Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
PARADIGMA BARU PENGEMBANGAN USAHA KECIL Dirlanudin
PENDAHULUAN Pelaksanaan pembangunan salah satunya diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, maka berbagai upaya mendasar ditujukan pada penanganan pengangguran. Upaya penanganan pengangguran tidak bisa seluruhnya ditangani melalui rekruitmen pegawai negeri sipil, karenanya perlu dikembangan sektor swasta, sehingga masyarakat perlu ditumbuhkan agar mampu menggali potensi yang ada pada dirinya, yang pada gilirannya mereka lebih berdaya dan mendiri. Untuk itu arah pembangunan ditujukan pada perluasan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan ekspor, peningkatan dan pemerataan pendapatan. Hasil yang hendak dicapai dari pembangunan ini adalah usaha kecil berperan maksimal dalam perkembangan dunia usaha, sehingga usaha kecil dapat berkembang dan mampu bersaing dengan pengusaha-pengusaha lainnya sesuai potensi dan bidang usaha yang ditekuninya selama ini. Kebijakan ekonomi kerakyatan bertumpu pada mekanisme pasar yang adil, persaingan sehat, berkelanjutan, mencegah struktur yang monopolistik dan distortif yang dapat merugikan masyarakat. Melalui optimalisasi peran pemerintah untuk melakukan koreksi pasar dengan menghilangkan berbagai hambatan melalui regulasi, subsidi dan insentif. Pemberdayakan usaha kecil agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing dengan meningkatkan kemampuan berwirausaha, penguasaan Iptek dan melakukan secara proaktif negosiasi serta kerjasama ekonomi dalam rangka peningkatan ekspor. Kenyataan menunjukkan bahwa sektor usaha kecil selama ini dapat menyerap tenaga kerja dan bahkan di beberapa daerah di Indonesia dapat menjadi penyangga dari hantaman krisis ekonomi dan moneter. Memperhatikan pentingnya peran usaha kecil, maka upaya menumbuhkan usaha kecil merupakan keharusan, baik oleh pihak pemerintah, pengusaha menengah dan besar maupun masyarakat itu sendiri. PARADIGMA, PEMBANGUNAN, PEMBERDAYAAN, KEBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT 50
Paradigma Istilah paradigma menjadi sangat terkenal setelah Thomas Khun (dalam Fakih, 2003) menulis
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
karya berjudul The Structure of Scientific Revolution. Menurut Khun disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, dimana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai satu kerangka refensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Patton (dalam Fakih, 2003) mendefinisikan paradigma sebagai a world view, a general perspective, away of breaking down the complexity of the real world. Paradigma ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar, tempat orang bertolak menjelajahi dunia dengan wawasannya. Guba (dalam Salim, 2001), mengemukakan bahwa paradigma sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang memandu tindakan-tindakan kita, baik tindakan keseharian maupun dalam penyelidikan ilmiah. Selanjutnya paradigma diartikan sebagai asumsi yang dianggap benar (secara given). Untuk sampai pada asumsi itu harus ada perlakuan empirik (melalui pengamatan) yang tidak terbantahkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan social, untuk memberikan
kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas social. Berarti paradigma sebagai alat pandang, paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas, tetapi tempat berpijak tersebut sudah diakui kebenarannya oleh dunia ilmuwan, sehingga didalamnya terdapat kerangka referensi atau seperangkat teori yang terbukti kebenarannya bersifat universal. Paradigma pengembangan usaha kecil berarti suatu pandangan bersifat general yang di dalamnya mengandung seperangkat refensi untuk menganalisis usaha kecil dengan berbagai permasalahan, peluang perkembangannya dan alternatif jalan keluarnya agar menjadi lebih maju, mandiri dan terus berubah ke arah yang lebih baik. Pembangunan Hakekat pembangunan sebagai perubahan yang direncanakan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik tentu menuntut kesediaan dan ketulusan semua pihak, baik yang merencanakan dan yang melaksanakan perubahan maupun yang menjadi sasaran dari perubahan tersebut serta apa yang akan diubah, target apa yang ingin dicapai ?. Hal yang terakhir ini Misra (1981) berpendapat bahwa pembangunan adalah meningkatnya pencapaian sasaran akan nilai budayanya yang menghasilkan kehidupan lebih bermutu. 51
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Lebih rinci Misra (1981), menyatakan bahwa kehidupan yang lebih bermutu ditandai oleh 4 (empat) kondisi yaitu: 1) terpenuhinya berbagai kebutuhan hidup yang berkesinambungan bagi semua orang dalam kondisi yang lebih baik, 2) Penghargaan dan pengakuan bagi semua orang (sesuai posisi dan perannya) serta harga diri, 3) bebas dari tirani dalam bentuk apapun, 4) kehidupan bermasyarakat yang dirasakan dan dimiliki setiap orang. Proses pembangunan akan berhasil dan berdampak positif bagi masyarakat jika didukung oleh berbagai modal. Secara sederhana Thomas dkk (2001) menyatakan bahwa terdapat tiga asset yang mereka golongkan sebagai modal, yakni: modal manusia, fisik dan alam. Selanjutnya Fukuyama (1999) dan Senge et al (1999) menambahkan bahwa modal pembangunan tidak hanya ketiga modal tersebut, tetapi perlu juga modal social dan modal finansial. Berdasarkan perkembangan pandangan dan persepsi para pakar tentang pembangunan terdapat kesepakatan bahwa manusia adalah subyek, pelaku dan sekaligus sasaran pembangunan. Dengan kata lain pembangunan terfokus pada manusia guna meningkatkan kesejahteraan, martabat dan kualitas sumber daya manusia. Sementara pembangunan ekonomi masih tetap menjadi andalan dimana pertumbuhan yang diperoleh harus diperuntukkan bagi 52
pembangunan social yang lebih adil dan lebih merata. Jadi dalam konteks ini adalah focus pembangunan para pengusaha kecil, yang diharapkan berdampak positif, yaitu: meningkatnya keberdayaan, kemandirian, kepercayaan diri, kreatifitas, produktifitas, kemampuan kewirausahaan, dorongan hidup hemat dan seimbang, hidup jujur serta dapat dipercaya, daya pikir prospektif, daya saing dan keberanian berkompetisi dari para pengusaha usaha kecil. Pemberdayaan dan Keberdayaan Konsep pemberdayaan terus berkembang dan terus mendapat revisi baik dari kalangan birokrat maupun kalangan ilmuwan. Perubahan struktur masyarakat, kebutuhan masyarakat dan berkembangnya pemikiran kritis masyarakat menuntut perubahan makna, visi, misi dan strategi pembangunan. Konsep pemberdayaan muncul pada 1970an, pada masa itu masyarakat mulai berkembang pemikirannya dan bereaksi untuk mengembangkan kapasitasnya. Mereka melakukan gerakan populis, antistruktur, antisistem dan antideterminisme yang diaplikasikan dalam kekuasaan. Berkaitan dengan konsep pemberdayaan tersebut, Lowe (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan sebagai “the process ad a result of which individual employees have the autonomy, motivation and skills necessary to
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
perform their jobs in a way which provides them with a sense of ownership and fullfilment while achieving shared organizational goals“. Sedangkan Foy (1995), membedakan antara ’empowermant’ dan ’delegation’ dengan memberikan analogi sederhana: “you give your daughter money to buy a pair of jeans that’s delegation. If you give her a clothes allowance she can spend as she chooses, that’s empowerment“. Selanjutnya Covey (1992), menyebutkan: “...managemen’s job is empowerment and empowerment basically means give a man a fish and you feed him for a day. Teach him how to fish and you feed him for a life time“. Oxaal dan Baden (1997) menjelaskan bahwa pemberdayaan bukan sekedar membuka akses untuk mengambil keputusan tetapi harus memproses masyarakat agar mereka merasa mampu dan berhak menduduki ruang pengambilan keputusan. Esensial dalam pemberdayaan menurut Syahyuti (2006), adalah ketika individu atau masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk perubahan yang mereka butuhkan. Berimplikasi kepada sisi supply dan demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin hidup, dan membantu mereka membangundan mengembangkan karakter mereka
sendiri. Pemberdayaan berupa meningkatkan kesempatankesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia. Hubeis (2000) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat (community Empowerement) adalah perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat pedesaan seiring dengan pembangunan sistem sosial ekonomi rakyat, prasarana dan sarana, serta pengembangan Tiga-P: Pendampingan yang dapat menggerakkan partisipasi total masyarakat, Penyuluhan dapat merespon dan memantau ubahanubahan yang terjadi di masyarakat dan Pelayanan yang berfungsi sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat. Hakekat perberdayaan ditujukan untuk menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik dalam kelompok masyarakat, negara, regional maupun internasional. Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yaitu : 1) proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada 53
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya, dan 2) proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan, menentukan hal-hal yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses belajar. Berdasarkan paradigma pemberdayaan di atas, maka dalam konteks usaha kecil makna pemberdayaan diartikan sebagai proses pembelajaran yang berkesinambungan yang ditujukan untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat agar: 1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan dalam seluruh segi kehidupannya, 2) mampu mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan berkreasi dalam usaha kecilnya; 3) mampu bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan lingkungan sosialnya; 4) mampu mengakses sumberdaya, informasi, peluang, pengetahuan dan keterampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan keluarganya di masa yang akan datang lebih baik. Melalui proses pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat berkembang lebih jauh dengan berkembangnya pola pikir yang kritis dan sistematis sehingga masyarakat usaha kecil lebih mampu melakukan kegiatan secara berdaya dan partisipatif. Sementara itu makna keberdayaan dikemukakan oleh Ife (1995), bahwa masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang memiliki kekuatan atau kemampuan 54
dalam mengakses sumberdaya dan peluang serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi. Friedmann dalam Ismawan (2001), menekankan bahwa keberdayaan ditandai adanya kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu, misalnya informasi, pengetahuan dan keterampilan, partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumber-sumber keuangan. Selanjutnya Ismawan (2001), menyebutkan sesuatu dikatakan berdaya apabila ia telah mampu meningkatkan kesejahteraan sosial ekonominya melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), peningkatan kemampuan permodalan, pengembangan usaha, dan pengembangan kelembagaan usaha bersama dengan menerapkan prinsip gotong royong, keswadayaan, dan partisipasi. Jadi dalam konteks ini keberdayaan menunjukkan tingkat ketahanan para usaha kecil dalam menjalankan usahanya, yang diperlihatkan dengan kemampuan mengakses pasar, kemampuan bersaing, kemampuan mengakses permodalan, mampu mengakses informasi bisnis, mampu menyesuaikan dengan perkembangan bisnis, mampu mengembangkan kelembagaan usaha kecil, mampu mengakses bahan baku/barang jadi lainnya untuk diperdagangkan, mampu menjalin jaringan dengan pelakupelaku bisnis serta pihak pengambil kebijakan.
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Pengembangan Masyarakat Pengembangan masyarakat (community development) adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis, terencana dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi social, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan pembangunan sebelumnya (Bidimanta dalam Rudito dan Budimanta, 2003). Hakekat community development merupakan suatu proses adaptasi social budaya yang dilakukan oleh industri, pemerintah pusat dan daerah terhadap kehidupan komuniti-komuniti local Pengembangan masyarakat menurut Pemerintah Kolonial Inggris dalam Adi (2003) adalah suatu gerakan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup keseluruhan masyarakat melalui partisipasi aktif dan inisiatif dari masyarakat. Selanjutnya Rudito dan Budimanta (2003), menyebutkan ruang lingkup pengembangan masyarakat (community development) meliputi: 1) community services, sebagai pemenuhan kepentingan umum, 2) community empowering, sebagai upaya memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandirian, 3) community relation, sebagai upaya mengembangkan kesepahaman
melalui komunikasi, penyuluhan dan konsultan publik. Karakteristik pengembangan masyarakat menurut Glen dalam Adi (2003), meliputi tiga unsur dasar yaitu: 1) memampukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka, 2) pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat maupun kelompokkelompok dalam masyarakat tersebut, 3) lebih tepat menggunakan pendekatan nondirektif artinya peran pemberi semangat dan peran mendidik, karena masyarakat cenderung bertindak sesuai dengan apa yang mereka pilih. Namun demikian dapat digunakan pendekatan direktif jika indvidu atau kelompok kurang percaya diri untuk mengorganisir kegiatan, proyek atau usahanya. Kaitannya dengan usaha kecil, maka pengembangan masyarakat usaha kecil merupakan upaya yang dilakukan, baik oleh pemerintah, dunia usaha maupun oleh masyarakat itu sendiri secara sistematis dan terus-menerus, untuk menjadikan usaha kecil berkemampuan mengakses sumbersumber usaha, pemasaran serta akses ke pengambil keputusan dan pelaku bisnis kuat lainnya. Pembangunan masyarakat menurut Batten (1957), adalah proses dimana anggota masyarakat mendiskusikan dan menentukan keinginanan mereka, merencanakan, dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka. Suatu gerakan untuk menciptakan 55
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat dengan partisipasi aktif dan inisiatif masyarakat atau jika inisiatif masyarakat tidak ada maka dipergunakan teknik untuk menimbulkan dan mendorong agar diperoleh kegunaan dan respon yang antusias dari masyarakat. Selanjutnya PBB dalam Laporan Konsep-konsep mengemukakan Prinsip-prinsip pembangunan masyarakat, di antaranya: 1) kegiatan-kegiatan yang dilakukan harus sesuai dengan kebutuhan dasar komunitas. Rancangan awal seharusnya diprakarsai sebagai respon dari kebutuhan masyarakat yang jelas, 2) perbaikan local dapat dicapai melalui upaya-upaya yang mandiri di setiap wilayah, akan tetapi community development yang lengkap dan seimbang membutuhkan kegiatan yang sejalan dan adanya program dengan banyak tujuan, 3) perubahan sikap orangorang adalah sama pentingnya pencapaian kebutuhan lahiriah pembangunan masyarakat pada tahap awal pembangunannya, 4) community development bertujuan pada peningkatan dan partisipasi yang lebih baik pada orang-orang dalam suatu komunitas, revitalisasi pemerintahan local yang ada dan perubahan menuju administrasi local yang efektif (Sanders, 1958). Berdasarkan kajian referensi di atas, maka hakekat pengembangan dan pemberdayaan usaha kecil ditujukan untuk: a) menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan 56
usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah. b) meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkukuh struktur perekonomian nasional. KRITERIA USAHA KECIL DAN PERMASALAHANNYA Kriteria Usaha Kecil Kriteria usaha kecil adalah: 1) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, 2) hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 miliar, 3) milik warga negara Indonesia, 4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar, 5) berbentuk usaha orang perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hokum, atau badan usaha yang berbadan hokum, termasuk koperasi. (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, pasal 5 ayat 1) Cakupan usaha kecil menurut undang-undang tersebut terlalu luas, mulai dari ekonomi pinggiran sampai sampai ekonomi kedcil yang relatif kuat, dalam hal ini dari usaha
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
yang omzet tahunannya hanya ratusan ribu hingga usaha yang omzet tahunannya mencapai satu milyar. Dari usaha yang asetnya puluhan ribu hingga usaha yang asetnya 200 juta. Hal ini mengakibatkan perdebatan yang berkepanjangan, sebagian pakar menghendaki agar criteria diturunkan, misalnya maksimum asset (di luar tanah dan bangunan) cukup 100 juta rupiah, sedangkan omzet tahunannya cukup 500 juta rupiah. Dengan criteria ini, keinginan untuk memprioritaskan pemberdayaan usaha kecil lapisan bawah akan tercapai. Akhirnya undang-undang usaha kecil memilih kriteria yang luas tersebut, pertimbangannya adalah agar usaha kecil yang sudah kuat dapat dipacu menjadi usaha kelas menengah. Pertimbangan lainnya agar undang-undang ini tidak cepat lapuk, karena ekonomi nasional masih termakan inflasi tinggi, jadi barang dan jasa yang diproduksi cepat turun nilainya. Tidak terkecuali besaran-besaran nominal yang tercantum dalam undang-undang usaha kecil (Iwantono, 2003). Permasalahan Usaha Kecil Kenyataan di lapangan usaha kecil kurang mampu mengakses pasar, lembaga keuangan, pemasok, instansi pemerintah serta perusahaan-perusahaan menengah dan besar yang terkait dengan kepentingan usahanya. Berdasarkan hasil penelitian Lembaga Manajemen FE-UI (1996)
merumuskan profil Usaha Kecil di Indonesia, sebagai berikut: 1) Hampir 50% dari perusahaan kecil kapasitas baru tercapai lebih kecil dari 60%; 2) Lebih dari 50% perusahaan kecil didirikan sebagai pengembangan dari usaha kecil-kecilan. 3) Masalah-masalah utama yang dihadapi: a) sebelum investasi masalah permodalan, kemudahan usaha (lokasi, ijin, dsb); b) pengenalan usaha: pemasaran, permodalan, hubungan usaha; c) peningkatan usaha: pengadaan bahan/barang. 4) Usaha menurun karena: kurang modal, kurang mampu memasarkan, kurang keterampilan teknis, dan administrasi. 5) Mengharapkan bantuan dari pemerintah berupa: modal, pemasaran, pengadaan barang. 6) 60% menggunakan teknologi tradisional 7) 70% melakukan pemasaran langsung ke konsumen 8) Untuk memperoleh bantuan perbankan, dokumen-dokumen yang harus disiapkan dipandang terlalu rumit. (Sriyanto, 2004) Berbagai permasalahan yang dihadapi usaha kecil menurut Tambunan (2002), antara lain: keterbatasan modal kerja/investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau, keterbatasan 57
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
teknologi, keterbatasan SDM dengan kualitas yang baik (terutama manajemen dan teknisi produksi), informasi mengenai pasar, dan kesulitan dalam pemasaran (termasuk distribusi). Dengan demikian masalah-masalah yang dihadapi pengusaha kecil bersifat multidimensi. Akibat permasalahan yang dihadapi di atas, seringkali usaha kecil berjalan di tempat, kurang menunjukkan kemajuan yang berarti. Namun demikian jika dikaji lebih mendalam permasalah tersebut disebabkan oleh pola perilaku wirausaha dari para pengusaha kecil tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Ismawan (2001) bahwa perangkat terpenting yang seharusnya terdapat dalam diri setiap pelaku ekonomi rakyat adalah keterampilan berwirausaha. Selama ini menurut Ismawan (2001), mentalitas kewirausahaan terus digempur oleh “virus” feodalisme modern yaitu daya tarik perusahaan-perusahaan besar industri dan jasa yang dimiliki oleh konglomerat atau pemodal asing yang dianggap lebih menjanjikan sehingga setiap orang ingin bekerja diperusahaan-perusahaan tersebut, akibatnya sulit memiliki masyarakat yang punya etos kerja kewirausahaan tinggi. Selanjutnya kegagalan usaha kecil dikemukakan oleh Griffin dan Ebert (2003) bahwa 63 % bisnis kecil mengalami kondisi usaha yang tidak menggembirakan. Mereka 58
mengatakan walaupun tidak ada pola yang tetap, tetapi ada 3 faktor umum yang mempengaruhi kegagalan bisnis kecil (usaha kecil): 1) Manajerial yang tidak kompeten atau tidak berpengalaman. Para pebisnis kecil tidak tahu cara membuat keputusan dasar bisnis atau memahami konsep serta prinsip dasar manajemen, maka kecil kemungkinan mereka bisa berhasil dalam usaha jangka panjangnya. 2) Kurang memberi perhatian. Memulai bisnis kecil tidak cukup hanya mengabdikan waktu sedikit, sebaliknya perlu memberi perhatian yang serius terhadap usahanya, bila tidak akan mengalami kegagalan. 3) Sistem kontrol yang lemah. Sistem kontrol yang efektif diperlukan untuk membantu agar bisnis dapat tetap bertahan dan untuk membantu pengelola usaha kecil mewaspadai masalah-masalah yang mungkin timbul. PARADIGMA LAMA TERHADAP USAHA KECIL Sejak pertengahan dasawarsa 1980-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh perusahaan-perusahaan berskala besar yang berkecipung dalam sector industri dan jasa. Selama ini ada pandangan yang cenderung memarjinalisasi usaha kecil dan koperasi akibat rendahnya kontribusi terhadap pembentukan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Produk Domestik Bruto (Ismawan, 2001). Marjinalisasi atau peminggiran terhadap usaha kecil merupakan persoalan aksesibilitas dan akomodasi terhadap perumusan kebijakan-kebijakan publik. Sebetulnya gejala marjinalisasi itu bisa dieliminasi kalau ada tekanantekanan yang efektif bagi perumus kebijakan publik, sehingga produk kebijakan yang dihasilkan tidak selalu merugikan usaha kecil. Lemahnya tekanan-tekanan terhadap perumus kebijakan publik agaknya terkait dengan pemahaman tentang usaha kecil itu sendiri yang sampai sekarang masih beragam. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat sector ini (usaha kecil) terkesampingkan. Marginasilasi usaha kecil sesungguhnya amat ironis sebab ini menyangkut kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Jumlah unit usaha berskala kecil di Indonesia mencapai sekitar 34 juta unit yang secara keseluruhan mengkontribusi 38,9 % Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 1997. Menurut laporan Badan PBB untuk Perdagangan dan Pembangunan (United Nations Conference on Trade and Development-UNCTAD), peran sector usaha kecil di Indonesia masih sangat kurang dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Menurut laporan tersebut, perekonomian Indonesia lebih didominasi oleh perusahaan-
perusahaan besar, sementara perusahaan-perusahaan kecil hanya terkontaminasi pada pertanian dan sector informal atau sector-sektor lain yang pertumbuhannya rendah. Marjinalisasi usaha kecil di Indonesia bertolak belakang dengan yang terjadi di negara maju. Di negara maju perekonomian ditulangpunggungi oleh sector usaha kecil. Dalam Handbook for Small Business yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS, terungkap bahwa sebanyak 98 % dari semua bisnis di Amerika Serikat adalah industri kecil, dimana 55 % merupakan perusahaan milik perorangan. Kontribusi lain yang paling substansial adalah sumbangan berupa inovasi dan penemuanpenemuan baru. Lebih dari 50 % inovasi dan hasil cipta industri berskala besar pada mulanya dihasilkan oleh usaha kecil. Ada semacam direktori hasil penemuan usaha-usaha kecil yang setiap saat bisa dimanfaatkan oleh sector usaha besar atau investor bermodal tebal. Para investor ini mengembangkan penemuan usaha kecil itu dalam skala produksi massal dengan membayar royalty. PARADIGMA BARU PENGEMBANGAN USAHA KECIL Paradigma baru pengembangan masyarakat usaha kecil tidak lain adalah upaya pemberdayaan masyarakat usaha kecil yang meliputi: 1) Penciptaan iklim usaha yang kondusif, 2) 59
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Pembinaan dan pengembangan 3) Pembiayaan, 4) Penjaminan, 5) Kemitraan, 6) Pengembangan semangat kewirausahaan, sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Add 1) Penciptaan iklim usaha yang kondusif. Menciptakan kondisi ini merupakan kewajiban Pemerintah, hal ini dapat dilakukan dengan menetapan berbagai peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan di berbagai aspek kehidupan ekonomi agar Usaha Kecil memperoleh kepastian kesempatan yang sama dan dukungan berusaha yang seluasluasnya sehingga berkembang menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Pemerintah menumbuhkan iklim usaha bagi Usaha Kecil melalui penetapan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang menyangkut aspek-aspek : a) persaingan, b) prasarana, c) informasi, d) perizinan usaha, e) perlindungan. Dunia usaha dan masyarakat diajak berperan serta secara aktif menumbuhkan iklim usaha tersebut. Add 2) Pembinaan dan pengembangan Upaya ini dilakukan oleh Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan 60
perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Pembinaan dan pengembangan usaha kecil tersebut meliputi bidang: a) pemasaran, b) sumber daya manusia, dan c) teknologi. Add 3) Pembiayaan Kegiatan ini berupa alokasi dana yang dipersiapkan oleh Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, atau melalui lembaga lain dalam rangka memperkuat permodalan Usaha Kecil. Dalam pembiayaan ini usaha kecil harus diberikan bimbingan dan monitoring secara intensif dan berkelanjutan. Add 4) Penjaminan Kegiatan ini berupa pemberian jaminan pinjaman Usaha Kecil oleh lembaga penjamin sebagai dukungan untuk memperbesar kesempatan memperoleh pembiayaan dalam rangka memperkuat permodalannya. Namun pada sisi lain usaha kecil juga harus ada kemauan untuk menggunakan dana modal usaha dari pinjaman tersebut secara efisien, tepat dan keseriusan untuk pengembalian pinjaman tersebut. Add 5) Kemitraan Kegiatan ini berupa kerja sama usaha antara Usaha Kecil dengan Usaha Menengah atau dengan
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Ismawan (2001) menyatakan bahwa, yang perlu mendapat tekanan dalam pengembangan usaha kecil adalah agar SDM sektor ini memiliki kapasitas dan mulai membangun paradigma kerja sama dan kesalingtergantungan (interdependency). Usaha kecil terkadang menemui kesulitan untuk menjalin kemitraan dgn pihak-pihak yang dibutuhkan mereka (usaha menengah/besar untuk membantu pemasaran, permodalan dan bahan baku, instansi pemerintah yg punya kewenangan perizinan & informasi bisnis serta lembaga keuangan lainnya). Sebaliknya pihak-pihak yang berkompeten (usaha menengah, usaha besar, perbankan, perusahaan pemasok bahan baku, instansi berwenang (perizinan, pemberi sertifikat, pemberi informasi bisnis dan instansi pembina) terkadang kurang peduli terhadap kelompok usaha kecil. Pola kemitraan yang telah dituangkan dalam kebijakan Pemerintah melalui Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 pasal 27, meliputi: a) Inti plasma
Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah/besar, dimana usaha menengah/besar seebagai “inti” dan usaha kecil sebagai “plasma”. Perusahaan inti melaksanakan pembinaan, mulai dari penyediaan sarana produksi, bimbingan teknis, sampai pemasaran hasil produksi. b) Subkontrak Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah/besar, dimana usaha kecil memproduksi komponen yang diperlukan usaha menengah/besar sebagai bagian dari produksinya. c) Dagang umum Adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dgn usaha menengah/besar, dimana usaha menengah/besar memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yg diperlukan oleh usaha menengah/besar. d) Waralaba Adalah hubungan kemitraan, dimana pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba disertai 61
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
bantuan bimbingan manajemen. e) Keagenan Adalah hubungan kemitraan, dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa usaha menengah/besar.
sebagai mediator atas nama pimpinan Dinas dengan usaha menengah dan usaha besar, Instansi pemberi izin, BPN serta Perbankan. Disini penyuluh dari Disperindagkop perlu memiliki kemampuan melakukan pendekatan dan lobby kepada pihak-pihak terkait tersebut dan juga kepada Pemerintah Daerah. Di samping itu dalam melakukan kemitraan, sikap usaha kecil harus proaktif, mau kerja keras, jujur, kreatif dalam pembuatan produk, semangat dalam mencapai mutu terbaik, sehingga kerjasama kemitraan terus dapat dipertahankan bahkan dikembangkan, yang pada gilirannya secara bertahap mampu memberdayakan dirinya dan mampu mandiri dalam menjalankan usaha kecil mereka. Pihak-pihak yang terkait dengan usaha kecil guna mewujudkan keberhasilan kemitraan.
Keberhasilan kemitraan perlu komitmen, ketulusan, peran penyuluhan/pembinaan, mediasi dan sikap proaktif. Komitmen dan ketulusan dari para usaha menengah dan usaha besar (BUMN/BUMS) untuk membantu usaha kecil sehingga mereka dapat bertahan dan tumbuh usahanya, yang pada gilirannya dapat mensejahterakan keluarganya serta mengurangi pengangguran. Peran penyuluhan/pembinaan oleh Dinas Perindagkop dalam memberi bantuan harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan ketulusan. Peran penyuluh DINAS PERINDAGKOP
USAHA MENENGAH
USAHA KECIL
BPN LEMBAGA KEUANGAN
62
PEMASOK BAHAN BAKU
USAHA BESAR
INSTANSI PEMBERI IZIN
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Add 6) Pengembangan kemampuan kewirausahaan Meredith et al. (1996), berpendapat bahwa para wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan yang ada; mengumpulkan sumberdaya-sumberdaya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses. Wirausaha akan berorientasi kepada tindakan, dan bermotivasi tinggi yang mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Kewirausahaan menurut Winardi (2003), sebagai semangat, perilaku, dan kemampuan untuk memberikan tanggapan yang positif terhadap peluang memperoleh keuntungan untuk diri sendiri dan atau pelayanan yang lebih baik pada pelanggan/masyarakat. Pemikiran di atas sejalan dengan pendapat Kuratko and Hodgetts dalam Manurung (2006), bahwa Wirausahawan adalah orang yang melakukan pengorganisasian, mengelola dan membuat asumsi resiko suatu bisnis. Entrepreneur mempunyai empat karakteristik yaitu: 1) Menjalankan sebuah bisnis yang mempunyai kemungkinan menghasilkan keuntungan;
2) Berani menanggung resiko bisnis tersebut di masa mendatang; 3) Bisnis yang sedang ditekuni akan mempunyai kesempatan bertumbuh; 4) Perusahaan akan membuat inovasi dan terjadi kapitalisasi bisnis tersebut. Selanjutnya profil wirausaha menurut Zimmerer and Scarborough (2005), antara lain: 1) Menyukai tanggung jawab; 2) Lebih menyukai resiko menengah; 3) Keuletan dan keyakinan untuk meraih keberhasilan; 4) Hasrat untuk langsung mendapatkan umpan balik; 5) Tingkat energi yang tinggi dan mengutamakan efisiensi 6) Orientasi ke depan terhadap peluang pasar ; 7) Keterampilan mengorganisasi dan menjalin hubungan; 8) Menilai prestasi lebih tinggi dari pada uang. Dengan demikian wirausaha adalah sikap dan pola tindak yang berusaha mengkaji peluang, mempunyai asumsi adanya pertumbuhan bisnis dan hasilhasilnya, tindakannya berusaha tidak tergantung pada orang lain, memiliki keuletan, tangguh menghadapi cobaan, kreativitas, inovasi tinggi, dalam mengelola sebuah bisnis berani mengambil resiko dengan perhitungan yang matang.
63
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Menelaah uraian di atas mengandung asumsi bahwa setiap orang yang mempunyai kemampuan normal, bisa menjadi wirausaha asal mau dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan berusaha. Dalam pengembangan kemampuan kewirausahaan dapat dilakukan dengan menyelenggarakan pelatihan oleh instansi terkait dan praktek magang di perusahaan kecil yang telah berkembang terutama di sentra-sentra usaha kecil local maupun yang berskala nasional. Di samping itu instansi terkait bertindak menjadi mediasi untuk praktek magang di perusahaan menengah dan besar. Materi yang disampaikan dalam pelatihan maupun praktek dapat meliputi: 1) Manajemen usaha kecil, menyangkut upaya meningkatkan kemampuan mengelola dan mengoptimalkan sumberdaya manusia, kemampuan menggerakkan para buruhnya, penggunaan keuangan secara tepat dan efisien, kemampuan menjalin hubungan dengan pihak-pihak terkait dengan kepentingan usahanya, menanamkan ketekunan menghadapi kendala bisnis, meningkatkan disiplin waktu dan etos kerja dalam menalankan bisnis, mendorong keberanian mengambil resiko dengan perhitungan yang matang 64
serta memberi pemahaman kemungkinan melakukan diversifikasi usaha, jika suatu usaha tertentu mengalami kejenuhan. 2) teknis produksi/diversifikasi produksi, menyangkut bagaimana agar para usaha kecil mampu meningkatkat kuantitas maupun kualitas produksinya, serta terus meningkatkan kreatititas, inovasi, pembaharuan serta diversifikasi jenis-jenis produk; 3) kemampuan akses pasar dan mentalitas bersaing, menyangkut bagaimana mencari informasi peluang pasar, perluasan pasar dengan mengkaitkan jenis produk, kualitas produk dan kualitas layanan sehubungan dengan perubahan selera konsumen, gaya pembelian dan tend model yang berkembang. Perlu ditekankan dalam pelatihan tersebut agar benarbenar memperhatikan informasi baru dari konsumen dan kepuasan konsumen, bahwa rasa puas atau kecewa sangat berpengaruh terhadap pembelian ulang. Jadi strategi yang dapat diterapkan untuk usaha kecil adalah bagaimana agar konsumen tetap puas, tidak semata-mata kenyang. Fase berikutnya adalah bagaimana membuat konsumen ketagihan dan akhirnya menjadi pelanggan. Misal untuk produk makanan, kekhasan selera
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
menjadi keunggulan kompetitif yang membuat produk tersebut bisa eksis dalam jangka panjang. Kesadaran mutu dan layanan ini merupakan salah satu dimensi mentalitas bersaing. Bila kekhasan selera sudah dimiliki, menurut Ismawan (2001), tinggal bagaimana mengemas produk tersebut dengan menggunakan bauran pemasaran (marketing mix) yang mampu mengoptimalkan nilai tambahnnya, meliputi: (1) unsur tempat, diusahakan dengan membuka tempat yang memiliki daya tarik, (2) unsur promosi, tidak perlu mengiklankan melalui media massa, tetapi cukup dengan promosi dari mulut ke mulut (member get member). Mekanisme promosi ini cukup efektif, terutama dilihat dari segi skala ekonomis yang masih terbatas; (3) unsur harga dibutuhkan strategi seperti psychological price. Misal produk inferior harganya direduksi, maka kesan inferioritasnya justru akan semakin tampak, tetapi kalau harganya dinaikkan justru akan menciptakan citra produk yang lebih baik. Jadi unsur harga harus melihat psikologi konsumen dan trend pasar dikaitkan dengan jenis produk. PENUTUP Paradigma lama menekankan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada perusahaan-perusahaan
berskala besar yang berkecipung dalam sector industri dan jasa, sehingga pandangannya cenderung marjinal terhadap usaha kecil yang dianggap rendah memberi kontribusi pada pembentukan Produk Domestik Bruto. Padahal tindakan marginasilasi usaha kecil sesungguhnya amat ironis sebab ini menyangkut kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Kenyataan menunjukkan sektor usaha kecil selama ini dapat menyerap tenaga kerja dan bahkan di beberapa daerah di Indonesia dapat menjadi penyangga dari hantaman krisis ekonomi dan moneter. Sehingga upaya menumbuhkan usaha kecil merupakan keharusan, baik oleh pihak pemerintah, pengusaha menengah dan besar maupun masyarakat itu sendiri. Permasalahan usaha kecil umumnya menyangkut: keterbatasan modal, kesulitan mendapatkan bahan baku, keterbatasan teknologi, keterbatasan SDM, informasi pasar, kesulitan pemasaran dan distribusi. Pemberdayaan usaha kecil hanya pada segi permodalan mengesankan sebagai upaya simplifikasi. Walaupun permodalan menempati urgensi tersendiri, tetapi modal hanya salah satu saja dari sekian banyak titik-titik pemberdayaan usaha kecil. Pengkajian mendalam permasalah usaha kecil disebabkan oleh pola perilaku wirausaha dari para pengusaha kecil itu sendiri. Jadi 65
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
perangkat pemberdayaan terpenting yang seharusnya terdapat dalam diri setiap pelaku ekonomi rakyat adalah keterampilan berwirausaha. Paradigma baru pengembangan usaha kecil terutama ditujukan pada upaya: 1) Menciptakan iklim usaha kecil yang kondusif, 2) Pembinaan dan pengembangan 3) Pembiayaan, 4) Penjaminan, 5) Kemitraan, 6) Pengembangan kemampuan berwirausaha, sehingga usaha kecil dapat menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri. Pengembangan usaha kecil tersebut bukan hanya oleh Pemerintah, tetapi melibatkan usaha menengah, usaha besar dan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Buku Adi,
Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis), Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI. Batten, T.R. 1957. Communities and Their Development, London: Oxford University Press. Covey, Stephen R. 1992. PrincipleCentered Leadership, New York: Simon & Schuster Inc Fakih, Mansour. 2003. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist 66
Press dan Pustaka Pelajar Offset. Foy, Nancy. 1994. Empowering People at Work, Grower Publishing Company, London. Fukuyama, F. 1999. The Great Disruption Human Nature and The Reconstitution of Social order, New York: Simon and Schuster. Griffin, Ricky W. dan Ebert, Ronald J. 2003. Bisnis, jilid 1, edisi keenam, alih bahasa: Edina C. Tarmidzi, Jakarta: Prenhallindo. Hubeis, A.V. 2000. Tantangan dan Prospek Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Otonomi Daerah. Dalam Proseeding Seminar Pemberdayaan Manusia Menuju Masyarakat Madani. Bogor: 25-26 September 2000. Ife, Jim. 1995. Community Development, Creating Community Alternative. Vision, Analysis and Practice, Australia: Longman. Ismawan, Indra. 2001. Sukses di Era Ekonomi Liberal bagi Koperasi & Perusahaan Kecil-Menengah, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Iwantono, Sutrisno (2003); Kiat Sukses Berwirausaha, Strategi Baru Mengelola Usaha Kecil dan Menengah; Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Lowe, Philip. 1995. Empowering Individuals, London: McGrawHill Inc.
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. 1 No. 2, Oktober 2008
Manurung, Adler Haymans. 2006. Wirausaha: Bisnis UKM, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Meredith, G.G., R.E. Nelson, dan P.A. Nick. 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek, alih bahasa oleh Andre Asparsayogi, Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo. Misra, R.P. 1981. The Changing Perception of Development Problems, In: Misra, R.P. and M. Honjo (Eds.) ‘Changing Perception of Development Problems’, Nagoya Japan: Maruzen Asia. Oxaal, Z., dan S. Baden. 1997. Gender and Empowerment: Definitions, Approaches and Implications for Policy. Report 40 for the Swedish International Development Cooperation Agency (CIDA), Brighton UK: University of Sussex, Institute of Development Studies. Rudito, Bambang dan Budimanta, Arif. 2003. Metode dan Teknik pengelolaan Community Development, Jakarta: ICSD (Indonesia Center for Sustainable Development). Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (Pemikiran Norman K. Denzin dan Egon Guba, serta Penerapannya), Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Sanders, T.I. 1958. The Community. The Introduction to a Social System, New York: The Ronald Press Company.
Senge, P., A, Kleiner, C, Roberts, R, Ross, G, Roth and B, Smith. 1999. The Dance of Change: The Challenges of Sustaining Momentum in Learning th Organizations. A 5 Discipline Resource, New York: Doubleday A Division of Random House. Sriyanto. 2004. Forum Silaturahmi Dalam Penelaahan Kebijakan Pemberdayaan KUKM Propinsi Banten, Serang: Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Tambunan, Tulus T.H. 2002. Usaha Kecil dan Menengah Di Indonesia, Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat. Winardi. 2003. Entrepreneur dan Entrepreneurship, Bogor: Penerbit Kencana. Zimmerer, Thomas W. dan Scarborough, Norman M. 2005. Essentials of Entrepreneurship and small business management (pengantar kewirausahaan dan manajemen bisnis kecil), alih bahasa Edina Cahyaningsih Tarmidzi. Jakarta: PT. Indeks, Kelompok Gramedia. Peraturan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. 67