Jurnal 2008 Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian
KAJIAN FORMULASI COOKIES UBI JALAR (Ipomoea Batatas L.) DENGAN KARAKTERISTIK TEKSTUR MENYERUPAI COOKIES KELADI Anggita Widhi R.1, Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.2 Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB
1
2
Staf pengajar
Abstrak Pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan baku makanan masih sangat terbatas, oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan pengembangan produk berbahan baku ubi jalar, yaitu cookies. Cookies ubi jalar diformulasikan menyerupai tekstur cookies keladi. Cookies keladi dijadikan sebagai standar karena cookies keladi merupakan produk yang cukup populer di pasaran baik karena tekstur maupun cita rasanya, serta memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Sehingga diharapkan, hasil dari penelitian ini dapat meningkatkan nilai tambah ubi jalar serta mengurangi ketergantungan akan terigu. Pada penelitian ini ditetapkan tiga formulasi cookies ubi jalar, yaitu F1, F2, dan F3. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formulasi tersebut ialah perbedaan jumlah margarin (lemak). Pada F1 jumlah margarin yang digunakan sebanyak 70%, pada F2 sebanyak 75%, dan pada F3 sebanyak 80% margarin. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa ketiga formulasi cookies ubi jalar memiliki koefisien korelasi yang tinggi (lebih dari 0.9) dan nilai point matched within +/- lebih dari 50%. F1 memiliki nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- dengan standar paling tinggi yaitu masing-masing 0.935 dan 50.09%, 0.937 dan 58.16% untuk F2, dan 0.973 dan 60.52% untuk F3. Hasil pengujian secara subjektif dengan metode penggigitan sampel menunjukkan bahwa tekstur F1, F2, dan F3 berbeda nyata dengan kontrol pada taraf signifikansi 5%. Formula dengan perbedaan terendah hingga tertinggi dengan kontrol berturut-turut ialah ialah F2, F3, dan F1. Hasil pengujian secara subjektif dengan metode penekanan sampel dengan telunjuk dan ibu jari menunjukkan bahwa tekstur F1, F2, dan F3 tidak berbeda nyata dengan kontrol (standar) pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- pada evaluasi secara objektif, masingmasing formula sudah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan standar pada evaluasi secara subjektif dengan metode penekanan sampel. Analisis korelasi antara hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penggigitan sampel menunjukkan bahwa hasil evaluasi objektif dan subjektif memiliki tingkat korelasi yang rendah, sedangkan hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penekanan sampel memiliki tingkat korelasi yang tinggi. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang lebih tepat untuk digunakan dalam evaluasi kesesuaian tekstur secara subjektif adalah metode dengan menggunakan indra peraba yaitu penekanan sampel dengan telunjuk dan ibu jari. Nilai energi cookies ubi jalar F1 adalah sebesar 553.93 kkal/100 g, F2 sebesar 556.29 kkal/100 g, dan F3 sebesar 564.08 kkal/100 g. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa cookies ubi jalar dapat memberikan energi dalam jumlah cukup besar dibandingkan produk pangan lainnya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif produk sumber energi tinggi. Analisis aftertaste pahit cookies ubi jalar menunjukkan adanya perbedaan aftertaste pahit yang signifikan antar formula cookies ubi jalar, dengan peringkat kepahitan mulai dari yang terpahit adalah F1, F2, dan F3. Hal ini dapat disebabkan oleh makin tingginya tingkat penggunaan lemak (margarin) pada cookies F1, F2, dan F3., dimana salah satu fungsi lemak ialah meningkatkan palatibilitas serta memberikan flavor pada cookies. Sehingga, makin banyak jumlah lemak yang digunakan, tingkat aftertaste pahit semakin berkurang.
1
I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sebagian besar industri pangan di Indonesia masih sangat tergantung pada penggunaan tepung gandum (terigu) sebagai bahan bakunya, seperti industri roti, cake, biskuit, cookies, wafer, mi, dan beberapa jenis kue basah. Akan tetapi, kelemahannya ialah tepung terigu merupakan komoditi impor dengan harga relatif mahal, sehingga penggunaannya menjadi kurang ekonomis. Volume impornya pun sangat tinggi, yaitu mencapai 500 ribu ton per tahun. Oleh karena itu, dibutuhkan sumber karbohidrat alternatif yang berasal dari dalam negeri untuk menggantikan posisi tepung terigu sebagai bahan baku industri. Salah satu produk pertanian Indonesia yang potensial untuk dijadikan alternatif pengganti terigu ialah ubi jalar. Keberadaan ubi jalar cukup dikenal oleh masyarakat Indonesia, bahkan di beberapa daerah seperti Papua, ubi jalar dijadikan sebagai makanan pokok. Selain itu, ditinjau dari segi potensinya, ubi jalar memiliki prospek yang cukup bagus sebagai komoditas pertanian unggulan. Sebagai tanaman palawija yang memiliki potensi produksi ± 25-40 ton/ha dan waktu tanam yang relatif singkat (3.5-6 bulan), saat ini ubi jalar merupakan tanaman umbiumbian yang paling produktif.
Ubi jalar merupakan jenis tanaman umbi-umbian yang memiliki masa simpan yang relatif lama dan bernilai ekonomis tinggi. Akan tetapi, pemanfaatannya sebagai bahan baku makanan masih sangat minim. Umumnya, ubi jalar masih dikonsumsi secara langsung setelah dimasak dan hanya sebagian kecil saja yang mengalami pengolahan lanjutan, seperti diolah menjadi keripik, kerupuk, saus, timus, dan obi. Melihat masih minimnya pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan baku makanan tersebut, maka pada penelitian ini dilakukan pembuatan cookies dengan bahan baku ubi jalar. Penelitian terdahulu telah berhasil melakukan substitusi terigu oleh tepung ubi jalar, yaitu pada pembuatan roti sebesar 30% (Wolfe, 1999), cake hingga 50% (Antarlina, 1994), bihun sebesar 40% (Widowati et al., 1994), cookies, cake, dan brownies sebesar 100% (Lutfika, 2006). Produk cookies dipilih karena cookies merupakan alternatif makanan selingan yang cukup dikenal dan digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, pembuatan cookies ini diharapkan dapat meningkatkan nilai jual ubi jalar sekaligus menggantikan posisi terigu sebagai bahan baku cookies. Pada penelitian ini, cookies ubi jalar diformulasikan sehingga teksturnya sama dengan cookies keladi. Tekstur produk pangan merupakan parameter
2
mutu yang penting bagi konsumen. Tekstur bukan digunakan sebagai indikator keamanan pangan, melainkan sebagai indikator kualitas produk. Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi konsumen, semakin tinggi pula perhatiannya terhadap tekstur produk (Lawless dan Heymann, 1998). Tekstur yang diinginkan ialah tekstur cookies yang renyah tetapi tidak rapuh (padat). Cookies keladi dijadikan sebagai standar karena cookies keladi merupakan produk yang cukup populer di pasaran (terutama Malaysia) baik karena tekstur maupun cita rasanya, serta memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan memperoleh formulasi cookies ubi jalar dengan tekstur yang sama dengan cookies keladi, serta mempelajari aspek-aspek yang berhubungan dengan pengukuran tekstur secara objektif.
II. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain ubi jalar, margarin, gula halus, room butter, susu skim, garam, soda kue, serbuk kacang, vanili, air, dan telur. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain nheksana, K2SO4, HgO, H2SO4 NaOH, pekat, H3BO3,
Na2S2O3, alkohol 95%, air destilata, dan indikator methylene blue. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan tepung ubi jalar dan cookies antara lain oven, baskom, mixer, alat cetak, timbangan, kuas kue, loyang alumunium, ayakan, dan disc mill. Alatalat yang digunakan untuk analisis adalah texture analyser, jangka sorong, whitenessmeter, kromameter minolta, neraca analitik, alat kjeldahl, alat soxhlet, alat-alat uji organoleptik, dan alat-alat gelas. B. TAHAPAN PENELITIAN Secara umum, penelitian ini terdiri dari empat tahapan. Tahap pertama, dilakukan identifikasi dan pengukuran parameter tekstur cookies keladi sebagai standar. Tahap kedua, dilakukan penetapan standar tekstur berdasarkan pengukuran yang dilakukan pada tahap pertama. Tahap ketiga, dilakukan rekayasa proses pengolahan cookies ubi jalar. Pada tahap ini ditentukan formulasi cookies ubi jalar yang mengacu pada standar mutu yang telah ditetapkan pada tahap kedua. Selanjutnya, pada tahap keempat dilakukan evaluasi kesesuaian parameter tekstur cookies ubi jalar dengan standar. 1. Identifikasi dan Pengukuran Parameter Tekstur Cookies Keladi sebagai Standar
3
Pada tahap ini dilakukan pengukuran terhadap ukuran cookies keladi, dalam hal ini ukuran diameter dan tinggi cookies. Alat yang digunakan dalam pengukuran ini ialah jangka sorong. Pengukuran dilakukan terhadap 20 sampel yang diambil dari satu kemasan. Pengambilan contoh dilakukan secara acak. Pada masing-masing sampel dilakukan tiga kali pengukuran untuk diameter dan tinggi cookies, kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Hasil pengukuran kemudian diolah dengan uji sidik ragam (ANOVA) dengan bantuan program statistik SPSS 11.0. Selanjutnya, dilakukan pengukuran tekstur cookies keladi dengan menggunakan texture analyser. Prinsip dari pengukuran ini adalah memberikan gaya tekan kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga profil tekstur bahan pangan dapat diukur. Jenis bahan pangan yang dianalisis berpengaruh terhadap jenis probe yang digunakan. Probe yang digunakan untuk pengukuran tekstur cookies ialah probe jenis silinder dengan ukuran diameter 2 mm. Setelah dilakukan pemasangan probe, sampel dilakukan di atas meja uji, kemudian texture analyser dinyalakan. Komputer dinyalakan untuk menjalankan program texture expert. Dengan menggunakan program ini, data hasil pengukuran texture analyser dapat divisualisasikan dalam bentuk grafik dan dapat dilakukan pengolahan data lanjutan. Pengukuran tekstur cookies keladi dilakukan terhadap 20 sampel yang diambil dari satu kemasan. Pengambilan contoh dilakukan secara acak. Pengukuran dilakukan pada lima titik secara acak per sampel, sehingga untuk setiap
sampel didapatkan lima grafik hasil pengukuran dengan texture analyser. Grafik tersebut merupakan hubungan antara waktu pengukuran (detik) terhadap gaya (g). Waktu pengukuran merupakan sumbu-x dan gaya merupakan sumbu-y. 2. Penetapan Standar Tekstur Penetapan standar tekstur dilakukan melalui pengolahan data yang didapatkan pada pengukuran tekstur cookies keladi dengan texture analyser, sehingga didapatkan acuan tunggal yang dapat dijadikan standar. Pengolahan data hingga didapatkan standar acuan tunggal terdiri dari beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut antara lain : a. Perata-rataan lima grafik hasil pengukuran masing-masing sampel b. Membuat kombinasi gaya antara Fi dan Fj dengan i≠j c. Analisis regresi linier dari kombinasi gaya d. Perhitungan koefisien korelasi dari kombinasi gaya e. Perhitungan point matched within +/f. Perata-rataan grafik hasil pengolahan pada langkah c, d, dan e 3. Rekayasa Proses Pengolahan Cookies Ubi Jalar Proses pembuatan cookies ubi jalar diawali dengan proses pembuatan tepung ubi jalar seperti yang tertera pada Gambar 1.
4
Sawut ubi jalar kering
Penetapan rancangan formulasi cookies ubi jalar dilakukan secara trial and error dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan tekstur sehingga dihasilkan cookies ubi jalar dengan tekstur yang sesuai dengan standar tekstur cookies keladi yang telah ditetapkan.
Digiling dengan disc mill
Diayak 80 mesh
Tepung ubi jalar
Gambar 1. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar Diagram proses pembuatan cookies ubi jalar disajikan pada Gambar 2. Mentega dan gula halus Dicampur dengan mixer kecepatan tinggi selama 10 menit Susu skim
Room butter Dicampur dengan mixer kecepatan tinggi selama 5 menit
Kacang Dicampur dengan mixer kecepatan tinggi selama 2 menit Tepung ubi jalar Dicampur dengan mixer kecepatan rendah selama 8 menit
Air, vanili, garam, NaHCO3
Dicetak
Dioles dengan putih telur
Dipanggang pada 120oC selama 1 jam
Didinginkan
Cookies ubi jalar
Gambar 2. Diagram alir pembuatan cookies ubi jalar
4. Evaluasi Kesesuaian Cookies Ubi Jalar dengan Standar Evaluasi kesesuaian cookies ubi jalar dengan standar dilakukan secara objektif dan secara subjektif. Evaluasi secara objektif dilakukan dengan membandingkan profil grafik hasil pengukuran tekstur cookies ubi jalar dengan grafik standar. Pengukuran tekstur cookies ubi jalar dan pengolahan datanya sehingga didapatkan satu grafik tunggal sama dengan cookies keladi seperti yang telah dijelaskan di atas. Evaluasi kesesuaian grafik tekstur cookies ubi jalar dengan grafik standar dilakukan dengan melihat nilai koefisien korelasi dan point matched within +/-. Pada penelitian ini, grafik tekstur cookies ubi jalar dinyatakan sesuai dengan grafik standar apabila memiliki nilai koefisien korelasi lebih dari 0.9 dan nilai point matched within +/- lebih dari 50%. Evaluasi kesesuaian secara objektif ini dilakukan dengan program texture expert. Evaluasi kesesuaian secara subjektif dilakukan dengan uji pembedaan dengan kontrol (difference from control test). Pada pengujian ini, panelis diminta untuk membandingkan perbedaaan tekstur sampel cookies ubi jalar masingmasing formula dengan cookies keladi sebagai kontrol serta menilai besarnya perbedaan tersebut pada skala penilaian 0 = tidak berbeda
5
sampai dengan 9 = amat sangat berbeda. Pengujian tekstur ini dilakukan dengan dua metode yaitu dengan penggigitan sampel dan penekanan sampel menggunakan telunjuk dan ibu jari. Jumlah panelis yang digunakan sebanyak 25 panelis tak terlatih yang memiliki pengetahuan tentang tesktur produk pangan. Pengolahan data uji pembedaan dengan kontrol menggunakan bantuan program statistik, yaitu SPSS 11.0. Tingkat korelasi antara hasil evaluasi secara objektif dan subjektif ditentukan melalui analisis regresi linier untuk mengetahui signifikansi regresi dan nilai koefisien korelasi. Regresi yang signifikan dan nilai koefisien korelasi yang tinggi (>0.9) menunjukkan bahwa hasil evaluasi secara objektif dan subjektif memiliki tingkat korelasi yang tinggi. Analisis regresi linier ini dilakukan dengan bantuan program statistik SPSS 11.0.
3. Analisis Nilai Energi (Almatsier, 2001) Penentuan nilai energi makanan melalui perhitungan dapat dilakukan menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein, serta nilai energi makanan tersebut. 4. Analisis Aftertaste Pahit Analisis aftertaste pahit masing-masing formula cookies ubi jalar dilakukan dengan menggunakan pairwise ranking test. Pada pengujian ini, set kombinasi dua sampel disajikan secara simultan (langsung), kemudian panelis diminta untuk menentukan sampel mana yang memiliki tingkat aftertaste pahit lebih tinggi untuk setiap kombinasi dua sampel. Jumlah panelis yang digunakan ialah 20 panelis tak terlatih. Pengolahan data pairwise ranking test ini dilakukan dengan analisis Friedman.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN C. PROSEDUR ANALISIS 1. Analisis Kimia a. Kadar air metode oven (AOAC, 1995) b. Kadar abu (AOAC, 1995) c. Kadar lemak (AOAC, 1995) d. Kadar protein, metode mikrokjeldahl (AOAC, 1995) e. Kadar karbohidrat (by difference) (Apriyantono et al., 1989) 2. Analisis Fisik a. Derajat Putih whitenessmeter b. Warna, metode Hunter c. Rendemen cookie
s
Tepung,
A. IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN PARAMETER TEKSTUR COOKIES KELADI SEBAGAI STANDAR 1. Cookies Keladi Cookies keladi yang menjadi standar dalam penelitian ini ialah produk buatan Malaysia yang diproduksi oleh Teck Seong Food Industries SDN. BHD. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies keladi ialah tepung terigu, gula, minyak sawit, serbuk kelapa, konsentrat keladi, garam, leavening agent (Natrium bikarbonat E500), dan pewarna buatan (E122, E133). Cookies keladi standar tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
6
Gambar 3. Cookies keladi Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran terhadap diameter dan tinggi cookies keladi. Tujuan dari pengukuran tersebut ialah untuk mendapatkan standar ukuran yang akan dijadikan acuan pada proses pembuatan cookies ubi jalar. Christensen dan Vickers (1981) yang dikutip Faridi (1994) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat menyebabkan variabilitas data pada pengukuran tekstur adalah ukuran produk. Oleh karena itu, cookies ubi jalar yang dihasilkan memiliki ukuran yang sama dengan cookies keladi, dalam hal ini ukuran diameter dan tinggi cookies. Sehingga variabilitas data yang disebabkan oleh faktor ukuran dapat dihilangkan. Hasil uji sidik ragam ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan ukuran diameter dan tinggi antar sampel pada taraf signifikansi 5% Berdasarkan hal tersebut, maka dapat ditentukan ukuran standar untuk diameter dan tinggi cookies. Dari hasil pengukuran, diketahui bahwa diameter dan tinggi cookies keladi masing-masing sebesar 2.8115 cm dan 1.5623 cm. Selain ukuran, salah satu faktor yang menyebabkan variabilitas data dalam pengukuran tekstur ialah bentuk produk. Oleh karena itu, cookies ubi jalar yang dihasilkan pada penelitian ini memiliki bentuk yang sama dengan cookies keladi.
2. Pengukuran tekstur secara objektif Menurut Bourne (1989) yang dikutip Faridi (1994), tekstur merupakan salah satu parameter utama penentu kualitas dan penerimaan konsumen terhadap sebagian besar produk pangan. Faktor penentu lainnya ialah penampakan dan flavor. Tidak seperti halnya flavor maupun penampakan yang telah lama menjadi bagian dalam pengawasan mutu, penggunaan tekstur sebagai parameter dalam penentuan akseptibilitas produk merupakan hal yang relatif baru dalam industri pangan. Akan tetapi, kajian tentang tekstur dan analisisnya telah banyak dikembangkan pada saat ini. Beberapa industri besar pun telah secara rutin melakukan analisis tekstur, baik dalam pengembangan produk baru maupun sebagai bagian dari pengawasan mutu produk akhir. Szczesniak (1987) yang dikutip Faridi dan Faubion (1990) menyatakan bahwa tekstur merupakan atribut sensori, dimana tekstur hanya dapat diukur dan dipersepsikan oleh indra manusia. Akan tetapi, penggunaan analisis sensori secara subjektif untuk mengukur tekstur produk pangan tidak praktis untuk dilakukan, relatif lama, mahal, serta membutuhkan sampel yang banyak. Oleh karena itu, pengukuran tekstur yang banyak dilakukan adalah pengukuran secara objektif dengan menggunakan alat (instrumen). Pengukuran secara instrumental memiliki banyak kelebihan dibandingkan analisis sensori, di antaranya lebih mudah distandardisasi, lebih terkontrol dan konsisten dari hari ke hari, lebih cepat, dan relatif lebih murah. Meskipun demikian, pengukuran
7
secara instrumental tidak akan seakurat dibandingkan dengan analisis sensori, karena seperti halnya flavor, tekstur merupakan atribut multiparameter atau spektrum dari berbagai atribut, dimana analisis instrumental hanya mengukur sebagian dari spektrum tersebut (Szczesniak, 1972 yang dikutip Faridi, 1994). Oleh karena itu, diperlukan metode analisis instrumental yang tepat untuk pengukuran tekstur produk pangan. Menurut Faridi (1994), terdapat beberapa instrumen yang dapat digunakan dalam pengukuran tekstur cookies, antara lain Ottawa Texture Measuring System, Electron Force Gauge, Struct-O-Graph, Texture Test/ Management System, Universal Testing Machine, TA.XT2 Texture Analyser, dan Biscuit Texture Meter. Alat yang digunakan pada pengukuran tekstur pada penelitian ini ialah TA.XT2i Texture Analyser milik Departemen ITP. Alat ini diproduksi oleh Stable Micro Systems Ltd. yang berlokasi di Vienna Court, Lammas Road, Godalming, Surrey GU7 1 YL, Inggris. TA.XT2i Texture Analyser ini dilengkapi dengan sertifikat ISO 9002 dan National Accreditation of Certfication Bodies. TA.XT2i Texture Analyser terdiri dari dua komponen utama yang terpisah, yaitu test-bed dan control console (keyboard). Kedua komponen ini dihubungkan oleh kabel panjang melalui signal bertegangan rendah. Gambar rangkaian alat TA.XT2i Texture Analyser dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Alat TA.XT2i Texture Analyser TA.XT2i Texture Analyser dilengkapi dengan program software yang dinamakan texture expert yang berguna untuk memaksimumkan fleksibilitas dalam proses manipulasi data hasil analisis. Texture expert memungkinkan pengguna TA.XT2i Texture Analyser untuk melihat data dalam format grafik, mengukur gradien, area, rata-rata, dan sekaligus menyimpan data tersebut ke dalam piranti lain. Grafik-grafik yang telah disimpan kemudian dapat dilihat di layar pada saat bersamaan. Selain itu, pengguna juga dapat membuat grafik baru yang berasal dari proses manipulasi grafik hasil pengukuran, yaitu grafik rata-rata atau grafik maksimum-minimum yang dapat disimpan. Grafik baru tersebut dapat dijadikan standar yang diperlukan pada uji perbandingan. Uji ini memberikan informasi kepada pengguna tentang sebesar apa kemiripan antara dua grafik. Berdasarkan informasi tersebut, pengguna dapat menentukan apakah produk yang diuji telah sesuai dengan standar. Prinsip pengukuran tekstur dengan texture analyser ialah force/ deformation, yaitu mengukur besarnya gaya yang dibutuhkan untuk menekan sampel pada jarak yang telah ditentukan. Menurut Faridi (1994), terdapat empat metode dengan prinsip force/ deformation yang dapat digunakan pada
8
pengukuran tekstur cookies secara instrumental. Keempat metode tersebut antara lain probing, crushing, sawing, dan snapping. Metode yang digunakan pada penelitian ini ialah metode probing, yaitu sampel ditekan oleh probe pada jarak yang telah ditentukan. Probe yang dimiliki oleh Departemen ITP terdiri dari beberapa jenis, antara lain cylinder probe, compression platens, spherical probes, needle probe, bloom jars, volodkevich bite jaws, confectionery holder, crisp fracture support rig, pasta firmness/ stickiness rig, dan spaghetti/ noodle tensile rig. Penggunaan probe tersebut berbeda-beda tergantung dari jenis pengujian dan jenis sampel yang diukur. Probe yang digunakan pada pengukuran tekstur dalam penelitian ini ialah jenis cylinder probe dengan tipe p/2 e. Probe ini berbentuk silinder dengan ukuran diameter 2 mm. Menurut Bourne (1982) yang dikutip Faridi (1994), luas permukaan probe yang digunakan pada pengukuran tekstur cookies sebaiknya tidak terlalu besar. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari hancurnya sampel ketika dilakukan penekanan dengan probe. Probe silinder yang digunakan dalam pengukuran tekstur pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Probe silinder Sebelum pengukuran tekstur dengan texture analyser dilakukan, setting pengukuran yang akan
digunakan harus ditentukan terlebih dahulu. Setting pengukuran ini berfungsi menentukan tipe program yang akan dijalankan dan untuk memasukkan nilai-nilai parameter yang akan digunakan. Setting texture analyser pada pengukuran cookies keladi dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Setting texture analyser pada pengukuran cookies Test Measure force in mode compression Option Return to start 2.0 mm/s Param Pre-test eters speed 0.5 mm/s Test speed Post-test 10.0 mm/s speed 10 mm Distance Trigger Type Auto 5g Force Unit Force Grams Distance Millimeters Test mode berguna untuk menentukan tipe pengujian yang akan dilakukan. Test mode yang dapat dipilih antara lain measure force in compression, measure force in tension, measure distance in compression, dan measure distance in tension. Pada pengukuran tekstur cookies, test mode yang digunakan ialah measure force in compression. Test mode dengan tipe measure force berarti jarak (distance) yang akan ditempuh oleh probe sudah ditetapkan terlebih dahulu, kemudian texture analyser akan melakukan analisis terhadap profile gaya (force). Option berguna untuk menentukan tipe program yang akan dijalankan. Option yang dapat dipilih antara lain return to start, hold until reset, hold until time, repeat until reset, repeat until count, cycle until reset, cycle
9
until count, dan library. Pada pengukuran tekstur cookies keladi, option yang digunakan adalah return to start. Pada tipe option ini, probe akan bergerak sekali pada kecepatan yang ditentukan. Setelah mencapai jarak yang diinginkan, maka probe akan kembali pada posisinya semula. Pre-test speed ialah kecepatan pada saat probe mulai bergerak hingga trigger point tercapai. Test speed ialah kecepatan probe mulai pada saat probe menyentuh sampel hingga jarak penekanan yang telah ditentukan tercapai. Post-test speed merupakan kecepatan probe ketika probe kembali ke tempat semula setelah jarak yang telah ditetapkan tercapai. Distance ialah jarak pada sampel yang akan ditempuh oleh probe ketika terjadi proses penekanan (probing). Trigger berguna untuk menentukan metode apa yang digunakan untuk memulai pengujian, dimana titik awal pengujian ialah ketika probe mulai bergerak pada kecepatan yang telah ditentukan dan dimulainya analisis data. Trigger type yang dapat dipilih di antaranya Auto, Button, E-sig, C code, dan Pre travel. Trigger type yang digunakan pada pengukuran adalah tipe Auto. Pada tipe ini, probe secara automatis akan mencari permukaan sampel. Trigger force yang digunakan sebesar 5 g menunjukkan bahwa nilai gaya sebesar 5 g force yang dihasilkan ketika probe menekan sampel diinterpretasikan sebagai permukaan sampel. Unit menunjukkan satuan yang digunakan untuk parameter gaya dan jarak, dimana gaya memiliki satuan gram dan jarak memliki satuan milimeter.
3. Penetapan Standar Salah satu jenis produk pangan dimana tekstur menjadi parameter yang cukup penting dalam penerimaan produk ialah cookies. Pengukuran tekstur cookies secara instrumental lebih kompleks dibandingkan jenis produk lain. Hal ini disebabkan oleh struktur cookies yang secara alami cenderung heterogen dan tidak konsisten. Sifat ini memnyebabkan timbulnya variasi data statisitik yang cukup besar yang dapat membatasi pengukuran tekstur cookies secara instrumental. Menurut Bourne (1989) yang dikutip Faridi (1994), tekstur semua produk bakery menunjukkan adanya variasi antar sampel, antar kemasan, dan antar shift produksi. Selain itu, tekstur pada satu cookies secara individual juga bevariasi mulai dari tepi hingga ke tengah dan dari atas hingga ke bawah. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan struktur remah (crumb) dan kandungan air. Mengingat besarnya variasi tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah untuk menghasilkan suatu standar tunggal yang layak dijadikan sebagai acuan profil tekstur cookies. Pengukuran tekstur cookies keladi sebagai standar dilakukan terhadap 20 sampel yang diambil dari satu kemasan. Pengambilan contoh dilakukan secara acak. Pengukuran dilakukan pada lima titik secara acak per sampel, sehingga untuk setiap sampel didapatkan lima grafik hasil pengukuran dengan texture analyser. Pengukuran 20 sampel cookies keladi pada lima titik per sampel bertujuan meningkatkan tingkat ketepatan pengukuran, sehingga profil tekstur yang didapatkan lebih akurat.
10
Grafik-grafik hasil pengukuran tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan grafik tunggal yang akan dijadikan sebagai standar. Langkah pertama ialah perata-rataan kelima grafik pada masing-masing sampel, sehingga didapatkan 20 grafik. Untuk selanjutnya grafik-grafik ini disebut K1 hingga K20. Sebelum dilakukan perata-rataan, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap signifikansi regresi dari setiap kombinasi gaya dari kelima grafik yang dihasilkan masing-masing sampel. Berdasarkan hasil uji sidik ragam diketahui bahwa regresi setiap kombinasi gaya signifikan pada taraf signifikansi 5%, sehingga kelima grafik pada masing-masing sampel layak untuk dirata-ratakan. Peratarataan dilakukan untuk mengurangi variasi antar grafik. Langkah selanjutnya dilakukan uji signifikansi regresi dengan analisis sidik ragam (ANOVA) terhadap setiap kombinasi gaya (g) antara Ki dan Kj dengan i≠j. Berdasarkan hasil uji sidik ragam diketahui bahwa regresi setiap kombinasi gaya signifikan pada taraf signifikansi 5%. Langkah selanjutnya dilakukan analisis korelasi terhadap setiap kombinasi gaya (g) antara Ki dan Kj dengan i≠j. Menurut Faridi (1994), analisis korelasi digunakan untuk mengetahui kekuatan hubungan linier antara dua peubah dilihat dari nilai yang disebut dengan koefisien korelasi yang dilambangkan dengan r. Jenis koefisien korelasi yang sering digunakan adalah Pearson-product moment correlation coefficient. Nilai koefisien korelasi berkisar antara -1 hingga 1. Koefisien korelasi akan bernilai negatif jika nilai satu peubah
cenderung meningkat dan peubah lainnya cenderung menurun. Sebaliknya, koefisien korelasi akan bernilai positif jika nilai kedua peubah sama-sama cenderung meningkat. Berdasarkan hasil yang didapat dari perhitungan korelasi pada setiap kombinasi gaya, ditentukan populasi grafik yang saling berkorelasi dengan nilai koefisien korelasi > 0.9. Nilai koefisien korelasi antara 0.9 hingga 1 menunjukkan hubungan linier yang sangat kuat di antara dua variabel. Nilai koefisien korelasi 0.8 hingga 0.9 menunjukkan hubungan linier yang kurang kuat, dan nilai koefisien korelasi di bawah 0.8 menunjukkan hubungan linier yang lemah di antara dua variabel. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa terdapat enam kelompok grafik yang saling berkorelasi dengan nilai koefisien korelasi (r) lebih dari 0.9. Kelompok grafik tersebut di antaranya : (a) K3, K4, K6, K7, K9, K10, K15, K16, (b) K3, K4, K6, K7, K9, K10, K15, K20, (c) K3, K4, K7, K8, K9, K10, K15, K20, (d) K4, K6, K7, K9, K10, K12, K15, K16, (e) K4, K6, K7, K9, K10, K12, K15, K20, dan (f) K4, K7, K8, K9, K10, K12, K15, K20. Langkah berikutnya dilakukan perhitungan nilai point matched within +/- dari kombinasi Ki dan Kj pada masing-masing kelompok grafik di atas. Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui populasi grafik yang memiliki nilai point matched within +/- lebih dari 50%. Grafik-grafik tersebut di antaranya K9, K10, K12, K15. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa grafik K9, K10, K12, dan K15 merupakan grafikgrafik dengan nilai regresi yang signifikan, berkorelasi sangat kuat dan memiliki point matched within
11
+/- yang cukup tinggi. Gambar grafik K9, K10, K12, dan K15 dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik K9, K10, K12, dan K15 Selanjutnya, dilakukan perata-rataan terhadap grafik K9, K10, K12, dan K15. Sehingga dihasilkan satu grafik tunggal yang menjadi standar dalam penelitian ini. Gambar grafik standar hasil peratarataan grafik K9, K10, K12, dan K15 dapat dilihat pada Gambar 7.
B. REKAYASA PROSES PENGOLAHAN COOKIES UBI JALAR 1. Tepung ubi jalar Ubi jalar yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari unit pengolahan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Cibungbulang, Bogor. Ubi jalar diambil dari petani yang berada di daerah Bogor. Ubi jalar yang digunakan berupa sawut ubi jalar kering. Sawut ubi jalar kering ialah ubi jalar segar yang telah disawut dengan mesin penyawut kemudian dikeringkan dengan rotary dryer. Sawut ubi jalar kering tersebut merupakan hasil penelitian Santri (2006). Gambar sawut ubi jalar kering tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Sawut ubi jalar kering
Gambar 7. Grafik standar
Pengolahan sawut ubi jalar kering menjadi tepung ubi jalar dilakukan dengan menggunakan disc mill. Kemudian dilakukan pengayakan menggunakan mesin pengayak dengan saringan berukuran 80 mesh. Gambar tepung ubi jalar yang dihasilkan pada pengolahan ini disajikan pada Gambar 9. Komposisi kimia tepung ubi jalar disajikan pada Tabel 2.
12
Gambar 9. Tepung ubi jalar Tabel 2. Komposisi kimia tepung ubi jalar (basis berat basah) Komposisi Persentase (%) kimia Air 7.1438 Abu 1.3701 Protein 3.1100 Lemak 0.5673 87.8088 Total Karbohidrat (bdf) Hasil pengujian proksimat tepung ubi jalar menunjukkan bahwa total karbohidrat merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam tepung. Kadar air tepung ubi jalar cukup tinggi. Hal ini dapat disebabkan oleh umur simpan sawut ubi jalar kering yang telah cukup lama sehingga menyerap banyak uap air. Selain analisis proksimat, pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran warna dan derajat putih dari tepung ubi jalar. a. Pengukuran warna tepung Nilai-nilai yang didapatkan dari pengukuran warna tepung ubi jalar adalah nilai L sebesar 44.29 yang menunjukkan tingkat kecerahan, nilai a sebesar +2.52 untuk warna merah, dan nilai b sebesar +0.63 untuk warna kuning. Hasil pengukuran warna sawut ubi jalar kering pada penelitian Santri (2006) yaitu nilai L sebesar 72.40, nilai a sebesar -7.58,dan nilai b sebesar +53.50.
Berdasarkan hasil tersebut diketahui bahwa nilai parameter L dan parameter b tepung ubi jalar lebih rendah daripada sawut ubi jalar kering. Hal ini menunjukkan bahwa warna tepung berubah semakin gelap. Sebaliknya, nilai parameter a mengalami peningkatan. Ini menunjukkan bahwa warna tepung ubi jalar mengalami perubahan yaitu pengurangan warna hijau menjadi semakin merah. Perubahan warna ini memperlihatkan bahwa telah terjadi proses pencoklatan (browning) enzimatis. Menurut Hoover dan Miller (1973) yang dikutip Jenie et al. (1978), kerusakan warna pada produk ubi jalar disebabkan oleh adanya aktivitas enzim catechol oksidase jika terdapat tanin atau zat semacam tanin. Proses kerusakan tersebut disebabkan oleh adanya reaksi antara besi bervalensi dua dengan o-dihidroksifenol dan pembentukan persenyawaan ferri yang berwarna gelap jika dibiarkan di udara terbuka. Telah lama diketahui bahwa reaksi browning ini dipengaruhi oleh oksigen, air, dan suhu. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan perlakuan pendahuluan berupa blanching atau perendaman sebelum pengeringan dengan menggunakan bahan kimia anti pencoklatan seperti Natrium metabisulfit 0.35 selama kurang lebih satu jam (Kadarisman dan Sulaeman, 1993). b. Derajat putih tepung Derajat putih dapat ditetapkan dengan cara mengukur rasio jumlah sinar yang dipantulkan oleh permukaan bahan pangan (diffuse reflection) dengan sinar yang dipantulkan oleh permukaan berwarna (MgO dan BaSO4) dengan
13
menggunakan alat whitenessmeter. Pada penelitian ini permukaan berwarna yang digunakan ialah MgO dengan nilai 81.6. Pengukuran derajat putih dilakukan secara triplo dan dihasilkan rata-rata pengukuran sebesar 80.5. Sehingga didapatkan derajat putih tepung untuk tepung ubi jalar sebesar 74.18%. 2. Cookies Ubi Jalar Pada penelitian ini, tepung ubi jalar yang digunakan dalam pengolahan cookies sebanyak 100%. Penelitian yang dilakukan oleh Lutfika (2006) menunjukkan bahwa penggunaan tepung ubi jalar 100% pada pembuatan cookies, cake, dan brownies dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Pada pengolahan cookies, fungsi gluten dalam pembentukan tekstur tidak mendominasi seperti halnya pada pengolahan produk bakery. Ubi jalar merupakan bahan pangan yang tidak mengandung gluten. Oleh karena itu, ubi jalar cocok digunakan sebgaai bahan baku pembuatan cookies. Cookies dengan penggunaan tepung non terigu yang mendominasi masuk ke dalam klasifikasi biskuit jenis short dough (Manley, 1983). a. Penetapan rancangan formulasi Salah satu tahapan penting dalam proses pengolahan makanan adalah formulasi. Karakteristik produk akhir ditentukan oleh susunan bahan-bahan dan proses yang digunakan. Pada penelitian ini, faktor peubah yang digunakan dalam rancangan percobaan hanya formulasi bahan dan tidak mencakup proses yang digunakan. Penetapan rancangan formulasi cookies ubi jalar dilakukan setelah melalui beberapa
tahap trial and error dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan tekstur produk sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Trial and error dilakukan dengan mengubah-ubah jenis dan jumlah bahan yang berpengaruh terhadap tekstur produk. Langkah utama yang dilakukan pada tahap trial and error ini ialah pengamatan secara langsung terhadap profil grafik standar. Dengan melakukan pengamatan tersebut, diketahui beberapa karakteristik grafik yang dapat dijadikan acuan dalam menetapkan rancangan formulasi. Karakteristik pertama ialah nilai kekerasan (puncak maksimum) grafik standar sebesar 796.6 g. Cookies ubi jalar yang dihasilkan harus memiliki kekerasan yang tidak terlalu jauh dengan nilai kekerasan tersebut, karena makin dekat nilai kekerasannya maka akan semakin tinggi kesesuaian tekstur cookies ubi jalar dengan standar. Wade (1968) yang dikutip Faridi (1994) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan cookies di antaranya kandungan protein tepung, jumlah lemak, serta kandungan air. Selain itu, Sathe et al. (1981) yang dikutip Faridi (1994) mengevaluasi kekerasan beberapa crackers berbeda relatif terhadap perbedaan jenis dan persentase lemak yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, maka yang dilakukan untuk mendapatkan nilai kekerasan cookies yang sesuai dengan standar ialah mengubah-ubah jumlah lemak (margarin) yang digunakan hingga didapatkan formulasi tetap. Langkah selanjutnya ialah dengan melihat kenaikan grafik standar secara umum yang cenderung landai. Kelandaian grafik
14
menunjukkan bahwa tekstur cookies standar bagian atas lebih lembut dibandingkan bagian bawahnya. Sehingga, pada cookies ubi jalar dilakukan pengolesan putih telur pada permukaan adonan yang telah dicetak sebelum dilakukan pemanggangan Pengolesan putih telur ini bertujuan menurunkan kekerasan permukaan cookies. Hal ini disebabkan permukaan cookies menerima panas lebih lama pada saat proses pemanggangan dibandingkan dengan bagian tengah cookies. Dengan dilakukan pengolesan ini diharapkan grafik tekstur sampel akan cenderung landai seperti grafik tekstur standar. Karakteristik lain yang diamati dari grafik standar ialah terlihatnya fluktuasi gaya yang cukup tinggi. Menurut Seymour dan Hamann (1988) yang dikutip Faridi (1994), grafik hasil pengukuran tekstur yang berfluktuasi menunjukkan bahwa produk memiliki tingkat kerenyahan yang tinggi. Grafik yang berfluktuasi menunjukkan bahwa terdapat banyak rongga udara atau terdapat partikelpartikel yang cukup besar di dalam struktur produk. Berdasarkan hal tersebut, maka pada formulasi cookies ubi jalar digunakan room butter yang berguna untuk meningkatkan kerenyahan produk dan digunakan bahan pengembang untuk menghasilkan rongga-rongga udara di dalam struktur cookies ubi jalar. Menurut Winarno (1995), bahan pengembang merupakan senyawa kimia yang akan terurai menghasilkan gas di dalam adonan dan berfungsi untuk mengembangkan dan memperbaiki tekstur cookies. Selain itu, juga dilakukan penambahan butiran kacang yang bertujuan menghasilkan
partikel-partikel yang besar dalam struktur produk. Dengan dilakukannya langkah-langkah tersebut diharapkan grafik pengukuran tekstur cookies ubi jalar akan berfluktuasi seperti halnya grafik standar. Setelah dilakukan langkahlangkah trial and error di atas, maka pada penelitian ini ditetapkan tiga formulasi cookies ubi jalar, yaitu formula 1 (F1), formula 2 (F2), dan formula 3 (F3). Formulasi tersebut disajikan pada Tabel 3. Ketiga formulasi tersebut merupakan hasil pengembangan formulasi dasar yang didapat pada tahapan akhir trial and error yang dilakukan. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formulasi tersebut ialah perbedaan jumlah margarin (lemak). Pada F1 jumlah margarin yang digunakan sebanyak 70%, pada F2 sebanyak 75%, dan pada F3 sebanyak 80% margarin. Jumlah lemak dijadikan sebagai faktor perlakuan karena lemak memiliki pengaruh yang cukup besar dalam memfasilitasi terjadinya aerasi dan pembentukan tekstur produk akhir, terutama kekerasan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, makin dekat nilai kekerasan cookies ubi jalar dengan standar maka semakin tinggi tingkat kesesuaian keduanya. Ketiga formulasi cookies ubi jalar memiliki nilai kekerasan yang mendekati standar. Jumlah air yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan jumlah margarin. Semakin tinggi jumlah margarin maka semakin sedikit air yang dibutuhkan untuk menghasilkan adonan yang dapat dicetak. Produk cookies ubi jalar masing-masing formula yang dihasilkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
15
Tabel 3. Formulasi cookies ubi jalar (basis 100 gram tepung) Bahan F1 (gram) Tepung 100 ubi jalar (80 mesh) Margarin 70 Air 30 Gula 45 halus Susu skim 10 Kacang 30 Room 16. 5 butter Natrium 0.5 bikarbonat Vanili 0.7 Garam 0.2
F2
F3
100
100
75 25 45
80 20 45
10 30 16.5
10 30 16.5
0.5
0.5
0.7 0.2
0.7 0.2
Gambar 10. Cookies ubi jalar F1, F2, dan F3
b. Proses pengolahan cookies Pembuatan cookies ubi jalar diawali dengan pencampuran dan pengadukan bahan-bahan. Pencampuran bahan dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah pembentukan krim yang dilakukan dengan pencampuran serta pengadukan margarin dan gula halus. Pencampuran dilakukan dengan
kecepatan tinggi selama sepuluh menit untuk mengembangkan krim. Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa pengadukan bahan yang didahului oleh pembentukan krim baik digunakan pada pembuatan cookies yang dicetak. Selanjutnya dilakukan penambahan room butter dan susu skim yang dicampur dengan kecepatan tinggi selama lima menit. Setelah itu, butiran kacang ditambahkan dan dicampur dengan kecepatan tinggi selama dua menit. Tahap terakhir, dilakukan pencampuran bahan-bahan kering seperti tepung ubi jalar, vanili, garam, bahan pengembang, serta ditambah air. Pencampuran pada tahap terakhir ini dilakukan dengan kecepatan rendah selama delapan menit. Penggunaan kecepatan rendah bertujuan mencegah reaksi pencoklatan yang berlebihan akibat panas yang dihasilkan oleh putaran mixer. Adonan yang dihasilkan dari proses pencampuran di atas kemudian diratakan sehingga membentuk lembaran adonan yang memiliki ketebalan sesuai dengan standar. Ukuran tinggi dari standar ialah 1.5623 cm. Ketebalan dari adonan yang diratakan tidak tepat 1.5623 cm melainkan lebih rendah dibandingkan nilai tersebut. Hal ini disebabkan ukuran cookies akan mengalami pengembangan pada saat proses pemanggangan berlangsung. Setelah itu, adonan dicetak dengan menggunakan alat pencetak yang memiliki diameter yang telah disesuaikan dengan ukuran standar. Ukuran diameter dari standar ialah 2.8115 cm. Sama seperti halnya ukuran tinggi, ukuran diameter dari alat pencetak juga lebih rendah dibandingkan dengan diameter standar. Setelah dicetak, bagian
16
permukaan cookies diolesi dengan putih telur. Proses selanjutnya adalah pemanggangan dengan menggunakan oven. Menurut Matz (1992), suhu dan waktu pemanggangan di dalam oven tergantung pada jenis oven dan jenis produk. Jenis oven yang biasa digunakan pada pemanggangan produk bakery terdiri dari tiga jenis, antara lain : (1) direct-fired oven, yaitu produk mengalami pemanasan secara langsung dari gas atau pemanas elektrik yang terdapat dalam oven, (2) indirect oven, yaitu produk dipanaskan secara tidak langsung (secara konveksi) dengan udara panas yang disirkulasikan di dalam oven, dimana sumber pembakaran berada di luar oven, dan (3) hybrid oven, yaitu oven yang mengkombinasikan sistem directfired dan indirect oven. Pada penelitian ini, oven yang digunakan untuk pemanggangan ialah jenis direct-fired oven (Gambar 11).
Gambar 11. Direct-fired oven Direct-fired oven adalah jenis oven yang paling sederhana dan paling banyak digunakan di industri bakery. Oven ini dilengkapi dengan pemanas elektrik yang terdapat pada dua bagian, yaitu di bagian atas dan di bagian bawah, dimana suhu kedua pemanas elektrik ini dapat diatur suhunya secara otomatis. Panas ditransfer secara langsung melalui gelombang energi radiasi dari
pemanas elektrik ke produk. Pemanas elektrik bagian bawah akan memanaskan jalur besi kemudian panas ditransfer ke bagian dasar produk secara konduksi. Suhu yang digunakan baik pada bagian atas maupun bawah ialah 120°C dengan lama pemanggangan satu jam. Penggunaan suhu rendah dan waktu lama dilakukan sehubungan dengan ukuran cookies yang cukup tebal. Sehingga diperlukan waktu penetrasi panas yang cukup lama hingga semua bagian cookies matang. Untuk waktu pemanggangan yang lama, suhu yang digunakan tidak dapat terlalu tinggi. Suhu yang terlalu tinggi akan menyebabkan case hardening, yaitu bagian dalam dari suatu bahan belum matang tetapi permukaan luarnya gosong. Hal ini disebabkan suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan permukaan bahan cepat menjadi matang dan keras, sehingga menghambat transfer panas ke pusat geometri bahan (Cauvain dan Young, 2000). Pada saat proses pemanggangan berlangsung, terjadi tiga proses penting pada produk. Pertama, terjadinya perubahan struktur produk, yaitu meningkatnya ukuran produk secara perlahan-lahan akibat proses aerasi yang terjadi di dalam adonan. Kedua, terjadinya kehilangan air dalam jumlah besar. Ketiga, terjadinya perubahan warna produk menjadi kecoklatan akibat terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis (Faridi, 1994). Setelah pemanggangan selesai, cookies yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan untuk mengeraskan cookies sebagai akibat memadatnya gula dan lemak (Matz dan Matz, 1978).
17
c. Hasil pengukuran tekstur Prosedur pengukuran tekstur masing-masing formula cookies ubi jalar sama dengan pengukuran tekstur cookies keladi. Pengukuran dilakukan terhadap 20 sampel yang diambil dari satu kemasan. Pengambilan contoh dilakukan secara acak. Pengukuran dilakukan pada lima titik secara acak per sampel, sehingga untuk setiap sampel didapatkan lima grafik hasil pengukuran dengan texture analyser. Grafik-grafik hasil pengukuran pada tersebut kemudian diolah untuk mendapatkan grafik tunggal. Langkah yang dilakukan untuk mendapatkan grafik tunggal tersebut sama dengan cookies keladi. Langkah pertama ialah perata-rataan kelima grafik pada masing-masing sampel, sehingga didapatkan 20 grafik. Untuk selanjutnya grafikgrafik hasil perata-rataan untuk formula 1 (F1) disebut A1 hingga A20, untuk formula 2 (F2) disebut B1 hingga B20, dan untuk formula 3 (F3) disebut C1 hingga C20. Sebelum dilakukan perata-rataan, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap signifikansi regresi dari setiap kombinasi gaya dari kelima grafik yang dihasilkan masingmasing sampel dari setiap formula. Berdasarkan hasil uji sidik ragam diketahui bahwa regresi setiap kombinasi gaya signifikan pada taraf signifikansi 5%, sehingga kelima grafik pada masing-masing sampel dari setiap formula layak untuk dirata-ratakan. Berdasarkan hasil uji sidik ragam (ANOVA) diketahui bahwa regresi setiap kombinasi gaya signifikan pada taraf signifikansi 5%. Langkah selanjutnya dilakukan analisis korelasi terhadap setiap kombinasi gaya (g) antara Ai dan Aj dengan i≠j.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa terdapat grafik-grafik yang saling berkorelasi dengan nilai koefisien korelasi (r) lebih dari 0.9. Populasi grafik tersebut di antaranya A1, A3, A4, A5, A6, A7, A8, A10, A12, A13, A15, A16, A17, dan A18. Langkah berikutnya dilakukan perhitungan nilai point matched within +/- dari kombinasi Ai dan Aj grafik-grafik tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui grafik-grafik yang memiliki nilai point matched within +/- lebih dari 50%. Grafik-grafik tersebut antara lain A3, A4, A5, A10, A12, A13, A16, dan A17. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa grafik A3, A4, A5, A10, A12, A13, A16, dan A17 merupakan grafik-grafik dengan nilai regresi yang signifikan, berkorelasi sangat kuat dan memiliki point matched within +/- yang cukup tinggi. Gambar grafik A3, A4, A5, A10, A12, A13, A16, dan A17 dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik A3, A4, A5, A10, A12, A13, A16, dan A17 Selanjutnya, dilakukan peratarataan terhadap grafik A3, A4, A5, A10, A12, A13, A16, dan A17 sehingga dihasilkan satu grafik tunggal sebagai profil tekstur dari
18
formula 1 (F1). Grafik profil tekstur F1 hasil perata-rataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13.
tinggi. Gambar grafik-grafik tersebut dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 13. Grafik F1 Berdasarkan hasil uji sidik ragam (ANOVA) diketahui bahwa regresi setiap kombinasi gaya signifikan pada taraf signifikansi 5%. Langkah selanjutnya dilakukan analisis korelasi terhadap setiap kombinasi gaya (g) antara Bi dan Bj dengan i≠j. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa terdapat grafik-grafik yang saling berkorelasi dengan nilai koefisien korelasi (r) lebih dari 0.9. Populasi grafik tersebut di antaranya B1, B3, B4, B5, B9, B10, B12, B13, B15, B16, B18, dan B20. Langkah berikutnya dilakukan perhitungan nilai point matched within +/- dari kombinasi Bi dan Bj grafik-grafik tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui grafik-grafik yang memiliki nilai point matched within +/- lebih dari 50%. Grafik-grafik tersebut antara lain B4, B5, B9, B12, B15, B16, B18, dan B20. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa grafik B4, B5, B9, B12, B15, B16, B18, dan B20 merupakan grafik-grafik dengan nilai regresi yang signifikan, berkorelasi sangat kuat dan memiliki point matched within +/- yang cukup
Gambar 14. Grafik B4, B5, B9, B12, B15, B16, B18, dan B20 Selanjutnya, dilakukan perata-rataan terhadap grafik B4, B5, B9, B12, B15, B16, B18, dan B20 sehingga dihasilkan satu grafik tunggal sebagai profil tekstur dari formula 2 (F2). Grafik profil tekstur F2 hasil perata-rataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15. Grafik F2 Berdasarkan hasil uji sidik ragam (ANOVA) diketahui bahwa regresi setiap kombinasi gaya signifikan pada taraf signifikansi 5%. Langkah selanjutnya dilakukan analisis korelasi terhadap setiap kombinasi gaya (g) antara Ci dan Cj dengan i≠j. Berdasarkan hasil
19
perhitungan tersebut diketahui bahwa terdapat grafik-grafik yang saling berkorelasi dengan nilai koefisien korelasi (r) lebih dari 0.9. Populasi grafik tersebut di antaranya C1, C2, C4, C5, C6, C9, C11, C12, C16, C17, C18, dan C20. Langkah berikutnya dilakukan perhitungan nilai point matched within +/- dari kombinasi Ci dan Cj grafik-grafik tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui grafik-grafik yang memiliki nilai point matched within +/- lebih dari 50%. Grafik-grafik tersebut antara lain C1, C2, C5, C9, C11, C12, C16, dan C17. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa grafik C1, C2, C5, C9, C11, C12, C16, dan C17 merupakan grafik-grafik dengan nilai regresi yang signifikan, berkorelasi sangat kuat dan memiliki point matched within +/- yang cukup tinggi. Gambar grafik-grafik tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.
F3 hasil perata-rataan tersebut dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Grafik F3
C. EVALUASI KESESUAIAN COOKIES UBI JALAR DENGAN STANDAR 1. Evaluasi secara objektif Evaluasi kesesuaian tekstur cookies keladi sebagai standar dengan masing-masing formula cookies ubi jalar dilakukan dengan membandingkan profil grafik tekstur masing-masing formula cookies ubi jalar dengan grafik standar. Gambar grafik standar dan grafik cookies ubi jalar F1, F2, dan F3 dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 16. Grafik C1, C2, C5, C9, C11, C12, C16, dan C17 Selanjutnya, dilakukan perata-rataan terhadap grafik C1, C2, C5, C9, C11, C12, C16, dan C17 sehingga dihasilkan satu grafik tunggal sebagai profil tekstur dari formula 3 (F3). Grafik profil tekstur
Gambar 18. Grafik standar dan grafik F1, F2, dan F3
20
Perbandingan dilakukan dengan menggunakan program texture expert, yaitu dengan melihat nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- antara grafik masing-masing formula dan standar. Semakin tinggi nilai koefisien korelasi dan point matched within +/, maka semakin tinggi pula tingkat kesesuaian tekstur cookies ubi jalar dengan standar. Hasil perhitungan koefisien korelasi dan point matched within +/- antara grafik masingmasing formula cookies ubi jalar dengan standar dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- antara grafik F1, F2, dan F3 dengan standar Formulasi Cookies Ubi Jalar F1 F2 F3 0.973 Koefisien 0.935 0.937 korelasi 50.09 58.16 60.52 Point % % % matched within +/Berdasarkan hasil perhitungan yang tertera pada Tabel 4 diketahui bahwa ketiga formulasi cookies ubi jalar memiliki koefisien korelasi yang tinggi (lebih dari 0.9) dan nilai point matched within +/lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa tekstur ketiga formulasi cookies ubi jalar memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan tekstur standar. Tekstur formula 3 (F3) memiliki nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- yang paling tinggi dibandingkan dengan F1 dan F2, yaitu 0.973 dan 60.52%. Hal ini menunjukkan bahwa cookies ubi jalar F3 memiliki tingkat kesesuaian tekstur yang paling tinggi
dengan tekstur standar. Cookies ubi jalar dengan tingkat kesesuaian tertinggi kedua dimiliki oleh cookies ubi jalar F2 dengan nilai koefisien korelasi dan point matched within +/masing-masing 0.937 dan 58.16%. Cookies ubi jalar dengan tingkat kesesuaian terendah ialah cookies ubi jalar F1 dengan nilai koofisien korelasi dan point matched within +/masing-masing 0,935 dan 50.09%. 2. Evaluasi secara subjektif Selain evaluasi kesesuaian secara objektif, dilakukan pula evaluasi kesesuaian tekstur cookies ubi jalar dengan standar secara subjektif (organoleptik). Uji sensori dilakukan karena tekstur merupakan atribut sensori dimana hanya indra manusia seperti indra peraba, penglihatan, dan pendengaran yang dapat mempersepsikan, menjelaskan, dan mengukur tekstur (Szczesniak, 1987, yang dikutip Faridi dan Faubion, 1990). Uji sensori yang digunakan dalam evaluasi kesesuaian ini ialah uji pembedaan dengan kontrol (difference from control test). Difference from control test merupakan metode uji yang digunakan untuk menentukan apakah terdapat perbedaan diantara satu atau lebih sampel dengan kontrol, sekaligus menentukan besarnya perbedaan tersebut. Penggunaan difference from control test untuk menguji produk dengan heterogenitas yang tinggi, seperti daging, salad dan produk bakery lebih baik daripada penggunaan uji pembedaan yang lain seperti triangle test dan duo trio (Meilgaard dan Carr, 1999). Pada uji ini satu sampel biasanya dijadikan sebagai kontrol/reference/standar, kemudian ditentukan berapa besarnya
21
perbedaan sampel-sampel yang lain dengan kontrol. Pada penelitian ini tiap formula cookies ubi jalar dibandingkan dengan cookies keladi sebagai kontrol. Evaluasi kesesuaian dengan difference from control test ini dilakukan dengan dua metode, yaitu pengujian dengan cara penggigitan sampel dan dengan cara penekanan sampel menggunakan telunjuk dan ibu jari. Hal ini dilakukan untuk mengetahui metode mana yang memiliki tingkat korelasi yang lebih tinggi dengan hasil evaluasi kesesuaian secara objektif. Hasil uji tersebut kemudian diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Dunnet. Berdasarkan hasil uji sidik ragam diketahui bahwa tekstur F1, F2, dan F3 berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%. Uji lanjut Dunnet menunjukkan bahwa tekstur F1, F2, dan F3 berbeda nyata dengan kontrol pada taraf signifikansi 5%. Formula dengan perbedaan terendah hingga tertinggi dengan kontrol berturut-turut ialah ialah F2, F3, dan F1. Hasil uji tersebut kemudian diolah dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji lanjut Dunnet. Berdasarkan hasil uji sidik ragam diketahui bahwa tekstur F1, F2, dan F3 berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%.Uji lanjut Dunnet menunjukkan bahwa tekstur F1, F2, dan F3 tidak berbeda nyata dengan kontrol pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil tersebut di atas diketahui bahwa metode pengujian difference from control test dengan penekanan sampel menggunakan telunjuk dan ibu jari menunjukkan hasil yang sesuai dengan hasil evaluasi secara objektif,
dimana tekstur masing-masing formula cookies ubi jalar sesuai (tidak berbeda nyata) dengan kontrol. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan nilai korelasi grafik lebih dari 0.9 dan nilai point matched within +/- grafik lebih dari 50%, tekstur cookies ubi jalar tidak berbeda nyata dengan standar dilihat dari penilaian secara subjektif menggunakan metode penekanan sampel. Hal ini berlawanan dengan hasil pengujian dengan menggunakan metode penggigitan sampel, dimana tekstur masing-masing formula cookies ubi jalar tidak sesuai (berbeda nyata) dengan kontrol. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Evaluasi secara subjektif dilakukan oleh manusia di dalam mulut dengan kondisi tertentu, yaitu pada suhu sekitar 35oC, dibantu dengan adanya air liur (saliva), adanya perbedaan laju pengunyahan dan tekanan, dan ketidaklinieran gerakan rahang ketika mengunyah. Kondisi ini berbeda dengan kondisi pengukuran secara objektif yang sebagian besar dilakukan pada suhu ruang biasa (Bourne, 1977 yang dikutip Faridi, 1994). Selain itu, perbedaan tersebut juga dapat disebabkan oleh adanya perbedaan cita rasa antara standar dan cookies ubi jalar, sehingga berpengaruh pada respon panelis terhadap tekstur masing-masing sampel. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang lebih tepat untuk digunakan dalam evaluasi kesesuaian tekstur secara subjektif adalah metode dengan menggunakan indra peraba yaitu penekanan sampel dengan telunjuk dan ibu jari. Meilgaard dan Carr (1999) membagi kelompok persepsi dengan indra peraba ke dalam dua jenis, yaitu somestesis dan
22
kinestesis. Persepsi somestesis meliputi persepsi terhadap sentuhan, panas, dingin, gatal, nyeri, dan sebagainya. Sensasi ini ditimbulkan oleh syaraf peraba yang terdapat pada permukaan kulit. Jenis kelompok persepsi yang digunakan pada evaluasi tekstur secara subjektif dengan menggunakan indra peraba ialah persepsi kinestesis. Persepsi kinestesis ini ditimbulkan oleh tendon (serabut syaraf di dalam otot) yang berperan untuk merasakan tekanan dan relaksasi yang terjadi pada otot. Persepsi kinestesis ini akan mengukur karakteristik mekanikal produk seperti kekerasan, kohesivitas, viskositas, dan kerenyahan. Adanya kesesuaian tekstur, dalam hal ini karakteristik mekanikal, yang terukur secara sensori antara cookies standar dan cookies ubi jalar dapat dijelaskan dengan melihat beberapa parameter yang diturunkan dari masing-masing grafik standar maupun sampel F1, F2, dan F3 (Tabel 5). Tabel 5. Parameter-parameter grafik standar dan sampel (F1, F2, F3) Param eter Puncak maksim um (g) Luas area (g.s) Gradien (g/s) Jumlah puncak (+) Jumlah puncak (-)
Standar
F1
F2
F3
796.6
812.9
790.1
753.1
1.214 x104
1.313 x104
1.300 x104
1.235 x104
33.152
25.937 29.527 31.352
3
2
2
2
2
1
1
1
Berdasarkan hasil yang tertera pada Tabel 13, secara umum terlihat bahwa nilai setiap parameter masingmasing formula cookies ubi jalar hampir seluruhnya mendekati nilai setiap parameter standar. Puncak maksimum dan luas area merupakan parameter yang menunjukkan kekerasan produk (Seymour dan Hamann, 1988 yang dikutip Faridi, 1994). Nilai puncak maksimum dan luas area masingmasing formula cookies ubi jalar tidak berbeda jauh dengan standar, sehingga kekerasan cookies ubi jalar dan standar yang terukur secara subjektif cenderung sama. Menurut Bourne et al. (1966) dan Iles dan Elson (1972) yang dikutip Faridi (1994), gradien dari grafik force/ deformation merupakan indikator kerenyahan produk. Berdasarkan hasil yang didapat, nilai gradien masing-masing formula cookies ubi jalar tidak berbeda jauh dengan standar, sehingga kerenyahan cookies ubi jalar dan standar yang terukur secara subjektif cenderung sama. Selain itu, parameter yang dapat dilihat dari grafik hasil pengukuran tekstur ialah jumlah puncak (+) dan puncak (-). Grafik sampel F1, F2, maupun F3 memiliki jumlah puncak (+) dan (-) yang tidak berbeda jauh dibandingkan dengan grafik standar. Hal ini menunjukkan bahwa grafik cookies ubi jalar memiliki tingkat fluktuasi yang cenderung sama dengan grafik standar. Seymour dan Hamann (1988) yang dikutip Faridi (1994) menyatakan bahwa grafik hasil pengukuran tekstur yang berfluktuasi menunjukkan bahwa produk memiliki tingkat kerenyahan yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga formula cookies ubi
23
objektif (koefisien korelasi)
3. Analisis Korelasi Evaluasi Objektif dan Subjektif Faridi (1994) menyatakan bahwa tekstur merupakan parameter sensori yang dipersepsikan oleh indra manusia, oleh karena itu analisis korelasi antara hasil penilaian tekstur secara objektif dan subjektif penting untuk dilakukan. Szczesniak (1987) yang dikutip Faridi (1994) mengemukakan empat alasan perlunya dilakukan analisis korelasi antara hasil penilaian secara subjektif dan objektif, dimana analisis korelasi ini diperlukan dalam : (1) pemilihan alat quality control, (2) memprediksi respon konsumen, (3) pemahaman yang lebih tepat tentang uji sensori, dan (4) optimasi metodologi penilaian secara instrumental. Pada penelitian ini, analisis korelasi dilakukan antara hasil evaluasi secara objektif, yaitu nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- dari sampel F1, F2, dan F3 terhadap standar dengan hasil evaluasi secara subjektif (metode penggigitan dan penekanan sampel), yaitu nilai mean difference antara F1, F2, dan F3 dengan standar dari hasil uji lanjut Dunnet pada uji pembedaan dengan kontrol. Plot grafik antara nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- dengan nilai mean difference untuk metode penggigitan sampel masing-masing dapat dilihat pada Gambar 19 dan Gambar 20, sedangkan plot grafik
antara nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- dengan nilai mean difference untuk metode penekanan sampel dengan telunjuk dan ibu jari masing-masing dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. 0.98 0.97 0.96 0.95 0.94 0.93 0.92 0.91 0.9 4.2
3.84
4.04
subjektif (mean difference )
Gambar 19. Plot grafik hasil evaluasi subjektif (mean difference) metode penggigitan sampel dan hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi) 70
objektif (point matched within +/-) (%)
jalar memiliki tingkat kerenyahan yang cenderung sama dengan cookies standar. Grafik yang berfluktuasi juga menunjukkan bahwa terdapat banyak rongga udara atau terdapat partikel-partikel yang cukup besar di dalam struktur produk.
60 50 40 30 20 10 0 4.2
3.84
4.04
subjektif (mean difference )
Gambar 20. Plot grafik hasil evaluasi subjektif (mean difference) metode penggigitan sampel dan hasil evaluasi objektif (point matched within +/-)
24
objektif (koefisien korelasi)
0.98 0.97 0.96 0.95 0.94 0.93 0.92 0.91 0.9 0.4
1.12
1.28
subjektif (mean difference )
objektif (point matched within +/- ) (%)
Gambar 21. Plot grafik hasil evaluasi subjektif (mean difference) metode penekanan sampel dan hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi) 70 60 50 40 30 20 10 0 0.4
1.12
1.28
subjektif (mean difference )
Gambar 22. Plot grafik hasil evaluasi subjektif (mean difference) metode penekanan sampel dan hasil evaluasi objektif (point matched within +/-) Korelasi antara hasil evaluasi objektif dan subjektif ditentukan melalui analisis regresi linier. Melalui analisis ini diketahui signifikansi regresi dan nilai koefisien korelasi antara hasil evaluasi objektif dan subjektif. Berdasarkan hasil uji sidik ragam diketahui bahwa antara hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi dan point matched within +/-) dengan hasil evaluasi subjektif (mean difference) dengan metode penggigitan sampel tidak menunjukkan regresi yang signifikan pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, diketahui nilai koefisien korelasi antara hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi dan point
matched within +/-) dengan hasil evaluasi subjektif (mean difference) masing-masing sebesar 0.017 dan 0.693. Selain itu, hasil uji sidik ragam menunjukkan bahwa regresi antara hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi dan point matched within +/-) dengan hasil evaluasi subjektif (mean difference) signifikan pada taraf signifikansi 5%. Selain itu, diketahui nilai koefisien korelasi antara hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi dan point matched within +/-) dengan hasil evaluasi subjektif (mean difference) masing-masing sebesar 0.992 dan 0.971. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penggigitan sampel memiliki korelasi yang rendah, sedangkan hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penekanan sampel memiliki korelasi yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis metode yang digunakan dalam evaluasi tekstur secara subjektif menentukan sesuai atau tidaknya hasil yang didapat dengan hasil pengukuran tekstur secara objektif. Kramer (1951) yang dikutip Faridi (1994) menyatakan bahwa tingkat korelasi merupakan nilai
25
yang penting dalam menentukan besarnya tingkat kepercayaan suatu metode pengukuran instrumental dapat memprediksi hasil penilaian secara sensori. Makin tinggi tingkat korelasi maka semakin tinggi pula tingkat kepercayaan suatu metode pengukuran dapat memprediksi hasil penilaian secara sensori. D. PENGUJIAN PRODUK 1. Analisis Kimia Untuk mengetahui kandungan cookies keladi dan ubi jalar, maka dilakukan analisis kimia pada cookies. Analisis kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat. Hasil rata-rata analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis kimia cookies keladi (standar) dan ubi jalar berdasarkan basis basah Cookies Air Abu Protein Lema KH (%) (%) (%) k (%) (%) Stadar 2.1903 0.8874 7.3013 21.51 68.103 75 5 F1 2.9481a 1.4604a 4.6517a 34.31 56.627 26a 2a F2 2.4772b 1.5899a 4.5499a 34.53 56.846 65a 5a F3 2.3885b 1.3403a 4.2213a 35.79 56.250 93b 6a Keterangan : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%) a. Kadar air Kadar air yang terdapat pada suatu produk pangan akan mempengaruhi penampakan, cita rasa dan keawetannya. Kadar air pada produk cookies merupakan karakteristik kritis yang akan mempengaruhi penerimaan
konsumen terhadap cookies karena kadar air ini menentukan tekstur, terutama dalam hal atribut kerenyahan. Labuza dan Katz (1981) yang dikutip Faridi (1994) menyatakan bahwa kerenyahan produk dibentuk pada level molekular. Kerenyahan merupakan fungsi dari jumlah air yang terikat pada matriks karbohidrat. Makin tinggi jumlah air bebas (tidak terikat) maka makin rendah tingkat kerenyahan. Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa kadar air standar lebih rendah daripada F1, F2, dan F3. Seymour dan Hamann (1988) yang dikutip Faridi (!994) menyatakan bahwa kerenyahan akan meningkat seiring dengan berkurangnya kadar air. Lebih rendahnya kadar air standar inilah yang menjadi salah satu penyebab kerenyahan standar lebih tinggi dibandingkan cookies ubi jalar. Begitu pula antar formula cookies ubi jalar sendiri. Berkurangnya kadar air dari F1, F2, dan F3 menyebabkan kerenyahannya semakin meningkat. Menurut BSN (1992), syarat mutu cookies berdasarkan SNI maksimal mempunyai kadar air 5%. Kadar air cookies ubi jalar telah memenuhi SNI dengan kadar air berkisar antara 2.3885- 2.9480%. Analisis sidik ragam terhadap ketiga formulasi cookies ubi jalar menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air cookies pada taraf signifikansi 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pada F2 telah menyebabkan perbedaan yang nyata pada kadar air cookies ubi jalar. b. Kadar abu Kadar abu merupakan unsur mineral sebagai sisa yang tertinggal
26
setelah bahan dibakar sampai bebas karbon. Kadar abu juga dapat diartikan sebagai komponen yang tidak mudah menguap, tetap tertinggal dalam pembakaran dan pemijaran senyawa organik (Soebito, 1988). Kadar abu cookies keladi berdasarkan pengujian adalah 0.8874%, F1 sebesar 1.4604%, F2 sebesar 1.5899%, dan F3 sebesar 1.3403%. Kadar abu cookies keladi dan cookies ubi jalar F1 serta F3 telah memenuhi syarat mutu SNI cookies, yaitu kadar abu maksimum hanya 1.5%. Kadar abu cookies F2 hanya sedikit melebihi syarat tersebut. Analisis sidik ragam terhadap ketiga formula cookies ubi jalar menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar abu cookies pada taraf signifikansi 5%. Kadar abu secara statistik sama untuk ketiga formulasi cookies ubi jalar. c. Kadar protein Protein merupakan senyawa yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Penetapan kadar protein pada cookies dilakukan dengan metode mikro-Kjeldahl. Kadar protein yang diperoleh adalah kadar protein kasar karena dihitung berdasarkan pada nitrogen yang terkandung dalam bahan. Protein yang ada pada cookies ubi jalar sebagian besar berasal dari tepung dan susu. Gaines et al. (1992) yang dikutip Faridi (1994) menyatakan bahwa peningkatan kadar protein berpengaruh pada peningkatan kekerasan produk. Berdasarkan hasil pengujian, kadar protein F1, F2, dan F3 semakin meningkat sehingga kekerasan F1, F2, dan F3 juga semakin meningkat. Baik cookies
keladi dan cookies ubi jalar belum memenuhi standar SNI untuk kadar protein cookies yaitu minimum 9% protein. Hasil analisis sidik ragam terhadap ketiga formula cookies ubi jalar menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein cookies pada taraf signifikansi 5%. Kadar protein secara statistik sama untuk ketiga formulasi cookies ubi jalar. d. Kadar lemak Lemak berfungsi sebagai sumber cita rasa dan memberikan tekstur yang lembut pada cookies. Selain itu, lemak juga merupakan sumber energi yang dapat memberikan nilai energi lebih besar daripada karbohidrat dan protein, yaitu 9 kkal per gram. Lemak pada cookies diukur dengan menggunakan metode ekstraksi Soxhlet. Berdasarkan standar SNI, jumlah minimal lemak pada cookies adalah sebesar 9.5%. Berdasarkan hasil analisis kimia, diketahui bahwa baik cookies keladi maupun cookies ubi jalar memenuhi persyaratan kandungan lemak minimal berdasarkan SNI. Kadar lemak cookies ubi jalar cukup tinggi dan memberikan nilai energi yang tinggi pula. Lemak yang ada pada cookies ubi jalar berasal dari margarin dan kacang. Kadar lemak pada cookies berpengaruh terhadap tekstur, terutama dalam hal atribut kekerasan. Makin tinggi kadar lemak maka makin rendah tingkat kekerasannya atau semakin tinggi tingkat kelembutannya. Cookies keladi, cookies ubi jalar F1, F2, dan F3 berturut-turut memiliki kadar lemak terendah hingga tertinggi. Sehingga teksturnya pun semakin lembut
27
dilihat dari nilai kekerasan yang semakin menurun. Hasil analisis sidik ragam terhadap ketiga formula cookies ubi jalar menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak cookies pada taraf signifikansi 5%. Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cookies F1 dan F2 masih menunjukkan kehomogenan kadar lemak. Pada cookies F3, kadar lemak sudah berbeda nyata dengan F1 dan F2. e. Kadar karbohidrat Komponen karbohidrat yang banyak terdapat pada produk pangan adalah pati, gula, pektin, dan selulosa. Karbohidrat juga memiliki peranan dalam pembentukan karakteristik produk pangan. Analisis kimia menunjukkan bahwa karbohidrat merupakan komponen dengan jumlah terbesar baik pada cookies keladi maupun cookies ubi jalar. Kadar karbohidrat cookies keladi lebih besar dibandingkan cookies ubi jalar. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya kadar lemak pada cookies ubi jalar. Kadar karbohidrat cookies keladi maupun cookies ubi jalar di bawah nilai yang dipersyaratkan SNI, yaitu minimum 70%. Hasil analisis sidik ragam terhadap ketiga formula cookies ubi jalar menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar karbohidrat cookies pada taraf signifikansi 5%. Kadar karbohidrat secara statistik sama untuk ketiga formulasi cookies ubi jalar. 2. Analisis Fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap ketiga formula cookies ubi jalar adalah analisis rendemen.
Rendemen cookies sangat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam adonan. Berdasarkan hasil perhitungan dikethui bahwa rendemen cookies ubi jalar F1 adalah 85.34%, F2 sebesar 86.22%, dan F3 sebesar 87.41%. Nilai rendemen yang semakin meningkat dari F1, F2, dan F3 disebabkan oleh perbedaan laju kehilangan air pada saat proses pemanggangan. Perbedaan ini disebabkan cookies F3 mengandung jumlah air bebas yang lebih sedikit dibandingkan F2 dan F3. Data mengenai rendemen cookies dapat dimanfaatkan untuk menentukan jumlah bahan yang akan digunakan untuk memperoleh cookies dalam jumlah tertentu. 3. Analisis Nilai Energi Nilai energi cookies ubi jalar dapat dihitung dengan menggunakan faktor Atwater dan nilai gizi yang didapatkan pada analisis proksimat. Hasil analisis proksimat yang berkontribusi pada perhitungan nilai energi adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Berdasarkan hasil perhitungan, diketahui bahwa nilai energi cookies ubi jalar F1 adalah sebesar 553.93 kkal/100 g, F2 sebesar 556.29 kkal/100 g, dan F3 sebesar 564.08 kkal/100 g. Nilai energi ketiga cookies ubi jalar ini telah memenuhi syarat mutu SNI yaitu nilai minimum energi sebesar 400 kkal/100 g. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap nilai energi cookies pada taraf signifikansi 5%. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa cookies F1 dan F2 masih menunjukkan kehomogenan nilai energi. Pada cookies F3, nilai energi sudah berbeda nyata dengan F1 dan F2.
28
Perbandingan nilai energi produk cookies ubi jalar dengan produk sumber energi lainnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan energi beberapa bahan pangan (per 100 g bahan pangan) Bahan pangan Energi (kkal) Beras giling* 360 Beras giling masak 178 (nasi)* Roti* 248 Instan sereal** 370 Mie instan** 456 Cookies (100% 444 terigu)** * Daftar kandungan Gizi makanan (Direktorat Gizi Depkes RI, 1993) ** Informasi nilai gizi dalam kemasan produk
Kebutuhan terhadap energi dan zat-zat gizi tergantung pada berbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier, 2001). Jumlah asupan energi yang disarankan bagi orang dewasa adalah sebesar 2000 kkal. Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa per 100 gram produk cookies ubi jalar dapat memberikan energi dalam jumlah cukup besar dibandingkan produk pangan lainnya. Sehingga cookies ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai alternatif produk sumber energi tinggi. 4. Analisis Aftertaste Pahit Analisis aftertaste pahit terhadap ketiga formula cookies ubi jalar dilakukan dengan uji sensori, yaitu pairwise ranking test. Uji ini termasuk ke dalam attribute difference test dimana hanya atribut/ karakteristik sensori tertentu pada sampel yang diuji perbedaannya,
misalnya kemanisan, kekerasan, kerenyahan, dan lain-lain, termasuk aftertaste dari suatu produk pangan. Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui urutan formula cookies ubi jalar berdasarkan tingkat intensitas aftertaste pahitnya. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa terdapat perbedaan aftertaste pahit yang signifikan antar formula cookies ubi jalar, dengan peringkat kepahitan mulai dari yang terpahit adalah F1, F2, dan F3. Kepahitan adalah salah satu atribut rasa yang dipersepsikan oleh manusia, di samping kemanisan, keasinan, dan keasaman. Pada sebagian besar produk pangan, kepahitan tidak diinginkan dan menimbulkan respon yang negatif bagi konsumen. Pada beberapa produk pangan, adanya rasa pahit biasanya berhubungan dengan tingkat kematangan produk, metode penanaman, dan faktor lingkungan. Pada sebagian produk, komponen pahit berada dalam bahan mentah dan terasa pada produk akhir. Pada sebagian produk lain., komponen pahit tidak terasa pada bahan mentah tapi terasa pada produk akhir setelah mengalami pengolahan. Rasa pahit dalam produk pangan biasanya direpresentasikan oleh senyawa quinine. Kepahitan biasanya disebabkan oleh berbagai molekul dengan ukuran dan gugus fungsional yang bervariasi, seperti senyawa alifatik dan aromatik, senyawa polisiklik, glikosida, atau aglikon (Rouseff, 1990). Tepung ubi jalar mentah memberikan aftertaste pahit pada produk akhir, sehingga dapat mengganggu cita rasa produk. Kepahitan dideteksi pada bagian belakang lidah, bagian belakang langit-langit mulut, dan faring. Oleh
29
karena itu, rasa pahit biasanya muncul setelah penelanan makanan dan intensitasnya lebih kuat sebagai aftertaste (Fenwick et al. di dalam Rouseff, 1990). Rasa pahit pada tepung ubi jalar biasanya disebabkan oleh beberapa senyawa kimia seperti fenolik dan alkaloid (Woolfe,1999). Alkaloid merupakan suatu senyawa yang mengandung atom nitrogen basa dan dapat diekstrak dengan menggunakan asam encer. Setelah diekstraksi, alkaloid bebas dapat diperoleh dengan pengolahan lanjutan dengan basa dalam air. Rasa pahit pada produk akhir cookies ubi jalar juga dapat disebabkan adanya infeksi black rot pada akar tanaman ubi jalar. Infeksi ini menyebabkan terbentuknya senyawa phytoalexin, yaitu (+)-ipomeamarone. Senyawa ini dapat dihilangkan dengan perlakuan dengan karbon (Fenwick et al. di dalam Rouseff, 1990). Berdasarkan hasil pengujian, formula cookies ubi jalar yang memberikan aftertaste pahit dengan intensitas tertinggi adalah F1, kemudian F2, dan yang terendah adalah F3. Hal ini dapat disebabkan oleh makin tingginya tingkat penggunaan lemak (margarin) pada cookies F1, F2, dan F3., dimana salah satu fungsi lemak ialah meningkatkan palatibilitas serta memberikan flavor pada cookies. Sehingga, makin banyak jumlah lemak yang digunakan, tingkat aftertaste pahit semakin berkurang.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Penetapan rancangan formulasi cookies ubi jalar dilakukan setelah melalui beberapa tahap trial
and error dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan tekstur produk sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Sehingga pada penelitian ditetapkan tiga formulasi cookies ubi jalar, yaitu F1, F2, dan F3. Faktor perlakuan yang digunakan pada rancangan formulasi tersebut ialah perbedaan jumlah margarin (lemak). Pada F1 jumlah margarin yang digunakan sebanyak 70%, pada F2 sebanyak 75%, dan pada F3 sebanyak 80% margarin. Evaluasi kesesuaian tekstur masing-masing formula cookies ubi jalar dengan tekstur standar dilakukan secara objektif dan subjektif. Evaluasi kesesuaian secara objektif dilakukan dengan membandingkan profil grafik tekstur masing-masing formula cookies ubi jalar dengan grafik standar, yaitu dengan melihat nilai koefisien korelasi dan point matched within +/antara grafik masing-masing formula dan standar. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa ketiga formulasi cookies ubi jalar memiliki koefisien korelasi yang tinggi (lebih dari 0.9) dan nilai point matched within +/- lebih dari sama dengan 50%. F1 memiliki nilai koefisien korelasi dan point matched within +/dengan standar paling tinggi yaitu masing-masing 0,935 dan 50.09%, 0.937 dan 58.16%. untuk F2, dan 0.973 dan 60.52% untuk F3. Evaluasi kesesuaian secara subjektif dilakukan dengan uji pembedaan dengan kontrol (difference from control test). Metode yang digunakan dalam pengujian ini adalah metode penggigitan sampel dan penekanan sampel menggunakan telunjuk dan ibu jari. Hasil pengujian dengan
30
metode penggigitan sampel menunjukkan bahwa tekstur F1, F2, dan F3 berbeda nyata dengan kontrol pada taraf signifikansi 5%. Formula dengan perbedaan terendah hingga tertinggi dengan kontrol berturutturut ialah ialah F2, F3, dan F1. Hasil pengujian dengan metode penekanan menggunakan telunjuk dan ibu jari menunjukkan bahwa tekstur F1, F2, dan F3 tidak berbeda nyata dengan kontrol (standar) pada taraf signifikansi 5%. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan nilai koefisien korelasi dan point matched within +/- pada evaluasi secara objektif, masingmasing formula sudah menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata dengan standar pada evaluasi secara subjektif dengan metode penekanan sampel. Analisis korelasi antara hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penggigitan sampel menunjukkan bahwa hasil evaluasi objektif dan subjektif memiliki tingkat korelasi yang rendah, sedangkan hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penekanan sampel memiliki tingkat korelasi yang tinggi. Tingkat korelasi yang rendah antara hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penggigitan sampel dilihat dari regresi yang tidak siginifikan dan nilai koefisien korelasi kurang dari 0.9, dimana nilai koefisien korelasi antara hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi dan point matched within +/-) dengan hasil evaluasi subjektif (mean difference) masing-masing sebesar 0.017 dan 0.693. Tingkat korelasi yang tinggi antara hasil evaluasi objektif dan subjektif dengan metode penekanan sampel dilihat dari regresi yang siginifikan dan nilai koefisien
korelasi lebih dari 0.9, dimana nilai koefisien korelasi antara hasil evaluasi objektif (koefisien korelasi dan point matched within +/-) dengan hasil evaluasi subjektif (mean difference) masing-masing sebesar 0.992 dan 0.971. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa metode yang lebih tepat untuk digunakan dalam evaluasi kesesuaian tekstur secara subjektif adalah metode dengan menggunakan indra peraba yaitu penekanan sampel dengan telunjuk dan ibu jari. Cookies keladi dan cookies ubi jalar F1, F2, dan F3 masingmasing memiliki kadar air 2.1903%, 2.9481%, 2.4772%, dan 2.3885%(bb), kadar abu sebesar 0.8874%, 1.4604%, 1.5899%, dan 1.3403%(bb), kadar protein sebesar 7.3013%, 4.6517%, 4.5499%, dan 4.2213%(bb), kadar lemak sebesar 21.5175%, 34.3126%, 34.5365%, dan 35.7993%(bb) serta kadar karbohidrat sebesar 68.1035%, 56.6272%, 56.8465%, dan 56.2506%. Nilai energi cookies ubi jalar F1 adalah sebesar 553.93 kkal/100 g, F2 sebesar 556.29 kkal/100 g, dan F3 sebesar 564.08 kkal/100 g. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa cookies ubi jalar dapat memberikan energi dalam jumlah cukup besar dibandingkan produk pangan lainnya, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif produk sumber energi tinggi. Analisis aftertaste pahit cookies ubi jalar menunjukkan adanya perbedaan aftertaste pahit yang signifikan antar formula cookies ubi jalar, dengan peringkat kepahitan mulai dari yang terpahit adalah F1, F2, dan F3.
31
B. SARAN Untuk meningkatkan kualitas dari cookies ubi jalar yang dihasilkan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghilangkan aftertaste pahit pada produk akhir yang dihasilkan. Selain itu, diperlukan pula penelitian terhadap umur simpan cookies ubi jalar.
DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Antarlina, S.S. 1994. Peningkatan Kandungan Protein Tepung Ubi Jalar serta Pengaruhnya terhadap Kue yang Dihasilkan. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Balittan, Malang. Antarlina, S.S dan J.S. Utomo. 1999. Proses Pembuatan dan Penggunaan Tepung Ubijalar untuk Produk Pangan. AOAC. 1995. Official Method of Analysis. Association of Official Agricultural Chemists, Washington DC, USA Apriyantono, A., D. Fardiaz, N.L. Puspitasari, Sedarnawati, S. Budijanto. 1989. Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Bradbury, J.H. dan W.D. Holloway. 1988. Chemistry of Tropical Root Crops : Significance for Nutrition and Agriculture in The Pacific. ACIAR Monograph Series No. 6, Canberra. Branen, A.L., P.M. Davidson, S. Salminen, dan J.H. Thorngate. 2002. Food Additives, Second Edition Revised and Expanded. Marcel Dekker Inc., New York. Brown, A. 2000. Understanding Food : Principles and Preparation. Wodsworth Inc., Belmont. BSN. 1992. SNI Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 01-2973-1992). Badan Standarisasi Nasional, Jakarta. Buckle, K.A, R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wotton. 1981. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh : H. Purnomo dan Adiono. UIPress, Jakarta. Cauvain, S. and L. Young. 2000. Bakery Food Manufacture and Quality. Water Control and Effect. Blackwell Science, UK. Damardjati, D.S. 2003. Penelitian dan Potensi Bahan Serta Produk untuk Kesehatan dan Kebugaran. Makalah seminar. Keseimbangan Flora Usus bagi Kesehatan dan Kebugaran. Bogor. Direktorat Gizi Depkes RI. 1993. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta.
32
Faridi, H. 1994. The Science of Cookie and Cracker Production. Chapman and Hall, New York. Faridi, H. dan Faubion, J.M. 1990. Dough Rheology and Baked Product Texture. An AVI Book, New York. Fenwick, G.R., C.L. Curl, N.M. Griffiths, R.K. Heaney, dan K.R. Price. 1990. Bitter principles In Foods Plants. Di dalam Rouseff, R. L. 1990. Bitterness In Foods and Beverages. Elsevier Science Publishing Company, Inc., New York. Fessenden, R.J. dan J.S. Fessenden. 1995. Kimia Organik. Erlangga, Jakarta. Hammet, H.L. dan B.F. Barrantine. 1961. Some Effect of Variety, Curing, and Baking Upon The Carbohydrate Content of Sweet Potatoes. Di dalam Woolfe, J.A. 1999. Sweet Potato an Untatapped Food Resource. Chapman and Hall, New York. Indrasti, D. 2004. Pemanfaatan Tepung Talas Belitung (Xanthosoma sagittifolium) Dalam Pembuatan Cookies. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. ISO.
1981. Sensory Analysis Vocabulary. International Organization for Standardization, Jenewa, Swiss.
Jenie, B.S.L., Muryanto, S. Hardjo, dan M. Sjachri. 1978. Mempelajari Pembuatan Tepung Ubi Jalar dengan Berbagai Cara Persiapan Bahan dan Suhu Pengeringan. Proyek Pengembangan Perguruan Tinggi, Departemen Teknologi Hasil Pertanian, IPB, Bogor. Johnson I.T., dan D.A.T. Southgate. 1994. Dietary Fiber and Related Substances. Chapman and Hall, London. Kadarisman, D., dan A. Sulaeman. 1993. Teknologi Pengolahan Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Diktat yang tidak dipublikasikan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Kay, D.E. 1973. Crop and Product Digest No. 2 Root Crops. The Tropical Products Institute, London. Koswara, S., Subarna, dan Rohmatul. 2003. Diversifikasi Pangan Berbasis Ubi Jalar. Laporan Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Tahun I, 2002/2003, Pusat Studi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lawless, H.T. dan H. Heymann. 1998. Sensory Evaluation of Food, Principles and Practices. Kluwer Academic, New York. Lingga, P., B. Sarwono, I. Rahardi, P.C. Rahardjo, J.J. Afriastini, R. Wudianto, dan W.H. Apriadji. 1986. Bertanam Umbi-Umbian. Penebar Swadaya, Jakarta.
33
Lutfika, Evrin. 2006. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Produk Olahan Panggang Berbahan Dasar Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rosenthal, A. J. 1999. Food Texture, Measurement and Perception. An Aspen Publication, Maryland.
Manley, D. 1983. Biscuit, Cracker, and Cookie Recipe for The Food Industry. Woodhead Publishing Limited, England.
Rukmana. 1997. Ubijalar, Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta.
Matz, S.A. 1992. Bakery Technology and Engineering 3rd Ed. Pantech International Inc., Texas. Matz, S.A., dan T.D. Matz. 1978. Cookies and Crackers Technology. The AVI Publishing Company Incorporation. Westport, Connecticut. Meilgaard, M., G.V. Civille, dan B.T. Carr. 1999. Sensory Evaluation Techniques. CRC Press, Boca Raton. Muchtadi, D. 2001. Sayuran Sebagai Sumber Serat Pangan untuk Mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. J. Tek. Dan Ind. Pan. 12 : 61-71. Palmer, J.K. 1982. Carbohydrate in Sweet Potato. Proc. Di dalam Villareal, R.J., T.D. Griggs (ed.). Sweet Potato Proceeding of The 1st International Symposium. AVRDC, Phillipines.
Rouseff, R. L. 1990. Bitterness In Foods and Beverages. Elsevier Science Publishing Company, Inc., New York.
Santosa, B.A.S, Widowati, dan S. Damardjati. 1994. Evaluasi Sifat-Sifat Fisik Kimia Tepung Dua Varietas Ubijalar. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Balittan, Malang. Santri, N. 2006. Uji Kinerja dan Modifikasi Alat Pengering (Rotary Dryer) pada Pengeringan Sawut Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.) di Unit Pengolahan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) Cibungbulang. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Shin, M.S dan S.Y. Ahn. 1983. Physicochemical Properties of Sweet Potato Starches. Di dalam Woolfe, J.A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and Hall, New York. Soebito, S. 1988. Analisis Farmasi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
34
Stauffer, C.E. 1990. Functional Additives For Bakery Foods. ABI Book, New York.
Woolfe, J.A. 1999. Sweet Potato an Untapped Food Resource. Chapman and Hall, New York.
Subarna. 1996. Formulasi ProdukProduk Serealia dan UmbiUmbian Untuk Produk Ekstrusi, Bakery, dan Penggorengan. Makalah. Disampaikan pada Pelatihan Produk-Produk Olahan, Ekstrusi, Bakery, dan Frying. PAU Pangan dan Gizi. Kantor Menteri Urusan Pangan, Jakarta.
Zakaria, F. 2003. Aspek Biokimia dan Gizi Pangan Fungsional Prebiotik. Makalah Seminar Keseimbangan Flora Usus bagi Kesehatan dan Kebugaran. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sutrisno, E. dan E. Ananto. 1999. Peralatan Industri Tepung Ubijalar untuk Bahan Baku Industri Olahan. Balitkabi, Malang. U.S.
Wheat Associates. 1983. Pedoman Pembuatan Roti dan Kue. Djambatan, Jakarta.
Whiteley, P.R. 1971. Biscuit Manufacture : Fundamentals of In-Line Production. Applied Science Publishers Ltd., London. Widowati, S., B.A.S. Santosa, dan D.S. Damardjati. 1994. Penggunaan Tepung Ubijalar sebagai Salah Satu Bahan Baku dalam Pembuatan Bihun. Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Ubijalar Mendukung Agroindustri. Balitan, Malang. Winarno, F.G. 1995. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
35