1
PENGEMBANGAN PRODUK CAMILAN SEHAT COOKIES UBI JALAR (COOBIE)
AMANDA DWI GEBRINA
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
1
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Pengembangan Produk Camilan Sehat Cookies Ubi Jalar (Coobie) adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2016
Amanda Dwi Gebrina
2
3
ABSTRAK AMANDA DWI GEBRINA. Pengembangan Produk Camilan Sehat Cookies Ubi Jalar (Coobie). Dibimbing oleh AJI HERMAWAN dan TITI CANDRA SUNARTI. Saat ini, penyakit diabetes melitus menjadi penyebab utama kematian di beberapa negara. Salah satu cara pencegahannya adalah mengontrol asupan dan indeks glikemik (IG) pangan yang dikonsumsi. Ubi jalar adalah salah satu bahan pangan yang secara alami memiliki IG rendah, serta energi dan serat yang tinggi. Ubi jalar mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai suatu produk yang berbasiskan tepung ubi jalar. Salah satu pemanfaatan tepung ubi jalar adalah dalam pembuatan cookies. Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu prototipe produk cookies berbahan dasar ubi jalar dengan metode yang sesuai dengan kebutuhan konsumen dan mendapatkan informasi mutu dari produk cookies terbaik yang dihasilkan. Tahap pertama penelitian ini adalah merancang prototipe I produk, kemudian dilakukan evaluasi oleh calon konsumen untuk merancang prototipe II produk. Tahap kedua adalah karakterisasi produk terpilih meliputi uji hedonik, analisis daya cerna pati, uji kadar serat pangan, uji analisa proksimat, uji kadar natrium dan desain kemasan produk. Pada prototipe I formulasi penambahan pemanis terpilih sebanyak 8 g per 100 g tepung dan prototipe II mengganti penggunaan lemak jenuh menjadi lemak tidak jenuh. Produk Coobie memiliki keunggulan karena memiliki IG rendah yakni 35±12, daya cerna lebih lambat, tidak mengandung kolestrol, bebas gluten, dan tinggi serat. Kata kunci: cookies, indeks glikemik, prototipe produk, ubi jalar
ABSTRACT AMANDA DWI GEBRINA. Product Development of Healthy Snack Coobie Cookies from Sweet Potato. Supervised by AJI HERMAWAN and TITI CANDRA SUNARTI. Nowadays, diabetes mellitus is a major cause of death in several countries. One way to prevent is control the glycemic index (GI) of consumed food. Sweet potato is one of the commodity that have a low GI food, high energy and fiber. The sweet potato has the potential to be developed as a sweet potato flour-based products. One of the utilization of sweet potato flour is in the cookies making. This research aims to design a product prototype of Coobie cookies which made from sweet potato flour with selected process according to customer needs and to get information on the quality from best product prototype. The first step of this research was to design product prototype I, and then evaluated by customer to design a product prototype II. The second step was to characterize selected product by hedonic test, analysis of starch digestibility, analysis of dietary fiber, proximate analysis, sodium total and packaging design. In the design of formulation, prototype I was selected by the addition 8 g of sweetener per 100 g flour and prototype II replaced saturated fat become unsaturated fat. Coobie’s product has an advantage because it has a low GI 35±12, slower digestibility, no cholesterol, free gluten, and contained high fiber. Keywords: cookies, glycemic index, sweet potato, product prototype
4
5
PENGEMBANGAN PRODUK CAMILAN SEHAT COOKIES UBI JALAR (COOBIE)
AMANDA DWI GEBRINA
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
6
7
Judul skripsi : Pengembangan Produk Camilan Sehat Cookies Ubi Jalar (Coobie) Nama : Amanda Dwi Gebrina NIM : F34120110
Disetujui oleh
Dr Ir Aji Hermawan, MM Pembimbing I
Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
8
9
PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2016 ini adalah Technopreneurship, dengan judul Pengembangan Produk Camilan Sehat Cookies Ubi Jalar (Coobie). Penelitian ini dilakukan atas kerja sama dengan saudari Ignatia Herti selaku pengembangan pasar. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghrgaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr Ir Aji Hermawan, MM dan Dr Ir Titi Candra Sunarti, MSi selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan arahannya kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Dr Elisa Anggaraeni, STP MSc sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan 3. Recognition and Monitoring Program (RAMP IPB) yang telah membantu penulis selama proses penyusunan tugas akhir, baik bantuan dana maupun mentoring di lapangan 4. Ayahanda Ir. Noferial dan Ibunda Silfina, SH selaku kedua orang tua serta kakak dan adik saya Annisa Gebrina dan Amara Furqani atas doa dan dukungannya selama ini 5. Ibu Egnawati selaku laboran laboratorium DIT yang telah membantu pengembangan prototipe produk 6. Teman-teman sebimbingan Annizsa Wienneta, Nindia Sabrina, dan Andik Cahayani atas kerja sama dan masukkannya 7. Fiona, Dillan, Syifa, Nadya, Julia, Citra, Melia, Desita, Atika, Yesinia, Marvie atas semangat dan dukungannya 8. Keluarga besar TIN 49 atas bantuan dan kebersamaannya selama ini semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2016
Amanda Dwi Gebrina
10
11
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
xiii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
2
METODE
2
Bahan
2
Alat
2
Tahap Penelitian
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Pemilihan jenis produk
6
Pemilihan dan pembuatan bahan baku
9
Pembuatan cookies ubi jalar
11
Karakteristik produk terpilih
17
Pengemasan produk
21
SIMPULAN DAN SARAN
23
Simpulan Saran
23 23
DAFTAR PUSTAKA
24
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
35
12
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jadwal makan penderita diabetes melitus (DM) Jumlah total zat makanan yang dikonsumsi penderita DM per hari Syarat mutu cookies Kandungan ubi jalar per 100 g bahan Rekapitulasi permasalahan penderita DM 2 Perbandingan komponen utama formulasi prototipe I Hasil evaluasi produk prototipe I Karakteristik produk cookies Coobie Setting texture analyzer pada pengukuran cookies
7 7 9 9 12 12 15 17 27
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Metode penelitian pengembangan pasar dan pengembangan produk Proses pembuatan prototipe I Proses pembuatan prototipe II Tepung ubi jalar Cookies Coobie Skor rata-rata hasil uji hedonik produk prototipe I Skor rata-rata hasil uji hedonik produk prototipe II Kemasan primer cookies Coobie Desain kemasan akhir cookies Coobie
3 4 5 10 11 14 16 21 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 Prosedur uji 2 Form uji organoleptik 3 Analisis varian formulasi produk I untuk masing-masing parameter pada hasil uji organoleptik 4 Indeks glikemik cookies Coobie
27 31 32 34
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Saat ini penyakit degeneratif seperti hipertensi, kardiovaskular, dan diabetes melitus menjadi penyebab kematian utama di negara maju dan berkembang. Penyakit ini sebagian besar disebabkan oleh pola makan yang tidak sehat serta aktivitas fisik yang rendah. Salah satunya adalah kebiasaan mengonsumsi camilan yang tinggi lemak dan rendah serat namun tidak diimbangi aktivitas yang cukup seperti olahraga. Hal ini tentu saja dapat memicu timbulnya obesitas atau kegemukan yang dapat meningkatkan resiko terkena penyakit degeneratif lebih besar dibandingkan orang yang berat tubuhnya normal. Seiring dengan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya kesehatan dan harga obat-obatan yang kini relatif mahal maka tindakan pencegahan terhadap penyakit menjadi hal yang sangat penting. Salah satunya dengan cara mengkonsumsi camilan sehat. Camilan sehat adalah camilan yang mengandung komponen gizi makro yang cukup dan juga mengandung senyawa lain seperti senyawa bioaktif. Serat pangan merupakan salah satu komponen bioaktif yang memiliki fungsi fisiologis seperti seperti anti kanker, menjaga kolesterol dan gula darah agar tetap normal (Marsono 2008). Selain itu salah satu indikasi camilan sehat adalah memiliki kandungan indeks glikemik (IG) rendah. Indeks glikemik (IG) merupakan angka yang menunjukan potensi seberapa cepat peningkatan kadar gula darah dari karbohidrat yang ada pada suatu pangan. Pangan yang memiliki IG rendah akan lambat menaikan glukosa darah, begitu pula sebaliknya (Rimbawan dan Siagian 2004). Dengan mengetahui IG suatu produk, penderita obesitas dan diabetes melitus (DM) dapat dengan mudah memilih makanan yang mengenyangkan tetapi tidak cepat menaikkan gula darah. Salah satu pangan yang memiliki IG rendah adalah ubi jalar. Menurut Direktorat Gizi Kementerian Kesehatan RI (1993) dan Suismono (1995), dari 100 g ubi jalar dapat dihasilkan 123-360 kalori dan protein sebanyak 1.1-1.8%. Ubi jalar juga merupakan sumber gizi yang baik (vitamin A, vitamin C, kalium, besi dan fosfor), umur panen relatif pendek (3-4 bulan), dan produksi tinggi (10-30 ton/ha). Selain itu, ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dengan IG rendah yakni 54, sehingga banyak digunakan sebagai alternatif diet bagi penderita obesitas dan DM. Keberadaan ubi jalar telah dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, bahkan di beberapa daerah dijadikan makanan pokok. Dalam bentuk tepung, tepung ubi jalar diketahui memiliki kadar karbohidrat dan kalori yang hampir setara dengan tepung terigu (Antarlina 1998). Dari gambaran diatas terlihat bahwa ubi jalar mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi camilan sehat dalam bentuk cookies. Cookies ubi jalar dapat menjadi solusi camilan sehat untuk mengurangi resiko penderita diabetes melitus. Dari hal-hal tersebut, dibuatlah inovasi produk pangan berbahan dasar ubi jalar yang diolah dengan teknologi dan proses sederhana. Pengolahan dengan teknologi dan proses sederhana ini membuat kandungan yang ada pada ubi jalar tidak banyak terbuang, sehingga masih memiliki kandungan vitamin dan serat tinggi. Produk inovasi ini dapat dikonsumsi oleh penderita maupun pencegah penyakit diabetes melitus. Inovasi suatu produk tidak mudah untuk mendapatkan pasar karena ketidakcocokan antar produk dengan pasar atau product-market fit. Agar inovasi
2
produk ini dapat dikenal dan diterima oleh masyarakat, perlu adanya teknik pengembangan pasar (market development) dan pengembangan produk (product development) yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu prototipe produk cookies berbahan dasar tepung ubi jalar yang sesuai dengan penerimaan dan kebutuhan konsumen khusus serta mendapatkan informasi mutu dari produk cookies ubi jalar terbaik yang dihasilkan. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan menghasilkan prototipe produk cookies yang dapat menjadi solusi camilan sehat dengan indeks glikemik rendah dan tinggi serat sehingga cocok dikonsumsi oleh penderita diabetes melitus tipe 2 maupun untuk mencegah penyakit diabetes melitus tipe 2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi : 1. Produk cookies ubi jalar (Coobie) ditujukan bagi konsumen yang peduli tentang kesehatan dan khususnya bagi penderita diabetes dan pre-diabetes. 2. Bahan baku produk berupa ubi jalar putih yang diolah menjadi tepung, dan pembuatan cookies dilakukan dengan metode pencetakan molded cookie.
METODE Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan cookies ubi jalar pada penelitian ini antara lain ubi jalar, minyak kanola, susu skim, garam, soda kue, pisang ambon, vanili, air, dan telur. Bahan-bahan kimia digunakan untuk analisis antara lain n-heksana, K2SO4, HgO, NaOH, CuSO4, H2SO4 pekat, Na2S2O3, HCl, alkohol 95%, larutan dinitrosalisilat (DNS), larutan buffer fosfat pH 7, larutan enzim alfa amilase, glukosa murni, dan air destilata. Alat Alat yang digunakan untuk membuat cookies ubi jalar antara lain baskom, mixer, alat cetak, loyang alumunium, timbangan, kuas kue, dan oven pemanggang, sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain texture analyzer, cawan alumunium, cawan porselen, gelas piala, labu Erlenmeyer, sudip, gelas pengaduk, labu Kjeldahl, labu Soxhlet, pipet Mohr, pipet tetes, bulb, neraca analitik, glukosa strip, dan alat-alat untuk uji organoleptik.
3
Tahapan Penelitian Human-Centered Design (HCD) adalah sebuah metode inovasi yang bukan tergolong dalam proses linear. HCD menekankan pada proses iterasi dalam setiap tahapannya dalam pengaplikasiannya. Iterasi dibutuhkan untuk mempersingkat proses validasi dengan mendapatkan umpan balik yang nyata dari pengguna (IDEO 2015). Ada tiga fase dalam proses HCD, yaitu inspirasi, ideasi, dan implementasi. Pada fase inspirasi diperdalam mengenai masalah atau peluang untuk belajar memahami dan mengobservasi orang dalam mengetahui keinginan dan harapannya. Pada fase ideasi, menyelesaikan masalah maupun menangkap peluang dengan merumuskan suatu ide ide baru. Pada tahap implementasi, ide-ide dalam suatu proyek akan didorong untuk memasuki pasar yang nyata (IDEO 2015). Selama proses dalam fase ini, HCD akan membantu mengarahkan pada solusi yang diinginkan (desirable), tersedia secara teknologi (feasible), dan dapat berkelanjutan secara bisnis (viable). Melalui pendekatan ini, suatu solusi yang dihasilkan dapat berhasil dan berkelanjutan (IDEO 2015). Fase inspirasi dan ideasi adalah fase yang dilakukan pada penelitian ini. Pada penelitian ini, fase implementasi belum dilakukan. Tahap akhir dalam penelitian ini adalah verifikasi. Dua fase dalam HCD dilakukan dalam tahapan-tahapan yang dapat dilihat pada Gambar 1. Untuk menyempurnakan solusi maka dilakukan iterasi dalam setiap tahapan. Metode HCD dalam suatu penelitian dapat berbeda-beda meskipun masih dalam kerangka yang sama. Fase Pengembangan Pasar Pengembangan Produk Objek pasar Inspirasi
Observasi dan eksplorasi masalah
Ideasi
Ideasi
Prototipe
Pengumpulan umpan balik Verifikasi
Verifikasi Gambar 1 Metode penelitian pengembangan pasar dan pengembangan produk Penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yaitu pengembangan pasar dan pengembangan produk. Tahapan yang berada dalam bagian pengembangan produk
4
akan menjadi fokus skripsi ini. Tiap tahapan memiliki keluaran yang berbeda. Keluaran tersebut akan saling berkesinambungan pada setiap tahapannya. Pembuatan Prototipe Setelah mensintesis masalah dan melakukan studi literatur mengenai apa saja masalah yang dialami calon konsumen, kemudian dilakukan perbaikan fitur-fitur pada produk. Salah satu fitur yang mengalami perbaikan adalah dari segi formulasi produk. Oleh karena itu dilakukan formulasi ulang produk agar dihasilkan produk yang sesuai dengan keinginan konsumen. Formulasi produk dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi yang secara organoleptik disukai oleh konsumen. Pada prototipe I ini formulasi produk dibuat berdasarkan penelitian Lutfika (2006) yang secara umum ditunjukkan oleh Gambar 2. Prototipe II dibuat berdasarkan evaluasi oleh calon konsumen terhadap prototipe I. Evaluasi ini meliputi jumlah lemak, tepung, dan kuning telur yang digunakan. Secara umum ditunjukan oleh Gambar 3. Mentega, margarin Ubi Jalar gula, vanili Putih Pencucian
Pemotongan Perendaman dengan
Pengadukan dengan mixer
Pengadukan dengan mixer
Kuning telur
Pengadukan dengan mixer
Putih telur
Pengadukan dengan whisker
Susu skim, soda kue, terigu
Pengeringan
Penghalusan Pencetakan di loyang Pengayakan
Tepung Ubi Jalar Putih
Pemanggangan di oven 120-130 oC 1 jam
Pendinginan
Pengemasan dan pelabelan
Cookies Ubi Jalar Gambar 2 Proses pembuatan prototipe I
5
Ubi Jalar Putih Pencucian
Pemotongan
Minyak kanola, gula, garam
Pengadukan dengan mixer
Pengadukan dengan mixer
Pisang, vanili
Pengadukan dengan mixer
Putih telur
Peblansiran
Pengeringan Pengadukan dengan whisker Penghalusan
Susu skim, soda kue, maizena
Pencetakan di loyang Pengayakan
Tepung Ubi Jalar Putih
Pemanggangan di oven 120-130 oC 1 jam
Pendinginan
Pengemasan dan pelabelan
Cookies Ubi Jalar Gambar 3 Proses pembuatan prototipe II Pengujian Produk Setelah produk dibuat dengan formulasi yang berbeda-beda, dilakukan uji hedonik terlebih dahulu. Menurut Rahayu (1998) uji hedonik atau uji kesukaan dillakukan untuk memilih satu produk yang disukai di antara produk yang lain secara langsung. Uji ini dilakukan untuk pengembangan produk atau membandingkan produk dengan produk pesaing. Parameter yang diliat dari pengujian ini adalah warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan umum. Pada penelitian ini panelis diminta untuk memilih satu pilihan diantara yang lain. Produk yang tidak dipilih menunjukan bahwa produk mungkin kurang disukai. Skala hedonik yang digunakan adalah 1, 2, 3, 4, dan 5. Skala 1 untuk sangat tidak suka, skala 2 untuk tidak suka, skala 3 untuk netral, skala 4 untuk suka, dan skala 5 untuk sangat suka. Uji ini
6
dilakukan kepada 30 orang panelis terlatih. Produk yang terpilih kemudian diolah menggunakan Uji Anova dan Uji lanjut Duncan. Jika berdasarkan analisis sidik ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan selanjutnya akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan. Produk terpilih ini kemudian diuji menjadi dua bagian. Bagian pertama karakterisasi fisik yang terdiri dari densitas produk, rendemen produk, dan kekerasan produk sedangkan karakterisasi produk yang terbagi lagi menjadi dua, yaitu karakterisasi sifat fungsional produk dari daya cerna pati, uji nilai indeks glikemik, dan serat pangan. Sementara karakterisasai sifat kimia produk terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat by difference, dan kadar garam. Prosedur analisis untuk pengujian tersebut disajikan pada Lampiran 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pemilihan Jenis Produk Pemilihan produk dibuat berdasarkan identifikasi masalah pada ubi jalar putih yang dilakukan oleh saudari Ignatia Herti pada bagian pengembangan pasar. Ubi jalar putih memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk olahan dengan mempertimbangkan umur simpan produk tersebut. Produk olahan yang dipillih adalah cookies. Hal ini dikarenakan cookies merupakan camilan yang praktis sehingga dapat dikonsumsi kapan dan dimana saja. Selain itu, proses pembuatan cookies hanya membutuhkan teknologi dan alat yang sederhana serta umur simpan produk yang lebih lama jika dibandingkan produk bakery lainnya seperti cake, pastry, dan roti (Faridah et al. 2008). Setelah cookies terpilih maka dilakukan wawancara oleh pengembangan pasar pada responden yang potensial yaitu anak-anak yang obesitas. Hal ini dikarenakan mereka gemar mengonsumsi camilan dan mi sehingga cookies ini dapat diposisikan sebagai camilan. Berdasarkan wawancara didapatkan hasil bahwa penyebab utama anak obesitas adalah minum susu formula sehingga ibu dari anak obesitas tidak terlalu khawatir anaknya obesitas karena masih dalam masa pertumbuhan. Oleh karena itu, solusi produk olahan cookies bagi anak-anak obesitas tidak menjawab permasalahan. Berdasarkan hasil dari wawancara pertama, beberapa orang tua menyarankan untuk mencari anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak bisa mengonsumsi camilan komersial yang dijual pada umumnya karena mengandung gluten. Setelah dilakukan pencarian kembali, ternyata jenis dari anak autis bermacam-macam dan kebutuhannya sangat spesifik. Berdasarkan wawancara yang dilakukan ke Rumah Autis Bogor, ternyata mereka memiliki kebutuhan khusus tergantung jenis autisnya dan seberapa parah keadaannya. Selain itu, berdasarkan Matthews (2012), ubi jalar kurang baik bagi penderita autis karena kandungan pati yang tinggi. Diet karbohidrat spesifik yang umum dilakukan oleh penderita autis ini menghilangkan konsumsi gula kompleks, pati, dan biji-bijian. Diet ini bertujuan untuk mengurangi inflamasi pencernaan dan mencegah makanan yang membutuhkan enzim untuk mencerna karbohidrat (Horvath et al. 1999). Oleh karena itu, cookies ubi jalar dinilai kurang cocok untuk penderita autis.
7
Kemudian dilakukan pencarian literatur untuk menggali potensi ubi jalar. Ubi jalar memiliki indeks glikemik (IG) yang rendah, sehingga melepas gula ke dalam darah dengan sangat lambat (Mercola 2016). Indeks glikemik yang rendah baik untuk mengurangi kerja pankreas dan menghasilkan rasa kenyang yang lebih lama. Berdasarkan wawancara terhadap 5 orang penderita diabetes melitus tipe 2, mereka ternyata sering mengalami rasa lapar berlebihan karena harus menunggu jam makan dan sering kali kesulitan menjaga gula darah stabil. Kandungan bermanfaat dari ubi jalar ini dinilai sangat cocok dengan karakteristik yang dibutuhkan oleh penderita DM 2. Oleh karena itu, cookies ini difokuskan untuk menjawab permasalahan pada penderita diabetes melitus tipe 2. Produk cookies ini diposisikan sebagai camilan bagi penderita diabetes melitus tipe 2. Berdasarkan Tabel 1, penderita diabetes memiliki jadwal mengkonsumsi tiga kali selingan seperti camilan dan buah pada waktu diantara makan pagi, makan siang, dan makan malam dengan jumlah 10% dari total kalori keseluruhan yakni 2000 kkal dengan asumsi indeks massa tubuh normal. Kemudian jumlah karbohidrat dan jumlah kalori sangat diperthatikan pada produk ini, sehingga satu takaran saji pada setiap kemasan mencukupi kebutuhan jumlah kalori dan karbohidrat penderita diabetes melitus tipe 2. Selain itu, jumlah protein, lemak, serat, kolestrol serta garam juga harus dikontrol jumlahnya sesuai dengan Tabel 2. Oleh karena itu, saat pembuatan cookies karakteristik bahan baku dan bahan tambahan sangat diperhatikan.
Waktu Pukul 7.00 Pukul 10.00 Pukul 13.00 Pukul 16.00 Pukul 19.00 Pukul 21.00
Tabel 1 Jadwal makan penderita diabetes melitus (DM) Jadwal Total Kalori Makan pagi 20% Selingan 10% Makan siang 20% Selingan 10% Makan malam 20% Selingan 10%
Sumber : Suyono (1996)
Tabel 2 Jumlah total zat makanan yang dikonsumsi penderita DM per hari Sumber : Suyono (1996)
Jenis zat makanan Jumlah Karbohidrat 60-70% Protein 10-15% Lemak 20-25% Kolesterol <300 mg/hari Serat 25 g/hari Garam Dibatasi terutama bila ada hipertensi Pemanis Gunakan secukupnya Menurut SNI 01-2973-1992, cookies merupakan salah satu jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, renyah dan apabila dipatahkan penampangannya bertekstur kurang padat. Cookies merupakan salah satu jenis dari biskuit. Biskuit adalah kue manis berukuran kecil dan terbuat dari tepung terigu. Selain cookies, yang termasuk dalam jenis biskuit adalah biskuit keras, cracker, dan
8
wafer. Menurut Soenaryo (1985) cookies digolongkan menjadi dua yaitu cookies yang memiliki adonan keras atau disebut hard dough dan cookies yang memiliki adonan lunak atau disebut juga soft dough. Cookies yang termasuk adonan keras terbagi lagi menjadi dua, agak manis yaitu marie dan diragikan yaitu crackers, sedangkan cookies yang memiliki adonan lunak, dibagi menjadi batter type dan foam type. Batter type yang mana gula dan lemak dikocok terlebih dahulu, contohnya butter cookies dan lemon snaps. Sedangkan foam type dimana telur dan gula dikocok terlebih dahulu, contohnya lady finger. Cookies Coobie sendiri termasuk kedalam jenis adonan lunak (soft dough) dengan tipe batter type yang mana gula dikocok terlebih dahulu. Proses pengolahan atau pencetakan cookies menurut Gisslen (2007) cara pengolahan atau pencetakan cookies dapat diklasifikasi menjadi 7, yaitu: a. Molded cookies. Molded cookies adalah teknik pencetakan cookies dengan menggunakan tangan atau alat. Dalam pembuatan cookies tradisional, pencetakan khusus dengan meratakan adonan kemudian cetak dengan alat cetak kue. b. Pressed cookies atau Bagged cookies, berasal dari adonan yang lembut. Adonan harus cukup lembut untuk dicetak menggunakan piping bag atau pastry bag. Setelah itu, cookies dicetak di atas loyang pembakaran dengan ukuran dan bentuk yang sama. c. Dropped cookies, berasal dari adonan yang lembut. Adonan cookies kemudian didrop pada baking sheets. d. Rolled cookies, yang berasal dari adonan yang keras. Adonan didinginkan dahulu sebelum dicetak. Setelah adonan cukup dingin, kemudian adonan digiling menggunakan rolling pin dengan tebal sekitar 3 mm. Kemudian dicetak menggunakan cookies cutter dan diletakkan di atas baking sheets. e. Ice box / refrigerator, yaitu adonan cookies dibungkus dan disimpan kedalam refrigerator hingga agak mengeras, kemudian adonan dikeluarkan lalu dicetak. f. Bar cookies, yang mana adonan dibentuk menjadi long bar, kemudian adonan dibakar setelah itu dipotong. g. Sheet cookies, adonan disebar di atas baking sheet untuk memastikan ketebalannya, lalu diletakkan toping yang diinginkan atau olesi dengan telur pada permukaan atasnya, kemudian dimasukan ke dalam oven. Cookies Coobie termasuk kedalam molded cookies yang mana adonan lunak dicetak menggunakan alat cetak kue. Seperti halnya produk lain, cookies memiliki standar syarat mutu agar dinyatakan aman untuk dikonsumsi masyarakat, di Indonesia syarat mutu tersebut berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 012973-1992), dapat dilihat pada Tabel 3.
9
Tabel 3 Syarat mutu cookies Standar Cookies berdasarkan SNI 01-2973-1992 Kriteria Uji Klasifikasi Kalori (Kalori/100 g) Minimum 400 kkal Air (%) Maksimum 5 Protein (%) Minimum 9 Lemak (%) Minimum 9.5 Karbohidrat (%) Minimum 70 Abu (%) Maksimum 1.5 Serat Kasar (%) Maksimum 0.5 Logam berbahaya Negatif Bau dan rasa Normal dan tidak tengik Warna Normal Sumber: BSN (1992)
Pemilihan dan Pembuatan Bahan Baku Pembuatan prototipe produk diawali dengan pemilihan bahan baku. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk ini adalah ubi jalar. Ubi jalar yang digunakan yaitu jenis ubi jalar putih (Ipomoeae batatas L.) dikarenakan jenis ubi jalar berwarna putih lebih diarahkan untuk pengembangan tepung dan pati karena umbi yang berwarna cerah cenderung lebih baik kadar patinya dan warna tepung lebih menyerupai terigu (Rosmarkam dan Yuwono 2002). Selain itu ubi jalar putih ini merupakan komoditas unggulan di Desa Cikarawang yang produksinya melimpah namun pemanfaatannya hanya sebatas dikonsumsi langsung dan sebagai bahan baku di industri saos sambal, sehingga pemanfaatan dari ubi jalar ini masih tergolong rendah. Ubi jalar putih juga mengandung nutrisi cukup tinggi yang tidak kalah dari jenis ubi jalar lain. Komposisi nilai gizi secara lengkap disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan ubi jalar per 100 g bahan Kandungan gizi Ubi jalar putiha Ubi jalar ungua Ubi jalar kuningb Kalori (kal) 123,00 123,00 136,00 Karbohidrat (g) 27,9 22,64 32,3 Protein (g) 0,89 0,77 0,49 Lemak (g) 0,7 0,94 0,68 Air (g) 62,24 70,46 68,78 Serat kasar (g) 2,79 3,00 2,79 Abu (g) 0,4 1,2 0,3 Kadar gula (g) 0,32 0,3 0,11 % Bagian yang dapat 86,0 86,0 86,0 dimakan Sumber: a Kemenkes RI (1993) b Suismono (1995)
Pembuatan Tepung Ubi Jalar Proses pembuatan tepung ubi jalar meliputi pemilihan dan pencucian ubi jalar, pengirisan ubi jalar, blanching, pengeringan dengan sinar matahari, penggilingan ubi jalar dan penganyakan tepung ubi jalar. Bahan dasar tepung adalah ubi jalar putih yang diperoleh dari Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Mandiri
10
Jaya desa Cikarawang, Dramaga, Bogor. Tahap awal dalam pembuatan tepung ubi jalar adalah membersihkan ubi jalar dari kulitnya serta kotoran lainnya dan kemudian dicuci menggunakan air mengalir. Proses selanjutnya adalah blanching dengan suhu 95oC selama dua menit. Blanching atau blansir merupakan pemanasan pendahuluan dalam waktu singkat untuk menginaktivasi enzim yang dapat menyebabkan penurunan kualitas selama penyimpanan. Fungsi lainnya adalah untuk melembutkan tekstur, mengurangi jumlah mikroba pada bahan, dan dapat menghilangkan getah yang ada pada ubi jalar. Menurut Ticolau et al. (2016) proses steam blanching memecah pati kompleks menjadi struktur sederhana. Dalam hal ini, pati ubi jalar yang dipecah menjadi maltosa dan dekstrosa. Steam blanching juga mengurangi kandungan protein yang mempengaruhi warna produk akhir. Proses blanching juga mengurangi lemak, protein, abu, dan serat kasar serta meningkatkan pati resisten (Malomo et al. 2013). Setelah proses blanching, kandungan pati resisten menjadi meningkat. Pati resisten merupakan pati yang lebih lambat dicerna sehingga menyebabkan perasaan kenyang lebih lama dan bermanfaat bagi usus (Birt et al. 2013). Pati resisten juga membantu menurunkan kadar glukosa darah dan meningkatkan sensitivitas insulin yang sangat baik untuk penderita diabetes (Behall et al. 2006). Ubi jalar yang telah diblansir kemudian dikeringkan dengan cara dijemur di dalam rumah kaca selama kurang lebih 24 jam. Pengeringan bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar air dalam bahan melalui penguapan. Ubi jalar yang telah kering kemudian digiling untuk memperkecil ukurannya dan diayak dengan ayakan 80 mesh. Hal ini bertujuan menghasilkan tepung dengan ukuran yang seragam dan sesuai dengan SNI tepung terigu 01-3751-2009 sehingga dihasilkan tepung ubi jalar seperti yang terlihat pada Gambar 4. Selain itu ukuran tepung 80 mesh dapat meningkatkan jumlah pati resisten jika dibandingkan dengan tepung terigu komersial yakni 100 mesh. Hal ini dikarenakan semakin besar ukuran partikel maka semakin kecil rasio luas permukaan dan volume granulanya, sehingga enzim akan sulit menghidrolisis pati (Anggi 2011). Ukuran partikel juga mempengaruhi nilai indeks glikemik pangan. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin tinggi nilai indeks glikemiknya. Ukuran partikel ini akan mempengaruhi gelatinisasi pati. Proses gelatinisasi pati menyebabkan granula pati mengembang sehingga molekul pati akan lebih mudah dicerna enzim pencernaan (Rimbawan dan Siagian 2004). Jika dibandingkan dengan ukuran partikel tepung terigu komersial yang berukuran 100 mesh.
Gambar 4 Tepung ubi jalar
11
Pembuatan Cookies Ubi Jalar Pada pengolahan cookies ubi jalar, digunakan formulasi terpilih dari penelitian Rianti (2008) yang mana terdapat sedikit perbedaan pada proses pembuatannya. Proses pembuatan cookies ubi jalar yang dilakukan pada penelitian ini juga mengikuti standar proses pembuatan cookies ubi jalar pada penelitian Rianti (2008). Pembuatan cookies ubi jalar dimulai dengan proses pencampuran dan pengadukan bahan-bahan. Pertama diawali dengan pembuatan krim yang dilakukan dengan mencampur mentega, margarin, gula, dan vanili menggunakan mixer dengan kecepatan tinggi selama 10 menit. Setelah krim terbentuk, dilakukan penambahan putih telur dan kuning telur. Pencampuran ini dilakukan selama 5 menit dengan kecepatan tinggi. Terakhir ditambahkan tepung ubi jalar, tepung terigu, air, soda kue, dan susu skim kemudian diaduk dengan kecepatan rendah selama 8 menit. Adonan yang dihasilkan kemudian ditimbang bobotnya per 13 g lalu dicetak dengan bentuk lingkaran menggunakan sendok dan garpu. Proses kedua setelah pencampuran dan pengadukan bahan adalah proses pemanggangan. Pemanggangan dilakukan dengan menggunakan direct-fired oven, dimana produk mengalami pemanasan langsung dari gas atau pemanas elektrik yang terdapat dalam oven. Proses pemanggangan dilakukan selama 1 jam pada suhu 120-130 oC. Waktu dan suhu pemanggangan ini diperoleh berdasarkan trial and error pada penelitian Rianti (2008). Menurut Matz dan Matz (1978), setelah proses pemanggangan selesai, cookies harus segera didinginkan dengan tujuan untuk menurunkan suhu produk dan untuk mengeraskan cookies. Cookies formulasi terbaik dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Cookies Coobie Formulasi Prototipe I Formulasi produk pada prototipe I dilakukan untuk memperbaiki produk yang sudah ada agar sesuai dengan keinginan calon konsumen. Tahapan ini didasari oleh wawancara yang dilakukan pada beberapa calon konsumen seperti Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 penderita DM memiliki masalah sulit mengontrol gula darah agar tetap stabil karena lapar berlebihan sebelum waktu makan, khawatir dengan efek samping obat, punya komplikasi penyakit lain, sulit menjaga pola makan karena sibuk, serta ketakutan makan berlebih. Hal inilah yang menjadi dasar formulasi prototipe I dengan mencari studi pustaka mengenai standar pembuatan dan formulasi pembuatan cookies. Formulasi dasar yang digunakan mengacu pada formulasi Rianti (2008). Dari formula dasar ini dikembangkan lagi menjadi tiga formula dengan
12
perbedaan terletak pada komposisi gula dan kuning telur yang digunakan seperti pada Tabel 6. Namun formulasi awal ini hanya difokuskan pada jenis gula yang digunakan karena penderita diabetes tidak dapat menggunakan gula sukrosa. Penambahan gula ini dimaksudkan untuk memberi rasa manis. Gula berfungsi lain sebagai pembentuk tekstur (pelembut), pemberi warna, serta pengontrol penyebaran cookies karena gula dapat menurunkan Aw bahan pangan, maka gula juga berfungsi sebagai pengawet. Tabel 5 Rekapitulasi permasalahan penderita DM 2 Kategori Permasalahan Frekuensi Informasi Tidak tahu banyak cara manajemen DM2 12 Informasi banyak tapi tidak valid 7 Masih merasa kurang informasi yang benar 6 Tidak memungkinkan ikut Persadia 5 Sudah merasa cukup info dari dokter 4 Dirasa-rasa dari pengalaman sendiri saja 3 Total 37 Menjaga Lapar berlebihan sebelum waktu makan 10 Gula darah Khawatir dengan efek samping obat 8 stabil Punya maag/komplikasi penyakit lain 6 Sulit jaga pola makan karena sibuk 5 Pikiran dan stres 5 Ketakutan makan berlebih 3 Total 37 Produk Pilihannya terbatas 14 diabetes Produk diabetes mahal 10 Biaya hidup dan cek darah sudah tinggi 8 Tidak percaya pada produk yang sudah ada kalau tidak ada klaimnya 1 Total 33 Tabel 6 Perbandingan komponen utama formulasi prototipe I Komponen
Satuan
Tepung ubi jalar Tepung terigu Pemanis Susu skim Kuning telur Putih telur Mentega Margarin Vanili Soda Kue Air
g g g g g g g g g g ml
Formula dasar 80 20 40 (sukrosa) 13 16 20 50 25 0.3 0.5 5
Komposisi Formula 1 Formula 2 80 80 20 20 8 10 13 13 13 13 20 20 50 50 25 25 0.3 0.3 0.5 0.5 5 5
Formulasi 3 80 20 12 13 13 20 50 25 0.3 0.5 5
13
Formula dasar merupakan formula awal produk. Formula dasar masih menggunakan gula jenis sukrosa (gula pasir) sedangkan formula 1, 2, 3 menggunakan gula jenis pemanis sintetis sukralosa. Gula pasir merupakan salah satu karbohidrat sederhana yang di dalam tubuh dengan cepat diubah menjadi energi karena gula pasir mengandung jenis gula disakarida yaitu sukrosa, sehingga dapat menjadi gula darah dengan sangat cepat dan akan menjadi tidak sehat bila dikonsumsi secara berlebih terutama bagi penderita diabetes, sedangkan sukralosa tidak digunakan sebagai sumber energi oleh tubuh karena tidak terurai sebagaimana halnya dengan sukrosa. Sukralosa tidak dapat dicerna, dan langsung dikeluarkan oleh tubuh tanpa perubahan. Hal tersebut menempatkan sukralosa dalam golongan GRAS sehingga sukralosa sangat bermanfaat sebagai pengganti gula bagi penderita diabetes baik tipe I maupun II. Sukralosa memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 600 kali tingkat kemanisan sukrosa dengan tanpa nilai kalori (BPOM RI 2008). Sukralosa memiliki panas yang stabil, sehingga dapat digunakan dalam memasak dan pembuatan kue serta dalam pengolahan makanan yang memerlukan suhu tinggi seperti pemanggangan. Menurut Matz dan Matz (1978), semakin tinggi jumlah gula yang ditambahkan dalam adonan maka semakin keras pula produk yang dihasilkan. Penambahan putih telur dan pengurangan kuning telur dimaksudkan agar tekstur produk menjadi lebih padat dan tidak mudah hancur. Setelah dilakukan penentuan alternatif-alternatif formula, kemudian dilakukan uji hedonik untuk menentukan formula mana yang paling disukai oleh konsumen. Penerimaan produk Formulasi Prototipe I. Selama proses pembuatan prototipe I, dihasilkan 3 buah produk dari 3 perlakuan perbedaan jumlah gula yang digunakan. Ketiga produk tersebut diuji kesukaan (uji hedonik). Uji ini dilakukan untuk memilih satu produk di antara produk lain secara langsung. Uji kesukaan meminta panelis untuk harus memilih satu pilihan diantara yang lain berdasarkan tingkat kesukaan terhadap produk tersebut (Setyaningsih et al. 2010). Pada uji ini sampel ujinya adalah sampel formula 1, formula 2, dan formula 3. Sampel disajikan sekaligus. Setiap sampel diberikan kode berupa tiga digit angka acak yang mana setiap sampel menerima tiga sampel cookies berkode. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan nyata dari ketiga produk yang dihasilkan berdasarkan atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan umum.Jumlah panelis yang digunakan dalam pengujian adalah 30 orang panelis yang diperoleh secara acak. Rentang penilaian tingkat kesukaan yang digunakan yaitu 1 sampai 5, dengan keterangan sangat tidak suka, tidak suka, netral, suka, hingga sangat suka. Artinya, sampel yang lebih disukai oleh panelis akan memiliki nilai yang lebih tinggi. Sebaliknya sampel yang tidak disukai oleh panelis akan memiliki nilai yang lebih rendah. Format formulir penilaian panelis disajikan pada Lampiran 2. Hasil penilaian terhadap masing-masing atribut kemudian ditabulasikan dan dianalisis menggunakan ANOVA (Analysis of Variance) dan uji lanjut Duncan’s Multiple Test (Setyaningnsih et al. 2010). Taraf yang digunakan pada analisis Anova sebesar 1% dan menghasilkan nilai F hitung yang kemudian dibandingkan dengan nilai F tabel. Nilai F hitung yang lebih rendah mengartikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga sampel. Sementara nilai F hitung yang lebih tinggi dari F tabel mengartikan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara ketiga sampel dan harus dilakukan pengujian lanjutan menggunakan uji lanjut Duncan’s Multiple Test. Uji lanjutan ini dilakukan untuk mengetahui sampel mana yang sama
14
dan sampel mana yang berbeda dari sampel lainnya. Hasil ANOVA disajikan pada Lampiran 3. Pengolahan data uji hedonik menghasilkan nilai kesukaan rata-rata terhadap cookies ubi jalar yang disajikan pada Gambar 6.
Score rata-rata
5 4 formula 1 formula 2 formula 3
3 2 1
0 warna
aroma
rasa
tekstur
PU
.
Gambar 6 Skor rata-rata hasil uji hedonik produk prototipe I Berdasarkan grafik dapat dilihat bahwa atribut warna, nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies dengan penambahan pemanis sebanyak 12 g per 100 g tepung. Pada atribut aroma, nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies dengan penambahan pemanis sebanyak 8 g per 100 g tepung. Pada atribut rasa, nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies dengan penambahan pemanis sebanyak 8 g per 100 g tepung. Pada atribut tekstur, nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies dengan penambahan pemanis sebanyak 8 g per 100 g tepung. Terakhir atribut penerimaan umum nilai rata-rata tertinggi dimiliki oleh cookies dengan penambahan pemanis 8 g per 100 g tepung. Secara umum formula 1 merupakan produk terpilih karena dengan penambahan pemanis sebanyak 8 g per 100 g tepung sudah memberikan rasa dengan tingkat kemanisan yang pas pada lidah konsumen. Pada produk komersial, tingkat kemanisan sukralosa telah diturunkan dengan adanya penambahan sorbitol. Tingkat kemanisan dengan penggunaan jumlah sukralosa sebanyak 1 g sama dengan 5 g penggunaan jumlah sukrosa, sehingga dengan penggunaan sukralosa sebanyak 8 g, tingkat kemanisannya sudah hampir menyerupai 40 g sukrosa. Analisis ragam yang disajikan pada Lampiran 3 terhadap ketiga sampel cookies menunjukkan atribut aroma pada ketiga sampel cookies ubi jalar berpengaruh nyata terhadap skor kesukaan pada taraf signifikansi 5% (α=0.05). Analisis ragam menunjukkan bahwa skor kesukaan terhadap atribut aroma dari formula 2 tidak berbeda nyata dengan formula 3 tetapi berbeda nyata dengan formula 1 pada taraf signifikansi 5%. Hal ini menunjukkan bahwa, pada taraf signifikansi 5%, penambahan pemanis sebanyak 10 g per 100 g tepung dan 12 g per 100 g tepung tidak signifikan mempengaruhi skor kesukaan terhadap atribut aroma pada cookies ubi jalar dibandingkan dengan penambahan gula sebesar 8 g per 100 g tepung. Tingkat kesukaan terhadap atribut aroma cookies sangat dipengaruhi oleh konsentrasi pemanis yang ditambahkan. Selain itu atribut warna, rasa, tekstur, dan penerimaan umum memiliki nilai F hitung lebih rendah dibandingkan nilai F tabel. Artinya pada keempat parameter tersebut tidak terdapat perbedaan yang nyata sehingga tidak perlu dilakukan uji lanjutan. Dari kelima atribut yang diujikan, nilai rata-rata tertinggi empat atribut dimiliki oleh cookies dengan formulasi penambahan pemanis 8 g per 100 g tepung.
15
Evaluasi Produk Prototipe I. Berdasarkan hasil dari pengembangan pasar yang dilakukan Herti (2016), masih terdapat kekurangan pada produk di prototipe I, yakni konsumen menginginkan produk yang lebih sehat seperti panganan dengan indeks glikemik rendah, rendah kolestrol, membuat rasa kenyang lebih lama, rendah lemak dan kalori, tinggi serat dan praktis seperti yang dijelaskan pada Tabel 7. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilanjutkan dengan formulasi prototipe II. Tabel 7 Hasil evaluasi produk prototipe I Permasalahan dan harapan Solusi Menjaga kestabilan gula darah Lapar berlebihan makan
sebelum
waktu
Formulasi produk sehingga memiliki IG rendah (IG <55) Meningkatkan kandungan pati resisten untuk rasa kenyang yang lebih lama dalam bentuk camilan sehat Formulasi dengan mensubtitusi bahan yang mengandung kolesterol rendah Inovasi produk baru yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen Formulasi produk yang tinggi serat
Komplikasi diabetes (kolesterol, neurofati) Ketersediaan produk diabetes yang terbatas Makanan yang rendah kalori dan tinggi serat Aktivitas yang tinggi menyulitkan Produk yang praktis berupa biskuit menjaga pola makan yang benar Kurang informasi mengenai cara Upaya edukasi dan kerjasama dengan manajemen DM 2 stakeholder lain
Formulasi Prototipe II Pada tahap formulasi prototipe II dilakukan subsitusi beberapa bahan-bahan pembuatan cookies, yakni subsitusi tepung terigu menjadi maizena. Subsitusi ini dimaksudkan agar produk ini memanfaatkan tepung ubi jalar dan maizena. Sehingga cookies bebas dari kandungan gluten. Tepung terigu memiliki indeks glikemik yang cukup tinggi yakni 70 sehingga penggunaan tepung terigu dapat menaikkan kadar indeks glikemik produk (Faidah dan Estiasih 2009). Selanjutnya adalah mensubsitusi penggunaan lemak dari mentega dan margarin dengan menggunakan minyak kanola. Minyak kanola adalah minyak yang berasal dari bunga kanola (Brassicca napus L.) yang biasa ditanam di seluruh dunia khusunya di Kanada. Minyak kanola baik untuk pencegahan penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes, dan naiknya kadar kolesterol darah. Adanya asam lemak tidak jenuh yang tinggi (59%), dan asam lemak jenuh paling rendah (3,9%), serta kolestrol yang rendah yang mana dapat menghambat kenaikan kadar kolesterol jahat (LDL) dalam darah. Kolesterol dapat menyumbat arteri dan menyebabkan beban yang berlebihan pada sistem kardiovaskular. Jenkins (2014) menyatakan bahwa mengonsumsi minyak kanola dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah dan penurunan LDL (kolestrol jahat) secara signifikan. Selain itu minyak kanola juga meningkatkan asam lemak tidak jenuh tunggal dan ALA yang dapat menurunkan HBA1c. Sehingga minyak ini cocok bagi penderita diabetes melitus tipe 2. Penelitian sebelumnya juga menunjukkan
16
tingkat peningkatan asupan MUFA pada orang diabetes bisa mengurangi trigliserida dan kadar kolesterol VLDL (Garg et al. 1994). Minyak kanola dapat menggantikan fungsi mentega dan margarin dikarenakan minyak kanola juga bisa menjadi bahan pengemulsi yang fungsinya sama dengan mentega dan margarin. Bahan yang berikutnya disubsitusi adalah kuning telur dengan menggunakan pisang ambon (Musa paradisiaca). Pembuatan cookies ini menggunakan pisang yang setengah matang. Pensubsitusian kuning telur ini dimaksudkan karena kuning telur memiliki lemak jenuh yang cukup tinggi 9,551 g dan kolestrol 1234 mg per 100 g kuning telur, sedangkan pisang ambon kaya akan mineral seperti, kalium, magnesium, fosfor, besi, natrium, dan kalsium, rendah lemak, dan tidak mengandung kolestrol. Buah dari pisang ambon mempunyai efek hipoglikemik karena stimulasinya terhadap produksi insulin (Ojewole dan Adewunmi 2003). Hal ini dikarenakan pisang ambon mengandung unsur kalium dan natrium yang berkaitan dengan efek kenaikan gula darah. Serat dari pisang ambon dapat meningkatkan glikogenesis di hati dan menurunkan darah puasa glukosa (Usha et al 1989). Pisang secara alami juga merupakan pati resisten tipe 2 yang mana granula pati pisang tahan terhadap enzim pencernaan (Herawati 2011). Fungsi pisang ambon dapat menggantikan kuning telur karena dalam adonan pisang ambon berperan sebagai pemberi kelembapan sehingga cookies menjadi empuk serta mempengaruhi warna dari cookies. Selain itu, kuning telur yang digunakan jumlahnya tidak terlalu banyak dalam pembuatan adonan cookies karena hasil cookies yang diinginkan tidak perlu mengembang seperti cake.
Skor Rata-Rata
Penerimaan Produk Formulasi Prototipe II. Pada proses pembuatan prototipe II, dihasilkan satu sampel produk dari evaluasi formula prototipe I. Panelis pada uji hedonik ini merupakan orang yang sudah menderita penyakit diabetes. Berdasarkan uji hedonik didapatkan bahwa parameter yang paling disukai adalah rasa, sedangkan tekstur dinilai masih kurang disukai yakni tekstur. Pada uji penerimaan produk yang dilakukan oleh pengembangan pasar, terdapat beberapa responden yang tidak setuju dengan produk ini dikarenakan tekstur yang masih belum memenuhi harapan mereka namun responden lain cenderung dapat menerima keadaan tersebut. Tekstur yang kurang disukai ini dikarenakan penggunaan pisang ambon sebagai pengganti kuning telur yang menghasilkan cookies dengan tekstur kurang renyah. Pengolahan data uji hedonik menghasilkan nilai kesukaan rata-rata terhadap cookies ubi jalar yang disajikan pada Gambar 7. 7 6 5 4 3 2 1 0 Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Gambar 7 Skor rata-rata hasil uji hedonik produk prototipe II
17
Karakteristik Produk Terpilih Karakteristik produk yang dilakukan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah karakterisasi fisik yang terdiri dari densitas produk, rendemen produk, dan kekerasan produk. Bagian kedua adalah karakterisasi produk yang terbagi lagi menjadi dua, yaitu karakterisasi sifat fungsional produk dari daya cerna pati, uji nilai indeks glikemik, dan serat pangan. Sementara karakterisasi sifat kimia produk terdiri dari analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat by difference, dan kadar garam. Hasil karakterisasi produk cookies Coobie disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Karakteristik produk cookies terpilih Karakteristik Satuan Nilai Sifat fisik g/ml 1.10 Densitas kamba % 81 Rendemen gf 2545.2 Kekerasan Sifat Fungsional % 41.37 Daya cerna pati in vitro 35±12 Nilai indeks glikemik % 6.28 Serat pangan Sifat Kimia % 3.78 Kadar air % 0.13 Kadar abu % 3.47 Kadar protein % 32.06 Kadar lemak % 60.56 Kadar karbohidrat (by difference) % 0.34 Kadar Natrium Rendemen Rendemen produk olahan terbaik dihitung berdasarkan perbandingan berat produk olahan yang diperoleh terhadap berat adonan yang dinyatakan dalam persen (%). Pengukuran rendemen bermanfaat untuk menentukan jumlah bahan-bahan yang digunakan untuk menghasilkan produk dalam jumlah tertentu. Berdasarkan Tabel 8 diperoleh rendemen produk cookies Coobie sebesar 80,61%. Nilai rendemen dipengaruhi oleh putih telur, pisang, dan vanili yang digunakan dalam pembuatan adonan. Penggunaan air dalam adonan akan menurunkan rendemen karena pada saat dilakukan pemanggangan, air yang terkandung akan diuapkan sehingga berat produk yang dihasilkan lebih ringan daripada berat adonannya. Kekerasan Kekerasan merupakan sifat fisik dari produk pangan yang menyatakan karakteristik tekstur produk pangan sebagai gaya yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan bentuk (deformasi) (Larmond 1976). Kekerasan produk diukur dengan menggunakan alat Texture Analyzer. Kekerasan dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Berdasarkan Tabel 8 kekerasan produk cookies Coobie ini adalah 2545.2 gf. Jika dibandingkan dengan cookies ubi jalar pada penelitian Lutfika (2006) kekerasan
18
cookiesnya sebesar 1937.6 gf, cookies Coobie memiliki kekerasan yang lebih tinggi. Hal ini karena cookies Coobie tidak menggunakan tepung terigu yang mengandung gluten dan kuning telur yang dapat melembutkan hasil akhir cookies. Kadar Serat Pangan Cookies Coobie kaya akan serat pangan yang sangat baik untuk kesehatan. Serat pangan dikenal juga sebagai dietary fiber, merupakan bagian yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resisten yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan sehingga baik untuk kesehatan pencernaan. Menurut Koswara (2010) serat pangan memiliki manfaat seperti mengontrol berat badan, menanggulangi penyakit diabetes, mencegah gangguan gastrointestinal, mencegah kanker kolon, dan mengurangi tingkat kolestrol dan penyakit kardiovaskular. Tabel 8 menunjukan bahwa kandungan serat pangan produk Coobie sebesar 6.28%. Salah satu petunjuk Department of Nutrition, Ministry of Health and Institute of Health (1999) seperti yang dikutip oleh Friska (2002) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai makanan sumber serat pangan jika mengandung serat pangan sebesar 3-6 g/100 g. Dengan demikian produk ini dapat diklaim sebagai makanan sumber serat pangan karena mengandung serat pangan lebih dari 6 g per 100 g. Daya Cerna Pati in Vitro Nilai daya cerna pati berpengaruh terhadap nilai indeks glikemik (IG) suatu makanan. Daya cerna pati adalah tingkat kemudahan suatu jenis pati untuk dapat dihidrolisis oleh enzim pemecah pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana (Tharanathan dan Mahadevamma 2003). Beberapa faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati, yaitu keberadaan antinutrisi atau antiamilase (serat pangan, tannin) dan struktur kimia pati. Produk yang memiliki daya cerna pati rendah cenderung memiliki nilai indeks glikemik yang rendah. Daya cerna pati dihitung sebagai hasil persentase relatif terhadap pati murni (soluble starch). Pati murni diasumsikan dapat dicerna dengan sempurna dalam saluran pencernaan. Daya cerna pati rendah berarti kemampuan pati untuk dihidrolisis menjadi gula-gula sederhana, sehingga peningkatan kadar glukosa darah akan lebih lambat. Peningkatan kadar glukosa darah yang rendah dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas. Pati modifikasi memiliki daya cerna yang lebih rendah karena kemungkinan mengandung pati resisten yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil uji daya cerna pati dari sampel dan pati murni diperoleh bahwa daya cerna pati dari cookies Coobie adalah 41.37% dan pati murni 100%. Indeks Glikemik Hasil pengukuran IG pada Tabel 8 menunjukkan bahwa cookies Coobie memiliki nilai IG rata-rata sebesar 35 ± 12 dengan perhitungan pada Lampiran 4. Dengan nilai IG tersebut, cookies Coobie digolongkan sebagai pangan yang memiliki nilai IG rendah (<55). Menurut Ragnhild (2004), bahan pangan dengan nilai IG rendah akan menghasilkan kenaikan dan penurunan kadar gula darah yang tidak terlalu curam sesaat setelah makanan tersebut dicerna dan dimetabolisme oleh tubuh. Konsumsi pangan dengan IG rendah juga dapat meningkatkan sensitivitas produksi insulin dalam pankreas sehingga dapat menjadi alternatif diet bagi penderita diabetes.
19
Kadar Air Kadar air pada produk pangan akan mempengaruhi penampakan, cita rasa, tekstur, dan keawetannya. Berdasarkan hasil analisis Tabel 8 diperoleh kadar air produk terbaik cookies yaitu sebesar 3,78% (bb). Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar air produk yaitu bahan baku produk, ketebalan produk dan suhu pemanggangan. Kadar air cookies yang rendah ini disebabkan bahan baku cookies mengandung sedikit air, ketebalan cookies yang rendah dan suhu pemanggangan dalam waktu yang lama. Ketebalan produk, suhu pemanggangan, dan waktu pemanggangan mempengaruhi penguapan air pada adonan yang terjadi pada tahap pemanggangan. Menurut Ruslim (1993), kenaikan suhu proses akan menurunkan kadar air produk. Hal ini sesuai dengan prinsip umum pengaruh suhu terhadap sifat air yaitu semakin tinggi suhu, maka semakin banyak air yang berubah menjadi uap. Begitu pula dengan waktu pemanggangan, semakin lama waktu pemanggangan semakin banyak juga air yang berubah menjadi uap air. Kadar air pada produk cookies merupakan karakteristik kritis yang akan mempengaruhi penerimaan konsumen tehadap cookies karena kadar air ini menentukan tekstur (kerenyahan) cookies. Kandungan air yang tinggi membuat cookies tidak renyah dan teksturnya kurang disukai. Kadar air cookies ubi jalar sesuai dengan syarat mutu cookies SNI yaitu maksimal 5% (BSN 1992). Menurut Winarno (1992), kadar air pada bahan yang berkisar 3-7% akan mencapai kestabilan optimum, sehingga pertumbuhan mikroba dan reaksi-raksi kimia yang merusak bahan seperti browning, hidrolisis atau oksidasi lemak dapat dikurangi. Kadar Abu Kadar abu menunjukan jumlah garam dan mineral yang terdapat pada produk. Berdasarkan hasil analisis Tabel 8 diperoleh kadar abu produk terbaik cookies adalah sebesar 0.13% (bb). Nilai kadar abu cookies ubi jalar ini sesuai dengan SNI cookies yang menyaratkan kandungan maksimum abu hanya 1.5% (BSN 1992). Kadar Protein Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh manusia, karena berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh dan juga sebagai bahan pembangun dan pengatur (Winarno 1992). Penetapan kadar protein pada produk ubi jalar dilakukan denganmetode mikro-Kjeldahl. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena dihitung berdasarkan pada nitrogen yang terkandung dalam bahan. Berdasarkan hasil analisis Tabel 8 diperoleh kadar protein produk cookies sebesar 3.47% (bb). Persentase angka kecukupan gizi (AKG) protein berdasarkan diet 2000 kkal bila mengkonsumsi produk per takaran saji yaitu cookies sebesar 2%. Nilai protein cookies ubi jalar berada di bawah nilai yang dipersyaratkan oleh SNI, yaitu minimum 9% (BSN 1992). Hal ini disebabkan jumlah telur dan susu yang ditambahkan sedikit, karena protein yang ada pada produk sebagian besar berasal dari telur dan susu. Kadar Lemak Lemak berfungsi sebagai sumber citarasa dan memberikan tekstur yang lembut pada produk. Selain itu, lemak juga merupakan sumber energi yang dapat memberikan nilai energi lebih besar daripada karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal per g. Lemak pada produk olahan diukur dengan menggunakan metode ekstraksi
20
Soxhlet. Berdasarkan hasil analisis Tabel 8 diperoleh kadar lemak produk cookies adalah sebesar 30.19% (bb). Kadar lemak cookies ubi jalar sesuai dengan syarat mutu cookies SNI yaitu minimal mempunyai kadar lemak 9,5% (BSN1992). Kandungan lemak yang tinggi ini dikarenakan adanya penggunaan minyak kanola yang cukup tinggi sebagai pengganti mentega dan margarin. Kadar Karbohidrat Karbohidrat selain berperan sebagai sumber energi utama juga berperan mencegah pemecahan protein tubuh secara berlebihan, kehilangan mineral dan membantu dalam metabolisme lemak dan mineral (Winarno 1992). Kadar karbohidrat dihitung dengan metode by difference sehingga kadarnya dipengaruhi oleh kandungan gizi lain seperti kadar air, kadar abu, kadar protein, dan kadar lemak. Berdasarkan hasil analisis Tabel 8 diperoleh kadar karbohidrat produk terbaik cookies sebesar 60.56% (bb). Kadar karbohidrat cookies berada di bawah nilai yang dipersyaratkan dalam SNI, yaitu minimum 70% (BSN 1992). Kadar karbohidrat yang rendah dikarenakan jumlah tepung ubi dan maizena yang digunakan lebih sedikit jika dibandingkan komposisi cookies pada umumnya. Kadar Energi Nilai energi merupakan nilai yang diperoleh dari konversi protein, lemak, dan karbohidrat menjadi energi. Sumber energi terbesar adalah lemak yang menghasilkan 9 kkal energi per g, sedangkan karbohirat dan protein menghasilkan energi sebesar 4 kkal per g. Pada produk cookies, komponen gizi yang memberikan nilai energi terbesar adalah karbohidrat dan lemak yang kandungannya cukup tinggi. Perhitungan inilai energi menunjukkan bahwa produk ini memiliki energi 544 kkal per 100 g produk. Berdasarkan hasil penelitian, nilai energi cookies sudah sesuai dengan SNI yaitu minimum 400 kkal per 100 g (BSN 1992). Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2003) tentang Pedoman Pelabelan Produk Pangan, terdapat 4 jenis pangan menurut kadar kalorinya. Pangan berkalori merupakan pangan yang minimal mengandung kalori sebesar 300 kkal/hari, pangan berkalori rendah adalah pangan yang mengandung kurang dari 40 kkal/sajian, pangan kurang kalori mengandung setidaknya 25% kalori lebih rendah dari produk sejenis, sedangkan pangan tanpa kalori merupakan pangan yang mengandung kalori kurang dari 5 kkal/sajian. Oleh karena itu, cookies Coobie yang dihasilkan termasuk dalam kategori pangan berkalori. Kadar Natrium Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 (2013) nilai AKG untuk asupan natrium di dalam tubuh adalah 1200-1500 mg/hari. Keseimbangan natrium baik bagi tubuh agar kesehatan tubuh terjaga. Kadar natrium pada cookies Coobie ini sebesar 0.34% yang artinya dalam 100 g produk terdapat 34 mg natrium. Jumlah ini masih kurang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 75 (2013). Hal ini dikarenakan produk dibuat dengan menggunakan garam yang sedikit untuk mencegah penyakit hipertensi pada penderita diabetes.
21
Pengemasan Produk Pengemasan produk bertujuan untuk memudahkan penyimpanan, efisiensi penanganan, dan distribusi serta mengurangi biaya transportasi dan pemasaran (Sutrisno et al. 2009). Pengemasan juga berpengaruh terhadap daya terima produk oleh konsumen. Kemasan produk yang menarik memberikan kemudahan bagi konsumen dalam penggunaan maupun penyimpanan sehingga konsumen merasa puas. Desain yang unik, ukuran yang bermacam-macam, warna, bentuk dan informasi yang diberikan pada kemasan akan semakin mempengaruhi konsumen dalam menentukan pilihan produk. Perancangan Kemasan Perancangan kemasan cookies Coobie ini menggunakan konsep kepraktisan penggunaan produk. Kepraktisan ini didesain dengan penggunaan satu kemasan yang langsung melindungi produk dan sesuai kebutuhan penderita diabetes yang mana satu takaran saji mengandung kalori sebesar 196 kkal. Kepraktisan juga dimaksudkan agar produk mudah dibawa dan dikonsumsi kapan dan dimana saja. Konsep kepraktisan ditunjukkan pada desain kemasan primer produk. Pembuatan kemasan diawali dengan memilih bahan yang dijadikan sebagai kemasan primer produk. Bahan yang digunakan adalah jenis alumunium foil seperti Gambar 8. Menurut Syarief et al. (1989) alumunium foil memiliki kelebihan seperti permeabilitasnya yang rendah, tahan terhadap sinar, uap air, oksigen, dan mikroba. Sehingga jenis kemasan alumunium foil ini dapat memperpanjang umur simpan dari cookies ini. Setiap satu kemasan alumunium diisi tiga keping cookies dengan berat 12 g per keping dan jumlah kalori per kemasan sebesar 196 kkal sesuai dengan kecukupan kalori penderita diabetes mellitus seperti pada Tabel 2. Sehingga konsumen dapat dengan mudah mengkonsumsi produk sesuai kebutuhannya.
Gambar 8 Kemasan primer cookies Coobie Kemasan depan produk berisi nama merek, jargon produk, nama produsen, dan keunggulan produk. Di bagian belakang produk terdapat informasi nilai gizi, kode produksi, tanggal kadaluarsa serta komposisi bahan yang digunakan. Hal ini bertujuan untuk menarik konsumen serta memberikan informasi yang lengkap terhadap produk Nama merek yang digunakan untuk produk cookies ini adalah Coobie. Nama merek ini merupakan singkatan dari Cookies ubi dengan tagline-nya guilt-free-cookies. Bentuk akhir kemasan keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 9.
22
Gambar 9 Desain kemasan akhir cookies Coobie
23
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pengembangan produk cookies Coobie dilakukan atas adanya pendalaman masalah yang terdapat pada ubi jalar putih oleh pengembangan pasar dan manfaatnya bagi penderita diabetes. Pengembangan produk dilakukan dengan memformulasikan produk melalui proses trial and error, uji organoleptik, serta dilakukan pengujian solusi kepada responden oleh pihak pengembangan pasar. Aspek yang diambil dari pengujian solusi untuk perbaikan produk adalah jumlah gula, penggantian tepung, lemak dan kuning telur. Hasil pengujian pada parameter rasa, warna, aroma, tekstur, dan penerimaan umum telah sesuai dengan yang diharapkan konsumen. Pengujian terhadap nilai gizi, daya cerna pati, dan nilai indeks glikemik telah sesuai dengan kebutuhan penderita diabetes yakni nilai IG sebesar 35±12. Produk ini juga bebas gluten sehinggga penggunanya tidak hanya terbatas pada penderita diabetes. Kemudian produk disempurnakan dengan perancangan kemasan agar produk siap untuk dipasarkan. Kemasan primer cookies Coobie menggunakan alumunium foil yang mana satu kemasan terdiri atas tiga keping seberat 12 g. Produk cookies Coobie memiliki keunggulan dalam hal kepraktisan cara mengkonsumsinya. Selain itu tidak digunakannya bahan pengawet dan pewarna buatan dalam proses pembuatannya dapat menjadi keunggulan lainnya.
Saran Perlu dilakukannya pendugaan umur simpan cookies Coobie, perbaikan tekstur produk, pengembangan SOP pembuatan produk khususnya iterasi pada titik kritis pemanggangan dan pendinginan sehingga produk yang dihasilkan memenuhi standar kualitas yang ada. Kemudian perlu dilakukan jugapengembangan varian rasa baru untuk memberikan banyak pilihan pada konsumen.
24
Daftar Pustaka Antarlina SS. 1998. Utilization of sweet potato flour for making cookies and cakes. Res Inst Legume and Tuber Crops. 127-132. [AOAC] Assosiaction of Official Analytical Chemists. 1999. Washington DC (US): AOAC International. _______ Assosiaction of Official Analytical Chemists. 2005. Washington DC (US) : AOAC International. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2008. Pedoman Pelabelan Produk Pangan. [Internet]. [diunduh 2016 Oktober 16]. Tersedia pada http://www.bpom.go.id. _______ Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2010. Kajian Keamanan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan. [Internet]. [diunduh 2016 Desember 18]. Tersedia pada http://www.bpom.go.id. Behall KM, Schofield DJ, Hallfrisch JG, Liljeberg-Elmsthal HG. 2006. Consumption of both resistant starch and beta-glucan improves postprandial plasma glucose and insulin in women. Diabetes Care J. 29(5):976-81. Birt DF, Boytlston, Hendrich S, Jane J L, Hollis, Mc Clellland, Moore S, Phillips, Rowling M, Schalinske, Scoot, dan Whitely E M. 2013. Resistance starch: promise for improving human health. Adv Nutr Res J. 64(6):587-601. [BSN] Badan Standardisasi Nasional.1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit SNI No. 012973-1992. Jakarta (ID): BSN. _____ Badan Standardisasi Nasional. 1992. Standar Cookies SNI 01-2973-1992. Jakarta (ID): BSN. [Deptan] Departemen Pertanian. 2006. Palawija dan bahan pangan pokok hasil pertanian. [diunduh 2016 Mei 7]. Tersedia pada http://www.deptan.go.id. El SN. 1999. Determination of glycemic index for some breads. J Food Chem. 67: 67–69. Faidah NN dan Estiasih T. 2009. Aplikasi bubuk pewarna berantioksidan dari limbah teh untuk biskuit hipoglikemik substitusi tepung suweg. J Teknol Pert. 10(3). Farid H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. London (GB): Chapman and Hal. Faridah A, Yulastri A, Yusuf L, dan Pada K. 2008. Patiseri Jilid I untuk Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan. Friska T. 2002. Penambahan sayur bayam (Amaranthus tricolor L.), sawi (Brassica juicea L.) dan wortel (Daucus carota L.) pada pembuatan crackers tinggi serat makanan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Garg A, Bantle JP, Henry RR. 1994. Effects of varying carbohydrate content of diet in patients with non-insulin-dependent diabetes mellitus. JAMA. 271:1421– 14. Gisslen W. 2007. Professional Cooking for Canadian Chefs: Sixth Edition. Canada (CAN): John Wiley & Sons Inc. Herawati H. 2011. Potensi pengembangan produk pati tahan cerna sebagai pangan fungsional. J Litbang Pert. 30(1): 31-39. Herti I. 2016. Pengembangan pasar produk olahan ubi jalar dengan metode Humancentered design [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
25
Horvath K, Papadimitriou JC, Rabsztyn A, Drachenberg C, Tildon JT. 1999. Gastrointestinal abnormalities in children with autistic disorder. J Pediatr. 135(5): 559-63. IDEO. 2015. HCD Toolkit the Field Guide to Human-Centered Design. Canada (CAN): Design kit. Jenkins D, Kendall, Vuksan, Faulkner, Augustin, Mitchell, Ireland, Srichaikul, Miirahimi A, Chiavaroli L, Meija SB, Nishi S, Pudaruth, Patel S, Bashyam B, Vidgen E, Souza R, Sievenipiper, Coveney, dan Josse RG. 2014. Effect of lowering the glycemic load with canola oil on glycemic control and cardiovascular risk factors: a randomized controlled trial. Diabetes Care J. 37:1806–1814 [Kemenkes] Kementrian Kesehatan. 1993. Daftar komposisi bahan makanan. Jakarta (ID) : Kemenkes. _________ Kementrian Kesehatan. 2013. Peraturan Menteri Kesehatan no 75 tentang Angka kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia. Jakarta (ID) : Kemenkes. Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan perilaku fisik bahan pangan lokal: Kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan dan bobot jenis. Media Petern. 22(1): 1-11. Koswara. 2010. Kacang-kacangan sumber serat kaya gizi. [Internet]. [diunduh pada 2016 Agustus 12. Tersedia di http://ebookpangan.com. Larmond. 1976. Profile Rheology and Texture in Food Quality. Connecticut (US): The AVI Publ. Co. Inc. Lufika E. 2006. Evaluasi mutu gizi dan indeks glikemik produk olahan panggang berbahan dasar tepung ubi jalar klon unggul bb00105.10 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. MalomoO, Mau J, OO Adekoyeni, OE Soyebi, EA Alamu. 2013. Effect of blanching and unblanching on rheological properties of sweet potato bread. Acad Res Int.4(3). Marsono Y. 2004. Serat Pangan dalam Perspektf Ilmu Gizi. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Matz SA dan Matz TD. 1978. Cookies and Crakers Technology. Texas (US): The AVI Publishing Co. Inc. Ojewole JA dan Adewunmi CO. 2003. Hypoglycemic effect of methanolic extract of Musa paradisiaca (Musaceae) green fruits in normal and diabetic mice. Pharm J. 25(6): 453. Ragnhild AL. 2004. Glycemix index: Relevance for health, dietary recommendations and nutritional labelling. Scand J Nutr. 482: 84-94. Rahayu WP. 1998. Diktat Penuntun Praktikum Peniliaian Organoleptik. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian IPB Rianti AW. 2008. Kajian formulasi cookies ubi jalar (Ipomoea batatas L.) dengan karakteristik tekstur menyerupai cookies keladi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rimbawan dan Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Rosmarkam A dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta (ID): Kanisius.
26
Ruslim E. 1993.Mempelajari sifat fisikokimia dan daya cerna produk ekstrusi dari campuran beras, kedelai dan biji nangka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Setyaningsih D, Apriyanto A, dan Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor (ID): IPB Pr. Soenaryo E. 1985. Pengolahan Produk dan Biji-bijian. Bogor (ID): Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Suismono. 1995. Kandungan Gizi Bahan Pangan Lokal. Jakarta (ID): Cipta Karsa. Sutrisno, Seesar, dan Sugiyono. 2009. Pengaruh jenis kemasan dan suhu penyimpanan terhadap umur simpan dan mutu buah manggis (Garcinia mangostana L.) pada simulasi transportasi. Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian. Suyono S. 1996. Masalah Diabetes di Indonesia. Jakarta (ID) : FK UI Pr. Syarief R, Santausa, Ismaya. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Bogor (ID): Laboratorium Rekayasa Proses PAU IPB Tharanathan RN dan Mahadevamma S. 2003. Grain legumes a boon to human nutrition. Trends in Food Science and Technology.14 (12): 507-518. Ticolau GD, Yunianta, dan JM Maligan. 2016. Pemanfaatan ubi ungu sebagai minuman berantosianin. J Pangan dan Agroindus. 4(1): 46-55. Usha V, Vijayammal PL, Kurup PA. 1989. Effect of dietary fiber from banana (Musa paradisiaca) on metabolism of carbohydrates in rats fed cholesterol free diet. Indian J Bio. 27(5): 445-449. Winarno. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
27
Lampiran 1 Prosedur Uji Densitas Kamba (Khalil 1999) Densitas kamba diukur dengan cara memasukkan tepung kedalam gelas ukur sampai volume tertentu tanpa dipadatkan, kemudian berat tepung ditimbang. Densitas kamba dihitung dengan cara membagi berat tepung dengan volume ruang yang ditempati. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan kg/m3 atau g/ml. Rendemen Perhitungan rendemen cookies dilakukan dengan membandingkan bobot akhir sampel setelah diproses dengan bobot awal sampel sebelum diproses. Rendemen Produk =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘 𝑜𝑙𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑎𝑑𝑜𝑛𝑎𝑛
𝑥100%
Tekstur Cookies Menggunakan Texture Analyzer TA.XT2i Dipilih jenis probe silinder untuk mengukur tekstur sampel, kemudian probe dipasang pada alat Texture Analyzer TA.XT2i lakukan kalibrasi ketinggian probe dan setting kondisi pengukuran. Setting texture analyzer pada pengukuran cookiesdapat dilihat pada Tabel 9. Setelah dilakukan setting, sampel cookies ditempatkan pada texture analyzer, kemudian lakukan pengukuran tekstur cookies tersebut. Tabel 9 Setting texture analyzer pada pengukuran cookies Test mode Measure force in compression Option Return to start Parameters Pre-test speed 2.0 mm/s Test speed 0,5 mm/s Post-test speed 10,0 mm/s Distance 10 mm Triger Type Auto Force 5g Unit Force Grams Distance Millimeters Daya Cerna Pati In Vitro Daya cerna pati in vitro dianalisa dengan spektrofotometer yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar maltosa dan analisa sampel. Pembuatan kurva standar larutan maltose Sebanyak 1 ml larutan maltosa standar yang mengandung 100, 150, 200, 250, 300, dan 400 mg/L maltosa dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup kemudian dittambahkan masing-masing 3 ml larutan dinitrosalisilat (DNS). Larutan dipanasakan dalam air mendiidih selama 5 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis dengan panjang gelombang 550 nm. Analisa sampel Sebanyak 0.5 g sampel dimasukkan ke dalam Erlenmeyer lalu ditambahkan dengan 50 ml akuades. Erlenmeyer ditutup dengan alumunium foil dan dipanaskan dalam penangas air hingga mencapai suhu 90 oC sambil terus diaduk lalu didinginkan. Sebanyak 1 ml larutan sampel tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi
28
bertutup, lalu ditambahkan 1.5 ml akuades dan 2.5 ml larutan buffer fosfat pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, yang salah satunya digunakan sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasikan pada suhu 37o C selama 15 menit. Larutan sampel dan blanko diangkat dan ditambahkan 2.5 ml larutan enzim alfa amilase (1 mg/ml dalam larutan buffer fosfat pH 7) untuk sampel dan 2.5 ml larutan buffer fosfat pH 7 untuk blanko. Kedua tabung tersebut diinkubasi kembali selama 30 menit.Kemudian larutan sampel dan blanko ditambahkan masing-masing 3 ml larutan dinitrosalisilat (DNS). Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 5 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 550 nm. Daya cerna pati dihitung sebagai berikut 𝑎−𝑏 Daya cerna pati (%)= 𝑐−𝑑 𝑥100% Keterangan : a : Maltosa dalam sampel b: Maltosa dalam blanko c : Maltosa dalam pati murni d : Maltosa dalam blanko pati murni Kadar Natrium (Metode Mohr yang dimodifikasi) Sampel terlebih diabukan dalam tanur hingga asapnya hilang. Abu dalam cawan dicuci sebanyak 3 kali dengan 1-2 ml air destilata. Total air destilata yang digunakan untuk membilas adalah 10-15 ml. Larutan abu dipindahkan ke dalam Erlenmeyer 100 ml. Kemudian dalam Erlenmeyer ditambahkan larutan K2CrO4 5% dan dititrasi dengan larutan AgNO3 0.1 M. Titik akhir titrasi tercapai sampai terbentuk warna orange yang pertama 𝑇𝑥𝑀𝑥 5.84 %NaCl= 𝑊 Keterangan : T = ml AgNO3 M= molaritas AgNO3 W= berat contoh dalam gram (saat pengabuan) Kadar Air (AOAC 1999) Cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 2 sampai 5 g contoh dimasukkan dalam cawan dan dikeringkan dalam oven selama 6 jam, kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Setelah didinginkan dalama desikator, cawan berisi contoh timbangan untuk diketahui bobot akhir. Pengeringan dilakukan hingga bobot konstan 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 Kadar Air (%) = 𝑥 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑤𝑎𝑙 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 Kadar Abu (AOAC 1999) Cawan porselen kosong dimasukkan ke dalam tanur 600oC selama 30 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam cawan porselen dan dibakar di atas pembakar hingga asapnya hilang. Pemanasan dilanjutkan di dalam tanur 600oC selama 6 jam (hingga menjadi abu putih seluruhnya), kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot konstan. 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑎𝑏𝑢 𝑠𝑒𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑏𝑢𝑎𝑛 Kadar Abu(%)= 𝑥 100% 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑎𝑤𝑎𝑙
29
Kadar Protein (AOAC 2005) Sampel sebanyak 0.1 g dimasukkan ke dalam labu kjedahl dan ditambahkan 2 ml H2SO4 serta batu didih. Sampel tersebut kemudian didihkan selama 1 sampai 1.5 jam hingga cairan menjadi jernih, lalu didinginkan. Isi labu dituangkan dalam alat destilasi dan labu dibilas dengan aquades. Kemudian ditambahkan NaOH 40% sebanyak 20 ml, selanjutnya didestilasi.Larutan destilat ditampung dalam Erlenmeyer 125 ml berisi larutan H3BO3 dan 3 tetes indikator merah metil biru metil (mengsel). Destilasi dilakukan hingga diperoleh destilat yang saling bercampur. Destilat kemudian dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. N(%) =
(𝑚𝑙 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑏𝑙𝑎𝑛𝑘𝑜−𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ))𝑥 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 𝑥 14 𝐺𝑟𝑎𝑚 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ 𝑥 1000
𝑥 100%
Protein (%)= % total N x faktor konversi Kadar Lemak (AOAC 1999) Labu lemak berisi beberapa batu didih ditimbang bobotnya. Labu lemak tersebut kemudian diisi dengan 50 ml pelarut petroleum benzene. Sebanyak 3 g sampel dibungkus dalam kertas saring yang dibentuk seperti selongsong, lalu ditempatkan dalam alat soxhlet. Kemudian alat soxhlet disambungkan dengan refluks dan labu lemak. Ekstraksi dilakukan selama ± 6 jam. Larutan lemak dalam pelarut disulingkan sehingga diperoleh kembali pelarut yang semula dipakai dalam alat soxhlet dan lemak dalama labu lemak. Labu lemak kemudian dikeringkan dalam oven 60 oC dan ditimbang sampai diperole bobot yang konstan. 𝐶−𝐴 Kadar lemak (%) = 𝐵 𝑥 100% Keterangan : A= bobot labu lemak kosong B= bobot sampel C= bobot tetap labu sampel Kadar Karbohidrat by difference (AOAC 2005) Penetuan kadar karbohidrat by difference diperoleh dari hasil pengurangan angka 100 dengan presentase komponen lain yang terkandung dalam sampel, seperti air, abu, lemak, dan protein. Kadar karbohidrat by difference dapat ditentukan dengan rumus : Kadar Karbohidrat(%)= 100%-(kadar air + kadar abu + kadar protein + kadar lemak) Perhitungan total kalori= Total kalori= (4 x KP) + (4 x KK) + (9 x KL) Keterangan: KP = Kadar Protein KK = Kadar Karbohidrat KL = Kadar Lemak Analisis Indeks Glikemik (El 1999) Setiap porsi sampel yang akan ditentukan IG-nya (mengandung 50g karbohidrat) diberikan kepada panelis yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air)
30
selama semalam (sekitar pukul 20.00 sampai pukul 08.00 pagi besoknya). Panelis yang digunakan ialah individu sehat, tidak menderita diabetes, dan memiliki IMT (indeks masa tubuh) normal (18-25). Panelis yang digunakan berjumlah 10 orang (8 pria dan 2 wanita). Selama dua jam pasca-pemberian, sampel darah sebanyak 20 μL (fingerprick capillary blood samples method) diambil setiap 30 menit selama 2 jam untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran menit ke-0, ke-15, ke-30, ke-45, ke-60, ke-90 dan ke-120). Pada waktu berlainan, hal yang sama dilakukan dengan memberikan50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada panelis. Kadar gula darah (pada setiap waktu pengambilan sampel) ditebar pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu (X) dan kadar gula darah (Y). Indeks glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah di bawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan (glukosa murni).
31
Lampiran 2 Form Uji Organoleptik FORM UJI ORGANOLEPTIK COOKIES UBI JALAR Tanggal : Nama Panelis No hp Produk Instruksi Kode 062 246 807 *Keterangan Sangat suka
: : : Cookies : Nyatakan penilaian anda sesuai dengan skala yang telah diberikan. Jangan membandingkan antar sampel Penerimaan Warna Aroma Rasa Tekstur Umum
: 1. Sangat tidak suka 2. Tidak Suka 3. Netral 4. Suka 5.
SARAN Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Penerimaan umum
32
Lampiran 3 Analisis varian formulasi prototipe I untuk masing-masing parameter pada hasil uji organoleptik. Parameter aroma Sumber JK df JKR Varian Model 1218.800a 32 38.087 Panelis 26.233 29 .905 Sampel 4.467 2 2.233 Error 24.200 58 .417 Total 1243.000 90 F hitung> F tabel, perlu dilakukan uji lanjut Duncan.
F
Sig
91.284 2.168 5.353
.000 .006 .007
Hasil Uji Duncan Skor Subset sampel 2 3 1 Sig.
N 30 30 30
1
2
3.400 3.5667 .322
3.9333 1.000
Parameter warna Sumber JK df JKR varian Model 1079.956a 32 33.749 Panelis 25.289 29 .872 Sampel .622 2 .311 Error 22.044 58 .380 Total 1102.000 90 F Hitung < F Tabel, tidak perlu dilakukan uji lanjut duncan. Parameter rasa Sumber JK varian Model 1079.956a Panelis 25.289 Sampel .622 Error 22.044 Total 1102.000
df
JKR 32 29 2 58 90
33.749 .872 .311 .380
F
Sig
88.794 2.294 .819
F 88.794 2.294 .819
.000 .004 .446
Sig .000 .004 .446
33
Parameter tekstur Sumber JK df JKR varian Model 909.822a 32 28.432 Panelis 31.656 29 1.092 Sampel .822 2 .411 Error 29.178 58 .503 Total 939.000 90 F Hitung < F Tabel, tidak perlu dilakukan uji lanjut duncan. Parameter penerimaan umum Sumber JK df varian Model 1074.156a Panelis 17.956 Sampel 2.156 Error 27.844 Total 1102.000
JKR 32 29 2 58 90
33.567 .619 1.078 .480
F
Sig
56.517 2.170 .817
F 69.921 1.290 2.245
.000 .006 .447
Sig .000 .203 .115
34
Lampiran 4 Indeks Glikemik Cookies Coobie Panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0
15
81 88 70 85 76 79 74 86 71
97 112 105 120 90 108 138 116 110
Glukosa Waktu 30 45 60 90 120 147 138 119 162 131 142 135 150 119
135 123 125 119 138 119 116 97 123
122 92 135 99 116 97 110 94 94
Luas
0 15
91 74 4477.5 76 81 58 72 3317.5 76 82 92 43 4250 73 84 68 74 3371.5 81 97 81 61 3632 71 81 60 66 3202 72 81 86 72 4102.5 71 76 88 66 3460 74 87 50 58 3131.5 76 81 Indeks Glikemik Rata-Rata
Cookies Coobie Waktu 30 45 60 90 120 76 97 87 104 97 82 79 94 88
79 89 88 87 76 85 81 81 89
89 79 79 81 70 79 81 88 76
85 79 70 76 68 76 62 81 70
94 81 76 85 76 81 76 81 76
Luas 1732.5 1642.5 1050 1905 773.5 1132.5 731 1468.5 990
Indeks Glikem ik 39 50 25 57 21 35 18 42 32 35±12
35
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 24 Juni 1994. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, putri dari pasangan Bapak Ir Noferial dan Ibu Silfina SH. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 006 Tampan, serta melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 4 Pekanbaru dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima pada program sarjana Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN tulis di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Semasa kuliah penulis pernah aktif dalam beberapa organisasi seperti anggota divisi Akademik dan Prestasi Ikatan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Riau Bogor (IKPMR) periode 20132014, sekretaris divisi Technopreneurship Himpunanan Mahasiwa Teknologi Industri (Himalogin) periode 2013-2014, dan bendahara divisi Public Relation Himalogin periode 2014-2015. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan di PT. Garuda Food. Divisi produksi Suntory Garuda Beverage Riau dengan judul Proses Produksi dan Pemasaran Produk pada PT Suntory Garuda Beverage. Penulis juga pernah menjadi peserta dalam Business Idea Pitching pada Konferensi Nasional Inovasi dan Technopreneurship 2016.