PENGEMBANGAN PERMUKIMAN BANTARAN SUNGAI PESANGGRAHAN KEBAYORAN LAMA JAKARTA SELATAN Wahyu Adhinugraha, Riyadi Ismanto, Riva Tomasowa Jurusan Arsitektur, Universitas Bina Nusantara Jl. K.H Syahdan no 9 Palmerah, Jakarta Barat 11480 Email :
[email protected]
Abstract According to the Central Statistics Agency (BPS), stated that the gap between the need and availability of shelter "backlog" to penetrate the national estimated 15 million units in 2014. The figure was up 10.29% from the year 2010, which amounted to 13.6 million units. Lack of government's ability to provide decent and affordable housing for all levels of society to be one of factors the growth of informal settlements in big cities like Jakarta. In addition, factors of economic ability and awareness of society also be the cause of illegal settlement. To obtain the required data in the process of designing, made a comparison of the existing condition of livable settlement standards should be. Data on existing communities are also needed such as activities or community work, it relates to the provision of facilities in the settlement as well as the design and concept of occupancy will be planned later. Site development and the provision of rental houses be a solution of the problem of settlements and housing that is not feasible, and the number of low-income people in the settlements Kebayoran Lama (WA) Keywords: Development, Squatter Abstrak
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan bahwa kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal “backlog” nasional ditaksir menembus 15 juta unit pada 2014. Angka itu naik 10,29% dari tahun 2010 yang sebesar 13,6 juta unit. Kurangnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi salah satu faktor tumbuhnya permukiman liar di kota besar seperti DKI Jakarta. Selain itu, faktor kemampuan ekonomi dan kesadaran dari masyarakat juga menjadi penyebab timbulnya permukiman liar. Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam proses perancangan desain, dilakukan perbandingan mengenai kondisi eksisting dengan standar permukiman layak huni seharusnya . Data tentang masyarakat yang ada juga dibutuhkan seperti kegiatan atau pekerjaan masyarakat, hal tersebut berkaitan dengan penyediaan fasilitas pada permukiman serta desain dan konsep hunian yang akan direncanakan nanti. Pengembangan kawasan dan penyediaan rumah sewa menjadi solusi dari permasalahan tentang permukiman dan hunian yang tidak layak, serta banyaknya masyarakat berpenghasilan rendah pada permukiman Kebayoran Lama. (WA) Kata kunci: Pengembangan, Permukiman Liar
PENDAHULUAN Permasalahan permukiman liar yang berdiri pada kawasan kumuh menjadi salah satu permasalahan yang ada pada kota besar seperti DKI Jakarta. Kurangnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan hunian yang layak dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi salah satu faktor tumbuhnya permukiman liar. Selain itu, faktor dari ekonomi dan kesadaran masyarakat juga menjadi penyebab timbulnya permukiman liar. Demi memenuhi kebutuhan dalam sektor papan, mereka tidak ragu untuk mendirikan bangunan liar dimana pun. Ketidakmampuan untuk membeli atau mengontrak rumah menjadi alasan masyarakat pendiri permukiman liar lebih memilih mendirikan bangunan liar sebagai tempat tinggalnya. Salah satu permukiman liar yang ada di DKI Jakarta adalah permukiman yang terdapat pada bantaran sungai Pesanggrahan, Kecamatan Kebayoran Lama, Kelurahan Cipulir Jakarta Selatan.Permukiman ini tumbuh sejak 14 tahun yang lalu, Pada awalnya kawasan ini adalah tempat pembuangan sampah permukiman sekitarnya. Tingginya kebutuhan akan tempat tinggal tetapi tidak diikuti dengan kemampuan pendapatan masyarakat, membuat masyarakat ini memilih untuk mendirikan tempat tinggal dilahan negara. Selain permukiman liar, permasalahan pada kawasan ini adalah citra kawasan yang kumuh. Citra kawasan kumuh terlihat dari tata letak bangunan yang ada tidak tertata dengan baik atau tidak direncanakan, umumnya hunian pada kawasan ini memiliki bentuk hunian yang temporer dengan menggunakan material seadanya berupa dinding papan kayu dan triplek. Selain itu, tidak terdapat jaringan listrik sehingga masyarakatnya menyambung kabel dari sumber tertentu menuju hunian mereka untuk mendapatkan listrik, air tanah tidak dapat dikonsumsi untuk minum dan memasak, tidak terdapat drainase atau saluran air kotor dan air hujan sehingga akan terjadi genangan bila hujan turun.
Foto 1 Foto Permukiman Karakteristik yang ada bisa dikatakan kumuh sesuai dengan beberapa kriteria permukiman kumuh, Bentuk hunian tidak berstruktur. Bentuk hunian tidak berpola dengan letak rumah dan jalan-jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, tidak tersedia fasilitas, sarana dan prasarana permukiman dengan baik, misalnya tidak ada got, sarana air bersih dan jalan yang buruk menurut Yudohusodo dalam Elly Luchritia Nova (2010). Pentingnya penanganan permasalahan permukiman ini, sejalan dengan apa yang ditegaskan dalam UU No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman bahwa penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk (1) Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan manusia; (2) Mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman serasi dan teratur. Beberapa keluaran yang dihasilkan untuk menyelesaikan masalah permukiman kumuh diantaranya, 1) Penyedian rumah yang terjangkau untuk masyarakat berpendapatan rendah, 2) Perbaikan infrastuktur dan hunian yang ada dengan modal partisipasi masyarakat, 3) Pemindahan masyarakat ketempat baru, 4)Penyediaan rumah sewa untuk masyarakat permukiman kumuh dengan fasilitas penunjangnya.
Hal mendasar dalam program peremajaan suatu permukiman kumuh adalah pemahaman tentang latar belakang dan karakter dari permukiman itu sendiri. Diperlukan analisa mengenai keadaan lingkungan, serta masyarakat didalamnya. Dengan demikian, permukiman yang akan diajukan sebagai rencana perbaikan permukiman kumuh dapat menjadi solusi karena tidak merubah kebiasaan dari masyarakat sebelumnya. Berdasarkan hal diatas, permasalahan permukiman kumuh harus segera diatasi agar tidak terus berkembang. Penanganan permukiman kumuh bisa dilakukan dengan cara penataan ulang atau peremajaan kawasan tersebut dengan memperbaiki infrastruktur kawasan dan penyediaan fasilitas pendukung yang dibutuhkan oleh masyarakat.
METODE PENELITIAN Dalam pelaksanaan studi, peneliti menggunakan tiga aspek yang terdapat dalam teori Geoffrey Broadbent (1973) yang digunakan sebagai acuan analisa. Tiga aspek tersebut adalah aspek manusia, lingkungan dan bangunan. Data yang diambil dari aspek manusia adalah jumlah masyarakat, pekerjaan masyarakat, kegiatan yang mereka lakukan pada lingkungan tersebut, serta jumlah penghuni dalam satu unit rumah. Data tersebut didapat dengan melakukan wawancara langsung terhadap masyarakat. Sebelum melakukan wawancara, terlebih dahulu peneliti menyiapkan pertanyaan pada lembar wawancara. Data tentang jumlah penduduk dan jumlah penghuni dalam satu unit akan berpengaruh terhadap jumlah unit dan luasan unit yang akan disediakan pada proses perancangan nanti. Data mengenai pekerjaan masyarakat akan berpengaruh terhadap sistem kepemilikan dari unit serta sistem konstruksi bangunan pada proses perancangan nantinya, karena kemampuan ekonomi masyarakat akan berkaitan terhadap daya beli dari bangunan yang disediakan. Seangkan data kegiatan masyarakat berpengaruh terhadap penyediaan fasilitas pada permukiman tersebut. Data mengenai batas wilayah, luas wilayah, peraturan pemerintah mengenai lahan tersebut, serta kondisi dari lingkungan penelitian adalah data yang di ambil dari analisa aspek lingkungan. Data mengenai batas wilayah dan kondisi lingkungan diambil dengan cara melakukan pengamatan langsung pada lokasi penelitian. Sedangkan data mengenai peraturan pemerintah didapat dengan cara menayakan langsung kedapa tata kota. Dari data peratuan prancangan pada lokasi penelitian akan di dapat jumlah KDB atau koefisian dasar bangunan, jenis bangunan, dan jumlah lantai bangunan yang diperbolehkan pemerintah untuk dibangun. Data luas wilayah akan dipadukan dengan data KDB yang diperbolehkan sehingga didapat luasan bangunan yang diperbolehkan untuk dibangun. Data kondisi tapak yang dicari adalah data berupa kondisi jalan, keberadaan fasilitas umum maupun fasilitas sosial pada tapak, ketersediaan utilitas dan drainase lingkungan yang nantinya akan dibandingkan dengan proyek serupa salah satunya adalah kampung deret Petogogan dan ketentuan yang di tetapkan oleh pemerintah yaitu tentang perancangan perumahan pada daerah perkotaan. Dari proses perbandingan akan didapat hasil mengenai kebutuhan fasilitas yang seharusnya disediakan nantinya. Data yang diambil dari pengamatan aspek bangunan berupa fungsi bangunan eksisting, kategori struktur bangunan eksisting, pola bangunan, hak kepemilikan dari unit bangunan eksisting. Untuk mendapatkan data tersebut dilakukan pengamatan langsung dilapangan, serta wawancara terhadap masyarakat yang terdapat di lokasi penelitian. Teknik analisa data yang dipergunakan adalah anaisis diskriptif kualitatif. data yang didapat berupa catatan hasil pengamatan, data wawancara, foto kondisi eksisting, dan data kondisi eksisting yang akan di bandingkan dengan teori yang bersangkutan, sehingga di dapat hal-hal apa saja yang harus diperbaiki.
HASIL DAN BAHASAN Hasil dari penelitian ini adalah perancangan pengembangan permukiman bantaran sungai menjadi permukiman dengan rumah sewa berkonsep modular untuk masyarakat berpebghasilan rendah. Lokasi penelitian berada di daerah Kebayoran Lama Jakarta Selatan.Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan pendekatan Geoffrey Broadbent yang menjelaskan bahwa untuk perwujudan arsitektur terdapat tiga aspekatau sistem yang perlu ditinjau yaitu, aspek lingkungan, aspek bangunan, aspek manusia. Ketiga aspek diatas yang akan menjadi dasar perancangan dari Analisa Manusia Jenis pekerjaan masyarakat yang beragam menjadi pertimbangan peneliti dalam menentukan bentuk dan konsep hunian baru. Menurut analisa mengenai pekerjaan masyarakat, terdapat masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan, bekerja disektor informal, maupun bekerja secara serabutan sebagai kuli atau buruh bangunan. Jenis pekerjaan yang beragam berpengaruh terhadap jumlah penghasilan dari masing-masing masyarakat. Pekerjaan informal seperti buruh, pedagang sayur, tukang ojek, maupun pengepul tidak memiliki penghasilan tetap setiap bulanya.
Pekerjaan Buruh Bangunan Pedagang Sayur Pengepul Barang Bekas Tukang Ojek Service Ac/ Mesin Cuci
Tabel 1 Pendapatan Pendapatan Rp. 90.000/hari, Rp2.000.000-Rp2.500.000/bulan Rp. 500.000-700.000/bulan Rp. 500.000-900.000/bulan Rp. 900.000-1.100.000/bulan Rp. 50.000/hari, Rp.1.200.000-1.500.000/bulan
Untuk masyarakat yang bekerja disektor formal seperti pelayan restoran dan petugas keamanan, memiliki pendapatan tetap sebesar Rp.2.500.000-Rp. 3.000.000/ bulan. Dalam rangka peningkatan taraf hidup rakyat Indonesia melalui penyediaan perumahan secara merata, khususnya bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah, sangat rendah dan kelompok berpenghasilan informal, maka diperlukan upaya penyediaan perumahan murah yang layak dan terjangkau akan tetapi tetap memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Untuk memenuhi kebutuhan diatas, pemerintah sudah menyediakan konsep rumah sederhana sehat yang diatur dalam Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasaran Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs SEHAT).Konsep dari rumah sederhana sehat itu sendiri adalah rumah tumbuh, konsep rumah tumbuh inilah yang akan diterapkan pada unit hunian baru. Masyarakat akan menyewa satu lahan kavling dengan besaran unit sesuai dengan kebutuhan dan kemampuanya.
Gambar 1 Skema Pertumbuhan Unit
Analisa Struktur Struktur bangunan akan dijadikan struktur permanen. Struktur yang akan digunakan nanti berupa modul struktur RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat) RISHA ada sebuah penemuan teknologi konstruksi knock down yang dapat dibangun dengan waktu cepat (oleh sebab itu disebut sebagai teknologi instan), dengan menggunakan bahan beton bertulang pada struktur utamanya.
Gambar 2 Struktur RISHA Penggunaan RISHA pada hunian yang baru karena ada kesesuaian dengan konsep rumah tumbuh yang digunakan, selain itu penggunaan struktur RISHA dipilih karena, jumlah tenaga kerja untuk merakit teknologi ini cukup 3 orang saja, dengan waktu yang singkat dan jumlah tenaga yang lebih sedikit, maka teknologi ini merupakan teknologi yang mendorong peningkatan produktifitas kerja, teknologi ini memiliki kemudahan dalam penjaminan mutu, karena terukur dan terkonsentrasi proses produksinya, terutama pada pembangunan skala masal, mutu antara satu bangunan dengan bangunan lainnya akan sama, dari sisi konsumsi bahan bangunan teknologi ini hanya mengkonsumsi sekitar 60% bahan bangunan dibandingkan dengan teknologi konvensional, sehingga teknologi ini lebih ramah lingkungan (hemat sumber daya alam, hemat energi, hemat pemeliharaan, hemat waktu). Karena mengacu pada ukuran modular, maka bahan bangunan yang terbuang relatif sangat kecil, tentunya bangunan ini juga ramah terhadap gempa. Struktur ini dapat dikembangkan pada arah horizontal maupun vertikal sampai dengan dua lantai, tanpa harus merubah bagian bawah
Gambar 3 Perbandingan Kecapatan Struktur
Selain penggunaan struktur modular dan prefabrikasi, dinding pengisi, jendela, dan pintu juga menggunakan sistem prefabrikasi. Penggunaan sistem prefabrikasi bertujuan agar proses pembangunan lebih cepat dan rapih. Selain itu, dengan struktur prefabrikasi yang bisa dibongkar pasang, tidak akan terlalu sulit bila ada penambahan ruang, material dinding jendela dan pintu yang sudah terpasang masih bisa digunakan kembali meskipun ruangan tersebut bergeser
Gambar 4 Skema Sistem Bongkar Pasang
Analisa Lingkungan Sesuai dengan peruntukan lahan yang ada, kawasan permukiman ini memang berada pada lahan yang direncanakan oleh pemerintah sebagai lahan zona hunian. Lebih spesifik lagi, zona hunian yang diperbolehkan adalah jenis zona hunian KDB rendah, koefisien dasar bangunan atau KDB yang diperbolehkan sebesar 30% dari luas lahan yang ada. Luas dari lahan penelitian sendiri terhitung ±10345m2, bila disesuaikan dengan ijin luasan yang boleh dibangun pada lahan, maka luas bangunan yang terbangun nantinya maksimal 3103.5 m2. Total 30% dari KDB yang diijinkan akan digunakan untuk fungsi hunian dan fasilitas penunjangnya. Sedangkang untuk ruang tebuka sebesar 70% dari luas lahan, akan dimanfaatkan menjadi ruang terbuka hijau dengan fasilitas olahraga, rekreasi dan sosialisasi warga sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M2008 tentang Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan.
Gambar 5 Kondisi Tapak RTH Rukun Warga (RW) dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan remaja, kegiatan olahraga masyarakat, serta kegiatan sosial lainnya di lingkungan RW tersebut. Fasilitas yang disediakan berupa lapangan untuk berbagai kegiatan, baik olahraga maupun aktivitas lainnya, beberapa unit bangku taman yang dipasang secara berkelompok sebagai sarana berkomunikasi dan bersosialisasi antar warga, dan beberapa jenis bangunan permainan anak yang tahan dan aman untuk dipakai pula oleh anak remaja. Data yang didapat dari proses pengamatan menyatakan bahwa terdapat beberapa aktifitas dalam kawasan tersebut antara lain, aktifitas bermukim, aktifitas pengepul barang bekas, aktifitas pemeliharaan hewan kambing dan unggas, serta penambahan dua aktifitas baru yaitu perkebunan dan aktifitas tambak yang muncul karena hasil dari pengamatan yang dilakukan. Dengan demikian, Terdapat lima aktifitas yang ada dan tentunya akan mempengaruhi kebutuhan ruang yang diperlukan.
Gambar 6 Skema Aktivitas dan Kebutuhan Ruang Hasil dari skema aktifitas diatas berkaitan dengan skema aktifitas masyarakat pada tapak yang dibahas pada sub-bab sebelumnya. Berbagai aktifitas tersebut memiliki sifat yang berbeda sehingga berpengaruh pada tahap penempatan zoning pada kawasan.
Gambar 7 Skema Sifat Aktivitas Dalam Kawasan Berdasarkan pengelompokan pada gambar diatas, sifat dari aktifitas yang ada dibagi menjadi empat kategori. Zona publik untuk kepentingan berdagang, perkebunan dan sosialisasi. Kedua aktifitas ini akan diwujudkan dalam bentuk taman dan koperasi. Taman dan koperasi akan ditempatkan ditempat yang mudah dicapai orang luar maupun orang dalam, Sehingga taman yang ada mampu menjadi sarana sosialisasi dan rekreasi bagi masyarakat sekitar kawasan. Sedangkan koperasi merupakan tempat pengelolaan dan penjualan hasil dari perkebunan dan tambak.
Penempatan zona perkebunan pada wilayah publik bertujuan agar perkebunan yang ada bisa diakses olah masyarakat sekitar dan menjadi sarana rekreasi agrowisata kecil. Semi publik untuk kepentingan pengepul. Penggolongan semi publik untuk aktifitas pengepul barang bekas karena pertimbangan akan adanya potensi orang yang akan datang untuk membeli hasil dari para pengepul, tetapi intensitasnya tidak terlalu sering. Private untuk aktifitas bermukim, karena hunian hanya ditujukan untuk penghuninya saja. Dengan demikian penggolongan zoning bisa dipetakan sesuai dengan sifat dari masing-masing zona
Gambar 8 Skema Penempatan Zoning
SIMPULAN DAN SARAN Proses analisa menggunakan teori Geoffrey Broadbant (1973) meliputi tiga aspek yaitu, manusia, lingkungan dan bangunan. Analisa dipakai agar hasil dari perencanaan sesuai dengan karakter atau sifat dari manusia sebagai penggunanya dan lingkungan sebagai tempat bangunan itu berada. Proses peremajaan yang dipilih adalah Model Land Consolidation adalah model penataan ulang diatas tanah yang selama ini telah dihuni. Karena memiliki kriterian atau prasyaratan yang sama untuk penanganan dengan model ini antara lain tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer pemilikan/ penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi, tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang beragam (tidak terbatas pada hunian). Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih strategis dari sekedar hunian. Melalui penataan ulang dimungkinkan adanya penggunaan campuran (mix used) hunian dengan penggunaan fungsional lain. Kebiasaan masyarakat permukiman liar ini akan tetap dijaga, seperti aktifitas sosialisasi, aktifitas pengepul barang bekas, , ternak kambing, hal ini akan mempengeruhi alam tahap perancangan nanti. Pada tahap perancangan akan kegiatan yang ada akan tetap difasilitasi dengan penyediaan laha untuk pengepul barang bekas, lahan beternak kambing, dan penyediaan lahan untuk bersosialisasi. Untuk meningkatkat produktifitas masyrakat yang tiddak bekerja, akan disediakan lahan untuk berkebun sehingga hasil dari perkebunan nanti bisa dinikmati oleh masyarakat itu sendiri. Konsep rumah yang dikembangkan adalah konsep rumah tumbuh, seperti yang dijelaskan sebelumnya, konsep rumah tumbuh dipilih karena dinilai sesuai dengan kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah. Rumah dapat berkembang sesuai dengai kemampuan dan kebutuhan dari penghuni. Struktur yang dipakai adalah struktur RISHA dengan dinding pengisi dinding prafabrikasi. Pemilihan sistem prafabrikasi dinilai akan bisa menghemat waktu dan biaya, serta meminimalisir bahan bangunan yang terbuang
Saran bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mampu menganalisa kawasan atau daerah penelitian lebih baik lagi menurut teori-teori yang bersangkutan dalam pembentukan permukiman. Selain itu pemahaman akan karakter dari penghuni serta potensi lingkungan mampu membantu peneliti dalam menemukan desain rancangan yang sesuai.
REFERENSI Broadbent, Geoffrey. (1973). ‘Design in Architecture’. Elly Luvhritia, N. (2010). Peremajaan Permukiman Kumuh di Kelurahan Gunung Elai, Lok Tuan, dan Guntung Kota Bontang. Tesis S2. Universitas Diponegoro, Semarang. Amalia Angel. (2008). Prafabrikas, Antara Arsitektur, Teknologi, dan Sosial Ekonomi. Skripsi S1. Universitas Indonesia, Depok. Olivia D., Wonorahardjo S., Tedja S., Edward B. (2008). Seminar Nasional Perumahan Rakyat Strategi Percepatan Pembangunan Perumahan Berbasis Kearifan Lokal. Jakarta Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman (2001). Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pertunjukan Umum Pelaksanaan Peremajaan Lingkingan Permukiman Kumuh di Perkotaan dan Perdesaan. Jakarta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (2008). Pedoman Penyediaan Dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kaawasan Perkotaan. Jakarta
RIWAYAT PENULIS Wahyu Adhinugraha lahir di kota Jakarta pada 21 Mei 1992. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Arsitektur pada tahun 2015.