Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
AMP-05
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering Mekanis untuk Biji-bijian dalam Karung Nursigit Bintoro*, Joko Nugroho dan Anastasia Dinda Maria Jurusan Teknik Pertanian dan Biosistem - Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada Jl. Flora 1, Bulaksumur, Yogyakarta *Penulis Korespondensi, Email:
[email protected] ABSTRAK Pengeringan biji-bijian secara mekanis merupakan salah satu proses pascapanen yang sangat mahal baik ditinjau dari biaya proses maupun peralatan yang dibutuhkan. Diperlukan suatu inovasi untuk dapat mengembangkan proses pengeringan mekanis dengan metode serta peralatan yang sesederhana mungkin agar dapat berkembang di masyarakat yang umumnya sangat terbatas kemampuan finansialnya. Pada penelitian berikut ini telah dikembangkan peralatan maupun metode pengeringan mekanis untuk biji-bijian secara langsung didalam karung. Peralatan yang dikembangkan berupa suatu karung yang dilengkapi dengan aerator (ruang plenum) yang dihubungkan dengan suatu sumber pemanas dengan centrifugal blower sebagai penggerak udara pengeringnya. Pada penelitian ini dicoba untuk diaplikasikan dalam pengeringan jagung pipil dengan variasi suhu pengering 60, 70, dan 80°C serta ketebalan timbunan 20, 35, dan 50 cm. Beberapa parameter seperti kadar air, suhu biji jagung, dan berat satuan partikel diamati dan dianalisis untuk mengevaluasi proses pengeringan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis kinetika diperoleh nilai konstanta laju penurunan kadar air, konstanta laju peningkatan suhu biji, serta konstanta laju perubahan berat satuan yang bervariasi tergantung dari suhu dan ketebalan timbunan yang digunakan. Demikian juga telah diperoleh hubungan matematis dari konstantakonstanta tersebut dengan suhu pengeringan untuk ketebalan timbunan yang diuji. Nilai Coefficient of Performance dari metode pengeringan yang dikembangkan menunjukkan angka yang cukup besar yang memungkinkan cara pengeringan ini untuk dikembangkan lebih lanjut. Kata kunci: Pengeringan, mekanis, karung, suhu, timbunan
PENDAHULUAN Di Indonesia, jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah padi. Tingginya permintaan akan jagung baik sebagai bahan pangan pokok maupun bahan baku pada berbagai industri menuntut penyediaan jagung yang terus-menerus perlu ditingkatkan. Salah satu persoalan dalam penanganan pascapanen jagung yang masih mengalami kendala yang cukup serius adalah masalah pengeringan. Sauer (1992) dalam Lee (1999) menyebutkan Jagung umumnya dipanen pada kadar air 20–28% dengan peralatan mekanis seperti combine atau sheller (untuk di negara maju). Pada kadar ini yang tinggi ini, jagung akan cepat terserang organisme yang menyebabkan terjadinya kebusukan, oleh karena itu perlu dikeringkan secepatnya. Umumnya jagung dikeringkan sampai kadar air mencapai 15% untuk penyimpanan yang aman, pada kadar air ini serta pada kondisi temperatur yang rendah, jagung dapat dipertahankan dengan baik selama satu 278
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
tahun atau lebih dalam penyimpanan. Brooker et al. (1992), menyatakan bahwa rahasia untuk menjaga biji-bijian yang disimpan dalam kondisi yang baik adalah dengan menjaga massa biji-bijian tetap dingin dan merata serta kering. Bridgeman dan Davis (1998) menyatakan bahwa persoalan-persoalan yang dapat terjadi apabila biji-bijian dengan kadar air yang tinggi tidak ditangani dengan baik adalah jelas, yaitu biji-bijian akan (1) lebih mudah terserang serangga, (2) lebih mudah mengalami kerusakan karena jamur, (3) lebih mudah terjadinya migrasi kadar air, (4) kemungkinan lebih mudah kehilangan kemampuan perkecambahan dengan lebih cepat, (5) lebih sulit difumigasi, serta (6) obat-obatan yang diaplikasikan akan mudah mengalami penurunan kemampuan dibandingkan pada bijian yang kering. Dalam bidang pertanian, pengeringan merujuk pada penghilangan air sampai kandungan air dari bahan sedemikian rupa sehingga penurunan kualitas karena jamur, aktivitas enzim (respirasi dan pemanasan), dan serangga tidak akan terjadi atau dapat diabaikan (Talbot, 2003). Di Indonesia, petani maupun pedagang biji jagung umumnya melakukan pengeringan dengan cara penjemuran. Pada musim kemarau atau di daerahdaerah yang dilanda banjir, penjemuran akan menemui banyak hambatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan introduksi peralatan pengering mekanis kepada mereka. Di berbagai tempat di Indonesia, pemerintah telah memberikan bantuan peralatan pengering biji-bijian baik kepada kelompok tani, KUD, maupun instansi-instansi terkait. Namun demikian, peralatan pengering mekanis ini tidak ada yang dapat berkembang di masyarakat karena berbagai macam alasan. Salah satu alasan yang sering dikemukakan oleh pemakai alat pengering mekanis ini adalah mahalnya biaya pembuatan maupun operasionalnya. Kebutuhan biaya energi untuk pengeringan jagung kurang lebih 60% dari total biaya energi untuk produksi biji-bijian (Brooker et al., 1992). Oleh karena itu, perlu dibuat suatu metode pengeringan biji-bijian secara mekanis yang sesederhana mungkin sehingga mudah ditiru oleh para praktisi pemroses biji jagung di lapangan dan dapat dioperasikan dengan mudah dan murah. Tipe pengering biji-bijian yang paling sederhana adalah batch dryer. Batch in bin dryer merupakan peralatan pengering mekanis dengan kapasitas kecil atau dikenal juga dengan nama flat bed dryer. Pada alat ini untuk menghindari gradien kadar air yang berlebihan dari biji-bijian yang dikeringkan, ketebalan bijian relatif tipis antara 40–70 cm, dan kecepatan aliran udara antara 0.08–0.15 m/detikt untuk jagung dan 0.15–0.25 m/detikt untuk padi (FAO, 2012). Le Van Banh et al. (2001), melakukan riset di Vietnam untuk pengembangan peralatan pengering sederhana. Mereka menyatakan bahwa hasil panen gabah yang rendah dari petani pada tiap musin, maka peralatan pengering mekanis yang dibutuhkan adalah pengering ukuran kecil dengan kapasitas yang rendah dan biaya investasi yang murah. Ide dasar dari rancangan peralatan pengering pada penelitian ini adalah penyederhanaan dari pengering model batch dryer. Dimana pada penelitian ini dibuat peralatan pengering mekanis yang sangat sederhana dengan menggunakan karung sebagai tempat penampung biji jagung yang dikeringkan, dilengkapi dengan kotak plenum, dan centrifugal blower sebagai penghembus udara pengering. Namun demikian, pada tahap awal penelitian ini sebagai sumber pemanas masih menggunakan heater listrik, yang nantinya diharapkan dapat digantikan dengan gas LPG pada pengembangannya lebih lanjut. Untuk mengetahui kelayakkan penerapan peralatan pengering mekanis yang dibuat tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis terhadap beberapa parameter proses pengeringan bijian dengan variasi temperatur udara pengering dan ketebalan timbunan.
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
279
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan adalah jagung pipil basah jenis hibrida yang dibeli dari pedagang pengumpul jagung di daerah Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Total berat biji jagung kurang lebih 400 kg dengan kadar air awal antara 30-34%(wb). Peralatan pengering mekanis pada penelitian ini dibuat sesederhana mungkin agar dapat ditiru oleh para petani atau pemroses biji-bijian pertanian. Alat berupa suatu karung sak plastik yang dilengkapi dengan kotak kayu sebagai ruang plenum dibagian dasarnya dengan ukuran 34x25x20cm. Pada bagian bawah ruang plenum, diberi lubang dengan diameter sebesar 7.6 cm untuk pemasukkan udara pengering. Sedangkan pada bagian atas ditutup dengan kawat kasa 0.1x0.1cm. Sebagai sumber pemanas digunakan electric heater berkisar 3000 watt sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan penghembus udaranya digunakan centrifugal blower. Udara panas disalurkan kedalam ruang plenum dengan menggunakan pipa PVC. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Proses Produk Pertanian, Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, UGM. Penelitian dimulai dengan mengatur rangkaian peralatan sesuai dengan kebutuhan. Setelah peralatan siap, kemudian dijalankan untuk memanaskan ruang plenum dan karung penampung bijibijian. Selanjutnya peralatan pengering dimatikan dan bijian jagung pipil basah hasil panen dimasukkan kedalam karung pengering. Proses pengeringan dimulai dengan mengalirkan udara panas kedalam karung hingga kadar air jagung turun menjadi ratarata 12-14%(wb). Selama proses pengeringan, beberapa parameter diamati secara periodik setiap 30 menit meliputi kadar air biji jagung, temperatur biji jagung, berat satuan biji jagung, temperatur serta kelembaban udara pengering dan udara lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan variasi perlakuan berupa suhu udara pengering tiga macam yaitu : 60°C, 70°C dan 80°C serta ketebalan tumpukan biji jagung dalam karung tiga macam pula, yaitu masing-masing 0.2m, 0.35m dan 0.5m. Ulangan dilakukan sebanyak dua kali untuk masing-masing variasi kombinasi perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Kadar Air Selama Proses Pengeringan Grafik pada Gambar 1 menunjukkan bahwa pada ketebalan timbunan yang sama, semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin cepat waktu pengeringan dan semakin besar laju penurunan kadar airnya persatuan waktu. Demikian pula, dengan suhu udara pengering yang sama, maka semakin tebal timbunan jagung akan semakin lama atau semakin kecil penurunan kadar air biji jagung persatuan waktu. Berdasarkan hasil analisis statistik, diketahui bahwa baik temperatur udara pengering dan ketebalan timbunan serta interaksi keduanya berpengaruh secara nyata terhadap penurunan kadar air biji jagung persatuan waktu.
280
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
Gambar 1. Contoh grafik penurunan kadar air biji jagung pada tebal timbunan 20 cm dengan temperatur udara pengering 60°C, 70°C dan 80oC Dengan menggunakan analogi hukum Newton law of cooling, dapat dihitung nilai konstanta laju pengeringan. Hasil perhitungan menunjukkan adanya kecenderungan, bahwa dengan semakin besar temperatur udara pengering maka semakin besar pula nilai konstanta laju pengeringannya. Demikian pula, semakin tipis timbunan jagung maka semakin besar nilai konstanta laju pengeringannya. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tinggi temperatur udara pengering dan semakin tipis timbunan maka akan semakin besar panas tersedia yang dapat diserap oleh biji jagung yang akan mengakibatkan semakin besarnya perbedaan tekanan uap antara partikel biji jagung dengan udara luar (pengering), dan pada akhirnya akan menaikkan konstanta laju penurunan kadar airnya. Grafik pada Gambar 2 menunjukkan salah satu contoh kurva prediksi penurunan kadar air biji jagung. Dapat dilihat, bahwa kurva prediksi secara konsisten dapat mengikuti penurunan kadar air pengamatan dengan cukup akurat. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan Newton law of cooling dapat digunakan untuk menurunkan persamaan prediksi penurunan kadar air biji jagung selama proses pengeringan.
Gambar 2. Contoh grafik prediksi penurunan kadar air selama proses pengeringan jagung dengan ketebalan bahan 0.2 m pada temperatur udara pengering 60°C
Perubahan Temperatur Biji Jagung Selama Proses Pengeringan Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
281
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
Grafik pada Gambar 3 menunjukkan bahwa temperatur biji jagung mengalami kenaikkan secara konsisten hingga mencapai nilai yang kurang lebih konstan menjelang akhir proses pengeringan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa temperatur udara pengeringan secara nyata mempengaruhi suhu biji jagung, namun ketebalan timbunan serta interaksi keduanya tidak mempunyai pengaruh terhadap kenaikkan temperatur biji jagung.
Gambar 3. Contoh grafik kenaikan suhu jagung pada saat temperatur udara pengering 60°C; 70°C; 80°C dan ketebalan timbunan 0.5m Konstanta laju kenaikkan temperatur biji jagung menunjukkan bahwa semakin tebal timbunan jagung maka semakin menurun nilai konstantanya. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tebal timbunan, maka semakin banyak partikel butir jagung yang harus dipanasi, dengan kata lain panas yang diterima setiap butir jagung semakin menurun, dan sebagai akibatnya kenaikkan temperatur biji jagung tersebut semakin kecil yang pada akhirnya mengakibatkan menurunnya konstanta laju kenaikkan biji jagung tersebiut. Grafik pada Gambar 4 menunjukkan bahwa pendekatan Newton law of cooling juga dapat digunakan untuk memprediksi riwayat kenaikkan temperature biji jagung selama proses pengeringan. Hal ini ditunjukkan dengan dekatnya kurve prediksi dengan hasil pengamatan temperature biji jagung.
Gambar 4. Contoh kurva prediksi kenaikan temperatur biji jagung selama proses pengeringan pada ketebalan bahan 0.35m dan temperatur udara pengering 60°C Koefisien Perpindahan Panas Konveksi 282
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
Koefisien perpindahan panas konveksi (h) proses pengering merupakan besaran yang menyatakan tingkat kecepatan perpindahan panas secara konveksi antara udara pengering ke biji jagung. Semakin besar nilai koefisien perpindahan panas konveksi tersebut, maka laju perpindahan panas konveksi semakin besar pula, sehingga penurunan kadar air dalam jagung selama proses pengeringan semakin cepat. Hasil perhitungan besarnya nilai koefisien perpindahan panas konveksi sebagaimana terlihat pada Tabel 1. Meskipun terlihat bahwa dengan semakin tinggi temperatur udara pengering, nilai koefisien perpindahan panas konveksinya semakin besar pula, namun demikian kondisi ini tidak sepenuhnya konsisten. Pada tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa pada ketebalan tumpukan jagung 20 cm, nilai koefisien perpindahan panas konveksinya lebih tinggi dibandingkan ketebalan 35 dan 50 cm. Semakin tebal tumpukan jagung dalam karung maka kemungkinan distribusi panas udara pengering akan semakin terhambat oleh kepadatan biji jagung sehingga mengakibatkan menurunnya nilai koefisien tersebut. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ketebalan dan interaksi antara ketebalan dan temperature udara pengering tidak berpengaruh nyata terhadap nilai koefisien konveksi proses pengeringan, hanya temperatur udara pengering saja yang berpengaruh nyata terhadap nilai koefisien konveksi proses pengeringan. Tabel 1. Koefisien perpindahan panas konveksi (h) selama proses pengeringan Ketebalan (m) Suhu (˚C)
0.2
0.35
0.5
Rataan h (W/m2°C)
60
1.06
70
1.23
80
1.28
60
0.99
70
0.98
80
0.71
60
0.76
70
0.89
80
1.02
Perubahan berat satuan partikel biji jagung Berat satuan partikel biji jagung secara konsisten mengalami penurunan selama proses pengeringan pada semua variasi perlakuan. Penurunan kadar air biji jagung selama pengeringan mengakibatkan berat biji menurun dan selanjutnya mengakibatkan turunnya berat satuan partikel biji jagung tersebut. Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh bahwa temperatur udara pengering dan pengaruh bersama ketebalan dan temperatur udara pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan berat satuan partikel. Sedangkan variasi ketebalan, berpengaruh nyata terhadap penurunan berat satuan partikel biji jagung.
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
283
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
Gambar 5. Contoh grafik penurunan berat satuan partikel biji jagung pada tiga variasi temperatur udara pengering pada ketebalan timbunan 0.35m Nilai konstanta laju penurunan berat satuan partikel biji jagung (kγ) berbeda-beda pada setiap variasi perlakuan. Namun demikian, nilai konstanta ini tidak menunjukkan adanya pola hubungan tertentu dengan temperatur udara pengering maupun ketebalan timbunan, sehingga masih sulit disimpulkan hubungan antar parameter tersebut. Contoh grafik prediksi penurunan berat satuan partikel biji jagung dapat dilihat pada Gambar 6, secara jelas dapat dilihat bahwa garis kurva prediksi secara konsisten dapat mengikuti nilai observasi yang diperoleh, sehingga persamaan kinetika penurunan berat satuan partikel dengan konstanta yang diperoleh dapat secara akurat memprediksi penurunan berat satuan partikel biji jagung selama proses pengeringan.
Gambar 6. Contoh kurva prediksi penurunan berat satuan partikel jagung selama proses pengeringan jagung dengan ketebalan bahan 0.5m dan temperatur udara pengering 60°C. Berdasarkan data pengamatan temperatur udara pengering yang masuk dan keluar meninggalkan timbunan serta temperature udara lingkungan dapat dihitung nilai Coefficient of Performance (COP) dari proses pengeringan yang diteliti. Dapat diketahui bahwa nilai COP cukup tinggi mencapai 76,37% yang menunjukkan bahwa proses pengeringan berjalan dengan baik atau kehilangan panas pada sistem pengering cukup kecil, sehingga metode pengeringan ini layak untuk dikembangkan.
284
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
Prosiding Seminar Nasional PERTETA 2012
Malang, Jawa Timur, 30 November – 2 Desember 2012
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan antara lain bahwa nilai konstanta laju pengeringan (km) biji jagung berkisar antara 0.294-0.822 jam-1, konstanta laju kenaikan temperatur biji jagung (kT) berkisar antara 0.354-1.122 jam-1, konstanta penurunan berat satuan partikel jagung (k γ) selama pengeringan berkisar antara 0.174-0.450 jam-1, dan nilai koefisien perpindahan panas konveksinya (h) berkisar antara 0.710-1.28 W/m2°C. Sedangkan Coefficient of Performace (COP) dari peralatan pengering yang dirancang sebesar 76.37%. Metode pengeringan mekanis yang dirancang cukup layak untuk dikembangkan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA Bridgeman BW and Davis D. 1998. Resistance management case study. Australian Postharvest Technical Conference. Australia Brooker DB, Arkema FW and Hall CW. 1992. Drying and Storage of Grains and oil Seeds. Van Nostrand Reinholl, New York. FAO. 2012. Mechanical dryers. Dilihat 10 November 2012.
Lee, S.H. 1999. Low Temperature Damp Corn Storage With and Without Chemical Preservatif. Thesis. University of Guelph. Canada. Talbot MT. 2003. Grain Drying and Storage. CIR673 series of the Agricultural and Biological Engineering Department, Florida Cooperative Extension Service. Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Gainesville, USA. Le Van Banh LV, HB Quoc, PV Ngan, Y Kanetene, K Kobayashi dan H Hiraoka. 2001. Development of simple small dryer suitable to Small farms in remote area. Omorice 9:140-143
Pengembangan Metode dan Peralatan Pengering – Bintoro, dkk
285