DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya
MODUL DASAR Konsultan dan Pemda
Pembangunan Partisipatif
PNPM Mandiri Perkotaan
05
Modul 1
Partrisipasi,Pemberdayaan dan Demokrasi
1
Kegiatan 1
Diskusi Kelompok Konsep Partisipasi: Membuat Menara dari Sedotan
2
Kegiatan 2
Diskusi Kelompok: Partisipasi,Pemberdayaan dan Demokrasi
3
Partisipasi Perempuan
17
Kegiatan 1
Jajak Pendapat Gender dan Ketimpangan
18
Kegiatan 2
Diskusi Kelompok Permasalahan Partisipasi Perempuan
20
Kegiatan 3
Diskusi Kelompok Strategi Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Nangkis
21
Daur Program Pembangunan dan Siklus PNPMM-Perkotaan
43
Modul 2
Modul 3
Kegiatan 1
Diskusi Kelompok Daur Program: Permainan Mengumpulkan Barang
Kegiatan 2
Penjelasan dan Tanya jawab siklus PNPMM Perkotaan sebagai daur program
46
Metodologi Pembangunan Partisipatif
65
Diskusi Kelompok dan Pleno Kelas
66
Modul 4
Kegiatan 1
Pembangunan partisipatif,sebagai model pembangunan yang menerapkan konsep partisipasi , yaitu pola pembangunan yang melibatkan semua pihak (pelaku) dalam proses pengambilan keputusan yang langsung mempengaruhi mereka yang terkena pembangunan. Artinya pembangunan yang melibatkan semua pemainnya dalam posisi yang setara untuk merumuskan kebutuhan, tujuan dan sasaran, langkah-langkah dan peran serta tanggung jawab masing-masing dalam pembangunan. Pelibatan masyarakat, merupakan wujud dari (1)penghargaan terhadap keberadaan manusia yang merdeka yang berhak untuk menetapkan sendiri nasibnya tanpa ditentukan oleh pihak lain (2) kesempatan untuk menjalankan tanggung jawab sosial sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia (3) kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama. Dari pengalaman masa lalu, tidak dilibatkannya manusia menapikan keadilan dan kesetaraan dan tanggung jawab sosial semua pihak telah menghancurkan aspek manusiawinya manusia. Apabila proses ini terus berlangsung semakin lama masyarakat akan menjadi semakin tidak berdaya. Di sisi lain perumusan program yang dilaksanakan hanya oleh kelompok tertentu banyak yang tidak berarti karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak terpelihara. Artinya masyarakat tidak pernah benar-benar menerima manfaat dari pembangunan yang dilaksanakan, sehingga program tidak menjawab permasalahan yang sebenarnya, tetapi hanya menguntungkan orang atau kelompok tertentu saja. Dalam proses pembangunan, masyarakat semestinya terlibat dalam keseluruhan proses mulai dari identifikasi kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring evaluasi secara menerus sebagi satu daur. Oleh karena itu daur ini biasa disebut daur pembangunan partisipatif. Dalam PNPM Mandiri Perkotaan, daur program tersebut dikejawantahkan dalam siklus PNPM Mandiri Perkotaan. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam pelibatan masyarakat, banyak pihak telah mengembangkan pendekatan/metodologi pembangunan partisipatif yang salah satu di antaranya adalah PRA (Participatory Rural Appraisal). Pendekatan ini menekankan kepada perubahan sikap dan perilaku sehingga dapat menjadi alternatif metodologi bagi PNPM Mandiri Perkotaan untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat.
Modul 1 Topik: Partisipasi, Pemberdayaan dan Demokrasi
Peserta memahami dan menyadari: 1. Konsep, ciri-ciri dan jenjang partisipasi 2. Hubungan partisipasi, pemberdayaan dan demokrasi 3. Perlunya partisipasi, pemberdayaan dan demokrasi dalam pembanngunan
Kegiatan 1: Diskusi kelompok konsep partisipasi Kegiatan 2: Diskusi kelompok partisipasi, pemberdayaan dan demokrasi
2 Jpl (90 ’)
Bahan Bacaan: 1. Konsep Partisipasi 2. Partisipasi dan Pemberdayaan 3. Partisipasi dan Demokrasi
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
1
Diskusi Konsep Partisipasi Permainan Membuat Menara dari Sedotan 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita memulai Modul Daur Program Pembangunan Partisipatif . Kemudian uriakan apa tujuan modul ini yaitu: Peserta memahami: Konsep, ciri-ciri dan jenjang partisipasi Peserta menyadari: Perlunya pendekatan partisipatif dalam keseluruhan pembangunan 2) Jelaskan kepada peserta, kita akan membahas modul pembangunan partisipatif, untuk lebih meningkatkan pemahaman maka kita akan mencoba untuk membuat benda dari sedotan. 3) Bagilah peserta ke dalam 2 kelompok, kemudian setiap kelompok diminta untuk membuat benda dari sedotan, dengan peralatan yang telah disediakan oleh panitia (petunjuk lihat LK). 4) Setelah benda dari sedotan jadi, kemudian analisis hasilnya dalam pleno kelas, dengan pertanyaan kunci sebagai berikut: •
Mengapa memutuskan membuat ‘benda’ tersebut?
•
Siapa yang memimpin?
•
Siapa yang memutuskan?
•
Adakah pembagian tugas?
•
Bagaimana tahapan pembuatannya?
•
Bagaimana perasaan pemimpin?
•
Bagaimana perasaan anggota kelompok?
•
Siapakah yang terlibat dalam pembuatannya? Hanya laki-laki ataukah perempuan?
•
Apakah puas dengan hasilnya?
•
Apakah hal dia atas dapat terjadi dalam program pembangunan?
5) Berikan pencerahan, gunakan MB yang telah disediakan apabila diperlukan.
2
Diskusi Kelompok: Partisipasi, Pemberdayaan dan Demokrasi
1. Jelaskan bahwa kita akan memasuki kegiatan 2, yaitu membahas partisipasi, pemberdayaan dan demokrasi. Kemudian uriakan apa tujuan kegiatan ini yaitu: Peserta memahami: 7. hubungan partisipasi dan pemberdayaan 8. hubungan partisipasi dan demokrasi Peserta menyadari:
perlunya partisipasi, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat dalam proses pembangunan
2. Bagilah peserta ke dalam 3 kelompok, kemudian bagi tugas setiap kelompok sebagai berikut:
Kelompok 1 & 2:
Apa yang dimaksud dengan pemberdayaan?
Bagaimana partisipasi yang memberdayakan?
Siapakah yang harus diberdayakan? Kaum elite, orang kaya, orang miskin, laki-laki atau perempuan? Jelaskan mengapa demikian
Kelompok 3 & 4:
Apa yang dimaksud dengan demokrasi?
Apakah mungkin partisipasi tanpa demokrasi atau sebaliknya?
3. Setelah diskusi kelompok selesai bahas dalam pleno kelas. Mintalah kelompok 1 & 2 mempresentasikan hasil diskusinya, beri kesempatan kelompok lain untuk bertanya dan memeberikan masukan. Setelah selesai lanjutkan presentasi dengan kelompok 3 & 4, berikan kesempatan kelompok lain untuk bertanya dan memberikan masukkan. 4. Berikan pencerahan (pelajari bahan bacaan). Dalam memberikan pencerahan ulas secara mendalam mengapa perlu partisipasi dan pemberdayaan perempuan.
3
Pemberdayaan (empowerment) adalah konsep yang berhubungan dengan kekuasaan (power). Robert Chambers, mengartikan kekuasaan sebagai kontrol terhadap berbagai sumber kekuasaan, termasuk ilmu pengetahuan dan informasi. Karena itu Chambers mengartikan pemberdayaan masyarakat sebagai pengambilalihan penguasaan terhadap pengetahuan dan informasi, sebagai salah satu sumber kekuasaan yang penting. Oleh karena itu pemberdayaan merupakan upaya power sharing antara masyarakat yang selama ini memiliki akses dan kontrol terhadap sumber-sumber kekuasaan (kaum elite/dominan) dengan kelompok yang terpinggirkan. Kaum miskin dan perempuan dalam hal ini termasuk ke dalam kelompok yang terpinggirkan, tidak pernah terlibat dalam sektor publik dan menjadi penerima informasi kedua. Proses power sharing dilakukan dengan cara memperbesar daya (empowerment) kepada pihak yang tidak/kurang berdaya, dan mengurangi daya pihak yang terlalu berkuasa (disempower). Power sharing bukanlah hal yang mudah, seringkali ketika sekelompok masyarakat berhasil diberdayakan, mereka memiliki akses dan kontrol terhadap sumber kekuasaan, bila tidak hati-hati akan menjadi kelompok elite baru. Sedangkan kelompok yang selama ini berkuasa akan sangat sulit membagikan sumber kekuasaannya kepada pihak lain. Pendekatan yang dilakukan oleh PNPM Mandiri Perkotaan dengan penyadaran kritis terhadap nilai-nilai kemanusiaan sebagai kontrol sikap dan perilaku, menjadi satu alternatif untuk mengatasi hal tersebut. Untuk mewujudkan hal di atas, tentu saja partisipasi masyarakat menjadi penting. Partisipasi dalam proses pembangunan memungkinkan kelompok marginal termasuk kaum miskin dan perempuan mempunyai kesempatan untuk mendapatkan informasi dan diperlakukan dengan adil dan setara. Sedangkan bagi kelompok elite dengan berpartisipasi merupakan salah satu upaya membagikan sumber kekuasaan (pengetahuan, informasi, dll) kepada kelompok lainnya. Demokrasi adalah sistem pemerittahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat (demos artinya rakyat, cratos artinya kewenangan). Artinya, rakyat mempunyai kewenangan dalam pembuatan keputusan dan mengontrol pelaksanaan yang dilakukan oleh wakil-wakil (pemimpin) mereka. Sebagai salah satu prinsip demokrasi, partisipasi warga merupakan keharusan untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan oleh para pemimpin, menyampaikan aspirasi dan memberikan masukkan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan warga (publik). Bentuk-bentuk partisipasi warga yaitu keterlibatan masyarakat dalam organisasi sosial kemasyarakatan (organisasi sipil), kesediaan masyarakat untuk memberikan opini yang menyangkut kepentingan publik, dalam program pembangunan, dalam proses pengambilan keputusan publik,dalam pemilihan kepemimpinan lokal,dsb.
4
Membuat Benda dari Sedotan Tujuan:
Peserta memahami daur program pembangunan dengan pendekatan partisipatif.
Peserta memahami dan menyadari efektivitas pendekatan partisipatif.
Waktu: 60 menit Peralatan:
4 set sedotan
2 kotak jarum pentul
2 gulung tali rafia
Langkah-langkah 1. Penjelasan singkat tentang tujuan dan materi pokok kegiatan ini 2. Bagi seluruh peserta ke dalam 2 kelompok sama besar, minta mereka duduk melingkari meja terpisah antar kelompok. 3. Minta setiap kelompok memilih pemimpin, dan kepad ketiga pemimpin terpilih minta untuk menemui anda di ruangan lain. Anggota kelompok diminta untuk menunggu ( pemandu lain bisa mengajak anggota kelompok untuk mengisi waktu dengan kegiatan lain). 4. Jelaskan kepada ketiga pemimpin: Bahwa mereka akan bertugas untuk memimpin kelompoknya masing-masing untuk membuat benda dari bahan sedotan minuman, dengan bantuan jarum pentul dan benag rafia. (berikan masing-amsing satu set kepada pemimpin ) Dalam melaksanakan tugas ini, ketiga calon pemimpin akan menjalankan tugas yang berbedabeda, yaitu: •
Seorang berperan sebagai pemimpin dengan pendekatan yang top down (semua diatur
•
Seorang berperan sebagai pemimpin yang demokratis dengan pendekatan dari bawah ( bottom up), yang akan memimpin kelompoknya atas dasar musyawarah an mufakat ( dari
oleh pemimpin), akan memimpin kelompoknya dengan cara keras dan tegas ( segalanya ditentukan oleh pemimpin, sejak identifikasi benda yanga akan dibuat, pembagian tugsa anggota sampai penentuan selesainya pekerjaan).
mulai identifikasi benda apa yang akan dibuat, membuat rencana, pembagian tugas, penentuan cara, pengawasan kerja, dan penentuan hasil, semuanya ditetapkan bersamasama , pemimpin hanya memfasilitasi).
5
5. Sepakati dari kedua pemimpin tersebut, siapa yang akan berperan memimpin dengan pendekatan top down dan siapa yang akan memimpin dengan pendekatan bottom up. Yakinlah bahwa mereka memang mampu menjalankan peran masing-masing dengan baik. Kemudian tegaskan bahwa mereka sama sekali tidak boleh mengatakan kepad anggotanya tentang apa peran ereka dan mengapa berperan seperti itu. Sesudah itu, minta mereka kembali ke kelompok masing-masing dan segera mulai. 6. Selama kelompok bekerja, amati perilaku pemimpin dan anggotanya dan catat hal-hal yang perlun untuk analisa nanti. 7. Setelah semua kelompok selesai, minta mereka kembali ke formasi semula. Kemudian minta para anggota setiap kelompok mengungkapkan kesan dan pengalaman mereka:
Bagaimana proses yang dilakukan oleh setiap kelompok?
Mengapa memutuskan membuat benda tersebut?
Siapa yang memimpin?
Siapa yang memutuskan?
Adakah pembagian tugas?
Bagaimana tahapan pembuatannya?
Bagaimana perasaan pemimpin?
Bagaimana perasaan anggota kelompok?
Apakah setiap anggota terlibat dalam pembuatannya?
Apakah puas denga hasilnya?
Mengapa semua itu bisa terjadi?
Apa penyebabnya dan bagaimana?
Apakah bisa dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan ( program pembangunan ) di luar kelas ( keadaan yang sesungguhnya
8. Catat semua ungkapan mereka pada kertas plano, kemudian analisa dan simpulkan bersama.
6
Slide 1
Slide 2
Slide 3
Slide 4
7
Slide 5
Slide 6
Slide 7
Slide 8
Slide 9
Slide 10
8
Slide 11
Slide 12
9
Konsep Partisipasi Disarikan dari: Partisipasi, Pemberdayaan dan Demokrasi Komunitas, Driyamedia dan KPMNT
Asal-Usul Konsep Partisipasi Pengertian partisipasi di dalam literatur yang tersedia, banyak yang berasal dari literatur di kalangan penelitian partisipatif. Di dalam wacana penelitian partisipatif, agenda penelitian dikaitkan dengan 2 agenda lainnya yaitu proses pembelajaran dan pengembangan program aksi bersama masyarakat. Ketiganya (penelitian, pembelajaran masyarakat dan program aksi) ditujukan untuk mendorong terjadinya perubahan (transformasi) sosial sebagai suatu tanggungjawab moral karena kritik terhadap kalangan peneliti (konvensional) yang selama ini dianggap menjadikan masyarakat sebagai obyek penelitian dan sumber informasi. Kalangan ‘pembelot’ yang menggeluti riset partisipatif/riset aksi inilah yang kemudian berkecimpung dalam pemikiran mengenai pengembangan pembangunan yang berbasis pada manusia (people-centered approach) yang akhirnya menjadi atau harus bekerja bersama para praktisi pembangunan. Di kalangan praktisi pembangunan memang muncul kalangan yang berkecimpung dalam pengembangan wacana konseptual dan metodologi pendekatan pembangunan, tetapi sebagian besar dari praktisi pembangunan adalah pengguna (aplikator) dari metodologi dan riset aksi yang digunakan dalam mengembangkan program aksi di tingkat masyarakat. Jadi, sejumlah akademisi dan praktisi telah menggeluti riset partisipatif ini dan menggunakan terminologi riset partisipatif dan disesuaikan dengan tujuan masing-masing.
Pengertian dan Jenis Partisipasi Dengan mengutip pengkategorian oleh Deshler dan Sock (1985), disebutkan bahwa secara garis besar terdapat 3 tipe partisipasi, yaitu: partisipasi teknis (technical partisipation), partisipasi semu (pseudo participation), dan partisipasi politis atau partisipasi asli (genuine participation). Partisipasi teknis dan partisipasi politis kelihatannya sepadan dengan 2 tipe partisipasi yang ditemukan dalam referensi lain, yaitu partisipasi untuk partisipasi yang digunakan dalam pengembangan program, dan partisipasi yang diperluas untuk partisipasi yang merambah ke dalam isu demokratisasi ( Dalam buku: Impact Assesment for Development Agencies, Christ Roche, OXPAM-NOVIB, 1999). Partisipasi Teknis adalah keterlibatan masyarakat dalam pengidentifikasian masalah, pengumpulan data, analisis data, dan pelaksanaan kegiatan. Pengembangan partisipasi dalam hal ini adalah sebuah taktik untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan praktis dalam konteks pengembangan masyarakat. Partisipasi asli (Partisipasi politis), adalah keterlibatan masyarakat di dalam proses perubahan dengan melakukan refleksi kritis dan aksi yang meliputi dimensi politis, ekonomis, ilmiah, dan ideologis, secara bersamaan. Pengembangan partisipasi dalam ini adalah pengembangan kekuasaan dan kontrol lebih besar terhadap suatu situasi melalui peningkatan kemampuan masyarakat dalam melakukan pilihan kegiatan dan berotonomi. Partisipasi Semu, yaitu partisipasi politis yang digunakan orang luar atau kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingannya sendiri, sedangkan masyarakat hanya sekedar obyek.
10
Dalam pengertian partisipasi di atas, bukan berarti partisipasi teknis tidak penting dibandingkan dengan partisipasi politis), bisa sekaligus ada dalam sebuah program pengembangan masyarakat dimana pemberdayaan masyarakat dalam kehidupannya secara lebih luas (kehidupan sosial, budaya, politik, ekonomi). Berdasarkan tingkat atau derajat kontrol partisipasinya (masyarakat), partisipasi semu (pseudo participation) dan partisipasi yang sesungguhnya (genuine participation) dijelaskan dalam tabel berikut: Jenis partisipasi
Pola hubungan kekuasaan (kontrol) antara pihak luar dengan masyarakat
Partisipasi semu
Penindasan (domestikasi)
• Manipulasi
Kontrol sepenuhnya oleh ‘orang luar’ dan kelompok dominan (elite masyarakat) untuk kepentingan mereka, bisa saja prosesnya partisipatif atau menggunakan partisipasi teknis
• Pemberian terapi
Asistensi (paternalisme)
• Konsultasi
Esensi sama dengan di atas
• Menenangkan
Kerjasama
• Kemitraan
Masyarakat terlibat dalam keseluruhan proses program yang bersifat bottom-up; kontrol dibagi antara orang luar dengan masyarakat; manfaat program untuk masyarakat.
• Kekuasaan (kontrol) diwakilkan (partisipasi belum menjadi budaya di tingkat komunitas)
Pemberdayaan
• Kontrol diberikan kepada masyarakat
Partisipasi asli (partisipasi politis)
Masyarakat sebagai pengelola program sepenuhnya; muncul kesadaran kritis; demokratisasi; solidaritas dan kepemimpinan masyarakat; partisipasi komunitas berkembang
Perlakuan terhadap masyarakat
• Pemberian informasi
Manipulai/rekayasa sosial, yaitu pendekatan yang mendudukkan masyarakat sebagai obyek pembangunan dan dimanipulasi agar sesuai dengan harapan/program yang telah dirumuskan oleh pengambil keputusan (pemerintah) Terapi, yaitu pendekatan yang mendudukkan masyarakat sebagai pihak yang tidak tahu apa-apa (orang sakit) dan harus dipercaya terhadap apa yang diputuskan oleh pemerintah (dokter) Informasi, yaitu pendekatan pembangunan dengan pemberian informasi akan apa yang akan dilakukan oleh pemerintah seperti pemasyarakatan program, dan lain-lain. Konsultasi, yaitu pendekatan pembangunan dengan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berkonsultasi mengenai apa yang akan dilakukan oleh pemerintah di lokasi yang bersangkutan. Penenteraman, yaitu pendekatan pembangunan dengan misalnya merekrut tokoh-tokoh masyarakat untuk duduk dalam panitia pembangunan sebagai upaya menenteramkan masyarakat, tetapi keputusan tetap di tangan pemerintah.
11
Kerjasama. Pendekatan pembangunan yang mendudukkan masyarakat sebagai pembangunan setara, hingga keputusan dimusyawarahkan dan diputuskan bersama.
mitra
Pendelegasian, yaitu pendekatan pembangunan yang memberikan kewenangan penuh kepada masyarakat untuk mengambil keputusan yang langsung menyangkut kehidupan mereka Kontrol sosial, yaitu pendekatan pembangunan dimana keputusan tertinggi dan pengendalian ada di tangan masyarakat. Artinya partisipasi baru benar-benar terjadi bila ada kadar kedaulatan rakyat yang cukup dan kadar kedaulatan rakyat tertinggi adalah terjadinya kontrol sosial.
Ciri-ciri partisipasi Partisipasi masyarakat selalu memiliki ciri-ciri sebagai berikut: • Bersifat proaktif dan bukan reaktif, artinya masyarakat ikut menalar baru bertindak • Ada kesepakatan yang dilakukan oleh semua pihak yang terlibat • Ada tindakan yang mengisi kesepakatan tersebut • Ada pembagian wewenang dan tanggung jawab dalam kedudukan yang setara.
Penyempitan Arti Partisipasi dalam Wacana Pembangunan Pemaknaan konsep partisipasi dalam wacana pembangunan, cenderung menjadi semakin teknis (instrumental) meskipun sebagai jargon seringkali dihubungkan dengan konsep pemberdayaan dan perubahan sosial. Terjadi gradasi perbedaan pengertian terhadap peristilahan ini, tergantung dari latar belakang orang yang memaknainya. Akhirnya bagaimana aplikasi partisipasi akan berbeda, apabila pengertian tentang terminologi tersebut berbeda. Berdasarkan pengalaman di Indonesia, pengertian partisipasi yang diartikan sebagai mobilisasi masih sering terjadi, dimana program pembangunan dianggap berhasil mendorong partisipasi apabila bisa mengerahkan keterlibatan masyarakat dalam jumlah besar (massal) meskipun dengan cara-cara yang tidak partisipatif.
Partisipasi yang Memberdayakan Dalam wacana pembangunan, mengapa terminologi partisipasi sangat melekat dengan terminologi pemberdayaan? Apakah pengembangan partisipasi berarti dengan sendirinya adalah proses pemberdayaan? Ataukah pengembangan partisipasi harus disertai dengan proses pemberdayaan? Dalam kenyataannya, pengembangan partisipasi tidak selalu berarti demokratisasi, karena ada jenis-jenis partisipasi yang bersifat teknis/instrumental. Karena itu, partisipasi teknis tidak dapat dihubungkan dengan pemberdayaan karena proses pemberdayaan jelas tidak akan terjadi tanpa adanya agenda demokratisasi komunitas. Sebab pengembangan partisipasi, bisa saja dilakukan tanpa pemberdayaan . partisipasi juga tidak selalu mendorong proses pemberdayaan. Sama seperti konsep partisipasi, konsep pemberdayaan dalam pembangunan seringkali disalahartikan (dikebiri pemaknaannya) menjadi teknis. Pemberdayaan diartikan sebagai peningkatan kemampuan (bahkan keterampilan masyarakat yang tidak dalam konteks perubahan komunitas dan demokratisasi. Pemberdayaan, adalah proses yang sangat politis, karena berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti menentang kelompok pro-status quo yang pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan perubahan (dalam arti power sharing). Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses demokratisasi, atau sebaliknya proses demokratisasi selalu memerlukan proses pemberdayaan. Pengembangan demokrasi hanya akan
12
berhasil jika masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal yang tidak demokratis dan secara bertahap melakukan perubahan terhadapnya agar menjadi lebih demokratis. Hal ini membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya aktor-aktor yang sangat berkuasa (powerfull), di berbagai level yang berbeda, yang memiliki kepentingan dan kemungkinan besar akan menolak usaha-usaha perubahan tersebut.
Partisipasi dan Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan ‘kekuasaan’ (power). Dalam tulisan Robert Chambers, kekuasaan (power) diartikan sebagai kontrol terhadap berbagai sumber kekuasaan, termasuk ilmu pengetahuan dan informasi. Karena itu, pemikiran penting Chambers mengenai pemberdayaan masyarakat adalah pengambilalihan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan informasi, sebagai salah satu sumber kekuasaan yang penting, dari orang luar (peneliti dan agen pembangunan) oleh masyarakat. Caranya dengan menggali dan menghargai pengetahuan dan teknologi lokal, serta menjadikan proses pembelajaran sebagai milik masyarakat, bukan milik orang luar. Selain itu, Chambers juga melihat isu kekuasaan dalam konteks pola hubungan antara kelompok dominan/elite masyarakat dengan kelompok ‘bawah’, antara negara-negara miskin (dalam skala komunitas, nasional maupun global). Kekuasaan dalam konteks politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengatur kehidupan warga (rakyat). Kekuasaan politik harus dibatasi dengan membangun sistem demokrasi. Karena itu, salah satu prinsip dasar demokrasi adalah tersedianya ruang partisipasi warga yang mampu mengontrol penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin yang diberi mandat oleh warga. Jadi, kekuasaan sebenarnya adalah milik rakyat, tetapi yang terjadi kemudian adalah pengambilalihan kekuasaan oleh elite politik karena belum/tidak berfungsinya sistem pemerintahan yang mungkin ditegakkannya kedaulatan rakyat. Hal ini terjadi karena rakyat belum mampu melindungi kekuasaannya. Sedangkan, pemimpin politik, cenderung untuk tidak bersedia membatasi kekuasaannya, bahkan lebih suka memperbesar kekuasaan tersebut. Terdapat tujuh macam jenis kekuasaan yang dapat dijadikan dasar pengembangan strategi pemberdayaan berbasis masyarakat (Jim Ife: Community Development; Creating Community Alternatives, Vision , Analysis & Paractice,1995). Ketujuh jenis kekuasaan ini satu sama lain saling berhubungan dalam cara-cara yang kompleks, dan kategori (jenis) yang lain dapat saja ditambahkan.
Kekuasaan atas kesempatan dan pilihan pribadi Di negara berkembang seperti Indonesia, sebagian besar orang hanya memiliki sedikit kekuasaan untuk menentukan kehidupan mereka sendiri: misalnya untuk membuat keputusan tentang gaya hidup, dimana akan bertempat tinggal, dan jenis pekerjaannya. Struktur masyarakat seringkali membatasi pilihan pribadi seseorang, misalnya , struktur patriarki dan nilai-nilai gender seringkali membatasi kekuasaan bagi perempuan dalam membuat pilihan sendiri ( pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bahkan jodohnya) dan kelompok etnis mayoritas bekerja untuk mengurangi kekuasaan etnis minoritas. Begitu juga norma-noma dan nilai-nilai budaya, seringkali membatasi kekuasaan seseorang atas pilihan hidupnya., berdasarkan pembedaan kelas, rasial, agama, dan gender. Salah satu konsekuensi dari kemiskinan yang utama dalah tersedianya hanya sedikit pilihan atau kekuasaan untuk membuat keputusan tentang kehidupan mereka sendiri. Jenis pekerjaan, pelayanan kesehatan,pendidikan, kehidupan pribadi, hampir tidak tersedia banyak pilihan. Pemerintah mengatur banyak hal (agama, orientasi seksual yang diijinkan, dokter menentukan pengobatan tanpa memberi penjelasan atau menanyakan pendapat pasien, dsb.). Agenda pemberdayaan seharusnya juga bekerja untuk mengembangkan kemampuan individu dalam menentukan berbagai pilihan pribadi.
13
Kekuasaan atas definisi dan kebutuhan Negara seringkali merasa bertanggung jawab untuk menenukan dan merumuskan kebutuhan masyarakat. Selain itu, para profesional seperti dokter, pekerja sosial, psikolog, guru dan manajer, juga merasa memiliki keahlian dalam mendefinisikan kebutuhan orang lain. Pada sudut pandang pemberdayaan, seharusnya masyarakat diberikan kekuasaan untuk mendefinisikan dan merumuskan kebutuhan mereka sendiri. Agar masyarakat mampu mendefinisikan kebutuhan yang relevan dengan suatu pengetahuan dan keahlian, maka proses pemberdayaan menuntut pengembangan akses terhadap pendidikan dan informasi secara merata.
Kekuasaan atas ide Penguasaan ide merupakan sumber kekuasaan, baik berupa bahasa, ilmu pengetahuan, dan budaya yang dominan. Untuk mengurangi dominasi kekuasaan atas ide perlu dikembangkan kapasitas seseorang dalam memasuki forum dialog dengan yang lainnya. Selain itu perlu dikembangkan kemampuan orang tersebut untuk menggali ide-ide dan berkontribusi terhadap pemikiran umum. Untuk itu, pendidikan merupakan aspek penting dari pemberdayaan.
Kekuasaan atas institusi Berbagai kesepakatan dan keputusan dipengaruhi oleh institusi sosial seperti lembaga pendidikan, lembaga kesehatan, keluarga, gereja, lembaga pemerintahan, media massa, dan lain-lain. Karena itu, strategi pemberdayaan juga bisa bertujuan untuk meningkatkan akses dan kontrol masyarakat dan seseorang terhadap institusi-institusi ini. Selain itu, perlu dilakukan perubahan terhadap institusi-institusi ini agar lebih terbuka, responsif, dan dapat dipertanggungjawabkan terhadap semua anggota (transparan).
Kekuasaan atas sumberdaya Sebagian besar manusia memiliki sedikit akses dan kontrol terhadap sumberdaya, baik sumberdaya keuangan maupun sumberdaya bukan moneter seperti pendidikan, pengembangan diri, rekreasi dan pengembangan budaya. Di dalam masyarakat modern dimana kriteria ekonomi menjadi sumber penghargaan, kekuasaan terhadap sumberdaya ekonomi juga menjadi sangat penting. Salah satu strategi pemberdayaan adalah semaksimal mungkin memberi akses pada banyak orang terhadap pembagian dan penggunaan sumbedaya yang lebih merata. Biasanya, di masyarakat (terutama masyarakat modern) terjadi ketimpangan akses terhadap berbagai sumberdaya.
Kekuasaan atas aktivitas ekonomi Akses dan kontrol terhadap mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran merupakan sumber kekuasaan yang sangat vital dalam masyarakat mana saja. Kekuasaan ini dibagi secara tidak merata terutama pada masayarakat kapitalis modern. Karena itu, proses pemberdayaan seharusnya juga memastikan bahwa kekuasaan atas aktivitas ekonomi dapat dibagikan (didistribusikan) secara cukup adil meskipun tidak merata.
Kekuasaan atas reproduksi Pengambilan keputusan dan kontrol atas proses reproduksi telah menjadi kritik yang sangat penting dari kaum feminis. Reproduksi tidak hanya diartikan sebagai proses kelahiran, melainkan juga proses membesarkan anak, memberikan pendidikan dan keseluruhan mekanisme (sosial,
14
ekonomi, dan politik) yang mereproduksi genersi penerus. Kekuasaan atas proses reproduksi merupakan pembagian yang tidak sama dalam setiap masyarakat, berdasarkan nilai gender, kelas dan rasial. Kekuasaan atas reproduksi termasuk kategori kekuasaan atas pilihan pribadi dan kekuasaan atas ide.
Pembedayaan Sebagai Upaya Power Sharing Adanya segelintir orang yang memiliki akses dan kontrol besar terhadap sumber-sumber kekuasaan, dibandingkan orang yang lain merupakan struktur ketimpangan, sedangkan orang yang dirugikan disebut sebagai kelompok terpinggirkan atau kelompok lemah. Pemberdayaan adalah upaya yang ditujukan untuk orang atau sekelompok orang yang mempunyai akses dan kontrol yang terbatas terhadap berbagai sumber kekuasaan. Pemberdayaan adalah upaya yang ditujukan untuk orang atau sekelompok orang yang terpinggirkan. Tujuan pembedayaan adalah untuk mengembangkan struktur masyarakat yang seimbang dan adil. Di tingkat negara, agenda besar pemberdayaan berarti upaya untuk mengembalikan pola hubungan kekuasaan antara rakyat dengan elite politik ke dalam kerangka demokrasi. Masyarakat yang lemah, tidak mampu melindungi kekuasaannya, bahkan tidak memiliki kesadaran kritis terhadap hak-hak dan kedaulatannya, disebut masyarakat yang tidak berdaya. Sedangkan negara, atau dalam hal ini elite politik yang memiliki kekuasaan tanpa terbatas, disebut sebagai pihak yang sangat berkuasa. Sementara, di tingkat komunitas, masyarakat miskin yang marjinal adalah kelompok yang tidak berdaya, sedangkan kelompok elite yang dominan adalah kelompok yang sangat berkuasa. Menurut Chambers, pembangunan adalah upaya untuk mengembangkan tatanan hidup yang lebih baik (komunitas,nasional, maupun global), yang berarti adalah berbagi kekuasaan (power sharing) untuk mengembangkan keseimbangan. Pemberdayaan adalah upaya untuk mewujudkan power sharing, dengan cara memperbesar daya (empowerment) kepada pihak yang tidak/kurang berdaya. Dan mengurangi daya pihak yang terlalu berkuasa.
Pengertian Pemberdayaan di Tingkat Komunitas Lokal
Proses pengembangan hubungan yang lebih setara, adil, dan tanpa dominasi di suatu komunitas. Pemberdayaan memerlukan proses penyadaran kritis masyarakat tentang hak-hak dan kewajibannya. Pemberdayaan juga memerlukan proses pengembangan kepemimpinan lokal yang egaliter dan memiliki legitimasi pada rakyatnya.
Proses untuk memberi daya/kekuasaan (power) kepada pihak yang lemah, dan mengurangi kekuasaan (disempower) kepada pihak yang terlalu berkuasa sehingga terjadi keseimbangan.
Membutuhkan pembagian kekuasaan (power sharing) antara kepemimpinan lokal dengan masyarakat secara adil. Pembagian kekuasaan yang adil berarti adalah penyelenggaraan sistem demokrasi di tataran komunitas (community democracy). Paling tidak itu yang saat ini dipercaya oleh gerakan demokrasi di seluruh dunia.
Partisipasi yang Memberdayakan Dalam wacana pembangunan, mengapa terminologi partisipasi sangat melekat dengan terminologi pemberdayaan? Apakah pengembangan partisipasi berarti dengan sendirinya adalah proses pemberdayaan? Ataukah pengembangan partisipasi harus disertai dengan proses pemberdayaan? Dalam kenyataannya, pengembangan partisipasi tidak selalu demokratisasi, karena ada jenis-jenis partisipasi yang bersifat teknis/instrumental. Karena itu, partisipasi teknis tidak dapat dihubungkan dengan pemberdayaan karena proses pemberdayaan jelas tidak akan terjadi tanpa adanya agenda
15
demokratisasi komunitas. Sebab, pengembangan partisipasi bisa saja dijalankan tanpa pemberdayaan. Partisipasi juga tidak selalu mendorong proses pemberdayaan. Sama seperti konsep partisipasi, konsep pemberdayaan seringkali dikebiri pemaknaannya menjadi teknis. Pembedayaan seringkali diartikan sebagai peningkatan kemampuan (bahkan keterampilan) masyarakat yang tidak dalam konteks perubahan komunitas dan demokratisasi. Pemberdayaan adalah proses yang sangat politis, karena berhubungan dengan upaya mengubah pola kekuasaan dan mereka yang bekerja dengan kerangka pemberdayaan berarti menantang kelompok pro status quo yang pastinya tidak begitu saja bersedia melakukan perubahan (dalam arti power sharing). Proses pemberdayaan selalu memerlukan proses demokratisasi, atau sebaliknya, proses demokratisasi selalu memerlukan proses pemberdayaan. Pengembangan demokrasi hanya akan berhasil jika masyarakat berhasil mengidentifikasi hal-hal yang tidak bersifat demokratis dan secara bertahap melakukan perubahan terhadapnya agar menjadi lebih demokratis. Hal ini membutuhkan kesadaran masyarakat mengenai adanya aktor-aktor yang sangat berkuasa, di berbagai level yang berbeda, yang memiliki kepentingan dan kemungkinan besar akan menolak usaha-usaha perubahan tersebut.
Partisipasi dan Demokrasi Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat (demos artinya rakyat, cratos artinya kewenangan). Artinya, rakyat memberikan kewenangan/mandat kepada pemerintah untuk ’memerintah’ mereka. Dengan demikian, pemerintah memiliki ’kekuasaan’ (power) karena kekuasaan itu diberikan oleh rakyat. Tetapi, karena dalam praktek-praktek pemerintah seringkali menyalahgunakan kekuasaan tersebut, maka dalam sistem demokrasi harus ada mekanisme agar rakyat bisa mengontrol dan mengawasi sepak terjang pemerintah. Selain itu, rakyat juga harus memiliki ukuran-ukuran dalam menilai performa pemerintahannya, antara lain: perumusan hak-hak sipil dalam suatu negara, adanya perlindungan HAM, dan adanya penegakan hukum untuk semua.
Partisipasi sebagai Prinsip demokrasi Dalam konsep politik, partisipasi warga merupakan keharusan (sebagai salah satu prinsip dasar sistem demokrasi). Partisipasi warga itu dimaksudkan untuk mengontrol penyalahgunaan kekuasaan oleh pemimpin, menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, melibatkan warga dalam pelaksanaan pemerintahan, memberi masukkan pada saat pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan warga (publik). Bentuk-bentuk partisipasi warga dalam konsep politik sebenarnya sangat luas, yaitu: keterlibatan warga dalam organisasi sosial kemasyarakatan (organisasi sipil), kesediaan masyarakat untuk memberikan opini terhadap isu-isu yang menyangkut kepentingan masyarakat (opini publik), keterlibatan masyarakat dalam proses-proses pengambilan keputusan, dan sebagainya. Partisipasi dalam kosakata politik sebenarnya jauh lebih tua daripada partisipasi dalam wacana pembangunan. Dalam politik, kata partisipasi dipadankan dengan kata warganegara (citizen participation). Sedangkan dalam pembangunan, kata partisipasi lebih banyak dipadankan dengan kata masyarakat (community participation).
Pemilahan Partisipasi Sosial dan Partisipasi Politik Istilah partisipasi, dalam perkembangannya lebih populer dalam wacana pembangunan dan cenderung berubah menjadi terminologi yang steril (a-politis). Kebanyakan lembaga pemerintah, LSM dan donor menggunakan istilah partisipasi dalam program pembangunan diartikan sebagai partisipasi sosial. Sehingga terjadilah pemilahan partisipasi sosial dengan partisipasi dalam proses demokrasi. ( Hans Antlov, Paradigma Baru dalam Partisipasi Masyarakat, Buletin Lesung Edisi 02,
16
FPPM). Kedua istilah ini masing-masing mempunyai keterbatasan: partisipasi sosial yang diartikan sebagai upaya meningkatkan pengawasan masyarakat terhadap sumber-sumber sosial terutama program-program pembangunan, ternyata tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan struktural yang dihadapi di dalam konteks persoalan di Indonesia. Sedangkan partisipasi politik yang diartikan sebagai peran serta masyarakat dalam pengertian politik secara sempit, tidak memadai sebagai wilayah kerja untuk menegakkan demokrasi masyarakat. Partisipasi sosial dalam pembangunan, memiliki kecenderungan untuk dimaknai dan diaplikasikan secara teknis dan instrumental. Hal ini mendorong terjadinya manipulasi partisipasi, karena sebenarnya dipergunakan untuk mendorong peran serta masyarakat dalam agenda orang luar. Jelas kedua jenis partisipasi di atas tidak akan mendorong demokratisasi dan restrukturisasi masyarakat karena tidak mengembangkan kesadaran dan kepedulian yang lebih luas dari warga masayrakat (elite dan warga masyarakat lainnya) dalam membangun komunitas yang lebih baik. Partisipasi masyarakat (community participation) di kalangan pembangunan lebih sering diartikan sebagai partisipasi sosial daripada partisipasi politik. Anggapan ini nampaknya menjadikan partisipasi sebagai pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, bukan partisipasi untuk mengembangkan sistem dan struktur baru komunitas yang lebih setara, partisipatif, dan demokratis. Partisipasi yang tidak mengembangkan perluasan di tingkat komunitas, jelas tidak akan banyak berpengaruh terhadap demokratisasi komunitas. Di dalam konsep demokrasi, terdapat sejumlah pilar atau prinsip yang harus ada sehingga bisa dikatakan demokrasi berjalan, yaitu: PARTISIPASI WARGA; kesetaraan atau tidak adanya diskriminasi golongan, agama, etnis, dan gender, toleransi terhadap perbedaan, akuntabilitas pemerintah terhadap rakyat, transparansi pemerintahan, kebebasan berusaha untuk mengembangkan ekonomi, kontrol terhadap penyalahgunaan kekuasaan, jaminan perlindungan hak-hak sipil, perlindungan HAM, serta aturan dan penegakan hukum. Partisipasi warga (citizen participation) di dalam konsep demokrasi, diartikan sebagai keterlibatan warga dalam berbagai proses pemerintahan, antara lain dalam pengembangan kebijakan publik, dalam mengawasi jalannya pemerintahan, menyampaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat dan dalam mendukung berbagai upaya pembangunan. Masyarakat (komunitas) partisipatif adalah sebuah keadaan yang menunjukkan bahwa partisipasi sudah menjadi nilai, sikap-perilaku, dan budaya di suatu masyarakat, sehingga mereka bisa mengambil peran yang menentukan, baik dalam proses-proses pembangunan maupun dalam pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas demokrasi.
Partisipasi Asli, Partisipasi yang Mengembangkan Demokrasi Komunitas Karena itu, Hans Antlov, dalam tulisannya, menganjurkan penggunaan kembali istilah partisipasi warga yang meliputi partisipasi sosial dan partisipasi politik dalam arti luas. Partisipasi warga ini diartikan sebaga keterlibatan warga masyarakat dalam pemerintahan lokal secara penuh, termasuk dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, dalam program-program pembangunan,dalam proses pengambilan keputusan publik tingkat lokal, dalam pemilihan kepemimpinan lokal (formal maupun informal),dsb, yang merupakan seluruh bagian dari kehidupan masyarakat (komunitas). Karena itu, peran Lembaga –lembaga pengembang program pembangunan juga meliputi peran sebagai pengorganisir rakyat (community organizer) karena partisipasi warga harus dikembangkan melalui penguatan lembaga-lembaga masyarakat/rakyat (organisasi sipil) yang bilsa menjadi kelompok kepentingan dan kelompok penekan tingkat lokal dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan (mempengaruhi lembaga politik formal melalui legislatif dan eksekutif lokal). Penguatan kelembagaan masyarakat/rakyat (organisasi sipil) ini, diperlukan dalam menopang pemerintahan lokal yang partisipatif (participatory local governance) atau komunitas yang demokratis (demokratic community).
17
Modul 2 Topik: Partisipasi Perempuan
Peserta memahami dan menyadari: 1. Masalah-masalah yang mempengaruhi rendahnya partisipasi perempuan 2. Pentingnya partisipasi perempuan dalam pananggulangan kemiskinan
Kegiatan 1: Jajak pendapat gender dan ketimpangan Kegiatan 2: Diskusi kelompok permasalahan partisipasi perempuan Kegiatan 3: Diskusi kelompok strategi peningkatan partisipasi perempuan dalam nangkis
2 Jpl (90 ’)
Bahan Bacaan: 1. Perempuan dan Pembangunan 2. Perempuan, Partisipasi dan Pemberdayaan
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
18
Jajak Pendapat Gender dan Ketimpangan 1) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan memulai dengan Modul Partisipasi Perempuan uraikan tujuan dari modul ini, yaitu peserta memahami dan menyadari: •
Konsep gender serta ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia
•
Masalah-masalah yang mempengaruhi partisipasi perempuan
•
Pentingnya partisipasi perempuan dalam penanggulangan kemiskinan
2) Pemandu mengajak peserta sejenak merefleksikan mengenai materi-materi perempuan dan kemiskinan dan pemberdayaan perempuan dan laki-laki yang sudah dibahas dalam modulmodul sebelumnya. Tanyakan kepada mereka apa yang mereka pahami dan apa yang belum mereka pahami dari modul-modul tersebut, Tuliskan jawaban peserta dalam kertas plano. Cermati apakah mereka sudah cukup paham mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut “Pengertian gender, bentuk-bentuk ketimpangan gender, paradigma yang mempengaruhi ketimpangan tersebut, implikasi dari ketimpangan-ketimpangan tersebut baik terhadap perempuan maupun laki-laki, dll.” Garis bawahi hal-hal yang menurut peserta belum paham untuk dibahas lebih mendalam pada sessi selanjutnya.
3) Jelaskan kepada peserta, bahwa akan dilakukan jajak pendapat . Dalam jajak pendapat pemandu memberikan beberapa pernyataan yang sudah disiapkan sebelumnya, peserta memberikan tanggapan dengan kategori setuju, tidak setuju dan netral berdasarkan kepada argumen-argumen yang mereka miliki. (lihat metode diskusi “jajak pendapat” dalam LK 1 )
Pernyataan untuk Jajak Pendapat: Pernyataan 1 Menjaga anak, melayani suami, mengurus rumah tangga merupakan fitrah perempuan, sudah seharusnya perempuan hanya beraktivitas di rumah saja karena dengan demikian kehormatan perempuan lebih terjaga; sedangkan urusan mencari nafkah dan persoalan di luar rumah tangga merupakan fitrah laki-laki. Pernyataan 2 Kodrat perempuan adalah melayani kaum laki-laki sesuai dengan sejarah penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, yang terpenting bagi perempuan mempunyai kapasitas untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan kodratnya, menjadi tidak penting bagi perempuan untuk berpendidikan tinggi.
19
Pernyataan 3 Perempuan tertindas dan terpinggirkan hanyalah merupakan pandangan yang datang dari “Barat” dan digembar-gemborkan oleh para aktivis perempuan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, pada kenyataannya kaum perempuan umumnya merasa “bahagia’ dengan kehidupan sosial yang mereka jalani saat ini. Pernyataan 4 Perempuan tidak cocok menjadi pemimpin karena mereka pada dasarnya terlalu lemah lembut, emosional, susah mengambil keputusan yang tegas, dan kapasitas yang mereka miliki tidak cukup padahal pemimpin yang baik adalah pemimpin yang kuat ,tegas, cerdas, berpendidikan tinggi dan mempunyai pengetahuan yang luas yang selama ini dimiliki oleh kaum laki-laki. Pernyataan 5 Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah adil, untuk menjamin keadilan maka tidak pada tempatnya ada tuntutan dari pihak-pihak tertentu untuk mengeluarkan kebijakan yang “mengistimewakan” kaum perempuan, karena pada dasarnya baik perempuan dan lakilaki mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara; kebijakan-kebijakan khusus yang diberikan kepada kaum perempuan justru menggambarkan adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan. 4) Untuk memperdalam pemahaman , jelaskan kepada peserta bahwa kita akan berdiskusi dalam kelompok. Bagi peserta menjadi 5 kelompok , tugaskan setiap kelompok untuk mendiskusikan:
Kelompok 1 dan 2: •
Apa itu gender?
•
Apakah gender berkaitan dengan ciri-ciri biologis manusia?
•
Apakah gender bersifat tetap dari waktu ke waktu?
•
Apakah fungsi gender tidak boleh berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya?
•
Apakah fungsi gender tidak bisa dipertukarkan?
•
Apa itu ketimpangan gender dan apa bentuk-bentuknya?
Kelompok 3, 4, dan 5 •
Menyiapkan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menyangkut isu-isu yang dibahas oleh kelompok 1 dan 2.
5) Setelah selesai diskusi kelompok, mintalah kelompok 1 untuk mempresentasikan hasil diskusinya, dengan metode diskusi “Memperluas Panel”. Metode diskusi bisa dilihat dalam LK 2 yang sudah disediakan. 6) Refleksikan bersama peserta hasil diksusi panel yang telah dilakukan, dan berikan masukkanmasukkan apabila diperlukan
20
Diskusi Kelompok Permasalahan Partisipasi Perempuan 1) Jelaskan kepada peserta bahwa kita akan memuali kegiatan 2 dalam modul ini yaitu membahas permasalahan partisipasi perempuan. 2) Berdasarkan konsep partisipasi perempuan yang sudah dibahas pada modul sebelumnya, bagaimanakah menurut peserta partispasi perempuan dalam pembangunan?. Ingatkan kembali kepada permasalahan yang telah dibahas dalam modul perempuan dan kemiskinan dan pemberdayaan perempuan dan laki-laki. 3) Mintalah kepada setiap peserta untuk mengemukakan pandangan-pandangannya dan berdebat dengan menggunakan metode diskusi Rapat Kota ( Lihat petunjuk Rapat kota dalam LK 3), mengenai :
Perdebatan 1
Bagaimana kulaitas dan kuantitas partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di sektor publik serta permasalahannya.?
Perebatan 2:
Bagaimana peran perempuan dalam perencanaan kegiatan pembangunan serta permasalahannya?.
Perdebatan 3:
Bagaimana peran perempuan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan dan monitroing evaluasi serta permasalahannya
Perdebatan 4:
Bagaimana akses perempuan sebagai pemimpin dan permasalahannya
4) Refleksikan bersama peserta hasil diskusi yang sudah dilakukan.
21
Diskusi Kelompok Strategi Peningkatan Partispasi Perempuan dalam Nangkis 1) Uraikan bahwa kita akan memulai kegiatan 3 dalam Modul Partisipasi perempuan dan akan membahas strategi peningkatan peran perempuan dalam Nagkis. 2) Bagi peserta ke dalam beberapa kelompok (satu kelompok terdiri dari 8-9 orang), kemudian beri tugas setiap kelompok untuk merumuskan strategi peningkatan peran perempuan dalam nangkis. 3) Setelah selesai diskusi kelompok, dan bahas dalam pleno kelas. 4) Refleksikan bersama
22
mintalah
setiap
kelompok
untuk
presentasi
LK 1- Petunjuk Diskusi Jajak Pendapat Suatu perdebatan dapat menjadi sebuah metode berharga untuk mengembangkan pemikiran dan refleksi, khususnya jika para peserta latihan diharapkan mengambil posisi yang bertentangan dengan pendapatnya. Ini adalah sebuah strategi untuk suatu perdebatan yang secara aktif melibatkan setiap peserta. Strategi ini juga bisa dipakai untuk menggali dan mempengaruhi kayakinan peserta terhadap suatu isu tertentu. Petunjuk: 1. Kembangkan suatu pernyataan yang berkaitan dengan isu yang kontroversial yang berkaitan dengan materi yang dibahas. Dalam kegiatan modul ini pernyataan untuk didiskusikan adalah sebagai berikut: a) Menjaga anak, melayani suami, mengurus rumah tangga merupakan fitrah perempuan, sudah seharusnya perempuan hanya beraktivitas di rumah saja karena dengan demikian kehormatan perempuan lebih terjaga; sedangkan urusan mencari nafkah dan persoalan di luar rumah tangga merupakan fitrah laki-laki. b) Kodrat perempuan adalah melayani kaum laki-laki sesuai dengan sejarah penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, yang terpenting bagi perempuan mempunyai kapasitas untuk menjalankan kewajiban sesuai dengan kodratnya, menjadi tidak penting bagi perempuan untuk berpendidikan tinggi. c) Perempuan tertindas dan terpinggirkan hanyalah merupakan pandangan yang datang dari “Barat” dan digembar-gemborkan oleh para aktivis perempuan untuk kepentingankepentingan tertentu, pada kenyataannya kaum perempuan umumnya merasa “bahagia’ dengan kehidupan sosial yang mereka jalani saat ini. d) Perempuan tidak cocok menjadi pemimpin karena mereka pada dasarnya terlalu lemah lembut, emosional, susah mengambil keputusan yang tegas, dan kapasitas yang mereka miliki tidak cukup padahal pemimpin yang baik adalah pemimpin yang kuat ,tegas, cerdas, berpendidikan tinggi dan mempunyai pengetahuan yang luas yang selama ini dimiliki oleh kaum laki-laki.
e) Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah adil, untuk menjamin keadilan maka
tidak pada tempatnya ada tuntutan dari pihak-pihak tertentu untuk mengeluarkan kebijakan yang “mengistimewakan” kaum perempuan, karena pada dasarnya baik perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara; kebijakan-kebijakan khusus yang diberikan kepada kaum perempuan justru menggambarkan adanya diskriminasi terhadap kaum perempuan.
2. Lakukan jajak pendapat kepada peserta dengan kategori setuju, tidak setuju dan netral terhadap pernyataan yang telah dibuat tadi. Jajak pendapat dilakukan bertahap untuk masingmasing pernyataan. Pada saat jajak pendapat dilakukan untuk pernyataan 1), pernyataan lain jangan diperlihatkan kepada peserta supaya konsentrasi mereka tidak terganggu. 3. Mintalah peserta untuk berkumpul dengan peserta lain yang satu pendapat (menjadi 3 kelompok)
23
4. Mintalah ketiga kelompok tadi untuk mengembangkan argumen-argumen terhadap kategori pilihannya ( setuju karena …………, tidak setuju karena ……., netral karena …) 5. Setiap kelompok kemudian saling berhadapan dan berdebat berdasarkan argumen-argumen yang dipilihnya, dan bisa saling mempengaruhi. 6. Dalam perdebatan setiap anggota kelompok diperbolehkan untuk pindah kepada kelompok lawan debatnya apabila lebih setuju dengan argumen yang dikemukakan pihak lawan. 7. Ketika dirasa sudah cukup, akhiri perdebatan tersebut. Buatlah diskusi seluruh kelas tentang apa yang telah dipelajari oleh para peserta berdasarkan pengalaman debat tadi. 8. Mintalah peserta mengidentifikasi apa yang mereka pikirkan merupakan argumen-argumen terbaik yang dibuat oleh kedua kelompok.
24
LK 2- Petunjuk Diskusi Memperluas Panel Kegiatan ini merupakan suatu cara terbaik untuk merangsang diskusi dan memberikan para peserta sebuah kesempatan mengenal, menjelaskan, dan mengklarifikasi berbagai isu sambil menjaga partisipasi aktif mereka. Langkah-langkah: 1. Mintalah kelompok 1 dan 2 sebagai kelompok diskusi panel. Aturlah panelis duduk di depan ruangan dengan tempat duduk setengah lingkaran. 2. Mintalah kelompok 3 duduk di sisi kiri, kelompok 4 di sisi kanan dan kelompok 5 di depan panelis. 3. Mulailah dengan meminta kelompok 1 untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok yang sudah dilakukan sebelumnya, kemudian kelompok 2 menambahkan hal-hal yang belum dikemukakan oleh kelompok 1. 4. Mintalah kepada kelomok 3, 4 dan 5 untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya kepada para panelis. 5. Moderasilah diskusi panel, ajukan beberapa pertanyaan-pertanyaan yang provokatif sehingga dapat menimbulkan pro dan kontra di antara peserta diskusi agar terjadi dialog dan perdebatan.
25
LK 3- Petunjuk Diskusi Rapat Kota Format diskusi ini sangat cocok untuk kelas yang besar. Dengan membuat suasana mirip dengan sebuah rapat kota, maka seluruh peserta bisa menjadi terlibat dalam diskusi. Langkah-langkah: 1. Topik masalah yang akan dibahas adalah mengenai ketimpangan gender yang terjadi di Indonesia berdasarkan kepada pengalaman peserta dan bahan bacaan yang sudah dipelajari oleh masing-masing peserta sebelumnya. 2. Jelaskan bahwa kita akan memulai berdiskusi mengenai pandangan masing-masing terhadap persoalan-persolan tadi. Sediakan kursi-kursi kosong yang disusun berhadapan untuk berdiskusi. Mulailah diskusi dengan membahas isu pertama yaitu:
“Bagaimana akses kaum perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya,, pelayanan-pelayanan yang tersedia.” 3. Mintalah satu orang peserta untuk mengemukakan pandangannya terhadap hal tersebut dan duduk di kursi kosong yang sudah disediakan. Tanyakan kepada peserta apakah ada yang mempunyai pandangan yang berbeda, mintalah peserta yang punya pandangan yang berbeda untuk duduk di kursi kosong di hadapan peserta yang tadi dan mengemukakan pandangannya. 4. Doronglah peserta lain untuk terlibat dalam diskusi, peserta yang sependapat dengan peserta pertama untuk duduk di kursi kosong satu kelompok dengan peserta pertama, kemudian peserta yang tidak sependapat duduk di kursi kosong satu kelompok dengan peserta kedua. 5. Moderasi diskusi agar terjadi perdebatan dan dialog 6. Lanjutkan hal yang sama, dengan membahas isu-isu di bawah ini satu per satu: • Kontrol kaum perempuan dan laki-laki baik di sektor domestik maupun di sektor publik
(kontrol menyangkut relasi kekuasaan perempuan dan laki-laki, apakah ada dominasi dalam pengambilan keputusan baik di sektor domestik maupun publik terhadap berbagai hal seperti sumberdaya, aktivitas sehari-hari, dan lainnya; )
• Tingkat partisipasi kaum perempuan dan laki-laki dalam pembangunan • Kepemimpinan • Tingkat kesejahteraan kaum perempuan dan laki-laki menyangkut kualitas kesehatan,
pendidikan, pemenuhan kebutuhan ekonomi dan sebagainya.
7. Refleksikan hasil pandangan-pandangan peserta tadi.
26
Slide 1
Slide 2
Slide 3
Slide 4
27
Slide 5
Slide 6
Slide 7
Slide 8
Slide 9
Slide 10
28
29
Gender Bukan Tabu Apakah Gender Melawan Kodrat? Disarikan dari “Gender Bukan Tabu” Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi-Dede Wlliam-de Vries
Pengertian Sex, Gender dan Kodrat Sex atau jenis kelamin adalah hal yang paling sering dikaitkan dengan gender dan kodrat. Dikarenakan adanya perbedaan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki secara kodrat berbeda satu sama lain. Hubungan antara jenis kelamin (seks) dengan kodrat, secara sederhana dapat kita ilustrasikan seperti: Ketika dilahirkan laki-laki ataupun perempuan secara biologis memang berbeda. Laki-laki memiliki penis dan buah zakar sedangkan perempuan mempunyai vagina. Pada saat mulai tumbuh besar, perempuan mulai telihat memiliki payudara, mengalami haid dan memproduksi sel telur.Sementara laki-laki mulai terlihat memiliki jakun dan memproduksi sperma. Secara alamiah, perbedaanperbedaan tersebut bersifat tetap, tidak berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipertukarkan fungsinya satu sama lain. Hal-hal seperti ini yang kemudian kita sebut dengan kodrat. Berdasarkan hal tersebut, logikanya seseorang dianggap ’melanggar kodrat ’ jika mencoba melawan atau mengubah fungsi-fungsi biologis yang ada pada dirinya. Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Gender bukanlah perempuan atau laki-laki. Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, misalnya laki-laki yang memakai tatto di badan dianggap hebat oleh masyarakat Dayak, akan tetapi di lingkungan komunitas lain seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima. Gender juga berubah dari waktu ke waktu, sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya.Contohnya, di masa lalu perempuan yang memakai celana panjang dianggap tidak pantas, sedangkan saat ini dianggap hal yang baik untuk perempuan aktif. Pertanyaannya sekarang, apakah gender melanggar kodrat?. Jawaban dari pertanyaan tersebuit kita bisa analisis dari rangkaian pertanyaan berikut: •
Apakah gender berkaitan dengan ciri-ciri biologis manusia?
•
Apakah gender bersifat tetap dari waktu ke waktu?
•
Apakah fungsi gender tidak boleh berbeda dari satu tempat dengan lainnya?
•
Apakah fungsi gender tidak bisa dipertukarkan?
Jika jawaban dari semua pertanyaan tersebut adalah tidak, maka jelas ahwa gender tidak melawan kodrat. Peran gender tidak akan melawan kodrat manusia, tidak megubah jenis kelamin, tidak mengubah fungsi-fungsi dalam diri perempuan menjadi laki-laki dan tidak juga dimaksudkan untuk mendorong perempuan mengubah dirinya menjadi seorang laki-laki, ataupun sebaliknya.
30
Gender Tidak Melawan Kodrat Mengapa selama ini orang sering mencampuradukan pengertian gender dan kodrat?. Dikarenakan perbedaan kodrat yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki tersebut, masyarakat mulai memilahmilah peran sosial seperti apa yang (dianggap) pantas untuk laki-laki dan bagian mana yang (dianggap) pantas untuk perempuan. Misalnya, hanya karena kodratnya perempuan mempunyai rahim, dan bisa melahirkan anak, maka kemudian berkembang anggapan umum masyarakat bahwa perempuanlah yang bertanggungjawab mengurus anak. Selanjutnya, anggapan tersebut semakin berkembang, jauh dimana perempuan dianggap tidak pantas sibuk di luar rumah karena tugas perempuan mengurus anak akan terbengkalai. Kebiasaan ini lama kelamaan berkembang di masyarakat menjadi suatu tradisi dimana perempuan dianalogikan dengan pekerjaan-pekerjaan domestik dan ’feminin’ sementara laki-laki dengan pekerjaan-pekerjaan publik dan ’maskulin’. Peran gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan. Peran tersebut melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi dan lain sebagainya.Sebagai hasil bentukan sosial, terutama peran gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi, tempat yang berbeda-beda sehingga sangat mungkin dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Mengurus anak, mencari nafkah dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci dll) adalah peran yang bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat. Dengan demikian pekerjaan tersebut bisa kita istilahkan sebagai peran gender. Jika peran gender dianggap sebagai sesuatu yang dinamis dan bisa disesuaikan dengan kondisi yang dialami seseorang, maka tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menganggap aneh seorang suami yang pekerjaan sehari-harinya memasak dan mengasuh anak-anaknya, sementara isterinya bekerja di luar rumah. Karena di lain waktu dan kondisi,ketika sang suami memilih bekerja di luar rumah dan istrinya memilih untuk melakukan tugas-tugas rumah tangga, juga bukan hal yang dianggap aneh. Dalam masyarakat tradisional pattriarkhi (yaitu masyarakat yang selalu memposisikan laki-laki lebih tinggi kedudukan dan perannya dari perempuan) kita dapat melihat adanya pemisahan yang tajam bukan hanya pada peran gender akan tetapi juga pada sifat gender. Misalnya, laki-laki dituntut untuk mempunyai sifat pemberani dan gagah perkasa sedangkan perempuan harus bersifat lemah lembut dan penurut. Padahal, laki-laki maupun perempuan adalah manusia biasa, yang mempunyai sifat-sifat tertentu yang dibawanya sejak lahir. Sifat lemah lembut, perasa, pemberani, penakut,tegas, pemalu dan lain sebagainya , bisa ada pada diri siapapun, tidak peduli apakah dia perempuan atau laki-laki. Sayangnya konstruksi sosial di masyarakat merubah pandangan ’netral’ pada sifat-sifat gender tersebut. Sejak kecil, anak laki-laki sudah dipaksa utuk ’tidak manusiawi’, dimana mereka dilarang untuk menangis, bersikap lemah lembut dan pemalu. Ciri dan nilai-nilai seperti itu di masyarakat berkembang menjadi norma yang dikuatkan, disosialisasikan, dipertahankan bahkan terkadang dipaksakan sehingga kemudian dianggap sebagai tradisi. Konsep subjektif tersebut lama kelamaan berkembang dalam berbagai alur kehidupan sosial masyarakat, yang mengakibatkan adanya ketimpangan antara peran dan kedudukan perempuan dan laki-laki. Ketimpangan peran gender seperti ini membatasi kreativitas, kesempatan dan ruang gerak kedua belah pihak, baik itu laki-laki maupun perempuan. Contohnya , perempuan yang mempunyai kemampuan dalam bidang otomitif tidak bisa bebas menggunakan keahliannya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai sopir truk atau montir karena dianggap bukan pekerjaan perempuan. Demikian halnya dengan laki-laki yang terampil menghias diri tidak mau menjadi perias pengantin karena dianggap bukan jenis pekerjaan laki-laki. Seorang suami malu untuk bekerja di sektor domestik karena takut dianggap bukan laki-laki sejati. Padahal, suami yang memasak dan mengasuh anak tidak berubah fungsi biologisnya menjadi perempuan, demikian juga sebaliknya, perempuan yang menjadi sopir, tidak akan berubah menjadi seorang laki-laki di keesokan harinya. Jadi jelas bahwa bertukar peran sosial antar laki-laki dan
31
perempuan sama sekali tidak menyalahi atau melawan kodrat. Berbagi dan bertukar peran gender dalam kehidupan sehari-hari secara harmonis dapat membangun masyarakat yang lebih terbuka dan maju, karena semua orang mempunyai kesempatan, peluang dan penghargaan yang sama saat mereka memilih pekerjaan yang diinginkannya. Laki-laki maupun perempuan tidak dibatasi ruang geraknya untuk memanfaatkan kemampuannya semaksimal mungkin di bidang pekerjaan yang sesuai dengan minat dan keahliannya. Dengan demikian, peran gender yang seimbang, memicu semakin banyak sumberdaya manusia produktif di masyarakat, yang dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan bersama.
Bagaimana Peran Gender Berlaku di Masyarakat
Kesetaraan Gender Tidak sedikit orang yang masih berpikir bahwa membicarakan kesetaraan gender adalah sesuatu yang mengada-ngada.Hal yang terlalu dibesar-besarkan. Kelompok orang yang berpikir konservatif seperti ini menganggap bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat memang harus berbeda.
’Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, percuma menghabiskan biaya saja, toh akhirnya akan masuk dapur juga’ Pernah mendengar ungkapan seperti itu?. Hal ini masih kerap terlontar saat dipertanyakan apakah anak perempuan atau laki-laki yang akan diberikan kesempatan untuk meneruskan sekolah. Dari ungkapan tersebut sudah dapat dilihat ada dua hal yang tidak mencerminkan kesetaraan gender, yaitu: •
Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan keluarganya.
•
Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ’ masuk dapur’.
Pemikiran seperti itu muncul terutama pada kelompok traditional pattriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan di dapur. Sebagaimana yang telah dibahas, sekali lagi ditegaskan bahwa peran gender tidak sama dengan kodrat. Bukan kodratnya perempuan masuk dapur, karena peran memasak di dapur tidak ada kaitannya dengan ciri-ciri biologis yang ada pada perempuan.Kegiatan memasak di dapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah salah satu bentuk pilihan pekerjaan dari sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, sopir, montir, pedagang dll), yang tentu saja boleh dipilih oleh perempuan maupun laki-laki. Kesetaraan gender memberikan pilihan,peluang dan kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki. Supaya bisa lebih jelas kita bisa melihat kesetaraan gender terjadi, dalam kehidupan sehari-hari, berikut ilustrasi sederhana yang terjadi pada dua keluarga. Yang pertama adalah seorang istri yang memilih bekarja di rumah dan suaminya memilih bekerja sebagai buruh pabrik. Pada saat mengambil keputusan di keluarga, istri bebas menentukan apakah dia ingin bekerja di luar atau di dalam rumah Demikian juga sang suami tidak keberatan bertukar peran suatu saat istrinya mempunyai kesempatan bekerja di pabrik. Dalam hal ini kita bisa mengatakan bahwa telah tercipta kesetaraan gender di dalam keluarga tersebut. Istri tidak dipaksa suami untuk tinggal di rumah dan suami tidak diharuskan bekerja di pabrik.Mereka memilih peran tersebut atas dasar kemauan dan keinginan masing-masing pihak, tidak ada paksaan ataupun tekanan dari istri maupun suami. Kesetaraan gender tercipta manakala istri dan suami mempunyai peluang yang sama untuk memilih jenis pekerjaan yang disukainya dan mempunyai posisi yang sama saat mengambil keputusan dalam keluarga.
32
Yang kedua adalah seorang perempuan yang bekerja sebagai pengacara. Orang menganggap dia sudah sadar gender, berpikiran modern dan sudah memiliki kesetaran gender dalam keluarganya. Penampilannya yang cerdas dan gaya bicaranya yang lantang di depan publik, seolah-olah telah menghapus bayangan stereotype perempuan tradisional. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah dia tidak memilih pekerjaan menjadi pengacara, melainkan terpaksa menjadi pengacara karena suaminya seorang pengusaha yang menginginkan istri menangani urusan-urusan hukum dengan klien-klien bisnisnya. Sang istri selalu bekerja di bawah tekanan suami, tidak mempunyai kebebasan mengeluarkan pendapatnya dan tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan yang lain yang diinginkannya. Kita seringkali membuat dan menilai sesuatu hanya dari penampakkan luarnya saja. Demikian pula dengan kesetaraan gender. Orang sering menghubung-hubungkan kesetaraan gender dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan. Namun, melihat contoh kedua keluarga di atas, jelas bagi kita bahwa jenis pekerjaan seseorang bukanlah ukuran yang dapat menunjukkan adanya kesetaraan gender. Kesetaraan gender ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama kepada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakkan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh pabrik, sopir, pengacara, guru ataupun profesi lainnya. Jika kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi pada dirinya maka dia tidak dapat dikatakan telah menikmati adanya kesetaraan gender. Di lain pihak, berkembangnya isu gender di masyarakat dan maraknya inisiatif-inisiatif yang memperjuangkan gender juga memicu sebagian orang berpikir dikotomis.Yang dimaksud adalah cara berpikir yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada dua kubu yang berseberangan. Perempuan ditempatkan pada kubu yang teraniaya dan lemah, sedangkan laki-laki pada kubu penguasa yang menjajah perempuan. Hasil dari pemikiran ini tidak akan memunculkan perilaku sadar gender dan tidak akan mendukung ke arah terjadinya kesetaraan gender. Yang akan muncul justru ’perang’ antara perempuan pada kubu ’teraniaya’ yang merasa terjajah, ingin menguasai laki-laki , sementara laki-laki pada kubu ’penguasa’ yang takut kekuasaannya diambil dan selalu khawatir terhadap dominsai kaum perempuan. Yang terjadi selanjutnya adalah terjadinya pertarungan antara kubu perempuan dan laki-laki tanpa jelas apa yang sebenarnya diperdebatkan. Kondisi ini tentunya tidak mendukung sama sekali pada tujuan utama kita membicarakan ’kesetaraan gender’. Terminologi kesetaraan gender seringkali disalahartikan dengan mengambil alih pekerjaan dan tanggungjawab laki-laki.
’Katanya mau disamakan dengan laki-laki, kalau begitu panjat saja atap dan betulkan genting yang bocor, saya tidak perlu mengerjakan pekerjaan itu lagi sekarang’ ...... Bukan hanya sekali dua kali ungkapan itu muncul dalam forum diskusi mengenai gender. Kesetaraan gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan laki-laki ke pundak perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban seorang suami oleh istrinya. Jika hal ini terjadi bukan kesetaraan yang tercipta melainkan penambahan beban dan penderitaan pada perempuan. Dengan kedudukan yang sama maka setiap individu mempunyai hak yang sama, menghargai fungsi dan tugas masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa berkuasa, merasa lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari yang lainnya. Singkatnya inti dari kesetaraan gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa adanya tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari ligkungan. Bukankah keseimbangan selalu menjadikan kehidupan manusia menjadi lebih baik?.
33
Ketidakadilan Gender Sangat penting untuk perempuan untuk mengetahui ketidakadilan gender sebab akan sulit untuk menenetukan persamaan dan keseimbangan tanpa mengenali ketidakadilan gender yang terjadi di sekitar kita. Kondisi seperti apa yang dapat dikatakan tidak adil gender?. Ketidakadilan terjadi manakala seseorang diperlakukan berbeda (tidak adil) berdasarkan alasan gender. Misalnya seorang perempuan yang ditolak bekerja jadi sopir bis karena sopir dianggap bukan pekerjaan perempuan, atau seorang laki-laki yang tidak bisa menjadi guru TK karena dianggap tidak bisa berlemah lembut dan tidak bisa mengurus anak-anak kecil. Ketidakadilan gender bisa terjadi pada perempuan maupun laki-laki. Namun pada kebanyakan kasus, ketidakadilan gender lebih banyak terjadi pada perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikan dengan masalah kaum perempuan. Secara garis besar bentuk-bentuk ketidakadilan yang sering terjadi (terutama pada perempuan) adalah sebagai berikut:
1. Penomorduaan (Subordinasi) Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini terhadap perempuan. Cukup adil rasanya kalau saya menganggap dalam kultur budaya di Indonesia, perempuan masih dinomorduakan dalam banyak hal, terutama dalam pengambilan keputusan.Suara perempuan dianggap kurang penting dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut kepentingan umum. Akibatnya, perempuan tidak dapat mengontrol apabila keputusan itu merugikan mereka dan tidak bisa ikut terlibat maksimal saat hasil keputusan itu diimplementasikan. Tradisi,adat atau bahkan aturan agama paling sering dipakai alasan untuk menomorduakan perempuan. Padahal secara teologis (dipandang dari sudut keagamaan) prinsip-prinsip tauhid (ketuhanan, berlaku untuk agama apapun) pada dasarnya adalah menganggap semua makhluk yang ada di dunia ini sama kedudukannya di mata Tuhan. Implikasinya, jika Penciptanya saja sudah menganggap kedudukan semua manusia adalah sama, laki-laki ataupun perempuan, kulit hitam ataupun putih, dan lain sebagainya, alasan apa yang membolehkan adanya perempuan diperlakukan berbeda dengan laki-laki?. Oleh karena itu menganggap kedudukan laki-laki lebih tinggi dan lebih penting dari perempuan dikarenakan motif keagamaan, menurut saya, kurang beralasan. Manusia dilahirkan sama, tanpa baju, pangkat, status ataupun jabatan. Lingkungan (masyarakat) yang kemudian menetapkan nilai dan norma tertentu yang menyebabkan terjadinya oembedaanpembedaan perlakuan. Jika masyarakat dulu bisa membangun nilai dan norma yang kita jalani sekarang, bukankah hal yang sama bisa kita lakukan juga saat ini?. Bukankah kita juga sekarang merupakan bagian dari masyarakat yang berhak untuk mengubah, menetapkan dan mengembalikan nilai-nilai tersebut sehingga tidak terjadi ketidakadilan gender yang serupa di masa datang?. Perlu diingat bahwa gender hal yang bisa berubah dari waktu ke waktu dan manusia (masyarakat) bisa mengubah kondisi ketidakadilan gender tersebut menjadi keseimbangan atau kesetaraan. Kita ambil contoh lain dalam bidang pendidikan perempuan masih sering dinomorduakan, terutama di lingkup keluarga di pedesaan atau di kalangan masyarakat yang lemah status ekonominya. Dengan tingginya biaya pendiidkan dan dana yang tersesedia, anak perempuan seringkali mendapat tempat kedua setelah anak laki-laki, dalam hal melanjutkan pendidikan tinggi. Dengan anggapan bahwa laki-laki akan menjadi penopang keluarga, pencari nafkah utama maka dia harus mempunyai tingkat pendididkan lebih tinggi dari perempuan. Anggapan seperti ini bukan saja merugikan kaum perempuan, tetapi juga memberikan tekanan dan tuntutan lebih berat kepada laki-laki. Laki-laki dituntut harus lebih kuat, lebih pandai, harus mempunyai pekerjaan yang bagus
34
dan sederet kata harus lainnya, sebagai ’konsekuensi’ dari pandangan masyarakat yang menempatkan mereka pada kedudukan lebih tinggi dari perempuan. Sementara itu perempuan yang dianggap nomor dua dan tidak begitu penting dalam peran sosialnya di masyarakat, perlahan-lahan akan semakin tertinggal dan tidak bisa berkontribusi banyak terhadap proses-proses pembangunan di lingkungannya. Tidak heran, jika sampai sekarang ini pembangunan di negara kita masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju lainnya yang relatif lebih sedikit memiliki sumberdaya. Salah satu sebabnya adalah sumberdaya manusia yang produktif dan dapat menyumbangkan kemampuannya untuk kemajuan negara, masih sangat terbatas jumlahnya. Hasil survei BPS tahun 2000 diketahui bahwa jumlah perempuan di Indonesia hampir setengahnya (49,9 %) dari jumlah penduduk. Dari jumlah terebut pada tahun 2001 terdapat 14,54% perempuan yang buta huruf (dibandingkan dengan laki-laki yang 6,87%) dan sebanyak 12,28% pada tahun 2003 dibandingkan dengan laki-laki 5,84%). Padahal pada saat yang sama di negara-negara maju , jumlah perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi (setingkat universitas) lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Sebagai contoh di New Zealand tercatat 89% pelajar perempuan melanjutka pendidikan ke universitas dibandingkan dengan pelajar laki-laki yang hanya mencapai 62%; di Iceland terdapat 80% pelajar permpuan yang memutuskan ingin masuk ke tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pelajar laki-laki yang hanya 42%; dan di Inggris dilaporkan bahwa 49% perempuan mengenyam pendidikan universitas dibandingkan laki-laki yang hanya 41%. Bisa kita bayangkan seberapa besar sumberdaya manusia (perempuan) yang potensial untuk membangun negara ini telah disia-siakan dengan sistem budaya tradisional pattriarkhi. Sumberdaya manusia yang berpendidikan rendah cenderung mempunyai peluang lebih sempit untuk memenfaatkan kemampuannya secara maksimal di bidang pekerjaan yang diminatinya. Jika saja semua orang, baik laki-laki maupun perempuan diberikan peluang yang sama untuk maju, untuk lebih produktif menyumbangkan kemampuannya di berbagai sektor yang berbeda, dengan dukungan sumberdaya alam yang kaya seperti ini bukan tidak mungkin kita seharusnya sudah menjadi salah satu negara adidaya. Sayangnya, sampai saat ini masih banyak belenggu-belenggu yang menghambat proses perubahan ke arah kemajuan tersebut.
Pelabelan Negatif Pada Perempuan (Stereotype) ”Isi kepala perempuan itu: satu pikiran dan sembilan sisanya hanya emosi saja”. Pertama kali mendengar kalimat seperti itu, saya sangat kecewa. Bukan karena tidak tahu bahwa perempuan sering dianggap lebih emosional dibandingkan dengan laki-laki, tetapi tidak menyangka bahwa begitu kentalnya pelabelan negatif yang dilekatkan kepada perempuan. Pada saat perempuan berusaha menyampaikan ketidaksetujuannya akan sesuatu hal dengan mengemukakan alasan-alasannya, dianggap bahwa dia terlalu cerewet, emosional, dan tidak berpikir rasional. Sedangkan jika laki-laki berada pada kondisi yang sama mungkin dianggap tegas dan berwibawa karena mempertahankan pendapatnya. Label negatif senada banyak kita temukan di masyarakat . contohnya jika perempuan pulang larut malam dari tempatnya bekerja dipandang sebagai perempuan tidak benar, sedangkan jika laki-laki dianggap sebagai pekerja keras. Padahal mungkin mereka mempunyai jenis pekerjaan yang sama. Citra buruk perempuan yang emosional, tidak rasional, lemah, pendendam, penggoda, dan lain sebagainya, secara tidak langsung telah menghakimi dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak berdaya di masyarakat. Dengan label-label negatif seperti itu, mustahil bagi perempuan untuk dapat memperoleh kedudukan yang sejajar denga laki-laki dalam pandangan masyarakat. Perempuan selalu akan tertinggal di belakang karena dianggap memang posisi terbaiknya ada di belakang laki-laki.
Peminggiran (Marginalisasi) Sebagai akibat langsung dari penomorduaan (subordinasi) serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan (stereotype), perempuan tidak memiliki peluang, akses dan kontrol seperti laki-laki
35
dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Dalam banyak hal, lemahnya posisi seseorang dalam bidang ekonomi mendorong pada lemahnya posisi dalam pengambilan keputusan. Lebih jauh hal ini akan berakibat pada terpinggirkan pada termarginalkannya kebutuhan dan kepentingan pihak-pihak yang lemah tersebut, dalam hal ini perempuan. Di kantor-kantor staf perempuan sulit mendapatkan posisi pengambil keputusan. Perempuan dianggap masih tidak mampu untuk melakukan tugas-tugas penting dan serius seperti menangani proyek-proyek pembangunan. Sebagai contoh di Kabupaten Tanjabbar, perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil berjumlah kurang dari 10% yaitu 44 orang dari 510 orang. Dari jumlah tersebut hanya 6 orang yang menempati eselon III dan tidak ada satupun staf perempuan yang menempati posisi pengambil keputusan yaitu eselon IIa dan IIb (misalnya kepala dinas atau badan). Perempuan juga belum berpartisipasi aktif dalam perencanaan program-program pembangunan di daerah. Contohnya di Kabupaten Tanjabbar. Hampir seluruh anggota aktif dari Tim 9, yakni sebuah tim yang bertugas menyelesaikan permasalahan tata ruang kabupaten, adalah staf laki-laki yang berasal dari badan atau instansi-instansi terkait di kabupaten. Hanya satu (1) orang staf perempuan yang terlibat dalam proses dan itupun tidak terlibat aktif dalam pengambilan keputusan karena tidak selalu dapat hadir di pertemuan tim. Fenomena ini umum terjadi dalam tubuh instansi pemerintahan, baik skala nasional maupun daerah. Kondisi ini juga terjadi pula dalam tubuh lembaga legislatif. Pembedaan posisi dan kedudukan perempuan di tempat kerja bukan hanya pada terbatasnya manfaat finansial yang didapat (gaji), namun juga perempuan tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap program-program kerja yang direncanakan, apakah akan berimplikasi positif atau negatif terhadap perempuan, atau malah sama sekali mengesampingkan kepentingan dan kebutuhankebutuhan (buta gender). Dalam lingkup masyarakat tradisional di Indonesia , kondisi perempuan yang terpinggirkan dianggap lumrah dan biasa. Seperti sudah ada aturan tidak tertulis bahwa perempuan tidak aktif diikutkan dalam pertemuan-pertemuan penting di masyarakat (misalnya dalam pengurusan lembaga adat dan musbang). Karena laki-laki yang ditempatkan pada posisi pemegang kontrol dan pembuat keputusan.
Beban Kerja Berlebih (Multi-burdened) Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan yang berlebihan. Hal inilah juga yang sering menjadi bahan diskusi dalam forum-forum yang membahas tentang gender. Sebagian khawatir bahwa jika perempuan semakin pintar, semakin maju , ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial , meningkatkan kemampuan dan keahliannya di berbagai bidang , maka pada akhirnya ’kebebasan berekspresi’ tersebut pada akhirnya akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Beban kerja perempuan akan bertambah banyak dengan kegiatan-kegiatan yang ingin dia ikuti dia ikuti di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik). Sebagian yang lain, terutama laki-laki , khawatir jika perempuan dilbatkan secara aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, mereka tidak punya waktu dan tidak bersedia lagi melakukan pekerjaanpekerjaan di dalam rumah tangga.
’Jangan sampai ketika perempuan sadar gender kemudian menjadi tidak mau membuatkan kopi untuk suaminya dan membuat situasi rumah tangga jadi berantakan’ Bukan hanya satu dua kali saya mendengar celotehan seperti itu diungkapkan kaum laki-laki. Pertanyaannya adalah apakah hanya perempuan yang bisa membuat kopi?. Apakah hanya perempuan yang harus menjaga situasi rumah tangga tetap harmonis?. Apakah hanya tugas perempuan untuk membuat rumah tangga bahagia?. Jika jawabannya tidak, maka tidak perlu takut rumah tangga menjadi runyam. Terlebih lagi, bukan hanya perempuan yang harus sadar gender, tetapi juga laki-laki sebagai bagian dari keluarga yang mempunyai hak dan kewajiban yang setara
36
dalam keluarga. Keluarga yang sadar gender akan lebih menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangga adalah tanggungjawab bersama dan gender tidak dijadikan alasan bagi perempuan untuk berbuat semena-mena terhadap laki-laki ataupun sebaliknya. Jadi jelas bahwa kekhawatiran-kekhawatiran tersebut setidaknya tidak beralasan, Jika seluruh anggota keluarga, laki-laki maupun perempuan sudah sadar gender maka beban tanggung jawab yang ada dalam keluarga tersebut akan terbagi rata dan tidak bertumpuk pada satu orang. Tidak pada istri, ibu, suami, anak, dan anggota keluarga lainnya. Inti dari kesetaraan gender seperti yang telah dibahas dimuka, adalah saling menghargai hak-hak dan kewajiban masing-masing, saling membantu, dan berbagi peran untuk meringankan beban pekerjaan satu sama lain, karena semua jenis pekerjaan yang dilakukan sama pentingnya. Pekerjaan domestik tidak lebih rendah posisinya dari peran publik. Jika seluruh anggota keluarga aktif dalam kegiatan publik, maka mereka dapat mencari alternatif waktu dan cara bagaimana kedua peran tersebut bisa dilakukan bersama-sama, misalnya dengan mengatur waktu , tenaga dan kemampuan yang dimilikinya secara maksimal ketika menjalankan peran publik maupun peran domestik karena tidak terbebani dengan ’antrian’ tugas-tugas lain yang harus dikerjakannya. Komunikasi dan keterbukaan tentunya menjadi kunci untuk terciptanya kesetaraan gender, sehingga tidak ada salah satu pihak yang terpaksa harus mengalah untuk pihak lainnya.
Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender yang ramai dibicarakan akhir-akhir ini dalam media. Bentuk kekerasan yang terjadi sangat beragam, mulai dari kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan psikis ( misalnya kata-kata yang merendahkan dan melecehkan), kekerasan seksual (contoh perkosaan dll). Bentuk-bentuk kekerasan ini bisa terjadi pada siapa saja, dan dimana saja, bisa di wilayah pribadi (rumah tangga) atau di wilayah publik (lingkungan).
Sensitif Gender Diperlukan dalam Program Program Pembangunan Daerah Kebanyakan program-program pembangunan daerah masih belum memasukkan komponen gender sebagai faktor penting yang mengukur keberhasilan program. Seringkali program-program tersebut dianggap sudah berhasil jika memenuhi kriteria berikut: •
Masyarakat lokal telah berpartisipasi aktif dalam proses pengambilan keputusan
•
Adanya pemerataan distribusi biaya dan manfaat
•
Upaya-upaya pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan sudah dilakukan secara efisien.
Dengan memenuhi ketiga komponen di atas, status program yang melibatkan masyarakat memang akan terlihat sukses . Namur jika kita melihatnya dari perspektif gender, bukan tidak mungkin program terebut jauh dari tanda-tanda keberhasilan. Tingkat partisipasi biasanya diukur dengan keterwakilan dan kontribusi ide/pendapat yang diperolah pada saat berlangsungnya statu perogram kegiatan. Jika kita memasukkan komponen gender, beberapa kriteria diperlukan untuk melihat sejauh mana tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam program tersebut, yaitu: •
Apakah perempuan mempunyai untuk ikut terlibat dalam kegiatan?
•
Berapa presentase perempuan yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut?
•
Dari jumlah keseluruhan kepengurusan?
•
Apakah perempuan yang menjadi pengurua dalam program mempunyai akses dan control dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program.
peluang
program,
berapa
yang
sama
jumlah
besarnya
perempuan
dengan
yang
duduk
laki-laki
dalam
37
•
Bagaimana tingkat keaktifan perempuan peserta program dalam kegiatan yang dilakukan (peserta aktif atau cuma hadir sebagai peserta pasif).
Dengan mengetahui informasi-informasi tersebut dapat diukur sampai sejauh mana program kegiatan yang dilaksanakan telah melibatkan seluruh komponen ‘masyarakat lokal’ (termasuk perempuan) secara aktif dalam pengambilan keputusan. Kecenderungan yang sering terjadi adalah program-program kegiatan/pembangunan di daerah hanya menghitung jumlah masyarakat yang ikut serta dalam program tanpa melihat apakah ada perempuan yang terlibat ataukah hanya lakilaki yang dianggap telah mewakili suara satu keluarga, dengan label ‘kepala keluarga’. Kedua, distribusi manfaat program dianggap sudah merata jika masyarakat yang terlibat dalam program tersebut telah merasakan hasilnya. Sebagai contoh dalam program kehutanan, misalnya pemberian ijin pemungutan kayu rakyat. Program ini dianggap berhasil mencapai ‘sasaran program’ yaitu memberikan manfaat kepada masyarakat lokal, manakala anggota masyarakat yang tergabung dalam koperasi atau kelompok yang mendapat ijin tersebut memperoleh pendapatan yang seimbang dan merata. Namun, jika kita menganalisisnya dari sisi gender, kondisi tersebut belum tentu mencerminkan keberhasilan dari sistem perijinan tersebut. Beberapa hal yang masih harus dipenuhi supaya program tersebut lebih sensitif gender, adalah:
Apakah perempuan mempunyai akses yang sama untuk memperoleh ijin pemungutan kayu tersebut? (dilihat dari sisi prosedur dan prasyarat memperoleh ijin, peluang negosiasi,dll).
Berapa jumlah perempuan yang memperoleh manfaat dari sistem perijinan tersebut.
Apakah dampak yang ditimbulkan oleh sistem perijinan tersebut mempengaruhi perempuan (misalnya, perempuan kehilangan tempat mencari kayu bakar , sumber air dan sebagainya).
Kriteria-kriteria tersebut dapat diperluas dengan melihat apakah perempuan juga mempunyai kontrol untuk memutuskan bagaimana manfaat yang diterimanya ingin dia gunakan. Karena pada kebanyakan kasus, selain tidak mempunyai akses terhadap sumber-sumber ekonomi , perempuan juga sangat lemah posisinya dalam menentukan kontrol terhadap penggunaan sumberdaya yang dimilikinya. Jika hal-hal tersebut telah menunjukkan adanya keseimbangan antara jumlah perempuan dan lakilaki yang mendapatkan manfaat program, maka dapat kita katakan bahwa manfaat program tersebut telah terdistribusikan secara merata ditinjau dari perspektif gender. Ketiga efesiensi dari pelaksanaan program dapat dilihat dari bagaimana peserta program dapat menjaga ketersediaan dan keberlangsungan sumberdaya yang dibutuhkan untuk keberlanjutan program di masa yang akan datang. Sebagai contoh , misalnya kegiatan yang berhubungan dengan pengaturan lahan pertanian. Dengan memasukkan komponen gender ke dalam analisis program, kita memerlukan beberapa informasi tambahan antara lain: •
Bagaimana posisi perempuan dalam kepemilikan lahan pertanian di daerah tersebut?
•
Apakah perempuan mempunyai posisi yang sama dalam pengambilan keputusan atas penggunaan lahan tersebut? Misalnya penentuan jenis tanaman.
•
Apakah perempuan mempunyai akses dan kontrol terhadap modal yang cukup untuk dapat mengelola lahan tersebut? Apakah perempuan mempunyai akses yang cukup terhadap informasi yang berkaitan dengan lahan tersebut?
•
Apakah teknik-teknik pengelolaan lahan yang ditawarkan memungkinkan untuk dilakukan dengan mudah oleh perempuan?
Hal-hal tersebut sangat penting untuk mengetahui bagaimana sumberdaya yang ada saat ini dapat mendukung keberlanjutan program tersebut di masa yang akan datang. Pada kebanyakan kasus, kebanyakan perempuan tidak mempunyai akses dan kontrol terhadap lahan. Mereka hanya dapat
38
menggunakan lahan tersebut namun tidak mempunyai kekuatan untuk menentukan bagaimana lahan tersebut ingin mereka gunakan. Hak-hak kepemilikan lahan lebih banyak jatuh di tangan lakilaki. Tentu saja hal ini berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya, yang dipengaruhi oleh aspekaspek sosial budaya daerah-daerah yang bersangkutan. Dari uraian-uraian di atas dapat kita lihat dengan jelas bahwa kebanyakan program-program pembangunan yang ada di daerah belum berspektif gender. Absennya komponen gender dalam program pembangunan di derah selama ini didasarkan alasan bahwa manfaat program dapat dinikmati oleh perempuan dan laki-laki dalam porsi yang sama, sehingga komponen gender tidak perlu dipermasalahkan. Padahal dalam kenyataannya, banhyak kendala-kendala yang menyulitkan bagi perempuan untuk memperoleh manfaat-manfaat tersebut secara seimbang seperti yang diterima oleh laki-laki. Dengan demikian setiap program harus mempertimbangkan komponen perempuan dan laki-laki sebagai dua faktor yang sama pentingnya terhadap keberhasilan suatu program . Hal ini dapat dilakukan secara sederhana dengan membuat data terpilah pada setiap program , mulai dari perencanaan program sampai kepada evaluasi (akhir).
39
Perempuan, Partisipasi dan Pemberdayaan Marnia Nes Angka kemiskinan di dunia menunjukkan bahwa 2/3 perempuan di dunia termasuk kategori miskin. Perempuan masih menjadi pihak yang dirugikan oleh kemiskinan dan dipinggirkan oleh proses pembangunan. Dalam bidang pendidikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan formal masih lebih banyak diberikan kepada laki-laki dibanding perempuan. Di Indonesia 65 % anak tidak sekolah adalah perempuan. Dalam bidang kesehatan angka kematian ibu, merupakan angka terbesar di Asia yaitu 375 per 100.000 kelahiran. Dalam pembangunan keterlibatan perempuan, masih lebih banyak di sektor domestik dibandingkan dalam sektor publik. Perempuan, terutama dari kalangan miskin seringkali menjadi penerima informasi kedua karena tidak pernah terlibat dalam rembug-rembug yang diselenggarakan untuk memecahkan permasalahan masyarakat. Memang di beberapa tempat kehadiran perempuan dalam penentuan keputusan terjadi walaupun jumlahnya relatif kecil, akan tetapi seringkali suaranya kalah dengan suara laki-laki yang jumlahnya cukup besar, bahkan kadang-kadang mereka hanya ikut hadir tetapi tidak bisa memberikan suaranya. Padahal rembug-rembug yang dilakukan warga merupakan aset yang besar sebagai modal sosial untuk melibatkan masyarakat dalam proses memecahkan persoalan kehidupan mereka. Menjadi strategis melibatkan perempuan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi, karena:
Penghargaan terhadap perempuan sebagai manusia yang merdeka yang berhak untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya.
Pemecahan masalah-masalah, termasuk masalah kemiskinan yang menyangkut perempuan akan lebih tepat apabila dibicarakan bersama dengan perempuan karena merekalah yang betulbetul merasakan masalah dan kebutuhannya. Keputusan yang diambil hanya oleh kaum lakilaki seringkali hanya berhubungan dengan ’dunia laki-laki’ dan tidak mempunyai sensitivitas kepada masalah perempuan. Bila memikirkan masalah perempuanpun seringkali dasarnya tidak kuat karena mereka tidak mengalami masalahnya.
Memberi kesempatan kepada perempuan untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya sebagai manusia.
Potensi yang besar yang dipunyai oleh perempuan, akan sangat berarti apabila digunakan bukan hanya untuk sektor domestik akan tetapi juga dalam sektor publik sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Keterlibatan dalam semua proses pembangunan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama.
Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukanya seluruh akses baik bagi laki-laki dan perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehingga akan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Diharapkan masing-masing pihak dapat menghargai perbedaan, dengan perbedaan bisa saling mengisi bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataannya perempuan terutama kelas bawah, harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan . Makin banyak pembangunan tanpa melibatkan mereka sebagai subyek, pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinasikan perempuan. Yang
40
terjadi selama ini bukan pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Menarik apa yang diungkapakn oleh Tuti Heraty Noerhadi (1989): ” .... sebab bukan demi pembangunan itu sendiri kaum perempuan harus mengadakan refleksi, melainkan dari satu kenyataan saja bahwa kaum perempuan harus diletakan sebagai manusia ”. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terjebak sebagai objek melainkan dapat berperan sebagai subyek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan.
41
Kerangka Kesetaran dan Pemberdayaan Perempuan (KPP) (Sumber: Modul Pendidikan Adil Gender untuk Perempuan Marginal, KAPAL Perempuan dan ACCESS USAID 1994) Konsep Kerangka Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan (KPP) digunakan untuk mengenali dan menganalisis isu gender dalam proses pembangunan. Ruang lingkup pembahasan dari KPP ini adalah:
Persoalan-persoalan Perempuan vs Isu gender” Separuh dari populasi dunia adalah perempuan. Ketika kita membicarakan keuntungan-keuntungan pembangunan, kita mungkin berharap bahwa separuh keuntungan ini seharusnya dinikmati perempuan. Perempuan yang setara dengan laki-laki, diharapkan dapat ikut menikmati hasil pembangunan. Dimana proyek-proyek peningkatan akses sumber daya dibangun, disitulah peluang perempuan seharusnya diberikan sama dengan laki-laki. Oleh karena itu, proses untuk membuat agar keuntungan-keuntungan pembangunan dapat dinikmati perempuan sebenarnya bukanlah spesifik pembangunan perempuan malinkan harapan biasa pembangunan pada umumnya. Pada sisi lain, perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus, berbeda dengan kebutuhan lakilaki. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin dan peran reproduktif mereka. Berpusat pada kelangsungan hidup dan kesejahteraan anak-anak, pusat perhatian diberikan pada kebutuhan-kebutuhan perempuan sebagai ibu, khususnya selama kehamilan dan kelahiran. Hal ini melahirkan istilah “kebutuhan khusus perempuan” yang menunjukan bahwa perempuan mempunyai kebutuhan khusus yang muncul dari peran-peran sesksual mereka. Dalam prakteknya, kebutuhan khusus perempuan ini sering tercampur dengan istilah “isu gender” yang bersumber pada pembagian kerja yang ketat antara laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja berdasarkan seks ini tidak ada gunanya dengan perbedaan-perbedaan biologis. Sebenarnya, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan sangatlah bervariasi antara masyarakat yang satu dengan yang lain, yang semakin membuktikan bahwa peran-peran ini tidak ditentukan secara biologis. Pembangunan perempuan adalah sebuah gerakan untuk meningkatkan kesadaran bahwa peranperan gender selama ini bersifat tidak adil bagi perempuan. Keprihatinan terhadap situasi yang tidak adil ini secara gambling digabarkan oleh Ester Boserup dalam karya pertamanya yang berjudul: “Peran Perempuan dalam Pembangunan Ekonomi”. Boserup menunjukkan bahwa program-program pembangunan di negara-negara berkembang tidak memberikan keuntungan bagi perempuan, karena perencana pembangunan tidak memahami adanya kepentingan gender. Umumnya suatu proyek pembangunan yang melibatkan perempuan, justru memberikan beban pekerjaan ekstra yang lebih besar kepada perempuan sementara laki-lakinya yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hasil proyek tersebut. Sangat penting untuk membedakan antara “persoalan-persoalan perempuan” yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam kehidupan sehari-harinya seperti misalnya tidak mempunyai akses pendidikan, dengan masalah-masalah gender yang bersumber pada “kesenjangan gender” yang membawa ketidaksetaraan dalam pembagian jumlah pekerjaan, atau keuntungan yang diterima. Isu gender inilah yang seharusnya menjadi focus dari pembangunan. Kesengajaan gender ini sendiri berasal dan dilestarikan dalam masyarakat oleh sistem-sistem yang diskriminatif terhadap 42
perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan ini meresap sampai di tingkat praktek-praktek budaya dan sosial. Namun demikian, pembedaan antara ”persoalan-persoalan perempuan’ dan ”persoalan gender” ini pada dasarnya lebih merupakan pembedaan berdasarkan analisis daripada empiris. Dengan kata lain, persoalan gender mempengaruhi usaha-usaha pembangunan di setiap tahapannya karena pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang tidak adil secara langsung mempengaruhi semua aspek interaksi social. Sebagai contoh, penyediaan kebutuhan-kebutuhan nutrisi bagi ibu-ibu hamil sebagai bagian pemenuhan “kebutuhan khusus perempuan” mengalami kesulitan karena adanya praktek-praktek dalam masyarakat dimana perempuan selalu mendapatkan bagian yang kecil dari makanan yang disediakan dirumah. Sementara itu, control perempuan sangat lemah untuk pengeluaran domestik termasuk membeli makanan. Dalam konteks pemenuhan hak-hak perempuan, definisi tentang pembangunan ternyata selama ini telah dipersempit. Padahal tujuan untuk mengatasi ketidaksetraan gender yang menghambat perempuan dapat menikmati hasil pembangunan, telah membawa kita pada kebutuhan akan sebuah kerangka analisis yang mampu memetakan isu dan strategi yang efektif untuk mengatasi persoalan ketidakselarasan gender.
Lima Tingkat Pemberdayaan1 Proses pembangunan, seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agen-agen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-maslah mereka sendiri. Untuk sampai pada definisi ini, proses pembangunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dengan konsep pemberdayaan perempuan dimana perempuan dapat terlibat dalam seluruh proses pembangunan. Jika Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan perempuan. Diagram dibawah ini menggambarkan bahwa kemajuan perempuan dapat diukur dengan menggunakan lima tingkat kesetaraan. Selain itu diagram ini juga memperlihatkan bahwa pemberdayaan merupakan sebuah hal penting yang diperlukan oleh proses pembangunan pada setiap tingkat, agar perempuan mendapatkan hak-hak asasinya. Adapun kelima tingkat kesetaraan ini adalah sebagai berikut: Tingkat Satu: Kesejahteraan Tingkat ini merupakan tingkat kesejahteraan perempuan yang bersifat material seperti gizi, ketersediaan makanan, dan tingkat pendapatan. Perempuan lebih dianggap sebagai penerima pasif kesejahteraan. Kesenjangan gender dapat diidentifikasi melalui tingkat kesejahteraan yang berbeda diantara laki-laki dan perempuan dengan indokator keadaan gizi, angka kematian, dan lain sebagainya. Pemberdayaan perempuan tidak terjadi secara murni pada tingkat kesejahteraan ini karena tindakan untuk memperbaiki kesejahteraan mensyaratkan akses perempuan atas sumber daya harus meningkat dan ini berarti perempuan menuju ke tingkat berikutnya. _____________________________________________ 1
Kerangka analisis yang dipakai disini sama dengan yang digarisbawahi oleh Sara Longwe, 1991, “Kesadaran Gender: Elemen yang Hilang dalam Proyek Pembangunan Dunia Ketiga” dalam dalam “Mengubah Persepsi: Tulisan dalam Gender dan Pembangunan, Oxfam, Oxford.
43
Tingkat Dua: Akses Kesenjangan Gender pada tingkat kesejahteraan muncul secara langsung akibat dari adanya ketidaksetaraan akses atas sumberdaya. Tingkat produktivitas perempuan lebih rendah karena adanya pembatasan akses atas sumberdaya pembangunan dan produksi dalam masyarakat, seperti tanah, kredit, lapangan kerja dan pelayanan. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan mempunyai akses yang lebih sedikit untuk pendidikan, gaji, pelayanan dan pelatihan keterampilan yang memungkinkan perempuan bekerja secara produktif. Yang dimaksud disini dengan istilah kesenjangan gender adalah adanya gender tertentu yang lebih rendah memanfaatkan kesempatankesempatan dan sumberdaya yang ada termasuk akses atas pekerjaan. Hal ini terjadi di hampir seluruh lapisan masyarakat dimana seorang perempuan dengan beban pekerjaan domestik dan tanggung jawab mencari nafkah yang berat tidak mempunyai waktu yang cukup untuk meningkatkan dirinya sendiri. Mengatasi kesenjangan gender berarti akan meningkatkan akses perempuan sehingga setara dengan laki-laki. Pemberdayaan berarti bahwa perempuan disadarkan akan situasi-situasi yang tidak adil ini dimana kesadaran baru tersebut akan mendorongnya untuk berjuang mendapatkan haknya, termasuk memperoleh akses yang setara dan adil atas berbagai macam sumber daya baik di dalam rumah tangga, komunitas dan masyarakat. Dalam hai inilah, “kesetaraan terhadap akses sumberdaya” dilihat sebagai langkah menuju kemajuan perempuan. Namun tingkat berikut menganggap bahwa terbatasnya akses perempuan atas sumberdaya ini merupakan akibat dari sistem diskriminasi gender. Ketika perempuan telah berusaha hambatan terhadap akses, maka mereka akan berhadapan dengan situasi dimana mereka harus melawan sistem diskriminatif yang ada disekeliling mereka. Perlawanan ini hanya dapat muncul jika perempuan telah melalui proses pemberdayaan kesadaran kritisnya. Inilah tingkat ketiga.
Tingkat Tiga: Kesadaran Krisis Kesenjangan gender disini tidak bersifat empiris, tetapi wujudnya adalah nilai-nilai atau keyakinankeyakinan bahwa posisi perempuan lebih rendah secara ekonomis dan sosial dibandingkan laki-laki, serta pembagian kerja secara tradisional merupakan “pemberian Tuhan”. Konsep kesenjangan gender ini disosialisasikan dan disebarkan melalui institusi-institusi yang ada dalam masyrakat termasuk media massa dan pendidikan. Pemberdayan berarti upaya untuk melatih kepekaan perempuan terhadap keyakinan dan praktek semacam itu dan keberanian untuk menunjukkan sikap penolakan atas keyakinan dan praktek-praktek tersebut. Melatih kepekaan berarti memperkuat kemampuan untuk mengenali bahwa subordinasi perempuan bukanlah bagian dari ketentuan alam, tetapi merupakan produk dari sistem-sistem yang diskriminatif yang dibentuk secara sosial dan pada dasarnya dapat diubah. Tingkat kesetaraan ini akan meningkatkan kesadaran perempuan bahwa masalah-masalah mereka tidak berasal dari ketidakmampuan pribadi mereka, melainkan karena mereka ditundukkan oleh sistem sosial diskriminasi yang sudah terinstitusi di dalam diri perempuan. Kesadaran ini akan membangkitkan kemampuan perempuan untuk menganalisis masyarakat secara kritis dan mengenali semua hal yang semula dianggap perlu “Normal” atau bagian dari “pemberian dunia” yang permanen dan tak bisa diubah jika menyebabkan ketidakadilan bagi perempuan. Keyakinan pada kesetaraan gender ini merupakan elemen ideologis yang sangat penting dalam proses pemberdayaan, yang menyediakan basis konseptual untuk penggalangan kekuatan menuju keadilan dan kesetaraan perempuan.
44
Tingka Empat: Partisipasi Kesenjangan gender dalam partisipasi perempuan merupakan fenomena yang paling terlihat jelas. Di sebagian besar negara berkembang, ditemukan perempuan mendapatkan peluang yang kecil untuk terlibat didalam berbagai organisasi dan proses pembuatan keputusan di tingkat rumah tangga, komunitas, masyarakat dan negara. Jika pembangunan dibatasi hanya pada tingkat kesejahteraan dan akses, maka perempuan diperlakukan sebagai penerima bantuan yang pasif saja. Sementara konsep partisipasi disini diartikan bahwa perempuan setara dengan laki-laki untuk terlibat secara aktif dalam proses pembangunan. Kesetaraan dalam tingkat ini diartikan sebagai partisipasi setara perempuan dalam proses pengabilan keputusan. Dalam sebuah proyek pembangunan, partisipasi dapat berarti bahwa perempuan-perempuan diwakili oleh perempuan dalam proses penilaian kebutuhan, identifikasi masalah, perencanaan proyek, manajemen, penerapan dan evaluasi. “Kesetaraan dalam partisipasi” juga berarti melibatkan perempuan dari komunitas dampingan dalam proses pengambilan keputusan dikomunitasnya. Kesetaraan dalam partisipasi ini tidak mudah diperoleh. Mobilisasi perempuan yang menigkat akan menghasilkan meningkatnya jumlah perempuan yang duduk dalam institusi-institusi yang berhak mengambil keputusan. Meningkatnya jumlah perempuan dalam posisi-posisi penting dalam komunitasnya merupakan hasil pemberdayaan sekaligus menjadi sumbangan potensial bagi peningkatan upaya pemberdayaan perempuan.
Tingkat Lima: Kontrol Pada Tingkat kontrol, kesenjangan gender diwujudkan sebgai ketidaksetaraan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh , di dalam sebuah rumah tangga, kuatnya kontrol seorang suami atas pekerjaan dan pendapatan istterinya, menyebabkan isterinya tersebut tidak dapat menikmati hasil produktivitasnya itu. Partisipasi perempuan yang meningkat pada proses pengambilan keputusan akan berdampak pada akses dan distribusi keuntungan yang adil bagi perempuan jika partisipasi tersebut diikuti dengan kontrol yang meningkat pula atas faktor-faktor produksi. Kesetaraan dalm hal kontrol berarti sebuah keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dimana tak ada satu pihakpun berada di bawah dominasi yang lainnya. Ini berarti bahwa perempuan mempunyai kekuasaan yang sama dengan laki-laki untuk mempengaruhi masa depan mereka dan masa depan masyarakat mereka. Hanya dengan memiliki kontrol inilah perempuan dapat meningkatkan aksesnya terhadap sumberdaya, dan karenanya akan mensejahterakan diri dan anak-anaknya. Jangan pernah berpikir bahwa tujuan kesejahteraan merupakan tujuan yang lebih rendah dibandingkan dengan tujuantujuan lainnya. Sebaliknya, kita harus menyadari bahwa kesetaraan dalam partisipasi dan kontrol merupakan persyaratan yang diperlukan jika kita mau membuat kemajuan pada kesetaraan gender dalam hal kesejahteraan.
Siklus pemberdayaan Siklus pemberdayaan dari kelima tingkat kesetaraan di atas menunjukan proses alami pembangunan yang berkelanjutan dan dinamis. Proses pemberdayaan adalah proses penguatan individu dan kelompok dimana keberhasilan pada satu tingkat akan membawa kesuksesan pada tingkat-tingkat berikutnya. Dalam siklus pemberdayaan ini, pemberdayaan ditemukan dalam pergerakan dari satu tingkat ke tingkat yang lain: perempuan diperdayakan dari persoalan akses yang akan mendorong terbangunnya kesadaran kritis. Ketika kesadaran dibangun terjadilah peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Ketika partisipasi dalam pengambilan keputusan ditingkatkan, maka kontrol juga meningkat, dan ketika kontrol meningkat, terbangunlah dasar untuk memperbaiki kesejahteraan, dan seterusnya. Dengan demikian kelima tingkat kesetaraan tersebut harus dilihat sebagai bagian yang terpisah untuk tujuan analisa saja tetapi dalam prakteknya, kelimanya berhubungan satu sama lainnya. 45
Kerangka Pemberdayaan: Apa yang membuatnya berbeda? Gambaran mengenai Kerangka Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan di atas mengungkapkan adanya beberapa persamaan dengan konsep kerangka yang lainnya. Pada dasarnya kerangka ini tidak memperkenalkan konsep yang baru, bahkan ia hanya memberikan definisi tentang arti dan hubungan diantara lima konsep yang sudah banyak dibahas orang seperti kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi dan kontrol. Tetapi kerangka ini menggunakan konsep-konsep yang sudah terbentuk itu untuk memberikan sebuah definisi yang lebih baik dibandingkan sebelumnya yaitu Pemberdayaan. Pemberdayaan di sini diinterprestasikan sebagai sebuah konsep yang lebih besar yang memperluas pemahaman mengenai proses pembangunan, namun pada saat yang bersamaan juga menggabungkan konsep-konsep yang meletakan fokus pada ketidaksetaraan relasi kekuasaan antar gender. Kerangka Kesetaraan dan Pemberdayaan perempuan tidak mengabaikan pendekatan Model harvard yang memberikan perhatian besar pada masalah “akses sumberdaya”, tetapi kerangka ini memperluas masalah akses ini menjadi proses pemberdayaan dimana perempuan dapat mengatasi diskriminasi dalam penyediaan sumberdaya. Demikian juga Kerangka Kesetaraan dan Pemberdayaan tidak mengabaikan pembedaan analisis Molyneux, antara kebutuhan praktis dan minat yang strategis, 2 tetapi ia menyediakan kerangka konseptual agar pembedaan ini dapat dipahami lebih baik. Satu hal yang membedakan KPP ini dengan kerangka-kerangka analisis gender lainnya adalah ia menyediakan sebuah perspektif pembangunan perempuan yang lebih “bottom-up”. Artinya permasalahan dan strategi harus dikenali dan ditemukan oleh komunitas akar rumput sendiri, sebagai bagian dari proses peberdayaan. Ketika perencana pembangunan melaksanakan sebuah survei dan analisis peran gender, mereka hanya mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan praktis saja, tetapi tidak dapat mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan strategis perempuan. Kerangka Kesetaraan dan pemberdayaan Perempuan ini menyediakan sebuah pemahaman yang sistematis dan bersifat analitis dari proses pemberdayaan masyarakat akar rumput, dimana komunitas lokal dapat mengenali dan menemukan kebutuhan-kebutuhan strategisnya. Hal ini berbeda dengan perspektif “top down”” dimanapermasalahan perempuan diidentifikasi oleh peneliti atau agen-agen pembangunan yang berasal dari luar komunitas. Perspektif top down ini memperlakukan perempuan sebagai penerima bantuan yang pasif dan penikmat pasif proyek perbaikan kesejahteraan dan peningkatan produktivitas. ______________________________________________ 2
Untuk referensi, lihat catatan kaki 1 bacaan ini. Diterjemahkan oleh: Viany, dari Handout Materi Gender & Development Planning Intercultural Course on Women and Society, st Scholastica’s College, Manilla, Phillipines.
46
Modul 3 Topik: Daur Program Pembangunan dan Siklus PNPMM Perkotaan
Peserta memahami dan menyadari: 1. Daur program pembangunan partisipatif 2. Pendekatan partisipatif sebagai dasar pengorganisasian masyarakat 3. Siklus PNPMM sebagai implementasi daur program
Kegiatan 1: Diskusi kelompok daur program: permainan mengumpulkan barang Kegiatan 2: Penjelasan dan Tanya jawab siklus PNPM Perkotaan sebagai daur program
3 Jpl (135 ’)
Bahan Bacaan: 1. Daur Program Pembangunan Partisipatif 2. Langkah-langkah Pembangunan Partisipatif 3. Siklus PNPMM Perkotaan: Implementasi Daur Program 4. Pedoman Umum PNPMM Perkotaan
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • LCD • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
47
Diskusi Daur Program Pembangan Partisipatif Permainan: Mengumpulkan Barang 1) Buka pertemuan dengan salam singkat dan uraikan bahwa kita memulai Modul Daur Program Pembangunan Partisipatif . Kemudian uriakan apa tujuan modul ini yaitu: Peserta memahami dan menyadari: •
Daur program pembangunan partisipatif
•
Pendekatan partisipatif sebagai dasar pengorganisasian masyarakat
•
Siklus PNPMM sebagai implementasi daur program
2) Jelaskan kepada peserta, setelah sebelumnya kita membahas mengenai pembangunan partisipatif, untuk mengetahui langkah-langkah pembangunan partisipatif kita akan membuat permainan ‘Mengumpulkan barang dalam 2 menit’ 3) Bagilah peserta ke dalam 3 kelompok, kemudian setiap kelompok diminta untuk mengumpulkan barang yang sudah ada dalam lembar tugas (lihat LK). Masing-masing kelompok harus mengumpulkan barang tersebut dalam waktu 2 menit. 4) Setelah selesai, kemudian ajak peserta untuk menganalisis: •
Kelompok mana yang berhasil dan kelompok mana yang tidak?, mengapa terjadi demikian?
•
Mintalah setiap kelompok untuk menceritakan proses yang sudah dilakukan. Galilah apakah masing-masing kelompok membuat perencanaan terlebih dahulu?
•
Apakah puas dengan hasilnya?
•
Apakah setiap anggota terlibat?.Mengapa?
•
Apakah hal dia atas dapat terjadi dalam program pembangunan?
5) Tanyakan kepada peserta dalam proses pembangunan, sebelum memulai perencanaan, apa yang harus dilakukan? Galilah jawaban peserta sampai ketemu kata kunci: identifikasi kebutuhan. 6) Jelaskan kepada peserta daur program pembangunan mulai dari identifikasi kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring evaluasi (pelajari bahan bacaan). 7) Kemudian bahas bersama peserta, dalam proses pembangunan siapa yang melakukan proses tersebut? Kelompok masyarakat yang mana yang terlibat (kaya, miskin, tokoh masyarakat, lakilaki, perempuan?). Apa hubungannya dengan pengorganisasian masyarakat? Tuliskan jawaban peserta dalam kertas plano. 8) Kemudian ajak peseta untuk menganalisa perbedaan antara pendekatan pembangunan dari bawah (partisipatif) dengan pendekatan pembangunan dari atas. Tulislah hasilnya pada kertas plano dengan memakai alat bantu tabel seperti di bawah ini.
48
Pendekatan ‘Top Down’
Pendekatan ‘Bottom up’
Siapa yang memimpin? Siapa yang mengambil keputusan? Kebutuhan program berdasarkan kepada apa? Siapa yang merencanakan? Siapa yang melaksanakan? Siapa yang melakukan monitoring dan evalusi? Siapa penerima manfaat? Apa saja manfaatnya? Bagaimana hasilnya? … 9) Beri kesempatan kepada peserta untuk melakukan tanya jawab. Kemudian simpulkan bersama. Jelaskan kepada peserta, bahwa dalam proses pembangunan, pengorganisasian masyarakat dimungkinkan dalam daur program pembangunan, yang dimulai dari menemukenali kebutuhan (masalah dan potensi), merencanakan upaya pemecahan masalah, melaksanakan program sampai monitoring evaluasi (daur program pembangunan). Hasil monitoring dan evaluasi kemudian ditindaklanjuti dalam perencanaan selanjutnya, makanya disebut daur karena kegiatan ini akan berulang. Dalam hal masyarakat yang mengorganisir dirinya sendiri (pihak luar hanya memfasilitasi), maka daur program tersebut disebut sebagai daur program pembangunan partisipatif. Perempuan dan warga miskin sebagai kelompok yang masih terpinggirkan masih menjadi objek pembangunan, padahal menjadi strategis melibatkan perempuan dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring evaluasi, karena:
Penghargaan terhadap perempuan dan waga miskin sebagai manusia yang merdeka yang berhak untuk menentukan pemecahan masalah yang dihadapinya
Pemecahan masalah-masalah, termasuk masalah kemiskinan yang menyangkut perempuan akan lebih tepat apabila dibicarakan bersama dengan perempuan karena merekalah yang betul-betul merasakan masalah dan kebutuhannya. Keputusan yang diambil hanya oleh kaum elite atau laki-laki saja seringkali hanya berhubungan dengan dunia laki-laki dan tidak mempunyai sensitivitas terhadap masalah perempuan. Bila memikirkan masalah perempuan seringkali dasarnya tidak kuat karena mereka tidak mengalami masalahnya.
Memberi kesempatan kepada perempuan dan warga miskin untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya sebagai manusia
Potensi yang besar yang dipunyai oleh perempuan, akan sangat berarti apabila digunakan bukan hanya untuk sektor domestik akan tetapi juga dalam sektor publik sehingga dapat dirasakan manfaanya oleh masyarakat
Keterlibatan dalam semua proses pembangunan memberikan kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang sama.
49
Penjelasan dan Tanya Jawab: Siklus PNPMM Perkotaan dan Daur Program 1. Jelaskan kepada peserta, bahwa kita akan melanjutkan kegiatan untuk membahas Siklus PNPM Mandiri dan Daur Program. 2. Ajak peserta untuk mengingat kembali rangkaian siklus PNPM Mandiri yang sudah dibahas dalam modul-modul sebelumnya. Tuliskan hal-hal yang penting dalam kertas plano. 3. Jelaskan kepada peserta mengenai rangkaian siklus dan maknanya secara singkat (lihat bahan bacaan sebagai acuan). Kemudian diskusikan apa hubungannya siklus PNPM Mandiri dengan pembangunan partisipatif:
Siklus yang mana dalam PNPM Mandiri merupakan proses identifikasi kebutuhan?
Jawab: RK dan PS
Siklus yang mana dalam PNPM Mandiri merupakan proses perencanaan?
Jawab: BKM/LKM ,PJM dan KSM
Siklus yang mana dalam P2KP merupakan proses pelaksanaan?
Jawab: Pelaksanaan PJM Pronangkis dan Pengembangan KSM
Bagaimana paenerapan monitoring dan evaluasi?
Jawab: dalam penerapan transparansi dan akuntabilitas serta kontrol sosial publik (warga kelurahan/desa) 4. Berikan penjelasan kepada peserta (pakai bahan bacaan dan pedoman umum PNPM Mandiri Perkotaan sebagai acuan) Catatan: langkah-langkah penanggulangan kemiskinan di masyarakat merupakan satu siklus (daur yang harus berulang). Dari semua tahapan siklus, harus dijelaskan mana yang masuk ke dalam identifikasi kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi. Siklus penanggulangan kemiskinan ini seyogyanya merupakan langkah yang dijalankan oleh adanya kebutuhan masyarakat, bukan semata-mata untuk PNPMM Perkotaan , karena PNPMM Perkoataan hanya meletakan pondasi awalnya, sehingga setelah proyek selesai langkah-langkah ini akan menjadi bagian program masyarakat yang berkelanjutan.
50
LK-Daur Program Pembangunan Partisipatif
Mengumpulkan Barang dalam 2 Menit Lembar Tugas: Masing-masing kelompok harus mengumpulkan barang di bawah ini dalam waktu 2 menit: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Kertas Plano Kertas A4 Kertas metaplan merah Spidol besar Sepatu wanita Sepatu pria Uang koin 500 rupiah Pensil Gunting Pulpen Buku catatan (notes) Dompet Tas wanita Selotip kertas Kertas metaplan hijau Handphone Tali rapia Gelas aqua Jam Tangan pria Jam Tangan wanita
2 3 2 1 1 1 2 1 1 3 1 1 1 1 2 2 1 2 1 1
lembar lembar lembar buah pasang pasang keping buah buah buah buah buah gulung lembar buah gulung buah buah buah
51
Langkah-Langkah Pembangunan-Partisipatif Parwoto Untuk menjamin terjadinya proses belajar dari semua pelaku pembangunan baik di sektor pemerintah, swasta dan masyarakat maka langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan pembangunan partisipatoris mencakup kegiatan di berbagai tingkat sebagai berikut ini Di Tingkat Non Komunitas (Pemerintah dan Pihak Terkait) Mengingat pola pembangunan partisipatoris meskipun berakar dari budaya bangsa tetapi dalam praktek manajemen pembangunan belum lazim dilakukan maka diperlukan beberapa kegiatan yang bersifat orientasi, konsultasi dan pelatihan untuk membuka wawasan sehingga terjadi pemahaman akan peran masing-masing dalam konteks demokratisasi pembangunan dan terjadi perubahan sikap dari perangkat pemerintah dan pihak terkait serta keterpaduan misi pembangunan makro. Di Tingkat Komunitas/Masyarakat Berbentuk proses penyadaran, pelatihan dan pembentukan sikap yang melahirkan kesepakatankesepakatan pembangunan dan rencana tindak sebagai tersebut dibawah ini (lihat Lampiran 1). a
Persiapan sosial Langkah ini merupakan langkah awal sebelum memulai pembangunan partisipatoris, yaitu suatu upaya untuk mendekati para pimpinan dan tokoh masyarakat, mengenali persoalan dan kebutuhan masyarakat, dan upaya untuk memulai membahasnya dengan para pimpinan dan tokoh masyarakat tersebut. Hasil Para pimpinan dan tokoh masyarakat sepakat untuk menangani persoalan yang dihadapi masyarakat/komunitas.
b
Survai Swadaya Melalui SS ini beberapa anggota masyarakat mulai diajak dan didampingi untuk mengenali persoalan yang dihadapi kampung/desa mereka dan potensi yang mungkin dapat dikembangkan dari sumber daya yang ada untuk mengatasi persoalan tersebut. Hasil Masyarakat sadar akan kondisi mereka dan daftar persoalan komunitas/lingkungan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman)
c
serta
potensi
Kesepakatan persoalan yang akan ditanggulangi Pada tahap ini persoalan yang ditemukan melalui SS dibahas dalam suatu rembug kampung/desa untuk ditetapkan mana dulu yang akan ditangani. Hasil Daftar dan urutan prioritas persoalan yang disepakati untuk ditangani.
52
d
Kesepakatan tingkat perbaikan yang ingin dicapai Setelah adanya kesepakatan persoalan yang akan ditanggulangi langkah selanjutnya adalah menetapkan bersama tingkat perbaikan yang akan/ingin dicapai. Kesepakatan tingkat perbaikan ini merupakan tujuan akhir yang akan dicapai. Pada tahap ini harus diupayakan terjadinya kebulatan tekad untuk bersama-sama saling tolong menolong mencapai tujuan tersebut. Hasil Gambaran kondisi yang ingin dicapai setelah pembangunan yang disepakati sebagai tujuan akhir.
e
Kesepakatan tentang hambatan-hambatan yang mungkin ditemui dalam mencapai tingkat perbaikan yang telah disepakati tersebut diatas. Pada tahap ini sebenarnya yang terjadi adalah proses mawas diri "mengapa tujuan akhir tersebut di atas tidak pernah terjadi sebelumnya?" Hal ini penting dilakukan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi di kampung/desa tersebut sehingga dari dahulu tidak pernah mencapai kondisi seperti yang diharapkan di atas. Hasil Daftar antisipasi hambatan yang perlu disingkirkan agar tercapai tujuan akhir yang disepakati tersebut di atas. Hambatan ini dapat bersifat fisik, aturan, tradisi, dsb
f
Kesepakatan penggalangan dan alokasi sumber daya untuk menciptakan dan menumbuhkan potensi pembangunan. Pada tahap ini dilakukan kesepakatan penanganan penggalian, penggalangan dan pengembangan sumber daya sebagai potensi pembangunan untuk di alokasikan dalam proses pemecahan persoalan. Hasil Daftar berbagai sumber daya (internal/eksternal) yang dapat dikerahkan untuk menanggulangi persoalan dan mencapai tujuan akhir yang telah disepakati.
g
Kesepakatan rencana pemecahan persoalan Pada tahap ini dipilih dan disepakati alternatif penanggulangan persoalan dalam bentuk USULAN RENCANA KERJA PENANGGULANGAN PERSOALAN, mencakup •
Usulan rencana teknik (kegiatan yang akan dilakukan)
•
Usulan pola pendanaan (pendanaan/pembiayaan)
•
Usulan manajemen/pola penanganan (kelembagaan)
•
Usulan pengelolaan lanjut (kelembagaan)
Selanjutnya usulan tersebut bila memerlukan bantuan dana dari APBD/APBN dapat diajukan melalui Camat ke tingkat yang lebih tinggi. Hasil Rencana Kerja Pembangunan (program pembangunan/development program)
h
Pelaksanaan Pola penanganan pelaksanaan ini telah disepakati pada tahap sebelumnya, maka pada tahap ini hanya tinggal melaksanakan sesuai dengan kesepakatan. Sebaiknya proses pelaksanaan ini menerapkan ancangan manajemen terbuka, dimana segala informasi dengan mudah dapat dibaca/diketahui oleh semua anggota masyarakat yang terlibat/terkena, misalnya dengan
53
menuliskan pada papan tulis di Balai Desa segala sesuatu yang perlu diketahui masyarakat, nilai bantuan, kontribusi tiap warga, sumbangan dari pihak lain, penggunakan dana, dll Hasil Sesuai yang direncanakan (fisik bangunan/lingkungan, kegiatan usaha, sistem perkreditan yang lebih baik, dsb).
i
Evaluasi internal Tahap ini sering kali dilupakan pada hal pada tahap inilah sebenarnya terjadi proses peralihan dari pengalaman fisik menjadi pengalaman mental yang sangat bermanfaat dalam mengubah perilaku Hasil Pendalaman pemahaman dan perubahan sikap
j
Pemanfaatan hasil pembangunan. Pada tahap inilah terjadi proses berlanjut yang bersifat siklik dan organik, bila yang dibangun fisik maka akan ditandai dengan adanya pemeliharaan, perbaikan, penambahan, perombakan, pengulangan sebagai bukti perubahan sikap dan perilaku, tetapi bila yang dibangun adalah kegiatan usaha maka akan ditandai dengan membaiknya ekonomi keluarga dan bertumbuhnya kegiatan ekonomi kawasan, dsb. Semuanya ini hanya akan terjadi bila tercapai kemantapan kelembagaan yang mengelola seluruh kegiatan tersebut dari awal sampai akhir. Hasil Pertumbuhan atau perubahan yang organik baik dalam bentuk fisik lingkungan maupun kegiatan ekonomi atau tatanan sosial yang ada
54
Siklus Pembangunan Partisipatoris
Persiapan Sosial
Survai Swadaya
Pemanfaatan Hasil
Kesepakatan Persoalan Evaluasi Internal Kesepakatan Tujuan Pelaksanaan Kesepakatan Hambatan
P5D
Kesepakatan Alternatif Pemecahan Kesepakatan Sumber daya
USULAN ALTERNATIF 1) usulan pembangunan 2) pola pendanaan 3) pola penanganan pembangunan 4) pola penanganan pasca pembangunan
55
Daur Program Pembangunan Partisipatif Marnia Nes Untuk memungkinkan pelaksanaan pendekatan partisipatif dalam menanggulangi permasalahan kemiskinan perlu dilakukan proses pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendorong masyarakat agar lebih mampu untuk mengkaji masalah/kebutuhannya sendiri, memikirkan jalan keluar untuk memperbaiki keadaannya serta mengembangkan potensi– potensi dan keterampilan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pada dasarnya, pelaksanaan kegiatan pemberdayaan dan pengorganisasian masyarakat dilakukan mengikuti tahapan–tahapan daur program berikut ini.
PENJAJAGAN KEBUTUHA N PERENCANAAN KEGIATAN
Kajian kebutuhan, potensi, masalah
Alternatif kegiatan, rencana tindak, tahapan kegiatan
Daur Program EVALUASI KEGIATAN Kajian hasil akhir program
PEMANTAUAN KEGIATAN
PELAKSANAAN KEGIATAN Melaksanakan program yang sudah direncanakan
Perkembangan program
Identifikasi Masalah (pengenalan kebutuhan) Pengenalan masalah seringkali disebut sebagai pengenalan kebutuhan, karena biasanya masyarakat memiliki kebutuhan untuk mengatasi masalah–masalah yang mengganggu kesejahteraan hidupnya. Pengkajian masalah ini disertai dengan pengenalan potensi masyarakat, terutama apabila program yang dikembangkan bertujuan untuk mengembangkan keswadayaan masyarakat. Berbagai kegiatan studi, antara lain studi kelayakan dan survai kemiskinan, dikembangkan untuk merencanakan program pembangunan (pengentasan kemiskinan) dalam skala luas (nasional).
56
Dengan melakukan studi semacam ini, diharapkan pengembangan kebijakan pembangunan (program pengentasan kemiskinan), didasarkan kepada pemahaman tentang apa dan mengapa kemiskinan terjadi menurut kacamata kelompok miskin itu sendiri. Dalam studi-studi yang dilakukan tersebut, dikaji kecenderungan pilihan dan harapan masyarakat mengenai berbagai kebutuhan mereka, terutama kebutuhan dasar (basic human needs), serta sekaligus usaha untuk menemukan apa saja kegagalan pelayanan publik yang terjadi dan mengapa kegagalan itu terjadi atau tidak mampu menyelenggarakan upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut. Dengan demikian, tujuan dari penjajakan kebutuhan dalam program pembangunan berskala nasional ( program pemerintah) adalah mengembangkan kebijakan program pembangunan yang memperoleh legitimasi dari masyarakat sebagai bagian dari proses demokrasi partisipatif, serta sebagai bagian dari tugas pemerintah untuk menjalankan pelayanan publik demi kesejahteraan rakyatnya. Dengan berkembangnya metodologi pendekatan partisipatif, penjajakan kebutuhan menjadi bagian dari proses pengelolaan program secara partisipatif (participatory need assessment). Hal ini mendorong terjadinya inovasi metodologi, metode dan teknik yang lebih memungkinkan diakomodasirnya kebutuhan dan harapan masyarakat yang berbeda pada setiap komunitas. Bahkan di dalam sebuah komunitas pun, bukan suatu pekerjaan yang mudah untuk melakukan penjajakan kebutuhan karena adanya keberagaman kebutuhan dan harapan masyarakat. Karena itu, salah satu proses penting dalam penjajakan kebutuhan secara partisipatif adalah proses mengembangkan kriteria kebutuhan berdasarkan kesepakatan masyarakat sendiri untuk mengembangkan perencanaan program yang spesifik lokal (spesifik komunitas). Dengan demikian, tujuan dari penjajakan kebutuhan dalam pengembangan program adalah: Mengembangkan perencanaan dan perancangan program berbasis masyarakat (bottom –up approach) agar lebih tepat guna atau sesuai dengan kebutuhan dan potensi masyarakat yang bersifat unik atau spesifik dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya. Selain itu, dalam filosofi partisipasi, kegiatan penjajakan adalah juga merupakan proses pembelajaran masyarakat. Dalam pelaksanaannya penjajakan kebutuhan dengan filosofi partisipasi, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: •
Adanya keragaman atau sifat lokal/individual kebutuhan; artinya kebutuhan masyarakat berbeda dari satu komunitas ke komunitas lain, bahkan berbeda di antara individu, keluarga dan kelompok yang berbeda.
•
Adanya keberagaman potensi dan sumberdaya masyarakat yang tersedia, artinya kemampuan masayarakat untuk melakukan upaya memenuhi kebutuhannya sendiri berbeda dari satu komunitas ke komunitas lainnyam, sehingga program dari luar juga perlu mengembangkan intervensi dan dukungan yang berbeda pada setiap komunitas dampingan.
Karena dalam filosofi metodologi partisipatif , penjajakan kebutuhan merupakan bagian dari proses pembelajaran masyarakat, maka tugas pemandu/fasilitator adalah untuk mendorong berkembangnya pemaknaan kebutuhan oleh masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini semestinya fasilitator memahami konsep kebutuhan dasar (basic human needs) dan konsep kebutuhan secara luas (human needs) yang meliputi dimensi ekonomi, sosial, budaya, politik .dengan demikian maka fasilitator memiliki kerangka konsep untuk mambantu masayarakat dalam perumusan kebutuhan praktis (jangka pendek) maupun kebutuhan strategis (jangka panjang) . Pada tahap awal ini yang biasa dikaji adalah informasi-informasi yang yang mengungkapkan keberadaan lingkungan dan masyarakatnya secara umum serta melakukan analisis atas keadaan masyarakat tersebut. Langkah-langkah penjajagan kebutuhan adalah:
Pengenalan masalah, kebutuhan dan potensi masyarakat.
Pengkajian hubungan sebab akibat masalah-masalah ( identifikasi akar masalah)
Pengkajian potensi lokal dan luar
57
Perencanaan Kegiatan Apabila penjajakan kebutuhan (need assesment) semula berkembang sebagai wacana pengambilan keputusan publik di dalam kerangka demokrasi, maka perencanaan pada awalnya berkembang dalam wacana pengelolaan (manajemen) program. Wacana mengenai program berbasis masyarakat (people centered approach) kemudian juga mendorong berkembangnya metodologi perencanaan partisipatif (participatory planning approach) dengan mengembangkan proses perencanaan dari bawah (bottom up planing). Meskipun berbagai modifikasi dan adaptasi dilakukan untuk mengembangkan proses partisipatif bersama masyarakat, perencanaan tetap merupakan aspek pengelolaan (manajemen) program yang menggunakan logika dan kerangka pikir tertentu. Perencanaan adalah proses pengambilan keputusan untuk menentukan tujuan kegiatan/program , memilih jenis-jenis kegiatan, menyiapkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan yang telah dilakukan. Biasanya ketika bekerja dengan masyarakat, ada 3 level perencanaan yang dilakukan yaitu: perencanaan tingkat masyarakat, perencanaan tingkat program, dan perencanaan tingkat lembaga. Masing-masing level mengembangkan jenis perencanaan yang berbeda dan berkaitan satu sama lain. Perencanaan di tingkat lembaga (perencanaan program maupun perencanaan lembaga/organisasi) dimunculkan dari kebutuhan masyarakat dampingan. Perencanaan kegiatan merupakan proses mengembangkan rencana kerja berdasarkan penjajakan kebutuhan yang telah dilakukan. Hasil kajian masalah dan potensi masyarakat dijadikan bahan untuk menyusun rencana kegiatan yang sederhana, jelas dan realistis. Artinya bentuk perencanaan ini benar–benar dapat dilaksanakan oleh masyarakat. Hasil rumusan masalah dan potensi-potensi, dijabarkan menjadi:
Penetapan prioritas masalah berdasarkan kriteria masyarakat.
Alternatif alternatif pemecahan untuk setiap masalah
Alternatif-alternatif kegiatan yang bisa dilakukan sesuai dengan ketersediaan sumber daya baik lokal maupun dari luar
Penentuan para pelaksana, penanggung jawab dan pendamping kegiatan
Rencana kegiatan yang dikembangkan perlu mencantumkan dengan jelas apa, bagaimana, siapa, untuk apa, untuk siapa dan kapan akan dilaksanakan kegiatan tersebut. Semakin konkrit dan jelas rencana yang dihasilkan semakin besar kemungkinan rencana kegiatan dilakukan berdasarkan hasil keputusan masyarakat. Pelaksanaan kegiatan sebaiknya diorganisir dan dipimpin oleh anggota masyarakat sendiri, sedangkan petugas lembaga program hanya mendampingi.
Pemantauan (monitoring) dan Evaluasi Program Monitoring dan evaluasi adalah bagian dari pengelolaan (manajemen) program. Monev merupakan kegiatan yang semestinya diintegrasikan dengan perencanaan sejak awal. Pada saat dilakukan perencanaan program, semestinya sudah dirumuskan ukuran-ukuran (kuantitatif maupun kualitatif) pencapaian program, sehingga dapat menjadi acuan dalam melakukan monev setelah kegiatan berjalan. Merencanakan monev yang diperlukan dalam pengembangan program, merupakan bagian dari perencanaan yang baik. Monitoring merupakan kegiatan pengelolaan program, yang dirancang untuk:
58
Melakukan kajian mengenai berlangsungnya kegiatan/program secara periodik apakah berjalan sesuai dengan rencana/tujuan yang ditetapkan sebelumnya ataukah terjadi perubahan.
Melakukan perekaman secara sistematis mengenai inormasi perkembangan kegiatan/program beserta analisa dan gagasan (rekomendasi) mengenai penyesuaian/modifikasi kegiatan/program yang perlu dibuat; biasanya dalam bentuk progress report.
Mengembangkan tradisi pembelajaran (refleksi-aksi-refleksi ) baik untuk masyarakat dampingan maupun staf lembaga pendamping agar secara terus menerus memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan
Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan sejak awal dipantau terus menerus untuk melihat apakah rencana yang telah disusun bersama dilaksanakan dan hambatan-hambatan yang terjadi pada saat pelaksanaan. Penyimpangan yang terjadi pada saat pelaksanaan dipelajari dan diperbaiki agar tetap dapat mencapai tujuan akhir yang diinginkan. Monitoring ini bertujuan untuk menilai apakah program memang berjalan pada arah yang benar, mengidentifikasi permasalahan dalam pelaksanaan program dan kegiatan, memperkirakan antisipasi yang dibutuhkan untuk menjaga alur pelaksanaan program. Pemantauan biasanya dilakukan dalam jangka waktu yang pendek ( per 3 bulan atau 6 bulan) hasilnya disusun ke dalam ‘buku dokumentasi perkembangan program’. Monitoring dilaksanakan secara partisipatif, artinya masyarakat lah yang menjadi pelaku bukan Fasilitator (Orang Luar)
Evaluasi Evaluasi merupakan kegiatan pengelolaan program, yang dirancang untuk:
Mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, dan relevansi program terhadap kondisi masayrakat setelah berlangsungnya program tersebut dalam suatu jangka waktu tertentu;
Bagi masyarakat, menggunakan hasil-hasil yang dicapai untuk merencanakan pengembangan kegiatan baru yang lebih bertumpu pada kemampuan (potensi dan sumberdaya) lokal.
Bagi lembaga pendamping, menganalisis hasil-hasil yang dicapai untuk digunakan dalam perencanaan, penyusunan kebijakan dan strategi program lembaga ke depan.
Mengkaju dampak program terhadap kehidupan mesyaraka, dampak artinya perubahan yang terjadi di masyarakat.
Forum pengambilan keputusan masyarakat mengenia tujuan dan kegiatan baru yang ingin dikembangkan.
Merupakan pembelajaran (refleksi-aksi-refleksi) maupun staf lembaga pendamping (Fasilitator)
Evaluasi kegiatan juga dimaksudkan sebagai proses belajar bersama untuk menilai pencapaian hasil kegiatan, kesesuaian rencana dan tindakan dan mengidentifikasi permasalahan yang muncul secara terus menerus.
baik
untuk
masyarakat
dampingan
Biasanya, terdapat dua macam evaluasi program, yaitu: Evaluasi setelah melihat adanya perkembangan-perkembangan atau perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dengan adanya kegiatan bersama (program), dilakukan setelah satu jangka waktu tertentu (misal: per tahun)
Evaluasi akhir program, dilakukan antara lain untuk:
Mengkaji tujuan program, apa saja yang sudah tercapai serta mengapa terjadi demikian.
Mengkaji pengaruh program terhadap kesejahteraan masyarakat (disebut studi dampak)
59
Evaluasi juga merupakan proses identifikasi awal untuk daur selanjutnya, sehingga program yang sudah ada bisa diperbaiki secara menerus sesuai dengan kebutuhan pemecahan masalah yang berkembang di masyarakat. Evaluasi program sebaiknya dilakukan oleh masyarakat sendiri yang merasakan manfaat dari kegiatan-kegiatan yang dikembangkan. Daur program merupakan kegiatan yang terus menerus sehingga dapat dijamin keberlanjutan dari program-program untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
60
Siklus PNPM Mandiri Perkotaan: Implementasi Daur Program Pembangunan Partisipatif Marnia Nes Siklus yang dikembangkan dalam intevensi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan merupakan pengejawantahan dari daur program pembangunan partisipatif dari mulai identifikasi kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan sampai monitong evaluasi.
Siklus 1: Rembug Kesiapan Masyarakat ( RKM ) Merupakan proses awal dalam siklus PNPM Mandiri Perkotaan. Siklus ini dilaksanakan karena PNPM Mandiri Perkotaan merupakan upaya penanggulangan kemiskinan yang diintervensi oleh pihak luar ( pemerintah ), sehingga masyarakat harus diberi kesempatan untuk mengambil keputusan berkehendak untuk menerima atau menolak PNPM Mandiri Perkotaan sebagai alternatif pemecahan masalah. Oleh karena itu RKM merupakan proses awal dari pengejawantahan pembangunan partisipatif, karena masyarakatlah yang berhak untuk menentukan apakah mereka akan melakukan upaya penanggulangan kemiskinannya sendiri. Apabila masyarakat memutuskan untuk menerima PNPM Mandiri Perkotaan, maka secara otomatis masyarakat harus mempunyai komitmen untuk melaksanakan upaya penanggulangan kemiskinan dengan koridor yang sudah dikembangkan oleh PNPM Mandiri Perkotaan, yaitu melaksanakan proses pembelajaran dalam daur penanggulangan kemiskinan secara partisipatif yang dikejawantahkan dalam tahapan siklus-siklus selanjutnya. Komitmen yang disepakati oleh masyarakat berimplikasi kepada beberapa konsekuensi yang harus dijalankan oleh mereka seperti: mengikuti pertemuan-pertemuan untuk melaksanakan setiap proses tahapan siklus, adanya motor penggerak yang bekerja dengan sukarela, kesediaan untuk bekerjasama dari berbagai pihak ( tokoh, masyarakat miskin, masyarakat non miskin, aparat pemerintah setempat, dll ), menyediakan dana swadaya untuk berbagai pertemuan dan pelatihan, dan sebagainya. Dengan mengetahui segala konsekuensi yang harus dihadapi diharapkan masyarakat betul-betul siap untuk menerima intervensi PNPM Mandiri Perkotaan bukan karena ’iming-iming’ BLM akan tetapi karena benar-benar mempunyai kehendak untuk melakukan upaya penanggulangan kemiskinan bersama-sama.
Siklus 2: Refleksi kemiskinan Refleksi Kemiskinan dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat terhadap akar penyebab masalah kemiskinan. Kesadaran kritis ini menjadi penting, karena selama ini seringkali dalam berbagai program yang menempatkan masyarakat sebagai ’objek’ seringkali masyarakat diajak untuk melakukan berbagai upaya pemecahan masalah tanpa mengetahui dan menyadari masalah yang sebenarnya ( masalah dirumuskan oleh ’Orang Luar’ ).Kondisi tersebut menyebabkan dalam pemecahan masalah masyarakat hanya sekedar melaksanakan kehendak ’Orang Luar’ atau karena tergiur dengan ’iming-iming’ bantuan uang, bukan melaksanakan kegiatan karena benarbenar menyadari bahwa kegiatan tersebut memang bermanfaat bagi pemecahan masalah mereka.
61
Dalam pelaksanaannya, ada 2 hal penting yang harus dilakukan dalam Refleksi Kemiskinan, yaitu Olah Rasa dan Olah Pikir , sehingga pendalaman yang dilakukan melibatkan mental, rasa dan karsa.
Olah Pikir; Proses ini merupakan analisis kritis terhadap permasalahan kemiskinan yang dihadapi
masyarakat, untuk membuka mekanisme-mekanisme yang selama ini sering tidak tergali dan tersembunyi di dalamnya. Analisa kritis terhadap permasalahan kemiskinan sering juga disebut sebagai analisa sosial, artinya mencari secara kritis hubungan sebab akibat, sampai hal –hal yang paling dalam sehingga dapat ditemukan akar permasalahan kemiskinan yang sebenarnya. Setiap kondisi,baik itu eksternal maupun internal, harus ditelusuri dan kemudian dicari hubungan sebab akibatnya dalam suatu kerangka yang logis. Dalam hal ini setiap orang yang terlibat dalam refleksi belajar untuk berpikir analitis dan logis, sehingga diharapkan tumbuh kesadaran kritis terhadap berbagai penyebab kemiskinan yang berakar pada lunturnya nilai-nilai kemanusiaan seperti dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.
PENYEBAB KEMISKINAN Dampak
K E M I S K I N A N
Penyebab tingkat 4
Penyebab tk 3
Penyebab tk 2
KEBIJAKAN YANG TAK BERPIHAK/ ADIL
INSTITUSI PENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TAK MAMPU MENERAPKAN NILAI-NILAI UNIVERSAL KEMANUSIAAN
POLITIK YANG TAK MEMBUKA AKSES KE KAUM MISKIN, KURANG PARTISIPASI EKONOMI YANG TAK MEMIHAK; TAK ADA KESEMPATAN, TAK ADA AKSES KE SUMBERDAYA, DSB SOSIAL YG SEGREGATIF; MARGINALISASI, INTERNALISASI BUDAYA MISKIN, DSB
Penyebab tk 1
ORANG YANG TIDAK BAIK DAN MURNI
FISIK; LINGKUNGAN KUMUH, ILEGAL, DSB
Olah Rasa adalah upaya untuk merefleksikan ke dalam terutama yang menyangkut sikap dan perilaku mereka terhadap permasalahan kemiskinan. Upaya olah rasa lebih menyentuh ’hati’ masing-masing orang yang terlibat dalam proses refleksi untuk merenungkan apa yang telah diperbuat, dilakukan, sumbangan apa yang telah diberikan untuk melakukan upaya penanggulangan kemiskinan dan bagi kesejahteraan dan perbaikan hidup masyarakat. Artinya dalam olah rasa lebih menitikberatkan kepada sikap dan perilaku yang berhubungan dengan nilainilai luhur manusia ( memanusiakan manusia ). Diharapkan akan tumbuh kesadaran masingmasing bahwa manusia yang berdaya adalah ’Manusia yang mampu menjalankan fitrahnya sebagai manusia, manusia yang berbeda dengan makhluk lain, yaitu manusia yang mampu memberi dan mengabdikan kehidupannya untuk kesejahteraan umat manusia’.
Dari olah pikir dan olah rasa di atas, diharapkan cara pandang peserta yang terlibat dalam diskusi akan berubah dan berimplikasi pada:
Kesadaran bahwa seharusnya mereka tidak menjadi bagian yang menambah persoalan, tetapi merupakan bagian dari pemecahan masalah dengan cara berkehendak untuk memelihara nilainilai luhur kemanusiaan.
Tumbuhnya pemahaman bahwa sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai luhur, merupakan awal dari tumbuhnya modal sosial, sehingga dapat menumbuhkan kepercayaan pihak luar terhadap masyarakat setempat.
62
Tumbuhnya kesadaran untuk malakukan upaya perbaikan, yang dimulai dari diri sendiri. Sehingga setiap anggota masyarakat seharusnya mampu untuk memberikan sumbangan (baik tenaga, waktu,pikiran, ruang bagi kelompok lain untuk berpartisipasi, berdemokrasi, dsb) untuk bersama-sama menanggulangi masalah kemiskinan (baca: untuk kesejahteraan masyarakat) Proses Refleksi kemiskinan secara rinci dapat dilihat pada Buku seri siklus : ” Panduan Diskusi Refleksi Kemiskinan”-PNPM Mandiri Perkotaan.
Siklus 3: Pemetaan Swadaya Dalam proses identifikasi kebutuhan masyarakat, siklus lanjutan dari Refleksi Kemiskinan adalah Pemetaan Swadaya. Dalam siklus ini masyarakat melakukan proses belajar untuk:
Menggali informasi: bagaimana kondisi nyata dari masalah-masalah yang dikemukakan dan dirumuskan pada saat refleksi kemiskinan (sosial, ekonomi, lingkungan, kelembagaan, kepemimpinan)? Masalah-masalah tersebut harus didukung oleh data dan fakta, sehingga diperlukan proses penelitian untuk mengumpulkan informasi yang diperlukan.
Mengkaji, informasi dan fakta yang sudah didapatkan dianalisa dan dikaji bersama. Proses ini merupakan analisa kritis terhadap berbagai kondisi yang ada berdasarkan informasi dan fakta tadi untuk dicari sebab akibatnya termasuk kelompok-kelompok yang terkena dampak dari masalah yang ada (kelompok sasaran). Setiap informasi yang muncul dianalisa apakah hal tersebut merupakan masalah yang sebenarnya atau hanya merupakan gejala saja.
Merumuskan masalah: Pada tahapan ini masalah yang sudah ditemukan dan disepakati bersama dikelompokkan (pengorganisasian masalah), kemudian dianalisa hubungan sebab akibatnya dengan kembali membuat pohon masalah seperti yang dilakukan dalam refleksi kemiskinan. Dengan demikian dalam melakukan analisa kritis akan terjadi proses refleksi yang berulang-ulang. Artinya refleksi kemiskinan tidak hanya terjadi pada saat siklus yang pertama akan tetapi terus dilakukan dalam siklus Pemetaan swadaya.
63
PENYEBAB KEMISKINAN Penyebab tingkat 4
Dampak
K E M I S K I N A
N
Penyebab tk 3
POLITIK YANG TAK MEMBUKA AKSES KE KAUM MISKIN, KURANG PARTISIPASI EKONOMI YANG TAK MEMIHAK; TAK ADA KESEMPATAN, TAK ADA AKSES KE SUMBERDAYA, DSB
KEBIJAKAN YANG TAK BERPIHAK/ ADIL
SOSIAL YANG SEGREGATIF; MARGINALISASI, INTERNALISASI BUDAYA MISKIN, DSB FISIK; LINGKUNGAN KUMUH, ILEGAL, DSB
KKmiskin
Penyebab tk 2
INSTITUSI PENGAMBIL KEPUTUSAN YANG TAK MAMPU MENERAPKAN NILAI-NILAI UNIVERSAL KEMANUSIAAN
Penyebab tk 1
ORANG YANG TIDAK BAIK DAN MURNI
Kajian kepemimpinan
Kajian kebijakan
Kajian Kelembagaan
Berbagai kajian masalah ekonomi, lingkungan dan sosial
Pada pelaksanaannya proses penggalian informasi, analisa masalah, dan perumusan masalah seringkali tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi merupakan proses yang dilaksanakan sekaligus. Metode dan teknik yang dikembangkan untuk Pemetaan Swadaya merupakan metode yang lebih menekankan pada proses diskusi masyarakat. Alat kajian (tools) yang dikembangkan adalah alat untuk mengajak masyarakat terlibat dalam proses penggalian informasi, analisa dan perumusan masalah/kebutuhan, sehingga melalui proses tersebut sebetulnya masyarakat yang terlibat menjadi peneliti bagi dirinya dan kehidupan lingkungannya sendiri. Dengan terlibat dalam proses Pemetaan Swadaya masyarakat diharapkan mampu untuk:
Memahami persoalan nyata mereka sendiri yang berdasarkan kepada fakta dan informasi yang ada, sehingga yang mereka rumuskan bukan daftar keinginan tetapi daftar kebutuhan yang bermanfaat untuk lingkungannya terutama dalam rangka penanggulangan kemiskinan.
Pemecahan masalah (pemenuhan kebutuhan) tidak didasarkan kepada kehendak dan sematamata bantuan ’orang luar’ akan tetapi lebih banyak mengutamakan kemampuan sumberdaya dan swadaya masyarakat.
Bagi ’orang dalam’ (masyarakat) kegiatan ini menjadi proses belajar dan penyadaran tentang keadaan kehidupan dan lingkungan yang mereka hadapi, sehingga diharapkan terjadi pemahaman terhadap kondisi warga di lingkungannya ( mengapa si A miskin, bagaimana kondisi si B , dsb ). Penyadaran ini merupakan renungan terhadap permasalah dirinya dan orang lain di lingkungannya sehingga diharapkan tumbuh kepedulian terhadap warga sekitar dan mencari jalan keluar dari keadaan-keadaan yang dianggap mengganggu ( masalah ).
Bagi ’orang luar’ ( lembaga pengembang program ). Kegiatan ini merupakan proses belajar dan ’penyadaran’ dalam memahami keadaan masyarakat , serta cara pandang dan nilai-nilai masyarakat yang mempengaruhi kehidupan mereka. Proses belajar ini juga akan menimbulkan dukungan masyarakat terhadap program yang didampinginya, apabila benar-benar
64
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, serta program kemudian dikembangkan oleh masyarakat sendiri. Proses Pemetaan Swadaya secara rinci dapat dilihat dalam ’ Buku Siklus PNPM Mandiri Perkotaan Panduan Pelaksanaan Pemetaan Swadaya ’
Siklus 4 a: Pembangunan BKM/LKM Siklus ini merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat terhadap adanya organisasi masyarakat warga yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur yang dimotori oleh pemimpin yang mempunyai kriteria yang sudah ditetapkan oleh masyarakat sebagai jawaban dari hasil analisa kelembagaan dan refleksi kepemimpinan yang sudah dilaksanakan dalam siklus Pemetaan Swadaya. Organisasi masyarakat warga yang dibangun bisa berbentuk paguyuban atau perhimpunan yang mempunyai ciri-ciri:
Adanya kesetaraan dimana komunitas terbentuk sebagai himpunan warga yang setara di suatu kelurahan.
Setiap anggota atau warga berhimpun secara proaktif, yaitu telah mempertimbangkan berbagai aspek sebelum bertindak , karena adanya ikatan kesamaan (commond bond ), seperti kepentingan, persoalan, tujuan, dsb
Tiap anggota atau warga berhimpun secara sukarela, bukan karena terpaksa
Membangun semangat saling percaya
Bekerjasama dalam kemitraan
Secara damai memperjuangkan berbagai hal, termasuk dalam hal ini menanggulangi kemiskinan
Selalu menghargai keragaman dan dan hak azasi manusia sebagai dasar membangun sinergi
Menjunjung nilai-nilai demokrasi dalam setiap keputusan yang diambil dan secara intensif melakukan musyawarah
Selalu mempertahankan otonomi atau kemerdekaan dari bebagai pengaruh kepentingan
Mampu bekerja secara mandiri
Posisi organisasi masyarakat warga:
Di luar institusi pemerintah
Di luar institusi militer
Di luar institusi agama
Di luar institusi pekerjaan atau usaha
Di luar institusi keluarga
Organisai Masyarakat Warga ( paguyuban atau perhimpunan ) tersebut dipimpin oleh pemimpin kolektif, yang beranggotakan antara 9 sampai 11 orang. Lembaga Kepemimpinan Kolektif ini secara generik diberi nama ’BKM/LKM ’. Kriteria pemimpin kolektif ini ditentukan oleh masyarakat yang dilakukan dalam refleksi kepemimpinan. Tahapan pembentukan ’BKM’/LKM , yaitu:
Membentuk panitia pemilihan yang dipilih oleh warga masyarakat. Panitia menyusun mekanisme pemilihan yang akan dipilih di kelurahan/desa setempat. Proses pemilihan anggota
65
BKM/LKM adalah rahasia, tanpa pencalonan dan tanpa kampanye.Setiap warga dewasa pada masyarakat setempat menuliskan beberapa nama yang menurut mereka memenuhi kriteria yang telah disepakati, artinya anggota BKM/LKM yang dipilih adalah yang merefresentasikan nilai-nilai luhur , bukan atas dasar keterwakilan wilayah, agama, ras, golongan, dan lain sebagainya.
Mekanisme pemilihan dilakukan berjenjang dari RT, RW, Kelurahan/Desa berdasarkan pada kohesifitas ( keakraban-hubungan sosial ) di antara warga masyarakat setempat. (mekanisme pemilihan dapat dilihat pada ’Buku Panduan Pembentukan BKM/LKM ).
Membentuk Tim Perumus untuk menyusun draft AD/ART BKM/LKM . Draft AD/ART yang sudah disusun kemudian diuji publik dengan cara melakukan rembug-rembug dengan komunitaskomunitas di kelurahan/desa setempat. Langkah selanjutnya draft yang sudah diperbaiki berdasarkan hasil uji publik dibahas dan disahkan pada rembug warga tingkat kelurahan/desa pada saat pemilihan anggota BKM/LKM tingkat kelurahan/Desa.
Setiap warga kelurahan/desa setempat berhak sebagai pemilih.
Siklus 4 b : Pengembangan KSM Kelompok Swadaya Masyarakat adalah kelompok sosial pada tingkat akar rumput, yang mempunyai kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan , ekonomi dan pemeliharaan lingkungan. Dalam PNPM Mandiri Perkotaan diharapkan warga miskin dapat terlibat dan menerima manfaat dari kelompok ini, dengan cara menjadi anggotanya dan diperlakukan adil seperti anggota masyarakat yang lainnya. Pengembangan KSM tidak harus membentuk baru, tetapi bisa menggunakan kelompok-kelompok sosial yang sudah ada di masyarakat asalkan warga miskin mempunyai peluang untuk terlibat di dalam kelompok, dan penerima manfaat langsung ( bantuan program ) adalah warga miskin. . Oleh karena itu hasil identifikasi kelompok sosial, hubungan sosial, modal sosial dan hasil kajian ekonomi dan lingkungan dalam siklus Pemetaan swadaya menjadi dasar untuk pengelompokkan masyarakat, terutama bagaimana strategi agar warga miskin terlibat. Kegiatan-kegiatan dalam satu kelompok bisa gabungan antara kegiatan ekonomi, kegiatan sosial maupun kegiatan lingkungan. Contoh-contoh kegiatan yang dapat dikembangkan adalah: kegiatan simpan-pinjam anggota kelompok, bantuan pinjaman modal usaha untuk anggota kelompok miskin, kartus sehat, tabungan pendidikan dan sebagainya. Paling penting adalah bahwa kelompok ini dibentuk atau dikembangkan bukan untuk menjadi pembenaran untuk mendapatkan bantuan uang dari PNPM Mandiri Perkotaan, akan tetapi menjadi wahana bersama untuk saling belajar memecahkan masalah, saling peduli dan menghargai di antara anggotanya dan kalau sudah semakin berkembang dapat menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak luar.
Siklus 5: PJM Pronangkis PJM pronangkis merupakan perencaan partisipatif warga untuk mengembangkan program penanggulangan kemiskinan, baik jangka pendek selama satu tahun maupun jangka menengah selama 3 tahun. Program yang dikembangkan berdasarkan hasil kajian masalah (kebutuhan) dan analisa potensi dalam Pemetaan Swadaya. Walaupun siklus ini merupakan siklus lanjutan dari pemetaan swadaya akan tetapi pelaksanaannya setelah pembangunan BKM/LKM dan pengembangan KSM. Kegiatan ini dillakukan belakangan, dengan dasar pemikiran bahwa anggota BKM/LKM lah yang akan mengambil keputusan untuk pengembangan program-program mana dari kebutuhan masyarakat yang menjadi prioritas untuk dikembangkan. Di sisi lain penerima manfaat dari program ini diprioritaskan warga miskin yang sudah diidentifikasi dalam pemetaan swadaya, dan tergabung dalam KSM, sehingga KSM dibentuk
66
bukan karena adanya Pronangkis tetapi justru sebaliknya penerima manfaat program didasarkan kepada KSM yang sudah ada. Dalam pengembangan PJM pronangkis, sumberdaya baik manusia maupun sumberdaya lainnya diharapkan bukan hanya dari PNPM Mandiri Perkotaan, akan tetapi harus dipikirkan pemenuhannya dari swadaya masyarakat, Dinas/pemerintah setempat dan lembaga-lembaga lain yang mempunyai program yang sejalan dengan PJM Pronangkis yang disusun oleh masyarakat. Setelah satu tahun program berjalan, dilakukan evaluasi tahunan untuk melihat dan mengkaji kembali apakah program yang dikembangkan sudah tepat tujuan dan tepat sasaran dan bagaimana hasilnya. Kegiatan ini juga sekaligus untuk memperbaharui data-data yang ada, sehingga kesalahan-kesalahan akan segera dapat ditemukan dan dapat diperbaiki. Berdasarkan hasil evaluasi kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan program apabila diperlukan.
Kaitan siklus P2KP dengan Daur Program Siklus PNPM Mandiri Perkotaan diharapkan dapat berjalan terus dalam satu daur program pembangunan partisipatif sehingga tidak akan berhenti setelah PJM pronangkis. Artinya kegiatan masyarakat untuk menjalankan siklus bukan hanya terhenti sebatas proyek, akan tetapi menjadi kegiatan yang berkelanjutan dan melembaga di masyarakat. Intervensi PNPM Mandiri Perkotaan hanya mengawali proses belajar masyarakat, diharapkan dari proses belajar ini masyarakat bisa mengembangkan pemecahan masalahnya secara mandiri, sehingga civil society yang diidamidamkan dapat terwujud yang akan berdampak pada pengurangan masalah-masalah kemiskinan.
3
Mem bangun BKM
2
Pem etaan Swadaya
4
PJM Pronangkis
1
5
Sinergi dengan Perencanaan Daerah
Refleksi Kem iskinan
7
Review: PJM, Kelembagaan, Keuangan
6
Pelaksanaan dan Pemantauan
67
Modul 4 Topik: Metodologi Pembangunan Partisipatif
Peserta memahami dan menyadari: 3. Landasan pemikiran PRA sebagai metodologi pembangunan partisipaitf 4. Prinsip-prinsip pendekatan PRA 5. PRA merupakan alternatif metodologi untuk perubahan sikap dan perilaku dalam PNPM Mandiri Perkotaan
Diskusi kelompok dan pleno kelas
2 Jpl (90 ’)
Bahan Bacaan: 1. Metodologi PRA 2. Pokok-pokok Pikiran Robert Chambers 3. PRA Realitas dan Pembalikan
• Kerta Plano • Kuda-kuda untuk Flip-chart • Metaplan • Papan Tulis dengan perlengkapannya • Spidol, selotip kertas dan jepitan besar
68
1) Beri salam kepada peserta, dan jelaskan maksud dan tujuan dari modul metodologi, yaitu: Peserta memahami: •
Landasan Pemikiran PRA
•
Prinsip-prinsip PRA
•
Penerapan PRA dalam Daur P2KP
2) Bagikan bacaan: PRA alternatif metodologi PS: Pokok-pokok Pemikiran Robert chambers, PRA: Realitas dan pembalikan dan PRA dalam daur program kepada peserta. 3) Mintalah mereka untuk membaca, dan beri waktu yang cukup. 4) Apabila mereka sudah selesai membaca, bagi peserta ke dalam 3 kelompok tugas kepada peserta untuk mendiskusikan isi bacaan tadi, yaitu: •
Kelompok 1: Apa yang dimaksud dengan PRA, Apa tujuan PRA, Apa perbedaan PRA
•
Kelompok 2: Apa kontribusi PRA terhadap perubahan sikap dan perilaku? Hubungkan
•
Kelompok 3: Bagaimana PRA dapat diterapkan dalam PNPM Mandiri Perkotaan?
dengan RRA dan PAR, dan apakah PRA bisa diterapkan untuk di perkotaan?
dengan prinsip-prinsip PRA dan pembalikan (reversal) yang dimaksud dalam PRA
5) Setelah selesai lakukan pleno kelas, dan tanyakan kepada peserta apa yang ingin didiskusikan lebih lanjut. Lakukan tanya jawab dan tukar pengetahuan di antara peserta. 6) Apabila dari hasil diskusi, ada hal-hal yang dirasa belum jelas, berikan penjelasan sebagai pencerahan. PRA merupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal (secara harfiah diterjemahkan menjadi pengkajian desa secara partisipatif ) ,pada penerapannya merupakan sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat (pedesaan) untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan”. Pada awalnya PRA digunakan hanya untuk pengkajian, pada perkembangan berikutnya PRA menjadi metodologi pendekatan program yang lebih dari sekedar pengkajian untuk masyarakat, melainkan sebagai sebuah kerangka kerja pengembangan program partisipatif. PRA, merupakan metamorfosis dari RRA, pada awal perkembangannya disebut sebagai RRA partisipatif. Kata-kata partisipatif menunjuk kepada pelaku utama (aktor utama) di dalam proses pembangunan. PRA, menekankan pada ‘orang dalam’ (baca: masyarakat) sebagai aktor utama, orang luar hanya bertindak sebagai fasilitator. Oleh karena itu tujuan utama dari PRA adalah pemberdayaan masyarakat.
69
Inovasi PRA, ditujukan pada perubahan sikap dan perilaku dari para pelaku. Chambers lebih menekankan pada perubahan sikap dan perilaku orang luar, tetapi pada perkembangannya terutama dalam penerapan PRA di KPMNT (Konsorsium Pengembangan Masyarakat Nusa Tenggara), perubahan sikap dan perilaku diharapkan terjadi pada semua pihak (baik orang dalam maupun orang luar) yang terlibat dalam proses kegiatan, dan seharusnya tejadi dalam konteks perubahan (transformasi) sosial. Perubahan sikap dan perilaku dimungkinkan dalam penerapan prosesnya. Salah satu unsur PRA adalah “saling berbagi”, yaitu berbagi pengetahuan, berbagi nilai-nilai, berbagi informasi, berbagi sumberdaya, berbagi peluang, dan tentu saja berbagi ‘sumber kekuasaan’, sehingga dapat terjadi ‘power sharing’. Kondisi ini dapat dimungkinkan kalau pada proses penerapan PRA, mengacu pada prinsip-prinsipnya (lihat bahan bacaan), dan model-model reversal (lihat PRA: Realita dan Pembalikan), sehingga dominasi dari kelompok elite atau kelompok tertentu dapat diminimalkan, di sinilah pola-pola hubungan masyarakat yang setara dan sekat-sekat sosial diharapkan dapat terbongkar. PRA bukanlah PRA kalau hanya sekedar ‘seremonial’ penggunaan alat dan teknik tanpa didasari oleh prinsip-prinsipnya dan pembalikan (reversal). Dengan demikian, PRA sebagai metodologi pendekatan tidak hanya dapat dipakai di pedesaan (pada perkembangannya banyak lembaga yang menggunakan pendekatan PRA untuk di perkotaan, dengan memodifikasi teknik-tekniknya), tetapi juga bisa digunakan pada masyarakat perkotaan, terutama pada kelompok masyarakat dimana masih adanya kaum marginal. PRA sebagai sebuah metodologi pendekatan, seharusnya menjadi kerangka konseptual dalam keseluruhan daur program partisipatif, karena berbicara PRA berbicara soal sikap dan perilaku, hal ini sejalan dengan proses pembelajaran pembangunan sikap dan perilaku yang positif yang dibangun oleh PNPM Mandiri Perkotaan . Teknik-teknik PRA merupakan alat kajian dalam proses dapat digunakan dan dimodifikasi untuk PNPM Mandiri Perkotaan. Tentu saja dalam penerapannya (dalam proses fasilitasi) harus mengacu pada prinsip-prinsip dan tujuan utama PRA yang sejalan dengan tujuan PNPM MAndiri Perkotaan, yaitu sebagai proses transformasi sosial ke arah masyarakat yang berdaya yang pada akhirnya menuju masyarakat madani (tujuan jangka panjang).
.
70
Participatory Rural Appraisal (PRA): Alternatif Metodologi Partisipatif
Disarikan dari Buku Participatory, Studio Driyamedia dan KPMNT
Pemberdayaan
dan
Demokrasi
Komunitas,
Pengantar PRA merupakan singkatan dari Participatory Rural Appraisal yang secara harfiah artinya pengkajian ( keadaan ) desa (secara ) partisipatif. PRA senantiasa berkembang, sehingga menurut Robert Chambers yang mempromotori dan mengembangkannya, mungkin tidak perlu untuk memberikan definisi final. Robert Chambers mendefinisikannya sebagai: “Sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat (pedesaan) untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan”. Pada awalnya PRA berkembang sebagai kumpulan metode atau teknik-teknik ‘penelitian’ yang dilakukan oleh masyarakat oleh masyarakat sendiri, seperti yang didefinisikan oleh Robert Chambers di atas. PRA pada awalnya berkembang sebagai suatu alternative bagi penelitian sosial yang dikritik sebagai tindakan tidak bermanfaat bagi masyrakat karena hanya menggunaklan masyarakat sebagai obyek penelitian. Kalau pada penelitian sosial, agenda penelitian adalah milik ‘orang luar’, informasi yang hasil penelitian dibawa oleh ‘orang luar’ untuk kepentingannya sendiri maupun kalangannya, maka pada PRA, agenda ‘penelitian’ dikembangkan oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh orang luar, sebagai proses refleksi kritis masyarakat tentang situasi dan persoalan yang mereka hadapi. Informasi hasilnya, digunakan oleh masyarakat untuk mengembangkan program aksi mereka. Karena proses perkembangan PRA pada walanya seperti ini, banyak kalangan menggunakan PRA hanya untuk proses pengkajian saja. Pada perkembangan berikutnya PRA menjadi metodologi pendekatan program yang lebih dari sekedar pengkajian untuk masyarakat, melainkan sebagai sebuah kerangka kerja pengembangan program partisipatif. Pada tahun 1990-an penggunaan PRA berkembang pesat dalam upaya menemukan sebuah metodologi pendekatan yang bisa mendukung proses perencanaan yang lebih terdesentralisasi dan pengambilan keputusan secara lebih demokratis , yang memungkinkan masyarakat untuk ‘belajar bersama’, menganalisis, dan meningkatkan pengetahuannya, serta untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan mereka sendiri.
PRA dan Metodologi Partisipatif PRA sebagai metamorfosis dari RRA Participatory Rural Appraisal (PRA) seringkali dilekatkan dengan nama Robert Chambers, sehingga rasanya perlu dipahami peran Robert Chambers dalam pengembangan PRA. Robert Chambers adalah seorang akademisi yang gencar memperkenalkan konsep partisipasi dan PRA. Pada bukunya yang pertama (Chambers, 1983), Chambers menyampaikan kritik terhadap penelitian sosial, khususnya metode survai, yang dianggapnya kurang atau bahkan tidak bermanfaat bagi masyarakat yang dijadikan sasaran penelitian. Biasanya seringkali terlalu lama diterbitkan sebagai laporan sehingga sudah ketinggalan, dan mahal. Pada buku pertamanya itu, Chambers memperkenalkan metode Rapid Rural Appraisal (RRA) sebagai alternative bagi para praktisi pembangunan yang memerlukan sebuah metodologi ‘penelitian’ yang bisa membantu
71
mereka memahami masyarakat secara cepat, dengan informasi actual, dan biaya murah, serta bisa mengajak masyarakat sebagai pelaku penelitian itu sendiri. Pada bukunya yang kedua (Chambers: 1977), Chambers menggunakan istilah Participatory Rural Appraisal (PRA) untuk menggantikan RRA. Perkembangan konsep RRA sampai PRA terutama pada pemikiran mengenai peran ‘Orang Luar’ (para ‘profesional’) bekerja di masyarakat dalam upaya mengatasi masalah kemiskinan dan pembangunan. Meskipun terdapat berbagai sumber PRA, nampaknya RRA adalah sumber PRA yang paling langsung. PRA adalah metamorfosis dari RRA, sehingga PRA semula disebut dengan istilah ‘RRA partisipatif’ ( berkembang tahun 1980-an).
Perbandingan antara RRA dengan PRA menurut Robert Chambers: RRA
PRA
Kurun waktu perkembangan
Akhir tahun 1970-an (awal 1980-an)
Akhir tahun 1980-an (awal tahun 1990-an)
Pembaharu
Kalangan Universitas
Kalangan LSM/Ornop
Kalangan Universitas, donor
Kalangan LSM/ornop
Pengetahuan Masyarakat setempat
Kemampuan Masyarakat setempat
Metode/teknik
Perilaku
Menggali (ekstraktif)
Memfasilitasi partisipasi
Pengumpulan data (penelitian)
Pemberdayaan masyarakat
Orang luar (peneliti)
Masyarakat setempat
Perencanaan, proyek, publikasi
Pengembangan kelembagaan dan tindakan masyarakat lokal yang berkelanjutan
Pengguna Utama (main users) Sumber pengetahuan Inovasi ditujukan pada Digunakan orang luar untuk Tujuan Pelaku utama (main actors) Hasil-hasil jangka panjang
PRA: Cabang PAR? Robert Chambers menyatakan bahwa Participatory Action Research (PAR) atau sering disebut Kaji
Tindak Partisipatif, merupakan salah satu sumber PRA. Tetapi ada pihak lain yang menganggap bahwa PRA adalah PAR yang berkembang di Negara-negara Selatan. Menurut Daniel Selener, nampaknya PRA termasuk ke dalam kelompok PAR di dalam pengembangan masyarakat.
72
Pada dasarnya ada 3 agenda utama PAR, yaitu: pengkajian, pembelajaran dan aksi. Tujuan utamanya adalah memecahkan masalah praktis yang dirumuskan, dianalisa, dan diselesaikan oleh masyarakat sendiri. Tujuan strategis yang ingin dicapai adalah melakukan perubahan (transformasi social). Sedangkan dalam PRA lebih ditekankan pada perubahan perilaku individu-individu yang bekerja di dalam pengembangan masyarakat, ketimbang pada perubahan sosial seperti tujuan PAR. Asumsi-asumsi penting yang mendasari PAR:
Masyarakat dan perubahan sosial seharusnya dilihat dalam perspektif struktural, baik mikro (komunitas,wilayah) maupun makro (nasional,internasional).
Tujuan riset aksi partisipatif adalah perubahan sosial secara radikal yang dilakukan melalui mobilisasi masyarakat basis (akar rumput) sebagai pelaku transformasi sosial itu sendiri.
Perubahan sosial itu berarti perubahan atau pergeseran kekuasaan yang ada di masyarakat, dimana pihak yang paling lemah dan tertindas dikuatkan.
Artinya, kerangka kerjanya adalah konfrontasi oleh kelompok tertindas terhadap sistem dominasi, pendekatan ini cenderung berorientasi pada konflik.
Pengetahuan masyarakat (indegenous knowlede) adalah dasar kerja yang paling penting untuk menggeser kekuasaan kelompok elite/kuat yang mendominasi pengetahuan ilmiah, dan sekaligus sebagai basis dasar terjadinya perubahan sosial yang menyeluruh.
Unsur-Unsur PRA Tiga pilar (unsur), utama PRA menurut Robert Chambers, yaitu:
Sikap perilaku orang luar yang seharusnya berperan sebagai fasilitator, bukan mendominasi (seperti instruktur, penyuluh);
Metode-metode/teknik-teknik PRA, sebagai alat untuk mengubah pendekatan searah (tertutup) menjadi pendekatan multi-arah (terbuka), pendekatan individu menjadi pendekatan kelompok, teknik belajar verbal (misalnya ceramah) menjadi visual, dan teknik analisa dengan mengukur atau menghitung menjadi teknik membandingkan;
Berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, informasi, dan sumberdaya lain, di antara orang luar dan masyarakat.
73
Tiga unsur PRA (menurut Robert Chambers)
Mengalihkan pada masyarakat Percaya bahwa masyarakat bisa Mengembangkan proses dan improvisasi Duduk bersama, mengembangkan, belajar
Memfasilitasi Tidak terburu–burru Gembira Santai dan informal
Sikap–Perilaku
Metode Metode
Wawancara Pemetaan Mengurut Menilai Membuat diagram Presentasi Pelaksanaan kegiatan
Saling Berbagi
Observasi Mendaftar Membandingkan Memperkirakan Menghitung
Informasi Pengetahuan Nilai – nilai Sumberdaya Perkawanan
Prinsip Prinsip PRA Proses pembelajaran sebenarnya terjadi dalam keseluruhan proses-proses pengembangan masyarakat . PRA sebagai metodologi pengembangan program partisipatif merupakan pendekatan pembelajaran bersama masyarakat. Sebagai sebuah metodologi, terdapat prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam memfasilitasi proses pembelajaran masyarakat. Beberapa prinsip PRA yang dikembangkan oleh Robert Chambers, di Indonesia mengalami perkembangan disesuaikan dengan pengalaman penerapan PRA di lapangan. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
Prinsip mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan). Bahwa di masyarakat ada
kelompok masyarakat-biasanya merupakan bagian terbesar-yang terpinggirkan dan terabaikan oleh pembangunan. Kelompok masyarakat yang terabaikan ini harus diutamakan sebagai pemanfaat dan pemeran pembangunan. Keberpihakan ini ditujukan untuk membangun keseimbangan pola hubungan antara kelompok dominan dengan kelompok termarjinal dan miskin. Keberpihakan
74
adalah kosa kata yang sangat ideologis digunakan sebagai idiom gerakkan pembebasan kaum tertindas dan perjuangan emansipasi manusia.
Prinsip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan (empowerment) adalah upaya memperkuat
kemampuan kelompok masyarakat yang lemah agar bisa mengontrol dan menentukan pilihan di dalam kehidupannya ( otonomi ). Dengan demikian, pemberdayaan berarti mengubah pola hubungan kekuasaan (power relationship) di antara kelompok dominan/berkuasa (powerfull) dan kelompok lemah (powerless) di masyarakat melalui peningkatan posisi kelompok masyarakat lemah. Pembedayaan hanya bisa dikatakan terjadi apabila perubahan pola hubungan kekuasaan itu terjadi.
Prinsip masyarakat sebagai pelaku, orang luar sebagai fasilitator: ”orang luar” harus menyadari perannya sebagai Fasilitator dan bukannya sebagai ”guru”, ”penyuluh”, ”instruktur” bahkan atasan atau penguasa. Pernyataan ini bukanlah kata-kata biasa atau hanya sekedar anjuran agar para agen pembangunan bersikap rendah hati dan mau belajar dari pengetahuan lokal. Prinsip ini merupakan suatu sikap ideologis anti dominasi: yaitu dominasi para agen pembangunan terhadap masyarakat marjinal. Dominasi orang luar juga merupakan penindasan, sengaja maupun tidak sengaja, karena dominasi akan melemahkan dan meminggirkan masyarakat. Prinsip santai dan informal. Agen pembangunan dan pihak-pihak yang bekerja bersama masyarakat, sebaiknya mengembangkan suasana yang bersifat luwes, terbuka, tidak memaksa, akrab, dan informal. Barangkali bersikap santai dan informal ini seperti sekedar tips bagi para agen pembangunan, tetapi hal ini sebenarnya prinsipil karena menunjukkan sikap nilai orang luar: apakah datang ke masyarakat untuk melebur , menjadi bagian dari masyarakat dan bersam-sama memperjuangkan praktek-praktek yang mendominasi dan melemahkan masyarakat. Atau justru menjadi bagian dari pelaku dominasi. Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penghargaan dan pengembangan ilmu pengetahuan lokal (kearfian lokal). Prinsip saling belajar dan menghargai perbedaan: Prinsip
ini muncul dari kritik terhadap dominasi ilmu pengetahuan oleh kalangan akademisi atau agen pembangunan. Orang luar (agen pembangunan, peneliti sosial) seharusnya membantu masyarakat untuk menyusun pengalaman dan pengetahuan lokal yang ada. Hal ini bukanlah berarti bahwa masayrakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah, atau anti pada pengetahuan dan teknologi baru (dari luar). Pengalaman dan pengetahuan masyarakat dan orang luar bisa saling melengkapi dan sama bernilainya selama masyarakat yang menentukan pilihan. Intinya: masyarakat didorong untuk mengenali lebih banyak pilihan, melakukan dialog dengan berbagai sumber pengetahuan, agar bisa melakukan analisa dan menentukan pilihan secara tepat.
Prinsip triangulasi. Belajar bukanlah hanya pertukaran informasi, pengalaman, dan ilmu
pengetahuan, melainkan juga upaya untuk mendorong terbangunnya ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Tujuannya adalah untuk melawan hegemoni ilmu pengetahuan ’luar’ yang dalam jangka panjang bisa membunuh inovasi dan kearifan lokal, tetapi menuduh masyarakat sebagai statis, kehilangan inovasi, dan anti perubahan. Untuk membangun ilmu pengetahuan yang tepat guna kita bisa menggunakan triangulasi yang merupakan bentuk ”pemerikasaan dan pemerikasaan ulang” ( ”check and re-check). Triangulasi dilakukan antara lain melalui penganekaragaman perspektif orang luar (keragaman disiplin ilmu atau pengalaman), penganekaragaman perspektif orang dalam (keragaman latar belakang, golongan masyarakat, keragaman tempat, jenis kelamin), dan variasi metode/teknik pembelajaran yang digunakan.
Prinsip mengoptimalkan hasil. Belajar bersama masyarakat, bukanlah untuk belajar itu sendiri, melainkan untuk memperbaiki kehidupannya yang baik bagi kepentingan generasi sekarang maupun generasi selanjutnya. Penyusunan ilmu pengetahuan dan kearifan lokal bukanlah didasarkan pada obyektivitas ilmiah, karena tidak dimaksudkan untuk menyusun ilmu demi ilmu belaka. Berikut ini adalah prinsip-prinsip dalam penyusunan ilmu pengetahuan lokal:
75
9
Lebih baik kita tidak tahu tentang apa yang tidak perlu kita ketahui; ketahui secukupnya saja (optimal ignorance). Artinya: ilmu pengetahuan disusun untuk kebutuhan dan kelangsungan hidup komunitas yang bersangkutan.
9
Lebih baik kita tidak tahu apakah informasi itu bisa disebutkan benar seratus persen, tetapi diperkirakan bahwa informasi itu cenderung mendekati kebenaran (appropriate imprecision). Artinya: ilmu pengetahuan disusun secara subyektif berdasarkan atas kesepakatan masayrakat yang berkepentingan.
Prinsip orientasi praktis. PRA seringkali diartikan hanya sekedar kumpulan metode dan teknik untuk pengkajian (appraisal) atau penggalian informasi. Kata partisipasi dalam PRA kemudian menjadi sempit ( abuse) menjadi ’penggalian informasi dengan cara-cara partisipatif’. Prinsip
‘orientasi praktis’ adalah mengingatkan kembali bahwa PRA, bukan hanya metode dan teknik pengumpulan informasi, melainkan terintegrasi pada pengembangan kegiatan (aksi). Terdapat tiga (3) agenda utama dalam PRA: pengkajian (yang tidak bersifat ekstraktif atau penggalian data)pembelajaran (yang menitikberatkan pada penyadaran kritis)-dan pengembangan program aksi.
Prinsip keberlanjutan dan selang waktu. Kepentingan-kepentingan dan masalah-masalah masyarakat tidaklah tetap, tetapi berubah dan bergeser menurut waktu sesuai dengan perkembangan baru dalam masyarakat itu sendiri. Belajar adalah proses yang berlanjut seumur hidup, dari generasi ke generasi, dari jaman ke jaman. PRA bukanlah sebuah ‘paket kegiatan PRA’ yang selesai setelah kegiatan penggalian informasi dianggap cukup, dan orang luar yang memfasilitasi kegiatan pergi dari wilayah sasaran. Agen pembangunan mengembangkan proses pembelajaran agar masyarakat mampu bersikap adaptif dan inovatif terhadap perubahan yang terjadi terus menerus. Prinsip belajar dari kesalahan. Melakukan kesalahan adalah sesuatu yang wajar. Yang penting
bukanlah kesempurnaan dalam penerapan, yang tentu sukar dicapai, tetapi penerapan sebaikbaiknya sesuai dengan kemampuan yang ada dan kemudian belajar dari kekurangankekurangan/kesalahan yang terjadi , agar pada kegiatan berikutnya menjadi lebih baik. Satu hal yang paling penting diperhatikan adalah bahwa belajar dari kesalahan bukanlah berarti “cobacoba”, melainkan suatu proses pembelajaran bertahap.
Prinsip terbuka. Ilmu pengetahuan, teori, paradigma dan ideologi, teknologi, metode dan teknik,
bukanlah sesuatu yang status tetapi terus berkembang. PRA juga bukan sebuah metodologi pendekatan yang telah selesai , sempurna dan pasti benar. Pengayaan metode/teknik-tekniknya, senantiasa bisa dikembangkan oleh para praktisinya, artinya PRA terbuka terhadap adaptasi dan innováis baru sesuai dengan nilai-nilai yang menjadi muatannya.
76
Pokok Pokok Pikiran Robert Chambers
Kritik Chambers Terhadap Orang Luar yang Bekerja di Masyarakat Dalam dua buku utama yang ditulisnya ( Putting The Last First, 1983 dan Whose Voice Counts, 1997), Robert Chambers mengkritik ‘orang luar’ yang bekerja di masyarakat, tetapi berperilaku tidak ‘sensitif’ terhadap keadaan dan persoalan masyarakat (terutama yang paling miskin). Orang luar yang dimaksud oleh Chambers adalah peneliti, staf pemerintah, staf LSM, staf Lembaga pelatihan, dan sebagainya, yang bekerja dengan masyarakat. Menurut Chambers, orang paling miskin dan marginal adalah kelompok masyarakat yang paling ’tidak kelihatan’ (unseen) oleh orang luar yang bekerja di masyarakat. Hal ini terjadi karena orang-orang luar adalah orang-orang yang memiliki banyak ”bias” dalam memahami masyarakat, akibat latar belakang budayanya sendiri. Orang luar mempunyai cara pandang dan persepsi tertentu terhadap masyarakat, serta mempunyai kepentingan dan hanya mau memberikan sedikit waktu untuk berada di tengah masyarakat. Karena membatasi diri dengan cara pandangnya sendiri, orang luar seringkali gagal mengetahui tentang masyarakat yang paling marjinal. Celakanya, orang luar tidak tahu apa yang tidak diketahuinya.
Sejumlah bias orang luar yang menyebabkan terjadinya untuk memahami kemiskinan dan orang miskin, yaitu:
hambatan
mereka
Bias musim, kajian dilakukan hanya pada musim tertentu, misal kemarau-kering, pasca panen, musim hujan yang akan mempengaruhi banyak pada hasil kajian. Bias tempat/lokasi, kajian dilakukan hanya di lokasi-lokasi yang mudah dijangkau. Bias tokoh, kajian dilakukan hanya dengan tokoh masyarakat Bias gender, kajian dilakukan hanya dengan kelompok tertentu (misal: kelompok laki – laki saja atau kelompok perempuan saja) Bias program, menggunakan program untuk ’pamer’ kesuksesan Bias kesopanan, kecenderungan untuk menyembunyikan hal buruk dan basa-basi Bias profesi, kecenderngan untuk memahami masyarakat dari aspek yang diminatinya saja (parsial) Seluruh orang luar dikategorikan menjadi 2 oleh Chambers, yaitu: kalangan atau ilmuwan yang dikatakannya negatif, dan kalangan praktisi pembangunan yang dikatakannya positif. Kelompok pertama sibuk dengan pertanyaan mengenai apa dan mengapa keterbelakangan dan kemiskinan. Sedangkan kelompok kedua sibuk melakukan berbagai hal untuk membantu mengatasi keterbelakangan dan kemiskinan. Kedua kelompok ini hampir jarang bertemu karena masingmasing mengembangkan budaya, norma, bahasa, pengalaman dan komunitasnya sendiri. Menurut Chambers kelompok praktis yang bersikap positif - optimis dan percaya bahwa ada cara untuk memperbaiki kemiskinan secara berlebihan-sama berbahayanya dengan kelompok pertama yang selalu negatif (pesimis). Kedua kelompok ini biasanya bertemu dalam kegiatan perencanaan program yang membutuhkan kegiatan pengkajian untuk memperoleh informasi sebagai dasar perencanaan. Pengkajian ini biasanya menggunakan metode survai untuk mengumpulkan informasi yang dianggap bisa mewakili suatu polulasi tertentu yang disebut masyarakat miskin. Inilah yang oleh Chambers
77
disebut sebagai ’penyakit’ atau sesatnya pemahaman terhadap kemiskinan dan orang miskin karena ’orang luar’ menyusun pemahaman itu dari data-data statistik berdasarkan prasangka-prasangka sendiri. Pertanyaannya adalah: sebenarnya siapa yang memiliki ilmu pengetahuan tentang kemiskinan atau ketidakberdayaannya, selain orang-orang miskin itu sendiri?. Kalau begitu, mengapa tidak mencoba memahami ilmu pengetahuan orang miskin itu agar kita bisa mengetahui bagaimana ’jebakan kemiskinan’ telah membuat mereka kehilangan daya hidupnya? .
Tantangan Chambers Untuk Perubahan Sikap-Perilaku Orang Luar Menurut Chambers, penelitian sosial dengan metode survai, bersifat ekstraktif, mahal, lama dan hanya merupakan proses pengumpulan data yang kemudian dianalisa oleh orang luar tanpa keterlibatan pendapat masyarakat. seharusnya, dikembangkan suatu kegiatan ’penelitian’ yang bisa mengangkat prioritas dan dan strategi orang miskin itu. Apapun kegiatan orang luar, penelitian maupun program,seharusnya dilakukan dengan cara yang menguntungkan dan bukan sebaliknya merugikan orang miskin. Untuk itu dibutuhkan pembalikan (reversal) yang ditujukan kepada para orang luar tadi, antara lain meliputi: pembalikan sudut pandang yaitu dari ethic ke emik, pembalikan cara berpikir yaitu dari mengutamakan pengetahuan dan nilai orang luar ke pengetahuan dan nilai masyarakat, pembailkan perlakuan yaitu dari menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian menjadi fasilitator proses pembelajaran, pembalikan cara kerja orang luar yaitu dari tergesa-gesa, berjarak, dan ’sok tahu’, menjadi melebur, duduk bersama, mendengarkan, dan belajar dari masyarakat. Pembalikan inilah yang menjadi tema utama pemikiran Chambers yang diaplikasikan dalam PRA. PRA adalah aplikasi pemikiran Chambers berupa proses
pembelajaran masyarakat yang diharapkan mendorong masyarakat itu mengembangkan rencana tindakan.
Menurut Chambers, siapa sebenarnya yang seharusnya bertindak dalam mengatasi kemiskinan?. Masyarakat itu sendiri tentu saja. Tetapi untuk memungkinkan masyarakat paling miskin bertindak, perlu ada Fasilitator (yaitu para agen pembangunan) yang memiliki sumberdaya, kekuasaan, dan kemampuan untuk bertindak. Sementara masyarakat yang paling miskin terjebak dalam situasi ketidakberdayaan yang terjadi karena kemiskinan yang ekstrim, sehingga seringkali menyempitkan bahkan membunuh kesadaran, melemahkan, mengisolir, dan merapuhkan mereka. Karena itu, orang luar harus mengutamakan perhatiannya pada masyarakat yang paling miskin, paling tak berdaya dan marjinal. (miskin, lemah) untuk mengembangkan proses pembelajarannya dan mendorong daya bertindak masyarakat. PRA menekankan pada sikap dan perilaku ’kita’ (orang luar) yang bekerja untuk menolong masyarakat dari ketidakberdayaan akibat jebakan kemiskinan. Jadi PRA bukanlah PRA tanpa adanya pembalikan (reversal) sudut pandang, cara berpikir, serta sikap dan perilaku dari para agen pembangunan yang seharusnya mendorong berkembangnya proses pembelajaran masyarakat. Metode PRA mensyaratkan adanya fasilitator yang baik, terjadinya proses saling belajar antara berbagai pihak (masyarakat, LSM, lembaga pemerintah), dan tumbuhnya sikap perilaku yang mengkondisikan proses tersebut (saling mendengarkan, saling belajar, saling menghargai, serta adanya motivasi yang kuat bahwa setiap orang bisa belajar dan berbuat). Ini berarti berupa proses pengembangan partisipasi secara bertahap, demokratisasi dan pengelolaan konflik (Chambers, 1995). Dalam hal ini metode PRA selalu menekankan pada usaha-usaha pihak luar untuk mendorong masyarakat yang paling marjinal (miskin, lemah) untuk mengembangkan proses pembelajarannya dan mendorong daya bertindak masyarakat. Robert Chambers mengatakan, bahwa sebenarnya PRA mengangkat pertanyaan tentang ’manusia jenis apakah kita ini’. Penekanan Chambers mengenai perubahan sikap- perilaku individu (terutama orang luar) seringkali diperdebatkan atau menjadi bahan kritik: seolah –olah dengan PRA diharapkan terjadi ’pertobatan’ di kalangan yang berkecimpung dalam pengembangan masyarakat dan bekerja untuk isu kemiskinan. Selain itu, Chambers dianggap sebagai penganut aliran cinta kasih yang naif dan tidak mengindahkan kenyataan bahwa kemiskinan merupakan persoalan
78
ketimpangan struktural dan mempertahankan status quo.
kelompok-kelompok
yang
kuat
(powerfull)
akan
berusaha
Pandangan Chambers Tentang Kekuasaan (Power) Di dalam buku keduanya, Chambers mengatakan bahwa tantangan untuk berubah juga terjadi dalam level global, yaitu untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik. Banyak orang beranggapan bahwa kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah terjadinya kesenjangan antara si kaya dan si miskin, si kuat dan si lemah. Menurut Chambers, kalangan yang beranggapan bahwa keserakahan dan sifat mementingkan diri sendiri sebagai watak alamiah untuk bersikap dermawan dan memedulikan orang lain tanpa pamrih (altruistik). Karena itu tantangan untuk berubah dan membentuk konsensus dalam tatanan hidup yang lebih baik, bukanlah sebuah cerita ‘Cinderella’ pembangunan. Pertanyaannya adalah, daya (power) apa yang bisa mendorong orang-orang (terutama si kuat) untuk mengutamakan si lemah dan si miskin?. Chambers mengatakan bahwa untuk melakukan perubahan, orang luar sebaiknya jangan hanya bekerja dengan orang-orang yang paling miskin atau marjinal, tetapi juga dengan orang-orang yang paling berkuasa untuk mendorong terjadinya interaksi, hubungan dan pembelajaran dengan pihak lain. Robert Chambers sendiri mengatakan bahwa orang/kelompok yang punya power memiliki ketidakmampuan untuk belajar karena mereka sulit untuk berbeda pendapat dan dikoreksi. Orang-orang yang punya power ini, paling siap untuk mengambangkan aksi, dan cenderung untuk menyalahkan kelompok lainnya sebagai kelompok yang tidak mampu berpandangan jauh. Orang luar harus berupaya untuk mendorong kelompok yang lebih kuat untuk melakukan disempower dirinya. Di dalam proses ini, kelompok dominan, kuat dan berkuasa, merasakan dan melihat kepentingannya dalam suatu tatanan masyarakat yang lebih terbuka, maju dan harmonis. Jadi demokratisasi yang merupakan pembagian (sharing) di antara kelompok-kelompok yang berkepentingan, bukan merupakan derma atau belas kasihan pihak kuat kepada pihak yang lemah. Untuk mengembangkan sebuah proses perubahan, maka kelompok yang memiliki power ini perlu didorong untuk mengubah dirinya sendiri. Robert Chambers mengatakan bahwa disempower akan menjadi sebuah penjumlahan yang positif (positive sum) bagi semua pihak, karena:
Efektivitas, Kelompok ‘atas’ bisa melihat bahwa pemberdayaan masyarakat bisa meningkatkan efektivitas pembangunan dan kemajuan termasuk untuk kepentingan dirinya.
Pembebasan pikiran; Kelompok ‘atas’ seringkali merasakan tekanan yang tinggi apabila mereka bersifat sentralistik dan sangat berkuasa karena adanya ketegangan yang tinggi antara kelompok atas dan bawah; Sementara itu, model hubungan yang partisipatif bisa mengembangkan kepercayaan, keterbukaan dan pikiran yang lebih damai.
Penemuan kebutuhan dan kesenangan; Bahwa pada dasarnya memberdayakan pihak lain merupakan suatu kebutuhan dan kesenangan.
79
PRA: Realitas dan Pembalikan Kekuatan dan utilitas PRA dan RRA merupakan fakta empiris; dan oleh karenanya memerlukan penjelasan. Secara singkat terdapat pandangan lain, dimana pengalaman PRA dapat diuji dan dijelaskan. Sejauh ini, sebagian besar mereka yang telah melakukan inovasi dalam pengembangan PRA adalah praktisi. Mereka sangat menaruh perhatian pada apa yang dapat berjalan dan apa yang dapat berjalan dengan lebih baik. Sedangkan kaum cendekiawan akademik menaruh perhatian, mengapa hal ini berjalan. Mereka telah meneliti tidak untuk teori-teori atau prinsip-prinsip baru, tetapi untuk cara baru dan lebih baik untuk belajar dan bekerja. Pertanyaan “Mengapa” diabaikan. Namun, kini sudah terdapat cukup pengalaman untuk dapat memberikan beberapa teori atau penjelasan dari praktik. Penjelasan paling kuat diberikan dengan kata reversal atau kebalikannya. Kata ini digunakan untuk menggambarkan suatu arah, terlepas dari praktik yang wajar dan terhadap yang berlawanan. Reversal ini adalah, dari pengetahuan, kategori dan nilai kita kepada yang mereka miliki. Hal ini akan menjawab pertanyaan “Realita siapa yang diperhitungkan?”, dan kita awali dengan jawaban milik mereka. Kita mulai dengan relaita mereka dan bukan relalita kita. Dalam kerangka reversal ini, tiga kelompok reversal bersifat saling menguatkan: kebalikan model, kebalikan hubungan dan kebalikan tindakan. Semuanya itu tidak ada yang bersifat absolut, tetapi menunjukkan suatu pergantian dari arah normal ke arah kebalikannya.
Pembalikan Model a. Dari Tertutup ke Terbuka Hampir semua survei kuesioner oleh orang luar dengan kategori dan perhatian mereka. Mereka berusaha untuk mendatangkan tanggapan. Sebenarnya tujuannya peneliti harus menggali kategori “lain” yang berada pada akhir catatan tentang tanggapan yang diberi kode sebelumnya pada kertas kerja, namun ternyata mereka jarang sekali melakukan, dan bilamana mereka melakukan, malahan akan menimbulkan masalah dalam pemberian kode dan analisis.
Reversal di sini adalah dari tertutup ke terbuka. Bilamana dibandingkan dengan wawancara kuosioner, wawancara semi terstruktur lebih terbuka, dan percakapan akan lebih banyak, juga diperoleh cheklist sebagai acuan. Metode lain yang lebih umum dalam PRA seperti pemetaan dan pembuata model secara partisipatif, matriks rangking dan skoring, pembuata diagram venn atau chapati serta tingkat kesejahteraan, membuat orang dalam tidak hanya bebas untuk mengungkapkan pengetahuan serta nilai-nilainya, tetapi juga mereka didorong dan dimungkinkan untuk melakukannya. b. Dari Individu ke Kelompok Survei kuosioner mensyaratkan bahwa wawancara harus dengan individu atau rumah tangga sehingga data dapat dianalisis. Di dalam RRA, wawancara semi terstruktur dapat dengan individu atau kelompok, namun diikuti dengan penekanan pada individu yang diwawancarai. Di dalam PRA diskusi dengan individu dapat saja berlangsung, tetapi relatif ada suatu aktivitas kelompok. Dapat diharapkan munculnya perbedaan sosial, kultur dan yang lainnya. Dalam kelompok ini telah dikenal sekurang-kurangnya seperti dominasi oleh satu atau beberapa individu. Namun dilihat segi positifnya, khususnya dalam suatu mode PRA bila hubungannya baik, mereka akan memiliki kekuatan. Berbeda dan bertentangan dengan keyakinan umum, masalah-masalah sensitif kadang80
kadang terasa lebih bebas dibicarakan dalam kelompok-kelompok, ketika individu tidak menginginkan mendiskusikannya dengan orang yang masih asing dengan mereka. Secara lebih umum, kelompok-kelompok dapat membentuk antusiasme kolektif dan kreatif, khususnya dengan dengan pemetaan dan pembuatan model, sehingga tanpa sadar akan menggiring pada pengecekan dan saling berbagi. Partisipan mengisi dan mengoreksi detail. Kelompok-kelompok itu akan saling membantu, berbagi pengalaman yang mencakup bidang yang lebih luas dan pengecekan silang.
c. Dari verbal ke visual Adanya interaksi orang luar-orang dalam, terdapat suatu skala formalitas-informalitas, dari wawancara terstruktur denngan kuosioner, melalui wawancara semi terstruktur dengan cheklist sub topik ke percakapan. Dengan wawancara dan kadang-kadang juga dengan percakapan, orang luar mengajukan pertanyaan dan menggalinya. Kontak mata adalah hal yang umum. Orang luar mempertahankan kontrol dan menentukan agenda serta kategorinya. Pihak yang diwawancara memberikan tanggapan, menyadari bahwa mereka sedang mengadakan interaksi dengan orang yang sedang mencari informasi. Transfer atau pertukaran informasinya bersifat verbal. Dengan metode PRA dalam pembandingannya, banyak sekali medium yang bersifat visual, melalui bentuk-bentuk pembuatan diagram secara partisipatif yang kesemuanya, dengan definisi bersifat visible, dan seringkali terbuka pada suatu kelompok, tidak hanya sekedar untuk individu atau rumah tangga. Melalui pembuatan diagram secara partisipatif terjadi perubahan hubungan. Topik dapat ditentukan, atau paling tidak disarankan oleh orang luar, tetapi perannya bukanlah untuk menggali melalui pertanyaan melainkan untuk memulai suatu proses presentasi dan analisis. Orang luar dapat berfungsi sebagai fasilitator, sedangkan orang dalam berfungsi sebagai aktor atau pelakunya. Orang luar mengalihkan kontrol atau kendali, sedangkan orang dalam menentukan agendanya, kategori serta detailnya. Media serta materinya seringkali berasal dari orang dalam . Kontak mata dan kesadaran orang dalam terhadap orang luar rendah. Informasi dibangun secara komulatif, sedangkan pengecekan silangnya secara otomatis.seringkali dilibatkan beberapa atau bahkan banyak orang. Pengetahuan saling mendukung. Jika separuh dari selusin perempuan membuat diagram suatu peta sensus desa mereka, yang menunjukkan wanita, pria, anak-anak, kendala-kendala yang dihadapi, dan sebagainya, tidak setiap hal diketahui oleh masing-masing; tetapi 2 orang atau lebih dapat mengetahui 2 item . Diskusi dapat menjadi hidup karena setiap orang dapat mengetahui apa yang sedang dikataka. Pergeseran dari verbal ke visual merupakan salah satu penekanan dalam PRA. Diagram-diagram merupakan bagian dari repertoar dan dapat dibuat dengan mudah pada awal interaksi mereka sendiri. Diagram dapat merupakan bagian dari wawancara atau percakapan semi terstruktur , yang diperkenalkan sebagai suatu alat bagi masyarakat setempat untuk mengungkapkan , saling berbagi dan menganalisis pengetahuan mereka. Kemudian diagram merupakan suatu agenda untuk didiskusikan. Memahami peta, matirks dan diagram merupakan tahapan-tahapan suatu proses diskusi dan pembuatan diagram yang paling bermanfaat, namun justru yang paling sering diabaikan. Pada mode visual, suatu rangkaian pertanyaan dan diskusi yang baru akan muncul, tetapi hal itu tidak akan muncul dalam verbal. Kombinasi antarra verbal dan visual, yang pada mulanya mengutamakan visual, dapat kuat, dan bahkan akan lebih kuat.
81
Beberapa perbandingan antara cara-cara verbal dan visual Verbal (wawancara, percakapan)
Visual (diagram)
Peran orang luar
Investigator
Inisiator dan katalis
Mode orang luar
Menggali
Memudahkan
Terus menerus dan mempertahankan
Memulai dan kemudian mengurnaginya
Responden
Penyaji dan analisis
Mode orang-orang dalam
Reaktif
Kreatif
Kesadaran orang dalam terhadap orang luar
Tinggi
Rendah
Kontak mata
Tinggi
Rendah
Orang luar
Orang dalam
Dapat dimarginalkan
Dapat dikuatkan
Kategori etik
Persepsi emik
Berurutan
Komulatif
Rendah dan sementara
Tinggi dan semi permanen
Orang luar
Orang dalam
Rendah
Tinggi
Disesuaikan oleh orang luar
Dimiliki dan dibagi oleh orang dalam
Intervensi orang luar Peran orang dalam
Medium dan materi Wanita miskin dan lemah Detail dipengaruhi oleh Arus informasi Aksesibilitas informasi kepada orang lain Inisiatif untuk chekinglist dengan Utilitas spasial, informasi temporal dan kausal, ralsi, analisis, perencanaan dan monitoring Kepemilikan informasi
d. Dari Menghitung ke Membandingkan Suatu pelatihan profesional biasa dimaksudkan untuk membuat pengukuran atau penilaian absolut. Jika kecenderungan perubahan harus diidentifikasi, atau perbandingan kondisi antar rumah tangga atau antar tempat, maka dapat dilakukan melalui pengukuran atau penilaian pada saat yang berbeda, atau dari hal-hal yang berbeda atau dari tempat yang berbeda. Keasyikan kita dengan angka akan membawa kita pada pertanyaan “seberapa banyak?”. Untuk hal-hal yang sensitif seperti pendapatan, pertanyaan semacam itu akan menimbulkan kecurigaan, merenggangkan hubungan dan menghasilkan data yang menyesatkan. 82
Namun, untuk tujuan-tujuan praktis seringkali yang dibutuhkan adalah nilai-nilai relatif. Perbandingannya dapat lebih cepat. Perbandingan tapa pengukuran atu penilaian memiliki manfaat. Dengan menyertakan refleksi dan penilaian, mereka lebih mudah mengekspresikan . mereka dapat diperkenalkan dengan kecenderungan atau perubahan tanpa data dasar. Mereka jadi kurang sensitif, seperti ditunjukkan oleh rangking kesehatan dan kesejahteraan, dan dengan analisis musim: menanyakan perbandingan pendapatan setiap bulannya adalah lebih mudah dibandingkan dengan memberkan nilai-nilai absolut.
Pembalikan Dominasi: dari Menyarikan ke Pemberdayaan Baik survei kuesioner tradisional maupun penelitian antropologi sosial klasik kedua duanya bersifat ekstraktif meskipun alat-alat ekstrasinya berbeda. Dalam wawancara kuesioner, kekuatan serta inisiatfnya teletak pada pewawancara. Orang yang diwawancarai merupakan ‘responden’, yakni orang yang memberikan jawaban atau yang memberi reaksi. Tujuan utama antropologi kalsik adalah mendapatkan data, kemudian dianalisis dan dituangkan dalam bentuk tulisan. Para antropolog pembangunan ini menginginkan karyanya secara langsung lebih bermanfaat dan banyak sekali para antropolog ikut campur tangan di lapangan karena alasan-alasan etika. Tetapi motivasi mereka biasanya, selalu sama dengn peneliti, yakni hanya dijadikan data-data ekstrasi yang akan dipakai untuk penyusunan disertasi doktoral, artikel dan buku-buku. Sebaliknya, dalam PRA terjadi pembalikan siapa yang dominan. Tujuannya adalah mengurangi pengumpulan data dan lebih banyak pada usaha untuk memulai proses. Inisiatif diberikan pada mereka. Aktor utamanya adalah masyarakat. Orang luar berfungsi sebagai katalis dan pemrakarsa pertemuan. Suatu proses PRA, memungkinkan orang luar belajar, melalui sharing informasi untuk meningkatkan analisis dan pengetahuan masyarakat dan berusaha menjauhkan dari sikap memilki untuk dirinya sendiri. Dalam prosesnya masyarakat dimungkinkan untuk menyatukan, mempresentasikan dan menganalisis informasi, membuatnya menjadi eksplisit dan menambahi pada apa yang telah mereka ketahui. Dalam hal ini PRA berupaya untuk meningkatkan kemampuan.
Dari Sikap Diam ke Hubungan Baik, dari Membosankan ke Menyenangkan Pada umumnya masyarakat, awalnya bersikap pendiam terhadap orang luar, dan memberikan respon hati-hati dengan harapan memperoleh manfaat atau menghindari kerugian atau kehilangan. Dalam PRA menekankan proses untuk membentuk hubungan yang baik. Pengaaman dalam PRA, bahwa ketika sikap dan tingkah laku orang luar itu benar, dan metode partisipatoris digunakan, maka hubungan yang baik biasanya akan cepat terbentuk. Hal ini dapat dilakukan dengan menunjukkan sikap hormat, dengan mejelaskan siapa anda, dengan menjawab pertanyaan, dengan bersikap jujur, menunjukkan sikap tertarik, dan meminta untuk diajari.
83
84
Perkotaan
DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM Direktorat Jenderal Cipta Karya