Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Desember 2012 Vol. 1 No.1 Hal : 17-29 ISSN 2302-6308
PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP YANG BERSINERGI DENGAN ASPEK LINGKUNGAN DAN SOSIAL EKONOMI : STUDI KASUS DI PERAIRAN KABUPATEN BANYUWANGI Mustaruddin1* 1Staf
Pengajar Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Jl. Agathis Kampus IPB Dramaga Bogor 16680 *Korespondensi :
[email protected] Diterima: 10 November 2012 / Disetujui: 4 Desember 2012
ABSTRACT As area upwelling, territorial water of Bali Strait in Banyuwangi Regency region a lot of develop activities of capture fisheries and its supporting units. Development of fisheries have exceeded everlasting quota specified by according to SKB Jawa-Timur Province and Bali Province No. 238 Year 1992//674 Year 1992, so that tend to menace sustainability of fish resources and environment of territorial water. This research aim to analyse environmental condition of territorial water, analyse compatibility of capture fisheries with environmental aspect and socio-economic, and also formulate strategy to develop compatibility of capture fisheries. Territorial water of Banyuwangi regency has amonia (1,025 ppm), TSS (26,4 ppm), detergent (1,16 ppm), heavy metal of Cd (0,0015 ppm) and Cr ( 0,0053 ppm) with exceeded quality standard for growth of fish resources and other biota of territorial water. The highest fish production in six the last year (2005-2010) was became of 2007, that is reach 60.393.648 kg, and from this amount about 54.089.139 kg represent haul of lemuru. Compatibility of development of capture fisheries with environmental aspect and socio-economic is inclusive of category "good enough" (quadran V of matrix IE). Increase socialization of JTB and protection of ruaya of fish become priority strategy to development of capture fisheries compatible with environmental aspect and socio-conomic in Banyuwangi Regency ( RK = 0,249, IR = 0,05). Keywords: enviromental, heavy metal, capture fisheries, priority strategy
PENDAHULUAN Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010), sekitar 80 % aktivitas ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyuwangi bergantung pada perikanan tangkap dengan Muncar sebagai sentra kegiatannya. Kegiatan perikanan tangkap berkembang dengan baik di Kabupaten Banyuwangi, karena perairan sekitar (Selat Bali) merupakan daerah upwelling yang banyak membawa nutrien, sehingga cocok untuk perkembangan sumberdaya ikan terutama dari jenis ikan
lemuru. Bila mengacu kepada SKB PEMDA Provinsi Jawa Timur dan PEMDA Propinsi Bali No. 238 Tahun 1992 tahun 1992, maka pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Banyuwangi sudah melebihi kuota lestari. Untuk purse seine misalnya, pada tahun 2010 mencapai 251 unit, sedangkan kuota untuk Kabupaten Banyuwangi sekitar 190 unit. Dari 251 unit tersebut sebagian besar menggunakan 2 kapal dalam setiap operasinya (two boat system). Kondisi ini tentu mengancam
18
MUSTARUDDIN
kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan perairan di wilayah selat yang sempit tersebut. Bila dibiarkan, maka secara jangka panjang dapat mengancam kehidupan sosial ekonomi masyarakat pesisir yang sebagian besar bergantung pada laut. Di samping kegiatan perikanan tangkap, di pesisir Kabupaten Banyuwangi juga berkembang kegiatan industri, usaha pengolahan skala rumah tangga, dan kegiatan penyeberangan sehingga menambah beban pencemaran pada lingkungan perairan sekitar. Menurut Ditjen P2HP (2010) dan Fauzi, et. al (2010), sekitar 72 % kegiatan industri dan usaha rumah tangga di pesisir Kabupaten Banyuwangi bergerak pada bidang perikanan, dan semuanya membuang limbah secara langsung ke perairan sekitar. Kondisi ini tentu semakin memperkuat tekanan kegiatan perikanan terhadap lingkungan perairan Kabupaten Banyuwangi tersebut. Penelitian ini bertujuan : 1) Menganalisis kondisi lingkungan perairan dan kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Banyuwangi 2) Menganalisis tingkat sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi 3) Merumuskan strategi pengembangan perikanan tangkap yang bersinergi dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyuwangi
JIPP fisika-kimia perairan, data produksi ikan, data finansial usaha perikanan tangkap, data sosial budaya, dan lainnya. Sedangkan data sekunder antara lain terdiri dari data time series produksi perikanan, data perkembangan alat tangkap, data lingkungan perairan Kabupaten Banyuwangi. Data primer dikumpulkan melalui observasi lapang, wawancara dan diskusi dengan stakeholders perikanan (nelayan, pengusaha perikanan, pengelola pelabuhan, DKP Kabupaten Banyuwangi, dan masyarakat). Sedangkan data sekunder dikumpulkan dari laporan kegiatan di instansi terkait dan hasil penelitian yang relevan. Analisis Data Analisis fisika-kimia perairan Analisis ini dilakukan untuk mengukur beberapa parameter penting yang mencerminkan kondisi lingkungan perairan Selat Bali wilayah administratif Kabupaten Banyuwangi. Parameter yang diukur mencakup pH, dissolved oxygen /DO, amonia, total suspended solid/TSS, deterjen, logam berat (Pb, Cd, dan Cr), bau, warna, kecepatan arus, dan suhu di lokasi terpilih di perairan Kabupaten Banyuwangi. Logam berat Pb, Cd, dan Cr dipilih karena mempunyai dampak degeneratif pada manusia dan biota perairan. Analisis DO, pH, TSS, dan logam berat dilakukan secara laboratory dari sampel air laut yang diambil, sedangkan parameter lainnya langsung diukur di lapang.
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Selat Bali yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan, mulai bulan September 2010 sampai dengan Januari 2011. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data
Analisis SWOT Analisis SWOT ini digunakan untuk menganalisis tingkat sinergi dengan pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi Kabupaten Banyuwangi. Untuk itu, maka dalam analisis SWOT ini dikembangkan matriks IFAS, matriks EFAS, dan matriks IE (Rangkuti, 2004). Matriks IFAS berguna untuk menganalisis faktor internal (kekuatan dan kelemahan) yang berpengaruh dalam pengembangan sinergi pengembangan perikanan tangkap, dan matriks EFAS berguna untuk
Volume 1 (1), 2012
Pengembangan Perikanan Tangkap yang Bersinergi
menganalisis faktor eksternal (peluang dan ancaman) yang berpengaruh dalam pengembangan sinergi tersebut. Matriks IE digunakan untuk menganalisis posisi pengembangan perikanan tangkap saat ini dalam kaitannya dengan sinerginya terhadap aspek lingkungan sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat pesisir Kabupaten Banyuwangi. Pengembangan matriks IE dilakukan memetakan hasil analisis matriks IFAS dan matriks EFAS pada kuadran yang sesuai di matriks IE, dan posisi kuadran tersebut mencerminkan tingkat sinergi yang terjadi. Analisis hierarki Analisis hireraki atau yang juga dikenal dengan analytical hierarchy process (AHP) ini digunakan untuk menentukan strategi pengembangan perikanan tangkap terbaik/prioritas yang bersinergi dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyuwangi. Pada prinsipnya, penentuan ini dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai kriteria pengembangan, kepentingan stakeholders perikanan, dan beberapa hal yang menjadi faktor pembatas dalam membangun sinergi perikanan tangkap di Kabupaten Banyuwangi. Terlepas dari itu, tahap awal yang perlu dilakukan dalam analisis hierarki ini adalah pendefinisian masalah /komponen. Dalam pendefinisian ini, komponen yang menjadi tujuan, kriteria, dan faktor pembatas dalam penentuan strategi pengembangan perikanan tangkap yang bersinergi dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi di Kabupaten Banyuwangi diidentifikasi dan ditetapkan. Selanjutnya komponen terpilih tersebut dikelompokkan dan disusun dalam bentuk struktur bertingkat. Pada tahap analisis skala banding berpasangan, data disiapkan dengan dengan MS Excell, sedangkan penetapan skala banding berpasangan dan sistem pembobotannya mengacu kepada Saaty (1993). Data yang sudah lengkap selanjutnya dianalisis menggunakan software Expert Choice 9.5 untuk mendapatkan rumusan strategi dalam
19
skala prioritas. Untuk menguji kinerja hasil analisis ini, maka dilakukan pengujian rasio inconsistency (RI). Hasil uji ini diharapkan menunjukkan nilai RI di bawah 0,1. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Perairan Kabupaten Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi mempunyai wilayah perairan sekitar 485,12 km2 yang hampir semuanya berada di Selat Bali. Selat Bali termasuk lokasi perairan ini yang padat, baik oleh kegiatan penyeberangan, kegiatan penangkapan ikan, maupun kegiatan industri yang tersebar di sepanjang pesisir Kabupaten Banyuwangi maupun Kabupaten Jembrana Bali. Hal ini sedikit banyak dapat mengganggu kondisi lingkungan perairan Selat Bali termasuk di wilayah Administrasi Kabupaten Banyuwangi sedikit terganggu. Tabel 1 menyajikan data kondisi lingkungan perairan Selat Bali di wilayah adminstrasi Kabupaten Banyuwangi. Tabel 1 Kondisi lingkungan perairan Selat Bali (di wilayah Kabupaten Banyuwangi) Parameter pH DO Amonia TSS Deterjen (surfactan) Logam Pb Logam Cd Logam Cr Bau Warna Arus Suhu
Satuan
Nilai**
Ppm Ppm Ppm
Standa r* 6-9 >4 <1 25
Ppm
<1
1,16
Ppm Ppm Ppm
< 0,008 < 0,001 < 0,05 Alami < 50 <2 Alami
0,00078 0,0015 0,0053 Alami 45,2 0,002 - 1,6 27,3
CU m/detik 0 C
6,8 5,7 1,025 26,4
Keterangan : * Keputusan Meneg KLH No. 02 Tahun 1988 dan Keputusan Meneg LH No. 51 Tahun 2004 untuk perkembangan sumberdaya ikan dan biota perairan lainnya ** Kualitas lingkungan perairan Selat Bali di Wilayah Administrasi Kabupaten Banyuwangi
20
MUSTARUDDIN
JIPP
Berdasarkan Tabel 1, kadar amonia, total padatan tersuspensi (TSS), deterjen, logam berat Cd dan Cr sudah melebihi standar yang dipersyaratkan untuk perkembangan sumberdaya ikan dan biota perairannya. Kondisi ini tentu kurang baik bagi pengembangan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan di lokasi, apalagi perikanan tangkap menjadi andalan ekonomi masyarakat dan daerah. Hal ini karena sekitar 80 % usaha ekonomi di Kabupaten Banyuwangi bergantung pada kegiatan perikanan tangkap dengan Muncar sebagai sentra kegiatannya (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2010). Diantara parameter lingkungan yang tercemar tersebut, deterjen dan logam berat (Cd dan Cr) termasuk yang paling mengganggu bagi pengembangan perikanan tangkap di lokasi. Hal ini karena selain menghambat perkembangan sumberdaya ikan di perairan, juga dapat mencemari produk perikanan, sehingga tidak dapat dijual secara layak. Khusus untuk logam berat juga bisa berdampak kurang baik bagi kesehatan manusia. Menurut Parizek, et. al (1974) dan
Darmono (1995), produk perikanan yang mengandung logam berat Cr dan Cr dapat menimbulkan penyakit degeneratif (turunan) pada manusia yang mengkonsumsinya. Parameter lingkungan perairannya, seperti pH, DO, logam berat Pb, bau, warna suhu, dan arus masih relatif baik. Tindakan penanganan, seperti pencegahan pembuangan limbah industri ke perairan, buang sampah pemukiman ke perairan, penyuluhan, dan pemberdayaan masyarakat perlu segera dilakukan, sehingga kondisi lingkungan masih baik dapat dipertahankan dan yang sudah tercemar dapat dipulihkan kembali. Kondisi Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Banyuwangi Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa sebagian besar kegiatan ekonomi Kabupaten Banyuwangi bergerak di bidang perikanan tangkap. Gambar 1 menyajikan perkembangan usaha perikanan tangkap dan produksi perikanan selama periode 2005 – 2010 di Kabupaten Banyuwangi.
2500
60,000,
Produksi (Ton)
2000
1500
1000
50,000 40,000 30,000 20,000
500 10,000 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
0 2005
Tahun
2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Payang
Purse seine
Sero
Gillnet
Bagan Tancap
Pancing Yang Lain
Total
Lemuru
Tongkol
Layang
Ikan Lainnya
Gambar 1 Perkembangan usaha perikanan tangkap dan produksi perikanan di Kabupaten Banyuwangi Berdasarkan Gambar 1, usaha perikanan tangkap yang dioperasikan di Kabupaten Banyuwangi cenderung meningkatkan dari tahun ke tahun, kecuali untuk payang. Gillnet, purse seine, dan
pancing lainnya termasuk unit penangkapan ikan yang paling banyak dioperasikan di lokasi. Mamuaya, et.al (2007) dalam penelitiannya menyatakan, usaha perikanan tangkap yang cenderung
Volume 1 (1), 2012
Pengembangan Perikanan Tangkap yang Bersinergi
bertambah merupakan indikasi kemandirian pengembangan perikanan tangkap di suatu daerah pantai. Sedangkan menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010), kecenderungan meningkat usaha perikanan tangkap di lebih karena kesadaran masyarakat untuk mengembangkan perikanan tangkap sebagai sektor unggulan Kabupaten Banyuwangi Perkembangan jumlah usaha perikanan tangkap tersebut agak bertolak belakang dengan produksi perikanan yang fluktuatif dengan kecenderungan menurun (Gambar 1). Produksi tahun 2007 merupakan produksi perikanan tangkap tertinggi yang tercatat enam tahun terakhir yang mencapai 60.393.648 kg. Ikan lemuru merupakan hasil tangkapan terbanyak (81,08%) dan mengalami peningkatan produksi signifikan pada tahun 2006 (51.336.512 kg) dan tahun 2007 (54.089.139 kg), namun pada tahun 2008 – 2010 menurun drastis. Kondisi ini memberi indikasi telah terjadinya kelangkaaan sumberdaya ikan di perairan Selat Bali yang menjadi fishing ground utama nelayan Kabupaten Banyuwangi. Hal ini bisa saja terjadi karena jumlah tangkap tersebut telah melebihi stock potensi lestari (MSY) lokasi, yaitu sekitar 46.000.000 kg per tahun (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2010). Kelangkaan sumberdaya ikan ini juga bisa terjadi karena lingkungan perairan yang sudah tercemar terutama dengan deterjen dan logam berat (Cd dan Cr). Menurut Poppo et. al (2006) dan Lestari dan Edward (2004), deterjen di perairan dapat mengganggu respirasi dan pergerakan ikan sehingga pertumbuhannya terhambat, sedangkan logam berat dapat mengganggu reproduksi ikan dan menyebabkan toksik yang berujung pada kematian. Dalam kaitan ini, pengembangan usaha perikanan tangkap maupun aktivitas industri pendukung di daerah pantai harus dilakukan secara sinergi dengan potensi stock, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, serta mengakomodir kepentingan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
21
Sinergi Pengembangan Perikanan Tangkap Untuk mengetahui tingkat sinergi pengembangan usaha perikanan tangkap dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi di Kabupaten Banyuwangi termasuk pada kondisi perairan agak tercemar saat ini, maka berbagai faktor internal dan eksternal terkait perlu diidentifikasi. Informasi tingkat sinergi ini berguna untuk menentukan arah dan strategi pengembangan perikanan tangkap yang tepat ke depan. Faktor Internal yang Mempengaruhi Sinergi Pengembangan Faktor kekuatan Secara umum, hasil identifikasi faktor internal termasuk yang menjadi kekuatan terkait pengembangan sinergi usaha perikanan tangkap dengan kondisi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat disajikan pada Tabel 1. Sumberdaya ikan dengan keanekaragamannya merupakan faktor atau syarat utama berlangsung kegiatan perikanan di Kabupaten Banyuwangi (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2010). Kepentingan pengembangan perikanan terhadap faktor internal ini mencapai 16 % (bobot 0,16) dari 11 faktor dalam kelompok faktor internal. Namun kondisi riil di perairan Selat Bali, sumberdaya ikan dengan keanekaragamannya tersebut cukup mempunyai andil dalam kegiatan perikanan (rating = 2, cukup). Keanekaragaman sumberdaya ikan ditunjukkan oleh hasil tangkapan ikan yang didaratkan di PPP Muncar yang cukup beragam. Menurut Fauzi, et. al (2010) dan DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) dan survai lapang, ikan hasil tangkapan nelayan di Kabupaten Banyuwangi ada sekitar 35 jenis ikan dengan hasil tangkapan utama berupa ikan lemuru (81,08 %), tongkol (12,75 %), dan layang (4,22 %). Kemampuan modal kerja masyarakat nelayan di Kabupaten Banyuwangi, termasuk lebih baik dibandingkan dengan nelayan di tempat lain (sekitar 72,2 % mengusahakan modal secara mandiri). Kalaupun ada nelayan
22
MUSTARUDDIN
/pengolah ikan skala kecil dengan modal terbatas, kemampuan pemodalannya juga relatif lebih baik (rating = 3, baik). Mereka umumnya menyimpan modal dalam bentuk harta benda (emas, perabot rumah tangga) dan tabungan di bank. Sirkulasi arus di fishing ground utama nelayan Kabupaten Banyuwangi (Selat Bali) sangat baik, di mana arus naik (upwelling) terjadi pada wilayah cukup luas setiap tahunnya (rating = 3). Mustaruddin, et. al (2011a) menyatakan bahwa sirkulasi arus dan intensitas upwelling sangat mendukung perkembangan ikan pelagis kecil termasuk ikan lemuru di suatu kawasan perairan. Pelabuhan perikanan merupakan infrastruktur dan faktor internal yang juga penting untuk mendukung pengembangan kawasan minapolitan di Muncar. Selama ini, pelabuhan perikanan (PPP Muncar) mempunyai fasilitas yang memadai untuk kegiatan perikanan skala menengah, seperti tambat labuh, tempat pelelangan ikan, dan pasar perbekalan
JIPP (rating 3). Terkait dengan ini, maka infrastuktur pelabuhan ini cukup mendukung terhadap kegiatan perikanan tangkap termasuk bila Muncar dikembangkan sebagai kawasan minapolitan (skor = 0,30). Konservasi lingkungan perairan juga banyak terjadi lokasi, seperti oleh CO-FISH tahun 2004, Balai Konservasi Sumberdaya Alam tahun 2003 dan 2007, dan DKP Kabupaten Banyuwangi melalui program pelestarian pesisir dan laut (rating = 2). Masyarakat nelayan Kabupaten Banyuwangi umumnya dapat menyiapkan alat tangkap yang diperlukan secara mandiri. Alat tangkap seperti jaring purse seine, jaring gillnet, dan bubu dapat diperbaiki sendiri (meskipun tidak semua) dan bila ada waktu senggang, beberapa nelayan/pengolah/pedagang ikan terkadang menyibukkan diri dengan membuat peralatan sendiri (rating = 2). Secara sosial, kemandirian ini mendukung sinergi pengembangan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Banyuwangi.
Tabel 1 Kelompok faktor internal pengembangan sinergi dan kesiapan infrastruktur Faktor Internal Kekuatan : Keanekaragaman sumberdaya ikan Modal kerja masyarakat nelayan relatif baik Sirkulasi arus perairan lokasi baik Pelabuhan perikanan yang memadai Program konservasi lingkungan perairan cukup intensif Kemampuan pengadaan peralatan secara mandiri Kelemahan : Pengetahuan tentang Jumlah Tangkap Yang Diperbolehkan/JTB rendah Ukuran kapal dan mesin yang belum standar semua Konflik internal perikanan di lokasi Perairan sedikit tercemar oleh usaha perikanan Interaksi pemanfaatan dengan komponen perairan Total Sumber : Hasil olahan data lapang (2010)
Faktor kelemahan Pengetahuan tentang Jumlah Tangkap Yang Diperbolehkan/JTB rendah menjadi salah satu kelemahan penting bagi pengembangan perikanan tangkap di Kabupaten Banyuwangi. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian nelayan/
Bobot
Rating
Skor
0,16 0,11 0,08 0,10 0,07 0,05
2 3 3 3 2 3
0,32 0,33 0,24 0,30 0,14 0,15
0,15
1
0,30
0,05 0,09 0,04 0,11
2 3 2 2
0,10 0,27 0,08 0,20 2,43
pengusaha perikanan, menyebabkan kegiatan penangkapan tersebut terkadang tidak mengindahkan peraturan yang ada. Misalnya SKB PEMDA Provinsi Jawa Timur dan PEMDA Propinsi Bali No. 238 Tahun 1992 tentang kuota alat tangkap sering tidak diindahkan oleh nelayan/
Volume 1 (1), 2012
Pengembangan Perikanan Tangkap yang Bersinergi
pengusaha perikanan. Hal ini terkadang menyebabkan beberapa jenis ikan potensial, seperti lemuru, tongkol, layang, dan cakalang hilang pada bulan tertentu dan ada beberapa produksinya juga cenderung menurun dengan bertambahnya waktu (skor = 1, rendah). Ukuran dan mesin kapal perikanan masih cukup banyak yang tidak standar di lokasi, sehingga terkadang dalam operasinya mengganggu pergerakan biota perairan terutama di lokasi yang banyak terumbu karangnya (rating = 2). Kapal yang standar ukurannya umumnya dari jenis gill net, sedangkan purse seine kebanyakan tidak standar purse seine yang diuskai nelayan/pengusaha perikanan di lokasi umumnya yang menggunakan dua kapal (two boat system) karena hasil tangkapannya lebih banyak. Walaupun menggunakan dua kapal, tetapi di lokasi tetap dianggap satu unit purse seine (tidak standar). Hal ini tentu kurang baik bagi kelestarian sumberdaya ikan dan keseimbangan lingkungan perairan. Banyaknya bahan pencemar yang dibuat oleh usaha/industri perikanan semakin mengancam kelestarian lingkungan perairan di lokasi. Himbauan pengendalian pencemaran (terutama limbah padat ikan) ini telah dilakukan oleh PEMDA, namun implementasinya cukup sulit karena sebagian besar usaha/ industri perikanan termasuk menengah ke bawah, sehingga sulit menyediakan unit pengolahan limbah tersendiri (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2010). Faktor interaksi pemanfaatan dengan komponen perairan juga mempunyai rating yang tidak memuaskan (rating = 2, cukup). Hal ini karena unit penangkapan ikan yang banyak berkembang di Muncar adalah purse seine, sedangkan purse seine dioperasikan dengan cara melingkari gerombolan ikan dan menariknya ke kapal. Dalam proses penarikan ini, pergerakan komponen perairan seperti zooplankton, fitiplankan, dan nutrien ikut terganggu.
23
Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Sinergi Pengembangan Faktor peluang Faktor kedekatan dengan pasar potensial dan jalur ekspor Surabaya dan Denpasar, serta faktor kondusifitas kondisi sosial politik memberi peluang besar bagi pengembangan sinergi pengembangan perikanan tangkap secara sosial dan ekonomi (bobot masing-masing 0,22 dan 0,11). Infrastruktur bandar udara yang bertaraf internasional di Surabaya dan Denpasar semakin memperjelas posisi strategis untuk merebut pasar ekspor hasil perikanan. Saat ini, kedekatan dengan pasar potensial Surabaya, Denpasar dan kota besar lainnya di Jawa Timur benarbenar dimanfaatkan oleh usaha perikanan di Kabupaten Banyuwangi. Lebih dari 55 % kebutuhan ikan segar dan olahan di Surabaya, Jember, Situbondo, dan Probolinggo dipenuhi dari usaha perikanan Kabupaten Banyuwangi dengan basis di Muncar (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2009). Promosi potensi perikanan merupakan faktor eksternal yang menjadi peluang bagi sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan perekonomian masyarakat. Beberapa kegiatan promosi telah dilakukan oleh PEMDA Kabupaten Banyuwangi tentang potensi dan peluang pengembangan perikanan di Muncar dilakukan seperti melalui internet, pembagian buku profile potensi perikanan, perayaan tolak bala di laut yang dipublikasi secara luar, dan lainnya (Tinungki, 2005). Kondisi tersebut juga menyebabkan trend investasi pada kegiatan perikanan juga termasuk baik di lokasi (rating = 3, cukup). Dalam beberapa tahun terakhir ini, kegiatan investasi cukup banyak terjadi pada cold storage, industri pengolahan, dan bahan perbekalan bagi nelayan yang berangkat melaut. Hal ini tentu memberi kondisi kondusif untuk pengembangan sinergi dan pembangunan infrastruktur final, karena bukti nyata sudah banyak terlihat di lokasi. Perkembangan teknologi produksi ramah lingkungan merupakan faktor
24
MUSTARUDDIN
eksternal yang bersifat peluang bagi sinergi pengembangan usaha perikanan tangkap dengan aspek lingkungan kawasan. Hasil survai lapang menunjukkan bahwa teknologi produksi yang efektif dan ramah lingkungan berkembang cukup baik di Kabupaten Banyu-
JIPP wangi Muncar dan sekitarnya, namun masih rendah penggunaan pada usaha perikanan tangkap (rating = 2, cukup). Hamdan et. al (2006), keramahan operasi dengan lingkungan sekitar merupakan kunci utama kerberlanjutan perikanan tangkap di suatu kawasan pesisir.
Tabel 2 Kelompok faktor eksternal pengembangan sinergi dan dukungan infrastruktur Faktor Eksternal Peluang : Kedekatan dengan pasar potensial & jalur ekspor Kondusifitas kondisi sosial politik di lokasi Adanya promosi potensi perikanan Trend investasi perikanan yang baik Perkembangan teknologi produksi ramah lingkungan Ancaman : Kegiatan monopoli/pengaturan harga Penggunaan teknologi destruktif pada kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan pendatang Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Selat Bali Adopsi IPTEK pada kegiatan perlindungan ruaya ikan belum berjalan baik Pencemaran perairan oleh usaha/industri nonperikanan
Bobot
Rating
Skor
0,22 0,11 0,03 0,10 0,08
4 2 3 3 2
0,88 0,22 0,09 0,30 0,16
0,09
3
0,27
0,12
2
0,24
0.06
2
0.12
0.02
2
0.04
0.17
1
0.17
1
2.49
Sumber : Hasil olahan data lapang (2010)
Faktor ancaman Kegiatan monopoli/pengaturan harga dan penggunaan teknologi destruktif pada kegiatan penangkapan ikan merupakan dua faktor eksternal penting yang bersifat ancaman di lokasi. Pada tahun 1990-an, monopoli/pengaturan harga sangat kentara terjadi dalam pemasaran ikan hasil tangkapan nelayan (DKP Kabupaten Banyuwangi, 2010). Namun saat ini, hal tersebut tidak banyak terjadi karena kesadaran dan saling percaya antara nelayan dengan indutri/pengusaha perikanan. Kalaupun terpaksa ada pengaturan harga ulang, biasanya sudah ada kesepakatan sebelumnya dengan nelayan. Misalnya antara nelayan dengan industri perikanan langganan, dimana hasil tangkapan nelayan sudah disepakati harga untuk setiap kualitas/grade hasilnya, dan bila tiba-tiba kualitas ikan berubah menjadi lebih jelek pada saat diserahterimakan, harga diiturunkan sesuai kesepakatan sebelumnya (rating = 3, cukup, skor = 0,27). Penggunaan teknologi destruktif pada kegiatan penangkapan ikan cukup banyak terjadi di
lokasi. Penggunaan bahan peledak dan jaring trawl banyak di bawah oleh nelayan pendatang. Dari hasil survai, hal ini sudah berlangsung lama, dimana nelayan yang berasal dari Tegal dan Cirebon namun sudah hidup menetap di lokasi sering menempuh cara tersebut bila hasil tangkapan sulit di dapat. Hal yang sama juga terjadi pada usaha pengolahan, dimana bahan pengawet yang tidak alami terkadang digunakan untuk mengawetkan produk olahan secara depat dan dengan biaya yang murah (rating = 2). Ide pembagian zona pemanfaatan perairan Selat Bali sering menjadi wacana dalam pengembangan perikanan tangkap di lokasi. Hal ini sering terjadi karena perairan Selat Bali dimiliki oleh tiga kabupaten yaitu Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Jembrana, dan Kabupaten Buleleng, di mana setiap kabupaten punya kepentingan masing-masing dengan pengelolanan. Sedikit banyak hal ini berpengaruh bagi kelangsungan usaha perikanan tangkap di Kabupaten Banyuwangi. Perairan Selat Bali yang
Volume 1 (1), 2012
Pengembangan Perikanan Tangkap yang Bersinergi
menjadi fishing ground utama usaha perikanan tangkap Kabupaten Banyuwangi termasuk perairan yang padat kegiatan penangkapan ikannya. Kondisi ini menyebabkan interaksi dengan komponen perairan termasuk ruaya ikan dan biota laut yang dilindungi sering terjadi (Tinungki, 2005). Adopsi IPTEK pada kegiatan ini pada ruaya ikan dan biota laut yang dilindungi belum berjalan baik kawasan Muncar dan sekitarnya. Namun demikian, belum ada kasus pelanggaran yang berarti terkait hal ini (rating = 2, cukup).. Disamping disebabkan oleh usaha perikanan tangkap sendiri, pencemaran lingkungan periaran Selat Bali juga banyak akibat usaha/industri non-perikanan. Selama ini, limbah padat dan cair yang berasal dari industri pakan, elektronik, pasar, dan lainnya sering dibuang ke laut, sehingga beberapa bagian perairan terlihat agak keruh dan kotor. Limbah usaha/industri non-perikanan banyak mengandung zat pencemar berbahaya seperti deterjen dan logam berat dari jenis Cd dan Cr (Darmono, 1995).
25
Akumulasi zat pencemar ini dapat menghambat perkembangan ikan, mencemari hasil tangkapan ikan nelayan, mengganggu wisata bahari, dan ekosistem laut di sekitarnya (rating = 1, rendah). Tingkat Sinergi Pengembangan Perikanan Tangkap Tingkat sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyuwangi ditentukan melalui pertimbangan menyeluruh dari semua faktor internal dan eksternal yang berpengaruh. Terkait dengan ini, maka total skor semua faktor faktor internal akan dipetakan dengan total skor semua faktor eksternal sehingga kuadran tingkat/posisi pengelolan perikanan tangkap yang ada dapat diketahui. Gambar 2 memperlihatkan hasil analisis matriks internaleksternal (IE) tingkat sinergi perikanan tangkap saat ini dan arah pengembangannya di Kabupaten Banyuwangi.
Total Skor Faktor Internal 4 III Penciutan
Tinggi
Total Skor Faktor Eksternal
VI Penciutan
V Pertumbuhan/ Stabilitas
2
2,43
Menengah
● = posisi saat ini
I Pertumbuhan
●
2,49 3
Keterangan :
II Pertumbuhan
Rendah
Menengah
IV Stabilitas
3
4 Tinggi
Gambar 2 Matriks internal-eksternal (IE) tingkat sinergi pengembangan perikanan tangkap
26
MUSTARUDDIN
Berdasarkan Gambar 2, diketahui bahwa pengembangan perikanan tangkap yang ada saat ini di Kabupaten Banyuwangi berada pada kuadran V (pertumbuhan/stabilitas). Menurut Rangkuti (2004), suatu proyek atau kegiatan pengembangan dapat dilanjutkan bila minimal berasal kondisi pertumbuhan (total skor faktor internal > 2 dan total skor faktor eksternal > 1). Total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal dari kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Banyuwangi masing-masing berada pada kisaran 2 - 3 sehingga tingkat sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi termasuk kategori ”cukup baik”. Hyndman, et. al (2008) menyatakan bahwa kondisi pengelolaan sudah masuk trend positif (tidak buruk) lebih berpeluang untuk maju bila dikelola dengan lebih baik. Terkait dengan ini, maka sinergi perikanan tangkap dapat ditingkatkan lagi bila didukung dengan strategi pengembangan yang tepat. Strategi Pengembangan Perikanan Tangkap Yang Bersinergi Dengan Aspek Lingkungan dan Sosial Ekonomi Strategi ini dikembangkan untuk mengoptimalkan sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi di Kabupaten Banyuwangi. pengembangan strategi dilakukan dengan memadukan faktorfaktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Menurut Mangkusubroto dan Trisnadi (1985) dan Rangkuti (2004), faktor-faktor yang mempunyai dampak positif (kekuatan dan peluang) dapat digunakan untuk mensiasati kelemahan dan ancaman yang ada, dan bahkan memanfaatkan secara bersama kekuatan dan peluang tersebut untuk menghasilkan dampak positif yang lebih baik. Hasil analisis SWOT yang mengkombinasikan data Tabel 1 dan Tabel 2, didapatkan lima opsi strategi untuk pengembangan perikanan tangkap yang lebih baik dan bersinergi dengan aspek lingkungan, sosial dan ekonomi
JIPP masyarakat di Kabupaten Banyuwangi, yaitu : 1) Penggiatan sosialisasi JTB dan perlindungan ruaya ikan 2) Penggunaan kelebihan modal untuk pengembangan pasar potensial 3) Pengembangan teknologi produksi bersih untuk minimalisir pencemaran 4) Sentralisasi lelang hasil tangkapan di Pelabuhan untuk mencegah monopoli 5) Pemanfaatan kondisi sosial politik yang baik untuk penyelesaian konflik perikanan 6) Penggiatan program konservasi pada zona pemanfaatan yang terdestruksi Secara umum, strategi tersebut dapat dilakukan semuanya di Kabupaten Banyuwangi karena bersesuaian dengan kondisi yang terjadi dalam pengembangan perikanan tangkap saat ini. Namun penerapan semua strategi tidak akan efektif karena tidak fokus dan membutuhkan biaya implementasi yang sangat besar. Mustaruddin, et. al (2011b) menyatakan bahwa perbaikan pengelolaan perikanan perlu difokuskan pada hal-hal penting dan berpengaruh besar bagi peningkatan kinerja usaha perikanan dan kelestarian sumberdaya dan lingkungan sekitar. Terkait dengan ini, maka dari kelima strategi tersebut dianalisis prioritas kepentingannya dan hasilnya disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 menunjukkan bahwa strategi penggiatan sosialisasi JTB dan perlindungan ruaya ikan mempunyai rasio kepentingan (RK) paling tinggi dibandingkan lima strategi lainnya, yaitu mencapai 0,249 pada inconsistency terpercaya 0,05. Sedangkan batas inconsistency yang diperbolehkan adalah tidak lebih dari 0,1 (Saaty, 1993). Terkait dengan ini, maka strategi penggiatan sosialiasi JTB dan perlindungan ruaya ikan merupakan strategi yang paling tepat untuk pengembangan sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyuwangi (prioritas pertama).
Volume 1 (1), 2012
Pengembangan Perikanan Tangkap yang Bersinergi
Terpilihnya penggiatan sosialisasi JTB dan perlindungan ruaya ikan sebagai strategi prioritas karena akumulasi pendapat pihak yang berkepentingan/ responden dari pertimbangan terstruktur memberikan nilai paling tinggi (24,9 %). Hal ini cukup wajar, karena masalah kelebihan tangkap dan penangkapan di tempat ikan berkembangbiak belum terselesaikan hingga saat ini. Dampak
JBRUAYA PEMODPSR PROBERCE SENTRALL KONSZONA SPKONF
27
dari hal ini adalah terjadinya kelangkaan sumberdaya ikan terutama dari jenis lemuru dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010), produksi perikanan yang cenderung menurun tersebut telah menyebabkan keresahan pada nelayan dan masyarakat nelayan sekitar, karena kehidupan keluarga dan pendidikan anaknya menjadi terlantar.
Penggiatan Sosialisasi JTB & Perlindungan Ruaya Ikan Pemanfaatan Kelebihan Modal Untuk Pengembangan Pasar Potensial Pengembangan Teknologi Produksi Bersih Untuk Meminimalisir Pencemaran Sentralisasi Lelang Hasil Tangkapan di Pelabuhan Untuk Meminimalisir Monopoli Penggiatan Program Konservasi Zona Pemanfaatan Terdestruksi Pemanfaatan Kondisi Sosial Politik Yang Baik Untuk Penyelesaian Konflik Perikanan
Gambar 3 Hasil analisis prioritas strategi pengembangan perikanan tangkap yang bersinergi dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kadar amonia (1,025 ppm), TSS (26,4 ppm), deterjen (1,16 ppm), logam berat Cd (0,0015 ppm) dan Cr (0,0053 ppm) di perairan Kabupaten Banyuwangi (Selat Bali) sudah melebihi standar yang dipersyaratkan untuk perkembangan sumberdaya ikan dan biota perairannya. Selain payang, usaha perikanan tangkap yang dioperasikan di Kabupaten Banyuwangi cenderung meningkatkan dari tahun ke tahun, sedangkan produksi
ikannya berfluktuasi dengan kecenderungan menurun. Produksi ikan tertinggi dalam enam tahun terakhir terjadi pada tahun 2007, yaitu mencapai 60.393.648 kg, dan dari jumlah ini sekitar 54.089.139 kg merupakan hasil tangkapan ikan lemuru. Total skor faktor internal dan total skor faktor eksternal dari kegiatan perikanan tangkap Kabupaten Banyuwangi masing-masing berada pada kisaran 2 - 3 (kuadran V matriks IE), sehingga tingkat sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi termasuk
28
MUSTARUDDIN
kategori ”cukup baik”. Strategi penggiatan sosialisasi JTB dan perlindungan ruaya ikan merupakan strategi prioritas (RK = 0,249 pada inconsistency terpercaya 0,05) untuk sinergi pengembangan perikanan tangkap dengan aspek lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyuwangi. Saran PEMDA Kabupaten Banyuwangi perlu membangun instalasi pengolahan limbah bersama dan dipusatkan di kawasan Muncar. Hal ini dapat membantu usaha/industri perikanan skala menengah ke bawah yang selama ini tidak mampu menyediakan unit pengolahan limbah tersendiri. Implementasi strategi prioritas (penggiatan sosialisasi JTB dan perlindungan ruaya ikan) sebaiknya dilakukan dengan pelibatan penuh pelaku perikanan di Kabupaten Banyuwangi, baik dalam penyuluhan maupun pendampingan lapang. . DAFTAR PUSTAKA Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Jakarta. Universitas Indonesia. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi. 2010. Pengelolaan Potensi Perikanan Selat Bali, Tantangan dan Permasalahannya. Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi. Kabupaten Banyuwangi. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi. 2009. Laporan Produksi Tahun 2000. Banyuwangi. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi. 2008. Laporan Produksi Tahun 2007. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banyuwangi. Banyuwangi. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran hasil Perikanan (Ditjen P2HP). 2010. Kajian Pengembangan Kawasan Minapolitan di Muncar, Kabupaten BanyuwangiJawa Timur. DKP RI. Jakarta
JIPP Fauzi, S., Iskandar, B.H., Murdiyanto, B., dan Wiyono, S.R. 2010. Strategi Kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Lestari Berbasis Otonomi Daerah di Kawasan Selat Bali. Buletin PSP Vol. XVIII (2) : 11 hal. Hamdan, Monintja, D. R., Purwanto, J., Budiharsono, S., dan Purbayanto, A. 2006. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat. Buletin PSP Vol. XV. 3 : 86-101. Hyndman, R. J., M. L. King, I. Pitrun and B. Billah. 2008. Local Linear Forecast using Scubic Smoothing Spline. Australian and New Zealand Journal of Statistics, 47(1), 87–99. Lestari dan Edward. 2004. Dampak Pencemaran Logam Berat Terhadap Kualitas Air Laut dan Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus Kematian Massal Ikan-Ikan di Teluk Jakarta). Makara Sains 8(2):52-58 Mamuaya, G. E., J. Haluan, S. H. Wisudo, dan I. W. Astika. 2007. Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap di Daerah Kota Pantai: Penelaahan Kasus di Kota Manado. Buletin PSP 16(1):146-160. Mangkusubroto K, dan C.L Trisnadi 1985. Analisis Keputusan Pendekatan Sistem dan Manajemen Usaha dan Proyek. Ganesa Exacta. Bandung. Mustaruddin, Nasruddin, Sadarun, F. Kurniawan, dan M.S. Baskoro. 2011a. Karakteristik Perairan Dalam Kaitannya Dengan Pengembangan Usaha Perikanan Pelagis Besar Di Kabupaten Aceh Jaya. Buletin PSP. Vol XIX (1) : 69-80 Mustaruddin, S. B. Lubis, M. Gandhi, dan M. S. Baskoro. 2011b. Karakteristik Fisiko-Kimia Perairan Dalam Kaitannya dengan Pengembangan Usaha Perikanan Gillnet di Perairan Kabupaten Pontianak. Jurnal Ichthyos. 10 (1) : 13 Hal. Parizek, J., J. Kolouskova, A. Balicky, J. Benes, and L. Pavlik. 1974. Interaction of Se with Hg, Cd, and Others Metals. Trace Element Metabolism in Animal J, Universty Park Press Vol 2 : 119 - 131.
Volume 1 (1), 2012
Pengembangan Perikanan Tangkap yang Bersinergi
Poppo, A., M.S. Mahendra, dan I. K. Sundra. 2006. Studi Kualitas Perairan Pantai di Kawasan Industri Perikanan, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana. UNUD. http://ejournal. unud.ac.id/new/abstrak-9-1473-studikualitas-perairan-pantai-di-kawasanindustri-perikanan-desa-pengambengan-kecamatan-negara-kabupatenjembrana.html Rangkuti F. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
29
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan. Bagi Para Pemimpin. PT Pusaka Binaman Pressindi, Jakarta. 270 hal. Tinungki G.M. 2005. Evaluasi Model Produksi Surplus Dalam Menduga Hasil Tangkapan Maksimum Lestari Untuk Menunjang Kebijakan Pengelolaan Perikanan Lemuru di Selat Bali, Sekolah Pasca Sarjana, IPB