FM 0 0 0 0 1 1 0,33
IM FM
KL 11 10 9 6 10 13 9,83
2,5 g/Kg b.b IM 11 10 9 6 10 13 9,83
: Implantasi : Fetus Mati
Tabel 5. Data Persentase Kematian Pascaimplantasi (KPI) No 1 2 3 4 5 6 ∑X X SD SD²
0 (Kontrol) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dosis (g/kg b.b) 0,5 1,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 11,11 0 20 0 31,11 0 5,18 0 8,51 0 72,42
2,5 9,091 20 11,11 0 10 7,69 67,89 9,65 6,43 41,34
FH 10 8 8 6 9 12 8,83
FM 1 2 1 0 1 1 1
47
LAMPIRAN 3 Uji Normalitas Distribusi Data dengan Uji Chi Kuadrat (X2)
1. Tujuan : Untuk mengetahui normalitas distribusi data persentase kematian pasca implantasi (KPI). 2. Hipotesis : Kematian Pasca Implantasi H0 : data persentase kematian pasca implantasi tidak berdistribusi normal Hi : data persentase kematian pasca implantasi berdistribusi normal 3. Statistik Pengujian
Keterangan : X2 : Chi kuadrat Oi : frekuensi observasi Ei : frekuensi ekspektasi l x n 4. Kriteria Pengujian H0 ditolak jika X2hitung < X2tabel 5. Taraf Nyata Pengujian Untuk α = 1 % dengan db = k – 3 = 3, maka X2tabel 0,99 (3) = 11,3 6. Perhitungan Statistik a. Kematian Pasca Implantasi 1) Menentukan rata-rata 4,13
48
2) Menentukan standar deviasi SD = 7,75 3) Membuat daftar frekuensi observasi dan frekuensi ekspektasi K = 1 + 3,3 log n K = 1 + 3,3 log 24 K = 1 + 4,55 K = 5,55 → 6
→4
Keterangan : n = banyaknya data K = banyaknya kelas P = panjang kelas 4) Menghitung X2 Tabel 7. Distribusi frekuensi observasi dan frekuensi ekspektasi Kelas 0–3 4–7 8 – 11 12 – 15 16 – 19 20 – 23
Oi 17 0 3 2 0 2
Bk -0,5 – 3,5 3,5 – 7,5 7,5 – 11,5 11,5 – 15,5 15,5 – 19,5 19,5 – 23,5
Z -0,99 & -0,50 -0,50 & 0,01 0,01 & 0,48 0,48 & 0,97 0,97 & 1,46 1,46 & 1,95
L 0,1474 0,1875 0,1884 0,1496 0,0939 0,0465
Ei 3,5 4,5 4,5 3,6 2,3 1,1
Keterangan : Oi : frekuensi observasi bk : batas kelas (batas kelas bawah → - 1, batas kelas atas → + 1) z : transformasi normal standar dari batas kelas ( ) l : luas tiap interval kelas (menggunakan daftar z) Ei : frekuensi ekspektasi (l x n) n : banyaknya data Maka :
53
5) Menentukan derajat kebebasan (db) db = k – 3 = 6 – 3 = 3 6) Menentukan nilai X2 dari daftar X2 0,99 (3) = 11,3 7) Menentukan normalitas data Ternyata X2hitung > X2tabel maka H0 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data persentase kematian pasca implantasi (KPI) tidak berdistribusi normal.
54
LAMPIRAN 4 Uji Kruskal Wallis
1. Tujuan Untuk mengetahui apakah ada atau tidak perbedaan persentase kematian pasca implantasi di antara keempat perlakuan penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung tersebut dengan dosis yang berbeda. 2. Hipotesis Kematian pasca implantasi H0
: tidak ada perbedaan pengaruh diantara keempat dosis penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung terhadap persentase kematian pasca implantasi
Hi
: ada perbedaan pengaruh diantara keempat dosis penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung terhadap persentase kematian pasca implantasi
3. Statistik Pengujian
Keterangan : R1 : rata-rata kelompok 1 R2 : rata-rata kelompok 2 R3 : rata-rata kelompok 3 R4 : rata-rata kelompok 4 n1 : banyaknya data kelompok 1 n2 : banyaknya data kelompok 2 n3 : banyaknya data kelompok 3 n4 : banyaknya data kelompok 4
55
4. Kriteria Pengujian
H0 ditolak jika X2tabel < H 5. Taraf Nyata Pengujian Untuk α = 1 % dengan db = k – 3 = 3, maka X2tabel 0,95 (3) = 7,81 6. Perhitungan Statistik. a. Kematian Pasca Implantasi Tabel 8. Pengujian perbedaan dalam pengaruh pemberian empat dosis yang bervariasi ekstrak ethanol polong kedawung KPI 0 0 0 0 0 0 n1 = 6
Kontrol Peringkat 9 9 9 9 9 9 ∑R1 = 54
0,5 g/kg b.b KPI Peringkat 0 9 0 9 0 9 0 9 0 9 0 9 n2 = 6 ∑R2 = 54
1,5 g/kg b.b KPI Peringkat 0 9 0 9 0 9 0 9 11,11 21,5 20 23,5 n3 = 6 ∑R3 = 81
2,5 g/kg b.b KPI Peringkat 9,09 19 20 23,5 11,11 21,5 0 9 10 20 7,69 18 n4 = 6 ∑R4 = 111
Tabel 9. Urutan peringkat data Peringkat 1 2 3 4 5 6
KPI 0 0 0 0 0 0
Peringkat 7 8 9 10 11 12
KPI 0 0 0 0 0 0
Peringkat 13 14 15 16 17 18
KPI 0 0 0 0 0 7,69
Peringkat 19 20 21 22 23 24
1) Menghitung jumlah peringkat untuk tiap kelompok (∑R) ∑R = ∑R 1 + ∑R2 + ∑R 3 + ∑R 4 = 54 + 54 + 81 + 111 = 300 Pemeriksaan kembali :
KPI 9,09 10 11,11 11,11 20 20
56
2) Mencari nilai H
3) Mencari nilai derajat kebebasan (df) dari daftar Untuk α = 5 % dengan df = k – 1 = 4 – 1 = 3, maka X2tabel 0,95(3) = 7,81 4) Kesimpulan uji statistik Ternyata X2tabel 0,95(3) > H maka H0 diterima. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan diantara keempat dosis penyuntikan ekstrak ethanol polong kedawung terhadap persentase kematian pasca implantasi.