Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
PENGEMBANGAN KAWASAN MELALUI PARADIGMA PERENCAAN PARTISIPATIF Marlon Sihombing Abstract: The conventional regional development depends on several asumptions: that the social welfare level will increase because of the economic growth. However, in fact, this macro economic hypothesis is not always trialed significantly. This condition requires the paradigm shifting, from the growth paradigm into people centred development which suppose the human as the main element in the development through each contribution an also the participation and the improvement of economic actor. Keywords: regional development, paricipative planning 1. PENDAHULUAN Asumsi pertumbuhan ekonomi, yang menjadi tumpuan konsep pengembangan kawasan yang konvensional, dapat tercapai dengan percepatan industri yang akan terjadi pada pusat-pusat pertumbuhan (di perkotaan), yang kemudian akan menyebar ke sekitarnya. Proses globalisasi akan menghubungkan pusatpusat pertumbuhan tadi dengan pusat pertumbuhan global dan sekaligus akan mempercepat pertumbuhan itu. Oleh karena itu perlu rencana pengembangan kawasan yang tersentralisir untuk mendorong pertumbuhan dan industrialisasi (Moeljarto 2004). Namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Seperti dalam masa-masa pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada tahun 80-an, ternyata tetesan pembangunan itu tidak terasa bagi masyarakat miskin terutama di pedesaan. Justru yang terjadi adalah urbanisasi dan eksploitasi kota terhadap desa yang semakin mempersulit posisi masyarakat miskin dan pedesaan. Tuntutan pergeseran paradigma pembangunan menuju people centred development yang memperlakukan manusia sebagai yang utama dalam pembangunan, melalui kontribusi masing-masing serta partisipasi dan peningkatan setiap pelaku ekonomi, juga menuntut kerangka spasial bagi pengembangan kawasan, dalam hal ini harus dapat menjawab berbagai persoalan mendasar yang berkaitan dengan kontribusi, partisipasi, dan produktivitas penduduk dari lapisan sosial bawah. Hal ini mencakup: 1. Bagaimana masyarakat kecil dan miskin yang perlu mendapat perhatian dapat ikut serta dalam proses pembangunan. Hal ini mencakup tahap pengambilan keputusan, penetapan pelaksanaan, dan evaluasi.
38
2. Bagaimana agar keterkaitan antarsektor sampai di tingkat perdesaan dapat ditingkatkan dan disinergikan. 3. Bagaimana membangun unit-unit, potensipotensi perdesaan dalam meningkatkan dinamika ekonomi perdesaan yang lebih baik. 4. Bagaimana model perencanaan yang dapat mengorganisir potensi-potensi tadi khususnya dalam pengembangan teritorial pedesaan. Hal inilah pokok-pokok persoalan yang akan dibahas mengenai pengembangan kawasan melalui konsep paradigma perencanaan partisipasi yang mengutamakan manusia di dalam pembangunan dan lebih populer dikenal people centred development atau pembangunan yang berwawasan kemasyarakatan. 2. PEMBAHASAN Perencanaan Partisipatif dalam Pembangunan Perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai upaya menghubungkan pengetahuan atau teknik yang dilandasi kaidahkaidah ilmiah ke dalam praksis (praktik-praktik yang dilandasi oleh teori) dalam perspektif kepentingan orang banyak atau publik (Nugroho & Dahuri 2004). Karena berlandaskan ilmiah, maka perencanaan pembangunan haruslah tetap mempertahankan dan bahkan meningkatkan validitas keilmuan (scientific validity) dan relevansi kebijakannya. Didorong oleh motif ini, perencanaan pembangunan mengalami perkembangan yang cukup dinamis baik secara teoretik maupun paradigmatik. Perkembangan itu dapat ditelusuri sejak pembangunan telah dipandang sebagai proses perubahan sosial masyarakat terencana yang merupakan fenomena
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
pembangunan yang dapat dicatat sesudah Perang Dunia II. Pada masa ini adopsi perencanaan ekonomi dalam upaya negara-negara sedang berkembang untuk membangun sangat mewarnai perencanaan pembangunan yang diterapkan. Ironisnya, proliferasi perencanaan ekonomi dengan menggunakan indikator-indikator ekonomi makro ini berlangsung dalam kenyataan lebih banyak negara-negara yang mengalami kegagalan daripada yang berhasil, walaupun telah dibarengi dengan sistem perencanaan, birokrasi yang ketat, dan otoriter. Apa yang dapat kita pahami dari pengalaman ini adalah bahwa "perencanaan pembangunan" tidak dapat bertahan pada satu sosok yang tunggal. Perencanaan pembangunan harus mengadaptasi tuntutan lingkungan serta variasi dinamika perubahan yang terjadi. Kompleksitas dan multidimensionalitas permasalahan pembangunan serta selaras dengan mempertahankan scientific validity dan relevance telah mendorong lahirnya berbagai paradigma pembangunan. Secara diakronik dapat dijajarkan mulai dari paradigma perencanaan ekonomi yang lebih kita kenal sebagai paradigma pertumbuhan (growth), paradigma pembangunan yang mengacu pada kebutuhan pokok (basic needs) dan paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (people centred development). Ketiga kategori umum paradigma pembangunan ini tentu punya karakter yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan itu dapat digambarkan pada tabel di bawah.
Karakter Pertumbuhan (growth) Industri Fokus Peran Pemerintah Enterpreneur Modal Sumber Utama Struktur Administrasi Vertikal (Birokrasi) Sentral Proses Perencanaan Objek Partisipasi Marjinalisasi Kendala
Perbandingan karakter paradigma tersebut perlu dipahami untuk menganalisis "perencanaan partisipatif" sebagai tema utama tulisan ini. Kalau kita bandingkan terutama antara paradigma pertumbuhan dan kebutuhan pokok terhadap paradigma humanizing yang sudah cukup populer sejak tahun 1980-an hingga saat ini (GBHN 1993; pembangunan manusia seutuhnya) di Indonesia, sudah seharusnya memiliki atau berada pada suatu kondisi tata pemerintahan yang baik (good governance) yang menempatkan manusia benar sebagai yang utama dalam pembangunan (subjek) dengan implikasinya; pemerintah (birokrasi) lebih berperan sebagai fasilitator; membangkitkan kreativitas manusia dan masyarakat untuk mewujudkan self sustaining capacity dengan model perencanaan yang partisipatif. Sebenarnya telah lama secara retorik masyarakat ditempatkan sebagai subjek dalam pembangunan, tetapi dalam realitasnya mereka masih selalu menjadi objek dan bahkan marginal dalam pembangunan itu. Dalam sejarah pembangunan nasional Indonesia pernah dikenal unit spasial supradesa yang dikenal dengan Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Namun dalam praktiknya UDKP hanya diartikan sebagai wilayah pembangunan di mana segala proses pembangunan berada dalam komando camat. Konsep pembangunan kawasan hanya diartikan sebagai administratif belaka (Moeljarto 2004). Akhirnya masyarakat masih menjadi bulanbulanan elite yang ingin disebut sebagai pahlawan pembangunan.
Paradigma Kebutuhan Pokok (basic needs) Pelayanan Service provider Anggaran/Administratif Vertikal Sentral/Desentral Objek Keterbatasan Anggaran
Humanis (people centred dev.) Manusia Enabler/facilitator Kreativitas/komitmen Horizontal Desentral (Bottom- up) Partisipatif subjek Struktur dan prosedur attitude perlu diubah
39
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Bagi masyarakat kecil sering pembangunan tanpa arti atau bahkan menjadi petaka karena pembangunan yang menggusur mereka. Sehingga lebih lanjut dapat kita bertanya: Apakah ada perencanaan pembangunan? Atau kalau ada pembangunan itu untuk siapa? Pertanyaan seperti ini wajar dilontarkan sampai saat ini ketika kita memperhatikan tidak adanya perubahan kesejahteraan bagi kelompok masyarakat tertentu secara signifikan dari tahun ke tahun. Kehidupan Ajo Sukaramai Medan, misalnya, dari dulu tidak berubah. Justru sebaliknya malah banyak menurun pendapatannya. Petani kita juga demikian, pedagang kaki lima, dan lain-lain. Walaupun kita tidak menutup mata bahwa di tempat lain atau sektor lainnya ada juga yang berhasil serta menggembirakan anggota masyarakat. Seperti Kota Limpung, Jawa Tengah, dan Kota Majalaya di Bandung adalah contoh- contoh kota yang dapat dikatakan sukses membangun melalui kunci sukses pendekatan perencanaan partisipatif yang dinikmati masyarakat. Di dalam penerapan pendekatan pembangunan perencanaan partisipatif ini, perencanaan partisipatif telah dianggap menjadi sarana yang ampuh untuk menanggulangi persoalan-persoalan pembangunan termasuk persoalan kemiskinan. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa pembangunan akan berhasil apabila masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, mulai dari perumusan kebijakan, formulasi, implementasi, kemanfaatan, dan evaluasi. Perhatian partisipasi masyarakat ini lebih jauh dibahas oleh Cohen dan Up Off melalui kriteria kondisi jawaban setiap peserta terhadap berpartisipasi untuk: what, who, whom, how. Artinya partisipasi itu harus jelas: apa, siapa yang harus berpartisipasi, dengan siapa, serta bagaimana. Dalam pendekatan pembangunan seperti ini, penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi harus lebih baik agar kemampuan mereka untuk merencanakan, melaksanakan, serta mengawasi jalannya pembangunan pun akan semakin meningkat. Karena semakin tinggi penguasaan masyarakat terhadap faktor-faktor produksi akan semakin tinggi pula kemampuan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi (Baswir:2003). Oleh sebab itu reinterpretasi dan refungsionalisasi UDKP dalam rangka pengembangan wilayah sesuai dengan konsep pembangunan kerakyatan itu sangat relevan dan tepat untuk dilakukan apalagi Undang-Undang
40
No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan perdesaan di Indonesia wajib memperhatikan; kepentingan masyarakat desa, kewenangan desa, kelancaran pelaksanaan investasi, pelestarian lingkungan hidup, keserasian kepentingan antarkawasan, dan kepentingan umum. Hal ini dimaksud harus mencakup: 1. Perhatian pada alokasi sumber yang cukup pada unit teritorial dalam skala ekonomi yang memungkinkan multiplier dalam agroindustri, konstruksi, transportasi, perdagangan, dan lain-lain. 2. Mewujudkan keterkaitan antarsektor pada unit teritorial yang mewujudkan optimalisasi efek sinergi. 3. Investasi yang sinergi membuka peluang kerja bagi masyarakat miskin, dalam arti menyerap tenaga kerja. 4. Pembangunan kawasan harus diartikan untuk meningkatkan produktivitas masyarakat secara optimal dapat memanfaatkan sumber daya alam. 5. Pengembangan industri yang resources-based yang menjadi komoditi unggulan. 6. Dalam menggalakkan pengembangan kawasan ini perlu kebijakan-kebijakan dualisme, dalam arti ada kebijakan yang ditujukan untuk melindungi masyarakat selain mendorong industri perdesaan. Untuk menerapkan hal ini berbagai prakarsa untuk menciptakan ruang-ruang publik perlu didukung. Upaya pembukaan ruang publik diyakini dapat meningkatkan kualitas keikutsertaan warga dalam proses pengambilan keputusan, mengendalikan dan memperoleh sumber daya bersama yang tadinya hanya dikuasai oleh negara. Saat ini pembukaan ruangruang publik dapat dilihat sebagai demokratisasi, partisipasi, dan good governance. Pada akhirakhir ini upaya ini bahkan telah mendorong lahirnya LSM, forum-forum warga, asosiasi dan lain-lain tempat berembuk, berkomunikasi, mengambil keputusan, merumuskan, dan menyelesaikan persoalan-persoalan bersama secara mandiri. Walaupun di sisi lain harus diakui banyak kendala, keterbatasan, dan menuntut kesabaran lebih untuk melalui jalur pilihan perencanaan partisipatif ini. Akan tetapi bagi Kota Majalaya yang telah menerapkan model perencanaan ini dengan baik, persoalan pemindahan pedagang kaki lima, revisi rencana
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
detail tata ruang, menangani masalah perkotaan dan lain-lain terasa menjadi lebih ringan ketika ruang-ruang publik seperti forum warga telah fungsional. Demikian halnya yang dialami oleh BAPPEDA Padang Pariaman, tidak lagi direpotkan oleh pesanan dan tekanan proyek. Selama ini BAPPEDA menjadi pasar pesanan proyek tapi dengan bekerjanya perencanaan partisipatif ini, BAPPEDA Padang Pariaman telah bebas proyek pesanan (Perform, 2003). Dengan ringkas Bupati Padang Pariaman mengatakan perencanaan partisipatif akan berjalan apabila mempercayai masyarakat agar dipercayai oleh rakyat. Oleh sebab itu apabila kita ingin menumbuhkembangkan sense of belonging dan sense of accountability yang diperlukan, maka perlulah kiranya kita juga mengubah manajemen pembangunan yang mengacu pada structural efficiency (birokrasi Weber), menjadi manajemen pembangunan yang lebih berbasis partisipasi masyarakat (community based resource management) yang didukung oleh kepemimpinan (leadership) yang komit dengan masyarakat, perubahan sikap, dan juga fleksibilitas administrasi keuangan pemerintah yang memacu kinerja agar dapat mengikuti tuntutan perubahan dalam proses pembangunan. Dalam konsep manajemen berbasis partisipasi masyarakat ini juga tersirat bahwa perlakuan terhadap partisipasi masyarakat bukan hanya dalam arti kontributif dan sebagai alat. Akan tetapi lebih dari itu yaitu menjadi tujuan yang akan memberdayakan masyarakat itu sendiri (empowerment). Sehingga melalui partisipasi ini proses demokratisasi akan terwujud dan melembaga dengan sendirinya karena: 1) masyarakat turut serta dalam proses pengambilan keputusan tentang masalah mereka, 2) memperluas peluang pendidikan politik sebab dengan kesempatan ini mereka akan semakin terlatih dalam menyusun skala prioritas dan menentukan kompromi di antara kepentingankepentingan yang berbeda-beda, 3) partisipasi ini akan semakin memperkuat solidaritas masyarakat lokal (Islamy, 2001). Sebenarnya metode pembangunan partisipatif ini telah lama diperkenalkan oleh seorang tokoh gerakan pembangunan masyarakat Cina dengan sederhana oleh Y.C. Yen pada 1920, di mana menurut pandangannya dalam pembangunan yang memberdayakan masyarakat itu haruslah menerapkan (Moeljarto M, 1987): 1) Go to the people -pergi mendatangi masyarakat yang hendak diberdayakan;
2)
Live among the people -hidup dan tinggallah dengan mereka supaya kita mengenal dengan baik kepentingan dan kebutuhannya; 3). Learn from the people -belajarlah dari mereka supaya dapat dipahami apa yang ada di benak mereka dan potensi apa yang mereka miliki; 4). Plan with the people -ajak dan ikutkan masyarakat dalam proses perencanaan 5). Work with the people - ajak dan libatkan mereka dalam proses pelaksanaan rencana; 6). Start with what the people know -mulailah dari apa yang masyarakat telah tahu dan pahami; 7). Build on what the people have -bangunlah sesuatu dari modal apa yang masyarakat punyai; 8). Teach by showing, learn by doing -ajarilah masyarakat dengan contoh konkret/nyata; 9). Not a showcase, but a pattern -jangan dipameri mereka dengan sesuatu yang menyilaukan, tetapi berikanlah kepada mereka suatu pola; 10) Not odds and ends, but a system -jangan tunujukkan kepada mereka sesuatu yang aneh dan akhir dari segalanya, tetapi berikanlah kepada mereka suatu sistem yang baik dan benar; 11) Not piecemeal, but integrated approach jangan menggunakan pendekatan yang sepotong-sepotong, tetapi pendekatan menyeluruh dan terpadu; 12) Not to conform, but to transform - bukan penyesuaian cara/model, tetapi transformasi model; 13) Not relief, but release -jangan berikan penyelesaian akhir kepada mereka, tetapi beri kebebasan kepada mereka sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Konsep perencanaan partisipatif ini akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali dan menyelesaikan permasalahannya. Karena dengan model partisipatif ini kemampuan: a) antisipasi dan mempengaruhi perubahan, b) membuat kebijakan/keputusan, c) memanfaatkan sumber-sumber untuk mencapai tujuan-tujuan akan meningkat. Hal ini sesuai dengan pandangan David Korten dengan teori kesesuaiannya yang mengatakan: kekuatan program akan dicapai dengan adanya hubungan yang sinergis antara program yang dirumuskan dengan organisasi pelaksana serta target group (1980).
41
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Program
Task requirements
Program Output
Distinctive Competence
Beneficiary
Target Group Expression
DecitionMaking Making Decision
Melalui pendekatan seperti inilah kesempatan setiap kelompok masyarakat dapat ikut serta dalam pembangunan. Demikian dengan masyarakat miskin, karena dalam pembangunan pola seperti ini harus dipahami bahwa yang memahami masalahnya itu adalah masyarakat (individu yang bersangkutan bukan orang pintar atau perencana/ pemerintah). Selanjutnya dengan pengikutsertaan masyarakat dalam pembangunan ini sekaligus akan mensinergikan kekuatan melalui penyusunan program-program yang berbasis pada potensi yang dimiliki oleh wilayah dan masyarakat. Para ahli di bidang pembangunan sepakat bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan spesifikasi wilayah dan sosial masyarakat setempat akan lebih bermanfaat dibandingkan dengan pembangunan yang dilaksanakan dengan mengacu pada model-model pembangunan tertentu (Sutyastie; hand out 2005). Dengan kepercayaan untuk memberi kesempatan pada masyarakat ini sekaligus juga akan melahirkan self sustaining dan capacity masyarakat yang semakin kokoh dan dapat bersaing dalam dinamika ekonomi masyarakat yang berkembang. Tantangan dalam Implementasi Perencanaan Pembangunan Daerah pada Era Otonomi Daerah Dalam pembangunan kewilayahan di Indonesia, di mana Indonesia memiliki latar belakang keanekaragaman kondisi, sangatlah dibutuhkan perencanaan yang lebih spesifik supaya pembangunan yang dilaksanakan dapat bertumpu pada spesifikasi sosial dan wilayahnya masing-masing. Dalam praktik dilakukan dengan
42
Organization
sistem perencanaan pembangunan nasional Indonesia, yang meliputi pendekatan top-down dan bottom-up. Proses top-down dimulai dari pembahasan GBHN oleh MPR diikuti dengan penyusunan propenas oleh pemerintah pusat untuk memberikan arahan untuk tujuan, kebijakan, dan program pembangunan nasional. Rencana strategis pembangunan (renstra) disusun berdasarkan propenas diikuti dengan penyusunan rencana pembangunan nasional tahunan (repeta) yang menetapkan prioritas anggaran pembangunan nasional. Renstra menekankan program untuk mencapai misi yang telah dinyatakan dalam propenas, sedangkan repeta memberikan program dan kegiatan yang lebih terperinci untuk menghubungkan rencana pembangunan pemerintah dengan anggaran pembangunan pusat untuk tahun yang akan datang. Berbagai dokumen kunci dalam perencanaan dan anggaran dirangkum dalam Tabel. Semua pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) diharuskan menyusun pola dasar pembangunan (poldas), sebagai rencana induk yang menggabungkan visi, misi, arah, dan strategi pembangunan daerah dalam jangka menengah dan panjang. Berdasarkan poldas, pemerintah daerah juga menyiapkan program pembangunan daerah (propeda) untuk lima tahun ke depan, rencana pembangunan strategis daerah (renstrada), dan rencana pembangunan tahunan daerah (repetada) yang sesuai dengan propenas, renstra, dan repeta di tingkat nasional. Diharapkan pemerintah daerah mempertimbangkan strategi pembangunan nasional dalam proses perencanaan daerahnya. Secara
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
prinsip, koordinasi antartingkatan pemerintah yang berbeda dilakukan melalui konsultasi dalam pertemuan koordinasi perencanaan pembangunan. Proses top-down perencanaan pembangunan tahunan dimulai ketika setiap tingkat pemerintahan memberikan acuan dan keputusan anggaran tahunan kepada tingkat pemerintahan di bawahnya. Proses bottom-up, seperti yang dianjurkan dalam kerangka prosedural yang disebut peraturan K5D merupakan proses konsultasi di mana setiap tingkat pemerintahan
menyusun draft proposal pembangunan tahunan berdasarkan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan di bawahnya. Proses ini mulai dari musyawarah pembangunan dusun (musbangdus), musyawarah pembangunan desa (musbangdes), yang dipimpin oleh kepala desa dan dihadiri oleh Badan Perwakilan Desa (BPD), LKMD, LSM, dan perwakilan kecamatan. Tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk menyusun proposal proyek yang akan diajukan ke tingkat yang lebih atas (kecamatan). Pertemuan ini diadakan antara bulan Mei dan Juli.
Beberapa Dokumen Kunci dalam Perencanaan dan Anggaran Daerah Dokumen Kebijakan
Bentuk Hukum
GBHN
TAP MPR
Propenas (Program Pembangunan Nasional)
Undang-Undang
Repeta (Rencana Pembangunan Tahunan) Renstra (Rencana Strategis)
UU Tahun 2000
Poldas (Pola Dasar Pembangunan Daerah) Propeda (Program Pembangunan Daerah) Renstra Daerah
Peraturan (Perda)
Repetada (Rencana Pembangunan Tahunan Daerah) APBD
Fungsi Setiap lima tahun sekali, MPR menyiapkan garis besar kebijakan secara langsung kepada presiden sekaligus pemilihan presiden Propenas mencakup kebijakan lintas sektor dan prioritas di mana pemerintah wajib memenuhi amanat GBHN tersebut. Ini merupakan masukan bagi menteri-menteri dan daerah untuk membangun dan mengintegrasikan dokumen kebijakan dan program. Rencana pembangunan tahunan menjelaskan prioritas anggaran pembangunan yang merupakan bagian dari anggaran tahunan.
Keputusan Menteri
Rencana strategis pusat dan agen daerah, berdasarkan INPRES 7/1999 terhadap manajemen kinerja sektor publik. Daerah Secara luas menjelaskan kebijakan pembangunan untuk daerah.
Peraturan (Perda)
Daerah Kebijakan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dan kapasitas daerah yang memenuhi undang-undang nasional, termasuk Propenas
Keputusan Daerah dan Dinas
Kepala Perencanaan strategis dari Kepala Daerah dan Kepala agen, menjelaskan visi, misi dan program. PP 108 merekomendasikan instrumen ini kepada Kepala Daerah. Ini merupakan dasar pidato akuntabilitas Kepala Daerah. Daerah Tiap daerah mengembangkan rencana pembangunan tahunan berdasarkan Renstra dan bahan kajian terkait.
Peraturan (Perda)
Peraturan Daerah Kinerja Anggaran (Perda) Pemerintah 105/2000 Sumber: Berbagai sumber; World Bank (2003)
Berdasarkan
Peraturan
43
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Proposal dari tingkat desa ditinjau dalam pertemuan tingkat kecamatan (UDKP = Unit Daerah Kerja Pembangunan), yang umumnya dilaksanakan pada bulan Juni atau Juli. Dalam pertemuan ini akan disaring proyek-proyek yang tidak efektif, tumpang tindih dan bukan prioritas, dan menambah proyek dari tingkat kecamatan. Selanjutnya, proposal tersebut kembali dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan (rakorbang kabupaten/kota) dengan tujuan untuk menyeleksi proposal yang diajukan oleh kecamatan. Pertemuan ini dipimpin oleh bupati untuk kabupaten dan walikota untuk kota dan dihadiri oleh semua pejabat yang terkait dan juga perwakilan dari provinsi. Proposal langsung dari biro teknis pemerintah kabupaten/kota ditambahkan dalam tahap ini untuk diajukan ke tingkat provinsi. Proses yang sama diulangi pada tingkat provinsi (rakorbang provinsi), yang dilaksanakan antara bulan Juli dan September. Peserta pertemuan ini meliputi perwakilan dari pemerintah pusat, pejabat provinsi dan kabupaten/kota yang terkait. Pada tahap ini proposal langsung dari biro teknis provinsi dapat ditambahkan. Akhirnya seluruh proposal dari provinsi dibahas dalam rapat koordinasi pembangunan nasional (rakorbangnas) di Bappenas yang dihadiri oleh gubernur, bupati/walikota, kepala Bappeda, dan perwakilan dari Departemen Dalam Negeri dan menterimenteri lain yang terkait. Pertemuan ini dilaksanakan pada bulan Oktober atau November di Jakarta. Berdasarkan pembahasan dalam rakorbangnas, pemerintah pusat memutuskan proposal proyek yang akan dibiayai dengan APBN untuk tahun berikutnya. - Di Provinsi: Bappeda Provinsi, Biro Pembangunan Daerah, Biro Keuangan dan Dinas Daerah Provinsi, DPRD Provinsi. - Daerah Kabupaten: Bappeda Kabupaten, Bagian Pembangunan, Bagian Keuangan dan Dinas Daerah Kabupaten, DPRD Kabupaten. Untuk menampung keinginan masyarakat dalam pembangunan ditempuh sistem perencanaan dari bawah ke atas. Inilah yang sebenarnya merupakan perencanaan partisipatif. Tahap yang paling bawah dalam rapat koordinasi pembangunan daerah yang akan diusulkan pada
44
tingkat yang lebih tinggi dimulai dengan (Kunarjo, 2002): 1. Musyawarah Pembangunan (musbang) Tingkat Desa/Kelurahan Musbang desa dipimpin oleh kepala desa atau lurah yang dibimbing oleh camat dan dibantu oleh kepala urusan pembangunan desa. Musyawarah desa ini menginventarisasi potensi desa, permasalahan-permasalahan desa, serta menyusun usulan program dan proyek yang dibiayai dari swadaya desa, bantuan pembangunan desa, APBD Kabupaten, APBD Provinsi, dan APBN. 2. Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan Temu karya dipimpin oleh camat dan dibimbing oleh Bappeda kabupaten/kota dan dibantu oleh kepala kantor pembangunan desa kabupaten atau kota yang bersangkutan. Tujuannya membahas kembali rencana program yang telah dihasilkan musbang desa. 3. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Kabupaten Rapat koordinasi ini membahas hasil temu karya pembangunan tingkat kecamatan yang dipimpin oleh ketua Bappeda kabupaten. Dalam rapat ini usulan-usulan program dan proyek dilengkapi dengan sumber-sumber dana yang berasal dari APBD kabupaten, APBD provinsi, APBN, program bantuan pembangunan, maupun bantuan luar negeri dan sumber dana dari perbankan. Usulan dari Bappeda kabupaten/kota disampaikan kepada gubernur, ketua Bappenas, dan menteri dalam negeri. 4. Rapat Koordinasi Pembangunan (Rakorbang) Provinsi Hasil rumusan dari rakorbang kabupaten/ kota dan usulan proyek-proyek pembangunan dibahas bersama-sama dengan Biro Pembangunan dan Biro Bina Keuangan, sekretariat wilayah atau provinsi, serta Direktorat Pembangunan Desa Provinsi. Ketua Bappeda provinsi mengkoordinasikan usulan rencana program dan proyek untuk dibahas dalam rakorbang provinsi yang dihadiri lembaga vertikal dan Bappeda kabupaten/kota. 5. Konsultasi Nasional Pembangunan Hasil rakorbang provinsi diusulkan ke pemerintah pusat melalui Forum Konsultasi Nasional. Forum ini dipimpin oleh Bappenas
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
dan dihadiri oleh wakil-wakil Bappeda provinsi serta wakil Depdagri dan departemen teknis tertentu. Hasil dari forum ini dibahas Bappenas sebagai masukan untuk penyusunan proyek-proyek yang dibiayai APBN. Daftar proyek yang telah dipadukan antara kebijakan sektoral dan keinginan daerah disusun dalam buku Satuan Tiga untuk disampaikan kepada DPR sebagai lampiran nota keuangan. Di atas kertas nampaknya akan menjamin adanya keseimbangan antara prioritas nasional dengan aspirasi lokal dalam perencanaan pembangunan daerah. Namun, kenyataannya banyak daerah belum sepenuhnya mengakomodasi
aspirasi lokal, karena sebagian besar proposal proyek yang diajukan berdasarkan aspirasi lokal telah tersingkir dalam rapat koordinasi yang menempatkan proposal yang diajukan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi tanpa memperhatikan proposal yang diajukan oleh tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Akibatnya, proposal akhir yang masuk ke pusat biasanya didominasi oleh proyek yang diajukan oleh level pemerintahan yang lebih tinggi, khususnya pemerintah provinsi dan pusat. Walaupun terdapat mekanisme koordinasi formal (proses bottom-up), sebagaimana dirangkum dalam gambar, namun perencanaan pembangunan daerah sebenarnya berada dalam kontrol pemerintah pusat.
APBD
Rakorbang Tingkat Nasional Top
Rakorbang Tingkat Provinsi
Rakorbang Tingkat
Bottom
Proposal Anggaran Kabupaten/Kota (RAPBD)
Parlemen DPRD
Anggaran Kab./ Kota (RAPBD)
UDKP Tingkat
Musbangdes Tingkat Desa
45
Jurnal Analisis Administrasi dan Kebijakan, Volume 3, Nomor 1, Januari – April 2006
Dalam implementasi perencanaan daerah, ternyata banyak masalah yang muncul. Permasalahan lain yang sering kali muncul di lapangan adalah sebagai berikut: 1. Propenas dan propeda bukanlah rencana yang kontinu sebab hanya dipersiapkan lima tahun sekali. Seperti halnya dengan poldas, perencanaan tersebut tidak menjelaskan output dan hasil serta tidak berhubungan dengan anggaran, kendati definisinya secara umum sebagai program pembangunan. 2. Masih tidak jelasnya bagaimana dan kapan perencanaan top-down dan bottom-up terintegrasi. Begitu juga siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan integrasi atau apa yang terjadi jika daerah otonom memutuskan untuk mengabaikan propenas. 3. Perencanaan di lapangan menunjukkan kesenjangan yang besar dalam memperhitungkan kemampuan finansial. Hanya perencanaan daerah tahunan yang memasukkan kemampuan fiskal tersebut. 4. Bahwa perencanaan tersebut terlalu memfokuskan diri pada anggaran dan proyek pembangunan daripada memandang anggaran secara keseluruhan. 3. PENUTUP Sangat wajar apabila masyarakat mempertanyakan hasil pembangunan yang terjadi, terutama apabila hasil-hasil pembangunan
46
itu tidak menjangkau dan bahkan apabila menimbulkan malapetaka ataupun ancaman bagi mereka. Perencanaan partisipatif adalah satu cara terbaik untuk menjawab hal tersebut. Dalam perencanaan partisipatif masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan sejak dini. Namun dalam penerapannya perlu dilakukan secara cerdas, karena pertanyaan berikut seperti: untuk apa mereka berpartisipasi, bagaimana cara berpartisipasi kembali akan muncul. Dalam hal ini pemahaman kondisi masyarakat, potensi, lingkungan, tantangan, hambatan perlu dipahami. Demikian pendekatan persuasif dan pemberdayaan, kemandirian perlu dikembangkan dengan kemauan yang ikhlas, leadership yang kuat, administrasi keuangan yang dapat mengikuti proses pembangunan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dengan demikian apabila hal ini dapat diterapkan dalam pembangunan pengembangan kawasan, maka persoalan-persoalan yang terjadi dapat diminimalisir, sebab masyarakat telah memahami pembangunan yang dicanangkan demikian dengan permasalahan-permasalahannya. Di sisi lain dalam perencanaan pembangunan ini keanekaragaman kondisi wilayah dan spesifikasi sosial harus mendapat perhatian karena sinergisitas potensi wilayah (SDA) dan potensi sumber daya manusia akan teraktualisasi dengan lebih kuat (melembaga).
Marlon Sihombing, Pengembangan Kawasan Melalui Paradigma Perencanaan Partisipatif
DAFTAR BACAAN Eka, Chandra, dkk, 2003, Membangun Forum Warga, AKATIGA. Islamy, M.I. 2001, Upaya Menumbuhkan Partisipasi Masyarakat Dalam Pemerintahan dan Pembangunan di Daerah, Makalah. Nugroho, Iwan & Roehim Dahuri, 2004, Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, LP3ES. Moeljarto, Tjokrowinoto, in. 1987, Politik Pembangunan, Tiara Wacana. Moeljarto, Tjokrowinoto, Pembangunan Dilemma dan Tantangan, Pustaka Pelajar, 2003. Mudrajad, Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah, PT. Gelora Aksara 2004. Perform, PDPP, Edisi 2/4, 2003. Revrison, Baswir, Pembangunan Tanpa Perasaan, Elsam 2003. Remi, S. Sutyastie, Hand Out 2005. Sihombing, Marlon, 1991, Implementasi Pembangunan Masyarakat Desa Melalui PIRBUN, Tessis UGM.
47