Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGEMBANGAN POTENSI SUMBERDAYA PETANI MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPATIF Pantjar Simatupang1 dan Nizwar Syafa’at2 Kepala Pusat1 dan Kepala Bidang Program dan Evaluasi 2, Puslitbang Sosial Ekonorni Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
PENDAHULUAN 1.
Pembangunan pertanian memasuki milenium ketiga dihadapkan kepada perubahan lingkungan strategis baik yang bersifat eksternal (globalisasi) maupun internal. Kemampuan produk pertanian domestik di pasar global menghadapi tantangan yang semakin komplek, karena landasan pembangunan ekonomi yang dibangun selama ini mengalami kemunduran akibat dari adanya krisis yang berkepanjangan.
2.
Perubahan lingkungan strategis global ini mengarah kepada semakin kuatnya liberalisasi perdagangan dan membawa berbagai konsekuensi terhadap pasar komoditas pertanian Indonesia. Sementara itu tekanan internal, antara lain jumlah penduduk yang terus meningkat, mempengaruhi penawaran tenaga kerja dan permintaan terhadap produk pertanian serta meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya pertanian, seperti antara lain sumberdaya lahan, sumberdaya air dan plasma nutfah.
3.
Pemberlakuan UU No. 29/1999 dan UU No. 25/1999 memberikan implikasi yang sangat strategis yaitu ―pendaerahan‖ manajemen pembangunan termasuk di dalamnya pembangunan pertanian. Dengan memberikan hak, wewenang dan tanggung jawab kepada daerah, maka pembangunan mendatang harus sangat didasarkan kepada potensi dan peluang yang tersedia di masing-masing daerah. OIeh karena itu daerah harus lebih mampu memberdayakan dan melibatkan secara penuh komunitas dan unit-unit kelembagaan masyarakat yang ada di masing-masing wilayah yang bersangkutan.
4.
Penerapan inovasi teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam pemanfaatan sumberdaya petani yang terbatas sesuai kondisinya masing-masing. Dengan penerapan inovasi teknologi tepat guna diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi, produktivitas, peningkatan efisiensi dan mutu produk yang selanjutnya akan membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan masyarakat. Sistem agribisnis dimaksud mencakup empat subsistem utama, yaitu (1) subsistem hulu (pengadaan sarana); (2) subsistembudidaya pertanian (on-farm); (3) subsistem hilir (pengolahan hasil dan pemasaran); serta (4) subsistem pendukung (prasarana dan fasilitasi). Pengembangan setiap subsistem agribisnis memerlukan rekayasa don adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan mutu produk, sehingga berdaya saing tinggi. Inovasi teknologi mutlak diperlukan dalarn pengembangan potensi sumberdaya petani bagi peningkatan kesejahteraan mereka.
POTENSI SUMBERDAYA PETANI 1. Sumber Alam 5.
Sumberdaya alam di bidang pertanian mencakup sumberdaya tanah, air, iklim, kelautan dan hayati. Diantara sumberdaya alam tersebut tanah dan air mendapat tekanan sangat berat akibat dari perubahan dinamika ekonomi. Dilain pihak sumberdaya kelautan dan hayati belum cukup dimanfaatkan secara optimal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya menahan laju konversi lahan pertanian subur menjadi sangat penting, khususnya sawah beririgasi teknis, termasuk meningkatkan intensitas pemanfataan dan produktivitasnya secara lestari dengan merehabilitasi sarana pengairan, sehingga memungkinkan peningkatan intensitas tanam dan diversifikasi pertanian berskala luas. Konversi penggunaan untuk kegiatan luar sektor pertanian telah menekan penggunaan lahan untuk pertanian.
6.
Indonesia diakui oleh dunia sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang sangat besar mencakup plasma nutfah tanaman pangan, hortikultura, tanaman industri, perkebunan,
1
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
perikanan dan peternakan. Namun demikian keanekaragaman hayati tersebut bersifat semu karena masih berupa potensi. Kemampuan untuk menggali, rnemanfaatkan dan mengembangkannya belum optimal. Melalui rekayasa teknologi, plasma nutfah dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan penyediaan pangan, sandang, papan dan farmasi serta produk bio-kimia lainnya. 7.
Salah satu strategi dasar dalam pengembangan agribisnis yang merupakan program utama pembangunan pertanian adalah pemanfaatan dan perluasan spektrum pertanian yang bertitik tolak dari potensi dan keragaman sumberdaya alam serta kondisi sosial ekonomi, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya dan lingkungannya. Pembangunan pertanian harus didasarkan atas potensi lahan yang keberhasilannya tergantung pada pilihan komoditas serta sistem usaha yang sesuai dengan karakteristik potensi tersebut. Berbagai langkah perlu diambil dalam rangka pengembangan sumberdaya alam secara optimal antara lain, adalah: a. Pengenalan sifat dan karakteristik lahan antara lain iklim, tanah, air, topografi, veqetasi dan penggunaan tanah; b. Menetapkan kesesuaian lahan dengan melakukan analisis kesesuaian antara kualitas dan karakteristik lahan dengan persyaratan penggunaan lahan; c. Menetapkan tingkat manajemen yang diperlukan untuk setiap penggunaan lahan. Berbagai tingkat pengelolaan diperlukan sesuai dengan sifat dan karakteristik lahan tersebut; d. Menilai kesesuaian lahan bagi pengembangan berbagai komoditas tanaman dan peternakan; e. Menentukan pilihan komoditas atau tipe penggunaan lahan tertentu yang secara fisik sesuai dan secara ekonomis menguntungkan.
2. Sumberdaya Sosial-Ekonomi 8.
Pada periode tahun 1980-1998 angkatan kerja di Indonesia meningkat dari 51,2 juta menjadi 87,0 juta orang, atau peningkatan laju 4% per tahun. Sektor pertanian berperan besar dalam penyerapan angkatan kerja/kesempatan kerja tersebut. Dalam tahun 1980 kesempatan kerja di pertanian mencapai 27,3 juta orang (66,2% angkatan kerja) rnenjadi 33,5 juta orang (58,3% angkatan keja) di tahun 1998. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk desa masih menggantungkan hidupnya pada usaha pertanian. Kemampuan dalam penyerapan tenaga kerja yang besar tersebut menjadikan sektor pertanian sangat penting dan menonjol dalam perekonomian nasional.
9.
Dari aspek kuantitas, sumberdaya manusia yang bekerja di pertanian lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Namun secara kualitas, sebagian besar sumberdaya manusia tersebut dinilai rendah apabila diukur dengan tingkat pendidikannya. Dalam tahun 1998 sejumlah 14,34% tenaga kerja yang bekerja di pertanian tidak sekolah, 26,25% tidak tamat SD, 43% berpendidikan SD tamat, 10,38% berpendidikan SLTP, 4 SLTA dan sisanya yang pernah menempuh pendidikan tinggi hanya sekitar 0,30%. Kenyataan menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan berkorelasi negatif dengan keinginan mereka bekeria di sektor pertanian, terutama dibidang budidaya pertanian. Upayaupaya untuk menciptakan kondisi yang membuat citra usaha pertanian menjadi suatu sektor usaha yang prospektif dan nyaman, harus ditingkatkan untuk menarik SDM berpendidikan lebih tinggi berkiprah di pertanian. Salah satu kebijaksanaan yang harus ditempuh adalah dengan rnengembangkan agribisnis dengan kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi.
10. SDM di pedesaan relatif besar berpotensi tinggi untuk membangun pedesaan dalam pengembangan agribisnis. SDM ini, terutama golongan muda cukup responsif terhadap sentuhan inovasi untuk meningkatkan profesionalisme mereka dalam mendukung pengembangan agribisnis yang berdaya saing tinggi. Budaya masyarakat pedesaan menghargai tata nilai yang mencirikan kemajuan, seperti kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati tinggi. Hal ini merupakan salah satu potensi besar untuk dijadikan penggerak kemajuan agribisnis setempat. Solidaritas masyarakat pedesaan, terutama tingkat ―kampung‖ relatif sangat tinggi. Hal ini merupakan potensi besar untuk membangun agribisnis dengan basis kolektivitas masyarakat setempat. Nilai harmoni yang dijunjung tinggi oleh umumnya masyarakat pedesaan memberikan andil yang besar terhadap penguatan solidaritas seternpat. 11. Struktur masyarakat di tingkat bawah relatif egaliter. Hal ini merupakan basis yang kuat untuk menerapkan prinsip-prinsip obyektif dan rasional dalam rangka pengembangan kelompok-kelompok agribisnis di pedesaan. Kepemimpinan lokal umumnya didasarkan pada apresiasi masyarakat setempat dan faktor kepemimpinan ini masih sangat efektif untuk menggerakan masyarakat
2
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
pedesaan. Dengan semakin tingginya apresiasi pemimpin lokal terhadap inovasi di bidang agribisnis, peran pemimpin lokal ini akan memberikan andil yang besar terhadap pengembangan agribisnis di pedesaan. Potensi sumberdaya sosial dapat dijadikan penggerak kemajuan ekonomi pedesaan dan sekaligus penghela kesejahteraan (dan keadilan) masyarakat petani 12. Usaha agribisnis dipedesaan didominasi oleh usaha rumah tangga pertanian, yang sebagian besar niemiliki dan/atau menguasai lahan sempit dan berpendapatan rendah. Secara nasional 51% petani mengusahakan tanah lebih kecil dari 0,5 ha. Akses kepada permodalan juga sangat lemah, dan sebagal akibatnya usaha mereka tidak dapat berkembang, untuk memungkinkan dihasilkannya produk-produk berdaya saing tinggi dan selanjutnya memperoleh pendapatan yang layak. Usaha mereka pada umumnya bertitik berat kepada budidaya pertanian, sehingga kurang menikmati nilai tambah dari keseluruhan proses agnibisnis.
MEMBANGUN AGRIBISNIS DI PEDESAAN 13. Agribisnis didefinisikan pertama kali oleh David dan Golberg (1957) sebagai berikut ―Agribusiness is the sum total of all operations involved in the manufacture and all distribution of farm supplies; production activities on the farm; and the storage, processing and distribution of farm commodities and items made from them‖. 14. Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa pengertian tentang agnibisnis pertanian dalam arti luas; Pertama, jenis kegiatan usaha, yaitu yang berkaitan dengan pertanian. Agribisnis mencakup kegiatan produksi pertanian primer atau umum dikenal sebagai kegiatan usahatani, serta kegiatan terkait dalam pertanian luas, yaitu produksi dan distribusi input pertanian, penyimpanan, pengolahan dan distribusi komoditi pertanian berikut produk-produk turunannya serta pembiayaan usaha-usaha tersebut. Namun kiranya patut dicatat bahwa usaha inti dari setiap bidang usaha agribisnis tersebut ialah usaha produk pertanian primer atau usahatani. Pabrik pupuk ada karena ada usahatani yang membutuhkan pupuk. Agroindustni ada karena ada produk pertanian yang menghasilkan bahan baku pabrik agroindustri tersebut. Agribisnis dapat pula disebut sebagai usaha pertanian, kegiatan usaha berkaitan dengan pertanian. 15. Kedua, agribisnis mengacu pada sifat atau orientasi usaha pertanian sebagai usaha komersial yang mengejar laba. Usaha pertanian berorientasi pasar. Usaha pertanian yang bersifat subsisten (memenuhi kebutuhan sendiri) atau hobi tidak termasuk agribisnis. Usahatani, termasuk usahatani keluarga, skala kecil, tidak berorientasi memaksimalkan volume produksi, tetapi mengoptimalkan perolehan laba. Tambahan laba merupakan motivasi utama dalam mengadopsi suatu teknologi baru. Oleh karena itu, tambahan laba marjinal (benefit) dan penurunan biaya (marjinal cost) merupakan dua kriteria ekonomi teknologi unggul. 16. Ketiga, usaha agribisnis bersifat otonom. Sebagai suatu perusahaan komersial, agribisnis dikelola secara bebas oleh pemiliknya dan dan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik tersebut. Petani, misalnya, bebas dalam memilih komoditas, teknologi dan periggunaan sarana maupun prasarana usahatani yang digunakan. Prinsip ini merupakan syarat mutlak bagi suatu perusahaan komersial privat. Di Indonesia, kebebasan petani telah dikukuhkan secara yuridis, yaitu melalui Undangundang Sistem Budidaya Tanaman. ini berarti, pemerintah atau pihak manapun tidak boleh memaksa petani untuk menanam komoditas tertentu atau menggunakan input maupun teknologi tertentu, sepanjang hal itu tidak dilarang oleh peraturan hukum. Jika demi kepentingan umum, pemerintah mengharuskan petani rnenanam komoditas tertentu atau rnenggunakan teknologi tertentu, maka petani boleh memperoleh kompensasi atas kerugian yang ditimbulkannya. 17. Keempat, masalah usahatani bersifat sistemik, tidak hanya terletak pada usahatani (on-farm) melainkan juga bahkan kerap lebih banyak di luar usahatani (off-farm). Masalah pembangunan pertanian haruslah didiagnosa dan diatasi berdasarkan pendekatan sistem. Usahatani hendaklah dipandang sebagai Inti dari suatu sistem agnibisnis berbasis komoditas yang dihasilkan oleh usahatani tersebut. Setiap komponen usaha dalam sistim agribisnis tersebut turut berpengaruh terhadap keragaan usahatani. Sebagai contoh, gejala perlambatan perkembangan usahatani padi, boleh jadi merupakan akibat dari gejala saturasi inovasi teknologi usahatani padi yang merupakan fungsi dari komponen Litbang Pertanian. Dari contoh ini jelas kiranya bahwa fungsi Litbang teknologi Pertanian merupakan salah satu esensi sistem agribisnis.
3
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
18. Kelima, agribisnis sebagai paradigma pembangunan. Setiap komponen agribisnis dipandang sebagai sebuah sistem yang terpadu secara vertikal mulai dari pengadaan input pertanian sampai dengan distnibusi produk-produk pertanian ke tangan konsumen akhir. Dengan kata lain, agribisnis harus dikelola secara ―integratif‖. ini merupakan sebuah paradigma baru dalam pembangunan sektor pertanian di Jndonesia. Sebagai faktor pemadu (the coordinating factor) adalah pasar. Sebagaimana dikemukakan oleh Mosher (1966), adanya pasar bagi produk-produk pertanian merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi agar pembangunan pertanian dapat berjalan. Oleh karena itu, semua kegiatan agribisnis mulai dari yang paling hilir sampai dengan yang paling hulu harus diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar, baik dari segi ketepatan kuantitas, kualitas maupun waktu. 19. Agar sistem agribisnis secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable), semua unit kegiatan agribisnis secara ekonorni harus mampu hidup (economically viable), Untuk itu, unit-unit usaha dalam struktur vertikal agribisnis harus ―mampu menciptakan laba‘ (profit making enterprise). Minimal ada dua kondisi yang diperlukan untuk mendukung hal itu. Salah satunya adalah bahwa semua unit usaha agribisnis secara vertikal mulai da hulu sampai hilir harus saling mendukung dan mennperkuat satu sama lain (mutually supportive and reinforcing). Semua unit usaha secara vertikal tidak boleh bersaing dan saling mematikan. Persaingan boleh terjadi hanya secara horizontal yang rnengarah pada meningkatnya efisiensi. Kondisi lainnya ada bahwa unit usaha di masing masing simpul vertikal agribisnis harus bekerja efisien, yaitu mampu mengalokasikan sumberdaya ekonomi yang dimilikinya secara optimal. ini hanya dapat dilakukan oleh surnberdaya rnanusia (manajer dan pekerja) yang mempunyai tingkat kecakapan tinggi (profesional). 20. Kegiatan agribisnis dapat dipengaruhi oleh keputusan atau tindakan koordinator agribisnis, yang terdiri dari pemerintah, manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis), pendidik dan peneliti. Pemenintah seringkali sangat menentukan arah perkembangan agribisnis melalui berbagai kebijakan dan program yang ditetapkannya. Kebijakan dan program tersebut mencakup berbagai bidang, antara lain intensifikasi, ekstensifikasi, rehabilitasi, irigasi, transportasi, distribusi sarana produksi, energi, pemasaran hasil pertanian, harga-harga, penanaman modal, pewilayahan komoditi, fiskal dan moneter. Peran utama pemerintah adalah sebagai regulator, fasilitator dan dinamisator, sehingga koordinasi vertikal kegiatan sistem agribisnis dan unit-unit usaha yang terlibat di dalamnya secara keseluruhan dapat berjalan secara terpadu dan terkoordinasi secara baik dengan memperhatikan secara seksama lingkungan strategis (sumberdaya alam, sosial, ekonomi, politik) yang terus bergerak secara dinamis sehingga sistem agribisnis secara keseluruhan mampu terus berkembang dan berkelanjutan. 21. Para manajer agribisnis (termasuk asosiasi bisnis) juga menentukan keberhasilan kegiatan agribisnisnya. Informasi yang lengkap tentang semua kegiatan agribisnis, kebijakan dan program baru pemerintah, teknologi, hasil-hasil penelitian serta perkembangan lingkungan strategis perlu dikuasai untuk dapat membuat keputusan bisnis secara lebih tepat (bagi perusahaan) maupun untuk merumuskan program dan kebijakan pembangunan agribisnis yang efektif dan efisien (bagi pemerintah). 22 Para pendidik di bidang pertanian dan sosial ekonomi mempunyai kontribusi besar dalam pengembangan agribisnis. Dunia pendidikan formal yang menciptakan manusia terampil dan berpengetahuan luas yang diperlukan oleh pemerintah dan perusahaan, maupun pendidikan nonformal yang memberikan bekal ketrampilan dan pengetahuan kepada para petani dan pelaku agribisnis lainnya sangat dibutuhkan. Dengan meningkatnya kompetisi antar pelaku bisnis dan antar negara, produk-produk yang dihasilkan tidak hanya didasarkan atas sumberdaya yang ada (resource base), tetapi yang lebih penting didasarkan atas ilmu pengetahuan (knowledge base). Kegiatan pendidikan dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan swasta, termasuk LSM. 23. Kegiatan penelitian juga sangat diperlukan untuk pengembangan agribisnis. Lingkup kegiatan penelitian yang diperlukan tidak hanya menghasilkan pembaharuan atau temuan-temuan teknologi di bidang budidaya saja, tetapi juga teknologi di bidang pengolahan, penyimpanan dan transportasi hasil pertanian. Evaluasi yang sifatnya komprehensif tentang efek sosial dan ekonomi dari kebijaksanaan dan program pemerintah terhadap perkembangan agribisnis juga menjadi bagian sangat vital dalam kegiatan penelitian. Teknologi yang senantiasa berubah merupakan salah satu syarat mutlak bagi pembangunan pertanian. Penelitian dan pengembangan pertanian merupakan salah satu simpul kritis dalam sistem agribisnis.
4
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
24. Visi yang dimainkan diataslah yang menjadi dasar kenapa pemerintah, saat ini mengadopsi strategi pembangunan sistem dari usaha guna memacu pembangunan pertanian. Strategi baru ini jelas membutuhkan kerjasama sernua pihak. Pembangunan pertanian tidak hanya tanggung jawab Departemen Pertanian saja melainkan tanggung jawab semua pihak yang mandat kerjanya termasuk dalam sistem agribisnis. 25. Di dalam struktur perekonomian Indonesia, agribisnis mempunyai spektrum yang sangat luas, yaitu dari usaha yang dikelola oleh keluarga-keluarga dengan sumberdaya yang sangat terbatas, sampai dengan tingkatan perusahaan yang bersifat supranasional. Luasnya spektrum pengembangan agribisnis tersebut menghendaki perencanaan yang seksama dalam melakukan pilihan, seperti mampu rnemanfaatkan semua sumberdaya potensial secara optimal, mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan yang dihadapi, mampu menyesuaikan diri dalam pola struktur produksi terhadap perubahan baik teknologi maupun permintaan serta mampu berperan positif di dalam pembangunan pedesaan, wilayah rnaupun nasional. 26. Agribisnis rnerupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonornian nasional. Peranan sektor agribisnis yang demikian besar dalam perekonomian nasional memiliki implikasi penting dalam pembangunan ekonomi nasional kedepan. Besarnya keterkaitan dengan berkembangnya sektor agribisnis ini terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya dapat diindikasikan dari multiplier effect yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan, karena karakteristik agribisnis memiliki kelebihan yaitu: (a) memiliki keterkaitan yang kuat antara hulu dan hilir, (b) menggunakan sumberdaya alam yang ada dan dapat diperbaharui, hal ini menjadi penting dalam kerangka pelestarian sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan terhadap kehidupan, (c) memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif baik di pasar domestik maupun di pasar internasional, (d) dapat menampung tenaga kerja dalam jumlah besar, dan (e) produknya pada umumnya bersifat cukup elastis, sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat yang berdampak semakin luasnya pasar. 27. Agribisnis mengimplikasikan perubahan kebijaksanaan di sektor pertanian, Pertama, produksi sektor pertanian harus lebih berorientasi kepada permintaan pasar, tidak saja pasar domestik tapi juga pasar luar negeri. Kedua, pola pertanian harus rnengalami transforrnasi dari sistem pertanian subsistem yang berskala kecil ke usahatani dalam skala ekonomi efisien. Hal ini merupakan keharusan, jika produk pertanian harus dijual di pasar bebas dan jika sektor pertanian harus menyediakan bahanbahan baku bagi sektor industri. Bagi negara yang memiliki potensi yang besar di sektor pertanian dan memiliki keunggulan komparatif, pembangunan harus bersifat resource based atau agrobased. 28. Agribisnis merupakan suatu sistem sejak dari kegiatan hulu, budidaya, hilir dan pendukung. Sebagai suatu sistem, kegiatan agribisnis tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dan saling terkait. Beberapa pengembangan agribisnis adalah: (a) berorientasi pasar (market oriented), yaitu menempatkan pendekatan supply-demand sebagai pertimbangan utama, (b) menerapkan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development), yaitu dengan memperhitungkan kesinambungan supply, demand dan sistem produksi jangka panjang, (c) keterkaitan subsistem budidaya dan subsistem lainnya perlu dijaga dan diseimbangkan, dan (d) dukungan sistem informasi, adanya data yang akurat dan mudah didapat setiap waktu mengenai produksi, permintaan, dan harga. 29. Beberapa langkah strategis yang harus ditempuh untuk memposisikan agribisnis sebagai andalan pembangunan pedesaan antara lain adalah sebagai berikut: a.
b.
c.
Kegiatan agribisnis dipandang sebagai suatu jaringan kegiatan ekonomi utuh, tidak tersekatsekat, sehingga responsif terhadap dinamika pasar, inovasi teknologi dan permodalan. Dengan cara pandang demikian fungsi agribisnis sebagal penggerak perekonomian bisa lebih ditonjolkan. Pengembangan agribisnis disesuaikan dengan keunikan lokasi. Hubungan kemajuan antar lokasi pengembangan agribisnis lebih bersifat saling melengkapi (komplementer). Selain itu, langkah ini memungkinkan keunggulan/kekhasan sumberdaya setempat dijadikan penggerak agribisnis yang khas pula. Pengelolaan agribisnis dibangun secara konsolidatif (baik vertikal maupun horizontal). Dengan cara demikian, asas efisiensi atau MES (Minimum Economic of Scale) dapat diterapkan termasuk dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi dan penyehatan ekosistem setempat.
5
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
30. Untuk lebih mendorong kegiatan di atas, diperlukan pengembangan (pola) kemitraan agribisnis konsolidatif yang diarahkan untuk menggantikan pola kemitraan yang berciri patronase. Dengan pola ini tidak dikenal lagi eksploitasi antar pelaku agribisnis, dalam suatu jaringan kegiatan agribisnis, baik secara terselubung, legal dan terbuka. Beberapa ciri dari pola ini adalah: (i) peran terbesar kegiatan agribisnis adalah petani, (ii) kegiatan agribisnis bersifat integratif, sehingga friksi antar kegiatan agribisnis dapat dieliminir, (iii) output suatu kegiatan agribisnis bersifat stabil, bernilal tambah tinggi, dan berstandar mutu tinggi, (iv) spesialisasi kerja dan rasionalisasi ekonomi dapat diharmonisasikan dengan cara pengelolaan agribisnis yang kooperatif, dengan koperasi sebagai lembaga ekonomi andalannya, dan (v) mudah diintegrasikan dengan pengembangan perekonomian pedesaan. 31. Pada waktu lalu, pelaksanaan pembangunan menghadapi persoalan, yang berkaitan dengan rendahnya partisipasi masyarakat dan tidak cukup berlanjutnya program-program yang diintroduksi. Sejumlah proyek yang sudah dilaksanakan tidak berkelanjutan, dalam arti tidak dilaksanakan lagi setelah ditinggalkan pelaksana proyek. Penyebab utama dari kondisi ini adalah akibat penyelenggaraan pembangunan yang cenderung sentralistik, dan kurangnya upaya ke arah pemberdayaan masyarakat sasaran. Petani lebih banyak hanya ditempatkan sebagai obyek dari kegiatan pembangunan dan pelaksanaan kegiatan cenderung dibuat seragam tanpa banyak melihat tingkat perkembangan kapasitas kelembagaan petani. 32. Pada masa yang akan datang, sejalan dengan semangat desentralisasi perlu dilakukan berbagai penyesuaian dengan menjadikan masyarakat petani sebagai subyek atau pelaku utama pembangunan, melalui paradigma yang bersifat people-centered, particioatory, empowering, and sustainable. Dalam bentuk yang lebih sederhana, keempat sifat tersebut dapat diramu menjadi dua kata kunci, yaitu pemberdayaan dan partisipasi rnasyarakat. Pemberdayaan terkandung makna keberpihakan. Artinya kekuatan (daya) yang berasal dari dan dimiliki masyarakat dicoba diperkuat dangan unsurunsur dari luar, sehingga dihasilkan kekuatan yang lebih besar untuk mencapai sesuatu yang dikehendaki. Pengembangan masyarakat melibatkan unsur norma dan perilaku orang-orang, maka sebenarnya sisi yang hendak dicapai adalah pengembangan kelembagaan yang terdiri dari dua bagian besar yaitu organisasi dan aturan main. 33. Pengembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju ke arah perbaikan aturan hubungan antara orang-orang dalann rnasyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yang dikehendaki. Karena proses tersebut melibatkan unsur norma dan perilaku manusia, maka proses tersebut akan memerlukan waktu. Dengan demikian pengembangaan kelembagaan akan berisi program-program untuk menangani berbagai masalah secara sistematis dan terencana. 34. Dalam pembangunan berbasis komunitas, sumberdaya yang tersedia di masyarakat, baik sumberdaya fisik maupun non fisik harus mampu dimanfaatkan menurut kebutuhan setempat. Hal ini dimungkinkan karena program pembangunan dapat diprioritaskan sesuai dengan kebutuhan riil. Komunitas atau masyarakat lokal yang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan implementasinya akan lebih responsif untuk turut memikul tanggung jawab pengelolaan pelaksanaan kegiatan. Hal ini akan membantu mengurangi biaya yang perlu disediakan pihak pemerintah. Disamping itu pengetahuan dan ketrampilan lokal (ind, technical know-how) mampu diadaptasikan untuk membantu penghematan biaya dan peningkatan keuntungan. Pemikiran di atas secara eksplisit menggambarkan keikutsertaan masyarakat sebagai mitra pembangunan, dan bukan lagi sebagai kelompok sasaran. Dalam kegiatan ini partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, terutama dalam bentuk partisipasi yang bersifat mobilisasi spontan yang diartikan secara positif.
REKAYASA DAN PENERAPAN TEKNOLOGI PARTISIPAT1F A. Peran Inovasi Teknologi Dalam Perkembangan Agribisnis 35. Keunggulan bersaing merupakan salah satu syarat mutlak bagi eksistensi dan pertumbuhan berkelanjutan suatu usaha agribisnis dalam tatanan pasar persaingan bebas era globalisasi. Saat ini daya saing pada dasarnya ialah kemampuan lebih baik dari pesaing dalam hal menghasilkan barang dan jasa sesuai preferensi konsumen. Preferensi konsumen dicerminkan oleh atribut produk seperti jenis, mutu, volume, waktu dan harga. Semua ini sangat ditentukan oleh basis kegiatan produksi.
6
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Basis keunggulan kompetitif agribisnis dapat dikelompokkan menjadi: 1. Keunggulan komparatif limpahan sumberdaya lahan dan air 2. Keunggulan komparatif limpahan tenaga kerja 3. Keunikan agroekosistem lahan 4. Keunggulan teknologi 5. Keunggulan manajemen Keunggulan (1) - (3) termasuk kategori keunggulan komparatif berbasis alamiah (natural resource base) yang lebih ditentukan oleh karunia Ilahi. Namun, agribisnis tetap memerlukan inovasi teknologi dan manajemen, sebagai komplemen guna mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Agribisnis modern lebih banyak mengandalkan keunggulan teknologi dan manajemen sebagai basis keunggulan kompetitifnya. Inovasi teknologi dan manajemen, termasuk pada tingkat perusahaan dan pemerintahan, merupakan produk dan penelitian dan pengembangan. Oleh karena itulah penelitian teknologi pertanian merupakan salah satu komponen utama sistem agribisnis progresif. 36. Dalam era globalisasi ekonomi dan perdagangan seperti sekarang ini dan juga di masa datang, dimana ekonomi pedesaan dan nasional sudah terintegrasi dengan ekonomi global, isu yang paling utama dalam dunia bisnis adalah memenangkan persaingan global. Dalam hal ini, kemajuan teknologi diharapkan mampu memberikan sumbangan besar dalam peningkatan daya saing produk agribisnis. Daya saing dapat ditingkatkan melalui penggunaan teknologi yang dapat menurunkan biaya per unit output (unit-output cost = UOC), meningkatkan volume, dan menyesuaikan karakteristik kualitas produk dengan preferensi konsumen.. Dengan turunnya UOC, komoditas pertanian Indonesia akan mempunyai keunggulan biaya (cost advantage) dibanding komoditas yang sama yang diproduksi di negara lain. Jika dikombinasikan dengan kesesuaian volume dan kualitas produk, maka daya saing komoditas pertanian primer atau produk agribisnis Indonesia dapat ditingkatkan sehingga kemampuan untuk menembus pasar ekspor atau membendung arus impor makin tinggi. Oleh karena itu, teknologi di masing-masing simpul agribisnis, mulai dari bidang produksi sampai dengan pemasaran hasil, harus terus berkembang. B. Teknologi untuk Meningkatkan Kapasitas Produksi 37. Teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi ialah yang meningkatkan perolehan volume produksi dari satu unit faktor produksi yang menjadi pembatas (the limiting factor of production). Kalau yang menjadi faktor pembatas ialah lahan maka teknologi tergolong kategori ini meliputi yang mampu meningkatkan produktivitas lahan per satuan luas per satuan waktu (land management technology). Termasuk dalam hal ini ialah teknologi yang meningkatkan produkttvitas lahan per panen dan frekuensi panen per tahun (intensitas pertanaman). Contoh teknologi semacam ini ialah benih unggul hasil (high yield) dan benih unggul umur genjah (short maturnity) atau kombinasi keduanya. 38. Jika usahatani didominasi oleh usaha keluarga, seperti yang berlaku di Indonesia, seringkali yang menjadi faktor pembatas ialah ketersediaan tenaga kerja keluarga atau tenaga pengelola usahatani. Dalam kondisi demikian, kapasitas produksi dapat ditingkatkan dengan mengadopsi teknologi yang mampu mengurangi kebutuhan tenaga kerja keluarga untuk manajemen seperti mekanisasi pertanian. Dengan mekanisasi pertanian maka skala usahatani yang dapat dikelola keluarga dapat ditingkatkan. 39. Peningkatan kapasitas produksi pada dasarnya berfungsi untuk meningkatkan efisiensi teknis faktor produksi maupun efisiensi skala usaha. Efisiensi teknis dan skala usaha rnerupakan elemen penentu utama efisiensi ekonomi yang menjadi penentu daya saing harga jual produk agribisnis. Oleh karena itu, teknologi yang mampu meningkatkan kapasitas produksi agribisnis sangatlah penting untuk meningkatkan pendapatan pelaku agribisnis maupun untuk peningkatan daya saing agribisnis domestik. 40. Dalam konteks nasional (agregat), peningkatan kapasitas produksi merupakan salah satu sumber pertumbuhan produksi. Volume produksi agregat yang cukup besar merupakan faktor kunci bagi tumbuh kernbangnya komponen usaha agribisnis terkait. Agroindustri, misa!nya hanya dapat berkembang jika skala produksi usahatani primer cukup besar dan kontinu menurut waktu. Volume produksi agregat juga bermanfaat untuk meningkatkan efisiensi pemasaran melalui ‖precuriary economics”. Semakin besar volume pasar (thick market) semakin murah ongkos transaksi pasar.
7
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
C. Teknologi untuk Menurunkan Biaya Pokok Produksi 41. Ada dua kelompok teknologi yang dapat digunakan untuk menurunkan biaya pokok produksi, yaitu (a) teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas produksi (capacity development), dan (b) teknologi yang dapat menurunkan jumlah biaya (cost reduction). Prinsip jenis teknologi pertama adalah menggunakan jumlah input (atau jumlah biaya) yang relatif sama untuk rnenghasilkan jumlah output jauh lebih besar. 42. Teknologi yang berfungsi untuk meningkatkan kapasitas produksi sudah dibahas sebelumnya. Contoh konkrit berikut hanyalah untuk lebih rnemperjelas. Jenis teknologi ini yang paling populer adalah penggunan benih unggul baru. Ciri utama benih unggul baru adalah sangat responsif terhadap input yang diberikan sehingga jumlah produksi dapat dinaikkan berlipat-ganda dalam waktu lebih pendek sehingga UOC menjadi jauh lebih rendah. Penelitian ―bio-teknologi‖ dapat menghasilkan berbagai benih unggul baru. Beberapa contoh antara lain adalah varietas IR untuk padi, varietas Pioneer dan CPI untuk jagung, klon GT1 untuk karet, jenis Simmental untuk sapi potong, Friesch Holstein (FH) untuk sapi perah, Etawa untuk kambing, Alabio untuk itik, dan ayam ras untuk pedaging dan petelur, dan masih banyak contoh-contoh lainnya, baik untuk tanaman pangan, sayuran, buab-buahan, perkebunan maupun peternakan. Penggunaan benih unggul tersebut perlu dikombinasikan dengan teknik budidaya yang baik, antara lain adalah penggunaan pupuk pabrik secara berimbang, air irigasi, pengaturan jarak tanam dan pengendalian organisme pengganggu tanaman untuk tanaman, dan penggunaan pakan berkualitas dan vaksin untuk hewan. 43. Kelompok teknologi kedua adalah penggunaan alat dan mesin pertanian (alsintan). Prinsip penggunaan alsintan adalah menurunkan jumlah biaya untuk rnenghasilkan jumlah produksi yang sama. Contohnya adalah traktor untuk mengolah tanah, sabit untuk panen padi, mesin perontok gabah, mesin pemipil jagung, mesin pengupas kopi, dan lain-lain. Penggunaan alsintan, selain dapat menurunkan jumlah penggunaan tenaga kerja manusia, juga dapat mempercepat waktu kerja dengan kualitas hasil kerja lebih baik. Penggabungan penggunaan kedua kelompok teknologi tersebut akan dapat menurunkan UOC lebih besar lagi. 44. Prinsip peningkatan kapasitas produksi dan penurunan biaya produksi tidak hanya diterapkan di bidang produksi pertanian primer saja, tetapi juga di semua simpul sistem agribisnis. Penggunaan rnesin-mesin otomatis dengan sistem ban berjalan di bidang pengolahan hasil akan mampu melakukan pengolahan hasil dalam jumlah jauh lebih besar dibanding mesin-mesin konvensional per satuan waktu. Dengan menggunakan mesin demikian, banyak simpul-simpul kegiatan kurang produktif yang dapat dipotong sehingga UOC menurun. 45. Demikian pula dalam transportasi hasil, penggunaan kendaraan bermotor dengan kapasitas besar dapat meningkatkan daya angkut, daya jangkau dan mempercepat waktu angkut, jika dibandingkan dengan rnenggunakan cikar, delman, gerobak, becak, dan lain-lain. Efeknya adalah menurunkan biaya angkut per unit output Penggunaan gerbong kereta api di wilayah-wilayah tertentu untuk mengangkut barang secara massal akan lebih efisien dibanding menggunakan truk. D. Teknologi untuk Meningkatkan/Memelihara Kualitas Produksi 46. Kualitas produk dapat diperbaiki atau dipertahankan dengan menggunakan teknologi tertentu. Kualitas produk sangat penting dilihat dari segi pemenuhan selera konsumen akhir. Di bidang produksi pertanian primer, varietas sangat menentukan kualitas hasil. Banyak sekali contoh yang dapat diambil, yang beberapa diantaranya adalah Rojo Lele atau Cianjur untuk beras (gurih dan harum), Manalagi untuk mangga (manis), Keprok untuk jeruk (segar dan manis), Arabica untuk kopi (nikmat), dan Brahman untuk sapi (empuk dan kurang berlemak). Produksi dari verietas-varietas tersebut mempunyai harga lebih tinggi dibanding varietas-varietas biasa. 47. Di bidang pengolahan hasil, kualitas produk dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi pengawetan, penambahan bahan baru, dan pengemasan. Beberapa contoh teknologi pengawetan adalah pengeringan dan pengalengan. Penambahan bahan baru dapat memperkaya kandungan kalori, mineral, vitamin, protein dan rasa, atau mengurangi kandungan unsur-unsur merugikan seperti lemak, kolesterol, asam urat, residu pestisida, dan lain-lain. Produk-produk dengan karakteristik demikian akan lebih disukai konsumen. Bentuk kemasan yang memudahkan dalam penggunaannya (usage ease) akan meningkatkan utilitas produk dan akan makin menarik bagi konsumen.
8
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
48. Kualitas produk dapat dipertahankan dengan menggunakan teknologi pengawetan sebagaimana telah disebutkan di atas, ditambah dengan teknologi panen, pengangkutan dan penyimpanan. Penggunaan teknologi panen yang baik akan dapat mencegah terjadinya kerugian karena kerusakan hasil. E. Teknologi untuk Pengembangan Produksi 49. Selera konsumen terus berubah karena membaiknya tingkat pendidikan dan makin cangggihnya teknologi informasi. Perubahan selera tersebut menuntut disediakannya produk-produk baru yang lebih menarik bagi mereka. Produk-produk lama akan ditinggalkan konsumen dan akan mengalami kejenuhan pasar. Demikian pula, komoditi pertanian yang kapasitas produksinya sudah lama mengalami stagnasi akan mengalami penurunan daya saing karena peluang untuk menurunkan UOC sudah tidak ada lagi. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan produk-produk baru agribisnis (product development) yang mempunyai kapasitas produksi lebih besar atau kualitas hasil lebih baik. 50. Di bidang produksi primer, penelitian di bidang rekayasa genetika (genetic engineering) sangat diperlukan. Penciptaan varietas-varietas baru yang mempunyai kapasitas produksi makin tinggi atau mempunyal kualitas lebih baik akan merupakan langkah sangat penting. Tanpa perubahan teknologi secara terus-menerus, pembangunan pertanian akan terhambat. Di bidang pengolahan hasil, pengembangan produk umumnya lebih mudah karena tidak berhadapan dengan masalah genetik yang sulit inntervensi, tetapi lebih pada sifat-sifat fisika dan kimia komoditi pertanian yang lebih mudah dimodifikasi dengan teknologi tertentu. F. Manajemen Usaha untuk Meningkatkan Efisiensi 51. Dengan menggunakan teknologi yang ada, efisiensi produksi dapat ditingkatkan melalul lima cara, yaitu (a) pengalokasian input secara optimal berdasarkan harga input dan output; (b) pengkombinasian input berdasarkan harga masing masing input dan harga output untuk jenis komoditas yang sama, (c) pengkombinasian output berdasarkan harga masing-masing output untuk jenis komoditas berbeda; (d) penggunaan ukuran usaha paling efisien; dan (e) penggunaan lingkup usaha paling efisien. 52. Cara pertama, dikenal dengan strategi efisiensi alokatif pada hubungan input- output (input-output relation) dengan tujuan untuk memperoleh biaya produksi paling rendah atau keuntungan maksimal sepanjang fungsi produksi atau teknologi yang ada. Makin tinggi rasio harga input terhadap harga output, maka penggunaan input akan makin kecil, produksi akan turun dan laba maksimum akan berkurang, ceteris paribus. Sebaliknya, makin rendah rasio harga tersebut, maka penggunaan input akan makin banyak (tetapi ada batas maksimumnya), produksi akan meningkat dan laba maksimum akan makin besar. Di bidang pertanian, jenis input yang harganya sangat berpengaruh adalah pupuk pabrik (Urea, ZA,TSP, KCl, NPK, dll) dan obatan-obatan (pestisida). 53. Cara kedua, dikenal sebagai strategi kombinasi input (input-input combination), yaitu kombinasi jenis input tergantung pada tingkat substitusi (substitutability) antar input variabel. Tingkat penggunaan input dipengaruhi oleh rasio antar harga input yang bersangkutan dan terhadap harga output. Biasanya, substitusi input terjadi antara tenaga kerja dan modal, misalnya pemberantasan gulma dengan tenaga manusia diganti dengan herbisida. 54. Cara ketiga dikenal sebagai strategi kombinasi output (output-output combination) sepanjang kurva kemungkinan produksi (production possibility curve) pada masing-masing komoditi untuk menentukan commodity basket yang dapat memaksimumkan jumlah penerimaan total berdasarkan harga output masing-masing komoditi. Pertanian campuran (mix farming) sayuran dengan sapi perah, atau perikanan kolam dengan ternak ayam, adalah contoh-contoh klasik. Demikian pula tumpang-sari (mix cropping) antara jagung dan cabai merah adalah contoh yang banyak diterapkan petani. 55. Cara keempat, yaitu penggunaan ukuran usaha paling efisien, didasarkan atas total biaya per unit output paling rendah. Dalam hal ini, biaya terdiri dari dua komponen utama, yaitu biaya variabel (variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Skala usaha dapat terus ditingkatkan selama total biaya rata-rata (average total cost) masih terus menurun hingga niencapai total biaya rata-rata mencapai titik paling rendah (masih terjadi economies of size). Jika rata-rata total biaya sudah mencapai titik paling rendah, maka peningkatan skala usaha akan rneningkatkan rata-rata total biaya (terjadi diseconomies of size).
9
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
56. Cara kelima, yaitu penggunaan lingkup usaha paling efisien, didasarkan atas penggabungan berbagai jenis komoditi atau usaha ke dalam satu manajemen (economies of scope). Hal ini dapat terjadi melalui integrasi vertikal atau integrasi horizontal. Dengan cara ini struktur organisasi bisa menjadi lebih sederhana sehingga jumlah biaya-tetap (fixed cost), utamanya gaji direksi, bangunan (kantor, perumahan), peralatan (mesin pabrik dan kendaraan) dan perlengkapan lainnya dapat ditekan. 57. Penggabungan kelima cara tersebut di atas akan dapat mengurangi biaya produksi per unit output (UOC) secara lebih signifikan. Namun yang lebih penting bukan sekedar penurunan produksi, melainkan keungulan biaya (cost advantage). Yang dimaksud keunggutan biaya ada UOC agribisnis di Indonesia lebih rendah dibanding agribisnis di negara pesaing untuk setiap jenis komoditi. Bahayanya jika hanya sekedar bertujuan rneminimalkan UOC adalah terhambatnya inovasi teknologi baru yang menggunakan alat dan mesin-mesin yang harganya mahal sehingga perbaikan kualitas dan pengembangan produk yang makin diminati oleh pasar akan terhambat. Dengan prinsip keunggulan biaya, UOC boleh ditingkatkan dengan inovasi teknologi baru yang menghasilkan produk-produk baru yang diminta oleh pasar, namun UOC tersebut masih lebih rendah dibanding dengan negara pesaing, sehingga daya saing produk agribisnis Indonesia tetap tinggi. G. Rekayasa Teknologi Partisipatif 58. Strategi pembangunan pedesaan adalah meletakkan pembangunan pertanian (dalam konteks pengembangan agribisnis), sebagai lokomotif penggerak perekonomian pedesaan. Usaha pertanian harus mampu tumbuh dan berkembang secara proposional. Dengan sumberdaya yang terbatas dalam tatanan pasar yang sangat kompetitif, inovasi teknologi menjadi sumber pertumbuhan yang sangat menentukan. Inovasi teknologi bermanfaat dalam meningkatkan kapasitas produksi, produktivitas, mutu, diversifikasi, produk, transformasi produk sesuai preferensi konsumen dan nilai tambah. Hal tersebut akan sangat menentukan keberhasilan upaya meningkatkan pendapatan para petani kita. 59. Inovasi teknologi partisipatif merupakan hasil proses litbang pertanian yang di lakukan berkomunikasi dan bekerjasama dengan penggunanya, sejak dari proses perencanaan sampai dengan adopsinya. Hal tersebut sesuai dengan paradigma Badan Litbang Pertanian, bahwa Litbang berawal dari petani/pengguna dan berakhir pada petani/pengguna teknologi. Untuk memperkuat partisipasi pengguna/petani dalam proses litbang pertanian, maka di Lingkungan Badan Litbang Pertanian, telah dibentuk Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) di setiap Propinsi. Unit kerja ini harus proaktif dalam menghasilkan inovasi teknologi yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Kegiatan litbang pertanian dilakukan dengan mengikut-sertakan secara aktif berbagai pihak yang berkepentingan dengan inovasi teknologi pertanian. 60. Sebagai aset pelayanan IPTEK di propinsi sesuai UU 22/1999, BPTP ini memiliki pula kemampuan dalam bidang penyiapan materi untuk penyuluhan. Keberadaannya pada propinsi yang bersangkutan diharapkan akan memberi arti penting bagi program pembangunan pertanian di wilayah tersebut. Hubungan sinergi antara BPTP, Pemerintah Daerah, Instansi terkait dan masyarakat masih harus lebih dikembangkan pada waktu yang akan datang. BPTP pada saat ini masih dalam proses pengembangan, baik dilihat dari pengembangan sumberdaya manusia, fasilitas maupun sistem manajemen risetnya. 61. Dalam rangka mendorong pendekatan partisipatif dan sejalan dengan desentralisasi pembangunan pertanian, telah dilakukan reorientasi kebijaksanaan bidang penelitian dan pengembangan yaitu (1) dan perencanaan yang sentralisasi menjadi desentralisasi; (2) dad pendekatan komoditas menjadi pendekatan sumberdaya melalui sistem usaha pertanian (sistem agribisnis) (3) dan penelitian yang terfokus pada teknologi budidaya menjadi penelitian berimbang antara penelitian strategis (terapan) dan penelitian adaptif; (4) dan cara pandang yang umum menjadi spesifik lokasi; dan (5) dan prionitas yang didasarkan pada produksi menjadi prioritas yang didasarkan atas dinamika pasar. 62. Kerangka pikir yang menjadi landasan reorientasi kebijakan strategis litbang pertanian adalah sebagai benikut a. Penciptaan inovasi-inovasi teknologi harus menjawab tantangan pembangunan pertanian dan sekaligus merupakan bagian integral dari sistem inovasi nasional; b. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan pertanian diarahkan untuk meningkatkan mutu dan nilai tambah agribisnis; c. Pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan IPTEK di bidang pertanian diarahkan juga pada peningkatan daya inovasi untuk meningkatkan daya saing ekonomi;
10
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
d.
Pengembangan sinergi, baik antar lembaga maupun dengan pengguna dalam melaksanakan berbagai proses IPTEK dibidang pertanian termasuk diseminasi dan proses adopsi inovasi teknologi.
63. Usaha pertanian di Indonesia didominasi oleh usaha keluarga skala kecil yang sangat lemah dalam berbagai bidang, seperti keterbatasan asset produktif, daya tawar, kekuatan ekonomi sehingga tidak mampu berkembang mandiri dinamis. Para petani banyak tergantung kepada ―orang kaya atau pedagang‖ dalam memperoleh asset produktif, sarana produksi, pengolahan dan pemasaran hasil. Hal di atas sangat mempengaruhi daya adopsi inovasi teknologi. Pemberdayaan petani merupakan langkah kunci mewujudkan pembangunan agribisnis berbasis komoditas di pedesaan. 64. Pengembangan kelembagaan petani (antara lain kelompok tani, asosiasi petani dan usaha bersama agribisnis) oleh petani sendiri diharapkan akan memperkuat kemampuan dalam mengadopsi teknologi inovasi yang diperlukan. Mereka dapat bersama-sama memilih inovasi teknologi yang sesuai dengan kebutuhannya. Dalam memilih teknologi bagi usahanya, sekaligus telah dipertimbangkan berbagai aspek antara lain kerjasama dalam pengadaan input, proses budidaya, pengolahan dan pemasaran hasil. Dengan demikian diharapkan dapat diperoleh nilai tambah yang lebih besar dari usahanya. 65. Adopsi teknologi sebagai salah satu faktor penting dalam mengembangkan agribisnis berbasis komunitas di pedesaan membutuhkan fasilitasi dari pemerintah antara lain dalam penyediaan prasarana, akses kepada input dan pasar serta kebijaksanaan insentif lainnya. Salah satu agenda kebijaksanaan pemerintah yang diperlukan adalah rnencegah penurunan nilai tukar pertanian. Kebijaksanaan harga, perdagangan, fiskal dan moneter agar mampu diarahkan untuk memacu pertumbuhan agribisnis di pedesaan. Masyarakat pertanian di pedesaan harus dilindungi dari dampak negatif kebijakan negara lain dan tindakan merugikan yang mungkin dilakukan oleh ‖usaha agribisnis lebih besar‖.
PENUTUP 66. Partisipasi aktif para petani dan pengguna lainnya dalam rekayasa teknologi akan lebih meningkatkan daya adopsi dari inovasi teknologi tersebut. Proses rekayasa inovasi diharapkan telah mengakomodasi dengan baik kondisi dan kebutuhan petani sesuai dengan potensi sumberdaya yang dikuasainya bagi pengembangan usaha agribisnisnya. Pemanfaatan inovasi tersebut harus mampu membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan petani khususnya dan masyarakat pada umumnya
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian, 2000; Pembangunan Ekonorni Pedesaan Berlandasan Agribisnis, Deperteman Pertanian. Badan Litbang Pertanian, 2000; Perspektif Pembangunan Pertanian tahun 2000 — 2004, Departemen Pertanian. Badan Litbang Pertanian, 2001; Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian 2001-2004, Departemen Pertanian. Departemen Pertanian 2001; Pembangunan Sistem Agribisnis Sebagai Penggerak Ekonomi Nasional. Joko Budianto, 2000; Optimalisasi Pengembangan Sumberdaya Lokal dalam Rangka Desentralisasi Pembangunan Pertanian. Makalah pada Apresiasi Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian dan Kehutanan, Pekanbaru, November 2000.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3. 4.
Implikasi dengan kondisi petani saat ini maka pemerintah harus lebih komitmen terhadap petani (Pemerintah lebih perhatian terhadap petani). BPTP harus meneliti yang pokok-pokok terlebih dahulu (Bibit/Pembenihan). Kelembagaan juga penting ditangani oleh BPTP Kenapa Bapak mengatakan bahwa pemberian dana langsung ke petani tidak baik.
11
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
5. 6.
Orientasi petani (adakah teknologi dari BPTP untuk menanggulangi pemasaran bawang putih di Sembalun). Partisipatif petani masih pasif (perlu diaktifkan)
Jawab : 1.
Peran pemerintah lebih besar terhadap petani sudah diupayakan contohnya: (untuk menaikkan harga gabah dari 1.500 s/d 1.700 tantangannya luar biasa) tetapi banyak sekali kendala-kendala yang dihadapi pemerintah dalam upaya tersebut, disini ada politik pasar. 2. Informasi mengenai bibit, untuk BPTP masih mempunyai masalah untuk saat ini karena BPTP belum mempunyai wewenang untuk itu. 3. Saya tidak mengatakan bahwa pemberian bantuan secara langsung tidak baik, bantuan langsung pada masyarakat yang belum siap memang cukup riskan/berbahaya. 4. Mengaktifkan partisipatif masyarakat membutuhkan waktu yang cukup lama dan membutuhkan kesabaran.
12
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
OPTIMASI PENERAPAN TEKNOLOGI PADA USAHATANI UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI Sri Widodo Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada
PENDAHULUAN Runtuhnya sektor industri modern sebagai akibat krisis ekonomi menyentuh pemikiran masyarakat untuk mereformasi paradigma lama kearah paradigma baru dengan menerapkan sistem ekonomi kerakyatan, yaitu sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Sektor pertanian berasas ekonomi kerakyatan berperan sebagai buffer terhadap berbagai goncangan ekonomi, mampu tumbuh positif dalam krisis ekonomi, sehingga dapat dijadikan modal peningkatan ketahanan ekonomi nasional. Salah satu paradigma baru dalam pembangunan pertanian adalah dengan pendekatan sistem agribisnis, yang terdiri atas subsistem usaha produksi primer di usahatani (on-farm), subsistem off-farm hulu (upstream, berhubungan dengan input) subsistem off-farm hilir (downstream, berbubungan dengan produk), dan subsistem penunjang/pelayanan seperti lembaga keuangan penelitian (penyedia teknologi baru), dan penyuluhan. Subsistem usaha produksi primer usahatani kecil sudah membuktikan sebagai sektor yang tahan terhadap krisis ekonomi. Dengan demikian ekonomi rakyat mempunyai potensi besar untuk memperkokoh ekonomi nasional dalam menghadapi tantangan globalisasi sekaligus sebagai dasar kuat untuk desentralisasi dan otonomisasi. Dalam sistem agribisnis upaya pengembangan bisnis petani kecil merupakan tantangan yang berat mengingat adanya keterbatasan dalam hal-hal sifat subsisten dan semi subsisten, cara budidaya tradisional, keterbatasan sumberdaya lahan, pendidikan, usahatani bukan merupakan usaha melainkan sebagal way of life yang dilakukan dari generasi ke generasi. Namun, perkembangan penggunaan teknologi modern dan masuknya ekonomi uang di pedesaan mulai merubah orientasi petani kecil kearah bisnis, sehingga petani lebih dinamis, telah mengenal teknologi baru dan tanaman bernilai ekonomi tinggi (Widodo, 1998; Widodo, 1999). Masuknya ekonomi uang di pedesaan menyebabkan berbagai kerjasama non cash seperti berbagai bentuk gotong royong semakin luntur digantikan dengan sistem pengupahan komersial (Hartono, 2002). Hal ni konsisten dengan hasil penelitian lain, baik di Filipina maupun di Indonesia (Hayami, 1978; Widodo, 1989; Widodo, 1997) yang mengemukakan terjadinya pertukaran tenaga kerja dengan upah (exchange labor with wage) di pedesaan yang padat penduduknya.
PERKEMBANGAN DAN PERAN PETANI KECIL Perkembangan usahatani kecil yang positif kearah orientasi bisnis ini tidak menutup adanya kenyataan tentang kecendrungan luas lahan usahatani yang semakin sempit, fragmentasi lahan, pergeseran penguasaan lahan kearah sewa, sistem sakap yang makin memberatkan penggarap, pertumbuhan jumlah buruh tani yang tinggi, pendidikan petani yang rendah dan sebagainya (Hartono, 2002; Widodo, 1997). Bagaimanapun juga sampai sekarang, peran sektor pertanian dalam perekonomian masih cukup besar, apalagi kalau diperhitungkan sebagai sektor agribisnis, yaitu dalam menyumbang PDB, kesempatan kerja, sumber devisa, dan ketahanan pangan. Kecilnya usahatani menyebabkan petani berupaya menambah pendapatan dan kegiatan di luar usahatani sehingga peran off-farm employment dan off-farm income makin besar di daerah padat penduduk. Dengan demikian petani tidak hanya terlibat dalam usaha produksi primer sebagai penghasil bahan baku saja. Usaha produksi sekunder dalam rumahtangga tani dan off-farm activitfes juga merupakan peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatannya, bukan hanya dari tambahan pendapatan yang dapat menambah konsumsi melainkan juga dapat mengakibatkan petani menjadi lebih mampu membiayai usahataninya dan access terhadap informasi menjadi lebih luas. Part-time farmers di Asia Timur terbukti dapat lebih memajukan pertanian. Dari uraian tersebut dapat dsimpulkan bahwa kebijakan pembangunan yang lebih mengarah ke pedesaan akan meningkatkan kemampuan pertanian untuk menjadi basis pengembangan agrobased
13
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
industry yang dapat memenuhi kebutuhan domestik dan substitusi impor, mengembangkan kemitraan usaha kecil dan besar untuk ekspor.
PENDAPATAN PETANI Petani merupakan bagian masyarakaat yang selalu mengalami tekanan pendapatan yang rendah karena tekanan harga, baik pada waktu produktivitas pertanian rendah rnaupun waktu produktivitas pertanian tinggi. Lebih lebih di daerah padat penduduk dengan lahan sempit, sehingga pendapatan petani bukan dari hasil usahataninya saja, melainkan juga dari luar usahatani dan usaha non pertanian di rumahtangganya. Dengan demikian untuk meningkatkan pendapatan petani dapat dengan meningkatkan pendapatan usahatani dan meningkatkan pendapatan dari kegiatan di luar usahatani, serta kegiatan non pertanian yang dilakukan oleh anggota keluarga di rumahtangganya. Jadi pendapatan petani ini tidak dapat dipisahkan dengan pendapatan rumahtangga tani. Ekonomi rumahtangga tani telah banyak dipelajari yang menghasilkan model pendekatan farm household yang mencakup proses produksi dan konsumsi dalam suatu kesatuan ekonomi rumahtangga yang maximizing utillity dengan kendala sumberdaya dan teknologi yang dimulai dengan model alokasi tenaga keluarga tani dari Nakajima (1969). Penerapan teknologi seperti pada tema seminar ini, meskipun hanya menyangkut budadaya yang mempengaruhi pendapatan usahatani, tetapi berdampak pada sistem usahatani rumahtangga keseluruhan. Sedangkan penerapan teknologi hasil penelitian pada lahan usahatanipun bukan tanpa masalah.
OPTIMASI USAHATANI Optimum merupakan keadaan terbaik. Masalahnya adalah terbaik untuk siapa. Terbaik untuk keberhasilan program pemerintah tidak sama dengan terbaik bagi petani yang mengusahakan usahatani dan yang memperhitungkan nilai produksi dan biaya produksi. Program intensifikasi berkepentingan pada produksi maksimum sedangkan petani berkepentingan pada pendapatan maksimum. Schultz (1964) berperan besar dalam mengalihkan orientasi pembangunan pertanian ke petani kecil sewaktu dia menyatakan bahwa dari sejumlah kajian petani kecil yang miskin bersifat rasional dan efisien dalam mengalokasikan sumberdaya yang terbatas pada tingkat pengetahuan dan teknologi yang tersedia. Herdt dan Wickham (1987) mengemukakan bahwa masalah hasil penelitian di stasiun percobaan dapat diringkas secara garis besar sebagai berikut: (1) (2) (3)
Dalam rancangan percobaan yang biasanya ditujukan untuk mencapai hasil (yield) maksimum pada umumnya tidak menghasilkan penerimaan bersih yang maksimum. Perlakuan tingkat input yang paling menguntungkan sering dicapai pada tingkat input yang moderat dengan basil sedikit dibawah basil maksimum. Penggunaan input tingkat rendah akan mendekati keuntungan maksimum. Kesulitan lebih lanjut timbul karena tingkat dan kombinasi yang sebaiknya diterapkan tidak diketahui. Banyak percobaan hanya menghubungkan satu macam input dengan output dan biasanya input lain diperlakukan tetap pada tingkat yang diperlukan untuk basil maksimum. Padahal petani perlu mengetahui kombinasi input optimum.
KESENJANGAN HASIL (YIELD GAP) Stasiun percobaan dibangun untuk menghasilkan teknologi produksi yang unggul atau untuk mengkaji alih teknologi dari negara lain. Beberapa penelitian dilaksanakan terisolasi dari petani dan jarang dapat menghasilkan rekomendasi yang sesuai untuk berbagai keadaan yang mempengaruhi petani. Pada dasa-warsa 1970-an penelitian di stasiun percobaan di IRRI pada padi tidak menggambarkan keadaan di usahatani. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan lingkungan yang tidak dapat dialihkan, serta keadaan faktor biologi dan sosioekonomi yang berbeda (de Detta et al., 1978) Gomez et al. (1979) menyatakan bahwa kesenjangan hasil (yield gap) antara hasil aktual di usahatani (actual farm yield) dan hasil di stasiun percobaan (experiment station yield) dapat dibagi dua bagian, yaitu: kesenjangan hasil I, perbedaan antara hasil di stasiun percobaan dan hasil potensial di usahatani, dan kesenjangan hasil II, perbedaan antara hasil potensial den hasil aktual di usahatani.
14
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Kesenjangan hasil I terutama disebabkan oleh perbedaan lingkungan antara stasiun percobaan dan lahan usahatani yang dapat menyebabkan teknologi tidak teralihkan (transferable). Kesenjangan II disebabkan oleh perbedaan tingkat penggunaan input dan cara-cara bercocok tanam. Hal ini berhubungan dengan kendala biologi dan sosioekonomi. Maximum possible yield dari suatu varietas adalah hasil tertinggi suatu varietas yang dicapai pada suatu stasiun percobaan pada suatu musim. Informasi semacam ini mempunyai arti yang sangat terbatas dalam upaya meningkatkan produksi di usahatani (Barker, 1979). Average yield dari hasil bila ditanam pada cara budidaya terbaik dengan input maksimum pada beberapa tahun. Barker (1979) menyatakan bahwa kesenjangan hasil dapat dibagi menjadi tiga bagian: (1) karena profit seeking behavior, (2) inefisiensi harga atau inefisiensi alokatif (price or allocative inefficiency) yaitu kegagalan dalam mencapai keuntungan maksimum, dan (3) inefisiensi teknis (technical inefficiency) yaitu kegagalan dalam memproduksi pada fungsi produksi yang paling efisien. Kesenjangan hasil 1 tidak berarti bagi petani.
PENDEKATAN ON - FARM Dalam perkembangannya apresiasi pada sistem produksi usahatani kecil makin meningkat banyak praktek budidaya petani kecil seperti tumpangsari lebih sesuai dari pada rekomendasi hasil percobaan. Berdasar hal-hal tesebut dikembangkan beberapa asas untuk meningkatkan efisiensi sumberdaya penelitian. Salah satunya adalah meningkatkan penawaran atau ketersediaan teknologi asas utama adalah bahwa teknologi perlu sesuai pada keadaan lingkungan teknis usahatani (on-fam) melallui percobaan di lahan usahatani, dan juga dapat sekaligus dalam sistem usahatani yang ada dengan mempertimbangkan pengetahuan teknis petani setempat (Barker dan Norman, 1990). Pertanian berkelanjutan akan selalu dihubungkan dengan lingkungan yang rnungkin dapat rusak karena penggunaan input kimiawi yang berlebihan. Sistem usahatani masukan rendah adalah suatu kombinasi teknologi hemat input yang terintegrasi dalam pengelolaan usahatani. Hal ini mencakup berbagai cara yang mungkin sudah diadopsi secara luas oleh petani komersial (Maden dan Dobbs, 1990). Oleh karena itu introduksi salah satu komponen teknologi dalam usahatani selalu harus mempertimbangkan sistem usahatani yang ada. Disinilah pentingnya pendekatan sistem usahatani (farming system approach).
KOMBINASI INPUT OPTIMUM Dalam suatu percobaan untuk mengetahui pengaruh pupuk pada produksi ada analisis regresi kwadratis untuk mernperoleh respons surface
Q
b0
b1 X 1 b2 X 2
b3 X 12
b4 X 22
b5 X 1 X 2
Q adalah produksi per hektar, X1 dan X2 adalah input yang diperlakukan. Hal penting dalam evaluasi ekonomi dari respons surface, atau fungsi produksi dalam ekonomika, adalah bagaimana dengan tingkat optimum penggunaan input ini untuk memperoleh tingkat penggunaan input yang paling menguntungkan. Dalam teori ekonomika produksi syarat yang diperlukan untuk optimum apabila produksi marginal untuk tiap input sama dengan perbandingan harga input dan output.
MP1 MP2
Q X1 Q X2
b1
2b3 X 1 b5 X 2
b2
2b4 X 2
b5 X 1
W1 P2 W P
Dimana MP1 dan MP2 adalah produksi marjinal input pertama dan kedua, W1 dan W2 harga input, dan P harga output. Selanjutnya dapat dituliskan.
2b3 X 1 b5 X 2
b5 X 1
2b4 X 2
W1 b1 P W2 b2 P 15
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Dalam bentuk persamaan matrik
2b3b5 b5 2b 4
X1
W2 P
b1
X2
W2 P
b2
Pemecahan dengan menggunakan cara Cramer
X1
A1 A
X2
A2 A
W1 P
2b3
b1 2b4 b5 4b3b4 b52 W2 P
b2 4b3b4
b5 b52
W2 P
W1 P
b2 b1
Jadi tingkat penggunaan input optimum dapat dicari. Pemecahan semacam ini cukup memadai untuk pupuk N dan P misalnya dengan asumsi pengaruhnya pada produksi hanya terbatas pada sekali tanam. Akan tetapi untuk amelioran, seperti pemberian kapur atau pupuk organik, pengaruhnya meliputi beberapa tahun, meskipun tidak pada tingkat yang sama menurun terus, maka produk marjinalnya akan sama dengan jumlah nilai kini selama empat tahun yang diperkirakan dengan discount factor.
AMP
MP
AMP
MP i
3 MP 1 r 4 4 i 1 r 4
1
2 MP 1 r 4
2
1 MP 1 r 4
3
i
Dimana AMP ameliorant marginal product MP marginal product diukur pada tahun pertama, r discount rate. Secara umum untuk n tahun menurun lurus n 1
AMP
MP i 0
n i 1 r n
i
Dengan cara yang sama kita dapat mencari kombinasi input optimum termasuk amelioran dengan cara Cramer Rule (Widodo, 1987).
PENGEMBANGAN PENELITIAN PERTANIAN Penelitian menyajikan berbagai alternatif teknologi yang dapat dipergunakan petani dan pelaku agribisnis dan dapat mengembangkan agribisnis, baik pada usaha produk primer di usahatani maupun penemuan output dan alat baru serta pemasaran dan pengelo hasil pertanian kearah produk yang siap konsumsi dan ekspor. Berbagai hasil penelitian yang dengan cepat diadopsi di dunia usaha merupakan teknologi tepat guna yang perlu dikembangkan. Di samping itu tidak kalah pentingnya penelitian ilmu murni (pure science) yang mendasari berbagai penelitian terapan dan penelitian pengembangan. Alokasi dana pemerintah yang kecil untuk R dan D (research and development) merupakan salah satu kendala yang sering dikambinghitamkan. Berbagai potensi dana altematif masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi penelitian skripsi, tesis dan disertasi dapat merupakan potensi besar kalau diarahkan pada penemuan teknologi dan pemecahan masalah dalam agribisnis. Penelitian pertanian umumnya dilakukan oleh sektor publik, kecuali beberapa penelitian yang dibiayai sendiri oleh sektor swasta yang merupakan perusahaan besar. Usaha kecil dipandang tidak layak membiayai dan melakukan penelitian. Hasil penelitian oleh sektor publik tidak selalu sesuai dengan keadaan petani kecil. Oleh karena itu terjadi perubahan paradigma dalam sejarah penelitian pertanian yang berkembang kembali pada masa sebelum adanya spesialisasi ilmu pertanian yang lanjut (Prayitno, 2002). Penelitian komponen usahatani berubah ke pendekatan penelitian di lahan usahatani dengan mempertimbangkan segala keterbatasan dan pengetahuan teknis petani, kemudian berkembang lagi
16
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dengan pendekatan sistem usahatani (farming system approach) dengan melihat usahatani sebagai suatu sistem dengan berbagai subsistem usaha berbagai komoditi dan keterbatasan sumberdaya tenaga, modal. Pendekatan terbaru kearah self directed learning dengan menggunakan metode PRA (participatory rural assessment) dan RRA (rapid rural appraisal) yang mendorong petani dan peneliti melakukan identifikasi masalah dan melakukan percobaan sesuai dengan interest prioritas serta sumberdaya yang dimiliki petani. Sastrosoedarjo (2002) mengembangkan cara usahatani organik terpadu di daratan tinggi di lereng Merapi. Sebagai contoh teknologi budidaya usahatani di dataran tinggi berwawasan lingkungan. Zaenudin menekankan adanya orientasi pasar sebagai dasar arah penelitian dan pendidikan pertanian untuk mengantisipasi globalisasi dan adanya perubahan preferensi. Demikian pula pentingnya kemitraan dengan pelaku agribisnis dalam penelitian. Fakultas Pertanian UGM sudah banyak melakukan penelitian dan sejumlah hasil penelitian sempat tersebar pada zamannya sesuai dengan masalah yang dihadapi, seperti varietas unggul padi lahan kering, azolla, legin, dan konsep program Bimas yang disempurnakan dengan BUUD/KUD. Penelitian tentang pupuk hayati dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi (Kabirun 2002) tentang mikrobia penambah nitrogen simbiotik dan non simbiotik, pelarut fosfat, simbiosis ganda Legum-Rhizobium Mikoriza, dan jamur pendegradasi selulosa untuk inokulum kompos. Demikian pula tentunya fakultas lain dan perguruan tinggi lain yang jumlahnya sangat banyak dapat diharapkan adanya sejumlah besar hasil penelitian dan inovasi yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan agribisnis kecil dan menengah ataupun yang besar. Kemitraan antara perguruan tinggi dan lembaga penelitian dengan dunia usaha agribisnis berpotensi besar untuk memajukan agribisnis. Demikian juga jaringan komunikasi dan kerjasama penelitian delam negeri dan internasional memungkinkan untuk lebih mampu menggali potensi.
PERANAN PEMERINTAH Pembangunan pertanian merupakan proses menuju kearah kemajuan yang dikehendaki oleh berbagai fihak, termasuk masyarakat tani, pemerintah dan masyarakat pada umumnya yang peduli akan kesejahteraan masyarakat. Pelaku kegiatan ekonomi, termasuk sektor pertanian dengan semua usaha yang terkait dalam suatu sistem agribisnis, adalah swasta dan perseorangan. Pemerintah bukan pelaku ekonomi pada sistem ekonomi pasar, kecuali pada usaha yang tidak dapat dilakukan oleh swasta secara menguntungkan. Kedudukan pemerintah tetap bertanggungjawab pada sektor publik dengan kebijakan publiknya. Kebijakan publik dalam proses pembangunan pertanian meliputi upaya mendorong kemajuan teknologi budidaya tanaman dan hewan dalam suatu rangkaian sistem agribisnis dan kegiatan pendukung lainnya seperti pendidikan dan penyuluhan, pelayanan, kebijakan harga dan prasarana fisik dan kelembagaan. Penyediaan hasil penelitian yang berupa teknologi berorientasi pada bisnis petani yang sesuai dengan tujuan usahatani. Usahatani kecil di Indonesia bersifat komplek dalam sistem usahataninya. Dengan kombinasi berbagai usaha tanaman, ternak dan ikan. Sehingga optimalisasi usahatani bukan hanya menyangkut tingkat optimum berbagai input untuk satu tanaman (padi misalnya) melainkan juga bagaimana alokasi optimum sumberdaya yang tersedia untuk berbagai usaha tanaman, ternak dan ikan, bahkan juga usaha nonfarm dirumah tangga tani (kerajinan) dan pekerjaan off farm (diluar usahatani). Perlu ada pendekatan sistem usahatani (system approach) (Widodo, 1998).
PUSTAKA Baker, D.C.& DW. Norman, 1990. The Farming System Research and Extension Approach to Small Farmer Development. Dalam: MA. Alteri & SB. Hechi (eds), Agroecology and Small Farm Development. Barker, R., 1979. Adopsion and Production Impact of New Rice Technology. Yield Constraint Problem. Dalam: IRRI Farm Level Constraints to High Rice Yields in Asia: 1974-77. Los Banos. Philippines:1-26. de Datta, S.A., KA. Gomez, R.W. Herdt & R. Barker, 1978. A Handbook on the Methodology for an Integrated Experiment Survey on Rice Yield Contranits. IRRI.Los Banos. Philippines. Gomez, KA., R.W. Herdt, R. Barker & S.K. de Datta, 1979, A Methodology for Identifying Constraints to Higher Rice Yield on Farmer Fields. Dalam: IRRI, Farm Level Constraints to High Rice Yields in Asia: 197477. Los Banos. Philippines: 27-48
17
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Hartono, S., 2002. Pengembangan Bisnis Petani Kecil. Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002. Hayami, V.1978. Anatomy of a Peasant Economy. IRRI Los Banos Philipines. Herdt, R.W. dan T.H. Wickham, 1978. Exploring the Gap Between Potential and Actual Rice Yields: the Philippines Case. Dalam: IRRI, Economic Consequences of the New Rice Tecnology. Los Banos Phflippines: 3-34. Kabirun, S., 2002. Pengembangan Pupuk Hayati di Fakultas Pertanian UGM. Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002. Madden, J.P. dan T.L. Dobbs, 1990. The Role of Economics in Sustainable Agricultural Systems. Dalam: C.A.E.R. LoI, JR. Madden, RH. Miller dan C. House (eds), Sustainable Agricultural Systems. Soil and Water Conservation Society. Iowa: 478-94. Nakajima, Chihiro, 1969. Subsistence and Commercial Family Farms: SomeTheoretical Models of Subjective Equillibrium. In CR. Wharton Jr (ed). Subsistence Agriculture and Economic Development. Aldine Publisting Co. Chicago. USA: 165-85. Prajitno, Djoko, 2002. Pengembangan Penelitian dengan Penghampiran Sistem dan Partisipasi Petani. Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002. Sastrosoedarjo, Soemantri, 2002. Penelitian Usahatani Terpadu Berorientasi Agribisnis. Seminar Nasional Sapta Windu Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta 28 September 2002. Schultz, Theoder W., 1964. Transforming Traditional Agriculture. Yale University Press. Widodo, Sri, 1998. Entrepreneurial Development of Small Farms in Indonesia. International Seminar on Development of Agribisnis and Its Inpact on Agricultural Production in Southeast Asia (DABIA III). Tokyo, Nov. 14-19, 1998. _______ 1999. Reorientasi Kebijakan Pembangunan Pertanian. Dalam: Sri Widodo dan Suyitno (eds). Pemberdayaan Pertanian Menuju Pemulihan Ekonomi Indonesia. Aditya Media. Yogyakarta: 13-21. _______ 1989. Production Efficiency of Rice Farmer in Java, Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. _______ 1997, Beban Sektor Pertanian di NTB. Agroteksos. _______, 1987. The Economics of Component Research. Agroeconomic Note 1. Swamp II Project. AARD-World Bank.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3.
Masalah modal yang menyebabkan tidak bisa/tidak tercapainya optimasi usahatani. Setuju, bahwa pengembangan dalam skala luas, masalah ada pada kondisi Pendekan modeling dan PRA, bisakah bapak memberikan contoh bagaimana cara mencocokkan hasil komputer dengan hasil PRA
Jawab : 1. 2. 3.
Pertanian dipandang sebagai agribisnis dengan memandang industri tidak lepas dari bidang pertanian. Kita harus bisa menyesuaikan kondisi petani dengan teknologi yang akan diterapkan, sehingga optimasi pendapatan petani dapat tercapai. Model harus disesuikan dengan kondisi lapangan
18
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
STRATEGI OPTIMASI PEMANFAATAN SUMBRDAYA DAN TEKNOLOGI TEPAT GUNA PERTANIAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI POTONG Hendrawan Soetanto Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya, Malang
ABSTRAK Peningkatan permintaan daging sapi diprediksi akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya populasi penduduk di Indonesia. Sementara itu kemampuan peternak sapi potong untuk memenuhi permintaan daging sangat terbatas terutama karena tingkat produktivitas ternak masih rendah sebagai akibat interaksi antara faktor genetis dan lingkungan yang kurang mendukung terhadap optimalisasi penampilan potensi genetik sapi potong. Karakteristik iklim tropis basah menimbulkan konsekuensi produksi biomasa hijauan relatif tingi namun berkualitas rendah karena tanaman akan cepat berbunga sehingga menurunkan kadar protein dan meningkatkan kadar serat kasar. Dalam kondisi ini ternak sapi potong akan mengalami defisiensi bakalan glukosa yang diperlukan untuk memanfaatkan asam asetat sebagai sumber enersi efisien. Akibatnya asam asetat akan mengalami futile cycle dan apabila kondisi cuaca mengandung uap air cukup tinggi maka kemampuan ternak untuk melepas panas tubuh menjadi faktor pembatas produksi. Selain itu infestasi parasit saluran pencernakan menjadi beban tambahan bagi ternak karena serapan protein menjadi berkurang untuk digunakan oleh ternak yang bersangkutan. Untuk mengatasi problematik tersebut perlu diaplikasikan suatu teknologi tepat guna yang bersumber dari produk lokal agar dapat meningkatkan pendapatan peternak sapi potong secara optimal. Dalam makalah ini didiskusikan beberapa pilihan strategi optimasi sumberdaya dan teknologi tepat guna yang terkait dengan kondisi di Indonesia pada umumnya dan kondisi NTB pada khususnya. Pertanyaan kunci yang perlu segera dijawab ialah siapkah kita bersaing di era pasar global dalam kondisi produktivitas sapi potong seperti sekarang ini?. Jika belum siap, strategi apakah yang dapat kita tempuh agar peternak sapi potong tidak gulung tikar dan sebaliknya mampu memainkan peran aktip dalam pasar global nanti? Kata kunci: strategi optimasi, teknologi tepat guna, sapi potong, pendapatan peternak.
PENDAHULUAN Masalah kemiskinan di Indonesia telah menjadi perhatian kalangan internasional. Laporan Bank Dunia (2001) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu antara 1990 dan 1999 telah terjadi peningkatan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan dan 27,2 juta menjadi 48,4 juta orang. Masa krisis ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan tahun 1997 sampai kini masih dirasakan akibatnya. Selama masa krisis telah terjadi kompresi pendapatan antara 6-13% yang berakibat pula terhadap kompresi permintaan hasil ternak. Penyebab utama terjadi kompresi tersebut ialah terjadinya penurunan nilai tukar antara rupiah dengan dolar Amerika hingga 300%. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dari banyak kalangan akan masa depan perekonomian kita terutama jika dikaitkan dengan segera berlakunya era pasar bebas (AFTA) tahun depan untuk kawasan Asia dan kawasan Asia Pasifik beberapa tahun kemudian. Berkaitan dengan sektor pertanian, produktivitas hasil pertanian saat ini dilaporkan oleh Arintadisastra (2002) masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara lain, yaitu untuk padi masih sebesar 4,4 ton/ha, jagung 2,9 ton/ha, kedelai 1,2 ton/ha dan kacang tanah 1,1 ton/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivitas ini antara lain karena upaya yang diperlukan agar tanaman tumbuh dengan subur masih belum optimal dilakukan seperti, pengolahan lahan, pemberian pupuk organik, serta sistem irigasi yang memadai. Sebagian besar lahan pertanian kita masih bergantung pada air hujan dan diabaikannya penggunaan pupuk organik sebagai bagian integral dari upaya mewujudkan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture). Unjuk kerja ternak di Indonesia juga relatif rendah, terutama untuk sapi potong dan sapi perah. Apabila kita bandingkan antara potensi sapi potong domestik dengan kawasan Asia, populasi sapi potong kita baru mencapai sekitar 11 juta ekor dan sekitar 30% terdapat di Jawa Timur. Sementara itu Bangladesh telah memiliki sapi potong hingga 25 juta ekor. China hingga tahun 1999 telah menghasilkan produksi daging sapi sebesar 4,68 juta ton atau setara dengan pemotongan 4.680.000 ekor sapi dengan rataan bobot hidup sebesar 300 kg. Padahal pada tahun 1980-an produksi dagin sapi baru berkisar antara seperempat juta ton dengan total populasi sekitar 70 juta ekor (Bingsheng, 2001).
19
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Meskipun secara kuantitas Indonesia masih lebih unggul jika dibandingkan dengan populasi sapi potong di Filipina, Thailand dan Viet Nam pada kenyataannya laju pertambahan bobot badan (PBB) sapi di Indonesia masih jauh di bawah sapi di Filipina. Bingsheng (2001) melaporkan bahwa Filipina telah mencapai tingkat produk daging sebesar 79 kg/ekor/th; berarti terjadi PBB setiap hari setara dengan = (79 kg x l00/30)/365 = 721,5 g/ekorlhari, dengan asumsi taksiran produksi daging adalah sebesar 30% dari bobot badan. Sedangkan rataan PBB sapi potong di Indonesia baru berkisar 365,3 g/ ekor/hari atau baru separuh dari capaian PBB sapi potong di Filipina. Rendahnya tingkat produksi daging menunjukkan bahwa masih banyak faktor pembatas yang dijumpai di beberapa negara seperti Indonesia, Bangladesh, Thailand dan Viet Nam terutama dalam memperoleh pakan yang cukup secara kuantitas maupun kualitasnya. Selain itu sebagian besar sapi potong di Indonesia berada dalam penguasaan peternak kecil yang tidak memiliki lahan cukup serta modal usaha memadai, sehingga manajemen pemeliharaan lebih ditekankan kepada upaya mempertahankan ternak sebagai fungsi sosial dan tabungan tunai (cash bank) yang dapat dicairkan sewaktu-waktu diperlukan. Masalah kebutuhan daging, khususnya daging sapi telah menjadi topik utama di berbagai media massa sejak lima tahun terakhir. Untuk mencukupi kebutuhan daging dalam negeri telah lama dilakukan impor sapi bakalan maupun daging beku daari negara tetangga Australia oleh pemerintah Indonesia. Devisa negara yang terkuras untuk impor sapi bakalan maupun daging beku masing-masing adalah sebesar (ribu USD) 115.129 dan 32.434 pada tahun 1996. Jika ditilik dari trend perkembangan nilai impor, untuk sapi bakalan dan daging sapi sejak tahun 1994 masing-masing telah mencapai angka 45% dan 81,88%. Bahkan pada tahun 1997 sebelum resesi nilai keseluruhan impor kita untuk sapi dan daging telah mencapai Rp. 1.152,5 triliun belum terhitung impor ternak dan daging lainnya. Oleh karena itu Indonesia dipandang sebagai pasar potensial bagi negara-negara penghasil ternak dalam era pasar bebas yang telah berada di depan pintu kita. Terdapat empat pertanyaan kunci yang perlu saya ajukan di awal makalah ini yaitu: pertama, dapatkah Propinsi NTB menjadi salah satu sumber bibit sapi potong nasional?; kedua, strategi apakah yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan keempat, bagaimanakah dampak ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB?.
SISTEM PERTAN IAN UTAMA DI ASIA TENGGARA Sistem pertanian yang diterapkan di kawasan Asia Tenggara ialah sistem pertanian terpadu. Harnpir tidak pernah dijumpai adanya sistem pertanian dengan menggunakan mono komoditas sebagai bagian dari usahatani. Sebaliknya hampir semua petani melakukan strategi sistem pertanian terpadu. Secara garis besar sistem pertanian di Asia Timur dan wilayah Pasifik dapat dikelompokkan menjadi 11 macam yaitu mulai dari pertanian padi sawah hingga daerah perkotaan (urban based) dimana keterkaitan ternak pada setiap sistem pertanian sangat beragam (Tabel 1). Selain itu dapat pula dilihat adanya keterkaitan antara komoditas utama yang diusahakan dengan tingkat kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Diantara sistem pertanian yang tercantum pada Tabel 1 di bawah ini, peranan ternak ruminansia paling menonjol pada sistem pertanian lahan kering dimana sekitar 52 juta ruminansia besar serta 49 juta ruminansia kecil terlibat dalam sistem pertanian di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Tabel 1. Sistem Pertanian Utama di Asia Timur dan Wilayah Pasifik (FAO, 2002)
1 Padi sawah
2 12
Populasi pertanian (% wilayah) 3 42
Kombinasi tanaman pohon
5
3
Sistem pertanian
Luas lahan (% wilayah)
Komoditas utama 4 Padi, jagung, kecang-kacangan, tebu, biji-bijian untuk minyak, sayuran, ternak, perikanan, pekerjaan sampingan (off farm work) Karet, kelapa sawit, kelapa, kopi, teh, coklat, rempah-rempah, padi, ternak, pekerjaan sampingan (off farm work)
Tingkat kemiskinan 5 Moderat
Moderat
20
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 Umbi-umbian
2 2
3 <1
Campuran tanaman tegal/lahan kering intesif Campuran tanaman dataran tinggi intensif
19
27
5
4
Campuran tanaman subtropis Pastoral
6
14
20
4
Hutan
10
1
Wilayah Arid (Sparse) Coastal Artisanal fishing
20
2
1
2
Urban based
<1
1
4 Umbi-umbian, (yam, taro, ubi jalar), sayuran, buah-buahan, ternak (babi dan sapi), pekerjaan sampingan (off farm work) Padi, kacang-kacangan, jagung, tebu, biji-bijian untuk minyak, buah, sayuran, ternak, pekerjaan sampingan (off farm work) Padi dataran tinggi, kacang-kacangan, jagung, bijian-bijian untuk minyak, buah, produk hutan, pekerjaan sampingan (off farm work) Gamdum, jagung, kacang-kacangan, tanaman minyak, ternak, pekerjaan sampingan (off farm work) Ternak dengan tanaman pertanian irigasi di wilayah yang memungkinkan Berburu, berkumpul dan pekerjaan sampingan (off farm work) Penggembalaan lokal jika tersedia air, pekerjaan sampingan (off farm work) Menangkap ikan, kelapa, pertanian campuran, pekerjaan sampingan (off farm work) Hortikultura, sapi perah, unggas, pekerjaan sampingan (off farm work)
5 Terbatas
Ekstensip
Moderat
Moderat
Moderat Moderat Ekstensip Moderat
Terbatas
Catatan: Tingkat kemiskinan lebih mengarah pada jumlah dan bukan kedalaman kemiskinan di wilayah survey
Tingkat kontribusi ternak, khususnya ruminansia pada daerah lahan kering tersebut di atas juga selaras dengan laporan Ifar Subagyo (1996) bahwa dengan sampel dua desa di wilayah lahan kapur Malang Selatan, kontribusi tanaman pangan terhadap petani adalah sebesar 51%, sedangkan peranan ternak ruminansia hanya sebagai suplemen penghasilan disebabkan oleh keterbatasan lahan untuk diolah sebagai sumber pakan. Oleh karena itu strategi yang dilakukan oleh petani di daerah tersebut ialah melalui mencari tambahan penghasilan dari aktivitas di luar sektor pertanian (off farm activities). Hasil penelitian tim Universitas Brawijaya Malang bekerjasama dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (Anonymous, 1998) di Desa Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur menunjukkan bahwa peternak sapi potong di daerah tersebut tidak ada yang menggantungkan sumber pendapatannya dari mono aktivitas, melainkan dari berbagai macam sumber, yaitu 46% berasal dari pendapatan di sektor pertanian, 7% berasal dan upah buruh tani dan 13% dari usaha sapi potong. Meskipun relatif kecil kontribusinya, sekitar 2/3 penduduk desa Sono Ageng (termasuk mereka yang tidak memiliki lahan) umumnya memelihara sapi potong dengah tujuan utama memperoleh pedet dibandingkan untuk penggemukan. Oleh karena itu pemberian pakan dengan kuantitas serta kualitas yang memadai untuk sapi potong induk jarang diperhatikan. Akibatnya skor kondisi tubuh induk menjadi buruk (skor kondisi tubuh 1-2) hingga pedet disapih serta jarak beranak menjadi relatif panjang (50% induk kembali oestrus setelah lebih dari 200 hari pasca melahirkan). Sebaliknya kondisi tubuh pedet sangat bagus karena selain memperoleh susu dari induk hingga masa enam bulan juga acapkali peternak memberikan pakan konsentrat untuk pedet tersebut. Merujuk kondisi yang ada di Indonesia, Soehadji (1995) membagi tipologi usaha ternak di Indonesia berdasarkan skala usahanya menjadi empat yaitu: pertama, usaha ternak sebagai sambilan dengan pilihan komoditas pendukung pertanian (kungtan), kedua usaha ternak sebagai cabang usaha dengan pilihan komoditas campuran, ketiga usaha ternak sebagai usaha pokok dengan pilihan komoditas tunggal berupa ternak, dan keempat usaha ternak sebagai industri dengan pilihan komoditas 100% merupakan pilihan yang dianggap secara bisnis menguntungkan. Oleh karena itu berdasarkan tipologi usaha tersebut tingkat pendapatan yang diperoleh oleh petani juga menjadi beragam sebagaimana terlihat pada Gambar 1 di bawah ini.
21
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tingkat Ekonomi Usaha
TIPOLOGI USPET Idustri
Peranan masy./swasta
Usaha Pokok Cabang Usaha Sambilan Pendapatan & Pilihan komoditi
Pendapatan Pilihan Komoditi
30%
30-70% 100% 70-100%
Peranan pemerintah (Sbg. `Regulator, fasilitator, dinamisator
KungTan (Campuran) Tugal Pilihan sbr.: Soehadji (1995)
Gambar 1. Tipologi Usaha Peternakan dan Tingkat Pendapatan Kondisi tersebut umumnya juga dijumpai di wilayah lain di Indonesia, sehingga upaya untuk meningkatkan produktivitas sapi potong juga memerlukan strategi yang tepat tidak hanya menyangkut penerapan teknologinya namun juga perlu dipikirkan suatu rekayasa sosial yang sesuai dengan kondisi sosial serta budaya setempat.
FAKTOR PEMBATAS TEKNIS PENINGKATAN PRODUKTIVITAS SAPI POTONG DI INDONESIA Bibit Sapi Potong Isu tentang menurunnya mutu genetis sapi potong asli Indonesia seperti sapi Bali dan sapi Madura telah lama terdengar akibat pengurasan sapi bibit karena semata-mata untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin meningkat, tanpa diikuti dengan program pengembangan pembibitan yang memadai. Program village breeding centre (VBC) di P. Madura sebenarnya cukup berhasil dalam hal perbaikan mutu genetis sapi Madura. Namun demikian laju permintaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan populasi secara alamiah, mendorong pengurasan sumber bibit untuk dijadikan sebagai penghasil daging. Selain itu masalah manajemen pemeliharaan serta penguasaan IPTEK yang belum memadai merupakan faktor penyebab pula terhadap merosotnya mutu genetis sapi-sapi tersebut. Sebagai teladan, sapi Bali dan sapi Madura yang lelah layak dipasarkan pada era 30 tahun yang lalu mampu mencapai bobot badan 300 kg. Akan tetapi saat ini sulit untuk memperoleh bobot sebesar itu untuk sapi Bali maupun sapi Madura. Secara langsung saya pernah menemukan pedet sapi Bali umur hampir dua tahun dengan ukuran tubuh pedet usia 8 - 10 bulan di NTT sebagai salah satu sumber sapi Bali di Indonesia. Laporan Komarudin Ma‘sum (menyebutkan bahwa rataan usia serta bobot badan sapi Madura yang paling banyak dipotong di RPH Surabaya adalah berumur 2,5 - 3,0 tahun (PI2) dengan bobot badan 224,8 kg. Sementara itu dengan sistem pemeliharaan yang intensip, sapi Madura jenis sapi sonok mampu mencapai bobot badan hingga 295 kg pada umur yang sama yaitu PI 2 (Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993). Introduksi jenis bibit sapi potong impor semacam Limousine, Silangan Brahman atau Angus menjadi fenomena baru di bidang bisnis sapi potong di beberapa wilayah tanah air. Laju pertumbuhan sapi impor yang relative lebih tinggi jika dibandingkan dengan sapi lokal telah mendorong meningkatnya permintaan akan bibit sapi potong Limousine dan Silangan Brahman, khususnya dikalangan peternak di P. Jawa. Meskipun demikian dari pengamatan penulis, kebutuhan pakan jenis sapi tersebut juga lebih
22
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
banyak dibandingkan dengan sapi lokal sehingga jika dilakukan telaah ekonomis lebih dalam belum lentu akan menghasilkan keuntungan yang memadai, mengingat harga beli pedet saat ini jauh lebih tinggi (hingga dua kali lipat) dari harga pedet sapi lokal. Sementara itu harga jual sapi potong umumnya ditaksir berdasarkan harga per kg daging yang relatif tidak jauh berbeda antara sapi impor dan sapi potong. Program peningkatan produktivitas ternak acapkali dimulai dengan melakukan introduksi jenis sapi eksotik yang sudah barang tentu memerlukan input eksotik, seperti pakan yang memadai secara kuantitas dan kualitas, pencegahan penyakit serta lingkungan yang memadai agar dapat menampilkan potensi genetiknya. Tidak jarang program semacam ini akhirnya mengalami kegagalan karena ketidak mampuan kita dalam menyediakan input eksotik tersebut (lihat Ørskov, 1993). Contoh konkrit kegagalan program tersebut ialah pengembangan sapi perah di P. Jawa dimana saat ini tingkat produksi susu rataan hanya mencapai antara 8 - 10 lt/ekor/hari untuk sapi PFH, padahal semula diproyeksikan mampu menghasilkan susu hingga 15 lt/ekor/hari. Contoh lain adalah kegagalan program perbaikan genetik sapi Madura dengan menggunakan sapi Santa Gertrudis beberapa tahun yang lalu, atau program Brangusisasi di NTB yang merupakan pelajaran berharga bagi kita semua dalam rangka meningkatkan produktivitas sapi potong di Indonesia Pertanyaan yang dapat diajukan adalah mengapa program-program tersebut mengalami kegagalan?. Bukankah sebelum dilaksanakan program tersebut telah mengalami pengkajian yang mendalam? Ataukah ada faktor lain yang mendorong proses pengambilan keputusan tergesa-gesa tersebut? Pakan Produktivitas ternak merupakan refleksi interaksi antara faktor genetis dan lingkungan. Cekaman panas yang disertai dengan kelembaban udara tinggi memerlukan metabolit tertentu seperti glukosa, elektrolit (antara lain Na+, K+, Cl¯ serta air dalam jumlah memadai untuk melawan cekaman (stres). Akan tetapi justru di daerah tropis basah seperti Indonesia, tanaman sebagai sumber hijauan akan lebih cepat menurun kualitasnya sehingga selama proses fermentasi di dalam rumen hijauan akan lebih banyak menghasilkan asam asetat yang secara teoritis sesungguhnya merupakan sumber enersi potensial bagi ternak. Bersama dengan asam lemak terbang (VFA) lainnya (asam propionat dan butirat), asam asetat mampu memasok hingga 80 % kebutuhan kalori ternak ruminansia. Akan tetapi efisiensi penggunaannya sangat tergantung pada ketersediaan koensim tereduksi NADPH yang disintesis melalui produk hasil metabolisme glukosa. Oleh karena itu apabila ternak ruminansia hanya diberi pakan sumber hijauan berkualitas rendah, misalnya jerami padi atau sumber hijauan dari limbah pertanian lainnya yang berkualitas rendah dan tidak mampu memasok glukosa atau bakalannya dalam jumlah memadai, maka ternak tersebut sulit untuk meningkat atau bahkan mempertahankan bobot badannya. Dalam kondisi ini asam asetat yang diserap akan mengalami metabolisme melalui jalur futile cycle dan akan menyebabkan kehilangan panas yang amat berlebihan. Kondisi ini akan memperparah cekaman pada ternak terutama jika selain suhu udara luar panas juga diikuti dengan kelembaban udara tinggi, sehingga potensi enersi yang dimiliki oleh asam asetat menjadi terbuang sebagai panas yang dilepaskan (heat dissipation) atau bahkan panas justru tidak dapat dilepaskan sehingga produktivitas ternak menjadi menurun karena enersi yang tersedia lebih banyak digunakan untuk melawan cekaman panas tersebut. Telaah teoritis tentang hubungan antara proses metabolisme ternak ruminansia yang diberikan hijauan berkualitas rendah dalam hubungannya dengan metabolisme glukosa telah dilakukan oleh beberapa penulis antara lain Soetanto (1991). Memperhatikan uraian di atas maka problem utama di bidang pakan adalah pasok pakan yang tidak memadai baik dalam hal kualitas maupun kuantitas. Manajemen Pemeliharaan Selain faktor pakan, manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak sapi potong saat ini acapkali masih kurang memadai Bentuk kandang yang umumnya tidak dilengkapi dengan tempat minum merupakan salah satu contoh kurangnya pemahaman peternak akan arti penting air sebagai komponen gizi yang sangat diperlukan ternak untuk daerah tropis basah. Bahkan peternak sapi perah juga tidak menyediakan air minum sepanjang hari (ad libitum) melainkan hanya diberikan dua kali sehari bersama dengan pemberian konsentrat. Padahal dengan menyediakan air secara ad libitum, produksi susu dapat ditingkatkan hingga 2 lt/ekon/hari tanpa harus menambahkan pakan suplemen. Hal ini telah dipraktekan oleh peternak sapi perah di Thailand.
23
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Kebersihan kandang sapi potong yang dimiliki oleh peternak kecil umumnya tidak memiliki sumber air yang cukup untuk membersihkan kotoran ternak, sehingga semakin menambah potensi infeksi cacing parasit. Selain itu program pencegahan penyakit termasuk di dalamnya kontrol terhadap infestasi cacing parasit saluran pencernakan yang kurang intensip dilakukan oleh peternak juga menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya produktivitas sapi potong saat ini. Hampir 80 % pedet sapi potong di desa Sono Ageng, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur terserang cacing Toxocara vitolorum (Anonymous, 1998) yang menjadi petunjuk masih lemahnya perhatian peternak terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh gangguan cacing parasit terhadap produktivitas temak. Walkden-Brown dan Khan (2002) menyatakan bahwa pengaruh cacing parasit saluran pencernakan ini lebih memiliki implikasi terhadap penurunan serapan protein, sehingga acapkali konsekuensinya justru berakibat pada menurunnya konsumsi pakan serta penurunan bobot badan. Tengarah ini dapat dibuktikan melalui infus casein langsung pada abomasum yang akan dapat menghilangkan gejala menurunnya konsumsi maupun penurunan bobot badan ternak yang menderita infeksi cacing parasit saluran pencernakan. Hal ini berarti secara aplikatip dapat dilakukan suatu strategi suplementasi dengan menggunakan protein by-pass, baik menggunakan pelindung kimiawi buatan misalnya dengan formaldehida atau memilih sumber protein yang memiliki pelindung kimiawi alamiah semisal hijauan leguminosa yang mengandung senyawa tannin. Kaasschieter et at. (1992) menyatakan bahwa program pengembangan ternak serta kesehatan ternak di negara sedang berkembang acapkali tidak dapat meningkatkan produktivitas ternak karena seringkali hanya berorientasi kepada eradikasi penyakit semata. Sebagai contoh program pemberantasan penyakit mulut dan kuku dilakukan tanpa ada pertimbangan pendekatan orientasi produksi. Disamping itu keterbatasan sarana serta fungsi petugas kesehatan hewan, keterbatasan dalam hal jaringan distribusi obatobatan serta mengabaikan benefit/cost ratio juga merupakan fenomena yang banyak dijumpai di negara sedang berkembang. Pendekatan monodisiplin ini berakibat kepada pemahaman yang kurang menyeluruh terhadap masalah yang dihadapi peternak. Padahal sebagaimana telah disampaikan di muka bahwa subsektor peternakan merupakan suatu system produksi multiguna dan memiliki hubungan yang kompleks antara faktor produksi satu dengan lainnya. Mispersepsi ini merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan peternakan yang berkelanjutan di negara yang sedang berkembang.
KETERSEDIAAN IPTEK TEPAT GUNA DI BIDANG SAPI POTONG Sejak satu dekade terakhir ini begitu banyak seminar, lokakarya atau sejenisnya yang telah dilakukan di Indonesia dalam rangka menghimpun teknologi yang tersedia di bidang produksi sapi potong. Dalam lokakarya nasional I Bioteknologi Peternakan di Ciawi pada tangga! 22 - 23 Januari 1995 telah dikupas berbagai perkembangan biotekonologi reproduksi ternak, bioteknologi pakan, bioteknologi kesehatan hewan serta aspek keamanan ternak dan konsumen sehubungan dengan perkembangan bioteknologi tersebut. Teknik transfer embrio saat ini telah diaplikasikan pada skala demoplot di peternak di beberapa daerah melalui program IPTEKDA terpadu LIPI. Namun selalu timbul pertanyaan apakah inovasi teknologi ini akan berkelanjutan? dan berapa banyak peternak yang mau dan mampu mengadopsinya?. Sementara itu teknologi yang relatip sederhana seperti inseminasi buatan masih pula banyak dijumpai kendala pelaksanaannya di lapang. Contoh lain adalah teknologi suplementasi UMMB yang dikembangkan oleh BATAN telah diaplikasikan di berbagai wilayah di Indonesia, namun seringkali terbentur pada proses adopsi karena inovasi teknologi tersebut tidak segera diikuti dengan inovasi baru untuk mengganti molasses sebagai komponen utama dengan sumber pakan lainnya. Akibatnya ketika proyek selesai, selesai pulalah proses adopsi oleh peternak dengan berbagai alasan. Para ilmuwan sekarang ini telah nampu melakukan rekayasa genetika dengan teknik kloning sehingga dapat dihasilkan jenis ternak yang diinginkan untuk masa mendatang. Teknik pemisahan sperma yang dikembangkan oleh sejawad saya di Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya, Malang telah berlangsung cukup intensip sejak 6 tahun terakhir, namun selalu kita berhadapan dengan belum adanya bukti konkrit di lapang akan manfaat pemisahan semen tersebut secara ekonomis. Demikian pula perkembangan inovasi teknologi pakan serta kesehatan hewan telalu banyak dikemukakan oleh berbagai pakar yang dapat dijumpai di berbagai pustaka saat ini.
24
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Sebagai contoh, meskipun inovasi teknologi pengolahan limbah pertanian dengan teknik amoniasi telah menjadi proyek dunia, namun berakhir dengan kegagalan adopsi oleh peternak kecil. Contoh menarik adalah yang terjadi di Nepal, bahwa ternyata teknologi amoniasi justru menyusahkan peternak gurem karena persediaan jerami yang semula mampu digunakan selama empat bulan menjadi cukup hanya dua bulan akibat meningkatnya kecernakan pakan yang diikuti meningkatnya konsumsi (Shrestha, 1991). Program inovasi teknologi yang telah dikembangkan melalui berbagai proyek di Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pertanian, BPTP atau melalui program IPTEKDA baik yang dilansir oleh BATAN, LIPI sampai saat ini belum mampu mendongkrak produktivitas sapi potong secara signifikan, karena baru pada tataran forum seminar. Kondisi ini justru seringkali dimanfaatkan oleh beberapa ‖pengusaha nakal‖ dengan cara memasarkan produk dengan publikasi menarik semisal ‖Bossdext‖ yang dinyatakan oleh produsennya mampu meningkatkan PBB sapi antara 3,5 – 5,0 kg/hari/ ekor. Memperhatikan perkembangan IPTEK di bidang sapi potong di Indonesia saat ini, tampaknya masih belum banyak alternatif pilihan yang dapat dikemukakan. Pada tingkat peternak gurem tujuan utama pemeliharaan adalah untuk keperluan status sosial, tabungan hidup, sumber tenaga kerja atau pupuk. Sehingga ragam input yang diberikan juga relatip terbatas hanya pada ketersidaan sumberdaya pakan disekitarnya yang dapat diakses tanpa biaya. Kegagalan peneliti dalam memahami persepsi peternak menjadi salah satu faktor dominan kegagalan adopsi inovasi teknologi betapapun menurut peneliti bahwa teknologi tersebut telah dipandang sebagai teknologi tepat guna untuk meningkatkan produksi ternak. Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut berikut ini dipaparkan pendapat Ibrahim (1994) sebagaimana tercantum pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perhedaan persepsi antara peneliti dan peternak (Ibrahim, 1994)
1
Kriteria Sapi perah adalah sumber
Air susu
Peneliti Pedet
Peternak
Semakin banyak ternak dipandang
Menimbulakan masalah
Simbol kemakmuran
Menyapih pedet
Baik
Tidak baik
Kriteria untuk evaluasi pakan
Kadar protein & energi
Alasan tidak diadopsi
Peternak kurang peduli
Biaya pakan Manfaatnya thp. produksi ternak Teknologi tidak aplikatip
Padang rumput
Mengurangi pakan konsentrat
Tidak memiliki lahan khusus, prioritas untuk tanaman pangan
Pakan jerami
Dapat diberikan jika kekurangan hijauan
Jerami untuk ternak kerja, tidak punya jerami dlsb.
Jerami amoniasi
Teknologi sederhana
Tidak ada waktu, input, dlsb
Biogas
Untuk masak & penerangan
Faeces untuk pupuk, mahal dsb
Silase
Pakan untuk musim kemarau
Tidak punya cukup rumput, tidak ada waktu
Molasses Urea Block1
Meningkatkan produksi
Tidak ada biaya
Soetanto dkk (2000) Aplikasi Molasses Urea Block untuk Sapi Perah di Pos Penampungan Susu Ngeprih, Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang (Laporan tidak dipublikasikan)
Pertanyaan yang patut diajukan dalam forum seminar kali ini ialah ―mengapa kita belum mampu menghasilkan inovasi teknologi terapan di bidang sapi potong ?―. Jawaban yang dapat saya kemukakan ialah: 1. Orientasi penelitian kita masih bersifat parsial dan sering tidak berkelanjutan 2. Topik penelitian lebih banyak bersifat monodisiplin 3. Persepsi antara peneliti dengan peternak seringkali berbeda dalam hal memandang tolok ukur komoditas sehingga adopsi teknologi relative rendah
25
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
4. 5. 6.
Kerangka dasar penelitian seringkali berorientasi pada kondisi daerah sub-tropis yang tidak memiliki keterkaitan dengan ternak di daerah tropis Masih lemahnya koordinasi lintas disiplin dan lintas departemen walaupun di atas kertas terjalin kerjasama Benarkah para stakeholder usaha sapi potong telah bersungguh-sunguh dalam hal komitmen untuk berupaya meningkatkan produktivitas ternak.
MENCARI TEKNOLOGI TEPAT GUNA YANG APLIKATIP Menurut pendapat saya suatu teknologi tepat guna ialah teknologi yang dapat diterapkan oleh pengguna dengan mudah dan berdaya guna sehingga dapat mendorong tercapainya tujuan berusaha. Oleh karena itu tentu persepsi seorang peneliti akan berbeda dengan petani karena adanya perbedaan tujuan berusaha tersebut. Persoalan yang lebih penting adalah bagaimana para peneliti dapat meruntuhkan egonya agar sesuai dengan tujuan peternak dalam mengusahakan bisnisnya. Teknologi untuk produksi sapi potong dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen utama yaitu: (1) teknologi reproduksi dan breeding; (2) teknologi pakan; dan (3) teknologi manajemen pemeliharaan. Di luar ketiga teknologi tersebut masih perlu pula dikembangkan teknologi pasca panen bagi produk hasil ternak yang berorientasi pasar. Teknologi Reproduksi dan breeding Hingga saat ini telah banyak saran dikemukakan oleh para pakar di bidang pemuliaan ternak untuk mengatasi kelangkaan bibit sapi potong, namun tampaknya antara konsep dan pelaksanaan di lapang banyak terjadi penyimpangan terbukti laju permintaan daging sapi dengan kemampuan memasok semakin hari semakin bertolak belakang. Pokok permasalahan yang ada karena usaha sapi potong di Indonesia saat ini bertumpu pada peternakan rakyat (99%, menurut Djarsanto, 1998) dengan skala pemilikan yang sangat kecil, sehingga sulit menerapkan konsep yang ada karena dorongan kebutuhan ekonomis acapkali menyebabkan peternak harus melepas bibit sapi potong unggul yang dimilikinya sebelum menghasilkan turunan untuk disebarkan. Secara rinci pilihan teknologi reproduksi dan pemuliaan untuk menghasilkan bibit sapi potong sudah dikemukakan oleh Wartomo Hardjosubroto (1994), Kusumo Diwyanto dan Subandryo Tappa (1995) maupun penulis lainnya yang memiliki keahlian dalam bidang sejenis. Untuk tujuan jangka pendek, rekayasa teknologi yang dapat dijadikan pilihan adalah penerapan teknologi reproduksi yang mampu untuk memberikan nilai tambah dalam hal: Meningkatkan fertilitas sapi betina maupun jantan : Memperpercepat timbulnya oestrus post partum Meningkatkan angka konsepsi Menurunkan angka kematian embrio/abortus Meningkatkan angka kelahiran. Dalam uraian Nicholas (1996) dijelaskan bahwa pengaruh mendasar dari teknologi reproduksi adalah meningkatkan potensi reproduksi ternak. Hal ini berarti semakin sedikit induk yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah anak jika dibandingkan dengan menggunakan perkawinan alam. Sebagai akibat akan terjadi seleksi secara intensip dengan hasil meningkatnya rataan mutu genetik turunannya. Jika teknologi reproduksi digunakan dalam suatu populasi tertutup, maka akan terjadi laju peningkatan mutu genetik di dalam populasi tersebut. Inilah keuntungan yang diberikan oleh teknologi reproduksi saat ini. Meskipun demikian terdapat pula segi kelemahan dari penggunaan teknologi reproduksi karena adanya peluang inbreeding serta adanya keragaman yang besar dalam hal respon ternak terhadap teknologi yang diterapkan. Masalah ini merupakan dilema antara teknologi reproduksi dengan tujuan breeding sehingga diperlukan kecermatan seksama dalam hal pemilihan teknologi yang hendak digunakan. Teknologi reproduksi yang dapat dipilih sesuai dengan kondisi setempat adalah: (a) inseminasi buatan, (b) MOEF, (c) semen sexing, (d) embryo sexing, (e) cryopreservasi semen, ova dan embrio, (f) produksi embrio in vitro dan (g) embrio kloning (Nicholas, 1996). Berkaitan dengan program pembibitan sapi potong ada tiga pertanyaan pokok yang harus dijawab sebelum melakukan kegiatan tersebut, yaitu: Apakah tujuan program pembibitan ?;
26
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Bangsa ternak apa yang akan digunakan untuk mencapai tujuan ?; Sistem pembibitan apa yang akan diterapkan ? Pertanyaan pertama berkaitan dengan tujuan umum yaitu meningkatkan produksi sapi potong per induk dan per satuan luas lahan. Untuk lebih spesifik, tujuan tersebut dapat dijabarkan sebagai upaya untuk memperoleh: Fertilitas optimum Daya tahan optimum pedet hingga saat disapih Pertumbuhan optimum Komposisi karkas optimum Keuntungan optimum tiap induk atau tiap luasan lahan Bagi Propinsi NTB tujuan pembibitan sapi potong adalah untuk mewujudkan visi Propinsi NTB sebagai salah satu sumber bibit sapi potong di Indonesia. Oleh karena itu pilihan bangsa sapi potong yang dapat memenuhi tujuan tersebut haruslah dipilih bagsa sapi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di Propinsi NIB serta dapat memenuhi tujuan pembibitan tersebut. Kita memiliki bangsa sapi lokal yaitu, sapi Bali, sapi Madura dan P.O disamping sapi Aceh. Sapi Bali terkenal memiliki fertilitas tinggi, tahan panas dan serangan parasit kulit namun PBB relatif rendah jika dibandingkan dengan bangsa sapi lainnya. Hingga saat ini sulit dijumpai sapi Bali maupun sapi Madura yang mampu tumbuh setiap hari hingga mencapai 1 kg/ekor pada tingkat peternakan rakyat. Selain itu sejak tahun 1998 permintaan bibit sapi Bali sudah tidak dapat dipenuhi (Djarsanto, 1998). Para feedlotter yang banyak terdapat di Propinsi Lampung maupun di pulau Jawa umumnya lebih menyukai sapi persilangan jenis Brahman yang mampu tumbuh di atas 1 kg/ekor/hari jika kualitas dan kuantitas pakan memadai. Teknologi pakan Teknologi pakan seringkali diabaikan dalam rangka pengembangan bibit ternak ruminansia besar Padahal sebesar apapun potensi genetis ternak tanpa memperoleh pasok pakan yang memadai akan tidak dapat menampilkan potensi genetiknya. Pada skala peternakan rakyat, pemberian pakan sapi potong belum memadai dalam hal kualitas mapun kuantitas. Pengalaman penulis melakukan penelitian selama dua tahun di Kabupaten Nganjuk, Propinsi Jawa Timur yang merupakan salah satu kabupaten dengan populasi sapi potong padat, mencatat bahwa pemberian pakan sapi potong hanya dilakukan dengan memberi jerami padi, rumput lapangan dan dedak padi dalam jumlah yang sangat kurang dari kebutuhan setiap stadia fisiologis ternak kecuali untuk pedet. Praktik penyapihan pedet hingga 6 bulan membawa konsekuensi panjangnya interval beranak hingga melebihi 18 bulan, kendatipun skor kondisi tubuh pedet sangat bagus karena memperoleh susu induk secara ad libitum. Sebaliknya skor kondisi induk sangat rendah sebagai akibat adanya pengurasan cadangan protein dan lemak tubuh. Sehingga rataan service per conception juga lebih dari 2 (Soetanto dkk., 1996 Laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Melalui serangkaian analisis dapat ditemukan akar permasalahan yaitu terbatasnya potensi daerah tersebut untuk memasok pakan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga jika efiseinsi reproduksi ditingkatkan untuk memperpendek interval beranak maka dapat dipastikan inovasi suplementasi tidak akan diadopsi dan tidak berkelanjutan. Berbeda dengan kondisi di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, Propinsi NTB (khususnya Sumbawa) justru memiliki potensi daya dukung pakan yang relatip besar serta populasi sapi relatif rendah, Oleh karena itu untuk menekan biaya produksi maka selayaknya juga skala usaha untuk peternakan rakyat dapat diberikan minimal 5 ha/keluarga sehingga teknologi semi padang penggembalaan dapat diterapkan atau paling tidak meskipun dengan sistem cut and carry, biaya pakan dapat lebih ditekan karena kebutuhan konsentrat dan bahan butiran dapat disubstitusi dengan leguminosa pohon. Pilihan teknologi pakan yang dapat dianjurkan ialah: Padang penggembalaan dengan tanaman campuran antara rumput dan leguminosa merayap (misalnya rumput bintang dengan Stylosanthes, Centrosema, atau Desmodium). Penanaman rumput unggul (misalnya rumput Taiwan) untuk digunakan dalam sistem cut and carry atau leguminosa pohon sebagai sumber protein, misalnya lamtoro, gliricidia, kelor (Moringa oleifera, Limm) atau mulberry (Murus alba). Tanaman kelor merupakan tanaman sumber protein masa depan karena kandungan asam aminonya yang seimbang serta melebihi kebutuhan untuk anak balita sesuai standar FAO (Makkar and Becker, 1996). Sedangkan daun mulberry dilaporkan mampu menggantikan separuh dari nilai nutrisi bungkil biji rape (rape seed meal) pada domba (Liu et al.., 2000).
27
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Teknologi suplementasi dengan menggunakan limbah pentanian untuk memenuhi kebutuhan protein, enersi atau mineral dalam rangka meningkatkan reproduksi ternak. Untuk Pulau Lombok dan Sumbawa (Propinsi NIB) penggunaan hijauan leguminosa yang berpotensi sebagai protein by-pass dapat dianjurkan jika harganya layak secara ekonomis. Manfaat suplementasi dengan sumber protein by-pass dalam neningkatkan efisiensi produksi karena protein by-pass dapat meningkatkan konsumsi ternak serta memasok kebutuhan glucosa. Ilustrasi akan manfaat suplementasi protein by-pass disajikan pada Gambar 2 dan 3. Manipulasi fermentasi rumen dengan menggunakan rumen modifyers seperti lasalocid, monensin untuk tujuan fattening dengan kualitas karkas tertentu. Teknologi pengawetan hijauan segar (silase) maupun kering (hay) sehingga dapat dibuat program jangka panjang terhadap kemampuan memasok pakan untuk populasi sapi yang terdapat di wilayag tersebut, terutama ketika musim kering tiba. Segi penting nutrisi untuk reproduksi ternak telah banyak dibahas oleh para pakar. Menurut Robinson (1996) defisiensi nutrisi selama kehidupan janin dan neonatal akan mempengaruhi lifter size.. Selain itu defisiensi mineral Co pada kebuntingan awal berpengaruh terhadap vigoritas pedet pada saat kelahiran serta menyebabkan depresi terhadap imunitas pasip ternak yang bersangkutan. Pengaruh pakan juga dapat mengganggu pubertas, jumlah ovulasi, keselamatan embrio, skor kondisi tubuh saat beranak yang akan berpengaruh terhadap lama waktu timbulnya berahi kembali post partum, berpengaruh terhadap metabolisme pedet fase neontal, dan berpengaruh terhadap reproduksi pejantan.
Gambar 2. Respon pedet yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap pertambahan suptemen protein by-pass (Leng ,2002). Catatan: Y axis menunjukkan peningkatan bobot badan di atas pertambahan bobot badan kelompok ternak yang tidak diberi suplemen.
28
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Gambar 3. Respon sapi muda yang diberi pakan basal kualitas rendah terhadap sumber protein by-pass dengan memperhatikan dua tingkat suplementasi: (1) antara 0 - 1 g/kgBB dan (2) antara 1 – 6 g/kgBB (Leng, 2002) Teknologi Manajemen Pemeliharaan Program untuk meningkatkan produksi sapi potong dapat dilakukan melalui perbaikan teknik manajemen sebagai berikut: Bull soundness evaluation (evaluasi berdasarkan kelayakan sifat pejantan sesuai dengan karakter ekonomis yang dikehendaki) Seleksi genetik Program manajemen sapi betina induk Program manajemen sapi dara Kontrol terhadap perkawinan Diagnosis kebuntingan Pemberian pakan suplemen sesuai dengan fase fisiologis ternak Program kesehatan ternak Impilikasi ekonomis terhadap pilihan teknologi yang digunakan
PENUTUP Uraian yang telah dikemukakan di atas merupakan konsep ideal yang masih harus dijabarkan secara operasiona! di lapang. Apabila hal tersebut dapat diterapkan maka keempat pertanyaan kunci yang saya ajukan di awal makalah ini, yaitu: pertama, dapatkah Propinsi NTB menjadi sala satu sumber bibit sapi potong nasional? kedua, strategi apakah yang layak diterapkan?; ketiga, bagaimanakah operasionalisasi pengembangan pembibitan tersebut?, dan keempat, bagaimanakah dampak ekonomi maupun sosial bagi masyarakat Propinsi NTB? sangat memungkinkan untuk terjawab. Memperhatikan potensi wilayah Propinsi NTB serta kekuatan lain yang telah banyak dikemukakan kiranya dapat dijawab pertanyaan pertama, hahwa potensi sebagai salah satu sumber bibit sapi potong di masa mendatang dapat diwujudkan, Strategi yang dapat diterapkan perlu dikelompokkan menjadi strategi jangka pendek, yaitu: (1) industri hulu dikelola o]eh institusi dengan skala penguasaan lahan antara 100 - 500 ha dengan pemilikan sapi potong minimal 500 ekor; (2) menjamin tersedianya semen beku di daerah (3) menerapkan strategi VBC untuk wilayah terpilih; (4) memperbesar penguasaan lahan peternakan rakyat menjadi minimal 5 ha
29
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
per peternak; (5) memberikan bantuan modal usaha dengan syarat lunak kepada peternak rakyat maupun investor skala menengah; (6) menata kelembagaan usaha sapi potong sehingga akan memperlancar interaksi antara industri hulu dengan industri hilir maupun idustri diantaranya; (7) melakukan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit sapi potong yang dapat mengganggu program pembibitan; dan (8) peningkatan mutu SDM. Stragi jangka panjang yang dianjurkan ialah; (1) meningkatkan peran Lembaga R & D yang melibatkan para pakar di bidang peternakan sapi potong untuk memperoleh bibit sapi potong yang sesuai untuk kondisi daerah tropis basah dengan mengembangkan karakter ekonomis semisal; fertilitas tinggi, angka distokia rendah, produksi susu memadai, berat sapih tinggi, potensi pertambahan bobot badan tinggi, sifat jinak, komposisi karkas ideal dlsb; (2) penerapan teknologi canggih (bioteknologi) di hidang reproduksi, pakan dan kesehatan veteriner yang dapat diperankan oleh suatu institusi.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous 1998. Increasing productivity of tropical Crop Livestock Sustems By Optimal Utilisation of Crop Residues and Supplementary Feeds. Summary Reports of European Comission Supported STD3-projects (1992-1995). Technical Centre for Agricultural and Rural Cooperation ACP-EU, pp. 216 - 218. Ainur Rasyid dan Uum Umiyasih, 1993. Studi Tentang Prestasi Berat Badan dan Ukuran Tubuh Sapi Sonok. Procceding : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12 Oktober 1992. Penyunting Komarudin Ma‘sum Ali Yusran dan Marwan Rangkuti. Sub Balai Penelitian Ternak Grati , Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, halaman: 236 - 240. Arintadisastra, S. (2002) Indonesia Mampu Meningkatkan Produksi Pertanian dengan ―Empat Entry Point‖. Sinar Tani Edisi 23 – 29 Oktober 2002 Bingsheng, K. E. 2001 Perpectives and Strategies for Asian Livestock Sector In The Next Three Decades: SubRegional Report China. Agricultural and Natural Resource Economics Discussion Paper 02/2001. School of Natural and Rural System, University of Queensland, St. Lucia 4072, Australia Djarsanto , 1998. Kebijakan Pengembangan Pembibitan Khususnya Sapi Potong. Workshop UMMB, Batan di Blora, 16 Juni 1998
Makalh disampaikan pada
FAO. (2002). http\\www.fao.org.\Farming System and Poverty- Full text.html Hoffman, D. 1999. Asia Livestock to The Year 2000 and Beyond . Working Paper Series ½. FAO Regional Office for Asia and the Pasific, Bangkok, September 1999 Ibrahim, N.M.N. 1994. Livestock Development Programmes and Their Impact On Small Scale Dairy Farming In Sri Lanka, In : Constraints and Opportunities For Increasing The Productivity Of Catlle In Small Scale Crop Livestock System. Proccedings of an internal mid-term workshop, CEC. Research Project TS3 – CT920120, pp. 146 – 152 Eds. G. Zemmelink et. al. Held in The Institute of Continuing Education (ICE) Department of Animal Production & Helath, Perdeniya, Sri Lanka, November 14 - 19 1994 Ifar Subagiyo, 1996. Relevance of Ruminants In Upland Mixed-Farming System In East Java, Indonesia Ph.D Thesis. Agricultural University of Wageningen, Tehe Netherlands. Kaaschieter, G.A. de jong, R. Schiere, J.B. and Zwart, D. 1992. Towards Sustainable Livestock Production In Developing Countries And The Importance Of Animal Health Strategy Therein. The Veterenary Quarterly, Vo.14, No.2 : 66-75 Komarudin Ma‘sum, 1993. Hasil-hasil Penelitian Sapi Madura di Sub-Balai Penelitian Grati – Pasuruan. Proccedings : Pertemuan Ilmiah Hasil Penelitian dan Pengembangan Sapi Madura di Sumenep 11 – 12 Oktober 1992. Penyunting Komarudin Ma‘sumAli Yusran, dan Marwan Rangkuti. Sub-Balai Penelitian Ternak Grati, Balai Penelitian Ternak, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian . halaman : 45 – 52. Leng, R. A. , 2002, Future Direction Of Animal Protein Production In A Fossil Fuel Hungry World. Livestock Research for Rural Development 14 (5). Makkar, H.S.P. and Becker, K, 1996. Nutritional Value and Antinutritional Components Of Whole And Extracted Moringa Oleifera Leaves. Anim. Feed. Sci. Tech. 63 : 211 - 228 Nicholas, F.W. ,1996. Genetice Improvement Through Reproductive Technology. Anim. Repro. Sci. 42 : 205 - 214 Orskov, E.R. , 1993 Reality Of Rural Development Aid With Emphasis On Livestock. Published by Rowett Research Services Ltd. Aberdeen. U.K.
30
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Robinson, J.J. , 1996. Nutritional And Reproduction. Anim. Repro. Sci. 42 : 25 - 34 Soehadji, 1995. Pengembaangan Bioteknologi Peternakan : Keterkaitan Penelitian, Pengkajian dan Aplikasi. Procceding : Lokakarya Bioteknologi Peternakan. Departemen Peternakan dan Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Koordinator Jaringan Kerja, Pengembangan Bioteknologi Peternakan, Ciawi 23 – 24 Januari 1995. halaman 43 – 105. Soetanto, H. , 1991. Glucose Metabolism In Ruminants Consuming Low Quality Straw . Ph.D. Thesis University of Queensland, Australia. Shrestha, N.P. , 1991. Potential and Prospects od Straw Feeding In Ruminant Production System In The Eastern Hills of Nepal. Procceding : Utisation of Straw In Ruminant Production System. A Workshop Held at The Malaysian Agriculture Research And Development Institute, NR! Overseas Development Administration., pp : 87 – 100. World Bank, 2001. Indonesia : The Impertive For Reform. Brief for the Consultative Group on Indonesia. Report No. 23092-IND DISKUSI
Pertanyaan: 1. 2. 3. 4. 5.
Ternak sapi ini memang bisa bersaing secara komperatif dan kompetitif ini dari hasil analisa kami di PSE Ternak kita punya keunggulan komperatif dan kompetitif menjadi sapi perah sehingga impor susu ada. Klasifikasi mengenai paha ayam, dinaikan bea 100% karena untuk melindungi peternak dari keunggulan komperatif dan yang penting kesehatan produksi. Di Bali sapi jantan hanya di ternak saja dan sistem feedingnya, perhitunganya sangat sederhana. Dengan menjaga kemurnian genetik apa tidak akan mengebiri sapi tersebut (Bali dan Madura)
Tanggapan : 1. 2. 3. 4.
Keunggulan komperatif dan kompetitif untuk ternak kita, datanya sudah saya lihat tapi itu data sudah lama. Tarif bea masuk itu melanggar peraturan WTO dan memang setiap negara punya proteksi sendiri tapi bukan melalui bea tinggi (100%) Semua lahan yang bisa ditanami, ditanami maka akan dapat mensuplay pakan. Masalahnya memang harus tersedia lahan yang cukup. Mengebiri sesungguhnya tidak dicoba di Madura, maksudnya di sini sapi-sapi ini akan dijadikan sumber plasma nutfah, tapi kalau tidak ada maka lambat laun gen tersebut akan hilang, dan ini perlu kita lakukan untuk melestarikan plasma nutfah.
31
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
AGRIBISNIS LAHAN KERING DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PETANI DI PEDESAAN, PENGALAMAN DI NUSA TENGGARA TIMUR Iwan Santoso Praktisi, Fasilitator UKM dan Konsultan Agribisnis Lahan Kering, Kupang - NTT
PENGANTAR Tulisan ini menyangkut pengalaman penulis dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agribisnis lahan kering dan pembinaan kelompok tani di Nusa Tenggara Timur selama berkiprah sebagai pedagang buah-buahan, sebagai konsultan Pertanian Lahan Kering, dan sebagai pembina kelompok tani. Kondisi lahan di NTT‘ yang sebagian besar berupa lahan kering berbatu dengan curah hujan yang kecil dan distribusi tidak merata memerlukan penanganan secara khusus. Berdasarkan pengamatan penulis, masyarakat NTT adalah masyarakat yang sulit mengadopsi teknologi yang menyangkut usaha tani lebih-lebih jika pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan penyuluhan yang bersifat oral, tanpa diiringi dengan praktik-praktik nyata yang dapat dilihat dan dilakukan langsung oleh petani. Selain itu pendekatan yang selama ini dilakukan cenderung tidak menunjukkan keberlanjutan karena dilakukan dengan pendekatan proyek yang secara intrinsik mempunyai batas waktu pelaksanaan. Adopsi teknologi oleh petani memerlukan kesabaran dan upaya sistematis dengan perencanaan yang matang sesuai dengan kebutuhan petani. Kegiatan-kegiatan pelatihan dan penyuluhan yang dilakukan sebagian besar tidak mencapai sasaran karena ketidaksesuaian antara waktu kegiatan dengan kebutuhan informasi di tingkat petani. Pendekatan yang dilakukan oleh penulis adalah pendekatan contoh dengan praktik-praktik nyata. sehingga petani lain dapat meniru hal-hal yang penulis lakukan.
PENGALAMAN DALAM PERTANIAN LAHAN KERING Usaha agribisnis lahan kering dimulai dengan membuka lahan berbatu seluas 1 ha di Desa Belo kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Dari lahan seluas 1 ha ini penulis dapat menjual batu karang, sehingga dapat memulai mengembangkan usaha tani di tempat ini. Pada musim hujan 1998, penulis memulainya dengan menanam agung hibrida Pionir F1 di sela-sela batu dengan luasan sekitar 0,5 ha. Panen yang cukup berhasil dilakukan pada bulan Februari 1999, dan hasil panen sebesar Rp. 2.500.000,Keberhasilan ini mendapat tanggapan positif dari pemerintah. tetapi tidak disertai dengan tindak lanjut yang jelas. Setelah mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan di Singaraja penulis mendapat banyak pengetahuan dan keterampilan terutama yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam, misalnya pembuatan bokashi, pembuatan pestisida botani dan pemanfaatan air limbah. Bebekal pengetahuan dan keterampilan penulis mulai mengembangkan lahan yang telah dimiliki dengan membuat bak-bak pengomposan dan bak penyaringan air limbah. Di lahan ini penulis mulai dengan penanaman pepaya Red Lady (diindikasikan sebagai pepaya yang tahan kering) dan mulai rnenghasilkan setelah satu tahun. Hasil panen pepaya digunakan untuk memperbanyak jenis tanaman, sehingga meliputi mangga, jeruk (keprok. nipis limau), srikaya dan jambu. Setelah tanaman buah mulai tumbuh lahan di lengkapi dengan pemeliharaan/penggemukan sapi, yang selain untuk rnendapatkan tambahan penghasilan malalui hasil jual hewan tersebut juga untuk memperoleh pupuk kandang bagi tanaman. Tanaman-tanaman lain seperti turi dan lamtoro juga di tanam sebagi tanaman-tanaman yang ada di lahan ini sebagai tanaman pelindung yang daunnya dapat dimanfaatkan sebagai pakan sapi. Usaha tani lahan kering ini sekarang sudah mulai memberikan hasil, baik dari tanaman semusim seperti tomat dan labu, maupun dari pohon seperti pepaya, jeruk nipis dan sirsak. Memang dari segi agribisnis usaha ini belum memberikan keuntungan yang nyata, tetapi keberhasilan yang ada sekarang diharapkan dapat menjadi contoh bahwa dengan keadaan lahan yang sangat marginalpun usaha pertanian yang berhasil dapat dilakukan
32
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENINGKATAN MANAJEMEN PEMASARAN JERUK SoE Berawal pada tahun 1997 dengan sponsor dari Windrock International, penulis melakukan survey pemasaran jeruk di beberapa pasar tradisional dan swalayan di Denpasar Bali. Hasil survey menunjukkan bahwa kualitas jeruk Keprok SoE tidak kalah dengan kualitas jeruk-jeruk impor, seperti Imperial (Australia), Kino (Pakistan) dan, Mandarin (Cina). Pada saat itu harga jeruk impor di Bali berkisar antara Rp. 7500,- dan Rp. 9000,- per kilogram. Sementara itu harga jeruk keprok SoE di Kupang hanya berkisar antara Rp. 2500,- dan Rp. 3500,- per kilogram ini. Perbedaan yang besar ini memberikan peluang pemasaran jeruk SoE di Bali, karena mutu buah jeruk Keprok SoE tidak kalah dengan jeruk impor tersebut. Namun demikian, kekurangan pada jeruk Keprok SoE terletak pada kurangnya pengetahuan masyarakat di luar NTT mengenai keberadaan jeruk Keprok SoE. Belajar dari hasil survey tahun 1997 itu, penulis mencoba mempromosikan jeruk Keprok SoE di Bali. Jeruk tersebut di beri label dan dipak dalam kotak-kotak berlabel (seperti yang dilakukan terhadap jeruk impor) dengan kapasitas 10 kg per kotak. Pada awal awal masa pengenalan, jeruk Keprok SoE sudah mendapatkan harga Rp. 6500,- per kilogram. Harga ini memang lebih rendah daripada harga jeruk impor, tetapi jauh lebih tinggi daripada harga di Kupang yang hanya sekitar Rp. 3000,-. Harga tertinggi yang dicapai oleh jeruk Keprok SoE adalah Rp. 9000,- pada tahun 1999 sementara harga tertinggi yang dapat diperoleh di Kupang adalah Rp. 6500,-. Masalah-masalah yang dihadapi berkaitan dengan pemasaran jeruk Keprok SoE. adalah sebagai berikut: 1. Cara panen dan penanganan pasca panen Petani pada umumnnya melakukan pemanenan dengan cara rampasan, tanpa menggunakan gunting. Akibatnya banyak buah yang mengalami kerusakan karena robeknya kulit pada bagian tangkai buah atau buah menjadi busuk karena jatuh. Untuk rnengatasi hal ini, anggota kelompok diberikan bantuan gunting pangkas sehingga mereka dapat mengurangi resiko kerusakan buah. 2. Ijon dan spekulan Sistem ijon sampai saat ini masih marak di kalangan petani jeruk di SoE. Petani biasanya menerima ijon dua bulan menjelang panen, dengan nilai separuh dari nilai jual buah pada saat panen. Sistem ijon ini sangat merugikan petani dalam dua hal. Pertama pendapatan petani akan berkurang akibat rendahnya nilai jual hasil jeruk. Yang kedua para pemberi ijon biasanya akan memetik buah jeruk setelah lewat masa panen karena menunggu harga. Tanaman jeruk yang buahnya dibiarkan sampai melewati masa panen akan mengalami penurunan hasil pada musim panen berikutnya. Akibatnya volume produksi yang dapat dipasarkan dari tahun ke tahun menjadi tidak stabil. Jika tidak dilakukan penjualan dengan sistem ijon, penjualan buah jeruk oleh petani biasanya dilakukan dengan cara borongan di pohon. Ini dilakukan karena kurangnya informasi harga per kilo. Seringkali pohon yang dapat menghasilkan 60 - 70 kg per pohon hanya dinilai dengan harga sekitar Rp. 100.000,- - Rp. 125000,-. Masalah ijon masih belum dapat diatasi secara baik. Masalah spekulan sedang diupayakan rnengatasinya dengan cara: a. Menyediakan informasi harga kepada petani, sehingga mereka dapat memperkirakan harga yang harus mereka sepakati dengan pedagang pengumpul. b. Membina petani agar petani melakukan penjualan secara berkelompok. c. Mendidik petani untuk melakukan pengkelasan buah berdasarkan standar yang disepakati kelompok, sehingga terdapat keseragaman harga antar anggota kelompok untuk setiap kelas buah. 3. Transportasi Pengangkutan dari kebun kejalan utama masih menggunakan karung-karung yang ditumpangkan di punggung kuda, sehingga seringkali dijumpai buah menjadi rusak setelah sarnpai di jalan utama. Masalah ini sudah mulai diatasi dengan perbaikan jalan-jalan yang menuju ke kebun-kebun petani.
33
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PEMBINAAN KELOMPOK USAHA PENGOLAHAN MINYAK KELAPA TRADISIONAL Kegiatan ini dipusatkan di desa Ponaen, wilayah kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang NTT. Di desa ini terdapat sekitar 150 KK pengrajin minyak kelapa secara tradisional. Kegiatan kelompok diawali dengan peninjauan oleh tim LIPI tahun 1998. Sebagai tindak lanjut tim LIPI rnemberikan dana bantuan untuk pengembangan pemberdayaan masayarakat desa, berupa pinjaman bergulir dengan bunga pinjaman 1 % per bulan. Pemberian ini diberikan secara bertahap, dengan pinjaman tahap awal sebesar Rp. 2.500,000,-. Setiap 6 bulan, pinjaman ini ditambah sejumlah yang sama sampai total pinjaman berjumlah Rp. 10.000.000,-. Pengembalian pinjaman ini akan berakhir pada bulan Desember 2002. Walaupun periode pengembalian dana dari LIPI ini belum berakhir, melihat keberhasilan dari kelompok ini diperoleh lagi dana pinjaman tambahan dari Departemen Koperasi. Dana pinjaman ini berjumlah Rp. 50.000.000,- harus dikembalikan setelah 4 tahun, dan mulai digulirkan sejak Februari 2002 kepada 20 orang anggota kelompok yang diberi nama Kelompok Iwan Santoso. Kelompok ini bergerak dalam usaha pengolahan minyak kelapa dan penggemukan sapi Bali. Masing-masing anggota memperoleh dana pinjaman dana sebesar Rp. 2.500.000,- yang harus dikembalikan dalam waktu 24 bulan, dengan cicilan sebesar Rp. 145.000,- per bulan. Dalam waktu lima bulan, yaitu pada bulan Juli 2002, kelompok ini sudah mengembalikan bunga dan pokok pinjaman sebesar Rp. 12.500.000,-. Dari jumlah ini bunga pinjaman sebesar Rp. 2.500.000,- dikembalikan kepada Departemen Koperasi melalui Bank Bukopin, sedangkan dana sejumlah Rp. 10.000.000,- digulirkan kepada kelompok angkatan kedua sebanyak 4 orang dengan masing-masing jumlah pinjaman yang sama dengan anggotasebelumnya,yaitu Rp. 2.500.000,-. Dana sejumlah yang sama akan digulirkan lagi kepada 4 orang anggota baru pada kelompok angkatan kedua ini pada bulan kesepuluh, sehingga jumlah anggota angkatan kedua ini menjadi 8 orang. Dengan demikian dalam waktu sepuluh bulan pertama dana pinjaman awal sebesar Rp. 50.000.000,-yang dipinjamkan kepada 20 orang akan bertambah menjadi 28 orang. Dengan mekanisme seperti ini dalam waktu 15 bulan terhitung sejak Januari 2003, akan tercakup 40 orang penerima pinjaman. Proyeksi jumlah anggota yang akan dapat menerima pinjaman dalam periode 4 tahun masa pinjaman menjadi 54 orang dengan total jumlah dana bergulir sebesar Rp. 274.050.000,-. Setelah dikurangi pinjaman dan bunga, maka keuntungan bersih kelompok selama periode 4 tahun adalah sebesar Rp. 52.175.000,-. Dana pinjaman sebesar Rp 2.500.000,- di atas digunakan selain untuk usaha kerajinan minyak kelapa juga digunakan untuk usaha penggemukan sapi Bali. Penggemukan dilaksanakan selama periode 4 - 5 bulan, dengan keuntungan per ekor sapi sekitar Rp. 600.000,- - 700.000,-
PENUTUP Berdasarkan pengalaman ini, ternyata usaha apapun yang dilakukan harus didasari dengan motivasi dan kesungguhan yang besar. Dengan memanfaatkan teknologi yang berkembang sakarang, sebenarnya banyak lahan-lahan yang tidak produktif dapat ditingkatkan menjadi lahan-lahan yang lebih produktif. Untuk itu. Upaya-upaya membina petani untuk meningkatkan pendapatan mereka tidak cukup dengan pendekatan wacana, seperti yang sering dilakukan selama ini, tetapi harus dengan upaya-upaya kongkrit yang dapat diterapkan oleh petani lahan-lahan kering seperti yang dijumpai di NTT dan NTB hanya akan memberikan hasil optimal jika digarap dengan prinsip diversifikasi, yang melibatkan usaha pertanian tanaman (semusim maupun tahunan) dan ternak, dibarengi dengan upaya-upaya ke arah konservasi lahan. Selanjutnya, pembinaan kelompok petani akan berhasil dengan baik jika dilakukan dengan pendekatan yang didasarkan pada analisis kebutuhan.
DISKUSI Pertanyaan :
1. 2. 3. 4.
Kalau ingin tumbuhkan pohon diatas batu dimana masyarakat etos kerjanya kurang, apa yang akan dilakukan? Pada fhoto tadi saya tidak melihat tanaman semusim di bawahnya. Apakah dalam kegiatan pertanian itu kompos dimanfaatkan? Apa di proses lebih lanjut jadi kompos? Limbah-limbah pertanian/pakan ternak dimanfaatkan? ampas industri minyak kelapa juga dimanfaatkan?
34
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
5. 6. 7. 8. 9. 10.
Informasi dari kenaikan bobot badan tidak ada dan untung cukup besar? Belum saya lihat keuntungan berapa % dari hasil tersebut untuk kelompok dan untuk petani. Kelompok yang dibina Bapak apa yang sudah ada? Binaan Pak Iwan orangnya seperti apa sebelumnya? Eksistensi Bapak selama ini bagaimana memilih teman sebagai staf? Sumber dana?
Tanggapan :
1.
2. 3.
4.
Kami bekerja dengan memberikan contoh-contoh yang kongkrit pada masyarakat. Dengan membeli hasil panen dari anggota dan memasarkan sendiri. Hasil penjualan dibagi langsung dengan anggota tidak ada kebohongan. Kalau kotoran sapi bekerja sama dengan Perguruan Tinggi dan pupuk anorganik juga diberikan limbah lainyapun dimanfaatkan. Setiap bulan anggota kelompok dikunjungi dan ditanya permasalahan yang ada, setiap Minggu (Jum‘at) kelompok menyetor kreditnya. Setiap dana kelompok yang sudah lunas, kembali digulirkan kepetani lain yang bersedia menjadi anggota. Tanaman sela sejenis kacang-kacangan.
35
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
STRATEGI PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERTANIAN LAHAN KERING BERWAWASAN LINGKUNGAN DI NUSA TENGGARA BARAT Mansur Ma`shum, Lolita E.S., dan Sukartono Universitas Mataram Jl. Pendidikan Mataram, Telp 0370-628143
PENDAHULUAN Pengembangan pertanian lahan kering merupakan alternatif yang sangat penting untuk mengalihkan paradigma lahan sawah sebagai tulang punggung pertanian dan sebagai pemenuhan utama produksi pangan nasional. Hal ini sangat beralasan karena lahan-lahan persawahan di Indonesia umumnya telah banyak mengalami alih fungsi menjadi lahan nirpertanian. Tantangan lain dari lahan pertanian sawah adalah kemunduran produktivitas karena intervensi manusia yang sangat intensif. Dengan demikian pertanian lahan kering diharapkan mampu memiliki andil yang signifikan terhadap pengembangan potensi wilayah di kawasan timur Indonesia. Meskipun potensi pemanfaatan lahan kering untuk pengembangan pertanian sangat besar, perlu dicermati pula bahwa ciri khas agroekosistem lahan kering relatif rentan terhadap degradasi sehingga dalam pengelolaan jangka panjang harus lebih berhati-hati dengan tetap memperhatikan aspek kelesatarian dan kesinambungan produktivitas lahan (dryland sustainable agriculture). Tidak sekedar masalah biofisik lahan yang lemah, lahan kering juga memiliki masalah social-ekonomi yang cukup kompleks. Pendekatan dalam pengelolaan pertanian lahan kering tampaknya harus berorientasi pada pendekatan agroekosistem wilayah dengan tetap memperhatikan aspek sosial budaya spesifik daerah sebagai komponen pendekatan wilayah. Manipulasi terhadap biofisik lahan untuk meningkatkan ketangguhan agroekosistem: seperti pembuatan tampungan air permukaan (embung/dam pemanen aliran permukaan) dipadukan dengan paket teknologi budidaya berwawasan lingkungan menjadi esensial untuk pengelolaan pertanian lahan berkelanjutan. Teknologi budidaya lahan kering harus bersifat adaptif untuk suatu wilayah dalam arti paket teknologi tersebut berwawasan lingkungan dan cocok untuk kondisi agroekosistem wilayah, secara teknis dan social dapat diterapkan oleh masyarakat setempat serta berimplikasi ekonomi dalam keberlanjutan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Makalah ini akan mencoba mendiskusikan beberapa gatra penting yang terkait dengan strategi pengelolaan pertanian di lahan kering dengan pendekatan kewilayahan. Managemen praktis dari pendekatan ini merupakan iptek yang berwawasan lingkungan dengan penerapan paket teknologi budidaya tepat guna, termasuk didalamnya upaya konservasi air guna pengembangan pertanian lahan kering jangka panjang.
PROFIL DAN PERMASALAHAN LAHAN KERING NTB 1. Profil Lahan Kering di Nusa Tenggara Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat memiliki lahan seluas 2.015.315 Ha dengan rincian seperempat bagian tersebar di Pulau Lombok (473.867 Ha) dan tiga perempat bagian tersebar di Pulau Sumbawa (1.541.448 Ha) dan paling kurang 60% dari luasan tersebut berupa kawasan lahan kering (Tabel 1). Tabel 1. Luas Lahan (Ha) Berdasarkan Jenis Penggunaannya di NTB Jenis Penggunaan 1 Pemukiman Sawah : a. Irigasi b. Tadah hujan c. Tegalan d. Ladang Kebun Perkebunan
Luas Lahan (Ha) 2 26.066,352 94.741,477 131.981,840 149.555,652 12.238,500 55.250,137 46.090,578
Persen (%) 3 1,3 4,7 6,5 7,4 0,6 2,7 2,3
36
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1
2 832.758,270 65.255,270 364.890,866 1.755 12 4.321,940 28.693,073 2.015.315
Hutan Lebat Hutan Sejenis Belukar Danau Rawa Embung/Waduk Lain-lain JUMLAH
3 41,3 3,2 18,1 0,09 0,0006 0,2 1,4 100
Sumber : Bappeda NTB, 2000.
Biro Pusat Statistik NTB (1997) melaporkan bahwa luasan lahan kering yang potensial untuk dikembangkan mencapai sekitar 162.033,313 Ha dengan sebaran 66% di Sumbawa dan 34% di Pulau Lombok. Biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat memiliki karakteristik khas yakni fisiografi lahan yang sangat beragam dari berombak, bergelombang hingga berbukit atau berlereng dengan jenis tanah yang didominasi oleh tiga ordo yakni Entisols, Inceptisols dan Vertisols. Secara inherent kesuburan tanah lahan kering di NTB sangat rendah dicirikan oleh rendahnya kandungan bahan organik tanah (Ma`shum, 1990), agregat tanah yang kurang mantap (Tarudi, dkk., 1989) terutama pada lahan-lahan miring/berbukit dengan tipe tanah Entisols dan Inceptisols, peka terhadap fenomena kerusakan lahan terutama akibat erosi, kandungan hara utama (N, P, dan K) yang relatif rendah (Ma`shum, Lolita, dan Sukartono, 2000). Intergrasi dari sifat inherent tanah tersebut dan adanya keterbatasan ketersedisaan sumberdaya air sebagai salah satu faktor utama pertumbuhan tanaman membawa konsekwensi rendahnya produktivitas lahan. Lahan kering NTB memilki iklim kering yaitu: tipe iklim D3 (3-4 bulan basah dan 4-6 bulan kering), tipe iklim D4 (3-4 bulan basah dan >6 bulan kering), tipe iklim E3 (<3 bulan basah, 4-6 bulan kering) dan tipe iklim E4 (<3 bula basah dan > 6 bulan kering) (Oldeman, 1981). Distribusi dan intensitas curah hujan di wilayah lahan kering NTB tidak merata dan tidak menentu (erratic) sehingga kerap kali kegagalan panen terjadi sebagai akibat keterbatasan ketersediaan air. Surplus air hanya terjadi pada bulan-bulan basah (Desember, Januari/Februari) dan selebihnya merupakan bulan-bulan defisit air (Gambar 1). Informasi keadaan iklim bulanan wilayah lahan kering lain di NTB disajikan pada Tabel 2. Keadaan curah hujan umumnya berlangsung dengan durasi yang pendek, disertai intensitas dan distribusi yang ―erratic‖ serta sulit ditaksir (unpredictabel), sehingga seringkali menyebabkan kegagalan panen. Table 2. Data Iklim Rata-rata Bulanan Stasiun Kopang, Lombok Tengah Year 98 1 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep
Jumlah dan Rata-rata 2 Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata Jumlah Rata-rata
Kelembaban (%) 3 3037,00 97,97 2738,00 97,79 3023,00 97,52 2932,00 97,73 3029,00 97,71 2930,00 97,67 3026,00 97,61 3030.00 97,74 2937,00 97,90
Suhu (oC) 4 867,50 27,98 787,00 28,11 877,10 28,29 862,50 28,75 890,00 28,71 836,60 27,89 854,20 27,55 844,00 27,23 821,50 27,38
Hujan harian (mm) 5 222,40 7,17 433,10 15,47 577,10 18,62 139,50 4,65 46,60 1,50 62,80 2,09 75,90 2,45 42,30 1,36 312,50 10,42
Evaporasi (mm) 6 134,60 4,34 109,30 4,75 109,10 3,76 100,40 3,35 75,10 2,42 68,30 2,28 66,10 2,13 131,80 4,25 137,00 4,57
Kec. Angin (km/jam) 7 1543,20 49,78 610,80 21,81 734,70 23,70 852,40 28,41 822,20 26,52 703,40 23,45 888,30 28,65 1841,40 59,40 1253,00 41,77
37
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 Okt Nov Des
2
3
Jumlah Rata-rata Jumlan Rata-rata Jumlah Rata-rata
4
3034,00 97,87 2934,00 97,80 3027,00 97,65
5
878,00 28,32 837,70 27,92 832,50 26,85
6
208,30 6,72 235,80 7,86 204,00 6,58
7
123,30 3,98 102,10 3,65 121,20 4,04
985,50 31,79 1122,10 37,40 2063,70 66,57
Catchment area : Renggung Altitude : 8o 37' 17" LS/116o 21' 50" Latitude : 352 m Sumber : Stasiun Kopang N0. 521005
Tinggi air (mm)
300 250
P
200
PE AE
S
150 100
D
50 0 J
F
M
A
M
J
J
A
S
O
N
D
Bulan
Gambar 1. Kurva neraca air wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur(Data sekunder diolah) Keterngan: P-Curahhujan; PE-Evapotranspirasi potensial; AE- Evapotranspirasi actual; D- Defisit; SSurplus 2. Permasalahan Agroekosistem dan Sosial Ekonomi Masyarakat Keadaan biofisik lahan kering di Nusa Tenggara Barat umumnya diasosiasikan sebagai lahanlahan kritis dengan petunjuk relatif rentan terhadap fenomena kerusakan lahan akibat erosi, kesuburan serta produktivitas tanah yang relatif rendah, keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Keterbatasan air tahunan merupakan kendala yang membatasi pola pertanaman yang ada di daerah lahan kering. Fluktuasi lengas tanah pada sistem pertanaman lahan kering sangat tergantung pada pasokan air hujan (Sukartono, dkk., 2001). Degradasi lahan yang muncul adalah erosi pada lahan perbukitan dan atau lahan miring, makin menurunnya kualitas kesuburan tanah (lapisan tanah menipis, agregat tanah tidak stabil), aliran permukaan yang terjadi musim hujan lebih dari 70% hilang menuju ke laut (Yasin , 2000), menurunnya kualitas DAS seperti DAS Dodokan dan DAS Jelateng di Lombok sebagai intensifnya intervensi manusia di lahan kering bagian tengah dan hulu DAS (Rapat Teknis Bapedalda, 2000). Pengelolaan sistem pertanaman (cropping system) dan pengelolaan tanah dan air dalam arti luas di tingkat petani masih belum memadai baik dari aspek kelestarian sumberdaya alam (berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis). Hal ini sangat terkait dengan penguasaan petani di wilayah pedesaan lahan kering terhadap teknologi budidaya dan konservasi air yang masih jauh dari memadai. Implikasi keadaan tersebut tercermin dari rata-rata pendapatan petani pedesaan di wilayah lahan kering NTB masih tergolong sangat rendah.
38
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Lebih dari sekedar persoalan alami biofisik lahan, masyarakat pedesaan di lahan kering NTB umumnya merupakan masyarakat miskin baik secara ekonomi maupun tingkat pendidikan. Infrastruktur ekonomi di wilayah pedesaan lahan kering masih terbatas dibandingkan daerah-daerah pertanian intensif (lahan persawahan) sehingga aksesibilitas petani terhadap pasar umumnya relatif terbatas. Dengan berbagai permasalahan agroekosistem lahan kering seperti ini maka strategi pengelolaan pertanian lahan kering harus berorientasi pada peningkatan kualitas lahan dan produktuvitas tanah (kelestarian sumberdaya alam berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan petani (berwawasan agribisnis). Dari segi kebijakan pemerintah, paradigma pengembangan pertanian lahan kering khususnya di Nusa Tenggara Barat maupun nasional baru mulai mendapatkan perhatian yang serius sejak krisis ekonomi melanda tanah air (1997/1998).
STRATEGI PENGELOLAAN PERTANIAN LAHAN KERING BERWAWASAN LINGKUNGAN DI NUSA TENGGARA BARAT Pengelolaan lahan kering di NTB sebagai lahan produktif merupakan salah satu alternatif yang prospektif mengingat potensi luas arealnya sangat besar dan potensi produktivitas lahannya masih sangat terbuka untuk ditingkatkan. Pengelolaan pertanian lahan kering sesungguhnya tidak mudah, karena sangat berkaitan dengan permasalahan lahan kering yang cukup kompleks baik dari sumber daya lahannya dan/atau sumber daya manusianya. Karena itu dalam pencarian strategi pengelolaan yang tepat, dalam memfungsikan lahan kering sebagai lahan produktif diperlukan pendekatan holistik dengan mengenali secara seksama tipe agroekosistem lahan kering yang bersifat spesifik lokasi dengan tidak meninggalkan ciri-ciri alamiahnya serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Beberapa aspek penting yang merupakan prasyarat terwujudnya sistem pengelolaan lahan kering tepat guna meliputi: (i) aspek biofisik; (ii) aspek ekonomi; (iii) aspek sosial budaya dan (iv) aspek kelembagaan yang ditunjang dengan kebijakan-kebijakan yang memadai. Keempat aspek tersebut secara bersama menentukan terwujudnya sistem pengelolaan yang tepat guna pada usaha tani lahan kering yang berkelanjutan dan berwawasan agribisnis. Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek biofisik Aspek biofisik pada suatu sistem pengelolaan pertanian lahan kering meliputi faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan dan kesesuaian lahan serta peningkatan kualitas dan produktivitas lahan. Paket teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka peningkatan kualitas dan produktivitas lahan haruslah dapat memberikan kompensasi keterbatasan kemampuan alamiah lahan tersebut. Dalam hal ini teknologi yang sesuai adalah teknologi tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan, baik dilihat dari upaya mengeliminasi pengaruh erosi maupun faktor-faktor pembatas kesuburan tanah dan keterbatasan ketersediaan air. Penerapan teknologi tersebut dapat berbeda antara wilayah tangkapan hujan (pluvial), wilayah konservasi air dan wilayah pengguna air. Bagi wilayah tangkapan hujan, penerapan teknologinya ditujukan untuk: (i) Memperbesar infiltrasi dan perkolasi untuk memperkaya air tanah dan debit sumber-sumber arteris. (ii) Mempertinggi daya simpan air tanah melalui penghijauan dan reboisasi (Justika, dkk. 1997) Pada wilayah konservasi air (freatik) difokuskan pada upaya berikut: (i) Mencegah erosi lapisan tanah melalui penerapan sistem olah tanah konservasi, pemberian mulsa organik, pembuatan terassaring dan pertanaman menurut kontur, system budidaya tanaman lorong (Alley cropping). (ii) Memperbesar daya tampungan air hujan dan air permukaan melalui pembuatan tandon air, bendungan dan embung. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, Sukartono, dan Soemeinaboedhy (2000) mengungkapkan bahwa hasil panenan air hujan di wilayah lahan kering Pringgabaya Lombok Timur (6m3 air/100m2 areal tangkapan) dapat dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan air paska musim hujan.
39
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Sedangkan implimentasi teknologi di wilayah pengguna air diarahkan pada tindakan : (i) Meningkatkan efisiensi pemanfaatan air melalui pemilihan varietas komoditas tanaman pangan yang toleran terhadap kekeringan, pengembangan pola pertanaman campuran pangan - legum serta rotasi tanaman (Ma‘shum, dkk, 2002) (ii) Merawat kesuburan tanah melalui konsep pengelolaan pertanian organik yang ramah lingkungan dan sistem olah tanah konservasi. Teknologi budidaya yang memadukan konsep efisiensi pemanfaatan air dan perawatan kesuburan tanah di lahan kering telah banyak tersedia. Hasil penelitian Ma`shum, Lolita, dan Sukartono selama tiga tahun (1999-2002) di lahan kering Pringgabaya mengungkapkan bahwa pengaturan rotasi tanaman (Crop sequence) tumpang sari kedelai/jagung – komak dengan penerapan paket pemupukan kombinasi (anorganik + organik + hayati) mampu meningkatkan kualitas kesuburan tanah dan produktivitas lahan (Lampiran 1, 2, 3, dan 4) Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek ekonomi Tinjauan aspek ekonomi dalam kaitannya dengan pengembangan lahan kering sebagai lahan produktif meliputi: (i) manfaat finansial dan ekonomi bagi unit pelaku usaha, dan (ii) manfaat secara luas bagi pengembangan ekonomi wilayah. Untuk itu diperlukan analisis kelayakan usaha ditinjau dari sudut kepentingan pelaku usaha dan kelayakan dari sudut kepentingan sosial ekonomi secara keseluruhan. Salah satu contohnya adalah introduksi teknologi budidaya konservasif di lahan kering Pringgabaya melalui pengaturan pola tanam tumpang gilir legum- tanaman pangan disertai aplikasi kesimbangan pupuk anorganik-organik dan hayati dan pemanenan air hujan (Ma`shum, dkk., 2000-2002). Dengan demikian, strategi pengelolaan pertanian lahan kering tidak hanya sekedar berorientasi pada peningkatan produktivitas lahan tetapi harus merupakan strategi jangka panjang untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas tanah/lingkungan (pelestarian sumber daya alam berwawasan lingkungan) dan keberlanjutan pendapatan petani (wawasan agribisnis). Kesinambungan pemanfaatan pertanian lahan kering sebagai sumber ekonomi wilayah perlu didukung oleh pembangunan infrastruktur untuk memperlancar aksesibilitas masyarakat terhadap pasar dan pusat-pusat perekonomian lainya. Strategi pengelolaan lahan kering dari aspek sosial-budaya (i). Aspek sosial-budaya yang menjadi prasyarat penting dalam pengembangan lahan kering adalah peran aktif masyarakat. Terkait dengan aspek ini, strategi pengelolaan lahan kering yang seyoganya diterapkan harus mampu menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pertanian seperti. Dalam hal ini diperlukan pelibatan berbagai pihak, pemerintah, LSM, investor dan tokoh informal masyarakat sebagai dinamisator. Bentuk-bentuk kegiatan yang berkaitan dengan pembinaan SDM dapat dilakukan melalui penyuluhan, pelatihan, ataupun penyampaian informasi lain yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hubungannya dengan pencapian tujuan dari pengembangan lahan kering, hendaknya kegiatan penyuluhan ìni, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian. (ii). Pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan serta pengendalian. (iii). Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia di NTB untuk mendukung pengembangan kelembagaan. (iv). Penataan keterkaitan sosial dan ekonomi antara masyarakat daerah hulu dan hilir, antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. (v). Penegakan hukum (law enforcement) yang mengatur pemanfaatan sumberdaya lahan. (vi). Pola pengembangan pertanian lahan kering seharusnya teragenda di dalam RENSTRA Pemerintah Daerah.
PENUTUP Keberpalingan terhadap pengembangan pertanian lahan kering harus segera diwujudkan, seiring dengan pergeseran paradigma pengembangan pertanian intensif di lahan basah sebagai penopang utama kebutuhan pangan nasional. Mengingat rentannya lahan kering baik dari segi biofisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat, maka pengelolaan lahan kering yang tepat guna di Nusa Tenggara Barat harus berazas wawasan lingkungan, yaitu dengan pemahami secara paripurna sifat dan ciri agroekosistem
40
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
wilayah serta karakteristik sosial-ekonomi dan budaya masyarakat wilayah sasaran. Hal ini penting untuk menghantarkan capaian pengelolaan pertanian lahan kering yang tidak hanya sekedar meningkatkan kualitas biofisik lahan dan produktivitasnya (kesinambungan sumberdaya alam) tetapi juga harus berimplikasi terhadap kesinambungan peningkatan pendapatan dengan wawasan agribisnis dan didukung oleh pembangunan infrastruktur ekonomi. Masukan teknologi budidaya dan konservasi air, serta prioritas diversifikasi komoditi unggulan lahan kering harus sesuai dengan kondisi agroekosistem wilayah, dapat diterima oleh masyarakat setempat dan memberikan nilai tambah bagi pendapatan usaha tani. Pola pengembangan lahan kering secara terstruktur seyogyanya menjadi agenda RENSTRA Pemerintah Daerah. Koordinasi harmonis antara sektor pelaku pembangunan pertanian lahan kering dengan masyarakat petani dalam pembinaan SDM dan kelembagaan harus dikembangkan dengan tetap mengacu pada aspek pemberdayaan masyarakat. Ke depan pengelolaan pertanian lahan kering di NTB sedapat mungkin juga dikembangkan sebagai salah satu asset wisata alam (Agro ecotourism) sehingga nilai tambah pertanian lahan kering dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Akhirnya semoga sekelumit konsep pemikiran ini tidak sekedar angan-angan belaka tetapi merupakan komitmen yang perlu segera diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA Justika, S.B, dkk., 1997. Konsepsi dan Teknologi Konservasi Air pada Lahan Berlereng. Dalam Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian yang efisien. PERHIMPI Ma`shum, M., 1990. Studi Tahana Bahan Organik Tanah di P. Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Fakultas Pertanian UNRAM Ma`shum, M., Mahrup, Sukartono, dan Lollita, E.S. (1994). Perilaku Hara Kalium Akibat Pemberian Pupuk Kandang pada Pertanaman Padi Gogo Lahan Kering Lombok Utara. Laporan Penelitian ARMP, Fakultas Pertanian UNRAM Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Soemeinaboedhy, I.N., 2000. Teknik Pemanenan Aliran Permukaan di lahan Kering Pringgabaya Lombok Timur. Journa Agroteksos, Vol 11-3, 2000. Ma`shum, M., Lolita, E.S., Sukartono, dan Kunto, K., 2002. Optimasi Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Kering untuk Pengembangan Budidaya Kedelai dan Jagung Melalui Pendekatan Biologi dan Pemanenan Air Hujan Menuju Pertanian Perkelanjutan. Laporan Penelitian RUT VIII.2. Tahun 2002. Sukartono, Ma`shum, M., dan Lolita, E.S., 2001. Fluktuasi lengas tanah pada system pertanaman kedelai-jagung dengan menerapkan pupuk kombinasi (organic + anorganik + hayati) di lahan kering Pringgabaya Lombok Timur. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian . Mataram, 30-31 Oktober 2001. Tarudi, H.M., Sukartono, Suwardji, dan Kusnarta, I.G.M., 1989. Kemantapan Agregat Tanah Lahan Kering di Pulau Lombok. Laporan Hasil Penelitian, Matching Grand-DIKTI, 1989. Fakultas Pertanian UNRAM Utomo, M., 2000. Teknologi Olah Tanah Konservasi sebagai Pilar Pertanian Berkelanjutan . Pemberdayaan Petani , Sebuah Agenda Penguatan Masyarakat Warga DPP HKTI. Yasin, I., 2000. Aplikasi Prakiraan Curah Hujan Musiman untuk Menentukan Strategi Tanam dan Pengelolaan Sumberdaya Air di Pulau Lombok. Makalah pada Workshop: Capturing Benefit of Seasonal Climate Forcasting in Agricultural management. Mataram, 9 Maret 2000.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3. 4. 5.
Lahan Kering di NTB cukup luas bagaimana cara pengembangannya? Lahan kering banyak di Ponpes, sebaiknya sering didatangi pakar Adakah usaha memberdayakan masyarakat dalam memperbaiki kondisi lahan kering. Konservasi air,sejauh mana bisa diterapkan pada tanaman lain seperti buah-buahan karena lebih untung dibanding palawija seperti yang dilakukan. Berapa lama air yang ditangkap bisa digunakan untuk tanaman tertentu
41
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tanggapan : 1. 2. 3. 4. 5.
Sudah kami rencanakan untuk kerjasama dengan pihak pondok pesantren (di Aikmel),seperti pondok pesantren ―At Tohiriah‖. Kami telah mengundang petani dari Kawo untuk melihat teknologi yang sedang dikembangkan. Sangat mungkin menanam Multiple Crop, dalam waktu dekat kami mencoba tanaman yang memiliki residu rendah. Setiap tanaman memiliki kebutuhan air yang berbeda, problem yang ada adalah kesediaan air. Kearifan lokal telah dimasukkan dalam kegiatan ini.
42
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGEMBANGAN PROGRAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI TERPADU (P3T) UNTUK MENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DI NUSA TENGGARA BARAT Mashur, Dwi Praptomo, L.Wirajaswadi dan A. Muzani Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat Jl. Raya Peninjauan Narmada Po. Box 1017 Mataram
LATAR BELAKANG Swasembada pangan khususnya beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun 1984, sekarang sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Indonesia kini telah menjadi negara pengimpor beras yang potensial. Produksi padi nasional yang tidak dapat dipertahankan ini dikarenakan pertumbuhan produksi yang semakin menurun yang tidak dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang justeru semakin meningkat. Beberapa faktor lain yang juga menjadi kendala dalam peningkatan produksi padi nasional adalah: (1) dicabutnya subsidi sarana produksi menyebabkan semakin meningkatnya biaya produksi dan membatasi penggunaan sarana produksi seperti benih bermutu dan pupuk, (2) dari segi biofisik telah terjadi perubahan fisik-kimia tanah yang disebabkan oleh eksploitasi berlebihan akibat kegiatan intensifikasi secara terus menerus dan (3) setelah periode revolusi hijau belum ada terobosan teknologi, antara lain karena terbatasnya potensi genetik varitas padi yang ditanam (BPTP NTB, 2002). Upaya peningkatan produktivitas padi, efisiensi usahatani dan peningkatan pendapatan perlu kita lakukan secara sinergis karena peningkatan produksi tidak selalu menguntungkan petani apabila tidak diikuti dengan efisiensi penggunaan biaya produksi. Dewasa ini, kecenderungan biaya sarana produksi seperti pupuk, benih, obat-obatan dan ongkos tenaga kerja terus meningkat tidak sebanding dengan peningkatan produksi dan harga, sehingga pendapatan petani juga tidak selalu meningkat. Di samping itu, apabila kita memperhatikan kondisi lahan sawah irigasi terutama di sentra-sentra produksi maka berdasarkan hasil penelitian ternyata berada dalam kondisi “sakit” karena hampir 90% lahan sawah irigasi tersebut kandungan bahan organiknya kurang dari 1%. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadi penurunan produktivitas. Indikasi ini dapat kita lihat bahwa dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini produktivitas padi di NTB menurun rata-rata 16,25kg/ha (BPS NTB, 1999). Oleh karena itu, upaya peningkatan produktivitas padi, peningkatan efisiensi dan peningkatan pendapatan petani perlu dilakukan guna mempertahankan predikat NTB sebagai salah satu propinsi penghasil beras nasional dan sekaligus mempertahankan swasembada beras yang telah kita raih selama ini. Propinsi Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai gudang ternak karena mampu memasok ternak ke propinsi lainnya terutama Jakarta, Jawa Barat dan Kalimantan Barat. Pemeliharaan ternak sapi oleh masyarakat masih merupakan usaha sampingan, tabungan keluarga yang sewaktu-waktu dapat dijual serta dipergunakan sebagai tenaga kerja. Pemotongan ternak (sapi) di NTB tahun 1996 tercatat sebanyak 30.587 ekor dan tahun 2000 sebanyak 40.723 ekor atau meningkat 33%, dilain pihak populasi sapi menurun dari 450.142 ekor pada tahun 1996 menjadi 376.526 ekor pada tahun 2000 atau menurun 16,35%. Penurunan tersebut terjadi karena tingkat kelahirannya yang rendah di lain pihak pemotongan dan pengeluaran ternak terus meningkat. Untuk meningkatkan produktivitas ternak diperlukan ketersediaan pakan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya di samping faktor perbaikan mutu genetis, perkandangan dan manajemen reproduksi. Potensi pakan yang cukup besar pada lahan irigasi yang pemanfaatanya belum optimal adalah jerami padi. Apabila dua persoalan pokok tersebut yaitu penurunan produktivitas padi di satu pihak dan dan penurunan populasi ternak sapi di pihak lain di NTB ditangani secara terpadu akan dapat meningkatkan efisiensi produksi yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan petani. Sebagai implementasi dari upaya tersebut Departemen Pertanian mulai tahun 2002 mengembangkan program peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T) pada 14 propinsi di Indonedia termasuk di NTB. Kegiatan P3T di Propinsi NTB dilaksanakan di dua kabupaten yaitu Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Bima. Di Kabupaten Lombok Barat, lokasi yang dipilih adalah Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung, sedangkan di Kabupaten Bima, di Desa Rade Kecamatan Madapangga. Petani kooperator di Desa Jenggala sebanyak 197 orang berasal dari kelompoktani Langgemsari, Kleang I, Jebak Jenggala dan Seruni dengan luas areal mencapai
43
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
100 ha. Petani kooperator di Desa Rade berjumlah 272 orang berasal dari kelompoktani Bolo Utama, Kelate Nggapi, Tani Utama dan Cinta Manis dengan hamparan sawah seluas 100 ha (BPTP NTB, 2002). Program P3T pada dasarnya mencakup tiga kegiatan pokok, yaitu: (1) Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), (2) Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT) dan (3) penguatan kelembagaan tani melalui penguatan Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT). Tujuan utama kegiatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) adalah: (1) meningkatkan produktivitas padi minimal 0,5 ton/ha, (2) memperbaiki struktur tanah dengan penggunaan pupuk organik, (3) meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan input, (4) memperkuat kelembagaan tani, khususnya dalam aspek agribisnis dan (5) mempercepat diseminasi teknologi inovatif.
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) Kegiatan PTT di NTB dimulai pada tahun 2001 dilaksanakan sebagai salah satu bentuk penelitian dan pengkajian (litkaji) oleh BPTP NTB yang melibatkan para peneliti dan penyuluh BPTP NTB dan peneliti dari Balai Penelitian Padi (Balitpa) Sukamandi dan petani sebagai koperator. Kegiatan ini dimulai dengan melaksanakan PRA (Participatory Rural Appraisal), yaitu suatu metode penelitian berdasarkan pendekatan partisipatif, dengan menggali permasalahan yang dihadapi petani secara mendalam dan mencoba mencarikan jalan keluarnya secara bersama-sama dengan petani. Teknologi yang diterapkan pada kajian PTT disesuaikan dengan rakitan teknologi yang dirumuskan bersama-sama dengan petani dan PPL pada saat PRA. Paket teknologi didasarkan kepada ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang dianggap baru adalah umur bibit dan jumlah bibit per rumpun. Deskripsi teknologi PTT dibanding teknologi petani di sajikan pada Tabel 1. Paling tidak ada lima komponen teknologi yang secara terpadu dapat diterapkan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu penggunaan benih unggul 15 kg/ha, bibit ditanam umur muda (15 hari), penggunaan pupuk organik (kompos), penggunaan bagan warna daun (BWD), penggunaan pupuk P dan K didasarkan pada status hara dan penggunaan air secara intermitten. Setiap komponen teknologi mempunyai keunggulan masing-masing. Selama ini, petani di NTB menggunakan benih padi antara 50 kg/ha (di Desa Jenggala Lombok Barat) hingga 120 kg/ha (di Desa Rade Bima). Tabel 1. Teknologi PTT vs teknologi petani di Desa Jenggala, Lobar dan Desa Rade, Bima. MK. 2001. Variabel Pengolahan tanah Mutu benih Kebutuhan benih Umur bibit Bibit/rumpun Jarak tanam Pupuk : Urea SP-36 (analisa tanah) Organik Pengendalian gulma Pengendalian H/P
Teknologi Petani
Teknologi PTT Sempurna Sertifikat 15 kg/ha 15 hari 1 batang 20 x 20 cm
Jenggala Sempurna Sertifikat 60 kg/ha 25 hari 5 – 7 batang Tdk teratur
Rade Sempurna Tidak sertifikat 100 – 120 kg/ha 25 – 30 hari 10 – 15 batang Tdk teratur
BWD (250 kg/ha) 75 kg/ha 3 t/ha Manual PHT
400 – 500 kg/ha 100 kg/ha 0 Manual Tanpa acuan
300 kg/ha 50 – 100 kg/ha 0 Herbisida/manual Tanpa acuan
Sumber: L. Wirajaswadi, dkk. (2002)
Dengan teknologi tanam bibit satu-satu dapat mengurangi jumlah benih yang dibutuhkan antara 35-105 kg/ha. Apabila rata-rata penggunaan benih padi 50 kg/ha (standar terendah) maka dengan luas lahan sawah irigasi di NTB 150.000 ha yang dapat ditanami padi dua kali setahun maka luas tanam setiap tahun 300.000 ha. Dengan harga benih padi unggul Rp.3000/kg maka jumlah biaya produksi yang dapat dihemat untuk membeli benih sebanyak Rp.31,5 - 94,5 M,-per tahun. Biasanya petani menanam benih umur 21-30 hari, tetapi dengan teknologi tanam bibit muda umur 15 hari dapat memberi manfaat mempercepat tumbuhnya anakan dan waktu panen. Jumlah anakan produktif dengan teknologi ini ratarata 18 batang per rumpun bergantung varitas padi yang ditanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap jumlah anakan produktif antara umur bibit 15 hari dengan umur 21 hari. Di samping itu, penggunaan bahan organik (kompos) dapat meningkatkan efisiensi
44
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
penggunaan pupuk kimia (N, P dan K) hingga ½ dosis rekomendasi atau dapat mengurangi biaya untuk membeli pupuk kimia Rp.475.000,-/ha, karena kompos tidak hanya dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah tetapi juga dapat mensubsitusi hara bagi tanaman. Dengan menggunakan bagan warna daun (BWD) petani dapat mengurangi jumlah pupuk Urea yang digunakan hingga 30-50% karena penggunaan pupuk N akan disesuai dengan kebutuhan tanaman (Jaswadi, dkk., 2002). Penggunaan BWD memberikan petunjuk takaran pupuk N yang akan diberikan kepada tanaman, artinya apabila BWD menunjukkan warna daun padi sudah cukup pupuk N maka tidak perlu diberikan pupuk Urea. Selain itu, penggunaan pupuk P dan K yang efisien juga didasarkan pada status haranya. Bila status hara P dan K tinggi maka tidak perlu lagi diberikan pupuk P dan K atau dosis pemupukannya dikurangi. Di samping teknologi produksi, komponen teknologi lain yang tak kalah pentingnya adalah sistem pengairan intermitten, yaitu pemberian air pada tanaman padi secara terputus-putus artinya tanaman diberikan air sesuai dengan kebutuhannya dengan memberikan air secara periodik yang diselingi dengan pengeringan. Teknologi ini sangat sesuai dalam rangka efisiensi penggunaan air. Produksi padi dengan teknologi tanam bibit satu-satu tidak berbeda nyata dibandingkan dengan cara tanam 2, 3, 4 atau 5 bibit tanaman per lobang tanam. Hasil riel yang diperoleh dengan menerapkan teknologi tanam bibit satu-satu pada MH.2002 di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat rata-rata 7,1 ton/ha sedangkan dengan teknologi petani 5 ton/ha. Pendapatan bersih yang diperoleh petani dengan teknologi ini sebesar Rp. 5.561.000,/ha/musim, sedangkan petani yang tidak mengunakan teknologi ini (pembanding) mendapat keuntungan bersih Rp. 4.608.000,-/ha/musim. Dengan keberhasilan teknologi ini sekarang telah diikuti oleh petani lainnya di Kabupaten Bima (Kecamatan Madapangga), Kabupaten Lombok Tengah (Desa Sepakek) dan Kabupaten Lombok Barat (Kecamatan Tanjung) dengan areal yang cukup luas. Varietas yang digunakan hendaknya tahan tungro (Bondoyudo dan Kalimas) bersertifikat, minimal label biru dengan takaran 15 kg/ha. Pergiliran benih dilakukan sebaiknya setiap musim tanam. Perlakuan benih dengan air abu (Jaswadi dkk., 2002). Pengolahan tanah dilakukan sebaik mungkin (pengolahan sempurna). Persemaian dibuatkan seluas 4% dari rencana tanam. Untuk mendapatkan bibit yang sehat, persemaian dipupuk dengan Urea dan SP 36 masing-masing 10 g/m2, pada saat berumur 5 hari. Tidak dianjurkan membuat persemaian dekat dengan lampu untuk menghindari serangan virus tungro, dan berjarak minimal 250 m dari sumber inokulum. Manajemen persemaian pada luasan 100 ha, dianjurkan secara kolektif tiap kelompok untuk lahan seluas 5 ha. Waktu persemaian antara kelompok perlu diatur untuk tidak melakukan waktu persemaian secara serentak untuk menjaga kekurangan regu tanam, dan menjamin waktu tanam serempak dalam suatu hamparan . Untuk mendapatkan populasi tanaman optimal dan memudahkan pemeliharaan, penanaman dengan tandur jajar 20 x 20 cm. Bibit ditanam pada umur 15 HSS, satu bibit setiap rumpun. Hal ini dimaksudkan agar tanaman dapat memperlihatkan potensi genetiknya. Bibit muda akan tumbuh dan berkembang lebih baik, sistem perakaran lebih intensif, anakan lebih banyak, dan lebih mampu beradaptasi dengan lingkungan dibandingkan dengan bibit tua. Setelah tanam air petakan dipertahankan dalam kondisi macak-macak (BPTP NTB, 2002). Teknologi pemupukan diintroduksikan penggunaan pupuk organik berupa kompos 2 t/ha diberikan sebelum pengolahan tanah kedua pada berbagai musim tanam dan varietas padi seperti ditampilkan pada Tabel 2. Pemupukan nitrogen (N) berupa pupuk dasar dengan takaran 23 kg N/ha (50 kg Urea/ha) pada umur 5 HST. Pupuk N selanjutnya diberikan menurut hasil pembacaan Bagan Warna Daun (BWD) pada titik kritis 4. Cara penggunaan bagan warna daun (BWD). Pemupukan P berdasarkan hasil analisa status hara tanah. Pengendalian gulma dilakukan secara terpadu, demikian juga pengendalian hama dan penyakit. Pengaturan air dilakukan secara terputus (intermitten). Tabel 2. Produktivitas padi pada berbagai musim tanam dan varietas padi dengan teknologi PTT. Kompos
Tanpa Kompos
MK I 2001
MT IR 64
Varietas
5,90 ton/ha
5,20 ton/ha
MH 2001 / 2002
Ciherang (Tanjung)
7,14 ton/ha
5.56 ton/ha
MK I 2002
Widas (Sepakek)
7,24 ton/ha
6,06 ton/ha
45
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
SISTEM INTEGRASI PADI TERNAK (SIPT) Penerapan teknologi sistem integrasi padi ternak mencakup beberapa kegiatannya antara lain: (1) penggunaan kandang kolektif, (2) sinkronisasi birahi, (3) pembuatan jerami fermentasi, (4) pemberian jerami fermentasi pada ternak sapi, (5). pengolahan limbah peternakan (kotoran sapi) menjadi kompos, (6) manajemen perkawinan, dan (7) pemanfaatan kompos untuk tanaman. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa: (1) introduksi kandang kolektif dapat mencegah pencurian ternak sehingga pemilikan ternak meningkat, memudahkan dalam pengumpulan kotoran ternak menjadi kompos sehingga kesehatan lingkungan dan masyarakat semakin meningkat, mengurangi penggunaan pupuk kimia karena penggunaan kompos dan sebagian kompos dijual untuk meningkatkan pendapatan petani, (2) sinkronisasi birahi mengunakan hormon Medroxy Progesteron Acetat (MPA) dengan dosis 350 mg dan 450 mg memberikan respons dan tingkat birahi yang tinggi (100%) dengan tingkat kebuntingan 33,3%, (3) pengolahan jerami menjadi jerami fermentasi meningkatkan kadar protein kasar menjadi 11,25%, (4) pemberian jerami fermentasi memberikan hasil terbaik dengan peningkatan bobot badan rata-rata 194,87 g/ekor/hari, (5) kompos yang sudah diproduksi oleh kelompok tani sampai saat ini sebanyak 100 ton dengan rincian 60 ton telah dijual di wilayah NTB dengan harga Rp. 300/kg dan 40 ton dipergunakan sendiri oleh kelompok, (6) pemanfaatan kompos pada tanaman (padi dan kacang tanah) dapat meningkatkan produktivitas dan mengurangi biaya pemupukandan (7) dengan manajemen perkawinan yang baik akan menghasilkan anak setiap tahun (Gambar 1).
Keterangan : Dikawinkan bulan Juni – Desember Pedet lahir pada Maret – Agustus Sapih Agustus – Nopember
Manajemen pembiakan yaitu pengaturan saat musim kawin, beranak dan penyapihan disesuaikan dengan kondisi pakan dan saat tenaga kerja ternak dibutuhkan untuk mengolah tanah, sehingga produksi ternak dapat optimal. Selama ini, ternak sapi yang berada di lokasi pengkajian (Desa Sepakek dan Desa Kelebuh) proses pembiakan terjadi secara alami. Suatu saat terjadi kekurangan pakan terutama pada musim kemarau. Masa kekurangan pakan ini berlangsung selama sekitar 3-4 bulan yaitu pada bulan JuliOktober. Dalam kondisi demikian, bobot badan induk menurun dan tingkat kematian anak meningkat. Untuk mengatasi kondisi kekurangan pakan ini, dapat ditempuh dua cara yaitu: (1) pengembangan hijauan pakan ternak unggul dan (2) manajemen pembiakan. Cara pertama memerlukan waktu dan biaya yang cukup besar sehingga pilihan pada cara kedua. Dengan menerapkan manajemen pembiakan dengan baik maka akan diperoleh manfaat: (1) musim melahirkan saat pakan cukup tersedia sehingga tingkat kematian anak dapat dikurangi dan pertumbuhan tinggi dan (2) manajemen pemeliharaan lebih mudah karena kondisi ternak seragam, sehingga program pemasaran juga akan lebih terencana.
46
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KELOMPOK USAHA AGRIBISNIS TERPADU (KUAT) Aspek lain yang dikembangkan dalam P3T adalah penguatan kelembagaan tani dengan membangun kelembagaan KUAT (Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu). Kelembagaan KUAT ini diharapkan sebagai pusat pengelolaan usahatani, kelompok dan rumahtangga tani di lokasi P3T yang nantinya akan dikembangkan lebih luas lagi. Dalam kelembagaan KUAT ini, disiapkan kredit usahatani berupa saprodi untuk program PTT, kredit ternak sapi dan kandang kolektif untuk program SIPT, dan kredit KUM untuk ibu tani. Untuk jangka panjang kelembagaan KUAT ini diharapkan menjadi kelembagaan yang dapat mengelola usahatani secara komersial dan dapat dimanfaatkan oleh anggotanya secara optimal. Dari aspek pengembangan kelembagaan, para ibu tani telah diberikan fasilitas kredit pola KUM (Karya Usaha Mandiri), dengan plafon sekitar Rp 200.000,- s/d Rp 250.000,- per orang selama enam bulan. Bunga berkisar antara 1,5-2% per bulan. Kelembagaan KUAT selama ini belum tumbuh baik, karena masih dikelola oleh petugas lapangan (KCD atau PPL). Diharapkan untuk masa mendatang, kelembagaan KUAT dapat berkembang mandiri dan dikelola oleh petani sendiri dan tumbuh menjadi bank-bank petani di desa.
KESIMPULAN Berdasarkan kajian yang selama ini telah dilakukan oleh BPTP NTB maka pengembangan program peningkatan produktivitas padi terpadu (P3T) apabila diterapkan dengan baik berdasarkan petunjuk teknis dapat disimpulkan: 1.
2.
3.
PTT tidak hanya dapat meningkatkan produktivitas padi 1-1,5 ton/ha melebihi target yang ditetapkan 0,5 t/ha, tetapi juga meningkatkan efisiensi pengggunaan sarana produksi (benih dan pupuk) dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani. Bagi petani yang mengikuti program ISPT tidak hanya dapat memperoleh tambahan pendapatan dari hasil ternaknya tetapi juga dapat menghasilkan kompos yang dapat digunakan langsung untuk meningkatkan kesuburan lahan dan dapat dijual sebagai sumber tambahan pendapatan baru. Keberadaan KUM/KUAT selain dapat membantu petani dalam penyediaan sarana produksi tetapi juga dapat menyediakan modal usaha bagi ibu-ibu tani dalam mendukung pengembangan usahatani di pedesaan.
TAR PUSTAKA BPS NTB.1999. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. 1998. BPTP NTB. 2002. Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) Propinsi NTB. Petunjuk Teknis. Wirajaswadi L, Awaludin H, dan Mashur. 2002. Pengelolaan Tanaman Terpadu Budidaya Padi Sawah di Nusa Tenggara Barat. Makalah workshop PTT di Sukamandi Jawa Barat.
DISKUSI Pertanyaan :
1. 2.
3. 4. 5.
Invetarisasi teknologi yang ada di BPTP apa saja? Kalau teknologi PTT dikembangkan diharapkan paket teknologi yang akan disebarkan harus dikoordinasikan dengan petugas lapangan sehingga saat akan dikembangkan dilokasi lain petugas lapangan sudah mengetahui. Bagaimana penerapan teknologinya. Dalam sistem integrasi, berapa persen pakan itu bisa dipenuhi. Beberapa ekor sapi yang bisa dipelihara dalam luasan tertentu.
Tanggapan: 1. 2.
Kami memiliki 112 paket teknologi, 20 diantaranya telah direkomendasikan. Proses adopsi teknologi tidaklah mudah, harapannya dinas sebagai stake holder dapat bekerja sama dalam rangka proses adopsi teknologi.
47
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
3. Mengenai BWD sebelum disebarkan kemasyarakat telah disebarkan terlebih dahulu pada para petugas lapangan.
4. Mengenai pemberian jerami yang telah dicoba adalah 45% jerami + 50% rumput lapangan. 5. Dalam penelitian kami menggunakan pendekatan secara partisipatif, yang melakukan, mengevaluasi dan menilai adalah petani sendiri.
48
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN INTERSEKTORAL DAN DALAM SEKTOR PERTANIAN I Wayan Rusastra, Saptana dan Supriyati Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor
ABSTRAK Penataan penggunaan lahan perlu dilakukan secara integratif dengan sasaran sinergi pembangunan intersektoral, namun tetap memberikan penekanan pada urgensi pembangunan pertanian. Paper ini secara deskriptif mengungkap konsepsi penataan lahan, keragaan struktur dan konversi lahan pertanian, dan perencanaan strategis penataan lahan dalam sektor pertanian. Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor pertanian perlu dibangun berdasarkan pada tata ruang dan kelas kemampuan lahan, yang selanjutnya difasilitasi dengan pengembangan infrastruktur secara berencana. Permasalahan faktual penataan lahan saat ini adalah konversi lahan pertanian produktif yang berdampak negatif terhadap ketersediaan pangan dan marginalisasi petani paska konversi. Dalam penanganannya, kebijakan antisipatif yang perlu dipertimbangkan diantaranya adalah: (a) Pengembangan SDM petani dalam pengelolaan dana hasil konversi dan aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru; (b) Peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan efektivitas sarana dan prasarana irigasi yang ada; (c) Percepatan pencetakan sawah dan peningkatan kemampuan dan perluasan sistim irigasi secara berjenjang dan partisipatif; dan (d) Pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi pertanian strategis. Optimalisasi penataan sektor pertanian perlu mempertimbangkan beberapa faktor, yaitu pemetaan AEZ sebagai basis perencanaan, penciptaan teknologi introduksi spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan pendanaan dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output pertanian serta kebutuhan konsumsi masyarakat. Dalam operasionalnya perlu difasilitasi oleh program konsolidasi lahan melalui pengembangan kelembagaan kemitraan agribisnis.
PENDAHULUAN Penataan penggunaan lahan antar sektor dan dalam sektor pertanian perlu dilakukan secara integratif dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan ekonomi wilayah dengan tetap memberikan prioritas pada pembangunan pertanian. Permasalahan paling komplek saat ini adalah penyimpangan pemanfaatan lahan sesuai dengan acuan RUTR yang diindikasikan oleh alih fungsi lahan pertanian produktif. Kompleksitas konversi lahan mencakup aspek struktur fisik dan penguasaan lahan, dampak ekonomi dan kelembagaan, dan aspek penegakan hukum. Permasalahan mendasar penataan lahan di dalam sektor pertanian adalah relatif masih terbatasnya hasil penelitian karakterisasi dan pemetaan potensi lahan sebagai basis perencanaan pembangunan pertanian. Pemetaan AEZ juga perlu didukung oleh penyediaan teknologi introduksi spesifik lokasi untuk berbagai jenis komoditas unggulan yang difasilitasi oleh program serta faktor pendukung pengembangannya. Keberhasilan realisasinya di lapangan sangat ditentukan oleh koordinasi dan konsolidasi lembaga riset daerah dan dinas teknis terkait dalam pengembangannya. Pada tingkat wilayah (zonasi pengembangan) dan rumah tangga tani, disamping kebutuhan akan teknologi spesifik lokasi sebagai basis perumusan aktivitas usahatani dengan potensi teknologi yang lebih tinggi, juga diperlukan identifikasi kendala sumberdaya dan subyektif yang dihadapi. Semua elemen tersebut dibutuhkan dalam proses realokasi sumberdaya (khususnya lahan) dalam rangka maksimisasi pengembangan ekonomi wilayah dan pendapatan petani. Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, maka tujuan penelitian paper ini adalah: (1) Mengungkap konsepsi penataan lahan inter sektoral dan dalam sektor pertanian; (2) Membahas keragaan struktur penguasaan lahan dan konversi lahan pertanian serta kebijakan antisipatif dalam penanggulangannya; (3) Mengungkap perencanaan strategis penataan lahan dalam sektor pertanian pada tingkat wilayah dan rumah tangga petani dengan sasaran pengembangan ekonomi wilayah dan kesejahteraan petani.
KONSEPSI OPTIMALISASI PENATAAN LAHAN Lahan bersifat langka sehingga harus dimanfaatkan secara efisien dan optimal. Lahan memiliki peranan penting dan semua aktivitas ekonomi membutuhkan lahan, walaupun dengan derajat kebutuhan
49
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dari segi luas secara relatif berbeda. Dari berbagai jenis lahan yang menyebar secara spasial dengan kwalitas yang beragam perlu dialokasikan secara optimal dalam mendukung kegiatan ekonomi nasional dengan sasaran memberikan manfaat yang maksimal. Dalam konteks ini perlu dipertimbangkan dua cakupan pokok, yaitu optimalisasi pemanfaatan lahan intersektoral dan penataan dalam sektor pertanian sendiri. Kebutuhan lahan di luar sektor pertanian (non-land based industries) mempunyai kharakteristik tersendiri dilihat dari segi kwalitas lahan, lokasi, dan dukungan infrastrukturnya. Kebutuhan lahan untuk sektor pertanian juga relatif bervariasi antar subsektor (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan) yang pada dasarnya juga membutuhkan kwalifikasi lahan yang berbeda dari segi kwalitas, pewilayahan, dan dukungan infrastruktur. Dengan demikian dalam perancangan optimalisasi penataan lahan hal yang paling utama dan terpenting (the first and foremost) adalah pengklasifikasian lahan menurut jenis dan kwalitas dikaitkan dengan kepentingan dan penggunaannya menurut sektor dan subsektor secara detail dan seksama. Optimalisasi pemanfaatan dengan sasaran maksimisasi manfaat ekonomi harus didasarkan pada klasifikasi lahan secara rinci dengan memperhatikan sejumlah aktivitas ekonomi (pertanian dan non pertanian). Kesemuanya ini dapat diwujudkan dalam bentuk rumusan Rencana Umum Tata Ruang pemanfaatan/penataan lahan. Infrastruktur pendukung secara normatif tentunya harus dibangun berdasarkan pada perencanaan optimalisasi penataan lahan menurut kepentingan intersektoral dan dalam sektor pertanian sendiri.
PENATAAN LAHAN INTERSEKTORAL Konsepsi optimalisasi penataan lahan adalah bersifat normatif atau bahkan bersifat idealis normatif. Konsepsi normatif ini hanya bisa diaplikasikan pada wilayah pengembangan baru,dan bukan pada kenyataan empirik pada suatu wilayah yang sudah dikembangkan. Dengan demikian bahasan tentang optimalisasi penataan lahan secara optimal serta faktor-faktor yang mempengaruhinya membutuhkan pembuktian terbalik. Dalam kenyataan empirik penataan/pemanfaatan lahan antar sektor dapat dilakukan melalui pembahasan isu sentral tentang aspek ini dan faktor determinan terkait. Isu sentral tersebut adalah masalah konversi lahan pertanian. Melalui pembahasan masalah konversi lahan pertanian dan aspek terkait diharapkan dapat dirumuskan antisipasi penanggulangannya yang pada hakekatnya diarahkan untuk pembangunan sektor pertanian, tanpa mengabaikan penataan lahan secara optimal untuk sektor pembangunan lainnya. Bahasan konversi lahan pertanian akan menampilkan tiga aspek, yaitu: (1) Keragaan makro dan mikro konversi lahan; (2) Struktur pemilikan lahan dan kesejahteraan petani; dan (3) Dampak konversi dan antisipasi penanggulangannya. Keragaan makro konversi lahan menampilkan kondisi konversi lahan pertanian selama dua periode Sensus Pertanian terakhir (1983-1993), sedangkan aspek mikro merupakan review studi empirik yang dilakukan beberapa pihak. Struktur pemilikan lahan dan kesejahteraan petani memiliki keterkaitan yang sangat kuat, dan mempunyai korelasi kuat terhadap kemungkinan konversi lahan kaitannya dengan ketersediaan peluang kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Dampak konversi memiliki cakupan yang luas yang diperoleh melalui review berbagai studi. Dari ketiga aspek bahasan ini diharapkan dapat ditarik antisipasi penanggulangan dampak dan kebijakan strategis dengan sasaran optimalisasi pemanfaatan lahan, tanpa harus mengorbankan kepentingan pemanfaatan lahan bagi pembangunan sektor pertanian. 1.
Keragaan Makro dan Mikro Konversi Lahan
Dalam periode 10 tahun terakhir (1983-1993), total konversi lahan pertanian di Indonesia mencapai 1,28 juta hektar, dimana 79,3 persen atau seluas 1,02 juta hektar terjadi di Jawa (Rusastra dan Budhi, 1997). Di luar Jawa daerah yang mengalami konversi lahan yang cukup besar adalah Lampung, Jambi, dan Bali/Nusa Tenggara, masing-masing seluas 642 ribu hektar, 415 ribu hektar, dan 148 ribu hektar. Konversi lahan pertanian menjadi isu sentral karena sebagian besar terjadi di Jawa dan memanfaatkan lahan pertanian subur dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Dengan demikian konversi lahan yang besar di Jawa akan membawa dampak yang serius terhadap persediaan pangan nasional. Dari total konversi lahan pertanian secara nasional, 68,3 persen adalah lahan sawah. Hasil kajian empirik menunjukkan bahwa di Jawa Timur dari luasan total konversi lahan sebesar 38.100 hektar (1989-
50
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1991), sekitar 70,80 persen adalah sawah beririgasi dan hanya 29,20 persen sawah tadah hujan (Sumaryanto, et.al., 1995). Dilihat dari penggunaannya, lebih dari 55 persen lahan sawah yang mengalami konversi di Jawa beralih fungsi menjadi pemukiman, kawasan industri, dan prasarana ekonomi lainnya. Kawasan Pantura-Jawa sebagai lumbung beras nasional ternyata sangat rawan terhadap konversi lahan kepenggunaan non-pertanian. Nampak bahwa konversi lahan tidak sejalan dengan perencanaan tata ruang dan nampaknya bukan pilihan yang tepat dan efisien dari aspek ekonomi dan lingkungan dalam jangka panjang. Pengamatan empiris di lapangan menunjukkan bahwa konversi lahan untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial ekonomi, khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Perluasan pemukiman yang dilakukan secara individual di wilayah urban cenderung melebar melebihi batas aturan baku yang ditetapkan Pemerintah Daerah dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang). Konversi lahan pertanian menjadi kawasan pemukiman memberi konsekwensi besar terhadap kemungkinan meluasnya alih fungsi lahan di kemudian hari. Hal ini disebabkan oleh adanya gangguan hama tanaman, kurangnya penyinaran, terganggunya tata air persawahan, dan gangguan lingkungan lainnya yang tidak memungkinkan lahan pertanian yang masih tersisa dapat diusahakan secara baik. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan kinerja konversi lahan di tingkat petani (mikro) telah dilakukan oleh Syafa‘at, et al. (1995) dan Rusastra et al. (1997). Alasan utama petani melakukan konversi lahan sawah di Jawa dan instrumen kebijakan dalam penanggulangannya, adalah: (1) Alasan konversi lahan adalah karena kebutuhan, lahan berada dalam kawasan industri, serta harga lahan yang menarik; (2) Harga dan pajak lahan yang tinggi cenderung mendorong petani untuk melakukan konversi lahan; (3) Rasio pendapatan non-pertanian terhadap pendapatan total yang tinggi cenderung menghambat petani untuk melakukan konversi; (4) Faktor pendorong penting lainnya adalah adanya kesempatan untuk membeli lahan di tempat lain dengan harga yang lebih murah; dan (5) Terdapat tiga faktor penentu proses konversi yaitu pendapatan, harga, dan pajak lahan yang dapat dijadikan instrumen kebijakan dalam mengontrol proses transaksi lahan. Di luar Jawa (kasus Kalimantan Selatan), alasan dan kinerja konversi lahan pertanian adalah sebagai berikut: (1) Alasan utama petani adalah karena kebutuhan dan harga lahan tinggi, skala usaha yang kurang efisien untuk diusahakan bila dilakukan pembagian warisan, dan sangat jarang karena alasan terpaksa; (2) Alasan terakhir ini (karena terpaksa) sangat dimungkinkan dapat terjadi di masa depan karena alasan gangguan agroekologis dengan terkonversinya lahan sekitar miliknya, sehingga lahan yang ada tidak produktif; (3) Posisi tawar-menawar petani dalam proses alih-fungsi lahan yang sifatnya individual (sporadis) berjalan sangat baik, dimana harga yang diterima petani dinilai tinggi dan menguntungkan; (4) Pada penggunaan lahan untuk kepentingan umum (kawasan industri, prasarana jalan negara, dan lain-lain) penetapan harga dinilai tidak sejalan dengan harapan petani, dimana harga yang diterima petani dinilai jauh lebih rendah dibandingkan dengan alih fungsi secara individual. Mengacu pada alasan dan kinerja konversi lahan tersebut, pemerintah dapat menetapkan kebijaksanaan diferensiasi pajak lahan untuk mengontrol konversi lahan. Pada daerah tertentu yang rentan terhadap alih fungsi, namun ingin tetap dipertahankan sebagai kawasan pertanian perlu diberikan keringanan pembayaran pajak lahan. Dalam operasionalnya pelaksanaan kebijakan ini dapat dilimpahkan kewenangan-nya pada otonomisasi pemerintah daerah. Di lain pihak, pengontrolan transaksi lahan melalui kebijakan harga mungkin sulit dilakukan, karena keterbatasan dana untuk menjaga kestabilan harga. Hal yang menarik untuk diungkapkan di sini adalah pemanfaatan dana hasil konversi lahan yang ternyata berbeda antara Jawa dan luar Jawa. Di Jawa sebagian besar hasil konversi dimanfaatkan kembali untuk membeli lahan sawah, dan sisanya dimanfaatkan untuk tujuan lain seperti untuk biaya pendidikan, perbaikan rumah dan membeli aset lainnya. Di luar Jawa (Kalimantan), dana hasil konversi dibagikan kepada ahli warisnya yang umumnya dimanfaatkan untuk naik haji, membangun rumah, membeli aset lancar, dan modal usaha. Tidak diperoleh informasi penggunaan dana konversi untuk membeli lahan sawah. Hal ini dimungkinkan karena konversi umumnya terjadi di daerah urban, sehingga peluang kesempatan kerja non-pertanian relatif terbuka dan lebih prospektif dibandingkan dengan membeli lahan sawah yang hanya ditanami setahun sekali. Namun demikian, sebagian besar terjadi marginalisasi petani konversi karena mereka umumnya bekeja di sektor informal yang dinilai tidak prospektif.
51
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
2.
Struktur Penguasaan Lahan dan Kesejahteraan Petani
Menurut Sensus Pertanian 1993 lebih dari 87 persen rumah tangga pertanian pengguna lahan adalah petani tanaman pangan (padi dan atau palawija), 32 persen mengusahakan lahan perkebunan, 26 persen ternak, dan 24 persen tanaman hortikultura. Dominasi usahatani tanaman pangan di wilayah yang sangat padat penduduknya (Jawa) lebih tinggi dari pada di luar Jawa (90% vs 84%). Sebaliknya peranan usahatani tanaman perkebunan lebih tinggi di luar Jawa (43% vs 22%). Peranan usaha perikanan budidaya (air tawar/tambak/air payau) masih sangat kecil. Struktur pemilikan tanah pertanian cukup timpang. Hampir dua per tiga bagian tergolong dalam kelompok penguasaan tanah kurang dari satu hektar, dengan perincian sebagai berikut: (a) Sekitar 26 persen termasuk dalam katagori kurang dari seperempat hektar dengan rataan pemilikan tanah hanya 0,12 hektar; (b) Sekitar 22 persen termasuk dalam kelompok penguasaan 0,25 – 0,49 hektar dengan rataan luas pemilikan 0,3 hektar; (c) Sekitar 22 persen termasuk dalam kelompok 0,50 – 1,00 hektar dengan luas pemilikan 0,59 hektar per rumah tangga. Untuk kelompok-kelompok penguasaan lebih dari satu hektar, proporsi terbesar berada pada segmen 1,00 – 1,99 hektar (12%) dan 2,00 – 2,99 hektar (13%) dengan rataan luas pemilikan 1,05 hektar dan 1,88 hektar. Dengan mengasumsikan profil penguasaan lahan rumah tangga pertanian tanaman pangan mencerminkan populasi rumah tangga pertanian pengguna lahan, maka karakteristik struktur penguasaan lahan pertanian adalah sebagai berikut (Sumaryanto dan Rusastra, 2000): (a) Secara agregat rataan luas penguasaan lahan per rumah tangga mengalami penurunan sebesar 10 persen selama periode 1983 – 1993, yaitu dari 1,05 hektar menjadi 0,86 hektar; (b) Kondisi 1993 menunjukkan hampir separuh rumah tangga termasuk dalam golongan penguasaan lahan kurang dari 0,50 hektar dengan rataan penguasaan kurang dari seperempat hektar; (c) Terjadi kecenderungan penurunan propoporsi rumah tangga dengan kategori penguasaan lahan 0,5 hektar ke atas, dengan rataan luas penguasaan yang bervariasi; (d) Pada golongan penguasaan 15 hektar ke atas terjadi penurunan proporsi secara drastis dari 0,19 persen menjadi 0,06 persen, namun rataan luas penguasaannya meningkat cukup besar yaitu dari 20,7 hektar menjadi 22,2 hektar; dan (e) Dalam periode 1983 – 1993 telah terjadi perubahan struktur penguasaan lahan yang signifikan yang diindikasikan oleh peningkatan populasi petani gurem dengan luas penguasaan yang semakin sempit, dan di lain pihak terjadi indikasi polarisasi penguasaan pada sebagian kecil rumah tangga berlahan luas. Berdasarkan pada permasalahan strutkur penguasaan lahan tersebut di atas terdapat beberapa instrumen kebijakan yang perlu dipertimbangkan dalam upaya peningkatan pendapatan rumah tangga tani dan kesejahteraan masyarakat pedesaan (Sumaryanto dan Rusastra, 2000) sebagai berikut: (1) Perbaikan distribusi dan struktur penguasaan lahan; (2) Perbaikan tingkat upah dan kesejahteraan buruh tani di pedesaan; dan (3) Mempertahankan dan meningkatkan luasan dan kwalitas lahan pertanian. Ketiga aspek ini perlu dilaksanakan secara serentak dan paralel dan bersifat komplementer (inklusif) satu dengan lainnya. Perbaikan distribusi dan struktur penguasaan tanah merupakan permasalahan paling strategis dan paling sulit. Beberapa langkah operasional yang perlu dipertimbangkan di dalam memecahkan permasalahan ini diantaranya adalah: (a) Perbaikan sitem dokumentasi dan administrasi pertanahan; (b) Penegakan hukum di bidang pertanahan sebagaimana tertuang dalam UUPA secara konsisten dan konsekwen; (c) Pengaturan sistem pewarisan yang mengarah pada fragmentasi penguasaan lahan yang akhirnya berdampak pada efektivitas penanganan usaha pertanian; (d) Pengendalian sistem transaksi lahan dengan motif lahan sebagai komoditas dan tujuan spekulatif yang memperburuk produktivitas dan pemanfaatan lahan pertanian; (e) Pengendalian konversi lahan pertanian ke non-pertanian yang berdampak pada penyempitan luasan penguasaan lahan dan menyebabkan lahan pada kawasan yang terkonversi menjadi tidak kondusif untuk kegiatan sektor pertanian; dan (f) Perbaikan penyebaran penduduk melalui program transmigrasi dengan harapan bukan saja mampu memacu dan memotivasi pertumbuhan ekonomi baru, tetapi mampu menciptakan harmoni dan kesejahteraan masyarakat setempat. Perbaikan kesejahteraan buruh tani menjadi sangat penting dalam kondisi adanya indikasi penurunan jumlah permintaan tenaga kerja per unit luas usahatani dan adanya penurunan pendapatan (tingkat upah) riil buruh tani di pedesaan. Penurunan permintaan tenaga kerja ini terkait dengan semakin meluasnya penggunaan mekanisasi pertanian, penggunaan herbisida dalam kegiatan penyiangan, dan maksimisasi pemanfaatan tenaga kerja dalam keluarga. Perbaikan kesejahteraan buruh tani diantaranya dapat diwujudkan melalui peningkatan intensitas atau luas lahan garapan usahatani, penciptaan kesempatan kerja dalam pengembangan produk pertanian, peningkatan mobilitas tenaga kerja antar
52
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
wilayah dan sektor melalui pengembangan infrastruktur fisik dan kelembagaan jasa informasi tenaga kerja, dan perluasan kesempatan kerja non-pertanian. Berkenaan dengan mempertahankan dan meningkatkan luasan atau kualitas lahan pertanian, beberapa hal berikut perlu mendapatkan pertimbangan: (a) Kegagalan program reboisasi hutan dalam rangka peningkatan kualitas lahan dan penyediaan air, maka perlu dipertimbang-kan model reboisasi dengan sistem bagi hasil yang dinilai lebih kondusif; (b) Mengingat luas hutan yang tersisa, perluasan lahan pertanian hanya dapat dilakukan di luar pulau Jawa, terutama di beberapa lokasi di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya; (c) Peningkatan intensitas penggarapan lahan di daerah pemukiman baru (transmigrasi) yang eksistensi kegiatan pertaniannya telah berjalan dengan baik; dan (d) Pemasyarakatan dan peningkatan pemanfaatan pupuk organik pada kawasan dengan tingkat eksploitasi lahan yang intensif (pemanfaatan pupuk anorganik yang tinggi dalam jangka panjang) dengan indikasi degradasi kwalitas lahan. 3.
Dampak Konversi dan Antisipasi Penanggulangannya
Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan produktif yang pada akhirnya menambah beban permasalahan swasembada pangan. Konversi lahan sawah di Jawa cenderung mengabaikan aspek tata ruang, ekonomi, dan lingkungan (Rusastra dan Budhi, 1997). Konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian cenderung mengabaikan nilai oportunitas sawah yang sangat tinggi, dan investasi pengembangan struktur sosial kelembagaan kelompok tani sebagai andalan sistem produksi beras nasional. Konversi telah mengabaikan dan menyimpang dari acuan pembangunan kawasan industri, yang tidak boleh di atas lahan pertanian produktif, apalagi lahan sawah beririgasi teknis. Dampak konversi lahan sawah terhadap degradasi sumberdaya air secara potensial memiliki kontribusi yang tidak kecil. Terdapat keterkaitan kuat antara konversi lahan sawah dengan meningkatnya pencemaran lingkungan. Konversi lahan sawah diakui memberi sumbangan terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja, namun penduduk pedesaan sangat minimal dalam perolehan manfaat ini. Dampaknya bagi kawasan terkonversi adalah nyata dalam bentuk peningkatan ketunakismaan dan penyempitan rataan pemilikan lahan. Buruh tani dan petani kecil setempat adalah golongan yang sangat rentan terhadap dampak negatif konversi lahan. Bagi petani yang mempunyai kemampuan ekonomi tinggi dan pemilikan lahan luas, konversi lahan sawah cenderung berdampak positip dimana pemilikan sawah dan sumber pendapatan akan meningkat setelah konversi. Mereka melakukan ekspansi pembelian lahan dan mendesak eksistensi petani gurem. Pola konversi lahan untuk kepentingan industri, sarana dan prasarana, dan pemukiman cenderung bersifat masal sehingga peran birokrasi sangat dominan baik dalam penentuan harga, cara tawar-menawar, dan waktu pembayaran. Dalam kondisi ini, petani berada dalam posisi yang lemah dan proses konversi cenderung merugikan petani. Beberapa strategi antisipatif yang perlu dipertimbangkan dalam penanggulangan dampak konversi lahan diantaranya adalah (Rusastra dan Budhi, 1997): (1) Dalam jangka pendek perlu peningkatan kapasitas kemampuan lahan yang ada dan daya guna sarana dan prasarana irigasi yang telah dibangun, peningkatan efisiensi pemanfaatan dana pembangu-nan, efektivitas program dan pelibatan masyarakat tani secara langsung dalam pelaksanaan kegiatan; (2) Percepatan pencetakan sawah baru dalam prospektif pemanfaatan dan pendayagunaan investasi irigasi melalui pembenahan daerah irigasi yang sedang dibangun; (3) Meningkatkan kemampuan sistem irigasi sesuai dengan tahapan perkembangannya (irigasi tahap dini – maju – responsif) sehingga terjadi peningkatan efektivitas investasi yang telah dibangun; (4) Perluasan irigasi dengan memberikan prioritas pada usaha-usaha yang telah dirintis oleh masyarakat petani seperti pengembangan sawah tadah hujan dari pada membuka daerah baru (non-pertanian); (5) Pemberdayaan kelembagaan informal pedesaan dan aspek penegakan hukum melalui penyaluran aspirasi masyarakat, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam penyelesaian konflik sebagai akibat dari alih fungsi lahan pertanian.
53
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENATAAN LAHAN DALAM SEKTOR PERTANIAN Bahasan penataan lahan intersektoral dengan sasaran antisipatif pemanfaatan lahan untuk kepentingan berbagai sektor, perlu dikomplemen dengan penataan lahan dalam sektor pertanian sendiri untuk mendapatkan optimasi penataan lahan secara holistik dan komprehensif. Fokus bahasan penataan lahan intersektoral adalah melalui pengungkapan keragaan dan antisipasi penanggulangan dampak konversi, maka bahasan optimasi penataan lahan sektor pertanian akan mencakup pengungkapan beberapa faktor diterminan utama, yaitu: (a) Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pengembangan berbagai komoditas pertanian melalui penelitian dan pemetaan AEZ (Agro-Ekological Zone); (b) Penelitian, pengkajian, dan pngembangan teknologi spesifik lokasi dan program pendukung pengembangannya; dan (c) Konsolidasi lahan dalam perspektif mendukung pengembangan agribisnis. Ketiga aspek tersebut perlu dilakukan secara simultan agar pemanfaatan lahan dapat digunakan secara optimal sesuai dengan potensinya dengan sasaran maksimisasi pendapatan petani dan pengembangan ekonomi wilayah. Karakterisasi dan zonasi pewilayahan pertanian melalui pembuatan peta AEZ merupakan basis bagi optimasi penataan lahan. Pembuatan peta AEZ perlu mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis sehingga memiliki relevansi faktual sebagai basis pengembangan komoditas. Komoditas yang dikembangkan disamping memenuhi persyaratan teknis pengembangan juga telah memperhatikan potensi pasar, sehingga diperoleh sinergi dan keberlanjutan produksi dan pendapatan petani. Peta AEZ hendaknya mampu memberikan beberapa informasi kunci sebagai berikut: (a) Batasan wilayah secara spasial yang menunjukkan karakteristik dan potensi kemampuan lahan; (b) Pilihan komoditas prioritas yang dapat dikembangkan; dan (c) Indikasi kebutuhan teknologi bagi pengembangan setiap komoditas. BPTP di seluruh Indonesia dengan pendampingan Puslit Tanah dan Agroklimat telah memiliki kemampuan memadai dalam pembuatan peta AEZ ini. Pemerintah daerah dapat bekerja sama dengan BPTP dalam pembuatan peta AEZ yang dinilai sangat penting dalam perumusan perencanaan strategis pengembangan agribisnis. Dalam konteks desentralisasi pembangunan di tingkat kabupaten, pembuatan peta AEZ skala 1 : 50.000 dinilai sangat memadai dalam perumusan perencanaan pembangunan pertanian di tingkat kabupaten. Peta AEZ diharapkan mampu menampilkan keunggulan komparatif dan kompetitif komoditas yang diindikasikan oleh tingkat produktivitas dan efisiensi penggunaan masukan yang tinggi. Optimasi pemanfaatan lahan dengan sasaran pengembangan pendapatan petani dan ekonomi wilayah perlu difasilitasi dengan sejumlah alternatif teknologi introduksi pengembangan komoditas prioritas. Perencana pembangunan pertanian atau petani akan mempertimbangkan sejumlah aktivitas usahatani dalam upaya maksimisasi pendapatan. Pengembangan teknologi spesifik lokasi komoditas prioritas/unggulan daerah akan memberikan sejumlah opsi dengan kapasitas produksi dan peningkatan pendapatan yang lebih besar. Teknologi introduksi yang ditawarkan dapat berupa paket teknologi untuk komoditas unggulan atau rakitan/sintesa teknologi dalam pola tanam dalam setahun. Fasilitasi lain yang diperlukan adalah dukungan permodalan, mobilitas tenaga kerja, kelancaran arus barang dan perdagangan input-output serta kebutuhan konsumsi lainnya. BPTP propinsi mempunyai mandat untuk mengadaptasikan dan mengkaji komponen teknologi matang yang dihasilkan oleh Balit komoditas dan mendiseminasikannya kepada pengguna teknologi spesifik lokasi di daerah. Basis penciptaan teknologi itu adalah peta pewilayahan komoditas (AEZ) yang dilakukan secara sekuensial (studi adaptif-SUT-SUP) dan tuntas dalam kerangka waktu (time frame) tertentu dan diakhiri dengan kegiatan diseminasi. Teknologi potensial spesifik lokasi juga perlu difasilitasi dengan kebijakan pendukung yang diturunkan dari hasil studi tematik dan analisis kebijakan dengan sasaran bukan saja dapat meningkatkan produksi, tetapi juga meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi wilayah secara berkelanjutan. Dalam tataran operasional, optimasi penataan lahan akan ditentukan oleh pelaksanaan program konsolidasi lahan pada tingkat mikro dan makro di lapangan (Rusastra et al., 2001). Secara mikro, konsolidasi lahan di tingkat petani diindikasikan oleh adanya pergeseran proporsi rumah tangga dengan status garapan non-milik (sakap atau sewa). Konsolidasi mikro ini didorong oleh adanya fragmentasi lahan dan daya tarik serta aksesibilitas pada kegiatan di luar sektor pertanian. Perkembangan teknologi di sektor pertanian (perbaikan kesuburan lahan dan produktivitas usahatani) tidak perlu dikhawatirkan sebagai penghambat pelaksanaan konsolidasi lahan sejauh dapat diciptakan kesempatan kerja atau program kondusif lainnya (industrialisasi dan transmigrasi). Konsolidasi lahan akan berjalan sukses dalam meningkatkan produktivitas usahatani dan kesejahteraan masyarakat petani dan pengembangan ekonomi wilayah, bila pembangunan pertanian dan non-pertanian berhasil baik.
54
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Konsolidasi mikro di tingkat petani (sakap, sewa/gadai, dan pembelian lahan) diawali oleh adanya migrasi sebagian petani karena adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Karena keterbatasan kemampuan pengelolaan, sebagian lahan hasil pembelian petani kaya disakapkan atau disewakan kepada petani lainnya. Untuk lebih meningkatkan kinerja konsolidasi lahan, perlu dirumuskan kelembagaan sistem sakap yang kondusif bagi pencapaian sasaran pembangunan pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani. Konsolidasi lahan ini juga perlu difasilitasi oleh sistem kelembagaan dimana petani tidak kehilangan haknya atas tanah, namun tetap dapat akses terhadap kegiatan di luar sektor pertanian. Konsolidasi mikro di tingkat petani baru memperbaiki salah satu aspek dari struktur penguasaan lahan yaitu adanya perluasan lahan garapan. Dampak konsolidasi lahan terhadap perbaikan adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, efisiensi usahatani, dan peningkatan pendapatan petani dapat berhasil baik bila terdapat perbaikan struktur penguasaan lahan secara komprehensif yang mencakup penanganan fragmentasi pemilikan, fisik hamparan, dan jarak antar persil. Analisis kasus kemitraan agribisnis, tampaknya berjalan secara parsial (sub-optimal) sehingga efisiensi tidak maksimal (Rusastra, et al., 2001). Perlu didorong munculnya kemitraan agribisnis yang bersifat integratif melalui pengembangan kendali manajemen terpusat dan koordinatif sehingga diperoleh efisiensi yang maksimal melalui pemantapan kelembagaan pengadaan dan pasar input, organisasi produksi, dan pasar output. Kinerja konsolidasi kemitraan agribisnis ini nampaknya memiliki variasi yang luas tergantung pada jenis komoditas, tingkat aplikasi teknologi, dan orientasi pengembangan produk yang dihasilkan. Kesemuanya ini membutuhkan rumusan perencanaan dan kelembagaan yang bersifat spesifik dalam pengembangannya. Penelitian dan pengkajian konsolidasi lahan ke depan melalui pengembangan kemitraan agribisnis perlu diarahkan pada aspek tersebut dengan mempertimbangkan keragaman faktor yang mempengaruhinya.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1.
Secara normatif optimalisasi penataan lahan intersektoral dan dalam sektor pertanian perlu dibangun berdasarkan pada tata-ruang dan kelas kemampuan lahan. Perencanaan ini perlu didukung oleh pengembangan infrastruktur dengan karakteristik yang berbeda antar sektor/sub sektor dengan tetap mempertimbangkan konsep pembangunan wilayah secara terpadu. Perencanaan normatif ini hanya relevan untuk kawasan pengembangan baru, dan nampaknya tidak sepenuhnya operasional bagi wilayah yang sudah berkembang. Pada kawasan terakhir ini permasalahan yang perlu dipecahkan adalah mencegah konversi lahan pertanian produktif yang dapat mengancam investasi dan kelembagaan pertanian yang telah lama dibangun yang akhirnya berdampak buruk terhadap ketersediaan dan ketahanan pangan nasional.
2.
Dampak makro konversi lahan yang dinilai paling serius adalah hilangnya lahan pertanian produktif, melemahnya ketahanan pangan, dan marginalisasi petani paska konversi. Kebijakan mikro seperti harga dan pajak lahan serta pendapatan dinilai kurang efektif dalam mencegah proses konversi lahan. Perlu pembinaan dan pengembangan SDM petani paska konversi, sehingga dapat memanfaatkan secara efektif dana hasil konversi dan juga memiliki aksesibilitas terhadap kesempatan kerja baru di luar sektor pertanian. Perlu reorientasi pembangunan pertanian di Jawa dan penekanan pada manajemen dan teknologi komoditas bernilai tinggi, dan percepatan pembangunan di luar Jawa. Kebijakan strategis antisipatif penanggulangan dampak konversi perlu mempertimbangkan langkah strategi jangka pendek seperti: (a) peningkatan kapasitas kemampuan lahan dan peningkatan daya guna sarana dan prasarana irigasi aktual; (b) percepatan pencetakan sawah dan peningkatan kemampuan sistem irigasi secara berjenjang sesuai dengan tahap perkembangannya (dini – maju – responsif); (c) perluasan irigasi dikaitkan dengan usaha-usaha yang telah dirintis oleh masyarakat seperti pengembangan sawah tadah hujan dan pembukaan areal pertanian baru; dan (d) pelaksanaan penegakan hukum melalui penetapan, pemantapan, dan pengamanan sentra produksi pertanian strategis.
3.
4.
Optimalisasi pemanfaatan lahan dalam sektor pertanian perlu diinisiasi melalui identifikasi karakterisasi dan pemetaan AEZ sebagai basis perencanaan pembangunan dan pewilayahan komoditas pertanian. Dalam operasionalnya perlu didukung dengan penciptaan teknologi introduksi spesifik lokasi, program dan kebijakan pendukung pengembangan, ketersediaan modal/pendanaan dan mobilitas tenaga kerja pertanian, dan ketersediaan pasar input-output pertanian serta kebutuhan
55
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
konsumsi masyarakat. Strategi ini juga perlu difasilitasi dengan program konsolidasi lahan pertanian dengan mengembangkan pertanian dengan basis komoditas tertentu dan berwawasan agribisnis. Konsolidasi dapat diwujudkan melalui kerjasama kemitraan antara investor agribisnis dan petani dalam suatu kawasan agroekosistem. Strategi konsolidasi lahan ini disamping berperan dalam optimalisasi pemanfaatan lahan, juga mencegah alih fungsi lahan melalui pelaksanaan program kemitraan atau kooperatif farming yang sejalan dengan dorongan permintaan pasar yang menuntut adanya peningkatan efisiensi melalui perbaikan skala usaha pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Rusastra, I W., G.S. Budhi, S. Bahri, K.M. Noekman, M.S.M. Tambunan, Sunarsih, dan T. Sudaryanto. 1997. Perubahan Struktur Ekonomi Pedesaan. Analisis Sensus Pertanian 1983 dan 1993. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif Dalam Penanggulangannya.Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.XVI. No.4, Oktober 1997, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Rusastra, I W., S.K. Darmoredjo, Wahida, dan A. Setiyanto. 2001. Konsoli-dasi Lahan Untuk Mendukung Pengembangan Agribisnis. Perspektif Pembangunan Pertanian dan Kehutanan Tahun 2001 ke Depan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Syafa‘at, N., H. P. Saliem, dan K.D. Saktyanu. 1995. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sumaryanto, A. Pakpahan, dan S. Friyatno. 1995. Keragaan Konversi Lahan Sawah Ke Penggunaan Non-Pertanian. Prosiding Pengemba-ngan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Sumaryanto dan I W. Rusastra. 2000. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Petani. Prospektif Pembangu-nan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
56
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
MICRO-FINANCE FOR AGRICULTURAL PRODUCERS IN WEST NUSA TENGGARA (WNT) PROVINCE - INDONESIA Issues and Opportunities for a Sustainable Financial Intermediary System
Muktasam, Rosiady Sayuti, Anas Zaini, I Wayan Suadnya, I Made Mantra, Ignatius Suwardi,Dwi Praptomo Sudjatmiko, Matsyukur
ABSTRACT There have been various systems/schemes implemented by the Indonesian authorities to deliver financial assistance to farmers. However, the performance of delivery systems was still far from satisfactory with respect to credit access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. On the basis of these issues, the project is carried out to (1) identify issues and opportunities of the existing credit system, (2) develop a sound model of Micro Finance Institutions as an intermediary delivery system. The research methodology used for this study consists of three phases. The first phase, identification of issues and opportunities of micro-finance system. The second phase, implementation of agreed model of micro-finance system. The final phase, replication of the model in wider areas. Results of the study indicate some issues regarding credit for agricultural producers such as ineffective and poor performance of micro finance institutions due to lack of supervision, loan performance very low, complex credit procedures, mistargetted, ineffective partners, project and target approaches, unclear mechanism for monitoring and evaluation, ineffective use of credit and lack of commitment, ineffective and sustainable groups. A sound model was generated to address those issues follows a ―one-gate‖ approach.
INTRODUCTION Micro-finance for agricultural producers in Indonesia is provided by the government through a delivery system that performed unsatisfactorily, with respect to several indicators such as credit access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. Therefore, a research and development project that attempts to develop the delivery system of micro-finance for the agricultural producers in Indonesia is necessary. There have been various systems implemented by the Indenesian authorities to deliver financial assistance to the agricultural producers. For example, in the early stage of its rice intensification program, an Authority set up a costly nationwide network of the state bank‘s units 1 and of village cooperative unit 2 specifically to deliver the financial assistance. More recently, the Authority implemented systems that incorporated group lending, saving services, and involvement of Non Government Organizations (NGOs). However, performance of delivery systems was still far from satisfactory with respect to credit access, credit use, credit repayment and the sustainability of the delivery system. This was due to various factors, ranging from social, cultural, economic, and political factors of the producers, to the design of the delivery systems. The systems were solely designed to channel credit, ignoring the saving capacity of the agricultural producers. This approach is contradictory to the approach suggested by the new paradigms in micro-finance, the Financial Market Paradigms (FMP), which argues that credit only programs can not become financially sustainable. In other words, only a financial system or institution that acts as a financial intermediary between savers and borrower can be financially sustainable. The liberalisation measure introduced in 1988 has brought a number of new rural banks into operation in the Indonesian rural financial system. However, these institutions are mainly concerned with non-agricultural producers (e.g., small off farm enterprises). Hence, the agricultural producers have no options other than the government credit programs for financial assistance. In the long term, the goal of the proposed project is to develop a sustainable micro-finance system for the agricultural producers in the West Nusa Tenggara Province of Indonesia. The objectives of this proposed project are, as follows. To identify issues and opportunities for developing a sustainable micro-finance system for the agricultural producers in WNT Province. To develop an innovative micro-finance system for the agricultural producers in WNT Province.
57
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
RESEARCH METHOD The research methodology used for this study involving the key stakeholders of the microfinance system and consists of three phases. The first phase involves the identification of the relevant issues and opportunities for building a sustainable micro-finance system. This includes performance of the existing system, training and action learning needs using informal interviews, case studies and focus group studies. The second phase is the implementation (pilot project) of the innovative designs of the micro-finance system, and to perform the identified training needs (e.g., in-country short course and in Australia) and the action learning programs. The final phase is an evaluation of the activities in the second phase, and summarising findings and making recommendations for possible further development. In this last phase, the performance of the pilot micro-finance systems will be assessed. The review will address credit ‗need-award‘ suitability, credit access among socio-economic groups, institution borrower transaction cost, and credit repayment. In depth informal interview and Focus Group Discussion were carried out in Bima & West Lombok districts to get more insight of the ten schemes, especially those focused on agricultural producers - rice and non-rice farmers. Informal interviews More than 40 respondents were interviewed consist of farmers, staff of rural cooperatives, LSM, Banks (BRI and BPD), district and provincial government, and staff of Central Bank (Bank of Indonesia). In addition to these respondents, farmers and field agents of the ten stakeholders involved in the previous activities were interviewed using ―Interview guides‖ were used for this informal interview (either for farmers and agencies) focusing on the following issues: The performance of the existing schemes, Causes for non-performance, Opportunities for improvement Focus Group approach was taken for the following objectives: Gain confirmation from stakeholders regarding the issues and opportunities of the existing performance of the schemes. To gather additional information of the issues and opportunities of the existing performance of the schemes. Identifying the best measures for improving the existing scheme delivery systems & sustainability (training for ―pendamping‖, ―groups‖, and ―petugas‖). Focus group studies involved six groups of stakeholders, namely, two groups of farmers, one group of government representatives (field extension agents; district staff of Department of Agriculture; Cooperative office, one group of bank representatives (BRI and BPD), one group of cooperative representatives (KUD), and one group of NGO representatives. Focused group studies were carried out in Bima and West Lombok districts from December 2001 to January 2002. Through facilitation and brainstorming techniques, FGD helped the stakeholders to generate ideas and information about at least four major points (1) issues or problems of KUT and other schemes, (2) solutions to these issues or problems, (3) sustainability of the schemes, and (4) preferable micro institutions which may help promote effective credit/schemes to rural communities. Results of these focus group studies are presented in the following section.
RESULTS 1. Case Study Results Effective schemes should be seen from different perspectives such as food crops, forestry, cash/estate crops, and others. As there are many schemes from different sources with different characteristics and approaches to farmers in the village, stakeholders perceived there should be one general institution at village level to converging and diverging all schemes. Effective schemes required effective partners (pendamping) - who meet the following criteria: professional, high commitment, should be paid by the community from productive activities, stay at local level. Almost all stakeholders concern for ―sustainability‖ of the schemes; Several stakeholders have taken steps to prepare for ―after project‖ sustainability such as done by NTAADP (empowering local institution - IMS), P4K (LKM), IFAD. Most schemes were fail such as KUT/KKP, KUK-DAS, KKPA, KUHR, and KUKESRA. These schemes found some problems, especially in the following areas:
58
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Lack of supervision Repayment rate very low - debt very high Complex credit procedure Mistarget Ineffective partners Project and target approaches Unclear mechanism for monitoring and evaluation Ineffective use of credit and lack of commitment The more success schemes and sustainable micro-finance required strategic steps to prepare local community/groups to be independent. 2. Interview Results As stated in the previous section, the focus of in-depth interview was on the performance of food crops schemes especially Kredit Usaha tani (KUT) and cash crops schemes (P2WRT - IFAD). In regard to KUT, interviews with all stakeholders (respondents) indicate a general perception of KUT performance, causes for the performance and possible as well as opportunities to improve the future schemes. According to the respondents, KUT performance was very bad which indicated by low repayment rate and even debt. Several expression and term used by respondents to describe the performance of KUT such as ―KUT hancur‖, ―KUT had disappeared‖, ―We knew all our bed experience with KUT‖, and ―Just buried KUT - Kambojakan KUT‖. There are several explanations given by respondents for bad performance of KUT such as (1) negative perceptions of farmers toward ―credit as a gift from the government‖, used of reference groups, either at village level or national level ―why should I repay the credit while the others did not‖ (they refer to other farmers and national cases of credit malpractice - Tommy, Edi Tansil, Gus Dur); (2) ineffective use of the credit - especially for consumption which led to failure to generate income, (3) corrupted by LSM, (4) lack of commitment - mental states - either from farmers and field agents as well as other district staff, (5) fictive or data manipulation - unreal proposal, (6) low productivity - harvest failure (Results of in-depth interviews are summarised in Table 1). To improve - whatever the schemes are - several options were raised by the respondents such as (1) develop a procedures where farmers will feel that they get the credit from the bank and not from the ―government‖, (2) effective supervision by field agents and the bank, either at the first stage when farmers propose their plan to ensure that the ―name of farmers are correct‖, ―the size of land is OK‖, and ―the amount of their credit is OK‖. (3) at village level there should be an institution - acts as an umbrella/development lens - where any schemes directed to the village take a consistent step to avoid negative image of credit. (4) Professional field agents who can help farmers to improve their knowledge and skills in running their business either in agriculture or non-agriculture. These field agents should be paid by the government (in the first stage) or by the farmers or farmer groups (later once the group developed). Farmers rejected to repay their credit. In respond to this problem, government had introduced another new scheme to replace KUT called Kredit Ketahanan Pangan (KKP) that again failed to be implemented in Bima. 3. Focus Group Studies Results Field agents Could you mention several schemes you have experienced so far? KUT, P4K, Pemberdayaan Ketahanan Pangan - PKP (2000), Pemberdayaan Ketahanan Pangan Pedesaan - PKPP (2001), and PPA (Agribisniss). KUT has been a considered a failure story of credit given to farmers. ―KUT hancur‖ and have left a very bad story, especially during the last period...the case has brought LSM staff to jail and the case still in the court‖. ―LSM staff in the early stage claimed that KUT was the right of farming communities..., ironically these strongest voice disappeared as the LSM manipulation take place‖ (stated by cooperative partners, Bima & Mataram). In 1998/1999 about 80 % credits could be repaid while in 1999/2000 the credit was returned only 10 %. Total KUT debt almost 10 billion rupiahs.
59
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
In case of PKP and PKPP, the groups were established up to eight and one group in each village respectively. There are several issues in the implementation of these schemes such as (1) nepotism, where village leaders used their families‘ name as group members while the credit was received by the village leaders, (2) lack of field agents participation, (3) strong intervention from the government. Which one do you think the best scheme you have experienced? P4K for the following reasons: The total members of the groups are small (ten farmers) Groups in P4K have rules Focused on the groups‘ ability to promote group saving (with account balance or minimum Rp. 150,000. Group pressure and responsibility (in case one member of the group fail to repay his/her credit, the group would get negative reward - the future credit will not be given until all group members returned their credit). Self-selection of group members (group would select those more credible members - who would repay their credit on time). Most group members are woman Group members have productive or economic activities (off-farm such as trading - dagang bakulan and kiosk who represent 90 percent of members). Total credit was Rp. 300,000.00 per group member or three million rupiah per group (in special case, a member of P4K group may propose one half million rupiahs. The amount of credit is relatively manageable. Credit disbursement is directly from Bank to Farmers (there is no intermediates and no provision and transaction costs), and no cut! What are the major issues you found in KUT? In respond to this question, the following issues were given: Credit disbursement was not on time (it was delivered when farmers had finished their activities such as seeds, pesticides, fertilisers and others). Cost for seeds was very high while the price of products was very low. It would be better if non-governmental organisation (LSM) not involved. Farmers develop negative image or perception of ―credit‖ and ―other development efforts, especially when the project involving monetary support‖ - they perceived ―credit‖ as a kind of ―gift‖ from the government! Lack of effort and activities taken by the group leaders to supervise, to help group members as well as to collect the credit from group members. Some group members used ―reference group‖ for developing negative behaviors (why should I return the credit while the other group members did not repay theirs?) In the last few years, this negative image getting stronger due to negative impact on TV News. Almost everyday the national TVs cover some malpractice and critical cases of ―credit‖ involving some outstanding leaders such as the former presidents (Soeharto and Abdurrahman Wahid) as well as the case of Tommy (Soeharto‘s son). How KUT could be improved for its sustainability? Group should be small Tax receit should be used to avoid manipulation of data (fictive) The group leaders should active Use of agreement (contract documents) If the group members fail to repay their credit, ―agunan‖ will be taken Credit disbursement should be on time Groups‘ plan should be developed properly - under field extension agent assistance Incentive for field agents should be given Clear proposal - the amount of credit proposed by group members has to be consistent with the group members‘ land size and real needs
60
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
The need to change farmers‘ negative perception on credit and development schemes - preliminary stages should be taken to achieve this change, otherwise the existing image and behavior will continue Direct agreement and contact between farmers and banks - the best performance of credit or schemes was achieved when farmers developed direct contact with bank, which help create ―sense of responsibility - debt must be repaid‖. Farmers Four groups of farmers were involved in the focus group discussion - in Bima and West Lombok (two in each district). Their perceptions of KUT and other schemes are summarised in the following box. West Lombok Farmers: Could you explain KUT procedures you have experienced with and which one you like most? Two models of KUT were experienced by farmers in West Lombok district. First, farmers through groups developed their group plan (in October) and then proposed to the bank through Rural Cooperative Units (November). In about early December, the group got their credit. Second, farmers formed farmer cooperative and through their cooperative developed their plan and proposed directly to the bank (BPD). The bank processed the proposal for about two weeks until the credit was released. The second process was the better. Learning from your experience, what are the issues you found in KUT scheme? The following issues were identified: Most farmers failed to repay their credit Groups did not work effectively (they exist just to get the credit, there was no meeting, no activities, no decision making was made, lack of knowledge of the important of groups, no groups‘ rules, lack of sense of belonging to the groups, ―kelompok dadakan‖, ―kelompok tidak jelas‖). Lack of sense of responsibility or repay the credit - lack of commitment. Perception that credit as a gift from the government Low price of products Name of group members was manipulated The conditions required in the latest KUT (KKP) are very hard to be fulfilled - as a result, there is no farmers want to get the credit. These conditions such as land certificate, no-debt for the previous credit or KUT. In contras, there are several cases where farmers and groups repaid their credit on time. Several factors were raised during FGD such as: Farmers‘ belief that ―utang‖ should be ―repaid‖ otherwise it is a guilty and disobeying Allah recommends - would get punishment in the hereafter. Groups exist and effective (see Figure!) Incentive to the groups on the basis of group fees from the amount of credit they distributed (e.g. seven rupiah per kg distributed fertilisers). Another incentive to the group was related to the continuity of the credit. The government promised that if a group could return their credit on time, then the group would get another credit (however in fact it was not the case). Exist of ―feeling guilty‖ of ―shyness‖ among group members when they failed to repay their credit. The power of group pressure - social pressure - was likely stung enough to motivate member to return the credit on time. The successful group in west Lombok district has developed a supporting structure for successful KUT as it is depicted in Figure 1. The group has the group leaders, which consist of head, secretary and treasure while to support group activities ten sub-groups were established. These subgroups consisted of six to 10 members. Through this structure, the group has not only developed effective communication process, but also help the group to get their credit paid on time. The leaders of the sub-group had helped the group significantly. The way how the group works is consistent with Chamala‘s Participative Action Management (PAM) model in which the group acts as a ―development lens‖. All resources and supports, especially monetary support, are converged and diverged by the group.
61
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
This group - farmer cooperative - may be developed further toward a Micro Finance Institution similar to the Rarang ―Karya Terpadu‖ micro finance agency (see the other section). Group Sub-groups
Figure 1. The Model of “Wire Singe” Farmer Cooperative – Batu Kuta Village, West Lombok Indonesia Bima Farmers: Farmers expressed a very strong negative perception of KUT. They showed like ―no guilty feeling‖ toward KUT. The following points were raised during FGD with farmers. What are the issues of KUT in your area? They explained that KUT has gone and it was a bad story. Most farmers did not repay the credit for the following reasons: No point to return KUT while others did not repay it (used others as reference) Lack of farmers‘ commitment to repay their credit - although they have money, they did not repay it. It is also influenced by their negative image of credit. ―Do not come to us for this small amount of money, look to those who had taken away our money - refer to Tommy and the President of Indonesia. Manipulation of name and land size Village leaders used farmers‘ name for their own benefit - farmers even did not realise that their name were included in the group plan and proposal. Once the credit was released, the leaders ―cached the money‖. No field extension agents helped them in improving knowledge and using the credit Field extension agents and other agents never came to farmers to collect the credit - KUD staff never though to help the bank collect the credit - there was no incentive while at the same time the rural cooperative staff did not feel for having the credit (the credit just passed from Bank to farmers. We only found one ―good‖ field extension agent more than ten years ago. Lack of commitment of LSM to help farmers - did not work well and professional. KUT like other programs or projects (e.g. poverty alleviation) was a grant, therefore no need to return it. Farmers hope the government to ―clear‖ KUT - ―Pemutihan‖ or ―Just forget it‖ or ―dikambojakan‖. This may have developed through a repeated experience not only in other areas such as IDT, but in KUT it self (three times of ―pemutihan‖ had been experienced by farmers). The group - farmer groups - did not work (the group just exist for the credit, only on the paper). There was no control and supervision. What can we do to promote effective and sustainable KUT? Effective groups should be established Field agents have to work closely with farmers and be professional Control mechanism should be promoted to avoid manipulation and proper use of credit. Credit or debt collectors should perform their task - to motivate farmers to return the credit. There is a need to develop correct perception toward the credit. The credit should be repaid educating the people. Direct contact between farmers and bank - to develop and create emotional link and the feeling or responsibility (Micro finance institution at village level is considered as an option - with this, farmers may not only develop feeling and sense of responsibility but also importantly sense of belonging). Effective control has to be developed during the planning stage, bank processing, and credit disbursement (released).
62
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Banks Two ―Focus Group Discussion‖ were conducted with the bank - in Bima and Mataram, involving credit staff of BRI and BPD. The results of these FGDs are summarised in the following section. In general how do you perceive the KUT experience - performance? We all knew already that the pass experience with KUT was very bad. Debt on KUT was very high - billions and most farmers failed to repay the credit. It was a ―program credit or scheme‖. We are as a channeling agents and one important point was that ―we could not apply the careful principles‖ to guarantee the credit release and repayment. Decision was made at Cooperative Office while we just served farmers with credit realisation. If that was the case, could you mention why the KUT performance was bad? There are several major issues, which may be used to explain KUT performance such as: Lack of support from related Department - especially in supervision activities Lack of farmers‘ commitment Lack of knowledge The use of other groups as reference Negative perception of credit - ―it was a gift - grant‖ Groups did not work Lack of sense of responsibility To long chain in procedure Data manipulation Difficult to check the proposal/group plan in the field KUT was not on time - too many proposal to be proceed While the ―target‖ should be achieved Negative effect of TV news - corruption cases Negative image of credit Field agents did not work well -‖ never visited farmers What can be done to improve credit performance? Local specific need to be considered Individual responsibility/approach may be better in case the groups did not work Group performance need to be improved Support for field agents should be increased Need for professional agents and more integrated support Promote direct contact between bank and farmers Other departments should drop their monetary support to the bank - the bank then contact with farmers To develop positive image of credit Do not use term ―project or program‖ Groups have to be small and effective (self-selected members) Effective control mechanism should be developed to avoid manipulation and corruption ―Fairness‖ and ―commitment for work‖ are essential (kejujuran & ada usaha) Cooperative and Department of Agriculture In respond to a question “how would you explain KUT?”, district staff of the Department of Agriculture (three participants) and Cooperative (four participants) stated: ―You knew already how worse KUT‖ , ―KUT was not returned almost 10 billion‖, and ―KUT has brought one director of NGO to the court and jail‖. This statement is clearly indicating their perception of KUT in that ―KUT was fail‖. Some reasons for this failure are: Farmers have developed negative perception toward credit, development ―project‖ and ―programs‖. This perception has had significant impact on the low level of credit repayment rate. Once they perceived ―credit as a part of project‖ that may mean that the government ―distribute money as a gift‖ or ―grant‖ or ―something that farmers would not need to return‖.
63
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
The use of reference groups - farmers compare themselves with others. If the other farmers did not pay their credit, these farmers would not pay their credit too. Farmers‘ mentality is bad. Most groups involved in KUT did not effective. The group exists only for delivering credit or for project only. Data manipulation - at farmers and LSM levels Lack of field agents‘ commitment - limited control and supervision, lack of operational and supervision cost, lack of knowledge and skills Lack of preparation at groups and agency levels LSM was not effective - manipulation and corruption (LSM coordinator is now in court ―Farmers nowadays more clever‖ - they compare themselves with other cases such as Edy Tanzil, Tommy - whom have huge debt, and Gus Dur (the use of government budget) ―Perception of credit as grant‖ or ―gift‖ KUT released was not on time - then used by group leaders or LSM - could not be returned Lack of supervision and control from field agents and other institutions such as bank (which is different from P4K for example, where field agents get incentive and supervise groups consistently). Lack of support for field agents (there was no monetary incentives or facilities) The FGD participants suggested several options to address these issues such as: Groups have to be established properly - not just for project or credit Control and cross check must be performed Develop positive perceptions for credit Professional field agents Direct contact with cooperative and bank Change farmers‘ behaviours especially their attitudes and mentality toward credit Short out the procedures - involved agency (no need for LSM) Professional field agents Needs for support (facilities, incentives, costs) The need for legislation (perda) Continuous supervision and control Group should be small to organise FGDs in Cash Crop Field Agents Two Focus Group Discussions were carried out with cash crop field agents - located at Bayan (West Lombok) and Sanggar (Bima) sub-districts. Field agents participated in these FGDs are involved in IFAD project called P2RWTI, a project designed to improve cash crop farmers‘ income. Several common issues found in the FGDs are: What are some issues in the IFAD scheme? The project establishment purely dominated by ―top-down‖ approach. Lack of community participation The project mostly focused on ―transfer of technology‖ (the project had had some options of solutions technologies to be implemented in farmers‘ land. The project offered to farmers who want to joint in the project and those who interested should make an application to the project management). The project offered incentives such as ―grant‖ and ―land certificate‖ in the early stage of implementation, which to some extent may have a great impact on community participation and project sustainability. Ideas on establishing or initiating ―micro finance institutions‖ at the local level have not been considered to support project sustainability. In spite of the above issues, the FGDs outcomes indicate several critical points that are considered to be important to the project success in credit repayment rate, such as: Clear initial process of participant recruitment, where farmers were encouraged to apply to the project
64
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Farmers‘ assets such as household items as well as land (size and location) were assessed in the early process. This process helped reducing manipulation of data on land size such as those happened in KUT. Early assessment also helped in giving benchmark data that would be used to identify project progress and success. Establishing direct contact between bank and farmers has led to better farmers‘ commitment in repaying the credit (farmers have their own account number in the bank and they have a wide access to their own account for checking). Lesson Learned from Micro Finance Institution - LKM - P4K Rarang Village East Lombok District Rarang Micro Finance Institution: Formation and development This institution started with 25 small groups of farmers (with average 10 members), in 1990, which were involved in small farmers income generating project (P4K). Formerly the groups work separately to serve their members especially in saving activities and others supported by field extension agents. At one stage the members of those group found several issues and problems in developing their productive activities such as: Getting 750,000 rupiahs from P4K project was too small (and once a year) Limited access to banks It took time to get the credit, and The process seems too complicated On the basis of these considerations, then in 1993, 13 out of 25 groups got together to form an association called ―Asosiasi Karya Terpadu‖ with total members 122 - all female. With group member contribution Rp. 1500 in the first stage, the association facilitate saving and loan activities. With wide range of supports, the association developed significantly within the last few years and in Oct. 2001 the association has had Rp. 511,190,270. (About 80 % members‘ contribution, while the rest from government). The association has the following activities: Saving and loan Trade (shops) Electricity account Marketing of group members‘ product Service - chair rental Credit service for ―motor cycle‖ Driving license for the community Social services (health support, etc). Monetary support to rural communities
- ―Micro Finance Institutions -LKM ―Association‖
Women groups
Handy craft groups
Village boundary
Farmer Groups
Figure 2. The Model of “Karya Terpadu” Micro Finance Institution – Rarang Village, East Lombok Indonesia
65
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
REFLECTIVE SUMMARY AND IMPLI CATION 1. Alternative Models Based on the above results, a tentative model of micro finance institutions is developed, as it is depicted in figure 3. This model shows a strategies position of the micro finance institutions within the whole system of development (farmers or rural communities and their groups, government and nongovernmental agencies). GOs and NGOs Agencies (including banks)
TEAM - Development Lens
Technical Supports
Technical Supports
MONETARY SUPPORT
Coordination
Coordination
- ―Micro Finance Institutions -LKM ―Association‖
Women groups
Handy craft groups
Village boundary
Farmer Groups
Rural Communities Figure 3. A Conceptual Model of the Micro Finance Institution (Draft) 2. Strategic Roles of the Micro Finance Institutions: addressing the existing issues Figure 3 indicates a central position of micro finance institutions within the whole system of rural development (financial system). From financial perspective, farmers either individually or through groups develop their strong relationship with micro finance institutions that should be located at village level. The establishment of micro finance institutions at village level may address several issues found in the existing schemes - especially in term of time and space as well as other sociological and psychological aspects. First, financial institutions such as Rural cooperative as well as banks (BPD and BRI) far away from farmers - usually located at district or sub-district level - that lead to farmers‘ lack of access and exposure to the banks‘ products. With this model, farmers or farmer groups may develop effective communication and intensive contact with the micro finance institutions. On the other hand, control toward farmers behaviour become more effective and intense. Issues found in most of the previous schemes such as ―the credit was release not on time‖, ―lack of control either from financial institutions or related agencies‖, ―manipulation of data on land size and farmers‘ name‖ will be addressed in this model.
66
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Second, Through a participatory approach in establishing micro finance institutions at the village level, the proposed model may strongly promoted communities‘ sense of belonging to the institutions which in turn lead to high responsibility and commitment - in particular to repay their credit. This study found that monetary support given and channeled by related government institutions or banks had been perceived as ―gift‖ or ―grant‖. As a result, farmers‘ commitment to repay the credit was very low. The proposed model will also address these issues. Third, the proposed model of the micro finance institutions may help in converging and diverging all resources directed toward village development - especially in term of monetary flows. Development experience indicated that many cases of development failures were due to parallel approach to rural development. Every department and agencies took its own action and approaches to rural areas and this has led to inefficiency and ineffectiveness (overlapping of resources and efforts). To some extent the approaches have been claimed for participatory decline in rural areas. Through the proposed model, these issues will be address as indicated in Figure - the micro finance institutions act as ―development lens‖ (term ―one-gate‖ approach was raised in the case studies) in the areas of monetary flows/support. Through converging and diverging functions, the micro finance institutions will enhance monetary support effectiveness in particular and rural development in general. Forth, the establishment of micro finance institutions at village level may strongly support local or village development the profits gain by the micro finance institutions will stay at local level and this will help in increasing capital formation, which is needed in the rural development. Saving and lending activities may be increased and economic development then may progress and communities‘ income and welfare status may be increased. 3. Group Approaches: A need for group effectiveness and sustainability The proposed model highlights strategic roles of groups in supporting micro finance institution effectiveness and sustainability. However, the groups should be effective and sustainable. Effective and sustainable groups should meet criteria such as; the group size has to be small (e.g. about 10 in P4K), effective leadership, homogeneity, participatory in group formation and action, cohesive and effective rules. The study suggests that once groups develop to a certain stage, then they would find a need for micro finance institutions to serve various group needs. Groups are critical to an effective and sustainable micro finance institution. For this reason, the groups should develop the following roles: Mobilising group members saving and lending activities Developing group members‘ sense of belonging and responsibility toward groups as well as toward the micro finance institution Facilitating learning process to change knowledge, skills, and attitudes Helping group members in developing individual planning Promoting effective participation Helping the micro finance institution in every aspect of credit delivery and repayment. This study found that most groups involved in the ten schemes did not effective and sustainable (see interview and FGD results). Several issues raised during the interviews and FGDs are: the group just exist for getting credit and for project, manipulation of group members‘ identity and data (group members‘ name were used by group leaders to get credit without any permission; data on land size were manipulated), failed to return their credit, negative cohesion (group members togetherness in not repaying their credit by referring to other groups or individuals‘ behaviors - ―why should we return the credit while the others did not?‖). These issues will be addressed with the proposed model. Effective approaches to group formation and activities should be taken - participatory and integrated approaches. External factors of groups should also support the group environment and effectiveness. Field agents‘ professionalism and commitment are required. The successful credit repayment demonstrated by one of the following factors: Group members are female Group members have off-farm activities Faith or believe that ―credit should be repaid‖ - Religious believe. Based on these findings, the groups under this model should consider that these factors are critical to groups as well as their micro finance institutions‘ effectiveness and sustainability.
67
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
4. GO, NGOs and Banks: the need for participatory, integration and effective coordination Failures in schemes/rural credit partly due to ineffective approaches taken by government as well as non-governmental organisations. As it was found in the interviews and FGD several issues in regard to GO and NGOs are; lack of coordination, top-down process, the use of unrealistic targets, lack of control and supervision, lack of commitment, lack of support and facilities provided to field agents. These issues would be addressed in the proposed model through development of better understanding among agencies (GO and NGOs) about the need for participatory and integrated approaches. Fail to do so may lead to groups as well as micro finance institution ineffectiveness. With the proposed model, all stakeholders of rural development should realised that all forms of monetary supports to rural development (loan, grant, subsidies) flow through ―micro finance institutions‖. This approach may shift the existing negative image of development from ―development as delivering credit as a gift or grant‖ to ―development as empowering process‖. Monetary support should not be exposed directly to the rural community as given by the agencies, but let their micro finance institutions to have the voice (e.g. explaining to their members that the institution has allocated a certain amount of money to support certain development programs). Development agencies should make agreements with the micro finance institutions, for instance in aspects of ―reasonable interest rate‖, ―profit margins‖, ―transaction costs‖, ―period of credit‖ and ―whether the micro finance institution act as executing or channeling agent?‖ 5. Effective and Professional Field Agents The proposed model requires also professional and effective field agents to help groups as well as micro finance institutions. Their jobs to work closely with these two types of institutions. To be professional and effective, adequate supports, facilities, training and reward should be provided to the field agents. 6. Expected Outcomes The proposed model will lead to the development of: Sense of belonging (to the groups as well as the micro finance institutions) Sense of credit Sense of responsibility Strong commitment to repay the credit Direct relation between financial institutions and farmers/rural communities Strong control Resource convergence and divergence Effective coordination and collaboration New perception of development - it is no longer development as ―giving credit as a gift or grant‖ Some conditions required achieving effective and sustainable micro finance institutions are summarised in the following table. Components Farmer groups
Field agents
Micro finance institutions
Conditions Must be established through participatory approach, small in size, homogen in membership, members should have off-farm activities, effective leadership, follows Participatory Action Management model (Chamala, 1995), get technical assistance from field agents, established not for project but for community empowerment, have clear objectives, high positive cohesiveness Must be professional, high commitment, get incentives (monetary and or facilities), clear job description and responsibility, stay close to groups or micro finance institutions, effective coordination with other agents, no role conflict Established based on the felt need, participatory approaches, covering several community groups, at village level, promoting communities‘ sense of belonging and responsibility, develop effective up-ward, down-ward and horizontal relationships, applying PAM model principles and philosophy, develop social, economic and cultural approaches, involving female, interest rate should be competitive (less than applied by informal money lender), groups or members should develop or have off-farm activities (which shows strong support to high repayment rate in credit), mobilising saving and lending activities, develop
68
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
GO and NGOs (include banks)
agreement with bank and other related agencies, promote effective coordination and conducive environment with groups and members Better understanding of development approaches (empowering approaches), effective coordination, better understanding of ―development lens‖ (―one-gate‖ system), the need for paradigm shift, use of PAM model philosophy and principles, follow action-learning process.
7. The Need for Training and Action Lerning
On the basis of the findings as well as the proposed model, some training activities and programs are required and designed. These trainings involving wide ranges of participants, from farmers to development agencies (GO and NGO and bank). Training subjects for every stakeholders or components of the micro finance system are presented in the following section. Farmers and Farmer Groups (at village level) Groups and development Development, participation and empowerment Why do we need groups How to establish effective and sustainable groups Groups and the for Micro Finance institutions Effective and sustainable micro finance institutions Micro Finance Institutions (MFI) The existing MFI: New roles of MFI toward its effectiveness and sustainability How to promote effective relations with groups and agencies Effective model of MFI Empowering groups and MFI The needs to change community image and perceptions The new establishing MFI (facilitating the existing effective groups): Groups and the for Micro Finance institutions Effective and sustainable micro finance institutions New roles of MFI toward its effectiveness and sustainability How to promote effective relations with groups and agencies Effective model of MFI Empowering groups and MFI The needs to change community image and perceptions GO, NGOs and Field Agents or Group Partners Groups and development Development, participation and empowerment Why do we need groups How to establish effective and sustainable groups Groups and Micro Finance institutions Effective and sustainable micro finance institutions Appendices: Table 1. Respondents’ Perceptions of KUT Performance, Factors Associated with poor performance and possible interventions - Bima & West Lombok districts Variables Respondents 1 Farmers contact and ordinary farmers (14 farmers)
Credit performance 2 Worse
Causes for performance
Possible interventions
3 Lack of awareness to return the credit even they could (they have the cash).
4 Change farmers‘ behaviour and improve their commitment Effective support by field agents
69
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1
2
LSM
KUT fail
Rural Cooperatives (6 respondents)
―KUT hancur‖...‖Yo u knew it already‖ ―Due to KUT, the cooperation should take responsibility ‖ - but we do not want to take any form of responsibility - the credit just pass through KUD. We never got it!
3 There was no support from field agents to use the credit Groups did not work (most groups just exist on the paper for the credit purpose, membership did not clear) Field agents did not collect the credit/did not visit their farmers lack of technical assistance Lack of cash - production failure Credit was corrupted by group leaders (farmers‘ name were used for group leaders‘ interest). Data manipulation The use of reference groups ―Other farmers did not repay their credit, why should I?‖ Credit was not on time (after the planting) Lack of farmers‘ commitment Negative image of credit LSM staff‘s behaviours ―We were not ready to do the task properly‖ Groups could not help Lack of field agent support Credit was not released on time (decision was late from the cooperative office) Lack of coordination ―Because they said it is credit,...for farmers or saving and lending activities or from the government‖ -. This would not be returned Lack of coordination between agencies and KUD Agencies‘ language different from our language (used our language and not yours) Farmers‘ mentality‖ - it is their opportunity (for corruption and manipulation, enjoying the credit) since the more than 30 years of the new order regime (whereas government elite corrupted ―our money‖) There is no clear cut between development programs and project with political interest Use of reference groups (especially Gus Dur & Alwi Sihab - no one doubt about their religiousity, but why their bahaviour did not reflect their knowledge? Why should we?) Negative impacts of TV news Farmer groups did not effective Data manipulation LSM did not work well (corruption)
4 Technical assistance is crucial There is a need to change farmers‘ perception of credit - by creating ―direct contact‖ between the bank and farmers‖ (creating a feeling that the credit is really a credits that should be returned, and not a gift from the government) Effective control should be done to avoid data manipulation (farmers‘ name and land size) and ―farmers with multiple credit on the same piece of land‖ Effective group have to be established/promoted
Improve farmers‘ commitment and image toward the credit Effective preparation prior to credit release Effective control is needed Adequate support for field agents Create effective coordination among the stakeholders Help to promote effective farmer groups ―We have experienced three times ‗pemutihan‘, the key point is the important of religious language‖ Do not say credit from government or project or programs (no different between project and program - all about ―gift for farmers‖ Give us accountability/responsibility (do not go to farmers and say ―the budget from us - government‖) The need for better coordination and integrated effort Need for system approach Need for effective Law - ―if wrong or stubent take them to the court‖ Give farmers price subsidy - so they can repay the credit Give us the budget, we will organise and manage the credit agencies could discuss with us behind the screen
70
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 District staff of Cooperative (4 respondents)
2 ―You knew already how worse KUT‖ ―KUT macet almost 10 billion‖
District staff of Dept. of Agriculture (4 respondents)
―Very bad‖ ―KUT Kaco‖
BPD (2 respondents)
―Failure‖
BRI (2 respondent)
―KUT performan ce was worse‖ KUT since the early period Bimas has always the problems Tunggaka n KUT in Bima almost 10 billion
3 Group did not work well (for project only) Data manipulation - at farmers and LSM levels Negative perception of credit and development programs - farmers‘ perception Lack of field agents‘ commitment - limited control and supervision, lack of operational and supervision cost, lack of knowledge and skills The use of reference groups Lack of preparation at groups and agency levels Farmers‘ mentality is bad‖ LSM was not effective - corrupt and manipulation (LSM coordinator is now in court Farmers nowadays more clever they compare themselves with other cases such as Edy Tanzil, Tommy - whom have huge debt, and Gus Dur (the use of government budget) ―Perception credit as grant‖ or ―gift‖ KUT disbursement was not on time - then used by group leaders or LSM - could not be returned Lack of supervision and control Lack of support to field agents Lack of support from related Department Lack of farmers‘ commitment Lack of knowledge The use of other groups as reference Negative perception of credit - ―it was a gift - grant‖ Groups did not work
4 Groups have to be established properly - not just for project or credit Control and cross check have to be performed Develop positive perceptions for credit Professional field agents Direct contact with cooperative or bank
Lack of support from related institution Lack of sense of responsibility To long chain in procedure Data manipulation Difficult to check the proposal/group plan in the field KUT was not on time - too many proposal to be proceed While the ―target‖ should be achieved Negative effect of TV news corruption cases Negative image of credit Field agents did not work well -‖ never visited farmers‖
Need for professional agents and more integrated support Promote direct contact between bank and farmers Other department should drop their monetary support to the bank - the bank then contact with farmers To develop positive image of credit Do not use term ―project or program‖ Group have to be small and effective (self-selected members) ―Fairness‖ and ―commitment for work‖ are essentials (kejujuran & ada usaha)
Credit sustainability is very low. Farmers‘ internal states need to be changed Short out the procedures involved agency (no need for LSM) Professional field agents Needs for support (facilities, incentives, costs) The need for legislation (perda) Continuous supervision and control Group should be small to organise
Local specific need to be considered Individual responsibility/approach may be better in case the groups did not work Group performance need to be improved Support for field agents should be increased
71
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGEMBANGAN WILAYAH LAHAN KERING DI PROPINSI NTB UNTUK MENDUKUNG OTONOMI DAERAH Suwardji dan Tejowulan Peneliti Pada Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan Fakultas Pertanian UNRAM, Jalan Pendidikan Mataram, Telp 0370-628143
PENGANTAR Dalam undang-undang otonomi daerah menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah berada dalam kewenangan penuh daerah, baik dalam pengambilan keputusan pelaksanaan pembangunan melalui pemilihan pola dan bentuk kawasan/wilayah yang akan diandalkan dan dikembangkan maupun pemilihan produk-produk yang berpotensi diunggulkan untuk mendukung otonomi daerah. Selain itu otonomi daerah mempunyai tujuan murni mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat secara langsung dan peningkatan kemandirian daerah dalam pengelolaan potensi unggulan daerah yang secara bersama-sama mendukung program pembangunan ekonomi daerah. Dipihak lain globalisasi yang terus bergulir mengharuskan kita patuh pada berbagai kesepakatan internasional yang tidak dapat dihindari dan telah menempatkan pemerintah daerah pada posisi terdepan pada berbagai potensi dan produk unggulannya untuk dapat bersaing bebas dengan negara lain. Implikasi dari beberapa hal yang telah diuraikan di atas adalah bahwa perkembangan ekonomi daerah dapat dipercepat melalui pengembangan potensi , andalan dan unggulan daerah agar tidak tertinggal dalam persaingan pasar bebas, namum hal ini tentu tidak melupakan tujuan murni otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melihat potensi, andalan dan unggulan yang dimiliki oleh Propinsi NTB, pertanian lahan kering mempunyai prospek yang besar untuk dikembangkan agar dapat mempercepat laju pembangunan daerah. Lahan kering yang dimiliki Provinsi NTB cukup luas (> 1,8 juta hektar) dan mempunyai potensi keanekaragaman komoditi yang dapat dikembangkan serta merupakan komoditi-komoditi unggulan yang banyak diminta oleh pasar. Jika potensi ini digarap sungguh-sungguh akan merupakan keunggulan kopartatif daerah yang dapat menjadi andalan dalam memacu pembangunan daerah. Namun dalam pengembangan pertanian lahan kering menghadapi berbagai masalah baik biofisik, sosial ekonomi dan kelembagaan. Berbagai kendala yang sering dihadapi adalah (a) kondisi biofisik dan lingkungan yang rentan terhadap degradasi (b) infrastruktur ekonomi di wilayah lahan kering yang sangat terbatas, (c) kurangnya teknologi tepat guna yang terjangkau oleh petani (d) kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengembangan pertanian lahan kering yang relatif terbatas, dan (e) partisipasi berbagai stakeholder utamanya pengusaha swasta dalam pengembangan wilayah lahan kering yang masih kurang. Melihat potensi besar pertanian lahan kering yang dimiliki Provinsi NTB serta berbagai permasalahan yang sangat komplek, dalam pengembangannya diperlukan komitmen yang sungguhsungguh dari berbagai pihak baik dunia usaha maupun pemerintah serta masyarakat secara terpadu untuk mewujudkan tercapainya peningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas. Makalah ini akan membahas berbagai aspek tersebut di atas secara ringkas.
BATASAN DAN BEBERAPA PENGERTIAN Wilayah secara umum adalah unit geografis (ruang) yang dibatasi oleh ciri-ciri tertentu yang bagianbagiannya tergantung secara internal, serta sekaligus menjadi media bagi segala sesuatu untuk berlokasi dan berinteraksi. Menurut UU No 24/1992 tentang ―Penataan Ruang‖, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta unsur terkait padanya yang batas dan sistimnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Pengembangan wilayah adalah segala upaya perbaikan suatu atau beberapa jenis wilayah agar semua komponen yang ada di wilayah tersebut dapat berfungsi dan menjalankan kehidupan secara normal.
72
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu (1) sumberdaya alam/fisik-lingkungan (2) sumberdaya buatan/ekonomi (3) sumberdaya manusia, dan (4) sumberdaya sosial-kelembagaan. Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air dalam kurun waktu tertentu, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Menurut hasil rumusan Seminar Nasional Pengembangan Wilayah Lahan Kering di Mataram bulan Mei 2002, wilayah lahan kering mencakup : sawah tadah hujan, tegalan, ladang, kebun campuran, perkebunan, hutan,semak, padang rumput, dan padang penggembalaan.
PERLUNYA RE-ORIENTASI KEBIJAKAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT Dimasa mendatang sektor pertanian dan agroindustri tampaknya merupakan sektor andalan utama propinsi NTB, dengan rentannya sektor pariwisata terhadap gejolak sosial dan politik nasional maupun internasional. Sektor pertanian dan agroindustri di masa mendatang mempunyai misi ganda harus mampu mampu menyediakan pangan nasional dan juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani serta memacu pertumbuhan ekonomi nasional untuk bangkit dari kondisi krisis ekonomi yang berkepanjangan. Tugas berat ini mengharuskan kita untuk mengubah paradigma lama pembangunan pertanian yang bertumpu pada lahan basah dengan mengembangkan potensi andalan lahan kering yang belum digarap dengan sungguh-sungguh. Lahan kering lebih menguntungkan karena areal yang dapat dimanfaatkan lebih luas, prasarana/infrastruktur relatif lebih mendukung, dan teknologi serta sumberdaya petani juga sudah cukup tersedia. Dengan pembangunan lahan kering berwawasan agribisnis diharapkan ketersediaan pangan nasional, kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya pertanian secara seimbang dapat diwujudkan. Selanjutnya pembangunan wilayah lahan kering harus diarahkan pada pertanian yang tangguh modern dan berbasis agribisnis pedesaan sehingga mampu bersaing dalam persaingan global. Pembangunan pertanian yang tangguh tersebut harus dilakanakan secara berkelanjutan (sustainable) sehingga produktivitas, efisiensi dan kelestarian lingkungan menjadi variabel yang secara bersamaan harus menjadi tujuan, melalui pendekatan pemberdayaan petani dan sumberdaya lokal padesaan. Agar sektor pertanian dapat menjadi motor perekonomian nasional, pengembangan pertanian secara horisontal (deversifikasi komoditi unggulan) dan vertikal (deversifikasi teknologi hulu-hilir) yang dikelola secara agribisnis berwawasan lingkungan dan sudah harus menjadi agenda pembangunan wilayah lahan kering di masa mendatang. Kegiatan pertanian yang dikelola secara agribisnis mempunyai spektrum luas yaitu dari kegiatan hulu seperti penyediaan saprodi, dan teknik budidaya, sampai kegiatan hilir seperti agroindustri, distribusi dan pemasaran hasil (Solahudin, 1999). Semua kegiatan tersebut harus mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani serta mampu melestarikan lingkungan. Pembangunan sektor pertanian berkelanjutan berbasis agribisnis tersebut diarahkan pada upaya peningkatan ketahanan pangan, pemberdayaan usaha kecil dan menengah, meningkatkan ekspor, dan memacu pertumbuhan perekonomian nasional dengan tanpa mengurangi daya dukung lingkungan. Lahan kering lebih menguntungkan karena areal yang dapat dimanfaatkan lebih luas, prasarana/infrastruktur relatif lebih mendukung, dan teknologi serta sumberdaya petani juga sudah cukup tersedia. Dengan pembangunan lahan kering berkelanjutan berwawasan agribisnis diharapkan ketersediaan pangan nasional, kesejahteraan petani dan kelestarian sumberdaya pertanian secara seimbang dapat diwujudkan. Isue yang disinyalir dengan menurunnya ketersediaan air pada musim tanam saat kemaru di satu pihak, dan melimpahnya air pada musim hujan di pihak lain, menunjukkan kurang efisiennya menejemen air selama ini. Saat ini, hampir semua air irigasi maupun air hujan setelah digunakan untuk pertanian terus hilang keluar tanpa adanya upaya mandaur ulang. Sudah waktunya air hujan maupun air irigasi yang digunakan maupun yang belum digunakan diupayakan untuk tidak terbuang ke laut. Untuk itu diperlukan reorientasi menejemen air dari sistem terbuka yang selama ini diacu menjadi sistem tertutup. Implementasi dan konsep menejemen tertutup dilakukan dengan membangun embung-embung untuk lahan kering dan reservoir ke laut. Di tingkat lapang, menejemen hemat air perlu terus diimplementasikan, dengan cara ini masalah air musim kemarau diharapkan dapat ditanggulangi. Penerapan teknologi irigasi tetes yang dikembangkan Hamzah (Bsappeda Provinsi NTB, 2002) telah
73
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
terbukti dapat digunakan untuk mengembangkan tanaman hortikultura seperti mangga, cabe, jeruk dan anggur dan ini merupakan peluang bisnis besar untuk propinsi NTB.
PENGEMBANGAN LAHAN KERING YANG BERKELANJUTAN Konsep pengembangan sistim pertanian yang berkelanjutan menjadi isu global muncul pada tahun delapan puluhan, setelah terbukti pertanian sebagai suatu sistem produksi ternyata juga sebagai sumber pencemar sumberdaya lahan dan air. Pertanian bukan hanya penyebab degradasi lahan in situ, tetapi juga penyebab degradasi lingkungan ex situ. Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan perairan dihilir merupakan bukti bahwa pertanian yang tidak dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan mutu sumberdaya pembangunan. Oleh karena itu, tantangan pertanian saat ini dan masa depan adalah bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara a secara berlanjut tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam. Konsep pengembangan sistim pertanian yang berkelanjutan sendiri diturunkan dari konsep dasar pembangunan berkelanjutan, yaitu kebutuhan hidup manusia saat ini dapat dipenuhi dengan tanpa mengorbankan kemampuan memenuhi kebutuhan hidup generasi berikutnya. Artinya, sebagai subsistem, pertanian berkelanjutan harus mampu memanfaatkan sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara sinergis dengan subsistem pembangunan berkelanjutan lainnya. Batasan sistim pertanian berkelanjutan sangat beragam, tetapi benang merah yang menjadi dasar adalah bahwa (1) pertanian harus lebih produktif dan efisien, (2) proses biologi in situ harus lebih berperan, dan (3) daur ulang hara internal lebih diprioritaskan. Atas dasar ini Tehnical Advisory Commitee TAC) dan FAO (1995) mendefinisikan sistim pertanian berkelanjutan (SPB) sebagai budidaya pertanian yang mengandalkan menejemen sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tanpa menurunkan mutu lingkungan dan mutu sumberdaya alam. Selain itu, SPB juga harus layak secara lingkungan, teknis, ekonomi dan sosial. Dengan perkataan lain SPB bukan hanya berbasis produksi dan lingkungan, tetapi juga berbasis agribisnis. Dari uraian di atas, batasan berkelanjutan (sustainability) mengandung pengertian berkelanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis) dan kelestarian sumberdaya alam (berwawasan lingkungan). Secara sederhana batasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut (Utomo, 2001): Keberlanjutan = Produksi (pendapatan) + Konservasi Sumberdaya
PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN EKOSISTIM MANUSIA
PERTANIAN DAN AKTIVITAS
Telah lama disadari oleh ahli pertanian, ahli ilmu sosial ekonomi, dan ahli lingkungan bahwa pemecahan masalah tentang penggunaan dan pelestarian sumber daya lahan memerlukan suatu pendekatan secara terpadu (Lee dkk.,1992). Menurut Wood (1994) pengelolaan ekosistim adalah memadukan prinsip-prinsip ekologi, ekonomi dan sosial ekonomi untuk dapat mengelola sistim biologi dan fisik dengan cara yang dapat menyelamatkan kesinambungan ekologi, keanekaragaman hayati, dan produktivitas lahan. Sehingga pengelolaan ekosistim pertanian sebenarnya adalah mengelola aktivitas manusia dalam mengelola lahan, tanaman, rerumputan, ternak, air dan biota lain (Chistensen dkk. 1996). Disadari atau tidak kita telah banyak melakukan berbagai kesalahan dalam pengelolaan ekosistim lahan kering yang ada. Dalam pengelolaan lahan kering, kita telah mengabaikan prinsip-prinsip keseimbangan alami untuk dapat memperoleh keseimbangn ekosistim pertanian yang mantap. Pemahaman kita tentang prinsip-prisip dasar pengetahuan pertanian lahan kering di bagian atas tanah (above ground) cukup memadai, namun pemahaman kita masih sangat terbatas pada berbagai proses yang berlangsung di dalam tanah. Manusia telah banyak melakukan perubahan-perubahan pada ekosistim lahan kering. Perubahan yang sangat cepat yang terjadi dengan berbagai aktivitas manusia seperti : pengolahan tanah, masukan bahan kimia, dan introduksi jenis-jenis tanaman dan rumput makanan ternak dengan produksi tingggi, merupakan tantangan yang menuntut kemampuan yang tinggi dalam mengelola ekosistim secara berkesinamabungan (Chistensen dkk., 1996). Konsep pertanian lahan kering yang kurang memahami bagaimana sebaiknya kita berdampingan dengan alam secara ramah dan berkeseimbangan adalah suatu kesalahan besar yang merupakan sumber utama bencana. Untuk itu diperlukan pembenahan mendasar
74
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dalam konsep pengelolaan lahan untuk mencapai sistim pengelolaan pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Kerusakan yang paling penting yang terjadi pada sistim pertanian di lahan kering adalah hilangnya sebagian besar vegetasi alami yang selanjutnya berdampak pada menurunnya keanekaragaman hayati (Sounder, 1990). Pengrusakan berat yang terus menerus dilakukan terhadap tanah, vegetasi, dan air yang menghasilkan kerusakan terhadap struktur tanah dan perubahan terhadap sifat kimia tanah, dan meningkatnya invasi gulma yang secara keseluruhan berpengaruh langsung terhadap produksi pertanian di lahan kering (Chan dan Prateley, 1998)
BERBAGAI USAHA-USAHA YANG PERLU DILAKUKAN UNTUK MENUJU SISTEM PERTANIAN LAHAN KERING YANG BEKELANJUTAN Berbagai pihak perlu ambil bagian secara aktif untuk merumuskan sistim pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Perlu upaya pemecahan berbagai pemasalahan penting yang ada di tingkat petani, peneliti dan pemerintah. serta diperlukan pentingnya aksi tindak. 1. Petani dan masyarakat Secara umum dapat dikatakan cukup tersedia teknologi sistim pertanian lahan kering yang berkelanjutan walaupun masih memerlukan validasi dan modifikasi sesuai dengan kebutuhan lokal. Ada sebagian petani yang cukup adoptif dengan teknologi, tetapi sebagian besar lainnya bersikap masa bodoh atupun tidak tahu adanya penurunan kualitas lingkungan (Vanclay, 1994). Sistim penyuluhan tradisional belum mampu sepenuhnya mengajak petani dalam adopsi teknologi yang ramah lingkungan (Vanclay, 1994). Dipelukan perubahan mendasar perilaku petani untuk dapat mengelola lahan kering secara berkelanjutan. Orientasi keuntungan jangka pendek merupakan pembatas utama untuk adopsi teknologi lahan kering. Perlu perbaikan infrastruktur ekonomi dan kemitraan yang sinergis untuk menjamin harga produk lahan kering yang cukup baik dan memadai, dan diperlukan bantuan keuangan untuk adopsi teknologi lahan kering yang berkelanjutan. Untuk dapat meningkatkan keuntungan petani lahan kering memerlukan akses informasi yang cepat tentang apa yang terjadi di pasaran dan tersedianya teknologi pertanian lahan kering yang dapat terjangkau petani dan ramah lingkungan. Rendahnya pendidikan, merupakan penyebab lain rendahnya adopsi teknologi lahan kering. Belajar berkelompok sering menjadi perilaku dominan dan petani mempunyai watak dan perilaku yang berbeda (Vanclay, 1997). Pelatihan yang memadai sangat diperlukan untuk dapat tercapainya perubahan sikap dan perilaku mereka dalam adopsi teknologi lahan kering. Pengalaman selama tiga puluh tahun yang lampau menunjukkan petani selalu dijadikan suatu target kebijakan dan obyek kegiatan dengan pendekatan top-down. Sudah saatnya petani perlu dilibatkan secara aktif sebagai partisipator (Vanclay, 1997). Diperlukan kerja sama kemitraan antara petani, peneliti, mitra usaha, dan pemerintah dalam memahami perilaku lahan kering dan mengembangkan teknologi lahan kering yang tepat guna yang terjangkau oleh petani dan ramah lingkungan. 2. Peneliti Banyak peneliti di bidang ilmu-ilmu pertanian yang telah melakukan peneltian yang sangat baik dalam aspek spesifik di bidangnya masing-masing dan ahli ekologi telah banyak melakukan penelitian di bidang konservasi pertanian. Namum mereka belum secara terpadu bekerja sama untuk memahami proses-proses ekologi pada lahan kering (Carroll dkk., 1990). Karena sistim pertanian merupakan sistim yang bergatra ganda dan bekelakuan stokastik, maka berbagai masalah yang ada perlu ditangani dengan penghampiran sistim (Notohadiprawiro, 1980) dengan melibatkan multi-disiplin. Penghampiran khusus (partial) memang cocok untuk menyelesaikan masalah terbatas yang terperikan secara rinci. Namum pendekatan semacam ini mempunyai kelemahan, yaitu penanganan masalah bagian demi bagian sering tidak memiliki keeratan hubungan antara satu bagian dengan bagian yang lain dalam sistim (Notohadiprawiro, 1980). Di samping itu, pemecahan masalah secara partial ini mungkin akan menimbulkan permasalahan baru yang sulit dipecahkan. Oleh karena itu diperlukan penelitian multidisiplin dengan pendekatan agroekosistim (agroekosystem approach) (Paterson dkk., 1993).
75
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
3. Pemerintah Pemerintah mempunyai peran yang besar dalam pengembangan pertanian untuk menuju caracara produksi pertanian lahan kering yang berkelanjutan. Pemerintah diharapkan mempunyai komitmen yang kuat sebagai fasilitator, activator dan mediator dari berbagai pihak dalam rangka pengembangan wilayah lahan kering. Bentuk komitmen tersebut hendaknya dituangkan dalam kebijakan yang nyata dalam seperti propeda maupun rencana strategis pengembangan lahan kering yang kemudian diikuti dengan bentuk-bentuk nyata dukungannya dalam aksi tindak yang berkelanjutan. 4. Program aksi (Action Plan) Agar sekenario pengelolaan lahan kering berkelanjutan dapat diwujudkan, diperlukan program aksi dari tingkat perencanaan sampai pada tingkat lapangan. Apalagi dalam menghadapi pelaksanaan otonomi daerah dimana di satu sisi daerah harus mampu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), di pihak lain kelestarian sumberdaya lingkungan juga perlu wujudkan. Oleh karena itu, daerah harus mampu mencari pola pembangunan yang dapat menjawab kebutuhan ekonomi, sosial dan lingkungan sekaligus. Sesuai dengan daya dukung, peluang pasar dan potensi sumberdaya lokal, diharapkan lahan kering akan menjadi wilayah yang mempunyai daya saing tinggi. Secara ringkas program aksi tersebut dapat diuraikan seperti berikut: a.
Perubahan paradigma kebijakan
Agar lahan kering dapat diberdayakan secara berkelanjutan, diperlukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah baik dari pusat sampai ke daerah tentang peran lahan kering dalam pembangunan pertanian berkelanjutan. Sampai saat ini kebijakan nasional yang secara eksplisit tertuang baru dalam GBHN yaitu pembangunan berkelanjutan. Komitmen nasional tersebut harus diimplementasikan dalam bentuk kebijakan daerah (Propeda). Untuk propinsi NTB sebanarnya secara formal Pola Dasar Pembangunannya telah mempunyai prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Kemudian lebih lanjut selayaknya perlu dijabarkan dalam rencana strategis pengembangan lahan kering yang berkelanjutan. Secara rinci tentu dilanjutkan adanya aksi tindak dalam kebijakan operasional termasuk insentif, dukungan dana untuk pengembangan dan kebijakan lain yang berpihak kepada pemberdayaan masyarakat wilayah lahan kering. Untuk itulah payung besar dalam rencana strategi pengembangan lahan kering propinsi NTB menjadi sangat mendesak dimiliki oleh Propinsi NTB, sehingga dapat menjadi entry point bagi berbagai pihak baik dari dalam maupun luar NTB yang ingin ikut berpartisipasi dalam pengembangan wilayah lahan kering di NTB. Adanya paying yang jelas dapat mendorong keterlibatan berbagai pihak (multistakeholders) baik pemerintah, swasta dan masyarakat lain. b.
Tata ruang terintegrasi
Agar pengelolaan lahan kering dapat dilaksanakan secara berkelanjutan, maka perencanaan penggunaan lahan kering berkelanjutan (sustainable land use) perlu secara eksplisit masuk dalam tata ruang terintegrasi. Kegiatan tata ruang terintegrasi merupakan kegiatan perencanaan yang mengacu pada kemampuan dan kesesuaian lahan, potensi pengembangan ekonomi, kependudukan dan kondisi fisik lingkungan yang kesemuanya dilakukan dengan pendekatan sosiologis dan dengan dukungan perangkat perundang-undangan yang handal. Keterlibatan masyarakat (tokoh dan pakar) dalam penyusunan tata ruang dimulai sejak perencanaan, penyusunan sampai pada pengawasan. Apabila tata ruang terintegrasi sudah menjadi kesepakatan (sudah diundangkan), maka Pemda harus melaksanakannya secara konsisten minimal sampai ke tingkat kecamatan. Pelanggaran terhadap tata ruang harus dikenai sanksi hukum. Masalah implementasi tata ruang merupakan masalah paling sulit. Untuk mendukung tata ruang terintegrasi diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada pembangunan pertanian berkelanjutan pada umumnya dan pertanian lahan kering berkelanjutan pada khususnya. c.
Teknologi berkelanjutan
Teknologi berkelanjutan merupakan teknologi yang bukan hanya mampu meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani, secara sosial diterima karena murah, tetapi juga mampu menekan degradasi lingkungan in situ dan ex situ (Gambar 2). Teknologi berkelanjutan bukan hanya teknologi konservasi saja, tetapi termasuk teknologi pengelolaan lahan lainnya yang berwawasan
76
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
agribisnis dan berbasis iptek lokal (local knowledge based) yang diramu dengan sentuhan ilmu pengetahuan maju. Di daerah hulu wilayah lahan kering, teknologi untuk pengelolaan lahan berkelanjutan selain bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani, juga harus mampu menekan laju degradasi tanah dan mengawetkan air. Hal ini mengingat lahan kering di bagian hulu masalah utamanya adalah degradasi tanah, kelangkaan air dan kemiskinan. Beberapa contoh teknologi pengelolaan lahan berkelanjutan antara lain olah tanah konservasi (OTK), teras, strip filter, embung, tanaman penutup tanah., alley cropping dan wana tani (termasuk agrosilvipasture). Agar efisiensinya dapat ditingkatkan, teknologi tersebut dapat berinteraksi satu sama lainnya secara sinergis. d.
Pemberdayaan masyarakat
Pengalaman intensifikasi pertanian selama 32 tahun yang sentralistik (top down) menunjukkan adanya inefisiensi manajemen. Oleh karena itu, agar upaya pembangunan pertanian berkelanjutan pada umumnya dan pengelolaan lahan kering berkelanjutan pada khususnya dapat berhasil, diperlukan pendekatan bottom up melalui pemberdayaan masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan program aksi. Teknologi yang akan diterapkan di suatu wilayah lahan kering harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal dan daya dukung lahan setempat. Pengelolaan lahan berkelanjutan dalam bentuk program aksi seperti landcare yang melibatkan masyarakat tani dan stakeholder lainnya dengan pendekatan partisipatif saat ini sudah sangat mendesak.
KESIMPULAN Walaupun lahan kering mempunyai berbagai permasalahan baik biofisik maupun sosial ekonomi, namun atas dasar potensi wilayah dan kesiapan teknologinya, dan dalam rangka menyongsong pelaksanaan otonomi daerah, wilayah ini tampaknya dapat menjadi unggulan pembangunan propinsi NTB untuk dapat mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk memberdayakan lahan kering secara berkelanjutan, diperlukan perubahan paradigma kebijakan pemerintah dari tingkat nasional sampai ke daerah, teknologi berkelnjutan berbasis agribisnis, pemberdayaan masyarakat lokal, dan kemauan serta kebersamaan setiap stakeholder untuk menjadikan lahan kering lebih kompetitif. Disini diperlukan komitmen dari berbagai stakeholder baik pemerintah maupun dunia usaha secara luas untuk dapat mengembangkan pertanian lahan kering yang berbasis agribisnis dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Carroll, C.R. Vandermeer, J.H., Rosset, P.M. (1990). Agroecology. Mc-Graw Hill, New York. Chistinesen, N.L. dkk. (1996). The report of the Ecological Society of America Committee on the Scintific Basis for Ecosystem Management. Ecological Applications: 6: 665-691. Conway, G.R., and E.B. Barbier. 1990. After the green revolution; Sustainable for Agriculture. Earhscan Publications. Edwards, C.E, R. Lal, P. Madden, R.H. Miller, and G. Hause, 1990.Sustainable Agricultural systems. SACS, Iowa. Lee, R.G dkk., (1992). Ecologically effective social organization as a requirement for sustaining watershed ecosystem. Watershed Management, pp. 73-90. Notohadiprawiro, T. (1980). Kepentingan penghampiran sistim untuk kemajuan pertanian. Seminar Pulang Kandang, Fakultas Pertanian UGM Paterson, G.A., Westfall, D.G., dan Cole, C.V. (1993). Agroecosystem approach to soil and crop management research. Soil Science Sosiety of America Journal., 57 :1354-1360. Solahuddin, S. 1999. Visi pembangunan pertanian, IPB, Bogor. Sounders, D.A. (1990). Australian ecosystem: 200 years of Utilisation, Degradation and Reconstruction. Proceedings of the Ecological Society of Australia, 16 Utomo, M. 1995. Sistem pengolahan tanah konservasi dan pertanian berkelanjutan. Sarasehan tentang Kebijakan Pertanian Berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. 9 Maret 1995.
77
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Utomo, M. 1999. Reorientasi Paradigma Pembangunan Pertanian. LKMM Mahasiswa Pertanian se Indonesia. Bandar Lampung, 21-28 Februari 1999. Vanclay, F. (1994). Land degradation and land management in central NSW. Centre for Rural Social Studies, Charles Sturt University-Australia. Vanclay, F. (1997). The sociological context of environmental management in agriculture. Centre for Rural Social Studies, Charles Sturt University-Australia. Walker, K.J. dan Reuter, D.J. (1996). Indicators of catchment health. Technical Perspective. CSIRO Publishing, Melbourne.
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Bagaimana cara mengembangkan tipologi (model-model yang ada). Perlu ditampilkan model-model kesesuaian lahan untuk lahan kering dan bagaimana cara mengembangkannya. Bagaimana cara meramu teknologi-teknologi lahan kering itu untuk bisa menjadi suatu model. Bagaiman cara mendapatkan sumber-sumber mata air, karena sumber mata air banyak yang sudah hilang. Sebelum disosialisasikan maka saya harapkan teknologi-teknologi yang dihasilkan di lahan kering ini. Perlu adanya suatu model dengan pendekatan sistem terutama masalah sosial budaya masyarakat, ini yang perlu dikaji dahulu sebelum dilakukan program. Bagaimana kondisi kesejahteraan mereka, karena tidak mungkin teknologi/program dapat berjalan baik apabila kebutuhan pangan mereka belum tercukupi. Sejauh mana kajian lahan kering ini sudah dilakukan. Perlu tambahan teknologi Pasca Panen.
Tanggapan: 1. 2. 3. 4. 5.
Kita perlu melihat model-model yang sudah diterapkan petani, tinggal kita modofikasi menjadi teknologi tepat guna. Sangat setuju dengan sarannya untuk dipikirkan model-model pengembangannya di lahan kering Memang perlu dipikirkan daerah-daerah tertentu yang perlu diamankan (pembagian zona-zona untuk daerah yang berpotensi sebagai sumber air). Teknologi pasca panen memang perlu untuk meningkatkan nilai tambah. Memang betul bahwa kita kita harus mengembangkan tanaman yang sudah banyak berkembang di daerah tersebut.
78
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGGUNAAN FLOWCAST UNTUK MENENTUKAN AWAL MUSIM HUJAN DAN MENYUSUN STRATEGI TANAM DI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DI PULAU LOMBOK Ismail Yasin 1, Mansur Ma’shum 1, Yahya Abawi 2 and Lia Hadiahwaty 3 1. Fakultas Pertanian UNRAM 2. Dept of Natural Resource and Mining. Toowoomba QLD Australia; 3. Kantor Kerjasama ACIAR – UNRAM
ABSTRAK El Niño Osilasi Selatan (ENOS) mempunyai dampak yang nyata pada sistem pertanian di Indonesia. Kuatnya pengaruh ENOS itu dapat dilihat dari kejadian kemarau panjang dan kekeringan di wilayah Indonesia yang bertepatan dengan kejadian El Niño. Kekeringan 1997/1998 ENOS di NTB dilaporkan menyebabkan 8400 ha tanaman padi mengalami kekeringan berat dan lebih kurang 2000 ha diantaranya mengalami puso (BPTPH, 1999). Meskipun demikian pemahaman kita tentang fenomena ENOS tersebut masih rendah dan sering salah kaprah. Tulisan ini menjelaskan hubungan antara ENOS dan curah hujan, serta bagaimana kita memanfaatkan informasi fenomena tersebut untuk memprakirakan awal musim hujan dan sekaligus menyusun strategi tanam atau memilih jenis tanaman yang tepat untuk sistem lahan sawah tadah hujan sehingga terhindar dari bahaya kekeringan. Bagian akhir dari tulisan ini mendemonstrasikan prakiraan awal musim tanam dan prospek curah hujan sepanjang musim tanam 2002/2003 dengan menggunakan Flowcast di pulau Lombok. Demontrasi ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan para pengambil kebijakan dalam pemanfaatan Flowcast untuk menentukan awal musim hujan dan jenis tanaman di lahan sawah tadah hujan dengan mempertimbagkan prospek air tersedia dari curah hujan dan kebutuhan air untuk pertumbuhan tanaman.
PENDAHULUAN Variasi iklim musiman merupakan penyebab utama menurunnya produksi tanaman pangan di Indonesia. Kemarau panjang dan kekeringan menyebabkan gagal panen dan kekurangan pangan yang pada gilirannya mempengaruhi mutu kehidupan di suatu negara. Variasi iklim yang tak beraturan itu ternyata berkaitan erat dengan kejadian El Niño Osilasi Selatan (ENOS). Sepanjang sejarah rakyat di pulau Lombok beberapa kali mengalami kejadian kelaparan yang parah. Misalnya kelaparan tahun 1954 dan 1966 dicatat sebagai peristiwa yang menyebabkan ribuan orang mati kelaparan di Lombok bagian selatan (Team ITB, 1869). Terbukti di Lombok bahwa kejadian kekeringan atau kemarau panjang itu bertepatan terjadinya dengan peristiwa El Niño. Kemarau panjang dan kekeringan yang terjadi pada tahuntahun tersebut ternyata berkaitan dengan signal IOS negatif yang kuat di lautan Pasifik. Kejadian El Niño terakhir, tahun 1997/1998 di Nusa Tenggara Barat (NTB) menyebabkan 8.400 ha tanaman padi mengalami cekaman air dan 1.400 ha diantaranya mengalami puso (BPTPH, 1999). Apabila terjadi kekeringan atau kemarau panjang maka tanaman yang paling parah mengalami cekaman air adalah tanaman yang ditanam di lahan tadah hujan (Rosiady, 2001). Dampak kekurangan air dari tanaman lahan tadah hujan ini kelihatan nyata dengan membandingkan hasil tanaman tadah hujan dengan tanaman beririgasi. Berdasarkan catatan dalam NTB dalam angka (BPS, 2000) hasil rata-rata tanaman padi sawah tadah hujan berkisar antara 2 – 3.5 ton ha-1, sementara padi di lahan beririgasi dapat memberi hasil antara 4.5 sampai 5.5 ton ha-1. Di Pulau Lombok jumlah lahan tadah hujan berupa sawah adalah 15.000 ha atau sekitar 14% dari keseluruhan sawah yang ada. Meskipun di pulau Lombok sekitar 86% lahan sawah sudah mempunyai sistem irigasi, hanya bagian hulu (sekitar 52%) yang dapat melayani dua kali tanam dan 48% merupakan sawah yang dilayani irigasi hanya pada musim hujan (BPS, 1997). Bila persediaan air irigasi dalam keadaan kritis, misalnya karena terjadinya kekeringan atau hujan yang datang terlambat maka daerah irigasi hilir ini tidak akan memperoleh air irigasi. Oleh karena itu, resiko bercocok tanam di lahan irigasi bagian hilir ini tidak jauh berbeda dengan resiko bercocok tanam pada lahan sawah tadah hujan. Di lahan tadah hujan gagal panen dan gagal tanam merupakan hal yang sangat lumrah dialami oleh petani. Acap kali petani gogo rancah, misalnya, menugal pada saat kondisi lengas tanah sangat rendah dengan keyakinan besok atau lusa akan turun hujan yang cukup untuk memulai pertumbuhan padi di sawahnya. Akan tetapi apabila prakiraan mereka meleset maka benih yang ditugal tidak akan tumbuh atau bibit yang baru saja tumbuh segera mati karena kekeringan (Pramudia et al, 1991). Hal ini
79
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
menyebabkan mereka harus menugal ulang dan membeli benih lagi sehingga membuat sistem pertanian gogo rancah di lahan tadah hujan sering tidak efisien. Untuk memperkecil resiko gagal tanam dan gagal panen serta menjamin produktivitas lahan tadah hujan perlu dikembangkan suatu sistem peramalan yang memanfaatkan informasi iklim, terutama hubungan antara IOS dan curah hujan. Prakiraan sifat hujan yang dikorelasikan dengan fenomena ENOS telah dicoba di beberapa stasiun curah hujan di pulau Lombok. Sebuah program aplikasi komputer yang disebut Flowcast telah dikembangkan oleh McClemont dan Abawi (2000) berkaitan dengan proyek ACIAR kerjasama DNRM Australia dengan Universitas Mataram yang berjudul ―Capturing Benefit of Seaonal Climate Forecast in Agricultural Management‖ Prakiraan dari analisis komputer menunjukkan bahwa curah hujan di pulau Lombok mempunyai korelasi yang erat dengan fenomena ENOS di Lautan Pasifik (McClemont dan Abawi, 2000; Yasin dan Abawi, 2002). Prakiraan jatuhnya awal musim hujan (curah hujan > 180 mm per bulan) merupakan hal yang sangat penting pada sistem lahan tadah hujan. Prakiraan ini akan membuahkan perkiraan jumlah air tersedia pada suatu periode tertentu yang lebih akurat. Hal ini bila dibarengi dengan seleksi jenis tanaman yang kebutuhan airnya sesuai dengan irama ketersediaan air maka kejadian cekaman air pada tanaman dapat ditekan sekecil mungkin. Misalnya, jenis tanaman pilihan jatuhnya pada tanaman palawija yang kurang menguntungkan dibanding tanaman padi, akan tetapi karena kondisi curah hujan yang kurang tidak memungkinkan untuk mencapai hasil padi optimal; sebaliknya bagi tanaman palawija kondisi curah hujan sepanjang musim tanam mungkin sangat ideal dan mendorong produktivitas tanaman palawija mencapai titik optimumnya. Pilihan jenis tanaman berdasarkan kesesuaian dinamika curah hujan seperti itu makin mendesak untuk diterapkan guna pertanian yang efisien dan mencegah timbulnya kerawanan sosial akibat gagal panen. Di lahan tadah hujan, dimana irigasi tidak dimungkinkan, penggunaan prakiraan jatuh awal musim hujan dan sifat hujan sepanjang musim tanam bukan saja untuk untuk menyeleksi jenis tanaman yang cocok dengan panjangnya musim hujan, tetapi juga untuk menentukan saat tanam atau saat tugal yang tepat sehingga tanaman yang baru tumbuh tidak mati karena kekeringan atau justru membusuk karena terlalu banyak hujan. Informasi tentang awal musim hujan dan sifat hujan selama musim tanam yang diperoleh dari sistem prakiraan iklim musiman akan menjadi dasar pemilihan tanaman yang sesuai dengan kondisi musim yang diprediksi, sedangkan bila kita masukkan informasi yang berkaitan dengan pemasaran dari hasil tanaman yang dipilih maka akan diperoleh kombinasi tanaman yang bukan saja unggul dari segi kemampuan berproduksi, tetapi juga unggul dari segi pendapatan atau laba usahatani. Sampai saat ini penggunaan informasi iklim, terutama IOS untuk prakiraan awal musim hujan maupun sifat hujan musiman di Indonesia masih sangat langka. Di lain pihak penerapan metode parkiraan iklim musiman yang lebih sceintific seperti di atas makin diperlukan guna memahami lebih komprehensif mengenai sifat hujan di daerah kita yang pada gilirannya mendorong kita lebih arif dalam memilih jenis tanaman dan komoditi yang dikembangkan di suatu musim tertentu.
DAMPAK ENOS PADA IKLIM PULAU LOMBOK Keberadaan pulau Lombok yang berada di daerah khatulistiwa dan diapit oleh dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (S. India dan S. Pasifik) menyebabkan pulau ini dipengaruhi oleh iklim musiman (moonsonal climate); sedangkan keberadaannya di antara dua samudera dan pada sabuk khatulistiwa menyebabkan pulau Lombok dipengaruhi angin pasat timur (easterly trade winds) yang datang dari Samudera Pasifik. Dalam hal ini, angin dingin dari belahan bumi utara dan selatan akan berhembus ke arah daerah yang lebih hangat (khatulistiwa) karena gaya korriolis angin ini mengalami konvergensi dan bergerak ke arah barat sambil membawa uap air (McDonald and Co, 1985; Martyn, 1992). Dalam kondisi normal musim hujan Indonesia, pulau Lombok khususnya dipengaruhi oleh angin yang berada pada lajur khatulistiwa. Lajur angin ini dinamakan zona konvergensi inter tropika (the inter tropical convergence zone/ITCZ) yang pada musim hujan berada lebih utara, yaitu berada di antara 17º dan 8º LS (Coll and Whitaker, 1990). Selama musim panas di belahan bumi bagian selatan (Desember s/d. Februari). Pemanasan daratan Australia menyebabkan berkembangnya pusat tekanan rendah yang pada gilirannya menarik udara dari daerah tropika ke arah Australia. Angin passat timur yang kaya uap air dari Samudera Pasifik berbelok ke arah Benua Australia menjadi angin barat laut (north westerly winds) dan menyebabkan musim hujan di sebagian besar kepulauan Indonesia.
80
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Namun curah hujan selama musim hujan tidak sama dan bervariasi tergantung gradien tekanan yang mendorong gerakan angin passat timur. Angin passat timur di Pasifik bagian tengah yang biasanya berhembus ke barat kadamg-kadang berhenti bahkan arahnya berbalik ke arah timur (Kuhnel et al, 1990). Perubahan arah angin passat ke timur menimbulkan pengantian secara besar-besaran rezim curah hujan di daerah tropika, yang menghasilkan perubahan yang besar dalam sirkulasi atmosfir global yang pada gilirannya memaksa perubahan cuaca di wilayah Pasifik tropika Kondisi inilah yang disebut fenomena El Niño (Coll and Whitaker, 1990; Musk, 1988). Para pakar iklim dan hidrologi di Australia, percaya bahwa kejadian hujan di Australia sangat erat hubungannya dengan kejadian ENOS (Nicholl, 1991). Karena itu indeks osilasi selatan (IOS) biasanya digunakan untuk mengukur peluang kejadian hujan. Nilai negatif dari IOS ini menunjukkan adanya tekanan udara di atas permukaan laut yang lebih tinggi di Darwin dibandingkan dengan dengan di Tahiti dan mecerminkan curah hujan di Indonesia berada di bawah normal. Nilai ekstrem dari osilasi ini dicapai bilamana tekanan udara permukaan laut di Pasifik tengah lebih rendah dari normal maka tekanan udara permukaan laut di Darwin cenderung di atas normal. Penyimpangan tekanan ini berkaitan dengan peningkatan suhu permukaan laut di Pasifik tengah dan timur dan penurunan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera India. Pasangan suhu permukaan laut (SPL) yang hangat dan osilasi selatan (OS) biasanya diacu sebagai kejadian ENOS (Hammer and Nicolls, 1996; Allan et al, 1996) Pengaruh ENOS di Australia telah dijelaskan dengan baik oleh beberapa peneliti sebelumnya. (Abawi and Dutta, 1999; Clewett, et al., 1991; Nichols, 1991). McBride and Nichols (1983) menguji secara simultan korelasi antara IOS dan curah hujan bulanan di 107 station curah hujan di Australia. Hujan musiman di beberapa tempat di Australia dipengaruhi secara nyata oleh keadaan IOS musim sebelumnya. Korelasi terkuat diperlihatkan pada kejadian hujan bulan Januari, Februari dan Maret yang dihubungkan dengan nilai IOS bulan Oktober s/d Desember. Sedangkan hujan bulan September s/d Desember diprediksi dari nilai IOS bulan Juni s/d Agustus. Di beberapa tempat menunjukkan hubungan yang dekat antara kejadian hujan dengan nilai IOS enam bulan sebelumnya. Di Indonesia, penelitian yang konprehensif mengenai dampak ENOS pada sumber daya air dewasa ini telah dilakukan oleh Tim peneliti DNR Australia bekerjasama dengan Tim peneliti dari Universitas Mataram. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya keterkaitan yang erat dari nilai IOS dengan kejadian hujan di pulau Lombok (Yasin et al, 2001). Pada tahun-tahun El Nino (IOS secara konsistent negatif) umumnya curah hujan berada jauh di bawah rata-rata dan menyebabkan kekeringan dan panen padi tidak memuaskan. Sebaliknya, pada tahun-tahun La Niña curah hujan dapat sangat berlebihan dan dapat menimbulkan banjir dan berpotensi menggagalkan panen terutama tanaman non padi.
Ket: Tanda belah ketupat berwarna merah pada gambar adalah periode dimana terjadinya fenomena El Nino
Gambar 1. Variasi hujan tahunan di Lombok bagian selatan selama periode 1950-1998 Gambar di atas memperlihatkan bahwa dari tahun 1950 – 1998 telah terjadi 10 kali fenomena El Niño, Sementara itu, curah hujan di pulau Lombok bagian selatan berada di bawah rata-rata hampir pada setiap kejadian fenomena tersebut. Dampak ENOS pada sistem pertanian di Indonesia terlihat dari menurunnya produksi padi di Indonesia pada setiap kejadian El Niño. Data yang diolah Amien (2001) dan Yasin et al (2001) menunjukkan terjadinya bencana kekeringan yang menyebabkan penurunan produksi padi pada tingkat nasional di Indonesia. Sementara itu di Nusa Tenggara Barat juga terlihat adanya trend penurunan
81
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
produksi atau luas panen pada hampir semua kejadian El Niño. Pada Gambar 2 diperlihatkan bahwa penurunan areal panen terjadi 4 tahun berturut-turut selama dekade 1990 bertepatan dengan fenomena El Niño pada dekade tersebut.
3000
10 6000 0 9000 -10
El Niño
La Niña
12000
-20
-30
Non-ENSO
CH Tahunan
15000
-40
Curah hujan, mm
1997
1998
1996
1994
1995
1993
1991
1992
1990
1988
1989
1986
1987
1985
1984
1982
1983
1980
1981
1979
1977
1976
1974
1978
Deviasi luas panen (x1000 ha)
20
0
1975
30
18000
Gambar 2. Trend penurunan dan peningkatan produksi padi tahunan di NTB sebagai akibat kejadian El Niño Dengan membandingkan produksi padi pada musim tanam I dan II terlihat bahwa pada setiap kejadian El Niño produksi padi musim tanam I menurun lebih kurang 20% akan tetapi penurunan produksi itu dikonpensasi dengan penambahan areal tanaman padi pada musim tanam kedua. Hal ini dimungkinkan karena fase El Niño biasanya mulai menjelang musim hujan dan mempengaruhi panen musim tanam I. Setelah itu, fase El Niño biasanya diikuti oleh fase La Niña yang mulai pada musim kemarau. Hal ini diperkirakan menyebabkan peningkatan produksi padi pada musim tanam II.
INDEKS OSILASI SELATAN Cara yang paling umum dilakukan untuk mengukur besarnya pengaruh ENOS pada kejadian curah hujan adalah dengan menggunakan indeks osilasi selatan (IOS). Indeks ini merupakan selisih dari anomali tekanan atmosfer permukaan laut di Tahiti (17º S,150 W) dan Darwin (12º S, 131 W), distandarisasi pada rerata nol dan 10 kali simapangan baku (normalised Z-score kali 10) (Abawi and Dutta, 1998, Allan et al., 1996b).
IOS
( PT
PD ) x10
dimana PT and PD adalah anomali tekanan atmosfer (simapangan dari rerata) di Tahiti dan Darwin; sedangkan adalah standar deviatasi (SD) dari selisih tekanan. Sering muncul pertanyaan bernada keberatan, mengapa harus Darwin and Tahiti; apakah bisa kedua titik tersebut mewakili keadaan iklim di Indonesia; mengapa tidak Jakarta atau Denpasar. Hal ini harus dimengerti oleh calon pengguna program ini bahwa ditetapkannya Darwin and Tahiti untuk mengukur IOS merupakan konvensi internasional karena kedua lokasi tersebut mempunyai letak yang strategis yang menghubungkan Samudera India di sebelah barat dan Samudera Pasifik di sebelah timur (Abawi, 1990). Hal yang lain menjadi pertimbangan bahwa kedua titik tersebut mempunyai data iklim yang lengkap lebih kurang 200 tahun. Clarkson, et al., 1992 mengatakan bahwa Posisi Darwin boleh saja diganti Jakarta atau Denpasar dan posisi Tahiti diganti Buenos Aires sepanjang titik-titik penganti tersebut mempunyai rekaman data yang cukup. Data takanan permukaan laut diukur harian; akan tetapi indeks biasanya dihitung bulanan. Suatu nilai IOS negatif berarti tekanan permukaan laut lebih besar atau suhu laut lebih dingin di Darwin dibandingkan dengan di Tahiti. Sebaliknya nilai IOS positif menunjukkan tekanan permukaan laut lebih besar atau suhu air laut lebih dingin di Tahiti dibandingkan dengan di Darwin Data IOS bulanan tersedia di berbagai situs iklim di internet, misalnya di situs www.bom.gov.au milik Biro Meteorologi Australia. IOS bulanan tahun 1997 s/d 2002 ditampilkan dalam grafik berikut (Gambar 3):
82
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Gambar 3. Nilai IOS bulanan tahun 1997 sampai dengan 2002 yang didokumentasi oleh biro meteorologi Australia. Di Indonesia informasi IOS belum digunakan sebagai alat prakiraan curah hujan, meskipun terdapat korelasi yang kuat antara IOS dengan curah hujan kita. Kirono (2000) melaporkan bahwa secara umum potensi penggunaan IOS sebagai alat peramal (prediktor) curah hujan di Indonesia sangat baik., meskipun intensitas pengaruh ENOS tidak seragam, melainkan bervariasi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. di setiap bagian wilayah Oleh karena itu hasil prakiraan akan lebih baik bila diterapkan dalam cakupan yang tidak terlalu luas melainkan di wilayah demi wilayah yang mempunyai kondisi fisik relatif seragam. Boer (2001) menegaskan adanya perbedaan dalam intensitas pengaruh dari setiap kejadian El Niño event. Dia menyatakan bahwa El Niño 1982/1983 menyebabkan musim kemarau jatuh 20 hari lebih awal dan musim hujan jatuh 30 s/d 40 lebih lambat dari biasanya. Pada El Niño 1997/98 musim kemarau bertahan sampai beberapa bulan menjelang akhir 1997 sementara permulaan musim hujan tertunda hingga 2 bulan dari biasanya. Boer (2001) juga melaporkan adanya variasi spasial dari pengaruh El Niño. Pengaruh El Niño biasanya kuat di daerah yang dipengaruhi iklim musim (monsoon), dan lemah di daerah sekitar khatulistiwa dan daerah yang iklimnya di pengaruhi angin lokal. Di daerah sekitar garis khatulistiwa curah hujan biasanya bersifat berpuncak ganda (bimodal). Puncak curah hujan pertama biasanya terjadi bulan Maret dan yang kedua terjadi bulan Oktober. Berbeda halnya dengan curah hujan di daerah yang dipengaruhi kuat oleh iklim musim yang mempunyai curah hujan berpuncak tunggal (unimodal), yang biasanya terjadi sekitar Desember - Januari. Di daerah yang dipengaruhi oleh iklim lokal sebenarnya mempunyai curah hujan berpuncak tunggal; akan tetapi pola curah hujan biasanya berlawanan dengan tipe iklim musim. Di Lombok Yasin et al (2002) menganalisa rekaman curah hujan jangka panjang ( 50 tahun) dari lebih dari 20 stasiun curah hujan. Secara umum disimpulkan bahwa sekitar 60% dari kejadian kekeringan terjadi berkaitan dengan fenomena El Niño. Hal ini dapat dibuktikan dengan memplotkan IOS rata-rata bulan Agustus – Oktober dengan indeks curah hujan (ICH) bulan November – Februari. Secara umum terlihat bahwa IOS positif diikuti dengan ICH positif dan IOS negatif diikuti dengan ICH negatif.
83
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Keterangan: ICH
(CH i
CH ) x10 , SD
CHi = curah hujan bula ke i dan CH = rata-rata curah hujan pada bulan ke i tersebut. Gambar 3. Hubungan indek curah hujan dengan IOS selama musim hujan dan musim kemarau di Lombok bagian selatan
Seperti ditunjukkan pada Gambar 4 musim dengan IOS negatif kuat (biru) biasanya diikuti dengan indeks curah hujan yang juga negatif. (merah). Sebaliknya IOS positif kuat biasanya diikuti dengan indeks curah hujan positif. Meski tidak semua IOS dan ICH bersesuaian lebih kurang 70% daripadanya menunjukkan kesesuaian.
PENGGUNAAN INDEKS OSILASI SELATAN UNTUK PRAKIRAAN SIFAT HUJAN Bey et al, (1997) mengusulkan tiga pendekatan untuk menyesuaikan sistem usahatani dengan sifat iklim dan cuaca, yaitu (1) pendekatan strategis, (2) pendekatan taktis dan (3) pendekatan operasional. Yang dimaksudkan dengan pendekatan strategis adalah analisis data iklim yang bersifat rata-rata dengan menggunakan data historik. Pendekatan taktis dilakukan melalui pengembangan metode dan teknik ramalan musim yang handal, melalui penerapan berbagai model dan ragam data. Pendekatan operational dilakukan untuk mitigasi bencana akibat iklim yang tidak menguntungkan. Analisis data iklim, curah hujan, temperatur, kelembaban udara rata-rata telah banyak dilakukan oleh para pengguna, perencana proyek. Data curah hujan rata-rata juga disajikan dalam berbagai laporan kegiatan proyek pemerintah. Akan tetapi analisis atau prakiraan iklim musiman yang merupakan pendekatan taktis sangat langka dilakukan di Indonesia. Meskipun Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Pusat menerbitkan prakiraan sifat curah hujan untuk 3 bulan ke depan, gema dari kegiatan itu hanya diketahui oleh kalangan terbatas. Dalam arti banyak lembaga-lembaga pemerintahan yang seharusnya berkepentingan dengan data tersebut tidak mengetahui atau kurang sekali menaruh perhatian pada kegiatan itu. Menurut Bey et al., (1997) ramalan cuaca sampai saat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu pendekatan taktis dengan model simulasi mampu menganalisis dan memadukan berbagai faktor atau skenario untuk menghasilkan suatu kesimpulan akhir dengan berbagai kemungkinannya. Sebagai contoh pendekatan ini adalah penggunaan data IOS untuk meramalkan kejadian hujan 2 atau 3 bulan mendatang. Pengalaman di Australia menunjukkan adanya korelasi yang cukup erat antara nilai IOS dengan kejadian hujan beberapa bulan mendatang; dengan demikian perencanaan pola tanam, strategi tanam dan penggunaan lahan dapat dilakukan lebih akurat dan dengan risiko yang lebih kecil. Prakiraan curah hujan bulanan dan musiman dengan IOS yang dikemas dalam suatu paket aplikasi komputer (Flowcast ) telah dicoba untuk beberapa data curah hujan di pulau Lombok. Secara umum diperoleh indikasi bahwa curah hujan bulanan yakni curah hujan bulan Oktober dan November memperlihatkan perbedaan yang tegas bila diprakirakan dengan rata-rata IOS tiga bulan sebelumnya. Demikian pula pengunaan rata-rata IOS Juni, Juli Agustus dan September (JJAS) atau IOS Juli, Agustus, September dan Oktober (JASO) untuk memprakirakan curah hujan musim tanam pertama (November,
84
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Desember, Januari dan Februari (NDJF)) juga memperlihatkan beda yang tegas (lihat Tabel 1). Terdapat selisih berkisar antara 200 – 400 mm per musim (4 bulan) bila SOI dibawah <–5 dibandingkan dengan bila SOI >5. Perbedaan tersebut makin tampak di stasiun curah hujan yang jauh dari pantai dibandingkan dengan stasiun curah hujan yang dekat dengan pantai. Tabel 1. Prakiraan curah hujan (CH) musiman dan awal jatuhnya musim hujan pada kondisi El Niño (IOS <-5) dan La Niña (IOS >+5 Lokasi Stasiun Curah Hujan Mataram Sesaot Jurangsate Barabali Kopang Praya Penujak Mujur Sengkol Sakra-swangi Keruak
NDJF IOS <-5 665 980 950 900 850 850 700 680 800 No Skill 573
Oktober IOS>5 860 1130 1020 1150 1120 1127 1000 875 1110 No Skill 620
IOS <-5 7 55 20 30 0 0 0 0 0 0 0
November IOS>5 100 230 100 170 65 80 70 50 75 50 3
IOS <-5 110 160 135 60 90 50 70 20 30 30 15
IOS>5 140 330 235 290 260 230 120 125 125 140 90
Tabel 1. merupakan curah hujan yang diharapkan selama musim tanam I bulan November, Desember, Januari dan Februari (NDJF) dan bulan Oktober dan November pada peluang 70% pada kondisi signal IOS rata-rata bulan Juni s/d September di bawah -5, dan di atas +5. Pada kondisi El Niño curah hujan selama musim tanam umumnya lebih rendah daripada kebutuhan tanaman padi yang membutuhkan sekira 1000 mm (Sys, 1993). Oleh karena itu tanaman padi kemungkinan akan mengalami cekaman sekali atau beberapa kali selama musim tanam. Cekaman yang dialami pada fase vegetatif biasanya dapat disembuhkan dengan tanam ulang atau menyisip akan tetapi apabila cekaman itu dialami pada fase reproduktif maka efeknya biasanya tak dapat balik atau tak terobati. Dalam hal ini El Niño sering kali menyebabkan cekaman air pada fase vegetatif; akan tetapi tidak menutup kemungkinan menyebabkan tanaman mengalami cekaman air di kedua fase tersebut sehingga menyebabkan gagal panen. Sebaliknya pada kondisi La Niña (IOS di atas 5) curah hujan secara umum berada dalam keadaan cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman padi di lahan sawah tadah hujan. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa curah hujan di atas 200 di bulan November dapat mengganggu pertumbuhan awal padi gogorancah dan memaksa terjadinya penggenangan dini. Guna menetapkan awal musim hujan maka (awal tanam) pada kondisi El Niño dan La Niña digunakan ketentuan sebagai berikut : Minimum terdapat curah hujan 60 mm pada bulan yang ditinjau diikuti dengan curah hujan 180 mm pada bulan berikutnya Apabila curah hujan antara 60 –120 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian ketiga Apabila curah hujan antara 120 –180 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian kedua Apabila curah hujan 180 mm maka diasumsikan musim hujan jatuhnya pada dasarian pertama Dengan menggunakan ketentuan di atas maka dapat dikatakan bahwa pada tahun El Niño awal jatuhnya musim hujan adalah pada pertengahan November di daerah utara dan di bulan Desember di Lombok bagian selatan. Hal ini di tandai dengan curah hujan yang masih di bawah 60 mm pada bulan November. Sebaliknya pada tahun La Niña bulan basah jatuh pada awal bulan Oktober di daerah Lombok bagian utara dan pada pertengahan Oktober sampai dengan awal November di daerah Lombok bagian selatan.
PRAKIRAAN SIFAT HUJAN MUSIM TANAM I TAHUN 2001/2002 Di muka (Tabel 1) telah diperlihatkan variasi curah hujan musiman dan bulanan di 11 stasiun curah hujan selama fenomena ENSO (IOS <-5 dan >+5) Harapan curah hujan di atas bersifat fenomenal artinya curah hujan sebesar itu diramalkan akan terjadi bila IOS di bawah -5 atau bila IOS (di atas +5; dan tidak menjelaskan sifat hujan pada tahun atau musim yang kita ingin ramal.
85
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Untuk memprakirakan curah hujan pada tahun atau musim tertentu maka terlebih dahulu melihat nilai IOS yang akan digunakan sebagai alat peramal. Dalam hal ini dihitung rata-rata IOS JJAS (Juni Juli, Agustus dan September) yang digunakan untuk meramal curah hujan NDJF (November, Desember, Januari dan Februari). Pada tahun 2002 ini terutama sejak bulan Mei nilai IOS terus negatif di bawah –5. Seperti ditunjukkan pada Tabel 2 bahwa nilai rata-rata IOS dari Mei s/d Oktober adalah -6.67, sedang nilai rata-rata IOS dari bulan Juni s/d September (JJAS) yang digunakan untuk memprakirakan sifat hujan sepanjang MT I (NDJF) dan sifat hujan bulanan (Oktober, November dan Desember) adalah -9.03 Tabel 2. Nilai IOS bulanan selama tahun 2002 Bln
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
Okt
MeiOkt
JJAS
2002
2,7
7,7
-5,2
-3,8
-14,5
-6,3
-7,6
-14,6
-7,6
-7,4
-9,87
-9,03
Prakiraan sifat hujan MT 1 (NDJF) dan sifat hujan bulanan untuk menentukan awal bulan basah tahun 2002/2003 ini diberikan pada Tabel 3 di bawah. Tabel 3. Prakiraan sifat hujan sepanjang MT 1 (NDJF) dan jatuhnya awal musim hujan tahun 2002/2003. Stasiun Curah Hujan
Curah Hujan (mm)
Rata-rata SOI JJS
Nov-Feb
Oktober
November
Desember
-9.025 -9.025
777
20
130
190
Sesaot
1050
70
180
205
Jurangsate
-9.025
1025
35
155
227
Barabali
-9.025
990
36
165
260
Kopang
-9.025
930
10
110
210
Praya
-9.025
900
0
65
230
Penujak
-9.025
700
0
80
180
Mangkung
-9.025
718
0
50
175
Mujur
-9.025
680
0
15
200
Sengkol
-9.025
800
0
50
340
730
23
78
197
573
0
20
130
Mataram*
-9.025
Sakra
-9.025
Keruak
Dengan mengambil patokan IOS <-5 maka sifat hujan sepanjang musim tanam MT I tahun 2002/2003 diprakirakan dalam keadaan hampir cukup sampai kurang. Daerah utara (Sesaot, Jurang Sate, Barabali dan Kopang) diprakirakan mempunyai curah hujan lebih dari 900 mm selama musim tanam; sebaliknya daerah bagian selatan diprakirakan memperoleh hujan berkisar 500- 800 mm. Kebutuhan optimum tanaman padi untuk masing-masing daerah berbeda-beda tergantung jenis tanahnya. Perkiraan kebutuhan tanaman padi dan palawija pada masing-masing jenis tanah adalah seperti diperlihatkan pada Tabel 4 (Abawi et al, 2002). Tabel 4. Kebutuhan air bruto untuk tanaman padi dan palawija di beberapa jenis tanah di Lombok Jenis tanaman
Jenis Tanah
ET
Perkolasi
Keb. Air bruto
(mm)
Padi
Vertisol
645
299
944
Padi
Vertisols+Alfisols
645
365
1010
Padi
Tanah lainnya
645
610
1255
Palawija
Semua jenis tanah
466
0
466
Sumber : Abawi et al. (2002)
Membandingkan besarnya curah hujan yang diramal dengan kebutuhan air optimal untuk tanaman padi dapat disimpulkan bahwa pada kondisi El Niño (IOS <-5) jumlah air tersedia dari curah hujan tidak cukup untuk membuat hasil menjadi optimum.
86
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Pada kondisi tahun El Niño tahun 2002/2003 ini maka awal bulan basah dari masing-masing daerah bervariasi sebagai berikut: Daerah Sesaot pada bulan Oktober mempunyai curah hujan 70 mm diikuti dengan CH 180 mm pada bulan November sehingga awal musim hujannya jatuh pada dasarian ketiga bulan Oktober Daerah Mataram, Kopang dan Barabali pada awal musim hujannya jatuh pada dasarian kedua bulan November Daerah Praya, Penujak dan Sakra awal musim hujannya jatuh pada dasarian ketiga bulan November Daerah Sengkol dan Mujur awal musim hujannya jatuh pada dasarian pertama bulan Desember Daerah Keruak dan Mangkung awal musim hujannya jatuh pada dasarian kedua bulan Desember
KESIMPULAN Secara umum hubungan IOS dan curah hujan musiman dapat dijelaskan sebagai berikut: Parkiraan sifat hujan musiman dan bulanan dengan menggunakan informasi IOS memperlihatkan skill yang tegas. Dengan demikian program aplikasi komputer untuk prakiraan iklim berbasis informasi IOS seperti Flowcast sangat potensial digunakan oleh pengambil kebijakan dalam bidang pertanian sebagai suatu alat bantu dalam pengambilan keputusan. Sifat hujan sepanjang MT I (November s/d Februari) dan sifat hujan bulanan yaitu Oktober, November dan Desember sebaiknya diprakirakan dengan menggunakan rata-rata IOS Juni sampai September. Prakiraan curah hujan bulanan O, N dan D dengan rata-rata IOS JJAS memperlihatkan skill yang tegas, dengan demikian prakiraan jatuhnya awal musim hujan (CH 180 mm per bulan) dapat dilakukan dengan baik. Secara spasial wilayah yang dekat dengan pegunungan Rinjani seperti Sesaot, Jurangsate, Barabali dan Kopang umumnya mempunyai curah hujan yang lebih besar daripada daerah di bagian selatannya. Pada tahun El Niño awal musim hujan diprakirakan jatuh pada pertengahan November di daerah utara dan di bulan Desember di Lombok bagian selatan. Sebaliknya pada tahun La Niña bulan basah jatuh pada awal bulan Oktober di daerah Lombok bagian utara dan pada pertengahan Oktober sampai dengan awal November di daerah Lombok bagian selatan. MT I tahun 2002/2003 ditandai dengan IOS dari bulan Mei sampai November terus negatif (IOS ratarata –9). Maka dengan dengan mengambill ketentuan pada butir di atas kondisi curah di daerah utara (Sesaot, Jurangsate Kopang) diprakirakan sekitar 900 mm selama musim tanam; sebaliknya daerah bagian selatan diprakirakan sekitar 700 mm Daerah Sesaot, Mataram, Kopang, Barabali dan sekitarnya awal musim hujannya jatuh pada akhir Oktober sampai dengan pertengahan November Daerah Praya, Penujak, sengkol, Mujur, Sakra dan sekitarnya awal musim hujannya jatuh pada akhir November sampai awal Desember Daerah Lombok bagian selatan awal musim hujannya jatuh pada pertengahan Desember
DAFTAR PUSTAKA Abawi; G.Y. and S. C. Dutta, 1998. Forecasting of streamflows in NE-Australia based on the Southern Oscillation Index. DNR. Australia. Allan, R. J. Lindesday, D. Parker. 1996a. Southern Oscillation and Climatic Variability. CSIRO. Australia. Allan, R.J. G.S. Beard, A. Close, A.L. Herczeg, P.D. Jones and H.J. Simpson. 1996B. Mean Sea Level Pressure Indices of the El Nino-Southern Oscillation: Relevance to Stream Discharge in South-Eastern Australia. Amien,I, Rejekiningrum, Pramudia, A. and E. Susanti (1996). Effects of interannual climate variability and climate change on rice yields in Java, Indonesia. Water, Air and Soil Pollution 92:29-39. Bey, A., I. Amien., R. Boer., Hondok,. I. Las dan H. Pawitan. 1997. Pengembangan Metode Analisis Data Iklim dan Pewilayahan Agroklimat dalam Menunjang Usahatani yang Prosfektif. Dalam Baharsyah et al., (1997). Sumberdaya Air dan Iklim dalam Mewujudkan Pertanian Efisien. Deptan dan PERHIMPI. Pp 171 – 193. Biro pusat Statistik (BPS). 1982 – 2000. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama BPS Prop. NTB dengan Bappeda NTB.
87
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Boer. R. 2001. Strategy to Anticipate Climate Extreme Event. Presented at the Training Institute on Climate and Society in the Asia Pacific region, 2 – 23 February 2001. Honolulu. USA. BPTPH VII. 1999. Laporan Evaluasi Kegiatan Perlindungan Tanaman Tahun Anggaran 1998/1999. Direktorat Jenderal Tanaman pangan dan Hortikultura. Coll K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it affect us. NSW Bureau of Meterology. Coll K. and R. Whitaker, 1990. The Australian Weather Book: Understanding our climate and how it. Clewett, J.F., P.G. Smith, I.J. Partridge, D.A. George, and A. Peacock. 2001. Australian Rainman. Rainfall information for better management. QDPI. Brisbane. QLD. Clarkson, N.M., D.T. Owens. 1992. Rainman: Rainfall Information for Better Management, Department of Primary Industries, Brisbane. Hammer, G.L. and Nicholls, N. 1996. Managing for climate variability - The role of seasonal climate forecasting in improving agricultural systems. Proc. Second Australian Conference on Agricultural Meteorology. Bureau of Meteorology, Commonwealth of Australia, Melbourne. pp. 19-27. Kirono, D.G.C., 2000. Indonesian Seasonal Rainfall Variability, Link to El Nino Southern Oscillation and Agricultural Impacts. Ph.D Dissertation. Monash Univ. Vic. Australia. Kuhnel I, T A McMahon, B.L. Finlayson , A. Haines , P.H. Whetton and T.T. Gibson. 1990. Climatic influences on streamflow variability: a comparison between south-eastern Australia and United States of America, Wat. Resour. Res., Vol. 26: 2483-2496 Martyn. D. 1992. Climate of the world. Development in Atmospheric Science. Elsevier Amsterdam London, N.Y. 435 p. McBride, J.L. and N. Nicholls. 1983. Seasonal Relationship Between Australia Rainfall and The Southern Oscillation. Monthly Weather review. Vol. 111: 1998-2004. McClaymont, D., Y. Abawi., T. Harris., J. Ritchi and S. Dutta. 2000. Flowcast : A new Generation DSS for Climate Researcher, Water users and Policy Makers. Poster. DNR. MDB Comm. QCCA. Australia. McDonald and Partners Asia. 1985. West Nusa Tenggara Irrigation Study : Pandanduri – Swangi Pre-feasibility Report. Musk, L.F. 1988. Weather Systems. Cambridge University Press. Cambridge. Nicholls, N. 1991. The El Nino/Southern Oscillation and Australian Vegetation. In “Vegetation and Climate interaction in Semi Arid Regions‖. (eds. A. Henderson-Sellers and A.J. Pitman) Vegetation, 91: 23-36. Pramudia, A., Nasrullah dan Alemina, E., 1991. Sumber Daya Iklim Sebagai Dasar Analisis Perencanaan Pertanian Di Pulau Lombok. Simposium Perhimpi III Malang, 20 - 22 Agustus 1991. Sayuti, R., Y. Abawi., W. Karyadi., I. Yasin. 2001. Factor Affecting the Use of Climate Forecast in Agriculture : A case Study of Lombok island. Indonesia. Aciar papper. Mataram. 13 p. Team ITB. 1969. Survey Pengenbangan Sunber Daya Air di Pulau Lombok. Report ITB. Yasin, I., Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop Production in Lombok. Presented at National Seminar of Indonesian Soil Science Association 25 May 2002 at University of Mataram. Indonesia. Yasin, I., Y. Abawi. 2001. Capturing the Benefits of Seasonal Climate Forecast for Water and Crop Management in Lombok. Aciar Papper. Mataram. Yasin, I M. Ma‘shum and Y. Abawi. 2002. Impacts of ENSO Phenomenon on Water Resources and Crop Production in Lombok. Presented at National Seminar of Indonesian Soil Science Association on 25 May 2002 in Mataram Yasin, I., Y. Abawi., M. Ma‘shum. 2002. The Application of Linier Programming Model for Improving Irrigation and Cropping Management in Lombok, Indonesia. Part Final Report on Capturing the Benefits of Seasonal Climate Forecast in Agricultural Management submitted to Aciar. Australia .
88
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3. 4.
Ada keterkaitan antara cara tradisional dengan cara flowcast. Berdasarkan prilaku flowcast, kapan kita harus menanam gora (bulan apa). Kalau nanti flowcast menjadi suatu paket, tolong disederhanakan bentuknya. Apakah ada kaitan fenomena gundulnya hutan di Bima dengan curah hujan yang kurang.
Tanggapan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sistem yang kita gunakan memang harus membutuhkan data curah hujan beberapa tahun. Tidak selalu curah hujan besar akan menyebabkan banjir, tergantung letak tofografi. Peralatan-peralatan tradisional untuk mengetahui saat hujan ini sulit kita ketahui alat ukurnya, tetapi kita juga akan tetap melakukan kajian selanjutnya. Jatuhnya hujan bulan Desember untuk bertanam Gora tahun 2002 Flowcast ini memang diperuntukkan untuk kalangan ilmiah, sedangkan di luar itu akan disajikan dalam bentuk informasi-informasi yang lebih sederhana. Data base belum punya untuk Bima untuk diakses ke program flowcast. Elnino pengaruhnya global, jadi lahan kering di Lombok sangat tidak mungkin di Bima akan basah. Sulit mencari indikasi alat ukur dan pranata mangsa. Sehingga dimasa depan akan diusahakan pengembangan kedua metode tersebut.
89
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
SISTEM EKOLOGI DAN MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI Tejowulan, R.S. dan Suwardji Pusat Pengkajian Lahan Kering dan Rehabilitasi Lahan (P2LKRL), Fakultas Pertanian Universitas Mataram
ABSTRAK Daerah Aliran Sungai atau DAS adalah hamparan pada permukaan bumi yang dibatasi oleh punggungan perbukitan atau pegunungan di hulu sungai ke arah lembah di hilir. DAS oleh karenanya merupakan satu kesatuan sumberdaya darat tempat manusia beraktivitas untuk mendapatkan manfaat darinya. Agar manfaat DAS dapat diperoleh secara optimal dan berkelanjutan maka pengelolaan DAS harus direncanakan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Makalah ini secara singkat menyajikan pokok-pokok pikiran tentang sistim ekologi dan filosofi DAS untuk mencapai pengelolaan DAS yang berkelanjutan dan menguntungkan.
PENDAHULUAN Pengertian daerah aliran sungai (DAS) adalah keseluruhan daerah kuasa (regime) sungai yang menjadi alur pengatus (drainage) utama. Pengertian DAS sepadan dengan istilah dalam bahasa inggris drainage basin, drainage area, atau river basin. Sehingga batas DAS merupakan garis bayangan sepanjang punggung pegunungan atau tebing/bukit yang memisahkan sistim aliran yang satu dari yang lainnya. Dari pengertian ini suatu DAS terdiri atas dua bagian utama daerah tadah (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadah. Dalam pengelolaannya, DAS hendaknya dipandang sebagai suatu kesatuan sumberdaya darat. Sehingga pengelolaan DAS yang bijak hendaklah didasarkan pada hubungan antara kebutuhan manusia dan ketersediaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan manusia tersebut. Pengelolan sumberdaya biasanya sudah menjadi keharusan manakala sumberdaya tersebut tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia maupun ketersediaannya melimpah. Pada kondisi dimana sumberdaya tidak mencukupi kebutuhan manusia pengelolaan DAS dimaksudkan untuk mendapatkan manfaat sebaikbaiknya dari segi ukuran fisik, teknik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan-kemantapan nasional. Sedangkan pada kondisi dimana sumberdaya DAS melimpah, pengelolaan dimaksudkan untuk mencegah pemborosan. Dalam makalah ini akan dibahas (1) Pengertian DAS dan DAS sebagai Sistem Ekologi, (2) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (3) Hakekat DAS sebagai dasar dalam pengelolaannya, (4) Dasar-dasar pengelolaan DAS, dan (5) Data dasar yang diperlukan untuk merencanakan pengelolaan DAS.
PENGERTIAN DAS DAN DAS SEBAGAI SISTIM EKOLOGI Banyak definisi tentang sumberdaya (resource) seperti obtainable reserve supply of desirable thing (suatu persediaan barang yang diperlukan, berupa suatu cadangan yang dapat diperoleh) (Menard,1974). Pengetian sumberdaya selalu menyangkut manusia dan kebutuhannya serta usaha atau biaya untuk memperolehnya. Oleh karena berkaitan dengan kebutuhan manusia, maka sumberdaya mempunyai arti nisbi (relative). Atas dasar kehadirannya, sumberdaya dapat dipilahkan ke dalam dua kelompok (1) sumberdaya alam dan (2) sumberdaya buatan manusia. Ada juga yang menggolongkan sumberdaya atas dasar kemantapannya terhadap kegiatan manusia : (1) sumberdaya yang sangat mantap, (2) sumberdaya yang cukup mantap dan (3) sumberdaya yang tidak mantap. Suatu sumberdaya tertentu dapat mempunyai nilai kemantapan beragam, tergantung dari gatranya yang diperhatikan. Misalnya, tanah sebagai tubuh alam mempuyai nilai kemantapan daripada kesuburannya. Mutu air jauh lebih mudah goyah daripada jumlahnya. Manusia secara jelas tidak dapat mengubah volume udara dalam atmosfer akan tetapi dia secara nisbi mudah mencemarkannya. Selain itu, ada yang menggolongkan sumberdaya atas kemampuannya untuk memperbaiki diri (self restoring). Dalam hal ini sumberdaya dibagi ke dalam dua kategori: (1) terbarukan (renewable),
90
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
seperti udara, air tanah, hutan dan ikan. Memang ditinjau secara local atau setempat, air tanah, hutan, dan ikan dapat menyusut atau habis. Akan tetapi secara keseluruhan, mereka itu tidak akan habis selama faktor-faktor pembentuknya masih tetap berfungsi. Bahkan yang habis di suatu tempat akan dapat timbul kembali jika diberi kesempatan cukup. (2) Tak-terbarukan (non-renewable), seperti minyak bumi, panas dan cebakan mineral. DAS merupakan gabungan sejumlah sumberdaya darat, yang saling berkaitan dalam suatu hubungan interaksi atau saling tukar (interchange). DAS dapat disebut suatu sistem dan tiap-tiap sumberdaya penyusunnya menjadi anak-sistemnya (subsystem) atau anasirnya (component). Kalau kita menerima DAS sebagai suatu sistem maka ini berarti, bahwa sifat dan kelakuan DAS ditentukan bersama oleh sifat dan kelakuan semua anasirnya secara terpadu (integrated). Arti ―terpadu‖ di sini ialah bahwa keadaan suatu anasir ditentukan oleh dan menentukan keadaan anasir-anasir yang lain. Yang dinamakan ―sistem‖ ialah suatu perangkat rumit yang terdiri atas anasir-anasir yang saling berhubungan di dalam suatu kerangka otonom, sehingga berkelakuan sebagai suatu keseluruhan dalam menghadapi dan menanggapi rangsangan pada bagian manapun (Dent dkk. 1979; Spedding, 1979). Disamping memiliki ciri penting berupa ``organisasi dalam`` (internal organization), atau disebut pula dengan ``struktur fungsi`` (fungtional structure), suatu sistem dipisahkan ``batas system`` dari sistem yang lain. Batas ini memisahkan sistem dari lingkungannya, atau memisahkan sistem yang satu dari yang lain. ―Lingkungan‖ ialah keseluruhan keadaan dan pengaruh luar (external), yang berdaya (affect) batas hidup, perkembngan dan ketahanan hidup (survival) suatu sistem (De Santo,1978). Anasir-anasir DAS ialah iklim hayati (bioclimate), relief, geologi, atau sumberdaya mineral, tanah, air (air permukaan dan air tanah), tetumbuhan (flora), hewan (fauna), manusia dan berbagai sumberdaya budaya seperti sawah, ladang, kebun, hutan kemasyarakatan (HKm), dan sebagainya. Berbagai anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam sistim DAS. Sebagai contoh, relief dapat mempengaruhi distribusi lengas tanah dan lama penyinaran matahari. Tanah dan relief mempengaruhi keadaan hidrologi permukaan, keadaan vegetasi dan keadaan sumberdaya budaya. Iklim ikut mengendalikan keadaan vegetasi dan sumberdaya budaya. DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek dan dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk berbagai peruntukan. Setiap anasir dalam DAS memerlukan cara penanganan yang berbeda-beda tergantung pada watak, kelakuan dan kegunaan masing-masing. Sebagai contoh, ketrampilan dan pengetahuan anasir manusia dapat menyuburkan tanah yang tadinya gersang. Namun karena berlainan kepentingan, maka dapat terjadi bahwa suatu tindakan yang baik untuk suatu anasir DAS tertentu justru akan merugikan jika diterapkan pada anasir DAS yang lain. Sebagai contoh, penanaman jalur hijau untuk melindungi tebing aliran terhadap pengikisan atau longsoran, dapat mendatangkan kerugian atas pengawetan sumberdaya air karena meningkatkan transpirasi yang membuang sebagian air yang dialirkan. Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif, yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran (optimization of the combined output) dari pada pemaksimuman salah satu keluaran saja. DAS yang mempunyai gatra ruang (space) atau luas (size), bentuk (form), ketercapaian (accessibility) dan keterlintasan (trafficability). Gatra-gatra ini menyangkut nilai ekonomi penggunaan DAS, karena menentukan tingkat peluang berusaha dalam DAS, nilai hasil usaha dan kedudukan nisbi DAS selaku sumberdaya dibanding dengan DAS yang lain. Gatra-gatra ruang, bentuk, ketercapaian dan keterlintasan bersama-sama dengan harkat anasir-anasir DAS yang telah disebutkan di atas, menentukan kedudukan DAS dalam urutan prioritas pengembangan,. Keunikan dan keberagaman DAS menimbulkan berbagai pertimbangan dalam penggunaan alternatif menurut kepentingan yang berubah sejalan dengan perkembangan kebutuhan dan keinginan. Macam dan jumlah kebutuhan serta keinginan merupakan fungsi waktu dan tempat. Maka dari itu pengertian tentang makna waktu dan tempat sangat menentukan ketepatan perencanaan tataguna DAS. Tanpa perencanaan tataguna yang memadai, penggunaan DAS dapat menjurus ke arah persaingan antar berbagai kepentingan, yang akhirnya hanya akan saling merugikan, dan pada gilirannya akan menimbulkan degradasi sumberdaya DAS yang tidak terkendalikan.
HAKEKAT DAS SEBAGAI DASAR DALAM PENGELOLAANNYA Pada dasarnya DAS merupakan satu kesatuan hidrologi. DAS penampung air, mendistribusikan air yang tertampung lewat suatu sistem saluran dari hulu ke hilir, dan berakhir di suatu tubuh air berupa danau atau laut. Barsama dengan atmosfir dan laut (atau danau), DAS menjadi tempat kelangsungan daur
91
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
hidrologi. Hubungan hidrologi antara atmosfir dan tubuh air bumi dapat berjalan secara langsung, atau lewat peranan DAS. Terjadi pula hubungan hidrologi lansung antara DAS dan atmosfir. Hubungan hidrologi segitiga antara atmosfir, DAS dan tubuh air bumi (laut) disajikan pada Gambar 1. Bagan ini memperlihatkan peranan DAS sebagai penghubung dua waduk air alam utama, yaitu atmosfir dan laut. Ini menjadi dasar pertama dalam pengelolaan DAS. Selaku suatu wilayah kegiatan pendauran air maka DAS merupakan suatu satuan fisik yang cocok bagi penelaahan proses-proses yang menentukan pembentukan bentang lahan (landscape) khas di berbagai wilayah bumi. Proses-proses yang berlangsung di dalam DAS dapat dikaji berdasar pertukaran bahan dan energi (Leopold dkk, 1964). Hal ini menjadi dasar kedua dalam pengelolaan DAS. Gambar 2 merupakan acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi. Atmosfir
DAS
Tubuh Air Bumi (laut atau danau)
hubungan erat hubungan terbatas Gambar 1. Hubungan hidrologi yang disederhanakan antara atmosfir, DAS, dan tubuh air bumi. Atmosfir
Vegetasi
Air
Tanah
Bahan geologi
Timbunan
Manusia Gambar 2. Acuan DAS sebagai suatu system yang bertopang pada proses pertukaran bahan dan energi. Setiap DAS cenderung memperluas diri, baik dengan jalan erosi mundur dan/atau menyamping di daerah hulu, maupun dengan jalan pengendapan di daerah hilir, termasuk pembentukan jalur berkelok (meander) di dataran pantai dan pembentukan delta di depan kuala. Dilihat dari segi ini maka DAS merupakan suatu satuan geomorfologi yang bersifat sangat dinamik, dibentuk oleh proses- proses fluvial dan memperoleh corak dan cirinya dari paduan dua proses yang saling berlawanan. Proses yang satu ialah degradasi (penurunan) di daerah hulu dan proses yang lain ialah agradasi (peningkatan) di daerah hilir. Dengan demikian ada proses perpindahan material dari hulu ke hilir. Salah satu hasil morfogenesa penting semacam ini adalah pembentukan bentang tanah atau pola agihan tanah yang khas di tiap-tiap DAS. Keadaan ini merupakan dasar ketiga dalam pengelolaan DAS. Di depan telah diuraikan tentang berbagai gatra dan keaneka ragaman pemanfaatan DAS. Hal ini merupakan dasar keempat dalam pengelolaan DAS. Dari dasar pengelolaan pertama dan kedua mengandung suatu pengertian penting, bahwa DAS merupakan suatu sistem yang terbuka (open system). Hal ini dapat dilihat dari berfungsinya interaksi luar
92
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
(functioning of external interactions), yang menurut De Santo (1978) merupakan kategori kedua yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem. Dasar pengelolaan kedua, ketiga dan keempat menunjuk kepada suatu pengertian penting berikutnya, bahwa DAS merupakan suatu sistem peubah energi (energy transformer). Hal ini dapat dipandang adanya interaksi berfungsinya faktor-faktor internal (functioning of internal interactions). Yang menurut De Santo (1978) merupakan kategori pertama yang membentuk hakekat kehadiran suatu sistem.
DASAR-DASAR PENGELOLAAN DAS Pengelolaan DAS biasanya mengacu pada pengelolaan dua anasirnya (component) yang dianggap terpenting, yaitu sumberdaya tanah dan air. Adapun anasir yang lain, seperti iklim, vegetasi, relief dan manusia, diperlukan sebagai faktor-faktor dalam pengelolaan. Maksud pengelolaan DAS ialah mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuanya, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang menurut waktu. Dalam ungkapan ―sesuai dengan kemampuannya‖ tersirat pengertian selaras dan lestari. Ungkapan ―manfaat lengkap‖ dan ―kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang menurut waktu‖ mengisyaratkan bahwa (1) hasil keluaran DAS tidak boleh hanya bermacam tunggal, akan tetapi harus terdiri atas berbagai hasil keluaran yang berkombinasi secara optimum, dan (2) rencana pengelolaan harus bersifat lentur (flexible) yang berisi sejumlah alternatif. Untuk mengarahkan pengelolaan, diperlukan tiga unsur pengarah. Yang pertama diperlukan ialah variable-variabel keputusan (decision variables), yang menjadi sumber pembuatan alternatif. Yang kedua diperlukan ialah maksud dan tujuan (objectives), ini dapat sebuah atau lebih. Yang ketiga ialah kendala (constraint), yang membatasi gerak variabel-variabel keputusan dalam membuat alternatifalternatif untuk mencapai maksud dan tujuan yang ditetapkan. Khusus mengenai pengelolaan DAS, yang dapat dipakai sebagai variebel-variabel keputusan ialah (1) keempat dasar untuk pengelolaan DAS yang telah disebutkan terdahulu (DAS selaku penghubung dua waduk air alam utama, kehadiran DAS didukung oleh kegiatan pertukaran bahan dan energi, DAS berkembang melalui proses perubahan dalam dan DAS bergatra ganda yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan), (2) pemanfaatan DAS harus dapat menimbulkan pemerataan manfaat antara daerah hulu dan hilir, dan (3) pengembangan DAS harus dapat memberikan sumbangan bagi kepentingan regional dan atau nasional. Maksud atau tujuan pengelolaan DAS telah disebutkan di atas. Yang dapat ditunjuk sebagai kendala terhadap perkembangan DAS ialah iklim, relief, tanah, air, sumberdaya mineral, vegetasi, beberapa gatra tertentu manusia, ruang/luas, bentuk, ketercapaian dan keterlindasan. Pendek kata semua anasir DAS yang dikenai atau terlibat dalam pengelolaan. Dalam rencana pengelolaannya, DAS dibagi menjadi dua satuan pengelolaan. Satuan pengelolaan hulu mencakup seluruh daerah tadah atau daerah kepala sungai. Satuan pengelolaan hilir mencakup seluruh daerah penyaluran air atau daerah bawahan. Oleh Ray dan Arora (1973) istilah ―watershed‖ digunakan secara terbatas untuk menamai daerah tadah, sedang daerah bawahan mereka namakan dengan istilah ―commanded area‖. Yang dinamakan ―commended area‖ ialah daerah-daerah yang secara potensial berpengairan. Di DAS yang dapat dibangun suatu bendungan atau waduk maka seluruh daerah yang terkuasai oleh bangunan tersebut (daerah yang terletak dibawah garis tinggi pintu bendungan atau waduk) merupakan ―commended area‖. Pengelolaan daerah tadah ditujukan untuk mencapai hal-hal berikut ini (Roy &Arora, 1973): (1) Pengendalian aliran permukaan tanah (excess) yang merusak, sebagai usaha mengendalikan banjir, (2) Memperlancar infiltrasi air kedalam tanah. (3) Mengusahakan pemanfaatan aliran permukaan untuk maksud-maksud yang berguna, (4) Mengusahakan semua sumberdaya tanah dan air untuk memaksimumkan produksi. Faktor-faktor yang berdaya (affect) atas program pengelolaan daerah tadahan atau DAS hulu ialah (Roy & Arora, 1973): (1) Bentuk dan luas daerah tadahan, (2) Lereng dan timbulan makro (3) Keadaan tanah, termasuk fisiografi dan hidrologi tanah, (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan (5) Rupa dan mutu vegetasi penutup, (6) Penggunaan lahan terkini. Tujuan pengelolaan DAS hilir dapat diringkas sebagai berikut: (1) Mencegah atau mengendalikan banjir dan sedimentasi yang merugikan, sehingga tidak merusak dan menurunkan kemampuan lahan.(2) Memperbaiki pengatusan (drainage) lahan untuk meningkatkan kemampuannya. (3) Meningkatkan dayaguna air dari sumber-sumber air tersediakan. (4) Meliorasi tanah, termasuk
93
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
memperbaiki daya tanggap tanah terhadap pengairan, dan kalau perlu juga reklamasi tanah atas tanahtanah garaman, alkali, sulfat masam, gambut tebal, dan mineral mentah. Faktor-faktor pokok yang berdaya atas program pengelolaan daerah hilir ialah: (1) Bentuk daerah hilir dan perbandingan luasnya dengan luas daerah tadahan.(2) Perbedaan landaian (gradient) lereng umum daerah hilir terhadap landaian lereng umum daerah tadahan. (3) Timbulan makro, ketinggian muka lahan pukul rata, jeluk (depth) pukul rata air tanah, dan keadaan tanah. (4) Intensitas, jangka waktu dan agihan curah hujan.(5) Rupa dan vegetasi penutup. (6) Penggunaan lahan kini. Perlakuan terhadap DAS hulu merupakan bagian terpenting dari keseluruhan pengelolaan DAS, karena hal itu akan menentukan keuntungan yang dapat diperoleh, atau kesempatan yang terbuka, dalam pengelolaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir menentukan seberapa besar keuntungan yang secara potensial dapat diperoleh karena pengelolaan DAS hulu benar-benar terwujudkan. Dengan kata lain, pengelolaan DAS hilir bertujuan meningkatkan daya tanggapnya terhadap dampak pengelolaan DAS hulu. Hubungan ini dapat digambarkan pada Gambar 3. Dari bagian ini tampak, bahwa pengelolaan DAS hulu bertujuan rangkap: (1) meningkatkan harkatnya sebagai lahan usaha dan atau lahan permukiman, dan (2) memperbaiki dampaknya atas DAS hilir untuk memperluas peluang memperbaiki keadaan DAS hilir. Pengelolaan DAS hilir berperanan melipatkan pengaruh perbaikan yang telah dicapai di DAS hulu. Menurut pandangan ekologi maka daerah hulu dikelola sebagai daerah penyumbang (donor) bahan dan energi, atau boleh juga disebut sebagai lingkungan pengendali (conditioning environtment). Sementara itu, daerah hilir merupakan daerah penerima (acceptor) bahan dan energi, atau lingkungan konsumsi atau lingkungan yang dikendalikan (commanded environment). Dengan demikian pengelolaan DAS harus bersifat menyeluruh dan dapat memadukan bagian hulu dan hilir menjadi satu sistem. DAS hulu semula
DAS hulu terbenahi
Harkat meningkat Pengelolaan Dampak menguntungkan
DAS hilir semula
DAS hilir terbenahi
Harkat meningkat
Harkat berlipat Gambar 3. Bagan hubungan antara pengelolaan DAS hulu dan hilir dalam pengelolaan DAS terpadu
DATA DASAR YANG DIPERLUKAN DALAM PENGELOLAAN DAS Penanganan sumberdaya untuk pemanfaatannya memerlukan data dasar sebagai pangkal otak. Demikian pula halnya dengan pengelolaan DAS. Data dasar (baseline data) ialah sekumpulan keterangan hakiki tentang suatu masalah (matter) yang relevan dengan watak (nature) masalah itu. Data itu dapat berupa ciri (characteristic) atau terukur (measureable). Mutu tidak dapat diamati atau diukur secara langsung, karena ditentukan oleh saling tindak sejumlah sifat, dan hanya dapat diketahui, dirasakan atau dinilai dari akibat atau perwujudan (manifestation) yang ditimbulkan. Yang dimaksud dengan akibat atau perwujudan ialah tindakannya dalam mempengaruhi kecocokan sumberdaya (DAS, lahan) bagi suatu penggunaan tertentu. Taraf kepentingan nisbi tiap sifat yang menentukan suatu mutu tertentu, bergantung pada keadaan lingkungan (Brinkman dan Smyth, 1973). Misalnya, erodibilitas tanah sebagai mutu ditentukan bersama oleh faktor-faktor kemiringan dan panjang lereng, permeabilitas tanah, dan kemantapan struktur tanah. Taraf kepentingan nisbi permeabilitas tanah menjadi menonjol dalam
94
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
lingkungan iklim basah. Dalam lingkungan iklim kering, yang mana erosi angin menjadi bentuk erosi pokok, tinggal kemantapan struktur tanahlah yang menjadi faktor yang menonjol. Erosivitas hujan bersama dengan erodibilitas tanah menentukan mutu lahan yang disebut kerentanan lahan terhadap erosi air. Macam mutu yang lain antara lain kesuburan tanah, iklim, kebersihan air, keterlindasan (trafficability), dan keramah tamahan penduduk. Mutu dapat diharkatkan dengan sebutan (buruk, sedang, baik) atau dengan nilai tertentu (scoring). Data dasar untuk pengelolaan DAS terdiri atas ciri dan mutu semua anasir atau gatra DAS yang penting dalam menentukan kemampuan (capability) DAS. Macam data yang sekurang-kurangnya harus dikumpulkan ialah: (1) Neraca air makro (menurut iklim) dan neraca mikro (atau neraca lengas tanah menurut hidrologi lahan). (2) Erosivitas hujan dan erodibilitas tanah, untuk daerah-daerah beriklim kering, erosivitas hujan diganti dengan erosivitas angin. (3) Keadaan iklim hayati, yang mencakup agihannya menurut tinggi tempat dan kedudukan topografi. (4) Proses fluvial dalam geomorfologi (erosi, sedimentasi, hidrolika sungai, pembentukan delta, dataran banjir, dataran interfluvial, dataran estuarin, bentukan morfologi destruktif, seperti lembah, peneplain, morfologi karst, dsb). (5) Kemampuan lahan untuk pertanian, baik produktivitas maupun potensialitasnya. (6) Tataguna lahan kini dan produktivitasnya, termasuk tataguna sumberdaya air kini. (7) Ketercapaian wilayah dan keterlintasan. (8) Kerapatan dan distribusi penduduk, laju pertambahan penduduk, mata pencaharian, kemampuan usaha, tingkat pendapatan dan kekayaan keluarga, tingkat kesehatan, dan mobilitas penduduk. (9) Rata-rata dan distribusi luas lahan milik atau garapan dan tingkat penerapan teknologi. Dari analisa dan penilaian data dasar akan diperoleh pengetahuan, kesimpulan atau petunjuk tentang : (1) Tingkat peluang dan prospek pengembangan. (2) Beberapa alternatif arah dan bentuk pengembangan, termasuk pertimbangan kerjasama dengan DAS tetangga dengan maksud saling mengisi. (3) Macam dan jumlah masukan yang diperlukan. (4) Prioritas penanganan segi-segi persoalan, baik untuk menyiapkan keadaan dan suasana yang serasi bagi memulakan (start) pembangunan yang sebenarnya, maupun untuk pentahapan pembangunan secara bernalar menurut tempat dan waktu. Dari macam ragam data dasar yang diperlukan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan DAS harus dikerjakan secara multidisiplin. Yang diartikan dengan multidisiplin ialah suatu titik tolak pandangan atau sikap, atau kerangka pendekatan, yang memadukan berbagai bidang pengetahuan yang relevan dengan watak dan kelakuan masalah, menjadi satu sistem analitik. Agar supaya sistem analitik ini dapat berfungsi efektif, tiap-tiap bidang pengetahuan yang menjadi unsur-unsurnya diberi kedudukan tertentu di dalam kerangka kerja. Unsur-unsur tersebut dapat diurutkan pada garis gerak analisa sesuai dengan pertimbangan hirarki tertentu. Dengan jalan ini suatu unsur memperoleh masukan dari unsur lain yang berkedudukan hirarki lebih tinggi dan pada gilirannya, unsur yang tersebut pertama tadi memberikan masukan kepada unsur berikutnya yang berkedudukan hirarki lebih rendah. Sistem analitik seperti ini mempunyai struktur bertingkat. Biasanya pengumpulan data dasar dan analisa kualitatif fisik berada pada tingkat atas (langkah kerja pertama), dan memberikan masukan kepada analisa sosial-ekonomi dan pengharkatan kuantitatif yang berada pada tingkat bawah (langkah kerja kedua). Maka system analisa seperti ini disebut pula ―pendekatan bertingkat dua‖. Dapat pula analisa semua gatra dikerjakan secara berdampingan (hirarki tunggal), dan sistemnya dinamakan ―pendekatan sejajar‖ (ILRI, 1977). Kedua macam pendekatan itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pendekatan bertingkat atau bertahap bersifat lebih terarah, memiliki urutan kegiatan yang jelas tanpa langkah-langkah yang saling berhimpitan. Dengan demikian ia bersifat lebih fleksibel dalam hal penganggaran penghasilan kegiatan survai dan pengumpulan data pada hal-hal yang langsung diperlukan untuk analisa dan pengharkatan. Penghampiran sejajar sering menghambat analisa tuntas mengenai kemampuan menyeluruh (ultimate capability) suatu sumberdaya, karena terjerat dalam pertimbangan sosial-ekonomi yang membuat batasan tempat dan waktu. Dengan demikian prospek mutlak suatu sumberdaya tidak terungkapkan. Untuk keperluan pengharkatan lahan, FAO dan International Institute for Land Reclamation and Improvement (ILRI), memilih pendekatan bertahap (ILRI, 1977). Penulis juga
95
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
memperoleh pengalaman yang memuaskan dalam menerapkan penghampiran bertahap ini. Bidang sosial-ekonomi boleh saja ditangani pada tahap pertama kegiatan bersama-sama dengan bidang fisik, asal saja terbatas pada pengumpulan data dasar. Dalam menghubungkan asas kepaduan disiplin dengan pengelolaan DAS, Martin (1970) dalam kata pengantarnya untuk Symposium on The Interdisciplinary Aspects of Watershed Management di Montana State University mengemukakan bahwa “…professional from the many different disciplines will … work in concert to bring about total watershed managenent”.
PENUTUP Maksud pengelolaan DAS adalah untuk mendapatkan manfaat lengkap yang sebaik-baiknya dari DAS sesuai dengan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam dan yang berkembang menurut waktu. Mengingat bahwa DAS merupakan suatu system yang terbentuk dari gabungan sumberdaya yang saling berkaitan dan berinteraksi, maka dalam pengelolaannya harus memperhatikan semua anasir-anasir penyusunnya. Karena DAS merupakan sumberdaya darat yang sangat komplek maka pemanfaatan DAS harus bersifat komprehensif yang lebih mementingkan pengoptimuman kombinasi keluaran daripada pemaksimuman salah satu keluaran saja. Oleh karena itu, pengelolaan DAS harus dilaksanakan secara terpadu, terencana, dan berkesinambungan guna mendapatkan manfaat sebaik-baiknya. Dengan memahami DAS sebagai suatu system ekologi, diharapkan pengelolaan DAS akan dapat lebih terarah, bermanfaat, dan berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA Brinkman, R. dan Smith, A.J. (1979). Land evaluation for rural purpose. ILRI Publ. No. 17. Wageningen. Dawes, J.H. (1970). Influence of soil on water yield. Proc. Symp. Interdisc. Aspects Watershed Management. Mon. State University. Dent, J.B., Blackie, M.J. & Harrison, S.R.(1979). System simulation in agriculture. Appl. Sci. Publ. Ltd. London. De Santo. R.S. (1978). Concept of applied ecology. Springer-Verlag, New York. ILRI. (1977). Framework for land evaluation. Inter. Land Recl. Improv. Wageningen Leopold, L.B., Wolman, MG. Dan Miller, J.P. (1964). Fluvial processes in geomorphology. WH. Freeman and Co. San Fransisco. Martin, G.L. 1970. Introduction. Proc. Symp. Interdisc. Ascept Watershed Man. Mon. State Univ. h. 1-2. Amer. Soc. Civ. E. New York. Meinzer, O.E. 1942. Ground Water. Dalam: Meinzer, O.E., Editor, Hydrology. Ch. XA. Dover Publ. Inc. New York. Menard, H.W. 1974. Geology. resources, and society. W. H. Freeman and Co. San Francisco. Michigan State Univ. 1976. Design and management of rural ecosystems. ASRA Information Resosurces, National Science Foundation. Wasington, D. C. Morgan, R. P. C. 1979. Soil erosion. Logman. London. Nelson, A. & Nelson, K. D. 1973. Dictionary of water and water engineering Butterwarths & Co, Ltd. London. Notohadiprawiro, T. 1977. Suatu cara pengharkatan cepat tapak darat (land site) bagipendirian pemukiman baru. Kongres Nasional Ilmu Tanah II. Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Yogyakarta. _______________ 1980. Penghijauan : kontroversi yang berkepanjangan. Seminar Penghijauan P. I. P. R. / R. S. D. C. Yogyakarta. ___________, & Drajad, M. 1980. Rancangan klasifikasi kemampuan lahan untuk permukiman ketanian. Rancangan pertama. Dep. I. Tanah. Fak. Pert. UGM. Belum diterbitkan. ___________, Sukodarmodjo, S., & Drajad, M. 1980. Beberapa fakta dan angka tentang lingkungan fisik waduk Wonogiri dan kepentingannya sebagai dasar pengelolaan. Lokakarya Pengembangan dan Pelestarian Wilayah Waduk Wonogiri. Tawangmangu. Oldeman, R. A. A. 1979. Blueprints for a new tropical agroforestry tradition. Proc. 50 th Symp. Trop. Agr. Bull. 303. Kon. Inst. Tropen. Amsterdam. H. 25-34.
96
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Rqy, K. & Arora, D.R. 1973. Technology of agricultural land development and water management. Satya pakashan. Tech. India Publ. New Delhi. Soepraptohardjo, M. & Robinson, G. H., editors. 1975. A proposed land capability appraisal system for agricultural uses in Indonesia. Soil. Inst. Bogor. Steele, J. G. 1967. Soil suvey interpretation and iats use. Fao Soil Bull. No. 8. Storie, R. E. 1964. Handbook of soil evaluation. Assoc. Students Store. Univ. Calif. Berkeley. Spedding, C. R. W. 1979. An introduction to agricultural systems. Appl. Sci. Publ. Ltd. London. Wassink, J. T. 1979. Agroforestry, een samenspel van land- en bosbouw ten behoeve van de mens en zijn milieu. 67e Jaarverslag Kon. Inst. Tropen Amsterdam.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3. 4.
Pada kenyataanya sulit sekali pengelolaan DAS didasarkan pada batas-batas administrasi. Dengan adanya Otonomi Daerah maka ada bentrok antara DAS hulu dengan DAS hilir. Saran (Masyarakat yang berada di hilir membayar ke daerah hulu). Yang diuraikan tadi hanya masih dalam teori-teori DAS saja, tetapi aplikasinya belum. Karakteristik aliran sungai akan kita angkat sebagai variable utama.
Tanggapan : 1. 2.
Memang benar, bahwa yang disampaikan hanya bersifat teoritis, tetapi ini berfungsi untuk meningkatkan kesadaran kita. Saran-saran kami terima untuk dipertimbangkan.
97
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KAJIAN PEREDARAN DAN KUALITAS
PUPUK ALTERNATIF DI NTB Awaludin Hipi1, A. Suriadi1, M. Sofyan Souri1, Sudjudi1, Mashur1, dan Didi Ardi S2 1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat 2. Puslitbagtanak Bogor
ABSTRAK Penghapusan subsidi pupuk pada akhir tahun 1998 mengakibatkan harga pupuk meningkat tajam serta terjadi kelangkaan pupuk terutama pupuk tunggal (Urea, SP-36,dan KCl) untuk tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah mengupayakan adanya iklim yang kondusif bagi peredaran pupuk di lapangan melalui kebijakan pintu terbuka untuk peredaran pupuk alternatif. Dengan diterapkannya kebijakan pintu terbuka bagi peredaran pupuk, telah mendorong berkembang dan beredarnya berbagai pupuk alternatif termasuk di NTB. Dari hasil penelitian dan pemantauan yang dilakukan ternyata banyak dari pupuk yang beredar kandungan hara dan mutunya tidak sesuai dengan yang tercantum pada label atau kemasan dan kurang efektif dalam meningkatkan produksi tanaman. Bertolak dari hal tersebut perlu dilakukan pengujian terhadap pupuk alternatif yang beredar di pasaran. Pengkajian ini bertujuan untuk menginventarisasi, mengidentifikasi pupuk alternatif yang beredar di NTB dan menguji kandungan dan kadar hara dari pupuk alternatif. Survai inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan pada toko/kios penjual pupuk alternatif yang ada di Kabupaten/Kotamadya di NTB. Cara pengambilan sampel ditentukan secara proporsional. Kandungan dan kadar hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Metode analisis yang digunakan untuk kandungan N adalah kjedhal, sedang untuk P dan K menggunakan triple acid. Untuk kandungan hara tanah analisis dilakukan terhadap N,P, dan K dengan metoda analisis N dengan kjedhal, P dan K dengan HCl 25 %. Dari hasil survai terinventarisir 105 jenis pupuk alternatif yang di perdagangkan di NTB. Hasil uji laboratorium terhadap 55 merk pupuk menunjukkan bahwa hanya terdapat 25 % yang kandungan dan kadar hara NPK nya relatif sama dengan yang tertera pada label kemasan. Jika diklasifikasi sesuai kriteria pupuk alternatif, terdapat 4 merk yang kandungan hara N, P, dan K lebih dari 10 persen, 2 merk kandungan N dan P sama dengan atau lebih besar 10 persen, 4 merk kandungan N dan K lebih besar dari 10 persen, 4 merk kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen, dan 7 merk hanya kandungan unsur N saja yang sama atau lebih besar dari 10 persen. Diperlukan sosialisasi ditingkat petani, agar dapat dijadikan acuan dalam menilai kualitas pupuk alternatif. Diperlukan pengawasan terhadap peredaran pupuk alternatif, agar tidak merugikan konsumen. Kata kunci : peredaran , kualitas, pupuk alternatif, NTB
ABSTRACT Omission of fertilizer subsidies in the end of 1998 caused price of fertilizers sharply increased and scarced in field especially single fertilizer (urea, SP-36 and KCl) for plant. To coop those problems, the government has attempted regulation of equally chance for fertilizer alternatives to be distributed. However, the regulation has caused many of alternative fertilizers distribute in NTB. Results of previous survey and monitor of alternative fertilizers show that many of nutrient contents and qualities of those fertilizers are not similar with written in label and effectiveness in increasing plant production is less. For that reason, assessment of alternative fertilizer distribution in market was conducted. The aims of the assessment were to inventories and identifies of distributed fertilizer in NTB and to asses nutrient quantity of alternative fertilizers. Proportional sampling method of survey was conducted on alternatives fertilizer shop over districts in NTB. Value of N, P and K nutrients were analyzed for each fertilizer by using kjedhal method for N and P and K by using triple acid method, while for soil sample, P and K were analyzed by using HCl 25% extract and for N similar as fertilizer method. Result of survey show that there are 105 kind of alternative fertilizers were collected that have been soled in NTB province. Result of laboratory analysis shows that from 55 kind of alternative fertilizers analyzed, only 25% of NPK content were similar to its written in labels. According to fertilizer alternative criteria, there are 4 kind of alternative fertilizers contain NPK over 10% from its written in label, 2 kind contain N and P similar or over 10%, 4 kind contain of N and K over 10%, 4 kind contain of P and K over 10% and 7 kind contain N similar or over 10% from its written on label. Socialization the results of this assessment to farmer level is needed as a reference to asses the alternative fertilizers. Key words : distributed, qualities, alternative fertilizier, west Nusa Tenggara.
LATAR BELAKANG Pupuk merupakan masukan utama dalam sistem usahatani. Penggunaan pupuk yang tepat dan benar (jenis, takaran, waktu, dan cara pemberiannya) merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas hasil usahatani dalam sistem pertanian yang maju dan berorientasi agribisnis.
98
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Menurut Muljadi, 1997, penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas lahan pertanian, khususnya di daerah tropic di mana tersedianya unsure hara yang cukup merupakan salah satu faktor pembatas. Penghapusan subsidi pupuk pada akhir tahun 1998 telah mengakibatkan harga pupuk terutama SP-36 dan KCl meningkat tajam serta telah terjadi kelangkaan pupuk terutama untuk tanaman pangan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah mengupayakan adanya iklim yang kondusif bagi peredaran pupuk di lapangan melalui kebijakan pintu terbuka untuk peredaran pupuk alternatif. Dewasa ini telah beredar berbagai macam pupuk baru hasil rekayasa teknologi yang dihasilkan oleh perusahaan besar maupun kecil baik di dalam negeri, maupun impor. Menurut Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura (1999) telah didaftarkan pupuk alternatif sebanyak 523 merk dari 200 perusahaan, sedangkan yang belum terdaftar diperkirakan 3 – 4 kali lipat. Sementara Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (2000), menyatakan bahwa jumlah pupuk alternatif yang terdaftar pada tahun 2000 sebanyak 636 merk dagang dari 318 perusahaan, padahal pada tahun 1989 baru berjumlah 25 merk dari 16 perusahaan. Peredaran pupuk alternatif disatu sisi dapat menguntungkan petani karena banyak pilihan selain pupuk konvensional, namun dikhawatirkan akan terjadi penurunan tingkat produksi pertanian karena penggunaan pupuk yang mutunya rendah atau isinya tidak sesuai dengan yang tertera dalam kemasannya. Hasil penelitian Puslittanak terhadap beberapa pupuk alternatif menunjukkan hasil yang kurang memuaskan dibandingkan pupuk utama makro N, P, dan K (Hartatik et al (1986); Setyorini et al (1995); Sofyan et al (1999). Selanjutnya Mursidi et al. (2000), melaporkan bahwa dari penelitian terhadap 165 contoh ‗pupuk‖ yang diambil secara acak dari Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur, sebanyak 86 persen kandungan haranya tidak sesuai dengan yang tertera pada label. Hal yang sama juga telah dilaksanakan oleh Tim Pupuk NTB pada tahun 1999 terhadap pupuk alternatif yang beredar di NTB, menunjukkan bahwa banyak merk pupuk alternatif yang kualitasnya tidak sesuai dengan yang tertera pada label. Penggunaan pupuk yang tidak tepat (mutu dan jumlah), selain dapat merugikan secara ekonomi, juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil dan pencemaran lingkungan. Untuk menjaga agar konsumen khususnya petani terhindar dari kerugian akibat penggunaan pupuk yang tidak jelas kualitas dan efektivitasnya serta mendorong perusahaan untuk memproduksi pupuk alternatif yang berkualitas, maka diperlukan kajian dan pengawasan secara berkala terhadap peredaran dan penggunaan pupuk alternatif. Peredaran dan penggunaan pupuk alternatif di NTB akhir-akhir ini makin meningkat. Hal ini diduga disebabkan karena meningkatnya harga pupuk di lapang sebagai akibat dihapusnya kebijakan subsidi pupuk (urea, Sp-36, ZA, dan KCl) pada bulan Desember 1998. Selain itu dengan diterapkannya kebijakan pintu terbuka terhadap peredaran pupuk alternatif, serta kenyataan bahwa petani seringkali sulit untuk memperoleh pupuk tunggal, tampaknya telah mendorong meningkatnya penggunaan pupuk alternatif. Dewasa ini cukup banyak jenis pupuk alternatif dengan berbagai merek dagang yang diperdagangkan di NTB. Sembiring (2000), melaporkan bahwa dari hasil pemantauan yang dilakukan oleh Tim Pemantau Pupuk Propinsi NTB menunjukkan bahwa 90 persen dari 33 merek dagang dari berbagai jenis pupuk alternatif yang telah diuji di laboratorium memberikan indikasi kandungan haranya tidak sesuai dengan yang tercantum pada label. Pupuk alternatif banyak digunakan petani untuk tanaman padi, palawija, dan terutama untuk tanaman hortikultura (sayuran dan buah-buahan). Agar petani terhidar dari kerugian akibat penggunaan pupuk alternatif yang tidak jelas mutu dan efektivitasnya, diperlukan adanya pengawasan terhadap pengadaan dan penyaluran pupuk alternatif. Penggunaan pupuk yang tidak tepat selain dapat merugikan secara ekonomis, juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil, serta menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan. Bertolak dari permasalahan tersebut, maka perlu adanya pengujian terhadap mutu dan efektivitas dari pupuk alternatif, sehingga pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk yang telah diketahui kualitasnya dan telah teruji efektivitasnya dalam meningkatkan produksi pertanian. Tujuan dari pengkajian ini adalah untuk menginventarisasi dan mengidentifikasi pupuk alternatif yang beredar di NTB serta menguji kandungan dan kadar hara pupuk alternatif.
99
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
METODOLOGI Pelaksanaan pengujian pupuk alternatif terdiri atas 3 kegiatan yaitu : Survey identifikasi dan pengambilan sampel pupuk alternatif di lapang Analisis kandungan dan kadar hara Percobaan lapang untuk mengetahui efektivitas pupuk alternatif Survey identifikasi dan pengambilan sampel pupuk dilaksanakan di seluruh kabupaten/kotamadya di NTB. Sampel lokasi survey ditentukan secara proporsional dengan mempertimbangkan jumlah kios/toko pengecer dan jarak dari ibukota kabupaten. Pupuk alternatif yang akan diambil sampel adalah pupuk alternatif makro anorganik. Contoh pupuk diperoleh dengan cara membeli pada setiap pedagang sampel, dengan prioritas pupuk alternatif yang beredar dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Jumlah dan volume pupuk alternatif yang diambil sebagai contoh disesuaikan dengan bentuk dan kemasan pupuk. Pupuk yang berbentuk butiran/tepung bila diperdagangkan dalam bentuk kemasan lebih dari 50 kg, maka pupuk yang diambil sebagai contoh/sampel sebanyak 1 kg dan bila diperdagangkan dalam bentuk kemasan 5 kg atau kurang maka seluruhnya diambil sebagai pupuk contoh. Pupuk berbentuk cairan yang diperdagangkan dalam kemasan botol kecil seluruhnya diambil sebagai contoh. Contoh pupuk yang terkumpul selanjutnya dianalisis mutu atau kandungan haranya di laboratorium BPTP NTB. Kandungan hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Bila dari beberapa lokasi sampel diperoleh contoh pupuk yang sama, maka analisis dilakukan terhadap contoh komposit. Jenis data yang dikumpulkan mencakup nama produk, kandungan dan kadar hara pada label, karakteristik pupuk, pupuk alternatif yang banyak dibeli petani dan hasil analisis laboratorium.
METODE ANALISIS Kandungan dan kadar hara yang dianalisis adalah N, P, dan K. Metode analisis yang digunakan untuk kandungan N adalah kjedhal, sedang untuk P dan K menggunakan triple acid. Untuk kandungan hara tanah analisis dilakukan terhadap N,P, dan K dengan metoda analisis N dengan kjedhal, P dan K dengan HCl 25 persen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pupuk alternatif yang beredar Dari hasil survey di kabupaten/kotamadaya yang ada di NTB, terinventarisir 105 merk pupuk alternatif yang beredar. Dari 105 merk pupuk alternatif yang diperdagangkan, teridentifikasi bahwa pupuk-pupuk yang banyak diperjual belikan adalah merk Seprint sebanyak 58 persen, Gandasil B dan Gandasil D masing-masing 46 dan 44 persen, Alami 38 persen, NPK Grand S-15 sebanyak 35 persen, Green tonic 32 persen, Indofloor 30 persen, Sampurna B dan Sampurna D masing masing sebanyak 29 persen. Walaupun pupuk alternatif yang beredar cukup banyak, namun masih lebih banyak lagi yang tidak berlabel yang beredar di kios-kios. Seringkali pedagang juga mencampur pupuk tersebut, sehingga tidak jelas hasil, kualitas dan kandungannya. Tabel 1. Inventarisasi nama/merek pupuk alternatif yang beredar di NTB. 2002. No.
Nama/Merek Pupuk
1
2
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Adaptor Alami Agro-88 Agrosilvic Atonic Bayfolan B1 Cons 9000 Bambu Ijo
Toko/Pedagang sampel *) Jumlah 3 5 21 14 2 1 5 2 2
persen 4 9,09 38,18 25,45 3,64 1,82 9,09 3,64 3,64
No. 5 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61.
Nama/Merek Pupuk 6 NPK Scubmofe NPK Organik NPK Nugrasari NPK Prima Denta NPK Fertilizer Kencana NPK Organik Gajah Mas NPK Dharmatani NPK Cap Pak Tani
Toko/Pedagang sampel *) Jumlah 7 4 1 4 4 2 1 1 3
persen 8 7,27 1,82 7,27 7,27 3,64 1,82 1,82 5,45
100
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53.
2 Complesal hijau Complesal merah Catoni CPN Pak Tani DAP Dosdet Dica Grow Emvilon Etonic E 2001 Fofert Fosfo N Fitamic Fertila Gandasil B Gandasil D Gaedena B Gardena D Green tonic hijau Green tonic merah Green stant Green Tama Green Vitanic Grow More Grow Win Grand K Indomess Indofloor Indofertil KNO3 (Keno Telu) KNO3 Kali Chili Mamigro Super N Mamigro Super P Mbakomas Mitra Flora MOP KCl MOP KCL Kallan Multi K Duclos Mutiara Super MKP Cap Traktor Pak Tani NPK Grand –S15 NPK Granular NPK Libkapor NPK Prima NPK Ikan Mas
3 11 4 4 3 13 1 2 1 1 2 1 8 1 1 25 24 4 3 18 4 5 1 2 2 2 1 3 17 2 9 2 5 1 2 8 4 1 1 1 1 19 6 1 3 2
4 20,00 7,27 7,27 5,45 23,64 1,82 3,64 1,82 1,82 3,64 1,82 14,55 1,82 1,82 45,45 43,64 7,27 5,45 32,73 7,27 9,09 1,82 3,64 3,64 3,64 1,82 5,45 30,91 3,64 16,36 3,64 9,09 1,82 3,64 14,55 7,27 1,82 1,82 1,82 1,82 34,55 10,91 1,82 5,45 3,64
5 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94. 95. 96. 97. 98. 99. 100. 101. 102. 103. 104. 105.
6 NPK BASF NPG Phonska Petrovita Phospel Pupuk pacul Ppk. Pengebut Ppk. Penyubur Ppk Rimbun Potasium Nitrat Plant catalis Ronsae super Super oerstind Sampurna B Sampurna D Super king Supermes Seprint Sulfomag Plus Sulfomag Super Bionic Super Flora SP-35 Cap Kambing SP-30 Saprodap Saprodap Bara Sprint TCP-36 TCP-46 Topsil B Ureum Ultra Chili K Vitabloom D Vitabloom B Vitamic Venix Vitagrow B Vitagrow D 88 Spalding SZP – 26 ZK Wonder KCl Cair Wonder Phosphorus 36 ZK Plus
7 4 3 4 7 1 2 2 2 1 2 1 1 1 16 16 1 1 32 1 1 4 2 2 2 4 1 5 4 1 1 2 1 3 1 4 1 2 3 4 1 1 2 1 1
8 7,27 5,45 7,27 12,73 1,82 3,64 3,64 3,64 1,82 3,64 1,82 1,82 1,82 29,09 29,09 1,82 1,82 58,18 1,82 1,82 7,27 3,64 3,64 3,64 7,27 1,82 9,09 7,27 1,82 1,82 3,64 1,82 5,45 1,82 7,27 1,82 3,64 5,45 7,27 1,82 1,82 3,64 1,82 1,82
Ket : *) pedagang sampel toko/kios = 55
Karakteristik dan kualitas pupuk alternatif yang beredar Kualitas unsur hara pupuk alternatif yang beredar sangat beragam. Umumnya menyatakan lebih dari satu unsur. Pupuk alternatif yang beredar, umumnya terdiri atas dua bentuk yaitu padat (butiran dan tepung), dan cair. Warna dan kemasannya juga bervariasi. Kriteria yang ditetapkan oleh Puslittanak (1999) bahwa pupuk alternatif yang tergolong pada pupuk makro anorganik adalah pupuk yang merupakan sumber hara N, P, dan K dengan kandungan N, P dan K masing-masing minimal 10 persen. Dari hasil identifikasi terhadap 55 merk pupuk, 12 merk diantaranya mencantumkan kandungan dari setiap unsur N, P dan K lebih dari 10 persen, 5 merk mempunyai kandungan N dan P lebih dari 10 persen, 6 merk mencantumkan kadungan N dan K sama atau lebih besar dari 10 persen, dan hanya 1 merk yang mencantumkan kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen. Tetapi dari hasil pengujian kualitas di laboratorium menunjukkan bahwa 4 merk kandungan unsur (N, P, dan K) sama dengan atau lebih besar dari 10 persen, 2 merk kandungan N dan P sama dengan atau lebih besar 10 persen, 4 merk kandungan N dan K lebih besar dari 10 persen, 4 merk kandungan P dan K lebih besar dari 10 persen, dan 7 merk hanya kandungan unsur N saja yang sama atau lebih besar dari 10 persen.
101
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Hasil analisis terhadap 55 merk pupuk menunjukkan bahwa 16 merk memiliki kandungan N di atas 10 persen, 17 merk memiliki kandungan P diatas 10 persen, dan 18 merk memiliki kandungan K lebih dari 10 persen, dan selebihnya kandungan hara N, P, dan K pada label dan hasil pengujian laboratorium menunjukkan angka di bawah 10 persen. Hanya terdapat 4 merk yang memenuhi kriteria sebagai pupuk alternatif (kandungan N, P, dan K lebih dari 10 persen). Tabel 2. Kandungan hara N, P, dan K pada label dan hasil analisa laboratorium, dan karakteristik pupuk alternatif yang beredar di NTB. 2002. Kadar Unsur Hara (persen) No.
Nama Pupuk
(1)
(2)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Agro 88
N (3) -
Analisa Lab. P2O5 K2O (4) (5) 0.40 0.85
Karakteristik
Label Kemasan N P2O5 K2O (6) (7) (8) 3.39 6.16 11.36
Bayfolan
6.12
5.4
6.83
11
8
6
Complesal CPN Pak Tani DAP (abu-abu) DAP (krem) Dosdet Indomess Fofert Gardena D Gandasil B Gandasil D Grow More KNO3 Cap Pak Tani KNO3 Ultra Chili KNO3 Kali Chili Mbakomas MOP KCL MOP KCL Kallan MKP Cap Traktor Pak Tani NPK Granular (abuabu) NPK Grand S - 15 NPK Scubmofe NPK Nugrasari NPK Cap Pak Tani NPK Prima Denta NPK Fertilizer NPK Organik Cap Gajah Mas NPK BASF NPK Cap Ikan Mas NPK Prima (Grand) NPK Granular hitam NPK Fertilizer Kencana NPG Ppk. Pengebut Ppk. Rimbun Pupuk Penyubur Phonska Phospel PN (Potassium Nitrate) Phosfat 35 Kambing Sulfomag Plus
19.32 15.7 1.86 3.53 0.42 1.12 25.34 6.02 18.62 5.93 12.13 13.3 14.46 5.93 -
14.33 0.06 3.86 36.96 0.10 2.82 41.05 9.71 18.51 15.51 42.66 8.12 -
13.00 0.45 0.57 0.09 2.05 0.73 14.41 7.54 36.68 21.21 7.68 11.01 51.36 19.87 17.61 69.92 0.68
27 13 3.42 2.60 7.5 30.01 6 14 10 15 15 15 7.39 -
18 63.73 0.79 7.5 12.31 20 12 55 14 0 0 6.29 -
9 45 2.59 1.29 12.5 10.13 30 14 10 18 14 14 10.35 >60 60
-
47.41
34.75
-
52
34
0.7
0.24
0.80
4.05
3.37
7.74
11.76 2.8 23.55 15.89 21.81 12.65
14.45 0.14 0.17 15.39 0.50 7.70
14.69 1.23 0.22 0.54 0.48 8.86
15 11.08 16.33 16 23.47 16
15 4.5 1.82 16 10.03 16
15 21.78 5.81 8 6.68 16
0.21
2.08
0.45
0.68
3.21
0.20
5.94
19.51
21.90
15
15
15
8.20
25.27
19.10
15
15
15
0.44 2.24
0.13 3.24
0.31 3.07
4.05
3.37
8.74
0.66
6.54
5.14
15
15
15
4.2 0.25 0.37 3.55 13.0 -
0.22 0.14 1.50 0.82 17.80 0.13
24.49 29.43 7.52 18.34 0.45
0,38 5.92 10.27 15 -
2,95 0.07 0.58 15 -
0,38 43.07 10.03 15 -
14.46
0
55.78
13
-
45
-
0.24 0.40
0.75
-
-
-
Bentuk (9) Butiran Cair
Warna (10) Krem Hijau
Tepung Butiran Butiran Butiran Tepung Cair Cair Tepung Tepung Tepung Tepung Butiran Butiran Butiran Cair Butiran Butiran Tepung
Hijau tua Merah muda Bu-abu Krem Putih Biru tua Coklat Kuning telur Merah muda Putih kebiruan Biru langit Merah muda Putih
Butiran
Abu-abu
Butiran Butiran Butiran Butiran Tepung Butiran Butiran
Merah bata Merah jambu Merah jambu Krem Merah muda Merah bata Abu-abu
Butiran Butiran
Merah bata Merah muda
Butiran Butiran Butiran
Merah muda Hitam Merah bata
Butiran Tepung Tepung Tepung Butiran Tepung Butiran
Abu-abu Coklat Muda Coklat Muda Coklat muda Merah Bata Hijau muda Putih
Butiran Tepung
Abu-abu Krem
Hijau Merah bata Merah bata Putih
102
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
(1)
43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55.
(2) Sulfomag Sampurna B Sampurna D Saprodap Bara Saprodap Seprint SP - 35 Sheep SP - 30 Super Flora TCP - 36 TCP - 46 ZK (putih) ZK Plus
(3) 15.35 20.77 18.25 15.37 6.53 1.63 0.14 0.55
(4) 13.72 0.11 0.10 36.22 18.20 0.13 0.60 0.22 6.09 1.34 0.58 1.13
(5) 0.31 2.22 0.10 2.88 1.03 58.08 43.17
(6) 16 28 16 16 9.6 10.6 -
(7) 20 30 19 30 30 0.67 30 2.20 036 046 -
(8) 19 11 2.11 3.50 40
(9) Butiran Tepung Tepung Butiran Butiran Cair Butiran Butiran Cair Butiran Butiran Tepung Tepung
(10) Abu-abu Merah muda Putih Putih Coklat muda Hijau muda Abu kehitaman Abu-abu Biru muda Abu-abu Abu-abu Putih Abu-abu tua
Implikasinya, peredaran dan penggunaan pupuk perlu diawasi dengan memberikan beberapa syarat tertentu. Strategi yang harus ditempuh adalah setiap pupuk yang masuk harus mendaftar dan kemudian dianalisis. Hasil analisis laboratorium perlu diuji efektivitasnya dilapang, kemudian boleh diperdagangkan secara bebas. Pupuk alternatif yang banyak dibeli petani Dari 105 merk pupuk alternatif yang terinventarisir, 28 merk diantaranya yang banyak dibeli oleh petani, dan merk yang paling banyak dibeli adalah Seprint (29 persen), NPK Grand S-15 (22 persen), Gandasil B dan D masing-masing 15 persen. Dari 28 merk pupuk tersebut, 21 merk diantaranya telah dilakukan uji mutu di laboratorium. Hasil analisis menunjukkan bahwa, 4 merk pupuk alternatif yang memiliki kandungan hara dari setiap unsur N, P, dan K sesuai label dan memenuhi kriteria sebagai pupuk alternatif (lebih 10 persen), 3 merk memiliki kandungan 2 unsur lebih dari 10persen, sedangkan 9 merk lainnya hanya memiliki kandungan 1 unsur. Sedangkan 7 merk lainnya memiliki kandungan N, P, dan K di bawah 10 persen. Dari 7 merk tersebut, hanya 2 merk memiliki 1 unsur yang sesuai label, sedangkan lainnya memiliki kandungan hara N, P, dan K dibawah label. Tabel. 3. Pupuk alternatif yang banyak di beli oleh petani di NTB. 2002. No. 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Nama/Merek Pupuk 2 Seprint NPK Grand –S15 Gandasil B Gandasil D Indofloor NPK Prima Denta Sampurna D Sampurna B NPK Granular Adaptor NPK Nugrasari NPK Prima Phonska Alami DAP Dica Grow Fosfo N Green tonic hijau NPK Ikan Mas NPK Scubmofe NPK Organik KNO3 Kali Chili
Toko/Pedagang sampel *) Jumlah persen 3 4 16 29,09 12 21,82 8 14,55 8 14,55 5 9,09 4 7,27 4 7,27 3 5,45 3 5,45 3 5,45 3 5,45 3 5,45 3 5,45 2 3,64 2 3,64 2 3,64 2 3,64 2 3,64 2 3,64 2 3,64 1 1,82 1 1,82
103
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 23. 24. 25. 26. 27. 28.
3 1 1 1 1 1 1
2 NPK BASF NPG Ppk. Pengebut Ppk. Penyubur Potasium Nitrat SP-35 Cap Kambing
4 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82 1,82
Ket : *) pedagang sampel toko/kios = 55
KESIMPULAN DAN SARAN Dari data hasil survey terhadap peredaran dan hasil analisis mutu pupuk di laboratorium, maka dapat disimpulkan antara lain : 1. 2. 3. 4. 5.
Jumlah pupuk alternatif yang beredar dan diperdagangkan di NTB lebih dari 105 merk, dimana 28 merk diantaranya banyak digunakan oleh petani. Hasil uji laboratorium terhadap 55 merk pupuk alternatif menunjukkan bahwa hanya 25 % yang kandungan unsur hara N, P, dan K sesuai atau lebih besar dari yang tercantum dalam label kemasan. Berdasarkan klasifikasi pupuk alternatif, hanya terdapat 4 merk yang kandungan hara N, P, dan K lebih dari 10 persen dan memenuhi kriteria sebagai pupuk alternatif makro anorganik. Diperlukan sosialisasi ditingkat petani, agar dapat dijadikan acuan dalam memilih pupuk alternatif yang akan digunakan. Diperlukan pengawasan terhadap peredaran pupuk alternatif, agar tidak merugikan konsumen.
DAFTAR PUSTAKA Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian. keperluan pertanian.
2000.
Surat keputusan tentang tatalaksana penanganan pupuk untuk
Dirjen Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Pedoman umum penerapan pupuk alternatif pada tanaman pangan dan hortikultura. Petunjuk teknis operasional penerapan pupuk alternatif pada tanaman pangan dan hortikultura. Disampaikan dalam Forum koordinasi dan konsultasi pemanfaatan pupuk alternatif dalam mendukung Gema Palagung 2001. Hartatik, W. 1986. Pembandingan beberapa jenis pupuk Nitrogen pada tanaman padi gogo dan jagung. Laporan Puslittanak. Tidak dipublikasikan. Moersidi, S., I. Nasution, E. Santoso, dan Nurjaya. 2000. Monitoring kualitas pupuk. Laporan intern Puslittanak. Badan Litbang Pertanian. Tidak diterbitkan. Puslittanak, 1999. Petunjuk teknis uji mutu dan efektivitas pupuk alternatif. Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Badan Litbang Pertanian. Pusat
Setyorini, D., A. Kasno, dan J. Sri Adiningsih. 1995. Pengaruh pupuk majemuk lengkap tablet (PMLT) terhadap hasil jagung pada tanah Inceptisol dan Ultisol dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dn Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, 26 – 28 September 1995. hal : 1 – 12. Sofyan , A., J. Sri Adiningsih, dan A. Abdurachman. 1999. Pengaruh Pemupukan Sipramin selama tiga musim terhadap tanaman pangan dn dampaknya terhadap sifat kimia tanah. Seminar hasil penelitian/pengkajian penggunaan pupuk cair Sipramin. Malang, 6 – 7 Januari 1999.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3. 4.
Apakah bisa dijadikan sebagai rekomendasi penggunaan pupuk. Data ini sangat perlu untuk disosialisasikan di tingkat petani. Kenapa bapak tertarik masalah peredaran pupuk alternatif. Kenapa tidak diidentifikasi semua kotoran-kotoran ternak, untuk dibuat alternatif pupuk kompos.
104
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tanggapan : 1.
Pengkajian ini untuk mendukung tim pengawas pupuk dan pestisida yang ada di Propinsi dan kabupaten sebagai acuan untuk direkomendasikan. Jadi rekomendasi adalah tergantung dari tim tersebut.
2. 3.
Sosialisasi di tingkat petani terbatas pada hasil kajian yang dilaksanakan. Kajian peredaran pupuk alternatif ini dipandang perlu untuk mengetahui kualitas pupuk alternatif yang beredar dan untuk melindungi petani dari penggunaan pupuk yang tidak jelas efektivitasnya. Kompos merupakan salah satu pupuk alternatif, dan sudah banyak dikaji.
4.
105
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
THE USE OF BIO- AND CHEMO- RATIONAL APPROACH IN SEARCHING BIOACTIVE COMPOUNDS FOR PESTICIDES: ALKALOID COMPOUNDS FROM KUMBI (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe) Penggunaan ‘Bio- and Chemo-Rational Approach’ dalam pencarian Bahan Aktif Pestisida: Senyawa Alkaloid dari Tanaman Kumbi (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe) Surya Hadi Fakultas Pertanian Universitas Mataram, Jl. Pendidikan 37 Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, Indonesia,
[email protected]
ABSTRACT A serious problem faced to improve crop production is a yield loss as result of attack of insects and pathogens. Another further consequence of this problem is the needs of additional cost for pesticides. An alternative to reduce the cost is by the use of local plants that can be utilized as source of pesticides. A way in searching plant species for that purposes is by introducing a combined bio- and chemo-rational approach based on medicinal plants and alkaloids respectively. A plant species selected by the use of such approach was Voacanga foetida (Bl.) Rolfe. Chemical analysis from the bark of this species resulted a new alkaloid compound, lombine (1), was active against gram positive and negative bacteria. Other known alkaloid isolated from this part was voacangine (2) that also has antibacterial properties. Key words: approach, alkaloid, kumbi, Voacanga foetida
ABSTRAK Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan produksi tanaman adalah kehilangan produksi akibat serangan hama dan penyakit yang berakibat pada peningkatan biaya produksi untuk pengendaliannya. Salah satu usaha guna menekan biaya produksi tersebut adalah melalui pemanfaatan tanaman lokal yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan aktif pembuatan pestisida. Guna mendapatkan jenis tanaman tersebut, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan melalui ‗bio- and chemo-rational approach‘ berbasis pada tanaman obat dan senyawa alkaloid. Salah satu jenis tanaman yang berpotensi sebagai penyedia bahan aktif pestisida yang diperoleh dengan menggunakan pendekatan tersebut adalah tanaman kumbi. Analisis kimia kulit batang dari tanaman tersebut menghasilkan senyawa baru lombine (1) yang terbuksi menghambat petumbuhan bakteri gram positif dan negatif. Senyawa alkaloid lain yang diperoleh dari tanaman ini yang memiliki aktivitas antibakteri adalah voacangine (2) Kata kunci: pendekatan, alkaloid, kumbi, Voacanga foetida
INTRODUCTION As microbial resistance to current pesticides increases in the present day, there has developed an urgent need to discover new pesticides for agricultural uses. It is perhaps readily apparent that the introduction of pesticide agents, some of which are secondary metabolites (i.e., natural products), has contributed significantly to reducing loss of crop production. However, as pesticide industries have created newer pesticides, insects and pathogens have developed mechanisms to overcome the effects of these potent agents.1,2 The identification of structurally novel natural products with antimicrobial activity might be adopted as a way of tackling this problem. While various approaches to locating such natural products have been undertaken, researchers within the author‘s group have introduced a combined chemo- and biorational strategy based on alkaloids extracted from medicinal plants previously used in searching antibiotics and antimalarials.10 By targeting alkaloid-containing medicinal plants, it was hoped that novel compounds with the required bioactivity would be found and isolated more efficiently. Such an approach would also eliminate widely distributed tannins and polyphenolics, which often show some biological activity, from consideration. Alkaloids were defined initially as basic compounds containing at least one nitrogen atom in their structure. However, as the actual structure and biogenetic origin of alkaloids emerged, the notion that they were largely derived from amino acids and the constraint that the nitrogen was situated in a heterocyclic ring were added. Alkaloids have a diverse range of structures and many show an array of
106
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
pharmacological activities including antimicrobial properties. 3,4 They are also normally readily separable from other plant metabolites as a result of their basicity. A further positive feature of alkaloids is that the nitrogen site (or sites) can be used for further derivatisation and analogue development.
METHODOLOGY 1. Plant Collection A hundred candidate plant species were investigated on the basis of their possibility of indicative antimicrobial activities based on their local uses as remedies for wounds, malaria, or fever. The required field information was gathered by interviewing the local people living where the plants were collected. There were thirteen villages involved in this investigation throughout Lombok island, which is divided administratively into three regions: western, central, and eastern Lombok. The villages of Narmada, Suranadi, Ampenan, Kekait, and Mataram are located in the western region, while the villages of Puyung, Kopang, Mantang, and Sepakek are in the central region. The rest of the villages (Masbagik, Tetebatu, Kotaraja, and Pancor) are in east Lombok. 2. Alkaloid Screening Semi-quantitative alkaloid testing was carried out either in the field or in the laboratory according to the procedure described by Culvenor and Fitzgerald, 5 and Bick et al. 6 A sample of the plant part (~ 5 g) was ground in a mortar with a small amount of acid-washed sand, or the sample was preground in a coffee grinder. Ammoniacal CH2Cl2 (10.0 ml) was added and the mixture was stirred for about one minute before filtering the CH2Cl2 into a small tube. Sufficient recovery of the solvent was obtained by pressing the material in the filter with a cork. Dilute H2SO4 (1.0 M, 0.5 ml) was then added and the test tube was sealed with a cork and shaken, and the phases allowed separating. The aqueous phase was removed with a dropper, the tip of which was fitted with a cotton wool plug. Three drops of aqueous solution were then placed in a small rimless tube for testing with Mayer‘s reagent (K2HgI4). The density of the diagnostic precipitate formed was finally assessed on a + to ++++ scale, a + result was indicated by a milky turbidity, and ++++ by a heavy white to cream precipitate. Ammoniacal CH2Cl2 was made up by adding three drops of concentrated aqueous ammonia solution in CH2Cl2 (10 ml) and the mixture was shaken. Excess water was removed with anhydrous Na2SO4. Dilute H2SO4 (1.0 M) was prepared by diluting concentrated H2SO4 (10.0 ml) in a 100 ml volumetric flask with water. Mayer‘s reagent was freshly made up by dissolving a mixture of mercuric chloride (1.36 g) and of potassium iodide (5.00 g) in water (100.0 ml). 3. Alkaloid Isolation Procedure Before extraction, parts of the plants were prepared by air-drying in the shade at room temperature (ca. 27oC) followed by grinding separately in a coffee grinder. The procedure for extraction of the alkaloid from the five plants selected is as follows. Ground plant material was extracted with cold distilled MeOH with occasional swirling. Methanol extraction was continued until the plant material gave a negative alkaloid test (Culvenor and Fitzgerald Procedure 5). After filtration, the solvent was removed under reduced pressure at 40oC, to minimise any thermal degradation of the alkaloids. The crude alkaloid mixture was then separated from neutral and acidic materials, and watersoluble materials, by initial extraction with aqueous acetic acid (CH 3CO2H) followed by dichloromethane (CH2Cl2) extraction and then basification of the aqueous solution and further CH 2Cl2 extraction. 4. Antibacterial Test Procedure The crude alkaloid extracts and isolated alkaloidal compounds were tested using the FDA assay described by Chand and co-wokers.7,8 The microorganisms, cultured overnight, were diluted to an absorbance of 0.12 at 600 nm and grown (37oC, 30 min) to absorbance of 0.18. The culture (175.0 l) was filled to wells of tissue culture plates. A solution of the test substance (20.0 l) or appropriate control was added to each well in triplicate. Before FDA (5.0 l, 0.2% solution in acetone) was added, the microtitre plate was incubated at 37oC for 30 min. The incubation was then continued for three hours or
107
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
until fluorescence was easily observed under UV light ( 254 nm). The results were recorded as positive (+ to ++) or negative according to the fluorescence detected. To determine any possible effect of acetone on the viability of the cells, three replications of controls consisting of acetone (20.0 l) with FDA were added to each test plate. Additional controls to ascertain whether the tested compound hydrolysed FDA were made by including tested compounds in broth solution (175.0 l) with FDA. After the FDA assay was completed, the culture (20.0 l, in triplicate) from all the wells that did not show fluorescence, were spread on to agar to observe whether the cells were able to recover. The plates were then incubated (overnight, 37oC). The visibly growing colonies were counted and compared to a dilution series of a control culture from the FDA plate containing acetone.
RESULTS AND DISCUSSION Plant Collection The plants collected were widely distributed in 49 families and 80 genera, giving some indication of the variety of medicinal plants growing on Lombok. Of these plants, twenty-three species (23%) contained alkaloids (Table 1). In a survey of plants of Tasmania, Australia, focussing mainly on endemic species in this cool temperate environment, 6 15 % of the plant species gave positive alkaloid tests. However, in a similar alkaloid survey in Queensland, Australia, with many tropical and sub-tropical species, 20% of species were positive.9 There are a great potency for those plants to be intensively studied for pesticides, since they have indications having antimicrobial properties on the basis of medicinal uses and alkaloid containing. Table 1. Lombok medicinal plant species giving a positive test for alkaloids Family 1 Amaryllidaceae Annonaceae Apocynaceae
Caesalpiniaceae Caricaceae Convolvulaceae Cucurbitaceae
Euphorbiaceae Lamiaceae Loganiaceae Magnoliaceae
Meliaceae Mimosaceae Moraceae Moringaceae Rubiaceae
2 Crinum asiaticum L. Annona squamosa L. Alstonia scholaris R.Br. Voacanga foetida (Bl.) Rolfe Cassia siamea Carica papaya L. Ipomoea batatas Polr. Momordica charantia L. M. bicolour Bl. Jatropha multifida L. Drysophylla auricularia (L.) Bl. Strychnos ligustrina Bl. Michelia champaca L. M. alba DC. Azadirachta indica Juss. Crotalaria retusa L. Ficus septica
3 Masbagik, EL
4 MEL03
Kotaraja, EL
KEL13
Diseases/ Conditions Treatedb 5 Wounds, abscesses Fever
Kotaraja,EL
KEL3
Malaria
Kekait, WL
KWL01
Kotaraja,EL Narmada, WL Narmada, WL
KEL02 NWL04 NWL03
Almost all skin diseases Malaria Malaria, Ulcers Wounds
Pancor, EL
PEL07
Malaria
Narmada, WL Ampenan, WL
NWL10 AWL03
Lf(++), st(++), rt (+) Lf (-), bk(-), sd(+)
Masbagik, EL
MEL05
Malaria Swellings, wounds Fever
Masbagik, MEL
MEL12
Malaria
Lf(-), bk(+++), rt(++)
Mataram, WL
MWL06
Fever, wounds
Narmada, WL Kopang, EL
NWL07 KCL02
Malaria Dysentery malaria
Lf(+++), bk(+++), rt(++) Lf(++), bk(++), rt(++) Lf(++), bk(++), rt(+)
Kotaraja, EL
KEL14
Fever, wounds
Mataram, WL
MWL05
Wounds
Moringa oleifera Lamk. Psychotria malayana Jack.
Mataram, WL
MWL08
Fever, Wounds
Lf(++), st(+), rt(++), fr(-) Lf(+++), bk(+++), rt(+++) Lf (++), bk (++), rt (++)
Suranadi, WL
SWL04
Wounds, skin diseases
Lf(++), bk(++), rt(-), fr(-)
Species
Localitya
Collection Code
Part testedc (Result)d 6 Lf(++), bl(++) Lf(+), bk(++), rt(++) Lf(+++), bk(+++), rt(+++) Lf(+++), bk(++++), fr(+++), sd(+++) Lf(+++), bk(++), rt(++) Lf(++), st(-), rt(-), fr(-) Lf(+), rh(-) Lf(++), st(++), fr(+)
Lf(++), St(++), rt(+)
108
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 Sterculiaceae Verbenaceae
Zingiberaceae
2 Sterculia foetida Linn. Clerodendron calamitosum L. C. paniculatum L. Curcuma xanthorrhiza Roxb.
3 Kotaraja, EL
4 KEL01
5 Fever, malaria
Kotaraja, EL
KEL12
Malaria, wounds
6 Lf(++), bk(+++), (rt(+++) Lf (++)
Narmada, WL Mataram, WL
NWL06 MWL02
Sore eyes Diarrhoea, malaria
Lf(-), fl(++), rt(-) Lf (+), rh (+)
a
WL(West Lombok), CL(Central Lombok), EL(East Lombok); b Information gathered by interviewing local people and confirmed by Perry.63 c bk (bark), st (stem), rt (root), bl (bulb), rh (rhizome), fl (flower), fr (fruit), sd (seed); plant parts printed in bold are those used medicinally; d A result of (++++) indicates a very heavy precipitate with Mayer’s Reagent, (+++) a moderate precipitate, (++) a light precipitate, and (+) a milkiness in the solution
A combined chemo- and bio-rational Approach and Alkaloids from Kumbi (Voacanga foetida (Bl.) Rolfe) A combined chemo- and bio-rational strategy, based on alkaloids and medicinal plants respectively, was demonstrated to be an effective and efficient approach in finding new biologically active components from nature. By targeting alkaloid compounds, many of which are known to have biological activity, and a plant selection guided by information of traditional medicinal uses, several new and known antimicrobial alkaloids were isolated.10 Some of these could be useful for pesticides as they were active against pathogenic bacteria. However, due to limited studies on antimicrobial properties of isolated compounds carried out, further work is necessary. The following is to discuss a plant species Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, locally called kumbi, which was selected by the use of above approach. Through the steps of extraction, isolation, purification, and structure elucidation, a new optically active indole alkaloid lombine (major) and the known alkaloid voacangine (minor) were isolated and identified from the bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, used ethnomedically on Lombok for the treatment of wounds, itches, and swellings. The structure elucidation of those compounds will be published elsewhere. The antibacterial testing of the crude alkaloidal extracts used the Fluorescein Diacetate Assay (FDA) procedure presented by Chand et al.7 and Benkendorff et al.8 The crude alkaloidal extracts from bark of the plant V. foetida, bark, were found to inhibit the hydrolysis of FDA by bacteria at a concentration of 5 mg/ml (Table 2). The crude alkaloidal extract from the bark inhibited the growth of the Gram-positive bacterium, Staphylococcus aureus, and the Gram-negative bacterium, Escherichia coli, at a concentration of 5 mg/ml. Partial growth inhibition was also displayed by the crude extract at a lower concentration (0.5 mg/ml). It was found that the new compound lombine (1), a major compound isolated from the bark, was active against both S. aureus and E. coli. The antibacterial activity of lombine (1) was substantially greater than the crude extract, with complete growth inhibition occurring at 0.5 mg/ml for both bacteria. At a concentration 0.05 mg/ml, lombine (1) displayed partial growth inhibition. Bactericidal activity was assessed via replating on agar and undertaking associated dilution studies. Lombine (1) exhibited bactericidal activity against S. aureus and E. coli causing 94% and 95% cell death respectively at a concentration of 0.5 mg/ml when compared to control cultures. Lombine (1) thus has modest bactericidal potency and could form a useful lead for further antibacterial development. Voacangine (2), the minor component in the bark, at a concentration of 1.0 mg/ml showed bacteriostatic activity against S. aureus, killing 87% of the bacterial cells.
109
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Table 2. Bacteriostatic activity of samples from bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe Sample
Concentration (mg/ml)
Bacteriostatic activity S. aureus** E. coli** ++ ++ + +
CEA* of bark
5.0 0.5
Lombine
0.5 0.05
++ +
++ +
Voacangine
1.0 0.1
++ +
-
* CEA = crude extract of alkaloids; ** (++: Complete suppression of FDA hydrolysis; +: partial FDA hydrolysis; -: no antimicrobial properties) O
MeO
N
N N H
N H
H
H
H COOMe
MeOOC
Lombine (1)
Voacangine (2)
From the above observations, it appears that the alkaloid lombine (1) had a broader spectrum of activity compared to voacangine (2), since it killed both Gram positive and Gram negative bacteria. This initial result indicated that from the bark of Voacanga foetida is able to develop bactericide agents having broad and specific target of pathogens. However, further studies have to be done to confirm further this evidence.
CONCLUSIONS AND FUTURE WORK A combined chemo- and bio-rational strategy, based on alkaloids and medicinal plants respectively, was a effective strategy to be used in finding new pesticides from nature. By following the steps of extraction, isolation, purification, and structure elucidation, a new optically active indole alkaloid lombine (major) and the known alkaloid voacangine (minor) were isolated and identified from the bark of Voacanga foetida (Bl.) Rolfe, used ethnomedically on Lombok for the treatment of wounds, itches, and swellings. Initial antibacterial testing of the crude alkaloid extract from V. foetida (Bl.) Rolfe (bark ) showed activity against both Gram-positive (Staphylococcus aureus) bacteria and Gram-negative (Escherichia coli) bacteria. The new alkaloid lombine and the known compound voacangine were found to have antibacterial properties. Future work should be focussed on the synthesis of the new alkaloid lombine (obtained from V. foetida), designing and preparing derivatives, and investigating the mode of action against Staphylococcus aureus and Escherichia coli. Testing against other pathogenic strains should also be carried out. Further work could also examine synergistic and antagonistic mechanisms between alkaloid components from the plant V. foetida.
ACKNOWLEDGMENTS I would like to give my sincere thanks to my supervisor, Prof. John B. Bremner for his continuous guidance and support during the course of this study. Thanks are extended to AusAid for the scholarship and to the Institute for Biomolecular Science in providing extra funds to assist this project.
110
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
REFERENCES (1)
Acar, J. F.; Goldstein, F. W. Consequences of increasing resistance to antimicrobial agents. Clin. Infect. Dis. 1998, 27, S125-S130.
(2)
Lister, P. D. Antibacterial resistance. Infectious Disease and Therapy 2002, 28, 327-365.
(3)
Cordell, G. A.; Quinn-Beattie, M. L.; Farnsworth, N. R. The potential of alkaloids in drug discovery. Phytotherapy Research 2001, 15, 183-205.
(4)
Hadi, S.; Bremner, J. B. Initial studies on alkaloids from Lombok medicinal plants. Molecules [online computer file] 2001, 6, 117-129.
(5)
Culvenor, C. C. J.; Fitzgerald, J. S. A field method for alkaloid screening of plants. J. Pharm. Sci. 1963, 52, 303-304.
(6)
Bick, I. R. C. B., J.B.; Paano, A.M.C.; and Preston, N.W. A Survey of Tasmanian Plants for Alkaloids; University of Wollongong, 1996; pp 4-37.
(7)
Chand, S.; Lusunzi, I.; Veal, D. A.; Williams, L. R.; Karuso, P. Rapid screening of the antimicrobial activity of extracts and natural products. J. Antibiot. 1994, 47, 1295-1304.
(8)
Benkendorff, K.; Davis, A. R.; Bremner, J. B. Chemical defense in the egg masses of benthic invertebrates: an assessment of antibacterial activity in 39 mollusks and 4 polychaetes. Journal of Invertebrate Pathology 2001, 78, 109-118.
(9)
Webb, L. J. An Australian phytochemical survey. I. Alkaloids and cyanogenetic compounds in Queensland plants. Australia, Commonwealth Sci. Ind. Research Organ., Bull. 1949, No. 241, 56 pp.
(10) Hadi, Surya. Bioactive Alkaloids from Medicinal Plants of Lombok. Department of Chemistry, University of Wollongong (PhD thesis). 2002, 260 pp.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3.
Kalau ini diaplikasikan dikhawatirkan akan mengurangi kesuburan tanah (karena sfektrumnya luas sekali) atau lebih spesifik lagi mengenai bakteri-bakterinya. Bagaimana spesifikasi tentang kumbi terhadap senyawa. Kalau mungkin diaplikasikan petani, berapa efesiensinya.
Tanggapan :
1. Apa yang Ibu uraikan tadi akan menjadi bahan pertimbangan kami untuk penyempurnaan
111
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGARUH WAKTU PEMBERIAN PAKLOBUTRAZOL DALAM MENGATUR WAKTU PEMBUAHAN MANGGA DI KECAMATAN BAYAN, KABUPATEN LOMBOK BARAT Muji Rahayu dan Mashur Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat
ABSTRAK Musim panen mangga di Kecamatan Bayan relatif singkat yaitu terjadi pada bulan November - Januari. Untuk mempercepat waktu pembuahan, telah dilakukan penelitian penggunaan Paklobutrazol 3750 ppm dan pemupukan NPK 4 kg/pohon. Perlakuan yang diuji-cobakan adalah waktu aplikasi Paklobutrazol yaitu T1 = pada bulan Pebruari, T2 = pada bulan Maret, T3 = pada bulan April dan T4 = Kontrol (tanpa Paklobutrazol). Penelitian dilakukan pada 6 unit lahan petani kooperator di Desa Anyar, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Barat pada bulan Januari - Nopember 2002. Pohon uji yang dipergunakan adalah mangga Arumanis umur + 15 tahun sebanyak 120 pohon. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan 6 kali ulangan, dimana petani kooperator sebagai ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi Paklobutrazol pada bulan Pebruari (T 1) dapat memajukan pembungaan 58 hari atau waktu panen 61 hari lebih awal dan berbeda nyata dibanding kontrol, sedangkan aplikasi pada bulan Maret (T2) dapat memajukan waktu panen 40 hari dan aplikasi bulan April (T 3) tidak berbeda nyata dengan kontrol. Dari pengamatan hasil (produksi/pohon) tampak bahwa perlakuan paklobutrazol (T1,T2 dan T3) berbeda nyata dengan kontrol (T4). Hasil terbaik adalah pada perlakuan T 2 yaitu 154,80 kg/pohon disusul oleh perlakuan T3 = 148,40 kg/pohon, T1 = 110,90 kg/tan dan kontrol sebesar 96,12 kg/pohon. Hasil analisis ekonomi tampak bahwa pendapatan bersih T 1 adalah paling tinggi yaitu sebesar Rp. 192.400,- dibanding kontrol sebesar Rp. 69.720,- per pohon. Perbedaan pendapatan selain disebabkan oleh selisih produksi/tanaman juga disebabkan selisih harga yang cukup jauh, pada saat off season dan on season. Hasil pengkajian ini dapat menyediakan kontinuitas hasil mangga sekitar enam bulan, dari bulan Agustus sampai Januari. Kata kunci : mangga, produksi, kontinuitas, off season
PENDAHULUAN Perkembangan pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB) sampai saat ini masih diprioritaskan pada upaya swasembada pangan khususnya beras sehingga pengembangan komoditas pangan lainnya misalnya buah-buahan masih belum banyak dilakukan. Buah-buahan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat. Pengembangan komoditas buah-buahan diharapkan mampu memberi nilai tambah bagi produsen dan industri pengguna, sedangkan bagi konsumen akan sangat bermanfaat untuk memperbaiki perimbangan gizi dalam pola makannya. Melalui penetapan kawasan sentra produksi (KSP) buah, maka dukungan teknologi spesifikasi lokasi dan teknologi hulu sampai akhir (pembibitan sampai pasca panen) harus disiapkan, antara lain teknologi pembuahan di luar musim. Teknologi tersebut merupakan alternatif pemecahan masalah dalam menanggulangi musim raya buah yang berdampak pada merosotnya harga jual produksi. Teknologi pembuahan buah yang telah diadaptasikan oleh Balai Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) adalah pada komoditas mangga. Produksi mangga yang dihasilkan dari berbagai kabupaten di Nusa Tenggara barat (NTB) mempunyai potensi diperdagangkan ke luar daerah atau ekspor. Hasil pemantauan di lapangan, misalnya produksi mangga di Kecamatan Bayan Lombok Barat sebagian besar di pasarkan ke luar daerah (Pulau Jawa), tetapi berganti merek menjadi ― Mangga Probolinggo ― sampai di konsumen. Masa Panen mangga di daerah ini cukup singkat yaitu sekitar tiga bulan (November – Januari). Di luar waktu tersebut jarang dijumpai kecuali untuk mangga madu yang tidak mengikuti pola musim seperti jenis mangga lainnya. Untuk memperpanjang masa panen dan ketersediaan mangga di kawasan sentra produksi, maka dapat dilakukan dengan cara mengatur waktu pembungaannya. Cara tersebut dengan memanipulasi fisiologi tanaman dengan menggunakan zat pengatur tumbuh Paklobutrazol (Wieland, et al., 1985). Zat tersebut mampu memacu tanaman untuk berbunga lebih awal dari biasanya. Penggunaan Paklobutrazol 3750 ppm yang diimbangi dengan NPK 2 kg/pohon pada tanaman mangga berumur 15 tahun mampu memacu pembungaan mangga 2 kali setahun dan meningkatkan produksi 43,82 % (Tegopati, et al, 1994;
112
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Parmono dan Prahardini, 1994). Pada saat pemberian zat pengatur tumbuh tersebut sampai dengan keluarnya bunga memerlukan waktu 2 – 3 bulan, sedangkan dari saat berbunga sampai panen memerlukan waktu 3 – 4 bulan, sehingga total waktu yang diperlukan dari saat pemberian Paklobutrazol sampai panen memerlukan waktu 5 – 6 bulan (Kusumo, S, dkk., 1975). musim. Timur.
Dengan pemacuan tersebut diperoleh panen buah mangga yang lebih awal atau panen di luar Keberhasilan teknologi tersebut telah banyak diterapkan oleh perkebunan mangga di Jawa Penelitian bertujuan untuk memperoleh waktu panen lebih awal dan peningkatan produksi.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilakukan di lahan petani Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok barat, sejak bulan Januari sampai November 2002. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah mangga Arumanis umur + 15 tahun sebanyak 120 pohon. Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah Paklobutrazol 3750 ppm atau setara dengan 7,5 cc Cultar/1 liter air yang diimbangi pupuk NPK 4 kg/pohon. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan enam ulangan. Pemupukan pertama diberikan pada saat satu bulan setelah panen Bulan Desember 2001 (setelah kegiatan pemangkasan), sedangkan pemupukan kedua diberikan saat tanaman mulai berbunga. Paklobutrazol diberikan setelah pupus keempat (Pebruari, Maret dan April 2002). Pupuk NPK, Paklobutrazol dan pengairan diberikan melalui tanah di bawah tajuk tanaman. Tolok ukur yang dipakai untuk menduga pengaruh zat pengatur tumbuh dan pupuk terhadap pembungaan dan pembuahan adalah perubahan morfologis ranting tanaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.
Saat Pembungaan.
Pembungaan periode pertama pada T1 sejumlah 1,4 % terjadi pada saat 51 hari setelah aplikasi Paklobutrasol pertama, kemudian 6 hari berturut-turut tunas-tunas pucuk mulai muncul bunga. Pembungaan periode pertama berhenti pada hari ke 82, yaitu sebesar 25,4 %. Demikian pula dengan pembungaan pada T2, bunga muncul pertama pada selang sekitar empat minggu dari awal pembungaan pada T1 dan berakhir pada hari ke 115 dengan persentase ranting bunga sebesar 28,8 %. Keadaan ini berbeda pada tanaman kontrol, yang awal berbunganya terjadi pada hari ke 115 dan berakhir pada hari ke 139 dengan persentase ranting berbunga 11,4 %. Dengan demikian pengaruh Paklobutrazol dapat memajukan saat pembungaan mangga berkisar 58 hari pada T 1, 40 hari pada T2 dan tidak ada beda nyata antara T3 dan T4 (Kontrol). Tabel 1. Persentase Perkembangan Jumlah Ranting Produktif pada Pembungaan Mangga Periode Pertama Perlk. T1 T2 T3 Kontrol
51 1,4 0 0 0
57 6,4 0 0 0
63 18,2 0 0 0
69 20,4 0 0 0
Hari setelah aplikasi Paklobutrazol pada T1 75 81 87 93 109 115 25,4 0 2,2 6,8 10,8 19,8 22,4 28,8 0 0 0 0 1,6 5,4 0 0 0 0 0 0,7
121
127
133
139
0 11,4 1,8
16,2 8,6
19,2 10,2
0 11,4
Sumber: Data primer diolah
Persentase ranting berbunga pada pembungaan periode kedua lebih besar daripada periode pertama, yaitu pada T1 = 40,5 %, T2 = 92,6 %, T3 = 85,28 %, dan T4 = 48,8 %. Awal pembungaan pada periode ini terjadi sekitar tujuh minggu dari periode pertama dengan interval waktu berbunga pada masing-masing perlakuan hampir sama dengan periode pertama.
113
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 2. Persentase Perkembangan Jumlah Ranting Produktif pada Pembungaan Periode kedua Perlk T1 T2 T3 Kontrol
127 2,8 0 0 0
133 14,2 0 0 0
139 20,6 0 0 0
145 30,2 0 0 0
Hari setelah aplikasi Paklobutrazol pada T1 151 156 162 168 174 182 40,5 85,9 0 2,6 26,2 50,6 85,4 92,6 0 0 0 0 4,6 14,2 20,4 0 0 0 1,8 6,4 18,8
188
194
206
212
40,8 26,8
60,2 30,6
85,3 32,4
0 48,8
Sumber: Data primer diolah
2.
Hasil dan Komponen Hasil
Pengaruh Paklobutrazol dan waktu aplikasinya terhadap hasil dan komponen hasil mangga disajikan pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Pengaruh Paklobutrazol dan Waktu Aplikasinya Terhadap Hasil dan Komponen Hasil Mangga Perlakuan T1 T2 T3 T4/Kontrol
% Ranting Produktif (Periode 1) 25,42 ab 28,20 a 19,20 b 11,40 b
% Ranting Produktif (Periode 2) 85,92 ab 92,60 a 85,28 ab 48,86 b
Bakal Buah (Periode 1)
Bakal Buah (Periode 2)
10,42 b 20,80 a 15,10 ab 2,32 c
40,52 b 58,68 a 50,18 ab 38,34 c
Produksi (kg/ph) 110,90 b 154,80 ab 148,40 ab 90,12 c
Sumber: Data primer diolah
Tabel 3. menunjukkan bahwa aplikasi Paklobutrazol pada bula Pebruari (T 1) jumlah ranting produktif pada pembungaan periode pertama dan kedua persentase untuk menjadi bakal buah (fruit set) sangat rendah, hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut banyak hujan yang menyebabkan banyak bunga yang gugur. Keadaan ini berbeda pada aplikasi sesudahnya yaitu pada bulan Maret dan April. Hasil analisis tampak bahwa produksi total per pohon sangat bervariasi. Produksi tertinggi dicapai pada T2 (aplikasi Bulan Maret) yaitu sebesar 154,80 kg/ph, diikuti oleh T 3 = 148,40 kg/ph, T1 = 110,9 kg/ph, dan berbeda nyata dengan kontrol atau tanaman tanpa perlakuan dengan paklobutrazol yang hanya menghasilkan 90,12 kg/ph. 3.
Analisis Usahatani
Tabel 4. Biaya Tambahan dati Teknologi Pengaturan Waktu Panen Mangga dengan Paklobutrazol Uraian Bahan : Paklobutrazol Pupuk Tenaga Kerja Pengairan Total Pengeluaran (Rp) Produksi (kg/ph) Harga (Rp/kg) Penerimaan kotor (Rp/ph)
T1 5.400 14.000 8.000 2.000 29.400 110,90 2.000 221.800
T2 5.400 14.000 8.000 2.000 29.400 154,80 1.250 193.500
T3 5.400 14.000 8.000 2.000 29.400 148,40 1.000 148.400
T4 0 14.000 8.000 2.000 29.400 90,12 1.000 90.120
Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan penambahan input yang berupa Paklobutrazol 3750 ppm perpohon atau senilai Rp. 5400,-/pohon maka dapat meningkatkan pendapatan pada T1, T2 dan T3. Pendapatan tertinggi dicapai pada T1 (aplikasi Paklobutrazol pada bulan Pebruari) yaitu mencapai Rp. 192.400,-/ pohon dan mendapatkan kenaikan pendapatan sebesar Rp. 122.680,- atau mencapai kenaikan 175,96 % dibanding tanpa pemberian Paklobutrazol. Pendapatan tertinggi yang dicapai T1 (panen bulan Agustus) disebabkan oleh tingginya harga jual mangga yang mencapai Rp. 2000,-/kg pada saat panen, sedangkan harga jual mangga pada saat panen T2 (panen bulan September) mencapai Rp. 1250,-/kg dan T3 serta T4 (panen bulan November) hanya Rp. 1000,-/kg.
114
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KESIMPULAN Pemberian Paklobutrazol pada bulan Pebruari (T 1) dapat mempercepat pembungaan 58 hari lebih awal atau sekitar 61 hari lebih awal saat panen dibandingan dengan kontrol (T 4). Produksi teringgi terjadi pada perlakuan T 2 (aplikasi Paklobutrazol pada bulan Maret) yaitu sebesar 154,80 kg/ph dengan persentase bakal buah paling banyak yaitu 20,80 % pada periode pertama dan 58,68 % pada periode kedua. Produksi tertinggi diikuti oleh perlakuan T 3 = 48,40 kg/ph, T1 = 110,90 kg/ph, sedangkan kontrol (T4) = 90,12 kg/ph. Pendapatan tertinggi diperoleh pada perlakuan T 1, meskipun dari segi produksi lebih rendah dari T2 dan T3, tetapi faktor harga jual yang mencapai Rp 2.000/kg saat panen sangat menentukan di dalam pencapaian pendapatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Purnomo, S dan P.E.R. Prahardini, 1989. Perangsangan Pembungaan dengan Paklobutrazol dan Pengaruhnya terhadap Hasil Buah Mangga ( Mangifera indica,L) Hortikultura 7 : 16-24 Kusumo, S., R. Soehendro, S. Purnomo dan Suminto, Tj., 1975. Mangga (Mangifera indica, L). Lembaga Penelitian Hortikultura. Pasar Minggu. Jakarta. Purbiati,T., B. Pikukuh, Yuniarti dan P. Santoso. 1988. Rakitan Teknologi Budidaya Mangga. Monograf Rakitan Teknologi. BPTP Karangploso Malang Wieland, W.F. and R.L. Wampe., 1985. Efects of Paklobutrazol on growt, photosyntesis and carbohydrate content of delicious apples. Sci. Hort. 20 : 139 – 147.
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2. 3. 4.
Bagaimana cara pemberian/aplikasi di tingkat lapangan. Apakah pada bulan Pebruari silkus pembungaan mangga masih ada. Saya tidak melihat lebih jelas analisis. ZPT dikombinasikan dengan NPK (apakah yang memacu pembungaan itu adalah ZPT tersebut/ pupuk yang diberikan)
Jawaban : 1. 2. 3.
Paklobutrazol diaplikasikan pada sore hari. Dari hasil analisis ekonomi, yang terbaik pada aplikasi bulan Februari. Siklus pembungaan bulan Juli Mangga berbunga 2 periode pembungaan
115
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGELOLAAN PUPUK NITROGEN PADA TANAMAN JAGUNG DENGAN ALAT PANDU BAGAN WARNA DAUN Awaludin Hipi, B. Tri Ratna Erawati, M. Lutfhi dan Sudarto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat P.O. Box. 1017. Mataram NTB
ABSTRAK Strategi pengelolaan pupuk N yang optimal ditujukan kepada pemupukan N yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, sehingga diharapkan dapat mengurangi kehilangan N dan dapat meningkatkan serapan N oleh tanaman. Untuk mendeteksi kapan pemberian N sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka strategi pengelolaan N diarahkan dengan menggunakan alat pandu Bagan Warna Daun (BWD). Tujuan dari pengkajian ini adalah: 1) Mengetahui nilai skala warna daun sebagai batas kritis untuk pemupukan jagung hibrida; 2) Mengetahui jumlah penggunaan pupuk N yang tepat dengan alat pandu bagan warna daun. Pengujian dilaksanakan di Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, pada MK II 2001. Lokasi pengujian merupakan lahan sawah beririgasi teknis dengan jenis tanah Regosol. Perlakuan yang diuji terdiri atas : A) Skala Warna Daun 3 @ 11,5 kg N/ha; B) Skala Warna Daun 3 @ 23 kg N/ha; C)Skala Warna Daun 4 @ 11,5 kg N/ha; D) Skala Warna Daun 4 @ 23 kg N/ha; E) Skala Warna Daun 5 @ 11,5 kg N/ha; F) Skala Warna Daun 5 @ 23 kg N/ha; G) Rekomendasi (138 kg N/ha); H) Kontrol (tanpa pupuk). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk N dengan alat pandu BWD pada skala 5 @ 23 kg/aplikasi, secara agronomis dan ekonomis layak untuk diterapkan dan dapat dipertimbangkan sebagai acuan komponen teknologi pemupukan nitrogen (N) pada tanaman jagung hibrida. Kata kunci: Efisiensi, pupuk N,, tanaman jagung, sawah irigasi,BWD, produktivitas
ABSTRACT Optimalization of nitrogen (N) fertilizer management strategy is aimed to fertilization of N according to need of plant; thus the lost of N could be reduced and N sorption by plant would be increased. To know when application of N according to plant need, the strategy of N management is guided by using leaf colour chart (LCC). The aims of this assessment are 1) to know the value colour chart as the critical threshold for fertilization of N in hybrid maize; 2) to know amount of N fertilizer according to plant need. Assessment was conducted on Inceptisols of irrigated field in Peresak village, Narmada sub-district and Lombok Barat district (DS II 2001). The treatments were consisted of: A) LCC of 3 @ 11,5 kg N/ha; B) LCC 3 @ 23 kg N/ha; C) LCC 4 11,5 kg N/ha; D) LCC 4 @ 23 kg N/ha; E) LCC 5 @ 11,5 kg/ha; F) LCC 5 @ 23 kg/ha; G) local recommendation (138 kg N/ha); H) control (without fertilizer). Result of assessment show that agronomically and economically using N fertilizer with LCC 5 (23 kg N/ha) is recommended to apply and as a component reference of N fertilizer technology for hybrid maize. Key words: Eficiency, N fertilizier, maize, low land,LCC, productivity
PENDAHULUAN Pupuk nitrogen (N) merupakan masukan utama dalam Sitem Usahatani (SUT). Kekurangan atau ketidaktepatan pemberian pupuk N sangat merugikan bagi tanaman dan lingkungan (FFTC, 1994). Secara umum pupuk N dapat meningkatkan produksi jagung. Nitrogen diperlukan oleh tanaman jagung sepanjang pertumbuhannya. Pada awal pertumbuhannya akumulasi N dalam tanaman relatif lambat dan setelah tanaman berumur 4 minggu akumulasi N berlangsung sangat cepat. Pada saat pembungaan (bunga jantan muncul) tanaman jagung telah mengabsorbsi N sebanyak 50% dari seluruh kebutuhannya (Sutoro, et al, 1988). Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil jagung yang baik, unsur hara N dalam tanah harus cukup tersedia pada fase pertumbuhan tersebut. Percobaan Pian (1981) menunjukkan bahan vigor benih jagung meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah takaran N (nitrogen) yang digunakan. Pemupukan N akan meningkatkan kandungan protein kasar dalam biji sehingga berat jenis biji akan meningkat. Peningkatan berat jenis tersebut akan menaikkan mutu benih yang diukur berdasarkan daya kecambah dan kekuatan tumbuhnya. Defisiensi N pada tanaman jagung akan memperlihatkan gejala pertumbuhan yang kerdil dan daun tanaman berwarna hijau kekuning-kuningan yang berbentuk huruf V dari ujung daun menuju tulang daun dan dimulai dari daun bagian bawah. Selain itu tongkol jagung menjadi kecil dan kandungan protein dalam biji rendah.
116
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Pemberian pupuk yang tepat selama pertumbuhan tanaman jagung dapat meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk. Karena sifat pupuk N yang umumnya mobile, maka untuk mengurangi kehilangan N karena pencucian maupun penguapan, sebaiknya N diberikan secara bertahap. Percobaan Iskandar et al, (1980) pada lahan tegalan di Bogor menunjukkan bahwa pemberian N sekaligus akan memberikan hasil lebih rendah dari pada pemberian secara bertahap pada takaran yang sama. Strategi pengelolaan pupuk N yang optimal ditujukan kepada pemupukan N yang sesuai dengan kebutuhan tanaman, sehingga dapat mengurangi kehilangan N dan dapat meningkatkan serapan N oleh tanaman. Untuk mendeteksi kapan pemberian N sesuai dengan kebutuhan tanaman, maka strategi pengelolaan N diarahkan dengan menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). BWD terdiri atas 6 skala warna , mulai dari warna hijau muda/kekuningan (No.1) sampai hijau tua gelap (No. 6). Batas kritis pemupukan N berkisar dari 3 sampai 5 tergantung populasi tanaman dan varietas. Bila warna daun tanaman berada pada nilai kritis berarti tanaman kekurangan N, dan bila tidak segera dilakukan pemupukan N dapat menurunkan hasil (IRRI-CREMNET, 1998). Tujuan dari penelilitian ini adalah untuk 1) mengetahui nilai skala warna daun sebagai batas kritis untuk pemupukan jagung hibrida dan 2) mengetahui waktu dan jumlah penggunaan pupuk N yang tepat dengan alat pandu bagan warna daun.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu pelaksanaan Pengujian dilaksanakan di Desa Peresak, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, pada MK II. 2001. Lokasi pengujian merupakan lahan sawah beririgasi teknis, dengan jenis tanah Regosol. Pola tanam yang umum digunakan adalah padi – padi – palawija. Perlakuan Perlakuan ditata secara acak kelompok lengkap (Randomized Completely Blok Design, RCBD). Perlakuan yang diuji adalah sebanyak 7 (tujuh) perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 4 (empat) kali. Masing-masing petak perlakuan berukuran 5 x 6 m dengan jarak 80 x 40 cm. Varietas yang digunakan adalah hibrida C-7. Perlakuan BWD (skala warna daun ) terdiri dari : A. B. C. D. E. F. G. H.
Skala Warna Daun 3 @ 11,5 kg N/ha Skala Warna Daun 3 @ 23 kg N/ha Skala Warna Daun 4 @ 11,5 kg N/ha Skala Warna Daun 4 @ 23 kg N/ha Skala Warna Daun 5 @ 11,5 kg N/ha Skala Warna Daun 5 @ 23 kg N/ha Rekomendasi (138 kg N/ha) Tanpa pupuk (kontrol)
Pelaksanaan Pengolahan tanah Tanah diolah dengan cara membalik lapisan bawah dengan menggunakan bajak/ singkal dengan tenaga traktor. Kemudian digemburkan atau diperkecil gumpalan-gumpalan tanah sehingga tanah kelihatan lebih halus dengan menggunakan cangkul. Penanaman Benih ditanam 2 –3 biji/lubang dengan jarak tanam 75 x 40 cm pada kedalaman 3 - 5 cm. Sebelum tanam, lahan diairi sedikit sehingga memudahkan penugalan. Setiap lubang tanam diberi furan dengan dosis 4 kg/ha yang diberikan saat tanam. Setelah berumur 7 hari, tanaman dijarangkan dan dipertahankan 2 tanaman per rumpun.
117
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Penyiangan Penyiangan dilakukan 2 (dua) kali yaitu pada saat tanaman berumur 15 hari setelah tanam (HST) dan 30 HST dan sekaligus dilakukan pembumbunan. Pemupukan Pupuk dasar (I) o o
Untuk perlakuan A, B, C, D, E dan F, pupuk dasar diberikan sebanyak 23 kg N/ha + 36 kg P2O5/ha + 30 kg K2O/ha, diberikan juga pada umur tanaman 7 HST. Untuk perlakuan G, pupuk dasar diberikan ½ bagian N dan seluruh bagian P 2O5 dan K2O. Masing-masing dengan dosis 69 kg N/ha + 36 kg P2O5/ha + 30 kg K2O/ha. Pupuk dasar diberikan pada umur tanaman 7 HST. Pupuk ditugal 7 cm dari lubang tanam dengan kedalaman 10 cm, kemudian ditutup kembali.
Pupuk susulan (II) o
o
Untuk perlakuan A, B, C, D, E dan F disesuaikan dengan hasil pembacaan/pengukuran BWD (skala warna daun). Jika BWD (skala warn daun) menunjukkan warna sesuai dengan perlakuan, maka penambahan pupuk dilakukan sebanyak dosis dalam perlakuan, setiap pembacaan BWD (skala warna daun). Pengukuran BWD dimulai pada saat tanaman berumur 14 HST atau 7 hari setelah aplikasi pupuk dasar. Pengukuran dengan BWD dihentikan pada saat keluar bunga jantan. Untuk perlakuan G, pemupukan N yaitu ½ bagian sisanya diberikan pada tanaman berumur 30 HST. Pupuk dituggal 15 cm dari tanaman sedalam 10 cm.
Panen dan pasca panen Panen dilakukan pada saat biji masak fisiologis, dengan tanda-tanda kelobot sudah mengering berwarna kuning kecoklatan, bijinya keras dan mengkilap. Setelah dilakukan pengupasan dan pemipilan, biji jagung dijemur hingga kadar air mencapai 14%. Variabel yang diamati a. b. b.
Tinggi tanaman saat panen dan tinggi letak tongkol. Produktivitas dan bobot biomas Komponen hasil berupa : Panjang tongkol Jumlah baris/tongkol Berat tongkol/plot Bobot kelobot
Analisis data Data agronomis dianalisis dengan menggunakan Analysis of Variance (AOV) dan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT 0.05) Untuk mengetahui Agronomic efficecy for N (AEN) dan PFP-N (Partial Factor Productivity for Applied N) dilakukan dengan analisis tabelaris. Untuk mengetahui kelayakan ekonomi dilakukan analisis anggaran parsial (Malian, 1995). Untuk mengetahui tingkat keuntungan data dianalisis dengan B/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan agronomis Pengamatan terhadap keragaan agronomis berupa tinggi tanaman, panjang tongkol, dan jumlah baris/tongkol disajikan pada Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman dari beberapa perlakuan yang diuji terlihat bahwa perlakuan BWD 5 @ 11,5 N/aplikasi mencapai tanaman tertinggi yaitu 181,40 cm. Terlihat bahwa penggunaan pupuk N yang
118
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
berbeda dapat mempengaruhi tinggi tanaman. Untuk parameter panjang tongkol dan lingkar tongkol didapatkan bahwa pemupukan nitrogen BWD 5 @ 23 N/aplikasi mencapai tongkol terpanjang dan lingkar tongkol terlebar yaitu berturut–turut 16,9 cm dan 14,18 cm, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis N rekomendasi, sedang terpendek tanpa pupuk N (kontrol). Terlihat bahwa pemberian pupuk N dengan jumlah dan waktu yang tepat berpengaruh terhadap komponen hasil (panjang tongkol dan lingkar tongkol). Dimana pemberian pupuk pada perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi paling sesuai dengan kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman (Tabel 1). Pemberian pupuk N yang berbeda dapat mempengaruhi bobot biomas dan bobot kelobot jagung. Perlakuan BWD 5 @ 11,5 N/aplikasi dapat mencapai bobot biomas tertinggi yaitu 15,18 t/ha, tapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain kecuali dengan perlakuan tanpa pupuk N, sedang bobot kelobot tertinggi dicapai pada perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi yaitu 2,36 t/ha. Ini menunjukkan bahwa pemberian pupuk harus dalam jumlah dan waktu yang tepat sesuai dengan stadia pertumbuhan tanaman karean setiap stadia akan mempangaruhi stadia yang lain (Tabel 2). Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, panjang tongkol, dan lingkar tongkol pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada tanaman jagung dengan alat pandu bagan warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001. Perlakuan BWD 3 @ 11,5 N BWD 3 @ 23 N BWD 4 @ 11,5 N BWD 4 @ 23 N BWD 5 @ 11,5 N BWD 5 @ 23 N Dosis Rekomendasi Kontrol C.V (%)
Tinggi tanaman (cm) 163,63 a *) 173,75 bc 167,30 a 174,30 bc 181,40 c 179,80 c 175,55 bc 158,40 a 5,3
Panjang tongkol (cm) 13,20 13,48 14,58 14,80 14,58 16,90 15,93 12,18 7.1
ab *) ab bc bc bc d cd a
Lingkar tongkol (cm) 13,98 13,60 14,38 14,23 14,63 14,85 14,75 13,10 14,19
bc *) ab cde cd de e de a
Ket : *)
Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan .05. tn = tidak berbeda nyata
Pengamatan terhadap rata-rata produktivitas, terlihat bahwa pemberian pupuk N yang berbeda dapat mempengaruhi produktivitas. Dari hasil analisis didapatkan bahwa perlakuan BWD 5 @ 23 N/aplikasi dengan total penggunaan N 92 kg/ha mencapai produktivitas tertinggi yaitu 9,72 t/ha, tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis rekomendasi. Tabel 2. Rata-rata bobot brangkasan, bobot kelobot, dan produktivitas jagung pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada tanaman jagung dengan alat pandu skala warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001. Perlakuan BWD 3 @ 11,5 N BWD 3 @ 23 N BWD 4 @ 11,5 N BWD 4 @ 23 N BWD 5 @ 11,5 N BWD 5 @ 23 N Dosis Rekomendasi Kontrol C.V (%)
Bobot Biomas (t/ha) 10,73 ab *) 11,22 ab 12,94 ab 12,13 ab 15,18 b 14,52 b 13,92 b 8,93 a 24,2
Bobot kelobot (t/ha) 1,20 ab *) 1,68 abc 1,84 bc 1,88 bc 2,20 c 2,36 c 2,40 c 0,96 a 30,1
Produktivitas (t/ha) 5,56 ab *) 6,08 abc 7,20 bc 7,64 cd 7,76 cd 9,72 e 9,28 de 4,52 a 16,3
Ket : *) Angka diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan .05.
Dilihat dari efisiensi agronomis (AEN), BWD 5 @ 23 kg N/aplikasi memiliki AEN tertinggi yaitu sebesar 56,52, dapat menghemat penggunaan pupuk N sebesar 46 kg/ha dan meningkatkan hasil sebesar 0,44 t/ha dibanding dosis rekomendasi (Tabel 3). Nilai imbangan penggunaan 1 kg N untuk setiap perlakuan akan berbeda karena produktivitas dan jumlah penggunaan pupuk yang berbeda. Perlakuan BWD 3 @ 11,5 N/aplikasi memiliki nilai imbangan (PFP) yang besar, akan tetapi produktivitas yang dicapai tidak maksimum. Sebaliknya perlakuan dengan jumlah penggunaan pupuk N yang banyak, akan memperoleh nilai imbangan (PFP) yang kecil, tetapi produktivitas yang dicapai relatif tinggi.
119
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 3. Rata-rata jumlah penggunaan N, produktivitas, AEN dan PFP N pada pengkajian pengelolaan pupuk N pada tanaman jagung dengan alat pandu bagan warna daun. Peresak. Lombok Barat. MK II. 2001. Perlakuan BWD 3 @ 11,5 N BWD 3 @ 23 N BWD 4 @ 11,5 N BWD 4 @ 23 N BWD 5 @ 11,5 N BWD 5 @ 23 N Rekomendasi Kontrol
Jumlah pemakaian N (kg/ha) 34,5 46 57,5 92 80,5 92 138 0
Produktivitas (t/ha) 5,56 6,08 7,20 7,64 7,76 9,72 9,28 4,52
AEN 30,14 33,91 46,61 33,91 40,25 56,52 34,49 0
PFP N 161,16 132,17 125,22 83,04 96,40 105,65 67,25 0
Ket : AEN = Agronomis efisiensi; PFP = partial factor productivity for applied N
Keragaan ekonomis Analisis Anggaran Parsial (partial budget analysis) merupakan analisis sederhana yang berguna untuk menentukan pilihan alternatif teknologi yang layak dapat diterima berdasarkan pertimbangan besarnya tambahan biaya dan tambahan keuntungan yang relatif kecil (margin) yang diperoleh sebagai akibat perubahan input teknologi (input pupuk nitrogen). Prinsip dalam menggunakan analisis ini adalah bahwa hanya faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan teknologi saja yang dimasukan dalam perhitungan. Sedangkan penggunaan dan biaya sarana produksi yang tidak berubah, tidak disertakan dalam perhitungan (Malian, 1995). Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa respon penambahan penggunaan nitrogen (N) pada tanaman jagung dengan pupuk P dan K konstan, cenderung semakin tinggi penerimaan yang di peroleh. Rata-rata penerimaan bersih tertinggi dicapai pada perlakuan 6 (BWD 5, 50 kg/aplikasi) yaitu sebesar Rp.7.960.600/ha (Tabel 4.). Perlakuan ini dapat meningkatkan pendapatan bersih sebesar 6,1 % dari perlakuan dosis rekomendasi, dan 106 % dibanding perlakuan tanpa pupuk. Tabel 4. Analisis anggaran parsial pada pengkajian pengelolaan nitrogen pada tanaman jagung dengan alat pandu skala warna daun. Peresak Lombok Barat MK II. 2001.(Rp x 1.000) Uraian 1. Rata-rata hasil (t/ha) 2. Hasil bersih (t/ha)* 3. Penerimaan kotor (Rp/ha) 4. Harga pupuk N (Rp/ha) 5. Frekwensi aplikasi 6. Total biaya aplikasi (Rp/ha) 7. Total biaya variabel (Rp/ha) 8.Penerimaan bersih (Rp/ha)
34,5 5,560 5,282 4753,8 86,25 2 60 146,25 4607,55
46 6,080 5,776 5198,4 115 2 60 175 5023,4
57,5 7,200 6,840 6156,0 143,75 4 120 263,75 5893,5
Dosis pupuk N (kg/ha) 69 80,5 7,640 7,760 7,258 7,372 6532,2 6634,8 172,5 201,25 3 6 90 180 262,5 381,25 6269,7 6253,55
92 9,720 9,234 8310,6 230 4 120 350 7960,6
138 9,280 8,816 7934,4 345 2 60 435 7499,4
0 4,520 4,294 3864,6 0 0 0 3864,6
Keterangan: * Diasumsikan bahwa kehilangan hasil pada saat panen dan prosesing serta saat penyimpanan diperkirakan sebesar 5 %.
Tabel 5. Analisa usahatani pengkajian efisiensi pupuk nitrogen pada tanaman jagung hibrida. Peresak. Lombok Barat. MK.II 2001.(x Rp.1000) Uraian 1. Rata-rata hasil (t/ha) 2. Hasil bersih (t/ha)* 3. Harga pupuk N (Rp/ha) 4. Biaya aplikasi N (Rp/ha) 5. Total biaya variabel (Rp/ha) 6. Total biaya tetap 7. Penerimaan bersih (Rp/ha) 8. B/C ratio
34,5 5,560 5,282 86,25 60 146,25 2163.75 2972 1.28
46 6,080 5,776 115 60 175 2135 3466 1.5
57,5 7,200 6,840 143,75 120 263,75 2046.25 4530 1.96
Dosis pupuk N (kg/ha) 69 80,5 7,640 7,760 7,258 7,372 172,5 201,25 90 180 262,5 381,25 2047.5 1928.75 4948 5062 2.14 2.19
92 9,720 9,234 230 120 350 1960 6924 2.997
138 9,280 8,816 345 60 435 1875 6506 2.82
0 4,520 4,294 0 0 0 1875 2419 1.29
Keterangan: * Diasumsikan bahwa kehilangan hasil pada saat panen dan prosesing serta saat penyimpanan diperkirakan sebesar 5 %.
120
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Efisiensi penggunaan pupuk N pada tanaman jagung dapat dicapai dengan menggunakan alat pandu bagan warna daun. Keragaan agronomis menunjukkan bahwa perlakuan BWD 5 @ 23 kg N/aplikasi mencapai produktivitas dan efisiensi agronomis tertinggi yaitu masing-masing 9,72 t/ha, dan 56,52. Berdasarkan analisis ekonomi, bahwa pemupukan nitrogen dosis 92 kg/ha, 23 kg/aplikasi dengan alat pandu BWD skala 5, memperoleh penerimaan bersih tertinggi yaitu Rp. 7.960.600,-. Penggunaan pupuk N dengan alat pandu BWD pada skala 5 @ 23 kg/aplikasi, secara agronomis dan ekonomis layak untuk dikembangkan dan dapat dipertimbangkan sebagai acuan komponen teknologi pemupukan nitrogen (N) untuk tanaman jagung hibrida. Saran Pengkajian perlu dilanjutkan pada lokasi yang berbeda guna memperoleh keragaman hasil yang akan digunakan sebagai acuan teknologi pemupukan nitrogen (N) yang spesifik lokasi.
DAFTAR PUSTAKA Affandi, A. 1986. Pembangunan Pertanian di Indonesia. Departemen Pertanian Repeblik Indonesia. 53 P. FFTC (Food and Feertilizier Technology Center). 1994. Fertlizier Use and Sustainable Food Production. Food and Fertilizier Technology Center for The Asian and Pasific Center Region. Taipe. Taiwan. FFTC. Newsletter 104 (june 1994). 4-5. IRRI-CREMNET (International Rice Research Institute- Crop and Resource Management Network), 1998. Progress Report for 1997. IRRI, Los Banos, Philippines. Iskandar, S. dan A. Kodir. 1980. Pengaruh Waktu Pemberian N Terhadap Hasil Jagung dalam Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. Puslitbangtan Bogor. Malian,. A.H. 1995. Analisis Ekonomi Usahatani untuk Petani Kecil. Makalah Pelatihan Analisis Ekonomi Sistem Usahatani. Kupang 18 – 23 Desember 1997. Pian, Z. A. 1981. Pengaruh Uap Etil Terhadap Viabilitas Benih Jagung (Zea mays L.) dan Simpan IPB Bogor 279P Utoro, Toyo Soelaeman, dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung dalam Jagung. Badan Litbang Pertanian. Puslitbangtan Bogor.
121
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
UJI ADAPTASI TEKNOLOGI PEMBENIHAN KAPAS DENGAN PENAMBAHAN UNSUR HARA N DAN PEMANGKASAN Sudarto, Irianto B, Awaludin Hipi dan Arif Surahman Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat P.O. Box. 1017. Mataram NTB
ABSTRAK Tanaman kapas telah lama diperkenalkan di Nusa Tenggara Barat, namun perkembangan tanaman tersebut kurang memenuhi harapan, hal ini dikarenakan petani kapas kurang respon terhadap komoditas tersebut. Untuk menjawab tantangan tersebut Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat mencoba mengguggah kembali minat petani kapas. Pengkajian telah dilaksanakan didesa Leneng, kecamatan Praya, kabupaten Lombok Tengah pada bulan Mei sampai dengan bulan September 2002 setelah tanaman padi atau pada musim kemarau pertama (MK. I). Rancangan yang dipergunakan dalam pengkajian tersebut adalah Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial 3 x 2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah penambahan susulan unsur hara N yang terdiri atas 3 level yakni P1: dosis 50 kg urea/ha, P2: dosis 100 kg urea/ha dan P3 : dosis 150 kg urea/ha. Faktor kedua yakni pemangkasan pucuk yang terdiri atas 2 level yakni A1 (dipangkas) dan A2 (tidak dipangkas). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa hasil analisis terhadap parameter tinggi tanaman umur 7 minggu setelah tanam (MST) sampai dengan umur 10 minggu setelah tanam (MST), jumlah cabang umur 7 MST sampai dengan 10 MST, berat 100 biji dan daya kecambahnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sedangkan hasil analisis terhadap jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan pemupukan susulan 150 kg urea/ha (P3) yakni masing-masing 14,500 buah kapas ; 940,37 kg kapas berbiji/ha dan 564,25 kg biji/ha. Kata kunci: adaptasi, pembenihan, kapas, hara N, pemangkasan, NTB
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu propinsi yang cocok untuk pengembangan kapas. Sejarah panjang tentang pengembangan tanaman kapas mewarnai pengelolaan dan pengembangan tanaman kapas dengan pasang surutnya sejak tahun 1978 sampai sekarang. Telah banyak dilakukan upaya untuk hal tersebut diantaranya Program Intensifikasi Kapas Rakyat (IKR) yang dimulai tahun 1978/1979 dan Proyek Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus (P2WK) yang diarahkan untuk meningkatkan produksi kapas sekaligus meningkatkan pendapatan petani (Ditjenbun, 1993, Wahyuni et.al, 1993) Dari program IKR pertahun selama empat pelita rata-rata produksi kapas berbiji cenderung menurun sebagai akibat menurunnya luas areal tanam, yakni: pelita III luas areal 22.207 ha dengan produksi 10.717 ton , pelita IV luas areal 36.047 ha dengan produksi 18.413 ton, pelita V luas areal 22.232 ha dengan produksi 11.547 ton dan pelita VI luas areal 15.170 ha dengan produksi 7.501 ton (Ditjenbun, 1999). Produksi kapas disamping dipengaruhi penurunan areal pengembangan juga dipengaruhi oleh rendahnya produktivitas. Secara umum tingkat produktivitas kapas ditingkat petani relatif rendah yaitu 0,48 – 0,52 ton/ha, dilain pihak hasil penelitian dapat mencapai 1,50 – 2,80 ton/ha kapas berbiji (Sahid dan Wahyuni,2001). Sedangkan Machfud et.al., (1995) juga menyatakan bahwa hasil-hasil penelitian kapas yang ditanam secara monokultur sesudah padi dan didukung pengairan yang optimal dapat mencapai hasil 2,6 – 2,8 ton/ha. Selanjutnya dikatakan pula rendahnya produktivitas ditingkat petani disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain masalah fisik, ekonomi, sosial dan mutu benih. Masalah fisik mencangkup iklim, pengusahaan kapas dilakukan pada lahan-lahan marginal serta beragamnya serangan hama dan penyakit. Masalah ekonomi mencangkup tingkat harga kapas yang statis dibanding harga komoditas yang lain, tingginya biaya produksi dengan dihapuskannya subsidi pupuk dan obatobatan. Masalah sosial mencangkup aspek psikologis dimana petani akan mengusahakan kapas bila kebutuhan pangannya telah terpenuhi. Sebagian besar petani mempunyai persepsi komoditas kapas kurang menjamin dalam peningkatan pendapatan serta kerja sama antar lembaga yang terkait belum maksimal. Sedangkan masalah mutu benih menurut Faisal Kasryno et.al., (1998) kebanyakan benih yang disalurkan kepetani bukanlah benih hasil penangkaran yang teratur tetapi biji dari produksi serat. Untuk meningkatkan mutu benih hal-hal yang perlu diperhatikan selain kebutuhan akan unsur hara, waktu dan cara panen juga pengendalian pertumbuhan vegetatifnya. Tujuan utama penambahan
122
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
unsur hara N adalah untuk meningkatkan produksi termasuk diantaranya peningkatan mutu benih, karena ketersediaan N yang cukup sangat penting untuk memperoleh hasil kapas yang optimum (Muchamad Yusron et.al, 1998). Begitu pula saat panen yang tepat merupakan hal yang penting dalam mempertahankan mutu benih. Sumber benih terbaik yakni yang berasal dari hasil panen pertama dan kedua dan berasal dari cabang kedua sampai cabang kedelapan yang sempurna masak dan tidak terserang hama penyakit (Siwi Sumartini dan Hasnam, 2001). Benih yang bermutu rendah dan rentan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan merupakan faktor utama yang menyebabkan pertumbuhan tanaman kapas tidak seragam (Delouche, 1981 dalam Siwi Sumartini 1998). Selajutnya dikatakan pula bahwa pertumbuhan tanaman yang tidak seragam akan berpengaruh pada populasi dan derajat serangan hama penyakit pada tanaman kapas (Soebandrijo et.al 1989 dalam Siwi Sumartini, 1998). Pertumbuan vegetatif kapas bisa dikatakan lebih dominan dibanding dengan pertumbuhan generatif. Kondisi yang demikian menyebabkan habitus tanaman menjadi rimbun, energi yang semula untuk pembentukan bunga dan perkembangan buah digunakan untuk pertumbuhan tunas pucuk dan tunas cabang vegetatif akibatnya hasil kapas berbiji menurun. Untuk menekan pertumbuhan vegetatif dapat dilakukan secara mekanis yakni dengan cara memangkas pucuk batang maupun ujung cabang vegetatif (Adji Sastrosupadi dan Moch. Sahid, 2001). Tujuan dari pengkajian adalah menguji daya adaptasi komponen teknologi penambahan unsur hara N serta pemangkasan pucuk terhadap produksi benih kapas.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan pada lahan milik Dinas Perkebunan TK. I propinsi Nusa Tenggara Barat di desa Leneng, kecamatan Praya, kabupaten Lombok Tengah dari bulan Mei sampai dengan bulan September 2002 setelah tanaman padi (MK. I). Dalam pengkajian ini digunakan benih kapas delinted varietas Kanesia 5. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok secara faktorial 3 X 2 dengan 3 kali ulangan. Faktor pertama adalah penambahan susulan unsur hara N yang terdiri atas 3 level: dosis 50 kg urea/ha (P1), dosis 100 kg urea/ha (P2) dan dosis 150 kg urea/ha. Pemberian pupuk dasar (100 kg urea/ha dan 100 kg SP-36/ha) diberikan 1/3 dosis urea dan SP36 seluruhnya, kemudian pada umur 14 hari atau setelah dilakukan penjarangan diberikan sisa pupuk urea dengan dosis 2/3. Pupuk susulan (perlakuan) yakni pada perlakuan P1, P2 dan P3 diberikan pada tanaman berumur 35 hari setelah tanam (HST). Sedangkan faktor kedua adalah pemangkasan pucuk yang terdiri atas 2 level: dipangkas (A1) dan tidak dipangkas (A2). Ukuran petak 3 x 17 meter, jarak tanam kapas 100 cm X 40 cm. Sebagai tanaman perangkap hama H. armigera ditanam tanaman jagung dengan jarak tanam 100 cm X 150 cm.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis statistik pada pertumbuhan vegetatif tanaman kapas (tinggi tanaman dan jumlah cabang) umur 7 sampai dengan 10 minggu setelah tanam (MST) umumnya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil yang diperoleh terhadap berat 100 biji berdasarkan analisis statistik juga tidak berbeda nyata. Untuk mengetahui hasil rata-rata dari parameter tersebut di atas disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh penambahan pupuk N dan pemangkasan terhadap tinggi tanaman (cm), jumlah cabang, berat 100 biji (g) dan daya kecambah
Perlakuan P1A1 P2A1 P3A1 P1A2 P2A2 P3A2
7 MST Tinggi Jml tan cab 46,033 7,067 47,133 7,267 44,800 6,900 46,767 6,967 45,400 6,967 48,633 7,967
Umar Tanaman 8 MST 9MST Tinggi Jml Tinggi Jml tan cab tan cab 58,633 8,767 70,067 10,167 59,767 8,233 72,900 9,733 58,533 8,333 69,467 9,667 63,633 8,767 76,733 10,000 58,267 8,400 68,400 10,100 65,467 9,333 73,800 10,133
10MST Tinggi Jml tan cab 85,867 11,233 90,967 11,500 90,167 11,800 91,400 11,767 87,933 11,933 93,867 12,233
Berat 100 biji
Daya kecambah
10,947 10,933 10,917 10,850 10,737 11,533
72,383 72,197 72,183 71,717 72,260 72,180
123
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 1 terlihat bahwa perlakuan penambahan unsur hara N dari dosis 50 kg/ha urea (P1), 100 kg/ha urea (P2) dan penambhan 150 kg/ha urea (P3) tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman) sampai umur 10 minggu setelah tanam, hal ini disebabkan adanya faktor air yang sulit dikendalikan, artinya selama masa pertumbuhan atau setelah aplikasi penambahan N, air yang diperlukan untuk membantu proses absorbsi sangat kurang sehingga diduga unsur N tersebut menguap/kelarutan pupuk N berkurang akibat kondisi lahan yang kurang mendukung. Sehingga penambahan N yang ditujukan untuk menyediakan unsur hara N dalam jumlah tertentu dan waktu yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tanaman tidak dapat terpenuhi yang disebabkan oleh keadaan lapang yang kurang mendukung. Seperti kita ketahui dalam pengkajian ini tanaman kapas tersebut ditanam setelah tanaman padi yakni pada musim kemarau pertama (MK I). Pada musim kemarau pertama (MK I) dilokasi pengkjian hujan sudah berhenti dan hanya berharap mendapat pengairan dari air irigasi, sehingga beresiko menunggu giliran mendapat air. Muchamad Yusron et. al., (1998) menyatakan banyak faktor yang mempengaruhi respon kapas terhadap pemupukan N, antara lain kekeringan, serangan penyakit atau air yang berlebihan/kekurangan air sehingga sulit dikelola. Sedangkan penambahan unsur hara N berdasarkan hasil analisa menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap parameter jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi benih. Untuk mengetahui hasil rata-rata dari parameter di atas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh penambahan pupuk N terhadap jumlah buah/tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji.
Perlakuan P1 P2 P3
Jumlah buah 13,167a 13,500a 14,500b
Prod. Kapas berbiji (kg/ha) 932,05a 935,52a 940,37b
Prod. Biji (kg/ha) 559,22a 561,31a 564,25b
Ket: Angka-angka dengan superscrip sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji LSD 5%
Tabel 2 memperlihatkan bahwa pemberian N memberi pengaruh terhadap komponen hasil. Hasil terbaik diperoleh pada perlakuan P3 yakni dengan dosis pemupukan urea 150 kg/ha. Hal ini diduga dengan kondisi lahan yang kekurangan air pemberian unsur hara N dengan dosis yang lebih tinggi dapat terserap dengan baik oleh tanaman, sehingga komponen hasil seperti jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji, dan produksi benih dapat meningkat. Kadarwati et. al., (1993) menyatakan bahwa sumber dan dosis pupuk N secara nyata mempengaruhi hasil kapas. Hasil terbaik pada parameter jumlah buah per tanaman 14,500; produksi kapas berbiji 940,37 kg/ha dan produksi biji 564,25 kg/ha. Perlakuan pemangkasan pucuk dan interaksi antar kedua perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
KESIMPULAN Perlakuan penambahan susulan unsur hara N (P1,P2 dan P3) dan pemangkasan pucuk (A1 dan A2) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap parameter tinggi tanaman berumur 7 minggu setelah tanam (MST) sampai dengan 10 minggu setelah tanam (MST), begitu pula terhadap parameter jumlah cabangnya serta bobot 100 biji dan daya kecambah. Perlakuan penambahan susulan unsur hara N berdasarkan hasil analisis menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap parameter jumlah buah per tanaman, produksi kapas berbiji dan produksi biji dan hasil terbaik ditunjukkan pada perlakuan P3 yakni masing-masing 14,500 buah kapas; 940,37 kg kapas berbiji/ha dan 564,25 kg biji/ha.
DAFTAR PUSTAKA Adji Sastrosupadi dan Moch. Sahid. 2001. Pengendalian pertumbuhan vegetatif pada tanaman kapas. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Delouche,J.C. 1981. Harvest and Post Harvest Factors Affecting the Quality of Cotton Planting Seed and Seed Quality Evaluation. Beltwild Cotton Production Research Conference Proceding (Reprinted) :9 p. Ditjenbun. 1993. Evaluasi pelaksanaan program pengembangan kapas. Makalah disajikan pada pertemuan teknis kapas tanggal 28 Juni 1993. Ujung Pandang.
124
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Ditjenbun. 1999. Pengarahan Direktur Jenderal Perkebunan pada pertemuan teknis IKR tahun 1999 di Surabaya, tanggal 17 September 1999. Faisal kasryno, Tahlim Sudaryanto dan Hasnam. 1998. Peranan penelitian dalam mendukung peningkatan produksi kapas nasional. Prosiding Diskusi Kapas nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Tanaman Serat. Malang. Kadarwati, F. T., M. Sahid dan M. Yusron. 1993. Kajian Paket Pemupukan dan Teknik Pemberiannya pada Sistem Tumpang Sari Kapas + Kedelai di Lahan Sawah sesudah Padi. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Malang. Machfud,M., Hasnam, R. Mardjono dan B. Hariyono. 1995. Respon varietas genjah kapas pada sistem tanam pindah. Laporan hasil penelitian. Bagian proyek Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. TA. 1994/1995. Moch. Sahid dan S.A. Wahyuni. 2001. Keragaan dan konsep perbaikan pengembangan kapas di Indonesia. Kapas. Buku I. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Malang. Muchamad Yusron, B. hariyono dan M. Cholid. 1998. Variasi respon kapas terhadap pemupukan nitrogen. Prosiding Diskusi Kapas nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Siwi Sumartini. 1998. Pengaruh beberapa konsentrasi asam sulfat pada proses delinting terhadap mutu benih kapas. Prosiding Diskusi Kapas Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Siwi Sumartini dan Hasnam. 2001. Teknik produksi benih kapas bersertifikat. Kapas. Buku I. Monograf Balittas No. 7. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang. Soebandrijo, IG.A.A. Idrayani, Nurindah, Subiyakto, B. Hariyono, E. Sunaryo, O.S. Bindra dan J. Turner. 1989. Pengendalian terpadu jasad pengganggu kapas. Prosiding Lokakarya Teknologi Kapas Tepat Guna. Balai Penelitian Tanaman tembakau dan Serat. Malang. Wahyuni, S.A., Soebandrijo dan S.H. Isdijoso. 1993. Penerapan teknologi kapas tepat guna pada lahan petani di Boyolali. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
125
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGKAJIAN CARA, DOSIS DAN SUMBER PEMUPUKAN PHOSFOR DAN RESIDUNYA PADA ALFISOL DI KABUPATEN SUMBAWA Hasil Sembiring, L.Wirajaswadi, Awaludin Hipi1 dan Paulina Evy R. Prahardini2 1.
Peneliti pada BPTP Nusa Tenggara Barat 2. Peneliti pada BPTP Jawa Timur
ABSTRAK Informasi status hara dan arahan pemupukan P di Kabupaten Sumbawa sangat terbatas, sehingga rekomendasi teknologi pemupukan P sangat diperlukan. Tujuan pengkajian adalah mengevaluasi rekomendasi pemupukan P, dosis, sumber dan cara pemupukan P dan residunya. Pengkajian telah dilakukan pada MH 1999/2000 dan MK. 2000 di Desa Maronge Kecamatan Plampang Kabupaten Sumbawa di lahan sawah milik petani. Perlakuan yang diuji adalah 11 perlakuan meliputi: T1 (27 kg P 2O5/ha), T2 (18 kg P2O5/ha), (Kontrol), T4 (18 kg P2O5/ha + E 2001), T5 (E 2001), T6 (25 kg P2O5/ha akar celup), T7 (45 kg K2O/ha), T8 (27 kg P2O5 + 45 kg K2O/ha), T9 (27 kg P2O5 + 5 t pupuk kandang/ha), T10 (5 t pupuk kandang/ha), T11 (45 kg P 2O5/ha). Pengkajian residu P dilaksanakan pada musim berikut (MK) dengan membagi petak percobaan pertama menjadi 2 bagian yang sama dimana petak pertama diperlakukan sama dengan perlakuan tahun sebelumnya sedangkan petak kedua tidak diberi perlakuan. Variabel yang diamati adalah jumlah malai, panjang malai, jumlah gabah isi, bobot 1000 biji, bobot jerami basah dan hasil. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak kelompok dengan 3 ulangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa pemupukan Phosphor (P) pada padi musim kedua tidak berpengaruh terhadap hasil. Ini berarti bahwa residu P dalam tanah cukup memenuhi kebutuhan P tanam padi sawah. Untuk efisiensi dan mempertahankan status P di Sumbawa, pemupukan P2O5 dapat dilakukan sekali dalam dua musim tanam dengan takaran 18 kg/ha. Sumber dan cara pemberian pupuk tidak berbeda nyata, sehingga pencelupan dengan 25 kg P2O5/ha tidak ada pengaruhnya dibandingkan dgn cara normal (cara yang biasa dilakukan petani). Kata kunci: phosphor, residu, padi sawah, Kabupaten Sumbawa
ABSTRACT Limited information for used P fertilizier at Sumbawa district, more needed a recomendation of tecnology for P fertilizier. The objective of assesment was to evaluated recomendation P fertilizier, dosage, and residu. The assesment was conducted in farmers lowland in Maronge, Plampang, Sumbawa, at WS. 1999/2000 and DS. I. 2000. The eleven treatments on test i.e : T1 (27 kg P2O5/ha), (T2 (18 kg P2O5/ha), (control), T4 (18 kg P2O5/ha + E- 2001), T5 (E-2001), T6 (25 kg P2O5/ha), T7 (45 kg K2O/ha), T8 (27 kg P2O5 + 45 kg K2O/ha), T9 (27 kg P2O5 + 5 t organik matter /ha), T10 (5 t organik matter/ha), T11 (45 kg P2O5/ha). All of treatments using 115 kg N/ha. Assesment of residu P was conducted at DS. I. The result indicated that phosphor fertilizier at the second season (DS. I) not significant difeerent from residu for yield. This indicated that residu P still enaught for growth rice in lowland. Applicated P at Sumbawa could be conduct once times for two planting season with dosage 18 kg/ha. Key words: phosphor, residu, low land rice, Sumbawa district
PENDAHULUAN Produktivitas padi di Kabupaten Sumbawa bervariasi dengan rata-rata 4,42 t/ha, sedangkan ratarata produktivitas tingkat Propinsi adalah 4,61 t/ha (BPS, 1998). Hal ini menggambarkan bahwa produktivitas padi di Kabupaten Sumbawa masih memiliki potensi untuk ditingkatkan. Upaya meningkatkan produktivitas, harus diikuti dengan usaha peningkatan pendapatan petani tanpa merusak lingkungan. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi adalah pemberian pupuk antara lain pupuk fosfor (P). Dengan pemberian pupuk yang tepat, diharapkan petani memperoleh peningkatan hasil yang menguntungkan. Ketersediaan hara P dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga pemberian dosis pupuk yang tepat memerlukan pemahaman tentang informasi dasar seperti status hara tanah, sifat fisik, kimia dan latar belakang penggunaan lahan. Masalah ini mengakibatkan pemberian pupuk yang tidak efisien, yang ditunjukkan dengan meningkatnya pemakaian pupuk P secara terus menerus, tetapi tidak diikuti peningkatan produksi yang memadai. Kondisi seperti ini menyebabkan biaya produksi tinggi dan mengganggu keseimbangan lingkungan.
126
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis pemberian pupuk, saat pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat (Landon, 1984). Lebih lanjut Bastari (1996) mengemukakan bahwa penggunan pupuk yang berupa unsur makro N, P, dan K perlu diimbangi dengan pemberian bahan organik untuk mendukung hasil panen yang tinggi. Bahan organik yang diberikan dapat berupa jerami, pupuk hijau sesbania dan pupuk kandang yang berperan mengembalikan unsur hara yang telah diserap oleh tanaman dari dalam tanah. Pengaruh pemberian pupuk organik berupa pupuk kandang 5000 kg/ha tampak peranannya dalam waktu panjang lebih kurang dalam tiga musim tanam berikutnya (Basyir, 1993). Bahan organik tersebut berperan dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang mendukung ketersediaan unsur hara N dan P (Soepardi, 1979). Penanaman padi sawah di Kabupaten Sumbawa menyebar di 14 kecamatan dengan kisaran luas panen antara 1.708 sampai 8.981 ha. Berdasarkan luasan panen terlihat kecamatan Plampang (8.981 ha) mempunyai luasan tertinggi diikuti kecamatan Taliwang (6.978 ha), kecamatan Lape Lopok (6.776 ha), kecamatan Alas (5.217 ha) dan kecamatan Moyo Hilir (4.704 ha), sedangkan kecamatan - kecamatan lain seluas 1.708 - 3.710 ha (Anonimous, 1997). Berdasarkan jenis tanahnya, kabupaten Sumbawa khususnya kecamatan Plampang termasuk jenis tanah Vertisol. Pengelolaan tanah vertisol dengan bahan organik mampu meningkatkan efisiensi pupuk Urea sebesar 18,01 % dengan masukan organik jerami kedelai dengan takaran 20 ton/ha (Prijatno, Kusuma, dan Idris, 1997). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian bahan organik pada tanah vertisol mampu meningkatkan efisiensi pemberian pupuk. Hasil penelitian Baharuddin (1996) menyatakan bahwa di kecamatan Lape Lopok dan Moyo Hilir yang termasuk daerah irigasi Mamak Kakiang mempunyai kandungan P dan K yang cukup, sedangkan kecamatan yang lain masih belum diketahui status unsur haranya. Rekomendasi pemupukan padi sawah di Kecamatan Lape Lopok telah ditentukan sebanyak 115 kg N/ha + 27 - 36 kg P2O5/ha dan tanpa K2O, Kecamatan Moyo Hilir sebanyak 115 kg N/ha + 18 kg P 2O5/ha dan tanpa K2O, sedangkan kecamatan lain di pulau Sumbawa direkomendasikan sebanyak 92 kg N/ha + 27 kg P 2O5/ ha dan tanpa K2O (SPH Bimas Propinsi NTB, 1996). Pemberian pupuk untuk kecamatan lain di pulau Sumbawa perlu disesuaikan dengan status hara tanah di setiap kecamatan. Hal ini untuk mendapatkan efisiensi pemupukan dengan modifikasi yang tepat. Di sisi lain, diduga keras bahwa dengan program intensifikasi padi selama lebih dari 20 tahun terakhir ini, dimana pemupukan P diberikan pada setiap musim, sedangkan hara P yang diberikan dalam bentuk pupuk P tidak seluruhnya diserap oleh tanaman (hanya + 20%) dan selebihnya stabil dan terakumulasi dalam tanah. Oleh sebab itu, diperkirakan hara P dalam tanah, sehingga pengaruh residu P perlu diteliti. Tujuan pengkajian adalah mengkaji dosis, cara dan memverifikasi rekomendasi pupuk serta mengidentifikasi pengaruh residu pupuk P dari penelitian tahun pertama di Kecamatan Plampang Sumbawa.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dilaksanakan di Desa Maronge, Kecamatan Plampang Sumbawa selama 2 musim yaitu pada MH. 1999/2000 (Desember 1999 s/d Maret 2000) dan MK. 2000. Tahun pertama ditujukan untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap produksi padi, sedangkan pada musim kedua adalah untuk melihat pengaruh pemupukan pada musim pertama terhadap produksi padi. Perlakuan yang diuji adalah cara (celup dan tidak celup), dosis P (0, 9, 18, 27 dan 45 kg P2O5/ha), K2O, E-2001 dan pupuk kandang. Kombinasi dosis, cara dan sumber pupuk P disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Perlakuan pengaruh residu pupuk phospor. Plampang. MK I. 2000 Perlakuan 1 T1 T1A (Residu T1) T2 T2A (Residu T2) T3 (Kontrol) T3A (Kontrol)
P2O5 (kg/ha) 2 27 0 18 0 0 0
K2O (kg/ha) 3 0 0 0 0 0 0
E-2001 1) (lt/ha) 4 0 0 0 0 0 0
N (kg/ha) 5 115 115 115 115 115 115
Pupuk kandang (t/ha) 6 0 0 0 0 0 0
127
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
T4
1
2 18
3 0
4 1
5 115
6 0
T4A (Residu T4)
0
0
0
115
0
T5 T5A (Residu T5) T6 (Akar celup)
0 0 9
0 0 0
1 0 0
115 115 115
0 0 0
T6A (Residu T6)
0
0
0
115
0
T7 T7A (Residu T7) T8 T8A (Residu T8) T9
0 0 27 0 27
45 0 45 0 0
0 0 0 0 0
115 115 115 115 115
0 0 0 0 5
T9A (Residu T9)
0
0
0
115
0
T10 T10A (Residu T10) T11 T11A (Residu T11)
0 0 45 0
0 0 0 0
0 0 0 0
115 115 115 115
5 0 0 0
Sawah yang digunakan adalah sawah dengan irigasi teknis. Jenis tanah adalah alfisol. Tanah diolah secara sempurna dengan kedalaman olah 15 - 20 cm. Penanaman secara tanam pindah dengan jarak 20 x 20 cm. Pengendalian gulma, hama dan penyakit disesuaikan dengan kondisi pertanaman. Varietas yang digunakan adalah IR-64. Pupuk P, K, dan pupuk kandang (pakan) diberikan sebelum tanam. Pupuk N diberikan sebanyak 3 kali masing-masing 1/3 dosis sesuai perlakuan, yang diberikan pada saat seminggu setelah tanam, saat anakan aktif dan saat primordia bunga. Pemberian pupuk P pada perlakuan akar dicelup, dengan menggunakan konsentrasi 3,6 gr P2O5/liter direndam selama 12 jam sebelum tanam dengan dosis 2500 liter larutan/ha yang setara dengan 9 kg P2O5/ha. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan masing- masing plot perlakuan berukuran 5 m x 4 m. Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah malai/anakan produktif, jumlah gabah isi dan gabah hampa, bobot 1000 biji gabah berisi dan hasil GKG. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis dengan analisis sidik ragam (AOV). Untuk mengetahui tingkat keragaman antara perlakuan yang diuji, analisis dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil percobaan efisiensi P (tahun pertama) disajikan pada Tabel 2 dan 3, sedangkan pengkajian residu P disajikan pada Tabel 4. Efisiensi penggunaan pupuk P (Tahun Pertama) Pengaruh P terhadap jumlah malai per rumpun, panjang malai dan produksi sangat nyata pada berbagai keadaan (Tabel 2 dan 3). Tanpa P, penampilan tanaman lebih buruk terhadap jumlah malai dan produksi. Pengaruh pencelupan akar dengan larutan P terhadap produksi juga tidak terlihat (T5 vs T6). Bahkan (T3 vs T6) produksi tanpa P tidak berbeda nyata dengan yang dicelupkan P serta penambahan E-2001. Produksi terlihat cukup dengan dosis 18 kg P2O5/ha. (T1vs T2 vs T3 vs T4). Hal ini diduga disebabkan kandungan P tanah masih cukup tinggi seperti hasil yang dinyatakan (Adiningsih dan Soepartini, 1995). Pengaruh pupuk E-2001 terhadap komponen hasil dan produksi tidak nyata. Pada berbagai tingkat dosis P perbandingan antara yang diberikan E-001 dengan tanpa E-2001 memberikan hasil yang tidak
128
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
berbeda. Terlihat bahwa kalau tidak diberi P maka produksi cenderung menurun. Demikian juga dengan penambahan K tidak memberikan hasil nyata (T7 vs T5). Pengaruh pupuk kandang tidak terlihat langsung berpengaruh terhadap peningkatan produksi. Disamping itu, penambahan dosis P tidak meningkatkan hasil yang berbeda. Disamping pemberian pupuk kandang dan K (T9 vs T8 vs T1) tidak menunjukkan manfaat terhadap peningkatan produksi. Tabel 2. Rata-rata jumlah malai/rumpun, panjang malai, jumlah gabah bernas, dan jumlah gabah hampa pada uji adaptasi efisiensi penggunaan pupuk P di kecamatan Plampang. MH. 1999/2000. Kode T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11
Perlakuan (115 - 27 – 0 – 0) (115 -18 – 0 – 0) (115 -0 – 0 – 0 ) (115 –18 – 0 – E-2001) (115 – 0 – 0 - E-2001) (115 - 25 – 0 - E-2001) **) (115 - 0 – 45 - E-2001) (115 - 27 – 45) (115 –27 – 0 – p.kdg 5000) (115 – 18 – 0 – p.kdg 5000) (115 – 45 – 0 – 0) Rata-rata K.K (%)
Jumlah malai/ rumpun 12,77 c*) 12,37 bc 10,90 ab 11,53 abc 10,40 a 12,18 bc 11,57 abc 11,63 abc 12,57 bc 12,40 bc 13,33 c 11,99 7,8
Panjang malai (cm) 30,28 b*) 29,45 ab 29,42 ab 29,37 ab 29,33 ab 29,22 ab 29,18 ab 28,83 ab 28,62 ab 27,95 a 27,90 a 29,05 3,60
Jumlah gabah bernas (butir) 128,97 tn 126,77 126,20 121,37 120,33 119,43 117,67 116,70 113,13 110,40 107,40 118,94 9,25
Jumlah gabah hampa (butir) 8,43 tn 8,03 7,07 7,00 6,90 6,80 6,47 6,03 5,97 5,67 5,63 6,73 27,70
Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn = Tidak berbeda nyata ;**) = perlakuan celup akar Tabel 3. Kode T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11
Rata-rata bobot 1000 biji, bobot jerami, dan hasil GKG pada uji adaptasi kecamatan Plampang. MH. 1999/2000. Perlakuan (115 -27 – 0 – 0) (115 -18 – 0 – 0) (115 -0 – 0 – 0 ) (115 –18 – 0 – E-2001) (115 – 0 – 0 - E-2001) (115 - 25 – 0 - E-2001) **) (115 - 0 – 45 - E-2001) (115 - 27 – 45) (115 –27 – 0 – p.kdg 5000) (115 – 18 – 0 – p.kdg 5000) (115 – 45 – 0 – 0) Rata-rata K.K (%)
Bobot 1000 biji (gram) 34,08 tn 33,38 32,79 32,19 32,15 31,68 31,57 31,55 31,48 31,29 31,02 32,11 6,75
efisiensi
Bobot jerami (t/ha) 16,07 ab *) 16,57 a 13,80 ab 13,83 ab 13,57 ab 13,27 ab 12,83 b 14,49 ab 14,67 ab 15,51 ab 16,31 ab 14,63 12,2
penggunaan pupuk P di Hasil GKG (t/ha) 6,11 a*) 5,68 ab 4,59 cd 5,52 abc 4,90 bcd 4,92 bcd 4,29 d 5,31 abc 5,51 abc 5,62 ab 5,98 a 5,31 9,6
Ket : *) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn = Tidak berbeda nyata; **) = perlakuan celup akar
Uji Residu Pupuk Phosphor (P) Pemupukan P pada pertanaman padi MK I yang pada MH mendapatkan pemupukan P, tidak berpengaruh terhadap hasil dan jumlah biji berisi/malai, tetapi berpengaruh pada jumlah anakan produktif/rumpun (Tabel 4). Implikasinya adalah residu P dari pemupukan musim sebelumnya tersedia dalam jumlah yang cukup sehingga penambahan pupuk P tidak meningkatkan hasil. Data pada Tabel 4. menunjukkan bahwa perbedaan nyata pada jumlah anakan produktif/rumpun tidak menimbulkan perbedaan pada hasil gabah. Hal ini diduga karena anakan produktif yang banyak tidak selalu meningkatkan jumlah biji/malai. Kenyataan ini didukung penelitian Yoshida (1981) yang melaporkan bahwa jumlah biji/malai berbanding terbalik dengan jumlah anakan produktif. Hal penting yang diperoleh dari pengkajian ini adalah petak dipupuk dengan P memberikan hasil yang tidak berbeda dengan petak yang tidak diberi pupuk P. Hal ini berarti pemupukan P pada padi kedua yang mendapatkan pupuk pada padi pertama tidak perlu dilakukan.
129
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 4. Pengaruh residu pupuk P dari berbagai takaran pupuk P musim sebelumnya terhadap komponen hasil dan hasil padi Maronge Sumbawa MK I 2000. No. Perlakuan 1. T1 (75 kg P2O5/ha) 2. T1A (Residu T1) 3. T2 (18 kg P2O5/ha) 4. T2A (Residu T2) 5. T3 (Kontrol) 6. T3A (Kontrol) 7. T4 (18 kg P2O5/ha + E 2001) 8. T4A (Residu T4) 9. T5 (E 2001) 10. T5A (Residu T5) 11. T6 (25 kg P2O5/ha akar celup) 12. T6A (Residu T6) 13. T7 (75 kg K2O/ha) 14. T7A (Residu T7) 15. T8 (75 kg P2O5 + 75 kg K2O/ha) 16. T8A (Residu T8) 17. T9 (75 kg P2O5 + 5 t pupuk kandang/ha) 18. T9A (Residu T9) 19. T10 (5 t pupuk kandang/ha)
20. T10A (Residu T10) 21. T11 (45 kg P2O5/ha) 22. T11A (Residu T11) CV (%) Ket :
Anakan prod./rumpun (batang) 13,06 a-d 12,60 a-d 11,70 cd 12,46 a-d 12,16 bcd 13,33 ab 12,00 bcd 13,26 ab 11,60 d 12,33 bcd 12,26 bcd 13,40 ab 12,80 a-d 12,40 a-d 13,13 abc 13,46 ab 12,76 a-d 13,20 abc 13,33 ab
12,26 bcd 13,40 ab 13,90 a 1,91
Biji isi/malai (butir) 78,71 tn 75,57 72,06 76,86 79,06 83,24 71,72 75,82 78,18 74,02 74,97 78,25 79,98 78,33 85,45 72,65 77,65 71,40 80,17
Hasil GKG (t/ha) 5,74 tn 5,91 5,09 5,04 5,45 5,78 5,62 6,09 5,08 5,13 5,41 6,06 6,02 5,39 6,26 5,34 5,49 5,07 5,84
74,24 86,26 77,79 10,7
5,82 6,28 5,79 16,5
*) = Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT (.05); tn = Tidak berbeda nyata
ESIMPULAN DAN SARAN Pemupukan Phosphor (P) tidak berpengaruh terhadap hasil gabah, walaupun pengaruh pemupukan P nampak pada komponen hasil. Pemupukan Phosphor (P) pada padi musim kedua setelah dilakukan pemupukan P pada padi musim pertama tidak berpengaruh terhadap hasil. Ini berarti bahwa residu P dalam tanah cukup memenuhi kebutuhan P tanaman padi sawah. Memperhatikan kriteria 4 dan 5, maka untuk efisiensi dan mempertahankan status P di Sumbawa, Dompu dan Bima pemupukan P dilakukan sekali dalam dua musim tanam dengan takaran 18 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1997. Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. Kerjasama BPS Kabupaten Sumbawa dengan Bappeda Kabupaten Sumbawa. hal. 7 - 265. Baharudhin, AB. 1996. Rangkuman Laporan Penelitian Kajian Pemupukan Berimbang Pada Lahan/ Daerah Irigasi Mamak Kakiang Sumbawa NTB Menunjang Pelestarian Swasembada Pangan. Fakultas Pertanian Unram. 48 hal. Baharuddin, AB. dan J. Priyono. 1995. Penerapan pemupukan berimbang pada lahan irigasi Mamak dan Kakiang Sumbawa. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Bidang Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Unram. Fakultas Pertanian UNRAM, Mataram. Basyir, A. 1993. Pemupukan Jangka Panjang Padi Sawah. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan Tahun 1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. hal. 222 - 228. Bastari, T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. hal. 7 - 36. BPS. 1998. Nusa Tenggara Dalam Angka 1997. Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat.
130
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Fagi, A.M. 1996. Status Pengetahuan Teknik Pemupukan Pada Padi Sawah. Pusat dan Penelitian Tanah dan Agoklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. hal. 37 - 60. Jones, U.S. 1979. Fertilizers and Soil Fertility. Reston Publishing Company. USA. p 29 - 145. Landon, J.R. 1984. Booker Tropical Soil Manual. Booker Agriculture Internati0nal Limited. P. 106 - 144. 0‘Neill, M.E. 1997. Anintermediate Biometry Course Manual. Schoool of Crop Sceinces, The University 0f Sidney. P 114 - 159. Prijatna, S, B.H. Kusuma dan M. H. Idris. 1997. Laporan Penelitian Pengkajian Pengaruh Masukan Organik Terhadap Ketersediaan N dan Efisiensi Pupuk Urea Pada Tanaman Jagung di Tanah Vertisol. 18 hal. Sekertariat Pembina Harian Bimas NTB. 1996. Rekomendasi Pemupukan di Wilayah NTB. Mataram 12 hal. Setiyono, S. 1986. Kesuburan Tanah dan Nuheisi Tanaman PPS. Unibraw. Malang 55 hal. Soepardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. Dep. Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB Bogor. 872 hal. Soepartini, M., Nurjaya, A. Kasno, Supardi, Ardjakusuma, Moersidi, S. dan J. Sri Adiningsih. 1994. Status hara P dan K serta sifat-sifat tanah sebagai penduga kebutuhan pupuk padi sawah di pulau Lombok. Pemberitaan Penelitan Tanah dan Pupuk No. 12, 1994, p.23-35. Subandi. 1995. Pemupukan kalium bagi upaya meningkatkan produksi padi di Nusa Tenggara Barat. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi Paket Teknologi di IPPTP Mataram, 17-19 Desember 1995.
131
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU BUDIDAYA PADI SAWAH DI KABUPATEN LOMBOK BARAT Hasil Sembiring, L. Wirajaswadi, Awaludin Hipi, Sirajuddin1 dan Husen M. Toha2 1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat 2. Peneliti pada Balitpa Sukamandi
ABSTRAK Pengelolaan tanaman padi sawah terpadu (PTT) merupakan pendekatan yang mengutamakan kesinergisan atas komponen-komponen produksi seperti umur bibit, pemupukan dan lain-lain mulai dari pra produksi sampai kepada produksi dan pengelolaan kelompok. Tujuan Pengkajian adalah mengevaluasi pendekatan ini terhadap peningkatan produksi padi sawah spesifik lokasi dilahan irigasi yang efisien dan kemungkinan pengembangannya di NTB. Pengkajian dilaksanakan di Desa Jenggala Kecamatan Tanjung Kabupaten Lombok Barat pada MK. I. 2001. Pengkajian dimulai dengan melaksanakan PRA dan kemudian diikuti dengan perumusan paket teknologi serta penerapannya di lapangan. Pengkajian ini terdiri dari dua kegiatan utama yaitu demonstrasi teknologi dan superimposed. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa teknologi PTT memberikan keuntungan rata-rata Rp 1.754.599, sedangkan teknologi petani sebesar Rp 1.144.283,-. Hasil riel pada teknologi PTT sekitar 5,92 t/ha; sedangkan teknologi petani rata-rata 5,21 t/ha. Penerapan teknologi dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan produksi dan memiliki prospek untuk menekan biaya usahatani padi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan bersih petani di NTB. Kata kunci : pengelolaan tanaman terpadu, sawah irigasi, padi, produktivitas
PENDAHULUAN Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu penghasil padi nasional memiliki lahan sawah irigasi seluas 207.852 ha. Hampir seluruhnya dapat ditanami padi dua kali setahun dalam pola tanam padi–padi– palawija dengan intensitas 250–300%/tahun. Terobosan melalui intensifikasi mampu meningkatkan produktivitas padi di NTB secara menyolok dan menciptakan swasembada sejak tahun 1981, dengan produksi padi sebesar 913.331 ton GKG. Pada perkembangan selanjutnya ternyata peningkatan produktivitas mengalami pelandaian. Jika pada pelita III produktivitas padi mencapai kenaikan rata-rata 283 kg/ha. Pada pelita IV turun drastis menjadi 21,25 kg/ha. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dimana pertumbuhan produktivitas rata-rata mengalami negatif (-16,25 kg/ha) (BPS NTB 1999; Kanwil Deptan, 2000). Kecenderungan ini cukup mengkhawatirkan karena kenaikan produktivitas padi jauh lebih rendah dari pada kenaikan jumlah penduduk yakni sebesar 2,34%. Sistem produksi input eksternal tinggi sangat tergantung pada input kimia buatan (pupuk, pestisida), benih hibrida, mekanisasi dengan bahan bakar minyak dan irigasi (Reijntjes et al, 1992). Sistem pertanian ini mengkonsumsi sumber-sumber yang tak dapat diperbaharui. Pemanfaatan input buatan yang berlebihan dan tidak seimbang dapat menimbulkan dampak besar terhadap ekologi, ekonomi, dan sosial politik. Bagi daerah NTB degradasi kemampuan lahan sebagai media tumbuh tanaman sudah nampak, hal ini terlihat dari kecenderungan penurunan produktivitas padi yang terus melaju. Dalam 5 tahun terakhir penggunaan pupuk Urea meningkat sebesar rata-rata 2277,75 ton/tahun (2,88%) tetapi produktivitas padi menurun seperti telah dikemukakan di atas. Apabila kondisi ini tidak mendapat penanganan serius, dikhawatirkan produktivitas padi masa mendatang terus menurun. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut diatas dengan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Konsep ini mengharuskan pengelolaan secara terpadu antara tanaman dan sumberdaya. Pada prinsipnya adalah melakukan pengelolaan dengan menyediakan lingkungan produksi yang kondusif bagi pertumbuhan tanaman sesuai dengan sumberdaya tersedia secara lokal spesifik (Badan Litbang, 2000). Dengan pendekatan ini diupayakan menciptakan hubungan sinergisme antara komponen-komponen produksi dan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tersedia dengan lebih banyak memanfaatkan internal input tanpa merusak lingkungan. Filosofi pengelolaan tanaman terpadu adalah pemanfaatan sumberdaya pertanian secara optimal sehingga petani memperoleh keuntungan maksimum secara berkelanjutan dalam sistem produksi yang
132
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
memadukan komponen teknologi sesuai kapasitas lahan. Kata kunci dari pengelolaan tanaman terpadu adalah sinergis. Setiap komponen teknologi sumberdaya alam, dan kondisi sosial ekonomi memiliki kemampuan untuk berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian akan tercipta suatu keseimbangan dan keserasian antara aspek lingkungan dan aspek ekonomi untuk keberlanjutan sistem produksi. Indikator keberhasilan pengelolaan tanaman terpadu yang paling penting adalah rendahnya biaya produksi, penggunaan sumberdaya pertanian secara efisien dan pendapatan petani meningkat tanpa merusak lingkungan (Kartaatmadja, 2000). Pengelolaan pertanian terpadu memiliki potensi dan prospek cukup baik untuk mempertahankan produktivitas yang berkelanjutan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Tujuan pengkajian ini adalah : (1) Mendapatkan model pengelolaan tanaman terpadu budidaya padi sawah spesifik lokasi di lahan irigasi, (2) Meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani.
METODOLOGI PENELITIAN Pengkajian dilaksanakan di 2 lokasi yaitu di Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung Lombok Barat pada MK I. 2001. Lokasi kegiatan adalah lahan sawah irigasi yang menerapkan pola tanam padi – padi – kacang tanah. Pada setiap lokasi percobaan terdapat 2 kegiatan yaitu demonstrasi teknologi PTT dan percobaan superimposed. Percobaan super imposed diharapkan dapat menjawab teknologi yang masih diragukan petani. Ada dua issue yang dikaji pada super imposed yaitu jumlah dan umur bibit dan kajian pemupukan (dosis, jenis, dan LCC) Percobaan super imposed dirancang menurut kaidah penelitian, dan data agronomis dianalisis secara statistik. Sedang pada demonstrasi dianalisis secara ekonomis dan untuk mengetahui respons petani dilakukan wawancara secara semi struktural. Ringkasan kegiatan yang dilakukan pada kedua lokasi pengkajian adalah sebagai berikut : Tabel 1. Karakteristik kegiatan pengkajian PTT di desa Jenggala. Tanjung. Lobar. MK. I. 2001 Variabel PRA Kelompoktani Jumlah petani Luas hamparan Waktu tanam Varietas Kendala/hambatan
Jenggala (Lobar) Februari – Maret 2001 Mentani 7 orang 4,6 ha MGG II Mei IR-64, Tukad Petanu Keong emas, tungro, penggerek batang, petani masih ragu dengan teknologi
Teknologi yang diterapkan pada kajian PTT disesuaikan dengan rakitan teknologi yang dirumuskan bersama-sama dengan petani dan PPL pada saat PRA. Paket teknologi didasarkan kepada ketersediaan sumberdaya, permasalahan yang dihadapi dan kebiasaan petani. Komponen teknologi yang dianggap baru adalah umur bibit dan jumlah bibit per rumpun. Deskripsi teknologi PTT dibanding teknologi petani di sajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Teknologi PTT vs teknologi petani di Desa Jenggala Lobar pada kajian PTT. 2001. Variabel 1 Pengolahan tanah Mutu benih Kebutuhan benih Umur bibit Bibit/rumpun
Teknologi PTT 2 Sempurna Sertifikat 15 kg/ha 15 hari 1 batang
Teknologi Petani 3 Sempurna Sertifikat 60 kg/ha 25 hari 5 – 7 batang
133
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 Jarak tanam Pupuk : Urea SP-36 (analisa tanah) Organik Pengendalian gulma Pengendalian H/P
2
3
20 x 20 cm
Tdk teratur
BWD (250 kg/ha) 75 kg/ha 3 t/ha Manual PHT
400 – 500 kg/ha 100 kg/ha 0 Manual Tanpa acuan
HASIL DAN PEMBAHASAN Kajian OFR (demonstrasi) Penampilan tanaman dan produksinya pada kegiatan on farm demonstrasi disajikan pada Tabel 3. Tinggi tanaman tidak menunjukkan perbedaaan yang menyolok antara yang dikelola petani kooperator dengan non kooperator. Rata-rata produktivitas pada petani kooperator lebih tinggi dibandingkan dengan non kooperator. Lebarnya range baik pada petani kooperator dan non kooperator disebabkan oleh tingginya gangguan hama dan penyakit (tungro dan penggerek batang). Adanya perbedaan produksi menunjukkan bahwa efisiensi teknologi PTT dapat diandalkan. Tabel 3.
Keragaan agronomis dan produktivitas padi pada petani kooperator dan non kooperator Jenggala, Tanjung. MKI. 2001 Kooperator (n = 7) Variabel
Unit
Kisaran
Non kooperator (n =6)
Rerata
Kisaran
Rerata
Tinggi tanaman 4 MST
cm
40.4 – 51.7
48.5
-
-
Tinggi tanaman saat panen
cm
74.9 – 91.5
84.0
75.1 – 94.9
83.3
Jumlah anakan 15 HST
btg
2.2 – 3.5
2.8
-
-
Jumlah anakan 30 HST
btg
9.9 – 17.6
15.6
-
-
Anakan maksimum
btg
16.4 – 18.4
17.70
-
-
Anakan produktif
btg
15.6 - 18.2
16.57
16.0 – 20.3
18.2
Prod. riel (GKP)
t/ha
4.35 – 6.73
5.92
4.39 – 5.68
5.21
Prod. ubinan (GKP)
t/ha
5.38 –8.55
6.28
5.20 - 6.52
5.97
Analisis ekonomi yang yang berkaitan dengan tingkat pengeluaran pada sejumlah komponen pembiayaan, pendapatan kotor, dan pendapatan bersih petani kooperator dibanding dengan non kooperator disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perbandingan tingkat pengeluaran pada sejumlah komponen pembiayan, pendapatan kotor dan pendapatan bersih petani dengan teknologi PTT (kooperator) dan petani pembanding (non kooperator) Tanjung, MK I 2001 Uraian 1
Kooperator (Rp/ha)
Non Kooperator, (Rp/ha)
Kisaran
Rerata
Kisaran
Rerata
2
3
4
5
Benih
22.500 – 41.667
35.123
138.889 - 178.571
153.743
Pupuk organik
138.889 – 153.846
147.928
-
-
Pupuk SP36
109.091 – 125.217
119.629
97.222 – 190.476
160.542
Pupuk Urea
292.174 – 333.333
309.505
466.667 – 693.333
577.831
Pestisida
358.889 – 509.091
420.051
21.429 – 270.000
103.975
Pengolahan tanah
333.333 – 365.217
351.250
340.000 – 357.143
352.302
Penanaman
333.333 – 375.000
362.468
255.556 – 388.889
327.444
134
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1
2
3
4
5
Penyiangan
100.000 – 444.444
231.856
106.667 – 186.667
150.116
Biaya total
3.662.125 – 4.689.773
4.165.401
3.671.667 – 4.402.000
4.065.717
Pendapatan kotor
4.358.750 – 6.727.273
5.920.000
4.400.000 – 5.666.667
5.210.000
Pendapatan bersih
696.625 – 2.270.653
1.754.599
726.111 – 1.587.778
1.144.283
R/C
1.42
1.28
Ditinjau dari total biaya antara teknologi PTT dengan teknologi petani nampak tidak jauh berbeda yaitu rata-rata Rp. 4.165.401 berbanding Rp. 4.065.717. Hal ini disebabkan tingginya biaya pada pengendalian virus tungro dengan menggunakan insektisida confidor dan pengendalian hama penggerek batang menggunakan carbofuran dengan rata-rata pengeluaran sebesar Rp. 420.051/ha dibanding teknologi petani yang hanya mengeluarkan biaya pestisida sebesar Rp. 103.979. Selisih biaya lainnya terlihat pada penggunaan pupuk kandang pada PTT dengan rata-rata Rp. 147.928/ha sedangkan teknologi petani tidak menggunakan pupuk kandang. Pada pengendalian gulma, teknologi PTT ternyata membutuhkan biaya hampir dua kali lipat teknologi petani yaitu : Rp. 231.856 berbanding Rp. 150.166. Hal ini diduga karena pada teknologi PTT pengendalian gulma dilakukan secara intensif yaitu dengan dua kali penyiangan. Disisi lain, teknologi petani mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk benih yaitu sebesar Rp. 153.743 (61,5 kg/ha) berbanding Rp. 35.123 (14,10 kg/ha). Pengeluaran biaya dengan selisih yang cukup besar terlihat pada penggunaan pupuk Urea. Teknologi petani mengeluarkan biaya sebesar Rp. 577.831 (478,44 kg/ha) berbanding Rp. 309.505 (257,92 kg/ha). Efisiensi penggunaan pupuk Urea tersebut tidak terlepas dari penggunaan alat bantu Bagan Warna Daun yang dapat menghemat pupuk Urea sebesar 53%. Walaupun total biaya teknologi PTT lebih tinggi dibanding teknologi petani, secara ekonomis tetap lebih menguntungkan. Hal ini terlihat dari pendapatan bersih pada teknologi PTT sebesar Rp. 1.754.599 berbanding Rp. 1.144.283 pada teknologi petani. Selisih pendapatan sebesar Rp. 610.316 ini sebagian besar berasal dari selisih hasil gabah. Teknologi PTT memberikan hasil gabah sebesar 5920 kg/ha sedangkan teknologi petani 5210 kg/ha. Secara umum efisiensi biaya teknologi PTT nyata terlihat pada penggunaan pupuk Urea dan benih. Tetapi akibat serangan penyakit virus tungro dan penggerek batang yang cukup menghawatirkan diperlukan pengendalian menggunakan pestisida dengan nilai cukup tinggi sehingga efisiensi dari pupuk Urea dan benih tersebut tidak nampak. Kajian Super Imposed 1. Pupuk (Jumlah dan jenis pupuk) Hasil Pengkajian terhadap pupuk dan jenisnya pada pengkajian yang dikelola petani disajikan pada Tabel 5; sedangkan yang dikelola peneliti disajikan pada Tabel 6. Jumlah anakan sejak berumur 15 HST sampai 45 HST tidak berbeda nyata antar perlakuan pada percobaan yang dikelola petani. Hal yang sama juga terlihat pada percobaan yang dikelola peneliti sampai berumur 30 HST. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan pada umur 45 HST dan anakan produktif pada percobaan yang dikelola peneliti. Anakan 45 HST dan AP tertinggi (24,25 dan 22,07) ditunjukkan oleh perlakuan 6 sama dengan perlakuan 4 keduanya menggunakan Urea 400 kg/ha. Khusus untuk AP, jumlah tertinggi ditunjukkan oleh perlakuan 6 sama dengan perlakuan 4 dan berbeda dengan perlakuan 1, 2, 3 dan 5 yang semuanya menggunakan Urea 250 kg/ha. Implikasinya adalah penggunaan pupuk Urea 250 kg/ha sesuai rekomendasi Bimas dan penggunaan Bagan Warna Daun titik kritis 4 dengan takaran Urea 50 kg/ha setiap aplikasi belum cukup untuk mendapatkan anakan produktif yang sama dengan pertanaman petani yang menggunakan Urea 400 kg/ha atau anakan produktif optimum. Kebutuhan N tertinggi pada tanam padi terjadi pada fase pembentukan anakan maksimum. Kombinasi pemupukan berpengaruh nyata terhadap hasil gabah GKP maupun GKG. Hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan 4 (400 Urea + 75 SP36) tidak berbeda dengan perlakuan 3 (LCC +
135
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
SP36) dan perlakuan 6 (400 Urea + 125 SP36). Perlakuan 4 berbeda dengan perlakuan 1 (250 Urea + 75 SP36 + 3 t pupuk kandang), perlakuan 2 (250 Urea + 75 SP36 + 50 KCl) dan perlakuan 5 (250 Urea + 75 SP36 = rekomendasi setempat). Rendahnya hasil pada perlakuan dengan 3 ton pupuk kandang diduga karena pupuk kandang belum memberi pengaruh nyata pada musim pertama. Pengaruh pupuk kandang baru terlihat pada musim kedua keatas. Penggunaan pupuk K tidak berpengaruh terhadap hasil padi, hal ini karena hara K sudah cukup tersedia di lokasi pengujian sesuai hasil analisa tanah (data status K). Untuk efisiensi penggunaan pupuk Urea, penggunaan Bagan Warna Daun dapat dianjurkan karena Urea yang dipergunakan hanya 250 kg/ha dan hasilnya sama dengan penggunaan Urea 400 kg/ha. Perbedaan hasil antar perlakuan diduga karena adanya perbedaan pada jumlah gabah berisi dan gabah hampa/malai. Tabel 5. Penampilan agronomi dan hasil percobaan pemupukan di Jenggala, Tanjung, Lobar, MK.I. 2001. Perlakuan 250 Urea + 75 SP + KP 3 ton 250 Urea + 75 SP + 50 KCl LCC (3 X ; SP36 + 250 Urea) 400 Urea + 75 SP 250 Urea + 75 SP 36 400 Urea + 125 SP 36 CV (%)
A15 3.15 a 3.15 a 2.85 a 3.2 a 3.2 a 2.85 a 9.9
A30 14.3 a 13.95 a 16.3 a 16.85 a 15.15 a 16.65 a 17.6
A45 22.9 ab 22.05 ab 19.72 c 23.38 ab 21.32 bc 24.25 a 6.29
AP 19.62 b 18.95 bc 16.62 c 21.03 ab 18.72 bc 22.07 a 7.84
TT45 49.5 a 47.0 a 49.9 a 49.1 a 48.9 a 49.9 a 5.5
GKP 7.23 cb 7.02 c 7.38 abc 8.06 a 7.02 c 7.84 ab 6.2
GKG 6.54 abc 6.35 c 6.62 abc 7.20 a 6.37 bc 7.07 ab 6.5
A15 = anakan pada umur 15 HST ;A30 = anakan pada umur 30 HST; A45 = anakan pada umur 45 HST; TT 45 = tinggi tanaman pada umur 45 HST; AP = Anakan produktif ; GKP = gabah kering panen; GKG = gabah kering giling
2. Jumlah dan Umur Bibit Hasil pengkajian jumlah dan umur bibit disajikan pada Tabel 6. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara umur bibit dan jumlah bibit pada semua variabel yang diamati. Jumlah bibit berpengaruh terhadap jumlah anakan. Pada umur 15 HST, jumlah bibit 3 batang mempunyai jumlah anakan lebih rendah, tetapi pada umur 30 HST jumlah anakannya sama. Ini menunjukkan bahwa perkembangan anakan dengan jumlah bibit 1 batang dapat lebih cepat. Jumlah bibit 3 buah mempunyai jumlah anakan yang sama dengan jumlah bibit 5 batang. Jumlah bibit tidak berpengaruh nyata terhadap produksi GKP dan GKG. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bibit 1 batang per rumpun dapat dianjurkan. Umur bibit berpengaruh terhadap perkembangan anakan sampai pada umur 15 hari, tetapi setelah itu jumlah anakan tidak nyata. Ini menunjukkan bahwa umur bibit tidak mempengaruhi jumlah anakan. Umur bibit tidak berpengaruh terhadap hasil baik GKP dan GKG. Ini menunjukkan bahwa umur bibit muda (15 hari) dapat dianjurkan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa umur bibit muda dipanen lebih awal (sekitar 1 minggu) dibandingkan dengan umur bibit 21 atau 25 hari. Umur panen pada bibit 15 hari sekitar 105-108 hari. Tabel 6. Ringkasan pengkajian pengaruh jumlah bibit dan umur Bibit terhadap keragaan agronomis dan produksi padi di Jenggala, Tanjung. 2001. Sumber 1 Rep UB JB UB * JB
A15 2 ** *** *** ns
A30 3 ns ns ns ns
A45 4 ** ** * ns
Amax 5 ** ns ** ns
AP 6 ns ns ** ns
TT45 7 ns ns ns ns
GKP 8 *** ns ns ns
GKG 9 *** ns ns ns
Contrast: 15 VS 21 1 VS 3 1 VS 5 1 VS 3+5
*** *** *** ***
ns ns ns ns
** * ** **
ns * ** **
ns * ** **
ns ns ns ns
ns ns ns ns
ns ns ns ns
136
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 2 3 4 5 6 7 8 Umur bibit 15 7.2b 21.3a 21.7a 21.7a 20.2a 85.7a 8.5a 21 9.0a 20.0a 24.3b 20.9a 19.3a 87.3a 8.4a Jumlah bibit 1 4.3a 18.8a 21.5a 19.8a 18.1a 86.6a 8.5a 3 8.6b 21.2a 23.3b 21.5b 20.0b 86.5a 8.4a 5 11.3c 21.9a 24.2b 22.5b 21.1b 86.3a 8.4a CV% 13.1 19.1 7.7 7.5 9.4 2.8 6.9 ns = not significant; *, **, *** = significant pada taraf 5%, 1%; UB = umur bibit ; JB = jumlah bibit ; A15 = anakan pada umur 15 HST ; A30 = anakan pada umur 30 HST; A45 = anakan pada umur 45 HST; Amax = anakan maksimum; AP = anakan produktif ; TT 45 = tinggi tanamman pada umur 45 HST
9 7.6a 7.4a 7.5a 7.5a 7.6a 7.3
Persepsi Petani Rekaman tanggapan/kesan petani terhadap teknologi PTT Tanjung MK I 2001 disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tanggapan petani terhadap teknologi PTT Tanjung MK I 2001. Variabel Bibit umur muda Tanam 1 batang/rumpun
Tanaman tandur jajar
Pupuk SP-36 Penggunaan LCC
Dosis pupuk Urea 50 kg/aplikasi Alat siang Gosrok
Insektisida Convidor
Komentar Petani Bisa menerima sebab lebih cepat hidup (Lambih, Kt. Tani, Rajab, Kartep); sedangkan Nyoman takut mudah kena penyakit. Lebih cepat beranak, tapi karena banyak keong resikonya banyak nyulam. Kalau boleh 2 –3 batang per rumpun. (Kartep, Kt. Tani, Nyoman, Rajab, Wayan Dapat, Lambih). Semua petani lebih baik, sebab hasil lebih tinggi dan tanaman lebih sehat. Kendalanya adalah tenaga belum ada yang trampil dan alat terbatas, tentunya biaya tanam jauh lebih tinggi. Harus diberikan sebab tanaman lebih sehat dan gabah lebih berat (Ketut Tani, Lambih, Kartep, Rajab, Nyoman). Dirasa masih sulit sebab penglihatan kurang bagus; sehingga persepsi terhadap warna berbeda-beda (Wy. Dapat, Lambih, Kt. Tani, Nyoman) Harus mencatat/menulis angka (semua petani) Dirasa kurang, sebab sulit merata sehingga dampak perubahan warna kurang nyata (semua petani) Sangat bagus, rumput bersih sekali dan tanah gembur, kesulitannya, buruh tani terbiasa pakai kis-kis bila disuruh mencoba alat tersebut kemungkinan tidak bersedia. (Kt. Tani, Wayan Dapat, Rajab, Kartep, Lambih). Sangat efektif untuk tungro/wereng hijau, walaupun awalnya ragu. (Kt. Tani, Wy. Dapat, Kartep, Nyoman, Lambih).
Selama kegiatan PTT partisipasi petani kooperator cukup tinggi hal ini terbukti dari kehadiran petani di lahan usahatani hampir setiap hari pagi dan sore untuk mengontrol perkembangan tanaman, sehingga kalau terjadi masalah segera dapat dipecahkan.
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil pengkajian PTT memberikan keuntungan rata-rata Rp 1.754.799, sedangkan teknologi petani sebesar Rp 1.144.283,- dengan R/C ratio masing-masing 1.42 dan 1.28. Hasil riel pada teknologi PTT sekitar 5.92 t/ha; sedangkan teknologi petani rata-rata 5.21 t/ha. Penerapan teknologi dengan pendekatan PTT dapat meningkatkan hasil dan memiliki prospek untuk menekan biaya usahatani padi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan bersih petani di NTB. Penggunaan bibit tunggal dapat mengefisienkan penggunaan benih, sedang penanaman umur muda dapat mempercepat waktu panen. Penggunaan Bagan Warna Daun sebagai alat bantu dalam menentukan pemupukan Urea, dapat menghemat 53 % dari total Urea yang biasa digunakan petani. Teknologi PTT ini dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka efisiensi input pada budidaya padi sawah.
137
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DAFTAR PUSTAKA Badan Litbang Pertanian. 2000. Pengkajian dan pengembangan intensifikasi padi pada lahan irigasi berdasarkan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu. Mak. Lak. Sinkronisasi Litkaji Balit, dan BPTP. Bogor 28-29 September 2000. BPS NTB. 1999. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1998. Biro Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Barat. Kanwil Deptan - NTB 2000. Evaluasi program tahun 1999 dan kebijaksanaan pangan Tahun 2000. Makalah Rakor pangan, Mataram 28 Maret 2000. Kartaatmadja, S., A.K. Makarin and A.M.Fagi.2000. Integrated crop management : an approach for sustainable rice production. Balitpa Sukamandi. Reijntjes, C., B. Haverkort and A.W. bayer.1992. an infroduction to low-external input and sustainable agriculture. The Macmillan Press Ltd. London and Basingstoke.
138
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK (CROP-LIVESTOCK SYSTEM) DALAM RANGKA MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN Integration of Crop and Livestock (Crop-Livestock System) to Develop Sustainable Agriculture Soekardono Fakultas Peternakan Universitas Mataram
ABSTRAK Sektor pertanian mempunyai peranan yang luas bagi pembangunan sosial-ekonomi Indonesia. Peranan yang penting adalah (1) penyediaan pangan, bahan baku industri, dan kontribusi terhadap PDB, (2) menyediakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi penduduk pedesaan, dan (3) memberikan kontribusi dalam pengentasan kemiskinan dan peningkatan status gizi. Namun, pertanian kita memiliki masalah, yaitu: (1) pemilikan lahan per petani sempit, rata-rata kurang dari 0,50 ha; (2) kualitas lahan terus menurun; (3) harga produk relatif rendah; dan (4) sebagian besar petani masih mengandalkan usahatani padi dan palawija. Hal ini bermuara pada rendahnya pendapatan petani. Untuk mengatasi masalah ini, integrasi tanaman dan ternak (crop-livestock system) perlu dikembangkan dalam rangka menuju pertanian berkelanjutan. Dengan integrasi tanaman dengan ternak, suatu usahatani dapat menjadi lebih efisien karena dapat menggunakan input dalam (internal input) yang berarti mengurangi penggunaan input luar (external input) yang harus dibeli. Dengan demikian integrasi tanaman dengan ternak dapat digolongkan ke dalam sistem pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah atau dikenal dengan LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture). Sebagai contoh, integrasi tanaman padi dengan sapi potong, dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 100%. Sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan ternak. Jadi, dalam integrasi ini, usaha tanaman padi dapat memanfaatkan pupuk kandang sebagai pengganti sebagian pupuk buatan, sedangkan usaha sapi potong dapat memanfaatkan jerami padi sebagai pakan. Kata kunci: Pertanian berkelanjutan, integrasi tanaman dengan ternak, LEISA, pendapatan petani.
ABSTARCT Agricultural sector has strategic roles in national development. Its most important roles are (1) to provide food for the growing population, raw materials for industries, and contribute to PDB, (2) to provide employment opportunity and to improve incomes of people in the village and (3) to contribute in the alleviation of poverty and malnutrition. However, the Indonesian agriculture has many constraints i.e. (1) land holding is very small with an average of less than 0.50 Ha per household, (2) soil quality tends to decline with time (3) price of products relatively low and (4) most farmers still rely on rice and seasonal crops. As a result, the income of the majority of farmers is low. To overcome this problem, integration of crop and livestock in the Crop-Livestock System needs to be developed in the framework of sustainable development. By integrating crop and livestock, farming system can be more efficient by optimizing the use of internal input which means minimizing the cost of using external inputs. Crop –Livestock System can thus be categorized as sustainable farming system which is known as Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). As an example, integration of beef cattle in rice production system can improve income up to 100%. Around 40% of that income comes from selling of organic fertilizers from cattle manure. In this system, cattle manure can be used to fertilize the rice field and beef cattle can utilize rice straw as part of its feeds. Key words: Sustainable agriculture, crop-livestock integration, LEISA, farmer’s income
PENDAHULUAN Di suatu negara di mana tahap-tahap pembangunan sedang berlangsung, seperti di Indonesia, sektor pertanian mempunyai peranan yang luas bagi pembangunan sosial-ekonomi. Pertama, harus berkontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan penyedia pangan bagi penduduk yang sedang tumbuh serta bahan baku industri. Kedua, harus menyediakan kesempatan kerja tenaga produktif dan pendapatan bagi penduduk pedesaan yang jumlahnya cukup besar. Ketiga, harus berperan di dalam pengentasan kemiskinan dan perbaikan status gizi melalui struktur dan bentuk produksi dengan tetap menjaga petani gurem dan buruh tani agar dapat memperoleh bagian benefit pertumbuhan pertanian. Terakhir, harus mendorong berkembangnya neraca pembayaran melalui peningkatan ekspor, substitusi impor, dan mengurangi ketergantungan ekonomi pada pasokan (makanan) luar negeri (Thorbecke dan Pluijm, 1993).
139
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Sumbangan sektor pertanian terhadap PDB Indonesia secara relatif cenderung menurun dari tahun ke tahun tetapi tetap penting dalam penyediaan lapangan kerja. Selama 30 tahun terakhir kontribusi sektor pertanian terhadap PDB menurun dari sekitar 39% menjadi sekitar 15%, namun terhadap penyerapan tenaga kerja tidak banyak berubah. Dari sekitar 80 juta angkatan kerja, 50% diantaranya masih bekerja pada sektor pertanian. Kondisi ini tidak banyak berubah dari 30 tahun yang lalu. Ini menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia masih didominasi oleh pertanian rakyat dengan jumlah petani yang begitu banyak tetapi output per unit usaha relatif kecil dibandingkan dengan pasar (Pakpahan, 2000). Pertanian rakyat sebagian besar dilakukan oleh rumah tangga pertanian di pedesaan. Menurut Sensus Pertanian (1993) dalam BPS (1996), dari 21,74 juta rumah tangga pertanian (RTP) di Indonesia, 20,33 juta atau 93% diantaranya tinggal di pedesaan dan sisanya sebanyak 1,4 juta atau 7% tinggal diperkotaan. Sebagian besar (54,46%) dari RTP Indonesia tersebut berdomisili di Jawa, selebihnya 22,45% di Sumatra, 8,02% di Sulawesi, 6,84% di Bali dan Nusa Tenggara, 5,81% di Kalimantan, dan 2,42% di Maluku dan Irian Jaya. Dari 11,56 juta RTP di Jawa, 8,067 juta atau 69% menguasai lahan < 0,50 ha dan 3,497 juta lainnya atau 31% menguasai lahan > 0,50ha. Sebaliknya di luar Jawa sebagian besar (70%) menguasai lahan lebih dari 0,50 ha dan 30% sisanya menguasai lahan < 0,50ha. Rumah tangga pertanian di Indonesia sebagian besar merupakan rumah tangga usaha tanaman pangan (padi dan palawija). Pada tahun 1993, rumah tangga tanaman padi dan palawija tercatat 18,094 juta, rumah tangga hortikultura 5,044 juta, rumah tangga perkebunan 6,376 juta, rumah tangga usaha ternak sapi 3,074 juta, rumah tangga usaha kerbau 489 ribu, rumah tangga usaha kambing/domba 581 ribu, rumah tangga usaha ayam buras 480 ribu. Sebagian besar (10,157 juta atau 56%) RTP usaha tanaman pangan tersebut berada di Jawa. Demikian pula RTP usaha ternak, usaha ternak sapi misalnya, sekitar 61% berada di Jawa. Data diatas menunjukkan bahwa pasokan pangan baik beras maupun pangan asal ternak sebagian besar berasal dari Jawa. Hal ini kontradiksi dengan potensi sumberdaya lahan yang tersedia. Sawah yang tersedia di Jawa hanya 2,388 juta ha dan telah terpakai seluruhnya, sedangkan di luar Jawa 11,617 juta ha dan baru terpakai 4,905 juta ha atau 42 persen ( Amien, 1995 a dan Amien, 1995b dalam Karama dan Sofyan, 1997). Dengan demikian jika luas lahan yang tersedia ini dibandingkan dengan jumlah RTP maka kondisi usaha tanaman pangan di Jawa cukup memprihatinkan. Luas lahan yang sempit, yaitu ratarata kurang dari 0,50 ha, mengakibatkan pendapatan petani rendah. Dengan lahan yang sempit dan pendapatan yang rendah, petani terpaksa mengeksploitir lahan untuk memaksimumkan pendapatannya. Akibatnya produktivitas lahan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Dillon dkk. (1999) dalam Sawit (2000), bahwa stagnasi produksi padi disebabkan oleh beberapa faktor, (1) stagnasi dan degradasi teknologi, (2) kesuburan tanah semakin merosot, (3) kejenuhan intensitas tanam, (4) rendemen penggilingan yang semakin menurun, (5) serangan hama dan penyakit, dan (6) ilkim yang tidak normal. Karama dan Sofyan (1996) juga menyatakan bahwa kualitas lahan sawah cenderung menurun. Sekitar 65% areal sawah mempunyai kandungan C-organik kurang dari 1%. Berdasarkan konsep sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture), maka pertanian di Indonesia seperti yang digambarkan diatas dapat dikatakan bermasalah, karena secara ekonomi dan lingkungan kurang dapat memberikan benefit yang berkelanjutan. Oleh karenanya perlu dilakukan upaya penanggulangan, salah satunya dengan integrasi tanaman dengan ternak (crop-livestock system).
KONSEP PERTANIAN BERKELANJUTAN Menurut Lockeretz (1988) dalam Singh et al. (1990), pertanian berkelanjutan secara luas dapat diartikan sebagai istilah yang mencakup beberapa strategi yang ditujukan untuk memecahkan masalahmasalah yang menyebabkan ―sakitnya‖ pertanian di Amerika Serikat dan pertanian di dunia. Masalahmasalah tersebut adalah menurunnya produktivitas tanah karena erosi dan menurunnya kandungan nutrisi; polusi pada permukaan air dan air tanah karena pestisida, pupuk, dan sedimen; menurunnya sumberdaya yang tak dapat diperbarui (nonrenewable resources) di masa depan; dan rendahnya pendapatan usahatani karena tekanan harga komoditi dan tingginya biaya produksi. Selanjutnya, ―keberlanjutan‖ mengandung pengertian dimensi waktu dan kapasitas sistem usahatani yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu yang tak terbatas.
140
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Dua inisiatif pemerintah Amerika Serikat di dalam menindaklanjuti konsep dan pemahaman tentang pertanian berkelanjutan tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, melalui Program Riset dan Pendidikan untuk mempromosikan sistem usahatani berkelanjutan/input rendah (USDA, 1988) dan yang kedua, melalui buku ―Pertanian Alternatif‖ yang mendiskusikan peranan metode usahatani alternatif di dalam pertanian modern (National Research Council, 1989). Konsep ini diilustrasikan dalam Gb. 2.1. yang diadopsi dari Schaller, USDA-CSRS . Tujuan utama atau akhir dari pertanian berkelanjutan adalah membangun sistem usahatani yang produktif dan menguntungkan, mengkonservasi basis sumberdaya alam, melindungi lingkungan, dan meningkatkan kesehatan dan keselamatan, dan kegiatan ini harus berlangsung dalam jangka panjang. Alat untuk mencapai tujuan ini adalah metode input rendah (low-input) dan managemen terampil (skilled management), yaitu mencari manajemen dan penggunaan input internal (sumberdaya on-farm) yang optimal yang memberikan tingkat produksi tanaman dan ternak berkelanjutan (sustainable). Pendekatan ini menekankan pada budaya dan praktek manajemen tentang rotasi tanaman, daur ulang kotoran ternak, dan konservasi dengan pengolahan tanah untuk mengontrol erosi tanah dan kehilangan nutrisi, dan memelihara atau meningkatkan produktivitas. Sistem usahatani input rendah bertujuan meminimalisasi penggunaan input eksternal (sumberdaya off-farm), seperti pupuk dan pestisida yang harus dibeli; menurunkan biaya produksi; menghindari polusi permukaan air dan air tanah; mengurangi residu pestidida dalam makanan; mengurangi resiko petani; dan meningkatkan keuntungan usahatani baik jangka pendek maupun jangka panjang ( Parr et al., 1989, 1990; dan Parr dan Hornick, 1990) dalam Singh et al. (1990). PERTANIAN BERKELANJUTAN SUATU PERTANIAN YANG …
T U J U A N
Produktif dan Menguntungkan
Mengkonservasi Sumberdaya dan Melindungi Lingkungan
Meningkatkan Kesehatan dan Keselamatan
Metode Input-Rendah dan Managemen Terampil Mengurangi penggunaan input kimia sistetis
Mengadakan konservasi tanah dan air
Rotasi tanaman
Diversifikasi Tanaman-Ternak Proses Alami
A L A T
Kontrol Penyakit (Pest) Biologis
Bercocok tanam mekanik
Bioteknologi
Menggunakan pupuk kandang dan pupuk hijau
Menggunakan Limbah Organik
Gambar. 2.1. Konsep Pertanian Berkelanjutan di Amerika Serikat yang Menunjukkan Tujuan dan Alat untuk Mencapainya Melalui Metode Input Rendah dan Managemen Terampil.
141
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Alasan lain mengapa memfokuskan sistem usahatani input rendah, karena sistem input tinggi (high-input), cepat atau lambat, kemungkinan akan gagal karena mereka tidak berlanjut (sustainable) baik secara ekonomi maupun lingkungan dalam jangka panjang. Bagaimana mencapai tujuan tersebut tergantung pada kreasi dan inovasi konservasi dan praktek produksi yang memberikan kepada petani alternatif atau opsi di dalam sistem usahataninya. Menurut Reijntjes et al. (1999), keberlanjutan dapat diartikan sebagai ―menjaga agar suatu upaya terus berlangsung‖, ―kemampuan untuk bertahan dan menjaga agar tidak merosot‖. Dalam konteks pertanian, keberlanjutan pada dasarnya berarti kemampuan untuk tetap produktif sekaligus tetap mempertahankan basis sumberdaya. Misalnya, Technical Advisory Committee of the CGIAR (TAC/ CGIAR, 1988) menyatakan, ―Pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam‖. Namun demikian, banyak orang menggunakan definisi yang lebih luas dan menilai pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal sebagai berikut: Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan – dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah – ditingkatkan. Kedua hal ini akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan serta masyarakat dipertahankan melalui proses biologis (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa, dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang bisa diperbarui. Bisa berlanjut secara ekonomis, yang berarti bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomi ini bisa diukur bukan hanya dalam hal produk usahatani yang langsung namun juga dalam hal fungsi seperti melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, baik di lapangan maupun di dalam masyarakat. Kerusuhan sosial bisa mengancam sistem sosial secara keseluruhan, termasuk sistem pertaniannya. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati, dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, seperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerja sama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spiritual masyarakat dijaga dipelihara. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar, dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan teknologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya.
INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK (CROP-LIVESTOCK SYSTEM) DALAM SISTEM USAHATANI Sebagian besar peternak di negara sedang berkembang adalah peternak rakyat, peternak subsisten atau peternak backyard. Mereka berlahan sempit, jumlah ternak relatif kecil, input teknologi rendah, terkait dengan usaha tanaman pangan dan secara umum produktivitasnya rendah (Prawirokusumo, 1994). Kaitan antara tanaman dan ternak dalam sistem integrasi usahatani dapat digambarkan sebagai berikut (Gb.3.1). Menurut Devendra (1993) dalam Diwyanto (2001), ada delapan keuntungan dari penerapan integrasi usaha tanaman dan ternak (crop-livestock system), yaitu (1) diversifikasi penggunaan sumberdaya produksi, (2) mengurangi terjadinya resiko, (3) efisiensi penggunaan tenaga kerja, (4) efisiensi penggunaan komponen produksi, (5) mengurangi ketergantungan energi kimia dan energi biologi serta masukan sumberdaya lainnya dari luar, (6) sistem ekologi lebih
142
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
lestari dan tidak menimbulkan polusi sehingga melindungi lingkungan hidup, (7) meningkatkan output, dan (8) mengembangkan rumah tangga petani yang lebih stabil.
Ternak
Produk
Kotoran
Pakan Ternak
Tenaga
Produksi Tanaman Bahan Bakar
Residu (Straw) Limbah (Bran)
Angkutan
Domestik Pengolahan
Pasar
Tunai
Susu Daging Telur
Beli Input
Produksi Tanaman
Pengeluaran Rumah Tangga Lainnya Nutrisi dan Perlindungan Rumah Tangga
Gambar. 3.1. Hubungan tanaman dan ternak dalam sistem integrasi rumah tangga usahatani (Khan et al., 1990 dalam Prawirokusumo, 1994) Rangnekar, et. al. (1995) menyatakan di India usahatani terpadu (mixed farming) dilakukan oleh sebagian besar petani dan ternak mempunyai peranan komplementer dan juga suplementer di dalam produksi pertanian. Ternak menjadi sarana penting untuk mengatasi resiko dan daur ulang biomasa. Jadi, ternak dapat berintegrasi secara baik dengan berbagai sistem tanaman. Devendra (1993) dalam Bruchem dan Zemmelink (1995) menyatakan bahwa di dalam skala kecil usahatani terpadu di Asia Tenggara, ternak ruminansia lebih berperan penting dari pada yang lain karena mampu memanfaatkan serat kasar dari residu tanaman. Pakan ternak dari bahan ini, walaupun berkualitas rendah, sering menjadi pakan utama terutama pada musim kering. Ternak ruminansia mempunyai kegunaan ganda. Selain memproduksi daging dan susu, ternak dapat menghasilkan kulit untuk pakaian dan input utama usahatani, seperti kotoran ternak. Ternak juga menjadi sumber uang tunai yang strategis dalam masa kritis setiap tahun. Ternak juga signifikan menyumbang pendapatan rumah tangga petani sehingga membantu mengatasi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Beberapa hasil penelitian di Indonesia mengenai integrasi tanaman dan ternak dapat dilaporkan sebagai berikut. Diwyanto dan Haryanto (2001) melaporkan bahwa sistem ini dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 100% apabila dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa ternak. Sekitar 40% dari pendapatan tersebut berasal dari pupuk organik yang dihasilkan oleh ternak. Teguh Prasetyo, dkk. (2001) melaporkan hasil penelitiannya di Kabupaten Grobogan, bahwa untuk pola tanam padi – padi – jagung, produksi jerami padi pada musim tanam I adalah 6050 kg per ha, pada musim tanam II 5280 kg per ha, dan jerami jagung sebesar 300 kg per ha. Produksi pupuk kandang sekitar 1.413,9 kg per ekor per
143
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
tahun. Apabila pupuk kandang mengandung unsur N 1,65% maka produksi pupuk kandang tersebut dapat menyumbang N sebanyak 23,32 kg. Merkens (1925), melaporkan hasil penelitiannya terhadap produksi pupuk kandang dan rumput yang dikonsumsi ternak, yaitu dari 2 ekor sapi Bali selama 20 hari menghasilkan 236 kg pupuk kandang dan menghabiskan rumput 600 kg, dari 2 ekor sapi Hisar menghasilkan pupuk kandang 251 kg dan menghabiskan rumput 600 kg, dan 2 ekor kerbau menghasilkan pupuk kandang 468,5 kg dan menghabiskan rumput 1300 kg. Dari hasil penelitian itu dapat diperkirakan bahwa produksi pupuk kandang untuk sapi Bali adalah 2.153,5 kg per ekor per tahun atau 5,9 kg per ekor per hari, untuk sapi Hisar adalah 2.290,4 kg per ekor per tahun atau 6,3 kg per ekor per hari, dan untuk kerbau adalah 4.275 kg per ekor per tahun atau 11,7 kg per ekor per hari.
INTEGRASI TANAMAN DENGAN TERNAK MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN DI INDONESIA Tujuan akhir dari usahatani adalah kesejahteraan keluarga petani yang berkelanjutan. Kesejahteraan ini terutama ditentukan oleh besarnya pendapatan usahatani. Disamping dari usahatani, pendapatan juga dapat diperoleh dari usaha di luar usahatani. Sebagian dari pendapatan keluarga petani ini digunakan untuk modal usahataninya. Usahatani yang dapat memberikan pendapatan secara berkelanjutan adalah usahatani yang menggunakan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. Sesuai pendapat Parr (1990) dan Reijntjes et al. (1999), indikator penting dalam pertanian berkelanjutan adalah indikator ekonomis dan ekologis. Indikator ekonomis meliputi produksi dan pendapatan usahatani yang cukup, dapat melestarikan sumberdaya alam, dan meminimalkan resiko. Indikator ekologis meliputi kualitas sumberdaya alam dan meningkatnya kemampuan agroekosistem secara keseluruhan. Sebagaimana telah dibahas pada bab-bab diatas, hakekat masalah pertanian di Indonesia adalah: (1) penguasaan lahan per petani kecil, rata-rata kurang dari 0,50 ha, sehingga tidak efisien, (2) kualitas lahan cenderung menurun akibat tingginya intensitas tanam dan tidak disertai upaya pelestarian lahan yang memadai, (3) harga produk relatif rendah dan fluktuatif dibanding harga input luar, (4) petani lebih banyak mengandalkan usahatani padi dan palawija sebagai sumber pendapatan utama. Masalah-masalah ini menyebabkan pendapatan keluarga petani dari usahatani rendah dan cenderung menurun (tidak stabil) sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari secara layak. Untuk menutupi kekurangan tersebut, keluarga petani umumnya berusaha bekerja di luar usahatani seperti industri rumah tangga, berdagang kecil-kecilan, buruh bangunan, tukang bangunan, dan sebagainya. Namun, dalam pekerjaan di luar usahatani ini mereka juga mengalami kendala diantaranya adalah (1) kesempatan kerja yang terbatas, (2) tingkat upah relatif rendah, (3) produktivitas di bidang industri rumah tangga rendah, (4) keterbatasan modal untuk usaha dagang, dan (5) pengetahuan dan ketrampilan kerja di bidang luar usahatani terbatas. Oleh karena itu, salah satu alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi rumah tangga petani di Indonesia dalam rangka membangun pertanian berkelanjutan adalah menggalakkan sistem pertanian terpadu, yaitu integrasi tanaman dengan ternak, baik di lahan kering maupun di lahan sawah. Untuk lahan sawah, integrasi usaha tanaman padi dan ternak sapi potong sangat relevan diterapkan. Sistem integrasi ini akan meningkatkan efisiensi usahatani karena bisa memanfaatkan input dalam (internal input) yang berarti akan mengurangi penggunaan input luar (external input) yang harus dibeli. Usaha ternak sapi dapat menghasilkan pupuk kandang yang dapat menjadi input pada usaha tanaman padi. Sebaliknya, usaha tanaman padi akan menghasilkan jerami padi dan dedak yang dapat menjadi pakan utama ternak sapi. Penggunaan pupuk kandang, sesuai pendapat Singh (2000) diatas, merupakan salah satu komponen alat untuk mencapai pertanian berkelanjutan, karena dapat memperbaiki struktur tanah. Hal yang lebih penting dari sistem integrasi ini adalah bahwa usaha ternak sapi potong dapat menambah pendapatan rumah tangga petani, bahkan bisa menjadi sumber pendapatan baru, tanpa harus bersaing dalam penggunaan lahan. Disamping itu ternak sapi dapat berfungsi sebagai tabungan, yang dapat dengan mudah diuangkan pada waktu diperlukan, termasuk apabila terjadi kegagalan panen usaha tanamannya. Dengan demikian, usaha ternak dapat berperan dalam ketahanan ekonomi rumah tangga petani, seperti yang dinyatakan oleh Khan et al. (1990) dalam Prawirokusumo (1994). Pada lahan kering, integrasi usaha tanaman dan ternak mempunyai peranan lebih penting dalam membangun pertanian berkelanjutan dibanding pada lahan sawah. Hal ini, pertama, karena pendapatan petani lahan kering lebih kecil dari pada petani lahan sawah, kira-kira 1 ha sawah setara dengan 1,5 ha lahan kering dan kedua, kualitas lahan kering lebih rendah dari pada lahan sawah, terutama karena
144
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
rendahnya kandungan unsur hara P. Menurut Wigena dkk. (1994) bahwa pengelolaan pupuk P yang disertai dengan pemberian bahan organik berupa pupuk kandang, sisa panen ataupun pangkasan tanaman pagar pada sistem alley cropping pada tanah Podsolik Merah Kuning di Jambi menunjukkan peningkatan efisiensi pemupukan yang baik ( Tabel 4.1). Tabel 4.1. Pengaruh pengelolaan pupuk P pada beberapa dosis bahan organik terhadap hasil jagung pada tanah Podsolik Merah Kuning di Jambi. Bahan Organik (ton/ha) 0 2.5 5.0 7.5 10.0
0 (kgP/ha) 1.30 1.50 1.55 1.70 1.60
Hasil jagung pipilan kering (ton/ha) 20 (kgP/ha) 40 (kaP/ha) 2.10 2.27 2.15 2.50 2.31 2.65 2.50 2.80 2.35 2.70
60 (kgP/ha) 2.25 2.38 2.50 2.68 2.56
Sumber : Rochayati et al., 1988.
Hasil jagung tertinggi diperoleh pada pemberian 40 kg P dan 7.5 ton bahan organik per ha yaitu sebanyak 2.8 ton jagung pipilan kering per ha dan terendah pada perlakuan kontrol (tanpa P dan bahan organik yaitu sebanyak 1.3 ton jagung pipilan kering per ha). Jadi, integrasi tanaman dan ternak dalam sistem usahatani dapat digolongkan ke dalam pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah (LEISA = Low External Input Sustainable Agriculture). LEISA merupakan pilihan yang layak bagi banyak petani di Indonesia, lebih-lebih dalam kondisi sekarang di mana harga-harga input luar seperti pupuk dan pestisida cenderung terus meningkat tanpa diimbangi kenaikan harga produk. Menurut Rejntjes (1999) LEISA mengacu pada bentuk-bentuk pertanian sebagai berikut: Berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim, dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar. Berusaha mencari cara pemanfaatan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik, dan manusia. Dalam memanfaatkan input luar, perhatian utama diberikan pada maksimalisasi daur ulang dan minimalisasi kerusakan lingkungan.
KESIMPULAN DAN SARAN Dari bahasan diatas, dapat disimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan peranan integrasi tanaman dengan ternak dalam sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia, sebagai berikut: 1) Mengingat begitu pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi nasional, maka pembangunan pertanian harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan. 2) Oleh karena pertanian di Indonesia didominasi oleh pertanian rakyat, maka pembangunan pertanian harus ditujukan untuk peningkatkan kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan melalui pengelolaan usahatani yang produktif dan menguntungkan serta dibarengi dengan upaya konservasi sumberdaya lahan dan pelestarian lingkungan. Program yang sesuai dengan tujuan ini adalah LEISA. 3) Integrasi usaha tanaman dan ternak adalah alternatif yang sangat relevan untuk diterapkan sebagai sistem usahatani berwawasan pertanian berkelanjutan. Integrasi tanaman dengan ternak selain dapat meningkatkan pendapatan usahatani, sekaligus dapat memperbaiki struktur lahan melalui penggunaan pupuk kandang. Untuk lahan sawah, usaha ternak sapi potong adalah pilihan terbaik untuk diintegrasikan dengan usaha tanaman padi. Untuk lahan kering, usaha ternak sapi atau kambing/domba dapat diintegrasikan dengan tanaman pangan atau perkebunan. 4) Mengingat keterbatasan sumberdaya petani, pemerintah perlu memberikan kebijakan-kebijakan yang dapat memberdayakan petani. Kebijakan-kebijakan yang diperlukan antara lain, kebijakan kredit murah, mudah, dan tepat waktu; kebijakan harga input dan output; teknologi; penyuluhan; dan pemasaran.
145
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DAFTAR PUSTAKA Bruchem, J.V. dan G. Zemmelink. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in Tropics Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial, Fakultas Peternakan, UGM, Yogyakarta; h: 39 – 51. BPS. 1996. Sensus Pertanian 1993: Ringkasan Hasil. BPS-Jakarta. Dillon, J.L. dan B.J. Hardaker. 1993. Farm Management Research For Small Farmer Development. F.A.O., Roma. Dillon dkk. (1999) dalam Sawit (2000). Arah Kebijakan Distribusi/Perdagangan Beras Dalam mendukung Ketahanan Pangan: Perdagangan Dalam Negeri. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 221- 242. Diwyanto, K. 2001. Model Perencanaan Terpadu: Integrasi Tanaman-ternak (Crop-Livestock System). Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner Bogor, 17-18 September 2001. Karama, A. S. dan A. Sofyan. 1997. Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian Untuk Meningkatkan Daya Saing Pertanian. MEMBANGUN KEMANDIRIAN DAN DAYA SAING PERTANIAN NASIONAL DALAM MENGHADAPI ERA INDUSTRIALISASI DAN PERDAGANGAN BEBAS. Prosiding Konferensi Nasional XII PERHEPI, PERHEPI, Jakarta ; h 57-73. Merkens, J. 1925. Bijdrage Tot De Kennis Van Den Karbaow En De Karbowenteelt In Nederlandsch Oost-Indie. Pengembangan Peternakan Sapi dan Kerbau di Indonesia. SDE 97, LBN L5, LIPI, Desember 1983; h: 25188. Napitupulu, T. E. M. 2000. Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Agroindustri. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 51-67. Pakpahan, A. 2000. Membangun Pertanian Indonesia Masa Depan. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 6981. Parr, J.F., B.A. Stewart, S.B. Hornick, dan R.P. Singh. 1990. Improving the Sustainability of Dryland Farming System: A Global Perspective. Dalam Singh, R.P., J.F. Parr, dan B.A. Stewart. Dryland Agriculture: Strategies for Sustainability. Advances in Soil Science, Volume 13, Springer-Verlag New York Inc., hal. 1-8. Rangnekar, D.V., M.S. Sharma dan O.P. Gahlot. 1995. Towards Sustainable Ruminant Livestock Production in Tropics Opportunities and Limitations of Rice Straw Based Systems. Buletin Peternakan. Edisi Spesial, Fakultas Peternakan,UGM, Yogyakarta; h: 33-37. Reijntjes, C., B. Haverkort dan A. Waters-Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar Rendah. Edisi Indonesia, Terjemahan Sukoco, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Sri Hartoyo. 2000. Arah Kebijakan Produksi Beras Untuk Mencapai Ketahanan Pangan Dilihat Dari Aspek Sosial Ekonomi/Kesejahteraan Petani. Pembangunan Pertanian Ke Depan: Bunga Rampai Pemikiran Menuju Ketahanan Pangan. Editor: Rudi Wibowo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta; h: 173-187. Teguh Prasetyo, Joko Handoyo, Joko Pramono, dan Cahyati Setiani. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak Pada Sistem Usahatani Di Lahan Irigasi. Makalah Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Auditorium Balai Penelitian Veteriner Bogor, 17-18 September 2001. Thorbecke, E. dan T.v.d. Pluijm. 1993. RURAL INDONSIA: Socio-Economic Development In A Changing Environment. International Fund for Agricultural Development by New York University Press. Wigena, I G P., Sugeng, W., dan Joko, P. 1994. Kendala dan Kemungkinan Pemecahannya Dalam Mempertahankan dan Meningkatkan Kesuburan Lahan Kering Marginal. Makalah dalam rangka Penanganan Lahan Kering Marginal Melalui Pola Usahatani Terpadu, Kerjasama Tim REL Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan Dinas-Dinas Pertanian Propinsi Jambi dengan Balai Informasi Pertanian Jambi.
146
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Lampiran 1. Luas Sawah dan Bukan Sawah di Indonesia tahun 2000 Wilayah Jawa Luar Jawa Indonesia
Sawah (ha) 2.583.528 2.285.249 4.486.777
Non Sawah (ha) 6.248.136 54.441.692 60.689.828
Jumlah (ha) 8.831.664 56.726.941 65.176.605
Sumber: Katalog BPS : 5232, BPS-Jakarta (2000) Lampiran 2. Jumlah RTP dan Rata-Rata Luas Pemilikan Lahan di Jawa dan Luar Jawa. Item Jawa Jumlah RTP (juta) Luas Lahan (ha/RTP) Luar Jawa Jumlah RTP (juta) Luas Lahan (ha/RTP) Indonesia Jumlah RTP (juta) Luas Lahan (ha/RTP)
1963
1973
1983
1993
7,9 0,67
8,6 0,64
10,1 0,63
11,564 0,47
4,2 1,72
5,7 1,57
7,5 1,69
9,598 1,29
12,1 1,03
14,3 0,99
17,6 1,08
21,162 0,83
Sumber: Sensus Pertanian 1963, 1973, 1983, 1993. Lampiran 3. Banyaknya Rumah Tangga PPL Menurut Luas Lahan Yang Dikuasai, 1993 Wilayah <0,50 ha >0,50ha Jumlah Jawa 8.067 3.497 11.564 Luar Jawa 2.839 6.759 9.598 Indonesia 10.906 10.256 21.162 Sumber: SP’93 dalam BPS (1993) Catatan: RTP = rumah tangga pertanian PPL = petani pengguna lahan
DISKUSI Pertanyaan: 1. Produksi kotoran dari sapi untk dapat menghasilkan pupuk kandang 2. Apakah CLS sama dengan tiga strata 3. Bagaimana mengembalikan integrasi di pula Lombok Jawaban: 1. 2. 3.
Seekor sapi dapat menghasilkan 1.5 ton/ha CLS mirip dengan tiga strata yang penting dapat endukung pakan ternak dan kotoraqn ternak dapat dimanfaatkan oleh tanaman Integrasi tanaman ternak di Lombok sudah ada, tetapi perlu perbaikan manajemen
147
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
OPTIMALISASI PENGGUNAAN DAUN TURI (Sesbania grandiflora) SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING OPTIMIZING THE USE OF Sesbania grandiflora AS GOAT FEED Dahlanuddin1), L. A. Zaenuri1), Mashur2), Tanda Panjaitan2) dan Muzani2) 2)
1) Fakultas Peternakan Universitas Mataram Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) NTB
ABSTRAK Karena peternakan kambing di Indonesia umumnya adalah peternakan tradisional dengan skala kecil, tujuan beternak kambing lebih sebagai tabungan dibandingkan untuk mendapatkan profit. Pada kondisi seperti ini, teknologi pakan yang membutuhkan biaya dan / atau input dari luar sistim usahatani sulit diterapkan. Oleh sebab itu, upaya meningkatkan produktivitas ternak kambing melalui perbaikan manajemen pakan sebaiknya didasarkan pada pengembangan manajemen pakan yang sudah ada di masyarakat. Salah satu sistim yang sudah diterapkan oleh masyarakat, terutama di bagian selatan Pulau Lombok, adalah penggunaan daun turi sebagai pakan kambing. Turi, yang umumnya ditanam di pematang sawah, digemari masyarakat setempat karena tanaman ini bersifat multi fungsi (daun sebagai pakan ternak dan sayuran, batang untuk bahan bangunan) dan tidak mengurangi, bahkan meningkatkan kesuburan tanah. Hasil dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penggunaan daun turi dapat meningkatkan produktivitas ternak kambing secara signifikan. Pengembangan dan pemanfaatan turi untuk meningkatkan produksi ternak kambing yang sudah memasyarakat di Lombok Selatan perlu diperluas ke daerah lain. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya, daun turi sebaiknya diberikan pada saat kebutuhan zat-zat makanan meningkat secara drastis, terutama pada akhir kebuntingan dan awal laktasi. Hal ini dimaksudkan agar angka kematian anak dapat dicegah dan pertumbuhan anak lebih cepat. Kata Kunci: Daun turi, Kambing, Bunting,Laktasi, Pertambahan berat badan
ABSTRACT Because the small-scale traditional goat production system in Indonesia is not profit oriented, feed technologies that rely on external inputs are difficult to be adopted by the farmers. Consequently, improving goat productivity should be focused on the development of existing and community based feeding management systems. One of the existing systems which is has long been applied, especially in the southern part of Lombok, is the intensive use of Sesbania grandiflora as goat feed. Sesbania, which is commonly planted on the rice field bunds, is used by farmers because of its multi-functions and its ability to conserve and even improve soil fertility. More importantly, results of various studies have proved that sesbania can significantly improve goat productivity. The development and the use of sesbania as goat feed in South Lombok should be extended to other regions to improve goat production. To improve the efficiency of feed utilization, feeding sesbania should be prioritized to goats at the stages of late gestation and early lactation to minimize kid mortality and to improve growth rate of the kids. Key words: Sesbania grandiflora, Goats, Pregnancy, Lactation, Growth
PENDAHULUAN Sebagian besar populasi kambing di dunia dimiliki oleh peternak tradisional dengan skala kecil (small holder farming) (Sibanda et al., 1999), dan produktivitasnya relatif rendah, yang ditunjukkan oleh tingginya angka kematian dan rendahnya pertambahan berat badan, berat sapih dan berat dewasa (Johnson et al., (1986). Hasil survey yang dilaksanakan di Pulau Lombok (Dahlanuddin, 2001) menunjukkan bahwa pemilikan ternak kambing sangat kecil, yaitu 4 – 5 ekor ternak per KK. Sebagian besar peternak kambing yang disurvey tidak memiliki lahan, sedangkan sisanya sebagian besar memiliki lahan antara 0.1 – 0.5 Ha. Dengan terbatasnya sumberdaya (modal dan lahan) yang dimiliki peternak, maka tidak mengherankan kalau skala usaha dan produktivitas ternak kambing menjadi rendah. Peternakan kambing seperti ini tidak berorientasi pada profit namun lebih berorientasi pada tabungan untuk mendapatkan uang tunai pada saat diperlukan. Pada kondisi seperti ini, peternak akan terlebih dahulu memikirkan resiko yang akan ditimbulkan daripada keuntungan yang akan diperoleh dari penerapan teknologi yang ditawarkan. Atas dasar pemikiran ini, upaya Peningkatan produktivitas ternak kambing melalui perbaikan manajemen pakan sebaiknya didasarkan pada pengembangan manajemen pakan yang sudah
148
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
ada di masyarakat. Salah satu sistim yang sudah diterapkan oleh masyarakat, terutama di bagian selatan Pulau Lombok, adalah penggunaan daun turi sebagai pakan kambing. Turi, yang umumnya ditanam di pematang sawah, digemari masyarakat setempat karena tanaman ini bersifat multi fungsi (daun sebagai pakan ternak dan sayuran, batang untuk bahan bangunan) dan tidak mengurangi, bahkan meningkatkan kesuburan tanah. Dalam makalah ini disajikan hasil beberapa penelitian yang dilakukan di Pulau Lombok sejak tahun 1998 tentang peranan daun turi dalam sistim peternakan kambing, evaluasi nilai nutrisi dan pengaruh pemberian daun turi terhadap produktivitas ternak kambing. Hasil-hasil penelitian tersebut didiskusikan untuk meningkatkan efisiensi manajemen pakan yang sudah ada untuk selanjutnya dikembalikan kepada peternak dan dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan penekanan khusus pada potensi pakan lokal dalam rangka program peningkatan produktivitas secara strategis dan berkelanjutan.
PENGGUNAAN DAUN TURI SEBAGAI PAKAN KAMBING Di Indonesia, kualitas pakan ternak ruminansia sangat rendah, dimana ternak ruminansia umumnya diberikan rumput lapangan dan limbah pertanian sebagai komponen utama ransumnya (Bakrie, 1996). Upaya memanfaatkan limbah pertanian dengan penerapan teknologi pakan untuk meningkatkan kualitasnya telah banyak dilakukan, namun tingkat adopsi dari masyarakat sangat rendah. Sebagai contoh, teknologi pengawetan dan peningkatan kualitas pakan yang berasal limbah pertanian melalui amoniasi atau suplementasi dengan urea dan konsentrat yang kaya protein yang sudah diperkenalkan sejak tahun 1980an belum banyak diterapkan oleh petani pada sistim pemeliharaan tradisional. Berdasarkan hasil survey komposisi botani pakan yang diberikan kepada ternak kambing di Pulau Lombok pada musim kemarau dan musim hujan tahun 1998 (Tabel 1 dan 2), tidak ada satupun peternak kambing yang menerapkan teknologi ini. Hal ini mungkin disebabkan antara lain karena teknologi yang ditawarkan tidak didasarkan atas kondisi dan kebiasaan peternak serta membutuhkan input dari luar sistim seperti urea dan konsentrat. Dengan pemilikan ternak kambing yang sangat kecil dan dipelihara secara tradisional, petani lebih cenderung mengandalkan bahan pakan yang disukai oleh ternaknya tanpa mau mengambil resiko untuk mencoba memanfaatkan jerami padi atau limbah yang lain yang harus diolah terlebih dahulu. Pengolahan tersebut disamping membutuhkan biaya juga waktu yang bisa menggangu kegiatan lain. Pada tabel 1 dan 2 nampak bahwa pakan yang umum diberikan pada ternak kambing adalah campuran daun-daunan seperti turi dan semak dengan rumput lapangan. Banyak peternak memberikan daun-daunan dengan kandungan protein tinggi seperti turi dan leguminosa pohon lainnya sebagai pakan tunggal. Meskipun demikian, sebagian peternak memberikan rumput sebagai satu-satunya komponen ransum (pakan tunggal), sehingga pada saat-saat tertentu, ternak mendapatkan pakan yang kandungan proteinnya melebihi kebutuhan namun disaat lain ternak kekurangan protein. Tabel 1. Pakan yang umum diberikan pada ternak kambing pada musim kemarau 1998 di Pulau Lombok 1998; angka menunjukkan jumlah observasi (Dahlanuddin, 2001). Jenis pakan 1 Daun turi Rumput lapangan Daun lamtoro Daun ubi jalar Daun banten Daun gamal Semak Daun nangka Jerami kacang tanah Daun waru Daun pisang Kangkung Daun komak Jerami kacang hijau
Sebagai pakan tunggal 2 310 101 43 31 4 15 3 3 9 3 5 2 2 9
Sebagai komponen ransum 3 208 169 60 69 53 32 38 27 18 22 15 18 14 6
Total 4 518 270 103 100 57 47 41 30 27 25 20 20 16 15
149
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 Daun maja Daun Gasingan Daun kacang panjang Centrosema spp Jerami kacang kedelai Kulit singkong Daun Randu Dedak padi King grass Kulit pisang Jerami jagung Daun are Daun Bikan Total
2 0 2 1 0 0 1 0 0 3 0 0 2 0 549
3 14 10 10 11 10 8 8 8 4 7 5 3 5 852
4 14 12 11 11 10 9 8 8 7 7 5 5 5 1401
Tabel 2. Pakan yang umum diberikan pada ternak kambing pada musim hujan 1998 di Pulau Lombok 1998; angka menunjukkan jumlah observasi (Dahlanuddin, 2001). Jenis pakan Rumput lapangan Daun turi Daun banten Semak Daun nangka Daun lamtoro Daun waru Daun pisang Daun gamal Daun randu Daun dadap Daun singkong Kangkung Daun Maja Jerami jagung Daun ubi jalar Daun Ketapang Jerami kacang tanah Daun komak Daun mangga Jerami kacang kedelai Daun Kesambi King grass Daun kacang panjang Jerami kacang hijau Daun jarak Daun Are Daun Ancak Daun Beringin Daun Oles Jerami padi Kulit jagung Daun Gatep Daun Seropan Kulit singkong Daun Kelor Daun asam Daun Beluntas Daun Jambu Dedak padi Total
Sebagai pakan tunggal 69 43 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 117
Sebagai komponen ransum 208 230 86 72 65 62 45 30 23 20 18 17 14 6 11 11 10 8 4 7 7 6 5 5 5 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1017
Total 277 273 87 72 65 63 45 30 23 20 18 17 14 12 11 11 10 10 8 7 7 6 5 5 5 4 4 3 3 3 3 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1134
150
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
NILAI NUTRISI DAUN TURI Hasil evaluasi secara in vivo dari 10 jenis pakan yang paling sering diberikan pada ternak kambing menunjukkan bahwa turi memberikan suplai nutrien (protein mikroba dan energi metabolis (ME) yang paling tinggi, diikuti oleh gamal dan lamtoro (Tabel 3). Tabel 3. Konsumsi bahan kering (BK), kecernaan bahan kering, suplai protein mikroba dan konsumsi energi (ME) 10 jenis pakan yang diberikan sebagai pakan tunggal pada ternak kambing (Dahlanuddin et al, 2001). Konsumsi BK (g/ekor/hari) 1070 86.0 859 81.0 826 15.7 496 30.3 485 114.2 375 74.3 692 56.0 842 62.3 376 24.4 552 26.2
Jenis Hijauan
Daun Turi Daun Gamal Daun Lamtoro Daun Dadap Daun Waru
Daun Singkong Rumput lapangan Daun nangka Daun pisang Daun Banten
Kecernaan BK (%) 78 5.4 73 1.9 68 2.6 47 6.5 48 18.2 49 16.7 72 4.2 62 6.6 58 5.3 64 3.5
Suplai Prot Mikroba (mg/W 0.75) 979.3 222.8c 835.5 298.6bc 824.3 89.7bc 640.1 135.5abc 637.1 24.7bc 549.8 141.7ab 533.0 122.0ab 530.9 68.8ab 380.5 97.3ab 274.6 85.3a
Konsumsi ME (MJ/ekor/hari) 11.4 0.60 8.5 0.77 7.5 0.39 2.8 0.58 3.1 1.69 2.4 1.26 6.7 0.71 6.9 1.35 2.8 0.19 4.6 0.42
Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05)
PENGARUH PEMBERIAN DAUN TURI TERHADAP PRODUKTIVITAS Hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian berbagai hijauan yang umum diberikan pada kambing di P. Lombok dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 dibawah ini. Kambing yang diberikan rumput lapangan sebagai satu-satunya komponen ransum yang diberikan secara ad libitum hanya dapat mempertahankan atau bahkan kehilangan berat badan, sedangkan yang diberikan campuran rumput dan daun-daunan dapat meningkatkan berat badan sekitar 25 - 38 g/hari. Kambing yang diberikan daun turi sebagai pakan tunggal mampu meningkatkan berat badannya rata-rata 86 g/hari (Gambar 1). Hasil penelitian berikutnya (Gambar 2), menunjukkan bahwa pertambahan berat badan kambing yang diberikan 50% turi dan 50% lamtoro mencapai 106 g/hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa daun turi dan lamtoro dapat meningkatkan berat badan kambing lebih tinggi dari rata-rata pertambahan berat badan kambing yang umum diamati di Indonesia seperti yang dilaporkan oleh Johnson dan Djajanegara (1989). A
8
B
7
Weight Change (Kg)
C
6
D
5
E
4
F
3 2 1 0 -1 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Weeks
Gambar 1. Pertambahan berat badan kambing jantan yang diberikan berbagai jenis hijauan: A = 100% Rumput, B = 100% turi, C = 50% rumput + 50% turi, D = 33.3% rumput + 33.3% lamtoro + 33.3% banten, E = 3 3.3% turi, 3.3% lamtoro + 33.3% banten, F = 25% rumput + 25%turi + 25% lamtoro + 25% banten (Dahlanuddin, 2000a)
151
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
8 A B C D E F
Weight Change (g/d)
7 6 5 4 3 2 1 0 -1 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Weeks
Gambar 2. Pertambahan berat badan kambing jantan yang diberikan berbagai jenis hijauan: A = 100% lamtoro, B = 100% gamal, C = 50% lamtoro + 50% gamal, D = 50% lamtoro + 50% turi, E = 33.3% lamtoro, 33.3% gamal + 33.3% waru, F = 3 3.3% gamal, 3.3% waru + 33.3% dadap (Dahlanuddin, 2000b) Hasil penelitian yang sedang dilaksanakan (Dahlanuddin, 2002) menunjukkan bahwa pemberian kombinasi daun turi, gamal dan lamtoro (masing-masing 1/3 bagian) pada akhir kebuntingan dan awal laktasi (sekitar 6 minggu sebelum melahirkan dan 6 minggu sesudah melahirkan) dapat mempercepat pertumbuhan anak. Sebaliknya, pemberian rumput lapangan selama kebuntingan dan laktasi menyebab kan lambatnya pertumbuhan anak dan tingginya resiko kematian anak yang baru lahir. Hal ini disebab kan oleh tidak tercukupinya kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan fetus terutama pada 1/3 terakhir kebuntingan dan rendahnya produksi susu pada masa laktasi (lihat Gambar 3). 8000 7000
Weight (g)
6000 5000 4000 3000 2000
A
B
C
1000 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Age (weeks)
Gambar 3. Pengaruh suplementasi dengan leguminosa pohon (A = tanpa suplemen / 100% rumput, B = 50% rumput + 50% (turi + lamtoro + gamal) dan C = 100% (turi + lamtoro + gamal) pada induk kambing pada akhir kebuntingan dan awal laktasi terhadap laju pertumbuhan anak (Dahlanuddin, 2002).
152
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PRODUKTIVITAS TANAMAN TURI Salah satu kendala penggunaan daun turi sebagai pakan ternak adalah rendahnya produksi biomass dan tidak tahan terhadap pemangkasan. Akan tetapi, turi relatif tahan terhadap kekeringan sehingga sangat bermanfaat sebagai sumber pakan kambing pada musim kemarau. Pada musim kemarau, dimana rumput sangat sulit didapatkan, turi masih tumbuh subur dan berproduksi dengan baik. Hasil sampling yang dilakukan secara partisipatif oleh peternak responden dalam periode ahir Oktober sampai awal Nopember 2002, diperoleh rata-rata produksi daun turi sebesar 1.7 kg per pohon. Karena umur turi yang bervariasi maka produksi per pohon berkisar antara 0.2 kg sampai 5.5 kg. Pemetikan daun turi tidak dilakukan secara total, namun dipetik sebagian besar daunnya dan menyisakan daun pada pucuknya agar pohon turi tidak mati. Tebel 4. Produktivitas turi yang ditanam di pematang sawah pada musim kemarau (Dahlanuddin dkk, 2002). No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata Std deviasi
Jlh turi yang dipetik (pohon) 8 36 50 21 4 4 5 21 41 15 12 11 12 40 18 15 2 20 15 4
Total daun turi yang dihasilkan (kg) 15 21 22 11 10 12 19 15 8 10 8 19 17 15 28 32 11 50 25 7.5
Rata-rata produksi (kg/pohon) 1.88 0.58 0.44 0.52 2.50 3.00 3.80 0.71 0.20 0.67 0.67 1.73 1.42 0.38 1.56 2.13 5.50 2.50 1.67 1.88 1.69 1.33
PENGATURAN PEMBERIAN PAKAN SESUAI DENGAN STATUS FISIOLOGI TERNAK Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan daun turi dan produktivitas ternak maka perlu diatur proporsi daun turi dalam ransum sesuai dengan status fisiologis ternak. Tabel 5. Rekomendasi pemberian daun turi pada ternak kambing dengan kondisi fisiologis berbeda dan perkiraan jumlah maksimum (segar) yang dibutuhkan seekor kambing per hari. Katagori ternak Kambing dewasa (umur 1 thn keatas, induk tdk bunting/laktasi) Pejantan dan induk masa kawin (sekitar 2 minggu sebelum kawin) Induk awal kebuntingan (sampai 3.5 bulan setelah kawin) Induk bunting tua dan laktasi (1.5 bln sebelum dan setelah melahirkan) Anak lepas sapih (3 bulan keatas) Penggemukan, pejantan tidak kawin
Perkiraan BB
Kons BK
% Turi
Jlh Turi / ekor kg pohon
20
0.6
0 - 25
0.6
0.35
20 22
0.6 0.66
50 - 100 10 -30
2.4 0.79
1.41 0.46
26 10 20
0.78 0.3 0.6
50 - 100 50 - 100 25 - 50
3.12 1.2 1.2
1.83 0.712 0.71
Asumsi : Prod. Turi = 1.7 kg per pohon, Keb. BK sekitar 3% dari berat badan
153
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dan kebiasaan sebagian peternak responden yang memberikan turi sampai dengan 100% dari total ransum maka dapat diusulkan suatu rekomendasi penggunaan daun turi pada ternak kambing seperti tertera pada tabel 5. STRATEGI UNTUK MENINGKATKAN PRODUKSI DAUN TURI – TURINISASI ? Van Soest (1994) menyatakan bahwa secara ekonomis, pemberian pakan hijauan yang berkualitas tinggi lebih efisien dibandingkan dengan pemberian pakan berkualitas rendah yang disuplementasikan dengan konsentrat dalam jumlah yang cukup besar. Oleh sebab itu, penanaman pohon turi dan leguminosa pohon yang lain harus ditingkatkan sehingga produktivitas ternak kambing dapat ditingkatkan. Kendala utama untuk menanam turi adalah terbatasnya ketersediaan lahan. Hasil survey yang dilakukan di Pulau Lombok pada tahun 1998 (Dahlanuddin, 2001) menunjukkan bahwa sebagian besar (64%) peternak kambing yang diwawancara tidak memiliki lahan. Dari 36% responden yang memiliki lahan, 47% diantaranya memiliki lahan 0.1 - 0.25 Ha, 35% memiliki 0.25 - 0.50 Ha, 12.8% memiliki 0.50-1.00 dan hanya 5.1 % yang memiliki lahan lebih dari 1 Ha. Meskipun demikian, hasil penelitian pada kelompok peternak Bareng Maju Desa Darek, Praya Barat Daya, Lombok Tengah (Dahlanuddin dkk, 2002) menunjukkan bahwa meskipun tidak semua peternak memiliki atau menyewa lahan untuk menanam turi, semua responden dapat memberikan daun turi kepada ternak mereka dalam jumlah yang cukup. Karena peternak sangat menyadari manfaat daun turi bagi produktivitas ternak kambing, daun turi diperoleh dengan beberapa cara sebagai berikut : 1.
Turi ditanam di lahan sendiri atau lahan yang disakap/gadai sehingga daun turi dapat diambil sesuai dengan kebutuhan
2.
Turi ditanam di lahan orang lain dengan perjanjian: daun turi diambil oleh peternak sedangkan batang turi setelah tua diambil oleh pemilik lahan.
3.
Turi ditanam di lahan orang lain dengan perjanjian: daun turi dan batang turi (setelah tua) dibagi dua antara pemilik lahan dan peternak.
4.
Pemilik lahan menanam turi dan daunnya dijual kepada peternak yang membutuhkannya. Daun turi ini dijual dengan harga relatif murah karena pemilik lahan dapat memanfaatkan batang turi yang cukup diminati oleh masyarakat sebagai bahan bangunan.
Apabila hal ini dapat dikembangkan didaerah lain, maka produksi daun turi akan sangat berlimpah dan produktivitas serta populasi kambing dan ternak ruminansia pada umumnya dapat ditingkatkan. Agar hal ini dapat dilakukan, maka peranan pemerintah seperti gerakan turinisasi yang sudah berhasil di daerah Lombok Selatan perlu dilakukan di daerah lain dengan skala yang lebih luas.
KESIMPULAN Berdasarkan uraian diatas, upaya untuk meningkatkan produksi ternak kambing dengan cara meningkatkan ketersediaan pakan yang berkualitas baik dan disukai kambing seperti daun turi, lebih efisien dibandingkan dengan meningkatkan ―kualitas‖ pakan yang berasal dari limbah pertanian. Bagi peternak yang tidak memiliki lahan, turi dapat ditanam di lahan orang lain dengan sistim sewa atau bagi hasil, yang telah dilakukan oleh sebagian peternak kambing di Lombok Selatan. Mengingat produksi biomass daun turi yang relatif rendah, penggunaan daun turi sebagai pakan kambing harus disesuaikan dengan status fisiologis ternak sehingga jumlah ternak yang dipelihara dan produktivitasnya dapat ditingkatkan.
154
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DAFTAR PUSTAKA Bakrie, B. 1996. Feeding management of ruminant livestock in Indonesia. In. Ruminant Nutrition and Production in the Tropics and Subtropics. (B. Bakrie, J. Hogan, J. B. Liang, A. M. M. Tareque and R. C. Upadhyay). Monograph No. 36. ACIAR Canberra. Dahlanuddin 2000a. The significance of Sesbania grandiflora in goat production system on Lombok Islans, Indonesia. Proceedings of the AAAP / ASAP Animal Science Congress. Sydney 2-7 July 2000. Dahlanuddin 2000b. Performance of goats fed commonly available fodder trees during dry season on Lombok Island, Indonesia. Proceedings of the AAAP / ASAP Animal Science Congress. Sydney 2-7 July 2000. Dahlanuddin 2001. Forages commonly available to goats under farm conditions on Lombok Island, Indonesia. Livestock Research for Rural Development (13)1. (http://www.cipav.org.co/lrrd/lrrd13/1/dahl131.htm) Dahlanuddin 2002. Development of goat feeding systems based on locally available resources on Lombok, Indonesia. 2. Meeting nutrient requirements during pregnancy, lactation and growth. Draft Laporan Penelitian. International Foundation for Science (IFS). Dahlanuddin, Mashur, Zaenuri, L. A, Panjaitan, T. S., dan Muzani, A 2002. Pengembangan model peternakan kambing berbasis tanaman turi (Sesbania grandiflora). Laporan Penelitian BPTP NTB. Dahlanuddin, Suhubdy, O. Yanuarianto dan Hasyim 2001. Evaluation of locally available goat feeds based on potential intake of nutrients, products of rumen fermentation, microbial protein supply and degradability of protein. Laporan penelitian. DCRG/URGE Project, DIKTI. Johnson, W. L. and Djajanegara, A. 1989. A pragmatic approach to improving small ruminant diets in the Indonesian humid tropics. J. Anim. Sci. 67:30683079. Sibanda, L.M., L. R. Ndlovu and M. J. Bryant. 1999. Effects of a low plane of nutrition during pregnancy and lactation on the performance of Matebele does and their kids. Small Ruminant Research 32:243-250. Van Soest, P. J. 1994. Nutritional Ecology of Ruminants. 2nd ed. Comstock Publishing Associate. Ithaca.
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2. 3. 4. 5.
Berapa jumlah kambing yang perlu dipelihara, jumlah turi yang diberikan dan berapa lama kambing itu dipelihara agar menguntungkan? Kapan waktu penanaman yang tepat, berapa produksi dari hijauan turi untuk mencukupi kebutuhan Bagaimana kemungkinan pengembangan kambing di kawasan hutan Apakah ada teknologi manipulasi untuk memodifikasi isi rumen sebagai pakan ternak Pada ternak unggas sudah ada ayam broiler yang pada umur 8 minggu sudah dapat dipanen, apakah ada upaya demikian pada ternak ruminansia?
Jawaban: 1.
2. 3. 4. 5.
Jumlah kambing yang dipelihara tergantung dari kondisi setempat. Dari hasil suatu penelitian pemeliharaan 8-12 ekor dengan diberikan pakan turi 25% dari berat badan masih dapat memberikan keuntungan. Lama pemeliharaan tergantung dari tujuan peternak, misalnya penggemukan ± 4 bulan. Penanaman turi sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan. Produksi perpohon berkisar antara 5-7 Kg, dapat memenuhi kebutuhan satu ekor kambing. Pengembangan kambing di hutan dapat saja dilakukan mengingat kambing adalah pemakan tanman/daun-daunan yang banyak terdapat dihutan dan mutunya lebih baik. Sudah ada antara lain probiotik, namun demikian perlu diuji secara seksama untuki memastikan apakah hal tersebut memang bermanfaat. Sudah dilaakauakan dengan persilangan sapi Lombok dengan pejantan Brangus yang lebih dikenal dengan brangusisasi yang diharapkan dapat enghasilkn sapi-sapi besar. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa ternak dengan pertumbuhan cepat butuh pakan yang lebih banyak dan lingkungan yang lebih kondusif.
155
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
INSEMINASI BUATAN PADA RUSA INDONESIA (ARTIFICIAL INSEMINATION OF INDONESIAN DEER) Adji Santoso Dradjat Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram. E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah pelaksanaan teknologi inseminasi buatan menggunakan semen beku pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Dengan terbatasnya materi rusa betina yang digunakan adalah Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean masing masing 12, 5 dan 3 ekor. Penanganan untuk inseminasi dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Dengan menggunakan spekulum, pipet inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60x10 6 spermatozoa. Inseminasi yang dilakukan pada Rusa Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean masing masing menghasilkan kebuntingan berturut-turut sejumlah 4 ekor (25%), 2 ekor (40%) dan 1 ekor (33%). Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku memungkinkan transport spermatozoa dilaksanakan antar propinsi atau antar negara, untuk trasfer materi genetik untuk menghindarkan inbreeding pada rusa yang dipelihara dengan populasi kecil. Transfer materi genetik ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi daging dan produksi ranggah pada peternakan rusa Indonesia mendatang. Kata kunci: Rusa Indonseia, Semen beku, Inseminasi buatan
ABSTRACT The aim of the present study was to evaluate technology of artificial insemination using frozen thawed semen in three species of Indonesian deer; Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) and Bawean (Axis kuhlii). Because of limitation of the deer only 12 hinds of Sambar, 5 hinds of rusa Timor and 3 hinds Bawean were used in the present study. Physical restraint using deer crush and chemical restrain using combination of xylazyne and ketamine each of 1 mg/kg body weight were used for handling and restraining deer. By using speculum, insemination pipette was inserted as deep as possible through cervix and frozen-thawed spermatozoa of 60x106 live spermatozoa was deposited. Insemination performed in Sambar, Rusa Timor and Bawean deer produced 4 (25%), 2 (40%) and 1 (33%) pregnancies. Success of artificial insemination using frozen-thawed spermatozoa would be able to facilitate transportation of genetic materials between provinces and countries beyond national boundaries in order to prevent in breeding and to facilitate meta population‘s management. Transfer genetics materials may also be used to increases meat production and velvet production of the future Indonesian deer farming. Key Words: Indonesian deer, frozen semen, artificial insemination.
PENDAHULUAN Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada hewan ternak diseluruh dunia baik pada negara yang sedang berkembang maupun pada negara maju, untuk meningkatkan kualitas ternak. (Holt, 1989; 1992, Dradjat 1999; 2001). Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada berbagai spesies rusa yaitu pada rusa fallow (Mulley, 1988; Asher et al, 1990; Mylrea, 1991; 1992; Jabour et al, 1992; 1993), rusa merah (Fennessy dan Mackintosh, 1988; Fennessy et al., 1990; Asher et al., 1991; Haigh dan Bowen, 1991), rusa chital (Mylrea, 1992; Dradjat 1996), rusa Eld‘s (Monfort et al., 1993) namun informasi tentang inseminasi buatan pada rusa Indonesia belum tersedia. Pada negara dimana peternakan rusa telah berkembang, Inseminasi buatan telah dilaksanakan pada beberapa spesies rusa untuk meningkatkan kenaikan berat badan dan meningkatkan berat ranggah muda. Sedangkan negara seperti Indonesia peternakan rusa boleh dikatakan belum dimulai, bahkan rusa masih diangap hewan liar yang pemanfaatannya sangat dibatasi oleh peraturan perundang-undangan. Kecenderungan kepunahan hewan liar di dunia, termasuk di Indonesia berlangsung secara cepat sejak tahun 1960 (Mace et al., 1992). Laporan IUCN tahun 1994, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menempati urutan teratas di dunia dalam jumlah hewan yang terancam kepunahan (Groombrige,1993).
156
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Akhir-akhir ini perubahan dan perusakan lingkungan berlangsung dengan cepat akibat dari peningkatan populasi penduduk dunia yang berlangsung sangat cepat. Peningkatan jumlah penduduk tersebut tidak akan berhenti sampai abad 21 (Klein, 1992; English, 1994). Perusakan lingkungan ini menyebabkan perubahan habitat, sehingga tidak sesuai dengan habitat hewan tersebut. Keadaan ini menyebabkan penurunan populasi hewan, termasuk rusa Indonesia. Bila hewan dalam jumlah yang kecil perkawinan keluarga (inbreeding) tidak akan terhindarkan. Peristiwa ini dapat menyebabkan kesuburan menurun, kematian anak meningkat, hewan peka terhadap penyakit. Kejadian inbreeding ini telah diteliti pada hewan berkuku satu (Ralls et al., 1979). Bila hal ini terjadi jumlah hewan liar akan turun dari tahun ke tahun yang akan berakhir dengan kepunahan. Sebagai contoh dari 40 spesies rusa yang ada di Dunia, pada tahun 1077 sebanyak 17 spesies terancam punah (Whitehead, 1977) dan meningkat menjadi 21 spesies pada tahun 1994 (Groombrige,1993). Indonesia mempunyai 4 spesies rusa (yaitu rusa Sambar, rusa Timor, rusa Bawean dan Muncak), rusa Bawean termasuk hewan yang terancam punah. Teknologi perkembang biakan telah berkembang dengan cepat pada hewan ternak, bila teknologi ini dapat dimanfaatkan pada hewan liar maka kejadian inbreeding dapat dicegah dengan memperkenalkan materi genetik dari hewan diluar kawasan. Cara penukaran materi genetik dapat dilakukan dengan cara inseminasi buatan. Dengan inseminasi menggunakan semen beku ini, materi genetik dapat ditransfer antar daerah konservasi, antar negara. Dalam tulisan ini di laporkan Inseminasi buatan menggunakan semen beku telah dilaksanakan pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii).
MATERI DAN METODE Rusa Sambar, rusa Timor dan rusa Bawean digunakan dalam penelitian ini. Penanganan rusa dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Pengambilan spermatozoa dilakukan pada tiga spesies rusa ini menggunakan elektro-ejakulator. Rusa jantan yang telah teranastesi ditempatkan pada posisi terbaring pada sisi kiri atau kanan. Penis rusa dikeluarkan dari preputium dengan cara mendorong kaki belakang kearah depan. Setelah penis keluar dari prepotium, kain perban dengan lebar 2 cm dan panjang 15 sampai 20 cm diikatkan pada penis tidak terlalu keras, sebanyak dua atau tiga kali lilit untuk mencegah penis masuk kembali kedalam prepotium. Tabung gelas penampung yang mempunyai skala ukuran volume steril dipegang dengan tangan agar temperatur gelas penampung meningkat mendekati temperatur tubuh. Berikutnya ujung penis ditempatkan di tengah tabung gelas penampung. Ujung elektro ejakulator (probe) yang telah diberi pelicin (vaselin) dimasukkan kedalam rektum sedalam 10 sampai 15 cm dengan elektroda elektro ejakulator ditempatkan menghadap ke bagian ventral pelvis. Stimulasi listrik dilakukan dengan memutar voltase selama 5 detik dan dihentikan selama 5 detik yang dilakukan secara berulang-ulang hingga spermatozoa di hasilkan. Stimulasi listrik dihentikan segera setelah spermatozoa didapatkan atau dihentikan setelah stimulasi dilakukan selama 2 menit walaupun spermatozoa belum di dapatkan. Rusa yang telah diambil spermatozoanya ditempatkan pada tempat yang teduh dengan posisi duduk untuk mencegah regurgitasi. Ejakulat yang telah didapatkan di evaluasi kualitasnya dengan memeriksa volume, warna, konsentrasi, gerak gelombang, hidup, mati, normal, abnormalitas spermatozoa. Volume, ejakulat atau semen diukur dengan melihat ukuran gelas penampung dengan ukuran garis terkecil 0,1 ml. Warna semen dilihat dengan mata telanjang apakah semen mempunyai warna tertentu, disamping itu juga dievaluasi apakah semen tersebut seperti krim pekat, seperti krim, seperti air susu, seperti berawan/kabut atau encer seperti air. Gerak gelombang spermatozoa diamati dengan menempatkan satu tetes semen pada gelas benda yang telah dihangatkan (36 C) dan ditempatkan dibawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Motilitas atau gerak gelombang diberi skor antara 0 yaitu tanpa gerakan dan skor 5 dengan gerakan gelombang yang keras (Haigh et al., 1993). Penghitungan jumlah spermatozoa per ml semen dilakukan dengan menggunakan haemositometer. Semen dihisap menggunakan penghisap hemositometer sampai angka 0,05 (bergarisgaris) berikutnya dihisap cairan hipertonis sampai angka 101. Cairan hipertonis tersebut terbuat dari aquadest 50 ml, 1 ml 2% eosin dan 1 ml 3% cairan NaCl. Setelah itu kedua ujung tabung thoma ditutup dengan ibu jari dan telunjuk untuk menggoyang-goyangkan tabung, guna mencampurkan antara semen
157
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dengan cairan hipertonik. Setelah tercampur rata, 4 sampai 5 tetes di teteskan pada kertas tisue dan ujung pipet thoma disentuhkan pada tepi bilik hitung (counting chamber) dan ditutup dengan gelas penutup. Setelah didiamkan beberapa detik agar cairan yang berisi spermatozoa tidak bergerak atau mengalir, bilik hitung ditempatkan di bawah mikroskop. Jumlah total spermatozoa yang mengisi 5 kotak dihitung dan konsentrasi spermatozoa dihitung dengan merata-ratakan hasil hitungan 5 kotak dan mengalikan dengan 107. Morfologi atau abnormalitas spermatozoa diperkirakan dengan cara menghitung persentase spermatozoa muda (cytoplasmic droplet), abnormalitas selama spermatogenesis (abnormalitas kepala) dan setelah spermatogenesis. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menempatkan 10 l cat nigrosin eosin (Tamuli dan Watson, 1994) dengan temperatur 36 C pada kaca benda yang hangat (36 C) dan diberi 2 l semen dicampur dan diulaskan pada kaca benda dan di biarkan sampai kering. Preparat ulas yang telah kering diletakkan di bawah mikroskop dengan perbesaran 125 kali dengan minyak emersi, dihitung jumlah abnormalitas spermatozoa. Persentase spermatozoa yang hidup dan yang mati dilaksanakan menggunakan preparat ulas pengecatan nigrosin eosin, spermatozoa yang acrosomanya berwarna gelap dikategorikan spermatozoa mati, sedangkan yang berwarna terang adalah spermatozoa yang masih hidup pada saat pengecatan. Spermatozoa yang mati akan menyerap warna cat nigrosin eosin sedangkan spermatozoa yang masih hidup pada saat pengecatan tidak menyerap warna. Evaluasi ini digunakan untuk mengetahui kualitas spermatozoa yang selanjutnya dapat dilakukan estimasi pengenceran spermatozoa guna penyimpanan lebih lanjut. Penyimpanan spermatozoa ke tiga spesies rusa ini dalam bentuk beku dilakukan setelah pengambilan dan evaluasi kualitas spermatozoa yang telah diuraikan sebelumnya. Pengenceran spermatozoa dilakukan dengan menghitung spermatozoa untuk memperkirakan bahwa jumlah spermatozoa per straw (0,25 ml) mengandung 100 x 106. Extender yang digunakan yaitu extender kambing (Evans dan Maxwell, 1987) yang terdiri dari Tris (OCH3) aminomethane 3,786 gr, Kuning telur 2,5 ml, Citric Acid Monohidrate 2,172 gr. Glucose 0,625 gr, Glycerol 5 ml, Sodium Penicilin G 100,000 IU, Streptomycin 100 mg, Air destilasi sampai 100 ml. Kuning telur dipisahkan dengan putih telur (albumin) dengan memutarkan kuning telur pada kertas saring dan hanya kuning telur yang segar digunakan untuk bahan pengencer. Segera setelah pengenceran semen didinginkan dari 36 C sampai 4 C selama 1,5 sampai 2 jam. Dilakukan dengan memasukkan tabung reaksi yang berisi semen yang telah diencerkan kedalam tabung yang berisi air dengan temperatur 36 C dan diletakkan di dalam lemari pendingin 4 C. Berikutnya semen dimasukkan ke dalam straw (IMV, L'aigle Cedex, France) dan isi straw dibuang sedikit, selanjutnya ujung straw disumbat menggunakan serbuk polyvinil alcohol. Straw yang telah berada pada temperatur 4 C diletakkan 4 cm di atas nitrogen cair selama 20 menit sebelum dimasukkan kedalam nitrogen cair (Foxworth et al., 1989). Spermatozoa yang telah dibekukan dicairkan kembali dengan cara memasukkan straw beku kedalam tabung yang berisi air dengan temperatur 36 C selama 30 detik sampai 1 menit, setelah itu spermatozoa dapat digunakan untuk inseminasi. Sinkronisasi birahi pada rusa dilakukan dengan memasang Controlled Internal Drugs Release (easi-breed CIDR, sheep and goat device, Heriot AgVet Pty Ltd, 8 Mosrael Place, Rowville, Victoria 3178) selama 11 hari. CIDR berisi progesterone sebanyak 0,3 gr progesteron dan CIDR akan melepaskan progesteron ke vagina yang selanjutnya progesteron tersebut akan terserap dan masuk dalam aliran darah. Cara memasang CIDR pada rusa berbeda dengan pada kambing, setelah rusa ditempatkan pada kandang jepit, CIDR dimasukkan pada applikator dan ekor CIDR dilipat hingga terjepit oleh sayap CIDR. Berikutnya ujung aplikator diberi pelicin dan dimasukkan ke vagina rusa setelah badan aplikator berada didalam vagina pegangan aplikator ditekan, sehingga CIDR akan tertinggal di dalam. Dengan menekuk ekor CIDR tali CIDR tidak keluar dari vagina, ini dimaksudkan untuk menghindari agar rusa tidak menggigit dan menarik tali CIDR. Inseminasi buatan adalah memasukkan spermatozoa ke dalam alat reproduksi betina sehingga dapat terjadi kebuntingan. Inseminasi pada rusa dilakukan 36 jam setelah CIDR diambil. Setelah rusa tertidur, dengan anastesi umum rusa ditempatkan pada tempat inseminasi dengan bagian belakang lebih tinggi dibanding bagian depan. Berikutnya semen beku diencerkan kembali dengan memasukkan straw semen beku pada kontainer yang berisi air dengan temperatur 36 C selama satu menit. Setelah itu ujung straw dipotong, semen dimasukkan ke dalam pipet inseminasi. Dengan menggunakan spekulum, pipet
158
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60 x 106 spermatozoa. Selanjutnya rusa ditempatkan pada tempat yang teduh dengan posisi duduk untuk menunggu bangun kembali. Rusa rusa tersebut dipelihara dengan baik hingga melahirkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ini ternyata kebuntingan dihasilkan mencapai 25% hingga 40% rusa yang diinseminasi menggunakan cara servical. Selain tergantung pada spesies rusa, terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil kebuntingan antara lain: tingkat keserentakan hasil sinkronisasi birahi, waktu inseminasi dan jumlah spermatozoa hidup yang dideposisikan ke alat perkembang biakan betina (Asher et al., 1991). Karena rusa tidak menampakkan tingkah laku birahi, maka pada penelitian ini inseminasi dilakukan tanpa dilakukan deteksi birahi. Telah dilaporkan pada rusa merah bahwa inseminasi yang dilakukan setelah rusa terdeteksi birahi dapat meningkatkan angka kebuntingan antara 15 sampai 20% dibanding dengan teknik inseminasi fixed time (Bowen, 1989), yaitu dari angka kebuntingan 55% dapat menjadi 70% sampai 75% (Bowen, 1992). Rendahnya tingkat kebuntingan disebabkan oleh sebagian rusa tidak terstimulasi birahi atau tidak mengalami ovulasi (Fennessy et al., 1990). Pada penelitian yang dilakukan ini dengan jumlah rusa yang relatif sedikit, sehingga persentase hasil penelitian belum mencerminkan distribusi normalnya. Tabel 1: Hasil inseminasi buatan pada 3 spesies rusa No 1 2 3
Spesies Rusa Sambar (Cervus unicolor) Rusa Timor (Cervus timorensis) Rusa Bawean (Axis kuhlii)
Jumlahbetina 12 5 3
Bunting/Melahirkan (%) 4 (25%) 2 (40%) 1 (33%)
Tingkat keserentakan birahi pada rusa sulit untuk dievaluasi karena rusa adalah hewan yang berusaha menghindar bila akan diobservasi dari jarak dekat, waktu birahinya sangat pendek (Asher et al., 1991), tidak menunjukkan tingkah laku yang jelas (Guiness et al., 1971; Veltman, 1985) seperti ruminansia lainnya. Faktor lain yang menentukan persentase kebuntingan adalah waktu yang tepat untuk pelaksanaan inseminasi. Hasil penelitian pada rusa chital menunjukkan bahwa inseminasi dilakukan 60 jam setelah CIDR diambil menggunakan semen segar dan semen cair menghasilkan kebuntingan 8% dan 50%, sedangkan pelanksanaan inseminasi 70 jam setelah CIDR diambil menggunakan semen segar dan semen beku masing-masing menghasilkan 25% kebuntingan (Dradjat, 1996). Faktor yang mempengaruhi tingkat kebuntingan yaitu jumlah spermatozoa yang dideposisikan pada alat perkembang biakan betina. Dilaporkan pada rusa merah bahwa inseminasi menggunakan 40 juta spermatozoa hidup menghasilkan kebuntingan 44,6%, sedangkan penggunaan 30 juta spermatozoa hidup per inseminasi menghasilkan kebuntingan 23% (Bowen, 1990). Dilaporkan pada fallow deer inseminasi menggunakan semen segar dengan jumlah spermatozoa 12,5 juta per inseminasi dapat menghasilkan 76,3% kebuntingan (Jabbour et al., 1992). Disamping itu faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil kebuntingan yaitu cekaman yang dialami oleh rusa selama program inseminasi yaitu dalam penanganan dan anastesi rusa, merupakan faktor yang sangat berpotensi dapat menekan hasil sinkronisasi dan menghambat ovulasi (Asher et al., 1986; Haigh dan Bowen, 1991). Inseminasi pada rusa telah dilaporkan pada rusa sub tropik yaitu pada rusa merah (Krzywinsky dan Jaczewsky, 1978), pada wapiti (Haigh et al., 1986; Haigh dan Bowen, 1991), pada rusa fallow (Mulley et al., 1988; Asher et al., 1992), sedangkan pada rusa tropik yang dipelihara di daerah sub tropik yaitu pada rusa chital (Mylrea, 1992; Dradjat 1996). Penggunaan inseminasi buatan dengan membawa semen beku melewati batas internasional telah dilaksanakan pada rusa merah dari Canada ke New Zealand (Haigh dan Bowen, 1991), pada rusa Fallow dari New Zealand ke Australia (Mylrea et al., 1991) dan dari New Zealand ke USA (Asher et al., 1990)
159
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KESIMPULAN DAN SARAN Inseminasi buatan menggunakan semen beku telah dilaksanakan pada rusa Sambar (Cervus unicolor), rusa Timor (Cervus timorensis) dan rusa Bawean (Axis kuhlii). Penanganan untuk inseminasi dilakukan dengan menggunakan kandang jepit khusus atau dengan anastesi umum. Anastesi dilakukan dengan menggunakan kombinasi obat anastesi xylazyne dan ketamine dengan dosis masing-masing 1 mg/kg berat badan. Inseminasi buatan pada Rusa Sambar, Rusa Timor, Rusa Bawean, dengan menggunakan spekulum, pipet inseminasi dimasukkan ke serviks sedalam mungkin dan spermatozoa dideposisikan dengan jumlah 60x 106, menghasilkan kebuntingan berturut-turut sejumlah 4 ekor (25%), 2 ekor (40%) dan 1 ekor (33%). Keberhasilan inseminasi buatan menggunakan semen beku memungkinkan transport spermatozoa dilaksanakan antar propinsi atau antar negara, untuk trasfer materi genetik untuk menghindarkan inbreeding pada rusa yang dipelihara dengan populasi kecil. Transfer materi genetik ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan produksi daging dan produksi ranggah pada peternakan rusa Indonesia mendatang.
KEPUSTAKAAN Asher G. W, Kraemer D.C., Magyar S.J., Brunner M., Moerbe R. and Giaquinto M. 1990. Intrauterine insemination of farmed fallow deer (Dama dama) with frozen-thawed semen via laparoscopy. Theriogenology. 34:569577 Asher G.W. and Jabbour N.H. 1992. Techniques of oestrus synchronisation and artificial insemination of farmed fallow deer and red deer. Australian deer farming, 3:9-16. Asher G.W., Barrell G.K. and Peterson A.J. 1986. Hormonal changes around oestrus of farmed fallow deer, Dama dama. Journal of Reproduction and Fertility. 78:487-496. Asher G.W., Jabbour H.N., Berg D.K., Fisher M.W., Fennessy P.F. and Morrow C.J.1991. Artificial insemination, embryo transfer and gamete manipulation of farmed red deer and fallow deer. Proceeding of a Deer Course for Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) No 8:275-306. Bowen G. 1990. New A.I. Technology collecting, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians, New Zealand Veterinary Association. no 7:167-170. Bowen G. 1992. Insemination of red deer -programme options. Abstract of papers conference programme 52 nd Annual conference. Proceedings of the New Zealand Society of Animal production. Abstract no 40. Bowen G.1989. Artificial insemination of deer: cervical and laparoscopic techniques, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians (N.Z.V.A.) no 6:8-10. Dradjat A.S. 1996a. Artificial breeding and reproductive management in chital deer. Ph.D Thesis. The University of Sydney. Dradjat A.S. 1996b Deer as a potential husbandry in Eastern Part of Indonesia. Lokakarya Pengembangan Peternakan terpadu dengan intensifikasi tinggi di Kawasan Timur Indonesia. Mataram, NTB. Dradjat A.S. 1998. Utilisation of sustainable deer husbandry. Prosiding Seminar Prospek pengambangan puspa dan satwa potensial di NTB. Yayasan KEHATI Mataram 11 Nopember 1998 Dradjat A.S. 1999. Penggunaan semen beku sapi Friesian, Angus, Brangus dan Bali untuk IB di NTB (Bovine, Vol.: 8, No.: 18, Desember 1999) Dradjat A.S. 2001. Tatalaksana inseminasi buatan pada sapi Bali dalam menghadapi millenium ke 3. Seminar Nasional Ruminansia. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. Special edition 2001Semarang 10 April 2001 English A.W. 1994b. The role of veterinarian in the preservation of biodiversity. Proceedings of the 1994 annual conference of the australian association of veterinary conservation biologist. Canberra: 5-9. Evans, G. and Maxwell, W.M.C. 1987. Salamon's artificial insemination of sheep and goat, Butterworths. Sydney: 127 Fennessy P., Beatson N. and Mackintosh C. 1987. Artificial insemination. Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) no 4:33-37
Proceedings of a Deer Course for
Fennessy P.F. and Mackintosh G. C. and Shackell G.H. 1990. Artificial insemination of farmed red deer (Cervus elaphus). Journal of Animal Production. 51:613-621
160
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Fennessy P.F. and Mackintosh G.C. 1988. Artificial insemination in red deer, Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. Deer Branch (N.Z.V.A.) no 5:8-16. Foxworth W.B., Wolfe B.A., Loskutoff N.M., Nemec L.A., Huntress D.L., Raphael B.L., Jensen J.M., Williams B.W., Howard J.G. and Kraemer D.C. 1989. Post-thaw motility parameters of frozen semen from scimitar- horned oryx (Oryx dammah): effects of freezing method, extender and rate of thawing. Theriogenology 31:193. Groombridge B. 1994 IUCN Red List of Threatened Animals. IUCN- The World Conservation Union. 25-26. Guinness F., Lincoln G.A. and Short R.V. 1971. The reproductive cycle of the female red deer, Cervus elaphus. Journal of Reproduction and Fertility. 27:427-438. Haigh J.C. and Bowen G 1991. Artificial insemination of red deer (Cervus elaphus) with frozen-thawed wapiti semen. Journal of Reproduction and Fertility. 93:119-123 Haigh J.C., Barth A.D. and Bowman P.A. 1986 An evaluation of extenders for Wapiti, Cervus elaphus, semen. Journal of Zoo and Animal Medicine. 17:129-132. Haigh J.C., Dradjat A.S. and English A.W. 1993. Comparison of two extenders for the cryopreservation of Chital (Axisaxis) semen. Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 24:454-458. Heyward E.R.J. 1993. Practical aspects of sheep embryo transfer. Animal Health and Production for 21 st Century. Editor: K.J. Beh. CSIRO, Australia :41-42 Holt N.A. 1989. Advances Synchronisation of oestrus, Cattle, Cattle, Sheep & Goats. Proceedings 127, Refresher Course for Veterinarians in Embryo transfer in goats and sheep. Post Graduate Committee in Veterinary Science. University of Sydney : 63-84. Holt W.V. 1992. Advances in artificial insemination and semen freezing in mammals. Symposia Zoological Society of London. 64:19-35 Hunter R.H.F. and Nichol R. 1983. Transport of spermatozoa in the sheep oviduct: Preovulatory sequestering of cells in the caudal isthmus. The journal of experimental zoology. 228:121-128 Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. 1993. Superovulation, artificial insemination and successful embryo transfer in fallow deer (Dama-dama). Journal Reproduction and Fertility.(Abstract series) 11: 68 Jabbour H.N., Veldhuizen F.A and Asher G.W. 1992. Effect of oestrus synchronisation on fertility of fallow deer following cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. Journal Reproduction and Fertility. (Abstract series) 9:31 Klein D.R. 1992 The status of deer in a changing world environment. Proceedings of the International symposium on biology of deer, editor: Brown R.D. Springer-Verlag New York Inc. :3-12. Krzywinsky A. and Jaczewski Z. 1978. Observation on the artificial breeding of red deer, Symposia of the Zoological Society of London. No.43:271-287. Mace G.M., Pemberton J.M. and Stanley H.F. 1992. Conserving genetic diversity with the help of biotechnology-desert antelopes as an example. Biotechnology and the conservation of genetic diversity. Symposia of the Zoological Society of London. no 64:123-134. Maxwell W.M.C 1986. Artificial insemination of ewes with frozen-thawed semen at a synchronised oestrus.1. effect of time of onset of oestrus, ovulation and insemination on fertility. Animal Reproduction Science. 10:301-308 Monfort S.L., Asher G.W., Wild D.E., Wood T.C., Schiewe M.C., Williamson L.R., Bush M. and Rall W.F. 1993. Successful intrauterine insemination of Eld's deer (Cervus eldi thamin) with frozen-thawed spermatozoa. Journal of Reproduction and Fertility. 99:459-465 Mulley R.C., Moore N.W and English A.W. 1988. Successful uterine insemination of fallow deer with fresh and frozen semen, Theriogenology, 29(5):1149-1153 Mylrea G.E. 1992. Natural and artificial breeding of farmed chital deer (Axis-axis) in Australia. PhD. Thesis, Sydney University. Mylrea G.E., Evans G. and English A.W, 1991. Conception rates in european fallow does (Dama dama dama) following intrauterine insemination with frozen-thawed semen from mesopotamian fallow (Dama dama mesopotamica) and crossbred (Dama dama dama x Dama dama mesopotamica) bucks, Australian Veterinary Journal. 68(9):294-295. Ralls K., Brugger K. and Ballou J. 1979. Inbreeding and juvenile mortality in small population of ungulates, Science, 206:1101-1103.
161
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tamuli M.K. and Watson P.F. 1994. Use of simple staining technique to distinguish acrosomal changes in the live sperm sub-population. Animal Reproduction Science. 35:247-254. Veltman C.J. 1985. The mating behaviour of red deer. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand Veterinary Association. No 2: 135-142. Whitehead G.K. 1977. Endangered deer. The world of wildlife. Editor: N Sitwell. The Hanlyn publishing group Ltd. :3241.
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2. 3. 4.
Apa perbedaan Inseminasi Buatan dan Embrio Transfer? Bagaimana menstransfer teknologi pemeliharaan rusa kepada petani? Bagaimana kemungkinan mass production pada rusa. Adakah keunggulan dari daging rusa sehingga hewan ini perlu dikembangkan sebagai salah satu jenis hewan yang perlu diternakkan.
Jawaban: 1.
2. 3. 4.
Inseminasi Buatan berbeda dengan Embrio Transfer tergantung dari tujuan pemeliharaan ternak tersebut. Sementara ini kduanya bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan plasma nutfah Teknologi pemeliharaan rusa untuk tingkat petani saat ini sedang dibicarakan Penangkaran rusa dapat dilakukan dengan kawin alam saja Mengenai mutu daging belum ada data khusus mengenai karakteristik daging rusa, namun rusa memiliki rasa spesifik tergantung selera dan karena rusa tidak memiliki kantung empedu maka rasa dagingnya enak.
162
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PRODUKSI MASAL ANAK SAPI BALI JENIS KELAMIN TERTENTU MELALUI IB DENGAN SPERMA SEKSING Enny Yuliani Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan Universitas Mataram E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sejak sepuluh tahun yang lalu, peternakan sapi di Nusa Tenggara Barat mengalami penurunan baik populasi maupun kualitasnya. Hal tersebut disebabkan oleh meningkatnya konsumsi daging per kapita, meningkatnya jumlah ternak yang dipotong untuk kebutuhan lokal dan meningkatnya ekspor antar pulau di Indonesia. Menurunnya kualitas daging per unit ternak merupakan permasalahan inbreeding pada sapi lokal (sapi Bali). Untuk meningkatkan produktivitas, pemerintah NTB berupaya meningkatkan efisiensi produksi melalui perbaikan genetik. Manipulasi semen untuk seksing merupakan salah satu cara utama untuk memperoleh anak dengan jenis kelamin tertentu. Semen dari spesies ternak dapat dipisahkan dari populasi sperma X atau Y sebelum digunakan inseminasi intra-tubal, inseminasi uterine atau fertilisasi in vitro dapat menghasilkan anak dengan jenis kelamin tertentu. Sperma seksing digunakan untuk Inseminasi Buatan (IB) dapat menghasilkan perolehan ternak dari jenis kelamin yang dikehendaki dengan genetik tertentu. Disamping itu peningkatan genetik dalam kelompok ternak dapat menjadi lebih cepat. Teknik Swim up (renang atas) atau percoll dua tingkat memungkinkan untuk meningkatkan perolehan sapi Bali jantan atau betina melalui teknik IB atau Transfer Embrio. Dengan demikian kemampuan preseleksi jenis kelamin keturunan mempunyai pengaruh nyata terhadap genetik dan ekonomi produksi ternak. Perbaikan dalam sektor ternak melalui peningkatan angka kelahiran, mutu ternak dan peningkatan produktivitas ternak pada akhirnya bermuara pada peningkatan pendapatan peternak. Kata kunci: Sapi Bali, Inseminasi Buatan, Sperma Seksing, sentrifugasi Gradien Densitas Kolom Percoll.
ABSTRACT During the last ten years, cattle industry in West Nusa Tenggara (NTB) has been declining in both population and beef quality. This was brought about by increased meat consumption per capita, the increased number of cattle slaughtered for local demand, and as a result of increased cattle export to other islands of Indonesia. Decreased in beef quality per unit animal was due to problems of inbreeding in local cattle (Bali cattle). To address productivity issues, the government of NTB has been attempting to increase production efficiency and to increase profitability and market specification compliance by increasing carcass weight using genetic improvement. The possibility of manipulation of semen for sexing seems to be one of the most important ways to find out sex predetermination. Semen from most livestock species can now be successfully separated into predominantly X or Y sperm populations before their use for intra-tube insemination, deep-uterine insemination or for in vitro fertilization to produce sexed offspring. Sex-specific sperm for use in Artificial Insemination (AI) will enable producers to predetermine the sex of calves from specific genetic mating, resulting in faster genetic gain within herds. Swim up or percoll two gradients column technique might be possible to increase male or female Bali cattle population through AI or Embryo Transfer technique. The ability to preselect the sex of offspring of agriculturally important animal would have a significant impact on the genetics and economic of livestock production. Livestock improvement increase birth rate, quality and the productivities of the livestock; achieve self-sufficiency in livestock product, particularly in meat; accelerate the national GNP (gross national product), which in turn will alleviate poverty of the peasant in NTB. Key word: Bali Cattle, Artificial Insemination, Sexed Sperm, Swim up, Gradient Percoll density Centrifugation
PENDAHULUAN Propinsi Nusa Tenggara Barat dalam peta perekonomian Nasional sampai saat ini dikenal sebagai propinsi pemasok ternak, khususnya ternak sapi potong. Potensi tersebut sekaligus telah menempatkan sub sektor peternakan di daerah ini memegang peran penting dan strategis dalam rangka mendorong maju perekonomian daerah. Potensi ternak terpenting adalah sapi Bali yang merupakan komoditi ternak andalan utama sebagai ternak potong maupun sebagai ternak bibit. Namun akhir-akhir ini ada indikasi terjadinya penurunan populasi dan produktivitas baik sebagai ternak potong maupun sebagai sapi bibit. Dwipa dkk (1989) melaporkan adanya penurunan bobot badan pada sapi jantan yang diantarpulaukan. Bobot badan merupakan parameter pokok dalam menilai mutu ternak dan aspek penting
163
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dalam pemilihan stok untuk bibit. Khususnya pada sapi jantan, biasanya yang dijual adalah hewan yang memenuhi kualifikasi mutu tertentu yaitu yang memiliki berat badan di atas 300 kg, sedangkan hewan jantan dengan berat badan tersebut di atas sudah mulai langka. Dengan demikian terjadilah seleksi negatif karena yang tertinggal hanyalah hewan-hewan jantan yang kecil dan bermutu rendah. Upaya peningkatan produktivitas sapi Bali tidak dapat dilepaskan dari upaya pengaturan dinamika populasi seperti tingkat kelahiran, pemotongan dan penekanan kematian. Hal ini mempunyai kaitan yang kuat dengan sistem pengelolaan usaha peternakan yang dilakukan oleh peternak. Untuk itu usaha peternakan rakyat di NTB baik yang bersifat intensif maupun ekstensif perlu dikembangkan bioteknologi reproduksi. Secara umum bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi reproduksi dan genetika dalam upaya meningkatkan mutu dan jumlah produksi serta akan menjadi titik tolak bagi pengembangan industri ternak masa datang. Produksi bakalan atau anak sapi secara massal dapat dilakukan dengan teknik Inseminasi Buatan (IB) menggunakan pejantan unggul. Teknologi ini akan lebih berdaya guna, apabila anak yang dihasilkan berjenis kelamin sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini sangat mendukung program breeding dalam pemilihan bibit unggul dan menunjang efisiensi pada peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk menghasilkan anak sesuai harapan dapat dilakukan dengan cara seksing spermatozoa berkromosom X atau Y sebelum dilakukan program Inseminasi Buatan. Inseminasi dengan semen pembawa kromosom X akan didapatkan pedet betina penerus keturunan dengan kualitas yang baik. Sedangkan inseminasi dengan spermatozoa pembawa kromosom Y akan didapatkan pedet jantan yang lebih menguntungkan. Sapi jantan tumbuh lebih cepat dan karkasnya lebih tinggi dari pada sapi betina, sehingga meningkatnya jumlah anak jantan dapat berarti memperbaiki penampilan pertumbuhan dan meningkatkan berat potong. Berdasarkan perbedaan tujuan usaha tersebut, maka pengaturan jenis kelamin dapat menekan perolehan ternak dari jenis kelamin yang kurang dibutuhkan. Dengan demikian apabila semen sapi yang sudah dipisahkan berdasarkan jenis kelaminnya dipakai untuk Inseminasi Buatan, maka efisiensi reproduksi akan dapat ditingkatkan secara efektif. Aplikasi teknologi IB dengan mengunakan semen pejantan unggul yang telah diseksing untuk produksi bibit sapi unggul diharapkan dapat meningkatkan produktivitas sapi lokal yang berlipat ganda dalam waktu relatif singkat. Di samping itu aplikasi teknologi ini tidak hanya meningkatkan populasi ternak dan perbaikan mutu genetik, tetapi juga sekaligus dapat dikelola dalam skala usaha sehingga mampu meningkatkan penghasilan peternak. Manfaat Praktis : 1.
Penyimpanan spermatozoa berkromosom X atau Y (bank spermatozoa berkromosom X atau Y). Digunakan untuk pengembangan plasma nutfah ternak asli Indonesia tanpa mengabaikan kelestarian kemurniannya.
2.
Mengoptimalkan efisiensi reproduksi dengan cara meningkatkan perolehan ternak dari jenis kelamin yang dikehendaki, sehingga dapat membantu program breeding dalam mempercepat perbaikan mutu dan peningkatan populasi.
3.
Aplikasi rekayasa bioteknologi reproduksi menggunakan spermatozoa berkromosom X atau Y dalam fertilisasi in vivo dan in vitro dapat menunjang program IB dan Transfer Embrio (TE). Memberikan kontribusi dalam pengembangan inseminasi buatan dengan kelahiran anak jantan atau betina secara masal dan seragam tergantung dari struktur populasi yang diharapkan.
4.
Keuntungan lain dalam pengaturan rasio seks pada produksi sapi potong secara komersial adalah : a. anak jantan yang dilahirkan dipersiapkan untuk program penggemukan ternak jantan (produksi daging ). b. kepastian progeny jantan pada perkawinan antara pejantan potensial yang berasal dari betina terbaik. c. mencegah kelahiran freemartin dalam kelahiran kembar.
164
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
METODE 1.
Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara eksperimental di Laboratorium Reproduksi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga dan Unit Pelaksana Penelitian Ternak Grati Pasuruan Jawa Timur. 2.
Prosedur Penelitian 1. Penampungan semen 2. Penilaian semen 3. Pemisahan spermatozoa a. Metode Swim up untuk menghasilkan anak jantan b. Metode Sentrifugasi gradien densitas percoll untuk menghasilkan anak betina 4. Pemeriksaan kualitas spermatozoa hasil pemisahan (konsentrasi, motilitas, morfologi dan recovery) 5. Inseminasi Buatan Kegiatan IB meliputi: (1) seleksi pejantan dan betina ; (2) Sinkronisasi estrus dengan hormon prostaglandin; (3) Inseminasi Buatan dengan semen seksing 6. Angka Konsepsi (pemeriksaan dilakukan 40-60 setelah IB) 7. Rasio jenis kelamin anak yang lahir
HASIL DAN PEMBAHASAN Pada dasarnya tujuan awal dari pemisahan spermatozoa manusia adalah untuk mengurangi kejadian gangguan genetik yang terkait dengan jenis kelamin (sex linked genetic disorders) yaitu gangguan resesif terkait X yang cenderung berpengaruh pada keturunan laki-laki. Kemudian usaha pemisahan spermatozoa berkembang pada hewan domestik untuk mendapatkan produksi ternak yang maksimal dari jenis kelamin yang dibutuhkan (Windsor, et al., 1993; Abeydeera et al., 1998). Proses pembentukan spermatozoa menghasilkan 2 tipe sel spermatozoa yang berbeda dalam jumlah yang sama banyaknya yaitu 50 % spermatozoa X dan 50 % spermatozoa Y (1:1). Kenyataan bahwa pada mamalia, fertilisasi oleh spermatozoa pembawa kromosom X menghasilkan keturunan betina dan spermatozoa pembawa kromosom Y menghasilkan keturunan jantan. Hal tersebut menimbulkan berbagai usaha untuk melakukan seleksi jenis kelamin sebelum konsepsi untuk mengubah rasio X : Y dalam populasi spermatozoa. Menurut Windsor et al (1993), Keberhasilan pemisahan spermatozoa pembawa kromosom X dan Y tergantung dari adanya beberapa perbedaan dasar antara kedua tipe sel tersebut antara lain perbedaan morfologi nukleus dan kepala, karakter pergerakan/motilitas, dan kandungan DNA. Kromosom seks Y pada sapi mempunyai ukuran lebih kecil dibandingkan dengan kromosom X. Hal ini merupakan suatu petunjuk bahwa spermatozoa pembawa kromosom X dan spermatozoa pembawa kromosom Y dapat dibedakan berdasarkan jumlah kandungan DNA. Spermatozoa pembawa kromosom X mengandung 2,8 – 7,5 persen lebih banyak DNA dari pada spermatozoa berkromosom Y (Gordon 1997). Berdasarkan perbedaan tersebut telah dikembangkan teknologi pemisahan spermatozoa. Pada negara maju, seksing sperma dilakukan melalui cell sorting dengan Flow Cytometry, namun harganya relatif mahal, sehingga tidak sesuai dengan kondisi peternak kita. Oleh karena itu kebutuhan prosedur pemisahan yang sederhana, murah , tepat dan cepat sangat diperlukan. Pemisahan spermatozoa dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan metode Swim Up dapat mengatasi kebutuhan tersebut. Percoll merupakan medium yang terdiri dari partikel silica colloidal dengan lapisan polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal (Mc Clure, et al., 1989). Penggunaan percoll untuk tujuan pemisahan spermatozoa dinilai memenuhi syarat yang diperlukan. Swim up bertujuan untuk menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari non-motil, celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi kualitas spermatozoa (Mc Clure, et al., 1989). Pengembangan metode Swim up dengan berbagai modifikasi, berpengaruh terhadap jenis kelamin anak yang dilahirkan (Aitken, 1987; Han et al., 1993; Check et al., 1994; dan De Jonge et al., 1997). Pemisahan jenis kelamin dengan cara ini, mendasarkan diri pada perbedaan karakter pergerakan spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke
165
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
permukaaan media dibandingkan spermatozoa berkromosom X. Spermatozoa yang berada pada lapisan atas setelah inkubasi mengandung populasi spermatozoa berkromosom Y. Kondisi tersebut ditegaskan pula oleh Schilling dan Thormahlen (1976), bahwa spermatozoa berkromosom Y mempunyai kemampuan bermigrasi lebih cepat dibandingkan spermatozoa berkromosom X, sehingga apabila dilakukan sentrifugasi spermatozoa berkromosom X cenderung lebih cepat membentuk endapan (Mohri, et al., 1987). Untuk memperoleh kejelasan baik kualitas spermatozoa, angka konsepsi, maupun perbandingan jenis kelamin anak yang lahir dari IB dengan menggunakan spermatozoa hasil pemisahan sentrifugasi gradien densitas percoll dan Swim up, maka data dianalisis dan diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Konsentrasi Konsentrasi adalah jumlah sel spermatozoa per ml sperma. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa, konsentrasi pada kelompok kontrol (K) nyata lebih tinggi (P<0,05) konsentrasinya (1670,63 x 106/ml sperma) dibandingkan dengan kelompok perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll (1252,98 x 106/ml sperma) dan perlakuan Swim Up. (835,31 x 106/ml sperma) konsentrasi kolom percoll kepadatan penyaringannya masih dapat ditembus oleh spermatozoa sapi Bali dengan ukuran kepala berkisar antara 37- 44 µm (Yuliani, 2000). Sekaligus membuktikan keterandalan percoll sebagai medium seleksi sperma sapi Bali. Percoll bersifat isotonik terhadap sel spermatozoa, tidak toksik, tidak dapat menembus dan merusak membran sel, kompatibel dengan sistem biologis, dan tidak mempunyai efek yang berlawanan terhadap proses seleksi (Mohri, et al., 1987). Sehingga dalam proses pemisahan spermatozoa diperoleh konsentrasi spermatozoa per ml sperma dalam jumlah yang cukup tinggi. Rendahnya konsentrasi pada metode Swim up, diduga hanya 1/3 bagian atas yang diambil dari medium yang digunakan. Metode ini mengandalkan kemampuan motilitas spermatozoa untuk bermigrasi ke atas permukaan medium. Sementara sperma motil yang tidak mampu keluar dari seminal plasma tidak ikut terambil, sehingga diperoleh konsentrasi yang lebih rendah. 2. Motilitas Dari hasil pemisahan terlihat bahwa motilitas dengan pergerakan sangat progresif dan pergerakan progresif cenderung meningkat, pada perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll (78,10 ± 4,18 %) dan Swim up (80,30 ± 4,27%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (K= 75,63 ± 5,13 %) meskipun secara statistik tidak berbeda secara bermakna (P>0,05). Kecenderungan tingginya persentase rata-rata spermatozoa motil pada perlakuan Swim up disebabkan efek kapasitasi akibat penginkubasian selama 30 menit pada suhu 37 0C dan kapasitasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan motilitas dalam bentuk hiperaktivasi spermatozoa (Calvo, et al., 1989). 3. Morfologi Morfologi spermatozoa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan hanya memperlihatkan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) pada kategori kelainan kepala. Perlakuan P1(2,3117± 0,84) lebih rendah dibanding dengan kelompok kontrol (K= 11,12 ± 1,58 %) tetapi tidak berbeda nyata (P> 0,05) dibanding dengan Swim up (4,53 ± 0,89 %). Hal ini membuktikan bahwa perlakuan sentrifugasi gradien densitas percoll dapat menyaring dengan baik spermatozoa dengan kepala abnormal. Sedangkan adanya kepala abnormal yang masih diperoleh diduga sebagai spermatozoa kelainan bentuk kepala dengan diameter normal. Pada perlakuan Swim up hanya spermatozoa yang mempunyai morfologi normal yang dapat bermigrasi keluar seminal plasma dan masuk kedalam medium yang ada di atasnya, sehingga jumlah spermatozoa yang mengalami kelainan bentuk kepala sedikit. Hasil ini membuktikan bahwa pemisahan sperma sapi Bali dengan metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan Swim up tidak merusak konsistensi morfologi spermatozoa. 3. Recovery Pengukuran recovery dimaksudkan untuk mengevaluasi motilitas spermatozoa akibat pengaruh pemisahan terhadap kelangsungan hidupnya sekaligus mencerminkan kemampuan fertilisasinya. Pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas kolom percoll mempunyai persentase recovery yang tinggi (86,78 % ± 5,55) dibandingkan dengan metode Swim up (62,38 % ± 8,44).
166
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
4. Angka Konsepsi Angka konsepsi pada IB dengan menggunakan sperma seksing menunjukkan bahwa perlakuan sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dan Swim up masing2 (90,0 %) lebih tinggi dari kontrol (K=60,0%). Hal ini membuktikan bahwa pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dan metode Swim up mempunyai kemampuan fertilisasi yang tinggi setelah pemisahan. Kedua metode tersebut dapat pula memisahkan komponen dekapasitasi yang terdapat pada permukaan spermatozoa selama dalam seminal plasma (Zaneveld, et al., 1991) yang sekaligus menyingkirkan dan meminimumkan adanya spermatozoa yang mengalami aglutinasi. Dengan demikian memungkinkan spermatozoa lebih mampu dan lebih progresif menelusuri saluran reproduksi betina menuju tuba falopii yang memungkinkan bertemu dengan sel telur pada saat yang tepat untuk terjadinya fertilisasi. Metode pemisahan tidak merusak tudung akrosom dan tidak menurunkan kemampuan spermatozoa untuk membuahi. Oleh karena itu proses perubahan biokimia dan fisiologi spermatozoa pada kapasitasi serta reaksi akrosom dapat berlangsung dengan baik, yang ditandai dengan tingginya angka konsepsi. Media resuspensi yang digunakan untuk spermatozoa hasil pemisahan sangat mendukung kehidupan spermatozoa. Media EBSS dengan kandungan cairan garam yang seimbang dengan konsentrasi elektrolit yang tepat, sumber energi metabolis, dan serum albumin sebagai protein tambahan. Protein khusus yang memenuhi syarat sebagai media kapasitasi adalah albumin, selain menambah pengikatan dan fungsi transpor (Kragh-Hansen, 1985) albumin juga dapat sebagai media efflux sterol pada kultur sel. Juga akibat adanya keseimbangan ion anorganik dan ion organik dalam medium percoll dalam bentuk sodium bikarbonat (WHO, 1922), sodium merupakan salah satu ion organik esensial dan bikarbonat merupakan ion organik yang substansial dalam seminal plasma (Bearden dan Fuquay, 1992) yang memungkinkan viabilitas dan integritas membran sel spermatozoa tetap terjaga. Pada akhirnya fertilitas spermatozoa sapi Bali tetap tinggi untuk membuahi sel telur. 5. Rasio Seks Penggunaan spermatozoa hasil pemisahan pada metode sentrifugasi gradien densitas percoll percol Swim Up untuk IB mempunyai peluang yang tinggi untuk memperoleh anak yang lahir dengan dominasi salah satu jenis kelamin dibandingkan dengan penggunaan spermatozoa tanpa perlakuan. Perlakuan sentrifugasi gradien densitas kolom percoll dari 9 ekor anak yang lahir, terdapat 8 ekor anak betina (88,80%) dan hanya seekor anak lahir jantan (11,20 %). Metode ini dapat digunakan untuk pemisahan spermatozoa X dan Y, dengan persentase spermatozoa X yang diperoleh pada endapan berbentuk pellet pada densitas percoll yang terbawah (90%) adalah lebih tinggi dari persentase spermatozoa Y, jika diasumsikan atas dasar persentase jenis kelamin anak yang lahir. Tingginya spermatozoa X yang diperoleh, disebabkan berat dan ukuran spermatozoa X yang lebih besar serta kandungan DNA pada kepala spermatozoa X 3-4 % lebih besar dari pada spermatozoa Y (Mohri, et al., 1987; Krzyzaniak dan Hafez ,1987) Hasil yang diperoleh dari metode Swim up, dari 9 ekor anak yang lahir 8 ekor anak jantan (89 %) dan 1 ekor anak betina (11 %). Hasil jenis kelamin kelahiran sebagai dasar untuk memperkirakan persentase spermatozoa X dan Y yang terdapat dalam populasi spermatozoa, maka pemisahan antara spermatozoa X dan Y dengan metode Swim up didapatkan persentase spermatozoa Y yang lebih banyak. Dalam usaha meningkatkan produktifitas sapi Bali, teknologi reproduksi unggulan dapat diterapkan. Kemajuan bioteknologi dibidang reproduksi memungkinkan populasi spermatozoa X dapat dipisahkan dari spermatozoa Y. Program IB terpadu dengan menggunakan semen seksing dilakukan agar inseminasi dapat dilaksanakan lebih efisien. Produksi anak sapi secara IB dengan populasi spermatozoa berkromosom X atau Y sesuai kebutuhan, akan menjanjikan peningkatan jumlah kelahiran anak sapi dengan jenis kelamin sesuai harapan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
KESIMPULAN Metode sentrifugasi gradien densitas percoll dan metode Swim Up dapat dijadikan metode pemisahan spermatozoa X dan Y pada spermatozoa sapi Bali. Persentase anak betina lebih banyak diperoleh dari hasil IB dengan menggunakan spermatozoa hasil pemisahan sentrifugasi gradien densitas kolom percoll. Persentase anak jantan yang lebih banyak diperoleh dari spermatozoa yang dipisahkan dengan metode Swim up.
167
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DAFTAR PUSTAKA Abeydeera, L.R; L.A. Johnson; G.R. Welch; W.H. Wang; A.C. Boquest; T.C. Cantley; A. Rieke and B.N Day. 1998. Birth of piglets for gender following in vitro fertilization of in vitro matured pig oocytes by X and Y chromosome bearing spermatozoa sorted by high speed flow cytometry. Theriogenology 50:981-988. Avery, B and T. Greve. 1995. Impact of percoll in bovine spermatozoa used for in vitro Insemination. Theriogenology 44 : 871-878. Bhattacharya, B.C; P. Shome, P and A.H. Gunther. Semen l separation technique monitored with greater accuracy by B-body test. International Journal of Fertility 24:256-259. Cran. D. G; L. A. Johnson and C. Polge. 1995. Sex preselection in cattle: a field trial. Vet. Rec 136:495-496. Drobnis E.Z, C.Q. Zhoong, and W. Overstreet. 1991. Separation of cryopreserved human semen using sephadex collums, washing or percoll gradient. J. Androl 12:201-208. Ericcson R. T. 1973. Isolation and storage of progressively motile human sperm. J. Androl 9: 111. Garner, D.L and E.S.E. Hafez. 1993. Spermatozoa and seminal plasma. In : Reproduction in farm animal. 6 th Ed. E.S.E. Hafez (Editor). Lea and Febiger. Philadelphia. 165-187. Gordon, I. 1994. Laboratory production of cattle embryos. Biotechnology in Agriculture, 11.I. Gordon (Editor) CAB International. Wallingford. Guernsey, M.P; L.J. Hagemann and R.A.S Welch. 1994. Preliminary results from the use of FACS-sorted bull sperma in an invivo embryo production system. Theriogenology 41,210. Hafez, E.S.E. 1993. Techniques for Improving Reproduction Efficiency: semen evaluation. In.: Reproduction in Farm Animal. Hafez, E.S.E. (ed) sixth Ed. Lea & Febiger. Philadelphia. Harris, S.J; M.P. Milligen and K.J. Dennis. 1981. Improved separation of motile sperm in asthenospermia and its application to artificial insemination homologous. J. Fertil Steril 36:219-221 Iritani A, Kasai M, Niwa K and Song H B. 1984. Fertilization in vitro of cattle follicular with ejaculated spermatozoa capacitated in a chemically defined medium. J. Reprod. Fertil., 70:487-492. Yuliani, E. 2000. Pemisahan spermatozoa dengan metode Swim up dan kombinasi Swim up dengan Aside migration pengaruhnya terhadap rasio kromosom seks (Studi eksperimental untuk menghasilkan embrio sapi Bali jantan). (Disertasi). Program Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya. Johnson, L. A. 1996. Gender preselection in mammals: an overview. DTW Dtsch Tierarztl Wochenschr 103: 288291. Mahaputra, L, Wurlina, Sulistiyati dan S. Mulyati. 1989. Pemisahan sel spermatozoa domba dengan sephadex coulomn G-200. Media Kedokteran Hewan. FKH Unair 5:31-37. Mahaputra, L. 1996. Teknik pembuatan embrio beku, kembar identik dan viabilitasnya, dalam upaya merintis pembangunan bank embrio sapi perah. Laporan Penelitian Hibah Bersaing II/3. Macler. A; O. Murillo; G. Huszar; B. Tarlatzis; A. DeCherney and F. Naftolin. 1984. Improved tecniques for separating motile spermatozoa from human semen. II. An automatic centrifugation method. J. Androl 7:71. Mc. Clure; R.D.L Nunes and R. Tom.1989. Semen manipulation: improved sperm recovery and function with two layer percoll gradient. Fertil. Steril 51:5. Parrish, J.J; J.L. Susko-Parrish; M.L. Liebfried-Rutledge; N.S. Crister; W.H. Eyestone and N.L. First. 1986. Bovine in vitro fertilization with frozen-thawed semen. Theriogenology 25: 591-600. Seidel. G.E. 1999. Commercializing reproductive biotecnology- the approach used by xy, inc. J. Theriogenology 51:5. WHO. 1992. Laboratory manual for the examination of human semen and sperm cervical mucus interaction. 1992 Cambridge University Press. New York. USA . Hal 12. Zavos, P M. 1995. Preparation of human frozen-thawed seminal speciments using the Sperm Prep filtration methode improvements over the conventional swim-up method. J. Fertil. Steril, 57:1326-1330
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2.
Apa perbedaan dan keunggulan dari embrio transfer dan seksing sperma? Bagaimana kemungkinan pemanfaatannya secara mass production?
168
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
3. 4.
Bagaimana kiat mentransfer teknologi kepada petani agar tidak lagi memiliki ketergantungan terhadap keahlian dari pada para tenaga ahli atau expert? Bagaimana sentrifuse bisa berhasil dan tidak menyebabkan stress pada sperma.
Jawaban: 1.
2. 3. 4.
Perbandingan sperma X dan Y yang dihasilkan memiliki perbandingan yang sama. Seksing sperma adalah untuk memilih agar anak yang dilahirkan memiliki jenis kelamin tertentu yang diharapkan. Seleksi sperma dilakukan berdasarkan karakter yang dimiliki oleh spermatozoa X dan Y. Diharapkan kedepan perlu adanya tim untuk mengkaji teknologi ini yang terdiri dari tenaga ahli, pemerintah daerah dan balai penelitian. Transfer teknologi kepada petani masih belum dapat dilakukan karena peralatan yang digunakan cukup mahal dan penggunaannya membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang tinggi. Pemisahan dengan sentrifugal tidak akan merusak sperma karena menggunakan media cairan.
169
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
STUDY AWAL EMBRIO TRANSFER PADA RUSA BAWEAN (Axis kuhlii) PRELIMINARY STUDY ON EMBRYO TRANSFER OF BAWEAN DEER (Axis kuhlii)] Adji Santoso Dradjat Laboratorium Reproduksi Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Mataram E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini yaitu penerapan teknologi embrio transfer pada rusa langka yaitu rusa Bawean, yang termasuk dalam kelompok hewan yang terancam punah. Dua ekor rusa digunakan sebagai donor dan dua ekor lagi digunakan sebagai resipien. Sinkronisasi birahi dan induksi multipel ovulasi dilakukan dengan menggunakan Controlled internal drug release (CIDR) secara intravaginal selama 11 hari, berikutnya 300 IU hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG/Folligon) diinjeksikan secara i.m. pada hari ke 9 pada pagi hari dan dosis kecil Folllicle Stimulating hormon (FSH/ Folltropin) yaitu total 25 mg diinjeksikan secara i.m. lima kali dengan dosis menurun yaitu 3, 3, 2, 2, 1 bagian masing masing diinjeksikan pada hari ke 9 pagi dan sore, hari ke 10 pagi dan sore dan pada hari ke 11 diberikan pada pagi hari bersamaan dengan pengambilan CIDR. Dengan kawin alam kedua donor betina rusa Bawean tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Dari 7 ovulasi hanya didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morula. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan. Kata kunci: embrio transfer, rusa Bawean
ABSTRACT The objective of the present study was to assess embryo transfer technique in Bawean deer. These deer were categorized as endangered animal of extinction. Two Bawean hinds were used as donors while another two were used as recipients. Estrous synchronization and multiple ovulation induction were performed by inserting Controlled Internal Drug Release (CIDR) intravaginally for 11 days. Then 300 IU Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG/ Folligon) was injected i.m. on day 9th. at 6.00 am, and small doses Follicle Stimulating Hormone (FSH/ Folltropin) total of 25 mg was injected i.m. in five injections with decreasing doses twice daily with 3, 3, 2, 2, 1 portions. These serial injections began on day 9 th, 10th and 11th. The last injection was given at the same time as CIDR removal and injections were given 12 days apart. With natural mating, stags mated donors and following embryo collection donors were detected ovulated 7 and 2 oocytes. From a total of 7 ovulations 3 embryos were collected and the embryos were evaluated in early morulla stages. Finally two embryos were transferred into recipients and one of them was detected to be pregnant. Key words: embryo transfer, Bawean deer
PENDAHULUAN Akhir-akhir ini perubahan dan perusakan lingkungan berlangsung dengan cepat akibat dari peningkatan populasi penduduk. Peningkatan jumlah penduduk tersebut diramalkan tidak akan berhenti sampai abad 21 (Klein, 1992; English, 1994). Perusakan lingkungan ini menyebabkan perubahan habitat, yang akhirnya menyebabkan penurunan populasi hewan liar. Disamping itu dengan bertambahnya penduduk, kebutuhan akan makanan juga meningkat yang mengakibatkan meningkatnya perburuan liar. Kecenderungan kepunahan hewan liar di dunia, termasuk di Indonesia berlangsung sejak tahun 1960 (Mace et al., 1992). Laporan IUCN tahun 1994, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menempati urutan teratas di dunia dalam jumlah hewan yang terancam kepunahan (Groombrige,1993). Bila populasi hewan sedikit maka perkawinan keluarga (inbreeding) tidak akan terhindarkan dan dapat berdampak buruk terhadap kesuburan hewan, kematian anak meningkat dan rentan terhadap berbagai penyakit. Kejadian inbreeding ini telah diteliti pada hewan berkuku satu (Ralls et al., 1979). Bila hal ini terjadi jumlah hewan liar akan turun dari tahun ke tahun yang akan berakhir dengan kepunahan (Whitehead, 1977; Groombrige, 1993). Kejadian inbreeding dapat dicegah dengan memperkenalkan materi genetik dari hewan diluar kawasan dengan menggunakan teknologi embrio transfer telah berkembang pada bebrapa spesies hewan (Fennessy et al., 1994). Di Indonesia terdapat 4 spesies rusa asli (indigenous species), satu diantaranya, yaitu rusa Bawean termasuk dalam hewan yang terancam kepunahan (Blouch dan Atmosoedirdjo, 1987). Dengan
170
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
stimulasi multipel ovulasi maka rusa betina dapat menghasilkan ovum melampaui jumlah normalnya, bila telur-telur dapat dibuahi akan dapat menghasilkan embrio dalam jumlah banyak. Bila embrio-embrio yang dihasilkan dapat ditransfer pada penerima akan dapat mempercepat dan memperbanyak kebuntingan. Tujuan penelitian ini yaitu penerapan teknologi embrio transfer pada rusa langka yaitu rusa Bawean.
MATERI DAN METODE Empat ekor rusa Bawean digunakan dalam penelitian ini, dua ekor dipersiapkan sebagai donor dan sisanya dua ekor sebagai penerima. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan seperti yang tercantum pada (Tabel 1), induksi multipel ovulasi dilakukan pada donor sedangkan penerima dilakukan sinkronisasi birahi. Untuk itu rusa donor dilakukan induksi birahi dan induksi multipel ovulasi untuk menghasilkan ovulasi lebih dari satu oosit dan untuk mencapai fertilitas yang optimum rusa dicampur dengan rusa jantan. Ovum yang telah dibuahi (embrio) diambil secara laparotomi dan ditransplantasikan kepada resipien yang telah disiapkan, dengan penjadwalan kerja seperti pada Tabel 1. Induksi multipel ovulasi dilakukan pada donor dengan cara sinkronisasi menggunakan CIDR yang dimasukkan secara intravaginal selama 11 hari dan pada hari ke 9 di injeksi dengan PMSG (Folligon) sebanyak 300 IU dan selama 3 hari diberikan kali injeksi FSH (Folltropin) dengan dosis total 16 mg. Pada hari ke 9 , 3 bagian pagi dan 3 bagian sore, pada hari ke 10, 2 bagian pagi dan 2 bagian sore dan pada hari ke 10, 1 bagian pagi bersamaan dengan pengambilan CIDR. Birahi diamati mulai hari ke 12-15. Tabel 1. Jadwal pelaksanaan Embrio transfer Hari 1 2 9
10 11 13-16 19
Donor
Resipien
Keterangan
Pemasangan CIDR Pemasangan CIDR Injeksi 300 IU PMSG* Injeksi 4.3 mg FSH* Injeksi 4,3 mg FSH** Injeksi 2.9 mg FSH* Injeksi 2,9mg FSH** Injeksi 1,5 mg FSH* CIDR diambil* Deteksi birahi dan kawin alam Koleksi embrio
*pada pagi hari (jam 6 pagi) ** pada sore hari (jam 6 sore) CIDR resipien diambil 12 jam lebih awal CIDR diambil
Deteksi birahi
Menggunakan jantan vasektomi
Transplantasi embrio
Pengambilan embrio dilakukan pada donor dan setelah embrio didapatkan, embrio di transplantasikan pada resipien. Pengambilan embrio dilakukan dengan menggunakan teknik seperti yang dilaporkan oleh Heywood, (1993). Setelah rusa teranastesi rusa ditempatkan pada meja khusus. Daerah bagian depan kelenjar susu sejauh 6 sampai 7 cm dibersihkan, bulu dicukur, dicuci dan diberi antiseptik yaitu alkohol dan Betadine. Berikutnya kulit diiris sepanjang 5 cm pada linea alba selanjutnya dinding dan otot perut dibedah dan uterus dikeluarkan dari rongga perut menggunakan jari tangan. Ovarium kanan dan kiri dikembalikan ke rongga perut setelah dihitung jumlah corpora lutea dan folikel yang ada. Berikutnya uterus yang berada diluar tubuh di basahi dengan cairan fisiologis. Melalui rongga yang dibuat menggunakan ujung tumpul Folley catheter no 10 (Sherwood medical, St Louis USA) dimasukkan dan ditiup, sehingga menutupi basal uterus. Ujung kornu uteri di aliri dengan cairan fosfat buffer sebanyak 5 sampai 10 ml yang ditambahkan 10% Bovine Serum Albumin (BSA) yang diinjeksikan pada utero tubal junction menggunakan jarum tumpul. Cairan fosfat bufer yang keluar dari basal kateter ditampung pada cawan petri steril. Setelah cairan didapatkan, udara pada balon Folley catheter dikeluarkan dan kateter di lepas, berikutnya hal yang sama dilakukan pada uterus yang satunya. Lubang pada uterus ditutup dengan satu jahitan menggunakan Cat gut (1,0 vicryl, Ethicon NY USA). Sebelum uterus dimasukkan ke dalam perut dicuci dulu dengan cairan fisiologis steril. Berikutnya dinding perut ditutup dengan menjahit 3 lapis dinding perut dengan jahitan matras menggunakan Cat gut (1,0 vicryl, Ethicon NY USA), selanjutnya kulit ditutup dengan jahitan matras menggunakan benang nilon (Ethicon. Monofilament. Australia) dan rusa di injeksi dengan antibiotik long acting. Berikutnya embrio yang
171
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
terdapat pada fosfat bufer di evaluasi dibawah mikroskop menggunakan cara yang dilaporkan oleh Wagner, (1987). Teknik transplantasi embrio, dilakukan dengan mempersiapkan resipien seperti pada Tabel 1. Setelah rusa resipien ditidurkan menggunakan anastesi umum, bagian depan kelenjar mamae dibersihkan, dicukur dan diberi antiseptik. Dibuat insisi 0.5 cm di bagian kiri untuk memasukkan trokar dan teleskop laparoskop, sedang insisi 1,5 cm dibuat di mid line untuk memasukkan forsep Babcock. Setelah ovarium terevaluasi yaitu yang mengalami ovulasi, uterus pada bagian tersebut ditarik melalui insisi 1,5 cm menggunakan forsep Babcock. Selanjutnya melalui luka jarum tumpul embrio diinjeksikan ke dalam uterus dan uterus dikembalikan kedalam perut. Berikutnya alat laparoskop diangkat dari perut udara yang ada didalam perut dikeluarkan dan bekas luka dijahit dan diinjeksi antibiotik long acting.
HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio transfer pada rusa masih dalam tahap awal perkembangan, dengan menggunakan modifikasi metode yang digunakan pada kambing dan domba (Dixon, 1986; Bringans, 1989; Joubert and Kidd, 1991). Dengan berkembangnya industri peternakan rusa di New Zealand dan Australia, embrio transfer telah dikembangkan pada rusa sub tropik seperti rusa merah (Dixon, 1986; Bringans, 1989), pada rusa fallow (Joubert dan Kidd, 1991; Jabbour et al., 1994; Morrow et al., 1994) dan dalam usaha untuk preservasi rusa langka telah dilakukan pada rusa ekor putih (Waldhalm et al., 1989). Embrio transfer teknologi ini dapat digunakan untuk konservasi rusa langka untuk memindahkan materi genetik melampaui batas internasional. Keberhasilan embrio transfer ini sangat tergantung dari keberhasilan sinkronisasi birahi, multipel ovulasi, pengambilan embrio pada donor dan sinkronisasi birahi dan transplantasi embrio pada hewan penerima. Dalam melaksanakan embrio transfer terdapat dua teknik utama yaitu induksi multipel ovulasi dan teknik pengumpulan selanjutnya transplantasi embrio. Pada rusa multipel ovulasi telah dilaporkan pada Fallow deer (Asher et al., 1991; Jabbour et al., 1992, 1994), Red deer (Asher et al., 1992), Pere Davids deer (Argo et al , 1992) dan pada White tailled deer (Waldhalm et al., 1989) bahwa respons multipel ovulasi pada rusa tidak selalu berhasil (Magyar et al., 1992; Mylrea 1992). Keberhasilan induksi multipel ovulasi sangat penting karena merupakan syarat untuk pelaksanaan transfer embrio. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa rusa bawean dapat memberikan respons yang baik terhadap hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan dosis kecil Folllicle Stimulating Hormon (FSH) diberikan secara seri secara menurun. Kedua donor betina yang digunakan dalam penelitian tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Tabel 2. Hasil induksi multipel ovulasi rusa Bawean No 340 303
Ovarium kiri Ovulasi Folikel 4 1 2 1
Ovarium kanan Ovulasi Foloikel 1 1 0 0
Total ovulasi 5 2
Telah dilaporkan bahwa hasil multipel ovulasi mempunyai respons yang sangat luas (Asher et al., 1991). Variasi yang luas hasil tersebut dilaporkan pada Fallow deer antara 3 sampai 24 (Jabbour et al., 1994); antara 0 sampai 15 (Morrow et al., 1994), pada Pere David deer menghasilkan 1 sampai 8 ovulasi dan pada Red deer 4 sampai 23 ovulasi (Argo et al., 1992), pada White tailled deer menghasilkan 1 sampai 8 ovulasi (Waldhalm et al., 1989). Tabel 3. Hasil pengumpulan embrio rusa Bawean No 340 303
Total ovulasi 5 2
Hasil pengumpulan embrio 3 0
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah diamati dibawah mikroskop cairan yang didapat pada pengambilan embrio rusa No 303 tidak didapatkan embrio sama sekali (Tabel 3). Pada rusa No. 340 didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morulla. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan. Keberhasilan pelaksanaan embrio transfer pada rusa bermanfaat untuk konservasi rusa langka yang berasal dari daerah tropik. Pada penelitian in problem
172
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
utama pelaksanaan embrio transfer ini ialah rendahnya recovery rate embrio yang memenuhi kriteria untuk dapat di transfer (Morrow et al., 1994) tidak ditemui.
KESIMPULAN DAN SARAN Rusa bawean memberikan respons yang baik terhadap program multipel ovulasi menggunakan kombinasi hormon Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) dan dosis kecil Folllicle Stimulating Hormon (FSH) diberikan secara seri secara menurun. Dengan kawin alam kedua donor betina rusa Bawean tersebut di kawini oleh rusa jantan, dan pada saat pemeriksaan ovarium total ovulasi masing masing adalah 5 ovulasi dan 2 ovulasi. Dari 7 ovulasi hanya didapatkan 3 embrio yang berada pada stadium morula. Berikutnya dua embrio di transfer pada dua rusa betina resipien dan menghasilkan satu kebuntingan. Karena keterbatasan jumlah rusa, diperlukan studi lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif.
DAFTAR PUSTAKA Argo C. Mc. G., Jabbour H.N., Webb R. and Loudon A.S.I. 1992. Endocrine and ovarian responses in red and Pere David's deer following superovulation with PMSG and FSH. Journal of Reproduction and Fertility. :31. Asher G.W., Fisher M.W., Jabbour H.N., Smith J.F., Mulley R.C., Morrow C.J., Veldhuizen F.A and Langridge M. 1992a Relationship between the onset of oestrus, preovulatory surge in luteinizing hormone and ovulation following oestrus synchronisation and superovulation of farmed deer (Cervus elaphus). Journal of Reproduction and Fertility. 96:261-273. Asher G.W., Jabbour H.N., Berg D.K., Fisher M.W, Fennessy P.F. and Morrow C.J. 1991. Artificial insemination, embryo transfer and gamete manipulation of farmed red deer and fallow deer. Proceedings of a deer course for veterinarians, New Zealand Veterinary Assoc, no 8:275-306. Blouch R. dan Atmosoedirdjo S. 1987. Biology of the Bawean deer and prospects for its management. Biology and Management of the cervidae. Smithsonian Instutute Press. Washington DC.:320-327. Bringans M.J. 1989. Embryo transfer in deer: an update. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand Veterinary Association. no 6:21-28. Dixon T.E. 1986. Embryo transfer in deer- the state of art. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. New Zealand Veterinary Association. no 3:96-103. Dradjat A.S. 1996. Artificial breeding and reproductive management in chital deer. Ph.D Thesis. The University of Sydney. English A.W. 1994b The role of veterinarian in the preservation of biodiversity. Proceedings of the 1994 annual conference of the australian association of veterinary conservation biologist. Canberra: 5-9. Fennessy P.F., Asher G.W., Beatson N.S., Dixon T.E., Hunter J.W. dan Bringans M.J. 1994. Embryo Transfer in deer. Theriogenology. 41:133-138. Groombridge B. 1993. 1994 IUCN Red list of threatened Animals. IUCN-The World Conservation Union. 25-26. Heywood E.R. 1993 Embryo transfer in sheep. Embryo transfer in sheep and goats. Post graduate committee in Veterinary Sci. Sydney University. Proc. No 215 :69-75. Jabbour H.N., Marshall V., Argo C., Hooton J. and Loudon A.S.I. 1994. Successful embryo transfer following artificial insemination of superovulated fallow deer (Dama-dama). Reproduction, Fertility and Development. 6:181-185. Jabbour H.N., Veldhuizen F.A and Asher G.W. 1992. Effect of oestrus synchronisation on fertility of fallow deer following cervical insemination with fresh or frozen-thawed spermatozoa. Journal of Reproduction and Fertility. (Abstract series) 9:31. Joubert S.M. and Kidd G.N., 1991. Field trials with superovulation, artificial insemination and embryo transfer in fallow deer (Dama dama dama) in Western Australia. Proceedings of a Deer Course for Veterinarians. (N.Z.V.A.) no 8:243-248. Klein D.R. 1992. The status of deer in a changing world environment. Proceedings of the International symposium on biology of deer, editor: Brown R.D. Springer-Verlag New York Inc. :3-12.
173
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Mace G.M., Pemberton J.M. and Stanley H.F. 1992. Conserving genetic diversity with the help of biotechnology-desert antelopes as an example. Biotechnology and the conservation of genetic diversity. Symposia of the Zoological Society of London. no 64:123-134. Magyar S.J. 1992. Synchronisation of oestrus, superovulation and embryo transfer in captive white-tailed deer. PhD Thesis, Texas A&M University. Morrow C.J., Asher G.W., Berg D.K., Tervit H.R., Pugh P.A., McMillan W.H., Beaumont S., Hall D.R.H. and Bell A.C.S. 1994. Embryo transfer in fallow deer (Dama dama): Superovulation, embryo recovery and laparoscopic transfer of fresh and cryopreserved embryos. Theriogenology. 42:579-590. Mylrea G.E. 1992. Natural and artificial breeding of farmed chital deer (Axis-axis) in Australia. PhD. Thesis, Sydney University. Ralls K., Brugger K. and Ballou J. 1979. Inbreeding and juvenile mortality in small population of ungulates, Science, 206:1101-1103. Wagner H.G.R. 1987. Present status of embryo transfer in cattle. World Animal Review. 64: 2-11. Waldhalm S.J., Jacobson H.A., Dhungel S.K. and Bearden H.J. 1989. Embryo transfer in the white-tailed deer: a reproductive model for endangered deer species of the world. Theriogenology. 31:437-450. Whitehead G.K. 1977. Endangered deer. The world of wildlife. Editor: N Sitwell. The Hanlyn publishing group Ltd. :3241.
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2.
Apa perbedaan Inseminasi Buatan dan Embrio Transfer? Apakah embrio transfer dapat dilakukan tanpa pembedahan?
Jawaban : 1.
2.
Inseminasi Buatan berbeda dengan Embrio Transfer tergantung dari tujuan pemeliharaan ternak tersebut. Sementara ini kduanya bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan plasma nutfah. Pembedahan dilakukan pada transfer embrio, namun transfer embrio dapat dilakukan tanpa pembedahan hanya saja diperlukan penelitian dan pengkajian lebih lanjut.
174
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KASUS PENYAKIT INFEKSI BAKTERI PADA IKAN KERAPU DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS, KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT Fris Johnny 1, Prisdiminggo2 dan Des Roza1 1
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram
ABSTRACT The groupers cultured on net cages as develop at Ekas Bay, Kabupaten Lombok Timur, NTB by Institute Research Technology for Agriculture, NTB. Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides. Groupers showed clinical signs furuncles or hemorrhagic ulcers on body surface and the lesions develop to erosion with hemorrhages on fin. An experiment was aimed to isolate and characterize bacteria from infected groupers. Bacteria isolate from ulcers and finrot of diseased fish grew well at Thiosulphate Citrate Bile Salt Sucrose Agar (TCBSA) giving yellow colony. The bacteria was identified as Vibrio sp. Keywords : bacterial diseases, groupers, net cage, Ekas Bay
ABSTRAK Budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung (KJA) telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu lumpur, Epinephelus coioides. Pada budidaya ikan kerapu tersebut ditemukan ikan sakit dengan gejala klinis borok pada bagian tubuh dan sirip busuk. Dari gejala klinis tersebut diduga ikan kerapu terserang penyakit infeksi bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis bakteri penyebab penyakit pada ikan kerapu budidaya. Di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali, ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan dan ikan kerapu lumpur yang sakit telah diisolasi isolat bakteri dari borok dan sirip yang busuk. Isolat tersebut dapat tumbuh baik pada media ―thiosulphate citrate bile salt sucrose agar‖ (TCBSA) dengan warna koloni kuning Bakteri ini diklasifikasikan ke dalam genus Vibrio sp. Kata kunci : penyakit infeksi, bakteri, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN Budidaya ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia sudah semakin berkembang, terutama budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA). Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Tadinya benih ikan kerapu sangat mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu. Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu khususnya melalui jaring apung di laut (Subiyanto et al., 2001). Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka produksi dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung yang dikembangkan adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides). Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas. Permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya penyakit. Salah satu penyakit yang ditemukan pada ikan kerapu adalah penyakit infeksi bakteri dengan
175
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
gejala klinis adanya borok pada bagian tubuh, dan sirip yang busuk (Koesharyani & Zafran, 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001; Wijayati & Djunaidah, 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring apung.
METODE Ikan Uji Dari keramba jaring apung dikoleksi ikan uji dari ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu lumpur. Epinephelus coioides. Ikan uji yang digunakan adalah dari kelompok ikan yeng terlihat sakit dengan memperlihatkan gejala klinis. Setiap ikan uji dari masing-masing kelompok diamati gejala klinis yang terlihat, seperti perubahan warna kulit, luka-luka erosi disertai pendarahan, dan pembusukan pada sirip. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Koleksi isolat bakteri diambil dari borok pada bagian tubuh ikan kerapu, dan bagian sirip yang busuk. Isolasi dilakukan pada media penumbuh”tryptone soya agar‖ (TSA), media ―thiosulphate citrate bile salt sucrose agar‖ (TCBSA), kemudian diinkubasi pada suhu 25-280C selama 24-48 jam. Pemurnian terhadap bakteri yang tumbuh dominan pada media TSA dan TCBSA dilakukan dengan menggunakan media ―marine agar‖ (MA). Hasil pemurnian bakteri ini selanjutnya digunakan sebagai bahan uji. Identifikasi isolat bakteri dilakukan berdasarkan acuan (Holt et al., 1994). Isolasi Ulang Bakteri Isolat bakteri uji dibiakkan dalam media MA yang diinkubasikan selama 24-48 jam pada suhu 260C, kemudian dipanen menggunakan air laut steril. Kepadatan bakteri 10 8 cfu/mL ditentukan berdasarkan McFarland “equivalence turbidity standard 1.0” setara dengan kepadatan bakteri 108 cfu/mL. Selanjutnya isolat bakteri tersebut digunakan sebagai bahan infeksi buatan dengan cara menyuntikkan intraperitoneal sebanyak 0,1 mL/individu. Ikan kontrol disuntik menggunakan NaCl fisiologis dengan dosis yang sama. Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur, bobot antara 8-19 gram, panjang total antara 5-9 cm masingmasing 10 ekor untuk setiap kelompok. Pengamatan dilakukan terhadap gejala klinis dan mortalitas ikan uji, dan melakukan isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka erosi. Uji Sensitivitas terhadap Antibiotik Dari isolat bakteri yang diperoleh dilakukan uji sensitivitas terhadap antibiotik dilakukan secara in-vitro. Bakteri uji dioleskan secara merata pada lempengan media agar, selanjutnya pada bagian permukaan diletakkan lempeng antibiotik yang sudah mengandung antibiotik yang akan diuji, yaitu eritromisin (15 g), ampisilin (10 g), klorampenikol (30 g), dan oksitetrasiklin (30 g), produksi Oxoid Unipath Limited, Besingstoke, Hampshire, UK. Kemudian diinkubasikan pada suhu 26 0C selama 24 jam. Tingkat sensitivitas ditentukan melalui pengukuran zona penghambatan yang diakibatkan oleh masing-masing antibiotik uji.
HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri Isolat bakteri dominan diisolasi dari luka erosi atau borok dan sirip busuk pada ikan kerapu bebek, ikan kerapu macan, dan ikan kerapu lumpur yang sakit, berasal dari keramba jaring apung di daerah Teluk Ekas, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Dari isolat dominan yang diperoleh selanjutnya diberi kode LG-1802, LG-2802, LG-3802, LG-4802, LG-5802, LG-6802, dan LG-7802, selanjutnya digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).
176
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 1. Pertumbuhan bakteri yang diisolasi dari borok dan sirip busuk pada media tumbuh bakteri Organ
Media bakteri TSA
TCBSA
Borok
+
+
Sirip busuk
+
+
Tabel 1, menunjukkan bahwa isolat bakteri yang dimurnikan pada media MA adalah isolat yang tumbuh pada media TSA dan TCBSA. Pada media TSA hampir semua jenis bakteri tumbuh dan tidak spesifik untuk satu bakteri. Sedangkan pada media TCBSA bakteri yang tumbuh adalah spesifik untuk bakteri dari genus vibrio. Dengan berpedoman kepada Holt et al. (1994) isolat bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 diidentifikasikan sebagai genus vibrio. Tabel 2 menunjukkan karakter dari isolat tersebut antara lain gram negatif, sitokrom oksidase positif, dan sensitif terhadap agen vibrio statik 0/129 150 mg. Bakteri vibrio dapat bersifat patogen terhadap ikan, seperti Vibrio harveyi yang ditemukan sebagai penyebab penyakit mata pada ikan bandeng, Chanos chanos di Filipina (Muroga et al., 1984), kasus infeksi mata ikan common snook, Centropomus undecemalis (Kraxberger et al., 1990).
Gambar 1. Penyakit borok pada ikan kerapu Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali kasus penyakit borok pada ikan kerapu merupakan salah satu penyakit penting pada budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian masal seperti halnya infeksi iridovirus. Sampai sekarang penyakit ini ditemukan pada calon induk kerapu lumpur dan fingerling kerapu macan. Pada fingerling kerapu macan, penyakit ini terjadi 1 minggu setelah ikan dipelihara di dalam keramba jaring apung. Mortalitas dari masing-masing kasus dapat mencapai 10-20% meskipun telah diterapi dengan antibiotik. Pada kasus penyakit borok pada ikan kerapu (Gambar 1), ikan yang mengalami kematian secara akut memperlihatkan beberapa gejala eksternal, sedangkan pada kasus kronis terlihat pembengkakan atau lukaluka kemerahan yang merupakan ciri khas yang dapat diamati pada permukaan tubuh. Bakteri penyebab infeksi ini termasuk ke dalam genus Vibrio dan di Gondol telah diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus (Koesharyani et al., 2001). Kasus penyakit sirip busuk pada ikan kerapu, penyebab utama adalah jenis bakteri Flexibacter yang menyerang ikan kerapu bebek. Pada ikan kerapu bebek yang dibudidayakan di panti benih sering
Gambar 2. Penyakit sirip busuk pada ikan kerapu
177
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
ditemukan adanya sirip busuk dengan luka kemerahan (Gambar 2). Dari luka-luka ini, satu jenis bakteri telah diisolasi dan diidentifikasikan sebagai bakteri Flexibacter maritimus. Meskipun bakteri ini bukan penyebab dari sistemik septikemia, jika pengobatan tidak dilakukan, maka kondisi ikan akan semakin buruk dengan infeksi sekunder oleh vibrio (Koesharyani et al., 2001; Johnny & Roza, 2002; Johnny & Prisdiminggo, 2002). Dalam percobaan ini bakteri Flexibacter maritimus sebagai infeksi primer tidak dapat diisolasi dan diidentifikasi, diduga bakteri vibrio sebagai infeksi sekunder sudah sangat dominan. Kasus sirip busuk pada ikan kerapu menunjukkan bakteri vibrio hanya berperan dalam infeksi sekunder yang dapat timbul setiap waktu tergantung pada faktor lingkungan serta faktor lainnya (Saeed, 1995). Bakteri vibrio diketahui sebagai bakteri oportunistik dan merupakan bakteri yang sangat ganas dan berbahaya pada budidaya ikan kerapu karena dapat bertindak sebagai patogen primer dan sekunder. Sebagai patogen primer bakteri masuk tubuh ikan melalui kontak langsung, sedangkan sebagai patogen sekunder bakteri menginfeksi ikan yang telah terserang penyakit lain, misalnya oleh parasit (Post, 1987). Ikan kerapu di alam merupakan ikan karang dengan habitat asli di daerah terumbu karang di laut dalam yang jernih dan bersih. Berkembangnya bakteri vibrio di suatu perairan merupakan indikator perairan yang kurang menguntungkan bagi ikan dengan kandungan nutrien yang tinggi (Andrews et al., 1988). Penyakit yang disebabkan oleh vibrio juga merupakan masalah yang sangat serius dan umum menyerang ikan-ikan budidaya laut dan payau. Penularannya dapat melalui air atau kontak langsung antar ikan dan menyebar sangat cepat pada ikan-ikan yang dipelihara dengan kepadatan tinggi. Bakteri vibrio yang menginfeksi ikan kerapu stadia juvenil selain lemah, berwarna kusam kehitaman, dan produksi lendir berlebihan. Pada tingkat parah, sirip punggung dan sirip ekor gripis dengan permukaan kulit menghitam seperti terbakar (Schubert, 1987). Isolasi Ulang Bakteri Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 dilakukan uji patogenisitas bakteri terhadap ikan kerapu sehat. Dari hasil pengamatan ternyata bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 pada kepadatan 108 cfu/ml dalam 24 jam setelah penyuntikan secara intra muscular memperlihatkan gejala klinis luka kemerahan pada tempat penyuntikan. Hasil isolasi ulang bakteri dari organ ginjal dan luka pada lokasi penyuntikan ikan uji ternyata didapat bakteri jenis yang sama. Adanya bakteri yang sama pada ginjal membuktikan bahwa ginjal mempunyai fungsi retikulo-endotelial, yaitu kemampuan suatu organ untuk menyerap bakteri dari darah, dimana akumulasi bakteri yang diinjeksikan secara intramuskular lebih banyak ditemukan pada organ ginjal dan limpa daripada dalam organ hati (Saeed, 1995). Tabel 2.
Karakteristik dari bakteri isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 yang diisolasi dari borok dan sirip busuk ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides. Karakteristik
Pewarnaan Gram Sitokrom oksidase Katalase Cahaya Gerakan Pertumbuhan pada TCBSA Pertumbuhan pada NaCl : 0% 3% 6% 10 % L - Arginin L - Lysin L - Ornithin Hugh - Leifson (O-F) Peka terhadap 150 mg agen vibriotik 0/129
Isolat LG-2802, LG-5802 dan LG-7802
Holt et al. (1994)
Isolasi ulang dari ginjal dan luka erosi
+ + D Y
+ Nt D D Y/G
+ + D Y
+ + + + F S
+ + Nt D D D F S
+ + + + F S
Sumber : Holt et al. (1994) D = Karakter berbeda antar spesies, Y = Kuning, F = Fermentatif, S = Peka, Nt = Tidak diuji, G = Hijau
178
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik Pengujian dilakukan dengan menggunakan lempeng antibiotik untuk mengetahui jenis antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian infeksi bakteri baik melalui pakan maupun perendaman. Tabel 3 menunjukkan bahwa bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 sensitif terhadap antibiotik kloramfenikol (30 g) dan oksitetrasiklin (30 g) dan tahan terhadap antibiotik ampisilin (10 g) dan eritromisin (15 g) yaitu dengan melihat diameter zona penghambatannya. Daya hambat antibiotik kloramfenikol terlihat lebih tinggi, akan tetapi untuk upaya pengendalian infeksi bakteri vibrio tidak dapat diaplikasikan, karena antibiotik tersebut berbahaya bagi manusia serta dapat menimbulkan resistensi terhadap bakteri. Koesharyani et al., (2001) menyatakan bahwa pengendalian infeksi bakteri seperti penyakit finrot efektif menggunakan nifurpirinol 10,0% dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam. Namun terhadap ikan kerapu macan yang telah kehilangan sirip ekor tidak dapat disembuhkan. Tabel 3. Sensitivitas bakteri LG-2802, LG-5802 dan LG-7802 terhadap beberapa antibiotik secara invitro Jenis Lempeng Antibiotik Eritromisin Ampisilin Kloramfenikol Oksitetrasiklin
Konsentrasi 15 g 10 g 30 g 30 g
Zona Penghambatan 12 mm 8 mm 39 mm 33 mm
KESIMPULAN Bakteri penyebab penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu di dalam keramba jaring apung adalah bakteri dari genus Vibrio sp.
SARAN Upaya pengendalian penyakit borok dan sirip busuk pada ikan kerapu tidak disarankan menggunakan antibiotik kloramfenikol, karena mempunyai efek negatif pada manusia dan dapat menyebabkan bakteri menjadi resisten. Sebagai alternatif, disarankan menggunakan Nifurpirinol 10% dengan dosis 1-2 ppm selama 24 jam.
DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148. Andrews, C., A. Exell and N. Carrington. 1988. The Manual of Fish Health. Salamander Books Limited. London. New York. 208pp. Holt, J.G., N.R. Krieg, P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Williams. 1994. Bergey‘s Manual of Determinative Bacteriology. Ninth Edition. Williams & Wilkins. Baltimore. USA. pp. Johnny, F. dan D. Roza. 2002. Kejadian Penyakit pada Budidaya Ikan Kerapu dan Upaya Pengendaliannya. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 14 hal. Johnny, F., dan Prisdiminggo. 2002. Studi Kasus Penyakit Fin Rot Pada Ikan Kerapu Macan, Epinephelus Fuscoguttatus Di Karamba Jaring Apung Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. 9 hal. Kraxberger-Beatty, T., D.J. Mc. Garey, H.J. Grier and D.V. Lim. 1990. Vibrio harveyi an Opportunistic Pathogen of Common Snook, Centropomus undecimalis (Bloch), Held in Captivity. Journal Fish Diseases. 13:557560. Koesharyani, I. and Zafran. 1997. Studi Tentang Penyakit Bacterial Pada Ikan Kerapu. Jur. Pen. Perikanan Indonesia. III(4):35-39. Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
179
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Muroga, K., Gilda Lio-Po, C. Pitogo and R. Imada. 1984. Vibrio sp. isolated from Milkfish (Chanos chanos) With Opaque Eyes. Fish Pathology. 19(2):81-87. Post, G. 1987. Texbook of Fish Health. T.F.H. Publications Inc. USA. 288 pp. Saeed, O. 1995. Association of Vibrio harveyi With Mortalities in Cultured Marine Fish in Kuwait. Aquaculture. 136:21-29. Schubert, G. 1987. Fish Diseases a Complete Introduction. T.F.H. Publications Inc. USA. 125 pp. Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67. Wijayati, A. dan I.S. Djunaidah. 2001. Identifikasi Patogen Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Pada Berbagai Stadia Pemeliharaan. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 81-88. Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
180
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI PARASIT PADA IKAN KERAPU DI KERAMBA JARING APUNG TELUK EKAS, KABUPATEN LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT Fris Johnny1) , Des Roza1) dan Prisdiminggo2) 2)
1) Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali PO BOX 140, Singaraja 81101, Bali Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat PO BOX 1017 Mataram 87010 Mataram
ABSTRACT The groupers cultured on net cages have developed at Ekas Bay, District Lombok Timur, NTB by Research Institute for Technology Agricultured NTB. Groupers culture as humpback grouper, Cromileptes altivelis, tiger grouper, Epinephelus fuscoguttatus, and orangespotted grouper, Epinephelus coioides. An experiment to identify some parasites that commonly infest on groupers has been conducted at net cage by Patology Laboratory of Institute Research for Mariculture, Gondol. Parasites were identified microscopically. Results showed that common parasites infest on groupers were Neobenedenia, Diplectanum and Haliotrema. Keywords: parasitic diseases, groupers, net cage, Ekas Bay
ABSTRAK Upaya budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung telah dikembangkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB di Teluk Ekas, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ikan kerapu yang telah dibudidayakan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus,dan ikan kerapu lumpur, Epinephelus coioides. Penelitian untuk mengetahui jenis parasit yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring apung telah dilakukan di Laboratorium Patologi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, Bali. Sampel parasit diidentifikasi dengan pengamatan langsung secara mikroskopis terhadap preparat segar dari insang dan parasit yang diperoleh melalui perendaman ikan dalam air tawar. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa parasit yang menginfeksi ikan kerapu adalah Neobenedenia, Diplectanum dan Haliotrema. Kata kunci: penyakit infeksi, parasit, ikan kerapu, keramba jaring apung, Teluk Ekas
PENDAHULUAN Budidaya ikan kerapu pada beberapa lokasi di Indonesia semakin berkembang, terutama budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (KJA). Hal ini disebabkan karena semakin tersedianya benih secara teratur, baik dalam jumlah maupun ukuran. Panti benih di Gondol, Bali bagian utara telah semakin berkembang dan mampu menjamin pasokan benih. Pada awalnya benih ikan kerapu sangat mengandalkan pasokan alam yang jumlahnya sangat terbatas dan waktu pasok yang tidak menentu. Karena itu pemerintah mendorong segala upaya yang mengarah kepada kegiatan budidaya ikan kerapu khususnya melalui jaring apung di laut (Subiyanto et al., 2001). Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan. Apabila usaha budidaya berkembang, maka produksi ikan dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, NTB telah mencoba mengembangkan keramba jaring apung di Teluk Ekas, Desa Batunampar, Lombok Timur, NTB. Usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung yang dikembangkan adalah jenis ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides. Pengembangan usaha budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung mempunyai kelebihan antara lain rendahnya biaya operasional dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan serta teknologi budidayanya yang relatif sederhana dan mudah diadaptasikan di masyarakat petani nelayan secara luas. Salah satu permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya penyakit. Kematian ikan kerapu di keramba jaring apung dan induk ikan kerapu di panti benih merupakan kendala yang sering dihadapi. Pada ikan kerapu yang mati biasanya banyak ditemukan parasit, baik pada insang, kulit, maupun mata. Ikan kerapu yang dibudidayakan pada keramba jaring apung pada kondisi kepadatan tinggi, dan jaring kotor serta jarang diganti dan dibersihkan, memacu
181
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
kecepatan perkembangbiakan organisme parasit dan penyakit sehingga dapat merugikan inang, bahkan dapat menyebabkan kematian. Leong (1994) melaporkan infeksi parasit pada ikan kerapu dan ikan kakap telah dilaporkan oleh di Malaysia dari spesies Benedenia. Di Indonesia infeksi oleh parasit Benedenia, Neobedenia, Diplectanum, Pseudorhabdosynochus, Haliotrema, Trichodina, Lepeophtheirus, dan Cryptocaryon irritans pada ikan kerapu dilaporkan Zafran et al. (1997). Dari pengamatan parasit pada ikan kerapu di Gondol, Neobedenia lebih dominan dibanding Benedenia dan ukurannyapun terlihat lebih besar (Zafran et al., 1997). Parasit Neobedenia girellae ditemukan di Jepang pertama kali pada tahun 1991, parasit ini sekarang termasuk patogen yang penting di Jepang, sebab dapat mematikan inang, tingkat spesifik inang yang rendah, dan tersebar luas (Ogawa et al., 1995). Parasit ini terutama ditemukan di daerah tropis (Bondad-Reantaso et al., 1995). Parasit Diplectanum dilaporkan menyerang ikan laut budidaya pada keramba jaring apung di Singapura, dan parasit Haliotrema menginfeksi ikan kakap, Lutjanus johni (Leong, 1994). Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bakteri yang menginfeksi ikan kerapu di keramba jaring apung.
METODE Ikan Uji Ikan uji adalah ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Teluk Ekas, Lombok Timur, NTB. Jenis ikan kerapu yang diuji yaitu; ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis, ikan kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus, dan ikan kerapu Lumpur, Epinephelus coioides dengan bobot antara 80 – 240 gram. Identifikasi Parasit Pertama, dilakukan pemotongan sedikit lamella insang, diletakkan pada kaca slide dan diamati serta diidentifikasi secara langsung dengan menggunakan mikroskop. Kedua, sampel parasit diperoleh dengan cara merendam ikan kerapu dalam air tawar selama 10-15 menit sampai parasit yang menempel pada ikan terlepas. Parasit yang terlepas selanjutnya dikumpulkan dalam botol, sebagian diamati dan diidentifikasi secara langsung melalui mikroskop, sebagian sampel diawetkan dalam buffer formalin. Identifikasi parasit dilakukan secara mikroskopis terhadap preparat segar dan preparat awetan berdasarkan Grabda (1991).
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari ikan kerapu yang dibudidayakan di dalam keramba jaring apung di Teluk Ekas, Lombok Timur, NTB, parasit yang umum ditemukan menginfeksi ikan kerapu adalah dari klas Trematoda Monogenea yaitu; Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema. Parasit Neobenedenia Dari ikan kerapu yang direndam dengan air tawar selama 10-15 menit setelah diidentifikasi sesuai dengan metoda Grabda (1991) ditemukan parasit Neobenedenia (Gambar 1). Parasit ini termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Capsilidae. Monogenean Capsalid dikenal sebagai cacing kulit dan merupakan parasit eksternal yang paling umum pada budidaya ikan laut. Capsalid meliputi beberapa spesies dan mempunyai kesamaan morphologi yaitu berbentuk oval (lonjong) dan gepeng dengan sepasang sucker bulat (anterior sucker) pada tepi bagian depan dan sebuah haptor besar (opisthapthor) pada tepi bagian belakang. Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, telah ditemukan beberapa jenis Capsalid yang didapat dari induk ikan-ikan kerapu, ikan napoleon dan ikan kakap. Capsalid yang ditemukan pada ikan kerapu bebek telah diidentifikasi sebagai Neobenedenia girellae dan Benedenia epinepheli. Neobenedenia girellae mempunyai tingkat patogenisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Benedenia epinepheli, karena Neobenedenia girellae selain dapat menginfeksi kulit juga menyerang mata yang menyebabkan kebutaan. Ikan kerapu yang terinfeksi Neobenedenia girellae memperlihatkan gejala klinis; kehilangan nafsu makan, tingkah laku berenangnya lemah dan adanya perlukaan karena infeksi sekunder bakteri. Secara spesifik terlihat adanya mata putih keruh, yang
182
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
menimbulkan kebutaan yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Sebaliknya jenis Capsalid yang lain tidak meyebabkan mata putih keruh pada ikan yang teinfeksi. Capsalid merupakan parasit yang tidak berwarna yang ada di permukaan badan ikan, sehingga sangat sulit untuk mengetahui adanya infeksi parasit. Untuk itu, merendamkan ikan beberapa menit dalam air tawar adalah cara yang sangat mudah untuk mengetahui adanya infeksi karena parasit akan segera berubah warna menjadi putih didalam air tawar tersebut. Upaya pengendalian terhadap infeksi parasit ini, dianjurkan merendam dalam air tawar selama 10-15 menit atau dalam H2O2 150 ppm selama 30 menit (Zafran et al., 1997; Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).
Gambar 1. Parasit Neobedenia yang menginfeksi ikan kerapu Parasit Diplectanum Dari pengamatan secara mikroskopis terhadap sayatan segar lamella insang ikan kerapu menggunakan mikroskop, setelah diidentifikasi parasit pada insang ikan kerapu tersebut diketahui sebagai Diplectanum (Gambar 2). Parasit Diplectanum termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang. Parasit Diplectanum disebut juga cacing insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Beberapa jenis parasit insang dapat menyebabkan kematian yang cukup serius pada ikan yang dibudidaya . Parasit Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogyridea yaitu mempunyai squamodisc (satu di ventral dan satu di dorsal), dan sepasang jangkar yang terletak berjauhan (Zafran et al., 1997). Parasit Diplectanum adalah parasit yang hidup pada insang ikan. Ikan kerapu yang terinfeksi Diplectanum terlihat bernapas lebih cepat dengan tutup insang yang selalu terbuka. Infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis. Insang yang terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan (Chong & Chao, 1986). Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin selama 1 jam atau perendaman dalam air laut salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit (Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).
Gambar 2. Parasit Diplectanum
183
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Parasit Haliotrema Parasit ini termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang. Parasit Haliotrema (Gambar 3) disebut juga cacing insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Seperti parasit Diplectanum, parasit ini juga diidentifikasi dari preparat segar insang secara mikroskopis menggunakan mikroskop. Parasit ini dapat diidentifikasikan berdasarkan bentuk karakteristik morfologinya. Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol, jenis Haliotrema sp., adalah salah satu jenis parasit insang penyebab kematian masal pada ikan kerapu bebek (Zafran et al., 1998). Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin selama 1 jam atau perendaman dalam air laut salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit (Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).
Gambar 3. Infeksi parasit Haliotrema pada filamen insang. Siklus hidup parasit Monogenea, Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema adalah dengan menghasilkan telur yang dilengkapi dengan filamen panjang yang berfungsi untuk menempel pada substrat. Dalam waktu sekitar lima hari telur akan matang dan menetas menghasilkan onkomirasidia yang mempunyai bulu getar dan berfungsi aktif sebagai alat renang untuk mencari inang. Kalau sudah menemukan inang maka silia tersebut akan hilang dan onkomirasidium akan berkembang jadi dewasa. Dari semua parasit yang ditemukan tersebut yang berbahaya terhadap ikan kerapu terutama adalah parasit insang Diplectanum dan Haliotrema. Parasit Neobenedenia bila terdapat dalam jumlah banyak dan menyerang mata dapat menimbulkan kebutaan dan akhirnya kematian (Zafran et al., 1997).
KESIMPULAN Jenis parasit yang ditemukan menginfeksi ikan kerapu budidaya pada keramba jaring apung di Teluk Ekas, Lombok Timur, NTB adalah Neobenedenia, Diplectanum, dan Haliotrema.
DAFTAR PUSTAKA Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 141-148. Bondad-Reantaso, M.G., K. Ogawa, M. Fukudome, and H. Wakabayashi. 1995. Reproduction and Growth of Neobenedenia girellae (Monogenea: Capsalidae), a Skin Parasite of Cultured Marine Fishes of Japan. Fish Pathology, 30(3):227-231. Chong, Y.C. and T.M. Chao. 1986. Common Diseases of Marine Foodfish. Fisheries Handbook No. 2. Primary Production Departement. Ministry of National Development. Republic of Singapore. 33p. Grabda, J. 1991. Marine Fish Parasitology. Polish Scientific Publisher. Warsawa. 306p.
184
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Koesharyani, I., D. Roza, K. Mahardika, F. Johnny, Zafran and K. Yuasa. 2001. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis II (Ed. by K. Sugama, K. Hatai and T. Nakai). 49 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency. Leong, T.S. 1994. Parasites and Diseases of Cultured Marine Finfish in South East Asia. School of Biological Science. University Sains Malaysia. 25p. Ogawa, K.M., M.G. Bondad-Reantaso, M. Fukudome and H. Wakabayashi. 1995. Neobenedenia girellae (Hargis, 1955) Yamaguti, 1963 (Monogenea: Capsalidae) From Cultured Marine Fishes of Japan. J. Parasitology. 81(2):223-227. Subiyanto, I. Adisuko, S. Anwar, N. Yustiningsih, S. Prayitno, dan P. Sumardika. 2001. Pengkajian dan Pengembangan Usaha Budidaya Ikan Kerapu Nasional. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal. 61-67. Zafran, I. Koesharyani dan K. Yuasa. 1997. Parasit Pada Ikan Kerapu di Panti Benih dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Vol. III(4):16-23. Zafran, D. Roza, I. Koesharyani, F. Johnny and K. Yuasa. 1998. Marine Fish and Crustaceans Diseases in Indonesia In Manual for Fish Diseases Diagnosis (Ed. by K. Sugama, H. Ikenoue and K. Hatai). 44 p. Gondol Research Station for Coastal Fisheries, CRIFI and Japan International Cooperation Agency.
DISKUSI Pertanyaan: 1. 2.
Dimana penentuan jenis penyakit pada ikan kerapu bisa dianalisa? Bagaimana mengatasi penyakit virus pada budidaya ikan kerapu dalam KJA
Tanggapan : 1. 2.
3.
Untuk analisa penyakit bisa dilakukan di laboratorium BBRBP Gondol, BBAP Situbondo, dan Loka Budidaya Laut Gerupuk. Virus belum ada obatnya sementara hanya pencegahan saja. - VNN bisa di treat dengan OTC. - Irridovirus belum terlihat di Ekas. Usaha-usaha yang dilakukan - Penerbitan leaflet tentang panduan pengendalian penyakit virus dengan bahasa yang mudah dipahami nelayan.
185
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
RESPON DAN PERSEPSI NELAYAN TERHADAP INTRODUKSI TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN KERAPU DAN LOBSTER DALAM KERAMBA JARING APUNG DI DESA BATUNAMPAR KABUPATEN. LOMBOK TIMUR Arif Surahman, Mashur dan Prisdiminggo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat Jl. Peninjauan Narmada, Po Box 1017 Mataram
ABSTRAK Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu. BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA. Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan banyak nelayan yang kemudian mengikuti teknologi introduksi setelah melihat keberhasilan pengkajian. Keberhasilan proses diseminasi teknologi mengakibatkan sebagian besar responden non kooperator mengetahui teknologi unggulan BPTP namun belum mengadopsi karena tingginya modal yang mereka butuhkan untuk budidaya dalan KJA. Kata kunci: respon; persepsi; introduksi; teknologi
ABSTRACT Potency of marine culture area in West Nusa Tenggara is 23,245 ha. From this area 1,445 ha can be used for grouper cage culture. BPTP Mataram as an assessment agency introduced grouper cage culture technology from 2000 year in Batunampar village. Beside grouper, lobster is also the important commodity, which can be cultured in Batunampar village. Two species of spiny lobster, Panulirus homarus and Panulirus ornatus can be cultured in the cage. Fishermen respond have been started from sixth month of the assessment. 60 fishermen have been already adopted grouper and lobster cage culture technology. In the beginning of this assessment, farmer thought that this technology was difficult to implement in fisherman level that have capital limitation. Fishermen adopted this technology after they knew the successful of this assessment. Most of non-cooperator fishermen knew the BPTP technology because of the successfully of dissemination but this technology is too expensive for them. Key word: respond; perception; technology; introduction
PENDAHULUAN Ikan kerapu merupakan salah satu jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Harga jual ikan ini khususnya kerapu bebek di NTB sangat tinggi yaitu Rp. 270.000,- - Rp. 280.000,- untuk ukuran 500 g per ekor. Tingginya harga ikan kerapu bebek ini karena ikan ini merupakan komoditas ekspor dalam bentuk hidup ke Singapura, Hongkong, Jepang dan Cina. Tingginya harga dan banyaknya permintaan akan ikan ini menyebabkan intensitas penangkapan semakin meningkat sehingga dikhawatirkan populasi ikan ini di alam terancam punah. Salah satu cara untuk menjamin kelestarian jenis ikan kerapu tersebut perlu dilakukan usaha budidaya. Usaha budidaya ikan kerapu ini diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan pasar dan sekaligus mengurangi intensitas penangkapan dari alam. Budidaya ikan kerapu merupakan aktivitas yang belum banyak berkembang dan relatif masih baru. Padahal potensi sumberdaya alam untuk budidaya ikan kerapu sangat mendukung seperti banyaknya teluk dan selat yang tersebar di wilayah perairan Indonesia. Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri atas dua pulau besar yaitu pulau Lombok dan Sumbawa, serta memiliki wilayah peraian laut yang meliputi perairan pantai dan lepas pantai seluas 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km. Potensi areal budidaya laut di provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 23.245 ha, dari potensi tersebut 1.445 ha merupakan potensi areal budidaya kerapu, dan 1.200 ha
186
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
diantaranya berada di pulau Sumbawa. Potensi areal budidaya kerapu baru dimanfaatkan 11,05 ha (0,75%) yang tersebar di Kabupaten Lombok Timur 11,00 ha dan Kab. Bima 0.05 ha (Dinas Perikanan dan Kelautan NTB, 2002). BPTP Mataram sebagai Balai Pengkajian di Nusa Tenggara Barat mengintroduksikan teknologi budidaya ikan kerapu di KJA dalam pengkajian yang dilakukan sejak tahun 2000 di Desa Batunampar Kec. Jerowaru Kab. Lombok Timur. Dalam pengkajian ini diperkenalkan kepada masyarakat tentang teknologi budidaya pembesaran ikan kerapu dalam KJA. Ikan kerapu yang digunakan dalam pengkajian ini adalah jenis kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Pakan yang digunakan dalam pengkajian ini adalah ikan rucah dan mencoba mengintroduksikan pakan buatan berupa pellet yang berasal dari Gondol, Bali. Dari pengkajian tersebut dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu dapat dipelihara dalam KJA dengan pemberian pakan alami berupa ikan rucah dan pakan buatan berupa pellet. Pemberian pakan alami berupa ikan rucah lebih baik dari pada pakan buatan, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ikan budidaya. Ikan kerapu yang diberikan pakan ikan rucah mempunyai pertambahan berat mutlak sebesar 558,70 g/individu sedangkan yang diberikan pakan buatan berupa pellet hanya sebesar 356,95 g/individu.(Nazam et al., 2000). Disamping kerapu, lobster juga merupakan komoditas penting yang bisa dikembangkan di Desa Batunampar. Pengkajian ini bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian budidaya kerapu. Pada saat pembersihan jaring banyak dijumpai benih lobster yang menempel pada jaring dan pelampung. Dari Hasil pengkajian didapatkan data bahwa udang karang jenis Panulirus humarus dan Panulirus ornatus dapat dikembangkan dalam KJA. Pada awal pengkajian nelayan belum merespon teknologi yang diintroduksikan, bahkan sebagian nelayan berpendapat bahwa teknologi KJA merupakan teknologi padat modal dan sulit diterapkan oleh nelayan. Namun pada bulan keenam pengkajian, minat nelayan untuk menerapkan teknologi KJA mulai muncul. Hal ini disebabkan petani kooperator mulai menjual hasil panen dari KJA berupa udang karang yang dipelihara secara sambilam dalam KJA. Satu persatu nelayan mulai ikut budidaya ikan dan udang dalam KJA. Teknologi pembuatan KJA oleh nelayan sangat beragam baik ukuran maupun bahan yang digunakan, bahkan ada sebagian nelayan yang menggunakan bahan kerangka bambu bekas bagan dan jaring yang digunakan berupa waring yang biasa digunakan untuk bagan pula.
TUJUAN Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui respon dan persepsi nelayan terhadap introduksi teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA di Desa Batunampar Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur.
METODOLOGI Penelitian ini mengambil tempat di Desa Batunampar, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur dimana pengkajian teknologi budiaya ikan kerapu dan lobster dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan metoda survey dengan wawancara semi-terstruktur dengan kuisener pada nelayan kooperator dan non kooperator sebagai responden. Nelayan kooperator adalah nelayan yang sudah mengadopsi teknologi introduksi dan mendapat bimbingan dari BPTP mataram dalam proses budidaya dalam KJA sedangkan nelayan non kooperator adalah nelayan yang berada di sekitar pengkajian namun tidak atau belum mengadopsi teknologi introduksi. Jumlah responden adalah 16 nelayan kooperator dan 16 nelayan non kooperator. Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisa secara diskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Respon Nelayan Minat nelayan untuk membudidayakan ikan dalam karamba sudah mulai muncul pada bulan keenam pengkajian berlangsung. Sekarang tercatat 60 nelayan sudah mengadopsi Teknologi budidaya ikan kerapu dan lobster dalam KJA. Hal ini didukung dengan bantuan Gubernur NTB berupa 1.000 benih
187
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
ikan kerapu bebek untuk 10 kelompok (50 orang). Dari 16 responden nelayan kooperator 6,25% nelayan sudah mengadopsi teknologi KJA selama 3 tahun, 50% sudah mengadopsi teknologi selama 2 tahun sedang 37,5% nelayan mulai mengadopsi setahun terakhir (gambar 1). 75% nelayan mengadopsi teknologi atas kemauan sendiri sedang 18,75% karena diminta dan diajak orang lain untuk mengadosi teknologi tersebut (gambar 2). Dalam keterlibatannya di litkaji, 37,5% responden terlibat secara langsung dalam litkaji, 25% sebagai penyedia lahan dan 32,5% terlibat secara tidak langsung namum mendapat bimbingan dalam proses budidaya ikan dalam KJA (gambar 3). Meningkatnya respon petani terhadap teknologi introduksi karena sebagian besar responden menganggap bahwa teknologi yang mereka adopsi memenuhi kebutuhan petani. Kepercayaan nelayan terhadap teknologi tersebut tiak dapat diabaikan begitu saja namun harus tetap dijaga oleh BPTP Mataram. Salah satu usaha yang dilakukan adalah selalu memberikan bimbingan terhadap usaha budiaya ikan dan lobster dalam karamba dan juga memfasilitasi pembelian benih dari Gondol karena saat ini BPTP Mataram menjalin kerjasama penelitian dengan Balai Besar Riset Budidaya Laut Gondol tentang budidaya ikan kerapu. Keikutsertaan sbg kooperator 0.00%
6.25%
6.25% 37.50%
50.00%
1 tahun
2 tahun
3 tahun
> 3 tahun
tdk tahu
Gambar 1: Lamanya keikutsertaan nelayan reponden sebagai kooperator
Dorongan sbg kooperator
0.00%
6.25% Inisiatif sendiri
18.75%
Diminta Lainnya 75.00%
Tidak tahu
Gambar 2: Dorongan nelayan responden untuk menjadi kooperator Keterlibatan dlm litkaji
6.25% 37.50%
31.25%
Dilibatkan Penyedia lahan Lainnya
25.00%
Tidak tahu
Gambar 3. Keterlibatan nelayan responden dalam litkaji
188
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Persepsi Nelayan Nelayan Kooperator Pada awal pengkajian banyak nelayan yang menganggap bahwa teknologi KJA yang diintroduksikan merupakan teknologi yang padat modal dan sulit diterapkan dalam tingkat nelayan yang mempunyai modal terbatas. Namun dalam perkembangan 50% nelayan reponden berpendapat bahwa 100% teknologi dapat diterapkan, 6,25% berpendapat 75 – 100% dapat diaplikasikan, 25% responden menganggap teknologi dapat diterapkan antara 50 – 75% dan hanya 12,5% menganggap teknologi dapat diterapkan antara 10 – 50% (gambar 4). 68,75% nelayan responden menilai bahwa teknologi tersebut baru dan 68,75% nelayan responden juga menilai teknologi introduksi sangat baik. Berkaitan dengan manfaat adanya teknologi introduksi, 62,5% nelayan berpendapat sangat bermanfaat dan hanya 6,25% menganggap teknologi tersebut kurang bermanfaat. Hal ini menunjukan bahwa mereka menganggap teknologi yang mereka adopsi dan gunakan sekarang ini merupakan teknologi yang sudah teruji dan dapat diplikasikan di daerah perairan Teluk Ekas khususnya Desa Batunampar dan sangat bermanfaat bagi mereka. Sebagian besar responden menganggap teknologi introduksi tersebut sesuai dengan kebutuhan petani. Tambahan produksi yang diterima oleh nelayan kooperator setelah menerapkan teknologi introduksi adalah sangat memadai. 41,67% responden menyatakan bahwa tambahan produksi yang mereka terima adalah lebih dari 75%, sedangkan 16,67% responden mempunyai tambahan hasil sebesar 50 – 75%, responden yang mempunyai tambahan produksi 25 – 50% dan 10 – 25% adalah masingmasing 8,3% dan 25% responden belum bisa menghitung tambahan produksi yang mereka dapatkan dengan alasan bahwa petani tersebut belum panen (gambar 5). Tambahan produksi yang diterima petani akan membawa konsekuesi tambahan pendapatan yang akan diterima. 33.33% responden mendapatkan tambahan pendapatan lebih dari 75%, 20% responden pendapatannya meningkat sebesar 25 – 50% dan 26,67% responden meningkat 10 – 25% sedangkan yang mendapatkan tambahan penghasilan kurang dari 10% hanya 6,67% responden (gambar 6). Tambahan hasil yang sangat besar ini disebabkan oleh komoditas yang mereka budidayakan adalah komoditas yang mempunyai nilai ekonomis tinggi khususnya ikan kerapu. Penerapan teknologi introduksi 12.50%
0.00%
6.25% 100% dpt diterapkan 75 - 100% 50 - 75% 10 - 50%
25.00%
< 10%
6.25%
50.00% Tidak tahu
Gambar 4: Persepsi nelayan responden tentang penerapan teknologi introduksi Tambahan produksi petani
25.00%
> 75% 41.67%
0.00%
50 - 75% 25 - 50 %
8.33% 8.33%
10 - 25% < 10% 16.67%
Tidak tahu
Gambar 5: Tambahan produksi yang didapatkan nelayan responden
189
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tambahan pendapatan petani
> 75%
13.33% 6.67%
33.33%
50 - 75% 25 - 50% 10 - 25% < 10%
26.67%
0.00%
Tidak tahu
20.00%
Gambar 6: Tambahan pendapatan yang diterma nelayan responden Nelayan non kooperator Nelayan non kooperator adalah nelayan yang berdomisili disekitar tempat pengkajian yang belum mengadopsi dan belum mendapatkan bimbingan dari BPTP Mataram dalam usaha budidaya ikan yang mereka lakukan. Namun demikian sebagian besar dari mereka (62,5%) menganggap bahwa BPTP Mataram merupakan sumber teknologi (gambar 7). Ini membuktikan bahwa mereka sudah mengenal BPTP. Dari responden yang ada 6,25% sudah mengenal BPTP selama 3 tahun, 37,5% sudah 2 tahun mengenal BPTP dan 25% dari mereka sudah mengenal BPTP namun 32,5% responden belum tahu tentang BPTP (gambar 8). Pengenalan tentang BPTP baik itu fungsi, misi dan peran BPTP kepada nelayan disekitar tempat pengkajian dilakukan secara formal dan informal. Secara formal dillakukan melalui temu lapang yang mengundang nelayan sekitarnya. Sedang untuk informal dapat dilakukan melalui diskusi ataupun pembicaraan dengan nelayan disekitar tempat pengkajian. Keberhasilan usaha diseminasi hasil pengkajian dapat dirasakan karena sebagian besar responden non kooperator (93,75%) mengetahui teknologi unggulan BPTP (gambar 9). Namun mereka belum menerapkan teknologi tersebut karena mereka menganggap bahwa teknologi tersebut tidak terjangkau harganya oleh mereka. Pendapat ttg BPTP sbg Sumber Teknologi
37.50%
Ya 62.50%
Tidak
Gambar 7: Pendapat responden non kooperator tentang BPTP sebagai sumber teknologi
Kapan mengenal BPTP
31.25% 0.00% 6.25%
25.00%
1 tahun 2 tahun 3 tahun >3 tahun
37.50%
Tidak tahu
Gambar 8: Lamanya waktu mengenal BPTP oleh responden non kooperator 190
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Mengetahui Tek.Unggulan BPTP 0.00%
6.25%
Ya Tidak Tidak tahu
93.75% Gambar 9: Pengetahuan responden non kooperator tentang teknologi unggulan BPTP.
KESIMPULAN Respon nelayan terhadap introduksi teknologi sangat baik, hal ini terbukti dengan bertambahnya jumlah nelayan yang mengikuti teknologi introduksi tersebut. Sebagian besar nelayan juga menganggap teknologi introduksi tersebut sangat bermanfaat dan dapat meningkatkan produksi maupun pendapatan mereka. Proses diseminasi juga berhasil terbukti dengan sebagian besar responden non kooperator yang sudah mengenal teknologi unggulan dari BPTP walaupun sebagian mereka belum bisa menerapkan dengan alasan harganya tidak terjangkau oleh mereka.
DAFTAR PUSTAKA Basyarie A. 2001. Teknologi Pembesaran Ikan Kerapu (Ephinephelus spp). Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 112 – 117p. Dinas Perikanan dan Kelautan NTB. 2000. Pemutakhiran Data Potensi Sumberdaya Perikanan di Nusa Tenggara Barat. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Nusa Tenggara Barat. Nazam M, Prisdiminggo, A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Nurjana M. L. 2001 Prospek Sea Farming di Indonesia. Prosiding Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea Farming di Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. 1 – 9p. Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur. Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah. Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara. Serang. Sayaka B. 1994. Farm Level Impact Analysis of the Adoption of the Package of Technologies Introduced under the Soybean Yield Gap Analysis Project. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 13, No. 1. 1 – 26p. Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium. Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 52-60p. Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112 – 118p.
191
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PRODUKSI BENIH IKAN KERAPU HASIL PEMBENIHAN DI BALI Bejo Slamet, Suko Ismi dan Titiek Aslianti Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol, PO Box 140, Singaraja 81101, Bali .
ABSTRAK Pengamatan perkembangan produksi benih kerapu telah dilakukan pada petani pembenihan dan pendederan kerapu di Bali yang bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan, kelayakan dan prospek pengembangannya. Jenis kerapu yang diamati meliputi kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kedua jenis ini mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi. Hasil pengamatan menunjukan bahwa pembenihan kerapu bebek dan kerapu macan di Bali Utara cukup berkembang. Produksi benih kerapu bebek dan kerapu macan di daerah ini per bulan masing-masing berkisar 50.000 - 250.000 ekor dan 150.000 - 400.000 ekor. Tingkat kelangsungan hidupnya bervariasi yaitu 0-40% dengan rataan 5%. Kegagalan/kematian massal biasanya terjadi umur 15-50 hari. Lama waktu pendederan benih kerapu bebek di bak beton dari ukuran 4 cm (lepas dari hatcheri) sampai ukuran 10 cm (siap tebar) berkisar 40-75 hari, dengan kelangsungan hidup 70-95%. Pendederan kerapu macan dari ukuran 2 cm (lepas hatcheri) sampai 7 cm (siap tebar) memerlukan waktu 30-40 hari dan kelangsungan hidupnya berbeda dengan perbedaan sistem/jenis pakannya. Dengan pemberian pakan pellet kelangsungan hidupnya berkisar 20-40% sedangkan dengan kombinasi pakan hidup (udang kecil) dengan daging ikan rucah menghasilkan kelangsungan hidup 60-75%. Kata kunci : Kerapu, pembenihan, pendederan, pembesaran.
PENDAHULUAN Ikan kerapu merupakan komoditas eksport yang bernilai ekonomis tinggi di pasar Asia terutama Hongkong dan Singapura. Produksi ikan kerapu saat ini sebagian besar merupakan hasil dari penangkapan dari alam . Cara penangkapan ikan kerapu kadang-kadang menggunakan racun potassium sianida yang dapat merusak karang dan biota di sekitarnya. Beberapa jenis ikan kerapu (Epinephelus spp) telah diujicobakan pembesarannya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Hongkong mulai tahun 1979 (Sugama, et al., 1986), namun karena keterbatasaan benih sehingga budidaya ikan tersebut sulit berkembang. Usaha penyediaan benih ikan kerapu mulai diteliti beberapa tahun yang lalu antara lain pada kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) (Chen, et al., 1977), E. akaara (Tseng dan Ho, 1988), kerapu macan E. fuscoguttatus (Mayunar et al., 1991; Slamet, 1993), kerapu bebek Cromileptes altivelis (Slamet et al., 1996). Di Indonesia kerapu macan mulai dapat dipijahkan tahun 1987, kerapu bebek mulai tahun 1997, keberhasilan pemijahan ikan tersebut mulai dicapai tahun 1998. Perairan Indonesia memiliki lahan pantai yang potensial seluas 3.385 ha untuk budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung (Anonimous, 1988). Perairan Indonesia memiliki berbagai jenis ikan kerapu dengan nilai ekonomis tinggi, di antaranya jenis kerapu lumpur (Epinephelus suilus, E. malabaricus), kerapu macan (E. fuscoguttatus), kerapu batu (E. fasciatus), kerapu merah (Chephalopolis sp.), kerapu sunuk (Plectropoma spp.), dan kerapu tikus (Cromileptes altivelis). Letak geografis Indonesia sangat menguntungkan untuk agribisnis kerapu karena berada pada lintas perdagangan ikan hidup (Singapura-Hongkong) maupun ikan segar (Singapura-Hongkong-Jepang). Sebagai bagian dari perairan tropis, Indonesia kaya akan jenis ikan dan beberapa di antaranya merupakan golongan ikan rucah dengan nilai ekonomis rendah sehingga dapat dieksploitasi untuk sumber pakan alami bagi pengembangan budidaya ikan laut. Dalam makalah ini akan dibahas dua jenis ikan kerapu yaitu kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Kedua jenis ikan ini mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi dan pembenihannya sudah berkembang.
METODE Pengamatan yang dilakukan meliputi, sistem pemeliharaan, kelangsungan hidup dan pertumbuhan benih kerapu di hatchery skala rumah tangga dan pendederan kerapu di Bali. Pengamatan dilakukan terhadap 2 jenis kerapu kerapu yaitu kerapu bebek dan kerapu macan. Kedua jenis ini mempunyai nilai ekonomis yang paling tinggi. Methoda pengamatan dengan melakukan monitoring
192
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
seminggu sekali terhadap sistem pemeliharaan, perkembangan dan kelangsungan hidup benih, volume produsi, mortalitas dan penyakit. Lama pengamatan 2 tahun yaitu dari tahun 2001 sampai 2002.
HASIL DAN PEMBAHASAN Managemen Pemeliharaan Larva Hasil pengamatan sistem manajemen pemeliharaan larva ikan kerapu pada 52 hatchery skala rumah tangga di Bali Utara, secara umum digolongkan menjadi 2 sistem : 1. Sistem pemberian pakan hanya dengan pakan hidup (pakan alami) yang disebut sistem 1 (Gambar 2). 2. Sistem pemberian pakan dengan kombinasi pakan hidup (pakan alami) dan buatan (mikro pellet) yang disebut sistem 2 (Gambar 2). Pada pemeliharaan larva kerapu bebek biasanya banyak menggunakan sistem (1), sedangkan pada kerapu macan lebih banyak menggukanan sistem (2). Hal ini disebabkan larva kerapu macan mempunyai sifat kanibalisme yang lebih kuat dibanding kerapu bebek. Sistem (2) dapat menekan kanibalisme kerapu macan. Dari hal tersebut, petani lebih tertarik melihara larva kerapu bebek dibanding kerapu macan disamping sistem (2) memerlukan kerja yang ekstra keras dan biaya tinggi untuk penyediaan udang jembret sebagai pakan. Karena keterbatasan produksi telur kerapu bebek dan harganya lebih mahal (Rp 2,5/ butir) dan mudahnya untuk membeli telur kerapu macan dan lebih murah (Rp 1,0/ butir) maka petani memilih memelihara larva kerapu macan walaupun harus bekerja ekstra keras. Pakan dan pergantian air Nanno chloropsis
0
==============
Rotifer Artemia Copepoda Jembret Daging ikan yang digiling Pergantian air
Umur larva (hari setelah menetas) 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54
============================= ============================== ============================= ======================== ==========
0% 10-20% 25-30% 35-40% 45-100% ======== ======= ========= ============ ==================
Gambar 1. Skema pemberian pakan dan pergantian air pada pemeliharaan larva kerapu pada system dengan pakan alami. Pakan dan pergantian air Nanno chloropsis Rotifer Artemia Mikro pellet
0
Hari setelah menetas 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 45 48 51 54
============== ============================= ======================= 140-410 um (LL2) 315-580 (LL3) 479-800 (LL4) ================ ========== =============
Pergantian air 10-20% 20-80% 100-300% 300-400% 400-500% ====== ========== ========== =========== =========== Gambar 2. Skema pemberian pakan dan pergantian air pada pemeliharaan larva kerapu pada system dengan campuran pakan alami dan buatan (mikro pellet). Keterangan :
LL2 = Love Larva no. 2 (buatan jepang) (diameter 0,20-0,31 mm) LL3 = Love Larva no. 3 (buatan jepang) (diameter 0,31-0,48 mm) LL4 = Love Larva no. 4 (buatan jepang) (diameter 0,48-0,63 mm)
193
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Perkembangan produksi benih kerapu di hatcheri di Bali Pembenihan ikan kerapu bebek berhasil dikembangkan di tingkat petani hatchery skala rumah tangga (HSRT). Pada tahun 1997 hanya satu orang petani yang berminat membenihkan ikan kerapu bebek, dalam 1 tahun hanya 1 siklus yang berhasil dengan jumlah produksi 8500 ekor (saat itu harganya Rp 12.500,- per ekor ukuran 5 cm). Pada tahun 1998 tidak ada petani HSRT yang memproduksi kerapu karena harga nener tinggi (Rp 20,--60,- per ekor). Pada tahun 1999 Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut yang waktu itu bernama Loka Penelitian Perikanan Pantai melalui program ekstensi membimbing dan memberi telur kerapu bebek cuma-cuma kepada 12 petani HSRT. Pada program ini siklus pertama semua gagal karena saat itu belum ada filter dan dilakukan saat musim penghujan sehingga air lautnya keruh. Kemudian dengan mewajibkan pembuatan filter kepada petani peserta program ini ternyata sebagian besar berhasil memproduksi benih dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 5% walaupun pada tahun 1999 hanya 1 siklus yang berhasil memproduksi benih dengan jumlah produksi benih mencapai 40.000 ekor. Tahun 2000 sudah berkembang dengan baik dan petani mampu membeli telur kerapu bebek dari Loka Gondol dan dari hatcheri swasta dengan harga telur Rp 2,5 per butir. Pada tahun 2000 hampir setiap bulan dapat memproduksi benih kerapu bebek sebanyak 10.000-100.000 ekor benih (ukuran 4-6 cm) per bulan dengan total produksi per tahun mencapai sekitar 500.000 ekor. Pada tahun 2001 sampai pertengahan tahun 2002 produksi benih di petani HSRT berjalan lancar walaupun masih sering terjadi kematian massal benih oleh serangan VNN. Pada tahun ini produksi benih per bulan berkisar antara 50.000 sampai 250.000 ekor benih kerapu bebek, dengan total produksi per tahun mencapai 1.500.000 benih (Gambar 3).
250000
Produksi benih
200000 150000 2001 2002
100000 50000 0 Jan
Mar
Mei
Jul
Sep
Nop
Bulan Gambar 3. Produksi benih ikan kerapu bebek di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di Bali dari tahun 1997 sampai tahun 2002. Produksi benih kerapu macan di tingkat petani berhasil baik sejak tahun 2000; dengan volume produksi benih melebihi produksi benih kerapu bebek. Kadang-kadang terjadi over produksi yang menyebabkan harga merosot. Pada tahun 2001 setiap bulan diproduksi sebanyak 10.000-400.000 ekor dengan total produksi benih per tahun mencapai 2.000.000 benih (Gambar 4). Pada awal tahun 2001 kegiatan produksi benih berhenti karena sebelumnya petani pernah rugi akibat terlalu lama menahan benih yang tidak terjual. Sebagian besar petani pembenih kerapu macan ingin menjual benihnya saat mencapai ukuran 2 cm karena pada ukuran 2,5-5 cm kanibalisme sangat tinggi, di sisi lain petani KJA menginginkan benih ukuran > 8 cm agar lebih aman di KJA. Pada akhir tahun 2001 sampai sekarang (pertengahan tahun 2002) petani HSRT kembali bangkit untuk melakukan pembenihan ikan kerapu macan menggunakan sistem pemeliharaan benih ukuran 1,5-5 cm dengan pemberian pakan berupa udang jembret/rebon kecil/ grago dengan jumlah yang berlebih. Saat ini mudah mendapatkan udang jembret karena banyak pedagang yang sengaja mencari jembret di tambak-tambak udang di Jawa Timur
194
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
(Banyuwangi dan Situbondo). Pekembangan produksi benih kerapu macan dari tahun 2000 sampai 2002 dapat dilihat pada Gambar 4. Pada tahun (2002) produksi benih kerapu macan di petani HSRT di Bali setiap bulan mencapai 150.000-400.000 dengan total produksi per tahun mencapai 3.000.000 ekor. Jumlah ini akan meningkat bila kebutuhan pasar meningkat pula.
benih
Tingkat kelangsungan hidupnya bervariasi dari 0-40% dengan rata-rata 5% untuk kerapu bebek dan 7% untuk kerapu macan. Kegagalan/kematian massal biasanya terjadi umur 15-50 hari. Kegagalan dalam produksi benih kerapu di Bali sebagian besar terjadi pada puncak musim penghujan. Hal ini karena pada saat ini sulit didapatkan air laut yang jernih dan sulit memproduksi fitoplankton (Nannochloropsis) yang bermutu baik, sehingga larva mudah stress dan mudah terserang VNN (Virus nervous neucrosis) yang berakibat kematian massal.
500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
2001 2002
Jan
Mar
Mei
Jul
Sep Nop
Bulan Gambar 4. Produksi benih ikan kerapu macan di hatcheri skala rumah tangga (HSRT) di Bali dari tahun 2000 sampai tahun 2002.
PENDEDERAN (PENGGLONDONGAN) Lama pendederan benih di bak beton untuk kerapu bebek dari ukuran 4 cm (lepas dari hatcheri) menjadi ukuran 10 cm (siap tebar) berkisar 40-75 hari, dengan kelangsungan hidup 70-95%. Pada kerapu macan pendederan dari ukuran 2 cm (lepas hatcheri) menjadi 7 cm (siap tebar) memerlukan waktu 30-40 hari dan kelangsungan hidupnya berbeda dengan perbedaan sistem/jenis pakannya. Dengan pemberian pakan pellet kelangsungan hidupnya berkisar 20-40% sedangkan dengan pakan hidup berupa jembret (udang kecil) yang dikombinasikan dengan daging ikan rucah menghasilkan kelangsungan hidup 60-75% karena tingkat kanibalisme dapat ditekan. Hasil pengamatan ukuran pakan yang diberikan, frekuensi pemberian pakan dan lama pemeliharaan pada pendederan kerapu bebek dan kerapu macan di Bali secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Ukuran pakan yang diberikan, frekuensi dan lama pemeliharaan pada pendederan kerapu.bebek dan kerapu macan. Ukuran panjang total benih 2 ke 3 cm 3 ke 4 cm 4 ke 6 cm 6 ke 8 cm 8 ke10 cm
Ukuran diameter pakan buatan yang diberikan 1,5-2,0 mm 2,5-3,0 mm 3,0-3,5 mm 3,5-4,0 mm 4,0-4,5 mm
Frekuensi pemberian pakan per hari 10 kali 8 kali 6 kali 6 kali 6 kali
Lama pemeliharaan (kerapu macan (10-12 hari) (10-13 hari) (10-15 hari) (10-15 hari) (10-15 hari)
Lama pemeliharaan (kerapu bebek) 12-16 hari 14-17 hari 15-20 hari 15-20 hari 15-20 hari
195
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
KESIMPULAN 1.
Usaha pembenihan ikan kerapu bebek dan kerapu macan telah berkembang di Bali Utara. Produksi benih dapat berlangsung hampir sepanjang tahun dengan volume produksi per bulan mencapai 50.000 – 250.000 ekor untuk kerapu bebek dan 150.000 – 400.000 ekor untuk kerapu macan
2.
Tingkat kelangsungan hidup benih berkisar 0-40% atau rata-rata mecapai 4%.
3.
Pembenihan dilakukan dengan dua sistem yaitu pemberian pakan alami dan kombinasi pakan alami dengan pakan buatan.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus, 1988. Training Manual on Marine Finfish Net Cage Culture in Singapore. Revered for the Marine Finfish Net Cage Training Course. Conducted by Primary Production Department (Republic of Singapore) and Organized RAS/86/024 cooperation with RAS /84/016. Chen, F.Y., M. Chow, T.M. Chow and R. Lim, 1977. Artificial Spawning and Larval Rearing of the Groupe, Epinephelus tauvina (Forskal) in Singapore. Singapore J. Pri. Ind. 5(1):1-21. Mayunar, P.T. Imanto, S. Diani dan T. Yokokawa, 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan Spec. Edi. No. 2:15-22. Slamet, B. 1993. Pengaruh Penurunan Suhu Media Terhadap Penundaan Penetasan dan Peningkatan Optimasi Kepadatan pada Transportasi Telur Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) J. Pen. Budidaya Pantai, Terbitan Khusus, Vol.9 No.5 : 30-36. Slamet, B., Tridjoko, Agus P., Tony S. dan K. Sugama. 1996. Penyerapam Nutrisi Endogen, Tabiat Makan dan Perkembangan Morphology Larva Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). J. Pen. Perikanan Indonesia, Vol.2 No.2 : 13-21. Sugama, K., Waspada dan H. Tanaka. 1986. Perbandingan Laju Pertumbuhan Beberapa Jenis Kerapu, Epinephelus spp. dalam Kurung-kurung Apung.Scientific Report of Mariculture Research and Development Project (ATA-192) in Indonesia: 211-219. Tseng dan Ho, SK, (1988). The Biology and Culture of Red Grrouper. Chien Cheng Publisher Koahsiung, R.OC. Hongkong. 134 pp.
196
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
TRANSPORTASI BENIH IKAN KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis HASIL PEMBENIHAN DI BALI Bejo Slamet, Suko Ismi dan Titiek Aslianti Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol PO Box 140, Singaraja 81101, Bali.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kepadatan optimal pada transportasi benih ikan kerapu bebek dengan lama watu dan ukuran benih serta sistem transportasi yang berbeda. Benih ikan kerapu bebek yang dipakai sebagai hewan uji berukuran panjang total 4-8 cm. Wadah digunakan kantong plastik ukuran 30 x 50 cm yang diisi 2 liter air laut dan ukuran 35 x 60 cm yang diisi 3 liter air laut. Ratio antara air dan gas oksigen adalah 1 : 3. Perlakuan kepadatan benih perkantong plastik disesuaikan dengan ukuran benih dan lama waktu transportasi. Hasil penelitian menunjukan bahwa kepadatan maksimal per kantong plastik yang tingkat kelangsungan hidup tinggi (95-99%) untuk ukuran benih 4-5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 12 ekor. Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (lebih dari 99%). Kata kunci : Transportasi, kerapu bebek, ukuran benih, kepadatan.
ABSTRACT The experiment was aimed to reveal optimum density of the live humpback grouper seed transportation with different of densities, size of seed, duration and transportation sistem. The total length of seed range from 4 to 8 cm. The plastic bag size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater size 30 x 50 cm filled with 2 liter seawater and size of 35 x 60 cm filled with 4 liter seawater and the ratio of water and oxygen was 1: 3. The treatments of stock density of seed is depended of size of seed and transport durations. The results showed that the optimal densities per plastic for seed with total length 4-5 cm and duration 12 hours and 22 hours are 25 and 30 per bag repectively; on seed with total length 5-6 cm with duration 12 and 22 h are 25 and 20 fish per bag respectively and on 7-8 cm total length 15 and 12 fish per bag respectively. Survival rate on transportation with open sitem using truk with fiberglass tank and pure oxigen is very high (more than 99%). Keyword: Transportation, densities, duration, seed size, survival rate. humpback grouper seed
PENDAHULUAN Ikan kerapu bebek, Cromileptes altivelis merupakan komoditas ekspor yang bernilai ekonomis tunggi di pasar Asia seperti Hongkong dan Singapura. Saat ini harga ikan kerapu bebek di Denpasar dan Jakarta berkisar antara Rp. 300.000-350.000 per kg hidup. Selain itu kerapu bebek mempunyai bentuk yang indah dari kerapu lainnya sehingga waktu kecil bisa dijual sebagai ikan hias dengan harga yang cukup mahal. Pembenihan ikan kerapu bebek sudah diteliti mulai tahun 1996 (Trijoko et al., 199) dan di tingkat petani hatchery skala rumah tangga (HSRT) mulai tahun 1997, namun baru berkembang sejak tahun 1999 di HSRT di Bali. Usaha pembenihan ikan kerapu bebek sudah dirintis di berbagai daerah seperti Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, kep. Seribu, kep. Riau, Sulawesi Selatan, NTB, dan NTT; namun hanya di Bali yang dapat berkembang baik. Hal ini disebabkan oleh sudah terdapat sekitar 3.000 petani HSRT bandeng yang sekitar sepuluh persennya berusaha memproduksi benih kerapu bebek sebagai usaha sambilan, sehingga setiap bulan selalu ada yang berhasil menghasilkan benih kerapu bebek di Bali. Keberhasilan transportasi benih akan mendukung pengembangan kegiatan budidaya pembesaran ikan kerapu khususnya dalam mengupayakan keselamatan dan kesehatan benih yang diangkut dari unit perbenihan sampai ke lokasi budidaya/ pembesaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan daya tahan tubuh serta menganalisis kesehatan benih ikan kerapu bebek yang sedang diangkut pada berbagai kepadatan, selain itu sasaran lebih lanjut adalah untuk menganalisis kemungkinan peningkatan efesiensi biaya transportasi dengan meningkatkan kepadatan pengangkutan dengan memperhatikan faktor kesehatan dan sintasan benih ikan kerapu bebek.
197
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
BAHAN DAN METODE Studi transportasi benih ikan kerapu bebek sistim tertutup dan terbuka dilakukan dengan menggunakan benih hasil produksi petani pembenihan di Bali. Ikan uji berupa benih ikan kerapu bebek dengan panjang total 4 – 5 cm dan bobot tubuh 3-10 gram. Pada sistem tarnsportasi tertutup benih ikan uji tersebut sebelum dikemas kedalam kantong plastik dipuasakan selama 24 jam. Wadah menggunakan kantong plastik yang berukuran 30 x 50 cm diisi air laut yang telah diaerasi sebanyak 2 liter dan 35 x 60 cm diisi air laut 3 liter. Kantong plastik yang telah berisi benih kemudian diisi oksigen murni dengan tekanan 100 kg/cm2, ratio antara gas oksigen dan air 3 : 1. Kantong plastik yang berisi benih ikan selanjutnya dimasukan kedalam box streofoam, dan didinginkan dengan menambahkan es batu sebanyak 0,5 kg per box. Parameter yang diamati dalam kegiatan ini adalah kelangsungan hidup, dan kualitas air media pada saat berangkat dan sampai tujuan yang meliputi oksigen terlarut, pH, suhu, salinitas, ammonia dan karbon dioksida dilakukan secara simulasi transportasi. Pada pengangkutan dengan sistem tertutup menggunakan kendaraan berupa truk yang dilengkapi dengan 2 buah bak fiber glass volume masing-masing 2 m3 yang dilengkapi dengan aersi dengan oksigen murni. Kecepatan aerasi oksigen murni diatur sedemikian sehingga 1 tabung dapat digunakan selama 6-8 jam. Selama perjalanan dilakukan penggantian air sebanyak 70-80% setiap 6-8 jam sekali.
HASIL DAN PEMBAHASAN Data kelangsungan hidup benih kerapu bebek pada transportasi sistem tertutup secara rinci disajikan pada Tabel 1. Kelangsungan Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Tertutup Tabel 1 dapat dilihat bahwa pada transportasi sistem tertutup untuk benih ukuran 4 – 5 cm kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 30 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 95-99%; sedang selama 22 jam adalah 25 ekor per kantong (97-99%). Untuk benih ukuran 5 – 6 cm kepadatan yang optimum dengan kantong ukuran 30 x 50 cm pada lama waktu trtansportasi 12 jam adalah 25 ekor per kantong dengan kelangsungan hidup (SR) 98-99%; sedang selama 22 jam adalah 20 ekor per kantong (96-99%). Untuk benih ukuran 6–7 cm dan 7-8 cm sering mengalami kendala kantong plastik yang bocor dan kempes karena tertusuk tulang sirip punggung. Pada transportasi selama 12 jam kendala palstik kempes masih tidak terlalu fatal, terutama pada transportasi darat walaupun plasti kempes benih masih dapat tertolong oleh goncangan yang mempercepat difusi oksigen. Tabel 1. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam transportasi benih ikan kerapu bebek dengan sistem tertutup dari Bali ke perbagai kota tujuan Ukuran panjang total benih (cm) 1 4,0-5,0 4,0-5,0 4,0-4,5 4,0-5,0 5,0-6,0 5,0-6,0 5,0-6,0 6,0-7,0 6,0-7,0 6,0-7,0 6,0-7,0 7,0-8,0
Ukuran kantong (cm)/ volume air (liter) 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 30 / 2 35 / 4 30 / 2
Kepadatan benih per kantong (ekor) 3 30 25 30 25 20 17 20 15 20 25 35 25
Lama transpor tasi (jam) 4 12 12 22 22 12 12 12 12 12 12 12 12
Kota tujuan
Alat angkut
5 Jakarta Jakarta Bengkulu Bengkulu Jakarta Bengkulu U.Pandang Bengkulu Jakarta Lombok Lombok Lombok
6 Pesawat Pesawat Pesawat Pesawat Pesawat Pesawat Pesawat Pesawat Pesawat Darat Darat Darat
Sintasan (%) 7 93-95 98-99 90-93 97-98 98-99 98-99 98-99 92-93 92-93 98-99 97-99 92-93
Keterangan (ada/tidak kantong plastik yang kempes 8 Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak ada ada ada ada ada
198
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 7,0-8,0 5,0-6,0 4,0-4,5 7,0-8,0
2 35 / 4 30 / 2 30 / 2 30 / 2
3 25 15 20 15
4 12 18 18 12
5 Lombok Batam Batam Lombok
6 Darat Pesawat Pesawat Darat
7 98-99 98-99 98-99 98-99
8 ada Tidak Tidak ada
Kelangsungan Hidup Benih Kerapu pada Transportasi Sistem Terbuka Pada transportasi terbuka semua pelakuan menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi (>99%). Hal ini karena kodisi kualitas air relatif stabil terutama kadar oksigen dan amoniak terlarut oleh pemberian aerasi oksigen murni dan penggantin 70-80% air laut setiap 6-8 jam (Tabel 2). Tabel 2. Kepadatan,ukuran ikan. lama pengangkutan dan persen sintasan dalam transportasi benih ikan kerapu bebek dengan sistem terbuka dari Bali ke perbagai kota tujuan Ukuran panjang total benih (cm) 5,0-6,0 10,0-12,0 12,0-19,0 5,0-7,0 15,0-17,0 8,0-9,0 6,0-7,0 8,0-9,0
Volume Bak (m3) 4,0 2,0 2,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0
Alat angkut
Jumlah benih yang diangkut (ekor)
Lama transportas i (jam)
Tujuan
Frekuensi Penggan tian air (kali)
Truk Truk Truk Truk Truk Truk Truk Truk
6.000 2.000 900 4.000 2.000 6.000 4.000 4.000
15,0 15,0 15,0 15,0 72,0 48,0 60,0 24,0
Lombok Lombok Lombok Lombok Larantuka Lampung Lb.Bajo Dompu
1,0 1,0 1,0 1,0 6,0 4,0 4,0 2,0
Kelang sungan hidup benih (%) 100,0 100,0 100,0 100,0 99,5 99,5 99,5 99,5
Keberhasilan transportasi ikan hidup selalu dipengaruhi sifat fisiologi ikan sendiri, ukuran ikan, kebugaran/mutu ikan menjelang transportasi, mutu air selama transportasi (suhu media DO, pH, CO2. dan ammonia), kepadatan ikan dalam wadah, teknik mobilitasi dengan menggunakan suhu rendah atau bahan kimia serta metabolit alam dan lama penggangkutan (Suryaningrum et al., 2001; Pipet et. al 1982; Basyarie, 1990; Subangsinghe, 1972; Prorent, 1990; Frose. R. 1997). Pada kenyataan dalam melakukan kegiatan transportasi ikan hidup selalu terjadi kompetisi penggunaan ruang dan pemanfaatan oksigen yang tersedia. Pengangkutan dengan sistim tertutup menggunakan kantong plastik, nilai oksigen merupakan parameter penentu pada transportasi ikan hidup ( Berka, 1986). Peningkatan kepadatan menyebabkan penurunan mutu air selama transportasi. Hal ini terlihat dari kondisi visual air selama pengangkutan air media agak keruh, berlendir dan Respon ikan terhadap perubahan lingkungan suhu, oksigen terlarut, serta peningkatan metabolik ikan ditunjukkan oleh perubahan warna (Utomo dalam Suryaningrum, 2000). Pada kondisi stress, ikan berubah menjadi pucat, warna menjadi keputihan dan pola warna hilang. Jika ikan mudah dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungannya pola warna tersebut dengan cepat akan normal kembali. Pada dasarnya keberhasilan kegiatan pengangkutan benih ikan kerapu bebek tidak terlepas kaitannya dari cara penanganan benih ikan sejak sebelum dikemas hingga sampai tempat tujuan, tetapi yang lebih penting lagi dari semuanya itu adalah cara mempertahankan agar kualitas fisiko-kimia air media selama pengangkutan agar lebih stabil sehingga diharapkan dapat mendukung dan menjaga kesehatan benih yang sedang diangkut. Hasil pengamatan terhadap suhu media selama pengangkutan terlihat peningkatan pada suhu air akhir pengangkutan berkisar antara 24-25oC. Dalam transportasi ikan hidup suhu memegang peranan penting didalam mengendalikan tingkat metabolisme ikan, pada suhu tinggi aktivitas dan metabolisme ikan meningkat. Oleh karena itu suhu rendah dipertahankan selama mungkin untuk menekan metabolisme dan aktifitas ikan selama transportasi. Sehingga ikan dapat diangkut selama mungkin. Menurut Utomo dalam Suryaningrum et al. (2000) suhu ideal yang berpeluang untuk transportasi ikan kerapu berkisar antara 17 – 21oC. Tabel 3 menunjukkan bahwa suhu setelah pengangkutan selama 18 jam transportasi suhu media rata-rata 25oC. Menurut Wibowo et al. (1997) pada suhu 21-27oC cenderung terjadi peningkatan metabolisme sehingga respirasi meningkatkan ekskresi ammonia.
199
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Kandungan oksigen terlarut menunjukan penurunan dengan makin meningkatnya tingkat kepadatan dan lama waktu transportasi. Hal ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi oksigen sangat dipengaruhi oleh faktor kepadatan sehingga dari kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa peranan faktor kepadatan mempunyai korelasi positif terhadap tingkat pemanfaatan oksigen, artinya semakin tinggi kepadatan tingkat konsumsi oksigen akan menjadi lebih tinggi demikian sebaliknya. Kelarutan oksigen pada saat pengepakan yaitu 6,2 mgO2,/liter, selanjutnya pada adalah 3-4 mgO2/liter, ini berpengaruh terhadap aktivitas fisiologi ikan. Menurut Rammerswaal (1993) kelarutan oksigen yang rendah didalam air akan menyebabkan warna ikan menjadi pucat, aktivitas ikan lamban, kadang-kadang ikan naik kepermukaan. Lebih lanjut Utomo dalam. Suryaningrum et al. (2000) dalam penelitianya menyatakan bahwa kelarutan oksigen sebesar 3,47 mg O2/liter menyebabkan ikan gelisah, warna menjadi pucat, aktifitas lamban. Kandungan amonia setelah transportasi meningkat dengan meningkatnya kepadatan. Kandungan amonia pada akhir transportasi berkisar 8-11 mg/liter, namun kandungan NH3 amonia tersebut belum bersifat racun atau mematikan ikan terlihat dari sintasa ikan masih tinggi. Hal ini karena ammonia yang dianalisa dalam bentuk amonium (NH4+), sehingga daya racun tidak begiru kuat. Meningkatnya kandungan amonia dalam air ini dapat berasal dari hasil metabolisme pemecahan protein menjadi amonia oleh bakteri (Remmarswaal, 1993). Tingginya kandungan amonia dalam air menyebabkan pengeluaran amonia dalam darah dan jaringan tinggi. Hal ini menyebabkan pH dalam darah naik. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya konsumsi oksigen oleh ikan, sementara kelarutan oksigen dalam media semakin menurun, sehingga akhirnya menyebkan kematian ikan.
KESIMPULAN 1.
Kepadatan maksimal per kantong plastik yang masih menghasilkan kelangsungan hidup tinggi (9599%) untuk ukuran benih 4--5 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masing-masing 30 ekor dan 25 ekor; pada ukuran benih 5-6 cm pada lama waktu 12 jam dan 22 jam adalah masingmasing 25 ekor dan 20 ekor, sedangkan pada ukuran benih 7-8 cm adalah masing-masing 15 dan 12 ekor.
2.
Pada transportasi dengan sistem tertutup semuanya menghasilkan kelangsungan hidup yang sangat tinggi.(lebih dari 99%).
DAFTAR PUSTAKA. Basyarie. A (1990). Transportasi Ikan Hidup. Traning Penangkapan Aklimatisasi dan Peyimpanan Ikan Hias Laut. Jakarta 4 - 18 Desember 1990. Berka. R. 1986. The transport of live fish EIFAC Tech. Pap. No. 48. p.52 Froces. R 1997. How to Transport live Fish in Plastic Bags. FAO. Technical Paper. Roma. Piper. G.R, IBMc. Elwain, L.E. Ormen, J.P.Mc. Caren, L.G. Fowler and I.R. Leonard. 1982. Hatchery Management. Washington DC, US. Report of Interior, Fish Proseno, D 1990. Cara Transportasi Ikan Dalam Keadaan Kidup. Makalah disajikan pada Acara Temu Penelitian , Paket Teknologi 29 – 31 Oktober 1990. Rammerwaal . 1993 Recirculating Aquaculture System. Info fish international 2 p 39 – 193. Subangsing. S 1997. Live Handling and Transpotation. Infofish International 2p. 39 – 43 Sugama, K., Wardoyo, Rohaniawan, dan Masuda, H. 1998. Tenologi Pembenihan Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis). Dalam Proseding Seminar Teknologi Perikanan Pantai Bali, 8-7 Agustus 1998. Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol – JICA (ATA-379) p 80 – 88. Suryaningrum, T.D., Abdul Sari dan Ninoek Indiarti (2000). Pengaruh Kapasitas Angkut Terhadap Sintasan dan Kondosi Ikan pada Transportasi Kerapu Hidup Sistim Basah. Dalam Proseding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Eksplorasi Laut dan Perikanan Jakarta. P; 259-268.
200
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tridjoko, Slamet, B, Makatutu ,D dan Sugama,K. 1996. Pengamatan Pemijahan dan Perkembangan Telur Ikan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) secara Terkontrol. Jurnal. Penelitian Perikanan Indonesia. 2 (2) : 55-62. Wibowo, S, Utomo, B S.V. and Suryaningrum, T.D. 1987. Kajian Sifat Fisiologi Ikan Sebagai Dasar Dalam Pengembangan Transportasi Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) Hidup untuk Eksport. Makalah disampaikan sebagai penelitian unggulan Puslitbang Perikanan.
201
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PEMBERDAYAAN NELAYAN PESISIR MELALUI BUDIDAYA SOTONG BULUH (Sepioteuthis lessoniana, LESSON) DI TELUK NARE, LOMBOK BARAT M.S. Hamzah UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok
ABSTRAK Pemberdayaan nelayan pesisir melalui budidaya sotong buluh (Sepioteulus lessoniana) telah dilakukan padaTahun Anggaran 2001, kerjasama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan (P3P) Unram dan BAPPEDA Propinsi NTB serta Staf UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok sebagai pembina teknis lapangan. Pembinaan lebih serius dan sekaligus alih teknologi budidaya pembesaran dimantapkan pada Anggaran Tahun 2002, melalui Proyek Pemanfaatan Diseminasi Iptek Kelautan . Penelitian pada Tahun Anggaran 2001 dikosentrasikan pada studi laju pertum-buhan dan kelangsungan hidup dengan penebaran kepadatan yang berbeda dan diberi pakan 2 kali sehari Sementara Anggran Proyek Tahun 2002 beracuh pada hasil penelitian tahun lalu, dengan meningkatkan kepadatan dan diberi pakan 3 kali sehari. Tujuan penelitian ini adalah membina nelayan pesisir agar menguasai teknologi pembesaran dengan mengamati variabel pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Hasil penelitian ini cukup penting artinya dalam mengetahui gambaran tebaran kepadatan per-satuan luas, sehingga aplikasi pengembangan budidayanya dapat diketahui secara pasti. Hasil penelitian dari dua kali tahapan pengamatan memperlihatkan bahwa tebaran kepadatan yang cocok untuk luas kejapung 2,35 x 2,35 m dengan kedalaman 3 m adalah 120 – 140 ekor dengan frekuensi pemberian pakan 3 kali/hari, dan lebih menguntungkan dibanding dengan padat tebar rendah dengan pemberian pakan 2 kali/hari. Laju pertumbuhan panjang mantel tertinggi tercatat pada perlakuan dengan pemberian pakan 3 kali sehari yaitu mencapai 10,23 cm dengan bobot berat 480,10 gr, sementara 2 kali sehari hanya mencapai 4,23 cm dengan bobot berat 295,39 gr. Penurunan kelangsungan hidup lebih cenderung diakibatkan oleh sifat kanibal, dan dapat dikurangi dengan cara penebaran kepadatan yang memiliki ukuran panjang mantel yang hampir sama atau rengs perbedaan tidak lebih dari 2,5 cm. Pemijahan dan periode waktu inkubasi telur serta pemulihan (restocking) ke laut turut dikaji dalam tulisan ini.
PENDAHULUAN Stabilitas perekonomian masyarakat hingga sekarang masih mengalami fluktuasi yang cukup memburuk dan cenderung rugi, yang diakibatkan oleh dampak krisis moneter yang berkepanjangan melanda negara Indonesia. Namun keadaan ini, khususnya bagi nelayan yang mendiami daerah Kawasan Timur maupun Tengah Indonesia termasuk Nusa Tenggara Barat justru memberi peluang yang besar dengan meningkatnya transaksi harga produk hasil laut yang menggiurkan baik ekspor maupun pasar lokal. Perairan pantai Lombok Barat umumnya memiliki ekosistem batu karang, dan sedikit lamun yang hidup dibentangan antara daerah tubir dan batas pantai basah. Struktur ekosistem semacam ini, merupakan salah satu indikator daerah sebaran sotong buluh (Sepioteulus lessoniana). Hal ini terbukti cukup banyak nelayan menangkap sotong tersebut terutama pada periode bulan terang dengan menggunakan lambayan yang terbuat dari udang palsu. Sehingga dimungkinkan sumberdaya sotong buluh dapat dijadikan sebagai salah satu mata pencaharian nelayan, karena memiliki harga yang cukup tinggi di pasaran lokal maupun restauran. Dengan demikian bila ditinjau dari segi ekosistem perairan pantainya dan permintaan pasar cukup menjajikan masa depan terutama bagi nelayan. Sotong buluh (S. lessoniana) termasuk hewan laut yang tergolong dalam phylum muluska. Jenis hewan ini umumnya senang hidup bergerombol dan terkonsentrasi di perairan pantai yang memiliki ekosistem lamun dan karang (Roper et. el, 1984; Hamzah, 1997). Penyebaran sotong buluh meliputi perairan Indo-Pasifik termasuk perairan Indoneisa. Aplikasi pengembangan budidaya pembesaran baik yang berawal dari stadia jevenil maupun anakan khusus untuk sotong buluh belum banyak dilakukan. Partisipan dalam budidaya sotong buluh (S. lessoniana) yang berawal dari stadia juvenil dan anakan telah dilakukan oleh staf peneliti Balitkanta, Maros, BPTP, Bojonegara dan LIPI Ambon, berhasil dengan baik dan dapat dijadikan sebagai acuan untuk pengembangan lebih lanjut. Luaran hasil penelitian sotong buluh Tahun Anggaran 2001 di perairan Lombok Barat – NTB telah dikembangkan oleh kelompok nelayan Dusun Teluk Kombal, Kec. Pemenang Barat melalui bimbingan dan pelatihan teknis dari Staf Peneliti LIPI Lombok, kerjsama Pusat Penelitian dan Pengembangan Pedesaan (P3P) UNRAM dan BAPPEDA Propinsi NTB (sesuai surat No. 664/J18.P3P/2001). Kelompok nelayan binaan berjumlah 4 kelompok
202
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
yang terdiri 4 orang/kelompok dan semuanya diambil dari nelayan pesisir yang bermukim di Dusun Teluk Kombal Jenis sotong ini, sangat digemari oleh lapisan masyarakat umumnya, karena rasanya enak dan mengandung protein cukup tinggi. Hewan ini dapat dipasarkan dalam bentuk segar maupun kering dengan harga yang cukup menjanjikan yakni harga per-kilogram basah bervariasi antara Rp.17.500, Rp.20.000,. Kegiatan ini, bertujuan memberi keterampilan bagi nelayan melalui desiminasi pembuatan prototipe pembesaran sotong buluh dengan sasaran akhir memacu pendapatan ekonomi masyarakat nelayan pesisir.
METODOLOGI 1.
Keramba Jaring Apung, Bagan dan Rumahjaga
Lokasi peletakan keramba jaring apung di Teluk Nare (Gambar 1) memiliki syarat yang sesuai dengan indikator kehidupan sebaran sotong buluh yaitu pada daerah ekosistem batu karang yang letaknya kurang lebih 30 m dari batas tubir dengan kedalaman dasar perairan diperkirakan antara 20 - 25 m. Keramba jaring apung terbuat dari konstruksi kayu dan bambu petung sebanyak 2 unit terdiri atas (1). 6 kotak/unit dengan luas (P x L) : 2,50 x 2,50 m dengan kedalaman 2,75 m, dan (2). 4 kotak/unit dengan luas 2,5 m x 1,5 m dengan kedalaman dasar keramba 2,75 m. Sementara jaringnya terbuat dari karoro (warring) dengan ukuran mata jaring 0,5 cm, sehingga tebaran anak ikan teri hidup sebagai makanan kegemaran sotong tidak lolos dari kepungan jaring. (Gambar 2 dan 3). Demikian juga bagan dan rumah jaga terbuat dari konstruksi kayu dan saling berdampingan, sehingga tidak mengganggu kehidupan sotong buluh yang ada dalam kepungan keramba jaring apung. Luas bagan (P x L) : 7 x 12 m dengan kedalaman karoro 5 m, sementara luas rumah jaga (P x L) : 3 x 2 m. Sebagai bahan apung khususnya untuk keramba jaring apung terbuat dari serofoam yang daya apungnya cukup tinggi dan tahan lama.
Gambar 2. Keramba Jaring Apung
Gambar 3. Sosialisasi Kelompok Nelayan Binaan Dusun Teluk Kombal Kec. Pemenang Lombok barat
203
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
2. Tebaran kepadatan Pengisian benih sotong buluh dengan padat tebar yang berbeda yaitu 100 ekor, 120 ekor dan 140 ekor dan diulang 2 kali. Benih ini dibeli dari kelompok nelayan yang menggunakan jaring jala yang beroperasi tidak jauh dari lokasi budidaya. Benih yang didapat sebelum ditebar dalam kejapung diukur panjang mantel dan beratnya serta seleksi ukuran yang hampir sama dikelompokan dalam satu kotak kejapung. Hal ini, menghindari terjadinya sifat kanibal antar ukuran yang besar terhadap yang ukuran kecil. 3. Pakan Sotong buluh (S. lessoniana) merupakan salah satu jenis hewan laut yang memiliki sifat kanibalisme, dengan demikian tebaran dalam keramba jaring apung harus dalam ukuran besar yang hampir sama atau tidak jauh berbeda (Hamzah, 2002). Demikian pula dijelaskan bahwa jenis hewan ini, lebih respons memakan makanan yang hidup terutama pada ukuran anakan, antara lain jenis udang jembret (Mesopodopsis sp) dan ikan teri dalam keadaan hidup. Sementara jenis ikan teri dalam kedaan mati juga dapat diberikan, namun responsnya tidak sebaik ikan teri yang masih hidup. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari dengan estimasi perbandingan 10 % dari bobot berat badan sotong. Bersamaan dengan ini, dilakukan pengukuran kondisi oseanografi antara lain suhu, salinitas, pH dan kecerahan air.
HASIL DAN BAHASAN 1. Budidaya Pembesaran Sotong buluh (S. lessoniana) Hasil budidaya sotong buluh berdasarkan tingkat kepadatan yang berbeda terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 4. Pada tabel ini tampak bahwa laju pertumbuhan panjang mantel rerata cenderung lebih baik tercatat pada padat tebar yang tinggi seperti tercatat pada kotak C1 dan C2 yaitu 8,45 cm dan 10,23 cm dengan laju pertumbuhan berat 250,00 gr dan 480,10 gr. Sementara pada Gambar tersebut, terlihat bahwa tingkat mortalitas dari ketiga perlakuan hampir tidak jauh berbeda, namun bila dikaji berdasarkan persentase padat tebar tercatat padat tebar 120 ekor dan 140 ekor masih bisa direkomondasikan untuk dijadikan acuan yang cocok dikembangkan. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan data tahun lalu yaitu padat tebar rendah dan diberi pakan 2 kali sehari (Tabel 2) dan Gambar 5, memperlihatkan bahwa pemberian pakan 3 kali sehari lebih menguntungkan baik dari segi pertumbuhan maupun tingkat mortlitasnya (jauh lebih rendah). Nilai laju pertumbuhan panjang mantel bulanan yang diberi pakan 3 kali/hari bervariasi antara 5,28 cm – 10,23 cm dengan bobot berat antara 135,10 gr – 480,10 gr. Laju pertumbuhan tertinggi tercatat pada perlakuan C2 (padat tebar 140 ekor) dan terendah pada B1 (120 ekor), namun bila dibandingkan dengan perlakuan padat tebar 100 ekor (A) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Sementara pemberian pakan 2 kali/hari mencapai nilai pertumbuhan panjang mantel bulanan cukup rendah yaitu bervariasi antara 2,64 cm – 4,23 cm dengan bobot berat antara 122,02 gr – 295,39 gr. Pada tabel ini terlihat bahwa laju pertumbuhan tertinggi tercatat pada perlakuan A1 (padat tebar 100 ekor) yang memiliki ukuran panjang mantel awal 14 – 25 cm, dan terlihat bahwa kecenderungan semakin kecilnya variasi ukuran tebar semakin lebih rendah laju pertumbuhan baik ukuran panjang mantel maupun berat. Demikian juga tingkat mor-talitas, bila dikaji kedua tabel dan gamabr tersebut diperoleh bahwa mortalitas terendah cenderung tercatat pada padat tebar yang memiliki ukuran panjang mantel yang besar. Kajian ini identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamzah (2002) bahwa padat tebar yang memiliki variasi ukuran panjang mantel yang hampir sama atau tidak jauh berbeda cenderung menghasilkan laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang tinggi. Lebih jauh dijelaskan pula bahwa kesamaan ukuran padat tebar, dapat menghindari tingkat kanibal antar sesamanya. 2. Pemijahan dan Pemulihan (Restocking) Pemijahan mulai terjadi setelah seminggu kemudian dalam kejapung terutama pada ukuran besar. Jumlah kapsul telur yang diperoleh selama periode pengamatan tecatat kurang lebih 2.775 kapsul (11.100 butir) dengan variasi inti butiran per-kapsul antara 1 – 6 inti (Tabel 1), sementara pada Tabel 2 tercatat jumlah telur yang bakal menetas sebanyak 81.963 butir. Telur diinkubasikan dalam kejapung selama 2 minggu kemudian menetas dan dilepaskan kelaut (restocking) sebanyak 93.063 ekor (stadia juvenil)(Gambar 7)
204
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
3. Pasca Panen Panen I Panen II
: (Proyek 2001) dari tiga kali pemebesaran diperoleh hasil sebanyak 62,5 kg dengan harga Rp.17.500.-/kg diperoleh hasil penjualan sebesar Rp 1.093.700.: (Proyek 2002) dari dua kali panen diperoleh hasil 113,6 kg dengan harga Rp.20.000.-/ kg diperoleh hasil penjualan sebesar Rp.2.272.000.-
Demontrasi pasca panen dilakukan oleh Ketua LIPI dan Deputi Ilmu Kebumian bertepatan kunjungan kerja di UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut, P2O – LIPI Lombok (Gambar 8). M (ekor)
Sotong buluh (S. lessoniana )
S (ekor)
100
Mor. & Sintasan (ekor)
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
0) (10 1 A
0) (10 2 A
0) (12 1 B
0) (12 2 B
0) (14 1 C
0) (14 2 C
Kepadatan Tebar (ekor)
Gambar 4. Grafik mortalitas dan Kelangsungan hidup (sintasan) dengan padat tebar berbeda serta diberi pakan 3 kali/hari Ket. A100 ….dst. = padat tebar
205
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
S (ekor)
Sotong buluh (S. lessoniana )
M (ekor)
Sintasan & Mortalitas (ekor)
80 70 60 50 40 30 20 10
2) A1 00 (3 .7 ) B1 00 (4 .5 ) B1 00 (7 ) C 10 0( 4. 5) C 10 0( 5. 5)
A1 00 (
A4 0( 11 ) A4 0( 3. 5) B6 0( 2. 5) B6 0( 3. 5) C 80 (4 ) C 80 (4 .5 )
0
Kepadatan Tebar (ekor)
Gambar 5. Grafik sintasan, mortalitas dengan padat tebar berbeda dan sama diberi pakan 2 kali/hari. Ket. Nilai ( ) = selisih ukuran panjang mantel, A40 …dst. = padat tebar
Gambar 6. Hasil Budidaya Pembesaran Sotong buluh (S. lessoniana) berdasarkan padat berbeda.
tebar yang
Kondisi Lingkungan Suhu air (ºC). Kondisi suhu air pada kedalaman 2 m sampai kedalaman 12 m hampir tidak jauh berbeda yaitu bervariasi antara 26,8 – 27,5 0C. Suhu terendah tercatat pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan September. Umumnya kisaran suhu terendah dapat menyebabkan kematian anakan kerang mutiara. Salinitas (%o) Salinitas air pada kedalaman 2 m dan 12 m tidak jauh berbeda yaitu bervariasi antara 31 – 32 %o. Kisaran salinitas ini masih ambang toleransi kehidupan kerang mutiara. Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman air laut kedalaman 2 m hingga 12 m berada dalam kondisi stabil yaitu nilai rerata pH = 7
206
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Kecerahan (m) Kecerahan air laut selama periode pengamatan tercatat antara 13 - 16,25 m.
Gambar 7. Inkubasi dan penetasan telur sotong buluh untuk pemulihan (restocking)
Gambar 8. Pasca Panen Hasil Budidaya Pembesaran sotong buluh
207
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 1.
Kotak I1 (100)
I2 (100)
II1 (120)
II2 (120)
III1 (140)
III2 (140)
Laju Pertumbuhan, Kelangsungan hidup dan Pemijahan sotong buluh (S. lesoniana) dalam Kejapung dengan padat tebar berbeda serta diberi pakan 3 kali/hari Variabel Pengamatan PM rerata (cm) Berat rerata (gr) Padat tebar (ekor) Pijahan (kapsul)
Juli 5,25 15,50 100,00 -
September 11,75 150,60 85,00 25,00
LP 6,5 135,1 -
PM rerata (cm) Berat rerata (gr) Padat tebar (ekor) Pijahan (kapsul)
5,15 15,25 100,00 -
12,11 160,35 80,00 57,00
6,95 145,1 -
PM rerata (cm) Berat rerata (gr) Padat tebar (ekor) Pijahan (kapsul)
10,16 85,00 120,00 55,00
16,42 250,00 95,00 250,00
6,26 165,00 -
PM rerata (cm) Berat rerata (gr) Padat tebar (ekor) Pijahan (kapsul)
9,75 70,00 120,00 50,00
14,53 193,50 93,00 650,00
5,28 123,50
PM rerata (cm) Berat rerata (gr) Padat tebar (ekor) Pijahan (kapsul)
15,12 250,75 140,00 113,00
23,57 500,75 95,00 750,00
8,45 250
PM rerata (cm) Berat rerata (gr) Padat tebar (ekor) Pijahan (kapsul) Jumlah
16,50 270,15 140,00 150,00
25,73 750,25 93,00 675,00
10,23 480,10
Mortalitas
Jumlah
15,00 25,00
20,00 57,00
25,00 305,00
27,00 700,00
45,00 863,00
47,00 825,00 2.775,00
Keterangan : PM = Panjang Mantel LP = Laju Pertumbuhan Kisaran kapsul Telur bervariasi antara 1 – 6 inti telur Tabel 2. Pertumbuhan, kelangsungan hidup (SR) dan pemijahan sotong buluh (S. lessoniana) dalam kejapung berdasarkan kepadatan berbeda serta diberikan pakan 2 kali/hari Kotak 1 A1 (40)
A2 (40)
Variabel Pengamatan Hewan Uji 2 Kisar & selisih PM (cm) Kisaran berat (gr) Panjang rerata (cm) Berat rerata (gr) Jumlah (ekor) Pijahan (butiran telur)
3 14-25=11 200-800,00 19,63 383,18 40,00 21.037
4 21-30,5 =8,5 400-1100,00 23,86 678,57 30,00 30.362
Kisar & selisih PM (cm) Kisaran berat (gr) Panjang rerata (cm) Berat rerata (gr) Jumlah (ekor) Pijahan (butiran telur)
9-12,5=3,5 50-120,00 11,72 65,00 40,00 -
10-17 =7 120-350,00 14,98 220,41 35,00 6.539
Agustus
September
Laju pertum 5
SR 6
4,23 295,39 30,00 88,16% x51.399 = 45.313,00
3,26 155,41 35,00 (88,16%x6.539) = 5.765,00
208
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
1 B1 (60)
B2 (60)
C1 (80)
C2 (80)
2 Kisar & selisih PM (cm) Kisaran berat (gr) Panjang rerata (cm) Berat rerata (gr) Jumlah (ekor) Pijahan (butiran telur) Kisar & selisihPM (cm) Kisaran berat (gr) Panjang rerata (cm) Berat rerata (gr) Jumlah (ekor) Pijahan (butiran telur) Kisar & selisih PM (cm) Kisaran berat (gr) Panjang rerata (cm) Berat rerata (gr) Jumlah dan SR (ekor) Pijahan (butitan telur) Kisar & selisih PM (cm) Kisaran berat (gr) Panjang rerata (cm) Berat rerata (gr) Jumlah dan SR (ekor) Pijahan (butiran telur)
3 11-13,5 =2,5 50-200,00 13,14 139,27 60,00 7,5-11=3,5 40-100,00 10,88 63,09 60,00 4-8 =4 10-40 8,00 16,00 80,00 11-15,5=4,5 140-250,00 14,600 187,50 80,00 -
4 13-19,5 =6,5 190-350,00 16,27 278,18 55,00 11-17 =6 100-280,00 14,33 150,60 51,00 6-15 =9 35-250 11,22 128,54 55,00 14-20 =6 150-400 17,24 309,52 54,00 35.033,00
5
6
3,13 138,91 55,00
3,45 87,51 51,00
3,22 112,54 55,00
2,64 122,02
Jumlah SR butiran telur
54,00 (88,16%x35.033) = 30.885,00 81.963,00
Ket : PM = Panjang Mantel; A1,A2,B1,B2, C1,C2 = Kotak kejapung dengan tebaran kepadatan sotong buluh 40, 60 dan 80 ekor masing-masing diulang 2 kali SR = Kelangsungan Hidup, Pertum = Pertumbuhan, dan angka garis tebal bawah = selisih PM.
KESIMPULAN Dari hasil bahasan dapat ditarik beberapa kesimpula sebagai berikut : 1.
Laju pertumbuhan budidaya sotong buluh ternyata padat tebar yang tinggi dan berukuran besar cenderung lebih cepat dibandingkan dengan padat tebar yang rendah yang berukuran kecil. Sementara tingkat kelangsungan hidupnya hampir sama atau tidak jauh berbeda
2.
Tebaran kepadatan sotong buluh yang dapat direkomendasikan dengan luas keramba 2,50 x 2,50 m dengan kedalaman dasarnya 2,75 m adalah pada kepadatan tebar 120 ekor hingga 140 ekor dengan syarat ukuran besarnya tidak jauh berbeda atau hampir sama
3.
Selisih ukuran tebaran panjang mantel awal antar spesimen sotong buluh untuk menghindari sifat kanibal adalah bervariasi antara 2 – 2,5 cm, semakin kecil dari kisaran panjang tersebut semakin baik, dan diperoleh kelangsungan hidup semakin besar
4.
Perbandingan laju pertumbuhan sotong buluh yang diberikan pakan 3 kali/hari cenderung lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan dengan pemberian 2 kali/hari
5.
Kondisi perairan selama periode pengamatan berkiar pada ambang toleransi sebaran kehidupan sotong buluh
SARAN 1.
Pemberdayaan nelayan melalui budidaya sotong buluh mudah dipahami tergantung dari pada tingkat keseriusan terutama rutinitas pemberian pakan dan pembersihan kejapung dari kotaran sisa-sisa pakan maupun kotaran jaring akibat lama terendam. Keterlambatan pemberian pakan menyebabkan terjadinya sifat kanibal antar sotong yang berukuran besar terhadap yang kecil
209
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
2.
Permukaan kejapung perlu ditutup dengan daun kelapa secukupnya setelah benih sotong buluh ditebar ke dalamnya. Tujuannya adalah selain menghindari penyinaran cahaya matahari yang terlalu besar, juga menghalangi loncatan sotong untuk keluar dari kejapung dengan mempergunakan kekuatan penyemrotan air melalui rongga mantelnya
3.
Untuk menghindari factor pembusukan akibat sisa-sisa pakan yang mengendap di dasar kejapung perlu dibersihkan setiap hari, atau bila menyulitkan maka disarankan agar ukuran mata jaring dasar kejapung agak sedikit besar dari pada dindingnya, sehingga sisa-sisa pakan yang sudah terpotong atau hancur bisa lolos
4.
Penelitian ini, perlu dilanjutkan terutama untuk mengamati perkembangan dan kelangsungan hidup juvenil sotong buluh hingga dewasa, sehingga ketergantungan penangkapan di alam dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA Hamzah, M.S., 1997. Studi Perkembangan Embrio dan Daya Tetas Telur Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana, LESSON) pada Kondisi Suhu dan Salinitas yang Berbeda. Tesis. Program studi Sistem-Sistem Pertanian Kajian Perikanan, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Unjung Pandang : 79 hal. Hamzah, M.S., 2002. Studi Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Sotong Buluh (Sepioteuthis lessoniana, LESSON) dengan Keramba Apung pada Kepadatan Berbeda di Teluk Kombal,Lombok Barat – NTB. Makalah dipresentasikan dalam Kongres Nasional III, di Bali 21 – 24 Mei 2002: 17 hal. ( in Pres) Roper, C.F.E.; M.J. Swenney and C.E. Nauen, 1984. Cephalopods of the World. FAO Species catalogue of interest to fisheries , FAO Fish. Synop., 3 (125) : 277 .
210
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PENGEMBANGAN DESA BATUNAMPAR SEBAGAI DESA PANTAI BERBASIS BUDIDAYA LAUT Arif Surahman dan Prisdiminggo Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram Nusa Tenggara Barat. Jl. Peninjauan Narmada Po Box 1017 Mataram
ABSTRAK Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi, penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Kondisi hidrooceaografi dan sosial ekonomi Desa Batunampar mendukung untuk pengembangan budidaya laut. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat telah melakukan pengkajian budidaya laut di desa Batunampar yang meliputi budidya rumput laut, budidaya kerapu dan lobster dalam KJA. Hasil pengkajian menunjukan bahwa potensi sumberdaya budiaya laut sangat baik dan perlu untuk dikembangkan. Budiaya kerapu dalam karamba diharapkan menjadi fokus utama dalam pengembangan desa Batunampar dengan didukung oleh penyediaan pakan alami berupa ikan rucah dan pemasaran maupun penyediaan benih yang kontinyu dan berkualitas. Kata kunci: desa pantai; budiaya laut
ABSTRACT Development of coastal village is important because coastal village always illustrate the undeveloped and poorly region. Fisheries agribusiness is the integrated method for development of coastal village. Agribusiness is the activities, which consist of production input supply, production process and post harvest handling. Hidrooceanography condition of Batunampar village is suitable for marine culture activities. BPTP Mataram has been done marine culture assessments in Batunampar village. These assessments consist of seaweed culture and grouper and spiny lobster cage culture. The assessment result showed that this location was good place marine culture and need to be developed. Grouper cage culture is the main focus for Batunampar village development, which have to be supported by trash fish supply for grouper feed and good quality and continue seed supply. Key word: coastal village; development; marine culture
LATAR BELAKANG Pengembangan desa pantai sangat penting artinya mengingat profil desa pantai mencirikan keterbelakangan bahkan kemiskinan yang turun temurun. Padahal desa pantai mempunyai prospek sebagai pemasok utama pangan hewani dimasa datang mengingat potensi sumberdaya alam yang sangat mendukung. Desa pantai menghasilkan berbagai jenis produk perikanan baik untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun ekspor. Upaya pengembangan desa pantai bertolak dari pemikiran bahwa mensejahterakan masyarakat pantai bukanlah tanggung jawab satu instansi saja melainkan tanggung jawab berbagai instansi dan lembaga dan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu pengembangan desa pantai berarti pengembangan yang terpadu dari berbagai instansi/lembaga dan masyarakat itu sendiri secara terpadu dengan tugas dan fungsi yang berbeda-beda tetapi menuju pada satu tujuan yaitu masyarakat pantai yang sejahtera. Bertolak pada kenyataan bahwa sebagian besar penduduk desa pantai adalah nelayan kecil maka pengembangan desa pantai adalah pengembangan masyarakat perikanan dengan didukung sektor lain. Agribisnis perikanan merupakan suatu bentuk keterpaduan pengembangan desa pantai. Agribisnis merupakan kegiatan yang dimulai dari pengadaan sarana produksi, proses produksi, penenganan pasca panen dan pengolahan serta pemasaran produksi. Penerapan agribisnis secara utuh dan terpadu mengakibatkan produk dapat dipasarkan dengan baik sehingga nelayan dan pembudidaya ikan mendapatkan imbalan yang sebesar-besarnya. Dalam pengembangan desa pantai, pemanfaatan sumberdaya harus dirancang secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan yang baik dan bijaksana akan berdampak pada kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam sebagai faktor utama pendukung produksi perikanan pesisir. Sebaliknya pengelolaan
211
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
yang ceroboh dan gegabah akan mengakibatkan kerusakan sumberdaya alam yang pada akhirnya daya dukungnya pada produksi perikanan pesisir akan menurun. Propinsi Nusa Tenggara Barat yang memiliki luas wilayah peraian laut (perairan pantai dan lepas pantai) mencapai 31.148 km2 dengan panjang pantai 2.900 km mempunyai potensi yang bagus untuk pengembangan budidaya ikan kerapu dalam karamba jaring apung. Potensi areal untuk budidaya kerapu di NTB adalah 1.445 ha dengan 1.200 ha berada di Sumbawa. Dari potensi areal tesebut baru dapat dimanfaatkan 11 ha di Kab. Lombok timur dan 0,05 ha di Kab. Bima (Anonimous, 2002). Desa Batunampar yang terletak di teluk Ekas, kab. Lotim sejak lama dikenal sebagai sentra produksi rumput laut. Jumlah penduduk Dusun Batunampar sebanyak 980 jiwa (210 KK) yang sebagian besar bekerja sebagai nelayan kecil, petani rumput laut dan pedagang hasil produksi pertanian/sarana keperluan nelayan dan sebagian kecil bekerja di sektor jasa dan pegawai swasta/negeri.
POTENSI SUMBERDAYA DESA BATU NAMPAR Teluk Ekas yang berada di bagian selatan Pulau Lombok, secara administratif merupakan wilayah kabupaten Lombok Tengah dan Lombok Timur. Lokasi teluk terlindung dari arus dan gelombang besar, karena adanya daerah karang di mulut teluk yang dapat berfungsi sebagai pemecah gelombang. Dasar perairan sebagian besar berupa karang mati dengan pasir dan sebagian kecil berupa lumpur. Suhu udara rata-rata 24 – 31,3o C, suhu air 25,6 – 28.8oC, salinitas air laut 33 – 35 ppt, pH 7,8 – 8,9 dan kecerahan antara 3 – 5 m. Kedalamam air bevariasi antara 10 –15 m karena adanya lagun/ruang yang dibatasi oleh hamparan karang (Prisdiminggo et al., 2002) Batunampar merupakan salah satu desa yang terletak di pesisir bagian barat teluk Ekas. Transportasi menuju desa Batunampar sangat lancar dengan jarak dengan ibukota propinsi adalah 60 km, jarak dengan ibukota kabupaten 50 km dan jarak dengan ibukota kecamatan adalah 25 km. Sarana penerangan listrik sudah masuk ke lokasi namum sarana air bersih masih sulit. Untuk mendapatkan air masyarakat harus membeli seharga Rp. 1.000,- /ember. Sebagian besar penduduk desa Batunampar adalah nelayan penangkap ikan. Aktivitas penangkapan hanya terbatas di sekitar perairan teluk, karena menggunakan sampan ukuran kecil dengan penggerak motor tempel. Alat tangkap yang digunakan adalah berbagai jenis jaring dan pancing yang masih sederhana. Sebagian nelayan mempunyai bagan tancap/apung yang digunakan untuk penangkapan ikan pada malam hari dengan memanfaatkan lampu petromak. Hasil tangkapan nelayan cukup beragam, baik jenis maupun ukuran. Ikan ukuran kecil yang tertangkap dikategorikan sebagai ikan rucah, harga jualnya berkisar Rp. 2000,- - Rp. 4.000,-/kg. Ikanikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap dan lobster juga sering tertangkap di perairan tersebut namun harga jual untuk ikan tersebut masih sangat rendah karena digolongkan sama dengan ikan hasil tangkapan lainnya.
POTENSI BUDIDAYA LAUT Usaha budidaya rumput laut yang merupakan awal proses budidaya laut di desa Batunampar dimulai sejak tahun 1986 dan mencapai puncaknya pada tahun 1995 dengan jumlah rakit mencapai 3.000 unit. Metoda yang digunakan adalah metoda rakit terapung dengan ukuran rakit 10 x 10 m. Rata-rata produksi selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun hal ini disebabkan karena harga jual rumput laut selalu berfluktuasi. Aktivitas petani dalam usaha budidaya rumput laut tidak berlangsung sepanjang tahun. Petani umumnya menanam rumput laut pada awal bulan April sampai dengan pertengahan September. Pada bulan Oktober sampai Februari merekan tidak menanam rumput laut karena mereka beralasan tingginya intensitas serangan penyakit rumput laut yaitu ice-ice pada bulan tersebut. BPTP Mataram yang pada waktu itu masih berbentu instalasi mengadakan kajian rumput laut di Desa Batunampar pada tahun 1997. Dari Kajian tersebut didapatkan hasil waktu tanam rumput laut sebaiknya dimulai pada bulan April dan berakhir pada bulan September namun periode tanam antara bulan Mei – Agustus memberikan keuntungan yang lebih besar (Prisdimiggo et al., 1998) Berdasarkan pengamatan di lokasi selama penelitian rumput laut, banyak sekali tertangkap oleh nelayan ikan-ikan ekonomis penting di daerah tersebut seperti kakap, kerapu dan lobster. Dengan melihat
212
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan daerah tersebut merupakan habitat untuk ikan-ikan karang yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Melihat fenomena tersebut BPTP Mataram mengadakan uji adaptasi pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA. Jenis ikan yang digunakan adalah ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jenis ini mempunyai harga yang sangat tinggi dan mempunyai pasaran ekspor di Hongkong. Dari Kajian ini didapatkan hasil bahwa jenis ikan ini dapat dibudidayakan dalam KJA dengan masa pemeliharaan 17 bulan dan berdasarkan analisa usaha didapatkan keuntungan sebesar Rp. 19.953.645,- (Prisdiminggo et al., 2002) Dalam Kajian ini juga dilakukan ujicoba pemeliharaan udang karang (Panulirus sp) dalam karamba dan didapatkan hasil yang sangat memuaskan dengan SR 73,33% dan pertambahan berat 62,67 g selama 1,5 bulan. Udang karang jenis lain seperti udang karang jenis mutiara dan pasir juga memberikan respon yang sangat baik dipelihara dalam karamba (Prisdiminggo et al., 2002).
KONSEP PENGEMBANGAN DESA BATUNAMPAR BERBASIS BUDIDAYA LAUT Melihat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia serta potensi budidaya yang terdapat di desa Batunampar, maka daerah tersebut dapat dikembangkan menjadi daerah pantai yang mempunyai basis budidaya laut. Hal-hal yang menjadi dasar pemikiran pengembangan budidaya laut adalah : 1.
Teluk Ekas memenuhi persyaratan sebagai lokasi untuk budidaya laut seperti: terlindung dari pengaruh arus yang kuat, gelombang besar serta angin yang kencang serta bebas dari cemaran.
2.
Dasar perairan yang berupa karang dimungkinkan sebagai habitat alami untuk ikan-kan karang ekonomis penting sehingga tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pasok benih dari alam.
3.
Keberhasilan pengkajian yang dilakukan BPTP NTB menunjukkan bahwa perairan ini memang cocok untuk lokasi budiaya laut seperti rumput laut dalam rakit terapung, kerapu dalam KJA dan lobster dalam KJA.
4.
Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan kecil yang menghasilkan ikan rucah sebagai hasil tangkapannya, merupakan potensi untuk pemenuhan kebutuhan pakan ikan dalam budidaya dalan KJA.
Konsep pengembangan terpadu mutlak diperlukan dalam pengembangan desa Batunampar mengingat adanya beberapa aspek budidaya dan penangkapan ikan yang selama ini sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat. Ikan kerapu merupakan komoditas penting yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup dan pendapatan nelayan di desa Batunampar. Ikan kerapu khususnya jenis kerapu bebek mempunyai harga jual yang sangat tinggi. Pengkajian ikan kerapu yang dilakukan oleh BPTP NTB, sangat direspon oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan banyaknya masyarakat yang kemudian ikut mencoba budiaya ikan kerapu dalam karamba. Teknologi budidaya yang diintroduksikan oleh BPTP Mataram sangat sederhana sehingga petani dapat menirunya tanpa kesulitan. Modal yang diperlukan sangat murah karena konstruksinya bisa dibangun dengan bahan yang tersedia disekitar petani dan tidak asing bagi mereka misalnya bambu, pelampung dan jaring. Metoda budidayanya juga sangat sederhana sehingga dapat diaplikasikan oleh petani. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ikan berupa ikan rucah masyarakat tidak mengalami kesulitan karena terdapat banyak bagan apung dan tancap yang dapt mensuplai kebutuhan ikan rucah setiap hari. Komoditas lain yang bias dibudiayakan dalam KJA ini adalah lobster. Lobster juga merupakan komoditas yang penting karena harganya juga sangat baik, bias mencapai Rp. 160.000,- – Rp. 180.000.-. Lobster merupakan salah satu marga dari Crustacea laut yang mempunyai potensi ekonomis penting. Budidaya udang karang di Indonesia bulum banyak diusahakan, bahkan hanya terbatas pada usaha penangkapan. Pada umumnya udang karang diperdagangkan baik untuk kebutuhan konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor. Di Indonesia dikenal adanya enam jenis udang karang dari marga Panulirus yaitu: P. homarus, P. Longipes, P. ornatus, P. peniculatus, P. penicillatus, P. polyphyagus dan P. versicolor (Moosa dan Aswandy, 1984). Ke enam jenis udang karang ini mempunyai sebaran yang berbeda dan beberapa diantaranya hidup pada habitat yang berbeda pula. Pengkajian udang karang yang dilakukan oleh BPTP NTB bermula dari ketidaksengajaan pada saat berlangsungnya pengkajian pemeliharaan kerapu. Waktu pengamatan dan pembersihan jaring banyak ditemui benih udang karang menempel pada jaring dan pelampung, bahkan ditemui masuk ke dalam jaring (KJA) dan tumbuh seperti ikan lainnya.
213
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Mengingat lamanya masa pemeliharaan ikan kerapu dalam KJA yaitu sekitar 17 bulan untuk satu siklus pemeliharaan sehingga petani masih mempunyai banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain seperti budidaya rumput laut. Budiaya rumput laut yang sudah lama dikerjakan oleh petani perlu dikembangkan lagi mengingat metoda budidayanya sangat mudah. Berdasarkan hasil kajian dari BPTP NTB metoda budidaya yang dapat digunakan untuk budidaya rumput laut di Desa Batunampar adalah metoda rakit dengan ukuran rakit 10 x 10 m. Penangkapan ikan yang merupakan sumber utama mata pencaharian masyarakat disana diharapkan dapat dapat terus dilaksanakan dengan tujuan untuk menunjang budidaya ikan. Ikan rucah hasil tangkapan nelayan dapat digunakan sebagai pakan untuk ikan yang dibudidayakan. Demikian juga ikan hasil tangkapan dari bagan tancap maupun bagan apung dapat digunakan sebagai pemasok pakan alami untuk karamba. Kebutuhan benih ikan di karamba biasanya juga dapat dipenuhi dari bagan tancap/apung. Ikanikan kecil yang tertangkap biasanya terdapat juga jenis ikan karang seperti kerapu, kakap, beronang dll. Ikan-ikan ini kemudian ditampung untuk kemudian pada pagi hari dipindahkan ke KJA untuk dibudidayakan. Untuk mengantisipasi ketergantungan benih alam maka kelestarian ekosistem di daerah habitat benih ikan-ikan karang perlu di jaga. Hal ini dapat dilakukan dengan melaksanakan kegiatan penyuluhan kepada masyarakat tentang arti penting kelestarian sumberdaya alam dalam mendukung proses budidaya ikan yang mereka lakukan. Termasuk juga kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan dari penangkapan ikan yang tidak bijaksana misalnya dengan menggunakan bahan-bahan kimia dan bahan peledak. Penggunaan bahan-bahan kimia dan bahan peledak akan mengakibatkan kerusakan terumbu karang yang merupakan habitat alami bagi ikan-ikan ekonomis penting seperti kerapu, kakap, lobster dll. Aspek pemasaran untuk ikan kerapu tidak menjadi masalah dengan datangnya PT. MINAUT yang bergerak dalam pembelian ikan kerapu bebek dari para petani. Saat ini kebutuhan ikan kerapu bebek hanya dapat dipenuhi dari tangkapan dari alam seperti dari bagan tancap dan bagan apung nelayan. Tingginya permintaan kerapu dari PT. MINAUT diharapkan dapat dipenuhi oleh budidaya ikan kerapu bebek dalam KJA oleh petani. Dalam jangka panjang perusahaan ini akan bergerak pula dalam bidang pembenihan dan akan bermitra dengan petani dengan cara mensuplai kebutuhan benih dan akan menampung dan memasarkan hasil panennya. Pembangunan hatchery mutlak diperlukan untuk mengantisipasi lonjakan permintaan benih seiring dengan perkembangan budidaya ikan kerapu dalam KJA karena benih hatchery saat ini masih didatangkan dari Gondol Bali yaitu jenis kerapu bebek.
PENUTUP Potensi sumberdaya alam Desa Batunampar untuk pengembangan budidaya laut perlu sekali diimplemntasikan dengan pengembangan Desa Batunampar berbasis budidaya laut. Budidaya laut yang dapat dikembangkan antara lain budidaya ikan kerapu dalam KJA, budidaya lobster dalam KJA dan budidaya rumput laut. Suplai pakan ikan rucah untuk budidaya tersebut dapat dipenuhi dari hasil tangkapan bagan tancap dan bagan apung yang dilakukan nelayan setempat. Ketergantungan benih alam untuk budidaya perlu diimbangi dengan upaya menjaga kelestarian ekosistem sebagai habitat alami ikanikan tersebut. Usaha hatchery benih perlu dilakukan untuk mengantisipasi permintaan benih yang melonjak. Untuk pemasaran dan kebutuhan benih perlu adanya pola kemitraan dengan perusahaan yang bergerak dalam ekspor ikan kerapu misalnya PT. MINAUT yang saat ini sudah bergerak di desa Batunampar dan akan membangun pula hatchey untuk ikan kerapu bebek.
214
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DAFTAR PUSTAKA Ahmad, T., A. Mustafa dan A. Hanafi. 1997. Konsep Pengembangan Desa Pantai Mendukung Keberlanjutan Produksi Perikanan Pesisir. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 91 – 106p. Ismail, W dan E. Pratiwi. 1997. Sistem Usaha Tani Berbasis Budidaya Laut untuk Pengembangan Desa Pantai. Warta Penelitian Perikanan. Vol. III No. 4. 2 – 6p. Ismail, W, S.E. Wardoyo, B. Priono, P.T. Imanto. 1998. Penelitian Pasok Benih Alam Kerapu (Epinephelus spp) melalui Pemeliharaan Induk pada Keramba Jaring Apung Sebagai Reservat Buatan. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, vol IV no. 1. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. 96 – 108p. Nazam. M., Prisdiminggo. A. Surahman dan Sudjudi. 2000. Laporan Hasil Pengkajian Uji Adaptasi Pemeliharaan Kerapu Bebek dalam KJA di Teluk Ekas. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat. Prisdiminggo, M. Nazam, A. S. Wahid, S. Sisca dan Sudjudi. 1998. Uji Adaptasi Waktu Tanam terhadap Produktivitas Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di teluk Ekas dusun Batunampar, Lombok Timur. Prosiding Seminar Penyuluh, Peneliti dan Petugas Terkait Propinsi Nusa Tenggara Barat. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Mataram, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Prisdiminggo, Mashur, M. Nazam, L. Wirajaswadi. 2002. Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Lobster (Panulirus sp) dalam Karamba Jaring Apung (KJA) di Teluk Ekas, Lombok Timur. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional dan Pameran Pembangunan Agribisnis Kerapu II di Jakarta tanggal 8 – 9 Oktober. Redjeki. S, A. Supriaatna, S. Diani, A. Ismail dan PT. Imanto. 1995. Prospek Budidaya Udang Karang. Makalah. Pusat Litbang Perikanan. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Sub Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Bojonegara. Serang. Slamet, B. Dan P.T. Imanto. 1998. Pengamatan Pemeliharaan Udang Karang (Panulirus humarus) di Laboratorium. Jurnal Penelitian Pantai vol 5 No.2. Badan Litbang Pertanian. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros. 52-60p. Tridjoko, B. Slamet, A. Prijono dan I. Koesharyani. 1996. Pembenihan Ikan Kerapu. Prosiding Rapat Kerja Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Serpong, 19 – 20 November. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 112 – 118p.
215
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
UPAYA PENINGKATAN PERFORMANCE PEMIJAHAN INDUK KERAPU (Epinephelus Sp) SECARA TERKONTROL Agus Priyono Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut-Gondol Po Box 140 Singaraja, Bali
ABSTRAK Ikan kerapu, Epinephelus sp termasuk dalam famili Seranidae, hidup di perairan yang berkarang. Beberapa jenis kerapu yang dibudidayakan seperti kerapu bebek, kerapu macan, kerapu lumpurdan kerapu sunu umumnya menggunakan benih alam. Namun akhir-akhir ini benih yang diinginkan baik kualitas, kuantitas maupun jenisnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Dalam proses pembenihan, diperlukan induk yang bermutu baik. Oleh karenanya induk sebagai modal dasar pembenihan harus ditingkatkan mutunya melalui pakan yang berprotein, penambahan vitamin pakannya maupun secara hormonal. Hasil yang diperoleh menunjukan bahwa induk kerapu yang diberi pakan dengan kandungan protein 40%, penambahan vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan serta implan hormon LHRH analog dapat meningkatkan keragaan pemijahan terutama kualitas telur meningkat hingga 82 %, frekuensi memijah bulanan hingga 8-10 kali dan kuantitas telur harian mencapai 1.3 juta butir. Kata kunci: Kerapu, pakan, vitamin, hormon.
ABSTRACT Epinephelus sp is the Seranidae familie, life in the coral area. In general, seed of the grouper for cultured (Cromileptes altivelis, tiger grouper, mud grouper, coral grouper etc) come from wild capture. The seed quality and quantity from wild capture was not sufficient. In the seedling process, are necessary of the best quality broodstock. The broodstock is the importance for seedling must be improving true the protein level, vitamin, or hormonal. The result showed that the broodstock of grouper with fed protein contain 40%, vitamin C with dosage 1000 mg/kg feed and implant hormone LHRH analog was increased for spawning performance i.e increased egg quality up to 82%, spawned frequency was 8-10 times and quantity ofegg until 1,3 million per day. Key Word: Epinephelus sp, feed, vitamin, hormone.
PENDAHULUAN Ikan kerapu termasuk famili Serranidae, dengan daerah penyebaran meliputi daerah tropik dan subtropik (Randall dan Ben-Tuvia, 1983). Secara umum jenis-jenis ikan kerapu termasuk dalam golongan ikan protogynous hermaprodit, yaitu perubahan kelamin dari betina dewasa akan mengalami perubahan kelamin menjadi jantan. Jenis-jenis ikan kerapu tersebut (Epinephelus sp) adalah jenis ikan yang hidupnya di karang, pada kedalaman yang bervariasi tergantung dari spesies ikannya. Di Indonesia jenis-jenis ikan kerapu banyak diburu orang karena mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi di pasar-pasar lokal dalam negeri maupun untuk eksport. Besarnya permintaan ikan terutama ikan kerapu hidup menimbulkan dampak pada turunnya jumlah tangkap, jenis, maupun ukurannya. Padahal beberapa jenis kerapu yang sudah dikembangbiakkan sampai mencapai ukuran benih atau juvenil adalah kerapu bebek, Cromileptis altivelis (Tridjoko dkk., 1997), kerapu macan, Epinephelus fuscoguttatus (Mucharie et al., 1991; Mayunar et al., 1991), kerapu batik, Epinephelus microdon (Slamet dan Tridjoko, 1999), kerapu lumpur, Epinephelus malabaricus, Epinephelus coioides (Mayunar, 1992; Prijono dkk, 2000). Hal ini menyebabkan kebutuhan induk dalam proses pembenihan sangat diperlukan. Umumnya induk-induk yang digunakan untuk pembenihan berasal dari tangkapan di alam dan belum banyak yang berusaha memproduksi induk yang berasal dari hasil pembenihan buatan (hatchery). Untuk menghindari kegagalan dalam pembenihan biasanya induk-induk kerapu didatangkan dari daerah yang cukup jauh sehingga sistim penangkapan dan transportasi menjadi perhatian yang besar. Karena kesalahan penangkapan (menggunakan sianida, dll) serta transportasi yang kurang tepat dapat menyebabkan sistim pemulihan tubuh menjadi sangat lamban bahkan menyebabkan kematian sesaat setelah ikan didomestikasi, sehingga perlu perhatian khusus Untuk menghindari kegagalan selama proses reproduksi, tentunya diperlukan induk-induk kerapu yang berkualitas baik dengan indikator ukuran, umur maupun manajemen pemeliharaannya.
216
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Dalam pemeliharaan induk kerapu faktor-faktor yang menentukan produksi telur baik kuantitas maupun kualitas, maka peran nutrisi pakan, penambahan vitamin serta pengaruh hormonal menjadi hal penting. Tujuan Menformulasikan cara meningkatkan keragaan (performance) induk kerapu hubungannya dengan perbaikan mutu induk untuk pemijahan secara terkontrol.
BAHAN DAN METODE Induk Kerapu Induk ikan diperoleh dari hasil tangkapan nelayan di laut, ditampung di karamba apung atau tambak pasang surut, kemudian diseleksi ukuran, berat dan kesehatannya. Ikan diangkut dengan menggunakan tangki fiberglas yang dilengkapi aerasi oksigen dan pengaturan suhu. Selanjutnya ikan dipelihara dalam bak beton volume 100 m3 dengan kepadatan 20-25 ekor dengan kondisi air mengalir (flowtrue sistem). Pengelolaan Air dan Aerasi Air laut yang digunakan diambil dengan menggunakan pompa yang didistribusikan melalui pipapipa PVC ke masing-masing unit bak pemeliharaan induk. Jumlah pergantian air selama pemeliharaan sedikitnya 200% per hari. Untuk suplai oksigen digunakan blower /Hiblow diatur dengan penggunakan stop kran dan slang aerasi yang dihubungkan ke masing-masing batu aerasi. Untuk mengurangi jumlah ekresi yang ditimbulkan dari induk, setiap satu atau dua minggu sekali dilakukan pembersihan dasar bak dengan cara menyipon. Sebagai triger pematangan gonad dan pemijahan bisa juga dilakukan dengan cara menurunkan sebagian volume air pemeliharaan hingga 60-80% per hari pada pagi hingga siang hari. Pengelolaan Pakan Jenis pakan yang diberikan berupa ikan tongkol kecil, tembang, lemuru sebanyak 2-3% dari total bobot ikan per hari, diberikan bergantian pagi dan sore. Sedangkan cumi-cumi diberikan menjelang pemijahan alami 10 hari sebelumnya secara ad libitum (sampai kenyang). Perlakuan pemberian pakan dengan pengaturan kandungan protein 40% (Tabel 1), lemak maupun vitamin C dosis 100 mg/kg berat ikan dicampur dengan pakan moist pelet yang dimasukkan kedalam cumi-cumi. Jumlah pakan moist pelet yang diberikan sebanyak 2% dari total bobot tubuh ikan perhari. Tabel 1. Komposisi moist pelet yang digunakan untuk meningkatkan keragaan pemijahan induk kerapu dengan kandungan protein 40%, dan vitamin C dosis 100 mg Ingredient Fish meal Squid liver meal Fish oil Starch Vitamin premix Vitamin C Mineral premix Binder Cellulose Total Crude protein Crude fat Crude sugar Crude ash DE (kcal/kg diet) C/P ratio
Diet 1 40.0 24.0 14.0 8.0 1.0 10.0 1.5 1.0 0.5 100,0 40,0 22.6 8,0 3.692,0 94,0
217
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Pengelolaan Hormon Hormon yang digunakan adalah LHRH-a kristal yang dikemas dalam bentuk pelet berukuran panjang 5 mm dan diameter 15-25 mm. Pelet hormon merupakan campuran beberapa bahan antara lain colesterol, cocobutter, alkohol dan bahan kristal hormon yang dihaluskan dan dikemas dalam bentuk pelet yang siap diimplantasikan pada induk secara intramuscular. Dosis hormon yang diberikan sebanyak 50 g/kg berat ikan, dan diimplan tiap bulan dengan frekuensi 2-3 kali. Pengamatan Pengamatan perkembangan gonad dilakukan setiap bulan dengan menggunakan kanula yang dimasukan kedalam lubang pelepasan telur. Sedangkan perkembangan sperma diamati dengan melakukan striping pada induk jantan. Pengelompokan perkembangan telur dan sperma didasarkan pada penelitian (Priyono et al., 1993). Pengamatan pemijahan dilakukan dengan mengetahui telur yang dihasilkan pada masing-masing bak pemijahan. Telur diambil sebagian untuk diamati kualitasnya meliputi daya pembuahan, penetasan, jumlah telur yang dihasilkan, serta frekuensi pemijahan bulanan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Protein Pakan Tepung ikan sebagai sumber protein pakan secara umum sering digunakan sebagai sumber protein utama, mengingat sumber protein dari ikan mudah diperoleh dan harganya relatif lebih murah dibandingkan jenis lainnya (tepung cumi, tuna dll). Hasil percobaan penggunaan pakan untuk pemijahan kerapu batik dengan sumber protein tepung cumi nampaknya lebih baik, yaitu masa produksi telur lebih lama dari kondisi biasa yang tergantung musim hujan (Nopember-April) (Giri et al., 2001). Dengan pemberian cumi segar sebanyak 50% dari jumlah pakan ikan segar yang diberikan terbukti dapat meningkatkan kualitas telur yaitu telur mengapung (dibuahi) sekitar 81% dan produksi telur mencapai 14 juta butir (Giri et al., 2001). Tabel 2 menunjukkan bahwa induk kerapu Lumpur yang diberi pelet kandungan protein 40% dengan bahan dasar protein dari tepung ikan menunjukkan kualitas telur yang baik dengan indikator daya pembuahan mencapai 90 % dan daya tetas antara 10-98%, hasilnya hampir sama pada kerapu batik yang diberi pakan dari sumber protein tepung cumi dan kerapu macan yang diberi pakan ikan segar. Hasil pengamatan pemeliharaan induk kerapu macan yang diberi pakan ikan tembang dan ikan sardin segar diketahui induk bertelur setiap bulan dengan variasi jumlah telur antara 7 juta sampai 12 juta butir dan daya tetasnya antara 55-85% (Setiadharma et al., 2001). Nampaknya kebutuhan protein pakan pada ikan kerapu yang berasal dari ikan segar maupun dari tepung ikan untuk formula pelet sangat penting untuk memperbaiki kualitas gonad induk. Sebagai ikan karnivora, nampaknya kebutuhan protein cukup tinggi untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan yang tinggi kemungkinan disebabkan oleh rendahnya ketersediaan karbohidrat sebagai sumber energi, sehingga sebagian dari protein digunakan hanya untuk memenuhi kebutuhan energi (Watanabe, 1988). Tabel 2. Pengamatan ukuran induk, jumlah telur, telur yang dibuahi dan daya tetas serta indek kehidupan larva pada beberapa induk kerapu. Parameter Berat ikan betina Berat ikan jantan Panjang total betina Panjang total jantan Jumlah telur Telur yang mengapung Telur yang tenggelam Telur yang dibuahi Daya tetas Indek kehidupan larva
Satuan (kg) (kg) (cm) (cm) (000 bt) (butir) (butir) (%) (%)
Lumpur 2,80 - 9,62 11,58 - 17,56 52,00 – 80,00 82,00 – 92,00 100,00 - 1.597,00 8,75 - 810,00 15,00 - 987,60 45,30 – 90,47 10,00 - 98,40 1,57 – 5,56
Kerapu (Epinephelus) Batik 1,10 lebih dari 2,00 35,00 - 38,00 42,00 -45,00 >14.000,00 90 5 4 1 35,00 - 55,50 -
Macan 3,50 - 8,00 lebih dari 10,00 56,00 – 81,00 lehih dari 85,00 7.300,00 -12.400,00 5.600,00 - 9.500,00 1.300,00 - 4.500,00 56,87 - 82,02 55,00 - 85,00 -
218
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Selanjutnya dikemukakan bahwa faktor lainnya adalah suhu, feeding rate, ketersediaan dan kualitas pakan alami dan tingkat kecernaan pakan (Watanabe, 1988). Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa kebutuhan protein ikan kerapu berkisar antara 47-60%. Perbedaan kebutuhan protein disebabkan oleh beberapa hal antara lain perbedaan spesies, stadia, ukuran ikan serta sumber protein yang digunakan. Namun Wilson (1985) mengemukakan bahwa tidak ada kebutuhan protein yang mutlak bagi ikan, akan tetapi ditentukan oleh pola ketersediaan asam amino yang seimbang. Oleh karenanya, jenis dan komposisi asam amino dari suatu bahan menjadi faktor penentu kualitas protein dari bahan yang bersangkutan (Kusnendar et.al., 2001).Teng et al (1978) dalam (Kusnendar et a. 2001), melaporkan bahwa pertumbuhan ikan kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) akan maksimum jika diberi pakan dengan kandungan protein 50%, namun mereka mendapatkan bahwa kadar protein pakan 40% adalah yang paling ekonomis. Selain kebutuhan protein, nampaknya lemak juga berperan sebagai sumber energi dan sumber asam lemak esensial bagi ikan. Telah dibuktikan bahwa asam lemak tidak jenuh berantai panjang (HUFA) terutama kelompok n-3 HUFA (EPA: 20-5n3 dan DHA: 22-6n3) merupakan nutrien esensial bagi larva ikan laut dalam menyediakan energi metabolisme bagi perkembangan telur dan larva. New (1987) dalam Giri et al. (2001) melaporkan bahwa kebutuhan lipid bagi ikan kerapu berkisar 14%, sementara kandungan lemak yang digunakan selama percobaan sebesar 24%. Tingginya nilai lemak mungkin masih ditolerir oleh induk, sehingga induk kerpu dapat bertelur secara spontan dalam bak pemeliharaan setiap menjelang pemijahan alami. Kandungan Vitamin C dalam Pakan Pada beberapa penelitian tentang penggunaan vitamin C untuk reproduksi ikan telah diujicoba terutama pada ikan trout (Sandnes et al., 1984). Hasilnya memperlihatkan bahwa ikan yang mendapat pakan dengan suplemen vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan dapat memproduksi telur lebih banyak dibandingkan tanpa penambahan vitamin C. Seperti halnya pada kerapu Lumpur (Epinephelus coiodes) yang diberi tambahan pakan yang mengandung vitamin C dosis yang sama memperlihatkan pertumbuhan gonad yang cepat disusul dengan pemijahan setiap bulannya menunjukkan meningkat dari sekitar 3 juta telur menjadi 7 juta pada akhir pengamatan bulan Oktober dengan frekuensi pemijahan sebanyak 10 kali (Tabel 3). Untuk spesies kerapu lainya (Epinephelus tauvina) dicoba dengan kandungan vitamin C sekitar 30 mg/kg pakan (Boonyaratpalin et al,. 1993). Hasil yang sama telah dilaporkan Giri dkk. (1999) pada percobaan menggunakan juwana ikan kerapu tikus (berat 13,5 0,9 g). Selanjutnya Phromkunthong et al. (1993) menyatakan bahwa kerapu Lumpur (E. malabaricus) yang diberi pakan tanpa penambahan vitamin C menunjukkan gejala sakit pada operculum dan sirip ekor. Tabel 3. Pengamatan jumlah telur, kualitas telur, frekuensi pemijahan pada induk ikan yang diberi tambahan vitamin mulai bulan Mei s/d Oktober 2002 No
Bulan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Mei Juni Juli Agustus Sept Okt
Code Bak A-1 A-1 A-1 A-1 A-1 A-1
Juml. Telur (000) 3.912 3.980 6.753 5.980 7.260
Pembuahan (%) 27,3-87,4 31,2-65,5 35,5-87,3 38,0-76,9 42,3-93,7
Penetasan (%)
Frekuensi pemijahan
15,5-50,5 10,5-82,5 20,5-39,7 15,9-78,0 38,0-84,5
8 kali 6 kali 6 kali 8 kali 10 kali
Jumlah Induk betina 15 ekor 15 ekor 14 ekor 14 ekor 12 ekor 12 ekor
Keterangan: A-1= volume tangki 100 ton
Hasil pengamatan terhadap derajat pembuahan tiap bulan pada induk kerapu Lumpur yang diberi tambahan vitamin C cenderung meningkat dari 27,3 menjadi 93,7 %. dan daya tetasnya meningkat mencapai 84,5% (Tabel 3). Demikian pula yang terjadi pada induk kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) yang diberi tambahan vitamin C dosis 1000 mg/kg pakan dapat bertelur dibandingkan dosis yang lebih rendah (Tony Setiadharma, komunikasi pribadi). Dilaporkan oleh Soliman et al. (1986) bahwa induk ikan nila dapat memijah lebih cepat dua minggu dibandingkan tanpa penambahan vitamin C. Penelitian Ishibasi et al. (1994) pada ikan laut Japanese parrot memperlihatkan bahwa perkembangan ovarium induk dengan penambahan vitamin C sebanyak 1000 mg/kg pakan jauh lebih cepat dibandingkan tanpa penambahan vitamin C. Beberapa peneliti melaporkan bahwa pentingnya vitamin C dalam pakan terutama untuk meningkatkan ketahanan terhadap stress karena secara alami hewan terutama ikan tidak
219
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
mampu mensintesis vitamin C di dalam tubuhnya. Sehingga kebutuhannya mutlak diperlukan sehubungan dengan sistem metabolisme enzim bagi ikan terutama pada juvenil ikan kerapu (Subyakto dkk., 2001). Aplikasi Hormon untuk Stimulasi Reproduksi Pada umumnya fungsi hormon reproduksi di dalam tubuh ikan berkembang sesaat setelah ikan dewasa. Tingkat kedewasaan ikan sangat berlainan tergantung spesies dan lingkungan hidupnya. Beberapa spesies ikan kerapu tingkat kedewasaan umumnya diketahui dari ukurannya. Misalnya ikan kerapu macan, akan mulai dewasa (betina) dengan ukuran panjang lebih dari 56 cm dan yang jantan lebih dari 85 cm (Tony Setiadharma et al., 2001). Kerapu batik mulai dewasa (betina) ukuran 35 cm dan yang jantan lebih dari 42 cm (Giri et al., 2001), sementara ikan kerapu Lumpur mulai dewasa (betina) dengan panjang 52 cm dan yang jantan lebih dari 82 cm (Priyono et al., 2001). Pada ikan kerapu bebek tingkat kedewasaan betina terjadi mulai panjang 30 cm dan jantan mulai panjang 42 cm (Tridjoko et al., 2001; Slamet et al., 1999). Berdasarkan tingkat kedewasaan tersebut ikan bisa diperlakukan pemberian hormon dengan mempertimbangkan materi hormon maupun metode pemberiannya, yaitu bisa dengan teknik injeksi maupun implantasi pelet hormon. Pada metode injeksi yang dikenal dengan metode akut hormon bertujuan untuk mempercepat proses pemijahan induk, karena pada proses hormonal akan mempercepat meningkatkan kandungan hormon dalam sistim sirkulasi darah, yang selanjutnya akan cepat menurun kadarnya ke batas basal. Sedangkan dengan metode kronik (sistim implan pelet hormon), dalam aplikasinya tidak menimbulkan peningkatan yang cepat terhadap kadar hormon dalam darah, namun terjadi secara bertahap dan berkesinambungan. Kecepatan pelepasan hormon kedalam darah diatur oleh sirkulasi darah ikan yang membawa materi hormon yang terikat oleh senyawa lainnya. Metode kronik umumnya dilakukan pada ikan yang gonadnya susah berkembang pada fase awal (Azwar dan Ruchimat, 1999) Berdasarkan kriteria di atas, maka ujicoba penggunaan hormon bentuk pellet yang dimplantasikan pada kerapu macan yang dipelihara secara terkontrol dalam tangki dengan kepadatan 5 ekor (4 betina dan 1 jantan) menunjukkan perubahan perkembangan gonad dan bahkan induk dapat memijah relatif lebih cepat dari pada tanpa hormon. Diketahui induk yang diimplan dengan pelet hormon LHRH-a dosis 50 g/kg berat ikan, gonad dapat berkembang dan diameter telur mencapai 450 m setelah 1 kali implan. Pada bulan ke tiga induk dapat memijah berturut-turut dengan frekuensi pemijahan mencapai 2-4 kali, sementara kerapu batik yang diimplan dengan dosis pelet hormon yang sama, gonad berkembang setelah 2 kali implan dan oosit berkembang menjadi 350-425 m dan dapat memijah 2-3 kali menjelang musim pemijahan. Hasil pengamatan implan hormon pada kerapu Lumpur menunjukkan perubahan yang mencolok pada pertumbuhan oosit dan sperma setelah satu kali implantasi. Oosit tumbuh dari ukuran 250 m menjadi 400 dan bahkan 500 m dan jantan stadia awal negatip menjadi positip satu maupun positip 2 (siap membuahi) setelah 2 kali implantasi (Tabel 4). Demikian pula implantasi pelet hormon pada ikan kerapu bebek yang dikombinasikan dengan pemberian pakan mengandung vitamin C dan pakan ikan rucah serta cumi-cumi memperlihatkan pemijahan tahunan yang relatif lebih lama (lebih dari 6 bulan) (Tridjoko et al ., 2001) Tabel 4. Data pemijahan induk kerapu (Epinephelus sp) yang diimplan dengan kronik pelet hormon LHRH-a dosis 50 g/kg berat ikan Kriteria Perkemb. Oosit Perkemb sperma Periode implan Frekuensi pemijahan Produksi telur harian Waktu pemijahan
Kerapu macan 300 - 450 m Positip 1 - 2 1 kali
Jenis kerapu Kerapu batik 300 - 400 m Positip 1 2 kali
Kerapu lumpur 400 - 500 m Positip 1 - 2 2 kali
2 - 4 kali/ bulan
2 - 3 kali/bulan
6 - 10 kali/bulan
350.000 - 2.200.000
50.000 - 200.000
150.000 - 1.700.000
Sebelum dan sesudah gelap bulan
Sebelum dan sesudah gelap bulan
Sebelum dan sesudah gelap bulan
Keterangan Metode kanulasi Metode striping -
-
Tabel 4. menunjukkan bahwa efektivitas pelet hormon untuk mempercepat pemijahan dapat diketahui setelah 1-2 kali implantasi. Namun berdasarkan hasil percobaan Lee et. al (1986) telah diketahui bahwa induk induk yang diberi hormon dengan teknik implan memijah setelah 48 jam penyuntikan. Berarti efektivitas pellet hormon juga tergantung dari tingkat kematangan gonad induk.
220
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Induk-induk kerapu yang berada pada tingkat perkembangan gonad awal, memungkinkan perubahan perkembangan oosit terjadi setelah 1 sampai 2 bulan masa pemberian pellet hormon, namun bagi induk yang ukuran oositnya besar yaitu lebih dari 400 m, maka pemberian hormon secara implan dapat mempercepat gonad berkembang dan bahkan dapat memijah sekitar 24-48 jam setelah implan. Hal ini hampir sama terjadi pada penggunaan pellet hormon LHRH-a pada induk ikan bandeng yang diketahui oositnya sebesar 650 m dapat memijah spontan antara 30-40 jam setelah implantasi (Prijono et al., 1990).
KESIMPULAN 1.
Induk yang digunakan dalam proses reproduksi adalah yang sudah dewasa dengan ukuran yang standart berdasarkan spesies/jenis ikan.
2.
Induk kerapu yang dipelihara secara terkontrol dapat diperbaiki keragaan (performance) pemijahannya melalui perbaikan pakan dengan kandungan protein 40%, vitamin C dosis 1000mg/kg pakan dan hormon dalam bentuk pellet dengan dosis 50 g/kg berat ikan.
3.
Keragaan pemijahan terutama kualitas telur meningkat hingga 82%, frekuensi memijah bulanan hingga 8-10 kali dan kuantitas telur harian mencapai 1,3 juta butir.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, Z.I dan T. Ruchimat. 1999. Aplikasi Hormonal untuk Reproduksi Ikan dalam Menunjang Upaya pemuliaan. Pros. Simposium V PERIPI dalam Akselerasi Pemuliaan Mewujudkan Pertanian Tangguh di Era Globalisasi. Hal: 311-321. Boonyaratpalin, M., Wannagowat, J., and Burisut, C., 1993. L-ascorbyl-2-phosphate-Mg as a Dietary Vitamin C Source For Grouper. Grouper Culture, National Institute of Coastal Aquaculture and Japan International Cooperation Agency. Pp 56-59. Giri, N.A., B. Slamet, and Tridjoko. 1999. Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Ikan Kerapu Batik, Epinephelus microdon dengan Perbaikan Mutu Pakan, pp. 179-183. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya Laut dan Pantai. Jakarta, 2 Desember 1999. Giri., N.A., T. Setiadharma, K.M. Setiawati dan Wardoyo. 2001. Pembenihan Ikan Kerapu Batik, Epinephelus microdon: Spesies Kandidat Untuk Menunjang Pengembangan Budidaya Laut. Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 157-164. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Ishibasi, Y., Kato, K., and Iked, S. 1994. Effect of Eietary Ascorbic Acid Supllementation on Gonadal Maturation in Japanese Parrotifish. Suisanzoshoku. 42 (2): 279-285. Kusnendar, E., Ing Mokoginta., Bambang Widigdo., Dedy Yaniharto., Nyoman Adiasmara Giri dan Fifi Widjaja., 2001. Penerapan Teknologi Nutrisi dan Pakan Pada Pengembangan Budidaya Ikan Kerapu Tikus (Cromileptis altivelis) Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 37-48. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Lee, C.S., C.S.Tamaru., C.D. Kelley., and J.E. Banno. 1986. Induce Spawning of Milkfish, Chanos chanos, by a Single Application of LHRH Analoque. Aquaculture 58: 87-98. Mayunar., P.T. Imanto., S. Diani dan T. Yokokawa. 1991. Pemijahan Ikan Kerapu Macan, Epinephelus fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan. Spesial Edisi. 2: 15-22. Mayunar. 1992. Pijah rangsang dan pemeliharaan larva kerapu lumpur Epinephelus tauvina Oceana. Vol XVII, 2: 6982. Muchari, A. Supriatna, R. Purba., T. Ahmad dan H, Kohno. 1991. Pemeliharaan larva kerapu macan, Epinep[helus fuscoguttatus. Bull. Pen. Perikanan. Spesial Edisi: 2: 43-52. Priyono, A., G. Sumiarsa., Azwar, Z.I. 1990. Implantasi Hormon LHRH-a dan 17 Methyltestosterone untuk Pematangan Gonad Calon Induk Bandeng (Chanos chanos Forskal). J. Penelitian Budidaya Pantai 6(1): 2023. Priyono, A., Taufik.A., dan T. Setiadharma., 1993. Pengaruh Penambahan Nutrisi Pakan Terhadap Perkembangan Gonad Ikan Bandeng. J. Penelitian. Budidaya Pantai 9(1): 51-57.
221
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Priyono, A., T. Setiadharma., T. Sutarmat. 2001. Pematangan Gonad dan Pemijahan Induk Kerapu Lumpur (E. coioides) dengan Pemberian Protein Pakan Berbeda. Laporan Teknis Balai Besar Riset Perikanan Budidaya laut Gondol, 9 hal. Promkunthong, M., M. Boonyaratpalin, and Stock.V., 1993. Effect of Variying Forms of Dietary Ascorbic Acid on the Nutrition, Histology and Ultrastructure of the Gills of Grouper. In: Grouper Gulture, National Institute of Coastal Aquaculture and Japan International Cooperation Agency, pp 60-62. Randall, J.E. and A. Ben Tuvia., 1983. A review of the Grouper (Pisces: Serranidae; Epinephelinae) of the Red Sea, with Discription of new Spesies of Cephalopholis. Bull. Mar Sci. 33 (2): 373-426. Sandnes, K., Ulgenes, Y., Braekkan,O.R., and Utne,F. 1984. The Effect Ascorbic Acid Supplementation in Broodstock Feed on Reproduction of Rainbow Trout (Onshorhyncus mykiss). Aquaculture 43: 167-177. Setiadharma, T., Nyoman Adiasmara Giri, Wardoyo dan A. Prijono., 2001). Pembenihan Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ). Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal 165-174. Jakarta 28-29 Agustus 2001. Slamet, B. dan Tridjoko. 1999. Pematangan dan Pemijahan Induk Kerapu Sunu, Plectropoma leopardus dan Kerapu Batik, Epinephelus microdon dalam Rangka Usaha Pemuliaannya. Soliman, A.K., Jauncey, K., and Robert, R.J. 1986. The Effect Dietary Ascorbic Acid Supplementation on Hatchability, Survival Rate and Fry Performance in Oreochromis mossambicus (Petter). Aquaculture 59: 197208. Subyakto, S., Ing Mokoginta, Dedi Jusadi dan Enang Harris., 2001. Pengaruh L-ascorbyl-2-phosphat (APM) Pakan Terhadap Kadar Vitamin C Hati, Asam Lemak Omega-6 dan Omega –3, Rasio Hydroksiprolin/prolin Tubuh dan Kinerja Pertumbuhan Serta Respon Stress Juvenil Ikan Kerapu Tikus (C. altivelis). Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal: 213-227. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Suwirya, K., M. Marzuqi dan N.A.Giri., 2001. Kebutuhan Nutrisi dan Pengembangan Pakan Ikan Kerapu. Pros. Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu hal 197-204. Jakarta 28-29 Agustus 2001. Tridjoko, B. Slamet dan D. Makatutu. 1977. Pematangan Induk Ikan Kerapu Bebek dengan Rangsangan Suntikan LHRH-a dan 17 alpha methyltestosterone. J. Penelitian Perikanan Indonesia, edisi khusus 1: 55-62. Tridjoko., Eri Setiadi., dan I.N.A. Giri. 2001. Peningkatan Frekuensi Pemijahan dan Mutu Telur Ikan Kerapu Bebek dengan Perbaikan Jenis Pakan, Hormon dan Lingkungan Pemeliharaan. Teknologi Budidaya Laut dan Pengembangan Sea farming di Indonesia. Hal 276-284. Watanabe, T. 1988. Fish Nutrition and Marieculture: JICA Textbook-The General Aquaculture Course. Department of Aquatic Bioscience, Tokyo Univ. of Fisheries, Japan. Wilson, R.P., 1985. Amino Acid and Protein Requirement of fish. In: Nutrition and Feeding in Fish (Cowey, C.B., et al., eds). Academic Press, New York. pp: 281-291.
222
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
APLIKASI BUDIDAYA KERAPU BEBEK, Cromileptes altivelis DI TELUK EKAS KABUPATEN LOMBOK TIMUR Titiek Aslianti, 1)Bedjo Slamet dan 1)Gegar Sapta Prasetya2) 1)
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol PO Box. 140. Singaraja 81101, Bali 2) Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Jakarta
ABSTRAK Ikan kerapu merupakan satu diantara komoditas ekspor yang banyak diusahakan di beberapa wilayah Indonesia melalui budidaya dengan sistim keramba jaring apung (KJA) seperti kerapu bebek (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus) dan kerapu lumpur (Epinephelus coioides). Berdasarkan data oceanografi, Teluk Ekas dinilai cukup potensi untuk pengembangan budidaya kerapu. Penelitian ini dilakukan melaui uji coba pembesaran benih kerapu bebek di KJA dengan berbagai ukuran dan padat penebaran yang bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan budidayanya. Hasil uji coba menunjukkan bahwa dalam waktu 4 bulan benih yang berukuran 100 gram menghasilkan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi dan.padat penebaran benih yang melebihi kepadatan optimal berdampak negatif terhadap vitalitas ikan, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan ikan terhadap serangan penyakit sehingga dapat mengakibatkan kematian masal. Hasil deteksi melalui RT-PCR menunjukkan bahwa jenis penyakit yang menyerang ikan kerapu tergolong virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Kata kunci : Kerapu bebek, pembesaran, KJA.
ABSTRACT The grouper is one of export commodity and many culturing in some of Indonesia coastal area by floating net cage system, such as polka dot grouper (Cromileptes altivelis), brown marbled grouper (Epinephelus fuscoguttatus), leopard corral trout (Plectropomus leopardus) and orange spotted grouper (Epinephelus coioides). The data base of Ekas bay oceanography showed that the Ekas bay is potencial area for grouper culture development. Therefore, it is necessary to carryout a research to know the degree of land suitability for fish culture in the floating cages using different size and densities of the fry. The result showed that the highest survival rate of the fry during 4 months reared in the floating cage is the fry with initial body weight ± 100 g, and if the density of fry overing than optimal density, it could be down vitalities and could be mass mortalities. Detection by RT-PCR showed that mass mortalities by VNN (Viral Nervous Necrosis). Key Words : Polka dot grouper, fry culture, Floating net cage .
PENDAHULUAN Peranan budidaya pantai dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan besarnya potensi pengembangannya baik sumberdaya lahan maupun jenis komoditas. Kegiatan perikanan yang memanfaatkan kawasan pantai telah memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan nasional, tidak saja dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani tetapi juga sebagai sektor penghasil devisa dan mampu menciptakan lapangan kerja baru di wilayah desa pantai. Pertambahan jumlah penduduk dan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya makanan sehat asal laut mengakibatkan jumlah permintaan jenis-jenis ikan laut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Potensi perairan laut yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya ikan-ikan bersirip diperkirakan 3 juta Ha (Sunaryanto, et al, 2001). Upaya budidaya selain bertujuan meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi ikan per kapita, juga untuk memenuhi permintaan pasar dunia serta memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia dengan cara-cara yang ramah lingkungan dalam upaya pelestariannya di alam baik terhadap ruaya hidupnya maupun terhadap kelestarian jenis-jenisnya. Ikan kerapu tersebar luas di perairan pantai baik di daerah tropis maupun sub tropis, dan termasuk jenis ikan yang hidup di perairan berkarang sehingga sering dikenal sebagai ikan karang (coral reef fish). Beberapa jenis ikan kerapu yang banyak terdapat di Indonesia seperti kerapu bebek atau tikus (Cromileptes altivelis), kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus), kerapu sunu (Plectropomus leopardus), kerapu lumpur (Epinephelus coioides), kerapu malabar (Epinephelus malabaricus), dan kerapu bintik atau batik (Epinephelus bleekeri), merupakan komoditas andalan untuk dibudidayakan
223
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
karena selain memiliki nilai jual yang tinggi juga dalam proses produksinya lebih banyak memanfaatkan sumber daya laut yang ada dan menggunakan komponen lokal cukup besar, sementara hasil dari usaha budidayanya mempunyai pangsa pasar yang luas sehingga sangat potensial untuk dikembangkan yang pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara, Sumberdaya pesisir dan laut di wilayah perairan laut NTB mempunyai potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Berdasarkan data potensi lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY) perikanan laut NTB sekitar 428.439 ton, sementara tingkat pemanfaatannya relatif masih rendah sekitar 16,0% (Samodra, 2000), sehingga perlu alternatif untuk mengoptimalkan pemanfaatannya melalui peningkatan sistem pengelolaan potensi sumberdaya kelautan dengan mengembangkan budidaya laut (mariculture). Dengan mengacu pada UU no 22 tahun 1999, tentang penataan pemanfaatan ruang budidaya dan berdasarkan data oceanografi seperti lokasi yang terlindung dari gelombang besar, kondisi perairan yang tenang, dasar perairan yang terdiri dari gugusan karang, kedalaman perairan pada saat surut berkiar 15-30 meter dan mempunyai pola sirkulasi masa air (arus) yang baik, karakteristik biota laut memadai, karakteristik data sedimen serta pola sosial ekonominya, maka Teluk Ekas merupakan lokasi yang cocok untuk pengembangan budidaya kerapu. Teluk Ekas juga kaya akan sumberdaya pakan ikan berupa ikan rucah serta potensi benih lobster yang memadai. Kerapu bebek termasuk satu diantara jenis kerapu yang paling banyak diminati konsumen baik sebagai ikan hias (pada ukuran juvenil 3-5 cm) yang dikenal dengan nama Grace Kelly atau Polka dot Grouper, maupun sebagai pasok restoran ―sea food‖ (pada ukuran konsumsi 400-800 gram) (Aslianti, 1996). Ketersediaan benih telah berhasil diproduksi secara massal di Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) di Bali dengan ukuran yang relatif seragam, jumlah yang cukup serta kualitas yang terjamin sehingga dapat diandalkan sebagai sumber pasok benih yang kontinyu tanpa dipengaruhi musim (Anonimous, 1998), bahkan HSRT telah mampu menembus pasar luar negeri. Dengan demikian sumber benih relatif berdekatan dengan lokasi pembesaran di Teluk Ekas. Demikian juga hasil budidayanya akan sangat mudah dipasarkan karena propinsi Bali merupakan pelabuhan internasional sehingga peluang ekspor ikan hidup ke pasar internasional seperti Hongkong, Singapura, Jepang, Taiwan dan Thailand akan sangat mudah (Aslianti, 1996). Salah satu kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha budidaya ikan kerapu dalam proses pembesarannya adalah tingginya tingkat kematian. Hal ini terutama disebabkan karena belum dikuasainya tehnologi pembesaran secara baku, baik ditinjau dari kondisi lingkungan perairan yang kurang mendukung maupun dari segi standar operasional (ukuran KJA, ukuran benih pada saat tebar, padat penebaran dalam pemeliharaan, pola pemberian pakan, dll). Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian tentang pembesaran kerapu di Teluk Ekas dengan mengacu pada aspek-aspek kendala budidaya, dengan tujuan untuk mengkaji lebih lanjut kelayakan sistim budidayanya sehingga dapat meningkatkan kapasitas pemeliharaan (carryng capacity) dan meningkatkan jumlah produksi yang akhirnya dapat diperoleh suatu type budidaya kerapu yang dapat diaplikasikan pada pengguna tidak saja di Teluk Ekas tetapi di seluruh wilayah perairan Indonesia.
BAHAN DAN METODE Penelitian ini diawali dengan pembuatan keramba jaring apung (KJA) dengan kerangka dari bahan kayu dan pelampung (sterofoam). KJA terdiri dari 10 petak/lubang dan setiap petak dipasang jaring berbentuk kurungan berukuran 2x2x2 meter. Ukuran mata jaring disesuaikan dengan ukuran hewan uji yaitu 0,50; 0,75 dan 1,00 inci. KJA dipasang di lokasi sesuai hasil survey tepatnya di desa Batu Nampar, Kecamatan Jero Waru, Kabupaten Lombok Timur. Benih kerapu bebek sebagai hewan uji terdiri dari 4 ukuran yang berbeda yaitu K-1: ± 5,00 gr (4-5,00 cm); K-2 : ± 8,00 gr (6-7,00cm); B-1: ± 10,00 gr (8-10 cm) dan B-2 : ± 100,00 gr (15-20,00 cm). Kelompok ukuran K-1 sebanyak 6.000 ekor yang dibagi dalam 6 petak sehingga kepadatan per petak adalah 1.000 ekor. Kelompok ukuran K-2 sebanyak 1200 ekor ditebar dalam satu petak, demikian juga untuk kelompok ukuran B-1 dan B-2 masing-masing ditebar dalam satu petak dengan kepadatan 600 dan 300 ekor. Pada saat awal penebaran dalam KJA dilakukan secara hati-hati mengingat sifat kerapu bebek sangat sensitive dan mudah stress dibanding dengan kerapu Macan ataupun kerapu Lumpur. Pakan berupa pellet yang berukuran sesuai dengan ukuran hewan uji diberikan 2-3 kali per hari sebanyak 2-3% dari bobot tubuh dan diberikan sampai kenyang/ikan tidak respon lagi terhadap pakan. Jumlah pakan yang dikonsumsi setiap hari diketahui dengan cara menimbang sisa pakan yang disediakan. Hal ini untuk mengetahui tingkat efektivitas pakan terhadap pertumbuhan ikan (nilai konversi pakan). Pengamatan pertumbuhan (panjang
224
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
dan bobot tubuh) dilakukan setiap 15-20 hari, pengamatan visual terhadap kesehatan ikan dilakukan setiap hari, dan kelangsungan hidup diamati setiap bulan. Pengamatan laboratorium dilakukan terhadap hewan uji yang menunjukkan gejala tidak sehat dengan cara mengambil bagian tubuh ikan (otak dan mata) dan disimpan sementara dalam botol sampel yang telah berisi alcohol absolut, selanjutnya dianalisa di laboratorium dengan menggunakan metode RT-PCR (Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction) terutama untuk mendeteksi jenis penyakit yang disebabkan oleh virus.
HASIL DAN BAHASAN Pada awal penebaran, ikan belum tampak respon terhadap pakan. Keadaan ini merupakan masa adaptasi ikan terhadap lingkungan yang baru setelah ikan mengalami pengangkutan selama ± 12 jam. Parameter lingkungan yang sangat berpengaruh pada masa adaptasi adalah faktor suhu, salinitas, pH dan kondisi arus saat ikan ditebar. Masa adaptasi biasanya berlangsung sampai 2-3 hari dan selanjutnya ikan sudah mulai respon terhadap pakan. Hasil pengamatan yang dilakukan setiap 15-20 hari terhadap pertumbuhan panjang dan bobot tubuh selama 4 bulan pemeliharaan secara rinci disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pertumbuhan (panjang dan bobot tubuh) benih kerapu bebek, Cromileptes altivelis yang dipelihara di KJA di Teluk Ekas Parameter
1
Penga mata n 4
2
3
5
6
4,50 ± 5,00
7,40 7,00
8,30 10,00
8,85 10,50
9,98 17,83
11,99 27,17
K-1 TL (cm) BW (gr) K-2 TL (cm) BW (gr) B-1 TL (cm) BW (gr)
6,50 ± 8,00
9,40 17,0
10,06 22,73
10,62 19,33
12,19 28,00
13,84 45,00
9,00 ± 10,00
11,20 26,00
12,36 30,00
12,92 32,66
14,58 46,00
15,67 65,00
B-2 TL (cm) BW (gr)
17,5 ± 100,0
20,30 138,00
19,84 143,00
20,72 140,0
20,96 160,00
21,62 222,50
Pada masa pemeliharaan sampai 40 hari sejak hewan uji ditebar, peningkatan pertumbuhan panjang (Gambar 1) dan bobot tubuh ikan (Gambar 2) pada semua kelompok ukuran menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik, demikian juga berdasarkan pengamatan secara visual ikan tampak sangat respon terhadap pakan yang diberikan terlihat dari gerak renang yang agresif. Ditinjau dari pertumbuhan panjang dan bobot tubuh ikan selama penelitian dapat dikatakan cukup baik. 25
K-1
K-2
B-1
B-2
Panjang Tubuh (cm)
20 15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
Pengamatan ke-
Gambar 1. Pertumbuhan panjang tubuh kerapu bebek selama 4 bulan pemeliharaan di KJA.
225
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Namun pada pengamatan bulan berikutnya baik pada ikan kelompok kecil (K) maupun kelompok besar (B) tidak menunjukkan kenaikkan pertumbuhan yang berarti. Peningkatan pertumbuhan panjang dan bobot tubuh dari semua perlakuan nampak lebih lambat bila dibandingkan dengan pertumbuhan jenis-jenis ikan kerapu lain. Hal ini disebabkan selain proses pemanfaatan pakan pellet dalam pencernaan memerlukan waktu lebih lama dibanding ikan rucah juga sifat genetis, selektif dalam memilih pakan dan kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat mempengaruhi kecepatan pertumbuhannya. Disamping itu dengan bertambahnya ukuran ikan kerapu, sifat alaminya sebagaimana hidupnya di alam semakin tampak yaitu termasuk jenis ikan yang pasif (Thobaity and James, 1996). Heemstra and Randall, (1993) mengatakan bahwa pada batas ukuran tertentu pertumbuhan kerapu bebek cenderung lambat. Dikatakan oleh Djajasewaka (1985) bahwa fungsi utama pakan adalah untuk kelangsungan hidup, apabila ada kelebihan akan dimanfaatkan untuk pertumbuhan. 250
K-1
Bobot tubuh (gr)
200
K-2
B-1
B-2
150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
Pengamatan ke-
Gambar 2. Pertumbuhan bobot tubuh kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA. Tingkat kelangsungan hidup ikan pada masa pemeliharaan sampai 5 minggu pertama setelah penebaran, menunjukkan hasil sangat baik (Gambar 3), yang berarti ikan telah dapat beradaptasi dengan lingkungan setempat. Tetapi berdasarkan pengamatan secara visual pada awal minggu ke-6 ikan tampak kurang sehat, seperti tingkah laku berenang yang tidak beraturan, posisi berenang sering tengadah, gerak renang yang pasif, warna pucat dan nafsu makan menurun. Kondisi ikan yang demikian menunjukkan gejala bahwa ikan mulai terserang penyakit dan berlangsung sampai minggu ke-8. Dari hasil deteksi melalui metode RT-PCR (Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction) diketahui bahwa ikan-ikan tersebut telah terserang virus VNN (Viral Nervous Necrosis). Terserangnya hewan uji oleh VNN diduga disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya adalah kondisi lingkungan yang tidak mendukung akibat terjadinya angin kencang pada awal bulan September (minggu ke-6) menyebabkan gelombang air cukup besar dan menimbulkan pengadukan sehingga air menjadi keruh diduga kualitas air tidak mendukung kehidupan ikan. Air yang keruh banyak mengandung partikel-partikel air laut yang dapat menyumbat insang ikan, mengganggu pernafasan dan berlanjut dengan kematian. Selain itu kondisi perairan dengan pola arus yang tidak tenang dapat mengakibatkan ikan stress sehingga tidak mempunyai nafsu makan. Hal ini berdampak negatif terhadap vitalitas tubuh ikan yang menjadi lemah. Disamping itu kepadatan ikan yang cukup tinggi sementara kedalaman jaring tidak sesuai/mencukupi (2 meter), sehingga ikan yang berada di dasar jaring apabila terkena goncangan gelombang sering terlipat dan terperangkap serta terjadi benturan diantara sesama ikan yang dapat mengakibatkan luka. Ikan yang luka dan dalam kondisi lemah akibat stress akan mudah diserang penyakit dan berlanjut dengan kematian dalam jumlah yang cukup tinggi. Ikan yang terserang VNN tidak dapat diobati karena VNN tergolong virus yang menyerang syaraf. Dengan terserangnya syaraf (otak dan mata) menyebabkan gerak renang yang tidak normal. Mengantisipasi terjadinya kemungkinan kematian total, telah dilakukan penanganan dengan pemberian antibiotik berupa OTC (Oxy Tetra Cyklin) yang dicampurkan pada pakan setiap kali pemberian pakan. Pada pengamatan minggu ke-9 keadaan ikan sudah kembali sehat yang ditunjukkan dengan respon positif terhadap pakan dan gerak renang yang normal sehingga tingkat kelangsungan hidup ikan stabil sampai minggu ke 14.
226
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
100
Kelangsungan hidup (%)
K-1
K-2
B-1
B-2
80
60
40
20
0 mg1
mg3
mg5
mg7
mg9
mg11
mg13
Waktu pemeliharaan (minggu)
Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup kerapu bebek selama pemeliharaan 4 bulan di KJA. Berdasarkan analisis data yang tertera pada Tabel 2. menunjukkan bahwa ukuran awal hewan uji sebagai benih pembesaran di KJA (K-1; K-2 dan B-1; B-2) memberikan perbedaan yang nyata (p<0.05) baik terhadap nilai laju tumbuh harian, rasio konversi pakan harian maupun terhadap rasio konversi pakan pada akhir penelitian. Tabel 2. Nilai laju pertumbuhan harian, rasio konversi pakan harian dan rasio konversi pakan pada akhir penelitian (minggu ke-14) dari masing-masing ukuran hewan uji Variabel Panjang total awal (cm) Panjang total akhir (cm) Bobot tubuh awal (gr) Bobot tubuh akhir (gr) Laju tumbuh harian (%) Rasio konversi pakan harian (%) Rasio konversi pakan akhir (%)
K-1 4,50 11,99 5,0 27,17 2,70 2,32 0,86
K-2 6,50 13,84 6,0 45,0 2,26 2,20 0,97
B-1 9,0 15,67 10,5 65,0 1,14 1,44 1,21
B-2 19,5 21,62 100 222,5 1,05 1,38 1,36
Disimak dari Tabel 2. bahwa ikan yang berukuran kecil (K-1 dan K-2) menghasilkan nilai laju tumbuh harian lebih besar dari pada ikan yang berukuran besar (B-1 dan B-2). Hal ini membuktikan bahwa ikan uji yang berukuran kecil cenderung tumbuh lebih cepat dari pada ikan yang berukuran besar. Sesuai dengan pendapat Legler (1979) dalam Sunyoto dan Muslikh (1991) bahwa semakin kecil ukuran ikan akan menghasilkan laju pertumbuhan yang semakin tinggi dan konversi pakan yang semakin rendah. Namun tingkat kelangsungan hidupnya lebih kecil dari pada ikan yang berukuran lebih besar. Dengan mengetahui rasio konversi pakan dapat diperkirakan bobot ikan hingga mencapai ukuran konsumsi sehingga dapat ditentukan waktu panen.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ikan kerapu yang berukuran 4 - 5 cm (± 5 gram) dapat digunakan sebagai benih pembesaran di KJA dengan terlebih dulu dipelihara dalam waring yang dilapisi jaring pengaman, hal ini untuk menghindari ancaman predator (ikan liar), dan secara bertahap dilakukan seleksi dan penjarangan. Namun ikan yang berukuran lebih dari 8 cm menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi. Kepadatan penebaran ikan optimal untuk ukuran jaring 2x2x2 m adalah 300-500 ekor, tetapi sebaiknya kedalaman jaring minimal 3 meter. Dengan melalui berbagai penelitian yang bersifat kajian kelayakan wilayah untuk budidaya, akan semakin meningkatkan produktivitas daerah yang pada gilirannya dapat meningkatkan devisa negara juga meningkatkan taraf hidup nelayan setempat.
227
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1998. Prospek Budidaya Ikan Kerapu Dalam KJA di Sumatra Utara. Lembar Informasi Pertanian (Liptan). No. 05/1997/1998. BPTP Gedong Johor Medan, Sumatra Utara. Aslianti, T. 1996. Pemeliharaan Larva Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis Dengan Padat Tebar Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia II(2):6-12. Edisi Khusus. Djajasewaka, H. 1985. Pakan Ikan (Makanan Ikan). Cetakan-I. Penerbit Yasaguna. Jakarta. 47 hal. Heemstra, P.C. and J.E. Randall. 1993. Groupers of The World. FAO Species Cataloque. Food and Agriculture Organization of The United Nations. 416p. Sunaryanto, Sulistyo, I. Chaidir, dan Sudjiharno. 2001. Pengembangan Teknologi Budidaya Kerapu : Permasalahan dan Kebijakan. Prosiding Lokakarya Nasional. Pengembangan Agribisnis Kerapu. Peningkatan Daya Saing Agribisnis Kerapu yang Berkelanjutan Melalui Penerapan IPTEK. Jakarta, 28-29 Agustus 2001. Hal.1-16. Sunyoto, P. dan M. Muslikh. 1991. Pembesaran Ikan Kerapu Lumpur, Epinephelus suillus di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai. 7(2):117-121. Thobaity, S., and C.M. James. 1996. Developments In Grouper Culture In Saudi Arabia. Aquaculture. Infofish International 1/96. January/February.p22-28.
DISKUSI Pertanyaan : 1. 2. 3. 4. 5.
Bagaimana metode pengukuran panjang dan berat ikan kerapu didalam KJA Kepadatan tinggi dalam budidaya ikan kerapu menyebabkan kanibal. Upaya apa yang dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit ? Jenis pelet yang dipergunakan sebagai pakan dalam budidaya ikan kerapu apa? Apakah ada perbedaan konversi pakan pada ikan ukuran kecil dan besar
Tanggapan: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Cara pengukurannya dengan metode sampling, metode ini dapat mengurangi stress pada ikan kerapu Kanibalisme merupakan sifat alami ikan kerapu Hal tersebut dapat diantisipasi dengan cara antara lain: pemberian pakan 2 kali sehari sampai tidak ada respon, dan diberikan saat matahari condong ke barat Pengwasan dini terhadap ikan yang dibudidayakan Ikan-ikan yang geraknya berkurang diambil dan diamati, kemudian dipisahkan dari lainya untuk diobati. Pelet yang digunakan adalah pelet komersial yag sudah beredar di pasaran. Ukuran kecil akan mempunyai laju tumbuh yang cepat sehingga konversi pakan lebih kecil.
228
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
FORMULASI PAKAN LARVA BANDENG (Chanos chanos) DENGAN BAHAN BAKU LOKAL Ketut Suwirya, Nyoman Adiasmara Giri dan M. Marzuqi Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol P.O. Box 140 Singaraja, Bali
ABSTRAK Perbenihan bandeng sudah berkembang cukup pesat di masyarakat, baik berupa hatcheri lengkap (HL) maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Penggunaan pakan buatan berupa pakan mikro terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva bandeng serta mengefisienkan sistem produksi benih. Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 (lima) perlakuan yaitu 3 (tiga) formulasi pakan mikro dari bahan lokal, satu dari pakan komersial, dan satu pakan alami dengan 3 ulangan, dan berlangsung sampai larva mencapai umur 25 hari. Hasil percobaan menunjukkan bahwa larva bandeng dapat diberi pakan mikro yang diformulasi dari bahan baku local, dan tumbuh dengan baik. Di samping itu larva yang diberi pakan percobaan, pakan komersial, dan pakan alami tidak berbeda nyata untuk pertumbuhan, sintasan, dan vitalitasnya.. Kata kunci: larva bandeng, bahan baku, pakan
ABSTRACT:
Microdiet formulation for rearing of milkfish larvae using local feed ingredients by Ketut Suwirya, Nyoman Adiasmara Giri, and Marzuqi
Hatchery for seed production of milkfish have been developed well. There are two types of hatchery, i.e., complete hatchery (HL) and backyard hatchery (HSRT). Survival rate and vitality of larvae improve by feeding artificial diet during the rearing period. Also by this system the efficiency of seed production could be improved. The experiment on rearing of milkfish larvae with artificial diet that formulated using local ingredients have been conducted. The result of this experiment was then compared to the larvae fed only live food or fed a commercial artificial diet. The experiment was conducted for 25 days. The result of the experiment showed that larvae of milkfish accepted microdiet and grow well. No different on growth, survival, and vitality of the larvae was found among the larvae fed prepared artificial diet, commercial artificial diet, and live food. Key word: milkfish lavae, ingredient, diet.
PENDAHULUAN Perbenihan bandeng sudah berkembang cukup pesat di masyarakat, baik berupa hatcheri lengkap (HL) maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT). Sampai saat ini terdapat sekitar 12 unit HL dan sekitar 2000 unit HSRT yang tersebar di Bali Utara. Pada pemeliharaan larva bandeng, pengelola hatcheri masih sangat tergantung dari pakan hidup berupa rotifer. Teknologi ini membutuhkan banyak investasi dalam pembangunan fasilitas dan pemeliharaan untuk memproduksi pakan alami sesuai dengan kebutuhan. Produksi pakan alami sangat dipengaruhi oleh kondisi alam, dan kekurangan nutrisi akan menyebabkan mortalitas yang tinggi dan bentuk yang tidak sempurna dari benih yang dihasilkan. Oleh karena itu pakan buatan untuk larva penting sebagai substitusi pakan alami untuk meningkatkan produksi benih yang digunakan dalam budidaya dan meningkatkan kualitas benih yang dihasilkan. Secara umum, protein yang mempunyai komposisi asam amino yang sama dengan tubuh ikan mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dalam pembuatan pakan dapat diformulasi dari beberapa sumber protein untuk mensimulasi komposisi asam amino yang sesuai asam amino tubuh ikan. Untuk menunjang kesinambungan industri pembenihan ini perlu dikembangkan pakan buatan untuk larva secara terus menerus, sehingga diperoleh jenis pakan yang cocok, relatif murah dan mudah diformulasi dari bahan-bahan yang didapat di sekitar dimana pembenihan tersebut di bangun.. Perbaikan metode pemeliharaan larva dengan penambahan pakan buatan terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva pada beberapa species ikan serta mengurangi penggunaan pakan hidup, seperti pada ikan red sea bream (Kanazawa et al., 1982), sea bass (Walford and Lam, 1991; Walford et al., 1991; Devresse et al., 1991), flounder (Kanazawa et al., 1989), dan juga milkfish (Duray and Bagarinao, 1984; Marte and Duray, 1991, Suwirya et al., 1999). Hal ini diperkirakan karena pakan buatan mempunyai nilai nutrisi yang lebih baik dibandingkan dengan pakan
229
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
alami pada musim-musim tertentu. Dari laporan terdahulu ternyata asam dokosaeksanoat (DHA) adalah lebih efektif daripada asam eikosapentanoat (EPA) sebagai asam lemak esential (Takauchi atal. (1992). Namun akhir-akhir ini harga pakan buatan berupa pakan mikro yang semuanya berasal dari impor melonjak sangat tinggi berkaitan dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Hal ini sangat memberatkan pengelola pembenihan bandeng. Penggunaan pakan buatan dengan bahan baku lokal merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan dan tingginya pakan impor. Untuk itu pada penelitian ini akan dilakukan inventarisasi ketersediaan bahan baku lokal yang berpotensi dapat dimanfaatkan untuk pembuatan pakan larva, serta pembuatan formulasi pakan yang sesuai untuk larva bandeng. Penggunaan pakan buatan berupa pakan mikro terbukti dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan vitalitas larva bandeng serta mengefisienkan sistem produksi benih. Namun demikian ketergantungan akan pakan buatan yang seluruhnya berasal dari impor dengan harga yang tinggi sangat memberatkan pengelola pembenihan bandeng. Dengan demikian penyediaan pakan lokal sebagai substitusi pakan impor merupakan salah satu alternatif yang tepat.
BAHAN DAN METODA Komponen yang paling tinggi dalam formulasi pakan mikro adalah sumber protein. Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan beberapa sumber protein seperti tepung ikan, tepung teri, dan tepung kepala udang yang semuanya dapat diproduksi secara lokal. Sebagai pakan percobaan dibuat 3 macam formula pakan dengan kombinasi sumber protein yang berbeda seperti pada Tabel 1. Pakan dibuat dalam bentuk "microbounded diet" dengan zein (protein jagung) sebagai bahan perekatnya. Pakan dikeringkan dengan "freeze dryer" dan diayak untuk mendapatkan ukuran yang sesuai. Larva bandeng dipelihara dalam bak volume 1000 liter dengan diberi rotifer sebagai pakan awal sampai siap digunakan untuk percobaan. Pada saat larva mencapai umur 10 hari, ketiga pakan percobaan dan satu pakan komersial yang berasal dari impor akan diujicobakan terhadap larva bandeng. Pakan diberikan 5 kali dan jumlahnya sesuai dengan percobaan Suwirya et al. (1999). Percobaan dirancang menggunakan rancangan acak lengkap dengan 5 perlakuan yaitu 3 formulasi pakan mikro dari bahan lokal (Tabel 1), satu dari pakan komersial, dan satu pakan alami dengan 3 ulangan, dan berlangsung sampai larva mencapai umur 25 hari Tabel 1. Formulasi pakan mikro dari bahan lokal untuk larva bandeng Bahan Tepung ikan Tepung kepela udang Tepung teri Dedak Tepung artemia Minyak ikan Vitamin mix Mineral mix Tepung beras Zien
Pakan 1 62.0 0.0 0.0 2.0 10.0 6.0 2.0 3.0 9.0 6.0
Pakan 2 44.0 20.0 0.0 0.0 10.0 6.0 2.0 3.0 9.0 6.0
Pakan 3 38.0 0.0 20.0 6.0 10.0 6.0 2.0 3.0 9.0 6.0
Data pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan vitalitas larva akan dianalisa menggunakan sidik ragam. Beda antar perlakuan menggunakan uji LSD tada taraf nyata 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proksimat dari semua pakan buatan yang digunakan dalam percobaan ini disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 terlihat bahwa protein dan lemak pakan yang formulasi dari bahan local mempunyai kandungan yang sama dengan pakan komersial.
230
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 2 Hasil analisis pakan buatan yang digunakan dalam percobaan Parameters Protein Lemak/lipid Abu/ash Serat/fibre Kadar air/moisture
Pakan 1 39.2 9.53 8.23 1.70 3.92
Kandungan dalam pakan (%) Pakan 2 Pakan 3 40.55 40.70 9.47 9.61 8.13 7.96 2.15 1.58 3.84 4.38
Pakan import 40.49 9.52 7.97 2.19 3.82
Hasil pengamatan terhadap sintasan, pertumbuhan, dan vitalitas seperti pada Tabel 3. Sintasan larva yang diberi pakan percobaan-1, 2, 3, pakan komesial, dan pakan alami berturut-turut adalah 28.35 %, 30.82 %, 27.80 %, 25.93%, dan 24.54 %. Hasil percobaan ini, jenis pakan yang diberikan dalam pemeliharaan larva tampaknya tidak berpengaruh terhadap sintasan larva (P<0.05). Pakan mikro dengan bahan baku lokal dapat digunakan dalam pemeliharaan larva bandeng. Tabel 3. Sintasan (%), pertumbuhan (%), dan vitalitas (%) larva bandeng pada akhir percobaan Perlakuan Pakan percobaan-1 Pakan Percobaan-2 Pakan Percobaan-3 Pakan Komersial Pakan alami
Sintasan (%) 28.35a 30.82a 27.80 a 25.93 a 24.54 a
Pertumbuhan (%) 240.8 a 251.0 a 245.1 a 270.3 a 280.3 a
Vitalitas (%) 30.5 a 28.0 a 35.9 a 37.9 a 36.1 a
Pertumbuhan larva bandeng yang diberi pakan buatan yaitu pakan percobaan 1,2,3 dan pakan komersial tidak berbeda nyata dengan pakan alami (P<0.05). Hasil pengamatan pertumbuhan larva bandeng yang diberi pakan percobaan-1, 2, 3, pakan komersial, dan pakan alami berturut-turut adalah 240.8 %, 251.0%, 245.1%, 270,3%, dan 280.3% (Tabel 3). Hal ini juga mendukung bahwa pakan dengan formulasi dari bahan baku lokal dapat diharapkan membantu pada saat kekurangan pakan alami dan pakan mikro dapat disimpan dan digunakan pada saat yang diperlukan. Pakan mikro dapat diformulasi sesuai dengan kebutuhan larva ikan yang akan diberikan. Disamping kedua peubah diatas, vitalitas larva juga memegang peranan penting. Vitalitas larva menunjukkan kualitas dari larva. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa larva yang dipelihara dengan pakan mikro dengan formulasi dari bahan baku lokal memberikan vitalitas yang cukup baik. Larva yang diberi pakan percobaan-1,2,3, pakan komersial, dan pakan alami berturut-turut adalah 30.5%, 28.0%, 35.9%, 37.9%, dan 36.1%. Hal ini sesuai dengan hasil percobaan pada ikan red sea bream (Kanazawa et al., 1982), sea bass (Walford and Lam, 1991; Walford et al., 1991; Devresse et al., 1991), flounder (Kanazawa et al., 1989), dan juga milkfish (Duray and Bagarinao, 1984; Marte and Duray, 1991, Suwirya et al., 1999). Secara umum, protein yang mempunyai komposisi asam amino yang sama dengan tubuh ikan mempunyai nilai nutrisi yang tinggi. Dalam pembuatan pakan dapat diformulasi dari bebrapa sumber protein untuk mensimulasi komposisi asam amino yang sesuai asam amino tubuh ikan. Untuk larva ikan bandeng, pakan mikro dapat diformulasi dari satu macam sumber protein bahan baku lokal yaitu tepung ikan. Hal ini dapat dilihat dari hasil percobaan yaitu larva yang diberi pakan percobaan 1 (Tabel 1) memberikan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang sama dengan pakan percobaan 2 dan pakan percobaan 3. Percobaan ini menunjukkan bahwa pakan larva bandeng dapat dengan mudah diformulasi dari sediaan bahan baku yang tersedia di suatu daerah. Dalam pemilihan bahan pakan lokal yang harus mendapat perhatian adalah kualitas bahan. Kualitas bahan dapat dilihat secara fisik dan kimiawi. Sifat fisik bahan terutama tepung ikan yang baik antara lain warna tepung ikan cerah, bau gurih atau tidak tengik, partikel bahan sesuai dengan ukuran yang diharapkan, dan bahan tidak bercampur dengan bahan-bahan lain seperti kerikil, serpihan kayu dan lain-lainnya. Kualitas bahan terutama tepung ikan dapat juga dilihat dari sifat kimia bahan antara lain kandungan protein, lemak, serat kasar dan abu dari bahan. Tepung ikan yang baik kandungan proteinya berkisar 60-70%, lemak 6-9%, serat 1-3%, dan abu 4-6%. Kandungan protein tepung ikan yang rendah kemungkinan diproses dari bahan sisa seperti kepala ikan sisa dari pengalengan dan menyebabkan kandungan abu dari tepung ikan akan meningkat atau dari ikan yang sudah busuk. Lemak tepung ikan
231
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
sebaiknya rendah karena lemak ini mudah teroksidasi yang akan menyebabkan tepung ikan akan menjadi tengik, disamping itu lemak yang rendah memudahkan dalam membuat partikel kecil. Partikel pakan mikro yang digunakan dalam percobaan ini adalah ukuran lebih kecil dari 125 mikron untuk larva umur 10 – 15 hari, 125-250 mikron untuk larva umur 14-18 hari, dan 250-350 mikron untuk larva 17- 22 hari. Oleh karena itu partikel pakan mikro cukup kecil maka ukuran partikel bahan juga harus lebih kecil dari 100 mikron.
KESIMPULAN Larva bandeng umur 10 hari dapat diberi pakan mikro dan pakan alami (rotifer) dapat disubstitusi dengan pakan mikro. Pakan mikro dapat diformulasi dari bahan baku lokal, namun kualitas bahan tetap menjadi perhatian. DAFTAR PUSTAKA Devresse, B., P. Candreva, Ph. Leger, and P. Sorgeloos. 1991. A new artificial diet for the early weaning of seabass (Dicentrarchus labrax) larvae, pp.178-182. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium. Kanazawa, A., S. Koshio, and S, Teshima. 1989. Growth and survival of larval red sea bream Pagrus major and Japanese flounder Faralichthys olivaceus fed mirobound diets. J. World Aquacult. Soc., 20 :31-37. Kanazawa, A., S. Teshima, S. Inamori, S. Sumida, and T, Iwashita. 1982. Rearing of larval red sea bream and ayu with artificial diets. Memoirs of Faculty of Fisheries, Kagoshima University, 31 : 185-192. Marte, C.L. and M.N. Duray. 1991. Microbound larval feed as supplement to live food for milkfish larva, pp.175177. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium. Suwirya, K., Marzuqi, dan Hersapto, dan Agus Prijono. 1999. Sintasan, pertumbuhan, dan vitalitas larva ikan bandeng (Chanos chanos) yang diberi pakan mikro. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(2): 23-27. Takeuchi, T., T. Arakawa, S. Satoh and T. Watanabe. 1992. Supplemental effect of phospholipid and requirement of eicosapentaenoic acid and docosahexaenoic acid of juvenile striped jack. Noppon Suisan Gakkaishi. 58:707-713. Walford, J. and T.J. Lam. 1991. Growth and survival of seabass (Lates calcarifer) larvae fed microencapsulated diets alone or together with live food, pp.184-187. Larvi '91. European Aquacult. Soc., Special Publ. No. 15. Gent, Belgium. Walford, J., T.M. Lim, and T.J. Lam. 1991. Replacing live foods with microencapsulated diets in the rearing of seabass (Lates calcarifer) larvae: do the larvae ingest and digest protein-membrane microcapsules. Aquaculture, 92 : 225-235.
232
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
INFORMASI NUTRISI IKAN UNTUK MENUNJANG PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT 1)
Ketut Suwirya, 1)Marzuqi, dan 1)Nyoman Adiasmara Giri 1)
Balai Basar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol P. O. Box 140 Singaraja
ABSTRAK Dewasa ini budidaya laut terutama budidaya kerapu sudah berkembang di Indonesia antara lain: di Batam, Lampung, Riau, Kepulauan Seribu, kerena kesediaan benih yang dihasilkan oleh panti benih sudah memadai.. Akhirakhir ini aspek nutrisi budidaya kerapu mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan juga usahawan. Untuk memenuhi semua nutrien yang dibutuhkan ikan maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Sementara itu pada stadia larva nutrien yang esensial adalah n-3 HUFA. Budidaya ikan pada keramba jaring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama. Kendala memanfaatkan ikan rucah sebagai sumber pakan yaitu musim, distribusi, dan kualitas dari ikan rucah. Untuk memecahkan kendala tersebut pakan buatan dapat dikembangkan berdasarkan informasi dari nutrisi ikan. Kata kunci: Nutrisi ikan, Budidaya laut.
ABSTRACT At present, mariculture in Indonesia has been developed such as Batam, Lampung, Riau, Seribu Inlands, and so on specially grouper culture, because fry source is produced by hatchery. In early time, fish nutrition aspect is concerned by experts and businessmen. The feed have to be formulated to get a good feed for fish that is cultured. Essential nutrient for larvae stage is n-3 HUFA. Until now, fish culture in the floating cage in the sea still use trash fish for the mean feed. To used trash fish have some problems such as season, distribution, and quality of trash fish. To solve this problem can be developed artificial feed base on fish nutrition information. Key words: fish nutrition, mariculture.
PENDAHULUAN Budidaya laut dewasa ini berkembang dengan pesat di Indonesia seperti di Batam, Lampung, Riau, Kepulauan Seribu, dan sebagainya; terutama budidaya kerapu kerena kesediaan benih yang dihasilkan oleh panti benih sudah memadai. Sampai saat ini budidaya ikan-ikan laut masih mengandalkan ikan rucah sebagai pakan utama. Namun ikan rucah tersebut merupakan sumber protein hewani bagi sebagian masyarakat Indonesia, di samping ketersediaannya sangat bergantung pada musim. Penanganan ikan rucah perlu mendapat perhatian untuk menjaga kualitas pakan yang diberikan pada ikan yang dipelihara. Pakan merupakan salah satu input penting dalam budidaya ikan, termasuk dalam kegiatan pembenihannya. Oleh karenanya, akhir-akhir ini aspek nutrisi mulai memperoleh banyak perhatian para pakar dan usahawan. Agar pakan yang diberikan pada ikan dapat memenuhi semua nutrien yang dibutuhkan ikan, maka harus dibuat formula pakan yang tepat. Untuk itu diperlukan data mengenai kebutuhan nutrien pakan ikan dan juga pengetahuan mengenai kemampuan ikan untuk mengasimilasi bahan pakan. Penelitian rinci mengenai kebutuhan nutrien untuk ikan dimulai sejak sekitar 40 tahun yang lalu, sedangkan penelitian tersebut pada ternak telah dimulai sekitar 80 tahun lalu (Kompiang dan Ilyas, 1988). Dengan demikian masih sangat banyak aspek nutrisi dan pakan yang belum diketahui. Data yang ada menunjukkan bahwa penelitian aspek nutrisi dan kebutuhan nutrien ikan kebanyakan memgenai ikan salmon, catfish, carp, tilapia, dan sea bream. Sementara itu penelitian aspek nutrisi untuk ikan-ikan lainnya, khususnya ikan karnivor seperti kerapu relatif terbatas.
233
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PAKAN UNTUK LARVA IKAN Keberhasilan dalam memijahkan beberapa species ikan sering kali tidak segera diikuti oleh keberhasilan dalam pengembangan teknologi pemeliharaan larvanya sampai menghasilkan benih. Secara umum larva ikan-ikan laut berukuran sangat kecil dengan ukuran mulut yang kecil pula, termasuk ikan kerapu (Kohno et al., 1997). Secara fisik diperlukan pakan berukuran kecil, seperti rotifer tipe-SS. Keadaan ini menyulitkan dalam manajemen pakan. Rotifer dewasa tipe-S dan tipe-L masih terlalu besar untuk stadia awal larva dari kebanyakan species ikan kerapu (Lim, 1993). Sementara itu pada stadia awal dari larva dibutuhkan nutrien pakan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan energinya dan untuk mendapatkan nutrien esensial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ikan laut membutuhkan asam lemak n-3 rantai panjang (n-3 HUFA) sebagai asam lemak esensialnya (Izquierdo et al., 1989; Webster and Lovell, 1990). Kebanyakan larva ikan laut hanya mempunyai kemampuan yang sangat terbatas untuk mensintesa n-3 HUFA dari asam lemak n-3 rantai karbon yang lebih pendek (Kanazawa et al., 1979; Ostrowski and Divakaran, 1990). Henderson and Sargent (1985) menemukan bahwa kebutuhan n-3 HUFA meningkat pada stadia awal perkembangan larva karena banyak yang digunakan pada pembentukan membran. Izquierdo et al. (1989) melaporkan bahwa dibutuhkan 3,00% n-3 HUFA (berat kering) pada nauplii Artemia atau 3,48% n-3 HUFA (berat kering) pada rotifer untuk memenuhi kebutuhan asam lemak n-3 HUFA dari larva red sea bream. Pertumbuhan larva gilthead sea bream (Sparus aurata) yang diberi pakan rotifer yang mengandung 0,40% n-3 HUFA (berat kering) meningkat 250,00% dibandingkan dengan yang hanya diberi pakan dengan kandungan n-3 HUFA 0,08% sampai hari ke-22. Kekurangan n-3 HUFA mengakibatkan tingkat kematian larva yang tinggi dan pertumbuhan yang lambat, serta tidak sempurnanya pembentukan dan fungsi gelembung renang pada larva ikan (Sorgeloos et al., 1988; Webster and Lovell, 1990; Koven et al., 1990). Salhi et al. (1994) melaporkan kandungan n-3 HUFA 2,05 - 2,16% dalam pakan mikro menghasilkan kelangsungan hidup gilthead sea brean (Sparus aurata) terbaik dibandingkan dengan yang diberikan pakan mengandung 0,82 - 0,74% n-3 HUFA, dan kebutuhan n-3 HUFA tidak menurun dengan menurunnya kandungan total lemak pakan. Tabel 1. Komposisi asam lemak beberapa species phytoplankton Asam lemak 16 : 0 18 : 1 18 : 2n-6 18 : 3n-3 20 : 5n-3 22 : 6n-3
Chlorella 1) (Malaysia) 9,3 8,8 13,0 9,2 0,10 -
Chlorella 2) vulgaris 20,2 8,6 4,1 26,6 -
Chlorella 2) minutissima 20,6 2,5 3,6 0,1 27,3
Nannochloropsis 3) oculata 16,54 2,04 3,32 30,51 -
1) % total lipid (Teshima et al., 1991) 2) % total lipid (Watanabe et al., 1983b) 3). % total lipid (Okauchi et al., 1990)
Kenyataan pentingnya peranan asam lemak bagi larva ikan laut tidak selalu ditunjang oleh tersedianya pakan hidup dengan kandungan asam lemak esensial yang cukup. Komposisi asam lemak pakan hidup yang umum digunakan pada pembenihan ikan di sajikan pada Tabel 1, 2, dan 3. Pada Tabel 2 terlihat adanya variasi kandungan asam lemak Brachionus dengan metode kultur yang berbeda. Kandungan EPA rotifer yang dikultur dengan Chlorella minutissima dan Nannochloropsis jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang dikultur pada Chlorella regularis. Demikian juga terdapat variasi kandungan asam lemak nauplii Artamia dan Acartia clausi dari beberapa contoh yang dianalisa (Tabel 3). Untuk menyesuaikan kandungan asam lemak pakan hidup sehingga dapat memenuhi kebutuhan larva ikan telah dikembangkan metode pengkayaan, baik dengan menggunakan plankton, pakan buatan, atau langsung dengan emulsi minyak yang mempunyai kandungan asam lemak esensial tinggi (Teshima et al., 1981; Baclay and Zeller, 1996). Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa larva ikan laut adalah diatas 3,0% dan nampak untuk ikan red seabream dan yellowtail peran DHA lebih besar daripada EPA.
234
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 2. Komposisi asam lemak rotifer (Brachionus plicatilis) yang dikultur dengan pakan yang berbeda (% area) Asam lemak 16 : 0 18 : 1n-9 18 : 2n-6 18 : 3n-3 20 : 5n-3 22 : 6n-3
Chlorella regularis (air tawar) 9,3 22,4 18,5 3,7 1,9 -
Chlorella minutissima (laut) 16,8 10,1 3,2 0,4 24,1 -
Yeast
Nannochloropsis
6,7 31,2 5,9 0,6 -
11,1 3,5 2,5 0,1 37,8 -
Sumber: Watanabe et al. (1983b) Tabel 3. Komposisi asam lemak nauplii Artemia salina dan Acartia clausi Asam lemak 16 : 0 18 : 1 18 : 2n-6 18 : 3n-3 20 : 5n-3 22 : 6n-3 n-3 HUFA
I 9,2 19,1 8,3 5,4 6,8 0,2 7,3
Nauplii Artemia II 11,0 26,7 8,9 27,6 0,3 1,2
1)
III 12,2 34,9 6,6 17,2 3,5 3,8
I 16,9 4,1 1,1 1,1 20,1 28,6 49,8
Acartia clausi II 16,5 3,6 0,6 0,7 29,2 27,2 58,0
2)
III 18,3 5,4 1,1 1,0 16,6 12,3 30,1
1) % total lipid (Watanabe et al., 1978) 2) % area (Watanabe et al.,1983b) Table 4. Kebutuhan asam lemak n-3 HUFA beberapa species larva ikan laut Species ikan dan jenis pakan Red seabream (Pagrus major) Rotifer Artemia Yellowtail (Seriola quinqueradiata) Artemia Striped knifejaw (Oplegnathus fasciatus) Rotifer Artemia Flounder (Paralichthys olivaceus) Artemia
Kebutuhan (berat kering)
Peranannya
n-3 HUFA 3,5% n-3 HUFA 3,0%
DHA > EPA DHA > EPA
n-3 HUFA > 3,9%
DHA > EPA
n-3 HUFA > 3,0% n-3 HUFA > 3,0%
n-3 HUFA > 3,5%
Sumber: Watanabe (1993)
PAKAN UNTUK PEMBESARAN Ikan Rucah Budidaya ikan pada keramba jarring apung (KJA) di laut sampai saat ini masih menggunakan ikan rucah sebagai pakan utama. Ikan rucah termasuk bahan pakan yang cepat kualitasnya menurun terutama pada iklim tropis seperti Indonesia. Oleh karena itu, ikan rucah memerlukan penanganan yang memadai agar kualitasnya tetap baik untuk menghambat penurunan mutu ikan rucah dapat dilakukan dengan penurunan suhu atau pembekuan. Ikan mengandung lemak/asam lemak ikatan rangkap yang cukup tinggi sehingga mudah teroksidasi dan mudah tengik. Lemak dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi ikan dan sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan-ikan laut adalah kelompok n-3 HUFA. Asam lemak tersebut sangat mudah teroksidasi. Penurunan kualitas lemak ikan rucah dapat dihambat dengan penyimpanan pada suhu rendah, hal ini dapat dilihat dari hasil analisis yang dilakukan di Balai Besar Perikanan Budidaya Laut Gondol (Tabel 5). Tabel 5 menunjukkan bahwa kadar n-3 HUFA lemak ikan rucah lebih cepat menurun pada suhu ruangan (29 – 32oC) dibandingkan dengan pada kondisi dingin.
235
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Tabel 5 Penurunan n-3 HUFA pada lemak ikan rucah pada suhu berbeda
Suhu kamar (29-30 C)
0 0,0%
Lama penyimpanan (jam) 8 30,0%
24 64,0%
Ikan di es (3 – 0oC)
0,0%
10,0%
20,0%
Kondisi o
Jenis-jenis vitamin yang terdapat dalam ikan rucah juga mengalami penurunan sejalan dengan berjalannya proses pembusukan yang terjadi pada ikan rucah. Vitamin merupakan bahan-bahan mikro yang sangat dibutuhkan oleh tubuh. Jenis vitamin yang larut dalam air sangat mudah rusak kalau disimpan dalam kondisi basah atau kadar air yang cukup tinggi. Namun penurunan kadar vitamin dalam ikan rucah tersebut juga dapat dihambat dengan menurunkan suhu penyimpanan ikan rucah. Hal ini dapat dilihat dari analisa vitamin C yang dilakukan pada ikan rucah yang disimpan pada suhu kamar dan diberi es (Tabel 6). Tabel 6. Penurunan Vitamin C pada ikan rucah yang disimpan pada suhu berbeda
Suhu kamar (29-30 C)
0 0,0%
Lama penyimpanan (jam) 12 30,0%
24 71,0%
Ikan di es (3-0oC)
0,0%
9,0%
15,7%
Kondisi o
Vitamin ini dibutuhkan tubuh untuk meningkatkan metabolisme, daya tahan terhadap perubahan lingkungan dan penyakit. Pada ikan kerapu bebek kekurangan vitamin C akan menyebabkan tulang belakang bengkok, insang terbuka, menurunnya kandungan hemoglobin (Hb) darah, vitalitas dan daya tahan tubuh ikan menurun. Hal yang sama dijumpai pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B. Fenomena yang sangat menonjol pada ikan kerapu bebek yang kekurangan vitamin B adalah selera makan sangat menurun disamping itu tubuh ikan lemah dan bergetar. Oleh karena itu penggunaan ikan rucah dalam budidaya perlu ditambah dengan vitamin mix agar ikan yang dibudidayakan tidak menunjukkan gejala-gejala kekurangan vitamin. Di samping itu, perlu dicoba dan dikembangkan pakan buatan sebagai alternatif untuk menjaga perkembangan dan kesinambungan usaha budidaya laut. Penanganan dan Penyimpanan Ikan Rucah Untuk menjaga kualitas ikan rucah yang digunakan sebagai pakan dalam budidaya laut maka ikan rucah perlu mendapatkan penanganan yang baik. Ikan rucah yang baru ditangkap secepat mungkin diberi es, dan tidak terlalu lama di dalam palkah kapal. Pemberian es pada ikan rucah tersebut hanyalah memperlambat proses penurunan mutu. Begitu ikan rucah sampai di darat sebaiknya langsung dicuci dan disimpan dalam freezer. Ketersediaan ikan rucah sangat dipengaruhi oleh musim, sehingga perlu tempat penyimpanan yang memadai agar pemberian pakan tidak terputus. Pakan Buatan Ikan kerapu adalah jenis ikan karnivora oleh karena itu jenis ikan ini memerlukan pakan dengan kandungan protein yang cukup tinggi. Beberapa jenis ikan kerapu yang telah diketahui kebutuhan proteinnya (Tabel 7). Kebutuahan protein ikan kerapu berkisar antara 47,8% sampai 60,0%. Nutrien yang tidak kalah penting dalam pakan adalah lemak. Lemak pakan dapat sebagai sumber energi dan sebagai sumber asam lemak esensial. Asam lemak esensial bagi ikan kerapu adalah nHUFA. Kebutuhan lemak untuk ikan kerapu bebek mencapai 9,0-12,0% (Giri, 1999), dan asam lemak essensial (n-3 HUFA) adalah 1,4% (Suwirya, 2001).
236
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Table 7. Kebutuhan protein pakan beberapa jenis ikan kerapu Jenis ikan kerapu Kerapu Lumpur (E. salmoides) Lumpur mata kucing (E. Striatus) Lumpur malabar (E. malabaricus) Lumpur sirip panjang (E. aerolatus) Kerapu akaara (E. akaara)
Kadar protein (%) 50 >55 47,8 60 49,5 54,2
Kerapu bebek (C. altivelis)
Sumber Teng, et al. (1978) Ellis, et al. (1996) Chen & Tsai (1994) Chu, et al. (1996) Chen, et al. (1995) Giri, et al. (1999)
Vitamin dibutuhkan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh, dan reproduksi. Vitamin dibagi menjadi dua yaitu yang larut dalam lemak (vitamin A,D, E, dan K) dan vitamin yang larut dalam air seperti riboflavin, vitamin C, thiamin, dan lain-lain. Salah satu vitamin yang cukup penting diperhatikan adalah vitamin C. Kekekurangan vitain C menampakkan gejala bengkok tulang, insang terbuka, rentan terhadap penyakit, dan aktivitas ikan menurun. Kebutuhan vitamin C dalam pakan untuk ikan kerapu bebek adalah 3,0 mg/100 gram pakan (Giri et al., 1999). Berdasarkan informasi di atas Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah mengembangkan pakan kerapu. Pakan tersebut telah diujicobakan pada ikan juvenil dan pembesaran ikan kerapu bebek. Hasil uji coba pada menunjukkan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak tampaknya gejala-gejala kekurangan nutrien (Tabel 8). Pakan kering dapat disimpan dalam jangka panjang. Penyimpanan pakan kering dapat dilakukan dalam ruang yang kelembabannya rendah dan terhindar dari sinar matahari. Tabel 8. Hasil uji coba pakan buatan dan ikan rucah pada ikan kerapu bebek selama 4 bulan pemeliharaan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Parameter Bobot awal (gram) Bobot akhir (gram) Kelangsungan hidup (%) FCR Harga pakan Hematokrit (%)
Pakan Gondol 36,0 147,6 98,7 1,39 37,3
Pakan Uji Pakan Uji 36,0 132,8 98,0 1,54 15.400 38,2
Ikan Rucah 36,0 133,4 95,1 5,82 14.550 24,2
KESIMPULAN Pemberian pakan buatan (pelet) dapat diaplikasdikan utuk budidaya ikan kerapu karena menunjukkan pertumbuhan pertumbuhan dan efisiensi pakan yang baik serta tidak menunjukkan gejala kekurangan nutrien. Selain itu pakan buatan dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang.
DAFTAR PUSTAKA Barclay, W. and S. Zeller. 1996. Nutritional Enhancement of n-3 and n-6 Fatty Acids in Rotifers and Artemia nauplii by Feeding Spray-dried Schizochytrium sp. J. World Aquacult. Soc., 27: 314-322. Dhert, P., L.C. Lim, P. Lavens, T.M. Chao, R. Chuo,and P. Sorgeloos. 1991. Effects of Dietary Essential Fatty Acids on Eggs Quality and Larviculture Success of the Greasy Grouper (Epinephelus tauvina F.) : preliminary results. pp.58-62 in P. Lavens, P. Sorgeloos, E. Jaspers, and F Ollevier (Eds.). Larvi ‗91 Fish & Crustacean Larviculture Symposium. Special Publ. No. 15. European Aquaculture Society. Ghent, Belgium. Henderson, R.J. and J.R. Sargent. 1985. Fatty Acid Metabolism in Fish. pp. 349-364 in C.B. Cowey, A. M. Mackie and J. G. Bell (eds.). Nutrition and Feeding in fish. Academic Press, London, England. Giri, N.A., K. Suwirya, dan M. Marzuqi. 1999. Kebutuhan Protein, Lemak, dan Vitamin C Yuwana Kerapu bebek, Cromileptes altivelis. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 5(3): 38-44. Izquierdo, M.S., T. Watanabe, T. Takeuchi, T. Arakawa, and C. Kitajima. 1989. Requirement of Larval Red Sea bream Pagrus major for Essential Fatty Acids. Nippon Suisan Gakkaishi, 55: 859-867. Kanazawa, A., S. Teshima, and K. Ono. 1979. Conversion of Linoleic Acid to n-3 Highly Unsaturated Fatty Acids in Marine Fishes and Rainbow Trout. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 46: 1231-1233.
237
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
Kohno, H., R.S.O. Anguilar, A. Ohno, and Y. Taki. 1997. Why is Grouper Larval Rearing Dificult? : An approach from the development of the feeding apparatus in early stage larvae of the grouper, Epinephelus coioides. Ichthyol. Res., 44 : 267-274. Kompiang, I.P. dan S. Ilyas. 1988. Nutrisi Ikan/Udang : Relevansi untuk Larva dan Induk. Proc. Seminar Nasional Pembenihan Ikan dan Udang. Bandung, 5 - 7 Juli 1988. Koven, W.M., A. Tandler, G.W. Kissil, D. Sklan, O. Friezlander, and M. Harel. 1990. The Effect of Dietary (n-3) Polyunsaturated Fatty Acids on Growth, Survival and Swim Bladder Development in Sparus aurata Larvae. Aquaculture, 91: 131-141. Lim, C.L. 1993. Larviculture of the Grouper Epinephelus tauvina F. and the Brown-murble Grouper Epinephelus fuscogutatus in Singapore. J. World Aquacult. Soc., 42 : 262-274. Okauchi, M., W. Zhou, and W. Zou. 1990. Difference in Nutritive Value of a Micro Alga Nannochloropsis oculata at Various Growth Phases. Nippon Suisan Gakkaishi, 56: 1293-1298. Ostrowski, A.C. and S. Divakaran. 1990. Survival and Bioconversion of n-3 Fatty Acids During Early Development of Dolpin (Coryphaena hippurus) Larvae Fed Oil-Enriched Rotifers. Aquaculture, 89: 273-285. Sahli, M., M.S. Izquierdo, C.M. Hernandez-Cruz, M. Gonzalez, and H. Fernandez-Palacios. 1994. Effect of Lipid and n-3 HUFA Levels in Microdiets on Growth, Survival and Fatty Acid Composition of Larval Gilthead Sea Bream (Sparus aurata). Aquaculture, 124 : 275-282. Sorgeloos, P., P. Leger, and P. Lavens. 1988. Improved Larval Rearing of European and Asian Seabass, Seabream, Mahi-mahi, Siganid and Milkfish Using Enrichment Diets for Brachionus and Artemia. World Aquacult., 19: 78-79. Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi. Suwirya, K., N.A. Giri, dan M. Marzuqi 2001. Pengaruh n-3 HUFA Terhadap Pertumbuhan dan Efisiensi Pakan Yuwana Ikan Kerapu Bebek, Cromileptes altivelis. pp 201-206. In Sudradjat, A., E.S. Heruwati, A. Poernomo, A. Rukyani, J. Widodo, dan E. Danakusuma (Eds) Teknologi Budi Daya Laut dan Pengembangan sea Farming di Indonesia, Depertement Kelautan dan Perikanan. Teshima, S., A. Kanazawa, and M. Sakamoto. 1981. Attempt to Culture the Rotifers with Micro Encapsulated Diets. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish.,, 47: 1575-1578. Teshima, S., S. Yamasaki, A. Kanazawa, S. Koshio, and H. Hirata. 1991. Fatty Acid Composition of Malaysian Marine Chlorella. Nippon Suisan Gakkaishi, 57: 1985-1985. Watanabe, T., F. Oowa, C. Kitajima, and S. Fujita. 1978. Nutritional Quality of Brine Shrimp, Artemia salina, as a Living Feed from the Viewpoint of Essential Fatty Acids for Fish. Bull. Jpn. Soc. Sci. Fish., 44: 1115-1121. Watanabe, T., C. Kitajima, and S. Fujita. 1983b. Nutritional Values of Live Organisms Used in Japan for Mass Propagation of Fish : a Review. Aquaculture, 34: 115-143. Watanabe, T. 1993. Importance of Docosahexaenoic acid in Marine Larval Fish. J. World Aquacult. Soc., 24: 152161. Webster, C.D. and R.T. Lovell. 1990. Response of Striped Bass Larvae Fed Brine Shrimp from Different Sources Containing Different Fatty Acid Composition. Aquaculture, 90: 49-61.
238
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
PARTISIPAN NO.
NAMA
INSTANSI
1.
Harun Al- Rasyid
Gubernur NTB
2.
Nanang Samodra
Ka. Bappeda Prop. NTB
3.
Mansur Ma‘sum
Rektor UNRAM
4.
Syarifudin
Bag. Eknomi Setda NTB
5.
Robert Ratu Raja
Pemda NTB
6.
Rudi N. Hansyal
Pemda NTB
7.
Nizwar Syafaat
Puslitbangtan Sosek Bogor
8.
I Wayan Mirza
Puslitbangtan Sosek Bogor
9.
Muzani Mirza
Distan Prop. NTB
10.
Christian W.
Disnak NTB
11.
Hj. Siti Choiriyah
Diperta
12.
Theodora Junita H.
Distanak Lotim
13.
N. Sutardi
Diperta Kota Mataram
14.
Hasanudin
Diperta Loteng
15.
L. Darmali
Diperta NTB
16.
Nurhani Hm.
Disbun NTB
17.
Azhar
Dishut NTB
18.
Syafi‘i
Dishutbun Lotim
19.
M. Saleh Ashady
Dipertanak Lobar
20.
M. Akhsan Hadi
Dipertanak Loteng
21.
Kurnia Agustini
Dipertanak Loteng
22.
Hasanuddin
Dipertanak Loteng
23.
Abdillah Anshori
Diskan Kota Mataram
24.
Supardi
DKP Lotim
25.
Anwar
DKP Loteng
26.
Hendrawan S.
Univ. Brawijaya
27.
Sri Widodo
Univ. Gajah Mada
28.
Iwan Santoso
NTT
29.
Yahya Mungis
LSM
30.
Joko T.
RRI Mataram
31.
M. S. Hamsah
LIPI
32.
Oky M.
LSM
239
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
33.
H. M. Nasir
LSM
34.
Kama
Bappeda
35.
Jaffar Abdulgani
Bappeda Kab. Bima
36.
Marsudin
Bappeda NTB
37.
Joko Tengan
BUKPD
38.
Joko R.
BUKPD
39.
Ma‘shum
Biro Humas
40.
Suwati
Unmuh Mataram
41.
Marianah
Unmuh Mataram
42.
Sahdan
Univ. 45 Mataram
43.
Yasin Said
Biro Ekonomi Lobar
44.
Ridwan
Biro Ekonomi Lotim
45.
Arifuddin
BPSB NTB
46.
Yuni Wahyuni
BPTPH NTB
47.
Bejo Slamet
BBRBL Gondol
48.
Titiek Aslianti
BBRBL Gondol
49.
Agus Priyono
BBRBL Gondol
50.
Fris Johny
BBRBL Gondol
51.
Ketut Suwirya
BBRBL Gondol
52.
Ribut Suryanto
Balai Diklat NTB
53.
Theresia S. C.
Unmas Mataram
54.
Chairussyuhur Arman
UNRAM
55.
Baharuddin AB.
UNRAM
56.
Herman Suheri
UNRAM
57.
Dahlanuddin
UNRAM
58.
Made Suma Wedastra
UNRAM
59.
Candra Ayu
UNRAM
60.
Adji S. Drajat
UNRAM
61.
Rodiah
UNRAM
62.
Lolita
UNRAM
63.
Syamsuhaidi
UNRAM
64.
Enny Yuliani
UNRAM
65.
Mahrup
UNRAM
240
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
66.
Eko Basuki
UNRAM
67.
Rosiady
UNRAM
68.
Muktasam
UNRAM
69.
Suwardji
UNRAM
70.
M. Zubair
UNRAM
71.
Ismail Yasin
UNRAM
72.
Sukartono
UNRAM
73.
Joko Triyono R.
UNRAM
74.
Sugeng Prasetyo
UNRAM
75.
Yahya Mugiono
UNRAM
76.
Imran
UNRAM
77.
Tejowulan
UNRAM
78.
Surya Hadi
UNRAM
79.
Sukardono
UNRAM
80.
Abdul Faruk
UNRAM
81.
Zulkarnaen
UNRAM
82.
Choiril Huda
UNRAM
83.
M. Qasuni
UNRAM
84.
Akhmad Jufri
UNRAM
85.
Meidiwarman
P3SDH UNRAM
86.
I Wayan Sudya
P3P UNRAM
87.
Sabarudin
Kontak tani
88.
Amirudin Pohan
BPTP NTT
89.
Mashur
BPTP NTB
90.
Ketut Puspadi
BPTP NTB
91.
Dwi Praptomo S
BPTP NTB
92.
M. Sofyan Souri
BPTP NTB
93.
M. Luthfi
BPTP NTB
94.
Z. A. Wancik
BPTP NTB
95.
Sudjudi
BPTP NTB
96.
M. Zairin
BPTP NTB
97.
Muji Rahayu
BPTP NTB
98.
B. Tri Ratna E.
BPTP NTB
241
Seminar Nasional Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Penerapan Teknologi Tepat Guna 2002
99.
Wildan Arief
BPTP NTB
100.
H. Ahmad Suriadi
BPTP NTB
101.
Noor Inggah
BPTP NTB
102.
Awaludin Hipi
BPTP NTB
103.
H. Sahram
BPTP NTB
104.
Tanda S. Panjaitan
BPTP NTB
105.
Farida Sukmawati
BPTP NTB
106.
Andri Nurwati
BPTP NTB
107.
Kunto Kumoro
BPTP NTB
108.
Akhmad Muzani
BPTP NTB
109.
Prisdiminggo
BPTP NTB
110.
Arief Surachman
BPTP NTB
111.
Nurul Agustini
BPTP NTB
112.
Rayunah
BPTP NTB
113.
Sudarto
BPTP NTB
114.
Akhmad Sauki
BPTP NTB
115.
Syarifuddin Achmady
BPTP NTB
116.
Hj. Siti Marlinda
BPTP NTB
117.
Sasongko Wr.
BPTP NTB
118.
Abd. Hamid Nurtika
BPTP NTB
119.
Ismail Achmad
BPTP NTB
242