PENGARUH PERHATIAN ORANG TUA DAN DAN SELF ESTEEM TERHADAP INTENSITAS PERILAKU BULLYING REMAJA Oleh: Amita Diananda, M.Si Abstrak Dalam kehidupan sehari-hari banyak ditemukan tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik, yang sekarang disebut bullying yaitu suatu tindakan atau perilaku pemaksaan dengan cara menyakiti secara fisik maupun non fisik, yang dilakukan seseorang atau kelompok yang kuat kepada seseorang atau kelompok yang lemah atau lebih lemah. Bullying dapat menimbulkan masalah, baik bagi si pelaku maupun bagi korban. Si pelaku dapat dijerat dan dituntut secara hukum berupa tuntutan tindak pidana perbuatan tidak menyenangkan, penghinaan, pelecehan, dan kekerasan fisik berupa pemukulan, pencideraan dan lain sebagainya. Sedangkan masalah bagi si korban adalah adanya ketakukan, depresi, dan trauma, selain kemungkinannya juga rasa sakit secara fisik karena dipukul atau dilukai. Bullying juga terjadi di sekolah. Seringnya terjadi tawuran antar siswa, menjadi indikasi adanya gejala atau upaya-upaya dominasi yang dilakukan oleh suatu kelompok siswa tertentu terhadap kelompok siswa lainnya (peervictimization). Bullying yang dilakukan oleh siswa tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan yang diterapkan oleh orang tua dan sekolah kepada siswa sekalipun banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya bullying tersebut. Perhatian orang tua kepada siswa sangat besar pengaruhnya terhadap self-esteem mereka, yaitu suatu kepribadian yang di dalamnya terdapat kehormatan dan kepercayaan diri yang tinggi. Perhatian ini tidak sematamata hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa yang bersifat material atau fisikal tetapi juga kebutuhan lainnya yang bersifat mental dan spiritual. A. Pendahuluan Istilah “perhatian orang tua” adalah merupakan satu kesatuan istilah atau frase yang cakupan bahasannya secara khusus mengandung makna kajian, yaitu suatu model pengasuhan dimana orang tua dengan sungguhsungguh dan penuh perhatian menumbuhkan kesadaran dirinya untuk dari waktu ke waktu selalu menjaga dan memupuk hubungan dirinya dengan anaknya dengan cara banyak mendengar dengan sungguh-sungguh ketika berinteraksi dengan anaknya, mengembangkan kesadaran emosional dirinya terhadap anaknya secara terarah, dan memberikan kasih sayang tanpa pamrih. Dari kandungan model pengasuhan ini, secara operasional, orang tua dalam melakukan pengasuhan anak dapat dipastikan akan melibatkan semua kesadaran yang dimilikinya dan sekaligus memberikan respon
ungkapan kasih sayang dalam segala bentuknya, baik itu sikap, perilaku, pikiran, perasaan atau batin, maupun emosi yang semata-mata ditujukan untuk kebaikan diri dan kualitas hidup sang anak. Model pengasuhan secara maknawi, juga akan terkait dengan praktek pengasuhan yang akan melibatkan banyak faktor, misalnya orang tua akan berusaha sebaik dan semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun non fisik anaknya secara berkualitas seperti kebutuhan makan, minum, sandang dan papan, kebutuhan keselamatan dan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan pengakuan, kebutuhan untuk dapat mengaktualisasikan diri, dan kebutuhan yang bersifat transendental. Kebutuhan-kebutuhan ini pada hakekatnya adalah kebutuhan dasar manusia sebagaimana yang dikembangkan oleh Abraham Maslow 1 Di samping lingkungan rumah, lingkungan sekolah diperlukan dalam suatu proses pendidikan anak.Lingkungan sekolah adalah salah satu tempat dimana seorang anak melakukan interaksi dengan anak lainnya, selain tentunya dengan guru maupun dengan petugas lainnya. Dalam melakukan interaksi tersebut terdapat kemungkinan dimana seorang anak mengalami kesulitan untuk memahami anak lainnya, sehingga tidak jarang menimbulkan kesalah-pahaman, dan kemudian terjadi adu kekuatan di antara mereka. Kesalah-pahaman atau adu kekuatan ini dapat berujung pada terjadinya perilaku kekerasan, baik fisik maupun psikologis. Kekerasan fisik ini dapat berupa pemukulan, intimidasi, pemalakan, pengucilan, perpeloncoan, caci maki dan bentuk tindakan agitatif lainnya yang dilakukan secara berulang, baik oleh individu maupun kelompok. Kekerasan fisik maupun psikologis ini disebut dengan perilaku bullying. Bullying biasanya dilakukan oleh senior kepada yuniornya (hazing), atau dapat juga dilakukan terhadap teman sebayanya (peer victimization). Bullying terjadi karena adanya ketidak-seimbangan kekuatan antara pelaku bullying dan target (korban) dan karenanya korban tidak berdaya atau tidak dapat melakukan perlawanan.2 Kekuatan yang tidak seimbang tersebut bisa bersifat nyata maupun perasaan. Contoh tidakseimbangnya kekuatan yang bersifat nyata adalah ukuran atau kekuatan badan yang tidak sama, atau dapat juga karena perbedaan status sosial. Sedangkan contoh ketidakseimbangan kekuatan yang bersifat perasaan adalah adanya perasaan superior dan kepandaian berbicara atau bersilat lidah dari salah satu pihak, dan begitu sebaliknya.3 Salah satu wujud nyata dari penggunaan kekuatan yang tidak seimbang itu adalah ejekan atau pelecehan terhadap teman, misalnya pemanggilan 1 Harold F Gortner, Julianne Mahler and Jeane Bell Nicholson, Organization Theory, a Public Perspective, (California: Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, 1987), h. 348-349 2 Djuwita, R., Kekerasan Tersembunyi di Sekolah: Aspek-Aspek Psiko Sosial dari Bullying, Makalah dalam Workshop Bullying di Jakarta, 2006). h. 1-20
nama bapak atau ibu dengan nada mengejek, atau penyebutan secara rendah pekerjaan bapak atau ibu, atau pemanggilan nama teman dengan suatu panggilan yang bukan nama sebenarnya dan diganti dengan nama lain yang buruk atau dikonotasikan buruk. Berkaitan dengan kekerasan fisik maupun non-fisik (psikis) yang terjadi pada anak-anak, dilaporkan banyak terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat yaitu sebagai berikut:4 1 Tahun 2002 dilaporkan bahwa ⅔ (dua pertiga) dari tindak kekerasan yang dilakukan di Nusa Tenggara Timur (NTT) terjadi pada anak-anak, sedangkan tindak kekerasan terhadap anak-anak yang dilakukan di Jawa Tengah banyak terjadi di lingkungan sekolah (80%) dan dilakukan oleh guru. 2 Tahun 2008 terjadi 1.926 kasus tindak kekerasan, dimana 28% dari jumlah tersebut terjadi di lingkungan sekolah, dan sisanya terjadi di lingkungan keluarga, lingkungan sosial dan lingkungan pekerjaan. 3 Tahun 2008 terjadi kenaikan tindak kekerasan di sekolah-sekolah di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta dimana 67,9% dari tindak kekerasan tersebut terjadi di tingkat Sekolah Menengah Atas dan 66,1% terjadi di tingkat Sekolah Lanjutan Pertama. Bullying merupakan salah satu tindak kekerasan yang dapat terjadi pada siapa pun juga dan di mana pun juga, seperti di kantor pemerintah, perusahaan swasta, institusi pendidikan dari SD, SMP, SMA, bahkan sampai Perguruan Tinggi (PT), dan bahkan bisa terjadi di rumah atau di tempat lainnya. Tindakan bullying dapat dilakukan oleh atasan terhadap bawahan, oleh karyawan yang satu terhadap karyawan yang lain, oleh kepala sekolah terhadap guru, oleh guru yang satu terhadap guru yang lain, oleh guru terhadap murid dan oleh murid yang satu terhadap murid yang lain. Artinya, bullying dapat terjadi di lingkungan dimana terjadi interaksi sosial antar manusia. Para pelajar yang melakukan bullying dapat dipandang sebagai tersangka sekaligus korban. Korban atas berbagai kondisi di lingkungan keluarga dimana orang tua kurang memberikan perhatian, kehangatan, penghargaan, sehingga dalam perkembangan kepribadiannya mengalami hambatan termasuk hambatan dalam pembentukan self-esteem (harga diri). Kasus bullying yang terjadi di sekolah banyak disebabkan oleh minimnya pengawasan pada waktu istirahat, inkonsistensinya penegakan peraturan terhadap kasus bullying dan adanya pemahaman atau persepsi yang berbeda antara guru dan siswa dalam menghadapi kebiasaan bullying5. Peran media massa dan permainan-permainan game yang menayangkan kekerasan juga ikut andil dalam tindak atau perilaku bullying. 3 Wiyani, N. A., Save Our Children from School Bullying, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012). h. 24-25 4 Ibid.
Dalam penelitian tertentu tentang kekerasan dalam film, program televisi, vedio game, secara konsisten menunjukkan bahwa media yang menampilkan kekerasan dapat meningkatkan agresi dan kekerasan, baik dalam jangka pendek maupundalam konteks jangka panjang. Semakin bertambah usia, anak-anak akan memiliki keahlian sosial yang semakin berkembang, sebagai strategi yang di gunakan secara efektif untuk berinteraksi dengan sesama. Akan tetapi, kemampuan sosial mereka sangat bervariasi. Sebagian diantaranya bersikap sopan, mengetahui dengan baik bagaimana cara memulai dan melanjutkan percakapan, serta selalu bekerja sama dan berbagi dengan teman sebaya, sedangkan sebagian lainnya kurang memiliki kemampuan tersebut. Umumnya anak-anak mengembangkan kemampuan sosial mereka melalui pengalaman dan latihan bersama teman sebaya serta orang dewasa. Manakala mereka tidak bisa menyelesaikan konflik, aktifitas mereka akan berantakan. Kemampuan sosial anak-anak juga banyak dipengaruhi oleh perilaku orang yang ada di sekitarnya. Artinya lingkungan bisa menjadi lahan subur munculnya perilaku anti sosial termasuk perilaku bullying. Dengan sering terjadinya tragedi bullying, masyarakat disadarkan bahwa peran orang tua sangat penting dalam mencegah perilaku bullying. Para peneliti mempelajari mengenai keluarga dan melaporkan bahwa orang tua dari pelaku bullying biasanya kurang perhatian dan kurang hangat hubungannya dengan anaknya.6 Berbeda dengan kurangnya perhatian dan kurang hangatnya hubungan antara pelaku bullying dengan keluarganya, keluarga korban bullying, dalam hal ini adalah ibu korban bullying, seringkali bersikap berlebihan dalam melindungi anaknya, sehingga dengan sikap yang berlebihan tersebut anak menjadi kehilangan kepercayaan diri dan kemandirian. Mengingat bahwa dampak dari perilaku bullying sangat luar biasa, terutama bagi korban bullying, maka masalah bullying ini perlu mendapatkan perhatian dan upaya yang maksimal dari semua pihak untuk mencegah dan memperkecil kemungkinan timbulnya perilaku bullying, yaitu dari orang tua sendiri, guru, masyarakat, pemerhati pendidikan, aparat keamanan, dan pemerintah. B. Pengertian Bullying Kata “bullying” adalah kata benda (gerund) yang berasal dari bentukan kata kerja bully yang oleh Webster Encyclopedic Unabridged Dictionary of The English Language (1989) diartikan sebagai a blustering, quarelsome, overbearing person who habitually badgers and intimidates smaller or 5 Olweus, D., Limber, S. P., & Mihalic, S., The Bullying Prevention Program: Blue Printsfor Violence Prevention, Vol. 10. Center for the Study and Prevention of Violence: Boulder, CO. (1999), h. 1-20 6 Olweus, D, Bullying at School: What We Know and What We Can Do, Blackwell, Oxford, (1993), h 1-14
weaker people (suatu gertakan atau sikap permusuhan yang selalu ditampilkan oleh seseorang yang kebiasaannya mengganggu dan dan mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah atau lebih kecil). Lebih jauh, akar kata dari bullying adalah “bull” yang berarti banteng yang senang menyeruduk ke sana dan ke sini. 7 Istilah ini akhirnya diambil untuk menggambarkan suatu tindakan yang agresif dan destruktif. Istilah bullying ini kebanyakan digunakan di negara Inggris atau Amerika Serikat tetapi tidak digunakan di negara lain seperti Norwegia, Firlandia, Denmark, dan Finlandia yang menggunakan istilah “mobbing” atau “mobbning”. Istilah “mob” ini ditujukan kepada kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak yang terlibat dalam kekerasan.8 Perlu diketahui bahwa usaha menyakiti yang dilakukan di dalam sebuah kelompok, misalnya kelompok siswa suatu sekolah, disebut sebagai peervictimization. Sedangkan hazing adalah kegiatan yang biasanya dilakukan oleh anggota kelompok yang sudah ‘senior’, yang berisi perintah atau tugastugas memalukan atau melecehkan, bahkan juga diikuti dengan penyiksaan atau setidaknya menimbulkan ketidak nyamanan fisik maupun psikis. Perintah atau tugas-tugas memalukan atau melecehkan dari seorang senior tersebut harus dilakukan oleh ‘yunior’ sebagai syarat penerimaan dirinya menjadi anggota baru kelompok senior tersebut.9 Perbedaan perilaku bullying dan bukan perilaku bullying juga terletak pada persepsi dari seseorang yang dianggap sebagai korban bullying. Misalnya, seorang siswa mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka perilaku bullying telah terjadi. Namun demikian bila siswa yang didorong tak merasa takut atau terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan sebagai bullying Siswa yang bertindak agresif terhadap siswa-siswa tertentu disebut bullies (tukang gertak). C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Bullying Dalam masa pertumbuhan dan perkembangan seorang anak, dibutuhkan suatu lingkungan yang kondusif, yaitu lingkungan yang nyaman dan aman yang dapat membantu tahapan perkembangannya secara baik, karena anak banyak belajar dari pengalaman lingkungan yang dialaminya. 7 Semai Jiwa Amini, Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak, (Jakarta: Grasindo, 2008), h 1-20 8 Olweus, D. (2004). Bullying at school: Prevalence estimation, a useful evaluation design, and a new national initiative in Norway. Association for Child Psychology and Psychiatry Occasional Papers. No. 23, pp. 5-17 9 Warren, T., Public and Private School Educators are Permitted to Photocopy and Use the Materials Contained in This Paper in Their Classes, Any other use requires permission from the author. (2005) h. 4-23
Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga, teman, sekolah dan lingkungan masyarakat sekitarnya. Banyak faktor yang menyebabkan perilaku antisosial pada anak, misalnya orang tua yang tidak memberikan kehangatan dalam memberikan pendidikan, misalnya dalam berkomunikasi orang tua berkata kasar atau keras atau membentak dan memaksakan kehendak tanpa memperhatikan psikologis dan sudut pandang anak, yang menyebabkan anak frustasi, kecewa sehingga ada kecenderungan anak untuk melakukan perbuatan agresif yang merusak sebagai bentuk pelampiasan kekecewaannya. Dampak negatif dari media masa, juga kelompok teman sebaya dapat membawa remaja terlibat dalam kenakalan remaja seperti terlibat narkoba, free sex, tawuran serta ketidakmampuan untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain.10 Tontonan-tontonan kekerasan dan pornografi yang akhir-akhir ini banyak menghiasi media ditengarai memiliki andil yang signifikan dalam mengkonstruksi dunia anak yang agresif dan destruktif.Beberapa kasus perkelahian yang terjadi di kalangan anak muncul karena terinspirasi dari tayangan-tayangan kekerasan dalam media seperti smack down, tinju bebas, dan sebagainya. Begitu juga dengan kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual terjadi karena dimotivasi oleh tayangan-tayangan pornografi dalam video porno, televisi, internet, dan lainlain, yang dapat diakses secara bebas oleh anak-anak.11 Dalam hubungannya dengan perilaku delinkuensi (kenakalan anak) dan siklus bullying di sekolah, faktor metode pendisiplinan dan pengajaran yang dilakukan oleh pihak sekolah dapat mempengaruhi pola perilaku pelajar, disamping interaksi dengan peers (teman bermain). 12 Siswa yang mempunyai komitmen yang rendah terhadap sekolah juga berpotensi gagal dalam bidang akademis dan rentan mempunyai masalah perilaku delinkuesi, bahkan bullying.13 Sedangkan lingkungan sekolah yang kondusif dapat menumbuhkan kepribadian dan tingkah laku yang positif. Dimana ciri-ciri lingkungan sekolah yang kondusif menurut Barbara Coloroso adalah 10 Munfarida, E. “Kekerasan Simbolik Media Terhadap Anak” (Jurnal Dakwah dan Komunikasi) Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010, Jurusan Dakwah dan Komunikasi, STAIN Purwokerto ISSN: 1978-1261, (2010) , h. 72. 11 Yoneyama, Shoko & Naito, Asao, “Problems with the paradigm: The school As A Factor in understanding bullying (with special reference to Japan),” British Journal of Sociology of Education, h. 315-330. Tulisan yang sama terdapat pada “Jurnal Kriminologi Indonesia Vol5. No.1 2009, (2003). h. 55-66 12 Jenkins, P.H., “School Delinquency and School Commitment” (1995). Sociology of Education, 68; 3 h. 221-239. Tulisan yang sama terdapat pada Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 5, No.1 (2009), h. 56-66. 13 Coloroso, B, Stop Bullying!: Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Pra Sekolah Hingga SMU, (Jakarta: PT. SerambiI lmu Semesta. 2003, h 383-389
lingkungan yang mampu memberikan kehangatan, menyalurkan minat positif siswa, menetapkan aturan yang sesuai norma yang berlaku, dan memberi sanksi terhadap siswa yang melanggar peraturan sekolah.14 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Christie-Mizell, 15 menyatakan dalam teori interaksi simbolik bahwa keluarga memiliki pengaruh pada perilaku anak untuk melakukan bullying yang terkait dengan konsep diri. Sebagai teori interaksi simbolik, konsep diri seorang anak diprediksi merupakan efek dari bullying yang terjadi dari perselisihan di antara orang tua. Ketika ada perselisihan yang besar antara orang tua dan anak, ada penilaian negatif yang diinternalisasikan ke self-concept anak. Karena internalisasi negatif, maka anak mengembangkan konsep diri negatif, dan konsep diri yang demikian ini memberikan kontribusi terhadap perilaku bullying. Holmes menyatakan bahwa perilaku agresi muncul dari hubungan orang tua dengan anak yang tidak harmonis dan amarah yang dilampiaskan oleh orang tua kepada anak dapat menimbulkan benih-benih kehancuran bagi anak.16 Beberapa penelitian lain juga menjelaskan banyak faktor penyebab perilaku bullying yang cenderung dialami remaja, seperti penelitian yang dilakukan oleh Urie Bronfenbrenner U., & Morris P., (1998) berkaitan dengan teori ekologi.17 Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitiannya seperti yang terdapat pada Gambar 2.1 di bawah ini mengenai model ekologi faktor resiko remaja awal untuk melakukan bullying. Gambar 2.1 Model Ekologi Faktor Resiko Remaja Awal
14 Andre Christie Mizell, Bullying: The Consequences of Interparental Discord and Childs Self Concept, Family Process, 42 (2) Oxford: Blackwell Publishers.Cando (2003), h: 237-251 15 Holmes, J and John Bowlby Attachment Theory. Makers of Modern Psychotherapy. London; New York: Routledge. (1993). ISBN 0-415-07730-3 (pbk). OCLC 27266442 16 Bronfen Brenner, U., & Morris, P, “The Ecology of Developmental Process, The Hand Book of Child Psychology”, 1, (1998), 993–1029 17 Slee, P.T. “Peer Victimization and its Relationship to Depression Among Australian Primary Student,” Personality and Individual Differences, Vol. 18 No. 1, (1995), 57-62
Keterangan: Gambar 2.1 memberikan penjelasan kepada kita sebagai berikut: 1. Menurut pemahaman makro sistem, salah satu penyebab perilaku bullying adalah efek media masa dan pengaturan (setting) bangunan sekolah yang sangat luas. 2. Dalam mesosistem, interaksi yang terjadi minimal melibatkan dua mikrosistem atau lebih yang mempengaruhi tingkah laku seorang individu. Pengaruh dua mikrosistem atau lebih ini, misalnya pengaruh keluarga dan sekolah, dapat menimbulkan efek positif yang luar biasa bagi perkembangan anak atau remaja, khususnya dalam menunjang pencapaian akademik mereka. Begitu juga kerja sama antara orang tua dan guru dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kekerasan fisik atau psikologis yang diakibatkan oleh tindakan bullying. Dengan demikian kerja sama ini dapat menciptakan pengaruh yang berarti bagi kedua belah pihak, yaitu individu-individu yang melakukan bullying dan individu-individu yang menjadi atau akan menjadi korban bullying. 3. Tingkat karakter individu dipengaruhi oleh rasa percaya diri, juga perasaan tidak berharga dari kelompok ras atau etnis. 4. Dalam ekosistem pelaku bullying atau korban bullying sangat dipengaruhi oleh atmosfir sekolah dan hubungan kelompok yang lebih luas.
5. Dalam microsistem, individu memerlukan dukungan emosi dari orang tua dan teman, sedangkan sikap guru yang apatis dapat memicu perilaku bullying. 6. Dalam mesosistem, dibutuhkan dukungan orang tua agar tidak terjadi tindakan bullying di sekolah. Sedangkan suasana hubungan yang menegangkan atau stress di sekolah dapat memicu perilaku bullying. 7. Kronosistem mencakup pola-pola kejadian lingkungan dan transisi sepanjang perjalanan hidup dan kondisi sosial-sejarah dalam dimensi waktu; 8. Unsur utama dari perilaku bullying adalah pengulangan perilaku dari waktu ke waktu. Dari kerangka sistem ekologi tersebut, keluarga mempunyai pengaruh kuat pada anak-anak, tetapi bukan yang paling besar, karena pengaruh yang paling besar terhadap perkembangan anak-anak adalah lingkungan. Menurut Bronfenbrener, keluarga beroperasi sebagai sistem sosial, sistem keluarga juga berada dibeberapa sistem lingkungan dan masyarakat pada umumnya. D. Karakteristik Perilaku Bullying Perilaku bullying yang selalu agresif, menunjukkan dirinya mempunyai kekuatan, selalu mengancam serta pandai mencari alasan untuk mencari jalan keluar dari situasi yang sulit misalnya ketika dipergoki mereka hanya mengatakan iseng atau bercanda, hal ini kalau dilakukan terus menerus dikhawatirkan akan menjadi suatu karakter yang tidak baik di kemudian hari. Dalam penelitiannya, Slee mengatakan ada lima pengertian karakter bullying yaitu: 1. Adanya ketidakseimbangan kekuatan fisik dan psikologi. 2. Harus ada pengganggu dan korban. 3. Pengganggu (bully) melakukan tindakan negatif yang berulang terhadap korban. 4. Bully sengaja berniat untuk menyakiti korban. 5. Bully melakukan tindakan negatif terhadap korban dimana sebagian besar dari gangguan tersebut tidak beralasan. Ken Rigby mengatakan juga dalam penelitiannya bahwa tindakan bullying mempunyai tiga karakteristik yang terintegrasi, yaitu: 1. Adanya perilaku agresi yang menyenangkan pelaku untuk menyakiti korban. 2. Tindakan itu dilakukan secara tidak seimbang sehingga menimbulkan korban tertekan. 3. Perilaku itu dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Dari penelitian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa karakter bullying adalah karakter mental dan fisik yang tidak baik yang selalu mendominasi orang lain dan ingin selalu menang sendiri tanpa melihat sudut
pandang orang lain, tidak bertanggung jawab atas perilakunya serta menciptakan pola interaksi sosial yang tidak sehat sehingga mengganggu dalam hubungan interpersonal, karena pelaku bullying merasa paling kuat, paling hebat dan paling berkuasa sehingga bisa berbuat apa saja yang merugikan korban untuk melampiaskan kepuasan atas kehendaknya.
E. Dimensi Perilaku Bullying Olweus membagi dimensi bullying menjadi: 1. Verbal; pengertian verbal adalah menyatakan sesuatu yang mempunyai tujuan untuk menyakiti atau menertawakan seseorang (menjadikan bahan lelucon dengan menyakiti hatinya, menceritakan kebohongan atau menyebarkan rumor yang keliru tentang seseorang). 2. Indirect; pengertian indirect adalah sepenuhnya menolak atau mengeluarkan seseorang dari kelompok pertemanan atau meninggalkan dari berbagai hal secara disengaja atau mengirimkan catatan dan mencoba membuat siswa yang lain tidak menyukainya. 3. Physical; pengertian physical adalah perbuatan memukul, menendang, mendorong, mempermainkan atau meneror dan melakukan hal-hal yang bertujuan menyakiti. Adapun dimensi perilaku bullying menurut Warren Throckmorto ada empat aspek yaitu: 1. Kontak fisik langsung berupa serangan fisik yang dilakukan secara langsung, misalnya memeras (melakukan tindakan pemerasan), memukul, menendang, menjewer, menggigit, mendorong, mengunci seseorang dalam ruangan, menginjak, mencubit, meludahi. 2. Kontak verbal langsung yaitu dengan melakukan serangan lisan atau dengan kata-kata berupa ancaman seperti memaki, mengancam, memerintah, menyebarkan gosip, memarahi, mempermalukan, membentak, mencela, memberi panggilan nama yang buruk, memberi komentar kejam, berkata kasar, dengki, mengejek pakaian, harta atau penampilan korban, mengancam untuk mengungkapkan informasi pribadi, membuat coretan, egois, pemarah, tidak peduli, suka mengejek, sikap negatif pada guru dan lain-lain. 3. Kontak non-verbal langsung yaitu perilaku yang dilakukan dengan menggunakan bahasa tubuh secara langsung oleh pelaku bullying dengan menampilkan ekspresi muka yang mengancam, menampilkan ekspresi muka yang mengejek, menjulurkan lidah, menampilkan ekspresi muka yang merendahkan, merusak barang-barang yang dimiliki orang lain, mengabaikan lawan bicara, mengalihkan pandangan, dan gerakan-gerakan tubuh yang menghina orang lain. 4. Kontak non verbal tidak langsung yaitu perilaku yang diwujudkan dengan mendiamkan seseorang, berbuat curang pada orang lain atau sahabat yang menyebabkan keretakan persahabatan, mengucilkan
teman, mengirim surat kaleng, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, dan mengabaikannya. Kim, mengatakan bahwa bullying dapat dilakukan secara verbal, psikologi, dan fisik. Bentuk perilaku tersebut dikatakan sebagai salah satu bentuk delinkuensi (kenakalan anak), karena perilaku tersebut melanggar norma masyarakat, dan dapat dikenai hukuman oleh lembaga Hukum.18 Dari dimensi-dimensi perilaku bullying yang tersebut di atas dapat dikelompokkan dalam tiga kategori besar, yaitu pertama, menyakiti secara fisik yang dilakukan secara langsung ke tubuh korban; kedua, menyakiti secara verbal yang dilakukan dengan kata-kata; dan yang ketiga, menyakiti secara indirect, yaitu dilakukan dengan cara mengisolasi secara tidak langsung dalam pertemanan. F. Indikator Perilaku Bullying Indikator bahwa seorang anak mempunyai perilaku bullying dapat dilihat dalam dua kategori yaitu secara fisik dan secara emosi. Adapun indikator secara fisik meliputi, penggunaaan kekuatan fisik atau kehadiran fisik untuk mengintimidasi, mempengaruhi teman lainnya, menunjukkan sikap terang-terangan secara fisik dan konfrontatif dengan orang dewasa dan teman sebaya, mencari persetujuan dari rekan-rekan, yang mungkin lebih tua, dengan menggunakan kekerasan fisik sebagai sarana ekspresi. Sedangkan Indikator secara emosional meliputi, penolakan atau ketidakmampuan untuk berempati dengan orang lain, keinginan untuk memegang kendali, anak yang menggertak sering menampilkan kebutuhan untuk tidak bertanggung jawab atas peristiwa dan ketidakmampuan untuk berbagi kepemimpinan atau bekerja secara kooperatif dengan orang lain. Mereka mungkin dapat bekerja dengan orang lain, tetapi hanya pada kelompok mereka sendiri, ketidakmampuan atau penolakan untuk menerima tanggung jawab atas tindakan. Dalam situasi bullying, mereka sering mengungkapkan pendapat bahwa anak yang di-bully karena salahnya sendiri lemah dan tidak bisa membela dirinya sendiri, berkecenderungan untuk berhubungan dengan orang lain dalam cara yang negatif, misalnya terusmenerus membuat komentar negatif tentang penampilan, kecerdasan, kemampuan, keluarga, perilaku orang lain, dan lain-lain. Dari pemaparan indikator perilaku bullying dapat dikatakan bahwa perilaku bullying berakar dari keberagaman dinamika hubungan interpersonal, dimana pelaku mempunyai kepercayaan diri yang lebih tinggi dari pada korban tetapi bersifat negatif dan mempunyai kekuatan dalam melakukan aksinya, walaupun bisa juga dibalik itu semua si pelaku hanya untuk menutupi segala kekurangan yang ada pada dirinya atau bisa juga memandang rendah atas dirinya. 18 Thornton, W. E. (1992). Delinquency & Justice (3thed.) New Orleans, McGraw-Hill Inc. From Jurnal Kriminologi Indonsia vol 5. No.1 2009: h. 56-66.
Indikator-indikator bullying bisa juga muncul karena ada situasi dan kondisi yang mendukung atau yang memungkinkan terjadinya bullying misalnya, kelompok pertemanan yang mendorong untuk membully sedang yang di bully tidak termasuk dalam kelompok mereka atau korban dipandang secara fisik atau psikis memang pantas untuk di bully. Misalnya bisa dilihat dari korban yang mempunyai kekurangan pada fisik yaitu korban memakai kaca mata tebal, korban mempunyai cacat pada tubuh, terlalu gemuk atau terlalu kurus dan lain sebaginya, atau bisa dilihat dari kekurangan secara psikis pada korban misalnya anak yang minder tidak mempunyai kepercayaan diri atau karena status sosial yang berbeda dan masih banyak lagi contoh-contoh yang lainnya. G. Permasalahan Pelaku dan Korban Bullying Cunningham, Olweus, Whitney dan Smith,19 menyatakan bahwa salah satu isu utama mengenai korban bullying adalah sebagian besar korban bullying enggan untuk memberitahu. Whitney dan Smith, telah menemukan bahwa sekitar 50% dari murid yang menjadi korban bullying tidak memberitahu kepada siapa pun juga tentang tindakan bullying terhadap dirinya tersebut, baik kepada guru maupun orang tua. Hal senada dikatakan Elliot dalam suatu penelitiannya, bahwa pihak sekolah cenderung menutupi kasus bullying yang dilakukan oleh siswa-siswa senior, sebab jika diketahui oleh publik, mereka khawatir sekolahannya akan mendapat reputasi buruk, misalnya ketika Masa Orientasi Siswa (MOS) berlangsung, guru seringkali membiarkan tindakan-tindakan yang masuk kategori bullying selama tindakan tersebut tidak mengakibatkan sakit parah pada fisik korban bullying. Rivers dan Smith menyatakan bahwa bagian dari dinamika bullying adalah ketidakseimbangan kekuatan atau daya antara pengganggu dan korban, sekaligus memberikan jaminan bahwa bullying tidak mungkin dilaporkan. Seperti bentuk-bentuk pelecehan dan penindasan tersembunyi seringkali tidak dilaporkan karena korban takut terjadinya kondisi yang lebih parah. Mereka berpikir bahwa mereka akan diancam secara terus menerus apabila melapor tindakan bullying tersebut. Mereka tidak percaya bahwa guru dapat atau akan melakukan upaya untuk menghentikan tindakan bullying. Mereka juga tidak ingin memberitahukan kepada orang tua mereka karena mereka takut jika orang tua mereka kemudian memberitahukan ke pihak sekolah, maka tindakan bullying yang mereka terima akan bertambah buruk. Demikian juga apabila mereka mengadukan tindakan bullying tersebut kepada rekan-rekannya, maka pengaduan itu akan dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat buruk untuk dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat juga menunjukkan kecenderungan 19 Cunningham, C., Cunningham, L., Martorelly, V., Tran, A., Young, J., & Zacharias, R., (1998), The effects of primary division student mediated conflict resolution programs on playgroup aggression, Journal of Child Psychology and Psychiatry 39, h. 652-662
bahwa sekitar 30 persen dari korban bullying tidak memberitahukan hal tersebut kepada siapa pun juga. H. Dampak Perilaku Bullying Dalam kasus bullying, selain masalah penyebab timbulnya bullying dan upaya untuk mencegahnya, hal penting lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah dampak dari tindakan bullying terhadap korban. Penelitian di Australia dan luar negeri menunjukkan bahwa bullying dapat menyebabkan korban bullying mengalami tekanan psikologis dan depresi berat, bahkan kesehatan fisik korban bullying dapat menjadi sangat memburuk. Akibat lain dari bullying, yaitu ditolaknya korban bullying dalam pergaulan dan diasingkan oleh kelompok mereka, dan terjadi hubungan interpersonal yang buruk antara korban bullying dengan pihak lainnya, atau rendahnya angka pertemanan dari korban bullying, atau penerimaan teman yang rendah, atau korban bullying hanya bergaul dengan orang lain yang sama-sama memiliki kekuatan fisik yang rendah, atau rendahnya antusiasme untuk bersekolah, atau memiliki keterampilan sosial yang buruk, atau memiliki kecenderungan untuk melakukan perilaku bullying terhadap orang lain. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa anak-anak yang sering mengalami bullying mudah atau selalu dalam keadaan cemas, tertekan, bahkan mungkin berniat bunuh diri karena prestasi akademis mereka memburuk sebagai akibat dari adanya bullying. Bullying bukanlah sesuatu yang bisa dianggap biasa saja, karena dampak bullying akan terus terasa sampai dewasa, dan membentuk pribadi yang tidak berkembang. Sedangkan dampak lain yang akan dialami oleh para pelaku bullying adalah tumbuhnya potensi pada pelaku bullying untuk menjadi pelaku kriminal, dan potensi tersebut lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak melakukan bullying. I. Remaja dan Self Esteem Menurut kamus Webster’s Enscyclopedi Unabridged of the English Language, self-esteem adalah sebuah tujuan penghormatan atau kesan yang baik dari diri sendiri atau kesan menguntungkan atau berlebihan pada diri sendiri. Harga diri (self-esteem) adalah idiom yang terdiri dari 2 (dua) kata: “harga” dan “diri”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan “harga” sebagai nilai atau kehormatan, dan “diri” sebagai orang seorang, sehingga “harga diri” dapat diartikan sebagai nilai atau kehormatan yang melekat pada orang atau seseorang.20 Rasa harga diri bukanlah rasa percaya diri yang berlebihan. Bila kita memiliki rasa harga diri yang sehat, kita mengenal dan dapat menerima diri kita sendiri dengan keterbatasannya. Kita tidak merasa malu atas keterbatasan kita, tetapi kita memandangnya sebagai suatu bagian dari 20 Kamus Besar Bahasa Indonesia
realita mengenai diri kita, bahkan kita bisa memandangnya sebagai sesuatu yang menantang kita untuk berkembang. Harga diri yang tinggi menjadi masalah saat berubah menjadi narsisme atau memiliki rasa bahwa diri kita ini tinggi. Sebagian orang dengan harga diri yang tinggi memiliki perasaan bahwa nilai dirinya tinggi dibandingkan orang lain. Narsisme biasanya memiliki harga diri tinggi, tetapi mereka kehilangan bagian yang lain, yaitu kepedulian terhadap orang Remaja yang agresif dan pengganggu yang berulang kali mengorbankan orang lain telah ditemukan memiliki harga diri yang tinggi. Terkait dengan pembentukan self-esteem ini, Maslow, mengemukakan bahwa: The feeling of self esteem can be realistic if it is soundly based upon real capacity personal abilities, achievement, and efficiency. Artinya: Harga diri adalah sesuatu yang realistis apabila didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang itu memang mempunyai kemampuan diri, memiliki bukti nyata mengenai prestasi kerjanya yang telah dilakukannya secara baik atau efisien. Masa remaja merupakan periode kehidupan yang penuh dengan dinamika, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan dan perubahan yang sangat pesat baik perubahan fisik maupun psikis. Pada periode ini merupakan masa transisi dan remaja mempunyai risiko tinggi terjebak dalam kenakalan dan kekerasan remaja, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku dari tindakan kekerasan. Pada umumnya pada masa tersebut, banyak hal-hal negatif seperti kenakalan remaja yang disebabkan oleh keadaan psikologis remaja yang labil, akibat pengaruh teman sebaya dan media massa yang semakin kuat. Dalam perkembangan remaja, pembentukan self-esteem sangat penting sekali dalam interaksinya dengan lingkungan. Berkaitan dengan self-esteem ini, menyatakan bahwa pengertian self-esteem adalah penilaian yang dibuat seseorang tentang dirinya dan biasanya penilaian tersebut bersifat tetap, dan ini berkaitan dengan suatu sikap yang menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu berarti, sukses dan berharga. Dalam pembentukan self-esteem perlu adanya dukungan dari berbagai pihak termasuk di dalamnya lingkungan yang terdekat yaitu orang tua, saudara, teman sebaya baik teman di sekolah, teman bermain ataupun di lingkungan dimana remaja tersebut berinteraksi dengan masyarakat setempat. Bila timbul perasaan, pikiran, dan persepsi yang tidak seimbang atau bahkan saling berlawanan dalam diri anak, maka akan terjadi iklim psikologi yang tidak menyenangkan sehingga kemungkinannya dapat mengubah perilaku anak. Anak dapat menampilkan perilaku sosial yang tidak atau kurang wajar, yaitu merasa inferior dan canggung atau sebaliknya merasa superior sehingga akan berdampak buruk bagi dirinya dan orang lain. Namun apabila kebutuhan self-esteem mereka dapat terpenuhi secara memadai, maka kemungkinannya mereka juga akan dapat memperoleh sukses dalam menampilkan perilaku sosialnya, dan tampil dengan penuh keyakinan diri (self-confidence) dan merasa memiliki nilai dalam lingkungan sosialnya.
J. Peran Orang Tua Keluarga merupakan markas di mana anak-anak mendapatkan kasih sayang, bimbingan, dukungan, dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk menangani banyak tugas dan tantangan hidup. Perhatian yang diberikan oleh orang tua terhadap anak sangat diperlukan karena orang tua adalah pembina pribadi yang pertama dalam hidup anak. Orang tua adalah juga merupakan pendidik kodrati. Mereka adalah pendidik bagi anak-anaknya. Ibu dan bapak secara kodrati diberikan anugerah oleh Tuhan berupa naluri orang tua. Dengan naluri itulah maka timbul rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya, sehingga secara moral orang tua merasa terbebani tanggung jawab untuk memelihara, melindungi, mengawasi serta membimbingnya. Perhatian yang cukup dari orang tua terhadap anak-anaknya dapat menghasilkan sebuah perilaku yang positif karena segala tingkah lakunya selalu mendapat arahan dari orang tua. Selain ibu dan ayah yang dapat mempengaruhi perilaku anak, kakek, nenek dan orang lain di dalam keluarga, dengan berbagai macam cara dan sikap, juga dapat mempengaruhi perilaku atau karakter anak. Oleh karena itu pada derajat tertentu, pengaruh terhadap anak tersebut dipengaruhi oleh sifat atau karakter dari orang- orang yang berinteraksi dengannya. Contohnya, efek dari ibu yang ramah dan mudah bergaul bisa jadi berbeda dengan ibu yang penyendiri dan pendiam. Artinya lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak. Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak membentuk ikatan emosional dengan orang tuanya. Anak-anak yang akrab dengan kedua orang tuanya ternyata lebih baik penyesuaian sosial dan emosinya (mereka mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam bergaul dengan orang lain, jauh dari depresi, jauh dari penyalahgunaan obat terlarang atau alkohol). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McCord and McCord dimana penelitian mereka menunjukan bahwa penolakan, pelecehan (abusive), kesalahan mendidik (mistreatment), dan sikap keras orang tua terhadap anak, cenderung menyebabkan anak bertindak agresif termasuk bullying. Selain itu orang tua yang mempunyai peran otoritatif dengan membangun komunikasi yang teratur secara jelas cenderung menyebabkan anak bersahabat. Penelitian secara umum menunjukkan dengan jelas bahwa bullying mencapai puncaknya pada awal masa remaja. Adapun bentuk perhatian orang tua kepada anaknya dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan fisik, keamanan dan keselamatan, sosial, aktualisasi diri dan transenden. Ada beberapa atribut orang tua yang sering diasosiasikan dengan tingginya harga diri anak-anak, yaitu: 1. Kemampuan mengekspresikan afeksi (kasih sayang). 2. Kepedulian terhadap masalah-masalah anak; harmoni di dalam keluarga. 3. Partisipasi dalam kegiatan-kegiatan bersama keluarga. 4. Kesiapan memberikan bantuan yang wajar dan memadai kepada anakanak ketika mereka membutuhkannya.
5. Penerapan aturan yang jelas dan adil. 6. Ketaatan terhadap aturan. 7. Pemberian kebebasan kepada anak-anak dalam batas-batas yang ditentukan dengan jelas. Pengaruh orang tua, baik itu kebiasaan yang positif maupun negatif, dapat mempengaruhi perkembangan kebiasaan maupun persepsi yang sama dari anak-anak mereka. Anak-anak juga cenderung untuk mengingat tanggapan orang tua sesuai dengan kondisi emosional mereka. Misalnya, ketika anak menerima pujian pada saat self-esteem mereka tinggi, atau ketika mereka menerima kritik pada saat mereka dalam kondisi rendah diri, maka semua itu akan tertanam secara efektif dalam ingatan mereka. Saran yang bersifat umum yang ditujukan kepada orang tua dan sekolah SMA pada umumnya dimana perlu dipahami bahwa sekolah adalah merupakan tempat berkumpul anak, dan karenanya terdapat potensi terjadinya perilaku tindak bullying. Untuk itu pimpinan sekolah, termasuk guru dan staf, dan orang tua perlu melakukan kerja sama yang aktif untuk menciptakan iklim yang sehat bagi anak-anak atau siswa mereka, dengan memberikan perhatian secara intensif, mengarahkan siswa pada kegiatan kelompok yang positif, menyediakan sarana dan prasana untuk menyalurkan potensi siswa, memberikan aturan yang jelas, dan menegakkan aturan tersebut secara tegas dan konsisten sehingga dapat mencegah sedini mungkin terjadinya tindak atau perilaku bullying. K. Penutup Bullying suatu gertakan atau sikap permusuhan yang selalu ditampilkan oleh seseorang yang kebiasaannya mengganggu dan dan mengintimidasi orang-orang yang lebih lemah atau lebih kecil. Sinonim istilah bullying antara lain“mobbing” atau “mobbning”. Istilah “mob” ini ditujukan kepada kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak yang terlibat dalam kekerasan, atau peer-victimization yang khusus bagai kekerasan terhadap kelompok. Faktor perilaku bullying misalnya orang tua yang tidak memberikan kehangatan dalam memberikan pendidikan. Komunikasi orang tua dengan anak kasar atau keras atau membentak dan memaksakan kehendak tanpa memperhatikan psikologis dan sudut pandang anak, yang menyebabkan anak frustasi, kecewa sehingga ada kecenderungan anak untuk melakukan perbuatan agresif yang merusak sebagai bentuk pelampiasan kekecewaannya. Perilaku bullying yang selalu agresif, menunjukkan dirinya mempunyai kekuatan, selalu mengancam serta pandai mencari alasan untuk mencari jalan keluar dari situasi yang sulit misalnya ketika dipergoki mereka hanya mengatakan iseng atau bercanda, hal ini kalau dilakukan terus menerus dikhawatirkan akan menjadi suatu karakter yang tidak baik di kemudian hari.
Keluarga merupakan markas dimana anak-anak mendapatkan kasih sayang, bimbingan, dukungan, dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk menangani banyak tugas dan tantangan hidup.
Daftar Pustaka Amini, Semai Jiwa, Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak, (Jakarta: Grasindo, 2008) Bronfen Brenner, U., & Morris, P, “The Ecology of Developmental Process, (The Hand Book of Child Psychology”, 1, 1998) Coloroso, B, “Stop Bullying!: Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Pra Sekolah Hingga SMU” (Terjemahan), (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003) D, Olweus, Limber, S. P., & Mihalic, S., “The Bullying Prevention Program: Blue Printsfor Violence Prevention,”Vol. 10. (Center for the Study and Prevention of Violence: Boulder, CO. 1999) -------------------, “Bullying at School: “What We Know and What We Can Do”, (Blackwell, Oxford, 1993) -------------------. (2004). Bullying at school: Prevalence estimation, a useful evaluation design, and a new national initiative in Norway.Association for Child Psychology and Psychiatry Occasional Papers. No. 23, pp. 517. Munfarida, “Kekerasan Simbolik Media Terhadap Anak” (Jurnal Dakwah dan Komunikasi) Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010, Jurusan Dakwah dan Komunikasi, STAIN Purwokerto ISSN: 1978-1261, 2010. Gortner, Harold F, Julianne Mahler and Jeane Bell Nicholson, Organization Theory, a Public Perspective, (California: Brooks/Cole Publishing Company, Pacific Grove, 1987) Holmes, J and John Bowlby Attachment Theory. Makers of Modern Psychotherapy. (London; New York: Routledge, 1993). ISBN 0-41507730-3 (pbk), OCLC 27266442. Jenkins, P.H., “School Delinquency and School Commitment” (1995). Sociology of Education, 68;3 h. 221-239. Tulisan yang sama terdapat pada Jurnal Kriminologi Indonsia Vol 5. No. 1, 2009. Mizell, Andre Christie “Bullying: The Consequences of Interparental Discord and Childs Self Concept, Family Process,” 42 (2) (Oxford: Blackwell Publishers, Cando, 2003) R. Djuwita, “Kekerasan Tersembunyi di Sekolah: Aspek-Aspek Psiko Sosial dari Bullying”. Makalah dalam Workshop Bullying di Jakarta, 2006. Slee, P.T. “Peer Victimization and its Relationship to Depression Among Australian Primary Student,” Personality and Individual Differences, Vol. 18 No. 1, 1995.