VOLUME: 7, NO 1, JUNI 2012
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KINERJA KEUANGAN PENGEMBANGAN PRODUK BARU USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH Perminas Pangeran
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/ KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN TIPOLOGI KLASEN DAN LOCATION QUOTIENT Rudy Badrudin
RISIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN FENOMENA UNDERPRICING PADA IPO: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK INDONESIA Andreas Arif Kristanto
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, ORIENTASI PASAR, DAN KINERJA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Maria Pampa Kumalaningrum
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD TERHADAP LOYALITAS PENGUNJUNG PADA MODERN RETAIL DI YOGYAKARTA Alfa Santoso Budiwidjojo Putra
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI ASEAN Joko Susanto
JRMB
Vol. 7
No. 1
Hal. 1 - 82
Juni 2012
ISSN : 1907-7343
JRMB, Volume 7, No.1, Juni 2012
JURNAL RISET MANAJEMEN DAN BISNIS Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta ISSN : 1907-7343
Ketua Penyunting Perminas Pangeran
Dewan Penyunting Erni Ekawati (Universitas Kristen Duta Wacana) Murti Lestari (Universitas Kristen Duta Wacana) Mahatma Kufepaksi (Universitas Lampung) I Putu Sugiartha Sanjaya (Universitas AtmaJaya) Heru Kurnianto Tjahjono (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
Pembantu Pelaksana Tata Usaha (Administrasi, Desain, Distribusi dan Pemasaran) Risanti Bary Hastomo Kristyadi Heru Kristanto
Alamat Penyunting dan Tata Usaha Fakultas Bisnis, Universitas Kristen Duta Wacana Jl. Dr. Wahidin S. No. 5-19, Yogyakarta 55224 Telp( 0274 ) 563929, Fax : ( 0274)513235 www.ukdw.ac.id/jrmb/
Jurnal Riset Manajemen dan Bisnis (JRMB) terbit sejak tahun 2006. Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian, kajian analitis kritis dan tinjauan buku dalam bidang manajemen dan bisnis. Penyunting menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik dengan format seperti tercantum pada Pedoman Penulisan Artikel yang terlampir di halaman belakang.
JRMB, Volume 7, No.1, Juni 2012
JURNAL RISET MANAJEMEN DAN BISNIS Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta ISSN : 1907-7343
DAFTAR ISI
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KINERJA KEUANGAN PENGEMBANGAN PRODUK BARU USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH, Perminas Pangeran ..................................................................................................
1-15
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTAPROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN TIPOLOGI KLASEN DAN LOCATION QUOTIENT Rudy Badrudin ..........................................................................................................
17-37
RISIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN FENOMENA UNDERPRICING PADA IPO: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK INDONESIA Andreas Arif Kristanto ..............................................................................................
39-44
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, ORIENTASI PASAR, DAN KINERJA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Maria Pampa Kumalaningrum .................................................................................
45-59
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD TERHADAP LOYALITAS PENGUNJUNG PADA MODERN RETAIL DI YOGYAKARTA Alfa Santoso Budiwidjojo Putra ...............................................................................
61-73
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI ASEAN Joko Susanto .............................................................................................................
75-82
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN KINERJA KEUANGAN PENGEMBANGAN PRODUK BARU USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH Perminas Pangeran Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Jl. Dr. Wihidin Sudiro Husodo 5 - 25, Yogyakarta, 55224 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study examines the effect of two strategic orientations, market orientation and entrepreneurial orientation, on financial performance in new product development. Drawing upon a sample of 137 micro, small, and medium-sized firms, multiple regression was used for testing four hypotheses. The results show that a market orientation and risk taking were positively related to financial performance in new product development, while innovativeness and risk taking show no such relationship. Keywords: market orientation, entrepreneurial orientation, and new product
PENDAHULUAN Perusahaan yang aktif di pasar dicirikan dengan kompetisi dan pengembangan produk baru. Hal ini menjadi esensial karena memberi kontribusi bagi pembaharuan (Harmsen, Grunert, dan Bove, 2000) serta daya saing dan pertumbuhan perusahaan (Cooper dan Kleinschmidt, 2002; Griffin, 1997). Untuk dapat mengembangkan produk berkinerja tinggi, perusahaan bergantung pada banyak kapabilitas. Dalam hal ini ada dua kapabilitas yaitu orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan serta bagaimana kapabilitas ini berkaitan dengan kinerja pengembangan produk baru. Kinerja pengembangan produk baru berkaitan dengan sejauhmana produk baru dipersepsikan memenuhi pangsa pasar, penjualan dan penggunaan pelanggan, pertumbuhan penjualan, dan pencapaian profit. Dalam pengertian yang sederhana, orientasi pasar adalah sejauhmana kebutuhan pelanggan itu
terpenuhi melalui asesmen kebutuhan berkelanjutan atau terus menurus. Sementara itu, orientasi kewirausahaan mencerminkan sejauhmana perusahaan cenderung untuk melakukan inovasi, mengambil risiko, dan proaktif (Frishammar dan Horte, 2007). Orientasi pemasaran dan orientasi kewirausahaan adalah dua kapabilitas atau orientasi yang terpisah tetapi saling melengkapi yang dapat bersama-sama. Dalam literatur yang ada kedua kapabilitas ini dijelaskan sebagai karakteritik level unit atau perusahaan. Kapabilitas adalah kebiasaan sehari hari yang komplek secara sosial yang menentukan efisiensi perusahaan dalam mentransformasi input menjadi output. Teece dan Pisano (1994) menjelaskan bahwa kedua orientasi, pemasaran dan kewirausahaan, adalah kapabiltas yang dinamis karena memiliki sub kompetensi atau kapabilitas yang memungkinkan perusahaan untuk mencip1
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
takan proses dan produk baru dan merespon lingkungan bisnis yang berubah. Pernyataan ini didukung oleh Frishammar dan Horte (2007) yang menyatakan bahwa orientasi pemasaran dan orientasi kewirausahaan menciptakan ketrampilan yang komplek, tak berwujud, tak diucapkan, yang memungkinkan perusahaan menghasilkan gagasan baru untuk penciptaan produk baru.Hasil penelitian Frishammar dan Horte (2007) menunjukkan bahwa orientasi pemasaran dan keinovasian berkaitan positif dengan kinerja pengembangan produk baru. Sementa itu, hasil penelitian Pengeran (2011) menunjukkan bahwa pengambilan risiko dan keproaktifan berpengaruh positif pada kinerja keuangan pengembangan produk baru. Penelitian ini membahas pengaruh orientasi pemasaran dan kewirausahaan pada kinerja keuangan atas pengembangan produk baru. Dalam kasus Indonesia hanya sedikit studi empiris yang membahas tentang isu ini. Dengan mempertimbangkan orientasi strategik yang berbeda secara simultan, penulis juga membahas perdebatan sekarang tentang apakah orientasi pemasaran berpengaruh pada kinerja keuangan pengembangan produk baru. Beberapa studi sebelumnya membahas orientasi pemasaran hanya sebagai orientasi strategik. Selain itu, penelitian ini secara khusus memfokuskan pada usaha mikro, kecil dan menengah, khususnya industri kerajinan. Kajian demikian ini belum banyak dilakukan sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Tzokas et al. (2001) mengindikasikan bahwa baik orientasi pemasaran dan orientasi kewirausahaan adalah faktor penting bagi kinerja perusahaan kecil, tetapi pengetahuan tentang bagaimana kedua orientasi ini berdampak pada kinerja pengembangan produk baru masih terbatas. Ketiga, data dikumpul dari industri kerajinan di Yogyakarta, dimana hubungan antara orientasi strategik dan kinerja pengembangan produk baru masih jarang dilakukan. 2
Berdasarkan isu yang disajikan pada latarbelakang, maka penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh orientasi pemasaran dan kewirausahaan terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru. Dalam hal ini, penelitian ini memfokus pada kajian kapabilitas usaha mikro, kecil, dan menengah khususnya industri kerajinan. Kontribusi penelitian ini diharapkan pertama, memberi bukti empiris tentang peran orientasi pemasaran dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja pengembangan produk baru dalam kasus Indonesia, terutama industri kerajinan usaha mikro, kecil, dan menengah. Kedua, memberi kontribusi pada kebijakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dalam hal meningkat kapabilitas dan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. KAJIAN LITERUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Orientasi Pasar dan Kinerja Pengembangan Produk Baru Tujuan kapabilitas oritentasi pemasaran untuk mensejajarkan perusahaan dengan bagian khusus lingkunganpasar. Pasar diyakini menjadi sejumlah pelanggan dan klien yang menggunakan produk organisasi perusahaan atau produk pengganti dan pesaing (Frishammar dan Horte, 2007). Gagasan utama orientasi pasar ini adalah konsep pemasaran, yang merupakan kebijakan atau filosofi bisnis. Dalam pengertian sedarhana, orientasi pasar ini adalah untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan sasaran lebih efektif dan efisien daripada pesaing untuk menentukan pemenuhan tujuan perusahaan (Kotler dan Armstorng, 2009). Orientasi pasar berarti pada dasarnya mengimplementasikan konsep pemasaran. Walaupun penelitian pada orientasi pemasaran memiliki historis panjang, beberapa peneliti (Kohli dan Jaworski, 1990; Narver dan Slater, 1990) menghidupkan kembali minat
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
riset tentang isu ini. Dalam penelitian ini, orientansi pasar didefinisikan sesuai dengan Deshpande dan Farley (1999), sebagai aktivitas dan proses lintas fungsi yang diarahkan untuk menciptakan dan memuaskan pelanggan melalui penilaian atau asesmen kebutuhan terus menerus. Dewasa ini, menurut Frishammar dan Horte (2007) ada dua padangan tentang bagaimana orientasi pasar berdampak pada kinerja pengembangan produk baru. Aliran atau padangan pertama mengklaim bahwa orientasi pasar mengarah kepada produk baru karena informasi pelanggan memaksa pemikiran yang inovatif. Premis yang mendasari adalah bahwa opini pelanggan terbatas pada produk yangdikenal, yaitu produk yang dapat mereka hubungkan. Lebih lanjut, pelanggan tidak tahu apa yang mungkin secara teknologi dan tidak memiliki cukup informasi tentang trend sekarang. Dengan demikian sangat berorientasi pasar mengarah kepada pengembangan produk “me-too”. Dalam kondisi demikian seringkali mengalami persaingan yang tajam dikarenakan kemungkinan produk pengganti, yang berakibat margin laba turun. Lawton dan Parasuraman (1980) menemukan bahwa pengadopsian konsep pemasaran tidak berdampak pada inovasi produk, sementara Bennet dan Cooper (1981) menyarankan bahwa orientasi pasar memiliki konsekuensi negatif pada inovasi produk karena mengarah kepada tambahan inovasi yang lebih kecil. Penelitian Christensen dan Bower (1996) juga menunjukkan bahwa perusahaan yang memperhatikan pelanggan mereka mungkin hilang keunggulannya. Moorman (1995) menemukan bahwa akuisisi informasi yang demikian tidak berkaitan dengan pengembangan produk baru. Pandangan kedua mengklaim bahwa jika suatu perusahaan lumayan beorientasi pada pasar, risiko kegagalan terkurangi. Gagasan sentralnya adalah bahwa kebutuhan pelanggan, baik sekarang maupun yang akan
datang, seharusnya menjadi sentra usaha pengembangan produk baru. Oleh karena itu, perusahaan dengan orientasi pasar yang kuat adalah sangat sesuai untuk kinerja pengembangan produk baru yang tinggi (Atuahene-Gima, 1995; Hart et al., 1999; Hil, 1988; Kahn, 2001; Kohli dan Jaworski, 1990; Narver dan Slater, 1990) dan informasi pasar seharusnya digunakan diseluruh proses pengembangan produk baru untuk meningkatkan tingkat kesuksesan (Frishammar dan Horte, 2007). Para peneliti juga melaporkan hubungan positif antara orientasi pelanggan dan inovasi produk (Gatignon dan Xuereb, 1997), dan temuan Lukas dan Ferrell (2000) mengindikasikan bahwa penekanan yang lebih besar pada orientasi pelanggan sesungguhnya meningkatkan pengenalan produk baru kepada dunia, suatu temuan yang berlawanan pada argumen bahwa pelanggan adalah sumber inovasi marginal. Penelitian lain, (von Hippel, 1988), menemukan pentingnya informasi pelanggan dan pelanggan pada inovasi. Disatu sisi, orientasi pasar dapat mengungkapkan keterbatasan produk baru, yang memungkinkan tindakan desain ulang, tetapi juga menyebabkan umpan balik yang negatif atas produk yang benar-benar inovatif. Penekanan orientasi pasar yang mengarah kepada modifikasi produk yang sedikit dapat berdampak positif pada pengembangan produk baru (Frishammar dan Horte, 2007). Smith dan Reinertsen (1998) berargumen bahwa modifikasi produk yang lebih kecil merupakan faktor utama bagipengembangan produk yang tak dikenal. Alasannya, karena memberi manfaat keuangan, yaitu investasi relatif kecil untuk setiap produk, dengan peningkatan pendapatan dan profit lebih cepat. Lebih lanjut, kebutuhan pelanggan lebih mudah diprediksi selama horison jangka pendek. Keunggulan teknik, seperti pengembangan produk untuk pasar dapat direalisasi dengan lebih cepat karena proses pengembangan produk tidak begitu 3
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
kompleks. Disamping itu, studi Pelham dan Wilson(1999) tentang orientasi pasar pada perusahaan kecil menemukan bahwa level orientasi pasar yang tinggi adalah salah satu dari determinan penting pengembangan produk yang efektif. Oleh karena itu kita menghipotesiskan: H1. Orientasi pasar berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru. Keinovasian Dan Kinerja Pengembangan Produk Baru Walaupun kapabilitas orientasi pasar adalah penting bagi kinerja pengembangan produk baru, hal ini mungkin tidak cukup. Hunt (2000) dan Frishammar dan Horte (2007) menyarankan, organisasi tidak dapat mengetahui alternatif produk apa yang pelanggan sukai sehingga organisasi menghadapi ketidakpastian. Disamping berorientasi pasar, organisasi perlu inovatif, proaktif, dan mengambil risiko. Organisasi perlu berorientasi kewirausahaan. Konseptualisasi orientasi kewirausahaan didasarkan pada karya Covin dan Slevin (1989) dan Miller (1983). Atas dasar itu, Frishammar dan Horte (2007) menyarankan orientasi kewirausahaan terdiri dari tiga dimensi: keinovasian, pengambilan risiko, dan proaktif. Frishammar dan Horte (2007) memandang orientasi kewirausahaan ini sebagai dimensi yang terpisah karena perusahaan tidak perlu menunjukkan level tinggi atau rendah dalam tiga dimensi secara simultan pada suatu waktu tertentu. Dengan demikian, tiga dimensi akan muncul pada kombinasi yang berbeda. Secara keseluruhan, orientasi kewirausahaan mengacu kepada proses, praktik, dan aktivitas pembuatan keputusan yang mengarah kepada peserta baru (new entry), melalui penciptaan produk atau jasa baru (Lumpkin dan Dess, 1996). Dimensi pertama dari orientasi kewirausahaan adalah keinovasian. Keinovasian mengacu kepada kecenderungan 4
perusahaan ikut serta dan mendukung gagasan baru, kebaruan (novelty), eksperimentasi, dan proses kreatif yang berakibat pada proses teknologi, jasa, dan produk baru. Oleh karenanya, keinovasian mirip dengan suatu iklim, budaya atau orientasi bukan hasil. Menurut Lumpkin dan Dess (1996) keinovasian terjadi sepanjang suatu kontinum, contoh dari mencoba lini produk baru atau mengadakan percobaan produk baru, mencoba menguasuai suatu teknologi terbaru. Nelson dan Winter (1992) berargumen bahwa beberapa perusahaan mendapat banyak manfaat dari imitasi daripada inovasi. Dess dan Lumpkin (2005) lebih lanjut menyarankan bahwa keinovasian akan mengarah kepada perangkap, karena pengeluaran pada pengembangan produk baru dapat menjadi pemborosan sumberdaya jika upaya ini tidak memberi hasil. Hasil penelitian Frishammar dan Horte (2007) menunjukkan bahwa keinovasian berpengaruh positif pada kinerja pengembangan produk baru. Pertama, keinovasian menyiratkan suatu keinginan untuk meninggalkan praktik yang ada dalam suatu perusahaan (Ozsomer et al. 1997). Kedua, untuk mengeksplorasi gagasan baru dan ikut serta dalam percobaan adalah ciri utama pengembangan produk baru yang sukses (Robinson dan Stern, 1997). Dalam pandangan yang sama, Cooper el al. (2004) menyatakan bahwa suatu budaya yang membantu perkembangan proses kreatif merupakan adalan sentral bagi kinerja pengembangan produk baru. Keinovasian harus mempertimbangkan keunikan suatu produk,dengan demikian memungkinkan adanya penciptaan suatu produk yang berbeda dari alternatif saingannya yang dinilai oleh pelanggan. Cooper (1993) menunjukkan bahwa tidak adanya keinovasian merupakan penjelasan penting mengapa gagalnya suatu produk baru. Oleh karena itu hipotesis kedua adalah H2a: Keinovasian berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru.
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
Pengambilan Risiko dan Pengembangan Produk Baru.
Kinerja
Pengambilan risiko didefinisikan sebagai sejauhmana para manajer berkeinginan membuat komitmen sumberdaya berisiko dan besar, yaitu mereka yang memiliki peluang besar gagal (Miller dan Friesen, 1978). Sama seperti keinovasian, pengambilan risiko terjadi sepanjang kontinum yang berkisar dari risiko yang relatif aman sampai risiko yang sangat tinggi (misalnya meluncurkan produk baru di pasar baru) (Lumpkin dan Dess,1996). Meskipun banyak risiko dapat menurunkan kinerja pengembangan produk baru, risiko itu sendiri tak dapat dihindari karena kinerja akhir dari pengembangan produk baru tidak dapat diketahui sebelumnya. Perusahaan pasti seringkali memanfaatkan sumberdaya pada proyek pengembangan ketika kesempatan ditangkap oleh pasardan sebagian tanpa pengetahuan tentang bagaimana proyek pengembangan ini akan menghasilkan. Pengambilan risiko meliputi perangkap dan bahaya, tetapi perusahaan sering bertindak tanpa mengetahui apakah tindakan mereka akan menghasilkan (Dess dan Lumpkin, 1996). Prototipe mungkin gagal pada pabrik dan desain baru mungkin gagal di pasar tetapi jika tidak ada risiko yang diambil, tidak pernah ada produk baru yang akan dihasilkan dan diluncurkan(Frishammar dan Horte, 2007). Dengan demikian dapat dihipotesiskan H2b: Pengambilan risiko berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru. Keproaktifan Dan Kinerja Pengembangan Produk Baru Proaktif berkaitan dengan melihat ke depan (foward looking), penggerak pertama upaya pencarian keunggulan untuk membentuk lingkungan dengan memperkenalkan produk baru atau memproses persaingan ke depan (Lyon, Dess dan
Lumpkin, 2000). Menurut Lumpkin dan Dess (1996), proaktif adalah penting karena menyiratkan pendirian untuk melihat kedepan (foward looking) yang disertai dengan aktivitas yang inovatif atau spekulasi baru. Menurut Lumkin dan Dess, lawan konseptual proaktif adalah kepasifan (ketidakmampuan meraih kesempatan). Dengan demikian, seperti saran Lumpkin dan Dess (1996), perusahaan yang proaktif adalah leader bukan follower, karena perusahaan memiliki kemauan dan tinjauan ke masa depan untuk meraih kesempatan baru. Lebih lanjut, perusahaan yang proaktif sering merupakan perusahaan yang mengajukanproduk baru dan seringkali memperkenalkan produk baru mendahului persaingan (Miller, 1983; Dess dan Lumpkin, 2005; Venkatraman, 1989). Walaupun kenyataan bahwa pelanggan perusahaan yang memperkenalkan produk baru dapat enggan beradaptasi dengan cara melakukan hal-hal baru (Miller, 1983), proaktif seharusnya berdampak positif terhadap kinerja pengembangan produk baru. Pertama, hal itu memperhitungkan keunggulan penggerak pertama (Lieberman dan Montgomery, 1988) yang memungkinkan laba tinggi dari produk baru pada kondisi tidak adanya persaingan. Kedua, proaktif menyiratkan meningkatnya kecepatan pengembangan, suatu kriteria yang diperlukan bagi pengembangan produk baru. Terakhir, kepasifan, suatu ketidakmampuan untuk meraihkesempatan, adalah benar-benar tidak diinginkan jika kinerja pengembangan produk baru adalah objektif (Frishammar dan Horte, 2007). Oleh karena itu hipotesis sebagai berikut: H2c: Keproaktifan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru METODE PENELITIAN Sampel dalam penelitian terdiri dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), khususnya industri kerajinan 5
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
yang berada di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Penentuan sampel menggunakan metoda purposive sampling. Sampel ditentukan berdasarkan beberapa kriteria. Pertama, perusahaan atau usaha kerajinan yang mencakup produk kerajinan kulit, perak, keramik, gerabah, rotan, dan mebel. Kedua, usaha mikro, kecil dan menengah dengan jumlah karyawan kurang dari 100 orang. Data penelitian diperoleh melalui kuesioner yang dilakukan sejak Mei dan Juli 2012. Penelitian menggunakan
kuesioner yang diberikan kepada usaha kecil dan menengah pada industri kerajinan yang berada di Kabupaten Bantul. Jumlah responden 167 orang. Namun data yang dapat digunakan dalam penelitian sebanyak 137 responden. Karakteristik demografi responden mendasarkan pada gender, usia, status perkawinan, tingkat pendidikan, jumlah karyawan, dan target pasar. Tabel 1 menjelaskan frekuensi dan presentase responden berdasarkan karakteristik demografi.
Tabel 1 Karakteristik Responden No Karekteristik 1 Gender 2
Usia
3
Status Perkawinan Tingkat Pendidikan
4
5
Jumlah Karyawan
6
Target Pasar
Unsur Laki-laki Perempuan < 30 30-40 >40-50 >50 Nikah Belum Nikah Tidak Sekolah SD/SR SMP/sederajat SMA/sederajat Diploma Sarjana < 5 Orang 5 - 19 Orang 20 - 99 Orang Dalam Negeri Luar Negeri
Dari aspek usia responden tampak bahwa mayoritas pada usia antara 30 - 40. Selanjutnya, terbesar kedua pada kelompok usia >40 – 50. Sementara itu, pada kelompok usia mudah sebesar 18,2 persen, hal ini menunjukkan secara tidak langsung prospek di industri ini semakin menarik bagianak muda.Ditinjau dari aspek gender dan status perkawinan, mayoritas responden wanita dan mayoritas sudah 6
Frekuensi Prosentase 55 40 82 60 25 18,2 51 37,2 48 35,0 13 9,5 121 88,3 16 11,7 3 2,2 3 2,2 7 5,1 79 57,7 15 10,9 30 21,9 71 52 58 42 8 6 134 98 3 2 berkeluarga. Ditinjau dari aspek sumberdaya manusia, mayoritas responden berpendidikan Sekolah Menengah Atas. Hal ini mengindikasikan cukup lumayannya kualitas sumberdaya usaha industri ini. Semakin tingginya pendidikan pengusaha akan mempengaruhi kemampuan seorang dalam melakukan pengelolaan usahanya. Selain itu, ditinjau dari karakteristik jumlah
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
karyawan mayoritas adalah usaha mikro (52%) dan disusul usaha menengah (42%). Selanjutnya target pasar sebagian besar diarahkan kepada pasar dalam negeri. Variabel penelitian ini terdiri dari variabel dependen dan independen. Variabel dependen adalah kinerja keuangan pengembangan produk baru. Variabel independen meliputi variabel orientasi pemasaran dan orientasi kewirausahaan. Variabel dipilih berdasarkan penelitian sebelumnya dan dimodifikasi sesuai dengan tujuan penelitian ini. Pengukuran variabel mengggunakan kuesioner dengan skala likert lima dan tujuh. Semua item item dirata-ratakan untuk memperoleh skor variabel. Orientasi Pasar (Market Orientation). Beberapa ukuran orientasi pasar telah disarankan dalam beberapa litertur. Penelitian ini menggunakan instrumen yang digunakan oleh Deshpandé dan Farley (1999), dan Frishammar dan Horte (2007). Skala Deshpandé dan Farley memiliki keunggulan jumlah item yang relatif sedikit. Orientasi pemasaran terdiri dari 10 butir pernyataan. Setiap item pertanyaan diberi skala tipe likert dengan lima poin, 1 sampai 5 (1= Sangat tidak setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Agak Setuju, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju). Orientasi Kewirausahaan (Entrepreneurial Orientation) Orietansi kewirausahaan mencakup keinovasian (innovativeness), pengambil risiko (risk taking), dan keproaktifan (proactiveness). Penelitian ini menggunakan instrumen yang digunakan oleh Covin and Slevin(1999), dan Frishammar dan Horte (2007). Beberapa studi sebelumnya telah menggunakan skala ini dengan hasil yang memuaskan. Keinovasian (innovativeness), pengambil risiko (risk taking), dan keproaktifan (proactiveness). Keinovasian terdiri dari 3 butir pernyataan. Pengambilan risiko terdiri dari 3 butir
pernyataan. Keproaktifan terdiri dari 3 butir pernyataan. Setiap butir pernyataan diberi skala tipe likert dengan tujuh poin, 1 sampai 7 (1= menunjukkan orientasi kewirausahaan yang sangat rendah, sedangkan 7= menunjukkan orien-tasi kewirausahaan yang sangat tinggi). Kinerja Keuangan Pengembangan Produk Baru Kinerja keuangan pengembangan produk baru diukur pada level perusahaan dengan menggunakan instrumen yang digunakan oleh Atuahene-Gima and Ko (2001) dan Frishammar dan Horte (2007). Alasan pengukuran dilakukan pada level perusahaan. Pertama, karena perusahaan yang diteliti adalah kecil maka tidak ada alasan untuk meyakini adanya perbedaan yang signifikan pada kinerja pengembangan produk baru diantara unit-unit yang ada dalam perusahaan. Kedua, variasi kinerja proyek produk baru pada perusahaan kecil lebih kecil dibandingkan perusahaan besar. Terakhir, kesulitan dalam menentukan proyek yang dianggap representatif bagi perusahaan secara menyeluruh. Kinerja keuangan pengembangan produk baru terdiri dari 4 butir pernyataan. Setiap item pertanyaan diberi skala tipe likert dengan lima poin, 1 sampai 5 (1= Sangat tidak setuju, 2 = Tidak Setuju, 3 = Agak Setuju, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat Setuju). Uji reliabilitas dan validitas dari item pertanyaan telah dilakukan. Untuk menilai reliabilitas, uji statistik alpha Cronbach digunakan untuk menentukan tingkat konsistensi diantara butir pernyataan pada masing masing faktor atau konstruk. Suatu konstruk dikatakan reliabel jika memberi nilai alpha Cronbach > 60% (Nunnally, 1960). Hasil perhitungan apha Cronbach untuk masing-masing faktor disajikan pada tabel 2. Uji validitas digunakan untuk mengukur valid tidaknya suatu instrumen kuesioner. Instrumen dikatakan valid apabila instrumen dapat dengan tepat 7
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
mengukur apa yang hendak diukur. Penelitian ini lebih menguji pada validitas butir instrumen. Untuk mengukur validitas butir instrumen dilakukan dengan cara menghitung korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk. Adapun harga kritis untuk validitas butir adalah 0,30 (Widoyoko, 2009:143). Jika nilai validitas butir > 0,30 maka nomor butir tersebut dapat dikatakan valid. Hasil perhitungan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk juga disajikan pada tabel 2. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Organisasi bahasan akan diawali dengan penyajian data statistik deskriptif dan hasil uji reliabilitas dan validitas. Statistik deskriptif meliputi angka statistik, yaitu rata-rata, standard deviasi, nilai ekstrim.
Deskriptif statistik yang dimaksud disini adalah variabel-variabel utama yang digunakan sebagai dasar pengujian hipotesis, yaitu orientasi pemasaran diberi lambang MO. Orientasi kewirausahaan teridiri dari tiga variabel. Variabel keinovasian diberi lambang INOV. Variabel keproaktifan diberi lambang PROAC. Variabel pengambilan risiko diberi lambang RISKT. Data deskriptif, hasil uji reliabilitas, dan validitas disajikan pada tabel 2. Hasil uji statistik alpha Cronbach untuk masing masing faktor dan itemnya disajikan ada tabel 1. Hasil uji reliabilitas menunjukkan bahwa nilai alpha untuk orientasi pemasaran, apha = 74,5; keinovasian, alpha = 70 pengambilan risiko, alpha = 74,5, dan keproaktifan, alpha = 68,2. Hasil uji ini dapat disimpulkan bahwa semua variabel memenuhi kriteria reliabilitas.
Tabel 2 Data Deskriptif dan Raliabilitas Corrected Cronbach’s Item-Total Alpha Correlation
Ratarata
Std
Range
Maks
Min
3,7481
,54746
2,87
5,00
2,13
.745
>0,30
Keinovasian
4,7153 1,10662
5,00
7,00
2,00
.700
>0,30
Keproaktifan
4,3042 1,17333
6,00
7,00
1,00
.682
>0,30
Pengambilan Risiko
4,5182 1,26121
5,67
7,00
1,33
.745
>0,30
Kinerja Keuangan Pengembangan Produk Baru
3,6186
3,75
5,00
1,25
.738
>0,30
Variabel Orientasi Pasar Orientasi Kewirausahaan
,6388
Hasil uji validitas butir menunjukkan bahwa dari 10 butir pernyataan pada variabel orientasi pemasaran, ada dua butir 8
(butir 7 dan 8) drop, karena nilai korelasi masing-masing berada dibawah nilai kritis (r < 0,30). Sementara itu hasil uji validitas
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
untuk tiga butir pada faktor keinovasian, tiga butir untuk faktor pengambilan risiko, dan tiga butir pernyataan untuk faktor keproaktifan, semua nilai lebih besar dari nilai nilai kritis validitas (r > 0,30). Demikian juga, untuk hasil uji validas butir pernyataan pada tiga butir faktor kinerja pengembangan produk baru, nilai butir masing-masing lebih besar dari nilai kritis (r > 0,30). Jelas dapat disimpulkan bahwa faktor orientasi pemasaran, keinovasian (innovativeness), pengambil risiko (risk taking), dan keproaktifan (proactiveness)., serta kinerja keuangan pengembangan produk baru semua indikator valid. Hasil uji validitas disajikan tabel 2 untuk masing masing faktor. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan model regresi berganda. Hasil pengujian disajikan pada tabel 3. Model empiris penelitian sebagai berikut:
Y,it = α + β1MO,it - β2INOV,it+ β3RISKT,it + β4PROAC,it + µ,it Keterangan: Y = kinerja keuangan Pengembangan Produk Baru sebagai variabel dependen, α adalah konstanta, β adalah koefisien, Variabel Independen meliputi MO (Orientasi Pemasaran), INOV (keinovasian), PROAC (keproaktifan), dan RISKT (Pengambilan Risiko). Hasil uji hipotisis dirangkum dalam tabel 3. Hasil analisis koefisien regresi menunjukkan bahwa kinerja keuangan pengembangan produk baru perusahaan adalah dipengaruhi secara signifikan oleh orientasi pemasaran (p-value < α =0,05). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perusahaan yang berorientasi pemasaran dapat meningkatkan kinerja keuangan pengembangan produk baru. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis 1a.
Tabel 3 Ringkasan Hasil Hipotesis
Variabel
Lambang
Prediksi
Hasil (β)
Nilai t (P-Value)
Simpulan
MO
β>0
.343
3.526 (.001)
Didukung
H1
Orientasi Pemasaran
H2a
Keinovasian
INOV
β>0
-.056
-.963 (0.337)
Tidak didukung
H2b
Pengambilan Risiko
RISKT
β>0
.090
1.858 (.065)
Didukung
H2c
Keproaktifan
β>0
.082
1.504 (0.135)
Tidak didukung
PROAC
Sementara itu, hasil analisis koefisien regresi berikutnya menunjukkan bahwa keinovasian tidak berpengaruh terhadap kinerja pengembangan produk baru perusahaan (p-value > α =0,05). Arah koefisien keinovasian adalah negatif dan
tidak signifikan. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan harapan bahwa keinovasian berpengaruh positif terhadap kinerja pengembangan produk baru perusahaan. Hasil penelitian ini tidak mendukung hipotesis 2a. 9
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Berikutnya hasil analisis koefisien regresi menunjukkan bahwa pengambilan risiko berpengaruh pada kinerja keuangan pengembangan produk baru perusahaan (pvalue = 0,065 < α =0,10). Arah koefisien pengambilan risiko adalah positif tetapi tidak signifikan. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa perusahaan harus mengambil risiko untuk menghasilkan produk baru dan meningkatkan kinerja keuangan pengembangan produk baru. Hasil penelitian ini konsisten dengan prediksi hipotesis 2b. Sebaliknya, hasil analisis koefisien regresiberikutnya menunjukkan bahwa kinerja keuangan pengembangan produk baru perusahaan adalah tidak dipengaruhi oleh faktor keproaktifan (p-value < α =0,05). Hasil penelitian ini tidak sesuai harapan bahwa keproaktifan perusahaan berpengaruh pada kinerja keuangan pengembangan produk baru. Hasil penelitian ini juga tidak mendukung hipotesis 2c. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orientasi pemasaran memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru. Dengan demikian, untuk meningkatkan kinerja pengembangan produk baru, kebutuhan pelanggan sekarang dan yang akan datang seharusnya dipandang sebagai pedoman bagi upaya pengembangan produk baru. Temuan penelitian ini sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya (Kohli dan Jaworski, 1990; Slater dan Narver, 1994; Frishammar dan Horte, 2007) dan mereka menyiratkan bahwa informasi pasar seharusnya ada di seluruh proses pengembangan produk baru untuk meningkatkan kinerja pengembangan produk baru dan menurunkan tingkat kegagalan produk. Berikutnya, pengambilan risiko berpengaruh terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru. Hasil ini 10
konsisten dengan penelitian sebelumnya (Pengeran, 2011). Sementara itu, hasil tidak konsisten dengan penelitian Frishammar dan Horte, (2007) yang menemukan bahwa keproaktifan tidak berpengaruh positif terhadap kinerja pengembangan produk baru. Hasil temuan ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan. Pengambilan risiko, sebagai salah satu komponen dari orientasi kewirausahaan, menunjukkan bahwa pengambilan risiko berpengaruh positif terhadap pengembangan kinerja produk baru. Berkaitan dengan pengambilan risiko, interpretasi yang mungkin adalah bahwa usaha kecil memiliki kendala pada komitmen sumberdaya berisiko. Karena perusahaan kecil umumnya memiliki basis sumberdaya terbatas, komitmen sumberdaya besar dengan kegagalan yang terjadi memiliki dampak serius pada profit atau mungkin memperburuk masa depan perusahaan. Namun demikian, perusahaan yang lebih kecil akan memilih projek pengembangan produk baru dengan tingkat risiko yang lebih tinggi, sementara itu secara simultan mencoba untuk mengontrol probabilitas keterjadiannya. Dikarenakan keterbatasan ukuran dan sumberdaya yang ada, perusahaan kecil ini lebih rentan dibandingkan perusahaan besar. Oleh karena itu, kunci untuk mengelola risiko adalah mengontrol probabilitas keterjadian risiko. Pengambilan risiko adalah penting bagi perusahaan. Jika tidak ada risiko yang diambil, tidak pernah ada produk baru yang akan dihasilkan dan diluncurkan. Dengan demikian jelas dari hasil penelitian ini bahwa kapabilitas strategik yang berbeda memberi kontribusi pada pengembangan produk. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa kapabilitas strategik yang berbeda berkontribusi pada kinerja pengembangan produk baru. Di satu sisi perusahaan perlu sensitif pada informasi pelanggan, melakukan penyesuaian tambahan pada lini produk dan produk, dan mendasarkan pembuatan keputusan pengembangan produk baru pada kebutuhan
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
dan keinginan pelanggan, aktivitas berkaitan dengan orientasi pemasaran.Secara simultan, perusahaan juga perlu ikut serta pada gerakan yang lebih berani, pada tingkat tertentu mengabaikan informasi pelanggan, menciptakan budaya yang membantu perkembangan kreativitas dan mendukung proses kreatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi pemasaran dan pengambilan risiko adalah kapabilitas strategik penting bagi pengembangan produk baru. Sementara itu, keinovasian tidak berkaitan dengan kinerja pengembangan produk baru. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya (Pengeran, 2011). Sementara itu, penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian Frishammar dan Horte (2007) yang menemukan bahwa keinovasian sangat berkaitan dengan kinerja pengembangan produk baru. Selain itu, hasil ini tidak sejalan dengan saran Sethi et al. (2001) yang menyatakan bahwa keinovasian perusahaan seharusnya dapat memberi kontribusi pada penawaran produk yang unik, yaitu nilai produk yang berbeda dari pesaingnya. Hasil ini tidak signifikan bisa jadi karena lemahnya perusahaan dalam mengeksplorasikan gagasan baru dan ikut serta dalam eksperimentasi sebagai faktor utama bagi kesuksesan pengembangan produk baru. Artinya, disamping pentingnya perusahaan mendengar suara pasar, perusahaan juga seharusnya perlu menyimpang dari praktik yang ada, ikut serta dalam eksperimentasi mendukung gagasan baru dan memfasilitasi proses kreatif. Namun demikian peryataan ini tidak didukung dalam penelitian ini. Demikian juga, tidak adanya asosiasi antara keproaktifan dan kinerja pengembangan produk baru. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya (Frishammar dan Horte, 2007). Sementara itu, hasil tidak konsisten dengan penelitian Pengeran (2011) yang menemukan bahwa keproaktifan berpengaruh positif terhadap kinerja pengembangan produk baru. Hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa alasan.
Mayoritas perusahaan dalam penelitian ini mungkin tidak dapat membentuk linkungan yang memperkenalkan produk baru yang lebih dulu dari pesaing. Mereka lebih cenderung melakukan imitasi pada produk yang ada sehingga tidak terjadi pengembangan produk baru yang signifikan. Kurangnya pengembangan produk lebih dulu dari pesaing bisa jadi terjadi karena perusahaan kecil memiliki hambatan terbatasnya sumberdaya dan kapabilitas yang dibutuhkan untuk mengeksploitasinya. Meskipun dalam penelitian ini keproaktifan tidak berpengaruh pada kinerja pengembangan produk baru, namun dalam penelitian sebelumnya faktor ini mempengaruhi kinerja keseluruhan perusahaan. Hasil penelitian ini juga mendukung pandangan bahwa dimensi orientasi kewirausahaan sebagai konstruk yang terpisah bukan sebagai sesuatu konstruk strategik tunggal. Dengan demikian tiga dimensi orientasi kewirausahaan tidak memberi kontribusi yang sama pada tinggi rendahnya kinerja pengembangan produk baru. Kedua, nilai R2 pada persamaan regresi, persentase varians pada kinerja pengembangan produk baru dijelaskan secara unik dan bersama-sama oleh orientasi pasar dan tiga komponen orientasi kewirausahaan lebih rendah dari yang diharapkan. Hal ini bisa dipahami dengan adanya ruang konseptual yang luas antara variabel independen dan dependen dan banyaknya faktor lain selain orientasi strategik dapat secara potensial mempengaruhi kinerja pengembangan produk baru. SIMPULAN, IMPLIKASI, KETERBATASAN, DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian ini menyimpulkan beberapa simpulan penting. Pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi pemasaran berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pengembangan produk 11
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
baru. Kedua, pengambilan risiko, sebagai salah satu dari orientasi kewirausahaan, berpengaruh terhadap kinerja keuangan pengembangan produk baru. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa dimensi orientasi kewirausahaan adalah sebagai konstruk yang terpisah bukan sebagai sesuatu konstruk strategik tunggal. Dengan demikian tiga dimensi orientasi kewirausahaan tidak memberi kontribusi yang sama pada tinggi rendahnya kinerja keuangan pengembangan produk baru. Implikasi Bagi Manajemen Penelitian ini memiliki beberapa implikasi bagi manajemen khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah. Pertama, perusahaan yang tertarik meningkatkan kinerja keuangan pengembangan produk baru seharusnya mendorong organisasinya lebih beorientasi pasar. Pengunaan informasi di sepanjang proses pengembangan produk baru akan mengarah kepada tingkat kesuksesan produk lebih tinggi. Kedua para menajer yang tertarik meningkatkan kinerja pengembangan produk seharusnya berani mengambil risiko dalam pengembangan produk barunya. Namun, perlu diperhatikan bahwa untuk meningkat kinerja pengembangan produk baru perusahaan harus mampu mengelola risiko dengan mengontrol probabilitas keterjadian risiko serta dampaknya. Manajemen risiko yang baik memiliki dampak pada kinerja perusahaan. Keterbatasan Dan Penelitian Yang Akan Datang Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pertama, variabel independen hanya memfokuskan pada orientasi strategik. Penelitian ke depan dapat juga mempertimbangkan orientasi teknologi. Kedua, faktor eksogenus dapat juga berdampak pada variabel orientasi pemasaran dan orientasi kewirausahaan. Frishammar dan Horte (2007) menjelaskan bahwa rintangan masuk dan keluar 12
berdampak pada kondisi persaingan suatu industri. Rintangan signifikan yang mempengaruhi arah strategik usaha mikro, kecil, dan besar adalah adanya perusahaan besar yang bersaing dalam industri kerajinanan yang sama. Perusahaan besar lebih mampu menghasilkan produk dengan kualitas sama tetapi berbiaya lebih rendah dibandingkan usaha mikro, kecil, dan menengah. Tindakan perusahaan besar demikian dapat mempengaruhi kecenderungan usaha mikro, kecil, dan menengah untuk melakukan inovasi, mengambil risiko, dan bertindak secara proaktif. Hal ini tidak menjadi perhatian dalam penelitian ini. Keterbatasan ini penting diperhatikan untuk penelitian yang akan datang. Ketiga, penelitian ini terikat waktu dan ruang, dan penelitian hanya meneliti usaha mikro, kecil, dan menengah khususnya industri kerajinan di kabupaten Bantul Yogyakarta. Dalam penelitian ini perusahaan yang diteliti tidak membedakan variasi ukuran usaha, yaitu usaha mikro, kecil, dan menengah. Penelitian ke depan disarankan untuk membedakan variasi ukuran usaha, yaitu usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu penelitian ini adalah penelitian survey, data dependen variabel adalah data perseptual, yang mungkin bisa bias. Pendekatan penelitian ke depan sebaiknya menggunakan ukuran sampel yang lebih besar untuk meningkatkan eksternal validitas penelitian. Penelitian ke depan sebaiknya tidak hanya survey tetapi dapat juga studi kasus dengan wawancara mendalam. DAFTAR REFERENSI Atuahene-Gima, Kand Ko, A. 2001. An empirical investigation of the effect of market orientation and entrepreneurship orientation alignment on product innovation. Organization Science, 12(1): 5474;
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
Atuahene-Gima,K. 1995. An exploratory analysis of the impact of market orientation on new product performance, a contingency approach. Journal of Product Innovation Management, 12(4): 275-293; Christensen, C. M. and Bower, J. L.1996. Customer power, strategic investment, and the failure of leading firms.Strategic Management Journal, 17(3):197-218. Clark, K. B. and Fujimoto,T. 1991.Product Development and Performance: Strategy, Organization and Management in the World Auto Industry. Boston: Harvard Business School Press Collis, D. J. 1994. Research note: How valuable are organizational capabilities? Strategic Management Journal, 15:143-152. Cooper, R. G. 2009. Winning at New Products.New York: AddisonWesley
analysis of three market orientation scales, in: R. Deshpandé (Ed.) Developing a Market Orientation. London:Sage Publications, 217-237. Dess, G. G. and Lumpkin, G. T. 2005. The role of entrepreneurial orientation in stimulating effective corporate entrepreneurship.Academy of Management Executive, 19(1):147156; Frishammar,J. 2005. Managing information in new product development: a literature review. International Journal of Innovation and Technology Management, 2(3): 259275; Frishammar, J. and Hörte, S.Å. 2005. Managing external information in manufacturing firms: the impact on innovation performance.Journal of Product Innovation Management, 22(3): 251-266.
Cooper, R. G. And Kleinschmidt, E. 1991. New product processes at leading industrial firms.Industrial Marketing Management, 20 (2):137-147;
Frishammar, J. and Hörte, S. Å. 2007.The Role of Market Orientation and Entrepreneurial Orientation for New Product Development Performance in Manufacturing Firms.Technology Analysis & Strategic Management, 22(3): 251-266.
Cooper, R., Edget, S. and Kleinschmidt,E. 2004. Benchmarking best NPD practices I.Research Technology Management, 47(1):31-44.
Gatignon, H. and Xuereb, J. M. 1997. Strategic orientation of the firm and new product performance, Journal of Marketing Research, 34(1):77-90.
Covin, J. G. and Slevin, D. P. 1989. Strategic management of smaller firms in hostile and benign environments.Strategic Management Journal, 10(1): 75-87;
Griffin, A. 1997. PDMA research on new product development practices: updating trends and benchmarking best practices.Journal of Product Innovation Management, 14(6), 1997, pp. 429-458.
Deshpandé, R. and Farley, J. U. 1999. Understanding market orientation: a prospectively designed meta-
Harmsen, H, Grunert, K and Bove, K. 2000. Company competencies as a 13
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
network: the role of product development.Journal of Product Innovation Management, 17(3):194207.
entrepreneurial orientation scale: a multi-country analysis. Entrepreneurship Theory & Practice, 26(4):49-66.
Hart, S., Tzokas, N. and Saren, M. 1999. The effectiveness of market information in enhancing new product success rates.European Journal of Innovation Management, 2(1):20-35;
Lawton, L. and Parasuraman, A. 1980. The impact of the marketing concept on new product planning.Journal of Marketing, 44(1): 19-25.
Herstatt, C. 2002. Search fields for radical innovations involving market research.International Journal of Entrepreneurship and Innovation Management, 2(6):473484. Hill,
P. 1988. The market research contribution to new product failure and success, Journal of Marketing Management, 3 (3):269-277;
Hunt, S. D. 2000. A General Theory of Competition. Thousand Oaks: Sage Publications. Kahn,K. B. 2001. Market orientation, interdepartmental integration, and product development performance. Journal of Product Innovation Management, 18(5):314-323; Kotler and Armstrong,G. 2009.Principles of Marketing. Englewood-Cliffs: NJ, Prentice-Hall
Lukas, B. A. and Ferrell, O. C. 2000. The effect of market orientation on product innovation.Journal of the Academy of Marketing Science, 28(2):239-247. Lumpkin, G. T. and Dess, G. G. 1996. Clarifying the entrepreneurial orientation construct and linking it to performance.Academy of Management Review, 21(1):135172. Miles, M. P. andArnold, D. R. 1991. The relationship between marketing orientation and entrepreneurial orientatio.Entrepreneurship Theory & Practice, 15(4): 49-66. Miller,
D. 1983. The correlates of entrepreneurship in three types of firms. Management Science, 29(7):770-791. Moorman, C. 1995. Organizational market information processes: cultural antecedents and new product outcomes.Journal of Marketing Research, 32(3): 318-335.
Kohli, A. K. and Jaworski,B. J. 1990. Market orientation: the construct, research propositions, and managerial implications.Journal of Marketing, 54(2):1-18.
Narver, J. and Slater, S. F.1990. The effect of a market orientation on business profitability.Journal of Marketing, 54(4): 20-35.
Kreiser, P. M., Marion, L. D. and Weaver, K. M. 2002. Assessing the psychometric properties of the
Nelson, R. and Winter, S. 2000. An Evolutionary Theory of Economic Change. Cambridge: Harvard University Press.
14
ORIENTASI PASAR, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN DAN…………………..………………………………...(Perminas Pangeran)
Psychology.Chicago: Rand McNally Collage,1069-1123.
Özsomer, A. Calantone, R. J. and Di Benedetto, A. 1997. What makes firms more innovative? A look at organizational and environmental factors.Journal of Business & Industrial Marketing, 12(6): 400416.
Teece, D. and Pisano,G. 1994. The dynamic capabilities of firms: an introduction.Industrial and CorporateChange, 3:537-556.
Pangeran, P. 2011. Orientasi Kewirausahaan dan Kinerja Keuangan Pengembangan Produk Baru Usaha Mikro dan Kecil.Journal Riset Manajemen dan Bisnis, 6 (2):113125
Tzokas, N.,Carte, S. and Kyriazopoulos,P. 2001. Marketing and entrepreneurial orientation in smaller firms.Enterprise and Innovation Management Studies, 2(1):19-33.
Pelham, A. M. and Wilson, D. T. 1999. Does market orientation matter for smaller firms?, in: R. Deshpandé (Ed.) Developing a Market Orientation. London: Sage Publications: 167-194.
Trott,P. 2001. The role of market research in the development of discontinuous new products.European Journalof Innovation Management, 4(2), 2001, pp. 117-125.
Robinson, A. G. and Stern, S.2007. Corporate Creativity. San Francisco: Berrett-Koehler.
von Hippel, E. 2005.The Sources of Innovation. New York: Oxford University Press.
Slater, S. F. and Narver, J. C.1994. Does competitive environment moderate the market orientation-performance relationship? Journal of Marketing, 58(1):46-55. Sethi, R., Smith, D. C. and Park, W. 2001. Cross-functional product development teams, creativity, and the innovativeness of new consumer products.Journal of Marketing Research, 38(1): 73-85. Smith, P. G. and Reinertsen, D. G. 2006. Developing Products in Half the Time.New York: John Wiley & Sons. Starbuck, W. H. 2000. Organizations and their environments, in: M. D. Dunnette (Ed.) Handbook of Industrial and Organizational 15
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MENGGUNAKAN TIPOLOGI KLASEN DAN LOCATION QUOTIENT Rudy Badrudin STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan, Yogyakarta 55281 Telepon +62 274 486160, 486321, Fax. +62 274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research analyzed local economic development strategy in 4 regencies and 1 city in Province of DIY based on the data of year 2001 to 2008. The method used to analyze the hypotheses were Klassen Typology and Location Quotient. Using hypothesis test for means and ANOVA, the results showed that each regency and city in same diagram area with Klassen Typology have spesific local economic development strategy to develop region. Keywords: klassen typology, location quotient
PENDAHULUAN Dalam menjalankan pemerintahan sangat disadari adanya keterbatasan dan hambatan yang dibentuk dari lingkungan pemerintahan daerah tersebut berada. Keterbatasan sumberdaya alam dan kemampuan sumberdaya manusia yang berbeda-beda akan sangat mempengaruhi keberhasilan pemerintah daerah dalam upaya memakmurkan rakyatnya. Begitu juga keterbatasan sumber-sumber keuangan daerah maupun penguasaan teknologi oleh manusia pendukungnya juga akan mempengaruhi tingkat keberhasilan suatu pemerintahan di daerah (Isdijoso, 2002). Kemampuan seluruh sumberdaya manusia beserta seluruh sistem politik lokal yang melingkupinya akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan melaksanakan amanat negara tersebut. Ini berarti, kecakapan di dalam
merumuskan strategi pemerintahan di daerah akan sangat menentukan tercapainya usaha-usaha mensejahterakan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah. Suatu wilayah mengalami pertumbuhan secara ekonomi apabila terjadi peningkatan produksi dari semua kegiatan ekonomi di dalam wilayahnya secara terukur. Selama beberapa dekade, pembangunan daerah selalu berupaya memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tanpa melihat apakah pertumbuhan tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan penduduk secara merata atau tidak. Perkembangan selanjutnya, para pengambil kebijakan pembangunan daerah mulai memperhitungkan manfaat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, sehingga tingkat pemerataan mulai 17
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
menjadi suatu indikator bagi kesejahteraan (Matsui, 2005). Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada penciptaan kesempatan kerja dan berpihak pada penurunan angka kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja sehingga dapat menyerap tenaga kerja secara berkesinambungan. Kesempatan kerja yang semakin luas akan meningkatkan serapan tenaga kerja sehingga menjadi faktor penting dalam upaya penurunan tingkat kemiskinan. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat menjadi indikator semakin tingginya pendapatan masyarakat sehingga tingkat kemiskinan menjadi semakin berkurang. Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Istilah proses berarti mengandung unsur dinamis, perubahan, atau perkembangan. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi biasanya dilihat dalam kurun waktu tertentu. Laju pertumbuhan ekonomi yang dikaitkan dengan PDRB per kapita suatu wilayah, dapat digunakan untuk membandingkan wilayah secara absolut. Berkenaan dengan strategi pengembangan ekonomi lokal kabupaten/ kota di Provinsi DIY, berbagai program, kegiatan, dan anggaran di lingkungan pemerintah Provinsi DIY perlu disinergikan dengan memperhatikan perspektif keterkaitan ekonomi dari segi produksipemasaran, layanan informasi pasar dan teknologi, distribusi input, modal, dan sumberdaya manusia, infrastruktur dan layanan transportasi dan kelembagaan atau keterkaitan desa-kota secara menyeluruh. Pembangunan ekonomi di daerah berbasis potensi ekonomi lokal akan berhasil apabila daerah tersebut memiliki potensi memasarkan berbagai produk (barang dan jasa) ke luar daerah dan hasil dari pendapatan menjual produk ke luar daerah harus dapat menghasilkan perputaran 18
ekonomi yang baru dalam perekonomian lokal melalui pembelian bahan baku dan pengeluaran konsumsi rumah tangga (Romli, 2006). Strategi pengembangan ekonomi lokal melibatkan berbagai pemahaman mendasar tentang potensi dan peluang daerah dan berhubungan dengan peningkatan kapasitas para aparat daerah, wakil rakyat, pengusaha, dan warga daerah secara umum. Oleh karena itu, dalam penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal harus memperhatikan perspektif keterkaitan ekonomi dari segi produksi-pemasaran, layanan informasi pasar dan teknologi, distribusi input, modal, dan sumberdaya manusia, infrastruktur dan layanan transportasi dan kelembagaan atau keterkaitan desa-kota secara menyeluruh. MATERI DAN METODE PENELITIAN Menurut Balai Pustaka (2002: 1092), strategi adalah rencana jangka panjang dengan diikuti tindakan-tindakan yang ditujukan untuk mencapai tujuan tertentu. Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya sering kali mencampuradukkan pengertian ke dua kata tersebut. Dalam pengembangan ekonomi daerah, strategi yang dipilih adalah stategi yang mampu membangun dialog dan kemitraan para pihak yang meliputi pemerintah daerah, pengusaha, dan organisasi masyarakat dengan mengoptimalkan sumberdaya daerah dengan tujuan mendorong meningkatkan investasi guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja baru dan peningkatan pemerataan. Pengembangan adalah proses promosi untuk meningkatkan kehidupan dan kondisi kerja masyarakat melalui penciptaan pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Ekonomi adalah kegiatan mengidentifikasi peluang investasi, membantu kegiatan dunia usaha, dan memfasilitasi akses inovasi. Lokal adalah wilayah tempat strategi dan proses pemfokusan konsolidasi dan peningkatan potensi dan peluang daerah.
Dalam teori pembangunan ekonomi lokal (local economic development), telah dikenal paling sedikit terdapat 10 teori. Teori-teori Pembangunan Ekonomi Daerah ini dirangkum oleh Malizia dan Feser (1999) seperti ditunjukkan pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1 Ringkasan Teori Local Economic Development No
1
2
3
4
Teori
Dasar Teori
Dasar Pengembangan
Sasaran Pengembangan
Economic Based Theory
Ekspor Barang (komoditas)
Peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan
Staple Theory
Industri berorientasi ekspor
Peranan modal Ekspor merupakan kunci asing untuk pertumbuhan ekonomi melayani kebutuhan pasar internasional
Sector Theory
Pengembangan semua sektor ekonomi baik primer, sekonder, maupun tersier
Pengembangan aneka ragam sektor dan peningkatan produktivitas sektor
Peningkatan sektor akan meningkatkan kebutuhan dan pendapatan sektor
Industri
Industri yang bahan bakunya berasal dari daerah lain sehingga pertumbuhan industri semacam ini selain mendorong ekonomi lokasi industri juga mampu meneteskan pertumbuhan ekonomi daerah lain
Lokasi industri (propulsive industry) merupakan kutub pertumbuhan (growth pole)
Growth Pole Theory
5
Regional Concentration and Diffusion Theory
Perdagangan antardaerah dan antarindustri
Peningkatan pendapatan per kapita
6
Newclasiccal Growth Theory
Agregat ekonomi wilayah
Peningkatan laju pertumbuhan ekonomi per kapita
Merespon permintaan luar negeri dan multiplier effect
Spread and backwash effect (Myrdal) atau terjadinya penetesan perkembangan dan efek polarisasi (Hirchman) Peningkatan tabungan untuk mendukung 19
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
7
Interregional Trade Theory
8
Product Cyrcle Theory
9
Enterprenershi p Theory
Faktor harga dan kuantitas komoditi Produk baru akan maturing kemudian usang Fungsi dan peranan pengusaha
Peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan konsumsi Kreasi baru akan terus muncul
Produk baru dan inovasi
Ketahanan dan diversifikasi
Proses inovasi
Pembangunan berkelanjutan melalui 10 Struktur industri produk-produk baru, inovasi, dan spesialisasi Sumber: Malizia, Emil E. dan Edward J. Feser. 1999. Flexible Specialization Theory
Berdasarkan Tabel 1, secara teoritis strategi pengembangan ekonomi lokal melibatkan berbagai pemahaman mendasar tentang potensi dan peluang daerah dan berhubungan dengan peningkatan kapasitas para aparat daerah, wakil rakyat, pengusaha, dan warga daerah secara umum (Arifin, 2005). Potensi leadership para pemimpin daerah dan kemampuan manajerial seorang pemimpin di birokrasi, parlemen, dan dunia usaha di daerah sampai pada kesiapan para stakeholders melaksanakan pembangunan daerah menjadi faktor dominan dalam kinerja pengembangan ekonomi daerah. Dalam konteks desentralisasi ekonomi, pengembangan ekonomi daerah merupakan suatu keniscayaan belaka karena sukar sekali diharapkan suatu pengembangan ekonomi yang dapat kompatibel dengan kebutuhan dan potensi daerah apabila nuansa sentralistik masih terlalu kental (Hirawan, 2007: 3). Teori ekonomipun mengajarkan bahwa konsep desentralisasi ekonomi itu tidak lain adalah tuntutan efisiensi dan skala ekonomi yang lebih adil antara pusat dan daerah, sehingga lebih menguntung20
investasi dan pembentukan modal Penyesuaian harga akan memberikan keseimbangkan pada harga, kualitas, dan efekefek lainnya
Mengikuti pola permintaan dan fleksibel
kan secara ekonomi dan sosial dalam skala yang lebih makro. Untuk menjalankan fokus kluster ekonomi itu, seluruh aktor pengembangan ekonomi lokal haruslah memiliki informasi dan pengetahuan mendalam tentang beberapa hal, yaitu tingkat permintaan dunia, permintaan domestik, tingkat dan pasokan produksi primer (barang mentah), keterkaitan ke belakang dan ke depan (pengolahan, pengolahan lanjutan, pemasaran ekspor), serta jasa pendukung yang dapat menopang perputaran ekonomi daerah seperti jasa kredit, sarana dan infrastruktur lain yang relevan. Seluruh aktor ekonomi daerah harus pula memiliki pemahaman lebih mendalam tentang kendala dan peluang, tingkat kebekerjaan pasar atau institusi yang melingkupinya, derajat inisiatif, aspek insentif dan disinsentif yang mempengaruhi laju investasi oleh sektor swasta, termasuk pula suatu strategi intervensi kebijakan baik yang harus dirumuskan oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah pusat, dan serangkaian rencana aksi atau implementasi kebijakan tersebut beserta
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
komponen evaluasinya (Sodik, 2007). Menurut Kadiman (2005), strategi pengembangan ekonomi daerah dengan memperhatikan perspektif keterkaitan berbagai pihak dibutuhkan komitmen dan kerja nyata dari ketiga aspek yang disebut sebagai Triple Helix, meliputi A (academician), B (businessman), dan G (government). Untuk menuju nilai IPM yang tinggi sebagai indikator keberhasilan pembangunan, pemerintah harus memberikan dukungan penuh terhadap pemberdayaan para pelaku bisnis yang disinergikan dengan pihak akademisi dan pihak pemerintah itu sendiri. Triple helix merupakan salah satu solusi dari kendala-kendala yang dihadapi oleh para pelaku bisnis. Triple helix mewadahi terciptanya kolaborasi mutualisme antara ketiga pihak yang terlibat di dalamnya. Diharapkan hubungan yang lebih terbuka dan saling menguntungkan akan dapat dilakukan antara pihak akademisi dengan pemerintah, akademisi dengan pelaku bisnis, dan pelaku bisnis dengan pemerintah. Komitmen pemerintah untuk menaikkan anggaran pendidikan menjadi 20% dari anggaran negara hendaknya disikapi akademisi universitas untuk meningkatkan kualitas pendidikan sekaligus memberikan kontribusi bagi pembangunan. Akademisi universitas diharapkan untuk dapat berperan lebih banyak dalam pemecahan masalah yang dihadapi pemerintah seperti masalah ekonomi dan sosial masyarakat. Pemerintah dituntut untuk lebih memberikan kelonggaran dan kemudahan birokrasi, regulasi, dan kebijakan dalam system ekonomi, sehingga para pelaku bisnis dapat menjalankan usahanya secara optimal. Sebaliknya, para pelaku bisnis juga diharapkan untuk dapat mengambil bagian sebagai pelaku bisnis yang menjunjung tinggi etika bisnis dan corporate responsibility-nya. Tridharma Perguruan Tinggi telah menyebutkan bahwa salah satu kewajiban
dosen adalah melakukan penelitian. Dana yang dialokasikan pemerintah untuk membiayai penelitan dimaksudkan untuk memotivasi penelitian-penelitian yang melahirkan inovasi teknologi dan ide kreatif. Namun penelitian yang telah dilakukan banyak berakhir di ruang laboratorium saja atau diarsipkan dalam koleksi perpustakaan. Di dalam triple helix, hasil penelitian akademisi perguruan tinggi diharapkan tidak hanya melayani kebutuhan ilmu pengetahuan semata, namun juga sebagai solusi permasalahan pemerintah di dalam menentukan kebijakan dan regulasi yang berkaitan dengan masyarakat pebisnis. Pihak pemerintah perlu memberikan stimulus positif yang dapat merangsang pertumbuhan dan perkembangan investasi bisnis sekaligus mendorong atmosfer bisnis yang kondusif. Caranya adalah dengan mengurangi pembatasan-pembatasan yang menyulitkan perkembangan dan inovasi berbisnis, melindungi karya-karya inovasi bisnis, dan mengimplementasikan aturan pemerintah yang berkaitan etika berbisnis sehingga tercipta persaingan bisnis yang sehat. Pihak industri mempunyai kewajiban untuk memberikan kontribusi dalam menciptakan iklim bisnis yang baik, seperti menerapkan etika berbisnis, berkomitmen pada corporate social responsibility (CSR), dan menjadi partner pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi secara nasional. Menyeimbangkan peran dari ketiga pihak yaitu akademisi, pemerintah, dan pebisnis ini bukanlah hal mudah. Diperlukan upaya yang berkesinambungan dan dinamis, sehingga setiap pihak diharapkan selalu open-minded dan berusaha melakukan yang terbaik demi kepentingan bersama. Ketiga pihak tidak dapat bergerak sendiri, oleh karena itu diperlukan kerjasama yang sinergis dan seimbang. Menurut Darwanto (2002), pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan 21
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan adalah 1) mengenali ekonomi wilayah dan 2) merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis. Pada era pasar bebas dan globalisasi suatu kerjasama pada hakekatnya merupakan tuntutan dan mutlak untuk dilakukan karena dalam dimensi global tidak ada satupun negara maupun Provinsi atau Kabupaten/Kota yang mampu menyelesaikan sendiri permasalahannya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat yang senantiasa berkembang sangat komplek dan dinamis. Pada aspek perencanaan dan pelaksanaan pembangunan juga tidak dapat lagi dilakukan secara sentralistik, namun dituntut untuk lebih memperhatikan kepentingan dan kebutuhan daerah, karena daerah yang lebih mengetahui dan memahami akan kebutuhannya (Sodik, 2008). Menurut Arifin (2005), dalam menjalankan program partnership for local economic development (PLED) menggunakan strategi pendekatan permintaan dan pemberdayaan kemitraan dalam meningkatkan daya saing daerah. Kluster ekonomi yang dipilih sebagai starter tahun pertama aplikasi pendekatan permintaaan ini adalah kluster ekonomi kelapa di Sulawesi Utara, kacang mete di Sulawesi Selatan, dan udang banana (tangkap) di Kabupaten Sorong-Irian Jaya. Program PLED melakukan uji-coba di dua kabupaten di setiap propinsi dan di dua kecamatan di Kabupaten Sorong. Pada tahun kedua, PLED dikembangkan ke tiga daerah baru dan kluster ekonomi baru, yaitu kopi di Lampung, kelapa di Jambi, dan kacang mete di Sulawesi Tenggara. Di samping itu, pada tahun kedua itu, 22
pengembangan kluster ekonomi juga dilakukan di tiga daerah lama sebagai berikut, yaitu perikanan di Sulawesi Utara, tambak udang di Sulawesi Selatan, dan mengarah ke bahan pangan di Sorong (Irian Jaya). Dalam perencanaan pembangunan ekonomi, inisiatif harus lebih responsif terhadap pasar bukan semata pada progam pemerintah. Pemerintah dapat meningkatkan suatu intervensi layanan publik yang dirumuskan berdasarkan target beneficiaries, bukan pelaksana program atau unsur pemerintah/birokrasi semata. Setelah sekian tahun dijalankan, maka Pemerintah Indonesia melalui Bappenas kemudian mengadopsi dan mereplikasi program PLED tersebut yang kemudian dikenal dengan Program KEPL atau Kemitraan untuk Pengembangan Ekonomi Lokal, yang sangat peduli terhadap peningkatan daya saing ekonomi daerah. Dendi (2006:99) mengatakan bahwa dalam menyusun Konsep, Strategi, dan Metode Forum Pengembangan Ekonomi Lokal: Perspektif dan Pengalaman Nusa Tenggara, Pengembangan Ekonomi Lokal sebagai bagian integral dari pembangunan ekonomi regional dan nasional melalui pendekatan kemitraan para penggiat pembangunan ekonomi di daerah yang tergabung dalam berbagai forum ekonomi di daerah. Hal ini dapat dijadikan wahana dialog bagi para pengambil kebijakan dalam memformulasikan kebijakan, strategi pembangunan ekonomi daerah yang pro-poor dan probusiness dengan memperhatikan daya dukung sumberdaya yang ada. Oleh karena itu, Forum Pengembangan Ekonomi Lokal memegang peran yang cukup strategis dalam membantu pemerintah daerah untuk mengembangkan kerangka pikir dan konsep pengembangan ekonomi lokal sesuai dengan potensi lokalnya. Pemerintah Provinsi DIY dalam melaksanakan pembangunan berbagai sektor, telah melakukan kerjasama baik
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
dengan pemerintah maupun pihak swasta baik dari dalam negeri maupun luar negeri, yang dilakukan secara langsung pihak pemerintah daerah. Kerjasama ini merupakan alternatif pemecahan masalah yang timbul antara lain keterbatasan sumber daya dan investasi, efisiensi dalam pengelolaan sumber daya, konsep regional planning, keterbatasan jangkauan layanan, dan masalah lintas batas, antara lain sumber daya alam yang terletak di lintas batas, hambatan akses, dan pemanfaatan potensi. Secara keseluruhan kerjasama tersebut pada esensinya adalah sebuah strategi untuk mendukung pengembangan ekonomi daerah dan lainnya. Untuk keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota perlu pemahaman adanya interdependensi dan mewujudkan terjadinya networking. Pada tataran implementasinya sangat dibutuhkan kesepahaman dan kompetensi yang tinggi antarpemerintah daerah, mengingat tidak ada batas-batas yang pasti antar yurisdiksi atau kewenangan antara suatu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya. Kebijakan dan peraturanperaturan yang menyangkut otonomi daerah seringkali hanya mengatur garis besar kebijakan yang ditempuh Pemerintah Pusat, sedangkan konteks pelaksanaan otonomi di daerah menuntut pemahaman menyeluruh terhadap situasi riil yang dihadapi di daerah. Oleh karena itu, prinsip pelaksanaan otonomi daerah hendaknya menggunakan sistem negosiasi atas berbagai kepentingan regional dan lokal sambil tetap merujuk kepada kebutuhan masyarakat yang sebenarnya di daerah. Terbangunnya hubungan dengan pemerintah daerah lainnya atau bahkan dengan stakeholders yang ada secara keseluruhan harus dilakukan mengingat semakin kompleks permasalahan dan meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kuantititas dan kualitas layanan
publik. Mekanisme dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan, rapat, forum komunikasi yang intensif, serta berbagai kerjasama antarkeseluruhan, untuk akhirnya dapat dicapai kesepakatan bersama mengenai peran fungsi masingmasing, sehingga terjadilah kejelasan mengenai permasalahan lingkup kewenangan, keuangan, penyelenggaraan, dan tanggungjawab. Dengan demikian, akan tercapai kesatuan pandang dan otonomi daerah dapat menjadi alat atau cara mewujudkan kesejahteraan dan menyediakan layanan kepada masyarakat DIY serta dapat menciptakan daya saing yang positif antardaerah di Provinsi DIY. Laju pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Istilah proses berarti mengandung unsur dinamis, perubahan, atau perkembangan. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi biasanya dilihat dalam kurun waktu tertentu. Laju pertumbuhan ekonomi yang dikaitkan dengan PDRB per kapita suatu wilayah, dapat digunakan untuk membandingkan wilayah secara absolut. Perbandingan absolut antar kabupaten/kota yang disebut dengan Tipologi Klassen disajikan dalam bentuk diagram empat kuadran, di mana sumbu vertikal menggambarkan tingkat pertumbuhan ekonomi, sedangkan sumbu horisontal menggambarkan rata-rata PDRB per kapita. Pada tengah masingmasing sumbu (vertikal dan horisontal) digambarkan garis tegak lurus pada masing-masing sumbu. Garis-garis ini menggambarkan rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi (tegak lurus dengan garis vertikal) dan rata-rata PDRB per kapita (tegak lurus dengan garis horisontal). Garis-garis tersebut membagi bidang grafik menjadi 4 (empat) kuadran. Selanjutnya searah putaran jarum jam, empat kuadran tersebut disebut dengan kuadran I (terletak di sudut kiri atas), kuadran II (terletak di sudut kanan atas), kuadran III (terletak di sudut kanan 23
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
bawah), dan kuadran IV (di sudut kiri bawah). Apabila suatu kabupaten/kota menempati kuadran I, berarti kabupaten/ kota tersebut mempunyai PDRB per kapita di bawah rata-rata Provinsi DIY, namun mempunyai tingkat pertumbuhan di atas rata-rata pertumbuhan Provinsi DIY. Sedangkan apabila terletak di kuadran II, berarti kabupaten/kota tersebut mempunyai PDRB per kapita maupun tingkat pertumbuhan di atas rata-rata Provinsi
DIY. Suatu titik di kuadran III menggambarkan PDRB per kapita di atas rata-rata PDRB per kapita Provinsi DIY, namun tingkat pertumbuhannya di bawah rata-rata tingkat pertumbuhan Provinsi DIY. Selanjutnya dengan mudah dapat diinterpretasikan bahwa suatu titik di kuadran IV menggambarkan PDRB per kapita di bawah rata-rata PDRB per kapita Provinsi DIY, dan juga tingkat pertumbuhannya di bawah tingkat pertumbuhan Provinsi DIY.
PDRB per kapita Rendah
Tinggi
Tinggi (di atas rerata) I Daerah Berkembang Cepat
II Daerah Maju dan Cepat Tumbuh
Laju Pertumbuhan
Rendah (di bawah rerata)
IV Daerah Tertinggal
III Daerah Maju tetapi Tertekan
Gambar 1 Diagram Perbandingan Laju Pertumbuhan dan PDRB Per Kapita Sumber: Dariwardani, Ni Made Inna dan Siti Noor Amani (2008). Kabupaten/kota di kuadran I yang disebut daerah berkembang cepat menunjukkan bahwa PDRB per kapitanya relatif masih rendah sehingga Pemerintah Daerah harus memberikan perhatian khusus untuk mengembangkannya. Namun demikian, karena tingkat pertumbuhan relatif tinggi maka kabupaten/kota masih berpeluang dipacu untuk mengejar daerah lain. Kabupaten/kota yang terletak di kuadran II disebut daerah maju dan cepat tumbuh yang secara relatif menunjukkan 24
daerah–daerah sudah maju perekonomiannya dan akan lebih cepat maju karena mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang relatif tinggi dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY. Kabupaten/kota yang terletak di kuadran III merupakan daerah maju tetapi tertekan secara absolut sudah mencapai tingkat perekonomian yang tinggi namun tingkat pertumbuhannya relatif lebih rendah dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY. Sedangkan kabupaten/kota yang digam-
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
barkan di kuadran IV disebut daerah tertinggal, sangat perlu mendapat perhatian khusus karena dibanding daerah-daerah lainnya relatif lebih rendah baik dari segi besaran PDRB per kapita maupun tingkat pertumbuhannya Dalam menganalisis perekonomian suatu daerah kadang dapat mengacu pada analisis perekonomian nasional, karena ada beberapa kesamaan pengertian antara nation dan region. Tetapi, terdapat juga perbedaan prinsip yang menyebabkan analisis perekonomian nasional tidak dapat diterapkan secara mutlak di tingkat regional. Satu hal yang secara nyata membedakan region dengan nation adalah bahwa region tidak mempunyai kedaulatan sebagaimana nation. Hal ini menyebabkan adanya keterbukaan hubungan antar region sehingga arus barang dan jasa antardaerah sangat bebas, tidak seperti nation di mana arus barang dan jasa dari dan ke luar negeri harus melalui pihak bea dan cukai. Keterbukaan antarregion ini menyebabkan teori ekonomi tertutup sangat muskil diterapkan pada tingkat regional. Di satu sisi, adanya keterbukaan antarregion memungkinkan hubungan spasial yang sangat kuat antarregion. Adanya hubungan spasial menyebabkan perkembangan perekonomian suatu daerah sangat mungkin dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi daerah di sekitarnya baik positif maupun negatif (Suhab, 2004). Untuk menganalisis kinerja perekonomian kelima kabupaten/kota di Provinsi DIY tidak dapat dipisahkan dari analisis spasial, karena kelima wilayah tersebut kemungkinan besar mempunyai keterkaitan erat secara sosial demografis. Namun, untuk sekedar membandingkan perkembangan perekonomian makro secara relatif antardaerah, maka dapat dilakukan dengan melihat besaran PDRB yang dihasilkan oleh masing-masing kabupaten/kota sebagai indikator makro. Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda
dengan daerah lain. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan ekonomi suatu daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial, dan fisik daerah itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Dengan demikian, tidak ada strategi pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah. Namun di pihak lain, dalam menyusun strategi pembangunan ekonomi daerah, baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori pertumbuhan ekonomi wilayah yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi lokal dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk bangun ekonomi daerah yang dicita-citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Kebijakan pertanian yang mantap, misalnya, akan membuat pengusaha dapat melihat ada peluang untuk peningkatan produksi pertanian dan perluasan ekspor. Pembangunan ekonomi daerah perlu memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang terhadap isu-isu ekonomi daerah yang dihadapi, dan perlu mengkoreksi kebijakan yang keliru. Pembangunan ekonomi daerah merupakan bagian dari pembangunan daerah secara menyeluruh. Dua prinsip dasar pengembangan ekonomi daerah yang perlu diperhatikan adalah mengenali ekonomi wilayah dan merumuskan manajemen pembangunan daerah yang pro-bisnis. Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, anggaran pemerintah merupakan hasil kesepakatan antara eksekutif, legislatif, dan rakyat. Oleh karena itu, Provinsi yang tidak mempunyai Dewan 25
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota maka tidak mencerminkan sistem pemerintahan yang demokratis. Hal itu didasarkan pendapat Kohli (1987:221) yang menyatakan bahwa demokrasidemokrasi Dunia Ketiga yang telah mapan dapat memudahkan pembangunan ekonomi. Berarti tanpa adanya demokrasi yang ditunjukkan dengan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam anggota dewan (DPRD) maka pembangunan ekonomi menjadi lebih sulit dan berakibat pada tidak tercapainya tujuan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurut Kaloh (2003:7) paradigma baru pemerintahan menuntut kegiatan nyata Kepala Daerah (Bupati/Walikota) yang diarahkan pada kegiatan-kegiatan yang kreatif, inovatif, perintisan, berorientasi kepada masyarakat, berorientasi layanan dan pemberdayaan. Untuk itu, Kepala Daerah (Bupati/Walikota) haruslah orang yang mampu untuk menjalankan kegiatan pemerintahan dan menunjukkan representasi dari rakyat dalam daerah tersebut (Kabupaten/Kota). Oleh karena itu, perlu dilakukan pilihan kepala daerah agar mampu dipilih kepala daerah yang mampu untuk menjalankan kegiatan pemerintahan. Berarti dalam proses tersebut telah terjadi demokrasi karena adanya rakyat yang memilih anggota dewan (legislatif) dan eksekutif yang akan memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum. Kajian pengembangan ekonomi lokal telah dilaksanakan di 6 (enam) Provinsi, yaitu Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta), Provinsi Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara dan Kota Balikpapan), Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kabupaten Lombok Barat dan Kota Mataram), Provinsi Bali (Kabupaten Gianyar dan Kota Denpasar) dan Provinsi Gorontalo Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten 26
Boalemo) (Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah, 2007). Rangkuman kajian tersebut adalah: 1. Kajian peran pemerintah provinsi dalam implementasi kerjasama antardaerah dipandang sebagai isu menarik dan cukup strategik. Dikatakan menarik dan strategik karena tidak saja isu ini relatif baru dan belum mendapat perhatian banyak pihak, tetapi juga karena posisi dan kewenangan pemerintah provinsi sangat strategik bagi keberhasilan suatu kerjasama antardaerah. Sementara kerjasama antardaerah oleh banyak pihak di era sekarang ini dianggap sebagai suatu urusan yang urgen dan mutlak yang dibutuhkan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan publik. 2. Urgensi kerjasama antardaerah terutama karena beberapa alasan, di antaranya: a) Bahwa kerjasama merupakan urusan pemerintahan yang bersifat concurrent. Maksudnya, kerjasama adalah urusan bersama yang dilaksanakan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. b) Perkembangan daerah atau perkotaan belakangan ini sudah melampaui batas-batas wilayah administratif (provinsi, kabupaten/kota) termasuk layanan dan pembangunan, seperti tata ruang, jalan, transportasi, perdagangan, air, kesehatan, pendidikan, ketentraman ketertiban dan lain sebagainya. c) Percepatan pembangunan antar daerah dan dengan negara tetangga serta daerah tertinggal. d) Demi prinsip efesiensi dan efektifitas layanan publik. 3. Menyadari urgensi dan kebutuhan akan kerjasama antardaerah ini, maka semua pihak dituntut untuk berperan aktif.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Setiap level pemerintahan di negeri ini harus memainkan peranan yang besar untuk mendorong keberhasilan agenda kerjasama antardaerah. Terlebih bagi pihak pemerintah provinsi yang posisinya di samping sebagai wakil pemerintah pusat juga sebagai kepala daerah. Namun kenyataannya peran provinsi justru masing sering dipertanyakan, terutama oleh pemerintah kabupaten/kota dalam proses kerjasama antardaerah yang telah atau sedang berjalan selama ini. 4. Sejauh ini peran provinsi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua bagian utama, yakni sebagai pihak pelaku/aktor yang melakukan kerjasama dan sebagai pihak pembina kabupaten/kota yang ada di wilayahnya. Kajian ini pada dasarnya mencakup kedua peran tersebut, namun mengingat urgensinya maka bahasan lebih ditekankan pada peran provinsi selaku pembina dan pengawas kabupaten/kota yang ada di wilayahnya dalam melakukan kerjasama antardaerah mengikuti logika kewenangan provinsi sebagaimana diatur oleh undangundang. 5. Dalam kapasitasnya sebagai pembina dan pengawas, dinamika peran pemerintah provinsi dalam praktik kerjasama antardaerah yang nampak di wilayah provinsi (terutama di provinsi yang menjadi lokus kajian) dapat dijelas secara singkat, yaitu untuk kasus DIY dinamika peran provinsi relatif berbeda dengan provinsi lain. Perbedaan itu terutama karena munculnya kontroversi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/ kota. Di satu pihak, pemerintah provinsi beranggapan bahwa selama ini mereka telah berperan aktif dalam setiap kerjasama antardaerah, sementara pihak kabupaten/kota justru berpendapat lain. Menilai bahwa selama ini pemerintah provinsi tidak
optimal untuk tidak mengatakan tidak berperan sama sekali. Sekalipun dalam perkembangannya karena alasan kewenangan yang melekat pada provinsi sehingga provinsi dengan sendirinya harus terlibat, seperti dalam aspek legalitas terutama saat penandatangan keputusan atau kesepakatan kerjasama. Munculnya perbedaan pendapat seperti telah disebutkan tadi, berkembang terutama dilatari oleh egosentrisme kabupaten/kota yang tidak lepas dari semangat pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004. Secara teoritis, strategi pengembangan ekonomi lokal melibatkan berbagai pemahaman mendasar tentang potensi dan peluang daerah dan berhubungan dengan peningkatan kapasitas para aparat daerah, wakil rakyat, pengusaha, dan warga daerah secara umum. Potensi leadership para pemimpin daerah dan kemampuan manajerial seorang pemimpin di birokrasi, parlemen, dan dunia usaha di daerah sampai pada kesiapan para stakeholders melaksanakan pembangunan daerah menjadi faktor dominan dalam kinerja pengembangan ekonomi lokal. Dalam konteks desentralisasi ekonomi, pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu keniscayaan belaka karena sukar sekali diharapkan suatu pengembangan ekonomi yang dapat kompatibel dengan kebutuhan dan potensi lokal apabila nuansa sentralistik masih terlalu kental. Teori ekonomipun mengajarkan bahwa konsep desentralisasi ekonomi itu tidak lain adalah tuntutan efisiensi dan skala ekonomi yang lebih adil antara pusat dan daerah, sehingga lebih menguntungkan secara ekonomi dan sosial dalam skala yang lebih makro. Untuk mendukung tuntutan efisiensi dan skala ekonomi dalam konteks desentralisasi itu, memang diperlukan suatu prasyarat utama 27
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
yang harus dipenuhi, yaitu pengorganisasian negara yang efisien pula. Dengan kata lain, pengembangan ekonomi daerah juga menghendaki suatu tata pemerintahan bersih dan berwibawa (good corporate governance) baik di pusat maupun di daerah yang mampu menjalankan suatu kebijakan ekonomi secara efisien. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka disusun hipotesis penelitian sebagai berikut: H1: Ada perbedaan nilai PDRB kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. H2: Ada perbedaan strategi pengembangan ekonomi lokal kabupaten/kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan kuadran dalam Tipologi Klasen. HASIL PENELITIAN Perbandingan nilai nominal PDRB antarwaktu dan antardaerah menunjukkan bahwa Kabupaten Sleman menghasilkan
nilai PDRB terbesar secara relatif dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, sedangkan Kabupaten Kulonprogo merupakan kabupaten dengan nilai PDRB terkecil. Untuk lebih memudahkan melihat perbandingan antardaerah dan pergeseran selama lima tahun, maka diilustrasikan dengan Gambar 2. Berdasarkan Gambar 1 terlihat bahwa selama kurun waktu 5 (lima) tahun, kinerja perekonomian Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta melampaui rata-rata Provinsi DIY. Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa kedua wilayah merupakan penopang perekonomian di Provinsi DIY. Kinerja ekonomi Kabupaten Bantul hampir sama dengan rata-rata Provinsi DIY, sedangkan kinerja ekonomi Kabupaten Gunungkidul maupun Kabupaten Kulonprogo masih di bawah rata-rata Provinsi DIY. Kondisi ini selama kurun waktu tersebut bertahan tidak terjadi pergeseran, artinya tidak ada kabupaten/kota yang dapat melampaui wilayah lainnya.
Gambar 2 Nilai PDRB Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi DIY Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2002-2006 (Triliun Rupiah) Sumber: BPS Provinsi DIY dalam Analisis PDRB Provinsi DIY Tahun 2002-2006 28
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Salah satu hal yang menjadi masalah klasik dalam suatu perekonomian pada umumnya adalah pemerataan kesejahteraan. Dalam program MDGs disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, artinya pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan pemerataan dalam distribusi pendapatan, penurunan angka kemiskinan, dan lingkungan hidup yang menjamin bagi keberlangsungan hidup manusia pada masa mendatang. Oleh karena itu, pencapaian PDRB yang tinggi tanpa disertai pemerataan pendapatan akan menimbulkan kesenjangan ekonomi. Untuk melihat seberapa jauh pemerataan pendapatan yang diperoleh masyarakat sangatlah sulit. Indikator yang cukup mendukung untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan PDRB per kapita. Angka tersebut diperoleh dengan cara membagi nilai PDRB yang dihasilkan oleh suatu daerah/wilayah dengan jumlah penduduknya. Hanya melihat PDRB perkapita individu memang tidak dapat diketahui seberapa jauh disparitas pendapatan dalam suatu region, tetapi perlu membandingkan dengan daerah/wilayah lain sehingga disparitas antar region dapat diketahui. Perbandingan nilai PDRB per kapita antarkabupaten/kota di Provinsi DIY selama 5 tahun menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan antardaerah. Kota Yogyakarta selama lima tahun terakhir menjadi wilayah dengan nilai PDRB per kapita tertinggi. Artinya, secara nominal pendapatan penduduk Kota Yogyakarta misalnya pada tahun 2006 rata-rata mencapai Rp17,52 juta,-, hampir tiga kali pendapatan yang diterima oleh penduduk di Kabupaten Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul yang masingmasing hanya menerima sebesar Rp6,46 juta,-; Rp6,51 juta,-; dan Rp6,43 juta,pada tahun yang sama.
Jika diamati menurut kabupaten/ kota di Provinsi DIY, maka pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi paling pesat terjadi di Kabupaten Sleman, yakni mencapai 4,50%. Rata-rata pertumbuhan per tahun Kabupaten Sleman tertinggi dibanding dengan rata-rata pertumbuhan per tahun di kabupaten/kota lain di Provinsi DIY, yaitu sebesar 4,96% walaupun menurun dibanding dengan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 yang mencapai 5,03%. Andil yang diberikan Kabupaten Sleman terhadap pertumbuhan tahun 2006 mencapai 1,35%. Hal ini menunjukkan bahwa share pertumbuhan ekonomi Kabupaten Sleman cukup tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi DIY. Kota Yogyakarta memberi andil terhadap pertumbuhan Provinsi DIY sebesar 1,03%, di mana laju pertumbuhan rata-rata dalam periode 2001-2008 mencapai 4,66% per tahun. Kinerja ekonomi Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta yang sangat tinggi dibandingkan dengan ketiga kabupaten lainnya di Provinsi DIY menunjukkan bahwa telah terjadi “kesenjangan/ ketimpangan ekonomi” antarwilayah di Provinsi DIY. Berdasarkan Tipologi Klassen, kabupaten/kota yang terletak di kuadran II disebut daerah maju dan cepat tumbuh yang secara relatif menunjukkan daerah– daerah sudah maju perekonomiannya dan akan lebih cepat maju karena mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi dan PDRB per kapita yang relatif tinggi dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY. Kabupaten/kota yang terletak di kuadran IV merupakan daerah maju tetapi tertekan secara absolut sudah mencapai tingkat perekonomian yang tinggi namun tingkat pertumbuhannya relatif lebih rendah dibanding dengan rata-rata Provinsi DIY. Berdasarkan Gambar 3, maka Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman berada dalam kuadran II sedang Kabupaten 29
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul berada dalam kuadran IV.
Sumber: Data penelitian, data diolah. Gambar 3 Tipologi Klassen Kabupaten/Kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diringkas hasil uji statistik beda dua rata-rata dan ANOVA 1 arah
seperti yang disajikan pada Tabel 2 berikut ini:
Tabel 2 Hasil Uji Hipotesis Penelitian Hipotesis t/F test P value Pengujian H1 Signifikan *) 64.51210768 1.01051E-13 H2a 2.144786681 0.441708014 Tidak Signifikan H2b Signifikan *) 52.23393462 3.21879E-07 Sumber: Data penelitian, diolah. *) Signifikan pada alpha 5%. PEMBAHASAN Berdasarkan Tabel 2, maka hipotesis penelitian 1 terbukti signifikan. Artinya, nilai PDRB masing-masing kabupaten/kota di Provinsi DIY selama tahun pengamatan 2001-2008 terbukti berbeda. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kemampuan antarkabupaten/kota di Provinsi DIY dalam menghasilkan produk berbeda karena masing-masing mempunyai faktor produksi/input yang 30
berbeda pula. Berdasarkan Tabel 2, maka hipotesis penelitian 2 terbukti tidak signifikan untuk strategi pengembangan lokal Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan kuadran dalam Tipologi Klasen yang berada dalam diagram II, sedang hipotesis penelitian 2 untuk strategi pengembangan lokal Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan kuadran
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
dalam Tipologi Klasen yang berada dalam diagram IV terbukti signifikan. Penyusunan strategi pengembangan ekonomi lokal mendasarkan pada strategi pengembangan sektoral dan regional. Pada strategi pengembangan sektoral digunakan dasar hasil penghitungan potensi sektoral melalui penghitungan nilai kontribusi sektor dan laju pertumbuhan sektor pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota di Provinsi DIY. Pada strategi pengembangan lokal digunakan dasar hasil penghitungan potensi regional (kabupaten/kota) melalui Tipologi Klassen dan penghitungan nilai Location Quotient (LQ). Kinerja perekonomian Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta melampaui rata-rata Provinsi DIY. Kondisi tersebut menunjukkan, bahwa kedua wilayah merupakan penopang perekonomian di Provinsi DIY. Kinerja ekonomi Kabupaten Bantul hampir sama dengan rata-rata Provinsi DIY, sedangkan kinerja ekonomi Kabupaten Kulon Progo maupun Kabupaten Gunungkidul masih di bawah rata-rata Provinsi DIY. Kondisi ini selama kurun waktu tersebut bertahan tidak terjadi
pergeseran, artinya tidak ada kabupaten/ kota yang dapat melampaui wilayah lainnya. Dilihat dari sisi kemampuan wilayah, perbedaan nilai PDRB antar kabupaten/kota sangat tergantung pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimiliki serta ditunjang dengan teknologi yang tersedia. Kabupaten Gunungkidul dengan luas wilayah hampir sepertiga wilayah Provinsi DIY, ternyata pada tahun 2006 hanya menempati urutan keempat dalam hal besaran nilai PDRB yang dihasilkan. Hal ini disebabkan perekonomian Kabupaten Gunungkidul masih ditopang oleh sektor pertanian, sedangkan lahan pertanian di daerah tersebut relatif tandus dengan produktivitas rendah. Sementara itu, Kota Yogyakarta dengan luas wilayah terkecil tetapi dengan banyaknya kegiatan ekonomi di setiap sektor dan ditunjang oleh sarana dan prasarana serta teknologi yang lebih memadai mampu mencapai nilai PDRB yang lebih besar (urutan pertama). Hasil perhitungan ekonomi Provinsi DIY berdasarkan Tipologi Klasen diperoleh hasil seperti pada Tabel 3.
Tabel 3 Tipologi Klassen Ekonomi Provinsi DIY Rerata Kontribusi Sektoral thd PDRB Rerata Laju Pertumbuhan Sektoral
YSEKTOR ≥ YPDRB
YSEKTOR < YPDRB
rSEKTOR ≥ rPDRB
Sektor prima: Perdagangan, hotel dan restoran
Sektor berkembang: Listrik dan air bersih; Konstruksi; Pengangkutan dan komunkasi; Keuangan real estat, dan jasa perusahaan
rSEKTOR < rPDRB
Sektor potensial: Pertanian, industri pengolahan, jasa-jasa
Sektor kurang optimal: Penggalian
Sumber: Data penelitian, diolah. 31
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Kondisi sektoral dalam perekonomian Provinsi DIY dianalisis dengan menggunakan metode Shift-Share (SS), Static Location Quotient (SLQ), dan Dynamic Location Quotient (DLQ). Analisis Shift-Share (SS) digunakan untuk menentukan kinerja atau produktivitas kerja perekonomian daerah dibandingkan dengan perekonomian pada daerah yang
lebih luas/nasional. Hasil analisis shiftshare berdasarkan PDRB Provinsi DIY tahun 2001-2008 dapat diketahui bahwa sektor konstruksi, penggalian dan pertanian relatif lebih kompetitif dibandingkan enam sektor lainnya. Secara lebih rinci nilai analisis ekonomi sektoral Provinsi DIY ditunjukkan pada Tabel 4 berikut ini:
Tabel 4 Nilai Shift-Share, SLQ dan DLQ PDRB Provinsi DIY, Tahun 2001–2008 Lapangan Usaha
Shift-Share (SS) 1. Pertanian 2,30 2. Penggalian -09,33 3. Industri pengolahan -304,25 4. Listrik dan air bersih -11,12 5. Konstruksi 130,66 6. Perdagangan, hotel, dan restoran -341,01 -529,05 7. Pengangkutan dan komunikasi 8. Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan -120,02 9. Jasa-jasa -311,25 Sumber: BPS Provinsi DIY, Tahun 2001–2008, diolah.
Hasil analisis SLQ menunjukkan bahwa hanya dua sektor yang bukan merupakan sektor basis di Provinsi DIY, yaitu sektor penggalian dan sektor listrik dan air bersih sehingga dapat diartikan bahwa kedua sektor ini relatif kurang berperan dalam perekonomian Provinsi DIY, sedangkan sektor lain memiliki peran yang positif. Hasil analisis DLQ menunjukkan nlai DLQ yang di atas satu dihasilkan oleh sektor pertanian dan konstruksi yang berarti potensi perkembangan sektor tersebut lebih baik dibandingkan sektor yang sama di tingkat nasional.
32
SLQ 1,28 0,08 1,23 0,95 1,37 1,43 1,66 1,03 1,89
DLQ 1,03 0,65 0,68 0,81 1,40 0,75 0,41 0,79 0,71
Penggabungan hasil analisis SLQ dan DLQ dapat menghasilkan pengelompokan sektor-sektor dalam perekonomian Provinsi DIY ke dalam empat kategori, yaitu unggulan, prospektif, andalan, dan kurang prospektif. Sektor pertanian dan konstruksi merupakan sektor unggulan. Terdapat lima sektor yang termasuk prospektif yaitu sektor listrik dan air bersih; perdagangan, hotel, dan restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan; dan jasa-jasa.
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Tabel 5 Sektor Unggulan, Prospektif, Andalan, dan Kurang Prospektif di Provinsi DIY Berdasarkan Analisis SLQ dan DLQ, Tahun 2001 – 2008 DLQ >1 Unggulan: Pertanian Konstruksi >1 SLQ
Andalan: Sumber: Data penelitian, diolah. <1
Perbandingan PDRB antar kabupaten/kota menurut lapangan usaha menunjukkan bahwa Kabupaten Gunungkidul lebih dominan di sektor pertanian dan sektor penggalian dibandingkan kabupaten/kota lainnya. Kabupaten Sleman lebih unggul di sektor industri pengolahan, sektor konstruksi, dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Sedangkan Kota Yogyakarta lebih unggul di sektor listrik dan air bersih; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor keuangan, real estat, dan jasa perusahaan; serta sektor jasa-jasa. Terkait dengan era otonomi daerah, maka kebijakan di tingkat daerah dalam hal perencanaan pembangunan ekonomi sangat signifikan dalam menunjang peningkatan PDRB. Kemudahan dalam berinvestasi, seperti dalam hal perijinan dan lain-lain yang dapat menarik investor asing sangat diperlukan untuk meningkatkan kinerja ekonomi daerah. Perbedaan potensi sumber daya ekonomi menyebabkan struktur ekonomi pada masing-masing kabupaten/kota juga bervariasi. Sektor pertanian masih mendominasi perekonomian di Kabupaten Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul, sedangkan perekonomian di Kabupaten
<1 Prospektif: Pengolahan Perdagangan, hotel, dan restoran Pengangkutan dan komunikasi Keuangan, real estat, dan jasa perusahaan Jasa-jasa Kurang Prospektif: Listrik dan air bersih
Sleman didominasi oleh sektor perdagangan, diikuti sektor jasa-jasa dan sektor industri pengolahan. Kemudian, tiga sektor utama yang mendukung perekonomian Kota Yogyakarta secara berturutturut, adalah sektor jasa-jasa, sektor perdagangan, dan sektor pengangkutan dan komunikasi. Untuk kondisi PDRB Provinsi DIY, pada tahun 2008 didominasi sektor jasa, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor pertanian. Pertumbuhan ekonomi daerah, secara makro dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pengeluaran pemerintah sebagai investasi pemerintah, konsumsi masyarakat, investasi swasta dan masyarakat, serta ekspor neto yaitu selisih antara ekspor dan impor (Bappeda DIY, 2008: 10). Pengaruh investasi oleh swasta baik swasta asing maupun swasta domestik serta investasi masyarakat mempunyai nilai tambah yang sangat positif bagi pertumbuhan wilayah karena mempunyai multiplier effect yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja, penggunaan kemajuan teknologi, serta peningkatan devisa khususnya pada produk yang berorientasi ekspor. Perkembangan investasi baik yang dilakukan oleh domestik melalui Penanaman Modal 33
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Dalam Negeri (PMDN) maupun melalui asing (Penanaman Modal Asing) di DIY mengalami pasang surut, sesuai dengan perkembangan keadaan politik nasional, kebijakan pemerintah, dan kondisi makro ekonomi nasional. Data menunjukkan bahwa nilai investasi PMA dan PMDN pada tahun 2003 melonjak sangat drastis dari tahun 2002, namun pada tahun 2004 menurun, dan naik lagi pada tahun 2005. Pada tahun 2006, walaupun terjadi bencana alam gempa bumi pada tanggal 27 Mei 2006, apabila dibandingkan dengan tahun 2005 terjadi peningkatan total nilai investasi sebesar 116,80 %. Secara umum struktur industri di DIY didominasi oleh Industri Kecil (IK), khususnya apabila dilihat pada jumlah unit usahanya. Berdasarkan total potensi industri sebesar 76.724 unit, 99% (75.956 unit) di antaranya merupakan industri kecil, meskipun IK yang tercatat (berlisensi) sampai dengan tahun 2003 baru mencapai 17.492 unit, dengan demikian lain industri di DIY didominasi oleh industri kecil dengan serapan tenaga kerja antara 5-19 orang per unit usaha. Dilihat dari klasifikasinya, industri di DIY didominasi oleh industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya, serta industri tekstil pakaian jadi dan kulit. Kondisi ini relevan dengan keberadaan IK yang didominasi oleh industri kerajinan (baik kerajinan kayu, bambu, rotan, dan sejenisnya). Dominasi industri kerajinan skala kecil juga sangat besar, yang tersebar di 281 sentra dengan 12.304 unit usaha. Potensi Industri Kecil, Menengah dan Besar (IKMB) yang tersebar di wilayah DIY menunjukkan perkembangan fluktuatif. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan jumlah unit usaha, pada tahun 2002 sebanyak 78.709 unit usaha, turun menjadi 78.100 unit usaha pada tahun 2003, dan meningkat menjadi 78.609 unit usaha pada tahun 2004 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 0,65 %. Penyerapan tenaga kerja IKMB pada tahun 34
2002 sebanyak 259.812 orang, pada tahun 2003 turun menjadi 259.102 orang, dan tahun 2004 naik 264.217 orang dengan pertumbuhan sebesar 1,97%. Perkembangan nilai investasi sektor industri pada tahun 2002 sebesar Rp.845,569 milyar, tahun 2003 sebesar Rp.859,007 milyar, dan pada tahun 2004 sebesar Rp.1,031 trilyun mengalami pertumbuhan lebih kurang 20%. Perkembangan ekspor DIY juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. Pada tahun 2002 realisasi ekspor sebesar US$ 110,14 juta, pada tahun 2003 nilai ekspor sebesar US$ 115.32 juta meningkat sebesar 4,7%, sedangkan pada tahun 2004 nilai ekspor sebesar US$ 112,27 juta meningkat sebesar 6,02%. Enam komoditi ekspor utama adalah mebel kayu, pakaian jadi tekstil, kulit disamak, sarung tangan kulit, lampu, dan produk tekstil lainnya. Pekembangan realisasi impor pada tahun 2003 sebesar US$ 40,55 juta dan tahun 2004 sebesar US$ 18,37 mengalami penurunan yang cukup signifikan. Realisasi impor ini berdasarkan komoditi, meliputi obat penyamak kulit, bahan baku susu, kapas, kulit disamak, dan komoditi lain. Sektor pertanian telah berperan dalam perekonomian daerah melalui sumbangannya terhadap PDRB, penerimaan ekspor, penyediaan tenaga kerja, kesempatan kerja, mendukung pengurangan pengangguran dan kemiskinan serta penyediaan pangan daerah. Selain sumbangan tersebut, sektor pertanian juga memiliki kontribusi dalam memperkuat keterkaitan antar industri, konsumsi, dan investasi. Kontribusi sektor pertanian (termasuk perikanan dan kehutanan) terhadap PDRB Provinsi DIY selama sepuluh tahun terakhir rerata sebesar 16,33 % (terbesar ketiga setelah sektor jasa dan perdagangan), namum pertumbuhannya masih relatif kecil yakni 0,92% per tahun. Jumlah rumah tangga (RT) pertanian selama sepuluh tahun
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
menurun 9,32% (konstelasi terakhir 47,17% atau 472.082 RT). Sebesar 80,29% dari jumlah tersebut sebagian besar (374.811 RT) merupakan petani gurem (luas kepemilikan tanah kurang dari 0,5 hektar). Apabila diukur dari kesejahteraan, nilai tukar (terms of trade) petani di DIY dalam sepuluh tahun terakhir meningkat dari 96,9% menjadi 133,3% (tertinggi di Pulau Jawa). Permasalahan yang dihadapi sektor pertanian adalah meningkatnya alih fungsi lahan pertanian, belum optimalnya pemanfaatan lahan, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia, masih terbatasnya akses petani dan nelayan terhadap sumberdaya produktif, informasi pasar dan infrastruktur, serta keterbatasan permodalan yang membatasi berkembangnya peningkatan pengolahan hasil dan penerapan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan nilai tambah dalam rangka meningkatkan daya saing. Komoditas pertanian mempunyai karakateristik khusus yaitu tergantung pada iklim, sedangkan faktor pembentuk iklim sendiri seperti curah hujan dan angin sulit untuk diprediksi. Tantangan terbesar untuk dapat mengatasi itu semua adalah masih lemahnya lembaga petani/nelayan dan lembaga pendukung pertanian. Selain itu, ketergantungan sektor pertanian terhadap sektor lain dan adanya otonomi daerah juga menuntut koordinasi lintas sektor dan antara pemerintah pusat dengan pemerintah Provinsi dan kabupaten yang lebih baik. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka disimpulkan bahwa hipotesis penelitian 1 yang menyatakan ada perbedaan nilai PDRB masing-masing kabupaten/kota di Provinsi DIY diterima. Perbedaan ini menunjukkan bahwa
kemampuan antar kabupaten/kota di Provinsi DIY dalam menghasilkan produk berbeda karena masing-masing mempunyai faktor produksi/input yang berbeda pula. Hipotesis penelitian 2 yang menyatakan bahwa ada perbedaan strategi pengembangan ekonomi lokal kabupaten/ kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan kuadran dalam Tipologi Klasen ditolak untuk Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman di kuadran II dan diterima untuk Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul di kuadran IV. Strategi pengembangan ekonomi lokal yang sama antara Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman terjadi karena kondisi struktur ekonomi yang relatif sama. Strategi pengembangan ekonomi lokal yang berbeda antara Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul terjadi karena kondisi struktur ekonomi yang relatif berbeda. Saran Berdasarkan simpulan tersebut, maka saran yang perlu disampaikan adalah mengembangkan sektor unggulan, potensial, dan pola interaksi bisnis dalam kerangka ideologi ekonomi berkeadilan (fair trade) agar tidak terjadi ketimpangan distribusi antarpenduduk dan antarwilayah; mengintesifkan promosi investasi pada potensi lokal berparadigma pelestarian lingkungan; mengintensifkan kerjasama dengan kelembagaan usaha (asosiasi) dalam mengembangkan ekonomi (bisnis dan investasi) daerah, termasuk fasilitasi kolaborasi pebisnis lokal (termasuk lembaga keuangan) untuk meningkatkan kapasitas bisnis dan skala pembentukan modal kerja; mengembangkan pusat fasilitasi daya saing bisnis melalui kerjasama pusat iptek (perguruan tinggi) dengan pelaku usaha sesuai prinsip Triple Helix.
35
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Ekonomi Universitas Indonesia. Pebruari 2007. Jakarta.
DAFTAR REFERENSI
Arifin, B. 2005. “Pengembangan Ekonomi Daerah Melalui Strategi Demand Driven”. Lampung. BPS. 2007. BPS Provinsi DIY dalam Analisis PDRB Provinsi DIY Tahun 2002-2006. Balai Pustaka. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi 3. Jakarta. Badan
Perencanaan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Istimewa Yogyakarta (RPJP DIY) Tahun 2005–2025. Yogyakarta.
Dariwardani, Inna, N.M dan Amani, S.N.. (2008). Kinerja Propinsi di Indonesia Sebelum dan Setelah Pemberlakukan Otonomi Daerah. Download 31 Agustus 2010. Jakarta. Darwanto, H. 2002. “Prinsip Dasar Pembangunan Ekonomi Daerah”. Jakarta. Dendi, A., dan Haryono, R.S. 2007. Forum Pengembangan Ekonomi Lokal: Konsep, Strategi, dan Metode (Perspektip dan Pengalaman Nusa Tenggara). Hirawan, S. B. 2007. Desentralisasi Fiskal sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Miskin) di Indonesia. Pidato pada Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Ekonomi pada Fakultas 36
Isdijoso, B. dan Wibowo, T. 2002. “Analisis Kebijakan Fiskal pada Era Otonomi Daerah: Studi Kasus pada Sektor Pendidikan di Kota Surakarta”. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 6 (1):22-56. Kadiman, K. 2005. The Triple Helix and The Public. Dipresentasikan pada Seminar on Balanced Perspective in Business Practices, Governance, and Personal Life. Jakarta. Kaloh, J. 2003. Kepala Daerah: Pola Kegiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kohli,
A. 1987. Demokrasi dan Pembangunan dalam Mengkaji Ulang Strategi-Strategi Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Malizia, E. E. dan Feser, E. J. 1999. Understanding Local Economic Development. Center for Urban Policy Research. New Brunswick, New York: CUPR Press. Matsui, K. 2005. “Post-Decentralization Regional Economies and Actors: Putting The Capacity of Local Governments To The Test”. The Developing Economies, 43(1): 171–189. Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah. 2007. Kajian Peningkatan Peran Propinsi Dalam Membangun
PENGEMBANGAN EKONOMI LOKAL KABUPATEN/KOTA…………………..……………………………………...(Rudy Badrudin)
Kerjasama Antar Daerah: Executive Summary. Jakarta. Romli, L. 2006. ”Efektifitas Pemerintah Daerah Era Otonomi: Studi Kasus Efektifitas Reformasi Birokrasi dan Layanan Publik di Kota Semarang”. Jurnal Desentralisasi, 7(4):35-52. Sodik, J. 2008. “Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia. Jurnal
Ekonomi Pembangunan, 12 (1): 27-36. Sodik,
J. dan Nuryadin, D. 2008. “Determinan Investasi di Daerah: Studi Kasus Provinsi di Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 13 ( 1):15-31.
Suhab,
Sultan. 2004. “Kebijaksanaan Keuangan Daerah dalam Perspektif Desentralisasi dan Otonomi Daerah”. Analisis, 1 (2):106-116.
37
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
RISIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN FENOMENA UNDERPRICING PADA IPO: STUDI EMPIRIS DI BURSA EFEK INDONESIA Andreas Arif Kristanto P.T. Bank Central Asia Finance Wisma BCA Pondok Indah No 10, Jakarta Email:
[email protected]
ABSTRACT The purpose of this study is to examine the effect of bankruptcy risk and debt proportion to undepricing phenomenon in Initial Public Offering. This study analyzes a sample of initial public offfering made of indonesian stock exchange-listed non finance firms over the periode 2001-2010. Date analysis uses multiple regression model. The results show that debt proportion have negative effect on underpricing, while bankruptcy risk shows no such effect. This result consistent with signaling equilibrium phenomenom. Keyswords: underpricing, debt, and bankruptcy risk.
PENDAHULUAN Penghimpunan dana masyarakat melalui pasar modal merupakan pilihan yang semakin banyak ditempuh perusahaan dalam rangka pendanaan usaha. Ratusan perusahaan telah meraih dana publik, baik dengan menerbitkan saham maupun obligasi. Penerbitan perdana saham oleh perusahaan dapat dilakukan melalui mekanisme penawaran umum perdana saham/initial public offering (IPO) atau lebih dikenal dengan istilah go public. Sepanjang tahun 2001 sampai 2010, tercatat sebanyak 168 perusahaan menjual saham ke publik melalui mekanisme go public. Berdasarkan data penelitian pada tahun 2003 hanya 7 perusahaan yang menerbitkan saham melalui mekanisme penawaran umum perdana. Pada tahun 2006 tercatat 11 perusahaan yang melakukan IPO. Go public semakin diminati perusahaan untuk menghimpun dana, terbukti di tahun 2010 sebanyak 23
perusahaan mencatatkan diri atau listing di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui mekanisme go pubic. Penawaran umum perdana atau IPO merupakan topik penelitian yang menarik, karena segera setelah IPO atau pada hari pertama perusahaan listing di BEI terdapat abnormal return. Fenomena tersebut biasa dimanfaatkan oleh investor untuk memperoleh initial return. Fenomena tersebut dikenal dengan IPO underpricing. Fenomena underpricing terjadi karena penawaran perdana ke publik yang secara rerata murah. Fenomena underpricing dapat diartikan penentapan harga saham pada saat IPO berbeda dan secara signifikan lebih rendah dengan harga saham di pasar sekunder pada hari pertama emiten listing di BEI (Takarini dan Kustini, 2007). Berdasarkan data penelitian, 126 perusahaan dari 168 perusahaan atau sebesar 75% IPO pada periode 2001 sampai 2010 mengalami underpricing. Pada tahun 2002 dari 19 39
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
perusahaan yang menerbitkan saham melalui mekanisme penawaran umum perdana, 14 perusahaan atau 73,68% mengalami underpricing dan 3 perusahaan atau 15,79% mengalami overpricing. Pada tahun 2007 tercatat 22 perusahaan yang melakukan IPO, 20 perusahaan diantaranya mengalami underpricing dan hanya 2 perusahaan yang mengalami overpricing. Tingkat kecenderungan underpricing semakin meningkat, terbukti di tahun 2010 sebanyak 22 perusahaan dari 23 perusahaan atau sebesar 95,65% yang go public mengalami underpricing, sisanya 1 perusahaan atau sebesar 4,35% mengalami overpricing. Fenomena underpricing memiliki implikasi yang cukup luas, baik bagi perusahaan, investor maupun akademisi. Bagi perusahaan yang baru go public, IPO yang underpricing berarti kehilangan kesempatan untuk memperoleh dana secara maksimal. Bagi kalangan investor, fenomena underpricing merupakan kesempatan memperoleh initial return pada saat hari pertama emiten listing di BEI. Bagi akademisi, underpricing merupakan topik yang menarik untuk diteliti karena dapat menguji berbagai penjelasan terjadinya underpricing dengan menggunakan information asymetric, winner’s curse, regulation hypothesis, dan signaling equilibrium phenomenom sebagai dasar teori. Selama ini penelitian tidak difokuskan pada satu dasar teori. Dianingsih (2003), Takarini dan Kustini (2007), Handayani (2008), mengangkat lebih dari satu teori yang digunakan dalam penelitian, sehingga penelitian yang telah dilakukan tidak terfokus pada satu dasar teori terjadinya fenomena underpricing. Penelitian ini memfokuskan penjelasan fenomena underpricing pada teori yang dianggap kontroversi, yaitu signaling equilibrium phenomenom. Teori tersebut menjelaskan bahwa perusahaan yang sehat/baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan 40
melakukan penentapan IPO yang underpricing, sementara perusahaan yang tidak sehat/buruk tidak mau melakukan underpricing, karena khawatir tidak dapat menutupi kerugian akibat underpricing (Ronni, 2003). Menurut Bringham, Huston (2006), perusahaan dengan prospek yang sangat menguntungkan akan mencoba untuk menghindari penjualan saham atau cenderung overpricing, sedangkan perusahaan dengan prospek yang tidak menguntungkan menjual sahamnya dengan underpricing, yang artinya menarik investor-investor untuk berbagi kerugian yang dialami perusahaan. Perbedaan pandangan mengenai signal dari tujuan perusahaan menerapkan underpricing memerlukan kajian lebih lanjut. Peneliti menggunakan dasar fundamental perusahaan yang sehat/baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang sehat/baik memiliki kriteria, sebagai berikut: tidak dalam kesulitan keuangan (financial distress), tidak memiliki tanggungan hutang yang tinggi, dan jauh dari kondisi kebangkrutan. Sedangkan perusahaan yang tidak sehat/buruk memiliki kriteria, sebagai berikut: perusahaan dalam kondisi financial distress, memiliki hutang yang tinggi, dan kondisi perusahaan cenderung bangkrut (Purwanti, 2009). Berdasarkan teori signaling equilibrium phenomenom, perusahaan yang sehat/baik jauh dari risiko kebangkrutan mampu memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang tidak sehat/buruk dalam kondisi memiliki hutang yang tinggi tidak berani memberikan signal underpricing yang tinggi dan cenderung overpricing. Harga saham perdana dipengaruhi oleh faktor fundemental perusahaan dan ekonomi, serta secara langsung akan mempengaruhi nilai perusahaan. Semakin
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
tinggi nilai pasar saham menunjukkan secara nyata bahwa perusahaan atau emiten tersebut semakin sehat. Dengan kata lain semakin kurang sehat suatu perusahaan atau berisiko bangkrut, nilai pasar saham perusahaan akan semakin rendah di pasar (Siregar, 2008). Perusahaan yang sehat dilihat dari risiko kebangkrutan yang rendah dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang kurang sehat atau berisiko bangkrut dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang overpricing. Perusahaan yang sedang berkembang pasti membutuhkan tambahan modal yang cukup untuk melakukan ekspansi. Secara umum modal dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu hutang dan ekuitas/berbagi kepemilikan. Penggunaan hutang sebagai modal memiliki keuntungan sebagai pengurang pajak (tax shield), tetapi semakin tinggi rasio hutang maka perusahaan tersebut semakin berisiko. Ketika perekonomian mengalami masa-masa sulit (crisis) dan perusahaan terkena dampaknya sehingga laba operasi tidak mampu menutupi beban bunga, maka akan terjadi kebangkrutan (financial distress). Perusahaan yang memiliki risiko hutang yang rendah termasuk kedalam perusahaan yang sehat, sehingga dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Perusahaan yang memiliki risiko hutang yang tinggi merupakan perusahaan yang kurang sehat, sehingga dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang overpricing, karena khawatir tidak dapat menutupi kerugian akibat underpricing. Dalam konteks di Indonesia dimana Fenomena Underpricing memiliki implikasi yang penting dalam menentukan
kebijakan pendanaan bagi perusahaan dan kebijakan investasi bagi investor. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh risiko kebangkrutan dan proporsi hutang terhadap fenomena underpricing pada initial public offering di BEI. Hasil penelitian ini diharapkan akan memperkuat eksistensi teori mengenai Fenomena Underpricing, khususnya Teori signaling equilibrium phenomenom yang menjelaskan bahwa perusahaan yang baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing. Bagi Investor adalah sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan investasi pada saat IPO. Pemilihan perusahaan dengan proporsi hutang dan tingkat risiko kebangkrutan yang tepat maka dirasa invsetasi yang dilakukan tepat karena dapat memanfaatkan fenomena underpricing untuk mendapatkan initial return pada hari pertama saham diperdangangkan di secondary market. Sementara itu, perusahaan dan underwriter menentukan harga saham pada saat IPO, memperhatikan fenomena underpricing karena merupakan salah satu signal kondisi perusahaan yang akan dinilai oleh investor. KAJIAN LITERATUR Penejalasan Fenomena Underpricing Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham pada saat penawaran perdana lebih rendah dibandingkan dengan ketika diperdagangkan di pasar sekunder (Gerianta, 2002). Sedangkan Yolana dan Dwi Martani (2005) mendefinisikan underpricing adalah adanya selisih positif antara harga saham di pasar sekunder dengan harga saham di pasar perdana atau saat IPO. Fenomena underpricing tersebut terjadi dikarenakan dalam proses go public dimana saham yang ditawakan dan sebelum ditransaksikan di pasar sekunder 41
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
(bursa efek) akan terlebih dahulu dijual di pasar perdana pada saat IPO. Harga saham pada saat IPO yang dijual dipasar perdana sudah terlebih dahulu ditentukan oleh penjamin emisi (underwriter), perusahaan yang akan go public (emiten), dan pihak investor melalui mekanisme book bulding, sedangkan harga saham di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme pasar (permintaan dan penawaran). Dalam dua mekanisme penentuan harga tersebut sering terjadi perbedaan harga saham pada saat di pasar perdana dan di pasar sekunder. Underpricing terjadi apabila penentuan harga saham pada saat IPO lebih rendah dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar sekunder pada hari pertama perusahaan listing di bursa efek. Beberapa penelitian di Indonesia menemukan adanya underpricing pada penawaran perdana saham (IPO). Penelitian yang dilakukan Hanafi, M. dan Husnan (1991) menyatakan bahwa pada saat IPO terdapat kecenderungan terjadinya Underpricing. Hasil penelitian Isworo, Sri dan Ambar (2007) membuktikan perusahaan-perusahaan yang melakukan IPO pada tahun 1998 –2005 di Bursa Efek Jakarta mengalami underpricing, hal tersebut dapat dilihat dari nilai initial return maupun average abnormal return yang positif. Selain di Indonesia ternyata fenomena underpricing juga terjadi di negara lain. Loughran, dkk (1994) menyatakan bahwa fenomena underpricing menjadi fenomena pada pasar modal di hampir setiap negara. Sehingga dapat diterima secara luas underpricing adalah fenomena yang umum terjadi di pasar modal manapun saat emiten melakukan IPO yang dapat dimanfaatkan investor untuk memperoleh initial return pada saat hari pertama saham diperdangkan di pasar sekunder. Disisi akademisi sudah banyak teori yang membahas terjadinya fenomena underpricing. Teori penjelasan atas fenomena underpricing, mendasakan pada 42
information asymetric dan signaling equilibrium phenomenom. Kebanyakan penelitian menjelaskan fenomena underpricing berdasarkan perspektif teori information asymetric. Teori ini menjelaskan bahwa harga penawaran perdana (IPO) yang underpriced didasarkan pada asumsi bahwa terjadi perbedaan informasi antara berbagai pihak terhadap nilai saham yang baru tersebut. Perspektif ini didasarkan pada anggapan bahwa meskipun issuer mengetahui lebih banyak karakteristik bisnisnya, tetapi underwriter lebih mengetahui harga pasar sebab underwriter melakukan survei pasar, melakukan investigasi terhadap issuer, mendapatkan informasi dari issuer dan juga punya pengalaman dalam pengeluaran saham baru (Ibbotson, Sindelar, Ritter,1988). Sementara itu, perspektif teori yang lainnya dalam menjelaskan underpricing IPO adalah sebagai signaling equilibrium phenomenom (Allen dan Faulhaber, 1989). Dasar fundamental dari teori ini adalah perusahaan yang baik atau bagus dapat memberikan signal (tanda) tentang tipe atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk tidak mau melakukan underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat underpricing. Motivasi dari pengiriman signal lewat underpricing adalah asumsi bahwa keuntungan masa datang dari underpricing IPO lebih besar dari kerugiannya. Initial Public Offering Kepemilikan saham pada perusahaan-perusahaan yang sehat dan tumbuh dengan baik merupakan salah satu cara untuk mencapai kemakmuran pemegang saham. Hiruk pikuk ekonomi modern saat ini, salah satunya ditandai dengan ramainya kegiatan jual dan beli saham baik dengan tujuan untuk
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
kepemilikan jangka panjang atau untuk tujuan mendapat keuntungan atas penjualan saham tersebut (capital gain). Saham-saham yang diperdagangkan tersebut berasal dari saham-saham yang dilepas perusahaan melalui mekanisme penawaran perdana saham pada saat perusahaan akan go public. Penawaran perdana saham atau Initial Public Offering (IPO) merupakan suatu mekanisme dimana perusahaan untuk pertama kali mengeluarkan saham baru yang kemudian ditawarkan kepada publik. Dengan menjual saham ke publik, maka perusahaan berhasil meraup dana segar dalam jumlah besar yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan perusahaan, seperti ekspansi usaha, membayar utang, perbaikan struktur modal, dan lain-lain. Salah satu ciri penting dengan go public adalah perubahan status perusahaan yang semula bersifat tertutup akan berubah menjadi perusahaan terbuka, sehingga diperlukan suatu transformasi pengelolaan perusahaan dari yang bersifat tertutup ke arah yang lebih transparan dan profesional. Risiko Kebangkrutan Perusahaan Tidak ada satu pun perusahaan yang terhindar dari risiko kebangkrutan. Tidak ada bisnis yang bisa berjaya selamanya. Perusahaan juga dikatakan berisiko ketika perusahaan tersebut mendekati kebangkrutan. Perusahaan yang mendekati kebangkrutan atau yang tergolong tidak sehat akan sulit mendapat izin dari Badan Pengawas Pasar Modal Lembaga Keuangan (Bapepam LK) untuk melakukan go public, tetapi jika tujuan dari go public perusahaan tersebut untuk menghimpun dana dalam rangka menyehatkan kembali perusahaan dan perusahaan tersebut masih memiliki prospek maka akan dicatatkan dalam papan pengembangan. Sebenarnya dengan
melakukan analisis secara mendalam terhadap keuangan, tanda-tanda melemahnya kondisi fundamental perusahaan dapat terlihat. Untuk mengetahui perusahaan tersebut tergolong perusahaan yang sehat atau tidak sehat dalam hal ini diramalkan mendekati kebangkrutan dapat kita gunakan Analisa Kebangkrutan Altman Z (Z-Score) revisi untuk perusahaan yang belum go public. Pada tahun 1968, Edward. I Altman memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka didalam laporan keuangan dan merepresentasikannya dalam suatu angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau tidak. Berdasarkan analisa ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,23 berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada diantara 1,23 sampai dengan 2,90 dikatakan masih memiliki risiko kebangkrutan, bila di atas nilai 2,90 atau Z > 2,90 aman dari kebangkrutan. Perusahaan yang diramalkan mendekati kebangkrutan tidak akan menetapkan underpricing yang tinggi atau dapat dikatakan perusahaan tersebut akan menerapkan overpricing, sebab perusahaan yang mendekati kebangkrutan berharap memperoleh dana segar dalam jumlah yang besar untuk menyehatkan kembali perusahaan. Investor menyukai nilai Z-Score yang tinggi tinggi (Z-Score > 2,90) dikarenakan berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman atau perusahaan tergolong sehat. Bagi perusahaan semakin tinggi nilai Z-Score semakin perusahaan tersebut tergolong sehat, maka perusahaan berani menerapkan underpricing pada saat IPO, hal tersebut dikarenakan perusahaan mencoba memberikan sinyal positif bahwa kondisi perusahaannya dalam kondisi sehat/baik. Semakin rendah nilai Z-Score 43
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
semakin perusahaan tersebut tergolong cenderung berisiko bangkrut, maka perusahaan tidak berani menerapkan underpricing dan cenderung overpricing pada saat IPO. Proporsi Hutang Para investor dan calon investor sangat menaruh perhatian pada jumlah utang serta kemampuan perusahaan membayar bunga dan pinjaman pokok. Semakin besar utang semakin besar pula kemungkinan perusahaan tidak mampu membayar bunga serta pinjaman pokoknya. Dalam menentukan apakah sebuah perusahaan memiliki hutang yang besar atau kecil, cara yang paling umum digunakan adalah dengan membandingkannya dengan total asset atau dengan modalnya. Para investor cenderung menghindari emiten yang memiliki DTA tinggi. Investor tidak menyukai DTA yang terlalu tinggi dikarenakan risiko perusahaan atas penggunaan hutang yang tinggi tidak diimbangi dengan aset perusahaan sebagai penjaminnya, sehingga risiko gagal bayar hutang yang menyebabkan perusahaan dalam kondisi financial distress merupakan salah satu risiko perusahaan. Bagi perusahaan semakin rendah DTA semakin rendah risiko hutang yang ditanggung perusahaan, dan menyebabkan perusahaan cenderung berani menerapkan underpricing yang tinggi sebagai signal perusahaan tidak berisiko. Semakin tinggi DTA semakin tinggi risiko hutang yang ditanggung perusahaan, dan menyebabkan rendahnya underpricing yang diterapkan perusahaan atau cenderung overpricing hal tersebut dikarenakan perusahaan tidak dapat menutupi kerugian akibat Underpricing karena disatu sisi perusahaan sudah memiliki beban hutang yang cukup tinggi. PENGEMBANGAN HIPOTESIS 44
Risiko Kebagkrutan Perusahaan terhadap Underpricing Perusahaan dikatakan berisiko ketika perusahaan tersebut mendekati kebangkrutan. Untuk mengetahui perusahaan tersebut tergolong perusahaan yang sehat atau tidak sehat dalam hal ini diramalkan mendekati kebangkrutan atau cenderung bangkrut dapat kita gunakan Analisa Kebangkrutan Altman Z (Z-Score) revisian untuk perusahaan yang belum go public. Berdasarkan analisa ini apabila nilai Z dari perusahaan yang diteliti lebih kecil dari 1,23 berisiko tinggi terhadap kebangkrutan, bila nilai Z berada di atas nilai 2,90 aman dari kebangkrutan. Perusahaan yang sehat diukur dari nilai zsocre yang tinggi akan menetapkan underpricing yang tinggi sebagai signal perusahaan tersebut sehat. Perusahaan yang diramalkan mendekati kebangkrutan diukur dari nilai z-socre yang rendah tidak akan menetapkan underpricing yang tinggi atau dapat dikatakan perusahaan tersebut akan menerapkan overpricing. H1: Risiko Kebangkrutan (Z-Score) berpengaruh positif terhadap fenomena Underpricing (Iinitial Return) Proporsi Hutang Perusahaan terhadap Underpricing Perusahaan dikatakan berisiko ketika perusahaan tersebut memiliki proporsi hutang yang semakin tinggi. Untuk mengetahui perusahaan tersebut tergolong perusahaan yang memiliki proporsi hutang yang tinggi dapat digunakan Analisa Fundamental yang dicerminkan dalam Debt to Total Asset (DTA). Berdasarkan teori semakin rendah nilai DTA mencerminkan risiko hutang perusahaan yang relatif rendah, sehingga perusahaan berani menerapkan underpricing yang tinggi sebagai signyal perusahaan tersebut tidak berisiko.
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
Semakin tinggi nilai DTA mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi, sehingga perusahaan tidak berani menerapkan underpricing yang tinggi karena perusahaan tergolong berisiko, karena kemungkinan perusahaan tidak mampu membayar bunga serta pinjaman pokoknya. H2: Proporsi Penggunaan Hutang (DTA) berpengaruh negatif terhadap fenomena Underpricing (Iinitial Return)
Pemikiran penelitian ini berfokus kepada teori Signaling Equilibrium Phenomenom. Sinyal yang diberikan perusahaan dalam keterkaitannya dengan Fenomena Underpricing pada penelitian ini diproksikan dengan Z-Score sebagai alat ukur risiko kebangkrutan dan Debt to Total Asset sebagai dasar analisis fundamental perusahaan dalam proporsi penggunaan hutang. Keterkaitan risiko kebangkrutan dan proporsi hutang pada fenomena underpricing penerbitan saham perdana, seperti disajikan pada gambar 1.
Model Kerangka Teoritis Risiko Kebangkrutan Z-Score (X1)
Proporsi Hutang
(+) Fenomena Underpricing Initial Return (Y)
(-)
Debt to Total Asset (X2)
Gambar 1 Model Teoritis Semakin tinggi nilai Z-Score semakin sehat perusahaan tersebut dan cenderung tidak bersiko, sehingga Initial Return yang diperoleh akan semakin tinggi atau dengan kata lain underpricing yang dilakukan perusahaan semakin besar. Hal tersebut sesuai dengan teori yang ada bahwa perusahaan mencoba memberikan sinyal positif bahwa kondisi perusahaannya dalam kondisi sehat/baik. Semakin tinggi nilai Debt to Total Asset semakin berisiko perusahaan tersebut, dikarenakan penggunaan hutang yang semakin tinggi, sehingga Initial Return yang diperoleh akan semakin rendah atau dengan kata lain perusahaan meminimalkan terjadinya underpricing. Hal tersebut sesuai dengan teori yang ada bahwa perusahaan tidak dapat menutupi kerugian akibat underpricing dan disatu
sisi perusahaan sudah memiliki beban hutang yang cukup tinggi. METODE PENELITIAN Sampel dan Data Sampel pada penelitian ini adalah perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia yang mengalami underpricing dan diluar perusahaan finance (Bank, Kredit, Asuransi, dan Sekuritas). Jumlah sampel sebanyak 96 perusahaan diluar sektor finance yang melakukan IPO dari tahun 2001 sampai 2010 yang mengalami underpricing. Metode pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara purpose sampling, dengan beberapa kriteria. 45
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Pertama, perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia yang mengalami underpricing. Selama periode tersebut, perusahaan IPO underpricing terdiri 126 dan overpricing terdiri 29 perusahaan. Kedua, perusahaan diluar sektor finance yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia yang mengalami underpricing. Selama periode tersebut, perusahaan IPO finansial terdiri atas 30 perusahaan finansial dan non finansial teridiri atas 96 perusahaan. Penelitian ini menggunakan data perusahaan yang melakukan Initial Public Offering (IPO) dari tahun 2001 sampai 2010 yang akan listing di Bursa Efek Indonesia. Data perusahaan yang melakukan IPO diperoleh peneliti dari www.idx.co.id dan IDX Data Statistik 2001 sampai 2010. Penelitian ini menggunakan data closing price hari pertama perusahaan yang melakukan IPO tahun 2001 sampai 2010 listing di Bursa Efek Indonesia. Data closing price hari pertama perusahaan yang melakukan IPO diperoleh peneliti dari www.finance.yahoo.com. Penelitian ini menggunakan data laporan keuangan satu tahun sebelum perusahaan melakukan IPO pada tahun 2001 sampai 2010. Data laporan keuangan perusahaan yang melakukan IPO diperoleh peneliti dari Indonesian Capital Market Directory (ICMD) dari tahun 2001 sampai 2010. Definisi Operasional Variabel Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fenomena underpricing. Fenomena underpricing diukur menggunakan initial return (IR). Initial return menggambarkan seberapa besar underpricing yang diterapkan perusahaan 46
atau dapat juga menggambarkan abnormal return yang diterima investor pada hari pertama listing di pasar sekunder. IR digunakan peneliti untuk mencerminkan fenomena underpricing dikarenakan dalam penelitian terdahulu masih konsisten digunakan sampai saat ini. Variabel initial return dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan : IR adalah Initial Return; CP adalah Closing Price hari pertama listing di BEI; dan OP adalah Harga IPO emiten Risiko Kebangkrutan (Altman Z-Score revisi) Variabel independen risiko kebangkrutan diukur menggunakan proksi Altman Z-Score revisi untuk perusahaan non-go public (Z-Score). Semakin tinggi nilai Z-Score (>2.99) menggambarkan perusahaan cenderung sehat, dan sebaliknya semakin rendah nilai nilai ZScore (>1.23) menggambarkan perusahaan cenderung mendekati kebangkrutan. ZScore digunakan peneliti untuk mencerminkan risiko kebangkrutan sebagai variable independen dikarenakan Altman Z-Score merupakan alat untuk mengukur/menilai kondisi kebangkrutan perusahaan. Variabel Z-Score dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Z-Score = 0.717T1 + 0.847T2 + 3.107T3 + 0.420T4 + 0.998T5 Perhitungan untuk masing-masing variabel pada model Z-Score sebagai berkut T1 = T2 =
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
T3 = T4 = T5 = Proporsi Hutang (Debt Ratio) Variable independen risiko hutang (debt ratio) diukur menggunakan proksi Debt to Total Asset (DTA). Semakin tinggi DTA menggambarkan penggunaan hutang yang tinggi dalam operasional perusahaan. Semakin besar DTA mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi. Debt to total asset digunakan peneliti untuk mencerminkan risiko penggunaan hutang sebagai variable independen dikarenakan DER yang digunakan oleh peneliti terdahulu, yang juga merupakan proksi financial laverage telah diujicobakan dalam penelitian ini dan peneliti memperoleh hasil yang tidak signifikan. Proksi DTA dianggap lebih tepat digunakan, karena mencerminkan proporsi hutang yang digunakan perusahaan dari total assetnya. Variabel Debt to Total Asset dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: DTA adalah Debt to Total Asset Untuk menguji pengaruh variabel independen yaitu risiko kebangkrutan (ZScore) dan risiko hutang (Debt to Total Asset) terhadap variabel dependen yaitu fenomena underpricing (Initial Return), maka digunakan model regresi berganda dengan persamaan dasar sebagai berikut: IR = α + β1 Z_Score - β2 DTA+ ε Keterangan: IR adalah Initial Return atau tingkat underpricing (Y); Z_Score adalah Nilai Z-Score atau tingkat kebangkrutan perusahaan (X1); DTA adalah Nilai Debt to Total Asset atau tingkat hutang (X2); α adalah Konstanta; β adalah Koefisien variabel; ε adalah Error terms atau variabel gangguan/acak HASIL ANALISIS Data deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 1. Pada tabel 1 menyajikan hasil pengolahan data deskriptif initial return, zscore, dan debt to total asset. Pada tabel ini menunjukkan bahwa jumlah data yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 80 observasi data.
Tabel 3 Data Deskriptif Variabel Minimum IR 0.013889 ZScore -1.399588 DTA 0.085797 Valid N (listwise) = 80
Maximum 2.032000 5.226861 0.988317
Berdasarkan 80 observasi data, variabel dependen (IR) mempunyai nilai minimum sebesar 0,013889. Nilai tersebut berarti kerugian yang diterima perusahaan karena melakukan underpricing sebesar
Mean 0.403001 1.667037 0.583971
Std. Deviation 0.357814 1.247127 0.207146
0,013889 atau dengan kata lain keuntungan yang diperoleh investor pada hari pertama emiten listing di BEI sebesar 1,38%. Nilai tertinggi untuk variabel IR adalah sebesar 2,032000. Angka tersebut 47
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
berarti kerugian yang diterima perusahaan karena melakukan underpricing sebesar 2,032000 atau dengan kata lain keuntungan yang diperoleh investor pada hari pertama emiten listing di BEI sebesar 203,2%. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan menilai terlalu rendah dalam menetapkan harga IPO, sehingga terjadi underpricing yang tinggi. Nilai rata-rata untuk variabel IR adalah sebesar 0,403001. Angka tersebut berarti rata-rata perushaan dalam sampel penelitian ini melakukan underpricing sebesar 0,403001 atau dengan kata lain rata-rata keuntungan yang diperoleh investor karena adanya abnormal return pada hari pertama emiten listing di BEI sebesar 40.3%. Hasil ini menunjukkan bahwa underpricing di Indonesia tergolong tinggi. Variabel independen (ZScore) mempunyai nilai minimum 0,085797. Nilai tersebut dibawah 1,23 yang artinya perusahaan cenderung mengalami keadaan bangkrut. Nilai tertinggi untuk variabel ZScore adalah sebesar 5,226861. Angka tersebut diatas 2,99 hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tersebut dalam keadaan sehat. Nilai rata-rata untuk variabel ZScore adalah sebesar 1,667037. Angka tersebut berarti rata-rata perushaan dalam sampel penelitian ini ada diantara lebih dari 1,23 dan kurang dari 2,99 atau dengan kata lain rata-rata ZScore masuk ke zona grey (abuabu). Hasil ini menunjukkan bahwa ratarata perusahaan pada penelitian ini di Indonesia merupakan perushaan yang tidak cenderung sehat dan tidak cenderung bangkrut. Variabel independen (DTA) mempunyai nilai minimum sebesar 0,085797. Nilai tersebut berarti perusahaan hanya menggunakan hutang sebesar 8,57% dari keseluruhan total aset yang dimiliki perusahaan. Nilai tertinggi untuk variabel DTA adalah sebesar 0,988317. Angka tersebut berarti perusahaan menggunakan 98,83% hutang dari total aset perusahaan atau dengan kata lain modal sendiri yang 48
dikeluarkan perusahaan hanya sebesar 1,17%. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan memiliki risiko yang tinggi dalam proporsi penggunaan hutang. Nilai rata-rata untuk variabel DTA adalah sebesar 0,583971. Angka tersebut berarti rata-rata perushaan dalam sampel penelitian ini menggunakan hutang sebesar 58,39% dari total aset perusahaan atau dengan kata lain 41,61% total aset perusahaan diperoleh dari modal sendiri. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan di Indonesia dalam proporsi penggunaan hutang dianggap tinggi. Hasil pengujian normalitas errorterm pada pengujian 96 sampel dengan mengeluarkan 16 outlier menjadi 80 data. Berdasarkan hasil uji normalitas menunjukkan bahwa error term terdistribusi normal. Hal ini ditunjukkan dengan nilai p-value Kolmogorov-Smirnov Z pada error-term memiliki p-value sebesar 0,106. Error-term tersebut menunjukkan bahwa tingkat signifikansi di atas α=5% atau 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa error term pada data tersebut sudah normal dan sudah memenuhi asumsi klasik. Demikian juga, pengujian multikolineritas pada pengujian 80 data yang error term, hasil menunjukkan tidak terjadi multikolinearitas pada kedua variabel independen. Hal ini ditunjukkan dengan nilai VIF sebesar 1,435 dan tolerance sebesar 0,697. VIF sebesar 1,435 atau dibawah 10 dan tolerance value sebesar 0,697 diatas 0,10. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikoloniearitas, sehingga model reliable sebagai dasar analisis. Hasil pengujian autokorelasi menunjukkan tidak terjadi autokorelasi pada model regresi. Hal ini ditunjukkan dengan Durbin-Watson statistik menunjukan angka sebesar 1,705. Nilai DL, DU, 4-DL, dan 4-DU dengan variabel independen = 2, dan N sebesar = 80. Durbin-Watson sebesar 1,705 berada
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
diantara dU = 1,6882 dan 4-dU = 2,3118 atau hasil estimasi sebagai berikut: dU
menjelaskan 11,1% dari variabel dependen, sisanya 88,9% variabel dependen dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini. Uji Statistik F bertujuan untuk menguji apakah semua variabel independen (Z_Score dan Debt to Total Asset) yang dimasukkan dalam model regresi secara bersama-sama atau simultan berpengaruh terhadap variabel dependen (Initial Return). Angka F hitung sebesar 4,81 lebih besar dari F tabel pada df 2;77 yaitu 3,97. Nilai signifikansi pada uji statistik F sebesar 0,011 ≤ 0,05 artinya terdapat pengaruh Z_Score dan Debt to Total Asset secara bersama-sama terhadap Initial Return. Hasil uji statistik F yang signifikan juga menunjukkan bahwa model regresi pas atau fit untuk menjelaskan hubungan variabel independen terhadap variabel dependen. Uji Statistik t digunakan untuk menguji hipotesis mengenai setiap koefisien regresi parsial (individual). Hasil pengujian hipotesis di ringkas dalam tabel 2.
Tabel 2 Hasil Uji Statistik Hipotesis H1 H2
Variabel
Simbol
Prediksi (β)
Koefisien (β)
Probabilitas
Risiko Kebangkrutan Proporsi Hutang
Z_Scor e
(+)
-0.025
0.844
Tidak Mendukung
DTA
(─)
-0.346
0.009
Mendukung
Hipotesis pertama (H1) yang diajukan menyatakan bahwa proporsi kebangkrutan disimbolkan oleh Z_Score berpengaruh positif terhadap underpricing. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai t hitung 0,197 lebih rendah dari t tabel (df = 77) yaitu sebesar 1,664 dan nilai koefisien regresi untuk variabel Z_score sebesar 0.025 yang berarti hubungan antara
Kesimpulan
Z_Score dengan Initial Return memiliki hubungan yang negatif, berlawanan dengan arah hipoteisis pertama. Semakin tinggi nilai Z_Score semakin rendah Initial Return yang dihasilkan. Nilai sig. sebesar 0.84. Angka ini tidak signifikan pada tingkat α = 5% atau 0.05. Nilai sig. yang lebih besar dari tingkat signifikansinya dapat diartikan bahwa Z_Score tidak 49
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
memiliki hubungan yang signifikan dengan Initial Return. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa risiko kebangkrutan berpengaruh positif terhadap underpricing tidak mendukung teori. Hipotesis kedua (H2) yang diajukan menyatakan bahwa risiko hutang disimbolkan oleh DTA berpengaruh negatif terhadap underpricing. Dari hasil penelitian ini diperoleh nilai t hitung 2,692 lebih tinggi dari t tabel (df = 77) yaitu sebesar 1,664 dan nilai koefisien regresi untuk variabel DTA sebesar -0.346 yang berarti hubungan antara DTA dengan Initial Return memiliki hubungan yang negatif, sesuai dengan arah hipoteisis kedua. Semakin rendah nilai DTA semakin tinggi Initial Return yang dihasilkan. Nilai sig. sebesar 0.009. Angka ini signifikan pada tingkat α = 1% atau 0.01. Nilai sig. yang lebih besar dari tingkat signifikansinya dapat diartikan bahwa DTA memiliki hubungan yang signifikan dengan Initial Return. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis kedua yang menyatakan bahwa risiko hutang berpengaruh negatif terhadap underpricing mendukung teori. PEMBAHASAN Risiko Kebagkrutan terhadap Underpricing
Perusahaan
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa hipotesis pertama yang menyatakan bahwa risiko kebangkrutan berpengaruh positif terhadap underpricing tidak mendukung teori. Berdasarkan hasil tersebut, risiko kebangkrutan yang dicerminkan oleh Z_Score terbukti tidak memiliki hubungan dengan underpricing yang diukur melalui initial return pada hari pertama emiten listing di BEI. Hasil ini tidak konsisten dengan teori signaling equilibrium phenomenom bahwa perusahaan yang diramalkan mendekati 40
kebangkrutan tidak akan menetapkan underpricing yang tinggi atau dapat dikatakan perusahaan tersebut akan menerapkan overpricing, sebab perusahaan tersebut tidak mampu menutupi kerugian akibat underpricing. Dapat dilihat dari lampiran diskriprif data, bahwa pada IPO periode 2001 sampai 2010 sebanyak 39 perusahaan atau sekitar 40,63% memiliki nilai Z-Score antara 1,23 sampai 2,99 yang masuk dalam kategori abu-abu, tidak bisa dikatakan cenderung bangkrut ataupun cenderung sehat. Dapat dilihat dari analisis diskriprif data variabel independen (ZScore) mempunyai nilai minimum 0,085 yang dimiliki oleh Multistrada PT. Arah Sarana Tbk (MASA) yang memiliki initial return sebesar 5,88% yang memang tergolong rendah dari rata-rata initial return pada penelitian ini. Nilai Z-Score tertinggi 5,226 dimiliki oleh PT. Tempo Intimedia Tbk (TMPO) hanya menghasilkan initial return sebesar 11,67% pada saat IPO, hal tersebut menunjukan initial return masih dibawah rata-rata initial return pada penelitian ini, yang sebesar 40,3%.. Dapat disimpulkan dari hasil ini penelitian ini tidak menjamin bahwa semakin tinggi zscore semakin sehat perusahaan dan menjauhi risiko kebangkrutan akan menerapkan underpricing yang tinggi. Proporsi Hutang Perusahaan terhadap Underpricing Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa hipotesis kedua yang menyatakan bahwa risiko hutang berpengaruh negatif terhadap underpricing mendukung teori. Berdasarkan hasil tersebut, risiko hutang yang dicerminkan oleh DTA terbukti memiliki hubungan yang negatif dengan underpricing yang diukur melalui initial return pada hari pertama emiten listing di BEI. Semakin rendah nilai DTA semakin tinggi initial return yang dihasilkan. Hasil ini konsisten dengan teori Signaling
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
Equilibrium Phenomenom perusahaan yang baik atau bagus (proporsi hutang relatif rendah) dapat memberikan signal (tanda) tentang tipe atau kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang Underpricing. Sementara perusahaan yang jelek atau buruk (proporsi hutang relatif tinggi) tidak mau melakukan Underpricing karena tidak bisa menutupi kerugian akibat Underpricing. Sesuai dengan duagaan Bringham, Huston (2006) bahwa para investor cenderung menghindari emiten yang memiliki DTA tinggi. Investor tidak menyukai DTA yang terlalu tinggi dikarenakan risiko perusahaan atas penggunaan hutang yang tinggi tidak diimbangi dengan aset perusahaan sebagai penjaminnya, sehingga risiko gagal bayar hutang yang menyebabkan perusahaan dalam kondisi financial distress merupakan salah satu risiko perusahaan. Disisi perusahaan semakin tinggi DTA semakin rendah Underpricing yang diterapkan perusahaan dan cenderung overpricing hal tersebut dikarenakan perusahaan tidak dapat menutupi kerugian akibat Underpricing karena disatu sisi perusahaan sudah memiliki beban hutang yang cukup tinggi Hasil penelitian ini memperkuat eksistensi teori mengenai Fenomena Underpricing, khususnya Teori signaling equilibrium phenomenom yang menjelaskan bahwa perusahaan yang baik dapat memberikan signal tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penentapan IPO yang underpricing dilihat dari sisi risiko proporsi penggunaan hutang (DTA), sedangkan untuk risiko kebangkrutan perusahaan (Z_Score) terbukti tidak mempengaruhi Fenomena Underpricing meskipun risiko perusahaan dapat dikatakan sebagai signal perusaahaan cenderung sehat atau cenderung bangkrut.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semakin besar DTA mencerminkan risiko perusahaan yang relatif tinggi, disebabkan karena kemungkinan perusahaan tidak mampu membayar bunga serta pinjaman pokoknya. Diharapkan perusahaan melakukan hal yang sama, khususnya untuk perusahaan dengan porposi hutang yang tinggi tidak perlu menerapkan underpricing yang tinggi karena sangat berisiko. Selain itu, para calon investor sebaiknya mempertimbangkan sinyal risiko hutang pada perusahaan saat IPO. Dengan memilih perusahaan dengan proporsi hutang yang rendah perusahaan memberikan singnal yang baik. Berdasarkan hasil analisis perusahaan yang aman atau menggunakan proporsi hutang yang rendah mempu menerapkan underpricing yang lebih tinggi sehingga investor dapat memanfaatkan fenomena underpricing untuk memperoleh initial return pada hari pertama saham diperdangangkan di secondary market. Investor tidak dirasa tidak memerlukan analisis Z-Score untuk pengambilan keputusan investasi dalam menilai kebangkrutan perusahaan, karena tidak ada hubungan antara risiko kebangkrutan perusahaan dengan initial return pada saat IPO. KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN PENELITIAN Simpulan Hasil penelitian menyimpulkan beberapa hal. Pertama, Risiko Kebangkrutan (Z-Score) tidak berpengaruh terhadap Underpricing (Initial Return). Hasil ini tidak mendukung hipotesis pertama yang menyatakan bahwa Risiko Kebangkrutan (Z-Score) berpengaruh positif terhadap fenomena Underpricing (Initial Return). Hasil ini menunjukkan tidak menjamin bahwa semakin tinggi z41
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
score semakin sehat perusahaan dan menjauhi risiko kebangkrutan akan menerapkan underpricing yang tinggi. Kedua, Proporsi Hutang (DTA) secara signifikan mempengaruhi Underpricing (Initial Return). Risiko Hutang (DTA) berpengaruh negatif terhadap fenomena Underpricing (Initial Return). Hasil ini konsisten dengan teori signaling equilibrium phenomenom. Perusahaan yang baik atau bagus dengan proporsi hutang relatif rendah dapat memberikan signal (tanda) tentang kondisi perusahaannya dengan melakukan penetapan IPO yang underpricing. Keterbatasan Penelitian Peneliti menggunakan data closing price untuk memperoleh data Initial Return, sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu. Peneliti mencoba menggunakan data open price untuk memperoleh data Initial Return sebagai proxy lain dalam variabel dependen dan menghasilkan hasil uji yang tidak signifikan. Peneliti tetap menggunakan data closing price untuk memperoleh data Initial Return, sesuai dengan penelitian-penelitian terdahulu. Sementara itu, penelitian ini menggunakan semua nilai Z-Score Modifikasi dan tidak membagi kedalam tiga kategori (cenderung sehat, abu-abu, dan cenderung bangkrut) dalam pengolahan data. Peneliti hanya mencoba mencari apakah ada hubungan antara nilai Z-Score terhadap Initial Return. Peneliti menggunakan proksi Debt to Total Asset (DTA) sebagai variabel independen yang mewakili rasio financial laverage atau risiko hutang. Penelitian terdahulu menggunakan proksi Debt to Total Equity (DER) sebagai variabel independen yang mewakili rasio financial laverage. Peneliti terlebih dahulu menguji proxy DER dalam penelitiannya, peneliti mendapatkan hasil uji yang tidak signifikan dan model persamaan yang 42
tidak fit. Disisi lain DTA merupakan gambaran proporsi penggunaan hutang dari total asset perusahaan, sesuai latar belakang diatas proxy Debt to Total Asset cocok digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini memfokuskan penelitian fenomena underpricing pada perspektif teori yang dianggap kontroversi, yakni signaling equilibrium phenomenom. Disisi lain risiko perusahaan juga menjadi salah satu faktor investor menanamkan modalnya pada perusahaan. Saran Penelitian Beberapa saran penelitian yang diberikan untuk penelitian selanjutnya. Pertama, penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel yang berasal dari faktor-faktor eksternal atau proksi lainnya, seperti kondisi pasar pada saat IPO, jumlah saham atau proporsi saham yang ditawarkan emiten, overesubscribe pada pernawaran perdana saham. Kedua, penelitian selanjutnya dapat mengembangkan penelitian dengan menambahkan variabel risiko lainnya sebagai sinyal perusahaan menanggapi fenomena underpricing, yaitu Degree of Financial Laverage (DFL). Ketiga, penelitian selanjutnya dapat memfokuskan penelitian pada pengklasifikasian risiko perusahaan terhadap fenomena underpricing.
DAFTAR REFERENSI Allen,
F and Faulhaber, G. 1989. ”Signalling by Underpricing in The IPO Market”. Journal of Financial Economics, No 23.
Brigham, E.F. and Huston, J.F. 2007. Fundamental of Financial Management, Singapore: Thomson Asia Pte Ltd.
RESIKO KEBANGKRUTAN, PROPORSI HUTANG DAN……..………….…………………………………...(Andreas Arif Kristanto)
Daljono. 2000. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Initial Return Saham yamg Listing di BEJ Tahun 1990-1997”. Simposium Nasional Akuntansi III, IAI. Diananingsih, H. 2003. “Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Penawaran Saham Perdana (Studi Kasus pada Perusahaan Go Public yang terdaftar di PT. BEJ tahun 1997-2001)”. Tesis. Ediningsih dan Isworo, S. 2007. “Fenomena Underpricing pada Penawaran Umum Perdana di Bursa Efek Jakarta Periode 19982005”. Jurnal Manajeman, l7(1):372-383 Ernyan
dan Husnan, S. 2002. “Perbandingan Underpricing Penerbitan Saham Perdana Perusahaan Keuangan dan NonKeuangan di Pasar Modal lndonesia: Pengujian Hipotesis Asimetri Informasi”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 17(4):372 - 383.
Fakhrudin, H. M. 2008. Go Public Strategi Pendanaan dan Peningkatan Nilai Prusahaan. Jakarta: Penerbit Gramedia. Gujarati, D. N. 2010. Basic Econometrics Edisi 5. Jakarta: Penerbit Salemba Empat Handayani, S. 2008. “Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Underpricing pada Penawaran Umum Perdana (Studi Kasus pada
Perusahaan Keuangan Go Public di Bursa Efek Jakarta tahun 20002006)”. Tesis. Hanafi, M. dan Husnan, S. 1991. “Perilaku Harga Saham di Pasar Perdana”. Usahawan, (11). Hartono, J. 2008. Teori Portofolio dan Analisis Investasi Edisi Kelima. Yogyakarta: Penerbit BPFE. Ibbotson, R.G. 1975. “Price Performance of Common Stock New Issues”. Journal of Financial Economics, 3. Ibbotson, R.G., Sinderlar, J. L. Ritter, J. R. 1988. “Initial Public Offering”. Journal of Applied Corporate Finance, 2. Loughran, T. and Ritter, J. R. 1995. “The New Issues Puzzle”. Journal Of Finance, 50. Purwanti, Y. 2005. “Analisis Resiko Keuangan dalam Memprediksi Kondisi Financial Distress Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta”. Skripsi. Puspita, T. 2011. “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing Saham pada saat IPO periode 2005-2009”. Skripsi. Rock, K. F. 1986. “ Why New Issues Are Underpriced ”. Journal of Financial Economics, 15. Ronni, S. 2003. “Problema Anomali dalam Initial Public Offering (IPO”).
43
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Jurnal Manajemen Kewirausahaan Vol. 5 (2):
&
Siregar, A. 2008. “Pengaruh Potensi Kebangkrutan Altman terhadap Pergerakan Harga Saham Perusahaan Manufaktur Terbuka di Bursa Efek Indonesia”. Tesis. Sulistio, H. 2005. “Pengaruh Informasi Akuntansi dan Nonakuntansi terhadap Initial Return : Studi Pada Perusahaan yang melakukan IPO di BEJ”. SNA VIII, Solo, September. Takarini, N. dan Kustini. 2007. “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing pada Penawaran Saham Perdana (IPO) pada Perusahaan yang Go Public di BEJ”. Jurnal ARTHAVIDYA, 8 (1). Yasa, G. 2002. “Penyebab Underpricing pada Penawaran Saham Perdana di BEJ”. E-jurnal.
44
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, ORIENTASI PASAR, DAN KINERJA USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH Maria Pampa Kumalaningrum Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN Yogyakarta Jalan Seturan Yogyakarta 55281 Telepon 0274 486321, Fax. 0274 486155 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study examined the effect of environmental factors, entrepreneurial orientation, and market orientation on profitability in small business. In this study, we consider two dimensions of external environment: technological turbulence and competitive intensity. Theoretically, technological turbulence, competitive intensity, and entrepreneurial orientation are correlated, but distinct construct. Data was processed with Structural Equation Modeling using AMOS program. The results showed that technological turbulence has no direct effect on market orientation, but competitive intensity proved to have significant impact on market orientation. Entrepreneurial orientation has a direct effect and an indirect effect on profitability mediated by market orientation. The result also showed that market orientation proved to have significant impact on profitability. Based on the results, this study suggest, at least in small firms, competitive intensity and entrepreneurial orientation complements market orientation by instilling an opportunistic culture that impacts the profitability. Keywords: technological turbulence, competitive intensity, entrepreneurial orientation, market orientation, and profitability.
PENDAHULUAN Pada masa sekarang, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dituntut untuk memiliki kapabilitas dinamik dan strategi yang mampu menangkap peluang dan memperbaharui pasar. Tekanan dan persaingan bisnis global mempengaruhi Unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM), seperti halnya globalisasi, peningkatan teknologi, perubahan demografi dan sosial, kemampuan untuk melakukan inovasi, dukungan dana, maupun kewirausahaan.
Tetapi, dalam kenyataannya, tuntutan dari lingkungan bisnis saat ini, ternyata masih sulit untuk dipenuhi Usaha Kecil dan Menengah (Kuncoro, 2006). Kuncoro (2006) menyatakan bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia secara kualitas sulit berkembang di pasar karena menghadapi beberapa masalah internal, yaitu rendahnya kualitas sumberdaya manusia seperti kurang terampilnya sumberdaya manusia, kurangnya orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation), 45
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
rendahnya penguasaan teknologi dan manajemen, minimnya informasi, dan rendahnya orientasi pasar (market orientation). Dua dari permasalahan internal yang banyak dihadapi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yaitu orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan ternyata juga menjadi perhatian besar dalam banyak penelitian dewasa ini. Orientasi kewirausahaan (entrepreneurial orientation) adalah orientasi perusahaan yang memiliki prinsip pada upaya untuk mengidentifikasi dan mengeksploitasi kesempatan (Lumpkin & Dess, 1996). Miller (1983) mendefinisikan orientasi kewirausahaan sebagai orientasi untuk menjadi yang pertama dalam hal inovasi di pasar, memiliki sikap untuk mengambil risiko, dan proaktif terhadap perubahan yang terjadi pasar. Miller dan Friesen (1983) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki orientasi kewirausahaan yang kuat akan memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi lebih kuat dibandingkan perusahaan lain. Lumpkin dan Dess (1996), menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki orientasi kewirausahaan yang kuat, akan lebih berani untuk mengambil risiko, dan tidak cuma bertahan pada strategi masa lalu. Pada lingkungan yang dinamis seperti saat ini, orientasi kewirausahaan jelas merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup perusahaan. Orientasi pasar (market orientation) adalah orientasi perusahaan yang memiliki prinsip pada upaya untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen (Kohli & Jaworski, 1993). Perusahaan yang memiliki orientasi pasar, memiliki dasar perbaikan yang lebih cepat, serta akan tercermin pada kesuksesan produk unggulan baru perusahaan, profitabilitas, bagian pasar (market share), dan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Baker & Sinkula, 2009; 1999; Narver & Slater, 1994; Hult & 46
Ketchen, 2001; Narver & Slater, 1998; Becherer & Maurer, 1997; Day 1994). Hasil dari implementasi strategi yang berdasarkan pada orientasi pasar, memungkinkan perusahaan beradaptasi dengan sukses terhadap perubahan lingkungan. Orientasi pasar, secara signifikan merupakan faktor penting yang memungkinkan perusahaan memahami pasar dan mengembangkan strategi produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan kebutuhan pasar (Baker & Sinkula, 2009). Dalam penelitian Kohli dan Jaworski (1990), ditemukan bahwa semakin besar orientasi pasar suatu organisasi, semakin besar pula kinerja keseluruhan. Narver dan Slater (1994) menemukan hubungan positif antara orientasi pasar dan profitabilitas bisnis (Day, 1994; Narver & Slater, 1998). Namun tidak demikian dengan orientasi kewirausahaan. Orientasi kewirausahaan berkaitan lebih pada identifikasi dan eksploitasi kesempatan daripada memenuhi kebutuhan pelanggan, sehingga tidak diharapkan memiliki efek pada profitabilitas yang langsung seperti halnya orientasi pasar. Ketika efek orientasi kewirausahaan dan orientasi pasar dikembangkan dalam suatu model bersama-sama secara simultan, orientasi kewirausahaan tidak memiliki efek langsung terhadap profitabilitas perusahaan (Matsuno, Mentzer, & Ozsomer, 2002). Narver dan Slater (1998) melakukan regresi secara simultan terhadap orientasi kewirausahaan (Covin & Slevin’s 1989 scale) dan orientasi pasar (Narver & Slater’s 1990 scale) terhadap ROI. Mereka menemukan efek yang signifikan dari orientasi pasar, tetapi tidak pada orientasi kewirausahaan. Hal ini bisa saja terjadi karena dampak orientasi kewirausahaan pada profitabilitas mungkin tidak secara langsung. Karena orientasi kewirausahaan adalah suatu konstruk yang overlapping dengan orientasi pasar, ada kemungkinan pengaruhnya pada profita-
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
bilitas dimediasi oleh konstruk lainnya, yaitu orientasi pasar. Lingkungan merupakan salah satu faktor perubahan dalam teori organisasi. Dalam makalah ini, ada dua teori lingkungan eksternal yaitu pergolakan teknologi (technological turbulence) dan intensitas persaingan (competitive intensity). Pergolakan teknologi menerangkan tingkat perubahan teknologi yang dialami organisasi. Intensitas persaingan menjelaskan tingkat persaingan dalam industri, dimulai dari persaingan rendah, konsumen terperangkap dalam suatu produk sampai dengan persaingan tinggi, konsumen memiliki banyak alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka (Frishamar and Horte, 2007). Penelitian Hasim, et al. (2011) yang menyatakan bahwa pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Feifei Yu (2012), dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa intensitas persaingan memoderasi pengaruh antara entrepreneurial orientation terhadap kinerja perusahaan. Tetapi Frishamar dan Horte (2007) dalam penelitiannya menunjukkan hasil yang berbeda. Ke dua faktor tersebut tidak memoderasi pengaruh orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. Kondisi Unit Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan berbagai penelitian di atas memicu keingintahuan peneliti untuk mencoba menggabungkan orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan dalam satu model. Peneliti telah dua kali melakukan penelitian dengan topik orientasi kewirausahaan dan orientasi pasar. Di dalam penelitian pertama (Kumalaningrum, 2011), peneliti menguji
efek orientasi kewirausahaan terhadap profitabilitas dengan variabel orientasi pasar sebagai pemediasi. Dalam penelitian pertama, ditemukan bahwa orientasi kewirausahaan hanya bisa mempengaruhi profitabilitas jika di mediasi oleh orientasi pasar. Di dalam penelitian kedua (Kumalaningrum, 2012), peneliti mencoba memasukkan unsur kesuksesan inovasi sebagai pemediasi hubungan antara orientasi kewirausahaan dan orientasi pasar terhadap profitabilitas. Di penelitian kedua, ternyata ditemukan hasil bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh ke profitabilitas bila dimediasi oleh kesuksesan inovasi. Dalam penelitian ini, peneliti memasukkan faktor-faktor lingkungan selain orientasi kewirausahaan sebagai faktor yang di harapkan berpengaruh terhadap profitabilitas. Peneliti mencoba untuk menguji apakah orientasi kewirausahaan berpengaruh langsung ke profitabilitas jika orientasi kewirausahaan berhubungan dengan faktor-faktor lingkungan. Selain itu, peneliti juga meneliti orientasi pasar sebagai variabel pemediasi hubungan antara orientasi kewirausahaan dan faktor-faktor lingkungan terhadap profitabilitas. KAJIAN LITERATUR Gambar 1 merupakan model utama dalam penelitian ini. Hipotesis penelitian mengacu pada model ini. Model ini berupaya untuk menganalisis konstruk orientasi pasar (MO) sebagai variabel pemediasi antara pergolakan teknologi (IT), intensitas persaingan (KOM), dan orientasi kewirausahaan (EO) terhadap profitabilitas (PROF). Model penelitian menggunakan profitabilitas sebagai pengukuran kinerja perusahaan.
47
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
IT
MO
KOM
PROF
EO
Gambar 1 Model Penelitian Lumpkin dan Dess (1996) mendefinisikan orientasi kewirausahaan sebagai suatu metode, praktik, dan gaya pengambilan keputusan para manajer yang mengarah ke orientasi kewirausahaan. Hal ini mencakup proses eksperimen teknologi baru yang menjanjikan, keinginan untuk memperbesar kesempatan pasar produk baru dan predisposisi untuk mengambil kesempatan berisiko. Perusahaan dengan orientasi kewirausahaan yang kuat memiliki kemampuan mengubah ketidakpastian lingkungan menjadi suatu manfaat bagi perusahaan. Covin dan Slevin (1989) memandang kewirausahaan sebagai suatu eksploitasi kesempatan untuk memperbaharui dan memperbaiki perusahaan. Orientasi kewirausahaan memiliki tiga dimensi (Lumpkin & Dess, 1996), yaitu inovasi (innovativeness), proaktif (proactiveness), dan pengambilan risiko (risk taking) (Zahra & Covin, 1995; Miller, 1983). Mengacu pada tiga dimensi kewirausahaan, Miller (1983) memberikan definisi pada orientasi kewirausahaan. Suatu perusahaan dikatakan memiliki suatu semangat orientasi kewirausahaan jika bisa menjadi yang pertama dalam melakukan inovasi produk baru di pasar, memiliki keberanian mengambil risiko, 48
dan selalu proaktif terhadap perubahan tuntutan akan produk baru. Zahra dan Covin (1995) menyatakan bahwa perusahaan dengan orientasi kewirausahaan dapat mencapai target pasar dan posisi pasar lebih dibandingkan para pesaing mereka. Perusahaan selalu mengamati perubahan pasar dan melakukan respon dengan cepat terhadap perubahan tersebut. Kemampuan perusahaan untuk proaktif dan keberanian mengambil risiko, menjadikan perusahaan memiliki kemampuan untuk menciptakan produk inovatif mendahului pesaing mereka sehingga memiliki orientasi pasar yang kuat karena akan mampu untuk memuaskan pelanggan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi para pelanggan. H1: Orientasi kewirausahaan berpengaruh terhadap orientasi pasar. Perusahaan yang memiliki orientasi pasar yang kuat akan memiliki prioritas pembelajaran tentang (1) pelanggan (seperti, suka atau tidak suka, ketidakpuasan, persepsi, dan lainnya), (2) faktor yang mempengaruhi pelanggan (misalkan, persaingan, kecenderungan ekonomi, sosial budaya, dan lainnya), dan (3) faktor
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
yang mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk mempengaruhi dan memuaskan pelanggan (misalkan teknologi, regulasi, dan lainnya) (Narver & Slater, 1994; Kohli & Jaworski, 1990; Narver & Slater, 1994) Perusahaan yang berorientasi pada pasar memiliki keterampilan untuk menilai kebutuhan konsumen, sehingga mungkin menjadi yang pertama menawarkan generasi baru produk dan jasa pada pasar (Day, 1994). Selain itu, perusahaan lebih mungkin membuat perluasan lini dan merek terhadap pasar target baru (Baker & Sinkula, 1999; Gatignon & Xuereb, 1997; Kohli & Jaworski, 1990; Narver & Slater, 1990). Riset empiris memberi dukungan atas perspektif ini. Penelitian Kohli dan Jaworski (1990), menemukan bahwa semakin besar orientasi pasar suatu organisasi, semakin besar pula kinerja keseluruhan. Narver dan Slater (1990) menemukan hubungan positif antara orientasi pasar dan profitabilitas bisnis (Day, 1994; Narver & Slater, 1998). Orientasi pasar, secara signifikan merupakan faktor penting untuk memungkinkan perusahaan memahami pasar dan mengembangkan strategi produk dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan kebutuhan pasar. Penelitian yang penting dan berpengaruh pada perkembangan selanjutnya adalah penelitian Kohli dan Jaworski (1993) serta Narver dan Slater (1990). Aliran yang intensif dari riset empiris telah secara konsisten, tetapi tidak secara bulat, melaporkan hubungan orientasi pasar dan profitabilitas, bahkan pada perusahaan kecil (Baker & Sinkula, 2009, 1999; Hult & Ketchen 2001; Narver & Slater, 1998, Pelham 2000; Pelham & Wilson 1996). H2: Orientasi pasar berpengaruh pada profitabilitas. Literatur melaporkan pengaruh langsung orientasi kewirausahaan pada
profitabilitas, tetapi hanya pada saat pengaruh orientasi pasar tidak dikontrol (misalkan pada saat efek orientasi kewirausahaan dan orientasi pasar tidak dimodel secara simultan). Pada beberapa tipe dan ukuran perusahaan, aliran riset empiris mendukung efek langsung orientasi kewirausahaan pada penjualan dan profitabilitas (Zahra and Covin, 1995; Smart and Conant, 1994; Zahra, 1991; Covin and Slevin, 1986). Juga, beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek orientasi kewirausahaan pada profitabilitas adalah lebih dinyatakan dalam lingkungan pasar yang bergolak daripada lingkungan yang stabil (Covin and Slevin, 1989; McKee, Vadarajan, and Pride, 1989). Upaya yang dilakukan masih sedikit untuk meneliti efek simultan dari orientasi kewirausahaan dan orientasi pasar atas kinerja organisasional. Berbagai studi telah dilakukan namun tidak memberi dukungan efek independen dari orientasi kewirausahaan atas profitabilitas. Slater and Narver (1998b) meregres secara simultan orientasi kewirausahaan (Covin and Slevin’s, 1989 scale) dan orientasi pasar (Narver and Slater’s, 1990 scale) terhadap ROI. Mereka menemukan efek yang signifikan dari orientasi pasar, tetapi tidak pada orientasi kewirausahaan. Demikian juga, Matsuno, Mentzer, dan Ozsomer (2002) melaporkan efek lang-sung orientasi pasar atas profitabilitas, tetapi efek negatif langsung orientasi kewirausahaan atas ROI. Dengan menggunakan sampel 750 perusahaan Tunisia berukuran besar, menengah, dan kecil Barrett dan Weinstein (1998) melaporkan efek langsung secara simultan dari orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan atas ukuran kinerja menyeluruh tetapi tidak ada efek orientasi kewirausahaan atas profitabilitas. Uraian di atas menunjukkan bahwa berbagai studi menemukan ada yang menemukan efek langsung dan ada yang menemukan efek tidak langsung dari 49
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
orientasi kewirausahaan atas profitabilitas ketika orientasi pasar dimasukkan dalam model baik sebagai variabel independen yang terpisah atau variabel pemediasi. Berdasarkan prediksi ini, hipotesis dirumuskan sebagai H3: Orientasi kewirausahaan berpengaruh pada profitabilitas. Lingkungan merupakan salah satu faktor perubahan dalam teori organisasi. Dalam makalah ini, ada dua teori lingkungan eksternal yaitu pergolakan teknologi (technological turbulence) dan intensitas persaingan (competitive intensity). Pergolakan teknologi menerangkan tingkat perubahan teknologi yang dialami organisasi. Intensitas persaingan menjelaskan tingkat persaingan dalam industri, dimulai dari persaingan rendah, konsumen terperangkap dalam suatu produk sampai dengan persaingan tinggi, konsumen memiliki banyak alternatif pilihan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka (Frishamar and Horte, 2007). Frishamar dan Horte (2007) dalam penelitiannya menguji efek pemoderasi ke dua faktor pada pengaruh orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. Dalam penelitian Frishamar dan Horte tidak dihasilkan pengaruh pemoderasi dari kedua faktor tersebut. Hasil penelitian itu berbeda dengan penelitian Hasim, et al. (2011) yang menyatakan bahwa pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Feifei Yu (2012), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa intensitas persaingan memoderasi pengaruh antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. Di dalam lingkungan stabil, orientasi pasar tidak akan terlalu berperanan. Sebaliknya, dalam lingkungan yang tingkat perubahan teknologinya cepat, maka orientasi perusahaan terhadap 50
apa yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen akan semakin beperan dalam pengembangan produk baru. Demikian juga dalam lingkungan yang memiliki tingkat persaingan tinggi, konsumen memiliki banyak alternatif pilihan akan produk dan jasa, maka orientasi pasar akan diperlukan. Kohli dan Jaworski (1993) berpendapat bahwa pada persaingan yang tinggi dan agresif, bisnis harus menemukan keinginan konsumen dan menciptakan nilai konsumen yang superior untuk memuaskan konsumen. H4: Pergolakan teknologi berpengaruh terhadap orientasi pasar H5: Intensitas persaingan berpengaruh terhadap orientasi pasar METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di DIY sebagai unit analisis. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dipilih karena diharapkan memiliki fleksibilitas dan daya respon pada peristiwa lingkungan. Teknik atau prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel penelitian diambil berdasarkan kriteria tertentu yaitu Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di DIY yang memiliki kriteria kekayaan bersih maksimal 200 juta; hasil penjualan tahunan maksimal satu milyar; milik warga negara Indonesia; berdiri sendiri; usaha perseorangan; usaha tidak berbadan hukum; usaha berbadan hukum; atau koperasi. Penelitian ini membutuhkan reponden UKM yang beragam untuk mengetahui kondisi orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan UKM di DIY. Karakteristik responden sampel yang terdiri dari pria dan wanita, serta memiliki keberagaman dalam hal jenis usaha, lama berdiri, serta jumlah pekerja, diharapkan dapat mencerminkan keberagaman UKM yang ada di DIY.
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
Dalam penelitian ini, kuesioner yang disebar sebanyak 135 yang kembali hanya 115. Dari 105 tersebut yang layak digunakan hanya 100. Jumlah ini sesuai dengan syarat ukuran sampel minimal untuk SEM yaitu 100-200 (Ferdinand, 2002: 51). Untuk operasionalisasi variabel, orientasi pasar diukur dengan menggunakan skala MORTN (Deshpane & Farley, 1998). Orientasi pasar diukur berdasarkan 11 pertanyaan yang berkaitan dengan komitmen perusahaan pada kepuasan konsumen. Contoh pertanyaan untuk variabel ini adalah mengenai tingkat keterbukaan perusahaan mengkomunikasikan kesuksesan dan kegagalan dalam usaha memuaskan konsumen. Orientasi kewirausahaan diukur dengan menggunakan konseptualisasi Miler (1983) yang dikembangkan oleh Covin dan Slevin (1989). Orientasi kewirausahaan terdiri atas tiga dimensi, yaitu keinovasian (innovativeness), proaktif, dan pengambilan risiko. Diukur dengan 8 butir pertanyaan. Contoh pertanyaan variabel ini adalah mengenai tingkat penekanan perusahaan pada R&D, dan kepemimpinan dalam teknologi dan inovasi. Profitabilitas adalah ukuran luaran (outcome) keuangan. Pengukuran profitabilitas menggunakan daftar pertanyaan yang dikembangkan oleh Baker dan Sinkula (2009). Ukuran profitabilitas terdiri 3 butir pertanyaan. Daftar pertanyaan berkaitan dengan perubahan penjualan, perubahan laba, dan perubahan laba margin (profit margin). Contoh pertanyaan variabel ini adalah mengenai perubahan dalam profit perusahaan. Faktor-faktor lingkungan yaitu pergolakan teknologi dan tingkat persaingan menggunakan daftar pertanyaan yang dikembangkan oleh Jaworski aand Kohli (1993). Pergolakan teknologi adalah tingkat perubahan teknologi yang dialami perusahaan. Variabel pergolakan teknologi
dihitung dengan 4 pertanyaan. Salah satu contoh pertanyaan adalah teknologi di dalam industri kami berubah dengan cepat. Faktor lingkungan yang kedua adalah intensitas persaingan yang menunjukkan tingkat persaingan dalam industri. Variabel intensitas persaingan diukur dengan 6 pertanyaan. Salah satu contoh pertanyaan adalah para pesaing kita relatif lemah. HASIL PENELITIAN Uji validitas dilakukan dengan menggunakan korelasi antar skor masingmasing butir pertanyaan dengan skor total. Teknik yang digunakan adalah teknik korelasi Product Moment Pearson. Untuk proses perhitungan, peneliti menggunakan SPSS. Untuk menentukan valid tidaknya suatu variabel yang diuji, maka secara statistik hasil korelasi dibandingkan dengan angka kritik tabel korelasi dengan taraf signifikansi 1% atau 5%. Semua variabel penelitian valid pada signifikansi 0.05 (lampiran). Uji validitas digunakan untuk meyakinkan apakah pengukuran memang mengukur apa yang seharusnya diukur. Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur bahwa instrumen benar-benar bebas dari kesalahan sehingga menghasilkan hasil yang konsisten sehingga dapat berlaku dengan baik pada kondisi yang berbedabeda. (Cooper & Emory, 1995:153). Pengujian reliabilitas metode konsistensi internal dengan teknik Cronbach’s alpha untuk uji reliabilitas. Penelitian ini menggunakan metode konsistensi internal dengan teknik Cronbach’s alpha untuk uji reliabilitas. Hasil uji reliabilitas ditunjukkan oleh koefisien alpha variabel yang diuji. Proses perhitungan uji reliabilitas menggunakn SPSS for Windows. Pada penelitian ini, alat pengukur (kuesioner) yang dipergunakan untuk mengukur semua variabel yang 51
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
digunakan dalam penelitian ini semuanya dapat diandalkan atau reliable (lampiran). Untuk menghitung orientasi pasar digunakan 11 pertanyaan. Jawaban terendah dari sebelas item pertanyaan tersebut adalah 3, sedangkan jawaban tertinggi adalah 10. Nilai jawaban rata-rata pertanyaan adalah 6, 9891. Variabel orientasi kewirausahaan dihitung dengan 8 pertanyaan. Jawaban terendah dari 8 item tersebut adalah 2,13 sedangkan jawaban tertinggi 9, 25 dan nilai jawaban rata-rata 5, 9225.
Variabel lain yaitu profitabilitas, pergolakan teknologi dan intensitas persaingan. Profitabilitas dihitung dengan 3 pertanyaan, dengan nilai terendah 3,3 dan nilai tertinggi 10, serta jawaban nilai rata-rata 7, 1833. Pergolakan teknologi dihitung dengan 4 pertanyaan, dengan nilai terendah 1,00 dan nilai tertinggi 4,25. variabel terakhir, intensitas persaingan diukur dengan 6 pertanyaan, dengan nilai terendah 1,50 dan nilai tertinggi 5,00. Tabel 5 menunjukkan deskripsi data.
Tabel 5 Deskripsi Data
MO EO PROF IT KOM
N 100 100 100 100 100
Minimum 3.00 2.13 3.33 1.00 1.50
Maximum 10.00 9.25 10.00 4.25 5.00
Untuk menguji kecocokan secara menyeluruh, peneliti menggunakan chi square ( 2 ), indek kecocokan (GFI), indek Tucker Lewis (TLI), indek kecocokan yang
Mean 6.9891 5.9225 7.1833 3.1800 3.1833
Std. Deviation 1.23337 1.48262 1.55438 0.66008 0.61340
dinormalkan (Adjusted GFI), dan chi square yang dinormalkan (Normed 2 ) seperti yang tampak dalam Tabel 6.
Tabel 6 Ringkasan Goodness-of Fit Pengukuran Goodness-of Fit Hasil computer Kriteria diterima Absolute: 1. Chi-square ( 2 ) 2 : 1.136 p > 0.05, 2 kecil dan tidak Signifikan level (p): 0.111 signifikan 2. Goodness-of Fit (GFI) Incremental: 1. Tucker Lewis Index (TLI) 2. Normed Fit Index (NFI) 3. Adjusted GFI (AGFI) Parsimony: 1. Normed Chi square
52
GFI: 0.995
GFI = 0.90 atau lebih
TLI: 1.067 NFI: 0.985 AGFI: 0.966
TLI = 0.90 atau lebih NFI = 0.90 atau lebih AGFI = 0.90 atau lebih
Normed 2: 0.568
Limit bawah: 1.0; Limit atas: 2.0, 3.0, atau 5.0.
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
adalah 0.90 atau lebih. TLI, NFI, dan AGFI dalam penelitian ini menunjukkan angka di atas kriteria penerimaan. Normed chi-square menunjukkan dua kriteria suatu model tidak dapat diterima. Kriteria pertama, model penelitian “overfitted,” ditunjukkan dengan nilai normed chi-square yang kurang dari 1.0. Kriteria kedua adalah model tidak betulbetul mencerminkan data yang diobservasi, ditunjukkan dengan nilai normed chi-square lebih besar dari 2.0 atau 3.0, atau batas yang lebih liberal yaitu 5.0. Indikator ini merupakan ukuran nonstatistical. Normed chi-square dalam penelitian ini menunjukkan nilai di bawah batas bawah tetapi masih bisa dikatakan marginal. Dalam hasil analisis AMOS masih banyak angka-angka lain yang dapat menunjukkan dapat diterima atau tidaknya suatu model penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan beberapa indikator, seperti yang tertulis dalam Tabel 6, karena indikator-indikator di atas telah cukup mencerminkan bahwa model yang digunakan dalam penelitian ini acceptable fit.
Berdasarkan Tabel 6, dapat disimpulkan bahwa chi-square = 1.136 dengan df. 1, dan p: 0.111 > 0.10. Hasil uji ini menunjukkan bahwa model tersebut acceptable fit (secara statistik mengindikasikan kecocokan yang baik) atau tidak terdapat beda yang signifikan antara data observasi dengan model penelitian yang diajukan oleh peneliti (Hair et al. (1995): 682). GFI menunjukkan derajat kecocokan model secara keseluruhan. Ukuran ini merupakan ukuran nonstatistical. Nilai GFI berkisar dari 0 (poor fit) sampai dengan 1 (perfect fit). GFI model penelitian ini sebesar 0.995. Hal ini menunjukkan model penelitian dapat diterima karena kriteria model diterima adalah GFI = 0.90 atau lebih. Tucker Lewis Index (TLI), Normed Fit Index (NFI), dan Adjusted GFI (AGFI) menunjukkan perbandingan antara model penelitian dengan baseline model, yang disebut dengan null model. Null model adalah model yang diharapkan dapat diungguli oleh model penelitian yang diajukan. Indikator-indikator ini merupakan ukuran nonstatistical. Kriteria penerimaan TLI adalah 0.90 atau lebih, NFI adalah 0.90 atau lebih, dan AGFI .43
IT
-.28
.14 .37 -.34
KOM
.25
MO
PROF
.06 1 1
1.04 .11
.44
e1
1.93
.32
e2 2.18
EO
Gambar 2 Hasil Pengujian Hipótesis Penelitian
53
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Pada gambar 2 terlihat hasil pengujian hipotesis penelitian. Pengujian secara simultan pengaruh intensitas persaingan, pergolakan teknologi, dan orientasi kewirausahaan terhadap profita-
bilitas dengan pemediasi orientasi pasar, dilakukan dengan model persamaan struktural. Tabel 7 menunjukkan hasil pengujian hipotesis penelitian.
Tabel 7 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis Variabel Penelitian Exogenous Variables H1
Endogenous Variables
Beta
CR
P value
Keterangan
0.436 6.245 Signifikan Market orientation (MO) H2 Profitabilitas 0.250 1.908 Signifikan (Y2) Profitabilitas 0.319 2.924 Signifikan H3 (Y2) H4 -0.281 -1.686 Tidak Market orientation (MO) Signifikan H5 -0.337 -1.867 Signifikan Market orientation (MO) Uji dua arah, df. 14, : 0.10, t tabel: 1.761; : 0.05, t tabel: 2.145; : 0.01, t tabel: 2.977; dan : 0.002, t tabel: 3.787 Entrepreneurial orientation (EO) Market orientation (MO) Entrepreneurial orientation (EO) Technological Turbulence (IT) Competitive Intensity (Kom)
PEMBAHASAN Pada penelitian ini, orientasi kewirausahaan berpengaruh positif terhadap orientasi pasar. Hal ini mendukung penelitian Covin dan Slevin (1986) serta Baker dan Sinkula (2009). Inovasi yang terjadi karena orientasi kewirausahaan adalah inovasi yang berupaya untuk penyegaran, pembaharuan, dan redefinisi organisasi, pasar, dan industri. Melalui proses identifikasi kesempatan dengan tujuan penyegaran, pembaharuan, dan redefinisi konsep, maka produk baru yang radikal dilahirkan. Perusahaan dengan orientasi kewirausahaan yang kuat, diprediksikan akan mampu mengembangkan konsep produk baru yang menuju kepada 54
kebutuhan pelanggan yang ada maupun pelanggan potensial. Hasil penelitian juga mendukung penelitian Zahra dan Covin (1995) yang menyatakan bahwa perusahaan dengan orientasi kewirausahaan dapat mencapai target pasar dan posisi pasar lebih dibandingkan para pesaing mereka. Perusahaan selalu mengamati perubahan pasar dan melakukan respon dengan dengan cepat terhadap perubahan tersebut. Kemampuan perusahaan untuk proaktif dan keberanian mengambil risiko, menjadikan perusahaan memiliki kemampuan untuk menciptakan produk inovatif mendahului pesaing mereka sehingga memiliki orientasi pasar yang kuat karena akan mampu untuk memuaskan pelanggan
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi para pelanggan. Hasil penelitian juga menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan orientasi pasar terhadap profitabilitas. Hasil penelitian ini mendukung penelitianpenelitian sebelumnya. Beberapa penelitian terdahulu secara konsisten, tetapi tidak secara bulat, melaporkan hubungan orientasi pasar dan profitabilitas (Baker & Sinkula, 2009, 1999; Hult & Ketchen 2001; Narver & Slater 1998), termasuk efek pada perusahan kecil (Pelham 2000; Pelham & Wilson 1996). Di samping bukti empiris tersebut, ada dukungan teoritis bagi hubungan antara orientasi pasar dan profitabilitas. Perusahaan dengan orientasi pasar yang kuat seharusnya mampu menghasilkan profit margin yang lebih tinggi daripada perusahaan yang dengan orientasi pasar yang lemah. Profit margin yang lebih tinggi adalah hasil sinergi dari pemilihan pasar target, pengembangan produk, strategi harga, distribusi dan promosi, sehingga memungkinkan penyampaian produk dan jasa sesuai dengan kebutuhan target pasar. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas. Hasil penelitian ini mendukung beberapa penelitian sebelumnya. Pada beberapa tipe dan ukuran perusahaan, aliran riset empiris mendukung efek langsung orientasi kewirausahaan pada penjualan dan profitabilitas (Zahra and Covin, 1995; Smart and Conant, 1994; Zahra, 1991; Covin and Slevin, 1986). Efek orientasi kewirausahaan pada profitabilitas ternyata lebih nyata dalam lingkungan pasar yang bergolak daripada lingkungan yang stabil (Covin and Slevin, 1989; McKee, Vadarajan, and Pride, 1989). Dalam penelitian ini hanya intensitas persaingan yang terbukti berpengaruh positif dan signifikan pada
orientasi pasar. Pergolakan teknologi tidak terbukti berpengaruh secara signifikan. Dalam penelitian Frishamar dan Horte (2007), ditemukan bahwa ke dua faktor tersebut tidak signifikan memoderasi pengaruh orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Hasim, et al. (2011) yang menyatakan bahwa pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja perusahaan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Feifei Yu (2012), dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa intensitas persaingan memoderasi pengaruh antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan. SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN Pada hasil penelitian ini ditunjukkan bahwa orientasi pasar berpengaruh positif dan signifikan terhadap profitabilitas. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan orientasi pasar yang kuat ternyata mampu menghasilkan profit margin yang lebih tinggi daripada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan orientasi pasar yang lemah. Profit margin yang lebih tinggi adalah hasil dari pemilihan pasar target, pengembangan produk, strategi harga, serta distribusi dan promosi, yang mengakibatkan penyampaian produk dan jasa bisa sesuai dengan kebutuhan pasar. Hal ini menimbulkan implikasi perlunya penumbuhan kesadaran yang lebih besar mengenai pentingnya orientasi pada pasar. Perusahaan-perusahaan yang memiliki kesadaran akan perlunya bisnis berorientasi pada pasar akan mengembangkan tindakan-tindakan untuk semakin berfokus pada kebutuhan pelanggan, sehingga dapat meningkatkan profitabilitas. Penelitian ini juga menunjukkan hasil bahwa orientasi kewirausahaan 55
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
berpengaruh positif dan siginikan pada profitabilitas. Orientasi kewirausahaan yang dimaksud dalam penelitian ini menimbulkan inovasi untuk penyegaran, pembaharuan, serta redefinisi organisasi, pasar, dan industri. Melalui proses identifikasi kesempatan dengan tujuan penyegaran, pembaharuan, dan redefinisi konsep, maka produk baru yang radikal dilahirkan sehingga akan memperkuat posisi perusahaan di pangsa pasar dan akan menghasilkan keuntungan yang lebih besar. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan orientasi kewirausahaan yang kuat, akan mengembangkan konsep produk baru yang menuju kepada kebutuhan pelanggan yang ada. Implikasi dari hasil ini adalah perlunya semakin menumbuhkan jiwa dan semangat kewirausahaan, sehingga selalu muncul semangat untuk mengembangkan produkproduk baru yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh secara positif pada orientasi pasar. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang berorientasi pada kewirausahaan memiliki ketrampilan untuk menilai kebutuhan konsumen, sehingga mungkin menjadi yang pertama menawarkan produk dan jasa pada pasar serta membuat perluasan lini dan merek terhadap pasar target baru. Dari kesimpulan di atas, penelitian ini memberikan implikasi bahwa pimpinan perusahaan atau Usaha Kecil dan Menengah (UKM) perlu untuk lebih meningkatkan komitmennya terhadap penerapan orientasi kewirausahaan karena telah terbukti dalam penelitian empiris bahwa orientasi kewirausahaan berhubungan dan berpengaruh positif terhadap orientasi pasar. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan orientasi kewirausahaan yang kuat, akan mengembangkan konsep produk baru yang menuju kepada kebutuhan pelanggan yang ada. 56
Maka Usaha Kecil dan Menengah (UKM) perlu semakin menumbuhkan jiwa dan semangat kewirausahaan, sehingga selalu muncul semangat untuk mengem-bangkan produk-produk baru. Untuk pengaruh faktor-faktor lingungan terhadap orientasi pasar, yang terbukti signifikan hanyalah intensitas persaingan. Hal ini membawa implikasi bahwa manajer perlu meningkatkan orientasi pada pasar jika berada pada kondisi persaingan yang tinggi. Pada kondisi persaingan tinggi, bisnis perlu semakin memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai apa yang diperlukan konsumen, sehingga bisnis dapat bersaing dan bertahan di pasar. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan pertama, sampel penelitian hanyalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang ada di wilayah Yogyakarta. Keterbatasan peneliti menyebabkan lingkup penelitian hanya terbatas. Keterbatasan kedua, pengukuran penelitian sepenuhnya berdasarkan pada pengukuran subyektif yaitu menggunakan persepsi para pemilik dan pengambil keputusan dalam perusahaan. Hal ini disebabkan data obyektif belumlah tersedia. Meskipun dalam banyak penelitian, pengukuran secara subyektif secara metodologis dapat dibenarkan, tetapi tetap saja dapat menimbulkan bias. Berdasarkan keterbatasan penelitian, maka peneliti memberikan beberapa saran. Pertama, mengembangkan penelitian dengan membagi sampel berdasarkan karakteritik Usaha Kecil dan Menengah (UKM), sehingga bisa dipetakan dalam jenis perusahaan apa, faktor-faktor lingkungan dan orientasi pasar mempengaruhi profitabilitas. Saran kedua, mereplikasi penelitian dengan sampel yang lebih luas baik secara geografis, demografis, maupun cakupan industrinya. Ini dilakukan agar generalisasi hubungan antara orientasi pasar, orientasi kewirausahaan, faktor-faktor lingkungan, dan
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
profitabilitas dapat lebih tercapai. Ketiga, mengembangkan penelitian dengan cara menambahkan variabel gender sebagai pemoderasi, sehingga bisa diketahui apakah ada perbedaan antara wirausaha perempuan dengan wirausaha laki-laki dalam hal pengembangan pola pikir ke arah orientasi pasar dan oriantasi kewirausahaan.
Day. 1994. “The Capabilities of MarketDriven Organizations”. Journal of Marketing, 58 (4), 37-52. Feifei, Y. 2012. “Strategic Flexibility, Entrepreneurial Orientation and Firm Performance: Evidence from Small and Medium Sized Business (SMB) in China”. African journal of Business Management, 6 (4), 1711-1720.
DAFTAR REFERENSI Baker, W. E., and Sinkula, J. M. 2009. “The Complementary Effects of Market Orientation and Entrepreneurial Orientation on Profitability in Small Business”. Journal of Small Business Management, 47 (4), 443-464. Baker, W. E., and Sinkula, J. M. 1999. “The Synergistic Effect of Market Orientation and Learning Orientation on Organizational Performance”. Journal of the Academy of Marketing Science 27, 411-427. Becherer, R.C., and Maurer, J.G. 1997. “The Moderating Effect of Environmental Variables on the Entrepreneurial and market Orientation of Entrepreneur-Led Firms”. Entrepreneurship: Theory and Practice, 22, 47-58. Cooper, D. R. and Emory, C.W. 1991. Business Research Methods, Fifth Edition, Chicago: Ricard D. Irwin, Inc. Covin, J. G., and Slevin, D. P. 1989. “Strategic Management in Small Firm in Hostile and Benign Environments”. Strategic Management Journal, 10 (1), p.75-84.
Gatignon, H., and Xuereb, J.M. 1997. “Strategic Orientation of the Firm and New Product Performance”. Journal of Marketing Research, 34, 77-90. Ghozali, Imam. 2005. Konsep & Aplikasi dengan Program Amos 16. Semarang: UNDIP. Hair, J. F., Jr., Rolph, E. A., Ronald, L. T., dan William, G. B. 1995. Multivariate Data Analysis with Reading, Ed. 4. New jersey: Prentice Hall International, Inc. Hult, G.T. and Ketchen, D.J. 2001. “Does Market Orientation Matter?: A Test of The Relationship Between Positional Advantage and Performance”. Strategic Manag-ement Journal, 26, 899-906. Kohli, A.K. and Jaworski, B.J. 1993. “Market Orientation: Antecedents and Consequences”. Journal of Marketing, 57 (3), 53-70. Kohli, A. L., and Jaworski, B.J. 1990. “Market Orientation: The Construct, Research propositions, and Managerial Implications”. Journal of Marketing, 54(2), 1-18. Kohli, A.K.,B. J. Jaworski, and A. Kumar. 1993. “MARKOR: A Measure of 57
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Market Orientation,” Journal of Marketing Research, 30, 467-477. Koncuro, Mudrajad. 2006. Strategi: Bagaimana Meraih Keunggulan Kompetitif. Jakarta: Erlangga. Kumalaningrum, M.P. 2011. ”Pengaruh Orientasi Kewirausahaan Terhadap Profitabilitas UKM Dengan Orientasi Pasar Sebagai Variabel Pemediasi”. Jurnal Riset Manajemen & Bisnis. 6(2):99-112 Kumalaningrum, M.P. 2012. ”Market Orientation, Entrepreneurial Orientation, Innovation Success, dan Profitabilitas Usaha Kecil dan Menengah”. Jurnal Akuntansi dan Manajemen (JAM), 23 (1): 13-25. Lee, J and Miller, D. 1996. “Strategy, Environment, and Performance in Two Technological Context: Contingency Theory in Korea”. Organization Studies, 17 (5):729750. Lumpkin, G. T., and Dess, G. G. 1996. “Claryfying the Entrepreneurial Orientation Construct and Linking it to Performance”. Academy of Management Review, 21: 135-172. Matsuno, K., J. T. Mentzer, and A. Ozsomer. 2002. “The Effects of Entrepreneurial Proclivity and Market Orientation on Business Performance,” Journal of Marketing, 66 (3):18-33. McKee, D.O., Varadarian, P.R. and Pride, W.M.1989. “Strategic Adaptability and Firm Performance: A Market: Contingent Perspective”. Journal of Marketing, 53 (3): 21-35.
58
Miller, D. 1983, “The Correlated of Entrepreneurship in Three Types of Firms”. Management Science, 29:770-791. Miller D and P.H. Friensen. 1983. “Strategy-Making and Environment: The Third Link,” Strategic Management Journal, 4 (3), p.221235. Narver, John and Stanley, F Slater. 1990. “The Effect of Market Orientation on Business Profitability”. Journal of Marketing, 20-35. Narver, J. and Slater, S. F. 1994. “Does Competitive Environment Moderate the Market Orientation Performance Relationship”. Journal of Marketing, 46-55. Narver, J. and Slater, S. F. 1998. “Customer-led and Market-Oriented: Let’s Not Confuse The Two”. Strategic Management Journal, 1001-1006. Pelham, A.M. 1997. “Mediating Influences on the Relationship between Market Orientation and Profitability in Small Industrial Firms”. Journal of Marketing Theory and Practice, 5: 55-57. Pelham, A. M. 2000. “Market Orientation and Other Potential Influences on Performance in Small and Medium –Sized Manufacturing Firms”. Journal of Small Business Management, 38:48-67. Pelham, A.M., and Wilson, D.T. 1996. “Longitudinal Study of The Impact of Market Structure, Strategy, and Market Orientation Culture on Dimensions of Small Firm
LINGKUNGAN BISNIS, ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, …………….…..………………………...(Maria Pampa Kumalaningrum)
Performance”. Journal of Marketing Science, 24: 27-43. William E. B and James, M. S. 2009. ‘The Complementary Effects of Market Orientation and Entrepreneurial Orientation and Profitability in Small Business”. Journal of Small Business Management, 47( 4): 443464. Zahra, S. and Covin, J.G. 1995. “Contextual Influences on The Corporate Entrepreneurship-Performance: A Longitudinal Analysis”. Journal of Business Venturing, 10(1):43-58. Zahra,
S. and Covin, J.G. 1995. “Contextual Influences on The Corporate Entrepreneurship-Performance: A Longitudinal Analysis”. Journal of Business Venturing, 10(1): 43-58.
59
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD TERHADAP LOYALITAS PENGUNJUNG PADA MODERN RETAIL DI YOGYAKARTA Alfa Santoso Budiwidjojo Putra Alumni Fakultas Bisnis, Universitas Kristen Duta Wacana Jalan Dr. Wahidin Sudiro Husodo 5-25, Yogyakarta, 55224 E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This study aims to examine the effect of ownership satisfaction to loyalty membership card in the modern retail visitors in Yogyakarta. This study used 102 respondents as a sample of consumers who are visiting at the modern retail. While the sampling technique used is a combination of snowball sampling technique and purposive sampling. The results showed that the satisfaction of the benefits of discount, ease of service satisfaction, and satisfaction with the service special influence on modern retail visitor loyalty, while satisfaction with the service doesn’t influence on the visitor loyalty. Keywords: satisfaction and visitor loyalty
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini bisnis modern retail di Yogyakarta mengalami perkembangan yang sangat pesat, khususnya di tahun 2008 hingga pertengahan 2010. Hal tersebut ditunjukkan dengan menjamurkan bisnis modern retail, dari skala kecil sampai dengan skala besar. Hal yang paling mencolok adalah dengan tumbuhnya beraneka ragam modern retail dengan kepemilikan franchise. Misalnya Indomaret dan Alfamaret. Menurut pengamatan yang dilapangan maupun saat melakukan survey literatur, ternyata modern retail ini disambut baik oleh para konsumen di Indonesia. Dari survey yang dilakukan oleh SMERU pada tahun 2007, tampak bahwa pada akhirnya traditional retail ini posisinya mulai terjepit, bahkan beberapa sudah tutup, karena ditinggalkan pelanggannya yang sudah beralih ke
modern retail. Dari semua pengamatan saya, yang berujung pada analisis mengenai faktor utama penyebab pergeseran dari traditional retail ke modern retail ini adalah Customer Relationship Management (CRM). Dalam penelitian ini saya tidak akan membahas mengenai apa dampak dari pergeseran tersebut, karena itu merupakan studi kebijakan publik. Akan tetapi yang akan saya teliti adalah mengenai implementasi CRM pada modern retail, yang mempengaruhi loyalitas pengunjung modern retail di Yogyakarta. Oleh sebab itu, saya tetapkan bahwa strategi Customer Relationship Management (CRM) yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi khusus hanya pada program membership card. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan pertama, untuk menguji pengaruh 61
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
kepuasan pelanggan atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Kedua, menguji pengaruh kepuasan pelanggan atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pelanggan memiliki membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Ketiga, menguji pengaruh kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pelanggan memiliki membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Keempat, menguji pengaruh kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pelanggan memilki membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Kelima, menguji pengaruh keseluruhan kepuasan pelanggan atas kepemilikan membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. KAJIAN LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Menurut Wijaya (2005:5), menjadi partner berarti bersedia membeli produk atau jasa dalam jumlah yang lebih banyak, memberikan rekomendasi positif serta bersedia menginformasikan kepada pihak perusahaan apabila terjadi kesalahan dalam operasional pelayanan. Program Loyalitas Pelanggan Program loyalitas pelanggan menurut Shoemaker and Lewis (1998) yang dikutip oleh Wijaya (2005:5) adalah program yang ditawarkan kepada pelanggan yang bertujuan untuk membangun ikatan emosional terhadap perusahaan atau merek perusahaan. Hal yang sama pun juga diungkapan oleh Butscher, didalam Wijaya (2005:6), bahwa tujuan utama dari program loyalitas pelanggan adalah untuk membangun hubungan dengan pelanggan, sehingga mereka menjadi pelanggan setia perusahaan dalam jangka panjang. Menurut Christina (2006:59), programprogram loyalitas bekerja sama dengan manajemen hubungan pelanggan (Customer Relationship Management). Kepuasan Konsumen
Loyalitas Pelanggan Menurut Kotler, Bowen, dan Makens (1999) yang dikutip oleh Wijaya (2005:5), loyalitas pelanggan didefinisikan sebagai besarnya kemungkinan pelanggan membeli kembali dan kesediaan mereka untuk menjadi partner bagi perusahaan.
Menurut Hunt (1991), pada prinsipnya definisi kepuasan pelanggan dapat diklasifikan ke dalam kategori pokok, yakni perspektif defisit normatif, ekuitas/keadilan, standar normatif, keadilan prosedural, dan atribusional (dikutip dalam Fandy Tjiptono, 2007:350).
Tabel 1 Alternatif Definisi Kepuasan Pelanggan Perspektif Normative deficit definition
Equity definition
62
Definisi Kepuasan Pelanggan Perbandingan antara hasil (outcome) actual dengan hasil yang secara kultural dapat diterima. Perbandingan perolehan/keuntungan yang didapatkan dari pertukaran sosial. Bila perolehan tersebut tidak sama, maka pihak
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
Normative standard definition
Procedural fairness definition
Attributional definition
yang dirugikan akan tidak puas. Perbandingan antara hasil aktual dengan ekspektasi standar pelanggan (yang dibentuk dari pengalaman dan keyakinan mengenai tingkat kinterja yang seharusnya ia terima dari merek tertentu). Kepuasan merupakan fungsi dari keyakinan/persepsi konsumen bahawa ia telah diperlakukan secara adil. Kepuasan tidak hanya ditentukan oleh ada tidaknya diskonfirmasi harapan, namun juga oleh sumber penyebab diskonfirmasi.
Sumber: Fandy (2007: 351) Penciptaan Nilai Menuju Loyalitas Menurut Barnes (2003:41), dengan meningkatkan nilai yang diterima pelanggan dalam tiap interaksinya dengan perusahaan (walaupun interaksi tersebut tidak berakhir dengan penjualan), kita lebih mungkin meningkatkan tingkat kepuasan, mengarah pada tingkat ketahanan pelanggan yang lebih tinggi. Ketika pelanggan bertahan karena merasa nyaman dengan nilai dan pelayanan yang mereka dapat mereka akan lebih mungkin menjadi pelanggan yang loyal. Loyalitas ini mengarah pada pembelian yang berulang, perekomendasian dan proporsi pembelanjaan yang meningkat. Kepuasan Pelanggan atas Kepemilikan Membership Card Terhadap Loyalitas Kunjungan. Model penelitian ini diadaptasi dari penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2005) dan Hermanto (2011). Pada penelitian mereka diperoleh hasil bahwa pengaruh variabel kepuasan dalam membangun loyalitas pengunjung adalah signifikan. Menurut Wijaya (2005:5), perusahaan dapat mengembangkan hubungan dengan pelanggannya melalui tiga pendekatan, yaitu manfaat finansial (financial benefit), manfaat sosial (social benefit), dan ikatan struktural (structural
ties). Implementasi yang paling sering dari penyelidikan manfaat finansial adalah dengan menjalankan frequency marketing programs seperti pemberian reward berupa diskon khusus apabila pelanggan sering melakukan pembelian atau apabila membeli dalam jumlah yang besar. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2005), menunjukkan bahwa “mendapatkan harga yang lebih murah” adalah manfaat yang paling dirasakan oleh responden. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian dari Hermanto (2011), yang menyatakan bahwa manfaat yang dicari dengan memiliki membership card adalah untuk mendapatkan penawaran harga yang lebih murah (karena adanya diskon). Selain itu, dalam penelitian Hermanto (2011) juga diperoleh hasil bahwa saat responden ditanya tingkat kepuasan mereka atas membership card yang dimiliki, sebagian besar responden menyatakan kesetujuan mereka bahwa memang membership card yang mereka miliki memberikan manfaat harga yang lebih murah. Berdasarkan pemaparan diatas, maka hipotesis yang dibangun adalah: H1: Ada pengaruh kepuasan pelanggan atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. 63
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2005) dan Hermanto (2011) pada restoran dan minimarket Alfamart mencoba untuk menghubungkan variabel kepuasan atas pelayanan yang lebih baik terhadap loyalitas pengunjung. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa tidak ada pengaruh antara kepuasan atas pelayanan yang lebih baik dan loyalitas pengunjung. Penelitian ini mencoba untuk melakukan pengujian ulang terhadap pengaruh kepuasan atas pelayanan yang lebih baik pada loyalitas pengunjung. Berdasarkan pada kenyataan tersebut maka hipotesis yang dibangun: H2: Ada pengaruh kepuasan pelanggan atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pelanggan memiliki membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2005) dan Hermanto (2011) pada restoran dan minimarket Alfamart juga mencoba untuk menghubungkan variabel kepuasan kemudahan layanan terhadap loyalitas pengunjung. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa tidak ada pengaruh antara kepuasan kemudahan layanan dan loyalitas pengunjung. Penelitian ini mencoba untuk melakukan pengujian ulang terhadap pengaruh kepuasan
kemudahan layanan pada loyalitas pengunjung. Berdasarkan pada kenyataan tersebut maka hipotesis yang dibangun: H3: Ada pengaruh kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pelanggan memiliki membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Terakhir, penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2005) dan Hermanto (2011) pada restoran dan minimarket Alfamart juga mencoba untuk menghubungkan variabel kepuasan atas pelayanan spesial terhadap loyalitas pengunjung. Hasil penelitian yang didapatkan bahwa tidak ada pengaruh antara kepuasan atas pelayanan spesial dan loyalitas pengunjung. Penelitian ini mencoba untuk melakukan pengujian ulang terhadap pengaruh kepuasan atas pelayanan spesial pada loyalitas pengunjung. Berdasarkan pada kenyataan tersebut maka hipotesis yang dibangun: H4: Ada pengaruh kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pelanggan memiliki membership card terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Kerangka Teoritis
Kepuasan atas manfaat diskon (X1) Kepuasan atas pelayanan yang lebih baik (X2) Kepuasan kemudahan layanan (X3)
Kepuasan atas pelayanan spesial (X4)
Gambar 1. Kerangka Teoritis 64
Loyalitas Pengunjung Modern Retail (Y)
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
METODA PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini: Memiliki membership card di salah satu modern retail yang berlokasi di Yogyakarta. Saat ini bertempat tinggal di Yogyakarta. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian kecil dari populasi yaitu sebanyak 102 orang (responden). Penentuan sampel ini mengingat keterbatasan sumber yang dimiliki dan tidak diketahuinya secara pasti besarnya populasi. Selanjutnya, mempertimbangkan kendala perizinan yang dihadapi dalam memperoleh data pemegang kartu member dari pihak pengelola modern retail, maka penulis menggunakan metode nonprobability sampling, dimana setiap anggota populasi tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Wijaya, 2007:7). Sedangkan teknik pengambilan sampel yang dipakai adalah kombinasi antara teknik snowball sampling dan purposive sampling. Menurut Kuncoro (2003:120), snowball sampling yaitu prosedur pengambilan sampel di mana responden pertama dipilih dengan metode probabilitas, dan kemudian responden selanjutnya diperoleh dari informasi yang diberikan oleh responden yang pertama. Sedangkan teknik purposive sampling berarti anggota populasi yang kebetulan dijumpai atau ditemui oleh peneliti dapat diambil sebagai sampel sepanjang memenuhi karakteristik anggota populasi seperti yang telah dijelaskan di atas (Wijaya, 2007:7). Data primer dikumpulkan melalui metode survei kepada konsumen pemilik membership card. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka (face-toface interview). Wawancara dilakukan dengan menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpul data, dalam kurun waktu 1 bulan, yakni pada bulan September 2010. Dalam pengambilan sampling, responden yang dijadikan subjek
penelitian sejumlah 102 orang responden pengguna membership card modern retail yang ada di Yogyakarta dan saat ini bertempat tinggal di Yogyakarta. Definisi Variabel dan Pengukurannya. Kepuasan atas manfaat diskon adalah perasaan senang atau kecewa yang dirasakan oleh pengunjung berupa diskon atau potongan harga dari modern retail di Yogyakarta. Kepuasan atas pelayanan yang lebih baik adalah perasaan senang atau kecewa pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak memiliki membership card. Kepuasan kemudahan layanan adalah perasaan senang atau kecewa pengunjung atas kemudahan pelayanan yang diberikan oleh pihak modern retail sejak memiliki membership card. Kepuasan atas pelayanan spesial adalah perasaan senang atau kecewa pengunjung atas pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card. Loyalitas pengunjung modern retail adalah seberapa besar kemungkinan pengunjung membeli kembali dan kesediaan mereka untuk menjadi partner bagi modern retail. Pengukuran variabel-variabel dalam penelitian ini menggunakan Skala Likert dengan 5 skala yaitu 1 untuk jawaban sangat tidak setuju sampai dengan 5 untuk jawaban sangat setuju. Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Uji signifikansi dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel untuk degree of freedom (df)=n-2, dalam hal ini n adalah jumlah sampel (Ghozali, 2009: 49). Reliabilitas sebenarnya adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Menurut Ghozali (2009:46), suatu kuesioner dikatakan reliabel atau 65
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. SPSS memberikan fasilitas untuk mengukur reliabilitas dengan uji statistik Cronbach Alpha. Menurut Nunnally (1960), suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,6 (dikutip dalam Ghozali, 2009:46). HASIL PENELITIAN Analisis persentase digunakan untuk mengetahui profil responden yang memiliki membership card di salah satu modern retail yang berlokasi di Yogyakarta dan saat ini juga bertempat tinggal di Yogyakarta. Regresi linier berganda adalah regresi di mana variabel terikatnya (Y) dihubungkan/dijelaskan lebih dari satu variabel, mungkin dua, tiga, dan seterusnya variabel bebas (X1, X2, X3, ..., Xn) namun masih menunjukkan diagram hubungan yang linear (Hasan, 2002:269). Rumus regresi linier berganda untuk penelitian ini adalah sebagai berikut: Y = a + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + b4 X4 + e Keterangan: Y = Loyalitas pengunjung modern retail; X1 = Kepuasan atas manfaat diskon; X2 = Kepuasan atas pelayanan yang lebih baik; X3 = Kepuasan kemudahan layanan, X4 = Kepuasan atas pelayanan spesial. Menurut Ghozali (2009:87), ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai aktual dapat diukur dari Goodness of fit-nya. Secara statistik, setidaknya ini dapat diukur dari nilai Adjusted R2, nilai statistik F, dan nilai statistik t. Tidak seperti R2 , nilai 2 Adjusted R dapat naik atau turun apabila satu variabel independen ditambahkan ke dalam model. Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang 66
dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen/terikat (Ghozali, 2006:88). Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu varibel penjelas/independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2006:88). Berdasarkan hasil pengolahan data hasil uji validitas, maka dapat ditunjukkan bahwa semua pertanyaan seluruh variabel (kepuasan pengunjung atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card, kepuasan pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pengunjung memiliki membership card, kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card, kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memilki membership card, dan loyalitas pengunjung atau pemegang membership card) mempunyai nilai koefisien lebih besar dari 0,239, yang berarti pertanyaanpertanyaan tersebut dinyatakan valid. Berdasarkan hasil pengolahan data hasil uji realibilitas, maka dapat ditunjukkan bahwa cronbach alpha menunjukan nilai alpha rtotal lebih besar dari rtabel (0,944> 0,60). Tabel tersebut menunjukan bahwa pertanyaan yang digunakan pada variabel kepuasan pengunjung atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card, kepuasan pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pengunjung memiliki membership card, kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card, kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memilki membership card, dan loyalitas pengunjung atau pemegang membership card adalah reliabel.
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
Persentase Identitas Responden Berdasarkan Kepemilikan Membership Card. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan kepemilikan membership card di salah satu modern retail yang berlokasi di Yogyakarta sebanyak 102 orang dengan persentase sebesar 100%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Tempat Tinggal. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan tempat tinggal (domisili) menunjukkan bahwa reponden yang bertempat tinggal di Yogyakarta Utara sebanyak 17 orang dengan persentase sebesar 16,7%, untuk yang bertempat tinggal di Yogyakarta Selatan sebanyak 7 orang dengan persentase 6,9%, kemudian yang bertempat tinggal di Yogyakarta Timur sebanyak 7 orang dengan persentase sebesar 6,9%, untuk yang bertempat tinggal di Yogyakarta Barat sebanyak 11 orang dengan persentase 10,8%, yang bertempat tingggal di Yogyakarta Pusat sebanyak 60 orang dengan persentase 58,8%, serta yang bertempat tingggal di luar Yogyakarta sebanyak 0 orang dengan persentase 0%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa pemilik membership card salah satu modern retail di Yogyakarta mayoritas adalah perempuan sebanyak 77 orang dengan persentase sebesar 75,5% dan laki-laki sebanyak 25 orang dengan persentase sebesar 24,5%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Usia. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan usia menunjukkan bahwa responden yang memiliki membership card di salah satu modern
retail yang berlokasi di Yogyakarta dengan usia 15-23 tahun sebanyak 72 orang dengan persentase sebesar 70,6%, usia 24-25 tahun sebanyak 2 orang dengan persentase sebesar 2,0%, usia 26-35 tahun sebanyak 20 orang dengan persentase sebesar 19,6%, usia 36-45 tahun tahun sebanyak 6 orang dengan persentase sebesar 5,9%, serta usia lebih dari 45 tahun sebanyak 2 orang dengan persentase sebesar 2,0%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Pekerjaan. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan pekerjaan menunjukkan bahwa responden yang memiliki pekerjaan sebagai pelajar adalah sebanyak 0 orang dengan persentase sebesar 0%, responden yang memiliki pekerjaan sebagai mahasiswa adalah sebanyak 75 orang dengan persentase sebesar 73,5%, responden yang memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah sebanyak 6 orang dengan persentase sebesar 5,9%, responden yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri adalah sebanyak 0 orang dengan persentase sebesar 0%, responden yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta adalah sebanyak 16 orang dengan persentase sebesar 15,7%, serta responden yang memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta adalah sebanyak 5 orang dengan persentase sebesar 4,9%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Pendapatan per Bulan. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan pendapatan per bulan menunjukkan bahwa responden yang memiliki penghasilan per bulan ≤ Rp. 1.000.000 sebanyak 59 orang dengan persentase 57,8%, responden yang memiliki penghasilan Rp. 1.000.001Rp.3.000.000 sebanyak 39 orang dengan persentase 38,2%, dan responden yang memiliki penghasilan per bulan > Rp. 67
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
3.000.000 sebanyak 4 orang, dengan persentase 3,9%.
dan menyatakan murah sebanyak 9 orang dengan persentase sebesar 8,8%.
Persentase Identitas Responden Berdasarkan Frekuensi Berbelanja di Modern retail dalam 3 bulan terakhir. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan frekuensi berbelanja di modern retail dalam 3 bulan terakhir menunjukkan bahwa responden yang berbelanja di modern retail dalam 3 bulan terakhir dengan frekuensi 1 atau 2 kali sebanyak 37 orang dengan persentase sebesar 36,3%, frekuensi 3 atau 4 kali sebanyak 35 orang dengan persentase sebesar 34,3%, frekuensi 5 atau 6 kali sebanyak 22 orang dengan persentase sebesar 21,6%, dan frekuensi ≥ 7 kali sebanyak 8 orang dengan persentase sebesar 7,8%.
Persentase Identitas Responden Berdasarkan Alasan Ketertarikan Bergabung dengan Membership Card. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan alasan ketertarikan bergabung dengan membership card menunjukkan bahwa responden yang tertarik bergabung dengan Membership card dengan alasan mengumpulkan point sebanyak 41 orang dengan persentase sebesar 40,2%, ingin mendapatkan hadiah sebanyak 37 orang dengan persentase sebesar 36,3%, desain kartu bagus sebanyak 1 orang dengan persentase sebesar 1%, produk dan layanan yang berkualitas sebanyak 12 orang dengan persentase sebesar 11,8%, staf yang kompeten, berpengetahuan, dan berlatih baik sebanyak 1 orang dengan persentase sebesar 1%, saluran komunikasi yang terbuka untuk umpan balik, komplain, atau terima kasih sebanyak 3 orang dengan persentase 2,9%, dan harga yang pantas untuk produk dan layanan perusahaan sebanyak 7 orang dengan persentase 6,9%.
Persentase Identitas Responden Berdasarkan Jumlah Minimal Berbelanja di Modern Retail. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan jumlah minimal berbelanja di modern retail menunjukkan bahwa responden yang jumlah minimal berbelanjanya di modern retail di Yogyakarta < Rp. 50.000 sebanyak 13 orang dengan persentase sebesar 12,7%, Rp. 50.001-Rp. 100.000 sebanyak 52 orang dengan persentase sebesar 51%, Rp. 100.001-Rp. 200.000 sebanyak 27 orang dengan persentase sebesar 26,5 %, dan > Rp. 200.000 sebanyak 10 orang dengan persentase sebesar 9,8%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Harga Barang. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan harga barang menunjukkan bahwa responden menyatakan harga barang yang dijual di modern retail adalah mahal sebanyak 13 orang dengan persentase sebesar 12,7%, yang menyatakan sedang sebanyak 80 orang dengan persentase sebesar 78,4%, 68
Persentase Identitas Responden Berdasarkan Jenis Membership Card yang Diminati. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan jenis membership card yang diminati menunjukkan bahwa responden yang berminat dengan membership card jenis diskon harga langsung sebanyak 54 orang dengan persentase sebesar 52,9%, uang kembali sebanyak 5 orang dengan persentase sebesar 4,9%, buy one get one free sebanyak 8 orang dengan persentase sebesar 7,8%, pelayanan spesial sebanyak 3 orang dengan persentase sebesar 2,9%, serta staf yang kompeten, berpengetahuan, dan sistem pengumpulan point dan hadiah sebanyak 32 orang dengan persentase sebesar 31,4%.
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
Persentase Identitas Responden Berdasarkan Rata-Rata Point. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan rata-rata point yang di dapatkan setiap kali berbelanja di Modern retail menunjukkan bahwa ≤ 10 point sebanyak 57 orang dengan persentase sebesar 55,9%, 11-50 point sebanyak 35 orang dengan persentase sebesar 34,3%, 51-100 point sebanyak 9 orang dengan persentase sebesar 8,8%, dan ≥ 100 point sebanyak 1 orang dengan persentase sebesar 1%. Persentase Identitas Responden Berdasarkan Frekuensi Penukaran Point Membership Card dengan Voucher yang Ditawarkan di Modern Retail. Hasil analisis persentase identitas responden berdasarkan frekuensi penukaran point membership card dengan voucher yang ditawarkan di modern retail menunjukkan bahwa responden yang berbelanja di modern retail dengan frekuensi 1 atau 2 kali sebanyak 71 orang dengan persentase sebesar 69,6%, frekuensi 3 atau 4 kali sebanyak 25 orang dengan persentase sebesar 24,5%, frekuensi 5 atau 6 kali sebanyak 4 orang dengan persentase sebesar 3,9%, dan frekuensi ≥ 7 kali sebanyak 2 orang dengan persentase sebesar 2%. Uji Model Regresi (Adjusted R2 dan F Test) Setelah dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas dan dinyatakan bahwa semua indikator penelitian telah valid dan reliabel maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengolahan data untuk melakukan uji hipotesis penelitian. Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi linier berganda.
Dari tabel nilai Adjusted R Square, besarnya adjusted R Square adalah 0.512, hal ini berarti 51,2% variasi loyalitas pengunjung atau pemegang membership card dapat dijelaskan oleh variasi dari ke empat variabel independen kepuasan pengunjung atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card, kepuasan pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pengunjung memiliki membership card, kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card, dan kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memilki membership card. Sedangkan sisanya (100% - 51,2% = 48,8%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain diluar model. Berdasarkan tabel, dapat dilihat bahwa H0 ditolak, karena F hitung > F tabel (27,517 > 2,47). Sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel independen, yaitu kepuasan pengunjung atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card (X1), kepuasan pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pengunjung memiliki membership card (X2), kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card (X3), dan kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memilki membership card (X4) secara bersama-sama mempunyai pengaruh signifikan terhadap variabel dependen loyalitas pengunjung atau pemegang membership card (Y).
69
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
Tabel 2. (Uji Signifikansi Pengaruh Secara Parsial) Hipotesis H1
Variabel Kepuasan atas manfaat diskon Kepuasan atas H2 pelayanan yang lebih baik Kepuasan kemudahan H3 layanan Kepuasan atas H4 pelayanan spesial Sumber: Hasil olah data Keterangan: *) t hitung > t tabel Berdasarkan analisis dengan bantuan software SPSS 17, diperoleh t hitung = 2,722. Dari sini dapat dilihat bahwa t hitung kepuasan pengunjung atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card diatas t tabel (2,722 > 1,98). Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pengunjung atas manfaat diskon yang didapat dari kepemilikan membership card secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Berdasarkan analisis dengan bantuan software SPSS 17, diperoleh t hitung = 1.158. Dari sini dapat dilihat bahwa t hitung kepuasan pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pengunjung memiliki membership card dibawah t tabel (1,158 < 1,98). Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan pengunjung atas pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sejak pengunjung memiliki membership card secara parsial tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Dari hasil wawancara dengan responden, ketika para responden belum memiliki membership card, pihak staf modern retail di Yogyakarta telah dan terus mengedepankan kualitas pelayanan yang terbaik kepada setiap pengunjungnya 70
T test 2,722
T tabel 1,98
Pengujian Signifikan *)
1,158
1,98
Tidak Signifikan
2,920
1,98
Signifikan *)
2,494
1,98
Signifikan *)
bahkan sampai pengunjungnya memiliki membership card. Berdasarkan analisis dengan bantuan software SPSS 17, diperoleh t hitung = 2,920. Dari sini dapat dilihat bahwa t hitung kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card diatas t tabel (2,920 > 1,98). Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan atas manfaat mendapatkan kemudahan layanan dari pihak modern retail sejak pengunjung memiliki membership card secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card. Berdasarkan analisis dengan bantuan software SPSS 17, diperoleh t hitung = 2,494. Dari sini dapat dilihat bahwa t hitung kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memilki membership card diatas t tabel (2,494 > 1,98). Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan atas manfaat mendapat pelayanan spesial dari pihak modern retail sejak pengunjung memilki membership card secara parsial memiliki pengaruh signifikan terhadap loyalitas pengunjung atau pemegang membership card.
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
PEMBAHASAN Pada tabel hasil uji t terlihat bahwa ada pengaruh yang signifikan dari kepuasan atas manfaat diskon yaitu dengan t hitung > t table (2,722 > 1,98). Berdasarkan hal ini maka hipotesis 1 dapat didukung atau terbukti. Kepemilikan membership card memberikan kepuasan atas manfaat diskon kepada para pengunjung modern retail. Kepuasan tersebut ditimbulkan dari dapatnya pengunjung untuk membeli produk lebih banyak, penghematan pengeluaran, menjadi lebih sering berkunjung ke modern retail, harga produk diskon sebanding dengan kualitas produk yang dijual, dan harga produk yang di diskon menjadi lebih murah dibandingkan dengan produk yang belum di diskon. Pada tabel hasil uji t terlihat bahwa ada pengaruh yang signifikan dari kepuasan kemudahan layanan yaitu dengan t hitung > t table (2,920 > 1,98). Berdasarkan hal ini maka hipotesis 3 dapat didukung atau terbukti. Kepemilikan membership card memberikan kepuasan kemudahan layanan kepada para pengunjung modern retail. Kepuasan tersebut di dapat dari adanya kemudahan dalam sistem pembayaran, fasilitas delivery service bila membeli produk sesuai dengan persyaratan tertentu, adanya prosedur/sistem yang lebih singkat pada saat ditawarkan program-program khusus (misalnya undian berhadiah), dan mendapat kemudahan layanan dari pihak modern retail. Pada tabel hasil uji t terlihat bahwa ada pengaruh yang signifikan dari kepuasan atas pelayanan spesial yaitu dengan t hitung > t table (2,494 > 1,98). Berdasarkan hal ini maka hipotesis 4 dapat didukung atau terbukti. Kepemilikan membership card memberikan kepuasan atas pelayanan spesial kepada para pengunjung modern retail. Kepuasan tersebut di dapat dari mendapatkan informasi produk dan harga secara khusus (misalnya dalam bentuk katalog),
mendapatkan harga istimewa dari modern retail, dan manfaat yang jauh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan ketika berbelanja di modern retail. Pada tabel hasil uji t juga ditemukan 1 variabel yang tidak signifikan yaitu kepuasan atas pelayanan yang lebih baik sehingga hipotesis 2 tidak dapat didukung atau tidak terbukti. Berkaitan dengan kepuasan atas pelayanan yang lebih baik yang tidak terlalu dirasakan oleh pengunjung modern retail disebabkan tidak adanya peningkatan pelayanan yang lebih baik dari staf modern retail sebelum maupun setelah pengunjung modern retail memiliki membership card. Pengunjung juga merasakan biasa saja atau netral ketika ditanyakan apakah dengan memiliki membership card, responden “dilayani lebih baik”. Hal inilah yang menyebabkan kepuasan atas pelayanan yang lebih baik tidak signifikan mempengaruhi loyalitas pengunjung modern retail.
KESIMPULAN, KETERBATASAN, DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pengolahan data yang dilakukan, maka ada temuan yang dapat diperlihatkan. Terdapat tiga variabel yang signifikan mempengaruhi loyalitas pengunjung, yaitu variabel kepuasan atas manfaat diskon, kepuasan kemudahan layanan, dan kepuasan atas pelayanan spesial. Sementara itu, kepuasan atas pelayanan yang lebih baik tidak berpengaruh terhadap loyalitas pengunjung modern retail. Keterbatasan dan Saran Bagi Penelitian Selanjutnya Penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu diperhatikan, yaitu: waktu penelitian yang sangat pendek, membuat peneliti kesulitan 71
JRMB, Volume 7, No.1 Juni 2012
mencari responden yang representatif. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, dalam arti tidak dilakukaan secara terprogram berdasarkan jam pengamatan tertentu secara berkala. Pengambilan sampel sebaiknya dilakukan secara periodik, misalnya pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Hal ini dimaksudkan agar dapat memenuhi keberagaman responden yang berkunjung ke modern retail. Berikut adalah saran untuk penelitian berikutnya yang perlu dilakukan yaitu pemfokusan (hanya satu) jenis modern retail yang dijadikan sampel penelitian. Misalnya, hanya Matahari Departemen Store saja. Hal ini dikarenakan setiap modern retail memiliki style dan fasilitas yang berbeda-beda dalam melayani setiap pengunjungnya. Selain itu, guna meningkatkan besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, sebaiknya dimasukkan variabel-variabel lainnya, misalkan kualitas pelayanan dan kekuatan merek dari modern retail yang bersangkutan.
Kotler, P., and Armstrong, G. 2005. Principles of Marketing. New Jersey:Prentice Hall. Kotler, P., dan Armstrong, G. 2008. Prinsip-prinsip Pemasaran. (edisi 12). Jakarta: Penerbit Erlangga. Kuncoro, M. 2009, Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta, Erlangga. Kuncoro, M. 2003. Metode Riset untuk Bisnis & Ekonomi. Jakarta: Erlangga. Rahmanta. 2009. Aplikasi Eviews Dalam Ekonometrika. Medan: Universitas Sumatera Utara. Rangkuti, F. 2005. Marketing Analysis Made Easy. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
DAFTAR REFERENSI
Santoso, S. 2009. Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17. Jakarta: PT, Elex Media Komputindo.
Barnes, J.G. 2003. Secrets of Customer Relationship Management. Yogyakarta: Andi.
Sekaran, U. 2006. Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Ghozali,
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alfabeta.
I. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Badan PenerbitUndip.
Hasan, I.. 2002. Pokok-Pokok Materi Statistik 1 (Statistik Deskriptif). Jakarta: Bumi Aksara. Hermanto 2011. “Implementasi Kartu Anggota dan Pengaruhnya dalam Meningkatkan Loyalitas Konsumen Alfamart di Dasana Indah, Tangerang, Banten”. Metris, 12 (2): 117 – 124 72
Suryadarma, D. 2007. Dampak Supermarket terhadap Pasar dan Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian SMERU. Tjiptono, Fandy. 2007. Pemasaran Jasa. Malang: Bayumedia Publishing.
PENGARUH KEPUASAN KEPEMILIKAN MEMBERSHIP CARD, ………………………………...(Alfa Santoso Budiwidjojo Putra)
Widjaja, A. 2008. Dasar-dasar Customer Relationship Management(CRM). Jakarta: Harvarindo. Wijaya, S. dan Thio, S. 2007. Implementasi Membership card dan Pengaruhnya dalam Meningkatkan Loyalitas Pelanggan Restoran di Surabaya. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra. Surabaya. Winoto, C. 2005. Analisa penerapan customer relationship management melalui Matahari Club Card di Surabaya. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra. Surabaya.
73
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING ………………………………………………………………...………...(Joko Susanto)
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING LANGSUNG DI ASEAN Joko Susanto Fakultas Ekonomi UPN “Veteran” Yogyakarta Jl. Lingkar Utara, Condong Catur, Depok, Sleman E-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research analysis the factors’ that determine the foreign direct investment (FDI) in ASEAN’s countries especially Indonesia, Malaysia, Philippine and Thailand during 19902009. Multinational Enterprises’ (MNE) must decide to choose a location for relocating its’ factory by market seeking dan resources seeking strategy. Based on this statement, it can be obtained the regression equation with foreign direct investment is a function of market size, worker’s productivity and infrastructure of road. Statistical data of UNESCAP was used in this research. The regression was base on the panel data model, while the estimation was based on common effects model. This results show that the market size, worker’s productivity and availability of infrastructure road could be an importance consideration for MNE’s in their choice for FDI. Keywords: foreign direct investment, market size, worker’s productivity, infrastructure of road
PENDAHULUAN Penanaman modal asing langsung dipandang merupakan komponen pokok dalam pembangunan ekonomi di negaranegara sedang berkembang. Penanaman modal asing langsung merupakan katalisator dalam pembangunan industri (Markusen, 1997). Dengan pertimbangan manfaat penanaman modal asing langsung terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang, maka pemerintah negara-negara tersebut mengeluarkan kebijakan guna mempermudah investasi. Berbagai kesempatan dan kemudahan diberikan bagi perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Enterprises=MNEs)) untuk melakukan
penanaman modal asing langsung di wilayahnya (UNTACD, 2004). Demikian pula dengan pemerintah negara-negara ASEAN yang melakukan berbagai promosi investasi guna menarik investor asing untuk melakukan investasi di kawasan Asia Tenggara (Uttama, 2005). Beberapa negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand) menawarkan insentif khusus kepada investor asing seperti tax holiday, import duty exemption dan subsidi terhadap infrastruktur. Manfaat penanaman modal asing langsung dapat dirasakan oleh negara penerima antara lain berupa masuknya modal dan teknologi baru, dan meningkatnya employment (Haddad dan Harrison, 1993 : 53). 75
JRMB, Volume 7, No 1 Juni 2012
Sebaliknya perusahaan-perusahaan multinasional juga berupaya untuk mencari lokasi produksi baru yang dipandang lebih menguntungkan. Proses produksi perusahaan multinasional melibatkan kepemilikan, internalisasi dan keunggulan lokasi. Aspek yang terakhir ini merupakan aspek penting sehingga investor harus cermat dalam memilih lokasi produksinya. Pertimbangan pemilihan lokasi akan mencakup berbagai faktor seperti ketersediaan bahan baku, luasnya pasar di negara penerima investasi, biaya transportasi, tingkat pendapatan masyarakat, produktivitas pekerja, ketersediaan infrastruktur, dan kebijakan ekonomi pemerintah setempat (Dunning, 1983). Hal ini berarti antara pemerintah negara-negara ASEAN dan perusahaan multinasional sebenarnya memiliki kepentingan sama. Pemerintah berkepentingan dengan manfaat penanaman modal asing langsung baik berupa pertumbuhan ekonomi, peningkatan employment dan masuknya teknologi baru. Sementara itu, perusahaan multinasional berkepentingan dengan biaya produksi yang lebih murah dan peningkatan pangsa pasar. Selanjutnya penelitian ini akan mengkaji determinan penanaman modal asing di negara-negara ASEAN yang meliputi Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand. KAJIAN LITERATUR Perkembangan teori penanaman modal asing langsung mencakup aktivitas perusahaan multinasional baik secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal, pengambilan keputusan pada perusahaan multinasional berupa upaya untuk memperoleh keunggulan dalam supply pasar regional (market seeking). Sementara itu, secara vertikal perusahaan multinasional juga berupaya untuk dapat 76
memperoleh keunggulan biaya produksi dengan cara mengakses sumber daya yang lebih murah (resource seeking) (Uttama, 2005). Pemilihan lokasi berdasar aspek market seeking akan mendasarkan pada pertimbangan faktor-faktor seperti luasnya pasar dan pendapatan masyarakat di negara penerima investasi (Blomström dan Kokko, 2003). Salah satu kriteria luas pasar adalah besarnya produk domestik bruto (PDB). Negara-negara yang memiliki PDB tinggi merupakan wilayah yang potensial sebagai basis untuk melakukan pemasaran. Sementara itu, pemilihan lokasi berdasar aspek resource seeking adalah pertimbangan biaya produksi di negara penerima investasi. Biaya produksi yang lebih rendah merupakan modal bagi peningkatan daya saing produk. Untuk itu perusahaan multinasional akan membandingkan faktor-faktor seperti upah, produktivitas pekerja dan ketersediaan infrastruktur (Kurniati, 2009). Untuk pertimbangan upah pekerja, maka perusahaan multinasional belum tentu memilih negara yang memiliki tingkat upah terendah. Hal ini dikarenakan upah berkaitan dengan produktivitas pekerja (Mamman et al, 1996: 102). Perusahaan lebih berkepentingan dengan produktivitas pekerja yang menggambarkan kemampuan pekerja untuk menghasilkan output. Pekerja yang produktif mampu mengoperasikan peralatan/ kapital dengan lebih efisien sehingga biaya produksi lebih rendah. Bagi sebagian pengusaha, tingkat upah yang rendah akan menurunkan moral pekerja sehingga berdampak negatif bagi kinerja perusahaan (Bewley, 1998). Pertimbangan lain dalam pemilihan lokasi negara penerima investasi adalah ketersediaan infrastruktur (Easterly dan Rebelo, 1993). Infrastruktur ini mencakup berbagai prasarana fisik seperti jaringan
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING ………………………………………………………………...………...(Joko Susanto)
jalan raya, pelabuhan, bandara, dan fasilitas komunikasi. Ketersediaan infrastruktur dapat meningkatkan penanaman modal asing langsung. Infrastruktur yang memadai merupakan hal esensial karena perusahaan menginginkan akses yang bagus baik terhadap konsumen maupun supplier. Infrastruktur merupakan bagian esensial dalam proses produksi (Naguis dan Tang, 2001). Ketersediaan infrastruktur menyebabkan proses produksi dapat berlangsung dengan lebih efisien. Biaya produksi dapat diturunkan sehingga perolehan laba akan meningkat. Investasi dalam infrastruktur merupakan salah satu upaya untuk menarik masuknya penanaman modal asing langsung. Perusahaan multinasional sangat memperhatikan faktor ketersediaan dan kualitas infrastruktur termasuk infrastruktur jalan. Investasi dalam sarana transportasi misalnya akan membuat perdagangan internasional dapat dilakukan dengan biaya lebih rendah. Biaya transportasi yang murah akan dapat menyebabkan tingginya mobilitas perusahaan (Naguis dan Tang, 2001). Pengembangan infrastruktur merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari strategi pemerintah untuk menarik masuknya penanaman modal asing langsung (Kumar, 2001). Perusahaan multinasional akan mempertimbangkan efisiensi biaya produksi dalam merelokasi industrinya. Luasnya pasar, ketersediaan pekerja yang produktif dan ketersediaan infrastruktur merupakan faktor penentu bagi masuknya penanaman modal asing langsung. Selanjutnya penelitian ini mengajukan hipotesis bahwa luas pasar, produktivitas pekerja, dan infrastruktur jalan di ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand) merupakan faktor yang menentukan bagi penanaman modal asing
langsung yang masuk ke negara-negara tersebut. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data dari publikasi United Nations Economic Social Commission for Asia and the Pasific (UNESCAP) yang terdapat pada website http://www.unescap.org. Data yang digunakan mencakup jumlah penanaman modal asing yang masuk ke negara-negara Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand, dan produktivitas pekerja dan kondisi infrastruktur di keempat negara ASEAN tersebut selama periode 1990-2009. Berikut akan dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel. Penanaman modal asing langsung adalah keseluruhan penanaman modal asing langsung yang masuk ke negara Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand. Satuan yang digunakan adalah juta dollar AS. Luas Pasar diproksi dengan Produk Domestik Bruto yang menggambarkan besarnya pendapatan masyarakat di ASEAN (Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand). Produk domestik bruto diukur berdasarkan harga konstan tahun 2005 dan dinyatakan dalam milyar dollar AS. Produktivitas pekerja adalah ratarata nilai tambah yang dihasilkan oleh tiap-tiap sektor ekonomi dibagi jumlah pekerja pada sektor bersangkutan. Satuan yang digunakan adalah ribu dollar AS per pekerja per tahun. Infrastruktur adalah prosentase panjang jalan yang telah beraspal di negara Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand. Satuan yang digunakan adalah persen. Penelitian ini meliput kondisi empat negara ASEAN mulai tahun 1990 sampai dengan 2009. Cakupan negara dibatasi pada negara Indonesia, Malaysia, Philipina 77
JRMB, Volume 7, No 1 Juni 2012
dan Thailand, dengan pertimbangan bahwa keempat negara tersebut memiliki karakteristik yang relatif sama sehingga perilaku tiap-tiap negara relatif sama. Hal ini berarti data penelitian merupakan data panel atau gabungan data runtun waktu dan belah silang. Penggunaan data panel mempunyai keunggulan dibandingkan data runtun waktu atau belah silang murni. Penggunaan data panel akan menaikkan derajat kebebasan dan mengurangi kolinieritas antar variabel penjelas sehingga menghasilkan koefisien estimasi yang efisien. Data panel juga dapat mengontrol heterogenitas individual dan mengurangi bias akibat agregasi beberapa unit belah silang (Baltagi, 2003: 5). Selanjutnya, dalam ilmu ekonomi ketergantungan suatu variabel terikat atas variabel – variabel bebas jarang yang bersifat seketika. Sangat sering variabel terikat bereaksi terhadap variabel bebas dengan suatu selang waktu (Gujarati : 2003) Selang waktu tersebut dinamakan lag. Analisis regresi perlu memperhatikan adanya selang waktu (lag) tersebut. Dengan kata lain diwujudkan dalam suatu bentuk model dimanis. Model dinamis diperlukan karena variasi variabel endogen pada periode yang berlaku tidak hanya ditentukan oleh variasi variabel eksogen dalam periode yang sama. Variabel endogen perlu selang waktu (lag) untuk menanggapi variabel eksogen. Salah satu isu penting dalam pembentukan model dinamis adalah penentuan panjang lag. Model regresi dengan lag yang terlalu pendek berisiko terjadi kesalahan spesifikasi (mispecified), sedangkan model regresi dengan lag terlalu panjang berakibat terjadinya pengurangan derajat kebebasan. Guna memilih panjang lag yang tepat, maka penentuan panjang lag dalam penelitian ini menggunakan kriteria Akaike (AIC). Kriteria AIC unggul dan mampu 78
memprediksi panjang lag dengan lebih baik (Liew, 2004). Sementara itu, untuk mengetahui apakah suatu set variabel berkointegrasi ataukah tidak maka dilakukan uji kointegrasi. Pendekatan ini berkaitan dengan kemungkinan adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antar variabel ekonomi seperti dikehendaki teori ekonomi. Uji kointegrasi menggunakan model yang dikemukakan oleh Kao (1999). Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi data panel. Analisis dilakukan berdasar model regresi berikut. Yit b0 b1 X 1it b2 X 2it b3 X 3it u it ...(1) Y adalah penanaman modal asing langsung; X1 adalah luas pasar; X2 adalah produktivitas pekerja; X3 adalah presentase jalan beraspal; i adalah dimensi belah silang (negara); t adalah dimensi runtun waktu (tahun); b1 , b2 dan b3 adalah koefisien yang merepresentasikan respons terhadap penanaman modal asing langsung dari variabel luas pasar, produktivitas pekerja, dan infrastruktur jalan. Tanda koefisien yang diharapkan dari Persamaan (1) adalah b1 > 0, b2 > 0 dan b3 > 0. Model regresi data panel berbeda dengan regresi runtun waktu. Perbedaan ini terlihat pada efek individual ditunjukkan oleh intercept yang bersifat spesifik untuk setiap unit belah silang (Gujarati, 2003: 642). Akan tetapi efek individual ini juga dimungkinkan sama untuk semua unit belah silang. Untuk memilih model yang lebih unggul apakah intercept berbeda-beda atau intercept sama dilakukan uji F terkendala (Baltagi, 2003 : 14). Apabila hasil pengujian menunjukkan Fhitung < F tabel maka model dengan intercept sama lebih unggul daripada model dengan intercept berbeda, dan sebaliknya.
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING ………………………………………………………………...………...(Joko Susanto)
Selanjutnya apabila hasil uji F terkendala menunjukkan model yang lebih unggul adalah model dengan intercept berbeda untuk setiap unit belah silang, maka dikenal model fixed effects dan random effects. Untuk mengetahui model yang lebih baik apakah fixed effects ataukah random effects digunakan uji Hausman.
HASIL PENELITIAN Hasil pengujian kointegrasi dengan model Kao menunjukkan adanya penolakan terhadap hipotesis H0 yang menyatakan tidak adanya kointegrasi. Dengan demikian variabel-variabel dalam model berkointegrasi atau memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang (Tabel 1). Residual yang dihasilkan dari model regresi ini bersifat stasioner I(0).
Tabel 1. Hasil Pengujian Kointegrasi Kao Nomor 1.
Nilai Statistik Kao -1,939 *)
Probabilitas 0,026
Keterangan: *) signifikan pada (α = 5% ) Setelah diketahui bahwa variabelvariabel dalam model berkointegrasi, maka selanjutnya dilakukan uji F terkendala untuk memilih model yang lebih unggul apakah model dengan intercept berbedabeda atau intercept sama. Hasil pengujian F terkendala menunjukkan nilai F hitung sebesar 0,931. Sementara itu nilai F tabel ( 5% ) sebesar 2,758. Hal ini berarti Fhitung < F tabel sehingga model dengan intercept sama lebih unggul daripada model dengan intercept. Oleh karena model yang unggul adalah model dengan
intercept sama untuk tiap unit belah silang maka tidak dilakukan pengujian Hausman. Langkah selanjutnya adalah menentukan panjang lag yang tepat. Berdasar kriteria Akaike, maka panjang lag yang tepat adalah 1 tahun (Tabel 2). Panjang lag sebesar 1 tahun menghasilkan nilai Akaike terendah. Dengan demikian estimasi berdasar lag sebesar 1 tahun akan mampu menghindari kesalahan spesifikasi (mispecified) model akibat lag terlalu pendek dan pengurangan derajat kebebasan akibat lag terlalu panjang.
Tabel 2 Hasil Penentuan Panjang Lag Nomor Panjang Lag Nilai Akaike 1 1 1*) 18,019 2 1 2 18,084 3 2 2 18,486 Keterangan: *) panjang lag optimum Setelah panjang lag yang tepat diketahui, maka langkah selanjutnya adalah mengestimasi persamaan regresi.
Melalui pengujian redundant coefficient guna mereduksi paramater-paramater yang tidak signifikan diperoleh hasil estimasi 79
JRMB, Volume 7, No 1 Juni 2012
sederhana. Hasil pengujian redundant coefficient menunjukkan F hitung lebih kecil daripada F tabel ( 5% ) sehingga
tidak signifikan (Tabel 3). Dengan demikian model reduksi dapat digunakan sebagai dasar analisis (Tabel 4).
Tabel 3 Pengujian Redundant Coefficient No.
Variabel direduksi
1. X1,t-1, X2i,t-1, dan X3,t
F hitung 2,314
F tabel 5% 2,525
Kesimpulan Model reduksi tidak ditolak
Tabel 4 Hasil Estimasi No.
Variabel
Koefisien
t-statistik
1. -1280,041 -1,382 C 2. 7,984 1,763)* X1i,t 3. 73,889 1,912)* X2 i,t 4. 38,919 3,105)* X3 i,t-1 Keterangan: Adjusted R2 = 0,301 dan *) signifikan pada (α = 5% ) PEMBAHASAN Variabel luas pasar (X1i,t), produktivitas pekerja (X2i,t) dan infrastruktur jalan tahun sebelumnya (X3i,t1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penanaman modal asing langsung di keempat negara ASEAN. Sementara itu, intercept tidak signifikan secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa apabila di suatu negara tidak terdapat pasar, produktivitas pekerja dan infrastruktur jalan, maka tidak akan ada penanaman modal asing langsung yang masuk ke negara tersebut. Pertambahan luas pasar (X1i,t), yang diproksi dengan PDB, sebesar 1 milyar dollar AS akan mengakibatkan kenaikan jumlah penanaman modal asing langsung sebesar 7,984 juta dollar AS, cetiris paribus. Kenaikan PDB menunjukkan 80
t-tabel (α =5%) -1,645 1,645 1,645 1,645
kenaikan daya beli sehingga permintaan akan barang dan jasa meningkat. Negaranegara yang memiliki PDB tinggi merupakan wilayah yang potensial sebagai basis pemasaran. Motif untuk mendapatkan pelanggan baru merupakan dorongan bagi perusahaan multinasional untuk melakukan investasi di luar negeri. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa luas pasar merupakan faktor penentu bagi masuknya penanaman modal asing langsung ke negara-negara ASEAN. Sementara itu, produktivitas pekerja (X2i,t) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penanaman modal asing langsung. Koefisien regresi produktivitas pekerja sebesar 73,889 menunjukkan bahwa apabila produktivitas pekerja naik sebesar 1 ribu dollar per pekerja, maka penanaman modal asing
DETERMINAN PENANAMAN MODAL ASING ………………………………………………………………...………...(Joko Susanto)
langsung akan mengalami kenaikan sebesar 73,889 juta dollar, cetiris paribus. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa produktivitas pekerja di negara-negara ASEAN merupakan faktor penentu bagi masuknya penanaman modal asing langsung ke negara tersebut. Peningkatan produktivitas pekerja menunjukkan peningkatan jumlah output yang dapat dihasilkan oleh seorang pekerja. Peningkatan produktivitas pekerja akan menurunkan biaya tenaga kerja per unit output. Penurunan biaya tenaga kerja dapat menurunkan biaya produksi. Industri dengan biaya produksi rendah akan dapat bersaing sekaligus meningkatkan pangsa pasarnya. Peningkatan pangsa pasar membuat perusahaan dapat menikmati economies of scale sehingga perolehan laba meningkat. Sementara itu, infrastruktur jalan tahun sebelumnya (X3i,t-1), yang diproksi dengan persentase jalan diaspal, berpengaruh positif terhadap penanaman modal asing langsung. Apabila prosentase jalan diaspal tahun sebelumnya naik sebesar 1 persen, maka penanaman modal asing langsung tahun berjalan mengalami kenaikan sebesar 38,919 juta dollar, cetiris paribus. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa ketersediaan infrastruktur jalan di negara-negara ASEAN merupakan faktor penentu bagi masuknya penanaman modal asing langsung ke wilayah tersebut. Faktor infrastruktur ini dirasa penting karena kegiatan perusahaan tidak akan dapat terlepas dari ketersediaan infrastruktur. Perusahaan perlu memiliki akses baik terhadap supplier maupun konsumennya. Perusahaan memerlukan bahan baku yang harus didatangkan dari daerah lain. Demikian pula perusahaan harus mengirimkan/memasarkan outputnya ke daerah lain. Perbaikan sarana transportasi baik menuju lokasi supplier maupun pasar output dapat menekan biaya pemesanan bahan baku dan pengiriman
barang jadi sehingga biaya total dapat berkurang. KESIMPULAN DAN KETERBATASAN Luas pasar, produktivitas pekerja dan ketersediaan infrastruktur jalan di Indonesia, Malaysia, Philipina dan Thailand merupakan faktor penentu masuknya penanaman modal asing langsung di negara-negara bersangkutan. Dalam penelitian ini, variabel infrastruktur diproksi dengan prosentase jalan diaspal. Sementara itu masih terdapat infrastuktur lain yang juga dipertimbangkan oleh perusahaan multinasional. Hal ini dikarenakan keterbatasan data. Publikasi dari UNESCAP tidak menyajikan data infrastuktur secara terperinci. Untuk itu, penelitian berikutnya dapat mencermati aspek infrastuktur berdasar publikasi selain dari UNESCAP.
DAFTAR REFERENSI Baltagi, B. H. 2003. Econometric Analysis of Panel Data. John Wiley and Sons, Bewley, T.F. 1998. “Why Not Cut Pay”. European Economic Review, 42: 459-490. Blomström, M. dan Kokko, A. 2003. “The Economics of Foreign Direct Investment Incentives”. Working Paper, 168, January. Dunning, J.H. 1993. Multinational Enterprises and the Global Economy, Reading: Addison-Wesley. Easterly, W. and Rebelo, S. 1993. “Fiscal Policy and Economic Growth: An 81
JRMB, Volume 7, No 1 Juni 2012
Empirical Investigation”. Journal of Monetary Economics, 32: 417-458. Gujarati, D.N.2003. Basic Econometric. McGraw-Hill, Inc. Haddad, M. dan Ann, H. 1993. “Are There Positive Spillovers from Direct Foreign Investment ? ”. Journal of Development Economics, 42:51-74. Kao, C., 1999. “Spurious Regression and Residual-Based Tests for Cointegration in Panel Data”. Journal of Econometrics, 90: 1–44 Kumar, N. 2001. “Infrastructure Availability, Foreign Direct Investment Inflows and Their Exportorientation: A Cross-Country Exploration”. Working paper, Research and Information System for Developing Countries. Kurniati, Y., Prasmuko, A. dan Yanfitri, 2007. Determinan FDI, Working Paper, WP/06/2007, Bank Indonesia Liew, V. 2004. "Which Lag Length Selection Criteria Should We
Employ?." 33:1−9.
Economics
Bulletin,
Mamman, A., Sulaiman, M. dan Fadel, A. 1996. “Attitude to Pay Systems: an Explanatory Within and Across Culture”, The International Journal of Resource Management, 7: 101121. Markusen, J.R. 1997. “Trade Versus Investment Liberalization”. Working Paper No. 6231. National Bureau of Economic Research. Naguis, R., Paul J. G. and Tang, 2001. “Competing with Public Infrastructure: Ineffective or Unwelcome”, International Conference Faculte des Affaires Internationales, September. UNCTAD, 2004. “World Investment Report: The Shift towards Services”. Uttama, N. 2005. “Foreign Direct Investment in ASEAN Countries: An Empirical Investigation”, Discussion Papers, University of Nantes. UNESCAP, http://www.unescap.org/stat/
82
JRMB, Volume 7, No.1, Juni 2012
PEDOMAN PENULISAN JURNAL RISET MANAJAMEN & BISNIS (JRMB) Standar Format Umum 1. Naskah yang ditulis untuk JRMB meliputi hasil penelitian dan hasil telaah atau konseptual pemikiran dalam bidang manajemen dan bisnis. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai gaya selingkung yang ditentukan. 2. Penulis mengirim tiga eksemplar naskah dan satu compact disk (CD) yang berisikan naskah tersebut kepada redaksi. Satu eksemplar dilengkapi dengan nama dan alamat sedang dua lainnya tanpa nama dan alamat yang akan dikirim kepada mitra bestari. Naskah dapat dikirim juga melalui e-mail. 3. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa artikel tersebut belum pernah dipublikasikan. 4. Naskah dan CD dikirim kepada Dewan Redaksi Jurnal Riset Manajemen & Bisnis (JRMB) Fakultas Bisnis Universitas Kristen Duta Wacana Jalan Dr. Wahidin S. No. 5 – 19, Yogyakarta 55224 Telpon (0274) 563929, Fax (0274) 513235 e-mail:
[email protected] Standar Format Penampilan 1. Naskah diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas A4 berat 80 gram, jarak 2 spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin kiri 4 cm, serta margin atas, kanan dan bawah masing-masing 3 cm. 2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel dikelompokan bersama pada lembar terpisah dibagian akhir Naskah. 3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point. 4. Naskah ditulis maksimum sebanyak 30 halaman termasuk gambar dan tabel. Standar Sistematika Penulisan Artikel 1. 2.
3.
4.
Artikel hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Metode, Hasil, Pembahasan, Simpulan, Saran, dan Daftar Rujukan. Artikel Konseptual atau hasil pemikiran (kajian pustaka) terdiri atas Judul, Nama Penulis, Alamat Penulis, Abstrak, Pendahuluan, Pembahasan, Simpulan, dan daftar Rujukan. Judul ditulis ringkas, spesifik, dan lugas yang menggambarkan isi artikel. Judul dalam bahasa Indonesia tidak boleh lebih dari 12 kata, sedangkan judul dalam bahasa Inggris tidak boleh lebih dari 10 kata. Judul ditulis dengan huruf kapital dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletak ditengah-tengah tanpa titik. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi penulis yang dilengkapi dengan nomor telpon, fax, dan e-mail.
JRMB, Volume 7, No 1 Juni 2012
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Abstrak dan kata kunci (keyword) ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris). Panjang masing masing abstrak ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 150 kata. Abstrak mengandung uraian minimal berisi tentang tujuan, metode, hasil utama, dan simpulan yang ditulis dalam satu spasi. Kata kunci (keyword) ditulis miring, berkisar 3 - 5 (tiga sampai lima) kata, satu spasi setelah abstrak. Pendahuluan berisi latar belakang, konteks penelitian, pustaka yang mendukung, tujuan penelitian, dan harapan hasil penelitian. Seluruh bagian pendahuluan dipaparkan secara terintegrasi dalam bentuk paragraf-paragraf, dengan panjang 5-15% dari total panjang artikel. Kajian Literatur dan Pengembangan Hipotesis (jika ada). Berisi tentang penjelasan dan prediksi teoritis, model teoritis dan hasil riset sebelumnya atas isu atau fenomena yang dibahas dan uraian pengembangan hipotesis. Metoda berisi paparan dalam bentuk paragraf tentang rancangan penelitian, sasaran penelitian (populasi dan sampel), teknik pengumpulan data, pengembangan pengukuran, dan teknik analisis data, dengan panjang 10-20% dari total panjang artikel. Hasil Penelitian menyajikan uraian hasil penelitian berkaitan dengan tujuan penelitian. Deskripsi hasil penelitian disajikan secara jelas. Deskripsi dan interpretasi hasil berkaitan dengan hasil (bersih) analisis data. Pemakaian tabel, grafik atau bagan sangat disarankan untuk meperjelaskan hasil. Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang dikaitkan dengan tujuan penelitian. Pembahasan menjelaskan mengapa hasil penelitian demikian, memapar logika perolehan temuan, menginterpretasi temuan, dan mengaitkan dengan teori atau hasil penelitian yang relevan. Panjang paparan hasil penelitian dan pembahasan 40-60% dari panjang artikel Pembahasan (khusus tulisan konseptual atau hasil pemikiran) memuat kupasan masalah yang dikaji, bersifat analitik, argumentatif, logis, kritis, dan yang terpenting menunjukkan pendirian atau sikap penulis. Panjang paparan pembahasan 40-60% dari panjang artikel. Bagian simpulan dan saran. Simpulan berisi jawaban atas tujuan penelitian dan khusus tulisan koseptual: penegasan pendirian penulis. Pemberian saran memuat keterbatasan penelitian serta saran penelitian ke depan dan bagi praktis. Simpulan dan saran disajikan dalam bentuk paragraf. Kutipan Kutipan dalam teks dibuat dalam format nama, tahun, seperti Dittmar dan Thakor (2006) untuk awal kalimat, dan (Dittmar dan Thakor,2006) untuk akhir kalimat. Jika Penulis lebih dari dua dipergunakan et al. Setelah penulis pertama, seperti: Garardi, et al. (2010). Untuk referensi yang lebih dari satu, kutipan didasarkan atas kronologi tahun atau urutan abjad jika terdapat tahun yang sama. Contoh (Marosi dan Massoud, 2008; Cohen dan Smitz, 2009; Verdelhan, 2010) atau (Hoberg dan Phillips, 2010; Liberti and Mian, 2010; Verdelhan, 2010) Daftar Referensi a. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka primer (jurnal) minimal 80%. b. Hanya memuat referensi yang diacu dalam artikel dan ditulis secara alfabetis berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. c. Cara penulisan daftar Referensi seperti yang dipakai pada JRMB/JRAK berikut ini:
JRMB, Volume 7, No.1, Juni 2012
Jurnal Dittmar, A. and Thakor, A. 2006. “Why do Firms Issue Equity?”. Journal of Finance, 62 (1): 1-54 Buku Mooler, R. R. 2007. Caso Enterprise Risk Management: understanding the new integrated ERM Framework. New Jersey: Jhon Willey & Son, Inc. Buku Kumpulan Artikel Keasey, K. And Wright, M. (Eds.) 1997. Corporate Governance: Responsibilities, Risk and Remuneration. New York: New Jersey: Jhon Willey & Son, Inc. Prosiding Ernyan dan Husnan, S. 2002. Perbandingan Underpricing Penerbitan Saham Perdana Perusahaan Keuangan dan Non-Keuangan di Pasar Modal Indonesia: Pengujian Hipotesis Asimetrik Informasi. Prosiding, Simposium Nasional Keuangan dalam Rangka Dies Natalis Ke 47 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta, 28 Sepetember 2002. Fakultas Ekonomi, UGM, Yogyakarta. Halaman 43-56. Artikel dalam Buku Ezzamel, M. and Watson, R. 1997. Executive Remuneration and Corporate Performance. In: K. Keasey & M. Wright. Eds. Corporate Governance: Responsibilities, Risk and Remuneration. Jhon Willey & Son, Inc., New York Skripsi/Tesis/Disertasi Terry, S. D. 2010. Pengaruh Corporate Governance Terhadap Peringkat dan Yield Obligasi. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Duta Wacana. Yogyakarta Internet French, K. R. 2005. Data Library, http://www.mba.tuck.dartmouth.edu/pages/faculty/ ken.french/data library.html, Diakses 10 Januari, 2011 Dokumen Resmi (ECFIN) Institute for Economic and Financial Research. 2011. Indonesian Capital Market Directory, 2011 Twenty-Second Edition Ilustrasi a. Tabel tidak menggunakan garis jaringan (gridlines), cukup gunakan garis horisontal di atas atau di bawah heading kolum dan di bawah baris akhir tabel atau panel. b. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, diagram, peta, bagan, dan gambar diberi nomor urut. Judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point, masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan huruf capital, dengan jarak 1 spasi. c. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi. d. Penulisan angka desimal dalam bentuk tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan dengan koma (,) dan untuk bahasa Inggris digunakan titik (.).
JRMB, Volume 7, No 1 Juni 2012
e. Nama Latin, Yunani, atau Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik. f. Satuan pengukur menggunakan Sistem Internasional (SI).
Standar Mekanisme Penyuntingan Naskah 1. Naskah harus mengikuti gaya selingkung yang telah ditetapkan. Naskah yang sesuai dengan gaya penulisan diteruskan ke Dewan Penyunting untuk ditelaah diterima atau ditolak, tetapi Naskah yang tidak sesuai akan dikembalikan ke penulis untuk diperbaiki. 2. Naskah yang diterima atau naskah yang formatnya sudah diperbaiki selanjutnya dicarikan Penyunting Ahli (Mitra Bestari) tentang rekomendasi kelayakan terbit. Naskah yang sudah ditelaah oleh Mitra Bestari ada empat kemungkinan rekomendasi: dapat diterima tanpa revisi, dapat diterima dengan revisi kecil (revisi oleh mitra bestari dan penyunting pelaksana), dapat diterima dengan revisi mayor (perlu direview lagi setelah revisi penulis), dan tidak layak muat. 3. Apabila terjadi ketidaksesuaian di antara para Mitra Bestari, Dewan Penyunting dapat membuat keputusan untuk menerima berdasarkan pada suara mayoritas mitra bestari. Keputusan penolakan Dewan Penyunting dikirimkan kepada penulis serta alasan penolakannya. 4. Naskah yang mengalami perbaikan dikirim kembali ke penulis untuk perbaikan. Naskah yang sudah diperbaiki oleh penulis diserahkan kepada Dewan Penyunting untuk diteruskan kepada Penyunting palaksana/pelaksana Tata Usaha. 5. Contoh Cetak Naskah sebelum terbit dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan. 6. Naskah siap cetak dan cetak lepas (off print) dikirim ke penulis.