PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK UBI GARUT DAN UBI JALAR SERTA HASIL OLAHANNYA (COOKIES DAN SWEET POTATO FLAKES)
SRI RINI DWIARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya dengan judul Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut dan Ubi Jalar serta Hasil Olahannya (Cookies dan Sweet Potato Flakes) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari penulis lain atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbirtkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2008 Sri Rini Dwiari NIM F251040061
ii
RINGKASAN SRI RINI DWIARI. Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut dan Ubi Jalar serta Hasil Olahannya (Cookies dan Sweet Potato Flakes). Dibimbing oleh LILIS NURAIDA dan NURHENI SRI PALUPI.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi ekstrak cookies ubi garut dan ubi jalar secara in vitro, ekstrak ubi garut (Maranta arundinaceae) secara in vivo dan sweet potato flakes (SPF) sebagai prebiotik secara in vitro dan in vivo. Jenis gula dalam ubi garut adalah glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa (FOS). Secara in vitro, ekstrak ubi garut dapat menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL). Jenis gula dalam ubi jalar varietas sukuh adalah fruktosa, glukosa, sukrosa, maltosa, rafinosa, maltotriosa dan FOS. Pengolahan dapat mengubah kandungan oligosakarida. Sweet Potato Flakes (SPF), cookies ubi garut dan ubi jalar merupakan model pengolahan yang digunakan dalam penelitian ini. BAL yang digunakan adalah Lactobacillus casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, Bifidobacterium bifidum dan B. longum. Pada pengujian secara in vitro digunakan media MRS basis yang mengandung ekstrak ubi garut atau ekstrak SPF. Jenis BAL yang memiliki pertumbuhan tertinggi dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut atau SPF dikompetisikan dengan patogen E. coli, Bacillus cereus dan Salmonella. Pengujian potensi prebiotik secara in vivo terhadap ekstrak ubi garut dan SPF menggunakan tikus Sprague Dawley. Ekstrak ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan SPF dapat mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria. Pertumbuhan terbaik terjadi pada L. casei Rhamnosus. Pertumbuhan Lactobacillus dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut atau ubi jalar lebih rendah dibandingkan dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut atau ubi jalar. Hal ini dikarenakan sebagian gula pada cookies ubi garut dan ubi jalar telah mengalami reaksi Maillard sehingga tidak dapat difermentasi oleh BAL. Dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, L. casei Rhamnosus dapat menekan pertumbuhan Salmonella sebesar 3.5 log cfu/ml, E. coli 3.2 log cfu/ml, B. cereus 1.9 log cfu/ml, sedangkan dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat menekan E. coli sebesar 3.9 log cfu/ml, Salmonella 3.9 log cfu/ml, dan B. cereus 3.1 log cfu/ml dalam media yang mengandung ekstrak SPF. Pemberian ekstrak ubi garut (prebiotik) pada tikus selama 10 hari dapat menurunkan jumlah E. coli dalam feses sebesar 1.4 log cfu/g dan meningkatkan jumlah BAL sebesar 1.0 log cfu/g. Pemberian SPF (prebiotik) pada tikus selama 10 hari dapat menurunkan jumlah E. coli 1.2 log cfu/g feses dan meningkatkan jumlah BAL 0.9 log cfu/g feses. Ketika pemberian perlakuan dihentikan maka jumlah E.coli meningkat sedangkan jumlah BAL menurun. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ubi garut dan SPF berpotensi sebagai prebiotik karena dapat mendukung pertumbuhan BAL baik secara in vitro maupun in vivo.
iii
ABSTRACT SRI RINI DWIARI. Analysis of arrowroot and sweet potato and their products (cookies and sweet potato flakes) as prebiotic potency. Under direction of LILIS NURAIDA and NURHENI SRI PALUPI. The objective of this research was to evaluate the potency arrowroot and sweet potato cookies by in vitro, arrowroot (Maranta arundinaceae) extract by in vivo and sweet potato flakes by in vitro and in vivo as prebiotic. Previous research showed that arrowroot contained glucose, fructose, sucrose, raffinose and fructooligosaccharide (FOS). Arrowroot extract stimulated the growth of colonic bacteria, such as lactic acid bacteria (LAB) by in vitro assay. Sweet potato sukuh variety contained glukose, fructose, sucrose, rafinose, maltotriosa and FOS. Sweet Potato Flakes (SPF), arrowroot and sweet potato cookies were processing model which used in this research because processing changed oligosasaccharides content. Soybean flour contained soyoligosaccharide (raffinose and stachiose) which potential as prebiotic. Assesment of prebiotics potency was done on Lactobacillus casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, Bifidobacterium bifidum and B. longum. In vitro evaluation used MRS basic contained extract tested. LAB whose the highest growth in MRS basic that contained arrowroot or SPF extract was used in competition with pathogens (E. coli, Salmonella and Bacillus cereus). Analysis of prebiotic potency by in vivo assay used Sprague Dawley mice. Extract of arrowroot, arrowroot cookies, sweet potato, sweet potato cookies and SPF supported all Lactobacilli and Bifidobacteria tested. Among LAB tested, L. casei Rhamnosus was the higest growth in medium substituted with oligosaccharide extract of arrowroot and SPF. The growth of Lactobacilli tested were poorer in medium substitute with oligosaccharide extract of cookies arrowroot than arrowroot. It because of Maillard reaction has took place and made the sugars unavailable to support the growth of LAB. Among sweet potato and its product, L. casei Rhamnosus was the highest growth on medium substituted with arrowroot extract and SPF extract. L. casei Rhamnosus suppressed the growth of pathogenic bacteria tested i.e 3.5 log cfu/ml for Salmonella, 3.2 log cfu/ml for E.coli and 1.9 log cfu/ml for B. cereus on medium substituted with arrowroot extract. While in medium substituted SPF extract, L. casei Rhamnosus suppressed the growth of pathogenic bacteria tested i.e 3.9 log cfu/ml for E. coli, 3.9 log cfu/ml for Salmonella, and 3.1 log cfu/ml for B. cereus. Feeding arrowroot extract to mice for 10 days reduced 1.4 log cfu/g feces for E.coli and raised 1.0 log cfu/g feces for LAB. Similar trend also observed in mice fed with L. casei Rhamnosus (probiotic) and combination of L. casei Rhamnosus and arrowroot extract (synbiotic). When the feeding was terminated, the count of E. coli increased. In the mice fed with standard diet as control, the count of E. coli tended to increase and LAB decrease. Feeding SPF diet to mice for 10 days reduced 1.2 log cycle E.coli and raised 0.9 log cycle LAB. After 10 days treatment, the highest LAB count was observed in L. casei Rhamnosus (probiotic) treated mice, however the higher increased was observed in mice treated by combination of L.casei Rhamnosus and SPF diet (synbiotic) than SPF diet (prebiotic). In contrast, E. coli count decreased iv
in treated mice and increased in control mice. The suppression was greater in mice fed with synbiotic than prebiotic. After treatment, the number of E. coli reincreased, while the number of LAB decreased. The result of present research suggest that arrowroot and SPF were potencial as prebiotic product.
Key words: Oligosaccharide, Arrowroot, Sweet Potato Flakes, Prebiotic, L.casei Rhamnosus.
v
©
Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. 2.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB
vi
PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK UBI GARUT DAN UBI JALAR SERTA HASIL OLAHANNYA (COOKIES DAN SWEET POTATO FLAKES)
SRI RINI DWIARI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 vii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc
viii
Judul Tesis
:
Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut Dan Ubi Jalar Serta Hasil Olahannya (Cookies Dan Sweet Potato Flakes)
Nama Mahasiswa
:
Sri Rini Dwiari
NIM
:
F251040061
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi Anggota
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc
Tanggal Ujian : 30 Mei 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
ix
PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Beasiswa pendidikan penulis dapatkan dari PPPG Pertanian Cianjur sedangkan sumber dana untuk penelitian diperoleh dari Hibah Bersaing DIKTI tahun 2007, Rusnas Diversifikasi Pangan Kementrian Riset dan Teknologi yang dikelola oleh SEAFAST Center IPB tahun 2008, PPPG Pertanian Cianjur, dan Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Ir. Giri Suryatmana selaku Kepala Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Pertanian Cianjur dan Drs. Dedy H. Karwan, MM selaku Kepala Pusat
Pengembangan
dan
Pemberdayaan
Pendidik
dan
Tenaga
Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa untuk melanjutkan sekolah pada jenjang Pasca Sarjana (S2) di Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor. 2.
Dr. Ir. Lilis Nuraida, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir Nurheni Sri Palupi, MSi selaku anggota komisi, yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan, sehingga penulis mendapat tambahan wawasan, pendidikan dan pengalaman yang berharga dalam melakukan penelitian dan penyusunan tesis.
3.
Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc selaku penguji luar komisi dan ketua Peneliti dalam Penelitian Hibah Bersaing yang didanai dari DIKTI.
4.
Dr. Ir Dahrul Syah sebagai ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Dr. Ir Purwiyatno-Hariyadi, MSc sebagai kepala SEAFAST Centre, atas ijin yang diberikan untuk menggunakan laboratorium Mikrobiologi Pangan dan Kimia Pangan.
5.
Dr. Ir. Gatot
Hari Priowirjanto selaku kepala Biro Perencanaan dan
Kerjasama Luar Negeri yang memberikan dana untuk mendukung biaya prapenelitian. 6.
Agnani, Hana, Kiki, Ari, Edi, Sri, Nurwanto, Adi yang telah membantu selama penelitian berlangsung. x
7.
Sri Rahayu, Rika, Danik, Miksusanti, Sunar dan teman-teman Agroindustri PPPPTK Pertanian Cianjur yang telah memberikan dorongan selama pendidikan maupun penelitian berlangsung.
8.
Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas dukungan dan kerjasamanya selama penulis menuntut ilmu.
9.
Akhirnya, ucapan terimakasih tak terhingga penulis sampaikan kepada keluarga tercinta, ibunda H. Soepingah, Hawignyo (suami), Nastiti Harini (putri sulung), Duky Sumantri (putra kedua) dan Rizki Yuniarini (putri bungsu), kakak-kakak dan adik-adikku tersayang atas doa, kasih-sayang, pengorbanan, kesabaran serta dukungan moril ataupun materil yang tidak ternilai dalam menyelesaikan pendidikan ini. Harapan penulis, walaupun masih jauh dari sempurna terutama karena
keterbatasan informasi, dana dan waktu, akan tetapi karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pihak yang membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2008 Sri Rini Dwiari
xi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jember pada tanggal 02 Januari 1962 dari pasangan bapak Soedjito (alm) dan ibu Soepingah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Tahun 1980 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jember. Pada tahun yang sama diterima di Fakultas Pertanian Universitas Jember dan lulus Sajana tahun 1985. Pada tanggal 20 Agustus 1985 penulis menikah dengan Hawignyo dan dikaruniai tiga orang anak (dua putri dan satu putra). Pada tahun 1986 penulis hijrah ke Cianjur dan menjadi tenaga honorer di Pusat Pengembangan Pentaran Guru (PPPG) Pertanian atau Vocational Education Development Center for Agriculture (VEDCA). Tahun 1988 diangkat sebagai pegawai negeri di tempat yang sama, tahun 1991 hingga 2007 sebagai Widyaiswara (pengajar) di tempat yang sama. Tahun 2007 hingga sekarang sebagai Widyaiswara di Pusat Pendidikan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PPPPTK) Pertanian Cianjur. Pada tahun 2004, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana (S2) pada Program Studi Ilmu Pangan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
xii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...................................................................................
xiv
DAFTAR TABEL ...........................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
xix
I.
PENDAHULUAN .......................................................................... A. Latar Belakang ......................................................................... B. Identifikasi Masalah ................................................................. C. Hipotesis ................................................................................... D. Tujuan Penelitian ...................................................................... E. Manfaat Penelitian ....................................................................
1 1 3 4 5 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. A. Bakteri Asam Laktat (BAL) ..................................................... B. Prebiotik ................................................................................... C. Pengujian Produk Pangan Sebagai Prebiotik ........................... D. Ubi Garut (Maranta arundinaceae L) ...................................... E. Ubi Jalar (Ipomea batatas L) .................................................... F. Sweet Potato Flakes (SPF) .......................................................
6 6 13 20 22 25 26
III.
METODOLOGI .............................................................................. A. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. B. Bahan ....................................................................................... C. Alat .......................................................................................... D. Metode Penelitian ..................................................................... E. Penyiapan Kultur, Media Pengujian dan Bahan ...................... F. Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Cookies Ubi Garut secara In Vitro ......................................................... ........................... G. Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara In Vivo H. Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Jalar dan Hasil Olahan (Cookies Ubi Jalar dan SPF) secara In Vitro ............... I. Pengujian Potensi Prebiotik Hasil Olahan Ubi Jalar (SPF) secara In Vivo ........................................................................... J. Metode Pengujian ....................................................................
28 28 28 29 29 31 36
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... A. Tepung Ubi Garut, Ubi Jalar, SPF dan Cookies ....................... B. Potensi Prebiotik Cookies Ubi Garut secara In Vitro .............. C. Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara In Vivo ................. D. Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Jalar dan Hasil Olahan (Cookies Ubi Jalar dan SPF) secara In Vitro ............................ E. Potensi Prebiotik SPF secara In Vivo ........................................
48 48 49 58 68
SIMPULAN DAN SARAN.............................................................
88
IV.
V.
38 42 43 45
75
xiii
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................
90
LAMPIRAN ................................................................................
95
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Karakteristik tiga grup genus Lactobacillus .........................................
8
2
Komposisi kimia ubi garut kultivar banana dan creole dalam 100 gram ubi .................................................................................................
23
3
Komposisi kimia pati ubi garut per 100 gram .......................................
23
4
Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama pengujian potensi ekstrak ubi garut secara in vivo ................................
40
5
Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo .....................................
44
6
Komposisi kimia tepung ubi garut ........................................................
48
7
Komposisi kimia tepung SPF .................................................................
48
8
Kenaikan atau penurunan E. coli setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
52
9
Kenaikan atau penurunan jumlah B.cereus pada uji kompetisi dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
54
10 Kenaikan atau penurunan jumlah Salmonella pada uji kompetisi dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut ..................................................................................................
55
11 Hasil pengujian Salmonella dalam feses secara kualitatif pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut ........................................
67
12 Perubahan jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ....................
71
13 Perubahan jumlah B. cereus setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF .................... 14 Perubahan jumlah Salmonella sp setelah dikompetisikan dengan
72
L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ........ 15 Perubahan jumlah L.casei Rhamnosus setelah dikompetisikan dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF....... 16 Hasil uji Salmonella dalam feses secara kualitatif pada pengujian potensi prebiotik SPF dengan L. casei Rhamnosus ...............................
73 73 83
xv
DAFTAR GAMBAR Halaman Bifidobacterium longum .........................................................................
12
2
Diagram pengujian prebiotik ..................................................................
20
3
Tanaman garut (Maranta arundinaceae L) ...........................................
22
4
Ubi garut .................................................................................................
22
5
Diagram alir penelitian ...........................................................................
30
6
Alat Anoxomat (a) dan anaerob jar (b) ..................................................
31
7
Tahapan pembuatan tepung ubi garut ....................................................
33
8
Tahapan pembuatan tepung ubi jalar .....................................................
34
9
Diagram ekstraksi gula dan oligosakarida..............................................
36
10
Tikus jantan galur Sprague Dawley.......................................................
39
11
Persiapan suspensi BAL (L.casei Rhamnosus) .....................................
41
12
Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut: (a) L.casei Rhamnosus, (b) L.casei Shirota, (c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum, (f) B. bifidum ............................. Jumlah E. coli yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar ........................ Jumlah B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut ................................. Jumlah Salmonella yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus pada media yang mengandung ekstrak ubi garut ................................... Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan bakteri patogen: E. coli, (b) Salmonella sp, (c) B.cereus pada media yang mengandung ekstrak ubi garut ............................................................... Peningkatan berat badan tikus (ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus)............................................................................................ Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok: (a)Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L. casei Rhamnosus)............................................................................................ Perubahan jumlah BAL pada feses tikus pada kelompok : (a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus)....................... Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L. casei Rhamnosus)......................
50
1
13 14 15 16
17 18
19
20
53 54 55 56
60 61
62
64
xvi
21
Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF): (a) L. casei Rhamnosus, (b) L. casei Shirota, (c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum, (f) B. Bifidum .........................................................................................
69
22
Pertumbuhan E. coli yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ......................................... Pertumbuhan B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus pada media yang mengandung ekstrak SPF ........................................... Pertumbuhan Salmonella sp yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF ...................... Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan patogen pada media yang mengandung ekstrak SPF .............................................. Peningkatan berat badan tikus (SPF dengan L. casei Ramnosus)............
70
Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus) ......................................... Perubahan jumlah BAL pada feses pada kelompok: (a). Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L.casei Rhamnosus) ............................................................... Perubahan jumlah E. coli feses tikus pada kelompok: (a). Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus) ............................................................... Invasi Salmonella pada mucosa usus .....................................................
77
23 24
25 26 27
28
29
30
71 72 74 76
79
82
84
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Komposisi ransum standar yang diberikan pada pengujian in vivo ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus..................................
96
2.
Hasil perhitungan jumlah L.casei Rhamnosus ................................
97
3.
Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut yang digunakan untuk sonde
97
4.
Komposisi ransum SPF ....................................................................
98
5.
Jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut ..............................................................................
99
6.
Jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut .............
99
7.
Jumlah B.cereus setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus pada media yang mengandung ekstrak ubi garut .........
100
8.
Jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi bakteri patogen dengan BAL pada media yang mengandung ekstrak ubi garut …………...
100
9.
Hasil pengamatan jumlah BAL yang dikompetisikan dengan bakteri patogen dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
100
10. Perhitungan jumlah BAL (L. casei Rhamnosus) yang diberikan .....
101
11. Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut untuk cekok ………………..
101
12. Rata-rata kenaikan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut ................................................................
102
13. Analisis Ragam Rata-rata Kenaikan Berat Badan Tikus pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut .............................
102
14. Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo ....................................
103
15. Analisis Ragam Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo .......
103
16. Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo ....................................
105
17. Analisis Ragam Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo .......
105
18. Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo ....................................
107
19. Analisis Ragam Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut secara in vivo .......
107
20. Hasil pengujian Salmonella feses secara kualitatif pada pengujian potensi prebiotik ekstrak garut secara in vivo .................
109
xviii
21. Jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF) ........................................
113
22. Jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak SPF ......................................... .............
114
23. Jumlah B.cereus setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus pada media yang mengandung ekstrak SPF ....... .........
114
24. Jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi bakteri patogen dengan BAL pada media yang mengandung ekstrak SPF ........…………...
114
25. Hasil pengamatan jumlah BAL yang dikompetisikan dengan bakteri patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF .........
115
26. Rata-rata kenaikan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik SPF ...................................................................................
116
27. Analisis Ragam Rata-rata Kenaikan Berat Badan Tikus pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF .....................................................
116
28. Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ............................................................
117
29. Analisis Ragam Perubahan Jumlah Total Mikroba Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..............................
117
30. Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ............................................................................
117
31. Analisis Ragam Perubahan Jumlah BAL Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ...............................................
119
32. Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..........................................................................
121
33. Analisis Ragam Perubahan Jumlah E.coli Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..............................................
121
34. Hasil Pengujian Salmonella Feses Secara Kualitatif Pada Pengujian Potensi Prebiotik SPF secara in vivo ..............................
123
xix
I. PENDAHULUAN A.
LATAR BELAKANG Dewasa ini masyarakat semakin menyadari bahwa fungsi pangan, tidak
hanya untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi tubuh, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat lain terhadap kesehatan. Kepedulian masyarakat akan kesehatan menjadi peluang bagi peneliti untuk mengembangkan produk pangan yang berkhasiat bagi kesehatan (pangan fungsional). Pangan fungsional adalah pangan yang dapat menguntungkan salah satu atau lebih dari target fungsi-fungsi dalam tubuh seperti halnya nutrisi yang dapat memperkuat mekanisme pertahanan tubuh, dan menurunkan resiko dari suatu penyakit (Roberfroid 2002). Adapun ciri-ciri dari pangan fungsional sebagai berikut: (1) produk dapat dikonsumsi sebagai pangan yang dikonsumsi seharihari; (2) komponen pangan fungsional berasal dari alam (alami) atau bukan sintetik; (3) produk merupakan produk pangan; (4) bukan kapsul atau tablet; (5) memiliki nilai gizi sehingga dapat meningkatkan kesehatan dan atau dapat mengurangi resiko penyakit atau menyehatkan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Salah satu pangan fungsional adalah prebiotik. Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, dapat menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat atau BAL (Lactobacilli dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang (Salminen et al. 1998; Manning et al. 2004; Gibson 2004; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida (rafinosa, stakiosa dan verbakosa) dapat bertindak sebagai prebiotik karena tidak dapat dicerna, namun mampu menstimulir pertumbuhan bakteri asam laktat (BAL) seperti Lactobacilli dan Bifidobacterium di dalam saluran pencernaan (Weese 2002; Manning dan Gibson 2004). Oligosakarida terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti biji-bijian, buahbuahan, sayuran, kacang-kacangan, umbi-umbian dan hasil tanaman lainnya. Oligosakarida juga dapat diperoleh dengan cara hidrolisis atau proses enzimatis polisakarida, seperti pati dan serat kasar (Manning et al. 2004). Tanaman garut (Maranta arundinaceae) merupakan tanaman lokal Indonesia yang berpotensi
1
sebagai sumber oligosakarida. Namun demikian pati garut tidak dapat digunakan sebagai bahan prebiotik karena tidak mengandung serat (Widayanti 2005), sedangkan tepung ubi garut (whole flour) yang masih mengandung serat diduga berpotensi sebagai prebiotik, karena selama proses pengolahan tidak ada komponen yang dihilangkan kecuali pengurangan kadar air. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Krisnayudha (2007) mengidentifikasi bahwa pada ekstrak tepung ubi garut mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa. Bifidobacterium bifidum, B. longum, Lactobacillus casei Rhamnosus, L. casei Shirota,
Lactobacillus
G1,
Lactobacillus
F1,
Lactobacillus
G3
dapat
memanfaatkan ekstrak oligosakarida dari tepung ubi garut dengan baik sebagai sumber gula untuk pertumbuhannya. Bahan pangan lain yang berpotensi sebagai sumber prebiotik adalah ubi jalar. Penelitian tentang potensi ubi jalar sebagai prebiotik telah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraida et al. (2004) menunjukkan bahwa oligosakarida ubi jalar berpotensi sebagai prebiotik dengan mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria yang diketahui dapat bertahan dalam saluran pencernaan. Ekstrak oligosakarida ubi jalar putih varietas Sukuh mampu mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidabacteria lebih baik dari pada ekstrak yang diperoleh dari ubi jalar merah. Di dalam ekstrak tepung ubi jalar varietas Sukuh mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa, maltotriosa, dan rafinosa (Marlis 2008, belum dipublikasikan). Hasil penelitan Adijuwana (2005) menunjukkan bahwa kandungan rafinosa pada ubi jalar putih varietas Sukuh lebih tinggi dibandingkan dengan ubi jalar putih varietas Jago dan ubi jalar merah, masing-masing sebesar 2.97%, 2.27% dan 1.26%. Pengujian in vivo yang dilakukan oleh Suryadjaya (2005) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar terhadap tikus Sprague-Dawley (SD) mampu menekan jumlah E.coli dalam feses, namun dapat meningkatkan jumlah BAL. Efek terbesar diperoleh ketika pemberian ekstrak disertai dengan pemberian L. casei Rhamnosus. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ubi jalar berpotensi untuk mendukung pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Dalam aplikasinya, tepung ubi jalar dan tepung ubi garut akan dikonsumsi melalui
proses
pengolahan.
Proses
pengolahan
telah
diketahui
dapat
2
mempengaruhi sifat fisik dan kimia oligosakarida di dalam bahan pangan. Pemanasan terhadap ekstrak oligosakarida dapat meningkatkan kemampuan ekstrak dalam mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria (Nuraida et al. 2004). Pengukusan terhadap ubi jalar menurunkan kadar rafinosa, namun meningkatkan kadar maltosa dan maltotriosa (Suryadjaya 2005). Hasil penelitian Marlis 2008 (belum dipublikasikan) menunjukkan bahwa kromatografi kertas terhadap ekstrak ubi jalar hasil pengukusan, pemanggangan, penyangraian dan perlakuan spray drying terhadap adonan tepung ubi jalar menunjukkan terjadinya penurunan oligosakarida. B. IDENTIFIKASI MASALAH Ubi garut sebagai salah satu umbi-umbian yang banyak terdapat di Indonesia dapat digunakan sebagai salah satu bahan pangan sumber karbohidrat dan mengandung serat sekitar 1.3% (varietas creole). Hasil penelitian Widayanti (2005), menunjukkan pati garut yang dikenal oleh masyarakat dan mudah ditemukan di pasaran tidak dapat digunakan oleh BAL (Lactobacillus G3 dan L. casei Shirota) untuk pertumbuhannya, sehingga pati garut tidak dapat digunakan sebagai sumber prebiotik. Sedangkan tepung ubi garut telah teridentifikasi mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa. Hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa secara in vitro bakteri B. bifidum, B. longum, L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G1, Lactobacillus F1, Lactobacillus G3 dapat memanfaatkan ekstrak oligosakarida ubi garut dengan baik sebagai sumber gula untuk pertumbuhannya. Untuk menguji potensi prebiotik tepung ubi garut, maka perlu dilakukan pengujian potensi prebiotik tepung ubi garut secara in vivo. Proses pengolahan dapat mempengaruhi kandungan oligosakarida. Hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa proses pengolahan tepung ubi garut dapat mempengaruhi kandungan oligosakaridanya. Jenis BAL yang digunakan dapat tumbuh lebih baik dalam media yang mengandung ekstrak tepung ubi garut panggang dibandingkan dengan media yang mengandung ekstrak tepung garut sangrai maupun kukus. Cookies ubi garut merupakan salah satu hasil olahan ubi garut yang diproses dengan
3
pemanggangan. Untuk mengetahui potensi prebiotik cookies ubi garut maka dilakukan pengujian secara in vitro. Hasil penelitian Suryadjaya (2005) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar pada tikus SD mampu menekan jumlah E. coli dalam feces dan meningkatkan jumlah BAL. Perubahan komposisi gula-gula dalam ubi jalar dapat mempengaruhi sifat prebiotik secara in vivo. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Marlis (2008, belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat tumbuh baik dalam media yang mengandung ekstrak tepung ubi jalar panggang. Cookies ubi jalar dan SPF merupakan hasil olahan ubi jalar dengan menggunakan proses pemanggangan. Bahan baku SPF adalah tepung ubi jalar tergelatinisasi dan tepung kedelai. Hasil penelitian yang dilakukan Marlis (2008, belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa kandungan oligosakarida dalam tepung ubi jalar kukus paling tinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar yang diolah melalui proses pemanggangan, penyangraian dan yang diolah dengan drum drier. Oleh karena itu, untuk melengkapi informasi mengenai sifat prebiotik ubi jalar, maka perlu dilakukan pengujian secara in vivo terhadap produk-produk olahan ubi jalar. Salah satu produk ubi jalar yang telah dikembangkan adalah olahan ubi jalar dalam bentuk Sweet Potato Flakes (SPF). Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui potensi prebiotik SPF dalam sistem pencernaan hewan percobaan.
C. HIPOTESIS Hipotesis penelitian adalah : 1. Ekstrak cookies ubi garut, cookies ubi jalar dan SPF dapat meningkatkan pertumbuhan BAL, 2. Ekstrak ubi garut berpotensi sebagai prebiotik secara in vivo, 3. Produk olahan ubi jalar yaitu SPF berpotensi sebagai prebiotik baik secara in vitro maupun in vivo.
4
D. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian adalah: 1. Mengevaluasi potensi ekstrak cookies ubi garut sebagai prebiotik secara in vitro dan potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. 2. Mengevaluasi potensi SPF sebagai prebiotik secara in vitro dan in vivo.
E. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini untuk: 1. Menggali potensi ubi garut dan SPF sebagai prebiotik sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi ubi garut dan ubi jalar. 2. Menyediakan data ubi garut dan SPF yang mendukung sebagai prebiotik secara khusus dan secara umum sebagai pangan fungsional.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BAKTERI ASAM LAKTAT Bakteri asam laktat (BAL) merupakan bakteri yang memproduksi asam laktat dari fermentasi kabohidrat, termasuk genus bakteri Gram positif, tidak membentuk spora, sel berbentuk batang atau bulat. Pada umumnya BAL bersifat katalase negatif, mempunyai komposisi basa kurang dari 50% mol G+C dan membutuhkan karbohidrat yang difermentasi untuk pertumbuhannya (Axelsson 2004). BAL
dikelompokkan
menjadi
dua,
yaitu
homofermentatif
dan
heterofermentatif. Produk akhir dari proses homofermentatif glukosa sebagian besar berupa asam laktat, sedangkan heterofermentatif menghasilkan asam laktat, etanol, asam asetat dan CO2. Klasifikasi BAL menurut generanya, yaitu Aerococcus, Leuconostoc,
Carnebacterium, Oenococcus,
Enterococcus,
Pediococcus,
Lactobacillus,
Streptococcus,
Lactococcus,
Tetragenococcus,
Vagococcus, dan Weisella. Bifidobacterium juga dikelompokkan sebagai BAL karena mampu memfermentasi gula menjadi produk-produk yang menguntungkan bagi kesehatan (Axelsson 2004). Berdasarkan kemampuan BAL tinggal dalam usus, Mitsuoka (1990) mengelompokkan BAL sebagai berikut: (1) kelompok yang dapat mencapai usus dalam keadaan hidup dan paling sering ditemukan dalam kotoran manusia, contohnya Bifidobacterium (B. bifidum, B. breve, B. longum, B. infantis, B. adolescentis); (2) kelompok yang dapat mencapai usus dalam keadaan hidup dan cukup sering ditemukan dalam kotoran manusia, contohnya Lactobacillus (L. acidophilus dan L. reuteri); (3) kelompok yang dapat mencapai usus dalam keadaan hidup dan terkadang ditemukan dalam kotoran manusia, contohnya Lactobacillus (L. casei dan L. brevis); (4) Kelompok yang dapat dipakai oleh industri susu dan tidak ditemukan dalam kotoran manusia, contohnya L. bulgaricus, Streptococcus thermophilus dan Streptococcus cremoris. Bifidobacterium, Lactobacillus dan Eubacteria memiliki aktivitas yang menguntungkan bagi inang, karena bakteri tersebut menghasilkan asam laktat sehingga mampu menekan pertumbuhan bakteri patogen, mensintesa vitamin atau
6
protein, membantu penyerapan dan merangsang fungsi kekebalan tubuh. Sifat tersebut bertolak belakang dengan kelompok bakteri yang merugikan, seperti Clostridium perfringens, Proteus spp dan Veilonella spp yang menghasilkan senyawa karsinogen, toksin, NH3, H2S, amin, dan fenol. Bahan-bahan tersebut dapat menyebabkan penyakit seperti diare, konstipasi, kerusakan hati, penurunan kekebalan tubuh, kanker dan hipertensi (Yuguchi et al. 1992). Menurut Ouwehand dan Vesterlund (2004), BAL memproduksi asam-asam organik dan antimikroba yang penting. Antimikroba yang dihasilkan dapat berupa hidrogen peroxida, karbondioksida dan diasetil. Beberapa strain BAL dapat menghasilkan antimikroba reuterin dan asam pyroglutamat. Ada juga BAL yang menghasilkan bakteriosin. BAL yang dapat bertahan dalam saluran pencernaan dan memberikan kontribusi terhadap kesehatan. BAL ini disebut sebagai probiotik. Probiotik adalah mikroorganisme hidup yang menguntungkan bagi inangnya sehingga dapat menjaga keseimbangan dalam usus (Tannock 1999 dan Roberfroid 2000), meningkatkan kesehatan (Agget 1999 diacu dalam Tuohy et al. 2003). Probiotik mempunyai
efek
immunoregulatory,
antikarsinogen,
antiinflamasi,
dapat
memproduksi antimikroba dan memberikan efek langsung terhadap mucosa usus halus. Secara komersial probiotik yang tersedia berupa BAL yang tidak membentuk spora, yaitu Lactobacillus, Bifidobacterium dan Enterococci. Akan tetapi Enterococci tidak digunakan sebagai probiotik karena bakteri ini dikenal berpotensi sebagai patogen. Organisme probiotik hendaknya berasal dari mikroba asli yang terdapat dalam pencernaan. Probiotik juga mampu menurunkan tingkat berbagai enzim fekal yang berasosiasi dengan aktivasi metabolit dari karsinogen dan mutagen (Weese 2002). 1. Lactobacillus Genus Lactobacillus merupakan grup penting dari bakteri asam laktat, karena kemampuannya memproduksi asam laktat. Lactobacillus
berbentuk
batang dengan ukuran 0.5-1.2 x 1-10 µm, bersifat gram positif dan tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, G+C% 32-53%, tumbuh optimum pada kisaran suhu 30-40oC, tetapi dapat tumbuh pada kisaran 5-35oC. Lactobacillus tumbuh optimum pada pH 5.5 – 5.8 namun secara umum dapat tumbuh pada
7
pH < 5 (Axelsson 2004). Lactobacillus mampu menghasilkan asam laktat yang cukup besar dapat mencapai > 50% (Batt 1999). Lactobacillus banyak terdapat dalam produk makanan fermentasi seperti produk-produk susu fermentasi (yoghurt, keju, yakult), produk fermentasi daging (sosis fermentasi), produk fermentasi roti (souerdough bread), serta produk fermentasi sayuran (pikel dan sauerkraut).
Lactobacillus berkontribusi untuk
pengawetan, ketersediaan nutrisi dan flavor pada produk fermentasi tersebut. Galur murni Lactobacillus sp yang diisolasi dari produk probiotik komersial mampu menghambat Listeria monocytogenes, E. coli, S. Typhimurium dan S. enteritidis (Chateau et al. 1993). Genus Lactobacillus terdiri dari 70 spesies lebih dan dikelompokkan menjadi 3 grup (Tabel 1), kebanyakan homofermentatif, namun ada juga yang heterofermentatif. Tabel 1 Karakteristik tiga grup genus Lactobacillus Karakteristik Fermentasi Pentosa CO2 dari glukosa CO2 dari glukonat Aldolase Fosfoketolase
Spesies
Grup I: Obligat homofermentatif
Grup II: Fakultatif heterofermentatif
Grup III: Obligat heterofermentatif
-
+
+
+ Lb. acidophilus Lb. delbrueckii Lb. helveticus Lb. salivarius
+a + +b Lb. casei Lb. curvatus Lb. plantarum Lb. sake
+ +a + Lb. brevis Lb. buchneri Lb. fermentum Lb. Reuteri
Keterangan : pada saat fermentasi b : induksi oleh pentosa Sumber: Sharpe (1981); Kandler dan Weiss (1986) diacu dalam Axelsson (2004). a
a. Lactobacillus casei Rhamnosus Lactobacillus casei terdiri dari strain yang heterogen secara fenotif dan genetik yang mengkoloni berbagai ekosistem pangan. L. casei ditambahkan untuk meningkatkan kualitas dari makanan dan meningkatkan kesehatan manusia maupun hewan. Lactobacillus casei merupakan bakteri gram positif, tidak motil, tidak membentuk spora, katalase negatif, berbentuk batang dari 0.7-1.1 x 2.0- 4.0
8
µm, cenderung membentuk rantai, bersifat mikroaerofilik, dapat tumbuh pada kisaran suhu 15oC, tidak tumbuh pada suhu 45 oC dengan suhu optimum 30oC, pH optimum untuk pertumbuhan 6.8 namun masih dapat tumbuh pada pH 3.5 (Batt 1999). Lactobacillus casei Rhamnosus termasuk dalam genus bakteri asam laktat yang bersifat termobakterium, karena dapat tumbuh pada suhu 45oC, toleran terhadap pemanasan 72oC selama 40 menit (Batt 1999). Bakteri ini bersifat homofermentatif, Gram positif, katalase negatif dan tidak membentuk spora. L. casei Rhamnosus mampu memfermentasi gula-gula seperti glukosa, galaktosa, laktosa, manosa, selobiosa, trehalosa dan rhamnosa, kadang-kadang juga mampu memfermentasi sukrosa dan maltosa. Menurut Narayanan et al. (2004), Lactobacillus rhamnosus bersifat fakultatif anaerob, dalam suasana anaerob dapat menghasilkan L(+) asam laktat dan etanol. Lactobacillus rhamnosus MTCC 1408 menghasilkan asam laktat murni dalam media yang mengandung ekstrak glucosayeast. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Lactobacillus rhamnosus GG mampu menempel pada mucosa, meskipun sifat penempelannya sementara (Alander et al. 1999), pemberian Lactobacillus rhamnosus GG pada tikus dapat mengeluarkan aflatoksin B1 (AFB1) lebih banyak melalui feses (Gratz et al. 2006), dapat memperpendek lama diare dan frekuensi buang air besar lebih jarang pada anak-anak diare yang diberi antibiotik, menstimulir pembentukan antibodi, memodifikasi produksi cytokinin yang merupakan protein penting dalam respon imun (Young 2008). Menurut Gill dan Rutherfurd (2000), menunjukkan bahwa Lactobacillus
rhamnosus
HN001
(diisolasi
dari
produk
susu)
mampu
meningkatkan imunitas tikus dengan meningkatkan aktivitas pagocytic darah dan sel peritoneal. b. Lactobacillus casei Shirota Lactobacillus casei Shirota ditemukan pertama kali oleh Dr. Shirota pada tahun 1935, seorang ahli mikrobiologi dari Jepang. Jenis bakteri ini mempunyai morfologi berbentuk batang, berada dalam koloni tunggal maupun berantai, memiliki panjang 1.5-5.0 µ m dan lebar 0.6-0.7 µ m, Gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora maupun kapsul, tidak memiliki flagela, fakultatif anaerob. L. casei Shirota dapat hidup dengan baik pada suhu optimum 15-41oC
9
dan pH 3.5 atau lebih (Meutia 2003). L. casei Shirota bersifat homofermentatif, yaitu memecah glukosa menjadi asam laktat 90%, sejumlah kecil asam sitrat, malat, asetat, suksinat, asetaldehid, diasetil dan asetoin yang berperan dalam pembentukan flavor (Selamat 1992). Pemberian L. casei Shirota setiap hari pada bayi kelinci dapat meningkatkan respon imun terhadap sel Escherichia coli penghasil Shiga-toxin (STEC) dan menurunkan konsentrasi Shiga-toxin dalam pencernaan, sehingga dapat mengurangi terjadinya diare. c. Lactobacillus Fl Lactobacillus Fl merupakan isolat klinis BAL yang diisolasi dari feses bayi oleh Evanikastri (2003). Bakteri ini berbentuk batang pendek, dan bersifat Gram positif, katalase negatif, tidak memproduksi NH3 dan CO2 dari glukosa. Jenis bakteri ini tergolong BAL homofermentatif, karena hanya memproduksi asam laktat, tanpa karbondioksida dari glukosa. Lactobacillus Fl dapat tumbuh pada suhu 37oC dan 45oC. Hasil uji gula-gula yang dilakukan menunjukkan bahwa bakteri ini positif pada gula-gula maltosa, arabinosa, rhamnosa, xylosa dan sorbitol. Bakteri ini diduga merupakan spesies Lactobacillus acidophilus. Lactobacillus Fl bersifat hidrofobik, mempunyai aktivitas yang tinggi dalam menghambat Escherichia coli O157:H7, Staphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium. Bakteri ini tahan terhadap asam (pH 3.0) dan garam empedu (Evanikastri 2003). d. Lactobacillus G3 Lactobacillus G3 tidak memproduksi CO2 dari glukosa, sehingga tergolong sebagai BAL homofermentatif. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 37oC dan 45oC. Hasil uji gula-gula yang dilakukan menunjukkan bahwa bakteri ini positif pada gula-gula maltosa, rafinosa, galaktosa, mellibiosa, rhamnosa, xylosa dan sorbitol. Lactobacillus G3 diduga merupakan spesies L. acidophilus, tahan terhadap asam, tahan terhadap bile, secara in vitro memiliki sifat penempelan yang baik, memiliki kemampuan antimikroba yang baik, yaitu terhadap Staphylococcus aureus dan Salmonella typhimurium (Evanikastri 2003). Hasil penelitian Meutia (2003), menunjukkan bahwa isolat Lactobacillus G3 memiliki kemampuan penempelan yang baik, tahan terhadap asam, tahan terhadap garam
10
empedu (bile), memiliki sifat anti mikroba yang baik terhadap bakteri Gram positif maupun Gram negatif. Pada pengujian secara in vivo, pemberian Lactobacillus G3 sebanyak 108 CFU/gram per hari ternyata mempengaruhi jumlah E. coli, namun dapat meningkatkan jumlah BAL pada feses tikus setelah 10 hari pemberian ransum, meskipun peningkatan jumlah BAL tidak terlalu signifikan. 2. Bifidobacterium Bifidobacterium adalah salah satu BAL alami usus yang memiliki efek probiotik, diisolasi pertama kali dari feses bayi yang mengkonsumsi air susu ibu (ASI). Bakteri ini berbentuk basil (batang), tidak bergerak, tidak berspora, merupakan bakteri Gram positif, katalase negatif. Bifidobacterium merupakan bakteri anaerobik, hidup pada suhu optimum 37oC – 41oC (minimum 25-28 oC dan maksimum 43-45 oC). Memiliki pH optimum untuk pertumbuhan awal 6.5-7.0, tidak ada pertumbuhan pada pH 4.5-5.0 atau 8.0-8.5, sakarolitik dengan menghasilkan asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2, dan tidak menghasilkan CO2 (Dallas 1999). Bifidobacterium phosphoketolase
dapat
dengan
memetabolisme menggunakan
heksosa enzim
melalui
jalur
frutose-6-phosphate
phosphoketolase (F6PPK). Pengujian Bifidobacterium
didasarkan pada
kemampuannya memetabolisme heksosa sebab bakteri gram positif dalam usus halus lainnya tidak mampu memetabolisme heksosa. Secara in vitro dan in vivo Bifidobacterium
dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, seperti:
Clostridium perfringens, Salmonella, Shigella, B. cereus, Staphylococcus aureus, Campylobacter jejuni dan yeast patogen Candida albicans (Dallas 1999). Bifidobacterium
dipercaya
dapat
mensintesa
vitamin-vitamin
yang
digunakan oleh tubuh, termasuk thiamin, asam folat, asam nicotin, pyridoxin dan vitamin B12. Tikus yang mengkonsumsi L. acidophilus atau B. bifidum menunjukkan jumlah phagocytosis terhadap E. coli meningkat, dapat melindungi perlawanan rotavirus yang menyebabkan penyakit diare (Ramberg 2002). Dari hasil penelitian Bruno et al. (2002), pertumbuhan lima strain Bifidobacterium (B. infantis Bb-1, B. longum Bb-2, Bb-3, B. pseudolongum Bb-4 dan B. animalis
11
Bb-5) dalam susu skim dipengaruhi oleh adanya prebiotik. Penambahan prebiotik (kecuali dengan penambahan hi-maize) menyebabkan waktu generasi kelima strain tersebut menurun, tetapi dapat meningkatkan viabilitas Bifidobacterium. B. bifidum merupakan flora alami usus manusia dan ditemukan juga dalam vagina manusia. Bakteri ini merupakan penghuni utama usus besar manusia bersama-sama dengan spesies Bifidobacterium lainnya. Karakteristik B. bifidum adalah
katalase
negatif,
dapat
tumbuh
pada
suhu
43-45oC,
bersifat
heterofermentatif dimana rasio asam asetat dan asam laktat yang dihasilkannya adalah 1.5 : 1 (Nakazawa dan Hosono 1992). Ada beberapa efek menguntungkan dari B. bifidum antara lain dapat melindungi usus dari bakteri atau khamir patogen, menghasilkan asam asetat dan asam laktat sehingga dapat mencegah bakteri berbahaya, meningkatkan metabolisme protein dan pertambahan berat badan bayi, mencegah pertumbuhan bakteri yang mampu mengubah senyawa nitrat dalam usus yang berasal dari makanan atau minuman menjadi senyawa nitrit yang bersifat prokarsinogen, menghasilkan vitamin B, serta membantu fungsi hati dalam proses pencernaan makanan. Bifidin, suatu antibiotik yang dihasilkan oleh B. bifidum, sangat efektif melawan Shigella dysentriae, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E. coli dan bakteri lainnya (Tomomatsu 1994). B. longum merupakan bakteri yang tidak membentuk spora, berukuran 2-8 µ m, bersifat katalase negatif, dengan suhu optimum untuk pertumbuhan yaitu 36-38oC dan akan mati pada suhu 60oC. B. longum berbentuk batang, tidak tumbuh pada suhu < 20oC, tidak memiliki resistensi terhadap suhu > 46oC dan pH optimal untuk awal pertumbuhan adalah 6.5-7.0 (Ballongue 2004). Gambar 1 Bifidobacterium longum secara mikroskopik.
Gambar 1 Bifidobacterium longum (Anonim 2006)
12
B. PREBIOTIK 1. Pengertian, Definisi dan Persyaratan Prebiotik Prebiotik merupakan bahan pangan yang tidak dapat dicerna, memiliki efek menguntungkan terhadap inang dengan menstimulir pertumbuhan secara selektif terhadap aktivitas satu atau lebih dalam jumlah terbatas bakteri di dalam usus (Lactobacilli dan Bifidobacteria), sehingga meningkatkan kesehatan inang (Gibson 2004; Manning et al. 2004; Manning dan Gibson 2004). Menurut FAO (2007), prebiotik adalah komponen pangan yang tidak hidup (not viable) yang memberikan keuntungan kesehatan inang berasosiasi dengan memodulasi mikrobiota. Manning et al. (2004), menyatakan bahwa bahan makanan dikategorikan sebagai prebiotik, apabila: (1) tidak dapat dihidrolisa atau diserap oleh saluran pencernaan bagian atas, (2) secara selektif menstimulir pertumbuhan bakteri potensial yang menguntungkan, (3) dapat menekan pertumbuhan patogen dan virulen, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Menurut FAO (2007), kualifikasi prebiotik apabila: (1) merupakan komponen pangan yang tidak berbentuk organisme atau obat-obatan, dapat dikarakterisasi secara kimia, merupakan komponen food grade, (2) memberikan keuntungan kesehatan, terukur, tidak diserap untuk masuk ke aliran darah atau komponen yang bertindak sendirian, (3) dapat memodulasi, adanya komponen secara tunggal atau sudah diformulasikan dapat mengubah komposisi atau aktifitas mikrobiota target inang, mekanisme tersebut meliputi fermentasi, penghentian reseptor atau lainnya. Menurut Weese (2002); Manning dan Gibson (2004), dietary fibre (serat makanan) dapat dikelompokkan sebagai prebiotik, apabila: substrat tidak dapat diserap atau dihidrolisa di dalam usus halus, secara selektif substrat dapat difermentasi oleh bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium, fermentasi substrat memberikan efek sistemik yang menguntungkan bagi inangnya. Bahan prebiotik diklasifikasikan sebagai GRAS atau generally recognized as safe (Weese 2002, Gibson 2004 dan FAO 2007).
Beberapa bahan
yang berpotensi sebagai prebiotik yaitu rafinosa, FOS, oligosakarida kedelai, galaktooligosakarida, galaktosil laktosa, laktusukrosa, isomalto-oligosakarida, gluko-oligosakarida, xylo-oligosakarida (Manning dan Gibson 2004).
13
2. Mekanisme Kerja dan Manfaat Prebiotik Senyawa prebiotik yang tidak dapat dicerna oleh usus halus akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus dan dapat menstimulir pertumbuhan BAL. Fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan menghasilkan energi metabolisme dan asam lemah rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat), sehingga komposisi mikroflora usus berubah. Selain asam, bakteri usus juga akan menghasilkan zat yang bersifat antimikroba. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam merupakan hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida (Tomomatsu 1994). Adanya produksi asam tersebut akan menurunkan pH usus sehingga persentase bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacterium dan Lactobacillus meningkat, sedangkan persentase bakteri pembusuk seperti E. coli dan Streptococcus faecalis yang merugikan akan menurun. Menurut Tomomatsu (1994), pertumbuhan bakteri patogen seperti Salmonella dan E. coli akan terhambat dengan adanya asam dan zat-zat antibakteri. Dengan demikian oligosakarida merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri Bifidobacterium dan Lactobacillus yang menguntungkan di dalam kolon (usus besar), sehingga dapat digolongkan sebagai prebiotik. Karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan diklaim memiliki efek fungsional terhadap kesehatan karena karbohidrat tersebut dapat: menunda pengosongan lambung, memodulasi waktu transit pada sistem pencernaan, meningkatkan toleransi terhadap glukosa, mereduksi penyerapan lemak dan kolesterol, meningkatkan volume dan kemampuan membawa air dari usus dan memodulasi fermentasi mikroba dengan meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek (Short Chain Fatty Acid atau SCFA), menurunkan pH dan produksi amonia. Kombinasi dan efek fungsional tersebut menghasilkan peningkatan kesehatan inang dengan menurunnya gangguan pada usus (konstipasi dan diare), penyakit kardiovaskuler dan kanker usus (Zietner dan Gibson 1998). Ukuran partikel serat pangan dan tingkat kelarutan berpengaruh terhadap kemampuan serat pangan untuk difermentasi oleh bakteri. Produk utama fermentasi polisakarida dalam usus oleh bakteri, tidak hanya meningkatkan volume feses tetapi juga menaikkan aktivitas metabolisme bakteri sakarolitik. Pektin, hemiselulosa, guar gum dan inulin adalah serat pangan yang dapat larut
14
dalam air sehingga membentuk gel di dalam saluran pencernaan. Hal ini membantu proses fermentasi oleh mikroflora usus karena meningkatkan luas permukaan yang tersedia untuk hidrolisa enzim (Manning dan Gibson 2004). Menurut Manning dan Gibson (2004), konsumsi prebiotik mempunyai beberapa manfaat, yaitu dapat: menghambat pertumbuhan bakteri patogen, meningkatkan penyerapan kalsium, mencegah kanker usus, memberikan pengaruh terhadap sistem imun (immunological effect) dan dapat menurunkan kolesterol. Menghambat Pertumbuhan Patogen. Prebiotik merupakan substrat bagi bakteri yang menguntungkan dalam usus. Sebagai contoh tersedianya inulin dan FOS
dapat
meningkatkan
jumlah
Bifidobacterium
dalam
pencernaan.
Terbentuknya asam laktat oleh BAL memiliki beberapa keuntungan. Produk akhir metabolisme BAL akan menurunkan pH usus dimana bakteri patogen tidak mampu berkompetisi (memiliki sifat penghambatan). Bifidobacterium mampu menghasilkan antimikroba yang berpengaruh terhadap berbagai bakteri patogen Gram-positif dan Gram-negatif yang ada dalam usus (Manning dan Gibson 2004). Prebiotik dapat meningkatkan ketahanan terhadap patogen dengan meningkatnya Bifidobacterium dan Lactobacilli di dalam usus (Gibson 2004). Beberapa spesies Lactobacilli dan Bifidobacterium dapat menghasilkan antibiotik alami yang memiliki aktivitas spektrum yang luas (Gibson dan Wang 1993; Manning dan Gibson 2004). Beberapa spesies Bifidobacterium menghasilkan
antimikroba
alami
yang
bervariasi
dalam
dapat
menghambat
pertumbuhan bakteri patogen gram positif dan gram negatif dalam usus. Hasil pengujian in vivo menunjukkan bahwa FOS dan inulin mampu melindungi masuknya patogen enterik dan sistemik maupun tumor inducer, termasuk E.coli O157:H7 dan campylobacter (Manning dan Gibson 2004; Manning et al. 2004). Meningkatkan peningkatan
Penyerapan
penyerapan
kalsium
Kalsium. terjadi
Pengaruh melalui
prebiotik
terhadap
mekanisme
berikut:
(a) fermentasi prebiotik seperti inulin menghasikan produk SCFA, sehingga menurunkan pH koloni lumenal. Akibatnya meningkatkan kelarutan kalsium di dalam usus (b) Fermentasi phytate oleh bakteri juga dapat melepaskan kalsium. Phytate sebagai salah satu komponen tanaman yang dikonsumsi, juga dapat membentuk komplek dengan kation divalen yang tidak larut dan stabil seperti
15
kalsium (c) SCFA masuk ke kolon dalam bentuk proton kemudian berdissosiasi di lingkungan intraselluler. Proton yang dilepaskan dalam lumen berubah menjadi ion kalsium. Berdasarkan pengujian in vivo dengan hewan percobaan seperti tikus, menunjukkan bahwa prebiotik dapat meningkatkan penyerapan kalsium dalam usus dan mengurangi kehilangan kalsium pada tulang (Manning dan Gibson 2004). Konsumsi inulin sebesar 40g/hari selama 28 hari dapat meningkatkan penyerapan kalsium bagi manusia secara nyata (Coudray et al. 1997 diacu dalam Manning dan Gibson 2004), 15g inulin, FOS atau GOS per hari selama 21 hari meningkatkan penyerapan kalsium dan besi (Heuvel et al. 1998 diacu dalam Manning dan Gibson 2004), 15 g FOS/hari selama 9 hari dapat meningkatkan penyerapan kalsium hingga 10.8% (Heuvel et al. 1999 diacu dalam Manning dan Gibson 2004). Melindungi Terhadap Kanker Kolon. Prebiotik dipostulatkan mampu melindungi kolon dari serangan kanker kolon. Beberapa prebiotik (inulin, FOS, GOS dan resisant starch dapat menstimulir Eubacteria (tetapi bukan Clostridia yang toksik) yang menghasilkan metabolit berupa butirat. Adanya prebiotik dapat mendukung pertumbuhan BAL. BAL dipercaya mampu menghambat beberapa bakteri yang menghasilkan enzim karsinogenik. Dengan demikian prebiotik dapat meningkatkan pembentukan butirat dalam usus. Ada dua mekanisme perlindungan prebiotik terhadap perkembangan kanker usus, yaitu : (a) produksi metabolit yang bersifat protektif. Butirat merupakan produk akhir dari fermentasi yang diketahui dapat menstimulasi apoptosis dalam cell line kanker usus dan juga berperan sebagai bahan bakar untuk kesehatan colonisit. Butirat dalam usus diproduksi oleh Eubacteria. Penggunaan prebiotik dapat mendukung pertumbuhan Eubacteria yang tidak berbahaya (b) prebiotik akan menyebabkan metabolisme bakterial di dalam usus menghasilkan produk akhir yang tidak berbahaya (Manning dan Gibson 2004). Efek Terhadap Sistem Imun. Prebiotik dapat meningkatkan jumlah mikroflora dalam usus. Pemberian FOS, GOS dan laktulosa dapat mengubah komposisi mikroflora usus. Prebiotik juga dapat mendukung pertumbuhan BAL Pemberian GOS, inulin dapat meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan Lactobacilli. BAL diketahui dapat menstimulir respon baik yang spesifik maupun
16
non-spesifik. Akibatnya meningkatkan aktivitas pagositas dan atau meningkatkan molekul immunological seperti IgA yang mempengaruhi Salmonellae dan rotavirus. Prebiotik juga menghasilkan produk akhir yang sama dengan BAL karena prebiotik dapat mendukung pertumbuhan BAL dan meningkatkan komposisi mikroflora. Pengujian secara in vivo pada hewan menunjukkan bahwa prebiotik dapat mempengaruhi fungsi imun (Manning dan Gibson 2004). Efek pada Lemak Darah. Industri makanan banyak mengembangkan pangan fungsional untuk memodulasi lemak darah seperti kolesterol dan trigliserida. Peningkatan kolesterol dalam darah berisiko menyebabkan penyakit jantung koroner. Beberapa bukti menunjukkan bahwa BAL mampu menurunkan konsentrasi level total dan LDL (low-density lipoprotein) kolesterol. Namun sampai saat ini mekanismenya belum jelas. Kemungkinan BAL secara langsung mampu mengasimilasi kolesterol. Prebiotik seperti FOS dapat menurunkan sintesa de novo trigliserida oleh hati. Menurut Delzenne dan Kok (1999) diacu dalam Manning dan Gibson (2004) menyatakan bahwa prebiotik seperti inulin dapat menghambat insulin-induced yang disintesa dari trigliserida.
3. Sumber-sumber Prebiotik Sumber prebiotik alami terdapat dalam air susu ibu (ASI) dalam bentuk oligosakarida yang terkandung colostrum, yaitu N-acetyl glucosamine (Ballongue 2004), yang dicerna dalam usus kurang dari 5% dan dapat mendukung pertumbuhan Bifidobacteria (Ballongue 2004 dan Surono 2004). Sumber prebiotik lain dapat diperoleh dari buah-buahan dan sayuran seperti bawang merah, bawang putih, pisang, asparagus, leek, chicory (mengandung inulin) dan Jerusalem articoke, oligosakarida kedelai. Selain terdapat dalam buah dan sayuran, prebiotik juga terdapat dalam umbi-umbian seperti rafinosa dalam ubi jalar (Palmer 1982, Adijuwana 2005, Krisnayudha 2007, Marlis 2008, belum dipublikasikan), oligofruktosa dan rafinosa dalam ubi garut dan ganyong (Krisnayudha 2007).
17
4. Jenis-jenis Senyawa Prebiotik Senyawa-senyawa yang termasuk dalam prebiotik adalah oligosakarida (seperti: rafinosa, stakiosa, GOS, FOS, inulin), beberapa disakarida dan alternatif sumber prebiotik lain (seperti: laktitol, sorbitol) dan serat makanan yang tidak diserap oleh usus halus. a. Oligosakarida Oligosakarida merupakan gula-gula yang terdiri dari 2 sampai 20 unit sakarida atau karbohidrat sederhana (Manning dan Gibson 2004). Menurut Oku (1994), oligosakarida terutama terdiri dari verbakosa, stakiosa dan rafinosa yang memiliki ikatan α-galakto-glukosa dan α-galakto-galaktosa. Oligosakarida yang tidak dicerna dan diserap dalam usus halus akan mencapai usus besar, selanjutnya akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus. Rafinosa. Oligosakarida dari kelompok rafinosa bersifat fungsional karena tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan manusia, yaitu α-galaktosidase, sehingga bermanfaat bagi kesehatan karena akan menghasilkan energi metabolisme yang lebih rendah dibandingkan sukrosa, tidak memberikan efek pada sekresi insulin dari pankreas, mencegah penyakit gigi dan dapat meningkatkan mikroflora usus (Oku 1994). Di dalam kolon, rafinosa dapat menstimulir pertumbuhan Bifidobacterium spp dan Bacteriodes spp. Menurut Benno et al. (1987) diacu dalam Salminen et al. (1998), menunjukkan bahwa pemberian rafinosa pada manusia sebesar 15 g/hari dapat menaikkan jumlah bifidobakteria feses secara signifikan dan menurunkan jumlah Clostridium spp dan Bacteriodaceae, terjadi penurunan pH fekal selama mengkonsumsi rafinosa. Rafinosa dapat diperoleh dari purifikasi beberapa tanaman Oligosakarida kedelai. Dalam oligosakarida kedelai terdapat rafinosa, stakiosa dan sukrosa yang dibentuk dari galaktosa yang berikatan dengan sukrosa. Oligosakarida kedelai dibuat dari kedelai atau whey kedelai melalui proses ekstraksi dan purifikasi. Oligosakarida bersifat stabil terhadap panas maupun asam, stabilitasnya lebih baik dibandingkan dengan sukrosa. Hayakawa et al. (1990) diacu dalam Salminen et al. (1998), membuktikan bahwa secara in vitro,
18
stakiosa dan rafinosa yang dimurnikan dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh Bifidobacterium spp. Konsumsi oligosakarida kedelai 10 g/hari dapat meningkatkan jumlah bifidobacteria dalam feses manusia secara signifikan, menurunkan bakteri usus halus yang berbahaya. Fruktooligosakarida (FOS). FOS merupakan oligosakarida yang tidak dapat dicerna. Konsumsi FOS sebesar 4-20 g/hari dapat meningkatkan pertumbuhan bifidobacteria, menurunkan jumlah bacteroides dan clostridia fekal, meningkatkan berat feses, mudah buang air besar, menurunkan pembentukan bahan-bahan putrefaktif (Hidaka et al. 1986; Gibson et al. 1995 diacu dalam Salminen et al. 1998). Galaktooligosakarida (GOS). Galaktooligosakarida yang terdapat dalam susu sapi, air susu ibu (ASI) dan yoghurt dapat menstimulir pertumbuhan bifidobacteria. Menurut Ito et al. (1990) diacu dalam Salminen et al. (1998), enzim β-D-galaktosidase dari Aspergillus oryzae dan Streptococcus thermophillus dapat memecah laktosa menjadi galaktooligosakarida. Terjadi perubahan mikroflora usus secara nyata apabila mengkonsumsi galaktooligosakarida sebesar 10 g/hari. Galaktosil Laktosa (GL). GL merupakan trisakarida yang terdapat dalam ASI. GL yang dibuat secara komersial dan ditambahkan dalam infant formula mampu menstimulir pertumbuhan bifidobacteria pada pencernaan balita (Salminen et al. 1998). Palatinosa. Palatinosa digunakan sebagai bahan pemanis non karsinogen. Palatinosa dapat dicerna, namun daya cerna palatinosa kondensat belum diketahui dengan jelas. Khasimura et al. (1989) diacu dalam Salminen et al. (1998), pemberian palatinosa dapat meningkatkan jumlah bifidobacteria dalam feses. b. Disakarida dan alternatif sumber prebiotik lainnya Laktulosa, laktitol, xilitol, sorbitol dan mannitol merupakan bahan pengganti atau alternatif oligosakarida. Bahan-bahan tersebut dapat dicerna namun lambat dan dapat difermentasi oleh BAL dalam kolon. Laktolosa, laktitol dan xilitol berpengaruh sangat baik terhadap peningkatan mikroflora usus. Namun demikian
19
konsumsi laktulosa, laktitol, xilitol, dan mannitol yang tinggi dapat menurunkan toleransinya (Salminen dan Salminen 1989 diacu dalam Salminen et al. 1998). C. PENGUJIAN PRODUK PANGAN SEBAGAI PREBIOTIK Menurut FAO (2007), untuk menentukan suatu produk pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik ada empat langkah yang dilakukan, yaitu (1) karakterisasi komponen prebiotik, (2) karakterisasi fungsionalitas, (3) kualifikasi dan (4) keamanan. Gambar 2 menunjukkan diagram pengujian prebiotik. Karakterisasi komponen: sumber, asal-usul, kemurnian, komposisi kimia, struktur
Karakterisasi fungsional: pengujian secara in vitro atau pada hewan
Formulasi produk, pembawa (vehicle), jumlah dan konsentrasi
Double blind, randomized, controlled human trial (RCT) dengan ukuran sample hasil utama sesuai untuk menetapkan khasiat produk. Minimum proof (bukti minimum) korelasi antara sifat fisiologis dan modulasi mikrobiota pada tempat tertentu
Assesmen keamanan: pengujian secara in vitro dengan/atau tanpa hewan, dan/atau studi manusia (fase I) jika bukan GRAS atau yang setara
Studi RCT kedua yang bersifat independen untuk mengonfirmasi hasil
PREBIOTIK Gambar 2. Diagram pengujian prebiotik (FAO 2007). Karakterisasi Komponen Prebiotik. Komponen pangan dapat diklaim sebagai prebiotik apabila sudah diketahui asal-usulnya, tingkat kemurniannya, struktur dan komposisi kimia dapat dikarakterisasi, apabila sebagai pembawa (vehicle) maka konsentrasi dalam produk yang diberikan kepada inang dapat diketahui.
20
Karakterisasi
Fungsional.
Minimum
diperlukan
bukti-bukti
yang
menunjukkan adanya korelasi antara hasil fisiologis yang terukur dengan modulasi mikrobiota sebagai dampak samping (terutama pada gastrointestinal tract, atau dampak lain yang potensial seperti pengaruh senyawa prebiotik terhadap vagina dan kulit). Diperlukan adanya korelasi fungsi spesifik pada dampak spesifik dengan efek fisiologis dalam kurun waktu tertentu. Melalui pengujian secara in vitro atau pada hewan. Pada pengujian ini hendaknya variabel yang menjadi target dapat menunjukkan adanya perubahan yang nyata secara statistik dan secara biologis menunjukkan konsistensi target kelompok dengan klaim produk sebagai prebiotik. Klaim prebiotik hendaknya didasarkan pada studi-studi mengenai jenis produk akhir dan pengujian terhadap inang. Diperlukan kesesuaian ukuran secara random/acak terhadap kontrol pengujian (dibandingkan dengan placebo atau standar kontrol), akan lebih baik apabila antara perlakuan dengan kontrol bersifat independen. Hasil fisiologis prebiotik yang dimaksud adalah: satiety (pengukuran terhadap kandungan karbohidrat, lemak, total energi intake), mekanisme endokrin yang mengatur food intake dengan penggunaan energi dalam tubuh, efek-efek penyerapan nutrien (seperti kalsium, magnesium, trace elemen, protein), menurunnya atau berkurangnya kejadian infeksi, lemak darah dan parameter endokrin klasik, bowel movement dan regularity, tanda-tanda resiko kanker, perubahan innate dan immunitas yang semuanya membuktikan bahwa prebiotik yang diuji dapat memberikan keuntungan kesehatan. Kualifikasi. Pengaruh-pengaruh bifidogenik belum cukup tanpa ditunjukkan keuntungan-keuntungan yang berkaitan dengan kesehatan fisiologis. Hal tersebut perlu dikenali bahwa pada saat yang sama sering mengalami kesulitan untuk mengetahui hal-hal yang terjadi di dalam usus halus. Teknik pengambilan sampel yang tepat dapat diketahui adanya modulasi mikrobiota yang menggambarkan kesehatan inang. Analisis fekal akan lebih sesuai dengan keterbatasan teknik pengambilan sampel yang tepat. Keamanan. Untuk mengklaim bahwa produk tertentu sebagai prebiotik, maka diperlukan parameter yang aman sesuai dengan regulasi nasional yang berlaku. Beberapa hal yang direkomendasikan untuk mengetahui keamanan dari
21
prebiotik, yaitu: secara historis produk diketahui aman, GRAS atau ekivalen. Untuk komoditas yang demikian maka pengujian toksikologi terhadap hewan atau manusia tidak perlu dilakukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui level konsumsi yang aman dan efek samping terhadap kesehatan. Produk harus tidak mengandung kontaminan dan benda asing. Berdasarkan ilmu pengetahuan, prebiotik bukan merupakan alternatif mikrobiota untuk memperpanjang efek detrimental yang lebih panjang terhadap inang. C. UBI GARUT (Maranta arundinaceae L) Ubi garut (arrowroot) merupakan salah satu jenis umbi-umbian, yang banyak ditemukan di Indonesia. Tanaman garut termasuk dalam famili Marantaceae, genus Maranta spesies Maranta arundinaceae L. Tanaman ini berasal dari Indian Barat (West Indian), mereka menyebut Tibur starch, merupakan family Ginger, genus Curcuma. Perbanyakan tanaman dengan umbi, kedalaman lubang tanam 6 inch, jarak tanam 15 inch dan lebar bedengan 30 inch. Ubi garut baru bisa dipanen setelah berumur 10-11 bulan, dengan hasil panen 4-6 ton/acre. Ubi garut mengandung 12% tepung kering dan 1.7% protein.
Gambar 3 Tanaman garut atau Maranta arundinaceae L. (Anonim (2007).
Gambar 4 Ubi garut
22
Masyarakat mengenal ubi garut dengan istilah yang berbeda-beda, di Jawa ada yang menyebut angkrik, arus, erus, sedangkan di daerah Sunda dikenal dengan nama patat atau sagu (Widowati et al. 2002) Di Malaysia disebut ubi bemban, Batak: Sagu Ban-ban, Nias: Saku Ndrawa, Minang: Sagu larut, Bali: Krarus, Minahasa: Tawang, Gorontalo: Labia Walanta. Profil tanaman ubi garut dapat dilihat pada Gambar 3, sedangkan ubi garut dapat dilihat pada Gambar 4. Tanaman garut mempunyai dua jenis kultivar, yaitu kultivar creole dan kultivar pisang (banana). Ciri-ciri kultivar creole memiliki rhizome yang kurus memanjang, lebih menyebar dan menembus masuk ke dalam tanah, lebih berserat dengan kandungan pati yang lebih tinggi. Kultivar banana mempunyai rhizome yang lebih pendek dan gemuk dibandingkan dengan kultivar creole. Perbandingan antara komposisi kimia ubi garut kultivar banana dan creole dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia ubi garut kultivar banana dan creole dalam 100 gram ubi Komposisi zat gizi Ubi garut untuk kultivar (gram) Banana (%) Creole (%) Karbohidrat : 19.4 21.7 0.6 1.3 • Pati 2.2 1,0 • Serat 0.1 0.1 Protein 1.3 1.4 Lemak 1.3 1.4 Abu 72.0 69.1 Air Sumber : Kay (1973). Tabel 3 Komposisi kimia pati ubi garut per 100 gram Jenis Gizi Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Ca (mg) P (mg) Fe (mg) Vit. A (SI) Vita. B-1 (mg) Vit. C (mg) Air (g)
Tepung Ubi Garut 355 0.7 0.2 85.2 8.0 22.0 1.5 0.0 0.09 0.0 14.0
Sumber: Depkes RI (1991).
23
Pati garut (Marantha arundinacea L) diketahui sangat potensial untuk bahan baku makanan dan minuman, farmasi atau obat-obatan, kimia, kosmetik, tekstil, kertas, dan karton. Selain campuran bedak, pati garut digunakan sebagai bahan campuran minuman, ransum, obat penyakit panas dalam, obat borok, bahan pengikat tablet, ekstender pada perekat sintetis, dan campuran bedak (Yun 2002). Pati garut juga dapat digunakan sebagai bahan
penambah nafsu makan
(stomachica), anti-radang (anti-inflammatory), dan sebagai penguat (tonik), obat diare, radang sendi, radang usus, penambah asam lambung, mengatasi keputihan, biang keringat, digigit serangga, jerawat atau flek hitam. Komposisi kimia pati garut dapat dilihat pada Tabel 3. Pati garut merupakan hasil olahan ubi garut melalui proses ekstraksi pati. Masyarakat menyebut pati garut dengan istilah tepung garut. Pembuatan pati garut dilakukan dengan cara: pembersihan ubi garut dari kulit ari maupun akar, pencucian, pengecilan ukuran (pemarutan), ekstraksi, pengendapan pati, pembuangan air rendaman, penjemuran pati, penghancuran dan pengayakan pati (Widowati et al. 2002). Pembuatan tepung ubi garut dilakukan dengan cara: pembersihan ubi garut dari sisik maupun akar, pencucian, pengecilan ukuran (pengirisan), pengeringan, penepungan dan pengayakan (Krisnayudha 2007). Hasil pengujian dengan kromatografi kertas yang dilakukan oleh Widayanti (2005), menunjukkan bahwa dalam ekstrak pati garut tidak terdapat rafinosa. Hasil pengujian secara in vitro terhadap ekstrak pati ubi garut menunjukkan bahwa bakteri L.casei Shirota dan Lactobacillus G3 tidak dapat menggunakan ekstrak pati ubi garut untuk pertumbuhannya. Berbeda dengan hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa di dalam ekstrak tepung ubi garut terdapat glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan FOS. Secara in vitro, ekstrak tepung ubi garut dapat mendukung pertumbuhan BAL uji, berturut-turut mulai yang tertinggi adalah L. casei Rhamnosus, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, L.casei Shirota, B. bifidum, Lactobacillus G1 dan B. longum. Proses pengolahan diduga dapat mengubah kandungan oligosakarida. Hasil penelitian yang dilakukan Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa pada ekstrak tepung ubi garut segar mengandung gula sangat sederhana dan gabungan dari rafinosa, FOS, sukrosa dan fruktosa. Pada tepung ubi garut yang disangrai
24
mengandung rafinosa dan FOS paling tinggi dibandingkan dengan hasil pengukusan dan pemanggangan. D. UBI JALAR (Ipomoea batatas L) Ubi jalar (Ipomoea batatas L) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, subdivisi
Angiospermae,
kelas
Dicothyledone,
ordo
Solanaceae,
famili
Convolvulaceae, genus Ipomeae dan spesies Ipomoea batatas. Pada umumnya ubi jalar dibagi dalam dua genus yaitu ubi jalar yang bermubi lunak karena banyak mengandung air dan ubi jalar yang bermubi keras karena banyak mengandung pati (Lingga et al. 1986). Menurut Palmer (1982), jenis oligosakarida yang terdapat pada ubi jalar adalah rafinosa. Pada ubi jalar yang sudah dimasak juga masih terdapat rafinosa dan tidak dapat dicerna. Adijuwana (2005) mengidentifikasi kandungan rafinosa dari tiga jenis varietas ubi jalar (ubi jalar putih varietas Jago dan Sukuh serta ubi jalar merah klon BB00105.10) dengan metode kromatografi kertas. Hasil identifikasi tersebut menunjukkan bahwa kadar rafinosa pada ubi jalar yang tidak dikukus berturutturut adalah 2.97% (varietas Sukuh), 2.27% (varietas Jago), 1.26% (ubi jalar merah). Sedangkan pada ubi jalar dengan pengukusan tidak diperoleh spot yang memiliki Rf sebanding dengan Rf standar rafinosa. Identifikasi lanjut ekstrak oligosakarida pada ubi jalar Sukuh yang memiliki kadar rafinosa tertinggi, menunjukkan bahwa selain rafinosa juga terdapat sukrosa, maltosa dan maltotriosa. Hasil penelitian Suryadjaya (2005), menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar pada tikus SD selama 10 hari dapat menekan jumlah E.coli dalam feses sebesar 2.35 log cfu/g namun meningkatkan jumlah BAL sebesar 0.28 log cfu/g. Hasil penelitian Marlis (2008, belum dipublikasikan), menunjukkan bahwa konsentrasi gula pada tepung ubi jalar varietas Sukuh terdiri dari fruktosa 0.17%, glukosa 0.25%, sukrosa 1.42%, maltosa 3.12%, maltotriosa 0.12% dan rafinosa 0.18%. Pada tepung ubi jalar yang dikukus terjadi kenaikan kandungan maltotriosa (0.14%) dan rafinosa (0.2%) tertinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar segar maupun hasil pengolahan melalui pemanggangan, drum dry maupun penyangraian.
25
F. SWEET POTATO FLAKES (SPF) Sweet Potato Flakes (SPF) atau makanan sarapan dari ubi jalar merupakan salah satu jenis produk yang berasal ubi jalar. Produk tersebut merupakan produk turunan yang dibuat dari campuran tepung ubi jalar instant atau tergelatinisasi (ubi jalar kukus yang dikeringkan dan ditepungkan), tepung kedelai, tapioka sebagai bahan baku, gula, garam dan air. Proses produksi flaked cereal melibatkan proses pemanasan dengan suhu tinggi sehingga dihasilkan produk yang berwarna gelap. Karena menggunakan bahan baku tepung tergelatinisasi, maka proses pemasakan awal dihilangkan, sehingga proses pemasakan hanya dilakukan pada tahap pemanggangan. Secara garis besar proses pengolahan SPF adalah persiapan bahan baku,
formulasi,
pencampuran,
pencetakan
(pembentukan),
flaking,
pemanggangan, pelapisan (coating) dan pengemasan. Bahan baku SPF terdiri dari 55% tepung ubi jalar kukus, 25% tepung kedelai, 20% tapioka, gula pasir 10% (dari total tepung), air 30% (dari total tepung), garam 0,5% (dari total tepung). Untuk membuat SPF, pertama-tama dilakukan pencampuran kering tepung ubi jalar kukus, tepung kedelai, tapioka. Gula dan garam dilarutkan dalam air. Larutan gula dan garam dimasukkan dalam campuran tepung kemudian dicampur dengan menggunakan mixer sampai adonan homogen. Adonan dibuat pellet dengan menggunakan grinder. Pellet dipotong-potong dengan panjang
0.5-1 cm,
kemudian dipipihkan menggunakan drum drier sehingga terbentuk flake. Selanjutnya flake dipanggang dalam oven dengan menggunakan suhu pemanasan 3000F selama ± 11 menit kemudian SPF didinginkan (Koswara 2003 dan Syamsir et al. 2007). Hasil penelitian Koswara (2003), menunjukkan bahwa SPF yang dibuat memiliki keunggulan dibandingkan produk sarapan komersial lainnya yaitu mengandung β–karoten 30.76 ppm (tidak terdapat pada produk sarapan komersial) dan kadar serat mencapai 10.46% (pada produk sarapan komersial berkisar antara 1.4 – 3.8%). Penyajian SPF dengan cara mencampur SPF dengan susu atau bisa dikonsumsi langsung sebagai makanan camilan. Produk SPF yang diperoleh dari Seafast Center telah memiliki sertifikat penyuluhan (SP) dari Depkes RI dengan nomor Depkes. RI. SP. No. 503/10.03/2003 (Koswara 2003). Sebagaimana disebutkan di atas bahwa produk SPF mengandung tepung kedelai. Di dalam tepung kedelai terdapat oligosakarida kedelai yang berpotensi
26
sebagai prebiotik. Oligosakarida kedelai dapat bertindak sebagai prebiotik karena mengandung rafinosa, stakiosa dan sukrosa yang dibentuk dari galaktosa yang berikatan dengan sukrosa (Salminen et al. 1998). Menurut Smiricky (2001), jenis oligosakarida pada kedelai adalah rafinosa dan stakiosa. Stabilitas oligosakarida lebih baik dibandingkan dengan sukrosa, stabil terhadap panas maupun asam. Hayakawa et al. 1990 diacu dalam Salminen et al. (1998), secara in vitro, stakiosa dan rafinosa yang dimurnikan dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh Bifidobacterium
spp.
Konsumsi
oligosakarida
kedelai
10
g/hari
dapat
meningkatkan jumlah bifidobacteria dalam feses manusia secara signifikan dan menurunkan bakteri usus halus yang berbahaya. Menurut Anonim (2008), secara alami galakto-oligosakarida (GOS) ditemukan dalam kedelai dan dapat disintesa dari laktosa (gula susu). Oligosakarida dapat berubah setelah mengalami proses pengolahan. Menurut Jood et al. (1985), kadar sukrosa, rafinosa, stakiosa dan verbakosa yang terkandung dalam lima jenis leguminose yang diuji (Phaseolus vulgaris, Cicer areitinium, Phaseolus mungo, Cajanus cajan dan Vicia vaba) mengalami penurunan setelah dilakukan proses perendaman air maupun larutan sodium bikarbonat, pemasakan, pemasakan dengan otoklaf pada biji yang sudah direndam, germinasi maupun penggorengan biji yang sudah berkecambah. Hasil penelitian yang dilakukan Marlis (2008, belum dipublikasikan), memunjukkan bahwa pada tepung ubi jalar kukus terjadi kenaikan kandungan maltotriosa dan rafinosa tertinggi dibandingkan dengan tepung ubi jalar segar maupun hasil pengolahan
melalui
pemanggangan,
penyangraian
maupun
yang
diolah
menggunakan drum drier.
27
III.
METODOLOGI
A. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Southeast Asia Food and Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, Kampus IPB Darmaga, Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2006 – Juli 2007.
B. BAHAN Bahan-bahan yang digunakan adalah ubi garut varietas creole dari salah satu petani dari kota Temanggung Jawa Tengah, ubi jalar putih varietas Sukuh dari International Center Potato (CIP) Ciapus-Bogor dan SPF (Sweet Potato Flakes) didapat dari Seafast Center, IPB. Pembuatan cookies ubi garut dan ubi jalar menggunakan mentega (Blue BandTM), gula halus dan telur ayam. Kultur bakteri asam laktat (BAL) yang digunakan adalah Lactobacillus casei Shirota (L. casei Shirota), Lactobacillus casei Rhamnosus (L. casei Rhamnosus), Lactobacilus galur Fl dan G3, Bifidobacterium longum (B. longum) dan Bifidobacterium bifidum (B. bifidum), bakteri patogen yang digunakan adalah Escherichia coli (E. coli), Salmonella sp, Bacillus cereus (B. cereus). Untuk sterilisasi dan ekstraksi ubi garut dan hasil olahan, ubi jalar dan hasil olahan menggunakan alkohol 70%. Bahan ransum tikus menggunakan maizena HonigTM, minyak jagung China Corn OilTM,
Ca-kaseinat, premix vitamin FitkomTM,
premix mineral, selulosa, air minum dalam kemasan (AMDK). Klorinasi alat dan kandang tikus menggunakan triklorit (klorin). Standar gula yang digunakan adalah standar glukosa (MerckTM). Bahan untuk pengujian mikrobiologi adalah proteose peptone DifcoTM, yeast exract DifcoTM, Tween 80 MerckTM, dipotasium hidrogen fosfat MerckTM, sodium asetat MerckTM, MgSO4.7H2O DifcoTM, dan MnSO4.4H2O MerckTM, bacto agar DifcoTM. Media yang digunakan adalah MRS (deMann Rogosa Sharpe) Broth OxoidTM, MRS (deMann Rogosa) Agar OxoidTM, EMBA (Eosin Methylene Blue Agar) MerckTM, PCA (Plate count Agar) MerckTM, LB (Lactose Broth) DifcoTM, SCB (Selenite Cystine Broth) OxoidTM, BSA (Bismuth Sulfite Agar) OxoidTM, HEA (Hectoen Enteric Agar) OxoidTM, NB (Nutrient Broth) OxoidTM, NA
28
(Nutrient Agar) DifcoTM, TSIA (Triple Sugar Iron Agar) OxoidTM, LIA (Lysine Iron Agar) OxoidTM, larutan fisiologis (NaCl 0.85%), aquades dan spiritus. C. ALAT Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan pembuatan tepung ubi garut dan ubi jalar, peralatan pembuatan cookies, peralatan ekstraksi, peralatan kandang, penyiapan sonde prebiotik, probiotik, sinbiotik dan peralatan pengujian mikrobiologi. Peralatan pembuatan tepung ubi garut meliputi oven pengering (cabinet drier), electric slicer, willey mill dan ayakan 60 mesh. Peralatan pembuatan cookies ubi garut dan cookies ubi jalar adalah stand mixer, baskom, spatula, loyang, baking oven, cetakan cookies. Peralatan ekstraksi dan sterilisasi ekstrak gula meliputi magnetic stirrer, plate stirer, evaporator vakum, sentrifus, gelas ukur, botol penyemprot, kertas Whatman No. 1, filter membran steril 0.45 µm dan 0.2 µm (Millipore). Peralatan pengujian mikrobiologi meliputi otoklaf, inkubator 37oC, anaerobic jar, ANOXOMATtm, Laminar hood, refrigerator, spektrofotometer, cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, gelas piala, kertas label, alumunium foil, kapas, vorteks, micropipette 100-1000 µ m, tip 100-1000 µ m, syringe, bunsen dan ose. Alat yang digunakan untuk penyiapan sonde prebiotik, probiotik, sinbiotik adalah tabung sentrifus (volume 2ml dan 12 ml), sentrifus berpendingin (Mikro 22R HettichTM). Alat-alat yang diperlukan untuk pemeliharaan dan perlakuan tikus adalah sonde, sekam, gelas ukur plastik, baskom, ember penampung air, gayung, kandang lengkap dengan tutupnya, wadah minum lengkap dengan corong kaca, wadah ransum, syringe (volume 1ml) dan pemanas air listrik. D. METODE PENELITIAN Penelitian yang dilakukan terdiri dari lima tahapan utama yaitu: (1) Penyiapan kultur, media pengujian dan bahan. Penyiapan bahan yang dimaksud adalah mulai dari pembuatan tepung ubi garut, ubi jalar dan SPF, ekstraksi gula dan oligosakarida (2) Pengujian potensi prebiotik secara in vitro, yaitu pengujian pertumbuhan BAL uji dan uji kompetisi antara BAL dengan patogen dalam media yang mengandung gula dan oligosakarida (3) Pengujian potensi prebiotik SPF dan ekstrak ubi garut secara in vivo (4). Skema penelitian digambarkan sebagai diagram alir seperti yang tertuang dalam Gambar 5.
29
Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Jalar SPF
1
2
3
4
Pengujian Potensi Prebiotik Ubi Garut Ubi jalar
Ubi garut
Tepung SPF
Pembuatan cookies ubi jalar
Tepung ubi jalar
Pembuatan cookies ubi garut
Ekstraksi gula & oligosakarida
Ekstraksi gula & oligosakarida
Ekstraksi gula & oligosakarida
Ekstraksi gula & oligosakarida
Ekstrak SPF
Ekstrak cookies ubi jalar
Ekstrak tepung ubi jalar
Ekstrak cookies ubi garut
Pembuatan tepung ubi garut
Ekstraksi gula & oligosakarida
Ekstrak tepung ubi garut
Uji pertumbuhan BAL pada ekstrak oligosakarida secara in vitro
Uji kompetisi BAL dengan patogen secara in vitro
Uji potensi prebiotik secara in vivo
Gambar 5 Diagram alir penelitian
30
E. PENYIAPAN KULTUR, MEDIA PENGUJIAN DAN BAHAN 1. Penyiapan kultur Pengawetan Kultur (Dewanti et al. 2003). Kultur L. casei Rhamnosus, L.casei Shirota, Lactobacillus F1, dan Lactobacillus G3, maupun patogen diawetkan
dengan
diimobilisasi
dalam
manik-manik
sedangkan
kultur
Bifidobacterium diawetkan dengan agar semisolid. Pengawetan dalam manikmanik dengan cara sebagai berikut: kultur BAL yang telah diinokulasikan dalam MRS Broth diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Kultur patogen yang telah diinokulasikan dalam Nutrient Broth diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Kemudian terhadap kultur segar ditambahkan gliserol steril dengan perbandingan 4:1 (kultur : gliserol) dan dikocok rata. Suspensi bakteri yang telah berisi gliserol dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi manik-manik steril sampai manikmanik tersebut terendam. Campuran tersebut kemudian dikocok dan sisa cairan dibuang. Kultur yang telah terimobilisasi disimpan pada suhu -20oC. Pengawetan Bifidobacteria bifidum dan Bifidobacteria longum dilakukan dengan cara menginokulasikan 1 ose kultur murni ke dalam agar semisolid yang dibuat dengan cara mencampurkan MRS Broth dengan Bacto agar sebanyak 0.5%, kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37oC. Untuk membuat kondisi anaerob, digunakan alat ANOXOMAT (Gambar 6). Kultur yang telah terimobilisasi disimpan pada suhu -20oC.
(a)
(b)
Gambar 6 Alat ANOXOMAT (a) dan anaerobik jar (b).
31
Penyegaran Kultur Bakteri Asam Laktat (BAL). Media yang digunakan untuk penyegaran kultur BAL adalah MRS Broth (MRSB). Kultur BAL disegarkan dengan menginokulasikan sebanyak ± 3 buah manik-manik ke dalam 10 ml MRS Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Inkubasi Lactobacillus secara aerob sedangkan Bidobacterium secara anaerob. BAL yang telah disegarkan dapat langsung dipakai. Penyegaran hanya dilakukan pada saat pengujian akan dilakukan. Penyegaran Kultur Bakteri Patogen. Media yang digunakan untuk penyegaran kultur E. coli, Salmonella dan B. cereus adalah media Nutrient Broth. Kultur patogen disegarkan dengan menginokulasikan ± 3 buah manik-manik kultur ke dalam 10 ml media Nutrient Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Kultur patogen yang telah disegarkan dapat langsung dipakai. 2. Penyiapan Media Pengujian Media pengujian yang digunakan adalah media berbasis MRS Broth tetapi glukosa pada media diganti dengan jenis gula yang digunakan. Media pengujian dibuat dengan mencampurkan 10 g proteose peptone, 5 g yeast exract, 1 g Tween 80.5 g
Na-asetat, 0.2 g MgSO4.7H2O, dan 0.05 g MnSO4.4H2O. Selanjutnya
bahan tersebut diatur pH-nya hingga 6.4-6.6 dengan cara menambahkan HCl 1% atau NaOH 1%. Kemudian ditempatkan dalam tabung reaksi @ 9 ml dan disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit. Mineral K2HPO4.3H2O dibuat terpisah, dengan tujuan untuk menghindari terbentuknya endapan dan kekeruhan. K2HPO4.3H2O dibuat dengan konsentrasi 100x konsentrasi awal media, kemudian disterilisasi dengan otoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit. Sebanyak 0.1 ml larutan mineral K2HPO4.3H2O ditambahkan secara aseptis ke dalam tabung yang berisi 8.9 ml MRS basis. Penambahan mineral K2HPO4.3H2O dilakukan pada saat akan melakukan uji pertumbuhan BAL dan uji kompetisi antara BAL dengan patogen secara in vitro. Ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut yang digunakan disterilisasi dengan membran filter steril 0.45 µm kemudian disaring dengan membran steril 0.2 µm. Ekstrak tepung ubi garut maupun ekstrak cookies ubi garut yang sudah disterilisasi kemudian diukur total padatan terlarutnya. Standar glukosa dengan
32
konsentrasi 5% disterilisasi dengan metode yang sama. Sebanyak 1 ml ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut steril atau standar glukosa steril ditambahkan ke dalam 9 ml MRS basis steril secara aseptis. Sehingga diperoleh kandungan ekstrak tepung ubi garut 0.5% TPT, kandungan ekstrak cookies ubi garut 0.5% TPT dan konsentrasi standar glukosa 0.5% dalam media pengujian. Cara penyiapan media pengujian untuk ekstrak ubi jalar dan hasil olahannya (cookies ubi jalar dan SPF) sama dengan cara penyiapan media pengujian untuk ekstrak ubi garut, tetapi ekstrak ubi garut diganti dengan ekstrak ubi jalar atau cookies ubi jalar atau SPF. 3. Penyiapan Bahan Pembuatan Tepung Ubi Garut. Ubi garut yang sudah dipanen, dibersihkan dari tanah dengan melakukan pencucian menggunakan air mengalir. Ubi garut var Creole
Penghilangan akar dan pengupasan kulit ari Pencucian
Pengirisan
Pengeringan pada T = 55oC, t = 15 jam
Penggilingan dengan willey mill
Pengayakan 60 mesh
Tepung ubi garut
Gambar 7 Tahapan pembuatan tepung ubi garut
33
Kemudian akar halus dan kulit ari yang menempel pada ubi garut dibuang secara manual menggunakan tangan. Ubi garut diiris dengan ketebalan ± 2-3 mm menggunakan electric slicer, dikeringkan dengan pengering (cabinet drier) pada suhu ± 55 0C selama ± 15 jam. Selama belum digunakan, irisan ubi garut kering dikemas secara vakum menggunakan vacuum packer dan disimpan dalam pendingin
(refrigerator).
Irisan
ubi
garut
kering
selanjutnya
digiling
menggunakan willey mill hingga 60 mesh. Tahapan pembuatan tepung ubi garut dapat dilihat pada Gambar 7. Pembuatan Tepung Ubi Jalar. Ubi jalar putih varietas Sukuh, dibersihkan dari tanah dengan melakukan pencucian menggunakan air mengalir selanjutnya dikupas dan diiris dengan ketebalan ±1 mm, lalu dikeringkan dengan oven pengering pada suhu 55oC selama 20 jam dan digiling dengan willey mill hingga 60 mesh. Tahapan dalam pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 8.
Ubi jalar var Sukuh
Pengupasan
Pengirisan
Pengeringan pada T = 55oC, t =20 jam
Penggilingan dengan willey mill
Pengayakan 60 mesh
Tepung ubi jalar Gambar 8 Tahapan pembuatan tepung ubi jalar
34
Pembuatan Tepung SPF. SPF yang diperoleh dari Seafast Center selanjutnya dibuat tepung dengan cara digiling menggunakan waring blender kering, kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh. Pembuatan Cookies Ubi Garut. Tepung ubi garut yang diperoleh kemudian dibuat cookies. Formulasi yang digunakan: 180 g mentega (Blue BandTM), 80 g gula halus, 2 butir kuning telur, 280 g tepung ubi garut. Cara pembuatannya: mentega dan gula halus dikocok hingga berwarna putih dan mengembang, kuning telur dimasukkan satu persatu sambil dikocok, terakhir tepung ubi garut dimasukkan sedikit demi sedikit sambil diaduk dengan spatula. Adonan cookies dicetak dan diletakkan di atas loyang yang sudah diolesi dengan mentega. Selanjutnya adonan dipanggang dalam oven pada suhu 1500C selama 17 menit. Pembuatan Cookies Ubi Jalar. Formulasi dan cara pembuatan cookies ubi jalar yang digunakan sama dengan pembuatan cookies ubi garut, hanya tepung ubi garut diganti dengan tepung ubi jalar. Pembuatan Ekstrak Gula dan Oligosakarida (Muchtadi 1989). Ekstraksi gula dan oligosakarida tepung ubi garut, cookies ubi garut, tepung ubi jalar, cookies ubi jalar maupun tepung SPF memakai etanol 70% dengan pengadukan selama 15
jam menggunakan magnetic stirer pada suhu ruang.
Untuk 100 gram tepung ubi garut atau cookies ubi garut atau tepung ubi jalar atau cookies ubi jalar atau tepung SPF memerlukan 1000 ml etanol 70%. Setelah proses ekstraksi selesai kemudian dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring Whatman no.1 dan dibilas dengan etanol 70%. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan eveporator vakum pada suhu 40oC. Ekstrak pekat kemudian disentrifus pada 2000 x g selama 10 menit untuk mengendapkan kotoran dan padatan sehingga memudahkan dalam sterilisasi. Sterilisasi ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, tepung ubi jalar, cookies ubi jalar maupun tepung SPF dilakukan secara bertahap, setelah disentrifus kemudian ekstrak disaring dengan membran filter steril 0.45 µm kemudian disaring dengan membran steril 0.2 µm. Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, tepung ubi jalar, cookies ubi jalar maupun tepung SPF yang sudah disterilisasi kemudian
35
diukur total padatan terlarutnya. Diagram ekstraksi gula dan oligosakarida dapat dilihat pada Gambar 9. Tepung (ubi garut atau ubi jalar atau SPF) Ekstraksi dengan pelarut etanol 70%, menggunakan magnetic stirrer, t = 15 jam
Penyaringan dengan kertas saring dan pencucian dengan etanol 70%
Filtrat dipekatkan dengan evaporator vakum T = 40oC
Sentrifuse 2000 x g selama 10 menit
Ekstrak gula dan oligosakarida Gambar 9 Diagram ekstraksi gula dan oligosakarida. F. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK COOKIES UBI GARUT SECARA IN VITRO 1. Pertumbuhan BAL dalam Ekstrak Cookies Ubi Garut. Tujuan dari tahap ini adalah menguji potensi ekstrak cookies ubi garut dalam mendukung pertumbuhan BAL. Sebagai pembanding digunakan ekstrak ubi garut segar. Jenis BAL yang digunakan adalah Bifidobacterium bifidum, B. longum, L.casei Shirota, L.casei Rhamnosus, Lactobacillus F1 dan G3. Media yang digunakan sebagai media pertumbuhan adalah media cair MRS basis tetapi glukosa media diganti dengan ekstrak tepung ubi garut atau ekstrak cookies ubi garut. Sebagai pembanding digunakan standar gula yaitu glukosa. Sebagai kontrol digunakan MRS basis tanpa komponen gula. Media MRS basis ditempatkan pada tabung reaksi sebanyak 9 ml kemudian ditambahkan 1 ml ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut steril dengan TPT sebesar 5% sehingga konsentrasi ekstrak dalam media adalah 0.5%.
36
Kultur dari masing-masing BAL ditambahkan ke dalam media yang mengandung ekstrak gula atau glukosa sebanyak 0.1 ml (1%). Untuk menghindari kontaminasi maka masing-masing dibuat dua tabung dalam setiap hari pengamatan yang akan diamati pada 0 jam dan 24 jam perlakuan. Inkubasi secara aerob untuk Lactobacillus dan secara anaerob (dalam anaerobik jar) untuk Bifidobacterium dalam inkubator 37oC. Untuk membuat kondisi anaerob, digunakan alat ANOXOMAT (Gambar 6). Perhitungan jumlah BAL dihitung setelah diinkubasi selama 48 jam. Kontrol dikerjakan melalui tahapan yang sama dengan pengerjaan perlakuan ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut (ditambahkan 0.1 ml kultur) tetapi pada media tidak ditambahkan sumber gula (standar gula maupun ekstrak ubi garut atau cookies ubi garut). Bakteri asam laktat dengan pertumbuhan terbaik pada ekstrak tepung ubi garut dan cookies ubi garut dipilih untuk digunakan pada pengujian selanjutnya.
2. Kompetisi Patogen dengan BAL dalam Media yang Mengandung Ekstrak Ubi Garut. Pengujian kompetisi pertumbuhan BAL dengan bakteri patogen dilakukan dengan menginokulasikan secara bersama-sama BAL dan bakteri patogen ke dalam satu media. Dalam pengujian ini menggunakan MRS basis tetapi glukosa diganti dengan ekstrak tepung ubi garut atau cookies ubi garut TPT 5 %. Sebanyak 8.1 ml MRS basis steril ditambahkan 0.9 ml ekstrak sehingga kandungan ekstrak dalam media menjadi 0.5% TPT. Bakteri asam laktat yang digunakan adalah L. casei Rhamnosus. Bakteri patogen yang digunakan adalah E.coli, Salmonella sp dan B. cereus. Jumlah BAL (L. casei Rhamnosus) yang diinokulasi ke dalam media kompetisi sejumlah 108 cfu/ml, sedangkan jumlah patogen yang diinokulasi ke dalam media kompetisi sejumlah 104 cfu /ml. Untuk mendapatkan L. casei Rhamnosus sejumlah 108 cfu /ml maka kultur segar yang telah diinkubasi selama 24 jam diencerkan 10 kali. Patogen segar yang telah diinkubasi selama 24 jam dilakukan pengenceran. Untuk mendapatkan jumlah awal patogen 104 cfu /ml
37
maka E. coli dan Salmonella diencerkan 1000 kali sedangkan B. cereus diencerkan 100 kali. Sebanyak 1 ml BAL dan 0.1 ml patogen (setelah pengenceran) diinokulasikan ke dalam media kompetisi. Untuk menghindari kontaminasi dalam setiap hari pengamatan maka media kompetisi dibuat dalam 3 tabung terpisah yang akan diamati pada 0 jam, 24 jam dan 48 jam perlakuan. Perhitungan BAL dan patogen dilakukan secara kuantitatif dengan metode agar tuang (AOAC 1990). Untuk menghitung jumlah BAL maka digunakan media MRS Agar, sedang untuk menghitung jumlah E. coli digunakan media EMBA, dan untuk menghitung jumlah Salmonella sp dan B. cereus digunakan media NA. G. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI GARUT SECARA IN VIVO. Uji ini bertujuan untuk melihat potensi ekstrak ubi garut sebagai prebiotik, L. casei Rhamnosus sebagai probiotik, dan campuran L. casei Rhamnosus dengan ekstrak ubi garut sebagai sinbiotik terhadap pertumbuhan total mikroba, BAL, E.coli, dan Samonella sp dalam saluran pencernaan makhluk hidup. 1. Penyiapan ransum. Ransum standar yang diberikan untuk tikus pada pengujian prebiotik secara in vivo terdiri dari kasein, minyak jagung, campuran vitamin, campuran mineral, serat, air (AMDK) dan pati (maizena) (AOAC 1984). Komposisi ransum standar yang diberikan pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dapat dilihat pada Lampiran 1. 2. Pemeliharaan Hewan Percobaan. Hewan percobaan yang digunakan sebanyak 24 ekor tikus putih jantan galur Sprague-Dawley berumur dua bulan. Tikus-tikus tersebut dibagi dalam 4 kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Kelompok A = kontrol, kelompok B = perlakuan prebiotik (ekstrak ubi garut), kelompok C = perlakuan probiotik (L. casei Rhamnosus), dan kelompok D = perlakuan sinbiotik (ekstrak ubi garut dengan L.
casei Rhamnosus). Pemberian ransum serta air minum
diberikan kepada setiap tikus selama 31 hari. Setiap ekor tikus ditempatkan dalam kandang yang terpisah (Gambar 10). Frekuensi pemberian ransum standar atau
38
ransum perlakuan serta air minum dilakukan satu kali per hari secara ad libitum. Sisa ransum ditimbang pada keesokan harinya. Berat badan tikus ditimbang setiap 2 hari sekali. Setiap hari kandang tikus, wadah pakan dan botol minum diganti dengan yang telah dicuci dan diklorinasi. Sekam yang digunakan juga diganti setiap hari dengan yang baru dan telah disterilkan dengan cara diotoklaf (121oC, 15 menit). Kandang tikus, wadah ransum bekas pakai dicuci dengan sabun dan dicelupkan dalam larutan klorin 200 ppm kemudian dijemur. Sedangkan botol dan corong gelas wadah minum bekas didesinfeksi dengan cara direndam dalam air mendidih.
Gambar 10 Tikus putih jantan galur Sprague Dawley Periode adaptasi selama 10 hari dilakukan dengan memberikan ransum standar sebanyak 20 g/ekor/hari dan air minum pada semua kelompok perlakuan. Pada periode perlakuan selama 10 hari, suspensi sel L.casei Rhamnosus sebanyak 1ml diberikan pada kelompok probiotik dan sinbiotik dengan cara disonde, sedangkan kelompok prebiotik disonde dengan 1ml ekstrak ubi garut. Untuk perlakuan kontrol disonde dengan larutan garam fisiologis NaCl 0.85% steril. Pada periode pasca perlakuan setiap tikus dari semua kelompok kembali diberikan ransum standar dan air minum AMDK (AquaTM). Pemberian perlakuan pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L.casei Rhamnosus dilakukan dengan bantuan syringe volume 1ml, tikus yang berbeda pada kelompok yang sama menggunakan syringe yang berbeda. Setiap kali akan memberikan perlakuan, digunakan syringe baru yang masih steril. Sebelum dipergunakan untuk tikus lainnya, ujung alat sonde dilap dengan kapas yang telah
39
dibasahi alkohol 70%. Ransum dan pemberian perlakuan yang diberikan pada setiap kelompok selama pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama pengujian potensi ekstrak ubi garut secara in vivo Periode Kelompok
Adaptasi (11 hari)
Masa Perlakuan (10 hari) Jenis ransum
Kontrol
Ransum standar
Prebiotik garut
Ransum standar
Probiotik
Ransum standar
Sinbiotik garut
Ransum standar Ransum standar
Disonde
Pasca Perlakuan (10 hari)
1 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril 1 ml larutan ekstrak ubi garut (0.3g TPT/kg BB tikusrata-rataH11/hari) steril dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% steril 1 ml suspensi sel BAL (1010 cfu/ml) dalam aquades steril 1 ml campuran suspensi sel BAL (1010 cfu/ml) dengan ekstrak ubi garut (0.3g TPT/kgBB tikus rata-rataH11/hari) steril dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
Ransum standar
3. Penyiapan Suspensi BAL dan Ekstrak Ubi Garut. Kultur L.casei Rhamnosus disegarkan dengan menginokulasikan sebanyak ± 3 buah manik-manik ke dalam 10 ml MRS Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48
jam. Sebanyak 0.1 ml kultur BAL hasil penyegaran
ditambahkan ke dalam 9 ml MRS Broth kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 1 hari (24 ± 2 jam). Kultur BAL yang telah disegarkan sel bakterinya diendapkan dengan cara disentrifus menggunakan sentrifus berpendingin. Kultur BAL masing-masing sebanyak 2 ml ditempatkan (secara aseptis) ke dalam tabung sentrifus steril volume 2ml (untuk satu perlakuan dibuat sebanyak 4 tabung), kemudian disentrifuse pada kecepatan 3000 rpm, selama 10 menit pada suhu 5 0C. Media MRS Broth dipisahkan (diambil) secara aseptis, kemudian diganti dengan 8 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril. Persiapan suspensi BAL (L. casei Rhamnosus) dapat dilihat pada Gambar 11. Untuk perlakuan probiotik, maka tikus disonde dengan 1ml sel BAL dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% steril. Untuk perlakuan prebiotik, tikus disonde dengan 1 ml ekstrak ubi garut (berasal dari 2.6 ml ekstrak ubi garut TPT 20.34% steril dalam 7.4 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril). Untuk perlakuan sinbiotik, tikus disonde dengan 1 ml campuran sel BAL (berasal dari 8ml kultur BAL umur 24 jam) dalam 5.92 ml larutan fisiologis
40
NaCl 0.85% steril dan 2.08 ml ekstrak ubi garut TPT 20.34% steril. Jumlah sel BAL L. casei Rhamnosus yang digunakan 1.3x1010 CFU/ml, hasil perhitungan
9 ml BAL hasil penyegaran
2 ml 2 ml 2 ml 2 ml
Disentrifus 3000xg, T=50C, t= 10 menit
Supernatan diambil
+ larutan fisiologis NaCl 0.85%
+ larutan fisiologis NaCl 0.85% + 1 ml ekstrak ubi garut
divorteks divorteks
Suspensi BAL (probiotik)
Suspensi BAL & ekstrak ubi garut (sinbiotik)
Gambar 11 Persiapan suspensi BAL (L.casei Rhamnosus). jumlah L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 2. Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut yang digunakan untuk sonde dapat dilihat pada Lampiran 3.
41
Menurut WHO (1992) diacu dalam Suryadjaja (2005), konsumsi mikroorganisme hidup yang berperan sebagai probiotik sebesar 106-108 CFU/ml atau gram dapat memberikan efek positif bagi kesehatan manusia. Untuk mengetahui banyaknya sel BAL yang diberikan, maka dilakukan perhitungan jumlah BAL di dalam kultur dengan cara menghitung kultur yang telah disegarkan.
Kultur BAL yang telah disegarkan,
selanjutnya dilakukan
pengenceran yang sesuai dan pemupukan dengan metode tuang menggunakan media MRS Agar (MRSA) sehingga didapatkan koloni yang tumbuh pada cawan berkisar antara 25-250 koloni (Harrigan 2000). 4. Pengambilan Sampel Feses. Sampel feses dari setiap tikus untuk semua kelompok diambil secara aseptis pada hari ke 0, 3, 5, 10 perlakuan dan hari ke 1, 5, dan 10 pasca perlakuan dengan cara memijat bagian anus tikus, selanjutnya feses ditampung langsung dalam kantung plastik tahan panas yang disterilkan (diotoklaf pada suhu 121 0C, selama 15 menit). Feses dari dua ekor tikus pada kelompok yang sama disatukan (ada tiga feses untuk setiap kelompok), jadi jumlah feses untuk pengujian mikrobiologi ada 12 sampel. Pengambilan feces dilakukan mulai pukul 04.30 sampai selesai. Pengumpulan feses dihentikan bila seluruh tikus sudah diperoleh fesesnya. Feses disimpan dalam thermos es yang diberi es batu dan pada hari yang sama dilakukan pengujian mikrobiologi. Terhadap sampel feses dilakukan analisa jumlah total bakteri, BAL, E. coli dan analisa secara kualitatif terhadap keberadaan Salmonella.
H. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI JALAR DAN HASIL OLAHAN (COOKIES UBI JALAR DAN SPF) SECARA IN VITRO 1. Pertumbuhan BAL dalam Ekstrak Ubi Jalar dan Hasil Olahan (Cookies Ubi Jalar dan SPF). Tujuan dari pengujian ini untuk membandingkan kemampuan ekstrak tepung ubi jalar dan ekstrak hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF) dalam menstimulir pertumbuhan BAL secara in vitro. Jenis BAL yang digunakan untuk
42
pengujian ekstrak ubi jalar dan cookies ubi jalar adalah B. bifidum, B. longum, L.casei Shirota, L. casei Rhamnosus, Lactobacillus F1 dan G3. Sedangkan Jenis BAL yang digunakan untuk pengujian ekstrak SPF adalah L. casei Shirota, L.casei Rhamnosus, Lactobacillus F1 dan G3. Jenis media dan metode pengujian sama dengan pengujian pada pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut, akan tetapi ekstrak ubi garut atau ekstrak cookies ubi garut diganti dengan ekstrak ubi jalar atau ekstrak cookies ubi jalar atau ekstrak SPF. 2. Kompetisi Patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak SPF. Ekstrak SPF yang digunakan adalah ekstrak SPF yang sudah steril dan diketahui total padatan terlarutnya. Kandungan ekstrak SPF dan konsentarsi standar glukosa dalam media pengujian 0.5%. Metode pengujian kompetisi patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak SPF sama dengan metode pengujian kompetisi patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. I. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK HASIL OLAHAN UBI JALAR (SPF) SECARA IN VIVO Uji ini bertujuan untuk melihat potensi hasil olahan ubi jalar (SPF) sebagai prebiotik, L. casei Rhamnosus sebagai probiotik, dan campuran L. casei Rhamnosus dengan SPF sebagai sinbiotik terhadap jumlah total mikroba, BAL, E.coli, dan pertumbuhan Samonella sp pada saluran pencernaan makhluk hidup. 1. Pemeliharaan Hewan Percobaan. Hewan percobaan yang digunakan baik jenis, jumlah tikus, pembagian kelompok, penempatan tikus dalam kandang, frekuensi pemberian
ransum
standar dan air minum, penimbangan sisa ransum dan berat tikus, ransum standar yang diberikan, jenis BAL yang digunakan sama dengan yang dilakukan pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. Untuk ransum SPF menggunakan ransum standar yang disubstitusi dengan 35% tepung SPF sebagai pengganti selulosa. Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada setiap tikus selama pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo dapat dilihat pada Tabel 5. Periode adaptasi
43
selama 10 hari dilakukan dengan memberikan ransum standar sebanyak 20 g/ekor/hari dan air minum pada semua kelompok perlakuan. Pada periode perlakuan selama 10 hari, suspensi sel L. casei Rhamnosus sebanyak 1ml diberikan pada kelompok probiotik dengan cara disonde, kelompok sinbiotik disonde dengan 1ml suspensi sel L.casei Rhamnosus dan diberi ransum SPF, sedangkan kelompok prebiotik diberi ransum SPF dan disonde dengan 1ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril. Untuk kelompok kontrol disonde dengan 1 ml larutan garam fisiologis NaCl 0.85% steril. Cara pembuatan suspensi sel L.casei Rhamnosus sama dengan pembuatan suspensi sel L.casei Rhamnosus pada pengujian potensi probiotik ekstrak ubi garut (Gambar 10). Pada periode pasca perlakuan setiap tikus dari semua kelompok kembali diberikan ransum standar dan air minum. Pemberian suspensi BAL dan larutan garam fisiologis NaCl 0.85% steril dilakukan dengan bantuan syringe volume 1ml, tikus yang berbeda pada kelompok yang sama menggunakan syringe yang berbeda. Setiap kali akan memberikan perlakuan, digunakan syringe baru yang masih steril. Sebelum dipegunakan untuk tikus lainnya, ujung alat sonde dilap dengan kapas yang telah dibasahi alkohol 70%. Komposisi ransum SPF dapat dilihat pada Lampiran 4. Tabel 5 Jenis ransum dan pemberian perlakuan pada kelompok tikus selama pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo. Periode Kelompok
Adaptasi (11 hari)
Kontrol
Masa Perlakuan (10 hari) Jenis ransum Ransum standar
Prebiotik Probiotik Sinbiotik
Ransum standar
Ransum standar Ransum SPF Ransum SPF
Disonde 1 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril 1 ml suspensi sel BAL (109cfu/ml) dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% steril 1 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% steril 1 ml suspensi sel BAL (109 cfu/ml) dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% steril
Pasca Perlakuan (10 hari)
Ransum standar
2. Pengambilan Sampel Feses dan Metode Pengujian Mikrobiologi. Pengambilan sampel feses dan metode pengujian mikrobiologi potensi prebiotik SPF secara in vivo sama dengan pengambilan sampel feses dan metode pengujian mikrobiologi pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo.
44
J. METODE PENGUJIAN 1. Pengukuran Total Padatan Terlarut (Apriyantono 1989). Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan SPF diukur total padatan terlarutnya. Cawan porselen dikeringkan selama 2 jam dalam oven bersuhu 100oC, didinginkan dalam desikator sehingga diperoleh berat konstan. Kemudian cawan tersebut ditimbang (a gram). Sebanyak 1 ml ekstrak ditempatkan ke dalam cawan porselen tersebut dan ditimbang berat larutan ekstrak (b gram). Cawan yang telah berisi ekstrak kemudian ditempatkan dalam oven selama sehari semalam. Setelah kering, cawan berisi sampel ekstrak didinginkan dalam desikator selama 10 menit atau hingga diperoleh berat cawan konstan. Berat cawan yang berisi ekstrak kering kemudian ditimbang (c gram). Total padatan terlarut dihitung dari hasil perbandingan berat ekstrak setelah dikeringkan dengan berat ekstrak sebelum dikeringkan dan dikalikan 100%.
TPT =
c−a x 100% b
Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan SPF dipersiapkan dengan TPT 5%. Ekstrak tepung ubi garut, cookies ubi garut, ubi jalar, cookies ubi jalar dan SPF yang sudah diencerkan, kemudian disterilisasi secara bertahap dengan membran filter 0.45 µm dan 0.2 µm. 2. Penyiapan Sampel Feses Penyiapan Sampel Feses pada Pengujian Potensi Prebiotik Ekstrak Ubi Garut dan SPF secara in vivo. Sampel feses dari setiap dua ekor tikus pada kelompok yang sama sebelum dilakukan pengujian digabung, sehingga dari setiap kelompok perlakuan didapatkan 3 (tiga) sampel feses tikus atau untuk empat perlakuan ada 12 sampel. Setiap sampel kemudian dihancurkan dan dibagi dua secara aseptis dan ditimbang beratnya. Bagian pertama diencerkan dengan larutan fisiologis NaCl 0.85% steril sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Penyiapan sampel ini dilakukan untuk analisa jumlah total mikroba, BAL, dan E. coli (AOAC 1990). Bagian kedua diencerkan dengan media Lactose Broth sehingga didapatkan pengenceran 10-1, penyiapan sampel ini dilakukan untuk analisa Salmonella sp (BAM 2005).
45
3. Metode Pengujian Mikrobiologi Total Mikroba (AOAC 1990). Suspensi sampel dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% (pengenceran 10-1) dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% sehingga diperoleh pengenceran 10-2, kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil plating didapat antara 25-250 koloni). Pada tingkat pengenceran yang sesuai, suspensi sampel dipipet 1 ml secara aseptik dan dipupukkan ke dalam cawan steril (duplo) kemudian dituangi PCA, digoyangkan supaya rata dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Pengamatan jumlah koloni yang tumbuh dihitung sebagai total mikroba. Perhitungan jumlah E. coli (AOAC 1990). Suspensi sampel dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% (pengenceran 10-1) dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% sehingga diperoleh pengenceran 10-2, kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil plating didapat antara 25-250 koloni). Suspensi sampel dari tingkat pengenceran yang sesuai dipipet 1 ml dan dipupukkan ke dalam cawan petri steril (duplo), dituangi EMBA dan digoyang supaya rata kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah koloni fekal dan non fekal. Koloni tipikal E. coli adalah koloni berwarna hijau metalik (fekal). Perhitungan jumlah BAL (AOAC 1990). Suspensi sampel dalam larutan fisiologis NaCl 0.85% (pengenceran 10-1) dipipet sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml larutan fisiologis NaCl 0.85% sehingga diperoleh pengenceran 10-2, kemudian dengan cara yang sama dibuat pengenceran 10-3, 10-4 dan seterusnya sampai tingkat pengenceran yang diinginkan (diharapkan hasil plating didapat antara 25-250 koloni). Perhitungan jumlah BAL dilakukan dengan metode tuang (sama seperti total mikroba dan E. coli), suspensi sampel dari tingkat pengenceran yang sesuai (10-5, 10-6 , 10-7 dan 10-8) dipipet 1 ml dan dipupukkan ke dalam cawan petri steril kemudian dituangi media MRSA, digoyang supaya rata dan
46
diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai jumlah BAL. Uji Salmonella (BAM 2005). Suspensi sampel di dalam Lactose Broth (LB) yang telah diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam, diinkubasikan kembali pada suhu 37oC selama 24 + 2 jam. Setelah diinkubasi, suspensi bakteri dipipet 1 ml secara aseptis dan dimasukkan ke dalam media SCB kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 + 2 jam. Apabila warna media berubah menjadi keruh maka dilakukan langkah selanjutnya. Sampel diambil secara aseptis dengan ose kemudian digoreskan pada media HEA (digores secara kuadran) dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 + 2 jam. Setelah diinkubasi, koloni-koloni tipikal yang tumbuh pada media diamati. Ciri-ciri koloni tipikal Salmonella pada HEA adalah warna biru kehijauan, dengan atau tanpa warna hitam di bagian tengah koloni, beberapa tampak sebagai koloni yang besar, berwarna hitam di tengahnya atau tampak sebagai koloni yang hampir semuanya berwarna hitam. Apabila terdapat koloni tipikal tersebut maka dilakukan langkah selanjutnya. Koloni tipikal Salmonella yang tumbuh pada media HEA diambil dan digoreskan ke agar miring TSIA dan LIA kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 + 2 jam dengan tutup tabung agak dilonggarkan untuk mencegah produksi H2S berlebih. Setelah diinkubasi, perubahan-perubahan warna pada media diamati. Hasil reaksi spesies Salmonella yang positif pada media TSIA akan menunjukkan warna merah pada bagian atas media agar sebagai tanda diproduksinya senyawa basa pada goresan miring dan bagian dasar media agar berwarna kuning sebagai tanda diproduksinya asam di dasar tabung dengan atau tanpa produksi H2S (kehitaman pada agar). Tipikal kultur Salmonella pada media LIA menghasilkan warna ungu (alkali) pada dasar tabung reaksi. Sedangkan bila membentuk warna kuning menunjukkan reaksi asam, berarti uji Salmonella negatif. Umumnya Salmonella pada media LIA menghasilkan H2S. Beberapa yang bukan kultur Salmonella menghasilkan warna merah bata pada media LIA miring.
47
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. TEPUNG UBI GARUT, UBI JALAR, SPF DAN COOKIES Tepung ubi garut yang dihasilkan berwarna putih dengan rendemen ratarata sebesar 22.62% (Lampiran 5). Tepung ubi jalar yang dihasilkan berwarna putih dengan rendemen rata-rata sebesar 29.71% (Lampiran 6) dan kadar air 4.98%. Hasil analisa proksimat tepung ubi garut dapat dilihat pada Tabel 6. Komposisi kimia tepung SPF yang diperoleh dari Seafast Center SPF dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 6 Komposisi kimia tepung ubi garut Komposisi Protein Lemak Serat Air Mineral Karbohidrat
% 8.50 4.04 3.18 7.13 3.19 73.96
Tabel 7 Komposisi kimia tepung SPF Komposisi Protein Lemak Serat Air Mineral Karbohidrat
% 10.08 5.66 8.52 2.84 2.84 78.58
Dari 280 g tepung ubi garut/ubi jalar, 180 g mentega (Blue BandTM), 80 g sukrosa dan 2 butir kuning telur, berat cookies ubi garut yang diperoleh sebanyak 510 g, sedangkan berat cookies ubi jalar sebanyak 518 g. Meskipun formulasi cookies yang digunakan sama namun rendemen cookies ubi garut lebih kecil dibandingkan dengan cookies ubi jalar. Hal ini dikarenakan kadar air tepung ubi garut (7.13%) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air tepung ubi jalar (4.98%).
48
B. POTENSI PREBIOTIK COOKIES UBI GARUT SECARA IN VITRO 1. Pertumbuhan BAL dalam Media yang Mengandung Ekstrak Cookies Ubi Ubi Garut Jenis BAL yang digunakan dalam pengujian ini adalah L.casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, B. bifidum dan B. longum. Dari hasil uji pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut dapat dilihat bahwa keenam jenis BAL yang digunakan dapat memanfaatkan ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut sebagai sumber gula (Gambar 12). Dengan kromatografi kertas terhadap ekstrak ubi garut, Krisnayudha (2007) berhasil mengidentifikasi rafinosa, oligofruktosa, sukrosa, glukosa dan fruktosa. Disamping itu ditunjukkan pula bahwa dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, L. casei Rhamnosus dapat tumbuh lebih baik, daripada Lactobacillus G3, F1, B. bifidum dan B.longum. Penelitian yang dilakukan oleh Suryadjaja (2005), menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus F1 dan G3) dalam media yang mengandung glukosa atau fruktosa lebih baik dibandingkan dengan media yang mengandung sukrosa, rafinosa dan maltosa. Glukosa dan fruktosa merupakan golongan gula sederhana yang tidak berikatan dengan gugus lainnya dan tidak memiliki ikatan glikosidik sehingga BAL tidak menemukan kesulitan dalam menggunakan glukosa sebagai sumber gula untuk pertumbuhannya. Gambar 12 menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL uji yang digunakan lebih baik dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dibandingkan dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Krisnayudha (2007), yang menunjukkan bahwa pertumbuhan Lactobacillus G3 pada ekstrak ubi garut hasil olahan (pengukusan dan pemanggangan tepung ubi garut) lebih baik dibandingkan dalam ekstrak tepung ubi garut non olahan. Perbedaan tersebut kemungkinan dikarenakan dalam pembuatan cookies ubi garut ditambahkan sukrosa sebanyak 30% dari berat adonan. Adanya gula yang relatif tinggi, protein yang berasal dari telur dan dilakukan proses pemanggangan pada suhu 150 0C terhadap cookies ubi garut dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard pada sebagian gula, sehingga gula sederhana yang sudah mengalami reaksi Maillard tidak dapat digunakan oleh
49
BAL. Menurut Winarno (1989), reaksi Maillard adalah reaksi-reaksi karbohidrat khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Menurut Belitz dan 12
9.7
10 8
9.0 8.2 7.2
7.2
7.9 7.1
7.3
0 jam 24 jam
6
Kenaikan
4
2.6
2
1.7
1.0
0.8
J um la h ko lo ni (L o g c fu/m l)
J um la h ko lo ni (L o g cfu/m l)
12
0
9.3
10
8.9
7.8
8
8.9 7.8
7.7
0 jam 24 jam
6
Kenaikan 4 1.5
2
1.2
Ubi garut Cookies
9.2
9.1
7.9
8.6 7.7
7.9
8
0 jam 24 jam
6
Kenaikan 4 1.6
1.3
1.3
0.9
J um la h ko lo ni (L o g c fu/m l)
9.5 7.9
0
9.9 10
9.2 8.2
9.0 8.1
8.2 8
0 jam 24 jam
6
Kenaikan 4 1.7
2
0.9
1.0
0.7
Glukosa
Kontrol
Ubi garut Cookies
Glukosa
Kontrol
Jenis gula
Jenis gula
(c)
(d) 12
12 8.9 8.1
8
8.4 7.6
9.1 8.0 7.1
7.4
6
0 jam 24 jam Kenaikan
4 1.7 0.8
1.0
0.8
0 Ubi garut
Cookies
Glukosa
Jenis gula
(e)
Kontrol
J um la h ko lo ni (L o g cfu/m l)
J um la h ko lo ni (Lo g cfu/m l)
8.8 8.1
0
Ubi garut Cookies
2
Kontrol
12
12
J um la h ko lo ni (L o g c fu/m l)
Glukosa
(b)
(a)
10
0.5
Jenis gula
Jenis gula
2
1.1
0
Ubi garut Cookies Glukosa Kontrol
10
8.2 7.8
10 8
8.9 7.7
8.9 7.8
8.18.4
8.6 7.7 0 jam 24 jam
6
Kenaikan 4 2
1.2
1.1 0.4
0.9
0 Ubi garut Cookies
Glukosa
Kontrol
Jenis gula
(f)
Gambar 12 Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi garut segar dan cookies ubi garut: (a) L. casei Rhamnosus, (b) L. casei Shirota, (c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum, (f) B. bifidum.
50
Grosch (1987) menyatakan bahwa hasil reaksi Maillard menghasilkan pigmen berwarna coklat, yang dikenal sebagai melanoidin. Dalam reaksi Maillard akan dihasilkan beberapa komponen, yaitu : (1) 4-hydroxy-5-methyl-2,3-dihidrofuran, (2) methylene reductonic acid dan dihydro-γ-pyrone, (3) maltol dari disakarida dan dihydropyranone dari monosakarida. Kenaikan jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut berturut-turut adalah 2.6 log cfu/ml (L. casei Rhamnosus), 1.7 log cfu/ml (Lactobacillus G3), 1.6 log cfu/ml (Lactobacillus F1), 1.5 log cfu/ml (L. casei Shirota), 1.2 log cfu/ml (B. bifidum), 0.8 log cfu/ml (B. longum). Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa pertumbuhan genus Lactobacillus lebih baik daripada pertumbuhan genus Bifidobacterium sp didalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Hal ini disebabkan genus Lactobacillus sp cenderung lebih mudah menggunakan gula-gula sederhana yang terdapat dalam ekstrak ubi garut daripada genus Bifidobacterium sp. Adanya
gula-gula sederhana dan kandungan
oligosakarida yang relatif sedikit dalam ekstrak ubi garut, maka Lactobacillus akan lebih mudah menggunakan gula-gula sederhana dibandingkan oligosakarida untuk mendukung pertumbuhannya. Batt (1999b) mengemukakan bahwa bakteri dari genus Lactobacillus dapat tumbuh dengan baik pada media yang kaya akan molekul kompleks dengan nutrisi berupa gula-gula sederhana seperti xylose dan ribose karena Lactobacillus dapat langsung menggunakannya sebagai sumber karbon. Kelompok
Bifidobacterium
yang digunakan
menunjukkan
tingkat
pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok Lactobacillus, hal ini dikarenakan beberapa genus Bifidobacterium dikategorikan slow grower, yaitu genus bakteri dengan laju pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan dengan
bakteri-bakteri
lainnya.
Dallas
(1999),
menyatakan
bahwa
Bifidobacterium di dalam usus besar berkembang tidak secepat bakteri lain pada umumnya. Pertumbuhan B. bifidum dalam media yang mengandung glukosa lebih rendah dibandingkan dengan B. longum. Menurut Petuely (1930) dan Gyorgy (1953) diacu dalam Ballongue (2004), B. bifidum kurang baik dalam memanfaatkan glukosa sebagai sumber gula. B. bifidum akan tumbuh dengan baik ketika terdapat gula-gula yang menyerupai gula-gula yang terdapat dalam susu ibu
51
(ASI). ASI mengandung laktoferin, laktulosa dan kandungan laktose yang tinggi. Jumlah BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 8. Berdasarkan hasil pengujian terhadap pertumbuhan BAL uji pada ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus tumbuh paling baik dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, oleh karena itu jenis BAL yang digunakan dalam pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo adalah L. casei Rhamnosus. 2. Kompetisi Bakteri Patogen dengan BAL dalam Media yang Mengandung Ekstrak Ubi Garut Pengujian kompetisi bakteri patogen dengan BAL bertujuan untuk melihat kemampuan BAL (L. casei Rhamnosus) dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memanfaatkan ekstrak ubi garut sebagai sumber gula. Bakteri patogen yang digunakan adalah E. coli, B. cereus dan Salmonella sp. Jumlah E.coli pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil uji kompetisi antara bakteri E. coli dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah E. coli sampai 1.5 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 24 jam dan 1.9 log cfu/ml setelah diinkubasi 48 jam. Sedangkan pada kontrol (pertumbuhan E.coli dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut) meningkatkan jumlah E.coli sampai 4.9 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam) dan 0,3 log cfu/ml setelah inkubasi 48 jam. Hal ini menunjukkan ekstrak ubi garut dapat pula mendukung pertumbuhan E. coli karena bakteri tersebut dapat memanfaatkan ekstrak ubi garut sebagai sumber gula. Pada pengujian ini juga menunjukkan bahwa gula-gula Tabel 8 Kenaikan atau penurunan jumlah E. coli pada uji kompetisi dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
Perlakuan Kontrol (Ekstrak garut + E. coli) Kompetisi (Ekstrak garut+ E. coli +L.caseiRhamnosus)
Jumlah E. coli (log cfu/ml) Pada inkubasi hari keH0 H1 H2 ( 0 jam) (24 jam) (48 jam) 4.0
8.9
9.2
4.0
8.0
0.7
Kenaikan /penurunan E. coli (log cfu/ml) Setelah Setelah 24 jam 48jam 4.9 0.3 4.0
-3.2
52
sederhana (glukosa, fruktosa dan sukrosa) yang terdapat dalam ekstrak ubi garut lebih mudah dimanfaatkan oleh L. casei Rhamnosus maupun E. coli. Tabel 8 menunjukkan kenaikan atau penurunan E. coli setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Hasil lengkap pengamatan jumlah E. coli pada uji kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 9.
Jumlah koloni (log cfu/ml)
12 8.9 9.2
10
8.0
8 6 4
0 jam 24 jam
4.0
4.0
2 0
48 jam
0.7 Kontrol + E. coli
Kompetisi+E.coli+ L.casei Rhamnosus
Perlakuan
Gambar 13 Jumlah E. coli yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar. Gambar 14 menunjukkan jumlah B. cereus pada uji kompetisi dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Pada uji kompetisi antara bakteri B. cereus dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah B. cereus sampai 1.5 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 24 jam dan 1.9 log cfu/ml setelah diinkubasi 48 jam. Sedangkan pada kontrol (pertumbuhan B.cereus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut) jumlah B.cereus meningkat sampai 3.6 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam maupun 48 jam). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak ubi garut dapat pula mendukung pertumbuhan B. cereus karena bakteri tersebut dapat memanfaatkan ekstrak ubi garut sebagai sumber gula. Kenaikan atau penurunan jumlah B. cereus pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Tabel 9. Hasil lengkap pengamatan jumlah
53
B.cereus pada uji kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 10. 12 10 8
7.1 7.1
0 jam
6 4
24 jam
3.4
1.9 1.5
2 0
48 jam
3.4
Kontrol+B.cereus
Kompetisi + B.cereus + L.casei Rhamnosus
Perlakuan
Gambar14 Jumlah B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar. Tabel 9 Kenaikan atau penurunan jumlah B. cereus pada uji kompetisi dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
Perlakuan Kontrol (Ekstrak garut +B.cereus) Kompetisi (Ekstrak garut+B.cereus+L.casei Rhamnosus)
Jumlah B. cereus (log cfu/ml) Pada inkubasi hari keH0 H1 H2 ( 0 jam) (24 jam) (48 jam) 3.4
7.1
7.1
3.4
1.9
1.5
Kenaikan /penurunan B. cereus (log cfu/ml) Setelah Setelah 24 jam 48jam 3.7 3.6 -1.5
-1.9
Gambar 15 menunjukkan jumlah Salmonella pada uji kompetisi dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Pada uji tersebut menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah Salmonella sp sampai 3.5 log cfu/ml. Sedangkan pada kontrol (pertumbuhan Salmonella sp dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut) jumlah Salmonella sp meningkat sampai 1.8 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam) dan 4.0 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Hal ini menunjukkan bahwa Salmonella sp mampu memanfaatkan ekstrak ubi garut sebagai sumber gula. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vuyst (2005), menunjukkan bahwa secara in vitro, beberapa Lactobacillus mampu menghambat Salmonella enterica serovar Typimurium dan bakteri gram negatif lainnya yang dapat menyebabkan gastroenteritis. Kenaikan atau penurunan jumlah Salmonella pada uji kompetisi
54
dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Tabel 10. Hasil pengamatan jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 11. 12 10
9.0 9.1
8 6 4
0 jam
4.0
48 jam
2.5
2 0
24 jam
3.9 0.4
Kontrol + Salmonella
Kompetisi+Salmonella+ L.casei Rhamnosus)
Perlakuan
Gambar15 Jumlah Salmonella sp yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut segar. Tabel 10 Kenaikan atau penurunan jumlah Salmonella sp pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
Perlakuan Kontrol (Ekstrak garut+Salmonella) Kompetisi (Ekstrak garut+Salmonella+rhamnosus)
Jumlah Salmonella sp (log cfu/ml) Pada inkubasi hari keH0 H1 H2 ( 0 jam) (24 jam) (48 jam)
Kenaikan /penurunan Salmonella sp (log cfu/ml) Setelah Setelah 24 jam 48jam
4.0
9.0
9.1
4.9
5.0
3.9
2.5
0.4
-1.4
-3.5
Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan bakteri patogen dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Gambar 16. Pada uji kompetisi antara bakteri E. coli dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa jumlah BAL setelah diinkubasi 24 jam naik 0.4 log cfu/ml dan tidak terjadi kenaikan setelah diinkubasi 48 jam. Hasil uji kompetisi antara bakteri Salmonella sp dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut
55
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
12 10
8.3
8.4
8.2
8.2
8.6
8.2
8 0 jam 24 jam 48 jam
6 4 2 0 Kontrol+L.casei Rhamnosus
-2
Kompetisi+E.coli+L.casei Rhamnosus
Perlakuan
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
(a) 12 10
8.3
8.4
8.4
8.2
8.4
8.2
8
0 jam 24 jam 48 jam
6 4 2 0 -2
Kontrol+L.casei Rhamnosus
Kompetisi+Salmonella +L.casei Rhamnosus
Perlakuan
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
(b) 12 10
8.3
8.4
8.2
8.3
8.3
8.0
8
0 jam 24 jam 48 jam
6 4 2 0 -2
Kontrol+L.casei Rhamnosus
Kompetisi+B.cereus +L.casei Rhamnosus
Perlakuan
(c) Gambar 16 Pertumbuhan L.casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan bakteri patogen: E. coli, (b) Salmonella sp, (c) B. cereus pada media yang mengandung ekstrak ubi garut segar. menunjukkan jumlah BAL setelah inkubasi 24 jam tidak terjadi kenaikan dan setelah inkubasi 48 jam terjadi penurunan 0.2 log cfu/ml. Hal yang sama terjadi pula pada hasil uji kompetisi antara bakteri B. cereus dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut menunjukkan bahwa jumlah BAL setelah inkubasi 24 jam juga tidak terjadi kenaikan dan setelah inkubasi 48 jam terjadi penurunan 0.3 log cfu/ml. Hasil pengamatan jumlah BAL pada uji
56
kompetisi bakteri patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 12. Penurunan jumlah patogen (E. coli, B. cereus dan Salmonella) yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dikarenakan L. casei Rhamnosus mampu
berkompetisi
dengan
patogen
untuk
mengambil
substrat
dan
menghasilkan asam laktat. Hal ini juga didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa BAL mampu menghasilkan asam-asam organik sebagai hasil fermentasi gula seperti asam asetat dan laktat (Scheinbach 1998, Makinen dan Bigret 2004), asam propionat, diasetil, reuterin (Ouwehand dan Vesterlund 2004). Asam laktat dan asetat dapat menghambat bakteri lain (patogen) sedangkan asam propionat lebih baik dalam menghambat pertumbuhan yeast dan kapang. Senyawa penghambat lainnya yang dihasilkan BAL dalam jumlah kecil adalah hidrogen peroksida (Scheinbach 1998, Ouwehand dan Vesterlund 2004), diasetil dan reuterin (Ouwehand dan Vesterlund 2004), bakteriosin (Ouwehand dan Vesterlund 2004, Scheinbach 1998, Makinen dan Bigret 2004). Proses penghambatan yang dilakukan oleh bakteri-bakteri baik terhadap bakteri patogen dengan melakukan
kompetisi untuk mengambil substrat atau sumber nutrisi
(Scheinbach 1998) dan alterasi pH (Makinen dan Bigret 2004). Kelompok Lactobacilli dapat mengurangi konstipasi dan diare, membantu meningkatkan pertahanan terhadap serangan Salmonella, mencegah diare bawaan atau traveller’s diarrhea (Manning et al. 2004). Berdasarkan hasil uji kompetisi menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus mampu berkompetisi dengan patogen (Salmonella sp, E. coli dan B. cereus) untuk mengambil substrat dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat merupakan salah satu asam lemah dan sebagai asam organik yang merupakan hasil fermentasi gula. Asam laktat memiliki sifat dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen, hal ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan jumlah patogen (Salmonella sp, E.coli dan B. cereus). Mekanisme penghambatan pertumbuhan patogen oleh asam lemah dikarenakan terjadinya akumulasi anion dalam sel akan menghambat pertumbuhan mikroba karena kecepatan sintesa makromolekul menurun (Eklund 1980, 1985 dan Russell 1992 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004). Asam lemah yang tidak terdissosiasi bersifat lebih toksik dibandingkan dalam
57
bentuk terdissosiasi sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Asam lemah yang tidak terdissosiasi mampu menembus dinding sel mikroba karena asam tersebut larut dalam lemak. Di dalam sel mikroba yang memiliki pH netral, maka asam organik terdissosiasi/terurai menjadi RCOO- dan H+ (Padan et al. 1981 dan Slonczewski et al. 1981 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004). Lepasnya proton dalam sitoplasma menyebabkan pH di dalam sel turun sehingga terjadi pH gradien akibatnya pertumbuhan mikroba terhambat. Menurut Eklund 1985 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004, menyatakan bahwa penghambatan pertumbuhan mikroba bukan karena adanya pelepasan proton melainkan terjadinya akumulasi anion dalam sel. Dari ketiga jenis patogen yang digunakan dalam uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus menunjukkan bahwa penurunan jumlah B.cereus paling rendah dibandingkan dengan penurunan jumlah E. coli dan Salmonella. Hal ini dikarenakan B.cereus merupakan bakteri yang membentuk spora sehingga lebih tahan dibandingkan E. coli dan Salmonella. Todar (2005) menyatakan bahwa B.cereus
merupakan spesies yang membentuk spora ellipsoid. Pada saat
kandungan nutrisi dalam media berkurang maka bakteri ini akan membentuk endospora yang lebih tahan terhadap bahan kimia. Sedangkan pertumbuhan L.casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan patogen menunjukkan bahwa L.casei Rhamnosus masih dapat tumbuh dengan baik, hal ini menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus mampu bersaing dengan patogen untuk mengambil substrat atau sumber nutrisi.
C. POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI GARUT SECARA IN VIVO Dalam pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo, digunakan L. casei Rhamnosus sebagai probiotik, dan kombinasi pemberian ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus sebagai sinbiotik. Jumlah L. casei Rhamnosus yang diberikan sebesar 1010 sel. Pemilihan L. casei Rhamnosus sebagai probiotik karena bakteri ini dapat tumbuh paling baik dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut (Gambar 12). Jumlah ekstrak ubi garut yang diberikan sebanyak 0.26 ml/tikus/hari dengan konsentrasi ekstrak 20.34 % TPT. Jumlah
ransum yang dikonsumsi/hari/ekor tikus sebesar 15 g. Perhitungan
58
komposisi ransum standar yang diberikan dapat dilihat pada Lampiran 1. Data pengamatan dan perhitungan jumlah L. casei Rhamnosus yang diberikan dapat dilihat pada Lampiran 13. Perhitungan jumlah ekstrak ubi garut untuk sonde pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 14. Berat badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali (Lampiran 15). Keadaan Tikus Selama Penelitian. Sebanyak dua puluh empat ekor tikus dibagi ke dalam empat kelompok, sehingga setiap kelompok terdiri dari enam ekor tikus. Grafik peningkatan berat badan tikus tersebut dapat dilihat pada Gambar 17. Selama penelitian baik kontrol, perlakuan prebiotik, probiotik maupun sinbiotik secara umum menunjukkan berat badan tikus mengalami kenaikan. Total peningkatan berat badan masing-masing kelompok diukur dari selisih antara rata-rata berat badan tikus pada akhir masa penelitian dengan awal penelitian. Kelompok kontrol mengalami peningkatan sebesar 40.8 g, kelompok prebiotik garut mengalami peningkatan sebanyak 43.7 g, kelompok probiotik meningkat berat badannya sebanyak 50 g dan kelompok sinbiotik meningkat sebanyak 52.8 g. Peningkatan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok sinbiotik, sedangkan peningkatan terendah terjadi pada kelompok kontrol. Peningkatan berat badan tikus menunjukkan bahwa tikus dalam kondisi sehat selama penelitian. Berdasarkan
peningkatan
berat
badan
tikus
selama
penelitian,
menunjukkan bahwa pemberian perlakuan dapat meningkatkan berat badan tikus secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan berat badan tikus pada perlakuan prebiotik (ekstrak ubi garut) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan kenaikan berat badan tikus pada perlakuan probiotik (suspensi L. casei Rhamnosus) maupun sinbiotik (campuran ekstrak ubi garut dan suspensi L. casei Rhamnosus) mengalami kenaikan secara nyata dibandingkan dengan kontrol. Kenaikan berat badan tikus untuk perlakuan prebiotik dibandingkan dengan perlakuan probiotik tidak berbeda nyata, akan tetapi berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan sinbiotik. Kenaikan berat badan tikus untuk perlakuan probiotik dibandingkan dengan perlakuan sinbiotik tidak berbeda nyata. Analisis ragam peningkatan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik
59
ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dituangkan dalam Lampiran 16. Rata2 Kontrol Rata2 Prebiotik (garut) Rata2 Probiotik Rata2 Sinbiotik (garut)
Berat badan tikus (gram)
250
200
150 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
Pemeliharaan hari ke-
Gambar 17 Peningkatan berat badan tikus (ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus). Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Total Mikroba Feses Tikus. Dibandingkan dengan kontrol, jumlah total mikroba feses pada kelompok probiotik dan sinbiotik selama dilakukan penelitian mengalami kenaikan secara nyata sampai H1 pasca perlakuan kemudian mengalami penurunan jumlah total mikroba feses secara nyata ketika pemberian perlakuan dihentikan. Begitu pula pada perlakuan prebiotik, pola perubahan jumlah total mikroba feses sama dengan perlakuan probiotik dan sinbiotik, meskipun bila dibandingkan dengan kontrol perubahan jumlah total mikroba feses tidak berbeda nyata. Sedangkan pada perlakuan kontrol perubahan jumlah total mikroba naik turun dari waktu ke waktu, meskipun kenaikan atau penurunannya antara 0.1 - 0.2 log cfu/g. Mikroba yang berkontribusi dalam perhitungan jumlah total mikroba merupakan mikroflora normal usus seperti Enterococcus, Enterobacteriaceae (termasuk E. coli), Lactococcus, Leuconostoc dan Lactobacillus. Grafik perubahan jumlah total mikroba feses keempat kelompok tikus dapat dilihat pada Gambar 18. Sebelum perlakuan seluruh kelompok memiliki jumlah total mikroba yang relatif sama, yaitu antara 8.7 - 8.9 log cfu/g. Pada perlakuan probiotik dan
60
sinbiotik, terjadi peningkatan jumlah total mikroba selama perlakuan sampai H1 pasca perlakuan. Peningkatan jumlah total mikroba diduga karena pada perlakuan 12
Kontrol Prebiotik Probiotik
Jumlah koloni (Log cfu/g)
11
Sinbiotik
10
9
8
7 H0 H1
H5
H10
H1
Perlakuan
H5
H10
Pasca Perlakuan
Pengujian pada
Gambar 18 Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus). tersebut tikus diberi suspensi L. casei Rhamnosus (BAL). BAL bersama-sama mikroflora usus dapat memfermentasi oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak ubi garut tersebut dan dapat berkolonisasi sehingga jumlah total mikroba feses naik. Hasil pengamatan perubahanjumlah total mikroba feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 17. Analisis ragam perubahan jumlah total mikroba feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 18. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah BAL Feses Tikus. Grafik perubahan jumlah BAL feses keempat kelompok tikus selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 19. Perubahan jumlah BAL tidak selalu diikuti dengan
61
perubahan jumlah total mikroba. Hal tersebut dapat disebabkan karena populasi mikroba dalam feses tikus tidak hanya terdiri dari BAL saja. Berdasarkan Gambar 19, pada hari ke-0 sebelum pemberian perlakuan, kandungan BAL dalam feses untuk kelompok kontrol 8.7 log cfu/g, sedangkan kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik 8.3 log cfu/g. Pada H-1 perlakuan terjadi peningkatan jumlah BAL feses, untuk kelompok kontrol dan prebiotik sebesar 0.1 log cfu/g, kelompok probiotik sebesar 0.4 log cfu/g dan kelompok sinbiotik sebesar 0.8 log cfu/g. Selama masa perlakuan jumlah BAL feses pada kelompok probiotik dan sinbiotik mengalami peningkatan secara nyata dibandingkan dengan kelompok kontrol dan prebiotik, akan tetapi ketika pemberian perlakuan dihentikan jumlah BAL feses mengalami penurunan secara nyata. Data ini juga menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus mampu bertahan pada kondisi ekstrim saluran pencernaan dan dapat mencapai usus. Dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok prebiotik mengalami kenaikan jumlah BAL feses secara nyata selama masa perlakuan, namun jumlah BAL feses menurun ketika pemberian perlakuan 12
Kontrol Prebiotik Probiotik Sinbiotik
Jumlah koloni (Log cfu/g)
11
10
9
8
7
6 H0 H1 H0 H1
H5 H0 H1 Perlakuan
H10 H1 H0 H1 H0 H1
H5
H1 PascaH0 perlakuan
H10 H0 H1
Pengujian pada
Gambar 19 Perubahan jumlah BAL dalam feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus).
62
dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian prebiotik (ekstrak ubi garut) dapat menaikkan jumlah BAL pada saluran pencernaan, dan kenaikan lebih nyata bila ekstrak ubi garut diberikan bersama-sama dengan L. casei Rhamnosus (sinbiotik). Menurut Surono (2004), pola diet dapat mempengaruhi komposisi bakteri dalam usus dan penelitian membuktikan bahwa populasi bakteri jahat dalam tinja pengkonsumsi makanan tinggi lemak dan protein tetapi rendah serat akan lebih tinggi dibandingkan konsumen yang mengkonsumsi lebih banyak sayuran. Menurut Gibson (2004), adanya prebiotik menyebabkan sebagian komposisi flora usus berubah akibat terjadinya fermentasi prebiotik, termasuk perubahan strain Bifidobacterium spp, Lactobacillus spp, dan bakteri representatif lainnya seperti Bacteroides spp, Clostridium spp dan Escherichia coli. Hasil pengamatan perubahan jumlah BAL feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 19. Analisis ragam perubahan jumlah BAL feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 20. Hasil penelitian Krisnayudha (2007), menunjukkan ekstrak ubi garut mengandung glukosa, fruktosa, sukrosa, rafinosa dan oligofruktosa. Adanya rafinosa dan oligofruktosa pada ekstrak ubi garut maka ekstrak ubi garut dapat berfungsi sebagai prebiotik sehingga diduga ekstrak ubi garut dapat menstimulasi bakteri yang menguntungkan dalam saluran pencernaan (probiotik). Laktulosa, oligofruktosa,
galaktooligosakarida,
oligosakarida
kedelai,
laktosukrosa,
isomaltooligosakarida, glukooligosakarida, xylooligosakarida, dan palatinosa juga merupakan oligosakarida yang berpotensi sebagai prebiotik (Manning et al. 2004). Buddington et al. (2002) diacu dalam Manning et al. 2004, menunjukkan bahwa tikus yang diberi FOS dan inulin dapat mencegah masuknya patogen enterik dan sistemik (termasuk E. coli O157:H7 dan Campylobacters) maupun tumor inducer. Gibson et al. (2000) didalam Manning et al (2004), membuktikan bahwa pemberian FOS, GOS dan laktulosa dalam jangka waktu pendek dapat mengubah komposisi mikroflora usus dan meningkatkan jumlah Bifidobacteria. Menurut Bouhnik et al. (1996) diacu dalam Manning et al (2004), menunjukkan bahwa pemberian FOS dapat menurunkan enzim-enzim genotoksik sebagai akibat dari
63
meningkatkan jumlah Bifidobacteria. Menurut Manning et al. (2004), pemberian FOS sebanyak 4 – 8 g/hari dapat menaikkan secara nyata jumlah Bifidobacteria dalam pencernaan manusia. Dengan demikian diduga kenaikan jumlah BAL pada perlakuan prebiotik dan sinbiotik menunjukkan bahwa ekstrak ubi garut memiliki potensi sebagai prebiotik. Penurunan BAL feces pada pasca perlakuan diduga karena laju pertumbuhan BAL akan menurun ketika pemberian perlakuan dihentikan sehingga jumlah substrat berkurang, akibatnya laju pertumbuhan BAL akan terhambat. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah E. coli Feses Tikus. Grafik perubahan jumlah E.coli keempat kelompok tikus selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 20. Jumlah awal E.coli feses tikus pada awal perlakuan untuk seluruh perlakuan hampir sama yaitu antara 8.4 – 8.6 log cfu/g. Pada kelompok kontrol jumlah E.coli selama penelitian (baik sebelum perlakuan, masa perlakuan dan pasca perlakuan) mengalami peningkatan secara nyata. Dibandingkan dengan 12
Kontrol Prebiotik Probiotik Sinbiotik
Jumlah koloni (Log cfu/g)
11
10
9
8
7
6
H0 H1
H5
H10 H1
H5
H10
Pasca perlakuan
Perlakuan
Pengujian pada
Gambar 20 Perubahan jumlah E. coli pada feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol, (b) Prebiotik (ekstrak ubi garut), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus).
64
kontrol, maka pada kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik terjadi penurunan jumlah E. coli feses secara nyata selama masa perlakuan sampai H1 pasca perlakuan, dan naik kembali ketika perlakuan dihentikan. Pada kelompok prebiotik, selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan terjadi penurunan E. coli sampai 1.4 log cfu/g, setelah itu jumlah E. coli feses kembali naik. Pada kelompok probiotik, selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan terjadi penurunan jumlah E.coli feses sampai 1.6 log cfu/g, setelah itu jumlah E. coli feses kembali naik. Pada kelompok sinbiotik, selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan terjadi penurunan jumlah E. coli feses sampai 1.7 log cfu/g, setelah itu jumlah E.coli feses kembali naik. Data lengkap hasil pengamatan perubahan jumlah E.coli feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut dapat dilihat pada Lampiran 21. Analisis ragam perubahan jumlah E.coli feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dapat dilihat pada Lampiran 22. Penurunan jumlah E. coli feses pada kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik selama masa perlakuan sampai H-1 pasca perlakuan diduga karena terjadi kenaikan jumlah metabolit BAL (seperti asam laktat dan asam asetat) yang dihasilkan meningkat, sehingga pH usus menjadi turun. Penurunan pH menyebabkan pertumbuhan E. coli terhambat. Asam laktat dan asetat yang merupakan asam organik tersebut dapat bersifat anti mikroba sehingga pertumbuhan patogen seperti E. coli terhambat. Hal ini juga didukung oleh data pengujian kompetisi antara bakteri patogen (E. coli, B. cereus dan Salmonella sp) dengan L.casei Rhamnosus yang menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan pertumbuhan E. coli sampai 3.5 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Buddington et al. (2002) diacu dalam Manning et al. (2004), membuktikan bahwa pemberian FOS dan inulin (prebiotik) pada tikus dapat mencegah masuknya tumor inducer dan patogen (termasuk E.coli O157:H7 dan campylobacter). Hasil-hasil penelitian terdahulu (Hayakawa et al. 1990 diacu dalam Manning et al. 1998, Hidaka et al. 1986, Gibson et al. 1995 diacu dalam Manning et al. 1998), membuktikan bahwa prebiotik dapat meningkatkan ketahanan inang terhadap serangan patogen karena kemampuannya dalam meningkatkan jumlah Bifidobacteria maupun Lactobacilli.
65
Asam laktat yang dihasilkan oleh Bifidobacteria dan Lactobacilli memiliki sifat inhibitory (penghambat), karena dapat menurunkan pH pencernaan sehingga patogen tidak mampu berkompetisi untuk hidup (Manning et al. 2004). Hasil penelitian yang dilakukan Todorov dan Dicks (2005) menunjukkan bahwa Lactobacillus rhamnosus yang diisolasi dari minuman fermentasi cereal menggunakan yeast dan BAL (boza) dapat memproduksi bakteriosin ST461BZ dan ST462BZ yang mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli, L. casei, Enterococcus faecalis dan Pseudomonas aeruginosa. Pengaruh Pemberian Perlakuan Terhadap Keberadaan Salmonella sp dalam Feses Tikus. Selain dilakukan pengujian mikrobiologis secara kuantitatif dilakukan juga pengujian secara kualitatif terhadap feses tikus yaitu pengujian ada atau tidaknya kandungan Salmonella selama dan pasca perlakuan, hasil pengujian (Tabel 11). Hasil uji Salmonella, menunjukkan bahwa terdapat sampel yang positif mengandung c pada semua perlakuan. Pada kelompok kontrol, pada saat sebelum perlakuan, H-5 dan H-10 pasca perlakuan terdapat 1 sampel yang positif Salmonella dari 3 sampel yang diujikan. Pada kelompok prebiotik menunjukkan pada H-1 perlakuan terdapat 1 sampel yang positif Salmonella dari 3 sampel yang diujikan, dan selama masa perlakuan maupun setelah pasca perlakuan hasil uji Salmonella negatif. Pada kelompok probiotik menunjukkan bahwa sebelum perlakuan terdapat 1 sampel yang positif Salmonella dari 3 sampel yang diujikan, dan selama masa perlakuan maupun setelah pasca perlakuan hasil uji Salmonella negatif. Sedangkan pada kelompok sinbiotik menunjukkan bahwa pada H-5 perlakuan dan H-10 pasca perlakuan, terdapat 1 sampel yang positif Salmonella dari 3 sampel yang diujikan. Meskipun secara in vitro menunjukkan bahwa L.casei
Rhamnosus yang dikompetisikan dengan Salmonella dapat menekan
pertumbuhan Salmonela, namun secara in vivo pemberian perlakuan belum nampak pengaruhnya dalam menekan pertumbuhan Salmonella. Diduga pada tikus SD yang digunakan sudah mengandung Salmonella dalam pencernaannya sebelum tikus tersebut digunakan dalam penelitian. Karena tikus yang digunakan tidak dipelihara sejak tikus tersebut dilahirkan sehingga jenis ransum yang diberikan dan tingkat sanitasi yang dilakukan sebelum tikus digunakan untuk penelitian diabaikan. Menurut Gallan dan Curtiss (1991) diacu dalam Hirano et al.
66
(2003), Salmonella
mampu menginvasi epitelium dan dapat hidup dalam
lingkungan intracelluler. Hirano et al. (2003), menemukan bahwa L. casei Rhamnosus yang digunakan secara in vivo tidak dapat mempengaruhi invasi Salmonella enteritidis yang berpotensi invasif. Data lengkap hasil pengamatan pengujian Salmonella sp dalam feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo dengan L. casei Rhamnosus dapat dilihat pada Lampiran 23. Hasil pengujian keberadaan Salmonella sp dalam feses pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo berbeda dengan hasil pengujian uji kompetisi antara L. casei Rhamnosus dengan patogen secara in vitro. Pada pengujian secara in vitro, menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus mampu menekan jumlah Salmonella sp hingga 3.5 log cfu/g. Hal ini disebabkan pada pengujian secara in vitro, adanya kandungan gula-gula sederhana (glukosa, fruktosa dan sukrosa) yang lebih tinggi dibandingkan dengan oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak ubi garut. Gula-gula sederhana tersebut akan lebih mudah digunakan sebagai sumber energi oleh L. casei Rhamnosus dibandingkan dengan oligosakarida. Sementara itu, pada pengujian secara in vivo, gula sederhana diserap oleh usus halus dan yang tersedia sebagai substrat BAL adalah oligosakarida. Dengan hanya tersedia oligosakarida, metabolit yang dihasilkan lebih sedikit sehingga belum terlihat pemberian perlakuan dapat menekan pertumbuhan Salmonella sp. Tabel 11 Hasil pengujian Salmonella dalam feses secara kualitatif pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut Dugaan Salmonella* Periode perlakuan, hari kePeriode pasca perlakuan, hari ke0 1 5 10 1 5 10 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 1/3 1/3 Kontrol 0/3 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3 Prebiotik 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3 Probiotik 0/3 0/3 1/3 0/3 0/3 0/3 1/3 Sinbiotik *) jumlah sampel yang menunjukan hasil positif Salmonella / jumlah sampel yang diuji.
Kelompok
67
D. POTENSI PREBIOTIK EKSTRAK UBI JALAR DAN HASIL OLAHAN (COOKIES UBI JALAR DAN SPF) SECARA IN VITRO 1. Pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF). Untuk melihat pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi jalar dan cookies ubi jalar digunakan bakteri L. casei Rhamnosus, L.casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, B. bifidum dan B. longum, sedangkan untuk melihat pertumbuhan BAL dalam ekstrak SPF digunakan L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1. Dari hasil uji menunjukkan bahwa L.casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus F1 dan Lactobacillus G3 dapat tumbuh baik dalam media yang mengandung ekstrak SPF. L. casei Rhamnosus dan
Lactobacillus F1 dapat tumbuh lebih baik
dibandingkan L. casei Shirota dan Lactobacillus G3 dalam media yang mengandung ekstrak SPF. Di dalam SPF terdapat gula-gula yang berasal dari ubi jalar yaitu glukosa, fruktosa, sukrosa, maltosa, maltotriosa, rafinosa (Marlis 2008, belum dipublikasikan), berasal dari tepung kedelai yaitu rafinosa dan stakiosa (Smiricky 2001). Seluruh BAL uji dapat memanfaatkan ekstrak ubi jalar sebagai sumber gula untuk pertumbuhannya. Pertumbuhan L. casei Rhamnosus, Lactobacillus F1, dan Lactobacillus G3 tumbuh lebih baik dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi jalar dibandingkan dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar. Hal ini juga didukung hasil penelitian
yang
dilakukan oleh Nuraida et al. (2004) menunjukkan bahwa oligosakarida ubi jalar berpotensi sebagai prebiotik dengan mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidobacteria yang diketahui dapat bertahan dalam saluran pencernaan. Ekstrak oligosakarida ubi jalar putih varietas Sukuh mampu mendukung pertumbuhan Lactobacillus dan Bifidabacteria lebih baik dari pada ekstrak yang diperoleh dari ubi jalar merah varietas Sukuh. L. casei Rhamnosus, Lactobacillus F1, dan Lactobacillus G3 dapat tumbuh lebih baik dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi jalar dibandingkan dalam media yang mengandung ekstrak ubi jalar. Hal ini disebabkan dalam cookies ubi jalar mengandung gula-gula dan oligosakarida yang dapat dimanfaatkan oleh ketiga jenis BAL tersebut. Dalam pembuatan cookies ubi
68
jalar ditambahkan sukrosa sehingga komponen gula dalam cookies lebih tinggi dibandingkan yang ada dalam ubi jalar. Adanya gula sederhana menyebabkan BAL tersebut dapat langung memanfaatkan gula-gula sederhana untuk pertumbuhannya. Data lengkap hasil pengamatan jumlah BAL pada pengujian 12
12 10.4
8
10.2 10
9.0
8.7
8.4 7.4
7.7
7.1
7.9 7.1
7.3
0 jam 24 jam
6
Kenaikan
4
2.7
2
8
8.3 7.5
8.3 7.7
Kenaikan 2.4 0.8
1.1
0.5
SPF
Ubi jalar Cookies
Glukosa Kontrol
SPF
(b) 12
12 10.4 9.1
9.1
7.9
7.8
8.6 7.7
7.9
7.7
10
0 jam 24 jam Kenaikan
4
2.7 1.4
1.3
1.2
Jumlah koloni (log cfuU/ml)
Jumlah koloni (log cfu/ml)
9.2
6
9.8
9.5 8.4
9.1 8.3
8.8 8.1 0 jam 24 jam
6
Kenaikan
4 1.8 0.7
1.1
1.0
0.7
0
Ubi jalar Cookies
SPF
Ubi jalar Cookies
Glukosa Kontrol
Jenis gula
SPF
Glukosa Kontrol
Jenis gula
(c)
(d)
12
12
9.1
8.9 8.2 7.3
7.4
7.3
10
8.0 7.1
0 jam 24 jam
6
Kenaikan
4 1.7
1.6
1.0
0.9
Jumlah koloni (log cfu/ml)
10
Jumlah koloni (log cfu/ml)
9.2 8.2
8.1
8
2
0.9
0
2
Glukosa Kontrol
Jenis gula
(a)
8
0.5
0
Jenis gula
2
0 jam 24 jam
2
0.8
Ubi jalar Cookies
8
8.2 7.8
4
0
10
8.9 7.8
7.9
6
1.7
1.6
1.0
Jumlah koloni (log cfu/ml)
Jumlah koloni (log cfu/ml)
10
9.2 8.0
9.6 8.18.4
7.9
8
0 jam 24 jam
6
Kenaikan 4 2
1.2
1.6 0.4
0 Ubi jalar
Cookies
Glukosa
Jenis gula
(e)
Kontrol
8.6 7.7
0.9
0 Ubi jalar
Cookies
Glukosa
Kontrol
Jenis gula
(f)
Gambar 21 Pertumbuhan BAL dalam ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF): (a) L. casei Rhamnosus, (b) L. casei Shirota, (c) Lactobacillus F1, (d) Lactobacillus G3, (e) B. longum, (f) B. bifidum.
69
ekstrak ubi jalar dan hasil olahan (cookies ubi jalar dan SPF) secara in vitro dapat dilihat pada Lampiran 24. Karena L. casei Rhamnosus tumbuh paling baik dalam media yang mengandung ekstrak SPF, maka BAL tersebut dipilih untuk digunakan dalam pengujian berikutnya yaitu pengujian
kompetisi antara L. casei Rhamnosus
dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF secara in vitro maupun pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo. 2. Kompetisi patogen dengan BAL dalam media yang mengandung ekstrak SPF Pertumbuhan E. coli pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Gambar 22. Pengujian kompetisi bertujuan untuk melihat kemampuan BAL (L. casei Rhamnosus) dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen dengan memanfaatkan ekstrak SPF sebagai sumber gula. Bakteri patogen yang digunakan adalah E. coli, B. cereus dan Salmonella sp. Hasil uji kompetisi antara bakteri E. coli dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah E. coli sampai 3.9 log cfu/ml.
Jumlah koloni (log cfu/ml)
12 10
8.8
9.6
8.7
8
0 jam 24 jam
6 4
3.9
3.8
48 jam
2
0.0
0 Kontrol + E.coli
Kompetisi+ E.coli+ L.casei Rhamnosus
Perlakuan
Gambar 22 Pertumbuhan E. coli yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF. Sedangkan pertumbuhan E. coli dalam media yang mengandung ekstrak SPF (kontrol) meningkat sampai 5.0 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam) dan
70
5.8 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Tabel 12 menunjukkan perubahan jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus. Hasil pengamatan lengkap jumlah E. coli yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Lampiran 25. Tabel 12. Perubahan jumlah E. coli setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF
Perlakuan Kontrol (Ekstrak SPF+ E. coli) Kompetisi (Ekstrak SPF+ E. coli+ L. casei Rhamnosus)
Jumlah E. coli (log cfu/ml) Pada inkubasi hari keH0 H1 H2 ( 0 jam) (24 jam) (48 jam) 3.8 8.8 9.6 3.9
8.7
Kenaikan /penurunan E. coli (log cfu/ml) Setelah Setelah 24 jam 48jam 5.0 5.8
0.0
4.9
-3.9
Pertumbuhan B. cereus yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Gambar 23. Hasil uji kompetisi antara bakteri B. cereus dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat menekan jumlah B. cereus sampai 3.1 log cfu/ml. Sedangkan pertumbuhan B.cereus yang tidak dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus (kontrol) mengalami peningkatan sampai 3.0 log cfu/ml (setelah diinkubasi selama 24 jam) dan 3.4 log cfu/ml setelah diinkubasi selama 48 jam. Tabel 13 menunjukkan perubahan jumlah B.cereus setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus.
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
Hasil pengamatan lengkap jumlah B. cereus yang dikompetisikan dengan L. casei 12 10 8
4
0 jam
6.0 6.3
6
24 jam
3.0
2 0
48 jam
3.4 0.5 0.4
Kontrol +B.cereus
Kompetisi + B.cereus + L.casei Rhamnosus
Perlakuan
Gambar 23 Pertumbuhan B. cereus yang dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
71
Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Lampiran 26. Tabel 13. Perubahan jumlah B. cereus setelah dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF Jumlah B. cereus (log cfu/ml) Pada inkubasi hari keH0 H1 H2 ( 0 jam) (24 jam) (48 jam)
Perlakuan Kontrol (Ekstrak SPF +B. cereus) Kompetisi (Ekstrak SPF +B. cereus + L. casei Rhamnosus)
3.0
6.0
6.3
3.4
0.5
0.4
Kenaikan /penurunan B. cereus (log cfu /ml) Setelah Setelah 24 jam 48jam 3.0 3.4 -3.0
-3.1
Hasil uji kompetisi antara bakteri Salmonella sp dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa L.casei Rhamnosus dapat menekan jumlah Salmonella sp sebesar 1.5 log cfu/ml (inkubasi 24 jam) dan 3.9 log cfu/ml (inkubasi 48 jam). Sedangkan dalam media yang mengandung ekstrak SPF (kontrol) jumlah Salmonella sp meningkat sampai 5.2 log cfu/ml (inkubasi 24 jam) dan 5.4 log cfu/ml (inkubasi 48 jam). Tabel 14 menunjukkan perubahan jumlah Salmonella setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus. Hasil pengamatan lengkap jumlah Salmonella yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
ekstrak SPF dapat dilihat pada Lampiran 27. 12 9.0 9.2
10 8
0 jam
6 4
48 jam
2.4
2 0
24 jam
3.9
3.8
0.0 Kontrol + Salmonella
Kompetisi+Salmonella+ L.casei Rhamnosus)
Perlakuan
Gambar 24 Pertumbuhan Salmonella sp yang dikompetisikan dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
72
Tabel 14 Perubahan jumlah Salmonella sp setelah dikompetisikan dengan L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF Jumlah Salmonella sp (log CFU/ml) Pada inkubasi hari kePerlakuan Kontrol (Ekstrak SPF+Salmonella sp) Kompetisi (Ekstrak SPF+Salmonella sp + L. casei Rhamnosus)
H0 ( 0 jam)
H1 (24 jam)
H2 (48 jam)
3.8
9.0
9.2
3.9
2.4
Kenaikan /penurunan Salmonella sp (log CFU/ml) Setelah Setelah 24 jam 48jam 5.2 5.4
0.0
-1.5
-3.9
Dari ketiga jenis patogen yang digunakan pada uji kompetisi dengan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF menunjukkan bahwa penurunan jumlah B. cereus paling rendah dibandingkan dengan penurunan jumlah E. coli dan Salmonella. Hal ini dikarenakan B. cereus merupakan bakteri yang membentuk spora sehingga lebih tahan dibandingkan E. coli dan Salmonella. Batt (1999a), menyatakan bahwa B. cereus merupakan spesies yang membentuk spora yang tahan terhadap suhu pemasakan. Todar (2005) menyatakan bahwa B. cereus merupakan spesies yang membentuk spora ellipsoid. Pada saat kandungan nutrisi dalam media berkurang maka bakteri ini akan membentuk endospora yang lebih tahan terhadap bahan kimia. Tabel 15 Perubahan jumlah L.casei Rhamnosus setelah dikompetisikan dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF
Perlakuan Kontrol (Ekstrak SPF +L.casei Rhamnosus) Kompetisi (Ekstrak SPF+E.coli+L. casei Rhamnosus) Kompetisi Ekstrak (SPF+Salmonella sp+L.casei Rhamnosus) Kompetisi (Ekstrak SPF+B.cereus+L.casei Rhamnosus)
H0 log cfu/ml
H1 log cfu cfu /ml
H2 log cfu cfu /ml
Kenaikan atau penurunan jumlah BAL log cfu cfu /ml Setelah 24 Setelah 48 jam jam
8.4
8.6
8.3
0.2
-0.2
8.5
8.7
8.4
0.2
-0.1
8.4
8.6
8.3
0.1
-0.2
8.3
8.5
8.1
0.2
-0.2
Hasil uji kompetisi antara L. casei Rhamnosus dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF, menunjukkan bahwa patogen tidak mempengaruhi pertumbuhan L.casei Rhamnosus (Gambar 25), akan tetapi L casei Rhamnosus mampu menghambat E. coli dan Salmonella sp sampai 3.9 log cfu/ml
73
serta menghambat B. cereus sampai 3.1 log cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat berkompetisi dengan baik untuk mengambil substrat. Adanya gula-gula sederhana dan oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak SPF
Jumlah koloni (Log cfu/ml)
12 10
8.3
8.4
8.2
8.2
8.6
8.2
8 0 jam
6
24 jam 4
48 jam
2 0 Kontrol+L.casei Rhamnosus
-2
Kompetisi+E.coli+L.casei Rhamnosus
Perlakuan
(a) Jumlah koloni (Log cfu/ml)
12 10
8.4
8.6 8.3
8.4 8.6
8.3
8 0 jam
6
24 jam
4
48 jam
2 0 -2
Kontrol+ L.casei Rhamnosus
Kompetisi+Salmonella +L.casei Rhamnosus
Perlakuan
(b) Jumlah koloni (Log cfu/ml)
12 10
8.4
8.6
8.3
8.3
8.5
8.1
8 0 jam
6
24 jam
4
48 jam
2 0 -2
Kontrol+ L.casei Rhamnosus
Kompetisi+B.cereus +L.casei Rhamnosus
Perlakuan
(c) Gambar 25 Pertumbuhan L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF.
74
akan menstimulir pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus). L. casei Rhamnosus akan menghasilkan asam laktat (Scheinbach 1998; Makinen dan Bigret 2004; Ouwehand dan Vesterlund 2004) menyebabkan pH media turun sehingga pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Hasil pengamatan lengkap jumlah BAL yang dikompetisikan dengan patogen dalam media yang mengandung ekstrak SPF dapat dilihat pada Lampiran 28. E. PENGUJIAN POTENSI PREBIOTIK SPF SECARA IN VIVO Pengujian in vivo dilakukan untuk mengetahui sifat prebiotik sweet potato flakes (SPF), L. casei Rhamnosus sebagai probiotik dan kombinasi pemberian ransum SPF dengan L. casei Rhamnosus sebagai sinbiotik. Jumlah SPF yang disubstitusikan dalam ransum SPF sebesar 35%. Jumlah L. casei Rhamnosus yang diberikan sebesar 1010 CFU/ml. Komposisi ransum standar, metode pengujian dan parameter yang diuji sama dengan yang digunakan pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. Adapun perhitungan komposisi ransum SPF yang diberikan dapat dilihat pada Lampiran 4. Keadaan Tikus Selama Penelitian. Grafik peningkatan berat badan tikus tersebut dapat dilihat pada Gambar 26. Selama masa pemeliharaan, berat badan tikus semua kelompok meningkat, baik pada masa adaptasi, perlakuan maupun pada pasca perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama penelitian tikus dalam kondisi yang sehat. Kelompok kontrol mengalami peningkatan sebanyak 40.8 g, kelompok probiotik meningkat sebanyak 50 g, kelompok prebiotik (SPF) mengalami peningkatan sebanyak 46.1 g dan kelompok sinbiotik (SPF) meningkat sebanyak 45.3 g. Pemberian perlakuan tidak mempengaruhi kenaikan berat badan tikus secara nyata, peningkatan berat badan tertinggi terjadi pada kelompok probiotik, sedangkan peningkatan terendah terjadi pada kelompok kontrol. Rata-rata perubahan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 29. Analisis ragam peningkatan berat badan tikus pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 30.
75
Rata2 Kontrol Rata2 Probiotik Rata2 Prebiotik (SPF) Rata2 Sinbiotik (SPF)
Berat badan tikus (gram)
250
200
150 1
3
5
7
9
11
13
15
17
19
21
23
25
27
29
31
Pemeliharaan hari ke-
Gambar 26 Peningkatan berat badan tikus (SPF dengan L. casei Rhamnosus). Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Total Mikroba Feses Tikus. Perubahan jumlah total mikroba pada feses tikus dapat dilihat pada Gambar 27. Pada kelompok kontrol, jumlah total mikroba awal sampai H-10 perlakuan relatif sama (8.9 log cfu/g), pada H-1 pasca perlakuan mengalami kenaikan sebesar 0.2 log cfu/g kemudian turun pada hari-hari berikutnya. Dibandingkan dengan kontrol, jumlah total mikroba feses selama perlakuan sampai H1 pasca perlakuan pada kelompok probiotik dan sinbiotik mengalami kenaikan secara nyata, namun setelah perlakuan dihentikan maka jumlahnya menurun secara nyata. Jumlah total mikroba feses pada kelompok prebiotik memiliki pola yang sama dengan kelompok probiotik dan sinbiotik, meskipun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan probiotik terjadi kenaikan jumlah total mikroba feses (1.6 log cfu/g) secara nyata dibandingkan dengan kelompok lainnya dan menurun secara nyata setelah perlakuan dihentikan. Menurut Hong et al. (2004), jenis bakteri dominan yang terdapat dalam usus besar dan usus halus adalah Lactobacillus,
Streptococcus,
Enterobacteria,
Bifidobacteria,
Bacteroides,
Clostridia dan Bacillus. BAL berkontribusi menghasilkan enzim dalam usus, seperti β-galaktosidase (laktase). Asupan oligosakarida dari SPF meningkatkan ketersediaan oligosakarida dalam kolon sehingga meningkatkan jumlah total mikroba. Sementara itu pemberian BAL secara langsung meningkatkan jumlah
76
total mikroba dalam feses. Hasil pengamatan jumlah total mikroba feses pada pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo dapat dilihat pada Lampiran 31. Analisis ragam perubahan jumlah total mikroba feses pada pengujian potensi prebiotik SPF secara in vivo dapat dilihat pada Lampiran 32. 12 Kontrol Probiotik Prebiotik
Jumlah koloni (Log cfu/g)
11
Sinbiotik
10
9
8
7 H0 H1
H5
Perlakuan
H10
H5
H1
H10
Pasca perlakuan
Pengujian pada
Gambar 27 Perubahan jumlah total mikroba feses tikus pada kelompok: (a) Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus). Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah BAL Feses Tikus. Perubahan jumlah BAL dalam feses tikus dapat dilihat pada Gambar 28. Pada kelompok kontrol, jumlah BAL dalam feses pada awal sampai H-10 perlakuan jumlahnya relatif sama yaitu 8.7 log cfu/g, kemudian pada H-1 pasca perlakuan mengalami penurunan sebesar 0.5 log cfu/ml kemudian semakin berkurang pada hari-hari berikutnya. Jumlah BAL dalam feses pada awal pada perlakuan untuk kelompok prebiotik 8.3 log cfu/g, selama perlakuan (pemberian ransum perlakuan SPF) mengalami kenaikan sampai H-10 perlakuan mencapai 9.1 log cfu/g, akan tetapi setelah H-10 perlakuan jumlah BAL menurun. Jumlah BAL dalam feses pada awal perlakuan untuk kelompok probiotik 8.3 log cfu/g, kemudian terus
77
mengalami peningkatan sampai 10.0 log cfu/g selama masa perlakuan dan menurun setelah H-1 pasca perlakuan. Jumlah BAL dalam feses pada awal untuk kelompok sinbiotik 8.3 log cfu/g, kemudian terus mengalami peningkatan sampai 9.7 log cfu/g selama masa perlakuan dan menurun setelah H-1 pasca perlakuan. Pada kelompok prebiotik terjadi kenaikan jumlah BAL dalam feses secara nyata dibandingkan dengan kontrol selama masa perlakuan, namun jumlah BAL dalam feses menurun ketika pemberian perlakuan dihentikan. Dibandingkan dengan kelompok kontrol dan prebiotik maka selama masa perlakuan terjadi peningkatan jumlah BAL dalam feses secara nyata pada kelompok probiotik dan sinbiotik dan terjadi penurunan secara nyata ketika perlakuan dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian prebiotik (ransum SPF) meningkatkan jumlah BAL pada saluran pencernaan, dan kenaikan lebih nyata bila ransum
SPF diberikan
bersama-sama dengan L. casei Rhamnosus (sinbiotik). Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam SPF terdapat maltotriosa, rafinosa, dan stakiosa yang dapat bertindak sebagai prebiotik. Adanya oligosakarida tersebut memberikan sumber energi kepada BAL sehingga jumlahnya meningkat. Penurunan jumlah BAL dalam feses setelah perlakuan karena jumlah substrat berkurang, akibatnya laju pertumbuhan BAL terhambat. Dari ketiga perlakuan, menunjukkan bahwa perlakuan
probiotik
(pemberian
suspensi
L.
casei
Rhamnosus)
dapat
meningkatkan jumlah BAL dalam tertinggi selama perlakuan. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan jumlah total mikroba dalam feses tikus. Hasil pengamatan perubahan jumlah BAL dalam feses pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 33. Analisis ragam perubahan jumlah BAL dalam feses pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 34. Terjadinya kenaikan jumlah BAL pada perlakuan prebiotik dan sinbiotik menunjukkan bahwa pemberian ransum SPF dapat meningkatkan jumlah BAL selama perlakuan. Dalam produk SPF mengandung oligosakarida yang berasal dari kedelai yaitu rafinosa dan stakiosa (Smiricky et al. 2001) maupun dari ubi jalar kukus yaitu 0.2 % rafinosa dan 0.14 % maltotriosa (Marlis 2008, belum dipublikasikan). Oligosakarida dalam ubi jalar mampu mendukung pertumbuhan Lactobacillus (Nuraida et al. 2004). Rafinosa dan stakiosa tidak diserap oleh usus
78
halus dan masuk ke dalam usus besar. Dalam usus besar oligosakarida tersebut dimetabolisme oleh BAL untuk berkolonisasi (Manning et al. 2004). 12
Kontrol Probiotik Prebiotik Sinbiotik
Jumlah koloni (Log cfu/g)
11
10
9
8
7
6 H0 H1 H0 H1
H5 H0 H1 Perlakuan
H10 H1 H0 H1
H5 H0 H1 Pasca perlakuan
H10 H0 H1
Pengujian pada
Gambar 28 Perubahan jumlah BAL pada feses tikus pada kelompok: (a). Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L. casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L. casei Rhamnosus). Dalam 100 g ubi jalar tergelatinisasi diasumsikan mengandung 0.2 % rafinosa dan 0.14 % maltotriosa (Marlis 2008, belum dipublikasikan). Asumsi kadar air ubi jalar tergelatinisasi 70 %, maka dalam 100 g tepung ubi jalar kering akan mengandung 0.007 g rafinosa dan 0.005 g maltotriosa. Menurut Parson et al. (2001), oligosakarida kedelai terdiri dari 0.58% rafinosa dan 3.23% stakiosa. Dalam 100 g ransum SPF mengandung 35 g tepung SPF. Dalam 100 g SPF mengandung 33 g tepung ubi jalar, 15 g tepung kedelai, 12 g tepung tapioka dan 40 g bahan lain (gula, garam dan air). Maka dalam 100 g SPF mengandung 0.38 g oligosakarida ubi jalar (0.22 g rafinosa dan 0.16 g maltotriosa) dan 0.57 g oligosakarida kedelai (0.09 g rafinosa dan 0.48 g stakiosa). Dengan kata lain dalam 100 g SPF mengandung 0.95 g oligosakarida atau 1 g oligosakarida. Rata-rata jumlah ransum yang dikonsumsi tikus sebesar 15 g/200 g berat badan
tikus.
Maka
setiap
tikus/hari
rata-rata
mengkonsumsi
0.05
g
79
oligosakarida/200 g BB tikus. Dengan kata lain jumlah oligosakarida yang dikonsumsi oleh tikus sebesar 0.26 g oligosakarida/kg BB. Menurut Manning dan Gibson (2004), konsumsi 4 sampai 8 g FOS dapat menaikkan jumlah Bifidobacteria dalam pencernaan manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Konsumsi 10 g/hari oligosakarida kedelai dapat meningkatkan jumlah bifidobacteria dan secara bersamaan akan menurunkan jumlah bakteri patogen dalam feses manusia secara nyata. Ketika rata-rata berat minimum orang dewasa 50 kg (Bender dan Bender 2001), maka konsumsi oligosakarida kedelai sebesar 0.2 g/kg BB manusia/hari dapat meningkatkan jumlah Bifidobacteria dan menekan pertumbuhan patogen. Apabila diasumsikan konsumsi oligosakarida SPF 4 - 8 g/hari maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat diperoleh dari 400 - 800 g SPF/hari. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah E. coli Feses Tikus. Perubahan jumlah E. coli dalam feses tikus (SPF dengan L.casei Rhamnosus) dapat dilihat pada Gambar 29. Jumlah E. coli
dalam feses awal pada kelompok kontrol,
perlakuan prebiotik dan probiotik sama yaitu 8.6 log cfu/g, sedangkan jumlah awal E. coli feses pada perlakuan sinbiotik sebesar 8.4 log cfu/g. Pada kelompok kontrol jumlah E. coli selama masa perlakuan dan pasca perlakuan mengalami kenaikan. Pada perlakuan prebiotik (pemberian ransum perlakuan SPF) selama masa perlakuan jumlah E. coli dalam feses mengalami penurunan sampai H-1 pasca perlakuan mencapai 7.4 log cfu/g (turun hingga 1.2 log cfu/g), namun setelah H-1 pasca perlakuan jumlah E. coli dalam feses mengalami peningkatan. Pola yang sama ditunjukkan pula pada perlakuan probiotik dan sinbiotik. Pada perlakuan probiotik penurunan jumlah E. coli dalam feses sampai H-1 pasca perlakuan mencapai 7.0 log cfu/g (turun 1.6 log cfu/g) dan pada perlakuan sinbiotik mencapai 7.2 log cfu/g (1.2 log cfu/g). Dari ketiga perlakuan, menunjukkan bahwa pemberian probiotik (suspensi L. casei Rhamnosus) dapat menurunkan jumlah E. coli dalam feses tertinggi selama perlakuan, penurunan E.coli dalam feses mencapai 1.6 log cfu/g. Pemberian perlakuan prebiotik dan sinbiotik juga dapat menurunkan jumlah E. coli. Hasil pengamatan perubahan jumlah E. coli feses pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada
80
Lampiran 35. Analisis ragam perubahan jumlah E. coli feses pada pengujian potensi prebiotik SPF dapat dilihat pada Lampiran 36. Penurunan jumlah E. coli dalam feses selama masa perlakuan pada kelompok sinbiotik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok prebiotik. Adanya prebiotik SPF (maltotriosa, rafinosa, stakiosa) dan suspensi L. casei Rhamnosus dalam perlakuan sinbiotik membantu menekan jumlah E. coli. Menurut Gibson (2004), adanya prebiotik menyebabkan sebagian komposisi flora usus
berubah
akibat
terjadinya
fermentasi,
termasuk
perubahan
strain
Bifidobacterium spp, Lactobacillus spp, dan bakteri representatif lainnya seperti Bacteroides spp, Clostridium spp dan Escherichia coli. Penelitian yang dilakukan oleh Hirano et al. (2003), menunjukkan bahwa secara in vitro penempelan dan kolonisasi Escherichia coli enterohemorrhagic (EHEC) dalam sel epitel usus besar tidak dipengaruhi oleh hadirnya strain Lactobacillus (L. rhamnosus, L.gasseri, L. casei dan L. plantarum), akan tetapi L.rhamnosus dapat menekan internalisasi EHEC dalam sel epitel. Pengujian secara in vivo yang dilakukan oleh Suryadjaya (2005) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ubi jalar pada tikus SD mampu menekan jumlah E. coli dalam feses, namun meningkatkan jumlah BAL feses. Efek lebih besar diperoleh ketika pemberian ekstrak ubi jalar disertai dengan pemberian L.casei Rhamnosus. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa ubi jalar berpotensi untuk mendukung pertumbuhan BAL dan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Hasil uji potensi prebiotik ekstrak SPF secara in vitro (kompetisi antara
L. casei
Rhamnosus dengan patogen) menunjukkan pertumbuhan patogen uji
(E. coli,
B.cereus
dan Salmonella) menurun bila dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus yang ditumbuhkan dalam media yang mengandung ekstrak SPF. Adanya maltotriosa, rafinosa dan stakiosa yang terkandung dalam SPF dapat menaikkan jumlah BAL (Gambar 28) dan menurunkan jumlah E. coli (Gambar 29) pada feses tikus. Penelitian tentang pengaruh oligosakarida kedelai terhadap mikroba pada feses manusia (Hayakawa et al. 1990) menunjukkan bahwa fraksi stakiosa dan rafinosa dari oligosakarida kedelai dapat difermentasi oleh Bifidobacterim spp secara in vitro. Konsumsi oligosakarida kedelai sebanyak 10 g
81
per hari telah dilaporkan meningkatkan jumlah Bifidobacteria dalam feses manusia secara nyata, dan secara bersamaan menurunkan jumlah bakteri patogen. 12
Kontrol Probiotik Prebiotik Sinbiotik
Jumlah koloni (Log cfu/g)
11
10
9
8
7
6 H0 H1
H5
H10 H1
Perlakuan
H5
H10
Pasca perlakuan
Pengujian pada
Gambar 29 Perubahan jumlah E. coli feses tikus pada kelompok: (a). Kontrol, (b) Prebiotik (SPF), (c) Probiotik (L.casei Rhamnosus), (d) Sinbiotik (SPF dan L.casei Rhamnosus). Pengaruh Pemberian Perlakuan Terhadap Keberadaan Salmonella sp. Rekapitulasi hasil uji Salmonella dalam feses dapat dilihat pada Tabel 16. Pada kelompok kontrol, sebelum masa perlakuan, H-5 dan H-10 pasca perlakuan terdapat 1 sampel yang positif dari 3 sampel yang diujikan. Pada kelompok probiotik menunjukkan sebelum perlakuan tidak ada sampel yang positif pada pengujian Salmonella, namun pada H1 perlakuan terdapat 1 sampel yang positif dari 3 sampel yang diujikan, dan selama masa perlakuan maupun pasca perlakuan hasil uji Salmonella negatif. Pada kelompok prebiotik menunjukkan pada H-0 perlakuan terdapat 1 sampel yang positif dari 3 sampel yang diujikan dan pada H-5 terdapat 2 sampel positif dari 3 sampel yang diuji, kemudian pada hari selanjutnya hasil uji Salmonella negatif. Pada kelompok sinbiotik menunjukkan uji Salmonella positif atau terdapat 1 sampel positif dari 3 sampel yang diuji pada H-0, kemudian pada H-1 dan H-5 masa perlakuan, H-1 dan H-5 pasca perlakuan
82
masing-masing terdapat 2 sampel positif Salmonella dari 3 sampel yang diuji, sedangkan pada H-10 pasca perlakuan hasil uji Salmonella negatif. Data lengkap hasil pengamatan keberadaan Salmonella sp dalam feses tikus dapat dilihat pada Lampiran 37. Tabel 16 Hasil uji Salmonella dalam feses secara kualitatif potensi prebiotik SPF dengan L. casei Rhamnosus Kelompok Kontrol Probiotik Prebiotik Sinbiotik
Pra perlakuan 1/3 0/3 1/3 1/3
pada pengujian
Dugaan Salmonella* Periode perlakuan, hari kePeriode pasca perlakuan, hari ke1 5 10 1 5 10 0/3 0/3 0/3 0/3 1/3 1/3 1/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3 0/3 2/3 0/3 0/3 0/3 0/3 2/3 2/3 0/3 2/3 1/3 0/3
*) jumlah sampel yang menunjukan hasil positif Salmonella/jumlah sampel yang diuji.
Meskipun secara in vitro menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan Salmonella dapat menekan pertumbuhan Salmonela, namun secara in vivo pemberian perlakuan belum nampak pengaruhnya dalam menekan pertumbuhan Salmonella. Hirano et al. (2003), menemukan bahwa L.casei Rhamnosus yang digunakan secara in vivo tidak mempengaruhi invasi Salmonella enteritidis yang berpotensi invasif. Menurut Gallan dan Curtiss (1991) diacu dalam Hirano et al. (2003), Salmonella mampu menginvasi epitelium dan dapat hidup dalam lingkungan intracelluler. Menurut Giannella (2006), patogenesis Salmonella dipengaruhi oleh atribut yang dimilikinya yaitu faktor virulen, yang meliputi: (1) kemampuannya menginvasi sel, (2) dinding polisakarida yang lengkap, (3) kemampuannya bereplikasi dalam intraselluler dan (4) kemungkinan berelaborasi dengan toksin. Setelah menginfeksi, maka Salmonella berkolonisasi dalam ileum dan kolon kemudian menginvasi epitelium usus. Setelah menginvasi epitelium, Salmonella berkolonisasi dalam intraselluler dan menyebar ke limposit kemudian dibawa ke seluruh tubuh oleh sel reticuloendothelial. Gambar 30 menunjukkan terjadinya invasi Salmonella pada mucosa usus.
83
Gambar 30 Invasi Salmonella pada mucosa usus (Giannella 2006). F. PEMBAHASAN UMUM Berdasarkan hasil pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vitro menunjukkan bahwa L. casei Rhamnosus dapat tumbuh baik dan menekan patogen (Salmonella sp, E. coli, dan B. cereus) pada media yang mengandung ekstrak ubi garut. L. casei Rhamnosus mampu memanfaatkan gula-gula sederhana dan oligosakarida ekstrak ubi garut serta mampu berkompetisi dengan patogen untuk mengambil substrat dengan baik. Kondisi demikian menyebabkan hasil metabolisme berupa asam-asam organik yang semakin banyak sehingga pH media menjadi turun. Adanya asam-asam organik dan terjadinya penurunan pH lingkungan menyebabkan pertumbuhan patogen terhambat. Krisnayudha (2007), menunjukkan bahwa dalam ekstrak ubi garut konsentrasi gula-gula sangat sederhana lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi gabungan dari rafinosa, FOS, sukrosa dan fruktosa. Meskipun kandungan oligosakarida ubi garut rendah namun secara in vitro bakteri L. casei Rhamnosus mampu tumbuh dengan baik karena ketersediaan gula sederhana dalam media yang mengandung ekstrak ubi
84
garut lebih tinggi dibandingkan kandungan oligosakarida sehingga BAL tersebut dapat memanfaatkan gula sederhana dengan mudah sebagai sumber energi. Hasil pengujian secara in vitro berbeda dengan hasil pada pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo. Pada pengujian ini gula yang tersedia untuk digunakan oleh BAL adalah oligosakarida dan bakteri L.casei Rhamnosus harus bersaing dengan lebih dari satu jenis bakteri yang terdapat dalam pencernaan tikus. Meskipun demikian, pengujian secara in vivo menunjukkan terjadinya kenaikan jumlah BAL dan penurunan E. coli pada kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik selama diberi perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Akan tetapi pemberian perlakuan prebiotik dan sinbiotik belum menunjukkan penghambatan terhadap keberadaan Salmonella sp. Pada pengujian potensi prebiotik cookies ubi garut secara in vitro menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL uji dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan BAL uji dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut. Sehingga pengujian potensi prebiotik cookies ubi garut kurang tepat apabila dilakukan secara in vitro, hal ini dikarenakan kandungan gula sederhana yang terdapat dalam cookies ubi garut lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan oligosakaridanya. Pertumbuhan BAL uji dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan BAL uji dalam media yang mengandung ekstrak ubi garu, menunjukkan bahwa proses pengolahan dapat mengubah kandungan gula dan oligosakarida dalam produk. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jodd et al. (1985), menunjukkan bahwa proses pengolahan pada lima jenis komoditas leguminose dapat menurunkan kadar gula sukrosa, rafinosa, stakiosa dan verbakosa. Hasil pengujian potensi prebiotik ekstrak ubi garut secara in vivo, menunjukkan bahwa pemberian prebiotik, probiotik dan sinbiotik dapat meningkatkan jumlah total mikroba feses tikus, meskipun kenaikannya tidak berbeda nyata. Pengujian ini juga menunjukkan bahwa perlakuan tersebut dapat meningkatkan jumlah BAL dan menurunkan jumlah E. coli feses selama perlakuan, serta terjadi kenaikan jumlah E.coli dan penurunan jumlah total mikroba feses apabila perlakuan dihentikan. Hal ini menunjukkan bahwa gula dan
85
oligosakarida yang terdapat di dalam ekstrak ubi garut (pemberian prebiotik) dapat menstimulir pertumbuhan BAL dalam pencernaan tikus. Pemberian sinbiotik (campuran ekstrak ubi garut dan L.casei Rhamnosus) meningkatkan jumlah BAL secara nyata. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi simbiosis antara pemberian ekstrak ubi garut dengan L.casei Rhamnosus sehingga meningkatkan jumlah BAL feses secara nyata. Berdasarkan hasil pengujian potensi prebiotik produk olahan ubi jalar (cookies ubi jalar dan SPF) secara in vitro menunjukkan bahwa seluruh BAL uji dapat tumbuh dalam media yang mengandung cookies ubi jalar maupun SPF. L.casei Rhamnosus tumbuh paling baik dalam media yang mengandung ekstrak SPF dibandingkan jenis BAL uji lainnya, bakteri tersebut juga dapat tumbuh paling baik dalam media yang mengandung ekstrak lainnya. L.casei Rhamnosus dapat menekan patogen (E.coli, Salmonella dan B.cereus) pada media yang mengandung ekstrak SPF. Hal ini dikarenakan
L.casei Rhamnosus mampu
memanfaatkan gula-gula sederhana dan oligosakarida yang terdapat dalam ekstrak SPF serta mampu berkompetisi dengan patogen untuk mengambil substrat dengan baik. Kondisi demikian menyebabkan hasil metabolisme berupa asam-asam organik yang bersifat antimikroba semakin banyak sehingga pH di dalam sel menjadi turun. Terbentuknya asam-asam organik dan terjadinya penurunan pH media menyebabkan pertumbuhan patogen uji terhambat. Dalam suasana asam, sifat anti mikroba dari asam lemah menjadi lebih kuat dibandingkan dalam pH netral. Mekanisme asam organik atau asam lemah dalam menghambat pertumbuhan mikroba dikarenakan asam lemah dalam bentuk tidak terurai (undissociated) bersifat toksik dan non polar dapat menembus fosfolipid dinding sel mikroba yang non polar. Di dalam sel mikroba yang memiliki pH netral, asam organik terdissosiasi/terurai menjadi RCOO- dan H+ (Padan et al. 1981 dan Slonczewski et al. 1981 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004). Lepasnya proton dalam sitoplasma menyebabkan pH di dalam sel turun sehingga terjadi pH gradien akibatnya pertumbuhan mikroba terhambat. Menurut Eklund 1985 diacu dalam Ouwehand dan Vesterlund 2004, menyatakan bahwa penghambatan pertumbuhan mikroba bukan karena adanya pelepasan proton melainkan
86
penyebab utama penghambatan pertumbuhan mikroba karena terjadi akumulasi anion dalam sel. Dalam SPF selain mengandung gula-gula sederhana juga terdapat oligosakarida seperti maltotriosa dan rafinosa dari ubi jalar (Marlis 2008, belum dipublikasi), rafinosa dan stakiosa dari kedelai (Smiricky 2001) yang berpotensi sebagai
prebiotik.
Adanya
komponen
prebiotik
tersebut
menyebabkan
pertumbuhan BAL dalam pencernaan dapat terstimulasi dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan terekspresinya kanaikan jumlah BAL feses pada kelompok prebiotik, probiotik dan sinbiotik. Pemberian perlakuan prebiotik, probiotik dan sinbiotik juga dapat meningkatkan jumlah total mikroba dan menurunkan jumlah E.coli feses. Dalam ekstrak cookies ubi garut, ubi jalar dan SPF yang digunakan pada penelitian ini masih mengandung gula-gula sederhana yang dengan mudah digunakan oleh BAL. Oleh karena itu pengujian potensi ekstrak cookies ubi garut, ubi jalar dan SPF sebagai prebiotik kurang tepat apabila dilakukan secara in vitro karena BAL akan menggunakan gula-gula sederhana lebih dahulu sebelum menggunakan oligosakarida. Pertumbuhan BAL dalam media yang mengandung ektrak cookies ubi garut, ubi jalar dan SPF belum dapat dipastikan bahwa BAL menggunakan oligosakarida. Pada pengujian secara in vivo, gula-gula sederhana akan diserap oleh usus halus, oligosakarida masuk ke dalam usus besar. Selanjutnya oligosakarida tersebut akan digunakan oleh BAL untuk berkolonisasi. Kenaikan BAL dalam feses tikus yang diberi SPF dapat mencerminkan bahwa substrat yang diberikan dapat berfungsi sebagai prebiotik. Oleh karena itu, untuk produk-produk yang mengandung gula sederhana dalam jumlah tinggi, pengujian potensi prebiotik sebaiknya dilakukan secara in vivo.
87
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN Secara in vitro menunjukkan bahwa ekstrak ubi garut dan cookies ubi garut dapat mendukung pertumbuhan BAL uji (L. casei Rhamnosus, L. casei shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, B. bifidum, B. longum). L. casei Rhamnosus dapat tumbuh paling baik diantara BAL uji yang digunakan. Pertumbuhan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak cookies ubi garut lebih rendah dibandingkan dengan media yang mengandung ekstrak ubi garut. Dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, L.casei Rhamnosus yang dikompetisikan dengan patogen dapat menekan pertumbuhan E. coli sebesar 3.2 log cfu/ml, Salmonella 1.5-3.9 log cfu/ml dan B.cereus 1.4-3.5 log cfu/ml. Dalam media yang mengandung ekstrak ubi garut, tidak terjadi penurunan jumlah BAL ketika L.casei Rhamnosus dikompetisikan E.coli, terjadi penurunan jumlah BAL sebesar 0.2 log cfu/ml bila L.casei Rhamnosus dikompetisikan dengan Salmonella dan terjadi penurunan jumlah BAL sebesar
0.3 log cfu/ml bila
dikompetisikan dengan B.cereus. Pemberian ekstrak ubi garut (prebiotik) pada tikus selama 10 hari dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar 1.4 log cfu/ml. Penurunan E.coli lebih besar pada tikus yang diberi suspensi L. casei Rhamnosus (probiotik) mencapai 1.6 log cfu/ml dan yang diberi kombinasi ekstrak ubi garut dengan suspensi L. casei Rhamnosus (sinbiotik) mencapai 1.7 log cfu/ml. Hal ini menunjukkan bahwa ubi garut berpotensi sebagai prebiotik karena mampu mendukung pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus) dan menekan pertumbuhan patogen baik secara in vitro maupun in vivo. Secara in vitro,
menunjukkan bahwa ekstrak ubi jalar maupun hasil
olahan (cookies ubi jalar dan SPF) dapat mendukung pertumbuhan BAL uji (L. casei Rhamnosus, L. casei Shirota, Lactobacillus G3, Lactobacillus F1, B. bifidum, B. longum). Pertumbuhan L. casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF paling tinggi dibandingkan dengan media yang mengandung ekstrak ubi jalar maupun cookies ubi jalar. L.casei Rhamnosus dalam media yang mengandung ekstrak SPF mampu menghambat pertumbuhan
88
patogen E. coli, Salmonella dan B. cereus berturut-turut 3.2 log cfu/ml, 1.5-3.9 log cfu/ml dan 3.0-3.1 log cfu/ml
yang dikompetisikan dengan L. casei
Rhamnosus. Dalam media yang mengandung ekstrak SPF, terjadi penurunan jumlah BAL ketika L.casei Rhamnosus dikompetisikan dengan E. coli sebesar 0.1 log cfu/ml dan
terjadi penurunan jumlah BAL ketika L.casei Rhamnosus
dikompetisikan dengan Salmonella atau B. cereus sebesar 0.2 log cfu/ml. Pemberian 35% SPF (prebiotik) dalam ransum dan kombinasi 35% SPF dalam ransum dengan suspensi L. casei Rhamnosus (sinbiotik) pada tikus selama 10 hari dapat menurunkan jumlah E. coli sebesar 1.2 siklus log, sedangkan pemberian suspensi L. casei Rhamnosus (probiotik) mampu menekan jumlah E.coli sebesar 1.6 siklus log. Dengan demikian SPF berpotensi sebagai prebiotik karena mampu mendukung pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus) dan menekan pertumbuhan patogen baik secara in vitro maupun in vivo.
B. SARAN Meskipun secara in vitro, cookies ubi garut dan ubi jalar dapat mendukung pertumbuhan BAL (L. casei Rhamnosus), namun untuk mengetahui potensinya sebagai prebiotik masih diperlukan penelitian lebih lanjut secara in vivo. Untuk produk atau ekstrak yang mengandung gula-gula sederhana dalam jumlah banyak, maka tidak perlu melakukan pengujian secara in vitro akan tetapi langsung melakukan pengujian secara in vivo. Hal tersebut disebabkan dengan adanya gula-gula sederhana dipastikan dapat menstimulir pertumbuhan BAL dengan sangat baik. Untuk itu maka pengujian potensi prebiotik secara in vitro dapat langsung dilakukan untuk oligosakarida murni (mendekati murni).
89
DAFTAR PUSTAKA
Adijuwana NT. 2005. Pemanfaatan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) untuk Mendukung Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Alander M et al. 1999. Persistence of Colonization of Human Colonic Mucosa by a Probiotic Strain, Lactobacillus rhamnosus GG, after Oral Consumption. Appl Environ Microbiol. 65(1): 351-354 [Anonim]. 2006. Bifidobacterium. http://www.enzymeindia.com/probiotic/ bifidobacterium.asp [Anonim]. 2007. Arrowroot: Cornstarch Substitute. http://www.localforage.com /local_forage/2007/05/arrowroot_corns.html [Anonim]. 2008. Soybean meal, soyabean meal, soya bean meal, sojabean meal, Manchurian meal. http://www.fao.org/AG/aGa/agap/FRG/AFRIS /Data/736.htm.
[AOAC] Assosiation of Official Agricultural Chemists. 1984. Virginia: Official Methods of Analysis. [AOAC] Assosiation of Official Agricultural Chemists. 1990. Official Methods of Analysis.
Washington:
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Pengujian Pangan. Bogor: IPB Press Axelsson L. 2004. Lactic Acid Bacteria : Classification and Physiology. Di dalam: Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 1-66. Ballongue J. 2004. Bifidobacteria and Probiotic Action. Di dalam: Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 67-124. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2005. Salmonella. Chapter 5. Batt CA. 1999. Bacillus cereus. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press. Batt CA. 1999. Lactobacillus. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press. Belitz HD, Grosch W.1987. Food Chemistry. Translation from the Second German edition by Hadziyev D. Heidelberg: Springer Verlag Bender AE, Bender DA. 2001. Food Tables and Labelling. Oxford University Press.
90
Bruno EA, Lankaputhra WEV, Shah NP. 2002. Growth, Viability and Activity of Bifidobacterium spp. In Skim Milk Containing Prebiotics. J Food Sci 67(7). Chateau N, Deschamps AM, Sassi H. 1993. Distribution of pathogen Inhibition in the Lactobacillus isolates of a commercial probiotic Consortium. J Appl Microbiol. 18: 42-44. Cunniff P. 1995. Official Methods of Analysis of AOAC International. Ed ke-16. Vol 1B. Virginia: AOAC International. Dallas GH. 1999. Bifidobacterium. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 1. London: Academic Press. [Depkes RI]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1991. Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bharata.
Daftar
Dewanti-Hariyadi R, Anjana N, Suliantari, Nuraida L, Satiawihardja B. 2003. Teknologi Fermentasi. Petunjuk Praktikum. Bogor: ForATETA Institut Pertanian Bogor. Evanikastri. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Asam Laktat dari Sampel Klinis yang Berpotensi sebagai Probiotik [tesis]. Bogor: Program Studi Ilmu Pangan, Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. [FAO]. Food and Agriculture Organitation of the United Nations. 2007. FAO Technical Meeting on Prebiotics. Food Quality and Standards Service (AGNS) Giannella AR. 2002. Salmonella. General Concepts. Medmicro Chapter 21. Todar’s Online Textbook of Bacteriology. Kennenth Todar University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. Gibson GR. 2004. Fibre and effects on probiotics (die prebiotic concept). Clinical Nutrition Supplements, 1: 25-31. Gibson GR, Wang X. 1993. Regulatory effects of bifidobacteria on growth of other colonic bacteria. J Applied Bacterioloy 77:412-420. Gratz S et al. 2006. Lactobacillus rhamnosus Strain GG Modulates Intestinal Absorption, Fecal Excretion, and Toxicity of Aflatoxin B1 in Rats. J Appl Environ Microbiol 72(11): 7398–7400. Harrigan WF. 2000. Laboratory Methods in Food Microbiology. Sandiego: Academic Press Publishing . Hidaka H, Eida T, Tazikawa T, Tokunaga T. 1986. Effect of fructooligosaccharides on intestinal flora and human health. Bifidobacteria Microflora. 6 ; 5:37-50. Hirano J, Yoshida T, Sugiyama T, Koide N, Mori I, Yokochi T. 2003. The Effect of Lactobacillus rhamnosus on Enterohemorrhagic Escherichia coli Infection of Human Intestinal Cells In Vitro. J Microbiol. Immunol., 47(6) : 405-409. Jood S, Mehta U, Singh R, Bhat CM. 1985. Effect of Precessing on Flatus Producing Factors in Legumes. J Agric Food Chem (33): 268-271.
91
Lingga et al. 1986. Bertanam Umbi-umbian. Jakarta: Penebar Swadaya. Kay DE. 1973. Root Crops. The Tropical Products Institute. London: Foreign & Common Wealth office. Koswara S. 2003. Optimasi Teknologi Pengolahan Sweet Potato Flakes. Di dalam: Laporan Akhir Penelitian RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok. Bogor: Pusat Sudi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Krisnayudha K. 2007. Mempelajari Potensi Garut (Maranta arundiacea L.) dan Ganyong (Canna edulis, Kerr) untuk Mendukung Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Makinen AM, Bigret M. 2004. Industrial Use and Production of Lactic Acid Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 175-198. Manning TS dan Gibson GR. 2004. Prebiotics. Best Practice & ResearchClinical Gastroenterology 18(2): 287-298 Manning TS, Rastall R, Gibson G. 2004. Prebiotics and Lactic Acid Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 407-418. Marlis A. 2008 (belum dipublikasikan). Pengaruh Pengolahan Terhadap Sifat Prebiotik (Oligosakarida) Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L), [tesis]. Bogor: Ilmu pangan, Institut Pertanian Bogor. Meutia YR. 2003. Evaluasi Potensi Probiotik Isolat Klinis Lactobacillus sp Secara in vitro dan in vivo [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nakazawa Y, Hosono A. 1992. Function of Fermented Milk: Challenges for The Health Sciences. Cambridge: Elsevier Science Publisher Ltd., University Press. Naranayan N, Roychoudhury PK, Srivastava A. 2004. Isolation of adh Mutant of Lactobacillus rhamnosus for production of L(+) lactic acid . J of Biotech ISSN: 0717-3458. Chile: Pontificia Universidat Catolicade Valparaiso. Nuraida L, Palupi NS, Anggiarini AN, Pertiwi W. 2004. Pemanfaatan Ubi Jalar sebagai Prebiotik dan Formulasi Sinbiotik Sebagai Supplemen Pangan. Bogor: Laporan Akhir Penelitian, RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok, IPB. Oku T. 1994. Special Physiology Functions of Newly Develope Mono and Oligosaccharides. Di dalam: Goldberg, I. (Ed). Function Foods Designer Foods, Pharmafoods, Nutraceuticals. New York: Chapman and Hall.
92
Ouwehand AC, Vesterlund S. 2004. Antimicrobial Components from Lactic Acid Bacteria. Di dalam : Salminen S, Wright A dan Ouwehand A, editor. 2004. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-3, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 375-396. Palmer JK. 1982. Carbohydrates in sweet potato. Di dalam: Villareal RL dan Griggs TD (ed.). Sweet Potato Proceedings of The First International Symposium. Taiwan: AVRDC. Ramberg J. 2002. Bifidobacteria bifidum. www.glycoscience.org. Roberfroid MB. 2000. Prebiotics and probiotics: are they functional foods? American J ClinNut71 (6) : 1682-1687. Roberfroid MB. 2002. Functional Food Concept and its Application to prebiotics. Digest Liver Dis 34 (21):105-108. Salminen S, Roberfroid M, Ramos P, Fonden R. 1998. Prebiotic Substrates and Lactic Acid Bacteria. Di dalam: Salminen S, Wright A. Lactic Acid Bacteria Microbiological and Functional Aspects. Ed ke-2, Revised and Expanded. New York: Marcel Dekker, Inc. hlmn 343-358. Sceinbach S. 1998. Probiotics: Functionality Biotechnology Advances 16(3): 581-608.
and
Commercial
Status.
Smiricky MR. 2001. The influence of soy oligosaccharides on apparent and true ideal amino acid digestibilities and fecal consistency in growing pigs. Iowa Soybean Association. http://www.soybean.org/worldlitarticles new/ Smirickyandco.workers2001.html. Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. Jakarta: YAPMMI (Yayasan Pengasuh Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia). Suryadjaja A. 2005. Potensi Ubi garut Dan Merah (Ipomea batatas L) Untuk Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat dan Menekan Pertumbuhan Patogen [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Syamsir et al. 2007. Praktikum Terpadu Teknologi Pengeringan: Sweet Potato Flakes. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tannock GW. 1999. Probiotic: A Crtical Review. Editor. Wymondham: Horison Scienctific Press. Elsevier. Biotech Adv 17: 691-693. Todar K. 2005. The Genus Bacillus. University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology. http://www.textbookofbacteriology.net/ Bacillus.html. Tomomatsu H. 1994. Healt Effects of Oligosaccharides. J Food Tech Oct: 61-64. Tuohy KM, Probert HM, Smejkal CW, Gibson GR. 2003. Using Probiotics and Prebiotics to Improve Gut Health. Reviews Terapeutic focus. DDT Vol. 8 No. 15 Agustus 2003. Vuyst LD. 2005. Inhibition of Pathogens by Probiotics and Prebiotics. Di dalam: The Foionality ang Human Hod, Gastrointestinal-Tract Functionalityu and Human Health Cluster, Proeuhealth. March 10, 2005.
93
Weese JS. 2002. Probiotics, Prebiotics, and Synbiotics. Elsevier Scien 22(8). Widayanti NWY. 2005. Mempelajari Potensi Sukun (Artocarpus altilis (Park) Forberg) dan Pati Garut (Maranta arundiacea L.) Untuk Mendukung Pertumbuhan Bakteri Asam Laktat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Widowati S, Suismono, Surni, Sutrisno, Komalasari O. 2002. Petunjuk Teknis Proses Pembuatan Aneka Tepung dari Bahan Pangan Sumber Karbohidrat Lokal. Bogor: Balai Penelitian Pascapanen. Winarno FG. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia. Wilbraham AC, Matta MS. 1992. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Young R. 2008. Lactobacillus Rhamnosus GG Powerful Probiotic Strengthens Digestion and Immunity. Yuguchi H, Goto T, Okonogi S. 1992. fermented Milks, Lactics Drinks and Intestinal Microflora. Di dalam: Nakazawa Y, Hosono A, editor. 1992. functions of Fermented Milk. London: Elsevier. Yun 2002. Tepung Garut untuk Sindrom Down. Kompas: Minggu 3 Maret 2002. Zietner CJ, Gibson GR. 1998. An overview of probiotics, prebiotics and synbiofics in the fitnctional food concept: perspectives and future strategies. J Int Dairy 8:473-479.
94