PENGARUH REALISASI BELANJA DAERAH DAN ANGKATAN KERJA TERHADAP OUTPUT DAN PENDAPATAN PER KAPITA (Studi Kasus Provinsi Jawa Tengah)
Nisa Maharani S. Dr. Hadi Sasana SE, M.Si
ABSTRACT Income per capita is often used to measure the economic prosperity in a region, how many goods and services available to the average population for consumption and investment activities. Factors affecting the income per capita is the output and population and the factors that affect the output of local spending and the labor force. This study aims to analyze the effect of regional expenditure and labor on output and income per capita. The research was conducted in Central Java Province during the period 2005-2009. In this study used path analysis. The results showed that there are a direct positive relationship between the variable realization of indirect spending, direct spending, and labor on output. So is the relationship of output to income per capita. But there is a negative direct influence between variable labors to income per capita. Key words: regional expenditure, labor, income per capita, output, path analysis
PENDAHULUAN
Otonomi daerah diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 2001. Pemberlakuan otonomi daerah ini merubah pola pemerintahan dari era sentralistik menjadi desentralisasi. Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Kedua undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan pemberian kewenangan otonomi dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah, pemerintah daerah diberi wewenang untuk menggali potensi daerahnya dan menetapkan prioritas pembangunan. Ahmad Yani (2009) menjelaskan bahwa pembentukan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menyebutkan sumber penerimaan yang
digunakan
untuk
pendanaan
pemerintah
daerah
dalam
pelaksanaan
desentralisasi fiskal adalah : Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pinjaman daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Pemberian dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi adanya disparitas fiskal vertikal (antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah) dan horizontal (antar pemerintah daerah), sekaligus membantu daerah dalam membiayai pengeluaran pembangunannya. Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi dan desentralisasi, yaitu:
1. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya. Artinya daerah harus mampu mengelola keuangan daerahnya baik penerimaan maupun pengeluarannya, dimana penerimaan yang diperoleh daerah kemudian dialokasikan sebagai pembiayaan belanja daerahnya. 2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus siminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar (Dwirandra, 2006). Jadi, PAD harus lebih tinggi dibandingkan Dana Perimbangan yang menandakan daerah tersebut sudah mandiri dan tujuan dari otonomi daerah dan desentralisasi tercapai. Indikator pendapatan per kapita merupakan indikator yang sering digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu daerah. Dari Tabel 1 dapat dilihat pendapatan per kapita di Provinsi Jawa Tengah sebagai berikut. Tabel 1 Pendapatan Per Kapita Tanpa Migas Atas Dasar Harga Berlaku di Pulau Jawa Tahun 2005-2009 (Ribu Rupiah) Provinsi
Tahun
2005 2006 2007 DKI Jakarta 48.570 55.610 62.199 Jawa Barat 9.468 11.280 12.434 Jawa Tengah 6.372 7.565 8.419 DI Yogyakarta 7.529 8.652 9.584 Jawa Timur 11.033 12.796 14.456 Banten 9.329 10.585 11.408 Sumber: PDRB Provinsi di Indonesia Menurut lapangan Usaha 2005-2009
2008 73.713 13.987 9.543 10.985 16.635 12.756
2009 81.746 15.121 10.416 11.830 18.285 13.598
Dari Tabel 1 diketahui bahwa dari enam provinsi di Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah memiliki pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan provinsi di Pulau Jawa lainnya walaupun setiap tahun mengalami kenaikan tetapi nilai absolut masih lebih rendah dibandingkan provinsi lain.
Dari fenomena tersebut jelaslah bahwa sumber daya yang dimiliki suatu daerah sangat mempengaruhi pendapatan hingga pendapatan per kapita dari suatu daerah. Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi suatu wilayah atau provinsi dalam periode tertentu ditunjukkan oleh data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau output, baik atas dasar harga konstan maupun atas dasar harga berlaku. PDRB didefinisikan sebagai jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam dalam suatu wilayah, atau jumlah seluruh unit barang dan jasa yag dihasilkan di suatu daerah. Output (PDRB) di Provinsi Jawa Tengah dapat dilihat pada Gambar 1 yang mengalami peningkatan disetiap tahunnya sebagai berikut. Gambar 1 Pendapatan Domestik Regional Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku di Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (juta rupiah) 140000000
Pertanian
120000000 Pertambangan dan Galian, Listrik, Gas, dan Air Bersih Industri
100000000 80000000 60000000
Konstruksi
40000000 Perdagangan
20000000 0
Komunikasi 2005
Sumber: BPS, diolah
2006
2007
2008
2009 Keuangan
Gambar 1 menggambarkan bahwa dari tahun 2005-2009 sektor industri Jasa pengolahan memberikan sumbangan tertinggi terhadap ekonomi Jawa Tengah. Kondisi dan potensi yang berbeda-beda dari masing-masing daerah, menyebabkan perbedaan kemampuan daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut.
Kebijakan pengeluaran pemerintah yang secara langsung dapat mendorong pertumbuhan ekonomi adalah belanja karena variabel ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan prasarana ekonomi dan sosial. Perkembangan pengeluaran pemerintah yang diukur dari besarnya belanja langsung dan belanja tidak langsung. Pengklasifikasin belanja langsung dan tidak langsung ini digunakan dalam sistem penganggaran pemerintah baik pusat maupun daerah, yaitu sejak penerapan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi PP No. 58 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 59 Tahun 2007 sebagai revisi Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Gambar 2 Realisasi Belanja Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (ribu rupiah) 20000000000 18000000000 16000000000 14000000000 12000000000 Belanja Tidak Langsung
10000000000
Belanja Langsung
8000000000 6000000000 4000000000 2000000000 0 2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: BPS, diolah
Klasifikasi belanja dalam sistem anggaran diperbaiki menjadi Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung. Realisasi Belanja Tidak langsung dan Belanja Langsung dapat dilihat pada Gambat 2. Realisasi belanja tidak langsung dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan, namun dari sisi belanja langsung terjadi
fluktuasi, dari tahun 2005 ke tahun 2006 mengalami penurunan sebesar 21 persen, namun dari tahun 2006 sampai tahun 2008 mengalami kenaikan lagi disetiap tahunnya, tetapi dari tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami penurunan lagi sebesar 12 persen. Faktor lain yang dapat mempengaruhi output adalah sumber daya manusia, yang terefleksikan dengan penduduk yang bekerja. Jumlah penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu dapat menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi bila tidak diimbangi dengan peningkatan produksi, namun disisi lain, penduduk yang bertambah akan menambah jumlah tenaga kerja, dan penambahan tersebut memungkinkan suatu daerah untuk menambah produksi. Jika pertambahan jumlah penduduk tidak seimbang dengan faktor produksi lain yang juga terjadi penambahan tenaga kerja maka tidak akan menimbulkan penambahan dalam tingkat produksi (Amin Pujiati). Berdasarkan Gambar 3 jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha paling besar yaitu disektor pertanian, disetiap tahunnya sektor pertanian selalu menduduki peringkat pertama dalam penyerapan tenaga kerja. Gambar 3 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama di Jawa Tengah Tahun 2005-2009 (orang) 7000000
Pertanian
6000000 5000000
Pertambangan dan Galian, Listrik, Gas, dan Air Bersih Industri
4000000
Konstruksi
3000000
Perdagangan
2000000
Komunikasi
1000000
Keuangan Jasa
0 2005
2006
2007
2008
2009
Sumber: BPS, diolah
Tetapi tidak semua daerah yang dengan karakteristik tenaga kerja terserap yang cukup tinggi memiliki PDRB atau output daerah yang tinggi pula. Di Jawa Tengah, PDRB tertinggi dimiliki sektor industri sedangkan untuk tenaga kerja yang terserap terbanyak adalah sektor pertanian.
Provinsi Jawa Tengah memiliki nilai pendapatan per kapita terendah dibandingkan provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan output Provinsi Jawa Tengah pun selalu meningkat dan sektor industri pengolahan memberikan sumbangan tertinggi terhadap ekonomi Jawa Tengah. Belanja daerah sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi output diklasifikasin menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja tidak langsung selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sedangkan belanja langsung mengalami fluktuasi. Faktor lain yang mempengaruhi output suatu daerah adalah tenaga kerja, dalam penelitian ini menggunakan angkatan kerja yang bekerja karena secara langsung berpengaruh pada jumlah produksi yang dihasilkan. Angkatan kerja yang bekerja di Jawa Tengah paling besar terserap di sektor pertanian. Dari latar belakang yang diuraikan di atas, didapat beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh belanja tidak langsung terhadap output (PDRB)? 2. Bagaimana pengaruh belanja langsung terhadap output (PDRB)? 3. Bagaimana pengaruh tenaga kerja terhadap output (PDRB)? 4. Bagaimana pengaruh output terhadap pendapatan per kapita? Berdasarkan latar belakang dan permasalah yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis pengaruh belanja tidak langsung terhadap output. 2. Menganalisis pengaruh belanja langsung terhadap output. 3. Menganalisis pengaruh tenaga kerja terhadap output. 4. Menganalisis pengaruh output terhadap pendapatan per kapita. TELAAH TEORI Hubungan Output dengan Pendapatan per Kapita Todaro (2003 : 18) menyebutkan bahwa pendapatan per kapita pada dasarnya mengukur kemampuan dari suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju
pertumbuhan pendapatan per kapita riil sering digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu negara. Pendapatan per kapita dihitung dengan perbandingan PDRB dengan jumlah penduduk. PDRB merupakan output di suatu daerah. PDRB sering digunakan sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. PDRB dan pendapatan per kapita memiliki hubungan yang positif, sehingga jika PDRB mengalami kenaikan maka pendapatan per kapita pun akan semakin besar. Hubungan Angkatan Kerja dengan Output Tenaga kerja mencakup penduduk yang sudah atau sedang mencari pekerjaan, dan yang melakukan kegiatan lain seperti besekolah dan mengurus rumah tangga. Pencari kerja, bersekolah, dan mengurus rumah tangga walaupun sedang tidak bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu dan sewaktu-waktu dapat ikut bekerja. Pengertian tenaga kerja dan bukan tenaga kerja hanya dibedakan oleh batas umur. Sumber daya atau input dikelompokkan menjadi sumber daya manusia, termasuk tenaga kerja dan kemampuan manajerial, modal (capital), tanah ataupun sumber daya alam. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan manajerial adalah kekmampuan yang dimiliki individu dalam melihat berbagai kemungkinan untuk mengkombinasikan sumber daya untuk menghasilkan output dengan cara yang lebih efisien, baik produk baru maupun produk yang sudah ada. Jumlah angkatan kerja yang bekerja merupakan gambaran kondisi dari lapangan kerja yang tersedia. Semakin bertambah besar lapangan kerja yang tersedia, maka akan menyebabkan semakin meningkatnya total produksi di suatu daerah. (Kuncoro, 2004) Hubungan Pengeluaran Pemerintah dengan Output Belanja pada umumnya hanya digunakan di sektor publik, tidak di sektor bisnis. Belanja di sektor publik terkait dengan penganggaran, yaitu menunjukkan jumlah uang yang telah dikeluarkan selama satu tahun anggaran. Belanja/biaya berdasarkan hubungannya dengan aktivitas di bagi dua, yaitu biay alangsung dan
biaya tidak langsung. Pengklasifikasian tersebut berdasarkan PP No. 15 Tahun 2000 tentang Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Daerah dan Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 59 Tahun 2007 sebagai revisi Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, belanja daerah diklasifikasikan menjadi Belanja Administrasi Umum (BAU), Belanja Operasi dan Pemeliharaan (BOP), belanja Modal, Belanja Tidak tersangka, dan Belanja Bantuan Keuangan. Sedangkan berdasarkan peraturan yang baru yaitu Permendagri No. 59 Tahun 2007 (Revisi atas Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah), klasifikasi belanja diperbaiki dan dikelompokkan menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung. Belanja langsung yaitu belanja yang terkait langsung dengan program dan kegiatan. Suatu kegiatan tidak akan terlaksana tanpa adanya biaya tersebut. Sedangkan belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan. Teori Peacock dan Wiseman menyebutkan bahwa perkembangan ekonomi menyebabkan pemungutan pajak yang semakin meningkat walaupn tarif pajak tidak berubah; dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya GDP menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Maka pengeluaran pemerintah yang diklasifikasikan menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung jika meningkat maka menyebabkan GNP (dalam penelitian ini adalah output) meningkat pula
Penelitian Terdahulu 1. Hadi Sasana melakukan penelitian dengan judul Peran Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah. Variabel endogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja terserap, jumlah penduduk miskin, dan kesejahteraan dan variabel eksogen dalam penelitian ini adalah desentralisasi fiskal. Hasil penelitian ini yaitu desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan dan positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan positif terhadap tenaga kerja terserap, pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan negatih terhadap jumlah penduduk miskin, pertumbuhan
ekonomi
berpengaruh
signifikan
dan
positif
terhadap
kesejahteraan masyarakat, tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesejahteraan masyarakat, jumlah penduduk miskin berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. 2. Adi Raharjo dengan judul Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi, Swasta, dan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi dengan variabel endogen pertumbuhan ekonomi dan variabel eksogen belanja rutin, belanja pembangunan pemerintah, investasi, dan angkatan kerja. Hasil dari penelitian ini adalah pengaruh belanja rutin pemerintah memiliki hubungan yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja pembangunan memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, investasi swasta memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, angkatan kerja memiliki pengaruh yang positif namun tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. 3. Suwandi dengan judul Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Ketenagakerjaan, dan Kemiskinan di Provinsi Papua. Variabel endogen dalam penelitian ini adalah belanja langsung, belanja tidak langsung, pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, penyerapan tenaga kerjaan, dan
kesejahteraan, dan variabel eksogen yaitu desentralisasi fiskal dan otonomi khusus Papua. Hasil penelitian ini yaitu desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap belanja langsung, desentralisasi fiskal tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja langsung, desentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, belanja tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan positif terhadap penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dan positif terhadap jumlah penduduk miskin, pertumbuhan ekonomi
berpengaruh
signifikan
dan positif terhadap
kesejahteraan
masyarakat, tenaga kerja terserap berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesejahteraan masyarakat, jumlah penduduk miskin mempunyai hubungan yang signifikan dan negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Dari data, teori, dan penelitian terdahulu tersebut maka disusunlah kerangka pemikiran sebagai berikut:
Belanja Tidak Langsung (X1) H1
Belanja Langsung (X2)
Output (Y1)
H2 H3
Angkatan kerja yang bekerja (X3)
H4
Pendapatan Per Kapita (Y2)
Berdasarkan teori dan penelitian terdahulu, maka disusun hipotesis dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Diduga belanja tidak langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap output dan pendapatn per kapita di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 2. Diduga belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap output dan pendapatan per kapita di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 3. Diduga angkatan kerja yang bekerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap output dan pendapatan per kapita di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. 4. Diduga output berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan per kapita di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. METODE PENELITIAN Adapun definisi operasional untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut: 1. Output (Y1) Output adalah nilai bersih dari seluruh kegiatan ekonomi di suatu daerah. Data output dalam penelitian ini diproksi dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2005-2009. PDRB yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan PDRB tanpa migas atas dasar harga berlaku digunakan PDRB atas dasar harga berlaku karena variabel eksogen dalam penilitian ini yaitu belanja langsung dan belanja tidak langsung mengikuti nilai mata uang yang berlaku (terkena inflasi). Variabel PDRB ini diukur dalam satuan juta rupiah.
2. Pendapatan per kapita (Y2) Pendapatan per kapita merupakan total pendapatan rata-rata penduduk suatu daerah di kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah. Diperoleh dari pembagian PDRB tanpa migas dengan jumlah penduduk. Data diperoleh dari Jawa Tengah dalam Angka di BPS, dalam satuan rupiah. Pendapatan per kapita diperoleh dari rumus: PDRB tanpa migas atas dasar harga berlaku Jumlah Penduduk 3. Belanja Tidak Langsung (X1) Belanja tidak langsung adalah belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan pemerintah. Yang termasuk kedalam belanja tidak langsung adalah belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan keuangan, belanja banuan sosial, belanja tidak terduga dan ditunjukkan dalam satuan ribu rupiah. 4. Belanja Langsung (X2) Belanja langsung adalah belanja yang terkait langsung dengan program dan kegiatan pemerintah. Belanja langsung meliputi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal dalam satuan ribu rupiah. 5. Angkatan Kerja yang Bekerja (X3) Angkatan Kerja yang bekerja dalam penelitian ini adalah data jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh upah, dimasing-masing kabupaten/kota Provinsi Jawa tengah dalam satuan orang.
Spesifikasi Model Berdasarkan tujuan penelitian yang akan dicapai yaitu untuk mengetahui hubungan langsung dan tidak langsung antar variabel, maka analisis yg digunakan adalah analisis jalur dengan model ekonometrika sebagai berikut: Y1(t) = α1X1(t-1) + α2X2(t-1) + α3X3(t) + μ1 Y2(t) = β1Y1(t) + μ2 Dimana: X1(t-1) adalah belanja tidak langsung pada t-1 X2(t-1) adalah belanja langsung pada t-1 X3(t) adalah angkatan kerja yang bekerja pada tahun t Y1(t) adalah output pada tahun t Y2(t) adalah pendapatan per kapita HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Asumsi Klasik 1. Normalitas Data Normalitas data merupakan salah satu syarat dalam permodelan Analisis Jalur. Pengujian normalitas ini adalah dengan mengamati nilai (P-value) skewness dan kurtosis yang memiliki nilai lebih besar daripada 0.05. Hasil pengujian normalitas data ditampilkan pada Tabel 2 Tabel 2 Uji Normalitas Data Skewness Variable X1 X2 X3 Y1 Y2 Y3
Z-Score 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.001
Kurtosis P-Value
1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 0.999
Skewness and Kurtosis
Z-Score P-Value 0.104 0.104 0.104 0.104 0.104 0.103
Sumber : Data primer yang diolah, 2011
0.917 0.917 0.917 0.917 0.917 0.918
Chi-Square P-Value 0.011 0.011 0.011 0.011 0.011 0.011
0.995 0.995 0.995 0.995 0.995 0.995
Evaluasi normalitas secara univariate menunjukkan P-value untuk skewness dan kurtosis lebih besar daripada 0.05 yang berarti data terdistribusi normal. 2. Multikolinieritas Identifikasi korelasi antar variabel diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya korelasi yang sangat tinggi khususnya antar variabel bebas. Hal ini dikarenakan
adanya korelasi antar variabel bebas yang tinggi akan memberikan
masalah multikolinieritas yang mengganggu hasil penelitian. Batas nilai korelasi adalah 0.9 atau lebih. Hasil perhitungan korelasi antar variabel diperoleh sebagai berikut :
Tabel 3 Correlation Matrix of Y and X
S
Sumber: data primer diolah Hasil pengujian menunjukkan bahwa korelasi antar variabel menunjukkan nilai korelasi yang relatif rendah dimana nilai korelasi yang tertinggi diperoleh antara X3 dan Y1 yaitu sebesar 0,53. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak adanya multikolinieritas antar variabel. 3. Goodness of Fit Model Uji terhadap kelayakan model analisis Jalur ini diuji dengan menggunakan Chi-square, CFI, RMSEA, GFI, dan AGFI berada dalam rentang nilai yang kurang baik, dapat dikatakan model tidak fit, dapat dilihat dalam Tabel 4 berikut
Tabel 4 Hasil Pengujian Kelayakan Model Structural Equation Model (SEM) Goodness of Fit Indeks
Cut-off Value
Chi – Square Probability 0.05 > 0.9 CFI < 0.1 RMSEA > 0.09 GFI > 0.9 AGFI Sumber : Data primer yang diolah
Hasil Analisis
Evaluasi Model
87.71 0.0 0.68 0.00 0.37 0.33
Kurang baik Kurang baik Kurang baik Kurang baik Baik Kurang baik
Dari hasil pengujian model didapat bahwa model belum fit sehingga perlu dilakukan modifikasi model. Arah modifikasi model didapat dari residual yang paling besar. Residuals yang baik yaitu 0 atau mendekati 0. Maka diperoleh hubungan baru antara variabel X3 (angkatan kerja) dan Y2 (pendapatan per kapita), dan didapat hasil pengujian model sebagai berikut: Tabel 5 Hasil Pengujian Kelayakan Model 1 Structural Equation Model (SEM) Goodness of Fit Indeks
Cut-off Value
Hasil Analisis
Evaluasi Model
5.01 Chi – Square Diharapkan kecil Baik 0.085 Probability Baik 0.05 > 0.9 0.99 CFI Baik < 0.1 0.18 RMSEA Baik > 0.09 0.99 GFI Baik >0.9 0.92 AGFI Baik Sumber: Lampiran, diolah Dari hasil pengujian kelayakan model 1 tersebut dikatakan bahwa modifikasi model yang ketiga dapat dikatakan sudah fit atau sudah memenuhi aturan. Dari tiga kali modifikasi model yang didasari atas standardize residual, maka diperolehlah diagram path yang baru seperti pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4 Modifikasi Model 1
Sumber : Data mentah diolah
ANALISIS DAN INTERPRETASI Berdasarkan hasil analisis jalur, maka didapat persamaan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil analisis jalur, didapat pengaruh langsung dan tidak langsung yang ditujukan pada Tabel 6. Tabel 6 Analisis Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Pengaruh Tidak Pengaruh Langsung Langsung Pengaruh Total X1 X2 X3 Y1 X1 X2 X3 Y1 X1 X2 X3 Y1 Y1 0,38 0,57 0,28 0,38 0,57 0,28 Y2 -0,56 0,59 0,22 0,34 0,16 0,22 0,34 0,39 0,59
Berdasarkan hasil dari persamaan struktural tersebut diperoleh hasil pengujian hipotesis dalam penelitian ini yaitu: 1. Pengaruh Belanja Tidak Langsung terhadap Output dan Pendapatan Per Kapita Parameter estimasi untuk pengujian pengaruh belanja tidak langsung (X1) terhadap output (Y1) menunjukkan nilai t sebesar 6,77. Nilai tersebut lebih besar dari t tabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 1,96 atau t hitung (6,77) > t tabel (1,96). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Belanja langsung berpengaruh signifikan positif terhadap Output. Hal ini berarti Hipotesis 1 diterima. Pengaruh positif ini mengandung makna bahwa peningkatan belanja tidak langsung yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Jawa Tengah dapat meningkatkan output pada tahun yang akan datang, demikian pula sebaliknya bahwa daerah kabupaten kota yang memiliki belanja tidak langsung yang lebih rendah cenderung memiliki output yang rendah pula. Hasil ini mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Raharjo (2006) dan Suwandi (2006) yang menyatakan belanja tidak langsung berpengaruh signifikan positif terhadap output. Dengan signifikannya pengaruh belanja tidak langsung terhadap output, memberikan makna bahwa pemerintah kabuaten/kota di Provinsi Jawa Tengah telah melalukan perubahan struktur anggaran berupa belanja tidak langsung ke arah yang lebih memberikan kesempatan kepada pegawai untuk menunjang dan mendorong kinerjanya sehingga dapat mempercepat pembangunan dan output di daerah tersebut. Dari hasil perhitungan diketahui bahwa belanja tidak langsung (X1) mempunyai hubungan yang positif secara langsung sebesar 0,38 terhadap output, selain itu belanja tidak langsung (X1) juga mempunyai hubungan yang positif dan berpengaruh secara tidak langsung sebesar 0,22 terhadap pendapatan per kapita (Y2) melalui output (Y1) Hal ini berarti bahwa peningkatan belanja tidak langsung akan mempengaruhi kenaikan output secara langsung, sedangkan secara tidak langsung akan meningkatan pendapatan per kapita melalui output.
2. Pengaruh Belanja Langsung terhadap Output dan Pendapatan Per Kapita Parameter estimasi untuk pengujian pengaruh Belanja Langsung (X2) terhadap Output (Y1) menunjukkan nilai t sebesar 6,08. Nilai tersebut lebih besar dari t tabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 1,96 atau t hitung (6,08) > t tabel (1,96). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa Belanja langsung berpengaruh signifikan positif terhadap Output. Hal ini berarti Hipotesis 2 diterima. Pengaruh positif ini mengandung makna bahwa peningkatan belanja langsung yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Jawa Tengah dapat meningkatkan output pada wilayah yang bersangkutan. Hasil ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Priyo Hari Adi (2006), Raharjo (2006), dan Suwandi (2010). Belanja langsung (X2) mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara langsung sebesar 0,57 terhadap output. Belanja langsung juga memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap pendapatan per kapita (Y2) sebesar 0,34 melalui output (Y1). Secara konseptual, pengeluaran daerah dalam bentuk belanja langsung dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur atau program-program langsung yang dapat merangsang pada produktivitas yang lebih besar pada pelaku usaha di daerah. Dengan alokasi belanja langsung yang besar maka pembenahan dalam infrastruktur daerah yang baik akan meningkatkan kualitas infrastruktur sehingga secara kualitas dan kuantitasnya akan meningkatkan output daerah.
3. Pengaruh Tenaga Kerja terhadap Output dan Pendapatan Per Kapita Parameter estimasi untuk pengujian pengaruh tenaga kerja (X3) terhadap Output (Y1) menunjukkan nilai t sebesar 3,62. Nilai tersebut lebih besar dari t tabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 1,96 atau t hitung (3,62) > t tabel (1,96). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kerja berpengaruh signifikan positif terhadap Output. Hal ini berarti Hipotesis 3 diterima. Penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya Raharjo (2006) dan Amin Pujiati.
Angkatan kerja yang bekerja (X3) memiliki pengaruh langsung terhadap output (Y1), pendapatan per kapita (Y2). Pengaruh langsung antara angkatan kerja yang bekerja (X3) terhadap output (Y1) memiliki hubungan positif yaitu sebesar 0,28 sehingga jika terjadi kenaikan angkatan kerja yang bekerja maka output pun akan meningkat. Pengaruh langsung antara angkatan kerja yang bekerja (X3) terhadap pendapatan per kapita (Y2) sebesar -0,56 dan memiliki pengaruh tidak langsung sebesar 0,16 terhadap pendapatan per kapita (Y2) melalui output (Y1). Hal ini berarti pertambahan angkatan kerja yang bekerja (X3) secara langsung akan berdampak pada menurunnya pendapatan per kapita, sedangkan secara tidak langsung akan miningkatkan pendapatan per kapita melalui output. Hal ini mengidentifikasikan bahwa kebijakan penyerapan tenaga kerja untuk peningkatan pendapatan per kapita lebih baik melalui output. Penyerapan tenaga kerja yang fluktuatif dan cenderung semakin berkurang pada tahun 2008 yang menurun sebesar 7 persen tetapi output selalu mengalami peningkatan, hal ini tidak sejalan dengan teori faktor produksi. Hal tersebut terjadi karena sektor industri pengolahan yang memiliki kontribusi terbesar pada kegiatan ekonomi, namun tenaga kerja paling banyak terserap pada sektor pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa pada sektor industri tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja karena sudah digantikan oleh teknologi. 4. Pengaruh Output terhadap Pendapatan Per Kapita Parameter estimasi untuk pengujian pengaruh output (Y1) terhadap pendapatan per kapita (Y2) menunjukkan nilai t sebesar 13,02. Nilai tersebut lebih besar dari t tabel dengan taraf signifikansi 5% yaitu 1,96 atau t hitung (13,02 > t tabel (1,96). Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa output berpengaruh signifikan positif terhadap pendapatan per kapita.
Hal ini berarti Hipotesis 4
diterima. Apabila output bertambah maka pendapatan per kapita pun akan naik.
Pengaruh output (Y1) terhadap pendapatan per kapita memiliki pengaruh langsung sebesar 0,59 hal ini menunjukkan bahwa peningkatan output akan meningkatkan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita pada dasarnya mengukur kemampuan dari suatu negara untuk memperbesar outputnya dalam laju yang lebih cepat daripada tingkat pertumbuhan penduduknya. Tingkat dan laju pertumbuhan pendapatan per kapita sering digunakan untuk mengukur kemakmuran suatu negara, yaitu seberapa banyak barang dan jasa yang tersedia bagi rata-rata penduduk untuk melakukan kegiatan konsumsi dan investasi. PENUTUP Simpulan Berdasarkan pembahasan hasil analisis data dalam penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Realisasi belanja tidak langsung berpengaruh secara langsung terhadap output dan berpengaruh secara tidak langsung terhadap pendapatan per kapita melalui output. 2. Realisasi belanja langsung memiliki pengaruh langsung terhadap output dan pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan per kapita melalui output. 3. Tenaga kerja mempunyai pengaruh langsung terhadap output dan pendapatan per kapita, namun pengaruh langsung terhadap pendapatan per kapita memiliki pengaruh yang negatif. 4. Output berpengaruh langsung secara positif terhadap pendapatan per kapita. Keterbatasan 1. Periode dalam penelitian ini yaitu setelah dilakukannya otonomi daerah sehingga tidak dapat melihat perbedaan kebijakan pemerintah sebelum dan sesudah otonomi daerah.
Saran 1. Untuk meningkatkan belanja daerah yang diklasifikasikan menjadi belanja langsung dan belanja tidak langsung pemerintah harus meningkatkan PAD dengan cara mencari potensi yang ada di daerah tersebut. 2. Untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran pemerintah dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian karena sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja, selain itu pemerintah juga diharapkan melakukan revitalisasi pada sektor pertanian supaya tetap berkembang dan tidak dianggap kuno, sehingga para tenaga kerja tertarik untuk bekerja pada sektor pertanian.
REFERENSI Abdul Halim. 2007. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah: Pengelolaan Keuangan Daerah. Edisi Kedua. UPP STIM. YKPN. Yogyakarta Adi Raharjo. 2006. ”Pengaruh Pengeluaran Pemerintah, Investasi Swasta, dan Angkatan Kerja terhadap Pertumbuhan Ekonomi Tahun 1982-2003 (Studi di Kota Semarang.” Thesis Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Semarang Amin Pujiati. n.d ”Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Karesidenan Semarang Era Desentralisasi Fiskal.” Jurnal Ekonomi Pembangunan, hal. 61-70 Bahrul Ulum. 2010. ” Analisis Determinan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah dan Deteksi Ilusi Fiskal (Studi Kasus Provinsi di Indonesia Tahun 2005-2008).” Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Semarang Badan Pusat Statistik (BPS). Jawa Tengah dalam Angka. Berbagai edisi penerbitan. BPS Jawa Tengah _______________________ Indeks Penerbitan. BPS Jawa Tengah
Pembangunan
Manusia.
Berbagai
edisi
_______________________ PDRB Menurut Lapangan Usaha. Berbagai edisi penerbitan. BPS Jawa Tengah _______________________ Statistik Keuangan Kabupaten/Kota. Berbagai edisi penerbitan. BPS Jawa Tengah Boediono. 2008. Ekonomi Makro, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta David Harianto dan Priyo Hari Adi. 2007. ”Hubungan Antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah, dan Pendapatan Per Kapita.” Paper disajikan pada Sinopsium Nasional Akuntansi X. Unhas. Makassar
Ghozali, Imam. 2005. Structural Equation Modeling, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang Hadi Sasana. 2009. “Peran Desentralisasi Fiskal Terhadap Kinerja Ekonomi di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah.” Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 10, No. 1, Juni 2009, hal. 103-124 Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah, Erlangga, Jakarta Mangkoesoebroto, Guritno. 2008. Ekonomi Publik, BPFE-Yogyakarta, Yogyakarta Mangkoesoebroto, Guritno. 1998. Teori Ekonomi Makro, STIE YKPN, Yogyakarta Mankiw. 2006. Makro Ekonomi edisi keenam, Erlangga, Jakarta Mudrajad Kuncoro. 2004. Otonomi & Pembangunan Daerah, Erlangga, Jakarta Mudrajad Kuncoro. 2006. Ekonomika Pembangunan, UPP STIM YKPN, Yogyakarta Norista Gathama Putra. 2011. ”Pengaruh Belanja Modal dan Belanja Operasi terhadap Laju Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Tengah.” Skripsi Tidak Dipublikasikan. Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro. Semarang Priyo Hari Adi. 2006. ”Hubungan antara Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali).” Paper disajikan pada Sinopsium Nasional Akuntansi 9 Padang Rifta Nujafar Wulansari. 2008. ”Pengaruh Pajak Daerah, Belanja Modal, dan Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengangguran (Studi pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara)”. Journal Akuntabilitas, Vol.1, No.2 Juni 2008 Riduwan dan Kuncoro. 2008. Cara Menguunakan dan Memakai Analisis Jalur, Alfabeta, Bandung Simanjuntak, Payman J. 1998. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta
Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan & Pembangunan Daerah, Andi, Yogyakarta Todaro dan Smith. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Erlangga, Jakarta