Bahan MK Pembangunan Partisipatif Alfitri Latar belakang dan urgensi kemunculannya Kendati kehadiran pendekatan kebutuhan dasar yang dihasilkan World Employment Conference ILO pada tahun 1976 telah membawa pesan pentingnya partisipasi seluruh rakyat dalam proses pengambilan keputusan, terutama mengenai halhal yang secara langsung menyangkut kepentingan mereka, namun dalam prakteknya di banyak negara sedang membangun partisipasi rakyat dalam proses pembangunan masih sering terabaikan. Campur tangan pemerintah –yang sebenarnya juga disarankan dalam strategi kebutuhan dasar- dalam organisasi wadah partisipasi rakyat, seperti organisasi pengusaha, organisasi buruh, organisasi petani, dan sebagainya, ternyata lebih dominan. Gagasan pembangunan ekonomi kerakyatan di masa permerintahan Orde Baru di Indonesia, misalnya, dalam prakteknya mengesankan kuat dan dominannya peranan pemerintah dalam proses pembangunan.
Banyak kritik dari pengamat pembangunan
yang menunjukkan bahwa hampir seluruh inisiatif berasal dari pemerintah dan birokrasi. Setiap program dan kegiatan yang dijalankan adalah masalah yang dianggap penting oleh pemerintah, dan bukan masalah yang menjadi prioritas atau kebutuhan masyarakat. Artinya, pandangan dan usul masyarakat tidak atau kurang mendapat tempat dalam perencanaan maupun pelaksanaan program pembangunan. Bahkan secara ekstrim praktek pembangunan yang menekan partisipasi rakyat di sejumlah negara sedang membangun telah memunculkan konsep-konsep negara-negara otoriter dan represif.
Sebagaimana yang dicatat M. Dawam Rahardjo (1983:90-91)
konsep-konsep itu misalnya, bureaucratic-authoritarianism (O’Donnell), modernization from above (Moore), dan repressive –developmentalist regime (Feith). Gejala ekspansi ekonomi telah ditemani oleh gejala represi politik. Perubahan-perubahan yang telah ditimbulkan di desa dan di kota akibat perkembangan ekonomi ternyata tidak menimbulkan partisipasi, justru sebaliknya menimbulkan kelompok-kelompok yang
23
apatis, resisten atau bahkan
bersifat oposan.
Namun,
hal demikian sebetulnya
menunjukkan adanya demand terhadap keikutsertaan atau partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Sebagai contoh dari rezim pemerintahan yang represif dalam pembangunan adalah Korea Selatan.
1
Pada tahap awal pembangunannya sejak tahun 1950-an,
diberlakukan landreform, yang membagikan tanah pertanian sebagai aset produktif kepada para petani. Dengan berhasilnya dilaksanakan landreform, tingkat kehidupan di pedesaan meningkat. Hal ini menguatkan daya beli petani, yang pada gilirannya akan berguna sebagai pendukung dari proses industrialisasi. Namun, sebagaimana diketahui, proses modernisasi yang dilakukan di Korea Selatan banyak ditandai dengan protes dan demonstrasi dari mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.
Kendati
demikian, Korea Selatan pada tahun 1980-an telah berhasil mencatatkan prestasi sebagai salah satu “naga” dari empat naga Asia.
Pekerjaan rumah yang kemudian harus
diselesaikan Korea Selatan adalah melakukan proses demokratisasi. Dapat
dikatakan,
konsep
“partisipasi”
yang
menjadi
inti
pendekatan
pembangunan partisipatif baru digunakan secara luas dalam wacana pembangunan sejak sejak awal dasawarsa 1980-an. Konsep ini muncul dalam pemikiran yang ‘populis’ yang ingin mendahulukan hak-hak rakyat dan masyarakat dalam proses pembangunan. Pemikiran yang menekankan pentingnya partisipasi dalam pembangunan dikondisikan oleh beberapa hal berikut: (1) Banyak program pembangunan berkaitan langsung dengan kesediaan rakyat untuk melaksanakan program, yang tanpanya program tersebut tidak akan berhasil. Namun, ada keengganan masyarakat untuk ikutserta dan terlibat dalam programprogram yang telah dirancang untuk perbaikan kondisi kehidupan mereka. 1
Suatu studi tentang pembangunan Korea Selatan, misalnya, lihat Arief Budiman, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan, Yayasan Padi dan Kapas, Jakarta, 1991. Dalam studinya ini, Arief Budiman, mencoba membandingkan pengalaman dan langkah yang ditempuh Indonesia dan Korea Selatan dalam pembangunannya.
24
(2) Program bantuan pemerintah telah membuat masyarakat senantiasa berada dalam situasi ketergantungan. Berbagai program atau proyek banyak yang tidak berjalan termasuk yang menyangkut perbaikan nasib mereka sendiri, karena tidak adanya bantuan modal dari atas. (3) Berkaitan dengan hal sebelumnya, adalah kian menonjolnya dan rancunya peran yang dimainkan oleh lembaga-lembaga yang sebetulnya justru dibentuk untuk mewadahi partisipasi masyarakat. Di masa Orde Baru di Indonesia, misalnya, lembaga seperti KUD, LKMD, PKK dan sebagainya seolah menjadi bukan milik masyarakat, karena dalam prakteknya lebih banyak menyuarakan kepentingan pemerintah. Di Indonesia sendiri, kendati gagasan tantang pentingnya partisipasi dalam pembangunan juga telah marak pada awal 1980-an, namun dalam kerangka politik perencanaan pembangunan gagasan tersebut baru mendapat tempat dalam dokumen perencanaan pembangunan sejak tahun 1988.
Moerdiono dalam makalahnya yang
disampaikan pada Seminar Ilmu-ilmu Sosial yang dilaksanakan di Yogyakarta tahun 1990, mengakui bahwa Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) memang secara sengaja disusun dengan pola pikir yang berbeda dengan GBHN-GBHN sebelumnya.2 Dalam GBHN 1988 ini dimunculkan suatu arus pokok yang menjelujuri pemikiran pembangunan saat itu, yakni konsep pertumbuhan dari bawah (growth from below). Sebagaimana juga yang disampaikan oleh Presiden Soeharto di MPR atau dalam berbagai kesempatan lainnya pada waktu itu, konsep tersebut dilakukan dengan memberi peluang dan kondisi yang menguntungkan untuk pengembangan prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam membangun. 3
2
Adapun mengenai partisipasi yang dikembangkan secara aktual dalam proses pembangunan di lapangan pasca GBHN 1988 tersebut tentu dapat diperdebatkan. Namun banyak ahli masih melihat bahwa partisipasi yang dikembangkan masih bersifat mobilisasi atau forced participation. Lihat misalnya, Abdul Aziz Saleh, “Partisipasi Sosial” pidato pengukuhan Guru Besar Sosiologi di Universitas Andalas, 1990. 3 Dalam makalah tersebut Moerdiono yang ketika itu menjabat Menteri Sekretaris Negara, dan yang sebelumnya juga telah lama dikenal sebagai inner circle-nya kekuasaan pemerintah Orde Baru, juga mengakui bahwa GBHN yang disusun sejak tahun 1973 sampai tahun 1983 memang bersifat top-down. Karena itu, menurutnya wajar pula dalam operasionalnya di lapangan proses pembangunan yang dijalankan tidak selalu menggunakan cara-cara yang persuasif. Dalam hubungan inilah kemudian muncul banyak kritik terhadap pemerintah yang menjalankan pembangunan seperti istilah “bulldozer”, “rekayasa”, dan sebagainya.
25
Secara lebih khusus, dalam kaitannya dengan participatory planning (perencanaan partisipatif), Diana Conyers dalam bukunya yang pertama kali diterbitkan pada tahun 19844 menyebutkan tiga alasan mengapa partisipasi masyarakat sedemikian penting: (1) Partisipasi masyarakat merupakan suatu alat guna memperoleh informasi yang sebenarnya mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program dan proyek-proyek pembangunan akan gagal. (2) Masyarakat akan mempercayai dan mendukung program atau proyek pembangunan jika mereka dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya.
Dengan
demikian mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek dan akan menimbulkan rasa memilikinya terhadap proyek. (3) Partisipasi merupakan perwujudan hak demokrasi masyarakat. Ini sejalan dengan ide tentang demokrasi partisipatif di mana partisipasi rakyat tidak hanya dilakukan melalui wakil-wakilnya yang telah dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, namun juga melalui keterlibatan mereka secara langsung dalam pengambilan keputusan. Dalam kerangka pemikiran yang demikian, Dusseldorp sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Aziz Saleh (1990) bahkan menyebutkan bahwa partisipasi adalah suatu keharusan bagi keberhasilan program pembangunan yang direncanakan. Menurutnya, semakin luas kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalam setiap tahap pembangunan, semakin tinggi tingkat keberhasilan pembangunan tersebut. Selanjutnya, semakin banyak yang terlibat dan semakin lama waktu yang digunakan di dalam proses pengambilan keputusan, semakin intens partisipasi, maka akan semakin sedikit waktu yang digunakan serta semakin lancar dan berhasil pula pelaksanaannya. Sehubungan dengan hal di atas, maka dapat dikatakan bahwa partisipasi yang luas dari anggota masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, adalah dalam kerangka mengangkat martabat mereka untuk berperan sebagai agen dari hari depan mereka
4
Edisi Bahasa Indonesia dari buku Diana Conyers ini, diterbitkan dengan judul Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Gadjah Mada U Press, Yogyakarta, 1991.
26
sendiri.
Dengan kata lain, ide kemunculan pendekatan partisipatif ini adalah untuk
menjadikan pembangunan lebih berwajah manusiawi.
27