II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Pemikiran Pengelolaan Partisipatif 2.1.1. Paradigma Pembangunan Partisipatif Paradigma pembangunan selama ini lebih memusatkan pada pertumbuhan dan efisiensi penggunaan faktor produksi dan kapital. Variabel makro ekonomi yang menjadi tolak ukur berupa pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, inflasi dan kesempatan kerja (Mubyarto 2005). Pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ini menurut Todaro sesungguhnya dipengaruhi oleh dua teori penting yaitu Rostow dan Harold-Domar. Rostow mengembangkan teori tahapan pertumbuhan dengan perubahan struktural ekonomi dalam suatu tahapan terencana yaitu masyarakat tradisional, masyarakat pra lepas landas, tahap lepas landas, masyarakat menuju kematangan dan masyarakat konsumen. Pada tahapan terakhir ini, sektor industri sebagai agen dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi (Amien 2005). Sementara itu,
Harold-Domar menekankan bahwa
meningkatnya kesejahteraan penduduk dapat dilihat dari peningkatan konsumsi sebagai akibat dari peningkatan pendapatan (Siahaan 2007). Implikasinya adalah konsumsi menjadi tak terbatas yang diikuti oleh deplesi sumberdaya alam sebagai sumber input dan pendukung kehidupan. Dengan berkiblat pada teori pertumbuhan tersebut, maka sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, melakukan akumulasi modal melalui Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai indikatornya. Dengan demikian, pemerintah membangun industri secara besar-beasaran dengan harapan bahwa nilai tambah dari pengembangan industri dapat metetes kemasyarakat secara luas ( melalui trickel down effect). Pengalaman empiris di negara berkembang memberikan hasil
yang mengejutkan
yaitu
terjadi
ketimpangan yang cukup tinggi pada pendapatan kelompok masyarakat. Menurut Todaro (1989), bahwa hasil pembangunan pada negara berkembang ternyata diantaranya memberikan ciri-ciri yaitu tingkat pengangguran yang kronis, ketidakmerataan distribusi pendapatan, rendahnya produktivitas pertanian dan meningkatnya ketergantungan terhadap sumberdaya alam.
28
Paradigma pembangunan yang bersifat top down yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Newtonian cenderung menyederhanakan persoalan dan kurang melihat interdepensi antara elemen-elemen pembangunan yang begitu kompleks dan masyarakat diletakkan pada subordinat pembangunan (Amin 2005). Pembangunan yang demikian menurut Poerwanto (2000) sebagai proses komunikasi yang linear yang berjalan satu arah yaitu dari perumus kebijakan dengan pihak yang merupakan sasaran dari kebijakan tersebut. Pembagunan seakan-akan bukan merupakan hasil interaksi dari masyarakat dan lingkungan, melainkan hanya hasil skenario dari indikator ekonomi yang sangat diperankan oleh pemerintah. Pandangan dan konsep pembangunan tersebut merupakan pengaruh dari paradigma
modernisasi
yang
mengacu
pada
asumsi
kemiskinan
dan
keterbelakangan yang didefinisikan berdasarkan perbedaaan kondisi ekonomi, politik, sosial dan budaya yang ada diantara bangsa kaya dan miskin, disebabkan oleh ciri kultural dan struktural masyarakat. Kemudian pembangunan diartikan sebagai langkah bertahap yang diperlukan untuk memecahkan masalah melalui perubahan pada budaya dan struktural internal masyarakat tradisional ke ciri masyarakat modern. Korten dan Karner (1983) menyakatan bahwa pembangunan yang demikian tersebut lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (produksi) dan bukan berpusat pada rakyat. Ciri-cirinya yaitu; lebih terpusat pada industri, daerah perkotaan, investasi bagi kelompok sedikit, pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan untuk tujuan jangka pendek dan efisiensi skala besar Sementara itu, pembangunan yang berpusat pada rakyat memiliki ciri sebagai berikut; pendekatannya pada dukungan usaha-usaha kaum miskin, sektor tradisional menjadi kehidupan sebagian besar rumahtangga miskin dan kebutuhan terhadap kelembagaan tertentu untuk keperluan pengelolaan sumberdaya lokal (Hikmat 2004). Robert Chambers mengungkapkan bahwa para akedemisi, pemerintah dan praktisi asik dengan disiplin ilmu masing-masing dan berpikir bahwa manusia sebagai benda dan sedikit berpikir bahwa manusia sebagai manusia. Masyarakat diletakkan dalam subordinat pembangunan, implikasinya adalah bahwa hasil pembangunan menempatkan manusia pada dua kutub yaitu antara yang miskin dan yang kaya (Warburton 1998). Sebagai konsekuensi logisnya, maka negara
29
berkembang ataupun terbelakang harus meniru pranata tertentu yang menjadi ciri negara maju dan hal ini menjadi sumber kegagalan tercapainya tujuan optimum dari pembangunan. Kelemahan yang terdapat pada model pembangunan yang bersifat top down tersebut melahirkan pendekatan dan pemikiran yang kontradiktif
yaitu
sebagai model pendekatan bottom up dengan pendekatan bahwa dalam pembangunan, maka masyarakat seharusnya dilibatkan secara aktif melalui berbagai bentuk partisipasinya mengingat bahwa masyarakatlah yang menjadi subjek (bukan objek) dari pembangunan. Dalam konteks pembangunan yang bersifat bottom up tersebut dicirikan oleh adanya proses adanya partisipasi dan terjadinya pembelajaran sosial (social learning). Menurut Maarleveld dan Danbegnon (1999) dalam Wollernberg et al. (2005) bahwa pembelajaran sosial dalam pengelolaan sumberdaya alam merupakan kombinasi pengelolaan adaptif yang melibatkan pembelajaran secara sadar dari eksperimen kebijakan dan politik yang didefinisikan sebagai konflik antara pemangku kepentingan dengan sumberdaya alam. Pergeseran pemikiran terhadap pemahaman pendekatan pembangunan pada era sekarang ini tentunya sebagai dampak dari perubahan kondisi masyarakat yang sangat kompleks dan sangat berbeda dengan kondisi masyarakat modern (masyarakat industri) seperti yang dikaji selama ini dalam teori sosiologi modern. Fredic Jameson dalam Ritzer and Goodman (2004) mengungkapkan kondisi masyarakat sekarang berada pada era post-modern, dimana kehidupan dalam masyarakat yang ditandai oleh kondisi teknologi yang implosif, mendatar dan reproduktif. Lash (2004) memandang era post modern ini sebagai bentuk paradigma kultural sebagai bentuk konfigurasi ruang dan waktu. Dengan demikian, maka akan membawa implikasi kepada pusat perhatian dan kajian bagi penganut post-modern yang lebih menekankan pada penjelasan yang lebih terbatas dan lebih fokus pada aspek pinggiran masyarakat daripada meneliti inti masyarakat. Model pembangunan yang demikian tersebut disebut sebagai model partisipatif
yang
mengajukan
pelibatan
sebanyak-banyaknya
pemangku
kepentingan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Menurut
30
Friedman (1973,1987) dalam Amien (2005) bahwa model perencanaan tersebut termasuk dalam katagori Transitive Planning yang mempromosikan perencanaan sebagai proses pembelajaran sosial, sedangkan Davidoff (1965) memasukkan model tersebut dalam katagori model Advocacy Planning yang pemberian perhatian pada kelompok masyarakat tradisional (khususnya pada kelompok masyarakat yang kurang menguntungkan). Pendekatan top down dalam pembangunan selama ini telah gagal mencapai tujuannya, karena kegagalan asumsi bahwa terjadi tetesan dari kebawah (trickel down effect) dari hasil pembangunan. Kegagalan dari pendekatan ini mendorong berkembangnya pendekatan atau paradigma pembangunan yang bersifat bottom up. Paradigma pembangunan ini yang sering kita dengar dengan istilah pembangunan partisipatif, karena dalam proses pembangunan tersebut melibatkan partisipasi masyarakat, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Partisipasi dalam hal ini meliputi kehadiran dalam proses pembangunan dan dalam hal pengambilan keputusan baik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan dan monitoring dan evaluasi pembangunan. 2.1.2. Landasan Filosofis dan Etika Pembangunan Partisipatif Pembangunan partisipatif memiliki landasan filosofis, etika dan dasar hukum. Landasan filosofis dan etika pembangunan partisipatif bersumber dari tiga teori etika yang mendasari pemikiran dan cara pandang manusia tentang manusia, alam dan hubungan manusia dengan alam. tersebut
yaitu
Teori
Antroposentrisme,
Adapun ketiga jenis teori etika Teori
Biosentrisme
dan
Teori
Ekosentrisme (Keraf 2002). Teori Antroposentrisme beranggapan bahwa manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semua sumberdaya alam yang ada untuk kepentingan umat manusia dan alam tidak mendapatkan nilai untuk dihargai. Sebagai konsekuensinya terjadi kerusakan sumberdaya alam hanya karena pemuasan kebutuhan manusia. Teori Biosentrisme beranggapan bahwa setiap kehidupan dan makhluk hidup memiliki nilai dan berharga bagi dirinya sendiri serta harus dilindungi dan
31
diselamatkan. Teori ini hanya memberikan nilai pada makhluk hidup saja dan tidak memberikan nilai pada benda mati yang juga merupakan komponen ekosistem dan lingkungan. Teori Ekosentrisme merupakan perkembangan dari Teori Biosentrisme, namun memusatkan pada komunitas ekologi, baik makhluk hidup maupun benda mati diberikan nilai untuk dihargai. Dalam teori ini makhluk hidup dan benda mati merupakan komponen ekosistem atau ekologi yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya termasuk manusia didalamnya. Dari teori etika lingkungan tersebut, nampaknya terjadi polarisasi pandangan yaitu antara kelompok pembangunan (developmentalist) dan deep ecologist. Teori Antroposentrisme dan cara berpikir positivism (kenyataan didasarkan pada fenomena alam yang mempunyai hubungan yang sudah diverifikasi secara nyata atau empiris) sering menjadi acuan dari kelompok developmentalist (seperti kelompok intelektual dan birokrat yang didukung oleh lembaga donor internasional yaitu World Bank dan Asian Development Bank), sedangkan Teori Ekosentris menjadi acuan dari kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan dan ecological scienties (Kartodihardjo 2006b; Nurrochmat 2005). Adanya dua kutup pandangan tersebut, menyebabkan perbedaan dalam penggunaan indikator keberhasilan pembangunan. Kelompok developmentalist sering menggunakan indikator
konvensional yaitu pertumbuhan ekonomi,
sementara itu deep ecologist menggunakan indikator kelestarian (penyelamatan) lingkungan. Perbedaan pandangan tersebut, nampaknya merupakan suatu yang baku dan sulit dikompromikan atau disinergikan. Nurrochmat (2005) menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak selalu benar karena masih terdapat wilayah abuabu yang merupakan kepentingan sosial. Kepentingan sosial tersebut masuk sebagai salah satu tolok ukur dari pembangunan berkelanjutan yaitu kriteria economically feasible (secara ekonomi layak atau menguntungkan), socially acceptable (dapat diterima oleh masyarakat) dan ecologically sustainable (dari aspek ekologi berkelanjutan atau lestari). Adanya kepentingan sosial atau masyarakat harus masuk sebagai tolok ukur dari pembangunan berkelanjutan muncul juga dari pemikiran dan pandangan
32
holistik. Pandangan holistik menyatakan bahwa alam semesta beserta kehidupan merupakan interaksi dari bagian-bagiannya secara keseluruhan (organisme yang hidup) dan bukan sekedar penjumlahan dari bagian-bagian tersebut (Kartodihardjo 2006b). Soemarwoto (2004) menyatakan pandangan holistik yaitu manusia merupakan bagian dari lingkungan tempat hidupnya. Dalam pandangan ini, sistem sosial manusia bersama dengan biogeofisik membentuk satu kesatuan yang dapat disebut dengan ekosistem sosiobiogeofisik. Dengan demikian, manusia dalam hal ini masyarakat merupakan bagian dari ekosistem dan terdapat didalam ekosistem tersebut. Karena manusia berada dalam ekosistem tersebut, maka segala bentuk perubahan
ekologi
dan
lingkungan
termasuk
dampak
negatifnya
akan
dikembalikan kepadanya sebagai feedback (balikan). Sebagai concoh banjir dan tanah longsor diberbagai tempat di tanah air kita merupakan balikan dari perbuatan manusia yang mengeksploitasi hutan melebihi daya lenting sumberdaya tersebut. Usaha konservasi dan pembangunan hutan yang dilakukan oleh pemerintah tidak mampu mengembalikan fungsi hutan dan bahkan sebaliknya muncul dan berkembangnya lahan-lahan kritis dalam kawasan hutan. Artinya bahwa pemanfaatan atau penggundulan hutan jauh lebih luas daripada usaha reboisasi dan konservasi yang dilakukan dalam kawasan hutan. Dengan demikian, maka kepentingan sosial tersebut dapat dijadikan sebagai
common
goal
untuk
dapat
mensinergikan
dua
pemikiran
(antroposentrisme dan ekosentrisme). Oleh karena itu, kontek pemikiran kebutuhan antar generasi dari aspek sosial dan kontek hutan lestari dari aspek ekologi dan kontek kesejahteraan masyarakat dari aspek ekonomi akan dapat dibuat sebagai common goal dalam pengelolaan kawasan hutan. Dengan ungkapan lainnya bahwa masyarakat secara ekonomi memperoleh manfaat dalam pengelolaan kawasan hutan baik untuk generasi sekarang dan akan datang, namun kawasan hutan tetap lestari untuk waktu sekarang dan akan datang. Kaitannya dengan keterlibatan masyarakat dalam konteks pembangunan kehutanan yang berkelanjutan, menurut Keraf dalam Siahaan (2007) bahwa terdapat lima prinsip yaitu:
33
a. Prinsip Pemerataan dan Keadilan Sosial adalah semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses pembangunan dan kegiatan pembangunan; b. Prinsip Demokrasi adalah pembangunan dilaksanakan atas kehendak rakyat, kepentingan rakyat dan untuk kesejahtaraan rakyat. Dengan kata lain adalah partisipasi rakyat diperlukan dalam merencanakan dan merumuskan kegiatan atau agenda pembangunan; c. Prinsip
Pendekatan
Integral
adalah
pembangunan
berkelanjutan
mengedepankan integralisasi antara pengelolaan sumberdaya manusia dengan pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam lainnya; d. Prinsip Perspektif Hari Esok adalah mengelola dengan cara yang arif sumberdaya alam dan lingkungan untuk kepentingan ganerasi sekarang dan akan datang; e. Prinsip Menuntut dan Menghargai Keanekaragaman Hayati. Temuan Maring (2008) di Kawasan Hutan Egon Flores bahwa masyarakat memiliki kepentingan terlibat dalam pengelolaan hutan yaitu hutan merupakan sarana untuk kehidupan; hutan merupakan kekuasaan bagi masyarakat; hutan merupakan wujud tanggung jawab yang harus dipelihara karena merupakan warisan nenek moyang; dan hutan merupakan masa depan anak cucu. Berbeda dengan keterlibatan NGO (Non Government Organisation) Internasional dalam keterlibatan hutan lebih pada usaha konservasi dan reboisasi. Sementara itu, keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan hutan lebih pada mencari keuntungan dan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Kemudian filosopi bahwa pemerintah terlibat dalam pengelolaan hutan berkembang dari teori etika lingkungan (Antroposentris) dengan implikasinya bahwa sumberdaya alam dan lingkungan disediakan untuk kepentingan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Karena hanya manusia yang diberikan nilai, membuka peluang untuk terjadinya degradasi dan deplesi sumberdaya alam dan lingkungan (biotik dan a biotik). Pandangan ini nampaknya dianut oleh kelompok pembangunan (developmentalist) termasuk pemerintah, sehingga pasal 33 UUD’45 diartikan dan diterjemahkan sesuai dengan pandangan kelompok pembangunan tersebut yang menganut paham antroposentrisme. Namun
34
bagaimanapun juga pemerintah memiliki kepentingan terhadap sumberdaya alam dan lingkungan adalah menjalankan amanah Undang-Undang Dasar pasal 33 yaitu mengelola sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat. Dengan amanat tersebut, pemerintah secara normatif sebagai
agen
pembangunan dapat memanfaatkan dan harus melindungi sumberdaya alam dan lingkungan tersebut. Peran tersebut dapat ditempuh melalui kebijakan politik dan pemerintahan melalui kebijakan pajak dan pengeluaran. Dengan demikian, maka kepentingan pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah melindungi kepentingan nasional untuk kesejahteraan masyarakat. Letey and Edmunds (1973) menyatakan bahwa peran pemerintah sebagai agen pembangunan berhubungan dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yaitu transfer sumberdaya alam dari publik menuju swasta (privat),
pemanfaatan sumberdaya alam secara luas
(ekstensif) dan pemanfaatan sumberdaya alam secara intensif. Peran lainnya dari pemerintah adalah
melindungi dan monitor pemanfaatan sumberdaya alam
termasuk kawasan hutan.
Peluso (2006) dalam Maring (2008) menyatakan
kepentingan negara dalam pengelolaan sumberdaya hutan adalah mewujudkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan melalui cara menguasai hutan, spesies, tenaga kerja dan aspek ideologis. Dalam usaha konservasi kawasan hutan sendiri, terdapat tiga aliran pemikiran yaitu Wittmer dan Bitmer (2005) di dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006):
Konservasionis,
Eko-populis
dan
Developmentalist.
Aliran
Konservasionis memiliki argumentasi bahwa diperlukan kawasan yang dilindungi secara hukum dan tidak diganggu oleh kegiatan manusia guna mewujudkan keseimbangan ekologi termasuk fungsi hidrologi dari fungsi sumberdaya hutan. Ada anggapan bahwa penduduk setempat merupakan ancaman bagi upaya konservasi seumberdaya alam. Aliran Eko-Populis memiliki argumen bahwa masyarakat adat dan lokal merupakan penanggung resiko terbesar yang perlu dilindungi. Mereka memiliki kemampuan untuk melakukan konservasi daripada pemerintah. Aliran Developmentalist memiliki argumen bahwa kerusakan sumberdaya alam disebabkan oleh kemiskinan. Aliran ini berpendapat bahwa kaum eko-populis terlalu romantis dan memperalat masyarakat lokal dan lebih jauh kaum konservatif tidak mempertimbangkan persoalan kemiskinan.
35
Untuk dapat menjalankan perannya sebagai pemerintah untuk melindungi sumberdaya
hutan
dan
kepentingan
masyarakat,
maka
disusun
dan
diimplementasikan kebijakan berupa undang-undang dan peraturan pemerintah. Adapun kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan Pembangunan hutan Kemasyarakatan (HKm) sebagai berikut : a. Untuk Propinsi NTB secara resmi dimulai sejak tahun 1994, yaitu berupa surat Menteri Kehutanan (Surat Edaran Nomor: 1031/Menhut/1994) yang ditujukan kepada Satuan Pembangunan Hutan Tanaman Industri Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, yang sedang melaksanakan program HTI di Pulau Sumbawa. Kegiatan HKm ini diartikan sebagai pengelolaan hutan untuk mendukung kehidupan masyarakat setempat tanpa mengurangi fungsi kawasan hutannya; b. Kemudian pada tahun 1995 terbit Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 622/Kpts-II/1995 tentang pedoman hutan kemasyarakatan. Dalam keputusan ini, hutan kemasyarakatan dimaksudkan sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat, namun dibatasi hanya pada kegiatan rehabilitasi lahan kritis di hutan lindung dan hutan produksi. Masyarakat diberi kuasa untuk mengelola lahan 4 Ha/kk untuk ditanami jenis pohon serbaguna (JPSG), dan diberi hak untuk memanfaatkan hasilnya (hasil bukan kayu) tanpa menebang pohon yang ditanamnya (Anonim 1995); c. Pada tahun 1998 terbit kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 677/Kpts-II/1998 tentang hutan kemasyarakatan. Dalam keputusan ini, hutan kemasyarakatan dimaksudkan sebagai pengusaha hutan oleh masyarakat setempat melalui koperasi (masyarakat setempat diposisikan sebagai pengusaha). Pada kondisi masyarakat setempat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses kawasan secara mandiri. Oleh karena itu, maka terbentuklah koperasi-koperasi yang mengatasnamakan masyarakat setempat (Anonim 1998); d. Dalam upaya penyempurnaan HKm dari kebijakan sebelumnya, pada tahun 2001 diterbitkan kembali Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31/KptsII/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.
Keputusan ini
bertolak dari prinsip bahwa masyarakat setempat adalah pihak yang harus
36
diayomi
oleh
pemerintah
dan
pemerintah
daerah,
sehingga
materi
pengaturannya menjadi lebih luas (DEFHUT RI. 2001). Dengan adanya perbedaan pemikiran dan filosofi yang dipengaruhi oleh perbedaan cara berpikir dan teori-teori yang berkembang dapat diringkas kepentinganan masing-masing para pihak atau stakeholder sebagai berikut : Tabel 1. Kepentingan Pemerintah, Masyarakat, Swasta dan LSM dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan. No 1
Para Pihak (Stakeholders) Pemerintah
a. b. c. d. e.
2
Masyarakat
a. b. c.
d. 3
LSM
a. b.
4
Swasta
Kepentingan Menjalankan Amanat UUD’45 pasal 33 Melindungi Sumberdaya Hutan Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Secara Intensif dan Ekstentif Transfer Sumberdaya Hutan dari Publik - Privat Hutan Merupakan Sarana Untuk Kehidupan Hutan Merupakan Kekuasaan Bagi Masyarakat. Hutan Merupakan Wujud Tanggung Jawab yang Harus Dipelihara Karena Merupakan Warisan Nenek Moyang. Hutan Merupakan Masa Depan Anak Cucu. Memperjuangkan Kepentingan Masyarakat atas Hak Lahan Usaha konservasi dan Reboisasi.
Mencari Keuntungan dan Memenuhi Kebutuhan Pasar
2.1.3. Dasar Teori Pengelolaan Partisipatif Munculnya teori partisipasi masyarakat (community participation theory) sebagai respon hasil pembangunan selama ini yang mengeksploitasi masyarakat dalam pembangunan pedesaan melalui pemberdayaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dan tentunya yang memberikan benefit atau manfaat pada masyarakat itu sendiri. Freudenburg dan Olsen (1983) dalam Howell et al. (1987) menyebutkan beberapa manfaat yang diperoleh dalam pelibatan masyarakat pada program pembangunan yaitu kontribusi yang nyata dalam demokrasi, meningkatkan pemahaman masyarakat dan komunikasi antar partisipan dan terjadinya effektifitas proses pengambilan keputusan sehingga terjadi keseimbangan posisi antar masyarakat dan pemerintah, serta dapat membangun legitimasi yang dapat meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap pihak pemerintah.
37
Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan (Karki 2001). Asumsi dari teori demokrasi bahwa masyarakat memliki hak sama dalam isu publik dan memiliki kompetensi dalam mengambil keputusan terhadap isu tersebut (Howell et al. 1987), namun untuk dapat berpartisipasi dengan baik dalam pembangunan, jelaslah bahwa hak bersuara saja sebagai wujud hak dari pengambilan keputusan ketidaklah cukup. Hemmati dalam Fahmi et al. (2003) menyebutkan bahwa efektivitas penyampaian aspirasi dan kepentingan ditentukan oleh kapasitas; kapasitas merupakan fungsi dari informasi dan pengetahuan, waktu, dan sumber daya. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya dipersiapkan dengan berbagai peluang dalam kehidupannya untuk memperoleh informasi dan keahlian tertentu dalam rangka meningkatkan peran masyarakat itu sendiri. Teori yang mendukung pentingnya
partisipasi masyarakat dalam
pembangunan adalah Teori Mobilisasi Sosial (Social Mobilization Theory). Teori ini diterapkan dalam permasalahan politik dengan argumen bahwa orang dapat dimobilisasi dalam politik melalui bentuk partisipasi dengan berbagai jenis aktivitas masyarakat atau asosiasi tertentu yang menarik. Masyarakat yang terlibat dalam organisasi lokal dan aktivitas tertentu cenderung menjadi lebih sadar dan terbuka terhadap isu publik dan mengembangkan kemampuan mereka dalam pengambilan keputusan. Hasil penilitian yang dilakukan oleh Verba dan Nie 1972; Olsen 1982 menemukan bahwa dengan memobilisasi masyarakat (sosial) memberikan hasil yang sangat efektif dalam partisipasinya dalam arena politik (Howell et al. 1987). Roger and Shoemaker (1987) menemukan bahwa program pembangunan manjadi efektif pada kondisi adanya dukungan dari pemimpin masyarakat lokal dan organisasi masyarakat baik yang bersifat publik ataupun privat. Social exchange Theory juga memberikan dukungan pemikiran teori untuk pelibatan atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Teori pertukaran secara umum dipengaruhi oleh prilaku seorang aktor terhadap lingkungan dan dampak aktor terhadap prilaku aktor. Bila prilaku telah menguntungkan aktor, prilaku yang sama mungkin diulang dimasa depan dalam situasi serupa. Teori
38
pertukaran ini juga dipengaruhi oleh teori ekonomi klasik (Adam Smith) yang mengasumsikan bahwa manusia tersebut berpikir rasional dalam menentukan pilihannya. Teori pilihan rasional memiliki perhatian pada aktor. Aktor dipandang sebagai sebagai manusia yang memiliki tujuan atau memiliki maksud. Terdapat dua faktor yang menyebabkan terjadinya pertukaran yaitu keterbatasan sumberdaya dan kelembagaan sosial. Penguasaan sumberdaya mempengaruhi tindakan aktor mencapai tujuannya, demikian pula dengan keberadaan kelembagaan akan mendorong dan mambatasi prilaku aktor dalam mencapai tujuannnya (Goodman and Rizzer 2003; Turner 1987). Akan tetapi, dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas (Cook 1987). Menurut Thibaut dan Kelly (1959); Homans (1961) dan Blau (1964) yang mengkaji perkembangan Sosial Exchange Theory dalam Howell et al. (1987), menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari benefit. Benefit dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan. Masyarakat selalu berusaha untuk meminimumkan biaya yang dikeluarkan dan mencari keuntungan yang maksimum atas segala aktivitas dan keterlibannya dalam pembangunan. Pertimbangan ekonomi tersebut dapat berupa maksimisasi profit dari aktivitas yang dilakukannya. Dengan dominannya faktor ekonomi sebagai faktor dalam pengambilan keputusan, maka tentunya hal tersebut akan berkaitan dengan harapan ekonomi dan rasionalisme individu (Turner 1987). Demikian juga Thibaut and Kelley (1959) menyatakan bahwa pengeluaran berupa biaya sangat mempengaruhi mental seseorang untuk terlibat dalam pembangunan. Frazer mengungkapkan bahwa struktur sosial khususnya budaya mereflesikan motif ekonomi dari siapa yang melakukan pertukaran untuk memuaskan kebutuhan dasar ekonomi. Selain karena pertimbangan biaya, ternyata keterlibatan seseorang dalam pembangunan juga dipengaruhi oleh adanya harapan penghargaan (reward) dari berbagai sumber termasuk pihak pemerintah, swasta dan kelompok atau anggota masyarakat. Rasa percaya diri seseorang akan meningkat bila dilibatkan dalam konsultan, sehingga hal ini akan mendorong seseorang untuk terlibat dalam aktivitas pembangunan. Kenneth J. Arrow di dalam Dasgupta and Serageldin
39
(1999) mengungkapkan bahwa penghargaan dapat meningkatkan intraksi antara masyarakat bukan karena motif ekonomi, tapi masyarakat lebih pada membangun jaringan pertemanan atau persabahatan. Mengingat bahwa pertukaran sosial merupakan jaminan yang bersifat non formal, maka penghargaan sifatnya baku dan tidak ada jaminan bagi pihak tertentu untuk dapat memngajak seseorang terlibat dalam pembangunan. Bronislaw Malinowski di dalam Turner (1987) memperkenalkan bahwa pertukaran terjadi bukan disebabkan oleh faktor ekonomi (materi) saja tetapi disebabkan oleh faktor non ekonomi yaitu simbul pertukaran (symbolic exchange) berupa perekat hubungan jaringan sosial. Faktor lainnya yang mendorong proses pertukaran dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam program pembangunan yaitu kepercayaan (trust). Howell et al. (1987) mengungkapkan bahwa banyak kegagalan implementasi demokrasi dan pelibatan masyarakat dalam program pembangunan diakibatkan oleh hilangnya legitimasi atau kepercayaan masyarakat. 2.2. Pengertian dan Bentuk Partisipasi 2.2.1. Pengertian Partisipasi Pendekatan partisipasi bukan merupakan pendekatan yang baru. Konsep partisipasi sudah dimulai sejak tahun 1940 an sebagai suatu pendekatan dalam pembangunan. Partisipasi datang dari virtue demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan proses perencanaan dan cara untuk melegitimasi serta mevaliditasi dalam perencanaan keputusan (Lane 2003) . Oleh karena itu, sejak tahun 1960 an pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan mulai diimplementasi dalam bentuk pengembangan masyarakat yang melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan pembangunan pada beberapa negara berkembang.
Masyarakat
dilibatkan dalam pembangunan infrastruktur, pengembangan keterampilan masyarakat dan kemampuannya dan mendorong masyarakat lokal untuk berperan dalam pembangunan. Beberapa ahli memahami partisipasi dalam pengertian yang berbeda sebagai berikut (dalam UNDP Guidebook On Participation) : 'With regard to rural development . . . participation includes people's involvement in decision-making processes, in implementing programmes, their sharing in the
40
benefits of development programmes and their involvement in efforts to evaluate such programmes.' (Cohen and Uphoff 1977) 'Participation is concerned with . . . the organised efforts to increase control over resources and regulative institutions in given social situations on the part of groups and movements of those hitherto excluded from such control.' (Pearse and Stifel 1979) 'Community participation [is] an active process by which beneficiary or client groups influence the direction and execution of a development project with a view of enhancing their well-being in terms of income, personal growth, self-reliance or other values they cherish.' (Paul 1987) 'Participation can be seen as a process of empowerment of the deprived and the excluded. This view is based on the recognition of differences in political and economic power among different social groups and classes. Participation in this sense necessitates the creation of organisations of the poor which are democratic, independent and self- reliant!' (Ghai 1990) 'Participatory development stands for partnership which is built upon the basis of dialogue among the various actors, during which the agenda is jointly set, and local views and indigenous knowledge are deliberately sought and respected. This implies negotiation rather than the dominance of an externally set project agenda. Thus people become actors instead of being beneficiaries.' (OECD. 1994) 'Participation is a process through which stakeholders influence and share control over development initiatives and the decisions and resources which affect them.' (World Bank 1994) Participation is involvement by a local people and, at times, additional stakeholderd in creation, content anda conduct of program or policy designed to change their lives (Jennings 2000). Pengertian partisipasi yang dikemukaan DAC’s (1997) hampir sama dengan yang dinyatakan oleh bank dunia yaitu sebuah proses melalui partisipasi aktif masyarakat dalam mempengaruhi keputusan yang memberikan dampak pada kehidupan mereka (Jensen 2000). Demikian juga
dengan yang
dinyatakan
Cornwall and Gaventa (2001) bahwa partisipasi merupakan sebuah proses pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Arnstein (1967) di dalam Setyowati (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai sebuah proses bertingkat dari pendistribusian kewenangan masyarakat, sehingga mereka dapat memperoleh kontrol yang lebih besar pada hidup mereka sendiri.
41
Definisi partisipasi menurut Syahyuti (2006) merupakan suatu proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan. Dengan demikian, maka pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenan dengan kehidupan masyarakat. Dari beberapa pemahaman partisipasi tersebut dapat diidentifikasi interpretasi partisipasi menjadi dua hal dalam pembangunan yaitu dilihat dari tujuan dan pendekatan pembangunan. Pertama, partisipasi dilihat sebagai sebuah proses yang mana penduduk lokal bekerjasama dan berkolaborasi dalam program pembangunan atau proyek. Kedua, partisipasi sebagai suatu tujuan yaitu pemberdayaan penduduk dalam peningkatan skill, pengetahuan dan pengalaman untuk lebih meningkatkan tanggungjawabnya dalam pembangunan. Dengan demikian, maka partisipasi dapat dimaknai sebagai ambil bagian atau share dalam suatu aktivitas pembangunan, sehingga ada dua kata yang dekat dengan pemahaman partisipasi yaitu perjanjian dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Oleh karena itu,
partisipasi dapat diberikan makna yaitu
menjauhkan masyarakat dari ketersingkiran pembangunan. 2.2.2. Bentuk Partisipasi Partisipasi dapat juga dibedakan berdasarkan bentuk partisipasi itu sendiri yaitu dalam tingkatan atau levelnya sebagai berikut : Arnstein dalam Setyowati (2006) mengidentifikasi partisipasi berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada partisipan sebagai berikut: Manipulasi (non level partisipasi), b. Terapi (non level partisipasi), c. Informasi, d. Konsultasi, e. Placation, f. Kemitraaan, g. Pendelegasian wewenang dan h. Kontrol masyarakat. Pada level manipulasi dan terapi (non level partisipasi) dimana inisiatif pembangunan tidak bertujuan untuk memberdayakan masyarakat tetapi membuat pemegang kekuasaan menyembuhkan atau mendidik masyarakat. Kemudian pada level berikutnya yaitu level informasi dan konsultasi yang disebut pula dengan sebutan tokenisme dimana masyarakat memperoleh informasi dan menyuarakan pendapat tapi tidak dijamin bahwa pendapat tersebut diakomodasi. Pada level placation yang merupakan level tertinggi dari tokenisme dimana masyarakat dapat memperoleh informasi dan memberikan informasi kepada pemegang kekuasaan
42
tetapi kewenangan tetap ditentukan oleh pemegang kekuasaan. Level berikutnya adalah kemitraan dimana masyarakat dapat bernegosiasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan. Kemudian pada level terakhir adalah pendelegasian dan kontrol masyarakat dimana masyarakat yang memegang kendali dalam pengambilan keputusan. Tingkatan partsipasi tersebut diringkas dalam tabel berikut ini. Tabel 2. Tingkat Partisipasi Masyarakat Menurut Arnstein (1969) No
Tangga/Tingkatan Partisipasi
1
Manipulasi
Komite berstempel
2
Terapi
3 4
Informasi Konsultasi
5
Placation
6 7
Kemitraan Pendelegasian Kekuasaan
Pemegang kekuasaan mendidik dan mengobati masyarakat Hak-hak masyarakat dan pilihannya diidentifikasi Masyarakat didengar tetapi tidak selalu dipakai sarannya Saran masyarakat diterima tetapi tidak selalu dilaksanakan Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberi kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program
Hakekat Kesertaan
Kontrol Oleh Mayarakat Sumber : Mitchell, Setiawan dan Rahmi (2003) ; Setyowati
Tingkatan Pembagian Kekuasaan Tidak ada Partisipasi
Tokenisme
Tingkatan Kekuatan masyarakat
8
(2006)
Kemudian UNCD (1996) juga membagi partisipasi menjadi delapan tahapan atau tingkatan yaitu : a.
Manipulation: Level terendah dari partisipasi (non partisipasi), dimana partisipasi dibangun sebagai peluang non doktrin.
b.
Information: Stakeholder diinformasikan tentang hak, tanggungjawab dan pilihan. Tahapan pertama yang penting adalah menuju pada keihlasan atau kesadaran untuk berpartisipasi. Pada tahapan ini terjadi satu arah komunikasi dengan jaringan atau sumber negosiasi
c.
Consultation: Pada tahapan ini terjadi komunikasi dua arah, dimana stakeholder memiliki kesempatan untuk mengekspresikan saran dan pemikiran, tetapi tidak dijamin apa yang disampaikan tersebut akan digunakan atau dimplementasikan dalam tujuan tertentu.
43
d.
Consensus-building: Pada level ini, stakeholders berinterakasi untuk dapat memahami dan bernegosiasi satu dengan lainnya dalam kelompok. Secara umum kelemahannya adalah kerentanan individu dan kelomppk yang cenderung diam atau menyetujui secara pasif..
e.
Decision-making: Ketika konsensus dilaksanakan melalui keputusan kolektif, maka ditandai dengan inisiasi pembagian tanggungjawab terhadap hasil dari aktvitas tersebut. Negosiasi pada tahapan ini merefelksikan perbedaan tingkat kemampuan dari individu dan kelompok
f.
Risk-sharing: Pada bentuk ini dimana terjadi pembagian manfaat dan resiko sebagai konsekuensi dalam pengambilan keputusan..
g.
Partnership: Pada bentuk partisipasi ini dimana terjadi hubungan kerjasama untuk mencapai tujuan yang telah dibangun bersama.
h.
Self-management: Bentuk ini merupakan puncak dari partisipasi, dimana stakeholder berinteraksi dalam proses pembelajaran yang memberikannya manfaat. Berbeda dengan yang lainnya Warner (1997) membedakan tiga bentuk
atau model partisipasi yaitu popular participation, selective participation dan consensus
partisipation.
Model
Popular
Participation
memiliki
tujuan
pemberdayaan (kepercayaan diri sendiri dan mobilisasi), kemudian Selective Participation memiliki tujuan keberlanjutan institusi dan Consensus Participation memiliki tujuan keberlanjutan sosial, ekonomi dan lingkungan Dearden et al. (1999) membedakan tujuh tipologi partisipasi sebagai berikut: a. Passive participation yaitu orang berpartisipasi
dalam bentuk hanya
mendengarkan apa yang sedang dan telah terjadi. b. Participation in information giving yaitu orang berpartisipasi dengan menjawab pertanyaan dan tidak mempengaruhi proses c. Participation by consultation yaitu orang berpartisipasi melalui konsultasi dan mendengarkan pandangan pihak lain (agent) d. Participation
for
material
incentive
yaitu
orang
berpartisipasi
atas
pertimbangan insentif . e. Fuctional participation yaitu orang berpartisipasi umumnya dalam bentuk kelompok yang berkaitan dengan tujuan proyek
44
f. Interactive participation yaitu partisipasi seseorang dalam mengkaji secara bersama (joint analysis) dalam membangun dan memformulasikan rencana aksi dalam kelompok. g. Self-mobilization yaitu orang berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas dalam institusi dalam merubah sistem. Probst et al. ( 2003) membagi empat tipe partisipasi sebagai berikut : a. Contractual participation yaitu aktor sosial memberikan hak pengambilan keputusan pada aktor sosial lainnya. b. Consultative participation yaitu Sebagaian besar keputusan dipengang oleh satu kelompok stakeholder tetapi penekananannya adalah pada konsultasi dan mengumpulkan informasi dari yang lain. c. Collaborative participation yaitu aktor yang berbeda berkolaborasi dan mengutamakan kesamaan hak melalui pertukaran pengetahuan, kontribusi dan distribusi kekuatan dalam pengambilan keputusan. d. Collegiate partisipation yaitu aktor yang berbeda berkerjasama sebagai kolega atau parner. Syahyuti (2006) menguraikan partisipasi dalam enam bentuk sebagai berikut : a. Co-option yaitu tidak ada input apapun dari masyarakat lokal dan peran masyarakat sebagai subyek. b. Co-operation yaitu terdapat insentif, namun proyek telah disesain oleh pihak luar yang menentukan agenda dan proses secara langsung serta
peran
masyarakat sebagai tenaga kerja dan subordinat. c. Consultation yaitu
opini masyarakat diperlukan sebagai informasi, namun
pihak luar yang menganalisa dan sekaligus menentukan bentuk akhirnya dan peran masyarakat sebagai clients. d. Collaborative yaitu masyarakat lokal bekerjasama dengan pihak luar untuk menentukan prioritas, dan pihak luar bertanggungjawab secara langsung kepada proses serta peran masyarakat sebagai collaborators. e. Co-learning yaitu masyarakat lokal dan luar saling membagi pengetahuannya untuk memperoleh saling pengertian dan bekerjasama untuk merencanakan
45
aksi, sementara itu pihak luar hanya memfasilitasi serta peran masyarakat sebagai parner. f. Collective action
yaitu masyarakat lokal menyusun dan melaksanakan
agendanya sendiri, sementara itu pihak luar absen sama sekali dan peran masyarakat sebagai director. Menurut Inoue (1998), bentuk partisipasi masyarakat pada hutan tergantung dari tipe pengelolaan hutan itu sendiri dan dapat bervariasi bentuknya dari satu tempat dengan tempat lainnya. Secara umum terdapat beberapa bentuk partisipasi atau kerja kelompok sebagai berikut : a. Partisipasi Individu (individual participation) adalah partisipasi individu dalam aktivitasnya sebagai sukarelawan. b. Partisipasi Kelompok Temporer (temporary group partipation) adalah beberapa orang mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompok yang sifatnya sementara seperti tolong-menolong. c. Partisipasi Kelompok Tetap (fixed group participation) adalah setiap individu sebagai anggota kelompok mengambil inisiatif untuk berpartisipasi pada kelompoknya. d. Partisipasi upah kerja (wage labor partipation) adalah individu sebagai tenaga kerja berpartisipasi pada suatu aktivitas dengan tujuan untuk memperoleh upah. 2.2.3. Multipihak dan Aksi Kolektif Dalam Sektor Kehutanan 2.2.3.1. Proses Multipihak Hutan merupakan property yang sering dipersengketakan oleh kelompokkelompok yang berkepentingan karena beragamnya manfaat yang diberikan oleh hutan terhadap kehidupan. Untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan tersebut, strategi kolaborasi antar pihak atau Multipihak (Multi Stakeholders) sebagai salah satu alternatif yang cukup rasional dan efektif. Multipihak dapat berupa individu, kelompok dan organisasi yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh suatu kebijakan atau tujuan yang ingin dicapai bersama dari institusi tertentu (Buck et al. 2005). Oleh karena itu, proses multi-pihak (MSP) dipahami sebagai pendekatan baru untuk mendorong perorangan dan organisasi bekerjasama, atau memperbaharui kerjasama dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang
46
semakin rumit.
Melalui pendekatan tersebut, seluruh pemangku kepentingan
(stakeholders) utama dibawa ke “…a new form of communication, decisionfinding (and possibly decision-making)…” berkenaan dengan masalah tertentu, seperti pembangunan berkelanjutan, hak-hak asasi manusia, kesetaraan jender, atau kehutanan. Pemangku kepentingan sendiri didefinisikan sebagai “those who have an interest in a particular decision, either as individuals or representatives of a group. This includes people who influence a decision, or can influence it, as well as those affected by it” (Fahmi et al. 2003). Sebagai pendekatan baru, sejumlah nilai mendasar disebutkan sebagai pondasi MSP. Dua kelompok nilai yang terpenting adalah a). proses ini menekankan pentingnya pemerataan dan keadilan dalam perumusan mekanisme pengaturan dan pengurusan (governance), ataupun dalam distribusi manfaat, b). proses dimaksud didasarkan pula atas prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi dalam interaksi para pihak. Nilai-nilai kedua merupakan prasyarat untuk mencapai nilai-nilai pertama (Fahmi et al. 2003). Agar dapat berpartisipasi dengan baik, jelaslah bahwa hak bersuara saja tidaklah cukup. Hemmati menyebutkan bahwa efektivitas penyampaian aspirasi dan kepentingan ditentukan oleh kapasitas; kapasitas merupakan fungsi dari informasi dan pengetahuan, waktu, dan sumber daya. Demikianlah, maka di balik gagasan MSP, terdapat sejumlah pengandaian penting yang merupakan kekuatan, tapi mungkin juga sekaligus kelemahan pendekatan ini dalam konteks Indonesia. Pengandaian-pengandaian dimaksud adalah (Fahmi et al. 2003): a) memadainya institusi demokrasi, sehingga pengakuan minimal terhadap hak bersuara dapat berjalan dengan tulus dan substansial; b) adanya kesetaraan dalam kapasitas khususnya berkaitan dengan informasi/pengetahuan dan kuasa/otoritas baik karena faktor-faktor struktural maupun kultural, sehingga partisipasi dalam proses pengambilan keputusan dapat produktif. Aransemen institusional adalah aturan-main berkenaan dengan: siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan, bagaimana informasi distrukturkan, aksi apa yang dapat diambil dan dalam urutan yang bagaimana, dan bagaimana aksi individual disinergikan menjadi aksi kolektif. Secara kategoris sejauh ini dikenal tiga aransemen institusional utama dalam pengelolaan hutan, yaitu negara
47
(hirarki), pasar, dan sukarela (voluntary), yang bekerja baik sendiri-sendiri maupun saling terkait satu sama lain. Institusi negara bekerja dalam pengelolaan hutan menurut versi pemerintah, seperti penetapan hutan lindung dan hutan produksi; institusi pasar digunakan dalam pengelolaan hutan melalui skema HPH, HTI, dan semacamnya; dan institusi sukarela, seperti hukum adat, mengatur bagaimana hutan perlu dikelola menurut komuniti adat – yaitu: dijaga, diambil manfaatnya, dan menjadi unsur kebudayaan masyarakat setempat. Berbeda dengan pendekatan sebelumnya, pendekatan MSP tidaklah memisahkan secara kaku wilayah-kelola institusi negara, pasar, dan masyarakat. Wilayah-kelola tersebut dipandang saling terkait satu sama lain, sehingga diperlukan kesepahaman dan kerjasama yang erat di antara ketiganya. Melalui aktor-aktor yang mewakilinya, ketiga institusi dimaksud diharapkan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi” merumuskan model pengelolaan yang dapat disepakati dan/atau dijalankan bersama. Karena pergeseran pendekatan yang demikian jauh, maka sejumlah pertanyaan patut dibahas, seperti: bagaimana institusi yang berbeda kepentingan ataupun kuasanya, dapat dikonsolidasikan dalam pengelolaan suatu wilayah dan/atau bidang-kelola tertentu? Perlakuan apa yang dilakukan agar asumsi kesetaraan tersebut dapat dipenuhi? Jika, melalui suatu insentif tertentu kerjasama dapat dijalin, bagaimana menjamin bahwa kerjasama tersebut akan berlanjut? Dengan kategori pihak yang demikian beragam, maka dapat dibayangkan perhubungan di antara merekapun merupakan perhubungan yang rumit dan berlapis. Hubungan tersebut disajikan pada gambar di bawah ini.
48
LOCAL (First Appropriators) LOCAL (First Appropriators)
EXTERNAL (Second Appropriators)
POLICY MAKERS
Identifikasi Kepentingan (sama/beda)
EXTERNAL (Second Appropriators)
Identifikasi Kepentingan (sama/beda)
MSP POLICY MAKERS
Identifikasi Kepentingan (sama/beda)
Sumber. Fahmi et al. (2003)
PP Gambar 4. Skema Hubungan Antar Pihak dalam Proses Kehutanan Multipihak Konsekuensi hal di atas adalah bahwa konsolidasi institusional para-pihak tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Karena itu, untuk melihat kelayakannya pada skala institusi, perlu didiskusikan terlebih dahulu kelayakan kerjasama dimaksud pada tingkat individu, khususnya antara individu-individu yang rasional dan mementingkan diri sendiri (self-interest). 2.2.3.2. Aksi Kolektif Pemikir analisis institusional telah menunjukkan bahwa suatu aksi bersama (collective action) di antara individu atau kelompok dapat berlangsung jika manfaat yang diperoleh, atau diharapkan oleh para pihak dari keterlibatannya dalam aksi tersebut lebih besar daripada biaya yang harus ditanggung. Manfaat tidak harus berupa manfaat segera, tapi dapat pula berupa manfaat yang diharapkan di masa depan dan manfaat tidak harus terdistribusi merata. Aksi bersama dapat terjadi jika aktor-aktor dominan mendapatkan keuntungan yang membuatnya tertarik menggagas, mendorong dan/atau melaksanakan aksi bersama. Biaya yang terutama dimaksud di sini adalah biaya transaksi. Biaya transaksi adalah biaya yang dikeluarkan untuk menggalang aksi bersama,
49
termasuk untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Selanjutnya rasa saling percaya dapat dijadikan mekanisme untuk meminimalkan biaya transaksi, sehingga memungkinkan terjadinya aksi bersama (Fahmi et al. 2003). Proposisi di atas merupakan koreksi terhadap model “the tragedy of the common” dan model “the prisoner’s dilemma”, yang pesimis terhadap kelayakan aksi bersama. Model di atas banyak mempengaruhi pemikir dan perumus kebijakan publik tahun 1960-an, dan menjastifikasi peran dominan institusi negara. Premis mengenai fenomena penunggang gelap (free rider): seseorang yang tidak dapat dikecualikan dalam pemanfaatan suatu barang/jasa publik ketika barang/jasa tersebut telah tersedia tidak akan memperoleh insentif untuk berkontribusi dalam penyediaannya. Faktor pendorong terjadinya aksi bersama adalah ada dan dipatuhinya kesepakatan tentang tujuan, batas, dan landasan kerjasama, tersedianya struktur insentif dan dis-insentif yang menjamin para-pihak mematuhi komitmennya. Mendasari faktor-faktor di atas adalah pengakuan dan penghormatan atas kesetaraan posisi para pihak yang bekerja sama. Namun meski telah semakin lengkap, pemenuhan faktor-faktor di atas tetaplah menyisakan satu faktor kritis, yaitu waktu. Waktu adalah penguji kredibilitas komitmen para pihak yang tak dapat dimanipulasi atau digantikan. Pemenuhan berbagai faktor / syarat yang disebut sebelumnya, meski penting, belum menjamin tercapainya hasil yang memuaskan. Menurut Fisher (1995) di dalam Asanga (2005) bahwa pendekatan kolaboratif atau aksi bersama dalam pengelolaan hutan memiliki keuntungan yaitu memberikan manfaat bagi masyarakat lokal berupa akses dan pendapatan dari produk hutan sebagai konsekuensi dari masyarakat yang melakukan konservasi. Kemudian Mitchell et al.
(2003) menyatakan bahwa ada beberapa alasan
pentingnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumberdaya alam yaitu ; a). Merumuskan persoalan menjadi lebih efektif; b). Merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima; c). Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan ilmiah; d). Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaiaan dan memudahkan penerapannya.
50
Namun
Asanga
(2005)
dalam
kasus
pendampingan
masyarakat
mengkonservasi hutan di Kamerun menemukan adanya kelemahan dari pendekatan multipihak yang kolaboratif yaitu keputusan yang dibuat tidak selalu partisipatif, karena beragamnya kepentingan
dari masing-masing pihak.
Beragamnya kepentingan tersebut dikemukakan oleh Peluso (2006) di dalam Maring (2008) bahwa negara memiliki kepentingan atas hutan untuk mewujudkan kekuasaannya atas sumberdaya hutan dengan menguasai lahan, spesies dan tenaga kerja serta aspek idiologis. Sementara itu, kepentingan masyarakat adalah menguasai hutan adalah sebagai tempat untuk bertahan hidup, kekuasaan dan tanggungjawab memelihara warisan nenek moyang serta hutan merupakan masa depan anak cucu. Lebih jauh, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masuk memiliki kepentingan terlibat dalam pengelolaan hutan untuk mendukung kepastian hak (property right) atas lahan bagi masyarakat (Maring 2008). Beragamnya kepentingan stakeholder tersebut timbul dari tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mewujudkan kepentingan tersebut, sering sekali digunakan kekuatan (power) yang muncul dari kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak. Sebagai konsekuensinya adalah muculnya konflik kepentingan, sehingga tidak tercapainya aksi bersama sebagai keputusan akhir yang baik bagi semua pihak (Maring 2008). Keputusan aksi bersama dapat juga tidak tercapai sebagai akibat dari besarnya kelompok, sehingga keputusan yang diambil tidak mewakili kepentingan anggota. Pada kondisi yang demikian keberadaan anggota dalam organisasi atau kelompok sering diibaratkan dalam kondisi pasar persaingan sempurna. Artinya, tidak satupun dari anggota kelompok dapat mempengaruhi keputusan yang diambil (Olson 1977). Konfik kepentingan para pihak belum cukup untuk memahami persoalan pengelolaan hutan, karena masih ada faktor lain yaitu karakteristik dari sumberdaya hutan itu sendiri. Berdasarkan kepemilikannya, maka hutan dapat dikelompokkan dalam Common-Pooll Resources (CPR) yang dapat dibedakan dari barang publik lainnya. Karakteristik hutan sebagai barang yang bersifat CPR dicirikan sebagai berikut ; a). konsumsinya bersifat individual dan bersaing; b). tidak mungkin, atau sangat mahal, untuk mengeluarkan seseorang dari konsumsi sekali barang/jasa dimaksud telah tersedia. Dengan demikian, maka menyebabkan
51
terjadinya persaingan untuk meraih manfaat tanpa harus memberikan kontribusi (membayar), menjadikan para pihak rentan terlibat konflik, sebagaimana meluas terjadi pada berbagai lingkungan dan masa. Dengan kata lain, setiap orang mendapat insentif untuk menjadi penunggang gelap (free-rider). Sementara, karena persoalan kecukupan pasokan sebagaimana digambarkan di atas, maka penyediaan barang/jasa tersebut haruslah dilakukan melalui aksi bersama, termasuk dengan mewajibkan setiap penerima manfaat (potential beneficiaries) untuk berkontribusi dalam penyediaannya (Fahmi et al. 2003; Kartodiharjo 2006a; Runge 1992). Karena karakteristik dari sumberdaya hutan yang termasuk dalam katagori CPR, maka diperlukan suatu penyusunan institusi khusus pula. Fahmi et al. (2003) mengungkapkan bahwa institusi yang dimaksud dapat berupa institusi masyarakat (institusi komuniti) yang dapat mengatur fungsi produksi dan fungsi konsumsi suatu CPR. Institusi tersebut sebaiknya tumbuh dari sekelompok orang yang memenuhi ciri-ciri suatu komuniti, seperti masyarakat (hukum) adat. Pada masyarakat tersebut, telah berkembang antar generasi suatu aturan-main (rules-inuse) yang mengatur apa yang boleh, harus, dan terlarang dilakukan oleh warga komuniti. Singkat kata, institusi komuniti memiliki struktur insentif dan disinsentif, yang memungkinkan komuniti dapat memenuhi keperluan kolektifnya, termasuk keperluan kolektif akan CPR. Prinsip desain tersebut adalah: (1). Adanya batas (boundaries) yang jelas, baik berkaitan dengan individu atau rumah tangga yang memanfaatkan, maupun berkaitan dengan CPRnya sendiri; (2) Kesesuaian antara aturan (rules) pemanfaatan dan penyediaan, dan kondisi lokal; (3) Modifikasi susunan pilihankolektif
(collective-choice
arrangements),
khususnya
di
tingkat
aturan
operasional, mengikutsertakan (dalam pengambilan keputusan) pihak-pihak yang terkena dampaknya; (4). Pemantauan perilaku pengambil manfaat (appropriators) dan kepada siapa pemeriksa kondisi CPR bertanggungjawab; (5). Sanksi berjenjang terhadap setiap pelanggar aturan-main; (6). Tersedia mekanisme resolusi konflik; dan (7). Pengakuan minimal atas hak komunitas untuk mengorganisasikan diri.
52
Mengingat bahwa spessifiknya karakteristik hutan, maka diperlukan metode tertentu dalam menganilisisnya. Atribut yang tersusun tersebut saling berkaitan satu dengan lainnya. Oakerson (1992) mengemukaan empat atribut atau variabel yang digunakan untuk kepentingan analisis barang yang bersifat common yaitu a). variabel fisik merupakan fasilitas dan teknologi tepat guna yang digunakan memproduksi sumberdaya tersebut; b). pengaturan organisasi atau aturan main yang digunakan untuk pengambilan keputusan; c). pola interaksi antar stakeholders; dan d). hasil (outcomes) dan konsekuensi. Hubungan masing-masing atribut digambarkan pada skema di bawah ini. c Physical Attributes & technology a Patterns of Interaction
e
Decesion-Making Arrangements
d
Outcomes
b
Sumber. Oakerson 1992
Gambar 5. Skema Analisis Barang yang Bersifat Common 2.3. Manajemen Pengelolaan Hutan di Indonesia 2.3.1. Sejarah Pengelolaan Hutan Pengelolaan hutan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga periode yaitu era penjajahan, era kemerdekaan, orde baru dan era reformasi (Poffenberger and Smith-Hanssen 2004). Pada era penjajahan dikelompokkan menjadi masa penjajahan
Belanda dan Jepang.
Pada tahun 1596, VOC mulai melakukan
operasi penebangan dan pada tahun 1799 VOC berperan sebagai pengelola dan administratur dalam operasi penebangan hutan. Pada tahun 1808 Dienst van het Boschwezen ( the forest service) didirikan dan memiliki hak dalam mengkontrol lahan, tanaman dan tenaga kerja. Ahirnya pada tahun 1935 penjajah Belanda mulai mengadopsi sistem tumpangsari sebagai bentuk dari pengelolaan hutan. Namun pada masa penjajahan Jepang, kontrol hutan di Pulau Jawa dilakukan oleh Ringyoo Tyuoo Zimusyoo (Jawatan Kehutanan).
53
Pada masa kemerdekaan yaitu tahun 1950 an telah dilakukan usaha perubahan manajemen hutan, namun masih berada dalam pengelolaan Jawatan kehutanan dengan estimasi luas hutan di Pulau Jawa sekitar 5.07 juta hektar. Kemudian pada tahun 1961 Perusahaan Negara Perhutani
didirikan untuk
mengelola hutan di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur serta Pulau Jawa. Pada tahun 1962 PN Perhutani mulai mengumumkan Program Multiguna dari Hutan (multiple use forest program). Pada masa orde baru dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 yang isinya adalah bahwa pengelolaan hutan dapat dilakukan oleh negara dan pihak swasta melalui beberapa konsesnsus. Pada masa ini sering terjadi konflik antara perusahaan negara dengan masyarakat, sehingga pada tahun 1972 melalui PP No. 15 tahun 1972 melalukan merger pada PN Perhutani Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi satu perusahaan yaitu Perum Perhutani dan tahun 1978 melalui PP No. 2 , perum perhutan mulai beroperasi termasuk pada wilayah Jawa Barat. Kemudian pada sekitar tahun 1970 an Perum Perhutani mulai mengimplementasikan Multi-use Forest Program sebagai pendekatan dalam pengelolaan hutan dan sekitar tahun 1982 Perum Perhutani mengimplementasikan model pendekatan yaitu Program Pemberdayaan Masyarakat Hutan yang kemudian berubah menjadi Program Social Forestry (program perhutanan sosial). Pada tahun 1986 terjadi perubahan peraturan pemerintah yaitu PP No. 36 tahun 1986 menggantikan PP No. 2 Tahun 1978 yang habis masa berlakuknya yang meminta agar dilakukan pembaharuan pada Perum Perhutani. Pada era reformasi (tahun 1979) terjadi konflik yang terus meningkat antara masyarakat dengan perusahaan swasta maupun perusahan negara yang mengelola kawasan hutan. Undang-undang No. 22 tahun 1999 memberikan wewenang
pada pemerintah daerah (level kabupaten) untuk mengelola
sumberdaya dan terjadi pula revisi terhadap undang-undang kehutanan yang menghasilkan UU No. 41 tahun 1999 dimana memberikan hak yang terbatas terhadap masyarakat dalam pengelolaan hutan. Dampak dari perubahan tersebut, terjadi perubahan peran Perum Perhutani sebagai pengelola hutan melalui PP No.53 dan pendekatan militer dimanfaatkan
untuk mengatasi persoalan
perambahan hutan. Kemudian tahun 2000, pendekatan sosial forestry yang
54
dikembangkan oleh
Perum
Perhutani
berubah
menjadi
Collaborative
Management Program (PHBM). Tahun 2001, melalui TAP MPR No. 9 terjadi reformasi Undang-undang Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. PP No. 14 mengubah Perum Perhutani menjadi PT. Perhutani dan PP No.34 tahun 2002 mengubah manajemen pengelolaan hutan negara untuk kepentingan perencanaan pembangunan manajemen hutan. PP No. 30 tahun 2003 mengantikan PP No. 14 mengembalikan Perum Perhutani sebagai perusahaan koorporasi negara. 2.3.2. Konsep Pengelolaan Hutan Sosial dan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Sejak awal pembangunan nasional sampai sekarang ini pengelolaan hutan sosial (social forestry) mengalami perkembangan, artinya pemerintah secara bertahap memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan hutan. Perkembangan pengelolaan hutan sosial tersebut juga tidak terlepas dari perkembangan tuntutan masyarakat dan perkembangan politik di Indonesia. Dari pemahaman para ahli yang beragam, maka definisi social forestry berbeda pula. Istilah social forestry pada awalnya digunakan oleh Westoby dalam Ninth Commonwealth Forestry Congress di Delhi India tahun 1968 dan mendefinisikan Social Forestry sebagai “ a forestry which aims at production flow of protection and recreation benefits for the community” (Kartasubrata 2002). Namun istilah Social Forestry itu sendiri diperkenalkan setelah Kongres Kehutanan Dunia ke VIII tahun 1978 di Jakarta dengan diperkenalkannya konsep forest for people. Akan tetapi istilah tersebut bukan hal yang baru untuk Indonesia, karena sejak abad 18 pemerintah belanda melakukan pengelolaan hutan (khususnya tanaman jati) dengan sistem tumpang sari (Poffenberger and Smith-Hanssen 2004; Riyanto 2005) Kemudian untuk kondisi di India pada saat itu Tiwari mendefinisikan “Social Forestry sebagai The science and art of growing trees and or other vegetation on all land available for purpose, in outside forest areas, and managing existing forest with intimate involvement of the people and more and less integrated with other operations, resulting in balance and complementary land use with a view to provide a wide range of goods and services to the
55
individuals as well as to the society”. Wiersum (1984) mendefinisikan Social Forestry sebagai “Participatory Forestry, relating to forest management activities planned by profesional forestry sevices in which popular participation with the management of centrally controlled forest land is encouraged” (Kartasubrata 2002). Menurut Direktorat Bina Hutan Kemasyarakatan Departemen Kehutanan (2003) menyebutkan bahwa Social Forestry didefinisikan sebagai sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan (Anonim 2003). Kemudian Tiwary berpendapat bahwa Social Forestry pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dari hutan di pedesaan. Adapun Prinsip Social Forestry terdiri dari enam aspek yaitu pertama, aspek sistem pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya serta tidak lagi hanya mementingkan aspek kayu saja; kedua,
aspek
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat; ketiga, aspek yang meningkatkan kualitas lingkungan, khususnya sumberdaya hutan; aspek menghormati dan mengakui inisiatif social forestry; keempat, menghormati dan mengakui keragaman inisiatif social forestry; kelima, aspek yang mendorong proses kolaborasi multipihak; dan keenam, aspek adanya dukungan pemerintah (Kartasubrata 2002; Riyanto 2005). Pengelolaan hutan sosial di Indonesia mengalami perkembangan dan disajikan dalam uraian berikut ini (Munggoro et al. 2001; Ngadiono 2004) : a. Hak Pengusahaan Hutan Bina Desa (HPH Bina Desa) Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sesungguhnya sejak awal memiliki tanggungjawab terhadap pemabangunan masyarakat desa melalui pembinaan masyarakat setempat, namun keadaan ini tidak sesuai dengan harapan, dimana terjadi kesenjangan ekonomi antara kedua belah pihak. Untuk mengatasi persoalaan kesenjangan tersebut, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pembinaan dan pengembangan masyarakat di dalam dan sekitar hutan kepada pemegang HPH yang disebut dengan HPH Bina Desa yang diatur pelaksanaannya
56
melalui SK Menteri Kehutanan No.691/Kpts-II/1991 tentang peranan pemegang HPH dalam Pembinaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Hutan. HPH Bina Desa ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta meningkatkan kualitas sumberdaya hutan. Sasarannya diarahkan untuk ; 1). Meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja dan berusaha serta tumbuhnya ekonomi masyarakat yang berwawasan lingkungan; 2). Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang memadai; 3). Terciptanya kesadaran dan prilaku positip dalam pelestarian sumberdaya hutan sehingga dapat meningkatkan keamanan sumberdaya hutan secara swakarsa dan pengendalian
perladangan
berpindah. Untuk mencapai tujuan dan sasaran
tersebut, kegiatan HPH Bina Desa ditetapkan meliputi lima aspek yaitu pertanian menetap, peningkatan ekonomi, pengembangan sarana dan prasarana umum, sosial budaya serta pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan. b. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) Banyaknya kelemahan yang ditimbulkan oleh pemegang HPH Bina Desa dalam sistem perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi di lapangan, maka untuk mengatasi
permasalahan
tersebut
dikeluarkan
SK
Menteri
kehutanan
No.697/Kpts-II/1995 tentang Kewajiban Pemegang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri dalam Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Tujuan dari PMDH adalah membantu mewujudkan terciptanya masyarakat yang mandiri, sejahtera dan sadar lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka sasaran dari PMDH diarahkan pada 1). Meningkatkan pendapatan, kesempatan kerja dan berusaha serta tumbuhnya ekonomi masyarakat yang berwawasan lingkungan; 2). Tersedianya sarana dan prasarana sosial ekonomi yang memadai; 3). Terciptanya kesadaran dan prilaku positip dalam pelestarian sumberdaya hutan sehingga dapat meningkatkan keamanan sumberdaya hutan secara swakarsa dan pengendalian perladangan berpindah. Sesuai dengan tujuan dan sasaran PMDH, maka kegiatan pembinaan masyarakat meliputi ; 1). Mengadakan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan
di berbagai bidang (budidaya tanaman pangan,
57
hortikultura, tanaman kehutananan, peternakan, pertukangan kayu, dan bidang kesenian patung atau ukir; 2). Menyediakan sarana dan prasarana seperti poliklinik, koperasi dan sekolah yang dibangun oleh perusahaan; 3). Mengadakan kegiatan penyuluhan tentang pentingnya konservasi sumberdaya alam dan melibatkan masyarakat dalam kegiatan konservasi tersebut. c. Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan Kemasyarakatan merupakan salah satu bentuk perhutanan sosial yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan dan diatur dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan. Perhutanan sosial merupakan model pengelolaan yang melibatkan masyarakat yang dapat dilakukan dalam kerjasama dengan semua pihak dan menjadi payung dari semua kebijakan, seperti Hutan Kemasyarakatan, Kehutanan
Masyarakat,
Hutan
Rakyat,
Hutan
Tanaman
Industri
yang
dikembangkan bersama masyarakat, dan Wana Tani. Munggoro et al. (2001), menyatakan bahwa kebijakan HKm pada hakekatnya adalah penyerahan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat setempat dalam mengelola kawasan hutan negara untuk menjamin integritas ekosistem hutan, pencapaian kesejahteraan rakyat, keadilan sosial, pengembangan demokrasi, peningkatan akuntabilitas publik dan kepastian hukum. Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Teggara Barat Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan di Propinsi Nusa Tenggara memberikan definisi bahwa Hutan Kemasyarakatan (Hkm) merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh kelompok usaha masyarakat setempat dan bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokok hutan. Secara umum pengembangan Hutan Kemasyarakatan memiliki beberapa tujuan penting yaitu untuk mewujudkan keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan disekitar hutan melalui manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya dari hutan secara seimbang dan berkelanjutan (Anonim 2004). Sementara itu, tujuan pengembangan HKm dalam Munggoro (2001)
adalah meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup,
kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat. Tujuan HKm tersebut secara rinci sebagai berikut:
58
a) Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat dalam pengusahaan hutan kemasyarakatan b) Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan menfaat kehutanan. c) Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan. d) Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat. e) Mendorong serta mempercepat pengembangan wilayah. d. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan variasi lain dari dalam model social forestry yang menekankan pada aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan, baik dalam proses perencanaan, proses pelaksanaan dan dalam proses pengawasan. PHBM muncul dalam berbagai bentuk, nama atau model pengelolaan hutan. Tafsiran model PHBM sangat ditentukan oleh derajad atau tingkat peran serta atau partisipasi masyarakat, hak dan pengambilan keputusan oleh masyarakat. PHBM memiliki cakupan luas mulai dari perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemeliharaan, pengamanan hutan, pengambilan hasil, pemasaran sampai dengan konservasi dan rehabilitasi.Pengembangan PHBM di Indonesia dipengaruhi oleh pengembangan model pengelolaan hutan diluar negeri yaitu konsep pengelolaan hutan berorientasi pada masyarakat yang dikenal dengan social forestry dan community forestry dan CBFM (Community Based Forest Management). Prinsip pengelolaan hutan berbasis masyarakat muncul dalam berbagai nama atau model pengelolaan dengan misi dan motivasi yang berbeda-beda. Dengan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan memberikan nama yang berbeda-beda terhadap PHBM diantaranya yaitu Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pengelolaan Hutan Berpusat Masyarakat, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat, Pengelolaan Hutan Untuk Masyarakat, Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat, dan Pengelolaan Hutan Berorientasi Pada Masyarakat.
59
e. Hutan Desa Pengertian hutan desa dapat dilihat dari berbagai aspek atau beberapa pandangan antara lain ; Dipandang dari aspek teritorial, hutan desa merupakan hutan yang masuk wilayah administrasi sebuah desa definitif dan ditetapkan oleh kesepakatan masyarakat. Dilihat dari aspek status, hutan desa merupakan kawasan hutan negara yang terletak pada wilayah administrasi desa tertentu. Dipandang dari aspek pengelolaan, hutan desa adalah kawasan hutan milik rakyat dan pemerintah yang terdapat dalam suatu wilayah administrasi desa tertentu dan ditetapkan secara bersama-sama oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai hutan desa yang dikelola oleh organisasi masyarakat desa. Bila dilihat dari perspektif UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, khususnya pada penjelasan pasal 5 ayat (1), hutan desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Pengelolaan hutan desa mengandung spirit kuat berkaitan dengan social capital seperti partisipasi, akuntabilitas, pemerataan, kesejahteran sosial dan integrasi sosial. Pemahaman mengenai hutan desa sangat berbeda dengan konsep kehutanan konvensional dimana dari aspek ontologi adalah eksploitasi sumber kayu untuk kepentingan industri, kemudian dari aspek epistomologinya adalah bertumpu pada pemahaman kekuasaan negara atas sumberdaya hutan. Secara umum perencanaan hutan desa melibatkan unsur-unsur yaitu data dasar, memiliki tujuan dan sasaran yang jelas, dukungan kebijakan yang jelas, memiliki program dan kegiatan yang jelas, dukungan kelembagaan dan pendanaan dan pengawasan, monitoring serta evaluasi. Dari lima perkembangan model pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat, ternyata pendekatan institusi menjadi penting. Pendekatan institusi yang optimal mempertimbangkan karakteristik sumberdaya alam, kapabilitas negara dan kekuatan modal sosial. Birner dan Wittmer (2000) dalam Nurrochmat (2005) mengajukan empat alternatif pengelolaan hutan melalui pendekatan institusi sebagai berikut : Pertama, jika kapabilitas negara rendah dan modal sosial juga rendah, maka model institusinya adalah sistem kontrak seperti HPH (Hak Pengelolaan Hutan). Kedua, jika kapabilitas negara tinggi sedangkan modal sosial rendah, maka pilihan institusi adalah public sector management (BUMN dan
60
sejenisnya). Ketiga, bila kapabilitas negara rendah sedangkan modal sosial tinggi, maka pilihan institusinya adalah community based management. Keempat, bila kapabilitas negara tinggi dan modal sosial tinggi, maka pilihan institusinya adalah co-management. Kemudian mengingat bahwa pengelolaan hutan melibatkan jangka waktu yang panjang, maka dalam pengelolaannya tentunya membutuhkan kepastian hak tenurial dan keputusan kolektif untuk dapat mencapai keberhasilan pengelolaan hutan. Kondisi tersebut digambarkan oleh Dick dan Gregorio (2004) di dalam Kartodihardjo (2006a) sebagai berikut : Rendah
Pengamanan Hak Tenurial
Tinggi
Tinggi Regional
Ruang
Pengendalian Hama Terpadu
DAS
Hutan (negara
Terasering
Keputusan Kolektif
Pengairan
Bibit Unggul Agroforestry Rendah
Lokal
Jangka Pendek
Waktu
Jangka Penjang
Gambar 6. Struktur Institusi Pengelolaan Sumberdaya Secara ringkas perbedaan mendasar dari model perhutanan sosial disajikan dalam tabel berikut ini.
61
Tabel 3. Perbedaan Berbagai Aspek Model Perhutanan Sosial (Social Forestry) di Indonesia No
Aspek
1
Aktor Terlibat
2
Proses Kebijakan
HPH Bina Desa Masyarakat sekitar hutan dan Investor (HPH)
SK Menteri Kehutanan No.691/KptsII/1991
Model Social Forestry HKm Masyarakat sekitar hutan, pemerintah, LSM, Koperasi dan Perguruan Tinggi SK Menteri SK Menhut No. kehutanan 622/KptsNo.697/Kpts II/1995, SK. -II/1995 Mehutbun No. 677/KptsII/1998 dan SK Menhut No : 31/Kpts-II/2001 Peningkatan Pelibatan kesejahteraa masyarakat n masyarakat lokal dalam sekitar HPH pengelolaan melalui hutan, pemberdayaa peningkatan n ekonomi kesejahteraan dan pelestarian hutan PMDH Masyarakat sekitar hutan dan Investor (HPH)
3
Tujuan Akhir Kebijakan
Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan HPH melalui pemberdayaan ekonomi
4
Mekanis me Insentif
Pemberdayaan ekonomi berbasis hutan dan non hutan
Pemberdayaan ekonomi berbasis hutan dan non hutan
Pemberdayaan ekonomi berbasis hutan dan pemungutan hasil non kayu
5
Benefit Sosial
Partisipasi masyarakat intra generasi
Partisipasi mayarakat antar generasi
6
Benefit Ekonomi
Pendapatan dari aktifitas ekonomi dan bantuan untuk pembangunan masyarakat desa
Partisipasi masyarakat intra generasi Pendapatan dari aktifitas ekonomi dan bantuan untuk pembanguna n masyarakat
7
Produksi lestari
9
Resiko
Muncul konflik antar masyarakat dengan HPH
Produksi lestari Masyarakat dilibatkan dalam pemberdayaa n oleh perusahaan (HPH) Muncul konflik antar masyarakat dengan HPH
Hutan lestari
8
Benefit Ekologi Prasyarat Keberhasi lan
Masyarakat dilibatkan dalam pemberdayaan oleh perusahaan (HPH)
PHBM Masyarakat sekitar hutan, LSM, pemerintah dan investor
-
Hutan Desa Masyarakat sekitar hutan, pihak desa dan investor
UU No. 41 Tahun 1999, pasal 5 ayat 1
Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan, peningkatan kesejahteraan dan pelestarian hutan Pemberdayaan ekonomi berbasis hutan dan pemungutan hasil kayu dan non kayu Partisipasi mayarakat antar generasi
Meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat desa
Pendapatan dari hasil pengelolaan hutan berupa tanaman MPTS dan Kayu dengan sistem bagi hasil Hutan lestari
Pendapatan dari hasil produksi kayu dan non kayu
Masyarakat dilibat dalam kelompok dan melakasakan program HKm
Masyarakat dilibat dalam kelompok dan melakasakan program PHBM
Pihak desa melibatkan masyarakat dalam pengelolaan kawasan hutan
Perambahan dan konflik horizontal dan vertikal
Perambahan dan konflik horizontal dan vertikal
Perambahan dan konflik horizontal dan vertikal
Pendapatan dari hasil pengelolaan hutan berupa tanaman pangan, MPTS dan non kayu
Pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan berupa kayu dan non kayu Partisipasi mayarakat antar generasi
Hutan lestari
62
Tabel 3. Lanjutan .... No
Aspek HPH Bina Desa Menghasilkan produksi kayu lestari
10
Keunggulan
11
Kelema han
Masyarakat tidak terlibat dalam pengelolaan hutan dan tidak bertanggungjawab untuk pencapaian hutan lestari
12
Tipe Partisipa si Basis
Partisipasi tidak aktif
Kesetiakawanan Kemitra an
Kesetiakawanan lemah Tidak ada kemitraaan Atau otoritas perusahaan HPH
Masalah masalah yang dihadap ai
KonflikTenurial Konflik Vertikal Masyarakat dengan Unit Manajemen Kelembagaan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Hutan (Hutan Produksi)
13 14 15
16.
Berbasis perusahaan
Model Social Forestry PMDH HKm Menghasilkan Pemerataan produksi kayu dan lestari peningkatan kesejateraan masyarakat serta terdapat akuntabilitas masyarakat
PHBM Pemerataan dan peningkatan kesejateraan masyarakat serta terdapat akuntabilitas masyarakat
Hutan Desa Pemerataan dan peningkatan kesejateraan masyarakat serta terdapat akuntabilitas masyarakat Kurangnya dana investasi masyarakat
Masyarakat tidak terlibat dalam pengelolaan hutan dan tidak bertanggungjaw ab untuk pencapaian hutan lestari Partisipasi tidak aktif
Kurangnya dana masyarakat untuk pengelolaan kawasan hutan menjadi lestari
Kurangnya dana masyarakat untuk pengelolaan kawasan hutan menjadi lestari
Partisipasi aktif
Partisipasi aktif
Partisipasi aktif
Berbasis perusahaan Kesetiakawana n lemah Tidak ada kemitraan atau otoritas perusahaan HPH
Berbasis masyarakat Kesetiakawana n kuat Dapat terjadi kemitraan antara masyarakat dengan pihak berupa comanagement
Berbasis masyarakat Kesetiakawan an kuat Dapat terjadi kemitraan antara masyarakat dengan pihak lain berupa comanagement
Konflik Tenurial Konflik Vertikal Masyarakat dengan Unit Manajemen Kelembagaan Pemberdaya an Ekonomi Masyarakat Berbasis Hutan (Hutan Produksi)
Rekrutmen Masyarakat Konflik Proses Perijinan Kawasan HKm Perambahan Lahan Pendampingan atau Asistensi Kelembaga an Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Hutan
Rekrutmen Masyarakat Konflik Vertikal antara Masyarakat dengan Perusahaan Pendampingan Kelembag aan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Nafkah Basis hu Hutan
Berbasis masyarakat Kesetiakawa nan kuat Dapat terjadi kemitraan antara masyarakat dengan pihak lain melalui sistem bagi hasil dan comanagement Rekrutmen Masyara kat Kemitraan antara Desa dengan Perusaha an Konflik Model Pengelol a-an Hutan Desa Kelemba gaan Distribusi Pendapatan dari Hutan Desa
63
2.3. 3. Kegiatan Operasional Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm) Operasional HKm diatur melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001 tentang penyelenggaraan HKm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal didalam atau disekitar hutan yang membentuk komunitas yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama Pembangunan HKm terdiri dari beberapa kegiatan yang meliputi pemberdayaan masyarakat setempat, penetapan wilayah pengelolaan, penyiapan masyarakat, perijinan, pengelolaan, serta pengendalian. Secara rinci kegiatan pembangunan HKm diuraian sebagai berikut. 1. Pemberdayaan masyarakat Prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat setempat adalah: a.
Pengembangan
kelembagaan
dalam
rangka
pengembangan
kelembagaan diperlukan kejelasan peran dari seluruh pihak terkait, aturan main dan pengembangan organisasi lokal. b.
Desentralisasi sampai ke tingkat desa
adalah pemberdayaan
masyarakat setempat memerlukan peran dan kewenangan sampai ditingkat desa. c.
Pendekatan DAS sebagai unit perencanaan dalam rangka menjaga kepentingan sumberdaya hutan dan lahan untuk pengendali tata air dan erosi, maka DAS dijadikan unit perencanaan dan pengendalian yang menyangkut pembagian beban dan tanggung jawab termasuk pembiayaan dan manfaat dari pihak-pihak yang mendapatkan dampak atau pengaruh dari pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan dilokasi HKm. Orientasi pemberdayaan setempat membangun kelembagaan yang mendorong lembaga adat/lokal di dalam dan disekitar hutan
64
untuk mengelola pembangunan lahan sesuai dengan karakteristik DAS. d.
Penempatan tujuan sesuai fungsi utama pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan mempertahankan fungsi hutan dan lahan, maka dari itu praktek-praktek pemberdayaan masyarakat dalam mempertahankan hutan bukan hanya untuk ekploitasi hutan tetapi untuk pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari.
e.
Pengelolaan konflik, konflik sumberdaya hutan dan lahan untuk meningkatkan kinerja pemberdayaan masyarakat. Pengelolaan konflik perlu didasarkan pada struktur dan proses konflik yang berkembang , baik konflik yang terbuka maupun laten.
f.
Dukungan informasi,
pemberdayaan masyarakat memerlukan
informasi yang akurat tetang tatanan ekologi dan sosial termasuk aparatur, metode, dan dukungan teknologi. Tatanan tersebut dikelola melalui efektivitas rencana pelaksanaan, dan monitoring dalam pengendalian pemberdayaan masyarakat. Prinsip Perencanaan Kegiatan perencanaan dilakukan untuk semua fungsi hutan meliputi inventarisasi, identifikasi, pengkajian permasalahan didalam dan disekitar hutan termasuk inventerisasi dan identifikasi sosial budaya ekonomi masyarakat
setempat.
Selanjutnya
dilakukan
pemetaan
wilayah
partisipasi
dengan
pengelolaan hutan kemasyarakatan. Rencana
pengelolaan
hutan
disusun
secara
memperhatikan aspirasi, partisipasi dan nilai budaya masyarakat serta kondisi lingkungan. Prinsip Keterpaduan program Dilakukan integrasi dengan pengelolaan sumberdaya hutan hak diluar kawasan hutan dengan suatu program HKm, selanjutnya diintegrasikan dalam suatu program pembangunan desa. Dengan demikian HKm merupakan pembangunan lintas sektoral yang merupakan bagian dari pembangunan daerah dan nasional.
65
Prinsip Pemanfaatan Disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat antara lain untuk kepentingan konsumsi masyarakat setempat dalam rangka pengentasan kemiskinan dan pelestarian sumber daya hutan. Teknik perlakuan atas usaha pemanfaatan hutan disesuaikan dengan kondisi setempat dan dilakukan inovatif secara adaptif. Seluruh fungsi pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian) program HKm wajib dilakukan melalui pendampingan oleh instansi kehutanan didaerah, instansi kehutanan terkait, dan LSM
yang
berkompetensi aparatur dan sumberdaya manusia. 2. Penetapan wilayah pengelolaan Penetapan wilayah pengelolaan dimasksudkan sebagai upaya untuk menetapkan wilayah pengelolaan HKm yang layak menurut pertimbangan ketergantungan masyarakat setempat pada kawasan hutan sekitarnya. Kawasan hutan yang dapat ditetapkan sebagai wilayah pengelolaan HKm adalah kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi yang tidak di bebani ijin lain dibidang kehutanan. Wilayah pengelolaan HKm merupakan kawasan hutan yang menjadi sumber penghidupan memiliki potensi untuk dikelola oleh masyarakat setempat. Penetapan wilayah pengelolaan HKm dilakukkan melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi oleh pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan
hasil
inventarisasi
dan
identifikasi,
bupati/walikota
mengusulkan penetapan wilayah pengelolaan HKm kepada Menteri Kehutanan melalui Gubernur. Terhadap usulan Bupati /Walikota, Menteri dapat menerima atau menolak usulan tersebut setelah mendapat pertimbangan dari Gubernur. Apabila usulan Bupati/Walikota diterima, Menteri menetapkan wilayah pengelolaan HKm dengan Surat Keputusan.
66
3. Penyiapan masyarakat Penyiapan masyarakat dimaksudkan sebagai upauya untuk meningkatkan kesiapan kelembagaan masyarakat setempat dalam pengelolaan HKm. Penyiapan masyarakat dilaksanakan melalui fasilitas oleh pemerintah Kabupaten/kota, berupa: a.
Pembentukan kelompok tani hutan, dimana kelompok ini harus memiliki aturan-aturan internal yang mengikat dalam pengambilan keputusan penyelesaian konflik, pengelolaan hutan (penataan areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan, pemanpaatan, rehabilitasi dan perlindungan) serta hak dan kewajiban.
b.
Pengakuan dari masyarakat melalui kepala desa.
c.
Penyusunan rencana lokasi dan areal kerja serta jangka waktu pengelolaan
d.
Rencana-rencana tersebut diatas dibuat secara tertulis sebagai satu kesepakatan antara pemerintah kabupaten/kota dan kelompok masyarakat.
4. Perijinan
Ketua Kelompok
Mengajukan HKm Kepada Bupati
Ijin diberikan setelah ada penetapan
Kelompok membentuk
Ijin sementara ke ketua Kelompok (3-5 tahun)
Koperasi mendapat Ijin HKm tetap
Gambar 7. Skema Perijinan Kawasan Hutan Kemasyarakatan
67
5. Pengelolaan Pengelolaan HKm meliputi kegiatan penataan areal kerja, penyusunan rencana pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan a.
Penataan
areal
kerja,
dimaksudklan
untuk
mengatur
alokasi
pemanfaatan areal kerja menurut pertimbangan perlindungan dan produksi, yang meliputi kegiatan pembagian areal ke dalam blok pengelolaan berdasarkan rencana pemanfaatan sesuai dengan fungsi hutanya. penataan areal kerja dilakukan secara partisifatif dengan melibatkan seluruh anggota kelompok masyarakat pemegang ijin dan difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten/ kota. b. Penyusunan rencana pengelolaan, dimaksudkan sebagai acuan dalam melaksanakan pengelolaan hutan kemasyarakatan, disusun oleh pemegang ijin dengan melibatkan seluruh anggota kelompok yang harus mempertimbangkan kepentingan publik dan lingkungan. c. Pemanfaatan, Kegiatan pemanfaatan dalam hutan lindung tidak dapat dilakukan dengan penebangan pohon dan atau kegiatan lain yang menyebabkan
terbukanya
penutupan
tajuk
hutan.
Kegiatan
pemanfaatan dihutan produksi harus mempertahankan potensi produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta mempertahankan fungsi lindung dari kawasan hutan. d. Rehabilitasi hutan, dimaksudkan untuk memulihkan pertahanan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan perananya dalam mendukung system penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitsi hutan dilaksanakan melalui kegiatan
penanaman,
pengayaan
tanaman,
pemeliharaan
dan
penerapan teknik konservasi tanah. e. Perlindungan hutan, bertujuan untuk menjaga dan memelihara kawasan hutan dan lingkunganya agar berfungsi secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan dilaksanakan melalui upaya pencegahan dan penaggulangan kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
68
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, serta hama dan penyakit. 6. Pengendalian Pengendalian dimaksudkan untuk menjamin penyelenggaraan HKm dapat terlaksana sesuai dengan tujuan. Pengendalian meliputi pengendalian oleh pemerintah dan pemerintah daerah, pengendalian internal oleh pemegang ijin dan pengawasan oleh masyarakat luas. Pengendalian oleh pemerintah dan pemerintah daerah dilakukan mulai dari tingkat pusat hingga lokasi kegiatan secara berjenjang yang dilengkapi dengan system pelaporan yang berjenjang pula. Pengendalian internal dilaksanakan oleh seluruh anggota kelompok secara partisipatif dan difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten/Kota untuk menjamin agar pengelolaan dilaksanakan sesuai rencana. Pengendalian oleh masyarakat luas dilakukan agar pengelolaan HKm tidak menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum. 2.4. Tinjauan Pengelolaan Partisipatif Sektor Kehutanan Teori partisipasi dipengaruhi oleh teori demokrasi barat yaitu setiap masyarakat memiliki hak dalam pengambilan keputusan melalui pemilihan wakil. Teori tersebut juga muncul sebagai respon ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil pembangunan (Karky 2001). Chamber (1983)
dalam Karky (2001)
mengungkapkan bahwa pemerintah seharusnya melibatkan partisipasi masyarakat melalui kebijakan seperti desentralisasi, privatisasi dan good governance, sehingga partispasi tersebut memiliki arti dalam proses pembangunan. Selanjutnya diungkapkan bahwa terdapat tiga dasar konsep partisipasi yang dikenal di Amerika serikat yaitu : a). Masarakat lokal harus dilibatkan dan difasilitasi untuk dapat berkontribusi dalam proses pembangunan; b). Masyarakat lokal seharusnya memperoleh manfaat ekonomi dari hasil pembangunan dan c). Masyarakat seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dengan demikian, maka partisipasi yang efektif merupakan pola partisipasi langsung atau tidak melalui perwakilan dan masyarakat memiliki kekuatan dalam membuat keputusan dan mengkontrol implementasi pembangunan.
69
Konsep partisipasi masyarakat dapat tidak dapat diartikan sebagai bentuk kontribusi orang sebagai tenaga kerja yang dibayar. Partisipasi harus berisikan unsur inisiatif dan pembuatan keputusan oleh masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat berkontribusi yang tidak memberikan makna dari aktivitas perencanaan dari bawah atau bottom up, maka hal ini bukan merupakan konsep partisipasi melainkan merupakan konsep mobilisasi (Nasikun 1990). Pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan tercermin dalam ungkapan 'Rural Development: Putting the Last First' (Chambers 1992). Beberapa faktor penting yang menentukan keberhasilan program pengentasan kemiskinan melalui pendekatan partisipatif adalah: (1) Kesadaran akan nilai-nilai lokal; (2)
Pendekatan yang terintegrasi
dan menyeluruh; (3) Pengembangan sumberdaya manusia. Salah satu pola partispasi masyarakat dalam
perhutanan sosial adalah
partisipasi pada perkebunan campuran, partisipasi pada perkebunan transmigrasi dan partisipasi pada HPH PMDH. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan ditentukan juga oleh kesediaan pengusaha untuk melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi dan kesediaannya untuk mendistribusikan sebagian keuntungannya kepada masyarakat yang berdomisili pada sekitar usahanya. Dengan pemahaman partisipasi tersebut, maka terdapat dua alternatif utama dalam meningkatkan partsipasi masyararakat pada program perhutanan sosial. Pertama, melibatkan masyarakat pada program perhutanan sosial. Partisipasi masyarakat dalam kasus ini umumnya tergolong rendah karena masyarakat hanya sebagai buruh atau tenaga upahan. Kedua adalah melibatkan masyarakat sebagai pengelola sumberdaya hutan mulai dari perencanaan sampai dengan pemasaran hasil. Partisipasi masyarakat pada konsep
kedua ini adalah umumnya tinggi
karena masyarakat terlibat langsung mulai dari perencanaan, impelementasi, pemeliharaan sumberdaya hutan sampai pada tahapan monitoring dan evaluasi (Suharti et al. 1999). Untuk kasus di Indonesia ternayata munculnya konsep pembangunan partisipatif terjadi seiring isu desentralisasi dengan pendekatan konseptual yang dikonsentrasikan pada strategi pembangunan yang dapat memberikan manfaat
70
ekonomi, sosial dan ekologi secara bersama sehingga menunjang pencapaian pembangunan berkelanjutan (Harly and Lloyd 1994 ; Clement and Hansen 2001). Perencanaan pembangunan partisipatif dalam hal ini menekankan pada integrasi keterlibatan
masyarakat
dalam
perencanaan
pembangunan
mulai
dari
perencanaan, implementasi dan monitoring sampai dengan evaluasi evaluasi. Kongres Kehutanan Sedunia ke VIII Jakarta tahun 1978 telah menetapkan sebuah tema “Forest For People menjadi kebijakan baru yang diinisiasikan oleh FAO yaitu penegasan orientasi pembangunan bagi rakyat dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup pendduduk pedesaan, mengikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi penghidupannya dan untuk mengubah mereka menjadi wargangara yang dinamis serta mampu memberikan sumbangan yang lebih luas. Negara-negara berkembang menjabarkan hasil kongres tersebut dalam bentuk Agroforestry, Social Forestry dan Community Forestry. Khususnya untuk Indonesia dikenal dengan istilah Prosperity Approach; MaLu (Mantri-Lurah) dan PMDH (Kartodihardjo 2007). Pertemuan Forum Regional Hutan Kemasyarakatan di Bangkok pada bulan Agustus 2005 merumuskan beberapa prinsip umum pengembangan instrumen peraturan yang akan menjamin keberhasilan implementasi dari kebijakan HKm (O'Brien and Matthews 2005). Dari 18 Prinsip yang tertuang ternyata terdapat tiga hal penting yaitu partisipasi masyarakat tidak dipaksakan yang dapat memperkecil biaya transaksi dan model pendekatan adalah bersifat adaptif dimana menekankan pada proses pembelajaran masyarakat yang berkesinambungan. Perencanaan partisipatif dalam pengelolaan kawasan hutan sesungguhnya memiliki konsep perlindungan kawasan itu sendiri dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif (meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan. Secara simbolik perencanaan partisipatif kawasan hutan digambarkan pada gambar 8 (adaptasi dari Carter 1997). Dari hubungan tersebut dapat disusun model perencanaan sesuai dengan kondisi biofisik kawasan dan kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat. Gambar 8. tersebut memberikan makna yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan partisipatif. Makna penting adalah tentunya banyak stakeholder yang terlibat, sehingga dalam perencanaan diperlukan suatu koordinasi yang
71
efektif untuk mengelola kawasan hutan secara partisipatif.
Marsh (1983)
mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan kawasan hutan harus memperhatikan dan mempertimbangkan minimal tiga hal yaitu : a. Perencanaan harus mencakup berbagai kepentingan stakeholder secara multisektoral dan perencanaan tata guna lahan secara komprehensif. b. Kebijakan didasarkan pada kebutuhan ditingkat lokal-regional-nasional dalam alokasi sumberdaya. Dalam proses perencanaan harus diperhatikan dengan ketat bahwa manfaat yang diberikan oleh sumberdaya adalah menjadi prioritas. c. Menganalisis dampak lingkungan yang harus diterapkan dengan ketat dalam proyek pengelolaan.
Meningkatkan Ekonomi dan Partisipasi Masyarakat
Manfaat Konservasi
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Meningkatkan Keuntungan Pengusaha
Sumberdaya yang berkelanjutan
Gambar 8. Hubungan Simbolik Penglolaan Kawasan Hutan Sebagai Dasar dari Tujuan Perencanaan (Adaptasi dari Carter 1997). 2.5. Kajian Hasil-Hasil Pembangunan Partisipasi dalam Pengelolan Hutan Model perhutanan sosial berkembang di Asia dan Afrika seperti Jepang, Thailand, Philipina, India, Pakistan, Kameron, Kamboja dan Indonesia. Modelmodel tersebut dalam implementasi sangat beragam, namun hasil akhir dapat berupa agroforestry yang melibatkan masyarakat dengan pola kerjasama tertentu.
72
Model perhutanan sosial di Jepang (dimulai sekitar tahun 1970 an) dengan bentuk Agroforestry disebut dengan istilah Yakihata Ringyo dimana masyarakat menanam tanaman obat-obatan dan tanaman organik pada kawasan hutan. Tanaman organik tersebut disamping untuk memenuhi permintaan konsumen, juga dianggap memberikan manfaat bagi peningkatan kesuburan tanah (Kartasubrata 2004). Sementara itu, bentuk perhutanan sosial di Thailand diorganisir oleh Forest Industry Organisation (FIO) sejak tahun 1967 yang membantu Royal Forestry Departement dalam program reboasasi. FIO melakukan reboasasi dalam bentuk “Forest Village System” dimana masyarakat peladang dimukimkan pada kawasan tertentu dan diberikan hak pengelolaan terhadap lahan berupa lahan pertanian pangan dan lahan untuk tanaman tahunan. Selain itu, masyarakat tersebut juga dipersiapkan sebagai sumber tenaga kerja untuk kepentingan reboisasi (Kartasubrata 2004). Model pengelolaan hutan di Philipina terdiri melalui dua model kelembagaan yaitu CBFM (Community-Based Forest Management) dan NIPAS (National Integrated Protected Area System) untuk tujuan produksi, konservasi, Industrial Forest dikhususkan untuk pemenuhan kebutuhan kayu industri. Model CBFM merupakan model pengelolaan hutan dengan tujuan berkelanjutan dan berkeadilan. Masyarakat petani diberikan hak untuk mengelola hutan selama 25 tahun dan diberdayakan berdasarkan perjanjian (kontrak) yang telah ditetapkan secara bersama-sama dengan pemerintah. Di dalam kontrak tersebut telah diatur mengenai sistem bagi hasil untuk hasil tanaman kayu-kayuan (Inoue 1999). Di India berkembang dua model pengelolaan hutan secara partisipatif yaitu Non Timber Forest Mangement (NTFM) dan Holistic Resources Management (HRM). Meskipun kedua model ini mempertimbangkan faktor yang sama yaitu ekonomi, sosial-budaya dan ekologi, namun kedua model ini menempatkan masyarakat dan aktor sosial pada tempat yang berbeda. Model NTFM ini diimplentasikan bagi masyarakat asli atau masyarakat adat yang mengelola kawasan hutan, sedangkan Model HRM diimplemtasikan bagi multistakeholder yang mengambil manfaat dan jasa dari kawasan hutan. Kemudian Model NTFM dikembangkan dikhususkan bertujuan agar masyarakat
73
dapat memperoleh kebutuhan dasar dari kawasan hutan, sedangkan Model HRM lebih bersifat komersial (Karki 2001). Dari kedua bentuk pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan berkembang menjadi tiga berdasarkan siapa yang terlibat dan mendukung bentuk partisipatif tersebut. Dalam implementasinya, bentuk pengelolaan kawasan hutan partisipatif dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan tujuan dan siapa yang dilibatkan yaitu Indigeneneous Community Forest Management (ICFM), Crafted Community Forest Mamagement (CCFM) dan Joint Forest Management (JFM). Bentuk pengelolaan ICFM diinisiasiakan oleh masyarakat adat yang mengalami tekanan dari terjadinya kerusakan sumberdaya hutan disekitarnya, sedangkan bentuk pengelolaan CCFM muncul dari sponsor NGO lokal dan dinas pemerintahan setempat, dan kemudian bentuk JFM muncul dan dikembangkan oleh departemen kehutanan (Sinha dan Suar 2005). Isu lainnya di India yaitu terjadinya degradasi areal hutan sekitar 42 % dari luas areal hutan 633.400 hektar. Kehancuran dari areal hutan tersebut disebabkan oleh tekanan penduduk, meskipun telah dikembangkan model partisipatif seperti Joint Forest Management (JFM). Keadaan ini terjadi disebabkan karena tingginya ketergantungan masyarakat pada hasil hutan. Dari 200 juta penduduk India yaitu sebagiannya sangat tergantung pada kawasan hutan sebagai mata pencahariannya. Oleh karena itu, pemerintah India mengembangkan kebijakan berupa hutan rakyat dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat pada areal hutan. Hutan rakyat yang dimaksud adalah mengembangkan tanaman hutan di luar kawasan hutan atau pada lahan-lahan milik masyarakat (Khare et al. 2000). Kebijakan pemerintah sektor kehutanan di Pakistan tidak mampu mengatasi persoalan perambahan dari hutan alam oleh mafia dan konflik antar stakeholder. Kebijakan sektor kehutanan masih merupakan peninggalan penjajah yang menganggap bahwa penduduk merupakan ancaman bagi sumberdaya hutan. Dengan pertumbuhan penduduk sebesar 3 persen per tahun dan pertumbuhan industri 6 persen pertahun mendorong permintaan akan kayu, kayu bakar dan permintaan akan kebutuhan air. Kondisi ini mendorong tekanan terhadap areal hutan dan
memicu terjadinya konflik antar stakeholder. Untuk mengatasi
persoalan tersebut, pemerintah melakukan perubahan kebijakan kehutanan melalui
74
pelibatan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan untuk menyusun kebijakan baru sektor kehutanan (Ahmed dan Mahmood 1998) Model perhutanan sosial di Cameroon diterapkan untuk melindungi Taman Nasional Lac Lobeke. Model pengelolaan yang selama ini berbentuk NTFP (Non Timber Forest Produk) hasil peninggalan kolonial Jerman tersebut telah menyebabkan peningkatan illegal logging yaitu 60 % kayu yang diekspor pada tahun 2000 dari Cameroon berasal dari illegal logging. Oleh karena itu, untuk melindungi kawasan Taman Nasional Lac Lobeke, pemerintah Cameroon membangun Model Collaborative Management (Co-Management). Model tersebut, melibatkan lebih dari satu aktor sosial bersama-sama dengan pemerintah untuk mengambil manfaat ekonomi, sosial budaya dan ekologi dari kawasan hutan melalui kelembagaan tertentu yang dibangun secara bersama-sama (Jell and Machado 2002). Deforestasi hutan kemasyarakatan di Kamboja karena pemerintah tidak melakukan kontrol terhadap sumberdaya tersebut. Negara kehilangan 1,4 juta hektas hutan dari tahun 1973 sampai dengan rahun 1993. Kebijakan pemerintah yang ada tidak mampu untuk mengatasi perambahan hutan oleh masyarakat dan pengusaha atau industri pada sektor kehutanan. Model kolaboratif tidak dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan Taman Nasional Mount Elgon Norwegia. Hal ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola kawasan hutan dalam taman nasional, konflik antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan organisasi taman nasional dan terbatasnya komunikasi antara masyarakat dengan pengelola tanaman nasional dan hancurnya agroforestry yang dikembangkan oleh masyarakat. Untuk kasus perhutanan sosial di Indonesia ditemukan
dari hasil
penelitian Hidayat (1999) di Kabupaten Bengkulu Utara dan Sumatera Selatan menemukan bahwa program HKm yang melibatkan masyarakat ternyata telah mampu menjaga dan melindungi sumberdaya hutan yaitu mencegah erosi dan penguatan ekonomi masyarakat serta menciptakan pekerjaan bagi masyarakat. Program HKm yang diimplementasikan pada kedua kabupaten tersebut
75
mengembangkan tanaman tahunan dan hutan seperti mahoni, durian, kahu manis, pinus, sungkai, sengon, jengkol dan kemiri. Trison (2004) menemukan bahwa partisipasi seseorang muncul karena memiliki kesadaran, kemampuan dan peluang (kesempatan). Faktor kesadaran dipengaruhi oleh mental, motivasi, persepsi dan prilaku kosmopolitan. Kemudian faktor kemampuan dipengaruhi oleh usia, pendidikan, pendapatan, pengalaman bekerja dan intensitas mengikuti penyuluhan. Sementara itu, faktor peluang dipengaruhi oleh status petani, luas usahatani yang diusahakan, kesempatan kerja (jenis pekerjaan), teknologi produksi yang berkembang dan saluran informasi. Dengan
menggunakan
pendekatan
partisipatif
dalam
pembangunan
masyarakat disekitar kawasan hutan, Suharjito (2004) menemukan dampak dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terbangunnya komunikasi (dalam menyampaikan aspirasi) yang lebih baik antara masyarakat dengan dinas kehutanan dan dimplementasikannya pengetahuan yang diperoleh dari petani lainnya, seperti pembuatan kompos dan pemeliharaan kambing. Namun masyarakat masih tergantung pada hutan sebagai sumber pendapatan rumahtangganya, aktivitas non farm dan off farm belum dikembangkan oleh masyarakat dan masyarakat enggan berpartisipasi pada kelembagaan ekonomi (koperasi) karena pengalaman masa lalu yang dianggap kurang menguntungkan Kasus seperti ini terjadi pada Kawasan Hutan Lindung Sesaot Kabupaten Lombok Barat-NTB. Pada awalnya kawasan HKm yang dikelola oleh masyarakat dengan status diakui pemerintah adalah 236 hektar dan kemudian dikembangkan oleh masyarakat sendiri seluas 211 hektar. Hal ini berarti pengelolaan HKm Sesaot oleh masyarakat jauh lebih luas dari status yang diakui masyarakat (Anonim 2003). Program Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat yang terlibat di dalamnya, namun sebaliknya terjadi permasalahan biofisik yang cukup serius yaitu dengan penutupan lahan yang cukup terbuka (20%-30%) memberikan implikasi bahwa kawasan tersebut memiliki gangguan ekologis dan komposisi tanaman kayu ataupun MPTS sangat terbatas, sehingga memiliki kecenderungan terjadiya erosi tinggi (Kusumo et al. 2003). Angka penutupan lahan tersebut tidak jauh berbeda
76
dengan hasil penelitian Amiruddin et al. .(2001) menemukan bahwa total tutupan lahan kolektif berkisar 21,5% - 85,14 %. Kasus lainnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat ditemukan oleh Kusumo, et al. (2004) yaitu perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sapit dan Perigi. Dari 300 hektar areal hutan yang mendapat izin pengelolaan dari pemerintah daerah dan sekarang ini berkembang menjadi 600 hektar menuju Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani. Muktasam et al. ( 2003) menemukan bahwa kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan merupakan faktor penentu dalam pengembangan agroforestry di Pulau Lombok. Semakin baik kondisi sosial ekonomi dan keberadan kelembagaan yang aktif ternyata merupakan faktor kunci untuk pengembangan agroforestri. Hasil temuan Muktasam tersebut diperkuat oleh Profesor Roy
yang
menyatakan bahwa ketidaksiapan institusi di daerah menyebabkan kegagalan dari implementasi Hutan Kemasyarakatan (HKm). Salah satu kelemahan dari konsep HKm selama ini adalah ketergesaan pelaksana kegiatan yang langsung menuju kepada pemenuhan aspek ekonomi dengan melupakan tahapan pengembangan institusi dan ekologi. Sebagai akibat dari ketergesaan tersebut, maka munculnya pengelolaan
Hutan
Kemasyarakatan
yang
tidak
terpola.
Suparman
mengungkapkan bahwa ketidaksiapan institusi ditingkat daerah juga ditunjukkan oleh kasus yang terjadi antara Pemda DIY dan Pemda Gunung Kidul mengenai tarik ulur luasan areal HKm. Kalau kondisinya demikian terus, maka petani tidak memiliki kepastian hak pengelolaan dan akan berimplikasi ke depan terhadap peningkatan luasan lahan kritis. Demikian juga dengan temuan Humaidi bahwa kasus kehancuran sumberdaya hutan berhubungan dengan terpasung dan kehancuran institusi adat. Masyarakat adat kehilangan haknya atas pengelolaan sumberdaya hutan. Kehilangan hak tersebut disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang merubah lahan yang statusnya hak ulayat menjadi Tanah Gege. Perubahan status hak tersebut memicu terjadinya perambahan oleh oknum pejabat pemerintah dan masyarakat sejak tahun 1980-an (Humaidi dalam Suharjito 2006). Temuan Amiruddin (1998) bahwa Program Hutan Kemasyarakatan (HKm)
di Kabupten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat secara nyata
77
memberikan dampak positif terhadap pendapatan masyarakat dan nilai pendapatan tersebut bersumber dari upah kerja. Namun lemahnya kelembagaan yang terbentuk antara PT. Perhutani dengan masyarakat pesangem (pengelola) dalam sistem bagi hasil dari tanaman MPTS akan memberikan peluang masyarakat untuk meninggalkan kawasan HKm atau memperluas areal yang dikelolanya secara tidak syah atau illegal (Amiruddin di dalam Suhardjito dan Dudung 1998). Isu mengenai model pengelolaan hutan di beberapa Negara Asia dan Afrika disajikan pada tabel berikut ini. Tabel 4. Isu Kehutanan di Beberapa Negara Asia dan Afrika No
Isu Kehutanan
Lokasi/Negara
1
Kebijakan yaitu pengelolaan kawasan hutan dengan menanam tanaman obat-obatan yang memberikan benefit kepada masyarakat
Jepang
2
Kebijakan yaitu pelibatan masyarakat peladang dalam pengelolaan hutan dan diberikan hak dalam untuk menggarap kawasan hutan untuk ditanami tanaman pangan dan hutan serta dipekerjakan sebagai tenaga kerja dalam reboisasi
Thailand
Kelembagaan yaitu pemerintah pengembangkan kelembagaan untuk memebuhi kebutuhan permintaan kayu, industri pengolahan dan reboisasi. Pemerintah memberikan hak pengelolaan kepada masyarakat melalui sistem kontrak per 25 tahun melaui dua model kelembagaan yaitu CBFM (Community-Based Forest Management) dan NIPAS (National Integrated Protected Area System)
Philipina
Kelembagaan yaitu berkembangnya kelembagaan yang diakui oleh pemerintah dalam bentuk NTFM (Non Timber Forest Mangement) untuk masyarakat adat dan HRM (Holistic Resources Management) untuk kepentingan multi pihak. Kemudian berkembang juga modelmodel kelembagaan baru berdasarkan yang menginisiasi yaitu Indigeneneous Community Forest Management (ICFM) diinisiasi oleh masyarakat adat, Crafted Community Forest Mamagement (CCFM) diinisiasi NGO lokal dan dinas pemerintahan setempat, dan Joint Forest kehutanan Management (JFM) diinisiasi oleh departemen (pemerintah). Kelembagaan JFM mengalami kegagalan dalam pengelolaan hutan sebagai akibat dari tekanan penduduk yaitu terjadi degradasi kawasan hutan 42 % dari luas hutan 633.400 hektar. Untuk mengatasi persoalan tersebut pemerintah mengembangkan model hutan rakyat.
India
3
4
5
6
7
Perambahan hutan oleh kelompok mafia hutan dan konflik antar multistakeholder. Kebijakan berupa undang-undang yang mengatur pengelolaan hutan merupakan peninggalan penjajahan belanda. Model NTFP (Non Timber Forest Produk) yang diterapkan gagal untuk melindungi Taman Nasional Lac Lobeke. Dari 60 % kayu yang diekspor pada tahun 2000 dari Cameroon berasal dari illegal logging. Kelembagaan yaitu kebijakan pemerintah sektor kehutanan tidak mampu mengatasi permasalahan perambahan, Negara kehilangan 1,4 juta hektas hutan dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1993.
Pakistan
Cameroon
Kamboja
78
Tabel 4. Lanjutan No 8
9 10
11
Isu Kehutanan Kelembagaan yaitu model kolaboratif tidak dapat menyelesaikan persoalan pengelolaan Taman Nasional Mount Elgon Norwegia. Muncul persoalan perambahan dan konflik antara masyarakat dengan pihak pemerintah dan organisasi taman nasional dan terbatasnya komunikasi antara masyarakat dengan pengelola tanaman nasional dan hancurnya agroforestry yang dikembangkan oleh masyarakat. Kelembagaan Perhutanan Sosial berupa HKm mampu melindungi kawasan hutan di Provinsi Bengkulu Pemberdayaan masyarakat pada Kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat belum mampu untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi di luar sektor kehutanan dan masyarakat masih sangat tergantung pada sektor kehutanan untuk kehidupan ekonominya. Masyarakat pada HKm Gunung Betung Lampung belum mengikuti proses perijinan HKm dan pencadangan areal HKm menjadi wewenang pusat
Lokasi/Negara
Norwegia
Indonesia
Indonesia
Indonesia
12
Konflik model pengelolaan hutan desa bagi Suku Anak Dalam di Jambi
Indonesia
13
Perambahan Hutan Lindung di Desa Sesaot Kabupaten Lombok Barat NTB . Dari luas yang legal dan diakui pemerintah adalah 236 hektar dan kemudian dikembangkan oleh masyarakat sendiri seluas 211 hektar
Indonesia
14
15
16
Isu biofisik yaitu terjadi perambahan hutan masuk dalam Kawasan Taman nasional Gunung Rinjadi, erosi dan rendahnya penutupan lahan kawasan HKm di Pulau Lombok NTB. Isu lainnya pada lokasi yang sama yaitu tidak berfungsinya kelembagaan yang dibangun oleh masyarakat dalam pengelolaan kawasan HKm. Lemahnya kelembagaan yang terbangun antara petani pesangem dan PT. Perhutani di Kabupaten Sumbawa NTB memberikan peluang perluasan areal garapan (perambahan). Kebijakan yaitu perubahan status lahan yaitu suatu kawasan hutan yang merupakan hak ulayat menjadi tanah gege. Kebijakan tersebut menyebabkan terjadinya perambahan hutan oleh oknum tertentu dan masyarakat di Kabupaten Lombok Barat.
Indonesia
Indonesia
Indonesia