PARADIGMA BARU PENGEMBANGAN MANAJEMEN MADRASAH Ahmad Suyuthi (Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstract: The new paradigm ofmadrasah management development that must be addressed is the managerial problems. Sothat educational institutions Madrasah should be able to manage, direct and guidestudents to face the changes and is able to create scholars, educators and parents in thefuture. The effective Madrasah in general have a number of characteristics of the process asfollows: The process of teaching and learning effectiveness is high, strong leadershipmadrasah, madrasa environment that is safe and orderly, effective management of educationalpersonnel, Madrasah has a quality culture, Madrasah has cohesive teamwork, Smart, andDynamic, Madrasah has the authority (self-reliance), high participation of madrasah citizens and public, Madrasah has openness (transparency) management, Madrasah has a willingnessto change (psychological and physical), Madrasah get evaluation and continuous improvement,Madrasah is responsive and adaptable to the needs, Having good communication, Madrasahhas accountability, Madrasah has the ability to maintain sustainability. Kata kunci : Manajemen, Madrasah Pendahuluan Pembicaraan tentang manajemen akhir-akhir ini hangat dibincangkan. Hal tersebut bukan saja merupakan hal baru bagi dunia pendidikan. Sumber daya manusia merupakan unsure aktif dalam penyelenggaraan organisasi. Sedangkan unsure-unsur yang lainnya merupakan unsure pasif yang bisa diubah oleh kreativitas manusia. Dengan pengelolaan (nanajemen) yang berkualitas, diharapkan akan dapat mengkondisikan unsur-unsur yang lain agar bisa mencapai tingkat produktifitas suatu organisasi. Madrasah diyakini menjadi lembaga pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik pada ranah yang lebih komprehensif, seperti aspek intelektual, moral, spiritual, dan keterampilan secara padu. Madrasah diyakini akan mampu mengintegrasikan kematangan religius dan keahlian ilmu modern kepada peserta didik sekaligus.1 Dengan kemampuan itu, madrasah akan mampu pula mencetak insan-insan cerdas, kreatif, dan beradab untuk menghadapi era globalisasi.2 Memperbincangkan mengenai lembaga pendidikan yang bernama madrasah, agaknya akan selalu menarik dan tidak ada habis-habisnya. Terlebih yang dibicarakan adalah dari aspek manajemennya. Karena manajemen dalam suatu lembaga apa pun akan sangat diperlukan, bahkan – disadari atau tidak – sebagai prasyarat mutlak untuk tercapainya tujuan yang ditetapkan dalam lembaga tersebut. Semakin baik manajemen yang diterapkan, semakin besar pula kemungkinan berhasilnya lembaga tersebut dalam mencapai tujuannya. Demikian pula sebaliknya. Realitas di lapangan lembaga-lembaga pendidikan Islam khususnya madrasah tingkat produktifitas masih jauh dari yang diharapkan. Madrasah sebagai lembaga
Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah Gagasan, Aksi dan Solusi Pembangunan Madrasah, (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007), 38 2 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007), 123 1
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
103
pendidikan formal sering kurang mampu mengikuti dan menanggapi arus perubahan cepat yang terjadi dalam masyarakat.3 Selama ini madrasah danggap sebagai lembaga pendidikan islam yang mutunya lebih rendah dari pada mutu lembaga pendidikan lainnya, terutama sekolah umum, walaupaun beberapa madrasah justru lebih maju dari pada sekolah umum. Namun keberhasilan beberapa madrasah dalam jumlah yang terbatas itu belum mampu menghapus kesan negative yang sudah terlanjur melekat.4 Dunia pendidikan masa depan perlu semakin mengintegrasikan kedalam berbabagai kegiatannya. Baik yang bersifat kurikuler maupun ekstra kurikuler. Dalam kehidupan budaya, globalisasi menantang dunia pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang kenal, mencintai dan mampu mengekspresikan budaya bangsanya seraya mampu menjalin dialog terbuka dan kritis dengan budaya-budaya lain. Kalau tidak, yang akan muncul adalah generasi yang tak punya identitas atau yang gamang, takut dan bingung menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Untuk itu diperlukan manajemen pendidikan yang professional.5 Pengertian Manajemen Dalam kamus besar Bahasa Indonesia manajemen diartikan ; proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran; Pejabat pimpinan yang bertanggungjawab atas jalannya perusahaan dan organisasi. 6 Istilah manajemen dalam bahasa Indonesia belum ada keseragaman dalam menerjemahkan, diantaranya adalah manajemen, management, pengolahan, pembinaan, ketatalaksanaan, pengurusan, kepemimpinan, pemimpin, ketatapengurusan dan sebagainya. Ada kaitan yang erat antara organisasi, administrasi dan manajemen. Organisasi ialah sekumpulan dari sekelompok orang yang mengadakan suatu aktivitas bersama untuk mmencapai tujuan bersama. Mula-mula mereka mengintegrasikan sumber-sumber materi maupun sikap para anggota yang dikenal sebagai manajemen, dan barulah mereka melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk mencapai cita-cita tersebut. Baik manajemen maupun melaksanakan kegiatan itu disebut administrasi.7 Pada abad ini telah banyak para teoritis maupun para praktisi yang yang menaruh minat untuk mempelajari ilmu manajemen, baik bedasarkan study konsepsi maupun berdasarkan penelitian yang telah mereka lakukan, karena banyaknya tinjauan mereka sehingga banyak definisi yang mereka ajukan sesuai dengan disiplin ilmu tempat mereka berpijak. Namun pada pada prinsipnya mereka berbendapat bahwa manajemen sebagi suatu keahlian, kemahiran, kemampuan dan ketrampilan (seni) dan sebagai ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam setiap aktifitas. Pengertian manajemen sebagaimana yang dikemukakan para ahli yang tampil dalam formulasi yang berbeda-beda, antara lain : John D. Millet dalam bukunya management the public dikutup oleh Maman Ukas dalam pengantar management, membatasi managemen sebagai berikut ; manajemen diartikan sebagai suatu proses pengarahan, penjurusan dan pemberian fasilitas kerja kepada orang-orang yang diorganisasikan dalam kelompokkelompok formal untuk mencapai tujuan yang diharapkan.8 A. Admadi dan Y. Setianingsih, Tranformasi Pendidikan Memasuki Milenium ketiga, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 1 4 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal.80 5 Lihat Ahmad Suyuthi, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal Studi Islam Akademika Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Volume 5, Nomor 1, Juni 2011, 14-15. 6 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), 553 7 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), 1 8 Maman ukas, Pengantar Ilmu Management, (Bandung: IKIP Bandung, 1997), 3 3
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
104
M. Manullang dalam bukunya Dasar-Dasar Management bahwa manajemen adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengontrolan dari Humam and Natural recuces (terutama Human rescurces) untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan terlebih dahulu. 9 Sedangkan menurut Dale bahwa manajemen sebagai 1). Mengelola orang-orang, 2). Pengambilan keputusan, 3). Proses mengorganisasi dan memakai sumber-sumber untuk menyelesaikan tujuan yang sudah ditentukan. Suatu pandangan yang bersifat umum mengatakan bahwa manajemen ialah proses mengintegrasikan sumber-sumber yang berhubungan menjadi sistem total untuk menyelesaikan suatu tujuan. Yang dimaksud sumber disini ialah mencakup orang-orang, alat-alat, media, bahan-bahan, uang, dan sarana. semuanya diarahkan dan dikoordinasikan agar terpusat dalam rangka menyelesaikan tujuan.10 Bedasarkan batasan yang telah dikemukakan diatas dan terlepas dari sudut mana para ahli tersebut memberikan batasan, maka manajemen dapat diartikan sebagai seni dan ilmu dalam perencanaan, perorganisasian, pengarahan, pemberian motivasi dan pengawasan terhadap orang mekanisme kerja untuk mencapai tujuan yang selalu ditetapkan. Dari definisi manajemen tersebut diperoleh unsur-unsur sebagai berikut : 1. Unsur sifat. a. Manajemen sebagai suatu seni (art) yaitu sebagai suatu keahlian, kemahiran, kemampuan dan ketrampilan dalam aplikasi ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan yang diharapkan. b. Manajemen sebagai suatu ilmu (science) yaitu merupakan akumulasi yang telah disistematisasikan dan diorganisasikan untuk mencapai suatu kebenaran umum. 2. Unsur fungsi a. Perencanaan (planing) yaitu suatu proses dan rangkaian kegiatan untuk menetapkan terlebih dahulu tujuan yang diharapkan pada suatu jangka waktu tertentu atau periode waktu yang telah ditetapkan, serta tahapan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tersebut. b. Perorganisasian (organizing). Yaitu suatu proses dan rangkaian kegiatan dalam pembagian pekerjaan yang derencanakan untuk diselesaikan oleh anggota kelompok pekerjaan, penentuan hubungan yang baik diantara mereka, dan pemberian lingkungan dan fasilitas pekerjaan yang sepatutnya. c. Pengarahan (directing), yaitu suatu rangkaian kegiatan dalam rangka memberikan petunjuk atau intrksi dari seorang atasan kepada bawahan/beberapa bawahan atau kepada orang yang diorganisasikan dalam kelompok formal dan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. d. Pengawasan (controling). Yaitu suatu proses dan rangkaian kegiatan untuk mengusahakan agar sesuatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana dan tahapan tersebut, diadakan suatu tindakan perbaikan seperlunya (corerrective actin).11 Manajemen Madarasah dapat diartikan sebagai aktifitas memadukan sumber-sumber pendidikan agar terpusat dalam usaha mencapai tujuan Madrasah yang telah ditentukan sebelumnya.
M. Manullang, Dasar-dasar Management, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1997), 11 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia ....., 3-4 11 http://citraedukasi.blogspot.com/2007/12/implementasi-tqm-di-madrasah.html. Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja, (Bandung: Sinar Baru, 1989), 7-8. 9
10
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
lihat
Bedjo
105
Pengertian Madrasah Kata "madrasah" dalam bahasa Arab adalah bentuk kata "keterangan tempat" (zharaf makan) dari akar kata "darasa". Secara harfiah "madrasah" diartikan sebagai "tempat belajar para pelajar", atau "tempat untuk memberikan pelajaran". Dari akar kata "darasa" juga bisa diturunkan kata "midras" yang mempunyai arti "buku yang dipelajari" atau "tempat belajar"; kata "al-midras" juga diartikan sebagai "rumah untuk mempelajari kitab Taurat’. 12 Kata "madrasah" juga ditemukan dalam bahasa Hebrew atau Aramy, dari akar kata yang sama yaitu "darasa", yang berarti "membaca dan belajar" atau "tempat duduk untuk belajar". Dari kedua bahasa tersebut, kata "madrasah" mempunyai arti yang sama: "tempat belajar". Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kata "madrasah" memiliki arti "sekolah" kendati pada mulanya kata "sekolah" itu sendiri bukan berasal dari bahasa Indonesia, melainkan dari bahasa asing, yaitu school atau scola. Secara teknis, dalam proses belajar-mengajarnya secara formal, madrasah tidak berbeda dengan sekolah, namun di Indonesia madrasah tidak lantas dipahami sebagai sekolah, melainkan diberi konotasi yang lebih spesifik lagi, yakni "sekolah agama", tempat di mana anak-anak didik memperoleh pembelajaran hal-ihwal atau seluk-beluk agama dan keagamaan (dalam hal ini agama Islam). Dalam prakteknya memang ada madrasah yang di samping mengajarkan ilmu-ilmu keagamaan (al-'ulum al-diniyyah), juga mengajarkan ilmu-ilmu yang diajarkan di sekolahsekolah umum. Selain itu ada madrasah yang hanya mengkhususkan diri pada pelajaran ilmu-ilmu agama, yang biasa disebut madrasah diniyyah. Kenyataan bahwa kata "madrasah" berasal dari bahasa Arab, dan tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, menyebabkan masyarakat lebih memahami "madrasah" sebagai lembaga pendidikan Islam, yakni "tempat untuk belajar agama" atau "tempat untuk memberikan pelajaran agama dan keagamaan". Sejarah Kelahiran Madrasah di Indonesia Kehadiran lembaga pendidikan Islam di Nusantara tidak lama berselang setelah masuk dan tersebarnya Islam, justru proses Islamisasi diperkuat oleh lembaga pendidikan sebagai medianya.13 Madrasah tidak lahir secara instan, melainkan ia bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan sebelumnya, seperti maktab, kuttâb, istana, kedai buku, shuffah, halaqah, masjid, khân, ribâth, toko buku dan perpustakaan.14 Sedangkan di Indonesia madrasah ia merupakan bagian dari pembaruan pendidikan sistem pendidikan masjid, 15 pesantren,16 meunasah, rangkang, dayah, dayah teuku cik 17 dan surau.18 Baik masjid, pesantren, surau, dayah, rangkang dan meunasah tidak memiliki perbedaan yang http://citraedukasi.blogspot.com/2007/12/implementasi-tqm-di-madrasah.html. diakses. 5 Februari 2014 13 Lihat Uka Tjandrasasmita, Sejarah Nasional Indonesia III. (Jakarta: Balai Pustaka, 1984). Lihat juga, Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007). 14-15 14 Ahmad Syalabi, Târikh at Tarbiyah al Islamiyyah. (Kairo: Kasysyâf li an Nasyr wa at Thibâ’ah wa at Tauzi’, 1954). 19-95. Lihat juga George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and the Christian West; with Special Reference to Scholasticism. (Edinburgh: Edinburgh University Press) 15 Lihat Abdul Baqir Zein, Masjid-Masjid Bersejarah di Indonesia, cet pertama. (Jakarta: GIP, 1999). 16 Lihat Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. (Jakarta: Paramadina, 1997). 3135. 17 Lihat Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1990). 21-23. 18 Lihat Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. (Ciputat: Logos, 2003). 87-108. 12
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
106
berarti sebagai sebuah sistem pendidikan. Perbedaannya adalah keragaman, kekayaan dan elastisitas pendidikan Islam. Islam nyaris menjadikan pranata-pranata di Nusantara yang telah berlaku di komunitas setempat sebagai basis penyiaran Islam, agar dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat setempat, yang kemudian diislamisasikan.19 Kelahiran madrasah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarahnya, yakni merupakan respon atau ketidakpuasan terhadap dua hal, Pertama, stagnasi atau ketertinggalan sistem yang diterapkan oleh lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional yang ada di Indonesia, seperti Surau, Meunasah, dan Pesantren. Lembaga-lembaga pendidikan ini umumnya, (a) memiliki manajemen pendidikan yang konvensional dan tradisional, yang cenderung terpusat pada seseorang, terutama kyai atau buya, sehingga kepemimpinan (leadership) bersipat individual atau tidak kolektif; (b) mempertahankan sistem pendidikan yang tradisional, yakni menggunakan metode yang konvensional (yakni sorogan dan bandungan) serta menerapkan kurikulum pembelajaran yang cenderung berorientasi pada penghapalan dan pemahaman ilmu-ilmu agama (doktriner); dan (c) mereka cenderung menafikan [bahkan sebagian mengharamkan] untuk mempelajari ilmuilmu "umum",seperti matematika, logika, fisika, kimia, biologi, hingga teknologi. Tidak salah, sebagian orang menyebutkan bahwa lembaga pendidikan tradisional hanya mempelajari ilmu yang berorientasi pada keakhiratan atau berakhlakul karimah, sedang aspek kecerdasan (melek ipteks), seringkali diabaikan. Kedua, sistem pendidikan sekolah umum -- untuk tidak menyebut sekuler-- yang diterapkan oleh pemerintah (Belanda, Orde Lama, dan Orde Baru). Pada institusi pendidikan ini, ilmu-ilmu sains modern dan teknologi dipelajari, dan sebaliknya ilmu-ilmu agama "dimarginalkan" atau dipinggirkan. Siswa dicetak menjadi cerdas dan pintar, serta profesional, tetapi mengabaikan aspek "baik" dalam perilaku/etika. Umumnya, siswa-siswa diajarkan menggunakan metode yang modern dan diorientasikan untuk mempelajari ilmuilmu yang dibutuhkan untuk memenuhi lapangan kerja atau industri. Dengan kata lain, siswa dicetak sebagai pekerja atau berorientasi kerja atau "materi' (upah atau uang). Dari kegelisahan ini, sebagian pemikir pendidikan Islam, kemudian mengambil upaya untuk mengkonvergensi sistem pendidikan dari keduanya. Hasil konvergensi inilah yang kemudian, kini, menghasilkan institusi pendidikan yang bernama "madrasah". Potret sederhananya dapat dilihat dalam kurikulumnya yang merupakan gabungan dari dua jenis kurikulum, yakni kurikulum yang ada pada lembaga pendidikan tradisional [misal pesantren] dan kurikulum sekolah. Hasilnya adalah integrasi ilmu dan pendidikan karakter [akhlak mulia]. Madrasah tidak hanya mendidik siswa cerdas dan pintar, tetapi berakhlak mulia; atau dengan kata lain, cageur, pinter, dan bageur. Inilah keunggulan dari madrasah. Dari segi kurikulum, madrasah pun mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003. Berdasarkan pada undang-undang ini, madrasah memiliki kesetaraan dengan sekolah (umum). Perbedaannya hanya terletak pada penekanannya terhadap matpel agama Islam. Inilah yang menyebabkan madrasah diasumsikan “lebih Islami” daripada sekolah lainnya. Selebihnya, Kemenag RI pun berusaha merumuskan dan mengimplementasikan, apa yang disebut para ahli sebagai, “nuansa islam” dalam kurikulum. Paradigma Baru Pengembangan Manajemen Madrasah Dalam memenuhi target jangka pendek, Madrasah harus mampu memberikan arahan dan menuntun anak didik secara massal, untuk menjadi umat beragama (Islam) yang mampu menghadapi dan menjalani perubahan, sedangkan untuk jangka panjang, Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. (Ciputat: Logos, 2002). Lihat juga Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. (Ciputat: Logos, 2003). 19
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
107
penekanannya adalah bahwa Madrasah mampu melahirkan ulama’, pendidik, orang tua yang konsisten menunjukkan kemampuan dalam mengarahkan dan menuntun anaknya agar menjadi generasi berkemajuan dunia atas landasan keakhiratan. Sisi pertama yang cukup tertantang adalah masalah kualifikasi tenaga kependidikan. Aspek tersebut menuntut para pengampu Madrasah masa sekarang dan masa mendatang adalah mereka yang tidak hanya sekedar menguasai ajaran agama secara kontektual, tapi juga tekstual dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya. Sisi lainnya adalah bahwa para pengampu yang qualified tersebut, harus membuktikan kemampuannya dengan menghindarkan proses pembelajarannya pada semata-mata pencapaian target kognitif. Sebab aspek afektif dan spikomotorik merupakan penentu tersosialisasikannya ajaran-ajaran moral dan budi pekerti pada perkembangan prilaku anak didik, sebagai calon ulama’, calon pendidik dan orang tua di masa datang.20 Dalam konteks ini, maka keberadaan para pengampu disetiap jenjang Madrasah, lebih kuat tuntutan tanggungjawab moral dibanding tanggungjawab kedinasan. Jabatan memang untuk mencari nafkah sebagaimana juga profesi-profesi lain.21 Tapi keberadaannya dilingkari oleh tanggungjawab untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sangat tegas menunjukkan sasaran moral, ketrampilan dan kecerdasan. Dalam konteks tersebut, maka kelemahan-kelemahan lain yang dinilai masih disandang madrasah, dan melemahnya dalam menjawab tantangan yang dibawa zaman, perlu segera dibenahi. Arahnya bukan untuk bersaing, tetapi senuhnya untuk memenuhi dan melaksanakan tanggungjawab untuk melahirkan manusia-manusia yang bijaksana, cendekia dan bermoral. Ini sekaligus sebagai antisipasi keberadaan Madrasah untuk tidak semakin marginal dalam percaturan global, dalam Indonesia modern dan Indonesia Industrial. Kepala Madrasah misalnya bisa berperan sebagai administrator dalam mengemban misi, sebagai manajer dalam memadukan sumber-sumber pendidikan dan sebagai supervisor dalam membina guru-guru pada proses mengajar, ini berarti organisasi sekolah melaksanakan administrasi, manajemen dan supervisi. Walaupun ada manajemen disekolah yang dilaksanakan oleh kepala sekolah, namun pada hakekatnya manajemen itu ada pada setiap unit kerja Madrasah, naumun dalam praktek sehari-hari kepala-kepala unit kerja itu tidak bisa disebut manajer, sehingga seolah-olah di situ tidak ada manajemen, walaupun mereka melakukan pekerjaan manajer.22 Pengembangan Manajemen Madarasah dengan manangani individu-individu peserta didik yang hidup dinamis dan unik yang sedang berkembang dan tumbuh, bantuhan dan kesempatan berkembang kearah positif inilah yang harus dicapai oleh manajemen Marsah, manajemen ini membutuhkan banyak variasi, kreasi dan kiat, sebab manajemen ini bermuara pada keberhasilan proses pendidikan.23 dengan demikian kapanpun penyelenggara Madrasah memegang peranan utama dalam lembaga pendidikan. jadi penyelenggara Madarasah mutlak harus seorang professional dalam manajemen pendidikan. Kewajiban-kewajiban seorang penyelenggara Madrasah : 1. menjadi manajer dengan tugas-ugas sebagai berikut : a. mengadakan prediksi tentang kemungkinan perubahan lingkungan. b. Merencanakan dan melakukan inovasi dalam pendidikan Muslih Usa dan Aden Wijaya SZ, (eds), Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, (Yogyakarta: Aditya Media, 1997), 1433-144. 21 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: Jammars, 1992), 132. 22 Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia ...., 12-13. 23 Made Pidarta, Landasan Pendidikan, Stimulus Ilmu Perndidikan bercorak Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 288-289 20
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
108
c. Menciptakan strategi dan kebijakan lembaga agar proses pendidikan tidak mengalami hambatan. d. Menagakan perencanaan dan menemukan sumber-sumber pendidikan. e. Menyediakan dan mengkoodinasi fasilitas pendidikan f. Melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan agar tidak terlanjur berbuat kesalahan. 2. menjadi pemimpin: a. memimpin semua bawahan b. memotivasi agar bekerja dengan rajin dan giat c. meningkatkan kesejahteraan para bawahan d. mendisplin para pendidik dan pegawai dalam melaksanakan tugasnya. 3. Sebagai supervisi atau pengawas a. mengawasi dan menilai cara kerja dan hasil kerja pendidik dan pegawai b. memberi supervisi dalam meningkat cara bekerja c. mencari dan memberi peluang untuk meningkatkan profesi para penddidik. 4. sebagai pencipta iklim bekerja dan belajar yang kondusif. 5. Sebagai pencipta lingkungan bekerja dan belajar yang kondusif. 6. Mejadi administrator lembaga pendidikan dengan tugas menyelenggarakan kegiatan kegiatan rutin yang dioperasikan oleh para personalia lembaga. 7. Menjadi koordinator kerjasama lembaga pendidikan dengan masyarakat. 24 Oleh karena itu dalam memasuki abad XXI, reposisi dan reaktualisasi Madrasah merupakan keharusan, antara lain lewat transformasi Madrasah yang bertumpu pada tiga pilar; a). Reformasi aspek regulatori pendidikan; dititik beratkan pada reformasi kurikulum, b). reformasi aspek profesi, c). Reformasi manajemen Madrasah. Ini ditujukan untuk mengubah pusat-pusat pengambilan keputusan dan kendali pendidikan pada level yang lebih dekat dengan proses belajar-mengajar. Dalam reformasi manajemen Madrasah yang harus dilakukan adalah ; pertama, memberikan kesempatan yang lebih luas kepada kepala Madrasah untuk mengambil keputusan berkaitan dengan pendidikan. Bentuk kebijakan ini adalah menumbuhkan school based management. Kedua, memberikan kesempatan yang luas kepada warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengelola sekolah. Dengan demikian peran masyarakat akan semakin besar untuk kemudian mewujudkan cummunity based school.25 Untuk memasuki era globalisasi Madrasah harus bergeser kearah pendidikan yang berwawasan global, dari perspektif kurikuler pendidikan berwawasan global bearti menyajikan kurikulum yang bersifat interdisipliner, multidisipliner dan transdisipliner. Berdasarkan perspektif reformasi, Madrasah berwawasan global menuntut kebijakan pendidikan tidak semata sebagai kebijakan sosial dan kebijakan yang mendasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu pendidikan harus memiliki kebebasan dan bersifaat demokratis, fleksibel dan adaptif.26 Madrasah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut: 27 a. Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi Madrasah yang menerapkan manajemen peningkatan mutu berbasis madrasah (MPMBM) memiliki efektivitas proses belajar mengajar (PBM) yang tinggi. Ini ditunjukkan oleh sifat PBM yang menekankan pada pemberdayaan peserta didik. Ibid., 289-291. Zamrani, Pendidikan Untuk demokrasi, Tantangan Menuju Civil Society,(Yogyakarta: Biagraf Publishing, 2001), 127-130. 26 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Biagraf Publishing, 2000), 94. 27 http://www.rokhim.net/2013/04/manajemen-peningkatan-mutu-berbasis.html. diakses 12 Pebruari 2014 24 25
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
109
PBM bukan sekadar memorisasi dan recall, bukan sekadar penekanan pada penguasaan pengetahuan tentang apa yang diajarkan (logos), akan tetapi lebih menekankan pada internalisasi tentang apa yang diajarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan dihayati (ethos) serta dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari oleh peserta didik (pathos). PBM yang efektif juga lebih menekankan pada belajar mengetahui (learning to know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be). b. Kepemimpinan madrasah yang kuat Pada madrasah yang menerapkan MPMBM, kepala madrasah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumberdaya pendidikan yang tersedia. Kepemimpinan kepala madrasah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong madrasah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran madrasahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu, kepala madrasah dituntut memiliki kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang tangguh agar mampu mengambil keputusan dan inisiatif/prakarsa untuk meningkatkan mutu madrasah. Secara umum, kepala madrasah tangguh memiliki kemampuan memobilisasi sumberdaya madrasah, terutama sumberdaya manusia, untuk mencapai tujuan madrasah. c. Lingkungan madrasah yang aman dan tertib Madrasah memiliki lingkungan (iklim) belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan nyaman (enjoyable learning). Karena itu, madrasah yang efektif selalu menciptakan iklim madrasah yang aman, nyaman, tertib melalui pengupayaan faktor-faktor yang dapat menumbuhkan iklim tersebut. Dalam hal ini, peranan kepala madrasah sangat penting sekali. d. Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif Tenaga kependidikan, terutama guru, merupakan jiwa dari madrasah. Madrasah hanyalah merupakan wadah. madrasah yang menerapkan MPMBM menyadari tentang hal ini. Oleh karena itu, pengelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kinerja, hubungan kerja, hingga sampai pada imbal jasa, merupakan garapan penting bagi seorang kepala madrasah. Terlebih-lebih pada pengembangan tenaga kependidikan, ini harus dilakukan secara terus-menerus mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Pendeknya, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menyukseskan MPMBM adalah tenaga kependidikan yang mempunyai komitmen tinggi, selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik. e. Madrasah memiliki budaya mutu Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga madrasah, sehingga setiap perilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen -elemen sebagai berikut: (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili/mengontrol orang; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti penghargaan (rewards) atau sanksi (punishment); (d) kolaborasi dan sinergi, bukan kompetisi, harus merupakan basis untuk kerjasama; (e) warga madrasah merasa aman terhadap pekerjaannya; (f) atmosfir keadilan (fairness) harus ditanamkan; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; dan (h) warga madrasah merasa memiliki Madrasah . f. Madrasah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis Kebersamaan (teamwork) merupakan karakteristik yang dituntut oleh MPMBM, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga Madrasah, bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam madrasah, antar
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
110
individu dalam madrasah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga madrasah . g. Madrasah memiliki kewenangan (kemandirian) Madrasah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi madrasahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, Madrasah harus memiliki sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugasnya. h. Partisipasi yang tinggi dari warga madrasah dan masyarakat Madrasah yang menerapkan MPMBM memiliki karakteristik bahwa partisipasi warga madrasah dan masyarakat merupakan bagian kehidupannya. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula tingkat dedikasinya. i. Madrasah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan madrasah merupakan karakteristik madrasah yang menerapkan MPMBM. Keterbukaan/ transparansi ini ditunjukkan dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol. j. Madrasah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan pisik) Perubahan harus merupakan sesuatu yang menyenangkan bagi semua warga madrasah . Sebaliknya, kemapanan merupakan musuh madrasah. Tentu saja yang dimaksud perubahan adalah peningkatan, baik bersifat fisik maupun psikologis. Artinya, setiap yang dilakukan perubahan, hasilnya diharapkan lebih baik dari sebelumnya (ada peningkatan) terutama mutu peserta didik. k. Madrasah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditujukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses belajar mengajar di madrasah . Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu madrasah secara keseluruhan dan secara terus menerus. Perbaikan secara terus-menerus harus merupakan kebiasaan warga madrasah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggungjawab, prosedur, proses dan sumberdaya untuk menerapkan manajemen mutu. l. Madrasah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan Madrasah selalu tanggap/responsif terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, madrasah selalu membaca lingkungan dan menanggapinya secara cepat dan tepat. Bahkan, Madrasah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tuntutan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. m. Memiliki Komunikasi yang Baik Madrasah yang efektif umumnya memiliki komunikasi yang baik, terutama antar warga madrasah, dan juga madrasah-masyarakat, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masing-masing warga madrasah dapat diketahui. Dengan cara ini, maka keterpaduan semua kegiatan madrasah dapat diupayakan untuk mencapai tujuan dan sasaran madrasah yang telah dipatok. Selain itu, komunikasi yang baik juga akan membentuk teamwork yang kuat, kompak, dan cerdas, sehingga berbagai kegiatan madrasah dapat dilakukan secara merata oleh warga madrasah n. Madrasah memiliki akuntabilitas
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
111
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggung jawaban yang harus dilakukan madrasah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai dan dilaporkan kepada pemerintah, orangtua siswa, dan masyarakat. Berdasarkan laporan hasil program ini, pemerintah dapat menilai apakah program MPMBM telah mencapai tujuan yang dikendaki atau tidak. Jika berhasil, maka pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada madrasah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk terus meningkatkan kinerjanya di masa yang akan datang. Sebaliknya jika program tidak berhasil, maka pemerintah perlu memberikan teguran sebagai hukuman atas kinerjanya yang dianggap tidak memenuhi syarat. Demikian pula, para orangtua siswa dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat meningkatkan prestasi anak-anaknya secara individual dan kinerja madrasah secara keseluruhan. Jika berhasil, maka orangtua peserta didik perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningkatan program yang akan datang. Jika kurang berhasil, maka orangtua siswa dan masyarakat berhak meminta pertanggung jawaban dan penjelasan madrasah atas kegagalan program MPMBM yang telah dilakukan. o. Madrasah memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas Madrasah yang efektif juga memiliki kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidupnya (sustainabilitasnya) baik alam program maupun pendanaannya. Sustainabilitas program dapat dilihat dari keberlanjutan program -program yang telah dirintis sebelumnya dan bahkan berkembang menjadi program-program baru yang belum pernah ada sebelumnya. Sustainabilitas pendanaan dapat ditunjukkan oleh kemampuan madrasah dalam mempertahankan besarnya dana yang dimiliki dan bahkan makin besar jumlahnya. madrasah memiliki kemampuan menggali sumberdana dari masyarakat, dan tidak sepenuhnya menggantungkan subsidi dari pemerintah bagi madrasah-madrasah negeri. Penutup Dari uraian singkat diatas dapat disimpulkan bahwa paradigma baru pengembangan managemen madrasah adalah suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengkontrolan aktivitas pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditentukan sebelumnya. Paradigma baru pengembangan manajemen madrasah yang harus segera dibenahi adalah masalah manajerialnya. Sehingga lembaga pendidikan Madrasah harus mampu memanaj, mengarahkan dan menuntun anak didik menghadapi perubahan dan mampu melahirkan ulama’, pendidik dan orang tua dimasa yang akan datang. Madrasah yang efektif pada umumnya memiliki sejumlah karakteristik proses sebagai berikut: Proses belajar mengajar yang efektivitasnya tinggi, Kepemimpinan madrasah yang kuat, Lingkungan madrasah yang aman dan tertib, Pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, Madrasah memiliki budaya mutu, Madrasah Memiliki “Teamwork” yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis, Madrasah memiliki kewenangan (kemandirian), Partisipasi yang tinggi dari warga madrasah dan masyarakat, Madrasah memiliki keterbukaan (transparansi) manajemen, Madrasah memiliki kemauan untuk berubah (psikologis dan pisik), Madrasah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan, Madrasah responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, Memiliki Komunikasi yang Baik, Madrasah memiliki akuntabilitas, Madrasah memiliki kemampuan menjaga sustainabilitas. Apa yang diuriakan tulisan ini, masih telaah awal dan belum dan belum merupakan kesimpulan final, karena diskursus intektual tentang pengembangan manajemen perlu terus
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014
112
dikembangkan. Hal ini dalam kerangka ikut aktif dalam menemukan formulasi paradigma baru pengembangan manajemen Madrasah ideal. baik dalam tataran teoi maupun parktis. Wallahua’lam Bisshawab. Daftar Rujukan A. Admadi dan Y. Setianingsih (ed), Tronformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga, Yogyakarta: Kanisus, 2000 Abuddin Nata, Metodologi Study Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Ahmad Suyuthi, Manajemen Lembaga Pendidikan Islam, Jurnal Studi Islam Akademika Fakultas Agama Islam Universitas Islam Lamongan, Volume 5, Nomor 1, Juni 2011 Azyumardi Azra, Surau; Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Ciputat: Logos, 2003. Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Ciputat: Logos, 2002. Bedjo Siswanto, Manajemen Tenaga Kerja, Bandung: Sinar Baru, 1989 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1990. Imam Suprayogo, Quo Vadis Madrasah Gagasan, Aksi dan Solusi Pembangunan Madrasah, Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2007. Made Pidarta, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1988. Made Pidarta , Landasan pendidikan, Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1997 Maman Ukas, Pengantar Ilmu Management, Bandung: IKIP Bandung, 1997. M. Manullang, Dasar-Dasar Management, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1997. Muslih Usa dan Aden Wijdan SZ (ed), Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta: Adtya Media, 1997 Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2007
Nurcholish Majid, Bilik-bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta: Paramadina, 1997. S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars, 1992
Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2007. Tim. MKDK, Ilmu Pendidikan, Surabaya: IKIP Surabaya, 1992 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, cet. II, 1991 Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Biagraf Publishing, Yogyakarta, 2001 Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Biagraf Publishing, 2000.
AKADEMIKA, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014